Upload
vuonganh
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
DETERMINAN DIAGNOSTIK KLINIS
DEFISIENSI VITAMIN D
PADA WANITA 50 TAHUN KE ATAS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar subspesialis Geriatri
VERA
1206326825
Fakultas Kedokteran
Program Studi Pendidikan Dokter Penyakit Dalam Subspesialis
Kekhususan Geriatri
Jakarta
MARET 2013
v Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilaksanakan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
Pendidikan Dokter Penyakit Dalam Subspesialis Geriatri Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Keberhasilan penelitian ini juga tidak terlepas dari campur tangan pelbagai
pihak. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. dr. Siti Setiati, SpPD-KGer, MEpid, selaku pembimbing tesis saya, yang
telah memberikan ide penelitian dan semangat selama saya melakukan penelitian,
2. dr. Arya Govinda, SpPD-KGer, selaku Ketua Divisi Geriatri, yang telah
membimbing dan mengarahkan saya selama pendidikan,
3. dr Esthika, SpPD, yang telah memberikan waktunya yang berharga untuk
memberikan masukan-masukan bagi penelitian saya,
4. pengurus organisasi-organisasi warga usia lanjut di Kodia Bandung, yang telah
bersedia bekerjasama dalam hal pengambilan data,
5. teman-teman sejawat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia dan Universitas Kristen Maranatha, yang telah memberi-
kan dukungan moral dan masukan bagi penelitian saya,
6. orangtua, suami, dan anak saya, yang telah memberikan dukungan dan semangat.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 28 Maret 2013
Penulis
vii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Vera
Program Studi : Pendidikan Dokter Penyakit Dalam Subspesialis Geriatri
Judul : Determinan Diagnostik Klinis Defisiensi Vitamin D
Pada Wanita 50 Tahun Ke Atas
Prevalensi defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas di Indonesia cukup
tinggi namun pemeriksaan kadar vitamin D serum sangat mahal. Oleh karena itu,
diperlukan alat penyaring defisiensi vitamin D yang cukup ekonomis dan sederhana
untuk dikerjakan di layanan kesehatan primer. Penelitian ini menemukan hubungan
yang bermakna secara statistik antara diabetes mellitus, skor proteksi matahari,
kelemahan otot ekstremitas bawah dengan defisiensi vitamin D. Berdasarkan ketiga
determinan tersebut, dapat dibuat sistem skoring yang dapat digunakan untuk
menyaring kelompok wanita 50 tahun ke atas yang mempunyai probabilitas besar
menderita defisiensi vitamin D.
Kata kunci: defisiensi vitamin D, wanita, sistem skoring.
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Vera
Study Program : Geriatric Medicine
Title : Clinical Diagnostic Determinants of Vitamin D Deficiency
In Women Aged Above 50 Years
Prevalence of vitamin D deficiency in Indonesian women aged above 50 years is
quite high, but serum vitamin D laboratory examination is very expensive.
Therefore, simple and economic screening tool of vitamin D deficiency is required
in the primary care setting. This research found a statistically significant correlation
between diabetes mellitus, sun protection score, and weakness of lower extremity,
with vitamin D deficiency. Based on these three determinants, a scoring system can
be created to identify women aged above 50 years with high probability of having
vitamin D deficiency.
Keywords: vitamin D deficiency, women, scoring system.
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …….………………………………. ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….. v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……………………… vi
ABSTRAK …………………………………………………………………….….… vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….... ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………....... xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………... xii
1. PENDAHULUAN ………………………………...……………….……..………. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………….…….….….…… 1
1.2 Identifikasi Masalah Penelitian …………………………….….…...…….. 4
1.3 Pertanyaan Penelitian …………………………………....….….……....… 4
1.4 Tujuan Penelitian …………………………………………….….…….…. 4
1.5 Manfaat Penelitian …………………………………………….…….....… 4
2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………...……………... 6
2.1 Definisi Defisiensi dan Insufisiensi Vitamin D …………...…….….…..… 6
2.2 Epidemiologi ……………………………………………...….…..…….… 6
2.3 Patofisiologi …………………………………………….... ..…..………… 7
2.4 Implikasi Klinis Defisiensi Vitamin D ……………...………………….… 8
2.5 Faktor Risiko Defisiensi Vitamin D ………………...…………………... 12
2.6 Gejala dan Tanda ……………………………………..…….…………... 13
2.7 Kerangka Teori ……………………………….………...……. ….…..…. 15
3. KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep ……………………………………...………………... 16
3.2 Definisi Operasional ………………………...………....………………... 16
4. METODE PENELITIAN …………………………………..……………….…. 19
4.1 Desain Penelitian …………………………………………....…………... 19
4.2 Waktu dan Tempat ……………………………………...….…………… 19
x Universitas Indonesia
4.3 Populasi dan Sampel ……………………………………..……..………. 19
4.4 Besar Sampel ………………………………………....…………………. 19
4.5 Pemilihan Subjek Penelitian ……………………….…………...……….. 19
4.6 Alur Penelitian …………………………………….…………...………... 20
4.7 Manajemen dan Analisis Data ………………….……………...………... 21
4.8 Masalah Etika ………………………………….…………...…………… 21
4.9 Biaya Penelitian ………………………...…….……………...………….. 22
4.10 Organisasi Penelitian ……………………….…………...……...……… 22
4.11 Tahapan dan Waktu Penelitian ………….………………...…………… 22
5. HASIL PENELITIAN ……………….…………………………..…………….. 23
5.1 Karakteristik Subjek …………………………………..……………...…. 23
5.2 Kadar Vitamin D Serum ……………………………...…………….…… 24
5.3 Determinan Diagnostik Defisiensi Vitamin D ……….……...….……..… 24
5.4 Pembuatan Sistem Skoring …………………..……………………….… 27
5.5 Validasi Internal ……………………………..………………….…….… 30
6. PEMBAHASAN ……………………………………...…………………………. 31
6.1 Karakteristik Subjek ………………………..……………………..…….. 31
6.2 Proporsi Defisiensi Vitamin D ………...…...…………………….……… 31
6.3 Hubungan antara Skor Proteksi Matahari dan Defisiensi Vitamin D ….... 33
6.4 Hubungan antara Kelemahan Otot dan Defisiensi Vitamin D ……....….. 34
6.5 Hubungan antara Diabetes Mellitus dan Defisiensi Vitamin D …......….. 34
6.6 Sistem Skoring Defisiensi Vitamin D……………......……….…….……. 35
6.7 Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian …..……………………..……..... 37
7. PENUTUP ……………………………………………………………...……….. 39
7.1 Kesimpulan …...……………………………………………………….... 39
7.2 Saran …………….…………………………………………………..….. 39
DAFTAR PUSTAKA …………….…...…………………………………..……….. 40
xi Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel 2.1. Penelitian Faktor Risiko Defisiensi Vitamin D ………………...………. 12
Tabel 5.1: Karateristik Subjek Penelitian …………………………………………. 23
Tabel 5.2: Kadar 25(OH)D serum ………………………………………………… 24
Tabel 5.3: Hasil Analisis Bivariat ………………..……………………………….. 25
Tabel 5.4: Hasil Analisis Multivariat ……………………………………………… 26
Tabel 5.5: Perhitungan Sistem Skor ……………………………………………….. 27
Tabel 5.6: Kategori dan Besar Skor ……………………………………………….. 27
Tabel 5.7: Regresi Logistik Model Skoring ………………………………………. 27
Tabel 5.8: Persentase Defisiensi Vitamin D ………………………………………. 29
Tabel 5.9:Sensitivitas dan Spesifisitas Model Skoring …………...……………….. 29
Gambar 5.1: Kurva ROC ………………………………………………………….. 28
Gambar 5.2: Grafik Sensitivitas dan Spesifisitas Model Skoring …………………. 29
xii Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
-Panduan Penggunaan CIRS-G ………………………………….……… 44
-Lembar Informed Consent ……………………………………….…….. 48
-Lembar Informasi ……………………………...…………….………… 49
-Kuesioner dan Lembar Data …………………………...………………. 50
1 Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Paparan sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet sangat dibutuhkan oleh
manusia dalam membentuk vitamin D aktif. Di negara tropis seperti Indonesia, paparan
mataharinya cukup banyak. Letak Indonesia yang tepat berada di garis khatulistiwa
menjadikan Indonesia memperoleh paparan sinar matahari yang sama besarnya
sepanjang tahun, sehingga seharusnya penduduk Indonesia jarang yang menderita
defisiensi vitamin D.
Ternyata asumsi tersebut tidak benar. Menurut penelitian Setiati et al terhadap
74 orang penghuni panti jompo di Jakarta, prevalensi defisiensi vitamin D mencapai
35%.1 Prevalensi ini termasuk tinggi, walaupun lebih rendah daripada prevalensi
defisiensi vitamin D pada penelitian yang dilakukan oleh Arifin et al terhadap
perempuan pascamenopause. Menurut Arifin et al, prevalensi defisiensi vitamin D pada
wanita pascamenopause yang datang ke klinik kandungan RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta mencapai 81%.2
Implikasi klinis yang sudah diketahui secara luas berkaitan dengan defisiensi
vitamin D adalah penurunan kesehatan tulang dan otot. Sekarang pelbagai penelitian
membuktikan bahwa defisiensi vitamin D juga berhubungan dengan kesehatan organ
lain. Sebagian besar jaringan dan sel tubuh mempunyai reseptor vitamin D dan
1,25(OH)2D mengatur ekspresi 2000 gen manusia secara langsung maupun tidak
langsung. Kulit, payudara, prostat, otak, dan makrofag teraktivasi mempunyai proses
enzimatik yang menyerupai proses perubahan 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D di ginjal,
namun tidak tergantung pada kadar kalsium maupun hormon paratiroid.3
Penelitian epidemiologis mengenai hubungan defisiensi vitamin D dengan
kanker yang terdaftar di PubMed sampai saat ini berjumlah 275. Penelitian Lappe et al
terhadap 1179 orang perempuan pascamenopause menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin D dan kalsium dapat menurunkan insiden timbulnya kanker sebesar 60% (RR
0.40, 95%CI=0.2-0.82).4
Meta-analisis yang dilakukan oleh Ma et al terhadap 18
penelitian prospektif juga menunjukkan ada hubungan bermakna antara defisiensi
vitamin D dan kejadian kanker kolorektal (RR 0.67, 95% CI=0.54-0.80).5
2 Universitas Indonesia
Penelitian Pfeifer et al terhadap 148 wanita usia lanjut dengan kadar vitamin D
< 50 nmol/L di Jerman menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D berhubungan dengan
hipertensi. Pada kelompok yang mendapat suplementasi vitamin D 800 IU dan kalsium
1200 mg selama delapan minggu, terjadi penurunan tekanan darah sistolik sebesar 9,3%.
Pada kelompok yang hanya diberi suplementasi kalsium saja, penurunan tekanan darah
sistoliknya hanya sebesar 4%. Data ini mengindikasikan bahwa vitamin D mengatur
tonus pembuluh darah dengan mempengaruhi konsentrasi kalsium dalam sel otot polos
pembuluh darah.6
Vitamin D juga merangsang neurogenesis dan mengatur sintesis faktor
neurotropik yang penting untuk diferensiasi dan ketahanan hidup sel. Sifat
neuroprotektif vitamin D terlaksana melalui mekanisme antioksidatif, imunomodulasi,
pengaturan kalsium neuron, detoksifikasi, dan perbaikan konduksi syaraf. Llewellyn et
al melakukan penelitian prospektif selama 6 tahun di Italia terhadap 858 warga usia
lanjut berusia 65 tahun ke atas. Responden yang menderita defisiensi vitamin D berat
(kadar < 25 nmol/L) mempunyai nilai MMSE lebih rendah daripada warga usia lanjut
yang mempunyai status vitamin D yang adekuat.7
Mengingat banyaknya implikasi klinis defisiensi vitamin D, perlu dilakukan suatu
upaya untuk mendeteksi defisiensi vitamin D secara dini. Sayangnya, di Indonesia,
pemeriksaan kadar vitamin D serum sangatlah mahal dan hanya dapat dilakukan di
Jakarta. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu sistem skoring sederhana yang terdiri dari
beberapa determinan diagnostik sebagai pengganti pemeriksaan kadar vitamin D serum
dalam hal menyaring defisiensi vitamin D pada kelompok wanita 50 tahun ke atas.
Determinan diagnostik defisiensi vitamin D secara klinis terdiri dari: faktor risiko
defisiensi vitamin D serta sekumpulan gejala dan tanda defisiensi vitamin D yang
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Faktor risiko defisiensi
vitamin D dapat dibagi menjadi faktor-faktor yang berhubungan dengan paparan sinar
matahari dan proteksi terhadap sinar matahari, status gizi, obat, serta penyakit kronik
degeneratif.
Usia, letak suatu tempat terhadap garis khatulistiwa, musim, serta pigmentasi kulit
dapat mempengaruhi produksi vitamin D oleh kulit. Perilaku sesuai budaya tertentu juga
merupakan faktor risiko defisiensi vitamin D. Perilaku tersebut meliputi konsumsi
3 Universitas Indonesia
minyak ikan yang merupakan sumber utama vitamin D dan cara berpakaian. Cara
berpakaian orang Asia yang cenderung tertutup dapat mengurangi paparan sinar
matahari dan mengurangi produksi vitamin D oleh kulit.8
Faktor risiko defisiensi vitamin D lainnya adalah obesitas dan penggunaan obat-
obatan tertentu (antiepileptik, kortikosteroid, simetidin, antituberkulosis, teofilin, orlistat,
antiretroviral). Adanya penyakit kronik degeneratif seperti: sirosis hati, penyakit ginjal
kronik, dapat merupakan faktor risiko lain defisiensi vitamin D. Sirosis hati dan penyakit
ginjal kronik mengakibatkan gangguan fungsi hati dan ginjal yang diperlukan dalam
metabolisme vitamin D.9
Adanya enzim 1α-hidroksilase dan reseptor vitamin D dalam sel beta pankreas
mengindikasikan bahwa defisiensi vitamin D juga berhubungan dengan timbulnya
diabetes mellitus.10
Penelitian Dalgård et al menunjukkan bahwa warga usia lanjut
dengan kadar vitamin D serum < 50 nmol/L mempunyai risiko dua kali lipat menderita
diabetes mellitus, setelah indeks massa tubuh sebagai variabel perancu dikendalikan.11
Upaya untuk menemukan alat penyaring defisiensi vitamin D yang tidak invasif
telah dilakukan oleh Lukaszuk et al dari Universitas Northern Illinois. Alat penyaring ini
berupa kuesioner yang harus diisi sendiri oleh responden, meliputi: kebiasaan
menggunakan tabir surya, obesitas, dan konsumsi produk susu.12
Sehubungan dengan
adanya perbedaan diet dan kebiasaan berpakaian antara orang Amerika dan orang
Indonesia, alat ini tidak dapat digunakan untuk menyaring defisiensi vitamin D pada
orang Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian pertama yang
berusaha menemukan sistem skoring sederhana yang dapat berfungsi sebagai alat
penyaring defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas pada tingkat pelayanan
kesehatan primer.
Prevalensi defisiensi vitamin D pada warga usia lanjut Indonesia cukup tinggi,
terutama kaum wanita. Wanita Indonesia cenderung menghindari paparan sinar matahari
karena menganggap bahwa paparan sinar matahari dapat merusak kulit serta
menyebabkan kulit berwarna lebih gelap dan tidak cantik. Selain itu, mayoritas
penduduk Indonesia adalah muslim, sehingga banyak wanita Indonesia menggunakan
jilbab sebagai pelindung aurat, yang dapat mengurangi paparan sinar matahari terhadap
kulit. Oleh karena itu, mengingat pentingnya implikasi klinis defisiensi vitamin D, perlu
4 Universitas Indonesia
dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor determinan defisiensi vitamin D pada
wanita 50 tahun ke atas yang tinggal di masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian
pertama untuk memperoleh suatu sistem skoring yang didasarkan pada faktor-faktor
determinan defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas.
1.2 Identifikasi Masalah Penelitian
-Pelbagai penelitian,terhadap wanita usia lanjut di Indonesia mendapatkan prevalensi
defisiensi vitamin D yang cukup tinggi.
-Pemeriksaan kadar vitamin D serum hanya tersedia di Jakarta dan biayanya sangat
mahal, sehingga deteksi defisiensi vitamin D cukup sulit.
-Diperlukan suatu sistem skoring sederhana yang dapat mendeteksi wanita 50 tahun
ke atas dengan defisiensi vitamin D tanpa harus memeriksa kadar vitamin D serum.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Apa saja determinan defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mendapatkan faktor-faktor determinan defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun
ke atas.
1.4.2 Tujuan Khusus
-Mencari faktor-faktor determinan defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas
yang tinggal di masyarakat (bukan panti).
-Membuat sistem skoring untuk mendeteksi defisiensi vitamin D pada wanita
50 tahun ke atas yang tinggal di masyarakat (bukan panti).
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Klinisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengarahkan klinisi untuk mengenali
kelompok wanita 50 tahun ke atas yang mempunyai probabilitas besar menderita
defisiensi vitamin D, sedemikian sehingga klinisi dapat memberikan advis medis
untuk meningkatkan kadar vitamin D serum pada kelompok ini, tanpa melakukan
pemeriksaan kadar vitamin D serum yang sangat mahal.
5 Universitas Indonesia
1.5.2 Bagi Akademisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian-penelitian
lanjutan mengenai efek pemberian perlakuan berupa paparan sinar matahari dan/atau
pemberian suplemen vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas di masyarakat.
6 Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Defisiensi dan Insufisiensi Vitamin D
Menurut Konsensus Workshop Vitamin D ke-14, kadar 25(OH)D dalam serum yang
dianggap adekuat adalah lebih dari 20 ng/mL (50 nmol/L). 13
Bila seseorang mempunyai
kadar 25(OH)D serum di antara 25 – 50 nmol/L, dikatakan orang tersebut menderita
insufisiensi vitamin D yang dapat menyebabkan metabolisme tulang tidak berjalan dengan
baik, sehingga terjadi peningkatan kadar PTH serum. Sedangkan defisiensi vitamin D yang
dapat terdeteksi secara klinis sebagai miopati dan osteomalasia dengan defek mineralisasi
tulang adalah pada kadar 25(OH)D serum yang kurang dari 25 nmol/L. 14
Menurut Konsensus Endocrine Society, batas untuk defisiensi vitamin D lebih tinggi,
yakni kadar 25(OH)D kurang dari 50 nmol/L. Insufisiensi vitamin D ditetapkan bila kadar
25(OH)D berada di antara 52,5-72,5 nmol/L.15
Perbedaan ambang batas ini disebabkan
karena Endocrine Society mendasarkan diri pada hasil penelitian Holick et al terhadap
wanita pascamenopause di Amerika Utara, yang menyimpulkan bahwa hiperparatiroidisme
sekunder (PTH > 40 pg/ml) jarang ditemukan pada wanita pascamenopause dengan kadar
25(OH)D kurang dari 75 nmol/L. Selain itu, meta-analisis yang dilakukan oleh Bischoff-
Ferrari et al mengatakan bahwa fraktur tulang nonvertebra dapat dicegah bila kadar
25(OH)D dipertahankan di atas 72,5 nmol/L.16
2.2 Epidemiologi
Prevalensi defisiensi vitamin D beraneka ragam sesuai dengan lokasi di mana warga
usia lanjut tersebut tinggal dan tergantung pada etnisitasnya. Di negara-negara yang jauh
dari garis khatulistiwa dan mempunyai empat musim, paparan sinar matahari tidaklah
sebesar negara-negara tropis di garis khatulistiwa, sehingga prevalensi defisiensi vitamin D-
nya sangat tinggi, terutama pada musim dingin.
Di negara-negara Asia, prevalensi defisiensi vitamin D berkisar antara 30-85%,
dengan prevalensi tertinggi di negara-negara dengan penduduk yang banyak menggunakan
jilbab. Di Bangladesh, prevalensi hipovitaminosis D mencapai 38% pada kelompok wanita
yang berpendapatan tinggi dan 50% pada kelompok wanita yang berpendapatan rendah. Di
Srilanka, 40,5% wanita menderita defisiensi vitamin D. Prevalensi hipovitaminosis D pada
7 Universitas Indonesia
warga usia lanjut yang masih aktif di Jepang hanya mencapai 5%, mungkin disebabkan
karena konsumsi ikan yang tinggi.8
Di Asia Tenggara, isyu mengenai hipovitaminosis D nampaknya kurang diperhatikan
karena prevalensinya tidak setinggi negara-negara lain. Di Malaysia, prevalensi
hipovitaminosis D pada wanita pascamenopause mencapai 49%, hampir sama dengan
Thailand (47%).8 Penelitian Setiati et al terhadap wanita penghuni panti jompo
menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin D mencapai 35%.1 Sedangkan penelitian Arifin
et al terhadap wanita pascamenopause yang datang ke klinik kandungan RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa prevalensi hipovitaminosis D mencapai 81%.2
Pada tahun 2011, Toding et al melakukan penelitian terhadap warga usia lanjut yang
mengunjungi PUSAKA di dua lokasi berbeda di Jakarta. Didapatkan prevalensi defisiensi
vitamin D yang sangat tinggi, yakni: 92,5%.17
2.3 Patofisiologi
Kulit mempunyai kapasitas besar untuk menghasilkan vitamin D bagi tubuh
(80-100%) setelah terpapar sinar ultraviolet B (290-315 nm). Vitamin D harus melalui
proses hidroksilasi di hati dan di ginjal agar menjadi aktif secara biologis. Proses 25-
hidroksilasi di hati sangatlah cepat dan hampir tidak diatur oleh tubuh, sehingga pengukuran
kadar 25-OHD yang merupakan cerminan dari paparan sinar matahari dan asupan nutrisi
tinggi vitamin D dapat dilakukan untuk mengetahui status vitamin D seseorang. Sedangkan
pembentukan 1,25(OH)2D3 di ginjal diatur oleh hormon paratiroid dan umpan balik negatif
dari 1,25(OH)2D3 itu sendiri.18
Vitamin D memainkan peran penting dalam mempertahankan mineral tulang, dengan
meningkatkan transportasi kalsium dan fosfat sedemikian sehingga memadai untuk proses
mineralisasi normal matriks kolagen tipe I pada kerangka tubuh manusia. Dalam otot,
vitamin D meningkatkan kalsium pada retikulum sarkoplasma sehingga menimbulkan gaya
kontraksi. Defisiensi vitamin D mengakibatkan penurunan kadar fosfat berenergi tinggi
dalam otot.19
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi beberapa perubahan berkaitan dengan
vitamin D. Dibandingkan dewasa muda, kulit warga usia lanjut mengubah sinar UV B
menjadi vitamin D 30% lebih sedikit. Pada warga usia lanjut, terjadi pula penurunan
produksi asam lambung yang menyebabkan rendahnya kadar kalsium terionisasi dalam
8 Universitas Indonesia
lumen usus, sehingga terjadi penurunan absorpsi kalsium oleh dinding usus. Hal ini
diperberat dengan berkurangnya asupan makanan yang mengandung kalsium pada warga
usia lanjut. Selain itu, penurunan respon seluler terhadap hormon paratiroid pada warga
usia lanjut menyebabkan penurunan efisiensi enzim 1α-hidroksilase pada ginjal, sehingga
akhirnya terjadi penurunan kadar 1,25(OH)2D3 aktif yang dihasilkan ginjal.20
Saat ini, ditemukan banyak jaringan dan sel tubuh yang mempunyai reseptor vitamin
D dan ada proses enzimatik di organ-organ lain yang menyerupai proses enzimatik dalam
ginjal (pengubahan 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D). Oleh karena itu, defisiensi vitamin D
tidak hanya berhubungan dengan kesehatan tulang belaka, namun juga terhadap kesehatan
organ lain selain tulang (kulit, payudara, prostat, otak, dan makrofag).3
2.4 Implikasi Klinis Defisiensi Vitamin D
2.4.1 Penurunan Kinerja Fisik
Toffanello et al melakukan penelitian terhadap 2694 warga usia lanjut yang tinggal
di masyarakat Italia. Hipovitaminosis D (< 50 nmol/L) didapatkan pada 40% responden
wanita dan 20% responden pria. Rerata umur pada kelompok responden yang menderita
defisiensi vitamin D cenderung lebih tua. Pada responden wanita dengan hipovitaminosis D,
didapatkan waktu yang dibutuhkan untuk uji lima kali bangkit-berdiri (5 timed chair-stands)
lebih panjang, serta jarak tempuh dalam enam menit (6 minutes walking distance) lebih
pendek. Pada responden pria dengan hipovitaminosis D, didapatkan kecepatan berjalan (gait
speed) yang lebih rendah, jarak tempuh enam menit (6 minutes walking distance) yang lebih
pendek, serta kekuatan genggam tangan (handgrip strength) yang lebih rendah. Untuk kedua
jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan kekuatan otot kuadrisep femoris antara kelompok
responden yang menderita hipovitaminosis D dan kelompok responden normal.21
Temuan ini dikuatkan oleh hasil penelitian Beauchet dan Skalska. Beauchet et al
melakukan penelitian terhadap 411 warga usia lanjut Perancis yang masih relatif sehat.
Hipovitaminosis D berhubungan dengan penurunan kecepatan berjalan, namun tidak
berhubungan dengan penurunan kekuatan genggam tangan (handgrip strength).22
Sedangkan
Skalska et al melakukan penelitian terhadap 140 wanita usia lanjut dengan penyakit kronik
di Polandia. Status fungsional dan kekuatan otot lebih ditentukan oleh usia, penyakit
komorbid, status nutrisi, daripada status vitamin D. Responden dengan kadar vitamin D
serum yang tinggi mempunyai risiko kehilangan keseimbangan 55% lebih rendah pada saat
9 Universitas Indonesia
tes tandem. Kadar vitamin D serum di atas 47 nmol/L menurunkan risiko kehilangan
keseimbangan sebesar 86%. 23
Tinjauan sistematis mengenai kinerja fisik yang dipengaruhi oleh vitamin D
menyimpulkan bahwa kinerja fisik yang berhubungan dengan status vitamin D meliputi
keseimbangan dan gaya berjalan. Kekuatan otot tidak dapat dihubungkan dengan kadar
vitamin D dalam serum karena banyak variabel perancu yang mempengaruhi kekuatan otot
(usia, status gizi). Fakta ini menunjukkan bahwa vitamin D berperan penting dalam
pengaturan neurotransmisi. Defisiensi vitamin D menurunkan kecepatan konduksi syaraf
sehingga defisiensi vitamin D mempengaruhi koordinasi dan keseimbangan lebih banyak
daripada kekuatan otot.24
2.4.2 Jatuh dan Fraktur
Bila reaksi otot cepat terhadap ketidakseimbangan posisi tubuh pasien terganggu,
terjadilah peningkatan risiko jatuh. Pada penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh
Jackson et al, risiko relatif bagi vitamin D3 dalam mencegah jatuh adalah 0.88
(95%CI=0.78-1.00). Saat dilakukan analisis subgrup terhadap kelompok wanita
pascamenopause, risiko relatif bagi vitamin D3 untuk mencegah jatuh adalah 0.92 (95%
CI=0.75-1.12). 25
Menurut penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Bischoff-Ferrari et
al, suplementasi vitamin D minimal 700 IU per hari dapat menurunkan 19% risiko jatuh di
antara warga usia lanjut. Selain itu, ditemukan pula bahwa kadar minimal vitamin D dalam
serum 60 nmol/L dapat menurunkan risiko jatuh sebesar 23%. 16
Dalam kaitannya dengan fraktur, suplementasi vitamin D dapat mencegah fraktur
nonvertebral dengan risiko relatif sebesar 0.96 (95% CI = 0.84-1.09). Pada wanita
pascamenopause, risiko relatif fraktur nonvertebral turun menjadi 0.81 (95% CI 0.48-1.34).
Sedangkan risiko relatif suplementasi vitamin D untuk mencegah fraktur vertebral adalah
sebesar 1.22 (95% CI=0.64-2.31). 16
2.4.3 Kanker
Penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin
D dengan kanker. Penelitian Lappe et al terhadap 1179 orang perempuan pascamenopause di
Nebraska yang dipilih secara acak untuk diberi 1400-1500 mg kalsium, kalsium ditambah
1100 IU vitamin D, atau plasebo ganda. Ketiga kelompok ini diikuti selama empat tahun.
10 Universitas Indonesia
Ternyata suplementasi vitamin D 1100 IU dan kalsium dapat menurunkan insiden timbulnya
kanker sebesar 60% (RR 0.40, CI=0.2-0.82).4
Ma et al melakukan meta-analisis terhadap 18 penelitian prospektif yang terdiri dari
9 penelitian mengenai asupan vitamin D dan 9 penelitian mengenai kadar 25(OH)D serum,
dengan jumlah sampel penelitian kurang-lebih satu juta jiwa. Meta-analisis tersebut
menunjukkan ada hubungan bermakna antara asupan vitamin D dan kanker kolorektal (RR
0.88, 95%CI=0.80-0.96). Selain itu, ditemukan pula hubungan bermakna antara kadar
25(OH)D serum dengan kanker kolorektal (RR 0.67, 95% CI=0.54-0.80).5
Berdasarkan penelitian epidemiologis, ada sepuluh mekanisme yang dapat
menjelaskan bagaimana vitamin D dan kalsium dapat menurunkan insidensi kanker dan
kematian. Mekanisme tersebut meliputi: peningkatan perlekatan dan pengeluaran sinyal
antara sel-sel epitel, menghambat proliferasi dan diferensiasi sel, stabilisasi siklus sel,
peningkatan apoptosis, efek anti-neoangiogenesis, penurunan enzim GSK-3 (Glycogen
Synthase Kinase 3) yang dapat menurunkan proliferasi sel kanker kolorektal, prostat,
pankreas secara in vitro, menurunkan jalur sinyalisasi Wnt yang aktif pada kanker
kolorektal, meningkatkan ekspresi protein DKK1 yang menekan tumor pada sel kanker
kolon, menurunkan transkripsi DKK4 yang meningkat pada kanker kolorektal dengan cara
kompleks reseptor vitamin D dan 1,25(OH)2D menduduki promotor DKK4.26
2.4.4 Hipertensi
Penelitian Pfeifer et al terhadap 148 wanita usia lanjut dengan kadar vitamin D < 50
nmol/L di Jerman menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D berhubungan dengan hipertensi.
Pada kelompok yang mendapat suplementasi vitamin D 800 IU dan kalsium 1200 mg
selama delapan minggu, terjadi penurunan tekanan darah sistolik sebesar 9,3%. Pada
kelompok yang hanya diberi suplementasi kalsium saja, penurunan tekanan darah
sistoliknya hanya sebesar 4%. Data ini mengindikasikan bahwa vitamin D mengatur tonus
pembuluh darah dengan mempengaruhi konsentrasi kalsium dalam sel otot polos pembuluh
darah.6
Beberapa mekanisme dipikirkan mendasari hubungan antara defisiensi vitamin D
dan hipertensi. 1,25(OH)2D merupakan salah satu penghambat kuat sintesis renin.
Defisiensi vitamin D dapat meningkatkan proses inflamasi yang selanjutnya memicu
atherosclerosis, disfungsi endotel, dan resistensi insulin. Defisiensi vitamin D juga dapat
11 Universitas Indonesia
meningkatkan enzim metalloproteinase yang dapat memicu hipertrofi otot jantung dan otot
polos pada dinding pembuluh darah.27
2.4.5 Diabetes Mellitus
Adanya enzim 1α-hidroksilase dan reseptor vitamin D dalam sel beta pankreas
mengindikasikan bahwa defisiensi vitamin D juga berhubungan dengan timbulnya diabetes
mellitus. Pada tikus, defisiensi vitamin D memicu gangguan sekresi insulin dan toleransi
glukosa yang sebagian terkoreksi dengan pemberian vitamin D. Vitamin D juga dipikirkan
terlibat dalam sensitivitas jaringan terhadap insulin dengan cara mengontrol aliran kalsium
melalui membran di sel beta pankreas dan jaringan perifer target insulin. Selain itu, vitamin
D merangsang ekspresi reseptor insulin sehingga meningkatkan tanggapan insulin terhadap
transpor glukosa dan memperbaiki inflamasi sistemik melalui efek langsung pada sitokin.10
Mitri et al melakukan tinjauan sistematik terhadap 8 penelitian kohort observasional
dan 11 penelitian klinis acak mengenai vitamin D dan diabetes mellitus tipe 2. Meta-
analisis terhadap penelitian observasional menunjukkan bahwa asupan vitamin D > 500
IU/hari dapat menurunkan risiko timbulnya diabetes mellitus tipe 2 sebesar 13%, bila
dibandingkan dengan asupan vitamin D < 200 IU/hari. Orang dengan kadar vitamin D
> 25 ng/mL mempunyai risiko 43% lebih rendah menderita diabetes mellitus tipe 2
(95% CI= 24-57%). Pada dua uji klinis dengan pasien intoleransi glukosa, suplementasi
vitamin D dapat memperbaiki resistensi insulin.28
2.4.6 Dementia
Reseptor vitamin D ditemukan di neuron dan sel glia. Ikatan 1,25(OH)2D dengan
reseptor vitamin D memicu peningkatan jumlah makrofag dan leukosit polimorfonuklear,
sedemikian sehingga dapat meningkatkan fagositosis dan pembersihan β-amyloid oleh
makrofag. Vitamin D juga mempertahankan homeostasis kalsium dalam neuron melalui
pengaturan saluran kalsium tergantung tegangan listrik dalam hipokampus dan melalui
sintesis protein sitoplasma yang berikatan dengan kalsium. Vitamin D juga berperan dalam
proses detoksifikasi di otak melalui penghambatan sintesis nitric oxide synthase, terutama
saat kalsium masuk secara berlebihan ke dalam neuron otak.29
Llewellyn et al melakukan penelitian prospektif selama 6 tahun di Italia terhadap
858 warga usia lanjut berusia 65 tahun ke atas. Responden yang menderita defisiensi
vitamin D berat (< 25 nmol/L) mempunyai nilai MMSE lebih rendah daripada warga usia
12 Universitas Indonesia
lanjut yang mempunyai status vitamin D yang adekuat. Risiko relatif untuk penurunan
bermakna dari test trail-making B adalah 1.31 (95%CI=1.03-1.51) di antara warga usia
lanjut yang menderita defisiensi vitamin D berat. Hal ini mungkin terjadi karena vitamin D
merangsang neurogenesis dan mengatur sintesis faktor neurotropik yang penting dalam
perlindungan terhadap apoptosis.7
2.5 Faktor Risiko Defisiensi Vitamin D
Berikut ini adalah rangkuman beberapa penelitian yang mencari faktor-faktor risiko
defisiensi vitamin D.
Tabel 2.1. Penelitian Faktor Risiko Defisiensi Vitamin D
Penelitian Desain Subjek Cut-off Faktor Risiko
Setiati et al 1 Cross-
sectional
Wanita > 60 tahun di panti
wredha Jakarta dan Bekasi
75
nmol/L
Tingkat paparan sinar
matahari
Arifin et al 2
Randomized
control trial
Wanita pascamenopause di
poliklinik kandungan RSCM
50
nmol/L
Konsumsi susu fortifikasi
vitamin D
Rahman et al 30
Cross-
sectional
Wanita pascamenopause di
Kuala Lumpur
50
nmol/L
Ras, indeks massa tubuh
Moy et al 31
Cross-
sectional
Karyawan universitas negeri
di Malaysia
50
nmol/L
Tingkat paparan sinar
matahari, jenis kelamin,
cara berpakaian, obesitas
Oliveri et al 32
Cross-
sectional
Pria dan wanita > 65 tahun di
7 kota di Argentina
50
nmol/L
Letak tempat tinggal
terhadap khatulistiwa,
musim, asupan kalsium
Choi 33
Survei
massal
cross-
sectional
Penduduk 200 distrik di
Korea berusia > 20 tahun
50
nmol/L
Jenis kelamin, musim,
tempat tinggal (urban),
riwayat diabetes mellitus,
suplementasi vitamin D
Snijder et al 34
Survei
massal
cross-
sectional
Pria dan wanita > 65 tahun di
11 daerah berbeda di Belanda
50
nmol/L
Jumlah lemak tubuh total,
indeks massa tubuh
Gallagher et al 35
Randomized
control trial
Wanita 65 – 77 tahun di
Nebraska, Omaha
75
nmol/L
Penurunan fungsi ginjal
(CrCl < 60 mL/1,73 m2)
Cannel et al 36
Review - 75
nmol/L
Obat-obatan tertentu
(antiepileptik, kortikosteroid, simetidin, orlistat, teofilin, antituberkulosis, antiretroviral)
13 Universitas Indonesia
Di antara penelitian-penelitian tersebut, hasil penelitian Moy et al yang dilakukan di
Malaysia digunakan sebagai dasar untuk merumuskan definisi operasional pada penelitian
ini, dengan asumsi bahwa situasi dan kondisi masyarakat Malaysia hampir sama dengan
Indonesia.31
Untuk menilai tingkat proteksi seseorang terhadap paparan sinar matahari, Moy
et al menggunakan skor proteksi matahari. Skor ini memperhitungkan semua alat pelindung
tubuh terhadap sinar matahari yang digunakan oleh seseorang selama minimal 75% dari
waktu yang dihabiskannya di bawah paparan sinar matahari. Alat-alat tersebut meliputi:
payung, tabir surya, topi/jilbab, kemeja lengan panjang, celana panjang, rok panjang, sarung
tangan. Penelitian Moy et al menunjukkan bahwa subjek dengan skor proteksi matahari
lebih besar atau sama dengan 3 mempunyai risiko lebih tinggi menderita defisiensi vitamin
D (OR 1.52, 95%CI=0.98-2.36).
Sedangkan skor paparan sinar matahari digunakan untuk menilai berapa menit dalam
seminggu seseorang terkena paparan sinar matahari. Berdasarkan hasil penelitian Moy et al,
skor paparan sinar matahari mempunyai hubungan statistik bermakna dengan defisiensi
vitamin D (OR 0.998, 95%CI=0.996-0.999). Lamanya paparan sinar matahari ini terutama
berhubungan dengan kadar vitamin D dalam darah responden pria, yang hampir tidak pernah
menggunakan pelindung tubuh terhadap paparan sinar matahari. 31
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko defisiensi vitamin D. Vitamin D
merupakan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga pada orang dengan obesitas, kadar
vitamin D dalam jaringan lemak tubuh lebih besar daripada kadar vitamin D dalam serum.
Hal ini didukung oleh temuan Snijder et al, yang menyatakan adanya korelasi bermakna
antara kadar vitamin D serum dengan IMT (r=-0,136) dan lingkar perut (r=-0,137). 34 Selain
itu, Moy et al menunjukkan bahwa responden dengan IMT ≥ 27 mempunyai risiko lebih
tinggi untuk menderita defisiensi vitamin D (OR 1.11, 95%CI=1.03-1.2). 31
2.6 Gejala dan Tanda
Gejala defisiensi vitamin D tidak terlalu jelas dan seringkali terlewatkan oleh klinisi.
Keluhan muskuloskeletal merupakan peringatan awal dari osteomalasia. Nyeri tulang yang
difus, dalam, terutama pada rangka tulang rusuk, bahu, panggul, dan tulang punggung
merupakan salah satu gejala defisiensi vitamin D. Terdapat nyeri pada saat palpasi struktur
tulang yang terlibat, terutama pada penekanan tulang sternum atau tibia.19,37
Penelitian
Helliwell et al terhadap pasien Asia Selatan yang tinggal di Inggris menemukan bahwa 73%
14 Universitas Indonesia
pasien yang datang dengan keluhan nyeri tulang dan otot seluruh tubuh ternyata menderita
defisiensi vitamin D.38
Mekanisme nyeri pada pasien dengan defisiensi vitamin D adalah melalui rendahnya
kadar kalsium fosfat yang mengakibatkan ketidakmampuan mineralisasi matriks kolagen
tulang. Matriks ini menjadi kaya air dan meluas, menyebabkan tekanan keluar dari bawah
lapisan periosteum. Sehubungan dengan lapisan periosteum ini kaya akan serabut syaraf
sensoris, tekanan yang timbul terhadap lapisan periosteum dirasakan pasien sebagai nyeri.37
Defisiensi vitamin D mengakibatkan hiperparatiroidisme sekunder yang dapat
meningkatkan aktivitas remodelling tulang. Peningkatan aktivitas ini dapat menyebabkan
terciptanya pori-pori besar pada korteks tulang femur, tempat dimana fraktur panggul sering
terjadi. Tulang yang mengalami osteomalasia juga rentan terhadap fraktur akibat energi
rendah. Pada pemeriksaan radiologis, osteomalasia berat ditandai dengan Looser Milkman
pseudofraktur dan halisteresis.19
Kelelahan umum, kelemahan otot, gangguan berjalan, dan nyeri otot merupakan
keluhan lain dari defisiensi vitamin D. Pasien merasa cepat lelah, kesulitan menaiki tangga,
kesulitan bangkit dari posisi jongkok. Pada kasus berat, kelemahan otot tersebut
menyebabkan pasien terpaksa menggunakan kursi roda untuk mobilisasinya. Hal ini terjadi
karena defisiensi vitamin D menyebabkan atrofi selektif serabut otot tipe II yang
bertanggungjawab atas reaksi otot cepat.19
Helliwell et al menemukan bahwa 70% pasien
dengan defisiensi vitamin D mengalami kesulitan dalam naik-turun tangga dan 75% pasien
tersebut juga mengalami kesulitan untuk berdiri maupun berjalan.38
2.11 Kerangka Teori
Bagan berikut merupakan kerangka teori dalam penelitian ini.
15 Universitas Indonesia
16 Universitas Indonesia
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
3.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara pengukuran Skala Skoring
Kadar vitamin D dalam serum
hasil pengukuran kadar vitamin D { 25(OH)D3 } serum
Metode enzymeimmunoassay menggunakan reagen IDS OCTEIA 25-OH-vit D
nominal 0. < 25 nmol/L
(defisiensi)
1. ≥ 25 nmol/L
(tidak defisiensi)
Usia Usia berdasarkan KTP atau identitas lainnya.
Anamnesa
nominal 0. ≤ 60 tahun
1. > 60 tahun
Status gizi status nutrisi responden pada saat pengambilan data, diukur berdasarkan indeks massa tubuh (BB / TB
2) .
31
Pemeriksaan fisik
Berat badan diukur menggunakan timbangan elektrodigital ‘SECA’ alpha Hamburg dan tinggi badan diukur menggunakan rumus tinggi lutut (diukur dg alat pengukur tinggi lutut)
nominal 0. < 27
1. ≥ 27
-Usia -Status gizi -Skor proteksi matahari -Skor paparan matahari -Obat-obatan -Diabetes mellitus -Penyakit ginjal kronik
Kadar vitamin D
dalam serum
-Kelemahan otot -Gangguan keseimbangan -Riwayat jatuh -Riwayat fraktur -Nyeri tulang
17 Universitas Indonesia
Variabel Definisi Cara pengukuran Skala Skoring
Skor proteksi matahari
Adalah penilaian perlindungan subjek terhadap sinar matahari, diperoleh melalui kuesioner.
31
Anamnesis
Jumlah skor diperoleh dari penggunaan tabir surya, jilbab/topi, kemeja lengan panjang, sarung tangan, celana panjang, rok panjang, payung. Nilainya 1 untuk masing-masing benda yang digunakan. Benda tersebut harus digunakan selama minimal 75% dari waktu yang dihabiskan oleh subjek di bawah paparan sinar matahari.
nominal 0. Skor < 3
1. Skor ≥ 3
Skor paparan matahari
Adalah penilaian lama paparan matahari yang diterima oleh subjek selama seminggu.
31
Anamnesis
Jumlah skor diperoleh dari perkalian lama waktu terkena paparan (dalam satuan menit per hari) dikalikan dengan jumlah hari terkena paparan dalam seminggu
nominal 0. Skor < 210
1. Skor ≥ 210
Obat-obatan Adalah obat-obatan yang dapat mengurangi kadar vitamin D, dikonsumsi subjek dalam seminggu terakhir yakni: antiepileptik, kortikosteroid, simetidin, orlistat, teofilin, antituberkulosis, antiretroviral.
15,36
Anamnesis
nominal 0. Tidak ada
1. Ada
Diabetes mellitus
Adalah adanya penyakit diabetes mellitus yang diderita oleh subjek.
11
Anamnesis riwayat diabetes mellitus. Bila subjek tidak tahu / tidak pernah diperiksa sebelumnya, dilakukan pemeriksaan klinis (3P) dan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu (≥200 mg/dL) untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus
nominal 0. Tidak ada
1. Ada
Penyakit ginjal kronik
Adalah adanya penyakit ginjal kronik stadium 3 atau lebih yang diderita oleh subjek (nilai bersihan kreatinin < 50 mL/1,73m
2).
35
Diagnosis ditegakkan berdasarkan perhitungan bersihan kreatinin menurut rumus Cockcroft-Gault
nominal 0. Tidak ada
1. Ada
Nyeri tulang Ada/tidaknya keluhan nyeri tulang yang difus, dalam, tanpa adanya tanda radang, melibatkan bahu, panggul, rangka tulang rusuk, tulang punggung.
19,38
Anamnesis nominal 0. Tidak ada
1. Ada
Kelemahan otot
Adalah kelemahan otot ekstremitas bawah yang ditandai dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk lima kali bangkit-berdiri.
21
Pemeriksaan fisik Subjek diminta untuk berdiri dan duduk sebanyak lima kali secepat mungkin, dengan tangan menyilang di dada. Waktu yang diperlukan akan diukur dari posisi awal duduk sampai dengan posisi berdiri akhir pada posisi berdiri kelima.
nominal 0. < 10 detik
1. ≥ 10 detik
18 Universitas Indonesia
Variabel Definisi Cara pengukuran Skala Skoring
Jatuh Adalah adanya riwayat jatuh dalam satu tahun terakhir.
25 Anamnesis nominal 0. Tidak ada
1. Ada
Fraktur Adalah riwayat fraktur tulang manapun yang terjadi setelah menopause atau umur 50 tahun ke atas.
16
Anamnesis nominal 0. Tidak ada
1. Ada
Gangguan keseimbangan
Penilaian keseimbangan subjek berdasarkan uji sikap tandem yang merupakan bagian dari Berg Balance Scale (BBS).
23
Subjek diminta untuk memakai sepatu tanpa hak, melangkahkan satu kaki di depan dan satu kaki tepat di belakangnya, mempertahankannya selama 30 detik. Bila subjek dapat melakukannya, dia memperoleh skor 4. Bila subjek tidak mampu melakukannya, subjek diminta untuk melangkahkan kakinya sedemikian sehingga tumit satu kaki di depan jempol kaki lainnya selama 30 detik. Bila subjek dapat melakukannya, ia memperoleh skor 3. Bila subjek hanya dapat melangkah kecil tanpa bantuan namun dapat mempertahankannya selama 30 detik, dia memperoleh skor 2. Bila subjek memerlukan bantuan untuk melangkah namun dapat mempertahankannya selama 15 detik, dia memperoleh skor1. Skor nol diperoleh subjek yang kehilangan keseimbangan pada saat melangkah atau berdiri.
nominal 0. Nilai < 3
1. Nilai ≥ 3
Penyakit komorbid
Adalah jumlah dan derajat penyakit kronik yang diderita oleh subjek
CIRS-G (Cummulative Illness Rating Scale for Geriatrics).
numerik
19 Universitas Indonesia
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian diagnostik, menggunakan desain potong
lintang (cross-sectional) sehubungan dengan pengambilan data hanya dilakukan sewaktu
saja.
4.2 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Kotamadia Bandung selama Agustus – Oktober 2012.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi target pada penelitian ini adalah wanita berumur 50 tahun atau lebih
yang tinggal di Kotamadia Bandung.
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah wanita berumur 50 tahun atau
lebih yang tinggal di masyarakat, datang ke tempat kegiatan sosial warga usia lanjut di
Kotamadia Bandung, serta setuju untuk mengikuti penelitian ini.
4.4 Besar Sampel
Besar sampel yang diambil adalah sesuai dengan perhitungan berikut:
-Prevalensi defisiensi vitamin D pada warga usia lanjut Indonesia berkisar antara 35,1%
- 92,5%, sehingga diambil prevalensi 50% untuk penghitungan sampel.
-Variabel bebas yang diteliti ada 12 buah.
Dengan mengikuti rule of thumb: 12 x 10 = 120 120/50 x 100 = 240.
Dengan demikian, besar sampel total yang dibutuhkan sebanyak 240 orang.
4.5 Pemilihan Subjek Penelitian
Dilakukan pendataan daftar kegiatan sosial warga usia lanjut di Kotamadia Bandung
selama periode Agustus – Oktober 2012, dengan menghubungi organisasi warga usia
lanjut yang ada di 25 kecamatan di Kotamadia Bandung. Dari daftar tersebut, dilakukan
pemilihan secara acak, dengan menggunakan tabel randomisasi. Bila terpilih, peneliti
menghubungi panitia untuk minta izin mengambil data saat kegiatan berlangsung.
Kriteria inklusi : -wanita berusia 50 tahun atau lebih pada saat penelitian dilakukan
-tinggal di masyarakat, bukan di panti jompo
-masih bisa berjalan (dengan / tanpa alat bantu)
20 Universitas Indonesia
-setuju untuk mengikuti penelitian.
Kriteria eksklusi : -disfungsi kognitif yang tidak dapat mengikuti perintah
-menderita sirosis hepatis
-mendapat suplementasi vitamin D ≥ 400 IU/hari selama
minimal 4 minggu terakhir sebelum penelitian dilakukan.
4.6 Alur Penelitian
Data dasar
Kuesioner paparan dan proteksi sinar matahari
Riw jatuh, riw fraktur, nyeri tulang
Anamnesis daftar obat yang diminum
Penilaian status gizi (MNA)
Penilaian kinerja fisik -5 timed chair-stand -uji sikap tandem
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Penyajian Data
Pengolahan Data
Wanita berusia ≥ 50 tahun,
datang ke tempat kegiatan sosial warga usia lanjut
di Kotamadia Bandung
Pengambilan darah untuk memeriksa kadar vitamin D serum dan kreatinin
Memenuhi kriteria inklusi
CIRS-G
21 Universitas Indonesia
4.7 Manajemen dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan berupa karakteristik responden (yang meliputi usia, status
marital, lama pendidikan, pekerjaan, status fungsional), diabetes mellitus, penyakit ginjal
kronik, riwayat jatuh, riwayat fraktur setelah menopause, nyeri tulang, skor paparan sinar
matahari, skor proteksi sinar matahari, status gizi, kinerja fisik (5 timed chair-stands dan uji
sikap tandem), status kesehatan (jumlah dan derajat berat penyakit kronis), kadar vitamin D
serum.
Seluruh data dicatat dalam formulir lembar data, dilakukan penyuntingan mengenai
kelengkapan pengisian, lalu dikoding untuk selanjutnya direkam dalam cakram magnetik
mikro komputer. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS
11 dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Seluruh parameter disajikan secara
deskriptif untuk variabel kontinu (misalnya: rerata, simpang baku, nilai minimal, nilai
maksimal, dan nilai tengah), sedangkan data kategorik menggunakan frekuensi distribusi.
Untuk pengujian statistik hubungan antara dua variabel kualitatif dikotom dilakukan
dengan uji Chi-square berdasarkan batas kemaknaan (α) sebesar 5% dalam pengambilan
kesimpulan kemaknaan statistik. Berdasarkan uji bivariat tersebut, dipilih variabel-variabel
yang mempunyai p < 0,25 untuk dimasukkan ke dalam uji multivariat. Uji multivariat yang
dipilih adalah uji regresi logistik.
Kemampuan prediksi skor defisiensi vitamin D dinilai dengan menentukan area
under reciever operating characteristic curve (AUC) dan interval kepercayaan 95%-nya.
Kemampuan prediksi defisiensi vitamin D dianggap baik bila AUC > 0,60.
4.8 Masalah Etika
Pada setiap subyek penelitian, dilakukan penjelasan lisan atau tertulis mengenai
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan prosedur penelitian kemudian subyek diminta
menandatangani persetujuan tertulis atas kesediaannya untuk ikut dalam penelitian (formulir
terlampir). Penelitian ini juga telah diajukan kepada komisi etik kedokteran FKUI untuk
memperoleh persetujuan etik.
22 Universitas Indonesia
4.9 Biaya Penelitian
Biaya yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi:
1. Biaya administrasi dan alat tulis menulis Rp 500.000,-
2. Biaya menggandakan kuesioner Rp 800.000,-
3. Biaya transportasi ke tempat kegiatan sosial usia lanjut Rp 500.000,-
4. Gaji asisten penelitian Rp 3.000.000,-
5. Biaya pemeriksaan kadar vitamin D serum Rp 45.000.000,-
6. Biaya pemeriksaan laboratorium rutin Rp 24.000.000,-
7. Biaya pelaporan hasil penelitian dan penggandaannya Rp 850.000,-
8. Biaya tak terduga Rp 1.000.000,-
T o t a l Rp 75.650.000,-
4.10 Organisasi Penelitian
Peneliti utama : dr. Vera, SpPD
Pembimbing penelitian : 1. DR. dr. Siti Setiati, SpPD-KGer, MEpid
2. dr. Arya Govinda, SpPD-KGer
Pembimbing statistik : DR. dr. Siti Setiati, SpPD-KGer, MEpid
4.11 Tahapan dan Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilangsungkan selama delapan bulan, dengan
tahapan sebagai berikut:
No Tahapan penelitian Juni Juli Ag Sep Okt Nov Des Jan
1. Penyempurnaan usulan penelitian X
2. Ujian usulan penelitian X
3. Pengumpulan data penelitian X X X
4. Editing dan entri data X X
5. Analisis data X X
6. Penulisan hasil penelitian X
7. Presentasi hasil penelitian X
23 Universitas Indonesia
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek
Penelitian ini dilakukan antara bulan Agustus sampai dengan Oktober 2012, dengan
melibatkan 240 orang wanita berusia 50 tahun ke atas. Subjek penelitian ditemui pada saat
mereka menghadiri kegiatan sosial khusus lansia di beberapa tempat organisasi warga usia
lanjut di Kotamadia Bandung. Pengambilan darah dilakukan di tempat kegiatan maupun di
laboratorium komersial yang ditunjuk, setelah diberikan penyuluhan singkat mengenai
pentingnya vitamin D dalam mencegah kejadian jatuh pada warga usia lanjut.
Tabel 5.1: Karateristik Subjek Penelitian
Karakteristik Mean Minimal Maksimal
Umur 66,94 ± 8,11 50 94
Status nutrisi (IMT) 24,96 ± 3,86 13,84 38,57
Klirens kreatinin 66,59 ± 21,04 16,06 122,09
Status kesehatan
(skor CIRS-G)
4,60 ± 2,54 0 13
Status fungsional
(skor IADL)
15,18 ± 1,99 4 16
Kadar 25(OH)D 35,40 ± 10,91 15,90 73,0
Sehubungan dengan tempat pengambilan data adalah tempat-tempat kegiatan sosial
lansia (bukan tempat pelayanan kesehatan), maka didapatkan subjek penelitian yang masih
relatif sehat (rerata skor CIRS-G 5) dan mempunyai status fungsional yang bagus (rerata
skor IADL 15). Meskipun 77,1% subjek berusia 60 tahun ke atas, hanya 17,1% subjek
yang pernah menjalani rawat inap di rumah sakit dalam dua tahun terakhir.
Sebagian besar subjek (83,3%) masih berolahraga secara rutin, dengan frekuensi 2-3
kali per minggu. Jenis olahraga yang paling sering dilakukan adalah jalan kaki. Rata-rata
subjek memperoleh pajanan sinar matahari selama 256,92 menit per minggu. Untuk
melindungi diri dari pajanan sinar matahari, 89,6% subjek menggunakan kemeja / blus
berlengan panjang dan celana panjang.
24 Universitas Indonesia
5.2 Kadar Vitamin D Serum
Pada penelitian ini, kadar 25(OH)D serum diperiksa secara imunoenzimatik dengan
menggunakan reagen IDS OCTEIA. Meskipun rerata waktu terpajan sinar matahari lebih
dari 100 menit per minggu, pada penelitian didapatkan rerata kadar 25(OH)D serum
hanyalah 35,40 ± 10,91 nmol/L. Hanya 8,3% subjek yang mempunyai kadar 25(OH)D
serum lebih dari 50 nmol/L, sehingga hanya sedikit subjek yang mempunyai kadar vitamin
D adekuat (sesuai dengan titik potong kadar vitamin D serum yang ditetapkan oleh IOM).
Tabel 5.2: Kadar 25(OH)D serum
Interpretasi Kadar 25(OH)D serum Jumlah (%)
Defisiensi < 25 nmol / L 38 (15,8)
Insufisiensi 25 – 50 nmol/L 182 (75,8)
Adekuat > 50 nmol/L 20 (8,3)
5.3 Determinan Diagnostik Defisiensi Vitamin D
Pada penelitian ini, kadar 25(OH)D serum < 25 nmol/L digunakan sebagai titik
potong seseorang dinyatakan menderita defisiensi vitamin D. Dengan menggunakan analisis
bivariat, dilakukan penetapan variabel mana yang dapat berperan sebagai determinan
diagnostik defisiensi vitamin D. Sehubungan dengan variabel bebasnya mempunyai data
jenis kategorik dikotom, dilakukan uji chi-square dengan tabel 2x2. Hasil analisis bivariat
tersebut dapat ditemukan pada tabel di bawah ini.
25 Universitas Indonesia
Tabel 5.3: Hasil Analisis Bivariat
Variabel Tergantung Defisiensi vitamin D OR p
ya tidak IK 95%
Skor proteksi
matahari
≥ 3
< 3
29 (25)
9 (7,3)
87 (75)
115 (92,7)
4,259
(1,918-9,460) 0,000
Kelemahan otot
(5 TCS)
≥ 10
< 10
21 (22,8)
17 (11,5)
71 (77,2)
131 (88,5)
2,279
(1,130-4,597) 0,019
Riwayat diabetes
mellitus
Ya
Tidak
11 (26,2)
27 (13,6)
31 (73,8)
171 (86,4)
2,247
(1,011-4,995)
0,043
Status gizi (IMT) ≥ 27
< 27
15 (22,7)
23 (13,2)
51 (77,3)
151 (86,6)
1,931
(0,936-3,982)
0,072
Umur > 60 tahun
≤ 60 tahun
33 (17,8)
5 (9,1)
152 (82,2)
50 (90,9)
2,171
(0,804-5,863)
0,119
Penyakit ginjal
kronik
Ya
Tidak
19 (19,6)
19 (13,3)
78 (80,4)
124 (86,7)
1,590
(0,793-3,189)
0,189
Skor paparan
matahari
< 210
≥ 210
24 (18,8)
14 (12,5)
104 (81,2)
98 (87,5)
1,652
(0,791-3,301)
0,186
Riwayat jatuh Ya
Tidak
5 (10,6)
33 (17,1)
42 (89,4)
160 (82,9)
0,577
(0,212-1,569) 0,277
Riwayat fraktur
pascamenopause
Ya
Tidak
0 (0)
38 (17,6)
24 (100)
178 (82,4)
- -
Gangguan
keseimbangan (uji sikap tandem)
≥ 3
< 3
38 (16,9)
0 (0)
187 (83,1)
15 (100)
- -
Obat-obatan Ya
Tidak
14 (17,9)
24 (14,8)
64 (82,1)
138 (85,2)
1,258
(0,611-2,591)
0,533
Nyeri tulang difus Ya
Tidak
13 (14,9)
25 (16,3)
74 (85,1)
128 (83,7)
0,899
(0,434-1,864)
0,776
Sulit naik tangga Ya
Tidak
10 (14,9)
28 (16,2)
57 (85,1)
145 (83,8)
0,909
(0,415-1,991)
0,810
26 Universitas Indonesia
Keterangan: -Pembagian status gizi (IMT) pada penelitian ini tidak didasarkan pada
klasifikasi obesitas menurut WHO untuk populasi Asia, melainkan
didasarkan pada penelitian Moy et al.31
-Ada dua determinan diagnostik defisiensi vitamin D (riwayat fraktur pasca-
menopause dan gangguan keseimbangan) yang mempunyai sel kosong,
sehingga tidak dapat dilakukan analisis bivariat.
Determinan diagnostik yang berhubungan dengan defisiensi vitamin D berat
(p<0,25) sajalah yang akan dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Analisis multivariat
yang digunakan adalah regresi logistik karena variabelnya bersifat kategorik dikotom.
Determinan diagnostik yang dimasukkan ke dalam uji multivariat adalah: skor proteksi
matahari, kelemahan otot, riwayat diabetes mellitus, status gizi, umur, penyakit ginjal
kronik, skor paparan matahari, riwayat jatuh. Riwayat fraktur pascamenopause dan
gangguan keseimbangan tidak dapat dimasukkan ke dalam uji multivariat karena ada sel
yang kosong (nol). Meskipun p=0,277 pada uji bivariat, riwayat jatuh selama setahun
terakhir dimasukkan ke dalam uji multivariat karena secara teoritis, jatuh berhubungan
dengan defisiensi vitamin D dan p hanya sedikit di atas 0,25.
Setelah dilakukan analisa regresi logistik secara backward LR, didapatkan hasil
sesuai dengan tabel di bawah ini.
Tabel 5.4: Hasil Analisis Multivariat
B S.E. df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
OR Min Maks
Kelompok DM ,979 ,449 1 ,029 2,662 1,105 6,413
Kelompok proteksi 1,659 ,429 1 ,000 5,256 2,266 12,193
Kelompok 5TCS ,868 ,380 1 ,022 2,382 1,131 5,019
Constant -3,280 ,450 1 ,000 ,038
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dibuat persamaan sebagai berikut:
y = -3,280 + 0,979 x dm + 1,659 x skor proteksi + 0,868 x 5TCS
dengan keterangan: dm = ada /tidaknya diabetes mellitus
skor proteksi = skor proteksi sinar matahari
5 TCS = 5-timed chair stands
27 Universitas Indonesia
Dari aspek kalibrasi, persamaan yang kita peroleh mempunyai kualitas yang baik, karena
nilai p pada uji Hosmer and Lemeshow lebih dari 0,05. Hasil analisis kurva ROC
menunjukkan bahwa model ini mempunyai nilai AUC sebesar 0,742 (95% CI= 0,664 -
0,821). Dengan demikian, kemampuan persamaan ini memprediksi defisiensi vitamin D
dianggap baik, karena AUC > 0,60 dan batas bawah interval kepercayaan 95%-nya melebihi
angka 0,50.
5.4 Pembuatan Sistem Skoring
Untuk menyederhanakan persamaan tersebut, dibuatlah suatu sistem skoring yang
dapat digunakan di lapangan untuk menyaring wanita pascamenopause Indonesia yang
menderita defisiensi vitamin D berat. Dalam rangka membuat sistem skoring ini, harus
dilakukan perhitungan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5.5: Perhitungan Sistem Skor
B S.E. B / SE (B / SE)/2,1804 pembulatan
Kelompok DM ,979 ,449 2,1804 1 1
Kelompok proteksi 1,659 ,429 3,8671 1.77 2
Kelompok 5TCS ,868 ,380 2,2842 1.05 1
Tabel 5.6: Kategori dan Besar Skor
No Variabel Kategori Skor
1 Diabetes mellitus Ya
Tidak
1
0
2 Skor proteksi matahari ≥ 3
< 3
2
0
3 Kelemahan otot Ya
Tidak
1
0
Langkah berikutnya adalah melakukan analisis model skor yang telah dibuat,
dengan regresi logistik. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7: Regresi Logistik Model Skoring
B S.E. Sig.
SSKORTOT ,857 ,188 ,000
Constant -3,283 ,451 ,000
28 Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 5.7, dapat dibuat suatu persamaan untuk menghitung probabilitas
defisiensi vitamin D pada wanita pascamenopause Indonesia, yakni:
p = 1 / (1 + e –y
)
y = -3,283 + (0,857 x skor total)
Pada saat dilakukan uji Hosmer dan Lemeshow, didapatkan nilai p 0,525. Nilai p
yang lebih dari 0,05 menunjukkan kalibrasi persamaan ini baik, tidak ada perbedaan yang
bermakna secara statistik antara prediksi dan kenyataan.
Pada saat dilakukan analisa kurva ROC, didapatkan AUC sebesar 0,739 (95% CI=
0,661 - 0,818). Nilai AUC ini lebih besar daripada 0,6 sehingga persamaan ini mempunyai
diskriminasi yang baik. Persamaan sistem skor ini dapat membedakan dengan baik
wanita berusia 50 tahun ke atas yang menderita defisiensi vitamin D dan yang tidak
menderita defisiensi vitamin D.
Gambar 5.1: Kurva ROC
ROC Curve
Diagonal segments are produced by ties.
1 - Specificity
1,0,8,5,30,0
Se
nsitiv
ity
1,0
,8
,5
,3
0,0
Untuk mengetahui probabilitas defisiensi vitamin D pada data penelitian ini, dapat
dihitung berdasarkan persentase defisiensi pada setiap nilai skor (tabel 5.8).
29 Universitas Indonesia
Tabel 5.8: Persentase Defisiensi Vitamin D
Skor Total
Kelompok defisiensi vit D Total Persentase def vit D
>= 25 nmol/L < 25 nmol/L
0 61 1 62 1,6
1 43 5 48 10,4
2 65 15 80 18,7
3 29 13 42 30,9
4 4 4 8 50
Total 202 38 240
Berdasarkan tabel 5.8, nampak bahwa seiring dengan meningkatnya nilai skor
total, makin besar pula persentase subjek yang menderita defisiensi vitamin D. Sedangkan
untuk menentukan pada skor berapa subjek mengalami defisiensi vitamin D, maka dapat
ditentukan secara statistik dengan mencari titik potong antara sensitivitas dan spesifisitas.
Tabel 5.9:Sensitivitas dan Spesifisitas Model Skoring
Positif bila lebih atau sama
dengan
Sensitivitas Spesifisitas
-1,00 1,000 0
,50 ,974 0,302
1,50 ,842 0,515
2,50 ,447 0,837
3,50 ,105 0,98
5,00 ,000 1
Gambar 5.2: Grafik Sensitivitas dan Spesifisitas Model Skoring
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
-1 0,5 1,5 2,5 3,5 5
sensitivitas
spesifisitas
Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dapat diketahui titik potong sensitivitas dan
spesifisitas berada pada skor 2. Dengan demikian, pada sistem skoring ini, didapatkan titik
potong diagnostik defisiensi vitamin D adalah ≥ 2. Artinya, bila didapatkan skor total 2
30 Universitas Indonesia
atau lebih dari persamaan sistem skoring, subjek tersebut diprediksi menderita defisiensi
vitamin D berat. Sistem skoring ini mempunyai sensitivitas 84,2% dan spesifisitas 51,5%.
5.5 Validasi Internal
Untuk menguji apakah persamaan sistem skoring ini dapat digunakan di populasi
dengan karakteristik yang sama dengan karakteristik subjek penelitian ini namun dalam
jumlah yang lebih besar, maka dilakukan validasi internal dengan metode bootstrapping.
Bootstrapping dilaksanakan dengan bantuan program SPSS 19. Data diambil dari
kumpulan subjek penelitian namun data subjek yang sudah terambil akan dikembalikan lagi
dan diacak untuk diambil lagi, sampai keseluruhan data subjek yang diambil mencapai
1000.
Setelah dilakukan pengujian dengan metode bootstrapping, ternyata hanya ada
sedikit perubahan nilai p. Pada pengujian persamaan sistem skoring sebelumnya, p = 0,000.
Saat persamaan tersebut diujicobakan pada 1000 sample secara bootstrapping, diperoleh
p=0,001. Sehubungan dengan hampir tidak adanya perubahan nilai p, maka dapat dikatakan
bahwa sistem skoring ini dapat diterapkan pada populasi berkarakteristik sama dengan
subjek penelitian namun jumlahnya lebih besar.
31 Universitas Indonesia
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek
Sehubungan pengambilan data dilakukan di tempat-tempat kegiatan sosial lansia,
bukan di tempat pelayanan kesehatan, subjek penelitian yang terjaring pun merupakan
orang-orang yang relatif sehat (rerata skor CIRS-G 5). dan bahkan lebih sehat daripada rata-
rata orang seusianya. Sebagian besar subjek berusia antara 61 – 70 tahun dan mempunyai
status fungsional masih baik (rerata skor IADL 15). Tidak ditemukan subjek penelitian yang
menderita dementia. Hanya 17,1 % subjek yang pernah menjalani rawat inap di rumah sakit
dalam dua tahun terakhir.
Sebagian besar subjek (83,3%) mengaku berolahraga secara rutin sebanyak 2-3 kali
per minggu. Olahraga biasanya dilakukan di lapangan terbuka yang terkena sinar matahari,
namun sebagian besar subjek mengenakan kaus berlengan panjang dan celana panjang
selama berolahraga karena khawatir “masuk angin”. Tak heran jumlah subjek yang
mempunyai kadar 25(OH)D ≥ 50 nmol/L hanya 8,3%. Penetrasi sinar matahari yang optimal
tidak tercapai sehingga kadar vitamin D serum sebagian besar subjek tidak memadai.
Sebelum menandatangani persetujuan untuk mengikuti penelitian, peneliti
memberikan informasi pada subjek penelitian mengenai manfaat vitamin D dan efek
defisiensi vitamin D terhadap kesehatan tulang. Setelah penyuluhan, diadakan tanya-jawab.
Berdasarkan observasi peneliti, hampir semua subjek tidak menyadari betapa seriusnya efek
defisiensi vitamin D pada warga usia lanjut. Hal ini merupakan suatu ironi, mengingat lebih
dari separuh subjek mempunyai tingkat pendidikan SMA ke atas dan sebagian besar subjek
tidak asing lagi dengan istilah osteoporosis.
6.2 Proporsi Defisiensi Vitamin D
Berdasarkan konsensus internasional mengenai defisiensi vitamin D, diperlukan
kadar 25(OH)D > 50 nmol/L untuk menjamin metabolisme tulang yang optimal.13
Pada
penelitian ini, diperoleh proporsi defisiensi vitamin D sebesar 91,7%, bila menggunakan
kadar 25(OH)D < 50 nmol/L sebagai titik potong kecukupan vitamin D. Angka tersebut
merupakan suatu angka yang sangat besar. Mengingat subjek penelitian ini merupakan
populasi yang relatif sehat, nampaknya angka ini tidak masuk akal.
32 Universitas Indonesia
Penjelasan yang paling mungkin dari tingginya prevalensi defisiensi vitamin D pada
penelitian ini adalah titik potong defisiensi vitamin D pada wanita pascamenopause
Indonesia mungkin lebih rendah daripada 50 nmol/L. Untuk mengetahui titik potong
sesungguhnya pada wanita pascamenopause Indonesia, diperlukan pemeriksaan kadar
hormon paratiroid. Bila kadar vitamin D tidak optimal untuk metabolisme, kadar hormon
paratiroid dalam darah akan meningkat. Sehubungan dengan keterbatasan dana,
pemeriksaan kadar hormon paratiroid tidak dilakukan pada penelitian ini. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui berapa titik potong sesungguhnya untuk
menegakkan diagnosis defisiensi vitamin D pada wanita pascamenopause Indonesia.
Seluruh ahli sepakat bahwa kadar 25(OH)D kurang dari 25 nmol/L merupakan titik
potong defisiensi vitamin D berat.15,36
Pada penelitian ini, didapatkan 15,8% subjek
mempunyai kadar 25(OH)D < 25 nmol/L. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Kalra et al yang melakukan penelitian terhadap 84 wanita pascamenopause di
Haryana, India. Penelitian tersebut menemukan bahwa 17,85% subjek mempunyai kadar
25(OH)D kurang dari 25 nmol/L, meskipun lokasi Haryana mendapat banyak sinar matahari
dan merupakan tempat produksi susu terbesar di India.39
Sebagian besar (75,8%) subjek mempunyai kadar 25(OH)D serum 25-50 nmol/L.
Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Rahman et al terhadap 103 wanita
pascamenopause Melayu di Malaysia. Pada penelitian tersebut, 71,3% subjek mempunyai
kadar 25(OH)D serum antara 25 – 50 nmol/L.30
Hasil serupa diperoleh pula oleh Toding
yang melakukan penelitian terhadap 52 orang warga usia lanjut yang tinggal di masyarakat
di Jakarta. Pada penelitian tersebut, 67,3% subjek mempunyai kadar 25(OH)D serum antara
25 – 50 nmol/L dan hanya 7,7% subjek yang mempunyai kadar 25(OH)D ≥ 50 nmol/L.17
Rerata kadar 25(OH)D pada subjek penelitian ini adalah 35,40 ± 10,91 nmol/L.
Hasil ini hampir mirip dengan temuan Toding, yakni 32,6 ± 15,7 nmol/L. Bila dibandingkan
dengan penelitian vitamin D pada wanita pascamenopause di daerah Asia Selatan, angka
rerata ini relatif lebih rendah. Penelitian terhadap 103 wanita pascamenopause di Malaysia
menemukan angka rerata kadar 25(OH)D adalah 44,44 ± 10,6 nmol/L. Sedangkan penelitian
di Jepang terhadap 151 wanita pascamenopause mendapatkan rerata kadar 25(OH)D sebesar
60 nmol/L.40
Penelitian di Thailand terhadap 446 wanita pascamenopause daerah rural
mendapatkan rerata kadar 25(OH)D sebesar 67,6 ± 15,7 nmol/L.41
Adanya perbedaan rerata
33 Universitas Indonesia
kadar 25(OH)D ini mungkin karena perbedaan penggunaan reagen pemeriksaan,
perbedaan ras, perbedaan pigmentasi kulit, perbedaan kebiasaan berjemur matahari, dan
perbedaan penggunaan alat-alat pelindung paparan sinar matahari.
Menurut Nimitphong et al, tingginya prevalensi defisiensi vitamin D di negara-
negara Asia Tenggara disebabkan oleh beberapa faktor. Meskipun letaknya dekat dengan
garis khatulistiwa, jumlah sinar matahari yang mencapai permukaan bumi berkurang akibat
adanya polusi udara kota-kota besar menyerap sinar UVB. Selain itu, banyak penduduk
wanita di negara Asia Tenggara yang menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian (jilbab)
sehingga kulitnya hanya sedikit yang terpapar sinar matahari. Faktor lainnya adalah perilaku
berjemur tidak lazim ditemukan pada para wanita yang tinggal di daerah sekitar
khatulistiwa, mereka lebih sering berteduh dan menghindar dari paparan sinar matahari.42
6.3 Hubungan antara Skor Proteksi Matahari dan Defisiensi Vitamin D
Hampir seluruh subjek penelitian ini menggunakan celana panjang atau rok panjang
bila bepergian keluar rumah, hanya 10,8% saja yang tidak menggunakan pelindung apapun
terhadap sinar matahari. Sebesar 39,2% subjek mengenakan jilbab, sehingga hanya bagian
wajah dan tangan saja yang terpapar matahari. Sangat jarang subjek yang menggunakan
tabir surya dan biasanya hanya dioleskan di wajah.
Berdasarkan data penelitian ini, 25% dari kelompok subjek yang menggunakan tiga
atau lebih pelindung sinar matahari mempunyai kadar 25(OH)D kurang dari 25 nmol/L.
Angka ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan persentase kelompok subjek yang
menggunakan kurang dari tiga pelindung sinar matahari dan mempunyai kadar 25(OH)D
kurang dari 25 nmol/L (7,3%). Setelah dilakukan analisis bivariat, diperoleh hubungan
yang bermakna secara statistik antara skor proteksi matahari dan defisiensi vitamin D.
Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Moy et al terhadap 380 karyawan
universitas negeri di Malaysia. Pada penelitian tersebut, didapatkan skor proteksi matahari
dan skor paparan matahari mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan
kadar 25(OH)D serum, OR 1,52 (95%CI=0,98-2,36) dan OR 0,998 (95%CI=0,996-0,999).31
Pada penelitian ini, didapatkan pula hubungan yang bermakna secara statistik antara skor
proteksi matahari dengan defisiensi vitamin D dengan OR 4,259 (95%CI=1,918-9,460),
namun skor paparan sinar matahari tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan
34 Universitas Indonesia
defisiensi vitamin D. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan karakteristik subjek antara
kedua penelitian.
Usia rerata subjek penelitian Moy et al jauh lebih muda (48,5 ± 5,2 tahun) daripada
usia rerata subjek penelitian ini (66,9 ± 8,1 tahun). Selain itu, subjek penelitian Moy et al
meliputi wanita dan pria, sementara subjek penelitian ini hanya wanita. Sebagaimana yang
kita ketahui, wanita usia lanjut cenderung mengenakan pakaian tertutup pada saat bepergian
keluar rumah sehubungan dengan kekhawatiran “masuk angin”. Oleh karena itu, meskipun
waktu terpapar sinar mataharinya lama, sinar ultraviolet tidak dapat menembus pakaian
yang dikenakan. Selain itu, kemampuan kulit dalam mengubah 7-dehidrokolekalsiferol
menjadi vitamin D pada wanita usia lanjut juga berkurang. Alhasil, tidak ada hubungan
yang bermakna antara skor paparan sinar matahari dengan defisiensi vitamin D pada
penelitian ini.
6.4 Hubungan antara Kelemahan Otot dan Defisiensi Vitamin D
Pada penelitian ini, kelemahan otot tungkai bawah ditandai dengan waktu yang
dibutuhkan oleh subjek untuk lima kali bangkit-berdiri (5 timed chair-stands) lebih besar
atau sama dengan 10 detik. Bila dibandingkan dengan kelompok 5 TCS < 10 detik,
persentase subjek yang mempunyai kadar 25(OH)D < 25 nmol/L pada kelompok 5 TCS
≥ 10 detik adalah dua kali lipat lebih besar. Setelah dilakukan uji bivariat, ditemukan bahwa
kelemahan otot tungkai bawah mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan
defisiensi vitamin D berat, OR 2,279 (95%CI=1,130-4,597).
Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Toffanello et al terhadap 2694 warga usia
lanjut di Italia. Waktu yang diperlukan untuk lima kali bangkit-berdiri (5 TCS) menurun
secara bermakna seiring dengan makin meningkatnya kadar 25(OH)D serum pada subjek
penelitian berjenis kelamin wanita. Uji 5TCS akan kembali membaik bila kadar 25(OH)D
mencapai lebih dari 20 nmol/L.21
Kedua temuan ini mendukung teori bahwa defisiensi
vitamin D menyebabkan atrofi selektif serabut otot tipe II yang bertanggungjawab atas
reaksi otot cepat, sehingga mengakibatkan kelemahan otot tungkai bawah.19
6.5 Hubungan antara Diabetes Mellitus dan Defisiensi Vitamin D
Pada subjek penelitian ini, 17,5% menderita diabetes mellitus, dengan 7,1% subjek
mempunyai kadar glukosa darah yang tidak terkontrol (dibuktikan dengan pemeriksaan
kadar glukosa darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg/dL). Di antara subjek
35 Universitas Indonesia
penelitian yang menderita diabetes mellitus, didapatkan 26,2% yang mempunyai kadar
vitamin D serum < 25 nmol/L. Persentase ini lebih besar daripada kelompok subjek yang
tidak menderita diabetes mellitus (13,6%).
Pada saat dilakukan uji bivariat, ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik
antara defisiensi vitamin D dan diabetes mellitus, dengan OR 2,247 (95% CI=1,011-4,995).
Pada uji multivariat, didapatkan pula hubungan yang bemakna secara statistik antara
diabetes mellitus dan defisiensi vitamin D, dengan OR 2,662 (95% CI=1,105-6,413).
Temuan ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa vitamin D mengontrol aliran
kalsium melalui membran di sel beta pankreas dan jaringan perifer target insulin. Selain itu,
vitamin D juga merangsang ekspresi reseptor insulin sehingga meningkatkan tanggapan
insulin terhadap transpor glukosa dan memperbaiki inflamasi sistemik melalui efek
langsung pada sitokin.10
Pada dua uji klinis dengan pasien intoleransi glukosa, suplementasi
vitamin D dapat memperbaiki resistensi insulin.28
6.6 Sistem Skoring Defisiensi Vitamin D
Pada penelitian ini, diperoleh tujuh variabel bebas yang berhubungan dengan
defisiensi vitamin D dari uji bivariat dengan p < 0,25. Ketujuh variabel bebas tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam uji multivariat berupa uji regresi logistik, sedemikian
sehingga hanya dihasilkan tiga variabel bebas yang mempunyai hubungan bermakna secara
statistik dengan defisiensi vitamin D. Ketiga variabel tersebut adalah skor proteksi matahari
(OR 5,256), kelemahan otot tungkai bawah atau 5TCS (OR 2,382), dan adanya diabetes
mellitus (OR 2,662).
Sistem skoring defisiensi vitamin D pada penelitian ini dibuat berdasarkan ketiga
determinan diagnostik yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik dengan
defisiensi vitamin D dari hasil uji multivariat regresi logistik. Pembobotan untuk masing-
masing determinan diagnostik tersebut adalah: skor proteksi matahari (0 bila < 3 dan 2 bila
≥ 3), kelemahan otot tungkai bawah/5TCS (0 bila < 10 detik dan 1 bila > 10 detik), serta
adanya diabetes mellitus (0 bila tidak ada dan 1 bila ada).
Sistem skoring ini sangat sederhana dan mudah, sehingga dapat dilakukan oleh staf
medis maupun paramedis yang sudah dilatih. Subjek hanya perlu dianamnesis mengenai
penggunaan pelindung matahari, baik berupa busana maupun tabir surya. Selain itu, subjek
jua dianamnesis mengenai riwayat diabetes mellitus. Bila subjek tidak tahu, dapat dilakukan
36 Universitas Indonesia
anamnesis mendalam ke arah kemungkinan adanya diabetes mellitus (keluhan polyuria,
polydipsia, polyphagia, gatal sekitar kemaluan atau bawah payudara, kesemutan atau baal)
serta pemeriksaan glukosa darah sewaktu. Bila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL,
berarti subjek menderita diabetes mellitus. Selanjutnya dilakukan uji 5 Timed Chair Stands
(5TCS), untuk menilai adanya kelemahan otot tungkai bawah. Uji ini sangat mudah untuk
dilakukan di tempat layanan kesehatan primer karena hanya memerlukan kursi dengan
tinggi tempat duduk yang kurang-lebih sama dengan tinggi lutut subjek. Tangan subjek
diminta untuk bersedekap, kemudian subjek diminta untuk bangkit dari kursi dan duduk
kembali ke kursi secepat-cepatnya sebanyak lima kali.
Bila tenaga medis melakukan penyaringan defisiensi vitamin D pada wanita
50 tahun ke atas dengan menggunakan sistem skoring ini dan memperoleh angka 2 atau
lebih, berarti wanita tersebut mempunyai probabilitas besar menderita defisiensi vitamin D.
Sehubungan dengan spesifisitasnya yang rendah (51,5%), temuan ini sedapat mungkin
dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan kadar 25(OH)D serum. Pemeriksaan kadar 25(OH)D
serum ini digunakan sebagai panduan evaluasi terapi defisiensi vitamin D. Sesuai dengan
pedoman IOM, pasien yang menderita defisiensi vitamin D harus diberikan suplementasi
vitamin D2 sebesar 50.000 IU per minggu selama delapan minggu berturut-turut, lalu
diberikan vitamin D2 sebesar 50.000 IU tiap dua minggu sebagai dosis pemeliharaan.15
Bila pemeriksaan kadar 25(OH)D serum untuk konfirmasi diagnosis defisiensi
vitamin D tidak dapat dilakukan karena keterbatasan dana/fasilitas, harus diberikan
penyuluhan pada wanita yang mempunyai probabilitas besar menderita defisiensi vitamin D
sesuai dengan sistem skoring ini. Tujuan dari penyuluhan tersebut adalah memotivasi
mereka untuk mendapat paparan sinar matahari pagi pada permukaan kulit yang seluas-
luasnya. Selain itu, dapat diberikan suplementasi vitamin D 800 IU/hari (sesuai dengan
pedoman IOM, kebutuhan harian vitamin D pada orang dewasa 65 tahun ke atas adalah 800
IU).15
Dengan demikian, diharapkan risiko menderita defisiensi vitamin D dapat diperkecil.
Pada wanita 50 tahun ke atas yang tidak mempunyai probabilitas besar menderita
defisiensi vitamin D menurut sistem skoring ini, tetap dilakukan penyuluhan mengenai
manfaat paparan sinar matahari pagi terhadap kecukupan kadar vitamin D. Selain itu, perlu
dijelaskan pula mengenai implikasi defisiensi vitamin D, terutama terhadap osteoporosis
dan kejadian jatuh pada warga usia lanjut. Dengan demikian, diharapkan pengetahuan
37 Universitas Indonesia
masyarakat mengenai pentingnya vitamin D meningkat dan prevalensi defisiensi vitamin D
pada wanita 50 tahun ke atas di masyarakat dapat menurun.
Dalam menggunakan sistem skoring ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, kelemahan otot tidak spesifik ditemukan pada defisiensi vitamin D saja, melainkan
ada beberapa kondisi patologis yang dapat mempengaruhi timbulnya kelemahan otot,
seperti: neuropati diabetik atau osteoarthritis genu. Kedua, penegakan diagnosis diabetes
mellitus pada penelitian ini didasarkan pada satu kali pemeriksaan glukosa darah sewaktu
ditambah dengan kecurigaan klinis (polyuria, polydipsi, dan poliphagia) dan/atau responden
sudah menggunakan obat diabetes, sehingga diagnosis diabetes mellitus tidak terlalu akurat.
6.7 Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang berusaha mencari
determinan diagnostik defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas yang tinggal di
masyarakat. Penelitian sebelumnya mengambil data di tempat pelayanan kesehatan, panti
jompo, serta satu tempat kegiatan sosial warga usia lanjut tertentu. Penelitian ini mengambil
data di beberapa tempat kegiatan sosial warga usia lanjut, sehingga diharapkan lebih
mewakili keadaan wanita 50 tahun ke atas yang tinggal di masyarakat dan masih aktif
mengikuti kegiatan sosial.
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Penelitian ini hanya dilakukan di
tempat-tempat kegiatan sosial warga usia lanjut, sehingga subjek penelitiannya merupakan
orang-orang yang relatif lebih sehat dibandingkan teman seusianya. Ini terbukti dari
rendahnya persentase subjek yang menderita diabetes mellitus dan penyakit ginjal kronik.
Sehubungan dengan keterbatasan dana penelitian, tidak dilakukan pemeriksaan kadar PTH
serum pada subjek penelitian, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti berapa titik potong
defisiensi vitamin D pada wanita Indonesia berusia 50 tahun ke atas. Karena keterbatasan
dana penelitian ini juga, subjek penelitian yang dilibatkan hanyalah wanita (bukan pria dan
wanita) serta jumlah sampelnya hanya 240 orang.
Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah adanya kemungkinan recall bias
berkaitan dengan pertanyaan riwayat jatuh selama satu tahun terakhir. Responden mungkin
tidak ingat adanya kejadian jatuh selama satu tahun terakhir karena peristiwa jatuh tersebut
tidak mengakibatkan cedera serius. Selain itu, responden yang berpendidikan rendah
38 Universitas Indonesia
seringkali tidak mengerti definisi jatuh, sehingga peneliti harus menjelaskan lagi definisi
jatuh untuk memperoleh data yang lebih akurat.
Riwayat fraktur yang ditanyakan pada responden penelitian ini tidak terbatas pada
fraktur osteoporotik saja, namun seluruh jenis fraktur yang dialami responden setelah
menopause. Oleh karena itu, riwayat fraktur pascamenopause pada penelitian ini tidak
mempunyai korelasi dengan defisiensi vitamin D.
Penggunaan jilbab merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kadar vitamin D
serum pada responden penelitian ini. Sayangnya, tidak ditanyakan berapa lama responden
telah menggunakan jilbab. Penggunaan jilbab dalam jangka panjang secara teoritis dapat
mengurangi jumlah paparan sinar matahari yang diterima oleh kulit secara bermakna. Oleh
karena itu, jangka waktu penggunaan jilbab seharusnya ditanyakan dalam kuesioner.
Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah sistem skoring yang dibuat hanya dapat
mendeteksi defisiensi vitamin D, bukan insufisiensi vitamin D yang dinyatakan dengan
kadar 25(OH)D antara 25-50 nmol/L. Ada beberapa alasan mengapa sistem skoring ini tidak
dapat mendeteksi insufisiensi vitamin D. Alasan pertama; beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa persentase wanita Indonesia berusia 50 tahun ke atas yang mempunyai
kadar 25(OH)D < 50 nmol/L cukup tinggi sehingga alat penyaring menjadi kurang efektif.
Alasan kedua; sistem skoring ini diharapkan dapat digunakan di tempat penyedia layanan
kesehatan primer yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium canggih, sehingga
determinan diagnostik yang diteliti merupakan sesuatu yang dapat diperiksa secara klinis
dengan peralatan sederhana. Sesuai dengan penelitian Toffanelo et al, kelemahan otot
ekstremitas bawah baru tampak jelas secara klinis pada kadar 25(OH)D yang kurang dari
20 nmol/L.21
Dengan segala keterbatasannya, penelitian ini merupakan penelitian pertama yang
berusaha membuat sistem skoring sederhana yang dapat digunakan oleh staf medis penyedia
layanan kesehatan primer dalam menyaring wanita Indonesia berusia 50 tahun ke atas yang
menderita defisiensi vitamin D. Walaupun tidak dapat digunakan untuk menyaring
insufisiensi vitamin D, keberadaan sistem skoring ini dapat membantu penyedia layanan
kesehatan primer di daerah untuk mengenali pasien mana yang menderita defisiensi
vitamin D tanpa mengeluarkan banyak biaya sehingga intervensi dapat segera diberikan
untuk menolong pasien tersebut.
39 Universitas Indonesia
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
-Determinan diagnostik defisiensi vitamin D berat yang ditemukan pada penelitian ini
meliputi: adanya diabetes mellitus, skor proteksi matahari, kelemahan otot tungkai
bawah.
-Sistem skoring untuk menyaring defisiensi vitamin D berat pada wanita berusia
50 tahun ke atas dapat dibuat berdasarkan ketiga determinan tersebut di atas. Bobot
untuk masing-masing determinan adalah: 1 untuk diabetes mellitus dan kelemahan
otot tungkai bawah serta 2 untuk skor proteksi mathari. Bila penjumlahan dari skor
ketiga komponen tersebut ≥ 2, maka subjek tersebut diprediksi menderita defisiensi
vitamin D berat.
7.2 Saran
-Dilakukan penyuluhan pada tenaga medis di tempat pelayanan kesehatan primer agar
dapat melakukan pemeriksaan penyaring defisiensi vitamin D pada wanita usia 50
tahun ke atas, dengan menggunakan sistem skoring ini.
-Dilakukan penyuluhan pada wanita 50 tahun ke atas (terutama yang berjilbab) agar
dapat memaparkan sinar matahari pagi pada lengan dan kakinya tanpa tertutup oleh
pakaian di halaman rumah setiap hari dalam rangka memenuhi kebutuhan vitamin D.
-Dilakukan penelitian lanjutan pada wanita 50 tahun ke atas yang tinggal di masyarakat
daerah lain untuk menguji sensitivitas dan spesifisitas sistem skoring ini dalam
menyaring subjek dengan defisiensi vitamin D.
-Dilakukan penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar untuk mendapatkan suatu
sistem skoring yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik.
-Dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui titik potong defisiensi vitamin D pada
wanita Indonesia, dengan cara mengukur kadar hormon PTH karena hormon PTH
akan meningkat bila kadar vitamin D serum tidak adekuat bagi metabolisme tubuh.
Penelitian ini perlu dilakukan sehubungan dengan 91,6% subjek penelitian ini
mempunyai kadar 25(OH)D kurang dari 50 nmol/L, padahal status fungsional dan
status kesehatan mereka relatif baik, bahkan di atas rata-rata orang seusianya.
40 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Oemardi M, Sutrisna B, Supartondo. The role of ultraviolet-B from sun
exposure on vitamin D3 and parathyroid hormone level in elderly women in
Indonesia. Asian J Gerontol Geriatr. 2007;2:126-32.
2. Arifin Z, Hestiantoro A, Baziad A. Pemberian susu yang difortifikasi kalsium
kadar tinggi dan vitamin D dalam memperbaiki turnover tulang perempuan
pascamenopause. Maj Obstet Ginekol Indones. 2010;34(1):31-8.
3. Holick MF. The vitamin D deficiency pandemic: a forgotten hormone important
for health. Public Health Reviews. 2011;32(1):267-83.
4. Lappe JM, Travers-Gustafson D, Davies KM, Recker RR, Heaney RP. Vitamin D
and calcium supplementation reduces cancer risk: results of a randomized trial.
Am J Clin Nutr. 2007;85:1586-91.
5. Ma Y, Zhang P, Wang F, Yang J, Liu Z, Qin H. Association between vitamin D
and risk of colorectal cancer: a systematic review of prospective studies. J Clin
Oncol. 2011;29(28):3775-82.
6. Pfeifer M, Begerow B, Minne HW, Nachtigall D. Effects of a short-term vitamin
D3 and calcium supplementation on blood pressure and parathyroid hormone
levels in elderly women. J Clin Endocrinol Metab. 2001;86:1633-7.
7. Llewellyn DJ, Lang IA, Langa KM, Terrera GM, Phillips CL, et al. Vitamin D
and risk of cognitive decline in elderly persons. Arch Intern Med.
2010;170(13):1135-41.
8. Mithal A, Wahl DA, Bonjour JP, Burckhardt P, Eisman A, et al. Global vitamin D
status and determinants of hypovitaminosis D. Osteoporos Int. 2009;20(11):
1807-20.
9. Holick MF, Binkley NC, Bischoff-Ferrari HA, Gordon CM, Hanley DA, et al.
Evaluation, treatment, and prevention of vitamin D deficiency: an Endocrine
Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2011;96:1911-30.
10. Eduardo CAC, Borges MC, Martini LA, Rogero MM. Focus on vitamin D
inflammation and type 2 diabetes. Nutrients. 2012;4:52-67.
41 Universitas Indonesia
11. Dalgård C, Petersen MS, Weihe P, Grandjean P. Vitamin D status in relation to
glucose metabolism and type 2 diabetes in septuagenarians. Diabetes Care. 2011;
34:1284-8.
12. Lukaszuk JM, Prawitz AD, Johnson KN, Umoren J, Bugno TJ. Development of a
noninvasive vitamin D screening tool. Family & Consumer Sciences Research
Journal. 2012;40(3):229-40.
13. Henry HL, Bouillon R, Norman AW, Gallagher JC, Lips P, Heaney RP, Vieth R,
Pettifor JM, Dawson-Hughes B, Lamberg-Allardt CJ, Ebeling PR. 14th
Vitamin D
workshop consensus on vitamin D nutritional guidelines. J Steroid Biochem Mol
Biol. 2010;121(102):4-6.
14. Lips P. Vitamin D deficiency and secondary hyperparathyroidism in the elderly:
consequences for bone loss and fractures, and therapeutic implications. Endocrine
Reviews. 2001;22:477-501.
15. Holick MF, Binkley NC, Bischoff-Ferrari HA, Gordon CM, Hanley DA, Heaney
RP, Murad MH, Weaver CM; Endocrine Society. Evaluation, treatment, and
prevention of vitamin D deficiency: an Endocrine Society Clinical Practice
Guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2011;96(7):1911-30.
16. Bischoff-Ferrari HA, Dawson-Hughes B, Stachelin HB, Orav JE, Stuck AE, et al.
Fall prevention with supplemental and active forms of vitamin D: a meta-analysis
of randomized controlled trials. BMJ. 2009;339:b3692.
17. Toding P. Korelasi antara kadar vitamin D serum dengan tekanan darah pada usia
lanjut. Tesis. Juli 2011.
18. Reichel H, Koeffler HP, Norman AW. The role of vitamin D endocrine system in
health and disease. N Eng J Med. 1989;320:981-91.
19. Eriksen EF, Glerup H. Vitamin D deficiency and aging: implications for general
health and osteoporosis. Biogerontology. 2002;3:73-7.
20. Passeri G, Vescovini R, Sansoni P, Galli C, Franceschi C. Calcium metabolism
and vitamin D in the extreme longevity. Exp Gerontol. 2008;43(2):79-87.
21. Toffanello ED, Perissinotto E, Sergi G, Zambon S, Musacchio E, et al. Vitamin D
and physical performance in elderly subjects: the Pro.V.A Study. PloS ONE.
2012;7(4):e34950.
42 Universitas Indonesia
22. Beauchet O, Annweiler C, Verghese J, Fantino B, Hermann FR, Allali G. Biology
of gait control: vitamin D involvement. Neurology. 2011;76:1617-22.
23. Skalska A, Galas A, Grodzicki T. 25-hydroxyvitamin D and physical and
cognitive performance in older people with chronic conditions. Polskie Archiwum
Medycyny Wewnętrznej. 2012;122(4):162-8.
24. Annweiler C, Schott AM, Berrut G, Fantino B, Beauchet O. Vitamin D-related
changes in physical performance: systematic review. The Journal of Nutrition,
Health, and Aging. 2009;13(10):893-8.
25. Jackson C, Gaugris S, Sen SS, Hosking D. The effect of cholecalciferol (vitamin
D3) on the risk of fall and fracture: a meta-analysis. Q J Med. 2007;100:185-92.
26. Garland CF, Gorham ED, Mohr SB, Garland FC. Vitamin D for cancer
prevention: global perspective. Ann Epidemiol. 2009;19:468-83.
27. Lappe JM. The role of vitamin D in human health: a paradigm shift. Journal of
Evidence-Based Complementary & Alternative Medicine. 2011;16(1):58-72.
28. Mitri J, Murau, Pittas AG. Vitamin D and type 2 diabetes: A systematic review.
Eur J Clin Nutr. 2011;65:1005-15.
29. Annweiler C, Beauchet O. Vitamin D-mentia: Randomized clinical trials should
be the next step. Neuroepidemiology. 2011;37:249-58.
30. Rahman SA, Chee WSS, Yassin Z, Chan SP. Vitamin D status among
postmenopausal Malaysian women. Asia Pac J Clin Nutr. 2004;13(3):255-60.
31. Moy, FM. Vitamin D status and its associated factors of free living Malay adults
in a tropical country, Malaysia. Journal of Photochemistry and Photobiology B:
Biology. 2011;104:444-8.
32. Oliveri B, Plantalech L, Bagur A, Wittich AC, Rovai G, et al. High prevalence of
vitamin D insufficiency in healthy elderly people living at home in Argentina. Eur
J Clin Nutr. 2004;58:337-42.
33. Choi EY. 25(OH)D status and demographic and lifestyle determinants of
25(OH)D among Korean adults. Asia Pac J Clin Nutr. 2012;21(4):526-35.
34. Snijder M, van Dam RM, Visser M, Deeg DJ, Dekker JM, et al. Adiposity in
relation to vitamin D status and parathyroid hormone levels: A population-based
43 Universitas Indonesia
study in older men and women. The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism. 2005;90(7):4119-23.
35. Gallagher JC, Rapuri PB, Smith LM. An age-related decrease in creatinine
clearance is associated with an increase in number of falls in untreated women but
not in women receiving calcitriol treatment. J Clin Endocrinol Metab. 2007;
92(1):51-8.
36. Cannel JJ, Hollis BW, Zasloff M, Heaney RP. Diagnosis and treatment of vitamin
D deficiency. Expert Opin Pharmacother. 2008;9(1):1-12.
37. Heath KM, Elovic EP. Vitamin D deficiency: implications in the rehabilitation
setting. Am J Phys Med Rehabil. 2006;85(11):916-23.
38. Helliwell PS, Ibrahim GH, Karim Z, Sokoll K, Johnson H. Unexplained
musculoskeletal pain in people of South Asian ethnic group referred to a
rheumatology clinic – relationship to biochemical osteomalacia, persistence over
time, and response to treatment with calcium and vitamin D. Clinical and
Experimental Rheumatology. 2006;24:64-7.
39. Kalra S, Kalra B, Khandelwal SK. Vitamin D deficiency in healthy
postmenopausal women in Haryana. World J Life Sci and Medical Research.
2011;1:11.
40. Nakamura K, Nashimoto M, Hori Y, Yamamoto M. Serum 25-OHD
concentrations and related dietary factors in peri- and postmenopausal Japanese
women. Am J Clin Nutr. 2000;71:1161-5.
41. Chailurkit L, Kruavit A, Rajatanavin R. Vitamin D status and bone health in
healthy Thai elderly women. Nutrition. 2011;27:160-4.
42. Nimitpong, Holick. Vitamin D status and sun exposure in Southeast Asia.
Dermato-Endocrinology. 2013;5(1):1-4.
44 Universitas Indonesia
PANDUAN PENGGUNAAN CIRS-G (Sumber: A manual guidelines for scoring CIRS-G May 1991)
Penyakit Skor Interpretasi
Jantung 0 Tidak ada masalah
1 Riwayat infark miokard (>5 tahun) / angina yang kadang-kadang
(minum obat kalau terasa saja)
2 CHF / AF / LVH / angina dengan pengobatan rutin
3 Baru saja infark miokard / post PTCA atau CABG
4 Aktivitas terbatas karena sakit jantung
Vaskuler 0 Tidak ada masalah
1 Hipertensi yang bisa diatasi dengan restriksi garam / kolesterol total
dalam serum > 200 mg/dL
2 Terapi antihipertensi rutin atau satu gejala aterosklerosis
3 Dua atau lebih gejala aterosklerosis
4 Riwayat operasi karena masalah vaskuler
Hematopoietik 0 Tidak ada masalah
1 Hb wanita 10-12, Hb pria 12-14
2 Hb wanita 8-10, Hb pria 10-12 / leukosit 2000-4000
3 Hb wanita <8, Hb pria <10 / leukosit < 2000
4 Leukemia atau limfoma
Pernafasan 0 Tidak ada masalah
1 Bronkitis akut berulang / asma intermiten / merokok 10-20 pak per
tahun
2 PPOK / memerlukan teofilin atau inhaler / riwayat pneumonia 2-3x
dalam 5 tahun terakhir / merokok 20-40 pak per tahun
3 Gerak terbatas karena kapasitas nafas terbatas / memerlukan steroid
oral untuk penyakit paru / merokok > 40 pak per tahun
4 Memerlukan oksigen / riwayat gagal nafas / kanker paru
Mata dan THT 0 Tidak ada masalah
1 Visus terkoreksi 20/40 / sinusitis kronik / gangguan pendengaran
ringan
2 Visus terkoreksi 20/60 atau sulit membaca koran / memerlukan alat
bantu dengar / kelainan sinonasal yang memerlukan terapi /
memerlukan obat antivertigo
3 Buta parsial / tidak bisa membaca koran / sulit mendengar meskipun
sudah memakai alat bantu dengar
4 Buta total / laringektomi / memerlukan operasi untuk vertigo
45 Universitas Indonesia
Penyakit Skor Interpretasi
Saluran cerna
bagian atas
0 Tidak ada masalah
1 Hernia hiatal / keluhan heartburn yang kadang-kadang perlu terapi
2 Perlu penyekat reseptor H2 atau antasid tiap hari / riwayat ulkus
peptikum atau ulkus duodenum dalam 5 tahun terakhir
3 Ulkus peptikum atau duodenum yang aktif / disfagia
4 Kanker gaster / riwayat perforasi ulkus / melena atau hematokezia
dari saluran cerna atas
Saluran cerna
bagian bawah
0 Tidak ada masalah
1 Kadang konstipasi / hemoroid / post-repair hernia
2 Memerlukan pelunak faeces tiap hari / divertikulosis / hernia
3 Impaksi faeces dalam 1 tahun terakhir / menggunakan laksantia
stimulant tiap hari
4 Hematokezia dari saluran cerna bawah / saat ini impaksi faeces /
divertikulitis / pasca obstruksi usus / kanker usus
Hepar 0 Tidak ada masalah
1 Riwayat hepatitis > 5 tahun yang lalu / kolesistektomi
2 Peningkatan enzim hepar (≥ 150%) / hepatitis dalam 5 tahun terakhir /
kolelitiasis / minum alkohol tiap hari dalam 5 tahun terakhir
3 Peningkatan bilirubin total (>2) / peningkatan enzim hepar > 150% /
memerlukan suplemen enzim pankreas untuk pencernaan
4 Obstruksi bilier / kanker saluran empedu / kolesistitis / pankreatitis /
hepatitis aktif
Ginjal 0 Tidak ada masalah
1 Riwayat kencing batu dalam 10 tahun terakhir atau batu ginjal
asimptomatik / riwayat pielonefritis dalam 5 tahun terakhir
2 Kreatinin serum 1,5 – 3 tanpa diuretik atau obat antihipertensi
3 Kreatinin serum > 3 atau > 1,5 dengan diuretik, antihipertensi, atau
terapi bikarbonat / pielonefritis saat ini
4 Memerlukan dialisis / kanker ginjal
Genitourinarius 0 Tidak ada masalah
1 Stress incontinence / histerektomi / BPH tanpa gejala berkemih
2 Pap smear abnormal / riwayat ISK ≥ 3 x dalam setahun terakhir /
inkontinentia urine / BPH dengan hesitancy atau frequency / ISK saat
ini / pasca-TURP
3 Kanker prostat in situ / perdarahan vagina / kanker serviks in situ /
hematuria / riwayat urosepsis setahun terakhir
4 Retensi urine akut / kanker genitourinarius selain di atas
46 Universitas Indonesia
Penyakit Skor Interpretasi
Muskulo-
skeletal dan
kulit
0 Tidak ada masalah
1 Kadang memerlukan obat untuk artritis / ADL agak terbatas karena
kelainan sendi / kanker kulit non-melanotik yang sudah dieksisi /
riwayat infeksi kulit yang memerlukan antibiotika setahun terakhir
2 Memerlukan obat antiartritis tiap hari / ADL terbatas karena kelainan
sendi / pengobatan harian untuk lesi kulit kronik / melanoma tanpa
metastasis
3 ADL sangat terbatas karena artritis / memerlukan steroid untuk
arthritis / fraktur kompresi vertebra karena osteoporosis
4 Duduk di kursi roda / deformitas sendi berat / osteomielitis / kanker
tulang atau otot / melanoma metastatik
Neurologi 0 Tidak ada masalah
1 Sakit kepala kadang perlu obat tapi tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari / riwayat TIA (minimal satu kali)
2 Memerlukan obat sakit kepala tiap hari atau sakit kepala yang
mengganggu aktivitas sehari-hari / stroke tanpa gejala sisa / penyakit
neurodegeneratif ringan (Parkinson, MS, ALS)
3 Stroke dengan gejala sisa / riwayat bedah syaraf / penyakit
neurodegeneratif derajat sedang
4 Stroke dengan gejala sisa hemiparesis fungsional atau afasia /
penyakit neurodegeneratif derajat berat
Metabolik-
endokrin
dan payudara
0 Tidak ada masalah
1 DM terkontrol dengan diet / IMT > 30 / memerlukan terapi pengganti
hormon tiroid
2 DM memerlukan insulin atau obat oral / penyakit fibrokistik mammae
3 Gangguan elektrolit yang memerlukan perawatan RS / morbid obesity
(IMT > 45)
4 DM yang tidak terkontorol atau koma diabetikum setahun terakhir /
memerlukan terapi pengganti hormon adrenal / kanker adrenal, tiroid,
payudara
47 Universitas Indonesia
Penyakit Skor Interpretasi
Kelainan
psikiatri
0 Tidak ada masalah
1 Riwayat kelainan psikiatri > 10 tahun yang lalu / terapi depresi > 10
tahun yang lalu / menggunakan penenang minor untuk ansietas
episodik / awal dementia (MMSE 25-29)
2 Riwayat depresi mayor dalam 10 tahun terakhir / dementia ringan
(MMSE 20-25) / perawatan psikiatri di RS / riwayat psikosis / riwayat
penyalahgunaan obat > 10 tahun yang lalu
3 Saat ini depresi mayor / dementia sedang (MMSE 15-20) / saat ini
minum obat antiansietas tiap hari / saat ini penyalahgunaan obat /
memerlukan obat antipsikotik tiap hari
4 Saat ini memerlukan perawatan RS karena kelainan psikiatri /
psikosis akut / agitasi berat karena dementia / penyalahgunaan obat
berat / dementia berat (MMSE < 15)
48 Universitas Indonesia
INFORMED CONSENT
Pernyataan Persetujuan menjadi Subjek Penelitian Determinan Diagnostik Klinis Defisiensi Vitamin D
pada Wanita 50 Tahun Ke Atas
Tujuan dan tahapan penelitian ini telah dijelaskan kepada saya. Saya memahami bahwa
penelitian ini dibuat untuk perkembangan pengetahuan ilmiah dan semua prosedur telah
disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saya telah membaca dan memahami isi lembar informasi dan lembar persetujuan ini.
Saya mendapat kesempatan untuk bertanya tentang peran serta saya.
Saya mengerti bahwa saya tidak terpaksa untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Saya mengerti bahwa saya berhak untuk berhenti dari penelitian ini dengan alasan apapun
dan saya tidak perlu untuk menjelaskan alasan saya mengundurkan diri.
Saya mengerti bahwa semua informasi yang saya berikan terjamin kerahasiannya.
Saya setuju untuk berperan serta dalam penelitian ini. Nama : ………………………………………………… Tanda tangan : ………………………………………………… Nama pendamping : ………………………………………………… Tanda tangan pendamping : …………………………………………............ Nama pemeriksa : ………………………………………………… Tanda tangan pemeriksa : …………………………………………………
Tanggal : ____ / _____________ / 2012
49 Universitas Indonesia
LEMBAR INFORMASI
Penelitian mengenai determinan diagnostik klinis defisiensi vitamin D pada
wanita 50 tahun ke atas ini dilakukan untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang
berhubungan dengan defisiensi vitamin D pada wanita berusia ≥ 50 tahun. Dengan
terdeteksinya faktor-faktor tersebut, diharapkan dapat dirancang suatu sistem skoring
yang dapat menggantikan pemeriksaan laboratorium kadar vitamin D dalam darah yang
sangat mahal dan hanya tersedia di Jakarta.
Penelitian ini diikuti oleh seluruh wanita berusia ≥ 50 tahun yang tinggal di
masyarakat, masih dapat berjalan (dengan/tanpa alat bantu), dapat mengerti perintah,
tidak mempunyai gangguan hati, tidak sedang memperoleh suplementasi vitamin D ≥ 400
IU / hari dalam empat minggu terakhir ini. Dalam penelitian ini, Anda akan diminta
untuk mengisi kuesioner tentang identitas pribadi, riwayat jatuh, riwayat patah tulang,
kebiasaan dan gaya hidup yang berkaitan dengan paparan / proteksi terhadap sinar
matahari, obat-obatan yang diminum selama seminggu terakhir. Untuk mengetahui status
gizi Anda, kami akan mengukur tinggi badan dan berat badan, serta menanyakan pola
makan Anda selama enam bulan terakhir. Kemudian Anda akan menjalani pemeriksaan
kekuatan otot tungkai bawah dan keseimbangan untuk menilai kinerja fisik Anda. Setelah
itu, Anda akan diperiksa oleh dokter penyakit dalam untuk mencari kemungkinan adanya
penyakit kronik. Terakhir, Anda akan diambil darah untuk mengukur kadar vitamin D
dan kreatinin dalam darah Anda.
Hasil dari seluruh rangkaian pemeriksaan ini akan disampaikan pada Anda secara
lisan sewaktu pemeriksaan serta secara tertulis selambatnya dua minggu setelah
pemeriksaan. Bila Anda memerlukan penanganan medis lebih lanjut, kami akan
memberikan resep atau merujuk Anda pada dokter lain yang lebih berkompeten. Semua
informasi dan data medis yang Anda berikan akan kami rahasiakan sepenuhnya.
Penelitian ini diselenggarakan oleh dr Vera,SpPD dari Divisi Geriatri
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN dr Cipto Mangunkusumo. Bila Anda
memerlukan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi dr Vera (08179212203)
atau kantor Divisi Geriatri RSCM (021-31900275).
50 Universitas Indonesia
Kuesioner No.
Tanggal wawancara :
Nama : __________________
Umur : __________________
Alamat : ___________________________________________________
No telp: __________________
Pengasuh / keluarga terdekat: _________________________
A. DATA DASAR Kode
A1 Status marital 1 menikah
2 janda (pasangan meninggal)
3 janda cerai hidup
4 belum menikah
A2 Tempat tinggal 1 rumah sendiri 3 rumah saudara
2 rumah anak 4 kontrak / sewa
5 lain-lain
A3 Pendidikan 1 tidak sekolah 5 SMA
2 tidak lulus SD 6 D3
3 lulus SD 7 S1
4 SMP 8 S2
A4 Pekerjaan sebelum usia 55 tahun 1 tidak bekerja 4 PNS
2 wiraswasta 5 ABRI
3 karyawan swasta 6 Lain-lain
A5 Pekerjaan saat ini 1 tidak bekerja 3 karyawan swasta
2 wiraswasta 4 pensiunan PNS
5 Lain-lain
A6 Apakah Anda berolahraga? 1. Tidak
2. Ya
Jenisnya:..................................
Frekuensi: ........... kali / minggu
A7 Riwayat patah tulang setelah menopause
atau usia ≥ 50 tahun
1. Tidak
2. Ya, lokasi: ...............................
A8 Riwayat jatuh dalam satu tahun terakhir 1. Tidak
2. Ya, berapa kali? .......................
A9 Adakah nyeri tulang difus yang
melibatkan beberapa sendi sekaligus
tanpa tanda radang?
1. Tidak
2. Ya
A10 Apakah Anda merasa kesulitan untuk
naik tangga?
1. Tidak
2. Ya
51 Universitas Indonesia
Kuesioner No.
B. SKOR PROTEKSI SINAR MATAHARI Kode
Bila keluar rumah, Anda menggunakan:
(boleh pilih lebih dari satu)
a. Tabir surya: .............SPF
b. Jilbab
c. Topi
d. Kemeja lengan panjang
e. Sarung tangan
f. Celana panjang
g. Rok panjang
h. Payung
C. SKOR PAPARAN SINAR MATAHARI Kode
C1. Berapa menit Anda terpapar sinar matahari dalam sehari?
C2. Berapa hari dalam seminggu Anda mendapat paparan sinar matahari?
C3. Total nilai skor paparan sinar matahari
Keterangan
52 Universitas Indonesia
D. Instrumental Activities of Daily Living (IADL)
No Aktivitas Nilai Keterangan
Bila ada yg
membantu, siapa
yang mengerjakan
D.1 Menyampaikan pesan/ menggunakan telpon (Besok rapat di rumah pak RT jam 10)
0 Tidak mampu menyampaikan pesan
1 Sebagian tersampaikan (mampu menjawab telpon, tetapi tidak dapat mengoperasikan telpon)
2 Mampu mengoperasikan telpon / semua pesan tersampaikan
D.2 Berbelanja 0 Tidak mampu
1 Mampu berbelanja sendiri untuk sejumlah keperluan terbatas (3 buah/kurang), selebihnya perlu bantuan orang lain
2 Mandiri
D.3 Menyiapkan makanan 0 Tidak mampu
1 Mampu menyiapkan makanan bila telah disiapkan bahan-bahannya atau menghangatkan makanan yang telah dimasak
2 Mandiri
D.4 Mengurus rumah 0 Tidak mampu
1 Mampu mengerjakan bagian yang ringan (menyapu, merapikan tempat tidur) lainnya perlu bantuan orang lain
2 Mandiri (mampu mengurus rumah sendiri termasuk mengepel dan mencuci baju)
D.5 Mencuci pakaian 0 Tidak mampu
1 Mampu mencuci/menyetrika jenis pakaian yang ringan, lainnya perlu bantuan orang lain
2 Mandiri (termasuk menggunakan mesin cuci)
D.6 Menggunakan alat transportasi
0 Tidak mampu bepergian dengan sarana transportasi apapun
1 Bepergian dengan sarana transportasi umum/taksi atau mobil pribadi bila dibantu/ditemani orang lain
2 Mandiri
D.7 Tanggung jawab pengobatan / menyiapkan obat sendiri
0 Butuh pertolongan orang lain untuk menyiapkan dan mengkonsumsi obat-obatan
1 Mampu bila obat-obatan yang sudah disiapkan sebelumnya
2 Mandiri (mampu menyiapkan obat sendiri sesuai dengan dosis dan waktu yang sudah ditentukan)
D.8 Mengatur keuangan 0 Tidak mampu
1 Mampu mengatur belanja harian, tetapi butuh pertolongan dalam urusan bank/pembelian jumlah besar
2 Mampu mengatur masalah keuangan (anggaran rumah tangga, membayar sewa, kuitansi, urusan bank) atau memantau penghasilan
Total nilai
NILAI IADL: 9 – 16 : Mandiri/tak perlu bantuan 1 – 8 : Perlu bantuan
0 : Tidak dapat melakukan apa-apa
Kuesioner No.
53 Universitas Indonesia
E. OBAT-OBATAN / JAMU / SUPLEMEN
Mohon tuliskan nama obat, bentuk sediaan (tablet/kapsul, sirup, krim, injeksi, tetes, spray),
serta dosis pemakaian seluruh obat yang Anda konsumsi selama satu minggu terakhir ini.
No Nama Bentuk Sediaan Dosis Pemakaian
Kuesioner No.
Kuesioner No.
54 Universitas Indonesia
F. STATUS GIZI (MNA)
TB : cm LLA : cm
BB : kg LB : cm
IMT : TL : cm TB (mnrt rumus): cm
No Penilaian Antropometri Nilai
1 Indeks massa tubuh :
a. < 19 = 0 c. 21-23 = 2
b. 19-21 = 1 d. > 23 = 3
2 Lingkar lengan atas : a. < 21 = 0
b. 21-22 = 0,5
c. > 22 = 1
3 Lingkar betis : a. ≤ 31 = 0
b. > 31 = 1
4 Berat badan selama tiga bulan terakhir :
a. Kehilangan BB > 3 kg = 0
b. Tidak tahu = 1
c. Kehilangan BB 1-3 kg = 2
d. Tidak ada kehilangan BB = 3
5 Hidup tidak tergantung (tidak di tempat perawatan atau RS) : a. Tidak = 0
b. Ya = 1
6 Menggunakan lebih dari 3 obat per hari : a. Tidak = 0
b. Ya = 1
7 Mengalami stres psikologis atau penyakit akut dalam 3 bulan terakhir : a. Tidak = 0
b. Ya = 1
8 Mobilitas : a. Hanya terbaring atau di atas kursi roda = 0
b. Dapat bangkit dari tempat tidur tapi tidak keluar rumah = 1
c. Dapat pergi keluar rumah = 2
9 Masalah neuropsikologis : a. Dementia berat dan depresi = 0
b. Dementia ringan = 1
c. Tidak ada masalah psikologis = 2
10 Nyeri tekan atau luka kulit : a. Ya = 0
b. Tidak = 1
11 Berapa banyak daging yang dimakan tiap hari? a. 1 x makan = 0
b. 2 x makan = 1
c. 3 x makan = 2
12 Asupan protein terpilih:
a. Minimal 1 x penyajian produk susu olahan per hari : Ya Tidak
b. Dua atau lebih penyajian produk kacang dan telur per minggu : Ya Tidak
c. Daging, ikan, unggas tiap hari : Ya Tidak
0-1 jawaban ya 0 2 jawaban ya 0,5 3 jawaban ya 1
55 Universitas Indonesia
No Penilaian Antropometri Nilai
13 Konsumsi dua atau lebih penyajian sayuran atau buah per hari : a. Tidak = 0
b. Ya = 1
14 Bagaimana asupan makanan 3 bulan terakhir karena hilangnya nafsu makan, masalah
pencernaan, kesulitan mengunyah, atau kesulitan menelan?
a. Kehilangan nafsu makan yang berat = 0
b. Kehilangan nafsu makan sedang = 1
c. Tidak kehilangan nafsu makan = 2
15 Berapa banyak cairan (air, jus, kopi, teh, susu) yang dikonsumsi per hari?
a. < 3 cangkir = 0
b. 3-5 cangkir = 1
c. > 5 cangkir = 2
16 Pola makan:
a. Tak dapat makan tanpa bantuan = 0
b. Dapat makan sendiri dengan sedikit kesulitan = 1
c. Dapat makan sendiri tanpa masalah = 2
17 Apakah mereka tahu bahwa mereka memiliki masalah gizi?
a. Malnutrisi = 0
b. Tidak tahu = 1
c. Tidak ada masalah gizi = 2
18 Dibandingkan dengan orang lain yang berusia sama, bagaimana mereka menilai
kesehatan mereka sekarang?
a. Tidak baik = 0
b. Tidak tahu = 0,5
c. Baik = 1
d. Lebih baik = 2
Total Penilaian
Kuesioner No.
Indikator Malnutrisi
Skor 24 – 30 : gizi baik
Skor 17 – 23,5 : beresiko malnutrisi
Skor < 17 : malnutrisi
56 Universitas Indonesia
H. KINERJA FISIK
5 timed chair-stands: ................................second
Uji sikap tandem:
Hasil Skor
Subjek kehilangan keseimbangan saat melangkah 0
Subjek dapat melangkah dengan dibantu dan dapat
mempertahankannya selama 15 detik
1
Subjek hanya dapat melangkah kecil namun masih
tetap dapat mempertahankannya selama 30 detik
2
Subjek dapat menempatkan satu kaki di depan kaki
lainnya dan mempertahankannya selama 30 detik
3
Subjek dapat menempatkan satu kaki tepat di depan
kaki lainnya sedemikian sehingga tumit kaki yang
satu menyentuh jempol kaki lainnya, serta
mempertahankan posisi tersebut selama 30 detik
4
I. HASIL LABORATORIUM
Kadar kreatinin serum: ........................
eGFR (berdasarkan rumus MDRD): .................................................
Kadar 25(OH)D dalam serum: ..............................
Kadar glukosa darah sewaktu: ................................ Riwayat DM: ya / tidak
Kuesioner No.
Catatan
57 Universitas Indonesia
J. CIRS-G (Cumulative Illness Rating Scale for Geriatrics)
Penyakit Skor Keterangan
Jantung
Vaskuler
Hematopoietik
Pernafasan
Mata dan THT
Saluran cerna bagian atas
Saluran cerna bagian bawah
Hepar
Ginjal
Genitourinarius
Muskuloskeletal dan kulit
Neurologi
Metabolik-endokrin & payudara
Kelainan psikiatri
Skor total
Severity index
Jumlah kategori dengan derajat 3
Jumlah kategori dengan derajat 4
Kuesioner No.
Petunjuk penilaian CIRS-G
0 : Tidak ada masalah
1 : Saat ini masalah ringan atau dulu merupakan masalah yang serius
2 : Disabilitas sedang atau memerlukan terapi lini pertama
3 : Disabilitas berat atau kondisi kronik yang tidak terkontrol
4 : Disfungsi berat / gagal organ terminal
Selama dua tahun terakhir, berapa kali responden diopname di rumah sakit?
1 tidak pernah 4 lebih dari empat kali
2 satu – dua kali 5 hampir tiap bulan
3 tiga – empat kali