Upload
hery-hatake
View
1.076
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ulasan Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali
Citation preview
Ulasan Tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Provinsi Bali:Sebuah Lembaga Keuangan Mikro yang Dibangun dari Kebudayaan Daerah dan
Telah Berhasil Membangun Perekonomian dan Kebudayaan Daerah
1. Sejarah Berdirinya LPD
Bali terdiri dari dua sistem di satu sisi adalah sistem sekuler dan bagian dari sistem
administrasi Indonesia secara keseluruhan, sedsangkan di sisi yang lain didasarkan pada hukum
adat. Berdasarkan sistem sekuler, Bali memiliki desa administratif (desa dinas), yang merupakan
unsur pemerintahan. Desa administrasi di Bali dan seluruh Indonesia didirikan oleh Pemerintah
Republik Indonesia melalui Undang- Undang Pemerintah Desa Nomor 5 Tahun 1979. Undang-
undang ini menetapkan untuk menciptakan struktur administrasi seragam di seluruh daerah di
Indonesia, dengan tujuan yang dinyatakan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan desa dan
partisipasi masyarakat dalam kebijakan pembangunan. Sedangkan berdasarkan hukum adat, Bali
memiliki desa adat, atau disebut desa pakraman. Desa adat (desa pakraman) telah ada jauh
sebelum dibentuknya desa administratif dan terus eksis sebagai lembaga adat dan berfungsi
bersama daerah administratif mitranya yang baru dibuat. Status desa adat sebagai unit masyarakat
berdasarkan hukum adat diperkuat oleh Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2003.
Desa-desa adat biasanya dibagi menjadi beberapa banjar (dusun). Banjar adalah hubungan
yang paling dasar dari masyarakat di desa-desa adat (masyarakat) melalui mana ritual keagamaan,
saling membantu, kelompok budaya, proyek-proyek pembangunan daerah dan kegiatan simpan
kredit terorganisir dalam hubungan sosial yang dekat. Setiap banjar punya berbagai macam
kelompok, dan di antara mereka ada kelompok simpan pinjam. kelompok-kelompok ini tersebar
di mana-mana, tapi cukup santai tentang disiplin keuangan. Peminjam harus membayar bunga
setiap bulan, sedangkan pokok pinjaman dibayarkan saat banjar butuh biaya untuk kegiatan ritual.
Dengan demikian, peminjam sering tidak tahu kapan mereka harus membayar utang mereka dan
menghadapi kesulitan dalam membayar pokok secara sekaligus ketika mereka diminta untuk
melakukannya.
Inisiatif untuk mendirikan Lembaga Perkreditan Desa (LPD), lembaga keuangan tingkat
desa adat (desa pakraman), diambil oleh Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra, pada tahun 1984,
dengan tujuan mendirikan lembaga yang mampu bersaing dengan sektor perbankan berkembang
pesat, tetapi diintegrasikan ke dalam budaya Bali. Desa tampak lebih cocok daripada banjar untuk
P a g e 1 of 8
menjamin skala ekonomi yang diperlukan. Pada tahun 1984, Pemerintah Bali lewat sebuah dekrit,
dan pada tahun 1988 melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang
Lembaga Perkreditan Desa, menentukan desa adat sebagai pemilik dan wilayah operasional
(Seibel, 2010).
2. Payung Hukum LPD sampai saat ini.
Pemerintah daerah Provinsi Bali nampaknya sangat serius dalam usaha pengembangan
LPD di Provinsi Bali, tebukti dari beberapa produk peraturan daerah yang telah dikeluarkan untuk
menjadi payung hukum keberadaan LPD di provinsi Bali (sebagaimana terlihat dalam tabel 1).
Tabel 1. Daftar Regulasi tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Prov. Bali
No Nama peraturan Status
1 Peraturan Daerah Prov. Bali No. 2 Tahun 1988 tentang LPD
Dicabut denganPerda Prov. Bsli No. 8 Tahun 2002
2 Peraturan Daerah Prov. Bali No. 8 Tahun 2002 tentang LPD
Dirubah dengan:- Perda Prov. Bali No. 3 Th. 2007- Perda Prov. Bali No. 4 Th. 2012
3 Peraturan Daerah Prov. Bali 3 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Perda No. 8 Tahun 2002 tentang LPD
Dirubah dengan:- Perda Prov. Bali No. 4 Th. 2012
4 Peraturan Daerah Prov. Bali No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perda No. 8 Tahun 2002 tentang LPD
3. Fungsi dan Tujuan
Mengacu kepada Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 1988 tentang LPD, LPD
sebagai salah satu wadah kekayaan desa, menjalankan fungsinya dalam bentuk usaha-usaha ke
arah peningkatan taraf hidup Krama Desa dan dalam kegiatannya banyak menunjang
pembangunan Desa.
Usaha-usaha LPD dilakukan dengan tujuan: mendorong pembangunan ekonomi
masyarakat desa melalui kegiatan menghimpun tabungan dan deposito dari krama desa;
memberantas ijon, gadai gelap dan tain-lain yang dapat dipersamakan dengan itu; menciptakan
pemerataan kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja bagi krama desa; dan
meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di desa.
P a g e 2 of 8
4. Pemilik, Pengguna, dan Pengelola LPD
Pemilik LPD adalah desa adat yang ini berarti bahwa penduduk pribumi asli, krama
ngarep, adalah pemilik utama. Krama ngarep adalah penduduk asli desa adat yang sudah
memiliki hak suara penuh dan hak kehadiran rapat/ pertemuan desa dan banjar, biasanya diwakili
oleh kepala rumah tangga.
Pengguna meliputi beberapa kategori: penduduk asli asli (krama ngarep) warga lainnya
(krama tamiyu), desa adat dan banjar sebagai badan usaha non-formal, berbagai asosiasi banjar,
dan tabungan lokal terdaftar & koperasi kredit (KSP). LPD ketat dapat mengikuti peraturan dan
kategori mengecualikan non-penduduk, tetapi beberapa menerima deposito dari luar, khususnya di
desa-desa yang berfungsi sebagai pusat-pusat ekonomi. Pinjaman kepada piha luar jarang terjadi,
dan biasanya membutuhkan jaminan pribadi dari seorang penduduk desa di mana LPD berada.
Krama tamiyu adalah Guest pendatang, tanpa hak partisipasi penuh. Mereka mungkin membayar
biaya tanda tahunan (misalnya, 20 kg padi) untuk hak istimewa tinggal di desa.
Tim pengurus terdiri dari tiga anggota: Ketua LPD, sekretaris dan bendahara, yang
ditunjuk oleh dewan pengawas. LPD besar mungkin memiliki divisi fungsional, kepala cabang
divisi dan sejumlah besar staf, dengan total lebih dari 50 di LPD terbesar. Menurut regulasi LPD,
pengurus dan staf yang diperlukan untuk berasal dari desa adat. Hal ini dapat menyebabkan
hambatan serius pada LPD yang berada di desa-desa kecil dengan kekurangan personil yang
berkualitas dan di desa-desa besar di mana kualifikasi perbankan diperlukan. Dalam beberapa
kasus posisi tersebut diisi oleh pensiunan Bank yang berasal dari desa. Pengurus memperoleh
pelatihan dari lembaga pelatihan LPD dan lembaga pembinaan dan, pelatihan perbankan nasional
dan lembaga sertifikasi untuk BPR dan non-bank, termasuk LPD. Staf LPD dilatih oleh pengurus
dan kadang-kadang oleh lembaga pelatihan LPD.
Tata Kelola adalah tanggung jawab desa adat, yang memilih dewan pengawas. Jumlah
minimum anggota dewan adalah tiga orang dan maksimum biasanya tujuh orang. Hal ini tidak
selalu berhubungan dengan ukuran desa atau LPD, ada LPD besar dengan jumlah minimal tiga
anggota dewan saja. Dewan ini diketuai oleh kepala desa adat (bendesa). Pemilihan diadakan
setiap tiga sampai lima tahun, tergantung pada desa. Biasanya anggota dewan yang dipilih oleh
majelis desa adat, di beberapa desa, setiap banjar memilih anggota pengawas. Biasanya kriteria
yang menentukan seleksi adalah keyakinan dan reputasi. Di beberapa desa pensiunan bankir,
dosen universitas dan pendatang yang sangat terampil dari desa yang dipilih sebagai pengawas,
tetapi menemukan anggota pengawas yang kompeten bisa menjadi masalah, terutama di desa-desa
kecil (seibel 2008)
P a g e 3 of 8
5. Perkembangan LPD
Sejak pendirian pertamanya, LPD tumbuh sangat pesat, seperti ditunjukkan pada tabel 2.
Jumlah LPD yang beroperasi dari tahun 157 di tahun 1998, dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan sampai dengan Tahun 2008 jumlah LPD sebanyak 1.356 kantor. Jumlah aset juga
mengalami kenaikan yang pesat dari Rp 2.9 milyar pada tahun 1988 dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan sampai dengan Tahun 2008.
Tabel 2. Indikator-indikator Terpilih dalam Perkembangan LPD
Sumber: 1. Bank BPD Bali (dalam Arsyad 2005)2. Seibel, 2008
Dari semua indikator perkembangan yang ditampilkan pada tabel 2. dari tahun ketahun
semua mengalami kenaikan, kecuali keuntungan yang mengalami penurunan pada tahun 2008,
kemungkinan diakibatkan adanya krisis ekonomi yang melanda bangsa Eropa yang berimbas ke
bangsa Indonesia. Dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008, jumlah tabungan dan deposito
selalu berada diatas pinjaman (kredit) berjalan, hal ini mengindikasikan bahwa LPD telah dapat
mencapai tujuannya yang pertama yaitu: mendorong pembangunan ekonomi masyarakat
desa melalui kegiatan menghimpun tabungan dan deposito dari krama desa.
6. Kedudukan LPD dalam Sistem Perbankan Indonesia
Sesuai dengan Pasal 58 dalam Ketentuan Peralihan Undang-Undang Perbankan No. 7
tahun 1992 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dinyatakan sebagai
berikut : Lembaga Perkreditan Desa (LPD), diberi status sebagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
(Darsana, 2010).
Upaya untuk mengubah LPD menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) oleh Bank
Indonesia (BI) ditentang karena hal ini akan menjadi tidak sesuai dengan gagasan sejumlah besar
lembaga berbasis desa kecil terlalu kecil untuk diawasi oleh BI. Akhirnya, dalam sebuah surat
tertanggal 17 Februari 1999, BI memberikan persetujuan untuk LPD sebagai non-bank lembaga
keuangan di Bali (Seibel, 2008).
P a g e 4 of 8
Seiring dengan pertumbuhan jumlah dan aset LPD yang sudah jauh melampaui BPR di
Provinsi Bali, wacana atau desakan BI untuk merubah LPD menjadi BPR kembali muncul ke
permukaan. Namun hal ini mendapat tantangan dari berbagai pemerintah daerah, pengelola LPD,
warga adat, akademisi serta bebrapa elemen masyarakat lainnya di Bali. Warga menolak bila ada
keinginan mengubah status LPD menjadi BPR atau koperasi serta bentuk LKM lainnya, karena
LPD bukanlah merupakan bisnis murni. Warga desa adat (seda pakraman) melalui LPD ingin
tetap corcern meniti kehidupan sesuai jati dirinya yakni LPD sebagai lembaga pendanaan yang
berjiwa sosial regilius (http://www.bisnisbali.com, 2011).
Keberadaan LPD, harus mendapat perlakuan khusus atau berbeda dengan lembaga
keuangan yang lainnya, karena LPD membantu masyarakat pedesaan yang sulit untuk mendapat
dana dari lembaga keuangan formal. Hal itu yang perlu dimergerti oleh para pengambil kebijakan
yang ingin mensejajarkan atau mengalihkan status LPD menjadi lembaga keuangan formal. Harus
ada kejelasan kalau LPD adalah milik masyarakat hukum adat, apapun bentuk intervensi harus
dipertanyakan. Apalagi hal-hal yang menyangkut prisip yang bertentangan dengan filosofi LPD
(http://www.bisnisbali.com, 2011).
7. Kinerja LPD
Tabel 3. Jumlah LPD Berdasarkan Kriteria Kinerja Per-Kabupaten/ Kota di Provinsi Bali
Tahun 2006
Sumber: Catatan Badan Pembina LPD di bali (dalam Gunawan, 2009)
Berdasarkan tabel 3. dapat diketahui dari jumlah LPD di Provinsi Bali tahun 2006
sebanyak 1.347 kantor, yang masuk kategori sehat dan cukup sehat sebanyak 1.125 kantor
(83,52%), sedangkan yang masuk kategori kurang sehat dan tidak sehat sebanyak 222 kantor
(16,48%). Jadi bisa dikatakan sebagian besar LPD di Provinsi Bali masuk kategori sehat dan
cukup sehat, hanya sebagian kecil saja yang masuk kategori kurang sehat dan tidak sehat.
P a g e 5 of 8
7.1 LPD dengan Kinerja yang Baik
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lincilin Arsyad (2005) disimpulkan bahwa
LPD di Kabupaten Gianyar memiliki kinerja yang baik dan dapat dianggap sebagai lembaga
keuangan mikro sukses. Indikator kinerja dinilai termasuk kualitas portofolio, leverage, rasio
kecukupan modal (CAR), produktivitas, efisiensi, profitabilitas, swasembada, dan jangkauan
(outreach). Berdasarkan kondisi yang diperlukan lembaga keuangan mikro yang sustainabel dapat
disimpulkan bahwa LPD Kabupaten Gianyar telah tumbuh berkesinambungan (sustainable). Hal
ini juga menyiratkan bahwa LPD memiliki manfaat positif sosial neto untuk nasabah mereka.
Dampak positif dari LPD pada target nasabah mereka menunjukkan bahwa peran LPD sebagai
alat pembangunan telah terbukti dalam pembangunan ekonomi Kabupaten Gianyar.
Kinerja yang baik dan keberlanjutan (sustainable) LPD telah dipengaruhi oleh lembaga
baik formal maupun informal, dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Gianyar. Pengaruh lembaga
formal yang tercermin dengan mendukung kebijakan pemerintah di semua tingkatan melalui
penyediaan dasar hukum bagi LPD dan peraturan Bank Indonesia telah memberikan kontribusi
bagi keberhasilan LPD di Kabupaten Gianyar.
Pengaruh lembaga informal yang ditunjukkan dalam beberapa aspek. Pertama,
penggunaan masyarakat lokal dalam pengurusan LPD dan aplikasi sistem pinjaman berbasis
karakter dengan sistem kredit pelayanan langsung (delivery sytem). LPD. Kedua, penggunaan
sanksi sosial (adat) dalam penegakan kontrak telah memaksa peminjam untuk mematuhi kontrak
kredit mereka secara tepat waktu. Ketiga, penggunaan teknik mobile banking untuk
mengumpulkan tabungan dan pelunasan pinjaman secara langsung juga telah memaksa nasabah
untuk membayar kembali pinjaman mereka secara teratur dan tepat waktu. Keempat, penggunaan
personel dari masyarakat dengan penggajian berdasarkan sistem remunerasi mengakibatkan
efisiensi tinggi LPD. Efisiensi tinggi ini pada gilirannya telah mendorong profitabilitas tinggi dan
kemandirian LPD. Terakhir, tingkat jangkauan tinggi LPD disertai loyalitas yang tinggi dari
nasabah memiliki dampak positif terhadap keberlanjutan (sustainability) LPD.
7.2 Jika Tata Kelola Gagal: Peran Pengawas atas Kegagalan dan Kebangkitan LPD
Hans Dieter Seibel (2008) telah mengadakan penelitian tentang contoh kegagalan dalam
pengelolaan LPD, bagaimana peran pengawas atas kegagalan dan upaya untuk membangkitkan
kegagalan LPD. Objek penelitian adalah beberapa LPD yang pernah mengalami kegagalan,
namun berhasil bangkit, diantaranya adalah; LPD Kayu Kapas, LPD Kapal Mengui dan LPD
Gelgel.
P a g e 6 of 8
LPD Kayu Kapas
Kasus kegagalan LPD Kayu Kapas menunjukkan bagaimana LPD yang masih muda gagal
jika pengawas tidak menyadari tanggung jawabnya. Dengan bimbingan yang tepat dan instruksi,
pengawas yang tidak berfungsi dapat diaktifkan lagi. Revitalisasi sebuah LPD yang bermasalah,
mengembalikan kepercayaan, mencapai pelunasan tunggakan meskipun jangka waktu yang
panjang di mana LPD itu hampir ditutup, dan membawa kembali ke profitabilitas.
LPD Kapal Mengui
Kasus Kapal LPD Mengui menunjukkan bahwa bahkan di sebuah desa dengan potensi
yang baik dan beberapa tahun berkinerja yang baik, sebuah LPD bisa menjadi gagal dengan
adanya kecurangan dan kenakalan jika pengawas tidak berfungsi baik, perangkat desa tidak
melangkah masuk, dan pengawasan eksternal tidak efektif. Faktor penting dalam kegagalan
adalah tata kelola yang buruk, sama seperti good governance sangat menentukan dalam membawa
LPD kembali hidup. Setelah pengawas baru dengan tingkat kompetensi yang tinggi dan motivasi
terpilih, revitalisasi berlangsung dengan kecepatan yang menakjubkan.. Bantuan dari kantor
pembina dan bank pembangunan juga memainkan peran, tetapi hanya setelah dewan mengambil
langkah-langkah kuat untuk mengamankan pemulihan.
LPD Gelgel
Kasus LPD Gelgel menunjukkan menunjukkan tim pengelola yang baru terpilih
berkomitmen bersama dengan pengurus profesional mampu mengembalikan kepercayaan dan
mencapai pelunasan pinjaman jatuh tempo, dengan menggunakan pendekatan lunak tanpa pernah
menyita jaminan. Seperti di Kayu Kapas, LPD yang berkinerja baik di daerah itu memainkan
peran pendukung. Berbeda dengan LPD Kapal Mengui, dengan jangka waktu pinjaman
maksimum lima tahun, Ketua LPD Gelgel merasa bahwa pinjaman selama lebih dari dua tahun
akan terlalu berisiko. Kedua LPD tersebut telah berhasil mewujudkan tata kelola yang baik,
meskipun dengan kebijakan yang berbeda, tetapi LPD Gelgel mungkin lebih siap untuk risiko
sistemik sebanding dibandingkan yang lain ketika menghadapi krisis ekonomi global.
Dua pelajaran muncul dari contoh-contoh kasus, salah satu yang berkaitan dengan tata
kelola, yang lain untuk pengawasan. Meskipun resiko LPD jatuh ke dalam kekacauan, pengawas
yang termotivasi dan berkomitmen, dapat merevitalisasi sebuah LPD dengan menakjubkan dalam
periode singkat. Tata kelola yang baik (good governance), dengan kontrol yang efektif terhadap
pengurus, benar-benar penting.
P a g e 7 of 8
Pendekatan kekeluargaan bekerja dengan baik di bawah kondisi tata kelola yang baik
(good governance). Tapi setelah tata kelola gagal, pendekatan yang sama lembut untuk
pengawasan tidak bekerja. Ternyata, seperti halnya dalam sistem keuangan modern, ada batas
untuk efektivitas pengendalian internal oleh krama dan karma. Faktor-faktor ini harus dilengkapi
dengan pengawasan eksternal dan kekuatan penegakan. Menemukan cara bagi masyarakat Bali
untuk mencapai pengawasan eksternal yang efektif terus menjadi tantangan bagi para pemangku
kepentingan (seibel 2008).
8. Pertumbuhan dan Jangkauan LPD Mengakibatkan Dampak Ekonomi dan Sosial
Pada tahun 2008 LPD hadir di sekitar 95% dari desa adat.Secara statistik, penjangkauan ke
834,000 keluarga Bali adalah hampir menyeluruh, meskipun ada kesenjangan antar daerah.
Penyebaran besar tersebut telah menyebabkan perubahan dalam masyarakat Bali. Ada
kesepakatan di antara pengawas dan pengurus LPD bahwa LPD harus memiliki dampak ekonomi
yang nyata. Saat ini sudah ada akses hampir ke semua jasa keuangan bagi seluruh penduduk desa,
termasuk kaum miskin, dengan biaya transaksi yang rendah. LPD menyediakan pelayanan yang
adil, tanpa diskriminasi atas dasar gender. Mayoritas deposan, dan banyak peminjam, adalah
perempuan. Dalam banyak kasus, dimana orang meminjam uang dan istri-istri mereka
memanfaatkannya. Akumulasi tabungan dan akses kredit dengan bunga yang kompetitif telah
memberikan kontribusi terhadap pemerataan pendapatan rumah tangga.
LPD juga telah memiliki dampak yang signifikan terhadap bisnis lokal dengan
meningkatkan kapasitas pembiayaan pada usaha mikro dan kecil, dan meningkatkan akses kredit.
Akses ini telah memfasilitasi kebutuhan modal awal dalam memulai bisnis baru, selain itu juga
telah mendorong perluasan usaha. Pendapatan dan lapangan kerja telah meningkat. Penyerapan
tenaga kerja langsung melalui LPD adalah 7.000 orang, atau 5 orang per LPD. Ada efek yang
tidak langsung terhadap kenaikan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja melalui pertanian dan
non-pertanian, usaha mikro dan kecil yang dibiayai melalui LPD.
Selain itu kontribusi langsung dari keuntungan adalah berupa dana pembangunan desa dan
dana sosial, karena berdasarkan Peraturan Daerah, dalam pembagian keuntungan bersih LPD
setiap akhir tahun, sebesar 20% untuk dana pembangunan desa dan 5% untuk dana sosial.
LPD telah meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam berbagai cara: keluarga dapat
memperoleh ternak lebih, lebih banyak keluarga sekarang dalam posisi untuk membiayai
pendidikan tinggi anak-anak mereka; perumahan telah diperbaiki, akses terhadap keuangan telah
menciptakan peluang baru bagi yang kurang beruntung secara umum. Juga, dalam kasus darurat,
mereka juga memiliki akses kredit untuk keperluan darurat.
P a g e 8 of 8