Upload
others
View
13
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY
TEST (BST)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Ridho Bertomi Panjaitan
NIM : 078114083
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2011
i
UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY
TEST (BST)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Ridho Bertomi Panjaitan
NIM : 078114083
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2011
ii
Persetujuan Pembimbing
UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY
TEST (BST)
Skripsi yang diajukan oleh:
Ridho Bertomi Panjaitan
NIM : 078114083
telah disetujui oleh:
Pembimbing
Yohanes Dwiatmaka, M.Si. tanggal ...................................
iii
Pengesahan Skripsi Berjudul
UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY
TEST (BST)
Oleh :
Ridho Bertomi Panjaitan
NIM : 078114083
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma
pada tanggal: ……………………….
Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Dekan
Ipang Djunarko, M.Sc., Apt.
Panitia Penguji : Tanda Tangan
1. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. ………………
2. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. ………………
3. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. ………………
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Ich werde im Himmel hÖren!
Kupersembahkan karya kecilku untuk :
Yesus Kristus
Papa dan Mama
Adik-adikku
Semua orang yang telah terlibat dalam hidupku
Almamaterku
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Ridho Bertomi Panjaitan
Nomor Mahasiswa : 078114083
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI
(Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY
TEST (BST)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 11 Juli 2011
Yang menyatakan,
Ridho Bertomi Panjaitan
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah
ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 11 Juli 2011
Penulis
Ridho Bertomi Panjaitan
vii
PRAKATA
Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Farmasi (S.Farm.) program studi Farmasi.
Sepanjang proses perkuliahan, penelitian hingga penyusunan skripsi,
Penulis telah menerima banyak dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan waktu, bimbingan, pengarahan, masukan serta pelajaran tentang
hidup kepada Penulis dalam penyusunan skripsi.
3. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.
4. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.
5. Segenap dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah
mengajar dan membimbing Penulis selama perkuliahan.
6. Ferdi Dwi Armanto sebagai teman satu tim atas kerjasama, bantuan,
kebersamaan, keceriaan, dan suka duka selama proses penyusunan skripsi.
7. Teman-teman FST 2007 atas kebersamaan yang tidak terlupakan.
viii
8. Mas Wagiran, Mas Sigit dan Mas Parlan serta laboran-laboran yang lain yang
telah membantu Penulis selama penelitian.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
Penulis dalam menyelesaikan laporan akhir ini.
Penulis menyadari bahwa laporan akhir skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari seluruh pihak. Penulis berharap semoga laporan akhir skripsi ini
dapat berguna bagi seluruh pihak, terutama dalam bidang farmasi.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................... vi
PRAKATA ............................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix
DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xv
INTISARI ................................................................................................. xvi
ABSTRACT ............................................................................................... xvii
BAB I. PENGANTAR .......................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................ 3
C. Keaslian Penelitian .............................................................. 4
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 4
1. Manfaat teoritis ............................................................. 4
2. Manfaat praktis ............................................................. 4
x
E. Tujuan Penelitian ................................................................ 4
1. Tujuan umum ................................................................ 4
2. Tujuan khusus ............................................................... 4
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ..................................................... 5
A. Tumbuhan Pulasari ............................................................. 5
1. Keterangan potani ........................................................... 5
2. Kandungan kimia ............................................................ 6
3. Khasiat ........................................................................... 6
B. Artemia salina ..................................................................... 6
1. Morfologi ..................................................................... 7
2. Lingkungan hidup artemia ............................................. 10
3. Cara penetasan telur ...................................................... 11
4. Penggunaan artemia pada metode BST .......................... 12
C. Toksisitas akut .................................................................... 15
D. Brine Shrimp Lethality Test (BST) ...................................... 16
E. Kanker ................................................................................ 17
F. Penyarian ............................................................................ 19
G. Alkaloid .............................................................................. 20
H. Landasan Teori ................................................................... 21
I. Hipotesis ............................................................................. 22
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 23
A. Jenis Rancangan Penelitian ................................................. 23
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ....................... 23
xi
1. Variabel penelitian ........................................................ 23
2. Definisi operasional ....................................................... 23
C. Alat ..................................................................................... 24
D. Bahan .................................................................................. 25
E. Tata Cara Penelitian ............................................................ 26
1. Pengumpulan simplisia ................................................... 26
2. Pembuatan serbuk kulit batang pulasari ......................... 26
3. Maserasi ........................................................................ 26
4. Pembuatan air laut buatan .............................................. 28
5. Penetasan siste artemia .................................................. 29
6. Pelaksanaan uji BST ...................................................... 29
7. Pembuatan larutan sampel ............................................. 30
8. Uji toksisitas akut dengan metode BST .......................... 32
F. Analisis Data ........................................................................ 33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 34
A. Pengumpulan dan Pengeringan Bahan ................................. 34
B. Pembuatan Serbuk Kulit Batang Pulasari ............................ 35
C. Maserasi .............................................................................. 35
1. Pembuatan ekstrak petroleum eter ................................. 36
2. Pembuatan ekstrak etil asetat ......................................... 37
3. Pembuatan ekstrak air .................................................... 38
D. Pembuatan Air Laut Buatan ................................................ 39
E. Penetasan Siste Artemia ...................................................... 40
xii
F. Uji Toksisitas dengan Metode BST ..................................... 42
1. Analisis probit ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari 47
2. Analisis probit ekstrak etil asetat kulit batang pulasari ... 48
3. Analisis probit ekstrak air kulit batang pulasari .............. 50
G. Rangkuman Pembahasan ...................................................... 51
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 53
A. Kesimpulan ......................................................................... 53
B. Saran ................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 54
LAMPIRAN ............................................................................................. 57
BIOGRAFI PENULIS .............................................................................. 84
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan ...... 28
Tabel II. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak petroleum eter .................. 31
Tabel III. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak etil asetat ......................... 31
Tabel IV. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak air ................................... 32
Tabel V. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak petroleum
eter kulit batang pulasari ................................................................ 45
Tabel VI. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etil asetat
kulit batang pulasari ................................................................... 46
Tabel VII. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak air kulit
batang pulasari ............................................................................. 46
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Larva artemia ............................................................................. 7
Gambar 2. Perubahan bentuk artemia ........................................................... 8
Gambar 3. Bagian-bagian tubuh artemia dewasa .......................................... 9
Gambar 4. Artemia dewasa jantan dan betina ............................................... 10
Gambar 5. Mekanisme kerja NA+ dan K+ ATPase ...................................... 14
Gambar 6. Siklus sel .................................................................................... 19
Gambar 7. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak
petroleum eter kulit batang pulasari ........................................... 47
Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak
etil asetat kulit batang pulasari .................................................. 49
Gambar 9. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak
air kulit batang pulasari ............................................................. 50
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Tanaman Pulasari (Alyxia reinwardtii BL.) dari
CV. MERAPI FARMA HERBAL ........................................... 57
Lampiran 2. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak petroleum
eter yang akan digunakan dalam pengujian .............................. 58
Lampiran 3. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak petroleum
eter kulit batang pulasari .......................................................... 62
Lampiran 4. Perhitungan data statistik SPSS16.00 dengan menggunakan analisis
probit terhadap ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari ..... 63
Lampiran 5. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak etil asetat
yang akan digunakan dalam pengujian .................................... 66
Lampiran 6. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etil asetat
kulit batang pulasari ................................................................ 70
Lampiran 7. Perhitungan data statistik SPSS16.00 dengan menggunakan analisis
probit terhadap ekstrak etil asetat kulit batang pulasari ............ 72
Lampiran 8. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak air yang akan
akan digunakan dalam pengujian ............................................. 74
Lampiran 9. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak air kulit
batang pulasari ........................................................................ 79
Lampiran 10. Perhitungan data statistik SPSS16.00 dengan menggunakan analisis
probit terhadap ekstrak air kulit batang pulasari ....................... 80
xvi
INTISARI
Masyarakat telah menggunakan kulit batang pulasari (Alyxiae Cortex)
sebagai obat antikanker. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui nilai LC50 ekstrak kulit batang pulasari dan menjajaki kemungkinan sifat toksik ekstrak kulit batang pulasari terhadap artemia (Artemia salina L.).
Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan menggunakan rancangan penelitian sederhana (post test only control group design). Metode yang digunakan yaitu Brine Shrimp Lethality Test (BST), terhadap 3 macam ekstrak yaitu ekstrak petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak air dengan 5 peringkat konsentrasi pemejanan dan 5 kali replikasi. Ekstrak diperoleh dengan cara maserasi pada mesin pengaduk (shaker) selama 24 jam dengan kecepatan putar 130 rpm. Data persentasi kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis menggunakan analis probit untuk menghitung LC50. Ekstrak dikatakan toksik bila harga LC50 < 1000 µg/ml.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari bersifat tidak toksik terhadap larva artemia dengan LC50 sebesar 2078,18 μg/ml, sedangkan ekstrak etil asetat dan ekstrak air kulit batang pulasari bersifat toksik terhadap larva artemia dengan LC50 masing-masing sebesar 394,43 μg/ml dan 537,69 μg/ml.
Kata kunci : pulasari, LC50, Artemia salina , Brine Shrimp Lethality Test (BST), analisis probit, ekstrak, maserasi
xvii
ABSTRACT
The society have used pulasari bark (Alyxiae Cortex) as a anticancer drug.
Therefore, it is necessary to do research to determine the LC50 value pulasari bark extract and explore the possibility of toxic properties of pulasari bark extract to artemia (Artemia salina L.).
This research used Brine Shrimp Lethality Test (BST) method, with three kinds of extracts such as petroleum ether extract, ethyl acetate extract, and water extract with five concentration levels of injection and five times replication. Extract was obtained with maseration in shaker during 24 hours with rotational speed 130 rpm. Presentation data of artemia larvae mortality was analyzed with probit analysis to count LC50. Extract is toxic if LC50 value < 1000 µg/ml.
The result of this research shows that pulasari bark petroleum ether extract is not toxic to artemia larvae with LC50 2078.18 µg/ml, whereas pulasari bark ethyl acetate and water extract are toxic to artemia larvae with LC50 394.43 µg/ml and 537.69 µg/ml, respectively. Kata kunci : pulasari, LC50, Artemia salina , Brine Shrimp Lethality Test (BST), probit analysis, extract, maseration
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Penyakit kanker dikenal sukar disembuhkan dan dapat menyebabkan
kematian penderitanya jika tidak dirawat sejak awal. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2008, tumor atau kanker merupakan penyebab
kematian nomor 7 di Indonesia dengan presentasi 5,7 persen, prevalensi tumor
atau kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk (Anonim, 2011).
Walaupun telah banyak ditemukan obat antikanker dan telah banyak dilakukan
kemoterapi, namun hasilnya belum memuaskan dan biayanya juga sangat mahal.
Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk melakukan pengobatan
menggunakan bahan alam atau obat tradisional (Anonim, 2010a).
Pencarian obat-obat antikanker terus dilakukan. Salah satunya yaitu kulit
batang pulasari (Alyxiae Cortex) yang secara empirik digunakan antara lain untuk
penurun demam, obat batuk, obat pusing dan obat disentri (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1983). Hal ini berkaitan dengan kandungan kimia
kulit batang pulasari yaitu: kumarin, tanin, alkaloid dan saponin (Syamsuhidayat
dan Hutapea, 1981).
Untuk mengetahui apakah kulit batang pulasari memiliki senyawa
bioaktif yang berpotensi sebagai antikanker (memiliki efek sitotoksik), maka perlu
dilakukan penelitian tentang nilai Lethal Contrentation-50 (LC50). LC50 adalah
kadar yang menyebabkan kematian 50% hewan uji pada pejanan selama waktu
2
tertentu (Lu, 1995). Berdasarkan LC50 dapat diketahui tingkat aktivitas suatu
senyawa. Apabila nilai LC50 suatu senyawa hasil isolasi atau ekstrak tanaman
kurang dari 1000 µg/ml, maka seyawa tersebut dapat diduga memiliki efek
sitotosik (Meyer, Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nichols, and McLaughlin, 1982).
Metode yang sering digunakan untuk mengetahui potensi efek sitotoksik
suatu senyawa adalah Brine Shrimp Lethality Test (BST). Kelebihan metode ini
adalah cukup praktis, murah, sederhana, cepat, tapi tidak mengesampingkan
kekuatannya untuk skrining awal tanaman berpotensi antikanker dengan
menggunakan hewan uji larva artemia (Artemia salina L.). Prinsip metode ini
adalah uji toksisitas akut terhadap artemia dengan penentuan nilai LC50 setelah
perlakuan 24 jam (Meyer, et al., 1982). Artemia digunakan sebagai hewan uji
karena memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-
dependent RNA polimerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia
dan organisme yang memiliki ouabaine-sensitive Na+ dan K+ dependent ATPase,
sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada sistem tersebut
dapat terdeteksi (Solis, Wright, Anderson, Gupta, and Philipson, 1993).
Metode BST tidak spesifik untuk pengujian antikanker dan sebagian aksi
fisiologis, namun metode ini dapat memonitor kemungkinan adanya efek
sitotoksik dengan waktu dan biaya penelitian yang lebih sedikit dibandingkan
dengan pengujian sitotoksisitas menggunakan biakan sel kanker. Senyawa yang
bersifat toksik pada uji BST belum tentu bersifat sitotoksik, sehingga perlu
dilakukan uji tingkat lanjut dengan menggunakan sel kanker. Namun, suatu
senyawa yang bersifat sitotoksik akan bersifat toksik bila diuji dengan metode
3
BST (Meyer, et al., 1982). Maka diharapkan metode BST dapat digunakan
sebagai langkah awal untuk menentukan senyawa yang memiliki efek sitotoksik.
Kulit batang pulasari mengandung beberapa jenis senyawa, diantaranya
golongan alkaloid. Smets (2001) menyatakan bahwa alkaloid yang berasal dari
tanaman vinca dan colchicine memiliki mekanisme sitotoksik dengan berperan
sebagai tubulin inhibitor.
Menurut Mursyidi (1990), alkaloid sukar larut dalam air tetapi larut dalam
pelarut organik yang relatif non polar dan tidak campur dengan air. Sebaliknya,
dalam bentuk garam alkaloid larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik.
Oleh karena itu, ekstraksi terhadap kulit batang pulasari dilakukan menggunakan
tiga pelarut, yaitu : petroleum eter, etil asetat dan air yang dipilih berdasarkan
perbedaan sifat kepolarannya. Petroleum eter merupakan senyawa organik dan
bersifat non polar yang berfungsi menyari senyawa-senyawa yang bersifat non
polar. Etil asetat merupakan senyawa organik dan bersifat kurang polar
dibandingkan air dapat pula disebut bersifat semi polar. Diharapkan etil asetat
berfungsi menyari senyawa-senyawa yang bersifat semi polar. Air merupakan
pelarut yang paling polar dibandingkan kedua pelarut. Diharapkan senyawa-
senyawa yang bersifat polar akan terlarut ke dalam pelarut air (Harborne, 1987).
1. Perumusan masalah
Permasalahan pada penelitian ini adalah :
1. Apakah ekstrak kulit batang pulasari toksik terhadap larva artemia dan
berapakah nilai LC50?
4
2. Mengetahui ekstrak manakah yang paling toksik diantara ekstrak
petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak air kulit batang pulasari
terhadap larva artemia yang ditunjukkan dengan LC50 paling kecil?
2. Keaslian penelitian
Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh peneliti uji
toksitas akut ekstrak kulit batang pulasari dengan metode BST belum pernah
dilakukan.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis, yaitu dapat memberikan informasi tentang
toksisitas akut ekstrak kulit batang pulasari.
b. Manfaat praktis, yaitu dapat memberikan informasi tentang
kemungkinan pengobatan alternatif kanker menggunakan kulit batang
pulasari.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menjajaki kemungkinan
potensi kulit batang pulasari sebagai obat antikanker.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai LC50 ekstrak
kulit batang pulasari dan mengetahui ekstrak yang paling toksik diantara ekstrak
petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak air kulit batang pulasari terhadap
larva artemia.
5
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tumbuhan Pulasari
1. Keterangan botani
Tumbuhan pulasari (Alyxia stellata Auct.) termasuk dalam famili
apocynaceae. Dikenal dengan nama lain Alyxia reinwardtii BL. Dikenal di
beberapa daerah dengan nama: akar mempelas hari, empelas hari, mempelas hari,
palasari, pulasari (Sumatra), talatari (Aceh), arey palasari, arey pulasari, palasari,
pulasari, das plasare (Madura), adas pulasari (Jakarta), pulasari (Bali), pulasari,
calpari (Makasar), calapari (Bugis), balasari (Buton) dan purasane
(Ambon)(Anonim, 2010c).
Tumbuhan pulasari ini berupa semak yang menanjak atau merambat,
tinggi 5 m sampai 10 m, dalam keadaan subur, batang utama dapat sebesar lengan
dan menjalar ditanah, dari batang utama timbul cabang-cabang sebesar ibu jari.
Cabang-cabang utama tidak berdaun, hanya dibagian atas terdapat daun-daun
yang terpusar 3 sampai 4 helai bersama-sama; helai daun berbentuk gelondong
atau lonjong dengan pangkal daun dan ujung daun meruncing, lebar daun 1 cm
sampai 2,5 cm dan panjang daun 3 cm sampai 10 cm, tangkai daun tebal dan
panjang 0,5 cm sampai 1 cm; penulangan daun menyirip dnga banyak cabang-
cabang, helai daun tipis. Perbungaan malai terdapat pada ketiak daun satu atau
berpasangan, panjang tangkai (gagang) malai 4 mm sampai 6 mm dan berbunga 3
sampai 6 buah; bunga kecil, warna putih, berkelipatan lima; kelopak terbagi
6
dalam bagian-bagian kelopak berbentuk bundar telur dan sempit; mahkota
berbentuk corong dan berwarna putih (Anonim, 2010b).
2. Kandungan kimia
Kulit batang pulasari mengandung kumarin, tanin, alkaloid, saponin,
minyak atsiri dan polifenol (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1981).
3. Khasiat
Kulit batang pulasari sering digunakan untuk mengobati beberapa
keluhan penyakit, digunakan sebagai bahan tunggal maupun campuran dalam
bentuk ramuan jamu. Secara empirik pulasari digunakan antara lain untuk obat
disentri, sariawanan, merangsang nafsu makan, obat batuk, obat mulas, obat
kencing nanah, untuk mengobati demam pada anak-anak, obat kejang usus, darah
yang tidak berhenti keluar, obat radang lambung, mengatasi haid tidak teratur,
keputihan dan kanker (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1981).
B. Artemia
Artemia (Artemia salina L.) adalah udang yang termasuk dalam famili
Artemiidae, merupakan udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai
zooplankton, yang menghuni perairan-perairan yang berkadar garam tinggi.
Artemia dapat digunakan di laboratorium bioassay untuk menentukan toksisitas
dengan perhitungan konsentrasi yang menimbulkan 50% anggota populasi hewan
uji mati (LC50), yang telah dilaporkan untuk racun dan ekstrak tanaman
(Mudjiman, 1989).
7
1. Morfologi
a. Telur
Istilah untuk telur artemia adalah siste, yaitu telur yang telah
berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian diselubungi oleh
cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi
embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan
mempermudah pengapungan. Oleh karena itu, ia sangat tahan menghadapi
keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).
b. Larva
Apabila siste artemia direndam dalam air laut bersuhu 25ºC, maka akan
menetas dalam waktu 24-36 jam. Dari dalam cangkangnya keluarlah larva
yang juga dikenal dengan istilah nauplius (gambar 1). Dalam perkembangan
selanjutnya, larva akan mengalami 15 kali perubahan bentuk atau
metamorphosis. Setiap kali larva mengalami perubahan bentuk merupakan
satu tingkatan. Larva tingkat I dinamakan instar I, tingkat II dinamakan instar
II, tingkat III dinamakan instar III, demikian seterusnya sampai instar XV.
Setelah itu berubahlah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989).
8
Gambar 1. Larva artemia ( Mudjiman, 1989)
Larva yang baru saja menetas masih dalam tingkatan instar I (gambar
2). Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan
cadangan. Oleh karena itu mereka masih belum perlu makan. Anggota
badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (antenule atau antena I) dan
sepasang sungut besar (antena atau antena II). Di bagian sungut besar terdapat
sepasang mandibulata (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian ventral
(perut) terdapat labrum (Mudjiman, 1989).
Gambar 2. Perubahan bentuk artemia (Mudjiman, 1989)
Sekitar 24 jam setelah menetas, larva akan berubah menjadi instar II
(gambar 2). Pada tingkatan instar II, larva udah mulai mempunyai mulut,
saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu, mereka mulai mencari
makanan. Bersamaan dengan itu, cadangan makanannya juga sudah mulai
habis. Pengumpulan makanannya mereka lakukan dengan menggerakkan
antena II-nya. Selain itu, untuk mengumpulkan mengumpulkan makanan,
antena II terebut juga berguna untuk bergerak (Mudjiman, 1989).
9
Pada tingkatan selanjutnya mulai terbentuk sepasang mata majemuk,
selain itu berangsur-angsur tumbuh tunas-tunus kakinya. Setelah menjadi
instar XV, kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah
masa larva, dan berubah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989).
Gambar 3. Bagian-bagian tubuh artemia dewasa ( Mudjiman, 1989)
c. Artemia dewasa
Artemia dewasa bentuknya telah sempurna dan menyerupai udang
kecil dengan ukuran panjang sekitar 1 cm, dengan kaki yang sudah lengkap
sebanyak 11 pasang yang secara khusus torakopoda (gambar 3). Baik pada
yang jantan maupun yang betina, antena I-nya (antenula) tetap saja sebagai
sungut, yang fungsinya sebagai alat peraba. Pada artemia jantan antena II
berubah menjadi alat penjepit yang membesar dan berotot yang kegunaannya
untuk berpegangan pada betina waktu menjelang perkawinan. Pada betina,
antenna II-nya mengalami penyusutan yang akhirnya berubah menjadi alat
10
peraba. Di belakang kaki torakopoda yang jantan terdapat sepasang alat
kelamin luarnya (penis), sedangkan pada yang betina terdapat sepasang
indung telur (ovarium) yang terletak disebelah kanan dan kiri saluran
pencernaan (gambar 4)(Mudjiman, 1989).
Gambar 4. Artemia dewasa jantan dan betina (Mudjiman, 1989)
2. Lingkungan hidup artemia
a. Suhu
Artemia tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6ºC atau
lebih dari 35ºC, tetapi hal ini sangat tergantung pada ras dan kebiasaan tempat
hidup mereka. Pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu antara
25ºC-30ºC (Mudjiman, 1989).
b. Kadar garam
Perkembangan artemia yang membutuhkan kadar garam yang tinggi
sebab pada kadar garam yang tinggi itu musuh-musuhnya tidak dapat hidup
lagi, sehingga artemia akan dapat aman tanpa ganguan. Untuk pertumbuhan
telur, ternyata dibutuhkan air yang kadar garamnya lebih rendah dari pada
11
suatu batas tertentu. Batas ini berlainan untuk tiap jenis artemia (Mudjiman,
1989).
Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia
dalam air ternyata juga sangat tinggi. Apabila kandungan ion natrium
dibandingkan dengan ion kalium di dalam air laut adalah 28, maka artemia
masih dapat bertahan pada perbandingan antara 8-173 (Mudjiman, 1989).
c. Oksigen terlarut
Artemia dapat hidup dan menyesuaikan diri pada tempat yang kadar
oksigennya rendah maupun yang mengalami kejenuhan oksigen (Mudjiman,
1989).
d. pH
Pengaruh pH terhadap kehidupan artemia muda dan dewasa belum
jelas namun berpengaruh terhadap penetasan telur. Apabila pH untuk
penetasan kurang dari 8, maka efisiensi penetasan akan menurun (Mudjiman,
1989).
3. Cara penetasan telur
Telur artemia dapat ditetaskan dalam air laut biasa (kadar garam 30
per- mil). Untuk mencapai hasil penetasan yang baik diperlukan air berkadar
garam 5 permil, yang dibuat dengan cara pengenceran air laut biasa dengan air
tawar. Agar pH air laut yang diencerkan tidak turun namun tetap antara 8-9
maka perlu ditambahkan natrium hidrokarbonat sebanyak 2g/l. Selain itu,
dapat juga digunakan air laut buatan yang berkadar garam 5 permil
(Mudjiman, 1989).
12
Terjadinya pemecahan cangkang telur dibantu oleh kegiatan enzim,
yaitu enzim penetasan. Enzim ini berkerja pada pH > 8 (antara 8-9). Suhu air
selama penetasan hendaknya tetap, yaitu berkisar antara 25ºC-30ºC. Kadar
oksigennya harus lebih dari 2mg/l. Untuk itu air perlu diaerasi (diberi udara/
oksigen). Sebagai sumber udara dapat digunakan penghembus udara (blower)
atau aerator, yaitu pompa udara untuk aquarium (Mudjiman, 1989).
4. Penggunaan artemia pada metode BST
Artemia secara luas telah digunakan untuk pengujian aktivitas
farmakologi ekstrak suatu tanaman. Artemia juga merupakan hewan uji yang
digunakan untuk praskrining aktivitas antikanker di National Cancer Institude
(NCI), Amerika Serikat. Uji BST dengan hewan uji artemia dapat digunakan
untuk skrining awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat
sebagai antitumor karena uji ini mempunyai kolerasi yang positif dengan
potensinya sebagai antitumor maupun fisiologis aktif tertentu (Anderson,
Goets, dan Laughlin, 1991).
Penggunaan artemia ini memang tidak spesifik untuk antitumor
maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian terdahulu
menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap beberapa bahan, baik
berupa ekstrak tanaman, atas aksinya sebagai antitumor secara lebih cepat
dibandingkan dengan prosedur pemeriksaan sitotoksik yang umum, misalnya
dengan biakan sel tumor. Melihat adanya potensi sebagai antitumor tersebut,
maka penelitian lanjutan dapat dilakukan, yaitu dengan mengisolasi senyawa
berkhasiat yang terdapat di dalam ekstrak disertai dengan monitoring
13
aktivitasnya dengan uji larva udang atau metode yang lebih spesifik sebagai
antitumor (Meyer, et al., 1982).
Artemia salina digunakan sebagai hewan uji karena memiliki
kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA
polimerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia dan organisme
yang memiliki ouabaine-sensitive Na+ dan K+ dependent ATPase, sehingga
senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada sistem tersebut dapat
terdeteksi (Solis, et al., 1993).
DNA-dependent RNA polymerase merupakan DNA yang
mengarahkan proses transkripsi RNA yang bergantung pada RNA
polymerase. Enzim ini membuka pilinan kedua untai DNA sehingga terpisah
dan mengkaitkannya dengan bersama-sama nukleotida RNA pada saat
nukleotida-nukleotida ini membentuk pasangan basa di sepanjang cetakan
DNA. Eukariotik mempunyai 3 macam RNA polymerase, yaitu mRNA
(messenger RNA) yang merupakan pembawa kode genetik dari DNA ke
ribosom, tRNA (transfer RNA) yang berfungsi untuk menterjemahkan kodon
dan mengikat asam amino yang akan disusun menjadi protein dan
mengangkutnya ke ribosom, serta rRNA (ribosomal RNA) yang bersamaan
dengan protein membentuk ribosom. Jika RNA polymerase tersebut dihambat,
maka DNA tidak dapat mensintesis RNA dan RNA tidak dapat terbentuk
sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein merupakan komponen utama
semua sel. Protein berfungsi sebagai unsur struktural, hormon,
immunoglobulin, serta terlibat dalam kegiatan transport oksigen, kontraksi
14
otot, dan lainnya (Nuswantari, 1998). Jika protein tidak terbentuk,
metabolisme sel dapat terggangu, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
kematian sel.
Artemia juga memiliki ouabaine-sensitive Na+ dan K+ dependent
ATPase. Na+ dan K+ dependent ATPase merupakan enzim yang mengkatalisis
hidrolisis ATP menjadi ADP serta menggunakan energi untuk mengeluarkan
3Na+ dari sel dan mengambil 2K+ ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP
dihidrolisis. Na+ K+ ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas
enzim ini dihambat oleh ouabaine. Adanya ouabaine menyebabkan
keseimbangan ion Na+ dan K+ tetap terjaga (homeostatis). Selain itu,
sekarang ini ouabaine juga digunakan untuk terapi jantung. Di dalam jantung,
Na+ K+ ATPase secara tak langsung mempengaruhi transport Ca2+ karena Na+
ekstrasel akan ditukar dengan Ca2+ intrasel. Jika kerja Na+ K+ ATPase
dihambat, maka lebih sedikit Ca2+ intrasel dikeluarkan dan Ca2+ intrasel
meningkat, sehingga memudahkan kontraksi otot jantung (Ganong, 1995).
Gambar 5. Mekanisme kerja NA+ dan K+ ATPase (Michael, 2007)
15
Jika suatu senyawa bekerja mengganggu kerja salah satu enzim ini
pada artemia dan menyebabkan kematian artemia, maka senyawa tersebut
bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia (Solis, et al.,
1993).
Keuntungan penggunaan artemia sebagai hewan uji adalah
kesederhanan dalam pelaksanaan, waktu relatif singkat, dan konsentrasi kecil
sudah dapat menimbulkan aktivitas biologis (Meyer, et al., 1982).
C. Toksisitas Akut
Toksisitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk
menimbulkan kerusakan (Katzung, 1987). Uji toksisitas akut merupakan uji
dengan pemberian suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat atau uji
ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan uji
tertentu dan pengamatan dilakukan selama 24 jam. Maksud dari toksisitas akut
yaitu untuk menentukan suatu gejala dan tingkat kematian hewan uji akibat
pemberian senyawa tersebut. Pengamatan aktivitas biologi uji toksisitas akut
berupa pengamatan gejala klinik, kematian hewan uji atau pengamatan organ
(Loomis, 1978).
Uji toksisitas akut dilakukan untuk mempersempit kisaran dosis dan
terakhir dilakukan uji toksisitas akut untuk mendapatkan persentase kematian.
Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut dapat berupa data kuantitatif yang
dinyatakan dengan LD50 (median lethal dose) atau LC50 (median lethal
consentration). Harga LD50 dan LC50 suatu senyawa harus dilaporkan sesuai
16
dengan lamanya pengamatan. Bila lama pengamatan tidak ditunjukkan, maka
dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Loomis, 1978).
Parameter yang digunakan untuk menunjukan adanya aktivitas biologis
suatu senyawa pada Artemia salina adalah kematian. Keuntungan penggunaan
artemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu yang
relatif singkat dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan aktivitas biologi
(Meyer et al., 1982).
D. Brine Shrimp Lethality Test (BST)
Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode pengujian awal
aktifitas antikanker suatu senyawa dengan menggunakan hewan uji Artemia
salina (artemia) selama 24 jam. Uji toksisitas akut dengan hewan uji artemia ini
dapat digunakan sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarahkan pada
uji sitotoksik karena ada kaitannya antara uji tosiksitas akut dengan uji sitotoksik
jika harga LC50 dari uji toksisitas akut lebih kecil dari 1000 µg/ml. Parameter
yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada
artemia adalah kematian (Meyer et al., 1982).
Tingkat toksisitas dari ekstrak dapat ditentukan dengan melihat harga
LC50. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Dari persentase data kematian
larva artemia dikonversikan ke nilai probit untuk menghitung harga LC50. Apabila
harga LC50
17
dapat dilanjutkan dengan pengujian antikanker menggunakan biakan sel kanker.
Cara ini akan menghemat waktu dan biaya penelitian (Meyer et al., 1982).
E. Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit sel dengan cirri gangguan atau
kegagalan mekanis pengaturan multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada
organism multiseluler (Nafrialdi dan Ganiswarna, 1995). Sel-sel kanker akan terus
membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan dan tidak lagi menuruti
hukum-hukum pembiakan. Sel-sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitarnya
(invasi) dan dapat menyebar ke seluruh jaringan (metastasis). Selain itu sel kanker
juga kehilangan fungsinya dan bersifat destruksif/merusak sel lainnya (Schunack,
Mayer dan Haake, 1990).
Tahap-tahap pembentukan sel kanker adalah :
1. Inisiasi, yaitu tahap pembentukan metabolit reaktif yang mampu berkaitan
secara kovalen dengan DNA sehingga menyebabkan terjadinya mutasi
pada DNA.
2. Promosi, yaitu ekspresi mutasi yang dapat menyebabkan perubahan fungsi
seluler (ekspresi gen dan fungsi reseptor) serta pertumbuhan neoplasma
(sel yang pertumbuhannya tidak normal)
3. Progresif, yaitu manifestasi pertumbuhan dan perkembangan tumor
menjadi ganas (kanker) dengan invasi dan metastasis.
18
Pada organisme eukariotik, terdapat empat fase dalam siklus sel, yaitu :
a. Fase Gap (G1) atau fase pascamitosis merupakan fase awal di mana terjadi
sintesis asam ribonukleat dan protein.
b. Fase Sintesis (S) dimana terjadi replikasi identik dari DNA sehingga
dihasilkan dua set komplit DNA.
c. Fase Gap (G2) atau fase pramitosis merupakan fase persiapan untuk
memasuki fase mitosis.
d. Fase Mitosis (M) merupakan fase dimana material inti diturunkan identik
kepada sel anak, yang ditandai dengan pembagian kromosom dan
dihasilkan dua sel anakan.
Untuk selanjutnya sel dapat memasuki fase G0 dan dapat juga masuk
kembali ke fase G1. Hormon pertumbuhan, cyclins dan Cdk (cyclin dependent
kinase) merupakan sinyal transduksi yang dapat memacu sel untuk memasuki
daur sel kembali, sedangkan protein penekan tumor (misalnya p53), dan Cdk
inhibitor akan memacu sel untuk memasuki fase istirahat (G0). Pada sel kanker,
tidak terdapat p53 atau jumlah p53 kurang (antara lain karena terjadinya mutasi
p53), sehingga sel kanker tidak dapat memasuki fase G0 dan sel tersebut akan
memasuki siklus sel dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga sel akan
terus membelah (Schunack et al., 1990).
19
Gambar 6. Siklus sel ( Michael, 2007)
Karsinogenik dapat merangsang pembentuk kanker. Beberapa
karsinogen yang diduga dapat menaikan resiko terjadinya kanker antara lain
senyawa kimia (zat karsinogen), faktor fisika (radiasi bom atom dan radioterapi
agresif), virus (virus hepatitis B dan C), dan hormon (Dalimartha,2003).
F. Penyarian
Pemilihan penyari dalam penyarian merupakan hal yang harus
dipertimbangkan. Cairan penyari untuk ekstrak sebaiknya sesuai dengan zat aktif
yang berkhasiat, dalam arti dapat memisahkan zat aktif tersebut dari senyawa
lainnya dalam bahan sehingga ekstrak mengandung sebagian besar senyawa aktif
berkhasiat yang diinginkan (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia, 1985).
20
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk
(Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 1985).
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam penyari. Penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif. Zat aktif akan larut karena adanya beda konsentrasi antara larutan di dalam
dan di luar sel. Larutan yang lebih pekat akan terdesak keluar. Peristiwa ini
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di
luar sel (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986 ).
G. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa basa nitrogen yang terdapat dalam tumbuhan.
Kebanyakan alkaloid menunjukkan aktivitas fisiologis tertentu sehingga metabolit
sekunder ini banyak digunakan sebagai obat. Pada umumnya alkaloid
mengandung satu atom nitrogen, akan tetapi beberapa alkaloid (ergometrina,
fisostigmina, kafeina) mempunyai lebih dari satu nitrogen dalam molekulnya.
Atom nitrogen dapat sebagai amin primer maupun amin sekunder (Mursyidi,
1990).
Kebanyakan alkaloid berupa zat padat, rasa pahit dan sukar larut dalam
air, tetapi mudah larut dalam kloroform, eter dan pelarut organik lain yang relatif
non polar dan tidak campur dengan air. Sebaliknya, garam alkaloid larut dalam
air, tetapi tak larut dalam pelarut organik (Mursyidi, 1990).
21
Peran alkaloid bagi tumbuhan penghasil, antara lain sebagai zat racun
yang melindungi tumbuhan dari gangguan serangga dan hewan, produk akhir
reaksi detoksifikasi hasil metabolisme, faktor pengatur pertumbuhan dan
persediaan unsur nitrogen yang mungkin diperlukan bagi pertumbuhan (Mursyidi,
1990).
H. Landasan Teori
Kulit batang pulasari mengandung beberapa jenis senyawa, diantaranya
golongan alkaloid. Smets (2001) menyatakan bahwa alkaloid yang berasal dari
tanaman vinca dan colchicine memiliki mekanisme sitotoksik dengan berperan
sebagai tubulin inhibitor.
Menurut Mursyidi (1990), alkaloid sukar larut dalam air tetapi larut dalam
pelarut organik yang relatif non polar dan tidak campur dengan air. Sebaliknya,
dalam bentuk garam alkaloid larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik.
Ekstraksi terhadap kulit batang pulasari dilakukan menggunakan pelarut
petroleum eter, etil asetat dan air yang dipilih berdasarkan perbedaan sifat
kepolarannya. Petroleum eter merupakan senyawa organik dan bersifat non polar
yang berfungsi menyari senyawa-senyawa yang bersifat non polar. Etil asetat
merupakan senyawa organik dan bersifat kurang polar dibandingkan air dapat
pula disebut bersifat semi polar. Diharapkan etil asetat berfungsi menyari
senyawa-senyawa yang bersifat semi polar. Air merupakan pelarut yang paling
polar dibandingkan kedua pelarut. Diharapkan senyawa-senyawa yang bersifat
polar akan terlarut ke dalam pelarut air.
22
I. Hipotesis
Terjadi perbedaan toksisitas antara ekstrak petroleum eter, ekstrak etil
asetat dan ekstrak air dari kulit batang pulasari yang dapat ditunjukan dengan
metode BST.
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan menggunakan
rancangan penelitian sederhana (post test only control group design).
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
Variabel- variabel dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel bebas :
Konsentrasi dari ekstrak kulit batang pulasari.
b. Variabel tergantung :
% kematian larva artemia.
c. Variabel terkontrol :
1. Faktor lingkungan percobaan, yaitu sinar lampu 5 Watt, suhu
penetasan, yaitu 25º C-30ºC, pH air laut buatan, yaitu 8-9, dan
kadar garam 5 permil.
2. Faktor hewan uji yaitu umur larva artemia (48 jam).
2. Definisi operasional
a. Ekstrak air kulit batang pulasari diperoleh dengan cara maserasi serbuk
kulit batang pulasari dengan pelarut aquadest menggunakan mesin
pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 24 jam lalu
disaring dengan kertas saring.
24
b. Ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari diperoleh dengan cara
maserasi serbuk kulit batang pulasari dengan pelarut petroleum eter
menggunakan mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm)
selama 24 jam lalu disaring dengan kertas.
c. Ekstrak etil asetat kulit batang pulasari diperoleh dengan cara maserasi
serbuk kulit batang pulasari dengan pelarut etil asetat menggunakan
mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 24
jam lalu disaring dengan kertas.
d. Lethal Contrentation-50 (LC50) adalah kadar ekstrak kulit batang
pulasari yang menyebabkan kematian 50% artemia pada pejanan
selama 24 jam.
e. Larva artemia merupakan larva usia 48 jam setelah penetasan telur
artemia.
C. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat
gelas (Pyrex), termometer, blender, mikropipet (Socorex ISBA S.A), timbangan
analitik, flakon, aquarium khusus BST, flakon, aerator, lampu penerang, pipet
Pasteur, vaccum rotary evaporator (Janke & Kunkel), dan oven
25
D. Bahan
a. Bahan utama
Kulit batang pulasari kering diperoleh dari PT. Merapi Farma Herbal,
Jl. Cangkringan, km 2 Dhuri, Tirtomartani, Kalasan, Yogyakarta.
b. Bahan untuk ekstraksi
Bahan yang digunakan untuk penyarian yaitu untuk ekstrak air kulit
batang pulasari digunakan aquadest yang diperoleh dari Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, untuk
ekstrak petroleum eter di peroleh dari PT. Brata Chem, untuk ekstrak etil
asetat di peroleh dari PT. Brata Chem.
c. Bahan untuk BST
Bahan yang digunakan untuk uji BST antara lain telur Artemia salina
leach (Brine Shrimp Egg, Ocean Star International Inc.), air laut buatan
berkadar garam 5 per mil, ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari, ekstrak
etil asetat kulit batang pulasari, ekstrak air kulit batang pulasari dan ragi
Saccharomyces cerevisae.
d. Bahan untuk air laut buatan
Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan
berderajad teknis, yaitu natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium
klorida, kalsium klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat, serta
aquadest, aquadest bebas karbon dioksida dan aquadest panas.
26
E. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan simplisia
Simplisia yang digunakan berupa kulit batang pulasari kering yang
didapat dari PT. Merapi Farma.
2. Pembuatan serbuk kulit batang pulasari
Kulit batang pulasari dipotong kecil-kecil dengan ukuran kurang lebih
sama kemudian diblender hingga diperoleh ukuran yang lebih kecil. Setelah itu
serbuk diayak menggunakan ayakan tepung. Serbuk diayak sampai sehingga
diperoleh serbuk halus.
3. Maserasi
a. Pembuatan ekstrak petroleum eter
Serbuk halus kulit batang pulasari ditimbang sebanyak 100 g dan
dimasukan dalam bejana tertutup dan dimaserasi dengan direndam dalam
petroleum eter sebanyak 750 ml. Bejana kemudian dilapisi alumunium foil lalu
diletakan dalam mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm)
selama 24 jam lalu disaring dengan kertas. Maserat disimpan dan ditampung
dalam suhu kamar sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 750 ml
petroleum eter menggunakan shaker 130 rpm selama 24 jam kemudian
disaring dengan kertas saring. Maserat kemudian digabung dengan maserat
hasil maserasi 24 jam pertama, sedangkan ampas dimaserasi lagi sampai filtrat
hasil penyaringan jernih. Seluruh filtat hasil remaserasi digabung dan diuapkan
pelarutnya dengan vaccum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental.
27
Ekstrak kental yang didapat diuapkan diatas penangas air sampai diperoleh
ektrak kering.
b. Pembuatan etil asetat
Ampas hasil maserasi dikeringkan dari petroleum eter kemudian
dimasukan dalam bejana tertutup dan dimaserasi dengan direndam dalam
kloroform sebanyak 750 ml. Bejana kemudian dilapisi alumunium foil lalu
diletakan dalam mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm)
selama 24 jam lalu disaring dengan kertas. Maserat disimpan dan ditampung
dalam suhu kamar sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 750 ml
kloroform menggunakan shaker 130 rpm selama 24 jam kemudian disaring
dengan kertas saring. Maserat kemudian digabung dengan maserat hasil
maserasi 24 jam pertama, sedangkan ampas dimaserasi lagi sampai filtrat hasil
penyaringan jernih. Seluruh filtrat hasil remaserasi digabung dan diuapkan
pelarutnya dengan vaccum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental.
Ekstrak kental yang didapat diuapkan diatas penangas air sampai diperoleh
ektrak kering.
c. Pembuatan ekstrak air
Ampas hasil maserasi dikeringkan dari kloroform kemudian
dimasukan dalam bejana tertutup dan dimaserasi dengan direndam dalam air
sebanyak 750 ml. Bejana kemudian dilapisi alumunium foil lalu diletakan
dalam mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 24 jam
lalu disaring dengan kertas. Maserat disimpan dan ditampung dalam suhu
kamar, sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 750 ml air menggunakan
28
shaker 130 rpm selama 24 jam kemudian disaring dengan kertas saring.
Maserat kemudian digabung dengan maserat hasil maserasi 24 jam pertama,
sedangkan ampas dimaserasi lagi sampai filtrat hasil penyaringan jernih.
Seluruh filtat hasil remaserasi digabung dan diuapkan pelarutnya dengan
vaccum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental
yang didapat diuapkan diatas penangas air sampai diperoleh ektrak kering.
4. Pembuatan air laut buatan
Bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berkadar
garam 5 per mil yaitu 5 g natrium klorida; 1,3 g magnesium sulfat; 1 g
magnesium klorida; 0,3 g kalsium klorida; 0,2 g kalium klorida; dan 2 g
natrium bikarbonat dicampur dalam 1 liter aquadest. Bahan-bahan sebagian
dilarutkan dalam sebagian aquadest dalam labu takar 1 liter. Khusus untuk
magnesium sulfat dilarutkan dalam air panas, sedangkan natrium bikarbonat
dilarutkan dengan air bebas karbon dioksida. Lalu ditambah aquadest sampai
volume 1 liter (Mudjiman, 1989).
Tabel I. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan
No Bahan Jumlah (g) 1 NaCl 5,0 2 MgSO4 1,3 3 MgCl2 1,0 4 CaCl2 0,3 5 KCl 0,2 6 NaHCO3 2,0 7 Aquadest Sampai 1 liter
(Mudjiman, 1989).
Bahan-bahan tersebut ditimbang, lalu dilarutkan dalam sebagian
aquadest pada labu takar 1 liter. Khusus untuk magnesium sulfat dilarutkan
29
dengan menggunakan air panas dan natrium klorida dilarutkan dalam air bebas
karbon dioksida, kemudian ditambahkan aquadest sampai volume tepat 1 liter.
Air laut buatan berkadar garam 5 per mil dan pH antara 7,3-8,4 merupakan
media hidup yang sesuai untuk larva artemia.
5. Penetasan siste artemia
Tempat penetasan siste artemia berupa aquarium dengan kaca gelap
yang terbagi menjadi dua bagian dengan suatu sekat berlubang pada bagian
bawahnya. Salah satu bagian adalah area yang terang, sedangkan bagian lain
adalah area yang gelap tempat siste artemia ditaburkan. Suhu penetasan
berkisar antara 25ºC-30ºC, pH antara 7,3-8,4. Air laut buatan dengan kadar
garam 5 permil diaerasi selama 1 jam. Air laut buatan dimasukan dalam
aquarium khusus BST. Kemudian siste artemia ditaburkan di area gelap secara
merata dan diberi penerangan. Setelah 24 jam, siste akan menetas menjadi
nauplius yang aktif bergerak menuju ke tempat terang. Larva yang akan
digunakan adalah larva yang telah berumur 48 jam
Setelah siste artemia menetas, pada aquarium harus ditambahkan lagi
air laut buatan yang telah diaerasi selama 1 jam agar larva artemia yang baru
menetas tidak kekurangan aquadest dan oksigen.
6. Pelaksanaan uji BST
a. Ekstrak petroleum eter dibuat seri konsentrasi 1000, 1400, 1960, 2744, dan
3841 μg/ml. Kelompok ini merupakan kelompok perlakuan. Selain itu,
dilakukan pengujian terhadap kelompok kontrol, yaitu petroleum eter
dengan jumlah yang sama dengan jumlah ekstrak petroleum eter yang
30
ditambahkan dalam tiap-tiap flakon. Dilakukan lima kali replikasi untuk
masing-masing seri konsentrasi.
b. Ekstrak etil asetat dibuat seri konsentrasi 200, 280, 392, 549, dan 796
μg/ml. Kelompok ini merupakan kelompok perlakuan. Selain itu, dilakukan
pengujian terhadap kelompok kontrol, yaitu etil asetat dengan jumlah yang
sama dengan jumlah ekstrak etil asetat yang ditambahkan dalam tiap-tiap
flakon. Dilakukan lima kali replikasi untuk masing-masing seri konsentrasi.
c. Ekstrak air dibuat seri konsentrasi 100, 200, 400, 800, dan 1600 μg/ml.
Kelompok ini merupakan kelompok perlakuan. Selain itu, dilakukan
pengujian terhadap kelompok kontrol, yaitu petroleum eter dengan jumlah
yang sama dengan jumlah ekstrak petroleum eter yang ditambahkan dalam
tiap-tiap flakon. Dilakukan lima kali replikasi untuk masing-masing seri
konsentrasi.
7. Pembuatan larutan sampel
a. Pembuatan larutan A dan larutan B
Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan
menimbang 100,0 mg ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari kemudian
dilarutkan dalam petroleum eter sampai 10,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi
1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan
dalam petroleum eter sampai 10,0 ml.
b. Pembuatan larutan sampel ekstrak petroleum eter
Dari larutan B, dibuat seri konsentrasi ekstrak 1000, 1400, 1960, 2744,
dan 3841 μg/ml.
31
Tabel 2. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak petroleum eter
Konsentrasi larutan stok
(C1) (μg/ml)
Volume larutan stok yang diambil
(V1) (ml)
Volume air laut buatan yang ditambahkan
(V2) (ml)
Konsentrasi larutan sampel yang diujikan
(C2) (μg/ml)
10000
0,5 5 1000 0,7 5 1400
0,98 5 1960 1,3 5 2744
1,92 5 3842 c. Pembuatan larutan C dan larutan D
Larutan C dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan
menimbang 100,0 mg ekstrak etil asetat batang pulasari kemudian dilarutkan
dalam etil asetat sampai 10,0 ml. Larutan D dengan konsentrasi 1 μg/μl dibuat
dengan mengambil 1,0 ml dari larutan C kemudian dilarutkan dalam etil asetat
sampai 10,0 ml.
d. Pembuatan larutan sampel ekstrak etil asetat
Dari larutan D, dibuat seri konsentrasi ekstrak 200, 280, 392, 549, dan
796 μg/ml.
Tabel 3. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak etil asetat
Konsentrasi larutan stok
(C1) (μg/ml)
Volume larutan stok yang diambil
(V1) (ml)
Volume air laut buatan yang ditambahkan
(V2) (ml)
Konsentrasi larutan sampel yang diujikan
(C2) (μg/ml)
1000 1 5 200
1,4 5 280
10000 0,196 5 392 0,275 5 549 0,384 5 768
32
e. Pembuatan larutan E dan larutan F
Larutan E dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan
menimbang 100,0 mg ekstrak air batang pulasari kemudian dilarutkan dalam
aquadest sampai 10,0 ml. Larutan F dengan konsentrasi 1 μg/μl dibuat dengan
mengambil 1,0 ml dari larutan E kemudian dilarutkan dalam aquadest sampai
10,0 ml.
f. Pembuatan larutan sampel ekstrak air
Dari larutan B, dibuat seri konsentrasi ekstrak 100, 200, 400, 800, dan
1600 μg/ml.
Tabel 4. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak air
Konsentrasi larutan stok
(C1) (μg/ml)
Volume larutan stok yang diambil
(V1) (ml)
Volume air laut buatan yang ditambahkan
(V2) (ml)
Konsentrasi larutan sampel yang diujikan
(C2) (μg/ml)
1000 0,5 5 100 1,5 5 200
10000 0,2 5 400 0,4 5 800 0,8 5 1600
8. Uji toksisitas akut dengan BST
Sepuluh ekor larva artemia yang telah berumur 48 jam diambil,
dimasukkan dalam flakon yang berisi sampel dengan konsentrasi tertentu yang
sebelumnya telah dikeringanginkan, kemudian ditambahkan air laut buatan
sebanyak 3 ml. Lalu ditambah 1 tetes suspensi ragi (3mg ragi dalam 5ml ALB)
sebagai makanan dan air laut buatan sampai 5 ml. Setiap pengujian selalu
disertai dengan kontrol dan tiap konsentrasi dibuat dalam 5 kali replikasi.
Flakon dijaga agar selalu mendapat penerangan. Setelah 24 jam, jumlah larva
33
yang mati dihitung untuk mengetahui nilai probit dan dianalisis untuk
mengetahui harga LC50 (Meyer, et al., 1982).
F. Analisis Data
Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis
menggunakan analis probit untuk menghitung LC50. Perhitungan statistik
dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS.
% kematiaan ditentukan dengan rumus Abbot :
% Kematian = % �������� ���� ��� ����% �������� ���� �������
���� % �������� ���� ������� x 100%
34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan dan Pengeringan Bahan
Kulit batang pulasari kering diperoleh dari PT. Merapi Farma Herbal.
Kulit batang pulasari yang digunakan berwarna coklat muda dengan ukuran 3
sampai dengan 5 cm, tebal 0,2 sampai dengan 0,5 cm dan bebas dari jamur.
Pemilihan ini bertujuan agar kulit batang pulasari yang digunakan memiliki umur
yang relatif sama sehingga kadar senyawa aktifnya tidak berbeda secara bermakna
(Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 1985).
Kulit batang pulasari kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari
secara tidak langsung dengan ditutup menggunakan kain hitam agar senyawa aktif
yang terdapat didalamnya tidak rusak oleh sinar matahari langsung. Pengeringan
bertujuan untuk mempermudah pembuatan serbuk, menurunkan kadar air
sehingga tidak ditumbuhi jamur, dan menjamin agar kualitasnya tetap baik
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Reaksi enzimatis serta
perubahan kimiawi juga dapat diminimalkan, sehingga senyawa aktif yang
terkandung dalam kulit batang pulasari tidak hilang terurai (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Pengeringan dapat dihentikan jika kadar air yang terkandung dalam
simplisia kurang dari 10% karena reaksi enzimatis yang dapat menguraikan
senyawa aktif sudah tidak berlangsung (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia, 1985). Untuk mengetahui kapan proses
pengeringan dihentikan juga dapat dilakukan dengan mematahkan kulit batang
35
pulasari sampai patah. Jika kadar air dalam kulit batang masih tinggi, maka kulit
batang tersebut masih lembab dan tidak mudah dipatahkan.
B. Pembuatan Serbuk Kulit Batang Pulasari
Simplisia yang telah kering kemudian diserbuk menggunakan blender.
Pembuatan serbuk ini bertujuan untuk memperluas permukaan yang kontak
dengan cairan penyari sehingga kandungan kimia yang terlarut dalam proses
penyarian lebih banyak dan penyarian dapat berlangsung lebih sempurna
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Dalam penelitian ini,
digunakan metode maserasi dengan pengadukan terus menerus menggunakan
shaker sehingga semakin halus serbuk kulit batang pulasari maka semakin baik
penyariannya. Oleh karena itu, masing-masing simplisia perlu ditetapkan derajat
halus yang paling tepat untuk memperoleh hasil penyarian yang baik. Pada
penelitian ini digunakan pengayak dengan no mesh 11 yang artinya dalam 1 inci
tercapat 11 lubang. Pengayak ini digunakan karena dihasilkan serbuk yang dapat
digunakan pada metode maserasi dengan pengadukan, di mana proses penyarian
berjalan dengan baik.
C. Maserasi
Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula
berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga di dalam cairan penyari
terdapat zat aktif. Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Penyarian dengan cara maserasi
perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar serbuk
36
simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya perbedaan
konsentrasi yang sebesar-besarnya antara larutan dalam sel dengan larutan diluar
sel. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar pula daya dorong untuk
memindahkan massa dari dalam sel ke dalam cairan penyari (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Maserasi dilakukan dengan memasukkan ke dalam bejana 10 bagian
simplisia dengan derajat halus yang cocok kemudian dituangi dengan 75 bagian
cairan penyari. Maserasi dengan menggunakan mesin pengaduk yang berputar
terus menerus dilakukan 6 sampai 24 jam (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986). Dalam penelitian ini digunakan 100 gram serbuk kulit batang
pulasari dan 750 ml pelarut yang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang ditutup
dengan aluminium foil. Hal ini bertujuan agar larutan penyari tidak menguap
terlebih dahulu, sehingga penyarian dapat maksimal. Lalu diletakkan pada mesin
pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 2 x 24 jam, dengan tiap
24 jam mengganti pelarut. Penyarian dilakukan dengan laju 130 rpm. Pada
kecepatan tersebut semua serbuk tergojog sempurna sehingga dapat diasumsikan
sebagai putaran yang optimum. Penyarian dilakukan selama 2 x 24 jam untuk
memastikan bahwa zat aktif yang terkandung dalam serbuk kulit batang pulasari
sudah tersari dengan sempurna.
1. Pembuatan ekstrak petroleum eter
Pada maserasi menggunakan pelarut petroleum eter didapatkan
maserat sebanyak 1200 ml. Untuk mendapatkan ekstrak petroleum eter kering
maka pelarut diuapkan menggunakan vaccum rotary evaporator hingga kental
37
(± 100 ml), kemudian dipekatkan di waterbath dengan suhu 60° C
menggunakan cawan porselen yang sebelumnya telah ditara. Vaccum rotary
evaporator digunakan karena dengan alat ini tekanan dapat diatur (180 mmHg
untuk petroleum eter), sehingga hanya petroleum eter saja yang menguap,
senyawa lain yang terkandung di dalam ekstrak diharapkan tidak ikut
menguap. Suhu 60° C merupakan suhu optimal untuk penguapan di atas
waterbath. Jika suhu terlalu tinggi, dapat menyebabkan senyawa aktif yang
terdapat didalamnya rusak.
Dari penyarian ini didapatkan 2,27 g ekstrak kering dengan rendemen
sebesar 2,27%. Cawan porselen yang berisi ekstrak kemudian ditutup dengan
aluminium foil lalu dimasukkan dalam desikator. Dalam desikator tidak ada
air dan udara yang masuk, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan
senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya
bakteri atau jamur. Selain itu, dapat juga menarik sisa air yang mungkin masih
tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.
2. Pembuatan ekstrak etil asetat
Ampas hasil maserasi dikeringkan dari petroleum eter dengan
menggunakan oven pada suhu 60° C, pengeringan ini dilakukan untuk
menghilangkan sisa petroleum eter sehingga dapat dilanjutkan dengan
maserasi menggunakan pelarut etil asetat. Pada maserasi menggunakan pelarut
etil asetat didapatkan maserat sebanyak 1100 ml. Untuk mendapatkan ekstrak
etil asetat kering maka pelarut diuapkan menggunakan vaccum rotary
evaporator hingga kental (± 100 ml), kemudian dipekatkan di waterbath
38
dengan suhu 60° C menggunakan cawan porselen yang sebelumnya telah
ditara. Vaccum rotary evaporator digunakan karena dengan alat ini tekanan
dapat diatur (240 mmHg untuk etil asetat), sehingga hanya etil asetat saja yang
menguap, senyawa lain yang terkandung di dalam ekstrak diharapkan tidak
ikut menguap. Suhu 60° C merupakan suhu optimal untuk penguapan di atas
waterbath. Jika suhu terlalu tinggi, dapat menyebabkan senyawa aktif yang
terdapat didalamnya rusak.
Dari penyarian ini didapatkan 1,75 g ekstrak kering dengan rendemen
sebesar 1,75%. Cawan porselen yang berisi ekstrak kemudian ditutup dengan
aluminium foil lalu dimasukkan dalam desikator. Dalam desikator tidak ada
air dan udara yang masuk, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan
senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya
bakteri atau jamur. Selain itu, dapat juga menarik sisa air yang mungkin masih
tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.
3. Pembuatan ekstrak air
Ampas hasil maserasi dikeringkan dari etil asetat dengan mengunakan
oven pada suhu 60° C, pengeringan ini dilakukan untuk menghilangkan sisa
etil asetat sehingga dapat dilanjutkan dengan maserasi menggunakan pelarut
air. Pada maserasi menggunakan pelarut air didapatkan maserat sebanyak
1130 ml. Untuk mendapatkan ekstrak air kering maka pelarut diuapkan
menggunakan vaccum rotary evaporator hingga kental (± 100 ml), kemudian
dipekatkan di waterbath dengan suhu 60° C menggunakan cawan porselen
yang sebelumnya telah ditara. Vaccum rotary evaporator digunakan karena
39
dengan alat ini tekanan dapat diatur (75 mmHg untuk etil asetat), sehingga air
saja yang menguap, senyawa lain yang terkandung di dalam ekstrak
diharapkan tidak ikut menguap. Suhu 60° C merupakan suhu optimal untuk
penguapan di atas waterbath. Jika suhu terlalu tinggi, dapat menyebabkan
senyawa aktif yang terdapat didalamnya rusak.
Dari penyarian ini didapatkan 1,93 g ekstrak kering dengan rendemen
sebesar 1,93%. Cawan porselen yang berisi ekstrak kemudian ditutup dengan
aluminium foil lalu dimasukkan dalam desikator. Dalam desikator tidak ada
air dan udara yang masuk, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan
senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya
bakteri atau jamur. Selain itu, dapat juga menarik sisa air yang mungkin masih
tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.
D. Pembuatan Air Laut Buatan
Pembuatan ALB bertujuan untuk menyesuaikan lingkungan hidup
artemia sehingga hampir sama dengan air laut alami. Untuk membuat ALB
diperlukan natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium
klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat. Semua bahan dilarutkan dengan
aquadest kecuali natrium bikarbonat yang dilarutkan dengan air bebas
karbondioksida dan magnesium sulfat yang dilarutkan dalam aquadest panas agar
lebih mudah larut. Penetasan siste sangat dipengaruhi oleh pH karena pemecahan
cangkang siste dibantu oleh kegiatan enzim penetasan yang membutuhkan pH
40
antara 8 sampai 9. Larutan natrium bikarbonat dalam air bebas karbondioksida
dicampurkan terakhir agar tidak terjadi kekeruhan.
Jika semua bahan telah larut, larutan tersebut kemudian dipindahkan
dalam labu ukur 1000 ml dan ditambahkan aquadest sampai tanda. Setelah itu,
labu digojog hingga larutan tercampur.
Air laut buatan yang dibuat memiliki kadar garam 5 per mil yang artinya
dalam 1 ml aquadest mengandung 5 mg natrium klorida. Diperlukan kadar 5 per
mil karena pada kadar tersebut, siste artemia menetas secara optimal (Mujiman,
1989). Peningkatan kadar garam yang mendadak dari 5 permil menjadi 35 permil
juga tidak akan mempengaruhi kehidupan artemia, sebab mereka mempunyai
toleransi yang tinggi terhadap perubahan kadar garam. Bahkan dapat lebih dari 35
permil, misalnya sampai 140 permil. Hal ini disebabkan karena artemia
mempunyai kelenjar garam, yang dapat mengatur penyesuaian diri terhadap
perubahan kadar garam. Dalam penelitian ini tidak diperlukan air laut berkadar
garam tinggi karena kondisi penelitian sudah dikendalikan (tidak ada pemangsa
artemia).
E. Penetasan Siste Artemia
Air laut buatan yang akan digunakan untuk menetaskan siste diaerasi
dahulu selama 2 jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup
bagi kelangsungan hidup artemia. Aquarium yang digunakan adalah aquarium
khusus BST, yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian gelap dan bagian terang,
yang dipisahkan oleh sekat berlubang. Air laut buatan yang telah diaerasi
41
dituangkan ke dalam aquarium pada bagian sekat gelap, dengan ketinggian di atas
sekat bagian bawah. Hal ini dilakukan agar ketika siste telah disebarkan tidak
mengalir ke bagian terang. Siste artemia disebarkan ke bagian gelap.
Sebelum penetasan (sebelum siste ditaburkan dalam aquarium), siste
direndam 1 jam dalam aquadest. Perendaman ini dimaksudkan agar terjadi
penyerapan air ke dalam siste. Siste artemia yang kering, yaitu yang menpunyai
kadar air kurang dari 10% berisi embrio dalam keadaan diapauze, yaitu dalam
keadaan metabolisme terhenti untuk sementara. Dengan perendaman terjadi
penyerapan air sehingga dalam waktu satu jam kadar air dalam siste diperkirakan
sudah mencapai lebih dari 65%, yang mengakibatkan metabolisme embrio yang
semula berada dalam keadaan diapauze menjadi aktif kembali. Setelah direndam
kemudian siste disaring, ditiriskan dan didiamkan selama satu jam untuk
mengurangi sisa-sisa aquadest. Larva yang aktif akan bergerak dari tempat yang
gelap menuju tempat yang terang (fototaksis positif).
Setelah menetas, larva dapat bertahan hidup selama ± 2 hari tanpa diberi
makanan. Larva yang baru menetas berwarna kemerah-merahan karena masih
mengandung makanan cadangan. Setelah 24 jam menetas, cadangan makanan
larva habis. Seiring dengan itu, larva mempunyai mulut, saluran pencernaan dan
dubur. Oleh karena itu, larva mulai membutuhkan lebih banyak makanan untuk
kelangsungan hidupnya.
Suspensi ragi diberikan sebagai makanan larva tersebut. Sebelum dibuat,
ragi dipanaskan terlebih dahulu dengan oven bersuhu 100° C selama 10 menit
untuk menghindari adanya jamur dan bakteri yang dapat tumbuh pada ragi dan
42
dapat mengganggu penelitian. Hal ini penting agar kematian artemia benar-benar
disebabkan oleh bahan uji, yaitu ekstrak kulit batang pulasari dengan berbagai
konsentrasi, bukan karena jamur atau bakteri.
Larva yang digunakan untuk penelitian ini adalah larva yang berumur 48
jam karena larva berada dalam keadaan paling peka pada saat berumur 48 jam.
Hal ini disebabkan karena pada umur 48 jam organ-organ pada artemia sudah
terbentuk lengkap. Dengan terbentuknya mulut, artemia dapat meminum ALB
yang sudah diberi ekstrak kulit batang pulasari dengan berbagai konsentrasi,
sehingga kematian artemia benar-benar disebabkan karena ekstrak kulit batang
pulasari dalam berbagai konsentrasi tersebut.
F. Uji Toksisitas dengan Metode BST
BST merupakan salah satu metode skrining bioaktivitas suatu ekstrak
atau senyawa murni dengan hewan uji larva artemia. Sampel yang digunakan
adalah ekstrak petroleum eter dengan konsentrasi 1000, 1400, 1960, 2744, dan
3841 μg/ml, ekstrak etil asetat dengan kosentrasi 200, 280, 392, 549, dan 796
μg/ml dan ekstrak air dengan konsentrasi 100, 200, 400, 800, dan 1600 μg/ml.
Konsentrasi tersebut didapat setelah dilakukan orientasi dengan kadar 10, 100,
1000 μg/ml.
Setelah pengujian, didapatkan jumlah larva yang mati, yang kemudian
digunakan untuk menghitung persentase kematian larva tersebut. Dari data
persentase kematian ini diambil konsentrasi yang memberikan nilai persentase
kematian larva antara 20%-80% sebagai konsentrasi terendah dan konsentrasi
43
tertinggi. Digunakan persentase kematian larva antara 20%-80% karena dengan
persentase kematian tersebut sudah dapat memberikan kurva yang lebih linier,
sehingga LC50 yang didapatkan pada uji BST ini lebih dapat menggambarkan hasil
yang sebenarnya. Selanjutnya untuk mendapatkan lima seri konsentrasi dengan
kelipatan yang sama, yang merupakan syarat probit dapat dihitung dengan rumus
F (lampiran 3).
Sebelum memulai uji toksisitas, semua flakon dan alat yang digunakan
dicuci dengan sabun untuk membersihkan kotoran-kotoran yang mungkin masih
melekat di flakon, lalu dibilas aquadest dan direndam menggunakan aquadest
panas untuk menghilangkan sisa-sisa sabun yang mungkin masih tertinggal.
Sebelum pencucian flakon, sejumlah 5 ml aquadest diambil menggunakan pipet
volume, dimasukkan dalam flakon, kemudian diberi tanda. Penggunaan pipet
volume dimaksudkan agar konsentrasi ekstrak kulit batang pulasari tepat. Tiap-
tiap flakon ditandai setinggi 5 ml untuk memudahkan dalam penambahan ALB
sampai 5 ml.
Air laut buatan yang akan digunakan untuk pengujian diaerasi selama 2
jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup bagi
kelangsungan hidup artemia, sehingga jika terdapat artemia yang mati bukan
disebabkan karena kekurangan oksigen. Sebelum artemia dimasukkan dalam
flakon, sejumlah larutan uji (ekstrak kulit batang pulasari) sesuai dengan
konsentrasinya masing-masing dimasukkan dalam flakon yang sudah kering dan
bersih, lalu dikeringuapkan menggunakan waterbath dengan suhu kurang dari
60°C untuk menghindari rusaknya zat aktif. Selain larutan uji, dilakukan juga
44
pada kontrol yang berisi pelarut dengan jumlah sesuai masing-masing konsentrasi.
Pelarut harus diuapkan agar tidak mempengaruhi kematian larva.
Setelah pelarut menguap semua, ke dalam tiap flakon perlakuan maupun
flakon kontrol ditambahkan ALB sebanyak 3 ml lalu divortex. Hal ini dilakukan
untuk memastikan sampel uji terdistribusi merata ke dalam ALB. Kemudian tiap
flakon diisi 10 larva yang diambil menggunakan pipet tetes. Larva artemia yang
digunakan untuk uji yaitu larva yang berumur 48 jam setelah menetas. Larva yang
berumur 48 jam dalam keadaan paling peka karena dinding selnya masih lunak
sehingga hanya diperlukan konsentrasi sampel yang kecil untuk menimbulkan
efek yang diamati.
Setelah itu, ke dalam tiap flakon ditambahkan suspensi ragi sebagai
sumber makanan. Penambahan makanan ini penting, untuk memastikan bahwa
kematian larva bukan disebabkan karena kekurangan makanan. Meyer et al.
(1982) memaparkan konsentrasi suspensi ragi yang digunakan, yaitu 3 mg ragi
dilarutkan dalam 5 ml ALB.
Tiap flakon cukup diberi satu tetes suspensi ragi, tidak boleh berlebihan.
Hal ini disebabkan karena sebagai filter feeder (penyaring makanan), artemia
menelan apa saja yang berukuran kecil. Artemia tidak bisa membedakan antara
makanan dan bukan makanan. Jika pemberian makanan terlalu banyak, jumlah
yang ditelan semakin banyak. Apabila terjadi demikian maka makanan yang
belum sempat dicernakan akan terdesak oleh makanan baru yang terus menerus
masuk dalam jumlah yang banyak. Dengan demikian, makanan itu akan keluar
lagi dari usus dalam keadaan belum tercerna dengan baik dan belum sempat
45
diserap sarinya oleh usus. Hal ini dapat menyebabkan kematian artemia, sehingga
jumlah kematian larva yang didapatkan bukan merupakan hasil yang sebenarnya
Setelah itu, ke dalam masing-masing flakon di tambah ALB lagi sampai tanda
garis 5 ml. Flakon-flakon tadi diletakkan dekat lampu, dalam kardus yang ditutupi
kain strimin dan terhindar dari cahaya matahari langsung. Ditutup kain strimin
agar serangga kecil tidak masuk flakon, tetapi tidak mempengaruhi kadar oksigen.
Setelah 24 jam, larva yang hidup dihitung. Dikatakan hidup jika larva
masih bergerak aktif, sekecil apapun gerakan tersebut. Larva tidak mungkin diam,
sebab selain berfungsi sebagai alat gerak, antena II pada larva juga berfungsi
sebagai alat pernafasan. Setelah jumlah larva yang hidup diketahui, jumlah larva
yang mati dapat dihitung. Kemudian dihitung persen kematian pada masing-
masing konsentrasi perlakuan dan kontrol. Kontrol digunakan untuk mengoreksi
kematian larva yang bukan disebabkan oleh pengaruh ekstrak kulit batang
pulasari. Hasil percobaan (tabel 5, 6 dan 7) menunjukkan persentase kematian
larva pada rentang 20%-80%.
Tabel 5 . Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari
Konsentrasi (μg/ml)
% kematian larva artemia
1000 25 1400 30 1960 44 2744 59 3842 80
46
Tabel 6 . Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etil asetat kulit batang pulasari
Konsentrasi (μg/ml)
% kematian larva artemia
200 22 280 36 392 49 549 61 768 80
Tabel 7 . Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak air kulit batang pulasari
Konsentrasi (μg/ml)
% kematian larva artemia
100 20 200 28 400 36 800 58
1600 78
Data yang didapat (tabel 5, 6 dan 7) kemudian dianalisis dengan analisis
probit menggunakan Program SPSS 16.00 untuk mendapat nilai LC50. Pada
penelitian ini digunakan analisis probit agar didapatkan kurva yang berbentuk
garis lurus sehingga penentuan nilai LC 50 lebih tepat. Jika hanya memplotkan
persentase kematian larva (nilai y) dengan logaritma konsentrasi (nilai x) maka
akan didapatkan kurva berbentuk sigmoid sehingga dalam penentuan nilai LC50
dapat menjadi kurang tepat. Dalam analisis probit didapatkan kurva yang
berbentuk garis lurus karena konsentrasi sampel ditransformasikan menjadi
logaritma konsentrasi sebagai variabel tetap (nilai x) dan persentase kematian
larva ditransformasikan menjadi nilai probit sebagai variabel tergantung (nilai y).
47
1. Analisis probit ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari
Setelah dianalisis dengan analisis probit diperoleh persamaan garis linier
yaitu y = 2,587x—8,581 dan dapat digambarkan kurva hubungan antara nilai
probit dengan log konsentrasi ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari
(gambar 7).
Gambar 7. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari
Dari hasil analisis probit diperoleh suatu tabel yang mencantumkan nilai
LC50 yang dihasilkan, yaitu sebesar 2078,18 μg/ml dengan kisaran batas bawah
sebesar 1873,68 μg/ml dan kisaran batas atas sebesar 2317,91 μg/ml (lampiran 4).
Dari gambar 7 juga didapatkan nilai Rsq yang merupakan koefisien
determinasi yang mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana, yaitu
merupakan presentase sumbangan X terhadap variasi (naik atau turunnya) Y. Dari
analisis, didapatkan nilai Rsq sebesar 0,957 yang berarti bahwa persentase
48
sumbangan X yaitu konsentrasi ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari
terhadap variasi Y yaitu respon (jumlah kematian artemia) sebesar 95,7%.
Dari nilai Rsq dapat dihitung nilai R, yaitu akar pangkat dari Rsq. Dari
penelitian ini didapatkan nilai R sebesar 0,9783. Nilai R merupakan koefisien
korelasi dalam hubungan dua variabel X dan Y yang mengukur kuatnya hubungan
antara X dan Y. Dari tabel nilai R, dengan taraf kepercayaan 95% pada derajad
bebas 3 dapat dilihat nilai R sebesar 0,878 sehingga didapatkan nilai R penelitian
lebih besar daripada nilai R tabel. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang
linier antara konsentrasi dengan nilai probit. Meningkatnya konsentrasi diikuti
dengan meningkatnya nilai probit (respon).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak petroleum eter kulit batang
pulasari mempunyai nilai LC50 > 1000 μg/ml, yaitu sebesar 2078,18 μg/ml, yang
berarti bahwa ekstrak tersebut bersifat tidak toksik terhardap larva artemia.
2. Analisis probit ekstrak etil asetat kulit batang pulasari
Setelah dianalisis dengan analisis probit diperoleh persamaan garis linier
yaitu y = 2,638x—6,849 dan dapat digambarkan kurva hubungan antara nilai
probit dengan log konsentrasi ekstrak etil asetat kulit batang pulasari (gambar 8).
49
Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak etil asetat kulit batang pulasari
Dari hasil analisis probit diperoleh suatu tabel yang mencantumkan nilai
LC50 yang dihasilkan, yaitu sebesar 394,43 μg/ml dengan kisaran batas bawah
sebesar 355,71 μg