Upload
juan-avila-johannes
View
167
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PR SARAF
Citation preview
1. CEPHALGIA
Tabel Karakteristik Cephalgia
Cephalgia Sifat Lokasi Lama nyeri
Frekuensi Gejala ikutan
Migren tanpa aura
Berdenyut Unilateral/bilateral 4-72 jam Sporadik, < 5 serangan nyeri
Mual muntah , fotofobia,fonofobia
Migren dengan
aura
Berdenyut Unilateral < 60 menit Sporadik, 2 serangan
didahului gejala neurologi fokal 5-
20 menit
Gangguan visual, gangguan sensorik,
gangguan bicara
Tension Tipe
Headache
Tumpul, tekan diikat
bilateral 30’ -7 hari Terus menerus Depresi ansietas stress
Cluster Headache
Tajam, menusuk
Unilateral orbita, supraorbital
15-180 menit
Periodik 1 x tiap 2 hari – 8x perhari
Lakrimasi ipsilateral., rhinorrhoea ipsilatral,
miosis/ptosis ipsilatral, dahi &
wajah berkeringat
Neuralgia trigeminus
Ditusuk-tusuk
Dermatom saraf V 15-60 detik
Beberapa kali sehari
Zona pemicu nyeri
2. SIRKULUS WILLISI
3. SINDROMA BATANG OTAK
SINDROME WEBER
Sindrome Weber merupakan suatu kumpulan gejala klinis dan tanda yang
meliputi kelumpuhan nervus okulomotorius ipsilateral, hemiparesis spastik
kontralateral, rigiditas parkinsonism kontralateral, distaksia kontralateral, serta
adanya defisit saraf kranialis yang kemungkinan disebabkan akibat adanya
gangguan pada persarafan supranuklear pada nervus VII, IX, X, dan XII.
Etiologi
Sindrom Weber dapat disebabkan oleh hal sebagai berikut:
1. Penyumbatan pembuluh darah cabang samping yang berinduk pada ramus
perforantes medialis arteria basilaris.
2. Insufisiensi peredarah darah yang mengakibatkan lesi pada batang otak.
3. Lesi yang disebabkan oleh proses neoplasmatik sebagai akibat invasi dari
thalamus atau serebelum. Lesi neoplasmatik sukar sekali memperlihatkan
keseragaman oleh karena prosesnya berupa pinealoma, glioblastoma dan
spongioblastoma dari serebelum.
4. Lesi yang merusak bagian medial pedunkulus serebri.
5. Stroke (perdarahan atau infark) di pedunkulus serebri.
6. Hematoma epiduralis.
7. Tumor lobus temporalis.
Gambar Syndrome Weber
Manifestasi Klinis
Manifestasi yang ditimbulkan dapat dengan mudah dimengerti oleh
karena setiap gejala dan tanda mencerminkan disfungsi sistema sarafi yang
terlibat dalam lesi tertentu. Lesi yang disebabkan oleh proses neoplasmatik
dapat merusak bangunan-bangunan mesensefalon sebagai akibat invasi dari
thalamus atau serebelum. Oleh karena proses tersebut berupa pinealoma,
glioblastoma dan spongioblastoma dari serebelum, maka tiap corakan kerusakan
dapat terjadi, sehingga lesi neoplasmatik sukar sekali memperlihatkan suatu
keseragaman. Lesi unilateral di mesensefalon mengakibatkan timbulnya
hemiparesis atau hemiparesis kontralateral Lesi yang merusak bagian medial
pedunkulus serebri akan menimbulkan hemiparsis yang disertai paresis nervus
okulomotorius ipsilateral. Kombinasi kedua jenis kelumpuhan ini dikenal dengan
nama hemiparesis alternans nervus okulomotorius atau Sindroma dari weber.
Lesi pada daerah fasikulus longitudinalis medialis akan mengakibatkan
timbulnya hemiparesis alternans nervus okulomotorius yang diiringi juga
dengan gejala yang dinamakan oftalmoplegia interneklearis.
Gambar Syndrome weber
Diagnosis
Diagnosis sindroma dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
tentang riwayat penyakit, termasuk juga riwayat keluhan, berapa lama keluhan
sudah timbul dan apakah unilateral ataukah bilateral. Pemeriksaan saraf
biasanya dapat dilakukan dan dapat sangat membantu untuk menentukan
adanya sindroma weber. Pemeriksaan nervus okulomotorius biasanya dilakukan
bersama-sama dengan pemeriksaan nervus troklearis dan nervus abdusen,
pemeriksaan tersebut terdiri atas:
1. Celah kelopak mata
Kemudian dinilai kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan irisPasien
disuruh memandang lurus ke depan.
2. Pupil
Pada pemeriksaan pupil bagian yang perlu diperiksa adalah (1) ukuran: apakah
normal (diameter 4-5 mm), miosis, midriasis atau pin pont pupil, (2) bentuk:
apakah normal, isokor atau anisokor, (3) posisi: apakah central atau eksentrik,
(4) cahaya diarahkan pada satu refleks pupil: refleks cahaya langsung
reaksi yang tampak untuk kontraksi pupil homolateral, refleks pupil selain
cahaya tidak langsung (konsensual / crossed light refleks) kontraksi
homolateral juga akan tampak kontraksi kontralateral, refleks pasien diminta
melihat jauh kemudian melihat akomodasi-konvergensi ketangan
pemeriksa yang diletakkan 30 cm di depan hidung pasien.
Pada saat melihat tangan pemeriksa, kedua bola mata pasien bergerak
secara konvergensi (kearah nasal) dan tampak pupil mengecil. Refleks ini
negatif pada kerusakan saraf simpatikus leher, refleks siliospinal refleks
nyeri ini dilakukan dalam ruangan dengan penerangan samar-samar. Caranya
ialah merangsang nyeri pada daerah leher dan sebagai reaksi pupil akan
melebar pada sisi ipsilateral. Refleks ini terjadi bila ada benda asing pada
kornea atau intraokuler, atau pada cedera mata atau refleks nyeri ini adalah
konstriksipelipis, refleks okulosensorik atau dilatasi disusul konstriksi,
sebagai respons rangsang nyeri di daerah mata atau sekitarnya.
3. Gerakan bola mata
Fungsi otot-otot ekstrinsik bola mata dinilai dengan gerakan bola mata
keenam arah yaitu lateral, medial, lateral atas, medial atas, medial atas dan
medial bawah, cara: pasien menghadap ke depan dan bola mata digerakkan
menurut perintah atau mengikuti arah objek.
Kelainan-kelainan yang dapat terjadi :
1. Kelemahan otot-otot bola mata (opthalmoparese/opthalmoplegi) berupa:(1) gerakan terbatas, (2) kontraksi skunder dari anta-gonisnya, (3) strabismus, (4) diplopia
2. dapat terlihat saat melihat ke samping, atas, bawah.Nistagmus (gerakan
bolak-balik bola mata yang involunter).
SINDROM BENEDICKT
Definisi
Sindrom Benedikt merupakan akibat tersumbatnya cabang-cabang
interpedunkularis dari arteri basilaris atau serebralis posterior atau keduanya
pada otak tengah. Ini digambarkan sebagai suatu kelumpuhan Nervus III
(Okulomotorius) ipsilateral yang disertai oleh tremor kontralateral (cerebelar).
Sebuah tremor berirama (ritmik) pada tangan atau kaki bagian kontralateral
yang ditingkatkan oleh adanya gerakan mendadak atau tanpa disengaja,
menghilang ketika beristirahat. Merupakan akibat dari kerusakan pada nukleus
red (nukleus ruber) yang menuju keluar dari sisi yang berlawanan pada hemisfer
cerebelum. Bisa juga terdapat hiperestesia kontralateral. Sindrom Benedikt
terjadi bila salah satu cabang dari rami perforantes paramedial arteri basilaris
yang tersumbat, maka infark akan ditemukan di daerah yang mencakup 2/3
bagian lateral pedunkulus cerebri dan daerah nukleus ruber. Maka hemiparesis
alternans yang ringan sekali tidak saja disertai oleh hemiparesis ringan Nervus
III, akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya gerakan involunter pada lengan
dan tungkai yang paretik ringan (di sisi kontralateral) itu. Sindrom Benedikt
terjadi jika lesi menduduki kawasan nukleus ruber sesisi yang ikut rusak
bersama-sama radiks Nervus Okulomotorius ialah neuron-neuron dan serabut-
serabut yang tergolong dalam susunan ekstrapiramidal. Maka gejala yang
muncul ialah paralisis Nervus Olulomotorius ipsilateral, ataksia dan tremor pada
lengan sesisi kontralateral. Sindrom benedik merupakan lesi pada area nukleus
red memotong saraf fasikuler dari Nervus III pada saat mereka melewati otak
tengah bagian ventral, beberapa lesi menyebabkan kelumpuhan okulomotorius,
dengan diskinesia (hiperkinesia, ataksia) kontralateral dan tremor yang menetap
terjadi hanya pada lengan. Sindrom benedik (paramedial midbrain syndrome)
merupakan hasil dari penggabungan dan pelunakan fasikuler dari satu Nervus
Okulomotor pada regio nukleus red ipsilateral. Maka pasien akan mengalami
kelumpuhan N.III tipe perifer dengan diskinesia (hiperkinesia dan ataksia)
kontralateral dan tremor yang menetap pada lengan. Sindrom Benedikt adalah
bila pada otak tengah tingkat kerusakan sampai di nukleus red atau di fasikulus
Nervus III akan menyebabkan kelumpuhan pada Nervus III yang komplit atau
parsial; kerusakan sampai pada nukleus red (diluar dari sisi lain hemisfer
cerebelum) juga akan menyebabkan tremor kontralateral. Sindrom Benedikt
adalah sindrom neurologi paralisis Nervus III karena trauma pada Nervus
Okulomotor dan nukleus red.
Etiologi
Secara umum: adanya lesi pada nukleus ruber dengan adanya oklusi pada
nervus okulomotorius; adanya oklusi pada cabang dari arteri basiler, trauma,
dan perdarahan pada otak tengah, dan keganasan merupakan penyebab yang
paling sering.
Gambaran klinis
Pada mata akan terdapat paralisis homolateral dari nervus
okulomotorius, yang dihubungkan dengan pergerakan konvergensi, elevasi dan
depresi dari mata, juga hilangnya refleks cahaya dan akomodasi. (interupsi saraf
radiks III di dalam otak tengah). Selain itu juga terdapat hiperkinesia secara
unilateral, hemiparesis kontralateral, tremor pada pada bagian ekstremitas atas
(yang meningkat saat aktivitas), hemihipoestesia, dan kehilangan sensibilitas
yang dalam; juga ataxia ipsilateral1.Kelumpuhan Nervus III (Okulomotorius).
SINDROM FOVILLE – MILLARD GUBLER
Hemiplegia alternas akibat lesi di pons adalah selamanya kelumpuhan
UMN yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang berada dibawah
tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang
disarafi oleh nervus abdusens n. VI atau nervus fasialis n. VII.
Etiologi
Sindrom Millard Gubler dan sindrom Foville termasuk juga kedalam
bagian dari sindrom hemiplegia alternans pons. Sindrom ini disebabkan akibat
terbentuknya suatu lesi vaskuler yang bersifat unilateral. Selaras dengan pola
percabangan arteri-arteri, maka lesi vaskular di pons dapat dibagi ke dalam: (1)
lesi paramedian akibat penyumbatan salah satu cabang dari rami perforantes
medialis a. basilaris, (2) lesi lateral, yang sesuai dengan kawasan perdarahan
cabang circumferens yang pendek, (3) lesi di tegmentum bagian rostral pons
akibat penyumbatan a. serebeli superior dan (4) lesi di tegmentum bagian
kaudal pons, yang seesuai dengan kawasan perdarahan sircumferens yang
panjang.
Penyumbatan parsial terhadap salah satu cabang dari rami perforantes
medialis a. basilaris sering disusul oleh terjadinya lesi-lesi paramedian. Jika lesi
paramedian itu bersifat unilateral dan luas adanya, maka jaras kortikobulbar /
kortikospinal berikut dengan inti-inti pes pontis serta serabut-serabut
pontoserebelar akan terusak. Tegmentum pontis tidak terlibat dalam lesi
tersebut.
Manifestasi Klinis
Manifestasi berupa penyumbatan parsial terhadap cabang dari rami
perforantes medialis a.basilaris seperti itu akan menimbulkan gejala berupa
hemiplegia yang bersifat kontralateral, yang pada lengan bersifat lebih berat
ketimbang pada tungkai. Jika lesi paramedian itu terjadi secara bilateral, maka
kelumpuhan seperti yang telah diuraikan tadi akan terjadi pada kedua sisi
bagian tubuh.
Gambar syndrome foville dan millard gubler
Namun jika lesi paramedian terletak pada bagian kaudal pons , maka akar
nervus abdusens juga akan ikut terlibat. Maka dari itu pada sisi lesi terdapat
kelumpuhan LMN m.rektus lateralis, yang membangkitkan strabismus
konvergens ipsilateral dan kelumpuhan UMN yang melanda belahan tubuh
kontralateral, yang mencakup lengan tungkai sisi kontralteral berikut dengan
otot-otot yang disarafi oleh n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII sisi kontralateral.
Gambaran penyakit inilah yang dikenal sebagai sindrom hemiplegi alternans
nervus abdusens.
Selain itu dapat juga terjadi suatu lesi unilateral di pes pontis yang meluas
ke samping, sehingga melibatkan juga daerah yang dilalui n.fasialis. Sindrom
hemiplegia alternans padamana pada sisi ipsilateral terdapat kelupuhan LMN,
yang melanda otot-otot yang disarafi n.abdusens dan n.fasialis yang disebut
sebagai Sindrom Millard Gubler. Jika serabut-serabut kortikobulbar untuk
nukleus n.VI ikut terlibat dalam lesi, maka ‘deviation conjugee’ mengiringi
sindrom Millard Gubler. Kelumpuhan bola mata yang konyugat itu dikenal juga
sebagai Sindrom Foville, sehingga hemiplegia alternans nervus abdusens et
fasialis yang disertai sindrom Foville itu disebut sebagai Sindrom Foville – Millard
Gubler.
SINDROM BASIS PONTIS BAGIAN TENGAH
Penyebabnya adalah oklusi ramus sirkuferensialis brevis dan ramus
paramedianus arteri basilaris. Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah
paresis flasid otot-otot pengunyah ipsilateral,hipestesia, analgesia, dan
termanestesia wajah; hemiataksia dan asinergia ipsilateral; hemiparesis spastic
kontralateral.
Gambar Sindrom basis pontis bagian tengah
Gambar Sindrom basis pontis bagian tengah
SINDROM TEGMENTUM PONTIS KAUDALIS
Penyebab sindrom ini adalah oklusi cabang arteri basilaris (ramus
sirkuferensialis longus dan brevis. Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah
kelumpuhan nuclear abdusen dan fasialis ipsilateral, nistagmus (fasikulus
longitudinalis medialis), paresis tatapan kearah sisi lesi; hemiataksia dan
asinergia ipsilateral (pedunkulus sereberalis medialis); analgesia dan
termanestesia kontralateral (traktus spinotalamikus lateralis); hipestesia dan
gangguan sensasi posisi dan getar sisi kontralateral (lemniskus medialis);
mioritmia palatum dan faring ipsilateral (traktus tegmentalis sentralis).
Gambar sindrom tegmentum basis pontis kaudale
Gambar Sindrom tegmentum Pontis Kaudale
SINDROM TEGMENTUM PONTIS ORALE
Penyebab sindrom ini adalah oklusi ramus sirkumferensialis longus arteri
basalis dan arteri sereberali superior. Gambaran klinis yang dapat ditemukan
adalah hilangnya sensasi wajah ipsilateral (gangguan semua serabut N.
trigeminus) dan paralisis otot-otot pengunyah (nucleus motorius N.trigeminus),
hemiataksia, intention tremor, adiadokokinesia (pedunkulus serebelaris
superior); gangguan semua modalitas sensorik kontralateral.
Gambar sindrom tegmentum pontis orale
Gambar Sindrom Tegmentum Pontis Orale
SINDROM WALLENBERG
Sindrom wallenberg disebut juga sebagai sindrom meduler lateral, yaitu
merupakan suatu penyakit dimana terdapat defisit gejala neurologis karena
cedera pada bagian lateral medula di otak yang mengakibatkan iskemia dan
nekrosis jaringan. Biasanya pada penderita akan tampak gejala seperti mual,
muntah dan vertigo yaitu akibat dari keterlibatan sistem vestibuler.
Etiologi
Sindrom ini paling sering disebabkan oleh oklusi arteri vertebral atau
pada arteri cerebeli posterior inferior (pica) dimana pada bagian lateral medula
oblongata dapat terjadi infark dan menimbulkan lesi sehingga mengganggu
fungsi jaras yang melewati area tersebut. Arteri yang paling sering terkena
adalah a. verteberalis, kemudian diikuti oleh a. cerebelaris posterior inferior,
tengah seperior dan arteri meduler rendah.
Manifestasi Klinis
Sindrom Wallenberg ditandai oleh terjadinya suatu defisit neorologis
yang mempengaruhi ekstremitas pada sisi yang berlawanan (kontralateral) dari
infark dan defisit sensorik yang mempengaruhi wajah dan saraf kranial pada sisi
yang sama dengan infark. Secara khusus, ada hilangnya nyeri dan sensasi suhu
pada sisi kontralateral tubuh dan ipsilateral pada sisi wajah. Gejala klinis
tersebut juga termasuk dalam hal kesulitan menelan (disfagia), bicara cadel
(disartria), ataksia, rasa nyeri pada sisi bagian wajah, vertigo, nystagmus,
diplopia dan mungkin juga terdapat mioclonus pada bagian pallatum mulut.
Gambar Sindrom Wallenberg
Orang yang mengalami kesultan dalam hal menelan (disfagfia) yang
dihasilkan dari keterlibatan nucleus ambigus, serta bicara cadel (dysarthria) dan
kualitas vokal teratur (disfonia). Kerusakan pada tulang belakang nukleus
trigeminus menyebakan tidak adanya rasa sakit pada sisi ipsilateral dari wajah,
serta tidak terdapat refleks kornea.
Pada traktus spinotalamikus terjadi kerusakan, yang mengakibatkan
hilangnya rasa sakit dan sensasi suhu ke sisi berlawanan dari tubuh. Kerusakan
pada otak kecil atau cerebellum pedunculus rendah dapat menyebabkan ataksia.
Kerusakan pada serat hypothalamospinal menganggu sistem saraf simpatik relay
dan memberikan gejala analog dengan sindrom Horner. Nistagmus dan vertigo
yang dapat mengakibatkan jatuh, disebabkan dari keterlibatan daerah inti
Deiter’s dan inti vestibuler yang lainnya. Onset yang biasanya terjadi bersifat
akut. Mioclonus palatal dapat terjadi karena gangguan dari saluran tegmental
pusat.
Gambar Sindrom Wallenberg
SINDROM DEJERINE (SINDROM MEDULARIS MEDIALIS)
Penyebab sindrom ini adalah oklusi ramus paramedianus arteri
vertebralis dan arteri basilaris, umumnya bilateral. Gambaran klinis yang dapat
ditemukan adalah kelumpuhan flasid nervus hipoglosus ipsilateral, hemiplegic
kontralateral (bukan spastic) dengan tanda babinski, hipestesia kolumna
posterior kontralateral (yaitu hipestesia terhadap raba dan tekan), dengan
gangguan sensasi posisi), serta nistagmus (pada kasus terkenanya fasikulus
longitudinalis medialis oleh lesi tersebut).
Gambar Sindrom Dejerine
4. PENATALAKSANAAN STROKE ISKEMIK AKUT
Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
Oleh karena jendela terapi stroke akut sangat pendek, evaluasi dan diagnosis klinik
harus cepat. Evaluasi gejala dan tanda klinik meliputi:
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologik dan skala stroke.
Studi diagnostik stroke akut meliputi CT scan tanpa kontras, KGD, elektrolit
darah, tes fungsi ginjal, EKG, penanda iskemik jantung, darah rutin, PT/INR,
aPTT, dan saturasi oksigen.
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan
Observasi status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi
oksigen
Perbaikan jalan nafas dengan pemasangan pipa orofaring/ ETT, bila >2minggu
dianjurkan trakeostomi
Pada pasien hipoksia sat O2 <95%, diberi suplai oksigen
Pasien stroke iskemik akut yang non hipoksia tidak perlu terapi O2
b. Stabilisasi hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari cairan hipotonik)
Optimalisasi tekanan darah
Bila tekanan darah sistolik < 120mmHg dan cairan sudah mencukupi, dapat
diberikan obat-obat vasopressor titrasi dengan target TD sistolik 140mmHg.
Pemantauan jantung harus dilakukan selama 24 jam pertama.
Bila terdapat CHF, konsul ke kardiologi.
c. Pemeriksaan awal fisik umum
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologi umum awal:
1. Derajat kesadaran
2. Pemeriksaaan pupil dan okulomotor
3. Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian peninggian TIK
Pemantauan ketat terhadap risiko edema serebri harus dilakukan dengan
memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologik pada hari pertama
stroke
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9 dan pasien yang
mengalami penurunan kesadaran
Sasaran terapi TIK < 20 mmHg
Elevasi kepala 20-30º.
Hindari penekanan vena jugulare
Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
Hindari hipertermia
Jaga normovolemia
Osmoterapi atas indikasi: manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4-6 jam, kalau perlu diberikan furosemide dengan dosis inisial
1 mg/kgBB IV.
Intubasi untuk menjaga normoventilasi.
Drainase ventrikuler dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar
e. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20 mg dan diikuti phenitoin loading
dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat antiepilepsi profilaksis,
selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila kejang tidak ada.
f. Pengendalian suhu tubuh
Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan
diatasi penyebabnya. Beri Asetaminophen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5ºC.
g. Pemeriksaan penunjang
EKG
Laboratorium: kimia darah, fungsi ginjal, hematologi dan faal hemostasis,
KGD, analisa urin, AGDA dan elektrolit.
Bila curiga PSA lakukan punksi lumbal
Pemeriksaan radiologi seperti CT scan dan rontgen dada
Penatalaksanaan Stroke Iskemik Akut
1. Pengobatan hipertensi pada stroke akut
2. Pengobatan hiper/ hipoglikemia
3. Trombolisis pada stroke akut
4. Antikoagulan:
Antikoagulan urgent untuk mencegah serangan stroke ulang, menghentikan
perburukan defisit neuro,,memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut
(tidak direkomendasikan untuk stroke hemoragik akut)
Tidak direkomendasikan penderita stroke akut sedang sampai berat, karena
resiko komplikasi perdarahan intrakranial mengingkat
Heparin, LMWH, Heparinoid untuk terapi stroke iskemik akut dan cegah
reembolisasi, diseksi arteri, stenosis berat arteri karotis pre bedah.
KI heparin: infark besar >50%, HT tak terkontrol, dan perubahan
mikrovaskuler otak yang luas
5. Antiplatelet Clopidrogel
aspirin dosis awal 325mg dalam 24-48jam setelah awitan stroke iskemik akut
aspirin jangan diberikan bila akan diberikan trombolitik
6. Citicoline 2x1000mg 3 hari iv lanjut dengan 2x1000 3 minggu oral
i) Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
Pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan
15% (sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama
setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS)
>220 atau tekanan diastolic >120. Pada pasien stroke
iskemik aku, akan diberi terapi trombolitik (rtPA),
tekanan darah diturunkan sehingga TDS ,185mmHg dan
TDD<110mmHg. Selanjutnya tekanan darah harus
dipantau sehingga TDS <180 DAN tdd <105mmHg
selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat anti
hipertensi yang digunakan adalah labtalol, nitropaste,
nitropusid, nikardipun, atau ditialzem intravena.
Apabilan TDS >180 mmHg atau MAP >130mmHg,
disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan
intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial.
Tekana darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten
dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60mmHg.
Apabila TDS>180 mmHg ATAU map >130 mmHg
tanpa disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan
intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati – hati
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan
darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau
tekanan darah 160/90mmHg. Pada studi INTERACT
2010, penurunan tekanan darah hingga 140 mmHg
masih diperbolehkan.
Penanganan nyeri penting dalam mengontrol tekanan
darah pasien.
Pemakaian obat antihipertensi perenteral golongan beta
blocker (labetolol dan esmolol), penyekat kanal kalsium
(nikardipin dan ditialzem) intravena dipakai dalam
upaya di atas.
Hidralasin dan nitropusid sebaiknya tidak dipakai
karena menyebabkan peningkatan tekanan intracranial
meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
ii) Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak
direkomendasikan diberikan pada kebanyakan stroke iskemik.
iii) Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
Hiperglikemia terjadi hampir 60% patient stroke aku
nondiabetess. Hiperglikemia yang terjadi berhubungan
dengan luasnya volume infark dan gangguan kortikal dan
berhubungan dengan buruknya keluaran. Tidak banyak data
nelitian yang menyebutkan bahwa dengan menurunkan
kadar gula darah secara aktif akan memperbaiki keluaran.
Hindari gula darah lebih 180mg/dL, disarankan dengan
infuse saline dan menghindari larutan glukosa dalam 24 jam
pertama setelah serangan stroke.
Hipoglikemia (>50 mg/dL) mungkin akan memperlihatkan
gejala mirip dengan stroke infark, dan dapat diatasi dengan
pemberian bolus dekstrosa atau infus glukosa 10-20%
sampai kadar gula darah 80-110 mg/dL
Syarat – syarat pemberian insulin :- stroke hemoragik dan
non hemoragik dengan IDDM atau NIDDM. Bukan stroke
lakunar dengan diabetes mellitus.
Kontrol gula darah selama fase akut stroke dengan
pemberian insulin subkutan mengikut sliding scale. Sasaran
gula darah 80-180mg/dL (80-110 untuk ICU). Standard drip
insulin 100U/100mL 0.9%% NaCl via infuse (1U/mL).
Infus insulin harus dihentikan apabila penderita makan dan
menerima dosis pertama dari insulin subkutan.
Memantau gula darah dengan memeriksa gula darah kapiler
tiap jam sampai pada target dula darah selama 4 jam,
kemudian diturunkan tiap 2 jam. Bila gula darah tetap
stabil, infuse insulin dapat dikurangi tiap 4 jam.
Pemantauan tiap jam untuk penderita sakit kritis walaupun
gula darah stabil.
Pemilihan algoritme pmeberian infuse insulin intravena
i) Algoritme 1 : mulai untuk kebanyakan penderita
ii) Algoritme 2 : untuk penderita yang tak dapat dikontrol
dengan algoritme 1, atau untuk penderita dengan
diabetes yang menerima insulin >80U/hari sebagai
outpatient
iii) Algoritme 3: untuk penderita yang tak dapat dikontrol
dengan algoritma 2.
iv) Algoritma 4: untuk penderita yang tak dapat dikontrol
dengan algoritma 3.
Gula darah (mg/dL) Kecepatan infuse insulin (U/jam)
Algoritma
1
Algoritma
2
Algoritma
3
Algoritma
4
< 60 (hipoglikemia)
<70
0 0 0 0
70-109 0.2 0.5 1 1.5
110-119 0.5 1 2 3
120-149 1 1.5 3 5
150-179 1.5 2 4 7
180-209 2 3 5 9
210-239 2 4 6 12
240-269 3 5 8 16
270-299 3 6 10 20
300-329 4 7 12 24
330-359 4 8 14 28
>360 6 12 16 28
v)
Peralihan dari i
Tabel 2. Infus insulin intravena
Peralihan dari insulin intravena ke subkutan
Untuk mencapai glukosa darah pada tingkat sasaran,
berilah dosis short acting atau rapid- acting subkutan 1-2
jam sebelum menghentikan insulin intravena. Dosis insulin
basal dan harus disesuaikan dengan tiap kebutuhan
penderita. Contohnya, bila dosis rata – rata dari IV insulin
1.0U/jam selama 8jam sebelumnya dan stabil, maka dosis
total perhari adalah 24 U. Dari jumlah ini, sebesar 50%
(12U) adalah sekali sehari atau 6U 2x/hari dan 50%
selebihnya adalah prandial, misalnya short-acting (regular)
atau rapid acting insulin 4U sebelum tiap makan (table 3)
Gula darah sebelum
makan (mg/dL)
Dosis insulin (Unit)
Algoritma
dosis rendah
Algoritme
dosis sedang
Algoritme
dosis tinggi
150-199 1 1 2
200-249 2 3 4
250-299 3 5 7
300-349 4 7 10
>349 5 8 12
Tabel 3. Pemberian insulin subkutan
Catatan :
i) Algoritme dosis rendah dipakai untuk pasien yang
membutuhkan <40 U insulin/hari
ii) Algoritme dosis sedang dipakai untuk pasien yang
membutuhkan 40-80 U insulin/hari
iii) Algoritme dosis tinggi dipakai untuk pasien yang
membutuhkan >80 U insulin/hari
Pengobatan bila timbul hipoglikemia (glukosa darah
<60mg/dL)
i) Hentikan insulin drip
ii) Berikan dextrose 50% dalam air (D50W) intravena
- Bila penderita sadar : 25 ml (1/2 amp)
- Bila tak sadar : 50ml (1 amp)
iii) Periksa ulang gula darah tiap 20 menit dan beri ulang
mulai lagi dengan insulin drip bila gula 2 kali >70mg/dL
(periksa 2 kali). Mulai insulin drip dengan algoritma
lebih rendah (moving down).
i) Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah
reologik darah secara karakteristik dengan meningkatkan
tekanan perfusi tidak direkomendasikan.
ii) Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut.
iii) Pemberian antikoagulan
- Bertujuan mencegah timbulnya stroke ulang awal
- Menghentikan perburukan deficit neurologi
- Tidak direkomendasikan pada penderita dengan stroke
aku sedang sampai berat
- Inisiasi pemberian dalam waktu 24 jam bersamaan
degenan pemberian intravena rtPA tidak
direkomendasikan.
- Secara umum pemberian LMWH atau heparinoid setelah
stroke iskemik akut tidak beramnfaat.
i) Pemberian antiplatelet
- Dosis awal aspirin 325 mg dalam 24 hingga 48 jam
setelah awitan stroke
- Tidak boleh diganti sebagai pengganti tindakan intervensi
akut, yaitu rtPA intravena.
- Jika direncanakan memakai trombolitik, aspirin jangan
diberikan.
- 24 jam setelah diberikan trombolitik, tidak dianjurkan
memberi aspirin sebagai adjunctive terapi.
- Clopidogrel sahaja atau kombinasi dengan aspirin tidak
dianjurkan kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik
seperti non-Q-wave MI, recent stenting, pengobatan harus
diberikan sampai 9 bulan pengobatan.
- Pemberian antiplatlet intravena yang menghambar
reseptor glikoprotein IIb/IIa tidak dianjurkan.
i) Hemodiluasi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume
tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut.
ii) Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan
dalam terapi iskemik akut.
iii) Dalam keadaan tertentu vasopressor terkadang digunakan untuk
memperbaiki aliran darah ke otak. Pada keadaan tersebut,
pemantauan kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan
secara ketat.
iv) Tindakan endarterektomi carotid pada stroke iskemik akut
dapat mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak
menyenangkan. Tindakan endovascular belum menunjukkan
hasilyang bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan.
v) Pemakaian obat – obatan neuroprotektan belum menunjukkan
hasil yang efektif sehingga sampai saat ini belum dianjurkan.
Namun sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroe
akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan
dosis 2x1000mg selama 3 minggu dilakukanm dalam penelitian
ICTUS (International Citicholine Trial in Acute Stroke,
ongoing). Selain itu penelitian oleh PERDOSSI secara
multisenter, pemberian plasmin oral 3x500mg pada 66 pasien
di rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan efek
positif pada penderita stroke akut berupa perbaikan motorik,
score MRS, dan Barthel index.
vi) Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)