191
UNIVERSITAS INDONESIA MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL: SUATU TELAAH FILOSOFIS DISERTASI MASYKUR NPM 1006784033 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK JUNI 2015 Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

UNIVERSITAS INDONESIA

MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL:

SUATU TELAAH FILOSOFIS

DISERTASI

MASYKUR

NPM 1006784033

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT

DEPOK

JUNI 2015

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 2: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

UNIVERSITAS INDONESIA

MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL:

SUATU TELAAH FILOSOFIS

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

MASYKUR

NPM 1006784033

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT PROGRAM DOKTOR

KEKHUSUSAN ILMU FILSAFAT

DEPOK

JUNI 2015

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 3: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

UNIVERSITAS INDONESIA

MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL:

SUATU TELAAH FILOSOFIS

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Filsafat

Dipertahankan di hadapan Sidang Akademik Universitas Indonesia

di bawah Pimpinan Rektor Universitas Indonesia

Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met

pada hari Selasa, 23 Juni 2015, pukul 10.00 WIB

di Kampus Universitas Indonesia

MASYKUR

NPM 1006784033

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT PROGRAM DOKTOR

KEKHUSUSAN ILMU FILSAFAT

DEPOK

JUNI 2015

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 4: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 5: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 6: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 7: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

v

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puja dan puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas

berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan

ringkasan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Filsafat Departemen Filsafat

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa

tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai

pada penyusunan disertasi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan

disertasi ini. Oleh karena itu, saya memberikan penghargaan setinggi-tinggi dan

mengucapkan terima kasih kepada:

Yang terhormat seseorang yang terlibat konflik sosial di dalam tragedi Poso,

Ambon, dan Cikeusik, yang telah menjadi inspirator untuk menjelaskan dan

memahami secara filosofis manusia dalam konflik sosial dan sekaligus mengolah

konflik sebagai penyelesaikan konflik yang dialami oleh mereka;

Yang terhormat Dr. V. Irmayanti Meliono selaku Promotor, yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing, mendiskusikan dan

mengarahkan substansi dan teknik penyusunan disertasi ini, mulai dari judul

hingga kontribusi kekinian. Selain itu, beliau selalu melogiskan secara metodologi

filosofis jika ada pemikiran tidak logis, mengingatkan jika lama tidak melakukan

konsultasi, dan selalu memberi motivasi; Yang terhormat Prof. Dr. Soerjanto

Poespowardojo selaku Kopromotor, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan

pikiran untuk membimbing, mendiskusikan, dan mengarahkan penulisan disertasi

yang koheren dan metodologis berdasarkan sistematika filsafat;

Yang terhormat Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet, Ph.D. selaku Penguji dan Ketua

Departemen Filsafat, yang telah meyakinkan untuk memiliki disertasi filsafat ini

sebagai karya pemikiran sendiri dengan meyakinkan kepada orang lain melalui

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 8: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

vi

Universitas Indonesia

penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan tepat; Yang terhormat Dr. Mikael

Dua selaku Penguji, yang telah menguatkan metodologi filsafat pada setiap

penjelasan dan pemahaman pemikiran filsuf yang diajak dialog di dalam disertasi;

Yang terhormat Dr. Budiarto Danujaya selaku Penguji, yang telah memberi

diskursus filsafat sosial politik pada pemahaman multikulturalisme dan selalu

mengingatkan agar mencari critical aspect ketika mengungkapkan pemikiran;

Yang terhormat Dr. Donny Gahral Adian selaku Penguji, yang senantiasa

mempertanyakan kefilsafatan pada sebuah pemikiran sosial politik, terutama

menuntut sisi filosofis pada pemikiran multikulturalisme Bhikhu Parekh; Yang

terhormat Dr. Naupal selaku Penguji dan Sekretaris Departemen Filsafat Filsafat,

yang senantiasa memberi masukan konstruktrif atas pemikiran Bhikhu Parekh,

terutama pada penyelesaian konflik yang redistributif;

Yang terhormat Dr. Adrianus L.G. Waworuntu selaku Dekan Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya, yang telah memfasilitasi segala kebutuhan belajar dan

mengajar untuk menjalani proses perkuliahan Program Doktor dengan penuh

edukatif, ramah sesama mahasiswa, penjaja bisnis makanan, dan lingkungan;

Yang terhormat Dr. Embun Kenyowati Ekosiwi selaku Pembimbing Akademik,

yang telah sabar membimbing dan memahami apa yang terbaik dan tepat selama

menjadi seorang mahasiswa Program Doktor; Yang terhormat Dr. Akhyar Yusuf

Lubis, yang telah mendiskusikan dengan penuh semangat dan akrab ragam

multikulturalisme di dunia filsafat, dari multikulturalisme konservatif hingga

multikulturalisme radikal; Yang terhormat Vincent Yohanes Jolasa, Ph.D selaku

Pengajar metodologi penelitian filsafat, yang telah menjejakkan metodologi

penelitian filsafat dan meyakinkan untuk terus-menerus menulis karya filsafat;

Yang terhormat Prof. Dr. Mohammad Ishom Yusai selaku Sekretaris Direktorat

Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI; Dr. Imam Syafi’i selalu

Kasudit Ketenagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI;

Prof. Dr. Fauzul Iman selaku Rektor IAIN “SMH” Banten; Prof. Dr. Udi Mufrodi

selaku Dekan IAIN “SMH” Banten; Prof. Dr. H.E. Syibli Syarjaya; dan seluruh

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 9: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

vii

Universitas Indonesia

sahabat IAIN “SMH” Banten, yang telah berkontribusi untuk memberi

kesempatan menulis disertasi dan sekaligus memperoleh Beasiswa Studi

Kementerian Agama RI;

Yang terhormat sahabat yang telah banyak menemani dan membantu dalam

menyelesaikan disertasi ini, yaitu Ibu Munawaroh, Syarif Abu Bakar, Zulham, Ari

Harsono, Asep Furqonuddin, Dr. Andi Rosa, Dr. Mohammad Shoheh, Mba

Nurunnisa’ di Wahid Institute, dan sahabat lainnya;

Yang terhormat Mimi Hj. Mahmudah; Ibu Nyai Hj. Muryati; Abah H. Abdul

Wahid yang telah menjejakkan pendidikan taman anak-anak; Bapak KH.

Mukhdzir yang telah menjejakkan pesantren Cipari; kandidat Dr. KH. Marzuki

Wahid yang mengajari berpikir kritis; Nyai Hj. Lia Aliyah Himmah yang telah

menjejakkan pesantren puteri al-Qur’an; kandidat Dr. Mahrus El-Mawa yang

mengajari berperilaku kultural; kandidat Dr. Ala’i Najib; Muhammad Musni

Wahid; Nany Zubaidah; kandidat Dr. Maryam El-Wahdah; kandidat Dr. Iwan

Zainul Fuad; Zaenab Mahmudah; Sigit Santoso, H. Hasbullah Sidiq, Kiai Khairul

Mawahib, dan keluarga besar Cipari, yang telah berkontribusi untuk dukungan

material dan moral, terutama pandangan masa depan untuk pengembangan

peradaban masyarakat di Losari dan Cipari. Tak terlupakan, isteri tersayang

Roikhatul Jannah dan puteri tercinta Jossie Elaine Wahid, yang merupakan bagian

semangat hidup dari penulisan disertasi ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah berpartisipasi. Semoga disertasi ini membawa

manfaat bagi pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan, terutama ilmu filsafat.

Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq.

Depok, 23 Juni 2015Penulis

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 10: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 11: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

ix

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Masykur

Program Studi : Ilmu Filsafat

Judul : Manusia dalam Konflik Sosial: Suatu Telaah Filsofis

Disertasi ini adalah kajian filosofis tentang manusia dalam konflik sosial di

masyarakat multikultur. Dilatarbelakangi realitas konflik sosial dan konstruksi

negara yang menjamin keragaman agama dan etnik, studi ini membahas relasi

antarindividu yang memproduksi konflik sosial nuansa agama dan etnik. Mengacu

kepada teori multikulturalisme Bhikhu Parekh, melalui metode studi pustaka,

fenomenologi kehidupan religius, dan refleksi kritis, disimpulkan bahwa konflik

sosial (a) dimunculkan oleh seorang individu di dalam perilaku sosialnya yang

menginterpretasikan perbedaan pandangan moral dan budaya; dan (b) terjadi di

dalam negara yang melakukan politik keseragaman. Penyelesaiannya, konflik

sosial harus dikelola oleh seorang individu melalui dialog budaya dengan tindakan

dialog antarbudaya dan rekognisi sosial. Dengan dialog budaya itu, dapat

ditemukan kembali manusia yang harmonis di dalam kehidupan sosial.

Kata kunci: Manusia, konflik, multikulturalisme, masyarakat multikultur,

keragaman, rekognisi sosial, dialog antarbudaya, harmoni.

ABSTRACT

Name : Masykur

Study Program : Philosophy

Title : Human Being in Social Conflict: Philosophical Studies

This dissertation is a philosophical study about human being in social conflict

among multicultural society. Based on the background of social conflicts

phenomenon and state construction that guarantees religious and ethnic diversity,

it discusses the relationships between individuals who produce social conflict of

ethnic and religious nuance. Referring to the theory of multiculturalism from

Bhikhu Parekh, literature study method, phenomenology of religious life method,

and critical reflection method, it is concluded that the social conflicts (a) emerged

from an individual behavior that interprets moral and cultural in different view;

and (b) happened in countries those provide political uniformity. These social

conflicts should be cultivated by an individual through cultural dialogues and the

actions of intercultural dialogue and social recognition. The dialogue is expected

to rediscover harmony in social life.

Keywords: Human being, conflict, multiculturalism, multicultural society,

diversity, social recognition, intercultural dialogue, harmony.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 12: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

x

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………… i

Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme ………………………………………. ii

Halaman Pernyataan Orisinalitas ………………………………………….. iii

Halaman Pengesahan ……………………………………………………… iv

Kata Pengantar/Ucapan Terima Kasih …………………………………….. v

Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi ……………………………….. viii

Abstrak ……………………………………………………………………... ix

Daftar Isi ……………………………………………………………………. x

Daftar Bagan dan Gambar ………………………………………………….. xiii

BAB I PENDAHULUAN …...……………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang Masalah ……..………………………………………….. 1

1.2 Permasalahan dan Rumusan Masalah …………...………………………. 5

1.3 Pernyataan Tesis ………………………………………………………… 6

1.4 Pertanyaan Penelitian ………………………….…………...……………. 7

1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………………………..…………. 7

1.6 Kerangka Teori dan Konsep ………………………………..……………. 8

1.7 Kajian Pustaka …...……………………….……………………………… 21

1.8 Metode Penelitian ……………….…………………………………….…. 28

1.9 Sistematika Penelitian …….……………………………………………… 38

BAB II PERBEDAAN PANDANGAN MORAL DAN BUDAYA …..….. 40

2.1 Pengantar ………………………………………………………………… 40

2.2 Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya ………………………….. 40

2.2.1 Pandangan Monisme Moral terhadap Moral dan Budaya …..……. 44

2.2.2 Pandangan Pluralisme terhadap Moral dan Budaya ……………… 50

2.2.3 Pandangan Liberalisme terhadap Moral dan Budaya ….………..... 57

2.2.4 Pandangan Universalisme Pluralis terhadap Moral dan Budaya .… 66

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 13: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

xi

Universitas Indonesia

2.3 Respons terhadap Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya ………. 64

2.4 Ikhtisar …………………………………………………………………… 70

BAB III KONSTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR .. 72

3.1 Pengantar ………………………………………………………………… 72

3.2 Unsur-unsur Pembentuk Masyarakat Multikultur ..………....………….. 72

3.2.1 Keragaman Moral dan Budaya ………………………..…………… 77

3.2.2 Identitas Sosial ……………………………....…………………….. 80

3.2.3 Keadilan dan Kesetaraan dalam Perbedaan ......…………………… 83

3.2.4 Agama dan Etnik dalam Kehidupan Publik ..……………………… 87

3.3 Keterbatasan Masyarakat Multikultur ...…………………………………. 88

3.4 Ikhtisar …………………………………………………………………… 89

BAB IV KONFLIK SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR …….. 91

4.1 Pengantar …………………………………….…….…………………….. 91

4.2 Memahami Konflik Sosial dalam Masyarakat Multikultur ..……………. 91

4.3 Corak Konflik dalam Masyarakat Multikultur ……….………………….. 107

4.3.1 Konflik Nuansa Agama ……………………………….………….... 107

4.3.2 Konflik Nuansa Etnik ……………………………………………… 114

4.4 Kritik atas Manusia sebagai Makhluk Berkonflik ….………………..….. 115

4.5 Ikhtisar ………………………..……………………..…………………… 120

BAB V DIALOG BUDAYA MASYARAKAT MULTIKULTUR ……… 122

5.1 Pengantar …………………………………………………..…………….. 122

5.2 Mengolah Konflik Sosial Masyarakat Multikultur …………..………….. 122

5.2.1 Dialog Antarbudaya sebagai Pendamai Konflik .……………........... 125

5.2.2 Rekognisi Sosial sebagai Peredam Konflik …..…..……………….. 131

5.3 Menemukan Kembali Manusia yang Harmonis ……….………………… 137

5.4 Ikhtisar …………………………………………………………………… 155

BAB VI PENUTUP …………………………………...……………………. 157

6.1 Kesimpulan ……………………………………………………………… 157

6.2 Catatan Kritis ………………………………………………..…………... 157

6.3 Kontribusi dalam Kehidupan Kekiniaan ………………………...……… 158

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 14: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

xii

Universitas Indonesia

GLOSARIUM ………………………………………………………………. 159

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 160

LAMPIRAN ……………………………………………………………....... 168

RIWAYAT HIDUP PENULIS ……..………………………………………. 175

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 15: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

xiii

Universitas Indonesia

DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR

A. Bagan

Bagan 1. Rumusan Masalah .……………………………………………… 6

Bagan 2. Multikulturalisme Parekh serta Pemikiran Taylor dan Gadamer . 15

Bagan 3. Penerapan Multikulturalisme Bhikhu Parekh ………..…………. 21

Bagan 4. Posisi Filsafat Sosial dalam Studi Masyarakat ………………….. 29

Bagan 5. Fenomenologi Kehidupan Religius ………………………….….. 35

Bagan 6. Penerapan Fenomenologi Kehidupan Religius …………….…… 36

Bagan 7. Triadik Kehidupan Manusia dalam Keharmonisan ……………... 38

B. Gambar (dalam Lampiran)

Gambar 1. Peta Wilayah Konflik di Indonesia …..……………………….. 168

Gambar 2. Peta Wilayah Konflik di Poso ….……………………….…….. 169

Gambar 3. Kondisi Manusia Bersenjata di Poso ..………………………... 169

Gambar 4. Aksi Kekerasan Manusia di Poso …………………………….. 170

Gambar 5. Aksi Penghancuran Manusia di Poso ………………………… 170

Gambar 6. Peta Wilayah Konflik di Ambon ………………….………….. 171

Gambar 7. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan Tulukabesi Ambon ……….. 171

Gambar 8. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan A.M. Sangadji Ambon …… 172

Gambar 9. Aksi Penghancuran Manusia di Popilo Tobelo Maluku Utara .. 172

Gambar 10. Peta Wilayah Konflik di Cikeusik …………………………... 173

Gambar 11. Aksi Penyerangan Manusia di Cikeusik ………………...…… 173

Gambar 12. Aksi Pembunuhan Manusia di Cikeusik …………….………. 174

Gambar 13. Aksi Penghancuran Manusia di Cikeusik …….……………… 174

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 16: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

1

Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Konflik antarindividu seringkali diproduksi di dalam masyarakat

multikultur, meskipun gerakan sosial, politik, dan budaya senantiasa menuntut

perdamaian sosial. Dalam perilaku sosial, konflik antarindividu tersebut dapat

memproduksi konflik sosial. Sebaliknya, konflik sosial dapat juga memproduksi

konflik antarindividu. Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat multikultur di

mana setiap individu berada pada negara yang mengakui keragaman moral dan

budaya.1 Pada awal reformasi Mei 1998, konflik sosial telah terjadi beberapa kali

di dalam masyarakat Indonesia, misalnya di Poso, Ambon, dan Cikeusik. Di

dalam fenomena konflik sosial tersebut identitas individual memainkan peranan

yang penting atas konflik yang terjadi. Pelaku konflik pada umumnya

dilatarbelakangi oleh identitas individual sebagai subyek mayoritas atau subyek

minoritas. Penentuan subyek mayoritas atau minoritas pada identitas individual di

dalam konflik sosial memosisikan manusia sebagai individu yang tak manusiawi

(inhuman). Oleh sebab itu, konflik antarindividu secara sosial tak pernah

memosisikan identitas individual sesuai harkat dan martabat manusia di dalam

masyarakat multikultur.

Di dalam sejarah peradaban manusia, penentuan subyek mayoritas atau

minoritas pada identitas individual didasarkan pada pandangan moral dan budaya

yang diyakininya, terutama interpretasi terhadap agama dan etnik. Agama dan

etnik merupakan subkultur yang dibentuk oleh manusia sebagai individu

1 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36A bahwa lambang negara adalah Garuda Pancasila

dengan semboyan bhineka tunggal ika.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 17: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

2

Universitas Indonesia

masyarakat (Tylor, 1871: 1).2 Pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda di

dalam masyarakat multikultur, tak dapat dipungkiri, berkontribusi pada produksi

konflik sosial. Padahal, negara yang mengakui keragaman moral dan budaya

seharusnya dapat menjamin perbedaan pandangan moral dan budaya yang

diyakini dan dipraktikkan oleh warganya secara damai. Namun dalam

implementasinya, kearifan lokal, undang-undang dasar, dan perjanjian

internasional kembali dipertanyakan ketika konflik sosial direproduksi. Apakah

undang-undang penanganan konflik sosial dapat diimplementasikan oleh negara

untuk memastikan warganya hidup secara damai di dalam keragaman moral dan

budaya?3 Pertanyaan ini merefleksikan mengapa fenomena konflik sosial di Poso,

Ambon, dan Cikeusik diproduksi di dalam masyarakat multikultur.

Kita dapat memahami fenomena konflik sosial yang terjadi di tiga wilayah

tersebut. Fenomena konflik sosial di Poso yang diproduksi oleh konflik

antarindividu dilakukan oleh tiga pemuda Kristiani yang memukul seorang

pemuda Muslim di dalam tempat ibadah umat Islam di kampung Sayo. Dengan

adanya identitas agama yang dianut oleh individu-individu yang berkonflik dan

tempat terjadi konflik, konflik dijustifikasi sebagai konflik sosial bernuansa

agama. Fenomena yang kontradiktif di mana konflik sosial diproduksi oleh

individu-individu yang beragama di dalam negara yang mengakui keragaman

moral dan budaya. Di dalam realitas kehidupan sosial, konflik di Poso telah

memproduksi tindakan kekerasan, penyerangan, perusakan dan pembakaran

material, bahkan pembunuhan antarindividu yang bersaudara (Buchanan, 2011:

52-54). Konflik telah menghancurkan kehidupan manusia dan alam sekitarnya,

sehingga akar moral dan budaya antarkomunitas tercerabut dari relung kehidupan

sosial. Begitu dahsyatnya pembunuhan antarindividu di Poso dapat diilustrasikan

dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di Poso).

2 “Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole the which

includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits

acquired by man as a member of society”. 3 Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; dan Peraturan

Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 18: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

3

Universitas Indonesia

Tak berbeda dengan di Poso, di Ambon fenomena konflik sosial juga

diproduksi oleh konflik antarindividu yang dilakukan oleh seorang pemuda

Kristen pribumi dari Mardika dengan seorang pemuda Muslim nonpribumi dari

Batumerah. Dengan adanya identitas agama dan etnik yang dianut oleh individu-

individu yang berkonflik, konflik sosial di Ambon dijustifikasi tak hanya

bernuansa agama, melainkan juga bernuansa etnik karena adanya identitas

pribumi Ambon dan nonpribumi Ambon yang tertanam dari Sulawesi Selatan,

seperti Bugis, Buton, dan Makassar (Buchanan, 2011: 15). Konfrontasi antaretnik

kontradiktif dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang

mengakui keragaman moral dan budaya. Konflik di Ambon tak kurang

dahsyatnya dengan konflik di Poso, yang telah memproduksi tindakan kekerasan,

pemaksaan, pengusiran, penjarahan, perusakan, dan pembakaran material, bahkan

pembunuhan antarindividu. Tindakan kekerasan menyebar tidak hanya di Ambon,

melainkan juga di Popilo, Tobelo, Maluku Utara. Tindakan kekerasan dan

penghancuran kehidupan manusia dan alam sekitarnya di Ambon dapat

diilustrasikan dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di

Ambon).

Bahkan di Cikeusik, fenomena konflik sosial juga diproduksi oleh konflik

antarindividu yang dilakukan oleh Ismail Suparman dan Atep Suratep sebagai

anggota jamaah Ahmadiyah dan individu-individu yang berkelompok sekitar

2.000 orang yang menyerbu jamaah Ahmadiyah. Dengan adanya kesamaan

identitas agama yang dianut oleh individu-individu yang berkonflik, konflik di

Cikeusik dijustifikasi sebagai konflik sosial bernuansa internal agama. Dalam

konflik di Cikeusik, tiga orang Ahmadiyah dibunuh oleh orang-orang yang

menyerbunya. Selain pembunuhan manusia, konflik sosial bernuansa internal

agama juga memproduksi tindakan kekerasan, perusakan, penyerangan, dan

pemaksaan (KontraS, 2012: 11-12). Dengan adanya konflik di Cikeusik,

keputusan Majelis Ulama Indonesia yang mewajibkan negara untuk melarang

ajaran Ahmadiyah kontradiktif dengan Undang-Undang Dasar Negara yang

menjamin kebebasan warganya beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 19: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

4

Universitas Indonesia

masing.4 Efek dahsyat dari keputusan pelarangan ajaran Ahmadiyah, tindakan

kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah itu ternyata tak hanya diproduksi di

Cikeusik, tetapi juga hampir di seluruh Indonesia, seperti Jawa, Makassar, dan

Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2007 tercatat ada 15 kasus, pada tahun 2008

terdapat 238 kasus, dan pada tahun 2009 ada 33 kasus konflik sosial yang serupa.

Di Jawa, misalnya, tindakan kekerasan diproduksi di daerah Kuningan, Bogor,

Tasikmalaya, dan Garut (Purwanto, 2011: 25). Tindakan kekerasan dan

pembunuhan di Cikeusik diproduksi oleh manusia dalam konflik sosial bernuansa

internal agama yang lebih dahsyat lagi daripada di Poso dan Ambon, sebagaimana

diilustrasikan di dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di

Cikeusik).

Fenomena konflik antarindividu di atas menjelaskan kontradiksi-

kontradiksi antara realitas diferensial (perbedaan pandangan moral dan budaya),

dan idealitas konstitusional (undang-undang dasar negara yang diakui).

Kontradiksi antarpandangan moral dan budaya yang berbeda-beda memproduksi

adanya gesekan antara nilai-nilai nasional dan nilai-nilai lokal, nilai-nilai publik

dan nilai-nilai personal, serta mengkonstruksi adanya benturan antara komunitas

mayoritas dan minoritas. Padahal perbedaan pandangan moral dan budaya yang

diyakini seharusnya dapat diolah oleh negara yang memiliki undang-undang dasar

yang mengakui keragaman moral dan budaya sebagai dinamika perubahan sosial,

politik, dan budaya. Pengolahan dan perdamaian konflik sosial bernuansa agama

dan etnik sebenarnya telah diatur oleh negara di dalam peraturan yang spesifik

dan strategis. Sementara itu, agama dan etnik bagi manusia secara sosial

sebenarnya merupakan juru selamat dari kekerasan dan kehancuran, serta pengikat

yang damai dari konflik. Namun, walaupun dialog antarpandangan moral dan

budaya yang berbeda-beda di dalam negara ini semakin ditingkatkan, konflik

4 Lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran

Ahmadiyah bahwa “Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di

seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya”; dan

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 20: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

5

Universitas Indonesia

sosial bernuansa agama dan etnik semakin meluas. Oleh karenanya, konflik sosial

menjadi perhatian dan kepedulian kita bersama.

Di dalam penelitian ini, konflik merupakan sebuah konsep sentral di dalam

filsafat sosial politik, seperti kasus pemberontakan atau oposisi seorang individu

kepada negara, revolusi atau oposisi seorang individu yang kharismatik terhadap

negara sehingga perubahan sosial terjadi drastis, yakni perubahan di dalam

masyarakat, bukan hanya pada tingkat individual atau antarpersonal, dan terjadi

kemudian, reformasi di mana perubahan sosial terjadi meskipun tidak drastis

(Iannone, 2001: 445).5 Dengan berpijak pada ontologi konflik sosial di Poso,

Ambon, dan Cikeusik tersebut yang terjadi pada awal reformasi atau implikasi

reformasi, peneliti melakukan reduksi fenomenologis atas konflik sosial tersebut

menjadi konflik antarindividu. Subyek penelitian adalah relasi antarindividu yang

mengalami konflik di dalam masyarakat multikultur. Oleh karena itu, dalam

pendekatan filsafat sosial, penelitian ini mengambil tema fenomena konflik

antarindividu di dalam masyarakat multikultur. Multikulturalisme sebagai

kerangka teori menjadi perhatian filsafat kontemporer sekaligus penelitian ini

diharapkan mampu meredam dan menyelesaikan konflik. Dari tema tersebut,

judul penelitian ini adalah “manusia dalam konflik sosial: suatu telaah filosofis”.

1.2. Permasalahan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian

ini adalah konflik antarindividu yang disebabkan oleh perbedaan pandangan

moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur. Dalam perilaku sosial, konflik

antarindividu tersebut memproduksi konflik sosial yang bernuansa agama dan

etnik di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya.

5 “A central concept in sociopolitical philosophy is that of conflict, e.g. as in rebellion or the

opposition of an individual to the State; as in revolution, or the opposition of enough influential

individuals to the State so that drastic social change, i.e. change at the societal and not just the

individual or interpersoanal levels, ensues; and as in the wide range of instances of reform, where

social change, though not drastic, occurs”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 21: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

6

Universitas Indonesia

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan

menginterpretasikan pandangan moral dan budaya di dalam kehidupan sosial.

Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan pandangan moral dan budaya

menyebabkan konflik antarindividu karena masing-masing individu saling

mempertahankan pandangan yang diyakini. Padahal, manusia yang memiliki

agama dan etnik seharusnya secara damai saling meneguhkan moral dan budaya

yang diyakini masing-masing. Negara yang mengakui keragaman moral dan

budaya seharusnya mengolah, bukan sekadar mengelola, perbedaan pandangan

moral dan budaya dengan dialog antarbudaya. Dengan dialog antarbudaya,

pandangan moral dan budaya seharusnya menjadi perekat relasi sosial

antarindividu yang memiliki agama dan etnik yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

fenomena konflik antarindividu di dalam masyarakat multikultur menandai

adanya misrekognisi dalam praktik dialog selama ini.

Permasalahan tersebut dapat dirumuskan menjadi dua masalah. Pertama,

konflik dimunculkan oleh individu di dalam masyarakat multikultur. Kedua,

konflik sosial nuansa agama dan etnik diproduksi di dalam negara yang mengakui

keragaman moral dan budaya. Rumusan masalah itu dibagankan sebagai berikut:

Bagan 1. Rumusan Masalah

1.3. Pernyataan Tesis

Sebagai homo socius di dalam masyarakat multikultur, seorang manusia

seharusnya berpartisipasi mengolah perbedaan pandangan moral dan budaya yang

memiliki kemungkinan konflik sosial melalui dialog antarbudaya dan rekognisi

sosial sebagai penyelesaian konflik.

Konflik dimunculkan oleh

individu

di dalam masyarakat

multikultural

Fenomena konflik sosial

di negara yang mengakui

diversitas moral dan budaya

Konflik dimunculkan oleh

individu

di dalam masyarakat

multikultur

Fenomena konflik sosial

di negara yang mengakui

keragaman moral dan budaya

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 22: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

7

Universitas Indonesia

1.4. Pertanyaan Penelitian

Atas dasar permasalahan tersebut, muncul pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

a) Apakah benar dalam perilaku sosial seorang manusia memunculkan konflik di

dalam masyarakat multikultur?

b) Mengapa fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik diproduksi di dalam

suatu negara yang mengakui keragaman budaya dan moral?

1.5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

A. Tujuan

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, ada dua tujuan penelitian,

yakni:

a) Menjelaskan secara filosofis bahwa dalam perilaku sosial seorang manusia

yang menginterpretasikan pandangan moral dan budaya seyogyanya dapat

menyelesaikan konflik di dalam masyarakat multikultur.

b) Menjelaskan bahwa fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik yang

diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman budaya dan moral dapat

diolah melalui rekognisi sosial dan dialog antarbudaya.

B. Kegunaan

Ada empat kegunaan penelitian ini, yakni:

a) Penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur filsafat sosial yang

merefleksikan relasi manusia di dalam fenomena konflik sosial.

b) Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai diskursus filsafat untuk

mendialogkan dan memberi pemecahan masalah konflik sosial di dalam

masyarakat multikultur.

c) Penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai pijakan filosofis untuk memahami dan

mengimplementasikan Konstitusi yang dijabarkan dalam Undang-Undang

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 23: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

8

Universitas Indonesia

Penanganan Konflik Sosial sebagai regulasi negara untuk menyelesaikan

konflik sosial.

d) Penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk pendidikan filsafat

Program Doktor mengenai manusia dalam konflik sosial atas dasar teori

multikulturalisme Bhikhu Parekh.

1.6. Kerangka Teori dan Konsep

Ada empat hal yang akan dijelaskan di dalam pembahasan kerangka teori

dan konsep, yaitu multikulturalisme Parekh, riwayat hidup Parekh, konsep

manusia dan konflik, dan rancangan penerapan teori.

A. Multikulturalisme Bhikhu Parekh

Kerangka teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah

multikulturalisme menurut Bhikhu Parekh. Di dalam multikulturalisme Parekh

terkandung pemikiran Charles Taylor mengenai rekognisi dan pemikiran George-

Hans Gadamer mengenai dialog. Oleh karena itu, kedua pemikiran filsuf tersebut

digunakan untuk mendukung analisis kritis dalam penelitian ini.

Alasan memilih multikulturalisme Parekh sebagai kerangka teori dalam

penelitian ini sebagai berikut. Multikulturalisme dipahami oleh Parekh dalam

karyanya Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory

(2000) adalah “suatu perspektif mengenai kehidupan manusia, bukan doktrin

politik yang berisi program atau teori filsafat mengenai manusia dan dunia”

(Parekh, 2000: 336).6 Meski diakuinya bukan sebagai doktrin politik atau teori

filsafat, namun Parekh menjelaskan multikulturalisme secara filosofis yang

didasarkan pada beberapa pemikiran filsuf, antara lain Gadamer dan Taylor.

Secara teoretis, multikulturalisme Parekh merupakan tinjauan kritis atas filsuf

politik pluralisme kultural, dan laporannya mengenai budaya, nilai manusia, serta

6 “Multiculturalism…is best seen neither as a political doctrine with a programmatic content nor

as a philosophical theory of man and the world, but as a perspective on human life”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 24: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

9

Universitas Indonesia

makna keadilan dan kesetaraan di dalam masyarakat multikultur.7 Bahkan,

multikulturalisme Parekh mencapai tingkat koherensi teoretis dan kedalaman

wawasan yang langka dan impresif.8 Taylor mengakui bahwa multikulturalisme

Parekh ditulis oleh seorang yang tidak saja ahli teori politik, tetapi juga memiliki

pengalaman mendalam terhadap masalah yang dihadapinya di dalam lebih dari

satu negara. Parekh merasakan hidup berbagai situasi besar, serta berbagai

masalah, ketegangan, dan konflik”.9 Dengan alasan tersebut, multikulturalisme

Parekh sebagai sebuah kerangka teori sebab dapat merasionalkan, menjelaskan,

dan memahami manusia dan dunianya (Popper, 2002: 37-38).10

Istilah multikulturalisme dapat dipahami dengan terlebih dahulu

memahami istilah multikultur. Multikulturalisme bukan semata-mata mengenai

perbedaan dan identitas, serta tidak seperti perbedaan yang muncul dari pilihan

seorang individu, melainkan mengenai “keragamaan budaya atau perbedaan yang

tertanam secara budaya” (Parekh, 2000: 2-3).11

Lebih distingtif, perbedaan kedua

istilah tersebut dalam pengertian praktisnya. Multikultur (dan kata sifatnya

multikultural) berarti “mengacu pada fakta keragaman budaya”, sedangkan

multikulturalisme berarti “merespons secara normatif terhadap fakta keragaman

budaya” (Parekh, 2000: 6).12

Dalam konteks keragaman budaya multikultur

sebagai fenomena faktual, sedangkan multikulturalisme sebagai pandangan

normatif.

7 “Parekh offers much that is fresh and original both in his critical review of political philosophers

on cultural pluralism, and in his account of culture, human value, and the meaning of justice and

equality in a multicultural society” (Irish Marion Young di dalam komentar karya Parekh, 2000). 8 “It achieves a level of theoritical coherence and a depth of insight that rare and impressive”

(Joseph H. Carens di dalam komentar karya Parekh, 2000). 9 “One of the things which make the book so valuable is that it is written by a political theorist who

has had hands-on experience of the problems involved, and in more than one country. Its author

has a lively sense of the immense range of situations, and the variety of problems, tensions and

conflicts” (Taylor di dalam komentar karya Parekh, 2000). 10

“Theories are nets cast to catch what we call ‘the world’: to rationalize, to explain, and to

master it. We endeavour to make the mesh ever finer and finer”. 11

“Multiculturalism is not about difference and identity per se… Unlike differences that spring

from individual choices, …(but) is about cultural diversity or culturally embedded differences”. 12

“The term multicultural refers to the fact of cultural diversity, the term 'multiculturalism' to a

normative response to that fact”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 25: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

10

Universitas Indonesia

Multikulturalisme Parekh menjelaskan tiga perspektif mengenai kehidupan

manusia yang diformulasikan secara rasional, eksplanatif, dan terperinci. Tiga

perspektif Parekh saling melengkapi dan saling mempengaruhi secara kreatif.

Multikulturalisme Parekh merupakan normativitas (respons normatif) terhadap

keragaman budaya. Tiga perspektif dalam multikulturalisme Parekh yang

dimaksud adalah bahwa (a) manusia tertanam secara budaya; (b)

ketakterhindarkan sekaligus kebutuhan terhadap keragaman budaya dan dialog

antarbudaya; dan (c) setiap budaya plural secara internal (Parekh, 2000: 338).

Perspektif pertama bahwa eksistensi manusia tertanam secara budaya

(culturally embedded). Dengan ketertanaman secara budaya, manusia tumbuh dan

berkembang di dalam dunia yang dikonstruksi oleh budaya. Manusia

mengorganisasikan kehidupan dan relasi sosialnya di dalam sistem makna dan

tanda, sehingga manusia memosisikan nilai besar pada identitas budayanya.13

Ketertanaman secara budaya pada eksistensi manusia tersebut merupakan sebuah

konstruksi, tetapi bukan berarti bahwa manusia ditentukan oleh budaya di mana

manusia harus kritis mengevaluasi keyakinan dan praktik budaya, serta

memahami dan bersimpati kepada sesamanya. Di dalam ketertanaman secara

budaya, manusia dapat mengatasi sebagian pengaruh budaya dan memandang

dunia yang didasarkan pada budaya, baik yang diwarisi dan diterima secara tidak

kritis, direvisi secara reflektif, ataupun diadopsi secara sadar dalam kasus tertentu

(Parekh, 2000: 336).

Perspektif kedua bahwa ketakterhindarkan sekaligus kebutuhan terhadap

keragaman budaya dan dialog antarbudaya.14

Keragaman budaya ditunjukkan oleh

adanya budaya yang berbeda-beda. Perbedaan budaya tersebut merepresentasikan

perbedaan sistem makna dan pandangan good life (Parekh, 2000: 336; 338).15

Perbedaan budaya itu disadari sebab adanya keterbatasan kapasitas dan emosi

manusia dari keseluruhan eksistensi manusia. Adanya keterbatasan itu, setiap

13

“Human beings are culturally embedded in the sense that they grow up and live within a

culturally structured world, organize their lives and social relations in terms its system of meaning

and significance, and place considerable value on their cultural identity”. 14

“The inescapability and desirability of cultural diversity and intercultural dialogue”. 15

“Different cultures represent different systems of meaning and visions of the good life”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 26: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

11

Universitas Indonesia

budaya membutuhkan budaya lain untuk memahami lebih baik budayanya,

memperluas horizon intelektual dan moralnya, meregangkan imajinasinya, dan

menjaga dari pemutlakan budayanya. Kebutuhan kepada budaya lain menjelaskan

bahwa kehidupan bersama yang setara adalah kehidupan yang baik. Oleh

karenanya, semua perbedaan budaya layak dihargai.16

Tidak ada budaya yang

sempurna. Semua budaya punya hak untuk menanamkan budayanya di dalam

budaya lain. Dengan begitu, budaya terbaik secara umum diubah dari dalam

(Parekh, 2000: 336-337).

Dengan keterbatasan budaya, dialog merupakan keuntungan timbal balik

antarbudaya. Dialog menjaga interaksi antarbudaya atas adanya bias-bias,

keuntungan sendiri, kemungkinan mereduksi, dan memperluas horizon

intelektual. Konsep dialog didasarkan pada pemikiran Gadamer bahwa:

“Untuk berada di dalam percakapan (dialog), bagaimanapun, berarti

berada di luar diri sendiri, berpikir dengan yang lain, dan untuk kembali ke

diri sendiri seolah-olah ke yang lain.”

[“To be in a conversation, however, means to be beyond oneself, to think

with the other and to come back to oneself as if to another”] (Gadamer,

1989: 110).

Atas dasar pemikiran ini, syarat dialog akan terpenuhi jika setiap budaya

menerima budaya lain sebagai pasangan percakapan yang setara, sumber ide

kritis, dan bertanggung jawab menjelaskan budayanya. Dengan percakapan seperti

itu, tujuan dialog akan tercapai jika partisipan menikmati kesetaraan yang

meliputi kepercayaan-diri, kekuasaan ekonomi dan politik, serta akses ruang

publik (Parekh, 2000: 337-338).

Perspektif ketiga bahwa seluruh budaya bersifat plural secara internal,

kecuali budaya yang paling primitif. Budaya yang plural merepresentasikan

percakapan lebih lanjut antara tradisi yang berbeda dan untaian pemikiran

(Parekh, 2000: 337).17

Sebaliknya, budaya yang paling primitif merupakan budaya

16

“…all cultural differences deserve to be valued”. 17

“All but the most primitive cultures are internally plural and represent a continuing

conversation between their different traditions and strands of thought”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 27: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

12

Universitas Indonesia

yang terisolasi dari pertemuan antartradisi yang berbeda dan terkungkung pada

pemikiran sendiri. Budaya yang plural itu menandai identitas yang plural dan cair,

namun bukan tanpa koherensi internal dan identitas. Budaya yang plural tumbuh

dan berkembang dari interaksi antara satu dengan yang lain secara sadar dan tidak

sadar. Dari perkembangan budaya yang plural itu, beberapa identitas didefinisikan

di dalam istilah “apa yang diambil untuk menjadi yang lain secara signifikan”.

Beberapa budaya yang plural seperti itu merupakan multikultur di dalam asal usul

dan konstitusi. Oleh karena itu, setiap budaya membawa sedikit yang lain dalam

dirinya dan jarang sui generis, bukan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan

sendiri dan dorongan batin, melainkan menyerap dan tunduk pada pengaruh

eksternal yang menginterpretasi dan mengasimilasi dengan cara otonom (Parekh,

2000: 337).

Di dalam budaya yang plural, relasi sosial dibentuk oleh budayanya dan

relasinya dengan yang lain. Apresiasi terhadap budaya lain berarti apresiasi

terhadap budaya sendiri dan budaya yang plural. Suatu budaya merasa damai

dengan perbedaan dari budaya lain apabila budaya itu merasa damai dengan

perbedaan internal budayanya.18

Di dalam budaya yang plural, dialog budaya

mensyaratkan adanya keterbukaan diri terhadap pengaruh dan kerelaan belajar

dari yang lain. Syarat dialog budaya itu menuntut kewajiban setiap budaya untuk

kritis diri, rela, dan partisipasi di dalam dialog dengan dirinya (Parekh, 2000: 337-

338).

Di dalam masyarakat multikultur, konflik sosial di atas tidak hanya

dialami oleh antarindividu, melainkan juga dialami oleh antarkomunitas. Konflik

antarkomunitas terjadi ketika penghargaan otonomi komunitas budaya seringkali

sebagai satu-satunya cara menjaga komunitas budaya di dalam komunitas politik

yang lebih luas, seperti di Israel, atau sebagai bentuk interaksi dan pengembangan

model relasi dengan masyarakat yang lebih luas, seperti di India, Nigeria, Sudan,

dan di beberapa masyarakat multikultur lain dengan fenomena sejarah konflik

antarkomunitas. Dalam beberapa kasus konflik antarkomunitas terjadi ketika

18

“A culture cannot be at ease with it differences from them unless it is also at ease with its own

internal differences”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 28: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

13

Universitas Indonesia

komunitas mayoritas memaksakan pandangan good life terhadap komunitas

minoritas, seperti di India, Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya,

atau ketika komunitas minoritas hidup berbeda dan mandiri, seperti etnik Amish

di Amerika Serikat, etnik Aborigin di Australia, etnik Sunda Wiwitan Baduy di

Indonesia, dan komunitas etnik di India. Walaupun demikian, kita semua

mengakui bahwa otonomi budaya dapat menambah keragaman budaya pada

masyarakat dengan segala kelebihannya (Parekh, 2000: 205).

Konflik sosial tersebut diolah melalui dialog budaya. Dalam kehidupan

sosial, dialog budaya dipraktikkan dengan dialog antarbudaya. Apabila terjadi

konflik antarkomunitas, yakni antara komunitas mayoritas dan komunitas

minoritas, maka dialog antarbudaya dipusatkan pada dua strategi. Pertama, dialog

antara nilai-nilai praktis komunitas minoritas dan publik operatif masyarakat.

Kedua, dialog antara way of life komunitas minoritas dan publik masyarakat.

Dialog antarbudaya tersebut tidak membutuhkan polarisasi secara umum, karena

dialog dikonsepsikan dengan percakapan (Parekh, 2000: 271).19

Namun,

misrekognisi terjadi di antara individu-individu yang berpartisipasi secara

prinsipil di dalam kehidupan sosial, sehingga seringkali komunitas memisahkan

atau mengasingkan diri karena takut akan penolakan dan cemoohan atau keluar

karena rasa terasing yang mendalam.

Dalam kondisi sosial seperti itu rekognisi sosial harus dilakukan sebagai

pengakuan identitas dan harga diri individu, karena misrekognisi bisa benar-benar

merusak identitas dan harga diri tersebut (Parekh, 2000: 343).20

Konsep rekognisi

sosial didasarkan pada pemikiran Taylor bahwa:

“Rekognisi secara umum dibangun di dalam identitas yang diperoleh

secara sosial berdasarkan pada fakta bahwa hal itu didasarkan pada

kategori sosial yang mana semua orang mengambil untuk diberikan.”

19

“The dialogue is therefore, bifocal, centring both on the minority practice and the society’s

operative public values, both on the minority’s and the wider society’s way of life”. 20

“Social recognition is central to the individual’s identity and self-worth, and mis recognition

can gravely damage both”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 29: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

14

Universitas Indonesia

[General recognition was built into the socially derived identity by virtue

of the very fact that it was based on social categories that everyone took

for granted] (Taylor, 1994: 34).

Sebaliknya, misrekognisi atau nonrekognisi dapat menimbulkan kerugian,

menjadi bentuk penindasan, memenjarakan seseorang dalam kepalsuan,

terdistorsi, dan menjadi mode reduksi.21

Identitas yang diperoleh secara sosial

berarti sifat identitas yang tergantung pada masyarakat. Dalam ketergantungan

pada masyarakat, identitas individu sebagian dibentuk oleh rekognisi atau

absensitas (Taylor, 1994: 25; 34). Oleh karena itu, rekognisi tersebut disebut

dengan “rekognisi sosial”. Di dalam konflik sosial, misrekognisi yang

ditimbulkan memiliki dasar budaya dan material. Untuk menyelesaikan konflik,

misrekognisi hanya dapat diatasi dengan kritik tajam terhadap budaya yang

dominan dan secara radikal merestrukturisasi ketidaksetaraan kekuasaan ekonomi

dan politik yang berlaku (Parekh, 2000: 343).

Pengolahan konflik sosial melalui dialog antarbudaya dan rekognisi sosial

di atas menunjukkan bahwa multikulturalisme Parekh merupakan perspektif

filosofis yang dipengaruhi oleh pemikiran Taylor dan Gadamer. Dalam perilaku

sosial, multikulturalisme direalisasikan oleh seorang manusia untuk mengolah

perbedaan pandangan moral dan budaya, keragaman moral dan budaya, fenomena

budaya yang plural secara internal, budaya yang dominan, serta kekuasaan

ekonomi dan politik yang hegemonik.

Dengan demikian, penjelasan kerangka teori multikulturalisme Parekh

yang dipengaruhi oleh pemikiran Gadamer dan Taylor di atas dibagankan berikut

ini:

21

“Nonrecognition or misrecognition can inflict harm, can be a form of oppression, imprisoning

someone in a false, distorted, and reduced mode of being”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 30: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

15

Universitas Indonesia

Bagan 2. Multikulturalisme Parekh serta Pemikiran Taylor dan Gadamer

B. Riwayat Hidup Bhikhu Parekh

Lord Bhikhu Chotalal Parekh adalah seorang profesor filsafat politik dan

ahli teori sosial di mana pemikirannya dipengaruhi oleh Gadamer, Taylor, Jeremy

Bentham, Karl Marx, Mahatma Gandhi, dan Hannah Arendt. Bhikhu Parekh

dilahirkan pada tahun 1935 di Amalsad, Gujarat, India. Ayahnya adalah seorang

tukang emas dengan pendidikan dasar. Parekh menimba ilmu di University of

Bombay pada usia 15 tahun, dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1954

sekaligus gelar Master pada tahun 1956. Selanjutnya, beliau mulai belajar di

London School of Economics pada tahun 1959, dan menerima gelar Ph.D pada

tahun 1966. Perhatian dan kepedulian akademik utamanya meliputi filsafat

politik, sejarah pemikiran politik, teori sosial, pemikiran politik India kuno dan

modern, dan filsafat hubungan etnik.

Dalam pengabdiannya, beliau mengajar di London School of Economics

dan University of Glasgow sebelum menemukan posisi jangka panjang di

University of Hull. Parekh juga adalah seorang profesor visiting di beberapa

Keragaman

budaya

Manusia tertanam

secara budaya

Setiap budaya plural

secara internal

Rekognisi

(sosial)

Taylor

Dialog

(antarbudaya)

Gadamer

Multikulturalisme

Bhikhu Parekh

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 31: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

16

Universitas Indonesia

universitas, antara lain: British Columbia, Concordia, McGill, Harvard, Pompeu

Fabra (Barcelona), Pennsylvania dan Institute of Advanced Studies di Wina.

Aktivitas yang telah dijalani oleh Parekh, antara lain pernah diangkat life

peer pada tahun 2000 sebagai Baron Parekh, Kingston upon Hull di East Riding

of Yorkshire. Pada tahun 1981-1984, beliau adalah Wakil Rektor di Maharaja

Sayajirao University of Baroda, India. Beliau juga pernah memegang jabatan

profesor centennial di Center for the Study of Global Governance di London

School of Economics, profesor filsafat politik di University of Westminster, dan

profesor emeritus teori politik di University of Hull. Parekh adalah rekan dari

Royal Society of Arts. Beliau adalah Ketua Runnymede Commission on the Future

of Multi-Ethnic Britain (1998-2000) di dalam laporannya, The Future of Multi-

Ethnic Britain, yang diterbitkan pada tahun 2000. Beliau adalah Wakil Ketua

Gandhi Foundation, wali dari Anne Frank Educational Trust, dan anggota

National Commission on Equal Opportunity. Pada tahun 2002, beliau menjabat

sebagai presiden pada Academy of the Learned Societies for Social Sciences.

Karya-karya beliau dalam bentuk buku yang telah diterbitkan, antara lain

sebagai berikut: Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political

Theory (2000); Colonialism, Tradition and Reform: An Analysis of Gandhi's

Political Discourse (1989); Gandhi's Political Philosophy (1989); Contemporary

Political Thinkers (1982); Karl Marx's Theory of Ideology (1982); Hannah Arendt

and the Search for a New Political Philosophy (1981); Bentham's Political

Thought (1973); Gandhi's Political Philosophy (1991); The Future of Multi-

Ethnic Britain: Report of the Commission on the Future of Multi-Ethnic Britain

(2000); Gandhi: A Very Short Introduction (2001); Europe and the Muslim

Question: Does Intercultural Dialogue Make Sense? (2007); dan A New Politics

of Identity: Political Principles for an Interdependent World (2008). Beliau

menulis juga beberapa “The Rushdie Affair and the British Press: Some Salutary

Lessons” bagi Commission for Racial Equality (1990). Selain itu, editor Colour,

Culture and Consciousness: Immigrant Intellectuals in Britain (1974).

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 32: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

17

Universitas Indonesia

Dengan pengabdian, aktivitas dan karyanya, Parekh telah menerima banyak

penghargaan sepanjang karirnya, antara lain: Sir Isaiah Berlin Prize untuk

kontribusi seumur hidup pada filsafat politik dari Political Studies Association

(2002); Distinguished Global Thinker Award dari India International Centre

Delhi (2006); Inderdependence Prize dari kampanye untuk Demokrasi (New

York, 2006); dan kehormatan Padma Bhushan di daftar India Republic Day

Honours (2007).

C. Konsep Manusia dan Konflik

Ada dua kerangka konsep yang penting dipahami di dalam penelitian ini,

yaitu manusia dan konflik. Konsep manusia dan konflik memiliki kondisi yang

sama, yakni sama-sama condition sine qua non (kondisi yang harus dipenuhi,

tanpa itu berarti tiada) pada individu manusia.

Konsep manusia (human being) secara substantif adalah “makhluk yang

tertanam secara budaya”. Konsepsi manusia tersebut dipahami dari relasi sosial di

dalam masyarakat multikultur, yakni relasi antara seorang manusia, individu

anggota komunitas, dan keragaman budaya. Secara internal, budaya bersifat

plural. Tindakan manusia berada di dalam kondisi yang plural. Dalam kehidupan

sosial politik, fenomena yang plural merupakan kondisi yang khusus, tidak hanya

conditio sine qua non, akan tetapi conditio per quam (kondisi inheren), dari semua

kehidupan sosial politik (Arendt, 1998: 7).22

Dalam kondisi khusus itu, relasi

sosial merupakan interaksi timbal balik yang saling membentuk. Keragaman

budaya dibentuk oleh individu anggota komunitas, dan sebaliknya individu

anggota komunitas juga dibentuk oleh keragaman budaya. Proses pembentukan di

dalam relasi sosial bukan berarti budaya menentukan seorang manusia, melainkan

22

“While all aspects of the human condition are somehow related to politics, this plurality is

specifically the condition - not only the conditio sine qua non, but the conditio per quam - of all

political life”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 33: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

18

Universitas Indonesia

seorang manusia sendiri yang menentukan budayanya masing-masing (Parekh,

2008: 220).23

Konsepsi manusia itu, selain itu, dipahami dari pemikiran filsafat

tradisional di dalam empat argumentasi. Pertama, manusia yang tertanam secara

budaya tidak menghilangkan semua yang mencirikan manusia sebagai spesies.24

Ketertanaman secara budaya membentuk eksistensi manusia secara eksternal atau

antarpersonal, bukan bagian internal manusia, dan merupakan kondisi manusia

atau prediksi, bukan bagian fitrah manusia. Kedua, pemikiran filsafat tradisional

tentang evolusi manusia benar-benar ahistoris. Sebaliknya, manusia yang tertanam

secara budaya menjelaskan bahwa dengan kapasitas dan wataknya secara historis

manusia diinstitusionalisasi dan direproduksi secara generatif, dan menjadi bagian

warisan atau sifat spesies (Parekh, 2000: 118-119).25

Ketiga, manusia yang tertanam secara budaya menunjukkan karakter

manusia yang dibentuk secara sosial. Pembentukan sosialnya terlihat pada

masyarakat yang mengalami disintegrasi di mana bukan sifat kasar manusia

sebagai penyebabnya, akan tetapi karakter manusia yang dibentuk dalam kondisi

kekacauan dan ketidakpastian.26

Keempat, manusia yang tertanam secara budaya

berarti bahwa manusia dilahirkan, dibesarkan, dan dibentuk di dalam komunitas

budaya secara mendalam (Parekh, 2000: 119-120).27

Dalam proses sosialisasinya

dengan ketertanaman secara budaya, karakter manusia dibentuk secara sosial.

Dalam pembentukan sosial budaya pada manusia itu dipahami bahwa:

“Kemanusiaan adalah ragam sosial budaya. Dengan kata lain, tidak ada

sifat manusia dalam arti substratum yang ditetapkan secara biologis yang

menentukan perubahan pada pembentukan sosial budaya. …Dengan

mengamati fenomena manusia secara spesifik, kita memasuki ranah sosial.

23

“Because of their unique capacities, human beings are capable of self-dtermination, pursuing

self-chosen goals, leading fulfilling lives, accepting responsibility for their actions, entering into

relationships of reciprocity with each other, and forming part of a moral community. In other

words, they are moral persons or agents. 24

“Human nature does not exhaust all that characterizes human beings as a species”. 25

“These historically acquired capacities and dispositions are institutionalized and reproduced

during successive generations, and become part of their species heritage or nature”. 26

“When societies disintegrate, their members’ behavior does not reveal raw human nature but

their socially shaped character in a climate of chaos and uncertainity”. 27

“Human beings are culturally embedded in the sense that they are born into, raised in and

deeply shaped by their cultural communities”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 34: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

19

Universitas Indonesia

Kemanusiaan yang khas pada manusia dan fenomena sosialnya adalah

saling terkait. Homo sapiens selalu, dan dalam ukuran yang sama, homo

socius.”

[Humanness is socio-culturally variable. In other words, there is no

human nature in the sense of a biologically fixed substratum determining

the variability of socio-cultural formations. … As soon as one observes

phenomena that are specifically human, one enters the realm of the social.

Man's specific humanity and his sociality are inextricably intertwined.

Homo sapiens is always, and in the same measure, homo socius] (Berger,

1966: 66, 69).

Dalam perilaku sosial, individu-individu tersebut mengalami konflik

budaya ketika individu-individu menganut atau hidup dengan dua sistem makna

dan arti yang berbeda, baik secara keseluruhan ataupun sebagian (Parekh, 2000:

149).28

Konflik merupakan persoalan antarindividu dalam relasi sosial. Dengan

fakta bahwa kondisi sosial, politik, dan budaya yang membentuk karakter manusia

berarti bukan karakter manusia yang menyebabkan konflik sosial. Oleh karena itu,

tindakan manusia yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik adalah penyebab

konflik sosial.

Konsep konflik (conflict) adalah “pengganggu pikiran, sine qua non

refleksi dan kecerdikan” (Dewey, 1922: 300).29

Ketiadaan condition sine qua non

terhadap refleksi dan kecerdikan membentuk konflik antarindividu. Di dalam

beberapa kasus, konflik meliputi semua ranah kehidupan signifikan, seperti kasus

individu yang benar-benar merasa tertarik pada Islam tradisional atau Katolik,

serta pandangan hidup liberal dan sekuler modern, akan tetapi tidak dapat

mendamaikan atau membuat pikirannya berada di antara keduanya. Di dalam

kasus lain, konflik dibatasi pada ranah kehidupan tertentu, seperti kasus individu

yang berada terpisah di antara, pandangan seksualitas Hindu tradisional dan Barat

modern, relasi dengan orang tuanya, atau sikap terhadap orang asing, anak-anak

dan saudara kandung. Padahal, konflik terbatas tersebut merupakan bagian dari

28

“Individuals experience cultural conflict when they subscribe to or live by two different systems

of meaning and significance either wholly or partially”. 29

“Conflict is the gadfly of thought. …conflict is a sine qua non of reflection and ingenuity”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 35: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

20

Universitas Indonesia

kehidupan di dalam hampir setiap masyarakat modern di mana individunya secara

umum mengetahui bagaimana menyelesaikannya. Kasus-kasus itu menunjukkan

bahwa konflik yang dalam dan komprehensif tidak mudah didamaikan dan dapat

menyebabkan kekacauan moral, skizofrenia, bahkan pembunuhan diri (Parekh,

2000: 149). Oleh sebab itu, selain masalah budaya, konflik juga merupakan

masalah moral--di mana moral adalah masalah hasrat dan intelegensi (Dewey,

1922: 300).30

D. Penerapan Teori

Atas dasar kerangka teori dan konsep sebagaimana dijelaskan di atas,

penelitian ini dibahas sebagai berikut. Pertama, penjelasan tentang perbedaan

pandangan moral dan budaya yang didasarkan pada pemahaman manusia yang

tertanam secara budaya terhadap realitas keragamaan moral dan budaya.

Perbedaan pandangan dari beberapa pemikiran filsafat yang amat berpengaruh

pada peradaban manusia, seperti monisme moral, liberalisme, pluralisme, dan

universalisme pluralis. Kedua, penjelasan mengenai konstruksi sosial masyarakat

multikultur yang didasarkan pada fakta keragamaan moral dan budaya. Konstruksi

sosial masyarakat multikultur merupakan konteks di mana fenomena konflik

sosial dapat diolah di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya.

Konstruksi sosial masyarakat multikultur dibentuk oleh empat unsur, yaitu

keragaman moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan di mana keadilan dan

kesetaraan seharusnya dipahami, dan kehidupan publik di mana agama dan etnik

seharusnya dipahami.

Adanya perbedaan pandangan moral dan budaya di dalam masyarakat

multikultur, kemungkinan konflik sosial nuansa agama dan etnik terjadi ketika

negara tidak mengolah perbedaan tersebut. Selain itu, kemungkinan konflik sosial

diproduksi oleh tindakan seseorang manusia dengan kekerasan bahkan

peperangan. Oleh sebab itu, konflik sosial harus diolah melalui dialog budaya

30

“The problem of morals is the problem of desire and intelligence”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 36: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

21

Universitas Indonesia

masyarakat multikultur. Ketiga, penjelasan dialog budaya masyarakat multikultur

didasarkan pada realitas konflik sosial. Dialog budaya sebagai pengolahan konflik

sosial dilakukan melalui rekognisi sosial dan dialog antarbudaya. Dengan

demikian, penelitian ini merupakan sebuah penerapan multikulturalisme Parekh.

Penerapan teori di dalam penelitian ini dibagankan, sebagai berikut:

Bagan 3. Penerapan Multikulturalisme Bhikhu Parekh

1.7. Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka ini akan diulas beberapa penelitian, antara lain

penelitian yang telah dilakukan oleh Fred R. Dallmayr dan Joshua Braody Preiss,

dan penelitian sebelumnya tentang multikulturalisme Parekh di dalam persoalan

budaya dan moral. Selain itu, multikulturalisme yang dipahami di Indonesia untuk

mengantisipasi, mencegah, dan mendamaikan kemungkinan konflik melalui

kesadaran etis dan dialog.

Perbedaan pandangan

moral dan budaya

Konstruksi sosial

masyarakat multikultur

Konflik

nuansa agama

Multikulturalisme

Bhikhu Parekh

(lihat bagan 3)

Konflik

nuansa etnik

Dialog budaya

masyarakat multikultur

Konflik sosial

masyarakat multikultur

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 37: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

22

Universitas Indonesia

Dallmayr dalam karyanya “Multiculturalism and the Good Life:

Comments on Bhikhu Parekh” dalam jurnal The Good Society (2003) menjelaskan

bahwa multikulturalisme Parekh bukan tentang apa saja dan segala macam

perbedaan, melainkan hanya sekitar “yang tertanam dalam dan ditopang oleh

budaya,”31

yaitu dengan "tubuh dari keyakinan dan praktik di mana sekelompok

orang memahami diri mereka dan dunia, serta mengatur individu dan kehidupan

kolektif.” Tidak seperti selera individu atau pilihan, perbedaan budaya berasal

“ukuran otoritas” yang tumbuh dari “kebersamaan dan sejarah mewarisi sistem

arti dan makna”. Pemikiran tersebut mengingat struktur komunal atau kolektif

masyarakat multikultur, perbedaan budaya sering memiliki implikasi politik yang

biasanya tidak terkait dengan pilihan pribadi: pada dasarnya, masyarakat dalam

dirinya memiliki potensi mendamaikan bentrokan budaya dengan

menggarisbawahi kerja keras bernegosiasi perdamaian.

Multikulturalisme Parekh dipahami dari keragaman sosial yang datang di

dalam berbagai bentuk dan susunan, sehingga tidak semua harus disebut

“multikultur.” Oleh karena itu, perbedaan “subkultur” memikirkan praktik

konvensional dalam kerangka budaya yang menyeluruh, dan sedangkan

perbedaan “perspektif” merefleksikan pandangan partisan yang dihukum atau

diabaikan oleh kerangka budaya. Keragaman “multikultur” berlabuh di sejumlah

komunitas budaya yang berbeda, karenanya lebih "kuat dan ulet" dibandingkan

jenis lainnya (Dallmayr, 2003: 40).

Preiss melengkapi pemikiran Dallmayr, yaitu multikulturalisme Parekh

dikonstruksi oleh budaya yang menciptakan pilihan. Dalam karyanya

“Multiculturalism and Equal Human Dignity: An Essay on Bhikhu Parekh” dalam

jurnal Res Publica (2011), Preiss mengungkapkan bahwa klaim Parekh sering

mengandalkan penjelasan dialog moral Kantian dan kepribadian moral, namun dia

tidak mau mengakui (Preiss, 2011: 141). Dasar Kantian Parekh di dalam

penjelasan bahwa budaya memfasilitasi pilihan dan kendalanya. Budaya yang

31

“Multiculturalism is not about any and all kinds of differences, but only about those that are

embedded in and sustained by culture”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 38: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

23

Universitas Indonesia

menyetabilkan dan membatasi dunia moral dan sosial, menciptakan kondisi

pilihan. Parekh menjelaskan bahwa:

“Karena nilai-nilai operatif publik merepresentasikan masyarakat yang

bersama-sama struktur moralnya dan nilai-nilainya yang berbeda dari

orang-orang pada bagian itu, serta mereka menyediakan hanya sudut

pandang moral yang valid dari mana mengevaluasi praktik minoritas.

Ketika praktik minoritas menyinggung terhadap nilai-nilai publik

masyarakat, itulah manfaat ketidaksetujuan.”

[Since the operative public values represent the society’s shared moral

structure and its values as distinct from those of a section of it, they

provide the only valid moral standpoint from which to evaluate minority

practices. … When a minority practice offends against the society’s public

values, it merits disapproval] (Parekh, 2000: 270).

Dari penjelasan budaya tersebut, dialog moral antarbudaya Parekh sangat

mirip dengan karya Kantian kontemporer terkemuka, bahwa:

“Dialog membutuhkan sebuah komitmen pada pikiran, yaitu

menyelesaikan konflik kepentingan dan nilai-nilai dengan diskusi,

kompromi dan akomodasi timbal balik, serta keadilan, yaitu kesediaan

mengakui dan menghormati klaim orang lain yang sah dan tidak mengejar

kepentingan seseorang dengan mengorbankan mereka.”

[Dialogue, I have argued, requires a commitment to reason - that is to

solve conflicts of interest and values by discussion, compromise and

mutual accommodation - and to justice - that is, the willingness to

recognize the legitimate claims of others and not to pursue one’s interests

at the expense of theirs”] (Parekh, 2008: 178).

Dengan pemikiran Parekh tersebut, cara terbaik untuk memahami usulan

pemikiran Parekh dengan melihatnya sebagai sesuatu yang muncul dari

penjelasan Kantian mengenai martabat manusia. Meskipun klaim berulang kali

sebaliknya, konsepsinya tentang kelayakan yang adil dapat, harus, cukup tebal

untuk membenarkan klaim moral di antara budaya, untuk memberikan kekuatan

pada banyak usulan kebijakan yang khusus. Jika tidak, Parekh meyakinkan bahwa

tak ada pemikiran bagi masyarakat untuk mengubah nilai-nilai publik operatif

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 39: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

24

Universitas Indonesia

yang tidak toleran dalam kasus di mana mayoritas mungkin melihat perubahan

seperti bertentangan dengan kepentingannya. Pemikiran yang diusulkan Parekh

tersebut menarik, karena didasarkan pada komitmen bersama semacam pemikiran

yang beliau tidak mengartikulasikan atau mengklaim, dan pada gilirannya ia

mengkritik orang lain (Preiss, 2011: 155).

Dengan memosisikan pada persoalan individu, multikulturalisme sebagai

pengolahan konflik dijelaskan oleh Meliono dalam karyanya “Membangun

Kesadaran Etis dan Persepsi Multikultural pada Kebhinekaan Masyarakat di

Indonesia” dalam Jurnal Etika (2009). Atas dasar latar kebhinekaan masyarakat

Indonesia, fenomena yang plural dan heterogen masyarakat Indonesia merupakan

kekayaan masyarakat, namun sering memunculkan perbedaan pandangan yang

mendiskriditkan arti plural dan heterogen bahkan berpotensi menimbulkan konflik

(Meliono, 2009: 281). Untuk mengolah konflik, dibutuhkan kesadaran multikultur

yang terbentuk dengan baik jika setiap individu benar-benar memahami fenomena

yang plural atau keragaman dan perbedaan yang ada pada individu masing-

masing. Pada setiap individu itu kesadaran “it-self” membentuk pola pikirnya

melalui proses belajar yang cukup lama. Di samping itu, kesadaran individu

dibentuk di dalam konstruksi budaya mengenai apa yang ingin atau tidak ingin

diketahuinya (Meliono, 2009: 290). Kesadaran multikultur individu pada akhirnya

akan menjadi kesadaran multikultur kolektif dengan berbasis pada keragaman dan

fenomena yang plural suku, etnis, wilayah budaya, agama, etnosentrisme dan

relativisme budaya, sikap menafikan pada prejudice, stereotip, diskriminasi, dan

konflik. Kesadaran multikultur tersebut harus diimbangi dengan kesadaran etis

melalui perilaku etis dari pelaku budaya. Oleh karena itu, pendidikan

multikulturalisme merupakan sebuah strategi untuk merekonstruksi kesadaran etis

dan persepsi multikultur bagi pendidik dan anak didik. Kesadaran itu memiliki

karakter yang kuat, dinamis, kreatif, demokratis, nondiskriminatif, plural, dan

heterogen (Meliono, 2009: 292-293).

Kesadaran etika multikulturalisme muncul melalui dialog. Zubair

menjelaskan kesadaran etika multikulturalisme dalam karyanya “Membangun

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 40: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

25

Universitas Indonesia

Kesadaran Etika Multikulturalisme di Indonesia” dalam Jurnal Etika (2009).

Dengan latar kebhinekaan tunggal ika Indonesia, keragaman atau fenomena yang

plural menjadi potensi bangsa, akan tetapi berpotensi juga menjadi argumentasi

disintegrasi jika tidak mengantisipasinya. Pancasila dalam fungsinya sebagai

sistem penopang dan pengawal subsistem norma yang ada, terbukti efektif, baik

terhadap perbedaan maupun kesatuan Indonesia. Secara fenomena filosofis-

ideologis Pancasila diyakininya sebagai norma universal bangsa Indonesia.

Pancasila seharusnya dibuktikan terus menerus di dalam dimensi fleksibilitas pada

perubahan yang alamiah dan akulturatif (Zubair, 2009: 46-47). Di situlah,

menurut Zubair, kesadaraan etika pluralisme dan multikulturalisme dipentingkan.

Etika yang dipahami oleh Zubair tidak hanya menyebut aturan-aturan yang

absolut, melainkan secara kritis mempertanyakan bagaimana manusia

bertanggung jawab terhadap produk keputusannya sendiri (Zubair, 2009: 38).

Atas dasar pemahaman etika itu, kesadaran etika multikulturalisme dikonstruksi

dengan beberapa cara di antaranya adalah mengembangkan dialog. Dialog

difungsikan untuk mengembalikan esensi kehidupan masyarakat plural pada

tindakan yang tidak mengabsolutkan hukum, ritus, dan adat istiadat masing-

masing yang berlatar belakang sosial budaya (Zubair, 2009: 48).

Kesadaran etis muncul juga di dalam fenomena etnik. Pada karya

“Ethnocracy and Multiculturalism: A Preliminary Study of the Cultural Aspects of

the Besemah People at Pagaralam, Palembang dalam Makara, Sosial Humaniora

(2011), lebih tajam secara kasuistik, Meliono menjelaskan fenomena etnik orang-

orang Besemah dari sisi positif untuk mengembangkan multikulturalisme. Etnik

Besemah memiliki prinsip dan norma sebagai kerangka rumusan kebijakan untuk

merespons tantangan globalisasi (Meliono, 2011: 59). Multikulturalisme yang

dikembangkan oleh orang-orang Besemah terdiri dari unsur-unsur budaya, yaitu

sistem pemerintahan tradisional, kolonialisme Belanda, serta persepsi komunitas

lokal dan global. Multikulturalisme itu berkaitan dengan prinsip etnokrasi

masyarakat Besemah. Etnokrasi masyarakat Besemah pada sekitar Abad ke-18

dan 19 secara prinsip, di samping memunculkan identitas nasionalisme untuk

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 41: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

26

Universitas Indonesia

melawan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang, juga memunculkan

kebebasan mengikuti sistem demokrasi dalam bernegara. Etnokrasi saat ini

menjanjikan ketika negara mempromosikan untuk meningkatkan kualifikasi

orang-orang, tidak hanya mendidik untuk memenuhi kebutuhan internal, tetapi

mempersiapkan untuk berkompetisi dengan orang lain. Etnokrasi sendiri memiliki

karakteristik tertentu untuk mengontrol aplikasi demokrasi pada institusi lokal

agama, budaya, dan bahasa (Meliono, 2011: 64). Namun, ada dampak negatif dari

etnokrasi yang didasarkan pada politik etnis, identitas budaya, agama, dan bahasa

di dalam sistem kontrol demokrasi. Dampak negatif dari etnokrasi memungkinkan

diskriminasi terhadap minoritas, represi, dan konflik, kecuali negara merespons

dampak negatif tersebut dengan multikulturalisme. Hal penting dalam persepsi

komunitas lokal dan global adalah adanya relasi budaya dengan budaya lain yang

menyebabkan pandangan dualistik orang-orang Besemah terhadap isu-isu sosial,

yaitu tetap mempertahankan budaya lokal, dan berkembang menjadi masyarakat

dinamis karena cukup terbuka dalam menerima perbedaan yang ada (Meliono,

2011: 65).

Multikulturalisme di Indonesia tersebut, menurut Suparlan pada karyanya

“Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan?” dalam

Antropologi Indonesia 72 (2003), menjadi pelik dan kontroversial di mana pada

masa Orde Lama Soekarno pernah melarang partisipasi etnik melalui partai-partai

politik etnis di dalam arena politik nasional maupun daerah, karena khawatir

partai-partai politik ini menjadi acuan bagi politisasi yang memproduksi

disintegrasi kehidupan berbangsa menjadi negara-negara etnis. Keyakinan agama

juga bersifat primordial dan memiliki potensi memproduksi disinetgrasi bangsa

melalui batas-batas sosial budaya yang diperkuat oleh keyakinan agama bahkan

dikembangsuburkan. Fenomena kasus-kasus di Aceh, Ambon, Maluku Utara, dan

Poso, merefleksikan makna dari keyakinan agama yang berkaitan dengan

potensinya dalam gejolak yang membahayakan integrasi bangsa (Suparlan, 2003:

34). Relasi antara individu, komunitas, dan negara yang berada dalam kesetaraan

derajat hanya mungkin terealisasi jika didukung oleh sistem hukum dan

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 42: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

27

Universitas Indonesia

penegakan hukum yang harus adil dan demokratis. Semua warga negara patut

mengingat Konstitusi bahwa “kebudayaan bangsa adalah puncak-puncak

kebudayaan di daerah”. Bahkan, pada masa Orde Baru budaya di daerah

dihilangkan menjadi hanya daerahnya saja dan kata daerah diberi makna sebagai

sebuah provinsi dengan sebuah etnik yang dominan di provinsi tersebut. Model

masyarakat yang dibentuk oleh Orde Baru adalah hanya masyarakat plural,

sedangkan para pelopor dan bapak bangsa Indonesia untuk mengatur dan

mentransformasi masyarakat plural dengan multikulturalisme. Penekanan

lambang bhineka tunggal ika dengan mengacu pada pernyataan konstitusional itu

jelas menunjukkan keragaman budaya, bukan keragaman etnik (Suparlan, 2003:

36). Keragaman budaya itulah dikonstruksi untuk dapat meredam fenomena etnik

yang berpotensi memunculkan konflik.

Dari kajian pustaka di atas, penelitian sebelumnya memosisikan

multikulturalisme Parekh sebagai keragaman budaya di dalam komunitas

subkultur di mana individu memiliki pilihan untuk menentukan harkat dan

martabatnya secara sosial. Di Indonesia, multikulturalisme difungsikan untuk

merespons kemungkinan konflik sosial di dalam keragaman dan fenomena budaya

yang plural melalui kesadaran etis dan dialog antarindividu. Penelitian ini

diposisikan pada pemahaman multikulturalisme Parekh yang menjelaskan dialog

antarbudaya dan rekogisi sosial sebagai pengolahan konflik sosial. Dialog

antarbudaya dijelaskan dengan mengungkapkan pemikiran Gadamer. Sementara

rekognisi sosial dijelaskan dengan mengungkapkan pemikiran Taylor. Kedua

filsuf tersebut sangat mempengaruhi pemikiran Parekh dalam menjelaskan

multikulturalisme. Pengolahan konflik dilakukan oleh seorang manusia atau

komunitas budaya ataupun negara yang mengakui keragaman budaya dan moral.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 43: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

28

Universitas Indonesia

1.8. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka,

metode fenomenologi kehidupan religius, dan metode refleksi kritis. Sebelum

dijelaskan metode penelitian, akan dijelaskan terlebih dahulu filsafat sosial

sebagai pendekatan penelitian.

Filsafat sosial (social philosophy) dalam sistematika filsafat merupakan

cabang filsafat. Filsafat sosial merupakan “sebuah telaah mengenai isu-isu

fundamental di mana program politik terbagi, yakni tentang apa seharusnya dan

mengapa prinsip-prinsip kehidupan sosial.”32

Misalnya, bagaimana seharusnya

relasi antara laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak, harus dikonsepsikan.

Ketika pertanyaan itu didiskusikan di antara gerakan pemikiran liberal dan

sosialis, komunis dan kiri baru, serta sosialis dan feminis, yang didorong di luar

polemik permukaan, atau perdebatan tentang taktik, maka diskusi itu disebut

filsafat sosial (Fink, 1981: 3).

Berdasarkan pemahaman tersebut, landasan fundamental filsafat sosial

adalah pemikiran Plato yang menjelaskan konsep man is a social being dalam

karyanya The Republic dengan menawarkan ide keadilan untuk mengharmoniskan

di antara dua oposisional (Plato, 2012: 27).33

Selanjutnya, pemikiran Plato

tersebut dikembangkan oleh Aristoteles untuk melengkapi kondisi manusia

dengan konsep man is by nature political animal sebagai penjelasan mengenai

entitas negara yang mengangkat tinggi harkat dan martabat manusia (Aristoteles,

1999: 5).34

Dalam penelitian ini, filsafat sosial didefinisikan sebagai “studi

reflektif tentang nilai-nilai etis dalam relasi manusia (individual atau kolektif) di

dalam kehidupan sosial”. Definisi filsafat sosial itu lebih dekat dengan definisi

etika sosial (social ethics), yang membicarakan nilai-nilai etis individu manusia di

dalam masyarakat. Etika sosial dapat dipahami dengan pernyataan berikut ini:

32

“Social philosophy is about the fundamental issues on which political programmes divide: it is

about what the principles of social life ought to be and why”. 33

“In seeking to establish the purely internal nature of justice, he is met by the fact that man is a

social being, and he tries to harmonise the two opposite theses as well as he can”. 34

“Hence it is evident that the state is a creation of nature, and that man is by nature a political

anima. And he who by nature and not by mere accident is without a state, is either a bad man or

above humanity, he is like ‘Tribeless, lawless, hearthless one".

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 44: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

29

Universitas Indonesia

“Ia sama sekali tidak mempunyai maksud untuk mendukung sikap orang-

orang yang menjalankan percobaan-percobaan medis atas diri manusia di

Auschwitz, dengan pernyataannya bahwa pandangan-pandangan moral

konvensional mengenai pembunuhan tidaklah memuaskan” (Teichmann,

1998: 5).

Pandangan-pandangan moral konvensional yang dimaksud adalah membunuh

orang-orang yang tak bersalah. Etika sosial menjelaskan fenomena moral,

kemanusiaan, egoisme, relativisme, konsekuensialisme, kematian, feminisme,

kebebasan berpikir dan berekspresi, serta kelompok kiri, kanan dan hijau dalam

merespons kenyataan sosial.

Ruang lingkup dari filsafat sosial merupakan sebagai tradisi umum, bukan

tradisi khusus, di antara filsafat moral, filsafat politik, filsafat hukum, filsafat

sejarah, dan filsafat ilmu-ilmu sosial (Fink, 1981: 5). Sebagai tradisi umum, ruang

lingkup dari filsafat sosial dipahami di dalam relasi filsafat sosial dengan ilmu-

ilmu lainnya yang saling bertautan dan saling melengkapi secara komprehensif

untuk merefleksikan kondisi manusia. Relasi filsafat sosial dengan ilmu-ilmu

lainnya dibagan berikut ini:

Bagan 5. Posisi Filsafat Sosial dalam Studi Masyarakat

Nilai-nilai etis

Masyarakat

Filsafat budaya

Filsafat hukum

Filsafat politik

Filsafat sejarah

Filsafat

ilmu-ilmu sosial

Filsafat Sosial

Filsafat moral

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 45: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

30

Universitas Indonesia

Ruang lingkup dari filsafat sosial di antara ilmu-ilmu lainnya tersebut

dapat menajamkan penjelasan terhadap permasalahan penelitian ini. Nilai-nilai

etis masyarakat merupakan obyek material yang menjadi pusat perhatian telaah

filsafat. Filsafat mendekati nilai-nilai etis masyarakat melalui forma yang

berbeda-beda. Filsafat sosial melalui relasi manusia dalam kehidupan sosial.

Filsafat politik melalui relasi kekuasaan dalam negara. Filsafat moral melalui

relasi kebaikan dan kejahatan antarindividu. Filsafat hukum melalui keadilan

sosial. Filsafat sejarah melalui kesadaran manusia. Filsafat budaya melalui cipta

manusia. Filsafat ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi, psikologi) melalui

keterikatan manusia pada masyarakat. Dalam perspektif sosiologi, filsafat sosial

dipahami sebagai sosiologi pengetahuan, seperti di dalam pemikiran Karl

Mannheim, yang dianalisis secara kritis dalam perspektif humanisme oleh Peter L.

Berger dan Thomas Luckmann dengan istilah konstruksi kenyataan sosial.

Pertama, metode studi pustaka (literature study). Metode studi pustaka

digunakan untuk mengumpulkan ide, gagasan, konsep dan fenomena faktisitas

tentang permasalahan penelitian ini. Tujuan dari metode studi pustaka, yaitu: (a)

untuk mengamati perkembangan penelitian saat ini yang relevan dengan

permasalahan tersebut. Kemudian, positioning penelitian ini dapat dijelaskan di

dalam konstelasi perkembangan pemikiran filsafat kontemporer. (b) Untuk

mengidentifikasikan tokoh, karya, teori dan temuan yang relevan dengan

permasalahan tersebut. Secara inheren, identifikasi filosof, sosiolog, historian,

atau antropolog dijelaskan di dalam penggunaan teori-teorinya. (c) Untuk

mengidentifikasikan perbedaan pemikiran yang berkembang mengeni

permasalahan dalam pendekatan filsafat sosial (Bhattacherjee, 2012: 21).35

Kedua, metode fenomenologi kehidupan religius (phenomenology of

religious life). Metode fenomenologi kehidupan religius yang digunakan

berdasarkan pemikiran Martin Heidegger untuk menganalisis konflik sosial.

35

“The purpose of a literature review is three-fold: (1) to survey the current state of knowledge in

the area of inquiry, (2) to identify key authors, articles, theories, and findings in that area, and (3)

to identify gaps in knowledge in that research area”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 46: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

31

Universitas Indonesia

Awalnya fenomenologi dipahami oleh Edmund Husserl yang berarti “psikologi

deskriptif”. Fenomenologi selanjutnya menjadi radikal dalam filsafat daripada

praktis dalam sistem. Dengan radikalitas dan gaya antitradisional dalam

berfilsafat, fenomenologi menekankan usaha untuk menemukan kebenaran dari

permasalahan, mendeskripsikan fenomena, dalam makna yang luas sebagai apa

pun yang tampak dengan caranya menampakkan, karena manifestasinya kepada

kesadaran (Moran, 2000: 4-5). Posisi Heidegger dalam cakrawala fenomenologi

Husserl tampak pada pengakuannya bahwa Husserl terlalu Cartesian dan

intelektualis dalam menjelaskan keterlibatan manusia di dalam dunia. Oleh sebab

itu, Heidegger meninggalkan benar-benar penggunaan istilah “kesadaran” dan

“intensionalitas.” Menurut Heidegger, kini manusia selalu terjebak di dalam dunia

sebagai penemuan diri yang terlempar, yang mengungkapkan diri dalam suasana

hati, yang disebut “being-in-the-world” (Moran, 2000: 13).36

Dengan konsepsi being-in-the-world, karakteristik fenomenologi

kehidupan religius dipahami dengan memperoleh pemahaman sebelumnya demi

originalitas (Heidegger, 2004: 47).37

Originalitas pemahaman fenomenologi

kehidupan religius didasari pada filsafat agama. Dalam perspektif filsafat agama

Heidegger menjelaskan bahwa:

“Agama harus dipahami secara kritis filosofis. Yang dipahami adalah

konteks yang diproyeksikan pada agama. Oleh sebab itu, konsepsi

filosofisnya menentukan pemahaman terhadap agama.”

[Religion is to be projected into an understandable context. Thus the

position of the problem of the philosophy of religion depends upon the

concept of philosophy] (Heidegger, 2004: 52).

Konteks agama berarti mengutamakan fenomena religius historis daripada

fenomena religius doktrinal. Fenomena kesadaran adalah yang dipahami di dalam

36

“Martin Heidegger, who claimed Husserl remained too Cartesian and intellectualist in his

account of human engagement with the world, decided that the only way to avoid what he

regarded as sterile epistemological formulations was to abandon the use of the terms

'consciousness' and 'intentionality' altogether. Humans are always already caught up in a world

into which they find themselves thrown, which reveals itself in moods, the overall nature of which

is summed up by Heidegger's notion of 'Being-in-the-world' (In-der-Welt-sein)”. 37

“Characteristic of the phenomenological-religious understanding is gaining an advance

understanding for an original way of access”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 47: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

32

Universitas Indonesia

fenomena religius historis. Melalui kesadaran, pemahaman fenomenologis

merupakan jembatan pemahaman fenomena religius historis dan fenomena

religius filosofis. Bahkan dalam sejarah agama modern, fenomenologi digunakan

untuk dekonstruksi (deconstruction). Dekonstruksi fenomenologis dalam sejarah

agama harus ditentukan dengan prakonsepsi, yang terhubung dengan sejarah.

Dasar dari penentuan fenomena religius adalah dekonstruksi fenomenologis

terhadap kesadaran yang dibimbing oleh konsepsi-masa-depan, bukan rasional

atau irrasional dari fenomena religius doktrinal. Jelasnya, fenomena religius

tersebut adalah pengalaman hidup umat beragama. Sejarah adalah pengalaman

hidup umat beragama secara faktual. Oleh karena itu, fenomena religius berada

pada ruang yang temporal, kontekstual dan diferensial (Heidegger, 2004: 53-55).38

Dalam penerapan fenomenologi kehidupan religius (lihat bagan 7.

Fenomenologi kehidupan religius pada hlm. 35-36) fenomena religius individu

pada komunitas umat yang memiliki agama dan etnik dan mengalami konflik

sosial dapat dipahami dengan tiga langkah berikut ini.

(a) Langkah pertama, setiap individu komunitas terlibat dan mengalami

konflik sosial. Eksistensi individu komunitas didasarkan pada diferensiasi

pandangan, bukan stratifikasi sosial. Ada dua ketentuan individu komunitas dalam

konflik sosial. (1) Individu mengalaminya dengan kehadiran [memiliki-menjadi].

(2) Individu mengalaminya dengan pengetahuan [kamu tahu]. Kehadiran [datang,

menjadi] dan pengetahuan [kamu lihat, kamu tahu] pada individu komunitas yang

terlibat dan mengalami konflik menghasilkan sebuah sejarah dalam dirinya dan

komunitasnya [kamu ingat]. Dua ketentuan pengalaman individu tersebut berada

dalam pemahaman historis dan terjadi secara berulang-ulang dari kehadiran

(keterlibatan) ke pengetahuan yang menghasilkan ingatan historis. Keberulangan

pengalaman itu berbeda dengan keberulangan peristiwa alam, karena

keberulangan pengalaman tidak hanya terjadi secara natural akan tetapi juga

secara sosial.

38

“…religiosity is in life experience… Factial life experience is historical. …religiosity lives

temporality…”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 48: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

33

Universitas Indonesia

(b) Langkah kedua, setiap individu komunitas mengubah [berbalik]

dirinya dalam konflik sosial. Maksudnya adalah perubahan diri yang berbalik-

dekat secara mutlak kepada Tuhan sebagai tujuan utama dan sekaligus yang

berbalik-jauh kepada citra-berhala sebagai ilusi. Sebelum terjadi perubahan diri,

individu yang hadir mengalami konflik dipahami dengan penerimaan

(acceptance) dalam komunitas yang memiliki relasi yang efektif dengan Tuhan.

Penerimaan tentang bagaimana perilaku diri (self-conduct) dalam kehidupan

fenomena yang faktual. Penerimaan itu ditentukan melalui penyambutan

[acceptance] dan penjamuan [recievance]. Setelah terjadi perubahan diri, individu

menuju ke dalam makna yang ditetapkan pada kehidupan fenomena faktual di

mana konflik sosial bergejolak, yang dieksplisitkan di dalam dua petunjuk:

melayani [to serve] dan menanti [to wait]. Dalam suasana konflik pelayanan dan

penantian individu komunitas merupakan sebuah transformasi di hadapan Tuhan

dan terus menerus menanti (Heidegger, 2004: 65-66).

(c) Langkah ketiga, setiap individu komunitas memaknai di dalam

melayani [to serve] dan menjamu [to receive] yang menentukan referensi lain

sebagai petunjuk fundamental dalam konflik sosial. Melayani dan menjamu

dimaknai sebagai karya keimanan [the work of faith], penderitaan cinta [the

suffering of love] dan pupus harapan [the endurance of hope], yang

dikonseptualisasi di dalam harapan, kesucian dan kebahagiaan [hope, glory, joy].

Konsep harapan, kesucian dan kebahagiaan memiliki makna khusus, akan tetapi

juga dapat bermakna kontradiktif (keputus-asaan, kenistaan dan kesengsaraan).

Pengetahuan yang menjelaskan menerima [to accept] dimaknai sebagai karakter

pupus harapan dalam penderitaan hidup; sedangkan menjamu [to receive]

dimaknai sebagai karakter kemenangan hidup dalam relasi efektif dengan Tuhan.

Dalam tradisi agama diketahui bahwa menjamu (memberi) lebih bernilai daripada

menerima. Pengetahuan komunitas agama dan etnis yang hadir mengalami adalah

titik awal dan asal usul teologi.39

Penerimaan merupakan diri-masuk-ke dalam

penderitaan. Penderitaan merupakan karakteristik fundamental dan perhatian

39

“Knowledge of one's having-become is the starting point and the origin of theology”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 49: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

34

Universitas Indonesia

mutlak dalam cakrawala penerimaan. Penerimaan adalah transformasi di hadapan

Tuhan. Oleh sebab itu, kondisi penderitaan diperkenankan ke dalam dunia diri di

hadapan Tuhan [in front of God] (Heidegger, 2004: 66-67).

Dengan langkah-langkah tersebut, bagan fenomenologi kehidupan religius

akan digunakan untuk menganalisis manusia yang beragama dan etnik di dalam

konflik sosial. Metode itu dipilih, bukan fenomenologi kehidupan sosial Alfred

Schutz sebagai pengembangan dari fenomenologi Heidegger, dikarenakan secara

fenomena kehidupan religius yang seringkali mengalami konflik di beberapa

wilayah Indonesia. Kehidupan religius memilik sejarah di dalam pergolakan

masyarakat pada masa negara ini dibentuk hingga saat ini, misalnya terukir di

dalam sila pertama dari ideologi Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Di

samping itu, negara harus melindungi warganya yang menganut agama dan

kepercayaan (pada etnik) sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Tiga

langkah fenomenologi kehidupan religius mengungkapkan tiga perilaku manusia

yang memiliki agama dan etnik dalam konflik sosial, yaitu dialog antarbudaya,

rekognisi sosial, dan manusia yang harmonis.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 50: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

35

Universitas Indonesia

Bagan 6. Fenomenologi Kehidupan Religius (Heidegger, 2004: 68)

front of God]

Step II Step III

[to become, to come]

[to see, to know]

[to accept]

[to receive]

[to turn]

[to serve]

[to wait]

[the work of faith]

[the endurance of hope]

[the suffering of love]

Step I

[in front of God]

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 51: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

36

Universitas Indonesia

Bagan 7. Penerapan Fenomenologi Kehidupan Religius

Melayani dan menjamu

dimaknai sebagai keimanan

Tuhan, penderitaan cinta,

dan pupus harapan di

hadapan Tuhan.

Perubahan diri kepada Tuhan

sebagai tujuan utama dan

sekaligus kepada citra-berhala

sebagai ilusi secara terus-

menerus

[melayani]

[pupus harapan]

TAHAP II

Individu komunitas

mengubah dirinya dalam

konflik sosial

TAHAP III

Individu komunitas memaknai

dalam melayani dan menjamu yang

lain di dalam konflik sosial

[datang, menjadi]

[melihat, mengetahui]

[menerima]

[menjamu]

[berbalik]

[menanti]

[karya keimanan]

[penderitaan cinta]

TAHAP I

Individu komunitas terlibat dan

mengalami konflik sosial

[di hadapan Tuhan]

Mengalaminya dengan

kehadiran pengetahuan

berulang-ulang secara sosial

Rekognisi sosial Dialog antarbudaya Harmoni sosial

[manusia]

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 52: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

37

Universitas Indonesia

Ketiga, metode refleksi kritis (critical reflection). Untuk merefleksikan

manusia dalam konflik sosial secara kritis, kritis yang digunakan berdasarkan

pada pemikiran teori kritis. Teori yang dimaksud adalah teori yang melekat pada

pengetahuan manusia di dalam konflik sosial. Pengetahuan adalah “hanya yang

benar-benar dapat mengarahkan pada pengetahuan yang membebaskan dirinya

dari kepentingan manusia belaka dan didasarkan pada idea. Dengan kata lain,

pengetahuan yang mengambil sikap teoretis.”40

Berkaitan dengan fenomenologi

kehidupan religius, istilah “teori” dari theoros dipahami memiliki asal usul agama

(keyakinan). Theoros merupakan representasi dari kota-kota Yunani pada

perayaan publik. Melalui theoria, yakni melalui pengelihatan, manusia

meninggalkan dirinya dengan kejadian sakral. Konsep teori dan hidup dalam teori

menentukan signifikansi filsafat sepanjang masa. Berdasarkan pertimbangan itu,

realitas dipahami secara positivistik dan ontologi tradisional. Positivisme tampak

pada ilmu pengetahuan empiris analitik, sedangkan ontologi tradisional tampak

pada ilmu pengetahuan historis hermeneutik. Adanya relasi itu, konsepsi teori

sebagai proses penanaman personal menjadi apokrif. Oleh sebab itu, tampak

kesesuaian mimesis jiwa dengan proporsi alam semesta, yang tampak dapat

diakses oleh kontemplasi, hanya mengambil pengetahuan teoretis ke dalam

pelayanan internalisasi norma-norma dan dengan itu terasing dari tugas yang

legitimit (Habermas, 1971: 301-304).

Manusia dalam konflik sosial tak dapat dilepaskan dari kepentingan

pengetahuan konstitutif manusia (knowledge-constitutive human interests).

Kepentingan pengetahuan konstitutif menjelaskan pengetahuan dan kepentingan.

Fenomena konflik sosial menampakkan idea “melayani” sebagai tindakan

pembenaran motif pada ruang yang nyata. Tindakan pembenaran itu pada tingkat

individual disebut “rasionalisasi”, dan pada tingkat kolektif disebut “ideologi”.

Kedua tindakan pembenaran berisi kesadaran palsu yang terikat tidak

direfleksikan pada kepentingan, walaupun ilusinya otonom. Dengan demikian,

40

“The only knowledge that can truly orient is knowledge that frees itself from mere human

interests and is based on Ideas - in other words, knowledge that has taken a theoretical attitude”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 53: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

38

Universitas Indonesia

eksplorasi komprehensif atas dialog budaya dalam masyarakat multikultur

dipahami dengan metode refleksi kritis terhadap konsepsi mengenai dialog

antarbudaya dan rekognisi sosial. Refleksi kritis terhadap konsepsi-konsepsi itu

yang menyusupi pengetahuan dan keyakinan eksistensi manusia dalam kehidupan

sosial, akan menemukan kembali eksistensi manusia yang harmonis. Dengan

demikian, fenomenologi kehidupan religius dan refleksi kritis sama-sama

mengungkapkan triadik kehidupan manusia dalam keharmonisan, yaitu dialog

antarbudaya, rekognisi sosial dan harmoni sosial. Triadik kehidupan manusia

dalam keharmonisan dibagankan berikut ini:

Bagan 8. Triadik Kehidupan Manusia dalam Keharmonisan

1.9. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian ini disusun menjadi enam bab, yang dapat

dijelaskan sebagai berikut.

Bab I merupakan bab pendahuluan. Sebagai pendahuluan, dijelaskan latar

belakang masalah, permasalahan dan rumusan masalah, pernyataan tesis,

pertanyaan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan konsep,

kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II, III, IV dan V merupakan bab pembahasan penelitian ini. Dalam

bab II akan dijelaskan perbedaan pandangan moral dan budaya sebagai landasan

rasional manusia membedakan diri sendiri dari yang lain di dalam masyarakat

multikultur. Ada beberapa bentuk pandangan moral dan budaya, yaitu monisme

Harmoni

sosial

Dialog

antarbudaya

Rekognisi

sosial

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 54: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

39

Universitas Indonesia

moral, pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis. Bab dua diakhiri

dengan respons terhadap bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya.

Dalam bab III akan dijelaskan unsur-unsur pembentuk masyarakat

multikultur sebagai pijakan secara sosial seorang individu berelasi dengan yang

lain. Ada beberapa unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman

moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik. Bab ketiga

diakhiri dengan memunculkan keterbatasan masyarakat multikultur.

Dalam bab IV akan dijelaskan konflik sosial masyarakat multikultur

sebagai masalah utama manusia di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya.

Penjelasan konflik sosial diawali dengan memahami konflik sosial. Dari

pemahaman konflik sosial, dapat dijelaskan corak konflik masyarakat multikultur,

yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik. Bab keempat diakhiri

dengan kritik atas manusia sebagai makhluk berkonflik.

Dalam bab V akan dijelaskan dialog budaya masyarakat multikultur

sebagai pengolahan konflik sosial yang dimunculkan oleh seorang manusia.

Dialog budaya dijelaskan melalui dua tindakan, yaitu dialog antarbudaya sebagai

pendamai konflik dan rekognisi sosial sebagai peredam konflik. Bab kelima

diakhiri dengan menemukan kembali manusia yang harmonis.

Bab VI merupakan bab penutup yang akan menjelaskan kesimpulan,

catatan kritis, dan relevansi dalam kehidupan kekinian.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 55: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

40

Universitas Indonesia

BAB II

PERBEDAAN

PANDANGAN MORAL DAN BUDAYA

2.1 Pengantar

Di dalam bab dua ini akan dijelaskan bentuk-bentuk pandangan moral dan

budaya yang berbeda-beda dalam sejarah peradaban manusia. Subyek pandangan

moral dan budaya adalah keragaman budaya di dalam masyarakat. Pandangan

moral dan budaya diproduksi oleh pemikiran rasional manusia di dalam

kehidupan sosial. Interpretasi individu terhadap pandangan moral dan budaya

yang berbeda-beda seringkali menimbulkan konflik antarindividu dalam perilaku

sosialnya. Bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya, yaitu monisme moral,

pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis. Di samping itu, akan

dijelaskan respons terhadap pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda

tersebut.

2.2 Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya

Pandangan moral dan budaya merupakan bentuk interpretasi seorang

manusia di dalam relasi sosial sebagai pandangan hidup. Interpretasi seorang

manusia terhadap moral dan budaya merupakan fenomena titik pijak seorang

individu dalam memahami realitas alam semesta dan berperilaku dalam

kehidupan sosial. Pandangan hidup dikonstruksi oleh pandangan dunia (world

view) seorang manusia di dalam kehidupan sosial. Pandangan dunia muncul dari

refleksi menyeluruh terhadap dunia dan Dasein (being-in-the-world) manusia.

Pandangan dunia disadari secara individual hadir dengan cara yang berbeda-beda.

Konstruksi pandangan dunia yang berbeda-beda dikategorikan menjadi dua, yaitu

pandangan dunia individual atau budaya dan pandangan dunia alamiah.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 56: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

41

Universitas Indonesia

Pandangan dunia individual dibentuk oleh lingkungan sosial, seperti orang lain,

etnisitas, kelas sosial, dan tahap budaya yang berkembang. Setiap pandangan

dunia yang dibentuk secara individual berarti keluar dari pandangan dunia

alamiah (Heidegger, 1982: 5-6).1 Oleh karenanya, pandangan moral dan budaya

dikonstruksi oleh interpretasi rasional seseorang yang dominan dan kondisi sosial

yang melingkupinya.

Istilah “moral” dalam pandangan moral berasal dari bahasa Latin “mos,

moris” dan bentuk plural “mores” (adat istiadat), yang berarti awalnya hanya cara-

cara di mana orang berperilaku. Istilah moral berkembang pesat pada cara di mana

ia merasa diinginkan, benar atau tepat (right or proper) bahwa orang harus

bersikap dan memberi dimensi normatif dengan istilah deskriptif sebelumnya dari

“ethos” dalam bahasa Yunani. Dari perkembangan itu, kemudian penekanan pada

pedoman moral yang cepat memperoleh status dan kekuatan preskripsi atau aturan

dalam kaitannya dengan tindakan, keinginan, niat atau karakter orang (Aspin,

2000: 31).2 Peraturan dan norma dalam kehidupan sosial menandai ketertanaman

budaya pada moralitas yang tampak pada cara di mana adat, perayaan, dan ritual

budaya mewujudkan dan memberi makna pada nilai-nilai moralnya. Oleh sebab

itu, dapat dipahami di sini bahwa:

“Moralitas adalah yang berkaitan dengan jenis kehidupan yang layak

dijalani, aktivitas yang layak dikerjakan, dan bentuk relasi manusia yang

layak diolah.”

[Morality is concerned with what kind of life is worth living, what

activities are worth pursuing, and what forms of human relations worth

cultivating] (Parekh, 2000: 114).

1 “A world-view always includes a view of life. A world-view grows out of an all-inclusive

reflection on the world and the human Dasein, and this again happens in different ways, explicitly

and consciously in Individuals or by appropriating an already prevalent world-view. …must

distinguish the individually formed world-view or the cultural world-view from the natural world-

view.” 2 “The word 'moral' comes from the Latin ('mos, moris', plural mores') and meant initially simply

the ways in which people behaved.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 57: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

42

Universitas Indonesia

Moralitas mensyaratkan kriteria kelayakan atau arti, yang selanjutnya

mensyaratkan sistem makna atau budaya. Setiap sistem moralitas ditanamkan dan

dipelihara oleh budaya yang lebih luas dan hanya dapat diubah dengan mengubah

yang mutakhir. Budaya membentuk dan menstrukturisasi kehidupan moral

termasuk cakupan, isi, otoritas, dan jenis emosi yang berkaitan dengannya. Dalam

perilaku sosial banyak budaya tradisional melihat alam sebagai totalitas spiritual

dan menganggap sikap manusia kepada alam sebagai keprihatinan moral. Namun,

kebanyakan masyarakat modern berpandangan yang “tidak mengikat” mengenai

alam dan memosisikan relasi manusia dengan alam di luar lingkup moralitas.

Misalnya, dalam beberapa budaya, makanan dilihat sebagai anugerah Tuhan atau

sarana memertahankan tubuh yang diberi Tuhan, dan apa yang dimakan,

bagaimana dan dengan siapa adalah urusan moral. Namun, dalam budaya lain,

makanan tidak memiliki arti moral. Banyak budaya Protestan menekankan

dimensi internal moralitas dan memperlakukannya sebagai aspek kehidupan yang

terpisah dan otonom. Cina, Hindu, dan beberapa masyarakat Afrika menanamkan

moralitas di dalam sistem ritual dan konvensi sosial, serta beberapa yang lain

tidak punya kata terpisah. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap kehidupan

manusia tidak selalu merupakan prinsip moral abstrak, akan tetapi juga dapat

diwujudkan dalam prinsip moral konkret, seperti adat dan ritual yang mengelilingi

kita (Parekh, 2000: 144-145).

Istilah “budaya” yang dimaksud pada pandangan budaya adalah untuk

mengacu kepada suatu sistem, seperti pada keyakinan dan praktik. Budaya berasal

dari bahasa Latin colere yang berarti “untuk sampai” atau “mengolah”. Istilah

budaya mulai digunakan pada Abad ke-18 dan sekarang digunakan secara luas

pada keragaman semantik (Iannone, 2001: 130).3 Misalnya, istilah budaya

dimaknai dengan istilah “bildung” dan bentuk-bentuk yang terkait, seperti

“pengolahan,” “diolah.” Gadamer mendefinisikan budaya sebagai cara

mengembangkan bakat dan kapasitas seorang manusia secara tepat (Gadamer,

3 “Culture from the Latin colere, i.e. „to till‟ or „cultivate.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 58: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

43

Universitas Indonesia

2004: xii). Dalam istilah bildung tersebut terdapat akar kata bild, “bentuk,”

“imajinasi” dan lebih khusus, “gambar.” Oleh sebab itu, pengolahan adalah proses

“membentuk” diri sesuai di dalam “imajinasi” ideal dari manusia.4 Dengan

maksud penggunaan itu, dapat dijelaskan bahwa:

“Budaya adalah suatu sistem makna dan arti yang dibuat secara historis

atau, apa yang hadir pada sesuatu yang sama, sistem keyakinan dan

praktik di mana sekelompok manusia memahami, meregulasi dan

menstrukturisasi kehidupan manusia secara individual dan kolektif.”

[Culture is a historically created system of meaning and significance or,

what comes to the same thing, a system of beliefs and practices in terms of

which a group of human beings understand, regulate and structure their

individual and collective lives] (Parekh, 2000: 143).

Budaya dapat diartikulasikan di dalam beberapa tingkat. Pada tingkat yang

paling dasar, budaya direfleksikan di dalam “bahasa”, sebab itu budaya

ditanamkan dalam bentuk pribahasa, pepatah, mitos, ritual, simbol, memori

kolektif, lelucon, bahasa tubuh, model komunikasi nonbahasa, adat istiadat,

tradisi, institusi, dan tata cara percakapan. Pada tingkat yang terstruktur dan tertata

di kehidupan manusia, budaya diartikulasikan dalam “peraturan dan norma” yang

mengatur aktivitas dasar dan relasi sosial, seperti bagaimana, di mana, kapan dan

dengan siapa orang makan, menikah dan bercinta, bagaimana orang berkabung

dan melupakan kematian, serta memperlakukan orang tua, anak-anak, isteri,

tetangga, dan orang asing (Parekh, 2000: 143-144).

Moral dan budaya tersebut didasarkan pada interpretasi apa yang diyakini

dan dipraktikkan oleh seorang individu di dalam kehidupan sosial. Interpretasi

seseorang terhadap dirinya, orang lain atau apa pun mengkonstruksi perbedaan

pandangan. Realitas tersebut menjelaskan bahwa pandangan moral dan budaya di

4 “Bildung is translated by „culture‟ and related forms such as „cultivation,‟ „cultivated.‟ …

Gadamer defines Bildung as properly human way of developing one's natural talents and

capacities. … „Cultivation‟ is a process of „forming‟ the self in accordance within an ideal

„image‟ of the human.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 59: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

44

Universitas Indonesia

dalam kehidupan sosial menjadi berbeda-beda. Berikut ini disampaikan bentuk-

bentuk pandangan moral dan budaya di dalam kehidupan sosial.

2.2.1 Pandangan Monisme Moral terhadap Moral dan Budaya

Monisme secara filosofis adalah sikap seorang manusia yang merespons

realitas kehiduapan secara normatif dengan sudut pandang tunggal terhadap

pemahaman dualistik, terutama budaya dan alam sekitarnya (Weir, 2012: 1).5

Pandangan monisme moral terhadap moral dan budaya dapat dijelaskan ke dalam

tiga bentuk perspektif, yaitu monisme rasionalis filsafat Yunani, monisme teologis

Kristen, dan monisme regulatif liberalisme klasik. Monisme moral termasuk

pandangan moral yang paling tua dan berpengaruh di dalam peradaban manusia.

Pandangan monisme moral mengacu pada pemikiran bahwa:

“Hanya ada satu jalan hidup yang benar-benar manusiawi, atau yang

terbaik, sedangkan yang lainnya cacat karena kekurangan.”

[Only one way of life is fully human true, or the best, and that all others

are defective to the extent that they fall short of it] (Parekh, 2000: 16).

Yang baik, seperti kebenaran, bersifat tunggal atau keseragaman dalam kehidupan

sosial, sedangkan kejahatan, seperti kesalahan, bersifat keragaman dalam

kehidupan sosial. Meskipun monisme moral mengakui keyakinannya yang

terbaik, namun mereka tidak memaksakan seluruh manusia atau masyarakat untuk

harus hidup dengan keyakinannya (Parekh, 2000: 16).

Pemikiran filosofis yang diyakini oleh monisme moral didasarkan pada

empat keyakinan fundamental. (a) Keseragaman sifat manusia. Dengan

keseragaman sifat, semua manusia, meski berbeda ruang dan waktu, sama-sama

memiliki kapasitas yang unik, watak, dan hasrat.6 Perbedaan hanya menentukan

5 “Against dualistic understandings of human reality, thet seek to analyze nature and culture from

a single vantage point. Philosophically, this stance is called monism.” 6 “The uniformity of human nature, that is, all human beings, however much they are divided by

time and space, share a common consisting of certain unique capacities, dispositions and desires”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 60: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

45

Universitas Indonesia

partikularitas manusia, bukan humanitasnya. (b) Keutamaan moral dan ontologis

adalah kesamaan atas perbedaan.7 Kesamaan jauh lebih penting secara ontologis

daripada perbedaan. (c) Karakter manusia transendental secara sosial.8 Meski

berkembang di dalam masyarakat, namun karakter manusia tidak dipengaruhi oleh

masyarakat. (d) Sifat manusia sebagai dasar kehidupan yang baik, atau apa yang

terlintas dalam sesuatu, menegaskan kesatuan yang baik dan benar.9 Sifat manusia

demikian itu merupakan differentia specifica pada spesies manusia, yakni

intelektual teoretis, cinta Tuhan, atau kapasitas bagi kehendak diri dan otonomi

(Parekh, 2000: 16-18). Empat fundamen pemikiran filosofis tersebut dapat dilacak

pada tiga bentuk monisme moral berikut.

Pertama, monisme rasionalis filsafat Yunani. Dua filsuf Yunani kuno yang

sangat berpengaruh pada monisme rasionalis, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato

mengatakan bahwa “manusia tidak berbeda, di mana spesies yang berbeda

membentuk hierarki yang didasarkan pada sejauh mana menyadari totalitas

kebaikan atau Ide dari yang Baik”.10

Sifat manusia, menurut Plato, terdiri dari

rasio, jiwa, dan hasrat. Rasio dijelaskan sebagai sesuatu yang bersifat teoretis dan

sekaligus praktis. Jiwa adalah sumber energi psikologis yang mengungkapkan

emosi, seperti rasa hormat, ambisi, dan kemarahan. Hasrat merupakan unsur yang

berhubungan dengan tubuh dan kebutuhan lainnya. Dari tiga sifat tersebut, rasio

adalah sumber pengetahuan yang tertinggi tentang good life. Walaupun

mengatakan manusia tidak berbeda, akan tetapi Plato membedakan bahwa antara

good life dalam pandangan masyarakat Yunani dan masyarakat Phoenix atau

Mesir (Parekh, 2000: 19).

Pembedaan antara Yunani dan non Yunani mengimplikasi adanya relasi

antara yang diatur oleh prinsip-prinsip yang berbeda dengan yang mengatur.

7 “The moral and ontological primacy is similarities over differences.”

8 “The socially transcendental character is human nature.”

9 “Human nature as the basis of good life or, what comes to the something, asserts the unity of

good and truth.” 10

“Human beings were no different,…Different species formed a hierarchy based on the degree to

which they realized the totality of goodness or the Idea of the Good.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 61: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

46

Universitas Indonesia

Menurut Plato, semua orang Yunani merupakan orang tunggal, kerabat, dan

bersahabat dengan alam. Namun, antarindividu Yunani seringkali saling

berkelahi, sebab adanya perbudakan, sedangkan individu-individu non Yunani

adalah musuh alamiah individu Yunani. Konflik sosial untuk nasionalisme bangsa

Yunani tersebut merupakan penguasaan subyek-subyek inferior (Parekh, 2000:

20-21).

Aristoteles juga meyakini bahwa rasio adalah kemampuan manusia

tertinggi, serta bersifat teoretis dan praktis. Rasio teoretis adalah ilahi dan abadi,

meskipun bagian integral dari sifat manusia, yang masuk dari sisi luar. Rasio

teoretis lebih tinggi dari rasio praktis karena mandiri, bebas dari kendala duniawi,

dan memungkinkan manusia untuk berpartisipasi dalam eksistensi menyerupai

Tuhan.11

Berbeda dengan kehidupan rasio praktis, yang melibatkan

pengembangan dan pelaksanaan kebaikan moral dan politik, seperti keadilan dan

keberanian yang memerlukan manusia lain, kehidupan rasio teoretis yang

ditujukan untuk kontemplasi adalah mandiri dan bebas dari respons kontingen

orang lain (Parekh, 2000: 21).

Plato dan Aristoteles memposisikan manusia pada antara Tuhan dan

binatang.12

Rasio teoretis adalah yang paling tinggi, sedangkan hasrat merupakan

yang paling rendah karena lebih dekat dengan binatang. Plato mengatakan bahwa

manusia adalah binatang yang rasional dan Aristoteles mengatakan bahwa

manusia adalah binatang yang berpolitik. Bahkan, monisme moral memisahkan

rasio dan moralitas dari budaya yang melekat pada masyarakat. Plato hanya

mengakui dominasi rasio, spirit dan hasrat di dalam masyarakat, akan tetapi tidak

memiliki makna budaya. Begitu juga, Aristoteles hanya menekankan signifikansi

kelas-kelas sosial dan relativitas kriteria keadilan (Parekh, 2000: 22-23).

Kedua, monisme teologis Kristen. Ada dua filsuf sekaligus teolog yang

mempengaruhi pandangan ini, yaitu Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas.

11

“It was higher than practical reason because it was self-sufficient, free from worldly constraints,

and enabled human beings to participate in God-like existence.” 12

“Humans occupied an intermediate position between God and animals.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 62: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

47

Universitas Indonesia

Pandangan monisme teologis Kristen didasarkan pada keyakinan bahwa “hanya

agama Kristen yang merepresentasikan agama yang satu dan benar.”13

Augustinus

dan Aquinas meyakini bahwa “agama adalah benar-benar dasar hidup yang baik,

hanya agama Kristen adalah agama yang benar, hanya Gereja Katolik sebagai

penjaga yang diberi otoritas, dan hanya satu keyakinan itu yang tidak dapat

dipertanyakan merupakan jalan menuju keselamatan”.14

Sedangkan, moralitas

hanya merupakan langkah menuju kehidupan dunia lain yang merepresentasikan

takdir manusia akhir. Oleh sebab itu, kehidupan moral sebenarnya membutuhkan

dasar religius di mana semakin berkualitas moralitasnya semakin benar agama

yang mendasarinya (Parekh, 2000: 24).

Monisme teologis Kristen dalam kehidupan sosial mengenalkan ide-ide

universalisme moral, dan karya misionaris.15

Dengan pengenalan ide-ide tersebut

pandangan ini menghadapi dua masalah, baik secara internal maupun eksternal.

Secara internal pandangan monisme teologis Kristen seharusnya menghargai

pluralisme hermeneutik ketika doktrin utama diinterpretasikan dengan cara yang

berbeda-beda. Secara eksternal pandangan itu seharusnya merangkul pluralisme

religius ketika fenomena kekristenan berkonfrontasi dengan agama-agama lain,

seperti Yudaisme, Paganisme, dan Islam (Parekh, 2000: 25). Konfrontasi dengan

Yudaisme ditunjukkan pada interpretasi bahwa fenomena kekristenan adalah satu-

satunya agama yang benar, yang menggantikan Yudaisme, dan seorang Yahudi

yang memahami keyakinannya harus konversi ke agama Kristen, akan tetapi

realitasnya bahkan terjadi konflik antara Kristen dan Yudaisme (Parekh, 2000: 27;

30).16

Kini konfrontasi tersebut sudah didialogkan dengan reinterpretasi kitab

suci. Dalam kitab suci Perjanjian Baru, Yesus berfirman bahwa “orang-orang non

13

“The belief was that Christianity alone represented the „one and true‟ religion.” 14

“Religion was the basis of the truly good life, Christianity was the only true religion, the

Catholic Church was the only authorized custodian of it, and an unquestioning faith in it was the

only way to salvation.” 15

“Christian monism introduced the ideas of moral universalism, and missionary work.” 16

“His main concern was to show that it was a false and immoral religion”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 63: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

48

Universitas Indonesia

Yahudi akan berbagai kerajaan surga dan akan dinilai pada dasar yang sama

sebagai orang-orang beriman”. Monisme teologis Kristen pun menyadari bahwa

pandangannya telah menjadi sumber bagi banyak sikap intoleran dan kekerasan

atas orang-orang Yahudi, Muslim, etnik asli Indian, dan lainnya. Atas kesadaran

itu, pandangan teologis Kristen telah mendamaikan semuanya dengan komitmen

terhadap cinta dan antikekerasan (Parekh, 2000: 32-33).

Ketiga, monisme liberalisme klasik. Pandangan ini berasal dari

rasionalisme Yunani dan universalisme Kristen. Ada dua filsuf yang

dikategorikan sebagai monisme liberalisme klasik, yaitu John Locke dan John

Stuart Mill. Monisme liberalisme klasik berpandangan bahwa “fenomena

kekristenan merupakan satu-satunya agama yang mengembangkan nilai-nilai

liberal atas martabat manusia, kebebasan, kesetaraan, bahkan perbedaan pendapat,

dan sendirian layak menjadi manusia bebas”.17

Pandangan ini tidak dapat

dilepaskan dari kondisi sosial dan ideologi kolonialisme sebagai fenomena

historis eksternal. Selain itu, monisme liberalisme klasik menekankan dan

menginstitusionalisasikan ide-ide, seperti peraturan hukum, kesetaraan warga

negara, individu sebagai pemegang satu-satunya hak dan kewajiban, serta relasi

langsung dan tak termediasikan relasi antara warga dan negara (Parekh, 2000: 33-

34).

Pemikiran Locke dan Mill didasarkan pada keyakinan bahwa “hidup yang

baik sebagai ikatan universal dan menilai semua masyarakat, serta jalan hidup

menurut diri mereka sendiri”.18

Locke mengatakan bahwa “semua manusia

memiliki martabat dan hak-hak yang setara”. Dengan konsepsi manusia itu,

menurut Locke, masyarakat rasional diperintah oleh hukum postif dan umum

yang disahkan oleh badan legislatif tertinggi, bukan oleh praktik-praktik dan adat

17

“Christianity was the only religion to develop the liberal values of human dignity, freedom,

equality and even dissent, and was alone worthy of a free man.” 18

“… the good life as universally binding and judged all societies and ways of life in terms of

them.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 64: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

49

Universitas Indonesia

istiadat tradisional.19

Di samping itu, Mill menambahkan bahwa manusia adalah

makhluk yang paling tinggi di bumi dan harus memimpin kehidupan yang bernilai

dengan statusnya (Parekh, 2000: 36-37; 40).20

Dengan demikian, pandangan monisme moral di atas sebagai sikap

filosofis memiliki beberapa kekurangan dalam kehidupan masyarakat multikultur.

Kekurangan pandangan monisme moral ketika menjelaskan manusia yang

tertanam secara budaya di mana budaya tidak hanya memberi sifat dan struktur

pada kapasitas manusia bersama melainkan juga mengembangkan sendiri hal-hal

baru. Dengan pandangan seperti, kapasitas manusia mengalami konflik karena

tiga alasan. Pertama, secara intrinsik, karena manusia seringkali membutuhkan

keterampilan, sikap dan watak yang berbeda-beda, bahkan saling berlawanan.

Kedua, limitasi kondisi manusia, karena energi, motivasi dan sumber daya

manusia perlu dibatasi dan seseorang hanya bisa mengolah beberapa kapasitasnya.

Ketiga, hambatan kehidupan sosial, karena setiap tatanan sosial memiliki struktur

yang spesifik dengan kecenderungan yang tak terhindarkan untuk

mengembangkan beberapa kapasitas lebih daripada yang lainnya, dan hanya

membiarkan cara-cara penggabungannya secara tertentu. Atas dasar alasan

tersebut, pandangan monisme moral telah melakukan bahaya konstan yang

merupakan kesalahpahaman besar bagi cara hidup yang lain dan mengakibatkan

bencana hermeneutik. Selain itu, monisme moral memandang bahwa perbedaan

sebagai penyimpangan, sebagai ekspresi patologi moral (Parekh, 2000: 47-49).

19

“… All human beings had equal dignity and rights …” A rational society was governed not by

customs and traditional practices but by general and „positive laws‟ enacted by the supreme

legislative”. 20

“Man is the highest being on earth and should lead a life worthy of his status”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 65: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

50

Universitas Indonesia

2.2.2 Pandangan Pluralisme terhadap Moral dan Budaya

Pluralisme dalam pandangan terhadap moral dan budaya yang

dimaksudkan adalah sebuah teori tentang sifat manusia dari nilai-nilai yang

direalisasikannya yang membuat good life.21

Perhatian utama pluralisme kepada

relasi di mana nilai-nilai itu hadir antara satu sama lain, identitas nilai-nilai

pluralis, qua pluralis, dan hanya yang relevan untuk memahami relasi pluralis.

Singkatnya, pluralisme merupakan sebuah teori tentang salah satu aspek dari good

life (Kekes, 1993: 9). Pandangan pluralisme terhadap moral dan budaya

didasarkan pada keyakinan bahwa “keragaman budaya merupakan substansi dari

setiap masyarakat di seluruh dunia”. Dalam pandangan pluralisme ada tiga

pemikiran filsuf, yaitu Giambattista Vico, Baron de Montesquieu, dan Johann

Gottfried von Herder.

Sifat manusia, menurut Vico, adalah produk historis, bukan substansi

transhistoris, yang dikembangkan secara berbeda, serta diekspresikan dalam epos

dan masyarakat yang berbeda.22

Adanya perbedaan di dalam masyarakat, menurut

Montesquieu, menjelaskan keragaman budaya adalah sifat kehidupan manusia

yang berkembang perlahan-lahan dan mutlak.23

Oleh karena itu, setiap masyarakat

mempunyai adat, praktik, cara, sistem hukum, struktur keluarga, dan bentuk

pemerintahan yang berbeda. Perbedaan dalam masyarakat itu, menurut Herder,

menunjukkan budaya yang secara unik dikaitkan dengan pengalaman kelompok

masyarakat, nenek moyang dan keturunan historisnya, dan mengungkapkan cara

di mana para anggota kelompok masyarakat itu memahami dan secara imajinatif

menginterpretasikan pengalamannya (Parekh, 2000: 52; 56; 67).24

Vico menekankan keunikan setiap masyarakat “atas dasar keadaan

geografis, historis dan bentuk pemahaman diri yang beragam, masyarakat yang

21

“Pluralism is a theory about the nature of the values whose realization would make lives good.” 22

“Human nature was a product of history not a transhistorical substance, and was differently

developed and expressed in different epochs and societies.” 23

“Cultural diversity was a pervasive and inescapable feature of human life.” 24

“Every culture was uniquely associated with the experiences of a volk, its progenitor and

historical bearer, and expressed the way in which its members understood and imaginatively

interpreted these experiences.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 66: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

51

Universitas Indonesia

berbeda mengorganisasi dirinya sendiri pada prinsip-prinsip yang berbeda”. 25

Dengan dasar ini, manusia mengembangkan kapasitas, kebutuhan, ide-ide

keunggulan, bentuk rekognisi, model imajinasi dan sistem keyakinan yang

berbeda, serta memunculkan bentuk yang berbeda dari aktivitas artistik dan

literasi. Oleh sebab itu, manusia bertanya dengan pertanyaan yang berbeda

tentang hidup dan dunianya, serta menjawabnya dengan caranya sendiri yang

unik. Menurutnya, setiap masyarakat adalah komunitas budaya yang berbeda-beda

di dalam sebuah bangsa (nation).26

Vico adalah salah satu pemikir yang pertama

menggunakan istilah bangsa dalam pandangan modern. Misalnya, heroisme,

Homer dan Achilles, hanya mungkin di Yunani kuno, tidak bisa direproduksi pada

tempat lain (Parekh, 2000: 50-51).

Konsep manusia Vico, meskipun kurang substantif daripada Plato dan

kurang esensial daripada Aristoteles, tidak formal murni bahwa “sebagai anggota

dari spesies umum, manusia bersama-sama menggunakan beberapa sifat umum”.

Manusia memiliki keinginan yang identik, sifat buruk yang umum dalam bentuk

kebuasaan, ketamakan dan ambisi, serta kapasitas umum, misal berpikir,

imajinasi, dan pandangan umum atau penilaian tanpa refleksi. Manusia juga

bersama-sama menggunakan bahasa mental umum atau kosa-kata umum yang

diletakkan pada dasar dan diekspresikan secara berbeda dalam bahasa yang

berbeda, sehingga mengapa pepatah dan peribahasa dari masyarakat yang berbeda

secara substansial bermakna sama dan mudah dipahami oleh orang lain. Oleh

sebab itu, manusia memulai sejarahnya dilengkapi dengan sifat yang sama

(Parekh, 2000: 52).

Zaman manusia menandai tahap ketiga dan terakhir. Namun, Vico tidak

menjelaskan ketiga zaman itu, akan tetapi berpikir bahwa zaman terakhir dimulai

di Eropa dengan kebangkitan Republik Roma. Dalam pola teleologisnya

dikatakan bahwa tiap zaman merupakan tahap dalam peningkatan realisasi sifat

25

“Thanks to their varying geographical circumstances, history and forms of self-understanding,

different societies organized them-selves on different principles”. 26

“Every society was a district cultural community, a „nation”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 67: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

52

Universitas Indonesia

manusia yang benar dan tepat atau “humanitas rasional”. Realisasi paling utuh

dari humanitas rasional adalah representasi tahap tertinggi dari perkembangan

manusia. Menurutnya, secara umum realisasi itu terjadi di dalam harmoni rasio

dan agama. Selain itu, hanya masyarakat yang mengharmoniskan keduanya

merupakan realisasi dari potensi manusia dan jaminan stabilitas dan kebaikan.

Dalam visinya humanitas rasional dikembangkan untuk menilai agama,

masyarakat dan epos historis yang berbeda. Penilaian Vico bahwa:

“Hanya fenomena kekristenan adalah agama yang benar, karena

menyadarkan pada ide Tuhan yang murni dan sempurna, artikulasi visi

kebaikan yang tertinggi yang mulia dan noninstrumental, berisi kebenaran

yang mendalam yang menarik perhatian para filsuf yang terpelajar dari

orang-orang non Yahudi dan merekonsiliasikan kearifan otoritas wahyu

dan rasio.”

[Christianity was the only „true‟ religion because, among other things, it

rested on an „infinitely pure and perfect idea of God‟, articulated a noble

and non-instrumental vision of the highest good, contained truths so

profound that they attracted the „most learned philosophers of gentiles‟,

and reconciled the „wisdom of revealed authority with that of reason]

(Parekh, 2000: 54).

Montesquieu memiliki sensitivitas keragaman budaya sebagai sifat hidup

manusia yang pervasif dan mutlak.27

Setiap masyarakat mempunyai adat, praktik,

cara, sistem hukum, struktur keluarga dan bentuk pemerintahan, serta masing-

masing mendorong hasrat, moral, kebaikan dan sikap perilaku yang berbeda,

bentuk keunggulan dan konsepsi hidup yang baik. Keragaman budaya

menimbulkan dua pertanyaan, eksplanatoris dan normatif. Pertama, mengapa

masyarakat memunculkan praktik-praktik dan adat-adat yang berbeda? Kedua,

bagaimana menilai hal itu? Praktik adalah bukan kebetulan atau absurd, tapi

rasional, kebutuhan, alami atau mudah dipahami. Eksplanasi adalah aktivitas

nonpenilaian, tapi untuk memahami dan eksplorasi rasionalitas explicandum.

27

“Cultural diversity was a pervasive and inescapable feature of human life”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 68: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

53

Universitas Indonesia

Misalnya, rasionalitas praktik perbudakan dan poligami yang mengundang kritik

(Parekh, 2000: 55-56).

Kaitan praktik dan struktur sosial sebagai alasan fisik dan moral yang

saling berpengaruh.28

Bagi Montesquieu, alasan fisik bersifat independen terhadap

agensi manusia dan meliputi, seperti ukuran, daratan dan lokasi negara, sifat

tanah, sumber ekonomi dan di atas semuanya iklim. Alasan moralnya mengacu

pada tindakan manusia dan institusi, khususnya bentuk pemerintahan, hukum dan

agama. Dengan saling berpengaruhnya kedua alasan, setiap masyarakat

mengembangkan genius atau spirit nasional yang berbeda, meskipun derivasi

sifatnya memunculkan pengaruh independen dan praktik, dan institusi sosial yang

integral ke dalam keseluruhan secara koheren. Iklim memainkan pengaruh yang

menentukan di dalam masyarakat terbelakang. Misalnya, praktik poligami secara

luas di negara beriklim panas. Alasan fisiknya, perempuan dewasa lebih dini dan

siap menikah lama sebelum berkembang pemikirannya. Selain itu, kebutuhan

orang lebih sedikit dan lebih mudah dipenuhi untuk mempertahankan keluarga

besar. Sebaliknya, di negara beriklim dingin, praktik poligami sangat tidak

disetujui. Alasan moralnya, iklim berdasarkan justifikasi agama dan hukum,

sebagai institusi manusia yang paling kuat. Menurutnya, ada tiga sumber standar

moral universal, yaitu sifat segala sesuatu, hukum sifat manusia, dan analisis

sosiologis pengalaman manusia (Parekh, 2000: 56-58).

Atas dasar tiga sumber standar moral universal itu, Montesquieu

memberikan visi yang berbeda tentang good life dan tubuh standar moral

universal, yaitu:

“Keamanan, kebebasan, keluarga stabil, relasi kesehatan antar jenis

kelamin, pengendalian diri, kelembutan gairah, industri dan penghindaran

dogmatisme, serta keyakinan yang kuat merupakan kualitas yang

diinginkan secara universal. Begitu juga, kesetaraan, rasa keadilan, cinta,

humanitas, otonomi personal, spirit penyelidikan bebas, toleransi, hukum

umum dan tetap, check and balance dalam ranah kehidupan personal,

28

“Montesquieu explained social structures and practices in terms of what he called physical and

moral causes”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 69: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

54

Universitas Indonesia

keluarga dan politik, serta pengendalian konstitusional pada kekuatan

politik. Agama menjadi basis kehidupan sosial yang dibutuhkan.”

[Security, liberty, stable family, healthy relations between the sexes, self-

restraint, mildness of passion, industry and avoidance of strong

convictions and dogmatism were all universally desirable qualities, and so

too were equality, a sense of justice, love, humanity, personal autonomy,

the spirit of free inquiry, toleration, settled and general laws, checks and

balances in personal, familial and political areas of life, and

constitutional restraints on political power. …religion was the necessary

basis of social life] (Parekh, 2000: 59).

Di samping itu, Montesquieu sangat simpatik kepada masyarakat modern

komersial sebagai liberalisme konservatif. Pandangannya bahwa masyarakat itu

telah menciptakan kondisi good life, yaitu peningkatan penguasaan manusia atas

alam, memelihara moderasi, mengecilkan nafsu dan keyakinan yang kuat, serta

menguatkan kelembutan watak dan perasaan. Pada sisi yang lain masyarakat

modern komersial meningkatkan konsumerisme, mengecilkan kebaikan yang

berjalan melampaui keadilan yang pasti, seni yang vulgar, menciptakan iklim

yang di dalamnya segala sesuatu hanya dilakukan demi uang, dan lainnya.

Montesquieu berpikir bahwa “meski tidak sempurna, masyarakat komersial

berada pada kesimbangan yang lebih baik daripada semua masyarakat masa lalu

dan paling baik dalam harmoni dengan pengetahuan tentang sifat dan kehidupan

manusia.” Oleh sebab itu, pada masyarakat non Eropa akan banyak membantu

memperbaiki kekerasan yang kejam dan perkembangan spirit rasional yang baru

(Parekh, 2000: 61).

Herder menolak pandangan monisme bahwa “budaya adalah hasil warisan

banyak produk yang berbeda dari alam manusia yang dimiliki bersama secara

universal”.29

Menurut Herder, sifat manusia adalah lumpur liat yang berbeda

dicetak oleh budaya yang berbeda.30

Atas dasar itu, komunitas budaya merupakan

titik awal filsafat moral dan politik, bukan individu abstrak dari imajinasi

29

“Cultures were so many different by products of a universally shared human nature”. 30

“Human nature was a „pliant clay‟ differently moulded by different cultures”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 70: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

55

Universitas Indonesia

kontraktualis, bukan pula sifat manusia yang diajukan filsuf-filsuf Yunani kuno.

Oleh sebab itu, secara unik setiap budaya dikaitkan dengan pengalaman

komunitas, nenek moyang dan keturunan historisnya, dan mengungkapkan cara di

mana anggota memahami dan menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya

secara imajinatif. Alam telah meletakkan tendesi menuju keragaman di dalam hati

manusia (Parekh, 2000: 67-68).

Posisi Herder di antara Vico dan Montesquieu terletak pada penekanan

bahasa sebagai batasan budaya. Menurut Herder, setiap komunitas budaya

memiliki bahasa sendiri dan sebagai komunitas bahasa yang berbeda. Bahasa

adalah basis dan media pemikiran. Setiap bangsa berbicara dengan caranya

berpikir, dan berpikir dengan caranya bicara.31

Penggunaan bahasa merupakan

bentuk partisipasi dalam hidup, mengalami dan memandang dunia dengan cara

partikular, terikat dengan sesama pengguna bahasa dalam ikatan yang indissoluble

(tak berwujud) dan intangible (tak terpecah) dari memori, sentimen, tradisi dan

kebanggaan bersama. Kehendak tak dapat bebas, akan tetapi manusia dapat bebas.

Rasio tak transenden secara alamiah, akan tetapi tertanam secara budaya, dan

model fungsinya diikat erat dengan tradisi budaya. Komitmen pada budaya

didasarkan pada prasangka (prejudice), penerimaan penuh warisan dengan nilai

kebanggaan dan keyakinan, bukan keyakinan rasional atas pertimbangan

utilitarian. Oleh sebab itu, Herder menegaskan bahwa “semua moralitas adalah

konkret dan kontekstual”.32

Bukan universalisme moral yang dipikirkan oleh

Montesquieu. Misalnya, perbudakan itu pelanggaran, bukan sebab semua manusia

sama pada dasarnya, akan tetapi sebab telah merenggut manusia dari habitat alam

dan sosial yang memproduksi kegilaan, kebingungan, keputusasaan dan pasti

semua manusia tidak ingin diperbudak (Parekh, 2000: 68-70).

Herder mengritik keras pemikiran zaman Pencerahan sebab mereka asyik

dengan ras dan mendukung rasisme, baik eksplisit ataupun implisit. Selain itu, ia

mengutuk negara Romawi kuno sebab menghancurkan peradaban asli, serta

31

“Every nation speaks in the manner it thinks and thinks in the manner it speaks”. 32

“All morality was concrete and contextual”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 71: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

56

Universitas Indonesia

mengritik keras misionaris Kristen sebab mengubah agama orang lain dengan

paksa atau dengan iming-iming uang dan kebutuhan lainnya kepada manusia pada

kerajaan Eropa besar. Dari beberapa kritik itu, Herder merupakan pemikir liberal,

seperti Mill, Tocqueville, dan lainnya. Baginya, liberalisme memerlukan spirit

kuat nasionalitas dan kesatuan budaya. Maksudnya bahwa negara lemah, karena

itu diperlukan prasyarat kebebasan individual. Budaya adalah “produk imajinasi

manusia, kreativitas, dan pencarian terhadap pemahaman dirinya” (Parekh, 2000:

71-72).33

Atas dasar pandangan pluralisme terhadap moral dan budaya di atas, ada

tujuh kekeliruan di dalam memahami budaya, sebagai berikut.

Pertama, fallacy of holism (keliru holisme). Keliru jika budaya dipandang

sebagai satu kesatuan organis dan terintegrasi, serta menolak keragaman dan

ketegangan internal. Kedua, fallacy of distibentunctness (keliru pembedaan).

Keliru jika budaya diasumsikan sebagai unit tersendiri, yang memiliki keunikan

spirit, etos atau prinsip organisasi, dapat diindividualisasi dan dibedakan dengan

mudah antara satu dan lainnya. Ketiga, positivist, historicist or end-of-history

fallacy (keliru positivis, historis atau akhir-sejarah). Keliru jika budaya dipandang

statis. Budaya dikatakan sebagai produk historis yang panjang, tetapi harus

dipertahankan secara lebih utuh. Bahkan, budaya dikatakan sebagai representasi

capaian tertinggi manusia yang menandai akhir-sejarah (Parekh, 2000: 77-78).

Keempat, fallacy of ethnocization of culture (keliru etnikisasi budaya).

Keliru jika budaya dilihat sebagai ekspresi yang unik dan organis dari spirit, jiwa,

karakter nasional, tingkat perkembangan mental atau hasrat dan insting terdalam

dari komunitas. Kelima, fallacy of closure (keliru penutupan). Keliru jika budaya

diasumsikan menjadi integrasi menyeluruh, sehingga perubahan terkecil dianggap

konsekuensi yang tak terprediksikan. Oleh sebab itu, reformasi harus dihindari

atau ditangani dengan serius. Keenam, fallacy of cultural determinism (keliru

determinisme budaya). Keliru jika budaya dipandang memiliki dominasi spirit

33

“Cultures … were products of human imagination, creativity and the search for self-

understanding.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 72: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

57

Universitas Indonesia

atau prinisip berorganisasi dengan mewajibkan atau mengatur anggotanya

bertindak dengan cara tertentu. Tak heran, jika teori-teori budaya hanya

menyisakan ruang kebebasan terbatas. Ketujuh, fallacy cultural autonomy (keliru

otonomi budaya). Keliru jika budaya dipisahkan dari struktur politik dan ekonomi

masyarakat. Dengan mengabaikan politik dan ekonomi budaya, keliru memahami

proses penciptaan, konsolidasi, dan basis kekuatannya (Parekh, 2000: 78-79).

2.2.3 Pandangan Liberalisme terhadap Moral dan Budaya

Liberalisme merupakan sebuah pemikiran filsafat politik, terutama

berkaitan dengan relasi antara individu dan negara, dan dengan membatasi

gangguan negara pada kebebasan masyarakat warga.34

Liberalisme mengandung

lebih luas relasi antara individu dan masyarakat, khususnya anggota individu

dalam komunitas dan budaya (Kymlicka, 1991: 1). Pandangan liberalisme

terhadap moral dan budaya berkeyakinan bahwa “keragaman moral dan budaya

dikonstruksi oleh struktur sosial yang berbeda”. Ada tiga filsuf dalam pandangan

liberalisme terhadap moral dan budaya, yaitu John Rawls, Will Kymlicka, dan

Joseph Raz.

Rawls menjelaskan bahwa ide-ide kebebasan, kesetaraan dan sistem

kerjasama yang sukarela merupakan inti dari budaya politik dalam masyarakat

demokrasi. Atas dasar ide-ide tersebut, liberalisme politik atau konsepsi politik

tentang keadilan menjadi jawaban baru untuk fakta pluralisme (Parekh, 2000: 83).

Liberalisme politik terbatas pada dunia pengetahuan politik yang didefinisikan

secara luas untuk memenuhi struktur dasar masyarakat. Liberalisme politik tidak

berbicara tentang manusia tetapi warga negara, bukan rasio manusia tetapi rasio

publik atau rasio warga negara, bukan pribadi manusia tetapi konsepsi politik

personal, bukan kekuasaan manusia tetapi kekuasaan warga negara. Susunan

34

“Liberalism, as a political philosophy, is often as being primarily concerned with the

relationship between the individual and the state, and with limiting state intrusions on the liberties

society of citizens.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 73: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

58

Universitas Indonesia

kebaikan-kebaikan utama berasal dari dalam konsepsi politik keadilan, sehingga

warga negara menata urusan bersama menurut rasio publik.35

Rawls mengklaim

bahwa liberalisme politik mampu menyelesaikan problem bagaimana warga

negara yang menganut doktrin komprehensif dan konsepsi yang berbeda

mengenai kebaikan, bisa menciptakan pemerintahan yang adil, stabil, dan

meninggalkan ruang yang cukup untuk keragaman (Parekh, 2000: 83-84).36

Rawls mengatakan bahwa “institusi sosial ekonomi dan politik utama

sebagai struktur dasar masyarakat sangat mempengaruhi pelaksanaan hak-hak,

kebebasan dan prospek di dalam kehidupan, yang merupakan subyek utama

keadilan”.37

Fakta pluralisme dalam kehidupan moral dapat dijawab oleh Rawls

dengan liberalisme politik dan keadilan sebagai konsepsi politik. Selain konsep

politik atas keadilan perlu didukung dengan budaya masyarakat demokratis dan

beberapa pemikiran filosofis, perlu juga dukungan doktrin-doktrin komprehensif

yang masuk akal. Liberalisme politik itu menyediakan tiga asumsi. (a) Keadilan

adalah kebajikan pertama masyarakat dan kesepakatan tentang keadilan adalah

prasyarat atas stabilitas politik. (b) Dua prinsip keadilan adalah hanya konsisten

dengan gagasan dasar dari warga negara dan masyarakat yang “bebas” dan

“setara” sebagai sistem kerjasama yang sukarela. (c) Prinsip-prinsip itu berlaku

bebas dan tidak mensyaratkan liberalisme komprehensif. Institusi-institusi publik,

misalnya negara, harus aktif didorong untuk mereinterpretasikan doktrin-doktrin

komprehensif dari perspektif konsepsi politik atas keadilan. Contohnya, kitab

suci, al-Qur’an dan Injil, perlu direinterpresikan dari perspektif prinsip-prinsip

demokratis, kesetaraan gender, dan kebebasan kesadaran (Parekh, 2000: 81; 84-

85; 88).

35

“The index of primary goods is also derived from within the political conception of justice.” 36

“Rawls‟s political liberalism claims to solve the problem of how citixens holding different

comprehensive doctrines and conceptions of the good can create a polity that is just, stable and

leaves „enough space‟ for diversity.” 37

“Since major social economic and political institutions or what he called the basic structure of

society profoundly affected citizens‟ exercise of their rights, liberties and prospects in life. …they

were the primery subject of justice.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 74: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

59

Universitas Indonesia

Etos liberalisme politik bisa dengan mudah menembus doktrin-doktrin

agama dan filsafat, yang menekankan pemahaman dan artikulasi diri dalam

idiom-idiom standar liberal, dan hampir mengeliminasi pemikiran nonliberal.

Misalnya, Locke mengubah Kristen menjadi doktrin yang rasional dari misteri

teologis, menyederhanakan moralitas yang saling menguntungkan dengan kaum

borjuis, dan mengubah gereja menjadi asosiasi sukarela. Dari etos itu, liberalisme

politik lebih bersahabat pada perbedaan moral dan budaya, tetapi sangat

membatasi ruang perbedaan. Contohnya, penganut agama yang berpihak pada

pendirian antiaborsi yang rigid, akan beresiko dicap kejam dan opresif (Parekh,

2000: 88-89).

Pemikiran Raz dipengaruhi oleh pemikiran Aristotoles bahwa “pencarian

kesejahteraan manusia merupakan telos atau setidaknya prinsip kehidupan

manusia yang inspiratif, dan tercapai dalam pencarian kesuksesan terhadap tujuan

yang bermanfaat sepanjang waktu”.38

Sifat dan isi kesejahteraan personal itu

kontekstual secara alamiah dan bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat

lain, sehingga otonomi merupakan komponen universal dari kesejahteraan

manusia, akan tetapi terbatas pada masyarakat liberal Barat modern. Nilai

otonomi personal bagi masyarakat liberal adalah suatu fakta hidup dan sama

sekali tidak terbuka untuk memilih cara hidup lain yang berbeda. Secara struktural

nilai otonomi derivasi dari syarat fungsional masyarakat modern dan tidak

tergantung pada pilihan (Parekh, 2000: 90-91).

Pilihan adalah otonom, bagi Raz, jika memenuhi persyaratan berikut.

Pertama, pilihan harus bebas, tidak dipaksa dan dimanipulasi. Kedua, pilihan

harus disengaja dan didasarkan pada penilaian yang seksama terhadap pemikiran

yang relevan. Ketiga, pilihan harus berelasi dengan urusan penting, seperti

pernikahan, pekerjaan, relasi sosial, bentuk-bentuk kehidupan dan proyek-proyek

jangka panjang. Keempat, pilihan harus tulus dalam arti yang dibuat antara opsi-

opsi yang signifikan berbeda dan setara bernilai. Otonomi Raz itu merupakan

38

“The pursuit of human well-being is the telos or at least the inspiring principle of human life,

and consists in successful pursuit of worthwhile goals over lifetime”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 75: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

60

Universitas Indonesia

sentral bagi masyarakat Barat modern. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh

kelompok imigran, masyarakat pribumi, dan komunitas agama yang tidak

menetapkan otonomi tersebut. Menurut Raz, budaya-budaya non Barat adalah

inferior dan menyakiti anak-anak. Bahkan, Raz menyimpulkan bahwa budaya non

Barat tidak layak mendapat penghormatan, kemudian apakah harus ditoleransi.

Menurut pandangan Raz, ditoleransi jika budaya non Barat dapat terus bertahan

hidup, tidak menyakiti orang asing dan menawarkan kehidupan yang mencukupi

dan memuaskan kepada anggotanya. Selain ditoleransi, cara hidup nonliberal pun

harus diasimilasi dan dipaksa jika perlu, supaya kehidupannya dapat terus

berlangsung (Parekh, 2000: 92-94).

Perbedaan moral dan budaya dalam masyarakat mendorong beragam

pilihan yang berbeda dan bentuk-bentuk kesejahteraan yang berbeda. Dengan kata

lain, perbedaan moral dan budaya dalam kehidupan masyarakat, bagi Raz,

memberikan otonomi pribadi manusia dan kesejahteraan sosial. Otonomi menurut

Raz adalah “proses penciptaan diri terus menerus melalui keputusan-keputusan

kecil dan besar tentang area signifikan dari kehidupan personal.”39

Budaya-

budaya masyarakat yang memenuhi syarat-syarat minimum, layak menerima rasa

hormat dan dukungan setara. Oleh karena itu, semua manusia tertanam secara

budaya dan tergantung pada budayanya demi kebebasan, identitas, kesejahteraan,

dan berhak untuk memelihara dan melanjutkannya kepada generasi baru (Parekh,

2000: 92; 96).

Raz menjelaskan inti pemikirannya mengenai keragaman budaya secara

lebih eksplisit dari sudut yang berbeda. Kelompok-kelompok nonliberal yang

diyakini Raz sebagai kelompok pinggiran, kini dilihat sebagai bagian integral dari

masyarakat liberal juga multikultur.40

Dengan kata lain, Raz berniat sedikit

mengembangkan teori liberal “hak-hak minoritas” sebagai teori liberal

39

“Autonomy means a continuous process of self-creation by means of small and large decisions

concerning significant areas of one‟s life”. 40

“These groups are now seen as an integral part of society which, although liberal, is also

multicultural”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 76: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

61

Universitas Indonesia

multikulturalisme. Pengembangannya dari “masyarakat yang memiliki budaya

tunggal” menjadi “masyarakat yang mungkin terdiri dari beberapa budaya”.41

Multikulturalisme melihat budaya menampilkan dua fungsi signifikan. Pertama,

struktur dunia persepsi dan moral anggotanya memberi makna pada aktivitas dan

relasi, membantu anggota memahami diri sendiri, memungkinkan anggota

membuat pilihan yang cerdas dan memberikan basis yang diperlukan untuk

kebebasan dan otonomi. Kedua, budaya memberi anggotanya rasa keberakaran,

fokus identifikasi dan definisi identitas. Selain itu, budaya mengangkat

kesejahteraan dan basis yang sangat diperlukan bagi hidup yang baik. Dari fungsi

itu, Raz menyadari adanya ketegangan di antara dua dimensi budaya,

kesejahteraan atau otonom, seperti dalam masyarakat hierarkis dan tradisional.

Raz berpikir bahwa “tidak ada budaya yang harus dinilai hanya oleh budaya yang

lain”. 42

Oleh sebab itu, budaya yang berada di antara budaya yang lain, harus

bersedia bertoleransi dan hidup secara damai dengan yang lain (Parekh, 2000: 95).

Kymlicka menjelaskan keragaman budaya didasari oleh prinsip dasar

liberalisme bahwa “manusia memiliki perhatian yang esensial dalam menjalani

good life”.43

Dengan prinsip dasar tersebut, otonomi merupakan dasar dari teori

politik liberal. Di dalam otonomi itu good life menghendaki supaya individu

mampu hidup berdasarkan kepercayaan, tanpa takut pada hukuman. Selain itu,

politik liberal menghendaki kebebasan sipil dan individu, pemerintahan

konstitusional, dan kebebasan kesadaran. Politik liberal memposisikan individu

sebagai agen moral dan pembawa hak-hak dan kewajiban. Oleh sebab itu,

masyarakat tidak mempunyai status moral dan akan dinilai berdasarkan kontribusi

masyarakat atas good life dari warganya. Menurut Kymlicka, kapasitas otonomi

mengenalkan konsep budaya sebagai dasar yang dibutuhkan. Konsepsi budaya

bahwa “manusia adalah makhluk budaya”, dalam arti budaya signifikan bagi

perkembangan manusia, bukan dalam arti komunitarian yang dikonstruksi oleh

41

“Society had a single culture … society might contain several cultures”. 42

“Raz ...thinks that no culture should be judged by either alone”. 43

“Human beings have an essential interest in leading a good life”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 77: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

62

Universitas Indonesia

budaya.44

Ada dua argumentasi Kymlicka tentang signifikansi budaya bagi

perkembangan manusia. (a) Budaya menetapkan dan menyusun dunia manusia.

Artinya, budaya berperan untuk membangun otonomi manusia. (b) Budaya

memberi kontribusi bagi kesejahteraan manusia dan penciptaan masyarakat yang

stabil (Parekh, 2000: 99-100).

Tidak seperti Raz, Kymlicka memahami bahwa otonomi merupakan “nilai

sentral liberal dan budaya harus dinilai terutama dalam kemampuan menyediakan

pilihan yang bermakna dan berharga bagi anggotanya serta mengolah

kapasitasnya bagi otonomi individual”.45

Budaya dimaknai lebih paradigmatik

yang didasarkan pada politik keseragaman oleh Kymlicka, adalah:

“Mengacu pada komunitas antargenerasi, lebih atau kurang lengkap secara

institusional, menempati suatu wilayah atau tanah air tertentu, dan berbagi

bahasa dan sejarah yang berbeda.”

[It refers to an intergenerational community, more or less institutionally

complete, occupying a given territory of homeland, sharing a distinct

language and history] (Parekh, 2000: 101).

Kebebasan yang dituntut, bukan kebebasan bergerak melampaui historisitas dan

budaya manusia, akan tetapi bergerak di dalamnya. Otonomi yang dicari tidak

mengacu pada kesempatan mengeksplorasi dan bereksperimen dengan budaya

yang lain, akan tetapi menanyakan keyakinan dan praktik sendiri. Oleh sebab itu,

kelompok liberal berharap negara melindungi tidak hanya hak-hak individual,

tetapi juga budaya nasional (Parekh, 2000: 100-101).

Di dalam masyarakat multikultur Kymlicka menolak konsep asimilasi dari

liberalisme klasik dan memakai teori keadilan Rawlsian sebagai dasar teori

multikulturalisme. Secara teoretis asimilasi mengingkari budaya sebagai

pembangunan manusia yang signifikan, karena menyingkirkan hak minoritas atas

44

“Human beings are cultural creatures”. 45

“Autonomy is the central liberal value and that a culture should be judged primarily in terms of

its ability to provide its members with meaningful and worthwhile options and cultivate their

capacity for individual autonomy”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 78: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

63

Universitas Indonesia

budayanya, dan prinsip keadilan Rawls menuntut bahwa minoritas dan mayoritas

harus menikmati hak-hak budaya yang sama dan menggunakannya dengan sama-

sama efektif. Secara praktis asimilasi dilaksanakan dengan paksaan dan cenderung

mengarah pada disorientasi psikologis dan moral. Padahal, aecara logis bangsa

minoritas tidak berbeda dengan bangsa mayoritas.46

Bangsa minoritas pun harus

menikmati hak-hak membuat kebijakan budaya dan bahasa sendiri, membatasi

penjualan tanah, dan lainnya. Oleh karena itu, budaya hanya bernilai sebagai

syarat pembangunan otonomi (Parekh, 2000: 102).

Kymlicka meyakinkan bahwa supaya bangsa minoritas secara internal

liberal, karena jika tidak, akan merusak haknya atas otonomi kolektif. Misalnya,

imigran adalah minoritas etnik, bukan minoritas bangsa dan bukan pengunjung

tidak tetap, akan tetapi warga negara dalam masa penantian (citizens-in-waiting).

Imigran dapat mengajukan klaim budaya dan klaim politik yang sama, seperti

warga negara yang lain, namun bukan klaim hak-hak nasional atas pemerintahan

sendiri dan otonomi budaya. Selanjutnya, dalam masyarakat polietnisitas

kelompok minoritas digabungkan ke dalam budaya nasional. Dalam masyarakat

multinasional dibutuhkan pembangunan “rasa yang cukup kuat”, identifikasi

mutual antara kelompok mayoritas, dan dorongan melanjutkan hidup bersama

(Parekh, 2000: 103-104).

Dari pandangan liberalisme, ada pencegahan atas pengembangan respons

liberal secara koheren dan persuasif terhadap keragaman budaya dan moral.

Pertama, meski kaum liberal mengawali untuk menghargai ketertanaman budaya

pada manusia, akan tetapi masih sulit sekali memecahkan padangan transkultural

tradisional mengenai manusia. Kedua, secara langsung atau tidak dan halus atau

kasar, kaum liberal terus-menerus mengabsolutkan liberalisme. Kontradiktif

dengan klaimnya menerima kekuatan penuh pluralisme moral dan budaya, serta

pengakuan atas good life yang dijalani dengan berbagai cara yang berbeda.

Ketiga, sentral karakter budaya masyarakat liberal yang diwariskan secara

46

“A minority nation is logically no different from the majority nation”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 79: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

64

Universitas Indonesia

historis, persuasi teologis dan liberal deontologis. Persuasi teologis liberal

menimbulkan banyak kekerasan dan kesombongan moral terhadap kaum

nonliberal. Liberal deontologis melanggar otonomi moral dengan memaksa isi

minimum dan universal liberal kepada kaum nonliberal. Dengan demikian, jika

kaum liberal mengatakan bahwa selama masyarakat Barat modern adalah liberal

yang berarti diberi kuasa meminta anggotanya untuk hidup atas dasar nilai-nilai

liberal, maka terjadi homogenisasi, penyederhaan, monopoli moral dan budaya

atas masyarakatnya serta perlakuan yang lain sebagai penyusup ilegal dan

menyulitkan. Inilah salah paham logika batin dan kekuatan kaum liberal terhadap

kaum nonliberal ketika berusaha mengubahnya menjadi satu (Parekh, 2000: 109-

113).

2.2.4 Pandangan Universalisme Pluralis terhadap Moral dan Budaya

Pandangan universalisme pluralis merupakan kritik Parekh terhadap

pandangan monisme moral, pluralisme dan liberalisme di atas dan sekaligus

respons yang paling koheren terhadap keragaman moral dan budaya.

Universalisme pluralis berpandangan bahwa “nilai-nilai moral universal adalah

nilai-nilai yang diyakini layak akan kesetiaan semua manusia, dan dalam arti

secara universal berlaku dan mengikat”.47

Nilai-nilai moral universal ditujukan

untuk meregulasi hidup manusia. Nilai moral universal dicapai dengan dialog

lintas budaya atau universal (Parekh, 2000: 127-128).

Manusia memiliki kapasitas yang unik dan berharga, seperti berpikir,

rasio, berbahasa, berpandangan good life, memasuki relasi moral satu sama

lainnya, kritis atas diri sendiri, dan mencapai tingkat unggul secara bertahap. Nilai

moral universal untuk mengatakan bahwa manusia memiliki kelayakan daripada

binatang dan makhluk lainnya di dunia ini. Dengan kata lain, kelayakan pada

manusia dengan memiliki martabat. Tidak seperti kelayakan, martabat adalah

47

“Universal moral values are those we have good reason to believe to be worthy of the

allegiance of all human beings, and are in that sense universally valid of binding”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 80: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

65

Universitas Indonesia

“konsep aristokrasi atau hierarkis dan mendiskripsikan status yang

diistimewakan”.48

Status pada individu yang diistimewakan dari individu yang

lain adalah martabat. Jelasnya bahwa:

“Martabat tidak melekat pada diri manusia, melainkan status manusia

dirundingkan pada diri manusia sendiri dalam praktik pengakuan atas

kapasitas unik bersama, bukan merupakan properti alamiah, melainkan

praktik moral yang meregulasi relasi manusia antara satu sama lain.”

[Dignity is not inherent in human beings, but is a status they confer on

themselves in acknowledgement of their uniquely shared capacities, not a

natural property but a moral practice regulating their relations with each

other] (Parekh, 2000: 130).

Oleh sebab itu, martabat bukan merupakan status individual, melainkan status

kolektif, karena individu memperoleh dengan menjadi bagian dari spesies

manusia dan menguasai kapasitas spesifik spesies tertentu.

Parekh menegaskan bahwa “martabat manusia adalah kelayakan manusia

dilihat dalam perspektif komparatif, sebab itu bukan sumber independen dari

prinsip-prinsip moral, melainkan hanya menambah dimensi baru bagi kehidupan

moral”.49

Perbedaan tajam antara manusia dan nonmanusia dalam konsep

martabat manusia pada tradisi pemikiran, seperti Yunani, Kristen, dan Islam,

menjadi pertimbangan yang penting. Sedangkan, pada tradisi pemikiran, seperti

Hindu dan Budha, perbedaan tersebut dalam konsep martabat manusia menjadi

relatif. Selain rekognisi kelayakan dan martabat manusia, dibutuhkan promosi

kesejahteraan manusia atau kepentingan fundamental manusia, kesetaraan, serta

totalitas kemungkinan nilai-nilai moral universal (Parekh, 2000: 131; 133).

Nilai-nilai moral universal dalam peradaban manusia telah dipromosikan

oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 sebagai titik awal

dialog lintas budaya. Meski bernilai moral universal, Deklarasi Universal HAM

48

“Unlike worth, dignity is an aristocratic or hierarchical concept and describes a privileged

status”. 49

“Human dignity is human worth seen in a comparative perspective, it is not an independent

source of moral principles but it does add a new dimension to moral life”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 81: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

66

Universitas Indonesia

memiliki kelemahan, adanya bias liberal yang berbeda, seperti hak kebebasan

berekspresi yang kurang lebih tak terbatas, hak pernikahan yang didasarkan pada

“persetujuan penuh dan bebas” antara pihak-pihak yang terlibat, dan hak properti

yang relatif tak terbatas. Bahkan, Deklarasi Universal tersebut mengebiri

kepercayaan universalis dan kritis, serta membuat kesalahan dalam mengacaukan

hak asasi manusia dengan struktur institusional khusus (Parekh, 2000: 134).

Dalam implementasinya, nilai-nilai moral universal yang telah

dipertahankan secara legitimit benar-benar bersifat umum, perlu diinterpretasikan,

diprioritaskan, dan diadopsi. Apabila ada konflik, nilai-nilai moral universal

direkonsiliasikan dalam sudut pandangan budaya dan suasana masing-masing

masyarakat. Penghormatan terhadap hidup manusia adalah nilai universal, namun

masyarakat yang berbeda-beda tidak menyepakati kapan hidup manusia berawal

dan berakhir, dan hal apa yang mengakibatkannya. Oleh sebab itu, penghormatan

martabat manusia menuntut bahwa seorang manusia seharusnya tidak

menghinakan atau merendahkan sesama manusia atau memperlakukan manusia

dengan tindakan kejam dan pelecehan, apalagi kekerasan. Nilai-nilai universal

dapat terlibat konflik dengan nilai-nilai sentral yang diterima bebas pada

komunitas budaya, karenanya dibutuhkan dialog lintas budaya (Parekh, 2000:

135).

2.3 Respons atas Pandangan Moral dan Budaya

Perbedaan pandangan moral dan budaya di atas adalah sebuah keniscayaan

bagi relasi manusia dalam kehidupan sosial. Pandangan monisme moral,

pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis berusaha menghormati

kelayakan dan martabat manusia pada ruang dan waktu masing-masing sepanjang

peradaban manusia. Empat pandangan moral dan budaya yang berbeda sangat

mungkin dapat bertemu langsung di dalam suatu negara yang mengakui

keragaman moral dan budaya. Indonesia sebagai negara transisi demokrasi

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 82: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

67

Universitas Indonesia

memberikan ruang pertemuan empat pandangan tersebut yang dapat

memunculkan konflik sosial yang melecehkan dan menodai harkat dan martabat

manusia itu sendiri. Seperti, konflik sosial yang terjadi di Poso, Ambon dan

Cikeusik merupakan ranah konflik antara empat pandangan moral dan budaya

yang berbeda-beda tersebut. Fenomena konflik sosial awal reformasi tersebut

telah meruntuhkan tatanan sosial masyarakat Indonesia yang berpandangan pada

keragaman moral dan budaya atas dasar konstitusi negara.

Keragaman moral dan budaya masyarakat Indonesia dijelaskan di dalam

normativitas dan faktisitas yang disepakati bersama secara sosial, politik dan

budaya. Normativitas pandangan moral dan budaya didasarkan pada konstitusi

negara, yang menjelaskan relasi individu di dalam masyarakat. Ada tiga nilai

moral dan budaya yang diakui di dalam kehidupan sosial. Pertama, keragaman

dalam identitas nasional. Manusia Indonesia merupakan keragaman dari berbagai

budaya dan bangsa yang berbeda-beda dan bersama-sama mengakui identitas

nasional. Keragaman dalam identitas nasional terdiri dari individu-individu yang

berasal dari orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain, sehingga

masyarakat warga negara ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang

bertempat tinggal di Indonesia.50

Kedua, kesetaraan atau kebersamaan di dalam

hukum dan pemerintahan. Kesetaraan manusia sebagai warga negara wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan, sehingga berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam kesetaraan setiap individu

berhak dan wajib berpartisipasi membela negara.51

Ketiga, kebebasan atau

kemerdekaan dalam kehidupan sosial. Kebebasan individual untuk berserikat dan

berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya sesuai

regulasinya.52

Oleh karenanya, sebagaimana pandangan liberalisme, manusia

Indonesia menolak teori dan praktik asimilasi moral dan budaya. Sedangkan,

50

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 ayat 1 dan 2. 51

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 1 dan 2. 52

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 83: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

68

Universitas Indonesia

kesetaraan dan kebebasan yang dianut oleh manusia Indonesia sebagaimana

pandangan universalisme pluralis.

Nilai-nilai moral dan budaya Indonesia tersebut secara universal

diinterpretasikan di dalam hak asasi manusia bahwa “setiap orang berhak untuk

hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hak asasi manusia

Indonesia tersebut diperoleh di dalam ranah kehidupan privat dan kehidupan

publik, seperti hak keluarga, hak agama, hak pertahanan dan keamanan, hak

pendidikan, serta hak perekonomian dan kesejahteraan sosial.53

Hak asasi manusia

Indonesia bukan dalam pandangan monisme moral, pluralisme, dan liberalisme,

karena hak harus dibarengi dengan kewajiban bahwa:

“(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam

tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam

menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis”.54

Sementara itu, berbeda pula dengan pandangan universalisme pluralis,

penghormatan martabat manusia sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai

agama, keamanan dan ketertiban publik dalam suatu masyarakat demokratis,

bukan nilai universal. Dengan kata lain, nilai-nilai moral dan budaya masyarakat

lokal menjadi pertimbangan sebagai masyarakat demokratis untuk rekognisi dan

penghormatan martabat manusia.

Faktisitas pandangan moral dan budaya Indonesia tidak sebagaimana

normativitasnya, melainkan sebaliknya seringkali terjadi kontradiksi dan

konfrontasi nilai-nilai moral dan budaya dalam interpretasinya yang berakibat

pada konflik di dalam kehidupan sosial. Konflik nuansa agama dan etnik

53

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J,

29, 30, 31, 32, 33, dan 34. 54

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 84: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

69

Universitas Indonesia

merupakan subyek utama karena nilai-nilai moral dan budaya menjadi

pertimbangan untuk rekognisi dan penghormatan martabat manusia. Padahal,

kehadiran negara di dalam relasi manusia yang berkonflik seharusnya sebagai

berikut:

“(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”.55

Negara tidak berpandangan pada monisme moral teologis agama tertentu

atau etnisitas tertentu, melainkan berpandangan pada kehidupan religius, yaitu

cara hidup yang diberkati rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan keinginan luhur,

supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dan merdeka. Dasar atas

“Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam Pancasila harus bersamaan dengan sila

lainnya, misalnya “kemanusiaan yang adil dan beradab”, sehingga merupakan

landasan moral dan budaya, bukan monisme moral teologis atau pluralisme

budaya ataupun liberalisme politik, karena landasan moral dan budaya tersebut

harus diberkati oleh rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Esa dan Yang

Maha Kuasa merupakan sifat dzat Tuhan yang harus diinterpretasikan oleh

manusia Indonesia di dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Dalam konteks

itu, etnik-etnik Indonesia memiliki pandangan moral dan budaya. Bahkan,

atheisme juga memiliki pandangan moral dan budaya. Ateisme (atheism) adalah

ide sederhana yang mendalam, yang berasal dari bahasa Yunani a berarti “tidak

atau tanpa” dan theos berarti “Tuhan”. Istilah ateisme itu hanya menunjukkan

sebuah posisi, bukan “keyakinan”, yang mencakup atau menegaskan tidak ada

dewa.56

Dalam praktiknya istilah ateisme merupakan satu bentuk penghakiman

dan penilaian negatif (Eller, 2010: 1). Atheisme memiliki keyakinan, namun

bukan pada Tuhan yang diyakini oleh agama yang lain. Dengan begitu, negara

55

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29. 56

“Atheism is a profoundly simple idea: derived from the Greek a - for "no/without" and theos for

“god,” it merely designates a position (not a “belief”) that includes or asserts no god(s).”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 85: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

70

Universitas Indonesia

menjamin kemerdekaan setiap individu untuk memeluk agamanya masing-masing

menurut agama dan kepercayaannya itu.

Selain itu, untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dengan rekognisi dan

penghormatan martabat manusia, negara seharusnya bertindak sebagai berikut:

“(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (2)

Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan

memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan

martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan

fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.57

Dengan tanggung jawab negara yang mengakui keragaman moral dan budaya

seperti itu, keadilan dan kesejahteraan sosial dapat direalisasikan bersama dengan

partisipasi setiap individu sebagai warga negara.

2.4 Ikhtisar

Bab dua ini telah menjelaskan empat bentuk pandangan moral dan budaya

yang berbeda-beda, yaitu monisme moral, pluralisme, liberalisme, dan

universalisme pluralis. Bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya dimunculkan

oleh interpretasi seorang individu dalam relasi manusia terhadap keragaman moral

dan budaya. Monisme moral berpandangan bahwa hanya ada satu jalan hidup

yang benar-benar manusiawi, atau yang terbaik, sedangkan yang lainnya memiliki

kekurangan. Pluralisme berpandangan bahwa keragaman moral dan budaya

merupakan substansi dari setiap masyarakat di seluruh dunia. Liberalisme

berpandangan bahwa perbedaan moral dan budaya dikonstruksi oleh struktur

sosial yang berbeda. Terakhir, universalisme pluralis berpandangan bahwa nilai-

nilai moral universal adalah nilai-nilai yang diyakini layak akan kesetiaan semua

manusia, dan dalam arti secara universal berlaku dan mengikat.

57

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 86: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

71

Universitas Indonesia

Atas dasar perbedaan pandangan tersebut, pandangan moral dan budaya

Indonesia berbeda dengan monisme moral, pluralisme, liberalisme dan

univeralisme pluralis. Perbedaan pandangan moral dan budaya Indonesia dengan

pandangan lainnya di dalam rekognisi dan penghormatan martabat manusia.

Pandangan moral dan budaya Indonesia mempertimbangkan nilai-nilai moral dan

budaya masyarakat lokal untuk rekognisi dan penghormatan martabat manusia.

Dengan pertimbangan nilai-nilai moral dan budaya lokal, keragaman moral dan

budaya masyarakat Indonesia dijelaskan di dalam normativitas dan faktisitas yang

disepakati bersama secara sosial, politik dan budaya. Secara normatif ada tiga

nilai moral dan budaya yang diakui di dalam kehidupan sosial. Pertama,

keragaman dalam identitas nasional. Kedua, kesetaraan atau kebersamaan di

dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga, kebebasan atau kemerdekaan dalam

kehidupan sosial. Namun, secara faktual seringkali terjadi kontradiksi dan

konfrontasi di antara nilai-nilai moral dan budaya dalam interpretasinya yang

berakibat pada konflik di dalam kehidupan sosial.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 87: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

72

Universitas Indonesia

BAB III

KONSTRUKSI SOSIAL

MASYARAKAT MULTIKULTUR

3.1 Pengantar

Perbedaan pandangan moral dan budaya dimunculkan oleh intepretasi

seorang manusia terhadap moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur,

seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dalam bab ketiga ini akan

dijelaskan unsur-unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral

dan budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik. Di dalam unsur-

unsur pembentuk masyarakat multikultur ada isu-isu penting yang perlu

diwacanakan dan didialogkan di dalam kehidupan sosial, yaitu keadilan dan

kesetaraan, serta agama dan etnik. Selain itu, akan dijelaskan keterbatasan

masyarakat multikultur yang dapat memberi ruang kemungkinan konflik

antarindividu terjadi.

3.2 Unsur-unsur Pembentuk Masyarakat Multikultur

Masyarakat multikultur berbeda dengan masyarakat plural atau masyarakat

majemuk. Istilah “masyarakat multikultur” perlu dijelaskan lebih dahulu di dalam

konstruksi sosialnya. Istilah masyarakat multikultur adalah “keragaman komunal”,

karena secara logis distingtif dan menimbulkan pertanyaan yang unik, merupakan

obyek investigasi yang koheren dan mandiri, serta layak sebagai istilah yang

spesifik.1 Secara definitif masyarakat multikultur adalah “keragaman komunal

yang mencakup dua atau lebih komunitas budaya” (Parekh, 2000: 4; 6).2

Pengertian masyarakat multikultur sudah diungkapkan oleh Taylor lebih dahulu

1 “Furthermore since communal diversity is logically distinct and raises questions that are unique

to it, it constitutes a coherent and self-contained object of investigation, and deserves a name

specific to it.” 2 “A multicultural society, then, is one that includes two or more cultural communities.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 88: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

73

Universitas Indonesia

ketika menjelaskan politik rekognisi (Taylor, 1994: 61).3 Sementara itu,

masyarakat plural dijelaskan pertama kali oleh seorang ekonom dengan

pengalaman yang cukup dari kolonial Timur Jauh. Dalam tulisannya masyarakat

plural dijelaskan sebagai berikut:

“Di Burma, seperti di Jawa, mungkin hal pertama yang pengunjung temui

adalah masyarakat campuran, Eropa, Cina, India, dan asli. Hal ini dalam

arti campuran yang ketat, karena mereka mencampur tetapi tidak

menggabungkan. Masing-masing kelompok memiliki agama sendiri,

budaya dan bahasa sendiri, ide-ide dan cara-cara sendiri. Sebagai individu

mereka bertemu, hanya di pasar, tempat untuk membeli dan menjual. Ada

sebuah masyarakat plural, dengan bagian yang berbeda dari masyarakat

hidup berdampingan, tetapi terpisah, dalam unit politik yang sama. Bahkan

di bidang ekonomi, ada pembagian kerja didasarkan pada garis ras.”

[In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is the

medley of peoples - European, Chinese, Indian, and native. It is in the

strictest sense a medley, for they mix but do not combine. Each group

holds by its own religion, its own culture and language, its own ideas and

ways. As individuals they meet, buat only in the market-place, in buying

and selling. There is a plural society, with different sections of the

community living side by side, but separately, within the same political

unit. Even in the economic sphere, there is a division of labour along

racial lines] (Furnivall, 1948: 304, 1967: xv).

Masyarakat plural merupakan keragaman agama, budaya, bahasa, ide dan cara

hidup di dalam kesatuan komunitas politik. Masyarakat plural secara historis

terbentuk sejak kolonialisasi. Dalam cengkraman kolonialisme masyarakat plural

muncul di dalam kekuatan ekonomi yang dibebaskan dari kontrol kehendak sosial

(Furnivall, 1984: 306).4 Dalam masyarakat plural seperti itu keadilan dan

kesetaraan serta agama dan etnik dalam kehidupan publik menjadi gangguan

kebebasan warga negara.

Komunitas budaya dalam masyarakat modern memiliki beberapa bentuk.

Secara umum ada tiga bentuk komunitas budaya secara kategoris, yaitu komunitas

subkultural, komunitas perspektif, dan komunitas komunal.

3 “…more and more societies today are turning out to be multicultural, in the sense of including

more than one cultural community that wants to survive.” 4 “The plural society arises where economic forces are exempt from control by social will.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 89: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

74

Universitas Indonesia

Pertama, komunitas subkultural. Bentuk komunitas subkultural adalah

representasi dari satu budaya umum yang berisi beberapa keyakinan dan praktik

yang berbeda karena bidang hidup tertentu dan gaya hidup yang berbeda,

misalnya komunitas nelayan, petani, gay, dan lesbian.5 Abdurrahman Wahid

(dipanggil Gus Dur) memposisikan pondok pesantren sebagai subkultural karena

perbedaan tradisi pesantren yang khas dari budaya masyarakat di sekitarnya

(Wahid, 2001: xviii). Kedua, komunitas perspektif. Bentuk komunitas perspektif

merupakan representasi dari masyarakat yang sangat kritis atas prinsip sentral atau

nilai budaya yang berlaku dan berusaha mengungkapkan kembali pada garis yang

sesuai, misalnya gerakan kritis feminis terhadap budaya patriarkhi.6 Fahmina

Institute, misalnya, adalah komunitas perspektif gender yang memelihara Islam

tradisional untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan kontemporer. Ketiga,

komunitas komunal. Komunitas komunal merupakan bentuk representasi dari

kebanyakan masyarakat modern yang terdiri dari komunitas yang sadar diri dan

terorganisasi dengan baik, serta hidup dengan sistem keyakinan dan praktik yang

berbeda, misalnya jamaah Ahmadiyah, jamaah Syiah, dan Sunda Wiwitan Baduy

(Parekh, 2000: 3-4).7 Ketiga bentuk komunitas budaya tersebut cepat tumbuh dan

berkembang di dalam masyarakat multikultur, karena komitmen penghormatan

kepada perbedaan dan identitas.

Istilah “multikultur” pertama kali digunakan pada tahun 1941.

Kemunculan istilah multikultur pada empat dekade terakhir abad ke-19 ketika

gerakan kaum intelektual dan politik yang dipimpin oleh komunitas yang berbeda-

beda muncul, seperti orang pribumi, minoritas nasional, bangsa etnik budaya,

imigran baru dan lama, feminis, gay dan lesbian, serta komunitas hijau (Parekh,

2000: 1). Dengan kata lain, istilah multikultur muncul dari kehadiran

multikulturalisme sebagai sebuah gerakan komunitas. Pada tahun 1960-an di

Inggris, serta tahun 1970-an di Australia dan Kanada, multikulturalisme

5 “Although its members share a broadly common culture, some of them either entertain different

beliefs and practices concerning particular areas of life or evolve relatively distinct ways of life of

their own.“ 6 “Some members of society are highly critical of some of the central principles or values of the

prevailing culture and seek to reconstitute it along appropriate line.” 7 “Most modern societies also include several self-conscious and more or less well-organized

communities entertaining and living by their own different systems of beliefs and practices.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 90: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

75

Universitas Indonesia

merupakan gerakan yang signifikan secara politis dan ideologis, karena

penolakannya terhadap tuntutan beberapa asimilasionis pada masyarakat yang

lebih luas (Parekh, 2000: 5). Di Indonesia ada tuntutan etnik Sunda Wiwitan

Baduy dan jamaah Ahmadiyah terhadap negara supaya keyakinannya diakui

sebagai agama formal, sebagaimana Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan

Konghucu.

Dengan banyaknya masyarakat multikultur di beberapa negara, seperti

Indonesia, Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Australia, dan Amerika, dapat

dibedakan secara faktual dan signifikan empat karakter masyarakat multikultur

kontemporer dari karakter masyarakat pramodern, yaitu: (a) Masyarakat

multikultur kontemporer dapat menolak status politik inferior. (b) Masyarakat

multikultur kontemporer menyadari lebih baik daripada dogmatisme moral. (c)

Masyarakat multikultur kontemporer secara integral terikat dengan proses

globalisasi. (d) Masyarakat multikultur kontemporer muncul dengan latar

belakang beberapa abad dari homogenisasi kultural.

Pertama, masyarakat pramodern secara umum terdiri dari komunitas

minoritas yang menerima status subordinat, ruang sosial terbatas, dan bahkan

ruang geografisnya yang dibatasi oleh kelompok dominan.8 Sementara itu,

masyarakat multikultur kontemporer dapat menolak status politik inferior, dan

menuntut hak politik yang adil. Kedua, karena adanya kolonialisme, perbudakan,

Holocaust, dan penderitaan hebat yang disebabkan oleh tirani komunis,

masyarakat multikultur kontemporer menyadari lebih baik daripada masyarakat

pramodern bahwa “dogmatisme moral dan seiring semangat agresivitas

pembenaran diri, tidak hanya mengarahkan kepada kekerasan yang mengerikan,

melainkan juga sangat membutakan dan menumpulkan kepekaan moral” (Parekh,

2000: 7-8).9

8 “In premodern societies minority communities generally accepted their subordinate status and

remained confined to the social and even the geographical spaces assigned them by the dominant

groups.” 9 “Thanks to colonialism, slavery, the Holocaust, and the enormous suffering caused by the

communist tyrannies, we realize better than before that moral dogmatism and the concomitant

spirit of aggressive self-rughteousness not only lead to egregious violence but also blind us to

enormity and blunt our moral sensibility.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 91: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

76

Universitas Indonesia

Ketiga, masyarakat multikultur kontemporer secara integral terikat dengan

proses globalisasi ekonomi dan budaya yang sangat kompleks. Dalam proses

globalisasi itu tidak ada masyarakat yang dapat bungkam dan terisolasi.10

Keempat, masyarakat multikultur kontemporer muncul dengan latar belakang

beberapa abad dari homogenisasi budaya pada negara-bangsa.11

Sebelumnya,

masyarakat pramodern memposisikan komunitas budaya secara luas dianggap

sebagai pemegang hak kolektif dan dibiarkan bebas mengikuti adat kebiasaan dan

praktik-praktiknya. Negara modern bertumpu pada pandangan yang sangat

berbeda mengenai kesatuan sosial, sehingga hanya individu yang memegang hak

dan menciptakan ruang hukum homogen yang terdiri dari unit-unit politik yang

seragam dan hanya tunduk pada hukum dan institusi yang sama. Negara mulai

memilah komunitas lama yang terbentuk dan menyatukan individu-individu

“emansipasi” atas dasar struktur otoritas yang disepakati secara kolektif dan

terpusat. Latar belakang homogenisasi budaya negara-bangsa itu mengajarkan

mengenai perbedaan antara kesatuan dan homogenitas, serta kesetaraan dan

keseragaman (Parekh, 2000: 8-9).

Dengan mengakui universalitas dan partikularitas manusia, pembentuk

komunitas budaya didasarkan pada konsep sifat manusia yang valid dan layak.

Konsepsi manusia direfleksikan atas realitas manusia sebagai makhluk berpikir

dalam menghadapi lingkungan alamiah dan sosial yang berbeda-beda. Dari

lingkungan sosialnya, ada konstruksi sosial yang membentuk masyarakat

multikultur, sehingga kokoh bangunan masyarakat yang dibentuknya. Konstruksi

sosialnya dibentuk oleh empat unsur yang saling mengikat satu sama lain untuk

menguraikan relasi manusia yang tertanam secara budaya. Oleh sebab itu, ada

beberapa unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral dan

budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik.

Unsur-unsur pembentuk tersebut ditujukan untuk menghindari kekeliruan

dari lima asumsi tradisi filsafat moral dan politik yang didominasi oleh pandangan

10

“Contemporary multicultural societies are integrally bound up with the immensely complex

process of economic and cultural globalization.” 11

“Contemporary multicultural societies have emerged against the background of several

centuries of the culturally homogenizing nation-state.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 92: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

77

Universitas Indonesia

monisme moral, yaitu keseragaman sifat manusia, keutamaan ontologis atas

perbedaan, karakter transendental sosial atas sifat manusia, totalitas pada sifat

manusia, dan sifat manusia sebagai dasar bagi good life (Parekh, 2000: 124).

Unsur-unsur pembentuk masyarakat multikultur yang dimaksud, sebagai berikut.

3.2.1 Keragaman Moral dan Budaya

Keragaman budaya (cultural diversity) merupakan kata kunci dari

masyarakat multikultur. Istilah “budaya” yang dimaksud pada keragaman budaya

adalah mengacu kepada suatu sistem, seperti pada keyakinan dan praktik. Dengan

ketertanaman budaya di dalam aktivitas dan relasi manusia, budaya menjadi pusat

perhatian agama dan etnik. Relasi antara budaya dan agama terkait erat. Budaya

dan agama saling mempengaruhi satu sama lain pada berbagai tingkat. Budaya

dapat mempengaruhi bagaimana agama diinterpretasikan, ritual dilakukan, dan

tempat ibadah ditetapkan di dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, agama dapat

mengkonstruksi sistem keyakinan dan praktik pada budaya ketika individu atau

komunitas berpindah agama, cara berpikir dan hidupnya akan mengalami

perubahan penting. Oleh sebab itu, mengapa individu berganti agama membawa

budayanya ke dalam agama barunya, seperti perbedaan di antara individu Muslim

di Indonesia, India, Iran, dan Aljazair, atau Kristianitas di Cina, Mesir, dan

Amerika. Dari realitas relasi agama dan budaya, tak ada agama yang “bebas-

budaya” dan kehendak Tuhan tidak dapat memperoleh makna manusia yang

sudah ditentukan tanpa “mediasi budaya”. Dalam agama Kristen diyakini bahwa

Kristus adalah Tuhan, akan tetapi kepastian kekristenan (Kristinitas) adalah

fenomena budaya (Parekh, 2000: 147). Begitu pula, etnisitas adalah fenomena

budaya. Komunitas etnik memiliki sistem keyakinan dan praktik yang diwujudkan

di dalam adat, ritual, dan perayaan budaya, misalnya etnik Bugis, Buton,

Makassar dan etnik lainnya. Etnik Bugis, misalnya, adalah fenomena budaya

faktual yang mempertemukan dan saling mempengaruhinya antara agama dan

etnik di mana budaya sebagai mediator.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 93: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

78

Universitas Indonesia

Dengan demikian, keragaman moral dan budaya merupakan faktisitas

budaya di dalam masyarakat multikultur. Ada empat argumentasi filosofis atas

keragaman moral dan budaya yang didasarkan pada realitas keragaman pandangan

moral dan budaya.

Pertama, keragaman moral dan budaya dapat “meningkatkan berbagai

pilihan yang tersedia dan memperluas kebebasan memilih”. Hal itu penting tetapi

membatasi, karena menilai budaya-budaya lain sebagai obyek pilihan potensial

tidak menghormati budaya-budaya yang realistis, seperti masyarakat pribumi,

komunitas etnik, jamaah Ahmadiyah. Kedua, keragaman budaya merupakan

“hasil yang tak terhindarkan dan legitimit terhadap pelaksanaan hak” (Parekh,

2000: 165-166). Dengan keragaman yang tak terhindarkan masyarakat harus

menciptakan kondisi kondusif, tidak cukup sekadar memberi hak formal pada

budaya, seperti menghormati perbedaan, memelihara keyakinan diri minoritas,

dan penyediaan sumber daya tambahan kepada yang membutuhkan.

Ketiga, keragaman budaya dapat “menciptakan dunia yang kaya,

bervariasi, serta menyenangkan dan menstimulasi secara estesis”. Namun,

keragaman yang didasarkan pada estetika tidak meyakinkan dunia moral dan

sosial yang seragam bahkan antara keduanya seringkali konflik. Keempat,

keragaman budaya dapat “mendorong kompetisi yang sehat antara sistem yang

berbeda dari ide-ide dan cara hidup, dan keduanya mencegah dominasi salah

satunya serta memfasilitasi kebenaran baru muncul”. Namun, kompetisi dalam

individualitas dan progresivitas itu berpandangan pada keunggulan manusia, akan

tetapi instrumental dan tidak apresiatif terhadap nilai intrinsik, seperti tidak

mampu mempertahankan hak-hak masyarakat pribumi, jamaah Ahmadiyah,

komunitas religius ortodok, dan lainnya untuk menemukan kebenaran baru

(Parekh, 2000: 165-167).

Argumentasi filosofis keragaman moral dan budaya tersebut menjelaskan

bahwa moral dan budaya yang berbeda memperbaiki dan melengkapi satu sama

lain mengeni bentuk baru pemenuhan manusia, seperti keselarasan dengan alam,

satu rasa akan keseimbangan ekologis, kepuasan, kejujuran, dan kesederhanaan.

Dalam konteks itu keragaman moral dan budaya merupakan penentu dan kondisi

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 94: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

79

Universitas Indonesia

kebebasan manusia. Selain itu, keragaman moral dan budaya menyadarkan kepada

manusia akan adanya keragaman moral dan budaya dalam dirinya, seperti

mendorong dialog internal budaya, menciptakan ruang pemikiran kritis dan

independen, dan mempertahankan kemampuan eksperimental. Sebaliknya, budaya

atau agama homogen akan menghapus perbedaan dan memunculkan ambiguitas

internal. Oleh sebab itu, keragaman moral dan budaya menciptakan iklim dialog

yang saling menguntungkan (Parekh, 2000: 167-168).

Meski demikian, dalam keunggulan keragaman moral dan budaya itu,

“moral dan budaya mudah melemahkan, akan tetapi sulit menciptakan”. Misalnya,

dikatakan bahwa masyarakat homogen secara budaya memiliki kelebihan, satu

perasaan dalam komunitas, solidaritas, komunikasi antarpersonal lebih mudah,

mempertahankan satu budaya yang besar, relatif mudah disatukan, ekonomis

secara psikologis dan politis, dan dapat mengandalkan mobilitas loyalitas anggota,

akan tetapi masyarakat homogen itu cenderung tertutup, intoleran, antiperubahan,

menyesakkan dan menindas, melemahkan perbedaan, ketidaksepakatan, dan

eksperimen dalam hidup. Dengan demikian, multikulturalisme tidak berkomitmen

pada pandangan bahwa “hanya cara hidup yang terbuka secara budaya terbaik”,

akan tetapi mengakui bahwa “good life dapat menyebabkan beberapa cara yang

berbeda termasuk mandiri secara budaya dan menemukan ruang kedua”.12

Namun

demikian, jika yang lain dianggap setara, maka “cara hidup yang terbuka dan

budaya yang berbeda lebih baik daripada cara hidup yang mandiri secara budaya”

(Parekh, 2000: 167-172).13

Atas dasar kesetaraan, keragaman moral dan budaya

membutuhkan argumentasi keadilan, karena tak mungkin masyarakat mayoritas

akan menerima kewajiban keadilan terhadap masyarakat minoritas tanpa

kepercayaan bahwa masyarakat mayoritas akan memperoleh sesuatu dalam proses

tersebut (Kymlicka, 1995: 127).

12

“Only the culturally open way of life is the best, …the good life can be led in several different

ways including the culturally self-contained, and finds space for the latter.” 13

“It does, of course, hold that, other things being equal, there is more to be said for a culturally

open and diverse than for a culturally self-contained way of life.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 95: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

80

Universitas Indonesia

3.2.2 Identitas Sosial

Identitas sosial yang plural membentuk masyarakat multikultur. Identitas

sosial merupakan perpaduan dari normativitas dan kekuasaan, yang dilegitimasi

dalam bahasa tubuh keyakinan yang berlaku dan ditopang oleh relasi kekuasaan

yang berlaku.14

Atas dasar pengertian identitas sosial itu, masyarakat adalah

sebuah sistem identitas yang diartikulasikan dengan baik, masing-masing tunduk

pada norma-norma tertentu, membawa hak atau milik pribadi tertentu, dan

ditegakkan oleh sanksi formal dan informal yang membentuk bagian dari rezim

disiplinnya. Dalam masyarakat yang sadar ras, hitam dan putih kategori sosial

yang signifikan, dan masyarakat diklasifikasikan menjadi sasaran norma-norma

tertentu, bentuk relasi, stereotip, dan cara penanganan (Parekh, 2008: 16).

Istilah “identitas” (identity) dipahami secara berbeda-beda dalam

penggunaannya. Identitas diartikan adalah “suatu rasa kesamaan atau kesatuan

personalitas”, dan dapat juga untuk menyebut “otentisitas” (Parekh, 2008: 279).15

Dalam masyarakat multikultur identitas lebih tepat diartikan dengan otentisitas.

Masyarakat multikultur memiliki beberapa identitas sosial, di mana tidak semua

masyarakat setara dalam jangkauan dan kedalaman, karena adanya perbedaan

otentisitasnya. Oleh sebab itu, dalam pluralitas identitas sosial, identitas agama

dan etnik cenderung memainkan peran bagi sebagian besar seorang individu di

dalam masyarakat (Parekh, 2008: 21).

Identitas sosial merupakan cara di mana individu menempatkan dan

mengorientasikan diri di dunia. Untuk itu, penting dijelaskan identitas individual

yang merupakan tiga dimensi yang saling terkait tak terpisahkan. Pertama,

identitas pribadi. Sebagai identitas pribadi, manusia merupakan “individu yang

unik, pusat kesadaran diri yang berbeda, memiliki tubuh yang berbeda, rincian

biografis, kehidupan batin yang tak tereliminasi, dan rasa kedirian atau

14

“Social identities represent a blend of normativity and power, being legitimized in terms of the

prevailing body of beliefs and sustained by the prevailing relations of power.” 15

“Sometimes he takes it to mean a sense of sameness or unity of personality, while in other

occasions he takes it to refer to authenticity.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 96: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

81

Universitas Indonesia

subjektivitas”.16

Kedua, identitas sosial. Sebagai identitas sosial, dijelaskan

bahwa:

“Manusia tertanam secara sosial, sebagai anggota dari etnik, agama,

budaya, pekerjaan, nasional, dan kelompok yang berbeda lainnya, serta

terkait dengan orang lain dalam berbagai cara, baik formal dan informal.”

[They are socially embedded, members of different ethnic, religious,

cultural, occupational, national and other groups, and are related to

others in countless fomal and informal ways] (Parekh, 2008: 9).

Dalam kehidupan sosial, idenitas sosial seorang individu dalam masyarakat

mendefinisikan dan membedakan diri, serta didefinisikan dan dibedakan oleh

orang lain. Ketiga, identitas individual atau identitas keseluruhan. Sebagai

identitas individual, manusia berbeda di alamnya, muncul dalam cara yang

berbeda, dapat dan harus dibedakan untuk melawan tendensi pada saat yang luas

untuk menyamakan identitas individu dengan salah satu dari identitas pribadi atau

sosial (Parekh, 2008: 9).17

Sebagaimana identitas individual, identitas nasional lebih dari itu, sangat

kompleks, berlapis-lapis, terdiri dari yang berbeda dan seringkali mengalami

konflik pemikiran, pola perilaku, nilai-nilai dan cita-cita yang terakumulasi

selama berabad-abad. Kompleksitivitas identitas nasional memiliki keuntungan

dan kerugian. Keuntungannya sebagai rekaman historis, debat publik, dan

artikulasi institusional. Kerugiannya sebagai peleburan banyak orang, masa lalu

yang panjang, kepentingan yang dominan dan manipulasi ideologis. Atas dasar

itu, Parekh mengartikan identitas nasional adalah:

“Komunitas politik yang memiliki sejarah tertentu, tradisi, keyakinan,

kualitas karakter, dan memori historis, yang membatasi berbagai alternatif

membukanya.”

[It has a certain history, traditions, beliefs, qualities of character and

historical memories, which delimit the range of alternatives open to it]

(Parekh, 2008: 61).

16

“Human being are unique individuals, distinct centres of self-consciousness, have different

bodies, biographical details, an ineliminable inner life and a sense of selfhood or subjectivity.” 17

“They are, however, different in their nature, arise in different ways, and can and should be

distinguished in order to counter the widespread current tendency to equate individual identity

with one of these, usually the personal or social identity.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 97: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

82

Universitas Indonesia

Dari pengertian tersebut, identitas nasional bukan fakta hidup yang primordial,

kasar dan tak dapat diubah, serta pasif diwarisi oleh setiap generasi. Oleh sebab

itu, identitas nasional bukan substansi, melainkan kluster intensi yang saling

terkait yang seringkali menarik dalam arah yang berbeda, dan setiap generasi

harus mengidentifikasi nilai-nilai dan cita-cita yang terlalu tidak pernah transparan

dan tidak ambigu (Parekh, 2008: 60-61).

Identitas nasional dalam praktiknya merupakan istilah yang digunakan di

dalam dua arti yang terkait tetapi berbeda, yaitu antara identitas individual dan

identitas nasional. Identitas individual mengacu pada “anggota dari komunitas

politik sebagai perbedaan jenis lain dari komunitas”, sedangkan identitas nasional

mengacu pada “identitas komunitas politik” (Parekh, 2008: 56).18

Misalnya, orang

Indonesia adalah identitas nasional, orang Kristen atau Bugis adalah identitas

individual religius atau etnis, sedangkan Indonesia adalah komunitas politik

daripada lainnya.

Identitas nasional adalah bagian penting dan sering dihargai oleh identitas

individual. Pada sisi gelap identitas nasional dapat mudah menjadi sumber konflik

dan perpecahan.19

Hal itu terjadi karena identitas nasional merupakan hasil

seleksi, yang menekankan salah satu pandangan moral dan budaya, dan

mendelegitimasi pandangan yang lain. Bahkan, identitas nasional dapat menjadi

wahana membungkam suara-suara pembangkang dan membentuk seluruh

masyarakat dalam imaginasi tertentu dengan segala implikasinya yang otoriter dan

represif.20

Di dalam masyarakat multikultur identitas nasional menimbulkan

bahaya terjadinya keragaman yang tak terhindarkan atas nilai, visi good life, dan

interpretasi historis (Parekh, 2000: 231).

Dengan demikian, begitu penting identitas sosial yang plural di dalam

masyarakat multikultur, karena setiap identitas sosial merupakan cara tertentu

18

“The term national identity is used in two related but different senses. …it refers to an

individual's identity as a member of a political community as different from that of other kinds of

community. …national identity refers to the identity of a political community.” 19

“…also has a dark underside and can easily become a source of conflict and division.” 20

“…can also become a vehicle of silencing dissident voices and moulding the entire society in a

particular image with all its authoritarian and repressive implications.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 98: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

83

Universitas Indonesia

dalam memandang dunia. Identitas sosial yang plural berarti individu

berperspektif plural, di mana masing-masing melengkapi wawasan dan

mengoreksi keterbatasan lainnya. Secara kolektif masyarakat membuat posibilitas

pandangan dunia yang lebih luas, lebih bernuansa, dan dapat dibedakan (Parekh,

2008: 24).

3.2.3 Kesetaraan dan Keadilan dalam Perbedaan

Perbedaan sebagai pembentuk ontologis masyarakat multikultur.

Perbedaan mengubah struktur sosial masyarakat monokultur menjadi masyarkat

multikultur, monoetnik menjadi multietnik, monisme menjadi pluralisme atau

liberalisme, dan homogenitas menjadi heterogenitas. Kesetaraan dan keadilan

merupakan nilai-nilai utama untuk merealisasikan perbedaan dalam kesejahteraan

dan harmoni masyarakat multikultur. Untuk menghormati perbedaan, negara

merupakan salah satu sumber persatuan, memberikan fokus untuk hidup bersama,

dan diharapkan memberi contoh tentang bagaimana untuk mengatasi prasangka

dan sudut pandang komunal yang sempit.21

Negara melalui lembaga yudikatif

(kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) seharusnya memperlakukan dengan adil

terhadap anggota komunitas-komunitas yang berbeda. Selain itu, negara

konstitusional harus memastikan bahwa warganya menikmati perlakuan

kesetaraan dalam seluruh ranah kehidupan yang signifikan, seperti pekerjaan,

peradilan pidana, pendidikan, dan pelayanan publik (Parekh, 2000: 209-210).22

Eksistensi komunitas dan seluruh ranah kehidupan tersebut dibentuk berdasarkan

pada perbedaan sosial.

Perbedaan sosial disebut juga diferensiasi struktural dalam pandangan

teori perubahan sosial fungsionalis. Istilah perbedaan atau diferensiasi dalam

perspektif sosiologis itu berasal dari istilah biologis untuk menjelaskan

21

“Its role is even greater in a multicultural society in which it is one of the few sources of unity,

provides a focus to the shared life, and is expected to set an example of how to rise above narrow

communal prejudices and points of view.” 22

“…the state needs to ensure that is citizens enjoy equality of treatment in all significant areas of

life such as employment, criminal justice, education and public service.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 99: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

84

Universitas Indonesia

spesialisasi fungsi masyarakat dalam sebuah proses evolusi sosial.23

Perbedaan

dapat dipahami pada suatu aktivitas institusional yang terbagi, dan lebih khusus

dalam dua atau lebih aktivitas institusional yang terpisah. Oleh sebab itu,

perbedaan secara fungsional untuk meningkatkan integrasi dan saling

ketergantungan. Misalnya, pemisahan dan spesialisasi fungsi produksi ekonomi

dari institusi keluarga yang memelihara fungsi reproduksi dan sosialisasi bayi

(David Jary & Julia Jary, 1991: 581). Perbedaan sosial lebih luas dijelaskan oleh

Kaare Svalastoga ketika memahami interaksi sebagai hakikat hidup berkelompok.

Perbedaan sosial adalah “kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang

berlawanan, seperti perbedaan menurut ciri-ciri biologis antar-manusia”. Dalam

interaksi tersebut ada integrasi sosial yang dituntut. Integrasi sosial adalah

“kecenderungan untuk saling menarik, tergantung, dan menyesuaikan diri.” Dari

pengertian tersebut, dengan jelas Svalastoga memposisikan perbedaan sosial

sebagai oposisi dari integrasi sosial. Selain itu, perbedaan sosial dipahami

didasarkan pada perbedaan sosial secara horizontal, bukan stratifikasi sosial.

Di dalam masyarakat multikultur terdapat empat jenis perbedaan sosial

yang dapat mempengaruhi terjadinya perubahan sosial budaya, agama, dan

politik. Empat jenis tersebut terdiri dari tiga jenis perbedaan sosial menurut

Svalastoga dan satu jenis lagi menurut Ralf Dahrendorf. Pertama, perbedaan

tingkat. Perbedaan tingkat dalam kehidupan sosial disebabkan oleh persediaan

sumber daya alam yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Keterbatasan alam yang tersedia itu harus didistribuskan secara adil dan merata.

Ketidakadilan dan ketidakmerataan itu niscaya menimbulkan ketidaksetaraan

sosial. Oleh sebab itu, perbedaan tingkat sosial niscaya menimbulkan

ketidaksetaraan sosial jika sumber daya alam yang tersedia tidak didistribusikan

secara adil dan merata. Kedua, perbedaan fungsi. Dalam kehidupan sosial

perbedaan fungsi dibutuhkan karena adanya pembagian kerja yang harus

dilakukan dalam aktivitas sosial. Pembagian kerja yang profesional dilaksanakan

sesuai fungsinya masing-masing. Aktivitas sosial yang semakin berkembang dan

23

“Differentiation is a term derived from biology to describe the specialization of functions in

society in a process of social evolution.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 100: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

85

Universitas Indonesia

modern tidak dapat terhindar dari kerja-kerja profesional. Perbedaan fungsi sosial

tak lain merupakan akibat dari globalisasi pada aktivitas sosial yang menuntut

profesionalitas dan modernitas.

Ketiga, perbedaan adat istiadat. Perbedaan adat istiadat didasarkan pada

aturan perilaku masyarakat yang memiliki realitas kondisional dan situasional

sosial yang beragam. Aturan perilaku sosial dikonstruksi di dalam budaya

masyarakat lokal. Budaya masyarakat senantiasa berkembang dinamis selaras

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dinamika budaya masyarakat

menimbulkan perbedaan keyakinan dan pandangan hidup. Di dalam masyarakat

multikultur perbedaan adat istiadat sebagai keniscayaan dari realitas sosial yang

beragam (Svalastoga, 1989: 1). Perbedaan adat istiadat sangat erat berkaitan

dengan dinamika perubahan kehidupan religius dan etnis pada masyarakat

multikultur. Keempat, perbedaan distribusi otoritas. Menurut Dahrendorf,

perbedaan distribusi otoritas dalam kehidupan sosial mengakibatkan konflik sosial

yang sistematis.24

Dalam masyarakat multikultur industrial perbedaan sosial yang

paling berpengaruh terhadap perubahan sosial ditentukan oleh perbedaan otoritas

yang didistribusikan. Otoritas melekat pada posisi sosial. Otoritas dalam setiap

masyarakat bersifat dikotomis antara superordinasi atau dominasi dan subordinasi

atau minoritas (Dahrendorf, 1959: 165).

Adanya perbedaan sosial tersebut, masyarakat multikultur membutuhkan

dua macam kesetaraan, yaitu kesetaraan negatif dan kesetaraan positif.

Kesetaraan negatif melibatkan absensi diskriminasi langsung dan

deliberasi; atau tak langsung dan institusionalisasi.25

Diskriminasi langsung dan

deliberasi terjadi ketika orang-orang yang bertanggung jawab atas pengambilan

keputusan dipandu oleh prasangka terhadap kelompok tertentu. Sementara itu,

diskriminasi tak langsung dan institusional ketika aturan dan prosedur yang diikuti

mengandung bias diskriminatif tanpa diketahui dan bekerja pada kerugian

sistematis bagi komunitas atau kelompok tertentu (Parekh, 2000: 210).

24

“…differential distribution of authority invariably becomes the determining factor of systematic

social conflicts of a type that is germane to class conflicts in the traditional (Marxian) sense of this

term.” 25

“Negatively equal treatment involves absence of direct and deliberate or indirect and

institutionalized, discrimination.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 101: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

86

Universitas Indonesia

Kesetaraan positif memerlukan kesetaraan hak dan kesempatan. Seluruh

warga negara harus menikmati hak yang setara, dan seharusnya mencakup bukan

hanya pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan hak lain, melainkan juga

hak budaya.26

Hak budaya mengacu pada hak-hak yang dimiliki oleh seseorang

ataupun juga komunitas yang mengekspresikan, mempertahankan, dan

menanamkan identitas budayanya. Budaya merupakan bagian integral dari

perasaan identitas dan kesejahteraan individual. Oleh sebab itu, hak-hak budaya

merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan masyarakat yang baik harus

menjamin adanya hak-hak budaya bagi seluruh warganya (Parekh, 2000: 211).

Keadilan menuntut bahwa dengan tunduk pada limitasinya, kesempatan

yang sama harus diperluas sampai kepada masyarakat minoritas.27

Dengan

memperluas interaksi dengan masyarakat minoritas, hak budaya menuntut

loyalitas dan niat untuk memfasilitasi penyatuan. Prinsip-prinsip keadilan

mengatur signifikansi hidup yang baik dan berelasi dengan konstruksi dasar

masyarakat. Konstruksi dasar masyarakat bukan hanya menyangkut politik dan

ekonomi saja, akan tetapi juga budaya. Keadilan adalah “keutamaan pertama pada

institusi sosial, dan sebagai kebenaran pada sistem pemikiran”.28

Keutamaan

pertama menjadi aktivitas manusia pada institusi sosial, menempatkan relasi

kebenaran dan keadilan tanpa kompromi. Prinsip-prinsip keadilan tertentu

dibenarkan karena masyarakat sepakat pada situasi awal, kesetaraan (Rawls, 1999:

3; 19).

Dalam masyarakat multikultur desentralisasi kekuasaan memiliki peran

yang sangat penting untuk memastikan keadilan.29

Dengan desentralisasi

kekuasaan, institusi lokal dan regional mudah mengakomodasi perbedaan

daripada pemerintahan sentral, karena penyesuaian yang diperlukan lebih mudah

diidentifikasi, terbatas dalam skala, tidak terlalu mahal, dan umumnya bebas dari

26

“Positive equality requires equality of rights and opportunities. All citizens should enjoy equal

rights, and these should include not only the usual repertoire of civil, political, economic and

other rights but also cultural rights.” 27

“Justice requires that, subject to the limits…, the same opportunity should be extended to the

minority communities as well.” 28

“Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought.” 29

“Decentralization of power has a particularly important role to play in ensuring justice in

multicultural societies.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 102: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

87

Universitas Indonesia

sorotan publisitasi. Oleh karena itu, penting untuk membangun unit pemerintah

lokal dan regional yang kuat dan menggunakannya untuk memperkuat budaya

masyarakat. Ketegangan antarkomunal lebih sedikit terjadi dan lebih mudah

diolah ketika ada jaringan lintas komunal formal dan informal yang

mempertahankan modal sosial, saling percaya dan kerja sama (Parekh, 2000:

212).

3.2.4 Agama dan Etnik dalam Kehidupan Publik

Kehidupan publik adalah suatu ruang untuk menguatkan keragaman,

identitas, dan perbedaan seorang individu komunitas dengan yang lain secara

sosial, politik, dan budaya. Sebagai ruang, kehidupan publik memposisikan antara

individu, masyarakat dan negara, di mana diskusi publik yang kritis mengenai

persoalan kepentingan umum yang dijamin secara institusional, yang mengambil

bentuk dalam keadaan historisitas tertentu (Habermas, 1991: xi). Agama dan etnik

dalam kehidupan publik merupakan salah satu komunitas dalam membentuk

masyarakat multikultur. Agama dan etnik tetap menjadi kekuatan penting dalam

kehidupan masyarakat. Agama dan etnik tidak hanya hidup hari ini, melainkan

juga menolak untuk tetap terbatas pada ruang privat. Agama dan etnik menjadi

dalam kehidupan publik menjadi kekuatan komunitas yang memiliki keyakinan

religius dan kearifan lokal bagi beberapa aktivis sosial, politik dan budaya, seperti

gerakan lingkungan, gerakan antikekerasan, organisasi antiras, kampanye hak-hak

pribumi, perjuangan kesetaraan gender, perjuangan antikemiskinan, gerakan

perdamaian dan pelucutan senjata, serta kampanye hak asasi manusia dan keadilan

dunia (Parekh, 2000: 323-324).

Agama dan etnik adalah sebuah fakta kehidupan sosial.30

Tak ada satu

negara pun yang dapat bersikap acuh tak acuh kepada fakta tersebut. Partisipasi

warga negara di dalam tatanan publik, moralitas publik, kesehatan publik,

harmoni sosial, dan kebebasan individual, didasari oleh keyakinan religius yang

sangat mendalam. Negara tidak dapat mengabaikan partisipasi warganya dengan

30

“Religion (and ethnic) is a fact of social life…”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 103: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

88

Universitas Indonesia

tanpa merusak integritas moral dan mengundang resistensi. Oleh sebab itu, fakta

sosial itu menolak pandangan sekulerisme dari kaum sekuler, liberal dan

konservatif yang membentuk pemisahan antara agama, etnik dan negara. Sejarah

menjelaskan bahwa agama telah menjadi sumber dari banyak gerakan emansipasi.

Antiperbudakan, antikapitalis, antifasis, dan gerakan-gerakan lainnya, seringkali

dipimpin oleh pemikir religius yang kuat (Parekh, 2000: 327-328).

Selain itu, agama dan etnik merupakan pengimbang yang berharga bagi

negara, memelihara sensibilitas dan nilai yang diabaikan atau dipaksakan.31

Seperti partai oposisi, institusi nonnegara memiliki kekuatan untuk memeriksa

negara. Misi agama dan etnik menyediakan sumber-sumber alternatif moralitas

dan komitmen, serta mengingatkan bahwa “seorang manusia adalah lebih penting

dari seorang warga negara”.32

Dengan demikian, fakta itu bukan menyangkal

bahwa agama dan etnik seringkali mendukung nasionalisme yang agresif dan

perang yang kejam, melainkan menyatakan bahwa agama dan etnik memiliki

dimensi universalis dan humanitarian yang dapat digunakan untuk mengritik,

memalukan, dan memuat cenderung nasionalis (Parekh, 2000: 328).

3.3 Keterbatasan Masyarakat Multikultur

Keterbatasan masyarakat multikultur adalah konstruksi sosial masyarakat

yang dibentuk tetap menyimpan ruang kemungkian konflik antarindividu atau

antarkomunitas yang sangat berbahaya hingga lenyapnya martabat manusia yang

tertanam secara budaya. Ruang kemungkinan konflik disimpan oleh semua unsur

yang membentuk konstruksi sosial di dalam masyarakat multikultur. Karakteristik

masyarakat multikultur yang berbeda-beda mempengaruhi konstruksi sosial yang

dipenuhi dengan konflik dalam diskursus yang dikategorikan secara sosial, seperti

masyarakat komunal pribumi dan nonpribumi, masyarakat minoritas dan

mayoritas, aborsi, poligami, nikah beda agama, konversi agama, dan ajaran sesat.

31

“Religion (and ethnic) also provides a valuable counterweight to the state, nurturing

sensibilities and value the latter ignores or suppresse.” 32

“…a human being is more than a citizen.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 104: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

89

Universitas Indonesia

Pertama, di dalam keragaman moral dan budaya, masyarakat homogen

yang tertutup, intoleran, antiperubahan, menyesakkan dan menindas, melemahkan

perbedaan, ketidaksepakatan, dan eksperimen dalam hidup, berkontribusi besar

pada ruang kemungkinan konflik antarindividu. Masyarakat intoleran hanya akan

memunculkan kekerasan kepada yang lain, baik berbentuk fisik maupun nonfisik.

Masyarakat yang melemahkan perbedaan hanya akan menutup rapat ruang

kehidupan publik, terutama bagi kebebasan religius dan etnis. Kedua, di dalam

identitas nasional yang menjadi wahana membungkam suara-suara pembangkang

dan membentuk seluruh masyarakat dalam imaginasi tertentu dengan segala

implikasinya yang otoriter dan represif, hanya akan memunculkan protes

destruktif dan konflik sosial.

Ketiga, ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam perbedaan hanya akan

menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan baru yang mengakibatkan konflik

sosial yang berkepanjangan. Di samping itu, ketidakadilan dalam perbedaan

mewujudkan kemiskinan dan pemberontakan individu atau komunitas budaya

terhadap negara. Keempat, pemisahan agama, etnik dan negara di dalam

masyarakat multikultur akan merusak relasi triadik di antara ketiganya, yaitu

mengancam martabat manusia, mengelimitasi kebebasan hati nurani manusia,

serta merusak moral dan integritas religius individual. Kerusakan pada relasi

triadik tersebut akan menimbulkan konflik antarindividu yang didasari oleh

prasangka dan sudut pandangan yang sempit.

3.4 Ikhtisar

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ada empat unsur pembentuk

masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral dan budaya, identitas sosial,

perbedaan, dan kehidupan publik. Keragaman moral dan budaya merupakan

faktisitas budaya di dalam masyarakat multikultur. Identitas sosial merupakan

perpaduan dari normativitas dan kekuasaan, yang dilegitimasi dalam bahasa tubuh

keyakinan yang berlaku dan ditopang oleh relasi kekuasaan yang berlaku, seperti

identitas agama atau etnik. Perbedaan harus diproduksi oleh kesetaraan dan

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 105: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

90

Universitas Indonesia

keadilan yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya dan sebaliknya

warga negara kepada negaranya. Kehidupan publik merupakan ranah sosial,

politik dan budaya di mana agama dan etnik memiliki peran yang signifikan untuk

menghormati martabat manusia.

Oleh karena itu, konstruksi sosial pada masyarakat multikultur memiliki

ciri-ciri, sebagai berikut: relasi sosial didasarkan pada keragaman moral dan

budaya, identitas sosial pada individu dipengaruhi identitas nasional, kualitas

kesejahteraan yang berbeda-beda didasarkan pada kesetaraan dan keadilan, dan

kebebasan berkeyakinan dalam kehidupan publik dijamin negara yang mengakui

keragaman moral dan budaya. Namun demikian, ciri-ciri tersebut tetap

menyimpan ruang kemungkinan konflik antarindividu, karena unsur-unsur

pembentuk konstruksi sosial masyarakat multikultur menyimpan sesuatu tak

terhindarkan yang berisi diskursus yang kontradiktif dan kontroversial dalam

kategori sosial, seperti masyarakat komunal pribumi dan nonpribumi, masyarakat

minoritas dan mayoritas, aborsi, poligami, nikah beda agama, konversi agama,

dan ajaran sesat.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 106: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

91

Universitas Indonesia

BAB IV

KONFLIK SOSIAL

MASYARAKAT MULTIKULTUR

4.1 Pengantar

Konstruksi sosial masyarakat multikultur yang telah dijelaskan pada bab

tiga merupakan landasan normatif bagi individu, masyarakat dan negara untuk

memahami konflik sosial yang diproduksi. Dalam bab empat ini akan dijelaskan

konflik antarindividu yang memproduksi fenomena konflik sosial yang terjadi di

dalam masyarakat multikultur. Dengan reduksi fenomenologis terhadap fenomena

konflik sosial tersebut, akan dijelaskan bahwa perilaku sosial seorang manusia

yang memunculkan konflik, dan dua corak konflik sosial yang diproduksi di

dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Dua corak konflik

masyarakat multikultur, yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik.

Pada akhir bab ini akan dijelaskan kritik terhadap konsep manusia sebagai

makhluk yang berkonflik.

4.2 Memahami Konflik Sosial dalam Masyarakat Multikultur

Konflik sosial dipahami atas dasar fenomenologi kehidupan religius di

dalam masyarakat multikultur. Dalam fenomenologi kehidupan religius, konflik

sosial dijelaskan melalui pengalaman religius individual seseorang yang meyakini

adanya Tuhan sebagai pandangan moral dan budaya. Pengalaman kehidupan

religius individual dapat diperoleh di dalam komunitas agama dan etnik. Oleh

karena itu, dari fenomena konflik sosial di Poso, Ambon, dan Cikeusik, akan

dijelaskan pengalaman religius pada individu-individu yang telah mengalami

konflik antarkomunal. Untuk menjelaskan pengalaman kehidupan religius

seseorang, lebih dahulu dijelaskan pengertian konflik sosial, fenomena konflik

sosial, dan konflik antarindividu, sebagai berikut.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 107: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

92

Universitas Indonesia

A. Pengertian Konflik Sosial

Konflik telah didefinisikan sebagai pengganggu pikiran, sine qua non

refleksi dan kecerdikan (Dewey, 1922: 300; Coser, 1957: 198).1 Dalam ranah sosial,

konflik ditunjukkan dengan tindakan yang mengganggu pikiran, seperti memukul

orang lain, mencaci maki orang lain, atau berpikir buruk atas orang lain. Istilah

“konflik” sendiri berasal dari bahasa Latin conflictus yang berarti “tindakan

menyerang bersama-sama”, atau confligere yang berarti “menyerang bersama-

sama”. Atas dasar asal bahasanya, definisi tersebut menjelaskan bahwa konflik

sosial merupakan masalah moralitas individual yang mengalami gangguan pikiran

bersama orang lain di dalam kehidupan masyarakat, misalnya kebimbangan

eksistensial seseorang menganut sebuah agama di dalam masyarakat yang berbeda

agama yang dianutnya, atau kegelisaan seseorang berperilaku sosial dalam

masyarakat yang berpandangan budaya adat tetapi dirinya berpandangan religius.

Ada banyak pengertian dalam memahami konflik yang dipengaruhi oleh intensi

seseorang pada disiplin ilmu masing-masing. Dalam fenomenologi kehidupan

religius konflik disebut dengan adanya “pergaulan aneh” dari berbagai relasi

sosial dalam pengalaman hidup faktis atau kegiatan yang ramai.2 Pencampuran

yang dihadirkan oleh ketakutan, keinginan, dan nafsu membawa konflik baru

dalam dirinya sendiri. Konflik itu akan menjadi dasar perilaku seseorang yang

antitesis dialektis, intoleran (Heidegger, 2004: 153).

Di dalam ranah filsafat pemikiran tentang konflik dapat ditelusuri dari

tulisan-tulisan filsuf kuno, seperti Plato, Thucydides, Niccolò Machiavelli dan

Thomas Hobbes. Selajutnya, filsuf modern yang banyak dirujuk oleh para pemikir

sosial adalah Marx. Penekanan Marx dan Engels dalam menjelaskan landasan

konflik adalah kondisi-kondisi material, seperti konflik kelas yang didasarkan

pada relasi-relasi kepemilikan. Namun, pada tahun 1960-an, terutama di negara-

negara yang berbahasa Inggris, pemikiran Marx tersebut banyak dikritik oleh para

filsuf sosial. Dahrendorf mengkritik bahwa relasi-relasi kekuasaan yang

melandasi konflik sosial, bukan relasi-relasi kepemilikan. Antonio Gramsci

1 “Conflict is the gadfly of thought. …conflict is a sine qua non of reflection and ingenuity.”

2 “If we call this peculiar commingling of the various senses of the relation of concern in the

factical experience of life (or its bustling activity) a ‘conflict”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 108: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

93

Universitas Indonesia

menekankan bahwa hegemoni budaya pada kelas penguasa sebagai bentuk

dominasi, yang melandasi konflik sosial (Kuper, 2000: 156).

Pada sisi lain dalam ranah sosiologis, konflik dipahami secara positif

konstruktif bahwa konflik tidak hanya memproduksi norma-norma baru, institusi-

institusi baru, bahkan mendorong perkembangan langsung dalam bidang ekonomi

dan teknologi (Coser, 1957: 198). Misalnya, konflik tidak hanya menciptakan

institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menebarkan misi perdamaian, akan

tetapi juga mereproduksi terus-menerus senjata atom dan nuklir yang canggih.

Selain itu, konflik dipahami secara negatif destruktif dari yang didasari oleh

ketimpangan fundamental dari struktur sosial. Dengan kata lain, konflik sosial

adalah ketimpangan kekuasaan dan otoritas, termasuk organisasi sosial

(Dahrendorf, 1959: 64).3 Dengan adanya ketimpangan tersebut, konflik dipahami

sebagai bentuk pemaksaan, termasuk kekerasan, sebagai cara utama untuk

menciptakan kontrol, meskipun mengakui adanya simbol dalam konflik, baik

pada tingkat individual maupun sosial struktural (Kuper, 2000: 156).

Konstitusi negara Indonesia penting dipahami sebagai konteks di mana

konflik sosial terjadi. Dalam konstitusi negara pengertian konflik adalah “sebuah

perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok

masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas

yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu

stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional”.4 Dalam pemahaman

konstitusional konflik ditunjukkan dengan proses sosial dalam dua atau lebih

komunitas komunal bahwa bermula dari benturan dengan kekerasan,

mengakibatkan ketidakamanan dan disintergrasi sosial, serta menghasilkan

gangguan stabilitas nasional dan hambatan pembangunan nasional. Oleh karena

itu, secara kontekstual konflik sosial dalam negara adalah gangguan stabilitas

nasional dan hambatan pembangunan nasional yang diproduksikan oleh benturan

dengan kekerasan antarkomunitas.

3 “…the fundamental inequality of social structure, and the lasting determinant of social conflict,

is the inequality of power and authority which inevitably accompanies social organization.” 4 Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 109: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

94

Universitas Indonesia

B. Fenomena Konflik Sosial

Konflik sosial paling lama berlangsung dalam sejarah peradaban manusia

di dunia, yakni konflik antara Israel dan Palestina. Konflik sosial antara Israel dan

Palestina tentunya menghilangkan jiwa manusia yang tak ternilai harganya dan

merusak lingkungan hidup yang paling parah di antara beberapa konflik sosial

lainnya. Bahkan, konflik itu menyulut emosi masyarakat di banyak negara,

termasuk Indonesia. Konflik antara Israel dan Palestina mulai berlangsung pada

akhir tahun 1940-an, terus bergulir hingga menembus abad ke-20, dan kini

memasuki abad ke-21. Titik perdamaian di antara keduanya pun tak pernah

muncul, sehingga tidak aneh jika pada suatu saat konflik antara Palestina dan

Israel akan dilupakan.

Di Indonesia konflik yang berbasis primordialisme mungkin masih akan

terus terjadi. Konflik di Poso, Ambon, dan Cikeusik pada awal reformasi Mei

1998 dipandang sebagai fenomena konflik sosial yang bernuansa primordialisme.

Rezim awal reformasi menandai rezim Orde Baru dalam kondisi sosial

pembangunan yang tidak adil, sebab itu selama itu modernitas negara hanya semu

belaka. Ada ketimpangan sosial yang sangat berjarak di antara sendi-sendi

kehidupan manusia. Masyarakat secara umum mengetahui bahwa kondisi sosial

pada saat itu disebabkan oleh cara negara mengolah perbedaan pandangan moral

dan budaya yang tidak sehat di mana merajalelanya korupsi, kolusi, dan

nepotisme (Hendrajaya, dkk., 2010: 2).

Protes dan kritik sosial seringkali diungkapkan, akan tetapi rezim Orde

Baru seolah-olah tidak melihat, mendengar, bahkan masyarakat yang tidak setuju

terhadap kebijakan negara selalu dituduh sebagai komunis, subversif, dan

sebagainya. Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi,

harga-harga mulai membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat lemah,

bahkan banyak perusahaan yang terpaksa melakukan pemutusan hak kerja

terhadap buruhnya. Kondisi sosial politik bangsa diperparah lagi dengan nilai kurs

rupiah terhadap dolar sangat rendah. Dalam kondisi seperti itu para mahasiswa,

akademisi, dan masyarakat mulai berani mengadakan demonstrasi memprotes

kebijakan rezim Orde Baru. Setiap hari mahasiswa dan masyarakat mengadakan

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 110: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

95

Universitas Indonesia

demonstrasi hingga mencapai puncaknya pada Mei 1998, dengan meneriakkan

reformasi bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Dengan demikian, rezim

awal reformasi secara simbolik pada 21 Mei 1998 berdasarkan Pasal 8 Undang-

Undang Dasar 1945, ditandai dengan penyerahan kepemimpinan negara dan

kepemerintahan Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B.J. Habibie.

Kondisi awal rezim reformasi tersebut memberi ruang kemungkinan

konflik sosial yang dahsyat bagi masyarakat multikultura yang berada di sudut-

sudut wilayah kekuasaan negara. Konflik sosial tak lepas dari realitas sosial homo

homini lupus di mana masyarakat terdiri dari individu-individu yang menganggap

diri orang lain sebagai serigala (Magnis-Suseno, 1999: 202). Lebih mendalam,

Jacques Derrida menjelaskan adanya “dikotomi” serigala dalam pandangan

Machiavelli terhadap realitas sosial homo homini lupus tersebut, yang secara

literal dari Plautus, jauh sebelum Michel de Montaigne dan Hobbes. Menurut

Machiavelli dalam The Prince, serigala itu loud and dear (Derrida, 2009: 79).

Oleh sebab itu, tidak keliru apabila konflik sosial dipahami secara sederhana

sebagai seekor serigala yang “garang” sekaligus “penyayang.”

Atas fenomena konflik sosial di atas, konflik merupakan masalah

heteronomi eksistensial manusia di dalam masyarakat multikultur, bukan lagi

masalah dikotomi eksistensial manusia. Heteronomi eksistensial manusia yang

tertanam secara budaya sangat mudah dipengaruhi oleh diskusus globalisasi yang

terbentuk di dalam identitas individual, sosial, dan nasional. Pengaruh diskursus

globalisasi seiring dengan keragaman moral dan budaya di dalam kehidupan

manusia. Pengaruh globalisasi, serta keragaman moral dan budaya, konflik sosial

tak dapat dihindari. Oleh sebab itu, konstruksi sosial masyarakat multikultur tak

dapat menghindar dari konflik sosial. Fenomena konflik sosial di dalam

masyarakat multikultur dapat dijelaskan dalam bentuk perilaku sosial atas

tindakan kekerasan, perang, serta perang dan kepentingan PBB.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 111: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

96

Universitas Indonesia

A. Perilaku kekerasan

Kemunculan konflik sosial di atas sebagai fakta krisis budaya yang

mereproduksi tindakan kekerasan. Reproduksi kekerasan dalam konteks tiga

tragedi konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik menjelaskan bahwa

religiusitas dan etnisitas menjadi legitimasi etis relasi sosial pada masyarakat

multikultur (Haryatmoko, 2012: 84). Legitimasi etis relasi sosial dipengaruhi oleh

interpretasi umat beragama dan etnik terhadap teks kitab sucinya dan praktik

formalisasi agama dan etiniknya di dalam negara yang mengakui keragaman

moral dan budaya pada arus globalisasi. Gandhi sangat menyesalkan pemikiran

yang meyakini bahwa “eksistensi manusia tidak mungkin terhindar dari kekerasan

adalah fakta”.5 Keyakinan itu menjelaskan bahwa tubuh adalah “rumah

pembantaian” dan manusia dipaksa untuk “meminum kemarau kekerasan yang

pahit” pada setiap detik kehidupannya. Tubuh manusia yang dipaksa itu

menghancurkan jutaan organisme hidup dalam proses bernafas, berjalan, makan,

minum, mengolah tanah dengan insektisida dan desinfektan, menyalakan api, dan

membangun rumah. Reproduksi kekerasan di sekitar manusia itu dipahami bahwa

“dunia terikat di dalam rantai kehancuran” (Parekh, 1989: 127).6

Kekerasan adalah karakter manusia yang tidak hanya pada perilakunya,

melainkan juga pada pikirannya.7 Pikiran yang merugikan orang lain adalah

bentuk kekerasan, sebelum konvensi sosial, di mana tidak adanya kesempatan dan

pertimbangan kepentingan jangka panjang untuk bertindak. Pikiran adalah

konstruksi karakter seorang individu. Jika pikiran menjadi kebiasaan dan menjadi

bagian dari beberapa jenis pemikiran, maka dari waktu ke waktu pikiran

cenderung tampil alami dan bukti eksistensinya, tumpul sensibilitas dan bertindak

tidak relevan, serta melegitimasi tindakannya sendiri. Oleh sebab itu, pikiran

kekerasan membuka jalan bagi perilaku kekerasan, dan keduanya sama-sama

buruk (Parekh, 1989: 117-118).

Tindakan kekerasan pada tiga tragedi konflik sosial menjelaskan bahwa

kekerasan merupakan sebagian besar sanksi dari agama, sebab itu kita harus jujur

5 “…fact that human existence was impossible without violence.”

6 “The world is bound in a chain of destruction.”

7 “Violence was a property not only of conduct but also thought.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 112: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

97

Universitas Indonesia

menghadapi masalah kekerasan dan teks suci. Kristen, Islam, dan etnisitas berakar

pada teks-teks paralel, namun terjadi konflik interpretasi, sehingga membuat

klaim-klaim tentang Tuhan dan sejarah menurut pandangannya masing-masing.

Setiap teks suci didominasi oleh tradisi kekerasan Tuhan. Meskipun legitimasi

teks kekerasan tidak mengarah secara otomatis terhadap kekerasan manusia.

Namun hal itu, bagaimanapun, membuat kekerasan lebih mungkin di tengah-

tengah konflik (Pallmeyer, 2005: xiii-xiv).8

B. Perilaku Perang

Tindakan kekerasan yang sistematis dalam perilaku seorang manusia,

yaitu perang. Perang sebagai ultima ratio, warisan tua dari politik dengan cara

kekerasan, dalam urusan luar negeri negara terbelakang tidak ada argumen

terhadap pepatah kuno itu, serta fakta bahwa hanya negara kecil tanpa senjata

nuklir dan biologis yang hanya bisa membelinya sebagai penghiburan (Arendt,

1970: 6).9 Perang merupakan konflik antarkomunitas politik, yang lebih parah

daripada konflik antarkomunitas budaya atau konflik antarindividu. Perang

menunjukkan perilaku relasi individu yang dipenuhi oleh kekerasan global di

masyarakat multikultur.

Dalam pandangan yang berbeda, perang merupakan “tindakan kekerasan

yang ditujukan untuk memaksa orang lain supaya memenuhi kemauan orang yang

memaksa” (Clausewitz, 2006: 14).10

Perang sebagai deskripsi yang penggunaan

kekerasan, bukan cara damai, untuk menyelesaikan konflik sosial di dalam

kehidupan manusia. Dengan demikian, perang dianalogikan seperti perusahaan

yang ganas, namun tetap menjadi pusat sejarah manusia. Paradoks tindakan

peperangan tersebut dapat mengungkapkan aspek yang sangat mengganggu

karakter manusia, terutama dorongan untuk mendominasi orang lain.

8 “In a world fracturing because of violence, much of it sanctioned by religion, we must honestly

face the problem of violence and "sacred" texts. …rooted in parallel and yet conflicting texts,

make competing claims about God and history. Each "sacred" text is dominated by violence-of-

God traditions. Violence-legitimating texts do not lead automatically to human violence.” 9 “That war is still the ultima ratio, the old continuation of politics by means of violence, in the

foreign affair soft he underdeveloped countries is no argument against its obsoleteness, and the

fact that only small countries without nuclear and biological weapons can still afford it is no

consolation.” 10

“War therefore is an act of violence intended to compel our opponent to fulfil our will.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 113: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

98

Universitas Indonesia

C. Perilaku Perang dan Kepentingan PBB

Perang disadari benar memiliki relasi dengan kepentingan tersembunyi

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kepentingan PBB adalah memfasilitasi

perang sebagai arena berkompetisi bagi negara-negara adikuasa, seperti Amerika

Serikat, Rusia, dan Inggris, sebelum Perang Dunia I. Padahal, PBB yang didirikan

pada 26 Juni 1945 di San Fransisco, pada penutupan Konferensi PBB tentang

Organisasi Internasional, dan mulai berlaku pada 24 Oktober 1945, hanya

memiliki tujuan untuk perdamaian dan keamanan internasional, sebagaimana

termaktub dalam Pasal 1 bahwa:

(a) Memelihara perdamian dan keamanan internasional dan untuk tujuan

itu: melakukan tindakan-tindakan bersama yang efektif untuk mencegah

dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran-pelanggaran

terhadap perdamaian; dan akan menyelesaikan dengan jalan damai, serta

sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, mencari

penyelesaian terhadap pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-

keadaan yang dapat mengganggu perdamaian. (b) Mengembangkan

hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas

prinsip-prinsip persamaan hak dan untuk menentukan nasib sendiri, dan

mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk memperteguh

perdamaian universal. (c) Mengadakan kerja sama internasional guna

memecahkan persoalan-persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial,

budaya, atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha

memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi

manusia dan kebebasan-kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa

membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, dan. (d) Menjadi

pusat bagi penyelarasan segala tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai

tujuan-tujuan bersama tersebut (Piagam PBB dan Statuta Mahkamah

Internasional).11

11

Lihat Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, 1945

bahwa “(a) to maintain international peace and security, and to that end: to take effective

collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression

of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in

conformity with the principles of justice and international law, adjustment ot settlement of

international disputes or situations which might lead to a breach of the peace; (b) to develop

friendly realations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-

determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace;

(c) to achieve international cooperation in solving international problems of an economic, social,

cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights

and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and

(d) to be a center for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 114: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

99

Universitas Indonesia

Dengan tujuannya itu, resolusi Dewan Keamanan PBB seringkali

menangani perang sangat kontradiktif dan kontroversial. Dalam perang Teluk

Persia yang terjadi pada 2 Agustus 1991 hingga 27 Februari 1991, misalnya,

dijelaskan bahwa tindakan-tindakan antimiliter belum cukup ditempuh, sebelum

dipergunakan kekuatan militer terhadap Irak, sebagaimana yang dipersyaratkan

Piagam PBB ayat 42. Bahkan, dalam resolusi Dewan Keamanan PBB sendiri

tidak tercantum pemakaian kekuatan militer, melainkan segala tindakan yang

diperlukan. Di samping itu, absensi RRC sebenarnya telah menggagalkan resolusi

Dewan Keamanan PBB itu, karena aturannya harus disetuji oleh semua anggota

tetap Dewan Keamanan. Komite Staf Militer juga tidak dibentuk untuk

perencanaan penggunaan kekuatan militer, sebagaimana disyaratkan Piagam PBB

ayat 46 (Jacob, 1992: 173).

Puncak dari konflik sosial kontemporer yang diharapkan adalah perang

nuklir. Negara yang memproduksi senjata nuklir sebagai pengharap pertama dan

utama. Pada tahun 1992 dikatakan bahwa “senjata nuklir yang ada sekarang sudah

lebih dari cukup untuk membunuh sampai beberapa kali setiap orang dari 5 biliun

masyarakat dunia”. Sebelum difungsikan di dalam perang, senjata nuklir harus

diuji coba secara teratur supaya dijamin keaktifannya dan diperbaharui dari waktu

ke waktu supaya tidak ketinggalan dari negara lain. Bahkan, dalam

pembaharuannya, senjata nuklir ditambahkan terus daya penghancur manusia dan

alam semesta supaya lebih unggul dari negara lain. Pembaharuan senjata nuklir itu

disadari sudah mereduksi kepentingan kesejahteraan sosial yang teramat sangat

penting, yang berupa dana pendidikan, dana kesehatan, dan dana pembangunan

ekonomi. Dampak dari reduksi kepentingan kesejahteraan, berbentuk

pembodohan, penyebaran penyakit, dan menambah kemiskinan yang merajalela di

negara-negara yang lemah dan komunitas lemah di dalam negara-negara yang

kuat (Jacob, 1992: 132-133).

Dengan demikian, perang nuklir hanya mengakibatkan kehancuran

manusia dan alam semesta. Ledakan bom nuklir berakibat lebih luas ke luar

perbatasan negara, bahkan hingga ke belahan bumi yang lain. Kota Hiroshima

adalah bukti sejarah kekuatan bom atom yang hanya sebesar 15 kiloton. Dalam

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 115: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

100

Universitas Indonesia

perang nuklir bom atom akan diarahkan pada sasaran kehancurannya, yakni

perangkat keras militer, seperti silo peluru kendali, lapangan terbang, pangkalan

laut, fasilitas perindustrian, pertambangan bahan strategis, industri strategis,

pembangkit tenaga listrik dan wilayah pertanian. Dewasa ini negara yang

memproduksi senjata nuklir sudah mampu menciptakan senjata atom lebih dari 1

megaton. Dalam perang nuklir nanti setiap negara dapat memfungsikan beberapa

buah bom atom hingga 25 megaton. Dengan kekuatan bom atom itu, gelombang

ledakannya berkali-kali lebih besar daripada taufan, kabel listrik, dan kaca jendela

akan pecah-pecah, bahkan manusia dan benda-benda beterbangan menenuhi isi

udara. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa: “perang nuklir adalah kekerasan

kemanusiaan maha dahsyat yang melenyapkan hak manusia yang paling asasi,

yakni hak hidup, dan memusnahkan seluruh makhluk di bumi” (Jacob, 1992: 134-

136). Selain itu, dalam fenomena kehidupan religius perang nuklir merupakan

kriminalisasi hak-hak Tuhan, yakni hak menghidupkan dan mematikan makhluk-

makhluk lain yang secara misterius dalam wujud-Nya.

C. Konflik Antarindividu

Tindakan kekerasan dan perang di atas merupakan perilaku sosial seorang

manusia dalam masyarakat multikultur. Perilaku sosial individu tersebut tertanam

atau dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan konteks budaya yang menumbuhkan

dan mengembangkannya. Perilaku sosial antarindividu yang berkonflik memiliki

konteks historis. Konteks kejadian tragedi konflik sosial di Poso, Ambon,

Cikeusik, sebagai berikut.

Pertama, konteks konflik masyarakat Poso. Konflik di dalam masyarakat

Poso pertama kali terjadi pada 24 Desember 1998, tepatnya pada malam Natal di

bulan Ramadhan. Poso merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi

Tengah. Pada saat itu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 tahun

2013, luas wilayah provinsi adalah 61.841,29 km2. Dengan luas provinsi tersebut

wilayah kabupaten Poso adalah 7.112,25 km2 yang dikelilingi oleh dua belas

kabupaten/kota, yaitu: Banggai Kepulauan, Banggai, Morowali, Donggala,

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 116: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

101

Universitas Indonesia

Tolitoli, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Banggai Laut, Morowali

Utara, dan Palu. Masyarakat Poso berjumlah 225.379 jiwa, yang terdiri dari

116.827 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 108.552 jiwa berjenis kelamin

perempuan. Komposisi kehidupan religius memiliki keragaman moral dan

budaya. Dalam perspektif agama-agama yang diakui negara kehidupan religius

terdiri dari agama yang berbeda-beda: Islam 43,99%, Kristen Protestan 47,42%,

Kristen Katolik 1,62%, Hindu 6,74%, dan Budha 0,22% (Badan Pusat Statistik

Provinsi Sulawesi Tengah, 2013). Dalam kehidupan religius internal Kristen,

Protesan sebagai mayoritas dan Katolik sebagai minoritas. Dalam kehidupan

religius, Kristen sebagai agama mayoritas dan Islam sebagai agama minoritas.

Komposisi kehidupan sosial masyarakat Poso terdiri dari masyarakat

pribumi dan nonpribumi. Masyarakat pribumi di dalam masyarakat Poso berasal

dari etnik yang berbeda-beda: Etnik Kaili, Pamoa, Mori, dan Wana. Masyarakat

nonpribumi dalam masyarakat Poso berasal dari daerah yang berbeda-beda:

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa, Gorontalo, Lombok, Bali, dan sebagian

kecil dari daerah yang lain. Komposisi kehidupan sosial tersebut memproduksi

afiliasi etnik, seperti paguyuban Jawa, Bugis-Makassar, Bali, dan Gorontalo.

Afiliasi etnik diperkuat lagi dengan afiliasi religius. Kehidupan afiliasi religius

masyarakat Poso didominasi oleh Islam dan Kristen yang dianut oleh masyarakat

nonpribumi. Mayoritas penduduk pribumi menganut kehidupan religius Kristen

sekaligus bagian dari etnik Pamona dan Mori (Darlis, 2012: 29-30).

Pada tahun 2012 pasca konflik terorisme tumbuh subur di wilayah Poso,

sebagaimana dilaporkan oleh Lembaga Pusat Studi Hak Asasi Manusia (LPS-

HAM) Sulawesi Tengah yang menilai bahwa kepolisian harus ikut bertanggung

jawab atas tewasnya dua anggotanya di Poso, yang diduga dibunuh kelompok

teroris. Bahkan, menurut deklarator Malino I dan tokoh agama, Pendeta Rinaldy

Damanik, pemulihan Poso pasca konflik masih terabaikan. Politik pembiaran

dilakukan dengan tidak memulihkan sama sekali bangunan di kompleks

masyarakat Muslim dan Kristen. Trauma kekerasan yang dialami masyarakat

tetap dibiarkan. Negara tidak melakukan peningkatan kesejahteraan yang

disinergikan dengan program penegakan hukum dan peningkatan keamanan.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 117: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

102

Universitas Indonesia

Dalam catatannya konflik Poso pada tahun 1998-2000 sudah membunuh lebih

dari 3.000 orang (http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham).

Kedua, konteks konflik masyarakat Ambon. Konflik masyarakat Ambon

mulai terjadi pada 19 Januari 1999 ketika liburan hari raya Idul Fitri. Ambon

dewasa ini merupakan wilayah kabupaten kota di provinsi Maluku, yang memiliki

luas 359,45 km2. Wilayah Ambon dikelilingi oleh sepuluh wilayah

kapubaten/kota yang berbeda-beda, yaitu: Maluku Tenggara Barat, Maluku

Tenggara, Maluku Tengah, Buru, Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram

Bagian Timur, Maluku Barat Daya, Buru Selatan, dan Kota Tual (Bappeda

Provinsi Maluku). Komposisi gender masyarakat Ambon yang berjumlah 379.615

jiwa, terdiri dari: laki-laki 189.728 jiwa dan perempuan 189.887 jiwa (Badan

Pusat Statistik Provinsi Maluku, 2013).

Pasca konflik pada tahun 2012, bahkan para tokoh Republik Maluku

Serikat (RMS) bersuka cita atas fenomena konflik sosial itu, dengan segala bentuk

propagandanya yang seolah-olah mengajak para pemuka agama di Maluku untuk

bertanggung jawab dan melakukan perlawanan terhadap negara. Perlawanan

masyarakat Maluku dilatarbelakangi bahwa negara telah membuat masyarakat

Islam dan Kristen untuk menderita atas kejahatan dan kekejaman aparat keamanan

dan intelijennya. Selain itu, para tokoh RMS juga mengajak anggota legislatif

selaku representasi masyarakat lokal untuk memprotes dan membenci kepada

negara (http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25).

Ketiga, konteks konflik masyarakat Cikeusik. Konflik sosial yang ketiga

terjadi pada 6 Februari 2011 di dalam masyarakat Cikeusik. Wilayah Cikeusik

sekarang ini merupakan wilayah kecamatan di kabupaten Pandeglang, provinsi

Banten, dengan luas wilayah 322,76 km2. Wilayah Cikeusik dikelilingi oleh 34

wilayah kecamatan yang berbeda-beda, yaitu: kecamatan Sumur, Cimanggu,

Cibaliung, Cibitung, Cigeulis, Panimbang, Sobang, Munjul, Angsana,

Sindangresmi, Picung, Bojong, Sketi, Cisata, Pagelaran, Patia, Sukaresmi,

Labuan, Carita, Jiput, dan Cikedal, Menes, Pulosari, Mandalangi, Cimanuk,

Cipeucang, Banjar, Kaduhejo, Mekarjaya, Pandeglang, Majasari, Cadasari,

Karangtanjung, dan Koroncong. Wilayah Cikeusik dibatasi secara administratif di

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 118: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

103

Universitas Indonesia

sebelah utara, kabupaten serang; di sebelah selatan, samudera Indonesia; di

sebelah barat, selat Sunda; dan di sebelah timur, kabupaten Lebak. Penduduk

masyarakat Cikeusik berjumlah 52,281 jiwa. Komposisi gender masyarakat

Cikeusik terdiri dari jenis kelamin perempuan 25.552 jiwa dan laki-laki 26.729

jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012).

Dari konteks fenomena konflik sosial di atas, dapat dijelaskan bahwa

perilaku sosial seorang manusia yang memunculkan konflik sosial. Fenomena

konflik sosial tersebut benar merupakan konflik antarindividu di dalam

masyarakat multikultur. Konflik antarindividu dipahami dari tiga perilaku seorang

individu, sebagai berikut. Pertama, adanya individu-individu dari komunitas yang

terlibat dan mengalami konflik sosial adalah anggota komunitas moral dan budaya

yang berbeda. Kedua, setiap individu dari komunitas moral dan budaya yang

terlibat dalam konflik meyakini bahwa Tuhan adalah tujuan utama dan sekaligus

yang mutlak. Ketiga, setiap individu dari komunitas moral dan budaya memaknai

kehidupan religiusitas dan etnisitasnya merupakan bentuk penderitaan dan

penerimaan di dunia atas kehendak Tuhan.

Atas dasar perilaku sosial individu dari komunitas yang terlibat di dalam

konflik di atas, ada tiga unsur fundamental yang memunculkan konflik sosial di

dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. (a) Pertama,

keseragaman identitas. Masyarakat multikultur di dalam sebuah negara-bangsa

tentunya membutuhkan identitas nasional, akan tetapi identitas nasional telah

mereduksi identitas individual setiap warga negara. Reduksi identitas nasional

dalam bentuk keseragaman identitas. Identitas nasional dapat dengan mudah

menjadi sumber konflik dan perpecahan, karena setiap definisi identitas nasional

tentunya selektif dan harus relatif sederhana untuk mencapai tujuan yang

diharapkan, maka identitas nasional menekankan salah satu dari untaian

pemikiran dan pandangan serta mendelegitimasi atau meminggirkan yang lain”.12

Keseragaman identitas melalui identitas nasional telah menjadikan kendaraan

12

“…its national identity…can easily become a source of conflict and divison. Since every

definition of national identity is necessarily selective and must be relatively simple to achieve its

intended purposes, it stresses one of these strands and visions and delegitimizes or marginalizes

others.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 119: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

104

Universitas Indonesia

pembungkam suara kritis dan membentuk seluruh masyarakat dalam citra tertentu

yang implikasinya otoritarian dan represif (Parekh, 2000: 231). Rezim otoritarian

Orde Baru telah menanamkan definisi keseragaman identitas nasional bahwa

“Pancasila adalah asas tunggal”. Dalam praktiknya rezim Orde Baru didominasi

oleh etnik Jawa. Konflik Poso dan Ambon dipicu oleh dominasi etnik nonpribumi,

seperti Jawa atau Bugis.

(b) Kedua, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya. Setiap

masyarakat yang memiliki kehidupan religius, menganut agama dan etnik tertentu

dengan klaim kebenaran pandangan moral dan budaya masing-masing. Benturan

klaim kebenaran moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur tidak dapat

dihindari. Konflik Poso dan Ambon merupakan benturan pandangan antara klaim

kebenaran agama Kristen dan Islam. Bahkan, benturan antar pandangan Islam,

antara Islam Ahmadiyah dan Islam mainstream di dalam konflik Cikeusik.

Absensi negara terhadap benturan klaim kebenaran pandangan tersebut menandai

bentuk pembiaran negara, dan kegagalan negara sebagai pengolah perbedaan

pandangan moral dan budaya. Rezim Orde Baru dan Orde Reformasi telah

menanamkan klaim kebenaran pandangan moral dan budaya dalam bentuk agama

resmi negara. Dengan adanya agama resmi negara itu, rezim Orde Baru menolak

Konghucu sebagai agama, serta rezim Orde Baru dan Orde Reformasi menolak

Islam Ahmadiyah sebagai agama resmi. Relasi agama dan negara harus dijaga

dengan rekognisi Pancasila sebagai pandangan moral dan budaya yang universal

dan plural. Sementara itu, agama dan etnik seharusnya menjadi sumber alternatif

moralitas dan kesetiaan, serta terus mengingatkan bahwa menjadi manusia lebih

bermartabat daripada menjadi warga negara (Parekh, 2000: 328).

(c) Ketiga, keseragaman sosial dalam keragaman moral dan budaya.

Keseragaman sosial terhadap masyarakat multikultur hanya mereproduksi

resistensi bahkan konflik sosial. Padahal, masyarakat multikultur mengandung

keragaman agama dan etnik yang memiliki perbedaan pandangan moral dan

budaya yang berbeda-beda, yaitu keyakinan dan praktik good life yang berbeda-

beda. Pelarangan, pemaksaan dan penyesatan terhadap jamaah dan doktrin

Ahmadiyah supaya mengikuti agama mainstream atau membentuk agama

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 120: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

105

Universitas Indonesia

nonIslam merupakan bentuk keseragaman sosial yang dilakukan negara supaya

mengikuti agama resmi. Keseragaman sosial itu tak lain adalah penghilangan

kebebasan beragama dan menganut kepercayaan etnik setiap warga negara,

sehingga konflik antarindividu memunculkan tragedi konflik Cikeusik.

Keseragaman sosial tersebut sebagai pemikiran monisme moral yang memandang

bahwa “perbedaan sebagai penyimpangan, sebagai ungkapan patologi moral”

(Parekh, 2000: 49). Selama rezim Orde Baru dan rezim Reformasi semboyan

bhineka tunggal ika di dalam negara-bangsa yang multikultur hanya semata-mata

simbol, tanpa mengajarkan dan mempraktikkan nilai-nilai perbedaan dan identitas

yang menanamkan keragaman moral dan budaya, serta prinsip memanusiakan

manusia.

Tiga unsur fundamental di atas sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial

yang membentuk karakter manusia yang berbeda-beda dalam kehidupan bersama.

Dalam mitos Phaedrus Plato menjelaskan karakter manusia yang berbeda-beda

berada di dalam kebaikan dan kejahatan (good and evil). Karakter baik dan jahat

kembali hadir di dalam konflik antarindividu yang dipengaruhi oleh gairah atau

kemarahan pada satu sisi. Pada sisi lain konflik antarindividu dipengaruhi oleh

nafsu dan naluri hewani. Mitos dalam pemikiran Plato tersebut serupa dengan apa

yang dapat disebut agama bawah tanah dalam segala usia dan negara (Plato, 1999:

51; 56).

Baik dan jahat dalam kehidupan sosial disebabkan oleh “konflik

antarindividu yang disebabkan oleh sikap egois seorang manusia.” Sikap egois

menimbulkan derita kepada orang lain. Sikap egois (selfishness) dapat dipahami

dengan membedakan dari sikap mementingkan diri (self-interest). Keegoisan

adalah perilaku seorang manusia yang menempatkan diri sendiri di atas orang lain

dan mengejar kepentingan diri sendiri atas biaya orang lain. Sementara itu,

kepentingan diri adalah perilaku seseorang yang mengamankan kondisi-kondisi

dengan mempertimbangkan eksistensi good life seutuhnya. Oleh karena itu,

diyakini bahwa “tak ada konflik di antara kepentingan diri pada seluruh

manusia.”13

Konflik sosial berawal dari pikiran (interpretasi) seseorang dalam

13

“…no conflict between the self-interests of all men.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 121: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

106

Universitas Indonesia

memahami kepentingan diri dan kepentingan orang lain dalam kehidupan sosial.

Dalam proses berpikir seseorang mengalami konflik yang dipengaruhi moralitas

sosial. Secara moral seseorang yang memenuhi kepentingan diri sesuai dengan

tatanan sosial yang legitimit, karena secara rasional sesuai dengan hasrat manusia

yang tepat. Meski demikian, seseorang seringkali memenuhi kepentingan diri

melebihi dari aturan sosial yang berlaku, bahkan merampas dan menindas

kepentingan orang lain (Parekh, 1989: 117).

Padahal, kehidupan manusia sudah difasilitasi dengan aturan sosial secara

konstitusional yang termaktub di dalam UUD 1945. Aturan sosial konstitusional

terhadap hak dan kewajiban warga negara yang patuh. Dalam teks Pembukaan

UUD 1945 alinea pertama tertulis bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah

hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus

dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Kemerdekaan manusia sebagai bangsa adalah hak. Manusia yang merdeka berarti

individu yang memiliki hak kebebasan dari penjajahan, karena tidak

perikemanusian dan perikeadilan. Makna manusia yang merdeka diperdalam di

dalam Universal Declaration of Human Rights (1948) pada Pasal 1 bahwa “semua

manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama.

Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan

yang lain dalam semangat persaudaraan”.14

Legitimasi konstitusional universal terhadap martabat manusia yang

merdeka berkat perikemanusiaan dan perikeadilan seharusnya dirawat dalam

semangat persaudaraan. Hal itu yang seharusnya menjadi kesadaran bersama

bahwa warga negara memiliki perbedaan dan identitas dalam keragaman moral

dan budaya. Namun, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami krisis moral dan

budaya dalam kehidupan sosial yang berujung pada tiga tragedi konflik sosial.

Corak konflik nuansa agama dan nuansa etnik di berbagai wilayah Indonesia

merupakan fakta krisis moral dan budaya.

14

Lihat Universal Declaration of Human Rights 1948 Article 1 bahwa “all human beings are born

free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should

act towards one another in a spirit of brotherhood”.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 122: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

107

Universitas Indonesia

4.2 Corak Konflik Masyarakat Multikultur

Dengan adanya perbedaan pandangan moral dan budaya, konflik sosial di

Indonesia dapat dijelaskan bahwa “agama tidak hanya mentransformasi dirinya

menjadi identitas moral dan budaya atau bahkan menjadi identitas politik dan

nasional sehingga agama dapat menjadi faktor afiliasi bagi komunitas atau

masyarakat tertentu, melainkan juga pada saat yang sama ia dapat menjadi faktor

disafiliasi di antara komunitas atau masyarakat yang beragama” (Abdullah,

2003:177). Agama dalam konflik sosial dapat dimaknai secara dikotomis, sebagai

afiliasi sekaligus disafiliasi, serta sebagai identitas budaya sekaligus identitas

nasional. Hal itu menunjukkan bahwa umat beragama dan etnik yang menentukan

interpretasi agama dan etnik dalam konflik sosial, bukan agama atau etnik sebagai

sumber konflik sosial.

Dari fenomena konflik sosial di atas, ada corak konflik yang khas yang

diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Corak

konflik sosial telah diproduksi oleh konflik antarindividu di dalam ketidakpastian

good life bagi masyarakat multikultur. Ketidakpastian good life mempengaruhi

kehidupan agama dan etnik. Dalam ranah kehidupan publik, agama, etnik dan

negara tidak harmonis yang dipenuhi prasangka di antara ketiganya. Dalam

fenomena kehidupan religius, agama dan etnik tersebut merupakan dua corak

konflik masyarakat multikultur, yaitu konflik nuansa agama dan nuansa etnik.

Corak konflik tersebut penting dijelaskan untuk menyelesaian konflik yang lebih

humanis.

4.2.1 Konflik Nuansa Agama

Konflik nuansa agama diproduksi oleh konflik antarindividu yang

dijustifikasi konflik antaragama di mana identitas religius tertanam secara budaya

pada masing-masing individu yang mengalami konflik. Konflik nuansa agama

dideskripsikan pada fenomen konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik. Dalam

konflik nuansa agama, pandangan moral dan budaya menjustifikasi apa yang

dibuat oleh komunitas budaya yang tersembunyi kepentingannya dan menafsirkan

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 123: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

108

Universitas Indonesia

realitas sosial sedemikian rupa, sehingga justifikasinya dibuat rasional (Berger,

1966: 130).15

Pandangan hidup dari Pancasila mengajarkan ketuhanan dan

kemanusiaan di dalam sila pertama dan kedua. Sila pertama bahwa ketuhanan

Yang Maha Esa. Sila kedua bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam

pengajaran pandangan Pancasila, hanya diajarkan pengetahuan mengenai agama,

Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Padahal, pandangan

hidup dari Pancasila seharusnya mengajarkan pendidikan multikulturalisme, yang

arahnya pada pemahaman hakiki dari keutuhan manusia yang ditentukan oleh

pandangan moral dan budaya. Dalam dimensi moral dan budaya, manusia adalah

misteri yang tetap mempertahankan identitas individual, kebebasan, dan

martabatnya (Poespowardjojo, 1989: 85). Ada dua aspek munculnya konflik

sosial nuansa agama pada tiga tragedi, yaitu: segregasi agama dan etnik, serta

segregasi agama dan moral.

A. Segregasi Agama dan Etnik

Secara historis di Ambon, Maluku sejak abad ke-17 sudah terjadi

konstruksi sosial yang membedakan identitas kampong didasarkan pada agama,

yaitu kampung Islam dan Kristen. Namun, pada abad ke-19 masa kolonial

Belanda di bawah VOC, muncul perjanjian antara kolonial dengan sultan-sultan

Islam yang meminta dan menjamin adanya stabilitas agama. Perjanjian tentang

pembersihan agama. Jika orang-orang Islam ingin tinggal di kampung Kristen,

maka dipaksa kembali ke kampung halamannya. Batavia menjadi kota yang

didominasi oleh komunitas Kristen, sedangkan agama yang lain tidak dibiarkan

hidup dan kuil-kuil Cina atau masjid Islam dianggap ilegal (Steenbrink, 2003:

153). Konflik perbedaan pandangan, seperti berdampak pada masa sekarang.

Pandangan moral dan budaya seringkali datang dari luar. Bahkan, konflik nuansa

agama di Indonesia dijelaskan sebagai “konflik yang hanya diperkuat oleh

beberapa aktivis dari luar, seperti Lasykar Jihad pada komunitas Islam dan

15

“In each case, ideology both justifies what is done by the group whose vested interest is served

and interprets social reality in such a way that the justification is made plausible.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 124: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

109

Universitas Indonesia

pejuang Republik Maluku Selatan (RMS) untuk memerdekakan Republik Maluku

pada komunitas Kristen” (Steenbrink, 2003: 150).

Segregasi didasarkan pada agama dan etnik sejak awal terjadi di Poso.

Segregasi antara Islam dan Kristen ditandai dengan perkembangan pengaruh

Islam dan Kristen di beberapa wilayah yang berbeda-beda. Wilayah pesisir

didominasi oleh komunitas Islam yang berkaitan dengan jalur perdagangan masa

lalu yang dikuasai oleh masyarakat lokal dengan komunitas Islam dari Ternate,

Bugis dan Gorontalo. Sementara itu, di wilayah pedalaman dan pegunungan

bersamaan dengan kolonialisme pada sekitar tahun 1890-an, misi Kristen

disebarkan oleh A.C. Kruyt dan N. Adriani yang dikukuhkan dengan berdirinya

Gereja Kristen Sulawesi Tengah pada tahun 1947 (Darlis, 2012: 36). Segregasi

agama dan etnik merupakan perilaku sosial pada seorang individu yang

didasarkan pada ketiadaan identitas nasional untuk menyatukan pandangan moral

dan budaya yang berbeda-beda.

Segregasi agama dan etnik muncul pada identitas nasional. Identitas

individual sebagai seorang warga negara dalam kehidupan religius adalah penting

dan membutuhkan rekognisi sosial dari negara. Kartu tanda penduduk elektronik

(KTP-el) merupakan instrumen negara untuk mengakui identitas individual

sebagai warga negara yang beragama sebagai identitas nasional, akan tetapi masih

ada beberapa agama minoritas yang belum diakui oleh negara. Oleh sebab itu,

negara mengusulkan untuk mengosongkan identitas individual di dalam KTP-el

apabila agama belum diakui oleh negara.16

Kepemilikan KTP-el diwajibkan bagi

setiap warga negara apabila telah memenuhi persyaratan. KTP-el merupakan

tanda pengenal identitas nasional. Agama yang belum diakui oleh negara berarti

16

Lihat Undang-Undang nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1 Ayat 14 Bahwa Kartu Tanda

Penduduk Elektronik, Selanjutnya Disingkat Ktp-El, Adalah Kartu Tanda Penduduk yang

dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh

Instansi Pelaksana; dan Pasal 64 ayat 5 bahwa elemen data penduduk tentang agama sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap

dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 125: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

110

Universitas Indonesia

di luar enam agama formal, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan

Konghucu, bukan di luar agama dan kepercayaan yang dilindungi negara.17

Atas dasar pengertian identitas dan sebagai pelayanan publik kepada

warga negara, usulan negara pengosongan kolom agama itu mendiskriminasikan

agama dan kepercayaan minoritas (nonresmi) atas identitas individual setiap

warga negara yang dilindungi negara. Identitas individual bagi warga negara dan

komunitas sosial sangat menentukan untuk membedakan dirinya dari orang lain

dan komunitas lainnya. Tidak hanya untuk membedakan secara deskripsi empiris,

melainkan juga identitas melibatkan interpretasi dan penilaian. Oleh sebab itu,

seorang individu dapat keliru terhadap apa yang diperlukan untuk menjadi

identitas dirinya atau orang lain (Parekh, 2008: 9).

Ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dialami oleh individu dalam

kehidupan religius menjelaskan bahwa identitas sosial untuk menyederhanakan

relasi eksternal warga negara. Padahal, identitas sosial juga merupakan kebutuhan

manusia untuk memiliki martabat yang ditransformasikan ke dalam komunitas

komunalnya. Hal demikian sangat membahayakan terjadinya konflik nuansa

agama. Identitas sosial menjelaskan bahwa individu-individu dalam komunitas

komunal itu berbeda-beda. Perbedaan identitas sosial yang menghasilkan bentuk-

bentuk tindakan komunitas komunal yang dapat dikenali. Identitas sosial

menguraikan proses yang memposisikan individu dalam komunitas komunal dan

pada saat yang sama memposisikan komunitas komunal di dalam individu.

Demikian itu terdapat intensi primordial dan keterikatan pada tradisi, terutama

berdasarkan agama, masih sangat kuat di antara komunitas Ambon (Ratnawati,

2003: 13).

Dalam komunitas komunal keluarga penting dideskripsikan sebagai suatu

komunitas moral. Pada awal Inggris modern diungkapkan bahwa kontras budaya

antara berbagai macam pemukiman di lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan

antara tanah yang baik untuk ditanami dan padang rumput, misalnya dikaitkan

dengan perbedaan tingkat melek huruf dan bahkan dengan sikap religius

17

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-

tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

dan kepercayaannya itu.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 126: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

111

Universitas Indonesia

komunitasnya atau dengan membandingkan kesetiaan komunitas selama perang

saudara. Hasil pembedaannya bahwa di daerah yang berpohon-pohon, ukuran

perkembangannya kecil-kecil, lebih terisolasi, kurang melek huruf, dan sikap

komunitasnya lebih konservatif dibanding orang-orang di daerah pertanian

jagung. Oleh karena itu, ditekankan bahwa pada relasi antara komunitas dan

lingkungannya, terbebas dari dua bahaya yang timbul akibat memperlakukan desa

seakan-akan sebuah pulau terpencil (Burke, 1992: 82).

Berdasarkan pemahaman “tidak ada doktrin politik atau ideologi yang

dapat merepresentasikan kebenaran utuh tentang kehidupan manusia”,

menjelaskan bahwa pandangan moral dan budaya sangat menentukan konflik

antarindividu terjadi.18

Pandangan monisme moral, liberalisme, pluralisme, atau

universalisme plural terikat pada moral dan budaya tertentu yang

merepresentasikan pandangan good life untuk mewujudkan masyarakat lokal yang

baik. Pandangan good life memperdulikan nilai-nilai humanitas yang mulia,

martabat manusia, otonomi, kebebasan, pemikiran kritis, dan kesetaraan. Dengan

pandangan good life, masyarakat yang baik, bukan berkomitmen pada doktrin

politik atau pandangan hidup tertentu, karena mungkin doktrin politik atau

pandangan hidup tertentu tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat dan

menghambat pembangunan masa depan, akan tetapi secara dialogis masyarakat

perlu mulai menerima realitas dan membutuhkan keragaman moral dan budaya

sebagai konstruksi kehidupan sosial (Parekh, 2000: 338-339).

B. Segregasi Agama dan Moral

Secara historis agama dan moral sangat berperan sebagai konstruksi

konflik nuansa agama. Kenapa Socrates dihukum mati? Karena, konflik yang

dipengaruhi oleh moral dan agama muncul, di mana keduanya sulit diverifikasi.

Plato dalam Euthypro menjelaskan bahwa “ketika kesalehan diartikan dengan

yang dicintai oleh para Dewa, menentukan perbedaan antara keadaan dan

tindakan.” Tindakan itu sebelum keadaan, seperti dalam pemikiran Aristoteles,

energeia mendahului dumanis. “Keadaan dicintai didahului oleh tindakan

18

“…no political doctrine or ideology can represent the full truth of human life.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 127: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

112

Universitas Indonesia

dicintai.” Kesalehan didahului oleh tindakan yang saleh, bukan oleh tindakan

yang dicintai. Berbeda antara kesalehan dan tindakan yang dicintai. Socrates

menggunakan dialetika antara pikiran dan perasaan. Mencintai para Dewa hanya

mengekspresikan atribut saja, bukan esensi dari kesalehan. Dalam realitas sosial

“kesalehan diartikan sebagai bagian dari keadilan, yang memposisikan agama di

atas dasar moral”. Plato berusaha merealisasikan harmoni moralitas dan agama

sebagai harapan universal seluruh manusia (Plato, 1999: 7-9). Namun demikian,

dialektika Socrates terus menerus memproduksi konflik nuansa agama, ketika

ketidakadilan hadir kembali di dalam kebebasan beragama.

Dengan pemahaman konflik moral dan agama, segregasi agama dari

negara sebagai penjaga moralitas, semakin tajam dalam kehidupan sosial yang

plural, karena lebih tinggi justifikasi dengan iman yang menentukan konstruksi

komunitas baru dengan aturan moral sendiri (Dewey, 1922: 5). Keragaman tidak

dengan sendirinya menimbulkan konflik, tetapi menimbulkan ruang kemungkinan

konflik, dan ruang kemungkinan itu direalisasikan di dalam fakta (Dewey, 1922:

52).19

Ruang kemungkinan konflik, misalnya, terjadi di dalam kebiasaan makan

yang merupakan penyatuan organisme dan alam. Dalam kebiasaan makan itu

mungkin terjadi konflik dengan kebiasaan lain yang obyektif, atau dalam harmoni

dengan lingkungannya. Oleh karena itu, semua lingkungan tidak dari satu bagian,

rumah manusia terbagi dalam dirinya sendiri, melawan dirinya sendiri. Dengan

keragaman sosial, konflik antarkomunitas memberikan ruang kemungkinan

individu bertindak untuk memproduksi konflik (Dewey, 1922: 66).

Dalam diri manusia secara sosial dijelaskan bahwa ada dua jenis kebaikan,

yaitu intelektual dan moral. Secara esensial kebaikan intelektual bertumpu pada

pengajaran, karena membutuhkan pengalaman dan waktu, dalam kelahiran dan

perkembangannya. Sementara itu, kebaikan moral lahir sebagai akibat dari

kebiasaan, yang dinamakan ethike, yaitu salah satu yang dikonstruksi oleh sedikit

perbedaan dari kata ethos (habit). Kebaikan itu direkonstruksi sekaligus

didekonstruksi, seperti seni. Dalam seni bermain kecapi ditemukan bahwa baik

19

“Diversity does not of itself imply conflict, but it implies the possibility of conflict, and this

possibility is realized in fact.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 128: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

113

Universitas Indonesia

dan jahat dikonstruksi oleh pemain kecapi (Aristoteles, 1999: 20-21). Realitasnya,

mayoritas manusia secara sosial dalam memenuhi kesenangan individual dengan

saling konflik antara satu sama lain. Padahal, konflik bukan sifat yang

menyenangkan, karena sejatinya para pecinta yang mulia menemukan kesenangan

sebab sifatnya menyenangkan. Kesenangan yang menyenangkan adalah tindakan

baik (Aristoteles, 1999: 13).

Realitas konflik pada manusia secara sosial sebagai determinasi sosial atas

perilaku seorang individu. Determinasi sosial tidak hanya menimbulkan konflik

antara kelas kapitalis borjuis dan kelas proletar, atau antara produksi sosial dan

penghisapan individual, akan tetapi determinasi sosial antara keyakinan dan

praktik agama bukan sebagai sumber nilai-nilai eksternal dan organisasi,

melainkan bagian dan ikatan dari konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan

ekonomis yang sama. Agama yang sangat emosional dan militan merupakan

ekspresi dari alienasi kelas proletar terhadap eksistensinya. Sebaliknya, agama

sebagai sarana yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk mengalihkan energi-

energi kelas menderita dari kegiatan politis ke agama yang relatif tidak merugikan

(Campbell, 1981: 129). Oleh sebab itu, konflik sosial nuansa agama, terutama

antara Islam dan Kristen, pada dasarnya tidak lepas dari kebencian, dan karena

tidak dapat menerima yang berbeda. Agama hanya diperankan secara fungsional

pandangan moral untuk legitimasi kekuasaan dan landasan simbolis kekerasan

(Haryatmoko, 2012: 83). Bahkan, dengan determinasi sosial, masyarakat

multikultur akan menghadapi anarki yang mengerikan. Indonesia telah

menyaksikan ledakan kekerasan komunal pada akhir tahun 1950-an dan 1965.

Lebih mengejutkann kembali, Indonesia dibakar oleh kekerasan agama dan etnik

yang membara dari 1996 hingga 2001 (Hefner, 2001: 7).20

Tindakan anarki

masyarakat multikultur ternyata terjadi sampai pada tahun 2011 di mana

kekerasan begitu keji terhadap jamaah Ahmadiyah Cikeusik.

20

“Indonesia saw outbreaks of communal violence in the late 1950s and 1965; more shocking yet,

Indonesia was shaken by bitter ethnoreligious violence from 1996 to 2001.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 129: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

114

Universitas Indonesia

4.2.2 Konflik Nuansa Etnik

Konflik nuansa etnik diproduksi oleh konflik antarindividu yang

dijustifikasi konflik antaretnik di mana identitas etnik tertanam pada seseorang

yang terlibat konflik. Pada konflik sosial di Ambon dijelaskan bahwa ada identitas

pribumi Ambon di dalam individu yang mengalami konflik dengan nonpribumi

dari Sulawesi Selatan, seperti Bugis, Buton dan Makassar (Buchanan, 2011: 15).

Di Poso juga konflik sosial didasarkan pada perbedaan individu dari masyarakat

pribumi dan individu dari masyarakat nonpribumi (Darlis, 2012: 29). Perbedaan

pandangan budaya dimunculkan oleh individu-individu di dalam konflik sosial.

Sebagaimana dijelaskan di atas, secara historis konflik sosial nuansa etik awalnya

dari segregasi agama dan etnik yang dilakukan negara sejak pemerintahan

kolonialisme.

Pada dasarnya Indonesia adalah negara-bangsa yang ditempati oleh

komunitas budaya yang plural. Pluralitas budaya Indonesia tampak jelas pada

semboyan negara bhineka tunggal ika yang diusulkan oleh Muhammad Yamin

dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14 untuk

merepresentasikan realitas masyarakat Indonesia pada saat itu, sebagai berikut:

Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka

memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya

dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan

Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun,

pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua

(Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5).21

Semboyan negara bhineka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu

juga” itu hingga kini masih sesuai untuk merepresentasikan kondisi masyarakat

Indonesia modern dalam arus globalisasi. Masyarakat multikultur dibentuk dari

pemersatuan masyarakat-masyarakat etnik dengan sistem nasional. Pembentukan

masyarakat multikultur itu biasanya dipaksakan sebagai bangsa di dalam sebuah

negara (Suparlan, 2004). Pemaksaan disebabkan adanya konflik sosial antara

dominasi dan minoritas. Dengan kata lain, pemaksaan dalam konflik tidak hanya

21

“Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa, bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,

mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma

mangrwa.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 130: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

115

Universitas Indonesia

dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas. Pemaksaan tepatnya meniadakan

dialog sebagai pengolahan konflik untuk mewujudkan realitas sosial yang adil dan

damai.

Dalam pembukaan UUD 1945 kedaulatan negara Indonesia didasarkan

pada Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila berisi mengenai ketuhanan Yang

Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan, dan

keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.22

Semboyan negara dijelaskan

adalah bhineka tunggal ika.23

Semboyan bhinneka tunggal ika adalah pepatah

lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular. Kata bhinneka

merupakan gabungan dua kata, bhinna dan ika diartikan “berbeda-beda tetapi

tetap satu” dan kata tunggal ika diartikan bahwa “di antara pusparagam bangsa

Indonesia adalah satu kesatuan”. Semboyan itu digunakan untuk menggambarkan

persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.24

Dengan demikian, terjadinya konflik nuansa etnik karena bhineka tunggal

ika sebagai semboyan bangsa dan negara yang diartikan “berbeda-beda tetapi

tetap satu juga” merupakan paradigma pengalaman Pancasila yang didasarkan

pada politik keseragaman sebagai asas tunggal dan pandangan hidup yang

tertutup. Namun, jika didasarkan pada politik perbedaan atau keragaman yang

tertanam secara budaya, bhineka tunggal ika dapat diinterpretasikan di dalam

realitas keragaman moral dan budaya.

4.3 Kritik terhadap Konsep Makhluk yang Berkonflik

Kritik terhadap konsepsi “manusia sebagai makhluk yang berkonflik”

dipahami dengan adanya heteronomi eksistensial manusia. Heteronomi

eksistensial membuka ikatan dikotomi eksistensial manusia yang selama ini

membelenggu di dalam konflik. Heteronomi eksistensial muncul didasarkan pada

22

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pembukaan. 23

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36A bahwa lambang negara ialah Garuda Pancasila

dengan semboyan bhineka tunggal ika. 24

Lihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,

serta Lagu Kebangsaan Pasal 46.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 131: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

116

Universitas Indonesia

perbedaan sosial. Perbedaan sosial tidak dapat menghindari pandangan moral dan

budaya yang berbeda-beda. Konsepsi itu tidak hanya didasari oleh realitas sosial

di mana manusia sebagai makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial, akan

tetapi manusia sebagai makhluk religi.

Adanya kekuatan agama dan etnik yang tertanam pada masyarakat

multikultur, sumber esensial konflik adalah heteronomi eksistensial manusia di

dalam kehidupan sosial. Sumber esensial konflik itu merupakan refleksi filosofis

atas manusia sebagai makhluk yang berkonflik. Namun, jarang karakteristik

manusia ditemukan sebagai sumber konflik sosial, akan tetapi secara umum para

ilmuwan sosial mengatakan bahwa sumber konflik sosial adalah relasi-relasi

sosial, politik dan ekonomi. Walaupun demikian, dalam regulasi negara dijelaskan

bahwa konflik sosial dijelaskan bersumber dari: (a) permasalahan yang berkaitan

dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; (b) perseteruan antarumat beragama

dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis.25

Regulasi negara Indonesia tersebut dengan jelas merespons eksistensi

manusia dalam perseteruan antarumat beragama dan antaretnik. Ada tiga sumber

konflik. Pertama, konflik ekonomi yang melibatkan motif kompetisi untuk

mencapai sumber daya yang langka. Kedua, konflik nilai yang melibatkan

ketidakcocokan dalam cara hidup, ideologi sebagai preferensi, prinsip dan

praktik-praktik keyakinan. Ketiga, konflik kekuasaan yang terjadi ketika masing-

masing pihak ingin mempertahankan atau memaksimalkan jumlah pengaruh yang

diberikannya dalam relasi dan pengaturan sosial (Fisher, 2000: 1-2). Konflik nilai

sebagai sumber konflik menegaskan bahwa konflik berbasis pada eksistensi umat

beragama dan etnik.

Sebagai pribadi, manusia adalah makhluk yang paradoks. Penjelasan

konsepsi tersebut didasarkan pada penamaan filsafat manusia adalah antropologi

filosofis (Leahy, 1981: 1-2). Paradoks manusia dalam realitas sosial seringkali

menjadi konflik. Sejarah filsafat menceritakan secara fenomenologis manusia

sosial berkonflik terus menerus. Kenapa manusia berkonflik terus menerus?

Dalam antropologi filosofis fenomena konflik sosial di atas direfleksikan dengan

25

Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 5.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 132: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

117

Universitas Indonesia

menyebut makhluk yang berkonflik (Magnis-Suseno, 1999). Dalam konteks itu

filosofi itu ditujukan untuk sebuah penggalian esensi manusia secara alamiah dan

sosial di dalam masyarakat multikultur. Manusia secara alamiah senantiasa

mengalami konflik yang berkaitan dengan keterikatannya kepada sumber daya

alam yang terbatas. Manusia secara sosial juga selalu berkonflik berhubungan

dengan keterikatan komunikasi bersama orang lain. Konflik yang tak

berkesudahan pada manusia secara alamiah dan sosial terjadi semata-mata hanya

untuk kelanjutan hidup, pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan dirinya.

Sebagai makhluk yang berkonflik, eksistensi manusia dapat menemukan

penyelesaian konflik yang baik. Filosofi makhluk yang berkonflik diasumsikan

pada tiga pandangan murni logis konseptual. Pertama, perdamaian adalah salah

satu dari dua nilai fundamental kehidupan bersama. Nilai lainnya adalah

kebenaran. Kedua, perdamaian hanya benar jika didasarkan pada keadilan. Ketiga,

konflik terbuka dengan kekerasan terbatas yang seringkali dapat dibenarkan

sebagai cara akhir untuk membuka struktur-struktur yang tidak adil (Magnis-

Suseno, 1999: 201-202). Pembedaan manusia secara alamiah dan sosial

menjelaskan bahwa sumber konflik yang diperebutkan adalah keterbatasan

alamiah dan ketergantungan sosial.

Secara filosofis dijelaskan bahwa “konflik ada secara esensial, bukan

kenyataan empiris.” Suami dan isteri yang berdiskusi secara timbal-balik

menandakan bahwa konflik tetap ada sebagai kenyataan. Di dalam kenyataan

tidak adanya konflik berarti konflik dapat diolah dengan baik. Dalam regulasi

bernegara di Indonesia, konflik dipahami dalam istilah “konflik sosial” yang

sungguh amat sempit pengertiannya, baik dipandang secara filosofis maupun

sosiologis. Definisi yang sempit itu mengakibatkan pengolahan konflik yang tidak

tepat dan pembiaran negara pada tindakan kekerasan.

Esensi konflik itu menegaskan bahwa adanya konflik bukan kenyataan

empiris, melainkan esensial. Adanya kemarahan seseorang disebabkan adanya

konflik dengan orang lain, namun tidak adanya kemarahan seseorang pun tetap

menunjukkan adanya konflik dengan orang lain yang disebabkan seseorang itu

mampu mengolah konflik dengan baik. Lebih terperinci dikategorikan bahwa sifat

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 133: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

118

Universitas Indonesia

konflik menjadi dua, yakni “konflik obyektif-lahiriah” dan “konflik subyektif-

batiniah”. Konflik obyektif-lahiriah merupakan “tindakan fisik yang berhubungan

dengan hal-hal yang dapat menjadi materi sebuah hak”. Tindakan fisik yang

dimaksud, misalnya masalah hak milik, melakukan kegiatan, dan mendambakan

kesempatan. Sedangkan, konflik subyektif batiniah merupakan “tindakan rasa

yang berkaitan dengan gesekan komunikasi langsung dan berakar dalam berbagai

emosi yang menyertainya”. Contoh dari konflik subyektif batiniah adalah jengkel,

benci, tersinggung, dan bosan. Kedua kategori sifat konflik itu memungkinkan

saling terkait satu sama lainnya, karena dikotomi manusia sebagai makhluk

alamiah sekaligus makhluk sosial. Konsepsi manusia itu termasuk dalam kategori

konflik obyektif-lahiriah (Magnis-Suseno, 1999: 200-201).

Dengan esensi konflik itu, dapat dipahami secara dikotomis bahwa konflik

sebagai “situasi interaktif yang dapat menimbulkan konflik terbuka berupa

tabrakan, perkelahian, atau perang” (Magnis-Suseno, 1999: 203). Pemahaman

konflik itu “mengesampingkan” konflik yang bersifat subyektif-batiniah sebagai

kondisi manusia yang tidak terelakkan. Dengan pemahaman tersebut, diyakini

bahwa:

“Konflik berubah menjadi tabrakan, perkelahian dan perang berarti pihak-

pihak yang bersangkutan tidak mau memecahkannya secara damai,

melainkan memilih jalan hendak memaksa pemecahan konflik itu (1999:

203-204).

Dengan keyakinan itu, ada penawaran penyelesaian konflik dengan dua cara, yaitu

damai atau paksaan. Paksaan berupa fisik, rohani dan sosial, misalnya saling

pukul memukul, saling mengancam agar tidak berpendapat, dan saling memaksa

untuk mengusir dari tempat tinggalnya. Penyelesaian konflik yang ditawarkan

beliau pun bersifat dikotomis. Dikotomi pada resolusi konflik itu bersumber pada

tujuan final dari sebuah konflik yang ditemukan, yakni keadilan atau

ketidakadilan, dan kebenaran atau kepalsuan. Jika pilihannya perkelahian berarti

tindakan yang merendahkan martabat hingga ke tingkat submanusiawi. Juga,

berarti semua pihak yang terlibat dalam mencapai tujuannya dengan siapa yang

menang atau yang paling kuat, tanpa memperhatikan martabat manusia

(kehendak, otonomi) pada pihak yang lain (Magnis-Suseno, 1999: 204).

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 134: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

119

Universitas Indonesia

Hasil dari konflik yang dijelaskan dalam konsep manusia tersebut

didasarkan pada analisa formal Hegel adalah “mesti selalu berakhir dalam

kematian (atau pelumpuhan) satu pihak. Sementara itu, jika tidak berakhir dalam

kematian satu pihak, niscaya menciptakan hubungan kekuasaan baru.” Hasil itu,

disebabkan oleh adanya interaksi yang ditentukan dan dipertahankan dengan daya

pengancam pemenang. Oleh karena itu, dengan tanpa pengakuan bebas atau

paksaan, niscaya konflik hanya akan mereproduksi konflik baru sebagai

penyelesaian buruk (Magnis-Suseo, 1999: 208).

Lingkaran setan dari hasil konflik tersebut merupakan fenomena sosial

yang tepat untuk direfleksikan secara kritis tentang konsep manusia sebagai

makhluk yang berkonflik. Oleh sebab itu, ada tiga kritik terhadap konsep tersebut.

Pertama, pemikiran dikotomis. Konsepsi itu selalu berpikir dikotomis

untuk menjelaskan manusia dengan menganggap realitas sosial dan manusia

hanya memahami esensi makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial, realitas

sosial dan fenomena konflik hanya menjelaskan konflik obyektif lahiriah dan

konflik subyektif batiniah, penyelesaian konflik hanya dapat dilakukan dengan

damai atau paksaan, serta hasil konflik hanya menghasilkan berakhir dalam

kematian satu pihak atau tidak berakhir dalam kematian satu pihak. Pemikiran

dikotomis tersebut tidak akan banyak memberikan alternatif untuk resolusi

konflik, padahal seharusnya diberikan banyak alternatif untuk resolusi konflik

sebagai penghormatan pada martabat manusia yang memiliki kebebasan dalam

berpikir dan berkehendak secara otonom. Banyak alternatif didasarkan pada

keragaman budaya dengan perbedaan pandangan moral dan budaya.

Kedua, dikotomi eksistensial manusia. Pandangan dikotomi eksistensial

manusia yang mana hanya tersusun dari jiwa dan tubuh, hanya dapat menjelaskan

esensi manusia sebagai makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial. Padahal,

dengan adanya heteronomi eksistensial manusia yang mana tersusun dari jiwa

(dan eksistensi Tuhan) serta tubuh, esensi manusia tidak hanya sebagai makhluk

alamiah dan sekaligus makhluk sosial, namun sebagai makhluk religius juga,

sebagaimana dijelaskan oleh Durkheim. Atas dasar fenomena religius, asumsi

Durkheim pada dualisme manusia untuk menjelaskan konsep manusia sebagai

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 135: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

120

Universitas Indonesia

makhluk religius. Dualisme manusia terdiri dari jiwa sebagai hal yang sakral dan

tubuh sebagai hal profan. Jiwa dan tubuh itu saling bertentangan, akan tetapi pada

ruang sakralitas ada keilahian di dalam kehidupan dunia di mana tubuh hidup

beraktivitas (Durkheim, 2005: 42). Konflik jiwa dan tubuh menunjukkan adanya

keterbatasan. Di dunia keterbatasan tidak hanya pada ketersediaan alam dan

ketergantungan komunikasi dengan orang lain, akan tetapi eksistensi adanya

manusia juga terbatas. Ketidakterbatasan hanya dimiliki oleh eksistensi Tuhan.

Ketiga, pengesampingan konflik yang bersifat subyektif batiniah. Pelaku

utama dalam konflik adalah manusia sebagai subyek. Dengan pendekatan

antropologi konflik yang bersifat subyektif batiniah dapat menemukan pelaku

utama dalam konflik. Namun, konsepsi itu mengesampingkan sifat subyektif

batiniah untuk menjelaskan konflik yang bersifat obyektif lahiriah.

Pengesampingan sifat subyektif batiniah berarti mengesampingkan manusia

sebagai pelaku dan sekaligus korban dalam konflik. Dengan pengesampingan itu,

konflik tidak dapat diolah dengan rekognisi perbedaan siapa yang terlibat dalam

konflik atau pemaafan terhadap korban, dengan tetap memperdulikan keadilan

dan kesejahteraan bagi setiap manusia sebagai tujuan final.

Meskipun demikian, konsepsi tersebut menjelaskan bahwa “konflik harus

diolah dengan berorientasi pada idea keadilan dan bukan melalui perkelahian,

perang atau paksaan.” Pengolahan konflik dalam konsepsi itu begitu abstrak. Oleh

karenanya, dibutuhkan pengolahan konflik yang lebih konkret, yaitu konflik harus

diolah dengan asas humanitas melalui dialog budaya. Di Indonesia asas humanitas

yang dimaksud adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.6 Ikhtisar

Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat diikhtisarkan bahwa konflik

antarindividu memproduksi fenomena konflik sosial yang terjadi di dalam

masyarakat multikultur. Perbedaan pandangan moral dan budaya mempengaruhi

konflik antarindividu di dalam negara yang mengakui perbedaan moral dan

budaya. Dari fenomena konflik sosial tersebut, dapat dijelaskan bahwa perilaku

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 136: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

121

Universitas Indonesia

sosial seorang manusia memunculkan konflik disebabkan oleh pandangan moral

dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan pandangan moral dan budaya

seringkali dengan sadar mempengaruhi atau menggerakkan antarindividu

berkonflik di dalam kehidupan religius untuk mempertahankan identitas, baik

identitas individual maupun identitas sosial, masing-masing.

Dalam masyarakat multikultur dengan adanya fenomena konflik sosial di

Ambon, Poso dan Cikeusik, dapat dijelaskan bahwa ada dua corak konflik sosial

yang seringkali terjadi, yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik. Dua

nuansa konflik sosial tersebut diproduksi di dalam negara yang mengakui

keragaman moral dan budaya, karena negara menerapkan paradigma keseragaman

identitas nasional, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya, dan

keseragaman sosial masyarakat multikultur. Di samping itu, tiga unsur

fundamental itu berkaitan dengan karakter manusia, baik dan jahat, dalam konflik

sosial. Konflik antarindividu hanya disebabkan oleh keegoisan lawan dari

kepentingan diri. Keegoisan menyebabkan derita orang lain. Secara eksistensial

konflik antarindividu telah memposisikan perilaku seorang individu yang

bertindak kekerasan dan perang berada dalam kondisi inhuman di mana harkat

dan martabatnya dihancurkan.

Oleh karena itu, tepat dijelaskan bahwa fenomena konflik sosial di dalam

masyarakat multikultur direfleksikan melalui konsep manusia sebagai makhluk

yang berkonflik. Konsepsi manusia tersebut dipahami secara esensial dari

dikotomi eksistensial manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk alamiah.

Padahal, dalam masyarakat multikultur perbedaan dan keragaman moral dan

budaya secara kritis memunculkan heteronomi eksistensial manusia di mana

manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial dan makhluk alamiah, akan tetapi

juga sebagai makhluk religius.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 137: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

122

Universitas Indonesia

BAB V

DIALOG BUDAYA

MASYARAKAT MULTIKULTUR

5.1 Pengantar

Konflik sosial masyarakat multikultur pada bab sebelumnya telah

memposisikan eksistensi manusia pada kondisi inhuman di mana harkat dan

martabatnya telah diluluhkan. Atas dasar kondisi inhuman tersebut, dalam bab

kelima ini akan dijelaskan dialog budaya masyarakat multikultur untuk mengolah

konflik sosial tersebut. Dialog budaya dilakukan melalui dua tindakan, yaitu

rekognisi sosial dan dialog antarbudaya. Rekognisi sosial dipahami sebagai

peredam konflik, dan dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik. Pada akhir

bab ini akan dijelaskan penemuan kembali manusia yang harmonis dari perilaku

sosial seseorang yang mengolah konflik sosial.

5.2 Mengolah Konflik Sosial Masyakarat Multikultur

Kondisi inhuman dalam masyarakat multikultur akibat konflik sosial

tersebut mewajibkan seorang individu sebagai warga negara untuk melakukan

sebuah pengolahan konflik dengan memahami dialog budaya. Istilah mengolah

dalam konflik sosial diambil dari istilah “budaya” (Iannone, 2001: 130).1 Dalam

penggunannya, misalnya, mengolah kapasitas manusia untuk otonomi individual

(Parekh, 2000: 100).2 Dalam konsepsi manusia sebagai makhluk budaya,

dipahami bahwa budaya hanya mungkin karena individu memiliki kapasitas dan

watak yang diderivasi tertentu yang dapat distrukturisasi dan dimodifikasi, akan

tetapi tidak dapat dihilangkan. Bahkan, dipahami pula bahwa tidak ada

masyarakat yang dapat berfungsi tanpa mengolah daya pikir para anggotanya, dan

1 “Culture from the Latin colere, i.e. „cultivate.”

2 “…cultivate their capacity for individual autonomy.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 138: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

123

Universitas Indonesia

masyarakat tidak dapat sepenuhnya memprediksi atau mengontrol arah yang

mungkin diambil (Parekh, 2000: 157).3 Oleh karena itu, mengolah konflik sosial

yang dimaksudkan adalah pengolahan kapasitas, watak dan daya pikir individu

yang mengganggunya dalam relasi sosial di dalam negara yang mengakui

keragaman moral dan budaya.

Pengolahan gangguan kapasitas, watak, dan daya pikir manusia di dalam

masyarakat multikultur melalui dialog budaya. Pengolahan konflik sosial dengan

dialog budaya merupakan keuntungan timbal-balik antarbudaya. Dialog budaya

menjaga interaksi antarbudaya atas adanya bias-bias, keegoisan, dan posibilitas

mereduksi dan memperluas horizon intelektual. Oleh sebab itu, budaya dipahami

bukan kultus dan etnik, tetapi struktur makna di mana manusia memberi bentuk

pengalamannya, politik tanpa kudeta dan konstitusional, akan tetapi salah satu

arena utama di mana struktur tersebut mengungkapkan publikisitas (Geertz, 1973:

312).4 Dalam kehidupan publik setiap identitas sosial merupakan cara tertentu

memandang dunia, identitas jamak berarti perspektif jamak, masing-masing

melengkapi horizon dan mengoreksi keterbatasan lain, dan secara kolektif

masyarakat membuat kemungkinan pandangan yang lebih luas dan lebih

bernuansa yang dibedakan dunia (Parekh, 2008: 24).

Adanya kehidupan publik, multikultur merupakan realitas sosial, bukan

hanya realitas budaya. Perjumpaan manusia secara sosial dengan keragaman

moral dan budaya menunjukkan multikultur secara sosial. Fenomena sosial

seorang manusia dijelaskan bahwa “manusia berbagi sifat umum, kondisi

eksistensial umum, pengalaman hidup, situasi sulit, dan lainnya. Akan tetapi,

manusia pun mengonseptualisasikan dan merespons hal itu di dalam cara yang

berbeda dan menghasilkan budaya yang berbeda (Parekh, 2000: 123-124).”5

Perbedaan moral dan budaya yang diproduksi oleh manusia secara sosial

3 “...no society can function without cultivating its members‟ powers of thought, and it cannot

wholly predict or control the direction these might take.” 4 “Culture is not cults and customs, but the structures of meaning through which men give shape to

their experience; politics is not coups and constitutions, but one of the principal arenas in which

such structures publicly unfold.” 5 “Human beings share a common nature, common conditions of existence, life experiences,

predicament, and so on. They also, however, conceptualize and respond to these in quite different

ways and give rise to different cultures.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 139: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

124

Universitas Indonesia

merekonstruksi sebuah identitas. Identitas pada manusia adalah “produk

dialektika yang saling mempengaruhi antara yang universal dan yang partikular,

antara apa yang dibagi seluruhnya dan apa yang secara budaya spesifik.”6 Dengan

begitu, manusia dalam masyarakat multikultur merupakan bagian dari spesies

umum dan sekaligus bagian dari budaya yang distingtif. Dengan kata lain, adanya

manusia karena adanya orang lain (Parekh, 2000: 123-124).

Kondisi manusia tersebut penuh sesak dengan perbedaan antara buruh,

pekerjaan, dan tindakan; antara kekuasaan, kekerasan, dan kekuatan; antara bumi

dan dunia; antara properti dan harta kekayaan; dan masih banyak lagi, sering

dibentuk melalui eksplorasi etimologis (Arendt, 1989: 21).7 Perbedaan relasi

manusia dalam kehidupan sosial memosisikan manusia sebagai makhluk sosial,

makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk religius. Eksistensi manusia

sesuai dengan pemosisian dirinya di dalam peta sosial. Pemosisian itu

menjelaskan eksistensi manusia berada pada titik persimpangan di antara

kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Di dalam peta sosial manusia dapat dipahami

dengan dua pertanyaan. Apa yang mungkin manusia lakukan di dalam masyarakat

dan apa yang dapat manusia harapkan dari kehidupan sosial (Berger, 1966: 82).

Perilaku dan harapan manusia dalam keragaman moral dan budaya

seringkali memproduksi konflik sosial dengan kekerasan. Konflik sosial dalam

masyarakat multikultur secara kritis selalu membutuhkan untuk menemukan cara

mendamaikan antara tuntutan legitimasi kesatuan dan keragaman, mencapai

kesatuan politik tanpa keseragaman budaya, menjadi inklusif tanpa asimilasi,

mengolah akal sehat kepemilikan warganya dengan menghormati legitimasi

perbedaan budaya, dan penghargaan identitas budaya plural tanpa melemahkan

identitas bersama dan berharga pada warganya (Parekh, 2000: 343). Oleh karena

itu, untuk mengolah konflik sosial dalam masyarakat multikultur dibutuhkan dua

tindakan, yaitu dialog antarbudaya dan rekognisi sosial.

6 “Identity is a product of a dialectical interplay between the universal and the particular, between

what they all share and what is culturally specific.” 7 “The human condition is crammed with distinctions: between labor, work, and action; between

power, violence, and strength; between the earth and the world; between property and wealth; and

many more, often established through etymological explorations.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 140: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

125

Universitas Indonesia

5.2.1 Dialog Antarbudaya sebagai Pendamai Konflik

Dialog antarbudaya merupakan prasyarat terwujudnya tatanan sosial

masyarakat multikultur. Dialog antarbudaya melekat secara ontologis pada

keragaman moral dan budaya. Dialog (dialogue) dalam pemikiran Gadamer

adalah “sebuah percakapan” (conversation). Untuk berada di dalam percakapan,

bagaimanapun, berarti berada di luar diri sendiri, berpikir dengan yang lain, dan

untuk kembali ke diri sendiri seolah-olah ke yang lain” (Gadamer, 1989: 110).

Percakapan terjadi dengan syarat dialog terpenuhi jika seseorang berpartisipasi

untuk mengolah konflik di dalam kehidupan publik.

Percakapan dalam dialog antarbudaya didukung dengan saling tanya

jawab. Percakapan dilakukan untuk menghindari adanya prasangka. Dalam

percakapan setiap partisipan berbicara dengan bahasa publik. Spirit dialog untuk

menguatkan argumen orang lain, bukan untuk memenangkan dalam melewati

batas diskusi. Gadamer menekankan bahwa “pemahaman dalam dialog bukan

sebagai metode atau sesuatu yang abstrak, akan tetapi sebuah mode menjadi”

(mode of being). Oleh karena itu, dialog merupakan pemahaman langsung di

mana masing-masing individu membawa horizon “mengenai visi yang meliputi

segala sesuatu yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu”.8 Kata dalam dialog

menunjukkan pemikiran yang terkait dengan determinasi yang terbatas (Marshall,

2004: 123-125).

Dalam menyelesaikan konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik, dialog

antarbudaya sangat tergantung pada kewajiban negara melalui proyek

perdamaian. Padahal, negara dalam proses dialog antar-udaya hanya sebagai

fasilitator atau mediator penyelesaian konflik. Perdamaian dalam tiga kasus

konflik sosial menghasilkan deklarasi Malino I pada bulan Desember 2011 dan

deklarasi Malino II pada bulan Februari 2012. Namun, dialog perdamaian tidak

partisipatif, karena masyarakat lokal diabaikan dalam proses perencanaan dan

pelaksaan perdamaian, hanya sebagai obyek pemulihan fisik, rekonstruksi dan

8 “To the dialogue in which understanding takes place, each individual brings a horizon, „the

range of vision that includes everything that can be seen from a particular vantage point.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 141: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

126

Universitas Indonesia

penerima bantuan darurat pengungsi (Buchanan, 2011:11). Dengan kata lain,

selama ini dialog dalam perdamaian Malino merupakan dialog yang diskriminatif

dan hegemonik di mana ada tindakan pengabaian identitas sosial yang beda di

dalam masyarakat multikultur. Tindakan perdamaian tersebut seharusnya hanya

dapat dikatakan benar jika didasarkan pada keadilan. Plato mengatakan bahwa

“keadilan merupakan norma dasar keabsahan suatu tatanan sosial, di mana hak

setiap manusia terjamin”. Akan tetapi, adanya diskriminasi dan hegemoni negara

menunjukkan adanya struktur ketidakadilan di dalam masyarakat multikultur

(Magnis-Suseno, 1999: 209 dan 211).

Perdamaian dalam konflik Ambon didekati dengan ekonomi

kesejahteraan. Konflik sosial di Ambon dan Maluku dimediasi oleh ketua tim

mediator, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat,

melalui perdamaian pada “Pertemuan Malino untuk Maluku” pada 11-12 Februari

2002. Pertemuan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh kedua komunitas dan para

penggerak lapangan dalam konflik. Pertemuan Malino untuk Maluku tersebut

menghasilkan 11 butir kesepakatan yang ditandatangani oleh masing-masing 35

Kristen dan 35 tokoh Islam. Dalam perdamaian itu Jusuf Kalla mengatakan bahwa

“Korban jiwa yang besar (sekitar 10 ribu orang) jelas merupakan kerugian

yang tidak bernilai. Tapi, sesudah itu masih ada lagi bencana hebat yang

menghadang, manakala konflik Ambon tidak segera diakhiri, yakni terjadi

lost generation, pupusnya sebuah generasi, mengingat hampir seluruh

sekolah dan perguruan tinggi lumpuh” (Lebang, 2007: 57).

Selain itu, sebagai refleksi dari konflik sosial, Jusuf Kalla mengatakan bahwa:

“Kita sadar betul bahwa orang dapat makmur kalau dia bekerja. Kalau dia

berkonflik, bagaimana dia dapat bekerja? Bagaimana bisa berpenghasilan?

Di dunia yang terbuka ini salah satu kondisinya adalah datangnya orang

lain yang menanamkan modal. Tidak ada di dunia ini negara yang dapat

berkembang tanpa adanya suatu sinergi dari luar dan dari dalam negeri. Di

China yang masuk ke sana 80% modalnya berasal dari luar negeri. Begitu

juga dengan di Jawa, sebagian besar industrinya berasal dari luar,

sedangkan di Maluku, jangankan modal mau datang, modal yang sudah

ada lari ke luar” (Lebang, 2007: 57-58).

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 142: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

127

Universitas Indonesia

Pasca konflik di Ambon dan Maluku tidak tampak kembali konflik terbuka

dengan kekerasan. Namun, dentuman bom berkali-kali masih terdengar yang

direspons dingin oleh kedua komunitas yang berkonflik (Lebang, 2007: 58).

Di Poso proyek perdamaian digelar, termasuk program kearifan lokal

“Sintuwu Maroso” (bersatu untuk kuat) pada masa Presiden RI Abdurrahman

Wahid. Setelah itu, ketua tim mediator, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator

bidang Kesejahteraan Rakyat, memprakarsai pelaksanaan “Pertemuan Malino

untuk Poso”. Di Malino Jusuf Kalla mendalami konflik Poso dari berbagai sisi,

politik, ekonomi, sosial budaya, hingga psikologi. Pendalamannya dengan

sejumlah pertemuan nonformal dari hati ke hati dengan masing-masing tokoh

komunitas yang bertikai. Sebagian kemarahan para elite komunitas diserap

terlebih dahulu, lalu dikelola menjadi energi positif untuk merespons mereka maju

ke pertemuan dengan semangat perdamaian. Proses yang penting dicatat menuju

perdamaian Malino untuk Poso pada 26 Agustus 2003 adalah perkataan Jusuf

Kallah bahwa:

“Tatkala hendak mendamaikan kedua pihak, saya mempelajari sebaik-

baiknya sejarah daerah konflik itu. Baik sosial ekonomi, latar belakang

agama, geografis maupun aspek-aspek lain yang berhubungan dengan

dominasi, hegemoni, „supremasi‟, dan potensi ketidakadilan. Saya

mempelajari dengan saksama struktur penduduk sebelum kemerdekaan,

sesudah kemerdekaan, dekade 70-an, dekade 80-an, dan dekade 90-an.

Pihak A dalam posisi seperti apa, dan pihak B juga seperti apa. Dan, apa

persoalan yang membuat warga kedua daerah itu bertikai dan saling benci

sedemikiran rupa juga saya pelajari. Saya mendekati kedua pihak yang

berkonflik, dan mengajak mereka untuk meninggalkan perbedaan, untuk

maju dengan persamaan-persamaan ke meja perundingan” (Lebang. 2007:

52-53).

Pertemuan Malino I dikatakan berhasil dengan lebih dari 50 tokoh dari

kedua komunitas, ditambah peninjau dan perwakilan pemerintah, mencapai

kesepakatan untuk menghentikan konflik Poso, melakukan pelucutan senjata, dan

sementara pemerintah mengambil peran melakukan rehabilitasi dan penegakan

hukum. Keberhasilan formal perdamaian direspons baik secara praksis oleh

masyarakat Poso dengan terhentinya aksi kekerasan yang bersifat masif.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 143: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

128

Universitas Indonesia

Meskipun, ada sebagian warga yang merasakan langsung dampak buruk dari

konflik, kurang baik merespons langkah perdamaian itu (Lebang, 2007: 53).

Pada pasca perdamaian Malino untuk Poso hingga tahun 2006 aksi

kekerasan, terutama teror bom dan penembakan yang menelan korban jiwa,

bahkan aksi pembunuhan, masih tampak terjadi. Namun, kondisi pasca

perdamaian tidak sesuram pada awal tahun 2000-an. Kondisi pasca perdamaian

itu disadari oleh Jusuf Kalla dengan penekanan pada penegakan keadilan bahwa:

“Soal ini yang menjadi pekerjaan rumah, bahwa kalau menginginkan

rakyat menikmati ketenteraman dan keadilan, harus ada perlakuan yang

sama. Pembangunan harus merata. Jangan daerah ini menikmati

infrastruktur yang hebat, tetapi daerah lain tidak mendapat yang

semestinya. Janganlah pengusaha besar menikmati suku bunga rendah, dan

pengusaha kecil diberi suku bunga amat besar” (Lebang, 2007: 54).

Dialog antarbudaya sebagai pendamai menjadi kunci atas kasus konflik

masa lalu. Perdamaian didasarkan pada pemberian maaf bangsa kepada kejahatan

berat masa lalu. Pemberiaan maaf dikenal dengan amnesti. Namun, pemerintah

juga tidak begitu saja melupakan masa lalu itu. Perdamaian sebatas memberikan

desains penyelamatan masa depan bangsa atau dikenal dengan nonprosekusi.

Target pertama perdamaian bukan untuk mencari keadilan, melainkan bertujuan

“menyelamatkan masa depan dengan lebih adil dan sejahtera bagi generasi bangsa

mendatang”. Sebagaimana dikatakan oleh Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden RI

pada pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Afrika Selatan, pada 24

September 2005 bahwa: “spiritnya ialah saling memaafkan, tapi tidak melupakan

forgiven but not forgetten. Artinya, sesuatu yang telah terjadi diikhlaskan, mari

kita lihat ke depan, dengan masa lalu sebagai pelajaran” (Lebang, 2007: 79).

Dialog antarbudaya masih dibutuhkan untuk menganalisis terorisme di

negeri hukum dan multikultur ini sebagai kekerasan kriminal ektraordinari.

Kekerasan terorisme akan dilihat dalam aksi bom bunuh diri yang berakibat

banyaknya korban kemanusiaan, baik yang merasa takut, cedera maupun hilang

nyawa. Tindakan bom bunuh diri jelas merepresentasikan keyakinan monisme

moral seorang individu yang mengorbankan beberapa hilang nyawa individu lain.

Tindakan ini benar merupakan kekerasan kriminal ekstraordinari di dalam

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 144: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

129

Universitas Indonesia

kehidupan masyarakat yang menganut padangan moral dan budaya Pancasila dan

prinsip bhineka tunggal ika. Oleh karena itu, antikekerasan dalam pemikiran

Gandhi dapat menjelaskan tindakan kekerasan bom bunuh diri yang dilakukan

oleh teroris dalam masyarakat multikultur. Tindakan antikekerasan memosisikan

moderasi antara penganut Islam dan Kristen yang seringkali melakukan tindakan

kekerasan kriminal ekstraordinari itu.

Tindakan antikekerasan merupakan teori ahimsa Gandhi sebagai teologi

antikekerasan dalam agama Hindu. Teori antikekerasan ini menjelaskan bahwa

“Alam semesta umumnya diambil untuk menjadi abadi, dan karenanya

pertanyaan tentang penciptaan tidak pernah mendominasi pikiran Hindu.

Hal itu meresap, terstruktur dan diatur oleh berbagai kekuatan kosmik

yang digambarkan, umumnya dipahami bukan sebagai substansi statis

tetapi sebagai prinsip aktif yang menginformasikan atau 'mengalir melalui'

segala sesuatu di alam semesta dan mewujudkan dirinya dalam bentuk

yang berbeda pada spesies yang berbeda dari makhluk.”

[The universe is generally taken to be eternal… It is permeated, structured

and regulated by a variously described cosmic power, generally conceived

not as a static substance but as an active principle informing of „flowing

through‟ everything in the universe and manifesting itself in different

forms in different species of beings] (Parekh, 1989: 108).

Dengan teori tersebut, semua manusia mewujudkan kekuatan kosmik,

mereka tidak hanya sama atau saudara tapi satu. Pada tingkat yang berbeda,

seluruh kehidupan adalah satu, pada tingkat tertinggi semua ciptaan diliputi

dengan yang ilahi dan, karena itu, satu.

Semua kehidupan adalah manifestasi dari Brahman, dan karenanya sakral.

Untuk yang lain, semua makhluk hidup adalah anggota sah dari kosmos dan,

dengan demikian, berhak untuk dihormati dan otonomi untuk mengganggu hanya

ketika mereka melanggar batas-batas alami mereka yang ditahbiskan dan

mengancam untuk menyakiti orang lain. Diakui bahwa secara tradisional, ahimsa

berarti noncedera dan nonpembunuhan. Nonluka atau nonmembunuh tidak

dengan sendirinya merupakan ahimsa, itu seperti hanya ketika lahir dari kasih

sayang. Dalam pandangan universalisme pluralis, antikekerasan itu merupakan

keinginan yang tidak menimbulkan kerusakan atau kehancuran, yaitu “unsur sadar

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 145: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

130

Universitas Indonesia

kasih sayang” yang merupakan esensi antikekerasan. Di mana ada kasih sayang,

tidak ada ahimsa. Pengujian ahimsa adalah kasih sayang. Dalam tindakan

antikekerasan, dibedakan dua pandangan. Dalam pandangan literal, rasio

“negatif” atau “pasif”, itu berarti menahan diri dari menyebabkan kerusakan dan

kehancuran bagi orang lain. Dalam pandangan “positif” dan “aktif”, itu berarti

mempromosikan kesejahteraan mereka. Dalam kedua pandangan, ahimsa

didasarkan pada kasih sayang atau cinta, dalam satu, cinta diekspresikan negatif,

di sisi lain, secara positif. Gandhi menyimpulkan bahwa ahimsa benar-benar sama

dengan cinta: hal itu adalah “cinta yang aktif”.

Secara jelas dapat dipahami bahwa ahimsa dilakukan melalui tiga langkah

penting. Teori antikekerasan disamakan dengan kasih sayang dan yang terakhir

dengan cinta, dan cinta didefinisikan dalam hal duniawi dan aktivis. Cinta yang

terlibat sangat berbeda dari apa yang dicari untuk identifikasi bergairah dengan

semua makhluk hidup, mengambil duniawi menderita serius dan mensyaratkan

layanan sosial yang aktif. Dapat dikatakan bahwa:

“Antikekerasan bukanlah suatu kebajikan tertutup yang dipraktikkan oleh

individu untuk perdamaian dan keselamatan akhir, tetapi aturan perilaku

bagi masyarakat jika ingin hidup secara konsisten dengan martabat

manusia”.

[Non-violence is not a cloistered virtue to be practiced by the individual

for his peace and final salvation, but a rule of conduct for society if it is to

consistenly with human dignity”] (Parekh, 1989: 114).

Konsepsi tradisional antikekerasan sebagai dialog antarbudaya dalam

resolusi konflik diperdalam dalam analisis teologi antikekerasan. Menurut

Gandhi, “agama antikekerasan tidak dimaksudkan semata-mata untuk resi dan

orang-orang kudus. Hal ini dimaksudkan untuk orang-orang biasa juga” (Parekh,

1989: 114).9 Antikekerasan wajib pada semua, bukan hanya para pertapa, dan

menyebutnya agama. Oleh karenanya, agama baginya cara hidup yang melibatkan

transformasi total dari semua relasi manusia, sambutannya memiliki daya dorong

9 “The religion of non-violence is not meant merely for the rishis and saints. It is meant for the

common people as well.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 146: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

131

Universitas Indonesia

sosial yang radikal. Dia mengamati bahwa “hormat tidak harus menjadi

spiritualitas pasif yang menghabiskan dirinya dalam meditasi menganggur, tetapi

harus menjadi hal yang aktif yang akan membawa perang ke perkemahan musuh”

(Parekh, 1989).

Dialog antarbudaya dapat dipahami juga sebagai penjaga lingkungan

hidup. Komunitas etnik yang tertanam dalam lingkungan hidup yang

ditempatinya, seperti komunitas Pamona di Poso Sulawesi Tengah, komunitas

etnik Ambon Maluku, komunitas Baduy di Pandeglang Banten, dan komunitas

Korowai di pedalaman Papua. Penjaga juga yang dimaksudkan adalah pemerintah

yang mengurusi lingkungan hidup atau institusi-institusi yang peduli dengan

lingkungan hidup. Dengan demikian, syarat dialog antarbudaya di dalam

masyarakat multikultur tersebut menuntut kewajiban seseorang warga negara

untuk kritis diri, kerelaan, dan partisipasi dalam dialog diri.

5.2.2 Rekognisi Sosial sebagai Peredam Konflik

Rekognisi sosial masyarakat multikultur ditunjukkan dalam bentuk

penghormatan dan perlakuan yang setara terhadap identitas yang termarginalkan

dan direndahkan. Lebih mendalam, Taylor menegaskan bahwa “rekognisi secara

general dibangun di dalam identitas yang diderivasi secara sosial berdasarkan

fakta bahwa rekognisi itu didasarkan pada kategori sosial yang setiap orang

mengambil untuk diberikan” (Taylor, 1994: 34). Identitas yang diderivasi secara

sosial berarti identitas yang tergantung pada masyarakat, sehingga disebut dengan

rekognisi sosial (social recognition). Untuk itu, rekognisi sosial melibatkan

negara sebagai komunitas politik, masyarakat sebagai komunitas sosial, dan

individu sebagai warga negara.

Setelah dialog antarbudaya dilakukan, namun misrekognisi terjadi

terhadap identitas yang termarginalkan dan direndahkan, maka misrekognisi

bukan hanya kurang hormat, akan dapat menimbulkan luka pedih, membebani

korban dengan melumpuhkan diri kebencian. Rekognisi sosial sungguh sebagai

kebutuhan manusia yang menentukan hidup dan mati. Rekognisi sosial

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 147: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

132

Universitas Indonesia

seharusnya dilakukan dengan dua tindakan. (a) Pertama, penghormatan.

Penghormatan kepada seorang individu dengan memberikannya beberapa

penghargaan publik, karena tidak semua orang memilikinya. Penghormatan secara

intrinsik mengenai pilihan. Dengan penghormatan itu, pilihan seseorang kembali

dimiliki. (b) Kedua, perlakuan yang setara. Kesetaraan kepada seorang individu di

dalam kehidupan publik untuk memelihara hak-hak semua manusia. Dengan

kesetaraan tersebut, martabat seseorang kembali dihormati (Taylor, 1994: 27).

Selain itu, rekognisi sosial perlu diikuti gerakan-gerakan sosial, seperti

antidiskriminasi, interpretasi dan aplikasi hukum yang sensitif secara budaya,

pembebasan dari aturan dan praktik tertentu, aplikasi kebijakan publik yang

sensitif komunitas, hak dan sumber daya tambahan, mendorong penghormatan

publik untuk identitas termarginalkan, memastikan perwakilan yang memadai

dalam institusi-institusi publik, dan mengakui kehadiran komunitas marginal

dalam definisi identitas nasional (Parekh, 2008: 42). Rekognisi negara terhadap

jamaah Ahmadiyah atau komunitas marginal yang lain di dalam identitas nasional

perlu dilakukan sebagai bentuk perlakuan yang setara.

Rekognisi sosial tersebut seharusnya diiringi dengan redistribusi

(redistribution), terutama mengacu pada sumber daya material yang dapat

melanjutkan kesetaraan. Redistribusi dapat memungkinkan komunitas budaya

marginal untuk menjalani kehidupan yang layak tanpa secara radikal mengurangi

kesenjangan di seluruh bidang kehidupan (Parekh, 2004: 200). Redistribusi seperti

itu berkaitan erat dengan rekognisi sosial untuk menciptakan sebuah identitas

kolektif. Redistribusi memfasilitasi rekognisi sosial, bukan hanya untuk

menghormati, akan tetapi juga untuk kesetaraan hidup bersama. Sebaliknya,

rekognisi identitas memerluas pengertian solidaritas sosial dengan memasukkan

komunitas budaya yang termarginalkan dan direndahkan menjadi identitas

kolektif bersama dan membantu redistribusi, bukan hanya untuk menghormati,

akan tetapi juga untuk memelihara kebebasan dan keragaman. Secara empiris dan

normatif relasi antara rekognisi dan redistribusi dapat memberi keadilan bagi

kesejahteraan sosial (Parekh, 2008: 55).

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 148: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

133

Universitas Indonesia

Rekognisi sosial secara substantif menekankan adanya “identitas kolektif”

di mana semakin banyak komunitas budaya yang berpartisipasi, semakin

menegaskan identitas mereka yang diwarisi secara historis dalam nama otentisitas

dan kebebasan, dan semakin mereka mengekspresikan dan mengabadikan

heteronomi eksitensial mereka (Parekh, 2008: 37).

Secara praktis rekognisi negara terhadap keragaman moral dan budaya

diungkapkan di dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi penanganan konflik

sosial pada seluruh ranah kehidupan manusia. Di dalam konstitusi, negara

memfasilitasi hak warga negaranya untuk terpenuhinya kebutuhan hidup yang

baik dan martabat manusia melalui berbagai bentuk program kebijakan sosial,

yaitu perlindungan, kebebasan, jaminan, pekerjaan dan penghidupan, serta

pelayanan kesehatan dan pelayanan umum.10

Untuk mengolah konflik sosial dalam masyarakat multikultur, rekognisi

sosial digunakan sebagai peredam konflik, baik untuk meredakan konflik yang

sedang berlangsung maupun mendeteksi potensi konflik. Dalam regulasi

penanganan konflik sosial, negara berkewajiban meredam potensi konflik dalam

masyarakat dengan:

a) melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang

memerhatikan aspirasi masyarakat;

b) menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik;

c) melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik;

d) mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat;

10

“Mengenai diversitas budaya lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat 1 bahwa setiap

orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang

di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; Pasal 28G ayat 2 bahwa setiap

orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat

manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain; Pasal 28H ayat 3 bahwa setiap

orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai

manusia yang bermartabat; dan Pasal 34 ayat 2 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan

sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai

dengan martabat kemanusiaan; dan mengenai diversitas moral lihat Pasal 27 ayat 2 bahwa tiap-tiap

warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Pasal 28D

ayat 2 bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil

dan layak dalam hubungan kerja; dan Pasal 34 ayat 3 bahwa negara bertanggung jawab atas

penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak; Pasal 28H

ayat 1 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 149: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

134

Universitas Indonesia

e) menegakkan hukum tanpa diskriminasi;

f) membangun karakter bangsa;

g) melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan

h) menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk

membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat.11

Selain negara berkewajiban meredam potensi konflik, di dalam regulasi

penanganan konflik sosial, negara memfasilitasi kewajiban warganya melalui

penguatan capacity building, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi

pekerti, pendidikan agama, dan menanamkan nilai-nilai integrasi bangsa.

Kewajiban warga negara sebagai individu untuk mengolah konflik sosial dengan

memelihara kondisi damai di dalam masyarakat, sebagai berikut:

a) mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan

menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;

b) menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain;

c) mengakui dan memerlakukan manusia sesuai dengan harkat dan

martabatnya;

d) mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi

setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama,

kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit;

e) mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar kebhineka-tunggal-

ikaan; dan/atau

f) menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.12

Rekognisi sosial tersebut diperkuat dengan penjelasan oposisional bahwa

antirekognisi atau misrekognisi dapat menimbulkan kerugian, dapat menjadi

bentuk penindasan, memenjarakan seseorang dalam kepalsuan, dan model

menjadi yang menyimpang (Taylor, 1994: 25).13

Antirekognisi terhadap jamaah

Ahmadiyah yang dilakukan oleh MUI dan komunitas Islam lainnya merupakan

fakta bentuk penindasan dan memenjarakan sesorang dalam kepalsuan.

Pemahaman konflik sosial dengan antirekognisi tidak hanya akan menimbulkan

konflik sosial baru, akan tetapi juga dapat terjadi disafiliasi yang memunculkan

jamaah Ahmadiyah lainnya yang berbeda. Oleh karena itu, ditekankan pentingnya

11

Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 9. 12

Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 7. 13

“Nonrecognition or misrecognition can inflict harm, can be a form of oppression, imprisoning

someone in a false, distorted, and reduced mode of being.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 150: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

135

Universitas Indonesia

rekognisi yang universal untuk dihargai di dalam satu bentuk atau yang berbeda.

Pada bidang yang lekat, semua manusia wajib menyadari bagaimana identitas

dapat dibentuk atau perbedaan dibentuk oleh relasi sesama manusia, diri sendiri

dengan orang lain, secara signifikan (Taylor, 1994: 36).14

Dengan rekognisi sosial sebagai peredam konflik, dibutuhkan evaluasi

budaya dari komitmen keragaman moral dan budaya yang memberi istilah tetap

bahwa “tiap budaya terlalu multi-alur, cair, dan berakhir terbuka”.15

Misalnya,

kontestasi memaknai ajaran Islam antara mainstream dan jamaah Syiah.

Keduanya sama-sama menilai ajaran Islam di dalam sumber daya budaya Islam,

akan tetapi kesimpulan keduanya kontradiktif. Kesimpulan jamaah Syiah untuk

mempertahankan sistem imamah, sebaliknya mainstream untuk menghilangkan

sistem imamah dalam budaya Islam. Selain itu, kontestasi memaknai kesetaraan

sebagai nilai antara kaum liberal dan sosialis. Meski keduanya bersepakat tentang

makna dan implikasinya, namun berbeda kesimpulannya. Kesimpulan liberal

memaknai kesetaraan formal atas hak-hak, dan sosialis memaknai kesetaraan atas

kekuasaan dan sumber daya. Oleh karena itu, kontestasi menjadi evaluasi budaya

yang terjadi di dalam semua kasus antara pandangan konservatif yang lebih setia

pada tradisi daripada reformis yang agak tidak jujur. Kesetiaan lebih terhadap teks

atau historisnya, konservatif beresiko kehilangan kesetiaan penganut terasing dan

merusak keberlangsungan budayanya. Meski kritik reformis kadang dijustfifikasi,

akan tetapi kritikus tidak tepat memahami sifat budaya dan inti kontestasi

hermeneutik. Namun demikian, reformis mungkin salah atau bahkan tidak tulus

dalam interpretasinya, akan tetapi setidak-tidaknya menjaga budaya tetap hidup

dan dinamis (Parekh, 2000: 174-175).

Fenomena kontestasi di dalam masyarakat sebagai evaluasi budaya

dibutuhkan penghormatan budaya dari rekognisi sosial. Penghormatan budaya

berarti penghormatan hak komunitas terhadap budaya, isi serta karakter

14

“The importance of recognition is now universally acknowledged in one form or another; on an

intimate plane, we are all aware of how identity can be formed or malformed through the course

of our contact with significant others.” 15

“Every culture is too multistranded, fluid and open-ended to have „fixed terms‟ in which to

evaluate it.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 151: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

136

Universitas Indonesia

budayanya.16

Seorang manusia harus bebas memutuskan bagaimana hidup,

sehingga budaya terikat dengan sejarah dan identitas, dan seterusnya. Setiap

komunitas mempunyai hak terhadap budaya sebaik hak terhadap budaya yang

lain. Artinya, tidak ada dasar ketidaksetaraan hak terhadap budaya, karena setiap

budaya memberi stabilitas dan makna terhadap hidup manusia, menampung

anggotanya bersama-sama sebagai komunitas, menampilkan energi kreatif, dan

lainnya.17

Oleh sebab itu, secara kritis dikatakan bahwa “penghormatan martabat

manusia harus ditekankan, tetapi tidak harus bingung dengan individualisme

liberal, dan ranah pilihan personal yang juga sangat penting untuk kesejahteraan

manusia, tetapi tidak harus disamakan dengan otonomi berskala penuh yang

didefinisikan” (Parekh, 2000: 176-177).18

Apabila komunitas budaya menghormati kelayakan dan martabat manusia,

menjaga kepentingan dasar manusia dalam batas-batas sumber dayanya, tidak

memberikan ancaman terhadap pihak lain dan menikmati loyalitas sebagian besar

anggotanya, memberikan kondisi dasar hidup yang baik, maka komunitas itu

layak dihormati dan ditinggalkan sendiri. Oleh karenanya, bukan pemikiran

monisme moral yang membuat kekeliruan pada konsentrasi isi budaya dan

mengabaikan hak komunitas budaya untuk menghormati dasar budaya masing-

masing. Tak luput dari kritik juga, perlu diyakini bahwa asumsi reformis Barat

sangat tidak mendasar dan menjadi sumber lebih kolonial, neokolonial dan bentuk

kekerasan lain. Reformis Barat berasumsi bahwa masyarakat lain kurang sumber

daya reformis serta membutuhkan petunjuk dan kepemimpinan moral Barat. Ada

perbedaan besar antara kepedulian moral yang terhormat untuk kesejahteraan

masyarakat lain dan gertakan tak sensitif dalam spirit superioritas moral.

Kepedulian moral diterima dengan senang hati dan superioritas moral dihindari

dengan segala pengorbanan (Parekh, 2000: 177-178).

16

“Respect for a culture means respect for a community‟s right to its culture and for the content

and character of that culture.” 17

“Since every culture gives stability and meaning to human life, holds its member together as a

community, displays creative energy, and so on.” 18

“Respect for human dignity should be insisted upon, but it should not be confused with liberal

individualism, and similarly the area of personal choice is crucial to human well-being, but should

not be equated with full-scale autonomy…”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 152: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

137

Universitas Indonesia

Dalam konstruksi sosial, politik dan ekonomi rekognisi sosial di atas

merupakan pusat identitas individual dan kelayakan diri. Bahkan, tanpa rekognisi

sosial, keduanya dapat rusak. Oleh sebab itu, diyakini bahwa “tidak ada

masyarakat multikultur dapat stabil dan bersemangat, kecuali menjamin

masyarakat konstituennya menerima keduanya hanya dengan rekognisi dan

berbagi kekuasaan ekonomi dan politik” (Parekh, 2000: 343).19

Dengan demikian,

untuk memahami konflik sosial yang dipenuhi perilaku kekerasan, harus

dikatakan bahwa “daripada bertanya kapan kekerasan dijustifikasi, seharusnya

kita bertanya kapan pelanggaran antikekerasan mungkin bisa dimaafkan” (Parekh,

1989: 128). Untuk memaafkan perilaku kekerasan dengan menghilangkan jiwa

manusia, hanya dibutuhkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.

Rekognisi sosial yang dilakukan di dalam masyarakat multikultur merefleksikan

hakikat manusia sebagai makhluk yang berdialog. Tanpa rekognisi sosial, dialog

hanyalah kepalsuan eksistensial manusia dalam konflik sosial.

5.3 Menemukan Kembali Manusia yang Harmonis

Refleksi kritis pada bab lima ini secara esensial mengkonstruksi hakikat

dikotomi antara cara dan tujuan. Cara yang tepat ditentukan untuk tujuan yang

baik. Begitu juga, sebaliknya, cara yang bengis ditentukan untuk tujuan yang

nista. Akan tetapi, kepentingan dan kesadaran palsu manusia secara sosial

memungkinkan untuk memutarbalikkan dikotomi antara cara dan tujuan itu.

Tragedi kemanusiaan pada pemboman menara kembar World Trade Center

(WTC) di Mannhantan Amerika Serikat, misalnya, merepresentasikan sebuah

tragedi konflik global. Setiap bangsa, masyarakat, komunitas dan individu yang

berbeda-beda agama dan etniknya terlibat di dalam konflik global itu. Konflik

global itu tak lain merupakan representasi dari konflik sosial di dalam masyarakat

multikultur.

19

“No multicultural society can be stable and vibrant unless it ensures that its constituent

communities recieve both just recognition and a just share of economic and political power.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 153: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

138

Universitas Indonesia

Fenomena manusia sosial dalam konflik tersebut dapat menekan bahwa

“dewasa ini membela manusia tidak lagi dapat dilakukan dengan menyingkirkan

ataupun mengabaikan agama, seperti yang dilakukan oleh humanisme sekuler

modern” (Hardiman, 2012: 72-73). Meski konflik nuansa agama dan etnik

seringkali direproduksi, seorang manusia tetap mempunyai kekuatan untuk

menghormati harkat dan martabat manusia di dalam kehidupan sosial.

Manusia dilahirkan oleh manusia lain di dunia. Kelahiran manusia dalam

bentuk tubuh dan jiwa. Jiwa membedakan manusia sebagai makhluk hidup dari

makhluk hidup yang lain. Hewan dan tumbuhan merupakan makhluk hidup yang

tidak memiliki jiwa. Adanya jiwa di dalam tubuh menyebabkan manusia hidup.

Sebaliknya, tidak adanya jiwa di dalam tubuh menyebabkan manusia tidak hidup.

Akan tetapi, tidak adanya jiwa, hewan dan tumbuhan tetap dapat hidup. Oleh

sebab itu, jiwa adalah karakteristik manusia. Dengan adanya jiwa, manusia hanya

tepat dipahami dengan memahami manusia yang lain. Meskipun, ada beberapa

filsuf yang memahami manusia dengan memahami hewan atau tumbuhan.

Padahal, kemanusiaan tidak dapat digali di dalam tubuh nonmanusia.

Manusia berada di dunia secara eksistensial. Eksistensi manusia di dunia

disebabkan oleh adanya jiwa di dalam tubuh yang menentukan untuk bertindak,

berpikir, dan berkehendak. Jean-Paul Sartre menjelaskan bahwa apabila tubuh

nyata sebagai obyek benar-benar bertindak pada substansi berpikir, yang lain

menjadi representasi murni, esse is a simple percipi, yaitu “eksistensi yang diukur

dengan pengetahuan yang kita miliki” (Sartre, 1957: 224).20

Di samping itu,

dengan kehendak bebasnya untuk menentukan, selain membedakan manusia dari

hewan dan tumbuhan, jiwa membedakan manusia yang satu dengan manusia yang

lain. Dengan adanya ketentuan itu, apakah relasi jiwa dan tubuh pada eksistensi

manusia berada pada perjumpaan keduanya secara dikotomis atau heteronomis?

Pemahaman dikotomi dan heteronomi manusia tidak bisa dilepaskan dari

pemikiran tiga aliran filsafat besar, yaitu idealisme, realisme kritis dan

20

“If the body is a real object really acting on thinking substance, the Other becomes a pure

representation, whose esse is a simple percipi; that is, one whose existence is measured by the

knowledge which we have of it.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 154: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

139

Universitas Indonesia

materialisme. Relasi perjumpaan jiwa dan tubuh di dalam tiga aliran filsafat itu,

dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, aliran idealisme menemukan manusia di dalam dunia idea, yaitu

jiwa yang nonmaterial. Bagi idealisme, jiwa sebagai prinsip hidup untuk manusia.

Dalam aliran idealisme banyak filsuf menjelaskan siapakah manusia. Plato

memandang bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai dualisme, bukan

kesatuan tapi bersatu. Dualisme menjelaskan bahwa jiwa merupakan dunia idea

(eidos) yang nonmaterial, sedangkan tubuh merupakan dunia pengamatan yang

material. Bahkan, jiwa dan tubuh manusia adalah dualisme paralel, adanya jiwa

lebih dahulu dari manusia (praexistensi). René Descartes memandang bahwa

manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai dualisme dualistis, bukan kesatuan

tapi saling mempengaruhi. Dualisme dualistis Descartes menjelaskan bahwa jiwa

merupakan reflexio yang berkesadaran, sedangkan tubuh merupakan extentio yang

berkeluasan. Jiwa dan tubuh tersebut saling mempengaruhi, misalnya ketika jiwa

merasa sedih maka tubuh mengeluarkan air mata. Neoplatonisme dari Plotinos

memandang bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai pantheisme,

kesatuan yang bersatu. Pantheisme menjelaskan bahwa jiwa dan tubuh manusia

merupakan kesatuan yang disatukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Lebih lanjut,

Baruch Spinoza menjelaskan bahwa pantheisme memandang Tuhan berada di

dalam jiwa dan tubuh manusia sebagai inti yang terpendam pada materi, bukan

Pencipta. Dalam pantheisme Hegel memandang bahwa manusia dalam

totalitasnya adalah Tuhan di dunia. Dalam lingkup pantheisme Brahmanisme

memandang bahwa manusia adalah Brahma yang konkret. Brahma adalah inti

alam, ada yang mutlak. Pantheisme Jawa memandang bahwa manusia adalah

Tuhan sendiri secara intisari. Relasi antara manusia dan Tuhan merupakan

identitas, yang mengandung ketidakmungkinan dualitas, tak ada yang mengabdi,

tak perlu ada yang memper-Tuhan (Poedjawijatna, 1987: 66-79). Dengan begitu,

pandangan-pandangan aliran idealisme terhadap relasi bersatunya jiwa dan tubuh

manusia disebut dengan dualisme dan pantheisme.

Kedua, aliran realisme kritis memandang kesatuan jiwa dan tubuh manusia

sebagai realitas. Realisme kritis dibedakan dengan realisme belaka. Bagi realisme

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 155: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

140

Universitas Indonesia

belaka, realitas hanya dapat diterima karena tampak. Sedangkan, realisme kritis

menerima realitas karena sungguh-sungguh ada, tidak perlu tampak pada manusia.

Jiwa dan tubuh merupakan prinsip hidup. Jiwa sebagai prinsip hidup non-matrial.

Tubuh sebagai prinsip hidup materi. Jiwa diakui sebagai prinsip hidup sebab

ternyata ada pada tindakan manusia, yaitu berpikir dan berkehendak. Berpikir

adalah daya tahu manusia yang memproduksi tahu dengan menggunakan

pengertian-pengertian yang abstrak, nonmaterial. Berkehendak adalah daya pilih

manusia yang menentukan tindakannya sendiri, bukan ditentukan oleh obyek

semata-mata atau situasi-situasi yang merangsangnya. Manusia yang tidak

ditentukan oleh materi menandakan adanya kehendak yang non-material. Karena

dengan daya tahu dalam berpikir, manusia mempunyai daya memilih dalam

berkehendak. Ada beberapa filsuf yang termasuk dalam aliran realisme kritis.

Aristoteles memandang manusia sebagai realitas sepenuhnya, tidak hanya yang

tampaknya saja. Menurutnya, manusia adalah kesatuan hule dan morfe. Hule

berarti materi yang konkret. Morfe berarti bentuk yang membentuk manusia

menjadi manusia, bukan bentuk material yang memiliki ukuran dan bangun. Pada

abad Pertengahan Agustinus meyakini bahwa manusia sungguh-sungguh ada

dengan adanya Tuhan, karena manusia adalah ciptaan Tuhan, sebagai realitas.

Selama di dunia jiwa dan tubuh manusia adalah kesatuan. Jiwa bersifat rohani

yang abadi dan tubuh bersifat jasmani yang tidak-abadi. Aliran fenomenologi,

filsafat hidup dan eksistensialisme benar-benar menjelaskan manusia sebagai

realitas (Poedjawijatna, 1987: 82-86).

Ketiga, aliran materialisme disamakan dengan realisme belaka. Keduanya

sama-sama mengakui bahwa alam adalah dunia materi sebagai obyek pengalaman

dalam perubahan dan ketidak-tetapanya. Realitas tidak lain adalah materi belaka.

Semua non-material yang bersifat rohani merupakan bentuk atau fungsi dari

materi. Aliran materialisme memunculkan beberapa pemikiran dan pandangan

tentang manusia. Dalam materialisme ekstrim Julien Offray de Lamettrie

mengatakan bahwa manusia merupakan materi atau benda-alam belaka, yang

berarti mesin karena pada dasarnya alam adalah mesin. Semua gerak atau

tindakan manusia hanya merupakan produk dari hukum alam belaka. Materi dapat

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 156: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

141

Universitas Indonesia

bertindak tanpa prinsip hidup. Seluruh dunia dapat dijelaskan dengan perubahan

dan gerak mekanis alam, termasuk tubuh, jiwa, sejarah, susastra dan segala

perkembangan masyarakat manusia. Ludwig Feuërbach hanya mengakui realitas

alam, sehingga manusia merupakan benda-alam juga. Karl Voght menjelaskan

bahwa pikiran manusia berhubungan dengan otak sama dengan empedu dengan

hati dan tindakan manusia merupakan proses kimia. Sebagai penganut

evolusionisme, Herbert Spencer mengatakan bahwa manusia merupakan produk

evolusi. Evolusi menurutnya adalah proses dari ada sebagai materi (matter), yang

berkembang menurut hukum-hukum tertentu (motion and force), maka terjadi

pengikatan dalam materi (integration) dan menjalar dalam keragaman

(dissipation). Evolusionisme hanya dapat menjelaskan realitas alam sampai

kepada pengalaman, the great Unknowable.

Dalam materialisme vitalistis, marxisme dan psikologi-dalam menerima

prinsip hidup pada manusia. Hidup manusia ditentukan oleh kondisi ekonomi.

Segala produk tindakan manusia, seperti ilmu, agama, budaya, dan lainnya adalah

derivasi dari kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi itu sendiri ditentukan oleh

sejarah. Dengan sejarah, yang dikatakan manusia adalah masyarakat, manusia

dalam kelompok, bukan manusia individual. Manusia hidup hanya terarah pada

kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan yang material. Karena itu, prinsip

hidup manusia adalah materi. Sejarah manusia pun adalah sejarah materi.

Materialisme Marx itu disebut dengan materialisme historis. Dalam pandangan

psikologi-dalam, Sigmund Freud mengatakan bahwa tindakan manusia, baik yang

disadari maupun yang tidak disadari, didorong oleh kecenderungan untuk mencari

kepuasan rasa yang disebut libido (asmara), ketidaksadaran. Karena itu, libido tak

lain dari materi. Lebih lanjut, Alfred Adler menjelaskan bahwa pendorong

tindakan manusia yang ada pada ketidaksadaran cenderung kekuasaan. Manusia

dari kecil sampai dewasa adalah kumpulan cenderung kekuasaan. Manusia ingin

dihargai, ingin menonjolkan diri, dan ingin kuasa (Poedjawijatna, 1987: 56-64).

Kritik Erich Fromm terhadap skema Freud tentang perkembangan libido

(infantil, laten dan genital) dengan ide tentang diversitas orientasi karakter

produktif (cinta yang produktif, pikiran yang produktif, kebahagiaan dan suara

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 157: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

142

Universitas Indonesia

hati) dan karakter non-produktif (menerima, eksploitatif, penimbun, nekrofilia dan

pasar). Sebagai tesis utama psikoanalisis humanistik, Fromm menjelaskan bahwa

“nafsu dasar manusia tidak berakar di dalam kebutuhan naluriah (tubuh), akan

tetapi di dalam kondisi tertentu eksistensi manusia, yang membutuhkan untuk

menemukan keterkaitan baru terhadap manusia dan alam setelah kehilangan

keterkaitan utama pada tahap pra-manusia” (Fromm, 2002: xi).21

Atas dasar tesis

itu, Fromm menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk hidup (mortality) tidak

dapat bebas dari dikotomi eksistensial (existential dichotomy). Dikotomi antara

tubuh dan jiwa (body and mind) melekat pada eksistensi manusia di dunia. Jiwa

dan tubuh merupakan prinsip hidup manusia. Dengan jiwa, manusia mampu hidup

selama-lamanya. Namun, dengan tubuh, manusia akan mengalami kematian

selama-lamanya. Kehidupan jiwa hanya berada di dalam tubuh ketika manusia

berada di dunia.

Lebih jelas, Fromm mendefinisikan dikotomi eksistensial dengan arti

“kondisi manusia yang tidak pernah bebas dari jiwa walaupun menginginkannya,

akan tetapi tidak bisa pula bebas dari tubuh selama masih hidup, karena hanya

tubuh membuat manusia ingin hidup” (Fromm, 2002: 23).22

Menurut David

Ingleby, pemikiran Fromm itu didasarkan pada kondisi manusia yang dikonstruksi

dengan ketegangan antara anugerah alam dan esensi kesetaraan karakteristik non-

biologis, kesadaran-diri, nalar dan imajinasi.23

Meskipun, Freud meyakini bahwa

kondisi manusia dikonstruksi oleh kontradiksi antara kebutuhan individu dan

tuntutan budaya.24

Oleh karena itu, kondisi manusia menurut Fromm tampak

sebagai kodrat a priori, bukan produk budaya. Kodrat a priori pada dikotomi

manusia diyakini di dalam tradisi agama-agama. Kodrat a priori memproduksi

21

“…the basic passions of man are not rooted in his instinctive needs, but in the specific

conditions of human existence, in the need to find a new relatedness to man and nature after

having lost the primary relatedness of the pre-human stage.” 22

“Never is he free from the dichotomy of his existence: he cannot rid himself of his mind, even if

he should want to; he cannot rid himself of his body as long as he is alive - and his body makes

him want to be alive.” 23

“…the human condition as constructed by the tension between these natural endowments and

the equally essential but "non-biological" characteristics of self-awareness, reason and

imagination.” 24

“…the contradictions which lie at the heart of the human are those between the needs of the

individual and the demands of culture.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 158: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

143

Universitas Indonesia

keunikan eksistensi manusia di dunia, sebagaimana diyakini bahwa manusia

merupakan sebagian ilahi, sebagian hewan, sebagian terbatas dan sebagian tak-

terbatas (Ingleby dalam Fromm, 2002: xxvi).

Dalam konsepsi kodrat a priori manusia mempunyai karakter yang

manusiawi, yakni kebutuhan akan keterbukaan hubungan, transendensi,

keberakaran, rasa identitas serta kebutuhan akan kerangka orientasi dan

pengabdian. Dikotomi eksistensial manusia itu lebih dipertajam kembali oleh

Fromm dalam konsep “kesehatan mental” (mental health) manusia. Fromm

menjelaskan bahwa:

“Kesehatan mental adalah karakter manusia yang mampu mencintai dan

menciptakan, yang lepas dari hubungan incest suku dan tanah, dengan rasa

identitas yang didasarkan pada pengalaman diri sebagai subjek dan agen

kekuasaan, serta dengan pemahaman realitas diri di dalam dan di luar,

yakni pengembangan objektivitas dan nalar.”

[Mental health is characterized by the ability to love and to create, by the

emergence from incestuous ties to clan and soil, by a sense of identity

based on one's experience of self as the subject and agent of one's powers,

by the grasp of reality inside and outside of ourselves, that is, by the

development of objectivity and reason] (Fromm, 2002: 67).

Konsep kesehatan mental (jiwa) diyakini dapat dipahami secara universal bagi

manusia pada segala masa dan semua budaya. Dalam kehidupan sosial konsep

kesehatan mental secara esensial sesuai dengan norma-norma yang dipostulatkan

oleh para filsuf atau agamawan (Fromm, 2002: 67). Dikotomi eksistensial secara

substansial didasarkan pada totalitas personal manusia dalam interaksinya dengan

dunia, alam dan manusia, bukan pada tubuh atau materialisme. Hal itu

menegaskan bahwa praktik kehidupan manusia sebagai hasil dari kondisi

eksistensi manusia (Fromm, 2002: 68).25

Selain dari kondisi manusia, kesehatan mental harus dipandang dari situasi

manusia. Dalam situasi manusia, kesehatan mental harus didefinisikan dengan

“penyesuaian masyarakat terhadap kebutuhan manusia,” bukan dengan definisi

25

“The substratum is not a physical one, but the total human personality in its interaction with the

world, nature and man; it is the human practice of life as it results from the conditions of human

existence.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 159: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

144

Universitas Indonesia

penyesuaian individu terhadap masyarakat, dengan melihat perannya memajukan

atau menghambat kesehatan mental.26

Fromm menjelaskan bahwa struktur sosial

yang mampu mengembangkan personalitas manusia, bukan persoalan individu

manusia. Sebab itu, Fromm mengatakan bahwa “masyarakat yang tidak sehat

adalah “struktur sosial yang menciptakan saling bermusuhan, tidak percaya, yang

mengubah manusia menjadi hanya instrumen dan eksploitasi bagi orang lain, yang

merampas harga diri, kecuali sejauh manusia tunduk kepada orang lain atau

menjadi robot.”27

Dalam realitasnya mayoritas masyarakat, menurut Fromm,

berada pada antara dua fungsi sosial, yakni sebagai agen kemajuan dan sekaligus

penghambat perkembangan kesehatan manusia (Fromm, 2002: 70). Karena itu,

dikotomi manusia telah memposisikan mayoritas masyarakat pada ruang antara

dua fungsi sosial tersebut. Posisi masyarakat pada ruang antara itu menjelaskan

bahwa otonomi kehendak pada manusia telah bergeser menuju dan menjadi

heteronomi kehendak.

Heteronomi dijelaskan oleh Immanuel Kant dengan memahami makna

otonomi kehendak. Istilah heteronomi sendiri didefinisikan dengan

“ketergantungan pada hukum fisik (legalitas),”28

sedangkan otonomi adalah

ketergantungan pada hukum moral (moralitas). Sebelumnya, Plato dan Aristoteles

mendasarkan pada jiwa dan tubuh manusia sebagai makhluk hidup (living

creature) yang menjelaskan individu dan negara dalam kompleksitas kehidupan

manusia. Individu merupakan citra negara dalam kompleksitas kehidupan dan

organisasinya (Jawett, 1885: 16).29

Pemikiran kedua filosof Yunani kuno yang

berbeda aliran itu, idealisme dan realisme kritis, menjelaskan adanya heteronomi

antara relasi jiwa dan tubuh pada manusia. Karena itu, heteronomi manusia yang

dimaksud di sini adalah ketergantungan individu kepada “yang lain,” baik

26

“…that it must be defined in terms of the adjustment of society to the needs of man…” 27

“An unhelth society is one which creates mutual hostility, distrust, which transforms man into an

instrument of use and exploitation for others, which deprives him of a sense of self, except

inasmuch as he submits to others or becomes an automaton.” 28

“…there results heteronomy of the elective will, namely, dependence on the physical law that we

should follow some impulse or inclination.” 29

“The living creature, as soon as we begin to analyse it, is found to consist of soul and body‟. …

The individual is the image of the state in the complexity of his life and organization....”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 160: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

145

Universitas Indonesia

individu lain maupun selain individu, seperti struktur sosial atau peraturan-

peraturan yang diciptakan oleh masyarakat.

Relasi dikotomi antara jiwa dan tubuh pada eksistensi manusia telah

mencair. Kant mengatakan bahwa “spekulasi transendental atas rasio berkaitan

dengan tiga hal, yakni kebebasan kehendak, keabadian jiwa dan eksistensi Tuhan

(Kant, 2010a: 447).”30

Kant telah menghadirkan eksistensi Tuhan di antara

dikotomi eksistensial manusia. Kebebasan kehendak berkaitan dengan fenomena

atau ekspresi dari tindakan manusia dalam ketaatan yang imperatif kategoris.

Keabadian jiwa menunjukkan empiristik tubuh yang tidak abadi. Menurutnya,

tubuh dipahami dengan mengacu pada pengalaman inderawi, yang menjelaskan

mengenai warna, kekerasan atau kelembutan, berat badan, bahkan kekebalan.

Tubuh di dunia akan lenyap, akan tetapi ruang yang ditempatinya tetap ada.31

Eksistensi Tuhan merupakan bukti keabadian jiwa setelah kematian manusia di

dunia yang melampaui pikiran publik (Kant, 2010a: 18; 29).32

Kant dikenal

sebagai filsuf yang berdiri di antara dua aliran filsafat, antara idealisme dan

realisme kritis, antara rasionalisme dan empirisme. Relasi jiwa dan tubuh tersebut

dipahami oleh Kant dengan memertimbangkan kritik atas rasio murni, kritik atas

rasio praktis, dan kritik atas kuasa pertimbangan.

Heteronomi menurut Kant merupakan kontradiksi dari otonomi. Otonomi

yang dimaksud oleh Kant adalah otonomi kehendak. Otonomi kehendak

merupakan prinsip moralitas. Moralitas disusun sebagai kebutuhan obyektif,

karena berlaku bagi setiap manusia yang mempunyai rasio dan kehendak.33

Kehendak obyektif tak lain adalah kehendak Tuhan. Moralitas merupakan rasio

murni praktis yang dapat menjadi hukum universal dalam kehidupan manusia.

Otonomi kehendak manusia adalah kebebasan yang merdeka dan didasarkan pada

ajaran moral yang rasional. Kebebasan yang merdeka tentunya melibatkan

30

“The transcendental speculation of reason relates to three things: the freedom of the will, the

immortality of the soul, and the existence of God.” 31

“…if we take away by degrees from our conceptions of a body all that can be referred to mere

sensuous experience—colour, hardness or softness, weight, even impenetrability—the body will

then vanish; but the space which it occupied still remains…” 32

“…the proof of the continued existence of the soul after death…” 33

“The moral law, however, is conceived as objectively necessary, only because it holds for

everyone that has reason and will.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 161: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

146

Universitas Indonesia

tanggung jawab kepada orang lain sebagai hukum universal. Moralitas bertujuan

pada kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan kebahagiaan bagi hidup manusia,

baik secara personal maupaun secara sosial. Karena itu, otonomi kehendak

merupakan imperatif kategoris, yakni suatu keharusan tanpa syarat (Kant, 2010b:

32; 37). 34

Sedangkan, heteronomi kehendak merupakan imperatif hipotetis, yakni

suatu kewajiban yang bersyarat. Misalnya, saya wajib menyejahterakan rakyat,

karena saya adalah seorang menteri sosial dalam melaksanakan program-program

pemerintah yang telah menjadi undang-undang negara.

Adanya heteronomi kehendak tersebut, dalam kehidupan masyarakat

industrial dewasa ini Stanislaw Ossowski mengritik dikotomi dari Marx,

khususnya ideologi Marxisme, yang menjelaskan struktur sosial secara dikotomis:

kapitalis dan proletar. Atas dasar kritik itu, Svalastoga menemukan heteronomi

struktur sosial di dalam Manifesto Komunis, yaitu aristokrat, borjuis, borjuis

kecil, proletar dan proletar compang-camping (Svalastoga, 1989: 69-70). Dengan

demikian, kajian ontologis kodrat manusia diakhiri dengan pemikiran

Poedjawijatna yang menjelaskan tentang akhir dari manusia individual bahwa:

“Tiap manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini dengan matinya. Ini

pengalaman kita. … Waktu dan ruang sudah tak ada arti baginya, yang

berarti ialah hasil tugas yang telah dilakukan, tugas menjadi pribadi yang

baik, berwatak luhur, pengabdi masyarakat dan dunia yang setia, selalu

berjalan lurus kepada arah tujuannya. Manusia yang demikian itu akan

mendapat kebahagiaan sebagai orang yang telah mencapai tujuan

tugasnya. Ia puas karena dalam usahanya di dunia ini bertindak sebagai

manusia yang benar, manusia yang menerima tugas kemanusiaan”

(Poedjawijatna, 1987: 144-146).

Dengan demikian, pergeseran makna dikotomi eksistensial menuju

heteronomi eksistensial mengantarkan manusia kepada kebermaknaan penuh

manusia secara sosial yang terlibat di dunia. Kemudian, realitas sosial menjadi

arena yang menentukan manusia untuk menerima tugas kemanusiaan. Dalam

praktik menunaikan tugas kemanusiaannya, heteronomi eksistensial manusia

menimbulkan perbedaan sosial.

34

“… The moral law is an imperative, which commands categorically, because the law is

unconditioned…”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 162: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

147

Universitas Indonesia

Realitas sosial menjelaskan fenomena yang nyata di mana interaksi,

interelasi dan timbal balik antar manusia terjadi sebagai suatu kehidupan sosial.

Di dunia nyata ini kondisi manusia lekat pada situasi manusia dalam eksistensi

Tuhan. Eksistensi dan dunia merupakan realitas manusia. Secara ontologis realitas

diposisikan oleh Heidegger sebagai masalah being dan demonstrability dunia

eksternal (Heigedder, 1996: 187). Dalam realitas itu secara substansial manusia

atau dikenalkan oleh Heidegger dengan istilah Da-sein dimaknai dengan

eksistensi, tidak hanya “being-in-the-world” (Hegedder, 1996: 189).35

Sebagaimana yang dikatakan oleh Berger bahwa being pada realitas, yaitu

kualitas fenomena yang disadari manusia karena terlepas dari kehendaknya.

Berdasarkan pada data-data sosiologis empiris dan metode analisis

fenomenologis, Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa “kehidupan sehari-hari

merepresentasikan sebagai realitas yang diinterpretasikan oleh manusia dan

memiliki makna subyektif bagi manusia sebagai dunia yang koheren.36

Dalam

analisis humanistiknya, manusia adalah manusia, bukan non-manusia. Dengan

memosisikan manusia sebagai subyek, dunia kehidupan sehari-hari itu pada

dasarnya merupakan pikiran dan tindakan manusia sendiri sebagai fenomena yang

nyata. Oleh sebab itu, secara epistemologis realitas sosial mengalami

obyektivikasi dari proses dan makna subyektif yang hadir di mana dunia common-

sense intersubyektif dikonstruksi. Sebagai subyek, kesadaran manusia senantiasa

intensional, yakni terarah terhadap obyek. Obyeknya adalah masyarakat sebagai

bagian dari dunia manusia, yakni ciptaan manusia yang dihuni manusia, sehingga

eksistensi manusia terus-menerus berproses dalam historisitas. Dalam prosesnya

obyek yang berbeda merepresentasikan pada kesadaran sebagai konstituen

35

“An understanding of being belongs to the kind of being of the being which we call Da-sein.” ….

“The fact that beings having the kind of being of Da-sein cannot be comprehended in terms of

reality and substantiality has been expressed by thesis that the substance of human being is

existence.” 36

“Everyday life presents itself as reality interpreted by men and subjectively meaningful to them

as a coherent world.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 163: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

148

Universitas Indonesia

berbagai lingkungan realitas yang berbeda (Berger and Luckmann, 1991: 33;

35).37

Realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari yang hadir secara empiris di

dalam masyarakat adalah interaksi sosial. Berger dan Luckmann menegaskan

bahwa “dalam interaksi sosial pengalaman manusia yang terpenting adalah

interelasi dengan orang lain (others) yang berlangsung dalam situasi tatap

muka.”38

Dalam situasi tatap muka itulah orang lain dihadirkan pada waktu yang

jelas dan ruang yang sama. Dengan kata lain, dalam situasi tatap muka

subyektivitas orang lain terbuka kepada yang dijumpai melalui gejala maksimal.

Namun, tak dapat dihindari, dalam interaksi sosial orang lain dipahami dengan

skema tipikasi, yaitu sapaan orang lain untuk dipahami dan diperlakukan dalam

perjumpaan tatap muka.39

Misalnya, kenal orang lain dengan sapaan “orang

Baduy,” “orang Madura,” “orang Ahmadiyah,” “anggota FPI (Front Pembela

Islam),” “Ahok,” dan lainnya. Tipikasi itu menjadi semakin anonim ketika

semakin jarang interaksi sosial dalam situasi tatap muka. Adanya reproduksi

tipikasi yang memengaruhi relasi personal dalam interaksi sosial, menjelaskan

bahwa struktur sosial adalah esensi dari realitas kehidupan sehari-hari (Berger and

Luckmann, 1991: 35; 45; 48).40

Potensi obyektivikasi, menurut Berger dan Luckman, dapat diproduksi

oleh subyek sebagai ekspresitas manusia dalam kehidupan sehari-hari melalui

situasi tatap muka.41

Keimanan manusia terhadap Tuhannya dapat

diobyektivasikan dengan ekspresi religiusitas dalam memproduksi masjid, gereja,

candi, vihara atau tempat ibadah lainnya. Kebaikan manusia terhadap yang lain

dapat diobyektivasikan dengan ekspresi kemanusiaan dalam memproduksi

fasilitas-fasilitas publik, seperti sekolah, universitas atau lainnya. Sebaliknya,

37

“Different objects present themselves to consciousness as constituents of different spheres of

reality.” 38

“The most important experience of others takes place in the face-to-face situation, which is the

prototypical case of social interaction.” 39

“I apprehend the other by means of typificatory schemes even in the face-to-face situation, …” 40

“Social structure is an essential element of the reality of everyday life.” 41

“Human expressivity is capable of objectivation, that is, it manifests itself in products of human

activity that are available both to their producers and to other men as elements of a common

world.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 164: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

149

Universitas Indonesia

kemarahan atau kekerasan dapat diobyektivasikan dengan memroduksi senjata-

senjata tajam dan senjata-senjata perang, seperti pedang, rudal atau lainnya.

Obyektivikasi itu dalam pandangannya merupakan tanda yang diproduksi oleh

makna subyektif. Tanda-tanda itu selanjutnya diklasifikasikan menjadi sistem.

Oleh sebab itu, tanda dan sistem itu merupakan obyektivikasi yang dapat

diproduksi melampaui batas ekspresi subyek. Misalnya, Pasukan Brimob dan Tim

Patroli Polres Poso menemukan senjata api dan bom rakitan di tempat kejadian

perkara kontak senjata antara aparat kepolisian dengan kelompok terduga

pimpinan Santoso di perbatasan Desa Taunca, Poso Pesisir Selatan, Poso,

Sulawesi Tengah (Gatranews, 2014). Senjata api dan bom rakitan diproduksi

sebagai bukan sebagai tanda dan sistem pertahanan negara untuk menjaga

keamanan negaranya dan melindungi bangsanya, akan tetapi sebaliknya sebagai

tanda dan sistem tindakan terorisme. Selain itu, dengan bahasa manusia dapat

menciptakan simbolisme dan bahasa simbol yang merupakan konstituen esensial

dari realitas kehidupan sehari-hari dan dari penangkapan common sense tentang

realitas sosial (Berger and Luckmann, 1991: 49; 55).42

Oleh karena itu, fenomena

perbedaan sosial yang dikonstruksi di dalam budaya, agama, filsafat dan ilmu

pengetahuan merupakan ekspresi dari sistem simbol yang diproduksi oleh

manusia dalam kehidupan sosial.

A. Manusia dalam Kehidupan Sosial

Manusia sosial dapat menempatkan heteronomi eksistensialnya dalam

kehidupan yang didasarkan pada tiga dimensi kemanusiaan: peran manusia,

sosiologi pengetahuan, dan kelompok referensi.

Pertama, peran manusia di dalam masyarakat menimbulkan identitas baru

yang melekat pada perannya.43

Peran eksistensial manusia sosial di dalam

masyarakat beragam bentuknya, seperti peran profesional, peran rasial, peran

moralis, atau peran gender. Peran manusia sosial itu jelas berbeda dengan peran

secara biologis. Proses rekonstruksi manusia sosial dimulai sejak manusia

42

“Symbolism and symbolic language become essential constituents of the reality of everyday life

and of the common-sense apprehension of this reality.” 43

“Every role in society has attacted to it a certain identity.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 165: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

150

Universitas Indonesia

dilahirkan di dalam kehidupan masyarakat. Proses itu di mana “anak menemukan

siapa dirinya ketika belajar memainkan peran, “mengambil peran the other,” di

dalam masyarakat.”44

Dalam proses itu manusia sosial mengalami significant

others dan generalized other. Significant others adalah “seseorang yang berelasi

dengan orang lain secara intim dan sikap orang lain itu menentukan bentuk

konsepsi dirinya sendiri”.45

Sementara itu, generalized other adalah orang lain

pun turut menuntut menjadi baik, bersih dan dapat dipercaya, selain orang tuanya

sendiri. Oleh karenanya, identitas merupakan rekognisi sosial, bukan sesuatu yang

given (Berger, 1966: 115-117).46

Kedua, sosiologi pengetahuan menjelaskan bahwa eksistensi manusia

sosial ditentukan oleh ide-ide. Bahkan, pemikiran abstrak juga ditentukan oleh

konteks sosial. Misalnya, “kata siapa” bahwa konflik Poso disebabkan

fundamentalisme Islam. “Kata siapa” menandakan adanya pemikiran yang

menjelaskan realitas sosial yang terjadi di wilayah Poso. Adanya realitas sosial

itu, ideologi, menurut Berger, merupakan ide tertentu yang berfungsi sebagai

kepentingan tertanam di dalam masyarakat.47

Oleh sebab itu, ideologi dapat

memberikan legitimasi bagi tindakan kolektivitas manusia. Bahkan, ideologi

menginterpretasikan realitas sosial sedemikian rupa hingga justifikasi dibuat

masuk akal.48

Sosiologi agama merupakan salah satu bidang dari sosiologi

pengetahun yang berhasil mengamati fenomena agama. Weber dalam teodisi,

misalnya, menjelaskan bagaimana agama memaknai penderitaan dengan

mengubah sumber revolusi menjadi alat penembusan. Hal itu menununjukkan

bahwa universalitas agama dapat dijelaskan dalam fungsi sosial. Bahkan,

perubahan pola agama dalam perjalanan historis dapat diinterpretasikan dalam

perspektif sosiologis. Berger memberikan contoh, aktivitas religious menunjukkan

status kelas menengah, sebaiknya tidak aktif dalam religiusitas menjadi karakter

44

“The child finds out who he is as he learns what society is. He learns to play roles properly

belonging to him by learning, …„to take the role of the other.‟” 45

“… person who deal with him intimately and whose attitudes are decisive for the formation of

his conception of himself.” 46

“Identity is not something „given‟, but is bestowed in acts of social recognition.” 47

“An ideology when a certain idea serves a vested interest in society.” 48

“The ideology interprets social reality in such a way that the justification is made plausible.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 166: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

151

Universitas Indonesia

kelas pekerja. Dalam realitas sosial seperti itu individu berpandangan dunia secara

sosial sebagaimana menderivasi peran dan identitasnya. Realitas sosial itu sebagai

world taken for granted, yakni sistem asumsi yang tampak evidensi dan validasi

dengan sendirinya mengenai dunia yang dihasilkan dalam perjalanan historis.

Dengan begitu, eksistensi, pandangan dunia dan aturan pengalaman manusia

diinterpretasikan oleh masyarakat melalui aparatus simbolik fundamental (Berger,

1966: 130; 134; 136).

Ketiga, eksistensi manusia sosial ditentukan oleh kolektivitas, yang

dijelaskan dalam teori kelompok referensi. Berger mengartikan kelompok

referensi adalah “opini, keyakinan, dan tindakan kolektivitas yang menentukan

opini, keyakinan dan tindakan mereka sendiri” (Berger, 1966: 137).49

Istilah kunci yang dipergunakan oleh sosiologi untuk mengacu kepada

fenomena relasi manusia adalah internalisasi. Apa yang terjadi di dalam

sosialisasi adalah bahwa dunia sosial diinternalisasikan di dalam diri anak. Proses

yang sama, meskipun mungkin lebih lemah dalam kualitasnya, terjadi setiap

waktu orang dewasa itu diinisiasi ke dalam konteks sosial baru atau kelompok

sosial baru. Dengan demikian, masyarakat tidak saja sesuatu “di luar sana”, akan

tetapi juga “di dalam sini”, sebagian diri kita yang paling dalam. Hanya

pemahaman internalisasi memberikan arti terhadap fakta yang luar biasa bahwa

banyak sekali kontrol eksternal seringkali berlangsung bagi sangat banyak orang

di dalam masyarakat. Masyarakat tidak saja mengontrol gerakan kita, tetapi

membentuk identitas kita, pikiran kita dan emosi kita. Konstruksi sosial dalam

masyarakat menjadi kesadaran kita sendiri. Masyarakat tidak berhenti di

permukaan kulit kita. Masyarakat menembusi diri kita sekuatnya masyarakat

menutupi kita. Perbudakan kita kepada masyarakat lebih-lebih dibangun karena

perbenturan daripada oleh penaklukan. Memang, kadang-kadang kita dibanting

untuk takluk. Juah lebih sering lagi kita terjebak oleh hakikat sosial kita sendiri.

Dinding kepenjaraan kita sudah ada sebelum kita tampil ke panggung, tetapi

49

“Collectivity whose opinions, convictions and courses of action are decisive for the formation of

our opinions, convictions and courses of action.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 167: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

152

Universitas Indonesia

dinding-dinding itu senantiasa dibangun kembali oleh diri kita sendiri. Kita

dikhianati dan terpenjara dengan kerja sama dari pihak diri sendiri.

Di dalam konteks kebangsaan, mengacu pada Undang-Undang Dasar

1945, konsepsi itu sesuai dengan keberadaan dan pengamalan sila pertama dan

sila kedua Pancasila di dalam kehidupan sosial. Pancasila sebagai ideologi bangsa

memosisikan eksistensi Tuhan di dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha

Esa.” Sila kedua “kemanusian yang adil dan beradab” diposisikan sebagai

eksistensi manusia. Positioning kedua sila tersebut pada bangsa Indonesia bukan

didasarkan pada stratifikasi sosial, akan tetapi diferensiasi sosial. Manusia

Indonesia tidak hanya mengakui jiwa dan tubuh sebagai warga negara yang

memiliki kebebasan berkehendak dan otonomi, akan tetapi juga bebas meyakini

adanya Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam kenyataannya kebebasan

manusia itu terus menerus mereproduksi konflik sosial dalam nuansa agama dan

etnik. Kepedulian negara untuk mengolah konflik yang tak dapat dihindari, maka

dikonstruksi sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bukan

memaksakan sila ketiga “persatuan Indonesia”.

Konflik benar menjadi permasalahan pada manusia sosial ketika tindakan

konflik merusak eksistensi manusia dalam masyarakat multikultur. Masyarakat

multikultur merupakan identitas bangsa Indonesia (Poespowardojo, 1991: 97).

Ada tiga ratus lebih etnik yang dianut oleh masyarakat Indonesia, antara lain Bali,

Baduy, Betawi, Batak, Bugis, Dayak, Madura, Jawa, Sunda dan Tionghoa. Ada

enam agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik,

Hindu, Budha dan Konghucu. Selain itu, ada ratusan aliran kepercayaan yang

dianut oleh masyarakat etnik dan agama, namun tidak diakui oleh negara sebagai

agama. Bahkan, sebagai produk negara, lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI)

menetapkan bahwa “aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan

menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari

Islam).50

50

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran

Ahmadiyah.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 168: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

153

Universitas Indonesia

Ketiadaan rekognisi apalagi resistensi negara dan masyarakat terhadap

eksistensi umat beragama dan etnik melebarkan konflik menjadi terbuka di mana

terjadi kekerasan dan terorisme. Padahal, identitas dan ideologi yang tertanam di

dalam kehidupan sosial umat beragama dan etnik membutuhkan rekognisi sosial.

Konflik yang seringkali terjadi di negara Indonesia adalah konflik identitas dalam

nuansa etnik, misalnya konflik Sampit, Kalimantan Tengah, pada tahun 2001.

Konflik Sampit diawali dengan tindakan pembakaran rumah warga di jalan Padat

Karya, Sampit. Pelaku pembakaran diduga adalah warga etnik Madura. Tindakan

pembakaran itu dibalas dengan serangan warga etnik Dayak. Tindakan saling

serang antar dua etnik tersebut mengakibatkan pembunuhan ratusan jiwa manusia

Sampit (Alexander, 2005: 6).

B. Fenomena Sosial dalam Manusia

Fenomena sosial dalam manusia merefleksikan adanya tiga dimensi sosial

yang memenjarakan manusia di dalam kehidupan masyarakat, yaitu kontrol sosial,

stratifikasi sosial, dan pelembagaan. Pertama, kontrol sosial merupakan instrumen

yang difungsikan oleh negara untuk mengembalikan warganya kepada peraturan

yang telah ditentuknya jika ada penyelewengan atau penyimpangan (Berger,

1966: 83).51

Metode kontrol yang diterapkan beragam sesuai dengan tujuan dan

sifat masyarakat yang terkait. Bahkan, mekanisme kontrol sosial berfungsi

sebagai penyingkiran orang-orang yang tidak diharapkan. Misalnya, penyingkiran

komunitas minoritas jamaah Ahmadiyah di wilayah Cikeusik, Pandeglang,

Banten, dengan argumentasi yang didasarkan pada fatwa Majlis Ulama Islam

(MUI) supaya komunitas Islam mayoritas tidak dicemari oleh aliran sesat.

Kekerasan fisik tak dapat dihindari dari sistem kontrol sosial itu. Oleh sebab itu,

kepolisian dan militer sebagai instrumen kekuatan yang bersenjata senantiasa

difungsikan oleh negara sebagai sistem kontrol.

Kekerasan yang diperankan oleh sistem negara terhadap warganya tak

dapat dihindari. Kenyataan sosial tersebut menjelaskan bahwa “kekerasan adalah

51

“It refers to the various means used by a society to being its recalcitrant members back into

line.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 169: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

154

Universitas Indonesia

landasan dasar paling akhir pada tiap tatanan politik.”52

Kekerasan seharusnya

tidak boleh direproduksi oleh sistem negara. Dalam negara demokrasi kekerasan

dapat diminamalkan dengan tekanan ideologis pada kepatuhan sukarela terhadap

peraturan legislatif (Berger, 1966: 84). Kekerasan sebagai instrumen kontrol

terakhir dalam urusan politik dan hukum, juga tekanan ekonomi. Selain itu, sistem

kontrol sosial yang menekankan seorang tokoh, ahli atau figur kharismatik adalah

moralitas, adat istiadat dan sopan santun.

Kedua, sosialitas manusia dalam stratifikasi sosial terdapat pada realitas

sosial yang mempunyai sistem tingkatan (system of ranking). Berger memberikan

konsep stratifikasi yang didasarkan pada realitas masyarakat yang terdiri dari

tingkatan-tingkatan yang saling berelasi antara superordinasi dan subordinasi,

dalam kekuasaan, privilese atau prestise”.53

Stratifikasi sosial beragam sesuai

dengan kriteria masyarakat yang berbeda. Misalnya, stratifikasi pada strata

masyarakat Hindu tradisional berbeda dengan stratifikasi pada masyarakat modern

industrial. Dalam masyarakat modern stratifikasi sosial yang paling banyak

dipraktekkan adalah sistem kelas (class system) yang menentukan posisi manusia

dalam kriteria ekonomi. Kelas yang didefinisikan oleh Weber berkaitan dengan

harapan manusia dalam kehidupan, yakni “kepemilikan individual yang

memungkinkan secara rasional” (Berger, 1966: 94-95).54

Posisi kelas sosialitas

manusia menentukan kemungkinan kepemilikan pada benda-benda material dan

fasilitas publik yang ada. Posisi kelas individual menentukan akses pada fasilitas

publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Misalnya, fasilitas kesehatan ditentukan

oleh tinggi atau rendahnya pendapatan dari pekerjaan seseorang.

Ketiga, institusionalisasi merupakan kompleksitas tindakan sosial yang

distingtif dalam sosialitas manusia. Lebih jelas, Arnold Gehlen mengatakan

bahwa “institusi sebagai agensi regulator, menyalurkan tindakan-tindakan

52

“Violence is the ultimate foundation of any political order.” 53

“…any society will consist of levels that relate to each other in terms of super ordination and

subordination, be in in power, privilege and prestige.” 54

“…an individual may reasonably have.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 170: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

155

Universitas Indonesia

manusia dengan cara sebagaimana naluri menyalurkan perilaku binatang”.55

Pemikiran Gehlen menjelaskan bahwa institusi sebagai prosedur yang memberi

pola pada tindakan manusia, yang dipaksakan berjalan, di dalam alur yang

dianggap patut oleh masyarakat. Misalnya, institusi pernikahan bagi pemuda dan

pemudi yang sedang berpacaran disamakan dengan naluri kucing melihat tikus.

Jika kucing melihat tikus muncul naluri makan, makan dan makan, maka pemuda

dan pemudi yang sedang pacaran memunculkan tindakan kawin, kawin dan

kawin. Jika naluri kucing dan tikus merupakan kodrat sejak lahir, maka tindakan

pemuda dan pemudi yang pacaran itu telah diindoktrinasikan oleh norma adat

istiadat, pendidikan moral, agama, media massa dan iklan. Bahkan, dikatakan oleh

Berger bahwa institusi menghilangkan pilihan lain dari kesadaran manusia.56

Dengan demikian, struktur institusional dalam sosialitas manusia memberikan

tipologi tindakan pada eksistensi warganya. Sosialitas manusia, bagi Berger,

adalah entitas historis yang merentang secara temporal di luar jangkauan biografi

individual.57

Dengan kata lain, sosialitas manusia tak lain hanya merupakan

dinding kepenjaraan eksistensi manusia di dalam sejarah (Berger, 1966: 104-105;

109).

Oleh karena itu, kondisi sosial dalam manusia menjelaskan kesadaran

“heteronomi” yang diungkapkan dalam sebutan “mereka” dari “kami” dalam

kehidupan sehari-hari. Sebutan “mereka” sebenarnya adalah sistem kekuasan atau

prestise, bukan individu atau kelompok tertentu. “Mereka” itulah yang mengatur,

menentukan dan membuat peraturan (Berger, 1966: 82).58

Misalnya, konflik

identitas merupakan konflik yang diproduksi oleh sebutan “mereka” pada salah

satu pihak di antara individu atau masyarakat yang terlibat konflik.

55

“An institution is commonly defined as a distinctive complex of social actions. …an institution

as a regulatory agency, channeling human actions in much the same way as instincts channel

animal behavior.” 56

“It even bars these other options from his consciousness.” 57

“Society is an historical entity that extends temporally beyond any individual biography.” 58

“They‟ have things fixed in a certain way, „they‟ call the tune, „they‟ make the rules.”

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 171: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

156

Universitas Indonesia

5.4 Ikhtisar

Dalam bab kelima ini, dapat diikhtisarkan bahwa kondisi inhuman

eksistensi manusia akibat konflik sosial harus diolah di dalam masyarakat

multikultur yang melibatkan negara sebagai komunitas politik, masyarakat

sebagai komunitas sosial, dan individu sebagai warga negara. Partisipasi ketiga

unsur pengolah konflik sosial harus bekerja sama secara sinergis dan dinamis.

Pengolahan konflik sosial melalui dialog budaya dilakukan dengan dua tindakan

yang berbasis pada pandangan universalisme pluralis, yaitu dialog antarbudaya

dan rekognisi sosial. Dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik dan rekognisi

sosial sebagai peredam konflik. Dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik

untuk memberikan penyelesaikan konflik dengan tindakan antikekerasan dalam

kehidupan religius dan penjaga lingkungan hidup dalam kehidupan etnik

Selanjutnya, bila terjadi misrekognisi dalam dialog, maka rekognisi sosial sebagai

peredam konflik dapat dilakukan dalam proyek perdamaian yang seharusnya

melibatkan partisipasi penuh masyarakat, bukan hanya mengharapkan intervensi

negara. Tanpa partisipasi individu dalam rekognisi sosial mengakibatkan dialog

yang diskriminatif dan hegemonik di mana ada tindakan pengabaian identitas

sosial yang beda di dalam masyarakat multikultur. Rekognisi sosial seharusnya

diiringi dengan redistribusi untuk perlakuan yang setara dan menegakkan keadilan

sosial.

Dari dialog budaya tersebut, dapat ditemukan kembali harmoni manusia

sosial dari perilaku sosial seseorang mengolah konflik sosial melalui pemahaman

manusia dalam kehidupan sosial dan fenomena sosial dalam manusia. Refleksi

kritis atas manusia dalam kehidupan sosial dan fenomena sosial dalam manusia

merupakan perubahan dari dikotomi eksistensial menjadi heteronomi eksistensial

manusia. Konflik tanpa penyelesaian diakibatkan oleh dikotomi eksistensial

manusia. Sebaliknya, penyelesaian konflik dapat ditemukan di dalam heteronomi

eksistensial manusia. Harmoni manusia secara sosial ditemukan kembali dengan

memosisikan kembali harkat dan martabat manusia pada kesadaran heteronomi

eksistensial, yang mewajibkan penggunaan nilai-nilai etis di dalam relasi manusia.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 172: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

157

Universitas Indonesia

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Pengolahan konflik melalui dialog budaya merupakan sebuah temuan dari

penelitian ini. Temuan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, tepat dan benar bahwa dalam perilaku sosial seorang manusia

dapat memunculkan konflik di dalam masyarakat multikultur. Konflik muncul

dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan pada diri seorang manusia dalam

menginterpretasikan pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda. Kedua,

dari ketepatan dan kebenaran yang nyata tersebut, ada politik keseragaman dan

keegoisan individual pada fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik yang

diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Konflik

sosial nuansa agama dan enik diproduksi, karena negara menerapkan politik

keseragaman melalui identitas nasional, klaim kebenaran pandangan moral dan

budaya, serta keseragaman sosial masyarakat multikultur. Di samping itu, konflik

nuansa agama dan etnik diproduksi berkaitan dengan karakter manusia dalam

perilaku sosial, yaitu keegoisan individual yang menentang kepentingan diri.

Keegoisan individual itu menyebabkan derita orang lain.

6.2 Catatan Kritis

Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, ada dua catatan kritis.

Pertama, secara teoritis dalam multikulturalisme Bhikhu Parekh telah

ditemukan dua pemikiran filosofis, dialog menurut Gadamer dan rekognisi

menurut Taylor. Dua pemikiran filosofis tersebut sangat signifikan dalam

pemahaman multikulturalisme Parekh. Signifikansinya dialog antarbudaya

dipahami sebagai bentuk percakapan langsung antarindividu dalam ruang publik

dengan menggunakan bahasa publik. Rekognisi sosial dibutuhkan untuk meredam

konflik jika terjadi misrekognisi. Selain itu, rekognisi sosial harus diiringi dengan

redistribusi untuk mewujudkan solidaritas, kesetaran, dan keadilan.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 173: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

158

Universitas Indonesia

Kedua, secara praktis implementasi regulasi penanganan konflik sosial

membutuhkan perspektif multikulturalisme Parekh. Dialog dalam penanganan

konflik sosial selama ini hanya dilakukan secara formalitas antara negara dan

perwakilan daerah yang berkonflik, tanpa melibatkan langsung individu-individu

yang mengalami konflik, tanpa percakapan langsung dengan bahasa publik di

dalam ruang publik. Sebaliknya, dialog perdamaian selama ini dilakukan di luar

daerah yang mengalami konflik.

Dari dua catatan kritis di atas, penelitian ini menampakkan kelemahannya

pada kekurangdalaman eksplorasi filosofis dalam menjelaskan dialog antarbudaya

dalam pemikiran Gadamer dan rekognisi sosial dalam pemikiran Taylor. Oleh

karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan lebih kritis

filosofis mengenai dialog dan rekognisi dalam filsafat.

6.3. Kontribusi dalam Kehidupan Sosial Kekinian

Berdasarkan pemahaman multikulturalisme Bhikhu Parekh dalam

pengolahan konflik sosial di Indonesia, ada sebuah kontribusi dalam kehidupan

sosial kekinian, yaitu pembentukan komunitas subkultural dengan identitas

kolektif. Komunitas subkultural ini merupakan refleksi kritis atas interpretasi

identitas kolektif yang menaungi identitas individual, sosial, dan nasional.

Identitas kolektif dibutuhkan untuk menolak identitas nasional yang

membungkam kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Komunitas subkultural dengan identitas kolektif sebagai mediator

penyelesaian konflik sosial di dalam masyarakat multikultur. Komunitas

subkultural ini sebagai representasi dari warga negara yang meyakini agama dan

kepercayaan yang dijamin oleh negara. Dalam perilaku sosial, komunitas

subkultural ini mampu menyadari dan mengubah sudut pandang bahwa semua

manusia membutuhkan “kebersamaan yang setara dan adil” dari perbedaan

pandangan moral dan budaya. Dengan perubahan sudut pandangan ini, diharapkan

seluruh gerakan sosial budaya turut berpartisipasi di dalam aktivitas komunitas

subkultural ini.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 174: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

159

Universitas Indonesia

GLOSARIUM

Agama : Suatu doktrin yang diyakini dan dipraktikkan

oleh penganutnya berdasarkan wahyu.

Budaya : Suatu sistem makna dan arti yang dibuat secara

historis yang diyakini dan dipraktikkan secara

individual dan kolektif di dalam kehidupan

bersama.

Etnik : Suatu doktrin yang diyakini dan dipraktikkan

oleh penganutnya berdasarkan adat istiadat.

Identitas : Suatu rasa kesamaan atau kesatuan personalitas

atau otentisitas.

Keragaman budaya : Dua atau lebih komunitas yang meyakini dan

mempraktikkan sistem makna dan arti secara

historis di dalam kehidupan bersama.

Konflik : Suatu gangguan pikiran pada seorang individu,

baik secara internal maupun eksternal.

Manusia : Makhluk yang tertanam secara budaya.

Moral : Jenis kehidupan yang layak dijalani, aktivitas

yang layak dikerjakan, dan bentuk relasi

manusia yang layak diolah.

Masyarakat multikultur : Keragaman komunal yang mencakup dua atau

lebih komunitas budaya.

Mulitikultur : Fakta keragaman budaya.

Multikulturalisme : Sebuah perspektif yang mengacu pada respons

normatif terhadap fakta keragaman budaya.

Rekognisi : Pengakuan identitas komunitas budaya yang

termarginalkan dan direndahkan

Dialog : Percakapan langsung antarpersonal secara

tatap muka dengan bahasa umum di dalam

ruang publik.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 175: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

160

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

A. Konstitusi dan Regulasi

Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice.

1945. San Fransisco.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang

Aliran Ahmadiyah.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Undang-Undang Dasar 1945.

Universal Declaration of Human Rights. 1948.

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

B. Buku

Abdullah, Masykuri. 2003. “Toleransi Beragama dalam Masyarakat Demokrasi

dan Multikultural.” Konflik Komunal di Indonesia Saat ini. Suaidi Asy‟ari

(terj.). Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Adam, Kuper dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Haris

Munandar, et.al. (terj.). Ed. I. Cet. I Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Arendt, Hannah. 1970. On Violence. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.

_____________. 1998. The Human Condition. Originally published: Chicago:

The University of Chicago Press, 1959. Second Ed. Chicago: The

University of Chicago Press.

Aristotle. 1999. Politics. Benjamin Jowett (trans.). Kitchener: Batoche Books.

_______. 1999. Nicomachean Ethics. W.D. Ross (trans.). Kitchener: Batoche

Books.

Aspin, David. 2000. “A Clarification of Some Key Terms in Values Discussions.”

Mal Leicester, Celia Modgil and Sohan Modgil (eds.). Moral Education

and Pluralism. Vol. IV. London: Palmer Press.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 176: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

161

Universitas Indonesia

Berger, Peter L. 1966. Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective.

England: Penguin Book Ltd.

____________. 1967. The Sacred Canopy: Elements of Sociology Theory of

Religion. New York: Doubleday & Company, Inc.

____________ and Thomas Luckmann. 1991. The Social Construction of Reality:

A Treatise in the Sociology of Knowledge. England: Penguin Book Ltd.

Bhattacherjee, Anol. 2012. Social Science Research: Principles, Methods and

Practices. Florida: USF Tampa Bay Open Access Textbooks Collection.

Buchanan, Cate (ed.). 2001. Pengelolaan Konflik di Indonesia: Sebuah Analisis

Konflik di Maluku, Papua dan Poso. Jakarta: LIPI, Current Asia and the

Centre for Humanitarian Dialogue.

Burke, Peter. 1992. Sejarah dan Teori Sosial. (terj.) Jakarta: Yayasan Pustaka

obor Indonesia dan Adikarya IKAPI Program Pustaka.

Campbell, Tom. 1981. Seven Theories of Human Society. Oxford: Clarendon

Press.

Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California:

Stanford University Press.

Darlis, Andi Muh. 2012. Konflik Komunal: Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso.

Yogyakarta: Buku Litera.

Derrida, Jacques. 2009. The Beast and the Sovereigns. Michel Lisse, Marie-

Louise Mallet, and Ginette Michaud (ed.). Geoffrey Bennington (trans.).

Vol. I. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Dewey, John. 1922. Human Nature and Conduct: An Introduction to Social

Psychology. New York: Henry Holt and Company.

Durkheim, Émile. 2005. The Dualism of Human Nature and its Social Conditions.

Oxford: Berghahn Journals.

Eller, Jack David. 2010. “What is Atheism?” Phil Zuckerman (ed.). Atheism and

Secularity. Vol. 1 & 2. California: Greenwood Publishing Group.

Fink, Hans. 1981. Social Philosophy. New York: Methuen.

Furnivall, J.S. 1948. Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of

Burma and Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press.

___________. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge:

Cambridge University Press.

Fromm, Erich. 2002. The Sane Society. London and New York: Routledge

Classics.

Gadamer, Hans-Georg. 1989. “Destruktion and Deconstruction.” Michelfelder,

Diane P. dan Richard E. Palmer (ed.). Dialogue and Deconstruction: The

Gadamer-Derrida Encounter. Geoff Waite and Richard E. Palmer (trans.)

Albany: State University of New York.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 177: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

162

Universitas Indonesia

__________________. 2004. Truth and Method. First published 1975: second

edition 1989. New York: Continuum International Publishing Group.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Habermas, Jürgen. 1971. “Knowledge and Human Interests: A General

Perspective.” Knowledge and Human Interests. Jeremy J. Shapiro (trans.).

Boston: Beacon Press.

________________. 1991. The Structural Transformation of the Public Sphere:

An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Thomas Burger (trans.).

Cambridge, Massachusetts: The MIT Press.

Hardiman, F. Budi, 2012. Humanisme dan Sesudahnya: Meninjau Ulang Gasasan

Besar tentang Manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Haryatmoko. 2012. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hefner, Robert W. 2001. “Introduction: Multiculturalism and Citizenship in

Malaysia, Singapore, and Indonesia.” Hefner, Robert W. (ed). The Politics

of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore

and Indonesia. Honolulu: University of Hawai‟i Press.

Heidegger, Martin. 1982. The Basic Problems of Phenomenology. Albert

Hofstadter (trans.). Revised Edition. Bloomington & Indianapolis: Indiana

University Press.

_______________. 1996. Being And Time. Joan Stambaugh (Trans.) Albany:

State University of New York Press.

_______________. 2004. The Phenomenology of Religious Life. Matthias Fritsch

and Jennifer Anna Gosetti-Ferencei (trans.). Bloomington and

Indianapolis: Indiana University Press.

Jacob, T., 1992. Polemologi: Bacaan tentang Perang dan Damai. Jakarta: Balai

Pustaka.

Jary, David & Julia Jary, 1991. Collins Dictionary of Sociology. Great Britain:

HarperCollinsPublishers.

Jolasa, Vincent Yohanes. 2009. “Bahasa dan Paradigma Teori Kritis dan

Komunikasi Interkultural.” A. Setyo Wibowo (ed.). Manusia: Teka-Teki

yang Mencari Solusi. Yogyakarta: Kanisius.

Jowett, Benjamin. 1885. The Politics of Aristotle. Vol. II, Part 1. London: Oxford

University Press.

Kant, Immanuel. 2010a. The Critique of Practical Reason. Thomas Kingsmill

Abbott (trans.). The Pennsylvania State University: An Electronic Classics

Series Publication.

_____________. 2010b. The Critique of Pure Reason. J. M. D. Meiklejohn

(trans.). The Pennsylvania State University: An Electronic Classics Series

Publication.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 178: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

163

Universitas Indonesia

Iannone, A. Pablo. 2001. Dictionary of World Philosophy. London and New

York: Routledge.

Kekes, John. 1993. The Morality of Freedom. Princeton: Princeton University

Press.

Kymlicka, Will. 1991. Liberalism, Community and Culture. First published 1989.

New York: Oxford University Press Inc.

____________. 1995. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority

Rights. New York: Oxford University Press Inc.

Leahy, Louis. 1984. Manusia, Sebuah Misteri: Sintesis Filosofis tentang Makhluk

Paradoksal. Jakarta: PT Gramedia.

Lebang, Tomi. 2007. Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika: Sari

Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Levy, Sheldon G. 1999. “Mass Conflict and the Participants, Attitudes toward.”

Lester Kurtz (ed.). Encyclopedia of Violence, Peace & Conflict. Vol. 2.

San Diego: Academic Press.

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-Butir Pemikiran

Kritis. Suwandi S. Brata (ed.). Cet. I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

___________________. 1999. Berfilsafat dari Konteks. Cet. III. Y. Priyono

Utomo (ed.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

___________________. 2003. “Faktor-faktor yang Mendasari Terjadinya Konflik

Antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia: Pencegahan dan

Pemecahan.” Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Seri INIS XLI.

Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah.

Mannheim, Karl. 1952. Essay on Sociology of Knowledge. London: Routledge &

Kegan Paul Ltd.

Marcuse, Herbert. 1964. One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of

Advanced Industrial Society. Boston: Beacon Press.

Marshall, Donald G. “On Dialogue to its Cultured Despisers.” 2004. Bruce

Krajewski (ed.). Gadamer's Repercussions: Reconsidering Philosophical

Hermeneutics. California: University of California Press.

Moran, Dermot. 2000. Introduction to Phenomenology. London and New York:

Routledge.

Nelson-Pallmeyer, Jack. 2005. Is Religion Killing Us? Violence in the Bible and

the Quran. New York: The Continuum International Publishing Group.

Noerhadi, Toeti Heraty. 1984. Aku dalam Budaya: Suatu Telaah Filsafat

mengenai Hubungan Subyek-Obyek. Cet. I. Jakarta: Pustaka Jaya.

Parekh, Bhikhu. 1982. Marx’s Theory of Ideology. Baltimore and London: The

John Hopkins University Press.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 179: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

164

Universitas Indonesia

_____________. 1989. Colonialism, Tradition and Reform: An Analysis of

Gandhi’s Political Discourse. Revised Edition. New Delhi: Sage

Publications.

_____________. 1997. Gandhi: A Very Short Introduction. New York: Oxford

University Press.

_____________. 2000. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and

Political Theory. London: Mcmillan Press Ltd.

_____________. 2004. “Redistribution or Recognition? A Misguided Debate.”

Stephen May, Tariq Modood and Judith Squires (ed.) Ethnicity,

Nationalism and Minority Rights. Cambridge: Cambridge University

Press.

_____________. 2008. A New Politics of Identity: Political Principles for an

Interdependent World. New York: Palgrave Macmillan Press.

Poespowardojo, Soerjanto. 1983. “Menuju kepada Manusia Seutuhnya.”

Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens (red.) Sekitar Manusia: Bunga

Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta: PT Gramedia.

_______________________. 1989. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan

Filosofis, Jakarta: PT Gramedia.

_______________________. 1991. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan

Sosio-Budaya. Jakarta: PT Gramedia.

Poedjawijatna, I.R. 1987. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Cet. IV.

Jakarta: Bina Aksara.

_______________. 1994. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Cet. IX. Jakarta:

PT Rineka Cipta.

Popper, Karl. 2002. The Logic of Scientific Discovery. Logik der Forschung first

published 1935 by Verlag von Julius Springer, Vienna, Austria. London

and New York: Routledge Classics.

Plato. The Republic. http://www.idph.net, diunduh pada tanggal 27 Juni 2012.

____. 1999. Euthyphro. Trans. Benjamin Jowett. Pennsylvania State University:

An Electronic Classics Series Publication.

____. 1999. Phaedrus. Trans. Benjamin Jowett. Pennsylvania State University:

An Electronic Classics Series Publication.

Purwanto, Wawan H. 2011. Cikeusik Tragedy: A Lesson from Ahmadiyah Case.

Jakarta: CMB Press.

Ratnawati, Tri. 2003. “Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis

Politis.” Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Suaidi Asy‟ari (terj.).

Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Rawls, John. 1999. A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: The Belknap

Press of Harvard University Press.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 180: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

165

Universitas Indonesia

Sartre, Jean-Paul. 1957. Being and Nothingness. Hazel Barnes (trans.). London:

Methuen.

Steenbrink, Karel. 2003. “Apakah Kajian Perbandingan Dapat Membantu?

Dekade Bencana Yugoslavia Dilihat dari Perspektif Indonesia. Konflik

Komunal di Indonesia Saat Ini. Suaidi Asy‟ari (terj.). Jakarta: INIS

Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Alimandan (terj.). Jakarta: Bina

Aksara.

Tantular, Mpu. 2009. Kakawin Sutasoma. Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho

Bramantyo (terj.). Jakarta: Komunitas Bambu.

Taylor, Charles. 1994. “The Politics of Recognition.” Gutmann, Amy (ed.).

Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Expended

edition: Multiculturalism and the Politics of Recognition, 1992. Princeton:

Princeton University Press.

Teichmann, Jenny. Etika Sosial: A Student’s Guide. A. Sudirja, SJ (terj.)

Yogyakarta: Kanisius.

Tylor, Edward Burnett. 1871. Primitive Culture: Researches into the Development

of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom. Vol.1. London: John

Murray, Albemarle Street.

Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. Hairul

Salim H.S. (ed.). Cet. I. Yogyakarta: LKiS.

Weir, Todd H. 2012. “The Riddle of Monism: An Introductory Essay.” Todd H.

Weir (ed.). Monism: Science, Philosophy, Religion, and the History of a

World Worldview. New York: Palgrave Macmillan.

C. Jurnal, Makalah, dan Laporan Penelitian

Alexander, Robert. 2005. “Konflik Antar Etnis dan Penanggulangannya: Suatu

Tinjauan Kriminologi dalam Kasus Kerusahan Etnis di Sampit Kalimantan

Tengah.” Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Coser, Lewis A. 1957. “Social Conflict and the Theory of Social Change.” The

British Journal of Sociology. Vol. 8, No. 3, hlm. 197-207.

Dahrendorf, Ralf. 1958. “Toward a Theory of Social Conflict”. The Journal of

Conflict Resolution, Vol. 2, No. 2 (Jun), p. 170-183. Sage Publications,

Inc.

Dallmayr, Fred R. 2003. “Multiculturalism and the Good Life: Comments on

Bhikhu Parekh”. The Good Society. Journal. Vol. 12. No. 2. University

Park, PA: The Pennsylvania State University.

Fisher, Ron. 2000. Sources of Conflict and Methods of Conflict Resolution

International Peace and Conflict Resolution School of International

Service the American University. Revisi. http://www.ulstergaa.ie/wp-

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 181: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

166

Universitas Indonesia

content/uploads/coaching/team-management-2012/unit-3/sources-of-

conflict-and-methods-of-resolution.pdf diunduh pada tanggal 21 Oktober

2014.

Hendrajaya, Lilik, dkk. 2010. “Ragam Konflik di Indonesia: Corak Dasar dan

Resolusinya”. Laporan Akhir. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan

Kementerian Pertahanan RI.

KontraS. 2012. Laporan Pemantauan Pemolisian & Hak atas Berkeyakinan,

Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor,

Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman

Yasmin). Jakarta: KontraS.

Kasim, Ifdhal, dkk. 2005. “Tutup Buku dengan „Transitional Justice‟? Menutup

Lembaran Hak Asasi Manusia 1999-2004 dan Membuka Lembaran Baru

2005”. Laporan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

(ELSAM).

Meliono, Irmayanti. 2009. “Membangun Kesadarn Etis dan Persepsi Multikultural

pada Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia”. Jurnal Etika. Vol. 1, No. 2,

November, hlm. 280-293.

Pamuji, M. Nanang, dkk. 2008. “Success Story Mekanisme Komunitas dalam

Penanganan dan Pencegahan Konflik: Studi Kasus di Desa Wayame

(Ambon) dan Desa Tangkura (Poso)”. Laporan Penelitian. Jakarta: Institut

Titian Perdamian dan FES in Indonesia.

Preiss, Joshua Broady. 2011. “Multiculturalism and Equal Human Dignity: An

Essay on Bhikhu Parekh.” Res Publica. A Journal of Moral, Legal and

Social Philosophy. Springer Science and Business Media.

________________. 2011. “Ethnocracy and Multiculturalism: A Preliminary

Study of the Cultural Aspects of the Besemah People at Pagaralam,

Palembang.” Makara, Sosial Humaniora. Vol. 15, No. 1, Juli, hlm. 59-66.

Suparlan, Parsudi. 2003. “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa

atau Kebudayaan?” Jurnal Antropologi Indonesia 72, hlm. 24-37.

_______________. 2004”Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multikultural, dan

Minoritas: Memperjuangakan Hak-hak Minoritas.” Workshop Yayasan

Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural,

Mungkinkah di Indonesia? 10 Agustus. Jakarta: Wisma PKBI.

Zubair, Achmad Charris. 2009. “Membangun Kesadaran Etika Multikulturalisme

di Indonesia.” Jurnal Etika. Vol. 1, No. 2, November, hlm. 33-50.

E. Media Sosial sebagai Pendukung

Gatranews, 6 Februari 2014 dalam http://www.gatra.com/nusantara-1 diunduh

pada tanggal 7 Juli 2013.

http://agama.kompasiana.com/2011/02/08 diunduh pada tanggal 25 Oktober

2014.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 182: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

167

Universitas Indonesia

www.fica.org diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014.

http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25/konflik-ambon diunduh pada tanggal

25 Oktober 2014.

http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/psat-studi-ham diunduh pada tanggal

25 Oktober 2014.

http://hankam.kompasiana.com/2013/05/18 diunduh pada tanggal 25 Oktober

2014.

http://www.tempo.co/read/news/2011/02/09/ diunduh pada tanggal 25 Oktober

2014.

http://www.asiatour.com/jakarta/peta diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 183: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

168

Universitas Indonesia

LAMPIRAN

A. PETA WILAYAH KONFLIK DI INDONEISA

Gambar 1. Peta Wilayah Konflik di Indonesia

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 184: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

169

Universitas Indonesia

B. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI POSO

Gambar 2. Peta Wilayah Konflik di Poso

(http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham)

Gambar 3. Kondisi Manusia Bersenjata di Poso

(www.fica.org)

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 185: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

170

Universitas Indonesia

Gambar 4. Aksi Kekerasan Manusia di Poso

(www.fica.org)

Gambar 5. Aksi Penghancuran Manusia di Poso

(www.fica.org)

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 186: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

171

Universitas Indonesia

C. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI AMBON

Gambar 6. Peta Wilayah Konflik di Ambon

(https://ilonagutandjala.files.wordpress.com/maps/)

Gambar 7. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan Tulukabesi Ambon

(http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25/konflik-ambon)

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 187: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

172

Universitas Indonesia

Gambar 8. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan A.M. Sangadji Ambon

(https://khairilanas354.wordpress.com)

Gambar 9. Aksi Penghancuran Manusia di Popilo Tobelo

Maluku Utara

(http://sejarahku2011.blog.com)

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 188: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

173

Universitas Indonesia

D. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI CIKEUSIK

Gambar 10. Peta Wilayah Konflik di Cikeusik

(https://humaspdg.wordpress.com/profil-pandeglang/)

Gambar 11. Aksi Penyerangan Manusia di Cikeusik

(http://agama.kompasiana.com/2011/02/08)

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 189: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

174

Universitas Indonesia

Gambar 12. Aksi Pembunuhan Manusia di Cikeusik

(http://hankam.kompasiana.com/2013/05/18)

Gambar 13. Aksi Penghancuran Manusia di Cikeusik

(http://www.tempo.co/read/news/2011/02/09/)

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 190: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

175

Universitas Indonesia

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Pada tanggal 17 Juni 1976 tubuh dan jiwa seorang manusia yang diberi nama

Masykur dilahirkan di sebuah desa yang dikenal dengan nama Losari Lor, Losari,

Cirebon. Di desa itu Masykur mulai dikenalkan baca dan tulis secara informal di

Tajug (tempat ibadah umat Islam namun tidak untuk shalat Jum‟at). Dari Tajung

ke Madrasah Ibtidaiyah di mana penulis belajar ilmu pengetahuan dari berbagai

sumber, seperti kehidupan sosial, kitab suci atau buku ilmiah.

Tak puas mencari ilmu pengetahuan di Madrasah Ibtidaiyah, pada tahun 1989

penulis hijrah ke Yogyakarta untuk belajar menjadi manusia secara sosial di

Pondok Pesantren Krapyak “Al-Munawwir” dan Madrasah Tsanawiyah Negeri

Yogyakarta II. Demi memenuhi rasa penasaran atas pendidikan tingkat atas,

penulis memilih belajar di Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta I.

Pada tahun 1995 Masykur memilih jurusan Aqidah Filsafat sebagai tambatan

dasar dari segala ilmu pengetahuan yang dicari selama ini dalam pendidikan

tinggi di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Untuk lebih mendalami dan

mempertajam pikir kritis, penulis hijarah kembali ke Depok dan memilih program

studi Ilmu Filsafat pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok dalam

Program Magister pada tahun 2001 dan Program Doktor pada tahun 2010.

Disertasi ini merupakan jejak Masykur sebagai seorang manusia yang

merefleksikan ilmu filsafat di dalam kehidupan sosial yang dipenuhi oleh konflik.

Selain menulis, pada tahun 2002 dengan nama pena Masykur Wahid sebagai

pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam “45” Bekasi.

Kemudian, sejak tahun 2004 hingga kini sebagai pengajar untuk berbagi ilmu

filsafat bersama mahasiswa/i di IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten dan

tutorial online Universitas Terbuka.

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.

Page 191: universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah

176

Universitas Indonesia

Karya tulis yang dihasilkan, antara lain: “Hubungan Agama dan Filsafat dalam

Perspektif Posmodernisme,” Skripsi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000);

“Penerapan Syariat Islam: Persepsi Masyarakat Garut,” Jurnal ISTiQRO, Diktis

Kemenag RI Jakarta (2002); “KH. „Abbas Buntet”, dalam Mohammad Ishom El-

Saha (ed.), Intelektual Pesantren Potret dan Cakrawala Pemikiran di Era

Keemasan Pesantren, Penerbit Diva Pustaka Jakarta (2003); “Interpretasi Teks

dalam Hermeneutika Paul Ricoeur,” Tesis, UI Depok (2004); “Memahami Tradisi

Pesantren: Eksistensi Kyai dalam Praktik Tarekat”, Jurnal ISTiQRO, Diktis

Kemenag RI Jakarta (2004); “Pola Komunikasi antar Umat Beragama: Studi atas

Dialog Umat Islam dan Kristen di Kota Cilegon Banten,” Jurnal Tela’ah, IAIN

SMH Banten (2006); “From Traditionalist Being Revivalist Muslims: Story on the

Members of NU Who Join HTI in Serang Banten,” Jurnal Electronic Research

Network, Diktis Kementerian Agama RI Jakarta (2007); “Fenomena Perpindahan

Orang NU ke Komunitas HTI di Serang Banten,” dalam Irwan Abdullah, Ferry

M. Siregar dan Muhammad Zain (ed.), Dialektika Teks Suci Agama: Strukturasi

Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Sekolah Pascasarjana

UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta (2008); “Agama, Etnisitas dan

Radikalisme: Pluralitas Masyrakat Kota Sala,” Jurnal Al-Qalam, IAIN SMH

Banten (2008); “Membaca Kembali Pemberontakan Petani Banten 1888 dalam

Strukturasi Giddens”, Jurnal Dedikasi, IAIN SMH Banten (2010); “Etika

Kebangsaan Gus Dur: Studi Etika Politik PKB Era Gus Dur,” Jurnal Aqlania,

IAIN SMH Banten, 2011; “Bingkai Kebhinekaan Indonesia: Artikulasi Islam

Banten dalam Tragedi Cikeusik,” Jurnal Aqlania, IAIN SMH Banten (2011);

“Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Lindung di Desa Kanekes Banten,”

Jurnal el-Harakah, UIN Maulana Malik Malang (2011); “Religious Conflict,

Islam and Multiculturalism: Trances Domination, Hegemony and Freedom in

Indonesia,” dalam Conference Proceedings Annual International Conference on

Islamic Studies (AICIS) XII, IAIN Sunan Ampel Surabaya (2012); dan Teori

Interpretasi Paul Ricoeur, Buku, LKiS dan ELKAFI, Yogyakarta (2015).

Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.