Upload
dimas-ario-bimo
View
497
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
STATUS HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
YANG DIAJUKAN OLEH DEBITOR DI LUAR PERKARA KEPAILITAN
TERHADAP PERNYATAAN PAILIT DEBITOR DITINJAU DARI HUKUM
POSITIF INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang
Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Dimas Ario Bimo
110110090231
Program Kekhususan : Hukum Ekonomi
Pembimbing :
Dr. H. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., CN.
Pupung Faisal, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2014
iv
Status Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Yang Diajukan Oleh Debitor Di Luar Perkara Kepailitan Terhadap
Pernyataan Pailit Debitor Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia
Abstrak Dimas Ario Bimo 110110090231
Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum. Namun demikian, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui forum arbitrase. Salah satunya ialah sengketa tentang pailit. Pasal 300 UUK-PKPU menyatakan bahwa badan yang berwenang menyelesaikan permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga. Kemudian Pasal 303 UUK-PKPU menegaskan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang di antara para pihak memuat klausula arbitrase. Ketentuan tersebut membuka kemungkinan terjadinya kepailitan debitor yang terikat dalam perjanjian arbitrase maupun debitor yang sedang berperkara sebagai pemohon di lembaga arbitrase. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor terhadap perjanjian arbitrase antara debitor dan kreditor serta kewenangan debitor yang telah dinyatakan pailit dalam meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase.
Penulisan skripsi ini dikaji berdasarkan metode pendekatan yuridis normatif dengan metode deskriptif analitis, yaitu memfokuskan pemecahan masalah berdasarkan data yang diperoleh yang kemudian dianalisa berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan terkait hukum kepailitan dan hukum arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia, literatur serta bahan lain yang berhubungan dengan penelitian dan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara dan selanjutnya data dianalisis secara yuridis kualitatif.
Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil: Pertama, konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor terhadap perjanjian arbitrase antara debitor dan kreditor ialah putusan pernyataan pailit debitor tidak membatalkan perjanjian arbitrase tersebut. Perjanjian arbitrase tetap berlaku secara sah dan mengikat debitor pailit dengan kreditornya. Namun demikian, pelaksanaan perjanjian arbitrase tersebut dalam proses kepailitan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam UUK-PKPU yang bersifat memaksa. Kedua, kewenangan debitor yang telah dinyatakan pailit dalam meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase pada prinsipnya dialihkan kepada kurator. Hal tersebut dikarenakan debitor pailit demi hukum kehilangan kewenangannya untuk mengurus dan menguasai harta pailit sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Kewenangan tersebut beralih demi hukum kepada kurator berdasarkan UUK-PKPU.
v
The Legal Status Of Arbitration Proceedings Initiated By A Debtor Notwithstanding The Commencement Of Bankruptcy Of The Debtor
Based On Indonesian Law
Abstract Dimas Ario Bimo 110110090231
Arbitration means a method of settling civil disputes outside the
general courts, however disputes that cannot be settled amicably under the regulations and the force of law may not be resolved by arbitration, among others is a petition for declaration of bankruptcy. Based on Article 300 paragraph (1) UUK-PKPU, the Commercial Court has an absolute competency to examine and adjudicate the petition for declaration of bankruptcy or PKPU. Furthermore, Article 303 UUK-PKPU stipulate that the Commercial Court shall remain be competent to examine and adjudicate the petition for declaration of bankruptcy from contracting parties containing arbitration clause provided that the debt being basis of application for bankruptcy has fulfilled the requirements as refered to in Article 2 paragraph 1 UUK-PKPU. The provision opens the possibility of bankruptcy of a debtor who has bound in the arbitration agreement or the debtor who has been acting as an applicant in the on-going arbitration proceeding. Issues raised in this paper are legal consequences of the bankruptcy declaration decision towards the pre-bankruptcy arbitration agreement between the debtor and his creditor and the authority of the bankrupt debtor in forwarding his case as the applicant in the on-going arbitration proceeding. The method used for this research based on normative juridical approaching through descriptive analysis method which focus on problem solving pursuant to data and regulations regarding bankcrupcy law and arbitration law in Indonesia, literatures and other materials related to the research and field research to obtain primary data by interview. The collected data are then analyzed with qualitative juridical method. The results obtained from these research is: First, the bankruptcy declaration decision will not invalidate the application of the pre-bankruptcy arbitration agreement. However, the execution of the arbitration agremeent under the bankruptcy proceeding is limited by the coercive provisions on the UUK-PKPU. Second, the authority of the bankrupt debtor in forwarding his case as the applicant in the on-going arbitration proceeding will be taken over by the curator since the bankrupt debtor shall by law forteit his right to control and manage his assests included in his bankruptcy as of the date of pronouncement of the bankruptcy declaration decision.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ....................................................................................... i
PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................................. ii
PERSETUJUAN PANITIA SIDANG UJIAN ........................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR............................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................
B. Identifikasi Masalah ..........................................................
C. Tujuan Penelitian ..............................................................
D. Kegunaan Penelitian .........................................................
E. Kerangka Pemikiran .........................................................
F. Metode Penelitian .............................................................
1
11
12
12
13
23
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPAILITAN DAN ARBITRASE
SEBAGAI BENTUK UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA
PERDATA
A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdata ...................
1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Perdata ...............
2. Tinjauan Umum Tentang Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Perdata ........................................................
B. Kepailitan Sebagai Salah Satu Upaya Penyelesaian
Utang Piutang Melalui Jalur Hukum .................................
1. Kewenangan Mutlak Pengadilan Niaga Untuk
28
28
29
34
x
Memeriksa dan Mengadili Perkara Kepailitan..............
2. Sita Umum Harta Kekayaan Debitor Melalui
Kepailitan .....................................................................
3. Putusan Pernyataan Pailit Debitor dan Upaya Hukum
Yang Dapat Diajukan ..................................................
4. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap
Debitor Pailit dan Harta Kekayaannya ........................
5. Fase-Fase Dalam Kepailitan .......................................
C. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian
Sengketa Perdata di Luar Pengadilan ..............................
1. Eksistensi Peradilan Arbitrase di Indonesia ................
2. Perjanjian Arbitrase Sebagai Dasar Pemilihan Forum
Arbitrase ......................................................................
3. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap
Kompetensi Pengadilan Negeri ...................................
4. Pihak-Pihak yang Bersengketa dalam Forum
Arbitrase ......................................................................
5. Putusan Arbitrase Bersifat Final dan Mengikat ...........
34
36
40
43
46
48
48
51
57
60
62
BAB III PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITOR YANG
SEDANG DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA
MELALUI LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA
A. Penyelesaian Sengketa Yang Sedang Berjalan Paska
Putusan Pernyataan Pailit ................................................
B. Contoh Kasus Putusan Pernyataan Pailit Terhadap
Debitor Yang Sedang Dalam Proses Penyelesaian
Sengketa Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia ....
65
72
BAB IV STATUS HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
ARBITRASE YANG DIAJUKAN OLEH DEBITOR DI LUAR
PERKARA KEPAILITAN TERHADAP PERNYATAAN PAILIT
DEBITOR
xi
A. Konsekuensi Putusan Pernyataan Pailit Debitor
Terhadap Perjanjian Arbitrase Antara Debitor dan
Kreditor .............................................................................
B. Kewenangan Debitor Yang Telah Dinyatakan Pailit
Dalam Meneruskan Perkaranya Selaku Pemohon di
Lembaga Arbitrase ...........................................................
80
108
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ...........................................................................
B. Saran ................................................................................
128
129
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 130
LAMPIRAN ............................................................................................. 135
CURRICULLUM VITAE ......................................................................... 137
128
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor terhadap
perjanjian arbitrase antara debitor dan kreditor ialah putusan
pernyataan pailit debitor tidak membatalkan perjanjian arbitrase
tersebut. Perjanjian arbitrase tetap berlaku secara sah dan
mengikat debitor pailit dengan kreditornya. Namun demikian,
pelaksanaan perjanjian arbitrase tersebut dalam proses
kepailitan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam UUK-PKPU
yang bersifat memaksa.
2. Kewenangan debitor yang telah dinyatakan pailit dalam
meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase
pada prinsipnya dialihkan kepada kurator. Dengan demikian,
apabila dalam proses kepailitan terdapat suatu tuntutan hukum
yang diajukan oleh debitor pailit dan yang sedang berjalan di
forum arbitrase, oleh karena debitor pailit tidak lagi berwenang
untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya, kurator
akan mengambil alih kedudukan debitor pailit sebagai pemohon
dalam perkara tersebut. Namun demikian, apabila kurator
menolak untuk mengambil alih kedudukan debitor pailit dan
129
termohon dalam perkara tersebut tidak memohonkan agar
perkara digugurkan, perkara tersebut dapat diteruskan antara
debitor pailit dengan termohon di luar tanggungan harta pailit.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan simpulan yang ada, maka penulis
memiliki beberapa saran sebagai berikut:
1. Diperlukan adanya ketegasan dari pembentuk undang-undang
untuk memberikan pengaturan yang jelas dan lengkap mengenai
akibat kepailitan terhadap lembaga arbitrase apabila di kemudian
hari diadakan perubahan atau revisi terhadap UUK-PKPU agar
UUK-PKPU menjadi instrumen hukum yang dapat menjamin
kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
proses kepailitan maupun proses arbitrase.
2. Diperlukan adanya ketegasan dari arbiter atau majelis arbitrase
untuk memperhatikan, menghormati, dan menerapkan ketentuan-
ketentuan dalam UUK-PKPU manakala salah satu pihak yang
sedang bersengketa di forum arbitrase dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik dalam proses
arbitrase maupun kepailitan.
80
BAB IV
Status Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Yang
Diajukan Oleh Debitor Di Luar Perkara Kepailitan Terhadap
Pernyataan Pailit Debitor
A. Konsekuensi Putusan Pernyataan Pailit Debitor Terhadap
Perjanjian Arbitrase Antara Debitor dan Kreditor
Dalam suatu perjanjian umumnya terdapat debitor atau orang
yang berutang dan kredtior atau orang yang berpiutang. Manakala
debitor berhenti membayar utangnya, baik karena tidak mampu
membayar atau tidak mau membayar, hal ini menimbulkan kerugian
bagi kreditor. Salah satu alternatif tindakan hukum secara litigasi yang
dapat ditempuh oleh kreditor dalam menyelesaikan masalah utang
piutang yaitu dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitor.
Pada prinsipnya, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-
PKPU debitor hanya dapat dinyatakan pailit melalui putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya apabila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut: 140
a. Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditor;
b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang; dan
c. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
140
Isis Ikhwansyah et. all, Loc.Cit.
81
Menurut ketentuan Pasal 300 ayat (1) UUK-PKPU pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU di atas
adalah Pengadilan Niaga. Secara khusus Pengadilan Niaga diberi
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan pernyataan
pailit oleh UUK-PKPU. Kewenangan Pengadilan Niaga tersebut adalah
mutlak. Artinya, tidak ada badan atau lembaga lain yang berwenang
untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan selain Pengadilan
Niaga.
Sehubungan dengan eksistensi lembaga arbitrase, kewenangan
mutlak Pengadilan Niaga tersebut ditegaskan dalam Pasal 303 UUK-
PKPU yang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang
memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para
pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase,
sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) UUK-PKPU.141
Ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU di atas sejalan dengan
pendirian Mahkamah Agung RI dalam putusan No. 013 PK/N/1999
tanggal 2 Agustus 1999 berkenaan dengan permohonan Peninjauan
Kembali (selanjutnya disebut PK) perkara kepailitan antara PT Putra
Putri Fortuna Windu dan Kawan sebagai para pemohon PK melawan
141
Ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang di antara para pihak memuat klausula arbitrase. Lihat penjelasan Pasal 303 UUK-PKPU.
82
PT Enviromental Network Indonesia dan Kawan sebagai para
termohon PK, yang menyatakan:142
“....kewenangan absolut arbitrase dalam kedudukannya sebagai extra judicial tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian insolvensi atau pailit oleh Perpu No. 1 tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1998 sebagai Undang-undang khusus (special law).” Di samping memberikan penegasan bahwa forum arbitrase
tidak berwenang memeriksa dan menyelesaikan perkara kepailitan,
ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU sekaligus menjadi landasan bagi
salah satu pihak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap pihak lainnya kepada Pengadilan Niaga, meskipun para
pihak tersebut telah terikat dalam perjanjian yang memuat klausula
arbitrase.143
Permasalahan timbul manakala Pengadilan Niaga mengabulkan
permohonan pernyataan pailit tersebut. Masalah yang timbul ialah
berkaitan dengan konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor
terhadap klausula arbitrase yang terdapat dalam perjanjian yang
menjadi dasar permohonan pernyataan pailit tersebut.
Permasalahan tersebut didasarkan pada alasan bahwa di satu
sisi, klausula arbitrase adalah bentuk kesepakatan para pihak untuk
memilih arbitrase sebagai forum yang berwenang menyelesaikannya
apabila di kemudian hari timbul perselisihan atau sengketa di antara
142
Dengan telah digantikanya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dengan UUK-PKPU, pendirian Mahkamah Agung RI dalam perkara tersebut dapat dikatakan berlaku pula bagi UUK-PKPU. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm 143.
143 Fred B.G Tumbuan, “Dampak Arbitrase....Op.Cit, hlm. 53.
83
para pihak tersebut. Klausula arbitrase sebagai salah satu bentuk
perjanjian arbitrase merupakan dasar hukum lahirnya kewenangan
arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perdata (di
luar peradilan umum) mengenai hak yang tercakup dalam hukum harta
kekayaan.144 Oleh karena itu, pihak-pihak yang membuat perjanjian
arbitrase haruslah orang-orang yang cakap melakukan perbuatan
hukum mengurus dan menguasai harta kekayaannya.
Di sisi lain, kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh
harta kekayaan debitor. Sita umum tersebut mengakibatkan pihak
yang dinyatakan pailit (dalam hal ini debitor) kehilangan hak dan
kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum mengurus dan
menguasai harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak
putusan pernyataan pailit diucapkan.
Dalam pratiknya, kepailitan debitor yang terikat dalam perjanjian
yang memuat klausula arbitrase terjadi dalam perkara kepailitan PT
SMR. Perkara kepailitan PT SMR berawal dari ditandatanganinya
Perjanjian 2007. Perjanjian tersebut merupakan hubungan hukum
yang berisi kesepakatan kerjasama antara PT SMR dan PT PI.
Selain mengatur materi pokok perjanjian, PT SMR dan PT PI
juga sepakat untuk mengatur mekanisme penyelesaian apabila di
kemudian hari terjadi perselisihan di antara para pihak yang timbul dari
pelaksanaan Perjanjian 2007 dengan mencantumkan klausula
144
Hukum harta kekayaan memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian, hak milik, gadai, dan sebagainya. Lihat Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, hlm. 28.
84
arbitrase dalam perjanjian tersebut. Klausula arbitrase tersebut tertera
dalam Pasal 17 tentang “Penyelesaian Perselisihan” Perjanjian 2007
yang menyatakan bahwa:145
“Jika terjadi perselisihan pendapat dalam rangka pelaksanaan perjanjian ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah dan mufakat, dan jika hal itu tidak tercapai maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Jakarta.” Memasuki tahun 2008, mulai terjadi ketidakharmonisan dalam
hubungan kerjasama para pihak. Masing-masing mengklaim sebagai
pihak yang benar dan menuduh pihak lain mempunyai utang.
Di satu sisi, PT SMR menilai bahwa PT PI telah melakukan
cidera janji terhadap Perjanjian 2007, sehingga menimbulkan kerugian
bagi PT SMR. Berdasarkan alasan tersebut serta dilandaskan pada
klausula arbitrase sebagaimana tertera dalam Perjanjian 2007, PT
SMR mengajukan tuntutan pembatalan Perjanjian 2007 dan gugatan
cidera janji disertai ganti kerugian kepada PT PI ke BANI pada tanggal
31 Agustus 2012.146
Di sisi lain, PT PI berpendapat bahwa PT SMR-lah yang justru
melakukan wanprestasi terhadap Perjanjian 2007 karena tidak
melakukan kewajibannya untuk membayar biaya tagihan pemakaian
utilitas serta bahan baku produksi melamin yang dipasok oleh PT PI.147
Berdasarkan alasan tersebut, PT PI bersama PT PSP
mengajukan permohonan pernyataan pailit PT SMR ke Pengadilan
145
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 39-40.
146 Idem, hlm. 7.
147 Muhammad Yasin, Loc.Cit.
85
Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 24 Oktober 2013. Dalam
permohonannya PT PI dan PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR
memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Selain itu, PT
PI dan PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR juga memiliki utang
kepada kreditor lain yakni PT Bank Mandiri.
Pada tingkat pertama permohonan tersebut ditolak oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melalui Putusan Perkara Kepailitan
Nomor: 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst., akan tetapi melalui upaya
hukum kasasi yang diajukan oleh PT PI dan PT PSP pada tanggal 28
Desember 2012, permohonan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah
Agung pada tanggal 17 April 2013 melalui Putusan Kasasi No. 45
K/Pdt.Sus/2013.
Dalam amar putusannya, pada bagian mengadili sendiri,
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT
SMR yang diajukan oleh PT PI dan PT PSP dan menyatakan PT SMR
pailit dengan segala akibat hukumnya. Mahkamah Agung juga
memerintahkan Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk
menunjuk seorang Hakim Pengawas yang ada di Pengadilan Niaga
tersebut dan mengangkat Rynaldo P. Batubara sebagai kurator dalam
perkara a quo.148
Sebagai salah satu bentuk upaya penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan umum, arbitrase lahir dari kesepakatan para
pihak yang memilih forum arbitrase. Kesepakatan tersebut dikenal
148
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 29.
86
dengan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dapat berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa (klausula arbitrase), atau suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa (akta kompromis).
Tanpa adanya suatu perjanjian arbitrase, penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tidak dapat dilakukan. Dengan demikian,
perjanjian arbitrase merupakan dasar yang fundamental bagi para
pihak yang menunjukkan kehendaknya untuk menyelesaikan sengketa
mereka melalui forum arbitrase.149
Kesepakatan para pihak untuk mengadakan perjanjian arbitrase
merupakan wujud pelaksanaan dari asas kebebasan berkontrak. Asas
kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada setiap orang
untuk membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum.150
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka para pihak yang
membuat perjanjian arbitrase bebas untuk menentukan apa yang
mereka kehendaki. Namun demikian, perjanjian arbitrase harus tetap
dibuat dengan memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Adapun
syarat-syarat sah perjanjian arbitrase sebagai berikut:
a) Syarat Subjektif
149
Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 66. 150
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, cet. VI, 1979, hlm. 13.
87
Perjanjian arbitrase harus didasarkan pada kesepakatan
para pihak atau mutual consent. Selain itu, perjanjian
arbitrase harus dibuat oleh mereka yang cakap bertindak
dan demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk
melakukan hal yang demikian.151
b) Syarat Objektif
Syarat objektif dari perjanjian arbitrase adalah objek
perjanjian arbitrase atau dalam hal ini sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase yaitu hanyalah sengketa di
bidang perdagangan152 dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa, sedangkan
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundangan-
undangan tidak dapat diadakan perdamaian.153
Di samping syarat subjektif dan objektif di atas, maka perjanjian
arbitrase harus dibuat secara tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 1 dan Pasal 4 UU Arbitrase & APS. Perjanjian arbitrase yang
berbentuk lisan dianggap tidak sah dan tidak mengikat, sebab
151
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Loc.Cit. 152
Tidak ada penjelasan dari ketentuan tersebut, namun jika dilihat pada penjelasan Pasal 66 huruf b UU Arbitrase & APS, maka yang dimaksud dengan ruang lingkup dalam hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.
153 Sengketa tersebut umumnya meliputi hukum keluarga, terutama yang
berkenan dengan status sipil dan kemampuan seseorang, tentang pailit, penyelesaian susunan pengurus dan perubahan permodalan dalam anggaran dasar perseroan. Lihat M. Yahya Harahap, “Beberapa Catatan...Loc.Cit.
88
perjanjian arbitrase secara lisan dianggap “tidak pernah ada” atau
never existed.154
Syarat sah perjanjian harus diterapkan dalam membuat suatu
perjanjian arbitrase, sebab tanpa memenuhi syarat sah tersebut maka
perjanjian arbitrase dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat
subjektif atau dapat batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat
objektif.
Di samping syarat-syarat di atas, dikarenakan perjanjian
arbitrase merupakan perjanjian buntutan atau asesor,155 maka
perjanjian arbitrase wajib mengikuti prinsip-prinsip hukum kontrak
asesor yang berlaku, yaitu isinya tidak boleh melampaui perjanjian
pokoknya, tidak boleh bertentangan dengan perjanjian pokoknya, dan
tidak ada tanpa adanya perjanjian pokok.
Selanjutnya berdasarkan asas kekuatan mengikat atau pacta
sunt sevanda sebagaimana tertera dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, perjanjian arbitrase yang dibuat secara sah mengikat para
pihak sebagai undang-undang. Artinya, perjanjian arbitrase berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sepanjang
perjanjian arbitrase tersebut memenuhi syarat sahnya perjanjian
seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
154
M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari....Op.Cit, hlm. 60. 155
Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakan pada perjanjian pokok, oleh karena itu perjanjian arbitrase disebut dengan perjanjian buntutan atau “asesor”. Keberadaannya, hanya sebagai tambahan kepada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Lihat Idem, hlm. 62.
89
Sebagai konsekuensi asas kekuatan mengikat, maka hakim
maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat
oleh para pihak tersebut. Perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan
secara sepihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH
Perdata yang merupakan konsekuensi logis dari adanya asas
kekuatan mengikat, yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Ketentuan
tersebut juga ditegaskan oleh Pasal 620 ayat (2) Rv yang menyatakan
bahwa kekuasaan para arbiter tidak boleh ditarik kembali kecuali atas
kesepakatan bulat para pihak.
Ketentuan mengenai perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan
secara sepihak juga diatur dalam yurisprudensi, salah satunya dalam
putusan Mahkamah Agung No. 3179/K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1984
yang menyatakan bahwa melepaskan perjanjian arbitrase harus
dilakukan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata
dan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3179/K/Pdt/1984 tanggal 4
Mei 1984 di atas, ketentuan Pasal 10 UU Arbitrase & APS menyatakan
bahwa perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan adanya
kondisi sebagai berikut:
a. Meninggalnya salah satu pihak;
b. Bangkrutnya salah satu pihak;
90
c. Novasi;
d. Insolvensi salah satu pihak;
e. Pewarisan;
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan
pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang
melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Berkenaan dengan ketentuan Pasal 10 UU Arbitrase & APS di atas,
disebutkan pada huruf d bahwa insolvensi salah satu pihak tidak
mengakibatkan perjanjian arbitrase menjadi batal. Pada penjelasan pasal
tersebut, insolvensi diartikan sebagai keadaan tidak mampu membayar.
Pengertian tersebut sejalan dengan pengertian insolvensi yang di atur
dalam UUK-PKPU. Penjelasan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU
mengartikan insolvensi sebagai keadaan berhenti membayar.
Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa apabila dalam
rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana
perdamaian tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak
berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi
hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU di atas,
insolvensi terjadi pada saat proses kepailitan yaitu pada saat rapat
pencocokan piutang.156 Dalam proses kepailitan, rapat pencocokan
156
Rapat pencocokan piutang adalah penentuan klasifikasi tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap harta pailit debitor, untuk dirinci berapa besarnya piutang-
91
piutang merupakan proses yang terdapat pada fase sekestrasi yang
merupakan fase pertama dalam proses kepailitan.157 Dengan demikian,
rapat pencocokan piutang terjadi manakala debitor memiliki dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan
Niaga.158
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 huruf d UU Arbitrase & APS
dan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU di atas, dapat diketahui bahwa
putusan pernyataan pailit debitor maupun keadaan insolvensi harta pailit
tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian arbitrase.
Dengan kata lain, ketentuan Pasal 10 huruf d UU Arbitrase & APS
memberikan penegasan bahwa apabila sebelum debitor dinyatakan pailit
terdapat klausula arbitrase atau akta kompromis yang masih berlaku
antara debitor pailit dengan pihak lainnya (dalam hal ini kreditor), maka
putusan pernyataan pailit debitor maupun insolvensi harta pailit tidak
mengakibatkan batalnya perjanjian arbitrase tersebut. Dengan demikian,
debitor pailit masih terikat dalam perjanjian arbitrase tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, kepailitan mengakibatkan
debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak putusan
pernyataan pailit diucapkan. Kewenangan debitor untuk mengurus dan piutang yang dapat dibayarkan kepada kreditor, yang daftar piutang yang diakui maupun diklasifikasikan menjadi piutang yang diakui, piutang yang dibantah, dan piutang yang sementara diakui. Lihat Rudy A Lontoh et.all, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2001, hlm. 389.
157 Pupung Faisal, Op.Cit, hlm. 502.
158 Parwoto Wignjosumarto, “Titik Taut Arbitrase Dan Kepailitan di Indonesia”,
dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004, hlm. 57-58.
92
menguasai harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit beralih
demi hukum kepada kurator berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) jo.
Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU.
Berdasarkan UUK-PKPU, kurator memiliki kewenangan untuk
melakukan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit sejak
putusan pernyataan pailit diucapkan. Salah satu kewenangan kurator
adalah mengentikan suatu perjanjian atau sebaliknya mengikatkan diri
pada suatu perjanjian sepanjang untuk memaksimalkan harta pailit.
Berdasarkan ketentuan Pasal 36 UUK-PKPU, dalam hal pada saat
putusan pernyataan pailit diucapkan terdapat perjanjian timbal balik yang
belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian
dengan debitor pailit dapat meminta kepada kurator untuk memberikan
kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam
jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut.
Manakala dalam jangka waktu tersebut kurator tidak memberikan
jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut
maka perjanjian berakhir dan pihak yang bersangkutan dapat menuntut
ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren.
Ketentuan Pasal 36 UUK-PKPU di atas menunjukan bahwa kurator
bukanlah pihak yang meneruskan atau mewakili debitor pailit, melainkan
pihak yang bertugas untuk kepentingan harta pailit. Kurator tidak bertindak
untuk dirinya sendiri. Fungsi dan tugasnya adalah sepanjang yang
ditentukan dan diatur oleh undang-undang. Sekalipun tindakan kurator
tampak meneruskan usaha atau perbuatan hukum debitor, bukan berarti
93
ia adalah kepanjangan tangan atau menggantikan debitor pailit. Kurator
memperoleh “strong arm power” karena kehendak undang-undang dan
dilimpahkan oleh pengadilan.159
Dengan demikian, segala tindakan kurator akan terbatas pada yang
dibolehkan oleh undang-undang dan/atau diwajibkan memperoleh
persetujuan hakim pengawas, oleh karenanya bukan lagi meneruskan
perjanjian atau kontrak yang dilakukan oleh debitor pailit.
Berkenaan dengan Pasal 36 UUK-PKPU di atas, Pasal 10 huruf h
UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa berakhirnya atau batalnya
perjanjian pokok tidak menyebabkan batalnya perjanjian arbitrase.
Ketentuan Pasal 10 huruf h UU Arbitrase & APS di atas
menunjukan bahwa sekalipun pada prinsipnya perjanjian arbitrase
merupakan sutau perjanjian asesor, tetapi ada beberapa sifatnya yang
unik, yang menyebabkan sifatnya sebagai asesor tersebut tidak diikuti
secara penuh. Misalnya, jika perjanjian pokoknya batal, perjanjian
arbitrase tidak ikut-ikutan batal.
Ketentuan di atas berkaitan dengan adanya prinsip separabilitas
(separability) dalam suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian arbitrase
berdiri independen dan terlepas sama sekali dengan perjanjian pokoknya.
Oleh sebab itu, apabila karena alasan apapun perjanjian pokoknya
dianggap cacat hukum atau tidak sah, perjanjian arbitrase tetap dianggap
sah dan mengikat.
159
Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004, hlm. xxvii.
94
Dengan demikian, berkenaan dengan ketentuan Pasal 36 UUK-
PKPU di atas, dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit debitor
terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi,
yang mana perjanjian tersebut memuat klausula arbitrase, dan kurator
tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 10 huruf h UU Arbitrase & APS, berakhirnya
perjanjian timbal balik sebagai perjanjian pokok tidak menyebabkan
klausula arbitrase yang terdapat dalam perjanjian tersebut menjadi batal,
sehingga klausula arbitrase tetap sah dan mengikat.
Dalam perkara kepailitan PT SMR diketahui bahwa PT SMR dan
PT PI telah mengadakan perjanjian arbitrase berupa klausula arbitrase
yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa. Klausula arbitrase tersebut menunjukan kesepakatan
bersama PT SMR dan PT PI sebagai subjek hukum yang cakap dan
berwenang untuk memilihi Badan Arbitrase Nasional Indonesia sebagai
forum yang berwenang menyelesaikan perselisihan pendapat atau
sengketa yang timbul dalam rangka pelaksanaan Perjanjian 2007 sebagai
perjanjian pokok.
Klausula arbitrase dalam perkara kepailitan PT SMR telah
memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata dan oleh karenanya berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, klausula arbitrase tersebut merupakan perjanjian yang mengikat
dan berlaku sebagai undang-undang bagi PT SMR dan PT PI. Sebagai
95
konsekuensi terhadap hal tersebut, maka hakim maupun pihak ketiga
tidak boleh mencampuri pelaksanaan klausula arbitrase tersebut.
Dalam pelaksanaanya, tidak ada persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh PT SMR dan PT PI yang menyatakan bahwa para
pihak mengakhiri atau menarik kembali kesepakatan yang telah
dituangkan dalam klausula arbitrase tersebut. Oleh karena itu, sekalipun
pada akhirnya PT SMR dinyatakan dalam keadaan pailit, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 10 huruf d UU Arbitrase & APS pailitnya PT
SMR tidak menyebabkan klausula arbitrase dalam Perjanjian 2007
menjadi batal. Dengan demikian, klausula arbitrase yang terdapat dalam
Perjanjian 2007 tetap berlaku secara sah dan mengikat PT SMR (dalam
pailit) dan PT PI.
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan di atas, dapat
diketahui bahwa apabila sebelum putusan pernyataan pailit terdapat
perjanjian arbitrase yang masih berlaku secara sah antara para pihak
yang mengadakannya, maka putusan pernyataan pailit terhadap salah
satu pihak tersebut (dalam hal ini debitor) tidak menyebabkan perjanjian
arbitrase tersebut menjadi batal. Artinya, perjanjian arbitrase tetap sah
dan mengikat debitor pailit dan pihak lawannya (dalam hal ini kreditor),
sehingga perjanjian arbitrase tersebut tetap dapat dilaksanakan dalam
proses kepailitan.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kesepakatan para pihak
untuk mengadakan perjanjian arbitrase merupakan wujud pelaksanaan
dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak memberikan
96
kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian arbitrase, demikian juga kebebasan yang seluas-luasnya
kepada para pihak untuk mengatur dan menentukan isi perjanjian
arbitrase.
Asas kebebasan berkontrak tersebut tersirat dalam Pasal 1338
KUH Perdata. Dengan adanya asas tersebut, kedudukan rangkaian
ketentuan dalam Buku III KUH Perdata hanya bersifat sebagai hukum
yang berisfat mengatur atau hukum pelengkap (aanvullend recht)160 saja.
Artinya, rangkaian ketentuan tersebut boleh dikesampingkan sekiranya
para pihak pembuat perjanjian menghendakinya, bahkan para pihak dapat
160
Ditinjau dari segi daya kerjanya, hukum dapat dibedakan menjadi hukum yang bersifat memaksa dan hukum yang berisfat mengatur. Hukum yang bersifat mengatur atau hukum pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya atau dengan kata lain merupakan hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian. Penggunaan istilah hukum yang bersifat mengatur tidaklah tepat karena semua hukum bersifat mengatur, begitu pula dengan istilah undang-undang yang mengatur juga kurang tepat sebab dalam suatu undang-undang terdapat ketentuan-ketentuan baik yang bersifat memaksa maupun mengatur, oleh karena itu lebih tepat kalau disebut ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 235. Dengan demikian, untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan istilah ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur menggantikan istilah hukum yang bersifat mengatur. Misalnya dalam Pasal 1477 KUH Perdata ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang yang dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain. Pasal tersebut merupakan ketentuan yang bersifat mengatur atau pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual beli suatu barang boleh menyimpanginya dengan mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu penyerahan tersebut. Pasal 1477 KUH Perdata barulah mengikat dan berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian jual beli sesuatu barang, kalau mereka tidak menentukan sendiri secara lain. Lihat Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm. 204. Contoh lain adalah Pasal 84 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) yang menyatakan: “Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain”. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu perseroan melalui anggaran dasarnya dapat menetapkan bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai lebih dari satu suara, akan tetapi apabila dalam anggaran tidak ditentukan lain, ketentuan Pasal 84 UU PT tersebutlah yang menjadi acuan mengenai harga suara setiap saham. Dengan demikian, ketentuan itu merupakan ketentuan yang bersifat mengatur.
97
menyimpang dari ketentuan tersebut sejauh tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan.
Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian arbirase
untuk mengesampingkan atau bahkan menyimpangi ketentuan yang
terdapat dalam Buku III KUH Perdata maupun peraturan perundang-
undangan lainnya, sepanjang peraturan tersebut merupakan ketentuan-
ketentuan yang bersifat mengatur.161
Namun demikian, kebebasan berkontrak bukan berarti boleh
membuat perjanjian arbitrase secara bebas tanpa adanya batasan.
Artinya, perjanjian arbitrase tetap harus dibuat dengan mengindahkan
syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata dan sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
hukum yang bersifat memaksa162, ketertiban umum, dan kesusilaan.163
161
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. ke-XXXIII, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 128.
162 Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak
boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Kata “memaksa” dalam hal ini dimaksudkan bahwa pembuat undang-undang tidak memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk menerapkan aturan itu. Dengan kata lain, aturan itu tidak boleh disimpangi oleh mereka yang melakukan hubungan hukum. Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan hukum mereka. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hlm. 234. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat, artinya tak peduli adakah para pihak yang berkepentingan menghendakinya atau tidak. Lihat L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramitha, Jakarta, 2004, hlm. 183. Sama halnya dengan istilah hukum yang bersifat mengatur, istilah hukum yang bersifat memaksa merupakan istilah yang menyesatkan karena semua hukum dapat dipaksakan. Oleh karena itu, lebih tepat kalau disebut ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa. Dengan demikian, untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan istilah ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa menggantikan istilah hukum yang bersifat memaksa.
163 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta,1979, hlm. 10-
11.
98
Ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase dapat
mengesampingkan peraturan perundang-undangan, sepanjang peraturan
tersebut merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur dan
bukan merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa
ditegaskan dalam Pasal 56 UU Arbitrase & APS.
Pasal 56 ayat (1) UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa arbiter
atau majelis arbitrase mengambil keputusan berdasarkan ketentuan
hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Kewenangan arbiter
atau majelis arbitrase untuk mengambil keputusan tersebut lahir dari
kesepakatan para pihak melalui perjanjian arbitrase. Melalui perjanjian
arbitrase para pihak dapat menentukan bahwa arbiter dalam memutus
perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa
keadilan dan kepatutan.
Dalam hal para pihak memberikan kebebasan kepada arbiter untuk
mengambil putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan
perundang-undangan dapat dikesampingkan, akan tetapi ketentuan-
ketentuan yang bersifat memaksa harus diterapkan dan tidak dapat
disimpangi oleh arbiter.
Berdasarkan uraian di atas, jelas kiranya bahwa sekalipun para
pihak dalam perjanjian arbitrase sepakat memberikan kewenangan
kepada arbiter untuk mengambil putusan berdasarkan keadilan dan
kepatutan, dan oleh karenanya peraturan perundang-undangan dapat
dikesampingkan, akan tetapi kesepakatan para pihak dalam perjanjian
arbitrase tersebut tidak dapat mengesampingkan atau menyimpangi
99
ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa, sehingga para pihak harus
tunduk dan menaati ketentuan-ketentuan tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, lembaga kepailitan
merupakan perwujudan dari pelaksanaan ketentuan Pasal 1131 dan Pasal
1132 KUH Perdata. Pada prinsipnya Pasal 1131 KUH Perdata
menyatakan bahwa segala harta kekayaan debitor menjadi jaminan untuk
segala perikatan debitor.
Kemudian Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa harta
kekayaan debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
kreditornya; hasil penjualan harta kekayaan tersebut dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut perbandingan besar kecilnya tagihan
masing-masing kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor itu terdapat
alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor lainnya.
Manakala seorang debitor memiliki lebih dari seorang kreditor,
lebih-lebih jumlah kreditor itu banyak sekali, dan di antara kreditor-kreditor
itu terdapat pula satu atau lebih kreditor yang merupakan kreditor
preferen, maka perlu diatur oleh hukum cara membagi hasil penjualan
aset debitor di antara para kreditor itu. Cara pembagian itulah yang antara
lain diatur dalam Hukum Kepailitan (UUK-PKPU).
Melalui UUK-PKPU, cara pembagian tersebut diatur sedemikian
rupa agar dapat memberikan perlindungan yang seimbang terhadap
kepentingan debitor maupun kreditor. Selain itu, UUK-PKPU juga harus
memberikan perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan orang
banyak atau masyarakat, sebab dalam peristiwa kepailitan banyak
100
kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para kreditornya juga
kepentingan para stakeholders yang lain dari debitor yang dinyatakan
pailit, terlebih lagi apabila debitor tersebut adalah perusahaan.
Dengan demikian, selain mengandung ketentuan-ketentuan yang
menyangkut kepentingan seseorang, UUK-PKPU juga sarat akan
ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan masyarakat atau
kepentingan umum. Pengaturan tersebut diperlukan demi ketertiban
umum dan kepastian.164
Kondisi tersebut menunjukan bahwa pada dasarnya UUK-PKPU
berada di wilayah perbatasan antara hukum privat dan hukum publik,
bahkan dapat dikatakan bahwa UUK-PKPU dalam beberapa aspeknya
sangat bersifat publik, sebab di dalamnya terkandung ketentuan-
ketentuan yang menyangkut kepentingan umum atau ketertiban umum,
sehingga merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa.
Hal di atas sejalan dengan prinsip bahwa dalam ranah Hukum
Perdata, ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang menjadi dasar hukum
kepailitan merupakan ketentuan yang bersifat memaksa.165 Artinya,
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan ketentuan yang tidak
boleh dikesampingkan atau disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para
164
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 6. 165
Dalam Sistem Hukum Perdata Indonesia, Pasal 1131 KUH Perdata merupakan ketentuan yang terdapat dalam sistem hukum benda yang termuat dalam Buku II KUH Perdata. Hukum benda adalah hukum yang mengatur mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan benda. Hubungan hukum tersebut menimbulkan hak atas benda atau hak kebendaan.Jumlah hak-hak kebendaan adalah terbatas yakni terbatas pada yang disebutkan dalam Buku II KUH Perdata. Oleh karena itu, pasal-pasal yang termuat dalam Buku II KUH Perdata merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa. Lihat Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm. 115.
101
pihak. Para pihak yang berkepentingan harus tunduk dan menaati
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut.
Dengan demikian, para pihak yang mengadakan perjanjian
arbitrase tidak dapat mengesampingkan atau menyimpangi ketentuan-
ketentuan dalam UUK-PKPU yang bersifat memaksa. Oleh karena itu,
para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase harus tunduk dan
menaati ketentuan-ketentuan yang dimaksud.
Ketentuan tersebut tercermin dalam yurisprudensi Mahkamah
Agung RI No. 013 PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999 yang menyatakan
bahwa kewenangan absolut arbitrase dalam kedudukannya sebagai extra
judicial yang lahir dari perjanjian arbitrase tidak dapat mengesampingkan
kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang secara khusus diberi
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian pailit oleh
Perpu No. 1 tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang
dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 sebagai undang-undang
khusus (special law).166
Berdasarkan yurisprudensi di atas, jelas kiranya bahwa perjanjian
arbitrase tidak dapat mengesampingkan atau menyimpangi ketentuan-
ketentuan dalam UUK-PKPU yang bersifat memaksa. Sebaliknya, adanya
kondisi bahwa dalam beberapa aspeknya UUK-PKPU sangat bersifat
publik, menyebabkan proses kepailitan akan berakibat pada pembatasan
hak-hak maupun kewenangan dari debitor, kreditor, dan bahkan
kewenangan dari pihak ketiga, termasuk pembatasan pada arbitrase.
166
Dengan telah digantikanya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dengan UUK-PKPU, pendirian Mahkamah Agung RI dalam perkara tersebut dapat dikatakan berlaku pula bagi UUK-PKPU. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm 143.
102
Pada prinsipnya kepailitan berhubungan erat dengan harta
kekayaan seseorang. Kepailitan mengakibatkan harta kekayaan debitor
pailit yang masuk dalam harta pailit berada di bawah sita umum. Artinya,
penyitaan tersebut berlaku untuk siapapun, bukan hanya berlaku bagi
pihak tertentu seperti halnya sita jaminan yang diputuskan oleh hakim
perdata berkenaan dengan permohonan penggugat dalam sengketa
perdata.
Adanya sita umum terhadap harta pailit mengakibatkan debitor
pailit demi hukum kehilangan hak dan kewenangannya untuk mengurus
dan menguasai kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Kewenangan tersebut
beralih demi hukum kepada kurator berdasarkan Pasal 16 ayat (1) jo.
Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU.
Berkenaan dengan status debitor pailit di atas dan karena
selanjutnya harta kekayaan debitor pailit tidak lagi diurus oleh debitor
tetapi oleh kuratornya, maka pada prinsipnya berdasarkan ketentuan
Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU segala tuntutan mengenai hak atau
kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap
kurator. Artinya, semua pengajuan tuntutan tidak diajukan oleh atau
terhadap debitor pailit, akan tetapi oleh atau terhadap kurator.
Meskipun demikian, ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU
menyatakan bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (1)
UUK-PKPU dapat pula diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap
debitor pailit, akan tetapi apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu
103
penghukuman terhadap debitor pailit, penghukuman tersebut tidak
mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) di atas, UUK-
PKPU tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian kata
“tuntutan” yang ada dalam rumusan pasal tersebut. UUK-PKPU tidak
memberikan penjelasan pengertian tuntutan yang dimaksud hanya
tuntutan yang diajukan melalui pengadilan atau juga mencakup tuntutan
yang diajukan melalui arbitrase.
Namun demikian, keberadaan arbitrase sebagai mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diakui dan diatur dalam
UU Arbitrase & APS, menjadi dasar hukum bahwa kata “tuntutan” dalam
Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU dapat diartikan juga sebagai tuntutan yang
diajukan melalui arbitrase. Lagipula, undang-undang kepailitan di
beberapa negara, yang memiliki rumusan yang sama dengan pasal
tersebut, menginterpretasikan kata “tuntutan” mencakup juga tuntutan
yang diajukan melalui arbitrase.167
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa
apabila dalam proses kepailitan terjadi tuntutan yang didasarkan pada
perjanjian yang memuat klausula arbitrase, dan dalam hal tuntutan
tersebut mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit,
berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU, tuntutan tersebut dapat
diajukan oleh atau terhadap kurator melalui forum arbitrase berlandaskan
pada perjanjian arbitrase tersebut. Kemudian berdasarkan ketentuan
167
Husseyn Umar, Op.Cit, hlm. 69.
104
Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU, tuntutan tersebut juga dapat diajukan oleh
atau terhadap debitor pailit.
Proses penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase akan
berujung pada suatu putusan arbitrase. Berdasarkan ketentuan Pasal 60
UU Arbitrase & APS, suatu putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak (final and binding), sehingga pada
prinsipnya tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Putusan arbitrase memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak
yang bersengketa pada tingkat akhir dan merupakan putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Sebagai konsekuensi dari putusan arbitrase
yang final and binding, maka para pihak wajib langsung melaksanakan
putusan tersebut.
Ditinjau dari sifatnya, arbitrase memiliki kewenangan penuh untuk
menjatuhkan putusan yang mengandung amar putusan condemnatoir,
yakni putusan yang isinya bersifat menghukum pihak yang dikalahkan
untuk memenuhi prestasi. Pada umumnya putusan ini berisi hukuman
untuk membayar sejumlah uang.
Namun demikian, pelaksanaan putusan arbitrase tersebut dibatasi
oleh ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU. Pasal tersebut menyatakan
bahwa apabila dalam proses kepailitan terjadi tuntutan yang didasarkan
pada perjanjian yang memuat klausula arbitrase, dan dalam hal tuntutan
tersebut mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit,
tuntutan tersebut dapat diajukan oleh atau terhadap debitor pailit melalui
forum arbitrase berlandaskan pada perjanjian arbitrase tersebut.
105
Kemudian Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU menyatakan lebih lanjut
bahwa apabila putusan arbitrase sebagai hasil proses tuntutan tersebut
mengakibatkan penghukuman terhadap debitor pailit, maka putusan
arbitrase tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.
Selanjutnya ketentuan Pasal 27 UUK-PKPU menyatakan bahwa
selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor
pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
Dengan kata lain, gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 UUK-
PKPU tersebut (yaitu gugatan yang ditujukan kepada debitor pailit bukan
kepada kurator) tidak dapat diterima oleh hakim sebagai gugatan dan
diperiksa perkaranya, tetapi hanya dapat diterima sebagai laporan untuk
pencocokkan tagihannya dalam rangka verifikasi utang piutang dari
debitor pailit yang bersangkutan.168
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, apabila terjadi
tuntutan terhadap debitor pailit yang didasarkan pada perjanjian yang
memuat klausula arbitrase, dan dalam hal tuntutan itu menyangkut
pemenuhan perikatan dari harta pailit, ketika putusan pailit diucapkan
maka tuntutan tersebut diperhitungkan dalam proses verifikasi atau
pencocokan piutang.
Bilamana terjadi bantahan atau perselisihan terhadap tuntutan
tersebut, maka ditinjau dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase
& APS, arbitrase merupakan forum yang berwenang untuk menyelesaikan
168
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 193.
106
perselisihan tersebut. Dengan kata lain, klausula arbitrase yang termuat
dalam perjanjian yang dijadikan dasar tuntutan di atas dapat dijadikan
landasan kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan
tersebut.
Namun demikian, terhadap kondisi tersebut berlakulah asas lex
specialis derogat legi generalis,169 yakni undang-undang yang bersifat
khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. Dalam
hal ini ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase & APS di atas
dikesampingkan oleh ketentuan yang ada di dalam UUK-PKPU. Dalam hal
terjadi bantahan atau keberatan dalam proses verifikasi atau pencocokan
piutang, maka berdasarkan ketentuan UUK-PKPU akan ditempuh suatu
prosedur yang dikenal dengan istilah renvooiprocedure.
Prowoto Wigjnosumarto menyatakan bahwa renvooiprocedure
merupakan tata cara penyelesaian bantahan tagihan, baik yang diajukan
oleh kurator, debitor pailit, maupun kreditor.170 Adapun tujuan dari
renvooiprocedure adalah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang
169
Lex specialis derogat legi generali adalah salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang khusus. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas tersebut, yaitu: 1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali
yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; 2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex
generalis (undang-undang dengan undang-undang); dan 3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim)
yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum
keperataan. Lihat Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Pustaka Pelajar, Jakarta,
2009, hlm. 56. 170
Pupung Faisal, Op.Cit, hlm. 503.
107
timbul dalam rapat verifikasi yang pemeriksaannya dilakukan secara
sederhana.171
Mekanisme renvooiprocedure akan digunakan apabila dalam suatu
perkara kepailitan, terdapat perselisihan khususnya dalam tahap
pencocokan piutang berupa bantahan tagihan antara kutator, debitor pailit,
dan kreditor yang tidak dapat diselesaikan oleh Hakim Pengawas.
Ketentuan Pasal 127 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa
penyelesaian perselisihan atau bantahan tagihan yang terjadi dalam
proses pencocokan piutang yang dilakukan melalui mekanisme
renvooiprocedure menjadi kewenangan dari Pengadilan Niaga melalui
hakim pemeriksa untuk menyelesaikannya.
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa dalam hal terjadi
perselisihan atau bantahan terhadap tuntutan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor
pailit dalam proses verifikasi, maka perselisihan tersebut diselesaikan
melalui mekanisme renvooiprocedure. Mekanisme tersebut merupakan
kewenang dari Pengadilan Niaga melalui hakim pemeriksa untuk
menyelesaikannya dan bukanlah kewenangan majelis arbiter, meskipun
perselisihan tersebut timbul dari tuntutan yang didasarkan pada perjanjian
yang memuat klausula arbitrase.
Berdasarkan keseluruhan uraian penjelasan di atas, dapat
diketahui bahwa menurut hukum positif Indonesia putusan pernyataan
pailit debitor tidak mengakibatkan batalnya perjanjian arbitrase antara
171
Rudy A Lontoh et.al, Op.Cit, hlm. 392.
108
debitor dan kreditor dan oleh karenanya perjanjian arbitrase tersebut tetap
sah dan mengikat. Namun demikian, pelaksanaan perjanjian arbitrase
tersebut dalam proses kepailitan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam
UUK-PKPU yang bersifat memaksa.
Ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat dikesampingkan atau
disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para pihak dalam perjanjian
arbitrase. Sebagai konsekuensinya para pihak tersebut harus tunduk dan
taat terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUK-PKPU yang bersifat
memaksa tersebut.
B. Kewenangan Debitor Yang Telah Dinyatakan Pailit Dalam
Meneruskan Perkaranya Selaku Pemohon di Lembaga Arbitrase
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa
peristiwa kepailitan debitor yang terikat dalam perjanjian arbitrase
merupakan kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan
keberadaan Pasal 303 UUK-PKPU yang pada intinya menyatakan bahwa
Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan
permohonan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat
klausula arbitrase.
Di samping itu, ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU sekaligus
membuka kemungkinan bagi salah satu pihak untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit pihak lainnya ke Pengadilan Niaga
meskipun kedua belah pihak tersebut sedang dalam proses penyelesaian
sengketa di forum arbitrase.
109
Dengan kata lain, pada saat proses penyelesaian sengketa di
forum arbitrase sedang berjalan, ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU
merupakan landasan bagi salah satu pihak yang sedang berperkara di
forum arbitrase tersebut untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
pihak lawannya ke Pengadilan Niaga, sepanjang utang yang menjadi
dasar permohonan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU. Lagipula arbitrase bukan
merupakan badan atau forum yang berwenang untuk memeriksa dan
menyelesaikan permohonan pernyataan pailit 172
Masalah timbul manakala permohonan tersebut dikabulkan oleh
Pengadilan Niaga. Mengingat forum arbitrase terbentuk atas dasar
kesepakatan para pihak, maka sebelum menjadi pemohon maupun
termohon, pihak-pihak yang hendak berperkara di hadapan forum
arbitrase tentu saja harus tergolong cakap untuk melakukan perbuatan
hukum di bidang hukum harta kekayaan, sebab arbitrase pada prinsipnya
merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum
mengenai hak yang tercakup dalam hukum harta kekayaan.
Di sisi lain, kepailitan justru mengakibatkan pihak yang dinyatakan
pailit (dalam hal ini debitor) demi hukum kehilangan hak dan
kewenangannya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang
termasuk dalam harta pailit. Dengan demikian, permasalahan yang timbul
berkaitan dengan peristiwa kepailitan salah satu pihak yang sedang dalam
proses penyelesaian sengketa di forum arbitrase ialah berkaitan dengan
172
Fred B.G Tumbuan, Op.Cit, hlm. 53.
110
kedudukan atau kewenangan pihak yang dinyatakan pailit tersebut untuk
meneruskan perkaranya di forum arbitrase.
Dalam praktiknya, persitiwa tersebut terjadi dalam perkara
kepailitan PT SMR. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, perkara kepailitan tersebut berawal dari adanya hubungan
hukum yang diadakan oleh PT SMR dengan PT PI melalui Perjanjian
2007.
Perjanjian 2007 tersebut berisi kesepakatan kerjasama antara PT
SMR dan PT PI. Selain mengatur materi pokok perjanjian, PT SMR dan
PT PI juga sepakat untuk memillih BANI sebagai forum yang berwenang
menyelesaikannya apabila di kemudian hari timbul perselisihan atau
sengketa di antara para pihak dengan mencantumkan klausula arbitrase
dalam perjanjian tersebut.
Memasuki tahun 2008, mulai terjadi ketidakharmonisan dalam
hubungan kerjasama para pihak. Masing-masing mengklaim sebagai
pihak yang benar, dan menuduh pihak lain mempunyai utang.
Di satu sisi, PT SMR menilai bahwa PT PI telah melakukan cidera
janji terhadap Perjanjian 2007, sehingga menimbulkan kerugian bagi PT
SMR. Berdasarkan alasan tersebut serta dilandaskan pada klausula
arbitrase sebagaimana tertera dalam Perjanjian 2007, PT SMR
mengajukan tuntutan pembatalan Perjanjian 2007 dan gugatan cidera janji
disertai ganti kerugian sebesar Rp. 1,3 Triliun kepada PT PI ke BANI pada
tanggal 31 Agustus 2012.173
173
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 7.
111
Di sisi lain, PT PI berpendapat bahwa PT SMR-lah yang justru
melakukan wanprestasi terhadap Perjanjian 2007 karena tidak
melaksanakan kewajibannya untuk membayar biaya tagihan pemakaian
utilitas serta bahan baku produksi melamin yang dipasok oleh PT PI.174
Berdasarkan alasan tersebut, PT PI bersama PT PSP mengajukan
permohonan pernyataan pailit PT SMR ke Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat pada tanggal 24 Oktober 2013. Dalam permohonannya PT PI dan
PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR memiliki utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih. Selain itu, PT PI dan PT PSP mendalilkan
bahwa PT SMR juga memiliki utang kepada kreditor lain yakni PT Bank
Mandiri, sehingga berdasarkan alasan tersebut PT PI dan PT PSP
mendalilkan bahwa permohonan pernyataan pailit PT SMR telah
memenuhi syarat permohonan pailit sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat
(1) UUK-PKPU.
Pada tingkat pertama permohonan tersebut ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, akan tetapi melalui upaya hukum kasasi yang
diajukan oleh PT PI dan PT PSP pada tanggal 28 Desember 2012,
permohonan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 17
April 2013 melalui Putusan Kasasi No. 45 K/Pdt.Sus/2013.
Dalam amar putusannya, pada bagian mengadili sendiri,
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT SMR
yang diajukan oleh PT PI dan PT PSP dan menyatakan PT SMR pailit
dengan segala akibat hukumnya. Mahkamah Agung juga memerintahkan
174
Muhammad Yasin, Loc.Cit.
112
Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk menunjuk seorang Hakim
Pengawas yang ada di Pengadilan Niaga tersebut dan mengangkat
Rynaldo P. Batubara sebagai kurator dalam perkara a quo.
Pada saat PT SMR dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung,
perkara di BANI antara PT SMR yang berkedudukan sebagai Pemohon
dan PT PI yang berkedudukan sebagai Termohon masih berjalan dan
sedang dalam tahap pemeriksaan sengketa oleh majelis arbiter.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU kepailitan
mengakibatkan debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk
mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit
sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Namun demikian, harus dicermati bahwa dengan diputuskannya
menjadi debitor pailit, bukan berarti debitor kehilangan hak
keperdataannya untuk dapat melakukan semua perbuatan hukum di
bidang keperdataan. Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya
untuk mengurus dan menguasai kekayaannya.
Sementara itu, untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan
lainnya, misalnya untuk mengurus harta kekayaan pihak lain, menjadi
kuasa pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama
pemberi kuasa, debitor masih berwenang (masih memiliki kemampuan
hukum) untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum (keperdataan)
tersebut.
Sebagaimana telah di uraikan di atas, debitor pailit tetap cakap
bertindak. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan sebagaimana
113
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU tuntutan hukum dapat
diajukan atau diteruskan oleh ataupun terhadap debitor pailit. 175
Dalam rumusan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU di atas terdapat kata
“diteruskan” yang berarti memungkinkan adanya perkara yang sedang
berjalan sebelum debitor dinyatakan pailit. Sehubungan dengan hal itu,
putusan pernyataan pailit debitor juga memiliki akibat hukum terhadap
tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor pailit dan yang sedang berjalan
selama kepailitan berlangsung.
Berkenaan dengan tuntutan hukum tersebut, ketentuan Pasal 28
ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa:
“Suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor dan yang sedang berjalan selama kepailitan berlangsung, atas permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada tergugat memanggil kurator untuk mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim”. Berdasarkan penjelasan Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU, yang
dimaksud dengan “mengambil alih perkara” adalah pengalihan kedudukan
kreditor sebagai “tergugat” dialihkan kepada kurator. Menanggapi hal
tersebut, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa penjelasan tersebut
tidak benar. Seharusnya yang dimaksud dengan “mengambil alih perkara”
ialah kedudukan debitor pailit sebagai penggugat agar diambil alih oleh
kurator.176
Dalam hal kurator tidak mengindahkan panggilan untuk mengambil
alih perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU,
ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU menyatakan bahwa:
175
Fred B.G Tumbuan, Op.Cit, hlm. 55. 176
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 218-219.
114
“Dalam hal kurator tidak mengindahkan panggilan tersebut maka tergugat berhak memohon supaya perkara digugurkan, dan jika hal ini tidak dimohonkan maka perkara dapat diteruskan antara debitor pailit dan tergugat, di luar tanggungan harta pailit.” Menurut Pasal 28 ayat (3) UUK-PKPU, ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU tersebut berlaku juga dalam hal
kurator menolak mengambil alih perkara.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 28 ayat (4) UUK-PKPU dinyatakan
bahwa tanpa mendapat panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) UUK-PKPU, kurator berwenang mengambil alih perkara dan
mohon agar debitor dikeluarkan dari perkara yang bersangkutan.
Meskipun UUK-PKPU secara tegas memberikan pengaturan
mengenai akibat kepailitan terhadap tuntutan hukum yang sedang
berjalan selama kepailitan berlangsung, namun UUK-PKPU tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai rumusan pengertian
“tuntutan hukum” yang terdapat dalam Pasal 28 UUK-PKPU.
Dalam ranah Hukum Acara Perdata, tuntutan hukum atau yang
disebut dengan tuntutan hak diartikan sebagai tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah tindakan “main hakim sendiri”. Orang yang mengajukan
tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan
hukum.177
Tuntutan hukum terdiri dari 2 macam, yaitu tuntutan hukum yang
mengandung sengketa, yang disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-
kurangnya dua pihak, dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa
177
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
115
yang disebut permohonan, dimana hanya terdapat satu pihak saja.178
Pada dasarnya badan yang berwenang memeriksa dan mengadili
sengketa adalah pengadilan. Keberadaan pengadilan merupakan aplikasi
dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang
dan otoritas untuk mengadili suatu perkara.
Namun demikian, sebagai norma yang mengatur pokok-pokok
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU KK)
memberikan pengakuan terhadap kemungkinan penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan negara. Pasal 58 UU KK menyatakan bahwa:
“Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa.”
Sehubungan dengan ketentuan di atas, maka terdapat
kemungkinan bahwa tuntutan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28
UUK-PKPU merupakan tuntutan hukum yang diajukan melalui pengadilan
maupun tuntutan hukum yang diajukan melalui forum arbitrase sebagai
salah satu upaya penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan.
Namun demikian, UUK-PKPU tidak memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai kemungkinan penerapan Pasal 28 terhadap tuntutan hukum
yang sedang berjalan di forum arbitrase.
Berkenaan dengan hal itu, Fred B.G Tumbuan selaku tim perumus
UUK-PKPU menyatakan bahwa apabila tuntutan hukum sebagaimana
178
Ibid.
116
dimaksud Pasal 28 UUK-PKPU sedang berlangsung dalam forum
arbitrase, maka ketentuan Pasal 28 UUK-PKPU secara mutatis
mutandis179 juga berlaku terhadap arbitrase.180
Menurut pendapat beliau, penerapan ketentuan Pasal 28 UUK-
PKPU terhadap tuntutan hukum yang sedang berlangsung di arbitrase
merupakan konsekuensi yuridis keberadaan Pasal 3 dan 11 UU Arbitrase
& APS.181
Pasal 3 UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa pengadilan negeri
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
perjanjian arbitrase. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Pasal 11 UU
Arbitrase & APS menyebutkan:
“(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan 11 UU Arbitrase & APS di atas,
apabila tuntutan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUK-
PKPU didasarkan pada suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase,
maka Pengadilan Negeri demi hukum tidak memiliki wewenang untuk
179
Mutatis Mutandis (Lat): with necessary changes in points of detail. l.e., matters will remain generally the sae, with only substitutions of names and the like, such as wolud not distort anyof the substantive meaning. Lihat Peter. J. Dorman, Running Press Dictionary of Law, Running Press, Philadelphia, 1976, hlm. 115. Mutatis Mutandis : dengan perubahan-perubahan yang diperlukan. Lihat I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum : Inggris – Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 406.
180 Fred BG Tumbuan, Loc.Cit.
181 Hasil wawancara dengan Fred B.G Tumbuan, Tim Perumus UUK-PKPU, di
Kantor Hukum Tumbuan & Partner, Jakarta, 14 November 2013.
117
menyelesaikan tuntutan hukum tersebut dan kewenangan demikian
beralih pada forum arbitrase yang dipilih oleh para pihak.
Disamping itu, terminologi pihak-pihak yang disebutkan dalam
rumusan Pasal 28 UUK-PKPU pada prinsipnya sama dengan terminologi
pihak-pihak yang ada dalam forum arbitrase. Dalam rumusan Pasal 28
UUK-PKPU disebutkan terminologi pihak-pihak “penggugat”, “tergugat”,
dan “hakim”.
Pada dasarnya pihak-pihak berperkara dalam proses arbitrase
tidak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara perdata bersifat
sengketa pada umumnya di pengadilan negeri, yaitu sekurang-kurangnya
terdapat dua pihak.182 Para pihak dalam sengketa perdata pada
Pengadilan Negeri disebut penggugat dan tergugat, sedangkan dalam
proses pemeriksaan sengketa pada forum arbitrase penyebutan pihak-
pihak dalam perkara sedikit berbeda.
Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah dibakukan dan
standar, baik dalam literatur maupun dalam berbagai rules.183
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UNCITRAL Arbitration Rules, pihak-pihak
yang berperkara dalam proses arbitrase disebut “claimant” dan
“respondent”.
Claimant dalam arti bahasa adalah “a person making a claim” yakni
seseorang yang membuat tuntutan yang lazim disebut sebagai penggugat
atau “plaintiff”. Dalam pengertian hukum, makna claimant sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 3 UNCITRAL Arbitration Rules adalah pihak yang
182
Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 81. 183
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 132.
118
mengambil inisiatif mengajukan tuntutan kepada seseorang melalui forum
arbitrase.184 “Respondent” ditinjau dari segi bahasa adalah “a person who
respon”, yang berarti orang yang dituntut atau orang yang dijadikan
tertuntut dan lazim disebut sebagai tergugat. Dari segi pengertian hukum,
respondent adalah pihak yang ditarik atau dijadikan sebagai tergugat oleh
pihak yang menggugat dalam suatu proses pemeriksaan badan yang
berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan memutus suatu
persengketaan.185
Berbeda dengan UNCITRAL Abitration Rules, UU Arbitrase & APS
memberikan istilah pemohon dan termohon sebagai penyebutan pihak-
pihak yang berperkara dalam forum arbitrase. Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase & APS, pihak yang mengajukan
permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase disebut sebagai
pemohon, sedangkan menurut Pasal 1 angka 6 UU Arbitrase & APS,
pihak lawan dari pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase
disebut sebagai termohon.
Sesungguhnya penggunaan istilah-istilah pemohon dan termohon
dalam forum arbitrase tidak sejalan dengan sifat penyelesaian perkara
dalam forum arbitrase itu sendiri yang yang tergolong “jurisdictio
contentiosa”. Oleh karena istilah pemohon dan termohon itu lebih tepat
digunakan untuk kasus-kasus yang sifatnya tidak mengandung sengketa
atau termasuk dalam “jurisdictio voluntaria”.186
184
Idem, hlm. 133. 185
Ibid. 186
Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 82.
119
Arbitrase merupakan badan volunter, karena sebagai lembaga
swasta jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan kesepakatan sukarela dari
para pihak. Namun demikian, sekalipun kelahiran atau eksistensi arbitrase
bersifat volunter, sekali forum arbitrase itu lahir, forum tersebut formal dan
legal sebagai badan kuasa yang berwenang mutlak untuk menyelesaikan
dan memutus sengketa.
Oleh karena itu, tidak tepat juga untuk mengidentikkan sifat
keberadaan volunternya dengan sifat persengketaan. Sifat permasalahan
persengketaan tetap saja berbobot contentiosa, tidak berubah menjadi
gugat yang berbobot volunter.
Demikian halnya ditinjau dari segi doktrin dan tata tertib beracara,
menggunakan istilah pemohon dan termohon untuk menyebut para pihak
dalam perkara yang diajukan kepada forum arbitrase tidak sesuai.187
Seolah-olah perkara yang diajukan kepada forum arbitrase bersifat
volunter dan putusan yang dapat dijatuhkan hanya bersifat declaratoir,
padahal arbitrase mempunyai wewenang penuh untuk menjatuhkan
putusan yang mengandung amar condemnatoir. Oleh karena itu, istilah
penggugat dan tergugat lebih tepat digunakan dalam forum arbitrase.
Berkenaan dengan dengan terminologi “hakim” yang terdapat
dalam rumusan Pasal 28 UUK-PKPU, Fred B.G Tumbuan menyatakan
bahwa istilah tersebut secara analogis berlaku bagi arbiter. Tidak dapat
dipungkiri bahwa arbiter bukanlah hakim, sebab hakim itu diangkat dan
memiliki kewenangan yang luar biasa. Namun demikian, keberadaan
187
Ibid, hlm.83.
120
Pasal 11 UU Arbitrase & APS secara nyata menunjukan bahwa arbiter
memiliki peran layaknya seorang hakim di pengadilan. Misalnya dalam hal
putusan arbitrase.188
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 UU Arbitrase & APS, bahwa apa
yang arbiter putuskan kepada para pihak dapat dilaksanakan jika
mendapatkan penetapan pelaksanaan dari Ketua Pengadilan Negeri.189
Bertitik tolak pada uraian yang telah dijabarkan di atas, maka jelas
kiranya bahwa ketentuan Pasal 28 UUK-PKPU harus diterapkan secara
argumentum per analogiam (analogi)190 terhadap tuntutan hukum yang
sedang berlangsung di arbitrase.
Lebih lanjut, penerapan Pasal 28 UUK-PKPU terhadap tuntutan
hukum yang sedang berjalan di forum arbitrase adalah logis apabila
dikaitkan dengan akibat kepailitan terhadap penetapan pelaksanaan
pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 31 UUK-PKPU. Artinya, apabila
proses permohonan pernyataan pailit sedang berjalan, lembaga arbitrase
seyogyanya tidak melaksanakan fungsinya memeriksa dan memutuskan
sengketa yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan, sebab
apabila arbitrase tetap memeriksa dan akhirnya memutuskan sengketa
188
Hasil wawancara dengan Fred B.G Tumbuan, Tim Perumus UUK-PKPU, di Kantor Hukum Tumbuan & Partner, Jakarta, 14 November 2013.
189 Ibid.
190 Argumentum per analogiam (analogi) merupakan salah satu bentuk metode
penemuan hukum dimana suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali alas yang terdapat didalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Lihat Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm. 87.
121
para pihak, akan timbul suatu permasalahan tentang pelaksanaan atau
eksekusi putusan arbitrase.191
Pasal 61 UU Arbitrase & APS menentukan bahwa dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak bersengketa.
Manakala Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan pernyataan
pailit maka ketentuan Pasal 61 UU Arbitrase & APS tidak bisa
dilaksanakan oleh pihak yang bersengketa maupun Ketua Pengadilan
Negeri, sebab hal tersebut dibatasi oleh ketentuan Pasal Pasal 31 ayat (1)
UUK-PKPU yang menyatakan bahwa segala penetapan yang berkenaan
dengan pelaksanaan putusan pengadilan terhadap setiap bagian dari
kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan
seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan
termasuk atau juga dengan menyandera debitor.
Dengan demikian, proses pemeriksaan arbitrase yang diakhiri
dengan putusan arbitrase, tidaklah akan mempunyai akibat hukum yang
positif bagi pihak yang bersengketa jika seandainya ternyata Pengadilan
Niaga mengabulkan permohonan pernyataan pailit.
Dalam perkara kepailitan PT SMR, setelah PT SMR dinyatakan
pailit oleh Mahkamah Agung, PT PI segera mengajukan surat
permohonan penangguhan perkara yang sedang berjalan di BANI
191
Parwoto Wignjosumarto, Op.Cit, hlm. 62.
122
(selanjutnya disebut perkara BANI) antara PT PI sebagai Termohon dan
PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon kepada Majelis Arbiter.192
Pada tanggal 5 Juni 2013 diadakan sidang ke-4 perkara BANI,
dimana dalam sidang tersebut Majelis Arbiter mengabulkan permohonan
penangguhan perkara yang diajukan oleh PT PI, untuk memberikan
kesempatan kepada PT PI memanggil Rynaldo P. Batubara untuk
mengambil alih kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon.193
Kemudian pada tanggal 8 Juli 2013, tanpa mendapatkan panggilan
terlebih dahulu, Rynaldo P. Batubara mengirimkan surat kepada Majelis
Arbiter.194 Selain berisi pemberitahuan adanya status pailit PT SMR, surat
tersebut juga berisi permohonan kurator untuk mengambil alih kedudukan
PT SMR (dalam pailit) sebagai pemohon dan mengeluarkan PT SMR
(dalam pailit) dari perkara BANI.195
Adapun dasar hukum yang melandasi permohonan Rynaldo P.
Batubara sebagaimana tertera dalam surat tersebut antara lain Pasal 16
ayat (1) & ayat (2), Pasal 24 ayat (1) & ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal
28 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 69 ayat (1) & ayat (2) UUK-
PKPU.196
Menanggapi surat yang diajukan oleh Rynaldo P. Batubara, Majelis
Arbiter mengirimkan surat undangan kepada Rynaldo P. Batubara untuk
192
Hasil wawancara dengan Rynaldo P. Batubara, kurator PT SMR (dalam pailit),di Kantor Hukum Batubara & Bels, Jakarta, 30 September 2013.
193 Ibid.
194 Ibid.
195 Ibid.
196 Ibid.
123
mengahidiri sidang ke-5 perkara BANI yang diadakan pada tanggal 1
Agustus 2013.197
Kemudian pada tanggal 1 Agustus 2013, Rynaldo P. Batubara
datang ke BANI untuk menghadiri sidang ke-5 perkara BANI. Dalam
pertemuan tersebut, Majelis Arbiter mempersilahkan Rynaldo P. Batubara
untuk menjelaskan maksud dan tujuan surat yang dikirimkan oleh dirinya.
Permohonan tersebut mendapatkan tanggapan dari debitor pailit
yakni PT SMR (dalam pailit). Melalui kuasa hukumnya, PT SMR memohon
kepada Majelis Arbiter agar perkara BANI tidak dihentikan sebab PT SMR
sedang mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung. PT SMR berpendapat bahwa masih terdapat
kemungkinan dibatalkannya status pailit PT SMR.Sidang ke-5 tersebut
berakhir tanpa adanya keputusan mengenai permohonan pengambilalihan
perkara yang sebelumnya diajukan oleh Rynaldo P. Batubara.
Permohonan Rynaldo P. Batubara untuk mengambil alih
kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon dalam perkara BANI
pada akhirnya dikabulkan oleh Majelis Arbiter pada sidang ke-7 tanggal 2
November 2013. Dengan demikian, sejak saat itu kedudukan PT SMR
(dalam pailit) sebagai Pemohon digantikan oleh Rynaldo P. Batubara dan
PT SMR (dalam pailit) dikeluarkan dari perkara BANI.198
Selanjutnya Rynaldo P. Batubara memohon kepada Majelis Arbiter
agar perkara BANI dihentikan dengan tujuan untuk memaksimalkan harta
197
Ibid. 198
Ibid.
124
pailit, sebab biaya perkara BANI yang telah dan akan dikeluarkan
merupakan tanggungan harta pailit.199
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dalam praktiknya
ketentuan Pasal 28 UUK-PKPU diterapkan terhadap tuntutan hukum yang
sedang berjalan di forum arbitrase. Artinya, apabila dalam proses
kepailitan terdapat tuntutan hukum yang sedang berjalan di forum
arbitrase dan diajukan oleh debitor pailit atau dengan kata lain debitor
pailit berkedudukan sebagai pemohon maka berlakulah ketentuan Pasal
28 UUK-PKPU terhadap tuntutan hukum yang sedang berjalan tersebut.
Dengan demikian, pada prinsipnya berdasarkan ketentuan Pasal
28 ayat (1) UUK-PKPU dengan adanya putusan pernyataan pailit maka
segala macam tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor sebelum dirinya
dinyatakan pailit, baik yang diajukan melalui pengadilan ataupun arbitrase,
haruslah ditangguhkan atas permohonan pihak lawan (dalam hal ini
tergugat atau termohon) dari debitor pailit dalam perkara tersebut.
Penangguhan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada terugugat atau termohon memanggil kurator untuk
mengambilalih kedudukan debitor sebagai penggugat atau pemohon
dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim atau majelis arbiter.
Namun demikian, menurut Pasal 28 ayat (4) UUK-PKPU ketentuan
di atas tidak mengurangi kewenangan kurator untuk setiap waktu tanpa
mendapatkan panggilan terlebih dahulu, mengambil alih kedudukan
debitor pailit dan mengeluarkan debitor pailit dari perkara tersebut, bahkan
199
Ibid.
125
berdasarkan ketentuan Pasal 30 UUK-PKPU kurator berhak untuk
meminta pembatalan atas perbuatan debitor pailit sebelumnya, sepanjang
perbuatan tersebut merugikan harta pailit dan pihak lawan mengetahui hal
tersebut.
Meskipun demikian, dengan pertimbangan yang didasarkan pada
kepentingan harta pailit, maka berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UUK-PKPU
kurator berwenang untuk menolak mengambil alih kedudukan debitor pailit
dalam perkara sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU.
Dalam hal kurator menolak mengambil alih perkara tersebut, maka
ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU menyatakan bahwa pihak
tergugat atau termohon berhak memohon supaya perkara tersebut
digugurkan. Seandainya pihak tersebut tidak memohonkan agar perkara
digugurkan, maka perkara tersebut dapat diteruskan antara debitor pailit
dan pihak tergugat atau termohon, namun di luar tanggungan harta pailit.
Ketentuan Pasal 28 ayat (1), (3), dan (4) UUK-PKPU di atas sejalan
dengan prinsip utama dalam kepailitan yakni kepailitan berakibat sita
umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor yang termasuk dalam
harta pailit. Adanya sita umum tersebut mengakibatkan debitor pailit
kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta pailit sejak
putusan pernyataan pailit diucapkan.
Hak dan kewenangan debitor pailit tersebut kemudian beralih demi
hukum kepada kurator. Dengan demikian, sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan, kurator merupakan satu-satunya pihak yang
126
berwenang untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta
pailit debitor.
Kurator tidak bertindak untuk dirinya sendiri. Kurator tidak pula
dapat dianggap sebagai agen atau pihak yang meneruskan atau mewakili
debitor pailit. Fungsi dan tugasnya adalah sepanjang yang ditentukan dan
diatur oleh undang-undang. Sekalipun tindakan kurator tampak
meneruskan usaha atau perbuatan hukum debitor, bukan berarti ia adalah
kepanjangan tangan atau menggantikan debitor pailit. Kurator
memperoleh “strong arm power” karena kehendak undang-undang dan
dilimpahkan oleh pengadilan.
Dengan demikian, segala tindakan kurator akan terbatas pada yang
dibolehkan oleh undang-undang dan/atau diwajibkan memperoleh
persetujuan hakim pengawas, oleh karenanya bukan lagi meneruskan
perjanjian atau kontrak yang dilakukan oleh debitor pailit.
Sementara itu, ketentuan Pasal 28 ayat (2) di atas dimaksudkan
untuk memberi penegasan bahwa pada dasarnya kepailitan bukan
terhadap diri debitor pailit, melainkan terhadap harta pailit debitor.
Kepailitan mengakibatkan kekayaan debitor pailit yang masuk dalam harta
pailit berada di bawah sita umum. Artinya, penyitaan tersebut berlaku
untuk siapapun, bukan hanya berlaku bagi pihak tertentu seperti halnya
sita jaminan yang diputuskan oleh hakim perdata berkenaan dengan
permohonan penggugat dalam sengketa perdata.
Sita umum terhadap harta pailit mengakibatkan debitor pailit
kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta pailit sejak
127
putusan pernyataan pailit diucapkan. Namun demikian, bukan berarti
berarti debitor kehilangan hak keperdataannya untuk dapat melakukan
semua perbuatan hukum di bidang keperdataan.
Debitor pailit tidaklah berada di bawah pengampuan. Oleh karena
itu, untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya, misalnya
untuk mengurus harta kekayaan pihak lain, menjadi kuasa pihak lain untuk
melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama pemberi kuasa, debitor
masih berwenang (masih memiliki kemampuan hukum) untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum (keperdataan) tersebut.
Sekalipun debitor tidak kehilangan kecakapannya untuk melakukan
perbuatan hukum, namun perbuatan debitor tidak mempunyai akibat
hukum atas kekayaannya yang tercakup dalam harta pailit. Apabila debitor
melanggar ketentuan tersebut, perbuatannya dimaksud tidak mengikat
harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.
65
BAB III
PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITOR YANG
SEDANG DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA
A. Penyelesaian Sengketa Yang Sedang Berjalan Paska Putusan
Pernyataan Pailit
Dalam suatu perjanjian umumnya terdapat debitor atau
orang yang berutang dan kreditor atau orang yang berpiutang.
Dalam kenyataannya, banyak debitor yang tidak dapat membayar
utangnya sesuai dengan waktu yang telah disepakati dalam
perjanjian. Hal tersebut dapat disebabkan karena debitor tidak
mampu membayar utangnya, maupun tidak mempunyai kemauan
membayar utangnya kepada kreditor.
Menurut hukum, tindakan atau keadaan debitor tersebut
dikenal dengan istilah wanprestasi atau ingkar janji. Dengan
terjadinya wanprestasi oleh debitor yang tidak membayar utangnya,
tentu akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Sebagai pihak
yang merasa dirugikan, kreditor dapat mengambil beberapa
alternatif tindakan hukum untuk mendapatkan kembali dana yang
telah dipinjamkannya kepada debitor.
Tindakan hukum yang pada umumnya dilakukan oleh
kreditor untuk menyelesaikan masalah utang piutang adalah
dengan mengajukan gugatan perdata wanprestasi melalui
66
Pengadilan Negeri ataupun melalui upaya penyelesaian sengketa
di luar pengadilan seperti arbitrase. Namun demikian, apabila
debitor tersebut memiliki utang yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-
PKPU, kreditor dapat menempuh alternatif tindakan hukum secara
litigasi dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
debitor tersebut ke Pengadilan Niaga.
Pada prinsipnya, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
UUK-PKPU debitor hanya dapat dinyatakan pailit melalui putusan
Pengadilan Niaga, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya apabila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut: 111
a. Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditor;
b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang; dan
c. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) dan
Pasal 8 ayat (5) UUK-PKPU, dalam jangka waktu 60 hari sejak
tanggal permohonan pailit didaftarkan, Pengadilan Niaga harus
mengabulkan permohonan pailit tersebut apabila terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) UUK-PKPU telah terpenuhi. Demikian sebaliknya, apabila
permohonan pernyataan pailit tidak memenuhi ketentuan Pasal 2
111
Isis Ikhwansyah et. all, Loc.Cit.
67
ayat (1) UUK-PKPU, maka Pengadilan Niaga akan memutus
menolak permohonan tersebut.112
Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan harta
kekayaan debitor. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta
kekayaan debitor yang termasuk dalam harta pailit berada di bawah
sita umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan.
Sita umum terhadap harta kekayaan debitor berakibat pada
pembatasan terhadap hak dan kewenangan debitor untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap harta kekayaannya. Hal
tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU yang
menyatakan bahwa:
“Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.” Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 69 ayat
(1) UUK-PKPU kewenangan debitor untuk mengurus dan
menguasai harta pailit beralih demi hukum kepada kurator sejak
putusan pernyataan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Berkenaan dengan status debitor pailit di atas dan karena
selanjutnya harta kekayaan debitor pailit tidak lagi diurus oleh
debitor tetapi oleh kuratornya, maka sesuai dengan ketentuan
Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU segala tuntutan mengenai hak atau
kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau
112
Lilik Mulyadi, Loc.Cit.
68
terhadap kurator. Artinya, semua pengajuan gugatan melalui
Pengadilan Perdata maupun Pengadilan Niaga tidak diajukan oleh
terhadap debitor tetapi oleh atau terhadap kurator.113
Selanjutnya Pasal 27 UUK-PKPU menyatakan bahwa
selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap
debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk
dicocokkan.
Dengan kata lain, gugatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 UUK-PKPU tersebut (yaitu gugatan yang ditujukan
kepada debitor pailit bukan kepada kurator) tidak dapat diterima
oleh hakim sebagai gugatan dan diperiksa perkaranya, tetapi hanya
dapat diterima sebagai laporan untuk pencocokkan tagihannya
dalam rangka verifikasi utang piutang dari debitor pailit yang
bersangkutan.114
Bilamana terjadi bantahan atau keberatan terhadap tuntutan
tersebut maka berlaku renvooiprocedure sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 127 ayat (1) UUK-PKPU. Adapun isi pokok dari Pasal
127 ayat (1) UUK-PKPU adalah penyelesaian perselisihan tentang
tuntutan dalam verifikasi tidak dilakukan oleh Hakim Pengawas,
melainkan diputus oleh Pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan
Negeri.115
113
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 192. 114
Idem, hlm. 193. 115
Fred B.G Tumbuan, “Dampak Arbitrase...Op.Cit, hlm. 54.
69
Ketentuan Pasal 27 UUK-PKPU di atas sejalan dengan
ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU yang menentukan bahwa
gugatan yang bersumber pada kewajiban atas beban harta
kekayaan debitor pailit, tidak dapat diajukan kepada debitor sendiri
tetapi kepada kurator.116
Meskipun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat
(2) UUK-PKPU tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang
menyangkut harta pailit sebagaimana dimaksud oleh Pasal 26 ayat
(1) UUK-PKPU dapat pula diajukan atau diteruskan oleh atau
terhadap debitor pailit.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU di
atas, Vezna Lazic berpendapat bahwa rumusan kata “diteruskan”
dalam pasal tersebut memungkinkan adanya perkara yang sedang
berjalan sebelum debitor dinyatakan pailit. Sehubungan dengan hal
itu, putusan pernyataan pailit debitor juga memiliki akibat hukum
terhadap tuntutan hukum yang diajukan oleh ataupun terhadap
debitor pailit yang sedang berjalan selama kepailitan
berlangsung.117
Berkenaan dengan tuntutan hukum yang sedang berjalan
selama kepailitan berlangsung, perlu diperhatikan 2 ketentuan
dalam UUK-PKPU, yakni Pasal 28 UUK-PKPU yang mengatur
tentang tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor pailit dan Pasal
116
Sutan Remy Sjahdeini, Loc.Cit. 117
Jono, Op.Cit, hlm. 125.
70
29 UUK-PKPU yang mengatur tentang tuntutan hukum yang
terhadap debitor pailit.
Sehubungan dengan tuntutan hukum yang diajukan oleh
debitor pailit, ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan
bahwa:
“Suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor dan yang sedang berjalan selama kepailitan berlangsung, atas permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada tergugat memanggil kurator untuk mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim”. Berdasarkan penjelasan Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU, yang
dimaksud dengan “mengambil alih perkara” adalah pengalihan
kedudukan kreditor sebagai “tergugat” dialihkan kepada kurator.
Menanggapi hal tersebut, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat
bahwa penjelasan tersebut tidak benar. Seharusnya yang
dimaksud dengan “mengambil alih perkara” ialah kedudukan
debitor pailit sebagai penggugat agar diambil alih oleh kurator.118
Dalam hal kurator tidak mengindahkan panggilan untuk
mengambil alih perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) UUK-PKPU, ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU
menyatakan bahwa:
“Dalam hal kurator tidak mengindahkan panggilan tersebut maka tergugat berhak memohon supaya perkara digugurkan, dan jika hal ini tidak dimohonkan maka perkara dapat diteruskan antara debitor pailit dan tergugat, di luar tanggungan harta pailit.”
118
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 218-219.
71
Menurut Pasal 28 ayat (3) UUK-PKPU, ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU tersebut
berlaku juga dalam hal kurator menolak mengambil alih perkara.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 28 ayat (4) UUK-PKPU
dinyatakan bahwa tanpa mendapat panggilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU, kurator berwenang
mengambil alih perkara dan mohon agar debitor dikeluarkan dari
perkara yang bersangkutan.
Namun demikian, harus dicermati bahwa berdasarkan
ketentuan Pasal 69 ayat (5) UUK-PKPU, sebelum mengambil alih
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUK-PKPU,
kurator harus meminta izin dari hakim pengawas. Hasil putusan
perkara sebagaimana dimaksud Pasal 28 UUK-PKPU menjadi
keutungan harta pailit, sedangkan biaya atau ongkos perkara
menjadi beban harta pailit.119
Sebaliknya bilamana terdapat suatu tuntutan hukum yang
sedang berjalan selama kepailitan debitor berlangsung dan si
debitor pailit berkedudukan sebagai tergugat, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 29 UUK-PKPU yang menyatakan bahwa:
“Suatu tuntutan hukum di pengadilan yang diajukan terhadap debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap debitor.”
119
Fred B.G Tumbuan, Op.Cit, hlm. 53.
72
Ketentuan Pasal 29 UUK-PKPU tersebut merupakan
konsekuensi berlakunya asas bahwa dengan kepailitan debitor
maka harta debitor berada di bawah sita umum dan harta debitor
harus dibagi bagi kepentingan semua para kreditornya.
Berkenaan dengan tuntutan hukum dalam Pasal 29 UUK-
PKPU di atas, dengan adanya putusan pernyataan pailit debitor,
penggugat harus mengajukan tagihannya untuk dicocokan dalam
rapat pencocokan piutang bersama-sama dengan para kreditor
lainnya.120
B. Contoh Kasus Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Debitor
Yang Sedang Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui
Badan Arbitrase Nasional Indonesia
PT Sri Melamin Rejeki (selanjutnya disebut PT SMR) adalah
sebuah perusahaan yang berkedudukan di Jakarta. PT SMR
dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya melalui Putusan
Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2013 pada tanggal 17 April
2013 atas permohonan yang diajukan oleh PT Pupuk Indonesia
(selanjutnya disebut PT PI) dan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang
(selanjutnya disebut PT PSP).121
Perkara kepailitan PT SMR berawal dari ditandatanganinya
Perjanjian Penyediaan Bahan Baku dan Utilitas serta Penyerahan
Off Gas tertanggal 27 Desember 2007 (selanjutnya disebut
120
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 201. 121
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 28.
73
Perjanjian 2007) oleh PT SMR dan PT PI.122 Perjanjian 2007 berisi
kesepakatan kerjasama antara PT SMR dan PI di bidang produksi
dan penjualan melamin.
Dalam hubungan kerjasama tersebut, PT SMR berkewajiban
untuk membayar tagihan kepada PT PI atas pasokan kebutuhan
bahan baku produksi melamin berupa urea dan utilitas kegiatan
usaha berupa air, listrik, dan lainnya yang disediakan oleh PT PI
dan sebaliknya PT PI berkewajiban untuk menerima off gas hasil
produksi melamin yang dikirim oleh PT SMR.123
Selain mengatur isi pokok perjanjian, PT PI dan PT SMR
juga sepakat untuk mengatur mekanisme penyelesaian apabila di
kemudian hari terjadi perselisihan di antara para pihak yang timbul
dari pelaksanaan Perjanjian 2007. Ketentuan tersebut diatur dalam
Pasal 17 tentang “Penyelesaian Perselisihan”. Pasal 17 Perjanjian
2007 menyatakan bahwa:124
“Jika terjadi perselisihan pendapat dalam rangka pelaksanaan perjanjian ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah dan mufakat, dan jika hal itu tidak tercapai maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Jakarta.”
Memasuki bulan November 2008, PT PI mulai menurunkan
pasokan bahan baku produksi melamin kepada PT SMR. Tindakan
tersebut dilakukan secara bertahap hingga tingkat produksi PT
122
Pada awalnya Perjanjian 2007 merupakan perjanjian antara PT SMR dan PT Pupuk Sriwidjaja. Kemudian pada tahun 2010, PT Pupuk Sriwidjaja berganti nama menjadi PT Pupuk Indonesia. Lihat Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 1.
123 Idem, hlm. 7.
124 Idem, hlm. 39-40.
74
SMR mencapai angka 30%. Tindakan penurunan yang dilakukan
oleh PT PI tersebut mengakibatkan PT SMR berhenti beroperasi
pada akhir tahun 2008.125
Sejak PT SMR memutuskan untuk berhenti beroperasi,
seringkali terjadi perselisihan pendapat antara PT SMR dan PT PI.
PT PI menilai PT SMR memiliki kewajiban berupa utang yang
belum dibayarkan, sebaliknya PT SMR menuding PT PI yang justru
memiliki utang kepada PT SMR. Perselisihan pendapat tersebut
berkembang menjadi sengketa utang piutang antar kedua belah
pihak.
Di satu sisi, PT SMR menilai bahwa PT PI telah melakukan
cidera janji terhadap Perjanjian 2007, sehingga menimbulkan
kerugian bagi PT SMR. Berdasarkan alasan tersebut serta
dilandaskan pada klausula arbitrase sebagaimana tertera dalam
Pasal 17 Perjanjian 2007, PT SMR mengajukan tuntutan
pembatalan Perjanjian 2007 dan gugatan cidera janji disertai ganti
kerugian sebesar Rp. 1,3 Triliun kepada PT PI ke BANI pada
tanggal 31 Agustus 2012.126
Di sisi lain, PT PI berpendapat bahwa PT SMR-lah yang
justru melakukan wanprestasi terhadap Perjanjian 2007 karena
tidak melakukan kewajibannya untuk membayar biaya tagihan
125
Ridwan Asikin, Loc.Cit. 126
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 7.
75
pemakaian utilitas serta bahan baku produksi melamin yang
dipasok oleh PT PI.127
Berdasarkan alasan tersebut, PT PI bersama PT PSP
mengajukan permohonan pernyataan pailit PT SMR ke Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 24 Oktober 2013. Dalam
permohonannya PT PI dan PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR
memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Selain itu,
PT PI dan PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR juga memiliki utang
kepada kreditor lain yakni PT Bank Mandiri.
Pada tanggal 20 Desember 2010, Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh
PT PI dan PT PSP melalui Putusan Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat Nomor: 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Adapun yang menjadi pertimbangan hukum Majelis Hakim
dalam putusan tersebut pada intinya adalah keberadaan utang PT
SMR yang didalilkan oleh PT PI dan PT PSP dalam
permohonannya sifatnya kompleks dan tidak sederhana, sebab
masih adanya sengketa mengenai wanprestasi yang sangat
berhubungan dengan materi dalam permohonan pailit yang berada
dalam penyelesaian BANI.128
Oleh karena itu, Majelis Hakim menilai bahwa permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh PT PI dan PT PSP tidak
memenuhi syarat pernyataan pailit sebagaimana yang disyaratkan
127
Muhammad Yasin, Loc.Cit. 128
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 41.
76
dalam Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU khususnya
syarat adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.
Menanggapi putusan tersebut, PT PI dan PT PSP
mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung pada
tanggal 28 Desember 2012 dengan alasan pada intinya Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat telah salah dalam menerapkan hukumnya.
Kemudian pada tanggal 17 April 2013, Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh PT PI dan PT
PSP melalui Putusan Kasasi No. 45 K/Pdt.Sus/2013.
Dalam amar putusannya, pada bagian mengadili, Mahkamah
Agung membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
Nomor 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst dengan alasan judex facti
telah salah dalam menerapkan hukum sebagaimana didalilkan oleh
PT PI dan PT PSP.129 Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah
Agung menilai bahwa alasan judex facti tidak mengabulkan
permohonan pernyataan pailit PT SMR karena “hutang tidak
sederhana” adalah tidak dapat dibenarkan. Selain itu, Mahkamah
Agung juga berpendapat bahwa klausula arbitrase yang terdapat
dalam Pasal 17 Perjanjian 2007 sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 303 UUK-PKPU tidak menghalangi suatu permohonan
pailit.130
Dalam amar putusannya, pada bagian mengadili sendiri,
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT
129
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 28. 130
Idem, hlm. 27.
77
SMR yang diajukan oleh PT PI dan PT SMR dan menyatakan PT
SMR pailit dengan segala akibat hukumnya. Mahkamah Agung
juga memerintahkan Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk
menunjuk seorang Hakim Pengawas yang ada di Pengadilan
Niaga tersebut dan mengangkat Rynaldo P. Batubara, SH., MH.,
sebagai Kurator untuk perkara a quo.131
Setelah mengetahui status hukum PT SMR dalam keadaan
pailit, PT PI segera mengajukan surat permohonan penangguhan
perkara yang sedang berjalan di BANI antara PT PI sebagai
Termohon dan PT SMR (dalam pailit) (selanjutnya disebut perkara
BANI) sebagai Pemohon kepada Majelis Arbiter.132
Kemudian pada tanggal 5 Juni 2013 diadakan sidang ke-4
perkara BANI, dimana dalam sidang tersebut Majelis Arbiter
mengabulkan surat permohonan penangguhan perkara yang
diajukan oleh PT PI, untuk memberikan kesempatan kepada PT PI
memanggil Rynaldo P. Batubara untuk mengambil alih kedudukan
PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon.133
Pada tanggal 8 Juli 2013, tanpa mendapatkan panggilan
terlebih dahulu, Rynaldo P. Batubara mengirimkan surat kepada
Majelis Arbiter perkara BANI.134 Surat tersebut berisi
pemberitahuan bahwa PT SMR dinyatakan pailit oleh Mahkamah
Agung melalui putusan No. 45 K/Pdt.Sus/2013. Selain itu, surat
131
Idem, hlm. 29. 132
Hasil wawancara dengan Rynaldo P. Batubara, kurator PT SMR (dalam pailit),di Kantor Hukum Batubara & Bels, Jakarta, 30 September 2013.
133 Ibid.
134 Ibid.
78
tersebut juga berisi permohonan kurator untuk mengambil alih
kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai pemohon dan
mengeluarkan PT SMR (dalam pailit) dari perkara BANI.135
Adapun dasar hukum yang melandasi permohonan Rynaldo
P. Batubara sebagaimana tertera dalam surat tersebut antara lain
Pasal 16 ayat (1) & ayat (2), Pasal 24 ayat (1) & ayat (2), Pasal 26
ayat (1), Pasal 28 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 69
ayat (1) & ayat (2) UUK-PKPU.136
Menanggapi surat yang diajukan oleh Rynaldo P. Batubara,
Majelis Arbiter mengirimkan surat undangan kepada Rynaldo P.
Batubara untuk mengahidiri sidang ke-5 perkara BANI yang
diadakan pada tanggal 1 Agustus 2013.137
Kemudian pada tanggal 1 Agustus 2013, Rynaldo P.
Batubara datang ke BANI untuk mengikuti sidang ke-5. Dalam
pertemuan tersebut, Majelis Arbiter mempersilahkan Rynaldo P.
Batubara untuk menjelaskan maksud dan tujuan surat yang
dikirimkan oleh dirinya. Namun demikian, sidang ke-5 tersebut
berakhir tanpa adanya keputusan mengenai permohonan
pengambilalihan perkara yang sebelumnya diajukan oleh Rynaldo
P. Batubara.
Permohonan Rynaldo P. Batubara untuk mengambil alih
kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon dalam perkara
BANI pada akhirnya dikabulkan oleh Majelis Arbiter pada sidang
135
Ibid. 136
Ibid. 137
Ibid.
79
ke-7 tanggal 2 November 2013. Dengan demikian, sejak saat itu
kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon digantikan
oleh Rynaldo P. Batubara dan PT SMR (dalam pailit) dikeluarkan
dari perkara BANI.138
Selanjutnya Rynaldo P. Batubara memohon kepada Majelis
Arbiter agar perkara BANI dihentikan dengan tujuan untuk
memaksimalkan harta pailit, sebab biaya perkara BANI yang telah
dan akan dikeluarkan merupakan tanggungan harta pailit.139
138
Ibid. 139
Ibid.
28
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPAILITAN DAN ARBITRASE
SEBAGAI BENTUK UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA
A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdata
1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Perdata
Dalam melakukan interaksi satu sama lain manusia selalu
dihadapkan pada potensi-potensi untuk terjadi konflik atau
sengketa.42 Sebuah konflik, yakni sebuah situasi yang di dalamnya
terdapat 2 pihak atau lebih yang dihadapkan pada perbedaan
kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa
apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan
tidak puas atas keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau
berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang
merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atas
keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang
dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.43
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja. Sengketa dapat
terjadi antar individu, antara individu dengan kelompok, antara
kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan
42
Dalam kosa kata Inggris, terdapat 2 istilah, yakni “conflict” dan “dispute” yang
kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata “dispute” dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa”. Lihat Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1.
43 Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, “Sengketa dan Penyelesaiannya”,
dalam Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997, hlm. 1.
29
perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara
satu dengan lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa
dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi
baik dalam lingkup nasional maupun internasional.44
Dalam konteks hubungan Hukum Perdata, Komar
Kantaatmadja menyebutkan bahwa sengketa terjadi jika salah satu
pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat seusatu tetapi pihak lain menolak berlaku demikian.45
Begitu pula dalam konteks Hukum Perjanjian, yang dimaksud
dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para
pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang
telah dituangkan dalam suatu kontrak atau perjanjian, baik
sebagian maupun keseluruhan.46
2. Tinjauan Umum Tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Perdata
Sengketa yang terjadi tidak dapat dibiarkan berlarut-larut
dan harus diselesaikan menurut hukum atau berdasarkan
kesepakatan awal di antara para pihak yang bersengketa.47 Secara
umum dikenal 2 macam mekanisme atau cara penyelesaian
sengketa perdata, yaitu:
44
Nurnaningsih Amriani, Mediasi : Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 12.
45 Otje Salman S., Loc.Cit.
46 Nurnaningsih Amriani, Op.Cit, hlm. 13.
47 Otje Salman S., Loc.Cit.
30
a) Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Pengadilan (Proses
Litigasi)
Mekanisme penyelesaian sengketa perdata melalui
pengadilan adalah bentuk penyelesaian sengketa yang sangat
dikenal dan sudah lama digunakan orang. Keberadaan
pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa merupakan
aplikasi dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan
peradilan diberi wewenang dan otoritas untuk mengadili suatu
perkara.
Proses penyelesaian sengketa perdata yang dilakukan di
pengadilan, didasarkan pada salah satu lingkungan peradilan
menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU KK) dan
ketentuan yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata
sebagai Hukum Perdata formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 25
ayat (1) UU KK lingkungan peradilan di Indonesia terdiri dari
peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama,
dan peradilan militer. Selanjutnya Pasal 25 ayat (2) UU KK
menyatakan bahwa peradilan umum berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara perdata sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam ranah Hukum Acara Perdata, perkara perdata
meliputi perkara yang mengandung sengketa (perkara
31
contentiosa) dan perkara yang tidak mengandung sengketa
(perkara voluntaria).48
Perkara contentiosa adalah perkara yang di dalamnya
terdapat sengketa antara 2 pihak atau lebih yang harus
diselesaikan dan harus diputus oleh pengadilan melalui
gugatan. Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang
“merasa” bahwa haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang
“dirasa” melanggar haknya itu, tidak mau secara sukarela
melakukan sesuatu yang diminta itu. Oleh karenanya, untuk
menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya
suatu putusan hakim.
Perkara voluntaria adalah perkara yang di dalamnya tidak
terdapat sengketa tetapi hanya semata-mata untuk kepentingan
pemohon dan bersifat sepihak. Misalnya apabila segenap ahli
waris almarhum secara bersama-sama menghadap ke
pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian
masing-masing dari warisan almarhum.49
Adapun perbedaan antara perkara contentiosa dan
perkara voluntaria ditinjau dari segi pihak-pihak yang berperkara
ialah dalam perkara contentiosa, pada dasarnya pihak-pihak
yang berperkara terdiri dari pihak yang mengajukan gugatan
disebut dengan penggugat dan pihak yang ditarik dalam
gugatan disebut dengan tergugat, sedangkan dalam perkara
48
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Cetakan Pertama Edisi Kedelapan, 2009, hlm. 3.
49 Idem, hlm. 4.
32
voluntaria pihak yang berperkara adalah pemohon. Ditinjau dari
segi bentuk putusan, putusan dalam perkara voluntaria
berbentuk penetapan yang hanya berisi diktum yang bersifat
declaratoir,50 sedangkan dalam perkara contentiosa berbentuk
putusan yang diktumnya lebih kompleks karena dapat berisi
diktum yang bersifat constitutif, declaratoir, dan condemnatoir 51
sekaligus.
Berdasarkan 2 macam perkara perdata yang telah
dijabarkan di atas, maka pada lazimnya peradilan dibagi
menjadi 2 macam, yakni:
1) Peradilan volunter (jurisdictio voluntaria), yang sering
disebut juga peradilan “sukarela”,52 adalah peradilan
yang tidak melakukan pekerjaan menyelesaikan
sengketa; dan
2) Peradilan contentiosa (jurisdictio contentiosa), yang
sering disebut peradilan “sesungguhnya”,53 adalah
peradilan yang menyelesaikan perselisihan antara 2
pihak yang bertentangan pendirian dan kepentingan.
Kekuasaan pengadilan untuk menyelesaikan perkara
perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-
hak yang timbul karenanya atau hak-hak keperdataan lainnya,
50 Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Lihat Idem, hlm. 232.
51 Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Pada umumnya putusan ini berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. Lihat Idem, hlm. 231.
52 Idem, hlm. 4.
53 Ibid.
33
kecuali undang-undang, menetapkan pengadilan lain untuk
memeriksa dan memutusnya.54
b) Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan (Non-
Litigasi)
Sebagai norma yang mengatur pokok-pokok
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UU KK memberikan
pengakuan terhadap kemungkinan penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan negara. Pasal 58 UU KK menyatakan
bahwa:
“Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan
di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa.”
Di Indonesia, pengaturan mengenai mekanisme
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan terdapat
dalam UU Arbitrase & APS. Adapun penyelesaian sengketa di
luar pengadilan terdiri dari: 55
1) Arbitrase, yakni cara penyelesaian sengketa di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
bersangkutan; dan
54
Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 91. 55
Huala Adolf, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, 2006, hlm. 2.
34
2) Alternatif penyelesaian sengketa,56 yakni cara
penyelesaian sengketa perdata yang didasarkan pada
itikad baik dan melalui prosedur yang disepakati oleh
para pihak yang bersengketa dengan
mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di
pengadilan negeri. Adapun bentuk alternatif
penyelesaian sengketa ialah negosiasi, mediasi,
konsiliasi, konsultasi, dan penilaian ahli.
B. Kepailitan Sebagai Upaya Penyelesaian Utang Piutang Melalui
Jalur Hukum
1. Kewenangan Mutlak Pengadilan Niaga Untuk Memeriksa dan
Mengadili Perkara Kepailitan
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kekuasaan
pengadilan untuk menyelesaikan perkara perdata meliputi semua
sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya
atau hak-hak keperdataan lainnya, kecuali undang-undang
menetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya.
Pengadilan lain yang dimaksud adalah lembaga maupun badan
yang berwenang menyelesaikan perkara perdata selain Pengadilan
56
Menurut UU Arbitrase & APS, arbitrase bukan merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa, karena pada dasarnya arbitrase tergolong kelompok adjudicatory methods of settlement atau adjudication, yang terdiri atas 2 prototipe yakni litigasi di pengadilan (public adjudication) dan arbitrase (privat adjudication), sedangkan metode alternatif penyelesaian sengketa termasuk dalam kelompok non-adjudicatory methods of settlement. Lihat Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 74.
35
Negeri.57 Pengadilan lain tersebut salah satunya ialah Pengadilan
Niaga.
Secara khusus, Pengadilan Niaga dibentuk atas dasar
peraturan pengganti undang-undang, menangani secara terbatas
masalah-masalah yang berkaitan dengan kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang.58 Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka 7 UUK-PKPU, keberadaan Pengadilan Niaga tidak
menambah kuantitas lingkungan peradilan baru di Indonesia, sebab
Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan Peradilan Umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 300 ayat (1) UUK-PKPU,
Pengadilan Niaga memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili perkara kepailitan. Kewenangan Pengadilan Niaga
tersebut adalah mutlak. Artinya, tidak ada badan atau lembaga lain
yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan
selain Pengadilan Niaga. Dengan demikian, tidak ada kemungkinan
untuk mengajukan permohonan pailit kepada selain Pengadilan
Niaga.59
Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut Pengadilan
Niaga tersebut ditegaskan oleh ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU
menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa
dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak
57
Idem, hlm. 91. 58
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 3.
59 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 144.
36
yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang
utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) UUK-PKPU.
Ketentuan di atas dimaksudkan untuk memberikan
penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa
dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak,
sekalipun perjanjian utang piutang yang menjadi dasar
permohonan memuat klausula arbitrase.
2. Sita Umum Harta Kekayaan Debitor Melalui Kepailitan
Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan masalah
utang piutang atau kewajiban sesuatu kepada pihak lain.60 Dalam
suatu perjanjian umumnya terdapat debitor atau orang yang
berutang dan kreditor atau orang yang berpiutang. Manakala
debitor berhenti membayar utangnya, baik karena tidak mampu
membayar ataupun tidak mau membayar, hal ini menimbulkan
kerugian bagi kreditor. Salah satu alternatif tindakan hukum secara
litigasi yang dapat ditempuh oleh kreditor dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yaitu dengan mengajukan permohonan
kepailitan terhadap debitor.61
Pada dasarnya, dikaji dari perspektif etimologis terminologi
kepailitan berasal dari kata pailit yang berasal dari beberapa
60
Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai....Loc.Cit. 61
Pupung Faisal, Loc.Cit.
37
bahasa. Kata pailit dalam bahasa Perancis dikenal sebagai failite
yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Dalam
bahasa Belanda dikenal dengan terminologi failliet dan dalam
sistem hukum anglo saxon pailit dikenal dengan sebutan
bankrupt.62 Tegasnya, dalam terminologis bahasa Indonesia kata
pailit dapat diartikan sebagai suatu keadaan adanya situasi
berhenti membayar.63
Apabila kata pailit menunjukan suatu keadaan, maka
kepailitan menunjukan suatu proses.64 Dikaji dari perspektif
pengertiannya, makna kepailitan dapat dikaji dari pandangan
doktrina, leksikon, dan normatif. Fred B.G. Tumbuan menyebutkan
kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh harta
kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.65 Munir
Fuady menyebutkan pailit atau bangkrut itu adalah sita umum atas
seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor
dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi
secara adil diantara para kreditor.66
Dikaji dari prespektif normatif, ketentuan Pasal 1 angka 1
UUK-PKPU menyebutkan:
62
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Teori Dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2010, hlm. 46.
63 Ibid.
64 Zainal Muttaqin, “Aspek Kepailitan Dalam Penagihan Utang Pajak Terhadap
Wajib Pajak Yang Dinyatakan Pailit”, dalam Isis Ikhwansyah, Kompilasi Hukum Bisnis, CV. Keni, Bandung, 2012, hlm. 401.
65 Fred B.G Tumbuan, “Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan
Sebagaimana Diubah oleh PERPU No. 1/1998”, dalam Rudy A. Lontoh, Denny Kilimang, dan Benny Pontoh (eds.), Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2000, hlm. 125.
66 Munir Fuady, Hukum Kepailitan Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000, hlm. 8.
38
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Pada prinsipnya kepailitan merupakan pelaksanaan lebih
lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate
parte dalam rezim Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht).
Proses kepailitan merupakan suatu proses pelaksanaan Pasal
1131 dan 1132 KUH Perdata dengan tujuan membagi harta
kekayaan debitor secara adil kepada seluruh kreditor.67
Dalam penjelasan umum UUK-PKPU dikemukakan
beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:
a) Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila
dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang
menagih piutangnya dari debitor;
b) Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak
jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara
menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan
kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;
c) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor
sendiri.
67
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 48.
39
Lebih lanjut, penjelasan umum UUK-PKPU juga
mengemukakan beberapa asas yang mendasari UUK-PKPU.
Asas-asas tersebut antara lain:
“1. Asas Keseimbangan Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.”
40
3. Putusan Pernyataan Pailit Debitor dan Upaya Hukum Yang
Dapat Diajukan
UUK-PKPU menegaskan bahwa debitor68 hanya dapat
dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan. Adapun syarat-syarat
bagi debitor untuk dapat dinyatakan pailit sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tersebut, dapat
diketahui bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui
putusan pengadilan adalah:69
a. Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditor;
b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;
dan
c. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Berdasarkan persyaratan di atas, apabila digambarkan
dalam skema, maka yang dapat dipailitkan sebagai berikut:70
68
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU, debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Dalam KUH Perdata, tidak dikenal istilah debitor, tetapi dipakai istilah si berutang. Menurut Pasal 1235 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata, dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang adalah pihak yang wajib memberikan, berbuat atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 85.
69 Isis Ikhwansyah et. all, Hukum Kepailitan (Analisis Hukum Perselisihan dan
Hukum Keluarga Serta Harta Benda Perkawinan, CV Keni Media, Bandung, 2012, hlm. 22.
70 Ibid.
41
Skema Kepailitan:
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) dan Pasal
8 ayat (5) UUK-PKPU, dapat diketahui bahwa dalam jangka waktu
60 hari sejak tanggal permohonan pailit didaftarkan, Pengadilan
Niaga harus mengabulkan permohonan pailit tersebut apabila
terdapat terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi.
Demikian sebaliknya, apabila permohonan pernyataan pailit tidak
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, maka
Pengadilan Niaga akan memutus menolak permohonan tersebut.71
Putusan Pengadilan Niaga (yang merupakan putusan tingkat
pertama) atas permohonan pernyataan pailit mempunyai daya
“dapat dilaksanakan terlebih dahulu” yang sering disebut putusan
uitvoerbaar bij voorraad atau putusan serta merta, yaitu suatu
71
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 111.
Kepailitan
Korporasi
Manusia/Orang
Perorangan
Suami - Istri
BUMS
BUMN
Bukan Badan Hukum (Msl: Fa, Cv)
Badan Hukum (Msl: Yayasan, PT)
Perum
Persero
42
putusan yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu
meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde).72 Namun demikian, terhadap putusan
tersebut masih dapat diajukan upaya-upaya hukum.
Setelah Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan atas
permohonan pernyataan pailit, maka upaya hukum yang dapat
diajukan terhadap putusan tersebut adalah kasasi ke Mahkamah
Agung. Hal tersebut dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 11 ayat
(1) UUK-PKPU yang berbunyi:
“Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah
Agung”.
Selain kasasi, upaya hukum yang lain yang dapat dilakukan
oleh pihak yang merasa tidak puas adalah peninjauan kembali.
Peninjauan kembali dimungkinkan sebagaimana terdapat dalam
ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa:
“Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung”.
72
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 101.
43
4. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Debitor
Pailit dan Harta Kekayaannya
Dikaji dari perspektif teoritis, normatif, dan praktik peradilan
pada perkara perdata niaga, apabila permohonan pernyataan pailit
dikabulkan maka akan mempunyai suatu akibat hukum bahwa
debitor73 dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.
Mengenai akibat-akibat kepailitan, UUK-PKPU mengatur secara
khusus yaitu dalam Bab II Bagian Kedua dimulai dari Pasal 21
sampai dengan Pasal 64 UUK-PKPU.
Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan harta
kekayaan debitor. Kepailitan mengakibatkan kekayaan debitor pailit
yang masuk dalam harta pailit berada di bawah sita umum. Artinya,
penyitaan tersebut berlaku untuk siapapun, bukan hanya berlaku
bagi pihak tertentu seperti halnya sita jaminan yang diputuskan
oleh hakim perdata berkenaan dengan permohonan penggugat
dalam sengketa perdata.74
Menurut ketentuan Pasal 21 UUK-PKPU, harta pailit meliputi
seluruh harta kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh debitor pailit
selama kepailitan, kecuali yang secara tegas dinyatakan oleh UUK-
PKPU dikeluarkan dari harta pailit.
73
Objek di dalam UUK-PKPU adalah debitor, yaitu debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada kreditor. UUK-PKPU tidak membedakan aturan bagi kepailitan debitor yang merupakan badan hukum maupun orang perorangan. Ruang lingkup UUK-PKPU meliputi debitor badan hukum maupun debitor orang perorangan. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 96.
74 Idem, hlm. 193.
44
Sita umum terhadap harta kekayaan debitor berakibat pada
pembatasan terhadap hak dan kewenangan debitor untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap harta kekayaannya. Hal
tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU yang
menyatakan bahwa:
“Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan” Berdasarkan ketentuan di atas, diketahui bahwa putusan
pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak
cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan
mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit
sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga.75
Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (1)
UUK-PKPU kewenangan debitor untuk mengurus dan menguasai
harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit beralih demi
hukum kepada kurator sejak putusan pernyataan pailit diucapkan
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali.
Namun demikian, berkenaan dengan ketentuan Pasal 24
ayat (1) UUK-PKPU di atas, harus dicermati bahwa dengan
diputuskannya menjadi debitor pailit, bukan berarti debitor
kehilangan hak keperdataannya untuk dapat melakukan semua
perbuatan hukum di bidang keperdataan.
75
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan...Loc.Cit.
45
Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya untuk
mengurus dan menguasai kekayaannya. Sementara itu, untuk
melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya, misalnya
untuk mengurus harta kekayaan pihak lain, menjadi kuasa pihak
lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama
pemberi kuasa, debitor masih berwenang (masih memiliki
kemampuan hukum) untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum
(keperdataan) tersebut.76
Meskipun demikian, apabila setelah putusan pernyataan
pailit debitor masih juga tetap melakukan perbuatan hukum yang
menyangkut harta kekayaannya yang telah dimasukkan ke dalam
harta pailit, maka perbuatan hukum itu tidak mengikat kecuali
apabila perikatan-perikatan yang dibuatnya itu mendatangkan
keutungan bagi harta pailit tersebut.77
Hal tersebut merupakan konsekuensi hukum dari ketentuan
Pasal 25 UUK-PKPU yang menyatakan bahwa:
“Semua perikatan debitor yang terbit sesudah putusan
pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit,
kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.”
76
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 190. 77
Idem, hlm. 195.
46
5. Fase-Fase Dalam Kepailitan
a. Fase Penitipan Atau Sekestrasi (cocervatoir)
Fase ini dikenal juga dengan istilah tahap pengurusan
harta pailit. Tahap pengurusan harta pailit ialah jangka waktu
sejak debitor dinyatakan pailit sampai dengan debitor
mengajukan rencana perdamaian. Dalam tahap ini, kurator
harus melindungi keberadaan kekayaan debitor pailit dan
berusaha mempertahankan nilai kekayaan tersebut.78
Kepailitan tidak selalu beralih ke fase berikutnya,
mungkin saja kepailitan berakhir dalam fase ini yaitu apabila:79
1) Upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan
kembali berhasil atau dikabulkan;
2) Perdamaian disetujui atau diterima dan disahkan
(homologasi);
3) Kepailitan dicabut dengan putusan pengadilan
karena harta pailit tidak cukup untuk membayar
biaya kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal
18 UUK-PKPU.
b. Fase Insolvensi Atau Fase Eksekutor
Fase ini dikenal juga dengan istilah pemberesan harta
pailit. Kepailitan beralih dari fase sekestrasi ke fase insolvensi
antara lain disebabkan:80
78
Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 73.
79 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2010, hlm. 187.
47
1) Perdamaian tidak diajukan;
2) Perdamaian diajukan tetapi tidak disetujui atau
tidak diterima oleh kreditor yang mempunyai hak
suara;
3) Perdamaian diajukan, disetujui atau diterima para
kreditor yang mempunyai hak suara, tetapi tidak
disahkan oleh hakim;
4) Upaya hukum tidak dikabulkan, perdamaian tidak
diajukan;
5) Upaya hukum tidak dikabulkan, perdamaian tidak
diterima;
6) Upaya hukum tidak dikabulkan, perdamaian
diterima tetapi tidak mendapat pengesahan dari
hakim.
Dengan keadaan seperti disebutkan di atas, kepailitan
sampai kepada fase insolvensi yang berarti harus dilakukan
pemberesan terhadap harta pailit. Kurator memulai
pemberesan harta pailit setelah harta pailit dalam keadaan
tidak mampu membayar dan usaha debitor dihentikan. Kurator
memutuskan cara pemberesan harta pailit dengan selalu
memperhatikan nilai terbaik pada waktu pemberesan.81
80
Idem, hlm. 188. 81
Imran Nating, Op.Cit., hlm. 85.
48
C. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa
Perdata di Luar Pengadilan
1. Eksistensi Peradilan Arbitrase di Indonesia
Secara harifah, perkataan arbitrase berasal dari kata
arbitrare (latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan. Dikaitkannya istilah arbitrase
dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa
majelis arbiter tidak perlu memperhatikan hukum dalam
menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan
pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga
menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di
pengadilan.82
Adapun pengertian arbitrase menurut R. Subekti ialah
pemutusan sengketa oleh seorang arbiter atau para arbiter yang
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk kepada
atau menaati keputusan yang diberikan oleh arbiter atau para
arbiter yang mereka pilih.83
H. Priyatna Abdurrasyid mengartikan arbitrase sebagai suatu
tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa
atau selisih pendapat antara dua orang atau lebih maupun dua
kelompok atau lebih kepada seseorang atau beberapa ahli yang
82
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1992, hlm. 1-3. 83
Idem, hlm. 1.
49
disepakati bersama dengan tujuan memperoleh keputusan final
dan mengikat.84
Secara normatif, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU
Arbitrase & APS, arbitrase diartikan sebagai cara penyelesaian
sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Arbitrase terdiri dari 2 jenis, yakni arbitrase institusional dan
arbitrase ad hoc.85 Jenis arbitrase ini merupakan macam-macam
arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk
memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara para
pihak yang mengadakan perjanjian.86
Arbitrase institusional adalah badan arbitrase yang sengaja
didirikan, sifatnya permanen dan pembentukannya ditujukan untuk
menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang
mengkehendaki penyelesaian di luar pengadilan.87 Jadi arbitrase
institusional merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk
menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.
Adapun beberapa arbitrase institusional yang telah diakui
eksistensinya, antara lain BANI, Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia, International Centre for the Settlement of Investment
84
H. Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase, Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 28.
85 Joni Emrizon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 102. 86
M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari:....Op.Cit, hlm. 104. 87
Ibid.
50
Disputes Between States and Nationals of Other States, dan The
Court of Arbitration of International Chamber of Commerce.
Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus
untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, sifatnya
insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu
diputuskan.88 Ini berarti kedudukan dan keberadaannya hanya
untuk melayani dan memutus perselisihan tertentu, dimana setelah
sengketa diputus keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap
dan berakhir dengan sendirinya.
Pada prinsipnya arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait
dengan salah satu badan arbitrase. Para arbiternya ditentukan dan
dipilih sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak. Untuk
mengetahui dan menentukan bahwa arbitrase yang disepakati para
pihak adalah jenis arbitrase ad hoc, dapat dilihat dari rumusan
klausulanya yang menyebutkan, arbitrase yang akan
menyelesaikan perselisihan terdiri dari “arbiter perseorangan”.89
Keberadaan arbitrase di Indonesia mempunyai sejarah yang
panjang sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan
perundang-undangan sejak tahun 1849. Adapun sumber-sumber
hukum arbitrase, antara lain:
a) UU Arbitrase & APS
88
Ibid. 89
Ibid.
51
Berdasarkan ketentuan Pasal 81 UU Arbitrase & APS,
pada saat UU Arbitrase & APS mulai berlaku, ketentuan-
ketentuan mengenai arbitrase yang terdapat di dalam
Reglemen Acara Perdata (Rv, HIR, dan RBg) dinyatakan
tidak berlaku dan digantikan oleh undang-undang
tersebut.
b) Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 81 tentang
Pengesahan Convention on The Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award (selanjutnya
disebut Konvensi New York 1958).
c) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990
tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
2. Perjanjian Arbitrase Sebagai Dasar Pemilihan Forum Arbitrase
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, arbitrase lahir
dari kesepakatan para pihak yang memilih forum arbitrase,
kesepakatan tersebut dikenal dengan perjanjian arbitrase atau
yang lazim disebut dengan klausula arbitrase.90 Secara normatif,
UU Arbitrase & APS memberikan batasan pengertian mengenai
perjanjian arbitrase, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase & APS yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian
90
Dalam praktek dan penulisan, perjanjian arbitrase selalu disebut “klausula arbitrase”. Penggunaan istilah klausula arbitrase, mengandung konotasi bahwa perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau dilengkapi dengan perjanjian arbitrase. Dengan kata lain, perjanjian pokok mengandung klausula arbitrase. Lihat Idem, hlm. 65.
52
tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.” Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah
pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara
dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan (dispute
settlement) yang terjadi di antara para pihak yang berjanji.91 Jadi
fokus perjanjian arbitrase semata-mata ditujukan kepada masalah
penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian.
Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakan
pada perjanjian pokok, oleh karena itu perjanjian arbitrase disebut
dengan perjanjian buntutan atau “asesor”. Keberadaannya, hanya
sebagai tambahan kepada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak
mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok.92
Perjanjian arbitrase sebagai suatu perjanjian asesor wajib
mengikuti prinsip-prinsip hukum kontrak asesor yang berlaku, yaitu
isinya tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya, tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian pokoknya, dan tidak ada tanpa
adanya perjanjian pokok.93 Sungguhpun pada prinsipnya perjanjian
arbitrase merupakan suatu perjanjian asesor, tetapi ada beberapa
sifatnya yang unik, yang menyebabkan sifatnya sebagai asesor
tersebut tidak diikuti secara penuh. Misalnya, jika perjanjian
91
Idem, hlm. 61. 92
Idem, hlm. 62. 93
Munir Fuady, Arbitrase Nasional...Op.Cit, hlm. 118.
53
pokoknya batal, perjanjian arbitrase tidak ikut-ikutan batal.94 Pasal
10 UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut dibawah ini: a. Meninggalnya salah satu pihak; b. Bangkrutnya salah satu pihak; c. Novasi; d. Insolvensi salah satu pihak;95 e. Pewarisan; f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok; g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan
pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.” Ketentuan dalam Pasal 10 UU Arbitrase & APS tersebut,
khususnya huruf f dan h, berkaitan dengan adanya prinsip
separabilitas (separability) dalam suatu perjanjian arbitrase, yaitu
perjanjian arbitrase berdiri independen dan terlepas sama sekali
dengan perjanjian pokoknya. Oleh sebab itu, apabila karena alasan
apapun perjanjian pokoknya dianggap cacat hukum atau tidak sah,
perjanjian arbitrase tetap dianggap sah dan mengikat.96
Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah atau tidaknya
perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana
diatur Pasal 1320 KUH Perdata. Adapun syarat subjektif dan syarat
objektif dalam suatu perjanjian arbitrase sebagai berikut:
a) Syarat Subjektif
Perjanjian arbitrase dibuat oleh para pihak yang
bersengketa. Oleh karena bentuknya yang perjanjian,
94
Idem, hlm. 119. 95
Yang dimaksud dengan "insolvensi" dalam pasal ini adalah keadaan tidak mampu membayar. Lihat penjelasan Pasal 10 huruf d UU Arbitrase & APS.
96 Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 117.
54
maka harus didasarkan pada kesepakatan para pihak.
Selain itu, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh mereka
yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk
melakukan hal yang demikian.97 Hal ini sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU Arbitrase & APS
bahwa, para pihak adalah subjek hukum, baik menurut
hukum perdata maupun publik.
b) Syarat Objektif
Syarat objektif dari perjanjian arbitrase diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) UU Arbitrase & APS, yaitu objek
perjanjian arbitrase atau dalam hal ini sengketa yang
dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa
di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa. Tidak
ada penjelasan dari ketentuan tersebut, namun jika
dilihat pada penjelasan Pasal 66 UU Arbitrase & APS,
maka yang dimaksud dengan ruang lingkup
“perdagangan” tersebut adalah kegiatan-kegiatan, antara
lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri, dan hak kekayaan
intelektual.98
97
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.Cit, hlm. 44. 98
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa.....Op.Cit, hlm. 125.
55
Selain itu, Pasal 5 ayat (2) UU Arbitrase & APS mengatur
bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundangan-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.99
Disamping syarat subjektif dan objektif di atas, maka
perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 UU Arbitrase & APS.
Perjanjian arbitrase yang berbentuk lisan dianggap tidak sah dan
tidak mengikat, sebab perjanjian arbitrase secara lisan dianggap
“tidak pernah ada” atau never existed.100
Perikatan arbitrase merupakan perikatan tambahan dari
perjanjian pokok yang dibuat oleh para pihak, hal-hal yang dapat
menghapuskan perikatan arbitrase ini pada prinsipnya adalah
sebagai berikut:101
a) Para pihak melaksanakan perjanjian pokok
Dengan terlaksananya dengan baik perjanjian pokok
yang melandasi lahirnya perjanjian arbitrase ini, tanpa
menimbulkan perselisihan antara para pihak otomatis
juga akan menghapuskan atau mengakhiri perikatan
arbitrase yang telah dibuat.
99
Sengketa tersebut umumnya meliputi : hukum keluarga, terutama yang berkenan dengan status sipil dan kemampuan seseorang; tentang pailit; penyelesaian susunan pengurus dan perubahan permodalan dalam anggaran dasar perseroan. Lihat M. Yahya Harahap, “Beberapa Catatan....Loc.Cit.
100 M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari....Op.Cit, hlm. 60. 101
H. Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Op.Cit, hlm. 129.
56
b) Para pihak melaksanakan putusan arbiter
Sebaliknya, jika terjadi perselisihan di antar para pihak
yang membuat perjanjian pokok, perselisihan itu akan
diserahkan kepada seorang atau majelis arbitrase.
Kemudian setelah dikeluarkannya putusan oleh majelis
arbitrase yang menyelesaikan perselisihan itu secara
sukarela atau dengan bantuan pihak yang berwenang
maka berakhirlah suatu perjanjian arbitrase tersebut.
c) Salah satu pihak berkeberatan melaksanakan putusan
arbitrase
Berdasarkan berbagai sumber undang-undang, peraturan
dan konvensi internasional, perjanjian arbitrase dibedakan menjadi
2 bentuk, yaitu klausula arbitrase atau pactum de compromittendo
dan akta kompromis. Dalam perjanjian arbitrase yang berbentuk
klausula arbitrase, para pihak mengikat kesepakatan akan
menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum
arbitrase.102 Jadi bentuk klausula arbitrase dibuat oleh para pihak
sebelum terjadi sengketa atau perselisihan yang nyata.
Dalam UU Arbitrase & APS, tidak disebutkan syarat-syarat
pembuatan klausula arbitrase, kecuali apa yang terdapat dalam
Pasal 7 UU Arbitrase & APS, yang menyatakan bahwa para pihak
dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
102
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 71.
57
Bentuk perjanjian arbitrase yang kedua adalah akta
kompromis. Akta kompromis yaitu perjanjian yang telah disepakati
oleh pihak yang berjanji bahwa perselisihan yang telah terjadi di
antara mereka akan diselesaikan melalui forum arbitrase.103 Jadi
akta kompromis dibuat para pihak setelah timbul sengketa, dimana
sebelumnya baik dalam perjanjian pokok maupun dengan akta
tersendiri, tidak diadakan suatu perjanjian arbitrase.
Pengaturan akta kompromis terdapat dalam Pasal 9 ayat (1)
UU Arbitrase & APS. Pasal tersebut menyatakan bahwa dalam hal
para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus
dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para
pihak.
3. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap Kompetensi
Pengadilan Negeri
Fungsi utama dari perjanjian arbitrase adalah perjanjian
arbitrase menjadi sumber kewenangan dari peradilan arbitrase.
Prinsip yang telah diterima secara umum adalah kesepakatan para
pihak melahirkan hukum. Prinsip ini berlaku pula terhadap
kesepakatan para pihak yang tertuang dalam perjanjian arbitrase.
Sehingga dapat pula dinyatakan disini bahwa klausula arbitrase
yang berasal dari kesepakatan para pihak adalah the law of the
parties. Karena itu pula, kesepakatan inilah yang melahirkan fungsi
103
Idem, hlm. 67.
58
kewenangan suatu badan arbitrase. Termasuk dalam lingkup
hukum para pihak ini adalah penentuan jumlah arbiter, bagaimana
prosedur penunjukan arbiter, sampai berapa jauh kekuasaan yang
dimilikinya dan bagaimana hukum acara dan hukum yang berlaku
akan diterapkan oleh suatu badan arbitrase.104
Pada awalnya terdapat 2 teori atau aliran tentang
kewenangan arbitrase. Pertama, aliran yang menyatakan bahwa
klausula arbitrase bukan public order atau bukan ketertiban umum,
klausula arbitrase tidak mutlak menyingkirkan kewenangan
pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang timbul
dari perjanjian. Klausula arbitrase hanya memberikan hak opsi atau
hak pilih bagi para pihak. Para pihak dapat memilih, apakah
sengketa yang timbul diajukan kepada badan arbitrase atau ke
pengadilan.
Aliran yang ke dua menyatakan bahwa perjanjian arbitrase
merupakan Pacta Sunt Servanda. Menurut pendapat aliran ini,
adanya perjanjian arbitrase:105
a) Mengikat secara mutlak kepada para pihak, oleh karena
itu apabila timbul suatu sengketa, kewenangan untuk
menyelesaikan dan memutus sengketa mutlak menjadi
kewenangan arbitrase;
104
Alan Redfern dan Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration, Sweet and Maxwell, London, 1986, hlm. 3, sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, “Syarat Tertulis dan Indepedensi Klausul Arbitrase”, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia No. 6, 2009, hlm. 24.
105 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 88.
59
b) Pengadilan menjadi tidak berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa secara mutlak; dan
c) Gugurnya perjanjian arbitrase hanya terjadi apabila
secara tegas ditarik kembali atas kesepakatan para
pihak, dan tidak dapat dibenarkan penarikan secara
diam-diam, apalagi penarikan secara sepihak.
Dengan berlakunya UU Arbitrase & APS, maka perbedaan
kedua aliran tersebut secara yuridis menjadi hilang karena
ketentuan Pasal 3 UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa:
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase”,
sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 11 UU Arbitrase & APS
menyatakan bahwa:
“(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase &
APS di atas, dapat diketahui bahwa kedua bentuk perjanjian
arbitrase, baik pactum de compromittendo maupun akta kompromis
pada dasarnya memiliki tujuan serta konsekuensi yang sama.
Artinya, perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut
atau kewenangan mutlak forum arbitrase untuk memeriksa
60
sengketa para pihak. Sebagai konsekuensi hukumnya
penyelesaian sengketa dimaksud akan ditarik keluar dari yurisdiksi
hakim Pengadilan Negeri dan selanjutnya menjadi kewenangan
forum arbitrase yang dipilih oleh para pihak. Sebaliknya,
Pengadilan Negeri menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan
sengketa bersangkutan.
Namun demikian, kompetensi absolut forum arbitrase itu
dapat gugur serta beralih kembali menjadi kompetensi Pengadilan
Negeri apabila ternyata perjanjian arbitrase yang bersangkutan
batal (null and void), tidak lagi memiliki kekuatan mengikat
(inoperative), atau tidak dapat dilaksanakan (incapable of being
performed), sebagaimana ditentukan di dalam bagian terakhir
Artikel II (3) Konvensi New York 1958.
4. Pihak-Pihak yang Bersengketa dalam Forum Arbitrase
Pada dasarnya pihak-pihak berperkara dalam proses
arbitrase tidak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara perdata
bersifat sengketa pada umumnya di Pengadilan Negeri, yaitu
sekurang-kurangnya terdapat dua pihak.106 Para pihak dalam
sengketa perdata pada Pengadilan Negeri disebut penggugat dan
tergugat, sedangkan dalam proses pemeriksaan sengketa pada
forum arbitrase penyebutan pihak-pihak dalam perkara sedikit
berbeda.
106
Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 81.
61
Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah
dibakukan dan standar, baik dalam literatur maupun dalam
berbagai rules.107 Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UNCITRAL
Arbitration Rules, pihak-pihak yang berperkara dalam proses
arbitrase disebut “claimant” dan “respondent”.
Claimant dalam arti bahasa adalah “a person making a
claim” yakni seseorang yang membuat tuntutan yang lazim disebut
sebagai penggugat atau “plaintiff”. Dalam pengertian hukum,
makna claimant sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3
UNCITRAL Arbitration Rules adalah pihak yang mengambil inisiatif
mengajukan tuntutan kepada seseorang melalui forum arbitrase.108
“Respondent” ditinjau dari segi bahasa adalah “a person who
respon”, yang berarti orang yang dituntut atau orang yang dijadikan
tertuntut dan lazim disebut sebagai tergugat. Dari segi pengertian
hukum, respondent adalah pihak yang ditarik atau dijadikan
sebagai tergugat oleh pihak yang menggugat dalam suatu proses
pemeriksaan badan yang berwenang untuk melakukan
pemeriksaan dan memutus suatu persengketaan.109
Berbeda dengan UNCITRAL Abitration Rules, UU Arbitrase
& APS dan Peraturan Prosedur Arbitrase BANI (selanjutnya disebut
PPA BANI) memberikan istilah pemohon dan termohon sebagai
penyebutan pihak-pihak yang berperkara dalam forum arbitrase.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase & APS, pihak
107
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 132. 108
Idem, hlm. 133. 109
Ibid.
62
yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase disebut sebagai pemohon, sedangkan menurut Pasal 1
angka 6 UU Arbitrase & APS, pihak lawan dari pemohon dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase disebut sebagai termohon.
5. Putusan Arbitrase Bersifat Final dan Mengikat
Proses penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase akan
berujung pada suatu putusan arbitrase. Pasal 57 UU Arbitrase &
APS menyatakan bahwa putusan diucapkan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.
Ketentuan Pasal 56 menegaskan bahwa arbiter atau majelis
arbiter mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau
berdasarkan keadilan dan kepatutan. Pada prinsipnya suatu
putusan arbitrase hanyalah didasarkan kepada hukum semata-
mata dan tidak dapat memutuskan semata-mata berdasarkan
keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
Putusan yang berdasarkan keadilan dan kepatutan semata-
mata atau disebut juga dengan istilah “compesiteur” hanya dapat
dilakukan oleh para arbiter jika memang dimintakan dengan tegas
oleh para pihak. Dalam hal ini, para arbiter dapat
mengesampingkan aturan hukum sepanjang aturan hukum yang
dikesampingkan tersebut bukan merupakan “hukum memaksa”.110
110
Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 105.
63
Berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU Arbitrase & APS, suatu
putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak (final and binding), sehingga pada prinsipnya tidak dapat
diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Sifat final and
binding dari putusan arbitrase diatur secara tegas dalam berbagai
peraturan dan prosedur arbitrase.
Sebagai konsekuensi dari sifat putusan arbitrase yang final
and binding, maka para pihak wajib langsung melaksanakan
putusan tersebut. Namun pelaksanaan putusan arbitrase secara
sukarela ini sangat tergantung pada itikad baik dari para pihak yang
bersengketa. UU Arbitrase & APS memberikan upaya yang dapat
ditempuh apabila pelaksanaan putusan arbitrase secara sukarela
tidak dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 61 UU Arbitrase & APS, dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan
Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Kemudian Pasal 62 ayat (1) UU Arbitrase & APS menyatakan
bahwa perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 UU
Arbitrase & APS diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri.
Selanjutnya, dalam memberikan perintah pelaksanaan
tersebut, Ketua Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk
64
memeriksa pemenuhan Pasal 4 dan 5 UU Arbitrase & APS, serta
tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Ketua
Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa alasan atau
pertimbangan putusan arbitrase agar putusan tersebut benar-benar
mandiri, final, dan mengikat.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi yang melanda seluruh dunia mempengaruhi semua
bidang kehidupan. Namun yang paling tampak dan terasa adalah bidang
ekonomi, khususnya perdagangan. Era ini ditandai dengan lahirnya
berbagai macam perjanjian multilateral dan bilateral maupun
pembentukan blok-blok ekonomi yang menjurus kepada kondisi yang
borderless dalam dunia perdagangan. Majunya perdagangan dunia ini, di
satu sisi memang memberikan dampak positif, namun di sisi lain dapat
menimbulkan perbedaan paham, perselisihan atau sengketa.1
Suatu sengketa dapat terjadi dalam setiap hubungan hukum
(perdata), terutama disebabkan keadaan di mana pihak yang satu
mempunyai masalah dengan pihak yang lainnya dalam hubungan
tersebut. Komar Kantaatmadja menyebutkan bahwa sengketa terjadi jika
salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat
tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian.2
Sengketa yang terjadi tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan harus
diselesaikan menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal di
antara para pihak yang bersengketa.3 Secara umum dikenal 2 macam
mekanisme atau cara penyelesaian sengketa, yaitu secara konvensional
1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001, hlm. v. 2 Otje Salman S., “Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses Penyelesaian
Sengketa”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 3.
3 Ibid.
2
sengketa diselesaikan melalui pengadilan (proses litigasi) dan sebagai
mekanisme alternatif dikenal proses penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (non litigasi).
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan
bentuk penyelesaian sengketa yang sangat dikenal dan sudah lama
digunakan. Namun demikian, dinamika dan kepesatan yang terjadi di
dalam kegiatan ekonomi dan bisnis saat ini telah menimbulkan implikasi
terhadap lembaga pengadilan. Pengadilan yang secara konkret
mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika
menerima, memeriksa, serta menyelesaikan setiap sengketa yang
diajukan, dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak
efektif dan efisien.4
Kalangan dunia usaha, terutama pengusaha asing, yang
senantiasa mengupayakan segala urusan dengan serba cepat, ketika
menghadapi sengketa dengan mitra usahanya akan berusaha memilih
forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria mereka lebih dapat
dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis serta memiliki risiko yang
realtif kecil terhadap aktivitas bisnisnya. Forum penyelesaian sengketa
yang dimaksud tidak lain adalah arbitrase.5
Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya
disebut UU Arbitrase & APS) menyatakan bahwa arbitrase adalah cara
4 Eman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT
Fikahati Aneska, Jakarta, 2012, hlm. 2. 5 Idem, hlm. 3-4.
3
penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui bahwa sebagai salah
satu bentuk penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan (non-
litigasi), kompetensi atau jurisdiksi arbitrase lahir melalui kesepakatan
para pihak yang memilih forum arbitrase tersebut.6 Para pihak dapat
menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Kesepakatan atau
persetujuan para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian yang
dibuat secara tertulis yang dinamakan dengan perjanjian arbitrase.
Kedua bentuk perjanjian arbitrase, baik yang dibuat sebelum
ataupun setelah timbul sengketa, pada dasarnya memiliki tujuan serta
konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian arbitrase akan
melahirkan kompetensi absolut atau kewenangan mutlak forum arbitrase
untuk memeriksa sengketa para pihak. Sebagai konsekuensi hukumnya
penyelesaian sengketa dimaksud akan ditarik keluar dari yurisdiksi hakim
Pengadilan Negeri dan selanjutnya menjadi kewenangan forum arbitrase
yang dipilih oleh para pihak. Sebaliknya Pengadilan Negeri menjadi tidak
berwenang untuk menyelesaikan sengketa bersangkutan.7
Namun demikian, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui
forum arbitrase. Di Indonesia, sengketa yang dapat diperiksa dan
diselesaikan melalui arbitrase sangat limitatif. Ketentuan Pasal 5 ayat (1)
UU Arbitrase & APS secara eksplisit menentukan jenis sengketa yang
6 Idem, hlm. 92.
7 Idem, hlm. 67-68.
4
dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sementara itu, ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Arbitrase & APS
menegaskan bahwa sengketa yang menurut undang-undang tidak dapat
diadakan perdamaian tidak dapat diselesaikan melalui forum arbitrase.
Sengketa tersebut umumnya meliputi hukum keluarga, terutama yang
berkenan dengan status sipil dan kemampuan seseorang, tentang pailit,
penyelesaian susunan pengurus dan perubahan permodalan dalam
anggaran dasar perseroan.8
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa salah satu jenis
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
kepailitan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU) seorang debitor
hanya dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan apabila memiliki
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Menurut Pasal 300 ayat (1) UUK-PKPU badan yang memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara kepailitan adalah
Pengadilan Niaga. Kewenangan Pengadilan Niaga tersebut adalah
mutlak. Artinya, tidak ada badan atau lembaga lain yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus perkara kepailitan selain Pengadilan Niaga.
8 Yahya Harahap, “Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU
No. 30 Tahun 1999”; dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002.
5
Dengan demikian, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan permohonan
pailit kepada selain Pengadilan Niaga.9
Sehubungan dengan eksistensi lembaga arbitrase, Pasal 303 UUK-
PKPU menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa
dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang
terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang
menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU.
Di samping memberikan penegasan bahwa forum arbitrase tidak
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit,
ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU di atas sekaligus memberikan landasan
bagi salah satu pihak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap pihak lainnya kepada Pengadilan Niaga, meskipun kedua belah
pihak tersebut telah terikat dalam perjanjian arbitrase atau bahkan pada
saat kedua belah pihak tersebut sedang bersengketa di forum arbitrase.10
Masalah timbul manakala permohonan pernyataan pailit tersebut
dikabulkan oleh Pengadilan Niaga pada saat proses pemeriksaan
sengketa di forum arbitrase sedang berjalan atau berlangsung. Dalam
penelitian yang dilakukannya, peneliti menemukan suatu peristiwa hukum
di mana debitor yang dinyatakan pailit adalah pihak pemohon dalam
proses pemeriksaan sengketa yang sedang berjalan di forum arbitrase.
9 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010, hlm. 144. 10
Fred B.G Tumbuan, “Dampak Arbitrase Terhadap Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (ed), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004, hlm. 53.
6
Permasalahan utama yang timbul berkaitan dengan persitiwa
hukum tersebut ialah perihal konsekuensi putusan pernyataan pailit
debitor terhadap perjanjian arbitrase yang telah dibuat sebelumnya.
Permasalahan selanjutnya ialah perihal kewenangan pihak pemohon yang
dinyatakan pailit tersebut untuk dapat meneruskan tuntutan hukum yang
diajukan olehnya di forum arbitrase selama kepailitan dirinya berlangsung.
Permasalahan di atas didasari adanya alasan bahwa sebagai salah
satu cara penyelesaian sengketa perdata (di luar peradilan umum)
mengenai hak yang tercakup dalam hukum kekayaan, arbitrase memiliki
pertautan dengan lembaga kepailitan yang merupakan sita umum yang
mencakup seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua
kreditornya. Pertautan tersebut didasarkan pada akibat yang timbul dari
pernyataan pailit terhadap status hukum debitor pailit untuk melakukan
pengurusan terhadap harta kekayaannya.11
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU putusan
pernyataan pailit mengubah status hukum debitor menjadi tidak cakap
untuk melakukan perbuatan hukum menguasai dan mengurus harta
kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh
pengadilan.12 Kewenangan debitor untuk menguasai dan mengurus harta
pailit tersebut beralih demi hukum kepada kurator berdasarkan ketentuan
Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU
Namun demikian, harus dicermati bahwa dengan diputuskannya
menjadi debitor pailit, bukan berarti debitor kehilangan seluruh hak
11
Ibid. 12
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 84.
7
keperdataannya untuk dapat melakukan semua perbuatan hukum di
bidang keperdataan. Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya
untuk mengurus dan menguasai kekayaannya, sedangkan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya debitor masih cakap
dan berwenang.13
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, debitor pailit tetap cakap
bertindak. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU suatu gugatan atau
tuntutan hukum dapat diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor
pailit.14 Berkenaan dengan hal tersebut, kepailitan debitor juga memiliki
akibat hukum terhadap kedudukan debitor pailit dalam tuntutan hukum
yang diajukan olehnya dan yang sedang berjalan selama kepailitan dirinya
berlangsung. Akibat hukum tersebut diatur dalam Pasal 28 UUK-PKPU.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) sampai dengan Pasal 28
ayat (3) UUK-PKPU, suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor dan
yang sedang berjalan selama kepailitan berlangsung, atas permohonan
tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk memberikan kesempatan
kepada tergugat memanggil kurator untuk mengambil alih perkara dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh hakim. Dalam hal kurator tidak
mengindahkan panggilan tersebut atau apabila kurator menolak
mengambil alih perkara, maka tergugat berhak memohon supaya perkara
digugurkan, dan jika tergugat tidak memohonkan hal tersebut, maka
13
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 190. 14
Fred B.G Tumbuan, Op.Cit, hlm. 55.
8
perkara dapat diteruskan antara debitor pailit dan tergugat di luar
tanggungan harta pailit.15
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu upaya penyelesaian
sengketa di luar pengadilan membuka kemungkinan bahwa tuntutan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUK-PKPU di atas
diajukan oleh debitor melalui arbitrase. Namun demikian, UUK-PKPU tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kemungkinan penerapan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUK-PKPU terhadap
suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor pailit melalui forum
arbitrase.
Ketidakjelasan pengaturan mengenai penerapan Pasal 28 UUK-
PKPU menunjukan adanya kesenjangan antara UUK-PKPU dengan
praktik yang terjadi dalam kenyataan, sebab dalam praktiknya terjadi
suatu peristiwa hukum di mana tuntutan hukum diajukan oleh debitor pailit
melalui forum arbitrase sebelum dirinya dinyatakan pailit.
Kesenjangan antara UUK-PKPU dengan praktik yang terjadi dalam
kenyataan pada gilirannya menimbulkan masalah perihal kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang berperkara dalam forum arbitrase,
khususnya bagi pihak yang dinyatakan pailit pada saat proses
penyelesaian sengketa di arbitrase sedang berjalan.
Dalam praktiknya permasalahan sebagaimana diuraikan di atas
terjadi dalam perkara kepailitan PT Sri Melamin Rejeki (selanjutnya
disebut PT SMR). Perkara kepailitan PT SMR diawali dari adanya
15
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 218-219.
9
hubungan hukum yang diadakan oleh PT SMR dengan PT Pupuk
Indonesia (Persero) (selanjutnya disebut PT PI) melalui Perjanjian No.
174/ SP/DIR/2007-No.156/SMRJ/XII/2007 tertanggal 27 Desember 2007
(selanjutnya disebut Perjanjian 2007).
Dalam Perjanjian 2007 terdapat klausula arbitrase yang berisi
kesepakatan PT SMR dan PT PI (selanjutnya secara bersama-sama
disebut Para Pihak) untuk memillih BANI sebagai forum yang berwenang
menyelesaikannya apabila di kemudian hari timbul perselisihan atau
sengketa di antara para pihak.
Memasuki tahun 2008, mulai terjadi ketidakharmonisan dalam
hubungan bisnis Para Pihak. Masing-masing mengklaim sebagai pihak
yang benar, dan menuduh pihak lain mempunyai utang. PT SMR menilai
PT PI telah melakukan cidera janji terhadap Perjanjian 2007. Atas dasar
hal tersebut PT SMR mengajukan tuntutan pembatalan Perjanjian 2007
disertai tuntutan ganti rugi ke BANI pada tanggal 31 Agustus 2012.16
Di lain pihak PT PI menilai PT SMR memiliki utang yang belum
dibayarkan kepada PT PI. Berdasarkan pada alasan tersebut, pada
tanggal 19 Oktober 2012 PT PI mengajukan permohonan pernyataan pailit
PT SMR ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.17
16
Muhammad Yasin, “Klausul Arbitrase Tidak Menghalangi Pailit”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51da266b95cef/klausul-arbitrase-tak-menghalangi-pailit, diakses pada tanggal 2 September 2013 Pukul 12.44 WIB.
17 Ridwan Asikin, “Pupuk Indonesia Gandeng Kejaksaan Pailitkan Sri Melamin”,
http://www.pusri.co.id/50publikasi01.php?tipeid=DD&pubid=pub20130211, diakses pada tanggal 1 September 2013 Pukul 23.03 WIB.
10
Pada tanggal 21 Desember 2012 permohonan pailit tersebut ditolak
oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo.18 Tidak puas atas putusan
tersebut PT PI mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung
(selanjutnya disebut MA) pada tanggal 28 Desember 2012. Kemudian
pada tanggal 17 April 2013 MA membatalkan putusan Pengadilan Niaga a
quo dan mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh PT PI
terhadap PT SMR serta menyatakan PT SMR pailit dengan segala akibat
hukumnya.19 Setelah PT SMR dinyatakan pailit, kedudukan PT SMR
sebagai pemohon dalam proses penyelesaian sengketa di BANI diambil
alih oleh Kurator PT SMR (dalam pailit).
Sepanjang pengetahuan penulis belum ada penelitian lain yang
membahas tentang akibat hukum putusan pernyataan pailit debitor
terhadap proses penyelesaian sengketa yang sedang berjalan di
arbitrase. Adapun karya tulis yang berkaitan dengan tema dan
permasalahan yang akan diteliti oleh penulis, yaitu:
1. Karya tulis yang pertama ditulis oleh Boydo H.K. Panjaitan, dengan
judul skripsi “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengenyampingan
Klausula Arbitrase Oleh Pengadilan Niaga Dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang”, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, 2008. Skripsi ini mengangkat pokok permasalahan
mengenai kekuatan hukum klausula arbitrase terhadap pihak dalam
18
Ibid. 19
Pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 45 K/Pdt.Sus/2013, diunduh dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/7d9994ba55f711d45fb842aa0c625a0c, diakses pada tanggal 30 Juli 2013 Pukul 13.00 WIB.
11
suatu perjanjian dan kewenangan Pengadilan Niaga terhadap
klausula arbitrase yang diberikan oleh UUK-PKPU.
2. Karya tulis yang kedua ditulis oleh Agung Wibowo, dengan judul
skripsi “Kompetensi Pengadilan Niaga Terhadap Permohonan Pailit
Yang Diajukan Oleh Kreditor Kepada Debitor Yang Mencantumkan
Klausula Arbitrase”, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
2010. Skripsi ini mengangkat pokok permasalahan mengenai
kewenangan lembaga arbitrase untuk memeriksa sengketa
kepailitan.
Berdasarkan adanya perbedaan antara karya tulis di atas dengan
penelitian penulis terkait tema dan permasalahan yang diteliti, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum mengenai akibat
hukum kepailitan terhadap arbitrase dalam bentuk skripsi, dengan judul:
“STATUS HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
YANG DIAJUKAN OLEH DEBITOR DI LUAR PERKARA KEPAILITAN
TERHADAP PERNYATAAN PAILIT DEBITOR DITINJAU DARI HUKUM
POSITIF INDONESIA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti dengan
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor terhadap
perjanjian arbitrase antara debitor dan kreditor?
12
2. Bagaimana kewenangan debitor yang telah dinyatakan pailit dalam
meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis konsekuensi
putusan pernyataan pailit debitor terhadap perjanjian arbitrase
antara debitor dan kreditor.
2. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis kewenangan
debitor yang telah dinyatakan pailit dalam meneruskan perkaranya
selaku pemohon di lembaga arbitrase.
D. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini, diharapkan adanya kegunaan baik secara teoritis
maupun praktis, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran berupa kegunaan sebagai bahan untuk dikaji bagi ilmu
hukum itu sendiri pada umumnya dan juga bagi hukum kepailitan
dan hukum arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa pada
khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan berupa pengetahuan hukum mengenai kepailitan dan
13
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa beserta instrumen-
instrumennya kepada masyarakat luas pada umumnya, serta
khususnya bagi para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan
dan arbitrase.
E. Kerangka Pemikiran
Indonesia adalah negara hukum, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat. Pembangunan hukum nasional
Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 harus dapat mendukung dan
menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum
yang berintikan keadilan dan kebenaran.
Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja bahwa ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari
segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok
(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.20
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan
adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.
Yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur,
tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang
melampaui batas-batas sekarang.21
Dalam masyarakat yang sedang melakukan pembangunan, hukum
tidak sekedar menjadi alat untuk memelihara ketertiban dalam
20
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 3.
21 Idem, hlm. 4.
14
masyarakat, namun hukum juga harus dapat membantu proses
perubahan masyarakat itu. Peranan hukum dalam pembangunan adalah
untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.
Karena baik perubahan maupun ketertiban merupakan tujuan kembar dari
masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang
tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.22
Proses pembangunan di Indonesia ditandai dengan meningkatnya
aktivitas bisnis dan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku
usaha. Mengamati aktivitas bisnis di Indonesia yang kian marak tersebut
tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa atau dispute antar para
pihak yang terlibat. Semakin luas kegiatan perdagangan, semakin banyak
frekuensi terjadinya sengketa, di lain pihak semakin banyak pula sengketa
yang harus diselesaikan.23
Berkenaan dengan hal itu, diperlukan suatu sistem penyelesaian
sengketa yang cepat, eketif, dan efisien. Kemajuan ekonomi khususnya
perkembangan dunia usaha, tidak akan mencapai hasil maksimal tanpa
didukung suatu sistem peradilan (penyelesaian sengketa) yang dapat
diterima, dalam arti sistem peradilan yang mampu dan cekatan
menyelesaikan sengketa bisnis secara cepat dengan biaya murah24, serta
memberikan manfaat bagi para pihak yang berperkara dan menjamin
adanya kepastian hukum.
22
Idem, hlm. 20. 23
Suyud Margono, “Pelembagaan Alternatif Dispute Resolution (ADR) di Indonesia”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm. 16.
24 Siswono Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian Sengketa Dalam Dunia
Usaha”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm. 138.
15
Sehubungan dengan hal itu, pembangunan hukum nasional telah
menunjukan sikap yang responsif terhadap perkembangan kegiatan
ekonomi yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut terlihat dari lahirnya
UUK-PKPU sebagai salah satu perangkat hukum yang menjamin
kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum dalam upaya
penyelesaian masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan
efektif.
Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan masalah utang
piutang atau kewajiban sesuatu kepada pihak lain.25 Dalam suatu
perjanjian umumnya terdapat debitor atau orang yang berutang dan
kreditor atau orang yang berpiutang. Manakala debitor berhenti membayar
utangnya, baik karena tidak mampu membayar ataupun tidak mau
membayar, hal ini menimbulkan kerugian bagi kreditor. Salah satu
alternatif tindakan hukum secara litigasi yang dapat ditempuh oleh kreditor
dalam menyelesaikan masalah utang piutang yaitu dengan mengajukan
permohonan kepailitan terhadap debitor.26
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU, kepailitan adalah sita
umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang penguasaan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas. UUK-PKPU memberikan pengertian debitor sebagai orang
yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang
25
Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, PT Alumni, Bandung, 2005, hlm. 193.
26 Pupung Faisal, “Pengaturan Dan Pelaksanaan Renvooiprocedure Dalam
Perkara Kepailitan”, dalam Isis Ikhwansyah, Kompilasi Hukum Bisnis, CV. Keni, Bandung, 2012, hlm. 500.
16
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan debitor pailit
adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa debitor
yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan Niaga, baik atas permohonannya
sendiri, maupun atas permohonan seorang atau lebih kreditornya.
Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan harta kekayaan
debitor. Kepailitan mengakibatkan kekayaan debitor pailit yang masuk
dalam harta pailit berada di bawah sita umum. Berdasarkan Pasal 21
UUK-PKPU, harta pailit meliputi seluruh harta kekayaan debitor pada saat
putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
debitor pailit selama kepailitan, kecuali yang secara tegas dinyatakan oleh
UUK-PKPU dikeluarkan dari harta pailit.
Sita umum terhadap harta kekayaan debitor berakibat pada
pembatasan terhadap hak dan kewenangan debitor untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap harta kekayaannya. Hal tersebut ditegaskan
dalam Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa debitor
demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan. Kewenangan debitor tersebut beralih demi
hukum kepada kurator berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal
69 ayat (1) UUK-PKPU.
17
Berkenaan dengan status debitor pailit di atas dan karena
selanjutnya harta kekayaan debitor pailit tidak lagi diurus oleh debitor
tetapi oleh kuratornya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1)
UUK-PKPU segala tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang
menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.
Selanjutnya ketentuan Pasal 27 UUK-PKPU menyatakan bahwa
selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor
pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
Dengan kata lain, gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 UUK-
PKPU tersebut (yaitu gugatan yang ditujukan kepada debitor pailit bukan
kepada kurator) tidak dapat diterima oleh hakim sebagai gugatan dan
diperiksa perkaranya, tetapi hanya dapat diterima sebagai laporan untuk
pencocokkan tagihannya dalam rangka verifikasi utang piutang dari
debitor pailit yang bersangkutan.27
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU di
atas, harus dicermati bahwa dengan diputuskannya menjadi debitor pailit,
bukan berarti debitor kehilangan seluruh hak keperdataannya untuk dapat
melakukan semua perbuatan hukum di bidang keperdataan. Debitor pailit
hanya kehilangan hak keperdataannya untuk mengurus dan menguasai
kekayaannya, sedangkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
keperdataan lainnya debitor masih cakap dan berwenang.28
27
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 193. 28
Idem, hlm. 190.
18
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, debitor pailit tetap cakap
bertindak. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU suatu gugatan atau
tuntutan hukum dapat diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor
pailit.29
Berkenaan dengan hal tersebut, kepailitan juga memiliki akibat
terhadap gugatan atau tuntutan hukum yang diajukan oleh atau terhadap
debitor pailit dan yang sedang berjalan selama kepailitan berlangsung.
Apabila dalam kepailitan debitor terdapat tuntutan hukum yang sedang
berjalan dan si debitor berkedudukan sebagai penggugat, berlaku
ketentuan Pasal 28 UUK-PKPU. Sebaliknya, apabila si debitor
berkedudukan sebagai tergugat, berlaku ketentuan Pasal 29 UUK-PKPU.
Sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa utang
piutang melalui jalur hukum, kepailitan berada di wilayah perbatasan
antara hukum privat dan hukum publik. Bahkan, dapat dikatakan bahwa
kepailitan itu dalam beberapa aspeknya sangat bersifat publik, walaupun
juga memiliki aspek privat. Adanya kondisi tersebut menyebabkan proses
kepailitan akan mungkin berakibat pada pembatasan hak-hak maupun
kewenangan dari pihak ketiga, termasuk pembatasan pada forum lain,
seperti arbitrase atau peradilan umum.30
Pembatasan pada forum arbitrase didasari pada alasan adanya
interaksi atau pertautan antara kepailitan dengan arbitrase. Pertautan
29
Fred B.G Tumbuan, Loc.Cit. 30
Husseyn Umar, “Komentar Terhadap Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (ed), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004, hlm. xx.
19
tersebut terjadi karena adanya pembatasan kewenangan debitor pailit
untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya sebagai akibat dari
kepailitan. Adanya pembatasan kewenangan bertindak debitor pailit
terhadap harta kekayaannya pada gilirannya berdampak pada forum
arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perdata (di luar
peradilan umum) mengenai hak yang tercakup dalam hukum kekayaan.
Arbitrase yang di Indonesia diatur dalam UU Arbitrase & APS
merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.
Jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan kesepakatan sukarela dari
para pihak. Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau
yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Kesepakatan atau persetujuan para pihak tersebut dituangkan dalam
bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis yang dinamakan dengan
perjanjian arbitrase.
Secara normatif, UU Arbitrase & APS memberikan batasan
pengertian mengenai perjanjian arbitrase, sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase & APS yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.” Berdasarkan berbagai sumber undang-undang, peraturan dan
konvensi internasional, perjanjian arbitrase dibedakan menjadi 2 bentuk,
20
yaitu klausula arbitrase atau pactum de compromittendo dan akta
kompromis. Dalam perjanjian arbitrase yang berbentuk klausula arbitrase,
para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan sengketa yang
mungkin timbul melalui forum arbitrase.
Bentuk perjanjian arbitrase yang kedua adalah akta kompromis.
Akta kompromis yaitu perjanjian yang telah disepakati oleh pihak yang
berjanji bahwa perselisihan yang telah terjadi di antara mereka akan
diselesaikan melalui forum arbitrase. Jadi akta kompromis dibuat para
pihak setelah timbul sengketa, dimana sebelumnya baik dalam perjanjian
pokok maupun dengan akta tersendiri, tidak diadakan suatu perjanjian
arbitrase.
Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakan pada
perjanjian pokok, oleh karena itu perjanjian arbitrase disebut dengan
perjanjian buntutan atau “asesor”.31 Sebagai pernjanjian asesor, perjanjian
arbitrase wajib mengikuti prinsip-prinsip hukum kontrak asesor yang
berlaku, yaitu isinya tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya, tidak
boleh bertentangan dengan perjanjian pokoknya, dan tidak ada tanpa
adanya perjanjian pokok.32
Sungguhpun pada prinsipnya perjanjian arbitrase merupakan suatu
perjanjian asesor, tetapi ada beberapa sifatnya yang unik, yang
menyebabkan sifatnya sebagai asesor tersebut tidak diikuti secara penuh.
31
Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention of the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm, hlm. 62.
32 Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan
kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 118.
21
Misalnya, jika perjanjian pokoknya batal, perjanjian arbitrase tidak ikut-
ikutan batal.33 Pasal 10 UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut dibawah ini:
a. Meninggalnya salah satu pihak; b. Bangkrutnya salah satu pihak; c. Novasi; d. Insolvensi salah satu pihak; e. Pewarisan; f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok; g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan
pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”
Perjanjian arbitrase melahirkan kompetensi absolut atau
kewenangan mutlak forum arbitrase untuk memeriksa sengketa para
pihak. Sebagai konsekuensi hukumnya penyelesaian sengketa dimaksud
akan ditarik keluar dari yurisdiksi hakim Pengadilan Negeri dan
selanjutnya menjadi kewenangan forum arbitrase yang dipilih oleh para
pihak. Sebaliknya, Pengadilan Negeri menjadi tidak berwenang untuk
menyelesaikan sengketa bersangkutan.
Kewenangan mutlak forum arbitrase terhadap kompetensi
Pengadilan Negeri ditegaskan dalam Pasal 3 UU Arbitrase & APS yang
menyatakan bahwa:
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa
para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase”,
sejalan dengan ketentuan tersebut, Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase & APS
menyatakan bahwa:
33
Idem, hlm. 119.
22
“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” Arbitrase dan Pengadilan Negeri merupakan 2 mekanisme
penyelesaian sengketa yang berbeda. Namun demikian, pada dasarnya
karateristik arbitrase serupa dengan penyelesaian sengketa lewat
Pengadilan Negeri. Menyelesaikan sengketa melalui pengadilan maupun
melalui arbitrase, kedua bentuk tersebut, merupakan adjudicatory
methods of settlement atau adjudikasi dengan pendekatan pertentangan
(adversarial), meskipun arbitrase tetap dianggap sebagai bentuk lain dari
adjudikasi, yakni adjudikasi privat.34
Selain itu, pada hakikatnya pihak-pihak yang berperkara dalam
proses arbitrase tidak berbeda dengan pihak-pihak dalam sengketa
perdata pada umumnya di Pengadilan Negeri, yaitu sekurang-kurangnya
terdapat dua pihak. Yang berbeda adalah persoalan penyebuatan pihak-
pihak yang berperkara. Para Pihak dalam sengketa perdata pada
Pengadilan Negeri disebut penggugat dan tergugat, sedangkan dalam
proses pemeriksaan sengketa pada forum arbitrase penyebutan pihak-
pihak dalam perkara sedikit berbeda.
Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah dibakukan dan
standar, baik dalam literatur maupun arbitration rules. Sebutan untuk
34
Para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, sehingga dapat menjamin baik kenetralan maupun keahlian yang dianggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut, sehingga tidak perlu merasa takut atau tidak yakin terhadap hukum substansi dari yurisdiksi tertentu. Lihat Garry Goodpaster, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa”, dalam Felix O. Soebagjio & Eman Radjagukguk (eds.), Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 7-8.
23
pihak yang membuat tuntutan adalah “claimant” sedangkan sebutan untuk
pihak tertuntut adalah “respondent”.35 Sementara itu baik di dalam UU
Arbitrase & APS maupun di dalam PPA BANI, penyebutan pihak-pihak
yang bersengketa disebut dengan istilah “Pemohon” untuk “claimant” dan
“Termohon” untuk “respondent”.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan unsur yang mutlak dalam suatu
penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan, demikian pula
hubungannya dalam penulisan skripsi ini. Langkah-langkah penelitiaannya
sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini dilakukan penulis dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif,36 yaitu penelitian hukum yang
mengutamakan penelitian kepustakaan yang menekankan pada
tinjauan dari segi ilmu dan bagaimana implementasinya. Metode
yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan terhadap asas –
asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum.37 Penelitian hukum normatif
atau penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.
Penelitian ini dinamakan juga penelitian hukum kepustakaan.38
35
Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 81. 36
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.51.
37 Ibid.
38 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 13-14.
24
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan bersifat deskriptif analitis,
yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang ada dalam materi
penelitian ini yaitu konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor
terhadap perjanjian arbitrase dan kewenangan debitor pailit untuk
dapat meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase.
3. Tahap Penelitian
Untuk melengkapi data kepustakaan yang ada maka diadakan
penelitian lapangan. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan penulis
meliputi dua tahap, terdiri dari:
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian dilakukan terhadap data-data sekunder yang terdiri dari:
1) Bahan hukum primer, merupakan peraturan perundang-
undangan yang berlaku39, antara lain:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang;
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
d) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 45
K/Pdt.Sus/2013;
39
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian....Op.Cit, hlm. 1.
25
e) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst;
f) Peraturan perundang-undangan lainnya.
2) Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu menganalisa bahan hukum primer,40 yaitu buku-buku
dan makalah yang berkaitan dengan kepailitan dan arbitrase.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi
penjelasan bahan hukum primer dan sekunder yang ada
hubungannya dengan pokok permasalahan yang dibahas41,
yaitu berupa kamus hukum, artikel, jurnal, dan data yang
diperoleh melalui internet.
b. Penelitian Lapangan
a. Penelitian lapangan dilakukan untuk mencari dan kemudian
meneliti data primer yang didapat di lapangan sebagai pendukung
dari data-data sekunder. Penelitian lapangan ini dilakukan di
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Badan Arbitrase Nasional
Indonesia, kantor hukum Rynaldo P. Batubara (Kurator PT Sri
Melamin Rejeki (dalam pailit)), dan kantor hukum Fred B.G
Tumbuan (Tim Perumus UUK-PKPU), DKI Jakarta.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis ialah:
40
Ibid. 41
Ibid.
26
a. Studi kepustakaan, dan
b. Wawancara.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis
datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data
sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan
menganilisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari
berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Penerapan penafsiran terhadap hukum selalu berhubungan dengan
isisnya. Setiap hukum mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat dan
tersirat; bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu
diperdebatkan oleh para ahli hukum. Dalam hal ini, bahasa menjadi
pentng. Ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabaran adalah
sangat relevan bagi hukum. Penafsiran mau tidak mau dibutuhkan
untuk menerangkan dokumen hukum.
Setelah memperoleh data penunjang penulisan skripsi ini, maka
dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk
menggambarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan
berupa penjelasan-penjelasan yang tidak dapat ditunjukan oleh angka
dan tidak dapat dihitung.
6. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di beberapa lokasi sebagai berikut:
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung;
27
b. Perpustakaan Umum Universitas Padjadjaran, Bandung;
c. Mahkamah Agung Republik Indonesia, DKI Jakarta;
d. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
e. Badan Arbitrase Nasional Indonesia, DKI Jakarta;
f. Kantor hukum Rynaldo P. Batubara (Kurator PT Sri Melamin
Rejeki (dalam pailit)), DKI Jakarta;
g. Kantor hukum Fred B.G Tumbuan (Tim Perumus UUK-PKPU),
DKI Jakarta.
130
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Pustaka Pelajar, Jakarta,
2009. Eman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, Penerbit
PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2012. Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara
Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004
Fred B.G Tumbuan, “Dampak Arbitrase Terhadap Kepailitan”, dalam
Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004.
_____, “Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan
Sebagaimana Diubah oleh PERPU No. 1/1998”, dalam Rudy A. Lontoh, Denny Kilimang, dan Benny Pontoh (eds.), Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2000.
Garry Goodpaster, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa”,
dalam Felix O. Soebagjio & Eman Radjagukguk (eds.), Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. H. Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase, Salah Satu
Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Huala Adolf, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa
Melalui Arbitrase (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, 2006.
Husseyn Umar, “Komentar Terhadap Interaksi Antara Arbitrase dan
Proses Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004.
131
I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum : Inggris – Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008. Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam
Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Isis Ikhwansyah et. all, Hukum Kepailitan (Analisis Hukum
Perselisihan dan Hukum Keluarga Serta Harta Benda Perkawinan, CV Keni Media, Bandung, 2012.
Joni Emrizon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramitha,
Jakarta, 2004
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2010.
M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata
(Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention of the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2010. ______, Bunga Rampai Hukum Dagang, PT Alumni, Bandung, 2005. Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung,
1999. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan, PT Alumni, Bandung, 2006. Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis), Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
______, Hukum Kepailitan Dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000.
132
Nurnaningsih Amriani, Mediasi : Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Otje Salman S., “Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses
Penyelesaian Sengketa”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Parwoto Wignjosumarto, “Titik Taut Arbitrase Dan Kepailitan di
Indonesia”, dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008. Pupung Faisal, “Pengaturan Dan Pelaksanaan Renvooiprocedure
Dalam Perkara Kepailitan”, dalam Isis Ikhwansyah, Kompilasi Hukum Bisnis, CV. Keni, Bandung, 2012
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, cet. VI, 1979. ______, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1992. ______, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. ke-XXXIII, PT Intermasa,
Jakarta, 2005. Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan
di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. ______, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT
Alumni, Bandung, 2006. Rudy A Lontoh et.all, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2001.
Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta,1979.
Siswono Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian Sengketa Dalam
Dunia Usaha”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001.
133
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2008.
_______ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, Cetakan Pertama Edisi Kedelapan, 2009. ______, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2010. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010.
Suyud Margono, “Pelembagaan Alternatif Dispute Resolution (ADR) di
Indonesia”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001.
Zainal Muttaqin, “Aspek Kepailitan Dalam Penagihan Utang Pajak
Terhadap Wajib Pajak Yang Dinyatakan Pailit”, dalam Isis Ikhwansyah, Kompilasi Hukum Bisnis, CV. Keni, Bandung, 2012.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
C. Sumber Lain Alan Redfern dan Martin Hunter, Law and Practice of International
Commercial Arbitration, Sweet and Maxwell, London, 1986, hlm. 3, sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, “Syarat Tertulis dan Indepedensi Klausul Arbitrase”, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia No. 6, 2009
134
Anggaran Dasar dan Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase
Nasional Indonesia Tahun 1985. Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, terjemahan Saleh Adiwinata
dkk., Binacipta, Bandung, 1983. Hasil wawancara dengan Fred B.G Tumbuan, Tim Perumus UUK-
PKPU, di Kantor Hukum Tumbuan & Partner, Jakarta, 14 November 2013.
Hasil wawancara dengan Rynaldo P. Batubara, kurator PT SMR
(dalam pailit),di Kantor Hukum Batubara & Bels, Jakarta, 30 September 2013.
M. Yahya Harahap, “Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat
Perhatian Atas UU No. 30 Tahun 1999”, dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002.
Muhammad Yasin, “Klausul Arbitrase Tidak Menghalangi Pailit”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51da266b95cef/klausul-arbitrase-tak-menghalangi-pailit.
Peter J. Dorman (eds.), Running Press Dictionary of Law, Running
Press, Philadelphia, 1976. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2013. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.
64/Pailit/2012/PN.Niaga/Jkt.Pst. Ridwan Asikin, “Pupuk Indonesia Gandeng Kejaksaan Pailitkan Sri
Melamin”,http://www.pusri.co.id/50publikasi01.php?tipeid=DD&pubid=pub20130211.
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, “Sengketa dan
Penyelesaiannya”, dalam Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997.