Upload
arief-budhy-w
View
30
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Biodiversitas
Biodiversitas berasal dari kata biodiversity yang merupakan suatu
keanekaragaman hayati. Penggunaan istilah ini digunakan untuk menunjukkan
variasi dan variabilitas makhluk hidup yang terdapat di permukaan bumi ini. Bila
ditinjau dari segi keanekaragaman sumber daya tumbuhan yang ada di Indonesia
yang cukup luas masih perlu diteliti. Keanekaragaman sumber daya tumbuhan
yang ada di Indonesia diperkirakan dihuni oleh ± 100 - 150 suku tumbuhan yang
meliputi 25 - 35 ribu jenis (Hasairin, 2000).
Vegetasi merupakan sekumpulan dari berbagai jenis tumbuhan yang
mendiami suatu kawasan dan di antara individu - individu penyusunnya terdapat
hubungan interaksi yang erat, baik antara tumbuhan itu sendiri maupun dengan
hewan yang hidup dalam vegetasi itu, dengan demikian vegetasi bukan hanya
kumpulan dari individu-individu tumbuhan saja melainkan membentuk suatu
kesatuan yang saling bergantung satu sama lain yang disebut sebagai suatu
komunitas tumbuh - tumbuhan (Marsono, 1997).
Kelompok tumbuhan ini menggambarkan masyarakat yang merupakan
bagian dari ekosistem. Dimana terdapat peristiwa - peristiwa transformasi,
akumulasi dan arus energi berlangsung.
Tumbuhan dan hewan dari berbagai jenis yang hidup secara alami di suatu
tempat membentuk suatu kumpulan yang di dalamnya setiap inidividu
menemukan lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
kumpulan ini terdapat pula kemungkinan untuk hidup bersama, toleransi
kebersamaan dari hubungan timbal-balik yang menguntungkan sehingga dalam
kumpulan ini terbentuk suatu derajat keterpaduan secara bersama telah
menyesuaikan diri dan menghuni suatu tempat alami disebut juga sebagai suatu
komunitas.
7
Menurut Irwan (1992) vegetasi dalam ekosistem, yang paling menentukan
dalam ekosistem adalah tumbuhan, karena memiliki peranan sebagai:
1. Perubah terbesar dari lingkungan karena mempunyai fungsi sebagai
perlindungan dari radiasi matahari, mengurangi temperatur yang eksktrim
melalui proses transpirasi dan dapat mengalirkan air dari tanah ke udara.
2. Pengikat energi untuk seluruh ekosistem melalui proses fotosintesis, dan
3. Sebagai sumber hara mineral melalui proses-proses sintesis yang terjadi
dalam tubuh tanaman.
Kelompok suatu tumbuhan yang merupakan vegetasi yang berada di
wilayah tertentu selalu berkaitan erat dengan habitat mereka berada, seperti
habitat darat, lautan, ketinggian dari permukaan laut, serta iklim dan musim.
Dalam hal ini faktor-faktor lingkungan jelas memiliki peranan penting dalam
menentukan pertumbuhan suatu jenis tumbuhan di daerah tersebut. Pada
umumnya suatu wilayah yang mempunyai ekologi dan vegetasi yang sama serta
mempunyai ciri-ciri fisik vegetasi tumbuhan sebagian besar dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan setempat (Polunin, 1990).
2.2. Tegakan Pohon Kemenyan (Styrax sp.)
Kemenyan (Styrax sp.) merupakan salah satu jenis pohon yang sudah
lama dibudidayakan oleh masyarakat di Sumatera Utara. Pohon kemenyan
termasuk ke dalam ordo Ebenales, famili Styracaceae dan genus Styrax. Pohon ini
berukuran besar, tinggi dapat mencapai 24 - 40m dengan diameter 60 - 100 cm.
Batang tegak/lurus dengan percabangan sedikit. Kulit batang beralur tidak terlalu
dalam (kira-kira 3 - 7 mm) dan kulit berwarna merah anggur. Kulit luar halus
sampai retak-retak ke arah vertikal atau berlekuk halus. Kulit bagian dalam lunak,
berwarna coklat sampai merah, merah muda atau merah keunguan (Waluyo,
2011).
Pohon ini menghasilkan resin yang disebut kemenyan, mengandung
senyawa - senyawa seperti asam sinamat, asam benzoat, stirol, vanilin, styracin,
koniferil benzoat dan resin yang terdiri dari benziresinol dan suma resinotannol.
Kemenyan digunakan secara luas dalam industri farmasi, bahan pengawet,
8
parfum, kosmetik, aromatherapy, dupa, campuran rokok kretek dan lain-lain
(Sagala, et al. 1980; Widyastuti, 1989 dalam Waluyo, 2011). Kemenyan dapat
dimanfaatkan langsung dengan cara dilarutkan dalam alkohol dan dijadikan obat
luka yang berperan sebagai pencegah infeksi dan sebagai stimulan (Archangel,
2005 dalam Waluyo, 2011).
2.3. Pengenalan Lichenes
Lichenes (lumut kerak) merupakan gabungan dua tanaman yang hidup
bersama (bersimbiosis), yaitu antara fungi (jamur) dan yang berwarna hijau
disebut ganggang (alga) sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu
kesatuan. Ganggang membuat makanan untuk jamur. Sebab, warna hijau yang
dimilikinya memungkinkan ganggang melakukan proses fotosintesis, memasak
makanan. Sementara itu, tugas jamur adalah memberi perlindungan terhadap
kekeringan. Lichenes adalah tanaman yang hebat. Berbeda dari lumut biasa yang
tumbuh di tempat yang lembab, lichenes bisa tumbuh di tempat-tempat yang sulit,
tempat yang sangat dingin dan kering. Lichenes ini hidup secara epifit pada
pohon-pohonan, tetapi dapat juga hidup di atas tanah, terutama di daerah sekitar
kutub utara, di atas batu cadas, di tepi pantai dan juga di gunung-gunung yang
tinggi (Tjitrosoepomo, 1989).
Tumbuhan ini tergolong tumbuhan pioner (perintis) yang ikut berperan
dalam pembentukan tanah. Tumbuhan ini bersifat endolitik karena dapat masuk
pada bagian pinggir batu. Bukan hanya tumbuh di batu, lumut ini menjadikan batu
itu lapuk. Lichenes ini menghasilkan asam, dan kemudian asam itu melubangi
batu dan lama kelaman memecahnya. Begitu batu menjadi tanah, tanaman lain
pun bisa tumbuh di sana. Itulah sebabnya lumut kerak disebut juga tumbuhan
perintis. Lumut kerak ini bahkan bisa tumbuh di tengkorak binatang yang mati.
Dalam hidupnya Lichenes tidak memerlukan syarat hidup yang tinggi dan tahan
terhadap kekurangan air dalam jangka waktu yang lama. Lichenes tumbuh sangat
lambat dan umurnya pun panjang. Lichenes yang hidup pada batuan dapat
menjadi kering karena teriknya matahari, tetapi tumbuhan ini tidak mati, dan jika
turun hujan bisa hidup kembali. Pertumbuhan tallusnya dari lichenes sangat
9
lambat, jarang lebih dari 1 cm dalam 1 tahun. Tubuh buah baru akan terbentuk
setelah mengadakan pertumbuhan vegetatif selama bertahun - tahun. Udara dan
air yang beracun merupakan satu hal yang tak disukai oleh lichenes. Itulah
sebabnya kita tidak akan bisa menjumpai tumbuhan ini tumbuh di sekitar pabrik-
pabrik. Karena sifatnya yang peka ini lichenes sering dipakai sebagai penunjuk
adanya pencemaran udara di suatu daerah (Dube, 2006).
Alga yang ikut menyusun tubuh lichenes disebut gonidium, dapat bersel
tunggal atau berupa koloni. Kebanyakan gonidium adalah ganggang biru
(Cyanophyceae) antara lain Chroococcus dan Nostoc, kadang - kadang juga
ganggang hijau (Chlorophyceae) misalnya Cystococcus dan Trentepohlia.
Tercatat bahwa terdapat 12 genus dari divisi alga biru - hijau (Chyanophyceae)
dan 21 dari alga hijau (Chlorophyceae). Pada umumnya genus yang termasuk
dalam Cyanobacteria adalah Nostoc, Gloeocapsa dan Rivularia, sedangkan yang
termasuk alga hijau diantaranya Protococcus, Trentepohlia dan Cladophora
(Pandey & Trivendi, 1977).
Cendawanpenyusun lichenes kebanyakan tergolong ke dalam Ascomycetes
terutama Discomycetes, hanya kadang-kadang Pyrenomycetes. Basidiomycetes
juga mengambil bagian dalam pembentukan lichenes, kebayakan cendawan-
cendawan tertentu bersimbiosis dengan ganggang tertentu pula. Untuk
memelihara lichenes pada medium buatan dijumpai banyak kesukaran. Tetapi jika
cendawan dan ganggang dipisahkan, masing-masing dapat dipelihara dengan
mudah pada medium buatan. Dalam kultur murni cendawan baru memperlihatkan
susunan morfologi menurut jenisnya, tetapi bentuk tallus seperti lichenes baru
terjadi, jika bertemu dengan jenis ganggang yang tepat. Lain ganggang akan
menghasilkan lichenes yang lain pula. Jadi bentuk lichenes bergantung pada cara
hidup antara kedua macam organisme yang menyusunnya. Dengan kata lain alga
dan jamur bersimbiosis membentuk lichenes baru jika bertemu dengan jenis yang
tepat (Tjitrosoepomo, 1989).
Keberadaan simbiosis antara kedua organisme ini masih diperdebatkan
menurut Pandey & Trivendi (1977) bahwa lumut kerak diklasifikasikan ke dalam
fungi sejati. Namun menurut Smith (1955) dalam Pandey & Trivendi (1977)
10
menerangkan bahwa lumut kerak harus berada pada kelompok yang terpisah dari
fungi dan alga.
Kebanyakan Lichenes berkembangbiakvegetatif, karena bila sebagian
tallus terpisah, lalu tumbuh merupakan individu baru. Pada beberapa jenis
lichenes, pembiakan berlangsung dengan perantaraan soredium, yaitu kelompok
kecil sel-sel ganggang yang sedang membelah dan diselubungi benang-benang
misellium menjadi suatu badan yang dapat terlepas dari induknya. Lichenes
menghasilkan lebih dari 500 senyawa biokimia yang unik untuk dapat beradaptasi
pada habitat yang ekstrim. Senyawa tersebut berguna untuk mengontrol sinar terik
matahari, mengusir/menolak (repellen) herbivora, mengurangi kompetisi dengan
tumbuhan dan membunuh mikroba. Diantaranya berbagai jenis pigmen dan
antibiotik yang juga membuat lichenes ini sangat berguna bagi manusia pada
masyarakat tradisional (Sharnoff, 2002).
2.4. Morfologi Thallus
2.4.1. Struktur Luar (Morfologi)
Tubuh lichenes dinamakan thallus yang secara vegetatif mempunyai
kemiripan dengan alga dan jamur. Thallus ini berwarna abu-abu atau abu-abu
kehijauan. Beberapa spesies ada yang berwarna kuning, oranye, coklat atau merah
dengan habitat yang bervariasi. Bagian tubuh yang memanjang secara selluler
dinamakan hifa. Hifa merupakan organ vegetatif dari thallus atau miselium yang
biasanya tidak dikenal pada jamur yang bukan lichenes. Alga selalu berada pada
bagian permukaan dari thallus (Hawksworth, 1984 dalam Dube, 2006).
Berdasarkan bentuknya, Lichenes dibedakan atas empat bentuk :
a) Crustose
Lichenes yang memiliki thallus yang berukuran kecil, datar, tipis dan
selalu melekat ke permukaan batu, kulit pohon atau di tanah. Jenis ini susah untuk
mencabutnya tanpa merusak substratnya. Permukaan talus biasanya terbagi
menjadi areal-areal yang agak heksagonal yang disebut areole (Vashishta, 2007).
Contoh : Graphis scipta, Haematomma puniceum, carospora atau Pleopsidium.
11
(a) (b)
Gambar 2.1. Contoh lichenes yang berbentuk crustose : (a). Acarospora;
(b). Haematomma accolens. Sumber : (Sharnoff, 2002)
Lichenes Crustose yang tumbuh terbenam di dalam batu hanya bagian
tubuh buahnya yang berada di permukaan disebut endolitik, dan yang tumbuh
terbenam pada jaringan tumbuhan disebut endoploidikatau endoploidal. Lichenes
yang longgar dan bertepung yang tidak memiliki struktur berlapis, disebut leprose.
b) Foliose
Lichenes foliose memiliki struktur seperti daun yang tersusun oleh lobus-
lobus. Lichenes ini relatif lebih longgar melekat pada substratnya. Thallusnya
datar, lebar, banyak lekukan seperti daun yang mengkerut berputar. Bagian
permukaan atas dan bawah berbeda. Permukaan bawah berwarna lebih terang atau
gelap dan pada bagian tepi talus biasanya menggulung ke atas (Vashishta, 2007).
Lichenes ini melekat pada batu, ranting dengan rhizines. Rhizines ini juga
berfungsi sebagai alat untuk mengabsorbsi makanan. Contoh : Xantoria, Physcia,
Peltigera, Parmelia dll.
Gambar 2.2.Contoh lichenes yang berbentuk foliose : Xantoria elegans
Sumber : (Anonim, 2009)
12
c) Fruticose
Thallusnya berupa semak dan memiliki banyak cabang dengan bentuk
seperti pita. Thallus tumbuh tegak atau menggantung pada batu, daun-daunan atau
cabang pohon. Tidak terdapat perbedaan antara permukaan atas dan bawah. Tallus
hanya menempati bagian dasar dengan cakram bertingkat. Lumut kerak fruticose
ini dapat memperluas dan menunjukan perkembangannya hanya pada batu-batuan,
daun, dan cabang pohon (Vashishta, 2007). Contoh : Usnea, Ramalina dan
Cladonia.
Gambar 2.3. Contoh lichenes yang berbentuk fruticose : Cladonia portentosa
Sumber : (Anonim, 2009)
d) Squamulose
Lichenes ini memiliki lobus - lobus seperti sisik, lobus ini disebut
squamulus yang biasanya berukuran kecil dan saling bertindih dan sering
memiliki struktur tubuh buah yang disebut podetia. Talus ini memiliki bentuk
seperti sisik yang tersusun oleh banyak cuping (lobes) yang kecil tetapi tidak
memiliki rizhine (Vashishta, 2007). Contoh: Psora pseudorusselli, Cladonia
carneola.
Gambar 2.4. Contoh lichenes yang berbentuk squamulose : Psora pseudorusselli
Sumber : (Anonim, 2009)
13
Gambar 2.5. Morfologi Tallus Lichenes
Sumber : (Anonim, 2009)
2.4.2. Struktur Dalam (Anatomi)
Struktur dalam (anatomi) diwakili oleh jenis foliose, karena jenis ini
mempunyai empat bagian tubuh yang dapat diamati secara jelas yaitu (Brown,
1987) :
a. Korteks atas, berupa jalinan yang padat disebut pseudoparenchyma dari hifa
jamurnya. Sel ini saling mengisi dengan material yang berupa gelatin.Bagian
ini tebal dan berguna untuk perlindungan. Lapisan teratas disebut sebagai
lapisan hifa fungi. Lapisan ini tidak memiliki ruang antar sel dan jika ada
maka ruang antar sel biasanya diisi oleh gelatin. Pada beberapa jenis lumut
kerak yang bergelatin, kulit atas juga kekurangan satu atau beberapa sel tipis.
Namun, permukaan tersebut dapat ditutupi oleh epidermis. Alga sangat
penting untuk memenuhi kebutuhan nutrisi lumut kerak, karena alga dapat
melakukan fotosintesis (Moore, 1972). Secara umum, lapisan atas alga
diketahui dapat menerima cahaya sinar matahari. Simbiosis yang terjadi
14
mengakibatkan kedua komponen tersebut saling tergantung satu sama lain.
Lumut kerak dapat mengabsorbsi air dari hujan, aliran permukaan, dan embun.
b. Daerah alga, merupakan lapisan biru atau biru hijau yang terletak di bawah
korteks atas yang terdiri atas lapisan gonidial (Vashishta, 2007). Bagian ini
terdiri dari jalinan hifa yang longgar fungi yang bercampur dengan alga.
Diantara hifa-hifa itu terdapat sel-sel hijau, yaitu Gleocapsa, Nostoc, Rivularia
dan Chrorella. Lapisan thallus untuk tempat fotosintesa disebut lapisan
gonidial sebagai organ reproduksi. Berdasarkan penyebaran lapisan alga pada
talusnya, lumut kerak telah diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu
homoiomerus dan heteromerous. Pada homoimerus, sel alga tersebar merata
pada jaringan longgar hifa fungi sedangkan pada heteromerus sel-sel alga
terbatas pada lapisan atas talus.
c. Medulla, terdiri dari lapisan hifa yang berjalinan membentuk suatu bagian
tengah yang luas dan longgar. Hifa jamur pada bagian ini tersebar ke segala
arah dan biasanya mempunyai dinding yang tebal. Hifa pada bagian yang lebih
dalam lagi tersebar di sepanjang sumbu yang tebal pada bagian atas dan tipis
pada bagian ujungnya. Dengan demikian lapisan tadi membentuk suatu
untaian hubungan antara dua pembuluh. Lapisan ini akan memberikan
kekuatan dan penghubung antara lapisan bawah dan atas atau bagian luar dan
dalam talus. Menurut Fink (1961) dalam Januardania (1995) lapisan ini
menyerupai parenkim bunga karang seperti pada jaringan daun. Pembagian
atau pemisahan antara lapisan alga dan lapisan medula tidak selalu terjadi
secara sempurna. Pada lapisan ini hanya sedikit terdapat sel-sel alga, dan pada
umumnya lapisan ini relatif tebal dan tidak berwarna atau transparan.
d. Korteks bawah, lapisan ini terdiri dari struktur hifa yang sangat padat dan
membentang secara vertikal terhadap permukaan thallus atau sejajar dengan
kulit bagian luar. Korteks bawah ini sering berupa sebuah akar (rhizines). Ada
beberapa jenis lichenes tidak mempunyai korteks bawah. Dan bagian ini
digantikan oleh lembaran tipis yang terdiri dari hypothallus yang fungsinya
sebagai proteksi. Fink (1961) dalam Januardania (1995) mengatakan bahwa
lapisan korteks bagian bawah sangat mirip dengan lapisan cortex bagian atas.
15
Pada lapisan ini akan terbentuk rizoid yang berkembang masuk ke substrat.
Jika rizoid tidak ada, maka fungsinya akan digantikan oleh hifa - hifa fungi
yang merupakan perpanjangan hifa dari lapisan medulla.
2.4.3. Struktur Vegetatif
Struktur tubuh lichenes secara vegetatif terdiri dari :
a. Soredia.
Soredia terdapat pada bagian medulla yang keluar melalui celah kulit.
Diameternya sekitar 25 - 100 mμ, sehingga soredia dapat dengan mudah
diterbangkan angin dan akan tumbuh pada kondisi yang sesuai menjadi
tumbuhan licenes yang baru. Jadi pembiakan berlangsung dengan perantaraan
soredia. Soredia itu sendiri merupakan kelompok kecil sel - sel ganggang yang
sedang membelah dan diselubungi benang-benang miselium menjadi satu
badan yang dapat terlepas dari induknya. Soredia ini terdapat di dalam
soralum.
b. Isidia
Isidia berbentuk silinder, bercabang seperti jari tangan dan terdapat pada kulit
luar. Diamaternya 0,01 - 0,03 mμ dan tingginya antara 0,5 - 3 mμ.
Berdasarkan kemampuannya bergabung dengan thallus, maka dalam media
perkembangbiakan, isidia akan menambah luas permukaan luarnya. Sebanyak
25 - 30 % dari spesies foliose dan fructicose mempunyai isidia. Proses
pembentukan isidia belum diketahui, tetatpi dianggap sebagai faktor genetika.
c. Lobula
Lobula merupakan pertumbuhan lanjutan dari tahllus lichenes yang sering
dihasilkan di sepanjang batas sisi kulit luar. Lobula ini dapat berkembang
dengan baik pada jenis foliose, Genus Anaptycia, Neproma, Parmelia dan
Peltigera. Lobula sangat sukar dibedakan dengan isidia.
d. Rhizines
Rhizines merupakan untaian yang menyatu dari hifa yang berwarna kehitam -
hitaman yang muncul dari kulit bagian bawah (korteks bawah) dang mengikat
thallus ke bagian dalam. Ada dua jenis rhizines yaitu bercabang seperti pada
16
Cetraria, Physcia dan Parmelia dan yang tidak bercanag terdapat pada
Anaptycis dan beberapa Parmelia.
e. Tomentum
Tomentum memiliki kepadatan yang kurang dari rhizines dan merupakan
lembaran serat dari rangkaian akar atau untaian yang renggang. Biasanya
muncul pada lapisan bawah seperti pada Collemataceae, Peltigeraceae dan
Stictaceae.
f. Cilia
Cilia berbentuk seperti rambut, menyerupai untaian karbon dari hifa yang
muncul di sepanjang sisi kulit. Cilia berhubungan dengan rhizines dan hanya
berbeda pada cara tumbuh saja.
g. Cyphellae dan Pseudocyphellae
Cypellae berbentuk rongga bulat yang agak besar serta terdapat pada korteks
bawah dan hanya dijumpai pada genus Sticta. Pseudocyphellae mempunyai
ukuran yang lebih kecil dari cyphellae yaitu sekittar 1 mμ dan terdapat pada
korteks bawah spesies Cetraria, Cetralia, Parmelia dan Pasudocyphellaria.
Rongga ini berfungsi sebagai alat pernafasan atau pertukaran udara.
h. Cephalodia.
Cephalodia merupakan pertumbuhan lanjutan dari thallus yang terdiri dari alga
- alga yangg berbedadari inangnya. Pada jenis peltigera aphthosa, cephalodia
mulai muncul ketika Nostoc jatuh pada permukaan thallus dan terjaring oleh
hifa cephalodia yang berisikan Nostoc biru kehijauan. Jenis ini mampu
menyediakan nitrogen thallus seperti Peltigera, Lecanora, Stereocaulon,
Lecidea dan beberapa jenis crustose lain.
2.5. Klasifikasi Lichenes
Lichenes sangat sulit untuk diklasifikasikan karena merupakan gabungan
dari alga dan fungi serta sejarah perkembangan yang berbeda. Para ahli seperti
Bessey, Martin dan Alexopoulus, berpendapat bahwa Licheness dikelompokkan
dan diklasifikasikan ke dalam kelompok jamur sebenarnya. Bessey
meletakkannya dalam ordo Leocanorales dan Ascomyccetes. Menganjurkan agar
17
Licheness dikelompokkan dalam kelompok yang terpisah yang berbeda dari alga
dan fungi (Hawksworth, 1984).
Licheness memiliki klasifikasi yang bervariasi dan dasar - dasar
klasifikasinya secara umum adalah sebagai berikut :
A. Berdasarkan komponen cendawan yang menyusunnya
1. Ascolichens
Apabila cendawan penyusunnya tergolong Pyrenomycetales, maka tubuh
buah yang dihasilkan berupa peritesium Contoh : Dermatocarpon dan Verrucaria.
Dan jika cendawan penyusunnya tergolong Discomycetes Lichenes membentuk
tubuh buah berupa apothecium yang berumur panjang, bersifat seperti tulang
rawan dan mempunyai askus yang berdinding tebalcontoh : Usnea yang berbentuk
semak kecil dan banyak terdapat pada pohon - pohon dalam hutan, lebih - lebih di
daerah pegunungan, dan Parmelia yang berupa lembaran-lembaran seperti kulit
yang hidup pada pohon-pohon dan batu - batu.
Dalam kelas Ascolichens ini dibangun juga oleh komponen alga dari
famili : Mycophyceae dan Chlorophyceae yang bentuknya berupa gelatin. Genus
dari Mycophyceae adalah : Scytonema, Nostoc, Rivularia, Gleocapsa dan lain -
lain. Dari Cholophyceae adalah Protococcus, Trentopohlia, Cladophora dan
lainnya (Hawksworth, 1984).
2. Basidiolichenes.
Kebanyakan mempunyai thalus berbentuk lembaran - lembaran. Pada
tubuh buah terbentuk lapisan himenium yang mengandung basidium, menyerupai
tubuh buah Hymenomycetales. Berasal dari jamur Basidiomycetes dan alga
Mycophyceae, Basidiomycetes yaitu dari famili : Thelephoraceae dengan tiga
genus Cora, Corella dan Dyctionema. Mycophyceae berupa filament yaitu
Scytonema dan tidak berbentuk filamen yaitu Chrococcus (Hawksworth, 1984).
3. Lichen Imperfect
Detromycetes fungi, steril. Contoh : Cystocoleus, Lepraria, Leprocanlon,
Normandia, dan lainnya (Hawksworth, 1984).
18
B. Berdasarkan alga yang menyusun thalus.
1. Homoimerus
Sel alga dan hifa jamur tersebar merata pada thallus. Komponen alga
mendominasi dengan bentuk seperti gelatin, termasuk dalam Mycophyceae.
Contoh : Ephebe, Collema.
2. Heteromerous
Sel alga terbentuk terbatas pada bagian atas thallus dan komponen jamur
menyebarkan terbentuknya thallus, alga tidak berupa gelatin Chlorophyceae.
Contoh : Parmelia.
C. Berdasarkan tipe thallus dan kejadiannya.
1. Crustose atau Crustaceous.
Merupakan lapisan kerak atau kulit yang tipis di atas batu, tanah atau kulit
pohon. Seperti Rhizocarpon pada batu, Lecanora dan Graphis pada kulit kayu.
Mereka terlihat sedikit berbeda antara bagian permukaan atas dan bawah.
2. Fruticose atau Filamentous
Lichenes semak, seperti silinder rata atau seperti pita dengan beberapa
bagian menemoel pada bagian dasar atau permukaan. Thallus bervariasi, ada yang
pendek dan panjang, rata, silindris atau seperti janggut atau benang yang
menggantung atau berdiri tegak. Bentuk yang seperti telinga tipis yaitu Ramalina.
Yang panjang menggantung seperti Usnea dan Alectoria. Cladonia adalah tipe
kedua bentuk itu (Hawksworth, 1984).
2.6. Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak
Lumut kerak hidup tidak hanya pada pohon-pohonan, tetapi juga di atas
tanah, terutama pada daerah tundra di sekitar kutub utara. Lokasi tumbuhnya
dapat di atas maupun di dalam batu dan tidak terikat pada tingginya tempat di atas
permukaan laut. Lumut kerak dapat ditemukan dari tepi pantai sampai di atas
gunung-gunung yang tinggi. Tumbuhan ini tergolong dalam tumbuhan perintis
yang ikut berperan dalam pembentukan tanah. Beberapa jenis dapat masuk pada
bagian pinggir batu - batu, yang biasa disebut bersifat endolitik (Tjitrosoepomo,
19
1981). Lumut kerak juga dapat hidup dan tumbuh pada habitat yang agak kering
(Polunin, 1990).
Menurut Fink (1981) lumut kerak yang ada pada pohon umumnya tumbuh
pada batang atau bagian batang yang lebih rendah. Menurut Pandey & Trivendi
(1977) habitat lumut kerak dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
1) Saxicolous adalah jenis lumut kerak yang hidup di batu. Menempel pada
substrat yang padat dan di daerah dingin.
2) Corticolous adalah jenis lumut kerak yang hidup pada kulit pohon. Jenis ini
sangat terbatas pada daerah tropis dan subtropis, yang sebagian besar kondisi
lingkungannya lembab. Pada kulit pohon kemenyan misalnya, terdapat banyak
jenis lichenes. Baik itu yang berbentuk crustose, foliose, fruticose maupun
squamulose.
Gambar 2.7. Lichenes yang Terdapat pada Tegakan Kemenyan.
Sumber : (Anonim, 2005)
3) Terricolous adalah jenis lumut kerak terestrial, yang hidup pada permukaan
tanah. Penyebaran koloni lumut kerak dapat terjadi secara vegetatif yaitu
dengan cara fragmentasi, soredia, dan isidia serta secara seksual. Penyebaran
secara vegetatif secara tidak langsung dapat dibawa oleh air, angin, serangga
atau satwa (Moore, 1972). Air hujan sangat penting dalam penyebaran
soredia, meskipun dengan angin juga dapat terjadi penyebaran.
20
Menurut Pandey & Trivendi (1977) fragmentasi merupakan salah satu cara
penyebaran secara vegetatif yang paling umum dijumpai. Lumut kerak yang
kering dengan kondisi yang sangat rapuh, bila terpisah dari talus utamanya maka
potongan talus tersebut akan terbawa oleh angin atau air sehingga akan jatuh pada
tempat yang baru. Pada tempat yang baru, potongan talus tersebut akan tumbuh
menjadi talus yang baru. Soredia merupakan struktur berbentuk bubuk yang
berwarna putih keabuan atau hijau keabuan, yang biasanya terletak pada
permukaan talus atau pinggiran talus. Soredia akan disebarkan oleh angin atau air
hujan dalam mencari substrat yang sesuai sehingga dapat berkembang menjadi
talus baru. Isidia merupakan struktur yang memiliki bentuk seperti karang yang
terdapat pada permukaan atau pinggiran talus.
Untuk reproduksi seksual terbatas untuk pasangan fungi yang terdapat
pada lumut kerak, sebab sebagian besar komponen fungi pada lumut kerak
termasuk dalam golongan Ascomycetes. Reproduksi ini meliputi pembentukan
askokarp dalam struktur khusus yang disebut dengan asci, tumbuh pada
apotesium atau peritesium. Banyak jenis fungi pada lumut kerak membentuk
askokarp, tergantung pada golongannya.
Menurut Vashishta (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang
membantu penyebaran lumut kerak. Penyebaran secara vegetatif merupakan cara
efisien membantu penyebarannya, hal tersebut juga didukung oleh sifat lumut
kerak yang memiliki ketahanan terhadap suhu dan kelembaban yang ekstrim.
2.7. Pengaruh Faktor Lingkungan bagi Lumut Kerak
1. Faktor Lingkungan
a. Suhu udara
Pertumbuhan lumut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara
lain suhu udara, kelembaban udara dan kualitas udara. Lumut kerak memiliki
kisaran toleransi suhu yang cukup luas. Lumut kerak dapat hidup baik pada suhu
yang sangat rendah atau pada suhu yang sangat tinggi. Lumut kerak akan segera
menyesuaikan diri bila keadaan lingkungannya kembali normal. Salah satu
contohnya alga jenis Trebouxia tumbuh baik pada kisaran suhu 12 - 24°C, dan
21
fungi penyusun lumut kerak pada umumnya tumbuh baik pada suhu 18 - 21°C
(Ahmadjian, 1967).
b. Kelembaban udara
Walaupun lumut kerak tahan pada kekeringan dalam jangka waktu yang
cukup panjang, namun lumut kerak tumbuh dengan optimal pada lingkungan yang
lembab (Ronoprawiro, 1989 dalam Pratiwi, 2006).
c. Kualitas Udara
Menurut Kristanto (2002) dalam Pratiwi (2006) udara adalah suatu
campuran gas yang berada pada lapisan yang mengelilingi bumi, dengan
komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999; Soedirman (1975) dalam Ryadi (1982)
pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau
komponen lain berupa debu, uap air, bau, asap, dan berbagai jenis gas lainnya
yang dalam jumlah konsentrasi, sifat dan lama waktu keberadaannya di atmosfer,
sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya dan dapat menyebabkan gangguan
terhadap lingkungan disekitarnya baik terhadap gangguan kesehatan, kerusakan
pada kualitas barang/benda tertentu atau kenyamanan makluk disekitarnya.
Kemampuan lumut kerak untuk merespon perubahan yang ditimbulkan oleh
kondisi lingkungan menyebabkan lumut kerak dapat dipakai sebagai bioindikator
untuk pencemaran udara. Hal tersebut dijelaskan oleh Woodruff (1996) dalam
Simonson (1996) yang menyatakan bahwa berdasarkan objek penelitian yang
telah dilakukan beberapa jenis lumut kerak dapat menjadi indikator dalam waktu
pendek karena pertumbuhannya yang lambat dan di dalam sel terdapat bahan
campuran dari polusi yang telah telah ada.