Ulama Lengkong

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I SEJARAH KERAJAAN SUMEDANG LARANG

A. Masa Sebelum Islam Dalam kisah Nabi Nuh AS ditemukan nama pada waktu kecil bernama baginda Syah, kemudian mempunyai putera Baginda Asram, beliau beputera Babar Buana, menurunkan putera Maha Patih, berputera Arga Larang, mempunyai putera Bantul Gantangan, mempunyai putera Sayar. Sayar berputera Radjaksana, menurunkan putera Prabu Komala. Prabu Komala mempunyai dua orang putera yaitu Prabu Permana dan Prabu Guru Adji Putih.1 Prabu Guru Adji Putih (900-950 M) Pada usia 20 tahun Prabu Guru Adji Putih ditugaskan oleh ayahnya untuk mengamalkan ilmu yang ia peroleh ketika belajar pada seorang resi. Maklum sejak kecil beliau tidak benyak tinggal di istana, beliau lebih banyak tinggal di padepokan. Ketika mengadakan perjalanan, tibalah beliau di sebuah dusun yang bernama Kampung Muara, tak jauh dari kali Cimanuk. Disitu, beliau mendirikan padepokan, mengamalkan ilmunya dengan merekrut tokoh-tokoh masyarakat setempat. Pada tahun 900 Masehi beliau mendirikan kerajaan dengan nama Kerajaan Tembong Agung (Tembong = tampak, Agung = tinggi). Sebagai pusat pemerintahannya yaitu di Kampung Muara Desa Lewihideng Kecamatan Darmaraja. Dalam perkembangan selanjutnya, kerajaan ini meminta bantuan dan menjalin hubungan dengan kerajaan Galuh. Untu lebih mempererat hunbungan kedua kerajaan tersebut, Prabu Guru Adji Putih menikah dengan Nyi Mas Dewi Nawang Wulan.2 Dari perkawinan dengan Nyi Mas nawang Wulan, Prabu Guru Adji Putih dikaruniai empat orang putera yaitu : Prabu Tadjimalela, Prabu Sokawana, Prabu Harisdarma dan Prabu Langlang Buana Setelah dirasa cukup bertahta, kerajaan Tembong Agung diserahkan oleh Prabu Guru Adji Putih diserahkan kepada Prabu Tadjimalela. Kemudian Prabu Adji Putih menetap di Cipeuet dan menjadi seorang Resi. Prabu Tadjimalela (950-980 M) 3 Pada masa Tadjimalela, kerajaan Tembong Agung diganti menjadi Hibar Buana yang berarti alam tempat temaran cahaya (Hibar = temaran cahaya, Buana = alam). Dalam beberapa tahun saja, Prabu Tadjimalela mampu memperluas kekuasaannya hingga ke Limbangan dan Malangbong Garut. Suatu hari Prabu Tadjimalela melakukan tafakur, bermaksud memperoleh bisikan dari sang pencipta agar kerajaannya menjadi besar. Saat bertafakur di Gunung sanghiyang itu, beliau melihat cahaya yang menyialaukan, tanpa disengaja beliau berkata Ingsun medangan yang artinya aku melihat cahaya di tempat yang mulia. Ungkapan itulah yang akhirnya mengilhami perubahan nama kerajaan menjadi Sumedang Larang. Su dari kata Insun yang artinya aku, medang artinya cahaya, larang artinya suatu tempat mulia yang penuh larangan atau pantangan Pramu Tadjimalela melepas keperjakaannya dengan menikahi Nyi Mas Putri Galuh Pakuan. Dari hasil pernikahannya dengan puteri dari galuh, Prabu Tadjimalela memperolah tiga orang putera, dua orang kembar yaitu Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung. Sedangkan putera beliau yang ragil bernama Sunan Ulun. Setelah melepaskan mahkotanya, Prabu Tadjimalela menjadi resi di daerah Gunung Lingga hingga akhir hayatnya. Di Gunung Lingga itulah beliau melahirkan pandanganpnadangan budaya Kasumedangan dengan istilah Ilmu Kasumedangan.1 2

WD.Dharmawan Ider Alam, Benang Merah h.10 Karena kecantikannya Nyi Mas Nawang Wulan bergelar Roanggeng Sadunya 3 Tadji = tajam, Malela = selendang

Prabu Lembu Agung (980-982 M) Masa pemerintahan Lembu Agung adalah masa pemerintahan tersingkat, hal ini dikarenakan beliau lebih suka menyepi. Tahta kerajaan beliau serahkan kepada adik kembarnya yaitu Prabu Gajah Agung, sementara beliau menjadi resi . Prabu Lembu Agung setelah turun tahta tinggal di Gunung Sanghiyang. Ketika menjadi resi di Gunung Sanghiyang itulah beliau menciptakan dan mengembangkan ilmu Kadarmarajaan hingga wafat menjemputnya. Makamnya kemudian dipindahkan ke Asnata Gede desa Cipaku Darmaraja. Prabu Gajah Agung (982-1000 M) Karena alasan geopolitis, pada awal masa pemerintahannya, Prabu gajah Agung memindahkan kerajaannya dari Leuwihideng ke Ciguling. Beliau bergelar Prabu Pagulingan. Pada masa itu, status kerajaan berada dibawah atap kerajaan Sunda. Setelah menikah dengan puteri Sunda, Prabu Pagulingan memperoleh satu orang putera dan satu orang puteri.. Lahir pertama seorang puteri bernama Ratu Istri Raja Mantri. Ia dipersunting oleh Prabu Siliwangi Munding Wangi (ratu Dewata). Pernikahan dengan Prabu Siliwangi, Ratu Istri Raja Mantri mempunyai putera Layang Kusumah. Layang Kusumah mempunyai putera Limasenjayakusumah, mempunyai putera Sunan Cipancar, mempunyai putera Sunan Cipicung, mempunyai putera Sunan Demang Ariawinata (Bupati Limbangan, menurunkan kiayai dan menak di Limbangan dan Malangbong Garut) Adik kandung Ratu Istri Raja Mantri seorang pria. Ia diberi nama Sunan Guling. Ia menjadi raja menggantikan ayahnya. Setelah dewasa ia menikah dengan puteri dari kerajaan Padjajaran dan mempunyai putera bernama Sunan Tuakan. Sunan Tuakan memerintah kerajaan tahun 1000-1200 M. Setelah beliau, yang memerintah kerajaan adah puterinya, yaitu Nyi Mas Ratu Tuakan (1200-1450 M). Nyi Mas Tuakan dipersunting oleh Sunan Corendra putera Sunan Parung Guru Gantangan. Hasil perkawinannya dengan Sunan Corendra, Nyi Mas Ratu Tuakan memperoleh seorang puteri yang cantik nan ayu bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata. B.Masa Islam Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578) Setelah ibunya meninggal maka Ratu Intan Dewata dinobatkan menjadi Ratu Sumedang Larang. Setelah menjadi Ratu beliau mempunyai gelar Ratu Pucuk Umum. Ia kemudian menikah dengan Pangeran Kusumah Dinata (Pangeran Santeri)4 Pangeran Santeri adalah seorang Pangeran yang berasal dari Cirebon putera dari Pengeran Pamelakaran putera Arya Damar putera Brawijaya VII. Ibunya Pangeran Santeri adalah Nyi Masa Ratu Martasari atau Nyi Mas Rangga Wulung cucu dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Kehadiran Pangeran Santeri membuat suasana Sumedang Larang berbeda dari sebelumnya. Nuansa islami mulai berdenyut bahkan secara bertahap islam mulai berkembang di Sumedang Larang. Nyi Mas Ratu memerintah Sumedang Larang selama 48 tahun. Pusat kerajaan ditetapkan di Kutamaya. Istana kerajaan dibangun dari bahan serba kayu, menggunakan arsitek model Sunda dengan menghadap ke alun-alun Mayadatar. Simbul cita-cita Ratu Pucuk Umum5 dinukilkan dalam monument Kuta yang dibuat dari tanah dalam bentuk bulat dan membujur kea rah langit.6 Perkawinan Nyi Mas Ratu Inten Dewata dengan Pangeran Santeri membuahkan putera-putera yang tampan dan gagah perkasa. Mereka mempunyai putera : 1. Pangeran Angkawijaya, 2. Demang Rangga Haji, 3.Demang Watang, 4. Santoan Wirakusumah, 5. Santowan Cikeruh, 6. Santowan Awi Luar4

Suka dipanggil Pangeran Santeri karena beliau merupakan salah satu santeri (pelajar) di sebuah pesantren di daerah Cirebon. 5 Gelar Nyi Mas Ratu Intan Dewata 6 Lihat WDDharmawan Benang Merah h.25

Menjelang tahun 15787, tersiar dari para juru telik sandi yang mengabarkan bahwa Keraton Pajajaran diserbu pasukan Surosoan Banten yang didukung oleh tentara Islam Cirebon. Tanta nobat Sriwacana diboyong ke Surosoan Banten. Prabu Siliwangi Ragamulya atau Prabu Surya Kencana berada dalam kejaran Panglima Perang Surosoan bernama Ki Jungju, kemudian bersembunyi di hutan Pulo Sari. Sedangkan Keraton Pajajaran dibakar habis.8 Di Ujung tahun tersebut (1977),9 Ketika di Sumedang Larang akan diadakan pengangkatan seorang raja, ialah Raden Angka Wijaya, Ratu Pucuk Umum (Ratu Inten Dewata) kedatangan Kandaga Lante Pajajaran (Umbul) bernama : 1. Sanghiang Hawu (Prabu Jayaperkasa), 2. Dipati Wiraraja (Embah Nanganan)10, 3. Prabu Pancarbuana (Eyang Terong Peot), 4. Kondang Hapa (Sanghiang Kandang Hapa). Keempat Kandaga Lante sengaja datang atas perintah Ragamulya untuk menyampaikan amanat : 1. Memberikan Mahkota Binokasih yang terbuat dari emas murni sebagai lambang kebesaran raja-raja Pajajaran. Penyerahan Mahkota tersebut sebagai tanda bahwa Sumedang Larang adalah penerus Kerajaan Pajajaran. 2. Memberikan Siger tampekan kilat bahu 3. Kalung bersusun dua dan bersusun tiga 4. Memohon perlindungan untuk dirinya dan seluruh rakyatnya yang masih berada di wilyah Pajajaran. Seterusnya keempat Kandaga Lante Pajajaran tersebut menyatakan diri ingin berbakti kepada Kerajaan Sumedang Larang. Mereka akhirnya dijadikan patih Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Geusan Ulun (1578-1601) Angkawijaya dinobatkan jadi Raja Sumedang Larang pada tanggal 22 April 1978 dengan gelar Prabu Geusan Ulun yang artinya Raja/Pemimpin tempat berbakti.11 Akibat dari runtuhnya Pajarajaran akiban serangan Maulana Hasanudin dan dengan penyerahan makto dan pernyataan berbakti dari Raja Pajajaran, maka pada Tahun 1979 Angkawijaya menyatakan diri bahwa Kerajaan Sumedang merdeka dan berdaulat. Mereka sudah melepaskan diri dari kekuasaan Pajajaran. Sumedang menyatakan bahwa seluruh wilayah kekuasaan Pajajaran dikuasai oleh Kerajaan Sumedang larang dengan batasbatasnya ialah sebelah Timur sampai Cipamali Tasiklamala, sebelah barat sampai Cisadane, sebelah Utara sampai Laut Jawa dan sebelah Selatan sampai Samudra Hindia. Ketika Sumedang Larang dipimpin oleh Baginda Prabu Geusan ulun, namanya sempat melambung seantero Nusantara bahkan mencapai jaman keemasannya ialah dari tahun 1959 sampai tahun 1601 M. Ini disebabkan karena Sumedang Larang dirajai oleh raja yang adil dan bijaksana juga tampan luar biasa serta ditambah dengan Semo Patoh Embah7

Informasi yang diterima juru telik sandi Sumednag Larang sangat lambat padahal Pakuan Padjajaran dikuasai Pangeran Yusuf pada tahun 1567; walaupun Sang Nilakendra sendiri dapat meloloskan diri yang dikisahkan Alan prengrang mangka tan nitih kadatwatan (Kalah Perang, karena itu tidak tinggal di keraon) Bandingkan dengan Halwani Michrob, Catatan Masa lalu Banten h.71 8 WD.Dharmawan Benag Merag h.26 9 Lihat WD Dharmawan h25 bandingkan dengan Halwani Michrob Catatan Masa Lalu Banten h.70 Akhir tahun 1577 artinya sebelum pulosari di serang Maulana Yusuf. Pangeran Pajajaran terakhir adalah Ragamulya atau Prabu Surya Kencana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, melainkan di Pulosari, Pandeglang, sehingga disebut juga Pucuk Umun ( Panembahan ) Pulosari. Karena kedudukan Pulosari demikian sulit ditembus musuh, maka baru pada masa pemerintahan Maulana Yusuf yang merasa tidak terikat perjanjian dengan Padjajaran benteng Pulosari ini dapat direbut pasukan Banten dengan susah payah. Kejadian ini berlangsung pada Pajajaran sirna ing bhumi ekadaci weshakamasa sahhasra limangatus punjul siji ikang sakakala (tanggal 11 suklapaksa bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Dihitung dengan penanggalan Masehi dan Hijriah akan jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 atau 11 Rabiul Awal 987, hari Jumat Legi. Pasukan Banten ini dipimpin langsung oleh Maulana Yusuf yang berangkat dari Banten pada hari Ahad tanggal 1 Muharram tahun Alif dengan sangkakala bumi rusak reseh iki atau tahun 1501 saka. 10 Aceng Hermawan menyebut Bantara Dipatiwijaya 11 Hal ini dikarenakan pada masa transisi kepemimpinan Ratu Intan Dewata dan proses penyerahan tampuk kepemimpinan kepada Angkawijaya, Sumedang Larang kedatangan 4 kandaga lanta yang ditugaskan membawa anamat Ragamulya dan memohon perlindungan kepada Kerajaan Sumedang Larang yang dalam bahasa Ragamulya ialah Geusan Ulun yang berarti Geusan Kumaula (Tempat Kumaula)

Jaya Perkasa yang gagah berani tiada tanding. Jaman keemasan tersebut dibuktikan dengan gelar Sumedang Mandiri. Mandiri ialah bahwa Kerajaan Sumedang Larang tidak akan menjajah dan tidak mau menjajah.12 Prabu Geusan Ulun mempunyai 2 orang istri yaitu : Nyi Masa Ratu Harisbaya dan Nyi Mas Ratu Cukang Gedeng Waru. Pernikahnya dengan Ratu Harisbaya, Prabu Geusan Ulun dikarunia putera bernama Pangeran Suradiwangsa/Pangeran Rangga Gempol (Bupati pertama Sumedang Larang). Keturunan dari Nyi Gedeng Waru sebanyak 14 orang yaitu : 1. Pangeran rangga Gede 2. Raden Aria Wiraraja yang menggelarkan di Lemah Beurum Darmawangi 3. Kyai Kadu Rangga Gede 4. Kiayi Rangga Patrakelasa, menggelarkan di Cunduk Kayu 5. Raden Aria Rangga Pati Haur, menggelarkan keturunan di Haur Kuning 6. Raden Ngabehi Watang 7. Nyi Mas Demang Cipaku 8. Raden Ngabehi Martayuda, menggelarkan keturuan di Ciawi Tasik 9. Raden Rangga Wiratama, menggelarkan keturunan di Cibeureum 10. Raden Rangga Nitinagara, menggelarkan keturunan di Pagaden, Pamanukan dan Karawang 11. Nyi Mas Rangga Pamande (Rangga Pande) 12. Nyi Mas Dipati Ukur, menggelarkan keturunan di Bandung 13. Tumenggung Tegalkalong 14. Kiyai Demang Cipaku Di usianya yang senja, Prabu Geusan Ulun dan istrinya Ratu Harisbaya lebih banyak melakukan marifat di Gunung Rengganis hingga akhir hayatnya. Makam Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya terletak di Gunung Rengganis atau Dayeuh Luhur Sumedang. Sumedang di Bawah Kekuasaan Mataram Karena usia Pangeran Rangga Gede dan Pangeran Suradiwangsa sebaya, sebelum wafat Prabu Geusan Ulun menenntukan kebijakan yang sangat arif dan adil. Keputusan itu adalah pembangunan pendopon di Tegalkalong oleh Suradiwangsa dan pembangunan pendopo di Cinakur oleh Rangga Gede. Pangeran Rangga Gempol I (1601-1625)13 Setelah Prabu Geusan Ulun wafat, pemerintahan Sumedang Larang diteruskan oleh Raden Aria Suriadiwangsa. Ia memerintah tahun 1601-1625 dengan pusta pemerintahannya di Tegalkalong.. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Sumedang Larang berubah menjadi Kabupaten sumedang, sebab Raden Aria Suriadiwangsa berserah diri dan tunduk kepada Mataram. Perubahan Kerajaan Sumedang Larang menjadi Kabupaten terjadi pada tahun 1920 akibat pengakuan Sultan Agung Mataram yang menyatkan bahwa daerah-daerah di Pulau Jawa berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram. Seraun ini dimaksudkan untuk memggemper kekuatan Kompeni yang berada di Batavia. Kecaman keras dari Mataram dengan sangsi barangsiapa yang menentang seruan tersebut akan diserbu membuat raja-raja kecil di Pulau Jawa berduyun-duyun menghadap Sultan Mataram dan menyatakan diri menjadi bawahan Mataram. Hal serupa dilakukan oleh Raden Suriadiwangsa. Ada dua factor utama yang mendorong Raden Aria Suriadiwangsa bersikap demikian.14 Pertama, ia merasa bahwa Sumedang Larang terjepit di antara tiga kekuatan, yaitu Mataram, Banten, dan Kompeni di Batavia. Oleh karena itu, ia harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin mnejadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan tersebut. Kedua, ia

12 13

Aceng Hermawan, Riwata Makam, h.13 Sumber lain menyebutkan (1608-1624) 14 Seri Sundalana, Bupati di Priangan h.21

masih mempunyai hubungan keluarga dengan pengusa Mataram dari pihak ibunya, Ratu Harisbaya15 Pernyataan sikap dari Sumedang Larang yang tunduk pada Mataram diikat oleh perjanjian Prayang. Dalam perjanjian itu tertuang butir-butir : 1. Raden Aria Suriadiwangsa diangkat menjadi Bupati Sumedang Larngkap merangkat sebagai Wedana Priangan dengan Gelar Pangeran Rangga Gempl Kusumahdinata I (terkenal Rangga Gempol I) 2. Wilayah kekuasaan Sumedang Larang meliputi daerah-daerah bekas Kerajaan Pajajaran kecuali Banten dan Cirebon. 3. Raen Aria Suriadiwangsa harus patuh terhadap kebijakan yang telah diputuskan oleh Matarm dan wajib membayar upeti setiap tahun.

15

Ratu Harisbaya adalah saudara Penembahan Senopati raja Mataram tahun 1586-1601

BAB I ULAMA LENGKONG, LEBIH DEKAT DENGAN MEREKA

1. Raden Aria Wangsakara Sejarah dan perkembangan awal Islam di Lengkong Kyai tidak lepas dari peranan yang dimainkan oleh seorang menak (bangsawan) Sumedang, yaitu Raden Aria Wangsakara yang bergelar Pangeran Wiraraja II.16. Nama Raden Aria Wangsakara berasal dari bahasa Jawa Kuno, walau ditemukan pula kata wangsa dan kara dalam bahasa sunda. Dalam Kamus Jawa Kuno Indonesia, P.J. Zoetmolder 17, didapati kata-kata : Raden lih hadyan = orang dari status tinggi, raja/permaisuri, tua, orang yang berpangkat tinggi martabatnya. Sering didahului oleh dan, san, ra ( yang terhormat, yang mulia ) contoh : rahadyan, sanhulun. Arcya = memuja, menyembah, Arjya/arja/lih reja = baik, indah, beruntung. Areja, arja, aharja = cantik, manis, tampan, indah, menarik. Kara18 = sinar cahaya. Akara-kara = bersinar ke semua penjuru Raden Aria Wangsakara yang bergelar Pangeran Wiraraja II atau yang terkenal dengan julukan Imam Haji Wangsaraja atau Kiyai Lenyep, adalah putera Pangeran Wiraraja I yang bergelar Pangeran Lemah Beurum Ratu Sumedanng Larang. 19 Nasab Raden Aria Wangsakara bersambung ke Prabu Geusan Ulun 20. Ibu Prabu Geusan Ulun ialah Ratu Intan Dewata yang memerintah Sumedang Larang tahun 15301578 m.Setelah menjadi Ratu, beliau mempunyai gelar Ratu Pucuk Umum. Beliau menikah dengan Pangeran Kusamah Dinata I (Pangeran Santeri) putera dari Pengeran Pamerakaran atau Adipati Terung21, putera Arya Damar/sultan Palembang keturunan Majapahit.22 2. KH.Mustaqim Nama panjang KH.Mustaqim ialah Sayyid Habib Mustaqim bin Darda bin Said bin Alwi bin Said (Sayyid-penulis) Husen al-Huseini.23 Mukri Mian menyebutkan bahwa KH.Mustaqim adalah putera dari Darda bin Abi.Khaerudin. Ia masih keturunan Nabi Muhammad Saw. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Said ( ayah Darda) yang dimasud adalah Said (Sayyid-penulis) Abi Khaerudin. Halwany Michrob & A.Mujahid Chudori menyebutkan bahwa tugas Haji Wangsakara sebagai pemelihara semangat juang dan keyakinan agama prajurit Banten pada

16 17

Zulkarnaen, Pertumbuhan, h.74. P.J. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna Indonesia, Gramedia, 1995) 18 Lihat Magandaru, Kamus Jawa Indonesia, kara = tidak apa-apa. Lihat juga Budi Rahayu Tamsyah Kamus Lengkap Sunda-Indonesia, kara mempunyai sama yaitu tidak apa-apa. -19 Mukri MIan, Sejarah, h.3 20 Nama aslinya adalah Raden Angkawijaya (Raja Sumedang Larang ) 21 Sumber lain menyebutkan Raden Husen atau Raden Timbal. Tersebutlah, dua orang putera bupati Palembang yang bernama Raden Fatah serta Raden Timbal atau Raden Husim. Keuduanya berangkat ke tanah Jawa bermaksud menghap Prabu Brawijaya Majapahit. Akan tetapi, di tengan perjalanan keduanya berpisah. Raden Fatah meneruskan perjalanan belajar mengaji di Pesantren Ampel, Raden Timbal meneruskan perjalanan menghadap ke Majapahit, dan diangkat menjadi bupati pecattanda (pembesar pelabuhan), dan diberi tanah kekuasaan, tanah di daerah terung (Lihat R.Atmodarminto, babad Demak, h.43). Dalam tembang Babad Demak diceritakan bahwa Raden Fatah dan Raden Timbal adalah putera Prabu Majapahit yang terakhir. 22 Aceng Hermawan, Riwayat, h.4. 23 Zulkarnae, pertumbuhan, hal 82.

tahun 1659 M digantikan oleh Sayyid Ali utusan Mekah. Jika ini betul, dimungkinkan utusan yang bernama Sayyid Ali itu adalah Abi Khaerudin. 24 Sejarah KH.Mustaqim lebih banyak tersembuyi (kasyaf), hal ini dikarenakan bahwa kekeramatan beliau. Masyarakat tidak berani dan takut salah menceritakan dan menjelaskan tokoh ini. Kiayi Mustaqim tidak berkehendak bahwa dirinya menjadi sanjungan dan membuat anak keturunannya bangga kepada dirinya dan silsilah keturunannya. Bagi KH.Mustaqim silsilah tidak membuat orang lebih di mata Allah swt, ketakwaanlah yang membuat seseorang berarti di mata Allah swt. Ia berkehendak anak keturunannya menjadi orang yang berada pada garis depan dalam beramal, bertakwa kepada Allah. Label takwalah yang tertera pada kening mereka, buka label keturunan (nasabiahnya). Ki Mustaqim adalah ulama yang selalu berjikir dalam hati setiap waktu. Kemana ia malangkah dan dimana ia berada gerak hatinya menggema menyebut asma Allah swt. Menurut keterangan warga Lengkong alas yang digunakan ketika ia tidur adalah batok kelapa, hal ini dimaksudkan agar ketika ia mengantuk maka kepala beliau langsung jatuh dari batok itu. Maka iapun langsung bangkit untuk mengambil air wudhu dan berjikir kembali walau dalam keadaan berbaring. Rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup selalu ia terapkan dalah kehidupannya. Suatu ketika Ki Mustaqim pergi ke Tangerang, entah tanpa sengaja ada semut yang menempel di pundak beliau, ketika ia sampai di Lengkong betapa kaget beliau melihat ada semut yang menempel di pundak beliau. Ki Mustaqim langsung pergi ke Tangerang lagi dan mengembakikan semut yang menempel tadi ke tempat asalnya sambil berkata hai semut, ini tempat tinggal kamu, di sini banyak teman dan kerabatmu. Karena kedekatan hati beliau dengan Allah, segala kehidupan beliau selalu bersandang pada rasa cinta yang tinggi kepada Allah, inilah yang menghantarkan beliau pada kedaan marifatullah. Keadaan itu pula yang membuat beliau dikarunia ilmu yang dapat mengetahui sesuatu yang tersembunyi seningga mendapat julukan mahabatullah lil adzim yalamu sirrol zasim25 Ki Mustaqim mempunyai anak lima orang yaitu : Ali, Musa, Aneng dan Kamalaludin. Keturunan Ki Mustaqim menyebar di daerah Tangerang terutama Lengkong. Mereka kebanyakan menikah dengan sesama keturunan Kiyai terutama keturunan Raden Aria Wangsakara. 3. Ki Ajhari Ki Ajhari berasal dari Sampora, ayahnya adalah seorang ulama yang ternama. Ayahnya masih keturunan Raden Aria Wangsakara. Berikut nasabiah Ki Ajhari : Ki Ajhari bin Nasib bin Sukara bin Kapiten Tanuwisanta bin Dalem Sutadewangsa bin R.Tumenggung Tanuwisanta bin Raksanegara bin Raden Aria Wangsa kara. Oleh ayahnya, Ki Ajhari di suruh mondok ( mesantren ) di Lengkong tempat asal leluhurnya. Di Lengkong ia belajar kepada KH.Mustaqim, seorang ulama ternama dan karismatik. Suatu ketika Ki Ajhari sedang mengembalakan kambing miliki gurunya. Entah dari mana datangnya, ketika ia haus dan lapar tiba-tiba di hadapnnya ada hidangan (makanan dan minuman ). Setelah ia makan dan minum hidangan itu, ia bergegas lari untuk memberitahukan kepada teman-temannya perihal yang terjadi pada dirinya. Mendengar cerita itu, teman-teman Ki Ajahri segera mendatangi tempat ditemukannya hidangan tersebut. Ternyata ketika mereka datang ternyata hidangan itu sudah tidak ada. Semenjak kejadian itu, tanpa diduga Ki Ajhari mempunyai pengetahuan yang luar biasa. Ia memiliki ilmu yang tanpa orang harus belajar. Orang menamakannya Ilmu laduni. Orang Lengkong menanggap bahwa makanan yang Ki Ajhari makan berasal dari surga.24

KH.Abdul Majid bin Hasyim bin Kamaludin bin Mustaqim bin Darda bin Abi Kaherudin adalah keturnan yang ke 5, jika di rata-ratakan keturunan Abi Kaherudin berusia 60 tahun, maka Abi Kaherudin hidup pada masa Raden Aria Wangsakara. 25 Sumber tidak mau disebutkan namanya, ia mneyuruh untuk melihat bulletin Majdul Auliya, dalam bulletin itu disebutkan Mustaqim Al-Lanqoni (KH.Mustaqim dari Lengkong) adalah salah satu wali yang ada di indonesi.

Ki Ajhari merupakan tokoh ulama dan pemimpin pesantren Lengkong. Beliau pun pernah menjadi naib (penghulu)26, se-Kabupaten Tangerang. Diceritakan, seseorang yang akan menemui beliau dengan menggunakan Delman (kendaraan roda dua yang ditarik kuda), untuk berkonsultasi agama atau masalah yang lain. Ketika ia akan kembali ke rumahnya, maka oleh Ki Ajhari akan dibekali beberapa buah kelapa yang nantinya akan ditanam oleh orang tersebut di kampungnya sebagai cirri bahwa beliau pernah datang ke kampong Lengkong Ulama dan untuk menjalin persaudaraan di antara kampungnya dengan kampong Lengkong.27 Ulama dan Kiyai yang ada di tatar Tangerang dan sekitarnya pada jaman beliau ketika menghadapi masalah selalu minta fatwa kepada beliau. Suatu hari datang seorang tamu yang hendak bertanya dan meminta fatwa apakah lauk (ikan) peda itu hukumnya haram, hal ini dikarenakan bahwa ketika makan ikan peda kotorannya selalu tidak buang, langsung dimasak. Ketika baru masuk, sang tamu dipersilahkan untuk langsung makan bersama Ki Ajhari, dalam kesempatan itu, sebelum tamu bertanya, Ki Ajhari langsung memanggil istrinya untuk menyuguhkan ikan peda. Sang tamu-pun langsung menemukan jawabannya. Inilah yang anugrah yang diberikan Allah kepada Ki Ajrai tentang hal yang bakal terjadi. Diceritakan, pada suatu ketika ada orang yang mau berkorbang kambing ke Ki Ajhari di Lengkong, saudara orang yang berkorbang mengalangi dan agar tidak berkorban ke Ki Ajhari. Ketika orang tersebut memmbawa kambing dan sampai di kediaman Ki Ajhari, beliau menyuruh agar kambing tersebut tidak di potong di Lengkong melainkan di kampunng halaman oaring yang berkorbar.28 Karena kemurahan hati Ki Ajhari suatu ketika ada tukang menteng, karena merasa iba Ki Ajhari membeli semua menteng itu, padahal menteng itu semuanya masam. Hal lain yang menjadi karomah Ki Ajahari bahwa ia pernah berwudhu di atas punggung buaya sewaktu mengambil air wudhu untuk sembahyang subuh.29 Lengkong Ulama, Pagutan, Rumpak Sinang sejaman dulu adalah tempat para ulama berkumpul. Jika ada permasalahan di Rumpak Sinang atau Pagutan maka sering Kiyai di Rumpak Sinang dan Pagutan mengutus santerinya untuk menanyakan perihal permasalahan kepada Ki Ajhari. Sering terjadi ketika Kiyai dari Pagutan hendak menyampaikan surat berisi pertanyaan seputar agama, maka Ki Ajhari sudah menuliskan jawabannya, biasanya Ki Ajhari mengutus santerinya untuk memberikan jawabannya, padahal santeri dari Pagutan belum sampai. Akibatnya antara santeri Pagutan dan Lengkong bertemu di Leuweng. Sebelum santeri dari Pagutan memberikan suratnya, santeri Ki Ajhari langsung memberikan surat jawaban.30 Dari pernikahan dengan tiga isterinya, Ki Ajhari dikaruni 12 orang anak. Pernikahan Ki Ajhari dengan Sadiyah mempunyai anak yaitu Marjuki dan Abd.Fatah. Pernihan beliau dengan Muni mempunyai anak yaitu Halimi dan Maliyah. dari pernikahannya dengan Nasyiah31, ia memperoleh anak yaitu : Nyi Upi, Rokayah, Aminah, Aidah, Tabrani, Aisyah, Mariyah dan Junah. Oleh Ki Ajhari, puteri-puterinya dikawinkan dengan Kiyai lagi. Nyi Upi dikawinkan dengan Kiayi Hasan ( ayah KH.Mukhtar), Rokayah dikawinkan dengan KH.Moh Ali (ayah Kiayi Ruyani) dari Pagutan, Aminah dan Aidah dikawinkan dengan Ki Asnawi. Ki Ajhari meninggal dalam perjalan pulang dari Kademangan di daerah Kibasale (Sampora) setelah mengambil air wudhu. Jenajahnya di bawa oleh kusir/pakatinya yang bernama Ki Ahmad (ayah dari H.Subki) dengan mengendari delman kendaraan Ki Ajhari. Peninggalang Ki Ajhari yang masih ada adalah stempel, mangkok dan kitab Tafsir Jalalen yang masih dirawat oleh cucunya yang bernama Ust.Daud bin Tabrani bin Ki Ajahari.

26

Wawancara dengan Ust.Daud Tabrani, yang dimasud adalah penghulu landrat. wawancara tanggal 27 Wawancara Zulkarnaen dengan Ust.Mukri Mian, tgl 5 Maret 2004. 28 Wawancara dengan Ust.Daud Tabrani, tanggal .. 29 Ibid 30 Ibid 31 Nasyiah binti Kamaludin bin KH.Mustaqim

Turunan Ki ajhari banyak menyebar di daerah Lengkong dan sekitar Tangerang, bahkan ada yang tinggal di Belanda. 4. Ki Muhtar Orang Legkong lebih akrab memangngil ulama ini dengan panggilan Ki Utang. Ki sendiri di masyarakat Lengkong diartikan Kiyai = ulama. Supaya singkat, isltilah Kyai diganti Ki. Ki Muntar adalah putera dari Ki Hasan, seorang ulama Indonesia yang tinggal dan mempunyai pesantren di Makkah. Ayah beliau adalah putera dari Ki Qosim bin Ki Darda bin KH.Abi Khaerudin. Ki Qosim mempunyai Istri Ki Dani dari Dukuh Malang. Ki Muhtar adalah keponakan dari KH.Mustaqim. Ibunda Ki Muhtar adalah Nyi Upi anak Ki Ajahri. Ki Mukhtar adalah sosok ulama yang pendiam. Ia tidak akan berbicara kalau tidak ada hal penting. Ia lebih banyak berdzikir dan membaca Al-Quran dalam hati. Kemanamana ia mengendarai sepeda, sepeda yang di pakai Ki Mukhtar semuanya terbuat dari kayu. Dalam mengendari sepeda-pun, ia terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Diceritakan bahwa sering orang Lengkong melihat Ki Muhtar mengendari sepeda di atas sungai Cisadane32 Hal ini dialami oleh banyak orang Lengkong, suatu ketika rombongan orang Lengkong hendak ke Bogor, sebelum berangkat mereka bertemu dengan Ki Mukhtar dan mengajaknya untuk bersama-sama pergi ke Bogor. Ki Mukhtar menolaknya dan meyuruh rombongan tersebut pergi dahulu memakai mobil. Namun sungguh aneh, ketika sampai di Bogor rombongan di kejutkan dengan kehadiran ki Mukhtar. Padahal mereka berangkat dengan memakai mobil, sedangkan Ki Mukhtar memakai sepeda. Ki Mukhtar merupakan pemimpin pesantren Lengkong dari tahun 1949. Pernah menjadi anggota DPRD33 Kabupaten Tangerang, tepatnya pada masa kepemimpinan KH.Amin Abdullah34. Diceritakan, bila menghadiri rapat di dewan, beliau menggunakan sarung dan kopiah (peci) yang amat kontras dengan mayoritas anggota dewan yang lain yang menggunakan pakaian resmi berupa jas. Hal ini dikarenakan prinsip yang dipegang oleh beliau dengan kuat.35 Waktu jaman Revolusi, Ia (Ki Mukhtar) pernah menjadi Camat Legok, tempat yang menjadi kantornya adalah yang sekarang menjadi rumah Bpk.Bajaji. Pada masa beliau, di Lengkong sudah ada telepon.36 Telepon ini yang sebagai sarana komunikasi pemerintah Kabupeten Tangerang dengan Ki Muktar selaku camat. Ki Mukhtar meninggal di Mekkah, ia di kuburkan di komplek makam siti Khadijah. Diceritakan bahwa ketika meninggal orang berduyun-duyun menyolatkan beliau. Jika orang Lengkong yang pergi menunaikan Ibadah Haji ingin melihat makam Ki Muktar, maka ketika memasuki komplek kuburan diniatkan dan memohon kepada Allah Swt agar diberikan petunjuk untuk mengetahui makam Ki Mukhtar, insya Allah dikabul. Hal ini pernah terjadi ada jamaah haji Lengkong yang melakukan hal serupa, tiba-tiba ada seekor burung terbang di angkasa mengelilingi komplek makam dan kemudian turun di salah satu makam. Jamaah haji itupun langsung menghampiri makam yang dihinggapi burung tersebut. Ternyata dalam nisan menerangkan bahwa makam tersebut adalah makam Kiyai Muktar bin Kiayi Hasan dari Lengkong Indonesia. Kejadian luar biasa terjadi setelah beliau meninggal dunia. Suatu ketika ada seorang tukang emas datang ke ruamah Ki Mukhtar di Lengkong. Ia mengaku bertemu dengan Ki Muhtar. Ia bercerita bahwa Ki Muntar membeli emas kepada dia dan menyuruhnya untuk memberikan emas tersebut kepada anaknya yang ada di Lengkong. Padahal menurut anaknya Ki Mukhtar bahwa ayahnya sudah meninggal.32 33

Sungai ini terbesar dan terpanjang di Tangerang, sungai ini melintasi Kampung Lengkong Berdasarkan Undang-Undang Pokok Pemerintahan Nomor 22 Tahun 1948 yang menyatakan wilayah Republik Indonesia dibagi atas tiga daerah otonom, meliputi propinsi atau daerah swatantra tingkat I, kbupaten atau daerah swatantra tingkat II, dan kota kecil atau desa. Untuk menyelenggarakan otonominya, pemerintah daerah mempunyai perlengkapan yang terdiri atas Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), Dewan Pemerintah Daerah atau Badan Pemerintah Harian (BPH), dan Kepala daerah. 34 Tb.Amin Abdullah menjadi Bupati Tangerang periode 1959-1966. 35 Wawancara Zulkarnaen dengan Ust.Mukri Mian, tanggal 5 Maret 2004 36 Wawancara dengan Ust.daud pada tanggal ..

5. Ki Asnawi37 Ki Asnawi adalah seorang ulama pemimpin perlawanan masyarakat Lengkong terhadap Belanda. Ketika terjadi pertempuran melawan Belanda pada bulan Rajab tahun 1946, beliaulah yang menjadi pemimpinnya. Ia dilahirkan pada tahun 1874 KH.Asnawi merupakan salah satu pendiri pesantren Lengkong. Beliau pernah belajar di makkah kepada Sayyid Ahmad yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keagamaan, yang merupakan bekal untuk membangun pesantren Lengkong. Selain di Makkah, Ki Asnawi juga pernah mondok di daerah Cianjur untuk belajar kepada KH.Syaban. Pada tahun 1954. KH.Asnawi wafat, yang diperkirakan berumur 80 tahun.38 Beliau pun pernah menjadi kepala madrasah Diniyah Raudlatul Irfan Lengkong dari tahun 1949-1953.39 Jabatan sebagai Wedana Curug-pun pernah ia jawab. Ki Asnawi mempunyai dua orang isteri kakak beradik yang kedua-duanya adalah anak Ki Ajhari. Pernikahan pertamanya dengan Aminah, Ki Ajhari meempunyai dua orang anak yaitu KH.Mamun Asnawi dan Salamah. Pernikahan keduanya dengan Aidah, Ki ajhari dikaruniai satu orang anak yaitu KH.Nahrawi. 6. Ki Unus (Jawara Pemakan Hantu) Ki Unus adalah seorang tokoh ulama sekaligus jawara. Namun tokoh kejawarannya lebih dikenal oleh orang Lengkong mapun luar Lengkong dari pada ke-ulamaannya. Suatu ketika Ki Unus pergi pada malam hari. Dalam perjalanan ada buah kelapa jatuh. Ki Unus membelah kelapa itu menjadi dua bagian dan memakan yang sebagiannya. Namun kelapa yang tersisa berkata bahwa untuk ia tidak di makan. Untuk menjaga keamanan kampung Lengkong dari prampokan dan pencurian, Ki Unus melakukan pagar betis. Dengan menggunakan kapur, Ki Unus mengelilingi Lengkong dan menggarisnya. Penjagaan ini dimaksudkan agar orang yang hendatak berbuat jahat, ketika menginjakkkan kakinya di Lngkong tidak jadi. Ketangkasan dalam bela diri ia kuasai dengan baik, suatu ketika ia sedang buang aiar besar, ada orang yang iseng menyumpit ia dari belakang. Ternyata kacang hijau yang di gunakan sebagai amunisi menyumpit dapat ki Unus tangkap.

37 38

Ki Asnawi bin Muhili bin Idami bin Hamzah bin Soleh bin Syahbanda, lihat silsilah R.Aria Wangsakara Wawancara Nuryani dengan H.Nursin, pengaruh pesanten Al-Falihin, lihat Nuryani, Skripsi, h.38. 39 Lihat Zulkarnaen, pertumbuhan, h.83.

BABA II SENI DAN BUDAYA LENGKONG

A. Selayang Pandang Seni Kaligrafi Lengkong Pius Abdillah dan Danu Prasetya mengartikan seni sebagai keahlian membuat karya bermutu, karya yang diciptakan dengan keahlian dan perasaan yang luar biasa (misalnya lukisan, tulisan, tarian, lagu, dsb).40 Kaligrafi adalah seni yang cukup tua di Lengkong merupakan seni yang amat diminati dan ditekuni, bahkan karena keistimewaan dan keunikan seni kaligrafi Lengkong, banyak santeri dan pelajar dari penjuru Tangerang sengaja berdatangan dan menimba ilmu seni kaligrafi. Perkampungan Lengkong Kiai sebagai basis kaligrafer tingkat kabupaten dan nasional menjadi tempat penggemblengan para peminat seni ini, mereka dibina dan dilatih yang pada akhirnya akan diterjunkan dalam perlombaan baik tingkat kabupaten,. provinsi maupun nasional bahkan tingkat regional Asia Tenggara. Memang pada awalnya seni kaligrafi membenih di Lengkong Kiai, namun lebih lanjut seni ini berkembang di perkampungan wilayah Desa Lengkong Kulon dan terus menyebar di perkampungan dan desa-desa yang ada di wilayah Pagedangan. Akibat banyaknya santeri dari luar kecamatan Pagedangan yang nyanteri di Lengkong Kiai, maka penyebaran seni yang dibawa oleh santeri yang mondok terus semakin luas sehingga masuk ke perkampungan di utara Tangerang bahkan ke luar Tangerang. KH. Mukhtar atau lebih akrab di panggil Ki Utang adalah tokoh karismatik yang pertama mengajarkan seni kaligrafi. Beliau adalah ulama keturunan KH.Mustaqim yang menimba ilmu di tanah suci. Sepulangnya dari tanah suci beliau mengajar di Lengkong Kiai berbagai macam ilmu keagamaan sepeti ilmu nahu, ilmu balagoh, ilmu mantik, ilmu syariat bahkan beliau mengajarkan ilmu hakikat (kesufian), disamping itu, beliau mengajarkan seni tulis indah (kaligrafi). Seorang murid KH.Muhtar yang bernama KH.Abd.Razzaq yang lebih dekenal Ki Ajak, merupakan murid yang kreatif dan produktif. Selain beliau, tercatat pula murid KH.Mukhtar yang lain yaitu KH.Mamun Asnawi dan Ust.Alwi Mukhsin Al-Atas, Ust.Muhammad Sadeli dan Ust. Ishaq Saad. Di Tangan Ki Ajak seni kaligarfi memasuki zona nasional dan regional Asia Tenggara. Bahkan malalui gagasan cemerlang beliu, seni kaligarfi bisa dipertandingkan pada Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) baik tingkat kabupaten, provinsi bahkan nasional. Pada MTQ tersebut, beliaulah yang bertindak sebagai juri. Begitupun pada kejuaraan tingkat ASEAN, beliu diberi kewenangan untuk menentukan pemenang lomba. Ust.Muhammad Sadeli melakukan penyebaran seni kaligarfi melalui tangan kreatif beliau yang berhasil menulis Al-Quran. Tak ketingglan dengan apa yang dilakukan Ust Sadeli, Ustd Ishaq melakukan hal serupa. Hanya saja medianya sedikit berbeda walau dalam kontek penulisannnya sama yaitu sama-sama menulis Al-Quran, tapi Uts. Ishaq kebih banyak menulis surat pendek seperti hanya menulis Surat Yasin. Sementara perjuangan memperkenalkan seni khas Islam ini, KH.Mamun Asnawi dan Ust Alwi Mukhsin Al-Atas melakukan pengajaran pada lembaga pendidikan yang ada di madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah. Bahkan karena pentingnya seni ini, beliau menjadikan pelajaran wajib yang harus diikuti oleh peserta didiknya. Generasi penerus perjuangan KH.Abd.Razzak diteruskan oleh para murid, kerabat dan keturunan mereka. Tercatat nama-nama mereka diantaranya adalah : HM. Faiz Abd Razzaq, M.Abd Wasi , Mahmud Arham, Baequni Yasin, Islahudin Yasin, Ali Yasin, Ahmad Zawawi, Bustanul Arifin. Melalui kelompok yang dibentuknya, mereka berhasil membuat mushaf menjadi indah. Dari tangan-tangan mereka kita bisa menikmati tulisan

40

Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.

yang indah dipandang mata sepeti pada Mushaf Istiqlal, Mushaf Sundawi, Mushaf Ibu Tien (Mushaf Nusantara), Mushaf Kalimantan dan Mushaf DKI. Perjalanan panjang dan melalahkan dalam penulisan mushaf dari Mushaf Istiqlah (1990-1995), Mushaf Sundawi Jawa Barat (1996-1997), Mushaf Alm Hj.F.St.Hartinah Soehato/Mushaf Ibu Tien (1997-1999), Mushaf Jakarta/DKI (1999-2002), Mushaf Kalimantan Barat (2001-2002), Zuz Amma PNRI (1999-2002). Mushaf Wakaf Berwajah Palembang Keluarga Alm.H.Syaiful Bahri B (2002) adalah masa dimana keturan, murid KH.Abd.Razzak mencoba menghasilkan karya baru dari pendahulunya. Mereka menulis mushaf yang selain indah bertabur warna juga bertabur iluminasi dan kebudayaan daerah dari beberapa provinsi yang ada di tanah air. Karena keindahan Mushaf Istiqlal seorang tokoh intelektual Islam yang cukup terkenal di dunia yaitu Prof.Dr. Syeyyed Hossein Nasr mahaguru Harvard University, Amerika di sela-sela muhibahnya ke Indonesia tahun 1993, lalu, beliau menyatakan rasa keharuan dan kegembiraan, sebab beliau selama hidupnya tidak pernah bermimpi atau membayangkan bahwa sebuah mushaf yang begitu indah-yang pada abad ini seperti telah dilupakan oleh umat Islam, - kini ternyata di buat di Indonesia. Kemudian beliau melanjutkan, bahwa bila mushaf semacam ini dibuat di Timur Tengah, tentulah kita tidak perlu merasa heran karena sejarah mushaf adalah berasal dari sana. Seorang cendekiawan dari Amerika Serikat, Prof.DR.Kenneth George, pada tahun 1998 memperdalam penelitian tentang kebudayaan Indonesia yang bernafaskan Islam, saat itu ia mengajar di Universitas of Oregon-menulis sebuah artikel panjang mengenai Al Quran Mushaf Istiqlal dengan judul Design on Indonesias Muslim Communitie. Tulisan ini memperoleh sambutan hangat dari Association for Asian Studies. Bagaimana generasi setelah Mahmud CS ?, sulit membayangkan bila sekiranya para penulis mushaf sudah tidak ada lagi, akankah muncul penulis-penulis seperti mereka, penulis yang kaya dengan ide-ide cemerlang, penulis yang kretif dan produktif. Diharapkan generasai mendatang, akankah muncul kaligrafer-kaligrafer muda yang dapat di banggakan Lengkong Kiyai dan mengambil alih kembali kepempinan kemenangan pada MTQ Kabupaten, Provinsi dan Nasional bahkan akan muncul kaligrafer muda yang bukan saja menembus Asia Tenggara tapi dunia. Kita doakan saja mudah-mudahan ada dan bisa. Menggali Potensi Kaligrafi Pagedangan Ketika pada Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) ke-38 Tingkat Kabupaten Tangerang di Kecamatan Jayanti pada bulan Maret 2006 Kecamatan Pagedangan tidak memperoleh satu buah pialapun, terutama pada cabang kaligrafi, akan sangat banyak dan komplek pertanyaan yang terlontar. Kurangnya pembinaan, potensi yang tidak ada, atau kurangnya dana?. Terlepas pertanyaan apa yang diutarakan masyarakat, penulis mencoba sedikit mengungkap duduk permasalahan dan solusi yang diharapkan di kemudian hari, kaligrafi Pagedangan bisa eksis dan menunjukan ketajaman giginya di kancah lomba tingkat kabupaten dan provinsi bahkan nasional. Standarisasi perolehan piala (kemenangan) pada MTQ Tingkat Kabupaten adalah salah satu tolak ukur terhadap berhasil atu tidaknya pembinaan dan pengembangan kaligrafi di Pagedangan. Hal ini dikarenakan pada generasi sebelum 2000, Pagedangan (dahulu Legok) adalah pemegang tetap juara kaligrafi pada MTQ Kabupaten, sekalipun juara di ambil oleh kecamatan lain, tetap saja bahwa yang juara adalah orang Pagedangan yang menjadi peserta kecamatan lain. Ketertinggalan kaligrafi Pagedangan dalam MTQ pada dekade 2000-an dikarenakan berbagai sebab. Ahmad Zawawi seorang kaligrafer Pagedangan dan seorang guru kaligrafi di MTs.Raudlatul Irfan Pagedangan dan MTs.Annajah Bogor mengatakan bahwa potensi anak-anak di Pagedangan memiliki bakat yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain, selain dikarenakan mereka memiliki gen kaligrafer dari orang tua mereka, merekapun diberikan pelajaran kaligrafi di sekolah mereka. Tercatat bahwa banyak sekolah di Kecamatan Pagedangan yang menjadikan kaligrafi sebagai muatan lokal (mulok) di sekolah mereka. Hanya saja pria yang juga tim penulis Mushaf Istiqlal ini mengatakan bahwa tidak adanya sarana yang menunjang dalam meng-ekpresikan kemampuan mereka. Anak-anak

membutuhkan sebuah sanggar, dalam sanggar ini mereka leluasa dan bebas belajar, di sanggar proses pelatihan akan lebih nyaman dan segala fasilitas terpenuhi. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kaligrafi Pagedangan adalah tidak adanya pendorong seperti lomba. Berbeda dengan tahun 80-an, dimana lomba-lomba kaligrafi tidak hanya diadakan pada MTQ Kabupaten atau lebih tinggi dari itu. Kaligrafi diadakan pada MTQ tingkat kecamatan, MTQ atau pada hari-hari besar Islam di desa, bahkan pada Porseni sekolah. Untung tahun ini Depag Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten sudah mengadakan kembali Porseni. Melihat keberhasilan adik kita Rifat siswa MTs.Raudlatul Irfan Pagedangan yang merebut juara 1 pada Porseni Kabupaten bulan September 2005 dan mendapat juara harapan pada Porseni Provinsi, menandakan bahwa potensi kaligrafi Pagedangan masih ada, masih eksis. Lingkungan yang terlalu komplek dengan segala fasilitas dan keanekaragaman permainan, hiburan, membuat generasi penulis kaligrafi semakin lengah. Mereka lebih banyak meluangkan waktu hanya sekedar bermain PS (Play Station) atau hanya sekedar nongkrong di Mall. Waktu mereka-pun lebih banyak mereka gunakan untuk keperluan yang kurang begitu penting. Alasan gaul dan tuntutan jaman menjadi dalih mereka. Dukungan dari petinggi desa dan kecamatan adalah faktor penentu. Alangkah naifnya mereka, ketika pada MTQ Kabupaten mereka menuntut dan menekankan kemenangan, namun mereka tak pernah memberi motipasi atau dorongan. Mereka tak pernah mau turun dan melihat potensi yang ada, mereka belum mampu menjadi pemimpin yang merakyat dan mampu menggali potensi masyarakat yang dipimpinnya. Sebuah Solusi. Bisakah kaligrafi Kecamatan Pagedangan mengulang kembali kejayaannya?, jawabannya bisa. Hal ini terjadi dengan prasarat sebagai berikut : 1. Adanya keinginan yang kuat dari anak-anak untuk terus berlatih seni kaligrafi, potensi yang ada dari anak bila tidak sering dilatih maka anak tidak terbiasa. Dengan lebih seringnya anak latihan, anak akan lentur memainkan kalam, pena dan cat serta siap menghadapi event-event. 2. Dorongan dan motipasi dari orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik dan mental anak berlomba. Anak yang lebih mendapat perhatian dari orang tua, mereka cenderung menyalurkan hobi kepada hal-hal yang positif dan mereka lebih kreaatif. Peran orang tua-pun dilakukan dalam pemantauan pergaulan anak. Kasus yang terjadi di masyarakat, ketika anak yang mempunyai keahlian kaligrafi yang baik mereka beranjak dewasa, sedangkan mereka bergaul sesuka hati mereka dan tidak adanya pantauan dari orang tua, anak tersebut tidak mau lagi latihan kaligrafi bahkan cenderung brutal. 3. Kegiatan yang melombakan seni kaligrafi lebih diintensifkan lagi. Sesering apapun anak berlatih seni kaligrafi tanpa adanya perlombaan, mereka tidaka akan pernah bisa mengukur kemampuan mereka. Dalam ajang perlombaan, mereka selain diukur kemampuan, mereka akan berbagi pengalaman dan ilmu dengan peserta-peserta lain. 4. Pihak lembaga pendidikan baik tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA membuat sebuah kebijakan yang mengharuskan siswa-siswinya untuk belajar kaligrafi. Seni kaligrafi menjadi pelajaran muatan lokal dan pihak lembaga pendidikan mengupayakan menyediakan tempat untuk berlatih. 5. LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qura) yang lebih pro aktif, mereka harusnya bisa mengakomodir kepentingan pengembangan kaligrafi, mereka bisa menginventarisir terhadap potensi pengembangan tilawatil quran di tingkat kecamatan. Mereka jangan beranggapan bahwa seni kaligarfi bukan bagian dari tilawatil quran. Semua yang berhubungan dengan pengkajian, telaah dan proses penggalian nilai alquran itulah tilawatil quran. Hal kemudian yang harus dilakukan LPTQ adalah melakukan pembinaan agar di kemudian hari potensi yang ada bisa di dayagunakan semaksimal mungkin dalam MTQ Kabupaten yang pada akhirnya tidak ada lagi istilah cabut kontingen. Karena tidak adanya peserta dari daerah sendiri (lokal) maka LPTQ Kecamatan mengambil dari daerah lain (luar kecamatan bahkan provinsi).

6. Kecamatan 1 (Camat) dan Desa 1 (Kepala Desa) harus lebih merakyat, hal ini dikarenakan pemimpin yang merakyat akan lebih tahu kondisi rakyatnya, dengan begitu mereka akan tahu potensi yang ada pada desa dan kecamatannya. Kurangnya dukungan terutama dana dari para pemegang kebijakan tingkat desa dan kecamatan membuat seni kaligrafi Pagedangan semakin terpuruk. Camat dan Kepala Desa lebih suka mengucurkan dananya untuk kepentingan olah raga, tetapi untuk syiar agama meraka abaikan. 7. Sanggar kaligrafi sebagai dambaan kaligrafer Pagedangan bisa didirikan sebagai tempat penggemblengan kaligrafer-kaligrafer muda. Belajar dari Kabupaten Bogor, mereka rela mendirikan sanggar yang dibiayai oleh Pemda dan bahkan seorang pengajarnya diangkat menjadi pegawai negeri. Sementara salah satu pendirinya adalah H.Maruf tokoh kaligarafer Pagedangan yang tinggal di Bogor. (Lut) B. Gambus Gahwa Identitas Lengkong tidak bisa dipisangkan dengan kesenian gambus. Seni yang lebih banyak dimainkan oleh orang keturunan arab ini menjadi hiburan primadona di Lengkong. Di kalangan masyarakat Lengkong terutama keturunan arab, Perayaan pernikahan tidak lengkap tanpa hiburan gambus. Pada dekade 1970-an, di Lengkong berdiri sebuah perkumpulan orang-orang yang suka bermain gambus. Mereka menamakan gruf mereka dengan nama gahwa. Alasannya adalah aktifitas mereka ketika melakukan latihan gambus, tidak luput dari minum kopi. Tercatat pemain-pemain handal menjadi tulang punggung pesatnya perkembangan grup gahwa ini. Mereka dari keturunan arab adalah Hasan Alkaff, H.Hasan Badegsy. Dari kalangan pribumi tercatat nama H.Tamim, Basuni. Mereka membaur dalam satu ikatan persaudaraan yaitu masyarakat Lengkong. Pentas yang membawa nama harum Lengkong mereka lakukan di berbagai tempat bahkan sampai ke luar kota. Komunitas arab di Jakarta dan Bogor sudah tak asing degan mereka. Lantunan syair lagu mereka membuat para pendengar seakan berada di daerah padang pasir. C. Budaya Lokal Lengkong, ternyata bukan hanya perkampungan yang kaya seni, terutama seni kaligrafi. Di kampung ini, kebudayan lokal sangat beraneka ragam. Budaya bahasa, budaya pakaian, budaya komunikasi masih melekat dengan keasrian dan keasliannnya. Budaya inilah yang menjadikan kampung ini memiliki identitas social budaya yang unik. 1. Marhabaan Tradi marhabaan adalah tradisi membaca manakib (sejarah) Nabi Muhammad Saw. Acara ini dilakukan ketika ada acara aqiqah41 dan acara maulidan42. Biasanya dalam marhabaan, dibacakan makib Nabi secara bergiliran. Karena buku sejarah Nabi yang dibaca cukup banyak, ditunjuklah beberapa kokolot kampung untuk membacakan manakib tersebut. Permuda Lengkong, kadang berperan sebagai pembaca manakib ini bila unsure kokolot yang membaca kurang atau berhalangan. Biasanya unsure pemuda yang ditunjukpun adalah yang terlatih. Hal ini dimaksudkan agar ketika perayaan, si pemuda tersebut lancer dalam membaca manakib tersebut. Ketika acara marhabaa, selain pembaca manakib, hadir semua unsur masyarakat. Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak. Mereka-pun aktif dalam acara marhabaan sebagai orang yang menjawab dan mempertegas manakib. Jika pembaca manakib dalam pembacaan sejarah membacakan kata aatau kalimat Nabi Muhammad maka yang hadir serentak menjawab shollu alaih atau shollallahi alaihi wa sallam. 2. Make Samping41 42

acara memotong rambut anak pada hari ke tujuh dari kelahiran acara memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Orang Lengkong lebih senang memakai samping dibandingkan memakai celana. Kebiasaan ini sudah turun te murun. Kebisaan yang bagus ini perlu dipertahankan agar generasi selanjutnya tak kehilangan jati diri. Bapak-bapak dan pemuda lebih senang memakai samping, baik dalam melakukan ibadah sholat, mengajar atau melakukan aktifitas sehari-hari. Pergi ke masjid, orang lengkong memakai samping. Pergi ke pasar memakai samping, pergie memancing memakai samping, bahkan ketika hiburan layer tancap masih banyak dipertontonkan, orang Lengkong pergi menggunkan samping. Tradisi ini dilakukan dengan harapan ketika melakukan perjalanan, mereka selalu mengingat sholat. Mereka tidak susah payah mencari atau meminjam kain untuk sholat, karena mereka sudah memakainnya. 3. Nabuh Bedud Bulan Ramdhan akan terasa berbeda bila kita berada di Lengkong. Kegiatan syarat keagamaan dan nuansa islami terlihat diberbagai pelosok kampung ini. Acara tradisi nabuh beduk pada awal sampai akhir Ramadhan bisa disaksikan di halaman masjid. Setiap malam selepas melaksanakan ibadah Sholat Tarawih, para kokot dan pemuda lengkong beramai-ramai acara nabuh bedug. Mereka bergantian memukul bedug yang jumlahnya empat buah. Acara puncak nabuh bedug adalah pada malam takbiran. Pada malam takbiran ini. Di dalam masjid, pada malalam ini orang melakukan takbiran, sedangkan di luar melakukan nabuh bedug. Acara ini berlangsung hingga datangnya waktu subuh. Acara nabuh bedug-pun bisa disaksikan ketika malam takbiran pada perayaan hari raya Idul Adha. Biasanya acara nabuh bedug pada hari raya ini dilakukan dari mulai tanggal 9 sampai 13 Dzulhijjah atau sampai habisnya hari tasrik. 4. gfdgfd 5. gfdgfd 6. gfdgfdg