20
Bab 2 Landasan Teori 2.1. Pengertian Hipotesis Pada kebanyakan penelitian, hipotesis memegang peran penting sebagai petunjuk penelitian yang akan dilakukan. Jenis hipotesis akan menentukan jenis alat analisis yang digunakan. Hipotesis adalah pernyataan mengenai sesuatu yang akan dibuktikan kebenarannya lewat penelitian. Dalam penelitian tentang ciri-ciri peristiwa tertentu umumnya memiliki suatu dugaan penelitian dengan mengemukakan sebuah hipotesis yang dapat memberikan suatu model aspek atau ciri-ciri tertentu dari peristiwa yang diteliti. Hipotesis sepeti itu akan memberikan dan memiliki nilai ilmiah jika sesuai dengan atau mendekati kenyataan empiris. Hipotesis semacam itu dapat diuji dengan jalan membandingkan hasil teoritisnya dengan hasil sampel yang bersifat empiris. Jika hipotesis tersebut tidak sesuai dengan data empirisnya, maka harus diperbaiki atau menolak keabsahannya. Jika cara pengumpulan data sampelnya memang baik sekali, maka penolakan dan penerimaan hipotesis secara statistik. Dalam hal tersebut, hipotesis dapat bersifat statistik atau menggambarkan nilai parameter distribusi populasi teoritis dimana data sampel empirisnya dipilih. Perumusan sementara mengenai sesuatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu dan untuk menuntun atau mengarahkan penelitian selanjutnya. Langkah atau prosedur untuk menentukan apakah menerima atau menolak hipotesis dinamakan Uji Hipotesis.

Uji Hipotesis - Bab 2 Landasan Teori - Modul 4 - Laboratorium Statistika Industri - Data Praktikum - Risalah - Moch Ahlan Munajat - Universitas Komputer Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

http://ahlannet99.wordpress.com

Citation preview

Bab 2

Landasan Teori

2.1. Pengertian Hipotesis

Pada kebanyakan penelitian, hipotesis memegang peran penting sebagai

petunjuk penelitian yang akan dilakukan. Jenis hipotesis akan

menentukan jenis alat analisis yang digunakan. Hipotesis adalah

pernyataan mengenai sesuatu yang akan dibuktikan kebenarannya lewat

penelitian.

Dalam penelitian tentang ciri-ciri peristiwa tertentu umumnya memiliki

suatu dugaan penelitian dengan mengemukakan sebuah hipotesis yang

dapat memberikan suatu model aspek atau ciri-ciri tertentu dari peristiwa

yang diteliti. Hipotesis sepeti itu akan memberikan dan memiliki nilai

ilmiah jika sesuai dengan atau mendekati kenyataan empiris. Hipotesis

semacam itu dapat diuji dengan jalan membandingkan hasil teoritisnya

dengan hasil sampel yang bersifat empiris. Jika hipotesis tersebut tidak

sesuai dengan data empirisnya, maka harus diperbaiki atau menolak

keabsahannya. Jika cara pengumpulan data sampelnya memang baik

sekali, maka penolakan dan penerimaan hipotesis secara statistik.

Dalam hal tersebut, hipotesis dapat bersifat statistik atau menggambarkan

nilai parameter distribusi populasi teoritis dimana data sampel

empirisnya dipilih.

Perumusan sementara mengenai sesuatu hal yang dibuat untuk

menjelaskan hal itu dan untuk menuntun atau mengarahkan penelitian

selanjutnya. Langkah atau prosedur untuk menentukan apakah menerima

atau menolak hipotesis dinamakan Uji Hipotesis.

Dalam pengujian hipotesis akan sering kita gunakan istilah menerimaatau

menolak sebuah hipotesis. Penting untuk dipahami bahwa penolakan

suatu hipotesis berarti menyimpulkan bahwa hipotesis itu tidak benar,

sedangkan penerimaan suatu hipoitesis hanyalah menunjukkan bahwa

tidak cukup petunjuk untuk mempercayai sebaliknya. Karena itulah, yang

melakukan percobaan seharusnyalah selalu menyatakan sebagai

hipotesisnya pernyatan yang diharapkan akan ditolak.

2.2. Langkah-Langkah Pengujian Hipotesis

Langkah-langkah yang biasa ditempuh ketika menguji hipotesis dan

membuat kesimpulan adalah sebagai berikut:

1. Rumuskan hipotesis H yang akan diuji disertai keterangan seperlunya.

Perumusan ini dibuat sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Ada tiga

hal yang biasa digunakan:

a. Hipotesis mengandung pengertian sama. Jika ingin menguji dugaan

bahwa pada umumnya masa pakai semacam lampu pijar sekitar 800

jam umpamanya, maka perumusan yang dapat digunakan adalah H:

µ = 800 jam, berarti masa pakai lampu itu sesuai dengan yang

diperkirakan, ialah rata-rata 800 jam.

b. Hipotesis mengandung pengertian maksimum. Misalnya untuk

menguji pernyataan bahwa dalam pengiriman barang terdapat

kerusakan paling besar 5%, perumusan sebagai berikut dapat

dipakai H: π ≤ 5%, berarti kerusakan dalam pengiriman barang

maksimum 5%.

c. Hipotesis mengandung pengertian minimum. Jika ingin menguji

bahwa semacam kain dapat dipakai pada umumnya paling cepat

rusak dalam tempo 180 hari umpamanya, dapat kita buat

perumusan dimana H: µ ≥ 180 hari, berarti paling cepat kain itu

pada umumnya akan rusak dalam tempo 180 hari.

2. Setelah hipotesis H ditentukan, perlu dirumuskan pula mengenai

alternatif A yang sesuai dengan H.

a. Sebagai imbangan perumusan H yang mengandung pengertian

sama, maka alternatifnya harus mengandung pengertian tidak sama.

Untuk soal masa pakai lampu dalam contoh diatas, alternatifnya

menjadi A: µ ≠ 800 jam, berarti masa pakai lampu itu tidak benar

sekitar 800 jam. Ini diartikan pula, bahwa masa pakai lampu itu

mungkin lebih lama atau lebih pendek dari masa pakai yang diduga.

b. Alternatif yang mendampingi hipotesis yang mengandung

pengertian maksimum adalah A yang merumuskan pengertian lebih

besar. Untuk contoh pengiriman barang dimana jaminan kerusakan

maksimum 5%, alternatifnya adalah A: π > 5%, berarti kerusakan

dalam pengiriman itu tidak dapat memenuhi jaminan karena

kerusakan melebihi dari yang ditentukan. Suatu pengujian dengan

bentuk alternatif yang lebih besar merupakan uji pihak kanan. Dari

bentuk pengujian inilah pula nanti kita peroleh batas-batas untuk

memilih H atau A yang sudah dirumuskan.

c. Akhirnya, untuk H yang mengandung pengertian minimum, bentuk

alternatifnya harus menyimpulkan pengertian lebih kecil.

Demikianlah umpamanya, untuk daya pakai semacam kain seperti

yang diberikan dalam contoh di atas, maka A: µ < 180 hari, berarti

kain itu tidak sebaik seperti dinyatakan dalam hipotesis H. Alternatif

yang mengandung pengertian lebih kecil ini seperti dalam contoh ini,

mengakibatkan uji pihak kiri.

3. Selesai dengan perumusan H dan A, maka setelah sampel yang

diperluka tersedia, perhitungan dapat dilakukan. Tentukan saja dari

sampel ini dihitung nilai-nilai statistik yang diperlukan, misalnya rata-

rata x, simpangan baku s atau perbandingan x/n dari sampel itu (n =

ukuran sampel yang digunakan) selanjutnya, dalam perhitungan ini

digunakan sifat-sifat mengenai distribusi sampling yang telah kita kenal.

4. Langkah berikutnya kita tentukan batas-batas untuk melakukan

penolakan atau penerimaan H. Dikatakan cara lain, kita tentukan

kriteria untuk menerima atau menolak H. Kriteria ditentukan oleh:

a. Taraf signifikan α yang telah ditentukan sebelum penelitian.

b. Daerah-daerah dibawah lengkungan distribusi normal standar

apabila sampel yang digunakan berukuran besar, daerah-daerah

dibawah distribusi student dalam hal n berukuran kecil.

c. Bentuk pengujian, apakah dua pihak, pihak kiri atau pihak kanan.

5. Setelah kriteria untuk pengujian ditentukan dan hasil dari penelitian

diperoleh, maka bandingkanlah antara hasil penelitian dengan kriteria

tadi. Nilai z atau t dari penelitian kita tentukan ada di daerah mana.

Jika nilai ini ada di daerah penerimaan H, maka ini berarti berdasarkan

penelitian itu H diterima. Tetapi apabila terjadi sebaliknya, yaitu nilai

penelitian ada di daerah penolakan H, maka diartikan penelitian

menolak hipotesis H.

6. Akhirnya, berikanlah kesimpulan.

2.3. Hubungan Pendugaan Dengan Pengujian Hipotesis

Secara fungsional, tujuan pendugaan tentang parameter populasi berbeda

dari pengujian hipotesis. Tujuan pendugaan parameter ialah penyajian

hasil pendugaan tentang nilai parameter populasi yang didasarkan pada

data sampel, sebaliknya pengujian hipotesis bertujuan untuk menentukan

pilihan terhadap tindakan-tindakan alternatif dalam masalah

pengambilan keputusan. Secara statistik yang berdasarkan pada hasil

sampel.

Hubungan antara pengujian hipotesis dan pengambilan keputusan ini

merupakan aplikasi teori statistik yang paling penting dalam bidang

ekonomi. Meskipun demikian hubungan antara pendugaan parameter

dengan pengujian hipotesis sudah jelas erat sekali. Kesalahan dugaan nilai

parameter karena terletak diluar batas keyakinan sebetulnya sama dengan

kesalahan II dalam pengujian hipotesis. Menguji hipotesis yang

menyatakan bahwa interval keyakinan bagi parameter yang bersangkutan,

jika nilai yang dispesifikasikan bagi hipotesisnya seharusnya ditolak.

Prosedur pendugaan dengan sendirinya dapat merupakan pengujian

hipotesis dalam arti nilai dugaannya dapat dianggap sebagai hipotesis.

Kedua masalah diatas diuraikan secara terpisah karena pendugaan

berhubungan hanya dengan parameter populasi sedangkan pengujian

hipotesis tidak demikian.

Pengujian memerlukan observasi atau hasil pemilihan sampel yang

bersifat random tentang frekuensi kerusakan x/n hasil penstensilan itu

sendiri. Observasi pemilihan sampel seperti itu dapat dilakukan secara

berulang-ulang kali atau sekali saja, atas dasar nilai statistik sampel

keputusan, diambil guna menentukan apakah H0 diatas diterima atau

ditolak. Jika H0 tidak sama artinya H1 diterima.

Dalam hal ini salah satu tahap prosedur yang terpenting ialah

menentukan nilai statistik sampel yang dianggap sebagai dasar. Nilai

statistik sedemikian itu menentukan daerah kritis pengujian itu sendiri.

Pada hakekatnya, interval keyakinan membutuhkan pemilihan koefisien

keyakinan 1 - guna sekaligus menentukan sepasang nilai batas

keyakinannya. Dalam prosedur pengujian hipotesis kita menolak atau

menerima pernyataan katakanlah 0 x (rata-rata hipotesis) tergantung

pada apakah 0 terletak atau tidak dalam interval keyakinan yang relevan,

jelas sekali bahwa istilah “nyata” dan “keyakinan” sebetulnya mengukur

hal yang sama. Tiap pengujian tentang keyakinan menggunakan

keyakinan interval secara implisit, sebaliknya tiap interval keyakinan dapat

merupakan dasar bagi pengujian tentang kenyataan. Pada umumnya,

pengujian tentang pernyataan, koefisien keyakinan sebesar 95% dan 99%

banyak digunakan. Andaikan H0 benar, penolakan hipotesis dengan

statistik sampel cukup nyata. Jika koefisien keyakinan sebesar 99%

digunakan, maka beda antara hipotesis dengan hasil sampel menjadi

sangat nyata, jika kita menerima H0 berarti beda keduanya tidak nyata.

2.4. Prosedur Pengujian Hipotesis

Prosedur yang umum dan secara logis harus diikuti dapat dibagi kedalam

beberapa langkah yang konsisten sebagai adalah berikut:

1. Nyatakan hipotesis nol serta hipotesis alternatifnya.

2. Pilih statistik yang sesuai sebagai dasar bagi prosedur pengujian. Hal

tersebut tergantung pada asumsi tentang bentuk distribusi dan

hipotesisnya.

3. Pilih taraf nyata yang tertentu serta tentukan besaran sampel n

4. Tentukan daerah kritis. Hal tesebut sebagian akan tergantung pada

hipotesis alternatif.

5. Kumpulkan data sampel dan hitung dengan cara demikian itu terletak

dalam daerah penolakan, kita harus menolak hipotesis nolnya karena

probabilitas memperoleh nilai satatistik sedemikian itu, jika Ho benar

demikian kecilnya sehingga kita menganggap bukan disebabkan oleh

variansi sampel yang normal dan kita menarik konklusi bahwa Ho

semestinya palsu.

Langkah ke enam diatas sebetulnya mencerminkan falsafah dasar

pengujian hipotesis. Pada setiap pengujian sedemikian itu, kita

bandingkan nilai yang diobservasi bagi karekteristik tertentu dengan nilai

teoritisnya yang dinyatakan oleh hipotesis. Pada umumnya kedua nilai

diatas semestinya berbeda dan penguji harus menentukan apakah beda

itu memang sudah sedemikian hipotesisnya. Agar dapat menentukan

suatu putusan mengenai hal diatas kita harus melihat beberapa

probalilitas sebesar yang kita peroleh jika hipotesisnya benar. Jika

probabilitas tersebut kecil kita harus anggap beda diatas disebabkan oleh

variasi hasil pemilihan sampel tetapi jika probabilitasnya besar kita harus

tidak menganggapnya bahwa beda tersebut disebabkan oleh faktor

kebetulan dan menghasilkan penolakan hipotesis yang bersangkutan

dinamakan beda nyata. Jika = 0.05, maka hasil bedanya dianggap

“nyata” sebaliknya, jika bedanya dapat dianggap sebagai hasil kebetulan

sehingga hipotesisnya diterima, maka beda sedemikian itu menjadi tidak

nyata atau tidak berarti.

2.5. kesalahan Jenis I dan Jenis II

Hipotesis yang merumuskan dengan harapan untuk menolak disebut

hipotesis awal yang dinyatakan dengan H0 menjurus pada penerimaan

suatu hipotesis alternatif dinyatakan dengan H1.

Bila sebuah statistik x jatuh di daerah penolakan (daerah kritis) maka H0

ditolak dan dianggap bahwa hipotesis alternatif H1 yang benar. Bila

statistik x jatuh di daerah penerimaan maka H0 diterima. Cara

pengambilan keputusan seperti ini mungkin saja membawa kita pada dua

kesimpulan yang salah yaitu:

1. Kesalahan tipe I, terjadi karena keputusan menolak H0 dan menerima

H1 dan sesungguhnya H0 yang benar. Peluang melakukan kesalahan

tipe I disebut tingkat signifikan uji hipotesis dan dinyatakan dengan α

= p (menolak H1, H0 benar). Tingkat signifikan adalah ukuran (nilai

kemungkinan) daerah kritis.

2. Kesalahan tipe II, terjadi karena keputusan menolak H0 dan menerima

H1 dan sesungguhnya Ho yang salah. Peluang melakukan kesalahan

tipe II dinyatakan dengan β = p (menolak H1, H0 salah). Peluang ini

dapat dihitung bila hipotesis alternatifnya telah ditentukan.

Secara skematis, kedua jenis kesalahan itu serta hubungannya dapat

dilihat sebagai berikut:

Tabel 4.2.1. Tabel Jenis Kesalahan Pengambilan Keputusan Hipotesis

Hipotesis

Keputusan

Jika H0 benar Jika H0 salah

(H1 benar)

Terima H0

Keputusan yang betul

Probabilitas = 1- =

“tingkat keyakinan”

Kesalahan tipe II

Probabilitas =

Tolak H0

Keputisan tipe I

Probabilitas = = “taraf

nyata”

Keputusan yang betul

probabilitas = 1- =

“kuasa pengujian”

Gambaran kedua jenis kesalahan itu secara grafis adalah sebagai berikut:

Jika H0 benar

α

Gambar 4.2.1. Daerah Penerimaan dan Penolakan

Jika H1 benar

α

Gambar 4.2.2. Daerah Penerimaan dan Penolakan

2.6. Bentuk Distribusi, Batas-Batas Penerimaan dan Penolakan

Pengujian Dua Sisi

H0: o n/Zoc 2/1

H1: o n/Zoc 2/2

1

2/2/

Penerimaan PenolakanPenolakan

Gambar4.2.3.Kurva Pengujiaan Dua Sisi

Pengujian Satu Sisi (Sisi Kanan)

H0 : o n/Zoc

H1 : o

1

Gambar 4.2.4.Kurva Pengujiaan Satu Sisi (Sisi Kanan)

Pengujian Satu Sisi (Sisi Kiri)

H0: o n/Zoc

H1: o

1

Gambar 4.2.5.Kurva Pengujiaan Satu Sisi (Sisi Kiri)

2.7. Cara Pengujian dengan Sampel Besar

Pegujian Parameter Rata-Rata

H0: x = o dimana x2 diketahui:

Z =x- μo

x √n⁄Sehingga daerah kritis pengujian parameter rata-rata dimana

populasinya tidak terhingga dapat dinyatakan sebagai berikut:

x- μoµx √n⁄ > Zα/2 dan

x- μoµx √n⁄ < Zα/2

Jika populasi dari mana sampel random dipilih terbatas atau

sampelnya dipilih dengan cara pemulihan, maka cara menghitung σxharus menggunakan faktor koreksi sebesar:

1NnNx

Pengujian Parameter Rata-Rata, H0 = ox Dimana x2

Jika dalam proses pengujian H0 = x = o , x2 atau diketahui maka

x2 atau x harus diduga penduga S2 atau S yang tidak bias. Dalam

sedemikian itu, statistik uji Z dapat diberikan sebagai: Z =x- μoS √n⁄ ,

sehingga daerah kritis dalam pengujian secara dua arah diberikan

sebagai:

x- μoS √n⁄ > Zα/2 dan

x- μoS √n⁄ < Zα/2

Sebaliknya daerah dalam pengujian searah diberikan sebagai:

x- μoS √n⁄ > Zα dan

x- μoS √n⁄ < Zα

Jika sampelnya besar sekali, pengadaan x2 dan x dengan

menggunakan nilai penduga S2 atau S tetap memberi hasil yang cukup

memuaskan. Sebaliknya jika sampelnya kecil, maka pengujian

hipotesisnya harus mengunakan statistik uji t. Akhirnya jika populasi

darimana sampel random dipilih ternyata terbatas atau sampelnya

dipilih dengan cara pemulihan, maka cara menghitung σx harus

menggunakan faktor koreksi bagi populasi terbatas sebesar:1NnN

Pengujian H0: 21 = 0 Dimana 2 Diketahui Tetapi 22

21

Pada hakekatnya 21 dengan menggunakan sampel besar dan

dipilih dari populasi yang tidak terhingga dapat menggunakan

statistik uji Z yang diberikan sebagai:

Z =x1- x2 - μ1-μ2

σx1-x2dimana:σx1-x2= σ1²

n1+ σ2²

n2

Sehingga daerah kritis dalam pengujian daerah dapat dinyatakan

sebagai:

x1- x2 - μ1-μ2σx1-x2

>Zα/2 danx1- x2 - μ1-μ2

σx1-x2<Zα/2

atau:

x1- x2 - μ1-μ2σ1²n1

+ σ2²n2

> Zα/2 danx1- x2 - μ1-μ2

σ1²n1

+ σ2²n2

< Zα/2

Jika sampai random dipilih dari populasi yang terbatas atau dengan

cara tanpa pemulihan, faktor koreksi bagi populasi yang terbatas

sebesar: (x1- x2)- (n1- n2)N1+ N2

Pengujian H0: 21 = 0 Dimana 2 Diketahui Tetapi 222

21

Jika 2 diketahui sedangkan 21 = 2

1 , pengujian H0: 21 dengan

menggunakan sampel besar dan dipilih dari populasi yang tidak

terhingga dapat menggunakan statistik uji Z pada pengujian Ho:

21 dengan atau 0: 21 dimana 2 diketahui tetapi ≠ .

σx1- x2=1n1

+1n2

dimana: 21 deviasi standar populasi umum.

Jika sampel random yang digunakan dipilih dari populasi yang

terbatas atau dengan cara tanpa pemulihan, faktor koreksi bagi

populasi terbatas sebesar: (x1- x2)- (n1- n2)N1+ N2

Pengujian H0: 21 Dimana 2 Tidak Diketahui

Jika 2 populasi tidak diketahui, maka penduga S2 yang tidak bias dapat

digunakan untuk menduga S2. Bila sampel random yang digunakan

dalam prosedur pengujian besar sekali, pendugaan S2 bagi 2 akan

memberikan hasil yang memuaskan. Tetapi jika n kecil, maka

pengujian H0: 21 lebih baik menggunakan statistik uji t.

2.8. Cara Pengujian dengan Sampel Kecil

Pengujian Ho: 0x Dimana x Tidak Diketahui

Pada rumus:st

hipotesis.Parameterstt

, statistik uji t bagi pengujian

parameter x dengan sampel kecil, katakanlah kurang dari 30 dapat

diberikan sebagai berikut:n/SoXt

Statistik uji t diatas memiliki distribusi t dengan derajat kebebasan

sebesar n–1. Daerah kritis pengujian dimana populasinya tidak

terhingga dapat dinyatakan sebagai:

f.D,2/tn/SoXt

dan f.t,2/tn/SoXt

dimana d.f = n – 1 dan S = standar deviasi yang dihitung dari sampel

jika sampel random dipilih dari populasi yang terbatas atau dengan cara

pemulihan maka faktor koreksi sebesar:

1NN

nnNN

21

2121

harus digunakan dalam menghitung S-nya.

Prosedur pengujian langkah demi langkah dengan menggunakan

statistik uji t sama seperti prosedur pengujian dengan menggunakan

statistik uji z.

Pengujian Ho: μ1= μ2 atau μ1= μ2=0 Jika ² Tidak Di ketahui

222

21

Kita misalkan x1 dan x2 didistribusikan secara normal masing-masing

dengan rata-rata 1 dan 2 dan variansi 222

21 . Kita misalkan

pula sampel random masing-masing sebesar n1 dan n2 dipilih dari kedua

populasi yang tidak terhingga tersebut. Pengujian H0: 21 dapat

menggunakan statistik t yang dirumuskan secara umum sebagai:

2

22

1

21

21

nS

nS

xxt

dimana:

2:nn

s1ns1npS21

212

2112

Statistik uji t di atas akan memiliki distribusi t dengan derajat bebas

sebesar n1+n2–2. jika sampel dipilih dari populasi yang terbatas atau

dengan cara tanpa pemulihan, maka faktor koreksi bagi populasi

terbesar sebesar:

1NN

nnNN

21

2121

Pengujian Ho: 21 atau 021 , Jika 2 Tidak Diketahui2

22

1

Jika 22

21 dan tidak diketahui, penguijian 21 dengan

menggunakan statistik uji t:

2

22

1

21

21

nS

nS

xxt

dimana:

1nns

1nns

snsv

2

22

2

1

12

1

221

21

Observasi Berpasangan

nDSDt

2

dimana:

1nn

DDnDS2

i2

i2

2.9. Uji Hipotesis Proporsi

Pengujian Beda Antara 2 Proporsi, P1 – P2

Bila sepasang data yang diperoleh dari populasi

binomialdipertandingkan, maka distribusi seharusnya merupakan

distribusi proporsi sukses dan bukan distribusi jumlah sukses. Dengan

lain perkataan, distribusinya harus merupakan distribusi x/n bukan

distribusi x. Jika n besar, maka menggunakan dengan rata-rata:

pn

nppHpE

x/n akan didistribusikan kurang lebih secara normal dengan rata-rata p

dan standar deviasinya:

n)p1(p

p

hasil uji statistik Z dapat diberikan:

21

2121

pppppp

Z

dimana:

2

22

1

1121 n

p1pn

p1ppp

Pada hakekatnya, p1 dan p2 umumnya tidak diketahui sehingga harus

diduga, karena pengujian dilakukan terhadap p1 = p2, maka p1 = p2 = p

dimana p = gabungan proporsi dan dirumuskan sebagai:

21

21

nnkkP

dimana k1 dan k2 masing-masing merupakan jumlah sub sampel.

Akhirnya jika sampel random dipilih dari populasi yang terbatas atau

dengan cara pemulihan, maka faktor koreksi bagi populasi terbatas

sebesar: 1NN

nnNN

21

2121

perlu digunakan dalam menghitung: 21 pp

Pengujian Parameter Proporsi, Ho: p = po

Jika kita memilih sampel dari populasi yang tidak terhingga dan yang

memiliki distribusi binomial serta menggunakan hasil untuk

menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis p = po, dan statistik Z

nya dapat diberikan sebagai:

n)p1(p

ppZ

oo

o

Sehingga daerah kritisnya menjadi:

2/oo

o Z

n)p1(p

ppZ

dan 2/

oo

o Z

n)p1(p

ppZ

Pengujian diatas merupakan pengujian secara aproksimatif yang

sebetulnya didasarkan pada cara pendekatan distribusi binomial dengan

distribusi normal.

Pada hakekatnya, p tidak dapat diketahui dan umumnya diganti

dengan x/n, sehingga kita akan memperoleh statistik uji:

n)p1(p

pnx

Zoo

Sehingga daerah kritis dalam pengujian menjadi:

2/oo

Z

n)p1(p

pnx

Z

dan 2/oo

Z

n)p1(p

pnx

Z

Jika besarnya sampel relatif kecil dibandingkan dengan populasi, maka

pendekatan dengan distribusi normal menggunakan faktor koreksi

kontinuitas sebesar:n21

Uji Hipotesis Proporsi dan Kesamaan Dua Proporsi

Pada pengujian ini yang akan uji ialah po, yaitu dengan menggunakan

rumusan sebagai berikut:

n/p1ppn/x

Zoo

o

21

21

n1

n1pq

p̂p̂Z

dimana:

21

21

nnxxp

dan p1q

Uji Hipotesis Varians dan Kesamaan Dua Varians

Ketika menaksir selisih rata-rata dan menguji kesamaan atau

perbedaan dua rata-rata telah berulang kali ditekankan adanya asumsi

bahwa kedua populasi mempunyai varians yang sama agar menaksir

dan menguji bisa berlangsung. Dalam hal varians yang berlainan,

hingga sekarang hanya digunakan cara-cara pendekatan. Oleh karena

itu terasa perlu untuk melakukan pengujian mengenai kesamaan dua

varians atau lebih. Dalam hal ini dilakukan pengujian kesamaan varians

untuk dua populasi.Misalkan kita mempunyai dua populasi normal

dengan varians 22

21 dan . Akan diuji mengenai uji dua pihak untuk

pasanganH0 dan tandingannya H1:

22

211

22

210

::

Berdasarkan sampel acak yang masing-masing secara independent

diambil dari populasi tersebut. Jika sampel dari populasi kesatu

berukuran n1 dengan varians S12 dan sampel dari populasi kedua

dengan varians S22. Maka untuk menguji hipotesis di atas digunakan:

22

21

ssF dimana: 1nv 11

1nv 22

Kriteria pengujian adalah: terima hipotesis H0 jika:

12n,11n2111n1 FFF

Untuk taraf nyata dimana n,mF didapat dari daftar distribusi F

dengan peluang , dk pembilang =n dan dk penyebut=n . Dalam hal

lainnya H0 ditolak.

terkecilVariansterbesarVarians

F

Tolak H0 hanya jika 2v,1v21FF

dengan 2v,1v21FF

didapat dari

daftar distribusi F dengan peluang 1/2 , sedangkan derajat kebebasan

V1 dan V2masing-masing sesuai dengan dk pembilang danpenyebut

dalam rumusterkecilVariansterbesarVarians

F , seperti biasa= taraf nyata.Ketika

menguji rata-rata untuk populasi normal, didapat hal dimana

simpangan baku diketahui. Harga yang diketahui ini umumnya

didapat dari pengalaman dan untuk menetukan besarnya perlu

diadakan pengujian. Untuk ini kita misalkan populasi berdistribusi

normal dengan varians 2 dan daripadanya diambil sebuah sampel acak

berukuran n. Varians sampel yang besarnya S2 dihitung dengan rumus:

1n

S2

i2

Pada pengujian ini yang akan uji ialah kesamaan dua varians, yaitu

dengan menggunakan rumusan sebagai berikut:

2

0

22 s1nX

dimana:

1nv

2.10. Hubungan Antara n,,

Pada umumnya penguji harus menentukan terlebih dahulu besarnya

kesalahan jenis I karena kesalahan ini dapat dikuasi, kemudian bila n

sudah ditentukan barulah kita dapat mengatur pengujian yang sifatnya

memperkecil kesalahan jenis II.Bila tidak berubah dan n diperbesar,

maka daerah kritis (daerah penolakan) makin besar, sedangkan daerah

penerimaan makin sempit.

Hal tersebut membenarkan teorema yang menyatakan bahwa n

diperbesar , maka rata-rata sampel ukuran kecil. Selain dari itu

penambahan n dengan harga yang tetap akan mengakibatkan

pengurangan nilai dan memperbesar nilai 1- .

Hal sedemikian itu memberikan kegunaan sampel besar bagi pengujian,

karena penambahan n dapat mempertahankan disamping memperkecil

. Sehingga makin kecil nilai makin besar nilai 1- atau makin besar

pada probabilitas guna menolak hipotesis palsu (probabilitas kuasa

pengujian).Kekeliruan tipe I dinamakan pula kekeliruan dan kekeliruan

tipe II dinamakan pula kekeliruan .

Dalam penggunaanya , disebut pula taraf signifikan atau taraf arti atau

sering pula disebut taraf nyata. Besar kecilnya dan yang dapat

diterima dalam pengambilan kesimpulan bergantung pada akibat-akibat

atas diperbuatnya kekeliruan-kekeliruan itu. Selain daripada itu perlu

pula dikemukakan bahwa kedua kekeliruan saling berkaitan. Jika

diperkecil, maka menjadi besar dan demikian sebaliknya. Pada

dasarnya, harus dicapai hasil pengujian hipotesis yang baik, ialah

pengujian yang bersifat bahwa diantara semua pengujian yang didapat

dilakukan dengan harga yang sama besar, ambillah sebuah yang

mempunyai kekeliruan beta yang paling kecil.

Prinsip demikian memerlukan pemecahan matematik yang sudah keluar

dari tujuan modul ini. Karenanya, untuk keperluan praktis, kecuali

dinyatakan lain , akan diambil lebih dahulu dengan harga yang biasa

digunakan yaitu: 1% atau 5%. Dengan =0,05 misalnya, atau sering pula

disebut taraf nyata 5%, berarti kira-kira 5 dari tiap 100 kesimpulan bahwa

kita akan menolak hipotesis yang seharusnya diterima. Dengan kata lain

kira-kira 95% yakin bahwa kita telah membuat kesimpulan yang benar.

Dalam hal demikian dikatakan bahwa hipotesis telah ditolak pada taraf

nyata 0,05 yang berarti kita mungkin salah dengan peluang 0,05.