Upload
trinhbao
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ISOLASI FRAKSI AKTIF ANTIBAKTERI DARI
DAUN Garcinia benthami Pierre.
SKRIPSI
SUMIATI
1111102000124
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JULI 2015
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ISOLASI FRAKSI AKTIF ANTIBAKTERI DARI
DAUN Garcinia benthami Pierre.
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
SUMIATI
1111102000124
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JULI 2015
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan benar.
Nama : Sumiati
NIM : 1111102000124
Tanda Tangan :
Tanggal : 10 Juli 2015
iv
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Sumiati
NIM : 1111102000124
Program Studi : Farmasi
Judul : Isolasi Fraksi Aktif Antibakteri dari Daun Garcinia benthami
Pierre.
Disetujui oleh:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Puteri Amelia, M. Farm., Apt
Ismiarni Komala, Ph. D., Apt
NIP: 198012042011012004
NIP: 197806302006042001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Yardi, Ph. D., Apt
NIP: 197411232008011014
v
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Sumiati
NIM : 1111102000124
Program Studi : Farmasi
Judul : Isolasi Fraksi Aktif Antibakteri dari Daun Garcinia benthami
Pierre.
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing 1 : Puteri Amelia, M. Farm., Apt ( )
Pembimbing 2 : Ismiarni Komala, Ph. D., Apt ( )
Penguji 1 : Dr. Azrifitria, M. Si., Apt ( )
Penguji 2 : Eka Putri, M. Si., Apt ( )
Ditetapkan di : Ciputat
Tanggal : 10 Juli 2015
vi
ABSTRAK
Nama : Sumiati
Program Studi : Farmasi
Judul : Isolasi Fraksi Aktif Antibakteri dari Daun Garcinia benthami
Pierre
Garcinia benthami Pierre merupakan salah satu spesies dari genus Gracinia yang
pemanfaatannya belum banyak dilaporkan. Penelitian terdahulu dilaporkan bahwa
senyawa 1,3,6,7-tetrahidroksixanton dari daun Garcinia benthami Pierre
mempunyai aktivitas antioksidan dan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol dari
daun mempunyai potensi toksisitas akut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengisolasi ekstrak etil asetat dari daun Garcinia benthami Pierre dan menguji
aktivitas antibakteri dari fraksi-fraksi hasil isolasi. Isolasi dilakukan dengan
tekhnik kromatografi kolom dan uji aktivitas antibakteri fraksi dengan metode
bioautografi langsung (TLC-DB atau Thin Layer Chromatography-Direct
Bioautography). Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap 30 fraksi diperoleh 24
fraksi yang aktif terhadap Staphyloccus aureus ATCC 6538, 17 fraksi aktif
terhadap Salmonella enterica sv typhimurium ATCC 14028, dan 16 fraksi aktif
terhadap keduanya. Fraksi F11.30 memiliki aktivitas tertinggi terhadap bakteri
Staphylococcus aureus ATCC 6538 sebesar 12,7 mm. Fraksi F11.16 memiliki
aktivitas tertinggi terhadap bakteri Salmonella enterica sv typhimurium ATCC
14028 sebesar 7,983 mm.
Kata kunci : Garcinia benthami Pierre, Isolasi, Bioautografi Langsung, Aktivitas
Antibakteri
vii
ABSTRACT
Name : Sumiati
Program Study : Pharmacy
Tittle : Isolation of Active Antibacterial Fraction from Etil Acetate
Extract Garcinia benthami Pierre Leave
Garcinia benthami Pierre is one of the species of the genus Garcinia which the
utilization has not been widely reported. Previous studies reported that the
compound 1,3,6,7-tetrahydroxyxhanton of Garcinia benthami Pierre leaves have
antioxidant activity, ethyl acetate and methanol of the leaves extracts have
potential acute toxicity. This study aims to isolate the ethyl acetate extract of
Garcinia benthami Pierre Leaves and test the antibacterial activity of isolated
fractions. Isolation performed by column chromatography techniques and test of
fractions antibacterial activity with direct bioautografi method (TLC-DB or Thin
Layer Chromatography-Direct Bioautography). The result of antibacterial activity
against 30 fractions obtained 24 fractions were active against Staphylococcus
aureus ATCC 6538, 17 active fractions against Salmonella enterica sv
typhimurium ATCC 14028, and 16 fractions active against both of them. F11.30
fraction have the highest activity against bacteria of Staphylococcus aureus ATCC
6538 amounted 12.7 mm. F11.16 fraction have the highest activity against
bacteria of Salmonella enterica sv typhimurium ATCC 14028 amounted 7.983
mm.
Keyword : Garcinia benthami Pierre, Isolation, Direct Bioautography,
Antibacterial activity
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirrabbil’aalamiin atas berkat nikmat, rahmat, dan barakah
dari Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
kepada baginda Rasullaah SAW, semoga kelak kita mendapat syafaat beliau.
Penulisan skripsi dengan judul “Isolasi Fraksi Aktif Antibakteri dari Daun
Garcinia benthami Pierre” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk menyelesaikan program pendidikan Strata 1 (S1) pada Program
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penelitian dan penulisan skripsi ini
tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt dan Ibu Ismiarni Komala, Ph. D., Apt
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, waktu, tenaga,
dukungan dan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi.
2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M. Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph. D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan
dan bantuan selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis untuk menyelesaikan studi di Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
ix
6. Mbak Rani, Kak Eris, Kak Lisna, Kak Tiwi, Kak Rahmadi yang telah
memberi banyak bantuan kepada penulis selama penelitian di laboratorium
kampus.
7. Ubak Sarkowi dan Umak Ernawati yang selalu memberikan kasih sayang,
dukungan dan do’anya kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
8. Yuk Dahlia, Okky Saputra, Kak Fathurrahman, Ujang Anang, dan Bi Masnah
serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan dan bantuan setiap
kali dibutuhkan, M. Fakhruddin Hawarie yang selalu menghibur dan
memberikan keceriaan dikala penat.
9. Teman-teman program “Santri Jadi Dokter Sumatera Selatan Angkatan 2011”
Via, Chima, Efri, Mega, Rois, Hari dan semuanya yang telah memberikan
bantuan, do’a, dukungan, dan semangat.
10. Sahabat terdekat Ismi, Karimah, Qadrina, Awp yang bersedia membantu,
mendengarkan keluhan, memberikan pendapat, saran, do’a dan semangat
kepada penulis selama menyelesaikan penelitian ini.
11. Teman-teman seperjuangan “Farmasi 2011”, Mbak Evi, Silvia, Athyah dan
“Microbiology United” atas semua kenangan dan kebahagian yang dijalani
bersama selama empat tahun ini. Semoga ukhuwah kita tetap terjaga.
12. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga penelitian ini
dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak keterbatasan dan
kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga segala kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis dicatat sebagai amal ibadah dan dibalas dengan
ganjaran pahala oleh Allah SWT. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan. Aamiin.
Ciputat, Juli 2015
Penulis
x
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sumiati
NIM : 1111102000124
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya
dengan judul:
ISOLASI FRAKSI AKTIF ANTIBAKTERI
DARI DAUN Garcinia benthami Pierre
untuk dipublikasikan atau ditampilkan diinternet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 10 Juli 2015
Yang menyatakan,
( Sumiati )
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. vi
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5
2.1 Genus Garcinia .......................................................................................... 5
2.1.1 Garcinia benthami Pierre ................................................................ 6
2.1.2 Taksonomi ........................................................................................ 6
2.1.3 Deskripsi Garcinia benthami Pierre ................................................ 7
2.1.4Kandungan Kimia Genus Garcinia ................................................... 7
2.2 Simplisia .................................................................................................. 11
2.2.1 Definisi .......................................................................................... 11
2.2.2 Penyiapan Simplisia ...................................................................... 12
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi ............................................................................... 13
2.3.1 Metode Ekstraksi ............................................................................ 15
2.3.2 Vaccum Rotary Evaporator ............................................................ 16
xii
2.3.3 Metode Isolasi ................................................................................ 17
2.4 Bakteri ..................................................................................................... 23
2.4.1 Definisi ........................................................................................... 23
2.4.2 Morfologi ...................................................................................... 24
2.4.3 Pertumbuhan Bakteri .................................................................... 25
2.4.4 Jenis Bakteri .................................................................................. 26
2.4.5 Bakteri Uji ..................................................................................... 27
2.4.6 Antibakteri Pembanding ................................................................ 28
2.4.7 Klasifikasi dan Mekanisme Kerja Antimikroba ............................. 29
2.4.8 Metode Uji Antimikroba ................................................................ 30
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 34
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 34
3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 34
3.2.1 Tanaman ......................................................................................... 34
3.2.2 Alat ................................................................................................. 34
3.2.3 Bahan .............................................................................................. 35
3.3 Prosedur Kerja .......................................................................................... 35
3.3.1 Penyiapan Simplisia ....................................................................... 35
3.3.2 Pembuatan Ekstrak ........................................................................ 36
3.3.3 Penetapan Kadar Air Ekstrak ........................................................ 37
3.3.5 Penapisan Fitokimia ...................................................................... 37
3.3.6 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak ................................................... 39
3.3.7 Isolasi dengan Kromatografi Kolom .............................................. 42
3.3.8 Pemurnian ..................................................................................... 44
3.3.9 Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi .................................................... 44
3.310Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Bioautografi Elusi ....... 44
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 46
4.1 Penyiapan Simplisia ................................................................................ 46
4.2 Pembuatan Ekstrak .................................................................................. 46
4.3 Uji Kadar Air Ekstrak .............................................................................. 48
4.4 Penapisan Fitokimia ................................................................................ 49
4.5 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak dengan Metode Bioautografi ............. 50
xiii
4.6 Isolasi dengan Kromatografi Kolom ....................................................... 55
4.7 Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi .............................................................. 58
4.8 Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi dengan Zona Hambat Terbesar ............ 64
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 67
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 67
5.2 Saran ........................................................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 68
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pohon dan Daun Tanaman Garcinia benthami Pierre ..................... 6
Gambar 2.2 Struktur Xanton ................................................................................ 8
Gambar 2.3 Struktur Salimbenzofenon dan Ismailbenzofenon ........................... 9
Gambar 2.4 Struktur Dasar Flavonoid ............................................................... 10
Gambar 2.5 Struktur Kloramfenikol .................................................................. 28
Gambar 4.1 Hasil Pewarnaan Gram Bakteri Uji ................................................ 50
Gambar 4.2 Hasil Uji Bioautografi Non Elusi Ekstrak ...................................... 54
Gambar 4.3 Profil KLT Fraksi Kromatografi Kolom Ekstrak Etil Asetat ......... 55
Gambar 4.4 Profil KLT Fraksi Kromatografi Kolom Fraksi F11 ...................... 57
Gambar 4.5 Hasil Uji Bioautografi Fraksi Gabungan Ekstrak Etil Asetat ........ 59
Gambar 4.6 Hasil Uji Bioautografi Fraksi Gabungan Fraksi F11 ..................... 61
Gambar 4.7 Kontrol Negatif DMSO 10% dan Kontrol Positif Kloramfenikol . 61
Gambar 4.8 Diagram Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Semua Fraksi F11 ......... 63
Gambar 4.9 Uji Bioautografi Elusi Fraksi F11.30 ............................................. 65
Gambar 4.10 Uji Bioautografi Elusi Fraksi F11.16 ........................................... 66
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Fase Diam Kromatografi Lapis Tipis ................................................ 19
Tabel 4.1 Rendemen Ekstrak n-Heksana, Etil Asetat, dan Metanol .................. 48
Tabel 4.2 Hasil Uji Kadar Air Ekstrak n-Heksana, Etil Asetat, dan Metanol ... 48
Tabel 4.3 Hasil Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak .............................................. 49
Tabel 4.4 Diameter Zona Hambat Ekstrak ........................................................ 54
Tabel 4.5 Bobot dan Karakteristik Fraksi Gabungan dari Ekstrak Etil Asetat .. 56
Tabel 4.6 Bobot dan Karakteristik Fraksi Gabungan dari Fraksi F11 ............... 57
Tabel 4.7 Diameter Zona Hambat Fraksi dari Ekstrak Etil Asetat .................... 59
Tabel 4.8 Diameter Zona Hambat Fraksi dari Fraksi F11 ................................. 52
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman .......................................................... 68
Lampiran 2. Alur Penelitian ................................................................................ 78
Lampiran 3. Proses Ekstaksi dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak .................. 79
Lampiran 4. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat ........................................................ 80
Lampiran 5. Perhitungan Rendemen Ekstrak ..................................................... 81
Lampiran 6. Perhitungan Kadar Air Ekstrak ...................................................... 82
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan mega biodiversity yang kaya akan tanaman
obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun belum dikelola secara
maksimal. Keanekaragaman tumbuhan di Indonesia lebih dari 38.000 jenis
tumbuhan, 55% merupakan spesies endemik, 940 jenis diantaranya merupakan
tumbuhan berkhasiat obat (jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat
di Asia). Berdasarkan hasil penelitian, dari sekian banyak jenis tumbuhan obat,
baru 20-22% yang dibudidayakan (Pers, 2010; Arifin et al., 2011; Herdiyeni,
2013). Dari data tersebut, jika tanaman obat di Indonesia dikelola dan
dikembangkan dengan baik akan sangat bermanfaat bagi masyarakat seperti dalam
penanggulangan masalah kesehatan.
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih
menyerang masyarakat Indonesia. Penyakit infeksi adalah penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme, yang dapat menimbulkan kerusakan atau
gangguan fungsi jaringan (Rubin, 2001). Beberapa penyakit infeksi yang ada di
masyarakat Indonesia adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut),
pneumonia, TB (tuberkulosis) paru, hepatitis, diare, dan malaria (Rikesdas, 2013).
Salah satu penyebab penyakit infeksi adalah bakteri, seperti Staphylococcus
aureus, Bacilus subtilis, Escherichia coli, Helicobacter pylori, dan Pseudomonas
aeruginosa (Rai, M. et al., 2012).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan berbagai infeksi, sebagian besar
pada area kulit dan tidak fatal. Bakteri ini dapat menyebabkan jerawat, infeksi
folikel rambut, sties (radang pada kelenjar kelopak mata), bisul, dan infeksi
saluran kemih. Staphyloccus aureus juga dapat menyebabkan penyakit infeksi
internal serius seperti pneumonia dan meningitis (Freeman-Cook, Lisa and Kevin
Freeman-Cook, 2006). Salmonella enterica sv typhimurium atau Salmonella typhi
merupakan penyebab penyakit demam tifoid. Berdasarkan data profil kesehatan
Indonesia tahun 2010, penyakit deman tifoid dan paratifoid termasuk 10 penyakit
1
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit. Data Riskedas tahun 2007
menunjukkan bahwa prevalensi rata-rata tifoid nasional sebesar 1,6% (rentang
0,3-3%) (Anggraini, A. B. et al., 2014). Pengobatan penyakit infeksi bakteri
dengan penggunaan antibakteri atau antibiotik. Penggunaan antibakteri yang tidak
tepat dan secara besar-besaran dapat menyebabkan resistensi. Oleh karena itu,
seiring dengan ditemukan resistensi antibakteri harus diimbangi dengan penemuan
sumber antibakteri baru.
Garcinia, salah satu genus terbesar dari familia Guttiferae/Clusiaceae, yang
dikenal dengan manggis-manggisan merupakan tanaman tahunan berupa pohon
dengan tinggi mencapai 25-33 m. Di Indonesia, tanaman ini tersebar di Sumatera,
Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya (Elya, B. et al.. 2009). Berdasarkan data yang
ada di Herbarium Bogoriense, di Indonesia terdapat sekitar 100 jenis Garcinia dan
diperkirakan mencapai 400 jenis di dunia (Sari, R., 1999). Molekul bioaktif
seperti hydroxycitric acid (HCA), flavonoid, terpen, polysaccharides,
procyanidines dan polyisoprenylated benzophenone derivatives seperti garcinol,
xanthocymol dan guttiferone isoforms telah di isolasi dari genus Garcinia. Dimana
polyisoprenylated benzophenon dan turunan xanton diketahui memiliki aktivitas
antioksidan, apoptosis, anti kanker, anti inflamasi, antibakteri, anti virus, anti
jamur, anti ulser, anti protozoa dan menghambat properti HAT (Hemshekhar et
al.. 2011). 𝛼-Mangostin dari Garcinia malaccensis Hk.f aktif terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Bacilus anthracis dengan nilai zona hambat dan MIC
(19 mm; 0,025 mg/mL) dan (20 mm; 0,013 mg/mL) (Taher, M. et al., 2012).
Ekstrak metanol akar dari Garcinia atroviridis Griff. Ex T. Anders mempunyai
aktivitas antibakteri dengan dosis hambat minimum 15,6 𝜇g/disk terhadap bakteri
Bacilus subtilis (mutant), Bacilus subtilis (wild-type), methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA), E. coli, dan P. aeruginosa (Mackeen, M. M. et
al., 2000).
Garcinia benthami Pierre merupakan salah satu genus Garcinia yang
pemanfaatannya belum banyak dilaporkan (Heyne, K. 1987). Hasil penelitian
terdahulu diketahui bahwa telah diisolasi senyawa benzofenon baru yaitu
salimbenzofenon, ismailbenzofenon dan hilmibenzofenon dari kulit batang dari
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Garcinia benthami Pierre (Elya, B., et al., 2004; Elya, B., et al., 2006). Selain itu,
dua triterpenoid telah berhasil diisolasi dari ekstrak n-heksana kulit batang
Garcinia benthami Pierre yaitu friedelin dan asam-3𝛽-hidroksida-lanosta-9(11),
24-dien-26-oat (Elya, B. et al., 2009).
Hasil isolasi daun Garcinia benthami Pierre didapatkan senyawa murni
friedelin dari ekstrak aseton dan 1,3,6,7-tetrahidroksixanton dari ekstrak metanol.
Dalam pengujian aktivitas antioksidan, senyawa 1,3,6,7-tetrahidroksixanton
mampu menghambat aktivitas radikal bebas DPPH dengan IC50 8,01 𝜇g/mL
(Amelia, P., Berna E., M. Hanafi., 2014). Selain itu, telah dilaporkan uji aktivitas
toksisitas akut metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) terhadap ekstrak n-
heksana, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol dari daun Garcinia benthami
Pierre. Ekstrak n-heksana tidak memiliki potensi toksisitas akut, sedangkan
ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol mempunyai potensi toksisitas akut dengan
LC50 sebesar 99,78 ppm dan 73,43 ppm (Rizqillah, N., 2013; Mutiyani, N., 2013;
Ajrina, A. 2013). Berdasarkan penelitian di atas diketahui bahwa masih sedikit
pelaporan bioaktivitas dari tumbuhan Garcinia benthami Pierre. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk mengisolasi fraksi aktif antibakteri dari ekstrak daun
Garcinia benthami Pierre guna menambah informasi mengenai bioaktivitas dari
tumbuhan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang mendasari penelitian ini adalah untuk mengetahui
manakah diantara fraksi-fraksi hasil isolasi ekstrak etil asetat dari daun Garcinia
benthami Pierre yang menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri
Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Salmonella enterica sv typhimurium
ATCC 14028.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai aktivitas antibakteri dari fraksi-fraksi hasil isolasi ekstrak etil asetat dari
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
daun Garcinia benthami Pierre terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC
6538 dan Salmonella enterica sv typhimurium ATCC 14028.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aktivitas
antibakteri dari daun Garcinia benthami Pierre yang berguna untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi acuan dalam penelitian
selanjutnya.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Genus Garcinia
Garcinia, salah satu genus terbesar dari familia Guttiferae/Clusiaceae, yang
dikenal dengan manggis-manggisan merupakan tanaman tahunan (Elya, et al..
2009). Genus Garcinia sub familia Mesua dan Mamea kaya dengan senyawa
xanton, kumarin, kalanon, flavonoida, biflavonoida, benzofenon, dan
poliisoprenilketon (Linuma, 1996). Di Indonesia banyak terdapat di Sumatera,
Jawa dan Kalimantan (Elya, et al., 2006).
Garcinia berupa pohon dengan tinggi mencapai 25-33 m. Batangnya lurus
dengan diameter 60-100 cm, mengecil kearah ujung. Bentuk pohon seperti
kerucut, memiliki percabangan berselang-seling. Bila dilukai, seluruh bagian
tanaman mengeluarkan getah putih atau kuning yang kental dan lengket. Daun
selalu berwarna hijau, berhadapan silang. Marga ini berumah satu (monoecious)
dan ada yang berumah dua (dioecious). Bunga berada di ketiak daun. Daun
kelopak dan daun mahkota terdiri dari 4-5 helai; bunga jantan memiliki benang
sari yang jumlahnya bervariasi, dengan tangkai sari menjadi satu tiang tengah atau
membentuk 4-5 berkas. Bagian putik mengecil atau tidak sama sekali. Bunga
betina biasanya berukuran lebih besar daripada bunga jantan, seringkali
menyendiri, benang sari semu dengan tangkai-tangkai sarinya yang bersatu
menjadi sebuah cincin di bagian pangkal, atau menjadi 4-5 berkas pendek; bakal
buah beruang 2-12, biasanya berbentuk papilla. Bijinya besar, biasanya
terbungkus oleh arilus yang berisi banyak sari buah; embrionya berupa massa
yang padat, hanya tersusun atas hipokotil, sedangkan keping bijinya tidak ada.
Bagian kayu dari genus ini biasanya keras dengan warna yang beragam mulai
kuning sampai coklat kemerahan umumnya memiliki tekstur bagus (Sosef, M. S.
M., 1998; Vierhejj, E. W. M., 1992).
5
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.1 Garcinia benthami Pierre
Garcinia benthami Pierre merupakan salah satu species dari Garcinia (Elya,
B. et al., 2009). Garcinia benthami Pierre termasuk tumbuhan tahunan atau
perennial yang masa hidupnya dapat mencapai puluhan tahun. Tumbuhan tersebut
hidup di hutan primer dataran rendah dengan ketinggian 700 m di atas permukaan
laut (Heyne, K., 1987). Tumbuhan ini dapat ditemukan di Thailand, Malaysia,
Singapura, Filipina dan Indonesia. Di Indonesia banyak terdapat di Sumatera,
Jawa dan Kalimantan (Elya, B. et al., 2006).
2.1.2 Taksonomi
Tumbuhan Garcinia benthami Pierre secara taksonomi mempunyai
klasifikasi sebagai berikut (Heyne, K., 1987):
Kingdom : Plantae
Division : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub kelas : Archichlamydeae
Ordo : Guttiferales
Familia : Clusiaceae
Genus : Garcinia
Species : Garcinia benthami Pierre
Gambar 2.1 Pohon dan Daun Tanaman Garcinia benthami Pierre
(Sumber: Koleksi Pribadi Februari, 2015)
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3 Deskripsi Garcinia benthami Pierre
Garcinia benthami Pierre mempunyai habitus berupa pohon dengan tinggi
mencapai 30 m, batangnya lurus, mengecil ke arah ujung. Bentuk pohon berupa
kerucut, memiliki percabangan berselang-seling. Seluruh bagian tanaman
mengeluarkan getah kuning yang kental dan lengket bila dilukai. Daun selalu
berwarna hijau, berhadapan berseling. Bunga berada diketiak daun. Daun kelopak
dan daun mahkota terdiri dari 4-5 helai. Bunga jantan memiliki benang sari yang
jumlahnya bervariasi, dengan tangkai sari bersatu menjadi satu tiang tengah atas.
Bunga betina biasanya berukuran lebih besar dari bunga jantan, seringkali
menyendiri, benang sari semu dengan tangkai-tangkai sarinya yang bersatu
menjadi sebuah cincin di bagian pangkal, bakal buah beruang 2-12 dan biasanya
berbentuk palila. Bijinya besar, biasanya terbungkus oleh arilus yang berisi
banyak sari buah. Embrionya berupa massa padat, hanya tersusun atas hipokotil,
sedangkan bijinya tidak ada (Rachman, I., 2003).
2.1.4 Kandungan Kimia Genus Garcinia
Berdasarkan studi literatur, kandungan kimia genus Garcinia adalah
senyawa xanton, benzofenon, golongan flavonoid, triterpen dan asam organik
(Elya, B. et al., 2006).
2.1.4.1 Xanton
Xanton adalah kelas senyawa fenolik polyprenylated dengan kerangka
xhantone-9-one. Ini adalah komponen struktural kimia yang direpresentasikan
sebagai sistem cincin aromatik tetrasiklik. Substituen yang mungkin berperan
dalam pembentukan struktur adalah isoprene, fenolik, dan kelompok metoksi.
Xanton alami dapat dibagi berdasarkan sifat substituen yaitu xanton oksigen
sederhana, xanton glikosilasi, xanton terprenilasi dan turunannya seperti xanton
dimer, xanthonolignoids dan lain-lain (Rai, M., et al., 2012).
Xanton adalah senyawa organik yang mempunyai struktur molekul
C13H8O2. Dalam tumbuhan, senyawa ini banyak ditemui pada familia
Bonnetiaceae dan Clusiaceae. Xanton mempunyai aktivitas sebagai antioksidan,
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antiproliferatif, antiinflamasi, dan antimikroba (Iswari, K., T. Sudaryono, 2007).
Banyak senyawa xanton yang ditemui dari genus Garcinia, seperti cowaxanton,
7-O-metilgrasinon, 𝛼-mangostin, 𝛾-mangostin dan xanton terprenilasi (3-O-
metilcowaxanton) dari getah Garcinia cowa Roxb (Na, Zhi., Qishi S., Huabin
H., 2013). Senyawa diprenylated xanthone, 1,5-dihydroxy-3-methoxy-4,7-
diprenylxanthone dari kulit batang Garcinia griffithii (Elfita, et al., 2008).
Senyawa 2,6-dihidroksi-8-metoksi-5-(3-metilbut-2-enil)-xanton, enam senyawa
xanton terprenilasi, 𝛼-mangostin, 𝛽-mangostin, garcinon D, 1,6-dihidroksi-3,7-
dimetksi-2-(3-metilbut-2-enil)-2H, mangostanol, dan 5,9-dihidroksi-8-metoksi-
2,2-dimeti-7-(3-metilbut-2-enil)-2H,6H-pyrano-[3,2-b]-xantene-6-one dari kulit
batang Garcinia mangostana (Ee, G. C. L. et al., 2006). Senyawa garcinon A
dan B dari batang Garcinia multiflora (Chiang, Yi-Ming et al., 2003). Senyawa
xanton terprenilasi, 1,3,5,6-tetrahidroksi-4,7,8-tri(3-metil-2-butenil)xanton dan
garciniaxanton dari Garcinia xanthochyymus (Chanmahasathien, Wisinee et al.,
2003). Senyawa diprenylated xanthone (mangoxanton), dulxanton D, 1,3,7-
trihidroksi-2-metoksixanton, 1,3,5-trihidroksi-13,13-dimetil-2H-piran[7,6-
b]xanten-9-on dari Garcinia mangostana (Nilar, et al., 2005).
Gambar 2.2 Struktur Xanton (Sumber: Harbone, 1987)
Senyawa garcinon A dan B dari Garcinia multiflora memiliki toksisitas
akut dengan LD50 sebesar 7,7 𝜇M dan 25,8 𝜇M (Chiang, Yi-Ming et al., 2003).
Senyawa 𝛼-mangostin dan 𝛾-mangostin dari Garcinia mangostana memiliki
aktivitas antiinflamasi (Chen, Lih-Geeng., Ling-Ling Y., Ching-Chiung W.,
2008). Senyawa oliganton A dari Garcinia oligantha yang memiliki efek
menghambat pertumbuhan sel HeLa dengan IC50 <10 𝜇M (Gao, Xue-Mei et al.,
2013). Senyawa xanton yang berhasil diisolasi dari tanaman Garcinia benthami
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pierre adalah 1,3,6,7-tetrahidroksixanton yang aktif sebagai antioksidan dengan
IC50 8,01 𝜇g/mL (Amelia, P., Berna E., M. Hanafi., 2014).
2.1.4.2 Benzofenon
Benzofenon adalah senyawa organik dengan rumus struktur (C6H5)2CO
(Thakur, V. K., 2015). Senyawa benzofenon juga ditemui dalam genus Garcinia,
seperti polyprenylbenzophenone dari Garcinia picrorrhiza Miq (Soemiati, A. et
al., 2006) dan tiga benzofenon baru yaitu salimbenzofenon (SB),
ismailbenzofenon (IB) dan hilmibenzofenon dari kulit batang dari Garcinia
benthami Pierre (Elya, B. et al., 2004; Elya, B. et al., 2006). Senyawa
polyisoprenylated benzophenone, guttiferone I, dari kulit batang dari Garcinia
griffithii dan 3’,6-dihidroksi-2,4,4’-trimetoksibenzofenon dari heartwood
Garcinia mangostana (Nilar, et al., 2005). Senyawa 4,6,4’-trihidroksi-2,3’-
dimetoksi-3-prenilbenzofenon dan 4,6,3’,4’-tetrahidroksi-2-metoksibenzofenon
dari batang Garcinia multiflora (Chiang, Yi-Ming et al., 2003).
(SB) (IB)
Gambar 2.3 Struktur Salimbenzofenon (SB), Ismailbenzofenon (IB) (Sumber: Elya, B. et
al., 2004; Elya, B. et al., 2006)
Aktivitas biologis senyawa benzofenon dari ekstrak metanol kulit buah
Garcinia indica adalah sebagai antioksidan (Fumio Y. et al., 2000), garcinol
menunjukkan aktivitas antileukimia (Min-Hsiung Pan et al., 2001) dan aktif
sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dari ekstrak metanol ranting
Garcinia bancana Miq dengan MIC 16 𝜇g/mL (Vatcharin et al., 2005). Senyawa
benzopenon terprenilasi 7-epiclusianone dan guttiferon-A memiliki aktivitas
terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Bacillus cereus ATCC
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11778 masing-masing 1,2 𝜇g/mL dan 0,6 𝜇g/mL (7-epiclusianone), 2,4 𝜇g/mL
dan 2,4 𝜇g/mL (guttiferon-A) (Naldoni, F. J., et al., 2009).
2.1.4.3 Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa alami yang mempunyai berat
molekul yang rendah terdiri dari struktur tiga cincin dengan berbagai substitusi
(Rai, M. et al., 2012). Flavonoid terdiri dari kelompok besar senyawa besar
senyawa polifenol yang memiliki struktur benzo-𝛾-piron yang disintesis melalui
jalur fenilpropanoid. Flavonoid adalah zat fenolik terhidroksilasi dan disintesis
oleh tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba (Kumar, Shashank.,
Abhay K. P., 2013). Flavonoid efektif terhadap radikal hidroksil dan radikal
peroksil. Mereka juga dapat membentuk kompleks dengan logam dan
menghambat peroksidasi lipid (Akinrinde, A. S., et al., 2015). Mereka umumnya
dibagi sesuai dengan substituen mereka ke dalam tiga kelompok, flavanols,
anthocyanidins dan flavon, dan chalcones. Flavonoid memiliki aktivitas anti
inflamasi, antioksidan, anti alergi, hepatoprotektif, antitrombotik, antivirus, dan
antikarsinogenik (Rai, M. et al., 2012).
Gambar 2.4 Struktur Dasar Flavonoid (Kumar, Shashank., Abhay K. P., 2013)
Senyawa flavonoid juga terdapat dalam genus Garcinia, seperti 3’-(3-
metilbut-2-enil)naringenin, I3,II8-biapigenin, dan podocarpusflavoneA dari
ranting Garcinia dulcis (Harrison, L. J. et al., 1994). Senyawa kuercetin 3-O-𝛼-
L-ramnosida dan kaemferol 3-O- 𝛼-L-ramnosida dari daun Garcinia bancana
(Muharni dan Elfita., 2011). Senyawa amentoflavone dan 4’monometoksi
amentoflavon dari daun Garcinia livingstoinei memiliki aktivitas antibakteri
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap Mycobacterium smegmatis dengan MIC masing-masing 0,60 ± 0,70
mg/mL dan 1,40 ± 1,56 mg/mL (Kaikabo, A. A., J. N. Eloff., 2011).
2.1.4.4 Terpenoid
Dua triterpenoid telah berhasil diisolasi dari ekstrak n-heksana kulit batang
Garcinia benthami Pierre yaitu friedelin dan asam-3𝛽-hidroksida-lanosta-9(11),
24-dien-26-oat (Elya, B. et al., 2009). Senyawa terpenoid 𝛽-amirin dari kulit
batang Garcinia bancana (Muharni dan Elfita., 2011). Senyawa terpenoid
memiliki aktivitas biologi sebagai anti inflamasi seperti pada Garcinia
subelliptica (Weng, J-R. et al., 2003).
2.1.4.5 Senyawa Asam Organik
Senyawa asam organik yang terdapat pada genus Garcinia seperti asam
hidroksisitrat dan asam hidroksisitrat lakton dari Garcinia cambogia dan
Garcinia cowa (Jena B. S. et al., 2002). Asam gambogik (Qing-Long Guo et al.,
2005), asam morellik dan asam moreollik dari Garcinia hanburyi. Senyawa
asam morellik dan asam moreollik dari Garcinia hanburyi mempunyai aktivitas
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dengan nilai MIC 25 𝜇g/mL
(Yaowapa, S. et al., 2005).
2.2 Simplisia
2.2.1 Definisi
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia
merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral (Depkes RI, 1985).
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau ekdsudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya,
atau zat-zat nabati lainnya yang dengan tertentu dipisahkan dari tanamannya.
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau
zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau
mineral yang belum diolah dan telah diolah dengan cara sederhana dan belum
berupa zat kimia murni (Depkes RI, 1985).
2.2.2 Penyiapan Simplisia
2.2.2.1 Pengumpulan Bahan Baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain
tergantung pada : bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian
tanaman pada saat panen, waktu panen, dan lingkungan tempat tumbuh (Depkes
RI, 1985).
2.2.2.2 Sortasi Basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-
bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat
dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput,
batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang
(Depkes RI, 1985).
2.2.2.3 Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang
mengalir. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalm air
yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin untuk
menghindari kehilangan zat lebih banyak (Depkes RI, 1985).
2.2.2.4 Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan,
pengepakan dan penggilingan (Depkes RI, 1985).
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.2.5 Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan
mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah
penurunan mutu atau perusakan simplisia. Hal-hal yang perlu diperhatikan
selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran
udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu pengeringan
tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia
dapat dikeringkan pada suhu 300C sampai 90
0C, tetapi suhu yang terbaik adalah
tidak melebihi 600C. Bahan simplisia yang mengandung senyawa yang tidak
tahan terhadap panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu
serendah mungkin, misalnya 300C sampai 45
0C (Depkes RI, 1985).
2.2.2.6 Sortasi Kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-
bagiian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lainnya yang
masih tertinggal pada simplisia kering (Depkes RI, 1985).
2.2.2.7 Penghalusan
Penghalusan bertujuan untuk memperbesar luas permukaan dan
mempercepat ekstraksi jika simplisia ingin dijadikan ekstrak kental ataupun cair
(Depkes RI, 1985).
2.2.2.8 Pengepakan dan Penyimpanan
Tujuan pengepakan adalah agar simplisia yang telah jadi dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama dan mutunya tetap terjaga (Depkes RI, 1985).
2.3 Ekstrak dan Eksraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sehinga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Proses ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia dan fisika
suatu bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan (Depkes RI, 2000; Soesilo,
1995).
Dalam proses pembuatan ekstrak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
diantaranya (Depkes RI, 2000):
a. Pembuatan Serbuk Simplisia
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia
kering. Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan tertentu
sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu
ekstrak. Semakin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi semakin efektif dan
efisien, namun, semakin halus serbuk, maka akan akan banyak pelarut yang
digunakan dan sulit dalam tahapan filtrasi.
b. Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat, dengan demikian
senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan senyawa kandungan
lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebgaian besar senyawa yang
diinginkan. Faktor utama yang dipertimbangkan pada pemilihan cairan
penyari diantaranya: selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan
cairan tersebut (ekonomis, ramah lingkungan dan keamanan).
c. Separasi dan Pemurnian
Tujuan tahapan ini adalah menghilangkan senyawa yang tidak dikehendaki
semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang
dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses
pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak tercampur,
sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta adsorpsi dan penukar ion.
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Pemekatan atau Penguapan
Pemekatan berarti jumlah parsial senyawa pelarut (solute) secara penguapan
pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya menjadi kental
atau pekat.
e. Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal.
2.3.1 Metode Ekstraksi
2.3.1.1 Ekstraksi Cara Dingin (Depkes RI, 2000)
a. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk
ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah eksraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhausative extraction) yang umumnya dilakukan pada suhu ruangan.
Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi, tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan atau panampungan ekstrak), terus-menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
2.3.1.2 Ekstraksi Cara Panas (Depkes RI, 2000)
a. Refluks
Refluks adalah eksraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Soxhletasi
Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umunya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 400C sampai
500C.
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air, temperatur terukur (960C
sampai 980C) selama waktu tertentu (15 sampai 20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai
titik didih air selama 30 menit.
2.3.2 Vacuum Rotary Evaporator
Vacuum rotaryevaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan
suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia
tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan
dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan
diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor)
dan ditampung pada suatu tempat (receiverflask). Setelah pelarutnya diuapkan,
akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk ekstrak kental atau cair (Nugroho,
et al., 1999).
Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan
yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas, serta adanya kondensor
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(suhu dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke
tabung penerima (receiver flask).
2.3.3 Metode Isolasi
2.3.3.1 Kromatografi
Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia,
Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam
tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang
berisi kalsium karbonat (CaCO3) (Ganjar & Rohman, 2007). Kromatografi
merupakan metode pemisahan fisikokimia untuk memisahkan campuran
senyawa berdasarkan perbedaan waktu huni komponen campuran dalam sistem
fase diam dan fase gerak (Hostettman, et al., 1995).
Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase, yaitu fase
diam (stationer) dan fase gerak (mobile). Fase diam bertindak sebagai zat
penjerap seperti alumina, silika gel, dan resin penukar ion atau bertindak
melarutkan zat terlarut seperti pada kromatografi kertas. Fase gerak membawa
zat terlarut melalui fase diam dengan kecepatan tergantung pada daya ikat setiap
zat terlarut terhadap kedua fase. Prinsip pemisahan kromatografi yaitu adanya
distribusi komponen-komponen dalam fase diam dan fase gerak berdasarkan
sifat fisik komponen yang akan dipisahkan (Harbone, 1996).
2.3.3.2 Kromatografi Lapis tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan
kromatografi secara fisikokimia (Gandjar & Rohman, 2007). KLT merupakan
bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada
KLT fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan
bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium atau plat
plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini merupakan bentuk terbuka
dari kromatografi kolom (Gritter, et al., 1991).
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai untuk mencapai
hasil kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom
(Gritter, et al., 1991).
Kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk tujuan analitik dan
preparatif. KLT analitik digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa
organik dalam jumlah kecil misalnya, menentukan jumlah komponen dalam
campuran dan menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan KLT
preparatif. Sedangkan KLT preparatif digunakan untuk memisahkan campuran
senyawa dari sampel dalam jumlah besar berdasarkan fraksinya, yang
selanjutnya fraksi-fraksi tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk analisa
berikutnya (Townshend, 1995).
Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang atau cairan pengelusi
akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan
secara mekanik (ascending), atau karena pengaruh grafitasi pada pengembang
menurun (descending) (Gritter, et al., 1991).
Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai
ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan
deteksi bercak. Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam dihitung sebagai
retardation farctor (Rf). Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan jarak yang
ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Gandjar
& Rohman, 2007).
Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dikarenakan
KLT merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut
organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh,
dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gritter, et al., 1991).
a. Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil
dengan diameter partikel antara 10-30 mikrometer. Penjerap yang paling
sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme
sorpsi utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi (Ganjar & Rohman,
2007). Adsorben umum yang digunakan dalam KLT meliputi partikel silika
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
gel ukuran 12 µm, alumina, mineral oksida, silikagel dengan ikatan kimia,
selulosa, poliamida, polimer penukar ion, silikagel, danfase kiral (Gocan,
2002).
Tabel 2.1 Fase Diam Kromatografi Lapis Tipis
Penjerap Mekanisme sorbsi Penggunaan Silika gel Adsorpsi Asam amino, hidrokarbon,
vitamin, alkaloid. Silika yang
dimodifikasi dengan
hidrokarbon
Partisi
termodifikasi Senyawa-senyawa non polar
Serbuk selulosa Partisi Asam amino, nukleotida,
karnohidrat. Alumina Adsorpsi Hidrokarbon, ion logam, pewarna
makanan, alkaloid. Kieselguhr (tanah
diatomae) Partisi Gula, asam-asam lemak.
Selulosa penukar ion Pertukaran ion Asam nukleat, nukleotida, halida
dan ion-ion logam. Gel sephadex Eksklusi Polimer, protein, kompleks
logam. 𝛽-siklodekstrin Interaksi adsorpsi
stereospesifik Campuran enansiomer.
b. Fase Gerak
Pada kromatografi KLT umumnya fase gerak yang digunakan adalah
campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini
dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi
secara optimal. Adapun petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase
gerak (Ganjar & Rohman, 2007):
- Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
- Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf
antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
- Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang
berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil
benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
- Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran
pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan
perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia
masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan
asam.
c. Penotolan Sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal diperoleh hanya jika
menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin.
Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang
digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Untuk
memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit
0,5 mikroliter. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10
mikroliter maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan
dilakukan pengeringan antar totolan. Penotolan yang tidak tepat akan
menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda (Ganjar & Rohman,
2007).
d. Pengembangan
Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah
mengembangkan sampel tersebut dalam suatu bejana kromatografi yang
sebelumnya telah dijenuhkan dengan fase gerak. Tepi bagian bawah
lempeng lapis tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam bejana
berisi fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana
harus di bawah lempeng. Ada beberapa teknik untuk pengembangan dalam
kromatografi lapis tipis, yaitu pengembangan menaik (ascending), menurun
(descending), melingkar dan mendatar (Ganjar & Rohman, 2007).
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Deteksi Bercak
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak
berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, dan
biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan
bercak dengan pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi
jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah
dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi
sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluorosensi,
membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi
maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan
demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan
kelihatan berfluoresensi (Ganjar & Rohman, 2007).
2.3.3.3 Identifikasi Kromatogram
Ada beberapa cara untuk mendeteksi senyawa yang tidak berwarna pada
kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan
penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama kira-kira 254 nm)
atau jika senyawa itu dapat dieksitasi pada radiasi UV gelombang pendek dan
gelombang panjang (365 nm). Pada senyawa yang mempuyai dua ikatan rangkap
atau lebih dan senyawa aromatik seperti turunan benzena, mempunyai serapan
kuat ± di daerah 230-300 nm (Stahl, 1985).
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah dari lapisan tipis
menggunakan harga Rf. Harga Rf didefinisikan sebagai berikut
(Sastrohamidjojo, 2005).
Jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal
Rf :
Jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal
Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga-
harga standar. Nilai-nilai Rf yang diperoleh hanya berlaku untuk campuran
tertentu dari pelarut dan penyerap yang digunakan, meskipun demikian daftar
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dari harga-harga untuk berbagai campuran dari pelarut dan penyerap dapat
diperoleh (Sastrohamidjojo, 2005).
2.3.3.4 Sistem Fase Gerak pada KLT
Polaritas fase gerak perlu diperhatikan pada analisa dengan KLT,
sebaiknya digunakan campuran pelarut organik yang mempunyai polaritas
serendah mungkin. Campuran yang baik memberikan fase gerak yang
mempunyai kekuatan bergerak sedang. Secara umum dikatakan bahwa fase diam
yang polar akan mengikat senyawa polar dengan kuat sehingga bahan yang
kurang sifat kepolarannya akan bergerak lebih cepat dibandingkan bahan-bahan
polar (Gritter, et al., 1991).
Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dikarenakan
KLT merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut
organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh,
dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gritter, et al., 1991).
Pelarut yang ideal harus melarutkan linarut dan harus cukup baik sebagai
pelarut yang bersaing dengan daya serap penjerap. Keadaan yang ideal tersebut
mungkin terjadi jika pelarut tidak berproton seperti hidrokarbon, eter dan
senyawa karbonil dipakai sebagai pelarut pengembang (Gritter, et al., 1991).
2.3.3.5 Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang
digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah banyak
berdasarkan adsorpsi dan partisi (Gritter, et al., 1991). Kromatografi kolom
membutuhkan zat terlarut yang terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya
fase diam dan yang lainnya fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui
media, hingga terpisah dari zat terlarut lain yang terelusi lebih awal atau akhir.
Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut
berbentuk cairan atau gas yang disebut pelarut (Harborne, 1987).
Sistem elusi pelarut yang digunakan dalam kolom kromatografi ada 3
yaitu: isokratik, fraksional, dan gradient. Pada proses elusi isokratik
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan komposisi pelarut yang tidak berubah sampai proses elusi selesai.
Pada proses elusi fraksional, pelarut yang digunakan hanya satu jenis.
Sedangkan pada elusi gradient, pelarut yang digunakan dengan konsentrasi
bertingkat (Smith, F. J. dan A. Braithwaite, 1999).
Pada kromatografi kolom, tabung pemisah diisi penjerap. Penjerap yang
biasa digunakan ialah silika gel. Pengisian ini harus dilakukan secara berhati-hati
dan merata. Penjerap dapat dikemas dalam tabung dengan cara basah maupun
kering (Harborne, 1987). Cara basah, silika gel terlebih dahulu dijenuhkan
dengan cairan pengelusi yang akan digunakan. Kemudian dimasukkan ke dalam
kolom melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi sedikit, sambil kran
kolom dibuka.
Kemudian pelarut organik (misalnya n-heksana) dialirkan hingga silika gel
mampat. Setelah silika gel mampat, pelarut dibiarkan mengalir hingga batas
adsorben. Kemudian kran ditutup dan sampel dimasukkan, cara memasukkan
sampel ada dua yaitu cara basah dan cara kering. Cara basah, sampel yang
dimasukkan terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut hingga diperoleh kelarutan
yang spesifik. Kemudian sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom
melalui dinding kolom sedikit demi sedikit hingga semua sampel masuk.
Selanjutnya kran dibuka dan diatur tetesannya, serta ditambahakan dengan
cairan pengelusi. Tetesan yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi (Gritter, et
al., 1991).
Sedangkan cara kering, yaitu dengan memasukkan silika gel ke dalam
kolom yang telah diberi kapas sedikit demi sedikit dan diratakan dengan alat
pemampat kemudian ditambahkan dengan cairan pengelusi (Gritter, et al.,
1991).
2.4 Bakteri
2.4.1 Definisi
Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang panjangnya beberapa
mikrometer dan memiliki morfologi dari berupa tongkat (basil), kokus sampai
bentuk spiral (Subandi, 2010). Bakteri adalah sel prokariotik yang khas, uniselular
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya.
(Pelczar et al., 2008).
Bakteri merupakan organisme dengan ciri-ciri sebagai berikut (Pelczar et
al., 2008; Subandi, 2010): Prokariot (ciri khas dari golongan prokariota
diantaranya adalah tidak ada membran internal yang memisahkan nukleus dari
sitoplasma, perkembangbiakan dengan cara pembelahan biner, dinding selnya
mengandung mukopeptida, yang memberikan kekakuan pada sel), sel tunggal,
mikroorganisme mikroskopik, umumnya berukuran lebih kecil daripada sel
eukariotik, sangat kompleks meskipun ukurannya kecil.
2.4.2 Morfologi
Sebagian besar bakteri memiliki diameter dengan ukuran 0,2-2,0 mm dan
panjang berkisar 2-8 mm (Pratiwi, 2008). Beberapa bakteri tumbuh pada suhu
00C, ada yang tumbuh dengan baik pada sumber air panas yang suhunya 90
0C
atau lebih. Kebanyakan tumbuh pada berbagai suhu diantara kedua nilai ekstrim
tersebut (Pelzar et al., 2008).
Ada beberapa bentuk dasar bakteri, yaitu bulat (tunggal: coccus, jamak:
cocci), batang (tunggal: bacillus, jamak: bacilli), dan spiral yaitu berbentuk batang
melengkung atau melingkar-lingkar. Bakteri berbentuk spriral dibedakan dalam
beberapa jenis. Bakteri yang berbentuk batang melengkung menyerupai koma
disebut vibrio. Bakteri yang berpilin kaku disebut spirilla, sedangkan bakteri yang
berpilin fleksibel disebut spirochaeta (Pratiwi, 2008).
Struktur sel bakteri diantaranya meliputi (Pelzar et al., 2008):
a. Dinding sel; merupakan suatu struktur yang sangat kaku yang memberikan
bentuk pada sel. Tebal dinding sel pada kebanyakan bakteri berkisar antara
10-35 nm. Komposisi kimiawi dinding sel yang menyebabkan kaku adalah
peptidoglikan.
b. Membran sitoplasma; merupakan lapisan tipis yang terletak langsung
dibawah dinding sel dengan ketebalan diperkirakan 7,5 nm. Membran
sitoplasma amatlah penting karena mengendalikan lalu-lalangnya substansi
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kimiawi dalam larutan, masuk ke dalam dan keluar sel melintasi membran
dengan cara difusi pasif atau transfor aktif.
c. Sitoplasma; mengandung bagian sel: (1) daerah sitoplasma, banyak
mengandung partikel-partikel RNA-protein yang disebut ribosom, terkemas
padat diseluruh daerah sitoplasma. Ribosom merupakan situs biosintesis
protein, dijumpai pada semua sel, baik eukariot maupun prokariotik; (2)
daerah kromatin atau nukleus, merupakan bagian yang mengandung bahan
nukleus atau DNA di dalam sel bakteri menempati posisi pusat sel dan terkait
pada sistem mesosom-membran sitoplasma; dan (3) inklusi sitoplasma,
mengandung substansi kimiawi yang membentuk granul serta globul di dalam
sitoplasma.
2.4.3 Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan adalah pertambahan teratur semua komponen suatu organism.
Ciri khas reproduksi bakteri adalah pembelahan biner (binary fussion). Faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri dapat dibedakan menjadi faktor
fisik dan faktor kimia termasuk nutrisi dalam media kultur. Faktor fisik meliputi
temperatur, pH, tekanan osmotik dan cahaya. Faktor kimia meliputi karbon,
oksigen, mikroelemen atau unsur kelumit (trace element), dan faktor-faktor
pertumbuhan organik (Pratiwi, 2008).
Ada empat macam fase pertumbuhan bakteri, yaitu fase lag (lamban), fase
log (fase logaritmik atau fase eksponensial), fase stationer, dan fase kematian.
Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian pada lingkungan baru.
Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah
peningkatan ukuran sel dan mengalami perubahan komposisi kimiawi. Fase log
(fase eksponensial) merupakan fase di mana bakteri tumbuh dan membelah
mencapai kecepatan maksimum, tergantung pada genetika, sifat media, dan
kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang
bertambah secara eksponensial. Pada fase stationer, pertumbuhan bakteri berhenti
dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel
yang mati. Pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik. Pada fase
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kematian, jumlah sel-sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah
ketersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi, 2008;
Pelzar et al., 2008).
2.4.4 Jenis Bakteri
Berdasarkan atas komposisi dinding selnya, bakteri dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu bakteri Gram-positif (misalnya Bacillus subtilis) dan
bakteri Gram-negatif (misalnya Eschericia coli) (Yuwono, 2011). Ciri-ciri bakteri
Gram positif adalah dinding sel berlapis tunggal (mono) dengan tebal 15-80 nm,
komposisi dinding selnya rendah lipid 1-4% dan peptidoglikan ada sebagai
lapisan tunggal jumlahnya 50% dari berat kering serta terdapat asam tekoat,
rentan terhadap penisilin dan gangguan fisik, dan persyaratan nutrisi relatif rumit.
Ciri-ciri bakteri Gram negatif adalah dinding sel berlapis tiga (multi) dengan tebal
10-15 nm, komposisi dinding selnya terdapat kaya lipid 11-22% dan
peptidoglikan ada pada lapisan kaku sebelah dalam 10% dari berat kering serta
tidak ada asam tekoat, kurang rentan terhadap penisilin dan gangguan fisik, dan
persyaratan nutrisi sederhana (Pelzar et al., 2008).
2.4.5 Bakteri Uji
a. Staphylococcus aureus
Klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus adalah (Syahrurachman dkk.,
1994; Brooks et al., 2005):
Divisio : Protophyta
Subdivisio : Schizomycetea
Classis : Schizomycetes
Order : Eubacteriales
Family : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Staphylococci bersifat non-motil, tidak membentuk spora, anaerob
fakultatif. Anggota genus Staphylococci adalah katalase positif dan oksidase
negatif, toleran terhadap garam, dan tahan terhadap panas (Harris, L. G., S. J.
Foster., R. G. Richards., 2002). Staphylococcus aureus merupakan bakteri
Gram-positif, selnya berbentuk bulat dengan diameter 1 𝜇m. Bakteri ini dapat
menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti pneumonia, meningitis,
empiema, endokarditis, jerawat, bisul, abses, luka, pioderma atau impetigo.
Untuk membiakan baktri Staphylococcus diperlukan suhu optimal antara 28-
300C. Infeksi Staphylococcus aureus dapat berupa jerawat, (Brooks et al., 2005;
Jawetz et al., 2001).
Staphylococcus aureus mengandung polisakarida san protein yang bersifat
antigenik dan merupakan substansin penting di dalam struktur dinding sel.
Peptidoglikan merupakan suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit-
subunit yang tergabung, merupakan eksoskeleton yang kaku pada dinding sel.
Peptidoglikan dirusak oleh asam kuat atau lisozim. Hal tersebut penting dalam
patogenesis infeksi, yaitu merangsang pembentukan interleukin-1 (pirogen
endogen) dan antibodi opsonik, juga dapat menjadi penarik kimia (kemotraktan)
leukosit polimorfonuklear, mempunyai aktivitas mirip endotoksin dan
mengaktifkan komplemen (Jawetz et al., 2005).
b. Salmonella enteretica sv typhimurium
Klasifikasi dari Salmonella enteretica sv typhmurium adalah sebagai
berikut (Poernomo, J. Sri, 2004; Todar, 2008):
Divisio : Bacteria
Subdivisio : Proteobacteria
Classis : Gamma Proteobacteria
Ordo : Eubacteriales
Familia : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella enterica
Spesises : Salmonella enterica sv typhimurium
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Salmonella adalah salah satu bakteri keluarga Enterobacteriaceae. Bakteri
keluarga enterobacteriaceae adalah bakteri berbentuk batang pendek, Gram
negatif, aerob/fakultatif, tidak berspora, bergerak/tidak bergerak, mereduksi
nitirit menjadi nitrat, mengadakan fermentasi glukosa dengan atau tanpa gas,
katalase positif, dan oksidasi negatif (Poernomo, J. Sri, 2004). Salmonella
enteric sv typhimutium merupakan bakteri penyebab penyakit demam typhoid
dan paratyphoid serta diare (Poeloengan, Masniari et al., 2004; Zhang, S. et al.,
2003).
2.4.6 Antibakteri Pembanding
Antibakteri pembanding dalam uji ini adalah kloramfenikol. Pemerian dari
kloramfenikol merupakan hablur halus berbentuk jarum atau lempeng
memanjang; putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan praktis
netral terhadap lakmus P; stabil dalam larutan netral atau larutan agak asam
(Depkes RI, 1995). Kloramfenikom merupakan antibiotik bakteriostatik spektrum
luas yang aktif terhadap organisme-organisme aerobik dan anaerobik Gram positif
maupun Gram negatif. Sebagian besar bakteri Gram positif dihambat pada
konsentrasi 1-10 𝜇g/mL, sementara kebanyakan bakteri Gram negatif dihambat
pada konsentrasi 0,2-5 𝜇g/mL (Katzung, 2004).
Kloramfenikol merupakan penghambat kuat terhadap sintesis protein
mikroba. Kloramfenikol suksinat berikatan dengan ribosom bakteri subunit 50s
secara reversibel. Agen ini juga menghambat peptidyl transferase pada sintesis
protein (Katzung, 2004).
Gambar 2.5 Struktur Kloramfenikol (Sumber: Cairns, 2004)
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.8 Klasifikasi dan Mekanisme Kerja Antimikroba
Klasifikasi senyawa antimikroba yang paling umum didasarkan struktur
kimia dan mekanisme kerja yaitu sebagai berikut (Gilman, A. G., 2012):
a. Senyawa yang menghambat sintesis dinding sel bakteri; ini meliputi
penisilin dan sefalosforin yang secara struktur mirip, dan senyawa-
senyawa yang tidak mirip seperti sikloserin, vankomisin, basitrasin, dan
senyawa antifungi golongan azol (contohnya klotrimazol. flukonazol, dan
itrakonazol).
b. Senyawa yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme,
mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa-
senyawa intraseluler; senyawa antifungi nistatin.
c. Senyawa yang mempengaruhi fungsi subunit ribosom 30S atau 50S
sehingga menyebabkan penghambatan sintesis protein yang reversibel;
obat bakteriostatik ini meliputi kloramfenikol, golongan tetrasiklin;
eritromisin, klindamisin.
d. Senyawa yang berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah
sintesis protein, yang pada akhirnya mengakibatkan kematian sel; yaitu
aminoglikosida.
e. Senyawa yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti
golongan rifamisin (rifampin), yang menghambat RNA polymerase, dan
golongan kuinolon, yang menghambat topoisomerase.
f. Kelompok antimetabolit, termasuk diantaranya trimetoprim dan
sulfonamida, yang memblok enzim penting dalam metabolisme asam folat.
g. Senyawa antivirus yang terdiri atas beberapa golongan, yakni: (1) analog
asam nukleat, seperti asiklovir atau gansiklovir, yang secara selektif
menghambat DNA polimerase virus, serta zidovudin atau lamivudin, yang
menghambat transkriptase balik; (2) inhibitor transcriptase balik non-
nukleosida, seperti nevirapin atau efavirenz; (3) inhibitor enzim-enzim
esensial virus lainnya, misalnya inhibitor protease HIV atau neuraminidase
influenza.
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.9 Metode Uji Antimikroba
Terdapat beberapa metode uji antimikroba, antara lain metode uji difusi,
metode uji dilusi dan metode uji bioautografi.
2.4.4.1 Metode Difusi
a. Disc diffusion
Disebut juga tes Kirby & Bauer, digunakan untuk menentukan
aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba
diletakkan pada media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang
akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih mengindikasikan
adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba
pada permukaan media Agar (Pratiwi, 2008).
b. E-Test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum), yaitu
konsentrasi miminal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik
yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga kadar
tertinggi dan dilerakkan pada permukaan media Agar yang telah ditanami
mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang
ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media Agar (Pratiwi,
2008).
c. Ditch-plate Technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan
pada parit yang dibuat dengan cara memotong media Agar dalam cawan
Petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6
macam) digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba (Pratiwi,
2008).
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Cup-plate Technique
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, di mana dibuat
sumur pada media Agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan
pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji (Pratiwi,
2008).
e. Gradient-plate Technique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media Agar
secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media Agar dicairkan
dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan
Petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya
dituang di atasnya. Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan
agen antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji
(maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke
rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan
mikroorganisme maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang
pertumbuhan hasil goresan.
Bila:
X : panjang total pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin
Y : panjang pertumbuhan actual
C : konsentrasi final agen antimikroba pada total volume media mg/mL
atau µg/mL.
Konsentrasi hambatan = [(X.Y)] = C mg/mL atau µg/mL.
Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan yang didapat dari
lingkungan padat dan cair, faktor difusi agen antimikroba dapat
mempengaruhi keseluruhan hasil pada media padat (Pratiwi, 2008).
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.4.2 Metode Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution)
dan dilusi padat (solid dilution) (Pratiwi, 2008).
a. Dilusi Cair
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration atau Kadar
Hambat Minimum/KHM) dan MBC (Minimum Bactericidal
Concentration atau Kadar Bunuh Minimum/KBM). Cara yang dilakukan
adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium
cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba
pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba
uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM
tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan
mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam.
Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai
KBM (Pratiwi, 2008).
b. Dilusi Padat
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen
antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba
uji (Pratiwi, 2008).
2.4.4.3 Uji Bioautografi
Bioautografi merupakan metode skrining mikrobiologi yang umum
digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antimikroba. Metode skining ini
memberikan sensitivitas yang lebih tinggi daripada metode lainnya. Metode ini
juga memiliki kelebihan yaitu sederhana, hemat waktu, dan tidak memerlukan
peralatan yang canggih (Choma, I., 2010). Uji bioautografi merupakan metode
spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT yang memiliki
aktivitas antibakteri, antifungi, dan antivirus, sehingga mendekatkan metode
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
separasi dengan uji biologis. Prosedur dalam uji dengan metode bioautografi
sama seperti uji dengan metode difusi agar (Choma, I., E. M. Grzelak., 2011).
Ada tiga macam metode bioautografi (Choma, I., 2010):
a. Bioautografi kontak
Plat kromatografi diletakkan pada permukaan agaryang telah diinokulasi
mikroba uji selama beberapa menit atau jam, sehingga proses difusi dapat
terjadi. Plat kromatogram diambil dan media agar diinkubasi. Daerah
hambatan ditunjukkan dengan adanya spot antimikroba yang menempel
pada permukaan agar.
b. Bioautografi agar overlay atau imersi
Plat kromatografi dicelupkan dalam medium agar, setelah agar memadat
ditambahkan mikroorganisme uji lalu diinkubasi. Metode ini merupakan
kombinasi dari bioautografi kontak dan langsung, karena senyawa
antimikroba ditransfer dari kromatogram ke media agar, seperti dalam
metode kontak, tetapi lapisan agar tetap pada permukaan kromatogram
selama inkubasi dan visualisasi seperti pada bioautografi langsung.
c. Bioautografi Langsung
Bioautografi langsung merupakan metode bioautografi yang paling banyak
digunakan dari semua metode bioautografi. Prinsip dari metode ini adalah
plat KLT dicelupkan pada suspensi mikroorganisme kemudian diinkubasi.
Visualisasi dari zona hambatnya menggunakan reagen dehidrogenase,
seperti garam tetrazolium. Enzim dehidrogenase dari mikroorganisme akan
mengkonversi garam tetrazolium menjadi berwarna, sehingga akan terlihat
spot berwarna krem-putih dengan latar belakang ungu pada permukaan
plat KLT menunjukkan keberadaan agen antibakteri.
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian ini berlangsung sejak
bulan Desember 2014 sampai Juni 2015.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Tanaman
Tanaman yang diteliti adalah Garcinia benthami Pierre yang diperoleh dari
Kebun Raya Bogor pada tanggal 8 Desember 2014 dan telah dideterminasi di
Herbarium Bogorisme, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI,
Cibinong Bogor (Lampiran 1). Adapun bagian tanaman yang digunakan dalam
penelitian adalah bagian daun dari tanaman Garcinia benthami Pierre. Spesifikasi
daun yang diambil adalah berwarna hijau (tidak terlalu tua dan tidak terlalu
muda), tidak terdapat bercak, dan tidak berlubang karena dimakan serangga.
3.2.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: blender, timbangan
analitik (AND GH-202), krus porselen, oven, botol maserasi, gelas ukur (pyrex),
beaker glass (pyrex), erlenmeyer (Schott DURAN), corong (pyrex), seperangkat
alat vaccum rotary evaporator (EYELA ROTARY EVAPORATOR N-1000,
EYELA DIGITAL WATER BATH SB-1000, Water Refrigerator Pump EYELA
CCA-1111, DTC-21 DIAPHRAGM TYPE DRY VACCUM PUMP), spatula,
batang pengaduk, pipet tetes, cawan penguap, hot plate, lumpang dan alu, kolom
kromatografi (Schott DURAN, pyrex), statif, vial, chamber, kaca arloji, lampu
UV (Boinstrument ATTA, KRUSS), tabung reaksi (pyrex), rak tabung reaksi,
pipa kapiler, Laminar Air Flow (LAF) (UIS TEMPERED), cawan petri (pyrex),
Bunsen, jarum ose, pinset (MARWA stainless), botol semprot (NAGATA), vortex
34
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Vortex Mixer K), inkubator (FRANCE ETUVES), autoklaf (ALP), lemari
pendingin (GEA Pharmaceutical Refrigerator, SANYO Medicool), mikropipet
dan tip (BIO-RAD).
3.2.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: n-heksana
teknis, etil asetat teknis, metanol teknis, TLC silica gel 60 F254 (Merck), Silica gel
60 (0,063-0,200 mm) for column chromatography (Merck), larutan HCl encer,
reagen Meyer, reagen Dragendorf, etanol, serbuk Mg, FeCl3 3%, H2SO4 pekat,
kloroform, asam asetat anhidrida, Nutrien Agar (NA) (Merck), Brain Heart
Infussion (BHI) broth (OXOID), bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan
Salmonella enteretica sv typhimurium ATCC 14028 yang diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi Universitas Indonesia (UI), antibiotik kloramfenikol
(INDOFARMA), Dimethylsulfoxide (DMSO) 10%, aquadest, natrium klorida
(NaCl) 0,9% (Otsuka), reagen p-iodonitrotetrazolium chloride atau INT (SIGMA-
ALDRICH), Masker (SENSI® Mask), Gloves (SENSI
® Gloves), kertas label
(ABC), aluminium foil (Bagus), plastik wrap, kertas saring, kapas (Sari Bunga),
kantong plastic tahan panas dan kain kasa.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Penyiapan Simplisia
Daun Garcinia benthami Pierre sebanyak 4 kg daun segar disortasi basah
dengan cara dicuci menggunakan air mengalir untuk dipisahkan dari kotoran-
kotoran yang menempel. Sampel dikeringkan dengan aliran udara yang baik
(diangin-anginkan) tanpa menggunakan suhu tinggi dan terhindar dari sinar
matahari dan pengeringan dilakukan sampai sampel benar-benar kering
(Harborne, 1987). Sampel yang telah kering disortasi kering untuk dipisahkan dari
sisa kotoran-kotoran yang masih tertinggal dan dihaluskan dengan blender hingga
menjadi serbuk, kemudian ditimbang. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah
tertutup rapat, bersih, kering dan terhindar dari cahaya matahari (Depkes RI,
1985; 2000).
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.3 Pembuatan Ekstrak
Proses pembuatan ekstrak menggunakan metode ekstraksi cara dingin, yaitu
dengan cara maserasi bertingkat (Depkes RI, 2000). Pada proses maserasi
menggunakan tiga jenis pelarut dengan kepolaran bertingkat yaitu pelarut non
polar (n-heksana), pelarut semi polar (etil asetat), dan pelarut polar (metanol) yang
sebelumnya telah didestilasi.
Sebanyak 1,2 kg serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah gelap,
kemudian ditambahkan pelarut n-heksana ke dalam wadah tersebut hingga serbuk
simplisia terendam ± 3 cm di bawah pelarut. Maserasi yang pertama kali
dilakukan selama 1 hari dan remaserasi dilakukan selama 2-3 hari pada suhu
ruang dengan sesekali dikocok agar semua serbuk dapat menyentuh pelarut
dengan sempurna. Hasil maserasi disaring dengan menggunakan kapas untuk
memisahkan filtrat dari ampas, filtrat yang diperoleh disaring kembali dengan
kertas saring Whatman no. 1 untuk memisahkan ampas halus yang belum
tersaring saat penyaringan menggunakan kapas. Ampas yang diperoleh kemudian
diremaserasi menggunakan pelarut n-heksana hingga pelarut bening. Ampas hasil
maserasi dengan pelarut n-heksana diremaserasi dengan menggunakan pelarut etil
asetat. Ampas hasil maserasi dengan pelarut etil asetat diremaserasi menggunakan
pelarut metanol. Filtrat dipekatkan menggunakan vaccum rotary evaporator
dengan suhu 400C hingga menjadi ekstrak kental (Harborne, 1987). Ekstrak kental
n-hekasan, etil asetat, dan metanol ditimbang, kemudian dihitung persen
rendemen dari masing-masing ekstrak dan disimpan dalam lemari pendingin pada
suhu 40C. Rendemen ekstrak dihitung menggunakan persamaan berikut
(Sastrohamidjojo, 2005):
Bobot ekstrak kental yang diperoleh (g)
% Rendemen ekstrak = x 100%
Bobot simplisia yang diekstraksi (g)
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.4 Penetapan Kadar Air Ekstrak
Metode uji kadar air yang digunakan adalah metode gravimetri. Krusibel
porselen kosong dikonstankan dengan pemanasan pada suhu 1050C selama 2 jam,
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 1 gram ekstrak
ditimbang menggunakan wadah yang telah ditara tersebut. Ekstrak dikeringkan
pada suhu 1050C selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan pada jarak
30 menit, ditimbang kembali sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-
turut tidak lebih dari 0,25% atau hingga bobot tetap (konstan) (Depkes RI, 1989;
2000).
3.3.5 Penapisan Fitokimia Ekstrak
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui macam-macam metabolit
sekunder yang terkandung di dalam ekstrak n-heksana, ekstrak etil asetat, dan
ekstrak metanol dari daun Garcinia benthami Pierre. Metabolit yang diuji
keberadaannya antara lain: flavonoid, saponin, tannin, alkaloid, steroid, dan
triterpenoid.
3.3.5.1 Identifikasi Flavonoid
Sampel dicampur dengan 5 mL etanol, dikocok, dipanaskan, dan dikocok
lagi kemudian disaring. Filtrat ditambahkan serbuk Mg 0,2 g dan 3 tetes HCl.
Terbentuknya warna merah pada lapisan etanol menunjukkan adanya flavonoid
(Depkes RI, 2000).
3.3.5.2 Identifikasi Saponin
Tes busa: 0,5 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 5 mL,
aquadest panas, kemudian kocok vertikal. Pembentukan busa setinggi 1-10 cm
yang stabil selama tidak kurang 10 menit menunjukkan adanya saponin. Pada
penambahan 1 tetes HCl 2N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1989).
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.5.3 Identifikasi Tanin
Ekstrak dilarutkan dengan aquadest panas lalu dikocok hingga homogen.
Larutan kemudian ditambahkan 5 tetes natrium klorida 10% dan saring. Filtrat
yang diperoleh digunakan sebagai larutan percobaan. Larutan percobaan
ditambahkan pereaksi besi (III) klorida 3%. Hasil positif ditunjukkan dengan
terbentuknya larutan biru kehitaman atau hijau kehitaman (Materia Medika,
1980).
3.3.5.4 Indentifikasi Alkaloid
Ekstrak dilarutkan dalam larutan HCl encer kemudian disaring. a.) Tes
Mayer: filtrat ditambahkan reagen Meyer (Potassium Mercuric Iodide).
Terjadinya endapan berwarna putih atau kuning mengindikasikan adanya senyawa
alkaloid. b.) Tes Dragendorf: filtrat yang diperoleh ditambahkan reagen
Dragendorf (solution of Potassium Bismuth Iodide). Terjadinya endapan berwarna
merah bata mengindikasikan adanya senyawa alkaloid (Materia Medika, 1995).
3.3.5.5 Identifikasi Steroid
Tes Salkowski: Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring.
Filtrat yang diperoleh ditambahkan beberapa tetes asam sulfat pekat dan kocok.
Terbentuknya warna kuning emas mengindikasikan adanya triterpenoid (Tiwari,
et al., 2011).
3.3.5.6 Identifikasi Terpenoid
Uji Lieberman-Burcard: Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan
disaring. Filtrat yang diperoleh ditambahkan beberapa tetes asam asetat
anhidrida, kemudian dipanaskan dan didinginkan. Lalu ditambahkan beberapa
tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya cincin warna coklat mengindikasikan
adanya steroid (Tiwari, et al., 2011).
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.6 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
3.3.6.1 Sterilisasi Alat dan Bahan
Sterilisasi dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
- Sterilisasi dengan pemijaran, yaitu sterilisasi alat-alat dengan cara dibakar
menggunakan nyala Bunsen sampai berpijar seperti ose, batang L, pinset,
mulut tabung biakan (Leboffe, Michael J. and Burton E. Pierce, 2010).
- Sterilisasi panas kering, yaitu sterilisasi menggunakan oven dengan suhu
1700C selama 1 jam atau 160
0C selama 2 jam. Sterilisasi panas kering hanya
untuk alat-alat yang tahan panas (seperti cawan petri, objek berbahan metal)
dan tidak untuk alat-alat gelas yang presisi dan berbahan plastik (McDonnell,
Gerald E., 2007; Black, Jacquelyn G., 2012).
- Sterilisasi panas uap, yaitu sterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu
1210C selama 15 menit. Sterilisasi panas uap ditujukan untuk bahan-bahan
cair (seperti medium mikrobiologi, aquadest, dan NaCl 0,9%), alat gelas yang
presisi (seperti gelas ukur, labu ukur, dan pipet ukur) dan tidak tahan panas
(seperti plastik) (McDonnell, Gerald E., 2007; Black, Jacquelyn G., 2012).
3.3.6.2 Pembuatan Medium
a. Medium Nutrient Agar (NA)
Medium yang digunakan untuk peremajaan bakteri adalah nutrient agar
(NA). NA dibuat berdasarkan aturan pakai yang tertera pada kemasan (Merck).
Serbuk NA sebanyak 10 gram dilarutkan dalam 500 mL aquadest dan dipanaskan
hingga mendidih dan agar tercampur rata. Kemudian disterilkan menggunakan
autoklaf pada suhu 1210C selamat 15 menit. Setelah disterilisasi medium dapat
digunakan dan disimpan di lemari pendingin.
b. Medium Brain Heart Infussion (BHI) Broth
Brain Heart Infussion (BHI) broth dibuat berdasarkan aturan pakai yang
tertera pada kemasan (OXOID). Serbuk medium BHI sebanyak 3,7 gram
dimasukkan ke dalam 100 mL aquadest, lalu dipanaskan hingga larut sambil terus
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diaduk dan disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.
Setelah steril medium dapat digunakan dan disimpan di dalam lemari pendingin.
3.3.6.3 Peremajaan Bakteri Uji
Peremajaan terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonella
enteric sv typhimurium dapat menggunakan medium nutrient agar (NA).
Medium NA dituangkan ke dalam tabung reaksi sebanyak ± 5 mL. Media yang
telah dituang disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15
menit. Medium NA didinginkan pada suhu ruang dengan posisi miring hingga
memadat. Diambil satu ose bakteri uji dari stok kultur, dioleskan secara zig-zag
pada media NA miring dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C (Leboffe,
Michael J. and Burton E. Pierce, 2010).
3.3.6.4 Pewarnaan Gram
Identifikasi kemurnian bakteri uji dapat dilakukan dengan pewarnaan
Gram. Glass microscope slide dibersihkan dari debu dan kotoran lainnya
menggunakan alkohol dan ditetesi dengan 1 tetes NaCl 0,9%. Bakteri
Staphylococcus aureus dan Salmonella enteretica sv typhimurium diambil
masing-masing 1 ose, diratakan di dalam larutan NaCl 0,9%, dan difiksasi di
atas nyala Bunsen. Hasil fiksasi bakteri ditetesi dengan larutan kristal violet,
dibiarkan selama 1 menit dan dibilas dengan aquadest. Glass slide ditetesi
dengan larutan iodin atau lugol, dibiarkan selama 1 menit dan dibilas dengan
aquadest. Tahap selanjutnya glass microscope slide didekolorisasi dengan
alkohol 96%, ditunggu selama 30 detik dan dibilas dengan aquadest. Setelah
itu, ditetesi dengan larutan safranin, dibiarkan selama 1 menit dan dibilas
dengan aquadest. Preparat bakteri ditunggu hingga kering dan ditetesi dengan 1
tetes minyak imersi untuk diperiksa menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 1500x (Leboffe, Michael J. and Burton E. Pierce, 2010).
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.6.5 Pembuatan Suspensi Bakteri
Suspensi bakteri dibuat berdasarkan Valgas et al. (2007) dan Ismail et al.
(2011) dengan modifikasi. Bakteri uji Staphylococcus aureus dan Salmonella
enteretica sv typhimurium disuspensikan menggunakan NaCl 0,9% steril,
kekeruhannya dibandingkan dengan McFarland 3 (109 CFU/mL). Suspensi
bakteri tersebut diencerkan hingga 106 CFU/mL dengan cara diambil 1 mL
suspensi bakteri dari tabung 109 CFU/mL dan dicampurkan ke dalam 9 mL
NaCl 0,9% steril, sehingga didapatkan suspensi bakteri dengan kekeruhan 108
CFU/mL. Diambil 1 mL suspensi bakteri dari tabung 108
CFU/mL dan
dicampurkan ke dalam 9 mL NaCl 0,9% steril, sehingga didapatkan suspensi
bakteri dengan kekeruhan 107 CFU/mL. Setelah itu, dilanjutkan dengan
mengambil 1 mL suspensi bakteri dari tabung 107
CFU/mL dicampur dengan 9
mL Brain Heart Infussion (BHI) broth, sehingga didapatkan suspensi bakteri
dengan kekeruhan 106 CFU/mL.
3.3.6.6 Pembuatan Sampel Uji
Masing-masing ekstrak dilarutkan pada pelarut ekstraksi yang digunakan.
Begitu juga dengan fraksi dan senyawa murni. Semua fraksi yang diperoleh
dilarutkan dengan pelarut etil asetat. Konsentrasi ekstrak dan fraksi uji yang
digunakan adalah 5 mg/mL (Valgas, C. et al., 2007).
3.3.6.7 Pembuatan Kontrol Positif
Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik kloramfenikol 30
𝜇g/mL untuk bakteri Staphylococcus aureus dan 200 𝜇g/mL untuk bakteri
Salmonella enterica sv typhimurium, yang dilarutkan dalam DMSO 10%
(Valgas, C. et al., 2007).
3.3.6.8 Penyiapan Plat KLT
Pada uji antibakteri metode bioautografi langsung. Plat Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) digunakan sebagai tempat penotolan sampel uji, kontrol
positif dan kontrol negatif. Jenis plat KLT yang digunakan adalah TLC silica
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
gel 60 F254. Untuk uji bioautografi non elusi ekstrak dan fraksi, ukuran plat
yang digunakan 6 cm × 4 cm dengan jarak antara penotolan satu dengan
lainnya adalah 2 cm. Ukuran plat KLT yang digunakan dapat menyesuaikan
dengan ukuran cawan petri yang digunakan. Untuk uji bioautografi elusi fraksi
teraktif, ukuran plat yang digunakan 2 cm × 6 cm.
3.3.6.9 Penentuan Ekstrak dengan Diameter Zona Hambat Terbesar
Penentuan ekstrak dengan diameter zona hambat terbesar adalah dengan
metode bioautografi langsung non elusi atau TLC-BD (Thin Layer
Chromatography – Bioautography Direct) dot-blot (Choma, Irena M. and
Wioleta Jesionek, 2015). Plat KLT yang telah disiapkan ditotoli dengan 10 𝜇L
ekstrak uji 5 mg/mL (ekstrak n-heksana, ekstrak etil asetat, dan ekstrak
metanol), kontrol positif (kloramfenikol 30 𝜇g/mL untuk bakteri
Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan kloramfenikol 200 𝜇g/mL), dan
kontrol negatif (pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol). Plat dibiarkan
beberapa menit hingga pelarutnya menguap. Plat dicelupkan ke dalam suspensi
bakteri uji 106
CFU/mL selama ± 5 detik. Plat diletakkan ke dalam cawan petri
steril yang didalamnya terdapat kapas yang telah dibasahi dengan aquadest
steril dan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Setelah itu, plat disemprot
dengan reagen p-iodonitrotetrazolium violet (INT) 2 mg/mL dan diinkubasi
kembali selama 4 jam dan diamati setiap jamnya. Diameter zona hambat diukur
menggunakan jangka sorong (Valgas, C. et al., 2007; Ismail, S. et al., 2011).
Hal sama juga dilakukan pada semua fraksi yang diperoleh dari kromatografi
kolom dan pengujian dilakukan triplo.
3.3.7 Isolasi dengan Kromatografi Kolom
3.3.7.1 Penyiapan Sampel
Berdasarkan uji aktivitas antibakteri dengan metode bioautografi langsung,
ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri tertinggi. Sebanyak 20 gram
ekstrak etil asetat dari daun Garcinia benthami Pierre, diadsorpsi menggunakan
silica gel 60 (0,063-0,200 mm) for column chromatography sebanyak 15 gram
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sedikit demi sedikit dengan cara diaduk dengan lumpang alu hingga diperoleh
sampel yang dapat mengalir seperti serbuk.
3.3.7.2 Penyiapan Kolom Kromatografi
Kolom kromatografi yang digunakan memiliki ukuran tinggi 100 cm dan
diameter 2 cm. Bagian dasar kolom disumbat menggunakan kapas. Kolom dialiri
dengan pelarut n-heksana dan kapas ditekan-tekan dengan batang pengaduk
hingga tidak ada udara yang terjerap. Dibuat bubur silika dengan menimbang
serbuk silika gel sebanyak 100 gram dan didispersikan dengan pelarut n-heksana
menjadi bubur silika. Bubur silika gel dimasukkan ke dalam kromatografi kolom
dan kolom dialiri dengan menggunakan pelarut n-heksana. Pelarut yang
mengalir ditampung dan dimasukkan kembali ke dalam kolom. Proses ini
dilakukan berulang-ulang sambil dinding kolom diketuk-ketuk dengan batang
karet hingga silika memadat. Ekstrak hasil preadsorpsi dengan silika gel dan
dimasukkan ke dalam kolom.
3.3.7.3 Proses Fraksinasi
Pada proses fraksinasi fase gerak yang digunakan adalah sistem gradient
(n-heksana:etil asetat) berdasakan penelitian Komala, I. et al., (2010), setiap
gradient kepolarannya ditingkatkan 10%. Fraksinasi pertama dilakukan dengan
mengaliri kolom menggunakan fase gerak n-heksana 100%. Eluat yang menetes,
ditampung dalam vial yang sebelumnya telah diberi nomor. Penggantian
gradient fase gerak dilakukan ketika gradient sebelumnya telah habis digunakan
untuk mengaliri kolom. Fraksinasi dilakukan hingga fase gerak yang digunakan
telah mencapai gradient akhir yaitu etil asetat 100%. Setiap eluen dibuat dengan
volume 1200 mL. Semua fraksi yang diperoleh diuapkan terlebih dahulu dengan
cara diangin-anginkan. Kemudian dilakukan kromatografi lapis tipis (KLT) dan
dilihat pola bercak yang dihasilkan dibawah lampu UV dengan panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm. Fraksi dengan memberikan pola bercak dengan
Rf yang sama digabungkan menjadi satu dan diuji aktivitas antibakteri
menggunakan metode bioautografi langsung.
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.8 Pemurnian
Pemurnian dapat dilakukan dengan cara rekristalisasi dan kromatografi
kolom kembali (Depkes RI, 2000). Fraksi yang dimurnikan dipilih berdasarkan
terbentuknya kristal, senyawa utama, aktivitas antibakteri, dan jumlah sampel
terbanyak. Fraksi F11 (vial 37 - vial 60) dimurnikan lebih lanjut dengan
kromatografi kolom kembali. Fraksi F11 dipilih karena merupakan fraksi senyawa
utama dengan jumlah sampel terbanyak dan memiliki aktivitas antibakteri. Pada
kromotografi kolom kedua pembuatan fasa diam sama halnya seperti kromatografi
kolom pertama. Kromatografi kolom yang digunakan memiliki ukuran tinggi 30
cm dan diameter 2 cm. Sebagai fasa gerak menggunakan sistem gradient sesuai
dengan hasil kromatografi kolom sebelumnya. Setiap fraksi yang diperoleh
diuapkan terlebih dahulu dengan cara diangin-anginkan. Semua fraksi dianalisis
dengan KLT dan dilihat pola bercak yang dihasilkan dibawah lampu UV dengan
panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Fraksi dengan memberikan pola bercak
dengan Rf yang sama digabungkan menjadi satu dan diuji aktivitas antibakteri
menggunakan metode bioautografi. Selanjutnya fraksi dengan diameter zona
hambat terbesar diuji bioautografi langsung dengan dielusi terlebih dahulu .
3.3.9 Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi
Uji aktivitas antibakteri fraksi gabungan dari ekstrak etil asetat daun
Garcinia benthami Pierre dilakukan dengan metode bioautografi langsung non
elusi, sama seperti uji aktivitas antibakteri yang dilakukan pada ekstrak. Fraksi
gabungan dari kromatografi kolom ekstrak etil asetat Garcinia benthami Pierre
yang dipilih untuk dilanjutkan pemurniannya dengan kromatografi kolom kembali
merupakan fraksi dengan mayor compound, jumlah sampel terbanyak dan
memiliki aktivitas antibakteri.
3.3.10 Uji Antivitas Antibakteri dengan Metode Bioautografi Elusi
Fraksi yang dilakukan uji aktivitas antibakteri lebih lanjut adalah fraksi
dengan aktivitas antibakteri dengan zona hambat terbesar terhadap bakteri uji.
Fraksi F11.30 memiliki zona hambat terbesar terhadap bakteri Staphylococcus
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
aureus dan fraksi F11.16 memiliki zona hambat terbesar terhadap bakteri
Salmonella enterica sv typhimurium. Kedua fraksi tersebut diuji aktivits
antibakterinya dengan metode bioautografi langsung dan dielusi terlebih dahulu
(TLC-BD Developed Plates) dengan pelarut yang sesuai karena fraksi tersebut
masih mengandung senyawa yang kompleks atau belum murni (Choma, Irena M.
and Wioleta Jesionek, 2015).
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penyiapan Simplisia
Tanaman yang digunakan pada peneltian ini adalah daun dari Garcinia
benthami Pierre yang diperoleh pada tanggal 8 Desember 2014 dari Kebun Raya
Bogor dan telah dideterminasi di Herbarium Bogorisme, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi-LIPI, Cibinong Bogor. Hasilnya adalah tanaman yang
digunakan merupakan tanaman Garcinia benthami Pierre dan merupakan anggota
suku Clusiaceae (Lampiran 1).
Daun segar Garcinia benthami Pierre yang diperoleh sebanyak 4 kg. Setelah
dilakukan sortasi basah dengan dicuci menggunakan air mengalir hingga bersih
untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada daun dan dikeringkan dengan
cara diangin-anginkan selama ± 10 hari, diperoleh simplisia kering sebanyak 1,55
kg. Simplisia kering disortasi kering untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang
tertinggal dan diserbukkan menggunakan blender dan diperoleh serbuk simplisia
sebanyak 1,2 kg. Tujuan penyerbukan simplisia adalah untuk memperbesar luas
permukaan simplisia yang dapat menyentuh pelarut yang digunakan dalam proses
ekstraksi. Semakin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi semakin efisien
(Depkes RI, 2000). Untuk mencegah kerusakan mutu simplisia, serbuk simplisia
disimpan dalam wadah bersih, kering, dan terlindung dari cahaya matahari
langsung.
4.2 Pembuatan Ekstrak
Metode pembuatan ekstrak yang digunakan adalah maserasi bertingkat.
Pelarut yang digunakan dalam maserasi dimulai dari pelarut n-heksana (non
polar), kemudian dilanjutkan dengan pelarut etil asetat (semi polar) dan pelarut
metanol (polar). N-heksana, etil asetat, dan metanol merupakan pelarut yang
umum digunakan pada tahapan separasi dan tahapan pemurnian (fraksinasi)
(Depkes RI, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi bertingkat adalah
metodenya paling mudah untuk dilakukan karena pengerjaannya sederhana dan
46
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
alat-alat yang digunakan mudah didapat (Wardani dan Sulistyani, 2012) dan
cocok untuk senyawa yang tidak tahan terhadap panas, yaitu flavonoid dan tannin
(Gupita, 2012).
Sebanyak 1,2 kg serbuk simplisia daun Garcinia benthami Pierre dimaserasi
dengan pelarut n-heksana teknis yang telah didestilasi. Maserasi dilakukan dalam
tiga botol maserasi hingga warna pelarut n-heksana bening untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Pada botol pertama, 255,61 gram serbuk simplisia
dimaserasi sebanyak 6 kali dan menghabiskan 3,6 L pelarut n-heksana. Pada botol
kedua, 433,02 gram serbuk simplisia dimaserasi sebanyak 11 kali dan
menghabiskan 6,8 L pelarut n-heksana. Pada botol ketiga, 500 gram serbuk
simplisia dimaserasi sebanyak 7 kali dan menghabiskan 8,4 L pelarut n-heksana.
Total pelarut n-heksana yang digunakan untuk maserasi sebanyak 18,8 L. Hasil
maserasi disaring dan filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan vaccum rotary
evaporator pada suhu 400C dan diperoleh ekstrak kental n-heksana sebanyak
17,82 gram.
Sisa pelarut n-heksana diuapkan hingga kering dan ampas diremaserasi
menggunakan pelarut semi polar yaitu etil asetat. Pada botol pertama, maserasi
dilakukan sebanyak 10 kali dan menghabiskan 7,4 L pelarut etil asetat. Pada botol
kedua, maserasi dilakukan sebanyak 13 kali dan menghabiskan 11,55 L pelarut
etil asetat. Pada botol ketiga, maserasi dilakukan sebanyak 19 kali dan
menghabiskan 22,58 L pelarut etil asetat. Maserasi dilakukan hingga pelarut etil
asetat bening. Total pelarut etil asetat yang digunakan untuk maserasi sebanyak
41,48 L. Hasil maserasi dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator pada suhu
400C dan diperoleh ekstrak kental etil asetat sebanyak 80,98 gram.
Sisa pelarut etil asetat diuapkan hingga kering dan ampas diremaserasi
menggunakan pelarut polar yaitu metanol. Pada botol pertama, maserasi dilakukan
sebanyak 9 kali dan menghabiskan 8,7 L pelarut metanol. Pada botol kedua,
maserasi dilakukan sebanyak 11 kali dan menghabiskan 10,8 L pelarut metanol.
Namun pada botol ketiga belum dilakukan remaserasi menggunakan pelarut
metanol dikarenakan keterbatasan waktu. Total pelarut metanol yang digunakan
untuk maserasi sebanyak 19,5 L. Hasil maserasi dipekatkan dengan vaccum rotary
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
evaporator pada suhu 400C dan diperoleh ekstrak kental metanol sebanyak 81,70
gram. Setiap ekstrak dihitung rendemen yang diperoleh dengan membandingkan
antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal (Tabel 4.1) (Depkes RI,
2000).
Tabel 4.1 Rendemen Ekstrak n-Heksana, Etil Asetat, dan Metanol dari Daun Garcinia
benthami Pierre
Jenis Ekstrak Bobot Total Simplisia
yang Dimaserasi (gram)
Bobot
Ekstrak
(gram)
Rendemen
Ekstrak (%)
Ekstrak n-Heksana 1188,63
17,82 1,5
Ekstrak Etil Asetat 80,98 6,8
Ekstrak Metanol 688,63 81,70 11,86
4.3 Uji Kadar Air Ekstrak
Penetuan kadar air ekstrak dilakukan dengan menggunakan metode
gravimetri. Pengukuran kadar air bertujuan untuk memberikan batas minimal atau
rentang tentang besarnya kandungan air. Ketiga ekstrak yang diperoleh dilakukan
pengujian kadar airnya karena ketiga ekstrak tersebut akan digunakan dalam
pengujian aktivitas antibakteri, dimana air merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Hasil pengukuran kadar air ekstrak n-heksana, ekstrak etil
asetat, dan ekstrak metanol dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Uji Kadar Air Ekstrak n-Heksana, Etil Asetat, dan Metanol dari Daun
Garcinia benthami Pierre
Ekstrak* Kadar Air (%)
Ekstrak n-Heksana 1,891
Ekstrak Etil Asetat 8,7
Ekstrak Metanol 9,95
Keterangan: * = ekstrak yang diperoleh adalah ekstrak kental
Kadar air ekstrak yang diperoleh sesuai dengan yang telah ditentukan dalam
literature yaitu < 10% (BPOM, 2008). Rangekadar air tergantung jenis estrak
yang dinginkan. Pada ekstrak kering kadar air yang diperbolehkan < 5%, ekstrak
kental 5-30%, dan ekstrak cair > 30% (Voigt, 1994 dalam Saifudin, A. et al.,
2011). Kadar air yang rendah, dapat mencegah tumbuh kembangnya
mikroorganisme sehingga menjamin mutu suatu ekstrak (BPOM, 2008).
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4 Penapisan Fitokimia Ekstrak
Uji fitokimia dilakukan terhadap ekstrak n-heksana, ekstrak etil asetat, dan
ekstrak metanol. Uji ini bertujuan untuk mengetahui jenis senyawa yang
terkandung dalam ekstrak yang berpotensi sebagai antibakteri.
Tabel 4.3 Hasil Uji Fitokimia Esktrak Etil Asetat Daun Garcinia benthami Pierre
Metabolit Sekunder Ekstrak n-Heksana Ekstrak Etil Asetat Ekstrak
Metanol
Flavonoid - - +
Saponin - + +
Tannin - + +
Alkaloid - - -
Steroid - - -
Terpenoid + + +
Keterangan: + = positif, - = negatif
Penapisan fitokimia ekstrak n-heksana (pelarut non polar) hanya
menunjukkan hasil positif terhadap pengujian terpenoid. Menurut literature
pelarut n-heksana (non polar) hanya dapat menarik sedikit metabolit sekunder dari
suatu tanaman yang diekstraksi, salah satunya terpenoid. Secara kimia umumnya
terpenoid larut dalam lemak yang terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Jadi
ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana dapat memisahkan lipid dan terpenoid
yang terdapat dalam tanaman yang diekstraksi (Harborne, 1987).
Hasil penapisan fitokimia ekstrak etil asetat (pelarut semi polar) dan ekstrak
metanol (pelarut polar) menunjukkan hasil positif pada pengujian terhadap
terpenoid, saponin, dan tannin. Ekstrak etil asetat menunjukkan hasil negatif
terhadap metabolit sekunder flavonoid, sedangkan ekstrak metanol menunjukkan
hasil positif. Flavonoid merupakan senyawa polar, maka umumnya flavonoid larut
dalam pelarut polar seperti metanol, etanol, butanol dan air (Harborne, 1987;
Markham, 1988: 15 dalam Agustiningsih, 2010). Ekstraksi menggunakan pelarut
etil asetat (pelarut semi polar) menunjukkan hasil negatif terhadap senyawa
flavonoid mungkin dikarenakan senyawa flavonoid yang terdapat dalam daun
Garcinia benthami Pierre lebih polar dari pelarut etil asetat.
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak dengan Metode Bioautografi
Metode uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak n-heksana, ekstrak etil
asetat, dan ekstrak metanol dari daun Garcinia benthami Pierre adalah metode
bioautografi langsung. Tahapan yang dilakukan dalam pengujian aktivitas
antibakteri metode bioautografi adalah sebagai berikut:
4.5.1 Identifikasi Bakteri Uji dengan Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram merupakan salah satu metode dalam menentukan
taksonomi mikroba. Pewarnaan Gram dapat digunakan untuk memisahkan
anggota-anggota domain bakteri ke dalam dua kelompok berdasarkan perbedaan
dinding selnya (Campbell, Neil A., 2003). Pewarnaan Gram dilakukan sebelum
bakteri digunakan dalam uji aktivitas antibakteri sampel. Dalam hal ini,
pewarnaan Gram bertujuan untuk memastikan bahwa bakteri uji tidak
terkontaminasi oleh bakteri lain. Hasil pewarnaan Gram ditunjukkan pada gambar
4.1.
(a) (b)
Gambar 4.1 Hasil Pewarnaan Gram Bakteri (a) Staphylococcus aureus ATCC 6538 dengan
perbesaran 1500x dan (b) Salmonella enteretica sv thyphimurium ATCC 14028 dengan
perbesaran 1500x
Gambar 4.1 (a) menunjukkan bahwa bakteri yang dibiakkan dalam kultur
kerja adalah Staphyloccus aureus yang merupakan bakteri Gram positif,
berbentuk coccus (bulat) dan berwarna biru. Gambar 4.1 (b) menunjukkan bahwa
bakteri yang dibiakkan dalam kultur kerja adalah Salmonella enteretica sv
typhimurium yang merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk basil (batang) dan
berwarna merah (Smith, Ann C. and Marise A. Hussey, 2005; Pratiwi, 2008). .
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bakteri diwarnai dengan warna dasar (larutan kristal violet), diikuti dengan
penambahan mordant atau penajam (larutan iodin), kemudian didekolorisasi
secara cepat dengan alkohol, dan diwarnai lagi dengan larutan safranin. Struktur
dinding sel akan menentukan respon pewarnaan. Bakteri Gram positif sebagian
besar dinding selnya mengandung peptidoglikan tebal akan menjerab warna
violet. Bakteri Gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan tipis, sehingga zat
warna violet yang digunakan dalam pewarnaan Gram sangat mudah dibilas dari
bakteri Gram negatif, akan tetapi tetap menahan warna merah (Campbell, Neil A.,
2003; Smith, Ann C. and Marise A. Hussey, 2005).
Hal yang harus diperhatikan dalam proses pewarnaan Gram adalah tahapan
dekolorisasi. Tahapan ini merupakan tahapan yang paling krusial dan sering
membuat pewarnaan Gram jadi tidak konsisten. Dekolorisasi dengan alkohol yang
berlebihan dan terlalu lama dapat menyebabkan bakteri Gram positif berubah
menjadi berwarna merah (Leboffe, Michael J. and Burton E. Pierce, 2010).
4.5.2 Pembuatan Media Pertumbuhan dan Sterilisasi
Media pertumbuhan bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Nutrient Agar (NA) (Merck) dan Brain Heart Infussion (BHI) broth (OXOID).
Alat dan bahan yang akan digunakan harus disterilisasi terlebih dahulu. Sterilisasi
adalah pembunuhan dan penghapusan semua mikroorganisme dalam bahan atau
alat (objek) sehingga dapat menghindari kontaminasi. Cara sterilisasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sterilisasi secara fisik, yaitu menggunakan
oven (panas kering atau dry heat) dan autoklaf (panas uap atau moist heat).
Sterilisasi panas kering ditujukan untuk alat-alat yang tahan panas dan tidak
presisi, sedangkan sterilisasi autoklaf ditujukan untuk media dan alat yang presisi.
Mekanisme oven dalam membunuh bakteri adalah dengan merusak
mikroorganisme melalui oksidasi molekul. Mekanisme autoklaf dalam membunuh
bakteri adalah dengan menghancurkan mikroorganisme melalui proses denaturasi
protein. Dibandingkan dengan metode panas uap, metode panas kering kurang
efisien karena lebih lambat sehingga membutukan suhu yang tinggi dan waktu
yang lebih lama (Black, Jacquelyn G., 2012).
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5.3 Peremajaan Bakteri
Bakteri uji diremajakan menggunakan medium Nutrient Agar (NA). Proses
peremajan bakteri bertujuan untuk meregenerasi bakteri uji yang digunakan
sehingga diperoleh bakteri uji yang masih segar dan baru. Peremajaan dilakukan
dengan proses inokulasi bakteri pada media miring yang cocok (seperti NA) dan
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Tujuan dilakukan inkubasi adalah
untuk mengkondisikan lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan bakteri.
4.5.4 Pembuatan Suspensi Bakteri
Pembuatan suspensi bakteri mengacu pada Valgas, C. et al. (2007) dan
Ismail, S. et al. (2011). Suspensi bakteri dibuat pada medium medium Brain
Heart Infussion (BHI) broth dengan kekeruhan 106 CFU/mL.
4.5.5 Uji Bioautografi Non Elusi Ekstrak
Tahap uji antibakteri yang pertama adalah skrining aktivitas antibakteri
ekstrak dengan metode bioautografi langsung non elusi (TLC-DB dot-blot test)
(Choma, Irena M. and Wioleta Jesionek, 2015). Skrining ini bertujuan untuk
menentukan ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi (senyawa
bioaktif) dan selanjutnya akan dilakukan kromatografi kolom. Aktivitas
antibakteri ditentukan dari besarnya diameter zona hambat yang terbentuk.
Biautografi langsung yang digunakan merupakan bioautografi langsung
konversional. Metode ini cocok untuk deteksi antibiotik atau antijamur, namun
tidak cocok untuk mempelajari dan memahami semua reaksi biokimia rumit yang
terlibat. Disamping untuk mencari senyawa bioaktif, bioautografi langsung dapat
untuk menemukan pelarut yang terbaik untuk ekstraksi senyawa aktif, dan
pemilihan fase gerak dengan pemisahan yang cocok (Choma, Irena, 2013).
Masing-masing ekstrak uji dibuat dengan konsentrasi 5 mg/mL (5 mg/mL –
40 mg/mL) dan dilarutkan pada masing-masing pelarut yang digunakan untuk
ekstraksi (Valgas, C. et al., 2007). Kontrol positif digunakan kloramfenikol 30
𝜇g/mL untuk bakteri Staphylococcus aureus dan 200 𝜇g/mL untuk bakteri
Salmonella enterica sv typhimurium. Konsentrasi kloramfenikol yang digunakan
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap bakteri Salmonella enterica sv typhimurium lebih besar daripada
konsentrasi yang digunakan terhadap bakteri Stapylococcuc aureus. Hal ini
dimungkinkan karena bakteri Salmonella enteric sv typhimurium telah mengalami
resistensi terhadap kloramfenikol.
Sebanyak 10 𝜇L masing-masing ekstrak uji (ekstrak n-heksana ekstrak etil
asetat, dan ekstrak metanol), kontrol positif (kloramfenikol), dan kontrol negatif
(n-heksan, etil asetat, metanol, dan DMSO 10%) ditotolkan pada plat KLT ukuran
6 cm × 4 cm yang telah disiapkan (Ismail, S. et al., 2011). Sisa pelarut pada saat
penotolan dibiarkan menguap. Plat KLT dicelupkan ke dalam suspensi bakteri
selama ± 5 detik dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril yang terdapat kapas
yang telah dibasahi dengan aquadest steril (Jesionek, W. et al., 2014). Kapas
tersebut berguna sebagai penyangga dan adanya aquadest dapat menjaga
kelembaban udara di dalam cawan petri (Sudirman, L. I., 2005). Plat diinkubasi
pada suhu 370C selama 24 jam. Setelah itu, Plat KLT disemprotkan reagen INT
untuk visualisasi aktivitas antibakteri yang diberikan oleh sampel uji. Plat
diinkubasi kembali pada suhu 370C selama 4 jam dan diamati setiap jamnya
(Valgas, C. et al., 2007).
Reagen INT akan berinteraksi dengan bakteri, enzim dehidrogenase dari
bakteri akan mengubah INT menjadi formazan berwarna ungu untuk menandakan
bahwa daerah tersebut terdapat pertumbuhan bakteri. Adanya zona bening yang
terbentuk dengan latar belakang berwarna ungu menandakan adanya aktivitas
antibakteri (Dewanjee, Saikat et al., 2015). Zona bening yang terbentuk diukur
menggunakan jangka sorong untuk mengetahui diameter zona hambat. Hasil uji
aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki aktivitas
antibakteri tertinggi dengan zona hambat terbesar yaitu 4,98 mm terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan 7,4 mm terhadap Salmonella enterica sv typhimurium
(Tabel 4.4; Gambar 4.2).
Ekstrak etil asetat merupakan ekstrak yang digunakan untuk tahap
selanjutnya yaitu kromatografi kolom. Ekstrak ini dipilih karena mempunyai
aktivitas antibakteri paling besar jika dibandingkan dengan ekstrak n-heksana dan
ekstrak metanol.
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(a)
(b)
Keterangan:
1. NH = Ekstrak n-heksana
2. EA = Ekstrak etil asetat
3. M = Ekstrak metanol
4. NH- = Kontrol negatif n-heksana
5. EA- = Kontrol negatif etil asetat
6. M- = Kontrol negatif metanol
7. C+ = Kontrol positif kloramfenikol
Gambar 4.2 Hasil Uji Bioautografi Non Elusi Ekstrak n-Heksana, Ekstrak Etil Asetat, dan
Ekstrak Metanol dari Daun Garcinia benthami Pierre; (a) terhadap bakteri
Staphylococcus aureus (b) terhadap bakteri Salmonella enterica sv typhimurium.
Tabel 4.4 Diameter Zona Hambat Ekstrak n-Heksana, Etil Asetat, dan Metanol Garcinia
benthami Pierre
TLC-BD dot-blot test (Bioautografi Non Elusi)
Bakteri Uji Sampel Konsentrasi
(𝝁g/mL)
Rata-Rata
Diameter
Zona Hambat
(mm)
Staphylococcus
aureus
Ekstrak n-Heksana
5000
4,2
Ekstrak Etil Asetat 4,98
Ekstrak Metanol 4,3
K+; Kloramfenikol 30 20,8
K-; n-Heksana - -
K-; Etil Asetat - -
K-; Metanol - -
Salmonella
enterica sv
typhimurium
Ekstrak n-Heksana
5000
1,5
Ekstrak Etil Asetat 7,4
Ekstrak Metanol 4,54
K+; Kloramfenikol 200 18,45
K-; n-Heksana - -
K-; Etil Asetat - -
K-; Metanol - -
Keterangan: - (tidak ada zona hambat); K+ (kontrol positif); K- (kontrol negatif)
NH M NH- EA-
EA M- C+
NH M NH- EA-
EA M- C+
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.6 Isolasi dengan Kromatografi Kolom
Ekstrak etil asetat dari daun Garcinia benthami Pierre difraksinasi
menggunakan kromatografi kolom. Fase diam yang digunakan adalah silika gel 60
(0,063-0,200 mm) for column chromatography dan fase gerak yang digunakan
sistem gradient dimulai dari n-heksana 100% hingga etil asetat 100%. Hasil
pemisahan pada kromatografi kolom yang pertama, diperoleh fraksi sebanyak 159
vial, kemudian diperoleh 27 fraksi gabungan (F1-F27). Penggabungan fraksi
didasarkan pada pola bercak atau Rf yang sama. Semua fraksi yang diperoleh
diuapkan pelarutnya dengan cara diangin-anginkan. Bobot masing-masing fraksi
ditimbang setelah pelarutnya menguap dengan sempurna (Tabel 4.5). Profil KLT
masing-masing fraksi yang telah digabungkan dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Profil KLT Semua Fraksi Gabungan Kromatografi Kolom Ekstrak Etil
Asetat dari Daun Garcinia benthami Pierre
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.5 Bobot dan Karakteristik Fraksi Gabungan Kromatografi Kolom Ekstrak Etil
Asetat Garcinia benthami
No. Fraksi Vial No. Bobot (mg) Karakteristik Fraksi
1. F1 1-4 62,5 Warna bening
2. F2 5 85 Warna kuning-orange, terdapat
kristal, berminyak
3. F3 6 89,5 Warna kuning, terdapat kristal,
berminyak
4. F4 7-9 269 Warna kuning-hijau,
berminyak
5. F5 10-16 142,4 Warna hijau-hitam, terdapat
kristal, lengket
6. F6 17-18 283,4 Warna hijau pekat, lengket
7. F7 19-20 235,6 Warna hijau-hitam, lengket
8. F8 21-23 437,4 Warna hijau pekat, lengket
9. F9 24-30 868,8 Warna hijau, lengket
10. F10 31-36 322,8 Warna hijau, lengket
11. F11 37-60 5162,1 Warna hijau-coklat, lengket
12. F12 61-62 181,4 Warna hijau pekat, lengket
13. F13 63-67 219,1 Warna hijau-hitam, lengket
14. F14 68-76 187,7 Warna hijau pekat, lengket
15. F15 77-80 59,4 Warna hijau, lengkat
16. F16 81-82 81 Warna hijau, lengket
17. F17 83-85 22,7 Warna hijau, lengket
18. F18 86 6 Warna hijau-coklat, lengket
19 F19 87-89 58,4 Warna hijau, lengket
20. F20 90 10,5 Warna hijau-kuning, lengket
21. F21 91-92 24,6 Warna hijau-kuning, lengket
22. F22 93-126 638,6 Warna hijau, lengket
23. F23 127-135 271,7 Warna hijau-kuning, lengket
24. F24 136-139 261 Warna hijau-kuning, lengket
25. F25 140-148 309,3 Warna hijau-coklat, lengket
26. F26 149-153 255,2 Warna hijau-kuning, lengket
27. F27 154-159 297,5 Warna hijau-kuning, lengket
Dilihat dari profil KLT, fraksi F11 merupakan senyawa utama dengan
jumlah sampel terbanyak yakni 5,1621 gram dan memiliki aktivitas antibakteri
dengan zona hambat sebesar 4,3 mm terhadap Staphylococcus aureus dan 4,5 mm
terhadap Salmonella enterica sv typhrimurium. Pada fraksi F11 ini tidak terbentuk
kristal, bentuknya masih seperti ekstrak kental dengan warna hijau dan larut
dalam etil asetat.
Hasil kromatografi kolom kedua terhadap fraksi F11 diperoleh 208 vial,
kemudian diperoleh 30 sub fraksi gabungan (F11.1-F11.30). Penggabungan fraksi
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
didasarkan memiliki pola bercak atau Rf yang sama. Semua fraksi yang diperoleh
tidak ada yang terbentuk kristal. Bobot masing-masing fraksi gabungan
ditunjukkan pada tabel 4.6. Profil KLT masing-masing fraksi yang telah
digabungkan dapat dilihat pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Profil KLT Semua Fraksi Gabungan (F11.1-F11.30) Kromatografi Kolom
Fraksi F11 dari Daun Garcinia benthami Pierre
Tabel 4.6 Bobot Fraksi Gabungan Kromatografi Kolom Fraksi F11 Garcinia benthami
Pierre
No. Fraksi Vial No. Bobot (mg) Karakteristik Fraksi
1. F11.1 1-5 2,9 Warna bening-kuning
2. F11.2 6-8 1,9 Warna bening-kuning
3. F11.3 9-13 3 Warna bening-kuning
4. F11.4 14-20 4,3 Warna hijau-abu-abu, lengket
5. F11.5 21-27 3,9 Warna hijau, lengket
6. F11.6 28-29 1,7 Warna hijau, lengket
7. F11.7 30-36 5,6 Warna hijau-coklat, lengket
8. F11.8 37-43 2,6 Warna hijau, lengket
9. F11.9 44-48 1,3 Warna hijau, lengket
10. F11.10 49-50 10 Warna hijau bening, lengket
11. F11.11 51-55 5,2 Warna hijau pekat, lengket
12. F11.12 56-70 62 Warna hijau, lengket
13. F11.13 71-72 194,3 Warna hijau-coklat, lengket
14. F11.14 73-77 1300,4 Warna hijau-coklat lengket
15. F11.15 78-79 624,2 Warna hijau-coklat, lengket
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16. F11.16 80-82 670,6 Warna hijau-coklat, lengket
17. F11.17 83-86 1079,8 Warna hijau, lengket
18. F11.18 87 81,7 Warna hijau-kuning, lengket
19 F11.19 88-90 230,6 Warna hijau-bening, lengket
20. F11.20 91-93 94,3 Warna hijau, lengket
21. F11.21 94-95 36,8 Warna hijau-coklat, lengket
22. F11.22 96-100 522,9 Warna hijau-coklat, lengket
23. F11.23 101-167 134,5 Warna hijau-coklat, lengket
24. F11.24 168-179 107,7 Warna hijau coklat, lengket
25. F11.25 180-181 28 Warna coklat, lengket
26. F11.26 182-185 24,4 Warna coklat, lengket
27. F11.27 186-192 64,8 Warna hijau, lengket
28. F11.28 193-196 9,5 Warna hijau, lengket
29. F11.29 197-200 27,1 Warna hijau pekat, lengket
30. F11.30 201-208 22,9 Warna hijau pekat, lengket
Terhadap semua fraksi hasil kromatografi kolom yang diperoleh dilakukan
uji aktivitas antibakteri dengan metode bioautografi non elusi terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Salmonella enterica sv typhimurium.
4.7 Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi
Dari kromatografi kolom pertama diperoleh 27 sub fraksi gabungan (F1-
F27) yang diujikan aktivitas antibakteri menggunakan metode bioautografi non
elusi. Diameter zona hambat yang ditunjukkan oleh fraksi dapat dilihat pada tabel
4.5. Konsentrasi fraksi yang digunakan 5 mg/mL (20 mg/mL-2,5 mg/mL) yang
dilarutkan dalam pealrut etil asetat (Valgas, C. et al., 2007). Konsentrasi
kloramfenikol sebagai kontrol positif 30 𝜇g/mL untuk bakteri Staphylococcus
aureus dan 200 𝜇g/mL untuk bakteri Salmonella enterica sv typhimurium.
Antibiotik kloramfenikol dipilih sebagai kontrol positif dikarenakan merupakan
antibiotik spektrum luas dan juga digunakan dalam pengobatan terhadap penyakit
demam tifoid di rumah sakit (Juwita, Silvan et al., 2013).
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.5 Hasil Uji Fraksi Gabungan Kromatografi Kolom Ekstrak Etil Asetat
Garcinia benthami Pierre; (a) terhadap bakteri Staphylococcus aureus, (b) terhadap
bakteri Salmonella enterica sv typhimurium
(a)
(b)
Tabel 4.7 Diameter Zona Hambat Fraksi Kromatografi Kolom Ekstrak Garcinia benthami
Fraksi
Rata-Rata Diameter Zona Hambat (mm)
Staphylococcus
aureus
Standar
Deviasi
Salmonella
enterica sv
typhimurium
Standar
Deviasi
F1 - - - -
F2 - - - -
F3 - - - -
F4 - - - -
F5 - - - -
F6 - - 5,75 0,071
F7 - - 5,45 0,354
F8 4 1,273 5,9 0,424
F9 4,45 0,636 5,35 0,495
F10 4 0 5,2 0,566
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18 19
20 21
20 21 22 23 24 25 26 27
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
F11 4,3 0,141 4,5 1,273
F12 8,02 3,182 4,3 1,273
F13 5,825 1,379 6,15 0,778
F14 3,7 0,989 5,2 0,283
F15 5,3 1,556 4,3 0,989
F16 8,7 0,495 5,65 0,636
F17 10,975 0,672 5,475 0,106
F18 6,675 2,015 5,7 0,566
F19 5,225 1,096 - -
F20 3,6 0 4,575 0,177
F21 2,875 0,955 3,575 0,247
F22 3,3 0 - -
F23 0,95 0,636 - -
F24 2,025 0,247 - -
F25 2,45 0,071 - -
F26 4,713 1.008 4,625 0,247
F27 - - - -
K+;
Kloramfenikol
19,35 - 18 -
K-; Etil Asetat - - - -
DMSO10% - - - -
Keterangan; - (tidak ada aktivitas)
Berdasarkan hasil uji diatas F11 memiliki aktivitas antibakteri dengan
diameter zona hambat sebesar 4,3 mm terhadap bakteri Staphylococcus aureus
dan 4,5 mm terhadap Salmonella enterica sv typhimurium serta merupakan
senyawa utama yang terdapat pada fraksi etil asetat dengan berat sampel
terbanyak yakni sebesar 5,1621 gram. Oleh karena itu, maka fraksi F11 dipilih
untuk dilakukan pemurnian dengan kromatografi kolom lebih lanjut.
Hasil kromatografi kolom kedua, yakni F11 diperoleh 30 sub fraksi
gabungan (F11.1-F11.30). Penggabungan fraksi didasarkan pada pola bercak atau
nilai Rf yang sama. Semua fraksi yang diperoleh dilakukan uji aktivitas
antibakteri dengan metode bioautografi non elusi. Semua fraksi uji dilarutkan
menggunakan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 5 mg/mL. Aktivitas
antibakteri fraksi F11.1 sampai F11.30 dapat dilihat pada tabel 4.7.
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(a)
(b)
Gambar 4.6 Hasil Uji Fraksi Gabungan Kromatografi Kolom Fraksi F11 Garcinia
benthami Pierre; (a) terhadap bakteri Staphylococcus aureus, (b) terhadap bakteri
Salmonella enterica sv typhimurium
(a) (b) (c)
Gambar 4.7 Kontrol Negatif DMSO 10% (a) dan Kontrol Positif Kloramfenikol; (b)
terhadap Staphylococcus aureus, (c) terhadap Salmonella enterica sv typhimurium
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 1 6 17 18
19 20 21 22 23 24 25 26 27
28 20 30
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.8 Diameter Zona Hambat Fraksi Kromatografi Kolom FA1.11 Ekstrak Garcinia
benthami
Fraksi
Diameter Zona Hambat (mm)
Staphylococcus
aureus
Standar
Deviasi
Salmonella
enteric sv
typhimurium
Standar
Deviasi
F11.1 - - - -
F11.2 - - - -
F11.3 - - - -
F11.4 - - - -
F11.5 - - 3,367 0,379
F11.6 - - - -
F11.7 4,417 1,075 1,8 1,179
F11.8 10,683 1,796 3,333 0,379
F11.9 5,133 0,152 2,95 0,390
F11.10 1,983 0,884 - -
F11.11 3,883 0,104 3,467 0,379
F11.12 3,167 0,635 6,9 1,127
F11.13 5,883 0,407 3,6 0,361
F11.14 7,95 0,676 7,85 0,304
F11.15 9,208 1,025 7,625 1,292
F11.16 9,433 0,85 7,983 0,863
F11.17 9,4 0,721 7,092 1,025
F11.18 8,717 0,909 5,95 0,912
F11.19 7,333 0,764 5,233 0,681
F11.20 7,283 0,465 5,8 0,462
F11.21 6,833 0,764 6,433 0,813
F11.22 8,033 0,153 4,867 0,289
F11.23 7,767 0,153 - -
F11.24 8,567 0,723 - -
F11.25 9,9 1,609 - -
F11.26 8,933 0,764 - -
F11.27 9,575 0,177 - -
F11.28 8,717 0,831 - -
F11.29 9,533 1,041 - -
F11.30 12,7 1,815 4,367 0,351
K+;
Kloramfenikol
17,9 - 18 -
K-; Etil Asetat - - - -
K-; DMSO 10% - - - -
Keterangan: - (tidak ada aktivitas)
Gambar diatas menunjukkan bahwa dari 30 sub fraksi kromatografi kolom
kedua, terdapat 24 fraksi yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri
Staphylococcus aureus, 17 fraksi yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Salmonella enterica sv typhtimurium, dan 16 fraksi yang memiliki aktivitas
antibakteri terhadap keduanya. Fraksi hasil fraksinasi kolom kedua tersebut
memiliki kepekaan yang berbeda-beda terhadap dua bakteri uji. Fraksi F11.1-
F11.4 dan F11.6 tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap kedua bakteri uji.
Fraksi F11.5 hanya memiliki aktivitas antibakteri terhadap Salmonella typhi.
Fraksi F11.23-F11.29 hanya memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus. Hal ini diduga karena perbedaan kemampuan senyawa
yang terkandung dalam fraksi untuk berdifusi dalam sel bakteri dan menimbulkan
penghambatan (Rifda dkk., 2005).
Gambar 4.8 Diagram Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Semua Fraksi Kromatografi Kolom
F11; A = jumlah fraksi yang aktif terhadap Staphylococcus aureus, B = jumlah fraksi
yang aktif terhadap Salmonella typhi, dan C = jumlah fraksi yang aktif terhadap S. aureus
dan S. typhi
Kontrol negatif yang digunakan adalah pelarut yang dapat melarutkan
ekstrak maupun fraksi dan pelarut yang melarutkan kontrol positif, yaitu n-
heksana, etil asetat, metanol, dan DMSO 10% (Valgas, C. et al., 2007). Tujuan
adanya kontrol negatif ini adalah sebagai pembanding bahwa pelarut tidak
mempengaruhi hasil uji aktivitas antibakteri. Dari hasil uji, kontrol negatif tidak
memberikan daya hambat terhadap bakteri uji karena tidak memberikan zona
bening terhadap daerah penotolan kontrol positif. Hasil tersebut mengindikasikan
bahwa kontrol negatif tidak mempengaruhi hasil uji aktivitas antibakteri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata zona hambat terhadap
Salmonella typhi lebih kecil dari pada terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Salmonella typhi (Gram negatif) lebih tahan
terhadap senyawa uji dibandingkan dengan Staphylococcus aureus (Gram positif).
24 1716
A C B
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sesuai dengan pernyataan Zuhud et al. (2001) bahwa bakteri Gram negatif
mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba
dibandingkan Gram positif.
Dari data tersebut diketahui bahwa fraksi F11.30 memiliki aktivitas
antibakteri dengan zona hambat terbesar terhadap bakteri Staphylococcus aureus
(12,7 mm; SD 1,815) dan fraksi F11.16 memiliki aktivitas antibakteri dengan
zona hambat terbesar terhadap bakteri Salmonella enterica sv typhimurium (7,983
mm; SD 0,863) dibandingkan dengan fraksi lainnya. Berdasarkan aktivitas
tersebut maka fraksi F11.30 dapat dilanjutkan untuk uji aktivitas antibakteri
metode bioautografi langsung dengan elusi terlebih dahulu (TLC-BD developed
plates) terhadap bakteri Staphyloccus aureus dan fraksi F11.16 terhadap bakteri
Salmonella enterica svtyphimurium untuk melihat nilai Rf yang aktif sebagai
antibakteri.
4.8 Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi dengan Zona Hambat Terbesar
Fraksi F11.30 dan Fraksi F11.16 diuji aktivitas antibakterinya menggunakan
metode bioautografi elusi (TLC-BD developed plates). Fraksi F11.30 diuji
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan fraksi F11.16 diuji terhadap bakteri
Salmonella enterica sv typhimurium. Konsentrasi fraksi yang digunakan sebesar 5
mg/mL. sebanyak 10 𝜇g/mL fraksi ditotolkan pada plat KLT berukuran 2 cm × 6
cm dengan jarak elusi 5 cm. Kemudian dielusi dengan eluen n-heksana:etil asetat
(9:1) untuk fraksi F11.30 dan n-heksana:etil asetat (4:6) untuk fraksi F11.16.
Eluen dipilih karena memberkan pola pemisahan bercak yang baik. Kemudian plat
didiamkan diruangan terbuka guna sisa eluen dapat menguap dengan sempurna.
Selanjutnya plat dicelupkan pada suspensi bakteri dan diletakkan dalam cawan
petri steril yang didalamnya telah terdapat kapan steril yang telah dibasahi dengan
aquadest steril. Plat diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Dan disemprotkan
reagen INT dan direinkubasi kembali pada suhu 370C selama 4 jam. Reagen INT
berfungsi dalam proses visualisasi zona hambat yang terbentuk. Kemudian
dihitung Rf dari zona hambat yang terbentuk. Pengerjaan dilakukan duplo.
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada fraksi F11.30 diketahui nilai Rf yang memberikan zona bening adalah
pada Rf 0,24. Pada Rf tersebut zona hambat yang terbentuk dimulai dari batas
bawah elusi hingga pertengahan. Dalam hal ini terjadi pelebaran zona bening yang
terbentuk, hal ini dimungkinkan karena pemisahan yang terbentuk belum
maksimal dan senyawa yang terkandung pada fraksi F11.30 belum merupakan
senyawa murni.
(a) (b)
Gambar 4.9 (a) KLT visualisasi UV 254 nm dan (b) Hasil Uji Antibakteri Metode Bioautografi
Elusi Fraksi F11.30 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 6528
Pada fraksi F11.16 diketahui nilai Rf yang memberikan zona bening pada
Rf 0,8. Pada Rf tersebut zona hambat yang terbentuk dimulai dari batas bawah
elusi hingga hampir batas atas. Dalam hal ini terjadi pelebaran zona bening yang
terbentuk, hal ini dimungkinkan karena banyaknya senyawa yang terkandung
pada fraksi F11.16. Hal ini dikarenakan masih terdapat beberapa pola bercak yang
terdapat pada hasil elusi fraksi F11.16 dengan campuran pelarut n-heksana:etil
asetat (4:6) (Gambar 4.11 (a)).
Adanya penghambatan aktivitas antibakteri dari fraksi diduga terjadi karena
adanya kandungan metabolit sekunder pada ekstrak etil asetat hasil uji
fitokimianya. Ekstrak etil asetat mengandung metabolit sekunder terpenoid,
Rf 0,24 Rf 0,24
Pengotor
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tannin, dan saponin dimana diketahui bahwa metabolit tersebut memiliki peran
penting dalam proses penghambatan terhadap bakteri.
Mekanisme tannin sebagai antibakteri adalah menghambat enzim reverse
transcriptase dan DNA topoisomerase sehingga sel bakteri tidak dapat terbentuk.
Tannin memiliki aktivitas antibakteri yang berhubungan dengan kemampuannya
untuk menginaktifkan enzim, dan mengganggu transport protein pada lapisan
dalam sel. Mekanisme terpenoid dalam menghambat antibakteri diduga dengan
melibatkan pemecahan komponen-komponen lipofilik. Senyawa terpenoid
memiliki target utama yaitu membran sitoplasma yang mengacu pada sifat
alamnya yang hidrofobik. Untuk mekanisme saponin dalam memberikan aktivitas
antibakteri adalah menurunkan tegangan permukaan sehingga mengakibatkan
naiknya permeabilitas atau kebocoran sel dan mengakibatkan senyawa intraseluler
akan keluar (Ngajow, M. et al., 2013).
(a) (b)
Gambar 4.10 (a) KLT visualisasi UV 254 nm dan (b) Hasil Uji Antibakteri Metode Bioautografi
Elusi Fraksi F11.16 terhadap Salmonella typhi ATCC 14028
Data di atas menunjukkan bahwa fraksi-fraksi dari ekstrak etil asetat daun
Garcinia benthami Pierre berpotensi menghasilkan senyawa antibakteri, sehingga
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan senyawa murni yang
berperan sebagai antibakteri.
Rf 0,8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Hasil isolasi ekstrak etil asetat dari daun Garcinia benthami Pierre dengan
kromatografi kolom kedua diperoleh 30 sub fraksi. Dan hasil pengujian
aktivitas antibakteri terhadap 30 sub fraksi tersebut, terdapat 24 fraksi yang
aktif terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538, 17 fraksi yang
aktif terhadap bakteri Salmonella enterica sv typhimurium ATCC 14028, 1
fraksi hanya memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcua aureus
ATCC 6538, 1 fraksi hanya aktif terhadap Salmonella enterica sv
typhimurium ATCC 14028, 5 fraksi yang tidak memiliki aktivitas terhadap
kedua bakteri uji dan dan 16 fraksi aktif terhadap keduanya.
2. Fraksi F11.30 memiliki aktivitas antibakteri tertinggi terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 6538 dengan zona hambat sebesar 12,7 mm
dan fraksi F11.16 memiliki aktivitas tertinggi terhadap Salmonella enterica
sv typhimurium ATCC 14028 dengan zona hambat sebesar 7,983 mm.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi senyawa aktif
antibakteri fraksi etil asetat dari daun Garcinia benthami pierre agar
diperoleh senyawa murni yang berperan sebagai antibakteri.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap fraksi F11.8 terhadap
bakteri Staphylococcus aureus.
3. Perlu dilakukan penelitian lebh lanjut terhadap fraksi menggunakan bakteri
Gram posit maupun Gram negatif lain.
4. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut terhadap bioaktivitas lain dari fraksi
yang diperoleh.
67
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Agustiningsih., Achmad W., Mindaningsih. 2010. Optimasi Cairan Penyari pada
Pembuatan Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifous Roxb)
Secara Maserasi Terhadap Kadar Fenolik dan Flavonoid Total.
Momentum, Vol. 6., No. 2: 36-41.
Ajrina, Aulia. 2013. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Metanol Daun Garcinia
benthami Pierre dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
Skripsi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akinrinde, Akinleye S., et al. 2015. Gastrointestinal protective efficacy of
Kolaviron (a bi-flavonoid from Garcinia kola) following a single
administration of sodium arsenite in rats: biochemical and
histopathological studies. Pharmacognosy Res., 7(3): 268-276.
Amelia, Puteri. 2011. Isolasi, Elusidasi Struktur dan Uji Aktivitas Antioksidan
Senyawa Kimia dari Daun Garcinia benthami Pierre. Tesis FMIPA
Universitas Indonesia, Depok.
Amelia, Putri., Berna Elya., Muhammad Hanafi. 2014. Antioxidative Activity of
Xanthone from Garcina benthami Pierre Leaves. International Journal of
PharmTech Research Vo. 7, No. 2: 254-257.
Anggraini, A. B. et al. 2006. The use of antibiotics in hospitalized adult typhoid
patients in an Indonesian hospital. Health Science Indones.
Arifin, Hadi Susilo dan Nobukazu Nakagoshi. 2011. Landscape Ecology and
Urban Biodiversity in Tropical Indonesian Cities. Springer 7: 33-43.
Black, Jacquelyn G. 2012. Microbiology Principes and Exploratios 8 edition.
USA: Wiley.
BPOM, 2008. Naturakos. Buletin Badan POM Vol. III, No. 7.
Brooks, L. L. et al. 1999. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika.
Cairns, D. 2004. Intisari kimia edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Campbell, Neil A., Jane B. Reece, dan Lawrence G. 2003. Mitchell. Biologi Edisi
Kelima Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Chanmahasathien, Wisinee. Et al. 2003. Prenylated xanthones from Garcinia
xanthochymus. Chem. Pharm. Bull, 51(11): 1332-1334.
Chen. Lih-Geeng., Ling-Ling Yang., Ching-Chiung Wang. 2008. Anti-
inflamatory activity of mangostins from Garcinia mangostana. Elsevier,
Food and Chemical Toxicology, 46: 688-693.
Chiang, Yi-Ming., Yueh-Hsiung Kuo., Shyuzo Oota, Yoshiyasu Fukuyama. 2003.
Xanthones and benzophenones from the stem of Garcinia multiflora. J.
Nat. Prod., 66: 1070-1073.
Choma, Irena M., Edyta M. Grzelak. 2010. Bioautography detection in thin layer
chromatography. Journal of Chromatography A Chroma-351708.
Choma, Irena M., Edyta M. Grzelak. 2011. Bioautography detection in thin layer
chromatography. Journal of Chromatography, 1218(19):2684-91.
Choma, Irena M., Wioleta Jesionek. 2015. TLC-Direct Bioautography as a high
throughput method for detection of antimicrobials in plants.
Chromatography, 2:225-238.
Choma, Irena. 2013. Thin layer chromatography hyphenated with bioassay.
Journal of AOAC International Vol., 96., No. 6.
Departemen Kesehatan RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta: Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
Dewanjee, Siakat et al.. 2015. Bioautography and its scope in the field of natural
product chemistry. Elsevier, Journal of Pharmaceutical Analysis 5 (2): 75-
84.
Ee, G. C. L., S. Daud., Y. H. Taufiq-Yap., N. H. Ismail., M. Rahmani. 2006.
Xanthones from Garcinia mangostana (Guttiferae). Natural Product
Research, Vol. 20, No. 12:1067-1073.
Elfita, Supriyatna., Husen H. Bahti., Dachriyanus. 2008. Diprenylated xanthone
from the stem bark of kandis gajah (Garcinia griffithi). Indo. J. Chem, 8,1:
97-100.
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Elya, Berna et al.. 2004. Two New Benzophenones From Garcinia benthami.
Journal of Tropical Medicinal Plants Vol. 5 (2): 229-231.
Elya, Berna et al.. 2006. Two New Xanthones from Garcinia rigida leaves.
Natural Product Research Vol. 20 (9): 788-79.
Elya, Berna et al.. 2009. Senyawa Triterpenoid dari Ekstrak N-Heksana Kulit
Batang Tanaman Garcinia benthami. MAKARA, Sains Vol. 13 No. 1:9-
12.
Freeman-Cook, Lisa and Kevin Freeman-Cook. 2006. Deadly deseases and
epidemics: Staphylococcus aureus infections. USA: Chelsea House
Publishers.
Fumio, Y., A. Toshiaki, Y. Yoshihiro, N. Hiroyuki. 2000. Antioxidative and anti-
glycatin activity of Garcinia indica fruit rind. Journal of Agriculture and
Food Chemistry, 48: 180-185.
Ganjar, I., G. Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gao, Xue-Mei., Ming-Zhu C., Ting Yu., Qui-Fen H., Jian-Xin P., Xue Du., Tian-
Cheng L., Kathy Qian Luo. 2013. A novel xanthone from Garcinia
oligantha. Helvetica Chimica Acta, Vol. 96.
Gilma, Alfred Goodman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC.
Gocan, S. 2002. Stationary Phases for Thin-Layer Chromatography. Journal of
Chromatographic Science, Vol. 4.
Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. 2007. At Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga.
Jakarta: Erlangga.
Gritter, R. J. et al. 1991. Introduction to Chromatography. Bandung: Penerbit ITB.
Gupita, C. N., A. Rahayuni. 2012. Pengaruh berbagai pH sari buah dan suhu
pasteurisasi terhadap aktivitas antioksidan dan tingkat penerimaan sari
kulit buah manggis. Journal of Nutrition College, Vol. 1(1): 67-79.
Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Mod
ern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.
Harris, L. G., S. J. Foster., R. G. Richards. 2002. An introduction to
Staphylococcus aureus, and techniques for identifying and quantifying S.
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
aureus adhesions in relation to adhesion to biomaterials: review. European
Cells and Materials, Vol. 4: 39-60.
Harrison, Leslie J., Lup-San L., Yuan-Wah L., Guat-Lee S., Keng-Yeow S.,
Hught T-W T. 1994. Xanthone and flavonoid constituents of Garcinia
dulcis (Guttiferae). Natural Product Letters, Vol. 5: 111-116.
Heinrich, et al. 2004. Fundamental of Pharmacognocy and Phytotherapy.
Philadeplia: Elsevier.
Hemshekhar, M et al.. 2011. An Overview on Genus Garcinia: Phytochemical
and Therapeutical Aspects. Springer, Phytochem Rev 10: 325-351.
Herdiyeni, Y., Elvira Nurfadhilah, Ervizal A. M. Zuhud, Ellyn K. Damayanti,
Koheu Arai, and Hiroshi Okumura. 2013. A Computer Aided System for
Tropical Leaf Medicinal Plant Identification. International Journal on
Advanced Science, Engineering and Information Technology Vol. 3 No. 1
ISSN: 2088-5334.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III. Cetakan ke 1, Badan
Litbang Kehutanan Jakarta. Departemen Kehutanan. Gatot Subroto.
Jakarta: 1374-1380.
Hostettman, K. et al. 1995. Cara Kromatografi Preparatif: Penggunaan Pada
Isolasi Senyawa Alam. Bandung: Penerbit ITB.
Ismail, Sabariah. 2011. An antimicrobial compound isolated from Cinnamomum
iners leaves with activity against methicillin-resistance Staphylococcus
aureus. Molecules Journal.
Iswari, K., Sudaryono, T. 2007. BPTP SUMBAR: 4 jenis olahan manggis, si ratu
buah dunia dari Sumbar. Tabloid Sinar Tani, 22 Agustus 2007.
Jawetz, E., J. L. Melnick., E. A. Adelberg. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta: Salemba Medika.
Jena, B. S., Jayaprakasha., G. K., T. P. Singh., Sakariah, K. K. 2002. Chemistry
and biochemistry of (-)-hydroxycitric acid from Garcinia. Journal of
Agriculture and Food Chemistry, 50: 10-22.
Jesionek, Wioleta et al.. 2014. Screening Bacterial and Radical Scavenging
Properties of Chosen Plant Extract Using Thin-Layer Chromatography-
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Direct Bioautography. Taylor and Francis, Journal of Liquid
Chromatography and Related Technologies, 37: 2882-2891.
Juwita, Silvan., Edi Hartoyo., Lia Yulia Budiarti. 2013. Pola sensitivitas in vitro
Salmonella typhi terhadap antibiotik kloramfenikol, amoksisilin, dan
kotrimoksazol. Berkala Kedokteran, Vol. 9, No. 1.
Kaikabo. A. A., J. N. Eloff. 2011. Antibacterial activity of two biflavonoids from
Garcinia livingstonei leaves against Mycobacterium smegmatis. Journal of
Ethnopharmacology, 138:253-255.
Katzung. B. G. 2004. Farmakologi dasar dan klinik buku edisi 8. Surabaya:
Salemba Medika.
Kee, Joyce L. dan Evelyn R. Hayes. 1994. Farmakologi: Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Komala, I. et al. 2010. Cytotoxic, radical scaveging and antimicrobial activities of
sesquiterpenoids from the Tahitian liverwort Mastigophora diclados
(Brid.) Ness (Mastigophoraceae). J. Nat. Med, 64:417-422.
Kumar, Shashank., Abhay K. Pandey. 2013. Chemistry and biological activities of
flavonoids: an overview. Hindawi Publishing Corporation, The Scientific
World Journal.
Leboffe, Michael J., Burton E. Pierce. 2010. Microbiology laboratory theory and
application. USA: Morton Publishing Company.
Lee, Kyoung Ah., Sun-Hee M., Joo-Yeon L., Kee-Tae K., Yong-Sun P., Hyun-
Dong P. 2013. Antibacterial activity of a novel flavonoid, 7-O-butil
naringenin, against methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Food Sci. Biotechnol, 22(6): 1725-1728.
Linuma and Tosa. Tanaka and Yonemori. 1994. Two xanthones from root bark of
Calophyllum inophyllum. Phytochemistry, Vol. 35, No.2: 527-532.
Mackeen, M. M et al., 2000. Antimicrobial, antioxidant, antitumour-promoting
and cytotoxic activities of different plant part extract of Garcinia
atroviridis Griff. Ex T. Anders. Elsevier, Journal of Ethnopharmacology
72: 395-402.
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Materia Medika. 1980. Meteria Medika Indonesia, Jilid IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Materia Medika. 1995. Meteria Medika Indonesia, Jilid VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Mertaniasih, N. M. et al.. 1996. Kepekaan Mikroba dari Akne vulgaris terhadap
Beberapa Antibioktika. Media IDI, 21 (2): 9-11.
Min-Hsiung P., Won-Ling C., Shoei-Yn Lin-Shiau, Chi-Tang Ho, and Jen-Kun
Lin. 2001. Induction of Apoptosis by Garcinol and Curcumin through
Cytochrome c Release and Activation of Caspases in Human Leukemia
HL-60 Cells. Journal of Agriculture Food Chemistry. 49: 1464-1474.
Muharni dan Elfita. 2011. Triterpenoid 𝛽-amirin dari kulit batang Garcinia
bancana Miq. Jurnal Penelitian Sains, Vol 14 (4C).
Mutyani, Nurraisya. 2013. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etil Asetat Daun Garcinia
benthami Pierre dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
Skripsi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Na, Zhi., Qishi Song., Huabin Hu. 2013. Aa new prenilated xhantone from latex
of Garcinia cowa Roxb. Record of natural products, 7, 3: 220-224.
Naldoni, F. J. et al. 2009. Antimicrobial activity of benzophenones and extracts
from the fruits of Garcinia bresiliensis. Journal of medical food, 12(2):
403-407.
Ngajow, Mercy dkk. 2013. Pengaruh antibakteri ekstrak kulit batang Matoa
terhadap bakteri S. aureus secara in vitro. Jurnal MIPA Unsrat.
Nilar. Lien-Hoa D. Nguyen. Ganpathi Venkatraman, Keng-Yeow Sim, Leslie J.
Harrison. 2005. Xanthones and benzophenones from Garcinia grifftithii
and Garcinia mangostana. Elsevier, Phytochemistry, 66:1718-1723..
Nugroho, B. W., Dadang., Prijono, D. 1999. Pengembangan dan pemanfaatan
insektisida alami. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, IPB. Bogor.
Pers, Siaran. Lokakarya Nasional Tanaman Obat Indonesia. Kementrian
Kehutanan: News 22 Juli 2010.
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/7043 diakses Senin, 10
November 2014 pukul 05.05 WIB.
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Poeloengan, M. et al.. Aktivitas Air Perasan, Minyak Atsiri dan Ekstrak Etanol
Daun Sirih Terhadap Bakteri yang Diisolasi dari Sapi Mastitis Subklinis.
Seminar Nasinal Teknologi Pertenakan dan Veteriner.
Pratiwi, Sylvia T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta:Erlangga.
Qing-Long Guo et al. Inhibition of human telomerase reverse transcriptase
expression by gambogic acid in human hepatoma SMMMC-7721 cells.
Life Sciences, XX: 1-9.
Rachman, I., 2003. Sumber Koleksi Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat
Penelitian Biologi-LIPI, Bogor.
Rai, Mahendra et al.. 2012. Medicinal Plants: Biodiversity and Drugs. CRC Press:
Taylor & Francis Group, LLC. London.
Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.
Rizqillah, Nur. 2013. Uji Toksisitas Akut Ekstrak n-Heksana Daun Garcinia
benthami Pierre terhadap Larva Artemia salina dengan metode Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT). Skripsi FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Rubin, E.. 2001. Essential Pathology. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins: 205.
Saifudin, Azis. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam. Yogyakarta: Garaha Ilmu.
Sari, R. 1999. Koleksi Garcinia Kebun Raya Bogor: Konservasi dan Potensi.
Prosiding Seminar Nasional Konservasi Flora Nusantara. Balai
Pengembangan Kebun Raya, Lembaga Pengetahuan Indonesia, Bogor:
217-221.
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kromatografi. Yogyakarta: Penerbit Liberty
Yogyakarta.
Smith, Ann C. dan Marise A. Hussey. 2005. Gram Stain Protocols. American
Societry for Microbiology (ASM) Microbe Library (diakses Senin, 6 Juli
2015 pukul 04:36 WIB).
Smith, F. J., A. Braithwaite. 1999. Chromatographic Methods. London: Kluwer
Academic Publisher.
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Soemiati, A., Soleh K., M. Hanafi. 2006. Senyawa triterpenoid dan asam 3
hidroksi-isonikotinat dari ekstrak diklorometan akar Garcinia picrorrhiza
Miq. Jurnal Bahan Alam Indonesia, Vol. 6, No. 2.
Soesilo, Slamet. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Sosef, M. S. M., Hong, L. T. and Prawirohatmodjo, S. 1998. PROSEA (Plant
Resources of South East Asia) Timber Trees: Lesser – Known
Timber. Backhuys Publisher, Leyden. (3) 246-249.
Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung:
Penerbit ITB.
Subandi, M. 2010. Mikrobiologi: Perkembangan, Kajian, dan Pengamatan dalam
Persfektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sudirman, Lisdar I.. 2005. Deteksi Senyawa Antimikroba yang Diisolasi dari
Beberapa Lentinus Tropis dengan Metode Bioautografi. Hayati, Juni Vol.
12 No. 2: 67-72.
Sukatta, U. et al. 2008. Development of Mangosteen Anti-Acne Gel. Kasetsart J.
(Nat. Sci.) 42: 163-168.
Taher, Muhammad et al., 2012. Apoptosis, antimicrobial and antioxidant activities
of phytochemicals from Garcinia malaccensis Hk.f. Elsevier, Asian Pacific
Journal of Tropical Medicine: 136-141.
Thakur, Vijay Kumar. Lignocellulosic polymer composites: prcessing,
characterization, and properties. Canada: Wiley.
Tiwari, P. Kumar et al. 2011. Phytochemical Screening and Extraction: A Riview.
Internationale Pharmaceutica Science, Vol. 1 Issue 1.
Todar, K. 2008. Staphylococcus aureus and Staphylococcus desease. USA:
Winconsin, Madison.
Townshend, A. 1995. Encyclopedia of Analytical Science Vol. 2. London:
Academic Press Inc.
Valgas, Cleidson et al. 2007. Screening Methods to Determine Antibacterial
Activity of Natural Products. Brazilian Journal of Microbiology 38: 369-
380.
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vatcharin R., Somsak S., Pueksa K. and Souwalak, P. 2005. Friedolanostanes and
Lanostanes from the Leaves of Garcinia hombroniana. Journal of Natural
Product. 68: 1222-1225.
Vierhejj, E. W. M., Coronel, R. E., 1992. PROSEA (Plant Resources Of South
East Asia) No. 2: Edible Fruits and Nuts, Bogor. 17 5-179.
Wardani, L. K., N. Sulistyani. 2012. Uji aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat
daun Binahong (Anredera scandens (L.) Moq.) terhadap Shigella flexneri
beserta profil kromatografi lapis tipis. Jurnal ilmiah kefarmasian, Vol.
2(1): 1-6.
Weng J., Chun-Nan Lin, Lo-Ti Tsao, and Jih-Pyang Wang. 2003. Novel and
Anti-Inflammatory Constituents of Garcinia subelliptica. Chemistry
Europe Journal. 9: 1958-1963.
Yaouwapa, S. VatcharinR., Souwalak P. 2005. Antibacterial caged-tetraprenylated
xanthones from the fruits of Garcinia hanburyi. Chem. Pharm. Bull.,
53(7):850-852.
Yuwono, Triwibowo. 2011. Biologi Molekular. Jakarta: Erlangga.
Zhang, Shuping et al. 2003. Molecular Pathogenesis of Salmonella enterica
serotype typhimurium-induced diarrhea. Infection and Immunity, Vol. 71,
No. 1: 1-12.
Zuhud, et al. 2001. Aktivitas antimikroba ekstrak Kedawung (Parkia roxburghii
G. Don) terhadap bakteri patogen. Jurnal teknologi dan industri pangan,
Vol. XII, No. 1: 6.
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN 1. Hasil Determinasi Tumbuhan
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN 2. Alur Penelitian
Daun Segar Garcinia
benthami Pierre
Determinasi Penyiapan Simplisia Sortasi Basah
Pengeringan Sortasi
Kering Penyerbukan
Serbuk Simplisia Ekstraksi
Ekstrak Etil Asetat Ekstrak n-Heksana Ekstrak Metanol
Penetapan Kadar Air
dan Penapisan
Fitokimia
Uji Aktivitas Antibakteri
dengan Metode
Bioautografi
Ekstrak Aktif Antibakteri
Kromatografi Kolom
Fraksinasi dengan
Kromatografi Kolom
Fraksi
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN 3. Proses Ekstaksi Daun Garcinia benthami Pierre dan Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak
Serbuk
Simplisia
Maserasi
n-Heksana
Ampas Filtrat
Etil Asetat
Ampas Filtrat
Metanol
Ampas Filtrat
Vaccum Rotary
Evaporator
Ekstrak Kental; Ekstrak
n-Heksana, Ekstrak Etil
Asetat, Ekstrak Metanol
Uji Aktivitas Antibakteri
Metode Bioautografi
Ekstrak Etil Asetat Kromatografi Kolom
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN 4. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat
Ekstrak Etil Asetat
Kromatografi Kolom
Fraksi
F1(1-4) F2(5) F3(6) F4(7-9) F5(10-16)
F6(17-18) F7(19-20) F8(21-23) F9(24-30)
F10(31-36) F11(37-60) F12-F27
Uji Bioautografi
Non Elusi
Kromatografi Kolom
Fraksi
F11 dipilih karena:
senyawa utama, bobot
terbesar 5,1621 gram,
dan memiliki aktivitas
antibakteri F11.1-
F11.15 F11.16
F11.17-
F11.29 F11.30
Uji Bioautografi Elusi
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN 5. Perhitungan Rendemen Ekstrak
1. Ekstrak n-heksana
Rendemen ekstrak (%) =berat ekstrak yang diperoleh (g)
berat serbuk yang diekstrasi (g)× 100%
Rendemen ekstrak (%) =17,8254 g
1188 g× 100%
Rendemen ekstrak (%) = 1,5004%
2. Ekstrak etil asetat
Rendemen ekstrak (%) =berat ekstrak yang diperoleh (g)
berat serbuk yang diekstrasi (g)× 100%
Rendemen ekstrak (%) =80,9839 g
1188 g× 100%
Rendemen ekstrak (%) = 6,8168%
3. Ekstrak metanol
Rendemen ekstrak (%)=berat ekstrak yang diperoleh (g)
berat serbuk yang diekstrasi (g)× 100%
Rendemen ekstrak (%) =81,70g
688,63g× 100%
Rendemen ekstrak (%) = 11,86%
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Perhitungan Kadar Air Ekstrak
A. Perhitungan Kadar Air Ekstrak N-heksana
1. Kadar air ekstrak n-heksan
=berat ekstrak awal g − berat ekstrak setelah konstan (g)
berat ekstrak awal (g)× 100%
=0,503 − 0,492
0,503× 100%
= 2,186%
2. Kadar air ekstrak n-heksan
=berat ekstrak awal g − berat ekstrak setelah konstan (g)
berat ekstrak awal (g)× 100%
=0,501 − 0,493
0,501× 100%
= 1,596%
Rata-rata kadar air ekstrak n-heksan 1,891%
B. Perhitungan Kadar Air Ekstrak Etil Asetat
1. Kadar air ekstrak etil asetat
=berat ekstrak awal g − berat ekstrak setelah konstan g
berat ekstrak awal g × 100%
=0,500 − 0,458
0,500× 100%
= 8,4%
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Kadar air ekstrak etil asetat
=berat ekstrak awal g − berat ekstrak setelah konstan g
berat ekstrak awal g × 100%
=0,500 − 0,455
0,500× 100%
= 9%
Rata-rata kadar air ekstrak etil asetat 8,7%
C. Perhitungan Kadar Air Ekstrak Metanol
1. Kadar air ekstrak metanol
=berat ekstrak awal g − berat ekstrak setelah konstan g
berat ekstrak awal g × 100%
=1,001 − 0,882
1,001× 100%
= 11,8%
2. Kadar air ekstrak metanol
=berat ekstrak awal g − berat ekstrak setelah konstan g
berat ekstrak awal g
× 100% =1,00 − 0,92
1,00× 100%
= 8,1%
Rata-rata kadar air ekstrak metanol 9,95%