Upload
lemien
View
225
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA SUATU PERBANDINGAN
(Studi Wewenang dan Implementasinya di Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AMINUDDIN BIN RAMLI NIM :104045203217
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H / 2008 M
UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA SUATU PERBANDINGAN
(Studi Wewenang dan Implementasinya di Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AMINUDIN BIN RAMLI
NIM :104045203217
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Abu Tamrin, SH,M.Hum Masyrofah, S.Ag, M.Si NIP. 150 274 761 NIP. 150 318 265
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA SUATU PERBANDINGAN; Studi Wewenang dan Implementasi di Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah).
Jakarta, 23 Juni 2008 Mengesahkan Dekan Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. Asmawi, M.Ag (………………………………...)
NIP. 150 282 394
Sekretaris : Dra Sri Hidayati, M.Ag (………………………………...) NIP. 150 282 403
Pembimbing I : Drs. Abu Tamrin. SH, M. Hum. (……...………….……………...) NIP. 150 274 761 Pembimbing II : Masyrofah, S. Ag, M. Si. (………………….…………..…) NIP. 150 318 265 Penguji I : Drs. Asmawi, M.Ag (………………………………...)
NIP. 150 282 394 Penguji II : Drs. Dedy Nursyamsi, SH, M. Hum (………………………………..)
Bismillahirrahmanirrahim
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan sholawat dan
salam kepada Nabi Muhammad sang pembawa risalah kebenaran dan suri tauladan
bagi manusia.
Penulisan skripsi ini tidaklah dapat diselesaikan oleh penulis sendiri, tanpa
adanya perhatian, bantuan dan pengorbanan baik doa maupun wujud kongkrit yang
penulis terima dari orang-orang yang selalu ada di dalam hati dan fikiran penulis.
Didasari hal tersebut, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati,M.Ag. Ketua dan Sekretaris Program Studi
Jinayah Siyasah yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada
penulis.
3. Drs Abu Tamrin, SH, M.Hum dan Ibu Masyrofah, SAg, M.Si selaku Dosen
Pembimbing skripsi penulis, yang dengan sabar telah memberikan banyak
masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa
yang telah bapak ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT.
4. Teristimewa buat Ayahanda Haji Ramli bin Din dan Ibunda Siti Aisyah binti Haji
Ahmad, serta seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala doa dan
kesabarannya atas jerih payah dan pengorbanan yang tak terhingga serta
senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga anaknda dapat
menyelesaikan pengkajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan tidak ada yang dapat
dipersembahkan sebagai balasan melainkan hanya sebuah kejayaan.
5. Kepada istri tercinta Suriani binti Abdul Mutalib, terima kasih atas
kesanggupannya untuk berjauhan, tidak ternilai pengorbanan yang adinda
hadiahkan. Ketabahan adinda inspirasi buat penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
6. Kepada teman-teman seperjuangan dari Kesatuan Mahasiswa Malaysia UIN,
tidak terlupa teman-teman dari KUDQI dan juga Thailand terutama Saifuddin
Badaud An-narowi, terima kasih atas ide dan dukungan kalian, tak lupa buat
teman-teman angkatan 2004/2005 konsentrasi Siyasah Syar’iyyah terima kasih
atas kehangatan dan kebersamaannya selama penulis belajar di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Terakhir kepada semua teman-teman yang telah memberikan bantuan moril
maupun materiil kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga teman-teman mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Jakarta, 25 Juni 2008 M 21 Jumadil Akhir1429 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..... v
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………. 7
D. Review Studi Terdahulu…………………………………………… 8
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan…………………………... 9
F. Sistematika Penulisan……………………………………………… 11
BAB II. KEDUDUKAN DAN WEWENANG UNDANG-UNDANG SYARI’AH
A. Sejarah Undang-Undang Syari’ah di Malaysia…………………...... 14
B. Kedudukan dan Penggunaan Undang-Undang Syari’ah Sebelum dan
Sesudah Kemerdekaan...…………………………………………… 19
C. Kedudukan dan Wewenang Undang-Undang Syari’ah di Malaysia.. 23
BAB III. KEDUDUKAN, WEWENANG DAN PELAKSANAN UNDANG-
UNDANG SIPIL
A. Sejarah Undang-Undang Sipil di Malaysia ……………………….. 29
B. Kedudukan dan Kekuasaan Undang-Undang Sipil di Tanah Melayu
pada Masa Penjajahan Inggris……………………………………... 34
C. Kedudukan, wewenang serta Pelaksanaan UU Sipil di Malaysia…. 37
BAB IV. PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN
UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA
A. Perbandingan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di
Malaysia
1. Dari Aspek Administarsi Hukum………………………......... 43
2. Dari Objek Masyarakat Di Malaysia……………………........ 46
B Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Undang-Undang
Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia…………..…........ 50
C. Analisa Perbandingan; Persamaan dan Perbedaan………………… 53
Analisis penulis……………………………………………………. 55
1. Kolonialisme………………………………………………… 56
2. Problem Konstitusional……………………………………… 60
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………… 62
B. Saran-saran………………………………………………………… 70
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...
73
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi umat Islam, syari’ah adalah “tugas umat manusia yang menyeluruh”
meliputi moral, teologi dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah
formal dan ritual yang rinci. Syari’ah mencakup semua aspek hukum publik dan
perorangan, kesehatan dan bahkan kesopanan dan akhlak. Syari’ah adalah sistem
hukum yang bersifat alamiyah (mendunia) tidak dibatasi oleh sekat teritorial
tertentu dan siap diterapkan disetiap kurun waktu dan tempat. Hal ini dikarenakan
watak sumber (masdhar) hukumnya yang bersifat murunah (elastis) sehingga
memungkinkan kita untuk mencari penyelesaian atas setiap masalah yang
dihadapi, kapan dan dimana saja.1
Sebenarnya melaksanakan hukum Islam berarti melakukan reformasi
pemikiran dan inovasi pembahasan secara kontinyu untuk menemukan yang baru
dan yang relevan dengan hukum-hukum syara’. Lebih dari itu, hukum Islam
adalah ciptaan Allah, Yang Maha Tahu tentang kondisi manusia, bersifat
universal, kekal sampai yaumul hisab, serta terlepas dari segala pengaruh hawa
nafsu dan kepentingan sepihak.
1 Topo Susanto, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari’at Dalam Wacana
dan Agenda, (Jakarta, Gema Insani Pres, 2003), cet. 1, h. xiii
Syari’ah menurut para fuqoha didefinisikan sebagai segala hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada mahluk-Nya agar beriman kepada-Nya,
sehingga membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.2 Oleh karena itu Undang-
undang yang telah diturunkan oleh Allah SWT harus dilaksanakan untuk
mewujudkan masyarakat dan negara yang tertib, sehingga dapat hidup dalam
suasana aman serta terhindar dari segala perilaku kriminal dan tidak bermoral.
Bagi setiap muslim, syari’ah lebih dari sekedar hukum agama, ia adalah
hukum Tuhan dan dengan demikian secara esensial tidak dapat dirubah. Di
samping itu ia menjangkau setiap segi kehidupan dan setiap bidang hukum.
Karena itu dalam teori, ia tidak dapat ditandingi oleh hukum manapun, bahkan
ketetapan-ketetapannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat, namun bila kita
menengok ke pusat dunia Islam -negara Timur Tengah- kita dapatkan perubahan-
perubahan besar selama kira-kira satu abad terakhir ini, baik dalam sistem
peradilan maupun dalam sistem hukum yang mereka terapkan.3
2 Hasan Haji Saleh, Sejarah Perundang-undangan Islam, (Selangor: Pustaka Aman
Pres, 1979), h. 9.
3 Di Mesir, sejak awal perempat terakhir abad ke-19 terlihat jelas bahwa Mahkamah-mahkamah Syari’ah -sebagaimana wilayah-wilayah lain dalam khalifah Turki Usmani- terbatas wewenangnya hanya dalam hal-hal yang berkaiatan dengan status anak dan hukum keluarga. Di Jordania, kodifikasi Majallah masih diterapkan terhadap urusan perdata. Tetapi pada tahun 1951 hukum Usmani tentang hak-hak keluarga diganti dengan hukum Jordania tentang hak-hak keluarga. Hukum baru ini mencakup semua hukum yang bertalian dengan ikatan keluarga, selain masalah wasiat dan hibah; ia mengambil alih sebagian besar pembaharuan yang terjadi di Mesir sejalan dengan hukum Usmani; dan memasukkan sedikit pengembangan dari sumber sendiri. Di Syiria, kodifikasi Majallah dihapuskan pada tahun 1949 dan digantikan dengan hukum perdata baru yang hampir sebagian merupakan pengambil alihan hukum Mesir yang berlaku setahun sebelumnya secara apa adanya, kecuali pada beberapa bagian yang berhubungan dengan masalah hukum pembuktian dan hak milik atas benda tidak bergerak. Lebih jelas lihat J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994), Cet. 1, h. 25-46
Kita melihat terjadinya perubahan di negara-negara muslim pada
pertengahan abad ke- XIX, mayoritas pemerintahan negara-negara muslim telah
melakukan perubahan hukum dengan dua cara, yaitu: Pertama, mengganti
syari’ah dengan hukum sekuler dalam masalah-masalah perdagangan, perdata,
tata negara dan pidana; dalam hal ini di sebagian besar negara muslim hanya
hukum keluarga yang diwariskan dan diwujudkan dalam bentuk hukum syari’at.
Kedua, pembaruan dilakukan dengan tetap mengakui prinsip-prinsip dan aturan
syari’at seperti penerapannya dalam hukum keluarga dan waris bagi umat
Islam.4
Kondisi yang sama juga menimpa negara-negara muslim di kawasan
lainnya seperti di Asia Tenggara. Malaysia sebagai salah satu negara muslim
terbesar kedua setelah Indonesia di wilayah tersebut, juga mengalami kondisi
yang tidak jauh berbeda dengan saudara-saudara mereka yang berada di Timur
Tengah. Adalah sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri jika hukum Barat
(Sekuler) justru mendapat tempat utama dalam sistem hukum dan konstitusi di
Malaysia. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi hukum syari’ah -yang
sebelumnya merupakan pegangan utama masyarakat Malaysia- kini harus
menerima kenyataan pahit sebagai hukum nomor dua setelah hukum sipil.
Proses peminggiran hukum syari’ah di Malaysia berjalan dalam kurun
waktu yang cukup panjang, mendompleng dalam proses kolonialisasi tanah
4 Abdulahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Cet. IV, (Yogyakarta, LKIS, 2004), h. 65.
Melayu oleh pemerintahan Portugis, Belanda dan Inggris.5 Secara umum sejarah
perkembangan Undang-Undang di Malaysia terbagi kepada dua periode yaitu:
sebelum kedatangan penjajah dan pasca kedatangan penjajah. Setelah kedatangan
penjajah, perkembangan Undang-undang di tanah Melayu dapat diklasifikasikan
kepada tiga masa:
1). Masa pendudukan Portugis
2). Masa pendudukan Belanda, dan
3). Masa pendudukan Inggris
Kedatangan Inggris membawa perubahan sangat besar dalam sistem
hukum negara, dimana sebelumnya masyarakat Melayu tidak pernah menerima
hukum lain selain menerima hukum Islam dan hukum adat. Hasil dari dialektika
tersebut, maka timbullah dua corak perundangan negara, yakni Undang-undang
yang bercorak agama dan sekuler.
Pada tahun 1957, ketika Undang-Undang Persekutuan Malaysia
dibicarakan menjelang kemerdekaan Malaysia, di dalam draf rancangan Undang-
Undang tersebut tidak dicantumkan bahwa agama Islam adalah agama
persekutuan. Hakim Abdul Hamid dari Pakistan salah seorang anggota sidang
mengajukan usulan agar agama Islam menjadi agama negara, akan tetapi hasil
akhir dari pembahasan Undang-Undang tersebut tidak menyetujui usulan tersebut,
juga tidak disebutkan bahwa persekutuan Malaysia sebagai sebuah negara
5 Hamid Jusoh, Pemakaian Undang-Undang Islam Kini dan Masa Depannya di
Malaysia, dalam Ahmad Ibrahim, Al-Ahkam; Undang-Undang Malaysia Kini, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h. 98.
sekuler.6 Namun melalui pertarungan yang cukup lama, akhirnya pengakuan atas
Islam sebagai agama resmi persekutuan dan hak menjalankan hukum Islam diakui
dalam konstitusi Malaysia merdeka.
Malaysia merupakan negara yang mempunyai dua jenis Undang-Undang
yakni: Undang-Undang Sipil (positif) dan Undang-Undang Syari’ah. Menurut
Ahmad Ibrahim, perubahan Undang-undang pada awal kemerdekaan lebih
banyak menyangkut pengadministrasian, yurisdiksi dan kekuasaan pengadilan
syari’ah.7 Hal ini dilakukan, karena sejak awal memang belum ada penyusunan
secara sistematis terhadap hukum syari’ah di Malaysia baik yang menyangkut
Undang-undang maupun yang berkaitan dengan lembaga peradilannya.
Sebagai negara jajahan Inggris, maka menjadi hal yang tak terelakan jika
sistem peradilan di Malaysia juga mengadopsi sistem yang ada di Inggris,
termasuk dalam hal ini adalah sistem peradilan Syari’ahnya. Oleh karena
pengaruh kuat Inggris pula yang menjadikan kajian tentang Undang-Undang Sipil
dan Syari’ah menjadi lebih menarik menjadi kajian kami dalam perkara syari’ah
berdasarkan, ditengah pertarungan perebutan pengaruh kedua Undang-Undang
tersebut atas masyarakat Malaysia, masing-masing negara bagian telah diberi
wewenang untuk melaksanakan Undang-Undang Islamnya, seperti mengadakan
Majlis-majlis Agama Islam, dan Mahkamah-Mahkamah Syari’ah sebagainya.
6 Tun Saleh Abbas, Traditional Element of Malaysian Constitution, dalam Mohamed Suffian, HP Lee dan Trindade (ed.), The Constitution of Malaysian, Its Development 1957-1977, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978), h. 22.
7 Ahmad Ibrahim, Perkembangan Kodifikasi Hukum Islam di Malaysia, dalam Sudirman
Teba (ed), Perkembangan Terakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan, 1993), h. 100-101.
Undang-undang hanya berlaku terhadap orang Islam sahaja termasuklah hukum
yang berhubungan dengan Faraid, Wasiat, Perkawinan perceraian, Wakaf Islam,
khairat dan perkara-perkara yang menyentuh diri umat Islam.
Manakala Mahkamah Sipil mempunyai wewenang melebihi Mahkamah
Syari’ah dan terkandung dalam Mahkamah Sipil itu, adalah Mahkamah Agung,
Mahkamah Rayuan, Mahkamah Tinggi dan Mahkamah Rendah yaitu selain
Mahkamah Syari’ah dinamakan Mahkamah Sipil yang membicarakan semua
hukum termasuk hukum pidana dan perdata.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud mengangkat topik
tersebut dalam sebuah karya tulis skripsi dengan judul: “UNDANG-UNDANG
SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA SUATU
PERBANDINGAN; Studi Wewenang dan Implementasinya di Mahkamah
Syari’ah dan Mahkamah Sipil”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdirinya sebuah negara, mensyaratkan pentingnya sebuah perundang-
undangan, karena dengan peraturan perundang-undanganlah sebuah negara dapat
berjalan dan dijalankan dengan baik. Di Malaysia, wewenang membuat
perundang-undangan diberikan kepada Parlemen berdasarkan pasal 44 Undang-
undang Dasar Persekutuan, kemudian di tingkat negeri diserahkan kepada Dewan
Undangan Negeri masing-masing. Institusi Parlemen ini terdiri dari tiga bagian
penting yaitu Yang di-Pertuan Agung, Dewan Negara dan Dewan Rakyat.8
Karena luasnya cakupan sebuah perundang-undangan, maka perundangan yang
dimaksud dalam tulisan ini hanya dibatasi pada Undang-Undang Syari’ah dan
Undang-Undang Sipil di Malaysia. Adapun kajiannya, difokuskan pada
perbandingan kewenangan dan implementasi kedua Undang-Undang tersebut di
Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia.
Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka hal tersebut dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1). Bagaimana pemberlakuan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang
Sipil di Malaysia?
2). Apa saja wewenang Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di
Malaysia?
3). Bagaimana perbandingan wewenang Undang-Undang Syari’ah dan Undang-
Undang Sipil di Malaysia?
4). Bagaimana perbandingan implementasi wewenang Mahkamah Syari’ah dan
Mahkamah Sipil berdasarkan berlakunya Undang-Undang Syari’ah dan
Undang-Undang sipil?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
8 Mohd. Foad Sakdan, Pengetahuan Asas Politik Malaysia, cet. II, (Kuala Lumpur;
Dewan Bahasa dan Pustaka; 1999), , h. 15
Disesuaikan dengan perumusan masalah, maka tujuan penulisan skripsi
ini adalah:
a). Untuk mengetahui sejarah pembentukan perundang-undangan di Malaysia,
dalam hal ini adakah Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang
Sipilnya.
b). Untuk mengetahui apa saja wewenang Undang-Undang Syari’ah dan
Undang-Undang Sipil di Malaysia.
c). Untuk mengetahui perbandingan dan pengimplementasian wewenang
Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Mahkamah
Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia.
d). Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan
Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan pada beberapa hal:
a). Sebagai input (masukan) atau referensi bagi para mahasiswa Fakultas
Syari’ah dan Hukum, khususnya bagi mahasiswa konsentrasi Siyasah
Syar’iyyah yang ingin mengetahui tentang Undang-Undang Syari’ah dan
Undang-undang Sipil di Malaysia.
b). Bagi kalangan civitas akedemika, penelitian ini diharapkan akan
menambah khazanah keilmuan di Indonesia, khususnya bagi perpustakaan
Fakultas Syari’ah dan Hukum dan perpustakaan utama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
c). Bagi masyarakat pada umumnya, penulisan ini dapat menjadi informasi
untuk memperluas dan menambah wawasan mengenai Undang-Undang
Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia.
D. Review Studi Terdahulu.
Dalam review kajian terdahulu ini, penulis berusaha mendata dan membaca
beberapa skripsi dan buku-buku yang telah membahas tentang Undang-undang
Syari’ah dan Undang-undang Sipil di Malaysia, setidaknya ada beberapa skripsi
dan buku yang penulis temukan, antara lain:
1. Skripsi Rafiah binti Saladri “Kedudukana Undang-undang Islam dalam
Perlembagaan Malaysia”, 2006. Intinya skripsi ini menjelaskan tentang
wewenang Mahkamah Syariah yang terbatas dan putusan Mahkamah Syari’ah
dapat ditinjau ulang oleh Mahkamah Sipil karena kedudukan Mahkamah Sipil
lebih tinggi dibanding dengan Mahkamah Syari’ah. Hal ini disebabkan
Mahkamah Sipil didirikan atas dasar Undang-undang perlembagaan (Undang-
Undang Dasar Persekutuan), sedangkan Mahkamah Syari’ah didirikan atas
dasar kuasa Undang-undang Negeri (provensi).
2. Skripsi Mohd. Salleh Bin H. Mohd. Hashim, “Masaalah Riddah (Murtad)
dalam Hukum Islam”, 2006. Skripsi ini menjelaskan masalah Riddah atau
Murtad dalam pandangan Undang-Undang Mahkamah Syari’ah di Malaysia,
lebih lanjut skripsi ini juga membahas tentang kedudukan Mahkamah
Syari’ah dalam perundangan-undangan Malaysia.
3. Skripsi Ahmad Akhyari Ismail, “Upaya Dan Tantangan Pelaksanaan Syariat
Islam Di Malaysia”, 2006. Skripsi ini menjelaskan tentang pelaksanaan
Syariat Islam di Malaysia. Malaysia adalah Negara yang mayoritas
penduduknya Muslim dan Agama Islam adalah Agama rasmi Negara, akan
tetapi dalam perlaksanaan hukum-hukum Islam tidak diterapkan secara
menyeluruh, sehingga hal ini menyebabkan banyak provensi atau Negara
bagian ingin menerapkan Syariat Islam secara menyeluruh. Sedangkan
pemerintahan pusat tidak menyetujui. Dalam pembahasannya, skripsi ini lebih
difokuskan pada upaya Provensi Kelantan yang ingin menerapkan Syari’at
Islam secara keseluruhan, yaitu upaya bagaimana hukum pidana Islam dapat
diterapkan dan dijalankan.
4. Buku karya Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned yang berjudul “Sistem
Undang-Undang di Malaysia”, yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan
Pustaka (Kuala Lumpur), 2005. Pada bab 9 buku ini terdapat bahasan
mengenai sistem kehakiman, di point A bagian kedua membahas masalah
perdata dan pidana yang secara jelas di paparkan mengenai Mahkamah Sipil
di mulai dari mahkamah sipil tinggi sampai ke Mahkamah Sipil agung.
Kemudian pembahasan khusus mengenai Mahkamah Syariah ditemukan pada
point B, bahwa Mahkamah Syari’ah dibentuk oleh Enakmen Pentadbiran
Agama Islam di setiap Negeri bagian. Mahkamah Syari’ah terdiri dari
Mahkamah Qadi, Mahkamah Qadi Besar dan Lembaga Peninjauan Kembali.
5. Buku karya Mahmud Saedon A. Othman, yang berjudul “Institusi
Pentadbiran Undang-Undang dan Kehakiman Islam”, di terbitkan oleh
Dewan Bahasa dan Pustaka (Kuala Lumpur), 1996. Buku ini secara khusus
membahas mengenai Undang-undang Mahkamah Syariah yang berkaitan
dengan kewenangan masalah pidana dan Undang-undang Sipil. Undang-
undang Mahkamah Syariah tentang pidana memberikan wewenang yang lebih
kepada Mahkamah Syariah untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat
yaitu hukuman penjara sampai tiga tahun, atau dengan denda sebesar 5000
RM dan penjara yang tadinya enam bulan menjadi tiga tahun. Kemudian
Undang-Undang Sipil (civil Law Act) yang pertama kali dibuat pada tahun
1937, yang diperluas ke negeri Melayu yang belum bergabung pada tahun
1956 dan seluruh Malaysia pada tahun 1972. Undang-undang ini telah
memberikan kedudukan isteimewa kepada Undang-undang Common Law
Inggris dan memperkecil serta sedikit menafikan peranan Undang-undang
Syari’ah.
Dari penjelasan review terdahulu di atas, beberapa skripsi yang telah
membahas berkaitan dengan Undang-undang Syari’ah dan Undang-undang Sipil
di Malaysia, fokus bahasannya berbeda dengan bahasan skripsi yang penulis
angkat. Dimana skripsi terdahulu membahas tentang Undang-undang Syari’ah
dan Undang-undang Sipil di Malaysia hanya seputar kedudukan dan
wewenangnya saja, sedangkan fokus bahasan penulis akan menjelaskan mulai
dari sejarah pembentukan, perkembangannya yang dipengaruhi oleh sistem
hukum peninggalan penjajah, kedudukan dan wewenangnya serta implementasi
dari Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil di Malaysia.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan.
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam tulisan ini merupakan penelitian normatif yuridis yakni
penelitian yang membahas tentang sejarah dan perbandingan hukum.9 Penelitian
ini juga merupakan penelitian Kualitatif dengan pendekatan Deskriptif-
Kualitatif. Deskriptif berupaya membuat penjelasan secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu.10 Adapun
kualitatif merujuk pada penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi ataupun tindakan, dengan cara deskripsi dalam konteks khusus yang
alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.11
2. Sumber Data.
9 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pres,
2003), h. 42. 10 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet. XIV, (Jakarta: Rajawali Pres, 2003),
h.75. 11 Lexy J. Moeleong, Metodologi Pnelitian Kualitatif, cet. XXI, (Bandung: Rosda Karya,
2005), h. 6.
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam
mengumpulan data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder. Adapun
rincian masing-masing sumber adalah:
a). Data Primer disandarkan pada Undang-Undang Syari’ah dan Undang-
Undang Sipil Malaysia.
b). Data Sekunder merupakan sumber pendukung dari sumber primer yang
berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada
relevansinya dengan judul skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
pustaka (Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis
penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi
berkaitan dengan masalah penelitian.12 Pengumpulan data dan informasi
diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa
arsip, dokumen, majalah maupun lainnya.
4. Teknik Analisis Data.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi
(Content Analysis) yakni penguraikan data melalui katagorisasi, perbandingan
dan pencarian sebab akibat baik menggunakan analisis induktif (usaha
penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil
12 Consuelo G. Sevilla (dkk), Pengantar Metodelogi Penelitian, (Jakarta: UI Pres, 1993),
cet. I, h. 37.
kesimpulan) maupun metode deduktif (berangkat dari ungkapan umum
kemudian disempitkan dengan pertanyan-pertanyaan yang lebih sempit)
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, didasarkan pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah mendapat gambaran tentang kerangka dan alur
bahasan, serta apa saja yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka
penulis uraikan sistematika penulisan skripsi ini, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dikemukakan latar belakang penulisan skripsi yang
merupakan pijakan awal berfikir, disusul kemudian secara berurutan
penjelasan tentang pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan teknik
penulisan serta ditutup dengan pembahasan sistematika penulisan
skripsi ini.
BAB II KEDUDUKAN DAN WEWENANG UNDANG-UNDANG
SYARI’AH
Bab kedua ini berisi tentang sejarah perkembangan Undang-Undang di
Malaysia, kedudukan dan penggunaan Undang-Undang Syari’ah
sebelum dan sesudah merdeka serta kedudukan dan wewenang Undang-
Undang Syari’ah di Malaysia
BAB III KEDUDUKAN, WEWENANG DAN PELAKSANAAN UNDANG-
UNDANG SIPIL
Dalam bab ini akan dibahas sejarah Undang-Undang Sipil di Malaysia,
juga peran dan kedudukan Undang-Undang Sipil di tanah Melayu pada
masa penjajahan Inggris serta kedudukan dalam pelaksanannya.
BAB IV PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG SYARI’AH
DAN UNDANG-UNDANG SIPIL
Dalam bab ini akan dibahas perbandingan Undang-Undang Syari’ah
dan Undang-Undang Sipil dari aspek administrasi hukum, perbandingan
dari sudut objek masyarakat di Malaysia dan mengurai faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah di
Malaysia, juga memberikan analisa perbandingan atas keduanya.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini akan disampaikan beberapa kesimpulan guna menjawab
permasalahan-permasalahan mendasar dari pembatasan masalah dalam
penulisan skripsi ini. Tidak lupa pula penulis akan memberikan
beberapa saran-saran yang diperlukan sebagai catatan atas
permasalahan yang diangkat.
BAB II
KEDUDUKAN DAN WEWENANG UNDANG-UNDANG SYARI’AH
A. Sejarah Perundang-undangan Syari’ah di Malaysia
Secara umum sejarah perkembangan Undang-undang di Malaysia dapat
dibagi dalam dua periode yang berbeda. Pertama periode sebelum kedatangan
penjajah dan kedua periode setelah kedatangan penjajah. Pada periode pertama
Undang-undang dapat diklasifikasikan pada dua jenis perundang-undangan,
yakni:
a). Undang-undang Orang Asli, dan
b). Undang-undang Adat.
Adapun pada periode kedua dapat diklasifikasikan pada tiga kurun waktu
yang berbeda, yakni:
a). Masa Pendudukan Portugis
b). Masa Pendudukan Belanda, dan
c). Masa Pendudukan Inggris.
Menurut kajian sejarah, sebelum kedatangan penjajah, daerah pedalaman
dan pesisir pantai, telah didiami oleh golongan-golongan asli yaitu golongan
Negerito, Senoi dan Melayu Asli. Masing-masing golongan memiliki Undang-
undang tersendiri yang masih kuno. Golongan Negerito merupakan golongan
yang paling tidak teratur dan hidup berpindah-pindah (nomaden). Ketua golongan
itu dipilih dari orang yang paling tua di antara mereka. Di tangan ketua suku
tersebutlah keadilan kemudian dijalankan. Suku ini tidak memiliki banyak
perangkat perundang-undangan. Ukuran bagi setiap kesalahan adalah denda.
Kondisi seperti ini juga terjadi pada golongan Senoi. Ketua suku
mempunyai kekuasaan penuh dalam perkara Sipil dan Pidana, namun terdapat
perbedaan dalam persoalan hukum pembunuhan. Penentuan hukum bunuh
dibicarakan oleh “jama’ah pengadil” yakni kumpulan yang terdiri dari ketua
suku dibantu oleh sesepuh dari suku tersebut. Pelaksanaan hukuman dilaksanakan
oleh sanak saudara si pembunuh. Hukuman itu jika bisa dijalankan dengan
menggunakan senjata yang digunakan oleh si pembunuh itu untuk melakukan
kesalahan tersebut. Adapun kesalahan mencuri, yang kurang berlaku, dihukum
dengan diusir keluar dari kelompoknya.13
Keadaan ini berbeda dengan suku Melayu asli. Mereka dapat dikatakan
golongan atau suku yang paling maju jika dibandingkan dengan suku-suku asli
lainnya. Suku ini diketuai oleh seorang ketua dengan sebutan “Batin”. Di tangan
batin, dengan dibantu oleh sesepuh yang mengerti tentang Undang-undang dan
adat dari suku tersebut, keadilan ditegakkan.
Dalam Undang-undang suku Melayu asli itu juga, dapat dijumpai adanya
pengaruh agama Hindu dan Islam. Pengaruh tersebut dapat terlihat dalam hal
pencurian dan perzinahan. Hukuman yang dikenakan bagi pelaku pencurian dan
perzinahan adalah dengan dijemur di tengah terik mentari atau ditenggelamkan.
13 Ahmad bin Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985), h.7-8.
Adapun dalam hal pembunuhan, maka hukuman yang dikenakan adalah denda
atau qisas. Dalam hal waris, pembagian dinisbahkan atau disandarkan pada
pembagian dua banding satu (2:1), dua untuk laki-laki dan satu untuk
perempuan.14 Semua Undang-undang yang dibuat oleh suku-suku tersebut
memiliki tujuan yang sama dengan pembuatan Undang-undang pada umumnya
yaitu untuk menjaga kepentingan dan keselamatan umat.
Undang-undang kedua yang memegang peran penting sebelum
kedatangan penjajah adalah Undang-Undang Adat. Undang-Undang Adat sendiri
dapat dikelompokan dalam dua bagian besar yaitu: Adat Pepatih dan Adat
Temenggung. Undang-Undang Adat Pepatih dibawa masuk dari Minangkabau
(Sumatera Barat) pada abad ke-16 dan masih dijalankan hingga hari ini, terutama
di Negara Bagian Sembilan. Dengan kata lain Undang-Undang Adat Pepatih juga
mendapat tempat tersendiri dalam pelaksanaan perundangan di Negara Bagian
Sembilan.
Adapun perundang-undangan Adat Temenggung adalah Undang-undang
otokrasi yang dijalankan pada masa kesultanan Melayu Malaka dan di daerah-
daerah lain di Semenanjung Malaka. Undang-undang ini juga dibawa dari
Minagkabau, namun telah mengalami banyak perubahan di bawah pengaruh
agama Hindu. Unsur matriakhal yang terlihat kental dalam adat Minangkabau,
dalam Undang-Undang Adat Temenggung telah hilang digeser oleh unsur
14 Ibid., h. 9-10
patriakhal.15 Undang-Undang ini diterima dan dijalankan oleh hampir semua
masyarakat di daerah-daerah Semenanjung Malaka kecuali Negara Bagian
Sembilan, hingga jatuhnya tanah Melayu ketangan penjajah Inggris.
Keadaan perundangan di tanah Melayu mengalami perubahan sedikit
demi sedikit, bermula sejak kejatuhan Malaka ke tangan Portugis Pada tahun
1511 disusul kemudian oleh penjajahan Belanda. Namun demikian, penjajahan
kedua bangsa Eropa tersebut tidak membawa banyak perubahan terhadap sistem
perundang-undangan di tanah Melayu. Ini disebabkan masih diperbolehkannya
orang-orang Melayu untuk melaksanakan Undang-undang yang ada, guna
menyelesaikan persengketaan yang melibatkan persoalan-persoalan non-melayu
(Portugis dan Belanda), maka Undang-undang yang dipergunakan adalah
Undang-undang mereka sendiri.16
Perubahan besar atas perundang-undangan Adat Melayu -yang saat itu
berlaku secara luas di tanah Melayu- terjadi pada masa pendudukan Inggris pada
Tahun 1825, yakni setelah perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dibuat
pada tahun 1824.17 Inggris secara perlahan mulai memasukkan Undang-undang
mereka ke dalam perundang-undangan Melayu. Langkah ini mulai dijalankan di
daerah Selat seperti Pulau Penang, Malaka dan Singapura. Di pulau Penang
Undang-Undang Inggris mulai dijalankan dengan dibuatnya Piagam Keadilan
15 Ibid., h. 30 16 Ibid., h. 14 17 Ibid., h. 15
Pertama pada tahun 1807, disusul Piagam Keadilan Kedua yang dikenal sebagai
Piagam Keadilan Diraja di Negeri Malaka dan Singapura pada tahun 1826.
Piagam keadilan merupakan upaya merekonstruksi perundang-undangan
Adat Melayu agar senafas dengan perundang-undangan Inggris. Dengan
sendirinya piagam ini telah membuka lebar masuknya Undang-Undang Inggris ke
dalam Undang-Undang Melayu, sehingga terjadi perubahan cukup signifikan atas
Undang-Undang Melayu.
Kokohnya kekuasaan Inggris di tanah Melayu, semakin meluaskan lagi
kekuasaan mahkamah-mahkamah keadilan Prince of Wales Island di daerah-
daerah tanah Melayu. Usaha rekonstruksi tersebut tidak berhenti hanya sampai
disana, usaha tersebut terus berlanjut dengan diterbitkannya Piagam Keadilan
Ketiga pada tahun 1855. Piagam ini tidak dimaksudkan untuk melakukan
perubahan-perubahan atas Undang-undang, melainkan lebih difokuskan pada
penegakan mahkamah dan Undang-undang yang telah ada, agar menjadi lebih
teratur.18
Adapun di daerah-daerah Melayu lainnya, seperti daerah Semenanjung,
Undang-Undang Common Law Inggris mulai dibawa masuk pada tahun 1937
melalui pembuatan Undang-Undang Sipil negeri-negeri Melayu bersatu. Langkah
ini diperluas lagi pada tahun 1956, dimana Undang-Undang Sipil Inggris telah
18 Mardiana Abdul Rahim, dkk, Sejarah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Pulau
Pinang, Dalam Jurnal Syari’ah jilid 7 edisi Januari 1999. hal. 33-34.
dimasukkan kedalam Ordinan Undang-Undang Sipil Melayu, yang kemudian
berlaku untuk seluruh daerah Persekutuan Tanah Melayu hingga saat ini.19
B. Kedudukan dan Penggunaan Undang-Undang Syari’ah Sebelum dan
Sesudah Kemerdekaan
Undang-Undang Islam telah mulai dipraktekkan di tanah Melayu sejak
abad ke 14, yaitu sejak zaman kesultanan Melayu Malaka. Hal ini berawal dari
masuknya pengaruh agama Islam di tanah Melayu melalui pedagang-pedagang
Arab dan India. Para pedagang-pedagang tersebut menjalankan ketentuan Islam
yang berdasarkan kepada madzhab Imam Syafi’i, yang ini kemudian memberikan
corak dan warna Islam dan perundang-undangannya di tanah Melayu hingga saat
ini.
Di zaman kerajaan Malaka, suatu Undang-undang yang dikenal sebagai
Kanun Malaka telah diterima secara luas sebagai sebuah Undang-Undang Islam,
meski Undang-Undang tersebut tidak sepenuhnya merujuk pada sumber-sumber
Islam melainkan juga merujuk pada adat istiadat Melayu. Namun demikian isi
Kanun Malaka sangat besar dipengaruhi oleh kitab Abu Sujak al-Thariq dan Fath
al-Qorib karya Ibn Qosim al-Ghazzi. Undang-Undang ini meliputi beberapa
19 Ahmad bin Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia,
h. 20-23.
kumpulan peraturan perundangan seperti Undang-Undang Malaka asal, laut,
keluarga Islam, jual beli, dan Undang-Undang Hukum Acara Islam.20
Berkaitan dengan persoalan Syari’ah, Undang-Undang Malaka
mengakomodir Undang-Undang Pidana Islam dengan menerapkan sanksi qisas,
hudud, ta’zir dan diat (pasal; 4, 5, 7, 8, 11, 12, 16, 18, 21, 19, 36, 39, 41, 42, dan
43), hal-hal yang terkait dengan ekonomi Islam diatur dalam pasal 29 hingga
pasal 34, adapun yang berkaitan dengan hukum keluarga diatur dalam pasal 25
hingga pasal 28.21
Namun demikian, pengamalan ketentuan-ketentuan Hukum Islam tidaklah
murni dan menyeluruh. Hal ini karena adanya pencampur adukan Undang-
Undang Adat Temenggung dan beberapa kepercayaan agama lain. Sebagai
contoh, hukuman pidana berkenaan dengan pencurian didasarkan pada Hukum
Islam dengan ditambah denda mengikuti hukum adat.22
Secara umum Undang-Undang Islam merupakan rujukan utama yang
dipakai secara luas dalam menyelesaikan berbagai perkara, termasuk dalam
perkara perdata dan Pidana, disamping Undang-Undang Adat Temenggung,
Pepatih dan pengaruh Hindu, pada masa sebelum kedatangan penjajah di tanah
Melayu.
20 Mohamad Azam, Quo Vadis Kekuasaan dan Kedudukan Mahkamah Syari’ah di
Malaysia Abad ke 20, Jurnal Syari’ah edisi Juli 2000 jilid ke 8, h.104. 21 Hamid Jusoh, Pemakaian Undang-undang Islam Kini dan Masa Depannya di
Malaysia, Dalam Ahmad Ibrahim, Al-Ahkam; Undang-undang Malaysia Kini, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 19900), h. 94.
22 Ahmad bin Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang, h.11-12.
Kemudian pemakaian Undang-Undang Islam semakin tersebar ke daerah-
daerah lain selain Malaka, seperti Pahang pada tahun 1595, Kedah pada tahun
1605, Johor pada tahun 1789 dan Perak pada tahun 1878.23 Penggunaan Undang-
Undang Islam pada saat itu lebih luas penggunaannya dalam perkara-perkara
yang berkaitan dengan keagamaan seperti perkawinan, perceraian dan pewarisan.
Seiring datangnya penjajah Portugis dan Belanda dan semakin goyah
ketika masa penjajahan Inggris. Menurut kebanyakan penulis, pada masa
penjajahan Portugis dan Belanda pemakaian Undang-Undang Islam masih tidak
banyak mengalami perubahan. Ini disebabkan baik Portugis maupun Belanda
tidak mau ikut campur dalam pelaksanaan Undang-Undang Pribumi. Pada saat itu
Undang-Undang Eropa berlaku hanya untuk orang Eropa dan bagi pribumi
berlaku Undang-Undang Pribumi itu sendiri.
Perubahan yang cukup signifikan atas kedudukan, fungsi dan peran
Undang-Undang Islam di tanah Melayu terjadi pada masa penjajahan Inggris di
awal abad ke- 19. Undang-Undang Islam pada masa itu hanya diakui dan
digunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan lingkup agama seperti
perkawinan, perceraian dan waris. Banyak kesalahan terjadi atas Undang-Undang
Islam pada masa itu, dimana separuh Undang-Undang Adat diakui sebagai
Undang-Undang Islam oleh para hakim berdasarkan perintah sultan. Adapun
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perkara-perkara pidana diambil alih
23 Hamid Jusoh, Pemakaian Undang-undang, h. 95.
sepenuhnya oleh Undang-Undang Inggris, menggusur Undang-Undang Islam dan
Adat yang ada. 24
Pihak Inggris telah membawa masuk Undang-Undang Common Law
mereka sedikit demi sedikit sehingga sampai di tahun 1956 dimana Undang-
Undang Sipil Inggris dimasukkan kedalam Ordinan Undang-Undang Sipil
Melayu yang berlaku secara umum di wilayah-wilayah persekutuan Melayu.25
Dengan demikian jelaslah sudah posisi Undang-Undang Islam pra dan pasca
penjajahan Inggris. Pasca penjajahan Inggris Undang-Undang Islam hanya
dibatasi penggunaannya dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan persoalan
agama (nikah, cerai, talak dan waris) an sich. Sementara perkara-perkara pidana
ditundukan secara mutlak kepada Undang-Undang Common Law Inggris.
Pasca kemerdekaan, dengan diadopsinya Undang-Undang Sipil dalam
perundang-undangan Malaysia tidak serta merta mengubur perundang-undang
Islam. Meski harus diakui bahwa hadirnya Undang-Undang Sipil telah
menjadikan Undang-Undang Islam sebagai Undang-Undang nomor dua di
Malaysia. Keberlangsungan Undang-Undang Syari’ah -kendati terbatas pada
hanya persoalan hukum keluarga- namun tetap dipertahankan pemberlakuannya
di setiap daerah negara bagian. Hal ini berdasarkan amanat konstitusi Negara
Malaysia yang menyebutkan bahwa: Pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah
berada dibawah kekuasaan Mahkamah Syari’ah di masing-masing negara bagian.
24 Ahmad bin Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia,
h. 15. 25 Ibid., h.23
Al hasil berbagai produk perundangan Syari’ah tetap lahir dan dijalankan di
setiap negara bagian.
Sebagai catatan misalnya di daerah Selangor lahir Undang-Undang Islam
Selangor 1952, pembuatan Undang-Undang Syariah Terengganu 1955, Undang-
Undang Agama Islam Pahang 1956, Undang-Undang Islam Malaka 1959, Pulau
Pinang 1959, Negara Bagian Sembilan 1960, Kedah 1962, Perlis 1964, Perak
1965, Pembuatan Mahkamah Syari’ah dan perkawinan Kelantan 1966, agama dan
adat Kelantan 1966, Undang-Undang Islam Johor 1978, Sabah 1971 dan Ordinan
Majlis Islam Serawak tahun 1978.26
Di antara Undang-Undang Islam setiap negeri bagian tidak ada perbedaan
satu dengan yang lain, hanya saja waktu pengembangan Undang-Undang Islam
yang membedakannya.
C. Kedudukan dan Wewenang Undang-Undang Syari’ah di Malaysia.
Konstitusi Malaysia secara resmi telah mengakui bahwa Islam merupakan
agama resmi Negara, ini tidak berarti bahwa keberadaan agama lainnya dilarang
keberadaannya. Agama-agama lain tetap diberi tempat dan pelaksanaannya
dijamin oleh Negara.27 Ketentuan tersebut memiliki arti penting bagi umat
muslim di Malaysia, karena klausul pasal tiga tersebut bagaimanapun dapat
26 Hamid Jusoh, Pemakaian Undang-undang, h. 72.
27 Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (Kuala Lumpur:
Berlian, 1996), h. 2.
dijadikan entri poin bagi lahirnya perundang-undang Islam di Malaysia. Meski
tujuan awal pencantuman Islam sebagai agama resmi bukanlah bermaksud
mendirikan negara Islam maupun mewujudkan Undang-Undang Islam, melainkan
hanya untuk mengakomodir Islam dalam seremonial-seremonial penting acara
pemerintahan.28
Pencantuman Islam sebagai agama resmi negara Malaysia boleh dikatakan
sebagai penjaga tegaknya syari’at Islam di Malaysia di tengah gempuran
sekularisme sisa panjang kolonialisme Barat di bumi Malaysia. Adapun ketentuan
mengenai Undang-Undang Syariah secara khusus diatur dalam konstitusi
Malaysia. Konstitusi (perlembagaan persekutuan Malaysia) memberikan
kewenangan kepada negara-negara bagian yaitu masing-masing negara bagian
diberi kuasa untuk membuat undang-undang Islam sendiri dan dalam
pelaksanaannya membentuk lembaga-lembaga terkait seperti Majlis-majlis agama
Islam, Mahkamah Syari’ah dan sebagainya.29
Meskipun Islam diterima oleh Perlembagaan Persekutuan Malaysia
sebagai agama, namun penerimaan tersebut tidak sampai menjadikan Undang-
Undang Islam sebagai Undang-Undang Negara. Selaras kedudukan agama Islam
di bawah kekuasaan raja-raja negeri, Perlembagaan Malaysia telah menetapkan
28 Hasan Bahrom, Perlembagaan;Isu Pelaksanaan Undang-undang Islam, Jurnal Syari’ah jilid ke 7, edisi Januari 1999, h. 80.
29 Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cet. II, (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2004), h. 106
bahwa bahwa Undang-Undang Syari’ah adalah urusan negeri-negeri. Dalam
jadual kesembilan pasal ke-2 dijelaskan bahwa:
“kecuali mengenai wilayah-wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan Labuan, Hukum Syarak dan Undang-Undang diri dan keluarga bagi orang yang menganut agama Islam, ternmasuk hukum Syarak berhubungan dengan mewarisi harta wasiat dan tak berwasiat, pertunangan, perkawinan, perceraian, maskawin, nafkah, pengambilan anak angkat, taraf anak, penjagaan anak, pemberian, pembagian harta dan amanah bukan khairat; wakaf Islam dan takrif serta peraturan mngenai amanah khairat dan hkaerat agama, pelantikan pemegang-pemegang amanah dan perbadanan bagi orang-orang mengenai pemberian agama Islam dan khairat, yayasan, amanah. Khairat dan yayasan khaerat yang dijalankan kesemuannya sekali dalam negeri; adat istiadat melayu; zakat fitrah dan baitul mal atau hasil agama Islam yang seumpamanya; masjid atau mana-mana tempat sembahyang awam untuk orang Islam; mengadakan dan menghukum kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang menganut agama Islam terhadap rukun-rukun Islam, kecuali mengenai perkara-perkara yang termasuk dalam senerai persekutuan; keanggotaan, penyusunan dan cara bagi mahkamah-mahkamah syari’ah, yang akan mempunyai bidang kuasa hanya ke atas orang-orang yang menganut agama Islam dan hanya mengenai mana-mana perkara yang termasuk dalam perenggangan ini, tetapi tidak mempunyai bidang kuasa mengenai kesalahan-kesalahan kecuali yang setakat diberi oleh Undang-Undang Persekutuan; mengawal pengembangan itikad dan kepercayaan antara orang-orang yang menganut agama Islam; menentukan perkara-perkara hukum syarak dan itikad dan adat istiadat Melayu”30
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka Negara-negara bagian melalui
badan perundang-undangan masing-masing berkuasa membuat Undang-Undang
Syari’ah dan membentuk organisasi pembuat dan pelaksana Undang-Undang
seperti majlis-majlis agama Islam dan mahkamah-mahkamah syari’ah. Undang-
undang Syari’ah diberikan kewenangan untuk mengatur masalah hukum keluarga
30 Ibid.
Islam (hukum perdata) dan Pidana. Untuk hukum keluarga (hukum perdata)
kewenangan diberikan secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pernikahan, mulai dari pertunangan, syarat-syarat perkawinan, maskawin,
pencatatan pernikahan, hak dan kewajiban suami isteri, perceraian, masa
iddah, rujuk, status anak, hak asuh anak, poligami, perwalian, pengangkatan
anak dan adopsi.
2. Kewarisan, berkenaan dengan ahli waris dan masing-masing bagiannya;
3. Wasiat, berkenaan dengan syarat-syarat dan yang tidak boleh menerima
wasiat serta batalnya wasiat dpengangkatan anak (adopsi), status anak, hak
asuh anak, warisan, dan wasiat. Sedangkan dalam bidang pidana membuat
dan menghukum n pencabutannya;
4. Hibah;
5. Zakat; dan Wakaf.
Sedangkan dalam bidang pidana secara garis besar dapat dijabarkan
sebagai berikut:31
1. Kesalahan yang berhubungan dengan ‘aqidah seperti pemujaan salah, doktrin
palsu, mengembangkan doktrin agama, dan dakwaan palsu;
2. Kesalahan yang berhubungan dengan kesucian agama Islam dan institusinya,
sepert menghina ayat Al-Quran atau Hadith dan menghina atau mengingkari
31 Hukuman yang diberikan atas kesalahan-kesalahan tersebut berupa denda tidak
diperbolehkan melebihi 5000 Ringgit dan atau penjara kurungan tidak lebih dari tiga tahun. Untuk lebih jelasnya mengenai Undang-undang Syari’ah yang mengatur masalah pidana tersebut dapat dilihat pada buku Undang-undang Syari’ah Wilayah-wilayah persekutuan, disusun oleh Lembaga penyelidikan Undang-Undang, (Selangor: International Law Book Services, tt.), h. 5-28
pihak berkuasa agama, tidak menunaikan sembahyang Jumaat, tidak
menghormati Ramadhan, tidak membayar zakat atau fitrah, menghasut supaya
mengabaikan kewajipan agama, berjudi dan minuman yang memabukkan.
3. Kesalahan yang berhubungan dengan kesusilaan, pelacuran, persetubuhan luar
nikah, perbuatan sebagai persediaan untuk melakukan persetubuhan luar
nikah, liwat (sodomi), khalwat, orang lelaki berlagak seperti perempuan,
perbuatan tidak sopan di tempat umum;
4. Kesalahan-kesalahan seperti memberikan keterangan, maklumat atau
pernyataan palsu, memusnahkan atau mencemarkan masjid, atau surau,
pemungutan zakat atau fitrah tanpa kuasa, pembayaran tak sah akan zakat atau
fitrah, menghalang pasangan yang sudah bernikah daripada hidup sebagai
suami isteri, menghasut suami atau isteri supaya bercerai atau mengabaikan
kewajipan, menjual atau membenikan anak kepada orang bukan Islam, qazaf,
dan penyalahgunaan tanda halal.
Walau bagaimanapun negeri-negeri tidaklah berkuasa sepenuhnya
membuat Undang-undang dan lembaga seperti itu. Sebaliknya ia terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Perlembagaan Persekutuan sendiri
secara keseluruhannya. Jelasnya, setiap Undang-Undang Syari’ah yang akan
diubah dan dibentuk oleh masing-masing negeri tidak boleh bertentangan dengan
Perlembagaan Persekutuan, sebagaimana diatur dalam pasal empat yang
berbunyi:
“Perlembagaan adalah Undang-Undang utama persekutuan dan apa-apa Undang-Undang yang diluluskan setelah hari merdeka dan yang berkenaan dengan perlembagaan ini hendaklah terbatal sekadar yang berlawanan ini”32
Satu hal lagi berkaitan dengan kebebasan negeri-negeri dalam merubah
dan melaksanakan Undang-Undang Syari’ah ialah bahwa Undang-Undang
tersebut hanya berlaku hanya untuk umat muslim saja. Hal ini jelas dapat terlihat
dalam ketentuan jadwal kesembilan pasal dua, sebagaimana telah disebut di atas.
Ini juga sesuai dengan kehendak kebebasan beragama dan mengamalkan ajaran
agama masing-masing orang di Malaysia. Pasal 11 ayat 1 berbunyi: “Tiap-tiap
orang adalah berhak menganuti dan mengamalkan agamanya”.
Konstitusi mengamanatkan bahwa pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Syariah di masing-masing negara bagian.
Secara umum ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pembuatan Undang-
Undang Syari’ah di setiap negeri relatif sama. Jika pun terdapat perbedaan hanya
sebatas pada redaksi atau ayat-ayatnya saja, sedang dalam ketentuan isi bisa
dipastikan sama.33
Adapun sistem pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah tidak jauh berbeda
dengan Undang-Undang Sipil. Letak berbedaannya hanya pada wilayah
kekuasaannya saja. Undang-Undang Syari’ah hanya berlaku untuk orang Islam
saja, serta kewenangannya yang lebih rendah dari Undang-Undang Sipil. Apabila
pihak Mahkamah Syari’ah menjatuhkan hukuman pidana atas seseorang yang
32 Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, h. 106 33 Ahmad bin Muhamad Ibrahim dan Ahlilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di
Malaysia, h. 67.
dikarenakan kesalahannya, maka pihak Mahkamah Syari’ah harus menanggapi
terhadap permohonan dari terpidana seperti yang tersebut dalam seksyen 80,
mahkamah akan meminta pihak pengacara dan polisi untuk membawa terpidana
(apabila telah dimasukkan) ke penjara (jika dia dihukum penjara). Jika terpidana
dijatuhkan hukuman membayar denda, dan dia mampu membayarnya dalam
waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya. Dia hanya akan dibebaskan
dengan bersyarat. Pihak Mahkamah Syari’ah diharuskan mengikuti kaedah-
kaedah Undang-Undang Keterangan Islam berkaitan terhadap status, keperibadian
dan jumlah saksi-saksi. Di samping itu, Mahkamah Syari’ah juga diharuskan
memberi perhatian terhadap Undang-Undang Keterangan yang ada.
Mahkamah Syariah ialah institusi kehakiman yang menangani serta
menjatuhkan hukuman kepada orang Islam yang berperkara (perdata) dan pidana
agama sesuai kewenangan yang telah ditetapkan. Adapun urutan hierarki
Mahkamah Syari’ah di setiap negara bagian adalah sebagai berikut: 34
1). Mahkamah Rendah Syariah
Mahkamah Rendah Syari’ah berkedudukan di setiap Kabupaten yang
menangani perkara-perkara untuk wilayahnya saja sebagai pengadilan tingkat
pertama. Adapun wewenangnya meliputi perkara pidana dan perdata.
2). Mahkamah Tinggi Syari’ah
Mahkamah Tinggi Syari’ah merupakan lembaga Peradilan Tingkat Tinggi
yang berkedudukan di ibu kota Negara bagian (provinsi). Mahkamah ini
34 Ibid., h. 69
diketuai oleh seorang Qadhi Besar tugasnya mengawasi dan mengatur semua
Qadhi yang ada di kabupaten (Mahkamah Rendah Syari’ah). Sedangkan
wewenangnya meliputi bidang jinayah (pidana) dan perdata yang telah
diputus oleh Mahkamah Rendah Syari’ah dengan kata lain Mahkamah Tinggi
Syari’ah adalah peradilan tingkat banding.
3). Mahkamah Rayuan Syari’ah
Mahkamah Rayuan Syari’ah merupakan lembaga peradilan yang berdiri
sendiri terdiri dari tiga anggota yaitu Mufti Kerajaan dan dua orang yang telah
dilantik oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan. Hanya berwenang untuk
menerima dan memutuskan perkara-perkara yang telah diputuskan oleh
Mahkamah Tinggi Syari’ah. Mahkamah Rayuan Syari’ah adalah pengadilan
tingkat kasasi dalam ruang lingkup Mahkamah Syari’ah.
Mahkamah Syari’ah mempunyai kekuasaan menjalankan Undang-Undang
Syari’ah di setiap Negara bagian. Namun ia hanya terbatas pada hal-hal atau
permasalahan-permasalahan yang melibatkan orang Islam saja. Ketentuan pasal
121 (1A) Pindaan 1989 menyatakan bahwa mahkamah-mahkamah yang
disebutkan dalam pasal (1) tidak boleh menangani perkara-perkara yang ada
dalam kekuasaan Mahkamah Syari’ah.35 Secara tidak langsung ketentuan ini
menunjukkan supremasi Undang-Undang Syari’ah atas Undang-Undang lainnya.
Dengan ketentuan di atas Mahkamah Sipil tidak boleh menangani dan ikut
campur dalam hal-hal atau permasalahan-permasalahan yang telah dibicarakan
35 Lembaga Penyelidikan Undang-undang, Perlembagaan, h. 165.
dan diputus oleh hakim di Mahkamah Syari’ah. Begitu juga hal-hal yang telah
diputus di Mahkamah Syari’ah (rendah dan tinggi) dan ada upaya-upaya banding
maka perkaranya tidak boleh diteruskan ke Mahkamah Sipil, tetapi harus tetap di
bawah kekuasaan Mahkamah Rayuan Syari’ah.
Namun demikian terdapat beberapa kelemahan mendasar yang sampai
hari ini masih dapat kita jumpai, terutama dalam kekuasaan Mahkamah Syari’ah
itu sendiri. Kelemahan tersebut terlihat jika terjadi pertentangan antara Undang-
Undang Syari’ah yang dirubah di bawah kekuasaan negara bagian dengan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam konstitusi Malaysia, maka dengan sendirinya
Undang-Undang Syari’ah di negara bagian itu dibatalkan.
Selain itu ketentuan untuk melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan
orang Islam yang merupakan kekuasaan Mahkamah Syari’ah juga ikut
terbatalkan, alasannya Undang-Undang Islam tidak dapat dilaksanakan kecuali
dengan bersandar pada kuasa pemerintah. Sebagai contoh, Mahkamah Syari’ah
tidak berhak menangani masalah harta warisan, sekalipun berkaitan dengan harta
orang Islam dikarenakan ia berada dibawah kewenangan akta probet dan akta
pusaka kecil. Hakim dalam hal ini hanya berfungsi untuk mengesahkan
pembagian-pembagian waris sesuai dengan ketentuan akta tersebut. Adapun
pembahagian harta warisan tidak sesuai dengan hukum fara’id, hukuman dan
denda yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam Mahkamah Syari’ah adalah tidak
melebihi daripada 5000 ringgit atau tiga tahun penjara atau enam kali cambuk.
Pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah di Malaysia diatur dalam ketentuan pasal
121 (1A) pelembagaan Persekutuan Malaysia dan Pembagian antara negara
bagian dan pusat (federal). Bagi tujuan tersebut Perlembagaan Persekutuan
memperuntukkan jadual 9 pasal 2, menyatakan bahwa kekuasaan Mahkamah
Syari’ah hanya terbatas pada orang-orang Islam dan mengenai perkara-perkara
yang berkaitan dengannya, tetapi tidak dalam hal sanksi pidana yang jumlahnya
melebihi 5000 ringgit, kecuali Undang-Undang persekutuan mengaturnya.36
Kekuasaan Mahkamah Syari’ah di Malaysia dilaksanakan oleh masing-
masing negara bagian yang diketuai oleh raja-raja atau sultan di masing-masing
negara bagian. Bagi negara bagian yang tidak memiliki sultan, maka ketua dijabat
oleh yang di Pertuan Agung. Penggunaan Undang-Undang Syari’ah dalam
perundangan di Malaysia dapat dilihat dalam perkara yang berkiatan dengan
hukum keluarga seperti pertunangan, perkawinan, nafkah, perceraian, penjagaan
anak, pengambilan anak, pembagian waris, pembagian harta bersama serta
perkara-perkara lain yang berkaitan dengan agama Islam.
Sungguhpun terdapat ketentuan di dalam Undang-Undang Persekutuan
(konstitusi Malaysia) bahwa Islam sebagai agama resmi negara dan ketentuan
untuk melaksanakan Undang-Undang Syari’ah, tetapi pelaksanaannya jauh
berbeda dengan apa yang telah diamalkan pada zaman Rasullullah maupun zaman
khulafa’ ar-rasyidin. Dizaman Rasulullah pemakaian Undang-Undang Syari’ah
dilaksanakan secara menyeluruh dan konsekuen. Namun di Malaysia penggunaan
36 Ibid., h. 315
Undang-Undang Syari’ah terbatas pada masalah-masalah tertentu saja. Namun
demikian Undang-Undang Common Law Inggris justru mendapat tempat utama
walaupun menuai pro kontra, selain itu sumber rujukan utama sistem perundang-
undangannya pun berbeda, karena sistem Undang-Undang Malaysia lebih
disandarkan pada undang-undang yang dibawa oleh Inggris, sedangkan rujukan
pada zaman nabi maupun sahabat adalah Al-Qur’an dan Sunah.
Bagan hierarki Mahkamah Syari’ah
Mahkamah Rendah Syari’ah
Mahkamah Rayuan Syari’ah
Mahkamah Tinggi Syari’ah
Mahkamah-Mahkamah Syari’ah di Setiap Kabupaten
BAB III
KEDUDUKAN, WEWENANG DAN PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA
A. Sejarah Undang-Undang Sipil di Malaysia
Undang-Undang Sipil dikenal secara umum sebagai satu Undang-undang
yang merupakan kumpulan Undang-undang lain, seperti: Undang-Undang
Perdata, Dagang, Kontrak, Undang-Undang Keluarga dan lainnya. Namun
demikian Undang-undang tersebut bukanlah Undang-Undang Islami yang
berdasarkan kepada Qur’an dan sunah.37 Ia berbentuk sekuler dan dibawa masuk
oleh para penjajah Inggris. Cara pelaksanaan dan pengaturannya di Malaysia
disamakan dengan penggunaan Common Law yang ada di Inggris. Pengaturan
Undang-Undang Sipil berada di bawah kekuasaan Mahkamah Sipil dan
membicarakan hal-hal yang melibatkan semua pihak baik muslim maupun non
muslim.
Sebagaimana diketahui secara umum baik dari buku-buku sejarah maupun
buku yang membahaskan Undang-undang, bahwa Undang-Undang Sipil adalah
Undang-undang yang telah disusun oleh penjajah Inggris ketika menjajah tanah
Melayu, sebelum Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Undang-Undang Sipil
37 Majalah Muslimah, BII 92 PP4 894/12/93, Juni-Juli, 1994.
ini telah dilaksanakan penjajah Inggris sejak tahun 1957 hingga saat ini. Undang-
Undang Sipil tersebut berdasarkan pada sistem dan prinsip-prinsip perundangan
di Inggris.
Masuknya Undang-Undang Sipil di Malaysia, bersamaan dengan proses
pendudukan tentara Inggris atas tanah Melayu. Mula-mula Inggris menduduki
negeri-negeri Selat yang terdiri dari pulau Penang (Prince of Wales), Malaka dan
Singapura. Di daerah-daerah Pinang diberlakukan piagam keadilan pertama pada
tahun 1807 yang merupakan perundang-perundangan Sipil Inggris dengan sedikit
perubahan.38 Sebelum terbentuknya Piagam Keadilan, terjadi kekacauan
perundangan, karena di pulau tersebut memang belum dikenal sistem peraturan
perundangan yang bagus. Hadirnya Piagam Keadilan Pertama pada tahun 1807
mampu mengatasi kekacauan itu, meski sebenarnya proses sekularisasi hukum di
Malaysia baru saja dimulai.39
Undang-Undang Sipil Inggris tersebut kemudian diperluas
pemberlakuaannya ke wilayah Malaka dan Singapura pada tahun 1826 melalui
Piagam Keadilan di Raja (Piagam Kedua), akibat pergolakan Undang-undang di
Malaka dan Singapura.
Pada tahun 1955 Piagam Ketiga dibentuk untuk mengurus dan
mengorganisir Undang-Undang Sipil di ketiga negeri selat tersebut. Kemudian
38 Mardiana Abdul Rohim dkk, Sejarah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Pulau
Pinang, Jurnal Syari’ah jilid 7 edisi Januari 1999, h. 33. 39 Ahmad bin Muh Ibrahim dan Ahilemah Binti Joned, Sistem Undang-undang Di
Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985), h. 71.
Ordinan (Kumpulan) Undang-Undang Sipil yang telah digantikan dengan Akta
Undang-Undang Sipil 1956 (diperbaharui pada tahun 1972) telah diperluas ke
seluruh negeri-negeri selat. 40
Menurut kajian sejarah, Negeri-negeri Melayu sendiri juga telah dibagi
oleh pemerintahan Inggris menjadi dua bagian, yaitu:
1). Negeri-negeri Melayu bersatu,
2). Negeri-negeri Melayu tak bersatu.41
Di negeri-negeri Melayu Bersatu, Undang-Undang Inggris diadaptasi
melalui penasehat-penasehat Inggris yang berdomisili di negeri-negeri tersebut,
sebagai penasehat Sultan dalam semua hal, kecuali berkaitan dengan Agama
Islam dan adat istiadat orang-orang Melayu. Setelah itu, Undang-Undang Sipil
Inggris sedikit demi sedikit tersebar ke negeri-negeri Melayu lainnya melalui
badan kehakiman.
Pertama kalinya Undang-Undang Sipil Inggris dijadikan rujukan apabila
Undang-Undang setempat tidak mempunyai ketentuan atau didapati ketentuan
yang ada sudah tidak sesuai lagi untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang
timbul seperti dalam soal perdagangan atau perniagaan.42 Jadi bisa dikatakan
40 Mardiana Abdul Rohim, DKK, Sejarah Pelaksanaan Undang-Undang Islam, h. 34. 41 Tun Muhamad Saleh Abbas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,
cet. II, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2003), h. 13. 42 Ahmad bin Mohamad Ibrahim dan Ahilemah Binti Joned, Sistem Undang-Undang di
Malaysia, h. 77.
bahwa Undang-Undang Sipil Inggris tersebut berjalan secara tidak resmi melalui
penasehat-penasehat atau hakim-hakim Inggris.
Pada tahun 1937, Undang-Undang Sipil (sekuler) Inggris telah
diperkenalkan di negeri-negeri Melayu bersatu melalui pembentukan Undang-
Undang Sipil negeri-negeri Melayu Bersatu. Dengan hal tersebut kemudian
Undang-Undang Sipil Inggris secara resmi berlaku di sebagian negeri-negeri
tanah Melayu. Kemudian pemakaian Undang-Undang Sipil Inggris tersebut
diperluas lagi ke negeri-negeri Melayu tidak bersatu pada tahun 1951. Pada
tanggal 7 April 1956, Undang-Undang Inggris secara keseluruhan telah berlaku di
seluruh negeri-negeri tanah Melayu. Kondisi ini tercipta berkat lahirnya Ordinan
Undang-Undang Sipil pada tahun 1956, khususnya sebagaimana diatur dalam
pasal 3 (1) dan pasal 5 (1) Ordinan tersebut.
Pasal 3 (1) Ordinan tersebut menyatakan :
“sejak tanggal pemberlakuan Ordinan ini, maka pihak mahkamah hendaklah menggunakan Common Law Inggris dan hal-hal yang terkait sebagaimana pelaksanaannya di Inggris. Karena itu segala ketentuan-ketentuan yang telah dibuat atau setiap perundang-undangan tertulis yang tengah berlaku di negeri-negeri Melayu Bersatu atau lainnya akan digantikan dengan Undang-Undang Common Law Inggris. Hal ini dapat terlaksana dengan syarat bahwa Common Law serta ketentuan-ketentuan lain yang mengiringinya digunakan bila diperlukan”.
Pemakaian Undang-Undang tersebut berdasarkan pada asas keperluan
masyarakat.43 Dengan pelaksanaan Undang-Undang Inggris tersebut, menjadi
jelaslah bahwa segala hal yang berkaitan dengan hukum sipil (meliputi Pidana,
43 Hamid Jusroh, Kedudukan Undang-undang Islam Dalam Pelembagaan Malaysia,
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), h. 21-22.
Perdata, Kontrak, Dagang dan sebagainya) diatur di bawah prinsip Undang-
Undang Inggris.
Selanjutnya, Undang-Undang Sipil Inggris telah diperluas lagi
penggunaannya sampai ke negeri Sabah dan Serawak. Di daerah Serawak, pada
masa awal penjajahan, raja masih menggunakan adat dan Undang-undang yang
dikeluarkan oleh raja sendiri. Perubahan Undang-undang yang ada dilakukan
secara tidak resmi. Baru pada tahun 1928, Undang-Undang Sipil Inggris
dimasukan secara resmi dengan terbentuknya Ordinan Undang-Undang Serawak
1928 (Law of Sarawak Ordinan 1928). Ordinan ini berisi ketentuan-ketentuan
tentang pemakaian Common Law Inggris pada Undang-Undang Serawak.44
Penggunaan Undang-Undang Sipil Inggris semakin meluas pasca
terjadinya perang dunia ke dua. Pada tahun 1949 diterbitkanlah ordinan
pemakaian Undang-undang, dengan membatalkan Ordinan Undang-Undang
Serawak 1928, kemudian pada tahun 1972 dilakukan upaya revisi untuk
mengakomodir Ordinan Undang-Undang Sipil 1956, namun pemakainnnya tetap
disandarkan pada Undang-Undang tahun 1949.
Sejarah masuk dan penggunaan Undang-Undang Inggris di Sabah, hampir
sama dengan proses yang terjadi di Serawak. Pada tahun 1882 Sabah diatur oleh
Syarikat Borneo Utara dan Undang-Undang yang digunakan adalah perpaduan
antara Undang-Undang India, negeri-negeri Selatan, jajahan Inggris serta
Undang-Undang Adat Pribumi. Secara keseluruhan Undang-undang di Sabah
44 Ahmad bin Mohamad Ibrahim dan Ahilemah binti Joned , Sistem Undang-undang,
h. 85.
adalah duplikasi perundangan Inggris dan mahkamah-mahkamah yang
didirikannya pun juga mengikuti sistem yang ada di Inggris.
Kemudian Undang-Undang Inggris terus mendapat tempat di Sabah
dengan diterbitkannya Ordinan Pemakaian Undang-Undang Sabah pada 1
Desember 1951. Pada 1 April 1972 sama seperti Serawak, Sabah juga menerima
Ordinan Undang-Undang Sipil 1956 yang telah diperkenalkan secara luas di
Malaysia Barat.45
B. Kedudukan dan Kekuasaan Undang-Undang Sipil di Tanah Melayu pada
Masa Penjajahan Inggris.
Undang-Undang Sipil yang dimaksudkan disini adalah Undang-Undang
sekuler Inggris meliputi Undang-Undang Pidana, Kontrak, Dagang dan lainnya.
Pada masa-masa awal, perundangan yang berlaku di negeri-negeri Melayu adalah
Undang-Undang Syari’ah atau Undang-Undang Islam bersama dengan Undang-
Undang Adat. Sebelum kedatangan penjajah, Undang-Undang Syari’ah dan Adat
mendapat tempat tertinggi dalam sistem perundangan bagi penyelesaian setiap
masalah yang muncul, namun peran dan kedudukan Undang-Undang Syari’ah
dan Undang-Undang Adat mulai berubah dengan bercokolnya penjajah Inggris
yang kemudian memasukkan perundangannya, dengan menggeser Undang-
Undang Syari’ah dan Adat. Undang-Undang Sipil Inggris semakin mendapat
tempat dan kedudukan tinggi dalam sistem perundangan di Tanah Melayu,
45 Ibid., h. 89
dengan semakin kokohnya kolonialisme Inggris di Tanah Melayu. Dengan kata
lain, kedudukan Undang-Undang Sipil mendapat tempat teratas sejak ia
diperkenalkan dan menggantikan Undang-Undang Syari’ah dan Adat. Kini
Undang-Undang Syari’ah dan Adat berada pada kedudukan yang lebih rendah
dibanding Undang-Undang Sipil. Hal ini terlihat jelas dalam kasus Indo Remaria
Her Toqh (1951) 17 MLJ 164. Dalam hal ini pihak yang terlibat adalah orang-
orang Islam, namun Undang-Undang Syari’ah tidak dijadikan rujukan oleh pihak-
pihak yang terlibat dan justru menyandarkan masalahnya pada Undang-Undang
Sipil.46
Berdasarkan kedudukan yang tinggi dibanding Undang-Undang Syari’ah,
maka kekuasaan yang dimilikinya pun lebih luas. Termasuk dalam hal tindak
pidana, baik yang melibatkan orang-orang Islam maupun non-muslim. Kekuasaan
Undang-Undang Sipil di Mahkamah Sipil semasa penjajah Inggris meluas dalam
berbagai perkara kecuali dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan agama
Islam dan adat orang Melayu. Namun tidak sedikit pula perkara-perkara yang
berkaitan dengan orang Islam berada di bawah kekuasaan Undang-Undang Sipil
di Mahkamah Sipil, seperti wasiat, perceraian, penjagaan anak dan lainnya.
Secara keseluruhan kekuasaan Undang-Undang Sipil pada masa penjajahan
sangat luas meliputi Undang-Undang Syari’ah yang ada di Malaysia.
Menurut ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Sipil Inggris,
Mahkamah Tinggi Sipil pada masa penjajahan Inggris boleh membicarakan atau
46 Hamid Jusoh, Kedudukan Undang-undang Islam, h. 25.
mendengar peninjauan yang ingin dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam hal
yang telah diputuskan di Mahkamah Syari’ah. Bahkan keputusan yang telah
diputuskan hakim Mahkamah Syari’ah dapat diubah sekiranya diperlukan
berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Sipil Inggris.47
Pada masa itu Undang-Undang Sipil Inggris juga dijadikan rujukan utama
sekiranya ketentuan terhadap satu masalah tidak terdapat dalam Undang-undang
yang ada atau Undang-undang yang ada dianggap sudah tidak sesuai untuk
menyelesaikan setiap masalah yang muncul.48 Undang-Undang Inggris juga akan
dijadikan rujukan utama jika ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-
Undang Syari’ah bertentangan dengan ketentuan yang ada di dalam Common Law
Inggris. Pada masa itu pula Undang-Undang Sipil merupakan pengesah Undang-
Undang Syari’ah.49
C. Kedudukan, Wewenang dan Pelaksanaan Undang-Undang Sipil di Malaysia
Kedudukan dan wewenang Undang-Undang Sipil yang berlaku sampai
saat ini di Malaysia secara keseluruhan tidak jauh berbeda dengan kedudukan dan
wewenang Undang-Undang Sipil pada masa penjajahan Inggris. Letak
perbedaannya hanya pada segi pengundangannya, jika dulu pada masa penjajahan
47 Ibid., h.23-24. 48 Ahmad bin Mohd. Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang, h. 77.
49 MB. Hoker, penterjemah Rohani Abdul Rohim, Undang-undang Islam di Asia
Tenggara, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), h. 151.
pengundangan suatu produk hukum dilakukan oleh penjajah Inggris, dimasa
sekarang pengundangan dilakukan oleh kerajaan Malaysia.50
Oleh karena itu Undang-Undang Sipil menempati kedudukan yang cukup
tinggi dalam sistem perundangan di Malaysia saat ini. Kondisi ini dipengaruhi
oleh luasnya kekuasaan Undang-Undang Sipil dibandingkan dengan Undang-
Undang Syari’ah, dimana ia juga diberi kekuasaan untuk mengurusi perkara-
perkara yang berkaitan dengan orang Islam. Walau bagaimanapun kekuasaan dan
wewenang Undang-Undang Sipil telah mengalami sedikit perubahan. Jika dulu
Undang-Undang ini membolehkan Mahkamah Sipil untuk mendengar perkara
banding atas keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Syari’ah, ketentuan tersebut
kini telah dihapuskan. Pengahapusan ini tercantum dalam Akta Perlembagaan
(Pindaan) 1988 (Akta A 704) Perkara 121 Perlembagaan Persekutuan dengan
ditambah 1A.51
Penggunaan Undang-Undang Sipil yang merupakan metamorfosis
Undang-Undang Sipil Inggris hingga detik ini masih berlangsung di seluruh
negeri di tanah melayu, meski kini Malaysia telah lepas dari belenggu
kolonialisme penjajah Inggris.
Di dalam sistem perundang-undangan Malaysia saat ini, pelaksanaan
Undang-Undang Sipil sangat dititik beratkan untuk menegakkan keadilan untuk
50 Hamid Jusroh, Penterjemah Raja Rahawani, Kedudukan Undang-Undang Islam, h. 43. 51 Mahmud Saedon, Kadhi Pelantikan Pelucutan dan Bidang Kuasanya, h. 255.
semua lapisan masyarakat.52 Ia juga bertujuan untuk memberikan balasan,
hukuman pencegahan, pemulihan serta penyadaran bagi orang-orang yang akan
maupun yang telah melakukan kesalahan. Di samping itu Undang-Undang ini
juga bertujuan menjamin terwujudnya atau terciptanya rasa aman bagi
masyarakat.53 Oleh karenan itu masyarakat lebih mempercayai Undang-Undang
Sipil tersebut. Kondisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari faktor pengutamaan
Undang-Undang Sipil dibanding dengan Undang-Undang Syari’ah. Kedaan ini
ditambah lagi dengan minimnya sosialisasi Undang-Undang Syari’ah.54
Secara umum bahwa kewenangan Undang-Undang Sipil mencakup
semua perkara perdata dan pidana termasuk apa yang menjadi kewenangan
Undang-Undang Syari’ah selama perkara tersebut dikenakan hukuman dengan
denda di atas 5000 Ringgit dan atau penjara kurungan lebih dari tiga tahun.
Dalam implementasinya kewenangan Undang-Undang Sipil dilaksanakan oleh
Mahkamah Sipil. Mahkamah Sipil merupakan lembaga peradilan yang menangani
dan memutuskan semua perkara perdata dan pidana yang kewenangannya
mencakup orang Islam dan non Islam.
Kekuasaan Mahkamah Sipil dibagi kepada tiga bagian. Pertama
kekuasaan yang melibatkan Mahkamah Rendah yang berkedudukan di kabupaten
dan kedua melibatkan Mahkamah Tinggi Sipil yang berkedudukan di ibu kota
52 Jurnal Tamadun, Edisi Juli, 1995, h. 14. 53 Salleh Buang, Dimensi Baru Masyarakat Malaysia; Makalah Undang-Undang, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), h. 92.
54 Jurnal Tamaddun, h. 14.
Negara bagian dan ketiga Mahkamah Rayuan dan Mahkamah Agung terletak di
wilayah persekutuan Kuala Lumpur (ibu kota Malaysia).
Kekuasaan di Mahkamah Rendah sendiri dibagi dalam dua klasifikasi
yakni:
1) Mahkamah Majistret
Mahkamah Majistret dibagi lagi menjadi dua bagian yakni Mahkamah
Majistret kelas pertama dan kelas kedua. Kekuasaan Undang-Undang Sipil di
Mahkamah Majistret kelas pertama meliputi perkara yang boleh dijatuhi
hukuman denda saja atau kalau pun akan dijatuhi hukuman penjara, maka
hukumannya tidak boleh melebihi 10 tahun. Ia juga menangani perkara-
perkara yang diatur oleh Undang-Undang Pidana pasal 392 dan 457 tentang
tindak pidana serta tindak pidana di bawah umum 18 tahun, yang dikenal
sebagai perkara Juvana. Dalam perkara tuntutan pun, tuntutan yang boleh
dibuat tidak melebihi dari 25.000 Ringit Malaysia. Sedang kekuasaan dalam
Mahkamah Majistret kelas kedua adalah menangani perkara yang
hukumannya tidak lebih dari enam bulan penjara dan denda yang tidak lebih
dari 1.000 Ringgit Malaysia dalam perkara tuntutan pun tuntutannya tidak
boleh melebihi 3.000 Ringgit Malaysia.55
2) Mahkamah Seksyen
Mahkamah Seksyen berbeda dengan mahkamah-mahkamah lainnya
dalam lingkup Mahkamah Rendah. Dengan demikian ia memiliki kekuasaan
55 Tun Muhamad Saleh Abbas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan, h. 130.
yang lebih luas dibanding dengan lainnya. Dalam hal pidana, mahkamah ini
berwenang untuk menangani segala hal tentang pidana kecuali perkara yang
bisa dijatuhi hukuman mati. Dalam hal penuntutan, ia memiliki wewenang
untuk mendengarkann tuntutan yang tidak lebih dari 100.000 Ringgit
Malaysia. Namun demikian mahkamah ini tidak memiliki wewenang dalam
hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan harta benda, perceraian dan
kepailitan.56
Adapun perkara-perkara yang menjadi wewenang Mahkamah Tinggi
merupakan perkara-perkara yang telah diputus pada Mahkamah Rendah yang
diajukan banding kepadanya. Termasuk dalam wewenangnya juga adalah
pengawasan atau peninjauan keputusan-keputusan yang ditetapkan di Mahkamah
Rendah. Undang-Undang Sipil juga memberikan pengurangan hukuman bagi
pelaku kejahatan yang telah menyelesaikan kesalahannya.57 Mahkamah Tinggi
juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang
melakukan penghinaan terhadap Mahkamah (contempt of court), seperti
perbuatam menolak perintah Mahkamah atau membuat kejahatan terhadap
Mahkamah.58
Mahkamah Rayuan Mahkamah tingkat banding setelah MAhkamah
Tinggi Sipil, wewenangnya menerima dan memutuskan perkara-perkara yang
56 Hamid Jusoh, Kedudukan Undang-Undang Islam, h. 51-53. 57 Salleh Buang, Dimensi Baru Masyarakat Malaysia, h. 114. 58 Tun Muhamad Saleh Abbas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan, h. 129
diajukan kepadanya dari Mahkamah Tinggi. Sedangkan Mahkamah Agung
merupakan mahkamah tertinggi dan dianggap sebagai mahkamah banding yanag
terakhir bagi Undang-Undang Sipil dan juga Undang-Undang Syari’ah.
Ketentuan-ketentuan yang merupakan wewenang Mahkamah Agung merupakan
turunan Ordinan Undang-Undang Sipil 1956. Jadi jelaslah bahwa sistem
perundangan tertinggi di Malaysia terletak di bawah bidang kuasa Undang-
Undang Sipil.59
Secara keseluruhan acuan yang dapat dijadikan pegangan dalam rangka
melihat perbandingan kekuasaan dan wewenang Undang-Undang Sipil pada masa
pra dan pasca kemerdekaan adalah pemberlakuan perkara 121 tentang
perlembagaan persekutuan pada tahun 1988 dengan melakukan penambahan pasal
1A yang berisi pengurangan kekuasaan Undang-Undang Sipil. Jadi sebelum
ketentuan tersebut dibuat, kekuasaan Undang-Undang Sipil pasca kemerdekaan
tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang Sipil sebelum merdeka.
Bagan hierarki Mahkamah Sipil
59 Hamid Jusoh, Penterjemah Raja Rahawani, Kedudukan Undang-Undang Islam, h. 54.
Mahkamah Tinggi
Mahkamah Agung
Mahkamah Rayuan
Mahkamah Rendah
Mahkamah Majistret Mahkamah Seksyen
BAB IV
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH
SYARI’AH DAN MAHKAMAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA
A. Perbandingan Kewenangan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang
Sipil di Malaysia
Sebagaimana disinggung dalam beberapa pembahasan sebelumnya, bahwa
secara umum perundang-undangan di Malaysia dapat diklasifikasikan ke dalam
dua katagori yakni Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil. Secara
umum kedua Undang-Undang tersebut memiliki wewenang dan kekuasaan yang
berbeda, dan tak terkecuali dalam aspek administrasinya.
Walaupun agama Islam adalah agama resmi bagi persekutuan Malaysia,
namun tidak serta merta menjadikan Undang-Undang Syari’ah sebagai Undang-
Undang tertinggi negara tersebut. Keberadaan Undang-Undang Syari’ah di
Malaysia saat ini justru dijadikan sebagai Undang-Undang sekunder. Hal ini
dikarenakan Undang-Undang Syari’ah berlaku atas dasar Akta Undang-Undang
Syari’ah tahun 1965 yang posisinya berada di bawah Akta Undang-Udang Sipil
tahun 1956 sebagai payung berlakunya Undang-Undang Sipil di Tanah
Melayu. 60
60 Mahmud Saedon Awang Othman, Institusi Pentadbiran Undang-Undang dan
Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996), h. 239.
Kondisi ini secara tidak langsung semakin dilanggengkan dengan adanya
ketentuan dalam konstitusi Negara yang menyatakan:
“Bahwa setiap Undang-Undang yang hendak dibuat maupun dirubah tidak boleh bertentangan dengan konstitusi”.61
Sebagaimana Undang-Undang Sipil, Konstitusi Malaysia secara umum
diketahui sangat kuat dipengaruhi oleh Inggris, sehingga setiap produk
perundangan sipil besar kemungkinan sejalan dengan konstitusi, karenannya
keduannya memang bersumber pada perundangan yang sama yakni perundangan
Inggris. Adapun berkaitan dengan Undang-Undang Syari’ah, terbuka peluang
untuk saling berseberangan dengan konstitusi, karena ia berasal dari sumber yang
berbeda yakni dari sumber otentik Agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunah yang
dalam banyak hal memang bersebrangan dengan Undang-Undang Sipil.
Selain itu, Akta Undang-Undang Sipil tahun 1956 yang pertama dibuat
pada tahun 1937 telah memberikan taraf dan kedudukan yang istimewa kepada
Undang-Undang Sipil dalam sistem perundangan di Malaysia. Dalam saat yang
sama, Undang-Undang Syari’ah telah diperkecil, dipersempit bahkan ada upaya
peminggiran peran pentingnya bagi masyarakat Melayu. Keadaan inilah yang
menyebabkan taraf dan kedudukan Undang-Undang Syari’ah berada di bawah
Undang-Undang Sipil.
Kondisi ini juga dilatar belakangi oleh kekuasaan yang dimiliki masing-
masing Undang-Undang. Undang-Undang Sipil yang dijalankan di Mahkamah
61 Tan Sri Amiritus Ahmad Ibrahim dan Mahmud Saedon, Kearah Islamisasi Undang-undang di Malaysia, (Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia, 1998), h. 35.
Sipil berkuasa untuk membicarakan kesalahan yang melibatkan semua pihak, baik
yang terlibat adalah muslim maupun non muslim. Adapun Undang-Undang
Syari’ah hanya berkuasa mengatur masalah-maslah orang muslim saja. Hal ini
diperkuat oleh Kumpulan Undang-Undang Islam yang menyebut:
“Keputusan atau hukuman seorang kadhi besar atau kadhi tidak boleh sekalipun mengenai hak milik orang-orang kafir”62
Dalam membicarakan masalah perkawinan dan perceraian misalnya,
Undang-Undang Sipil mendapat tempat yang lebih tinggi dibanding Undang-
Undang Syari’ah. Kenyataan ini dapat dilihat dalam pasal 51 Akta
Memperbaharui Undang-Undang (perkawinan dan perceraian) tahun 1976
menyatakan: jika pihak non muslim dalam suatu perkawinan telah masuk Islam,
maka pihak yang tidak memeluk Islam boleh mengajukan gugatan setelah 3 bulan
sejak orang tersebut masuk Islam. Ketentuan untuk mengajukan permohonan
perceraian hanya boleh dimohonkan di Mahkamah Tinggi Sipil.63 Jadi di dalam
hal ini Undang-Undang Syari’ah tidak mempunyai kekuasaan, meskipun salah
satu pihak yang berperkara adalah orang Islam.
Perbedaan yang kian terlihat tersebut makin nyata ketika konstitusi
Negara mengatur bahwa Undang-Undang Sipil diletakkan dibawah persekutuan
dan berlaku untuk semua masyarakat di semua daerah persekutuan Malaysia,
sedang ketentuan pemberlakuan Undang-Undang Syari’ah hanya di masing-
62 Ibid., h. 40. 63 Mahmud Saedon Othman, Institusi Pentadbiran, Kadi Pelantikan, Perlucutan dan
Bidang Kuasanya, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), h. 281.
masing Negara bagian. Oleh karena itulah Undang-Undang Sipil mendapat
tempat yang istimewa dalam sistem perundangan dan pemerintahan di Malaysia.64
Sebagaimana dilihat tentang perbandingan taraf dan kedudukan yang
terdapat antara Undang-Undang Sipil dengan Undang-Undang Syari’ah, maka
sudah tentu juga terdapat perbedaan dalam bidang kuasanya, sebagaimana di
amanatkan oleh lembaga persekutuan dan perlembagaan Undang-Undang
tersebut.
Kekuasaan Undang-Undang Syari’ah dikawal secara ketat oleh parlimen
melalui Akta Mahkamah (Bidang kuasa Pidana) 1965. Melalui Akta tersebut telah
ditetapkan bahwa Mahkamah Syari’ah tidak mempunyai kekuasaan untuk
membicarakan permasalahan pidana yang hukumannya adalah lebih berat dari
pada penjara enam bulan atau denda melebihi 1.000 Ringgit Malaysia atau kedua-
duannya. Perubahan Undang-Undang 1984 memperluas hukuman penjara
sehingga tiga tahun atau dikenakan denda sampai dengan 5.000 Ringgit Malaysia
atau cambukan rotan sebanyak enam kali atau kedua-duanya.65
Namun kekuasaan yang diberikan kepada Undang-Undang Sipil di bawah
Akta Undang-Undang Sipil 1956 adalah lebih luas. Hukuman yang paling tinggi
yang boleh dikenakan bagi kesalahan pidana adalah jauh lebih tinggi yaitu
penjara seumur hidup, enam kali cambukan rotan dan hukuman mati bagi tindak
64 Mahmud Saedon Awang Othman, Institusi Pentadbiran Undang-Undang dan
Kehakiman Islam, h. 119. 65 Mohamed Azam Mohamed Adil, Bidang Kuasa dan Kedudukan Mahkamah Syari’ah
di Malaysia Pasca Alaf 20: Ke Arah Mana?, dalam Jurnal Syari’ah jilid 8, edisi Juli, 2000, h. 109.
pidana yang lebih berat. Adapun kekuasaan yang demikian tidak diberikan
kepada Undang-Undang Syari’ah di bawah Mahkamah Syari’ah.66
Selain itu, kekuasaan yang diberikan kepada Undang-Undang Syari’ah di
bawah Mahkamah Syari’ah hanya boleh membicarakan dan menghukum orang-
orang Islam saja. Undang-Undang Syari’ah tidak mempunyai wewenang untuk
membicarakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang bukan
Islam. Misalnya, jika perempuan muslim ditemukan sedang berduan di tempat
sepi bersama lelaki bukan muslim, maka hanya pihak yang beragama Islam saja
yang didakwa di Mahkamah Syari’ah di bawah Undang-Undang Syari’ah.67
Kenyataan ini diperkuat lagi dengan Pasal 52 Kumpulan Perundangan Islam 1989
(Selangor) menyatakan; “Tidak ada suatu keputusan Mahkamah Rendah
Syari’ah, Mahkamah Tinggi Syari’ah dan Mahkamah Rayuan Syari’ah boleh
melibatkan hak dan harta seseorang yang bukan muslim”.
Ketika Mahkamah Sipil mempunyai kekuasaan untuk menangani dan
menghukum orang-orang Islam dan bukan Islam, maka Mahkamah Sipil juga
diberikan kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman yang jauh lebih tinggi dari
pada hukuman yang ada di Mahkamah Syari’ah. Segala tindak pidana atau sipil
yang melibatkan muslim atau non muslim selain sebagaimana yang diatur dalam
Mahkamah Syari’ah adalah diproses pada Mahkamah Sipil berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Sipil.
66 Hamid Jusoh, Alih Bahasa oleh Raja Rahawani, Kedudukan Undang-Undang Islam Dalam Perlembagaan di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), h. 51-53.
67 Tan Sri Amiritus Ahmad Ibrahim dan Mahmud Awang Othman, Kearah Islamisasi
Undang-Undang, h. 40.
Berkaitan dengan perbandingan antara kekuasaan Undang-Undang
Syari’ah dan Sipil, secara umum dalam Kumpulan Perlembagaan Undang-
Undang Syari’ah Islam telah mengatur enam hal pidana:
1) Kesalahan suami istri
2) Kesalahan terkait dengan hubungan seksual
3) Kesalahan yang terkait dengan minuman keras
4) Kesalahan yang berhubungan dengan aspek keimanan
5) Kesalahan yang berkaitan dengan pengambilan anak angkat
6) Berbagai kesalahan lain yang berkaitan dengan agama.
Adapun yang berkaitan dengan kekuasaan, dalam Undang-Undang Sipil
juga dibagi menjadi lima, yaitu:
1) Pertunangan, nikah, pembatalan nikah atau cerai
2) Pemberian harta benda atau tuntutan terhadap harta yang muncul dari
pernikahan atau perceraian
3) Nafkah bagi anak dan istri
4) Pemberian harta bersama, wakaf dan nazar
5) Perkara lain yang diberikan kekuasaan oleh Undang-Undang tertulis.
Hal-hal yang telah dijabarkan di atas adalah berada dalam kekuasaan
Undang-Undang Syari’ah. Tetapi bagi kesalahan-kesalahan yang tidak
disebutkan sebagaimana di atas, seperti tindak pidana mencuri, merampok,
membunuh adalah berada dalam kekuasaan Undang-Undang Sipil dan
dibicarakan dalam Mahkamah Sipil. Disini juga dapat dilihat tentang
perbandingan wewenang yang diberikan diantara dua mahkamah di atas, dimana
kekuasaan Undang-Undang Syari’ah terlihat sangat terbatas.
Selain itu, kekuasaan Undang-Undang Syari’ah di Mahkamah Syari’ah
hanya mempunyai kekuasaan menangani seseorang yang melakukan suatu
kesalahan dalam sebuah daerah saja. Namun jika si pelaku berada di daerah lain,
maka pihak mahkamah tidak mempunyai kekuasaan untuk membicarakan dan
menanganinya. Berbeda dengan Undang-Undang Sipil di Mahkamah Sipil, ia
mempunyai kekuasaan untuk menangani kesalahan seseorang meskipun tindak
kesalahan tersebut dilakukan di daerah lain. Ini dikarenakan Akta Undang-
Undang Sipil diberlakukan secara merata di seluruh wilayah Malaysia, sedang
pembuatan Undang-Undang Syari’ah berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya.
Disamping itu, Undang-Undang Sipil mempunyai ketentuan untuk
menjalankan kekuasaannya dalam urusan keluarga, meskipun semua pihak yang
terlibat beragama Islam. Kekuasaan tersebut adalah:
1) Keputusan mengenai adopsi anak boleh dibuat mengikuti hukum agama
Islam seperti yang diatur dalam akta atau pengundangan Undang-Undang
keluarga Islam atau mengikuti Undang-Undang Inggris di bawah Pasal 112
Akta keterangan.
2) Kontrak pertunangan, sekiranya ingin menuntut ganti rugi atas pembatalan
kontrak pertunangan.
3) Penentuan hak asuh anak, masih diperbahas dalam Akta Anak-anak 1961.
4) Menentukan harta bersama, masih ada yang dibicarakan selain di Mahkamah
Syari’ah bagi orang-orang Islam.68
B. Perbandingan Implementasi Kewenangan Mahkamah Syari’ah dan
Mahkamah Sipil berdasarkan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-
Undang Sipil
Secara umum dapat dikatakan bahwa implementasi kewenangan
Mahkamah Syari’ah telah dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Syari’ah
dan sesuai dengan apa yang menjadi kewenangannya. Demikian juga implentasi
kewenangan Mahkamah Sipil sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang-
undang Sipil dan yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi dalam kasuas-kasus
tertentu masih terdapat adanya ketimpangan atau ketidaksesuaian dalam
implementasi kewenangan Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil. Kasus-
kasus tersebut antara lain:
1. Wasiat
Wasiat merupakan salah satu perkara yang kewenangannya diberikan
kepada Undang-undang Syari’ah, sehingga seharusnya hal-hal yang berkaitan
dengan wasiat bagi orang Islam harus diselesaikan menurut hukum Islam
68 Ibid., h. 282
yaitu di Mahkamah Syari’ah. Akan tetapi dalam implementasinya bahwa
proses pengurusan wasiat masih dilaksanakan di Mahkamah Sipil, Mahkamah
Syari’ah hanya mengesahkan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Sipil
tersebut. Kesannya, orang Islam terpaksa merujuk kepada dua Mahkamah
dalam urusan wasiat, pertama ke Mahkamah Syari’ah untuk menentukan
keabsahannya dan kedua ke Mahkamah Sipil untuk urusan administrasinya.
Hal ini menyulitkan umat Islam karena dapat menghabiskan waktu dan biaya
yang banyak. Hal ini terjadi karena di negara-negara bagian belum terbentuk
Undang-Undang syari’ah yang khusus mengatur tentang wasiat kecuali di
negeri Slangor.69 Belum terbentuknya Undang-undang Syari’ah tentang
wasiat ini mengakibatkan masih berlakunya hukum peninggalan Inggris
(Undang-Undang Sipil).
Menurut hukum Islam seorang boleh mewasiatkan hartanya hanya
sepertiga kepada bukan ahli waris. Wasiat kepada ahli waris dianggap tidak
sah kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Kesahihan wasiat kepada
isteri yaitu waris si mayit bergantung kepada persetujuan para ahli waris yang
lain, jika tidak ada persetujuan wasiat tersebut tidak sah meneurut hukum
Islam. Namun berdasarkan Undang-undang Britis (Mahkamah Sipil) hakim
memutuskan bahwa pemberian wasiat oleh suami kepada isterinya tanpa
disertai dengan persetujuan ahli waris yang lain adalah sah dan isteri berhak
69 Mahamad Arifin, et al., Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), cet. I, jil. XII, h. 185
menerima semua harta warisan. Undang-undang yang dipakai di Malaysia
adalah Undang-undang Britis berdasarkan Piagam Keadilan Kedua (second
Charter of Justice) 1826 yang lebih tinggi dari undang-undang negara bagian.
2. Murtad
Walaupun hak kebebasan beragama dijamin, ia tida dijelaskan secara
rinci oleh Perlembagaan Persekutuan. Ia hanya mengatakan bahwa meskipun
Islam disahkan sebagai agama resmi persekutuan, agama-agama lain
dibenarkan mengamalkan ajarannya dengan aman. Seperti yang telah
diketahui dalam perlembagaan sama halnya dengan aspek-aspek kebebasan
asasi lainnya tidak memberi kebebasan mutlak dalam kebebasan beragama. Ia
dibatasi oleh beberapa hal seperti berkaitan dengan ketertiban umum,
kesehatan masyarakat umum dan akhlak (moral). Dalam pada itu agama-
agama lain tidak dibenarkan menyebarkan ajaran mereka kepada orang-orang
Islam yang secara langsung menunjukkan kelebihan yang diberikan kepada
Islam berbanding dengan agama-agama lain. Penganut-penganut agama lain
juga dibenarkan mengelola institusi-institusi agama mereka. Berkaitan dengan
hal ini, Mahkamah Sipil memutuskan bahwa hak kebebasan beragama
meliputi hak untuk memilih agama, tetapi tidak menganggap perbuatan
murtad sebagai bagian dari hak itu.70
70 Abdul Aziz Bari, Islam dalam Perlembagaan Malaysia, (Selangor: Intel Multimedia
and Publication, 2005), cet. I, h. 117-118
Dalam hal ini pernah terjadi statu kasus di Mahkamah Syari’ah
Kelantan, yaitu kasus yang dialami oleh Daud bin Mamat. Ia keluar dari Islam
sehingga difonis sebagai orang yang murtad berdasarkan Undang-Undang
Syari’ah Kelantan di bawah syeksen 102 Enakmen 1994 yang dibuat oleh
Dewan Undangan Negeri Kelantan yakni yang menyatakan bahwa seorang
yang beragama Islam tidak boleh mengakui dirinya bukan Islam. Berbeda
dengan perkara 11 (1) Undang-undang Perlembagaan Persekutuan tentang
Hak Kebebasan Beragama. Argumen tersebut ditolak oleh Mahkamah Tinggi
dan Mahkamah Rayuan (Banding). Yang menetapkan bahwa syeksen tersebut
“bukan menghalang seorang Islam untuk keluar daripada agama Islam”.71
Terdapat dua putusan mahkamah yang berbeda, menurut keputusan
Mahkamah Syari’ah Kelantan bahwa seorang yang keluar dari agama Islam
difonis sebagai seorang yang murtad dan dapat dikenakan sanksi pidana
sedangkan berdasarkan keputusan Mahkamah Sipil hal itu tidak termasuk
suatu perbuatan pidana karena pindah agama merupakan hak kebebasan
agama seseorang.
C. Analisa Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan
Sebagaimana disinggung di muka bahwa salah satu yang menjadi titik
perbedaan antara Undang-Undang Syari’ah dan Sipil adalah pada wewenang
71 Mahamad Arifin, et al., Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia, h. 47
keduanya. Jika Undang-Undang Syari’ah hanya berwenang pada masalah-
msalah yang berkaitan dengan hukum keluarga baik yang menyangkut
pertunangan, perkawinan, perceraian, maskawin, nafkah, adopsi anak, kedudukan
dan penjagaan anak serta masalah wasiat. Sedangkan wewenang Undang-Undang
Sipil mencakup keseluruhan masalah-masalah sipil kecuali yang berkaitan dengan
agama Islam dan adat.
Kendati kedua Undang-Undang tersebut berbeda dalam kewenangannya
namun terdapat beberapa poin yang menjadi titik persamaan mereka, yakni bahwa
dalam Undang-Undang Syari’ah dan Sipil sama-sama memuat ketentuan tentang
masalah pidana dan masalah harta, meskipun dengan ruang gerak yang berbeda.
Ruang gerak masalah Pidana dalam Undang-Undang Syari’ah terbatas pada
masalah-masalah sebagaimana disebutkan di bawah ini:
1. menghina keputusan mahkamah.72
2. Sedang Kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan akhlak, seperti
berkelakuan tidak sopan dan lelaki berlagak seperti perempuan di tempat-
tempat umum.
3. Masalah seks, seperti zina, berkhalwat, hamil atau melahirkan anak diluar
nikah.
4. kesalahan yang berhubungan dengan amalan agama, seperti mengeluarkan
atau berhubungan kata-kata yang bertentangan dengan hukum syara,
72 Ibid., h. 140
melakukan maksiat, menjual-beli maupun meminum minuman keras dan tidak
berpuasa di bulan ramadhan.
5. Kesalahan yang berhubungan dengan kesejahteraan orang lain. Seperti
menghasut, melacurkan anak, melarikan atau mempengaruhi perempuan
supaya lari dari penjagaan orang tuanya, menjual atau menyerahkan anak-
anak kepada seorang yang bukan Islam, menjadi mucikari.
Kesalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan Undang-Undang Islam,
seperti membantah, mengingkari hakim-hakim agama, serta mengingkari,
membantah dan dalam masalah harta ketentuannya terbatas pada: pemberian dan
pembagian harta dan amanah yang bukan untuk kebaikan, wakaf Islam, yayasan
khairat, zakat mal dan fitrah, baitul mal dan hasil dari pungutan badan agama
Islam.73
Perbedaan lainnya adalah tidak ada ketentuan yang mengikat secara ketat
kepada setiap muslim untuk menundukkan diri di bawah kekuasaan Undang-
Undang Syari’ah, sehingga tidak sedikit umat muslim di Malaysia yang dalam
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan umat muslim lainnya justru
menggunakan Undang-Undang Sipil bukan Undang-Undang Syari’ah.
Penulis ingin menyentuh kedudukan dan wewenang Undang-Undang
Syari’ah dan Undang-undang Sipil, jelas penulis dapat melihat suatu
penbandingan dengan amat jelas dimana kedudukan yang diberikan oleh Undang-
73 Noor Aziah Mohd Awal, Pengenalan Kepada Sistem Perundangan di Malaysia,
(Kuala Lumpur: International law book, 2007), h. 191.
Undang Persekutuan kepada Undang-Undang Sipil jauh lebih tinggi daripada
kedudukan yang diberikan kepada Undang-Undang Syari’ah yang hanya berada
di bawah wewenang kerajaan Negara bagian, wewenangnya hanya tindak
pidananya sebesar tidak melebihi 5000 ringgit malaysia atau perintah kurungan
tidak melebihi tiga tahun, namun begitu adakalanya Undang-Undang syari’ah ini
bercanggah dengan Undang-Undang Sipil seperti kasus murtad dimana
Mahkamah Syari’ah menyatakan perkara murtad adalah salah dan boleh ditindak
pidana, manakala Mahkamah Sipil pula menyatakan tidak salah karena diberi hak
kebebasan beragama.
Perkara 11 (1) menyatakan bahwa “bukan menghalang seseorang Islam
untuk keluar dari Agama Islam”. Begitu juga Undang-Undang waris seorang
Isteri tidak berhak menerima kesemua harta pusaka suaminya menurut Undang-
Undang Syari’ah, namun berpandukan Undang-Undang sipil hakim memutuskan
wasiat tersebut adalah sah dan Istrinya berhak mendapat kesemua harta milik
suaminya.
Masih adanya ketimpangan atau ketidak sesuaian implementasi
kewenangan antara Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil, hal ini menurut
penulis karena di samping masih terbatasnya Undang-Undang Syari’ah di setiap
negara bagian juga karena kewenangan Mahkamah syari’ah lebih rendah dari
pada kewenangan Mahkamah Sipil. Oleh karena itu menurut pandangan penulis
seharusnya Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil mempunyai kewenangan
yang sama sehingga tidak akan terjadi ketimpangan atau ketidak sesuaian
tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan analisis perbandingan terhadap Undang-
Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia, pada bab penutup ini
penulis membuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Lahirnya Undang-Undang Syari’ah yang memuat tentang peraturan-peraturan
yang bersifat Islami, merupakan wujud konkrit pengewejantahan Islam dalam
berbangsa dan bernegara, selain juga upaya mengamalkan amanat konstitusi.
Undang-Undang Syari’ah di Malaysia hanya berlaku di Mahkamah Syari’ah
di masing-masing negara bagian. Posisi demikian mempersempit ruang gerak
Undang-Undang Syari’ah itu sendiri karena hanya bergerak dalam wilayah
yang terbatas dan tertentu saja.
2. Malaysia mengenal dua sistem peradilan, yakni Mahkamah Syari’ah dan
Mahkamah Sipil. Secara umum hierarkis dan prosedural yang ada di
Mahkamah Syari’ah tidak jauh berbeda dengan hirarkis dan prosedural yang
ada di Mahkamah Sipil, yang membedakan mereka adalah wewenang yang
mereka miliki. Mahkamah Syari’ah berwenang mengadili orang-orang
muslim saja dan berkenaan dengan hukum keluarga, sedangkan Mahkamah
Sipil berwenang mengadili semua persoalan hukum kecuali persoalan yang
sedang atau sudah diputus oleh Mahkamah Syari’ah. Pengadilan di
Mahkamah Sipil tidak terbatas hanya untuk orang-orang non muslim saja
tetapi juga diperuntukan kepada orang-orang muslim yang memilih
menyelesaikan permasalahan mereka atas dasar Undang-Undang Sipil bukan
atas Undang-Undang Syari’ah.
3. Dalam implementasinya terlihat adanya suatu ketimpangan bahwa tidak ada
ketentuan yang tegas yang mewajibkan penduduk Muslim untuk
menyelesaikan perkara di Mahkamah Syari’ah sehingga ini menyebabkan
masih adanya penduduk muslim yang berperkara di Mahkamah Sipil. Selain
itu ada ketidakseimbangan antara Mahkamah Syari’ah yang berlaku secara
terbatas di setiap Provinsi dengan Mahkamah Sipil yang berlaku secara umum
di seluruh Provinsi dan hal ini terkadang mengakibatkan adanya putusan
Mahkamah Syari’ah yang masih dapt ditinjau ulang oleh Mahkamah Sipil.
4. Terlihat dengan jelas bahwa kedudukan Mahkamah Syari’ah lebih rendah
keduduknnya dari Mahkamah Sipil, dengan kata lain Mahkamah Syari’ah
tidak memiliki wewenang yang setaraf dengan Mahkamah Sipil. Adanya
kedudukan yang lebih tinggi bagi Mahkamah Sipil ini antara lain masih
kuatnya dipengaruhi oleh sistem hukum kolonialis, sistem politik yang kurang
mendukung dan kurangnya kesadaran beberapa kalangan terhadap hukum
Islam.
B. Saran-saran.
1. Kelemahan mendasar dari kurang populernya Undang-Undang Syari’ah di
kalangan masyarakat muslim Malaysia adalah karena pelaksanaan Undang-
Undang tersebut tersebar pada masing-masing negara bagian. Hal ini
menyebabkan lahirnya produk hukum yang berbeda, karena perbedaan
karakteristik dan kekhasan suatu daerah. Namun suatu masalah yang sama
dapat diputus secara berbeda. Oleh karena itu harus ada upaya
memperkuatkan semua produk perundangan syari’ah yang ada di masing-
masing negara bagian untuk disatukan dalam satu kompilasi kitab hukum
syari’ah Malaysia, yang dapat dijadikan rujukan utama dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam di sana. Untuk
mempermudah jalan tersebut, maka upaya amandemen konstitusi yang
mengatur bahwa hukum Islam dijalankan oleh Mahkamah Syari’ah di masing-
masing negara bagian menjadi agenda mendesak untuk dikerjakan.
2. Minimnya sosialisasi sebuah produk perundangan syari’ah, juga turut
meyumbang andil besar seorang muslim tidak menundukan diri dalam
Undang-Undang Syari’ah ketika mengahadapi sesuatu masalah. Oleh karena
itu sosialisasi yang pasif terhadap sebuah perundangan syari’ah menjadi
sesuatu yang tidak bisa ditawar-menawar, disamping juga memberikan
penjelasan komperhensif kepada masyarakat bahwa Undang-Undang Syari’ah
adalah Undang-Undang terbaik bagi masyarakat Malaysia. Karena Undang-
Undang Syari’ah adalah Undang-Undang yang dapat menyelami karakter dan
budaya masyarakat Malaysia selain juga bersumber pada Al-Qur’an dan
Hadis sebuah sumber utama dalam hukum Islam.
3. Penting adanya pengaturan yang tegas mengenai persamaan wewenang antra
Mahkamah Syari’ah dengan Mahkamah Sipil, misalnya diwajibkan bagi
penduduk yang beragama Islam untuk menyeleaikan perkara yang berkaitan
dengan hukum Islam di Mahkamah Syari’ah bukan di Mahkamah Sipil. Dan
harus ada tindakan tegas dari pemerintah kepada Mahkamah Sipil untuk tidak
mencampuri setiap keputusan Mahkamah Syari’ah, agar tercipta kemandirian
lembaga Mahkamah.
4. Salah satu upaya yang tidak kalah penting adalah upaya mengembalikan
posisi penting ulama dalam menjalankan fungsi agama di tengah masyarakat,
setelah sekian lama posisi penting tersebut diambil alih oleh para sultan dan
mengembalikan fungsi sultan hanya sebagai simbolisasi kekuasaan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Tun Muhamad Saleh, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,
cet. II, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2003 ---------, Traditional Element of Malaysian Constitution, dalam Mohamed Suffian,
HP Lee dan Trindade (ed.), The Constitution of Malaysian, Its Development 1957-1977, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978
Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994,
Cet. 1 An-Naim, Abdulahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Cet. IV, Yogyakarta, LKIS, 2004
Awal, Noor Aziah Mohd, Pengenalan Kepada Sistem Perundangan di Malaysia,
Kuala Lumpur: International law book, 2007 Buang, Salleh, Dimensi Baru Masyarakat Malaysia; Makalah Undang-Undang,
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997 Hoker, MB., Undang-undang Islam di Asia Tenggara, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1992 Ibrahim, Ahmad, Perkembangan Kodifikasi Hukum Islam di Malaysia, dalam
Sudirman Teba (ed), Perkembangan Terakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Bandung: Mizan, 1993
Ibrahim, Ahmad bin dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia,
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985 Ibrahim, Tan Sri Amiritus Ahmad dan Mahmud Saedon, Kearah Islamisasi Undang-
undang di Malaysia, Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia, 1998
Jusoh, Hamid, Alih Bahasa oleh Raja Rahawani, Kedudukan Undang-Undang Islam
Dalam Perlembagaan di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992
-----------, Pemakaian Undang-Undang Islam Kini dan Masa Depannya di Malaysia, dalam Ahmad Ibrahim, Al-Ahkam; Undang-Undang Malaysia Kini, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2000, jil ke 3 Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, Kuala Lumpur:
Berlian, 1996 Majid, Mahmood Zuhdi Abdul, Pengantar Undang-Undang Islam di Malaysia, Cet
ke 2, Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2004 Mas’ud, Mochtar dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, cet. III,
Yogyakarta: UGM Pres, 1995 Moeleong, Lexy J., Metodologi Pnelitian Kualitatif, cet. XXI, Bandung: Rosda
Karya, 2005 Othman, Mahmud Saedon, Kadi Pelantikan, Pelucutan dan Bidang Kuasanya, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996 ----------, Institusi Pentadbiran Undang-Undang dan Kehakiman Islam, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996 ----------, Institusi Pentadbiran, Kadi Pelantikan, Perlucutan dan Bidang Kuasanya,
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991 Sakdan, Mohd Foad, Pengetahuan Asas Politik Malaysia, Kuala Lumpur:Dewan
Bahasa dan Pustaka, Cet. II, 1999 Saleh, Hasan Haji, Sejarah Perundang-undangan Islam, Selangor: Pustaka Aman
Pres, 1979 Sevilla, Consuelo G. (dkk), Pengantar Metodelogi Penelitian, Jakarta: UI Pres,
1993), cet. I Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Cet. IX, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, cet. VI, Jakarta: Rajawali Pres,
2003 Susanto, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari’at Dalam
Wacana dan Agenda, Jakarta, Gema Insani Pres, 2003, Cet. 1 Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, cet. XIV, Jakarta: Rajawali Pres, 2003 Jurnal dan Majalah Adil, Mohamed Azam Mohamed, Bidang Kuasa dan Kedudukan Mahkamah
Syari’ah di Malaysia Pasca Alaf 20: Ke Arah Mana?, dalam Jurnal Syari’ah jilid 8, edisi Juli, 2000
Azam, Mohamad, Quo Vadis Kekuasaan dan Kedudukan Mahkamah Syari’ah di
Malaysia Abad ke 20, Jurnal Syari’ah edisi Juli 2000 jilid ke 8
Bahrom, Hasan, Perlembagaan; Isu Pelaksanaan Undang-undang Islam, Jurnal Syari’ah jilid ke 7, edisi Januari 1999
Rahim, Mardiana Abdul dkk, Sejarah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Pulau
Pinang, Dalam Jurnal Syari’ah jilid 7 edisi Januari 1999 Jurnal Tamadun, Edisi Juli, 1995, h. 14. Majalah Muslimah, BII 92 PP4 894/12/93, Juni-Juli, 1994.