Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
ABSTRAK
Siti Khodijah. NIM 11140460000039. RESPON PRAKTISI PADA
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MELALUI
LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
INDONESIA (LAPSPI). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439/2018. viii + 84
halaman 23 lampiran.
Perkembangan Perbankan Syariah yang begitu signifikan tentunya
membawa konsekuensi kemungkinan akan terjadinya suatu masalah yang dapat
menimbulkan sengketa dalam kegiatan transaksi perbankan. Sengketa muncul
diakibatkan oleh berbagai alasan dan masalah, terutama karena adanya conflict of
interest diantara para pihak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis serta
mengkaji mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang terjadi di sektor
perbankan, serta mengkaji keberadaan forum alternatif penyelesaian sengketa
yang diamanahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), apakah peraturan tersebut
menjadi ketidakjelasan pengaturandengan peraturan lain mengenai penyelesaian
sengketa atau tidak, implikasi hukum, dan seberapa efektif keberadaan dari
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan
normatif empiris, dan menggunakan teknik pengumpulan data dengan melakukan
kajian dengan cara studi pustaka, studi lapangan, dengan tahap wawancara, dan
melakukan studi dokumen pada objek yang diteliti.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suatu peraturan baru mengenai
penyelesaian sengketa tidak mengakibatkan ketidakjelasan dengan peraturan lain,
bahkan saling menyempurnakan. Namun khusus mengenai peraturan lembaga
alternatif penyelesaian sengketa perbankan indonesia diharuskan bagi seluruh
sektor perbankan sudah dapat menerapkan, karena lembaga tersebut menjadi
wadah bagi sektor perbankan, nyatanya sampai sekarang hanya sedikit perbankan
syariah yang menerapkan, dikarenakan keberadaan lembaga tersebut cukup baru,
dan belum adanya klausula kontrak yang mewajibkan seluruh perbankan
menggunakannya.
Kata Kunci : Respon Praktisi, Sengketa Perbankan Syariah, Lapspi
Pembimbing : Mustholih, SH.I, MH, CLA
Daftar Pustaka : Tahun 1997 s.d tahun 2018
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirahiim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat Rahman dan Rahim-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan
judul “PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MELALUI
LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
INDONESIA (LAPSPI) : STUDI PADA PT. BANK BNI SYARIAH”. Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW semoga
kesejahteraan menyelimuti keluarga dan sahabat Nabi beserta seluruh
pengikutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna karena keterbatasan dan kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh
penulis. Meskipun demikian, penulis telah memberikan yang terbaik dengan
harapan yang terbaik atas hasil penelitian ini.
Disamping itu, selama proses penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak yang memberikan doa, bimbingan, dan motivasi
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yag telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini. Secara khusus, penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta.
2. Bapak A.M Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Prodi Hukum Ekonomi
Syariah dan Bapak Dr. Abdurrouf, M.A., selaku Sekretaris Prodi Hukum
Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidatullah Jakarta yang telah memberikan arahan dan membantu
penulis secara tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
3. Bapak Mustolih, SH.I, MH, CLA., selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa sabar dalam memberikan bimbingan serta masukan atau saran-
saran yang baik sehingga skripsi ini dapat selesai.
4. Bapak Dr. Syahrul Adam, M.A., selaku dosen penasehat akademik yang
selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.
5. Kepada seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
mentransfer ilmu bermanfaat dengan ikhlas kepada penulis.
6. Segenap jajaran Staf dan Karyawan akademik, Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu
penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai baha rujukan skripsi.
7. Bapak Himawan E Subaintoro selaku Ketua LAPSPI, dan Bapak Bayu
Septian, Manager Litigation Divisi Hukum Bank BNI Syariah yang
senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa diwawancarai dan
penjelasan serta arahan dan saran selama penulis melakukan wawancara.
8. Ayahanda Hendri dan Bunda Sumarni yang dengan tulus mendoakan,
mendukung, dan memberikan segalanya kepada penulis, agar ananda dapat
menyelesaikan skripsi ini, Almh. Ibu tercinta RD. Warni berada di
Syurganya Illahi yang menjadikan motivasi penulis dan skripsi ini ananda
persembahan untuk beliau, serta Abangku Muhamad Ridwan, Adikku
Ikhlassul Amal, dan Nenek yang selalu memberikan semangat dan
keceriaan selalu kepada penulis.
9. Kepada Muhamad Reza Palepi S.Ag yang selalu memberikan motivasi,
semangat, serta doa kepada penulis agar skripsi dapat diselesaikan.
10. Kepada Thoivah Nibras yang selalu menemani penulis dalam mencari data
dan memberikan saran terkait proses penelitian, dan Mumtaz Chairunissa,
Fikrotul Jadidah yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi sampai pada tahap akhir proses pembuatan skripsi.
11. Temen-temen Hukum Ekonomi Syariah (A) angkatan 2014 yang telah
memberikan dukungan moril kepada penulis, khususnya Maya Agustina,
vii
Khadijah Nurarafah, Asyifa Delya, Nurfaiqoh, Wienda, Ismy, Faizah
Eferdy.
12. Keluarga besar Karya Salemba Empat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta (KSE UIN JKT) yang telah memberikan dukungan
baik moril dan terutama materiil kepada penulis dari tahun 2015 sampai
sekarang sehingga penulis dapat tercukupi untuk keperluan serta
kebutuhan dalam pembuatan skripsi.
13. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, penulis berharap
semoga hasil karya ini bisa bermanfaat bagi pihak-pihak yan terkait. Khususnya
bagi peneliti-peneliti yang ingin mengembangkan dan tertarik dengan penelitian
ini menjadi awal untuk melalukan studi berikutnya.
Teriring doa semoga amal yang telah kita lakukan menjadi amal yang tiada
putus pahalanya serta bermanfaat untuk kita semua baik di dunia dan dia akhirat.
Aamiin.
Ciputat, 9 Mei 2018
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................. 11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................... 13
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 13
E. Tinjauan (Review) Terdahulu ............................................... 14
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual .......................... 17
G. Metode Penelitian................................................................. 23
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 27
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENYELESAIAN
SENGKETA ............................................................................... 29
A. Tinjauan Umum Tentang Sengketa ...................................... 29
B. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa ................ 31
1. Internal Dispute Resolution ............................................ 33
2. Eksternal Dispute Resolution ......................................... 35
a. Litigasi ..................................................................... 35
b. Nonlitigasi ................................................................ 37
C. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan ............................................................. 45
vi
BAB III GAMBARAN MENGENAI LEMBAGA ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
(LAPSPI) .................................................................................... 48
A. Sejarah singkat berdirinya lembaga alternative penyelesaian
sengketa perbankan Indonesia (LAPSPI) ............................ 48
B. Visi dan Misi ........................................................................ 49
C. Struktur Organisasi .............................................................. 50
D. Hak dan Kewajiban Anggota ............................................... 53
E. Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) ...... 54
BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
SYARIAH MELALUI LEMBAGA ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
(LAPSPI) PADA PT. BANK SYARIAH ................................. 57
A. Analisis penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui
jalur internal dispute resolution pada PT. Bank BNI Syariah
dan Jalur eksternal dispute resolution pada lembaga
alternative penyelesaian sengketa perbankan Indonesia
(LAPSPI) .............................................................................. 57
B. Analisis Implikasi Hukum Adanya Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ...... 67
BAB V PENUTUP .................................................................................. 76
A. Simpulan .............................................................................. 76
B. Saran ..................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 79
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pengaduan Nasabah Perbankan .............................................................. 4
Tabel 1.2 Laporan Kasus Perbankan ....................................................................... 4
Tabel 1.3 Data Pengaduan Layanan Lembaga Jasa Keuangan ............................... 5
Tabel 1.4 Data penyelesaian Sengketa Basyarnas .................................................. 7
Tabel 2. 1 Daftar LAPS Sektor Jasa Keuangan .................................................... 46
Tabel 4. 1 Klasifikasi Penyelesaian Pengaduan Jasa Keuangan ........................... 61
Tabel 4.2 Kelebihan dan Kekurangan Lembaga Penyelesaian ............................. 68
viii
DAFTAR GAMBAR
3. 1 Struktur Organisasi LAPSPI .......................................................................... 50
4. 1 Alur Penyampaian dan Penyelesaian Pengaduan ........................................... 59
1
BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan memiliki peran strategis dalam kegiatan pembangunan
khususnya di dalam sistem keuangan nasional. Sebagaimana diamanatkan di
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 pasal 2 tentang Perbankan, fungsi utama perbankan
adalah sebagai lembaga intermediasi yaitu lembaga yang menghubungkan
masyarakat yang mengalami kelebihan dana (surplus of fund) dengan
masyarakat yang mengalami kekurangan dana (lack of fund).
Adapun Bank Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip/aturan/perjanjian berdasarkan
hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah (BUS) dan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).1 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 2 menyatakan bahwa
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, kemudian berdasarkan
Pasal 3 tujuan dalam pembentukan perbankan syariah untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Perkembangan Perbankan Syariah yang begitu signifikan tentunya
membawa konsekuensi kemungkinan akan terjadinya suatu masalah yang
dapat menimbulkan sengketa dalam kegiatan transaksi perbankan. Sengketa
muncul diakibatkan oleh berbagai alasan dan masalah, terutama karena
adanya conflict of interest diantara para pihak. Selain itu interaksi yang
1 Ita Tresnawati, Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT.
Bank Mandiri Syariah di Surakarta, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-
Desember 2015, h., 75
2
sedemikian intensif pula antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah
sebagai konsumen pengguna jasa perbankan dapat menimbulkan peluang
terjadi friksi atau pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat. Dalam
keadaan seperti ini apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi
sengketa. Jika dilihat dalam konteks kegiatan transaksional perbankan
syariah, sengketa antara nasabah dan bank selama ini lebih banyak
diakibatkan oleh tiga hal yaitu:2 (1) adanya perbedaan penafsiran mengenai
akad yang sudah disepakati, (2) adanya perselisihan ketika transaksi sudah
berjalan, dan (3) adanya kerugian yang dialami salah satu pihak sehingga
melakukan wanprestasi.
Dalam hal ini, apabila menjadi suatu sengketa nasabah senantiasa
berada pada posisi yang lemah di hadapan bank. Lemahnya posisi nasabah
banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek atau faktor. Posisi nasabah yang
lemah itu berpengaruh terhadap perilaku konsumen, baik secara langsung
maupun tak langsung, yang pada akhirnya akan menyadarkan kita bahwa
kepentingan dan hak-hak konsumen perlu diberikan perlindungan hukum.3
Perlindungan terhadap nasabah yang dirugikan menjadi sangat
berpengaruh terhadap industri perbankan. Nasabah adalah satu-satunya
konsumen produk perbankan. Dalam hubungannya dengan nasabah, bank
mengandung risiko reputasi,4 hal ini dikarenakan bisnis perbankan sangat
berkaitan dengan kepercayaan. Apabila masyarakat percaya pada suatu bank,
maka mereka akan merasa aman menjadi nasabah bank yang bersangkutan,
sebaliknya ketidakpercayaan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan bisnis sebuah bank.5
2 Khopiatuziadah, Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Jurnal
Legislasi Indonesia. Vol. 10, No. 3, 2013, h., 273 3 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit
UNILA, Bandarlampung, 2007, h., 12 4 Risiko Reputasi (Reputation Risk) adalah salah satu jenis risiko bank yang disebabkan
adanya publikasi negatif yang terkaitan dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap
bank. 5 Herliana, Peran Bank Indonesia Sebagai Pelaksana Mediasi dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan, Mimbar Hukum, Vol 22 No.1 1 Februari 2010, h., 141
3
Terkait dengan dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah, Bank
Indonesia pada tahun 2006 mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
No.8/5/PBI/2006 Indonesia No. 10/1/PBI/2008. Proses penyelesaian mediasi
perbankan ini berlaku bagi bank umum syariah dan konvensional. Bank
Indonesia netral dan memotivasi para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketanya, Bank Indonesia tidak memberi rekomendasi atau
putusan, putusan mediasi memang murni dari kesepakatan para pihak yang
bersengketa kemudian menandatangani akta kesepakatan yang harus dipatuhi
oleh kedua belah pihak. Peran Bank Indonesia cukup efektif, terlihat bahwa
banyak yang melaporkan diselesaikan secara damai, tetapi masih banyak
masyarakat pula yang tidak mengetahui keberadaan mediasi tersebut.6
Kemudian pada tanggal 31 Desember 2013 secara sah dan
ditandatangani langsung Berita Acara Serah Terima (BAST) oleh Gubernur
Bank Indonesia (Agus D. W. Martowardojo) dan Ketua Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan (Muliaman D. Hadad), atas peralihan fungsi
pengaturan dan pengawasan dari Bank Indonesia (BI) kepada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Pengawasan terhadap individual bank (mikroprudential)
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun pengawasan terhadap
makroprudential tetap dilakukan oleh Bank Indonesia, dan berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan.7 Dengan beralihnya fungsi, tugas dan
wewenang pengawasan perbankan dari Bank Indonesia (BI) kepada Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), maka fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia
dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan, maka kemudian OJK dengan
melakukan upaya ikhtiar demi untuk melindungi kepentingan konsumen,
masyarakat dan pihak bank maka dikeluarkanlah peraturan Nomor
1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).
POJK ini mengatur mekanisme penyelesaian sengketa antar Lembaga Jasa
6 Herliana, Peran Bank Indonesia Sebagai Pelaksana Mediasi dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan, Mimbar Hukum, Vol 22 No.1, 2010 7 Siaran Pers Bersama No.15/56/DKom
4
Keuangan, termasuk perbankan dengan konsumen baik internal maupun
eksternal.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), sepanjang 2007 pengaduan
dari nasabah sebanyak 64.288 pengaduan, dari jumlah tersebut 97,8% adalah
pengaduan nasabah di bidang sistem pembayaran. Sisanya, pengaduan di
bidang penghimpunan dana, penyaluran dana, produk kerjasama dan produk
lainnya.
Tabel 1.1 : Pengaduan nasabah perbankan
Pengaduan nasabah perbankan
Bentuk pengaduan Jumlah %
Sistem pembayaran 97,78
Penghimpunan dana 1,36
Penyaluran dana 0,53
Produk kerja sama 0,29
Produk lainnya 0,03
Sumber : Laporan Bank Indonesia, November 2007
Dari seluruh pengaduan, permintaan penyelesaian dengan cara mediasi
sebanyak 200 kasus. Sampai akhir 2007, BI telah meyelesaikan 90% kasus.
Umunya pengaduan sistem pembayaran terkait layanan ATM.
Tabel 1.2 : Laporan Kasus Perbankan
Bentuk Kasus Jumlah %
Sistem pembayaran 44
Penghimpunan dana 17
Penyaluran dana 17
Produk kerja sama 15
Produk lainnya 7
Sumber : Laporan Bank Indonesia, November 2007
Namun hingga kini, penulis dapatkan data bahwa Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sudah menerima setidaknya 8.832 pengaduan dari
5
masyarakat. Pengaduan tersebut merupakan akumulasi sejak tahun 2013
hingga 1 Agustus 2018 :8
Tabel 1.3 : Data Pengaduan Layanan Lembaga Jasa Keuangan
Pengaduan 2013 - 2018 Jumlah %
Layanan Perbankan 53,3 %
Layanan Asuransi 25,8 %
Layanan Pembiayaan 12,7 %
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan
Keluhan terbanyak terkait mengenai pembiayaan nasabah atau kredit
nasabah di lingkup perbankan, banyak diantara nasabah yang merasa
keberatan jika agunannya dilelang terkait pembiayaan macet atau kredit
macet. Maka dengan adanya sengketa tersebut lebih baik sebisa mungkin
dapat ditangani secara internal antar nasabah dengan bank yang bersangkutan
Dalam hal ini bank diharuskan merespon dan menyelesaikan setiap
keluhan dan pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang berkaitan
dengan transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut.
Perkembangan penyelesaian sengketa beberapa tahun terakhir ini tampaknya
tidak hanya terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang, akan tetapi
terjadi juga pada kehidupan masyarakat yang sudah maju atau modern.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan tampaknya kurang memperoleh
kepercayaan yang penuh dari masyarakat. Dalam hal lembaga peradilan yang
berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah di Indonesia adalah
Peradilan Agama atau disebut litigation process.
Penyelesaian sengketa dalam dunia perbankan dapat diselesaikan
melalui jalur litigasi (pengadilan) dan jalur di luar pengadilan
(nonlitigasi/alternatif sengketa). Penyelesaian sengketa pertama kali
dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 60-an diakibatkan karena
proses di pengadilan yang lama dan berbiaya mahal, dan pada tahun 80-90an
8 https://ekonomi.kompas.com
6
penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif lebih banyak diminati di
kalangan bisnis. Jika dapat dilihat di negara Indonesia sendiri bahwa
penyelesaian sengketa perbankan syariah sendiri melalui jalur litigasi tidak
jauh berbeda dengan negara lain, bahwa penyelesaiannya cukup lama dan
berlarut-larut, mahal, yang mana prosedur penyelesaiannya yang begitu
formal, dan sangat terbuka untuk umum yang mana membuat pihak bank
tidak dapat menjaga nama baik perusahaan tersebut. Kemudian bahwa
sengketa mengenai perbankan syariah yang begitu banyak namun kembali
kepada permasalahan tiap hakim yang menyelesaikannya bahwa banyak
diantaranya tidak mengerti akan setiap permasalahan perbankan, maka hal
tersebut akan menjadi permasalahan bagi kalangan hakim Pengadilan Agama.
Penulis mendapatkan data bahwa sampai tahun 2017 hanya 120 hakim
yang mempunyai sertifikasi ekonomi syariah dari 3.000 hakim seIndonesia
demikianlah hal tersebut menjadi suatu permasalahan bagi kalangan
pembisnis bahwa tidak adanya kompetensi dalam menyelesaikan perbankan
syariah
Salah satu solusi ialah penyelesaian sengketa di luar pengadilan, karena
bagi masyarakat tidak terdapat keharusan untuk menyelesaikan suatu
sengketa melalui proses acara di pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih
menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan cara perdamaian9. Dengan
segala macam kemudahan yang ditawarkan, metode ini dapat digunakan oleh
para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau
dikenal dengan alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya bukan hal baru
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hanya saja pengaturannya yang baru
beberapa dekade ini dimasukkan ke dalam undang-undang.
Adapula penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengadilan yaitu
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), demikian bahwa jalur tersebut
lebih pada mengedepankan sisi perdamaian, dikarenakan memang jalur
9 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
7
tersebut untuk menghindari permusuhan antar dikalangan pembisnis,
meskipun memang putusannya ada diantara pihak yang kalah, tetapi kedua
belah pihak menjalankan putusan tersbeut tanpa adanya permusuhan, tetapi
memang jika melihat Basyarnas dengan pengadilan, kian hari jalur tersebut
kurang diminati oleh masyarakat atau dimungkinkan dikarenakan tidak
diketahuinya oleh masyarakat. banyak hal memang yang membuat basyarnas
lebih pada berbenah diri agar lebih baik, sampai saat ini tidak adanya website
Basyarnas yang menyediakan informasi uptodate terkait kegiatannya, dan
laporan tiap bulannya. Kemudian anggota dari Basyarnas pun mereka yang
mempunyai kesibukan di profesi lain pula, yang membuat kurang adanya
memperhatikan kemajuan dari Basyarnas sendiri, dan bahwa dalam hal
penyelesaian sengketa di dunia perbankan syariah tidak hanya mengerti pada
sisi ilmu kaidah fiqhiyyah, tetapi memang dibutuhkan kompetensi lebih pada
keilmuan perbankan khususnya. Kemudian penulis mendapatkan data
penyelesaian sengketa melalu jalur Basyarnas di tahun 2016 – 2018 :10
Tabel 1.4 : Data Penyelesaian Sengketa Basyarnas
(Tahun) Jumlah
2016 1 Selesai
2017 1 Selesai
2018 1 Proses
Sumber : Sekretaris Basyarnas
Sedangkan sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen bahwa sebenarnya lembaga jasa keuangan dapat dilindungi, yaitu
khusus perbankan, pembiayaan dan asuransi karena lembaga tersebut
termasuk kategori konsumen akhir sesuai dengan Pasal 1 angka (2)11
, tetapi
yang menjadi permasalahan ialah bahwa setiap putusan pihak Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) terkadang tidak sesuai dengan
kompetensi dalam setiap putusannya, dan anggota dari pihak BPSK pun
10
Interview Pribadi Bapak Ahmad Jauhari, Sekretaris Basyarnas, Tangerang Selatan, 27
Maret 2018 11
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan.
8
sesuai dengan pasal 3612
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dan tidak adanya website yang berada di tiap daerah agar dengan
mudahnya masyarakat mengakses.
Namun, semenjak Otoritas Jasa Keuangan memberikan amanah kepada
Asosisasi-asosiasi perbankan untuk membentuk suatu lembaga yang mana
khusus untuk menyelesaikan suatu sengketa pada dunia perbankan atau
dikenal dengan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI) dan untuk melindungi konsumen, jika dilihat dalam
Pasal 6 POJK No.1/POJK.07/2014 angka (4)13
, telah jelas dalam hal
menyelesaikan suatu sengketa antar nasabah dan bank, anggota dari LAPSPI
sangat berkompeten di bidang perbankan, dan dalam penyelesaiannya tidak
berlarut-larut sesuai dengan Pasal 2 POJK No.1/POJK.07/2013 huruf (e)14
.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (yang selanjutnya disebut UUOJK) merupakan ketentuan baru
yang mengatur pelaksanaan kegiatan sektor jasa keuangan di Indonesia.
Pemberlakuan UUOJK telah membawa harapan dan kepastian hukum
terhadap pelaksanaan kegiatan di sektor jasa keuangan yakni dengan
pembentukan suatu lembaga Otoritas Jasa Keuangan (yang selanjutnya
disebut OJK). Sesuai dengan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UUOJK) bahwa OJK
merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan dan penyidikan kegiatan di sektor jasa keuangan. Salah satu
tujuan pembentukan OJK sesuai dalam Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan (UUOJK) ialah untuk melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat yang menggunakan atau memanfaatkan pelayanan
12
(a) pemerintah, (b) pelaku usaha, (c) lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat, (d) akademis, dan (e) tenaga ahli. 13
Angka (4) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mempunyai sumber daya yang
memadai untuk melaksanakan fungsinya dan tidak bergantung kepada Lembaga Jasa Keuangan. 14
Huruf (e) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara
sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
9
lembaga jasa keuangan. OJK dalam rangka melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat, diberikan kewenangan untuk melakukan edukasi,
pelayanan pengaduan, sampai dengan pembelaan hukum terhadap konsumen
yang dirugikan oleh lembaga jasa keuangan.
Sebelum pemberlakuan UUOJK, pengaturan perlindungan konsumen di
Indonesia telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut UUPK).
UUPK merupakan umbrella act dalam perlindungan konsumen di
Indonesia.15
Ruang lingkup pengaturan UUPK pada dasarnya mencakup
perlindungan konsumen terhadap pengunaan barang dan/atau jasa.
Perlindungan hukum yang diberikan oleh UUPK secara umum yakni
perlindungan terhadap penggunaan barang dan jasa. Pada dasarnya konsumen
jasa di sektor jasa keuangan pun dapat dilindungi oleh UUPK manakala
dirugikan oleh pelaku usaha sektor jasa keuangan. Konsumen jasa di sektor
jasa keuangan antara lain konsumen di sektor perbankan, pembiayaan dan
asuransi. Dilihat dalam pemberlakuan UUOJK di satu sisi dapat memberikan
perlindungan hukum bagi konsumen di sektor jasa keuangan, namun di satu
sisi juga menimbulkan ketidakjelasan pengaturannya. Hal ini mengingat
bahwa selama ini payung hukum pelaksanaan perlindungan hukum terhadap
konsumen di Indonesia adalah UUPK.
Dilihat dari pengertian konsumen dalam UUPK dan UUOJK adanya
suatu perbedaan, bahwa UUPK hanya melindungi konsumen dalam
pengertian sebagai konsumen akhir yakni pengguna terakhir atau pemanfaat
akhir suatu produk atau end user.16
Konsumen sebagai pengguna akhir atau
end user di mana tidak ada motif untuk memperoleh keuntungan dari
transaksi yang dilakukan konsumen dengan pelaku usaha. Hal ini berbeda
dengan pengertian konsumen dalam UUOJK Pasal 1 angka (15) yakni
15
Agus Satory, Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis
Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia, Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 2 No. 2, Agustus 2015, h., 272 16
Ahmadi Miru & Sutarman Yado, Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2007, h., 7
10
konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau
memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan.
Dalam hal pembentukan UUPK telah memberikan kemudahan-
kemudahan bagi konsumen dalam rangka perlindungan terhadap konsumen,
antara lain berkaitan tempat pengajuan gugatan di tempat kedudukan
konsumen, pembalikan beban pembuktian (unsur kesalahan), serta pengakuan
adanya gugatan perwakilan kelompok atau class action. Selain itu, UUPK
juga telah menentukan lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan yakni dilaksanakan oleh
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (yang selanjutnya disebut BPSK)
dengan segala kemudahan yang telah atur oleh UUPK.
Dalam hal OJK melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat
juga telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
(POJK Perlindungan Konsumen) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS). Kedua POJK di atas telah menentukan
bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui
pengadilan atau pun di luar pengadilan yakni melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa (LAPS) di sektor jasa keuangan.
Pengaturan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan dalam
UUOJK pada dasarnya memang merupakan peraturan khusus yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan. Namun karena
adanya perbedaan definisi konsumen dalam UUPK dan UUOJK maka secara
umum UUPK bukan merupakan lex generalis dari UUOJK. UUOJK dapat
dipandang sebagai lex specialis dari UUPK sepanjang mengenai konsumen
dalam pengertian konsumen menurut UUPK. Hal ini mengingat bahwa tidak
semua ketentuan dalam UUPK dapat diterapkan bagi semua konsumen di
sektor jasa keuangan, karena UUPK hanya melindungi konsumen dalam
pengertian sebagai konsumen akhir. Perlindungan hukum terhadap konsumen
jasa keuangaan pasca pemberlakuan UUOJK dapat mengacu pada UUPK
11
dan/atau UUOJK. Bagi konsumen di sektor jasa keuangan yang merupakan
konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam UUPK, maka konsumen
mendapatkan perlindungan dari UUPK dan UUOJK beserta POJK.
Sedangkan bagi konsumen di sektor jasa keuangan yang bukan
merupakan konsumen akhir, maka konsumen di sektor jasa keuangan tersebut
hanya mendapatkan perlindungan dari UUOJK dan POJK. Dalam penerapan
Peraturan OJK Nomor 1/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, bahwa semua Perbankan dan Perusahaan Pembiayaan wajib punya
LAPS, setiap Perusahaan wajib mendaftarkan LAPS berdiri paling lambat
pada Desember 2015.
Kemudian selama ini setiap konsumen atau nasabah tidak mengetahui
bagaimana cara dalam menyelesaikan sengketa atau suatu permasalahan,
hingga kini nasabah hanya mengetahui jika adanya suatu permasalahan
langsung mengurus hal tersebut ke Pengadilan Agama, namun jauh sebelum
itu, pihak lembaga jasa keuangan mempunyai pengaturan lain yaitu sedapat
mungkin permasalahan antar nasabah dapat diselesaikan pada tahap internal
dispute resolution, dikarenakan ketidaktahuan nasabah mengenai pengaturan
yang terjadi dalam setiap permasalahan yang ada.
Oleh karena itu melihat banyak wadah penyelesaian sengketa yang ada,
maka dalam hal ini sangat menarik dan penting untuk dibahas dalam kajian
penelitian penulis, dengan melihat respon pada setiap corporate dengan
adanya keberadaan LAPSPI khusus untuk menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan dan dari segi prosedur dan penerapan melalui jalur internal
dispute resolution pengaturannya dalam suatu perusahaan. Maka peneliti
tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian yang berjudul “Respon Praktisi
Pada Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan terkait dengan
judul yang sedang dibahas. Masalah-masalah yang sudah tertuang pada
12
sub bab latar belakang diatas, maka dari itu penulis memaparkan beberapa
permasalahan yang ditemukan sesuai dengan bagian latar belakang
penelitian ini, antara lain:
a. Bagaimana penerapan perusahaan perbankan syariah pra dan pasca
pemberlakuan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI)?
b. Bagaimana penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur
Internal Dispute Resolution pada PT. Bank BNI Syariah?
c. Apa saja yang menjadikan hambatan dalam mendirikan Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia pada PT. Bank
BNI Syariah?
d. Bagaimana minat nasabah perbankan syariah dalam penyelesaian
sengketa di Luar Pengadilan baik Pra dan Pasca pemberlakuan
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI)?
e. Bagaimana putusan dalam menyelesaikan sengketa Konsumen baik
dalam pemberlakuaan UUPK (BPSK) dan UUOJK (LAPS)?
2. Pembatasan Masalah
Bertolak dari identifikasi masalah di atas dan mengingat
keterbatasan peneliti terkait tenaga, waktu, biaya, kemampuan teoritis dan
metodologis maka peneliti memberikan pembatasan dalam upaya
penulisan ini. Ruang lingkup dibatasi oleh peneliti, dan hanya meneliti segi
implementasi penyelesaian sengketa perbankan syariah pada LAPSPI.
3. Perumusan Masalah
Untuk dapat lebih memfokuskan penelitian ini, maka masalah hanya
akan peneliti batasi pada penerapan penyelesaian sengketa di Perbankan
Syariah pasca pemberlakuan Undang-Undang OJK, maka dapat diajukan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur
Internal Dispute Resolution dan Eksternal Dispute Resolution pada
13
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI)?
2. Bagaimana Implikasi hukum pada Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur
Internal Dispute Resolution dan Eksternal Dispute Resolution pada
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI)?
2. Mengetahui Implikasi hukum pada Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
dasar pemikiran dalam upaya pengembangan keilmuan dengan disiplin
ilmu di bidang hukum keperdataan ekonomi syariah khususnya dalam
lingkup hukum perbankan syariah terutama tentang alternatif penyelesaian
sengketa perbankan syariah.
2. Manfaat Praktis
Kegunaan praktis merupakan kegunaan yang secara langsung dapat
bermanfaat bagi penulis :
a. Memperluas wawasan pengetahuan bagi peneliti dalam bidang hukum
perbankan syariah yang berkaitan dengan alternatif penyelesaian
sengketa perbankan syariah di Indonesia.
b. Sumbangan pemikiran, bahan bacaan dan sumber informasi serta
bahan kajian bagi yang memerlukan untuk memperluas
14
pengetahuannya mengenai alternatif penyelesaian sengketa perbankan
syariah di Indonesia.
c. Sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian sarjana pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
E. Tinjauan(Review) Studi Terdahulu
Literatur review merupakan bagian penting dalam proses penelitian.
Proses ini dimulai dengan menggali sumber data penelitian sebelumnya yang
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas, selanjutnya peneliti akan
menganalisis mengenai perbedaan dan persamaan dari penelitian yang sudah
ada dengan tujuan agar tidak ada pembahasan yang sama yang saling
bertentangan. Literatur review atau kajian pustaka dapat diambil dari berbagai
jenis penelitian seperti jurnal penelitian, disertasi, tesis, skripsi, laporan hasil
penelitian, makalah dan lain sebagainya. Oleh karena itu dibawah ini
merupakan literatur review yang dapat peneliti simpulkan beserta aspek
pembeda dengan penelitian sebelumnya. Diantara lain yaitu :17
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Yusuf Wahyu Wibowo, “Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa (LAPSPI)”, jurusan keperdataan, Fakultas Hukum, Mahasiswa
Universitas Lampung Tahun 2017. Dalam skripsi inihanya menjelaskan
mengenai bentuk-bentuk dan prosedur-prosedur dalam penyelesaian sengketa
melalui LAPSPI sampai tahap akhir dalam penyelesaian sengketa konsumen
perbankan. Sedangkan dalam penelitian yang saya tulis, terdapat kesamaan
mengenai pembahasan dalam penyelesaian sengketa konsumen perbankan di
LAPSPI. Namun pembedanya adalah penulis lebih memfokuskan pada sisi
penerapan LAPSPI itu sendiri pada PT Bank BNI Syariah pasca UUOJK dan
pra UUOJK.
17
Bahrudin Nur Tanjung Ardial, dikutip dari pedoman penulisan karya ilmiah(proposal,
skripsi, tesis, dan mempersiapkan diri menjadi penulis artikel ilmiah), ed. 1 cet. 5, (Jakarta:
Kencana, 2010), h., 7
15
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Muh. Dasril Tri Nurrachmat, “Prosedur
Mediasi Perbankan di Era OJK”, jurusan keperdataan, Fakultas Hukum,
Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar Tahun 2016. Dalam skripsi ini
menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan suatu sengketa di luar pengadilan,
dapat melalui mediasi perbankan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) atau dengan fasilitas penyelesaian
sengketa oleh OJK. Dan mengenai penjelasan terkait kelebihan mediasi
perbankan diera OJK, dan kelemahan mediasi perbankan diera OJK.
Sedangkan pembeda dalam penelitian yang saya tulis, lebih memfokuskan
pada PT Bank BNI Syariah mengenai cara penyelesaian sengketa konsumen
baik pra UUOJK maupun pasca, dan melihat pula sejauh mana cara
penyelesaian sengketa cepat terselesaikan, dan banyak ditempuh atau diminati
oleh konsumen.
Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Agus Suwandono, “Implikasi
Pemberlakuan UUOJK terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan
dikaitkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, jurusan Hukum
Ekonomi, Fakultas Hukum, Mahasiswa Universitas Padjajaran tahun 2016
Volume XXI no. 1 Tahun 2016. Dalam jurnal ini menjelaskan mengenai
pengaturan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan dalam UUOJK.
Perlindungan hukum terhadap konsumen jasa keuangaan pasca pemberlakuan
UUOJK dapat mengacu pada UUPK dan/atau UUOJK. Sedangkan dalam
penelitian yang saya tulis, terdapat kesamaan mengenai pembahasan
perlindungan hukum konsumen pasca adanya UUOJK. namun pembedanya
adalah penulis memfokuskan pada studi perusahaan dalam penyelesaian
sengketa konsumen perbankan yaitu Bank BNI Syariah
Keempat, jurnal yang ditulis oleh Ema Rahmawati dan Rai Mantuli,
“Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif di Sektor Jasa
Keuangan”, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Volume 3 No. 2
Tahun 2016. Dalam jurnal ini mengkaji bagaimana konsep alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam POJK No. 1/2014 dikaitkan
dalam sistem penyelesaian sengketa perdata yang ada. Sedangkan sisi
16
pembeda dalam penelitian yang saya tulis, terdapat pada sejauh mana cara
penyelesaian sengketa yang cepat terselesaikan baik pasca dan pra UUOJK,
sehingga terdapat adanya kepastian hukum bagi para pihak konsumen.
Kelima, jurnal yang ditulis oleh Sekoni Abiola Muttalib, “Legal and
Regulatory Issues and Challenges Inhibiting Globalization of Islamic
Banking System”, IIUM Institute of Islam Banking and Finance, International
Islamic university malaysia, kuala lumpur. malaysia tahun 2015.
In this journal explain to find the common practice is subjecting Islamic
banks’ disputed cases to the same legal system as the conventional
counterparts under the adjudication of the same civil court and Judges
without considering the different nature of Islamic legal system. This is the
situation in all the countries most especially Malaysia and Saudi Arabia
considered to be the biggest Islamic finance markets. This implies that
jurisdiction of Shari’ah courts does not cover issues concerning banking and
finance. The situation in Saudi Arabia is quite similar to that of Malaysia.
Arbitration of disputes involving Islamic Finance Institution in Saudi Arabia
is under the purview of the Banking. Pembeda dalam penelitian saya bahwa
dalam lingkup perbankan syariah begitu banyak lembaga penyelesaian
sengketa berada di Indonesia saat ini, dan berdasarkan POJK, lembaga
penyelesaian sengketa dapat menyelesaikan lingkup perbankan kovensional
dan syariah, dan dalam lingkup peradilan pun berbeda khusus perbankan
syariah maka diselesaikan di pengadilan agama, persamaannya bahwa di
negara malaysia hanya mempunyai sistem hukum dalam penyelesaian
sengketa yang mana penyelesaianya menggunakan sistem yang sama
diselesaikan dalam lingkup peradilan baik itu perbankan syariah dan
konvensional.
Keenam, jurnal yang ditulis oleh Yassir Rahouti, “Islamic Finance &
Dispute Resolution Master’s thesis for International Business Law”, Thesis
supervisors: Jing li & D.A. Pereira Dias Nune, 2015. In this journal explain to
find there seems to be a negative view on Islamic law in the Dutch society
and politics. ive view on Islamic law in the Dutch society and politics. This
17
leads to the conclusion that the Dutch Legal system will not acknowledge the
choice of Islamic Law in contracts in Islamic Finance disputes and that
alternative forms of dispute resolution in the Netherlands do not provide a
solution for the possible rejection of the Sharia by the Dutch courts. Pembeda
dengan penelitian penulis bahwa dalam hukum belanda mengenai lembaga
alternatif dalam penyelesaian sengketa mereka tidak mengenalnya,
dikarenakan lembaga alternatif tidak dapat memberikan solusi bagi hukum
perbankan di Belanda, persamaannya bahwa dalam penelitian saya terdapat
peradilan agama yang mampu berupaya dalam membantu menyelesaikan
sengketa di lingkup perbankan di Indonesia dan di Belanda.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
Teori dalam penelitian ilmiah adalah sebuah kemestian karena
merupakan inti dari penelitian ilmiah dimaksud.18
Teori secara bahasa
adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung
oleh data dan argumentasi. Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya
pandangan dan wawasan.19
Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah
hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu (a) teori-teori hukum, (b) asas-
asas hukum, (c) doktrin hukum dan (d) ulasan pakar hukum berdasarkan
pembidangan kekhususannya.20
Menurut Abdul Kadir Muhammad, kerangka teoritis dalam
penulisan karya ilmiah merupakan susunan dari beberapa anggapan,
pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis
menjadikan landasan acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam
penelitian atau penulisan.21
18
Muktar Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h., 92 19
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, cet-VI (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2012) , h., 4 20
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h., 79 21
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum dan Peneitian Hukum, Cet. Ke 1 (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004), h., 72
18
Pada dasarnya penyelesaian sengketa merupakan hal yang sangat
biasa terjadi dalam kegiatan usaha atau bisnis, dimana dapat berujung pada
suatu permasalahan/sengketa. Teori hukum yang berkaitan dengan
pembahasan penyelesaian sengketa melalui Lembaga Alternatif
Penyelesain Sengketa Perbankan Indonesia(LAPSPI) terdiri dari teori
kebutuhan manusia, teori strategi penyelesaian sengketa, teori keadilan dan
teori kepastian hukum.
Teori yang menganalisis faktor penyebab timbulnya sengketa karena
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yaitu teori kebutuhan
manusia yang dikemukakan oleh Simon Fisher. Teori kebutuhan manusia
berasumsi bahwa:22
“Penyebab terjadinya sengketa adalah oleh kebutuhan dasar manusia
baik fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering
merupakan inti pembicaraan”.23
Teori yang dikembangkan oleh Simon Fisher, dkk., diilhami oleh
teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, yang disebut “hierarki
kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika
satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi
mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Hal tersebut menjadi
penyebab terjadinya suatu sengketa.
Kemudian jika ditinjau dari aspek teoretis, bahwa teori strategi
penyelesaian sengketa menggunakan lembaga yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat adalah dibolehkan. Hal tersebut tampak dari model
penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z.
Rubin, yang mana mengemukakan ada lima strategi dalam penyelesaian
sengketa, yaitu meliputi contending (bertanding), yielding (mengalah),
problem solving (pemecahan masalah), with drawing (menarik diri).24
22
Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2014, Cet. Ketiga), h., 144. 23
Ibid h., 146 24
Ibid h., 164
19
Dari kelima cara penyelesaian sengketa yang sesuai dengan nasabah
dan pihak yang terkait yaitu menggunakan strategi penyelesaian sengketa
dengan cara problem solving, dengan mencari pemecahan suatu masalah
sehingga dapat terselesaikan masalah antar kedua belah pihak.
Kemudian teori keadilan juga bisa diterapkan dalam menyelesaikan
persoalan sengketa pada LAPSPI. Menurut teori keadilan salah seorang
ahli yaitu John Rawls yang dikenal sebagai salah seorang filsuf yang
secara keras mengkritik sistem ekonomi pasar bebas khususnya teori
keadilan pasar sebagaimana yang dianut Adam Smith.
"Prinsip Keadilan Distributif Rawls:
Karena kebebasan merupakan salah satu hak asasi paling penting
dari manusia. Rawls sendiri menetapkan kebebasan sebagai prinsip
pertama dari keadilannya berupa, "Prinsip Kebebasan yang sama". Prinsip
ini berbunyi "Setiap orang harus mempunyai hak yang sama atas sistem
kebebasan dasar yang paling luas sesuai dengan system kebebasan serupa
bagi semua". Ini berarti pada tempat pertama keadilan dituntut agar semua
orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya atas kebebasan secara sama".25
Berdasarkan keadilan, keterbukaan diberikan kepada setiap orang
dan yang menjadi haknya, memberi ciri khas kepada keadilan sebagai
norma moral. Pertama, keadilan selalu tertuju kepada orang lain. Kedua,
keadilan harus ditegakkan. Ketiga, keadilan selamanya menuntut
kesetaraan, permasalahan keadilan dalam dunia bisnis, masih menjadi
topik penting. Keadilan akan terus diupayakan untuk dicapai, sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang tercantum dalam sila ke lima didalam Pancasila, yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk terwujudnya keadilan,
dibutuhkan kemampuan bersikap etis.
Sedangkan berdasarkan teori kepastian hukum Gustav Radbruch
mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum, yaitu :
25
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.,34
20
a. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah
perundang-undangan.
b. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta artinya didasarkan pada
kenyataan.
c. Bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan mudah dilaksanakan.
d. Bahwa hukum positif tidak boleh mudah diubah.26
"Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya
bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.
Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari
perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut
Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan
manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu
kurang adil”.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M.
Otto, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu menyaratkan
sebagai berikut :
a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan
mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan Negara;
b. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-
aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat;
c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan
karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan;
d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
e. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Dalam hal ini penyelesaian sengketa LAPSPI, maka diperlukan
konsep atau model yang diharapkan bisa digunakan yaitu berdasarkan
26
Memahami Kepastian (dalam) Hukum.https: //ngobrolinhukum.wordpress.com
2013/02/05-memahami-Kepastian-dalam-hukum.
21
landasan, asas dan tujuan dari keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
itu sendiri yaitu dalam pembentukan LAPSPI, yang didasari dari keinginan
Ototitas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan regulasi baru dalam hal
melindungi kepentingan konsumen atau nasabah, dan menjadi wadah bagi
lembaga jasa keuangan dalam hal penyelesaian suatu permasalahan yang
terjadi. Kemudian diperlukan suatu hal yaitu hukum yang mengatur dan
menjalankan mengenai penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan,
agar adanya suatu kepastian hukum, sama halnya seperti teori Gustav
Radbruch.
Namun, apabila didasarkan pada teori Lawrence Meir Friedman,
berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum, maka dari itu diperlukan suatu
pengaturan berupa metode serta rekemondasi yang dapat di gunakan untuk
persoalan sengketa yang sering kali terjadi di dalam lingkup masyarakat.
2. Kerangka Konseptual
sengketa
BANK NASABAH
Internal Dispute
Resolution
Eksternal
Dispute
Resolution
Litigasi
Pengadilan
Non Litigasi
LAPSPI
Persyaratan
Penyelesaian
Sengketa
Prosedur
Penyelesain Bentuk-bentuk
penyelesaian
Tidak sepakat
22
Interaksi antara nasabah dan bank kadangkala terjadi perselisihan
yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa.
Saat terjadi sengketa yang disebabkan oleh adanya kerugian nasabah yang
ditimbulkan dari transaksi keuangan dan diduga karena kesalahan atau
kelalaian pihak bank, maka nasabah dapat mengajukan pengaduan kepada
pihak bank, dan bank wajib melayani dan menyelesaikan adanya
pengaduan nasabah, dengan kata lain sengketa tersebut wajib terlebih
dahulu diselesaikan oleh pihak perusahaan (bank) Internal Dispute
Resolution. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan, naka dapat diselesaikan
sengketa tersebut melalui jalur litigasi (pengadilan) dan nonlitigasi (luar
pengadilan).
Penyelesaian sengketa nonlitigasi (luar pengadilan) sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 2 POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan
dilakukan melalui LAPSPI sebagai lembaga LAPS yang ditetapkan oleh
OJK. Pihak nasabah dan bank pun dapat memilih bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa yang disepakati dan bersedia mengikuti prosedur
sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan LAPSPI. Kemudian
penulis pun mendata sejauh mana cara penyelesaian sengketa di LAPSPI
dapat terselesaikan, dilihat dari segi jumlah, dan output yang didapat oleh
nasabah (konsumen).
Untuk menghindari adanya pemahaman yang luas, maka penulis
memberikan batasan-batasan pengertian sebagai berikut:
a. Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal
dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik
yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.27
b. Perbankan Syariah adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya
berdasarkan hukum Islam.28
27
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2013, h., 3. 28
Diakses pada tanggal 13 januari 2018 https://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
23
c. Lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga yang
melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
d. Internal Dispute Resolution adalah penyelesaian sengketa yang dapat
diselesaikan melalui lingkup internal perusahaan (lembaga jasa
keuangan).
e. Ekstenal Dispute Resolution adalah penyelesaian sengketa yang dapat
diselesaikan melalui jalur diluar pengadilan.
G. Metode Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya. Untuk itu diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.29
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisisnya:
1. Jenis Penelitian
Dalam jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
yang bersifat deskriptif. Sifat penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
tidak mengadakan perhitungan matematis, stastistik dan lain sebagainya,
melainkan menggunakan penekanan ilmiah.30
Mengenai penelitian deskriptif, metode ini bertujuan untuk
menggambar sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset
dilakukan dan memeriksa sebab dari suatu gejala tertentu.31
Penelitian
29
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press,
Jakarta, 2008 h., 43 30
Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi, (Bandung : PT. Remaja
Rosyada Karya, 1997), h., 6 31
Husen Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2004), h.,22
24
deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk menguraikan tentang sifat-sifat dari
suatu keadaan dan sekedar memaparkann uraian (data dan informasi) yang
berdasarkan pada fakta yang diperoleh dari lapangan.
Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum yang dilakukan
dengan memakai pendekatan normatif empiris, yang mana metode
penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan
penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya
penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris
mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang)
dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
suatu masyarakat.
2. Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini untuk
mendukung informasi dan data yang digunakan dalam penelitian meliputi
ketiga bahan sebagai berkut :32
a. Bahan hukum primer
Bahan Primer merupakan bahan-bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas dan juga mengikat. Bahan atau
data-data yang diperoleh secara langsung dengan melakukan interview
atau wawancara kepada pihak Perbankan Syariah terkait pengetahuan
dalam menyelesaikan sengketa perbankan melalui jalur LAPSPI, dan
wawancara ke berbagai pihak LAPSPI, dan pihak pendukung lainnya.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan
tehadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini bersumber dari :
a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
32
Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum, cetakan pertama
(Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012), h., 78-79
25
b) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
d) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 Perbankan
e) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa Umum.
f) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 atas perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
g) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
h) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
i) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014
tentang Pelaksanaan Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi
Keuangan kepada Konsumen dan/atau Masyarakat.
j) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 54/SEOJK.07/2016
tentang Monitoring Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Sektor Jasa Keuangan.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-
bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan-penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya
dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku ilmu hukum
khususnya mengenai hukum penyelesaian sengketa dan hukum
perbankan syariah, bahan kuliah, jurnal hukum, artikel koran, dan
media internet maupun literatur-literatur yang berkaitan dengan
penelitian atau masalah yang akan dibahas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dengan cara :
26
a. Observasi adalah proses penelitian, mengamati, dan menganalisis
terhadap objek yang diteliti.33
Jadi penulis secara langsung datang ke
lokasi penelitian untuk memperoleh data dan informasi mengenai
implementasi terkait prosedur penyelesaian sengketa perbankan syariah
pasca pemberlakukan LAPSPI.
b. Interview/wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu
dimana percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan serta diwawancarai yang
memberikan jawaban atas pertanyaan. Metode ini dilakukan dengan
memberikan sejumlah pertanyaan kepada responden. Jadi teori
wawancara ini dilakukan dengan melakukan tanya jawab langsung
kepada para pimpinan Bank atau suatu Badan atau Lembaga, marketing
dan AO (Account Officer) sebagai sumber informasi dalam penelitian
dengan pedoman wawancara yang telah peneliti tetapkan, sehingga
diperoleh data-data yang diperlukan oleh penulis.
c. Studi Dokumentasi ini dapat menelaah bahan-bahan atau data-data yang
diambil dari dokumentasi atau berkas-berkas lembaga LAPSPI atau dari
data-data pihak perusahaan, mengenai latar belakang penyelesaian
sengketa pra dan pasca UUOJK.
4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai ke
komponen-komponennya dan kemudian menelaah hubungan masing-
masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut
pandang. Penelaah dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
ditetapkan.34
Data yang akan dikumpulkan akan diolah, dianalisis, dan
dinterpretasikan, untuk dapat menggali dan menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan. Data yang diperoleh dari hasil penelitian yaitu data
33
Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi, (Bandung : PT. Remaja
Rosyada Karya, 1997), h., 55 34
Sri Mamudji, dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, 2005. h.,67
27
primer dengan cara wawancara (interview), kemudian dianalisis dan
dipadukan atau dikaitkan dengan sumber data sekunder yaitu peraturan
perundang-undangan atau peraturan otoritas jasa keuangan kemudian
dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil wawancara penulis mengenai
penyelesain sengketa perbankan syariah menurut respon para praktisi
perbankan syariah mengenai keberadaan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh Penulis dalam
skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada
buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
H. Rancangan Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah
penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk
memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tujuan (review) studi terdahulu,
kerangka teori, metode penelitian, rancangan sistematika
penulisan dan daftar pustaka.
BAB II : Tinjauan umum mengenai sengketa, penyelesaian sengketa,
internal dispute resolution, eksternal dispute resolution, jalur
litigasi, jalur nonlitigasi, dan tinjuan umum mengenai lembaga
alternatif penyelesaian sengketa.
BAB III : Gambaran mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia membahas mengenai sejarah berdirinya,
tujuan dan manfaat berdirinya,prosedur penyelesaian sengketa,
28
persyaratan penyelesaian sengketa, dan bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa
BAB IV : Analisis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(Lapspi) Pada PT. Bank BNI Syariah.
BAB V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
29
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA
A. Tinjauan Umum Tentang Sengketa
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup dalam
ikatan kelompok, golongan, atau kerukunan sebagai suatu kesatuan sosial,
untuk memenuhi keperluannya manusia mengadakan hubungan satu sama
lain. Dalam hal ini perkembangan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan hukum. Begitu pula sebaliknya. Masyarakat saat ini yang
modern dengan segala kompleksitas permasalahan, tidak jarang timbul
sengketa.1
Sengketa biasanya bermula dari satu situasi dimana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain. hal ini diawali oleh perasaan tidak puas
yang bersifat subjektif dan tertutup. Pihak yang merasa dirugikan akan
menyampaikan ketidakpuasannya pada pihak kedua. Apabila pihak kedua
dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama selesailah masalah tersebut.
Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat
atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadi apa yang dinamakan dengan
sengketa.2
Konflik atau sengketa berasal dari terminologi kata bahasa Inggris
conflict, yang berarti persengketaan, perselisihan, percekcokan atau
pertentangan.3 Menurut Rachmadi Usman sengketa adalah pertentangan
antara kedua belah pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda
tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya.4
1 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan salah satu bentuk penyelesaian sengketa
berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, (PT. Alumni: Bandung, 2013), h., 34 2 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution (Teknik dan Strategi dalam Negosiasi,
Mediasi, dan Arbitrase), (Ghalia Indonesia: Jakarta, 2010), h., 34 3 Rachmad Safa’at, Mediasi dan Advokasi Konsep dan Implementasinya, (Malang: Agritek
YPN Malang Kerjasama dengan SOFA Press, 2006), h., 33 4 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (PT. Citra Aditya
Bakti: Bandung, 2013), h., 3
30
Adapun terdapat pula ayat Al Quran dan Hadits mengenai hukum
penyelesaian sengketa yaitu ;
Artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mumin
berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua
golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada
perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (Qs. Al Hujurat: 9)
Dan Rasulullah saw bersabda, “perjanjian diantara orang-orang muslim
itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal” (Hadits riwayat At-Tarmizi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ibnu
Hibban)
Dalam setiap sengketa didalam perbuatan/perjanjian (akad) terdapat 3
(tiga) unsur penting dalam suatu perjanjian, yaitu:5
1. Unsur esensialia
Unsur tersebut dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa
prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih.
2. Unsur naturalia
Unsur tersebut adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian
tertentu.
3. Unsur aksidentalia
5 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis Arbitrase VS Pengadilan Persoalan
Kompetesi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai, (Kencana: Jakarta, 2008), h., 111
31
Unsur tersebut adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang
oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, atau persyaratan
khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.
Sengketa dalam dunia ekonomi syariah tidak begitu jauh berbeda
dengan sengketa yang dapat terjadi dalam dunia ekonomi pada umumnya.
Seperti pada ekonomi lain penyebab sengketa ekonomi syariah pada
umumnya karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah
dilakukan para pihak pelaku kegiatan ekonomi. Karakteristik khusus sengketa
ekonomi syariah adalah adanya kemungkinan terjadi pelanggran terhadap
prinsip-prinsip syariah, maka sengketa ekonomi syariah diakibatkan karena
pelanggaran terhadap kontrak/akad yang telah mengikat para pihak.
Pelanggaran terhadap akad tersebut dapat berupa pelanggaran pada
mekanisme yang telah disepakati, adanya wanprestasi dari salah satu pihak,
ataupun adanya pelanggaran sistem syariah yang menjadi inti dari sistem
ekonomi syariah.6
B. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa
Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang
berkepanjangan, biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai
kesepakatan. Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur
komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar
tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.7
Agar tercipta proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat
memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan hak untuk
didengar. Dengan persyaratan tersebut proses dialog dan pencarian titik temu
(commond ground) yang akan menjadi panggung proses penyelesaian
sengketa baru dapat berjalan. Jika tanpa kesadaran tentang pentingnya
6 Riski Setyadani Nasution, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Media di
Pengadilan Agama(Studi Kasus Mediasi Sengketa Ekonomi Syariah dengan Perkara Nomor
1221/pdt.G/2009/PAJS di Pengadilan Agama Jakarta Selatan), Tesis, Universitas Indonesia, h., 29 7 Suyud Margono, ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses Pelembagaan
dan Aspek Hukum, (Ghalia Indonesia : Bogor Selatan, 2004), h., 34
32
langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak berjalam dalam arti yang
sebenarnya.8
Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian
sengketa, yaitu :9
1. Kepentingan (interst);
2. Hak-hak (right);
3. Status kekayaan (power).
Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya
tercapai, hak-haknya terpenuhi, dan kekuasannya diperlihatkan,
dimanfaatkan, dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa,
pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan
ketiga faktor tersebut.
Adapun pada umunya terdapat asas-asas yang berlaku pada
penyelelesaian sengketa sebagai berikut :10
1. Asas itikad baik, yakni keinginan dari para pihak untuk menentukan
penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi;
2. Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam
bentuk tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa;
3. Asas mengikat, yakni para pihak wajib mematuhi apa yang telah
disepakati;
4. Asas kebebasan berkontrak, yakni para pihak dapat dengan bebas
menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam
perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan
kesusilaan;
5. Asas kerahasiaan, yakni penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat
disaksikan oleh orang lain karena para pihak yang bersengketa yang
dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas suatu sengketa.
8 Ibid, h., 34
9 Ibid, h., 35
10 Jimmy Joses Sembiring, Cara menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase) (Visi Media: Jakarta, 2011), h., 11-12
33
Dalam penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, terdapat dua
solusi yang diajukan yaitu penyelesaian sengketa secara internal (internal
dispute resolution) dan penyelesaian sengketa eksternal (external dispute
resolution).11
1. Internal Dispute Resolution
Internal Dispute Resolution adalah penyelesaian sengketa dalam
tahap pertama yang harus ditempuh bila terjadi sengketa antara
konsumen (nasabah) dengan lembaga jasa keuangan. Dalam hal ini jika
terjadi sengketa antar para pihak bagi pelaku usaha jasa keuangan
terlebih dahulu diselesaikan melalui jalur Internal Dispute Resolution,
dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam POJK
No.1/POJK.03/2013 Pasal 2 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, yaitu :
a. Transparansi;
b. Perlakuan yang adil;
c. Keandalan;
d. Kerahasiaan dan keamanan informasi;
e. Penanganan pengaduan konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya
terjangkau
Terkait penanganan pengaduan, berikut prinsip-prinsip penerapan
Internal Dispute Resolution di sektor Jasa Keuangan yang efektif :12
a. Visibilitas
Pelaku usaha jasa keuangan mempublikasikan cara
menyampaikan pengaduan kepada konsumen (nasabah), masyarakat
dan pihak lain yang berkepentingan.
11
Ekonomi.kompas.com/read/2013/11/07/1328219/OJK.Selesaikan.Sengketa.di.Lembaga.
Mediasi.yang.Terdaftar, 15 Febuari 2018 12
Standar Internal Dispute Resolution Sektor Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan,
2016, h., 5
34
b. Aksebilitas
Pelaku usaha jasa keuangan memiliki fasilitas pelayanan
pengaduan yang mudah di akses oleh konsumen (nasabah).
c. Responsif
Pelaku usaha jasa keuangan segera melayani, menindaklanjuti
dan menyelesaikan pengaduan konsumen dan menyediakan informasi
stastus serta hasil penanganan pengaduan kepada konsumen (nasabah)
secara jelas, sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku
d. Perlakuan yang adil
Pelaku usaha jasa keuangan menangani setiap pengaduan
konsumen (nasabah) secara adil, objektif, dan tidak memihak.
e. Biaya layanan pengaduan
Pelaku usaha jasa keuangan tidak memungut biaya atas
penanganan pengaduan, kecuali untuk layanan lain yang diminta oleh
konsumen (nasabah) diluar yang telah disediakan oleh Pelaku usaha
jasa keuangan yang besarannya telah dikomunikasikan dan disetujui
oleh konsumen (nasabah) dan dapat dibuktikan kebenarannya.
f. Kerahasiaan data
Pelaku usaha jasa keuangan menjaga kerahasiaan informasi
konsumen (nasabah) yang melakukan pengaduan terhadap pihak
manapun, kecuali :
1) Kepada Otoritas Jasa Keuangan;
2) Dalam rangka penyelesian pengaduan;
3) Diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan;
4) Atas persetujuan konsumen (nasabah).
g. Fokus pada konsumen (nasabah)
Pelaku usaha jasa keuangan secara berkesinambungan
memperhatikan kepentingan konsumen (nasabah) melalui komitmen
dan implementasi untuk menyelesaikan pengaduan tanpa
mengesampingkan hak dan kewajiban kedua belah pihak.
35
h. Akuntabilitas
Pelaku usaha jasa keuangan memiliki kejelasan fungsi, struktur,
sistem, hak, dan kewajiban, tanggung jawab, dan wewenang baik dari
pihak Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) maupun konsumen
(nasabah) dalam hubungannya dengan implementasi, pelaporan, serta
pengambilan keputusan PUJK terhadap penanganan pengaduan.
i. Perbaikan berkelanjutan
Pelaku usaha jasa keuangan melakukan perbaikan yang
berkelanjutan terkait proses penanganan pengaduan untuk
meningkatkan kualitas produk dan/atau layanan.
2. Eksternal Dispute Resoulution
Eksternal Dispute Resoulution adalah penyelesaian Sengketa
melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan. Penyelesaian
sengketa dapat ditempuh melalui dua acara, yaitu ::
a. Litigasi (Pengadilan/Peradilan)
Litigasi (Peradilan/Pengadilan) berasal darikata qadha, istilah
“peradilan” yang muncul. Qadha bisa berarti “memutuskan,
melaksanakan, dan menyelesaikan”.13
Sedangkan secara terminologi
adalah proses penyelesaian sengketa di pengadilan, dimana semua
pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk
mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan.
Sebagai bahan perbandingan litigation (pengadilan), sebagian
besar tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan
putusan (constitutive).14
Dimana hasil akhir dari suatu penyelesaian
sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose
solution.15
13
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan, (PT. Alumni: Bandung,
2012), h., 251 14
Dewi Tuti Muryati, B. Rini Heryanti, Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Nonlitigasi di bidang perdagangan, Jurnal Hukum UNS Vol 13 Nomor 1 Juni 2011, h., 50 15
Nurnaningsih Amriani, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Raja
Grafindo Persada : Jakarta, 2012), h., 35
36
Prosedur dalam jalur ini sifatnya lebih formal dan teknis,
menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan
permusuhan diantara para pihak yang bersengketa.
Semenjak diamandemenkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Pasal 49 angka (1) memberikan wewenang kekuasaan Peradilan
Agama bertambah luas, yang semula 1989 hanya bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, c) wakaf dan shadaqah.
Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka
ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas.
Berdasarkan pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang ekonomi syariah meliputi: a) bank
syariah, b) lembaga keuangan mikro syariah, c) asuransi syariah, d)
reasuransi syariah, e) reksa dana syariah, f) obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, g) sekuritas syariah, h)
pembiayaan syariah, i) pegadaian syariah, j) dana pensiun lembaga
keuangan syariah dan k) bisnis syariah. Dalam penjelasan pasal
tersebut antara lain dinyatakan:
“Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama
Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
ketentuan pasal ini”.
Dalam hal ini, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka
37
unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan
ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam
penyelesaian perselisihan.
b. Nonlitigasi
Nonlitigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang didasarkan kepada hukum, dan penyelesaian tersebut
dapat digolongkan kepada penyelesaia sengketa yang berkualitas
tinggi karena sengketa yang diselesaikan secara demikian akan dapat
selesai tuntas tanpa meninggalkan sisa kebencian dan dendam.16
Penyelesaian sengketa melalui proses di luar pengadilan
menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”.17
Dalam
dunia bisnis saat ini penyelesaian sengketa secara nonlitigasi melalui
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, lebih menjadi pilihan dari
pelaku bisnis. Dimana hal tersebut terjadi karena terdapat keunggulan-
keunggulan yang tidak dijumpai dalam penyelesaian sengketa secara
litigasi.
a) Sifat kesukarelaan dalam proses
Kesukarelaan dimaksud karena penyelesaian sengketa
melalui alternatif penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
perjanjian yang dibuat para pihak. Perjanjian dimaksud dibuat
dengan mendasarkan kesukarelaan, baik menyangkut substansi
maupun proses, berbeda dengan proses beracara di lembaga
peradilan, yang prosedurnya terarah tertentu atau ditentukan
secara pasti.
b) Prosedur cepat
Kecepatan dalam penyelesaian, tergantung dari itikad baik
para pihak yang sedang bersengketa dalam berupaya
menyelesaikannya dengan mengedepankan semangat
16
Dewi Tuti Muryati, B. Rini Heryanti, Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Nonlitigasi di bidang perdagangan, Jurnal Hukum UNS Vol 13 Nomor 1 Juni 2011, h., 50 17
Ibid h., 51
38
kekeluargaan. Prosedurnya pun tergantung dari kesepakatan para
pihak sehingga lebih fleksibel.
c) Putusan nonyudisial
Putusan bersifat nonyudisial maksudnya bahwa putusan
yang dihasilkan tidak diputus oleh lembaga hakim, tetapi lebih
pada hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa sendiri
dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga yang netral. Hasil
penyelesaian hakikatnya merupakan perjanjian yang mengikat,
wajib dilaksanakan dengan penuh itikad baik.
d) Prosedur rahasia(confidential)
Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan pada
asasnya terbuka dan dibuka untuk umum. Akan tetapi, dalam
lembaga penyelesaian sengketa alternatif justru sebaliknya, yaitu
bahwa putusan harus dirahasiakan.
e) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah
Syarat-syarat penyelesaian masalah dalam lembaga
alternatif penyelesaian sengketa lebih fleksibel karena bisa
ditentukan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
f) Hemat waktu dan biaya
Konsekuensi logis dari fleksibelnya prosedur penyelesaian
dan faktor kecepatan adalah bahwa penyelesaian sengketa melalui
lembaga alternatif akan menghemat waktu dan biaya. Sesuai
dengan asas penyelesain sengketa yaitu cepat, sederhana, dan
biaya murah.
g) Pemeliharaan hubungan baik
Penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif juga
dapat menjaga atau memelihara hubungan baik di antara para
pihak yang sedang bersengketa, dan putusan hakikatnya
merupakan kesepakatan para pihak. Adapun sifat penyelesaian
sengketa yang ada, yakni win-win solution.
39
h) Putusan cenderung bertahan lama karena penyelesaian sengketa
secara kooperatif dibandingkan pendekatan adversial atau
pertentangan.
Pada hakikatnya putusan lembaga penyelesaian sengketa
alternatif adalah kesepakatan dari para pihak bersengketa yang
bersifat win-win solution, yang mana pelaksaannya berlangsung
secara sukarela dan meminimalisir konflik di kemudian hari.
Adapun Bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar
pengadilan yang paling umum dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Negosiasi (Negotiation)
Kata negosiasi berasal dari bahasa Latin yaitu “Neng” yang
mengandung pengertian bahwa seseorang tidak akan berhenti selama
proses berlangsung atau sampai persetujuan didapat.18
Secara
sederhana, negosiasi adalah pertemuan antara dua orang atau kubu
yang masing-masing berada diposisi yang sesuai dengan kepentingan,
berakhir untuk mendapatkan kepuasan yang diharapkan dan untuk
mencari solusi atau pemecahan masalah yang mereka hadapi tanpa
melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.19
Negosiasi menurut Ficher dan Ury merupakan komunikasi dua
arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua
belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang
berbeda.20
Istilah negosiasi sudah tidak asing bagi tatanan hukum dan
bisnis, dari pengertian diatas maka negosiasi sebenarnya dapat dibagi
dua atas tujuan yang ingin dicapai yaitu:21
18
Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan salah satu bentuk penyelesaian sengketa
berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, (PT. Alumni: Bandung, 2013), h., 76 19
Khotibul Umam, Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan, (Pustaka Yustisia :
Yogyakarta, 2010) h., 10 20
Nurnaningsih Amriani, Mediasi alternatif penyelesaian sengketa perdata di pengadilan,
(RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2011), h., 23 21
Sudiarto, Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Pengertian Sengketa Alternatif di
Indonesia, (Pustaka Reka Cipta: Bandung, 2015), h., 6
40
a) Negosiasi Kepentingan
Negosiasi kepentingan (interest negotiation) merupakan
negosiasi yang sebelum bernegosiasi sama sekali para pihak tidak ada
hak-hak apa pun dari satu pihak kepada pihak lain. Akan tetapi,
mereka bernegosiasi karena masing-masing pihak ada kepentingan
untuk melakukan negosiasi tersebut.
b) Negosiasi Hak
Sebaliknya dalam negosiasi hak (right negotiation), sebelum
para pihak bernegosiasi, antara para pihak sudah terlebih dahulu
mempunyai hubungan hukum tertentu, sehingga antara pihak tersebut
telah menimbulkan hak-hak tertentu (pre-existing rights) yang dijamin
pemenuhannya oleh hukum.
b. Mediasi
Secara etimologi (bahasa), mediasi berasal dari bahasa latin
mediare yang berarti “berada di tengah” karena seorang yang
melakukan mediasi (mediator) harus berada di tengah orang yang
bertikai atau bersengketa”. Secara harfiah mediasi memiliki kata
dasar “media” yang berarti alat atau komunikasi, atau dapat diartikan
sebagai yang terletak diantara dua pihak (orang, golongan, dsb),
perantara atau penghubung.22
Menurut Gary Good Paster, mediasi adalah proses negosiasi
pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak
(Impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan
memuaskan.23
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang
melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa
guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela
22
Sudiarto, Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Pengertian Sengketa Alternatif di
Indonesia, (Pustaka Reka Cipta: Bandung, 2015), h., 35 23
Khotibul Umam, Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan, (Pustaka Yustisia :
Yogyakarta, 2010) h., 11
41
terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang
disengketakan.24
Keberhasilan mediasi bisa dipengaruhi oleh beberapa hal,
seperti kualitas mediator (training dan profesinalitas), usaha-usaha
yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang sedang bersengketa, serta
kepercayaan dari kedua pihak terhadap proses mediasi, kepercayaan
terhadap mediator, kepercayaan terhadap masing-masing pihak.25
Dalam suatu proses mediasi ada beberapa manfaat atau
keuntungan, jika dibandingkan dengan suatu proses alternatif-
alternatif yang lainnya, atau suatu proses yang akan dihadapi dalam
menyelesaikan masalah atau sengketa di pengadilan. Adapun manfaat
atau keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi sebagai
berikut :26
a. Voluntary
Keputusan untuk bermediasi diserahkan kepada kesepakatan para
pihak.
b. Informal/Fleksibel
Tidak seperti proses litigasi (pemanggilan saksi, pembuktian,
replik, duplik dan sebagainya) proses mediasi sangat fleksibel.
c. Interest Based
Dalam mediasi tidak dicari siapa yang benar atau salah, tetapi lebih
untuk menjaga kepentingan masing-masing pihak.
d. Future Looking
Karena lebih menjaga kepentingan masing-masing pihak, mediasi
lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak yang
bersengketa ke depan, tidak berorientasi ke masa lalu.
24
Sudiarto, Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Pengertian Sengketa Alternatif di
Indonesia, (Pustaka Reka Cipta: Bandung, 2015), h., 37 25
Ibid, h., 37 26
Nurnaningsih Amriani, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Raja
Grafindo Persada : Jakarta, 2012), h., 29
42
e. Parties Oriented
Dengan prosedur yang informal, maka para pihak yang
berkepentingan dapat secara aktif mengontrol proses mediasi dan
pengambilan penyelesaian tanpa terlalu bergantung kepada
pengacara.
f. Parties Control
Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan keputusan dari
masing-masing pihak.
Walaupun proses penyelesaian sengketa melalui forum mediasi
memiliki beberapa keuntungan, akan tetapi alternatif penyelesaian
sengketa ini juga mempunyai beberapa kekurangan-kekurangan antara
lain, yaitu :27
1. Bisa memakan waktu yang lama.
2. Mekanisme eksekusi yang sulit, karena cara eksekusi putusan
hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak.
3. Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk
menyelesaikan sengketanya sampai selesai.
4. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik terutama jika
informasi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya.
5. Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan
adanya fakta-fakta hukum yang penting, yang tidak disampaikan
pada mediator, sehingga putusannya menjadi biasa.
c. Konsiliasi
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai
usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk
mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan.28
Adapun
dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan konsiliasi adalah penciptaan penyesuain pendapatan dan
27
Sudiarto, Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Pengertian Sengketa Alternatif di
Indonesia, (Pustaka Reka Cipta: Bandung, 2015), h., 43 28
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi,
Konsiliasi, dan Arbitrase, (PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 91
43
penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persahabatan. Menurut
Gunawan Widjaja, konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian
sengketa alternatif yang melibatkan seorang pihak ketiga atau lebih
dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan
sengketa adalah seorang yang secara profesional sudah dapat
dibuktikan kehandalannya.29
Dengan demikian pihak konsiliator
hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu dan
tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan,
membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut
tidak mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu
langsung, dan lain-lain.30
d. Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrase” (bahasa Latin)
yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara
menurut kebijaksanaan”.31
Menurut R. Subekti menyatakan, bahwa arbitrase adalah
“penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para
hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada
atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka
pilih”.32
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 1 huruf (1) tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, arbitase
adalah “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
29
Gunawan Widjaya & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Raja Grafindo Persada: Jakarta,
2000), h., 3 30
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Citra Aditya
Bhakti: Bandung, 2009), h., 52 31
Sudiarto, Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Pengertian Sengketa Alternatif di
Indonesia, (Pustaka Reka Cipta: Bandung, 2015), h., 62 32
Ibid, h., 63
44
Pada umunya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai
berikut:33
1. Sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum, sehingga
kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
2. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan
administratif dapat dihindari.
3. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang sesuai
dengan keyakinannya dari hal pengalaman, pengetahuan, serta
latar belakang arbiter yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan.
4. Putusan arbitrase mengikat para pihak (final and binding) dan
melalui tata cara sederhan ataupun langsung dapat dilaksanakan.
5. Pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan
tempat penyelenggaraan arbitrase dapat ditemukan oleh para
pihak.
6. Di dalam proses arbitrase, arbiter, atau majelis arbitrase harus
mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.
Disamping keunggulan/keuntungan arbirase, tidak menutup
kemungkinan tidak terdapatnya suatu kelemahan. Kelemahan dan
kritikan terhadap arbitrase antara lain sebagai berikut :34
1. Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-
perusahaan bonafide.
2. Kurang power untuk menggiring para pihak ke settlement.
3. Kurang power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lain-
lain.
4. Kurang power untuk hal law enforcement dan eksekusi
keputusan.
33
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Sinar Grafika: Jakarta, 2013), h., 62 34
Sudiarto, Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Pengertian Sengketa Alternatif di
Indonesia, (Pustaka Reka Cipta: Bandung, 2015), h., 74
45
5. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif.
6. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu
sama lain karena tidak ada sistem “precedent” terhadap
keputusan sebelumnya.
7. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para
arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga
standar mutu keputusan arbitrase (“An arbitration is as good as
arbitrators”).
C. Tinjuan umum tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan
Pasal 1 angka (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor
Jasa Keuangan adalah lembaga yang melakukan penyelesaikan sengketa di
luar pengadilan. Berdasarkan POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya LAPS yang dimuat dalam
daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh OJK
yang dapat menangani sengketa pada sektor jasa keuangan.
Lembaga alternatif penyelesian sengketa yang dimuat dalam daftar
lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh OJK sesuai
Pasal 4 huruf (a) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014
bahwa lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang didirikan oleh lembaga
jasa keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi dan atau lembaga yang
menjalankan fungsi self regulatoryorganization dan mempunyai layanan
penyelesaian sengketa paling kurang berupa mediasi, ajudikasi, dan arbitrase.
Berikut ini merupakan lembaga-lembaga yang telah termuat dalam
daftar lembagaalternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh OJK
dapat dilihat pada tabel :
46
Tabel 2.1 : Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
di Sektor Jasa Keuangan
No.
Nama LAPS
Alamat
Sektor
1.
Badan Mediasi dan Arbitrase
Asuransi Indonesia (BMAI)
Gedung Menara
Duta Lt.7, Wing A
Jl. HR. Rasuna Said
Kav. B-9
Jakarta 12910
Perasuransian
2.
Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI)
Gedung Bursa Efek
Indonesia,
Tower I Lantai 28
Suite 2805
Jl. Jend. Sudirman
Kav. 52-53
Jakarta 12190
Pasar Modal
3.
Badan Mediasi Dana Pensiun
( (BMDP)
Gedung Arthaloka
Lantai 16
Jl. Jend. Sudirman
Kav. 2 Jakarta
Dana Pensiun
4.
Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI)
Griya Perbanas Lt.1
Jl. Perbanas, Karet
Kuningan
Setiabudi, Jakarta
Perbankan
5.
Badan Arbitrase dan Mediasi
Perusahaan Penjaminan
Indonesia
(BAMPPI)
Gedung Jamkrindo
Jl. Angkasa Blok B-
9 Kav. 6
Kota Baru Bandar
Kemayoran
Jakarta Pusat
Penjaminan
6.
Badan Mediasi Pembiayaan dan
Pergadaian Indonesia (BMPPI)
Kota Kasablanka
Tower A
Lantai 7 Unit D
Jl. Kasablanka Kav.
88, Jakarta
Pembiayaan dan
Pergadaian
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan Tahun 2016
47
Setiap lembaga jasa keuangan wajib menjadi anggota pada 1 (satu)
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) sesuai dengan kegiatan
usaha utamanya tertera pada pasal Pasal 3 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014. Dilihat dari daftar lembaga alternatif
penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh OJK tersebut, dapat disimpulkan
bahwa dalam hal sengketa perbankan, maka konsumen (nasabah) dan bank
dapat menyelesaikannya di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI).
Pendirian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengeta Perbankan
Indonesia (LAPSPI) tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam penyelesaian
pengaduan konsumen oleh lembaga perbankan sering kali tidak tercapai
kesepakatan antara konsumen dengan lembaga perbankan. Untuk mengatasi
hal tersebut diperlukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar
pengadilan yang ditangani oleh orang-orang yang memahami dunia
perbankan dan mampu menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan
efisien.35
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014
tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan,
Asosiasi dibidang Perbankan, yakni Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas),
Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Asosiasi Bank Pembangunan
Daerah (Asbanda), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo),
Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia (Perbina), dan Perhimpunan
Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), telah menandatangani Nota
Kesepakatan Bersama tertanggal 5 Mei 2014 untuk membentuk lembaga
alternatif penyelesaian sengketa, yang kemudian diberi nama Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
35
Maksud dan Tujuan utama menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan untuk sektor Perbankan Konvensional dan Syariah (LAPSPI).
48
BAB III
GAMBARAN MENGENAI LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA PERBANKAN INDONESIA (LAPSPI)
A. Sejarah singkat berdirinya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI)
Pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI) didasarkan kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, yang ditindaklanjuti dengan MoU antara 6
(enam) Asosiasi Perbankan, yakni Perhimpunan Bank Nasional
(PERBANAS), Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA), Asosiasi Bank
Pembangunan Daerah (ASBANDA), Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(ASBISINDO), Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia
(PERBINA) dan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia
(PERBARINDO) tanggal 5 Mei 2014.1
Anggaran Dasar LAPSPI dituangkan dalam akta no. 36 tanggal 28
April 2015 oleh Notaris Ashoya Ratam, S.H., MKn., dan telah mendapatkan
persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia vide Surat
Keputusan MENKUMHAM nomor AHU-0004902.AH.01.07 tahun 2015
tanggal 16 September 2015. Sesuai POJK nomor 1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, LAPSPI
telah dievaluasi oleh Tim Penilai OJK pada tanggal 21 Oktober 2015 dan
telah memenuhi persyaratan sebagai LAPS resmi yang terdaftar di OJK vide
surat OJK No. No. S-7/EP.1/2015 tanggal 21 Desember 2015.
Strategi pengembangan LAPSPI didasarkan kepada Strategi Nasional
Perlindungan Konsumen dan Rencana Pengembangan Jangka Menengah
Nasional; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
1 Diakses pada 26 Februari 2018 dari http://lapspi.org
49
Konsumen; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
B. Visi dan Misi LAPSPI
Adapun Visi dan Misi dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI) :2
Visi
Menjadi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang profesional, adil,
terpercaya, dan pilihan utama nasabah dan bank dalam menyelesaikan
sengketa perbankan.
Misi
Memberikan pelayanan alternatif penyelesaian sengketa yang adil, cepat,
murah, dan efisien;
Menyediakan skema layanan penyelesaian sengketa yang mudah diakses
oleh konsumen;
Menyediakan tenaga Mediator, Adjudikator, dan Arbiter yang kompeten,
kredibel, dan memiliki integritas;
Melaksanakan tata kelola Lembaga berjalan dengan baik sesuai dengan
prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan
kewajaran (fairness);
Mendorong industri perbankan dan masyarakat menggunakan LAPSPI
sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang utama
Berdasarkan dari segi Core Values (nilai inti) LAPSPI, yaitu sebagai
berikut:
a) Trust :
1. Amanah dan memenuhi harapan
2. Senantiasa mengutamakan karya terbaik
2 Booklet profil Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI),
pada 26 Februari 2018, h., 1
50
b) Integrity :
Bertindak konsisten sesuai aturan, kebijakan, prosedur dan Kode Etik
Lembaga
c) Reputable :
1. Memiliki Mediator, Ajudikator dan Arbiter yang profesional
2. Menjalankan proses yang cepat, murah, efektif dan efisien secara
konsisten
3. Memberikan keputusan yang netral/imparsial, rasional, dan adil
4. Melaksanakan tata kelola yang baik
d) Independence :
1. Bebas dari intervensi pihak lain
2. Bebas dari Benturan Kepentingan
C. Struktur LAPSPI
Gambar 3.1 : Struktur Organisasi LAPSPI
Sumber : Ketua LAPSPI
RapatUmum
Anggota (RUA)
Badan
Pengawas
Pengurus
Komite
Kehormatan
Cash
Manager (CS)
MAA
Sekretaris
51
Organ LAPSPI terdiri dari :3
1. Rapat Umum Anggota (RUA)
2. Badan Pengawas (6)
3. Pengurus (3)
4. Komite Kehormatan (4)
5. Cash Manager/CM (1)
6. Sekretaris (3)
7. Mediator Ajudikator Arbiter/MAA (28)
Pegurus, Badan Pengawas, dan Dewan Kehormatan
a. Pengurus
Pengurus diangkat oleh Rapat Umum Anggota (RUA) dari calon
yang diusulkan oleh Anggota yang secara bersama-sama mewakili paling
sedikit 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota berdasarkan
rekomendasi dari Badan Pengawas. Masa jabatan pengurus adalah 4 tahun
dan dapat dipilih kembali. Pengurus paling kurang terdiri dari 1 (satu)
orang Ketua; 1(satu) orang atau lebih Sekretaris; dan 1(satu) orang atau
lebih Bendahara.
Pengurus LAPSPI dalam periode pendirian adalah sebagai berikut :
1. Ketua : Himawan E Subiantoro
2. Sekretaris : Saifuddin Latief
3. Bendahara : Nirwana Atta
b. Badan Pengawas
Badan Pengawas paling kurang terdiri dari 1 (satu) orang Ketua; 1
(satu) atau lebih Wakil Ketua; 1 (satu) atau lebih anggota; dan paling
banyak Badan Pengawas mempunyai anggota yang sama dengan jumlah
asosiasi yang ada di sektor Perbankan. Adapun Badan Pengawas dipilih
dan diangkat oleh RUA. Masa jabatan Badan Pengawas adalah terhitung
sejak RUA yang memilih dan mengangkatnya sampai dengan penutupan
3Interview Pribadi Bapak Himawan E Subiantoro, Ketua Lembaga Alternatif Penyelesain
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Jakarta Selatan, 09 Februari 2018.
52
RUA yang ke-4 dan dapat dipilih kembali maksimum untuk 1 (satu) masa
jabatan berikutnya.
Pengawasan LAPSPI dilaksanakan oleh Badan Pengawas yang
terdiri dari Pengurus Asosiasi sebagai berikut :
1. Ketua Umum Perbanas : Sigit Pramono
2. Ketua – I Himbara : Maryono
3. Ketua Umum Asbanda : Eko Budiwiyono
4. Ketua Umum Asbisindo : Agus Sudiarto
5. Sekretaris Jendral Perbina : Kemal A Stamboel
6. Ketua Umum Perbarindo : Joko Suyanto
c. Dewan Kehormatan
Dewan Kehormatan LAPSPI diangkat oleh Pengurus dengan
persetujuan Badan Pengawas untuk masa jabatan 3 tahun. Tugas utama
dan kewenangan Dewan Kehormatan adalah untk menyelesaikan
persoalan yang menyangkut pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh
Mediator, Adjudikator, dan Arbiter LAPSPI.
Komite Kehormatan LAPSPI terdiri dari figure yang telah teruji
integritasnya dan mempunyai reputuasi yang baik dikalangan industri
perbankan.4
Tugas Komite Kehormatan antara lain :
1. Menerima dan memeriksa pengaduan tertulis baik dari Pengurus
maupun pihak lain mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik
oleh Mediator/Adjudikator/Arbiter LAPSPI;
2. Membentuk sidang etik yang anggota-anggotanya berasal dari Dewan
Kehormatan sendiri untuk memeriksa dan menyidangkan pengaduan
tersebut di atas;
3. Memberikan putusan, melalui sidang etik, berdasarkan pemeriksaan
dan persidangan yang telah diadakan;
4 Diakses pada 05 Maret 2018 dari http://lapspi.org
53
4. Memberikan rekomendasi kepada Pengurus berdasarkan putusan yang
telah dijatuhkan oleh sidang etik.
Jika dilihat dari data keanggotaan LAPSPI yaitu sebanyak 143 bank,
yang terdiri dari 118 Umum baik konvensional maupun syariah, dan 25
perwakilan dari PERBARINDO yang terdiri dari 1 DPP dan 24 DPD
anggota mewakili +/- 1.600 Bank Perkreditan Rakyat/Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPR/BPRS) di seluruh Indonesia. Sifat keanggotaan
LAPSPI secara otomatis diterapkan bagi setiap bank yang telah mendapat
ijin usaha oleh Perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan.5
D. Hak dan Kewajiban Anggota
Setiap anggota mempunyai Hak antara lain sebagai berikut :6
1. Hadir dan mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Anggota;
2. Mencalonkan, memilih Pengurus dan Badan Pengurus;
3. Mengajukan pendapat atau saran dalam Rapat Umum Anggota;
4. Memperoleh layanan informasi, pendidikan dan pelatihan;
5. Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang setara;
6. Memperoleh bimbingan konsultasi tentang mediasi, ajudikasi, dan
arbitrase;
7. Hadir pada waktu pengurus akan menetapkan tindakan disiplin atau
penilaian atas perilaku anggota yang bersangkutan;
8. Membela diri terhadap suatu keputusan/peraturan yang merugikan
dirinya.
Setiap anggota mempunyai kewajiban antara lain, sebagai berikut :
1. Membayar kewajiban keuangan anggota yang ditetapkan;
2. Tunduk dan patuh terhadap Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga,
Kode Etik dan peraturan lainnya yang ditetapkan, serta sikap keputusan
yang sah dari Rapat Umum Anggota maupu Rapat Pengurus;
5 Booklet profil Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI),
pada 26 Februari 2018., h.3 6Ibid h.4
54
3. Mengakui LAPSPI sebagai satu-satunya wadah dan organisasi dalam
penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
4. Menghadiri pertemuan serta kegiatan untuk anggota yang
diselenggarakan oleh Lembaga.
E. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)
Dalam penyelesaian sengketa melalui LAPSPI terdiri dari tiga (3) cara,
diantaranya :
1. Mediasi
Adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan perdamaian dengan
dibantu oleh Mediator. Mediasi dipilih karena adanya keinginan para
pihak untuk menyelesaikan sengketa tanpa saling merugikan salah satu
pihak (win-win solution), dan dalam mediasi di LAPSPI terbagi menjadi
2 macam nasabah yaitu : Mediasi Nasabah Basic Account (BSA)dan
UMKM.7
Jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui Mediasi LAPSPI
harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini:
a. Merupakan sengketa perdata di bidang Perbankan atau berkaitan
dengan bidang Perbankan;
b. Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh Pihak yang
bersengketa;
c. Sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian;
d. Sengketa yang telah menempuh upaya musyawarah tetapi Para Pihak
tidak berhasil mencapai perdamaian; dan
e. Antara Pemohon dan Termohon telah terikat dengan Perjanjian
Mediasi
7Ibid, h., 8
55
2. Adjudikasi
Adalah cara penyelesaian Sengketa diluar arbitrase dan peradilan
umum yang dilakukan oleh Adjudikator untuk menghasilkan suatu
putusan yang dapat diterima oleh Pemohon sehingga dengan penerimaan
tersebut maka putusan dimaksud mengikat Para Pihak.
Adjudikator adalah seorang yang ditunjuk untuk memeriksa perkara dan
memberikan putusan Adjudikasi mengenai sengketa tertentu yang
diajukan penyelesaiannya kepada LAPSPI
Jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui Adjudikasi LAPSPI
harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini:
a. Merupakan sengketa di bidang Perbankan dan/atau berkaitan dengan
bidang Perbankan;
b. Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh Pihak yang
bersengketa;
c. Sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian;
d. Sengketa yang telah menempuh upaya Mediasi pada layanan Probono
(cuma-cuma), tetapi Para Pihak tidak berhasil mencapai perdamaian;
e. Antara Pemohon dan Termohon terikat dengan Perjanjian Adjudikasi.
3. Arbitrase
Adalah cara penyelesaian sengketa perdata bidang perbankan dan
yang terkait bidang perbankan di luar peradilan umum yang didasarkan
pada Perjanjian Arbitrase, yang dibuat secara tertulis oleh Para Pihak
yang bersengketa. Arbiter adalah seorang atau lebih yang merupakan
Arbiter Tetap/Arbiter Ad Hoc LAPSPI yang dipilih oleh Para Pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk LAPSPI untuk memeriksa perkara dan
memberikan Putusan Arbitrase mengenai sengketa yang diajukan
penyelesaiannya kepada LAPSPI.
Adapun sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase
LAPSPI harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini:
56
a. Merupakan sengketa di bidang perbankan dan/atau berkaitan dengan
bidang perbankan;
b. Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh Pihak yang
bersengketa;
c. Sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian;
d. Antara Pemohon dan Termohon terikat dengan Perjanjian Arbitrase.
57
BAB IV
ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
MELALUI LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN INDONESIA (LAPSPI)
A. Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur Internal Dispute
Resolution dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI) pada PT. Bank BNI Syariah
Pada bagian ini penulis akan menganalisis hasil penelitian penulis,
dimulai dari jalur Internal Dispute Resolution pada PT. Bank BNI
Syariahkemudian dilanjutkan pada jalur Eksternal Dispute Resolution pada
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
Dalam hal ini, memang pada tahap utama Lembaga Jasa Keuangan (LJK),
jika tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara nasabah
dengan pihaknya, maka sesuai dengan amanah Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
yang telah diterbitkan yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
(POJK Perlindungan Konsumen) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI) di Sektor Jasa Keuangan.
Dengan adanya peraturan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan memberikan
kemudahan bagi Lembaga Jasa Keuanga untuk mampu mengupayakan
menyelesaikan sengketa melalui jalur/lembaga tersebut. Dari uraian diatas,
maka penulis menarik pola hubungan terkait akibat hukum adanya
keberadaan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI) tersebut.
1. Internal Dispute Resolution pada PT. Bank BNI Syariah
Pada dasarnya, setiap adanya suatu permasalahan atau sengketa
dalam suatu perusahaan atau Lembaga Jasa Keuangan (LJK), dipastikan
cara paling utama dalam menyelesaikan suatu permasalahan tersebut
58
yaitu melalui jalur Internal Dispute Resolution (penyelesaian pihak
dalam/lembaga jasa keuangan), karena memang tidak dapat dihindari
bahwa begitu banyak permasalahan yang terjadi di dalam lingkup
lembaga jasa keuangan, dan permasalahan pun beragam.Disinilah penulis
mencoba menganalisis prosedur atau tahap-tahap dalam penyelesaian
permasalahan yang terjadi antara nasabah dengan Lembaga Jasa
Keuangan (LJK).
Penerimaan Pengaduan Nasabah
a. Kantor Cabang Terdekat (pengaduan lisan)
b. BNI Call Center 1500046
c. Kantor Pusat (pengaduan tertulis)
d. Nama nasabah
e. Nomor rekening nasabah
f. Jenis layanan/produk yang diadukan
g. Nominal transaksi (jika pengaduan terkait finansial)
h. Waktu kejadian
i. Tempat kejadian
j. Permasalahan yang diadukan
k. Nomor telepon yang dapat dihubungi
l. Fotokopi bukti identitas kuasa nasabah
m. Surat kuasa khusus dari nasabah kepada perwakilan nasabah yang
menyatakan bahwa nasabah memberikan kewenangan kepada kuasa
yang ditunjuk (perorangan, lembaga, atau badan hukum) untuk
mewakilinya, bertindak untuk dan atas nama nasabah. Tanpa adanya
surat kuasa, Bank tidak dapat melakukan tindak lanjut atas
pengaduan yang disampaikan perwakilan nasabah
n. Setiap pengaduan yang disampaikan nasabah, petugas Bank akan
mencatat ke dalam sistem pencatatan pengaduan
59
Alur penyampaian dan penyelesaian pengaduan BNI Syariah
Gambar 4.1 : Alur penyampaian dan penyelesaian pengaduan
Sumber : Website BNI Syariah
Dari uraian diatas terlihat jelas terkait prosedur penyelesaian pengaduan
permasalahan antara nasabah dengan BNI Syariah, penanganan atau proses
pengaduan permasalahan tesebut memang tidak jauh berbeda dengan
Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lainnya, yaitu proses penyampaian pengaduan
nasabah kepada kantor cabang terdekat. Sebelum pengaduan permasalahan ke
kantor cabang, ada pula beberapa media pengaduan permasalahan yaitu
Menyampaikan
pengaduan
NASABAH PETUGAS BNI SYARIAH
Melakukan registrasi
pengaduan
Memberikan tanda
terima atau nomor
registrasi
Menyampaikan hasil
penyelesaian pengaduan*
Menyampaikan
pemberitahuan
perpanjangan waktu
Menyampaikan hasil
penyelesaian pengaduan**
Keterangan :
*) BNI Syariah mengupayakan
penyelesaian pengaduan dalam waktu
maksimal 20 hari kerja
**) apabila complain tidak dapat
diselesaikan dalam waktu 20 hari
kerja, nasabah akan memperoleh
informasi bahwa pengaduannya akan
segera diselesaikan dalam waktu
maksimal 20 hari kerja berikutnya.
60
melalui BNI Call 1500046, mengunjungi Website, dan nasabah mengirimkan
Email. Namun untuk saat ini BNI Syariah pengaduannya diarahkan kepada
Kantor Cabang terdekat, dikarenakan untuk BNI Call sendiri memang
dikhususkan untuk menangani pengaduan nasabah BNI Konvensional, disisi
lain fungsi BNI Call bagi BNI Syariah hanya untuk menghandle terkait
produk IB Hasanah, jika terkait permasalahan Banking, kembali lagi
diarahkan untuk datang langsung ke Kantor Cabang terdekat.1
Dalam hal apabila nasabah melakukan pengaduan permasalahan kepada
Kantor Cabang, maka tahap awal yaitu nasabah wajib melengkapi data
administrasi atau registrasi pengaduan, setelah mengisi form pengaduan,
nasabah akan mendapatkan bukti tanda pengaduan (nomor registrasi) tersebut
oleh pihak kantor cabang, dari Kantor Cabang pengaduan permasalahan
tersebut akan di input ke sistem internal atau sistem aplikasi penangan
pengaduan Online Request Management yang langsung terhubung kepada
Kantor Pusat. Ketika data pengaduan diterima, Kantor Pusat akan mencoba
menghubungi ke unit handling yang mengerti atau menangani permasalahan
tersebut.
Pada saat penanganan masalah yang dilakukan oleh unit handling tidak
menemukan titik temu dan membutuhkan waktu yang cukup lama karena
sulitnya permasalahan, maka unit handling akan menginformasikan kepada
Kantor Pusat agar informasi tersebut disampaikan kepada Kantor Cabang dan
nasabah, mengenai perpanjangan waktu penyelesaian pengaduan
diberitahukan secara tertulis kepada nasabah,2 kemudian BNI akan
memberikan informasi penyelesaian atas pengaduan nasabah melalui sarana
telepon, email, surat ataupun pesan singkat (short message service/sms), dan
BNI Syariah mengupayakan penyelesaian pengaduan permasalahan maksimal
20 hari kerja. Lain hal jika sudah terdapat jawaban dari unit terkait, maka unit
terkait langsung memberikan jawaban kepada Kantor Pusat. Tahap akhir
yaitu Kantor Pusat menginformasikan jawaban tersebut, lalu dikirim kembali
1Interview Pribadi Ibu Marisna Yusnanda, Unit handling Compliance, Jakarta Selatan, 26
Maret 2018. 2 Surat Edaran OJK (SE OJK) Nomor 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014
61
melalui sistem aplikasi Online Request Management, dan Kantor Cabang pun
menyampaikan hasil penyelesaian pengaduan kepada nasabah.
Apabila nasabah merasa solusi penyelesaian yang diberikan oleh BNI
Syariahtidakmemenuhi harapan, maka nasabah dapat melanjutkan proses
penyelesaian pengaduan melalui layanan mediasi Bank Indonesia, Otoritas
Jasa Keuangan ataupun Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI).
Penyelesaian Pengaduan
Tabel 4.1 : Klasifikasi penyelesaian pengaduan LJK
No.
Jenis Pengaduan
Penyelesaian Pengaduan
1.
Pengaduan Lisan
2 hari kerja
2.
Pengaduan Tulisan
14 hari kerja
Sumber : POJK No. 1/POJK.07/2013
Dalam kondisi tertentu Bank dapat memperpanjang jangka waktu
penyelesaian sampai dengan 20 hari kerja berikutnya sesuai dalam pasal 35
ayat (2) dan (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013. Perpanjangan jangka waktu
penyelesaian pengaduan dapat dilakukan dengan kondisi sebagai berikut:
a. Unit kerja yang menerima pengaduan tidak sama dengan unit kerja
tempat terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala
komunikasi di antara kedua Kantor Bank tersebut;
b. Pengaduan yang disampaikan memerlukan penelitian khusus terhadap
dokumen yang ada pada Bank;
c. Terdapat hal-hal yang di luar kendali Bank, seperti adanya keterlibatan
pihak ketiga di luar Bank dalam transaksi yang dilakukan nasabah.
62
2. Eksternal Dispute Resolution pada Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)
Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah sektor lembaga Jasa
keuangan pada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia, begitu banyak nasabah atau bahkan masyakat umum belum
mengetahui keberadaan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI), karena memang keberadaan LAPSPI
baru dibentuk dan beroperasi di bulan Januari Tahun 2016, dan banyak
masyarakat yang beranggapan bahwa LAPSPI tersebut hanya melindungi
Lembaga Jasa Keuangan Konvensional, dan terkait prosedur
penanganannya seperti apa memang masyarakat belum begitu paham.
Disinilah penulis berupaya untuk menganalisis mengenai prosedur
penyelesaian sengketa melalui Jalur Eksternal Dispute Resolution pada
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI), dan menganalisis terkait sejauh mana keberadaan dan
penanganan melalui LAPSPI sampai saat ini.
Prosedur penyelesaian sengketa pada Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), memang cukup
berbeda dengan lembaga atau badan penyelesaian sengketa konsumen
lainnya, karena memang keberadaan LAPSPI ini hanya untuk
menyelesaikan sengketa di sektor Lembaga Jasa Keuangan yang kegiatan
usahanya secara konvensional dan syariah. Selanjutnya mengenai
berjalannya hukum acara di LAPSPI ini memang diawal lebih mengenal
dengan sistem “berjenjang”, dalam tiap penyelesaiannya. Namun, kini
tahap penyelesaian sengketa di LAPSPI sudah di modifikasi agar filosofi
alternatif penyelesaian sengketa perbankan menjadi sesuai.
Dalam arti cepat, efisien, efektif dan tentu murah. Jika
penyelesainnya berjenjang maka tidak jauh berbeda dengan Pengadilan
pada umumnya, tidak akan efektif, tidak efisien, dan dalam hal ini pihak
LAPSPI pun melihat segmen nasabah (konsumen), karena segmen
nasabah (konsumen) bermacam-macam, yaitu ada nasabah atau
63
konsumen yang ingin menyelesaikan sengketa Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) atau bahkan sampai 1.000.000.000.000,- (satu triliyun
rupiah),3 peraturan yang sudah diterapkan oleh OJK dengan fakta yang
ada memang jauh berbeda, bahwa dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan sesuai Pasal 41 huruf (a) nasabah/konsumen yang
mengalami kerugian finansial maksimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah), dalam hal ini memang kembali lagi pada permintaan
nasabah, dikarenakan nasabah mempunyai karakterisitik beraneka ragam.
Dari uraian diatas bahwa LAPSPI sendiri terdapat 3 cara
penyelesaian sengketa yaitu Mediasi, Adjudikasi dan Arbitrase.
Pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui mediasi ini sama seperti
mediasi lainnya dikarenakan memang hasil akhirnya yaitu
mengedepankan win-win solution, berbeda dengan adjudikasi dan
arbitrase. Namun ada hal yang berbeda mediasi di LAPSPI dengan
lainnya yaitu dari hal biaya, karena di LAPSPI sendiri mengenal dengan
adanya Mediasi Nasabah Basic Saving Account (BSA) dan UMKM, dan
juga terdapat 2 kategori dalam biaya perkara penyelesain sengketa yaitu
Layanan Probono dan Layanan Komersial.
Layanan Probono (Cuma-Cuma) dalam LAPSPI ialah tuntutan Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta), sebagai Nasabah Basic Saving Account
(BSA) dan UMKM, dengan demikian tidak kenakan biaya perkara.
Nasabah Basic Saving Account (BSA) adalah nasabah yang mempunyai
jumlah saldo kecil atau saldo rekening maksimal Rp. 20.000.000,- (dua
puluh juta rupiah) sesuai dalam pasal 5 angka (2) Salinan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan No.19/POJK.03/2014 tentang Layanan
Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif, dapat
disimpulkan bahwa setiap nasabah yang berperkara dalam penyelesaian
sengketa yang mengalami kerugian finansial kurang dari 500.000.000,-
3 Interview Pribadi Bapak Himawan E Subiantoro, Ketua Lembaga Alternatif Penyelesain
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Jakarta Selatan, 09 Februari 2018.
64
(lima ratus juta rupiah), dan masuk dalam kategori Layanan Probono
maka dapat dipastikan di gratiskan dalam biaya penyelesaian sengketa di
LAPSPI, dan biaya tersebut sudah ditanggung oleh Otoritas Jasa
Keuangan dan pihak dari LAPSPI, sedangkan Layanan Komersial ialah
biaya yang dikenakan bagi pihak nasabah/konsumen yang memang tidak
termasuk dalam kategori nasabah Basic Saving Account (BSA) dan
UMKM, dan tentu biaya kerugian ≤Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
Kemudian pada tahap Adjudikasi dan Arbitrase sangat berbeda,
yakni pada tahap ini nasabah/konsumen akan dikenakan biaya dalam
penyelesaian perkara. Pada tahap Adjudikasi; biaya Adjudikasi akan
dikenakan, biaya pendaftaran sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah),
dan biaya Jasa adjudikator dan biaya sengketa total Rp.10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah). Biaya perkara kerugian finansial maksimal Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), maka secara otomatis akan
langsung masuk pada tahap Mediasi dan tahap Adjudikasi. Berbeda pada
tahap Arbitrase, apabila setiap perkara tuntutan yang masuk mengalami
kerugian ≥Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), maka secara
otomatis akan diselesaikan pada tahap tersebut, mengenai biaya Perkara
Arbitrase; biaya Sengketa dan biaya Pendaftaran total Rp. 20.000.000,-
(dua puluh juta rupiah), dan Biaya Arbiter Rp. 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah), apabila nilai sengketa mencapai Rp. 1.000.000.000,- (satu
milyar rupiah).
Jika melihat tahap penyelesaian sengketa pada Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) sampai saat ini,
tahap Mediasi paling banyak terselesaikan, sekitar 72 perkara selama 2
(dua) tahun terakhir dan termasuk pendaftaran perkara yang didaftarakan
pada Perbankan Syariah,4 terbukti memang tidak selamanya perselisihan
dapat menyebabkan permusuhan antar pihak, namun perselisihan mampu
4Interview Pribadi Bapak Himawan E Subiantoro, Ketua Lembaga Alternatif Penyelesain
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Jakarta Selatan, 09 Februari 2018.
65
diselesaikan secara damai atau musyawarah, dan banyak pula perkara
tersebut mengenai Pembiayaan macet dan E-banking pada Perbankan
Syariah.5
Pada tahap awal penulis sudah menjelaskan bahwa penyelesaian
sengketa di LAPSPI ini memang berbeda dengan Lembaga atau Badan
penyelesaian sengketa lainnya, bahwa dalam pelaksanaanya pihak
LAPSPI, diawal selalu memfilter setiap perkara, bahwa perkara yang
akan ditanganinya masuk pada tahap mana yang tepat, agar perkara
tersebut cepat terselesaikan, karena lebih mengedepankan Misi dari
keberadaan LAPSPI yaitu adil, cepat, murah, dan efisien, dan selalu
berpendirian pada Visi dalam pelaksanaannya yaitu “menjadi Lembaga
yang profesional, terpercaya, dan pilihan utama nasabah dan bank dalam
menyelesaikan sengketa”, dengan demikian Visi dan Misi tersebut sudah
melekat pada LAPSPI.
Jika melihat proses penyelesaian sengketa di LAPSPI bahwa setiap
berperkara telah diselesaikan, maka data tersebut wajib untuk segera di
musnahkan, namun tetap terlebih dahulu data tersebut diinput sebagai
dasar yurisprudensi pelembagaan, dan nantinya dari setiap perkara yang
sudah diinput maka LAPSPI akan mengadakan sharing kepada Lembaga
Jasa Keuangan (LJK) lain, bahwa terdapat perkara demikian, sehingga
memungkinkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dapat mengantisipasi dari
setiap perkara yang ada dan sebagai bahan pembelajaran. Selain itu
bahwa seorang Mediator, Adjudikator dan Arbiter, dikemudian hari tidak
diperkenankan dijadikan seorang saksi, karena atas dasar unsur
confidential dan professional.
Dalam setiap penyelesaian sengketa baik di suatu Lembaga atau
Badan dipastikan tidak selancar yang dibayangkan, pada LAPSPI sendiri
selama 2 tahun terakhir ini terdapat beberapa perkara yang dapat
terselesaikan, pending, sampai tahap ditolak.
5Interview Pribadi Tryatha Sonny Putri, Cash Manager (LAPSPI), Jakarta Selatan, 09 April
2018.
66
Pada Periode 1 Januari 2016 – 31 Desember 2016, pada kasus
Kredit total 16, diantaranya 3 terselesaikan, 2 ditolak, dan 11 kembali
pada tahap Internal Dispute Resolution (IDR), kemudian pada kasus
Kartu Kredit jumlah kasus 9, diantaranya 3 terselesaikan, 6 kembali pada
tahap Internal Dispute Resolution (IDR), adapula kasus mengenai e-
banking/internet/banking/mobile banking yaitu total kasus 2 diantaranya,
3 terselesaikan, dalam hal ini pada periode 2016 pengaduan yang masuk
di LAPSPI total sekitar 27 kasus.
Kemudian pada periode 1 Januari 2017 – 31 Desember 2017, pada
kasus Kredit total 22, diantaranya 3 terselesaikan 1 dipending oleh
LAPSPI, 12 ditolak, dan 6 kembali pada tahap Internal Dispute
Resolution (IDR), kemudian pada kasus Kartu Kredit jumlah kasus 15,
diantaranya 6 terselesaikan, 1 dipending oleh LAPSPI, 5 ditolak, 3
kembali pada tahap Internal Dispute Resolution (IDR), pada kasus
permasalahan lingkup dana yaitu total 5 kasus, diantaranya 1 dipending
oleh LAPSPI, dan 4 kembali pada tahap Internal Dispute Resolution
(IDR), dan adapula kasus mengenai e-banking/internet/banking/mobile
banking yaitu total kasus 4 diantaranya, 1 terselesaikan, 1 dipending oleh
LAPSPI, dan 2 kembali pada tahap Internal Dispute Resolution (IDR),
dalam hal ini pada periode 2017 pengaduan yang masuk di LAPSPI total
sekitar 46 kasus.
Adapun dari akumulasi periode 1 Januari 2016 – 31 Desember
2017, pada kasus Kredit total 38, diantaranya 6 terselesaikan 1 dipending
oleh LAPSPI, 14 ditolak, dan 17 kembali pada tahap Internal Dispute
Resolution (IDR), kemudian pada kasus Kartu Kredit jumlah kasus 24,
diantaranya 9 terselesaikan, 1 dipending oleh LAPSPI, 5 ditolak, 9
kembali pada tahap Internal Dispute Resolution (IDR), pada kasus
permasalahan lingkup dana yaitu total 5 kasus, diantaranya 1 dipending
oleh LAPSPI, dan 4 kembali pada tahap Internal Dispute Resolution
(IDR), dan adapula kasus mengenai e-banking/internet/banking/mobile
banking yaitu total kasus 6 diantaranya, 3 terselesaikan, 1 dipending oleh
67
LAPSPI, dan 2 kembali pada tahap Internal Dispute Resolution (IDR),
dalam hal ini pada periode 2016 sampai dengan 2017 pengaduan yang
masuk di LAPSPI total sekitar 73 kasus.6
Dari data yang penulis terima dari pihak Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), bahwa dipastikan
perkara yag sudah didaftakan namun ditolak, dikarenakan bahwa perkara
tersebut sudah diputus atau diperiksa oleh Pengadilan atau Lembaga lain,
perkara yang diajukan bukan sengketa yang berkaitan dengan bidang
perbankan, dan adanya indikasi perbuatan melawan hukum.
B. Implikasi hukum adanya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI)
Keberadaan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia membuat adanya kepastian hukum bagi semua nasabah/konsumen
di Lembaga Jasa Keuangan. Namun jauh sebelum diterbitkannya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/ 2013 dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 1/POJK.07/ 2014, memang sudah ada Undang-Undang yang
mengatur mengenai perlindungan konsumen, namun dengan adanya suatu
peraturan baru mengenai perlindungan konsumen dalam hal penyelesaian
sengketa tidak adanya terjadi tumpang tindih antar peraturan, bahwa satu
sama lain saling menyempurnakan.
Jika dapat dilihat dari beberapa peraturan mengenai perlindungan
konsumen dan penyelesaian sengketa sampai saat ini hasil putusan yang telah
ditetapkan dalam setiap perkaranya selalu tidak sesuai dan selalu
bertentangan, dan bahkan banyak yang tidak sesuai dengan kompetensi pihak
yang memutuskan. Maka jika dapat dilihat dari segi Pengadilan, Basyarnas,
dan BPSK, jalur penyelesaian tersebut khusus untuk lingkup perbankan
kurang dari segi hal kompetensi pihak yang menyelesaikannya, karena
memang permasalahan perbankan, dibuthkan memang pihak-pihak yang
6 Data Pengaduan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI), Jakarta Selatan, 12 Februari 2018.
68
mempunyai keahlian dan background mengerti akan hal perbankan, dan dari
segi fiqhiyyah khusus pada perbankan syariah. Maka penulis berupaya
memberikan analisis terkait kelebihan dan kekurangan dari beberapa forum
penyelesaian sengketa khusus bagi lingkup perbankan :
Tabel 4. 2 : Kelebihan dan Kekurangan Lembaga Penyelesaian
Sengketa
Lembaga
Penyelesaian
Sengketa
Kelebihan Kekurangan
Pengadilan Agama
(PA)
Undang-Undang No.
3 Tahun 2006
Tentang Peradilan
Agama
o Murah
o Dapat di akses
melalui
website
o Terbuka untuk
umum
o Penyelesaiannya
berlarut-larut
(lama)
o Tidak efektif
o Hakim yang
memiliki sertifikasi
sedikit
o Hakim hanya
sedikit yang
berkompeten di
bidang perbankan
Badan Arbitrase
Syariah Nasional
(Basyarnas)
Undang-Undang No.
30 Tahun 1999
Tentang ADR dan
Arbitrase
o Murah
o Pengawasan
oleh MUI
o Adil
o Confidential
o Putusan Final
and Binding
o Mengerti dan
ahli dalam
fiqh
o sedikit yang
mengerti di bidang
perbankan
o tidak adanya
website
o tidak bertanggung
jawab penuh
kepada para pihak
setelah
memberikan
putusan.
Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
(BPSK)
Undang-Undang No.
8 Tahun 1999
Tentang
Perlindungan
Konsumen
o Murah
o Diutamakan
damai
o Berada di tiap
kabupaten
o Putusan final
and binding
o Lama
o Tidak efektif dan
efisien
o Menetapkan
putusan yang mana
terlalu pro kepada
konsumen
o Anggotanya tidak
ada yang berasal
69
dari perbankan
o Tidak adanya
pengawasan
Lembaga Alternatif
Penyelesaian
Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI)
Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan
No.1/POJK.07/2014
Tentang Lembaga
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa di Sektor
Jasa Keuangan
o Terdapat non
biaya, dan
berbiaya
o Cepat, efisien,
adil
o Berpengalama
n di bidang
perbankan
o Pengawasan
pada pihak
Otoritas Jasa
Keuangan.
o Meningkatkan
kualitas
penyelesaian
internal
o Terdapat
akses website
o Putusan Final
and binding
o Tanggung
jawab pihak
LAPSPI
dalam
memantau
para pihak
setelah
memberikan
putusan.
o Dikenakan
berbiaya cukup
mahal dikenakan
kepada penggugat
o Hanya terdapat di
daerah jakarta
o Aksebilitas atau
jarak
o Kemampuan pihak
Mediator yang
masih sedikit
mampu untuk
mengexplore setiap
keluhan para pihak
sedetail mungkin
terhadap suatu
permasalahan.
Dari uraian tabel, penulis sajikan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara penyelesaian sengketa jalur litigasi dan nonlitigasi (di luar
pegadilan), yang mana memang setiap lembaga penyelesaian sengketa
mempunyai kekurangan dan kelebihan. Jika dapat dilihat pada jalur
pengadilan bahwa memang sangat mudahnya nasabah (konsumen)
mengakses melalui website jika terdapat adanya pengaduan kepada
pengadilan, terlebih dapat melihat mengenai jadwal sidang, penelusuran
perkara, dan dapat mendaftar suatu perkara secara online, dan terlebih murah,
jika kita bandingkan dengan jalur nonlitigasi (di luar pengadilan) melalui
70
jalur basyarnas, memang jalur basyarnas sudah teruji anggotanya dan pihak
yang menyelesaikannya mengerti akan produk perbankan syariah menurut
syariat dan diawasi langsung oleh pihak MUI, tetapi memang terdapat
kekurangan bahwa tidak semua anggota mengerti akan dunia perbankan
secara keseluruhan, dan tidak adanya website, sehingga sulit mengakses
keberadaan dari basyarnas. Kemudian pihak yang berada di kantor sangat
sedikit, dikarenkan memang mempunyai kesibukkan lain dari anggota
basyarnas, tetap setiap putusan arbitrase final and binding, tetapi setiap
putusan arbiter ketika sudah diputus, salinan putusan tersebut selanjutnya
didaftarkan kepada pengadilan agama, kemudia pihak basyarnas selanjutnya
tidak bertanggung jawab terkait putusan tersebut di eksekusi atau tidak, dan
semunya kembali pada itikad baik para pihak.
Kemudian pada jalur penyelesaian sengketa nonlitigasi melalui jalur
BPSK yaitu tidak jauh berbeda dengan Basyarnas, tetapi memang untuk
lingkup lembaga jasa keuangan sangat dibatasi, bahwa hanya lingkup
perbankan, pembiayaan dan asuransi yang dapat di lindungi oleh Undang-
Undang perlindungan konsumen atau BPSK, diluar pada lingkup tersebut,
tidak dapat dilindungi oleh UUPK, dikarenakan jalur penyelesaian sengketa
oleh BPSK yang hanya dilindungi yaitu konsumen akhir saja, yang tidak
mencari keuntungan, hanya memanfaatkan atau memakai jasa/barang, dan
jika dilihat pada penyelesaian sengketa yang baru beroperasi selama 2 tahun
ini yaitu LAPSPI memang penyelesaian sengketa dikhususkan bagi semua
sektor jasa keuangan atau lebih khusus pada lingkup perbankan. Dengan
Otoritas Jasa Keuangan memberikan amanah kepada asosiasi-asosiasi khusus
membentuk lembaga tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi
lembaga jasa keuangan terlebih perbankan dengan mudah menyelesaikannya
pada lembaga tersebut. Dilain sisi telah terbukti bahwa lembaga penyelesaian
sengketa tersebut pihak atau anggotanya berkompeten dalam menyelesaiakan
sengketa di dunia perbankan, dan tentu berlatar belakang paham mengenai
dunia perbankan, baik syariah ataupun konvensional, mengetahui pula baik
71
buruknya terkait adanya itikad baik atau buruk dari para pihak, dan selain itu
putusan LAPSPI pun final dan mengikat bagi para pihak, dan diawasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan. Namun lembaga dapat dibedakan dengan Lembaga
atau Badan penyelesaian jalur nonlitigasi lainnya bahwa dalam LAPSPI
mengenal Layanan Probono, dimana memang terdapat pihak BSA dan
UMKM ketika ingin menyelesaikan sengketa melalui jalur LAPSPI di
gratiskan, dan terdapat dikenakan biaya juga pada Layanan Komersial, inilah
menurut penulis lebih pada kekurangan, karena layanan komersial cukup
terbilang mahal jika dikenakan biaya kepada pihak penggugat.
Jika melihat terkait legalitas dari LAPSPI sendiri yaitu diamanahkan
langsung dari pihak Otoritas Jasa Keuangan, dan UU Otoritas Jasa Keuangan,
dikarenakan tujuan OJK untuk melindungi konsumen dan berlaku adil antara
nasabah dan pihak bank, dan tidak adanya pihak yang dirugikan, kemudian
dibuatlah lembaga tersebut sesuai denga POJK No.1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Maka,
semenjak adanya peraturan mengenai forum penyelesaian sengketa
khususnya di sektor jasa keuangan, bahwa semakin jelas, dan terarah bila
mana ada nasabah/konsumen yang mempunyai permasalahan dengan
Lembaga Jasa Keuangan khusus di lingkup perbankan.
Sejauh ini dalam pertumbuhan dua (2) tahun terakhir, keberadaan
LAPSPI untuk diterapkan bagi seluruh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) masih
sedikit, khususnya Perbankan Syariah yang menyelesaikannya di LAPSPI,
nyatanya dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan sudah jelas bahwa setiap
Lembaga Jasa Keuangan wajib menerapkan LAPSPI tersebut sebagai
klausula baku dalam penyelesaian sengketa pada jalur Eksternal Dispute
Resolution, dan keberadaan LAPSPI sendiri secara otomatis membuat semua
Lembaga di Sektor Jasa Keuangan menjadi anggota LAPSPI.sesuai Pasal 3
ayat (2) Peraturan Nomor 1/POJK.07/2014. Sampai saat ini ketua Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) pun
mengatakan bahwa “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
72
Indonesia (LAPSPI) belum mewajibkan bagi seluruh Lembaga Jasa
Keuangan dalam menggunakan forum tersebut, dikarenakan melihat dari segi
pertumbuhan atas keberadaan LAPSPI pun baru, dan tidak bisa dipaksakan
pula agar Lembaga Jasa Keuangan secara tiba-tiba menerapkan klausula baku
tersebut, sampai saat ini hanya bersifat “persuasif” kepada seluruh Lembaga
Jasa Keuangan.
Penulis menganalisis keberadaan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dengan mengambil sample pada
setiap corporate Bank Umum Syariah yaitu PT. Bank BNI Syariah, diawal
penulis mencoba mengetahui bahwa ada atau tidak klausula baku di setiap
penanganan pengaduan atau penyelesaian sengketa yang diterapkan pada BNI
Syariah tersebut, dan hasilnya bahwa secara jelas jika adanya perselisihan
sengketa antara nasabah dengan sektor Jasa Keuangan (BNI Syariah) apabila
tidak bisa diselesaikan secara damai maka tahap selanjutnya penyelesaian
sengketa pada tahap Eksternal Dispute Resolution diselesaikan melalui
layanan mediasi bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan ataupun Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan.7
Namun, setelah penulis melakukan wawancara kepada pihak BNI
Syariah, mereka mengatakan bahwa sampai saat ini klausula baku yang
diterapkan dalam setiap kontrak, tercantum bahwa “apabila dalam
pelaksanaa perjanjian ini terjadi permasalahan atau perselisihan, maka Para
Pihak setuju menyelesaikannya dengan cara musyawarah untuk mufakat dan
apabila dengan cara musyawarah tidak tercapai kesepakatan, maka kedua
belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan perkara ini melalui
Pengadilan Agama”.8
Kemudian melakukan wawancara kepada pihak BRI Syariah mengenai
keberadaan dari LAPSPI sendiri bahwa nama lembaga tersebut belum pernah
didengarnya, dan hingga kini BRI Syariah belum pernah menggunakan jalur
7 Prosedur Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah BNI, diakses pada tanggal 2
April 2018 8 Interview Pribadi Bapak Bayu Septian, Manager Litigation Divisi Hukum Bank BNI
Syariah, Jakarta Selatan, 26 Maret 2018.
73
tersebut, hanya menggunakan jalur Pengadilan Agama, dan pernah
menggunakan jalur basyarnas.9 Pihak BRI Syariah mengatakan bahwa adanya
suatu permasalahan antar bank dengan nasabah sedapat mungkin diselesaikan
secara perdamaian, sering terjadi permasalahan atau sengketa di BRI Syariah
yaitu terkait pembiayaan macet, tidak diragukan bahwa sekitar 85% rata-rata
permasalahan pembiayaan macet yang mana nasabah sudah mencapai
kolektabilitas 5 (macet total), maka jaminan nasabah akan segera di lelang,
tetapi kembali kepada kebijakan corporate, setiap corporete mempunyai
kebijakan masing-masing, khususnya di BRI Syariah, jika terjadi
permasalahan demikian, nasabah akan diberikan SP(surat peringatan), SP1,
SP2 dan SP3, jika nasabah menghiraukan maka diselesaikan secara
perdamaian, jika memang tidak mampu jalur damai, maka diselesaikan pada
tingkat Basyarnas, jika tidak diselesaikan kepada tingkat yang lebih tinggi
yaitu Pengadilan Agama, dan setelah itu kepada pihak KPLM (lelang).
Sampai saat ini di BRI Syariah terkait penyelesaian sengketa memang
kembali kepada kebijakan corporete dan tergantung dari segmentasi.
Dan BRI Syariah menggunakan jalur litigasi dikarenakan keputusan
dari Peradilan Agama lebih kuat dan legalitas terhadap dokumen-dokumen
dibandingkan LAPSPI, dan PA sudah terkonsep pada kementrian Hukum dan
HAM. Kemudian ketika penulis melakukan wawancara kepada pihak Bank
Mega Syariah bahwa mereka hingga kini menyelesaikan sengketa kepada
Pengadilan Agama, terkait keberadaan LAPSPI mereka mengetahuinya tetapi
belum pernah menggunakan penyelesaian sengketa di jalur tersebut.10
Sama
halnya ketika wawancara kepada pihak Bank Muamalat bahwa hingga kini
penyelesaian jika terjadinya sengketa antar Bank Muamalat dengan nasabah
yaitu kepada Pengadilan, tentu diawal penyelesaian sedapat mungkin
9 Interview Pribadi Bapak Tri Budi Subiakto, Learning Center Bank BRI Syariah, Jakarta
Selatan, 5 Juni 2018 10
Interview Pribadi Bapak Tiza, Human Resources Development Bank Mega Syariah,
Jakarta Selatan, 6 Juni 2018
74
diselesaikan melalui jalan perdamaian antar internal, dan sampai saat ini
belum pernah menggunakan jalur LAPSPI.11
Dengan demikian sudah jelas bahwa sampai saat ini keberadaan
LAPSPI belum menjadi klausula baku untuk diterapkan bagi seluruh
Lembaga Jasa Keuangan (LJK), dan mengenai keberadaan lokasi LAPSPI
yang mungkin sulitnya untuk dijangkau dikarenakan hanya ada di Jakarta.
Kemudian pihak praktisi di berbagai corporete ketika penulis menanyakan
hal yang sama mengenai jalur penyelesaian sengketa mereka mengatakan
bahwa kembali kepada kebijakan corporete masing-masing, dan Undang-
Undang Perbankan Syariah lebih khusus. Jika melihat penyelesaian sengketa
nonlitigasi atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan, kembali kepada
para pihak atau dapat dikatakan sebagai choice of forum saja tidak menjadi
sebuah kewajiban bagi pihak corporete, dan hingga kini mereka beranggapan
bahwa jika menyelesaikan melalui LAPSPI tetap saja kembali pada
Pengadilan nantinya, dan tentu permintaan LAPSPI tergantung keinginan dari
pihak nasabahnya, jika memang nasabah ingin diselesaikan dan setuju ke
Pengadilan Agama maka telah selesai. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa
mengenai keberadaan dari LAPSPI bahwa sebagai choice of Forum kalangan
praktisi di berbagai corporete.
Kemudian penulis pun mewawancarai pihak Pengadilan Agama Jakarta
Selatan terkait keberadaan LAPSPI, ada atau tidak sampai saat ini putusan
LAPSPI yang didaftarkan kepada Pengadilan Agama, dan benar memang
sampai saat ini belum ada putusan LAPSPI terkait perkara Perbankan Syariah
yang didaftarkan kepada Pengadilan Agama.12
Dalam pandangan penulis terlihat bahwa keberadaan dari Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengeketa Perbankan Syariah (LAPSPI) memang
belum adanya klausula baku yang mewajibkan LJK menerapkannya, dan
kurangnya sosialisasi dari pihak LAPSPI, sehingga sampai saat ini seluruh
11
Interview Pribadi Mba Ayu Bella Erwira, MODP FL Bank Muamalat, Jakarta Selatan,
4 Juni 2018 12
Interview Pribadi Bapak Jarkasih, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, 29 Maret
2018.
75
LJK hanya menganggap tabu terkait keberadaan LAPSPI. Semakin banyak
Lembaga atau Badan yang menangani “Perlindungan pada Konsumen”,
maka menurut penulis semakin tidak adanya kepastian hukum didalamnya,
semakin membuat kebingungan bagi para konsumen meskipun memang
keberadaan Lembaga atau Badan tersebut hanya sebatas “Forum Of Law atau
Choice of Forum”.
Disinilah dengan keberadaan LAPSPI seharusnya menjadi sebuah
pencerahan bagi seluruh Lembaga Jasa Keuangan bahwa LAPSPI yang
nantinya menjadi wadah yang mampu untuk menyelesaikan setiap
permasalahan di bidangnya, dan tidak perlu diragukan bahwa LAPSPI
tersebut memiliki anggota yang memang berkompeten dan memiliki
background yang mengerti dibidang perbankan, yaitut terdapat dari
Perhimpunan Bank Nasional (PERBANAS), Himpunan Bank Milik Negara
(HIMBARA), Asosiasi Bnak Pembangunan Daerah (ASBANDA), Asosiasi
Bank Syariah (ASBISINDO), Perhimpunan Bank-Bank Internasional
Indonesia (PERBINA), dan Perhimpunan Bank Perkreditas Rakyat Indonesia
(PERBARINDO).
Dengan demikian menurut penulis bahwa keberadaan LAPSPI agar
secepatnya untuk dijadikan penerapannya di dalam Undang-Undang
Perbankan Syariah dan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, agar
menjadi sebuah Lembaga yang kuat akan legalitas dimata hukum, dan wajib
diketahui bahwa setiap tahunnya seluruh Lembaga Jasa Keuangan dipastikan
selalu membayar Iuran kepada LAPSPI, dan setiap putusannya dipastikan
dapat diselesaikan oleh pihak-pihak yang mengerti dibidangnya, dan
mempunyai putusan yang valid maka hal tersebut menurut penulis jika
Lembaga Jasa Keuangan tidak menerapkannya maka sangat dirugikan, dan
bagi pihak LAPSPI untuk lebih giat mengadakan sosialisasi dan himbauan
agar menjadi kepastian hukum yang pasti
76
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Terkait dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
penulis buat di awal maka berikut ini adalah kesimpulan akhir penelitian yang
penulis dapat:
1. Proses terjadinya suatu permasalahan dalam lingkup perbankan syariah
sedapat mungkin permasalahan tersebut dapat diminimalisir oleh pihak
internal corporete agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Maka pada jalur Internal Dispute Resolution (IDR) tersebut, pihak
perbankan syariah mampu menyelesaian permasalahannya yang terjadi
antar nasabah, dengan cara perdamaian antar nasabah, dengan jalan yang
adil, dan saling keterbukaan satu sama lain, agar permasalahan tersebut
dapat diselesaikan dengan baik, dan ketika pihak bank mengakui adanya
kelalaian maka sedapat mungkin diperbaiki dan jika adanya kerugian
diberikan ganti rugi dari pihak perbankan, sedangkan pada jalur Eksternal
Dispute Resolution (EDR), dapat dibagi dua macam, yaitu Litigasi dan
Nonlitigasi. Pada jalur nonlitigasi lebih dikenal pada Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengeketa Perbankan Syariah (LAPSPI) yang mana dapat
diselesaikan dengan menggunakan 3 cara penyelesaian sengketa yaitu
Mediasi, Adjudikasi dan Arbitrase.
2. Implikasi hukum mengenai keberadaan dari Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengeketa Perbankan Syariah (LAPSPI) memang belum
adanya klausula baku yang mewajibkan Lembaga Jasa Keuangan dalam
penerapannya, namun Otoritas Jasa Keuangan secara jelas menyarankan
seluruh Lembaga Jasa Keuangan nasabah menggunakan Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengeketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), jika
adanya perselisihan atau permasalahan yang tidak dapat terselesaikan pada
77
tahap internal dan jalur litigasi. Namun masih banyak lingkup perbankan
khusus Bank Umum Syariah yang belum menggunakan klausula tersebut
di dalam isi kontrak, hanya sedikit perbankan khususnya perbankan
syariah yang sudah menggunakannya, karena mereka berpandangan bahwa
LAPSPI tersebut belum adanya legalitas dimata hukum, tetapi dapat
diketahui bahwa setiap putusan Lembaga Alteratif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI) mempunyai putusan yang berkekuatan
hukum pasti (inkrah), mengikat para pihak dan anggota pihak LAPSPI pun
ialah mereka yang berkompeten di dunia perbankan, dan dipastikan
putusan tersebut berkualitas, dan adil.
B. Saran
1. Pihak Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI) lebih extra menginformasikan atau mengadakan sosialisasi
terkait dengan keberadannya tersebut, dikarenakan kebanyakan
masyarakat atau nasabah masih belum mengetahui keberadannya.
2. Lembaga Jasa Keuangan lebih mempertimbangkan terkait forum Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) untuk
dijadikan sebagai klausula baku pada isi kontrak, karena forum tersebut
sangat berguna dan menjadi wadah yang sinkron pada dunia perbankan.
Melihat penyelesaian Pengadilan Agama dalam menangani setiap
permasalahan yang berkaitan dengan dunia perbankan syariah, masih
banyak diantara SDM hakim tersebut yang masih belum mengerti disetiap
permasalahannya, maka dapat dipastikan putusannya tidak sesuai, maupun
Lembaga atau Badan-badan penyelesaian sengketa lainnya.
3. Keberadaan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI) hingga kini hanya berada di daerah DKI Jakarta. Jika
melihat tiap tahunnya, bahwa begitu banyak permasalahan atau
persengketaan yang terjadi antar nasabah/konsumen dengan pihak
78
Lembaga Jasa Keuangan di setiap daerahnya dan bahkan didaerah-daerah
terpencil yang susah untuk dijangkau, maka dari itu dibutuhkan
keberadaan LAPSPI tersebut tersebar di setiap daerahnya agar dapat
terjangkau, lebih hemat waktu, dan lebih efisien dalam penyelesaian
disetiap permasalahannya.
4. Untuk penelitian selanjutnya disarankan lebih mengkaji lagi mengenai
keberadaaan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia (LAPSPI), apakah ketentuan mengenai keberadaan LAPSPI
sudah menjadi klausula baku bagi setiap Lembaga Jasa Keuangan (LJK),
dan sudah berapa persen (%) pelaku jasa keuangan baik syariah atau
konvesional yang menggunakan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
5. Diharapkan bagi pemerintah, agar tidak terlalu banyak Lembaga atau
Badan-badan penyelesaian sengketa yang dibentuk, namun nyatanya setiap
putusannya tidak berkualitas dan pada akhirnya membuat kebingungan
bagi para nasabah atau konsumen.
79
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, M. Hatta. Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan. Bandung: PT.
Alumni, 2012.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Amriani, Nurnaningsih. Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan.Raja Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
Ardial, Bahrudin Nur Tanjung. dikutip dari Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(proposal, skripsi, tesis, dan mempersiapkan diri menjadi penulis artikel
ilmiah). ed. 1 cet. 5, Jakarta: Kencana, 2010.
Astarini, Dwi Rezki Sri. Mediasi Pengadilan salah satu bentuk penyelesaian
sengketa berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan.
Bandung: PT. Alumni, 2013.
Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2000.
Fajar, Muktar dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis.
Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2009.
Fuady, Munir. Dinamika Teori Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Herliana. Peran Bank Indonesia Sebagai Pelaksana Mediasi dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan. Mimbar Hukum, 1 Februari 2010.
HS, Salim dan Erlies Septiana. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi. cet. Ketiga.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Margono, Suyud. Alternative Dispute Resolution (Teknik dan Strategi dalam
Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase). Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. cetakan keenam, Jakarta: Kencana,
2010.
Meleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. edisi revisi, Bandung: PT. Remaja
Rosyada Karya, 1997.
80
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum. Edisi Revisi, cet-VI, Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2012.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yado. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Cet. Ke 1 Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2004.
Ngani, Nico. Metodologi Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum. cetakan
pertama. Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012.
Nugroho, Adi dan Dr. Susanti. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
dari Hukum Acara serta kendala Implementasinya.Jakarta: Kencana, 2008.
Safa’at, Rachmad. Mediasi dan Advokasi Konsep dan Implementasinya.Malang:
Agritek YPN Malang Kerjasama dengan SOFA Press, 2006
Sasongko, Wahyu. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen.
Bandar lampung: Penerbit UNILA 2007.
Sembiring, Jimmy Joses. Cara menyelesaikan sengketa diluar pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & arbitrase). Jakarta: Visimedia, 2011.
Soekanto, Soejono dan Sri mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. cetakan kesepuluh. Jakarta: Grafindo Persada, 2007.
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2008.
Sudiarto. Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Pengertian Sengketa Alternatif di
Indonesia, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2015.
Umam, Khotibul. Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan. Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2010.
Umar, Husen. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2013.
Widjaja, Gunawan. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis Arbitrase VS Pengadilan
Persoalan Kompetesi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai.Jakarta:
Kencana, 2008.
Widjaya, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000.
81
Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Jurnal, Skripsi, dan Tesis
Abiola, Sekoni Muttalib. “Legal and Regulatory Issues and Challenges Inhibiting
Globalization of Islamic Banking System”, IIUM Institute of Islam Banking
and Finance, International Islamic university malaysia, kuala lumpur.
malaysia tahun 2015.
Herliana. “Peran Bank Indonesia Sebagai Pelaksana Mediasi dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan”. Mimbar Hukum, Vol 22 No.1, 1 Februari 2010.
Khopiatuziadah. “Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”.
Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 10, No. 3, 2013.
Muryati, Dewi Tuti dan B. Rini Heryanti. “Pengaturan dan Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di bidang perdagangan”. Jurnal Hukum
UNS. Vol 13 Nomor 1, 2011.
Nasution, Riski Setyadani. “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui
Media di Pengadilan Agama(Studi Kasus Mediasi Sengketa Ekonomi
Syariah dengan Perkara Nomor 1221/pdt.G/2009/PAJS di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan)”.Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 2010.
Nurrachmat, Muh Dasril Tri. “Prosedur Mediasi Perbankan di Era OJK”.
Makassar: Universitas Hasanuddin Makassar, 2016.
Rahmawati, Ema dan Mantuli Rai. “Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga
Alternatif di Sektor Jasa Keuangan”. Jurnal Volume 3 No. 2 Tahun 2016.
Rahouti, Yassir. “Islamic Finance & Dispute Resolution Master’s thesis for
International Business Law”, Thesis supervisors: Jing li & D.A. Pereira Dias
Nune, 2015.
82
Satory, Agus. “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi
Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di
Indonesia”. Padjadjaran: Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 2 No. 2, Agustus 2015.
Suwandono, Agus. “Implikasi Pemberlakuan UUOJK terhadap Perlindungan
Konsumen Jasa Keuangan dikaitkan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen”. Jurnal Volume XXI no. 1 Tahun 2016.
Wibowo, Yusuf Wahyu. “Alternatif Penyelesaian Sengea Perbankan Melalui
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPSPI)”. Lampung:
Universitas Lampung, 2017.
Undang-Undang
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa Umum.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 Perbankan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan-Peraturan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.03/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
83
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
No.01/LAPSPI–PER/2017 tentang Peraturan dan Prosedur Mediasi
Pengurus Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia.
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
No.02/LAPSPI–PER/2017 tentang Peraturan dan Prosedur Adjudikasi
Pengururs Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia.
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
No.03/LAPSPI–PER/2017 tentang Peraturan dan Prosedur Arbitrase
Pengururs Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia.
Surat Edaran OJK (SE OJK) Nomor 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014
tentang pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen pada pelaku jasa
keuangan
Salinan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 19/POJK.03/2014 tentang Layanan
Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif.
Salinan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 54/SEOJK.07/2016 tentang
monitoring LAPS disektor jasa keuangan.
Website
Ekonomi.kompas.com/read/2013/11/07/1328219/OJK.Selesaikan.Sengketa.di.Le
mbaga.Mediasi.yang.Terdaftar, 15 Febuari 2018
Https://ekonomi.kompas.com, diakses pada 7 Juni 2018
Http://lapspi.org, diakses pada 26 Februari 2018
Https://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah, diakses pada tanggal 13 januari
2018.
Https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/02/05-memahami-Kepastian-dalam-
hukum/, diakses pada tanggal 28 Januari 2018
Interview
Interview Pribadi Bapak Bayu Septian, Manager Litigation Divisi Hukum Bank
BNI Syariah, Jakarta Selatan, 26 Maret 2018.
Interview Pribadi Bapak Jarkasih, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Jakarta Selatan, 29 Maret 2018.
84
Interview Pribadi Bapak Himawan E Subiantoro, Ketua Lembaga Alternatif
Penyelesain Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Jakarta Selatan, 09
Februari 2018.
Interview Pribadi Marisna Yusnanda, Unit handling Compliance, Jakarta Selatan,
26 Maret 2018.
Interview Pribadi Tryatha Sonny Putri, Cash Manager (LAPSPI), Jakarta Selatan,
09 April 2018.
Interview Pribadi Bapak Ahmad Jauhari, Sekretaris Basyarnas, Tangerang
Selatan, 27 Maret 2018.
Interview Pribadi Mba Ayu Bella Erwira, MODP FL Bank Muamalat, Jakarta
Selatan, 4 Juni 2018.
Interview Pribadi Bapak Tri Budi Subiakto, Learning Center Bank BRI Syariah,
Jakarta Selatan, 5 Juni 2018.
Interview Pribadi Mba Tiza, Human Resources Development Bank Mega Syariah,
Jakarta Selatan, 6 Juni 2018
Dokumen Lain-Lain
Booklet profil Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI), pada 26 Februari 2018.
Data Pengaduan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI), Jakarta Selatan, 12 Februari 2018.
No. Peng-1/D.07/2016 tentang Daftar LAPS disektor Jasa Keuangan.
Prosedur Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah BNI, diakses pada
tanggal 2 April 2018.
Siaran Pers Bersama No.15/56/DKom
Standar Internal Dispute Resolution Sektor Jasa Keuangan, Otoritas Jasa
Keuangan, 2016
LAMPIRAN-LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Nama : Himawan E Subiantoro
Jabatan : Ketua Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI)
Jakarta Selatan, 09 Februari 2018.
1. Apakah dalam penyelesaian sengketa di LAPSPI, cara penyelesaiannya
berjenjang atau opsional sama seperti ( BPSK) ?
Berjenjang maksudnya ialah jika mediasi tidak selesai maka tahap
selanjutnya yaitu adjudikasi, dan jika tidak selesai juga maka tahap
selanjutnya tahap akhir yaitu arbitrase. Di LAPSPI, dalam peraturan POJK No
1/07 tahun 2014 mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
sebenarnya berjenjang menurut peraturan POJK No 1/2014. Jika seseorang
adanya suatu sengketa gagal melalui jalur mediasi,lalu lari di adjudikasi.
Dalam prakteknya putusan adjudikasi yaitu mengikat bagi pihak termohon
atau dalam hal ini pihak Lembaga Jasa Keuangan (bank), dan tidak mengikat
bagi pemohon (nasabah). Jika pemohon tidak setuju maka bisa melanjutkan
pada tingkat arbitrase.
Di LAPSPI kini kita modifikasi agar filosofi alternatif penyelesaian
sengketa perbankan itu menjadi sesuai. Dalam arti kata cepat, efisien, kalau
bisa efektif dan tentu murah,. Kalau berjenjang tidak akan efektif, dan efisien.
Abis mediasi, kemudian, adjudikasi, dan akhir arbitrase, dalam hal tersebut
apa bedanya dengan pengadilan umum. Contoh di PN yaitu tahap banding,
kasasi, peninjauan kembali. Kenapa perlu adanya modifikasi dalam LAPSPI
ini, karena segmen nasabah bank tersebut macam-macam, sementara yang
diatur dala POJK itu sampai dengan 500 juta, dan itu tidak dikenakan biaya
atau gratis. Kemudian dalam prakteknya nasabah bank itu tidak hanya
sengketa dengan minimal kerugian 500 juta, bahkan lebih bisa hampir
Triliyunan.
Untuk nasabah yang tuntutannya sampai 500 juta, dan nasabah kecil
(nasabah basic account/BSA dan UMKM) itu mediasinya di gratiskan. Jika
tidak tercapai kesapakatan di Mediasi, boleh mengajukan ke tahap adjudikasi,
jia tetap di bawah 500 juta. Dan LAPSPI pun memberikan himbauan bahwa
tuntunan yang akan diajukan, yaitu tuntutan yang masuk diakal. Di adjudikasi
ini akan dikenakan biaya, berbeda dengan tahap mediasi bagi BSA dan
UMKM. Karena di adjudikasi ini dalam prakteknya bahwa mengikat bank
(termohon) tidak mengikat nasabah (pemohon), pada akhirnya, jika hasil
akhirnya nasabah tidak terima hasilnya, maka nasabah tersebut bisa bebas.
Namun dalam hal tersebut tidak ada kepastian bagi pihak termohon. Dan
jika memang nasbah serius maka akan dikenakan biaya, karena diawal
nasabah sudah diberikan privilege, maka secara otomatis nasabah harus
membayar. jika tidak, maka yang akan dirugikan pihak yang menuntutnya
atau nasabah, maksud dan tujuan agar adanya keseriusan bagi pihak termohon.
Keputusan akhir adjudikasi bahwa, putusannnya akan mengikat bagi bank dan
tidak terikat bagi pemohon, dalam hal ini bank tidak dikenakan biaya dalam
berperkara, meskipun bank posisi hanya sebagai pihak termohon, bila dilihat
bahwa posisi bank dan nasabah dalam tahap adjudikasi bahwa posisi
nasabahlah yang lebih tinggi dibanding dengan bank, maka yang dikenakan
biaya adalah hanya pihak pemohon (nasabah), agar adanya keseriusan bagi
pemohon. Dan untuk menempatkan bagi para pihak agar berada pada posisi
ang berimbang.
Perihal biaya Adjudikasi akan dikenakan biaya pendaftaran sekitar 2 juta,
dan baiya adjudikator/ sengketa 10 juta (biaya sengketa tidak dikenakan
biaya). Sengketa 500 juta. Nasabah yang besar (perusahaan yang besar, dan
aset yang besar), apabila tuntutannya tidak lebih dari 500 juta, tapi jika
perusahaan tersebut besar, dan memiliki fasilitas kredit berMilyaran, akan
dikenakan biaya dari tahap mediasi sampai akhir. Awal mula biaya akan
dilihat dari berapa besar kerugian finasialnya atau besar tuntutannya.
Berbeda halnya pada tahap mediasi bahwa, tahap mediasi ada beberapa
kriteria khusus, yang mana ada yang digratiskan, adapula melalui tahap
mediasi yang berbayar. Dalam hal ini, bagi nasabah (PROBONO)
BSA&UMKM, tahap mediasi digratiskan apabila memang nasabah tersebut
yaitu berupa UMKM dan BSA, beda halnya jika nasabah tersebut mempunyai
banyak uang dan dapat dikatakan seorang konglomerat, dan pada dasarnya
kerugian yang dideritanya tidak sampai 500 juta, maka tetap akan dikenakan
biaya pada tahap mediasi sampai tahap akhir. Memang dalam hal ini mediasi
tidak berbayar bagi nasabah BSA dan UMKM, bahwa sejatinya yang
membayar biaya pendafatran, sengketa dan biaya jasa mediator adalah dari
pihak LAPSPI dan pihak OJK, atau dalam arti kata di berikan keringanan bagi
nasabah BSA dan UMKM/PROBONO, dan akan dikenenakan biaya mediasi
jika karena nasabah tersebut, orang mampu (memiliki perusahaan besar) dan
akan dikenakan biaya pendaftaran sekitar 2 juta, dan biaya mediator atau
sengketa 10 juta.
Berbeda halnya dengan Jalur Arbitrase, yaitu jalur arbitrase lebih
mengenal yiatu ArbMedArb (Arbitrase Mediasi Arbitrase), jadi boleh
langsung mengajukan pada tahap arbitrase, tentu ketika awal arbitrare pihak
LAPSPI menawarkan apakah mau ke tahap mediasi terlebih dahulu, atau pada
waktu pemeriksaan (mau pada tahap perdamaian atau tidak), jika nasabah
langsung setuju pada tahap perdamaian, maka tahap arbitrase ditutup dan tidak
dilaksanakan dan langsung pada tahap perdamaian, kemudian majelis akan
menentukan mediatornya siapa, dan akan dikembalikan pada pengurus
LAPSPI, bahwa kasus nasabah tersebut kita hold, karena nasabah tersebut
meminta pada tahap perdamaian, maka selanjtnya akan menunjuk mediator,
jika sudah melalui tahap mediator tidak ada hasilnya, maka tentu saja nasabah
tersebut tahap selanjutnya melaksanakan tahap arbitrase, jika selesai sampai
tahap mediasi, maka tutuplah hnya pada thap mediasi saja, kemudian buatlah
akta perdamaian. jika nasabah tersebut tetap pada pendiriannya, pada tahap
arbitrase yang pertama maka langsung eksekusi pada tahap arbitrase. Dalam
hal biaya jika melaksanakan ArbMedArb tentu dikenakan biaya pada tahap
arbitrase.
Disebut layanan Probono (tntunan sampai dengan 500 juta dan nasbaah
BSA/laku pandai saldonya hanya dikartu dan UMKM, menikmati hanya tahap
mediasi, adjudikasi, dalam hal ini ada mediator dan adjudikator, dan mereka
dibayar oleh LAPSPI tetapi pihak LAPSPI hanya membayar pada tahap
mediasi saja/mediatornya saja. Sedangkan adjudikasi, dikarenakan kedudukan
nasbah lebih tinggi dibanding kedudkan bank, maka nasbah/pemohon akan
dikenakan biaya pada tahap adjudikasi.
Disebut layanan komersial (non proobono), diatas 500 juta, atau nasabah
yang mempunyai aset besar/konglomerat, diperbolehkan melalui tahap
arbitrase mediasi arbitrase, akan dikenakan biaya arbitrase. Biaya arbitrase
sengketa minimal sengketa 1 milyar dikenakan biaya sengketa arbitrase 60
juta, majelis arbiter 3 orang dikali 3 ( 20 juta x 3 arbiter = 60 juta), dibayar
bagi para pihak yaitu 60 juta, jika sengketa 1 Milyar maka akan membayar
biaya sengketa arbiter sekitar 60 juta ditambah dengan biaya pendaftaran 2
juta, dalam hal ini biaya arbitaer saja dan biaya pendaftara.
Dalam arbitrase bersifat Final dan Binding sangat mengikat, kecuali terjadi
situasi pada pasal 70 UU 30 Tahun 1999 yaitu adanya *informasi yang tidak
ditemukan dalam sidang atau informasi yang tidak sesuai (syarat arbitrase
yaitu harus transparan terkait data atau informasi, dan harus lengkap) *tipu
muslihat *pemalsuan data. Dan jika terdapat 3 hal tersbut maka pihak yang
dirugikan boleh melaporkan kepada Mahkamah Agung untuk minta putusan
arbitrase tersebut dibatalkan. Dalam kenyataan saat ini, memang bnayak
terjadi akhirnya dalam situasi seperti itu MA mengambil tindakan bahwa MA
menolak keras atau ditolak jika adnya para pihak ingin membatalkan putusan
arbitrase.
2. Apakah seorang mediator, adjudikator, dan arbiter harus mempunyai sertifikat
(SK) dalam pengurusan penyelesaian sengketa di LAPSPI?
Best practies dalam LAPSPI, Ada 2 yaitu tetap dan ad hock :
Mediator dan arbiter tetap yaitu yang dimiliki oleh LAPSPI atau Ad hock
(bebas) yaitu, dalam hal jika mereka mempunyai pengalaman di bidang
mediator atau arbiter, dan sudah terkenal dan tidak diragukan keahliannya,
maka bisa untuk diajukan, sesuai dengan keinginan para pihak, dan kemudian
LAPSPI akan memintakan Cv dan data pendukung lainnya, dan LAPSPI akan
terima. Bagi pihak mediator dan arbiter tetap di LAPSPI maka akan diberikan
sertifikat, dan akan berada di website oleh pengurus LAPSPI, jika memang
dilihat dari unsur ad hock, bahwa semuanya akan mengikuti prosedur yang
sudah ditetapkan oleh LAPSPI dan akan di screening terlebih dahulu. Proses
untuk menghindari dari adanya unsur kepentingan bagi para pihak maka dapat
dilihat unsur indepensi terlebih dahulu, dan scan peaturan kode etik dan
adanya unsur benturan kepentingan dalam berjalannya suatu penyelesaian
sengketa.
Dalam hal ini sertifikat tidak hanya sebagi syarat formal, namun sebagai
syarat material : *Syarat material adalah seorang menjabat sebagai hakim
Agung sudah bertahun-tahun maka dengan demikian tidak perlu seorang
hakim Agung dimintakan sertifikat arbitrase, karena hal tersebut sudah dapat
dipastikan pengalamannya dalam hal menyelesaikan sengketa, maka dalam hal
tersebut syarat formal tersebut diabaikan), berbeda jika orang yang baru yang
ingin menjadi seorang arbiter di LAPSPI maka diperlukan sertifikat maka hal
tersebut menjadi syarat formal. Dan di LAPSPI pun terdapat 3 mantan hakim
Agung, yaitu wakil ketua hakim Agung yaitu Mariyani Sutadi. *Syarat formal
adalah jika seseorang yang ingin menjadi seorang arbiter di LAPSPI dan juga
telah memiliki pengalaman d bidang arbiter maka hal tersebut diperlukan
sertifikat dalam hal pengalaman menjadi arbiter, atau bahkan belum pernah
menjadi seorang arbiter tetapi mempunyai pengalaman dibidang perbankan,
dibidang hukum, maka ada prosedur atau akan di screening terlebih dahulu
oleh OJK institute.
3. Berapa jumlah mediator, adjudikator, dan arbiter di LAPSPI?
Jumlah Mediator 7 (tujuh), jumlah Adjudikator dan Arbiter 21 (dua puluh
satu) gabungan antara adjudikator dan arbiter, karena sama-sama membuat
putusan/pertimbangan putusan hukum yang adil.
4. Apakah LAPSPI diberi subsidi oleh OJK? Ataukah diberi subsidi langsung
oleh pihak Bank ?
Ya, subsidi dari OJK termasuk subsidi Bantuan Dana Operasional (BDO),
yaitu ada 2 : (1) Pelaksanaan mediasi small claim, pelaksanaan di daerah-
daerah (biaya transportasi), (2) Biaya Komunikasi berupa sosialisasi, kepada
anggota atau masyarakat atau mengadakan talkshow. Bank adalah anggota
LAPSPI, dengan demikian mereka akan memberikan Iuran. Karena mereka
sudah menjadi anggota LAPSPI, supaya operasional LAPSPI bisa berjalan,
tiap-tiap bank, yaitu BANK BUKU I s/d BUKU IV berbeda-beda tiap iuran,
kisaran dari 3.100.000 s/d 130.000.000,-. Bank Buku I & Buku II : IURAN
3.100.000,- (perTAHUN), Buku III: 8.900.000 (perTAHUN), dan Buku IV
& V : sampai 130.000.000 (perTAHUN)
5. Bagaimana kepastian hukum mengenai penyelesaian sengketa, bukankah pada
mulanya dalam UUPK menyebutkan bahwa perlindungan konsumen
(nasabah) diselesaikan oleh BPSK ! Bagaimana sejak adanya LAPSPI?
BPSK semua konsumen akhir, LJK konsumen akhir semua, jadi BPSK
bisa menanganin semua. Struktur BPSK, tidak bersertifikasi, siapapun bisa
diangkat menjadi pengurus BPSK, SDM tidak dilatih, dan SDM mereka pula
tidak mengerti perbankan, dan banyak keputusan BPSK keliru. BPSK
alternatif penyelesaian sengketa, dan para pihak harus sepakat memilih
alteratif penyelesaian sengketa. Berbeda dengan LAPSPI, jika seseorang awal
mula membuat suatu perjanjian namun tidak mencantumkan alterntif
penyelesaian sengketa di kontrak maka LAPSPI tidak menjadi kewenangan
Absolut didalamnya. 98% putusan BPSK dibatalkan oleh MA, karena tidak
sesuai dan tidak sesuai dengan kewenangan absolut yang dimiliki. Sedangkan
dengan SDM LAPSPI yang dimiliki dapat mengetahui semua permasalahan
yang disengketakan oleh para pihak, baik buruknya, atau ada itikad baik atau
buruk para pihak, sehingga putusan LAPSPI, memiliki kekuatan yang pasti
dan adil.
6. Apakah LAPSPI bisa menolak suatu perkara ?
Bisa, apabila sengketa tersebut sudah diputus atau diperiksa oleh
Pengadilan atau Lembaga lain. Jika ada pihak yang sebelumnya sudah
mengajukan kepada BPSK kemudian ke LASPSPI karena putusan BPSK tidak
sesuai, maka tidak diperbolehkan. Apabila jika, putusan BPSK tersebut tidak
adanya kewenangan absolut, maka hal tersebut dikecualikan, atau
diperbolehkan. Atau apabila perjanjian di BPSK belum adanya kesepakatan
bagi para pihak maka diperbolehkan untuk memilih LAPSPI selama para
pihak belum adanya kesepakatan, atau sengketa yang diajukan kepada
LAPSPI ialah bukan sengketa perbankan, atau adanya indikasi perbuatan
melawan hukum , maka hal tersebut akan ditolak.
7. Dalam pasal 10 ayat (2) POJK No.1/07/2014 menyatakan LAPS di sektor jasa
keuangan WAJIB dibentuk paling lambat 31 Desember 2015 ! dalam hal ini
LAPSPInyakah, ? atau penerapan Bank Syariah yang menerapkan LAPSPI
dalam perusahaan ?
a. Berapa Perbankan Syariah yang sudah menerapkan LAPSPI ? ketua
belu tahu,
b. Apakah Perbankan Syariah mewajibkan nasabah untuk memilih jalur
nonlitigasi khusus LJK (memilih) LAPSPI ?
POJK ini mensyaratkan bahwa lembaga tersebut dibentuk paling
lambat tahun 2016, karena forum alternatif atau pilihan forum, maka tidak
diwajibkan diterapkan pada bank-bank, dikarenakan mungkin masih baru, atau
belum adanya klausula baku, dan baru ingin diadakan rapat terkait kepada
bank-bank, agar apabila adanya terjadi dispute maka dapat diselesaikan di
LAPSPI, sampai saat ini LAPSPI kepada bank berupa persuasif, belum
diwajibkan forum tersebut.
8. Bagaimana keefektifannya bagi nasabah ?
Iya, efektif, walaupun tidak tercapai kesepakatan. (contoh : Waktu
mediasi pihak bank tidak mau membayar, dalam putusannya yang tidak
tercapai, namun mereka puas dalam semua prosedur yang ada di LAPSPI
karena keduanya memenuhi keadilan satu sama lain).
9. Apakah ada kode etik dalam LAPSPI ?
a. Bagaimana mengenai pelanggaran yang telah dilakukan oleh
SDM/Pengurus LAPSPI ? Dikenakan sanksi atau ketentuan lain ?
Mengenai kode etik, bahwa setiap tahun pengurus akan melaporkan pada
RUA yaitu laporan pertanggungjawban (keuangan audit). Laporan pengurus,
dan juga laporan pengawas.
Kalau denda tidak ada bagi pengurus, pengurus berfungsi mengatur agar
lembaga tersebut berjalan dg baik. Pelanggaran pengurus biasanya ada pada
laporan pertanggung jawaban keuangan di RUA.
10. Bagaimana Indepedensi OJK ? bahwa OJK memberikan fasilitasi bagi yang
berperkara ?
Otoritas Jasa Keuangan, tidak menngunakan kebijakan tersebut. OJK
sekedar mengecek saja, dan memberikan arahan, hanya mengadakan first
analisist / menfilter sengketa, dan OJK memberikan fasilitas dalam berperkara.
Iya, kepada LAPSPI, contoh ketika dalam penyelesaian sengketa di daerah
terpencil, dan tidak mempunyai akses, dan pula kantor LAPSPI hanya berada
di Jakarta, dan jika akan mengadakan sidang OJK akan memfasilitasi (biaya
transportasi, biaya akomodasi, dll)
11. Apa saja kendala-kendala dalam mengatasi penyelesaian sengketa di LAPSPI?
Bagaimana mengatasi kendala tersebut ?
Kendala dalam LAPSPI bukan pada penyelesaian sengketanya, karena
dapat dilihat para pihak yang mEnyelesaikan sengketa baik mediator.
adjudikator dan arbiter pun ialah orang-orang yang berkompenten di
bidangnya. Lain halnya kendala lain dalam hal (1) aksebilitas atau jarak.
Contoh nasabah berada di marauke atau daerah-daerah terpencil atau di daerah
BAU-BAU, 8 Jam perjalanan perjam dari kendari menuju sana. disana, secara
otomatis pihak LAPSPI menyelesaikannya disana. Untuk kesana pun pasti
biaya lama, perjalanan lama, waktu dll, dan belum tentu selesai satu hari, dan
kepintaran mediator untuk mengatur waktu yaitu chalangge. (2) kemampuan
mediator harus bisa mengexplore keluhan para pihak sedetail mungkin
permasalahan yang terjadi. Belum semua mediator mampu untuk melakukan
dengan efisien, contoh (Kendala di pihak LJK, yaitu terkadang tidak diberikan
kewenangan dalam datang untuk menyelesaikan perkara tersebut).
12. Tahap mana saja yang paling banyak terselesaikan dalam penyelesaian
sengketa di LAPSPI ? Mediasi, Adjudikasi, atau Arbitrase ?
Sementara Mediasi paling banyak sekitar 72 perkara selama 2 tahun ini
13. Apakah benar dalam hal data, jika telah menyelesaikan suatu perkara, data-
data tersebut wajib dimusnahkan ? kenapa ?
Dalam ketentuannya Iya, tetapi tidak secara langsung di musnahkan tetap
akan disimpan terlebih dahulu dan diinput melalui database sebagai dasar
yurisprudensi pelembagaan, dan nantinya dari setiap perkara, akan di sharing
kepada ljk-ljk lain bahwa di LAPSPI terdapat perkara-perkara tersebut
sehingga memungkin ljk bisa mengantisipasi dari setiap kasus yang ada, atau
sebagai pembelajaran, bahwa tidak semua nasabah tersebut salah.
14. Apakah seorang mediator, adjudikator dan arbiter tidak boleh dikemudian hari
dijadikan seorang saksi ? kenapa ?
Iya, pada aturan prosedur pun jelas ada klausula seperti itu, tetapi latar
belakang hal tersbeut atau filosofinya ialah, kerahasiaan dan profesional
15. Bagaimana caranya jika Perbankan Syariah yang berada di Luar Jawa, ada
suatu sengketa ! bagaimana penyelesaiannya ? apakah datang ke Jakarta ?
a. Apakah sudah sampai memikirkan megenai antisipasi penyelesaian
sengketa melalui jalur online ?
Sudah, contohkan nanti akan ada surat permohonan melalui
website, tetapi penyelesaiannya tidak bisa melalui online atau
telekomunikasi, karena pihak dari LAPSPI pun pernah mengikuti
seminar KOMINFO bahwa, tidak semua daerah yang berada di
Indonesia, bisa terjangkau dari hal telekomunikasi atau mengenai
sinyal/jaringan masih kurang baik, dan biaya juga akan terkena mahal,
dan arsip tersebut adanya pembuktian yang harus konkrit sepeti ttd,
apakah benar mereka para pihaknya atau bukan, dan bukti kebenaran
lain.
16. Bagaimana akibat hukum dengan adanya LAPSPI ?
Putusannya inkrah, yaitu final dan binding
17. Apakah pihak LAPSPI bisa membatalkan sepihak dalam melaksanakan proses
penyelesaian sengketa yang sedang ditangani ?
Iya, Jika pemohon tidak hadir dan sudah mengajukan surat permohonan,
dan sudah ditentukan hari persidangan bagi kedua belah pihak, dan ketika pas
hari sidang pemohon tidak hadir, tanpa pemberitahuan apapun, dan alasan
yang logis, maka pengajuan permohonan tersebut atau pelaksanaan tersebut
akan ditolak dan batal demi hukum, karena tidak ada keseriusan bagi si
pemohon, dan jika pihak tersebut mendaftarkan di kemudian hari maka akan
segera di tolak oleh LAPSPI.
DATA STASTISTIKA PENGADUAN PERIODE 2016 LAPSPI
DATA STATISTIKA PENGADUAN PERIODE 2017 LAPSPI
DATA STASTISTIKA PENGADUAN PERIODE 2016-2017 LAPSPI
HASIL WAWANCARA
Nama : Bapak Bayu Septian.
Jabatan : Manager Litigation Divisi Hukum
Nama : Marisna Yusnanda
Jabatan : Unit handling Compliance
Kantor Pusat BNI Syariah Jakarta Selatan, 26 Maret 2018.
1. Bagaimana Prosedur penyelesaian sengketa melalui jalur Internal Dispute
Resolution (IDR) pada PT. Bank BNI Syariah ?
Dalam penanganan penyelesaian permasalahan pada BNI Syariah, dimana
nasabah datang ke kantor cabang, atau kantor terdekat dari nasabah.
Sebenarnya sebelum nasabah datang untuk pengaduan atau menyelesaikan
permasalah. Ada beberapa media pengaduan permasalahan yaitu melalui call
center, kantor cabang, dan bisa lewat email, website, kemudian informasi yang
diterima akan di lanjutnya kepada unit terkait untuk menyelesaikan
permasalah tersebut atau yang menangani pengaduan tersebut.
Melalui email atau sosmed, dan akan di handle oleh karyawan, dan di
tanggapi oleh media sosmed. Untuk saat ini BNI Syariah pengaduannya
diarahkan kepada kantor cabang terdekat, dikarenakan untuk BNI call ini
khusus untuk menangani pengaduan nasabah BNI Konvensional, namun untuk
BNI call sendiri memang sampai saat ini hanya untuk menghandle IB
Hasanah, untuk permasalahan banking, kembali lagi diarahkan untuk datang
ke kantor cabamg terdekat. Kantor cabang tentu mempunyai proses tersendiri,
yaitu nasabah datang ke kantor cabang menyampaikan keluhan dan
melengkapi data administrasi (tabungan, ktp, atm nasbah), setelah itu mengisi
form pengaduan, setelah itu mereka akan mendapatkan bukti tanda pengaduan
tersebut oleh kantor cabang, dan kemudian akan disampaikan ke unit terkait
bahwa nasabah tersebut pernah menyampaikan pengaduannya.
Setelah itu dari cabang akan di input ke sistem internal, atau aplikasi
terkait mengenai handle suatu permasalahan. Setelah permasalah tersebut
sampai ke kantor pusat, kantor pusat akan mncoba menghubungi ke unit yang
terkait, setelah ada jawaban dari unit terkait, maka unit terkait meberikan
jawaban kepada kantor pusat, setelah itu kantor pusat menginformasikan
jawaban kepada kantor cabag melaui unit tersebut kembali, dan kacab pun
setelah itu menginformasikan atas jawaban unit handling kepada nasbah.
Secara tertulis sudah selesai.
Dan jika terkait permasalahn transaksi, e-banking di BNI Syariah pun
penyelesaiannya masih di bantu oleh BNI Konvensioanal, karena pada
dasarnya fasilitas BNI, dan memang incorporete dengan BNI Syariah, dan
cobrand.
2. Apa saja forum Eksternal Dispute Resolution (EDR) di PT. Bank BNI Syariah
dalam penyelesaian sengketa ?
Mengenai keberadaan dari LAPSPI, Bank BNI SyariaH sudah mengetahui
namun belum mengetahui sejauh mana keefektifan pelaksanaan dari LAPSPI
ini. Jika dilihat konteksnya di dalam penyelesaian sengketa di BNI Syariah
melalui jalur eksternal, maka diselesaikan di jalur litigasi(pengadilan) karena
sampai saat ini Bank BNI Syariah , mengikuti panduan UU Perbankan syariah
BAB IX Pasal 55 ayat (1), yang menjelaskan bahwa jika adanya suatu sengkta
maka diselesaikan di Pengadilan Agama, BNI Syariah smpai saat ini
mengakomodir penyelesaian sengketa sesuai dg UU Perbankan Syariah. Dan
jika dilihat kewenangan absolut putusan Surat Edaran Mahkamah Agung
bahwa kekuasaan kehakiman bahwa pada Pengadilan Agama choice of law.
3. Bagaimana sejak adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.
1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) !
apakah Bank BNI Syariah mengalihkan pada forum tersebut ?
Sampai saat ini Bank BNI Syariah belum mengalihkan pada peraturan
yang sudah di atur ialah mengenai forum penyelesaian sengketa Eksternal
Dispute Resolution sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK
N0.1/07/2014) mengenai jasa keuangan. Karena dengan demikian percuma
jika nantinya akan kembali pada Pegadilan Agama, dan jika memang ada dari
pihak nasabah yang menginginkan menyelesaikan melalui forum tersebut,
maka pihak BNI Syariah pun memperbolehkan melalui forum tersebut.
Namun, sampai saat ini peraturan tersebut belum menjadi klausula baku bagi
setiap lembaga jasa keuangan hanya choice of forum saja.
Kemudian sampai saat ini bahwa penyelesaian sengketa di LAPS khusus
LAPSPI sesuai dengan amanah OJK bahwa keberadaan LAPSPI sendiri yang
hanya berada di di Jakarta, itulah yang membuat BNI Syariah belum mampu
untuk menerapkannya, dan mungkin akan menguras pengeluaran keuangan
yang besar, dan biaya melalui mediasi, adjudikasi, dan arbitrase pun
dikenakan biaya tinggi.
4. Bagaimana sebelum dan sesudah pemberlakuan POJK pada Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) bagi Bank BNI Syariah dalam hal
penyelesaian sengketa?
Sampai saat ini tidak ada pengaruh apapun mengenai keberadaan dari
LAPS khususnya di dunia lembaga jasa keuangan, karena eksistensi LAPS
sendiri belum dikenal banyak oleh masyarakat banyak, dan dimungkinkan
masih sedikit lembaga jasa keuangan yang menggunakan forum tersebut.
5. Apakah saat ini banyak nasabah yang ingin menyelesaikan sengketa melalui
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Bank BNI Syariah?
Berapa banyak ?
Sampai saat ini belum ada, karena kebanyakan dari nasabah, selalu
mengikuti kebijakan klausula baku yang sudah dibuat dari pihak BNI Syariah,
yaitu jika terjadi perselisihan sengketa akan diselesaikan di Pegadilan Agama.
DATA PENYELESAIAN SENGKETA BANK BNI SYARIAH PERIODE
2017-2018
Jumlah Perkara yang di Laporkan ke Pengadilan Agama Periode Tahun
2017 – 2018
Jumlah Perkara Tahun 2017
Perkara Aktif 24 Perkara
Perkara Selesai 13 Perkara
TOTAL Perkara 37 Perkara
Jumlah Perkara Tahun 2018
Perkara Aktif 5 Perkara
TOTAL Perkara 5 Perkara
*Rata-rata sampai saat ini Perkara Perdata
1
PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
NOMOR: 01/LAPSPI-PER/2017
TENTANG
PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
Menimbang: a. bahwa dalam penyelesaian pengaduan Nasabah kepada Perbankan seringkali tidak tercapai kesepakatan yang dapat diterima oleh Para Pihak;
b. bahwa terdapat forum alternatif penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keungan;
c. bahwa asosiasi-asosiasi perbankan telah membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dengan layanan Mediasi, Adjudikasi, dan Arbitrase, untuk Para Pihak dalam menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien;
d. bahwa berdasarkan hal hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk membuat Peraturan dan Prosedur Mediasi LAPSPI sebagai pedoman bagi para pihak terkait.
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872), beserta perubahannya apabila ada;
2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 175);
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang diundangkan tanggal 6 Agustus 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431) beserta perubahannya apabila ada;
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Keuangan, yang diundangkan tanggal 23 Januari 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499) beserta perubahannya apabila ada;
2
5. Anggaran Dasar LAPSPI sebagaimana tertuang dalam Akta
Pendirian Nomor 36 tanggal 28 April 2015 yang dibuat di hadapan Ashoya Ratam, S.H., M.Kn., Notaris di Jakarta yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dengan Surat Keputusan KEMENKUMHAM Nomor AHU-0004902.AH.01.07 Tahun 2015 tanggal 16 September 2015, beserta perubahannya apabila ada.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Definisi
(1) Dalam Peraturan dan Prosedur ini yang dimaksud dengan:
(a) Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui proses perundingan di LAPSPI untuk memperoleh Kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.
(b) Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
(c) Mediator Tetap adalah orang perseorangan yang diangkat oleh LAPSPI sebagai Mediator dan tercatat dalam Daftar Mediator Tetap.
(d) Daftar Mediator Tetap adalah daftar yang diterbitkan oleh LAPSPI yang berisikan nama-nama Mediator Tetap.
(e) Sekretaris adalah 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat yang ditunjuk oleh Pengurus untuk membantu Mediator dalam urusan pencatatan dan administrasi selama proses Mediasi.
(f) Kode Etik adalah Kode Etik yang berlaku bagi Mediator LAPSPI. (g) Benturan Kepentingan adalah kondisi seseorang dimana yang bersangkutan
tidak dapat bertindak secara objektif karena adanya kepentingan pribadi, baik secara ekonomi maupun sosial.
(h) Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa Mediator telah lulus pelatihan dan pendidikan Mediator yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah diakreditasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(i) Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke LAPSPI untuk memperoleh penyelesaian.
(j) Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
(k) Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
3
(l) Permohonan Mediasi adalah surat permohonan yang diajukan oleh Para Pihak atau salah satu Pihak atau Arbiter Tunggal/Ketua Majelis Arbitrase kepada Pengurus LAPSPI untuk menyelenggarakan Mediasi dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur ini.
(m) Perjanjian Mediasi adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh Para Pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
(n) Resume Perkara adalah dokumen yang dibuat oleh Para Pihak yang memuat kronologis kejadian sengketa, tuntutan yang diajukan, dan usulan solusi penyelesaian.
(o) Pengurus adalah mereka yang diangkat sebagai Pengurus LAPSPI sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar LAPSPI, beserta segala perubahannya jika ada.
(p) Sekretariat adalah sekretariat yang dibentuk Pengurus untuk menjalankan operasional sehari-hari LAPSPI yang dipimpin oleh salah satu anggota Pengurus, atau personil lain yang ditunjuk oleh Pengurus.
(q) Kaukus adalah pertemuan antara Mediator dengan salah satu Pihak tanpa dihadiri oleh Pihak lain.
(r) Kesepakatan Perdamaian adalah kesepakatan hasil mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani Para Pihak dan Mediator.
(s) Kesepakatan Perdamaian Sebagian adalah kesepakatan antara Pihak Pemohon dengan sebagian atau seluruh Pihak Termohon dan kesepakatan Para Pihak terhadap sebagian dari seluruh objek perkara dan/atau permasalahan hukum yang disengketakan dalam proses Mediasi.
(t) Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi Kesepakatan Perdamaian yang dibuat oleh Hakim Pengadilan Negeri untuk menguatkan isi Kesepakatan Perdamaian tersebut.
(u) Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang diselenggarakan di LAPSPI dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur ini yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase.
(v) Layanan Probono adalah layanan Mediasi secara cuma-cuma untuk sengketa dengan jumlah Tuntutan Ganti Rugi sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) yang diajukan oleh Pemohon dengan kriteria tertentu yang ditetapkan dalam Keputusan Rapat Pengurus LAPSPI.
(w) Layanan Komersial adalah layanan Mediasi berbayar untuk sengketa dengan jumlah Tuntutan Ganti Rugi diatas Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(x) Tuntutan Ganti Rugi adalah jumlah nominal materiil tertentu yang dituntut oleh Pemohon.
(2) Penyebutan kata “hari” dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah merujuk kepada hari kerja nasional Indonesia.
Pasal 2
Ruang Lingkup Peraturan dan Prosedur (1) Peraturan dan Prosedur ini mengatur penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui
Mediasi LAPSPI, baik yang diajukan langsung oleh Para Pihak kepada forum Mediasi LAPSPI maupun yang ditempuh melalui forum Arbitrase LAPSPI.
(2) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Mediasi LAPSPI harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini: (a) merupakan sengketa perdata di bidang Perbankan dan/atau berkaitan dengan
bidang Perbankan;
4
(b) sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh Pihak yang bersengketa;
(c) sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian;
(d) sengketa yang telah menempuh upaya musyawarah tetapi Para Pihak tidak berhasil mencapai perdamaian; dan
(e) antara Para Pihak terikat dengan Perjanjian Mediasi. (3) LAPSPI termasuk Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat dilarang untuk
memberikan dan/atau menawarkan bantuan hukum dalam bentuk apapun, baik secara profesional ataupun personal kepada Para Pihak, termasuk nasehat dan/atau opini hukum menyangkut posisi hukum Para Pihak.
(4) Para Pihak, Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat wajib mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
Pasal 3 Sifat Proses Mediasi
(1) Proses Mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali Para Pihak menghendaki lain. (2) Penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI dilaksanakan oleh Para Pihak
berdasarkan kepada itikad baik dan bermartabat, dengan mengesampingkan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
(3) Keikutsertaan Para Pihak dalam proses Mediasi adalah berdasarkan keinginan Para Pihak sendiri tanpa adanya paksaan, dan harus diikuti dengan santun, saling menghormati dan tertib.
(4) Kesepakatan Perdamaian dibuat secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan. (5) Kesepakatan Perdamaian bersifat final dan mengikat Para Pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik, dan terhadap Kesepakatan Perdamaian tersebut tidak dapat diajukan perlawanan atau bantahan.
(6) Pihak yang tidak melaksanakan Kesepakatan Perdamaian dianggap melanggar perjanjian.
(7) Mediator hanya memfasilitasi pertemuan dan perundingan dalam kerangka Mediasi dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian antara Para Pihak yang bersengketa, dan dalam hal ini Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat suatu keputusan atau penetapan pembayaran.
(8) Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan/atau mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.
BAB II
MEDIATOR
Pasal 4 Persyaratan Mediator
(1) Untuk dapat menjadi Mediator dalam Mediasi LAPSPI, haruslah orang yang sudah diangkat oleh Pengurus sebagai Mediator Tetap LAPSPI.
(2) Pengurus mengangkat seseorang sebagai Mediator Tetap LAPSPI menurut ketentuan sebagai berikut : (a) Pencalonan seseorang untuk menjadi Mediator Tetap LAPSPI diputuskan dalam
Rapat Pengurus berdasarkan pemahaman Pengurus mengenai integritas dan
5
kapabilitas dari calon yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Lampiran II.
(b) Apabila seseorang dimaksud, atas permohonan kesediaan yang disampaikan dari Pengurus, bersedia menjadi calon Mediator Tetap LAPSPI, maka Pengurus meminta yang bersangkutan menyampaikan resume jati diri dan riwayat hidup beserta salinan dokumen-dokumen pendukungnya dan mengikuti uji kecakapan dan kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Pengurus.
(c) Pengurus hanya mengangkat seseorang menjadi Mediator Tetap LAPSPI apabila calon tersebut telah disetujui oleh Badan Pengawas LAPSPI.
(3) Pengangkatan seseorang menjadi Mediator Tetap LAPSPI hanya dapat dilakukan apabila calon yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertuang dalam Lampiran II Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(4) Apabila setelah diangkat sebagai Mediator Tetap LAPSPI ternyata di kemudian hari Mediator tersebut mengalami perubahan kondisi pada dirinya yang mengakibatkan tidak terpenuhinya 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Pengurus segera memutuskan untuk: (a) membekukan statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI untuk sementara waktu
sampai dengan dipenuhinya kembali syarat-syarat yang diperlukan; atau (b) mengajukan permohonan kepada Badan Pengawas LAPSPI untuk mencabut
statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI. (5) Dalam hal keputusan pembekuan atau pencabutan dimaksud dalam ayat (3) diterbitkan
oleh Pengurus pada saat Mediator yang bersangkutan tengah menjalankan tugasnya sebagai Mediator perkara, pada saat Mediasi berada dalam tahap apapun, maka Pengurus segera menghentikan proses Mediasi dimaksud sampai dengan ditunjuk kembali Mediator baru sesuai dengan Peraturan dan Prosedur ini.
(6) Pengurus menerbitkan Daftar Mediator Tetap LAPSPI yang terbuka untuk umum, dan memperbaharuinya setiap ada perubahan pada daftar tersebut.
Pasal 5 Kewajiban Mediator
(1) Mediator wajib mentaati ketentuan Kode Etik dan menghindari Benturan Kepentingan selama menjalankan fungsinya.
(2) Mediator berkewajiban melaksanakan tugasnya sampai selesai secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi Kode Etik.
(3) Mediator wajib memberikan kesempatan yang sama kepada masing-masing Pihak untuk didengar keterangan, pendapat dan keinginannya.
(4) Mediator wajib segera mengundurkan diri apabila, setelah menerima penunjukan sebagai Mediator, kemudian menyadari bahwa yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (6).
BAB III Penunjukan Mediator
Pasal 6 Layanan Probono
(1) Untuk Layanan Probono, Pengurus LAPSPI menunjuk 1 (satu) orang Mediator Tetap LAPSPI untuk menangani penyelesaian sengketa Para Pihak.
6
(2) Sekretaris dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat konfirmasi kesediaan Mediasi dari Termohon, meneruskan surat penunjukan kepada Mediator.
(3) Mediator yang ditunjuk, berhak untuk menerima atau menolak penunjukan atas dirinya, dan memberikan jawabannya secara tertulis paling lama 5 (lima) hari terhitung setelah menerima surat penunjukan tersebut kepada Sekretaris, dengan tembusan Pengurus.
(4) Apabila Mediator menerima penunjukan, maka Mediator di dalam jawabannya sekaligus melampirkan surat pernyataan dan keterbukaan dalam format yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh LAPSPI dengan memperhatikan Kode Etik dan Pedoman Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan dan Prosedur Mediasi ini. Mediator bertanggung jawab penuh atas segala risiko hukum yang timbul dari kebenaran surat pernyataan dan keterbukaan yang telah dibuat dan ditandatanganinya tersebut.
(5) Mediator hanya boleh menerima penunjukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tidak memiliki benturan kepentingan terhadap salah satu atau Para Pihak yang
bersengketa; (b) tidak berada dalam pengaruh dan/atau tekanan siapapun untuk menjalankan
tugas sebagai Mediator yang akan mempengaruhi integritas, imparsialitas dan kemandiriannya dalam menyelenggarakan Mediasi;
(c) dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menjalankan tugas sebagai Mediator dengan sebaik-baiknya;
(d) membuat surat pernyataan dan keterbukaan sebagaimana dimaksud ayat (4) dengan jujur dan benar.
(6) Apabila Mediator menolak penunjukan, karena sebab tidak terpenuhinya ketentuan ayat (5) pasal ini, maka Pengurus menunjuk Mediator lain dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah menerima surat penolakan. Jangka waktu dalam kesempatan kedua tersebut sudah termasuk konfirmasi penerimaan dari Mediator yang ditunjuk.
(7) Apabila Mediator melanggar ketentuan Pasal 5, maka proses Mediasi akan diberhentikan sementara dan Pengurus LAPSPI akan menunjuk dan mengangkat Mediator baru dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(8) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Mediator memberikan konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Mediator, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan Mediator dimaksud sebagai Mediator untuk perkara yang bersangkutan.
(9) Setelah pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (8), Pengurus menyerahkan Berkas Permohonan Mediasi kepada Mediator melalui Sekretaris supaya dapat segera dimulai perundingan Mediasi.
Pasal 7 Layanan Komersial
(1) Para Pihak dalam Layanan Komersial berhak memilih seorang atau paling banyak 2 (dua) orang Mediator yang tercatat dalam Daftar Mediator Tetap LAPSPI.
(2) Pengurus, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat konfirmasi kesediaan Mediasi dari Termohon, menyampaikan Daftar Mediator Tetap LAPSPI kepada Para Pihak untuk menyepakati dan menunjuk 1 (satu) orang atau lebih Mediator.
7
(3) Para Pihak, dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah menerima Daftar Mediator Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, harus telah menyepakati dan menunjuk 1 (satu) orang atau lebih Mediator dan menyampaikan penunjukan tersebut secara tertulis kepada Pengurus LAPSPI.
(4) Sekretaris segera meneruskan surat penunjukan kepada Mediator atau Para Mediator paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat dari Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini.
(5) Mediator hanya boleh menerima penunjukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tidak memiliki benturan kepentingan terhadap salah satu atau Para Pihak yang
bersengketa; (b) tidak berada dalam pengaruh dan/atau tekanan siapapun untuk menjalankan
tugas sebagai Mediator yang akan mempengaruhi integritas, imparsialitas dan kemandiriannya dalam menyelenggarakan Mediasi;
(c) dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menjalankan tugas sebagai Mediator dengan sebaik-baiknya;
(d) membuat surat pernyataan dan keterbukaan sebagaimana dimaksud ayat (4) dengan jujur dan benar.
(6) Apabila Mediator menolak penunjukan, karena sebab tidak terpenuhinya ketentuan ayat (5) pasal ini, maka Pengurus berwenang menunjuk Mediator lain dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat penolakan dan menyampaikan kepada Para Pihak.
(7) Apabila Mediator menerima penunjukan, maka Mediator di dalam jawabannya sekaligus melampirkan surat pernyataan dan keterbukaan dalam format yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh LAPSPI dengan memperhatikan Pedoman Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan dan Prosedur Mediasi ini. Mediator bertanggung jawab penuh atas segala risiko hukum yang timbul dari kebenaran surat pernyataan dan keterbukaan yang telah dibuat dan ditandatanganinya tersebut.
(8) Pengurus berwenang menunjuk Mediator untuk kepentingan Para Pihak apabila: (a) Para Pihak menyerahkan penunjukan Mediator kepada Pengurus; atau (b) Para Pihak gagal menunjuk Mediator dalam waktu sebagaimana dimaksud ayat
(1) atau ayat (3); atau (c) Mediator yang ditunjuk Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini,
menolak penunjukan. (9) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Mediator memberikan
konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Mediator, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan Mediator dimaksud sebagai Mediator untuk perkara yang bersangkutan.
(10) Setelah pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (9), Pengurus menyerahkan Berkas Permohonan Mediasi kepada Mediator melalui Sekretaris supaya dapat segera dimulai perundingan Mediasi.
Pasal 8 Penggantian Mediator
(1) Setelah diterbitkan surat pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (10), Mediator tidak dapat diganti atau mengundurkan diri, kecuali menurut syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (6).
8
(2) (a) Salah satu Pihak dapat mengajukan permintaan penggantian Mediator secara tertulis kepada Pengurus dengan tembusan Mediator dan Pihak lainnya apabila Mediator yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5) dan/atau melanggar ketentuan Pasal 5.
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Mediasi sampai ada kepastian mengenai persoalan permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud huruf (a).
(c) Pihak lainnya harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Pihak lain tidak berkeberatan terhadap permintaan penggantian Mediator tersebut, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (10).
(e) Dalam hal Pihak lain berkeberatan terhadap permintaan penggantian Mediator tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus.
(f) Mediator berhak diberikan kesempatan untuk membela diri atau memberikan penjelasan kepada Para Pihak dan Pengurus sehubungan dengan adanya permintaan penggantian dirinya.
(3) (a) Mediator dapat mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak, apabila Mediator tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5) atau melanggar Pasal 5.
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Mediasi sampai ada kepastian mengenai persoalan permintaan pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud huruf (a).
(c) Para Pihak harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap pengunduran diri sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Para Pihak tidak berkeberatan terhadap permintaan pengunduran diri Mediator tersebut, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(e) Dalam hal Para Pihak berkeberatan terhadap permintaan pengunduran diri Mediator tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus.
(f) Mediator berhak diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan kepada Pengurus dan Para Pihak sehubungan dengan adanya permintaan pengunduran dirinya tersebut.
(4) Dalam hal Mediator meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak memungkinkannya untuk mengajukan permohonan pengunduran diri, maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(5) Apabila Pengurus memutuskan menolak permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud ayat (2) atau pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Mediator tersebut tetap bertugas dan Mediasi dilanjutkan kembali.
(6) Apabila Pengurus memutuskan menerima permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud ayat (2), atau pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
9
(7) Keputusan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan ayat (6) bersifat final dan mengikat Para Pihak dan Mediator yang bersangkutan.
(8) Setelah Pengurus mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara, selanjutnya Mediator yang baru akan ditunjuk sesuai dengan tata cara penunjukan Mediator yang diganti dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal pencabutan surat keputusan tersebut. Proses Mediasi dimulai kembali dengan perhitungan jangka waktu yang baru.
BAB IV
Proses Mediasi
Pasal 9 Pendaftaran Permohonan Mediasi
(1) Mediasi diselenggarakan berdasarkan Permohonan Mediasi yang diajukan pendaftarannya oleh Para Pihak atau salah satu Pihak kepada LAPSPI.
(2) Berkas Permohonan Mediasi paling kurang memuat: (a) nama lengkap, dan tempat tinggal atau tempat kedudukan Para Pihak; (b) jenis perkara; (c) permintaan kepada LAPSPI untuk diselenggarakan Mediasi; (d) Resume Perkara; (e) fotokopi dokumen-dokumen atau bukti-bukti pendukung;
(3) Resume Perkara dibuat oleh masing-masing Pihak jika tidak dimungkinkan untuk dibuat secara bersama-sama.
(4) Pengurus menyampaikan surat konfirmasi penerimaan atau penolakan terhadap pendaftaran Permohonan Mediasi kepada Para Pihak dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah diterimanya konfirmasi tertulis dari Termohon.
(5) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan ditolak, maka surat sebagaimana dimaksud ayat (4) memuat alasan penolakan. Para Pihak dapat mengajukan kembali Permohonan Mediasi setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
(6) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan diterima, maka surat sebagaimana dimaksud ayat (4) memuat pula: (a) pemberitahuan mengenai dimulainya penunjukan Mediator; (b) pemberitahuan mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk oleh Pengurus untuk
perkara yang bersangkutan; (c) informasi mengenai biaya-biaya Mediasi atas perkara yang bersangkutan.
(7) Terhadap permohonan Mediasi yang diterima sebagaimana dimaksud ayat (6), Sekretariat pada tanggal yang sama dengan tanggal konfirmasi dimaksud mencatatkan permohonan tersebut dalam buku register perkara LAPSPI.
(8) Pengurus dapat melimpahkan kewenangan melakukan konfirmasi atas pendaftaran Permohonan Mediasi kepada personil Sekretariat.
Pasal 10 Sekretaris
(1) Pengurus menunjuk 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat untuk menjadi Sekretaris
pada perkara yang akan atau sedang diproses dalam Mediasi. (2) Sekretaris mempunyai tugas sebagai berikut:
(a) membuat risalah pertemuan perundingan, kaukus dan dengar pendapat; (b) mengurus korespondensi Mediasi;
10
(c) menyimpan catatan dan dokumen Mediasi; (d) menandatangani surat-surat undangan pertemuan kepada Para Pihak atas nama
Mediator; (e) membantu Para Pihak dan Mediator menyiapkan format konsep Kesepakatan
Perdamaian; (f) membantu Mediator dalam menyusun jadwal perundingan dan mengingatkan
Mediator dan Para Pihak mengenai jangka waktu Mediasi; (g) menyiapkan konsep laporan Mediator kepada Pengurus mengenai selesainya
Mediasi; (h) tugas-tugas lain yang diatur pada bagian lain dari Peraturan dan Prosedur ini,
apabila ada. (3) Sekretaris wajib menjaga prinsip kerahasiaan atas proses Mediasi dan melaksanakan
tugasnya sampai dengan selesai secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi kehormatan LAPSPI.
Pasal 11 Perjanjian Mediasi
(1) Perjanjian Mediasi dapat dibuat dengan cara sebagai berikut:
(a) tertuang dalam klausula penyelesaian sengketa dari perjanjian pokok; (b) dibuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh Para Pihak; (c) dalam bentuk pernyataan Para Pihak di hadapan persidangan Arbitrase LAPSPI.
(2) Dalam hal pengajuan Mediasi dibuat dalam bentuk pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (c) maka perjanjian tersebut cukup dibuktikan dengan Berita Acara Persidangan Arbitrase LAPSPI.
(3) Perjanjian Mediasi memuat pernyataan bahwa Para Pihak bersedia untuk terikat, tunduk dan melaksanakan setiap dan semua kesepakatan yang mungkin dicapai dalam Mediasi LAPSPI, serta menanggung biaya-biaya yang diperlukan dalam Mediasi.
(4) LAPSPI dapat memfasilitasi pertemuan antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Mediasi.
BAB V PERUNDINGAN MEDIASI
Pasal 12 Jangka Waktu
Perundingan Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah tanggal surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9). Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang atas kesepakatan Para Pihak dan Mediator paling lama 30 (tiga puluh) hari lagi.
Pasal 13 Tempat
Mediasi diselenggarakan di Jakarta atau tempat yang ditentukan oleh Pengurus. Namun demikian, Para Pihak dapat mengusulkan tempat lain dengan persetujuan Pengurus dan Mediator.
Pasal 14 Bahasa
11
(1) Bahasa yang digunakan dalam semua proses Mediasi LAPSPI adalah bahasa Indonesia,
kecuali atas persetujuan Mediator maka Para Pihak dapat memilih bahasa lain. (2) Kesepakatan Perdamaian harus menggunakan Bahasa Indonesia dan dapat
diterjemahkan ke dalam Bahasa Lain.
Pasal 15 Perundingan, Kaukus, dan Dengar Pendapat
(1) Mediator harus sudah memulai perundingan Mediasi selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari terhitung setelah tanggal menerima surat keputusan pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(2) Mediator berupaya menyelenggarakan proses Mediasi yang efisien dan bersungguh-sungguh membimbing Para Pihak mencapai Kesepakatan Perdamaian.
(3) Mediator harus mengambil inisiatif untuk memulai pertemuan, mengusulkan jadwal dan agenda pertemuan kepada Para Pihak untuk dibahas dan disepakati.
(4) Mediator harus mendorong Para Pihak untuk secara langsung terlibat dan berperan aktif dalam: (a) proses Mediasi secara keseluruhan; (b) menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak; dan (c) mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para Pihak.
(5) Dalam rangka menjaga prinsip independensi dan keadilan, Pengurus memiliki kewenangan untuk hadir memantau jalannya proses Mediasi.
(6) Apabila menganggap perlu, Mediator dapat melakukan Kaukus dengan persetujuan terlebih dahulu Para Pihak.
(7) Apabila menganggap perlu, Mediator dengan persetujuan dan biaya Para Pihak dapat mengundang 1 (satu) atau lebih ahli dalam bidang tertentu dan/atau pihak ketiga lainnya untuk memberikan keterangan.
(8) Para Pihak harus menghadiri pertemuan perundingan yang diselenggarakan oleh Mediator dan tidak boleh diwakilkan hanya oleh kuasa hukumnya. Jika dipandang perlu oleh Mediator untuk kelancaran proses perundingan, Mediator dapat membatasi kehadiran kuasa hukum Para Pihak.
(8) Dalam hal suatu Pihak merupakan badan hukum, maka harus diwakili oleh pengurusnya dan/atau pegawainya yang sah dan berwenang atau berdasarkan Surat Kuasa khusus, untuk: (a) mewakili badan hukum; (b) mengambil keputusan untuk dan atas nama badan hukum; dan (c) membuat perdamaian untuk dan atas nama badan hukum.
(9) Acara perundingan, Kaukus dan mendengar keterangan ahli/pihak ketiga dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan tatap muka langsung atau melalui sarana teknologi informasi (seperti telepon, telekonferensi dan/atau video konferensi).
(10) Selama belum tercapai Kesepakatan Perdamaian, salah satu Pihak dapat menyatakan mundur dari proses Mediasi kepada Mediator, dengan tembusan Pihak lain dan Pengurus, jika terdapat alasan dan bukti yang kuat bahwa Pihak lain menunjukkan itikad tidak baik dalam menjalani proses Mediasi.
Pasal 16 Keterlibatan Ahli dan Saksi
(1) Atas persetujuan Para Pihak, Mediator dapat menghadirkan seorang atau lebih Ahli atau Saksi.
12
(2) Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan kekuatan yang mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian Ahli dan/atau Saksi.
Pasal 17 Kerahasiaan
(1) Proses Mediasi bersifat rahasia dan berlangsung secara tertutup yang hanya dihadiri oleh Para Pihak, Mediator dan Sekretaris, kecuali Para Pihak menghendaki lain atau bila diperlukan untuk pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian sebagaimana alasan yang diperbolehkan Pasal 21 ayat (3).
(2) Kecuali bila diperlukan untuk pelaksanaan Mediasi sebagaimana alasan yang diperbolehkan Pasal 20 ayat (3), maka semua orang yang terlibat dalam proses Mediasi harus menjaga kerahasiaan baik selama perundingan maupun setelah selesai, dan tidak menggunakan untuk tujuan apapun terhadap: (a) fakta bahwa proses Mediasi akan, sedang dan/atau telah berlangsung; (b) hal-hal yang muncul dalam proses Mediasi; (c) pendapat yang dikemukakan, usulan-usulan atau proposal yang diajukan Para
Pihak untuk penyelesaian sengketa; (d) semua bahan yang diserahkan dan pembicaraan yang dilakukan selama proses
Mediasi; (e) semua data, informasi, korespondensi, dan bahan baik dalam bentuk cetak
tertulis maupun elektronik, mengenai masalah yang didiskusikan, proposal dan tanggapan yang disampaikan, termasuk isi Kesepakatan Perdamaian.
(3) Ketentuan kerahasiaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2) tetap melekat atas orang yang terlibat dalam proses Mediasi meskipun Mediasi telah selesai.
(4) LAPSPI dan/atau salah satu Pihak berhak menuntut Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2) berupa tuntutan termasuk namun tidak terbatas pada: (a) ganti rugi penuh atas kerugian yang ditimbulkan; (b) biaya upaya hukum yang dilakukannya sehubungan dengan pelanggaran
tersebut; (c) jaminan tidak terulang kembali pelanggaran tersebut di kemudian hari.
(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2), Mediator berwenang untuk menghentikan proses Mediasi untuk sementara waktu sampai adanya jaminan bahwa pelanggaran tersebut tidak terulang kembali di kemudian hari.
(6) Setelah Mediasi selesai, maka: (a) Catatan Mediator dan Sekretaris wajib dimusnahkan; (b) Mediator tidak dapat bertindak sebagai saksi fakta, ahli, konsultan, kuasa hukum,
Adjudikator, atau Arbiter dalam perkara yang sama.
Pasal 18 Dokumentasi, Korespondensi dan Komunikasi
(1) Para Pihak dilarang merekam acara Mediasi baik rekaman audio, rekaman visual maupun rekaman audio visual.
(2) Pengiriman surat-menyurat disampaikan oleh Sekretaris kepada nama dan alamat yang tercantum pada Permohonan Mediasi. Apabila ada perubahan, maka masing-masing Pihak harus memastikan telah memberikan informasi kepada Sekretaris mengenai nama, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat secara lengkap untuk tujuan surat-menyurat dari dan ke masing-masing Pihak, dan setiap perubahan-perubahan selanjutnya berkenaan dengan hal-hal tersebut.
13
(3) Apabila Mediator telah diangkat, maka setiap Pihak tidak boleh melakukan komunikasi
dengan Mediator dengan cara apapun sehubungan dengan Permohonan Mediasi, kecuali dalam pertemuan perundingan, atau pertemuan Kaukus, atau disertai suatu salinan yang juga dikirimkan kepada Pihak lain melalui Sekretaris.
(4) Surat-menyurat dari Mediator kepada Para Pihak, maupun dari satu Pihak kepada Mediator dan Pihak lain, harus disampaikan dalam kesempatan perundingan, pertemuan Kaukus dan/atau melalui Sekretaris.
(5) Penyampaian dan pendistribusian surat-menyurat melalui Sekretaris disampaikan melalui kurir, pos tercatat, faksimili dan/atau e-mail.
(6) Pengiriman oleh Sekretaris kepada Para Pihak melalui faksimili dan/atau e-mail adalah sama sahnya dengan pengiriman melalui kurir dan/atau pos tercatat dengan bukti penerimaan yang cukup. Apabila pengiriman melalui faksimili dan/atau e-mail sudah diterima dengan baik dan jelas, maka pengiriman surat asli melalui kurir dan/atau pos tercatat boleh untuk tidak dilakukan lagi oleh Sekretaris kepada Para Pihak.
(7) Dokumentasi, korespondensi dan komunikasi yang melanggar ketentuan Pasal 18 ini adalah tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.
BAB VI HASIL MEDIASI
Pasal 19 Mediasi Mencapai Kesepakatan
(1) Apabila Para Pihak berhasil mencapai kesepakatan, maka Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator harus menuangkan kesepakatan tersebut dalam Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator sebagai saksi.
(2) Sebelum Para Pihak menandatangani Kesepakatan Perdamaian, Mediator memeriksa materi perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik.
(3) Dengan ditandatangani Kesepakatan Perdamaian oleh Para Pihak, Mediator menyatakan Mediasi selesai dan tugas Mediator selesai. Selanjutnya Mediator segera melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada Pengurus.
Pasal 20 Pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian
(1) Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau melaksanakan Kesepakatan Perdamaian
dalam jangka waktu yang disepakati dalam kesepakatan tersebut, Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan LAPSPI.
(2) Pengurus, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima tembusan surat sebagaimana dimaksud ayat (1), akan menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Pihak lain dan kepada Asosiasi perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat sebagaimana dimaksud ayat (2) masih juga diingkari, Pengurus dan/atau Pihak lain menyampaikan kembali teguran tertulis kedua kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Asosiasi perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan.
14
Pasal 21 Akta Perdamaian
(1) Apabila Para Pihak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dituangkan ke dalam Akta Perdamaian, maka hal tersebut harus tercantum pada Kesepakatan Perdamaian, dan selanjutnya salah satu Pihak mengajukan Permohonan Arbitrase kepada LAPSPI atau mengajukan gugatan melalui Pengadilan untuk meminta Akta Perdamaian.
(2) Pada sidang yang ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase sebagaimana dimaksud ayat (1), Para Pihak menyerahkan Kesepakatan Perdamaian kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase.
(3) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase LAPSPI hanya akan menguatkan Kesepakatan Perdamaian ke dalam bentuk Akta Perdamaian apabila kesepakatan tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) sesuai kehendak Para Pihak; (b) tidak bertentangan dengan hukum dan kepatutan; (c) tidak merugikan pihak ketiga; (d) dapat dieksekusi; dan (e) dengan itikad baik Para Pihak.
Pasal 22 Kesepakatan Perdamaian Sebagian
(1) Apabila dalam persengketaan terdapat lebih dari 1 (satu) tuntutan, maka diperbolehkan kepada Para Pihak untuk mencapai Kesepakatan Perdamaian untuk sebagian saja dari tuntutan-tuntutan tersebut.
(2) Apabila Mediasi melibatkan banyak Pihak, maka perdamaian diperbolehkan untuk tercapai secara parsial hanya pada sebagian Pihak saja.
(3) Sebagian sengketa/tuntutan yang belum terselesaikan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2) dapat dilanjutkan kepada penyelesaian sengketa yang lainnya sesuai kesepakatan/perjanjian di antara Para Pihak.
Pasal 23 Mediasi Tidak Mencapai Perdamaian
(1) Mediator menyatakan Mediasi berakhir tanpa penyelesaian dan segera melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak apabila: (a) setelah lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Mediasi tidak
berhasil mencapai perdamaian; (b) Mediator mengetahui bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasikan,
ternyata melibatkan asset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak menjadi pihak dalam Mediasi, sehingga tidak mungkin dapat dibuat suatu perdamaian yang akan dapat dilaksanakan dengan baik;
(c) satu atau lebih Pihak mengundurkan diri dari Mediasi; (d) Mediator menilai tidak ada itikad baik dari satu atau lebih Pihak dalam Mediasi.
(2) Berdasarkan keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1), maka tugas Mediator selesai, dan selanjutnya sengketa tersebut dapat dilanjutkan pada proses penyelesaian sengketa lainnya sesuai kesepakatan/perjanjian di antara Para Pihak.
(3) Jika Para Pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan Para Pihak dalam proses Mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti proses persidangan perkara.
15
BAB VII
BIAYA-BIAYA LAYANAN MEDIASI
Pasal 24 Jenis-jenis Biaya
(1) Biaya-biaya dalam layanan Mediasi terdiri dari:
(a) Biaya Pendaftaran, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 25; (b) Biaya Sengketa, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 26; (c) Biaya Mediator, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 27;
(2) Biaya Pendaftaran dan Biaya Mediator, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan c, ditanggung oleh Pemohon.
(3) Para Pihak bebas menyepakati pembagian beban di antara Para Pihak atas Biaya Sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b. Para Pihak segera memberitahukan kesepakatan tersebut kepada Pengurus.
(4) Apabila tidak ada kesepakatan sebagaimana dimaksud ayat (3), Pengurus menentukan Biaya Sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b secara adil.
(5) Apabila terdapat perhitungan pajak, maka biaya-biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) juncto Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 serta Lampiran I adalah jumlah bersih yang diterima LAPSPI.
(6) Pengurus menunda dan/atau menghentikan proses pemeriksaan apabila ada biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) yang belum dilunasi oleh Para Pihak sesuai ketentuan Pasal 25 atau Pasal 26 atau Pasal 27.
Pasal 25
Biaya Pendaftaran (1) Besarnya biaya pendaftaran ditetapkan oleh Pengurus LAPSPI dari waktu ke waktu
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(2) Biaya Pendaftaran Permohonan Mediasi dilunasi oleh Pemohon pada saat pendaftaran Permohonan Mediasi.
Pasal 26 Biaya Sengketa
(1) Biaya Sengketa adalah biaya-biaya untuk keperluan pengeluaran:
(a) mediasi yang diselenggarakan di luar kantor LAPSPI; (b) menghadirkan ahli dan/atau saksi sebagaimana dimaksud Pasal 16; (c) munculnya lain-lain biaya yang relevan dan wajar yang dapat diterima atau
disepakati oleh Para Pihak. (2) Para Pihak harus menyerahkan deposit untuk pengeluaran Biaya Sengketa sesuai
dengan keputusan Pengurus LAPSPI sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(3) Deposit sebagaimana dimaksud ayat (2) disetorkan Para Pihak kepada LAPSPI sebelum dimulainya perundingan Mediasi.
(4) Apabila jumlah deposit telah berkurang lebih dari 60 % (enam puluh per seratus), maka Para Pihak harus menambah deposit sehingga jumlahnya kembali sebesar deposit awal.
16
(5) Apabila seluruh pengeluaran Biaya Perundingan ternyata lebih kecil dari deposit yang disetor, maka sisa deposit segera dikembalikan kepada Para Pihak, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah Mediasi selesai.
(6) Sekretariat membuat laporan penggunaan deposit kepada Para Pihak dengan bukti-bukti pengeluaran yang cukup.
Pasal 27
Biaya Mediator (1) Biaya Mediator ditentukan oleh Pengurus LAPSPI dari waktu ke waktu yang nilainya
dicantumkan dalam Lampiran I dan yang merupakan satu kesatuan dengan Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(2) Pemohon melunasi Biaya Mediator saat pendaftaran Permohonan Mediasi. (3) Apabila nilai sengketa tidak disebutkan oleh Para Pihak atau tidak berupa suatu
tuntutan pembayaran uang, maka besarnya nilai sengketa ditetapkan oleh Pengurus dengan memperhatikan kompleksitas perkara dan setelah mendengar pendapat Para Pihak dan Mediator.
(4) Apabila Mediasi ternyata tidak berhasil mencapai Kesepakatan Perdamaian tanpa adanya Pihak yang mengundurkan diri, maka Biaya Mediator tidak dihitung berdasarkan ayat (1), tetapi menggunakan perhitungan tarif biaya per jam sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sesuai dengan total konsumsi waktu Mediator yang dipakai untuk perundingan Mediasi.
BAB VIII SANKSI
Pasal 28 Pelanggaran oleh Mediator
(1) Mediator yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Benturan Kepetingan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5a) dan (5b) serta Pasal 7 ayat (6a) dan (6b), akan diperiksa oleh Komite Kehormatan LAPSPI.
(2) Mediator yang terbukti bersalah berdasarkan keputusan Komite Kehormatan LAPSPI, akan dikeluarkan dari Daftar Mediator Tetap dan tidak diperkenankan untuk menangani perkara atau sebagai Kuasa Hukum dari Para Pihak yang bersengketa, di dalam jurisdiksi LAPSPI.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
(1) Pengurus, Mediator, Sekretaris dan/atau personil LAPSPI lainnya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata terhadap pelaksanaan tugasnya dan kewenangannya berdasarkan Peraturan dan Prosedur ini, maupun terhadap isi dari Kesepakatan Perdamaian.
(2) Para Pihak tidak dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap LAPSPI (termasuk Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil LAPSPI lainnya), termasuk tapi tidak terbatas pada tuntutan berkenaan dengan: (a) setiap layanan yang disediakan LAPSPI; (b) setiap upaya yang dilakukan oleh LAPSPI;
17
(c) sengketa yang didaftarkan dan diproses di LAPSPI; (d) setiap tindakan, berkenaan dengan proses Mediasi, yang dilakukan yang sesuai
dengan Peraturan dan Prosedur ini. (3) Para Pihak menyatakan dan setuju bahwa setiap tuntutan terhadap LAPSPI (termasuk
Pengurus, Mediator, Sekretaris dan/atau personil LAPSPI lainnya) yang dibuat dengan melanggar ayat (1) dan/atau ayat (2) adalah merupakan suatu kerugian yang besar dan nyata bagi LAPSPI. Oleh karena itu LAPSPI berhak untuk melakukan upaya hukum atas tuntutan tersebut, dan juga berhak untuk menuntut kepada Para Pihak atas ganti rugi secara penuh biaya hukum yang telah LAPSPI keluarkan.
(4) Mediator yang pada saat mulai berlakunya Peraturan dan Prosedur ini telah diangkat sebagai Arbiter/Mediator Tetap LAPSPI namun belum mempunyai Sertifikat Mediator, maka kepada Mediator yang bersangkutan diberikan kesempatan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung setelah berlakunya Peraturan dan Prosedur ini untuk memiliki Sertifikat Mediator dimaksud. Apabila Mediator yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan ini maka Pengurus akan mencabut statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI. Selama statusnya belum dicabut, Mediator yang bersangkutan tetap dapat ditunjuk oleh Para Pihak dan/atau Pengurus untuk menjadi Mediator perkara di LAPSPI.
(5) Penyebutan nama suatu organisasi/instansi dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah dimaksudkan pula kepada nama baru dari organisasi/instansi yang bersangkutan disebabkan perubahan nama saja ataupun disebabkan karena tindakan pemisahan, penggabungan atau pengambilalihan yang menyebabkan perubahan nama organisasi/instansi.
Pasal 30
Pada saat Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia Nomor 07/LAPSPI-PER/2015 tentang Peraturan dan Prosedur Mediasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 April 2017
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN INDONESIA
Himawan E. Subiantoro Saifuddin Latief Nirwana Atta Ketua Sekretaris Bendahara
1
PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
NOMOR: 02/LAPSPI-PER/2017
TENTANG
PERATURAN DAN PROSEDUR ADJUDIKASI
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
Menimbang: a. bahwa dalam penyelesaian pengaduan Nasabah kepada Perbankan seringkali tidak tercapai kesepakatan yang dapat diterima oleh Para Pihak;
b. bahwa terdapat forum alternatif penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan;
c. bahwa asosiasi-asosiasi perbankan telah membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dengan layanan Mediasi, Adjudikasi, dan Arbitrase, untuk Para Pihak dalam menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien;
d. bahwa berdasarkan hal hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk membuat Peraturan dan Prosedur Adjudikasi LAPSPI sebagai pedoman bagi para pihak terkait.
1. Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872), beserta perubahannya jika ada;
2. Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011) Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253), beserta peraturan pelaksanaan dan perubahannya jika ada;
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang diundangkan tanggal 6 Agustus 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431) beserta perubahannya jika ada;
4. Anggaran Dasar LAPSPI sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian Nomor 36 tanggal 28 April 2015 yang dibuat dihadapan Ashoya Ratam, S.H., M.Kn., Notaris di Jakarta yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan surat keputusan KEMEKUMHAM Nomor: AHU-0004902.AH.01.07. tahun 2015 tanggal 16 September 2015 beserta perubahannya jika ada.
Mengingat:
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAN PROSEDUR ADJUDIKASI
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Definisi
(1) Dalam Peraturan Dan Peraturan ini, yang dimaksud dengan:
(a) Adjudikasi adalah cara penyelesaian Sengketa diluar arbitrase dan peradilan umum yang dilakukan oleh Adjudikator untuk menghasilkan suatu putusan yang dapat diterima oleh Pemohon sehingga dengan penerimaan tersebut maka putusan dimaksud mengikat Para Pihak.
(b) Adjudikator adalah seorang yang ditunjuk menurut Peraturan Dan Prosedur Adjudikasi LAPSPI untuk memeriksa perkara dan memberikan Putusan Adjudikasi mengenai sengketa tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Adjudikasi LAPSPI.
(c) Adjudikator Tetap adalah orang perseorangan yang diangkat oleh LAPSPI sebagai Adjudikator menurut ketentuan Pasal 8 ayat (2).
(d) Daftar Adjudikator Tetap adalah daftar yang diterbitkan oleh LAPSPI yang berisikan nama-nama Adjudikator Tetap.
(e) Kode Etik adalah Kode Etik yang berlaku bagi Adjudikator LAPSPI.
(f) Benturan Kepentingan adalah kondisi seseorang dimana yang bersangkutan tidak dapat bertindak secara objektif karena adanya kepentingan pribadi, baik secara ekonomi maupun sosial.
(g) Permohonan Adjudikasi adalah surat permohonan yang diajukan oleh Para Pihak atau salah satu Pihak kepada Pengurus LAPSPI untuk menyelenggarakan Adjudikasi dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur ini.
(h) Perjanjian Adjudikasi adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh Para Pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui Adjudikasi LAPSPI.
(i) Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke LAPSPI untuk memperoleh Putusan Adjudikasi.
(j) Pemohon adalah Pihak atau Pihak-pihak yang mengajukan Permohonan Layanan Adjudikasi kepada LAPSPI sesuai Peraturan dan Prosedur ini.
(k) Termohon adalah Pihak atau Pihak-pihak yang menjadi lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui Adjudikasi.
(l) Pengurus adalah pengurus LAPSPI sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar LAPSPI, beserta segala perubahannya jika ada.
(m) Sekretariat adalah sekretariat yang dibentuk Pengurus untuk menjalankan operasional sehari-hari LAPSPI yang dipimpin oleh salah satu anggota Pengurus, atau personil lain yang ditunjuk oleh Pengurus.
(n) Sekretaris adalah 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat yang ditunjuk oleh Pengurus untuk membantu Adjudikator dalam urusan pencatatan dan administrasi selama proses Adjudikasi.
(o) Putusan Adjudikasi adalah putusan yang dijatuhkan oleh 1 (satu) orang Adjudikator atas suatu sengketa menurut Peraturan dan Prosedur ini.
3
(p) Anggota LAPSPI adalah perseroan terbatas yang memiliki izin usaha dibidang perbankan baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, yang menjadi anggota LAPSPI berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar LAPSPI.
(q) Resume Perkara adalah dokumen yang dibuat oleh Para Pihak yang memuat kronologis kejadian sengketa.
(r) Layanan Adjudikasi adalah layanan penyelesaian sengketa melalui Adjudikasi LAPSPI yang diperuntukkan hanya bagi Pemohon nasabah UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dengan jumlah Tuntutan Ganti Rugi sampai dengan Rp 500.000.000,- dan telah melalui prosedur Mediasi LAPSPI dengan hasil tidak tercapai Kesepakatan Perdamaian atau tercapai Kesepakatan Perdamaian Sebagian.
(s) Tuntutan Ganti Rugi adalah jumlah nominal materiil tertentu yang dituntut oleh Pemohon.
(2) Penyebutan kata “hari” dalam Peraturan Dan Prosedur ini adalah merujuk kepada hari kerja nasional Indonesia.
(3) Istilah-istilah lain yang tidak disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) namun terdapat pada ketentuan ini mengacu pada istilah yang terdapat pada Peraturan Dan Prosedur LAPSPI lainnya yang memuat istilah lain tersebut.
Pasal 2 Ruang Lingkup Peraturan Dan Prosedur
(1) Peraturan Dan Prosedur ini mengatur penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui Adjudikasi LAPSPI.
(2) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Adjudikasi LAPSPI harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini:
(a) merupakan sengketa di bidang perbankan dan/atau berkaitan dengan bidang perbankan;
(b) sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh Pihak yang bersengketa;
(c) sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian;
(d) sengketa yang telah menempuh upaya Mediasi tetapi Para Pihak tidak berhasil mencapai perdamaian; dan
(e) antara Pemohon dan Termohon terikat dengan Perjanjian Adjudikasi.
(3) LAPSPI termasuk Adjudikator, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat dilarang untuk memberikan dan/atau menawarkan bantuan hukum dalam bentuk apapun, baik secara profesional ataupun personal kepada Para Pihak, termasuk nasihat dan/atau opini hukum menyangkut posisi hukum Para Pihak.
(4) Para Pihak, Adjudikator, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat wajib mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Dan Prosedur ini.
Pasal 3 Sifat Adjudikasi
(1) Penyelesaian sengketa melalui Adjudikasi LAPSPI dilaksanakan oleh Para Pihak berdasarkan pada itikad baik dan bermartabat, dengan mengesampingkan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
4
(2) Keikutsertaan Para Pihak dalam proses Adjudikasi adalah berdasarkan keinginan Para Pihak sendiri tanpa adanya paksaan, dan harus diikuti dengan santun, saling menghormati dan tertib.
(3) Keharusan bagi Termohon untuk menerima apapun Putusan Adjudikasi, dan sebaliknya diberikannya opsi bagi Pemohon untuk menerima atau tidak menerima Putusan Adjudikasi, adalah sifat dasar dari mekanisme Adjudikasi sehingga Para Pihak tidak akan membuat Perjanjian Adjudikasi tanpa adanya kedua hal tersebut.
(4) Putusan Adjudikasi bersifat final dan mengikat Para Pihak setelah Pemohon menerima dan menandatangani Putusan Adjudikasi tersebut.
(5) Putusan Adjudikasi yang telah diterima Pemohon sebagaimana dimaksud ayat (4) harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh Para Pihak dan tidak dapat diajukan perlawanan atau bantahan.
BAB II LAYANAN ADJUDIKASI
Pasal 4
(1) Layanan Adjudikasi merupakan layanan lanjutan dari proses Mediasi yang tidak menghasilkan Kesepakatan Perdamaian sama sekali atau mencapai Kesepakatan Perdamaian Sebagian.
(2) Pengurus LAPSPI menunjuk 1 (satu) orang Adjudikator Tetap LAPSPI untuk menangani permohonan Para Pihak.
(3) Sekretaris dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat konfirmasi kesediaan Adjudikasi dari Termohon, meneruskan surat penunjukan kepada Adjudikator paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat konfirmasi dimaksud.
(4) Adjudikator yang ditunjuk, berhak untuk menerima atau menolak penunjukan atas dirinya, dan memberikan jawabannya secara tertulis paling lama 5 (lima) hari terhitung setelah menerima surat penunjukan tersebut kepada Sekretaris, dengan tembusan Pengurus.
(5) Apabila Adjudikator menerima penunjukan, maka Adjudikator di dalam jawabannya sekaligus melampirkan surat pernyataan dan keterbukaan dalam format yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh LAPSPI dengan memperhatikan Pedoman Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan dan Prosedur Adjudikasi ini.
(6) Adjudikator hanya boleh menerima penunjukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tidak memiliki benturan kepentingan terhadap salah satu atau Para Pihak yang
bersengketa; (b) tidak berada dalam pengaruh dan/atau tekanan siapapun untuk menjalankan tugas
sebagai Adjudikator yang akan mempengaruhi integritas, imparsialitas dan kemandiriannya dalam menyelenggarakan Adjudikasi;
(c) dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menjalankan tugas sebagai Adjudikator dengan sebaik-baiknya;
(d) membuat surat pernyataan dan keterbukaan sebagaimana dimaksud ayat (5) dengan jujur dan benar.
(7) Apabila Adjudikator menolak penunjukan, karena sebab tidak terpenuhinya ketentuan ayat (6) pasal ini, maka Pengurus menunjuk Adjudikator lain dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah menerima surat penolakan. Jangka waktu dalam kesempatan kedua tersebut sudah termasuk konfirmasi penerimaan dari Adjudikator yang ditunjuk.
5
(8) Apabila Adjudikator melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1), (2), dan (3), maka proses Adjudikasi akan diberhentikan sementara dan Pengurus LAPSPI akan menunjuk dan mengangkat Adjudikator baru dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari;
(9) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Adjudikator memberikan konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Adjudikator, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan Adjudikator dimaksud sebagai Adjudikator untuk perkara yang bersangkutan.
(10) Setelah pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (9), Pengurus menyerahkan Berkas Permohonan Adjudikasi kepada Adjudikator melalui Sekretaris supaya dapat segera dimulai perundingan Adjudikasi.
BAB III PROSES PERMOHONAN ADJUDIKASI
Pasal 5 Pendaftaran Permohonan Adjudikasi
(1) Adjudikasi diselenggarakan berdasarkan Permohonan Adjudikasi yang diajukan pendaftarannya oleh Pemohon kepada LAPSPI.
(2) Permohonan Adjudikasi adalah berupa:
(a) surat tuntutan yang memuat:
(i) nama lengkap, dan tempat tinggal atau tempat kedudukan Para Pihak;
(ii) Resume Perkara tentang sengketa;
(iii) isi tuntutan; dan
(b) lampiran-lampiran:
(i) fotokopi Perjanjian Adjudikasi;
(ii) akta bukti;
(iii) fotokopi/salinan dokumen bukti-bukti.
(3) Pengurus menyampaikan konfirmasi penerimaan atau penolakan terhadap pendaftaran Permohonan Adjudikasi kepada Pemohon, dengan tembusan Termohon, dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah tanggal diterimanya konfirmasi dari Pihak Termohon atas Permohonan Adjudikasi melalui LAPSPI oleh Pemohon.
(4) Apabila pendaftaran Permohonan Adjudikasi ditolak Pengurus, surat sebagaimana dimaksud ayat (3) memuat pula alasan penolakan. Pemohon dapat mengajukannya kembali dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung setelah Pemohon menerima surat konfirmasi tersebut.
(5) Apabila pendaftaran Permohonan Adjudikasi dinyatakan diterima, surat sebagaimana dimaksud ayat (3) memuat pula:
(a) pemberitahuan bahwa Pengurus akan segera menunjuk 1 (satu) orang Adjudikator;
(b) pemberitahuan mengenai nama Sekretaris;
(c) salinan Permohonan Adjudikasi untuk Termohon.
(6) Terhadap pendaftaran Permohonan Adjudikasi yang diterima sebagaimana dimaksud ayat (5), Sekretariat pada tanggal yang sama dengan tanggal konfirmasi tersebut mencatatkan Permohonan Adjudikasi ke dalam buku register perkara LAPSPI.
(7) Pengurus dapat melimpahkan kewenangan untuk memberikan konfirmasi terhadap pendaftaran Permohonan Adjudikasi kepada personil Sekretariat.
6
Pasal 6 Perjanjian Adjudikasi
(1) Para Pihak dapat menyetujui secara tertulis suatu sengketa yang terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui Adjudikasi dalam suatu dokumen Perjanjian Adjudikasi.
(2) Perjanjian Adjudikasi berbentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani Para Pihak dalam model perjanjian sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan dan Prosedur Adjudikasi ini.
(3) Perjanjian Adjudikasi dibuat oleh Para Pihak dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung setelah konfirmasi penerimaan LAPSPI diterima oleh Para Pihak. Apabila Para Pihak belum membuat Perjanjian Adjudikasi hingga melewati batas waktu tersebut, maka permohonan Adjudikasi dianggap belum pernah diajukan.
(4) LAPSPI dapat memfasilitasi pertemuan antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Adjudikasi.
(5) Setelah menandatangani Perjanjian Adjudikasi, maka:
(a) Pemohon terikat dengan Peraturan dan Prosedur ini;
(b) Termohon terikat Peraturan dan Prosedur ini dan Putusan Adjudikasi yang akan diputuskan nanti walaupun Termohon tidak datang atau tidak berpartisipasi dalam proses Adjudikasi.
Pasal 7 Sekretaris
(1) Pengurus menunjuk 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat untuk menjadi Sekretaris pada perkara yang akan atau sedang diproses dalam Adjudikasi.
(2) Sekretaris mempunyai tugas sebagai berikut:
(a) membuat berita Prosedur Sidang;
(b) membuat risalah keputusan Adjudikator;
(c) mengurus korespondensi Adjudikasi;
(d) menyimpan catatan dan dokumen Adjudikasi;
(e) menandatangani surat panggilan Sidang kepada Para Pihak atas nama Adjudikator;
(f) membantu Adjudikator dalam menyusun jadwal Sidang dan mengingatkan mengenai jangka waktu Adjudikasi;
(g) membantu Adjudikator dalam membuat laporan kepada Pengurus mengenai selesainya Adjudikasi;
(h) tugas-tugas lain yang mungkin diatur pada bagian lain dari Peraturan dan Prosedur ini.
(3) Sekretaris wajib menjaga prinsip kerahasiaan atas proses Adjudikasi dan melaksanakan tugasnya sampai dengan selesai secara profesional, netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi kehormatan LAPSPI.
BAB IV ADJUDIKATOR
Pasal 8 Persyaratan Adjudikator
(1) Untuk dapat menjadi Adjudikator Tetap LAPSPI, haruslah orang yang sudah disetujui oleh Badan Pengawas LAPSPI sebagai Adjudikator Tetap LAPSPI.
7
(2) Pengurus mengangkat seseorang sebagai Adjudikator Tetap LAPSPI menurut ketentuan sebagai berikut:
(a) Pencalonan seseorang untuk menjadi Adjudikator Tetap LAPSPI diputuskan dalam Rapat Pengurus berdasarkan pemahaman Pengurus mengenai integritas dan kapabilitas dari calon yang bersangkutan.
(b) Apabila seseorang dimaksud, atas permohonan kesediaan yang disampaikan dari Pengurus, bersedia menjadi calon Adjudikator Tetap LAPSPI, maka Pengurus meminta yang bersangkutan menyampaikan resume jati diri dan riwayat hidup beserta fotokopi dokumen- dokumen pendukung dan mengikuti uji kecakapan dan kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Pengurus.
(c) Pengurus hanya mengangkat dan meminta persetujuan Badan Pengawas untuk seseorang menjadi Adjudikator Tetap LAPSPI apabila calon tersebut dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan dan Prosedur Adjudikasi ini.
(3) Apabila setelah diangkat sebagai Adjudikator Tetap LAPSPI ternyata di kemudian hari Adjudikator tersebut mengalami perubahan kondisi pada dirinya yang mengakibatkan tidak terpenuhinya 1 (satu) atau lebih syarat- syarat sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf (c), maka Pengurus segera memutuskan untuk:
(a) membekukan statusnya sebagai Adjudikator Tetap LAPSPI untuk sementara waktu sampai dengan dipenuhinya kembali syarat-syarat yang diperlukan; atau
(b) mencabut statusnya sebagai Adjudikator Tetap LAPSPI.
(4) Dalam hal keputusan pembekuan atau pencabutan dimaksud dalam ayat (3) diterbitkan oleh Pengurus pada saat Adjudikator yang bersangkutan tengah menjalankan tugasnya pada saat Adjudikasi berada dalam tahap apapun, maka Pengurus segera menghentikan proses Adjudikasi dimaksud sampai dengan ditunjuk kembali Adjudikator baru sesuai dengan Peraturan Dan Prosedur ini.
(5) Pengurus menerbitkan Daftar Adjudikator Tetap LAPSPI yang terbuka untuk umum, dan memperbaharuinya setiap kali ada perubahan pada daftar tersebut.
Pasal 9 Kewajiban dan Tanggung Jawab Adjudikator
(1) Adjudikator wajib menaati ketentuan Peraturan Dan Prosedur ini dan Kode Etik LAPSPI.
(2) Adjudikator berkewajiban melaksanakan tugasnya sampai selesai secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas.
(3) Adjudikator wajib memberikan kesempatan yang sama kepada masing- masing Pihak untuk didengar keterangannya (termasuk mengajukan bukti dan saksi), pendapatnya dan keinginannya.
(4) Adjudikator bertanggung jawab penuh atas segala risiko hukum yang timbul dari kebenaran surat pernyataan dan keterbukaan yang telah dibuat dan ditandatanganinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf d.
(5) Adjudikator wajib segera mengundurkan diri apabila kemudian menyadari bahwa ia ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (6).
BAB V PENGGANTIAN ADJUDIKATOR
Pasal 10 Penggantian Adjudikator
8
(1) Setelah diterbitkan surat pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (9), Adjudikator tidak dapat diganti atau mengundurkan diri, kecuali menurut syarat-syarat dan Prosedur yang diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11.
(2) Permintaan penggantian Adjudikator dari salah satu Pihak: (a) Salah satu Pihak dapat mengajukan permintaan penggantian Adjudikator secara tertulis
kepada Pengurus dengan tembusan Adjudikator yang bersangkutan dan Pihak lainnya apabila Adjudikator yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal Pasal 4 ayat (6).
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Adjudikasi sampai ada kepastian mengenai persoalan permintaan penggantian Adjudikator sebagaimana dimaksud huruf (a).
(c) Pihak lainnya harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Pihak lain berkeberatan terhadap permintaan penggantian Adjudikator tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus.
(e) Adjudikator berhak diberikan kesempatan untuk membela diri atau memberikan penjelasan tertulis kepada Pengurus dan Para Pihak sehubungan dengan adanya permintaan penggantian dirinya.
(f) Dalam hal Pihak lain tidak berkeberatan terhadap permintaan penggantian Adjudiktor tersebut, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Adjudikator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (9).
Pasal 11 Penggantian Adjudikator karena Alasan Lain
Dalam hal Adjudikator meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak memungkinkannya untuk mengajukan permohonan pengunduran diri, maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Adjudikator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (9) dan selanjutnya Adjudikator yang baru akan ditunjuk sesuai dengan tata cara penunjukan Adjudikator yang diganti dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah tangal pencabutan surat keputusan tersebut.
Pasal 12 Akibat Penggantian Adjudikator
(1) Proses Adjudikasi dihentikan untuk sementara waktu oleh Adjudikator atau oleh Pengurus, apabila terdapat permintaan penggantian Adjudikator atau permohonan pengunduran diri Adjudikator.
(2) Pada prinsipnya Adjudikator pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan Sidang terakhir yang telah diadakan.
(3) Dalam hal Adjduikator diganti, semua Sidang yang telah diadakan harus diulang kembali berdasarkan surat dan dokumen yang ada. Yang dimaksud dengan “Sidang diulang kembali” dalam ayat ini adalah pengulangan terhadap Prosedur mendengar keterangan Para Pihak, saksi dan/atau ahli, sedangkan segala surat dan dokumen yang telah diserahkan tidak perlu diulang kembali.
(4) Dalam hal Adjudikator diganti, maka Sidang diulang kembali secara tertib cukup oleh dan di antara para Adjudikator berdasarkan berita Prosedur dan surat-surat yang ada.
9
BAB VI SIDANG ADJUDIKASI
Pasal 13 Jangka Waktu Sidang
(1) Jangka waktu Sidang Adjudikasi adalah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung setelah tanggal pengangkatan Adjudikator sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (9).
(2) Adjudikator berwenang untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
(a) adanya permintaan penggantian Adjudikator;
(b) adanya permohonan pengunduran diri Adjudikator;
(c) adanya penggantian Adjudikator;
(d) adanya upaya perdamaian;
(e) selain alasan tersebut di atas dengan alasan yang wajar dan disetujui Para Pihak.
(3) Dalam rangka menjamin kepastian waktu penyelesaian Sidang Adjudikasi, maka pada Sidang pertama, Adjudikator menetapkan jadwal Sidang berikutnya sampai dengan pembacaan Putusan Adjudikasi.
(4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud ayat (2), maka dalam Sidang ditetapkan perpanjangan jangka waktu Sidang, paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(5) Apabila dalam waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ternyata Sidang Adjudikasi belum juga selesai, Adjudikator hanya dapat memperpanjang waktu berdasarkan persetujuan Para Pihak dan Pengurus, paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(6) Para Pihak sepakat bahwa sengketa harus diselesaikan dengan itikad baik dan secepat mungkin, dan oleh karena itu Para Pihak tidak akan mengulur- ngulur waktu, bersikap dan/atau melakukan tindakan yang dapat menghambat jalannya proses Adjudikasi.
Pasal 14 Tempat
(1) Sidang Adjudikasi diselenggarakan di Jakarta atau tempat yang ditentukan oleh Pengurus.
Namun demikian, Para Pihak dapat mengusulkan tempat lain dengan persetujuan Pengurus. (2) Adjudikator dapat mendengar keterangan saksi di luar tempat Adjudikasi diadakan dengan
alasan yang wajar, misalnya disebabkan tempat tinggal saksi yang bersangkutan. (3) Adjudikator dapat mengadakan Sidang setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal
lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa. (4) Tempat untuk menyelenggarakan pembacaan Putusan Adjudikasi dapat berbeda dengan
tempat Sidang.
Pasal 15 Bahasa
(1) Bahasa yang digunakan dalam semua proses Adjudikasi LAPSPI adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan Adjudikator maka Para Pihak dapat memilih bahasa lain.
(2) Adjudikator dapat memerintahkan kepada Para Pihak agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan sebagaimana dimaksud ayat (1).
10
Pasal 16 Hukum yang Berlaku
Hukum yang berlaku dalam Layanan Adjudikasi adalah Hukum Indonesia.
Pasal 17 Perwakilan dalam Sidang
(1) Pemohon dapat diwakili oleh Kuasa Hukum, dengan ketentuan harus memenuhi semua persyaratan berikut: (a) mempunyai izin praktek beracara sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku;
atau (b) dalam hal kuasa hukum lebih dari 1 (satu) orang, maka cukup paling kurang 1 (satu)
orang kuasa hukum saja yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud huruf (a) dan bertindak sebagai advokat utama (lead counsel);
(2) Bagi Termohon atau Bank, dapat diwakili oleh pejabat senior yang memiliki kewenangan memutus berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari Direksi Bank yang bersangkutan.
Pasal 18 Dokumentasi, Korespondensi dan Komunikasi
(1) Para Pihak dilarang merekam Prosedur Sidang Adjudikasi, baik rekaman audio, rekaman visual maupun rekaman audio visual.
(2) Pengiriman surat-menyurat dilakukan oleh Sekretaris kepada nama dan alamat yang tercantum dalam Permohonan Adjudikasi dan/atau Jawaban. Apabila ada perubahan, maka masing-masing Pihak harus memastikan telah memberikan informasi kepada Sekretariat mengenai nama, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat secara lengkap untuk tujuan surat- menyurat dari dan ke masing-masing Pihak, dan setiap perubahan- perubahan selanjutnya berkenaan dengan hal-hal tersebut.
(3) Apabila Adjudikator telah ditunjuk, maka Para Pihak tidak boleh melakukan komunikasi dengan Adjudikator dengan cara apapun sehubungan dengan Permohonan Adjudikasi kecuali dalam Sidang, atau disertai suatu salinan yang juga dikirimkan kepada Pihak lain melalui Sekretaris.
(4) Surat-menyurat dari Adjudikator kepada Para Pihak, maupun dari satu Pihak kepada Adjudikator dan Pihak lain, harus disampaikan dalam kesempatan Sidang dan/atau melalui Sekretaris.
(5) Penyampaian atau pendistribusian surat-menyurat melalui Sekretaris, disampaikan melalui kurir, pos tercatat, faksimili dan/atau e-mail.
(6) Pengiriman oleh Sekretaris kepada Para Pihak melalui faksimili dan/atau e- mail adalah sama sahnya dengan pengiriman melalui kurir dan/atau pos tercatat dengan bukti penerimaan yang cukup. Apabila pengiriman melalui faksimili dan/atau e-mail sudah diterima dengan baik dan jelas, maka pengiriman surat asli melalui kurir dan/atau pos tercatat boleh untuk tidak dilakukan lagi oleh Sekretaris kepada Para Pihak.
(7) Penyampaian dokumen Permohonan Adjudikasi, Jawaban, keterangan tertulis saksi fakta/saksi ahli, dan daftar bukti harus disertai dengan softcopy dalam format words document.
(8) Dokumentasi, korespondensi dan komunikasi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 18 ini adalah tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.
11
Pasal 19 Kerahasiaan
(1) Proses Adjudikasi bersifat rahasia dan berlangsung secara tertutup yang hanya dihadiri oleh Para Pihak dan/atau Kuasa Hukumnya, Adjudikator serta Sekretaris, kecuali Para Pihak menghendaki lain atau bila diperlukan untuk pelaksanaan Putusan Adjudikasi sebagaimana alasan yang diperbolehkan Pasal 28 ayat (4).
(2) Kecuali bila diperlukan untuk pelaksanaan Putusan Adjudikasi sebagaimana alasan yang diperbolehkan Pasal 28 ayat (4), maka semua orang yang terlibat dalam proses Adjudikasi harus menjaga kerahasiaan baik selama Sidang maupun setelah selesai, dan tidak menggunakan untuk tujuan apapun terhadap:
(a) fakta bahwa proses Adjudikasi akan, sedang dan/atau telah berlangsung;
(b) hal-hal yang muncul dalam proses Adjudikasi;
(c) pendapat yang dikemukakan, klaim, usulan-usulan atau proposal yang diajukan Para Pihak untuk penyelesaian sengketa;
(d) semua bahan yang diserahkan dan pembicaraan yang dilakukan selama proses Adjudikasi;
(e) semua data, informasi, korespondensi, dan bahan baik dalam bentuk cetak tertulis maupun elektronik, mengenai masalah yang didiskusikan, klaim, proposal dan tanggapan yang disampaikan, termasuk isi Putusan Adjudikasi;
(f) alasan penolakan Pemohon terhadap Putusan Adjudikasi, jika ada.
(3) Ketentuan kerahasiaan tetap melekat atas orang yang terlibat dalam proses Adjudikasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2) meskipun Adjudikasi telah selesai.
(4) LAPSPI dan/atau salah satu Pihak berhak menuntut Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2) berupa tuntutan termasuk namun tidak terbatas pada:
(a) ganti rugi penuh atas kerugian yang ditimbulkan;
(b) biaya upaya hukum yang dilakukannya sehubungan dengan pelanggaran tersebut;
(c) jaminan tidak terulang kembali pelanggaran tersebut di kemudian hari.
(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2), Adjudikator berhak untuk menghentikan proses Adjudikasi untuk sementara waktu sampai adanya jaminan bahwa pelanggaran tersebut tidak terulang kembali di kemudian hari.
Pasal 20 Panggilan Sidang
(1) Sidang pertama:
(a) Ditetapkan setelah Adjudikator menerima berkas Permohonan Adjudikasi dari Sekretaris, paling kurang 14 (empat belas) hari, melalui surat panggilan kepada Para Pihak. Di dalam surat panggilan tersebut, Termohon diminta memberikan tanggapan secara tertulis (“Jawaban”) pada Sidang pertama.
(b) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud huruf (a), Pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap sedangkan Pemohon telah dipanggil secara patut, maka Adjudikator menyatakan bahwa Permohonan Adjudikasi gugur dan tugas Adjudikator selesai. Untuk selanjutnya persengketaan tersebut tidak dapat lagi diajukan.
(c) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud huruf (a), Termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap sedangkan Termohon telah dipanggil secara patut, maka Adjudikator menunda Sidang dan melakukan pemanggilan kembali.
12
Sidang akan diselenggarakan kembali paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah pemanggilan kedua disampaikan kepada Termohon.
(d) Apabila Termohon tetap tidak datang dalam Sidang tanpa alasan sah sedangkan Termohon telah dipanggil secara patut, maka Sidang akan diteruskan tanpa kehadiran Termohon.
(2) Jawaban disampaikan Termohon kepada Adjudikator dalam jumlah salinan yang cukup bagi keperluan Sidang Adjudikasi, dan dilampirkan:
(a) akta bukti;
(b) fotokopi/salinan dokumen bukti-bukti.
(3) Atas permohonan Termohon, Adjudikator berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyerahan Jawaban berdasarkan alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 7 (tujuh) hari dari waktu yang semula ditentukan.
(4) Panggilan untuk Sidang berikutnya ditetapkan oleh Adjudikator dalam Prosedur Sidang, atau melalui surat panggilan yang akan disampaikan oleh Sekretaris.
(5) Dalam Prosedur Sidang, Adjudikator memeriksa keterangan masing-masing Pihak, mengupayakan perdamaian, memeriksa bukti dan mendengar keterangan saksi.
(6) Prosedur Sidang dapat diselenggarakan dalam bentuk pertemuan tatap muka secara langsung ataupun melalui sarana teknologi informasi, seperti telekonferensi dan video konferensi.
Pasal 21 Upaya Perdamaian
(1) Apabila selama masa Sidang, Para Pihak setuju untuk melakukan upaya damai, Adjudikator dapat menunda proses Sidang Adjudikasi paling lama 30 (tiga puluh) hari untuk memberikan kesempatan kepada Para Pihak dalam mengupayakan perdamaian sesuai pilihan penyelesaian yang disepakati oleh Para Pihak. Para Pihak menghadap kembali kepada Adjudikator pada hari Sidang yang ditetapkan untuk melaporkan hasil upaya perdamaian tersebut.
(2) Dalam hal upaya perdamaian berhasil mencapai perdamaian, kesepakatan tersebut harus memuat klausula pencabutan Permohonan Adjudikasi dan menyatakan perkara telah selesai. Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menyatakan mencabut Permohonan Adjudikasi di hadapan Adjudikator, dan untuk selanjutnya Adjudikator menutup Sidang dan menyatakan Adjudikasi selesai.
(3) Sidang Adjudikasi dilanjutkan jika upaya perdamaian tidak berhasil.
Pasal 22 Pencabutan Permohonan Adjudikasi, Perubahan Permohonan Adjudikasi,
dan Perubahan Jawaban
(1) Pencabutan Permohonan Adjudikasi:
(a) sebelum ada Jawaban, Pemohon dapat mencabut Permohonan Adjudikasi;
(b) dalam hal sudah ada Jawaban, pencabutan Permohonan Adjudikasi hanya diperbolehkan dengan persetujuan Termohon, dan selanjutnya Adjudikator menutup Sidang dan menyatakan Adjudikasi selesai.
(2) Perubahan Permohonan Adjudikasi:
(a) sebelum ada Jawaban, Pemohon dapat memperbaiki, mengubah dan/atau menambah isi Permohonan Adjudikasi;
13
(b) dalam hal sudah ada Jawaban, maka perbaikan, perubahan atau penambahan Permohonan Adjudikasi hanya diperbolehkan dengan persetujuan Termohon, dan sepanjang perbaikan, perubahan atau penambahan tersebut menyangkut hal-hal yang bersifat fakta-fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar Permohonan Adjudikasi.
(3) Termohon dapat memperbaiki, mengubah dan/atau menambah isi Jawaban paling lama 5 (lima) hari setelah Jawaban diserahkan kepada Adjudikator.
Pasal 23 Keterangan Saksi dan/atau Ahli
(1) Atas perintah Adjudikator atau atas permintaan Para Pihak kepada Adjudikator, dapat dimintakan kepada seseorang untuk memberikan keterangan saksi dan/atau ahli dalam Sidang Adjudikasi, dan jika perlu dihadirkan dalam Sidang.
(2) Adjudikator berwenang menentukan:
(a) apakah keterangan saksi dan/atau ahli cukup diberikan secara tertulis tanpa dihadirkan dalam Sidang;
(b) apakah keterangan saksi dan/atau ahli cukup diberikan secara lisan dalam Sidang;
(c) apakah keterangan saksi dan/atau ahli diberikan secara tertulis dan kemudian dihadirkan dalam Sidang.
(3) Apabila saksi dan/atau ahli diminta oleh Adjudikator untuk memberikan keterangan tertulis, maka salinan keterangan tertulis tersebut juga diberikan kepada Pihak lawan melalui Sekretaris atau dalam Prosedur Sidang.
(4) Sebelum memberikan keterangan, saksi dan/atau ahli wajib mengucapkan sumpah.
(5) Masing-masing Pihak dapat mengajukan pertanyaan dan/atau tanggapan atas keterangan yang diberikan oleh saksi dan/atau ahli.
(6) Apabila dalam keterangan saksi dan/atau ahli terdapat perbedaan antara keterangan tertulis dengan keterangan lisan dalam Sidang, maka yang berlaku adalah keterangan lisan dalam Sidang.
(7) Pemohon diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk mengajukan saksi dan/atau ahli, kecuali ditentukan lain oleh Adjudikator tanpa adanya keberatan dari Para Pihak.
(8) Biaya pemanggilan saksi dan/atau ahli dibebankan kepada yang mengajukan, atau apabila diajukan oleh Adjudikator, maka biaya saksi dan/atau ahli menjadi beban kepada siapa saksi dan/atau ahli tersebut memberikan manfaat.
(9) Pengurus dilarang untuk menjadi saksi dan/atau ahli dalam Sidang Adjudikasi LAPSPI.
(10) Adjudikator tidak wajib mengikuti pendapat ahli, jika pendapat tersebut berlawanan atau bertentangan dengan keyakinannya.
Pasal 24
Penutupan Sidang
Apabila Sidang telah dianggap cukup oleh Adjudikator, maka Adjudikator menyatakan Sidang ditutup dan menetapkan jadwal Sidang pembacaan Putusan Adjudikasi.
Pasal 25 Penyusunan Putusan Adjudikasi
(1) Adjudikator bertugas menyiapkan rancangan Putusan Adjudikasi.
14
(2) Adjudikator mengambil putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono). (3) Putusan Adjudikasi harus ditandatangani oleh Adjudikator. Apabila Putusan Adjudikasi tidak
ditandatangani oleh Adjudikator dengan alasan sakit atau meninggal dunia atau alasan apapun, tidak mempengaruhi Putusan Adjudikator. Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini harus dicantumkan dalam Putusan Adjudikator.
(4) Putusan Adjudikasi dibuat dalam bahasa Indonesia. (5) Putusan Adjudikasi memuat:
(a) nama lengkap dan alamat Para Pihak;
(b) uraian singkat sengketa;
(c) pendirian Para Pihak;
(d) temuan fakta-fakta yang diperoleh Adjudikator selama Sidang;
(e) pertimbangan dan kesimpulan Adjudikator;
(f) amar putusan;
(g) tempat dan tanggal putusan;
(h) tanda tangan Adjudikator;
(i) kolom pernyataan persetujuan pada bagian akhir Putusan Adjudikasi yang harus ditandatangani oleh Pemohon jika Pemohon menerima Putusan Adjudikasi; dan
(j) keterangan mengenai alasan sebagaimana dimaksud ayat (4), jika terjadi.
Pasal 26 Sidang Pembacaan Putusan Adjudikasi
(1) Dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Sidang dinyatakan ditutup sebagaimana dimaksud Pasal 24, Putusan Adjudikasi harus sudah dibacakan dalam suatu prosedur sidang pembacaan yang dihadiri Para Pihak.
(2) Apabila salah satu Pihak tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, maka pembacaan Putusan Adjudikasi tetap dilaksanakan oleh Adjudikator.
(3) Salinan Putusan Adjudikasi harus sudah disampaikan oleh Adjudikator melalui Sekretaris kepada Para Pihak dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah dibacakan. Apabila Para Pihak setuju, penyampaian salinan Putusan Adjudikasi dapat dilakukan dengan cara mengambil dokumen tersebut di Sekretariat.
Pasal 27 Koreksi terhadap Putusan Adjudikasi
(1) Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah salinan Putusan Adjudikasi diterima, salah satu Pihak atau Para Pihak dapat mengajukan permohonan kepada Adjudikator untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan/atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.
(2) Yang dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan administratif" sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan angka, nama, alamat Para Pihak atau Adjudikator dan lain-lain, yang tidak mengubah substansi Putusan Adjudikasi.
(3) Apabila Putusan Adjudikasi dikoreksi, maka harus dilakukan oleh Adjudikator dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diajukan, dan atas pertimbangan Adjudikator maka putusan tersebut dapat dibacakan kembali dalam suatu Sidang atau cukup disampaikan kepada Para Pihak melalui korespondensi.
15
Pasal 28 Pelaksanaan Putusan Adjudikasi
(1) LAPSPI memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk memberikan konfirmasi penerimaan atau penolakannya terhadap Putusan Adjudikasi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah lampaunya jangka waktu permohonan koreksi sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) atau setelah dilakukan koreksi sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3).
(2) Apabila Pemohon menerima dan menandatangani Putusan Adjudikasi, maka Putusan Adjudikasi memiliki sifatnya sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (4), sedangkan apabila Pemohon menolak Putusan Adjudikasi, maka Putusan Adjudikasi tidak mengikat bagi Para Pihak dan dianggap tidak pernah ada. Dalam hal Pemohon tidak memberikan konfirmasi apapun sampai lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1), maka Pemohon dianggap tidak menerima Putusan Adjudikasi.
(3) Penerimaan atau penolakan Pemohon harus mengenai keseluruhan Putusan Adjudikasi, tidak boleh hanya sebagian.
(4) Terhadap Putusan Adjudikasi yang telah bersifat final dan memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, maka harus dilaksanakan dalam waktu yang telah ditentukan dalam Putusan Adjudikasi, dengan ketentuan:
(a) apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau melaksanakan Putusan Adjudikasi dalam waktu yang telah ditentukan, Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan kepada LAPSPI;
(b) LAPSPI, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima tembusan surat sebagaimana dimaksud huruf (a), dapat menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan Pihak lain;
(c) Para Pihak mengetahui dan menyetujui serta tidak akan mengajukan tuntutan dalam bentuk apapun kepada LAPSPI dan Pihak lain bahwa, apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat sebagaimana dimaksud huruf (b) masih juga diingkari, LAPSPI dan/atau Pihak lain dapat menyampaikan kembali teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan Anggota LAPSPI di mana masing-masing Pihak menjadi anggotanya;
(d) Para Pihak mengetahui dan menyetujui serta tidak akan mengajukan tuntutan dalam bentuk apapun kepada LAPSPI dan Pihak lain bahwa, apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat sebagaimana dimaksud huruf (c) masih juga diingkari, LAPSPI dan/atau Pihak lain dapat menyampaikan kembali teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Persengketaan antara Para Pihak tidak dapat dilanjutkan ke Arbitrase atau pengadilan.
Pasal 29 Berakhirnya Tugas Adjudikator
Tugas Adjudikator berakhir karena:
(a) Putusan Adjudikasi telah dibacakan, atau setelah Putusan Adjudikasi dikoreksi (jika ada koreksi);
(b) jangka waktu yang telah ditentukan, atau sesudah disepakati oleh Para Pihak untuk diperpanjang, telah lampau; atau
(c) akibat diganti karena alasan atau sebab sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11.
16
BAB VII BIAYA – BIAYA LAYANAN ADJUDIKASI
Pasal 30
(1) Biaya-biaya dalam layanan Adjudikasi terdiri dari: (a) Biaya Pendaftaran, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 31; (b) Biaya Sengketa, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 32; (c) Biaya Adjudikator, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 33;
(2) Biaya Pendaftaran dan Biaya Adjudikator, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan c, ditanggung oleh Pemohon.
(3) Para Pihak bebas menyepakati pembagian beban di antara Para Pihak atas Biaya Sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b. Para Pihak segera memberitahukan kesepakatan tersebut kepada Pengurus.
(4) Apabila terdapat perhitungan pajak, maka biaya-biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) juncto Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 serta Lampiran I adalah jumlah bersih yang diterima LAPSPI.
(5) Pengurus menunda dan/atau menghentikan proses Sidang apabila ada biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c yang belum dilunasi oleh Para Pihak sesuai ketentuan Pasal 31 atau Pasal 32 atau Pasal 33.
Pasal 31 Biaya Pendaftaran
(1) Besarnya biaya pendaftaran ditetapkan oleh Pengurus LAPSPI dari waktu ke waktu sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan dan Prosedur Adjudikasi ini. (2) Biaya Pendaftaran Permohonan Adjudikasi dibayar oleh Pemohon pada saat pendaftaran
Permohonan Adjudikasi.
Pasal 32 Biaya Sengketa
(1) Biaya Sengketa adalah biaya-biaya untuk keperluan pengeluaran:
(a) Adjudikasi yang diselenggarakan di luar kantor LAPSPI; (b) menghadirkan ahli dan/atau saksi sebagaimana dimaksud Pasal 23; (c) munculnya lain-lain biaya yang relevan dan wajar yang dapat diterima atau disepakati oleh
Para Pihak. (2) Para Pihak harus menyerahkan deposit untuk pengeluaran Biaya Sengketa sesuai dengan keputusan
Pengurus LAPSPI sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan dan Prosedur Adjudikasi ini. (3) Deposit sebagaimana dimaksud ayat (2) disetorkan Para Pihak kepada LAPSPI sebelum dimulainya
perundingan Adjudikasi. (4) Apabila jumlah deposit telah berkurang lebih dari 60 % (enam puluh per seratus), maka Para Pihak
harus menambah deposit sehingga jumlahnya kembali sebesar deposit awal. (5) Apabila seluruh pengeluaran Biaya Perundingan ternyata lebih kecil dari deposit yang disetor, maka
sisa deposit segera dikembalikan kepada Para Pihak, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah Adjudikasi selesai.
(6) Sekretariat membuat laporan penggunaan deposit kepada Para Pihak dengan bukti-bukti pengeluaran yang cukup.
17
Pasal 33 Biaya Adjudikator
(1) Biaya Adjudikator ditentukan oleh Pengurus LAPSPI dari waktu ke waktu yang nilainya dicantumkan
dalam Lampiran I dan yang merupakan satu kesatuan dengan Peraturan dan Prosedur Adjudikasi ini.
(2) Pemohon membayar secara penuh Biaya Adjudikator pada saat pendaftaran Permohonan Adjudikasi.
BAB VIII SANKSI
Pasal 34 Pelanggaran oleh Adjudikator
(1) Adjudikator yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Benturan Kepetingan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6a) dan (6b) akan diperiksa oleh Komite Kehormatan LAPSPI.
(2) Adjudikator yang terbukti bersalah berdasarkan keputusan Komite Kehormatan LAPSPI, akan dikeluarkan dari Daftar Adjudikator Tetap dan tidak diperkenankan untuk menangani perkara atau sebagai Kuasa Hukum dari Para Pihak yang bersengketa, di dalam jurisdiksi LAPSPI.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
(1) Pengurus, Adjudikator, Sekretaris dan/atau personil LAPSPI lainnya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata terhadap pelaksanaan tugasnya dan kewenangannya berdasarkan Peraturan Dan Prosedur ini maupun terhadap isi dari Putusan Adjudikasi.
(2) Para Pihak tidak dapat menuntut LAPSPI (termasuk Adjudikator, Pengurus, Sekretaris dan personil LAPSPI lainnya), termasuk tapi tidak terbatas pada tuntutan berkenaan dengan:
(a) setiap layanan yang disediakan LAPSPI;
(b) setiap upaya yang dilakukan oleh LAPSPI;
(c) sengketa yang didaftarkan oleh Pemohon;
(d) klaim yang dibuat oleh Pemohon;
(e) setiap keputusan yang dibuat;
(f) setiap tindakan Para Pihak;
(g) setiap tindakan yang dilakukan yang sesuai dengan hukum atau perintah pengadilan.
(3) Para Pihak menyatakan dan setuju bahwa setiap tuntutan terhadap LAPSPI (termasuk Adjudikator, Pengurus, Sekretaris dan personil LAPSPI lainnya) yang dibuat dengan melanggar ayat (1) dan ayat (2) adalah merupakan suatu kerugian yang besar dan nyata bagi LAPSPI. Oleh karena itu LAPSPI berhak untuk melakukan upaya hukum atas tuntutan tersebut, dan juga berhak untuk menuntut kepada Para Pihak atas ganti rugi secara penuh biaya hukum yang telah LAPSPI keluarkan.
(4) Penyebutan nama suatu organisasi/instansi dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah dimaksudkan pula kepada nama baru dari organisasi/instansi yang bersangkutan disebabkan perubahan nama saja ataupun disebabkan karena tindakan penggabungan, peleburan, pengalihan yang menyebabkan perubahan nama organisasi/instansi.
18
Pasal 36
Pada saat Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia Nomor 08/LAPSPI-PER/2015 tentang Peraturan dan Prosedur Adjudikasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 37
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 April 2017
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
INDONESIA
Himawan E.Subiantoro Saifuddin Latief Nirwana Atta Ketua Sekretaris Bendahara
1
PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
NOMOR: 3/LAPSPI-PER/2017
TENTANG
PERATURAN DAN PROSEDUR ARBITRASE
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
Menimbang: a. bahwa dalam penyelesaian pengaduan Nasabah kepada Perbankan
seringkali tidak tercapai kesepakatan yang dapat diterima oleh Para Pihak;
b. bahwa terdapat forum alternatif penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan;
c. bahwa asosiasi-asosiasi perbankan telah membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dengan layanan Mediasi, Adjudikasi, dan Arbitrase, untuk Para Pihak dalam menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien;
d. bahwa berdasarkan hal hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk membuat Peraturan dan Prosedur Arbitrase LAPSPI sebagai pedoman bagi para pihak terkait.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872), beserta perubahan apabila ada;
2. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253), beserta peraturan pelaksanaan dan perubahan apabila ada;
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790 tanggal 10 November 1998 beserta peraturan pelaksanaan dan perubahannya apabila ada;
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan, yang diundangkan tanggal 23 Januari 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499);
2
5. Anggaran Dasar LAPSPI sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian Nomor 36 tanggal 28 April 2015 yang dibuat dihadapan Ashoya Ratam, S.H., M.Kn., Notaris di Jakarta yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan KEMENKUMHAM Nomor AHU-0004902.AH.01.07 Tahun 2015 tanggal 16 September 2015 dan perubahannya apabila ada.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DAN PROSEDUR ARBITRASE
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Definisi
(1) Dalam Peraturan dan Prosedur ini, yang dimaksud dengan:
(a) Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata bidang perbankan dan yang terkait bidang perbankan di luar peradilan umum yang diselenggarakan LAPSPI dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur Arbitrase LAPSPI yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase, yang dibuat secara tertulis oleh Para Pihak yang bersengketa.
(b) Arbiter adalah seorang atau lebih yang merupakan Arbiter Tetap LAPSPI atau Arbiter Ad Hoc LAPSPI yang dipilih oleh Para Pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk LAPSPI menurut Peraturan dan Prosedur ini untuk memeriksa perkara dan memberikan Putusan Arbitrase mengenai sengketa tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Arbitrase LAPSPI.
(c) Arbiter Tetap LAPSPI adalah orang perseorangan yang diangkat oleh Pengurus LAPSPI sebagai Arbiter menurut ketentuan Pasal 9 ayat (2) yang namanya dicantumkan pada Daftar Arbiter Tetap.
(d) Daftar Arbiter Tetap LAPSPI adalah daftar yang diterbitkan oleh LAPSPI yang berisikan nama-nama Arbiter Tetap dan dapat berubah sewaktu waktu berdasarkan keputusan Pengurus LAPSPI.
(e) Arbiter Ad Hoc LAPSPI adalah orang perseorangan yang diangkat oleh LAPSPI sebagai Arbiter menurut ketentuan Pasal 9 ayat (4) yang statusnya bersifat sementara hanya untuk suatu perkara tertentu.
(f) Arbiter Tunggal adalah satu-satunya Arbiter yang ditunjuk menurut Peraturan dan Prosedur ini untuk memberikan putusan mengenai sengketa yang diserahkan penyelesaiannya melalui Arbitrase LAPSPI.
(g) Majelis Arbitrase adalah suatu majelis Arbiter dalam jumlah ganjil yang dibentuk menurut Peraturan dan Prosedur ini.
(h) Kode Etik adalah Kode Etik yang berlaku bagi Arbiter LAPSPI.
(i) Benturan Kepentingan adalah adalah kondisi seseorang dimana yang bersangkutan tidak dapat bertindak secara objektif karena adanya kepentingan pribadi, baik secara ekonomi maupun sosial.
(j) Permohonan Arbitrase adalah surat permohonan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase LAPSPI yang berisikan surat tuntutan dari Pemohon kepada Termohon.
3
(k) Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula Arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat Para Pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat Para Pihak setelah timbul sengketa.
(l) Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke LAPSPI untuk memperoleh Putusan Arbitrase.
(m) Pemohon adalah Pihak atau Pihak-pihak yang mengajukan Permohonan Arbitrase kepada LAPSPI sesuai Peraturan dan Prosedur ini.
(n) Termohon adalah Pihak atau Pihak-pihak yang menjadi lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui Arbitrase.
(o) Turut Termohon adalah Pihak atau Pihak-pihak yang turut ditarik oleh Pemohon sebagai lawan Pemohon dalam Permohonan Arbitrase.
(p) Intervensi adalah perbuatan hukum oleh atau kepada pihak ketiga di luar Perjanjian Arbitrase yang mempunyai kepentingan dalam Permohonan Arbitrase dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh Pemohon atau Termohon dalam suatu perkara Arbitrase yang sedang berlangsung di LAPSPI.
(q) Pengurus adalah pengurus LAPSPI sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar LAPSPI, beserta segala perubahannya jika ada.
(r) Sekretariat adalah sekretariat yang dibentuk Pengurus untuk menjalankan operasional sehari-hari LAPSPI yang dipimpin oleh salah satu anggota Pengurus, atau personil lain yang ditunjuk oleh Pengurus.
(s) Sekretaris adalah 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat yang ditunjuk oleh Pengurus untuk membantu Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase dalam urusan pencatatan dan administrasi selama proses Arbitrase
(t) Rekonpensi adalah tuntutan balik yang diajukan Termohon terhadap Pemohon. (u) Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi Kesepakatan Perdamaian dan
putusan Arbitrase yang menguatkan Kesepakatan Perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa.
(v) Kesepakatan Perdamaian adalah dokumen yang memuat syarat- syarat yang disepakati oleh Para Pihak guna mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian.
(w) Putusan Arbitrase adalah putusan yang dijatuhkan atas suatu sengketa oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase menurut Peraturan dan Prosedur ini.
(x) Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon.
(y) Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui perundingan untuk mencapai perdamaian dengan dibantu oleh Mediator selama proses Arbitrase berlangsung sampai dengan sebelum dijatuhkannya Putusan Arbitrase.
(z) Mediator adalah pihak ketiga yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai solusi penyelesaian tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
(aa) Tuntutan Ganti Rugi adalah jumlah nominal materiil tertentu yang dituntut oleh Pemohon.
(2) Penyebutan kata “hari” dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah merujuk kepada hari kerja nasional Indonesia.
Pasal 2 Ruang Lingkup Peraturan dan Prosedur
(1) Peraturan dan Prosedur ini mengatur penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui
4
Arbitrase LAPSPI. (2) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase LAPSPI harus memenuhi semua
kriteria tersebut di bawah ini:
(a) merupakan sengketa di bidang perbankan dan/atau berkaitan dengan bidang perbankan;
(b) sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh Pihak yang bersengketa;
(c) sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian;
(d) antara Pemohon dan Termohon terikat dengan Perjanjian Arbitrase. (3) Penyelesaian sengketa berdasarkan Peraturan dan Prosedur ini dilakukan oleh Para
Pihak atas dasar itikad baik dan bermartabat, dengan berlandaskan tata cara kooperatif dan non konfrontatif serta mengesampingkan penyelesaian melalui pengadilan dan/atau lembaga Arbitrase lainnya.
(4) LAPSPI termasuk Arbiter, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat dilarang untuk memberikan dan/atau menawarkan bantuan hukum dalam bentuk apapun, baik secara profesional ataupun personal kepada Para Pihak, termasuk nasehat dan/atau opini hukum menyangkut posisi hukum Para Pihak.
(5) Para Pihak, Arbiter, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat wajib mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
BAB II LAYANAN ARBITRASE
Pasal 3
Layanan Arbitrase hanya diperuntukkan bagi Pemohon yang merupakan nasabah/pihak pengguna produk/layananan Bank di luar nasabah UMKM.
BAB III PROSES PERMOHONAN ARBITRASE
Pasal 4 Pendaftaran Permohonan Arbitrase
(1) Arbitrase diselenggarakan berdasarkan Permohonan Arbitrase yang diajukan pendaftarannya oleh Pemohon kepada LAPSPI dalam jumlah salinan yang cukup bagi keperluan persidangan Arbitrase.
(2) Permohonan Arbitrase adalah berupa: (a) surat tuntutan yang memuat:
(i) nama lengkap, dan tempat tinggal atau tempat kedudukan Para Pihak;
(ii) uraian singkat tentang sengketa;
(iii) isi tuntutan yang jelas; dan (b) lampiran-lampiran:
(i) fotokopi bukti pembayaran atas Biaya Pendaftaran sesuai dengan Peraturan dan Prosedur ini;
(ii) fotokopi Perjanjian Arbitrase yang mendasari Permohonan Arbitrase;
(iii) akta daftar bukti yang diajukan berikut keterangannya;
5
(iv) fotokopi dokumen bukti, atau apabila tidak disertakan maka dalam Permohonan Arbitrase harus diterangkan bahwa fotokopi dokumen bukti akan diajukan dalam persidangan sesuai dengan Peraturan dan Prosedur ini.
(c) Semua dokumen-dokumen berupa lampirannya disiapkan oleh Para Pihak dalam jumlah minimal 7 (tujuh) rangkap.
(3) Pengurus menyampaikan konfirmasi penerimaan atau penolakan terhadap pendaftaran Permohonan Arbitrase kepada Pemohon dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah tanggal pengajuan.
(4) Apabila pendaftaran Permohonan Arbitrase ditolak Pengurus, surat sebagaimana dimaksud ayat (3) memuat pula alasan penolakan, Pemohon dapat mengajukannya kembali dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
(5) Apabila pendaftaran Permohonan Arbitrase dinyatakan diterima, maka surat sebagaimana dimaksud ayat (3) memuat pula: (a) pemberitahuan mengenai dimulainya penunjukan Arbiter; (b) pemberitahuan mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk oleh
Pengurus untuk perkara yang bersangkutan; (c) informasi mengenai biaya-biaya Arbitrase atas perkara yang
bersangkutan; dan (d) salinan Permohonan Arbitrase untuk Termohon.
(6) Sekretariat pada tanggal yang sama dengan tanggal konfirmasi sebagaimana dimaksud ayat (5) mencatat Permohonan Arbitrase ke dalam buku register perkara LAPSPI dan mencantumkan kode nomor registrasi perkara.
(7) Meskipun terhadap suatu pengajuan pendaftaran Permohonan Arbitrase telah dinyatakan diterima sebagaimana dimaksud ayat (5), namun tidak menutup kemungkinan adanya eksepsi dari Termohon dan/atau Turut Termohon berkenaan dengan kewenangan Arbitrase LAPSPI untuk memeriksa perkara tersebut mengingat bahwa penerimaan tersebut diberikan berdasarkan dokumen dari salah satu Pihak saja (Pemohon). Dalam hal ini hanya Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan eksepsi dimaksud, dan Pemohon menerima sepenuhnya risiko kemungkinan Permohonan Arbitrase dinyatakan tidak dapat diterima oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase, dan termasuk konsekuensi biaya-biaya Arbitrase yang tetap harus dipenuhi oleh Pemohon berdasarkan ketentuan Peraturan dan Prosedur ini.
(8) Pengurus dapat melimpahkan kewenangan untuk memberikan konfirmasi terhadap pendaftaran Permohonan Arbitrase kepada personil Sekretariat.
Pasal 5 Perjanjian Arbitrase
(1) Para Pihak dapat menyetujui secara tertulis bahwa suatu sengketa yang terjadi antara mereka akan diselesaikan melalui Arbitrase LAPSPI dalam suatu dokumen Perjanjian Arbitrase (Pactum de Compromittendo).
(2) Perjanjian Arbitrase dapat menyepakati acara Arbitrase lain daripada Peraturan dan Prosedur ini sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan kebijakan LAPSPI.
(3) Perjanjian Arbitrase LAPSPI dapat berbentuk:
6
(a) suatu kesepakatan berupa klausula Arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh Para Pihak sebelum timbul sengketa; atau
(b) suatu Perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat Para Pihak setelah timbul sengketa dengan memperhatikan ketentuan Pasal 7.
(4) Perjanjian Arbitrase harus menyebutkan secara tegas penunjukannya atas forum Arbitrase LAPSPI. Namun, demi kepastian hukum, dalam hal Para Pihak di dalam Perjanjian Arbitrase tidak menyebutkan forum Arbitrase, tetapi bersepakat untuk menggunakan Peraturan dan Prosedur LAPSPI, maka Para Pihak dianggap telah menunjuk forum Arbitrase LAPSPI dalam Perjanjian Arbitrase tersebut.
(5) Para Pihak yang telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase LAPSPI secara hukum telah sepakat untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara melalui Pengadilan Negeri dan/atau lembaga Arbitrase lainnya, dan akan melaksanakan setiap putusan yang diambil oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berdasarkan Peraturan dan Prosedur ini.
(6) Berlakunya syarat-syarat hapusnya perjanjian pokok, atau berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok tidak menjadikan batal Perjanjian Arbitrase, bahkan walaupun Perjanjian Arbitrase tertuang dalam Klausula Arbitrase dari perjanjian pokok tersebut.
(7) Perjanjian Arbitrase dapat juga mengikat kepada pihak ketiga yang tidak menandatangani Perjanjian Arbitrase tersebut sebagaimana dimaksud Pasal 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dan/atau doktrin hukum yang diterima dalam praktek Arbitrase, dengan ketentuan apabila dalam Permohonan Arbitrase, Pemohon menarik serta pihak ketiga yang tidak menandatangani Perjanjian Arbitrase sebagai Termohon dan/atau Turut Termohon dengan dalil bahwa pihak ketiga tersebut ikut terikat dengan Perjanjian Arbitrase, maka Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dalam memberikan pertimbangan hukumnya harus memperhatikan apakah dalil Pemohon tersebut dapat diterapkan menurut hukum yang berlaku dalam perjanjian (governing law) dan menurut hukum di mana Putusan Arbitrase akan dilaksanakan.
Pasal 6 Perjanjian Arbitrase setelah Sengketa
(1) Dalam hal Para Pihak memilih penyelesaian sengketa melalui Arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu Perjanjian Arbitrase tertulis yang ditandatangani Para Pihak (Acta Compromis).
(2) Dalam hal Para Pihak tidak dapat menandatangani perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian sebagaimana dimaksud ayat (1) atau ayat (2) harus memuat:
(a) masalah yang dipersengketakan;
(b) nama lengkap dan tempat tinggal Para Pihak;
(c) Kesepakatan dan persetujuan Para Pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum Arbitrase LAPSPI.
(d) nama lengkap dan tempat tinggal Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase;
(e) tempat Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase akan mengambil keputusan;
(f) nama lengkap Sekretaris;
(g) jangka waktu penyelesaian sengketa;
(h) pernyataan kesediaan dari Arbiter; dan
(i) pernyataan kesediaan dari Pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya-biaya penyelenggaraan Arbitrase.
7
(4) Perjanjian Arbitrase sebagaimana dimaksud ayat (1) atau (2) yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah batal demi hukum, kecuali bila dinyatakan sebaliknya menurut hukum yang dipilih oleh Para Pihak.
(5) LAPSPI, atas permintaan salah satu Pihak, dapat memfasilitasi pertemuan antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Arbitrase.
Pasal 7 Notifikasi
(1) Dalam hal timbul sengketa, dan sebelum Pemohon mengajukan pendaftaran
Permohonan Arbitrase kepada LAPSPI, Pemohon harus memberitahukan kepada Termohon dengan tembusan Pengurus melalui surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan surat yang dikirimkan melalui kurir bahwa syarat Arbitrase yang diadakan oleh Para Pihak sudah berlaku.
(2) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat dengan jelas:
(a) nama dan alamat Para Pihak;
(b) penunjukan kepada Perjanjian Arbitrase;
(c) dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut;
(d) cara penyelesaian yang dikehendaki; (3) Termohon harus memberikan tanggapan kepada Pemohon, dengan tembusan Pengurus,
paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari terhitung setelah menerima notifikasi tersebut.
(4) Dalam hal Perjanjian Arbitrase dibuat setelah munculnya sengketa, notifikasi sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak diperlukan lagi.
Pasal 8 Sekretaris
(1) Pengurus menunjuk 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat untuk menjadi Sekretaris pada perkara yang akan atau sedang dilaksanakan di Arbitrase.
(2) Sekretaris mempunyai tugas sebagai berikut:
(a) membuat berita acara pemeriksaan atau persidangan;
(b) membuat risalah rapat permusyawaratan Majelis Arbitrase;
(c) mengurus korespondensi Arbitrase;
(d) menyimpan catatan dan dokumen Arbitrase;
(e) menandatangani surat panggilan sidang/pemeriksaan kepada Para Pihak atas nama Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase;
(f) membantu Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dalam menyusun jadwal pemeriksaan dan mengingatkan mengenai jangka waktu Arbitrase;
(g) membantu Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dalam membuat laporan kepada Pengurus mengenai selesainya Arbitrase;
(h) menjadi penerima kuasa Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase untuk mendaftarkan Putusan Arbitrase;
(i) tugas-tugas lain yang mungkin diatur pada bagian lain dari Peraturan dan Prosedur ini.
(3) Sekretaris wajib menjaga prinsip kerahasiaan atas proses Arbitrase dan melaksanakan tugasnya sampai dengan selesai secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi kehormatan LAPSPI.
8
BAB IV ARBITER
Pasal 9 Persyaratan Arbiter
(1) Untuk dapat menjadi Arbiter Tetap LAPSPI, haruslah orang yang sudah diangkat oleh
Pengurus dan disetujui oleh Badan Pengawas LAPSPI sebagai Arbiter Tetap LAPSPI. (2) Pengurus mengangkat seseorang sebagai Arbiter Tetap LAPSPI menurut ketentuan
sebagai berikut:
(a) pencalonan seseorang untuk menjadi Arbiter Tetap LAPSPI diputuskan dalam Rapat Pengurus berdasarkan pemahaman Pengurus mengenai integritas dan kapabilitas dari calon yang bersangkutan sesuai persyaratan yang tercantum dalam Lampiran II Peraturan dan Prosedur ini.
(b) calon Arbiter Tetap LAPSPI menyampaikan resume jati diri dan riwayat hidup beserta fotokopi dokumen-dokumen pendukungnya dan mengikuti uji kecakapan dan kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Pengurus;
(c) uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dilakukan dengan cara:
• Penelitian administratif; dan atau • Wawancara.
(d) Pengurus meminta persetujuan Badan Pengawas untuk penetapan Arbiter Tetap LAPSPI.
(3) Pengurus menerbitkan Daftar Arbiter Tetap LAPSPI yang terbuka untuk umum, dan memperbaharuinya setiap kali ada perubahan pada daftar tersebut.
(4) Pengurus dapat mengangkat seseorang sebagai Arbiter Ad Hoc LAPSPI menurut ketentuan sebagai berikut: (a) pencalonan seseorang untuk menjadi Arbiter Ad Hoc LAPSPI diusulkan oleh
Pemohon/Termohon atau Arbiter perkara kepada Pengurus, atau atas pertimbangan Pengurus sendiri;
(b) pencalonan tersebut disetujui oleh Para Pihak dan didasarkan alasan belum terdapat Arbiter dalam Daftar Arbiter Tetap LAPSPI yang memenuhi kualifikasi tertentu yang dibutuhkan untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;
(c) penunjukan seseorang sebagai Arbiter Ad Hoc tidak boleh untuk posisi Arbiter Tunggal/Ketua Majelis Arbitrase;
(d) status seseorang sebagai Arbiter Ad Hoc LAPSPI secara otomatis berakhir dengan selesainya tugas sebagai Arbiter perkara yang bersangkutan;
(e) seseorang yang dicalonkan tersebut menyampaikan resume jati diri dan riwayat hidup beserta fotokopi dokumen-dokumen pendukungnya dan mengikuti uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Pengurus;
(f) Uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dilakukan dengan cara: • Penelitan administratif; dan/atau • Wawancara.
(g) seseorang yang dicalonkan tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2);
(h) seseorang yang dicalonkan tersebut menyerahkan kepada Pengurus surat kesediaan menjadi Arbiter Tetap LAPSPI untuk suatu perkara tertentu;
9
(i) Pengurus menerbitkan surat pengangkatan sebagai Arbiter Ad Hoc LAPSPI dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari terhitung setelah tanggal diusulkan sebagaimana dimaksud huruf (a).
Pasal 10 Penentuan Jumlah Arbiter
(1) Penentuan jumlah Arbiter diatur sebagai berikut: a. Untuk jumlah Tuntutan Ganti Rugi senilai di bawah Rp 500.000.000,- bagi Pemohon
dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan di atas Rp 500.000.000,- sampai dengan Rp 1.000.000.000,- maka akan diputuskan oleh Arbiter Tunggal, berdasarkan kesepakatan Para Pihak untuk menunjuk 1 (satu) orang Arbiter dimaksud;
b. Untuk jumlah Tuntutan Ganti Rugi senilai di atas Rp 1.000.000.000,- maka akan diputuskan oleh Majelis Arbitrase dalam jumlah ganjil, maksimum 3 (tiga) orang;
c. Para Pihak yang dimaksud ayat (1) adalah Pemohon (atau para Pemohon) dan Termohon (atau para Termohon), sedangkan pihak-pihak yang ditarik atau menarik diri ke dalam perkara Arbitrase sebagai Turut Termohon dan/atau pihak Intervenien tidak memiliki hak untuk ikut membahas dan menentukan jumlah Arbiter.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) Pemohon, maka semua Pihak yang bertindak sebagai Pemohon (para Pemohon) harus dianggap sebagai 1 (satu) Pihak tunggal dalam hal mengusulkan jumlah Arbiter, hal mana berlaku secara mutatis mutandis pada para Termohon.
Pasal 11 Penunjukan Arbiter Tunggal
(1) Dalam hal sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh Arbiter Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1), Para Pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang penunjukan Arbiter Tunggal tersebut. Dalam hal lebih dari 1 (satu) Pemohon dan/atau Termohon, maka penunjukan Arbiter Tunggal harus merupakan persetujuan semua Pihak.
(2) Pihak yang dimaksud ayat (1) adalah Pemohon (atau para Pemohon) dan Termohon (atau para Termohon), sedangkan pihak-pihak yang ditarik atau menarik diri ke dalam perkara Arbitrase sebagai Turut Termohon dan/atau pihak Intervenien tidak memiliki hak untuk ikut membahas dan memilih Arbiter.
(3) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah Para Pihak menerima konfirmasi pendaftaran Permohonan Arbitrase sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (5), Para Pihak sudah harus menyampaikan pemberitahuan kepada Pengurus mengenai kesepakatan dalam menunjuk Arbiter Tunggal sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan melampirkan surat konfirmasi penerimaan penunjukan dari Arbiter Tunggal yang bersangkutan.
(4) Apabila sampai dengan lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (3) Para Pihak gagal mencapai kesepakatan dalam menunjuk Arbiter Tunggal, maka Pengurus akan menunjuk Arbiter Tunggal dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah berakhirnya batas waktu tersebut.
(5) Pengurus dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (3) dan ayat (4) paling lama 10 (sepuluh) hari.
(6) Penunjukan Arbiter Tunggal yang dilakukan oleh Pengurus sebagaimana dimaksud ayat (4) bersifat final dan mengikat Para Pihak kecuali ada pengajuan hak ingkar.
10
Pasal 12 Penunjukan Arbiter dalam Majelis Arbitrase
(1) Dalam hal sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh Majelis Arbitrase, masing-masing Pihak diberikan kesempatan untuk menunjuk seorang Arbiter.
(2) Pihak yang dimaksud ayat (1) adalah Pemohon (atau para Pemohon) dan Termohon (atau para Termohon), sedangkan pihak-pihak yang ditarik atau menarik diri ke dalam perkara Arbitrase sebagai Turut Termohon dan/atau pihak Intervenien tidak memiliki hak untuk ikut membahas dan memilih Arbiter.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) Pemohon, maka semua Pihak yang bertindak sebagai Pemohon (para Pemohon) harus dianggap sebagai 1 (satu) Pihak tunggal dalam hal penunjukan Arbiter, hal mana berlaku secara mutatis mutandis pada para Termohon.
(4) Penunjukan Arbiter oleh Para Pihak: (a) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah masing-
masing Pihak menerima konfirmasi pendaftaran Permohonan Arbitrase sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (5), masing-masing Pihak sudah harus menyampaikan pemberitahuan kepada Pengurus mengenai penunjukan Arbiter dengan melampirkan surat konfirmasi penerimaan penunjukan dari Arbiter yang bersangkutan.
(b) Apabila sampai dengan lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud huruf (a), ada salah satu Pihak yang gagal menunjuk Arbiter, maka Pengurus akan menunjuk Arbiter untuk Pihak tersebut dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah berakhirnya batas waktu tersebut.
(c) Pengurus dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud huruf dan huruf (b) paling lama 10 (sepuluh) hari.
(5) Penunjukan Arbiter oleh kedua Arbiter: (a) Kedua Arbiter yang telah dipilih berwenang untuk menunjuk Arbiter ketiga. (b) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah Arbiter
yang terakhir ditunjuk, kedua Arbiter harus menyampaikan pemberitahuan kepada Pengurus mengenai penunjukan Arbiter ketiga dengan melampirkan surat konfirmasi penerimaan penunjukan dari Arbiter yang bersangkutan.
(c) Apabila sampai dengan lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud huruf (b), kedua Arbiter gagal menunjuk Arbiter ketiga, maka Pengurus akan menunjuk Arbiter ketiga dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah berakhirnya batas waktu tersebut.
(d) Pengurus dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud huruf dan huruf (c) paling lama 10 (sepuluh) hari.
(6) Arbiter ketiga diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase, kecuali disepakati lain oleh para Arbiter dalam Majelis Arbitrase.
(7) Dalam suatu Majelis Arbitrase, paling kurang 1 (satu) Arbiter berlatar belakang pengalaman bidang hukum.
Pasal 13 Konfirmasi Penunjukan Arbiter
(1) Arbiter yang ditunjuk dapat menerima atau menolak penunjukan tersebut.
(2) Arbiter hanya boleh menerima penunjukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(a) tidak berada dalam pengaruh dan/atau tekanan siapapun untuk menjalankan tugas sebagai Arbiter;
11
(b) dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menjalankan tugas sebagai Arbiter dengan sebaik-baiknya;
(c) diperbolehkan menurut ketentuan mengenai Benturan Kepentingan yang termuat dalam Peraturan dan Prosedur Arbitrase ini.
(d) membuat surat pernyataan dan keterbukaan dalam format yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Pengurus.
(3) Arbiter bertanggung jawab penuh atas segala risiko hukum yang timbul dari kebenaran surat pernyataan dan keterbukaan yang telah dibuat dan ditandatanganinya sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf (d).
(4) Pemberitahuan mengenai penerimaan/penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal penunjukan, dengan ketentuan:
(a) apabila ditunjuk sebagai Arbiter Tunggal oleh Para Pihak, pemberitahuan tersebut ditujukan kepada Para Pihak dengan tembusan Pengurus;
(b) apabila ditunjuk sebagai Arbiter Tunggal oleh Pengurus, pemberitahuan tersebut ditujukan kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak;
(c) apabila ditunjuk sebagai Arbiter dalam Majelis Arbitrase oleh salah satu Pihak, pemberitahuan tersebut ditujukan kepada Pihak yang menunjuk dengan tembusan Pihak lain dan Pengurus;
(d) apabila ditunjuk sebagai Arbiter dalam Majelis Arbitrase oleh Pengurus, pemberitahuan tersebut ditujukan kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak;
(e) apabila ditunjuk sebagai Arbiter ketiga oleh kedua Arbiter, pemberitahuan tersebut ditujukan kepada kedua Arbiter dengan tembusan Para Pihak dan Pengurus;
(f) apabila ditunjuk sebagai Arbiter ketiga oleh Pengurus, pemberitahuan tersebut ditujukan kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak dan kedua Arbiter lain.
Pasal 14
Pengangkatan Arbiter Perkara
(1) Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah Arbiter Tunggal memberikan konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Arbiter Tunggal, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan Arbiter dimaksud sebagai Arbiter Tunggal untuk perkara yang bersangkutan.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah Arbiter terakhir memberikan konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Arbiter dalam suatu Majelis Arbitrase, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan para Arbiter dimaksud sebagai Majelis Arbitrase untuk perkara yang bersangkutan.
(3) Apabila Arbiter Ad Hoc yang ditunjuk, maka Pengurus akan menempuh terlebih dahulu prosedur sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (4) sebelum menerbitkan surat pengangkatan dimaksud ayat (1) dan/ atau ayat (2).
(4) Dalam rangka menerbitkan surat keputusan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2), Pengurus dapat meminta keterangan tambahan sehubungan dengan kemandirian, netralitas dan/atau kualifikasi Arbiter yang ditunjuk.
(5) Apabila penunjukan Arbiter tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini, maka Pengurus berwenang menolak pengangkatan Arbiter dimaksud dan untuk selanjutnya harus dilakukan penunjukan Arbiter yang lain sesuai dengan tata
12
cara penunjukan Arbiter yang ditolak tersebut.
(6) Setelah diterbitkan surat pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (1) atau ayat (2), Arbiter tidak dapat diganti atau mengundurkan diri, kecuali menurut syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17.
(7) Wewenang Arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya atau digantinya Arbiter, dan wewenang tersebut dilanjutkan oleh penggantinya yang diangkat dengan tata cara sebagaimana yang berlaku untuk pengangkatan Arbiter yang digantikan.
(8) Setelah pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2), Pengurus menyerahkan berkas Permohonan Arbitrase kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase melalui Sekretaris supaya dapat segera ditetapkan sidang pertama.
Pasal 15 Kewajiban dan Tanggung Jawab Arbiter
(1) Arbiter berkewajiban melaksanakan tugasnya sampai dengan selesai, dan menjalankan tugasnya secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi Kode Etik.
(2) Arbiter wajib memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada masing- masing Pihak untuk didengar keterangannya dan mengajukan bukti-bukti.
(3) Arbiter wajib segera mengundurkan diri apabila kemudian menyadari bahwa ia ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (2).
BAB V PENGGANTIAN ARBITER
Pasal 16 Permintaan Penggantian Arbiter dan Permohonan Pengunduran Diri Arbiter
(1) Permintaan penggantian Arbiter dari salah satu Pihak: (a) Salah satu Pihak dapat mengajukan permintaan penggantian Arbiter (hak ingkar)
secara tertulis kepada Pengurus dengan tembusan Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dan Pihak lainnya apabila Arbiter yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (2).
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Arbitrase sampai ada kepastian mengenai persoalan permintaan penggantian Arbiter sebagaimana dimaksud huruf (a).
(2) Pihak lain dan/atau Arbiter yang bersangkutan harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Pihak lain dan/atau Arbiter yang bersangkutan berkeberatan terhadap permintaan penggantian Arbiter tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
(e) Dalam hal Pihak lain dan/atau Arbiter yang bersangkutan tidak berkeberatan terhadap permintaan penggantian Arbiter, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Arbiter sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2).
13
(f) Apabila Pihak lain dan/atau Arbiter yang bersangkutan tidak memberikan tanggapan, dianggap tidak berkeberatan terhadap permintaan penggantian Arbiter tersebut.
(2) Permohonan pengunduran diri Arbiter: (a) Arbiter dapat mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Pengurus dan
Para Pihak, tembusan Arbiter lain (jika Majelis Arbitrase), apabila Arbiter yang bersangkutan tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (2).
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Arbitrase sampai ada kepastian mengenai persoalan permohonan pengunduran diri Arbiter sebagaimana dimaksud huruf (a).
(c) Para Pihak harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap permohonan sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Para Pihak berkeberatan terhadap permohonan pengunduran diri Arbiter tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
(e) Arbiter berhak diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan kepada Pengurus dan Para Pihak sehubungan dengan adanya permohonan pengunduran dirinya tersebut.
(f) Dalam hal Para Pihak tidak berkeberatan terhadap permohonan pengunduran diri Arbiter tersebut, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Arbiter sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2).
(g) Apabila suatu Pihak tidak memberikan tanggapan, dianggap tidak berkeberatan terhadap permohonan pengunduran diri Arbiter tersebut.
(3) Apabila Pengurus memutuskan menolak permintaan penggantian Arbiter sebagaimana dimaksud ayat (1) atau permohonan pengunduran diri Arbiter sebagaimana dimaksud ayat (2), maka Arbiter tersebut tetap bertugas dan Arbitrase dilanjutkan kembali.
(4) Apabila Pengurus memutuskan menerima permintaan penggantian Arbiter sebagaimana dimaksud ayat (1), atau permohonan pengunduran diri Arbiter sebagaimana dimaksud ayat (2), maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Arbiter perkara sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2).
(5) Keputusan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) bersifat final dan mengikat Para Pihak dan Arbiter yang bersangkutan.
(6) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal pencabutan surat keputusan tersebut, Arbiter pengganti harus sudah ditunjuk oleh siapa yang dahulu menunjuk Arbiter yang diganti.
(7) Apabila Para Pihak, Pemohon, Termohon atau kedua Arbiter gagal menunjuk Arbiter pengganti dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (6), maka Pengurus akan menunjuk Arbiter pengganti dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak lewatnya jangka waktu tersebut. Pengurus dapat memperpanjang jangka waktu tersebut paling lama 10 (sepuluh) hari.
Pasal 17
Penggantian Arbiter karena Alasan Lain
(1) Dalam hal Arbiter meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak memungkinkannya untuk mengajukan permohonan pengunduran diri, maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Arbiter perkara sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2).
14
(2) Arbiter pengganti harus ditunjuk dengan ketentuan yang sama dengan Pasal 16 ayat (6) dan ayat (7).
Pasal 18 Akibat Penggantian Arbiter
(1) Proses Arbitrase dihentikan untuk sementara waktu oleh Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase atau oleh Pengurus (jika tidak dilakukan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase) apabila terdapat permintaan penggantian Arbiter atau permohonan pengunduran diri Arbiter.
(2) Pada prinsipnya Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan pemeriksaan terakhir yang telah diadakan.
(3) Dalam hal Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitase pengganti mempelajari keseluruhan surat dan dokumen yang ada.
(4) Dalam hal pemeriksaan telah ditutup sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (4), dan menyimpang dari ketentuan ayat (3) dan ayat (4) dan Pasal 16 ayat (6) dan ayat serta Pasal 17 ayat (2), maka Majelis Arbitrase yang tersisa tetap berwenang melanjutkan proses Arbitrase untuk pembacaan Putusan Arbitrase.
BAB VI PEMERIKSAAN ARBITRASE
Pasal 19 Jangka Waktu
(1) Jangka waktu pemeriksaan Arbitrase adalah 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase sebagai Arbiter perkara sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) dan/atau ayat (2).
(2) Jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah tidak termasuk waktu yang terpakai dalam rangka pemeriksaan dan pelaksanaan putusan provisionil atau putusan sela lainnya serta dalam rangka menyusun Putusan Arbitrase.
(3) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berwenang, dalam persidangan, untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
(a) diajukan permohonan oleh salah satu Pihak mengenai hal khusus tertentu, misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa seperti permohonan sita jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata;
(b) sebagai akibat pemeriksaan dan ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya;
(c) adanya permintaan penggantian Arbiter (tuntutan hak ingkar);
(d) adanya pengunduran diri Arbiter;
(e) adanya penggantian Arbiter karena alasan sebagaimana dimaksud Pasal 16;
(f) adanya upaya perdamaian;
(g) dianggap perlu oleh Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan;
(h) selain alasan tersebut di atas dengan alasan yang wajar dan disetujui Para Pihak. (4) Dalam rangka menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan Arbitrase, maka
pada sidang pertama, Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase menetapkan jadwal
15
pemeriksaan berikutnya sampai dengan pembacaan Putusan Arbitrase. (5) Apabila setelah dilakukan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan ternyata persidangan
Arbitrase belum juga selesai, Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase hanya dapat memperpanjang kembali jangka waktu pemeriksaan berdasarkan persetujuan Para Pihak dan Pengurus.
(6) Para Pihak sepakat bahwa sengketa harus diselesaikan dengan itikad baik dan secepat mungkin, dan oleh karena itu Para Pihak tidak akan mengulur- ngulur waktu, bersikap dan/atau melakukan tindakan yang dapat menghambat jalannya proses Arbitrase.
Pasal 20 Bahasa
(1) Bahasa yang digunakan dalam semua proses Arbitrase LAPSPI adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase maka Para Pihak dapat memilih bahasa lain, namun demikian Putusan Arbitrase tetap harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase dapat memerintahkan kepada Para Pihak agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan sebagaimana dimaksud ayat (1).
Pasal 21 Tempat
(1) Pemeriksaan/persidangan Arbitrase LAPSPI diselenggarakan di Jakarta atau tempat lain yang ditentukan oleh Pengurus bersama-sama Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase. Namun demikian, Para Pihak dapat mengusulkan tempat lain dengan persetujuan Pengurus dan Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase.
(2) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dapat mendengar keterangan saksi di luar tempat Arbitrase diadakan dengan alasan yang wajar, misalnya disebabkan tempat tinggal saksi yang bersangkutan.
(3) Pemeriksaan setempat:
(a) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa;
(b) Para Pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut;
(c) Acara pemeriksaan setempat diselenggarakan dengan berpedoman kepada hukum acara perdata.
(4) Tempat untuk menyelenggarakan sidang pembacaan Putusan Arbitrase dapat berbeda dengan tempat sidang pemeriksaan.
(5) Apabila Putusan Arbitrase LAPSPI dibacakan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, Putusan Arbitrase LAPSPI tersebut diperlakukan sebagai Putusan Arbitrase Internasional, kecuali peraturan perundangan-undangan Indonesia tidak menganggapnya demikian maka tetap akan diperlakukan sebagai Putusan Arbitrase Nasional.
Pasal 22
Hukum yang Berlaku
Para Pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian
16
sengketa yang mungkin atau telah timbul antara Para Pihak. Apabila Para Pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat Arbitrase dilakukan.
Pasal 23 Yurisdiksi dan Kewenangan Arbiter
(1) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berwenang memutuskan untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu perjanjian pokok dan/atau Perjanjian Arbitrase.
(2) Eksepsi kompetensi absolut:
(a) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berwenang untuk menyatakan apakah dirinya berwenang ataukah tidak berwenang sehubungan dengan adanya eksepsi Termohon dan/atau Turut Termohon atas kompetensi absolut Arbitrase dalam memeriksa perkara.
(b) Suatu dalih berupa eksepsi kompetensi absolut Arbitrase harus dikemukakan oleh Termohon dan/atau Turut Termohon paling lama dalam Jawaban. Dalam hal tidak adanya eksepsi tersebut, maka Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase menyatakan kewenangannya tersebut secara ex-officio.
(c) Dalam keadaan biasa, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase akan menetapkan putusan yang menolak atau menerima eksepsi kompetensi absolut sebagai suatu putusan sela.
(3) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase memiliki segala kewenangan yang diperlukan sehubungan dengan pemeriksaan dan pengambilan keputusan, termasuk menetapkan jadwal sidang, tata tertib sidang, acara pemeriksaan yang mungkin belum cukup diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini, dan hal-hal yang dianggap perlu untuk kelancaran pemeriksaan Arbitrase.
(4) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berhak mengenakan sanksi terhadap Pihak yang lalai atau menolak untuk menaati apa yang telah ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase sebagaimana dimaksud ayat (3), dan/atau bersikap atau melakukan tindakan yang menghina persidangan dan/atau yang dapat menghambat proses pemeriksaan sengketa.
(5) Apabila dalam suatu persidangan Majelis Arbitrase ada 1 (satu) Anggota Majelis yang tidak hadir karena sebab apapun, maka persidangan dapat dilanjutkan dengan persetujuan Para Pihak. Sedangkan dalam hal Ketua Majelis tidak hadir atau para Anggota Majelis Arbitrase tidak hadir, maka persidangan ditunda.
Pasal 24 Kuasa Hukum
(1) Masing-masing Pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasa hukumnya dengan surat kuasa yang bersifat khusus, dengan ketentuan:
(a) Kuasa hukum yang dapat menjadi kuasa hukum dari Para Pihak di Arbitrase LAPSPI harus memenuhi semua persyaratan berikut:
(i) mempunyai izin praktek beracara sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku; atau
(ii) bagi bank, dapat diwakili oleh pejabat Legal yang berwenang dengan surat kuasa penugasan khusus dari Bank yang bersangkutan.
(b) dalam hal kuasa hukum lebih dari 1 (satu) orang, maka cukup paling kurang 1 (satu) orang kuasa hukum saja yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud huruf (a) dan bertindak sebagai advokat utama (lead counsel);
17
(c) apabila suatu Pihak diwakili oleh advokat asing, maka harus didampingi oleh advokat Indonesia yang memenuhi persyaratan dalam huruf (a).
(2) Apabila Pemohon/Termohon bermaksud menjalani proses Arbitrase LAPSPI tanpa didampingi oleh kuasa hukum, maka Pemohon/ Termohon dapat meminta penjelasan kepada Sekretariat LAPSPI mengenai cara membuat surat gugatan dan/atau dokumen lain dalam jawab-menjawab, pembuktian, dan kesimpulan.
Pasal 25 Dokumentasi, Korespondensi dan Komunikasi
(1) Para Pihak dilarang merekam acara persidangan baik rekaman audio, rekaman visual maupun rekaman audio visual.
(2) Pengiriman surat-menyurat disampaikan oleh Sekretaris kepada nama dan alamat yang tercantum pada Permohonan Arbitrase atau Jawaban. Apabila ada perubahan, maka masing-masing Pihak harus memastikan telah memberikan informasi kepada Sekretariat mengenai nama, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat secara lengkap untuk tujuan surat-menyurat dari dan ke masing-masing Pihak, dan setiap perubahan-perubahan selanjutnya berkenaan dengan hal-hal tersebut.
(3) Apabila Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal telah terbentuk, maka setiap Pihak tidak boleh melakukan komunikasi dengan Arbiter dengan cara apapun sehubungan dengan Permohonan Arbitrase kecuali dalam persidangan, atau disertai suatu salinan yang juga dikirimkan kepada Pihak lain melalui Sekretaris.
(4) Surat-menyurat dari Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal kepada Para Pihak, maupun dari satu Pihak kepada Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal dan Pihak lain, harus disampaikan dalam kesempatan persidangan dan/atau melalui Sekretaris.
(5) Penyampaian atau pendistribusian surat-menyurat dari Sekretaris, disampaikan melalui kurir, pos tercatat, faksimili dan/atau e-mail.
(6) Pengiriman oleh Sekretaris kepada Para Pihak melalui faksimili dan/atau e- mail adalah sama sahnya dengan pengiriman melalui kurir dan/atau pos tercatat dengan bukti penerimaan yang cukup. Apabila pengiriman melalui faksimili dan/atau e-mail sudah diterima dengan baik dan jelas, maka pengiriman surat asli melalui kurir dan/atau pos tercatat boleh untuk tidak dilakukan lagi oleh Sekretaris kepada Para Pihak.
(7) Penyampaian dokumen Permohonan Arbitrase, dokumen jawab-menjawab, keterangan tertulis saksi fakta/saksi ahli, dan akta daftar bukti serta Kesimpulan harus disertai dengan softcopy dalam format words document.
(8) Dokumentasi, korespondensi dan komunikasi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 ini adalah tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.
Pasal 26 Kerahasiaan
(1) Proses Arbitrase bersifat rahasia dan berlangsung secara tertutup yang hanya dihadiri oleh Para Pihak, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dan Sekretaris, kecuali diizinkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dengan persetujuan Para Pihak, atau bila diperlukan untuk pelaksanaan Putusan Arbitrase sebagaimana dimaksud 41.
(2) Kecuali bila diperlukan untuk pelaksanaan Putusan Arbitrase sebagaimana dimaksud Pasal 41, maka semua orang yang terlibat dalam proses Arbitrase harus menjaga kerahasiaan baik selama pra- Arbitrase, selama pemeriksaan/persidangan maupun setelah selesai Arbitrase, dan tidak menggunakan untuk tujuan apapun terhadap:
18
(a) fakta bahwa proses Arbitrase atas suatu perkara akan, sedang dan/atau telah berlangsung;
(b) hal-hal yang muncul dalam proses Arbitrase;
(c) pendapat yang dikemukakan, tuntutan, usulan-usulan atau proposal perdamaian yang diajukan Para Pihak untuk penyelesaian sengketa;
(d) semua dokumen yang diserahkan dan pembicaraan yang dilakukan selama proses Arbitrase;
(e) semua data, informasi, korespondensi, dan dokumen dalam bentuk cetak tertulis maupun elektronik, mengenai masalah yang disengketakan, tuntutan, usulan-usulan atau proposal perdamaian dan tanggapan yang disampaikan, termasuk isi Putusan Arbitrase.
(3) Ketentuan kerahasiaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2) tetap melekat atas orang yang terlibat dalam proses Arbitrase meskipun proses Arbitrase telah selesai.
(4) LAPSPI dan/atau salah satu Pihak berhak menuntut Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap berupa tuntutan termasuk namun tidak terbatas pada:
(a) ganti rugi penuh atas kerugian yang ditimbulkan;
(b) biaya upaya hukum yang dilakukannya sehubungan dengan pelanggaran tersebut;
(c) jaminan untuk tidak terulang kembali pelanggaran tersebut di kemudian hari.
(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2), Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berwenang untuk menghentikan proses Arbitrase untuk sementara waktu sampai adanya jaminan bahwa pelanggaran tersebut tidak terulang kembali di kemudian hari.
Pasal 27 Panggilan Sidang
(1) Paling lama 14 (empat belas) hari setelah menerima berkas-berkas Permohonan
Arbitrase dari Pengurus, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase melalui Sekretaris menyampaikan surat panggilan sidang pertama kepada Para Pihak. Dalam surat panggilan tersebut disebutkan perintah kepada Termohon untuk memberikan jawabannya (“Jawaban”) secara tertulis pada sidang pertama.
(2) Sidang pertama sebagaimana dimaksud ayat (1) harus diselenggarakan paling kurang 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat panggilan sidang tersebut kepada Para Pihak.
(3) Apabila pada sidang pertama, Pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan Pemohon telah dipanggil secara patut, maka Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase menyatakan bahwa Permohonan Arbitrase gugur, dan dengan demikian tugas Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase selesai. Dalam hal Permohonan Arbitrase diajukan oleh Para Pemohon, maka ketidakhadiran salah satu Pemohon juga mengakibatkan gugurnya Permohonan Arbitrase.
(4) Apabila pada sidang pertama, Termohon atau salah satu Termohon (jika tuntutan diajukan kepada lebih dari 1 (satu) Termohon) tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan Termohon telah dipanggil secara patut, maka Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase menunda persidangan dan melakukan pemanggilan sidang kembali kepada Termohon yang tidak hadir. Sidang berikutnya diselenggarakan paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah penundaan sidang tersebut.
(5) Apabila Termohon atau salah satu Termohon tetap tidak datang menghadap di muka persidangan berikutnya tanpa alasan sah, sedangkan Termohon telah dipanggil secara
19
patut, maka pemeriksaan akan dilanjutkan. (6) Ketidakhadiran Termohon atas panggilan-panggilan sidang sebagaimana dimaksud ayat
(1) dan ayat (4) dapat dianggap oleh Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase bahwa Termohon tersebut telah melepaskan haknya untuk mengajukan Jawaban. Dalam hal demikian, tuntutan Pemohon dapat dikabulkan seluruhnya kecuali tuntutan tersebut tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.
(7) Untuk memastikan bahwa Termohon telah dipanggil secara patut, sedangkan penyampaian panggilan ke alamat Termohon selalu mengalami retur, maka pemanggilan terhadap Termohon dapat dilakukan melalui surat kabar atas biaya Pemohon.
(8) Panggilan sidang-sidang berikutnya ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase dalam persidangan, atau melalui surat panggilan sidang yang akan disampaikan oleh Sekretaris.
Pasal 28 Upaya Perdamaian
(1) Dalam hal Para Pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara Para Pihak.
(2) Apabila Kesepakatan Perdamaian berhasil dicapai, maka hasil Kesepakatan atau Perdamaian tersebut dituangkan ke dalam Keputusan Arbitrase yang bersifat final dan mengikat.
(3) Dalam setiap pemeriksaan Arbitrase, Para Pihak dapat mengajukan upaya perdamaian kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase yang memeriksa perkara.
Pasal 29 Pencabutan dan Perubahan Permohonan Arbitrase
(1) Pencabutan Permohonan Arbitrase:
(a) sebelum ada Jawaban, Pemohon dapat mencabut Permohonan Arbitrase;
(b) dalam hal sudah ada Jawaban, maka pencabutan Permohonan Arbitrase hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Termohon dan diputuskan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dalam persidangan.
(2) Perubahan Permohonan Arbitrase:
(a) sebelum ada Jawaban, Pemohon dapat mengubah atau menambah isi Permohonan Arbitrase;
(b) dalam hal sudah ada Jawaban, maka perubahan atau penambahan Permohonan Arbitrase hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Termohon, dan sepanjang perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar Permohonan Arbitrase.
Pasal 30 Jawab-menjawab
(1) Jawaban disampaikan Termohon kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dalam jumlah salinan yang cukup bagi keperluan pemeriksaan.
(2) Apabila Termohon mengajukan Jawaban yang berkenaan dengan eksepsi kompetensi absolut LAPSPI, maka eksepsi tersebut tidak dapat disampaikan secara terpisah dari Jawaban berkenaan dengan pokok perkara.
20
(3) Terhadap Jawaban, Pemohon berhak memberikan tanggapan (“Replik”), dan terhadap Replik tersebut Termohon juga berhak memberikan tanggapan (“Duplik”), masing-masing dalam waktu yang ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dan dalam jumlah salinan yang cukup bagi keperluan pemeriksaan.
(4) Perbaikan dokumen jawab-menjawab:
(a) Termohon dapat memperbaiki, mengubah atau menambah Jawaban dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Jawaban disampaikan oleh Termohon;
(b) Pemohon dapat memperbaiki, mengubah atau menambah Replik paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Replik disampaikan oleh Pemohon;
(c) Termohon dapat memperbaiki, mengubah atau menambah Duplik dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Duplik disampaikan oleh Termohon.
(5) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berwenang menentukan apakah penyerahan dan penerimaan dokumen-dokumen jawab-menjawab dilakukan dalam persidangan atau secara korespondensi saja melalui Sekretaris.
(6) Majelis Arbitrase/ Arbiter Tunggal berwenang, atas permohonan salah satu Pihak, untuk memperpanjang jangka waktu penyerahan Jawaban, Replik dan Duplik berdasarkan alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh lebih lama dari jangka waktu sebelumnya.
Pasal 31 Rekonpensi dan Intervensi
(1) Tentang Rekonpensi:
(a) Jika Termohon bermaksud mengajukan tuntutan Rekonpensi terhadap Pemohon, maka Rekonpensi tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyerahan Jawaban.
(b) Terhadap Rekonpensi tersebut, Pemohon (sebagai Termohon Rekonpensi) berhak memberikan tanggapan dan memuatnya di dalam Replik.
(c) Rekonpensi diperiksa dan diputus oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase bersama-sama dengan tuntutan awal (Konpensi).
(d) Atas Rekonpensi tersebut dikenakan biaya-biaya Arbitrase sendiri, terpisah dari biaya-biaya Arbitrase dalam tuntutan awal (Konpensi).
(e) Apabila biaya-biaya untuk pemeriksaan Rekonpensi tidak dipenuhi oleh Pemohon Rekonpensi dan/atau Termohon Rekonpensi, maka tidak menghalangi ataupun menunda kelanjutan pemeriksaan atas tuntutan awal (Konpensi) asalkan biaya-biaya untuk pemeriksaan atas tuntutan awal (Konpensi) tersebut telah dipenuhi oleh Pemohon Konpensi dan/atau Termohon Konpensi.
(2) Tentang Intervensi:
(a) Pihak ketiga dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa (Intervenien) melalui Arbitrase LAPSPI, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait.
(b) Keikutsertaan Intervenien harus mendapatkan persetujuan Para Pihak dan Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase.
21
(c) Pihak Intervenien wajib untuk membayar biaya yang ditetapkan oleh Pengurus dari waktu ke waktu sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut.
(d) Peraturan dan Prosedur lainnya sehubungan dengan Intervensi diselenggarakan dengan berpedoman kepada hukum acara perdata.
Pasal 32 Pembuktian
(1) Setiap Pihak yang mengaku mempunyai suatu hak, atau mendalilkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah suatu dalil dan/atau hak Pihak lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang dikemukakan itu.
(2) Alat bukti meliputi keseluruhan alat bukti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Para Pihak diberikan kesempatan yang sama dan adil untuk mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan dalil-dalilnya, disertai dengan akta bukti yang berisikan daftar bukti dan penjelasan mengenai alasan suatu dokumen bukti diajukan.
(4) Para Pihak mengajukan fotokopi bukti-bukti tertulis yang bermeterai selama proses pemeriksaan dan paling lambat sebelum Kesimpulan.
Pasal 33 Keterangan Saksi dan/atau Ahli
(1) Atas perintah Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase, atau atas permintaan Para Pihak kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase, dapat dimintakan kepada seseorang untuk memberikan keterangan saksi (saksi fakta dan/atau ahli) dalam pemeriksaan Arbitrase.
(2) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berwenang menentukan apakah keterangan saksi fakta dapat diberikan dalam bentuk tertulis ataukah cukup secara lisan saja. Apabila saksi fakta memberikan keterangan tertulis, harus tetap didengar keterangan lisannya di hadapan persidangan.
(3) Keterangan ahli diberikan secara tertulis kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dalam persidangan atau melalui Sekretaris, dan selanjutnya keterangan tertulis tersebut diberikan pula kepada Para Pihak. Dalam hal ini Pihak lawan dapat memberikan tanggapan secara tertulis dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima salinan keterangan ahli tersebut.
(4) Apabila ada hal yang kurang jelas dalam keterangan ahli, maka ahli yang memberikan keterangan tersebut dapat dihadirkan dalam persidangan atas perintah Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase, atau atas permintaan Para Pihak kepada Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase.
(5) Apabila saksi (saksi fakta dan/atau ahli) dihadirkan dalam persidangan, maka saksi wajib mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangannya.
(6) Masing-masing Pihak dapat mengajukan pertanyaan dan/atau tanggapan atas keterangan yang diberikan oleh saksi (saksi fakta dan/atau ahli) dalam persidangan.
(7) Apabila dalam keterangan saksi (saksi fakta dan/atau ahli) terdapat perbedaaan antara keterangan tertulis dengan keterangan lisan dalam persidangan, maka yang berlaku adalah keterangan lisan dalam persidangan.
22
(8) Pemohon diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk mengajukan saksi (saksi fakta dan/atau ahli), kecuali ditentukan lain oleh Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase tanpa adanya keberatan dari Termohon.
(9) Biaya pemanggilan saksi (saksi fakta dan/atau ahli) dibebankan kepada yang mengajukan.
(10) Pengurus dilarang untuk menjadi saksi (saksi fakta dan/atau ahli) dalam pemeriksaan Arbitrase LAPSPI.
(11) Arbiter Tunggal/Majelis Arbiter tidak wajib mengikuti pendapat ahli, jika pendapat tersebut berlawanan atau bertentangan dengan keyakinannya.
(12) Peraturan dan Prosedur lainnya sehubungan dengan pemeriksaan saksi (saksi fakta dan/atau ahli) diselenggarakan menurut ketentuan hukum acara perdata.
Pasal 34 Kesimpulan dan Penutupan Sidang Pemeriksaan
(1) Para Pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing Pihak terakhir kalinya (“Kesimpulan”) pada waktu yang ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase.
(2) Kesimpulan masing-masing Pihak hanya untuk Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase, dan Sekretaris tidak memberikannya kepada Pihak lawan.
(3) Sebelum jadwal penyerahan Kesimpulan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan, Para Pihak masih diberikan kesempatan untuk menyampaikan bukti-bukti dan/atau keterangan-keterangan tambahan jika ada. Dalam hal demikian maka harus dilakukan pencocokan bukti dan Pihak lawan berhak diberikan kesempatan menyampaikan bukti tandingan jika ada.
(4) Setelah Para Pihak menyerahkan Kesimpulan masing-masing, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase menyatakan sidang pemeriksaan ditutup dan menetapkan hari sidang untuk mengucapkan Putusan Arbitrase.
(5) Pernyataan penutupan pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (4) dapat dinyatakan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dalam persidangan atau melalui surat yang disampaikan oleh Sekretaris kepada Para Pihak.
(6) Apabila dipandang perlu, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase dapat membuka kembali pemeriksaan asalkan jangka waktu pemeriksaan belum habis.
BAB VI PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 35 Pertimbangan Hukum
(1) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
(2) Dalam hal Arbiter diberi kewenangan oleh Para Pihak untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang- undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh Arbiter.
23
(3) Dalam hal Arbiter tidak diberi kewenangan oleh Para Pihak untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka Arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.
(4) Pemberian wewenang dimaksud ayat (2) cukup dibuktikan melalui permintaan Para Pihak dalam Permohonan Arbitrase, dokumen Jawab- menjawab atau Kesimpulan yang menyebutkan “mohon putusan seadil- adilnya”.
(5) Dalam menerapkan hukum, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase harus mendasari pada hukum yang mengatur dan mempertimbangkan pula ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaaan yang relevan dalam kegiatan bisnis atau transaksi yang bersangkutan dengan materi sengketa.
Pasal 36 Penyusunan Putusan Arbitrase
(1) Dalam Majelis Arbitrase, Ketua Majelis bertugas menyiapkan rancangan Putusan Arbitrase. Anggota Majelis menyampaikan masing-masing pertimbangan hukumnya kepada Ketua Majelis Arbitrase untuk digabungkan dengan pertimbangan hukum Ketua Majelis Arbitrase dalam rancangan putusan tersebut.
(2) Meskipun diperbolehkan adanya perbedaan pendapat dalam Majelis Arbitrase, namun keputusan dalam rapat permusyawaratan Majelis Arbitrase adalah keputusan kolektif di mana keputusan diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat.
(3) Apabila tidak tercapai musyawarah mufakat dalam Majelis Arbitrase, keputusan diambil atas dasar suara terbanyak.
(4) Putusan Arbitrase harus ditandatangani oleh Arbiter Tunggal atau para Arbiter dalam Majelis Arbitrase.
(5) Apabila dalam Majelis Arbitrase, Putusan Arbitrase tidak ditandatangani oleh 1 (satu) Arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia atau alasan apapun, maka tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya Putusan Arbitrase. Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini harus dicantumkan dalam Putusan Arbitrase.
(6) Putusan Arbitrase memuat:
(a) kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
(b) nama lengkap dan alamat Para Pihak;
(c) nama lengkap dan alamat Arbiter;
(d) uraian singkat sengketa;
(e) pendirian Para Pihak;
(f) keterangan bahwa Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase telah mengupayakan perdamaian di antara Para Pihak;
(g) pertimbangan dan kesimpulan Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase mengenai keseluruhan sengketa;
(h) pendapat tiap-tiap Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam Majelis Arbitrase;
(i) amar putusan, termasuk di dalamnya memuat jangka waktu Putusan Arbitrase harus dilaksanakan dan kewajiban atas biaya-biaya Arbitrase;
(j) tempat dan tanggal putusan;
24
(k) tanda tangan Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase;
(l) keterangan mengenai alasan sebagaimana dimaksud ayat (5), jika terjadi.
Pasal 37 Putusan Sela
Atas permohonan salah satu Pihak, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berwenang menjatuhkan putusan sela, termasuk putusan provisionil yang dianggap perlu sehubungan dengan penyelesaian sengketa, antara lain untuk menetapkan suatu putusan tentang sita jaminan, memerintahkan penyimpanan barang pada pihak ketiga, atau penjualan barang-barang yang tidak akan tahan lama. Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase berwenang juga meminta jaminan atas biaya-biaya yang berhubungan dengan tindakan-tindakan tersebut.
Pasal 38 Sidang Pembacaan Putusan Arbitrase
(1) Putusan sela dibacakan di muka persidangan selama jangka waktu pemeriksaan, dalam waktu yang ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase.
(2) Putusan Arbitrase akhir harus sudah dibacakan oleh Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase pada sidang pembacaan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah sidang pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (4).
(3) Apabila ada salah satu Pihak atau Anggota Majelis Arbitrase tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, maka pembacaan Putusan Arbitrase tetap dilaksanakan oleh Arbiter Tunggal/Ketua Majelis Arbitrase.
(4) Salinan Putusan Arbitrase harus sudah disampaikan oleh Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase melalui Sekretaris kepada Para Pihak dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah dibacakan. Apabila Para Pihak setuju, penyampaian salinan Putusan Arbitrase dapat dilakukan dengan cara mengambil dokumen tersebut di Sekretariat.
Pasal 39 Koreksi terhadap Putusan Arbitrase
(1) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah salinan Putusan Arbitrase diterima, salah satu Pihak atau Para Pihak dapat mengajukan permohonan kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif.
(2) Apabila Putusan Arbitrase dikoreksi, maka atas pertimbangan Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase putusan tersebut dapat dibacakan kembali dalam suatu persidangan atau cukup disampaikan kepada Para Pihak melalui korespondensi.
Pasal 40 Pendaftaran Putusan Arbitrase
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat perkara Arbitrase diputuskan. Sedangkan untuk Putusan Arbitrase LAPSPI yang diperlakukan sebagai Putusan Arbitrase Internasional harus diserahkan dan didaftarkan
25
oleh Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dimintakan pengakuan dan eksekuatur.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat Putusan Arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
(3) Sebelum melakukan pendaftaran Putusan, Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase atau kuasanya harus memastikan terlebih dahulu tidak ada permohonan koreksi atas Putusan Arbitrase dari Para Pihak.
Pasal 41
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
(1) Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat Para Pihak, dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
(2) Dalam hal Para Pihak tidak melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu Pihak yang bersengketa.
(3) Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau melaksanakan Putusan Arbitrase dalam waktu yang telah ditentukan, Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan LAPSPI.
(4) LAPSPI, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima tembusan surat sebagaimana dimaksud ayat (3), dapat menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan Pihak lain.
(5) Para Pihak mengetahui dan menyetujui serta tidak akan mengajukan tuntutan dalam bentuk apapun kepada LAPSPI dan Pihak lain bahwa, apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat sebagaimana dimaksud ayat (4) masih juga diingkari, LAPSPI dan/atau Pihak lain dapat menyampaikan kembali teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan Anggota LAPSPI di mana masing-masing Pihak menjadi anggotanya.
(6) Para Pihak mengetahui dan menyetujui serta tidak akan mengajukan tuntutan dalam bentuk apapun kepada LAPSPI dan Pihak lain bahwa, apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat sebagaimana dimaksud ayat (5) masih juga diingkari, LAPSPI dan/atau Pihak lain dapat menyampaikan kembali teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, tembusan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 42
Berakhirnya Tugas Arbiter
(1) Tugas Arbiter berakhir karena:
(a) putusan mengenai sengketa telah dibacakan dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri;
(b) jangka waktu yang telah ditentukan telah lampau;
(c) jangka waktu yang disepakati oleh Para Pihak untuk diperpanjang telah lampau;
(d) akibat diganti karena alasan atau sebab sebagaimana diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
(2) Meninggalnya salah satu Pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada Arbiter berakhir.
26
BAB VIII
BIAYA-BIAYA LAYANAN ARBITRASE
Pasal 43
Jenis Biaya-biaya
(1) Biaya-biaya dalam layanan Arbitrase terdiri dari:
(a) Biaya Pendaftaran;
(b) Biaya Sengketa;
(c) Biaya Arbiter;
(d) Biaya Pelaksanaan Putusan Arbitrase.
(2) Apabila terdapat perhitungan pajak, maka biaya-biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) juncto Pasal 44, Pasal 45 dan Pasal 46 serta Lampiran I adalah jumlah bersih yang diterima LAPSPI.
(3) Pengurus dapat menunda dan/atau menghentikan proses Arbitrase hingga biaya-biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) dilunasi oleh Para Pihak sesuai Peraturan dan Prosedur ini.
(4) Turut Termohon tidak dikenakan biaya-biaya penyelenggaraan Arbitrase sebagaimana dimaksud ayat (1).
(5) Ketentuan besarnya biaya layanan Arbitrase diatur dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan dan Prosedur ini.
Pasal 44 Biaya Pendaftaran
(1) Pendaftaran atas Permohonan Arbitrase dikenakan Biaya Pendaftaran sebesar nilai yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan dan Prosedur ini.
(2) Biaya Pendaftaran dibayar oleh Pemohon pada saat pengajuan pendaftaran Permohonan Arbitrase.
Pasal 45 Biaya Sengketa
(1) Biaya Sengketa adalah biaya yang diperlukan untuk keperluan pengeluaran, antara lain:
(a) sewa ruang sidang;
(b) akomodasi dan transportasi Arbiter yang berasal dari luar kota;
(c) akomodasi dan transportasi Arbiter dan Sekretaris jika pemeriksaan/ persidangan diselenggarakan di luar kota;
(d) menghadirkan saksi dan/atau ahli;
(e) lain-lain biaya yang relevan yang disepakati oleh Para Pihak.
(2) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e ditentukan oleh Pengurus dari waktu ke waktu, berdasarkan jumlah jam yang diperlukan dalam pemeriksaan.
(3) Biaya Pemeriksaan lainnya ditanggung oleh Para Pihak sesuai biaya yang dibutuhkan (at cost).
27
(4) Untuk keperluan antisipasi terhadap adanya Biaya Sengketa, maka Para Pihak menyetor secara pro-rata deposit sebesar nilai yang tercantum dalam Lampiran I kepada LAPSPI sebelum sidang pertama diselenggarakan.
(5) Apabila jumlah deposit telah berkurang lebih dari 50 % (lima puluh per seratus), Para Pihak harus menambah deposit sehingga jumlahnya kembali sebesar deposit awal.
(6) Apabila seluruh pengeluaran Biaya Sengketa ternyata lebih kecil dari deposit yang disetor, sisa deposit segera dikembalikan kepada Para Pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah pendaftaran Putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri.
(7) Sekretaris membuat laporan penggunaan deposit kepada Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase dan Para Pihak, dengan bukti pengeluaran yang cukup.
Pasal 46 Biaya Arbiter
(1) Biaya Arbiter dibayar di muka seluruhnya oleh Para Pihak secara pro rata sebelum sidang pertama diselenggarakan.
(2) Apabila Termohon tidak bersedia membayar Biaya Arbiter, maka Pemohon harus membayarkannya terlebih dahulu supaya proses Arbitrase dapat berjalan.
(3) Besarnya Biaya Arbiter dihitung berdasarkan nilai sengketa dengan skala tarif biaya atau minimum tarif sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan dan Prosedur ini.
(4) Apabila nilai sengketa tidak berupa suatu tuntutan pembayaran uang, maka besarnya nilai sengketa ditetapkan berdasarkan tafsiran Pengurus dengan memperhatikan kompleksitas perkara.
(5) Pada akhirnya dalam Putusan Arbitrase diputuskan kepada Pihak mana Biaya Arbiter akan dibebankan, dengan ketentuan:
(a) Biaya Arbiter dibebankan semua kepada Termohon jika tuntutan Pemohon dikabulkan seluruhnya;
(b) Biaya Arbiter dibebankan kepada Para Pihak dalam pembagian yang adil menurut Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase jika tuntutan Pemohon dikabulkan sebagian;
(c) Biaya Arbiter dibebankan semua kepada Pemohon jika tuntutan Pemohon tidak diterima atau ditolak seluruhnya.
(6) Apabila Pemohon telah melakukan pembayaran atas Biaya Arbiter sebagaimana dimaksud ayat (2), dan Putusan Arbitrase mengabulkan tuntutan Pemohon seluruhnya atau sebagian, maka dalam amar Putusan Arbitrase juga harus memuat ketentuan penggantian biaya tersebut oleh Termohon kepada Pemohon berikut denda dan bunga jika perlu.
(7) Dalam hal terjadi pencabutan Permohonan Arbitrase, maka Biaya Arbiter dikembalikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan dan Prosedur ini.
(8) Dalam hal Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase menjatuhkan Putusan Sela dengan amar yang menyatakan Permohonan Arbitrase tidak dapat diterima, maka Biaya Arbiter dikembalikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan dan Prosedur ini.
28
Pasal 47 Biaya Pelaksanaan Putusan Arbitrase
(1) Biaya Pelaksanaan Putusan, antara lain:
(a) biaya pendaftaran Putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri;
(b) biaya pengambilan salinan Putusan Arbitrase yang sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri;
(c) biaya penggandaan dan pengiriman salinan Putusan Arbitrase yang sudah didaftarkan kepada Para Pihak;
(d) biaya permohonan eksekusi; dan
(e) biaya pelaksanaan eksekusi.
(2) Pihak yang menanggung biaya pendaftaran Putusan Arbitrase dan biaya pengambilan salinan Putusan Arbitrase yang sudah didaftarkan adalah:
(a) Pemohon, apabila Permohonan Arbitrase dikabulkan sebagian atau seluruhnya;
(b) Termohon, apabila Permohonan Arbitrase tidak diterima atau ditolak.
(3) Biaya penggandaan dan pengiriman salinan Putusan Arbitrase yang sudah didaftarkan kepada Para Pihak ditanggung oleh masing-masing Pihak.
(4) Biaya permohonan eksekusi dan biaya pelaksanaan eksekusi dibebankan kepada Pemohon apabila Permohonan Arbitrase dikabulkan sebagian atau seluruhnya.
BAB IX SANKSI
Pasal 48 Pelanggaran oleh Arbiter
(1) Arbiter yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15, akan diperiksa oleh Komite Kehormatan LAPSPI.
(2) Arbiter yang terbukti bersalah berdasarkan keputusan Komite Kehormatan LAPSPI, akan dikeluarkan dari Daftar Adjudikator Tetap dan/atau tidak diperkenankan untuk menangani perkara atau sebagai Kuasa Hukum dari Para Pihak yang bersengketa, di dalam jurisdiksi LAPSPI.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
(1) Pengurus, Arbiter, Sekretaris dan/atau personil LAPSPI lainnya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata terhadap pelaksanaan tugasnya dan kewenangannya berdasarkan Peraturan dan Prosedur ini maupun terhadap isi dan pelaksanaan dari Putusan Arbitrase.
(2) Para Pihak tidak dapat menuntut LAPSPI (termasuk Pengurus, Arbiter, Sekretaris dan personil LAPSPI lainnya), termasuk tapi tidak terbatas pada tuntutan berkenaan dengan:
29
(a) setiap layanan yang disediakan LAPSPI;
(b) setiap upaya yang dilakukan oleh LAPSPI;
(c) sengketa yang didaftarkan oleh Pemohon;
(d) tuntutan yang dibuat oleh Pemohon;
(e) setiap keputusan yang dibuat;
(f) setiap tindakan Para Pihak;
(g) setiap tindakan yang sesuai dengan hukum atau perintah pengadilan.
(3) Para Pihak menyatakan dan setuju bahwa setiap tuntutan yang dibuat terhadap LAPSPI (termasuk Pengurus, Arbiter, Sekretaris dan personil LAPSPI lainnya) dengan melanggar ayat (1) dan ayat (2) merupakan suatu kerugian yang besar dan nyata bagi LAPSPI. Oleh karena itu LAPSPI berhak untuk melakukan upaya hukum atas tuntutan tersebut, dan juga berhak untuk menuntut kepada Para Pihak atas ganti rugi secara penuh biaya hukum yang telah LAPSPI keluarkan.
(4) Arbiter yang pada saat mulai berlakunya Peraturan dan Prosedur ini telah diangkat sebagai Arbiter Tetap LAPSPI, namun belum mempunyai Sertifikat Arbiter, maka kepada Arbiter yang bersangkutan diberikan kesempatan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan untuk:
(a) memperoleh sertifikat keahlian profesi dalam bidang Arbitrase yang dikeluarkan oleh lembaga Arbitrase atau lembaga pelatihan Arbitrase; atau
(b) mengikuti semua kegiatan diskusi, workshop dan seminar yang diselenggarakan oleh LAPSPI yang dimaksudkan sebagai pelatihan peningkatan keahlian Arbiter/Mediator Tetap LAPSPI dalam beracara Arbitrase.
Apabila Arbiter yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan ini maka Pengurus akan mencabut statusnya sebagai Arbiter Tetap LAPSPI. Selama statusnya belum dicabut, Arbiter yang bersangkutan tetap dapat ditunjuk oleh Para Pihak dan/atau Pengurus untuk menjadi Arbiter perkara di LAPSPI.
(5) Penyebutan nama suatu organisasi/instansi dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah dimaksudkan pula kepada nama baru dari organisasi/instansi yang bersangkutan disebabkan perubahan nama saja ataupun disebabkan karena tindakan penggabungan atau pengambilalihan yang menyebabkan perubahan nama organisasi/instansi.
Pasal 50
Pada saat Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia Nomor 09/LAPSPI-PER/2015 tentang Peraturan dan Prosedur Arbitrase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 51
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
30
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 April 2017
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN INDONESIA
Himawan E. Subiantoro Saifuddin Latief Nirwana Atta Ketua Sekretaris Bendahara