Upload
lethuan
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK
ETANOL 70% DAUN KECOMBRANG (Etlingera
elatior) DENGAN METODE INDUKSI ALOKSAN DAN
UJI PENGHAMBATAN ENZIM α- GLUKOSIDASE
SECARA IN VIVO
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
AFRA FITRIANITA
NIM : 1112102000047
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK
ETANOL 70% DAUN KECOMBRANG (Etlingera
elatior) DENGAN METODE INDUKSI ALOKSAN DAN
UJI PENGHAMBATAN ENZIM α- GLUKOSIDASE
SECARA IN VIVO
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
AFRA FITRIANITA
NIM : 1112102000047
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2016
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan benar
Nama : Afra Fitrianita
NIM : 1112102000047
Tanda Tangan :
Tanggal : 19 September 2016
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Afra Fitrianita
Program Studi : Farmasi
Judul :Uji Efek Antihiperglikemia Ekstrak Etanol 70% Daun
Kecombrang (Etingera elatior) dengan Metode Induksi Aloksan
dan Uji Penghambatan Enzim α-glukosidase secara in vivo
Kecombrang telah diketahui efektif sebagai inhibitor α-glukosidase secara in
vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas penurunan kadar
glukosa darah dengan metode induksi aloksan dan penghambatan enzim α-
glukosidase secara in vivo dari ekstrak etanol 70% daun kecombrang. Pada
metode induksi aloksan, hewan uji diinduksi aloksan dengan dosis 150 mg/kg BB
secara intraperitoneal. Ekstrak etanol 70% daun kecombrang diberikan dengan
variasi dosis yaitu 1 mg/kg BB, 10 mg/kg BB, dan 100 mg/kg BB selama 21 hari.
Pada uji penghambatan enzim α-glukosidase secara in vivo, hewan uji dibebankan
sukrosa 4 g/kg BB dan diberikan ekstrak etanol 70% daun kecombrang dosis 100
mg/kg BB. Hasil statistik pada uji dengan metode induksi aloksan menunjukkan
kelompok dosis 1, 10 dan 100 mg/kg BB berbeda secara bermakna dengan kontrol
negatif (p0,05) dan tidak bebeda secara bermakna jika dibandingkan dengan
kontrol positif (p0,05). Ekstrak etanol 70% daun kecombrang dosis 100 mg/kg
BB menunjukkan penurunan kadar glukosa darah yang terkuat dibandingkan dosis
1 dan 10 mg/kg BB dengan presentase penurunan glukosa darah mencapai
76,62% pada hari ke-21. Sedangkan, pada uji penghambatan enzim α-glukosidase
secara in vivo menunjukkan dosis 100 mg/kg BB berbeda secara bermakna
dengan kontrol negatif pada menit ke-30 dan 60 (p0,05). Hal ini menunjukkan
ekstrak etanol 70% daun kecombrang memiliki kemampuan menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus yang diinduksi aloksan dan efektif sebagai penghambat
enzim α-glukosidase secara in vivo.
Kata kunci : Kecombrang, Antihiperglikemik, Aloksan, Inhibitor α-glukosidase
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Afra Fitrianita
Programme of Study : Pharmacy
Title : Effect Antihyperglycaemic Assay of 70% Ethanol Extract
of Kecombrang Leaves (Etlingera elatior) with Induction
Alloxan Method and In vivo Inhibition of α-glucosidase
Assay.
Etlingera elatior has known effective as inhibitor of -glucosidase in vitro. The
objective of the study is to investigate anti-hypergycaemia potential of 70%
ethanol extract of Etlingera elatior in alloxan induced diabetic rats and to in vivo
confirmatory its α-glucosidase inhibitory activity. On the procedure of alloxan
induction method, rats was induced by administration of alloxan monohydrate
(150 mg/kg i.p), the ethanol extract of E. elatior at a dose 1, 10, and 100 mg/kg of
body weight were administrated at a single dose per day to diabetes induced rats
for a period of 21 days. On the procedure of inhibitory of -glucosidase assay, the
sucrose tolerance test was performed in normal rats using potential dose of the
extract 100 mg/kg. The statistical data from induction alloxan method assay
indicated treatment with various doses was different significantly with negative-
control (p0,05), whereas compared with positive-control was not different
significantly (p0,05). The maximum reduction of blood glucose level in alloxan
induced diabetic rats was produced by dose 100 mg/kg BB as much as 76,62%.
The in vivo inhibition of α-glucosidase studies demonstrated extract of E. elatior
(100 mg/kg) was different significantly with negative-control at minute-30 and 60
(p0,05). These results suggest that Etlingera elatior extract has blood glucose
lowering effect in alloxan induced diabetic rats and in vivo α-glucosidase
inhibitory activity.
Keyword: Etlingera elatior, Antihyperglycaemic, Alloxan, Inhibitor of α-
glucosidase
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Assalamu’Alaikum Wr. Wb
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan
skripsi ini dalam rangka untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT, yang atas ijinnya sehingga saya dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Yardi, Ph.D, Apt.selaku pembimbing pertama dan bapak Drs.
Ahmad Musir. M.Sc, Apt. selaku pembimbing kedua yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk mebimbing dan
mengarahkan, memberikan ilmu dan saran sejak proposal, pelaksanaan
penelitian sampai penyusunan skripsi.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt. selaku ketua program studi farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
4. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M. Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan.
5. Ayah dan ibu, serta adik-adik saya Adila Desi Daria dan Amalia Dafa
Fauziya yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat serta
dukungannya baik moral maupun material yang tak terhingga.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan
hingga penulis dapat menyelesaikan sudi di Program Studi Farmasi
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Temen seperjuangan, room mate dan partner saya dalam berbagai hal
Umi Kulsum yang selalu bersama saya terutama di masa-masa sulit
penelitian.
8. Teman-teman seperjuangan farmasi angkatan 2012 khususnya “Tulip
Family” Umi Kulsum, Remawati, Ani Kurniawati, Yuli Andriani, Rifa
Arifah Rahmah, Hana Youlanda, Resha Adriana Putri, Elsa Rahmi,
dan Lilis Hermawati yang selalu memberikan semangat.
9. Teman-teman seperjuangan penelitian farmakologi Umi Kulsum, Kak
Arum 2011, Rifatul Mughniyah, Pipit Fitriyah, Kak desi 2010, Nita
Fitriani, Ade Rachma, Denny Bachtiar, Afina Almas Ghasani, Tania
Rizky Amalia, dan Nursetyowati Rahayu yang saling menguatkan satu
sama lain.
10. Semua pihak yang tidak dimuat dihalaman ini, tetapi amal baiknya
semoga dicatat Allah SWT.
Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada mereka
semua. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna namun demikian
penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak lain yang
berkepentingan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, September 2016
Penulis
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Afra Fitrianita
NIM : 1112102000047
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya, dengan judul :
UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK ETANOL 70% DAUN
KECOMBRANG (Etlingera elatior) DENGAN METODE INDUKSI ALOKSAN
DAN UJI PENGHAMBATAN ENZIM α- GLUKOSIDASE SECARA IN VIVO
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyatan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 19 September 2016
Yang menyatakan,
( Afra Fitrianita )
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ v
ABSTRAK ……………………………………………………………... vi
ABSTRACT …........................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH......... x
DAFTAR ISI ………………………………………………………….... xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. xiii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………... xv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….. xvi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 4
1.3 Hipotesis ................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
1.5 Manfaat penelitian..................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 6
2.1 Tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) ............................... 6
2.1.1 Klasifikasi Tanaman ................................................... 6
2.1.2 Morfologi ................................................................... 6
2.1.3 Sinonim ...................................................................... 7
2.1.4 Kandungan Kimia ...................................................... 7
2.1.5 Kegunaan Secara Tradisional .................................. 8
2.1.6 Review Literatur …………………………………….. 8
2.2 Tinjauan Hewan Coba ............................................................... 9
2.3 Simplisia .................................................................................... 10
2.3.1 Pengertian Simplisia .................................................... 10
2.3.2 Tahapan Pembuatan Simplisia .................................... 10
2.4 Teknologi Ekstrak ...................................................................... 12
2.4.1 Pengertian Ekstraksi dan Ekstrak ................................ 12
2.4.2 Tahap Pembuatan Ekstrak .......................................... 12
2.4.3 Metode Ekstraksi ......................................................... 13
2.5 Diabetes Mellitus ........................................................................ 15
2.5.1 Definisi ........................................................................ 15
2.5.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus...................................... 15
2.5.3 Gejala Klinik ............................................................... 17
2.5.4 Diagnosis...................................................................... 17
2.5.5 Terapi Diabetes Mellitus ............................................. 18
2.5.5.1 Terapi Tanpa Obat ....................................... 18
2.5.5.2 Terapi Dengan Obat ...................................... 19
2.6 Aloksan ....................................................................................... 21
2.7 Glibenklamid .............................................................................. 23
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.8 Akarbosa ………………………………………………………. 24
2.9 Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah ............................... 25
2.8.1 Metode Reduksi .......................................................... 25
2.8.2 Metode Kondensasi .................................................... 26
2.8.3 Metode Enzimatik ...................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 28
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 28
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................... 28
3.2.1 Alat .............................................................................. 28
3.2.2 Bahan ........................................................................... 28
3.2.2.1 Tanaman Uji ................................................. 28
3.2.2.1 Hewan Uji ..................................................... 28
3.2.2.2 Bahan Uji ...................................................... 29
3.2.2.3 Bahan Kimia ................................................. 29
3.3 Prosedur Kerja ............................................................................ 29
3.3.1 Determinasi Tanaman ……………………………….. 29
3.3.2 Pembuatan Simplisia ………………………………… 29
3.3.3. Ekstraksi .................................................................... 30
3.3.4 Penapisan Fitokimia …................................................ 30
3.3.5 Pengujian Parameter Spesifik & Non Spesifik ........... 31
3.3.6 Penetapan Dosis dan Penyiapan Bahan........................ 32
3.3.7 Uji Pendahuluan Induksi Aloksan................................ 33
3.3.8 Pengelompokkan Hewan Uji....................................... 34
3.3.8.1Uji dengan Metode Induksi Aloksan…….... 34
3.3.8.2 Uji Penghambatan Enzim α-glukosidase secara
in vivo………………………………………. 35
3.3.9 Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan
……………………………………………………… 35
3.3.10 Uji Penghambatan Enzim α-glukosidase secara in vivo
…………………………………………………..……….. 37
3.3.11 Pemeriksaan Kadar Gula Darah.................................. 37
3.3.12. Analisis Data............................................................. 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………. 39
4.1 Determinasi Tanaman………………………………………...... 39
4.2 Ekstraksi………………………………………………………... 39
4.3 Penapisan Fitokimia…………………………………………..... 40
4.4 Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik………............. 41
4.5 Uji Pendahuluan Induksi Aloksan …………………………….. 42
4.6 Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan ……... 42
4.7 Uji Penghambatan Enzim α-glukosidase secara in vivo ……… 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………….……………….......... 54
5.1 Kesimpulan …………………………………………………...... 54
5.2 Saran ……………………………………………………............ 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 55
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kecombrang (Etlingera elatior) ........................................... 6
Gambar 2.2 Struktur Kimia Aloksan ....................................................... 21
Gambar 2.3 Struktur Kimia Glibenklamid ............................................... 23
Gambar 2.4 Struktur Kimia Akarbosa....................................................... 24
Gambar 4.1 Grafik Rata-rata Penurunan Kadar Glukosa Darah pada Uji
dengan Metode Induksi Alokan ........................................... 49
Gambar 4.2 Grafik Rata-rata Penurunan Kadar Glukosa Darah pada uji
penghambatan enzim -glukosidase .................................... 53
Gambar 5.1 Kecombrang (Etlingera elatior) ........................................... 73
Gambar 5.2 Serbuk Simplisia Daun Kecombrang .................................... 73
Gambar 5.3 Botol Maserasi ...................................................................... 73
Gambar 5.4 Filtrasi Maserat...................................................................... 73
Gambar 5.5 Pemekatan Ekstrak................................................................. 73
Gambar 5.6 Ekstrak Kental ...................................................................... 73
Gambar 5.7 Uji Kadar Air ........................................................................ 73
Gambar 5.8 Uji Kadar Abu ....................................................................... 73
Gambar 5.9 Desikator .............................................................................. 73
Gambar 5.10 Sediaan ekstrak etanol 70% daun kecombrang ………….... 73
Gambar 5.11 Sediaan Na CMC 0,5% ......................................................... 73
Gambar 5.12 Sukrosa .................................................................................. 73
Gambar 5.13 Penimbangan Berat Badan Hewan......................................... 74
Gambar 5.14 Hewan Uji ………………………......................................... 74
Gambar 5.15 Aloksan Monohidrat ……………......................................... 74
Gambar 5.16 Larutan Aloksan dalam Saline ….......................................... 74
Gambar 5.17 Menyonde Bahan Uji ……………........................................ 74
Gambar 5.18 Glukometer ……………………........................................... 74
Gambar 5.19 Validasi Alat Glukometer ………......................................... 74
Gambar 5.20 Uji Alkaloid …………….………......................................... 75
Gambar 5.21 Uji Flavonoid ………….………........................................... 75
Gambar 5.22 Uji Fenol …………….……….............................................. 75
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 5.23 Uji Saponin …………….………......................................... 75
Gambar 5.24 Uji Antrakuinon ……….……….......................................... 76
Gambar 5.25 Uji Steroid/Trterpenoid .………........................................... 76
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus .................................... 18
Tabel 3.1 Kelompok Perlakuan pada Metode Induksi Aloksan .............. 34
Tabel 3.1 Kelompok Perlakuan Uji Penghambatan Enzim α-glukosidase
secara in vivo……………………………………………….. 35
Tabel 4.1 Hasil Ekstraksi ....................................................................... 40
Tabel 4.2 Hasil PenapisanFitokimia ……….......................................... 40
Tabel 4.3 Hasil Uji Parameter Spesifik & Non Spesifik ………............ 41
Tabel 4.4 Kadar Glukosa Darah Uji Pendahuluan Dosis Aloksan …..... 42
Tabel 4.5 Rerata Kadar Glukosa Darah pada Uji Metode Induksi Aloksan
……………………………………………………………...... 46
Tabel 4.6 Presentase penurunan kadar glukosa darah pada Uji Metode
Induksi Aloksan …………………………………….……...... 49
Tabel 4.7 Rerata Kadar Glukosa Darah pada Uji Penghambatan Enzim α-
glukosidase secara in vivo ……………….………………...... 52
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Hasil Determinasi Daun Kecombrang (Etlingera elatior)... 61
Lampiran 2 Surat Keterangan Kesehatan Hewan ………...................... 62
Lampiran 3 Sertifikat Glibenklamid…………....................................... 63
Lampiran 4 Sertifikat Aloksan Monohidrat........................................... 64
Lampiran 5 Alur Pembuatan Ekstrak ……............................................. 65
Lampiran 6 Skema Pengelompokan Hewan Uji dengan Metode
Induksi Aloksan ................................................................. 66
Lampiran 7 Skema Pengelompokan Hewan Uji Penghambatan enzim
glukosidase secara in vivo..................................................... 67
Lampiran 8 Alur Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi
Aloksan ................................................................................ 68
Lampiran 9 AlurUji Inhibitor Alfa Glukosidase secara in vivo dengan
Metode Toleransi S1ukrosa.....................................................69
Lampiran 10 Perhitungan Dosis ……....................................................... 70
Lampiran 11 Gambar Bahan dan Kegiatan Penelitian............................... 73
Lampiran 12 Hasil Penapisan Fitokimia ................................................... 75
Lampiran 13 Perhitungan Rendemen, Kadar Air dan Kadar Abu............. 77
Lampiran 14 Hasil Pengukuran Glukosa Darah pada Metode Induksi
Aloksan ………………………………………………........ 78
Lampiran 15 Presentase Penurunan Kadar kadar glukosa darah pada Metode
Induksi Aloksan…………….............................................. 79
Lampiran 16 Hasil Statistika Uji dengan Metode Induksi Aloksan.......... 80
Lampiran 17 Hasil Pengukuran Glukosa Darah pada Uji Penghambatan
Enzim α- glukosidase secara in vivo …….......................... 84
Lampiran 18 Presentase Penurunan Kadar kadar glukosa darah padaUji
Penghambatan Enzim α-glukosidase secara in vivo............ 85
Lampiran 19 Hasil Statistika Uji Penghambatan Enzim α-glukosidase
secara in vivo……………………………….………............ 86
Lampiran 20 Foto Kadar Glukosa Darah ……........................................... 91
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme pada karbohidrat,
lemak dan protein yang terjadi akibat adanya insufisiensi pada produksi hormon
insulin atau insensitifitas reseptor sel terhadap hormon insulin ataupun karena
keduanya sehingga menghasilkan suatu manifestasi klinis yang khas berupa
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) (Dipiro et al., 2008).
Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), pada tahun 2015
terdapat 415 juta orang di dunia yang menderita diabetes mellitus dan
diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat hingga mencapai 642 juta penderita
di tahun 2040. Selain itu, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
proporsi penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013 mengalami
peningkatan menjadi 6,8% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia
(Riskesdas, 2013).
Terdapat dua tipe utama diabetes mellitus, yaitu tipe I dikenal dengan
IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) dimana terjadi kerusakan pankreas
yang berat, produksi insulin tidak ada atau minimal, sehingga mutlak memerlukan
insulin dari luar tubuh., sedangkan tipe II dikenal dengan NIDDM (Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus) dimana terjadi kekurangan insulin, tetapi tidak
seberat pada diabetes tipe 1. Pada diabetes tipe 2 selain kekurangan insulin, juga
disertai dengan resistensi insulin. Dari sekian banyak kasus, diabetes tipe 2
merupakan tipe diabetes yang lebih umum dan lebih banyak penderitanya
dibandingkan diabetes tipe 1. Penderita diabetes tipe 2 diketahui mencapai 90-
95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes yang ada di Indonesia (Depkes
RI, 2005).
Obat-obat antidiabetes yang tersedia saat ini terbilang mahal, ditambah
lagi dengan pengobatan diabetes mellitus yang membutuhkan terapi jangka
panjang. Hal ini tentunya akan memberatkan pasien dari segi ekonomi. Oleh
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
karena itu, banyak masyarakat yang saat ini mencurahkan perhatiannya pada
terapi herbal sebagai terapi komplementer untuk penanganan diabetes mellitus.
Indonesia sendiri tercatat sebagai negara mega biodiversity kedua setelah
Brasil, bahkan beberapa ilmuwan Biologi menempatkan Indonesia sebagai negara
mega biodiversity peringkat pertama apabila keanekaragaman hayati habitat
lautnya ikut diperhitungkan disamping keanekaragaman hayati daratan
(Kementerian Riset dan Teknologi, 2010). Tentunya, Indonesia memiliki banyak
tumbuhan obat yang potensial sebagai obat. Oleh karena itu, diperlukan penelitian
ilmiah untuk menjamin khasiat dan keamanan dari tumbuhan potensial tersebut.
Salah satu tumbuhan yang berasal dari Indonesia adalah kecombrang.
Kecombrang dapat dijumpai dikawasan Asia Tenggara. Secara tradisional,
tumbuhan ini umumnya dimanfaatkan untuk kebutuhan kuliner (Maimulyanti et
al., 2015).
Penelitian ilmiah mengenai kemampuan kecombrang sebagai antidiabetes
belum banyak. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tumbuhan
kecombrang efektif sebagai inhibitor enzim α-glukosidase secara in vitro (P.
Puttarak et al., 2014). Akan tetapi, publikasi ilmiah mengenai aktivitas daun
kecombrang sebagai inhibitor enzim α-glukosidase secara in vivo belum pernah
ada. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan uji penghambatan enzim
α-glukosidase pada ekstrak etanol 70% daun kecombrang secara in vivo,
menggunakan hewan uji tikus dengan metode uji toleransi sukrosa.
Pada penelitian ini, selain melakukan uji penghambatan pada enzim α-
glukosidase secara in vivo, juga akan dilakukan dengan metode yang berbeda
yakni dengan metode induksi aloksan.
Sebagai agen diabetogenik, aloksan dapat menyebabkan hiperglikemia
melalui destruksi pada sel beta pankreas. Salah satu mekanisme aloksan dalam
mendestruksi pankreas adalah dengan menghasilkan spesi oksigen reaktif yang
merupakan senyawa radikal bebas pada sel beta pankreas (Radenkovic et al.,
2015).
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada penelitian sebelumnya menunjukkan daun kecombrang (Etlingera
elatior) memiliki aktivitas antioksidan yang paling kuat diantara famili
Zingiberaceae dan tertinggi diantara bagian tanaman kecombrang lainnya (Chan,
2007).
Antioksidan memiliki peran penting dalam penanganan diabetes mellitus.
Keterlibatan antioksidan terhadap penyakit diabetes mellitus dikarenakan
kemampuannya yang dapat menetralkan senyawa radikal bebas dan menekan stres
oksidatif yang terjadi selama hiperglikemia (Khan et al., 2015). Stres oksidatif
dapat menyebabkan disfungsi dan gangguan apoptosis pada sel pankreas
sehingga berakibat pada percepatan kematian sel pankreas (A. Hosseini et al.,
2015). Tidak hanya itu, stres oksidatif juga dapat menyebabkan kerusakan
multiorgan dan memicu berkembangnya komplikasi pada diabetes mellitus (Wei
wei et al., 2007).
Berbagai penelitian sebelumnya menyatakan bahwa tumbuhan yang
memiliki daya antioksidan dapat menekan stres oksidatif dan mampu menurunkan
kadar glukosa darah pada diabetes antara lain manggis (Garcinia mangostana L.),
pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) dan delima (Punica granatum)
(Pasaribu et al., 2012; Prameswari et al., 2014; Aboonabi et al., 2014)
Daun kecombrang memiliki kandungan senyawa bioaktif diantaranya
flavonoid, fenolik, alkaloid, dan saponin (Handayani et al., 2014). Asam
klorogenat yang merupakan senyawa fenolik diketahui menjadi senyawa paling
dominan pada daun kecombrang diikuti oleh flavonoid quersetin (Chan EWC,
2009). Asam klorogenat diketahui terlibat dalam metabolisme glukosa dengan
cara meningkatkan uptake glukosa, menghambat ouput glukosa hepatik dan
menunda absorbsi glukosa di intestinal (Shengxi et al., 2013). Sedangkan
quersetin dapat menurunkan kadar glukosa darah dikarenakan kemampuan
antioksidannya yang dapat menurunkan stress oksidatif dan mempertahankan
integritas sel pankreas (Abdelmoaty at al., 2010).
Kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak bergantung pada
tingkat kepolaran dan konsentrasi pelarut yang digunakan selama ekstraksi
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Gaedcke et al., 2003). Penggunaan etanol 70% sebagai pelarut dikarenakan
sifatnya yang agak lebih polar. Selain itu, pelarut campuran alkohol dan air ini
dinilai tidak toksik dan dapat menimalisasi pertumbuhan mikroorganisme selama
ekstraksi (Depkes RI, 2000 dan Gaedcke et al., 2003).
Aloksan dapat digunakan untuk menghasilkan model diabetes tipe 1
maupun 2, yang bergantung pada dosis aloksan ketika induksi (Etuk, 2010). Pada
penelitian sebelumnya menunjukkan induksi aloksan dosis tunggal 150 mg/kg
secara intraperitoneal menghasilkan model hewan dengan peningkatan kadar
glukosa darah namun dengan kadar keton yang rendah dalam darahnya (Yakubu
et al., 2010). Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan induksi aloksan
dengan dosis 150 mg/kg BB pada tikus jantan putih Sprague dawley untuk
menghasilkan kondisi diabetes yang serupa dengan diabetes mellitus tipe 2.
Demikianlah hal yang melatar belakangi dilakukannya penelitian uji
aktivitas antihiperglikemia ekstrak etanol 70% daun kecombrang pada hewan
coba tikus jantan Sprague dawley yang diinduksi aloksan dan uji penghambatan
enzim alfa glukosidase secara in vivo.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian ekstrak etanol 70% daun kecombrang dapat
menurunkan kadar glukosa darah pada tikus Sprague dawley yang diinduksi
aloksan dan efektif sebagai penghambat enzim -glukosidase secara in vivo?
1.3 Hipotesis
Ekstrak etanol 70% daun kecombrang dapat menurunkan kadar glukosa
darah tikus Sprague dawley yang diinduksi aloksan dan efektif sebagai inhibitor
-glukosidase secara in vivo.
1.4 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun
kecombrang terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus Sprague dawley yang
diinduksi aloksan dan efektif sebagai inhibitor -glukosidase secara in vivo.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Secara Teoritis
Menambah data ilmiah tentang daun kecombrang sebagai tumbuhan obat
yang berkhasiat untuk menurunkan kadar glukosa darah.
1.5.2 Secara Metodologi
Metode induksi aloksan dan metode uji toleransi sukrosa yang digunakan
pada penelitian ini dapat diterapkan juga pada tumbuhan lainnya sebagai metode
pengujian aktivitas antihiperglikemia.
1.5.3 Secara Aplikatif
Daun kecombrang dapat dijadikan sebagai tumbuhan obat yang dapat
menurunkan kadar glukosa darah oleh masyarakat.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kecombrang (Etlingera elatior)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Klasifikasi tanaman kecombrang adalah sebagai berikut (United States
Department of Agriculture, 2016) :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae Gambar 2.1 Kecombrang
Genus : Etlingera Giseke ( sumber : Chan et al., 2011 )
Spesies : Etlingera elatior (Jack) R.M Sm.
2.1.2 Morfologi
Tanaman kecombrang merupakan jenis tanaman tahunan yang berbentuk
semak dan berumpun dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang semu,
tegak, berpelepah, membentuk rimpang, dan berwarna hijau. Daunnya tunggal,
lanset, ujung dan pangkal runcing dengan tepi rata, panjang daun sekitar 20-30
cm dan lebar 5-15 cm, pertulangan dan menyirip dan berwarna hijau. Bunga
kecombrang merupakan bunga majemuk yang berbentuk bongkol dengan panjang
tangkai 40-80 cm. Panjang benang sari 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya
kecil dan putih. Mahkota bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah
jambu. Buah kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih
atau merah jambu. Bijinya kecil dan berwarna coklat. Akarnya berbentuk serabut
dan berwarna kuning gelap (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2000).
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3 Sinonim
Kecombrang memiliki beberapa nama latin, seperti Alpinia elatior,
Elettaria speciosa, Nicolaia elatior, Nicolaia speciosa dan Phaeomeria speciosa
(Chan EWC, 2009). Nama-nama daerah lain tanaman ini yaitu Kala (Gayo),
Puwar Kijung (Minangkabau), Kecombrang (Jawa Tengah), Honje (Sunda),
Atimengo (Gorontalo), Katimbang (Makasar), Salahawa (Seram), Petikala
(Ternate dan Tidore) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2000).
Selain itu, kecombrang juga memiliki nama asing diantaranya Kantan (Malaysia)
dan Kaalaa (Thailand) (Subramanion Jo Thy Lachumy et al., 2010).
2.1.4 Kandungan Kimia
Penapisan fitokimia dari ekstrak metanol daun kecombrang diketahui
mengandung flavonoid, fenolik, alkaloid dan saponin (Handayani, 2014). Pada
penelitian sebelumnya, diketahui senyawa fenolik pada daun kecombrang
diantaranya asam kafeoilquinat yang meliputi asam 3-O-kafeoilquinat, asam 5-O-
kafeoilquinat (asam klorogenat) dan asam metil ester 5-O-kafeoilquinat serta
flavonoid diantaranya isoquersitrin, quersitrin, dan (+)-katekin. Dari keenam
senyawa yang telah teridentifikasi tersebut, diketahui bahwa asam klorogenat
menjadi senyawa yang paling dominan dalam daun kecombrang dengan jumlah
294 ± 53 mg/100 g, diikuti oleh quersetin yakni isoquersetin dan quersitrin
dengan jumlah masing-masing 117 ± 32 mg/100 g dan 79 ± 19 mg/100 g (Chan
EWC, 2009). Kandungan total fenol pada daunnya diketahui tertinggi diantara
bagian tumbuhan lainnya yakni sebesar 3.550 mg GAE/100 g (Chan et al., 2007).
Pada ekstrak metanol 80% bunga kecombrang diketahui mengandung flavonoid,
terpenoid, saponin, tanin dan karbohidrat (Subramanion Jo Thy Lachumy et al.,
2010). Pada rhizomenya ditemukan tanin, senyawa fenolik, flavonoid dan
terpenoid (Puttarak et al., 2014). Sedangkan pada batangnya ditemukan alkaloid,
katekin, senyawa fenolat, flavonoid dan saponin (Susilowati, 2011).
Selain itu, kecombrang juga memiliki kandungan minyak atsiri pada daun,
batang, bunga, rhizome dengan presentasi masing-masing 0.0735%, 0.0029%,
0.0334% dan 0.0021%. Komponen minyak atsirinya yang paling dominan
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diantaranya (E)- farnesen, -pinen, 1,1-dodekanadiol diasetat, sikloodekan dan
(E)-dekan (Faridahanim Mohd Jaafar et al., 2007).
2.1.5 Kegunaan Secara Tradisional
Secara tradisional, bunga kecombrang berkhasiat sebagai obat penghilang
bau badan, memperbanyak air susu ibu dan pembersih darah (Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, 2000). Dekoksi pada buahnya digunakan untuk
mengobati sakit telinga sedangkan dekoksi daunnya digunakan untuk
menyembuhkan luka (Chan et al., 2011). Daun kecombrang bersama dengan
herbal aromatik lainnya digunakan sebagai deodorant alami (Chan et al., 2007).
2.1.6 Review Literatur
Pada penelitian sebelumnya, ekstrak etanol E. elatior beserta lima
fraksinya diantaranya fraksi heksana, kloroform, etil asetat, butanol dan air
diketahui memiliki kemampuan inhibisi terhadap enzim -glukosidase secara in
vitro dengan presentase inhibisi berkisar 28,36 hingga 99,79% pada konsentrasi
25 g/mL (P. Puttarak et al., 2014). Berdasarkan uji aktivitas antioksidan dengan
metode ABTS menunjukkan ekstrak etanol daun kecombrang memiliki daya
antioksidan yang lebih kuat dibandingkan bagian bunganya dengan nilai IC50
sebesar 42,5899 bpj (Verawati et al., 2014). Pada penelitian uji aktivitas
antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan ekstrak metanol daun
kecombrang memiliki aktivitas antioksidan yang kuat diantara famili
Zingiberaceae dan paling tertinggi dibandingkan bagian tanaman kecombrang
lainnya seperti bunga dan rhizomenya, dengan nilai AEAC (Ascorbic acid
equivalent antioxidant capacity) 3.750 mg AA/100 g (Chan et al., 2007).
Pada penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa daun kecombrang
memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri gram positif, efektif
sebagai inhibitor tirosinase, dan memiliki efek sitoktoksik pada sel HeLa (Chan et
al., 2007; Chan et al., 2008; Chan et al., 2011). Bunganya pun memiliki
kemampuan sebagai antibakteri dengan spektrum luas yang efektif terhadap
bakteri gram positif maupun gram negatif (Chan et al., 2011; Lachumy et al.,
2010). Disamping itu, bunganya juga memiliki aktivitas sebagai antifungi,
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antioksidan dan juga sebagai agen hepatoprotektif (Chan et al., 2011;
Subramanion Jo Thy Lachumy et al., 2010; Maimulyanti et al., 2015). Pada
rhizomenya efektif sebagai antiinflamasi dan antioksidan (Puttarak., 2014 dan
Habsah et al., 2004). Sedangkan pada batangnya diketahui memiliki aktivitas
sebagai analgetik dan antiinflamasi (Susilowati et al., 2011).
2.2 Tinjauan Hewan Coba
Tikus putih (Rattus norvegicus) banyak digunakan sebagai hewan
percobaan pada berbagai penelitian. Berikut ini merupakan taksonominya (Sharp
et al., 1998):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Orde : Rodentia
Suborde : Myomorpha
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : norvegicus
Menurut Malole dan Pramono, terdapat tiga galur tikus putih yang
memiliki kekhususan untuk digunakan sebagai hewan percobaan antara lain
Wistar, long evans, dan Sprague dawley (Widiartini et al., 2013). Pada
eksperimen ini akan digunakan tikus jantan putih galur Sprague Dawley.
Pertumbuhan dan perkembangbiakan tikus galur Sprague Dawley lebih cepat
dibandingkan galur Wistar. Selain itu, secara morfologi tikus galur Sprague
dawley memiliki kepala yang kecil dan ekor yang ukurannya sama dengan
panjang tubuhnya (Chusadama et al., 2015). Tikus Sprague dawley dipilih karena
memiliki sifat yang tenang dan mudah dikendalikan dibandingkan jenis tikus
lainnya (Fauzi Mohd, 2009).
Pola diet tikus adalah nutrisi lengkap dan tidak memerlukan suplemen.
Asupan makanan sebaiknya diberikan sekitar 10% dari berat badannya dan asupan
air sekitar 10-20 mL/100 g BB/hari (Widiartini et al., 2013 dan SAGE Labs,
2015).
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3 Simplisia
2.3.1 Pengertian Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang dimanfaatkan sebagai obat dan belum
mengalami proses atau pengolahan apapun kecuali pengeringan (Depkes RI,
2000).
2.3.2 Tahapan Pembuatan Simplisia (Depkes RI, 1985)
a. Pengumpulan bahan baku
Pengumpulan daun dilakukan dengan cara memilih daun yang tua atau
muda kemudian dipetik dengan tangan satu persatu.
b. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan
asing lainnya dari bahan simplisia.
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya
yang melekat pada bahan simplisia dengan menggunakan air yang bersih.
d. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.
Tujuannya adalah untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan
penggilingan. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau atau dengan alat perajang
khusus sehingga diperoleh irisan dengan ukuran yang dikehendaki. Semakin tipis
irisan maka semakin cepat penguapan air sehingga mempercepat waktu
pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan
berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap sehingga
mempengaruhi komposisi, bau dan rasa.
e. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Dengan adanya
pengeringan dapat mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik
sehingga penurunan mutu atau kerusakan pada simplisia dapat dicegah. Adanya
kadar air yang masih tersisa pada simplisia dapat menjadi media pertumbuhan
bagi kapang dan jasad renik lainnya. Selain itu, dengan adanya enzim tertentu
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
didalam sel mampu menguraikan senyawa aktif meskipun sesaat setelah sel
tersebut mati ataupun selagi bahan simplisia tersebut masih mengandung air
dengan kadar tertentu. Pada dasarnya dikenal dua cara pengeringan yaitu
pengeringan alami (dengan sinar matahari langsung atau dengan diangin-
anginkan) dan pengeringan buatan (menggunakan instrumen).
f. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian
tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih tertinggal
pada simplisia kering.
g. Penyimpanan
Ada kalanya simplisia dapat mengalami perubahan warna ketika disimpan.
Hal tersebut bisa menjadi indikator telah terjadi perubahan kimia pada senyawa
aktifnya yang bisa disebabkan karena pengaruh cahaya matahari yang mampu
meningkatkan suhu sehingga mempercepat reaksi-reaksi kimia yang dapat
mengubah susunan kimia senyawa aktif simplisia. Adanya oksigen udara juga
turut berperan dalam reaksi oksidasi pada simplisia yang mengandung enzim
oksidase.
Oleh karena itu, wadah penyimpanan simplisia harus tidak beracun dan
tidak bereaksi (inert) dengan isinya sehingga tidak menyebabkan terjadinya reaksi
serta penyimpangan warna, bau, rasa dan sebagainya pada simplisia. Selain itu,
wadah juga harus mampu melindungi simplisia dari cemaran mikroba, kotoran
dan serangga serta mempertahankan senyawa aktif yang mudah menguap atau
mencegah pengaruh sinar, masuknya uap air dan gas-gas lainnya yang dapat
menurunkan mutu simplisia. Penyimpanan simplisia kering biasanya dilakukan
pada suhu kamar (15o sampai 30
o C), tempat sejuk (5
o sampai 15
o C) atau tempat
dingin (0o sampai 5
o C), tergantung dari sifat dan ketahanan simplisia tersebut.
Kelembaban diruang penyimpanan diusahakan serendah mungkin untuk
mencegah terjadinya penyerapan uap air.
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4 Teknologi Ekstrak
2.4.1 Pengertian Ekstraksi dan Ekstrak
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia dari simplisia nabati
ataupun hewani dengan menggunakan pelarut cair (Depkes RI, 2000).
Ekstrak merupakan massa kental yang diperoleh dari kegiatan ekstraksi,
kemudian semua atau sebagian pelarutnya diuapkan sehingga tersisa massa atau
serbuk yang kemudian diperlakukan sehingga memenuhi kriteria baku yang telah
ditetapkan (Depkes RI, 2000).
2.4.2 Tahap Pembuatan Ekstrak (Depkes RI, 2000)
a. Pembuatan serbuk simplisia
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia kering (penyerbukan). Simplisia diserbukkan hingga mencapai
derajat kehalusan tertentu. Semakin halus serbuk simplisia maka proses
ekstraksi makin efekif dan efisien. Akan tetapi hal tersebut dapat
menyulitkan pada saat tahap filtrasi.
b. Pemilihan pelarut yang sesuai
Ada beberapa faktor utama yang menjadi pertimbangan dalam
pemilihan pelarut diantaranya selektivitas, kemudahan bekerja dengan
pelarut tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan aman.
Dalah memilih pelarut, sebaiknya memilih pelarut yang mampu
melarutkan hampir seluruh metabolit sekunder yang terkandung. Namun
demikian, penggunaan pelarut dibatasi oleh kebijakan dan peraturan
pemerintah. Sampai saat ini sesuai dengan aturan yang berlaku pelarut
yang diperbolehkan adalah air dan alkohol (etanol) serta campurannya.
Jenis pelarut lain seperti metanol, heksana, toluen, kloroform, dan aseton,
umumnya digunakan untuk tahap separasi dan tahap pemurnian
(fraksinasi). Khusus untuk metanol, sebaiknya penggunaannya dihindari
karena sifatnya yang toksik.
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Pemisahan dan pemurnian
Tujuannya adalah untuk memisahkan semaksimal mungkin
senyawa yang tidak dikehendaki dengan senyawa target, sehingga
diperoleh ekstrak yang lebih murni.
d. Pemekatan / penguapan
Tujuannya adalah untuk mendapatkan ekstrak kental atau pekat
yang tidak sampai kering dengan cara menguapkan pelarut.
e. Pengeringan
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga
menghasilkan ekstrak berupa serbuk.
f. Menghitung Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh
dengan simplisia awal.
2.4.3 Metode Ekstraksi (Depkes RI, 2000)
2.4.3.1 Ekstraksi dengan menggunakan pelarut
1. Ekstraksi Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi dengan cara merendam simplisia pada
suhu ruang dan menggunakan pelarut yang sesuai disertai dengan pengadukan
atau pengocokan beberapa kali. Setelah diperoleh maserat pertama, dapat
dilakukan maserasi kembali dengan menambahkan pelarut, kegiatan ini lebih
dikenal dengan remaserasi.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna
(Exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada suhu ruang. Prinsip
perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan pada suatu bejana silinder, yang
pada bagian bawahnya terdapat sekat berpori kemudian pelarut cair dialirkan pada
serbuk hingga mengalami kejenuhan dan selanjutnya digantikan dengan pelarut
baru (Depkes RI, 2000).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ekstraksi Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi berdasarkan temperatur titik didih pelarut yang
digunakan, selama waktu tertentu dengan jumlah pelarut yang terbatas dan relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Untuk mendapatkan ekstraksi yang
sempurna, umumnya dilakukan proses pengulangan pada residu pertama hingga
3-5 kali (Depkes RI, 2000).
b. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan alat khusus dimana sampel dengan
pelarut berada terpisah. Panas akan digunakan untuk menguapkan pelarut dan
uapnya akan naik ke atas menuju tempat sampel. Dengan adanya pendingin balik,
maka uap tersebut akan menjadi cair dan melarutkan sampel, kemudian akan
kembali ke tempat pelarut awal. Proses ini akan berulang (ekstraksi kontinu)
sehingga terjadi ekstraksi yang sempurna (Depkes RI, 2000).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yakni umumnya
dilakukan pada temperatur 40-50o C (Depkes RI, 2000).
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur yakni 96 o
-98o C) selama waktu tertentu yakni 15-20 menit (Depkes RI, 2000).
e. Dekok
Dekok adalah infus dengan waktu yang lebih lama (30 menit) dan
temperatur hingga mencapai titik didih air (Depkes RI, 2000).
2.3.3.2 Destilasi Uap
Destilasi uap adalah ekstraksi kandungan senyawa yang mudah menguap
seperti minyak atsiri dari bahan segar atau simplisia menggunakan uap air.
Metode ini berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap
dengan fase uap air dari ketel secara kontinu sampai sempurna dan diakhiri
dengan kondensasi fase uap campuran (uap air dari ketel dan uap senyawa
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kandungan) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah
sempurna atau memisah sebagian (Depkes RI, 2000).
2.5 Diabetes Mellitus
2.5.1 Definisi
Diabetes Mellitus merupakan gangguan metabolisme pada karbohidrat,
lemak dan protein yang terjadi akibat adanya insufisiensi pada produksi hormon
insulin atau insensitifitas reseptor sel terhadap hormon insulin ataupun karena
keduanya sehingga menghasilkan suatu manifestasi klinis yang khas berupa
peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) (Dipiro, 2008).
2.5.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Secara umum, diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi:
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keselurahan
populasi. Pada DM tipe 1 terjadi gangguan produksi insulin sebagai
akibat adanya serangan autoimun yang secara selektif menghancurkan
sel-sel pankreas sehingga secara langsung mengakibatkan defisiensi
sekresi insulin. Selain itu, pada DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon
yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal,
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada
penderita DM tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi
walaupun pada kondisi hiperglikemia. Hal inilah yang dapat
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari
keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami
ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin (Depkes RI,
2005).
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes tipe ini merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Penderita DM
tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
umumnya berusia diatas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini populasi
penderita DM tipe 2 dikalangan remaja dan anak-anak diketahui
meningkat. Penyebab DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum
sepenuhnya terungkap secara jelas (Depkes RI, 2005).
Berbeda dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2 tidak terjadi
defisiensi sekresi insulin yang bersifat absolut akan tetapi terjadi
kekurangan insulin yang tidak seberat DM tipe 1 yang disertai dengan
kegagalan pada sel dalam merespon insulin atau yang dikenal sebagai
“Resistesi Insulin”. Dengan demikian, dalam penanganannya tidak
memerlukan terapi pemberian insulin (Depkes RI, 2005).
3. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM = Gestasional Diabetes
Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul
selama masa kehamilan dan biasanya berlangsung hanya sementara
(Depkes RI, 2005). Menurut Association College of Clinical
Pharmacy, GDM pada wanita hamil umumnya terjadi pada trimester
ketiga (ACCP, 2013). GDM dapat pulih beberapa saat setelah
melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang
dikandung seperti timbulnya malformasi kongenital, peningkatan berat
badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal.
Selain iu, wanita yang memiliki riwayat GDM, memiliki risiko yang
tinggi untuk menderita diabetes kembali di masa depan. Namun,
dengan adanya kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi
risiko-risiko tesebut (Depkes RI, 2005).
4. Pra-diabetes
Pra-diabetes merupakan suatu kondisi dimana kadar gula darah
seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes. Kondisi pra-
diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan
stroke. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mencegah atau menunda timbulnya diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-
diabetes, yaitu:
a. Impaired Fasting Glucose (IFG) yaitu keadaan dimana kadar
glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl
sedangkan normalnya <100 mg/dl)
b. Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah
seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal
tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi
diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah
sesorang 2 jam setelah mengonsumsi 75 gram glukosa per oral
berada di antara 140-199 mg/dL (Depkes RI, 2005).
2.5.3 Gejala Klinik
Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain
poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia
(banyak makan dan mudah lapar). Selain itu, sering pula muncul keluhan
penglihatan kabur, koordinasi gerak tubuh terganggu, kesemutan pada
tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali mengganggu (pruritis),
dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas (Depkes RI, 2005).
Pada DM tipe 1 ditemukan gejala tipikal namun berbeda dengan
DM tipe 2, gejala tipikal umumnya hampir tidak ada. DM tipe 2 seringkali
muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun
kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi
(Depkes RI, 2005).
2.5.4 Diagnosis
Jika terdapat keluhan khas DM seperti poliuria, polifagia,
polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya serta berdasarkan hasil pemeriksaan kadar gula darah
sewaktu 200 mg/ dL dan kadar gula darah puasa 126 mg/dL maka hal
tersebut sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM (Depkes RI,
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2005). Cara lain untuk mendiagnosis DM ialah dengan uji toleransi
glukosa oral dimana dikatakan DM jika kadar glukosa darah 2 jam setelah
pemberian 75 g glukosa secara oral mencapai 200 mg/dL. Cara ini
dinilai lebih sensitif dan spesifik dibandingkan pemeriksaan kadar gula
darah puasa, hanya saja kekurangannya ialah tidak praktis untuk
diaplikasikan (ACCP, 2013). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 jam
setelah makan
Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL
Pra-diabetes 100-125 mg/dL -
Diabetes ≥126 mg/dL ≥200 mg/dL
( sumber: Depkes RI, 2005 )
Jika tidak terdapat keluhan yang khas, maka pemeriksaan kadar
gula darah perlu diulangi, minimal satu kali lagi yang dilakukan dihari lain
untuk menguatkan diagonsis DM (Depkes RI, 2005).
2.5.5 Terapi Diabetes Mellitus
2.5.5.1 Terapi Tanpa Obat
a. Pengaturan Diet
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan kecukupan gizi baik yang
terdiri dari karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak 20-25%. Selain itu,
dengan melakukan penurunan berat badan telah terbukti mampu mengurangi
resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel terhadap stimulus glukosa.
Selain jumlah kalori, asupan kolesterol tetap dibutuhkan, namun tidak lebih dari
300 mg per hari. Asupan serat diusahakan setidaknya 25 g per hari untuk
menghambat penyerapan lemak dan membantu mengatasi rasa lapar yang kerap
dirasakan oleh penderita DM (Depkes RI, 2005).
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Selain itu, olahraga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa. Olahraga yang dianjurkan pada prinsipnya bukan
merupakan olahraga yang berat akan tetapi berupa olahraga ringan namun
dilakukan secara teratur misalnya lari pagi, berenang, bersepeda dan lain
sebagainya (Depkes RI, 2005).
2.5.5.2 Terapi dengan Obat
a. Terapi Insulin
Insulin merupakan terapi utama untuk penderita DM tipe 1. Pada DM tipe
1, sel-sel Langerhans kelenjar pankreas mengalami kerusakan akibat serangan
autoimun sehingga menyebabkan gangguan pada produksi insulin, sebagai
gantinya maka penderita DM tipe 1 membutuhkan insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat tetap berjalan dengan normal (Depkes
RI, 2005).
b. Terapi Obat Hipoglikemia Oral
Obat-obat hipoglikemia oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM tipe II. Obat hipoglikemia oral dapat diberikan secara
tunggal maupun kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen obat hipoglikemia
oral harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta
kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit penyerta dan
komplikasi yang ada sehingga pemilihan obat hipoglikemik oral menjadi tepat dan
tentunya akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pengobatan (Depkes RI, 2005).
Berikut merupakan obat hipoglikemia oral diantaranya:
1. Golongan Sulfonilurea
Obat hipoglikemia oral ini bekerja dengan merangsang sekresi insulin
di kelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel
langerhans pankreas masih dapat berproduksi (Depkes RI, 2005).
Sulfonilurea terdiri dari dua generasi. Generasi pertama diantaranya
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tolbutamida, asetoheksamida, tolazamida, dan klopropamida. Akan tetapi
penggunaannya kini telah digantikan oleh generasi kedua yang dinilai 100
kali lebih kuat dibandingkan generasi sebelumnya. Sulfonilurea generasi
kedua meliputi glibenklamida, glipizid, dan glimepirid (Ghilman, 2012).
Namun semua golongan sulfonilurea ini umumnya dapat menyebabkan
hipoglikemia dan meningkatkan berat badan (ACCP, 2013).
2. Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin
Obat golongan ini memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan
golongan sulfonilurea yakni dengan cara meningkatkan sintesis dan
sekresi insulin dari kelenjar pankreas. Umumnya obat golongan ini
digunakan dalam bentuk kombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya.
Obat yang termasuk dalam golongan meglitinida dan turunan fenilalanin
ialah Repaglinida dan Nateglinida (Depkes, 2005)
3. Biguanida
Obat hipoglikemia oral golongan biguanida bekerja langsung pada
hati (hepar) dengan cara menurunkan produksi glukosa di hati
(glukoneogenesis). Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak
merangsang sekresi insulin sehingga tidak menimbulkan hipoglikemia.
Satu-satunya senyawa biguanida yang masih digunakan hingga saat ini
adalah metformin karena frekuensi terjadinya asidosis laktat rendah
asalkan tidak melebihi 1700 mg/hari (Depkes RI, 2005). Efek samping
yang umum dirasakan saat mengonsumsi metformin adalah gangguan pada
gastroinsetinal sehingga pemberiaannya harus bersamaan dengan makanan
(ACCP, 2013).
4. Golongan Tiazolidindion (TZD)
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja dengan cara
meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan berikatan pada
PPAR (Peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot,
jaringan lemak dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Selain itu,
TZD juga menurunkan kecepatan glikoneogenesis (Depkes RI, 2005).
Obat yang termasuk golongan tiazolidindion diantaranya rosiglitazon dan
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pioglitazon. Namun pada tahun 2010, FDA U.S. membatasi penggunaan
rosiglitazon terkait dengan keamanannya terhadap kardiovaskular dimana
menyebabkan peningkatan kejadian infark miokardia dan kematian terkait
dengan kardiovaskular (ACCP, 2013).
5. Golongan inhibitor -Glukosidase
Senyawa-senyawa inhibitor -glukosidase seperti akarbosa dan
miglitol bekerja dengan cara menghambat enzim -glukosidase yang
terdapat pada dinding usus halus sehingga dapat mengurangi pencernaan
dan absorbsi dari karbohidrat kompleks yang tentunya dapat mengurangi
kadar glukosa postprandial pada penderita diabetes mellitus (Depkes RI,
2005). Obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin, sehingga tidak
menyebabkan hipoglikemia (Ghilman, 2012). Namun, obat ini hanya
dapat mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan saja dan
tidak mempengaruhi setelahnya (Depkes RI, 2005). Selain itu, inhibitor -
glukosidase juga dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal sehingga
perlu diberikan bersama dengan makanan (Ghilman, 2012).
2.6 Aloksan
Gambar 2.2 Struktur Kimia Aloksan
( sumber: Lenzen, 2008 )
Aloksan bersifat hidrofilik dan tidak stabil dengan waktu paruh yang
sangat singkat yakni sekitar 1,5 menit pada pH netral dan suhu 37o
C dan dapat
lebih lama lagi jika dengan temperatur yang lebih rendah (Szkudelski, 2001).
Aloksan sebaiknya disimpan pada suhu penyimpanan 2-8o C (Sigma aldrich,
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2016). Karena sifatnya yang hidrofilik maka aloksan tidak dapat melewati
membran sel secara bebas kecuali dengan adanya transporter spesifik. Bentuk
molekul aloksan yang menyerupai glukosa menyebabkan transporter spesifik
glukosa yakni GLUT2 yang terdapat pada membran sel dapat menerima
senyawa glukomimetik ini dan mentranspornya ke dalam sitosol. Oleh karena hal
tersebut, maka aloksan bersifat tidak toksik terhadap sel yang tidak
mengekspresikan transporter ini (Lenzen, 2008).
Aloksan dapat merusak sel-sel pankreas melalui beberapa proses
diantaranya oksidasi pada gugus –SH essensial, penghambatan kerja enzim
glukokinase, pembentukan radikal bebas dan menyebabkan gangguan pada
homeostasis ion kalsium pada intraseluler (Szkudelski, 2001). Oleh sebab itu,
aloksan sering digunakan untuk menginduksi penyakit diabetes mellitus pada
hewan uji coba. Sebagai agen diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara
intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan biasanya
65 mg/kg BB, sedangkan dosis untuk intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3
kalinya (Szkudelski, 2001). Berdasarkan penelitian terdahulu, rute intraperitoneal
merupakan rute yang paling banyak digunakan pada hewan coba tikus dengan
kisaran dosis 150 mg/kg BB-200 mg/kg BB, akan tetapi nilai ini tidak mutlak.
Dosis aloksan dibawah 150 mg/kg BB dinilai tidak cukup untuk menginduksi
diabetes sedangkan dosis diatas 200 mg/kg BB berhasil menginduksi diabetes
namun menimbulkan mortalitas sebesar 10%. Hewan uji harus dipuasakan
sebelum diinjeksi aloksan karena hewan yang puasa akan lebih rentan mengalami
hiperglikemia. Hal ini mengingat dengan adanya glukosa dapat berkompetisi
dengan aloksan untuk berikatan pada transporter GLUT2 sehingga membatasi
penyerapan aloksan ke dalam sel pankreas (Etuk, 2010; Szkudelski, 2001;
Radenkovic et al., 2015).
Setelah pemberian aloksan, akan terjadi empat fase fluktuasi kadar glukosa
darah. Fase pertama, yakni 30 menit setelah injeksi aloksan akan terjadi
peningkatan sekresi insulin dalam waktu singkat sehingga menyebabkan
hipoglikemia secara singkat pula. Fase kedua akan terjadi peningkatan kadar
glukosa darah disertai dengan penurunan kadar insulin plasma yang terjadi sekitar
satu jam setelah pemberian aloksan dan bertahan selama kurang lebih 2-4 jam.
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fase ketiga, terjadi fase hipoglikemia kembali yang terjadi 4-8 jam setelah
pemberian aloksan dan akan bertahan selama beberapa jam. Keadaan
hipoglikemia ini terkadang sangat parah hingga menyebabkan kejang dan bahkan
fatal tanpa pemberian glukosa. Terakhir, pada fase keempat ini akan dicapai
kondisi hiperglikemia yang menetap yakni pada 24-48 jam setelah injeksi aloksan
(Lenzen, 2008). Guna mencegah terjadinya hipoglikemia parah setelah injeksi
aloksan maka hewan uji dapat diberikan larutan dekstrosa 5% dalam botol
minumnya selama 24 jam penuh (Radenkovic et al., 2015).
Selanjutnya, kadar glukosa darah diperiksa untuk mengkonfirmasi apakah
aloksan sudah cukup untuk dapat menginduksi hiperglikemia. Umumnya,
pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan sekitar 48-72 jam setelah injeksi
aloksan karena pada kisaran waktu tersebut kondisi hiperglikemia yang menetap
telah tercapai bahkan kadar glukosa darah akan maksimal setelah 72 jam pasca
injeksi aloksan. Kadar glukosa darah pada tikus yang melebihi 140 mg/dL dapat
menegakkan diagnosis diabetes yang diinduksi oleh aloksan, mengingat kadar
normal glukosa darah pada tikus berkisar antara 50-135 mg/dL (Radenkovic et al.,
2015).
2.7 Glibenklamid
Gambar 2.3 Struktur kimia Glibenklamid
( sumber: Sweetman, Sean C., 2009)
Glibenklamid termasuk obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea
generasi kedua yang diberikan secara oral untuk pengobatan diabetes melitus tipe
2 (Sweetman, Sean C., 2009). Glibenklamid diketahui 200 kali lebih poten
dibandingkan sulfonilurea generasi pertama yakni tolbutamid (Kar, Autosh,
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007). Dosis awalnya adalah 2,5 – 5 mg perhari, disesuaikan setiap 7 hari secara
bertahap hingga dosis mencapai 15 mg perhari (Suherman, 2007).
Untuk mencapai kadar optimal didalam plasma, glibenklamid akan lebih
efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Obat ini cepat diserap dalam
saluran pencernaan. Meskipun waktu paruhnya pendek yakni 4 jam, namun efek
hipoglikemianya berlangsung selama 12-24 jam sehingga cukup diberikan satu
kali sehari. Sekitar 50% dari dosis diekskresikan melalui urin dan 50% lainnya
melalui empedu (Suherman, 2007). Efek samping yang umumnya terjadi adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan (ACCP, 2013).
Glibenklamid memiliki warna putih atau hampir putih dan berbentuk
serbuk kristal. Glibenklamid praktis tidak larut didalam air, agak sedikit larut
dalam alkohol dan metil alkohol serta susah larut dalam diklorometan.
Penyimpanannya sebaiknya didalam wadah yang kedap udara (Sweetman, Sean
C., 2009).
2.8 Akarbosa
Gambar 2.4 Struktur kimia Akarbosa
( sumber: Sweetman, Sean C., 2009)
Akarbosa merupakan obat golongan inhibitor -glukosidase. Inhibitor -
glukosidase secara kompetitif menghambat enzim -glukosidase (maltase,
isomaltase, sukrase dan glukoamilase) yang ada diusus halus sehingga
menghambat pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks (Dipiro et al., 2008).
Menurut Taylor (1990), akarbosa memiliki afinitas yang lebih besar terhadap
sukrase dibandingkan glukoamilase dan alfa amilase yang ada dipankreas
(Mohamed et al., 2013). Akarbosa secara efektif mengurangi pencernaan
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan
kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Akarbosa
dapat menurunkan kadar glukosa darah setelah makan (postprandial) sebesar 40
hingga 50 mg/dL, akan tetapi kadar glukosa darah puasa relatif tidak berubah
dengan pemberian obat ini (Dipiro et al., 2008).
Awalnya, akarbosa diberikan dengan dosis awal yang sangat rendah yakni
25 mg, kemudian ditingkatkan secara bertahap (selama lebih dari beberapa bulan)
hingga mencapai dosis maksimum yakni 50 mg 3 kali sehari untuk pasien dengan
berat badan 60 kg atau 100 mg 3 kali sehari untuk pasien dengan berat badan >
60 kg (Dipiro et al., 2008). Akarbosa sebaiknya diberikan segera sebelum makan
(Sweetman, Sean C., 2009).
Secara farmakokinetik, mayoritas bentuk aktifnya tidak berubah berada
didalam lumen gastroinstestinal dan memperlihatkan aktivitas farmakologinya
sebagai inhibitor -glukosidase. Obat ini dimetabolisme oleh enzim pencernaan
yang ada di usus dan flora usus, selanjutnya metabolitnya akan dieksresi melalui
urin dan feses (Sweetman, Sean C., 2009).
Secara organoleptis, akarbosa merupakan serbuk higroskopis, amorf dan
berwarna putih atau kekuningan. Akarbosa bersifat sangat mudah larut dalam air
(Sweetman, Sean C., 2009).
2.9 Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
2.9.1 Metode Reduksi
Metode reduksi adalah metode tertua yang memanfaatkan sifat reduktor
dari glukosa. Metode ini dinilai kurang spesifik karena dapat menyebabkan bias
akibat keberadaan agen pereduksi kuat lainnya sehinga memberikan hasil
pengukuran kadar glukosa darah yang terlalu tinggi. Sekalipun hal ini dapat
diatasi dengan melakukan proses tertentu yang dapat meniadakan pengaruh agen
pereduksi lainnya. Namun, metode ini tetap tidak disarankan dan saat ini sudah
banyak ditinggalkan (McMillin, 1990).
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.9.2 Metode Kondensasi
Prinsip dari metode ini adalah reaksi kondensasi antara gugus aldehida
pada glukosa dengan senyawa aromatik sehingga menghasilkan produk berwarna.
Reaksi kondensasi yang paling umum digunakan adalah reaksi o-toluidin dengan
glukosa yang dapat membentuk glukosamin berwarna hijau intens yang dapat
dideteksi secara spetrofotometri untuk mengukur konsentrasi glukosa. Keberadaan
aldosa lain juga dapat bereaksi, namun hanya mannosa dan galaktosa yang
diketahui mampu menghasilkan produk berwarna dalam jumlah yang besar.
Sedangkan, kedua jenis gula ini tidak ditemukan pada darah dan reaksinya tidak
signifikan. O-toluidin bersifat korosif dan toksik sehingga metode ini mulai
ditinggalkan (McMillin, 1990).
2.9.3 Metode Enzimatik
Metode enzimatik merupakan metode pengukuran kadar glukosa darah
yang paling sering digunakan saat ini. Enzim yang paling sering digunakan adalah
enzim heksokinase.
Reaksi yang terjadi pada metode yang menggunakan enzim heksokinase
terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah glukosa akan bereaksi dengan
ATP menghasilkan glukosa-6-fosfat dan ADP yang dikatalisis oleh enzim
heksokinase. Tahap kedua adalah reaksi oksidasi glukosa-6-fosfat dan reduksi
NADP+
menjadi 6-fosfoglukonat dan NADPH yang dikatalisis oleh enzim
glukosa-6-fosfat dehidrogenase. Peningkatan NADPH diukur dengan
spektrofotometri pada panjang gelombang 340 nm (Dohnal, Kalousova, dan Zima,
2010).
Glukometer merupakan alat pengukur kadar glukosa darah secara
enzimatik. Pada strip glukometer sudah mengandung suatu oksidoreduktase
bersama-sama dengan koenzim atau kofaktor atau enzim penyerta yang sesuai dan
suatu mediator yang bergantung pada prinsip pengukuran yang dipilih (fotometri
atau elektrokimia). Mediator biasanya merupakan suatu senyawa kimia organik
atau anorganik kecil yang memiliki dua bentuk yakni bentuk teroksidasi dan
tereduksi, serta umumnya dapat bereaksi dengan cepat untuk mendonorkan atau
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menerima elektron. Mekanisme reaksi yang terjadi pada pengukuran kadar
glukosa darah dengan glukometer adalah sebagai berikut:
a. Oksidoreduktase akan mengkatalisis reaksi oksidasi glukosa menjadi
glukonolakton sehingga akan menghasilkan pelepasan elektron.
b. Elektron yang dilepaskan akan ditransfer ke mediator dan menyebabkan
terjadinya reduksi pada mediator.
c. Mediator akan teroksidasi kembali dan mengirimkan elektron ke elektroda
(pada pengukuran secara elektrokimia) atau ke indikator sehingga akan
menghasilkan warna tertentu (pada pengukuran secara fotometri) (Hones
et al., 2008).
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian I dan Animal House
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dimulai dari bulan Desember hingga Juli 2016.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas
(Pyrex), blender (Maspion), kapas, kertas saring (Whatman No. 4), alumunium
foil, timbangan analitik (KERN), alkoholmeter, vacuum rotary evaporator
(EYELA), lemari pendingin (Liebherr Medline), freezer (General Gensui), oven
(Memmert), tanur (Thermolyne), krus porselen, botol timbang, pipet, kertas
perkamen, cawan penguap, hot plate (Cimarec), lumpang-alu, vortex (Hettich Eba
20), timbangan hewan (AND GH-202 dan Wiggen Hauser), kandang tikus beserta
tempat makan dan minum, sonde oral, gunting bedah, jarum suntik (Terumo),
glukometer (GlucoDr), strip glukometer (GlucoDr), sarung tangan dan masker.
3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Tanaman Uji
Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman
kecombrang (Etlingera elatior) pada bagian daunnya yang masih berusia muda
ataupun yang sudah tua. Daun segar kecombrang diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatika (Balittro) pada tanggal 21 Desember 2015.
3.2.2.2 Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan
galur Sprague dawley yang berumur 2-3 bulan dengan berat 150-200 g yang
diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2.2.3 Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan adalah ekstrak etanol 70% daun kecombrang
(Etlingera elatior) dan sebagai pembanding (kontrol positif) yakni Glibenklamid
(Indofarma) dan Akarbosa (Bayer) .
3.2.2.4 Bahan Kimia
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah etanol 70%
(diperoleh dari pengenceran etanol 96% (Brataco) dengan aquades), Aloksan
monohidrat (Sigma Aldrich), glukosa, larutan saline normal steril (NaCl 0.9%),
Na CMC, aquades, eter, dan reagent untuk skrining fitokimia diantaranya FeCl3
10%, pereaksi Meyer (mengandung gabungan senyawa HgCl2 dan KI), pereaksi
Dragendroff (mengandung senyawa Bi(NO3)3 dan KI), pereaksi Lieberman
Burchard (mengandung asam asetat glasial dan asam sulfat pekat), serbuk Mg,
HCl 2N, dan amonia encer.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Determinasi Tanaman
Sampel daun kecombrang dibawa ke Pusat Penelitian Biologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kebun Raya Bogor pada tanggal 21 Desember
2015 untuk dideterminasi bahwa sampel adalah spesies Etlingera elatior dan
famili Zingiberaceae.
3.3.2 Pembuatan simplisia
Pembuatan simplisia diawali dengan pengumpulan daun segar kecombrang
sebanyak 6 kg, daun yang diambil adalah daun yang muda dan tua, yang diperoleh
dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika Bogor pada tanggal 21
Desember 2015 pukul 09.00 WIB, kemudian daun disortasi basah, lalu dilakukan
pencucian dengan menggunakan air mengalir. Selanjutnya, daun dikering-
anginkan hingga benar-benar kering kemudian disortasi kembali, lalu dihaluskan
hingga menjadi serbuk kemudian ditimbang dan disimpan didalam wadah yang
kering, tertutup rapat dan terlindungi dari cahaya matahari.
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.3 Ekstraksi
Sebanyak 900 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah botol
gelap, lalu diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%.
Selama maserasi, botol maserasi sesekali dikocok. Maserasi dilakukan berulang
kali hingga tidak ada lagi senyawa yang terekstrak yang ditandai dengan warna
maserat yang tampak jernih. Maserat yang diperoleh, difiltrasi dengan
menggunakan kapas dan kertas saring kemudian filtratnya dipekatkan dengan
menggunakan vacuum rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental.
Selanjutnya ekstrak kental yang diperoleh, dihitung untuk mendapatkan hasil
rendemennya.
Presentase rendemen =
x 100%
3.3.4 Penapisan Fitokimia
a. Identifikasi Flavonoid
Menurut Harborne (1987), identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara
ekstrak ditambahkan 2 mg serbuk magnesium dan 3 tetes asam klorida pekat.
Hasil positif adanya flavonoid jika terbentuk warna merah, kuning atau jingga
(Darmawi et al., 2015).
b. Identifikasi senyawa fenolik
Menurut Harborne (1987), identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara
ekstrak ditambahkan beberapa tetes FeCl3 10%. Jika terbentuk warna hijau, merah
atau ungu maka positif mengandung senyawa fenolik (Darmawi, et al., 2015).
c. Identifikasi Steroid/Terpenoid
Menurut Harborne (1987), identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara
ekstrak ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi Lieberman-Burchard (asam asetat
glasial dan asam sulfat pekat). Uji positif triterpenoid memberikan warna merah
atau ungu dan uji positif steroid memberikan warna hijau atau biru (Darmawi et
al., 2015).
d. Identifikasi alkaloid
Beberapa miligram ekstrak kental dilarutan dalam 10 mL campuran
aquades dan asam klorida 2 N (9:1), kemudian dipanaskan diatas penangas air
selama 2 menit. Selanjutnya didinginkan dan disaring. Filtrat yang didapat
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan sebagai larutan percobaan yang akan dilakukan sebagai berikut
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995):
1. Larutan percobaan diambil 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes
Mayer, hasil positif dengan terbentuknya endapan putih.
2. Larutan percobaan diambil 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes
Dragendorf, hasil positif dengan terbentuknya endapan jingga coklat.
e. Identifikasi Saponin (Uji busa)
Ekstrak ditambahkan dengan 2 mL aquades kemudian dikocok secara kuat.
Hasil positif saponin ditunjukkan dengan terbentuknya jika terbentuk busa yang
stabil selama 10 menit (Tiwari et al., 2011) .
f. Identifikasi Antrakuinon
Ekstrak ditambahkan dengan 10 ml asam sulfat kemudian dipanaskan lalu
disaring selagi panas. Filtrat ditambahkan kloroform lalu dikocok. Lapisan
kloroform dipipet dan dipindahkan ke tabung reaksi lain lalu ditambahkan
amonia encer. Hasil positif mengandung antrakuinon jika terjadi perubahan
warna pada larutan (Ayoola et al., 2008).
3.3.5 Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak
3.3.5.1 Parameter Spesifik
Uji parameter spesifik meliputi identitas dan organoleptis. Pada identitas
meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian
tumbuhan yang digunakan, dan nama tumbuhan Indonesia). Pada organoleptis
meliputi deskripsi bentuk (padat, serbuk-kering, kental, cair dll), warna (kuning,
coklat, dll), dan bau (aromatik, tidak berbau, dll) menggunakan panca indera
(Depkes RI, 2000).
3.3.5.2 Parameter Non Spesifik
a. Penetapan kadar air (Metode Gravimetri)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara sebanyak kurang lebih 3 gram
ekstrak dimasukkan dan ditimbang dalam krus porselen yang telah ditara.
Selanjutnya, ekstrak dikeringkan pada suhu 105o C selama 5 jam dan ditimbang.
Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara
dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000).
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
% Kadar air =
b. Penetapan kadar abu total
Kurang lebih 2-3 gram ekstrak ditimbang seksama kemudian dimasukkan
kedalam krus porselen yang telah dipijarkan dan ditara. Selanjutnya, dipijarkan
perlahan-lahan di dalam tanur dengan suhu 600o C hingga arang habis atau
menjadi abu, lalu didinginkan dan ditimbang (Depkes RI, 2000). Berdasarkan
buku monografi ekstrak tumbuhan (2004), kadar abu total tidak lebih dari 16,6%.
% Kadar abu total =
3.3.6 Penetapan dosis dan penyiapan bahan
1. Aloksan monohidrat
Aloksan monohidrat diberikan dalam dosis tunggal intraperitoneal 150
mg/kg BB. Adapun dosis untuk tikus adalah 30 mg/200 g BB tikus. Aloksan
monohidrat dibuat dalam bentuk larutan dengan cara melarutkan aloksan
monohidrat dalam larutan salin normal steril (larutan NaCl 0,9%). Pada prosedur
pembuatannya, mula-mula aloksan monohidrat ditimbang kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi yang bagian luarnya telah dilapisi dengan alumunium foil.
Selanjutnya, ditambahkan dengan larutan salin normal steril (larutan NaCl 0,9%)
lalu divortex hingga larut.
2. Larutan sukrosa
Dosis sukrosa yang diberikan untuk menginduksi hiperglikemia
postprandial adalah 4 g/kg BB (Mohamed et al., 2015).
3. Ekstrak etanol 70% daun kecombrang
Dosis ekstrak etanol 70% daun kecombrang disiapkan dalam 3 besaran
dosis kelipatan 10 yakni 1 mg/kg BB sebagai dosis terkecil, 10 mg/kg BB sebagai
dosis menengah, dan 100 mg/kg BB sebagai dosis terbesar. Masing-masing dosis
ekstrak etanol 70% daun kecombrang akan diberikan kepada hewan coba dalam
bentuk suspensi dengan Na CMC 0,5%.
Dalam hal pembuatan, ekstrak etanol 70% daun kecombrang dengan dosis
yang berbeda dibuat dengan prosedur yang serupa. Mula-mula ekstrak kental
ditimbang sesuai dengan kebutuhan pada setiap dosis. Selanjutnya, Na CMC
ditimbang lalu dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam lumpang sambil
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dikembangkan dengan aquades bersuhu 60o C sebanyak 20 kali dari bobot Na
CMC (Rowe et al., 2009), lalu diaduk terus sampai terbentuk mucilago. Setelah
itu, ekstrak ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam Na CMC yang telah
mengembang (mucilago) lalu diaduk terus menerus hingga ekstrak terdispersi
merata. Selanjutnya, ditambahkan aquades hingga mencapai volume yang
diinginkan.
4. Glibenklamid
Glibenklamid diberikan dalam bentuk suspensi dengan Na CMC sesuai
dosis oral efektif pada manusia 5 mg/ 60 kg BB (Suherman, 2007) yang kemudian
dikonversikan ke dosis hewan berdasarkan perhitungan luas permukaan tubuh
(HED) menjadi 0,1 mg/ 200 g BB tikus.
5. Akarbosa
Akarbosa diberikan dalam bentuk suspensi dengan Na CMC sesuai dosis
oral efektif pada manusia 50 mg/60 kg BB (Sweetman, Sean C., 2009) yang
dikonversikan ke dosis hewan berdasarkan perhitungan luas permukaan tubuh
HED, yaitu 1,0 mg/200 g BB tikus.
3.3.7 Uji pendahuluan induksi aloksan
Uji pendahuluan bertujuan untuk mengkonfirmasi apakah dosis aloksan
150 mg/kg BB (Radenkovic et al., 2015) tepat untuk menginduksi diabetes
mellitus tanpa menimbulkan mortalitas pada hewan coba. Jika berhasil, maka
dosis aloksan 150 mg/kg BB diaplikasikan dalam penelitian untuk menginduksi
diabetes.
Jumlah hewan yang digunakan pada uji pendahuluan ini adalah tiga ekor.
Mulanya, tiga ekor hewan diaklimatisasi selama satu minggu. Selama
aklimatisasi, hewan diberi makan, minum dan ditimbang berat badannya secara
rutin. Tikus diberi pakan tikus sebanyak 10% dari bobot badannya, yaitu sekitar
15-20 gram/ekor/hari. Sedangkan air minum diberikan secara ad libitum dan
pergantian air minum dilakukan setiap hari (Widiartini et al., 2013).
Setelah aklimatisasi, hewan uji dipuasakan selama 12 jam dan diukur
kadar glukosa darah puasanya dengan glukometer (Al-Noory et al., 2013).
Kemudian tiga ekor hewan diinduksi aloksan secara intraperitoneal dengan dosis
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
150 mg/kg BB. Empat jam setelah induksi aloksan, diberikan larutan glukosa 5%
dalam botol minumnya. Selanjutnya, ditunggu selama 72 jam (3 hari) untuk
menstabilkan hiperglikemia pada tikus (Radenkovic et al., 2015). Hewan
dinyatakan hiperglikemia jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dL
(Gabriel et al., 2014). Pada setiap pemeriksaan kadar glukosa darah, hewan harus
dipuasakan selama 12 jam terlebih dahulu (Al-Noory et al., 2013).
3.3.8 Pengelompokan hewan uji
3.3.8.1 Uji dengan metode induksi aloksan
Hewan uji tikus putih jantan galur Sprague dawley dibagi secara acak
menjadi 6 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor
sesuai dengan syarat WHO (WHO, 2000).
Tabel 3.1 Kelompok perlakuan pada metode induksi aloksan
Kelompok hewan Perlakuan Jumlah
tikus
1 (Kontrol normal) Diberi Na CMC 0,5% 5
2 (Kontrol negatif) Diinduksi aloksan lalu diberi Na
CMC 0,5%
5
3 (Kontrol positif ) Diinduksi aloksan lalu diberi
suspensi glibenklamid
5
4 (Ekstrak kecombrang dosis
rendah)
Diinduksi aloksan lalu diberi
suspensi ekstrak Etlingera
elatior 1 mg/kg BB
5
5 (Ekstrak kecombrang dosis
sedang)
Diinduksi aloksan lalu diberi
suspensi ekstrak Etlingera
elatior 10 mg/kg BB
5
6 (Ekstrak kecombrang dosis
tinggi)
Diinduksi aloksan lalu diberi
suspensi ekstrak Etlingera
elatior 100 mg/kg BB
5
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.8.2 Uji Penghambatan Enzim α-glukosidase secara in vivo
Hewan uji tikus putih jantan galur Sprague dawley dibagi menjadi 3
kelompok perlakuan yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor hewan
yakni kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif dan kelompok dosis
ekstrak yang potensial dari hasil uji dengan metode induksi aloksan.
Tabel 3.2 Kelompok perlakuan pada uji penghambatan enzim α-glukosidase
secara in vivo
Kelompok hewan Perlakuan Jumlah
tikus
1 (Kontrol positif) Diberikan larutan akarbosa lalu
dibebankan dengan sukrosa 4 g/kg
BB secara oral
5
2 (Kontrol Negatif) Diberikan Na CMC 0,5% lalu
dibebankan dengan sukrosa 4 g/kg
BB secara oral
5
3 (Dosis ekstrak etanol 70%
daun kecombrang yang
potensial dari hasil uji
dengan metode induksi
aloksan yakni dosis 100
mg/kg BB)
Diberikan suspensi ekstrak daun
kecombrang 100 mg/kg BB lalu
dibebankan dengan sukrosa 4 g/kg
BB secara oral
5
3.3.9 Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan
a. Semua tikus jantan galur Sprague dawley diaklimatisasi selama satu
minggu terlebih dahulu. Selama aklimatisasi, semua tikus diberi pakan
sebanyak 10 % dari berat badannya dan minum serta ditimbang berat
badannya secara rutin.
b. Sebelum diinduksi aloksan, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama
12 jam namun tetap mendapatkan akses untuk minum (Al-Noory et al.,
2013).
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa sebelum
diinduksi dengan aloksan.
d. Kemudian larutan aloksan dengan dosis tunggal 30 mg/ 200 g BB
diinjeksikan secara intraperitoneal kepada tikus kelompok perlakuan 2-
6.
e. Hewan uji diberikan larutan glukosa 5% dalam botol minumnya setelah
4 jam diinduksi aloksan untuk mencegah hipoglikemia fatal akibat
induksi aloksan (Radenkovic et al., 2015).
f. Kadar glukosa darah diperiksa 72 jam setelah injeksi aloksan
(Radenkovic et al., 2015). Namun, sebelum diperiksa kadar glukosa
darahnya, hewan uji harus dipuasakan selama 12 jam terlebih dahulu
(Al-Noory et al., 2013).
g. Hewan uji dengan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dL
dinyatakan mengalami hiperglikemia dan dapat digunakan dalam
penelitian (Gabriel et al., 2014).
h. Pasca dinyatakan hiperglikemia, bahan uji mulai diberikan secara oral
menggunakan alat sonde oral sesuai perlakuan masing-masing
kelompok seperti yang tertera pada tabel 3.1.
i. Pemberian bahan uji dilakukan setiap hari selama 21 hari dengan
frekuensi pemberian satu kali dalam sehari (Radenkovic et al., 2015).
Selama perlakuan, seluruh hewan tetap mendapatkan akses makan dan
minum serta ditimbang berat badannya secara rutin. Tikus diberi pakan
sebanyak 10% dari bobot badannya, yaitu sekitar 15-20 gram/ekor/hari.
Sedangkan air minum diberikan secara ad libitum dan pergantian air
minum dilakukan setiap hari (Widiartini et al., 2013).
j. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ini dilakukan setiap minggu
yakni pada hari ke-7, 14 dan 21 (Radenkovic et al., 2015). Setiap
pemeriksaan kadar glukosa darah, hewan uji harus dipuasakan selama
12 jam terlebih dahulu (Al-Noory et al., 2013).
k. Setelah perlakuan selama 21 hari, semua kelompok hewan diterminasi
dengan inhalasi eter.
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.10 Uji Penghambatan Enzim α-glukosidase secara in vivo (Mohamed et
al., 2015)
a. Semua tikus jantan galur Sprague dawley diaklimatisasi selama satu
minggu terlebih dahulu. Selama aklimatisasi, semua tikus diberi pakan
sebanyak 10 % dari berat badannya dan minum serta ditimbang berat
badannya secara rutin.
b. Hewan uji dipuasakan selama 12 jam terlebih dahulu.
c. Selanjutnya, sampel darah diambil dari ekor tikus untuk diperiksa kadar
glukosa darah puasanya sebelum perlakuan.
d. Bahan uji diberikan sebanyak satu kali kepada masing-masing kelompok
sesuai dengan tabel kelompok perlakuan dengan metode toleransi sukrosa.
e. 10 menit setelahnya, hewan uji dibebankan sukrosa dengan dosis 4 g/kg
BB secara oral.
f. Kadar glukosa darah diperiksa pada 30, 60, dan 120 menit pasca
dibebankan sukrosa.
g. Setelah pengujian selesai, hewan diterminasi dengan inhalasi eter.
3.3.11 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan sampel berupa darah yang
diambil dari ekor tikus. Mulanya, ekor tikus dibersihkan terlebih dahulu dengan
kapas beralkohol 70% lalu dibuat torehan melintang pada ekor tikus dengan
menggunakan gunting bedah. Selanjutnya, tetesan darah dari ekor tikus
ditempatkan pada strip glukosa yang telah dimasukkan ke dalam alat glukometer.
10 detik kemudian, nilai glukosa darah hewan akan muncul pada alat glukometer
dengan satuan mg/dL.
3.3.12 Analisa Data
a. Presentase penurunan kadar glukosa darah
Presentase penurunan kadar glukosa darah (%) dihitung dengan rumus:
% Penurunan kadar glukosa darah =
x 100%
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keterangan :
Go : Kadar glukosa darah sebelum diberikan sediaan uji
Gt : Kadar glukosa darah setelah diberikan sediaan uji
b. Presentase penuruna nilai Area Under Curve (AUC)
AUC (mg/dL) = GD0 + GD30 x 0,5 + GD30 + GD60 x 0,5 +
2 2
GD60 + GD120 x 1
2
Keterangan : GD0, 30, 60, 120 : Glukosa darah pada menit ke-0, 30, 60, 120
Presentase penurunan kadar glukosa darah (%) dihitung dengan rumus:
% Penurunan nilai AUC =
x 100%
c. Uji Statistik
Data kadar glukosa darah yang diperoleh diolah secara statistik
menggunakan program SPSS 21.0 (Statistical Program for Social Science). Kadar
glukosa darah dianalisa normalitas dan homogenitas menggunakan uji distribusi
normal (Kolmogorov-Smirnov) dan uji homogenitas (Uji Levene). Apabila data
terdistribusi normal dan homogen, maka dilanjutkan dengan analisis satu varian
satu arah (ANOVA) untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antar kelompok.
Jika terdapat perbedaan yang bermakna, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata
terkecil (BNT). Apabila data yang diperoleh dinyatakan tidak terdistribusi normal
atau tidak homogen, maka uji dilanjutkan dengan analisis non parametik (Uji
Kruskal-Wallis) untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antar kelompok dan
jika terdapat perbedaan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman dilakukan di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kebun Raya Bogor. Determinasi ini bertujuan
untuk memastikan kesesuaian spesies dan famili dari tanaman yang akan diteliti.
Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman uji adalah benar tanaman
kecombrang (Etlingera elatior) famili Zingiberaceae. Surat pernyataan hasil
determinasi dapat dilihat pada lampiran 1.
4.2 Ekstraksi
Sebanyak 6 kg daun kecombrang segar diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatika Bogor (Balittro) pada tanggal 21 Desember 2015.
Daun yang dikumpulkan merupakan bagian daun yang muda dan tua. Daun
tersebut kemudian disortasi, dicuci, dikering-anginkan, disortasi kembali, dan
dihaluskan hingga diperoleh 900 gram serbuk daun kecombrang (Etlingera
elatior). Serbuk daun kecombrang diekstraksi dengan metode maserasi. Prinsip
dari metode ini adalah mengekstraksi zat aktif dari tanaman dengan cara
merendam serbuk simplisia menggunakan pelarut atau cairan penyari yang sesuai
pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya (Depkes RI, 2000). Metode maserasi
dipilih karena pengerjaannya yang mudah, peralatannya sederhana, dan tanpa
menggunakan panas sehingga faktor kerusakan pada zat aktif mampu
diminimalkan. Maserasi dilakukan 13 kali pengulangan dengan menggunakan
pelarut etanol 70% sebanyak 11 liter hingga dihasilkan maserat yang berwarna
lebih bening dibandingkan maserat awal. Pemilihan pelarut etanol 70% karena
pelarut campuran 70% alkohol dan 30% air ini memiliki sifat agak lebih polar.
Selain itu, etanol 70% bersifat tidak toksik dan dapat menimalisasi pertumbuhan
mikroorganisme selama ekstraksi (Depkes RI, 2000 dan Gaedcke et al., 2003).
Selanjutnya, maserat yang diperoleh kemudian dipekatkan menggunakan vacuum
rotary evaporator agar terjadi pemisahan antara zat aktif dengan pelarut
berdasarkan perbedaan titik didihnya. Proses pemekatan menggunakan suhu
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rendah yakni kurang lebih 45o
C agar tidak merusak kandungan zat aktif.
Ekstraksi daun kecombrang menghasilkan ekstrak kental sebanyak 116 gram
dengan rendemen 12,89%.
Tabel 4.1 Hasil Ekstraksi
No. Jenis Hasil
1. Daun kecombrang segar 6 kg
2. Serbuk simplisia 900 g
3. Ekstrak kental 116 g
4. Rendemen 12,89%
4.3 Penapisan Fitokimia
Tabel 4.2 Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol 70% daun kecombrang
Identifikasi Tes Hasil Keterangan
Alkaloid Dragendorf Tidak terdapat
endapan berwarna
jingga
-
Mayer Terbentuk kabut
awan putih
-
Antrakuinon Terbentuk warna
hijau pada lapisan
kloroform
+
Saponin Busa Terbentuk busa yang
stabil
+
Fenol FeCl3 Terbentuk warna
hijau kehitaman
+
Flavonoid Shinoda (Mg) Terbentuk warna
kuning
+
Steroid/Triterpenoid Liebermann-Burchard Terbentuk warna
hijau
+
Keterangan: (+) Memberikan hasil positif, (-) Memberikan hasil negatif
Uji penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa
apa saja yang terkandung dalam ekstrak etanol 70% daun kecombrang.
Berdasarkan hasil penapisan fitokimia (Tabel 4.2), ekstrak etanol 70% daun
kecombrang positif mengandung senyawa antrakuinon, saponin, fenol, flavonoid
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan steroid. Menurut Handayani (2014), pada daun kecombrang juga mengandung
senyawa alkaloid, namun pada skrining fitokimia ini senyawa alkaloid tidak
terdeteksi. Hal ini kemungkinan karena adanya variasi tempat tumbuh yang
menyebabkan jenis dan jumlah kandungan fitokimia berbeda pada tumbuhan yang
tumbuh disuatu daerah tertentu dengan daerah lainnya.
4.4 Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak
Parameter Persyaratan Ekstrak kental Etanol 70% Daun
Kecombrang
Parameter
spesifik
Identitas - Nama latin tumbuhan : Etlingera elatior
Bagian tumbuhan : Daun
Nama Indonesia : Kecombrang
Organoleptis - Bentuk : Kental dan lengket
Warna : Coklat kehitaman
Bau : Aromatik
Parameter
Non spesifik
Kadar air Tidak lebih dari
10%
6,2834 %
Kadar abu Tidak lebih dari
16%
12,9219 %
Pemeriksaan parameter spesifik berupa identitas dan organoleptis.
Sedangkan parameter non spesifik yang dilakukan adalah penentuan kadar air dan
kadar abu. Penentuan kadar air berkaitan dengan masa simpan ekstrak
dikarenakan adanya kandungan air pada ekstrak dapat menjadi media
pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Materia Medika Indonesia VI (1995)
persyaratan kadar air pada ekstrak tidak lebih dari 10%. Sedangkan, penentuan
kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang berasal dari proses
awal sampai diperoleh simplisia dan ekstrak, baik yang berasal dari tanaman
secara alami maupun kontaminan selama proses pembuatan simplisia. Dalam
buku Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat (2004), kadar abu total pada ekstrak
tidak boleh lebih dari 16,67%. Berdasarkan hasil yang tertera pada tabel 4.3,
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diketahui bahwa ekstrak etanol 70% daun kecombrang memenuhi persyaratan
kadar air dan kadar abu.
4.5 Uji Pendahuluan Dosis Aloksan
Uji pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui apakah dosis aloksan 150
mg/kg BB berdasarkan studi literatur dari Journal of Pharmacological and
Toxicological Methods (2015) efektif menghasilkan kondisi hiperglikemia tanpa
menyebabkan kematian pada hewan uji.
Tabel 4.4 Kadar glukosa darah hewan uji pendahuluan dosis aloksan
Kelompok Kadar glukosa darah puasa
pra-induksi
Kadar glukosa darah puasa
pasca induksi
Aloksan 150 mg/kg
BB
1 100 165
2 126 161
3 125 492
Berdasarkan hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa semua tikus yang
diinduksi aloksan dengan dosis 150 mg/kg BB i.p mengalami hiperglikemia yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa > 140 mg/dL tanpa
menyebabkan kematian pada hewan uji tikus. Oleh karena itu, dosis aloksan 150
mg/kg BB i.p diaplikasikan pada penelitian.
4.6. Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan
Pada percobaan ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian ekstrak
etanol 70% daun kecombrang terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus
jantan galur Sprague dawley yang diinduksi aloksan. Percobaan ini menggunakan
enam kelompok yang terbagi menjadi kelompok I sebagai kontrol normal (Na
CMC 0,5%), kelompok II sebagai kontrol negatif (Na CMC 0,5%), kelompok III
sebagai kontrol positif (glibenklamid dosis 0,1 mg/200 g BB), kelompok IV
sebagai kelompok perlakuan dosis rendah 1 mg/kg BB, kelompok V sebagai
kelompok perlakuan dosis sedang 10 mg/kg BB dan kelompok VI sebagai
kelompok perlakuan dosis tinggi 100 mg/kg BB.
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kondisi diabetes pada hewan uji diperoleh melalui induksi aloksan
monohidrat dengan dosis 150 mg/kg BB i.p. Aloksan lebih dipilih sebagai agen
diabetogenik dibandingkan streptozotocin karena streptozotocin dapat
mengakibatkan toksiksitas pada organ selain pankreas yakni hati dan ginjal (Etuk
et al., 2010). Rute administrasi aloksan secara intraperitoneal lebih dipilih karena
lebih mudah dan untuk mencegah efek toksik dan kematian hewan dengan
pemberian aloksan melalui intravena (Radenkovic et al., 2015). Rute
intraperitoneal umumnya digunakan pada berbagai penelitian dengan rentang
dosis aloksan antara 150 hingga 200 mg/kg BB. Pemilihan dosis 150 mg/kg BB
didasarkan pada rekomendasi dari Journal of Pharmacological and Toxicological
Methods (2015) dan diperkuat dengan uji pendahuluan sebelumnya yang
membuktikan bahwa induksi diabetes dengan aloksan secara intraperitoneal
dengan dosis 150 mg/kg BB berhasil menyebabkan hiperglikemia dan tidak
menimbulkan mortalitas pada hewan coba.
Menurut Sunil Kumar et al (2011), aloksan mampu mendestruksi sel
pankreas sehingga menyebabkan berkurangnya sekresi insulin dan menghasilkan
kondisi hiperglikemia. Dalam mendestruksi sel beta pankreas, aloksan bekerja
dengan dua mekanisme independen (Radenkovic et al., 2015). Pertama, aloksan
berperan sebagai inhibitor glukokinase yang dapat mengurangi oksidasi glukosa
dan pembentukan ATP sehingga mensupresi sekresi insulin (Radenkovic et al.,
2015). Kedua, aloksan mampu menghasilkan spesi oksigen reaktif yang dapat
mengakibatkan nekrosis pada sel pankreas, sehingga meyebabkan penurunan
fungsi sintesis maupun sekresi insulin (Radenkovic et al., 2015 dan Szkuldelski et
al., 2001).
Aloksan dapat menghasilkan kondisi diabetes yang serupa dengan diabetes
melitus tipe 1 ataupun tipe 2. Hal tersebut bergantung pada pemilihan dosis
aloksan yang digunakan ketika induksi (Etuk et al., 2010). Perbedaan hewan
dengan diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 terletak pada kadar keton dalam
darahnya. Hewan dengan diabetes tipe 1 menunjukkan kadar keton dalam darah
yang tinggi yakni ≥ 1,5 mM, sedangkan pada hewan dengan diabetes tipe 2
menunjukkan kadar keton dalam darahnya negatif atau terdeteksi namun dalam
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jumlah minimal (Federiuk et al., 2004 dan Radenkovic at al., 2015). Induksi
aloksan pada dosis menengah diketahui dapat menghasilkan model hewan dengan
diabetes melitus tipe 2 (Federiuk et al., 2004). Pada penelitian sebelumnya
menunjukkan induksi aloksan dosis tunggal 150 mg/kg secara intraperitoneal
menghasilkan model hewan dengan peningkatan kadar glukosa darah dan kadar
keton dalam darah yang rendah (Yakubu et al., 2010).
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah kadar glukosa darah
puasa. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kadar glukosa darah hewan yang tidak
dipengaruhi oleh keberadaan makanan. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
dilakukan sebelum hewan diinduksi aloksan, sesudah diinduksi aloksan, dan hari
perlakuan ke-7, 14 dan 21. Pemeriksaan kadar glukosa darah hewan menggunakan
alat glukometer. Keuntungan pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan alat
ini adalah pengukurannya yang cepat, mudah, akurat dan hanya membutuhkan
volume darah yang sedikit (Hones et al., 2008).
Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus galur Sprague
dawley jantan berumur 2-3 bulan dengan bobot badan 150-200 g. Alasan
menggunakan tikus sebagai hewan uji dikarenakan hewan ini sensitif terhadap
aloksan, mudah penanganannya baik dalam pemeliharaan maupun ketika
pemberian perlakuan serta karakteristik metabolisme dan kadar glukosa darah
normalnya yang cenderung mirip dengan manusia (Radenkovic et al., 2015 dan
Azhari et al., 2015). Tikus jantan lebih dipilih karena aktivitas hormonalnya yang
lebih stabil dibandingkan tikus betina. Pemilihan tikus galur Sprague dawley
dikarenakan galur ini lebih susceptible untuk diinduksi diabetes secara
intraperitoneal dibandingkan galur Nude (Abu et al., 2009). Selain itu, Sprague
dawley juga memiliki sifat yang tenang dan mudah dikendalikan dibandingkan
jenis tikus lainnya (Fauzi Mohd, 2009).
Sebelum penelitian dimulai, seluruh hewan uji diaklimatisasi selama satu
minggu terlebih dahulu, agar hewan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
sekitarnya termasuk dengan kondisi kandang, pakan dan minumnya.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebelum diinduksi aloksan, hewan uji harus dipuasakan selama 12 jam
terlebih dahulu karena keberadaan glukosa dapat menghambat uptake aloksan
oleh sel beta pankreas (Radenkovic et al., 2015).
Pasca induksi aloksan, hewan uji tidak secara langsung mengalami
hiperglikemia secara persisten. Akan tetapi, hewan uji akan mengalami empat fase
fluktuasi kadar glukosa darah terlebih dahulu. Salah satu diantaranya ialah fase
ketiga yang merupakan titik krusial dimana dapat terjadi hipoglikemia yang fatal
hingga berakibat kematian setelah 4-8 jam diinduksi aloksan (Lenzen et al., 2008).
Oleh karena itu, untuk mengatasi hipoglikemia tersebut, hewan uji diberikan
larutan glukosa 5% dalam botol air minumnya (Radenkovic et al., 2015).
Hewan yang telah diinduksi aloksan kemudian diperiksa kadar glukosa
darah puasanya untuk mengkonfirmasi hewan tersebut mengalami hiperglikemia.
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dilakukan pada hari ke-3 pasca induksi
aloksan dikarenakan untuk mendapatkan kondisi hiperglikemia yang telah stabil.
Menurut Radenkovic (2015), peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan
akan tercapai pada 72 jam pasca induksi aloksan. Hal ini dikarenakan degranulasi
pada sel pankreas baru akan terjadi sekitar 12-48 jam setelah induksi aloksan
(Lenzen et al., 2008).
Hewan yang telah diinduksi aloksan dinyatakan memenuhi kriteria inklusi
apabila mengalami hiperglikemia yang ditandai dengan kadar glukosa darah puasa
lebih dari 140 mg/dL pada hari ke-3 pasca induksi aloksan (Gabriel et al., 2014).
Setelah dinyatakan hiperglikemia, maing-masing 5 ekor hewan tersebut dipilih
untuk kelompok 2-6.
Pada hari berikutnya pasca dinyatakan hiperglikemia, hewan uji diberikan
bahan uji sesuai dengan kelompok perlakuannya. Pemberian bahan uji dilakukan
setiap hari selama 21 hari berturut-turut secara peroral dengan frekuensi
pemberian satu kali sehari.
Pada penelitian ini, dipilih glibenklamid sebagai kontrol positif karena
mekanisme kerja glibenklamid yang dapat menstimulasi sekresi insulin dari sel
pankreas yang masih dapat berproduksi (Dipiro et al., 2008). Hal tersebut sesuai
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan metode induksi aloksan, dimana aloksan dengan dosis rendah hingga
menengah diketahui dapat merusak sel pankreas secara parsial (Etuk et al.,
2010). Dalam kondisi demikian, sel pankreas masih dapat memproduksi insulin
namun terjadi penurunan sekresi insulin sehingga insulin yang disekresi tidak
mampu meregulasi glukosa yang ada. Dosis glibenklamid yang digunakan ialah
0,1 mg/200 g BB. Dosis tersebut merupakan dosis oral efektif pada manusia (5
mg/kg BB) yang sudah dikonversi ke dosis tikus.
Pada kelompok bahan uji ekstrak etanol 70% daun kecombrang
menggunakan tiga besaran dosis kelipatan 10 yakni dimulai dari dosis 1 mg/kg
BB, 10 mg/kg BB dan 100 mg/kg BB. Dosis tersebut merupakan dosis skrining
untuk mengetahui pada kisaran dosis berapakah ekstrak etanol 70% daun
kecombrang berefek menurunkan kadar glukosa darah pada tikus yang diinduksi
aloksan. Pemilihan dosis 1 mg/kg BB sebagai dosis rendah agar mendapatkan
gambaran penurunan kadar glukosa darah pada dosis yang mendekati dosis
glibenklamid 0,1 mg/200 g BB dan diharapkan menghasilkan efek yang
sebanding dengan glibenklamid.
Tabel 4.5 Rerata Kadar Glukosa Darah Puasa pada Uji Metode
Induksi Aloksan
Kelompok Rerata kadar glukosa darah puasa SD
Pra-induksi H-0 (Pasca
Induksi)
H-7 H-14 H-21
KN 103,816,07 10716,35 97,67,43 109,814,49 109,610,64
K (-) 114,4 6,06 165,826,73 171,428,55 175,428,26 185,434,41
K (+) 1179,11 442,896,03 184,667,12 126,834,60 92,819,40
Dosis I 115,87,42 15518,06 135,411,97 1165,56 99,610,47
Dosis II 104,224,93 196,826,37 147,424,62 11112,62 91,622,67
Dosis III 106,211,98 472,291,22 186,880,81 13334,27 110,421,78
Keterangan :
KN = Kontrol Normal D I = Dosis Rendah (1 mg/kg BB)
K (-) = Kontrol Negatif D II = Dosis Sedang (10 mg/kg BB)
K (+) = Kontrol Positif D III = Dosis Tinggi (100 mg/kg BB)
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan hasil rerata kadar glukosa darah puasa, diketahui kadar
glukosa darah puasa hewan uji pasca induksi aloksan menunjukkan peningkatan
yang nyata dibandingkan kadar glukosa darah pra-induksi. Kadar glukosa darah
puasa hewan uji pasca induksi aloksan berkisar antara 140 hingga 450 mg/dL.
Kadar glukosa darah yang bervariasi ini kemungkinan disebabkan karena adanya
perbedaan respon fisiologis pada masing-masing tikus terhadap aloksan meskipun
aloksan diberikan dalam dosis yang sama.
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa pada hari ke-0 (pasca
induksi aloksan), 7, 14, dan 21 selanjutnya dianalisa secara statistik dengan
program SPSS versi 21. Analisa statistik digunakan untuk menganalisa dan
membandingkan kadar glukosa darah hewan uji pada kelompok kontrol dengan
kelompok dosis uji.
Sebagai analisa awal, dilakukan uji normalitas dengan menggunakan
metode Kolmogorof Smirnov dan uji homogenitas dengan metode uji Levene
statistic terlebih dahulu.
Berdasarkan uji normalitas Kolmogorof Smirnov, diketahui kadar glukosa
darah dari enam kelompok perlakuan pada hari ke-7, 14 dan 21 terdistribusi
normal. Akan tetapi, kadar glukosa darah pada hari ke-0 menunjukkan nilai
signifikansi 0,05 yang artinya tidak terdistribusi normal. Sedangkan berdasarkan
uji homogenitas, diketahui hanya kadar glukosa darah pada hari ke-21 saja yang
dinyatakan homogen.
Dengan data kadar glukosa darah yang tidak terdistribusi normal dan tidak
bervariansi homogen, maka syarat uji Oneway Anova (uji parametrik) tidak
terpenuhi. Sebagai alternatifnya, analisa dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis
(uji non parametrik) untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data kadar
glukosa darah. Apabila terdapat perbedaan kadar glukosa darah secara bermakna
(p<0,05) maka dilanjutkan dengan melakukan analisa Post Hoc dengan uji Mann-
Whitney untuk menentukan kelompok manakah yang memberikan nilai yang
berbeda secara bermakna dengan kelompok lainnya.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada uji Kruskal Wallis, kadar glukosa darah pada hari ke 0, 7, 14 dan 21
diketahui berbeda secara bermakna (p0,05). Dengan demikian, maka uji
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
Berdasarkan uji Man-Whitney menunjukkan adanya perbedaan kadar
glukosa darah yang bermakna (p0,05) antara kelompok kontrol negatif dengan
kelompok perlakuan dosis rendah, sedang dan tinggi setelah masa perlakuan
selama 21 hari. Dengan demikian, maka pemberian ekstrak etanol 70% daun
kecombrang pada dosis rendah, sedang dan tinggi mampu menurunkan kadar
glukosa darah pada hewan uji yang diinduksi aloksan.
Berdasarkan uji Mann Whitney juga diketahui bahwa kadar glukosa darah
antara kelompok kontrol positif dengan kelompok dosis rendah, sedang dan tinggi
pada hari ke-7, 14 dan 21 tidak berbeda secara bermakna (p0,05). Hal tersebut
menunjukkan bahwa antara kelompok kontrol positif dengan kelompok dosis
rendah, sedang dan tinggi mempunyai efek yang sebanding dalam menurunkan
kadar glukosa darah. Meskipun antara kelompok kontrol positif dengan kelompok
dosis uji memiliki efek penurunan kadar glukosa darah yang sebanding namun
berdasarkan presentase penurunan kadar glukosa darah setelah perlakuan selama
21 hari diketahui bahwa kelompok kontrol positif (glibenklamid 0,1 mg/200 g
BB) menunjukkan penurunan kadar glukosa darah yang paling besar diantara
kelompok dosis uji.
Diantara kelompok dosis uji, kelompok dosis tinggi (100 mg/kg BB)
menunjukkan penurunan kadar glukosa darah paling besar dengan presentase
sebesar 76,62% pada hari ke-21, kemudian diikuti kelompok dosis sedang (10
mg/kg BB) dan terakhir kelompok dosis rendah (1 mg/kg BB) dengan presentase
masing-masing sebesar 53,45% dan 35,74 % pada hari ke-21. Hal tersebut
menunjukkan efek penurunan kadar glukosa darah pada ekstrak etanol 70% daun
kecombrang bergantung pada dosis (dose-dependent), dimana semakin besar dosis
ekstrak maka efeknya dalam menurunkan kadar glukosa darah pada tikus yang
diinduksi aloksan juga semakin besar.
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.6 Presentase Penurunan Kadar Glukosa Darah pada Uji dengan
Metode Induksi Aloksan
Kelompok Perlakuan Waktu (hari)
Ke-7 Ke-14 Ke-21
Kontrol Positif 58,31% 71,36 % 79,04%
Dosis rendah 1 mg/kg BB 12,64% 25,16% 35,74 %
Dosis sedang 10 mg/kg BB 25,10% 43,59% 53,45%
Dosis tinggi 100 mg/kg BB 60,44% 71,83 % 76,62%
Gambar 4.1 Grafik rerata penurunan kadar glukosa darah pada uji dengan metode
induksi aloksan
Mekanisme ekstrak etanol 70% daun kecombrang dalam menurunkan
kadar glukosa darah pada hewan uji tidak diketahui secara pasti. Namun, diduga
kemampuannya ini berasal dari keterlibatan senyawa utama yang dikandungnya.
Menurut Chan (2009), kandungan senyawa metabolit sekunder pada daun
kecombrang didominasi oleh asam klorogenat sebesar 294±53 mg/100 g, diikuti
oleh flavonoid quersetin yakni isoquersitrin dan quersitrin masing-masing
sebesar117 ± 32mg/100 g dan 79 ± 19 mg/100 g.
Menurut Shengxi (2013), asam klorogenat terlibat dalam metabolisme
glukosa yakni dengan memperbaiki mekanisme seluler dalam uptake glukosa,
mengaktivasi AMPK yang dapat meningkatkan ekspresi dan translokasi GLUT-4
0
100
200
300
400
500
0 3 7 14 21 Kad
ar g
luk
osa
darah
pu
asa
(m
g/d
L)
Waktu pemeriksaan kadar glukosa darah puasa (Hari ke-)
Grafik rerata penurunan kadar glukosa darah puasa
pada uji denga metode induksi aloksan
Kontrol Normal
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
Dosis 1 mg/kg BB
Dosis 10 mg/kg BB
Dosis 100 mg/kg BB
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga meningkatkan uptake glukosa dijaringan perifer, menghambat ekspresi
dan aktivitas glukosa-6-fosfatase hepatik sehingga menurunkan glukoneogenesis
dihati, menghambat kerja enzim -glukosidase, dan meningkatkan konsentrasi
GIP (peptida insulinotropik yang responsif terhadap glukosa).
Quersetin pun mampu menurunkan kadar glukosa darah dikarenakan daya
antioksidannya yang dapat mengikat dan menetralisir senyawa radikal bebas yang
terbentuk selama hiperglikemia berlangsung (Abdelmoaty et al., 2010). Pada
kondisi hiperglikemia akan terjadi pembentukan spesi oksigen reaktif (senyawa
radikal bebas) dengan jumlah yang melebihi kapasitas antioksidan endogen
sehingga menyebabkan stres oksidatif yang dapat mengganggu apoptosis dan
disfungsi sel beta pankreas (Khan et al., 2015 dan A. Hosseini et al., 2015). Tidak
hanya itu, stres oksidatif juga dapat menyebabkan kerusakan multiorgan yang
dapat memicu terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus (Wei wei et al., 2007).
Terapi quersetin diketahui mampu mempertahankan integritas sel beta pankreas
melalui stimulasi sel-sel progenitor di pankreas untuk berdiferensiasi membentuk
sel pulau langerhans baru (Rifaai et al., 2012).
Senyawa-senyawa kimia lainnya pada daun kecombrang yang terlarut
dalam pelarut etanol 70% tidak menutup kemungkinan juga memiliki peran dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Meski dengan mekanisme aksi yang berbeda,
senyawa-senyawa tersebut kemungkinan secara sinergis terlibat dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada hewan uji.
4.7 Uji penghambatan enzim -glukosidase secara in vivo
Menurut P. Puttarak (2014) menunjukkan bahwa kecombrang efektif
sebagai inhibitor -glukosidase secara in vitro. Oleh karena itu, untuk
mengkonfirmasi apakah efek tersebut juga terjadi secara in vivo maka dilakukan
uji penghambatan kerja enzim -glukosidase secara in vivo dengan metode
toleransi sukrosa menggunakan hewan uji tikus galur Sprague dawley.
Pada penelitian ini menggunakan tiga kelompok perlakuan yakni kontrol
positif, kontrol negatif dan kelompok dosis uji. Pada kelompok dosis uji
menggunakan dosis potensial yang diperoleh dari hasil uji dengan metode induksi
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
aloksan. Berdasarkan uji metode induksi aloksan, dosis ektrak etanol 70% daun
kecombrang 100 mg/kg BB menunjukkan presentase penurunan kadar gula darah
paling besar, sehingga dosis tersebut digunakan sebagai dosis uji.
Inhibitor -glukosidase diketahui dapat menghambat peningkatan kadar
glukosa darah postprandial dengan cara menghambat kerja enzim -glukosidase
yang ada di intestinal (Manaharan et al., 2011). Pada prinsipnya, enzim -
glukosidase bertanggung jawab dalam pemecahan oligosakarida atau disakarida
menjadi monosakarida sehingga dapat diabsorbsi (Chandalia et al., 2012). Enzim
-glukosidase utama yang terdapat di intestinal diantaranya glukoamilase,
sukrase, maltase dan dekstrinase. Inhibitor enzim -glukosidase memiliki afinitas
yang lebih tinggi terhadap enzim-enzim tersebut dibandingkan dengan substrat
disakarida ataupun oligosakarida (Offermanns et al., 2008).
Pada penelitian ini, menggunakan inhibitor enzim α-glukosidase yakni
Akarbosa sebagai kontrol positif. Akarbosa diketahui memiliki afinitas yang
tinggi terhadap enzim sukrase (Offermanns et al., 2008). Efektivitas kerja
akarbosa bergantung pada jenis karbohidrat yang dikonsumsi. Akarbosa dapat
efektif dengan diet karbohidrat kompleks. Namun, akarbosa menjadi tidak berefek
dengan diet tinggi glukosa dan frukstosa karena monosakarida tersebut tidak lagi
membutuhkan proses pemecahan oleh enzim -glukosidase (Chandalia et al.,
2012).
Pemilihan sukrosa karena sukrosa termasuk ke dalam golongan disakarida
dan bukan monosakarida. Hal ini sesuai dengan mekanisme kerja dari enzim -
glukosidase yang hanya dapat mengkonversi substrat berupa disakarida seperti
halnya sukrosa.
Penelitian ini berlangsung selama 120 menit. Awalnya, masing-masing
tikus pada tiap kelompok dipuasakan selama 12 jam. Hal ini untuk memperoleh
kadar glukosa darah yang seragam pada masing-masing tikus sebelum diberikan
perlakuan. Berbeda dengan metode induksi alokan, sediaan uji diberikan terlebih
dahulu sebelum terjadi efek hiperglikemia postprandial yang diakibatkan
pemberian sukrosa secara oral. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah efek
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penghambatan pada enzim -glukosidase terjadi sehingga dapat mencegah
peningkatan kadar glukosa darah postprandial.
Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan pada menit ke-0, 30, 60 dan
120. Selanjutnya, data kadar glukosa darah kelompok kontrol positif, kontrol
negatif dan dosis uji pada menit tersebut dianalisa secara statistik menggunakan
program SPSS versi 21.
Tabel 4.7. Rerata Kadar Glukosa Darah pada Uji Penghambatan Enzim -
glukosidase secara in vivo
Waktu
(menit)
Rerata kadar glukosa darah (mg/dL) SD
Kontrol Positif Kontrol Negatif Dosis Uji
0 80,2± 19,46 84,8±23,25 103,2±14,88
30 109,6 ± 8,53 165,8±6,8 139,4±16,59
60 93,2± 19,29 179,2±10,8 131±8,45
120 87 ± 17,37 104,4±8,08 103,2±25,9
Langkah awal adalah memeriksa syarat Oneway Anova diantaranya data
wajib terdistribusi normal dan harus bervariansi homogen. Berdasarkan hasil uji
normalitas Kolmogorof Smirnov menunjukkan bahwa data kadar glukosa darah
pada menit ke-0, 30, 60 dan 120 terdistribusi normal. Selain itu, berdasarkan uji
homogenitas menunjukkan bahwa data kadar glukosa darah pada menit ke-0, 30,
60 dan 120 bervariansi homogen.
Karena data kadar glukosa darah terdistribusi dan bervariansi homogen,
maka syarat uji Oneway Anova (uji parametrik) terpenuhi. Dari hasil uji Oneway
Anova menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada kadar glukosa darah di
menit ke-30 dan 60 (p0,05). Untuk mengetahui kelompok manakah yang
memberikan perbedaan secara bermakna maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda
Nyata Terkecil).
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.2 Grafik rata-rata penurunan kadar glukosa darah pada uji
penghambatan enzim -glukosidase
Pada hasil uji uji BNT (Beda Nyata Terkecil) menunjukkan bahwa kadar
glukosa darah puasa kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan
kelompok dosis uji pada menit ke-30 dan 60 (p0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi penghambatan peningkatan kadar glukosa darah secara signifikan
oleh kelompok dosis uji.
Selain itu, pada hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) diketahui kelompok
kontrol positif dengan kelompok dosis uji pun juga menunjukkan perbedaan
secara bermakna (p0,05). Meskipun demikian, kelompok dosis uji menunjukkan
penghambatan pada kenaikan kadar glukosa darah yang terlihat dari menurunnya
kadar glukosa darah pada menit ke-30 dan 60. Hal sebaliknya justru terjadi pada
kelompok kontrol negatif dimana terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada
menit ke-30 dan 60. Selain itu, kelompok dosis uji juga menunjukkan penurunan
nilai AUC (Area under curve) dengan presentase 12,5%. Dengan demikian, maka
dosis ekstrak 100 mg/kg BB efektif sebagai penghambat enzim -glukosidase
secara in vivo.
0
50
100
150
200
0 30 60 120
Kad
ar g
luk
osa
darah
(m
g/d
L)
Waktu pemeriksaan kadar glukosa darah (menit ke-)
Grafik rerata kadar glukosa darah pada uji
penghambatan enzim α-glukosidase secara in vivo
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
Dosis uji
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Ekstrak etanol 70% daun kecombrang dosis 1, 10 dan 100 mg/kg BB dapat
menurunkan kadar glukosa darah hewan uji yang diinduksi aloksan, dengan
presentase penurunan glukosa darah paling besar dihasilkan oleh dosis 100
mg/kg BB sebesar 76,62% pada hari ke-21.
2. Ekstrak etanol 70% daun kecombrang dosis 100 mg/kg efektif menghambat
enzim α-glukosidase secara in vivo dengan kadar glukosa darah yang berbeda
secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif pada menit ke-30 dan 60
(p0,05).
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek pemberian daun
kecombrang terhadap gambaran histologi pankreas hewan uji yang diinduksi aloksan.
Selain itu, perlu dilakukan penelitian dengan dosis yang lebih bervariasi untuk
menentukan dosis yang optimal.
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
A Hosseini, R. Shafiee-Nick, A. Ghorbani. 2015. Pancreatic beta cell protection or
regeneration with phytotherapy. Brazilian Journal of Pharmaceutical Sciences
vol. 51, no. 1.
Abdelmoaty, et al. 2010. Confirmatory studies on the antioxidant and antidiabetic
effect of quercetin in rats. Indian Journal of Clinical Biochemistry; 25 (2) 188-
192.
Abu, Abeeleh., Bani Ismail, Zuhair., Alzaben, Khalid R., Abu Halaweh, Sami A., Al-
Essa, Mohamed K. 2009. Induction of Diabetes Mellitus in Rats using
Intraperitoneal Streptozotocin: A Comparison Between 2 Strains of Rats.
European Journal of Scietific Research, 32(3), 398-402.
American Collage of Clinical Pharmacy. 2013. Pharmacotherapy Review Program
for Advanced Clinical Pharmacy Practice. United States: American Collage of
Clinical Pharmacy.
Al-Norry, et al. 2013. Antihyperlipidemic effects of ginger extracts in alloxan-
induced diabetes and propylthiouracil-induced hypothyroidism in (rats).
Pharmacognosy Research Vol 5 Issue 3.
Ayoola, GA., et al. 2008. Phytochemical Screening and Antioxidant Activities of
Some Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in Southwestern
Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research; 7 (3): 1019-1024.
Azhari, et al. 2015. Uji Aktivitas Serbuk Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus
(Jacq.) P. Kumm) terhadap Kadar Glukosa Darah pada Model Hewan
Hiperkolesteromia-Diabetes. Galenika Journal of Pharmacy Vol. 3 (1) : 42–48.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2000. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I) Jilid I. Jakarta: Badan
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Halaman 167-168.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004. Monografi Ekstrak
Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia.
Chan, et al. 2007. Antioxidant and antibacterial activity of leaves of Etlingera species
(Zingiberaceae) in Peninsular Malaysia. Food Chemistry 104: 1586–1593.
Chan, et al. 2008. Antioxidant and tyrosinase inhibition properties of leaves and
rhizomes of ginger species. Food Chemistry 109: 477–483.
Chan, et al. 2011. Phytochemistry and Pharmacological Properties of Etlingera
elatior: A Review. Pharmacognosy Journal; 3(22): 6-10.
Chan EWC. 2009. Bioactivities and chemical constituents of leaves of some Etlingera
species (Zingiberaceae) in Peninsular Malaysia. Tesis Monash University
Sunway Campus, Malaysia.
Chandalia, Tripathy dan Das Kumar. 2012. RSSDI Textbook of Diabetes Mellitus. JP
Medical Ltd.
Chusadama, et al. 2015. Experimental Pharmacology. India: BookRix.
Darmawi, et al. 2015. Aktivitas Antihiperglikemia dari Ekstrak Etanol dan n-Heksan
Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia A. Gray) pada Tikus Putih Jantan.
Jurnal Kimia Mulawarman Volume 12 Nomor 2.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Cara Pembuatan Simplisia.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid
VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan.
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dipiro, et al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition.
New York: Mc graw Hill.
Dohnal, Kalousova dan Zima. 2010. Comparison of Three Methods for
Determination of Glucose. Prague Medical Report Vol. 111 No. 1, p. 42–54
Eliakim-Ikechukwu dan Obri. 2009. Histological changes in the pancreas following
administration of ethanolicextract of Alchornea cordifolia leaf in Alloxan-
induced diabetic Wistar rats. Nigerian Journal of Physiological Science Vol. 24
No.2 153-155.
Etuk, E.U. 2010. Animals Models for Studying Diabetes Mellitus. Agriculture and
Biology Journal of North America, 1(2): 130-134.
Faridahanim Mohd Jaafar, et al. 2007. Analysis of essential oils of leaves, stems,
flowers and rhizomes of Etlingera elatior (Jack) R. M. Smith. The Malaysian
Journal of Analytical Sciences, 11(1): 269-273.
Fauzi Mohd. 2009. Pengklasifikasian Sperma Normal dan Abrormal daripada
Suspensi Sperma Tikus Galur Sprague-Dawley. USM. Tesis
Federiuk, et al. 2004. Induction of Type-1 Diabetes Mellitus in Laboratory Rats by
Use of Alloxan: Route of Administration Pitfalls, and Insulin Treatment.
Comparative Medicine American Association for Laboratory Animal Science.
Gabriel, et al. 2014. Evaluation of methanol extract of Gongronema latifolium leaves
singly and in combination with glibenclamide for anti-hyperglycemic effects in
alloxan-induced hyperglycemic rats. J Intercult Ethnopharmacol Vol 3 Issue 3.
Gaedcke, F. & Steinhoff, B.2003. Herbal Mesdicinal Products. Scientific and
Regulatory Basis for Development, Quality Assurance and Marketing
Authorisation. Medpharm Scientific publisher, Balogh International, Inc.
Gilman, Goodman Alfred. 2012. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi.
Jakarta: EGC.
Habsah M, Nordin HL, Faridah A, Abdul Manaf A, Mohamad Aspollah S, Kikuzaki
H, et al . 2004. Antioxidative constituents of Etlingera elatior. J Nat Prod; 68:
285-8.
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Handayani. 2014. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bunga dan Daun
Patikala (Etlingera elatior (Jack) R.M.Sm) Menggunakan Metode DPPH.
Pharm Sci Res; 1(2): 86-93.
Hones, J., Muller, P., dan Surridge, N. 2008. The technology behind glucose meters:
Test strips. Diabetes technology and therapeutics, 10 (1), 10-26.
Http://www.sagereserchlabs.com/research-models/outbred-rats/sprague-dawley-
outbred-rat. 6 Juli 2016
International Diabetes Federation. 2015. IDF Diabetes Atlas Seventh Edition.
International Diabetes Federation.
Kementerian Riset dan Teknologi. 2010. Direktori Penelitian Asing di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi.
Khan et al., 2015. Role of antioxidant in oxidative stress and diabetes mellitus.
Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 2015; 3(6): 217-220.
Lenzen, S. 2008. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin-Induced Diabetes.
Diabetologia. Vol. 51: 216-226.
Maimulyanti, et al. 2015. Chemical composition, phytochemical and antioxidant
activity from extract of Etlingera elatior flower from Indonesia. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry; 3(6): 233-238.
Manaharan, et al. 2011. Flavonoid isolated from Syzygium aqueum extract as
potential antihyperglycaemic agents. Food Chemistry.
McMillin, J.M. 1990. Blood Glucose. Dalam H.K Walker, W.D. Hall, dan J.W. Hurst
(ED.). Clinical Methods: The History, physical, and Laboratory (hal 662-665).
(Ed. Ke-3). Boston: Butterworths., 663.
Mohamed, et al. 2013. Evaluation of -Glucosidase Inhibitory Effect of 50%
Ethanolic Standardized Extract of Orthosiphon stamineus Benth in Normal and
Streptozotocin-Induced Diabetic Rats. Hindawi Publishing Corporation
Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine.
Ong, et al. 2013. Anti-diabetic and ti-lipidemic effects of chlorogenic acid are
mediated by ampk activation. Biochemical Pharmacology 85 (2013) 1341–
1351.
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Offermanns, et al. 2008. Encyclopedia of Molecular Pharmacology. Springer
sciences and business media.
P. Puttarak, et al. 2014. Anti a-glucosidase, anti a-amylase, anti-oxidation, and anti-
inflammation activities of Etlingera elatior rhizome. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research; 6(12): 885-891.
Pasaribu, et al. 2012. Uji ekstrak etanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana
L.) terhadap penurunan kadar glukosa darah. Journal of Pharmaceutics and
Pharmacology, 2012 Vol.1 (1): 1-8.
Prameswari, et al. 2014. Uji efek ekstrak air daun pandan wangi terhadap penurunan
kadar glukosa darah dan histopatologi tikus diabetes mellitus. Jurnal Pangan
dan Agroindustri Vol.2 No.2 p.16-27.
Radenkovic, et al. 2015. Experimental diabetes induced by alloxan and
streptozotocin: The current state of the art. Journal of Pharmacological and
Toxicological Methods.
Rifaai RA, et al. 2012. Effect of quercetin on the endocrine pancreas of the
experimentally induced diabetes in male albino rats: a histological and
immunohistochemical study. Diab Metab; 3 (3):1-11.
Rowe, et al. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition.
Pharmaceutical Press and American Pharmacist Association.
Sharp.P.E, La Regina, MC. 1998. The Laboratory Rat. Washington: CRC Press.
Subramanion Jo Thy Lachumy, et al. 2010. Pharmacological activity, phytochemical
analysis and toxicity of methanol extract of Etlingera elatior (torch ginger)
flowers. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine 769-774.
Shengxi, et al. 2013. Roles of Chlorogenic Acid on Regulating Glucose and Lipid
Metabolism: A Review. Hindawi Publishing Corporation Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine.
Suherman, Suharti K. 2007. Insulin dan antidiabetik oral. Dalam: Gunawan, S.g., R.
Setiabudy, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth
Edition. London: Pharmaceutical Press.
Szkudelski. 2001. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Action in Cells of
The Rat Pancreas. Physiology Research; 50: 536-554.
Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, G., dan Kaur, H. 2011. Phytochemical screening and
extraction: A review. International Pharmaceutical Sciencia, 1(1); 98-106.
United States Department of Agriculture, Natural Resources Conservation Service.
2016. The PLANTS Database (http://plants.usda.gov, 21 March 2016). National
Plant Data Team, Greensboro, NC 27401-4901 USA.
Verawati. 2014. Uji aktivitas antioksidan ekstrak daun dan bunga kecombrang
(Etlingera elatior) dengan metode ABTS dan identifikasi senyawa aktif dengan
KG-SM. Universitas Pancasila. Skrispsi
Wei wei, et al. 2009. Oxidative stress, diabetes, and diabetic complications.
Hemoglobin, 33(5): 370–377.
Widiartini, et al. 2013. Pengembangan Usaha Produksi Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Tersertifikasi dalam Upaya Memenuhi Kebutuhan Hewan
Laboratorium. Universitas Diponegoro.
World Health Organization. 2000. General Guidelines for Methodologies on
Research and Evaluation of Traditional Medicines. Geneva: World Health
Organization.
Yakubu, et al. 2010. Anti-diabetic activity of aqueous extract of Cochlospermum
planchonii root in allxan-induced diabetic rats. Cameron Journal of
Experimental Biology Vol. 06, 91-100.
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi Daun Kecombrang (Etlingera elatior)
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Surat Keterangan Kesehatan Hewan
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Sertifikat Glibenklamid
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Sertifikat Aloksan Monohidrat
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Alur Pembuatan Ekstrak
Pengumpulan daun kecombrang segar di Balittro
pada tanggal 21 Desember 2015 sebanyak 6 kg
Daun disortasi basah, dicuci dengan air mengalir
dan dikeringkan selama 4 hari
Disortasi kembali, diperkecil ukurannya dan
diserbukkan dengan blender
900 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan
etanol 70% lalu difiltrasi
Filtrat Residu
Ekstrak kental (116 gram)
Parameter spesifik
1. Identitas
2. Organoleptis
(bentuk,
warna dan
bau)
Parameter non
spesifik
1. Kadar air
2. Kadar abu
Penapisan fitokimia
1. Alkaloid
2. Flavonoid
3. Saponin
4. Fenol
5. Steroid/triterpenoid
6. Antrakuinon
Di determinasi
Dipekatkan
dengan vacuum
rotary evaporator
Remaserasi sebanyak 13 kali
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Skema Pengelompokkan Hewan Uji dengan Metode Induksi
Aloksan
b
Disiapkan 30 ekor tikus
putih jantan galur Sprague
dawley dengan bobot 150-
200 g
Diaklimatisasi dalam
kondisi percobaan selama 1
minggu
Dikelompokkan secara acak
menjadi 6 kelompok
5 ekor tikus kelompok kontrol
normal
5 ekor tikus kelompok kontrol
negatif
5 ekor tikus kelompok kontrol
positif
5 ekor tikus kelompok dosis
rendah (1 mg/kg BB)
5 ekor tikus kelompok dosis
menengah (10 mg/kg BB)
5 ekor tikus kelompok dosis
tinggi (100 mg/kg BB)
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Skema Pengelompokkan Hewan Uji Penghambatan Enzim α-
glukosidase secara in vivo
Disiapkan 15 ekor tikus
putih jantan galur Sprague
dawley dengan bobot 150-
200 g
Diaklimatisasi dalam
kondisi percobaan selama 1
minggu
Dikelompokkan secara acak
menjadi 3 kelompok
5 ekor tikus kelompok dosis
uji potensial (suspensi ekstrak
etanol 70% daun kecombrang
100 mg/kg BB)
5 ekor tikus kelompok kontrol
positif (Akarbosa 1 mg/200 g
5 ekor tikus kelompok kontrol
negatif (Na CMC 0,5%)
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. AlurUji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan
Persiapan tikus dipuasakan selama 12 jam lalu ukur kadar
glukosa darah puasanya sebelum diinduksi aloksan
Kontrol
normal
Kontrol
negatif
Kontrol
positif
Dosis
rendah
Dosis
menengah
Dosis
tinggi
Suspensi Na
CMC 0,5% Induksi aloksan dosis tunggal 30 mg/200 g BB tikus secara intraperitoneal
Diberikan larutan glukosa 5% dalam botol minumnya setelah 4 jam
Setelah 72 jam pasca injeksi aloksan, kadar glukosa darah diukur. Hewan uji
dengan kadar glukosa darah > 140 mg/dL digunakan dalam penelitian.
Suspensi
Na CMC
0,5 %
Glibenklam
id 0,1
mg/200 g
Dosis
ekstrak 1
mg/kg BB
Dosis
ekstrak 10
mg/kg BB
Dosis
ekstrak 100
mg/kg BB
Ukur kadar glukosa darah puasa pada hari ke-0, 7, 14 dan 21. Setiap pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa, hewan dipuasakan selama12 jam terlebih dahulu
Analisis data
Kadar glukosa
darah diukur
Suspensi Na
CMC 0,5%
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Alur Uji Penghambatan Enzim -Glukosidase secara in vivo
dengan Metode Toleransi Sukrosa
Tikus dipuasakan selama 12 jam
terlebih dahulu
Kelompok dosis uji potensial
(dosis ekstrak etanol 70%
daun kecombrang 100 mg/kg
BB)
Kelompok kontrol positif
(Akarbosa 1 mg/200 g)
Ukur kadar glukosa darah
puasa sebelum perlakuan
Ekstrak etanol 70% daun
kecombrang 100 mg/kg BB
Akarbosa 1 mg/kg BB
10 menit pasca perlakuan,
dibebankan sukrosa 4 g/kg BB
Ukur kadar glukosa darah
pada menit ke-30,60 dan 120
pasca dibebankan sukrosa
Kelompok kontrol negatif
(Na CMC 0,5%)
Na CMC 0,5%
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Perhitungan Dosis
A. Dosis ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior)
1. Dosis rendah = 1 mg/kg BB
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka dosis 1 mg/kg BB = 0,2 mg/ 200
g BB
VAO = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
= 0,2
𝑚𝑔
200𝑔𝐵𝐵𝑋 200 𝑔
0,2 𝑚𝑔/𝑚𝐿
= 1 mL
2. Dosis menengah = 10 mg/kg BB
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka dosis 10 mg/kg BB = 2 mg/ 200 g
BB
VAO = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
= 2
𝑚𝑔
200𝑔𝐵𝐵𝑋 200 𝑔
2 𝑚𝑔/𝑚𝐿
= 1 mL
3. Dosis tinggi = 100 mg/kg BB
Untuk satu ekor tikus 200 g, maka dosis 100 mg/kg BB = 20 mg/
200 g BB
VAO = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
= 20
𝑚𝑔
200𝑔𝐵𝐵𝑋 200 𝑔
20 𝑚𝑔/𝑚𝐿
= 1 mL
B. Dosis Aloksan Monohidrat
Mengacu pada Journal of Pharmacological and Toxicological Methods
(2015), maka dosis tunggal aloksan yang diberikan secara
intraperitoneal adalah 150 mg/kg BB. Untuk satu ekor tikus dengan
berat 200 g maka dosis aloksan menjadi 30 mg/200 g BB.
VAO = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
= 30
𝑚𝑔
200𝑔𝐵𝐵𝑋 200 𝑔
30 𝑚𝑔/𝑚𝐿
= 1 mL
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C. Dosis Glibenklamid
Dosis efektif oral untuk manusia= 5 mg/ 60 kg BB
HED (mg/kg) = Dosis hewan (mg/kg) x 𝐾𝑚 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝐾𝑚 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎
5 mg/60 kg BB = Dosis hewan (mg/kg) x 6
37
Dosis hewan (mg/kg) = 0,083
0,162 mg/kg
Dosis hewan = 0,1 mg/ 200 g BB
VAO = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
= 0,1
𝑚𝑔
200𝑔𝐵𝐵𝑋 200 𝑔
0,1 𝑚𝑔/𝑚𝐿
= 1 mL
D. Dosis Akarbosa
HED (mg/kg) = Dosis hewan (mg/kg) x 𝐾𝑚ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝐾𝑚𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎
50 mg/60 kg BB = Dosis hewan (mg/kg) x 6
37
Dosis hewan (mg/kg) = 0,83
0,162 mg/kg
Dosis hewan = 1,0 mg/ 200 g BB
VAO = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
= 1
𝑚𝑔
200𝑔𝐵𝐵𝑋 200 𝑔
1 𝑚𝑔/𝑚𝐿
= 1 mL
E. sLarutan Sukrosa
Dosis sukrosa adalah 4 g/kg BB, maka dosis sukrosa untuk satu ekor
tikus dengan berat badan 200 g adalah 800 mg/200 g.
VAO = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
=
800 𝑚𝑔
200𝑔𝐵𝐵𝑋 200 𝑔
800 𝑚𝑔/𝑚𝐿
= 1 mL
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Gambar Bahan dan Kegiatan Penelitian
Gambar 5.1 Daun
Kecombrang
Gambar 5.2 Serbuk
simplisia daun
kecombrang
Gambar 5.3 Botol
Maserasi
Gambar 5.4 Filtrasi
maserat
Gambar 5.5 Pemekatan
eskstrak
Gambar 5.6 Ekstrak
kental
Gambar 5.7 Uji Kadar
Air
Gambar 5.8 Uji Kadar Abu Gambar 5.9 Desikator
Gambar 5.10 Sediaan
ekstrak etanol 70% daun
kecombrang
Gambar 5.11 Sediaan Na
CMC 0,5%
Gambar 5.12 Sukrosa
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 5.13
Penimbangan berat
badan hewan
Gambar 5.14 Hewan uji Gambar 5.15 Aloksan
Monohidrat
Gambar 5.16 Larutan
Aloksan dalam Saline
Gambar 5.17 Menyonde
bahan uji
Gambar 5.18 Glukometer
Gambar 5.19 Validasi
alat glukometer
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Daun
Kecombrang (Etlingera elatior)
No
.
Identifikasi
Golongan
Senyawa
Perlakuan Gambar Hasil Ket.
1. Alkaloid Ekstrak + 1 mL
etanol 70% + 1
mL HCl 2N + 9
mL aquades →
dipanaskan
selama 2
menit→
didinginkan →
disaring →
filtrate dibagi
menjadi 2 tabung
ditambahkan
masing-masing
dengan pereaksi
mayer dan
dragendorf
Gambar 5.20 Uji
alkaloid
- Tidak terbentuk
endapan putih
dengan
penambahan
reagen mayer
dan kuning
dengan
penambahan
reagen
dragendorf
2. Flavonoid Ekstrak + etanol
70% + serbuk
Mg + HCl pekat
Gambar 5.21 Uji
flavonoid
+ Terbentuk warna
kuning
3. Fenol Ekstrak + etanol
70% + FeCl3
10%
Gambar 5.22 Uji
fenol
+ Terbentuk warna
hijau kehitaman
4. Saponin Ekstrak + etanol
70% + 2 mL
aquades →
dikocok kuat
Gambar 5.23 Uji
saponin
+ Terbentuk busa
yang tidak hilang
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Antrakuinon Ekstrak + etanol
70% + 10 mL
asam sulfat →
dipanaskan →
disaring selagi
panas →filtrat +
kloroform →
dikocok →
lapisan
kloroform
dipipet → +
amonia encer
Gambar 5.24 Uji
antrakuinon
+ Terbentuklapisan
berwarna hijau
6. Steroid/Triterp
enoid
Ekstrak + etanol
70% + 3 tetes
pereaksi
Lieberman
Burchard
Gambar 5.25 Uji
steroid/triterpenid
+ Terbentuk warna
hijau
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Perhitungan Rendemen, Kadar Air dan Kadar Abu
Ekstrak Etanol 70% Daun Kecombrang (Etlingera elatior)
1. Perhitungan Rendemen
Berat ekstrak = 116 g
Berat simplisia = 900 g
% Rendemen = Berat ekstrak
Berat simplisia x 100%
= 116 g
900 g x 100%
= 12,89 %
2. PerhitunganKadar Air
W1 (Berat ekstrak) = 2,5814 g
W2 (Berat ekstrak setelah dioven) = 2,4192 g
% Kadar air = 𝑊1−𝑊2
𝑊1 x 100%
= 2,5814−2,4192
2,5814 x 100%
= 6,2834 %
3. Perhitungan Kadar Abu
W1 (Bobot cawan + Ekstrak setelah pemanasan) = 29,1004 g
W0 (Bobot cawan kosong) = 28,8060 g
B (Bobot sampel awal) = 2,2783 g
% Kadar abu = 𝑊1−𝑊0
𝐵 x 100%
= 29,1004 −28,8060
2,2783 x 100%
= 12,9219 %
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Hasil Pengukuran Glukosa Darah pada Metode Induksi
Aloksan
Kelompok Perlakuan Hari ke-
0 7 14 21
Kontrol
Normal
1 126 108 126 108
2 95 94 116 117
3 122 95 93 104
4 103 102 118 123
5 89 89 96 96
Rata-rata 107 97,6 109,8 109,6
Kontrol
Negatif
1 157 169 178 183
2 207 211 215 240
3 146 140 143 147
4 177 187 186 188
5 142 150 154 169
Rata-rata 165,8 171,4 175,2 185,4
Kontrol
Positif
1 351 120 102 69
2 343 162 107 89
3 571 287 172 118
4 480 140 97 82
5 469 214 156 106
Rata-rata 442,8 184,6 126,8 92,8
Dosis Rendah
1 mg/kg BB
1 187 154 115 93
2 148 123 117 114
3 147 137 125 95
4 150 127 112 89
5 143 136 111 107
Rata-rata 155 135,4 116 99,6
Dosis Sedang
10 mg/kg BB
1 193 151 112 56
2 199 183 117 93
3 172 114 89 88
4 180 147 120 105
5 240 142 117 116
Rata-rata 196,8 147,4 111 91,6
Dosis Tinggi
100 mg/kg BB
1 486 149 109 80
2 589 319 186 126
3 481 111 98 96
4 333 152 142 132
5 472 203 130 118
Rata-rata 472,2 186,8 133 110,4
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Presentase penurunan kadar glukosa darah pada metode
induksi aloksan
A. Glibenklamid (Kontrol Positif)
Hari ke-7 = 442,8−184,6
442,8 x 100% = 58,31%
Hari ke-14 = 442,8−126,8
442,8 x 100% = 71,36 %
Hari ke-21 =442,8−92,8
442,8 x 100% = 79,04%
B. Dosis rendah Etlingera elatior
Hari ke-7 = 155−135,4
155 x 100% = 12,64%
Hari ke-14 = 155−116
155 x 100% = 25,16%
Hari ke-21 =155−99,6
155 x 100% =35,74 %
C. Dosis sedang Etlingera elatior
Hari ke-7 = 196,8−147,4
196,8 x 100% = 25,10%
Hari ke-14 = 196,8−111
196,8 x 100% = 43,59%
Hari ke-21 =196,8−91,6
196,8 x 100% = 53,45%
D. Dosis tinggi Etlingera elatior
Hari ke-7 = 472,2−186,8
472,2 x 100% = 60,44%
Hari ke-14 = 472,2−133
472,2 x 100% = 71,83 %
Hari ke-21 =472,2−110,4
472,2 x 100% = 76,62%
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 16. Hasil Statistika Uji dengan Metode Induksi Aloksan
1. Uji Normalitas Kolmogorof-Smirnov dan Uji Homogenitas Levene
terhadap kadar glukosa darah tiap kelompok perlakuan
a. Uji Normalitas Kolmogorof-Smirnov
Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah terdistribusi normal
atau tidak.
Hipotesis :
Ho = Data kadar glukosa darah terdistribusi normal
Ha = Data kadar glukosa darah tidak terdistribusi normal
Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikan ≥0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤0,05 maka Ho ditolak
Keputusan : Data kadar glukosa darah pada hari ke-7, 14 dan 21
terdistribusi normal, sedangkan pada hari ke-0 tidak
terdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas Levene
Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah homogen atau
tidak
Hipotesis :
Ho = Data kadar glukosa darah bervariasi homogen
Ha = Data kadar glukosa darah tidak bervariasi homogen
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
hari0 hari7 hari14 hari21
N 30 30 30 30
Normal Parametersa,b Mean 256.60 153.87 128.63 114.90
Std. Deviation 156.093 52.541 31.823 38.288
Most Extreme Differences
Absolute .258 .199 .207 .201
Positive .258 .199 .207 .201
Negative -.147 -.108 -.106 -.114
Kolmogorov-Smirnov Z 1.413 1.090 1.133 1.101
Asymp. Sig. (2-tailed) .037 .186 .153 .177
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikan ≥0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤0,05 maka Ho ditolak
Keputusan: Kadar glukosa darah pada hari ke-21 bervariansi
homogen, sedangkan hari ke-0, 7 dan 14 tidak
bervariasi homogen.
2. Uji Kruskal-Wallis
Uji Kruskal-Wallis digunakan jika pada uji normalitas dan uji
homogenitas atau salah satunya tidak terpenuhi.
Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan secara
bermakna pada data kadar glukosa darah semua kelompok
perlakuan.
Hipotesis :
Ho=Data kadar glukosa darah tidak berbeda secara
bermakna
Ha =Data kadar glukosa darah berbeda secara bermakna
Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikan ≥0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤0,05 maka Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
hari0 3.096 5 24 .027
hari7 4.267 5 24 .006
hari14 3.660 5 24 .013
hari21 .997 5 24 .441
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan : Data kadar glukosa darah pada hari ke-0, 7, 14 dan 21
berbeda secara bermakna.
3. Uji Mann Whitney
Uji Man-Whitney merupakan uji lanjutan yang dilakukan apabila
hasil pengujian dengan metode Kruskal-Wallis menunjukkan adanya
perbedaan nilai secarabermakna. Tujuan uji ini adalah untuk menentukan
kelompok manakah yang memberikan nilai yang berbeda secara bermakna
dengan kelompok lainnya.
Kelompok Kelompok Probabilitas
0 7 14 21
KN K (-) 0,009* 0,009* 0,009* 0,009*
K (+) 0,009* 0,009* 0,465 0,175
D1 0,009* 0,009* 0,917 0,117
D2 0,009* 0,009* 0,917 0,117
D3 0,009* 0,009* 0,175 0,675
K (-) KN 0,009* 0,009* 0,009* 0,009*
K (+) 0,009* 1,000 0,076 0,009*
D1 0,754 0,028* 0,009* 0,009*
D2 0,117 0,251 0,009* 0,009*
D3 0,009* 0,917 0,059 0,009*
K (+) KN 0,009* 0,009* 0,465 0,175
K (-) 0,009* 1,000 0,076* 0,009*
D1 0,009* 0,175 0,625 0,402
D2 0,009* 0,465 0,917 0,917
D3 0,465 0,917 0,602 0,209
Test Statisticsa,b
hari0 hari7 hari14 hari21
Chi-Square 25.557 15.387 10.694 15.668
df 5 5 5 5
Asymp. Sig. .000 .009 .058 .008
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
D1 KN 0,009* 0,009* 0,917 0,117
K (-) 0,754 0,028* 0,009* 0,009*
K (+) 0,009* 0,175 0,625 0,402
D2 0,028* 0,347 1,000 0,530
D3 0,009* 0,251 0,602 0,251
D2 KN 0,009* 0,009* 0,917 0,117
K (-) 0,117 0,251 0,009* 0,009*
K (+) 0,009* 0,465 0,917 0,917
D1 0,028* 0,347 1,000 0,530
D3 0,009* 0,347 0,346 0,175
D3 KN 0,009* 0,009* 0,175 0,675
K (-) 0,009* 0,917 0,059 0,009*
K (+) 0,465 0,917 0,602 0,209
D1 0,009* 0,251 0,602 0,251
D2 0,009* 0,347 0,346 0,175
*Berbeda secara bermakna
Kesimpulan:
1. Pada hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa kadar glukosa
darah puasa kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna
dengan kelompok dosis rendah, sedang dan tinggi setelah masa
perlakuan selama 21 hari (p<0,05).
2. Pada hari ke-7, 14 dan 21 kelompok kontrol positif tidak berbeda
secara bermakna dengan kelompok dosis rendah, sedang dan tinggi
(p>0,05).
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Hasil Pengukuran Glukosa Darah pada Uji Penghambatan
Enzim -glukosidase secara in vivo
Kelompok Perlakuan Menit ke-
0 30 60 120
Kontrol
Positif
1 51 100 65 60
2 92 118 114 102
3 101 118 85 82
4 72 110 95 89
5 85 102 107 102
Rata-
rata
80,2±19,46 109,6 ± 8,5 93,2±19,29 87±17,37
Kontrol
Negatif
1 98 170 188 115
2 103 175 186 104
3 70 165 183 102
4 51 158 161 93
5 102 161 178 108
Rata-
rata
84,8±23,25 165,8±6,8 179,2±10,8 104,4±8,08
Dosis Uji
(100 mg/kg
BB)
1 107 113 123 103
2 84 152 136 84
3 113 143 135 92
4 120 135 121 148
5 92 154 140 89
Rata-
rata
103,2±14,88 139,4±16,59 131±8,45 103,2±25,9
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Presentase penurunan kadar glukosa darah pada uji
penghambatan enzim -glukosidase
Kelompok Area Under Curve
Kontrol (+) 188,25
Kontrol (-) 290,7
Dosis Uji (Ekstrak etanol 70% kecombrang 100 mg/kg BB) 245,35
% = 𝑨𝑼𝑪 𝑲(−)− 𝑨𝑼𝑪 𝑺𝒆𝒅𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒖𝒋𝒊
𝑨𝑼𝑪 𝑲 (−) x 100 %
A. Akarbosa (Kontrol Positif)
%= 290,7− 188,25
290,7 x 100%
= 35,24 %
B. Dosis Uji (Ekstrak etanol 70% daun kecombrang 100 mg/kg BB)
% = 290,7− 254,35
290,7 x 100%
= 12,5 %
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 19. Hasil Statistika Uji penghambatan enzim -glukosidase secara
in vivo
1. Uji Normalitas Kolmogorof-Smirnov dan Uji Homogenitas Levene
terhadap kadar glukosa darah tipa kelompok perlakuan
a. Uji Normalitas Kolmogorof-Smirnov
Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah terdistribusi normal
atau tidak.
Hipotesis :
Ho = Data kadar glukosa darah terdistribusi normal
Ha = Data kadar glukosa darah tidak terdistribusi normal
Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikan ≥0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤0,05 maka Ho ditolak
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Menit_0 Menit_30 Menit_60 Menit_120
N 15 15 15 15
Normal Parametersa,b Mean 89.40 138.27 134.47 98.20
Std. Deviation 20.780 26.029 38.569 19.117
Most Extreme
Differences
Absolute .150 .182 .137 .181
Positive .101 .182 .110 .181
Negative -.150 -.168 -.137 -.132
Kolmogorov-Smirnov Z .580 .704 .531 .700
Asymp. Sig. (2-tailed) .889 .704 .940 .711
Keputusan : Data kadar glukosa darah pada menit ke- 0, 30, 60 dan
120 terdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas Levene
Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah homogen atau
tidak
Hipotesis :
Ho = Data kadar glukosa darah bervariasi homogen
Ha = Data kadar glukosa darah tidak bervariasi homogen
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikan ≥0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤0,05 maka Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Levene
Statistic
df1 df2 Sig.
Menit_0 .991 2 12 .400
Menit_30 1.826 2 12 .203
Menit_60 1.611 2 12 .240
Menit_120 1.430 2 12 .277
Keputusan: Kadar glukosa darah pada menit ke-0, 30, 60 dan 120
bervariansi homogen.
2. Uji ANOVA
Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna
pada data kadar glukosa darah semua kelompok perlakuan.
Hipotesis :
Ho=Data kadar glukosa darahtidakberbeda secara bermakna
Ha =Data kadar glukosa darah berbeda secara bermakna
Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikan ≥0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤0,05 maka Ho ditolak
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ANOVA
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Menit_0
Between Groups 1481.200 2 740.600 1.947 .185
Within Groups 4564.400 12 380.367
Total 6045.600 14
Menit_30
Between Groups 7905.733 2 3952.867 30.037 .000
Within Groups 1579.200 12 131.600
Total 9484.933 14
Menit_60
Between Groups 18580.133 2 9290.067 49.644 .000
Within Groups 2245.600 12 187.133
Total 20825.733 14
Menit_120
Between Groups 944.400 2 472.200 1.358 .294
Within Groups 4172.000 12 347.667
Total 5116.400 14
Keputusan : Data kadar glukosa darah pada menit ke 30 dan 60 berbeda secara
bermakna.
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil)
Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) merupakan uji lanjutan yang
dilakukan apabila hasil uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan nilai
secara bermakna. Tujuan uji ini adalah untuk menentukan kelompok
manakah yang memberikan nilai yang berbeda secara bermakna dengan
kelompok lainnya.
Multiple Comparisons
LSD
Dependent
Variable
(I) Kelompok (J) Kelompok Mean
Differe
nce (I-
J)
Std.
Error
Sig. 95% Confidence Interval
Lower
Bound
Upper
Bound
Menit_0
Kontrol Positif Kontrol Negatif -4.600 12.335 .716 -31.48 22.28
Dosis Uji -23.000 12.335 .087 -49.88 3.88
Kontrol Negatif Kontrol Positif 4.600 12.335 .716 -22.28 31.48
Dosis Uji -18.400 12.335 .162 -45.28 8.48
Dosis Uji Kontrol Positif 23.000 12.335 .087 -3.88 49.88
Kontrol Negatif 18.400 12.335 .162 -8.48 45.28
Menit_30
Kontrol Positif
Kontrol Negatif -
56.200*
7.255 .000 -72.01 -40.39
Dosis Uji -
29.800*
7.255 .001 -45.61 -13.99
Kontrol Negatif Kontrol Positif 56.200* 7.255 .000 40.39 72.01
Dosis Uji 26.400* 7.255 .003 10.59 42.21
Dosis Uji
Kontrol Positif 29.800* 7.255 .001 13.99 45.61
Kontrol Negatif -
26.400*
7.255 .003 -42.21 -10.59
Menit_60
Kontrol Positif
Kontrol Negatif -
86.000*
8.652 .000 -104.85 -67.15
Dosis Uji -
37.800*
8.652 .001 -56.65 -18.95
Kontrol Negatif Kontrol Positif 86.000* 8.652 .000 67.15 104.85
Dosis Uji 48.200* 8.652 .000 29.35 67.05
Dosis Uji
Kontrol Positif 37.800* 8.652 .001 18.95 56.65
Kontrol Negatif -
48.200*
8.652 .000 -67.05 -29.35
Menit_120 Kontrol Positif Kontrol Negatif -17.400 11.793 .166 -43.09 8.29
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dosis Uji -16.200 11.793 .195 -41.89 9.49
Kontrol Negatif Kontrol Positif 17.400 11.793 .166 -8.29 43.09
Dosis Uji 1.200 11.793 .921 -24.49 26.89
Dosis Uji Kontrol Positif 16.200 11.793 .195 -9.49 41.89
Kontrol Negatif -1.200 11.793 .921 -26.89 24.49
*Berbeda secara bermakna
Kesimpulan:
1. Pada hasil uji BNT menunjukkan bahwa kadar glukosa darah
puasa kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan
kelompok dosis uji (100 mg/kg BB) pada menit ke -30 dan 60
(p<0,05).
2. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan
kelompok uji (100 mg/kg BB) pada menit ke 30 dan 60 (p<0,05).
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 20. Foto kadar glukosa darah
a. Uji dengan metode induksi aloksan
Kelompok Kadar glukosa darah (Hari ke-)
0 7 14 21
Kontrol Normal 1
2
3
4
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
Kontrol Negatif 1
2
3
4
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
Kontrol Positif 1
2
3
4
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
Dosis 1 mg/kg BB 1
2
3
4
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
Dosis 10 mg/kg BB 1
2
3
4
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
Dosis 100 mg/kg BB 1
2
3
4
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
b. Uji penghambatan enzim -glukosidase
Kelompok Pemeriksaan kadar glukosa darah (Menit ke-)
30 60 120
Kontrol
Positif
1
2
3
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
5
Kontrol
Negatif
1
2
3
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
5
Dosis uji
(100 mg/kg
BB
1
2
3
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
5