Upload
ngokhanh
View
225
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN CLEAN AND CLEAR
DALAM MENATA IZIN USAHA PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA
TESIS
DIAN EKA RAHAYU SAWITRI
1006736570
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
KEKHUSUSAN HUKUM DAN KENEGARAAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Dian Eka Rahayu Sawitri
NPM : 1006736570
Tanda Tangan :
Tanggal : Januari 2013
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Dian Eka Rahayu Sawitri
NPM : 1006736570
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Kebijakan Clean and Clear Dalam Menata Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. Tri Hayati, SH, MH (.............................................)
Penguji : Dr. A.M. Tri Anggraini, SH, MH (.............................................)
Penguji :Teddy Anggoro, SH, MH (.............................................)
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : Januari 2013
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini
dapat saya selesaikan dengan doa, dukungan moril dan materil, bimbingan, saran
dan pengembangan ide dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya saya tujukan kepada Ibu Dr. Tri Hayati, SH, MH , sebagai pembimbing
yang telah memberikan ide, bimbingan, semangat, dukungan dan perhatian
layaknya seorang ibu. Kemudian juga untuk rekan kerja di Lembaga Administrasi
Negara Republik Indonesia yang selalu memberi semangat tanpa henti agar segera
menyelesaikan tesis. Untuk suamiku Imaduddin terima kasih atas dukungan dan
doanya dalam menjalani program master ini, anak mungil Ayesha terima kasih
atas pertanyaan “kapan ibun selesai sekolah?” sehingga membuat semangat untuk
cepat lulus.
Rasa terima kasih pun saya sampaikan kepada orang tua yang selalu
mendukung anaknya untuk maju. Kepada mama (alm), ingin rasanya bisa
memberi tahu kabar kelulusanku.. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada teman-teman HTN 2010, kepada para dosen penguji yang baik hati, serta
pihak lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah berjasa serta
memberi masukan untuk tesis ini. Saya berharap semoga bantuan dan
dukungannya baik moril maupun materil yang telah diberikan mendapatkan
balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.
Depok, Januari 2013
Dian Eka Rahayu Sawitri
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Dian Eka Rahayu Sawitri
NPM : 1006736570
Program Studi : Magister Hukum
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
KEBIJAKAN CLEAN AND CLEAR DALAM MENATA IZIN USAHA
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : Januari 2013
Yang menyatakan
(Dian Eka Rahayu Sawitri)
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama : Dian Eka Rahayu Sawitri
Program Studi : Hukum Kenegaraan
Judul : Kebijakan Clean and Clear Dalam Menata Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
Tesis ini membahas kebijakan clean and clear yang merupakan instrumen
dalam menata izin usaha pertambangan mineral dan batubara yang sudah
diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota. Dalam rangka menata izin
usaha pertambangan pemerintah melaksanakan kegiatan Rekonsiliasi Nasional
Data Izin Usaha Pertambangan yang terdiri dari inventarisasi, verifikasi dan
klasifikasi. Output dari inventarisasi adalah tersedianya data KP/SIPD/SIPR yang
sudah disesuaikan legalitas usaha pertambangannya menjadi IUP atau IPR.
Sedangkan output dari verifikasi adalah klasifikasi IUP yang mendapat status
Clean and Clean (dinyatakan tidak bermasalah atau tumpang tindih). Upaya
Pemerintah dalam mengevaluasi IUP melalui kebijakan clean and clear harus
diapresiasi dan didukung oleh semua pihak. Mengingat implikasi sertifikasi Clean
and Clear berpengaruh terhadap kegiatan usaha pertambangan lainnya maka
legalitas kebijakan Clean and Clear mutlak diperlukan. Keberadaan dasar hukum
bagi tindakan pemerintah berguna untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
wewenang. Oleh sebab itu kebijakan Clean and Clear perlu untuk dievaluasi dan
diberi format hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
.
Kata kunci : tindakan pemerintah, penataan izin, “clean and clear”
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name : Dian Eka Rahayu Sawitri
Study Program : State Law
Title : The Clean and Clear Policy in Managing the Mining
Business License of Mineral and Coal
This thesis describes about the clean and clear policy that is an instrument
in managing the mining and coal license that has been issued by Provincial
Government, District/City. In order to manage the mineral mining lisence the
government commits National Reconciliation Data Mining License consists of
inventarization, verification and classification.The inventarization’s output is the
availability of KP/SIPD/SIPR data that legality mining license has been adjusted
into IUP or IPR. Meanwhile the verification’s output is IUP classification that has
been granted clean and clear status (declared has no problem or overlapping). The
government’s effort to evaluate IUP through clean and clear policy must be
appreciated and supported from all of the parties. Considering the implication of
clean and clear certification has an influence to the other mining activity, the
legality of clean and clear policy is absolutely needed. Therefore clean and clear
policies need to be evaluated and given a legal format in accordance with the
provisions of the legislation.
Keywords : government action, managing the license, “clean and clear”,
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Permasalahan .................................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat ......................................................................... 7
D. Kerangka Konseptual ....................................................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13
II. TINDAKAN PEMERINTAH, KEWENANGAN DAN
PERIZINAN ......................................................................................... 14
A. Tindakan Pemerintah ........................................................................ 14
B Kewenangan ...................................................................................... 15
C. Perizinan ............................................................................................ 29
III. PERIZINAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA DAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERIZINAN PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA. .......................................................... 39
A. Perizinan Pertambangan Di Indonesia .............................................. 39
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
1. UU No.11 Tahun 1967 Tentang ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan ................................................................................ 39
2. UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara ......................................................................................... 46
3. Perbandingan Perizinan Berdasarkan UU No.11 Tahun 1967 dan
UU No.4 Tahun 2009 ..................................................................... 54
B. Implementasi IUP Clean and Clear Terhadap Kegitan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara ................................................ 61
IV. KEBIJAKAN CLEAN AND CLEAR DALAM MENATA IZIN USAHA
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA .......................... 68
A. Rekonsiliasi Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. ......... 68
B. Evaluasi Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ................ 70
C. Pelaksanaan Rekonsiliasi Nasional Data Izin Usaha Pertambangan.. 74
D. Legalitas Clean and Clear Dalam Rangka Menata Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara ................................................. 78
E. Implikasi IUP Clean and Clear Terhadap Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara ......................................................................... 85
V. PENUTUP ............................................................................................... 90
A. Kesimpulan ......................................................................................... 90
B. Saran .................................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 92
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan antara delegasi dan mandat
Tabel 3.1 Perbandingan UU No.11 Tahun 1967 dan UU No.4 Tahun 2009
Tabel 4.1 IUP Non CNC dan Non CNC
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Design Rekonsiliasi Nasional
Gambar 4.2 Skema Penyelesaian Permasalahan IUP
Gambar 4.3 Posisi Clean and Clear
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Permasalahan
Letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan
sumber daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit
sumber alamnya yang terdapat diperut bumi. Kekayaan alam Indonesia tersebar di
seluruh wilayah secara tidak merata, ada daerah yang memiliki sumberdaya alam
dalam jumlah banyak dan melimpah dan ada yang hanya memiliki sedikit potensi
sumber daya alam. Berdasarkan sifatnya sumber daya alam dapat dikasifikasikan
menjadi 2 (dua), yaitu sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resource)
dan yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resource). Renewable resource
jumlahnya sangat banyak dan dapat dikembalikan persediaannya dalam waktu
tidak terlalu lama dan relatif mudah dengan cara reproduksi ataupun mengikuti
siklus, contohnya adalah mahluk hidup, air, dan lain-lain. Sedangkan unrenewable
resource jumlahnya terbatas dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk
pemulihannya atau bahkan tidak dapat pulih sama sekali. Hal ini disebabkan
karena penggunaannya lebih cepat daripada proses pembentukannya, apabila
dieksploitasi secara berlebihan maka akan habis. Yang termasuk dalam golongan
ini adalah minyak bumi, batubara, emas, besi, nikel, timah, tembaga, bauksit dan
berbagai jenis bahan tambang lainnya.
Sumber daya alam yang melimpah merupakan karunia dan amanah dari
Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai
kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu wajib dikelola secara
bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan
berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, baik generasi sekarang
maupun generasi yang akan datang. Konsepsi pengelolaan sumber daya alam
dalam Undang-Undang Dasar 1945 meletakkan pada paradigma yang berbasis
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
negara.1 Implikasi paradigma ini adalah memberikan wewenang penuh pada
negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan SDA. Kekuasaan
yang maha luas yang dimiliki oleh negara terhadap bumi, air, udara, dan segala
sesuatu yang terkandung di atasnya merefleksikan adanya tanggung jawab yang
sangat besar. Hal ini bukan berarti bahwa sumber daya alam tersebut adalah milik
negara, melainkan negara bertugas untuk mengatur keadilan, keberlanjutan, dan
fungsi sosial sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Penguasaan negara juga dimaksudkan untuk menghilangkan pemusatan
penguasaan oleh seseorang atau sekelompok orang atas sumber daya alam, yang
dapat mengancam tercapainya kesejahteraan rakyat dan hilangnya fungsi sumber
daya alam.
Kekayaan sumber daya alam Indonesia dipahami pemerintah sebagai
modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.2 Bidang energi dan
sumber daya mineral memegang peranan penting dalam perekonomian nasional.
Hal ini terbukti dengan besarnya peranan sektor energi dan sumber daya mineral
sebagai penyedia sumber energi, sumber devisa, penerimaan negara, sumber
bahan baku industri, wahana alih teknologi, pendukung pengembangan wilayah,
menciptakan lapangan pekerjaan dan pendorong pertumbuhan sektor lain.
Komoditi yang dihasilkan dari sektor ini masih memegang peranan penting dalam
perekonomian nasional, menyumbang hampir mencapai 30% dari total
pendapatan negara.3
Dalam mengelola bidang energi dan sumber daya mineral yang
merupakan sumber daya yang tidak terbarukan, pemerintah menggunakan
instrumen izin untuk memperbolehkan atau memperkenankan seseorang/badan
1 A. Hakim Basyar, Upaya Meletakkan Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Secara Komprehensif, hal 4. 2 I Nyoman Nurjana, Menuju Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil, Demokratis dan
Berkelanjutan : Perspektif Hukum dan Kebijakan, hal.1 3 Ibid, hal.4
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
hukum untuk melakukan suatu kegiatan usaha pertambangan. Tujuan dari
perizinan tersebut adalah : 4
a. Keinginan mengarahkan atau mengendalikan (sturen) terhadap aktivitas-
aktivitas tertentu;
b. Mencegah bahaya bagi lingkungan;
c. Keinginan melindungi objek tertentu;
d. Hendak membagi benda-benda yang sifatnya terbatas;
e. Memberikan pengarahan dengan cara menyeleksi.
Pada hakekatnya izin merupakan tindakan hukum pemerintah yang
bersifat sepihak berdasarkan kewenangan yang sah. Tindakan sepihak dilakukan
karena dalam sebuah perizinan mempunyai standar-standar tertentu yang harus
dipenuhi (setting a standard for the licenses).5 Jika standar tersebut belum
terpenuhi maka ada larangan terhadap segala bentuk kegiatan sampai mendapatkan
izin (prohibiting action of this type until a license is obtained).6 Izin merupakan
Keputusan dari pejabat yang mempunyai sifat individual, konkrit, kasual dan
eenmaalig (sekali diberikan selesai).
Kewenangan pemberian izin usaha pertambangan berdasarkan UU No.4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.4 tahun 2009)
tidak lagi mutlak dilakukan oleh pemerintah pusat. Kewenangan tersebut sudah
melibatkan level pemerintahan di bawahnya. Hal ini merupakan implikasi dari
penerapan desentralisasi, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan beberapa urusan pemerintahan secara mandiri (otonom) sebagai
konsekuensi atas penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat. Beralihnya
rezim sentralisasi menjadi desentralisasi sebenarnya telah dimulai pada tahun 2001
dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua
PP Nomor 32 Tahun 1967 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967 (PP
No.25 Tahun 2001). Meskipun pada saat itu yang berlaku UU No. 11 Tahun 1967
4 Ten Berge dan MR.N.M. Spelt diterjemahkan oleh Philipus Hadjon, “Pengantar Hukum
Perizinan”. Bahan Hukum Penataran Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 1992, hal.9. 5 Irving Sewrdlow, The Public Administration of Economic Development, ( New York : Praeger
Publishers, 1975), hal. 383. 6 Ibid.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
tentang Ketentuan-ketentuan pokok pertambangan (UU No.11 Tahun 1967) berkarakter
sentralistik namun di level aturan lebih rendah dilakukan “penyesuaian” dengan era
desentralisasi.
Sejak berlakunya otonomi daerah hingga awal tahun 2012 setidaknya
saat ini sudah terbit sekitar sepuluh ribu izin usaha pertambangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah, lima puluh persen dari total izin tambang
tersebut dinyatakan bermasalah oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.7
Ribuan izin tambang itu antara lain bermasalah terkait konflik penggunaan lahan,
tenaga kerja dan juga masalah komitmen pengembangan berkelanjutan untuk
masyarakat lokal di kawasan tambang, termasuk juga pengabaian sosialisasi
kemanfaatan tambang kepada masyarakat.8
Walhi memperkirakan terdapat sekitar 22 daerah rawan konflik tambang,
yaitu Desa Loleba (Kecamatan Wasilei Halmahera Timur), Pulau Kabaena dan
Gemaf, (Halmahera Tengah), Desa Betaua Kecamatan Tojo (Sulawesi Tengah),
Desa Uekuli Kabupaten Tojo Una-una (Sulawesi Tengah), Kel. Batu IX
Tanjungpinang (Kepulauan Riau), Makroman dan Samarinda (Kalimantan
Timur), Kecamatan Tinanggea Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara), Bahodopi
dan Morowali (Sulawesi Tengah), Desa Rindu Hati Kab. Bengkulu Tengah
(Bengkulu), Sei Serai Kecamatan Bukit Bestari (Tanjungpinang), Desa Pakis
(Kab. Rembang), Pulau Bangka, Sulawesi Utara, Desa Sulaho Kec. Lasusua
(Mandailing Natal), Wotgalih, Lumajang, Jawa Timur, Kulonprogo (Yogyakarta),
Desa Bahomoahi, Bahomotefe, Lalampu, Lele, Dampala, Siumbatu, Bahodopi,
Keurea, dan Fatufia di Kab. Morowali, Sulawesi Tengah, Cipatujah dan Cikalong,
kab. Tasikmalaya, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Sumba Tengah,Cek
Bocek Selesek Reen Sury, Kab. Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.9
7 “5 Ribu Izin Tambang Bermasalah”, http://finance.detik.com/read;, diunduh tanggal 14 Februari
2012 8 Ibid
9 “Ada 22 Daerah Rawan Konflik Pertambangan”, http://www.walhi.or.id/; diunduh 27 Februari
2012.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Selain yang telah disebutkan di atas ada beberapa konflik yang menjadi
perhatian nasional, diantaranya adalah kasus pertambangan di Bima dan Konawe
Utara. Tragedi Bima yang terjadi tahun lalu merupakan salah satu kasus yang
paling menonjol dalam sejarah pertambangan di Indonesia karena menelan korban
jiwa. Konflik pertambangan di Bima dipicu oleh sikap kepala daerah yang mau
menang sendiri ketika memberikan izin tanpa melibatkan rakyat dan pemerintah
pusat.10
Masyarakat menolak rencana penambangan emas di Bima (Nusa
Tenggara Barat) yang dilakukan oleh PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN)
karena lokasi pertambangan berada di areal yang merupakan ruang hidup warga.11
Kasus lainnya yang menarik adalah konflik pertambangan antara PT. Antam
dengan PT Duta Inti Perkasa Mineral (DIPM) di Konawe Utara. Izin usaha
pertambangan kedua perusahaan tersebut berada di lokasi yang sama, oleh karena
itu ANTAM diduga telah melakukan penambangan ilegal di kawasan Lasolo,
Lalindu, Molawe dan Mandiodo, di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi
Tenggara.12
ANTAM adalah BUMN yang mayoritas sahamnya dimiliki
pemerintah, secara logika PT. ANTAM tidak akan mencuri kekayaan Indonesia,
jika pendapatannya menurun maka berarti pendapatan negara juga menurun.
Indonesia berpotensi kehilangan banyak pendapatan dari sektor tambang karena
kasus ini
Contoh kasus di atas menjadi bukti nyata bahwa betapa buruknya tata
kelola energi dan sumber daya mineral yang ada di Indonesia. Kebijakan otonomi
daerah telah disikapi secara kurang bijaksana, pemerintah daerah begitu mudah
mengeluarkan izin usaha pertambangan tanpa dilandasi verifikasi dan prosedur
yang memadai. Otonomi daerah telah memberi kuasa yang amat besar kepada
kepala daerah dalam pemberian izin pertambangan dan disinyalir kewenangan
tersebut sudah disalahgunakan oleh beberapa kepala daerah.13
Pemberian izin
10
“Konflik Pertambangan Di Era Otonomi Daerah – Distorsi Regulasi dan Tarik Menarik Di
Pusat & Daerah”, http://otdanews.com;, diunduh tanggal 19 September 2012. 11
“Kronologis Penolakan Tambang Emas Di Kec. Lambu Kab. Bima – NTB”,
http://www.walhi.or.id;, diunduh 24 Desember 2011. 12
“Ribuan Kasus Izin Tambang Harus Diusut”, http://economy.okezone.com;, diunduh 21
November 2011. 13
Evan Zulfikar “Konflik Mesuji – Bima: Desentralisasi Salah Kaprah”
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
usaha pertambangan seringkali dilakukan dengan alasan untuk menciptakan
kesejahteraan atau meningkatkan kemampuan keuangan daerah (PAD), padahal
sesungguhnya kegiatan usaha pertambangan belum banyak memberikan
kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat.14
Banyaknya masalah akibat izin usaha pertambangan membuat
pemerintah akhirnya melakukan moratorium (penangguhan) izin tambang baru.
Penerbitan izin usaha pertambangan akan dilaksanakan setelah pemerintah
menetapkan wilayah pertambangan terlebih dahulu. Dalam rangka menetapkan
wilayah pertambangan pemerintah cq kementerian ESDM melaksanakan
Rekonsiliasi Nasional Data IUP. Rekonsiliasi bertujuan untuk mengumpulkan
data IUP nasional sekaligus menata izin usaha pertambangan. Dalam rekonsiliasi
muncul istilah Clean and Clear (CNC), CNC merupakan status yang diperoleh
oleh pemegang IUP setelah diverifikasi dan dinyatakan tidak bermasalah, status
CNC ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan proses sertifikasi CNC.
Inisiatif pemerintah dalam menata izin usaha pertambangan melalui
sertifikasi CNC merupakan hal positif yang harus diapresiasi oleh semua pihak,
namun yang harus diperhatikan adalah legalitas kebijakan CNC tersebut. Jangan
sampai kebijakan CNC menjadi bumerang bagi pemerintah yang akan
menimbulkan masalah baru dalam bidang pertambangan.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang dapat dirumuskan dalam kajian ini :
1. Bagaimana legalitas kebijakan clean and clear dalam menata izin usaha
pertambangan mineral dan batubara ?
2. Bagaimanakah implikasi izin usaha pertambangan clean and clear terhadap
kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara ?
14
“Sektor Tambang Belum Sejahterakan Masyarakat”, http://economy.okezone.com;, diunduh
tanggal 30 Mei 2012.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian mengenai perizinan pertambangan mineral dan batubara
mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Menganalisis legalitas clean and clear yang dilakukan oleh pemerintah pusat
dalam rangka menata izin usaha pertambangan mineral dan batubara.
2. Menjelaskan implikasi sertifikasi clean and clear terhadap penataan izin
usaha pertambangan mineral dan batubara.
Penelitian terhadap kebijakan clean and clear dalam dalam rangka menata
izin usaha pertambangan mineral dan batubara ini diharapkan dapat memberikan
manfaat yang luas bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam
rangka perbaikan dan penyempurnaan kebijakan dalam menata izin usaha
pertambangan yang telah terbit dan yang akan terbit. Selain itu penelitian ini
diharapkan juga memberikan manfaat kepada pihak-pihak lain yang terlibat dalam
kegiatan usaha pertambangan maupun pihak-pihak yang concern terhadap
kegiatan pertambangan.
D. Kerangka Konseptional
Dalam penulisan ini banyak istilah yang dipergunakan. Untuk
memperjelas istilah-istilah tersebut berikut akan diuraikan pengertiannya masing-
masing.
1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan
pascatambang.15
15
Indonesia, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Pasal 1 angka 1.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
2. Mineral adalah senyawa organik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat
fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang
membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.16
3. Batubara adalah endapan senyawa organik yang terbentuk karbonan yang
terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.17
4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa
bijih atau bauan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah.18
5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat
di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut dan batuan aspal.19
6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral dan
batubata yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan serta pascatambang.20
7. Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan.21
8. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan uasaha
pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan
investasi terbatas.22
9. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan di wilayah izin izin usaha pertambangan khusus.23
10. Penyelidikan umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui
kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.24
11. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh
informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran
16
Ibid, angka 2. 17
Ibid, angka 3. 18
Ibid, angka 4 19
Ibid, angka 5. 20
Ibid, angka 6. 21
Ibid, angka 7. 22
Ibid, angka 10 23
Ibid, angka 11 24
Ibid, angka 14.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai
lingkungan sosial dan lingkungan hidup.25
12. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk
memperoleh informasi secara perperinci seluruh aspek yang berkaitan untuk
menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk
analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pasca tambang.26
13. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi
konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian termasuk pengangkutan dan
penjualan serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil
studi kelayakan.27
14. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan
memperoleh mineral ikutan.28
15. Wilayah Pertambangan (WP) adalah wilayah yang memiliki potensi mineral
dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan
yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.29
16. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) adalah bagian dari WP yang telah
memiliki ketersediaan data, potensi dan/atau informasi geologi.30
17. Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) adalah wilayah yang diberikan
kepada pemegang IUP.31
18. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) bagian dari WP tempat dilakukan
kegiatan usaha pertambangan rakyat.32
19. Wilayah pencadangan Negara (WPN) adalah adalah bagian dari WP yang
dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.33
25
Ibid, angka 15. 26
Ibid, angka 16. 27
Ibid, angka 17. 28
Ibid, angka 20. 29
Ibid, angka 29. 30
Ibid, angka 30. 31
Ibid, angka 31. 32
Ibid, angka 32 33
Ibid, angka 33
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
20. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) adalah bagian dari WPN yang
dapat diusahakan.34
21. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) adalah wilayah yang
diberikan kepada pemegang IUPK.35
22. Rekonsiliasi adalah perbuatan menyelesaikan perbedaan36
23. Clean and Clear adalah status yang menyatakan lokasi bebas dari semua
persengketaan dan kepemilikan lahan.37
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.38
Penelitian mengenai kebijakan clean and clear dalam rangka menata izin
usaha pertambangan mineral dan batubara merupakan penelitian yuridis normatif
dimana fokus penelitiannya adalah peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah pusat. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini
berbasis pada analisis norma hukum dalam arti law as it is written in the books
(dalam peraturan perundang-undangan).39
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan serta
pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini, maka pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Istilah penelitian
kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
34
Ibid, angka 34 35
Ibid, angka 35 36
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http;//kbbi.web.id/ 37
http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/07/TUMPANG-TINDIH-LAHAN-TAMBANG-
AKIBAT-PEMEKARAN-DAERAH.pdf, 38
Seorjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 1 39
Ronald Dworkin, Legal Research (Deadalus : Spring, 1973), hal. 250
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.40
Moleong
sehubungan dengan penelitian kualitatif mengemukakan bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah.41
Sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan yaitu kualitatif,
maka jenis penelitian adalah eksplanasi dimana penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan secara sistematis dan analitis akan fakta, ketentuan yuridis normatif
dan pendapat para ahli yang memiliki kompetensi dan pengetahuan yang
mendalam di bidang hukum administrasi negara terkait dengan permasalahan dan
tujuan penelitian tesis.
Penelitan ini menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari buku,
laporan penelitian, majalah, tesis serta disertasi yang terkait dengan tema
penelitian. Selain menggunakan bahan hukum di atas, penelitian ini juga
menggunakan bahan hukum sekunder berupa bahan acuan lainnya terkait dengan
tema penulisan yang berupa artikel yang dimuat dalam media cetak maupun
elektronik dan sebagainya. Data yang diperoleh kemudian dipelajari dan dianalisis
secara sistematis sehingga perizinan pertambangan mineral dan batubara menjadi
jelas
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Wawancara mendalam (in-depth interview), wawancara mendalam dilakukan
dengan para narasumber/informan yang kompeten dan relevan terhadap topik
penelitian dimana narasumber telah ditentukan sebelumnya. Sehubungan
dengan hal tersebut, narasumber dalam penelitian tesis ini adalah: Akademisi,
40
Strauss, Anselm & Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-
Teknik Teoritisasi Data (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal 4. 41
Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2006), hal.6.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Praktisi Hukum Administrasi Negara, Praktisi Pertambangan, Pejabat
Pemerintah Pusat maupun Daerah yang menangani masalah pertambangan,
Pejabat Pemerintah Pusat maupun Daerah yang menangani masalah lingkungan
hidup, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan narasumber lain yang
relevan.
2. Diskusi, diskusi dilakukan untuk melengkapi data dari narasumber yang lebih
banyak. Sebab diskusi sangat tepat dilakukan kepada beberapa narasumber
terpilih sehingga akan menciptakan dialog konstruktif antara peneliti dan
narasumber penelitian. Antara wawancara mendalam dengan diskusi fungsinya
adalah untuk saling melengkapi terhadap upaya pengumpulan data sehingga
data yang diperoleh dari penelitian mencukupi dan sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
3. Studi literatur, dimaksudkan untuk membangun konsep dan teori melalui telaah
dan kajian berbagai bahan bacaan seperti buku, jurnal ilmiah yang
berhubungan dengan unit kepresidenan.
4. Studi dokumen, teknik pengumpulan data dengan melakukan telaah dan kajian
terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti data
sekunder yang terdiri dari bahan/sumber primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer yang dipergunakan adalah peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan tema penelitian. Sedangkan bahan/sumber
sekunder yang dipergunakan adalah bahan acuan lainnya terkait dengan tema
penulisan yang berupa artikel yang dimuat dalam media cetak maupun
elektronik dan sebagainya. Data yang diperoleh kemudian dipelajari dan
dianalisis secara sistematis sehingga sistem perizinan pertambangan mineral
dan batubara dapat dideskripsikan dengan jelas.
Dalam penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan dapat berupa uraian
rinci, kutipan langsung dan dokumentasi kasus. Teknik analisis data yang
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
dilakukan melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.42
F. Sistematika Penulisan
BAB I merupakan pendahuluan yang berisi latar permasalahan, tujuan dan
manfaat, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II menjelaskan konsepsi dari kewenangan, konsep legalitas serta
perizinan yang dikemukan oleh para pakar dibidangnya
BAB III menjelaskan sistem perizinan pertambangan di Indonesia pada
periode 1967 – 2008 dan periode 2009 – sekarang beserta
perbandingannya dan juga implementasi kebijakan perizinan
pertambangan.
BAB IV menjelaskan kebijakan rekonsiliasi izin usaha pertambangan,
evaluasi izin usaha pertambangan, pelaksanaan rekonsiliasi
nasional data izin usaha pertambangan, legalitas clean and clear
dalam menata izin usaha pertambangan serta implikasi IUP clean
and clear terhadap kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara
BAB V merupakan penutup yang berisi simpulan dari permasalahan yang
telah diuraikan beserta rekomendasinya.
42
B Matthew Miles & A. Michael Huberman 1992, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Baru (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992).
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
BAB II
TINDAKAN PEMERINTAH, KEWENANGAN DAN PERIZINAN
A. Tindakan Pemerintah
Tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan bestuurszorg
(penyelenggaraan kepentingan umum oleh Pemerintah), paling banyak
menimbulkan permasalahan dan keresahan. Hal ini terjadi karena campur tangan
pemerintah ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari makin lama makin
meluas. Dalam setiap negara modern, masalah makin banyak macamnya, makin
kompleks dan makin teknis – teknologi tinggi.
Mengacu pada pendapat Prayudi Atmosudirdjo bahwa setiap penguasa
dalam melakukan tindakannya dalam rangka menjalankan tugas, fungsi dan
kewajiban, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, yaitu :43
a. Efektivitas : kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan atau direncanakan;
b. Legitimitas : kegiatan administrasi negara harus dapat diterima oleh
masyarakat setempat;
c. Yuridikitas : bahwa perbuatan administrasi negara tidak boleh melanggar
hukum dalam arti luas;
d. Legalitas : bahwa tidak boleh ada suatu tindakan administrasi negara yang
dilakukan tanpa dasar hukum/ ketentuan undang-undang;
e. Moralitas : moral dan etika umum wajib dijunjung tinggi (perbuatan tidak
senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan dsb);
f. Efisiensi : kehematan biaya dan produktivitas wajib diusahakan;
g. Teknis dan Teknologi : teknis dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib
dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang
sebaik-baiknya.
Dilihat dari perspektif sejarah kenegaraan dan hukum, campur tangan
“pemerintah” (Prayudi menyebutnya dengan istilah “administrasi Negara”) kian
43
Prayudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Ghalia Indonesia, Cet. Ke 10,
1994, hal.83-84.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
hari kian membesar. Menurut Carol Harlow dan Richard Rowling, campur tangan
tersebut bertalian dengan teori Hukum Administrasi Negara. Campur tangan
administrasi negara dalam konteks teori hukum administrasi negara disebut
Redlight Theory, yang memberikan kewenangan dan peran administrasi negara
terbatas pada penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Hukum administrasi
negara mencegah terjadinya pelanggaran oleh administrasi negara terhadap hak
asasi manusia. Pada abad 19 di Eropa, teori Negara yang melatari Redlight Theory
adalah Laissez Faire State dengan semboyan the best government is the least
government, yang memberikan kewenangan dan peran kepada administrasi negara
sekecil mungkin, sehingga struktur administrasi negara sangat kecil.44
Dengan dianutnya welfare state di berbagai negara, menyebabkan semakin
besarnya kewenangan dan peran administrasi negara. Hukum Administrasi
Negara memfasilitasi makin besarnya peranan administrasi negara tersebut.
Administrasi negara berperan bukan hanya penegakan hukum dan ketertiban,
tetapi juga di dalam sektor sosial dan ekonomi masyarakat. Besarnya peranan
administrasi Negara tersebut difasilitasi oleh teori Hukum Administrasi Negara
yang dianut, yakni Greenlight Theory45
yang memberikan kewenangan dan peran
kepada administrasi negara yang sangat besar dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat. Konsekuensinya, terbentuklah struktur administrasi negara masa kini
yang sangat besar dan hirarkhis.
B. Kewenangan
Secara umum kewenangan merupakan kekuasaan untuk melakukan
tindakan hukum publik, yang dijabarkan sebagai hak untuk menjalankan urusan
pemerintahan (dalam arti sempit) dan hak untuk dapat secara nyata mempengaruhi
keputusan yang akan diambil oleh instansi pemerintah.46
Secara konseptual,
istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda
44
Carol Harlow and Richrad Rowlings, Law and Administration. London : Butterwoths, 1997,
hal.29.
45
Carol Harlow and Richard Rowling, Ibid., hal. 67. 46
Safri Nugraha Et.al., Hukum Administrasi Negara, edisi kedua, Jakarta : Center For Law and
Good Governance Studies, FHUI, 2007, hal 29 - 30.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
“bevoegdheid” ( yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan
bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum
Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar
wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur
berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal
kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi
kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya.
Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang
yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.47
Asas legalitas
merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan
kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki
legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan
demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan
untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.
Kewenangan atau wewenang pada hakikatnya adalah kekuasaan formal
yang berasal atau diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau oleh
kekuasaan eksekutif atau administratif yang telah memiliki kekuasaan formal
yang berasal atau diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
pengertian tersebut pada hakikatnya kewenangan diperoleh melalui 2 (dua) cara
yaitu :
a. Atribusi adalah pemberian wewenang karena melekat pada suatu jabatan. yang
diperoleh, diberikan atau berasal dari peraturan perundang-undangan.
b. Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat
atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas
kewajibannya untuk bertindak sendiri.
Secara etimologi, pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk
melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority)
47
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1997), hal. 154.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk
mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang
diinginkan.48
Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority
dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation
of authority)”. Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari
seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai
timbulnya tanggung jawab untuk melakukan tugas tertentu.49
Proses delegation of
authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menentukan tugas bawahan tersebut
2. Penyerahan wewenang itu sendiri
3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.
Pengertian secara etimologis tidak sama dengan pengertian yang
diberikan oleh para ahli hukum. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, pengertian
wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut:
Kewenangan (authority, gezag) adalah apa yang disebut dengan
“kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan Legislatif
(diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan Eksekutif
Administratif.Kewenangan dimaksud biasanya terdiri dari beberapa
wewenang (kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau
kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau bidang urusan)
tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu
onderdil tertentu saja.50
I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai
berikut :
“Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang
otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara
konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan
merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit”.51
48
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka 1989), hal. 1170 49
Ibid, hal. 172. 50
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi, Cet. Keempat, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia,
19810, hal. 73-74. 51
I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi
Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam
Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996, hal.
2
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR,
karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif
penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis
dilakukan oleh :
1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik
2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi
3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal
Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber
wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori
sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.52
Prajudi
Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan
kewenangan sebagai berikut :
“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari
Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu
bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan
untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.53
Pandangan ini pada hakikatnya seirama dengan yang dikemukakan oleh
Indroharto. Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah kewenangan dan
wewenang, Indroharto berpendapat pengertian wewenang dalam artian yuridis
sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.54
Selanjutnya Indroharto
mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan
mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :
Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
52
Ibid 53
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hal. 29. 54
Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
(Jakarta: Pustaka Harapan, 1993), hal. 68.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah
yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang
telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu
wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN
lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi
wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang
baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang
satu kepada yang lain.55
Adanya wewenang sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat
pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi negara. Hal ini
berkaitan dengan juga dengan asas negara hukum, dimana inti pokok pemikiran
negara hukum (rechtstaatsdenken) diformulasikan melalui asas “Wetmatigheids”
ataupun “legaliteit beginsel”, sehingga dengan kekuatan (krachtrens) hukum
maka kewenangan pemerintah dapat dinyatakan sah dan mengikat. Menurut
Indroharto, tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku, segala macam aparat pemerintah tidak akan
memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau
posisi hukum warga masyarakatnya.56
Di pihak lain, tanpa adanya suatu dasar
hukum yang jelas, maka perbuatan pemerintah itu akan menjadi petunjuk sebagai
tindakan kesewenang-wenangan.
Pemikiran di atas juga berlaku bagi pemerintah (badan atau pejabat tata
usaha negara) di dalam bertindak atau pun mengeluarkan suatu keputusan
perizinan harus didukung oleh suatu kewenangan sah, mengingat salah satu fungsi
perizinan adalah sebagai instrument hukum yang digunakan pemerintah
mengarahkan dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Dalam penetapan
perizinan tersebut terjadi hubungan hukum yang tidak seimbang, dimana
kedudukan pemerintah lebih kuat dari daripada kedudukan masyarakat, suatu
hubungan yang hanya dimungkinkan dalam kerangka hukum publik.
Sementara itu, Philipus M. Hadjon mengemukakan mengenai sumber
kewenangan atau cara memperoleh wewenang itu sendiri diperoleh secara atribusi
dan delegasi, sedangkan mandat dikemukakan sebagai cara tersendiri untuk
55
Ibid, hal. 90. 56
Ibid, hal. 83.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
memperoleh wewenang.57
Pendapat ini seirama dengan yang dikemukakan oleh
Henc van Maarseveen, bahwa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dalam
melakukan tindakan nyata, mengadakan pengaturan atau pun mengeluarkan
keputusan tata usaha negara dapat dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh
secara atribusi, delegasi maupun mandat.58
Hamid S. Attamimi memberikan pengertian atribusi sebagai penciptaan
kewenangan (baru) oleh konstitusi (grondwet) atau oleh pembentuk undang-
undang (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah
ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.59
Hal ini sejalan dengan Indroharto
yang mengemukakan “pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan
yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.”60
Pengertian ini menunjukkan tiga karakteristik dari atribusi. Pertama, adanya
penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat peraturan perundang-undangan.
Kedua, kewenangan tersebut dapat diberikan oleh konstitusi, undang-undang atau
peraturan daerah kepada suatu organ. Ketiga, organ negara yang menerima
kewenangan itu bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan bersangkutan.
Mengenai pengertian delegasi, Henc van Maarseveen mengemukakan
“bij delegatie gaat de delegataris dat wil zeggen degeen aan wie de bevoegdheid,
de competentie verder op eigen naan en met eigen aanspraakelijkheid, onder
eigen verantwoordelijkheid uitoefenen”.61
Dalam hal ini delegasi dipandang
sebagai pelimpahan wewenang dari pejabat atau badan pemerintahan kepada
pejabat atau badan pemerintahan yang lainnya. Pendapat senada juga
dikemukakan Hamid S. Attamimi yang mengartikan delegasi sebagai “penyerahan
kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan dari delegans
57
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Majalah Yuridika Fakultas Hukum UNAIR Nomor 5
dan 6 Tahun XII, Surabaya, 1997, hal. 2. 58
Henc van Maarseveen, “Bevoegdheid” dalam PWC Akkermaans, dkk, Algemene Begrippen
Van Staats Recht, deel I, W.E.J. Tjeen Willink Zwolle, 1985, hal. 55. 59
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara: suatu studi analisis mengenai keputusan presiden yang
berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, 1990), hal. 352. 60
Indroharto, Usaha memahami …., op.cit., hal. 64-65. 61
PWC Akkermaans, dkk,, Algemene Begrippen….., loc.cit.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
(pemegang kewenangan asal yang memberi delegasi) kepada delegataris (yang
menerima delegasi) atas tanggung jawab sendiri”.62
Indroharto mempertegas lagi
bahwa “pada delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang telah memperoleh suatu
wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara (TUN) lainnya”.63
Mengenai ciri-ciri dari delegasi menurut J.B.J.M. Ten Berge
sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon adalah sebagai berikut:
1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarkie
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan) artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.64
Dari kutipan di atas dapat dikatakan bahwa delegasi adalah pelimpahan
wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain.
Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan kewenangan, yaitu apa yang
semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B.
Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi
tanggung jawab penerima pelimpahan wewenang atau penerima delegasi.
Dengan demikian terdapat tiga ciri mendasar dalam delegasi. Pertama,
adanya penyerahan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, dimana
delegataris (penerima) bertanggung jawab penuh atas kewenangannya itu. Kedua,
62
Attamimi, Peranan Keputusan Presiden……, loc.cit. 63
Indroharto, Usaha memahami……..., loc.cit. 64
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, op.cit., hal. 5.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
penyerahan kewenangan dilakukan oleh pemegang atribusi (delegans) kepada
delegataris. Ketiga, hubungan antara delegans dengan delegataris tidak dalam
hubungan atasan dan bawahan. Oleh karena itu, pada pendelegasian wewenang
terlibat tiga pihak, yaitu:
a. Pemilik kewenangan (de eigenaar van bevoegdheid);
b. Pemberi kewenangan (de attribueerde van bevoegdheid) sebagai “delegans”;
c. Penerima kewenangan (delegataris van bevoegdheid).
Hal ini berbeda dengan proses pemberian wewenang secara atribusi yang
hanya melibatkan dua pihak, yaitu pemilik kewenangan dan penerima
kewenangan. Dengan diberikannya kewenangan kepada subyek hukum yang baru,
dapat dikatakan pula sebagai pembentukan kewenangan. Pendelegasian
wewenang kepada pihak lain dapat dilakukan terhadap sebagian wewenang
(partiele delegatie) ataupun terhadap keseluruhan wewenang. Kedua bentuk ini
harus dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pendelegasian wewenang bersangkutan.
Seorang delegataris dapat mendelegasikan lagi kewenangannya kepada
pihak ketiga dengan ketentuan yang berlaku sama seperti pendelegasian dari
pemegang delegasi kepada penerima delegasi yang pertama. Bentuk penyerahan
wewenang ini disebut sebagai subdelegatie. Delegataris bertindak sebagai
delegans sebagain wewenang atau seluruh wewenangnya kepada pihak ketiga.
Kemudian kemungkinan pula dapat terjadi “sub-sub delegatie”, dalam hal ini
“subdelegataris” melimpahkan kepada pihak lain lagi.
Berbeda dengan kedua sumber kewenangan di atas, mandat tidak
melahirkan adanya penyerahan kewenangan penuh, kecuali sebatas kebebasan
dalam melaksanakan wewenang yang dimandatkan. Henc van Maarseveen dalam
kaitan ini memberikan penjelasan tentang mandat, sebagai berikut:
Mandat merupakan bentuk pelimpahan kewenangan. Mandataris atau
siapa yang diberi mandat, melaksanakan kekuasaan tidak bertindak atas
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
namanya sendiri melainkan bertindak atas nama pemberi kuasa (mandaat),
oleh karena itu mandataris tidak memiliki tanggung jawab sendiri.65
Batasan seperti di atas juga dikemukakan Philipus M. Hadjon66
, yang
mengartikan mandat sebagai suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.
Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat
keputusan atas nama pejabat yang melimpahkan kewenangan atau memberi
mandat tersebut. Dalam mandat, tanggung jawab tidak berpindah kepada
mandataris, dengan kata lain tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi
mandat. Hal ini dapat disimak dari pelaksanaan kewenangan dari penerima
mandat adalah tidak bersifat mandiri atan tetapi disertai kata “a.n.” (atas nama)
pemberi mandat (mandatory). Konsekuensinya, semua akibat hukum yang
ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris menjadi
tanggung jawab si pemberi mandat. Mandat adalah juga pelimpahan wewenang
yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Hanya saja pada
mandat tidak terjadi penyerahan kewenangan dari Badan atau Pejabat yang satu
kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap
pada yang memberikan pelimpahan wewenang atau pemberi mandat, dan tidak
beralih kepada penerima mandat. Dengan kata lain, dalam mandat hanya
merupakan perwakilan wewenang tanpa adanya perpindahan wewenang.
Demikian pula pemberian mandat hanya terjadi dalam satu lingkungan organisasi
atau antara atasan dengan bawahannya.
Konsepsi sumber kewenangan badan atau pejabat hukum publik atas
dasar atribusi, delegasi, mandat seperti di atas juga dapat ditemukan pada
pendapat J.G. Brouwer dan A.E. Schilder sebagai berikut:
1. With attribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say
that is derived from a previously non existent powers and assigns them to an
authority.
2. Delegation is the transfer of an acquired attribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that has
acquired the power) can exercise power tin its own name.
65
PWC Akkermaans, dkk,, Algemene Begrippen…..,op.cit.hal. 62. 66
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, loc.cit.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans), assigns
power to the other body (mandataris) to make decisions or take action in its
name.67
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pada “atribusi”, kewenangan
diberikan kepada suatu badan pemerintahan oleh suatu badan legislatif yang
mandiri. Kewenangan ini bersifat asli, yang tidak bersumber dari kewenangan
yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan dan bukan
perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada yang
berkompeten. Pada “delegasi” terjadi peralihan kewenangan atribusi dari satu
badan pemerintahan yang satu kepada yang lainnya, sehingga delegator (badan
yang telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas
namanya. Selanjutnya pada “mandat” tidak terdapat suatu peralihan kewenangan,
tetapi memberi mandat (mandator) mengalihkan kewenangan kepada badan lain
untuk membuat suatu keputusan atau mengambil satu tindakan pemerintahan atas
namanya (pemberi mandat).
Tabel 2.1
Perbedaan antara delegasi dan mandat
Delegasi
Mandat
Pendelegasian diberikan biasanyaantara
organ pemerintah satu dengan organ
pemerintah lain, dan biasanya pihak
pemberi wewenang memiliki
kedudukan lebih tinggi dari pihak yang
diberikan wewenang
Umumnya mandat diberikan dalam
hubungan kerja internal antara atasan
dan bawahan
Terjadi pengakuan kewenangan atau
pengalihtanganan kewenangan
Tidak terjadi pengakuan kewenangan
atau pengalihtanganan kewenangan
dalam arti yang diberi mandat hanya
bertindak untuk dan atas nama yang
memberikan mandat
Pemberi delegasi tidak dapat lagi
menggunakan wewenang yang
dimilikinya karena telah terjadi
Pemberi mandat masih dapat
menggunakan wewenang bilamana
mandat telah berakhir 67
J.G. Brower dan A.E. Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars
Nijmegen, 1998), hal. 16-18.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
pengalihan wewenang kepada yang
diserahi wewenang
Pemberi delegasi tidak wajib
memberikan instruksi (penjelasan)
kepada yang diserahi wewenang
mengenai penggunaan wewenang
tersebut namun berhak untuk meminta
penjelasan mengenai pelaksanaan
wewenang tersebut
Pemberi mandat wajib untuk
memberikan instruksi (penjelasan)
kepada yang diserahi wewenang dan
berhak untuk meminta penjelasan
mengenai pelaksanaan wewenang
tersebut
Tanggungjawab atas pelaksanaan
wewenang berada pada pihak yang
menerima wewenang tersebut
Tanggungjawab atas pelaksanaan
wewenang tidak beralih dan tetap
berada pada pihak yang memberi
mandat
Sementara itu, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt merumuskan atribusi
(attributie), delegasi (delegatie), dan mandat (mandaat), sebagai berikut :
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan
een bestuursorgaan;
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan
een ander;
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen
door een ander.68
Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan,
mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut :
“Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi
dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada
(oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada
organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi).
Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau
pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan
wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah
hubungan internal”.69
68
H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, (Culemborg:
Uitgeverij LEMMA BV, 1998), hal. 56. 69
Ridwan, HR., Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta, UII Pres, 2003), hal. 74-75.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:
“Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas
kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,
yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya
digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang
dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan
yang berasal dari “pelimpahan”.70
Berdasarkan isi pidato pengukuhan guru besar Philipus M. Hadjon dapat
disimpulkan bahwa jika ada tindakan atau perbuatan pemerintah yang “tanpa
kewenangan”, kesalahan prosedur dan kesalahan substansi maka merupakan
tindakan yang tidak sah atau absah. Pengertian “tanpa kewenangan” diartikan
terhadap suatu beschikking yang dikeluarkan oleh seorang pejabat yang tidak
mempunyai kewenangan (kompetensi) sama sekali untuk mengeluarkan
beschikking yang bersangkutan, atau kewenangan itu sesungguhnya ada pada
pejabat yang lain.71
Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu
pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.72
Komponen pengaruh ialah
bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku
subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk
dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya
standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard
khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Pada hakikatnya, syarat pelimpahan wewenang adalah :
a. Bahwa pihak yang melimpahkan wewenang memang benar-benar memiliki
wewenang yang dilimpahkan tersebut
b. Bahwa wewenang yang melimpahkan dan dilimpahkan itu benar-benar ada
berdasarkan konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.
70
Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 7. 71 Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah
(Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer,1986), hal 5-6. 72
Philipus M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi,Tahun 1997/1998, Tentang Wewenang,
(Surabaya: Fakultas Hukum Unair), hal. 2.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Paulus Effendie Lotulung mengemukakan adanya perbedaan kriterium “tanpa
kewenangan” dalam 3 bentuk, yaitu :73
a. “Tanpa kewenangan” yang bersifat materiil, artinya seorang pejabat yang
mengeluarkan suatu beschikking tentang materi (masalah) yang sebetulnya
materi tersebut menjadi wewenang dari pejabat lainnya. Misalnya : suatu
beschikking yang dikeluarkan oleh seorang pejabat Pemerintah Daerah
sedangkan materi yang bersangkutan sesungguhnya termasuk wewenang
Menteri untuk memutuskannya. (Ketidakwenangan yang bersifat rationae
materiale).
b. “Tanpa kewenangan” yang ditinjau dari segi wilayah atau tempat di mana
wewenang itu seharusnya dapat diperlakukan. Misalnya : suatu beschikking
yang dikeluarkan oleh seorang pejabat di wilayah DKI Jakarta, sedangkan
beschikking itu menyangkut persoalan yang berlaku bagi wilayah kota Bogor.
(Ketidakwenangan yang bersifat rationae locus).
c. “Tanpa kewenangan” yang ditinjau dari segi waktu berlakunya atau
dikeluarkannya suatu beschikking yang menyimpang dari waktu yang
seharusnya diperhatikan. Misalnya : suatu beschikking yang dikeluarkan itu
telah kadaluwarsa, atau juga dikeluarkan sebelum waktunya.
(Ketidakwenangan yang bersifat rationae temporis).
Kuntjoro Purbopranoto menyatakan bahwa, seorang pejabat administrasi
negara dalam menjalankan kewenangannya dibatasi agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Pembatasan tersebut
adalah : (1) bahwa tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau kepentingan umum, (2) tidak boleh melawan
hukum baik formil maupun meterill, (3) tidak boleh melampaui kewenangannya
menurut kompetensinya.74
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh seorang
pejabat administrasi negara dalam mengambil suatu kebijakan, perlu adanya suatu 73
Loc. Cit.
74
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, ( Bandung : Alumni, 1981 ), hal.43.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
ketegasancmengenai pelimpahan dalam membuat peraturan oleh pejabat
administrasi negara, yaitu :
a Undang-undang harus menetapkan asas yang tidak dapat dijabarkan atau
diinterpretasikan lebih lanjut;
b Pendelegasian ditentukan secara tegas dengan menetapkan pasal yang
bersangkutan dengan hal yang dapat didelegasikan, dan menetapkan dalam
pasal undang-undang yang bersangkutan semacam suatu pedoman untuk
pejabat administrasi negara.
c Mensyaratkan dengan undang-undang agar sebelumnya diadakan studi yang
cukup;
d Undang-undang menetaspkan berat dan jenis sanksi hukum bagi pelanggaran
peraturan;
e Pelimpahan dilakukan hanya kepada pejabat admnistrasi negara;
f Undang-undang menetapkan diadakannya badan untuk menampung keluhan,
pengaduan atau gugatan.75
C. Perizinan
Lemaire dalam bukunya Het Recht in Indonesie, menyatakan bahwa
negara menyelenggarakan bestuurszorg, penyelenggaraan kesejahteraan umum
yang dilakukan oleh Pemerintah. Bestuurszorg menjadi tugas pemerintah welfare
state, yaitu suatu negara hukum modern yang memperhatikan kepentingan
seluruh rakyat. Dapat dikatakan bahwa adanya suatu bestuurszorg merupakan
suatu tanda yang menyatakan adanya suatu welfare state.76
Dengan demikian
campur tangan pemerintah dalam mewujudkan adanya kesejahteraan sangatlah
menentukan berhasil tidaknya tujuan tersebut. Campur tangan pemerintah tersebut
dapat dilakukan dalam bentuk pengendalian langsung dan pengendalian tidak
langsung.
75
Prajudi Atmosudrijo, Hukum Administrasi Negara, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hal.
104. 76
Safri Nugraha 2007, et.all. .Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005, hal. 81.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Campur tangan dalam “pengendalian langsung” diwujudkan oleh
Pemerintah dengan memberikan berbagai bentuk perizinan, yang dianggap
langsung dapat mengendalikan berbagai kegiatan pemerintahan, dimana termasuk
salah satunya adalah kegiatan di bidang pertambangan. Menurut Irving Swerdlow,
pemberian izin dapat dibuat pada seluruh tingkat pemerintahan dan izin
mempunyai tiga fungsi, yaitu:77
a. To limit the number of recipients;
b. To ensure that the recipients meet minimum standards;
c. To collect funds.
Menurut Irving Swerdlow, izin merupakan bentuk pemaksaan dari
kegiatan administrasi, yang pada dasarnya sistem perizinan mencakup : (a)
meletakan standar perizinan ( setting a standard for the licenses ), (b) melarang
segala bentuk kegiatan sampai mendapatkan izin (prohibiting action of this type
until a license is obtained), (c) membentuk prosedur permohonan perizinan
(establishing procedure for applying for license), (d) memberikan izin untuk
menunjukkan ketaatan terhadap standar yang telah ditentukan yang akan
berdampak pada perbaikan hukum (granting a license to show adherence to the
standard and conveying the legal right to proceed).78
Izin merupakan Keputusan yang dibuat oleh Pemerintah selaku pejabat
administrasi negara yang mempunyai efek langsung, karena keputusan
administrasi negara ( administrative beschikking ) bersifat individual, kasual dan
konkrit.79
Keputusan merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh administrasi
negara dalam bidang pemerintahan dan dikeluarkan oleh organ administrasi
negara berdasarkan wewenang yang luar biasa.80
Prayudi Atmosudirdjo berpendapat bahwa keputusan administrasi negara
yang ditetapkan oleh aparatur administrasi negara dapat berupa keputusan yang
bersifat positif dan dapat juga keputusan yang bersifat negative. Pejabat
77
Irving Sewrdlow, The Public Administration of Economic Development, ( New York : Praeger
Publishers, 1975), hal. 383. 78
Ibid., hal. 371. 79
Prayudi Atmosudirdjo, Op.Cit., hal. 88. 80
Prins, Pengantar Hukum Administrasi Negara., Jakarta, hal.37.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
administrasi negara tidak boleh menolak untuk menerima surat permohonan
walaupun merupakan pengulangan permohonan. Keputusan positif adalah
keputusan yang permohonannya dikabulkan, dapat berbentuk81
:
a. keputusan yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya;
b. keputusan yang menciptakan keadaan hukum baru bagi objek tertentu;
c. keputusan yang membentuk/ menciptakan atau membubarkan suatu badan
hukum;
d. keputusan yang memberi beban kepada suatu badan atau perorangan;
e. keputusan yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan,
perusahaan atau perorangan. Keputusan yang memberi keuntungan dapat
berbentuk, dispensasi, izin, lisensi dan konsesi.
Philipus Hadjon mengemukakan bahwa, keputusan positif adalah
keputusan yang menimbulkan hak/dan kewajiban hukum yang baru yang
sebelumnya tidak ada bagi yang diberikan keputusan tersebut. Keputusan negatif
adalah keputusan yang tidak menimbulkan hak/dan kewajiban hukum yang baru.
Keputusan negatif dapat berbentuk pernyataan tak berkuasa (onbevoegd
verklaring), pernyataan tak diterima (niet onvankelijk verklaring) atau suatu
penolakan (afwijzing).82
Untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan wewenang
dalam pengambilan keputusan, maka ada beberapa asas yang dapat dijadikan
acuan dalam pengambilan keputusan, yaitu :83
a. Asas mengenai prosedur atau proses pengambilan keputusan, yang bilamana
dilanggar secara otomatis membuat keputusan yang bersangkutan batal karena
hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya. Asas yang termasuk dalam kategori ini
adalah : (1) asas yang menyatakan orang yang terlibat atau menentukan dalam
pengambilan keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi di dalam
keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, (2) asas yang
menyatakan bahawa keputusan yang merugikan atau mengurangi hak seorang
warga masyarakat tidak boleh diambil sebelum member kesempatan kepada
81
Prayudi Atmosudoirdjo, Op.Cit., hal. 95. 82
Philipus Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. (Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 2001), hal.141. 83
Prayudi Atmosudirdjo, Op.Cit., hal.90.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
warga tersebut untuk membela kepentingannya, (c) asas yang menyatakan
bahwa dasar atau peretimbangan dari pengambilan keputusan dapat
membenarkan dari penetapan keputusan tersebut.
b. Asas mengenai kebenaran dari fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar untuk
pembuatan keputusan. Asas-asas yang termasuk dalam kategori disini adalah :
(a) asas larangan kesewenang-wenangan, (b) asas larangan detournement de
pouvoir, (c) asas kepastian hukum, (d) asas larangan melakukan diskriminasi
hukum, (e) asas batal karena kecerobohan pejabat yang bersangkutan.
Mengabaikan asas-asas dalam pengambilan keputusan dapat
mengakibatkan suatu keputusan administrasi negara menjadi tidak sah. Untuk
mengukur sahnya suatu keputusan menurut Van der Pot sebagaimana dikutip oleh
E. Utrecht, harus dipenuhi beberapa aspek. 84
a. Keputusan dibuat oleh organ yang berwenang. Organ pemerintah yang
berwenang membuat keputusan bukan hanya pemerintahan yang termasuk
bestuur atau administratie saja, tetapi juga meliputi legislatif dan yudikatif.
Seringkali terjadi ketidak berwenangan dalam membuat keputusan (de
incompetentie) yang dapat berupa, (a) tidak berwenang ratione materiae (isi
atau pokok atau objek). Artinya seorang pejabat mengeluarkan keputusan
tentang materi yang menjadi wewenang pejabat lain, (b) tidak berwenang
ratione loci. Artinya dari segi wilayah atau tempat, bukan menjadi
kewenangan pejabat yang bersangkutan dan (c) tidak berwenang ratione
temporis. Artinya berlaku atau dikeluarkannya suatu keputusan yang
menyimpang dari seharusnya waktu berlakunya kewenangan.
b. Dalam pembentukan keputusan, kehendak dari organ pemerintahan yang
mengeluarkan keputusan, tidak boleh mengandung cacat yuridis/ kekurangan
yuridis, yang dapat disebabkan oleh salah kira (dwaling), adanya paksaan
ataupun adanya tipuan, yang mempengaruhi berlakunya keputusan.
84
E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, cet. Keempat, 1960, hal.77. Juga lihat
Bachsan Mustafa, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. ( Bandung : Alumni, 1979 ), hal.61-
65.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
c. Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan yang menjadi
dasarnya, yang dapat berbentuk, (a) lisan (mondelinge beschikking). Dibuat
dalam hal akibatnya tidak membawa akibat lama dan tidak begitu penting bagi
administrasi negara biasanya dikehendaki suatu akibat yang timbul dengan
segera, (b) tertulis (schriftelijke beschikking). Bentuk ini sering digunakan
karena sudah biasa dan penting dalam penyusunan alasan ataupun motivasi.
d. Isi dan tujuan dari keputusan yang dibuat sesuai peraturan yang menjadi dasar
penerbitannya. Syarat ini harus dipenuhi dalam suatu negara hukum.
Kranenburg menyebutkan empat macam hal dimana isi dan tujuan suatu
keputusan dapat bertentangan dengan isi dan tujuan peraturan perundang-
undangan :85
1) Jika keputusan yang dibuat mengandung peraturan yang dilarang oleh
undang-undang. Dalam hal ini yang salah adalah isi keputusan itu (de
oorzaak voor de beschikking ontbrak);
2) Jika keadaan dimana suatu keputusan dibuat, lain dengan keadaan yang
ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini salah kausa (valse oorzaak);
3) Jika keadaan dimana suatu keputusan dapat dibuat menurut ketentuan
undang-undang, sebetulnya tidak dapat dijadikan suatu sebab. Dalam hal
ini kausa yang tidak dapat dipakai (ongeoorloofde oorzaak);
4) Organ pemerintah membuat keputusan, tetapi menggunakan kewenangan
tidak sesuai dengan tujuan yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar wewenang tersebut (detournement de
pouvoir) atau tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik
(good governance).
Dengan mendasarkan tindakan-tindakan administrasi negara pada suatu
sistem perizinan, berarti pembuat undang-undang dapat mencapai berbagai tujuan
pemberian perizinan, yaitu : 86
85
Safri Nugraha,dkk, Op.Cit., hal.116. 86
Ten Berge dan MR.N.M. Spelt diterjemahkan oleh Philipus Hadjon, “Pengantar Hukum
Perizinan”. Bahan Hukum Penataran Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 1992, hal.9.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
f. Keinginan mengarahkan atau mengendalikan (sturen) terhadap aktivitas-
aktivitas tertentu;
g. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);
h. Keinginan melindungi objek tertentu ( izin tebang, izin membongkar );
i. Hendak membagi benda-2 yang sifatnya terbatas ( izin penghunian);
j. Memberikan pengarahan dengan cara menyeleksi ( izin dimana seorang
pengurus harus memenuhi syarat tertentu.
Jadi izin digunakan oleh penguasa sebagai sarana untuk mempengaruhi
warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai suatu tujuan
konkrit. Dalam hukum administrasi, pemberian izin merupakan gejala yang
penting dengan semakin berkembangnya bidang penguasaan oleh pemerintah pada
negara modern saat ini.
Mengacu pendapat Ten Berge, pengendalian oleh Pemerintah dapat
berbentuk izin, pelepasan atau pembebasan (dispensasi) dan konsesi. 87
Izin
merupakan suatu tindakan pengecualian yang diperkenankan terhadap suatu
larangan dari suatu undang-undang. Pengecualian tersebut dapat diteliti dengan
memberi batasan-batasan tertentu bagi pemberian izin tertentu. Dengan demikian
penolakan izin dapat dilakukan jika kriteria yang ditetapkan oleh penguasa tidak
dipenuhi atau bila karena suatu alasan tidak mungkin memberi izin kepada semua
orang memenuhi kriteria. Jadi penguasa memberi alasan kesesuaian tujuan
(doelmatigheid) yang dianggap perlu untuk menjalankan pemberian izin secara
restriktif dan membatasi jumlah pemegang izin. Pelepasan atau pembebasan
(dispensasi) merupakan pengecualian dari aturan umum yang pada dasarnya harus
ditaati atau wajib dilaksanakan, sehingga menjadi tidak wajib lagi untuk ditaati.
Konsesi yang merupakan salah satu bentuk izin, merupakan segenap
aktivitas yang menyangkut kepentingan umum yang selayaknya dijalankan oleh
penguasa sendiri, namun tidak dijalankan oleh penguasa karena dianggap belum
mampu, tetapi dijalankan oleh pihak ketiga. Hal ini berhubungan dengan tindakan
87
Ibid., hal. 4 – 7.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
yang oleh penguasa dianggap sangat perlu, namun dibiarkan dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan swasta dengan diberikan syarat tertentu. Oleh karena itu
pemegang konsesi dibebani dengan kewajiban-kewajiban tertentu dan pada sisi
lain ditetapkan pula hak-hak tertentu dari pemegang konsesi. Dengan demikian
konsesi didasarkan pada suatu persetujuan, dalam mana hak-hak dan kewajiban
kedua belah pihak dicantumkan. Biasanya konsesi berkaitan pula dengan jangka
waktu yang lebih panjang, misalnya konsesi untuk membangun dan
mengeksploitasi instalasi listrik, konsesi pertambangan atau konsesi angkutan
umum.
Sejalan dengan pendapat Ten Berge tersebut, Van der Pot sebagaimana
dikutip oleh Hagenaars - Dankers mengemukakan bahwa terdapat berbagai bentuk
(species) perizinan dalam kajian hukum administrasi negara yang dapat
dikelompokkan dalam tiga bentuk, yaitu : (a) izin (vergunning), (b) dispensasi
(dispensatie), (c) konsesi (concessie).88
Bentuk pertama, izin (vergunning)89
adalah keputusan (beschikking) yang diberikan pada suatu kegiatan (aktivitas)
berdasarkan peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften)
yang mengharuskan prosedur tertentu guna pelaksanaan aktivitas dimaksud. Pada
umumnya aktivitas dimaksud tidak dilarang namun secara prosedural
mengharuskan prosedur administratif, tanpa izin aktivitas dari padanya dilarang.
Bentuk kedua, dispensasi (Dispensatie)90
adalah keputusan (beschikking)
yang membebaskan sesuatu perbuatan dari pelarangan undang-undang. Jadi pada
hakekatnya menolak perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang atas izin
88
Van der Pot gaf in 1927 op vershillende plaatsen in woord en geschrift zijn mening ten beste
over het terminologisch onderscheid tussen drie nauw verwante begrippen : dispensatie,
vergunning en concessie. ( D.L.T.M Hagenaars – Dankers, Op het Spoor van de Concessie – een
onderzoek Naar Het Rechtscharacter Van de Concessie in Nederland en in Frankrijk, Juridische
Bibliothek Universiteit Utrecht, 2000, hal.14). Juga sebagaimana dikemukakan Van der Pot dalam
Nedelands Bestuursrecht, 1934, hal. 267, WF Prins – R.Kosim Adisapoetra, 1983 : ha;.72-73.
89
D.L.T.M Hagenaars – Dankers, Op het Spoor van de Concessie – een onderzoek Naar Het
Rechtscharacter Van de Concessie in Nederland en in Frankrijk, Juridische Bibliothek
Universiteit Utrecht, 2000, hal.15.
90
D.L.T.M Hagenaars – Dankers, Op het Spoor van de Concessie – een onderzoek Naar Het
Rechtscharacter Van de Concessie in Nederland en in Frankrijk, Juridische Bibliothek
Universiteit Utrecht, 2000, hal.14.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Pemerintah. Misalnya dispensasi diberikan kepada seorang anak perempuan untuk
kawin di bawah batas usia tertentu.
Bentuk ketiga, konsesi (concessie) sebenarnya merupakan bentuk khusus
dari beschikking merupakan sebuah izin yang diberikan kepada pada suatu
aktivitas yang pada umumnya terpaut dengan kepentingan umum ( publik ) dan
orang banyak, namun diberikan kepada swasta atau BUMN/BUMD. Pada
dasarnya tindakan tersebut tanpa izin akan dilarang. Menurut Van Wijk 91
concessie diberikan bagi aktivitas yang berkaitan dengan “openbaar belang” yang
tidak mampu dijalankan sendiri oleh Pemerintah, lalu diserahkan kepada
perusahaan swasta. Misalnya, pendidikan, transportasi, pertambangan dan
sebagainya. Penerima konsesi pada hakekatnya mengambil alih sebagian misi dari
bestuurszorg dari administrasi negara sehubungan dengan tipe negara
kesejahteraan modern (modern welfare state). Hal dimaksud dapat dilihat secara
nyata pada aktivitas penerbangan Garuda Indonesia, aktivitas perminyakan yang
diberikan kepada Pertamina, Caltex. Usaha pertambanngan mineral dan batubara
pada hakekatnya merupakan aktivitas yang terpaut dengan kepentingan publik dan
orang banyak. Dengan demikian dalam keadaan normal, seharusnya dikelola oleh
administrasi negara dalam kaitann bestuurszorg, namun pelaksanaannya diberikan
kepada perusahaan swasta dalam wujud pemberian konsesi.92
Dengan pemberian izin, penguasa memperkenankan pemohon untuk
melakukan perbuatan tertentu yang sebenarnya dilarang. Hal tersebut merupakan
suatu perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan
pengawasan khusus atasnya. Di sisi lain Prayudi Atmosudirdjo mengatakan
bahwa izin (vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi dari
suatu larangan oleh undang-undang.93
Larangan tersebut menjadi tidak berlaku
manakala kriteria yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh
dispensasi dari larangan kepada pejabat administrasi negara yang bersangkutan
terpenuhi. Izin yang merupakan penetapan yang digunakan oleh Pemerintah untuk
91
D.L.T.M. Hagenaars – Dankers, Ibid., hal.16. 92
D.L.T.M. Hagenaars – Dankers, Ibid., hal.15 93
Prayudi Atmosudirdjo, Op.Cit., hal. 97.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
menguasai berbagai keadaan, yakni dengan “melarang” tanpa izin tertulis untuk
melakukan kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh
Pemerintah. Dengan perkataan lain melalui sistem perizinan tersebut pihak
penguasa melakukan campur tangan kedalam kegiatan masyarakat tertentu.
Berdasarkan pendapat Safri Nugraha, izin yang termasuk dalam bentuk
ketetapan mempunyai empat unsur di dalamnya. 94
95
a. Adanya perbuatan hukum : sebagai perbuatan hukum, maka ketetapan
melahirkan hak dan kewajiban bagi pihak tertentu;
b. Bersifat sebelah pihak : ketetapan merupakan perbuatan sebelah pihak yang
berdasarkan hukum publik (Publiekrechtelijk), jadi tetap mengikat
masyarakat. Berarti perbuatannya mencerminkan kehendak satu pihak
saja, yaitu pihak pemerintah yang mempunyai wewenang, sehingga
walaupun bersifat sebelah pihak tetapi tetap mengikat umum.
c. Dalam lapangan pemerintahan : yang membuat ketetapan dan yang
melaksanakan peraturan adalah fungsi dari pemerintah yang dilakukan oleh
badan pemerintah (eksekutif), bukan oleh peradilan (yudikatif) atau bukan
juga oleh pembuat peraturan perundang-undangan (legislatif). Dengan
perkataan lain, ketetapan adalah perbuatan pemerintah (overheid) yang
khusus berada dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-
organ atau badan-badan pemerintah (bestuur).
d. Berdasarkan kekuasaan khusus : kekuasaan khusus adalah kekuasaan yang
diperoleh dari undang-undang yang diberikan khusus kepada pemerintah saja
dan tidak diberikan kepada badan-badan lainnya (legislatif dan yudikatif).
Izin yang merupakan Keputusan dari pejabat ini mempunyai sifat
individual, konkrit, kasual dan eenmaalig (sekali diberikan selesai). Maksudnya
adalah bahwa perizinan harus bersifat individual, artinya perizinan ditujukan
kepada subjek hukum tertentu, yaitu orang perorangan atau badan hukum tertentu.
94
Safri Nugraha (b) , Op.Cit., hal. 77.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Perizinan bersifat konkrit, artinya bahwa keputusan bersifat nyata untuk suatu hal
tertentu. Jadi tidak bersifat abstrak seperti peraturan perundang-undangan yang
mengatur umum. Perizinan bersifat kasual, artinya bahwa ketetapan tentang
perizinan ditetapkan untuk masalah-masalah tertentu, yang memerlukan dispensasi
dari pejabat yang berwenang. Terakhir perizinan bersifat eenmaalig, artinya bahwa
perizinan diberikan untuk satu kali saja dan tidak diberikan untuk berkali-kali
terhadap suatu penetapan. Semua keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah
pada dasarnya atas permohonan tertulis dan dapat diulang bila permohonan
ditolak.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
BAB III
PERIZINAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA DAN IMPLEMENTASI
PERIZINAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
BERDASARKAN UU NO.4 TAHUN 2009
A. Perizinan Pertambangan Di Indonesia
1. UU No.11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan
Sejak kedatangan bangsa Belanda, izin pengusahaan pertambangan
diberikan dalam bentuk “konsesi pertambangan”.96
Konsesi merupakan bentuk
izin dari produk Belanda yang pernah berlaku di Hindia Belanda. Setelah
Indonesia merdeka, pemerintah tidak memberi kesempatan kepada pemilik modal
asing untuk berinvestasi langsung terhadap bahan galian vital, kesempatan untuk
berkontribusi hanya diberikan melalui pinjaman luar negeri.97
Pengelolaan
pertambangan pada masa demokrasi terpimpin terasa begitu sulit karena adanya
regulasi yang membatasi investasi asing sehingga menurun dan tidak
berkembang. Berdasarkan pengalaman tersebut maka pada tahun 1967 pemerintah
membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing. UU tersebut menyatakan bahwa penanaman modal asing di bidang
pertambangan didasarkan pada kerjasama dengan Pemerintah atas dasar kontrak
karya atau bentuk lain sesuai peraturan yang berlaku.98
Perkembangan selanjutnya
untuk mendukung penciptaan iklim investasi yang lebih kondusif, Pemerintah
membentuk Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan (UU No.1/1967). Dengan adanya UU tersebut maka
diharapkan bahwa segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum
96 Konsesi merupakan bentuk perizinan yang memberikan kewenangan besar kepada pengusaha
tambang, yaitu manajemen pengusahaan dan pemilikan hasil produksi bahan galian atau
mineral sepenuhnya berada di tangan pemegang konsesi pertambangan. Negara hanya menerima
bersih iuran pertambangan sebesar 0,25 gulden perhektar setiap tahun serta 46 % dari hasil
kotor dari usaha pertambangan tersebut, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 Indische
Mijnwet Stb. 1899 Nomor 214 ( Jogi Tjiptadi, Kontrak Production Sharing sebagai landasan
Kegiatan Eksplorasi/ Eksploitasi Minyak di lepas Pantai, 1984, hal.7 ). 97
Tri Hayati, Studi Kebijakan Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara 98
Ibid
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
pertambangan Indonesia adalah kekayaan alam nasional bangsa Indonesia yang
dikuasai dan digunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
UU No.11/1967 menggolongkan bahan galian atas tiga golongan, yaitu
bahan galian strategis, vital dan bahan galian yang bukan strategis maupun vital.99
Bahan galian strategis merupakan bahan galian yang digunakan untuk
kepentingan pertahanan keamanan serta perekonomian negara. Bahan galian
strategis biasa disebut dengan bahan galian A. Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan Galian menyebutkan yang termasuk
dalam golongan bahan galian strategis adalah sebagai berikut :100
a. Minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam;
b. Bitumen padat, aspal;
c. Antrasit, batubara, batubara muda;
d. Uranium, radium, thorium dan bahan-bahan galian radioaktif lainnya;
e. Nikel, kobalt;
f. Timah.
Bahan galian vital merupakan bahan galian yang dapat menjamin hajat hidup
orang. Bahan galian vital ini disebut dengan bahan galian B. Yang termasuk
dalam golongan bahan galian vital adalah :101
a. Besi, mangaan, molibden,khrom, wolfram, vanadium, titan;
b. Bauksit, tembaga, timbal, seng;
c. Emas, platina, perak, air raksa, intan;
d. Arsin, antimon, bismut;
e. Yttrium, rhutenium, cerium dan logam-logam langka lainnya;
f. Berillium, korundum, zirkon, kristal kwarsa;
g. Kriolit, fluorspar, barit;
h. Yodium, brom, khlor, belerang.
Bahan galian yang tidak termasuk bahan galian strategis dan vital lazim disebut
dengan bahan galian C. Bahan galian ini dibagi menjadi :102
99
Indonesia, Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, Pasal 3 ayat 1. 100
Ibid, Pasal 1 huruf a. 101
Ibid, Pasal 1 huruf b.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
a. Nitrat-nitrat (garam dari asam sendawa, dipakai dalam campuran pupuk;
HNO3), pospat-pospat, garam batu (halite).
b. Asbes, talk, mikam grafit, magnesit
c. Yarosit, leusit, tawas (alum), oker
d. Pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit
e. Batu apung, trasm absidian, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth)
f. Marmer, batu tulis
g. Batu kapur, dolomite, kalsit
h. Granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat, tanah pasir sepanjang tidak
mengandung unsure mineral golongan a maupun b dalam jumlah berarti
(Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1980 tentang
penggolongan Bahan-bahan Galian.
Berdasarkan Pasal 4 UU No.11/1967, kewenangan perizinan
pertambangan mineral dan batubara diberikan berdasarkan golongan bahan galian
tambang, yaitu :
a. Pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan usaha pertambangan untuk
bahan galian golongan a dan b dilakukan oleh Menteri;
b. Pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan usaha pertambangan untuk
bahan galian golongan c dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempat
terdapatnya bahan galian tsb.
c. Namun terdapat pengecualian, bahwa dengan memperhatikan kepentingan
pembangunan Daerah khususnya dan Negara umumnya, Menteri dapat
menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan-bahan galian tertentu
diantara bahan galian golongan b kepada Pemerintah Daerah Tingkat I
tempat terdapatnya bahan galian itu
Kegiatan pertambangan meliputi penyelidikan umum, eksplorasi,
eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan serta penjualan.
Penyelidikan umum selalu dilakukan di awal kegiatan usaha pertambangan karena
penyelidikan umum merupakan usaha untuk menyelidiki secara geologi umum
102
Ibid, Pasal 1 huruf c.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
atau fisika, di daratan perairan dan dari udata yang dimaksudkan untuk membuat
peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada
umumnya.103
Kegiatan selanjutnya adalah eksplorasi. Eksplorasi adalah segala
penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya
dan sifat letakan bahan galian.104
Tahap berikutnya adalah eksploitasi, eksploitasi
dilakukan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan
memanfaatkannya.105
Setelah eksploitasi dilakukan maka bahan galian yang telah
diperoleh diolah dan dimurnikan agar mempertinggi mutu bahan galian serta
untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan
galian itu.106
Untuk memasarkannya bahan galian yang telah diolah dan
dimurnikan tersebut maka dilakukan usaha pengangkutan yang bertujuan untuk
memindahkan bahan galian dan hasil pengolahan dan pemurnian bahan galian dari
daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian.107
Kegiatan terakhir yang
dilakukan adalah melakukan penjualan bahan galian dan hasil
pengolahan/pemurnian bahan galian.108
Kegiatan pertambangan tersebut di atas dapat dilaksanakan oleh :109
a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;
b. Perusahaan Negara;
c. Perusahaan Daerah;
d. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah.
e. Koperasi;
f. Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang
dimaksud dalam pasal 12 ayat (1);
g. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah dengan
Koperasi dan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat-syarat
yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1);
103
Ibid, hal 53 104
Ibid 105
Ibid 106
Ibid 107
Ibid 108
Ibid 109
UU No.11 Tahun 1967, Ibid, Pasal 5
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
h. Pertambangan Rakyat.
Pelaksanaan pengusahaan bahan galian golongan a diberikan kepada
Perusahaan Negara dan Instansi Pemerintah.110
Namun bahan galian golongan a
yang berbentuk Migas dan Uranium semata-mata hanya diusahakan oleh
Negara.111
Pelaksanaan pengusahaan bahan galian golongan a juga dapat
diberikan kepada pihak swasta apabila berbentuk badan hukum koperasi, badan
hukum swasta (didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia,
berkedudukan di Indonesia, bertujuan berusaha dalam lapangan pertambangan,
pengurusnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di
Indonesia) ataupun perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan
bertempat tinggal di Indonesia.112
Pemberian pelaksanaan pengusahaan dilakukan
menurut pendapat Menteri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi
ekonomi dan perkembangan pertambangan. Apabila bahan galian golongan a
yang terdapat di suatu lokasi demikian kecil, maka pengusahaannya diserahkan
kepada rakyat setempat sebagai tambang rakyat.113
Untuk bahan galian golongan b, dapat diusahakan oleh negara atau
daerah serta badan hukum koperasi maupun badan hukum swasta serta
perseorangan swasta.114
Pelaksanaan pengusahaan pertambangan oleh negara
atau daerah dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah serta Perusahaan dengan
modal bersama antara negara/perusahaan negara dengan daerah maupun dengan
perusahaan swasta.115
Sedangkan bahan galian golongan c pengelolaannya
diserahkan kepada Pemerintah Daerah.116
Untuk bahan galian golongan c,
berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986, telah resmi dilimpahkan kepada
110
Ibid, Pasal 6. 111
Ibid, Pasal 13. 112
Ibid, Pasal 7 113
Ibid, Pasal 8 114
Ibid, Pasal 9 ayat 1 115
Ibid, Pasal 9 ayat 2 116
Ibid, Pasal 4 ayat 2
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Pemerintah Daerah, yang dalam pelaksanaannya dikenal dengan sebutan SIPD
(Surat Izin Pertambangan Daerah).
Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara
selaku pemegang kuasa pertambangan.117
Peluang pemberian kontrak publik
tersebut didahului oleh Izin Publik dari Menteri ESDM setelah berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.118
Usaha pertambangan yang dilakukan
dengan Kontrak Karya, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan pemerintah
Nomor 37 Tahun 1986, dapat dilakukan terhadap bahan galian golongan a dan
golongan b melalui kerjasama dengan Instansi Pemerintah atau Perusahaan
Negara selaku pemegang Ketentuan Pokok. Begitu juga dengan bahan galian
golongan c, dapat dilakukan dengan Kontrak Karya, sepanjang terdapat di lepas
pantai dan diusahakan oleh pihak asing. Peluang pemberian kontrak publik di
bidang pertambangan diawali dari Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang menyatakan bahwa,
Penanaman Modal Asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu
kerjasama dengan Pemerintah atas dasar kontrak karya atau suatu bentuk lain
sesuai peraturan yang berlaku.
Dengan dimulainya era reformasi tahun 2000 yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
terjadi perubahan mendasar dalam kewenangan urusan pemerintahan termasuk
urusan pertambangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, Pembagian Kewenangan
Pemerintahan diatur sebagai berikut :
a. Bupati/ Walikota : memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang terletak
dalam wilayah Kabupaten/ Kota dan/ atau sampai wilayah laut 4 mil laut;
b. Gubernur : memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang terletak dalam
beberapa wilayah Kabupaten/ Kota dan tidak dilakukan kerjasama antar
117
Ibid, Pasal 10 ayat 1 118
Ibid, ayat 2
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Kabupaten/ Kota maupun antar Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan/ atau di
wilayah laut yang terletak antara 4 sampai 12 mil laut;
c. Menteri : memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang terletak dalam
beberapa wilayah Provinsi dan tidak dilakukan kerjasama antar Provinsi, dan/
atau di wilayah laut yang terletak di luar 12 mil laut.119
Konsep yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut
selanjutnya ditindak lanjuti dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor
75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 32 Tahun 1967 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967, yang menyatakan :
a. Bupati/ Walikota : berwenang menerbitkan Surat Keputusan Kuasa
Pertambangan apabila Kuasa Pertambangannya terletak dalam wilayah
Kabupaten/ Kota dan/ atau sampai wilayah laut 4 mil laut;
b. Gubernur : berwenang menerbitkan Surat Keputusan Kuasa Pertambangan
apabila wilayah kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah
Kabupaten/ Kota dan tidak dil;akukan kerjasama antar Kabupaten/ Kota
maupun antar Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan/ atau di wilayah laut yang
terletak antara 4 sampai 12 mil laut;
c. Menteri : berwenang menerbitkan Surat Keputusan Kuasa Pertambangan
apabila wilayah kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah
Provinsi dan tidak dilakukan kerjasama antar Provinsi, dan/ atau di wilayah laut
yang terletak di luar 12 mil laut.120
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, dinyatakan bahwa
setiap usaha pertambangan yang termasuk dalam golongan bahan galian strategis
(golongan a) dan bahan galian vital (golongan b), baru dapat dilaksanakan apabila
terlebih dahulu telah mendapat KP, yang dapat diberikan oleh Bupati, Walikota
dan Gubernur sesuai kewenangan masing-masing. Jadi pemberian izin kepada
pengusaha tidak lagi didasarkan pada penggolongan bahan galian mineral
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967.
119
H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2005), hal. 69. 120
Ibid
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
2. UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan
batubara di Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.4 tahun 2009) sebagai
pengganti UU No.11 Tahun 1967. Berdasarkan Pasal 34 jenis usaha
pertambangan dikelompokan menjadi dua, yaitu :121
a. Pertambangan mineral
Pertambangan mineral digolongkan atas mineral radioaktif, mineral logam,
mineral bukan logan dan batuan.
b. Pertambangan batubara
Untuk mengusahakan pertambangan mineral maupun batubara pemohon
dapat mengajukan izin pertambangan yang dilaksanakan dalam bentuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha
pertambangan Khusus (IUPK).122
Saat ini penerbitan izin pertambangan tidak
lagi berdasarkan golongan bahan galian, melainkan berada di tangan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
kewenanganya masing – masing.
IUP diberikan oleh Bupati/Walikota apabila wilayah izin usaha
pertambangannya berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota. Kemudian IUP
dapat diberikan oleh Gubernur apabila wilayah izin usaha pertambangannya
berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah
mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat. Selain itu Menteri juga
dapat memberikan IUP apabila wilayah izin usaha pertambangannya berada pada
lintas wilayah provinsi dan telah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan
bupati/walikota setempat.123
IUP dapat diberikan kepada :124
a) Badan usaha, yang dapat berupa badan usaha swasta, Badan Usaha Milik
Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
b) Koperasi; dan 121
Ibid, Pasal 34 122
Ibid, Pasal 35 123
Ibid, Pasal 37 124
Ibid, Pasal 38
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
c) Perseorangan, yang dapat berupa orang perseorangan yang merupakan warga
Negara Indonesia, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.
Dalam satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu jenis mineral atau
batubara saja, apabila ditemukan kandungan mineral lain dalam wilayahnya maka
pemegang IUP tersebut mendapat prioritas untuk mengusahakannya dengan
mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.125
Jika pemegang IUP tersebut
tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukannya maka
kewajibannya adalah menjaga mineral tersebut agar tidak dimanfaatkan oleh
pihak lain.126
Untuk mengusahakan mineral lain yang terdapat di wilayah yang
sama, maka pemerintah dapat memberikannya kepada pihak lain.127
IUP terdiri
atas dua tahap :128
a. IUP Eksplorasi
Kegiatan dalam IUP eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi dan studi kelayakan. Pasal 42 UU No.4 Tahun 2009 menyatakan
bahwa izin eksplorasi untuk pertambangan mineral logam diberikan selama
delapan tahun. Sedangkan untuk mineral bukan logam diberikan paling lama
3 (tiga) tahun, untuk mineral bukan logam jenis tertentu paling lama 7 (tujuh)
tahun. Selain itu untuk jenis batuan diberikan selama 3 (tiga) tahun dan
batubara diberikan dalam waktu7 (tujuh) tahun.
b. IUP Operasi Produksi
Kegiatan dalam IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan.
Tahap operasi produksi ini dikenal dengan tahap eksplorasi. IUP operasi
produksi diberikan kepada pemenang hasil lelang WIUP mineral logam atau
batubara. Jangka waktu yang diberikan untuk pemegang IUP operasi
produksi adalah :129
125
Ibid, Pasal 40 ayat 1,2,3 dan 4 126
Ibid, ayat 5 127
Ibid, ayat 6 128
Ibid, Pasal 36 ayat 1. 129
Ibid, Pasal 47
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
1) Pertambangan mineral logam selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing selama 10 (sepuluh)
tahun.
2) Pertambangan mineral bukan logam selama 10 (sepuluh) tahun dan dapat
diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 (lima) tahun.
3) Pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu selama 20 (dua puluh)
tahun dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing selama 10
(sepuluh) tahun.
4) Pertambangan batuan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 (lima) tahun.
5) Pertambangan batubara selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing selama 10 (sepuluh)
tahun.
Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat
melakukan sebagian atau seluruh kegiatan tersebut.130
Pemberian IUP akan
dilakukan setelah pemohon memperoleh wilayah izin usaha pertambangan
(WIUP), dalam satu WIUP dimungkinkan untuk diberikan satu IUP maupun
beberapa IUP. WIUP merupakan bagian dari Wilayah Usaha Pertambangan
(WUP) dan WUP merupakan bagian dari Wilayah pertambangan (WP). Selain
WUP, WP juga terdiri dari wilayah pertambangan rakyat (WPR) dan wilayah
pencadangan negara (WPN).
Penetapan suatu wilayah untuk menjadi WP harus melalui kegiatan
perencanaan dan penetapan131
. Proses perencanaan dimulai dengan inventarisasi
potensi pertambangan dan penyusunan rencana WP.132
Dalam menginvetarisasi
potensi tambang, menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dapat melakukan
penyelidikan dan penelitian dengan cara memberi penugasan kepada lembaga riset
negara atau lembaga riset daerah.133
Data yang dihasilkan pada tahap penyelidikan
130
Ibid, ayat 2 131
Indonesia, Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, Pasal 2
ayat 3. 132
Ibid, pasal 3 133
Ibid, pasal 8 ayat 1
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
dan penelitian tersebut akan diolah untuk menjadi peta potensi mineral dan
batubara sebagai dasar penetapan WP.134
Data-data WP didelineasi
berdasarkan :135
1. Formasi pembawa mineral dan Batubara dari Badan Geologi dan instansi
peneliti lainnya.
2. Potensi mineral dan batubara dari Badan Geologi dan instansi peneliti lainnya.
3. Potensi mineral radioaktif dari (BATAN.
4. Excisting KK, PKP2B, IUP dan IPR dari Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara dan Pemerintah Daerah.
5. Tata guna kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.
6. Rencana Tata Ruang Nasional dari Kementerian Pekerjaan Umum.
UU No.4 tahun 2009 menyatakan bahwa penetapan WP dilakukan oleh
Menteri setelah berkoordinasi dengan Gubernur, Bupati/Walikota dan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.136
Namun ketentuan tersebut
kemudian dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan uji materiil yang
diajukan oleh Bupati Kutai Timur. MK menganulir pasal pasal 6 ayat 1E, pasal 9
ayat 2, pasal 14 ayat 1 dan 2 serta pasal 17 UU No 4 Tahun 2009. Dalam
putusannya MK berpendapat bahwa untuk menentukan daerah petambangan
pemerintah daerah harus diberi otonomi seluas-luasnya. Pembagian urusan
pemerintahan yang bersifat fakultatif haruslah berdasarkan pada semangat
konstitusi otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah.137
Penetapan WP,
WUP, WIUP itu ditentukan oleh daerah, dan baru kemudian secara berjenjang
berdasarkan pendekatan RT/RW itu baru diputuskan oleh pemerintah pusat setelah
berkonsultasi dengan DPR. Peta WP dapat dievaluasi dalam waktu lima tahun dan
dapat dilakukan perubahan terhadapnya.138
134
Ibid, pasal 12 135
Nelyati Siregar, Op.Cit 136
Ibid, pasal 15 ayat 1 137
Kementerian ESDM: Pemerintah Pusat Tetap Berwenang Tentukan Wilayah Pertambangan,
http://finance.detik.com, diunduh tanggal 4 Desember 2012. 138
PP No.22 Tahun 2010, Pasal 15 ayat 2 dan 3
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan kepada jenis usaha
mineral logam, mineral bukan logam, batuan dan batubara.139
IPR diberikan oleh
Bupati/Walikota kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat dan/atau koperasi setelah mengajukan surat permohonan.140
Dalam pelaksanaan pemberian IPR, Bupati/walikota dapat melimpahkan
kwenangannya kepada Camat.141
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diberikan oleh Menteri
dengan memperhatikan kepentingan daerah kepada badan usaha yang berbadan
hukum Indonesia, baik yang berupa BUMN, BUMD maupun badan usaha swasta.
IUPK diberikan untuk satu jenis mineral logam atau batubara, apabila ditemukan
kandungan mineral lain dalam wilayahnya maka ia mendapat prioritas untuk
mengusahakannya dengan mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri.
Jika ia tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukannya maka
wajib menjaga mineral tersebut agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain.142
IUPK
ini terdiri atas dua tahap :143
a) IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi
kelayakan;
b) IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan. Pemegang
IUPK operasi produksi adalah perusahaan berbadan hukum Indonesia.144
Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi Produksi dapat
melakukan sebagian atau seluruh kegiatan tersebut.145
Dengan mengadopsi semangat desentralisasi UU No.4 tahun 2009
merinci kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Provinsi maupun
139
Ibid, Pasal 66 140
Ibid, Pasal 67 ayat 1 141
Ibid, ayat 2 142
Ibid, Pasal 74 143
Ibid, Pasal 76 144
Ibid, Pasal 77 145
Ibid, Pasal 76 ayat 2
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Kabupaten/Kota dalam mengelola pertambangan mineral dan batubara. Berikut
adalah kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, yaitu :146
a. Penetapan kebijakan nasional
b. Pembuatan peraturan perundang-undangan
c. Penetapan standar nasional, pedoman dan kriteria
d. Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional
e. Penetapan wilayah pertambangan yang dilakukan setelah berkoordinasi
dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat
f. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi
dan/atau wilayah laut lebih dari 12 mil laut dari garis pantai
g. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada
lintas wilayah provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 mil laut dari
garis pantai.
h. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak
lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12
mil laut dari garis pantai.
i. Pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi
j. Pengevaluasian IUP Operasi Produksi yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak
menerapkan kaidah pertambangan yang baik.
k. Penetapan kebijakan produksi pemasaran, pemanfaatan dan konservasi,
l. Penetapan kebijakan kerjasama, kemitraan dan pemberdayaan masyarakat,
m. Perumusan dan penetapan peneriman negara bukan pajak dari hasil usaha
pertambangn mineral dan batubara.
146
Republik Indonesia, UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Pasal 6
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
n. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
o. Pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah dibidang
pertambangan.
p. Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam
rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan
penyusunan WUP dan WPN.
q. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan
batubara serta informasi pertambangan pada tingkat nasional.
r. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dan pascatambang.
s. Penyusunan neraca sumber daua mineral dan batubara tingkat nasional.
t. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan.
u. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha
pertambangan.
Selanjutnya Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan sebagai berikut :147
a. Pembuatan peraturan perundang–undangan
b. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau
wilayah laut 4 (empat) mil dampai dengan 12 (dua belas) mil.
c. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yg kegiatannya berada
pada 5.Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah Kabupaten/ kota
dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan12 (dua belas) mil laut.
d. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung
lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 mil (empat) sampai dengan 12
(dua belas) mil.
147
Ibid, Pasal 7
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
e. Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam
rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan
kewenangannya.
f. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan pada daera/eilayah provinsi.
g. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah
provinsi.
h. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di
provinsi.
i. Pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha
pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
j. Pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di
wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya.
k. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan
penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
l. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang
m. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Selanjutnya kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri
dari :148
a. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah.
b. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah
laut sampai dengan 4 (empat) mil.
c. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian kondlik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada
di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil.
148
Ibid, Pasal 8
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
d. Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam
rangka memperoleh data dan informasi mneral dan batubara.
e. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara serta
informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota.
f. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah
kabupaten/kota.
g. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha
pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
h. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha
oertambangan secara optimal.
i. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum dan penelitian
serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan Gubernur.
j. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri serta ekspor
kepada Menteri dan Gubernur
3. Perbandingan Perizinan Pertambangan Berdasarkan UU No.11 Tahun
1967 dan UU No.4 Tahun 2009
Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan
batubara di Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.4 tahun 2009) sebagai
pengganti UU No.11 Tahun 1967. Undang-undang No.4 Tahun 2009 lahir karena
materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak
sesuai dengan semangat otonomi daerah karena bersifat sentralistik. Ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam UU No.4 Tahun 2009 diyakini dapat
menghilangkan kelemahan dan kendala dimasa lalu, dengan kata lain bahwa UU
ini bertujuan untuk memperbaiki sistem pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara. Berikut adalah perbandingan materi pokok dalam sistem pertambangan :
149
Tabel 3.1
149
Robert Endi Jeweng, UU No.4 tahun 2009: Perubahan Krusial, Aneka Pertanyaan
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Perbandingan UU No.11 Tahun 1967 dan UU No.4 Tahun 2009
No
UU No 11 Tahun 1967
UU No. 4 Tahun 2009
1. Prinsip hak penguasaan
Pengusaan bahan galian
diselenggarakan Negara (pasal
1)
Penguasaan mineral dan batubara oleh
pemerintah negara, diselenggarakan
oleh pemerintah dan/atau Pemda (pasal
4)
2. Penggolongan dan pengelompokan
Bahan strategis (gol. A), galian
vital (gol. B) dan galian non
strategis (gol. C) (pasal 3)
Pengelompokan usaha pertambangan
: mineral dan batubara
Penggolongan tambang mineral :
radioaktif, logam, non logam dan
batuan (pasal 34)
3. Kewenangan pengelolaan
Bahan galian strategis (A)
dan Vital (B) oleh
pemerintah
Bahan galian non strategis –
non vital oleh Pemda
I/Provinsi (pasal 4)
21 kewenangan berada di tangan
pusat
14 kewenangan berada di tangan
provinsi
12 kewenangan di kabupaten/kota
(pasal 6-8)
4. Wilayah Pertambangan
Secara terinci tidak diatur,
kecuali bahwa usaha
pertambangan tidak berlokasi
di tempat suci, kuburan,
bangunan, dll (pasal 16 ayat 3)
Wilayah pertambangan adalah bagian
dari tata ruang nasional, ditetapkan
pemerintah setelah berkoordinasi
dengan Pemda dan konsultasi dengan
DPR (pasal 10)
Wilayah pertambangan terdiri dari :
wilayah usaha pertambangan/WUP,
wilayah pertambangan rakyat/WPR,
dan wilayah pencadangan
nasional/WPN (pasal 14-33)
5. Luas Wilayah
KP penyelidikan umum
5000 Ha
KP eksplorasi maksimal
2000 Ha
KP ekspolatasi maksimal
1000 Ha
WIUP mineral logam
IUP Eksplorasi antara 5000-100.000
Ha
IUP Operasi makimal 25 Ha
WIUP mineral bukan logam
IUP eksplorasi 500-25000 Ha
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
IUP OP paling banyak 5000 Ha
WIUP Batuan
IUP eksplorasi 5 -5.000 Ha
IUP OP maksimal 1.000 Ha
WIUP Batubara
IUP eksplorasi 5.000 -15.000 Ha
IUP OP maksimal 15.000 Ha
6. Legalitas Usaha
Rezim Kontrak berupa :
(pasal 10, 15)
Kontrak karya
Kuasa Pertambangan
Surat izin pertambangan
daerah
Surat izin pertambangan
rakyat
Rezim Perizinan berupa : (pasal 35)
Izin usaha pertambangan/IUP
Izin usaha pertambangan rakyat/IPR
Izin pertambangan khusus/IUPK
7. Tahapan Usaha
Ada 6 tahapan : (pasal 14)
Penyelidikan umum
Eksplorasi
Ekspoitasi
Pengelolaan dan pemurnian
Pengakutan
Penjualan
Ada 2 tahapan : (pasal 36)
Ekspolorasi meliputi, penyelidikan
umum, eksplorasi dan studi
kelayakan
Operasi produksi meliputi,
penambangan, kontruksi,
pengolalahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan
8. Klasifikasi Investor dan Jenis Legalitas Usaha
Investor domestic (PMDN)
berupa KP, SIPD, PKP2B
Investor asing (PMA)
berupa : KK dan PKP2B
IUP bagi badan usaha
(PMA/PMDN), koperasi
perseorangan (pasal 38)
IPR bagi penduduk lokal, koperasi
(pasal 67)
IUPK bagi badan usaha berbadan
hukum Indonesia dengan prioritas
bagi BUMN/BUMD dengan
prioritas bagi BUMN/BUMD (pasal
73)
9. Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban keuangan bagi
Negara
6) KP sesuai aturan berlaku
: iuran tetap dan royalty
Kewajiban keuangan bagi Negara :
pajak dan PNBP, Tambahan untuk
IUPK : pembayaran 10%
keuntungan bersih
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
(merujuk PP No.45/2003
tentang PNBP DESDM)
7) KK/PKP2B sesuai
kontrak, yakni KK, iuran
tetap dan royalty,
PKP2B, iuran tetap dan
DHPB (merujuk Keppres
No.75/1996 tentang
Ketentuan PKP2B)
Minimalnya bahkan tak
diaturnya kewajiban soal
lingkungan, kemitraan
dengan pelaku usaha local,
pemanfaatan tenaga kerja
setempat, program
pengembangan masyarakat
Pemeliharaan lingkungan :
konservasi, reklamasi (pasal 96-100)
Kepentingan nasional : pengolahan
dan pemurnian di dalam negeri
(pasal 103-104)
Pemanfaatan tenaga kerja setempat,
partisipasi pengusaha local pada
tahap produksi, program
pengembangan masyarakat (pasal
106-108)
Penggunaan perusahaan jasa
pertambangan local dan/atau
nasional (pasal 139-142)
10. Persyaratan izin
Berdasarkan PP 32 Tahun 1969
(pasal 13) permintaan kuasa
pertambangan diajukan sesuai
dengan bentuk yang
ditetapkan oleh Menteri
dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Untuk satu wilayah kuasa
pertambangan harus
diajukan satu permintaan
tersendiri .
b. Lapangan-lapangan yang
terpisah tidak dapat diminta
sebagai satu wilayah kuasa
pertambangan
1. Pemberian WIUP diatur pasal 7
hurup a terdiri atas:
WUP radiokatif
WIUP mineral logam
WIUP batu bara
WIUP batuan
2. WIUP radioaktif diperoleh sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
3. WIUP mineral logam dan batubara
diperoleh dengan cara lelang
4. WIUP mineral bukan logam dan
batuan dengan cara mengajukan
permohonan wilayah
11. Pembinaan dan pengawasan
Pengawasan terpusat di tangan
pemerintah atas pemegang
KK, KP, PKP2B
Pusat terhadap Provinsi dan
Kabupaten/Kota terkait
penyelenggaraan pengellaan
pertambangan dilakukan oleh pusat
Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
sesuai kewenangan terhadap
pemegang IUP dilakukan
Kabupaten/Kota terhadap IPR (pasal
139-142)
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
12. Ketentuan peralihan (terkait status hukum investasi existing)
Semua hak pertambangan dan
KP perusahaan negara, swasta,
badan lain atau perseorangan
berdasarkan peraturan yang
ada sebelum saat berlakunya
UU Ini tetap dijalankan
sampai dengan masa
berlakunya, kecuali ada
penetapan lain menurut PP
yang dikeluarkan berdasarkan
UU ini (pasal 35)
Pada saat UU ini berlaku maka :
KK dan PKP2B yang telah ada
sebelum berlakunya UU ini tetap
diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/perjanjian
Ketentuan yang tercantum dalam
pasal KK dan PKP2B dimaksud
disesuaikan selambat-lambatnya 1
tahun sejak UU ini diundangkan,
kecuali mengenai penerimaan negara
UU No.4 tahun 2009 diharapkan dapat melakukan pengembangan sektor
pertambangan secara inheren dengan perhatian yang serius terhadap elemen-
elemen dasar praktek pembangunan berkelanjutan yaitu economic sustainability,
social sustainability, enviroment sustainability.150
Pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam UU No.4 tahun 2009 adalah sebagai berikut:151
1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh
Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang
berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat
setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan
izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan
prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah
dan pemerintah daerah.
150
Pandangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara
dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, tanggal 16 Desember 2008. 151
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara,
Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 4959,
Penjelasan Umum.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang
sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan
mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah
serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan
hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
UU No.4 tahun 2009 telah memberi penguatan kepada hak penguasaan
oleh Negara. Penguatan itu dimulai dengan perubahan rezim kontrak menjadi
rezim perizinan. Dalam rezim kontrak posisi pemerintah mendua, yaitu sebagai
regulator sekaligus pihak yang melaksanakan kontrak. Kedudukan pemerintah dan
pengusaha sejajar, hal ini tentunya menjatuhkan kredebilitas pemerintah karena
tidak dapat bertindak tegas selaku regulator, segala sesuatunya dapat dinegosiasi
(berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak). Perbandingan antara kedua rezim
tersebut selanjutnya akan dipaparkan dalam tabel di bawah ini.152
Tabel 3.2
Perbandingan Rezim Perizinan dan Rezim Kontrak
Subjek Perizinan
Kontrak/Perjanjian
Hubungan hukum Bersifat publik,
instrument hukum
administrasi negara
Bersifat perdata
Penerapan hukum Oleh pemerintah Oleh kedua belah pihak
Pilihan hukum Tidak berlaku pilihan
hukum
Berlaku pilihan hukum
Akibat hukum Sepihak Kesepakatan kedua belah
pihak
Penyelesaian sengketa PTUN Arbiterase
152
Robert Endi Jeweng, Op.Cit
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Kapastian hukum Lebih terjamin Kesepakatan dua pihak
Hak dan kewajiban Hak/kewajiban
pemerintah lebih besar
Hak/kewajiban relatif
setara antar pihak
Sumber hukum Peraturan perundang-
undangan
Kontrak/perjanjian
Dengan beralihnya rezim kontrak/perjanjian menjadi rezim perizinan maka telah
menempatkan pemerintah sebagai pihak yang superior. Posisi pemerintah tidak
lagi mendua, ia hanya memainkan peran sebagai regulator. Pemerintah berwenang
melakukan kontrol atas aktivitas pertambangan mulai tahap eksplorasi, produksi
hingga penjualan.
B. Implementasi Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara
Berdasarkan UU No.4 Tahun 2009
UU No.4 tahun 2009 mengamanatkan sejumlah ketentuan strategis untuk
diatur lebih rinci dalam peraturan pelaksana, namun sebelum terbitnya peraturan
pemerintah sebagai pelaksana UU No. 4 Tahun 2009 Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral maka pemerintah melalui Direktur Jenderal Meneral, Batubara dan
Panas Bumi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 03E/31/DJB/2009 tentang
Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan
Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Surat
Edaran ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Januari 2009.153
Surat Edaran tersebut menghimbau Gubernur dan Bupati/Walikota di
seluruh Indonesia agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut :154
1. Kuasa Pertambangan (KP) yang telah ada sebelum berlakunya UU No.4
Tahun 2009, termasuk peningkatan tahapan kegiatannya tetap diberlakukan
153
http://www.tambangnews.com/regulasi/surat-edaran/69-se-dirjen-minerba-dan-panas-bumi-
nomor-03e31djb2009.html diunduh tanggal 5 November 2012. 154
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Surat Edaran Nomor 03E/31/DJB/2009 tentang
Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
sampai jangka waktu berakhirnya KP dan wajib disesuaikan menjadi IUP
(Izin Usaha Pertambangan) berdasarkan UU No.4 Tahun 2009 paling lambat
1 (satu) tahun sejak berlakunya UU No.4 Tahun 2009
2. Menghentikan sementara penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru
sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU
No.4 Tahun 2009
3. Berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi
atas semua permohonan peningkatan tahap kegiatan Kuasa Pertambangan
termasuk perpanjangannya untuk diproses sesuai dengan UU No.4 Tahun
2009
4. Menyampaikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui
Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi semua permohonan
Kuasa Pertambangan yang telah diajukan, dan telah mendapat persetujuan
pencadangan wilayah sebelum berlakunya UU No.4 Tahun 2009, untuk
dievaluasi dan diverifikasi dalam rangka mempersiapkan Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang tata ruang nasional, paling lama 1 (satu) bulan sejak surat
ini diterbitkan.
5. Memberitahukan kepada para pemegang KP yang telah melakukan tahapan
kegiatan eksplorasi atau eksploitasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak
berlakunya UU No.4 Tahun 2009 harus menyampaikan rencana kegiatan
pada seluruh wilayah KP sampai dengan jangka waktu berakhirnya KP untuk
mendapatkan persetujuan pemberi Izin KP, dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi
6. Surat Keputusan Kuasa Pertambangan yang diterbitkan Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota setelah tanggal 12 Januari 2009 dinyatakan batal dan tidak
berlaku
7. Direktorat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi akan mengeluarkan
format penerbitan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
8. Permohonan baru Surat Izin Pertambangan Daerah bahan galian golongan C
termasuk perpanjangannya yang diajukan sebelum berlakunya UU No.4 tahun
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
2009 2009, tetap diproses menjadi IUP sesuai dengan UU No.4 tahun 2009
setelah berkoordinasi dengan Gubernur.
Selain menghimbau Gubernur, Bupati/Walikota, dalam surat edaran ini juga
dinyatakan bahwa permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) harus membentuk Badan Hukum
Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya UU No.4 tahun 2009.155
Ketentuan ini adalah sebagai bahan pertimbangan dalam proses penerbitan IUP.156
Keberadaan Surat Edaran di atas ternyata menimbulkan kesimpangsiuran
pemahaman di daerah, atas kesimpangsiuran yang terjadi maka Direktorat
Jenderal Energi Mineral dan Batubara pada tanggal 24 Maret 2009 kembali
mengeluarkan Surat Nomor 1053/30/DJB/2009 yang ditujukan kepada Gubernur
dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia. Dalam surat tersebut dinyatakan hal-
hal sebagai berikut :157
1. Kuasa Pertambangan (KP) yang masih berlaku wajib disesuaikan menjadi
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan mengacu kepada UU No.4 tahun
2009 dan menggunakan format IUP terlampir.
2. Untuk peningkatan atau perpanjangan Kuasa Pertambangan (KP)
dikoordinasikan kepada Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dan Panas
Bumi serta dapat diproses lebih lanjut dengan mengacu kepada UU no.4
Tahun 2009 dan menggunakan format IUP terlampir.
3. Permohonan KP yang telah diterima sebelum diberlakukannya UU No.4
Tahun 2009 tanggal 12 Januari 2009 dan telah mendapatkan pencadangan
wilayah dapat diproses lebih lanjut dengan mengacu kepada UU No.4 Tahun
2009 tanpa melalui lelang dengan menggunakan format IUP terlampir.
4. Permohonan Kontrak Karya dan/atau Perjanjian Karya pengusahaan
pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud dalam pasal 172 UU No.4
Tahun 2009 dan telah mendapatkan persetujuan prinsip harus membentuk
155
Ibid 156
Ibid 157
http://www.tambangnews.com/images/data/surat1053.PDF
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Badan hukum Indonesia serta dapat diproses lebih lanjut tanpa melalui lelang
dengan menggunkan format IUP terlampir.
5. Dalam hal pembentukan Badan Hukum Indonesia dan persetujuan
penanaman modal, agar dikoordinasikan dengan Kementerian Hukum dan
HAM serta Badan Penanaman Modal (BKPM) setelah mendapatkan
rekomendasi dari Dirjen Minerba dan Panas Bumi
Dengan adanya Surat No. 1053/30/DJB/2009 maka, pertama, legalitas
usaha pertambangan harus segera disesuaikan dengan bentuk perizinan. Kedua,
kegiatan pertambangan yang ada saat ini adalah berdasarkan izin tambang yang
telah terbit sebelum ada UU No.4 tahun 2009, peningkatan maupun perpanjangan
izin harus disesuaikan dengan ketentuan dalam UU No.4 Tahun 2009. Ketiga,
Permohonan penerbitan IUP yang diajukan sebelum 12 Januari 2009 dapat
diproses sesuai dengan ketentuan UU No.4 Tahun 2009. Keempat, pemohon KK
dan/atau PKP2B harus berbentuk badan Hukum Indonesia.
Penantian terhadap peraturan pelaksana dari UU No.4 tahun 2009 yang
menjadi acuan kegiatan pertambangan mineral dan batubara akhirnya terjawab
secara bertahap sejak tahun 2010. Berikut adalah daftar beberapa peraturan
pelaksana yang telah diterbitkan, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan
Batubara.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan
Pascatambang.
5. Peraturan Menteri ESDM No.14 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Sebagian
Urusan Pemerintahan Di Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Kepada
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraan
Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2011
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
6. Peraturan Menteri ESDM No.12 Tahun 2011 tentang Tata cara Penetapan
Wilayah Usaha Pertambangan Dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan
Mineral Dan Batubara.
7. Peraturan Menteri ESDM No.12 Tahun 2011 tentang Tim Evaluasi Untuk
Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara
8. Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012
Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan
Dan Pemurnian Mineral
9. Peraturan Menteri ESDM No.07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan pengolahan Dan Pemurnian Mineral
10. Peraturan Dirjen Mineral dan Batubara No.574.K/30/DJB/2012 tentang
Ketentuan Tata Cara dan Persyaratan Rekomendasi Ekspor Produk
Pertambangan
Belum adanya rekomendasi dari DPR-RI sebagai pelaksanaan Pasal 9
ayat 2 UU No.4 Tahun 2009 membuat pemerintah melalui Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral cq Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menerbitkan
Surat Edaran Nomor 08.E/30/DJB/2012 tentang Penghentian Sementara Penerbitan
IUP Baru Sampai Ditetapkannya Wilayah Pertambangan. Surat Edaran tersebut
diterbitkan pada tanggal 6 Maret 2012 dan ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/
Walikota di seluruh Indonesia. Dengan terbitnya Surat Edaran tersebut maka
Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia diminta untuk menghentikan
sementara penerbitan IUP baru sampai ditetapkannya WP.
Surat tersebut merupakan pedoman bagi Dinas Pertambangan Provinsi
dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia untuk melaksanakan moratorium
(penghentian sementara) IUP. Bagi kepala daerah yang melanggar akan ada sanksi
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
tegas yang dijatuhkan, bahkan dapat dipidana.158
Sedangkan bagi perusahaan yang
melanggar maka semua izin usahanya akan dicabut oleh Kementerian ESDM.159
Moratorium dalam praktek dibeberapa daerah kadangkala “diakali”,
tanggal permohonan izin tambang dibuat mundur (backdate) seolah-olah
permohonan IUP diajukan sebelum tanggal 12 Maret 2009.160
Hal ini bertujuan
agar permohonan izin tambang dapat diproses segera tanpa harus melalui lelang.
Moratorium juga tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah, misalnya oleh
Provinsi Nangroe Aceh (Aceh). Aceh memiliki alasan untuk tidak melaksanakan
moratorium karena keistimewaan dan kekhususan yang diberikan oleh Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). 161
Kekhususan pengaturan yang terdapat dalam UUPA antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Kewenangan Khusus162
2. Lembaga di Daerah163
3. Gubernur Aceh164
4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota (DPRA/K)165
5. Partai Politik Lokal166
6. Lembaga Wali Nanggroe167
7. Pengakuan terhadap Lembaga Adat168
158
“ Keluarkan Izin, Kepala Daerah Dipidana”, http://www.jambi-
independent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=15189:keluarkan-izin-
kepala-daerah-dipidana&catid=25:nasional&Itemid=29 159
Ibid 160
Hasil diskusi Pusat kajian Hukum Administrasi Negara - Lembaga Administrasi Negara
dengan Dinas Pertambangan Provinsi dan Kabupaten Di Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Timur pada acara Foccus Group Disccusion Studi Kebijakan Perizinan Pertambangan
Mineral dan Batubara, April – Juni 2012 161
Hasil diskusi pusat Kajian Hukum Administrasi Negara - Lembaga Administrasi Negara
dengan Dinas Pertambangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada acara Foccus Group
Disccusion Studi Kebijakan Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara, Juni 2012 162
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
Lembaran Negara Tahun 2006 No.62, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 4633,
Bagian 163
Ibid, Bagian 164
Ibid, Bagian 165
Ibid, Bab VII 166
Ibid, Bab XI 167
Ibid, Bab XII 168
Ibid, Bab XIII
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
8. Syari’at Islam169
9. Mahkamah Sya’iyah170
10. Pengadilan HAM di Aceh171
11. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh172
12. Pengelolaan Sumber Daya Alam173
13. Keuangan174
14. Pertanahan.
Pasal 156 UUPA menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota berwenang untuk mengelola sumber daya alam yang meliputi
bidang pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi.175
Dengan demikian
permohonan izin yang diajukan setelah tanggal 12 Januari 2009 tetap dapat
diproses untu diterbitkan IUP nya. Mencermati lebih lanjut ketentuan dalam
UUPA sesungguhnya Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam
memberikan IUP tetap harus berdasarkan kepada norma, standar, dan prosedur
yang berlaku nasional.176
169
Ibid, Bab XVII 170
Ibid, Bab XVIII 171
Ibid, Bagian 172
Ibid, Bagian 173
Ibid, Bagian , Bab XXII Bagian Ketiga.. 174
Ibid, Bagian 175
Ibid, Pasal 156 ayat 1 dan 3. 176
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, loc.cit, Pasal 165 ayat 3
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
BAB IV
KEBIJAKAN CLEAN AND CLEAR DALAM RANGKA MENATA
IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
A. Rekonsiliasi Izin Usaha Pertambangan
Dukungan terhadap implementasi sistem perizinan pertambangan
berdasarkan UU No.4 Tahun 2009 harus dimulai dari penyesuaian legalitas usaha
pertambangan. Penyesuaian legalitas usaha pertambangan telah diamanatkan
dalam Surat Edaran Nomor 03E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan
Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Pasal 112 ayat 4 Peraturan
Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara. Pasal 112 ayat 4 menyatakan bahwa Kuasa Pertambangan, Surat Izin
Pertambangan Daerah, dan Surat Izin Pertambangan Rakyat wajib
disesuaikan menjadi IUP atau IPR.
Penyesuaian legalitas usaha pertambangan dilaksanakan dalam kegiatan
Rekonsiliasi Nasional Data Izin Usaha Pertambangan. Grand design Rekonsiliasi
Nasional Data Izin Usaha Pertambangan adalah untuk menyiapkan database
Nasional IUP (sistem informasi IUP Nasional) sekaligus sebagai upaya menata
izin usaha pertambangan.177
Keberadaan database nasional IUP menjadi sangat penting dan akan
bermanfaat bagi :178
1. Dasar hukum dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan
2. Bahan koordinasi dengan instansi lain dalam penentuan tata ruang sehingga
dapat mengetahui tumpang tindih antara daerah, tumpang tindih antar sektor,
dan tumpang tindih antar pemegang IUP.
177
Ibid 178
Nelyati Siregar, Proses dan Verifikasi izin Usaha Pertambangan (IUP) Clean and Clear
(CNC), Bahan Paparan Direktorat Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi Sumber
Daya Mineral, Jakarta, 11 Oktober 2011, hal.5.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
3. Optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (iuran tetap, royalti, penjualan
hasil tambang) dari IUP.
4. Peluang untuk peningkatan nilai tambah mineral dan batubara.
5. Mengetahui produksi nasional mineral dan batubara.
6. Dasar penentuan pemenuhan kebutuhan domestik (DMO).
7. Peningkatan kontribusi usaha jasa pertambangan nasional.
8. Peningkatan kebutuhan sumber daya manusia.
9. Pengelolaan lingkungan yang optimal.
Penyesuaian KP/SIPD/SIPR menjadi IUP atau IPR dibuktikan dengan
diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Izin Usaha Pertambangan sebagai pengganti
Surat keputusan (SK) Kuasa Pertambangan. Syarat yang diperlukan dalam
penyesuaian KP menjadi IUP adalah sebagai berikut :
1. Surat pengantar dari Gubernur/Bupati/Walikota kepada Dirjen Minerba
dengan menyebutkan perusahaan pemegang Ketentuan Pokok
2. Photocopy laporan rencana kegiatan KP (PU, Eksplorasi dan Eksploitasi)
3. Photocopy SK KP dari Gubernur, Bupati, Walikota (yang lama) lengkap
dengan lampiran peta beserta koordinatnya
4. Bukti pemenuhan kewajiban keuangan.
Sedangkan untuk peningkatan KP PU menjadi KP Eksplorasi memerlukan syarat-
syarat sebagai berikut :
1. Surat pengantar dari Gubernur/Bupati/Walikota kepada Dirjen Minerba
dengan menyebutkan perusahaan pemegang KP serta jenis permohonan
peningkatan tahap kegiatan
2. Surat permohonan peningkatan
3. SK KP dari Gubernur/Bupati/Walikota lengkap dengan lampiran peta wilayah
dan batas koordinat
4. Photocopy bukti pemenuhan kewajiban keuangan dan pelaporan
5. Surat persetujuan laporan akhir tahap kegiatan KP (PU atau Eksplorasi)
6. Surat persetujuan laporan FS (untuk KP Eksplorasi ke IUP Operasi Produksi)
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
7. Surat persetujuan AMDAL/UKL/UPL (untuk KP Eksplorasi ke IUP Operasi
Produksi)
8. Berkas persyaratan administrasi, finansial, teknis dan lingkungan
Untuk permohonan IUP baru yang diterima sebelum 12 Januari 2009 dan telah
mendapatkan pencadangan wilayah harus menyertakan :
1. Surat pengantar dari Gubernur/Bupati/Walikota kepada Dirjen Minerba
dengan menyebutkan perusahaan pemohon serta jenis permohonan KP,
PKP2B, KK, SIPD
2. Surat permohonan dengan berkas permohonan pencadangan
3. Surat pencadangan wilayah, peta wilayah dan batas koordinat,
4. Bukti pemenuhan kewajiban keuangan (penempatan jaminan kesungguhan).
5. Berkas persyaratan administrasi, finansial, teknis dan lingkungan.
B. Evaluasi Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada Kementerian ESDM terkait
status wilayah izin usaha pertambangan yang tumpang tindih melatarbelakangi
pemerintah untuk segera melakukan evaluasi terhadap izin pertambangan yang
telah diterbitkan.179
Evaluasi tersebut mempunyai peran penting bagi optimalisasi
target-target pemerintah dalam penerimaan negara, pengelolaan lingkungan,
peningkatan nilai tambah, usaha jasa, tenaga kerja, dan lain-lain.
Langkah untuk melakukan evaluasi terhadap izin tambang digabung
menjadi satu dalam kegiatan Rekonsiliasi Nasional Data IUP. Dalam rekonsiliasi
kegiatan yang dilakukan tidak sekedar menginventarisir data KP/SIPD/SIPR
menjadi IUP atau IPR, tetapi juga dilakukan verifikasi dan klasifikasi dari IUP
tersebut.180
Verifikasi dan klasifikasi dilakukan setelah inventarisasi data IUP
selesai dilakukan.
179
Yudishtira Ikhsan Pramana, Kebijakan Clean and Clear Dalam Rekonsiliasi Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara 180
Ibid, hal.3
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Verifikasi dimaksudkan untuk “mensterilkan” izin usaha pertambangan
dari masalah tumpang tindih sama komoditi, tumpang tindih beda komoditi,
tumpang tindih batas administrasi, koordinat/peta, masalah administrasi dan
dokumen serta masalah penyesuaian bentuk izin. Dalam melaksanakan verifikasi
Kementerian ESDM berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Badan
Informasi Geospasial. Masing-masing instansi tersebut mempunyai tugas sebagai
berikut :181
c. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara
Mengidentifikasi tumpang tindih IUP yang disebabkan permasalahan batas
administrasi/ perbedaan penggunaan peta dasar.
d) Kementerian Dalam Negeri
Mengevaluasi batas administrasi yang telah ditegaskan melalui Permendagri
maupun yang belum ditegaskan.
e) Badan Informasi Geospasial
Mengevaluasi penggunaan peta dasar yang dijadikan acuan oleh Pemda dalam
menyusun Peta wilayah IUP
Output dari verifikasi adalah klasifikasi IUP Clean and Clear (CNC). Setiap IUP
yang telah mendapat status CNC berarti telah dinyatakan tidak bermasalah oleh
kementerian ESDM. Dengan demikian kebijakan CNC dapat dikatakan sebagai
upaya pemerintah dalam menata IUP.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dapat mengajukan setiap IUP
untuk mendapatkan status CNC dengan melengkapi dokumen pendukung.182
Secara prosedural, tidak ada aturan baku untuk klasifikasi IUP CNC.183
Berdasarkan proses yang sudah dilakukan sebelumnya, kriteria yang harus
dipenuhi agar IUP mendapatkan status CNC adalah sebagai berikut :184
c. IUP diterbitkan sebelum tanggal 1 Mei 2010;
d. WIUP tidak tumpang tindih dengan WIUP lainnya yang sama komoditi;
181
Nelyati Siregar, Op.Cit 182
Ibid 183
Muhammad Husni dan Muhammad Dasori, Analisis Kebijakan Clean and Clear Sebagai
Upaya Menata Izin Tambang 184
Ibid
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
e. Apabila terdapat tumpang tindih antar WIUP dengan beda komoditi, maka
harus ada dokumen yang menyatakan tidak berkeberatan oleh pemilik IUP
yang telah terbit sebelumnya;
f. Penerbitan IUP tidak tumpang tindih kewenangan (bagi IUP yang wilayahnya
lintas administrasi);
g. WIUP telah teregister pada Ditjen Minerba dan koordinat batas WIUP sesuai
dengan peta yang tercantum dalam SK izin;
h. Kronologi penerbitan IUP yang dinyatakan dengan kelengkapan dokumen;
i. Izin lama (KP/SIPD/SIPR) sudah disesuaikan menjadi IUP.
Untuk lebih jelas melihat hubungan tahap inventarisasi, verifikasi dan
klasifikasi dalam kegiatan Rekonsiliasi Nasional, maka akan diuraikan dalam
gambar sebagai berikut. 185
Gambar 4.1
Design Rekonsiliasi Nasional
185
Ibid
Rekonsiliasi Nasional
Data IUP
Clean and Clear :
Tidak bermasalah secara administrasi
Tidak ada tumpang tindih
Verifikasi dan Klasifikasi
data IUP Nasional
berdasarkan dokumen yang
disampaikan
Diperoleh data IUP
secara Nasional
Non Clean and Clear :
Bermasalah secara administrasi
Tumpang tindih
Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Wilayah Usaha Pertambangan
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Pelaksanaan verifikasi dan klasifikasi IUP dilakukan dalam tiga tahap,
yaitu pengajuan, evaluasi dan persetujuan.186
Alur kerja yang dilakukan pada
proses pengajuan adalah sebagai berikut :187
1. Dinas atau Pengusaha mengirimkan berkas kepada Ditjen Minerba.
2. Ditjen Minerba mendisposisikan berkas pengajuan kepada Eselon II/Direktur
terkait.
3. Direktur mendisposisikan berkas pengajuan kepada Kasubdit Pelayanan
Usaha Mineral/Batubara
Kemudian alur kerja dalam evaluasi adalah sebagai berikut :188
1. Subdit Pelayanan usaha Mineral/Batubara melakukan evaluasi dan verifikasi
dokumen perizinan, apabila berkas pengajuan memenuhi persyaratan maka
berkas pengajuan diteruskan ke Subdit Perencanaan Wilayah dan Informasi.
Berkas tersebut kemudian ditanda tangani oleh evaluator dan Kasubdit
Pelayanan Usaha.
2. Subdit Perencanaan Wilayah dan Informasi melakukan pencetakan peta dan
verifikasi dari segi kewilayahan, apakah wilayah IUO dalam berkas
pengajuan terdapat tumpang tindih, pergeseran, perluasan, maupun peta tidak
sama dengan koordinat. Jika wilayah tidak tumpang tindih, tidak bergeser,
tidak meluas dan peta sesuai koordinat, Subdit Perencanaan Wilayah dan
Informasi akan meneruskan berkas beserta hasil encetakan peta ke Bagian
Hukum (Sesditjen Minerba). Jika terdapat tumpang tindih
perluasan/pergeseran maka berkas akan dikembalikan ke Direktur Pembinaan
Pengusahaan Mineral/Batubara.
3. Bagian Hukum selanjutnya akan melakukan evaluasi segi legal drafting
berkas yang diajukan. Jika memenuhi aspek hukum, maka akan diteruskan ke
Direktorat Pembinaan Program. Jika tidak memenuhi aspek hukum maka
akan dikembalikan ke Bagian Pelayanan usaha.
186
Nelyati Siregar, Op.Cit 187
Ibid 188
Ibid
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Dan terakhir alur kerja dalam proses persetujuan adalah sebagai berikut :189
a. Daftar IUP CNC untuk diumumkan ditandatangani oleh pejabat Eselon II
dan Dirjen untuk selanjutnya diumumkan dalam website.
b. Direktorat Pembinaan Program menyiapkan rekapitulasi IUP CNC untuk
diumumkan.
Informasi IUP CNC diumumkan secara berkala oleh Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara melalui website Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Pemegang IUP yang belum disebutkan nama perusahaannya dalam pengumuman
CNC harus melengkapi kembali syarat yang dibutuhkan agar dapat diverifikasi
dan klasifikasi ulang. Bagi pemegang IUP yang telah disebut dalam pengumuman
CNC dalam waktu paling lambat 30 hari wajib menyampaikan :190
a. Bukti setor iuran tetap sampai dengan tahun terakhir dan (bagi pemegang IUP
Eksplorasi)
b. Persetujuan UKL,UPL/AMDAL, Laporan eksplorasi lengkap dan studi
kelayakan, serta bukti setor pembayaran iuran tetap dan iuran produksi (royalti)
sampai dengan tahun terakhir (bagi pemegang IUP Operasi Produksi).
Status CNC ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan
dalam pengumumannya akan dilakukan perbaikan dan ralat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Status IUP CNC harus disertifikasi agar
mempunyai kekuatan hukum. Sertifikasi CNC dapat dilakukan apabila memenuhi
aspek administrasi, teknis dan keuangan.
C. Pelaksanaan Rekonsiliasi Nasional Data Izin Usaha Pertambangan
Rekonsiliasi Nasional Data IUP telah diselenggarakan sebanyak dua
kali. Rekonsiliasi Tahap I dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 3-6 Mei 2011.
Pemerintah mengundang seluruh Gubernur/Bupati/Walikota se Indonesia untuk
hadir dalam acara tersebut. Sebanyak 279 Gubernur/Bupati/Walikota atau yang
mewakili hadir untuk menyerahkan data IUP yang telah diterbitkan oleh
189
Ibid 190
www.djmbp.esdm.go.id, Penjelasan Tambahan Dalam Pengumuman CNC Rekonsiliasi IUP
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Gubernur/Bupati/Walikota lengkap dengan persyaratan yang diminta. IUP yang
diajukan pada proses rekonsiliasi I (hingga tanggal 31 Agustus 2012) mencapai
10.596, komposisinya terdiri dari 6.800 IUP mineral dan 3.796 IUP batubara.191
Pengumuman status CNC dalam Rekonsiliasi Tahap I dilakukan secara
bertahap sebanyak tujuh kali. Jumlah IUP yang dinyatakan telah CNC masih
sangat minim, berikut adalah rekapitulasi data tersebut.
Tabel 4.1
IUP CNC dan non CNC
IUP
Mineral Batubara
Jumlah Eksplorasi
Operasi
Produksi Eksplorasi
Operasi
Produksi
IUP CNC 1.165 1.751 1.130 787 4.833
IUP Non
CNC 1.709 2.175 1.352 527 5.763
Sub Total 2.847 3.926 2.482 1.314 10.596
Total 6.800 3.796
Rekonsiliasi Nasional IUP Tahap II mulai dilaksanakan pada tanggal 18
September 2012. Rekonsiliasi Nasional Tahap II merupakan rangkaian dari
kegiatan rekonsiliasi sebelumnya yang bertujuan untuk mempercepat
penyelesaian IUP Non Clean and Clear. Berikut adalah inventarisasi
permasalahan yang menyebabkan pemegang IUP mendapat status Non CNC,
yaitu :192
1. Tumpang tindih sama komoditi
2. Tumpang tindih beda komoditi
3. Tumpang tindih batas administrasi
4. Masalah koordinat/peta
191
Nelyati Siregar, Op.Cit, hal.14. 192
Surat Direktur Jenderal Pertambangan Mineral dan Batubara atas Penjelasan dan Proses
Rekonsiliasi IUP, tanggal 25 Oktober 2011
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
5. Masalah administrasi dan dokumen
6. Penyesuaian KP/SIPD/SIPR
Gambar 4.2
Skema Penyelesaian Permasalahan IUP
Rekonsiliasi
Kategori I
a. TT Sama Komoditas
b. TT Beda Komoditas
c. TT batas administrasi
d. Masalah koordinat/peta
e. Masalah administrasi &
dokumen
f. Penyesuaian KP/SIPD/SIPR
Kategori II
Kasus Khusus
Penyelesaian kasus dengan
mengundang pihak terkait
Untuk IUP non CNC yang sudah
disepakati tidak bisa diselesaikan
oleh Kategori I dan II, diusulkan
dimasukan ke dalam WPN
selanjutnya dibuat berita acara
tentang permintaan untuk
pencabutan SK dan usulan
dimasukan ke dalam WPN
TT sama
komoditas
1. Pengecekan
wilayah
perusahaan
yang TT
(first come
first serve)
2. Konfirmasi
ke Pemda
3. Berita
Acara
4. Revisi SK
TT beda
komoditas
1. Pengecekan
wilayah
perusahaan
yang TT
(first come
first serve)
2. Kesepakata
n/rekomend
asi para
pihak yang
tumpang
tindih
3. Konfirmasi
ke Pemda
4. Berita
Acara
TT batas
administasi
1. Pengecekan
wilayah TT
terhadap
batas
wilayah
administrasi
2. Konfirmasi
Kemendagri
, Pemda
tentang
batas
administrasi
3. Penegasan
tata batas
4. Berita
Acara
5. Revisi SK
Masalah
koordinat/peta
1. Tim teknis
melakukan
pengecekan
koordinat
2. Berita
Acara
6. Revisi SK
Penyesuaian
KP/SIPD/SIPR
1. Verifikasi
data KP/SIPD
2. Berita Acara
3. Gub./Bupati/
Walikota
segera
menyesuaikan
KP/SIPD
menjadi
bentuk IUP
Masalah
administrasi &
dokumen
Pemda dan
perusahaan
harus
melengkapi
dokumen
pendukung
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Penyelenggaraan Rekonsiliasi Nasional IUP Tahap II dilaksanakan
berkelompok berdasarkan wilayah, yaitu Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua
– Maluku dan Jawa – Nusa Tenggara. Rekonsiliasi Tahap II rencananya akan
berakhir pada bulan Desember 2012.193
Dokumen pendukung yang wajib dibawa
peserta untuk Rekonsiliasi Nasional IUP Tahap II adalah :
1. Surat Kuasa yang ditandatangani gubernur/bupati/walikota/pemberi kuasa, di
atas materai apabila gubernur/bupati/walikota mewakilkan kehadirannya.
2. Data pendukung untuk penyelesaian permasalahan.
3. Data pendukung untuk IUP yang Non CNC, meliputi :
i. Data pencadangan wilayah;
j. Data Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum (KPPU);
k. Data Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KP Ekslorasi);
l. Data Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KP Eksploitasi);
m. Penyesuaian KP menjadi IUP;
4. Data pendukung terkait batas wilayah administrasi.
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara tidak akan menerima lagi data
IUP dan perizinan pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk
diregistrasi sebagai data Nasional IUP setelah pelaksanaan Rekonsiliasi Nasional
IUP Tahap II.194
Selanjutnya data IUP hanya dapat diregistrasi untuk Wilayah Izin
Usaha Pertambangan (WIUP) yang diterbitkan sesuai dengan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 melalui mekanisme lelang WIUP atau permohonan WIUP
berdasarkan Wilayah Pertambangan yang ditetapkan oleh Menteri ESDM.
Apabila dalam waktu satu bulan setelah rekonsiliasi tidak ada tanggapan atas
penyelesaian tumpang tindih, IUP diusulkan untuk dibawa ke aparat penegak
hukum
193
Diskusi dengan Fachry Ariati, SH, MT – Kepala Sub Direktorat Pembinaan Pengusahaan
Mineral Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, dengan tema Evaluasi Kebijakan Perizinan
Pertambangan Mineral dan Batubara tanggal 6 Desember 2012 194
www.djmbp.esdm.go.id
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
C. Legalitas Kebijakan Clean and Clear Dalam Rangka Menata Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
Pemerintah merupakan organ yang paling bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan umum warga negara. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
tersebut ia diberi wewenang untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat.
Setiap tindakan yang dilakukan olehnya harus berdasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tujuannya adalah mencegah terjadinya
tindakan sewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaannya. Tanpa adanya
dasar hukum yang jelas, maka setiap tindakan pemerintah tidak akan
mempengaruhi atau mengubah keadaan.195
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral
menyatakan bahwa pelaksanaan Rekonsiliasi Nasional Data Izin Usaha Pertambangan yang terdiri
dari inventarisasi, verifikasi dan klasifikasi berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No.23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan yang
terkait dengan Rekonsiliasi Nasional Data izin Usaha Pertambangan diatur dalam Pasal 112 ayat 4
dan 5. Pasal 112 ayat 4 menyatakan bahwa Kuasa Pertambangan, Surat Izin
Pertambangan Daerah, dan Surat Izin Pertambangan Rakyat tetap diberlakukan
sampai jangka waktu berakhir serta wajib :
a. disesuaikan menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan
khusus BUMN dan BUMD, untuk IUP Operasi Produksi
merupakan IUP Operasi Produksi pertama;
b. menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah
kuasa pertambangan sampai dengan jangka waktu berakhirnya
kuasa pertambangan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya;
c. melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sedangkan Pasal 112 ayat 5 menyatakan :
195
Iqbal Perdana, Tindakan Pemerintah Dalam Negara Hukum, 22 September 2011.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Permohonan Kuasa Pertambangan yang telah diterima Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sebelum terbitnya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara dan telah mendapatkan Pencadangan Wilayah dari
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat diproses perizinannya dalam bentuk IUP
tanpa melalui lelang paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Dasar hukum diatas dan tahap kegiatan Rekonsiliasi Nasional Data Izin
Usaha Pertambangan jika dikonstruksikan ke dalam gambar maka akan terlihat
sebagai berikut :
Gambar 4.3
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Posisi Clean and Clear
Gambar tersebut menjelaskan bahwa :
Pembinaan ?
Pasal 139 ayat 1
UU No.4 tahun 2009
Rekonsiliasi
Nasional
Inventarisasi
Mengumpulkan Data
KP/SIPD/SIPR
kemudian disesuaikan
menjadi IUP atau IPR
Evaluasi IUP
Ps. 112 angka 4 & 5
PP No.23/ 2010
Ps. 13 UU No.4/2009
Ps. 39 ayat 2 PP No.22/2010
Ps. 61 UU No.26/2007
CNC
Data Nasional IUP
Dasar Hukum
Penyesuaian izin
Menetapkan Wilayah
Pertambangan
Verifikasi
Non CNC
Sertifikasi
Syarat
Eksport
Ps.1 Permen ESDM No.11 Tahun 2012
Inventarisasi
Klasifikasi ?
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
1. Rekonsiliasi Nasional Data Izin Usaha Pertambangan yang terdiri dari tiga
tahap yaitu : inventarisasi, verifikasi dan klasifikasi merupakan kegiatan yang
berbeda namun berkelanjutan.
2. Dasar hukum pelaksanaan Rekonsiliasi Nasional Data Izin Usaha
Pertambangan yang dikemukakan oleh Kementerian ESDM hanya terkait
dengan penyesuaian legalitas usaha pertambangan berdasarkan rezim
kontrak/perjanjian menjadi rezim perizinan. Proses ini berada pada tahap
inventarisasi.
3. Bunyi ketentuan Pasal 112 ayat 4 dan 5 tidak sesuai dengan kegiatan pada tahap
verifikasi dan klasifikasi. Dengan demikian tidak tepat apabila
mencantumkan Pasal 112 ayat 4 dan 5 sebagai dasar hukum bagi verifikasi dan
klasifikasi. Berdasarkan kewenangan pemerintah yang diamanatkan oleh UU
No.4 Tahun 2009 maka kegiatan evaluasi yang dilakukan pada tahap
verifikasi dapat dikaitkan dengan Pasal 139 ayat (1) yang menyatakan bahwa
Menteri berwenang melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembinaan yang dimaksud terdiri dari :196
1. Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha
pertambangan.
2. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi.
3. Pendidikan dan pelatihan.
4. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan penyelenggaraan di bidang mineral dan batubara.
4. Data Rekonsiliasi Nasional akan dimanfaatkan sebagai referensi dalam
menetapkan Wilayah Pertambangan
IUP adalah sebuah keputusan pemerintah yang
memperkenankan/mengizinkan seseorang untuk melakukan aktivitas
196
UU No.4 Tahun 2009, Op.Cit, , pasal l39 ayat 2.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
pertambangan karena telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
pemerintah. Tata cara penerbitan IUP Mineral dan Batubara diatur dalam UU
No.4 Tahun 2009. Apabila muncul permasalahan hukum menyangkut izin
pertambangan pasti terkait dengan pertanyaan tentang keabsahan (validitas) izin
tersebut. Keabsahan (validitas) izin akan berhubungan dengan keabsahan
keputusan organ administrasi negara. Indikator keabsahan keputusan organ
administrasi negara dapat dilihat dari : 197
e. Keputusan dibuat oleh organ yang berwenang. Organ pemerintah yang
berwenang membuat keputusan bukan hanya pemerintahan yang termasuk
bestuur atau administratie saja, tetapi juga meliputi legislatif dan yudikatif.
Seringkali terjadi ketidak berwenangan dalam membuat keputusan (de
incompetentie) yang dapat berupa, (a) tidak berwenang ratione materiae (isi
atau pokok atau objek). Artinya seorang pejabat mengeluarkan keputusan
tentang materi yang menjadi wewenang pejabat lain, (b) tidak berwenang
ratione loci. Artinya dari segi wilayah atau tempat, bukan menjadi kewenangan
pejabat yang bersangkutan dan (c) tidak berwenang ratione temporis. Artinya
berlaku atau dikeluarkannya suatu keputusan yang menyimpang dari
seharusnya waktu berlakunya kewenangan.
f. Dalam pembentukan keputusan, kehendak dari organ pemerintahan yang
mengeluarkan keputusan, tidak boleh mengandung cacat yuridis/
kekurangan yuridis, yang dapat disebabkan oleh salah kira (dwaling), adanya
paksaan ataupun adanya tipuan, yang mempengaruhi berlakunya keputusan.
g. Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan yang menjadi
dasarnya, yang dapat berbentuk, (a) lisan (mondelinge beschikking). Dibuat
dalam hal akibatnya tidak membawa akibat lama dan tidak begitu penting bagi
administrasi negara biasanya dikehendaki suatu akibat yang timbul dengan
segera, (b) tertulis (schriftelijke beschikking). Bentuk ini sering digunakan
karena sudah biasa dan penting dalam penyusunan alasan ataupun motivasi.
h. Isi dan tujuan dari keputusan yang dibuat sesuai peraturan yang menjadi
dasar penerbitannya. Syarat ini harus dipenuhi dalam suatu negara hukum.
197
E. Utrecht, Op.Cit., hal. 77.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Kranenburg menyebutkan empat macam hal dimana isi dan tujuan suatu
keputusan dapat bertentangan dengan isi dan tujuan peraturan perundang-
undangan :198
5) Jika keputusan yang dibuat mengandung peraturan yang dilarang oleh
undang-undang. Dalam hal ini yang salah adalah isi keputusan itu (de
oorzaak voor de beschikking ontbrak);
6) Jika keadaan dimana suatu keputusan dibuat, lain dengan keadaan yang
ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini salah kausa (valse
oorzaak);
7) Jika keadaan dimana suatu keputusan dapat dibuat menurut ketentuan
undang-undang, sebetulnya tidak dapat dijadikan suatu sebab. Dalam hal
ini kausa yang tidak dapat dipakai (ongeoorloofde oorzaak);
8) Organ pemerintah membuat keputusan, tetapi menggunakan kewenangan
tidak sesuai dengan tujuan yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar wewenang tersebut (detournement de
pouvoir) atau tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik
(good governance).
Apabila dalam penilaian keabsahan IUP diragukan karena adanya
kesalahan administrasi maka IUP tersebut direkomendasikan untuk dicabut dan
diterbitkan IUP baru yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Namun apabila dalam penilaian keabsahan IUP diragukan karena adanya
kesalahan yang disebabkan penyalahgunaan wewenang maka IUP tersebut
direkomendasikan untuk dicabut oleh Gubernur, Bupati/Walikota yang
menerbitkannya dan pihak-pihak yang menyalahgunakan wewenang atau
bertindak diluar kewenangannya dapat dipidana.
Keabsahan IUP yang ada saat ini banyak yang diragukan karena tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh kepala daerah akibat eforia otonomi
daerah. hal ini terbukti dengan maraknya kasus pertambangan yang terjadi.
Solusi yang dilaksanakan pemerintah untuk menilai keabsahan IUP tersebut
198 Safri Nugraha,dkk, Op.Cit., hal.116.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
dilakukan dengan kebijakan CNC. IUP yang telah ada diverifikasi dengan
sejumlah persyaratan agar mendapat status CNC. Persyaratan yang ditentukan
adalah : 199
1. IUP diterbitkan sebelum tanggal 1 Mei 2010
2. WIUP tidak tumpang tindih dengan WIUP lainnya yang sama komoditi;
3. Apabila terdapat tumpang tindih antar WIUP dengan beda komoditi, maka
harus ada dokumen yang menyatakan tidak berkeberatan oleh pemilik IUP
yang telah terbit sebelumnya;
4. Penerbitan IUP tidak tumpang tindih kewenangan (bagi IUP yang
wilayahnya lintas administrasi);
5. WIUP telah teregister pada Ditjen Minerba dan koordinat batas WIUP
sesuai dengan peta yang tercantum dalam SK izin;
6. Kronologi penerbitan IUP yang dinyatakan dengan kelengkapan dokumen;
7. Izin lama (KP/SIPD/SIPR) sudah disesuaikan menjadi IUP.
IUP yang telah mendapat status CNC mempunyai kekuatan karena
seolah-olah telah diberi label sebagai IUP yang tidak bermasalah oleh
Kementerian ESDM sehingga keabsahannya tidak perlu diragukan lagi.
Permasalahannya adalah tindakan pemerintah memberi label CNC ini tidak
mempunyai pedoman dan dasar hukum yang jelas. Pada prinsipnya kebijakan
CNC ini bertujuan baik dan dapat memberi kepastian hukum bagi para pengusaha
tambang, tetapi jangan sampai tindakan yang bertujuan baik ini malah
menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada dasar wewenangnya.
D. Implikasi IUP Clean and Clear Terhadap Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dab Batubara
Pasca terbitnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara signifikan pada
tahun 2010 dan terus meningkat pada tahun 2011.200
Pemerintah melalui
199
Nelyati Siregar, Op.Cit 200
“Pengendalian Eksport 65 Bijih Mineral”, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/m/edef-konten-
view-mobile.asp?id=20120528111719399210340
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bersama dengan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Perdagangan, Menteri Negara
BUMN, Menteri Perindustrian, dan Menteri Keuangan telah menetapkan
kebijakan untuk mengendalikan ekspor bijih (raw material atau ore) mineral yang
ditindak lanjuti dengan penerbitan peraturan menteri teknis terkait.201
Pada bulan Februari 2012 pemerintah mengeluarkan aturan teknis dari
implementasi UU No.4 Tahun 2009, yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Di dalam Permen tersebut ada beberapa pasal
yang kontroversial, yaitu :
1. Pasal 21 menyatakan bahwa :
“Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Pemegang IUP
Operasi Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya
Peraturan Menteri ini dilarang untuk menjual bijih (raw material
atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.”
2. Pasal 22 menyatakan bahwa Pemilik IUP Eksplorasi dan KK yang dalam
tahap eksplorasi membuat studi kelayakan sebelum berlakunya peraturan ini
wajib melakukan penyesuaian rencana batasn minimum pengolahan dalam
jangka waktu 3 tahun dan dilaporkan secara berkala kepada Dirjen minerba,
Gubernur, Bupati/Walikota. Bila tidak melakukan penyesuaian maka wajib
berkonsultasi kepada Dirjen minerba.
3. Pasal 23 menyatakan bahwa pemegang IUP Operasi produksi dan KK dalam
tahap konstruksi wajib melakukan penyesuaian rencana batasan minimum
dengan jangka waktu 4 tahun sejak peraturan ini berlaku dan bila tidak
memenuhi sesuai rencana maka wajib berkonsultasi dengan Dirjen Minerba
untuk melaksanakan pemurnian
Diantara beberapa pasal yang kontroversial tersebut, pasal 21 itulah yang
menyebabkan polemik karena setiap perusahaan tambang yang mengantongi izin
IUP dan IUPR dilarang keras untuk menjual bijih mineral ke luar negeri dalam
201
Ibid
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
jangka waktu 3 bulan setelah berlakunya permen ini, yaitu bulan Mei 2012. Jenis
komoditas tambang mineral logam juga ditentukan. Peraturan ini berlaku pada
mineral tembaga, emas, perak, timah, timbal dan seng, kromium, molibdenum,
platinum group metal, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel dan atau kobalt, mangan
dan antimon.
Regulasi tersebut menyebabkan terjadinya stagnansi pengapalan atau
pengeksporan mineral dan pemberhentian para pekerja di berbagai daerah yang
disebabkan kerugian perusahaan karena merosotnya kuantitas penjualan bahan
mentah mineral hasil produksi. 202
Fenomena diatas mencerminkan sebuah
paradoks kebijakan dimana satu sisi terjadi banyak kerugian secara langsung
maupun tidak langsung yang dialami oleh para pengusaha dan pekerja tambang
mineral dan disisi yang lain pemerintah mendasari tindakannya atas dasar
kepentingan nasional.
Pada prinsipnya tindakan pemerintah yang dilegitimasi berdasarkan
Permen tersebut bertujuan agar Indonesia lebih meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia dan mineral. Sesungguhnya PERMEN No.7 Tahun 2012
merupakan bentuk ketegasan pemerintah untuk memaksa pengusaha yang lalai
dalam menjalankan melaksanakan ketentuan dalam UU No.4 tahun 2009. Sejak
diterbitkannya UU No 4 tahun 2009 tersebut, belum tercermin suatu rencana yang
komprehensif dari pemegang IUP Mineral untuk melaksanakan pembangunan
fasilitas pengolahan dan pemurnian, dan/atau bentuk kerja sama pengolahan dan
pemurnian mineral di dalam negeri.
Keberatan akan hadirnya Permen ESDM No.7 Tahun 2012 lantas
membuat Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) mengajukan uji materi atas Permen
ESDM No. 7 Tahun 2012 pada tanggal 12 April 2012.203
ANI menilai peraturan
ini bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
202
“Bea Keluar Tambang Tergantung Nilai Eksport”
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/02/090401247/Bea-Keluar-Tambang-Tergantung-Nilai-
Eksporl 203
“Putusan MA Tak Pengaruhi Hilirisasi Minerba”, http://nasional.kontan.co.id/news/putusan-
ma-tak-pengaruhi-hilirisasi-minerba/2012/11/07
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.204
Permohonan ANI tersebut kemudian dikabulkan oleh MA pada tanggal 12
September 2012.205
Ada beberapa pasal dalam Permen tersebut yang dibatalkan,
yaitu Pasal 21, Pasal 8 Ayat (3), Pasal 9 Ayat (3) serta Pasal 10 Ayat (1).
Dengan pembatalan 4 pasal tersebut terutama pasal 21, maka larangan untuk
melakukan ekspor mineral dalam bentuk Ore batal demi hukum.206
Namun perlu dicatat, sebelum putusan MA ini keluar, pemerintah telah
menerbitkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2012 sebagai revisi Permen No. 7
Tahun 2012.207
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral
melalui Pengolahan dan Pemurnian Mineral (Permen ESDM No.11 Tahun 2012)
Permen ESDM No. 11 Tahun 2012 merupakan penyempurnaan terhadap Permen
7 Pasal 21A. Akhirnya kegiatan eksport tambang tetap diperbolehkan sampai 12
Januri 2014 apabila memenuhi persyaratan sesuai Pasal 1 Permen ESDM No.11
Tahun 2012 yakni :
- mendapatkan rekomendasi dari Menteri c.q. Dirjen
- status IUP Operasi Produksi dan IPR telah CNC (Clean and Clear)
- melunasi kewajiban pembayaran kepada negara
- menyampaikan rencana kerja dan atau kerjasama pengolahan dan atau
pemurnian di dalam negeri
- menandatangani pakta integritas
Ketentuan itu ditindaklanjuti Peraturan Menteri Perdagangan No
29/M.DAG/PER/5/2012 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk
Pertambangan serta Peraturan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara No.
574.K/30/DJB/2012 tentang Ketentuan Tata Cara dan Persyaratan Rekomendasi
Ekspor Produk Pertambangan. Permendag tersebut mengatur tentang ekspor 65
204
Ibid 205
Ibid 206
Ibid 207
Ibid
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
produk pertambangan. Ekspor produk pertambangan mineral hanya bisa dilakukan
oleh IUP OP, IPR dan/atau Kontrak Karya yang sudah terdaftar sebagai Eksportir
Terdaftar (ET) Produk Pertambangan yang diperoleh dari Kementerian
Perdagangan dan telah mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ESDM, serta
setelah dilakukan verifikasi dan penelusuran teknis dari surveyor.
Untuk mencegah ekspor tersebut secara besar-besaran dan menjaga
kelestarian dan ketersediaan sumber daya mineral maka pemerintah menetapkan
bea keluar untuk ekspor tambang mineral yang ditetapkan melalui PMK No.
75/PMK.011/2012. Tarif bea keluar yang ditetapkan flat untuk semua jenis
mineral sebesar 20%.208
Dasar pengenaan bea keluar diperoleh dari Harga Patokan
Ekspor berdasarkan harga Free on Board (FOB) pada saat ekspor.209
Tujuan dari
pengenaan bea keluar ini adalah untuk mendorong investasi dan mengembangkan
industri berbasis mineral didalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dari
hasil industri pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) serta sebagai dis-
insentif fiskal untuk pengendalian produksi/ekspor tambang mineral dan
perlindungan lingkungan hidup.210
Pengawasan terhadap ekspor barang tambang
mineral, kelengkapan administratif dan penerimaan negara atas bea keluar pada
pelaksanaan ekspor tambang mineral dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, Kementerian Keuangan.211
Berdasarkan penjelasan di atas maka CNC berpengaruh terhadap kegiatan
eksport yang merupakan bagian dari kegiatan usaha pertambangan. Syarat
pertama/awal dalam pada saat penjualan/eksport mineral adalah ketentuan Pasal 1
Permen ESDM No.11 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permen ESDM No. 7
Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Pengolahan dan
Pemurnian Mineral (Permen ESDM No.11 Tahun 2012). Eksport dapat dilakukan
apabila IUP Operasi Produksi dan IPR telah CNC (dinyatakan tidak
bermasalah).
208
“Pengendalian Eksport 65 Bijih Mineral”, Ibid 209
Ibid 210
Ibid 211
Ibid
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Eksport dapat dilakukan apabila telah memiliki IUP Operasi Produksi
dan IPR, 212
namun IUP Operasi Produksi dan IPR tersebut dipersyaratkan lagi
dengan ketentuan CNC. Mengacu pendapat Ten Berge, IUP Operasi Produksi dan
IPR yang telah CNC merupakan tindakan pengecualian yang diperkenankan oleh
pemerintah terhadap suatu larangan eksport yang diatur oleh Permen ESDM No.7
Tahun 2012. Larangan untuk mengeksport bahan mineral dapat dilakukan jika
kriteria yang ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuh. Jadi penguasa memberi
alasan kesesuaian tujuan (doelmatigheid) yang dianggap perlu untuk menjalankan
pemberian izin secara restriktif dan membatasi jumlah pemegang izin.
212
UU No.4 Tahun 2009, pasal 36 ayat 1 huruf b.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rekonsiliasi Nasional Data IUP adalah kegiatan yang ditujukan untuk
mengumpulkan data IUP Nasional sekaligus sebagai upaya menata IUP yang telah
diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota. Dasar hukum kegiatan
tersebut adalah Pasal 112 angka 4 dan angka 5 PP No.23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Rekonsiliasi
Nasional Data IUP terdiri dari inventarisasi, verifikasi dan klasifikasi. Dalam
inventarisasi legalitas usaha pertambangan yang semula berbentuk KP/SIPD/SIPR
disesuaikan menjadi IUP atau IPR. Setelah tahap inventarisasi selesai maka
selanjutnya IUP tersebut diverifikasi dan kemudian diklasifikasikan. IUP yang
dinyatakan tidak memiliki masalah tumpang tindih sama komoditi, tumpang
tindih beda komoditi, tumpang tindih batas administrasi, koordinat/peta, masalah
administrasi dan dokumen serta masalah penyesuaian bentuk izin akan.diberi
status CNC. Tahap inventarisasi, verifikasi dan klasifikasi merupakan kegiatan
yang berbeda namun berkelanjutan. Dasar hukum kegiatan Rekonsiliasi Nasional
Data IUP yang telah disebutkan diatas hanya meliputi kegiatan pada tahap
inventarisasi saja, sedangkan untuk verifikasi dan klasifikasi tidak termasuk di
dalamnya.
Berdasarkan Pasal 139 ayat 1 UU No.4 Tahun 2009 Pemerintah Pusat
memiliki wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota. Ketentuan pasal tersebut pada dasarnya dapat dijadikan sebagai
dasar evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan di bidang mineral dan batubara,
namun tidak untuk tindakan pemerintah dalam mengeluarkan IUP yang CNC.
Tata cara penerbitan IUP Mineral dan Batubara diatur dalam UU No.4
Tahun 2009, dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, undang-undang
merupakan sebuah produk hukum. Sedangkan tata cara penerbitan IUP CNC tidak
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
mempunyai prosedur yang jelas dan tidak dituangkan dalam produk hukum,
dengan demikian kebijakan CNC tidak mempunyai legalitas yang kuat.
Berdasarkan penjelasan di atas maka CNC berpengaruh terhadap
kegiatan eksport yang merupakan bagian dari kegiatan usaha pertambangan.
Syarat pertama/awal dalam pada saat penjualan/eksport mineral adalah ketentuan
Pasal 1 Permen ESDM No.11 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permen ESDM
No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Pengolahan
dan Pemurnian Mineral (Permen ESDM No.11 Tahun 2012). Eksport dapat
dilakukan apabila IUP Operasi Produksi dan IPR telah CNC (dinyatakan tidak
bermasalah).
B. Saran
Mencermati permasalah yang ada terkait dengan legalitas kebijakan CNC
dalam menata izin usaha pertambangan maka saran yang diberikan adalah untuk
segera membuat dan menerbitkan dasar hukum bagi tindakan pemerintah dalam
memberi label IUP CNC dalam format peraturan perundang-undangan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Tindakan pemerintah yang tidak mempunyai
legalitas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi, Cet. Keempat, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1981.
Atmosudrijo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1988.
Berge, Ten dan MR.N.M. Spelt diterjemahkan oleh Philipus Hadjon,
“Pengantar Hukum Perizinan”. Bahan Hukum Penataran Hukum
Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 1992.
Brower, J.G. dan A.E. Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars
Nijmegen, Nijmegen, 1998.
Dewa, I Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan
Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu
Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10
April 1996.
Dworkin, Ronald, Legal Research, Spring, Deadalus, 1973.
Hadjon, Philipus M et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2001.
Hadjon, Philipus M, Penataan Hukum Administrasi, Tentang Wewenang,
Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1997/1998.
Hadjon, Philipus M. Tentang Wewenang, Majalah Yuridika Fakultas Hukum
UNAIR Nomor 5 dan 6 Tahun XII, Surabaya, 1997.
Hadjon, Philipus M., Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan
jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.
Hamid, A. S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara: suatu studi analisis
mengenai keputusan presiden yang berfungsi pengaturan dalam
kurun waktu Pelita I-Pelita IV, Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Hagenaars, D.L.T.M– Dankers, Op het Spoor van de Concessie – een
onderzoek Naar Het Rechtscharacter Van de Concessie in
Nederland en in Frankrijk, Juridische Bibliothek Universiteit
Utrecht, 2000.
HR., Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta, 2003.
Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, 1993.
Lotulung, Paulus Effendie, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum
Terhadap Pemerintah, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986.
Marbun, SF, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997.
Maarseveen, Henc van, “Bevoegdheid” dalam PWC Akkermaans, dkk,
Algemene Begrippen Van Staats Recht, deel I, W.E.J. Tjeen
Willink Zwolle, 1985.Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi
Negara, cet. Keempat, 1960.
Miles, B Matthew & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku
Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Universitas Indonesia
Jakarta, 1992.
Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, PT. Remaja
Rosda Karya, Bandung, 2006.
Mustafa, Bachsan, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni,
Bandung , 1979.
Nugraha Safri Et.al., Hukum Administrasi Negara, edisi kedua, Center For
Law and Good Governance Studies, FHUI, Jakarta , 2007.
Nugraha, Safri, et.all. .Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
Prins, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Jakarta.
Purbopranoto, Kuntjoro Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1981.
Salim, H. HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta , 2005.
Sewrdlow, Irving, The Public Administration of Economic Development,
Praeger Publishers, New York, 1975.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Siregar, Nelyati, Proses dan Verifikasi izin Usaha Pertambangan (IUP) Clean
and Clear (CNC), Bahan Paparan Direktorat Pembinaan
Pengusahaan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral,
Jakarta, 11 Oktober 2011.
Soekanto, Seorjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Strauss, Anselm & Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif:
Tatalangkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, Pustaka Pelajar
,Yogyakarta, 2003.
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
Van der Pot gaf in 1927 op vershillende plaatsen in woord en geschrift zijn
mening ten beste over het terminologisch onderscheid tussen drie
nauw verwante begrippen : dispensatie, vergunning en concessie. (
D.L.T.M Hagenaars – Dankers, Op het Spoor van de Concessie –
een onderzoek Naar Het Rechtscharacter Van de Concessie in
Nederland en in Frankrijk, Juridische Bibliothek Universiteit
Utrecht, 2000, hal.14). Juga sebagaimana dikemukakan Van der
Pot dalam Nedelands Bestuursrecht, 1934, hal. 267, WF Prins –
R.Kosim Adisapoetra, 1983.
Wijk, H. D. van /Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief
Recht, Uitgeverij LEMMA BV,Culemborg, 1998Tjiptadi, Jogi,
Kontrak Production Sharing sebagai landasan Kegiatan
Eksplorasi/ Eksploitasi Minyak di lepas Pantai, 1984.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh
Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara, Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 4959, Penjelasan Umum.
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara
dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, tanggal 16 Desember 2008.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor.22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan
Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29/M.DAG/PER/5/2012
Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan
Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara No.
574.K/30/DJB/2012 tentang Ketentuan Tata Cara dan Persyaratan
Rekomendasi Ekspor Produk Pertambangan.
Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor75/PMK.011 tentang Penetapan
barang Eksport Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Surat Edaran Nomor
03E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan
Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Surat Edaran Nomor 08.E/30/DJB/2012
tentang Penghentian Sementara Penerbitan IUP Baru Sampai
Ditetapkannya Wilayah Pertambangan.
C. Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http;//kbbi.web.id/
Oxford Dictionaries, http://oxforddictionaries.com/
www.djmbp.esdm.go.id, Penjelasan Tambahan Dalam Pengumuman CNC
Rekonsiliasi IUP
“5 Ribu Izin Tambang Bermasalah”, http://finance.detik.com/read;, diunduh
tanggal 14 Februari 2012
“Sektor Tambang Belum Sejahterakan Masyarakat”,
http://economy.okezone.com;, diunduh tanggal 30 Mei 2012
“Ada 22 Daerah Rawan Konflik Pertambangan”, http://www.walhi.or.id/;
diunduh 27 Februari 2012.
“Kronologis Penolakan Tambang Emas Di Kec. Lambu Kab. Bima – NTB”,
http://www.walhi.or.id;, diunduh 24 Desember 2011.
“Konflik Pertambangan Di Era Otonomi Daerah – Distorsi Regulasi dan Tarik
Menarik Di Pusat & Daerah”, http://otdanews.com;, diunduh
tanggal 19 September 2012.
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013
“Ribuan Kasus Izin Tambang Harus Diusut”, http://economy.okezone.com;,
diunduh 21 November 2011.
“Kementerian ESDM: Pemerintah Pusat Tetap Berwenang Tentukan Wilayah
Pertambangan”, http://finance.detik.com, diunduh tanggal 4
Desember 2012.
“Keluarkan Izin, Kepala Daerah Dipidana”, http://www.jambi-
independent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=15189
:keluarkan-izin-kepala-daerah-dipidana&catid=25:nasional&Itemid=29
“Tumpang Tindih Lahan Tambang Akibat Pemekaran Daerah”,
http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/07/TUMPANG-
TINDIH-LAHAN-TAMBANG-AKIBAT-PEMEKARAN-
DAERAH.pdf,
D. Artikel
Basyar, A Hakim, Upaya Meletakkan Reformasi Kebijakan Pengelolaan
Sumber Daya Alam Secara Komprehensif
Husni, Muhammad dan Muhammad Dasori, Analisis Kebijakan Clean and
Clear Sebagai Upaya Menata Izin Tambang
Nyoman, I Nurjana, Menuju Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil,
Demokratis dan Berkelanjutan : Perspektif Hukum dan Kebijakan
Zulfikar, Evan“Konflik Mesuji – Bima: Desentralisasi Salah Kaprah”
Kebijakan clean..., Dian Eka Rahayu Sawitri, FH UI, 2013