150
UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS SKRIPSI FEMI ANGRAINI 0806342062 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PRAKTISI HUKUM DEPOK JULI 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

  • Upload
    dangthu

  • View
    232

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

UNIVERSITAS INDONESIA

PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURANMAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN

BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDADALAM KUHP SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS

SKRIPSI

FEMI ANGRAINI

0806342062

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PRAKTISI HUKUM

DEPOK

JULI 2012

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUTPERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANARINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP SERTA

PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUTPERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANARINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP SERTA

PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarSarjana Hukum

FEMI ANGRAINI

0806342062

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PRAKTISI HUKUM

DEPOK

JULI 2012

PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUTPERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANARINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP SERTA

PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Femi Angraini

NMP : 0806342062

Tanda Tangan :

Tanggal :

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Femi Angraini

NPM : 0806342062

Program Studi : Praktisi Hukum

Judul Skripsi : Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut PeraturanMahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 TentangPenyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan JumlahDenda dalam KUHP serta Perbandingannya denganPerancis

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterimasebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelarSarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas HukumUniversitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Febby M. Nelson, S.H., M.H. ( )

Pembimbing : Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H. ( )

Penguji : Chudry Sitompul, S.H., M.H. ( )

Penguji : Hasril Hertanto, S.H., M.H. ( )

Penguji : Sonnyendah, S.H., M.H. ( )

Ditetapkan di :

Tanggal :

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas

berkat, rahmat, dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung

No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan

Jumlah Denda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan Perancis” sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Indonesia Program Kekhususan Praktisi Hukum.

Penulis memperoleh begitu banyak dukungan baik moril maupun materil

serta do’a dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu

pertama-tama Penulis sampaikan ucapan terima kasih dan rasa penghargaan

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Penulis yang telah memberikan

dukungan, semangat, dan do’a dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga tak

lupa mengucapkan terima kasih kepada kedua kakak Penulis yang telah

memberikan dorongan dan semangat kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada:

1. Jajaran Dekanat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Biro Pendidikan

dan dosen-dosen serta staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberikan bimbingan selama Penulis menjalani studi di Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.

2. Bapak Chudry Sitompul, S.H., M.H. selaku Ketua Bidang Studi Hukum

Acara, Ibu Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. selaku pembimbing materi

Penulis dalam penulisan skripsi ini, dan Ibu Sri Laksmi Anindita, S.H.,

M.H. selaku pembimbing teknis yang telah memberikan masukan bagi

perbaikan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Hasril Hertanto, S.H., M.H. yang telah sangat membantu Penulis

dalam pemilihan topik skripsi Penulis dan Ibu Flora Dianti, S.H., M.H.

yang telah membantu Penulis dalam usulan penelitian skripsi Penulis.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

v

4. Ibu Disriani Latifah, S.H., M..H selaku pembimbing akademis Penulis

yang telah membantu, membimbing, dan mengarahkan Penulis selama

menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

5. Bang Sony Maulana Sikumbang dan Mba Fitri A. Sjarif selaku dosen PK

V yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini,

Bapak Zulkifli dan Bapak Suhartoyo dari Kejaksaan Agung yang juga

telah bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini.

6. Bang Arsil dari Lembaga Independensi Peradilan (LeIP) yang telah

bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini.

7. Rekan-rekan seperjuangan Program Praktisi Hukum yang bersama-sama

berjuang dan berusaha menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum

Universitas Indonesia khususnya Maria Yudithia Bayu dan Rieya Aprianti

yang telah menjadi teman Penulis dalam menjalani perkuliahan Program

Praktisi Hukum selama ini, Hanna Friska, Herbert, dan Handiko yang

menjadi teman senasib seperjuangan dengan Penulis.

8. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia

angkatan 2008, Flourine, Baiti, Endah, Agung, Elsa, Faisal, Adit, Ihsan,

Mala, Vania, Vannia, Revina, Vicky, dan lain-lain yang tidak dapat

Penulis sebutkan satu per satu.

9. Keluarga besar Lembaga Kajian Keilmuan (LK2), khususnya rekan-rekan

pengurus LK2 periode 2010, Prakoso Anto Nugroho, Rieya Aprianti,

Maria Yudithia, Graciella Estrelita, Radian Adi Nugraha, Indri Astuti,

Derry Patradewa, Archie Michael, Najmu Laila, Amanah Rahmatika,

Annisa Tri Nuruliza, Ires Amanda, M. Fathan Nautika, Pratiwi Astriasari,

Liza Farihah, Fadillah Isnan, Rantie Septianti, M. Reza Alfiandri, dan

Aditya Ramandika yang telah memberikan pengalaman dan kesempatan

kepada Penulis untuk turut berjuang menjalankan orgnisasi ini.

10. Rekan-rekan Aliansi Riset Kajian Hukum (ARKH) yang telah bersedia

menerima Penulis sebagai anggota (magang) dan bersama-sama berjuang

serta memperoleh hasil optimal dalam Narration 2012 dan 2nd Contract

Drafting BLC: M. Fathan Nautika, Riko Fajar, Derry Patradewa, Prakoso

Anto Nugroho, Liza Farihah, dan Radian Adi Nugraha. So proud.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

vi

11. Keluarga besar BTA 45 Program Khusus yang telah memberikan

kesempatan kepada Penulis untuk turut berkontribusi dalam menjalankan

program-program BTA 45. Kak surkam yang telah sangat membantu

Penulis dan memahami kondisi Penulis dalam penulisan skripsi ini, Kak

Husnul, Kak Pram, Kak Usman, dan Cia yang telah memberi dorongan

dan dukungan kepada Penulis. Kepada mereka tidak lupa Penulis

sampaikan rasa maaf karena Penulis cukup merepotkan mereka di saat

Penulis berada dalam masa sulit pengerjaan skripsi ini. Kepada rekan-

rekan binglas BTA 45 khususnys kepada mereka yang bersama-sama

seperti Penulis berjuang menyelesaikan studinya di fakultas masing-

masing, Prakoso Anto Nugroho, Efrita Mahrami Lubis, Tiurizqi Priana,

Iqlima, Felisa, Agil, Shinta, Arif, Debo, Farchan, Firzi, Tias, Novi, dan

lain-lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Rekan-rekan

binglas BTA 45 yang akan menghadapi perjuangan yang sama nanti, Dadi,

Kamila, Dira, Dita, Dina, Monic, Bunga, Tattya, Ginda, Astri, Ihsan, Ale,

dan lain-lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu.

12. Martha Khristia yang telah lebih dari 15 tahun menjadi sahabat Penulis

dan telah sangat mendukung Penulis selama ini.

13. Kelurga besar alm. Inyik Yahya, Da At, Ni Farida, Ni Nina, dan Bang

Tomas yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis.

14. Seluruh tim penguji Penulis dalam Sidang.

15. Seluruh pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu Penulis menyelesaikan skripsi

ini. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan skripsi ini, Penulis juga

berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi diri

Penulis sendiri.

Depok, 2 Juli 2012

Penulis,

Femi Angraini

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Femi Angraini

NPM : 0806342062

Program Studi : Praktisi Hukum

Fakultas : Hukum

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan JumlahDenda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan Perancis”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNoneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan namasaya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : DepokPada Tanggal : 30 Juni 2012

Yang menyatakan

( Femi Angraini )

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

viii

ABSTRAK

Nama : Femi Angraini

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul : Perkara Tindak Pidana Menurut Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak PidanaRingan dan Jumlah Denda dalam KUHP serta Perbandingannyadengan Perancis.

Skripsi ini membahas mengenai tindak pidana ringan yang diatur dalam PeraturanMahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak PidanaRingan dan Jumlah Denda dalam KUHP, kedudukannya dalam peraturanperundang-undangan, kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu, danperbandingannya dengan Perancis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatifyang bersifat yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia perlumelakukan penyesuaian nilai barang dalam pasal-pasal tindak pidana ringan yangtelah lama tidak pernah disesuaikan kembali sejak 1960 dengan mengeluarkanperaturan yang setidaknya jelas ditentukan hierarkhi dan kedudukannya dalamperaturan perundang-undangan dan memetik pelajaran dari penanganan perkaraserupa di Perancis.

Kata kunci:

Tindak pidana ringan, PERMA, Perancis

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

ix

ABSTRACT

Name : Femi Angraini

Study Program : Law

Title : Misdemeanors According to Supreme Court’s RegulationNo. 2 Year 2012 about Objects’ Value Adjustment andFine’s Amount in Indonesian Criminal Code and ItsComparison to French Law System.

The focus of this study is about the misdemeanor in Suprems Court’s RegulationNo. 2 Year 2012 about Objects’ Value Adjustment and Fine’s Amount inIndonesian Criminal Code, its position in Indonesian legislation, its relation toIntegrated Criminal Justice System, and its comparison to French. The type of thisstudy is a qualitative study and has characteristic as normative juridical. Thisstudy shows that Indonesia need to adjust the objects’ value in its Criminal Codethat never been adjusted since 1960 with publishing the regulation that theposition is clearly mentioned in an act of legislation and learn about crime’sprocedure from French.

Keyword :

Misdemeanor, Supreme Court’s regulation, France

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ vii

ABSTRAK ....................................................................................................... viii

ABSTRACT ..................................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii

DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiii

DAFTAR GRAFIK .......................................................................................... xiv

1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2 Pokok Permasalahan .................................................................... 9

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 10

1.4 Definisi Operasional .................................................................... 11

1.5 Metode Penelitian ........................................................................ 14

1.6 Sitematika Penulisan .................................................................... 15

2. TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA RINGAN DALAM

KUHP DAN PENANGANANNYA MENURUT KUHAP ................ 17

2.1 Tindak Pidana Ringan Menurut KUHP ....................................... 17

2.2 Penanganan Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut KUHAP ... 30

3. PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN

MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2

TAHUN 2012 ......................................................................................... 44

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

xi

4. PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA TINDAK

PIDANA RINGAN DENGAN NEGARA PERANCIS ..................... 78

4.1 Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut

Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 ......................... 78

4.2 Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun dalam

Peraturan Perundang-undangan ................................................... 79

4.3 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Dalam Sistem

Peradilan Pidana Terpadu ............................................................ 86

4.4 Pembagian Bentuk Kejahatan di Perancis ................................... 91

4.5 Perbandingan Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di

Perancis ........................................................................................ 94

4.6 Ketentuan Pidana bagi Pelaku Kejahatan di Perancis .................. 101

5. PENUTUP ............................................................................................. 111

5.1 Kesimpulan .................................................................................. 111

5.2 Saran ............................................................................................. 115

DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 118

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Data Sisa Perkara Lima Tahun Terakhir (2007-2011) ................. 56

Tabel 3.2 Keadaan Perkara Mahkamah Agung RI Tahun 2011 .................. 57

Tabel 3.3 Perkara yang Diterima Mahkamah Agung RI Tahun 2011

Berdasarkan Jenis Perkara dan Kewenangan ............................... 58

Tabel 3.4 Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Selama Tahun

2011 Berdasarkan Jenis Perkara ................................................... 59

Tabel 3.5 Rasio Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Tahun

2011 .............................................................................................. 59

Tabel 3.6 Rincian Perkara yang Diputus Mahkamah Agung ....................... 60

Tabel 3.7 Waktu Penyelesaian Perkara (Putus) pada Mahkamah Agung

Tahun 2011 ................................................................................... 60

Tabel 3.8 Jumlah Perkara Kasasi yang Ditangani Mahkamah Agung Tahun

2011 .............................................................................................. 61

Tabel 3.9 Kualifikasi Amar Putusan Mahkamah Agung Tahun 2011 ......... 62

Tabel 3.10 Klasifikasi Perkara Kasasi Pidana Umum .................................... 63

Tabel 3.11 Jumlah Perkara Peninjauan Kembali yang Ditangani Mahkamah

Agung Selama Tahun 2011 .......................................................... 64

Tabel 3.12 Klasifikasi Perkara Peninjauan Kembali Pidana Umum yang

Diterima Mahkamah Agung Tahun 2011 ..................................... 66

Tabel 3.13 Putusan yang Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali .......... 67

Tabel 3.14 Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung

....................................................................................................... 68

Tabel 3.15 Data Penghuni Lapas di Seluruh Kantor Wilayah per 13 Juni 2012

....................................................................................................... 74

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

xiii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Biasa .................... 33

Bagan 2.2 Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Cepat ................... 38

Bagan 4.1 French Court System ................................................................... 96

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

xiv

DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1 Perkara yang diterima Mahkamah Agung Satu Dekade Terakhir

...................................................................................................... 56

Grafik 3.2 Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Tahun

2011 .............................................................................................. 62

Grafik 3.3 Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung

Tahun 2011 .................................................................................. 69

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi semua

tindak pidana baik yang termuat di dalam maupun di luar KUHP menjadi dua

golongan besar yaitu golongan kejahatan (misdrijven) yang termuat dalam

buku II dan golongan pelanggaran (overtredingen) yang termuat dalam buku

III KUHP. Penggolongan dalam kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan

atas perbedaan antara Rechtsdelicten dan Wetsdelicten yang berarti:

“Rechtsdelicten:

Perbuatan-perbuatan yang dirasakan telah memiliki sifat tidak adil, wajaruntuk dapat dihukum, meskipun belum terdapat undang-undang yangmelarang dan mengancam dengan hukuman.

Wetsdelicten:

Perbuatan-perbuatan dapat dihukum karena perbuatan-perbuatan tersebutsecara tegas dinyatakan di dalam undang-undang sebagai terlarang dandiancam dengan hukuman”.1

Penggolongan berdasarkan hal tersebut di atas dirasa kurang relevan

lagi karena terdapat sanggahan yang menyatakan bahwa pada hakekatnya

rechtsdelicten pun baru dapat dilarang dan diancam dengan hukuman apabila

sudah secara tegas diletakkan di dalam undang-undang. Penggolongan lain

ditemukan dalam sifat berat-ringannya sesuatu tindak pidana; bentuk-bentuk

yang ringan adalah pelanggaran, sedangkan yang lebih berat dinyatakan

1 H.A.K. ,Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), jilid I,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 12.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

2

UNIVERSITAS INDONESIA

sebagai kejahatan.2 Perbedaan penggolongan ini juga dapat ditemukan

berdasarkan berat-ringannya hukumannya. Wirjono Prodjodikoro dalam

bukunya “Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia” mengutip pendapat

Prof. Mr. J. M. Van Bemmelen, yaitu:

“Di antara para penulis hampir merata suatu pendapat bahwa perbedaanantara kedua golongan tindak pidana ini tidak bersifat kualitatif, tetapihanya kuantitatif, yaitu kejahatan yang pada umumnya diancam denganhukuman lebih berat daripada pelanggaran dan ini tampaknya didasarkanpada sifat lebih daripada kejahatan.”3

KUHP merupakan induk peraturan positif mengenai tindak pidana

yang keberlakuannya disahkan melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946

tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. KUHP yang berlaku sekarang ini

merupakan hukum pidana “pokok” yang berlaku, disampingnya masih

banyak terdapat peraturan-peraturan yang mengandung hukum pidana.4

KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang merupakan warisan pemerintah

Hindia-Belanda yang diadaptasi dan kemudian diberlakukan secara nasional

melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946. Indonesia masih mengadaptasi

KUHP dari pemerintah Hinda-Belanda dikarenakan semenjak Proklamasi

Kemerdekaan hingga sekarang pemerintah belum dapat menyusun KUHP

sendiri.

Beberapa ketentuan dalam KUHP tersebut kemudian mengalami

beberapa perubahan dengan dikeluarkannya Perpu No. 16 Tahun 1960

tentang Beberapa Perubahan Dalam KUHP. Ketentuan yang diubah dalam

Perpu tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan yang terkait

dengan Tindak Pidana Ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379,

384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP. Ketentuan nilai barang dalam perkara

Tindak Pidana Ringan dengan dikeluarkannya Perpu tersebut diubah menjadi

dua ratus lima puluh rupiah yang sebelumnya hanya bernilai dua puluh lima

2 Ibid.

3 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2003), hal. 4.

4 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (t.k: Balai Lektur Mahasiswa, t.t.), hal. 8.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

3

UNIVERSITAS INDONESIA

rupiah. Hal ini didasarkan pada penyesuaian nilai barang yang mengalami

kenaikan. Akan tetapi, pada selang waktu dikeluarkannya Perpu No. 16

Tahun 1960 sampai dengan akhir tahun 2011 pemerintah belum lagi

melakukan penyesuaian nilai rupiah pada batasan Tindak Pidana Ringan

dalam KUHP tersebut. Hal tersebut tentunya berimplikasi pada tidak

efektifnya pasal-pasal yang mengatur Tindak Pidana Ringan dalam KUHP

karena hampir tidak ada kasus-kasus yang terjadi memiliki objek perkara

yang bernilai dua ratus lima puluh rupiah. Beberapa kasus dengan nilai objek

perkara yang tidak seberapa namun harus disidangkan dengan acara biasa dan

diganjar dengan hukuman yang tidak sebanding pun kemudian muncul ke

permukaan media massa dan mendapat perhatian masyarakat. Kasus

pencurian 3 buah kakao oleh nenek Minah yang terjadi pada tahun 2009,

kasus pencurian enam buah piring dan sop buntut oleh nenek Rasminah pada

tahun 2011, pencurian sendal jepit oleh AAL anak di bawah pada tahun 2011,

pencurian 50 gram merica oleh seorang kakek pada tahun 2012, dan kasus

pencurian semangka oleh sepasang suami isteri hanya merupakan beberapa

kasus yang kemudian muncul ke permukaan dan mendorong para penegak

hukum untuk lebih berlaku adil terhadap pelaku-pelaku tersebut. Hal ini

bukan untuk menghapuskan unsur kesalahan dalam diri pelaku namun

menyeimbangkan perbuatan yang dilakukan dan nilai objek perkara dengan

proses hukum dan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka.

Berbeda dengan bentuk tindak pidana lainnya, Tindak Pidana Ringan

memiliki acara pemeriksaan tersendiri. Pada dasarnya, Undang-undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur beberapa bentuk

pemeriksaan perkara pidana, yaitu pemeriksaan biasa, pemeriksaan singkat,

pemeriksaan cepat, dan pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas. Dalam

acara pemeriksaan biasa, proses sidang dilaksanakan dengan tata cara

pemeriksaan sebagaimana yang ditentukan undang-undang, dihadiri oleh

penuntut umum dan terdakwa, dengan pembacaan surat dakwaan oleh

penuntut umum. Pembuktian dan alat bukti yang dipergunakan berpedoman

kepada ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Umumnya perkara

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

4

UNIVERSITAS INDONESIA

tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas dan masalah

pembuktiannya memerlukan ketelitian, biasanya diperiksa dengan “acara

biasa”.5 Perkara yang dinilai pembuktiannya mudah dengan ancaman

hukuman yang relatif lebih rendah diperiksa dengan “acara singkat” atau

sumir. Kita mengenal tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana pada

sidang Pengadilan Negeri:

- Acara Pemeriksaan Biasa; diatur dalam Bagian Ketiga Bab XVI

- Acara Pemeriksaan Singkat; diaur dalam bagian Kelima, Bab XVI

- Acara Pemeriksaan Cepat; diatur dalam Bagiann Keenam, Bab XVI

yang terdiri dari dua jenis.

1. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

2. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan6

Salah satu ciri perkara biasa yang diperiksa di sidang pengadilan

dengan prosedur acara biasa, perkara yang dilimpahkan penuntut umum ke

pengadilan dengan memakai “surat dakwaan”. Sedangkan bentuk acara

pemeriksaan lain seperti acara singkat, cepat maupun lalu lintas tidak

menggunakan surat dakwaan. Adapun mengenai acara pemeriksaan singkat

atau the short session of the court diatur dalam bagian Kelima Bab XVI yang

pemeriksaannya mengikuti prosedur acara singkat pada Pasal 203 KUHAP.

Ciri perkara yang diperiksa dengan acara singkat berdasarkan Pasal 203

KUHAP adalah:

a) pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya

sederhana, dan

b) ancaman hukuman yang akan dijatuhkan tidak berat.

Pemeriksaan perkara tidak memerlukan persidangan yang memakan waktu

yang lama, dan kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau

mungkin dapat diputus dengan satu atau dua kali persidangan saja, hal yang

5 Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed.2, (Jakarta: PT. Sinar Grafika,2001), hal 104.

6 Ibid.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

5

UNIVERSITAS INDONESIA

seperti inilah yang diartikan dengan “sifat perkara sederhana”.7 Sifat

pembuktian dan penerapan hukumnya mudah berarti terdakwa sendiri pada

waktu pemeriksaan penyidikan telah “mengakui” sepenuhnya perbuatan

tindak pidana yang dilakukan. Di samping pengakuan itu, didukung dengan

alat bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan terdakwa secara sah

menurut undang-undang. Demikian juga sifat tindak pidana yang didakwakan

sederhana dan mudah untuk diperiksa.8

Berdasarkan Pasal 203 KUHAP, perkara yang dapat diperiksa dengan

acara pemeriksaan singkat adalah perkara yang tidak tergolong dalam Pasal

205 KUHAP atau perkara yang menggunakan acara pemeriksaan cepat.

Penuntut umum harus meneliti dengan seksama tentang ancaman hukuman

yang ditentukan dalam tindak pidana bersangkutan. Patokan yang harus

diambil penuntut umum dalam menentukan perkara singkat dari segi

ancaman hukuman, bukan jenis tindak pidana yang ancaman hukumannya

maksimum 3 bulan penjara atau kurungan atau denda paling tinggi Rp.

7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) tetapi perkara yang ancaman

hukumannya di atas 3 bulan penjara atau kurungan serta dendanya lebih dari

Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).9 Bentuk acara pemeriksaan di

sidang pengadilan yang terakhir adalah acara pemeriksaan cepat. Acara

pemeriksaan Cepat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya diatur dalam

Pasal 205 KUHAP. Pemeriksaan perkara dengan acara cepat terbagi dalam

dua paragraf, yaitu acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan dan acara

pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Ancaman tindak pidana

yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan diatur

dalam Pasal 205 ayat (1) yakni:

ii. tindak pidana yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan”

penjara atau kurungan,

7 Ibid, hal. 375.

8 Ibid.

9 Ibid.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

6

UNIVERSITAS INDONESIA

iii. atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus

rupiah), dan

iv. “penghinaan ringan” yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka kriteria perkara yang

termasuk dalam tindak pidana ringan adalah perkara yang ancaman pidananya

tidak lebih dari 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 7.500,00 (tujuh ribu

lima ratus rupiah) dan termasuk “penghinaan ringan”. Beberapa pasal yang

memuat ancaman hukuman maksimal 3 bulan penjara terkadang mengikuti

syarat lainnya, yaitu nilai barang yang menjadi objek perkara berdasarkan

Undang-undang No. 1 Tahun 1946 sebesar tidak lebih dari dua puluh lima

rupiah sebagaimana telah diubah dengan Perpu No. 16 Tahun 1960 menjadi

dua ratus lima puluh rupiah. Berdasarkan perkembangan serta kemajuan

zaman, nilai mata uang yang berlaku pada tahun 1960-an jauh berbeda

dengan tahun 2000-an. Oleh sebab itu, nilai objek perkara sebesar dua ratus

lima puluh rupiah menjadi sangat jarang dan sangat sulit ditemukan. Dengan

demikian, ketentuan pada pasal-pasal tertentu yang memuat nilai objek

perkara sebesar dua ratus lima puluh rupiah seperti pencurian ringan seolah

tidak dapat diterapkan kembali. Beberapa kasus pencurian dengan nilai objek

barang yang tidak terlalu besar namun di atas dua ratus lima puluh rupiah

pastinya tidak akan menggunakan pasal pencurian ringan melainkan pasal

pencurian biasa.

Penerapan pasal-pasal biasa pada kasus-kasus dengan nilai objek

barang yang tidak terlalu besar tentunya menambah semakin banyak

penumpukan perkara dan berlarut-larutnya penanganan sebuah kasus. Tidak

sedikit kasus-kasus tersebut kemudian berakhir dengan putusan hukuman

penjara yang dinilai tidak proporsional dengan nilai barang yang menjadi

objek perkara. Tidak sedikit pula kemudian kasus-kasus tersebut terpaksa

harus selesai dalam jangka waktu yang lama dan berujung di Mahkamah

Agung. Beberapa contoh kasus yang masih marak dibicarakan misalnya

adalah kasus pencurian sendal jepit yang berujung pada di vonis bersalahnya

terdakwa yang masih di bawah umur, pencurian tiga kakao oleh seorang

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

7

UNIVERSITAS INDONESIA

nenek yang divonis bersalah, pencurian enam buah piring yang berujung pada

tingkat kasasi di Mahkamah Agung, kakek pencuri merica, pencurian

singkong, dan lain-lain. Keadaan semacam ini seolah tidak sejalan dengan

asas pemeriksaan pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Banyak putusan pengadilan yang pada akhirnya melukai rasa keadilan

masyarakat. Seperti kasus-kasus yang tersebut di atas, tindak pidana yang

dilakukan dengan objek nilai yang tidak besar harus berakhir dengan putusan

bersalah dan penjara yang tidak setimpal dengan perbuatan pelaku serta

memakan waktu yang cukup lama. Di sisi lain kasus-kasus besar seperti

korupsi atau kejahatan kerah putih lainnya masih belum terselesaikan. Bentuk

ketidakadilan inilah yang kemudian dirasa melukai rasa keadilan masyarakat

karena penegak hukum yang lebih mengedepankan formalitas penegakan

hukum daripada rasa keadilan masyarakat. Keberlakuan hukum pidana di

Indonesia sebenarnya sangat erat kaitannya dengan rasa keadilan masyarakat.

Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana

hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau

tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi

dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya,

hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-

nilai dalam masyarakat.10

Berdasarkan Pasal 205-210 KUHAP, acara pemeriksaan cepat dapat

dilakukan terhadap kasus tindak pidana ringan. Ketentuan tersebut sudah

jarang digunakan karena pasal-pasal tindak pidana ringan hanya mengatur

perkara pidana dengan nilai objek perkara dua ratus lima puluh rupiah yang

kemudian dapat diancam dengan ancaman hukuman tiga bulan penjara atau

kurungan dan denda Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Oleh sebab

itu, sangat kurang adil apabila tindak pidana dengan objek perkara bernilai di

atas dua ratus lima puluh rupiah namun tidak begitu besar harus diancam

dengan ancaman pidana misalnya lima tahun penjara. Untuk mengatasi hal

10 Ahmad Bahiej, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”, SosioReligia, Vol. 4 No. 4 Agustus 2005, hal. 2.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

8

UNIVERSITAS INDONESIA

tersebut, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Peraturan No. 2 Tahun

2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda

Dalam KUHP. Beberapa hal yang menjadi sorotan dalam peraturan tersebut

adalah Pasal 1 PERMA tersebut yang mengatur nilai barang dalam Pasal 364

KUHP (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan),

384 (penipuan ringan oleh penjual), 407 ayat (1) (perusakan ringan), dan

Pasal 482 (penadahan ringan) menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus

ribu rupiah) dari yang semula hanya bernilai Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh

rupiah). Dengan demikian maka ancaman hukuman tindak pidana yang

memenuhi pasal-pasal tersebut di atas menjadi maksimal 3 bulan penjara

sehingga tidak perlu lagi di tahan sebagaimana diatur dalam Pasal 21

KUHAP.

Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 mengatur beberapa

ketentuan yang merupakan penyesuaian ketentuan dalam KUHP. Di samping

mengatur mengenai penyesuaian nilai barang dalam KUHP, PERMA tersebut

juga mengatur mengenai penyesuaian nilai denda dalam pasal-pasal tertentu

dalam KUHP. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 303 ayat (1) dan (2) serta

303 bis ayat (1) dan (2) dengan nilai denda yang dilipatgandakan menjadi

1.000 kali lipat. Ketentuan perihal denda ini tertuang dalam Pasal 3 PERMA

tersebut. Tidak hanya perihal nilai barang atau denda dalam KUHP saja yang

diatur melainkan pula masalah penahanan terhadap tersangka yang

melakukan tindak pidana ringan. Dalam Pasal 2 ayat (3) disebutkan bahwa

apabila terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua Pengadilan

Negeri tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan. Di

samping itu, dengan dinaikkannya nilai barang dalam KUHP maka pelaku

yang melakukan tindak pidana ringan tidak dapat lagi ditahan karena

ancaman hukumannya menjadi maksimal 3 bulan penjara sehingga tidak

memenuhi persyaratan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4)

baik huruf (a) maupun (b). Akan tetapi, dengan dikeluarkannya PERMA

tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai kekuatan mengikatnya

terhadap aparat kepolisian selaku penyidik.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

9

UNIVERSITAS INDONESIA

Pembagian bentuk peristiwa pidana di negara yang satu bisa berbeda

dengan negara lain sekalipun sengan sistem hukum yang sama. Sebagaimana

telah dijelaskan sebelumnya, KUHP Indonesia mengenal dua bentuk

peristiwa pidana, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Sekalipun sifatnya ringan

namun tindak pidana ringan tetap masuk dalam kategori kejahatan dan bukan

pelanggaran. Dengan demikian KUHP Indonesia secara tidak langsung

mengenal tiga bentuk, yaitu kejahatan, tindak pidana ringan, dan pelanggaran.

Perancis sebagai negara dengan sistem hukum yang sama dengan Indonesia,

civil law, juga mengenal tiga bentuk peristiwa pidana, yaitu crimes, delits,

dan contraventions. Walaupun terlihat pembagian tersebut sama dengan

Indonesia, namun terdapat perbedaan bentuk dan penangannya.

Dengan demikian, pembahasan penelitian ini akan menjelaskan

bagaimana prosedur penyelesaian kasus dengan objek perkara tidak lebih dari

Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) berdasarkan Peraturan

Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP dan perbandingannya dengan

negara lain seperti Perancis serta bagaimana kedudukan PERMA tersebut

dalam peraturan perundang-undangan dan kaitannya terhadap penanganan

perkara tindak pidana ringan dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

Penjelasan-penjelasan tersebut akan dikaitkan dengan peraturan perundang-

undangan di Indonesia yang berkaitan dengan tindak pidana ringan.

Penelitian ini juga melihat bagaimana respon para penegak hukum lain seperti

penyidik dalam menanggapi dikeluarkannya PERMA tersebut dan bagaimana

sikap mereka dalam menangani perkara tindak pidana yang dapat

digolongkan sebagai tindak pidana setelah dikeluarkannya PERMA tersebut.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat

diambil tiga pokok permasalahan, yaitu:

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

10

UNIVERSITAS INDONESIA

1. Bagaimana prosedur penyelesaian perkara tindak pidana ringan

menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 di Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012

dalam peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan

penanganan perkara pidana dalam sistem peradilan pidana terpadu?

3. Bagaimana perbandingan prosedur penyelesaian perkara tindak pidana

ringan di Perancis?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan penulisan

secara umum dan tujuan penulisan secara khusus.

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan gambaran

prosedur penanganan perkara tindak pidana ringan sebelum

dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dan

bagaimana penanganannya setelah PERMA tersebut dikeluarkan. Hal ini

tentunya sangat berkaitan dengan maraknya perkara pidana dengan objek

perkara yang relatif sederhana namun diancam dengan pidana cukup berat

sehingga dinilai tidak proporsional dan melukai rasa keadilan masyarakat.

2. Tujuan Khusus

Tujuan Khusus Penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui bagaimana prosedur penyelesaian tindak pidana ringan di

Indonesia sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012

dikeluarkan.

b. Mengetahui kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun

2012 dalam peraturan perundang-undangan dan hubungannya dengan

penanganan perkara dalam sistem peradilan pidana terpadu.

c. Mengetahui bagaimana perbandingan prosedur penyelesaian tindak

pidana ringan di Perancis.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

11

UNIVERSITAS INDONESIA

1.4 Definisi Operasional

Dalam penulisan penelitian Penahanan Dalam Perkara Tindak Pidana

Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalama

KUHP akan banyak menggunakan istilah dalam bidang hukum. Untuk

menghindari kesimpangsiuran pengertian mengenai istilah yang dipakai

dalam penulisan ini, berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah

tersebut:

1. Tindak Pidana Ringan dapat ditemukan pengaturannya baik dalam

KUHP maupun KUHAP. Menurut Mr. JE. Jonkers, timbulnya lembaga

ini disebabkan oleh keperluan untuk mengajukan kejahatan-kejahatan

tertentu yang banyak terdapat pada hakim yang lebih dekat tempat

tinggalnya, berhubung dengan jarak-jarak yang jauh. Juga pekerjaan

hakim sehari-hari yang terlalu banyak turut menimbulkan lembaga ini.11

Di dalam KUHAP sendiri dapat ditemukan pengaturan mengenai

penyelesaian tindak pidana ringan yang diatur secara khusus dengan acara

pemeriksaan cepat. Dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP secara tegas

disebutkan perihal acara pemeriksaan tindak pidana ringan.

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksana tindak pidana ringan ialahperkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan palinglama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu limaratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalamParagraf 2 Bagian ini.”12

Dengan demikian, kategori tindak pidana ringan sebagaimana

yang dimaksud dalam pasal ini merupakan perkara dengan ancaman

pidana paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu

lima ratus rupiah. Sedangkan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung

No. 2 Tahun 2012 Pasal 1 maka perkara tindak pidana ringan yang

11 J.E. Jonkers, Buku Pedoman : Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT. BinaAksara, 1987), hal. 37.

12 Indonesia (a), Undang-undang Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara PidanaNomor 8 Tahun 1981, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3209, Pasal 205 ayat (1).

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

12

UNIVERSITAS INDONESIA

disidangkan dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana Pasal 205 ayat

(1) KUHAP adalah Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), 373

(penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 384 (penipuan ringan oleh

penjual), 407 ayat (1) (perusakan ringan), dan Pasal 482 (penadahan

ringan).

2. PERMA merupakan singkatan dari Peraturan Mahkamah Agung.

PERMA yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Mahkamah

Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana

Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. PERMA sendiri merupakan

wujud implementasi dari fungsi pengaturan Mahkamah Agung atau

regelende functie atau rule making power. Kewenangan tersebut didapat

dari Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung yang berbunyi,

“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan

bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang

belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.13 Memori penjelasan

Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung mengatakan apabila dalam

jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam

suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai

pelengkap.

3. Aparat Penegak Hukum merupakan bagian dari aparatur penegak

hukum. Aparatur penegak hukum sendiri mencakup pengertian institusi

penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum.14 Dengan

demikian, aparat penegak hukum merupakan subjek atau orang yang

menjamin dan penegakan hukum atau memastikan bahwa suatu aturan

hukum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, aparatur

penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai

13 Indonesia (b), Undang-undang Tentang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985, LN.No. 73 Tahun 985, TLN No. 3316, Pasal 79.

14 Jimly ashiddique, Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com, 2006,diakses pada tanggal 21 April 2012 pukul 21.45 WIB, hal. 3.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

13

UNIVERSITAS INDONESIA

dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir

pemasyarakatan.15 Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula

pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait

dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta

upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.16 Akan tetapi,

definisi aparat penegak hukum yang penulis sampaikan pada tulisan

dibatasi pada aparat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang

terdiri dari aparat kepolisian dan jaksa.

4. Denda merupakan salah satu bentuk hukuman yang berupa kewajiban

pembayaran sejumlah uang. Seberapa banyak jumlah denda tersebut telah

ditentukan dalam KUHP dan penyesuaiannya berdasarkan Perpu No. 18

Tahun 1980. Pada awal tahun 2012, jumlah hukuman denda kembali

mangalami penyesuaian dengan dikeluarkannya PERMA No. 2 Tahun

2012. Denda memiliki dua bentuk, denda sebagai hukuman dan denda

sebagai sanksi administratif. Fokus kajian dalam tulisan ini terbatas pada

denda sebagai hukuman. Apabila terpidana tidak bersedia atau tidak

mampu membayar denda maka denda tersebut kemudian dapat dikonversi

menjadi kurungan pengganti. Sedangkan apabila terpidana yang telah

memilih kurungan daripada denda kemudian berubah pikiran untuk

membayarkan denda di tengah masa kurungannya maka penghitungan

denda tersebut dapat menggunakan Pasal 30 dan 31 KUHP. Cara

penghitungan jumlah denda tersebut tentunya mengikuti KUHP dan

penyesuaiannya berdasarkan Perpu No. 18 Tahun 1960 dan PERMA No.

2 Tahun 2012.

15 Ibid.

16 Ibid.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

14

UNIVERSITAS INDONESIA

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif di

mana penelitian merupakan penelitian hukum yang menekankan pada

penggunaan data sekunder yang diperoleh melalui hasil studi pustaka dan

wawancara terhadap narasumber seperti hakim agung sebagai pembuat

kebijakan, jaksa atau polisi selaku penyidik yang berhadapan lebih dulu

dengan perkara di banding para hakim, ahli atau pakar hukum pidana, serta

hakim Pengadilan Negeri yang akan memutus perkara.. Tipologi Penelitian

ini adalah Deskriptif Analitis. Ditinjau dari segi sifat, penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif karena memberikan gambaran bagaimana

perkara tindak pidana ringan ditangani baik sebelum maupun sesudah

dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No 2 Tahun 2012. Dilihat dari

segi bentuk, tipe penelitian ini adalah analitis karena mengkaji penerapan

Peraturan Mahkamah Agung No 2 Tahun 2012 terhadap penanganan tindak

pidana ringan di Indonesia dan perbandingannya dengan Perancis.

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer diperoleh melalui

peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang KUHAP, KUHP, dan Peraturan Mahkamah Agung yang berdasarkan

Undang-undang No 10 Tahun 2004, Lembaran Negara Tahun 2004 No. 53,

Tambahan Lembaran Negara No. 4389, dan peraturan perundang-undangan

lainnya. Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diperoleh

melalui buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini serta artikel dan

makalah yang berkaitan dengan penelitian ini.

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan

wawancara. Wawancara dilakukan kepada narasumber kepada aparat

penegak hukum seperti hakim agung, hakim pengadilan negeri, polisi selaku

penyidik atau jaksa dan ahli atau pakar hukum pidana. Studi kepustakaan

dilakukan dengan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan dengan

penelitian yaitu literatur tentang teori-teori, definisi, permasalahan,

pembahasan serta pengaturan yang berhubungan dengan penelitian ini.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

15

UNIVERSITAS INDONESIA

Data yang telah didapatkan untuk penelitian ini kemudian diolah dan

dianalisis. Hasil pengolahan data dianalisis dengan pendekatan kuantitatif dan

kuaitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menilai banyaknya kasus

yang ditangani beberapa tahun terakhir yang terjadi sebelum dikeluarkannya

PERMA No. 2 Tahun 2012 namun dapat digolongkan sebagai tindak pidana

ringan apabila PERMA tersebut diterapkan. Pendekatan kualitatif dilakukan

dengan menilai bagaimana prosedur penanganan tindak pidana ringan

menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dan implikasinya

dalam proses peradilan pidana serta perbandingan penanganan tindak pidana

ringan di Perancis.

1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian hukum ini terdiri dari lima bab. Pada bab pertama akan

dijabarkan mengenai latar belakang dilakukan penelitian, rumusan masalah,

tujuan penelitian definisi operasional, dan metode penelitian.

Pada bab kedua dari penelitian ini akan dijabarkan mengenai tinjauan

umum mengenai prosedur penyelesaian tindak pidana ringan yang diatur

dalam KUHAP. Pembahasan yang akan dilakukan meliputi bentuk-bentuk

kejahatan yang termasuk dalam kategori tindak pidana ringan dalam KUHP

dan prosedur penangananna menurut KUHAP.

Pada bab ketiga dari penelitian ini akan menjabarkan mengenai alasan

filosofis dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012.

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alasan filosofis yang mendasari

dikeluarkannya PERMA tersebut.

Pada bab keempat dari penelitian ini akan dijabarkan mengenai

prosedur penanganan tindak pidana ringan menurut Peraturan Mahkamah

Agung No. 2 Tahun 2012 dan perbandingannya dengan Perancis.

Pembahasan dalam bab ini meliputi alasan filosofis dan perubahan yang

terdapat dalam PERMA tersebut, kedudukan PERMA ini dalam peraturan

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

16

UNIVERSITAS INDONESIA

perundang-undangan dan kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu

serta perbandingannya dengan Perancis. Studi perbandingan ini akan melihat

bentuk pembagian kejahatan dan kedudukan bentuk tindak pidana ringan di

Perancis, penanganannya, dan ancaman pidana yang diberikan pada pelaku.

Bab kelima merupakan bab terakhir dalam penulisan ini. Bab kelima

terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap pokok

permasalahan dalam penelitian ini dan saran yang diberikan penulis terkait

konsep penyelesaian tindak pidana ringan dan penerapannya menurut

Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 2

TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA RINGAN DALAM

KUHP DAN PROSEDUR PENANGANNYA MENURUT KUHAP

2.1 Tindak Pidana Ringan menurut KUHP

KUHP Indonesia mengenal dua bentuk peristiwa pidana, yaitu

kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi kejahatan

biasa dan kejahatan ringan atau tindak pidana ringan. Hal inilah yang

menjadi keistimewaan KUHP Indonesia yang merupakan warisan KUHP

Hindia Belanda. Sekalipun KUHP Hindia-Belanda didasari oleh KUHP

Belanda namun pembagian bentuk kejahatan biasa dan ringan berasal dari

Hindia-Belanda sendiri yang kemudian diadopsi ke dalam KUHP Indonesia.

Kejahatan dan pelanggaran sendiri memiliki beberapa perbedaan.

Pengaturan mengenai kejahatan dan pelanggaran diletakkan di tempat yang

berbeda dalam KUHP. Kejahatan diatur dalam buku II KUHP sedangkan

pelanggaran diatur dalam buku III KUHP. Pada dasarnya, KUHP terdiri atas

569 pasal yang dibagi dalam tiga buku. Tiga buku itu:

“Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (juga disebut Bagian Umum,Algemeen deel) – pasal-pasal 1-103.

Buku II : Kejahatan – pasal-pasal 104-448

Buku III : Pelanggaran – pasal-pasal 449-569.”17

Pembagian seperti ini juga dapat ditemukan di beberapa negara

lainnya. Seperti dalam Panel Code di Perancis mengenal tiga bentuk

golongan, yaitu Crimes, Delits, dan Contraventions. Perbedaan antara tiga

17 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (t.k : t.p., t.t.), hal. 80.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

18

UNIVERSITAS INDONESIA

macam delik ini dirasa dalam beratnya sanksi (hukuman) yang dijatuhkan.18

Juga dalam undang-undang pidana Jerman ada pembedaan dalam tiga

golongan (verbrechen, vergehen, ubertretungen).19 Menurut Memorie van

Toelichting maka pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu

berdasarkan perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechtsdelict)

dan apa yang disebut “delik undang-undang” (wetsdelict).20 Delik hukum

merupakan suatu perbuatan yang apabila dilakukan oleh masyarakat

dianggap sebagai sebuah kejahatan terlepas perbuatan tersebut diatur dalam

undang-undang atau tidak. Sedangkan delik undang-undang merupakan

suatu perbuatan yang karena ditentukan dalam hukum positif bahwa hal

tersebut dilarang oleh karenanya dianggap delik. Apabila hal tersebut

dilakukan dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Menurut Utrecht dalam

bukunya “Hukum Pidana I” menyatakan bahwa:

“Suatu perbuatan merupakan delik hukum jika perbuatan itubertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaranhukum dari rakyat, terlepas dari pada hal apakah azas-azas tersebutdicantumkan atau tidak dalam undang-undang pidana”.21

Sedangkan yang dimaksud delik undang-undang oleh Utrecht dalam

bukunya tersebut adalah:

“Perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkandalam undang-undang pidana terlepas dari pada hal apakah perbuatantersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan kesadaran hukumdari rakyat. Undang-undang pidana melarang perbuatan-perbuatan itukarena kepentingan umum dan tidak karena perbuatan-perbuatan itubertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaranhukum dari rakyat”.22

18 Ibid, hal. 85.

19 J.E. Jonkers, op cit, hal. 26.

20 Utrecht, op cit., hal. 82.

21 Ibid.

22 Ibid, hal. 83.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

19

UNIVERSITAS INDONESIA

Pembeda lainnya antara delik hukum atau delik undang-undang karena

peraturan-peraturan pidana dengan secara tegas menerangkan bahwa delik

bersangkutan merupakan kejahatan atau pelanggaran.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, KUHP Hindia-Belanda

yang diadopsi ke dalam KUHP Indonesia mengenal Tindak Pidana Ringan

sedangkan Belanda sendiri tidak mengenal lembaga tersebut. Akan tetapi,

seiring perkembangan zaman lembaga Tindak Pidana Ringan semakin

dipertanyakan keberadaannya. Hal ini akan dijelaskan kemudian. Utrecht

dalam bukunya “Hukum Pidana 1” menggunakan istilah kejahatan enteng

sebagai padanan kata lichte misdrijven dalam bahasa Belanda atau kejahatan

ringan atau yang dalam tulisan ini menggunakan istilah Tindak Pidana

Ringan. Penggunaan Tindak Pidana Ringan menurut Utrecht berhubungan

dengan kompetensi pengadilan.

“Oleh sebab di Indonesia pada tahun 1918 hanya di 6 kota besardidirikan suatu raad van justitie yang menjadi pengadilan sehari-haribagi orang Eropa dan oleh sebab dianggap lebih efisien kalau orangEropa, penduduk suatu kota kecil yang letaknya jauh dari suatu kotabesar, yang melakukan suatu kejahatan yang dianggap enteng saja tidakdipaksa pergi ke salah satu di antar 6 kota besar itu untuk mendapatperkaranya diadili, maka pengadilan kejahatan enteng tersebutdiserahkan kepada Landgerecht yang mulai tahun 1917 didirikan di kota-kota yang tidak kecil (misalnya, di tiap-tiap ibu kota kabupaten)”.23

Alasan lain timbulnya lembaga ini dapat melihat pada pendapat Jonkers

dalam bukunya “Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda” yaitu

pekerjaan hakim sehari-hari yang terlalu banyak turut menimbulkan

lembaga ini. Akan tetapi kemudian timbul pertanyaan terhadap keberadaan

Tindak Pidana Ringan ini karena pada tahun 1951 Indonesia menyatukan

semua badan pengadilan tersebut menjadi Pengadilan Negeri.

Definisi mengenai Tindak Pidana Ringan akan sangat sulit

ditemukan dalam KUHP. Definisi Tindak Pidana Ringan yang cukup dapat

dipahami justru dapat ditemukan dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum

23 Ibid, hal. 104

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

20

UNIVERSITAS INDONESIA

pidana formal dari KUHP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP yang mengatur

mengenai ketentuan pemeriksaan acara cepat menyatakan bahwa:

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan ialahperkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lamatiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratusrupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2Bagian ini”.24

KUHAP memberikan penjelasan dari bunyi pasal ini, yaitu:

“Tindak pidana "penghinaan ringan" ikut digolongkan di sini dengandisebut tersendiri, karena sifatnya ringan sekalipun ancaman, pidanapenjara paling lama empat bulan”.25

Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai definisi

Tindak Pidana Ringan, yaitu sebuah perkara yang ancaman hukuman

penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak

tujuh ribu lima ratus rupiah. Perkara penghinaan ringan berdasarkan pasal

ini sekalipun diancam dengan hukuman yang lebih berat dari tiga bulan

namun dianggap masuk dalam kategori Tindak Pidana Ringan ini karena

memandang dari sifatnya yang cukup ringan. Apabila ditelusuri lebih jauh

bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP maka setidaknya terdapat

sembilan pasal yang tergolong bentuk Tindak Pidana Ringan ini, yaitu Pasal

302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat

(1) mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan,

Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan

ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1)

mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan

Pasal 315 mengenai penghinaan ringan.

24 Indonesia (a), op cit., Pasal 205 ayat (1).

25 Ibid, Penjelasan Pasal 205 ayat (1).

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

21

UNIVERSITAS INDONESIA

a. Pasal 302 ayat (1) KUHP

Pasal 302 ayat (1) KUHP ini mengatur mengenai penganiayaan

ringan terhadap hewan. Lebih lengkapnya pasal ini berbunyi sebagai

berikut:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidanadenda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukanpenganiayaan ringan terhadap hewan:1. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas,

dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikankesehatannya;

2. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batasyang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidakmemberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan,yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada dibawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajibdipeliharanya.”26

Pasal ini mengatur mengenai delik formal, yaitu dilakukan dengan

perbuatan yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Dengan

demikian delik formal ini menekankan pada bentuk perbuatan si pelaku

yang ditentukan dalam undang-undang. Pada Pasal 302 ayat (1) KUHP ini

ditentukan bahwa bentuk perbuatan yang tergolong dalam penganiayaan

ringan terhadap hewan adalah dengan sengaja menyakiti atau melukai

hewan atau merugikan kesehatannya. Termasuk dalam perbuatan

penganiayaan terhadap hewan ini adalah dengan sengaja tidak memberi

makan hewan. Delik penganiayaan binatang yang ringan berasal dari tahun

1934 (S’ 34-544).27 Melihat pada bunyi pasal tersebut, untuk dapat

dipidananya seorang pelaku yang melakukan penganiayaan ringan

terhadap hewan tidak hanya harus memenuhi unsur menyakiti, melukai,

merugikan kesehatan ataupun tidak memberi makan melainkan juga harus

memenuhi unsur kesengajaan. Belum lama ini terdapat sebuah kasus yang

terjadi sekitar tahun 2011 yang berhubungan dengan penganiayaan ringan

26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Moeljatno, (Bumi Aksara:Yogyakarta, 2007),

Pasal 302 ayat (1).

27 Jonkers, op cit., hal. 48.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

22

UNIVERSITAS INDONESIA

terhadap hewan ini. Kasus yang dimaksud terjadi di wilayah Pemekasan

dan berhubungan dengan salah satu budaya Indonesia, yaitu Karapan Sapi.

Kalangan profesi advokat di Pamekasan, Madura, meminta aparat

kepolisian dari jajaran Polres setempat bertindak tegas terkait praktik

penyiksaan terhadap sapi dalam pelaksanaan karapan di wilayah itu.28

Dalam praktik Karapan Sapi di daerah Pemekasan tersebut disertai dengan

membancok pantat sapi atau mengelas matanya dengan balsem agar

larinya kencang sehingga dapat diancam dengan pasal ini. Pasal 302 ayat

(1) KUHP ini mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama tiga

bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

b. Pasal 352 ayat (1) KUHP

Pasal 352 ayat (1) KUHP mengatur mengenai penganiayaan

ringan. Pasal ini secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

“Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, makapenganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untukmenjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagaipenganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan ataupidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukankejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadibawahannya”.29

Melihat bunyi pasal tersebut maka ukuran yang menjadi patokan

penganiayaan biasa atau ringan adalah ukuran tidak menimbulkan

penyakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan. KUHP

yang berlaku sebelum tahun 1918 juga mengenal bentuk ini. Tetapi pada

waktu itu tidak berlaku ukuran yang lain, yaitu bahwa perbuatan tersebut

tanpa mempergunakan senjata atau alat lain yang berbahaya, tidak atau

hanya menyebabkan luka sementara saja.30 Yang dimaksud dengan

28 Polisi Diminta Bertindak Tegas Soal Penyiksaan Sapi, diakses darihttp://www.antarajatim.com/lihat/berita/74448/polisi-diminta-bertindak-tegas-soal-penyiksaan-sapi pada tanggal 31 Mei 2012 pada pukul 10.15 WIB..

29 Indonesia (d), , Pasal 352 ayat (1).

30 Jonkers, op cit., hal. 47.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

23

UNIVERSITAS INDONESIA

penyakit bukan di luar saja, tetapi keadaan teratur dalam badan yang

terganggu (arres Hof Amsterdam 35 Maret 1890 W. 5865).31 Dengan

demikian patokan penyakit dalam hal ini tidak hanya luka yang tampak

dari luar melainkan juga terganggunya sistem tubuh sehingga terjadi

gangguan dalam menjalankan fungsinya. Contoh kasus penerapan pasal ini

yang cukup menjadi sorotan media massa belakangan ini adalah kasus

penganiayaan yang dilakukan Dewi Persik terhadap Julia Perez. Pada

akhir kasus ini Dewi Persik kemudian dinyatakan bersalah melakukan

tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP dan

divonis dua bulan penjara. Pasal 352 ayat (1) KUHP ini sendiri

mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

c. Pasal 364 KUHP

Pasal 364 ini mengatur mengenai pencurian ringan. Pasal ini

merupakan bentuk ringan dari Pasal 362 mengenai pencurian biasa. Pasal

364 ini berbunyi sebagai berikut:

“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan Pasal 363 ayat (1)angka 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ayat(1) angka 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah ataupekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuritidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurianringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana dendapaling banyak sembilan ratus rupiah”.32

Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pencurian biasa,

pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,

atau pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau

untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak,

memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, asal tidak dilakukan dalam

sebuah rumah atau dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan jika

31 Ibid.

32 Indonesia (d), op cit., Pasal 364.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

24

UNIVERSITAS INDONESIA

harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 25,00 (dua puluh lima

rupiah) dihukum sebagai pencurian ringan.

Bentuk perbuatan pencurian itu sendiri dapat merujuk pada pasal

pokoknya yaitu Pasal 362 KUHP. Pasal tersebut mengatur delik formal

yang menjelaskan bentuk perbuatan pencurian sebagai mengambil barang

sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan

maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Salah satu unsur yang

perlu diperhatikan dalam pasal ini adalah unsur nilai barang yang dicuri

tersebut tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Nilai dua ratus lima

puluh rupiah tersebut telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah No.

16 Tahun 1960 yang sebelumnya hanya bernilai dua puluh lima rupiah.

Terhadap pencurian ringan ini diancam dengan hukuman paling lama tiga

bulan penjara atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

d. Pasal 373 KUHP

Pasal 373 KUHP ini mengatur mengenai perkara penggelapan

ringan. Sama halnya dengan Pasal 364 KUHP sebelumnya, Pasal 373 ini

merupakan bentuk ringan dari Pasal 372 KUHP sebagai pasal pokoknya

dan merupakan delik formal. Pasal 373 KUHP ini berbunyi sebagai

berikut:

“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkanbukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah,diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lamatiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.33

Bentuk perbuatan penggelapan itu sendiri dapat dilihat dari Pasal 372

KUHP, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang

sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi

berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Unsur Pasal 373

KUHP selain bentuk perbuatan penggelapan namun juga nilai barang yang

tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dan bukan ternak. Yang

dimaksud dengan ternak menurut Pasal 101 KUHP adalah semua binatang

33 Ibid, Pasal 373.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

25

UNIVERSITAS INDONESIA

berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi. Menurut Jonkers,

mencuri ternak pula merupakan keadaan yang memberatkan pencurian

yang menyebabkan delik sederhana menjadi delik yang tertentu sifatnya

(dikualifisir).34 Di Hindia-Belanda sendiri banyak terjadi pencurian ternak

dan menimbulkan kerugian yang banyak pada masyarakat karena

peternakan merupakan miliknya yang terpenting. Oleh sebab itu,

penggelapan ternak pun pada akhirnya mengecualikan bentuk penggelapan

ringan. Terhadap bentuk penggelapan ringan ini diancam dengan pidana

penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus

rupiah.

e. Pasal 379 KUHP

Pasal 379 KUHP ini mengatur mengenai bentuk kejahatan

penipuan ringan. Pasal ini berbunyi sebagai berikut:

“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika barang yangdiserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang ataupiutang itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagaipenipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan ataupidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.35

Sama halnya dengan Pasal 364 atau Pasal 373 KUHP di mana bentuk

perbuatan pidananya dapat ditemukan dalam pasal pokoknya, bentuk

perbuatan penipuan dalam Pasal 379 pun dapat ditemukan dalam pasal

pokoknya yaitu Pasal 378 dan merupakan delik formal. Bentuk perbuatan

penipuan yang diatur dalam pasal tersebut adalah dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,

dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan

barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapuskan

piutang. Unsur pasal 379 KUHP ini selain daripada bentuk perbuatan

penipuan itu sendiri termasuk juga nilai barang, utang atau piutang yang

34 Jonkers, op cit., hal. 42

35 Indonesia (d), op cit., Pasal 379.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

26

UNIVERSITAS INDONESIA

tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dan bukan ternak. Penjelasan

serupa mengenai ternak juga berlaku di pasal ini. Terhadap penipuan

ringan ini diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau

denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

f. Pasal 384 KUHP

Pasal 384 KUHP ini mengatur mengenai penipuan dalam

penjualan. Pasal 384 KUHP ini berbunyi sebagai berikut:

“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 383, diancam dengan pidanapenjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratusrupiah, jika jumlah keuntungan yang di peroleh tidak lebih dari duaratus lima puluh rupiah”.36

Pasal 384 KUHP ini merupakan bentuk ringan dari Pasal 383 KUHP.

Dengan demikian unsur Pasal 384 KUHP selain bentuk perbuatan dari

penipuan penjualan namun termasuk juga unsur nilai keuntungan yang

diperoleh tidak melebihi dua ratus lima puluh rupiah. Bentuk perbuatan

penipuan dalam penjualan sendiri dapat dilihat dari Pasal 383 KUHP

sebagai pasal pokoknya dan merupakan delik formal, yaitu:

1. Dengan sengaja menyerahkan barang yang lain daripada yang

ditunjuk untuk dibeli

2. Mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan dengan

menggunakan tipu muslihat.

Terhadap penipuan dalam penjualan dengan nilai keuntungan yang

tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah ini diancam dengan pidana

penjara paling lama tiga bulan atau denda sembilan ratus rupiah.

Keuntungan yang telah diperoleh, seperti yang dijelaskan selalu dapat

diukur dengan uang karena yang dimaksud ialah perbedaan harga antara

barang yang diserahkan dan barang yang seharusnya diserahkan.37

36 Ibid, Pasal 384.

37 Jonkers, op cit., hal. 47

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

27

UNIVERSITAS INDONESIA

g. Pasal 407 ayat (1) KUHP

Pasal 407 ayat (1) KUHP ini mengatur mengenai perusakan barang

ringan dan merupakan bentuk ringan dari Pasal 406 KUHP. Bunyi Pasal

407 ayat (1) ini adalah sebagai berikut:

“Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406, jika hargakerugian tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam dengan pidanapenjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak duaratus lima puluh rupiah”.38

Untuk dapat memahami bentuk kejahatan yang diterangkan dalam Pasal

407 ayat (1) KUHP ini maka sebelumnya harus terlebih dahulu dijelaskan

mengenai Pasal 406 KUHP sebagai pasal pokoknya. Kejahatan yang

dimaksud dalam Pasal 406 KUHP adalah:

(1) “Dengan sengaja dan secara melawan hukum menghancurkan,merusak, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan barangsesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain

(2) Dengan sengaja dan secara melawan hukum membunuh,merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkanhewan yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”.39

Dengan demikian, unsur Pasal 407 ayat (1) KUHP ini harus

terlebih dahulu memenuhi unsur pasal 406 KUHP ditambah dengan unsur

nilai kerugian yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Akan

tetapi, apabila kejahatan yang diatur dalam Pasal 406 ayat (2) KUHP

dilakukan dengan mamasukkan bahan-bahan yang merusak nyawa atau

kesehatan atau bila hewan itu termasuk ternak (Pasal 101 KUHP) maka

sekalipun nilai kerugiannya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah

maka Pasal 407 ayat (1) KUHP ini tidak dapat diberlakukan. Ketentuan

mengenai hal ini diatur dalam Pasal 407 ayat (2) KUHP. Penjelasannya

mengatakan (Geschiedenis, etc. Halaman 470) bahwa pemakaian bahan-

bahan itu dapat juga membahayakan manusia.40 Oleh sebab itu, apabila

pelaku memenuhi ketentuan ini maka yang diberlakukan bukan Pasal 407

38 Indonesia (d), op cit., Pasal 407 ayat (1).

39 Ibid, Pasal 406.

40 Jonkers, op cit., hal. 52

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

28

UNIVERSITAS INDONESIA

ayat (1) ataupun Pasal 406 KUHP melainkan Pasal 408 KUHP. Pelaku

yang memenuhi unsur Pasal 407 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana

penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus

rupiah.

h. Pasal 482 KUHP

Pasal 482 KUHP ini mengatur mengenai penadahan ringan dan

merupakan bentuk ringan dari Pasal 480 KUHP. Pasal 482 KUHP ini

berbunyi sebagai berikut:

“Perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 480, diancam karenapenadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan ataupidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan darimana benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yangdirumuskan dalam pasal 364, 373, dan 379”.41

Dengan demikian, penadahan dapat menjadi bentuk penadahan ringan

apabila benda bersangkutan diperoleh dari hasil bentuk kejahatan ringan

lainnya, yaitu Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan

ringan), atau Pasal 379 KUHP (penipuan ringan). Bentuk penadahan itu

sendiri dijelaskan dalam Pasal 480 KUHP, yaitu:

(1) Barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai,menerima sebagai hadiah, atau karena ingin mendapat keuntungan,menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan, ataumenyembunyikan menyewakan, suatu benda, yang diketahui atausepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan;

(2) Barang siapa menarik keuntungan dari hasil suatu benda yangdiketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh darikejahatan.42

Sama halnya dengan pasal-pasal sebelumnya, unsur Pasal 482 ini termasuk

juga unsur penadahan yang diatur dalam Pasal 480 ditambah dengan unsur

benda diperoleh dari salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal

364, 373, atau 379 KUHP. Terhadap pendahan ringan ini diancam dengan

41 Indonesia (d), op cit., Pasal 482.

42 Ibid., Pasal 480.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

29

UNIVERSITAS INDONESIA

pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan

ratus rupiah.

i. Pasal 315 KUHP

Pasal 315 KUHP mengatur mengenai kejahatan penghinaan ringan.

Dalam KUHP Belanda lebih dikenal dengan istilah penghinaan bersengaja

yang pasalnya pun berbunyi penghinaan bersengaja. Pada awalnya bentuk

kejahatan ini tidak masuk dalam golongan kejahatan ringan. Kontroversi

kemudian timbul dan mempertanyakan mengapa penghinaan harus diadili

oleh majelis hakim sedangkan bentuk kejahatan ringan terhadap harta

kekayaan yang lebih berat sifatnya dapat diadili dengan hakim tunggal. Ini

menyebabkan pada tahun 1920 (S. 1920—472) kejahatan penghinaan

sederhana ditambah pada kejahatan-kejahatan ringan.43 Pasal 315 KUHP

ini sendiri berbunyi sebagai berikut:

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaranatau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itusendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkanatau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan denganpidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana dendapaling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.44

Berbeda dengan bentuk kejahatan ringan lainnya yang ancaman

hukumannya paling lama tiga bulan penjara, kejahatan penghinaan ringan

yang diatur dalam Pasal 315 KUHP ini diancam dengan pidana penjara

paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah. Penggolongan penghinaan ringan ini disebutkan secara

tegas dalam undang-undang. Pada penjelasan Pasal 205 KUHAP secara

tegas disebutkan tindak pidana “penghinaan ringan” ikut digolongkan di

sini dengan disebut tersendiri karena sifatnya ringan sekalipun ancaman

pidana penjara paling lama empat bulan. Bentuk penghinaan ringan ini

ditentukan terbatas oleh undang-undang, yaitu dilakukan baik di depan

43 Jonkers, op cit., hal. 50

44 Indonesia (d), op cit., Pasal 315.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

30

UNIVERSITAS INDONESIA

umum dengan lisan atau tulisan maupun di depan orang itu sendiri dengan

lisan atau perbuatan atau dengan surat yang dikirimkan kepadanya namun

tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis. Contoh kasus yang

terjadi belakangan ini adalah kasus penghinaan terhadap Suradi Hi A.

Karim politisi Partai Golkar oleh Anggota DPRD Banyumas, Yoga

Sugama. Yoga dilaporkan dengan tuduhan melakukan Tindak Pidana

Ringan penghinaan atau penistaan. Yakni menyebut salah satu organ

perempuan dalam pesan pendek yang dia kirim kepada Suradi.45

Dari sembilan bentuk Tindak Pidana Ringan tersebut, 6 bentuk di

antaranya sulit ditemukan kasusnya sekarang ini karena selain harus

memenuhi unsur perbuatannya namun juga harus memenuhi unsur nilai

barang dalam perkara tersebut yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh

rupiah. Penulis telah mencontohkan kasus terhadap Pasal 302, 352 ayat (1),

dan Pasal 315 KUHP yang terjadi belakangan ini. Kasus-kasus tersebut

dimungkinkan dapat terjadi karena memang tidak dibutuhkan unsur nilai

barang di dalamnya. Sedangkan terhadap Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat

(1) atau Pasal 482 KUHP memerlukan unsur nilai barang dalam perkara

untuk dipenuhi.

2.2 Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut KUHAP

Hukum pidana dalam arti luas terdiri dari hukum pidana (substantif

atau material) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).46 Hukum

pidana material dapat ditemukan dalam KUHP dan hukum pidana formal

sebagai pelaksana hukum pidana material diatur dalam KUHAP. Apabila

hukum dibagi atas hukum publik dan privat maka keberadaan hukum acara

pidana ada di ranah hukum publik. Sifat publik hukum acara pidana karena

yang bertindak jika terjadi pelanggaran pidana ialah negara (melalui alat-

45 Yoga Sugama Dilaporkan Ke Polisi, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/02/178929/Yoga-Sugama-Dilaporkan-ke-Polisi pada tanggal 31 Mei2012 pukul 11.45 WIB.

46 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 9

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

31

UNIVERSITAS INDONESIA

alatnya).47 Perkara-perkara Tindak Pidana Ringan ditentukan bentuk

perbuatannya dalam KUHP beserta ancaman hukumannya sebagai bentuk

hukum pidana materialnya. Sedangkan penyelesaian perkara Tindak Pidana

Ringan tersebut diatur dalam KUHAP sebagai hukum pidana formalnya.

Dalam perkara pidana terlibat banyak pihak. Dalam proses

penyelesaian perkara pidana tersebut terdapat tersangka atau terdakwa,

penyelidik, penyidik, Penuntut Umum, dan Penasehat Hukum, sedangkan

hakim merupakan pihak yang netral atau tidak memihak pihak mana pun.

Pihak-pihak ini kemudian tergabung dalam sistem saling berhadapan yang

disebut dengan sistem pemeriksaan akusator (accuisatoir). Dahulu dipakai

sistem inkuisator (inquisitoir) yang mana terdakwa menjadi objek

pemeriksaan sedangkan hakim dan penuntut umum berada pada pihak yang

sama.48 Akan tetapi, terhadap perkara-perkara tertentu tidak semua pihak ini

kemudian saling berhadapan dalam proses penyelesaian perkara, misalnya

pada perkara Tindak Pidana Ringan. Terhadap perkara Tindak Pidana

Ringan ini diberlakukan pemeriksaan dengan acara cepat sebagaimana telah

disinggung sebelumnya pada Bab I.

KUHAP mengatur tiga bentuk pemeriksaan di sidang pengadilan

dalam Bab XVI yang mengatur pemeriksaan perkara di sidang pengadilan

dengan acara pemeriksaan biasa, singkat atau sumir, dan cepat. Dasar

pembedanya dapat dilihat dari jenis tindak pidana atau dari segi mudah

sulitnya proses pembuktiannya. Dalam acara pemeriksaan biasa, proses

sidang dilaksanakan dengan tata cara pemeriksaan sebagaimanaan

ditentukan undang-undang, dihadiri oleh penuntut umum. Dalam acara

pemeriksaan biasa ini terdapat prinsip-prinsip yang menjadi landasan bagi

aparat ataupun terdakwa. Prinsip yang dimaksud antara lain pemeriksaan

terbuka untuk umum, terdakwa hadir dalam persidangan, hakim ketua

sidang memimpin pemeriksaan, pemeriksaan dilakukan secara langsung

dengan lisan, pemeriksaan terhadap terdakwa atau saksi dilakukan secara

47 Ibid, hal. 10.

48 Ibid, hal. 61

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

32

UNIVERSITAS INDONESIA

bebas, pemeriksaan lebih dahulu mendengar keterangan saksi. Prinsip

pemeriksaan terbuka untuk umum diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP

dengan pengecualian pemeriksaan terhadap perkara kesusilaan atau perkara

terdakwanya anak-anak. Pelanggaran terhadap prinsip ini diatur dalam Pasal

153 ayat (4) KUHAP dengan batalnya putusan demi hukum. Prinsip

terdakwa hadir dalam persidangan dapat ditemukan dasar hukumnya dalam

Pasal 154 KUHAP. Pemeriksaan in absentia tidak dibenarkan oleh hukum

dalam pemeriksaan acara biasa atau singkat. Prinsip hakim ketua sidang

memimpin persidangan dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 217

KUHAP yang menegaskan bahwa hakim ketua sidang bertindak memimpin

jalannya pemeriksaan persidangan dan memelihara tata tertib persidangan.

Prinsip pemeriksaan dilakukan secara langsung dan lisan diatur dalam Pasal

153 ayat (2) huruf a KUHAP yang menegaskan bahwa ketua sidang dalam

memimpin pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan secara “langsung

dengan lisan”. Pengecualian terhadap prinsip ini dimungkinkan bagi mereka

yang “bisu” atau “tuli”, pertanyaan dan jawaban dapat dilakukan secara

tertulis. Terhadap pelanggaran prinsip ini oleh Pasal 153 ayat (4) KUHAP

diancam dengan batalnya putusan demi hukum. Pasal 153 ayat (2) huruf b

KUHAP mengatur prinsip wajib menjaga pemeriksaan secara bebas. Baik

kepada terdakwa maupun saksi tidak boleh dilakukan “penekanan” atau

“ancaman” yang bisa menimbulkan hilangnya kebeasan mereka

memberikan keterangan.49 Proses pemeriksaan dengan acara biasa diatur

dalam Bagian Ketiga Bab XVI. Berikut ini bagan prosedur pemeriksaan

dengan acara biasa.

49 Yahya harahap, op cit., hal. 109.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

33

UNIVERSITAS INDONESIA

Bagan 2.1

Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Biasa

Di samping pemeriksaan dengan acara biasa, KUHAP juga

mengenal pemeriksaan perkara dengan acara singkat atau sumir. Bentuk

acara pemeriksaan singkat ini diatur dalam Pasal 203 KUHAP. Perkara yang

termasuk dalam pemeriksaan acara singkat ini adalah perkara yang tidak

termasuk dalam Pasal 205 KUHAP (Tindak Pidana Ringan atau Lalu Lintas

Jalan) dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan

hukumnya mudah serta sifatnya sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal

203 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, ciri dari perkara singkat ini adalah

pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Yang

dimaksud dengan sifat perkara sederhana adalah pemeriksaan perkara yang

tidak memerlukan persidangan yang memakan waktu lama dan

kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau mungkin dapat

diputus dengan satu kali atau dua kali persidangan saja. Yang dimaksud

dengan sifat pembuktian dan penerapan hukumnya mudah, terdakwa sendiri

Hakim membuka sidang-

terbuka untuk umum.

Pengecualian untuk perkara

anak di bawah umur dan

susila (Pasal 153 ayat (3)

KUHAP)

Pemeriksaan

dilakukan secara lisan

dengan bahasa

Indonesia (Pasal 153

ayat (2) huruf a

KUHAP)

Terdakwa pertama dipanggil

masuk (Pasal 154 ayat (1)

KUHAP). Apabila terdakwa tidak

hadir maka diteliti

pemanggilannya sah atau tidak

Hakim menanyakan

identitas tedakwa dan

mengingatkan terdakwa

untuk memperhatikan

sidang (Pasal 155 ayat

(1) KUHAP)

Penuntut Umum

membacakan surat

dakwaan. Hakim

menanyakan terdakwa

mengerti isi dakwaan

atau tidak.

Terdakwa atau Penasehat

Hukum dapat mengajukan

keberatan atau eksepsi (error

in persona, obscuur libellum,

atau kewenangan mengadili)

Hakim mengambil

keputusan menerima

atau menolak

keberatan (154 ayat 1)

Pembuktian

Kalau pemeriksaan

dipandang sudah

selesai, penuntut

umum mengajukan

tuntutan

Terdakwa atau Penasehat Hukum

dapat mengajukan pembelaan.

(penuntut umum dapat

menjawab pembelaan begitupula

terdakwa)

Hakim mengambil

keputusan

Keberatan diterima,

pemeriksaan tidak

dilanjutkan

Keberatan ditolak,

pemeriksaan dilanjutkan

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

34

UNIVERSITAS INDONESIA

pada waktu pemeriksaan penyidikan telah “mengakui” sepenuhnya

perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Di samping pengakuan itu,

didukung dengan alat bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan

terdakwa secara sah menurut undang-undang.50 Patokan yang dapat diambil

penuntut umum dalam menggolongkan perkara singkat adalah perkara yang

diancam lebih dari 3 bulan penjara atau kurungan atau denda lebih dari Rp.

7.500,00 dan biasanya apabila pidana yang akan akan dijatuhkan pengadilan

tidak melampaui 5 tahun penjara maka dapat digolongkan ke dalam perkara

singkat. Ditinjau dari tata cara pemeriksaannya, pemeriksaan perkara biasa

dan perkara singkat tidak jauh berbeda. Yang membedakan tata cara

pemeriksaan tersebut hanya terdapat pada beberapa hal seperti yang

dirumuskan dalam Pasal 203 ayat (3) KUHAP.

“Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Keduadan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangandengan ketentuan di bawah ini :

a. 1. Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidangmenjawab segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan dari catatannyakepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakankepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaanpada waktu tindak pidana itu dilakukan;

2. Pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang danmerupakan pengganti surat dakwaan;

b. Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supayadiadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empatbelas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umumbelum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, makahakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilandengan cara biasa;

c. Guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa danatau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan palinglama tujuh hari;

d. Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acarasidang;

e. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;f. Isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti

putusan pengadilan dalam acara biasa”.51

50 Ibid, hal. 378

51 Indonesia (a), Pasal 203 ayat (3).

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

35

UNIVERSITAS INDONESIA

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka pemeriksaan dengan

acara singkat tetap mengacu pada pemeriksaan dengan acara biasa. Pada

pemeriksaan acara singkat tetap dilakukan pemanggilan terdakwa, saksi

maupun ahli sebagaimana dimaksud dalam bagian Kesatu Bab XVI.

Sedangkan pada bagian Kedua Bab tersebut diatur mengenai sengketa

wewenang mengadili. Dengan demikian setiap pengadilan yang menerima

perkara singkat terlebih dahulu meneliti kewenangannya dalam mengadili

perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 84, 85 dan 86. Pasal 203

ayat (1) KUHAP juga menyebut mengenai bagian Ketiga Bab XVI yaitu

mengenai tata cara pemeriksaan.

Semua aturan yang berlaku bagi acara biasa berlaku juga dalam

acara singkat. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 203 KUHAP ayat (1)

terdapat pula hal yang secara khusus menyimpang dari acara pemeriksaan

biasa. Hal itu adalah sebagai berikut:

1. “Penuntut umum tidak membuat surat dakwaan, hanya memberikandari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yangdidakwakan kepadanya dengan menerangan waktu, tempat, dankeadaan pda waktu tindak pidana itu dilakukan. Pemberitahuan itudicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti suratdakwaan (Pasal 203 ayat (3) huruf a).

2. Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acarasidang (Pasal 203 ayat (3) huruf d)

3. Hakim membuat surat yang memuat amar putusan tersebut (Pasal203 ayat (3) huruf e)”.52

Pada pemeriksaan dengan acara singkat, Pengadilan telah

menetapkan terlebih dahulu hari tertentu untuk memeriksa perkara singkat

yang kemudian diberitahukan pada penuntut umum. Pada hari tersebutlah,

penuntut umum langsung membawa dan melimpahkan berkas perkara

singkat. Berkas pelimpahan tidak dilimpahkan lebih dahulu dengan surat

pelimpahan tapi langsung dilimpahkan di sidang pengadilan. Dengan

demikian, perkara diperiksa dan disidangkan sebelum diregister di

52 Andi hamzah, op cit., hal. 241.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

36

UNIVERSITAS INDONESIA

kepaniteraan. Apabila pada pemeriksaan perkara biasa, perkara

dilimpahkan dengan surat pelimpahan yang dilengkapi dengan surat

dakwaan maka dalam acara singkat pelimpahan dilakukan tanpa disertai

surat dakwaan ditinnjau dari segi formalitas. Akan tetapi, hal ini tidak

mengurangi kebijaksaan penuntut umum menyertakan surat dakwaan

dalam pelimpahan karena undang-undang tidak melarang. Dalam Pasal

203 ayat (3) huruf b KUHAP disebutkan pula terdapat pemeriksaan

tambahan dalam acara pemeriksaan singkat. Yang dimaksud pemeriksaan

tambahan dalam hal ini adalah menyempurnakan pemeriksaan

penyidikan, hakim meminta kepada penuntut umum agar penyidik

menyempurnakan pemeriksaan penyidikan tentang hal-hal yang dianggap

perlu disempurnakan.

Bentuk pemeriksaan perkara terakhir yang diatur dalam KUHAP

adalah pemeriksaan dengan acara cepat yang menjadi fokus dalam subbab

ini. Hal ini dikarenakan Tindak Pidana Ringan yang menjadi fokus kajian

diperiksa dengan acara cepat. Bentuk pemeriksaan ini dalam HIR dikenal

dengan istilah perkara rol. Seperti halnya pemeriksaan dengan acara

singkat, pemeriksaan dengan acara cepat juga berpedoman pada

pemeriksaan acara biasa dengan pengecualian tertentu. Pasal 210 KUHAP

berbunyi sebagai berikut:

“Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian KetigaBab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan denganParagraf ini.”53

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya pada bagian

pemeriksaan dengan acara singkat, bagian Kesatu yang dimaksud dalam

Bab XVI adalah mengenai tata cara pemanggilan terdakwa, saksi atau ahli.

Sedangkan bagian Kedua merupakan bagian yang mengatur sengketa

mengadili dan bagian Ketiga merupakan bagian yang mengatur tata cara

pemeriksaan. Dengan demikian, pemeriksaan dengan acara cepat pada

dasarnya merujuk pada pemeriksaan dengan acara biasa. Sebelum

53 Indonesia (a), op cit., Pasal 210.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

37

UNIVERSITAS INDONESIA

membicarakan prosedur pemeriksaan dengan acara cepat maka terlebih

dahulu akan didefinisikan kembali pengertian Tindak Pidana Ringan.

Ukuran yang menjadi patokan menentukan sesuatu perkara diperiksa

dengan acara ringan secara umum ditinjau dari ancaman tindak pidana

yang didakwakan, paling lama 3 bulan penjara atau kurungan dan atau

denda paling banyak Rp. 7.500,00 tanpa mengurangi pengecualian

terhadap tindak pidana penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal

315 KUHP54. Definisi Tindak Pidana Ringan ini sesuai dengan bunyi

Pasal 205 ayat (1) sebagai berikut:

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringanialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurunganpaling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribulima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalamParagraf 2 Bagian ini”.55

Sama halnya dengan pemeriksaan acara singkat, dalam

pemeriksaan acara cepat Pengadilan Negeri menentukan hari-hari tertentu

yang khusus digunakan untuk memeriksa perkara Tindak Pidana Ringan.

Berdasarkan Pasal 206, Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh

hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan Tindak Pidana

Ringan. Berikut ini adalah bagan prosedur pemeriksaan dengan acara

cepat.

54 Yahya Harahap, op cit, hal. 402

55 Indonesia (a), op cit., Pasal 205 ayat (1).

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

38

UNIVERSITAS INDONESIA

Bagan 2

Bagan Pemeriksaan Perkara dengan Acara Cepat

Pada pemeriksaan dengan acara cepat, prosedur pelimpahan dan

pemeriksaan perkara dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh

penuntut umum. Ketentuan ini sedikit bereda dari prosedur pemeriksaan

Pelimpahan perkara Tindak PidanaRingan, dilakukan Penyidik tanpamelalui aparat Penuntut Umum.

(Pasal 205 ayat (2) KUHAP)

Dalam tempo 3 (tiga) hari Penyidikmenghadapkan segala sesuatu yang

diperlukan ke sidang, terhitung sejakBerita Acara Pemeriksaan selesai

dibuat Penyidik.

(Pasal 205 ayat (2) KUHAP)

Penyidik mengambil alihwewenang aparat Penuntut Umum,

menghadapkan terdakwa besertabarang bukti, saksi, ahli dan juru

bahasa ke pengadilan

(Pasal 205 ayat (2) KUHAP)

Pengadilan menentukan hari

tertentu dalam 7 (tujuh) hari untukmengadili perkara dengan acara

pemeriksaan Tindak PidanaRingan.

(Pasal 206 KUHAP)

Setelah diterima, perkara disidangkan

pada hari itu juga.

(Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP)

Hari tersebut diberitahukanPengadilan kepada Penyidik supaya

dapat memberitahukan waktu sidangkepada terdakwa dan dicatat sertakemudian diserahkan bersamaan

dengan berkas perkara.

(Pasal 207 ayat (1) huruf a KUHAP)

Setelah Pengadilan menerima perkaradengan Acara Pemeriksaan Tindak

Pidana Ringan, Hakim yang bertugasmemerintahkan Panitera untukmencatat dalam buku register.

(Pasal 207 ayat (2) KUHAP)

Pemeriksaan perkara denganHakim tunggal.

(Pasal 205 ayat (3) KUHAP

Saksi dalam acara pemeriksaanTindak Pidana Ringan tidak

mengucapkansumpah atau janji kecuali hakim

menganggap perlu.

(Pasal 208 KUHAP)

Pemeriksaan perkara tidak dibuatBAP, karena Berita Acara

Pemeriksaan yang dibuat olehpenyidik sekaligus dianggap dan

dijadikan BAP Pengadilan.

(Pasal 209 ayat (2) KUHAP)

BAP Pengadilan dibuat, jikaternyata hasil pemeriksaan sidangPengadilan terdapat hal-hal yangtidak sesuai dengan Berita Acara

Pemeriksaan yang dibuat Penyidik.

(Pasal 209 ayat (2)

Putusan dalam pemeriksaan perkaraTindak Pidana Ringan tidak dibuat

secara khusus dan tidak dicatat/disatukan dalam BAP. Putusannyacukup berupa bentuk catatan yang

berisi amar-putusan yangdisiapkan/dikirim oleh Penyidik.

(Pasal 209 ayat (1) KUHAP

Catatan tersebut dicatat dalambuku register dan ditanda tangani

oleh Hakim.

(Pasal 209 ayat (1) KUHAP)

Pencatatan dalam buku registerditandatangani oleh Hakim dan

Panitera sidang.

(Pasal 209 ayat (1) KUHAP)

Jika terdakwa tidak hadir, Hakimdapat menyerahkan putusan tanpa

hadirnya terdakwa;

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

39

UNIVERSITAS INDONESIA

dengan acara biasa maupun singkat. Dengan adanya ketentuan khusus ini

maka ketentuan umum yang mengatur kewenangan penuntut umum dalam

hal penuntutan dikesampingkan. Oleh sebab itu, dalam prosedur

pemeriksaan dengan acara cepat penyidik mengambil alih wewenang

penuntutan yang dimiliki oleh penuntut umum. Berdasarkan Pasal 205 ayat

(2) KUHAP, penyidik “atas kuasa” penuntut umum melimpahkan berkas

perkara langsung ke pengadilan dan berwenang langsung menghadapkan

terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa ke sidang

pengadilan. Maksud “atas kuasa”. Menurut penjelasan Pasal 205 ayat (2)

KUHAP ini adalah sebagai berikut;

“Yang dimaksud dengan "atas kuasa" dari penuntut umum kepadapenyidik adalah demi hukum. Dalam hal penuntut umum hadir, tidakmengurangi nilai "atas kuasa" tersebut”.56

Berdasarkan penjelasan Pasal 205 ayat (2) KUHAP tersebut maka “atas

kuasa” penuntut umum tersebut merupakan “demi hukum”. Penguasaan

tersebut ditentukan secara tegas oleh undang-undang dan secara otomatis

menjadi “atas kuasa undang-undang”. Oleh sebab itu, penyidik bertindak

“atas kuasa” penuntut umum tanpa perlu didahului oleh surat kuasa karena

undang-undang sendiri telah mengatur hal tersebut. Dalam penjelasan

pasal tersebut juga ditentukan bahwa ketentuan nilai “atas kuasa” ini tidak

berkurang sekalipun penuntut umum tetap hadir. Kehadiran penuntut

umum tersebut pada akhirnya tidak akan berpengaruh apa pun dalam

proses pemeriksaan. Tak ubahnya hanya sebagai pengunjung biasa tanpa

wewenang apa pun untuk mencampuri jalannya pemeriksaan.57

Seperti diuraikan dalam bagan di atas, penyidik berwenang

menghadapkan terdakwa, barang bukti, saksi, ahli, atau juru bahasa ke

pengadilan dalam waktu tiga hari sebagaimana pula diatur dalam Pasal 205

ayat (2) KUHAP. Definisi “dalam waktu tiga hari” ini sedikit kabur karena

undang-undang tidak mengatur tiga hari sebagai jangka waktu paling lama

56 Indonesia (a), op cit., Penjelasan Pasal 205 ayat (1).

57 Yahya Harahap, op cit., hal. 403.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

40

UNIVERSITAS INDONESIA

atau minimum. Menurut Yahya Harahap, “dalam waktu tiga hari” ini

merupakan batas minimum. Yahya Harahap mendasarkan alasannya pada

ketentuan yang diatur dalam Pasal 146 ayat (2) dan penjelasan Pasal 152

ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa panggilan terhadap terdakwa

dan saksi harus diterima dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari

sebelum sidang dimulai. Oleh sebab itu ketentuan “dalam waktu tiga hari”

tersebut menjadi patokan minimum dan penyidik tidak dibenarkan

menghadirkan terdakwa dan saksi dalam waktu kurang dari tiga hari di

pemeriksaan dengan acara cepat ini. Lebih dari tiga hari boleh, tapi kurang

dari tiga hari harus dianggap tidak sah.58 Pada hari perkara Tindak Pidana

Ringan diterima di pengadilan maka pada hari itu segera disidangkan.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP.

Pada saat perkara sudah lengkap dan memenuhi syarat formal di

mana terdakwa dan para saksi telah hadir maka tidak ada jalan lain bagi

hakim untuk tidak menyidangkan perkara pada hari itu juga. Tidak

disidangkan perkara pada saat itu menjadi tanggung jawab hakim. Hakim

memang dapat menunda pemeriksaan perkara secara resmi di sidang

pengadilan namun hal tersebut menjadi penyimpangan dari tujuan

pemeriksaan dengan acara cepat ini. Apabila terdakwa tidak hadir tanpa

alasan yang sah maka hakim berdasarkan Pasal 214 ayat (2) KUHAP tetap

dapat menjatuhkan putusan verstek. Sedangkan tidak hadirnya saksi tidak

menjadi alasan pengunduran waktu sidang karena keterangan saksi dapat

dibacakan. Hal ini berhubungan pula dengan tidak disumpahnya saksi

sebagaimana diatur dalam Pasal 208 KUHAP.

Berdasarkan Pasal 207 ayat (2) KUHAP, setelah perkara diterima

di pengadilan maka hakim yang bertugas memeriksa perkara

memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam buku register. Hakim

yang bertugas memeriksa perkara tersebut adalah hakim tunggal

sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP. Dengan demikian,

perkara yang belum diregister tetap menjadi tanggung jawab penyidik. Hal

58 Ibid, hal. 404

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

41

UNIVERSITAS INDONESIA

ini dapat digunakan apabila perkara belum lengkap atau tidak memenuhi

syarat formal. Artinya sebaiknya perkara tersebut tidak diregister dulu

apabila belum lengkap atau tidak memenuhi syarat formal sehingga dapat

dikembalikan pada penyidik. Apabila telah diregister maka tidak ada

halangan bagi hakim untuk langsung menyidangkan perkara pada hari itu

juga. Dalam acara peemeriksaan cepat, perkara diajukan tanpa surat

dakwaan. Surat dakwaan dianggap telah tercakup dalam catatan buku

register karena dalam catatan register tersebut telah tercakup nama, tempat

dan tanggal lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama,

pekerjaan, dan tindak pidana yang didakwakan. Dalam penjelasan Pasal

207 ayat (2) huruf b KUHAP diatur bahwa:

“Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acarapemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuatoleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa,melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam bukuregister tersebut pada huruf a”.59

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada perkara Tindak

Pidana Ringan, saksi yang dihadirkan tidak perlu mengucap sumpah. Hal

ini diatur dalam Pasal 208 KUHAP. di samping itu, berdasarkan Pasal 209

ayat (2) KUHAP, berita acara sidang tidak perlu dibuat. Kalau ketentuan

Pasal 209 ayat (2) ini diperinci, dapat dikemukakan hal-hal:

a. Pada prinsipnya pemeriksaan perkara Tindak Pidana Ringan tidakdibuat berita acara pemeriksaan sidang.

b. Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik sekaligusdianggap dan dijadikan berita acara pemeriksaan sidang pengadilan.

c. Pembuatan berita acara pemeriksaan sidang pengadilan, baru dianggapperlu, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang pengadilan terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan berita cara pemeriksaan yang dibuat olehpenyidik.60

Putusan pada pemeriksaan dengan acara cepat ini juga berbeda

dengan putusan dengan acara biasa. Putusan dalam pemeriksaan cepat ini

59 Indonesia (a), op cit., Penjelasan Pasal 207 ayat (2) huruf b.

60 Yahya Harahap, op cit., hal. 408.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

42

UNIVERSITAS INDONESIA

tidak dibuat secara khusus dan tersendiri. Putusan yang dimaksud hanya

dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya dicatat

dalam buku register oleh panitera. Putusan yang hanya berbentuk catatan

tersebut sudah termasuk amar putusan di dalamnya dan ditandatangani

oleh hakim dan panitera tersebut. Dengan demikian, penyidik yang

menangani perkara telah melampirkan daftar catatan putusan dalam berkas

perkaranya. Oleh panitera kemudian dicatat dalam buku register perkara

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 207 ayat (2) KUHAP.

Berdasarkan penjelasan Pasal 209 KUHAP, hal ini dimaksudkan untuk

mempercepat penyelesaian perkara namun tetap dilakukan dengan penuh

ketelitian. Berdasarkan Pasal 205 ayat (3) KUHAP, pengadilan memeriksa

dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir. Hal ini berarti

putusan tersebut besifat tingkat akhir. Oleh sebab itu, terdakwa yang

merasa keberatan dengan putusan tersebut tidak dapat mengajukan upaya

hukum banding. Terdakwa yang berkeberatan dengan putusan dapat

mengajukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Akan tetapi, ketentuan dalam Pasal 205

ayat (3) KUHAP tidak berakhir sampai di situ. Dalam pasal tersebut diatur

juga bahwa terdakwa tetap dapat mengajukan banding apabila putusan

yang dijatuhkan merupakan putusan perampasan kemerdekaan. Pada

kejadian tersebut maka terbuka kemungkinan bagi terdakwa untuk

mengajukan banding.

Selain perkara Tindak Pidana Ringan, pemeriksaan dengan acara

cepat juga dipergunakan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran lalu

lintas jalan. Akan tetapi, pelanggaran lalu lintas jalan ini tidak menjadi

fokus kajian dalam tulisan ini sehingga tidak akan terlalu dijelaskan secara

rinci dalam tulisan ini. Pada pemeriksaan perkara lalu lintas jalan:

a. Satu hal yang terlupa oleh pembuat undang-undang ini ialah berbedadengan yang disebutkan pada pemeriksaan Tindak Pidana Ringan(Pasal 205 ayat (1) dan (3) KUHAP) tidak dinyatakan dalampemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Pemeriksaandilakukan oleh seorang hakim tunggal padahal maksud pembuatundang-undang pasti demikian.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

43

UNIVERSITAS INDONESIA

b. Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan beritaacara pemeriksaan (Pasal 212 KUHAP)

c. Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya disidang (Pasal 213 KUHAP)

d. Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau wakilnya(verstek atau putusan in absentia). Ini diatur dalam Pasal 214 ayat (1)KUHAP.

e. Dalam hal putusan dijatuhkan di liar hadirnya terdakwa dan putusanitu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapatmengajukan perlawanan (Pasal 214 ayat (4) KUHAP)

f. Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sahkepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilanyang menjatuhkan putusan itu (Pasal 214 ayat (5) KUHAP). iniberbeda dengan acara rol dahulu (landgerechtsreglement).

g. Jika putusan setelah diajukan perlawanan tetap berupa pidana,sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) (perampasan kemerdekaanterdakwa), terhadap putusan itu terdakwa dapat mengajukan banding(Pasal 214 ayat (8) KUHAP).61

Penjelasan mengenai prosedur pemeriksaan perkara baik biasa,

singkat, ataupun cepat perlu dipaparkan pada bab ini karena dengan

dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012, yang

dijelaskan pada Bab III, akan mempengaruhi pula bentuk pemeriksaan

perkara yang diatur dalam PERMA tersebut. Pada bab berikutnya akan

dijelaskan mengenai PERMA tersebut, termasuk di dalamnya alasan

filosofis dikeluarkan PERMA tersebut, Tindak Pidana Ringan dan

prosedur penyelesaiannya menurut PERMA tersebut, kedudukan PERMA

tersebut dalam peraturan perundang-undangan serta kaitannya dengan

sistem peradilan pidana terpadu, dan perbandingannya dengan negara

Perancis.

61 Andi Hamzah, op cit., hal. 247.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 3

ALASAN FILOSOFIS DIKELUARKANNYA PERATURAN MAHKAMAH

AGUNG NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN

TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP

Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa

Indonesia adalah Negara Hukum.62 Salah satu ciri dan persyaratan utama

dari sebuah negara hukum adalah terdapatnya asas pemisahan kekuasaan

(Separation of Power) atau pembagian kekuasaan (Distribution of Power)

yang biasanya terdiri dari kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-

undang; kekuasaan eksekutif untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan

undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tersebut; dan kekuasaan

yudikatif yang menjalankan lembaga peradilan apabila terdapat

penyimpangan di dalam pelaksanaan undang-undang; serta kekuasaan

administratif.63 Kekuasaan yudikatif di Indonesia dilaksanakan oleh

Mahkamah Agung (MA) beserta badan peradilan di bawahnya dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan kekuasaan merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.64 Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari

semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasanya terlepas

dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.65

62 Indonesia (e), Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya,Pasal 2.

63 Ronald S. Lumbuun, PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian danPemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 2.

64 Ibid.

65 Indonesia (b), op cit., pasal 2.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

45

UNIVERSITAS INDONESIA

Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung diberikan

beberapa fungsi untuk menjalankan perannya, yaitu fungsi mengadili di

tingkat kasasi, fungsi menguji setiap peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang

lainnya yang diberikan oleh undang-undang sesuai Pasal 24 A ayat (1)

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, ada

fungsi memberikan nasehat kepada lembaga negara lainnya, fungsi

mengawasi seluruh lembaga peradilan yang berada di bawahnya, fungsi

administratif dan fungsi mengatur.66 Bentuk dari fungsi yang disebut

terakhir ini adalah dengan pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Sistematika fungsi-

fungsi Mahkamah Agung tersebut dapat dibuat dalam 3 bidang, sebagai

berikut:

A. “Fungsi pokok Mahkamah Agung bersifat peradilanFungsi mengadili atau menyelenggarakan peradilan(rechtsprekende functie) yang dibagi dalam empat bidang yaitu :a. Fungsi peradilan kasasib. Fungsi peradilan untuk sengketa:

1. Kewenangan mengadili2. Perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal

perang RIc. Fungsi peradilan untuk permohonan Peninjauan Kembalid. Fungsi peradilan di bidang Hak Uji Materil

B. Fungsi khusus bersifat administratifa. Fungsi pengawasan (toeziende functie)b. Fungsi mengatur (regelende functie)c. Fungsi administratif (administrative functie)

C. Fungsi tambahan bersifat ketatanegaraana. Fungsi penasihat (adviserendefunctie)b. Fungsi pengawasan PARPOL (UU No.2 Tahun 1999)c. Fungsi pengawasan PEMILU (UU No. 3 Tahun 1999)d. Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah (UU No. 22

Tahun 1999)”.67

66 Ronald S. Lumbuun, loc cit.

67 Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalama Praktik Sehari-hari: UpayaPenanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal. 78.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

46

UNIVERSITAS INDONESIA

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Mahkamah Agung memiliki

fungsi pengaturan atau regelende functie atau rule making power. Fungsi ini

diberikan berdasarkan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung yang

berbunyi, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang

diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-

hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.68 Memori

penjelasan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung ini mengatakan

apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan

hukum dalam satu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan

sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan tadi.69 Sekalipun sekilas

Mahkamah Agung diberikan wewenang membentuk peraturan atau

kekuasaan legislatif, namun kewenangan tersebut berbeda dengan

kewenangan membentuk peraturan oleh lembaga legislatif. Mahkamah

Agung tidak mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan

kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat,

kekuatan alat pembuktian serta penilaian ataupun pembagian beban

pembuktian.70 Ketentuan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung itu

memberi sekelumit kekuasaan legislatif kepada Mahkamah Agung khusus

untuk membuat peraturan terbatas bersifat pelengkap menyangkut cara

penyelesaian suatu soal yang belum diatur dalam Hukum Acara demi

kelancaran peradilan.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa terdapat dua bentuk

dari fungsi pengaturan ini, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Dua bentuk produk hukum ini

tentunya memiliki perbedaan dalam hal tujuan dibentuknya, yaitu:

1) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yaitu suatu bentuk edaran

dari pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang

isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang

lebih bersifat administrasi.

68 Indonesia (b), op cit., Pasal 79

69 Henry P. Panggabean, op cit., hal. 143

70 Ibid, hal. 144

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

47

UNIVERSITAS INDONESIA

2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu suatu bentuk peraturan

dari prinsip Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu

yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum beracara.

Pada awal kemerdekaan, Indonesia masih belum memiliki hukum

acara peradilan yang memadai dan masih banyak menggunakan ketentuan

peninggalan kolonial Belanda seperti Herziene Indische Reglement (HIR)

untuk wilayah Jawa dan Madura serta Reglement Buiten-gewesten (RBG)

untuk wilayah di luar Jawa. Di samping hukum acara, peraturan tentang

tindak pidana pun masih mengadaptasi peraturan Hindia Belanda. Oleh

sebab itu, tidak jarang peraturan-peraturan tersebut dianggap kurang

lengkap dan kurang mengikuti perkembangan masyarakat yang terjadi.

Dengan demikian, dirasa perlu untuk memberi kewenangan kepada lembaga

peradilan tertinggi untuk mengisi kekosongan hukum yang ada melalui

kewenangan fungsi mengatur yang dimiliki Mahkamah Agung. Ketentuan

Pasal 131 Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan,

dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia menjadi dasar hukum

yang pertama bagi Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi pengaturan

yang berbunyi, “Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur

dalam Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri

secara bagaimana soal itu harus diselesaikan”.71

Berdasarkan peraturan tersebut maka Mahkamah Agung kemudian

pertama kali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI pada

tanggal 18 Maret 1954 Nomor 1 Tahun 1954 tentang Putusan Pengadilan.

Kewenangan MA tersebut kemudian tetap dipertahankan melalui Pasal 79

Undang-undang No. 14 Tahun 1980 tentang Mahkamah Agung

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan

Undang-undang No. 3 Tahun 2009. Setelah lebih dari 60 tahun pasca

proklamasi kemerdekaan, Mahkamah Agung sebagai salah satu

penyelenggara pemerintahan di bidang peradilan masih kerap kali

dihadapkan pada kekosongan atau kekurangan pengaturan oleh undang-

71 Indonesia (f), Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang tentang Susunan, Kekuasaan,dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, LN. No. 30 Tahun 1950, Pasal 131.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

48

UNIVERSITAS INDONESIA

undang di bidang hukum acara karena pemerintah Indonesia masih belum

dapat melengkapi ketentuan hukum acara yang disesuaikan dengan

perkembangan masyarakat.

Ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku di Indonesia

dituangkan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana dan dianggap sebagai sebuah karya agung. Akan tetapi, pengaturan

yang terdapat dalam ketentuan tersebut belum seluruhnya disesuaikan

dengan peraturan tentang tindak pidananya yang diatur secara terpisah

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian,

apabila ketentuan dalam KUHP yang masih diadaptasi dari peraturan

Hindia-Belanda belum disesuaikan maka secara otomatis peraturan tentang

Hukum Acara Pidananya yang diatur dalam KUHAP tidak dapat

diberlakukan secara optimal. Oleh sebab itu, kerap kali terjadi kekosongan

hukum di dalam praktik hukum acara yang berlaku. Dengan demikian,

Mahkamah Agung melalui fungsi pengaturannya diharapkan dapat mengisi

kekosongan hukum tersebut.

Di satu sisi PERMA RI dibutuhkan untuk mengisi kekosongan

hukum, tetapi di sisa lain kewenangan menerbitkan PERMA RI yang dalam

praktiknya berfungsi sebagai undang-undang bertentangan dengan fungsi

DPR sebagai lembaga legislatif.72 Permasalahan inilah yang kemudian pada

gilirannya akan menghambat peranan dan efektivitas PERMA RI yang

membantu penyelenggaraan pemerintahan di bidang peradilan. Pada

gilirannya pembahasan mengenai kedudukan PERMA RI dalam peraturan

perundang-undangan dan kaitannya dengan pananganan perkara pidana

dalam sistem peradilan pidana terpadu akan menjadi pembahasan dalam

subbab berikutnya.

Setidaknya terdapat lima peran yang terdapat dalam PERMA RI,

yaitu PERMA RI sebagai pengisi kekosongan hukum, PERMA RI sebagai

pelengkap ketentuan undang-undang yang kurang jelas mengatur tentang

sesuatu hal, berkaitan dengan hukum acara, PERMA RI sebagai sarana

72 Ronald S. Lumbuun, op cit., hal. 5.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

49

UNIVERSITAS INDONESIA

penemuan hukum, PERMA RI sebagai sarana penegakan hukum, dan

PERMA RI sebagai sumber hukum bagi masyarakat hukum, khususnya para

hakim di dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan teknis penerapan hukum

acara yang ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini.73

Pada awal tahun 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan

Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP sebagai bentuk realisasi

fungsi pengaturan yang dimilikinya. PERMA ini berhubungan dengan

pasal-pasal tindak pidana ringan dan uang denda dalam KUHP yang tidak

relevan lagi diterapakan pada masa sekarang ini. Sebagaimana diketahui

bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku

sekarang ini merupakan hasil adaptasi dari peraturan pidana yang berlaku

pada masa Hindia-Belanda. Keberlakuan KUHP tersebut kemudian

disahkan melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan

Hukum Pidana Indonesia. Nilai objek perkara pada pasal-pasal tindak

pidana ringan pada masa tersebut hanyalah sebesar Rp. 25,00 (dua puluh

lima rupiah). Pada tahun 1960, pemerintah mengeluarkan dua Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang mengatur penyesuaian

nilai objek perkara tersebut dan uang denda dalam KUHP. Perpu No. 16

Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP mengubah nominal

objek perkara dalam pasal-pasal tindak pidana ringan menjadi Rp. 250,00

(dua ratus lima puluh rupiah). Pasal-pasal tindak pidana ringan yang

dimaksud antara lain Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP.

Sedangkan Perpu No. 18 Tahun 1960 menyesuaikan nilai denda dalam

KUHP menjadi 15 kali lipat. Akan tetapi, dalam kurun waktu semenjak

Perpu tersebut dikeluarkan hingga pada penghujung tahun 2011, nilai objek

perkara dalam pasal-pasal tindak pidana ringan tersebut tidak pernah lagi

diperbaharui. Oleh sebab itu, pasal-pasal yang dimaksud tersebut menjadi

tidak relevan dan efektif lagi untuk diterapkan.

73 Ibid, hal. 14.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

50

UNIVERSITAS INDONESIA

Beberapa kasus yang muncul di media massa, seperti kasus

pencurian biji kakao, pencurian sendal jepit, pencurian semangka, pencurian

merica, dan lain-lain dianggap kurang memenuhi rasa keadilan di

masyarakat. Terhadap kasus-kasus tersebut, jaksa lebih cenderung

menggunakan pasal pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362. Setiap

pencurian dengan nilai barang di atas Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh

rupiah) dipandang sebagai pencurian biasa. Akan tetapi, dalam kasus-kasus

tersebut sekalipun nilai barang yang dicuri lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus

lima puluh rupiah) namun penanganannya terkadang dianggap tidak

proporsional dengan perbuatannya. Sebagai contoh, kasus pencurian sendal

jepit yang dilakukan oleh AAL. Korban dalam kasus tersebut kemudian

meminta ganti rugi 3 sandal yang hilang dengan masing-masing harga 85

ribu kepada orang tua AAL. Kerugian yang dialami korban memang lebih

dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Akan tetapi, ancaman

hukuman yang diberikan pada AAL sama dengan ancaman hukuman yang

diberikan pada kasus-kasus pencurian dengan nilai barang hingga jutaan

rupiah, yaitu 5 tahun penjara. Di sinilah letak ketidakadilan yang dianggap

oleh masyarakat. Menurut Hans Kelsen, hukum sebagai tatanan sosial yang

dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan

cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di

dalamnya.74

Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia

distributiva (distributive justice, verdelende atau begevende gerechttigheid)

dan justitia commutativa (remedial justice, vergelendende atau

ruilgerechtigheid).75 Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang

mendapat apa yang menjadi haknya atau jatahnya: suum cuique tribuere (to

each his own).76 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa adil adalah

apabila setiap orang mendapat hasil sesuai dari perbuatannya. Jadi justitia

74 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,(Bandung, Nusa Media, 2011), hlm. 7

75 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),hal.78.

76 Ibid.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

51

UNIVERSITAS INDONESIA

distributiva ini sifatnya proporsional.77 Dengan demikian, adil tersebut bisa

jadi tidak sama bagi setiap orang. Justitia commutativa memberi kepada

setiap orang sama banyaknya. Yang adil ialah apabila setiap orang

diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.78 Dalam

hal ini, penanganan terhadap kasus AAL dinilai tidak proporsional

dibandingkan perbuatannya. Dengan demikian, berdasarkan justitia

distributiva, AAL tidak memperoleh keadilan yang proporsioanl bagi

dirinya karena ancaman hukuman baginya disama-ratakan dengan pencurian

terhadap barang yang bernilai jutaan rupiah. Dilihat dari justitia

commutativa, penegakan hukum dilakukan bagi setiap orang tanpa

terkecuali, termasuk AAL. Jadi, yang tidak adil bagi kasus AAL ini terletak

pada pemberlakuan pasal dan ancaman hukuman yang disama-ratakan

dengan kasus pencurian lainnya yang bernilai jutaan rupiah. Melalui

PERMA No. 2 Tahun 2012 ini diharapkan proses hukum dan putusan

pengadilan dapat lebih mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Pada tanggal 27 Februari 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan

Peraturan Mahkamah Agung untuk menyesuaikan kembali nilai objek

perkara dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP agar

dapat efektif lagi diterapkan. Beberapa hal yang kemudian menjadi

pertimbangan dikeluarkannya PERMA No. 2 Tahun 2012 tersebut, antara

lain:

- Nilai uang dalam KUHP belum pernah disesuaikan sejak tahun

1960

- Kejahatan ringan dapat ditangani secara proporsional

- Perubahan KUHP memakan waktu yang lama

- Nilai uang sejak tahun 1960 telah mengalami penurunan sebesar

kurang lebih 10.000 kali

77 Ibid, hal. 79

78 Ibid.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

52

UNIVERSITAS INDONESIA

- PERMA tersebut tidak bermaksud mengubah KUHP.79

PERMA No. 2 Tahun 2012 ini pada pokoknya menyesuaikan nilai

rupiah yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini

dilatarbelakangi oleh:

- Nilai rupiah dalam KUHP yang tidak pernah di revisi sejak

tahun 1960

- Nilai rupiah dalam KUHP berpengaruh pada:

- Besaran denda

- Batasan beberapa tindak pidana.80

Berdasarkan penjelasan umum dalam PERMA tersebut, setidaknya

terdapat 3 alasan PERMA tersebut akhirnya dibuat dan dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung81, yaitu mengefektifkan kembali pasal-pasal tindak

pidana ringan, mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung dan

mengurangi overcapacity lembaga pemasyarakatan (lapas).

1. Mengefektifkan Kembali Pasal Tindak Pidana Ringan

Pada bab sebelumnya telah disinggung mengenai Pasal-pasal

tindak pidana ringan yang diatur dalam KUHP. Pasal-pasal yang

dimaksud adalah Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan

terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan,

Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan

ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai

penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan

barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 mengenai

penghinaan ringan. Dari sembilan bentuk Tindak Pidana Ringan

tersebut, enam di antaranya seolah “mati suri” karena sulit ditemukan

perkaranya belakangan ini. Tindak pidana yang dimaksud adalah Pasal

79 Eva Achjani Zulfa, PERMA 2/2012: Masalah atau Solusi?, disampaikan pada Seminar“PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya dan Penegakan RestorativeJustice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan FHUI tanggal 11 April 2012.

80 Arsil, Landasan dan Tujuan PERMA No. 2 Tahun 2012, disampaikan pada Seminar“PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya dan Penegakan RestorativeJustice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan FHUI tanggal 11 April 2012.

81 Wawancara dengan Arsil, Lembaga Independensi Peradilan, pada 4 April 2012

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

53

UNIVERSITAS INDONESIA

364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan

ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai

penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan

barang, dan Pasal 482 mengenai penadahan ringan.

Alasan utama sulit diberlakukannya pasal-pasal tindak pidana

ringan tersebut adalah karena unsur nilai objek perkara yang diatur

dalam pasal-pasal tersebut. Semua pasal tersebut mengandung unsur

nilai barang yang menjadi objek perkara sebesar Rp. 250,00 (dua ratus

lima puluh rupiah). Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat

ini karena semakin sulit menemukan barang yang nilainya di bawah Rp.

250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) tersebut.82 Nilai tersebut sudah

disesuaikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1960 dari

yang sebelumnya hanya bernilai Rp. 25,00 (dua puluh lima rupiah).

Pasal-pasal tindak pidana ringan yang seolah “mati suri” tersebut

dicoba untuk “dihidupkan” kembali melalui PERMA ini. Untuk

menyesuaikan nilai barang tersebut, Mahkamah Agung berpedoman

pada harga emas yang belaku sekarang ini dibandingkan dengan harga

emas yang berlaku pada tahun 1960. Berdasarkan informasi yang

diperoleh dari Museum Bank Indonesia diperoleh informasi bahwa

pada tahun 1959 harga emas murni per 1 kilogramnya = Rp. 50.510,80

(lima puluh ribu lima ratus sepuluh koma delapan puluh rupiah) atau

setara dengan Rp. 50,51 (lima puluh koma lima puluh satu rupiah) per

gramnya.83 Harga emas tersebut kemudian dibandingkan dengan harga

emas per 3 Februari 2012. Pada tanggal tersebut, harga emas murni

adalah Rp. 509.000,00 (lima ratus sembilan ribu rupiah) per gramnya.

Berdasarkan hal itu, maka dengan demikian perbandingan antara nilai

emas pada tahun 1960 dengan tahun 2012 adalah 10.777 (sepuluh ribu

tujuh ratus tujuh puluh tujuh) kali lipat.84

82 Indonesia (g), Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang PenyesuaianBatasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Penjelasan Umum alinea 4.

83 Ibid, Penjelasan Umum alinea 6.

84 Ibid

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

54

UNIVERSITAS INDONESIA

Untuk mempermudah penghitungan, Mahkamah Agung kemudian

menggunakan patokan 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat. Berdasarkan

penghitungan tersebut maka nilai barang yang diatur dalam pasal-pasal

tindak pidana ringan yang dimaksud menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua

juta lima ratus ribu rupiah). Alasan pada akhirnya Mahkamah Agung

menggunakan patokan harga emas adalah karena tidak ada data

penghitungan lain yang lebih jelas dibanding penghitungan

menggunakan penghitungan harga emas. Terkait hal ini, Sony Maulana

Sikumbang S.H., M.H, dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas

Hukum UI pun menuturkan, “Jika tidak diubah yang berhubungan

dengan nilai uang ketika KUHP ini dibuat, apakah nilai dua ratus lima

puluh rupiah yang harus kita digunakan?”.85 Oleh sebab itu, pada

akhirnya PERMA ini tidak bertujuan untuk mengubah isi KUHP

melainkan menyesuaikan kembali nilai barang yang diatur dalam

KUHP dengan perbandingan harga emas sekarang ini.

2. Mengurang Penumpukan Perkara di Mahkamah Agung

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dann keadilan.

Hal tersebut merupakan penegasan yang diberikan oleh Undang-undang

Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1). Kekuasaan kehakiman tersebut

diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan

peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan

agama, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan

oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut ditegaskan

dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sesudah

amandemen ketiga. Berdasarkan pasal tersebut maka Mahkamah Agung

menjadi lembaga peradilan tertinggi. Hal ini serupa dengan apa yang

ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1985, yaitu,

“Mahkamah Agung adalah Peradilan Negara Tertinggi dari semua

85 Wawancara yang dilakukan dengan Sony Maulana Sikumbang pada tanggal 2 April2012.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

55

UNIVERSITAS INDONESIA

Lingkungan Peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari

pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.86

Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang

No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3

Tahun 2009 memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus

permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, dan permohonan

peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Di samping itu berdasarkan Pasal 3 jo. Pasal 10 Undang-undang

No. 22 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, Mahkamah Agung juga diberikan

kewenangan untuk memberikan pertimbangan terhadap permohonan

grasi. Kewenangan yang administrasinya dilakukan oleh kepaniteraan

adalah kasasi, peninjauan kembali, grasi dan hak uji materil. Sedangkan

kewenangan menyelesaikan sengketa kewenangan mengadili dan

permohonan fatwa, administrasinya ditangani oleh kesekretariatan

Mahkamah Agung RI.

Oleh sebab itu, tidak sedikit perkara kasasi yang ditangani oleh

Mahkamah Agung baik dari pengadilan tingkat pertama maupun

banding mapun peninjauan kembali. Berikut ini merupakan kondisi

perkara sampai dengan tahun 2011.

86 Indonesia (b), op cit., Pasal 2.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

2005

Perkara yang Diterima Mahkamah Agung Satu Dekade Terakhir

Dari grafik di atas, dapat dilihat rata

diterima Mahkamah Agung sampai dengan tahun 2011 menembus

angka lebih dari 10.000 perkara.

tahun 2011, Mahkamah Agung RI menerima perkara yang menjadi

wewenangnya sebanyak 12.990 perkara. Jumlah ini turun 3,64 % dari

tahun 2010 yang menerima 13.480 perkara.

perkara yang masuk ke Mahkamah Agung mengalami penurunan dari

tahun sebelumnya namun tetap di atas 10.000 perkara, yaitu sebesar

12.990 perkara. Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung pada tahun

2011 bisa dijelaskan lebih rinci berdasarkan tabel berikut ini

No

1

2

3

87 Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011, hal. 27.

88 Ibid, hal. 58.

UNIVERSITAS INDONESIA

2005 2006 2007 2008 2009 2010

7468 7825

9516

1133812540

13480

Grafik 3.1

Perkara yang Diterima Mahkamah Agung Satu Dekade Terakhir

Dari grafik di atas, dapat dilihat rata-rata jumlah perkara yang

diterima Mahkamah Agung sampai dengan tahun 2011 menembus

gka lebih dari 10.000 perkara. Berdasarkan grafik tersebut, pada

tahun 2011, Mahkamah Agung RI menerima perkara yang menjadi

wewenangnya sebanyak 12.990 perkara. Jumlah ini turun 3,64 % dari

tahun 2010 yang menerima 13.480 perkara. Pada tahun 2011 sendiri,

perkara yang masuk ke Mahkamah Agung mengalami penurunan dari

tahun sebelumnya namun tetap di atas 10.000 perkara, yaitu sebesar

12.990 perkara. Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung pada tahun

2011 bisa dijelaskan lebih rinci berdasarkan tabel berikut ini

Tabel 3.1

Data Sisa Perkara dalam Lima Tahun Terakhir

TahunJumlahBeban

Putus Sisa

2007 21.541 10.714 10.827

2008 22.165 13.885 8.280

2009 10.820 11.985 8.835

Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011, hal. 27.

56

UNIVERSITAS INDONESIA

2010 2011

13480 12990

Perkara yang Diterima Mahkamah Agung Satu Dekade Terakhir87

rata jumlah perkara yang

diterima Mahkamah Agung sampai dengan tahun 2011 menembus

Berdasarkan grafik tersebut, pada

tahun 2011, Mahkamah Agung RI menerima perkara yang menjadi

wewenangnya sebanyak 12.990 perkara. Jumlah ini turun 3,64 % dari

Pada tahun 2011 sendiri,

perkara yang masuk ke Mahkamah Agung mengalami penurunan dari

tahun sebelumnya namun tetap di atas 10.000 perkara, yaitu sebesar

12.990 perkara. Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung pada tahun

2011 bisa dijelaskan lebih rinci berdasarkan tabel berikut ini.

Data Sisa Perkara dalam Lima Tahun Terakhir88

Sisa (%)

10.827 50,26

8.280 37,36

8.835 42,44

Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011, hal. 27.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

57

UNIVERSITAS INDONESIA

4 2010 22.315 13.891 8.424 37,75

5 2011 21.414 13.719 7.695 35,93

Tabel 3.2

Keadaan Perkara Mahkamah Agung RI Tahun 201189

No Jenis KewenanganSisa2010

Masuk2011

JumlahBeban

Putus Sisa

A Perkara

1 Kasasi 6.479 10.336 16.815 10.968 5.805

2 Peninjauan Kembali 1.935 2.540 4.475 2.648 1.827

3 Grasi 10 64 74 57 17

4 Hak Uji Materil - 50 50 46 4

Jumlah 8.424 12.990 21.414 13.719 7.695

B Non Perkara

Permohonan Fatwa - 221 221 221 0

Jumlah 221 221 221 0

Perkara yang menjadi beban pemeriksaan Mahkamah Agung RI

pada tahun 2011 berjumlah 21.414 perkara. Jumlah tersebut merupakan

akumulasi dari jumlah sisa tahun lalu dan jumlah perkara yang diterima

tahun 2011. Jumlah beban ini turun 4,04% jika dibandingkan dengan

tahun sebelumnya yang berjumlah 22.315 perkara. Dari jumlah beban

perkara sebesar 21.414 dikurangi jumlah perkara yang telah diputus

sebesar 13.719, Mahkamah Agung masih memiliki tanggungan jumlah

perkara lebih dari setengahnya, yaitu 7.695 perkara. Jumlah ini tentunya

akan menambah jumlah perkara yang harus diselesaikan Mahkamah

Agung pada tahun 2012. Jumlah perkara yang dipaparkan dalam Tabel

1 tersebut dapat diperjelas lagi berdasarkan jenis perkara dan

kewenangan sebagaimana dituangkan dalam Tabel 2 berikut ini.

89 Ibid, hal. 26.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

58

UNIVERSITAS INDONESIA

Tabel 3.3

Perkara yang Diterima Mahkamah Agung RI Tahun 2011 Berdasarkan Jenis

Perkara dan Kewenangan90

NoJenis

Perkara

2010 2011 %Jumlah2010 vs

2011Kasasi PK Grasi HUM Jumlah Kasasi PK Grasi HUM Jumlah

1 Perdata 3.353 791 0 0 4.144 3.165 824 0 0 3.989 -3,74

2PerdataKhusus

1.062 193 0 0 1.255 853 174 0 0 1.027 -18,17

3 Pidana 2.227 189 72 0 2.488 2.310 145 23 0 2.478 -0,4

4PidanaKhusus

2.855 217 219 0 3.291 2.658 281 41 0 2.980 -9,45

5PerdataAgama

688 89 0 0 777 670 77 0 0 747 -3,86

6 Militer 225 5 1 0 231 258 19 0 0 277 19,91

7TataUsahaNegara

434 799 0 61 1.294 422 1.020 0 50 1.492 15,3

Jumlah 10.844 2.283 292 61 13.480 10.336 2.540 64 50 12.990 -3,64

Berdasarkan Tabel 2 di atas, pada tahun 2011 perkara dalam

rumpun pidana (pidana umum dan pidana khusus) berjumlah 5458

perkara yang merupakan perkara terbanyak yang mengambil porsi

42,02 % dari keseluruhan perkara. Jumlah perkara rumpun pidana ini

sangat signifikan bagi Mahkamah Agung untuk diselesaikan. Oleh

sebab itu, pengurangan jumlah perkara rumpun pidana ini akan sangat

membantu mengurangi jumlah beban perkara yang harus diputus

Mahkamah Agung. Sementara perkara rumpun perdata (perdata umum

dan perdata khusus) berjumlah 5016 perkara atau 38,61% dari

keseluruhan perkara. Urutan berikutnya secara berturut-turut adalah:

perkara tata usaha negara (1492 perkara atau 11,49%), perkara perdata

agama (747 perkara atau 5,75 %) dan perkara militer (277 perkara atau

2,13 %). Jumlah perkara ini belum ditambah dengan sisa perkara pada

tahun sebelumnya. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam tabel

berikut ini.

90 Ibid, hal. 28.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

59

UNIVERSITAS INDONESIA

Tabel 3.4

Produktivitas Mahkamah Agung RI Memutus Pekara Selama Tahun 2011

Berdasarkan Jenis Perkara91

Jenis PerkaraSisa2010

MasukJumlahBeban

Putus Sisa % Putus

Perdata 3.313 3.989 7.302 4.321 2.981 58,19

Perdata Khusus 502 1.027 1.529 1.188 341 77,7

Pidana 1.500 2.478 3.978 2.505 1.473 62,97

Pidana Khusus 1.899 2.980 4.879 3.319 1.560 68,03

Perdata Agama 20 747 767 603 164 78,62

Pidana Militer 77 277 354 259 95 73,16Tata UsahaNegara 1.113 1.492 2.605 1.524 1.081 58,5

Jumlah 8.424 12.990 21.414 13.719 7.695 64,07

Tabel 3.5

Rasio Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Tahun 201192

No. Nilai Rasio Jenis Perkara

1 >70% Perdata Khusus, Perdata Agama, Pidana Militer

2 60%-70% Pidana, Pidana Khusus

3 50%-60% Perdata, Tata Usaha Negara

Berdasarkan dua tabel di atas, dapat diihat bahwa jumlah beban

perkara yang harus ditangani Mahkamah Agung pada tahun 2011

sebanyak 21.414. Jumlah perkara ini terbagi lagi menjadi perkara yang

masuk berdasarkan kewenangan kasasi dan peninjauan kembali. Jumlah

perkara pada rumpun pidana pada tahun 2011 sendiri sudah menjadi

perkara terbanyak yang harus ditangani Mahkamah Agung, yaitu

sebanyak 5.458 perkara. Setelah ditambah dengan sisa perkara pada

tahun sebelumnya, jumlah perkara rumpun pidana ini menjadi semakin

membengkak yaitu sebanyak 8.857 perkara. Berada di urutan

91 Ibid, hal. 28

92 Ibid, hal. 29

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

60

UNIVERSITAS INDONESIA

berikutnya adalah perkara rumpun perdata (perdata dan perdata khusus)

sebanyak 8.831 perkara. Dari dua rumpun jenis perkara ini, jumlah

perkara terbanyak yang diputus oleh Mahkamah Agung adalah perkara

rumpun pidana, yaitu sebanyak 5.824 perkara, diikuti berikutnya

rumpun perdata sebanyak 5.509. Sisa tunggakan perkara yang harus

diselesaikan Mahkamah Agung pada tahun berikutnya adalah 7.695

dengan jumlah tunggakan terbanyak adalah rumpun perkara perdata

sebanyak 3.322 diikuti rumpun perkara pidana sebanyak 3.033 perkara.

Rincian perkara yang diputus Mahkamah Agung tersebut tahun 2011

berdasarkan jenis perkara dan kewenangannya adalah sebagai berikut.

Tabel 3.6

Rincian Perkara yang Diputus Mahkamah Agung93

No Jenis Perkara Kasasi PK Grasi HUM Jumlah (%)

1 Perdata 3.350 971 0 0 4.321 31,5

2 Perdata Khusus 970 218 0 0 1.188 8,66

3 Pidana 2.336 154 15 0 2.505 18,26

4 Pidana Khusus 3.007 271 41 0 3.319 24,19

5 Perdata Agama 534 69 0 0 603 4,4

6 Pidana Militer 248 10 1 0 259 1,89

7Tata UsahaNegara 523 955 0 46 1.524 11,11

Jumlah 10.968 2.648 57 46 13.719

(%) 79,95 19,3 0,42 0,34

Tabel 3.7

Waktu Penyelesaian Perkara (Putus) pada Mahkamah Agung Tahun 201194

No Jenis Perkara

Lamanya ProsesPemeriksaan (dalam tahun) Jumlah

<1 1 -- 2 >2

1 Perdata 1.522 2.311 488 4.321

2 Perdata Khusus 722 463 3 1.188

3 Pidana 1.554 818 133 2.505

93 Ibid, hal. 53

94 Ibid.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

61

UNIVERSITAS INDONESIA

4 Pidana Khusus 1.875 1.208 236 3.319

5 Perdata Agama 557 45 1 603

6 Pidana Militer 191 67 1 259

7Tata UsahaNegara 687 590 247 1.524

Jumlah 7.108 5.502 1.109 13.719

(%) 51,81 40,1 8,08

Pembagian perkara berdasarkan kewenangan kasasi dan peninjauan

kembali akan dipaparkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.8

Jumlah Perkara Kasasi yang Ditangani Mahkamah Agung Tahun 201195

Jenis Perkara Sisa MasukJumlahBeban

Putus Sisa % Putus

Perdata 2.601 3.165 5.766 3.350 2.416 58,10

Perdata Khusus 409 853 1.262 970 292 76,86

Pidana 1.400 2.310 3.710 2.336 1.374 62,96

Pidana Khusus 1.689 2.658 4.347 3.007 1.340 69,17

Perdata Agama 11 670 681 534 147 78,41

Pidana Militer 73 258 331 248 83 74,92Tata UsahaNegara 296 422 768 523 199 68,10

Jumlah 6.479 10.336 16.865 10.968 5.851 65,03

Berdasarkan Tabel 5 di atas, dari total sisa perkara yang masuk dari

tahun 2010 sebanyak 8.424 perkara, 6.479 perkara di antaranya

merupakan perkara kasasi. Sedangkan dari 12.990 perkara yang masuk

pada tahun 2011, 10.336 perkara di antaranya merupakan perkara

kasasi. Dengan demikian beban perkara kasasi yang harus diselesaikan

Mahkamah Agung adalah sebanyak 16.865 perkara. Perkara kasasi

yang berhasil diputus pada tahun 2011 adalah sebanyak 10.968 dan

meninggalkan tunggakan perkara untuk tahun setelahnya sebanyak

5.851 perkara. Jumlah beban perkara kasasi terbanyak masih dipegang

oleh perkara rumpun pidana, yaitu sebesar 8.057 perkara. Sedangkan

95 Ibid, hal. 30

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

untuk rumpun perkara perdata berjumlah 7.028 perkara. Perkara kasasi

yang meninggalkan tunggakan terbanyak adalah

pidana, yaitu 2.714 perkara diikuti rumpun perdata sebanyak 2.708.

Dengan demikian perkara rumpun pidana menyumbang tunggakan

perkara kasasi terbanyak pada tahun 2011.

Kasasi tersebut dipaparkan dalam tabel berikut

Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tahun 2011

No

1 Perdata

2 Perdata Khusus

3 Pidana

4 Pidana Khusus

5 Perdata Agama

6 Pidana Militer

7Tata UsahaNegara

Jumlah

Untuk lebih jelasnya, kualifikasi amar putusan kasasi Mahkamah

Agung ini dipaparkan dalam grafik berikut ini.

Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI

96 Ibid, hal. 31

97 Ibid

UNIVERSITAS INDONESIA

KABUL18%

TOLAK69%

NO13%

untuk rumpun perkara perdata berjumlah 7.028 perkara. Perkara kasasi

yang meninggalkan tunggakan terbanyak adalah rumpun perkara

pidana, yaitu 2.714 perkara diikuti rumpun perdata sebanyak 2.708.

Dengan demikian perkara rumpun pidana menyumbang tunggakan

perkara kasasi terbanyak pada tahun 2011. Kualifikasi amar putusan

Kasasi tersebut dipaparkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.9

Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tahun 2011

Jenis PerkaraJumlahPutus

Amar

Kabul Tolak

Perdata 3.350 479 2.769

Perdata Khusus 970 293 647

Pidana 2.336 410 1.339

Pidana Khusus 3.007 745 1.764

Perdata Agama 534 79 413

Pidana Militer 248 38 156Tata UsahaNegara

523 73 386

Jumlah 10.968 2.015 7.534

Untuk lebih jelasnya, kualifikasi amar putusan kasasi Mahkamah

Agung ini dipaparkan dalam grafik berikut ini.

Grafik 3.2

Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI

62

UNIVERSITAS INDONESIA

untuk rumpun perkara perdata berjumlah 7.028 perkara. Perkara kasasi

rumpun perkara

pidana, yaitu 2.714 perkara diikuti rumpun perdata sebanyak 2.708.

Dengan demikian perkara rumpun pidana menyumbang tunggakan

Kualifikasi amar putusan

Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tahun 201196

Amar

Tolak NO

2.769 102

647 130

1.339 527

1.764 500

413 42

156 54

386 64

7.534 1.419

Untuk lebih jelasnya, kualifikasi amar putusan kasasi Mahkamah

Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI97

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

63

UNIVERSITAS INDONESIA

Dari Tabel 6 dan Grafik 2 di atas dapat dilihat bahwa amar putusan

terbanyak yang diputus Mahkamah Agung adalah ditolak, yaitu sebesar

7.534 perkara. Putusan terbanyak yang ditolak Mahkamah Agung

adalah putusan rumpun perkara perdata, yaitu sebanyak 3.416 perkara,

diikuti rumpun perkara pidana, yaitu sebanyak 3.103 perkara. Dengan

demikian hampir 70% permohonan perkara kasasi tersebut oleh

Mahkamah Agung ditolak. Jumlah perkara tersebut sangat signifikan

apabila dapat ditekan jumlahnya. Berdasarkan Tabel 5, penyumbang

perkara kasasi terbanyak ketiga adalah perkara pidana umum.

Pembahasan mengenai jenis perkara pidana umum ini penting untik

dilakukan terkait topik tulisan ini, yaitu berkisar pada bentuk pidana

umum.

Tabel 3.10

Klasifikasi Perkara Kasasi Pidana Umum98

No Klasifikasi Jumlah (%)1 Kekerasan 374 16,192 Penipuan 359 15,543 Penggelapan 281 12,164 Pencurian 192 8,315 Nyawa dan Tubuh 139 6,026 Kealpaan 114 4,947 Pengrusakan 113 4,898 Pemalsuan 98 4,249 Akta Palsu 95 4,11

10 Perbuatan tidakmenyenangkan

87 3,77

11 Praperadilan 6 0,2612 Perampasan 55 2,3813 Perzinahan 49 2,1214 Penyerobotan 42 1,8215 Keterangan Palsu 41 1,7716 Perjudian 37 1,617 Penghinaan 36 1,5218 Ketertiban Umum 27 1,1719 Penadahan 25 1,08

98 Ibid, hal. 33.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

64

UNIVERSITAS INDONESIA

20 Pemerkosaan 24 1,04

21 Pencemaran Nama Baik 24 1,04

22 Fitnah 15 0,6523 Lain-lain 78 3,38

Total 2.310 100

Perkara kasasi pidana yang diterima oleh Mahkamah Agung RI

tahun 2011 berjumlah 2.310 perkara. Jumlah ini naik 3,73 % dari tahun

2010 yang berjumlah 2.227 perkara. Dari keseluruhan perkara tersebut

tidak ada tindak pidana yang mendominasi, namun demikian klasifikasi

tindak pidana kekerasan menempati urutan teratas, 374 perkara

(16,19%). Berdasarkan hasil penelitian Penulis, dari total 500 putusan

kasasi yang diregister pada tahun 2011 dan diputus pada tahun yang

sama yang diunggah kepaniteraan Mahkamah Agung pada website

resminya sampai dengan tanggal 14 Juni 2012, setidaknya ditemukan

20 putusan kasasi yang dapat dikelompokkan sebagai bentuk tindak

pidana ringan dan ditangani dengan acara cepat apabila PERMA No. 2

Tahun 2012 tersebut diberlakukan. Setidaknya jumlah putusan tersebut

dapat mengurangi beban Mahkamah Agung karena berdasarkan Pasal

45 A Undang-undang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah

sampai dengan perubahan kedua melalui Undang-undang No. 3 Tahun

2009, perkara-perkara yang ancaman hukumannya di bawah 1 tahun

tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.

Selain perkara kasasi, perkara yang harus diselesaikan Mahkamah

Agung termasuk juga perkara peninjauan kembali. Berikut ini akan

dipaparkan keadaan perkara peninjauan kembali yang ditangani

Mahkamah Agung pada tahun 2011.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

65

UNIVERSITAS INDONESIA

Tabel 3.11

Jumlah Perkara Peninjauan Kembali yang Ditangani Mahkamah Agung Selama

Tahun 201199

Jenis Perkara Sisa MasukJumlahBeban

Putus Sisa(%)

Putus

Perdata 712 824 1.536 971 565 63,22

Perdata Khusus 93 174 267 218 49 81,65

Pidana 97 145 242 154 88 63,64

Pidana Khusus 204 281 485 271 214 55,88

Perdata Agama 9 77 86 69 17 80,23

Pidana Militer 3 19 22 10 12 45,45Tata UsahaNegara 817 1.020 1.837 955 882 51,99

Jumlah 1.935 2540 4.475 2.648 1.827 59,17

Berdasarkan tabel di atas, jumlah beban perkara yang dimohonkan

peninjauan kembali tidak sebanyak beban perkara yang dimohonkan

kasasi, yaitu hampir empat kalinya jumah beban perkara peninjauan

kembali. Akan tetapi, jumlah beban tersebut cukup signifikan untuk

diselesaikan. Sekalipun jumlah perkara yang harus diselesaikan jauh

lebih sedikit dibandingkan kasasi namun jumlah perkara yang mampu

diputus belum seluruhnya. Mahkamah Agung masih menyisakan 1.827

perkara dari jumlah beban seluruhnya 4.475 yang belum diputus dan

harus ditanggung pada beban tahun berikutnya.

Dilihat dari tabel di atas, Mahkamah Agung RI menerima

permohonan peninjauan kembali sepanjang tahun 2011 sebanyak 2.540

perkara. Jumlah ini naik 11,26 % dari tahun sebelumnya yang

berjumlah 2.283 perkara. Perkara peninjauan kembali tahun 2010 yang

belum putus berjumlah 1.935 perkara, sehingga beban pemeriksaan

perkara peninjauan kembali selama tahun 2011 berjumlah 4.475 perkara

(20,90 % dari keseluruhan perkara). Dari jumlah beban 4.475 perkara,

Mahkamah Agung RI berhasil memutus perkara peninjauan kembali

99 Ibid, hal. 39

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

66

UNIVERSITAS INDONESIA

sebanyak 2.648 perkara. Jumlah ini naik 13,26 % dari tahun 2010 yang

memutus perkara sebanyak 2.336 perkara. Perkara peninjauan kembali

yang belum diputus hingga 31 Desember 2011 berjumlah 1827 perkara.

Angka sisa perkara peninjauan kembali ini turun 5,58 % jika

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.935.

Dari tabel di atas nampak perkara peninjauan kembali yang

menjadi beban pemeriksaan di tahun 2011 secara berturut-turut adalah

sebagai berikut: perkara TUN 1.837 perkara (41,05%), perkara rumpun

perdata (perdata umum dan perdata khusus), 1.803 perkara (40,29%),

perkara rumpun pidana (pidana umum dan pidana khusus), 727 perkara

(16,25%), perkara perdata agama, 86 perkara (1,92.%), dan perkara

militer 22 perkara (0,49%). Khusus mengenai perkara tata usaha negara,

sebanyak 1.667 (90,75%) adalah perkara pajak.

Tabel 3.12

Klasifikasi Perkara Peninjauan Kembali Pidana Umum yang Diterima

Mahkamah Agung Tahun 2011100

No Klasifikasi Jumlah (%)

1 Penipuan 23 15,86

2Nyawa danTubuh 20 13,79

3 Penggelapan 15 10,344 Pemalsuan 14 9,665 Kekerasan 13 8,976 Akta Palsu 11 7,597 Praperadilan 11 7,598 Keterangan Palsu 7 4,839 Pemerkosaan 4 2,76

10 Kealpaan 3 2,0711 Pencurian 3 2,0712 Pengrusakan 3 2,0713 Penyerobotan 3 2,07

14 Perbuatan TidakMenyenangkan 3 2,07

100 Ibid, hal. 44.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

67

UNIVERSITAS INDONESIA

15 Lain-lain 12 8,28

Total 145 100

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa persentase putusan pidana

umum berkekuatan hukum tetap yang paling banyak dimintakan

permohonan peninjauan kembali adalah perkara penipuan sebesar 23

perkara dengan persentase 15,86%. Sebagaimana telah disebutkan

sebelumnya, permohonan peninjauan kembali dapat dimintakan

terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu,

perkara yang masuk bisa diperoleh dari putusan tingkat pertama,

banding ataupun kasasi. Berikut ini rincian data perkara permohonan

peninjauan kembali dilihat dari jenis putusan yang dimintakan.

Tabel 3.13

Putusan yang Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali101

Jenis PerkaraPutusan yang Diajukan PK

Kasasi Banding Pertama Jumlah

Perdata 740 49 35 824

Perdata Khusus 154 - 20 174

Pidana 116 16 13 145

Pidana Khusus 232 14 35 281

Perdata Agama 60 2 15 77

Pidana Militer 17 1 1 19Tata UsahaNegara 137 26 857 1.020

Jumlah 1.456 108 976 2.540

% 57,32 4,25 38,43

Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa jumlah putusan yang

terbanyak dimohonkan berasal dari putusan kasasi yang telah

berkekuatan hukum tetap sebanyak 1.456 perkara. Sama halnya dengan

putusan kasasi, dalam perkara peninjauan kembali juga terdapat

101 Ibid, hal. 40

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

68

UNIVERSITAS INDONESIA

kualifikasi putusan dikabulkan, ditolak, atau NO. Tabel berikut ini akan

memaparkan rincian amar putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah

Agung tersebut.

Tabel 3.14

Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung102

No Jenis PerkaraJumlahPutus

Amar

Kabul Tolak NO

1 Perdata 971 116 815 40

2 Perdata Khusus 218 45 164 9

3 Pidana 154 23 111 20

4 Pidana Khusus 271 50 200 21

5 Perdata Agama 69 4 55 10

6 Pidana Militer 10 1 9 0

7Tata UsahaNegara 955 66 854 35

Jumlah 2.648 305 2208 135

% 11,52 83,38 5,10

Persentase amar putusan permohonan peninjauan kembali terbesar

adalah ditolak sebesar 2.208 perkara dengan persentase 83,38%. Jumlah

ini sangat signifikan apabila dapat ditekan jumlahnya dibandingkan

putusan permohonan diterima. Dibandingkan putusan permohonan

kasasi, putusan permohonan peninjauan kembali yang ditolak jauh lebih

besar. Permohonan kasasi yang ditolak Mahkamah Agung sebesar 69%

lebih kecil kurang lebih 14% dibanding peninjauan kembali. Kedua

bentuk putusan ini akan sangat signifikan apabila dapat ditekan

sehingga dapat mengurangi beban kerja Mahkamah Agung dalam

menyelesaikan perkara permohonan kasasi maupun peninjauan

kembali. Grafik berikut ini menggambarkan porsi amar putusan

permohonan peninjauan kembali.

102 Ibid, hal. 41

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Tahun

3. Mengurangi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan

Alasan terakhir dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung ini

yang dapat ditemukan dalam Penjelasan Umumnya adalah terkait

dengan overcapacity

perbuatannya terkait dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00

(dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa dan diadili dengan

menggunakan pasal biasa sehingga pemeriksaannya pun dilakukan

dengan acara biasa. Sedangkan apabila PERMA ini dapat diberlakukan

maka tersangka/terdakwa yang melakukan perbuatan pidana dan

berhubungan dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta

lima ratus ribu rupiah) dapat diperiksa dengan acara cepat karena

perbuatannya termasuk dalam bentuk tindak pidana ringan berdasarkan

Pasal 1 PERMA ini. Pasal tersebut leng

berikut, “Kata

379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00

(dua juta lima ratus ribu rupiah)”.

103 Ibid

104 Indonesia (g), op cit.,

UNIVERSITAS INDONESIA

Kabul12%

Tolak83%

NO5%

Grafik 3.3

Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Tahun

2011103

Mengurangi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan

Alasan terakhir dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung ini

yang dapat ditemukan dalam Penjelasan Umumnya adalah terkait

overcapacity lapas. Sejauh ini pelaku tindak pidana yang

perbuatannya terkait dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00

juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa dan diadili dengan

menggunakan pasal biasa sehingga pemeriksaannya pun dilakukan

dengan acara biasa. Sedangkan apabila PERMA ini dapat diberlakukan

maka tersangka/terdakwa yang melakukan perbuatan pidana dan

gan dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta

lima ratus ribu rupiah) dapat diperiksa dengan acara cepat karena

perbuatannya termasuk dalam bentuk tindak pidana ringan berdasarkan

Pasal 1 PERMA ini. Pasal tersebut lengkapnya berbunyi sebagai

“Kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, 373,

379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00

(dua juta lima ratus ribu rupiah)”.104

op cit., Pasal 1.

69

UNIVERSITAS INDONESIA

Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Tahun

Mengurangi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan

Alasan terakhir dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung ini

yang dapat ditemukan dalam Penjelasan Umumnya adalah terkait

. Sejauh ini pelaku tindak pidana yang

perbuatannya terkait dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00

juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa dan diadili dengan

menggunakan pasal biasa sehingga pemeriksaannya pun dilakukan

dengan acara biasa. Sedangkan apabila PERMA ini dapat diberlakukan

maka tersangka/terdakwa yang melakukan perbuatan pidana dan

gan dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta

lima ratus ribu rupiah) dapat diperiksa dengan acara cepat karena

perbuatannya termasuk dalam bentuk tindak pidana ringan berdasarkan

kapnya berbunyi sebagai

kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, 373,

379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

70

UNIVERSITAS INDONESIA

Dengan diberlakukannya pasal ini kepada pelaku tindak pidana

dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu

rupiah) maka pemeriksaannya dilakukan berdasarkan pasal 205-210

KUHAP sebagaimana penjelasannya telah diuraikan sebelumnya pada

Bab 2. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA ini yang

berbunyi sebagai berikut:

“Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilansegera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili,dan memutus perkara tersebuut dengan Acara Pemeriksaan Cepatyang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP”.105

Dengan diberlakukan PERMA tersebut maka dengan sendirinya

pelaku tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan penahanan karena

tidak lagi memenuhi syarat penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal

21 ayat (4) KUHAP, yaitu:

“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atauterdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupunpemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahunatau lebih;

b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3),Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat(1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454,Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea danCukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang TindakPidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955,Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7),Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (LembaranNegara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3086)”.106

105 Ibid, Pasal 2 ayat (2).

106 Indonesia (a), op cit., Pasal 21 ayat (4).

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

71

UNIVERSITAS INDONESIA

Tidak dapat diberlakukannya lagi penahanan terhadap pelaku

karena rata-rata ancama maksimal pidana penjara yang diatur dalam

Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP hanya tiga bulan

penjara. Dengan demikian landasan yuridis penahanan menjadi gugur

dengan sendirinya sehingga dapat mengurangi beban Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas) yang menampung jumlah tahanan. Data

penghuni Lapas di seluruh Kantor Wilayah di Indonesia per 13 Juni

2012 akan disajikan dalam Tabel 15.

Berdasarkan tabel tersebut, dari seluruh 33 kantor wilayah di

Indonesia, hanya 9 kantor wilayah yang kapasitas lapasnya masih

mencukupi bagi seluruh penghuni lapas baik tahananan maupun

narapidana. Sedangkan 24 kantor wilayah sisanya memiliki jumlah

penghuni lapas yang telah melebihi kapasitas lapas yang disediakan.

Jumlah tahanan sendiri menyumbangkan angka penghuni lapas lebih

dari setengahnya jumlah penghuni lapas narapidana.

Di DKI Jakarta sendiri sebagai ibu kota negara memiliki trend

jumlah penghuni lapas yang berbeda dari kantor wilayah lainnya. Dari

total penghuni lapas sebanyak 13.780 orang, penghuni terbesar berasal

dari tahanan. Total penghuni lapas berstatus tahanan sebanyak 7.016

orang sedangkan penghuni lapas berstatus narapidana justru lebih

sedikit, yaitu sebanyak 6.764 orang. Jumlah penghuni lapas tersebut

sudah jauh melebihi kapasitas lapas itu sendiri. Lapas di DKI Jakarta

memiliki kapastitas 5.891 orang sedangkan jumlah penghuni lapasnya

sudah mencapai 13.780 sehingga persentase kapasitas lapasnya sudah

mencapai 234%. Oleh sebab itu, secara umum di Indonesia sekarang ini

membutuhkan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan

overcapacity lapas tersebut, yaitu mulai dari menambah lapas,

mengoptimalkan grasi, sampai ke pengurangan jumlah tahanan yang

dapat ditempuh melalui pemberlakuan PERMA ini. Dengan

diberlakukan PERMA ini maka terhadap pelaku yang sebelumnya

dikenakan pasal biasa karena menyangkut nilai barang yang tidak lebih

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

72

UNIVERSITAS INDONESIA

dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dapat dikenakan

pasal tindak pidana ringan sehingga terhadap pelaku tidak harus ditahan

karena tidak memenuhi syarat yuridis yang diatur dalam Pasal 21 ayat

(4) KUHAP dan pada akhirnya dapat membantu mengurangi jumlah

tahanan dalam lapas.

Di samping itu, berhubungan dengan jumlah penghuni lapas di

Indonesia, PERMA ini juga berharap dapat mengefektifkan kembali

alternatif pidana selain penjara, yaitu pidana denda. Pada pasal-pasal

Tindak Pidana Ringan tersebut selain diatur mengenai pidana penjara

juga mengatur pidana denda. Untuk mengaktifkan kembali alternatif

pidana tersebut, PERMA ini mengatur mengenai pidana denda

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PERMA ini yang berbunyi, “Tiap

jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP

kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2), 303 bis ayat (1) dan (2),

dilipatgandakan 1000 (seribu) kali”.107

Dengan demikian, hakim yang memeriksa dan memutus perkara

memiliki alternatif pilihan lain selain pidana penjara, yaitu pidana

denda yang dilipatgandakan 1000 kali dari ancaman denda maksimum.

Hal ini tentunya diharapkan dapat mengurangi jumlah penghuni lapas

berstatus narapidana yang terlibat perkara sebagaimana diatur dalam

Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP. Sejumlah 21

putusan yang ditemukan Penulis di antara 500 putusan yang diunggah

Kepaniteraan Mahkamah Agung tidak ada satu pun putusan dengan

amar putusan pidana denda, hampir seluruhnya adalah putusan dengan

pidana penjara.

Dari 20 putusan tersebut, 4 putusannya diantaranya menjelaskan

bahwa terdakwa sempat ditahan dari penyidikan sampai pada

Pengadilan Negeri ataupun sampai dengan Mahkamah Agung.

sedangkan 16 putusan diantaranya memutus terdakwa dengan pidana

107 Indonesia (g), op cit., Pasal 3.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

73

UNIVERSITAS INDONESIA

penjara mulai dari 2 bulan sampai 11 bulan penjara. Apabila PERMA

No. 2 Tahun 2012 ini dapat diberlakukan pada kasus-kasus tersebut

tentunya dapat mengurangi jumlah tahanan karena perkara yang

ancaman hukumannya di bawah 5 tahun tidak dapat dikenakan

penahanan dan narapidana di lembaga pemasyarakatan karena melalui

PERMA ini Pengadilannya diharapkan dapat memilih alternatif pilihan

putusan pidana penjara, yaitu denda.

PERMA ini menyesuaikan nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379,

384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta

lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu perkara yang memenuhi unsur

pasal-pasal tersebut dan mengandung nilai barang yang tidak lebih dari

Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani dengan

prosedur penyelesaian tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam

Pasal 205-210 KUHAP. Dengan demikian, perkara tersebut ditangani

melalui pemeriksaan dengan acara cepat, dengan hakim tunggal,

prosedur pelimpahan dan pemeriksaan perkara dilakukan oleh penyidik

sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut umum. Pada akhirnya perkara

sebagaimana diatur dalam PERMA tersebut ditangani dengan prosedur

penanganan perkara tindak pidana ringan sebagaimana telah dijelaskan

pada bab sebelumnya. Penanganan perkara tersebut tentunya memiliki

pengaruh terhadap sistem peradilan pidana terpadu karena penyesuaian

nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482

KUHP diatur melalui sebuah Peraturan Mahkamah Agung yang

memiliki kedudukan dan kekuatan mengikat tersendiri sebagaimana

diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut akan dijelaskan lebih

lanjut dalam subbab selanjutnya.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

74

UNIVERSITAS INDONESIA

Tabel 3.15

Data Penghuni Lapas di Seluruh Kantor Wilayah per 13 Juni 2012 47

No Kanwil TDL TDP TD TAL TAP TA Total NDL NDP ND NAL NAP NA Total Jumlah Kapasitas % UPT

1 BALI 660 82 742 6 0 6 748 833 118 951 15 2 17 968 1716 932 184 9

2BANGKABELITUNG 318 8 326 22 0 22 348 766 38 804 21 0 21 825 1173 860 136 4

3 BANTEN 2070 58 2128 36 1 37 2165 3893 444 4337 213 4 217 4554 6719 3420 196 10

4 BENGKULU 450 23 473 49 1 50 523 986 30 1016 78 0 78 1094 1617 730 222 4

5D.I.YOGYAKARTA 372 29 401 16 0 16 417 946 67 1013 18 1 19 1032 1449 1870 77 7

6 DKI JAKARTA 6211 657 6868 119 29 148 7016 6497 244 6741 22 1 23 6764 13780 5891 234 7

7 GORONTALO 87 13 100 6 0 6 106 433 27 460 17 2 19 479 585 480 122 2

8 JAMBI 719 25 744 96 3 99 843 1548 56 1604 134 1 135 1739 2582 1369 189 8

9 JAWA BARAT 3986 146 4132 174 4 178 4310 12702 419 13121 284 3 287 13408 17718 8989 197 23

10JAWATENGAH 3173 157 3330 115 3 118 3448 6924 318 7242 246 5 251 7493 10941 11062 99 44

11 JAWA TIMUR 5601 317 5918 205 5 210 6128 9665 556 10221 315 7 322 10543 16671 10535 158 36

12KALIMANTANBARAT 740 54 794 46 0 46 840 1734 136 1870 71 2 73 1943 2783 2415 115 12

13KALIMANTANSELATAN 1486 75 1561 65 1 66 1627 2791 251 3042 99 3 102 3144 4771 1683 283 11

14KALIMANTANTENGAH 540 35 575 26 0 26 601 1184 83 1267 40 2 42 1309 1910 1194 160 7

47 Diunduh dari http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/search/current/monthly pada tanggal 13 Juni 2012 pukul 14.25 WIB

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

75

UNIVERSITAS INDONESIA

15KALIMANTANTIMUR 1203 84 1287 63 4 67 1354 2819 182 3001 87 6 93 3094 4448 2143 208 9

16KEPULAUANRIAU 542 35 577 14 0 14 591 1542 78 1620 36 0 36 1656 2247 1723 130 6

17 LAMPUNG 1520 61 1581 75 1 76 1657 2733 100 2833 114 3 117 2950 4607 3164 146 13

18 MALUKU 217 15 232 9 0 9 241 518 13 531 23 0 23 554 795 1185 67 13

19MALUKUUTARA 177 10 187 14 0 14 201 421 19 440 12 0 12 452 653 1600 41 7

20 NAD 1018 39 1057 26 1 27 1084 3016 144 3160 51 1 52 3212 4296 2374 181 20

21 NTB 458 25 483 12 0 12 495 1076 47 1123 32 0 32 1155 1650 1147 144 7

22 NTT 743 33 776 18 1 19 795 2271 56 2327 91 0 91 2418 3213 2749 117 15

23 PAPUA 229 9 238 20 0 20 258 789 36 825 55 0 55 880 1138 1666 68 9

24 PAPUA BARAT 145 2 147 4 1 5 152 257 9 266 13 0 13 279 431 436 99 5

25 RIAU 1720 101 1821 66 0 66 1887 3418 170 3588 125 3 128 3716 5603 2042 274 12

26SULAWESIBARAT 123 1 124 4 0 4 128 289 16 305 13 0 13 318 446 625 71 4

27SULAWESISELATAN 1934 172 2106 117 5 122 2228 2585 164 2749 121 3 124 2873 5101 5493 93 24

28SULAWESITENGAH 477 37 514 21 0 21 535 971 40 1011 33 0 33 1044 1579 1410 112 10

29SULAWESITENGGARA 586 47 633 36 1 37 670 829 48 877 57 0 57 934 1604 1724 93 6

30SULAWESIUTARA 583 44 627 38 0 38 665 1123 48 1171 61 3 64 1235 1900 1831 104 13

31SUMATERABARAT 695 58 753 30 0 30 783 1929 87 2016 67 1 68 2084 2867 1993 144 19

32SUMATERASELATAN 1915 97 2012 197 1 198 2210 4103 211 4314 288 1 289 4603 6813 4964 137 17

33SUMATERAUTARA 5316 234 5550 235 2 237 5787 9925 472 10397 333 12 345 10742 16529 8765 189 35

TOTAL 46.014 2.783 48.797 1.980 64 2.044 50.841 91.516 4.727 96.243 3.185 66 3.251 99.494 150.335 98.464 153 428

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

76

UNIVERSITAS INDONESIA

Keterangan :

TDL : Tahanan Dewasa Laki-laki TDP : Tahanan Dewasa Perempuan TD : Tahanan Dewasa TAL : Tahanan Anak Laki-laki TAP : Tahanan Anak Perempuan TA : Tahanan Anak NDL : Narapidana Dewasa Laki-laki NDP : Narapidana Dewasa Perempuan ND : Narapidana Dewasa NAL : Narapidana Anak Laki-laki NAP : Narapidana Anak Perempuan NA : Narapidana Anak

*Penggunaan teks merah berarti jumlah penghuni lapas telah melebihi kapasitas lapas.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

77

77

Tabel di atas adalah data jumlah penghuni lembaga

pemasyarakatan sampai dengan 13 Juni 2012. Dari data tersebut dapat

dilihat bahwa dari 33 jumlah kantor wilayah di Indonesia, hanya 8

kantor wilayah yang tidak mengalami overcapacity lapas sedangkan 25

kantor wilayah sisanya mengalami overcapacity lapas.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 4

PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURAN

MAHKAMAH AGUNG NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN

BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM

KUHP DAN PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA DENGAN

PERANCIS

4.1 Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012

PERMA ini menyesuaikan nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379,

384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima

ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu perkara yang memenuhi unsur pasal-pasal

tersebut dan mengandung nilai barang yang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00

(dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani dengan prosedur penyelesaian

tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.

Dengan demikian, perkara tersebut ditangani melalui pemeriksaan dengan

acara cepat, dengan hakim tunggal, prosedur pelimpahan dan pemeriksaan

perkara dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut

umum. Pasal 2 ayat (1) PERMA tersebut mengatur bahwa Ketua Pengadilan

wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara

tersebut. Pada Pasal 2 ayat (2) dalam PERMA tersebut diatur bahwa perkara

dengan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara tidak lebih dari

Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa dengan acara

pemeriksaan cepat yang prosedurnya telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Di samping itu, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan atau

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

79

UNIVERSITAS INDONESIA

perpanjangan penahanan apabila terdakwa telah dikenakan penahanan

sebelumnya.

Penanganan perkara tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap

sistem peradilan pidana terpadu karena penyesuaian nilai barang dalam Pasal

364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP diatur melalui sebuah

Peraturan Mahkamah Agung yang memiliki kedudukan dan kekuatan

mengikat tersendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut akan

dijelaskan lebih lanjut dalam subbab selanjutnya.

4.2 Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia merupakan negara hukum. Hal tersebut ditegaskan melalui

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Oleh karenanya, setiap

ketentuan hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di

Indonesia dilandasi oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 5 jo. Pasal 20

Undang-undang Dasar 1945 mengenal bentuk produk hukum berupa

undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai berikut:

1) “Undang-undang (wet, act, statute)Berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar1945:- Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang

(RUU) kpada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); dan- DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang

2) Peraturan PemerintahBerdasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945:- Yang berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah adalah

Presiden- Peraturan Pemerintah berfungsi untuk menjalankan undang-

undang sebagaimana mestinya”.77

77 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan PeninjauanKembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 164.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

80

UNIVERSITAS INDONESIA

Berdasarkan dua bentuk peraturan perundang-undangan tersebut

maka konstitusi Indonesia pada dasarnya tidak mengenal bentuk Peraturan

Mahkamah Agung atau PERMA. Penjabaran mengenai kewenangan

Mahkamah Agung menerbitkan PERMA dapat dilihat dari Pasal 24A

Undang-undang Dasar 1945, yaitu, “Mahkamah Agung berwenang

mengadili di tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan

oleh undang-undang”.78

Dari pasal tersebut wewenang Mahkamah Agung lainnya termasuk

pembuatan peraturan dijabarkan kembali oleh Pasal 20 ayat (2) butir c

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di mana

Mahkamah Agung diberi wewenang lain yang diberikan oleh undang-

undang. Pasal 79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung sebagaimana telah diubah melalui Undang-undang No. 5 Tahun

2004 dan perubahan kedua melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2009

memberikan wewenang bagi Mahkamah Agung untuk membuat peraturan

demi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Pasal tersebut berbunyi sebagai

berikut, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang

diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-

hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”.79 Dalam

penjelasan Pasal 79 tersebut disebutkan bahwa:

“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan ataukekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenangmembuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan ataukekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agungberwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soalyang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.

Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agungdibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undangini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan.Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri danmelampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada

78 Indonesia (e), op cit., Pasal 24 A

79 Indonesia (b), op cit, Pasal 79

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

81

UNIVERSITAS INDONESIA

umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian sertapenilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian”.80

Berdasarkan pasal tersebut maka kewenangan pembentukan

peraturan yang dimiliki Mahkamah Agung diberikan melalui pendelegasian.

Senada dengan hal tersebut, Jimly Asshiddiqie melalui website-nya

menuturkan bahwa:

“Semua lembaga negara dapat saja diberi kewenangan untuk mengatursendiri urusan internalnya dalam rangka kelancaran tugasnya untukmelaksanakan ketentuan undang-undang. Inilah yang disebut prinsipdelegasi. Karena itu, asalkan ada pendelegasian kewenangan pengaturan(legislative delegation of rule making power), MA, MK, BI dll, bisa sajamembuat peraturan internal, yaitu Peraturan MA (Perma), Peraturan MK(PMK), Peraturan BI (PBI), dsb.81

Melihat wewenang yang dimiliki Mahkamah Agung tersebut maka

menimbulkan pertanyaan lain perihal kedudukan peraturan yang

dikeluarkan Mahkamah Agung yang sejatinya merupakan badan yudikatif

sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.

Sehubungan dengan itu, menurut ajaran positivisme dan kedaulatan

legislatif, dalam menjalankan peraturan perundang-undangan melalui

penyelenggaraan peradilan, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan

itu, hanya dapat dibenarkan melakukan penafsiran untuk mencari dan

menemukan makna (to discover and to explore the meaning) atau

memperluas dan mengelastiskan pengertian (to extend and to enlarge and

flexible the meaning), apabila ketentuan peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan tidak jelas maknanya (unplain meaning), rumusannya

keliru (ill-defined), atau mengandung ambiguitas (ambiguity).82 Melalui

kewenangan yang diberikan, Mahkamah Agung dapat menjadi pembuat

atau pencipta hukum yang populer dikenal dengan judge made law dalam

hal penafsiran tersebut. Namun sifat hukum yang diciptanya itu tidak

80 Ibid, Penjelasan Pasal 79

81 Jimly Asshiddiqie, Tanya Jawab, http://jimly.com/tanyajawab?page=16, diunduh pada 13Juni 2012 pukul 21.15 WIB.

82 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung, op cit., hal. 165.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

82

UNIVERSITAS INDONESIA

bersifat peraturan perundang-undangan yang berlaku umum, tetapi sifatnya

hukum kasus (case law) yang diberlakukan dan diterapkan pada kasus

tertentu. Hal ini yang cukup membedakan bentuk peraturan yang dibuat oleh

legislator dengan peraturan yang dibentuk oleh Mahkamah Agung.

Kedudukan PERMA sendiri dalam peraturan perundanng-undangan

dapat mengacu pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 7 ayat (1) undang-

undang tersebut mengenal jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

sebagai:

a. Undang-undang Dasar 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-

Undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Kekuatan mengikat bentuk peraturan perundang-undangan tersebut

didasarkan pada hierarkinya dalam arti peraturan perundang-undangan yang

kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang

lebih tinggi. Di samping bentuk peraturan perundang-undangan di atas,

Undang-undang No. 12 Tahun 2011 juga mengenal bentuk peraturan

perundang-undangan lain. Di sinilah letak kedudukan Peraturan Mahkamah

Agung. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011

mengenal jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud pada

Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau

Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

83

UNIVERSITAS INDONESIA

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dengan demikian, PERMA diakui sebagai bentuk peraturan perundang-

undangan. Akan tetapi, pengakuan PERMA ini sebagai bentuk peraturan

perundang-undang tidak diikuti dengan penempatannya dalam hierarki

peraturan perundang-undangan. Kedudukannya menjadi rancu di tengah-

tengah bentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Sony Maulana

Sikumbang S.H., M.H, Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, mengatakan bahwa:

“Pengaturan mengenai Mahkamah Agung diatur oleh undang-undangmengenai kekuatan dan kewenangannya selain diatur pula dalamUndang-undang Dasar 1945. Turunannya dilakukan oleh undang-undangdan kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA itu jugadiatur di undang-undang. Maka kita bisa pastikan bahwa perauran-peraturan dari lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam Pasal 8Undang-undang No. 12 Tahun 2011, walaupun tidak disebutkanhierarkinya, kita bisa berpendapat bahwa kedudukannya pasti di bawahundang-undang. Yang menjadi pertanyaan adalah kedudukannyasederajat atau lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah. Hal itu yangmenjadi perdebatan. Ketika tidak ada pertentangan antara PeraturanPemerintah dan peraturan lembaga-lembaga tersebut mungkin tidakmenjadi masalah jika menyebut ia sederajat dengan PeraturanPemerintah. Tapi baru menjadi masalah jika kemudian ada suatuPeraturan Pemerintah yang kemudian pengaturannya bertentangandengan peraturan lembaga-lembaga tersebut”.83

Hal yang sama juga disampaikan oleh Fitriani Ahlan Sjarif S.H.,

M.H, dosen Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, bahwa di sinilah letak kelemahan Undang-undang No. 12 Tahun

2012. Pada Pasal 7, undang-undang ini mengatur hierarkhi peraturan

perundang-undangan dan disebutkan bentuk peraturan perundang-undangan

lain pada pasal berikutnya, termasuk PERMA, namun tidak dijelaskan

kedudukannya dalam hierarkhi tersebut. Ia menjelaskan bahwa, “Hingga

saat ini, hal tersebut masih menjadi permasalahan dan belum ada jawaban

untuk hal itu.”84

83 Wawancara dengan Sony Maulana Sikumbang S.H., M.H. pada tanggal 2 April 2012

84 Wawancara dengan Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. pada tanggal 20 Juni 2012

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

84

UNIVERSITAS INDONESIA

Penjelasan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung memberikan

petunjuk bahwa tujuan pembentukan PERMA adalah untuk mengisi

kekurangan atau kekosongan hukum. Oleh sebab itu, PERMA ini tetap

memiliki kekuatan mengikat. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 24 ayat (2)

Undang-undang Dasar 1945 menempatkan Mahkamah Agung sebagai

lembaga yudikatif maka produk hukum dari Mahkamah Agung secara

otomatis mengikat internal lembaga yudikatif yang bersangkutan. Dengan

demikian, Hakim dan Pengadilan harus tunduk dan taat menjalankan

PERMA tersebut. Di sisi lain, pihak di luar Mahkamah Agung dan lembaga

peradilan di bawahnya bukan berarti tidak terikat pada PERMA ini. Ketika

permasalahan mereka sampai pada lembaga peradilan maka mereka ikut

terikat pada PERMA bersangkutan. Terhadap penyidik, baik polisi ataupun

jaksa, sepanjang perkaranya belum sampai ke Pengadilan maka mereka

tetap terikat pada KUHP dan KUHAP.

Sama halnya dengan PERMA pada umumnya, PERMA No. 2 Tahun

2012 ini memiliki kedudukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1)

Undang-undang No. 12 Tahun 2011 sebagai bentuk peraturan perundang-

undangan namun tetap dibedakan dari bentuk produk hukum yang dibuat

oleh DPR dan Presiden. Sekalipun tidak dijabarkan dalam susunan hierarki

peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No.

12 Tahun 2011 namun PERMA ini tetap memiliki kekuatan mengikat

sebagaimana peraturan perundang-undangan, yaitu mengikat internal

Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.

Pada subbab sebelumnya, sempat disinggung bahwa setidaknya

terdapat lima peran yang dimainkan PERMA RI dalam memenuhi

kebutuhan penyelenggaraan negara, khususnya di bidang peradilan. Peran-

peran yang dimaksud adalah PERMA RI sebagai pengisi kekosongan

hukum, sebagai pelengkap ketentuan undang-undang yang kurang jelas

mengatur tentang suatu hal berkaitan dengan hukum acara, sebagai saran

penemuan hukum, sebagai sarana penegakan hukum, dan sebagai sumber

hukum bagi masyarakat hukum. Contoh dari peran PERMA RI yang

pertama, sebagai pengisi kekosongan hukum, adalah PERMA No. 1 Tahun

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

85

UNIVERSITAS INDONESIA

1956. PERMA tersebut mengatur kekosongan hukum yang terjadi antara

suatu perkara perdata dengan perkara pidana. Berdasarkan PERMA tersebut

hakim dapat menunda vonnis pidana sampai adanya putusan hakim perdata

yang menentukan tentang hak keperdataannya terlebih dahulu. Fungsi

pengaturan dari Mahkamah Agung terkait erat dengan wewenang

Mahkamah Agung selaku penjaga supremasi hukum di Indonesia yang

harus mampu memberikan rasa kepastian hukum.85 Contoh dari peran

PERMA RI yang kedua, sebagai pelengkap ketentuan undang-undang,

adalah PERMA No. 2 Tahun 1999. PERMA tersebut melengkapi

kekurangan hukum acara uang belum diatur dalam Undang-undang No. 2

Tahun 1999 tentang Partai Politk, yaitu tata cara pelaporan, peringatan dan

pembelaan diri, serta acara persidangan. Salah satu contoh PERMA RI yang

diterbitkan oleh Mahkamah Agung sevagai sarana penegakan hukum adalah

PEMRA RI No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan Yang

Telah Berkekuatan Hukum Tetap.86 Menurut Ronald S. Lumbuun dalam

Bukunya “PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan

Pemisahan Kekuasaan” berpendapat bahwa PERMA tersebut merupakan

sarana penegakan hukum, yaitu guna melindungi kepentingan hukum

manusia, khususnya bagi Sengkon dan Karta dari berbagai pelanggaran

yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakmanfaatan, dan

ketidakadilan, ketiga hal mana merupakan unsur yang selalu harus

diperhatikan secara proporsional dan berimbang di dalam suatu penegakan

hukum.87

Peran PERMA RI berikutnya adalah sebagai sarana penemuan

hukum. di sinilah menurut Penulis, PERMA No. 2 Tahun 2012 berada.

Produk peraturan perundang-undangan selalu tertinggal dengan dinamika

perubahan yang terjadi.88 Penemuan hukum yang dimaksud dilakukan

melalui penafsiran atau interpretasi. Interpretasi atau penafsiran merupakan

85 Ronald S. Lumbuun, op cit., hal. 29.

86 Ibid, hal. 60

87 Ibid, hal. 61.

88 Ibid.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

86

UNIVERSITAS INDONESIA

salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yan

gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat

diterapkan sehubungan denga peristiwa tertentu.89 Metode yang digunakan

adalah interpretasi sosiologis. Perundang-undangan disesuaikan dengan

hubungan dan situasi sosial yang baru.90 Menurut Sudikno Mertokusumo,

interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan

berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Di sini peraturan perundang-undangan

disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Peraturan hukum

yang lama itu disesuaikan dengan keadaan yang baru: peraturan yang lama

dibuat aktual.91 Dalam PERMA ini, Mahkamah Agung melakukan

penyesuaian nilai barang dalam KUHP yang disesuaikan dengan

perkembangan zaman dan keadaan saat ini melalui perbandingan harga

emas. Peran PERMA RI yang terakhir adalah sebagai sarana sumber

hukum. Guna memutus suatu peristiwa konkret yang dihadapi, hakim telah

mendasarkan putusannya pada peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah

Agung (PERMA RI) dan apabila putusan hakim yang dibuat dengan

mendasarkan PERMA RI tersebut kemudian menjadi yurisprudensi karena

diikuti oleh hakim-hakim berikutnya di dalam memutus perkara serupa,

maka adalah sangat logis untuk mengatakan bahwa dasar yang melahirkan

suatu yurisprudensi (PERMA RI) juga merupakan sumber hukum.92

4.3 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam Sistem Peradilan

Pidana Terpadu

Kedudukan sebuah PERMA menjadi penting untuk dibahas karena

dapat mempengaruhi penanganan perkara dalam Sistem Peradilan Pidana

Terpadu di Indonesia. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, PERMA

sebagai produk hukum Mahkamah Agung pada dasarnya mengikat interna

dan lembaga peradilan di bawahnya. Sedangkan dalam sebuah Sistem

89 Sudikno Mertokusumo, op cit., hal. 171.

90 Ronald S. Lumbuun, op cit.,, hal. 63.

91 Sudikno Mertokusumo, loc cit.

92 Ronald S. Lumbuun, op cit.,, hal. 82.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

87

UNIVERSITAS INDONESIA

Peradilan Pidana Terpadu, pihak yang terlibat sebagai subsistem di

dalamnya adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga

pemasyarakatan. Melihat kekuatan mengikat PERMA tersebut maka dalam

suatu Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana

Terpadu yang terikat oleh PERMA tersebut hanyalah Pengadilan.

Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam peradilan adalah

keterpaduan hubungan antar para penegak hukum.93 Aparat penegak hukum

sendiri merupakan subjek atau orang yang menjamin dan penegakan hukum

atau memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana

mestinya. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam

proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum,

jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.94 Sebagai suatu sistem,

Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal Justice

System (ICJS) harus melekat suatu karakteristik. Pertama, adanya suatu

sistem adalah untuk mencapai tujuan tertentu.95 Kedua, di dalam ICJS

sebagai suatu sistem terdapat subsistem-subsistem yang saling terkait.96

Tujuan ICJS juga terkait dengan tujuan hukum pidana dan pemidanaan.

Tujuan dari ICJS adalah untuk menegakkan keadilan dalam tatanan

kehidupan bermasyarakat serta melindungi setiap individu, dengan cara

melakukan penanganan dan pencegahan tindak pidana.97 Tujuan akhirnya

tidak hanya pada penanganan tindak pidana melainkan juga pada

pencegahan terjadinya tindak pidana yang lain. Sementara Muladi

menyatakan tujuan SPP terbagi atas tujuan jangka pendek, yaitu sosialisasi,

tujuan jangka menengah yaitu pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka

93 Hafrida, “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Mewujudkan SistemPeradilan Pidana Terpadu”, Majalah Hukum Forum Akademika, Vol. 18, Nomor 2 Oktober 2008,hal. 64.

94 Ibid.

95 Akil Mochtar, “Integrated Criminal Justice System”, diunduh darihttp://www.akilmochtar.com /download/25 pada 13 Juni 2012 pukul 20.25 WIB, hal. 2.

96 Ibid.

97 Ibid

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

88

UNIVERSITAS INDONESIA

panjang untuk kesejahteraan sosial.98 Sebuah SPP Terpadu memiliki

beberapa karakteristik tertentu, yaitu: integration (coordination and

syncronization), clear aims, process (input-througput-output), dan effective

control mechanism.99

Menurut Muladi, ICJS ini adalah sinkronisasi atau keserampakan

dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam sinkronisasi struktural,

sinkronisasi substansial, dn sinkronisasi kultural. Sinkronisasi struktural

adalah keserampakan dan keselarasan dalam hubungan antar lembaga

penegak hukum. Sinkronisasi subtansial adalah keserampakan dan

keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan

hukum positif. Sinkronisasi kultural adalah keserampakan atau keselarasan

dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang

secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.100

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan negara hukum.

Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dilandasi oleh paraturan

perundang-undangan. Begitu pula halnya dengan SPPT atau ICJS ini.

Acuan utama operasional Sistem Peradilan Pidana di negara hukum

Indonesia, bermuara pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menganut konsep diferensiasi

fungsional (fungsi yang berbeda-beda) diantara komponen penegak

hukum.101

“Sistem peradilan pidana mencakup sub sistem dengan ruang lingkupmasing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut:

1. Kepolisian dengan tugas utama: menerima laporan danpengaduan dari publik manakala terjadinya tindak pidana,melakukan penyelidikan, dan penyidikan tindak pidana,melakukan penyaringan terhadap kasus yang memenuhi syaratuntuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan

98 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Semarang: Penerbit UNDIP, 1998),hlm 5.

99 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm 54.

100 Hafrida, op cit., hal. 67.

101 Achmad Ali, dkk. Seminar “Criminal Justice System Di Negara Hukum Indonesia”dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2010.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

89

UNIVERSITAS INDONESIA

kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihakyang terlibat dalam proses peradilan pidana.

2. Kejaksaan dengan tugas pokok menyaring kasus-kasus yanglayak diajukan ke Pengadilan, mempersiapkan berkaspenuntutan, melakukan penuntutan, dan melaksanakan putusanPengadilan.

3. Pengadilan berkewajiban untuk menegakkan hukum dankeadilan, melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban, dalamproses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasussecara efisien dan efektif, memberikan putusan yang adil danberdasarkan hukum.

4. Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi menjalankan putusanPengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikanterlindunginya hak-hak narapidana, menjaga agar kondisiLembaga Pemasyarakatan memadai untuk penjalanan pidanasetiap narapidana”.102

Sedemikian rupa pembagian tugas-tugas setiap sub sistem yang

terdapat dalam SPPT sehingga apabila terdapat inkonsistensi penanganan

perkara akan mempengaruhi seluruh sistem. Begitupula halnya dengan

kedudukan PERMA ini. Dalam Pasal 2 PERMA tersebut secara tegas

disebutkan bahwa Ketua Pengadilan memperhatikan nilai barang atau uang

yang menjadi objek perkara, menetapkan hakim tunggal, dan tidak

menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan. Dari bunyi pasal

tersebut nampak jelas bahwa pihak yang memiliki kewajiban mengikuti

PERMA tersebut adalah Ketua Pengadilan kemudian hakim yang ditunjuk.

Berdasarkan PERMA ini, nilai Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh

rupiah) disesuaikan dengan kondisi saat ini menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua

juta lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu, setiap perkara yang terkait

dengan nilai barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus

ribu rupiah) ditangani sebagai tindak pidana ringan dan diperiksa dengan

acara pemeriksaan cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.

Akan tetapi, aparat kepolisian atau kejaksaan tidak memiliki kewajiban

untuk mengikuti PERMA ini dan dalam menjalankan tugasnya masih tetap

berpatokan pada KUHP dan KUHAP. Tentunya hal ini akan berpengaruh

pada ketidaklancaran sistem yang berjalan. Ketidaklancaran bukan saja

102 Hafrida, op cit., hal. 66.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

90

UNIVERSITAS INDONESIA

mempengaruhi efisiensi, efektifitas, dan produktifitas peradilan, melainkan

“ancaman kegagalan dalam menjalankan sistem peradilan yang baik” seperti

terhambatnya proses yang timbul karena bolak-baliknya hasil penyidikan

antara penyidik dan penuntut, penolakan dakwaan oleh hakim karena

dianggap ada kekeliruan dalam merumuskan dakwaan, dan lain

sebagainya.103

Berdasarkan keterangan Bapak Suhartoyo, S.H., M.H., dari

Kejaksaan Agung, setelah PERMA ini keluar pihak Kejaksaan Negeri

Barabai, Kalimantan, meminta petunjuk dari pihak Kejaksaan Agung

sehubungan dikembalikannya berkas perkara dari Pengadilan ke Penuntut

Umum karena tidak sesuai dengan PERMA tersebut. Dalam kasus tersebut,

Kejaksaan Negeri Barabai meneruskan perkara yang mengandung nilai

barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)

dengan acara pemeriksaan singkat ke Pengadilan. Akan tetapi, Pengadilan

mengembalikan berkas perkara tersebut untuk kemudian diperiksa dengan

acara cepat sebagaimana diterapkan bagi perkara tindak pidana ringan.

Tentunya dengan diperiksa dengan acara cepat maka peran penuntut umum

kemudian dikuasakan kepada penyidik untuk melanjutkan perkara ke

Pengadilan sendiri.104 Hal ini tentunya mempengaruhi sistem yang berjalan

tadi. Di satu sisi, penyidik atau penuntut umum tidak memiliki kewajiban

untuk mengikuti PERMA tadi namun di sisi lain Pengadilan yang terikat

PERMA mengambil tindakan mengembalikan berkas perkara untuk

dilanjutkan dengan pemeriksaan tindak pidana ringan. Menurut Bapak

Suhartoyo, Kejaksaan sebagai eksekutor pada akhirnya melaksanakan

keputusan tersebut dan menyerahkan kembali berkas perkara kepada

penyidik untuk dilanjutkan sendiri berdasarkan kuasa penuntut umum ke

Pengadilan dengan acara cepat. Pada poin ini, pihak kejaksaan tidak terikat

PERMA dan tidak secara langsung menjalankan PERMA tersebut

103 Hafrida, op cit., hal. 67.

104 Wawancara dengan Bapak Suhartoyo, S.H, M.H, dari Kejaksaan Agung RepublikIndonesia pada tanggal 24 Mei 2012.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

91

UNIVERSITAS INDONESIA

melainkan melaksanakan keputusan Pengadilan sebagai eksekutor.105 Pada

akhirnya, hal ini mempengaruhi efektifitas dan efisiensi SPPT karena terjadi

ketidaklancaran dalam sistem tersebut yang diakibatkan kedudukan PERMA

No. 2 Tahun 2012 dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu.

4.4 Pembagian Bentuk Kejahatan Perancis

Penal Code Perancis terbagi dalam 5 buku. Pembagian ini berbeda

dengan pembagian dalam KUHP Indonesia yang terbagi dalam 3 buku,

yaitu aturan umum, kejahatan, dan pelanggaran. Perancis membagi Penal

Code nya menjadi 5 buku yang terdiri dari General Provisions, Felonies

and Misdemeanors against Person, Felonies and Misdemeanors against

Property, Felonies and Misdemeanor against The Nation, The State and The

Public Peace, dan Other Felonies and Misdemeanors. Indonesia mengenal

dua bentuk kejahatan, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan sendiri

terbagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu kejahatan biasa dan kejahatan ringan.

Perancis mengenal tiga bentuk kejahatan, yaitu felony, misdemeanor¸ dan

petty offence. Pembagian tersebut didasarkan pada tingkat keseriusan

kejahatan itu sendiri. Ketentuan tersebut dituangkan dalam Article 111-1

Penal Code Perancis yang berbunyi, “Les infractions pénales sont classées,

suivant leur gravité, en crimes, délits et contraventions”.106 Dalam bahasa

Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “Criminal offences are categorized as

according to their seriousness as felonies, misdemeanors, and petty

offences”.107

Di samping tingkat keseriusan, Perancis membagi kejahatan

berdasarkan pengaturannya. Di Indonesia, pengaturan mengenai kejahatan

dan pelanggaran diatur dalam buku yang terpisah namun masih dalam satu

105 Ibid.

106 Legifrance, French Code Penal, revisi terakhir 13 Oktober 2010, pasal 111-1

107 John Rason Spencer, French Penal Code, Selwyn College, diunduh darihttp://legislationline.org/documents/section/criminal-codes pada tanggal 1 Juni 2012 pukul 16.20WIB

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

92

UNIVERSITAS INDONESIA

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan Perancis

mengatur felony dan misdemeanor serta petty offence dalam dua bentuk

pengaturan. Felonies dan misdemeanor diatur dalam undang-undang

(Statute) sedangkan petty offences diatur dalam peraturan biasa

(regulations) di luar Penal Code-nya. Definisi mengenai felony,

misdemeanor, dan petty offences sulit ditemukan dalam Penal Code

Perancis. Definisi yang cukup menggambarkan maksud felony,

misdemeanor, dan petty offences justru dapat ditemukan dalam peraturan

formilnya, yaitu French Penal Procedure Code.

Article 381 paragraf 2 Penal Procedur Code Perancis menjelaskan

bahwa, “Sont des délits les infractions que la loi punit d'une peine

d'emprisonnement ou d'une peine d'amende supérieure ou égale à 3 750

euros”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi

“Misdemeanours are the offences the law punishes by ordinary

imprisonment or by a fine in excess of € 3,750”. Pertanyaan yang muncul

kemudian apakah definisi ini cukup menggambarkan maksud dari

misdemeanor itu sendiri. Dalam pasal tersebut disebutkan “ordinary

imprisonment”. Pidana penjara yang bagaimana yang dimaksud dalam

tersebut menjadi pertanyaan berikutnya. Untuk menjawab hal ini, tentunya

peraturan mengenai pidana penjara bagi misdemeanor harus dilihat kembali

dalam Penal Code Perancis yang mengaturnya. Dalam Article 131-4 diatur

bahwa terhadap misdemeanors dapat dipidana penjara dengan maksimum

10 tahun, 7 tahun, 5 tahun, 3 tahun, 2 tahun, 1 tahun, 6 bulan, dan 2 bulan.

Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa misdemeanors adalah perkara yang

diancam dengan denda yang melebihi € 3,750 atau pidana penjara minimal

2 bulan dan maksimum 10 tahun. Sedangkan definisi petty offences dapat

dilihat dari Article 521 paragraf 2 yang berbunyi, “Petty offences are

offences which the law punishes with a fine of up to € 3000”. Dengan

demikian, petty offences adalah perkara yang oleh hukum dapat dipidana

dengan denda paling banyak € 3000.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

93

UNIVERSITAS INDONESIA

Dalam Penal Procedur Perancis ini sulit untuk menemukan definisi

felony. Akan tetapi pengertian dari felony itu dapat disimpulkan dari bentuk

pidana yang dijatuhkan terhadapnya. Ketentuan pidana ini dapat ditemukan

dalam Pasal 131-1 Penal Code Perancis. Dalam pasal ini ditentukan bahwa

terhadap felonies dapat dipidana dengan penjara seumur hidup, maksimal 30

tahun, maksimal 20 tahun, maksimal 15 tahun, dan minimal 10 tahun.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa felonies adalah perkara yang

dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan minimal 10

tahun. Bentuk kejahatan felonies dan misdemeanor yag diatur dalam Penal

Code Perancis tidak ditentukan secara eksplisit melainkan penentuannya

harus dengan memperhatikan ancaman pidana yang diberikan. Contoh

bentuk felonies yang diatur dalam Penal Code Perancis, antara lain Article

211-1 tentang genosida, Article 221-1 tentang pembunuhan, Article 222-23

tentang perkosaan, dan lain-lain. Contoh bentuk misdemeanors yang diatur

dalam Penal Code Perancis, di antaranya Article 222-33 tentang perbuatan

pelecehan seksual, Article 223-3 tentang menelantarkan orang perlu

ditolong, Article 311-3 tentang pencurian, dan lain-lain. Sedangkan bentuk

kejahatan petty offences diatur terpisah.

Dari definsi dan contoh-contoh kasus tersebut di atas dapat dilihat

bahwa pembagian bentuk kejahatan di Perancis dan di Indonesia sedikit

berbeda. Di Indonesia, kejahatan terbagi dalam dua bentuk, yaitu kejahatan

dan pelanggaran. Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu

kejahatan biasa dan tindak pidana ringan. Terhadap tindak pidana ringan ini

mengandung unsur lain selain unsur perbuatan yang dilakukan pelaku, yaitu

nilai barang yang menjadi objek perkara. Suatu perbuatan dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana ringan yang diatur dalam Pasal 364,

373, 379, 384, 407, dan 482 apabila nilai barang yang menjadi objek

perkara tidak lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Melalui

PERMA No, 2 Tahun 2012 nominal ini mengalami penyesuaian menjadi

Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Dengan demikian, suatu

perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan apabila

memenuhi unsur perbuatan dalam pasal dan unsur nilai barang yang

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

94

UNIVERSITAS INDONESIA

mnejadi objek perkara. Lain halnya dengan misdemeanor di Perancis di

mana tidak membutuhkan unsur nilai barang agar dapat dikategorikan

misdemeanor. Penentuan ini cukup dengan memenuhi unsur perbuatan yang

diatur dalam pasal dan pidana penjaranya maksimal 10 tahun atau denda

lebih dari € 3,750.

4.5 Perbandingan Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan dan

Misdemeanor di Perancis

Pada bab-bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai sejarah singkat

pengaturan tindak pidana di Indonesia beserta hukum acaranya yang

mendapat pengaruh dari hukum pidana Belanda. Hukum pidana Belanda

sendiri pun mendapat pengaruh dari negara lain, yaitu Perancis. Baru dua

tahun Belanda berhasil memberlakukan kodifikasi hukum pidana nasional,

Perancis manjajah Belanda, yaitu pada tahun 1811. Pada saat itu, sama

halnya dengan pada saat Belanda menjajah Indonesia, Perancis yang pada

waktu itu menjajah Belanda juga memberlakukan kodifikasi hukum

pidananya (Code Penal) di Belanda yang dibuat pada tahun 1810 saat

Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun tahun 1813,

Perancis meninggalkan Belanda. Namun demikian negara Belanda masih

mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.108 Dengan demikian,

hukum pidana Belanda sendiri mendapat pengaruh dari hukum pidana

Perancis dan hukum pidana Indonesia mendapat pengaruh dari Belanda.

Secara tidak langsung hukum pidana Indonesia pun mendapat sedikit

banyak pengaruh dari Perancis.

Negara Perancis menganut asas Pemisahan Kekuasaan atau

Separation of Powers. Pemisahan kekuasaann yang dimaksud terdiri dari

kekuasaan legislatif (legislative power of Parliament), kekuasaan eksekutif

(executive power of government), dan kekuasaan yudikatif (the power of

judiciary). Sistem peradilan di Perancis merupakan double pyramid

108 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:Alumni AHM-PTHM, 1982), hal 42.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

95

UNIVERSITAS INDONESIA

structure yang terdiri dari dua bentuk yang terpisah, yaitu administrative

court dan judicial court.

“The Administrative Court settle disputes between users and publicauthorities.

- Conseil d’ etat hears cases in first and last instance. It is bothadviser to the government and the supreme administrative court.

- The court with general competence are the administrativecourts, administrative appeal court, and the Consel d’ etat (asjurisdiction).

- Administratove courts special competence are the financialcourts (Court of Auditor, Regional Court of Auditor, Court ofBudget, and Financial Discipline) and various other tribunal likethe disciplinary of professional orders”.109

Pengadilan Administratif ini menyelesaikan perkara antara individu dengan

individu, negara, pejabat publik atau daerah, dll. Pengadilan ini terdiri dari

dua kompetensi, yaitu kompetensi umum dan kompetensi khusus.

Pengadilan ini terdiri dari hierarkhi yang membentuknya seperti piramid.

Mereka yang tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama dapat

mengajukan pemeriksaan perkara di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

“The judicial courts settle disputes between persons and sanctionoffences against persons, property and society. There are threecategories of judicial court:

- The court of first instance:1. The civil court: district courts, regional courts, commercial

courts, emplyment tribunals, agricultural land tribunal, socialsecurity tribunal;

2. The criminal court:a) Ordinary court: police courts, regional criminal courts,

assize courts;b) Specialised courts: juvenille courts, military courts,

political courts, and the maritime criminal court.3. Local court, created by Act 2002-1138 of 9 September 2002 to

meet the need to make justice more accessible, swifter andcapable to dealing more appropriately with small claims andminor offences. Local court have lay judges;

- The courts of second instance: the appeal court;

109 Ministere des Affaires Etrangeres, La France ἁ la loupe: The French Justice System,2007, diunduh dari http://www.justice.gouv.fr/ pada tanggal 5 Juni 2012 pukul 11.25 WIB.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

96

UNIVERSITAS INDONESIA

- The supreme court: the Court of Cassation, responsible for ensuringcompliance with the rues of law applied by lower courts. It judgesthe form and not the merits, unlike the courts o first ad secondinstance, which judge the facts”.110

Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Pengadilan di Perancis tersusun atas

hierarkhi pengadilan yang terdiri dari pengadilan tingkat pertama,

pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Pada tingkat

pertama terdapat tiga bentuk badan peradilan, yaitu civil court yang

menangani perkara perdata, criminal court yang menangani perkara pidana,

dan local court yang menangani perkara seperti small claim. Penjelasan

pada bab ini akan lebih terfokus pada bentuk yang kedua ini, yaitu criminal

court.

Bagan 4.1

French Court System

Criminal Court atau Pengadilan Pidana tingkat pertama di Perancis

terbagi lagi dalam beberapa bentuk yang kewenangannya tergantung pada

perkara tertentu yang ditangani. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab

sebelumnya, tindak pidana di Perancis terbagi dalam tiga bentuk, yaitu

Crimes, Delits, dan Contraventions.

110 Ibid

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

97

UNIVERSITAS INDONESIA

“Contraventions - (cf. petty offences) - which would includeparking and speeding tickets for example are dealt with, if they were tocome before a French Court, by the Tribunal de Police.

Délits - (cf. misdemeanours) - more serious offences, which mightinclude for example theft, actual bodily harm etc, are dealt with by theTribunal Correctionnel.

Crimes - (cf. felonies) - the most serious types of offence such asmurder, rape etc. are heard by the Cour d'Assises”.111

Perancis tidak mengenal istilah tindak pidana ringan seperti di

Indonesia. Istilah yang digunakan terhadap kejahatan dikenal dengan crimes

atau terkadang juga dikenal dengan istilah felonies. Bentuk kejahatan yang

lebih sederhana dikenal dengan istilah delit atau biasa dikenal pula dengan

istilah misdemeanour. Sedangkan contraventions terkadang dikenal pula

dengan istilah petty offences. Ketiga bentuk tindak pidana ini memiliki

penanganan dan bentuk pengadilan tersendiri.

- Contraventions : kira-kira sama dengan pelanggaran-pelanggaran.

- Delits : kira-kira sama dengan perkara-perkarasumier, misalnya pencurian,penggelapan, penipuan, dan sebagainya.

- Crimes : kira-kira adalah perkara-perkarapembunuhan, perampokan dengankekerasan, dan segala kejahatan-kejahatan yang dianggap paling berat-berat.112

Sekalipun terdapat kesamaan antara hierarkhi pengadilan di

Indonesia dan di Perancis namun pengadilan tingkat pertama di antara

kedua negara ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia hanya mengenal bentuk Pengadilan Negeri

sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan

tingkat banding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi

dan peninjauan kembali. Perancis juga mengenal pengadilan tingkat

111 Criminal Law, diunduh dari http://www.frenchlaw.com/criminal_law.html pada tanggal15 Juni pukul 12.35 WIB.

112 Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), hal. 43.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

98

UNIVERSITAS INDONESIA

pertama, tingkat banding, dan kasasi. Akan tetapi, pada pengadilan tingkat

pertama terdapat beberapa bentuk pengadilan lainnya yang memiliki

kewenangan berbeda.

Bagan 4.2

Civil and Criminal Court in France

Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa Perancis melakukan

pembagian terhadap bentuk perkara judicial dan administrative. Perkara

judicial juga terbagi lagi dalam bentuk perkara perdata dan pidana.

Kewenangan pengadilan terhadap perkara perdata, pidana, atau administratif

berbeda-beda. Fokus kajian dari penulisan ini adalah criminal court dengan

kajian yang lebih spesifik terhadap pemeriksaan misdemeanors

dibandingkan dengan pemeriksaan tindak pidana ringan di Indonesia karena

bentuk perkaranya yang hampir sama. Pada tingkat pertama, Perancis

mengenal tiga bentuk pengadilan yang kewenangannya didasari pada bentuk

kejahatan. Pengadilan yang dimaksud adalah tribunal de police, tribunal

correctionnel, dan cour d’ assizes.

Bentuk tindak pidana paling sederhana atau contraventions/petty

offences, berdasarkan article 178 Penal Procedure Code Perancis, ditangani

oleh Police Court/Tribunal de Police. Pasal tersebut lengkapnya berbunyi,

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

99

UNIVERSITAS INDONESIA

“Si le juge estime que les faits constituent une contravention, il prononce,

par ordonnance, le renvoi de l'affaire devant le tribunal de police ou devant

la juridiction de proximité”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan

menjadi, “If the judge considers the facts amount to a petty offence, he

makes an order referring the case to the police court”. Misdemeanors atau

Delits, berdasarkan article 179 Penal Procedur Code Perancis, ditangani

oleh Correctional Court/Tribunal Correctionnel. Pasal tersebut berbunyi

sebagai berikut, “Si le juge estime que les faits constituent un délit, il

prononce, par ordonnance, le renvoi de l'affaire devant le tribunal

correctionnel”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “If the

judge considers the facts amount to a misdemeanour, he makes an order

referring the case to the correctional court”. Tindak pidana paling berat

atau Crimes/Felonies, berdasarkan article 181 Penal Procedure Code

Perancis, ditangani oleh courts assizes/Cour d'Assises. Pasal tersebut

berbunyi, “Si le juge d'instruction estime que les faits retenus à la charge

des personnes mises en examen constituent une infraction qualifiée crime

par la loi, il ordonne leur mise en accusation devant la cour d'assises”.

Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi “If the investigating

judge considers that the charges accepted against person under judicial

examination constitute an offence qualified as a felony by the law, he orders

their indictment before the assize court”. Damon C. Woods dalam

tulisannya “The French Correctional Court” mengatakan, “Offences over

which the correctional court exercise jurisdiction are known as delits, as

distinguished from ontraventions, tried in the police courts, and crimes,

which go before the courts assizes”.113

Sama halnya dengan prosedur pemeriksaan perkara pidana di

Indonesia, permulaan proses awal dari pemeriksaan perkara di Perancis

adalah penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau police judiciarre.

Hal ini diawali oleh pengintaian polisi terhadap perkara atau melalui

pengaduan dari seseorang. Mereka melakukan penyeleidikan dan

113 Damon C. Woods, The French Correctional Court, Journal of Criminal Law andCriminology (1931-1951), Vol. 23 No. 1 (May-Jun, 1932), Northwestern Law, hal. 20.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

100

UNIVERSITAS INDONESIA

mengambil tindakan sementara seperti penahanan. Keseluruhan hasil

pekerjaan dari polisi-polisi khusus ini dituangkan dalam bentuk proses

verbal yang disebut Enquette preliminaire dan Flagrant delit dalam hal

tertangkap basah.114 Setelah proses tadi, polisi tersebut harus melaporkan

hal itu kepada jaksa dan menunggu tindakan selanjutnya. Pada fase ini,

polisi tersebut tunduk pada di bawah perintah dan petunjuk jaksa. Jaksa

tersebut kemudian mempertimbangkan apakah perkara tersebut tergolong

ringan sehingga pemeriksaan pendahuluan cukup dilakukan oleh polisi atau

perkara yang cukup berat sehingga membutuhkan pemeriksaan pendahuluan

oleh Juge d’ Instruction. Apabila perkara tersebut tergolong cukup berat,

maka ia segera membuat requisitoire introductive supaya hakim tersebut

dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan. Penuntutan ini disampaikan

kepada Ketua Pengadilan yang kemudian akan menunjuk hakim yang

bertugas untuk pemeriksaan pendahuluan melalui ordonance du President

du Tribunal. Permintaan tersebut dapat juga dilakukan oleh saksi korban.

Pada saat pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim ini,

polisi tadi tunduk di bawah perintah dan petunjuk-petunjuknya. Pada fase

pemeriksaan ini, Hakim bertugas menyelidiki dan mencari kebenaran

materil dari kasus tersebut. Hakim tersebut memproses tetuduh, saksi dan

memeriksa alat bukti yang kemudian dituangkan dalam proces verbal d’

interogatoire. Hakim tersebut juga dapat mengadakan pemeriksaan

setempat, penggeledahan, penyitaan atau penahanan. Apabila pemeriksaan

dianggap sudah rampung maka ia menutup pemeriksaan dengan ordonance

de cloture dan meminta jaksa untuk membuat penuntutan yang definititf

(requisitoire definitive). Kemudian dengan sebuah ordonance derenvoi ia

akan mengirimkan berkas tersebut ke penadilan untuk disidangkan. Apabila

menurut Hakim tertuduh tidak cukup alasan untuk dituntut maka ia

menyatakan hal tersebut dalam sebuah ordonance de non lieu dan

membebaskan tertuduh tadi.

Pemeriksaan perkara di Tribunal de Police biasanya hanya dipimpin

oleh seorang hakim. Pertanyaan-pertanyaan hakim kepada tertuduh dan

114Lintong, op cit, hal. 94

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

101

UNIVERSITAS INDONESIA

saksi-saksi adalah singkat sekali, hanya terdiri dari beberapa kata-kata saja

yang merupakan intinya.115 Kalau tertuduh sudah mengaku sejak dari

pemeriksaan pendahuluan, maka saksi-saksi tidak perlu lagi didatangkan di

sidang pengadilan. Pengacara dan jaksa tetap diberikan kesempatan untuk

mengajukan pertanyaan-pertanyaan namun pada pemeriksaan ini hampir

tidak pernah lagi mengajukan pertanyaan di persidangan. Setelah

pemeriksaan tersebut, Hakim memberi kesempatan kepada pihak-pihak

yang merasa dirugikan akibat perbuatan tertuduh untuk mengajukan gugatan

ganti rugi. Gugatan perdata tersebut kemudian diputus bersamaan dengan

putusan pidananya. Hakim juga dapat memberikan kesempatan kepada

Securitie Social, pihak Administration, atau pihak Duane. Setelah itu,

Hakim memberikan kesempatan pada jaksa untuk mengajukan tuntutannya

terhadap tertuduh dan biasanya hanya berlangsung secara lisan dan singkat

sekali. Kemudian pengacara tertuduh dapat menucapkan pembelaannya.

Pada akhirnya kemudian Hakim memberikan putusan yang kadang-kadang

dapat diucapkan dalam sidang itu juga atau diundur untuk dipertimbangkan

terlebih dahulu. Semua hal-hal tersebut di atas, baik tuntutan jaksa,

plaidoirie daripada pengacara tertuduh, avocat dari pihak-pihak lain,

maupun putusan Hakim adalah berlangsung seccara lisan (oral).116

Correctional Court sendiri juga dikenal dengan istilah Regional

Court. Correctional Court terdiri dari seorang hakim ketua dan didampingi

oleh dua orang hakim anggota. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam article

385 paragraf 1 yang berbunyi, “The correctional court is composed of a

presiding judge and of two other judges”. Penanganan perkara tindak

pidana ringan di Indonesia dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat dan

dipimpin hanya dengan hakim tunggal. Dengan demikian penanganan antara

tindak pidana ringan dan misdemeanor di antara kedua negara ini berbeda.

Akan tetapi, Penal Procedure Code Perancis juga mengenal pemeriksaan

dengan hakim tunggal berdasarkan article 398 paragraf 3, yaitu “However,

for the trial of the misdemeanours enumerated under article 398-1, except

where the maximum sentence applicable exceeds five years, taking into

115 Damon C. Woods, op cit, hal. 44116 Ibid, hal. 45

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

102

UNIVERSITAS INDONESIA

account the defendant's record, it is composed of a single judge who

exercises the powers conferred upon the presiding judge”. Perkara yang

dimaksud dalam article 398-1 tersebut adalah

1° “misdemeanours set out in articles 66 and 69 of the legislative decreeof 30 October 1935 unifying the law concerning cheques and debitcards;

2° misdemeanours set out in the Traffic Code and also, where committedin the course of driving a vehicle, the misdemeanours set out in articles222-19-1, 222-20-1, 223-1 and 434-10 of the Criminal Code;

3° misdemeanours concerning the regulation of transport by land;4° misdemeanours set out in point 2° of article 32 of the legislative decree

of 18 April 1939 fixing the rules governing weaponry and munitions;5° misdemeanours set out in articles 222-11, 222-12 (1° to 10°), 222-13

(1° to 10°), 222-16, 222-17, 222-18, 222-32, 227-3 to 227-11, 311-3,311-4 (1° to 8°), 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1 to 322-4, 322-12,322-13, 322-14, 433-3, first paragraph, 433-5, 433-6 to 433-8, firstparagraph, 433-10, first paragraph and 521-1 of the Criminal Codeand L. 628 of the Public Health Code;

6° misdemeanours provided for by the Rural Code concerning hunting,fishing and of the protection of flora and fauna, and the misdemeanoursset out by the legislative decree of 9 January 1852 concerning seafishing;

7° misdemeanours provided for in the Forestry Code and the TownPlanning Code for the protection of woods and forests;

8° misdemeanours which do not incur a prison sentence, with theexception of press misdemeanours”.117

Dengan demikian, sepanjang perkara yang diatur dalam pasal tersebut tidak

dipidana lebih dari 5 tahun, diperiksa dengan hakim tunggal. Pemeriksaan

perkara di Indonesia yang menggunakan hakim tunggal adalah pemeriksaan

pada perkara tindak pidana ringan yang dilakukan dengan acara cepat dan

sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, penyidik atas kuasa

penuntut umum melimpahkan berkas perkara langsung ke pengadilan

sekaligus berwenang menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi,

ahli, atau juru bahasa ke sidang pengadilan. Fungsi penuntutan dalam kasus

misdemeanor di Perancis tetap berada di tangan jaksa penuntut. Berdasarkan

article 398-3, “The duties of the public prosecutor attached to the

correctional court are carried out by the district prosecutor or one of his

117 Perancis (a), op cit., Pasal 398-1.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

103

UNIVERSITAS INDONESIA

deputies; those of the clerk by a clerk of the district court”. Dengan

demikian fungsi penuntutan tetap berada pada jaksa penuntut yang

dilimpahkan kepada district prosecutor. Hal ini dipertegas kembali melalui

article 458 yang berbunyi “The district prosecutor makes, in the name of the

law, such written and oral submissions as he considers appropriate to the

ends of justice”.

Terhadap misdemeanor tetap dimungkinkan untuk dilakukan

penahanan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan syarat penahanan yang

diatur dalam KUHAP Indonesia. Tindak pidana ringan yang ancaman

hukumannya paling lama 3 bulan penjara otomatis tidak memenuhi syarat

penahanan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu perkara yang

diancam dengan 5 tahun penjara. Ketentuan Penal Procedure Code Perancis

mengatur hal lain. Terhadap misdemeanor tetap dapat dilakukan penahanan.

Hal ini tersirat dari bunyi Pasal 409 yang berbunyi, “On the day fixed for his

appearance at the hearing, the detained defendant is brought there by the

law enforcement authorities”. Berdasarkan pasal ini dapat dilihat bahwa

terhadap misdemeanor masih dimungkinkan untuk dilakukan penahanan.

Pemeriksaan perkara di Tribunal de Correctionnel hampir sama

dengan pemeriksaan perkara di Tribunl de Police. Pemeriksaan di Tribunal

de Correctionnel lebih serius dan detail karena sifat perkaranya yang

memang lebih berat. Pembelaan yang diajukan pengacara tertuduh pun

biasanya dilakukan dengan lebih serius dan lama. Pemeriksaan di sini dapat

dilakukan tanpa hadirnya tertuduh dan diwakili oleh pengacaranya saja

sehingga perkara diputus dengan putusan verstek. Akan tetapi, Hakim tetap

menyarankan agar tertuduh hadir sendiri. Setelah Majelis Hakim selesai

memeriksa perkara biasanya mereka akan merundingkan isi putusan di

ruangan tersendiri. Perundingan-perundingan ini disebut dengan

Deliberation.118

Hal lain yang membedakan proses pemeriksaan di sidang pengadilan

antara tindak pidana ringan dan misdemeanor di Perancis adalah

kesempatan perkara untuk diajukan di sidang kasasi. Tindak pidana ringan

118 Lintong, op cit, hal. 47.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

104

UNIVERSITAS INDONESIA

di Indonesia tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 45

A Undang-undang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua melalui Undang-

undang No. 3 Tahun 2009 karena ancaman hukumannya di bawah satu

tahun penjara. Hal ini berbeda dengan Misdemeanor di Perancis.

Berdasarkan Pasal article paragraf 1 yang berbunyi, “Judgments made by

the investigating chamber and judgments rendered by courts of final

instance in felony, misdemeanour or petty offence matters may be quashed

in the event of a violation of the law upon a cassation application filed by

the public prosecutor or by the party adversely affected, pursuant to the

following distinctions”, maka terhadap putusan misdemeanor dapat

dimintakan upaya hukum kasasi. Pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung

bukanlah peradilan tingkat ketiga atau terakhir. Mahkamah Agung di

Perancis hanya memeriksa penerapan hukumnya.

Bentuk pengadilan terakhir yang berada pada tingkat pertama adalah

Cour d’ Assizes yang memeriksan perkara crimes atau felonies. Bentuk

pengadilan ini tidak permanen. Waktu pelaksaan sidang ini sudah

ditentukan dan biasanya diadakan setiap tiga bulan selama dua minggu.

Perkara yang dimasuk dikumpulkan terlebih dahulu dan disidangkan pada

waktu yang telah ditentukan hingga selesai. Apabila Tribunal de Police

diperiksa dengan hakim tunggal dan Tribual d’ Correctionnel diperiksa

dengan tiga hakim atau pada perkara tertentu dengan hakim tunggal, beda

halnya dengan pemeriksaan di Cour d’ Assizes. Pemeriksaan tersebut

dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang dibantu dengan

sembilan juri. Ada beberapa kasus yang tetap diperiksa dengan tiga orang

hakim tanpa juri, yaitu aksi teroris dan perkara obat-obatan. Prosedur

pemeriksaan dilakukan dengan sangat serius dan detail hingga pada

pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti. Pada pemeriksaan ini, surat tuntutan

(extrait de minute d’ accusation) dibacakan oleh panitera dan bukan oleh

jaksa. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan sistem di Indonesia. setelah

pemeriksaan selesai dilakukan, majelis hakim melakukan perundingan

untuk memutus perkara bersama dengan para juri.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

105

UNIVERSITAS INDONESIA

4.6 Ketentuan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Ringan dan Misdemeanor

di Perancis

KUHP Indonesia mengenal 2 bentuk pidana yang dapat dijatuhkan

pada pelaku kejahatan. Pasal 10 KUHP Indonesia mengatur pidana terdiri

atas:

a. Pidana Pokok1. Pidana Mati2. Pidana Penjara3. Pidana Kurungan4. Pidana Denda5. Pidana Tutupan

b. Pidana Tambahan1. Pencabutan hak-hak tertentu2. Perampasan barang-barang tertentu3. Pengumuman putusan hakim119

Di samping itu, sistem hukum Indonesia juga memungkinkan penahanan

sementara atas tersangka atau terdakwa oleh polisi, atau jaksa, atau bahkan

hakim. Perancis juga mengenal bentuk penahanan pada fase sebelum

persidangan. Syarat penahanan di Indonesia diatur dalam Pasal 21 ayat (4)

KUHAP dan berlaku umum baik semua bentuk kejahatan. Sedangkan di

Perancis syarat penahanan tergantung pada bentuk kejahatannya. Pada

perkara crimes penahanan terhadap tertuduh dapat dilakukan keharusan

menyebutkan alasannya. Penahanan tersebut dapat dilakukan hingga 10

tahun dan dilakukan oleh Juge d’ Instruction dengan mengeluarkan perintah

penahanan. Sangat berbeda dengan penahanan di Indonesia yang dilakukan

oleh polisi, jaksa, atau hakim. Pada perkara delits, penahanan dilakukan

oleh Juge d’ Instruction akan tetapi perlu memenuhi syarat-syarat tertentu,

misalnya:

a. Bahwa tertuduh harus didampingi oleh seorang Pengacara adalahmerupakan suatu keharusan, kecuali kalau tertuduh menolak (Presenced’ unavocat).

119 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bumi Aksara:Yogyakarta, 2007),Pasal 10 KUHP, hal. 5.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

106

UNIVERSITAS INDONESIA

b. Bahwa alasan-alasan penahanan sementara tersebut harus dicantumkandalam surat penetapan (ordonance), misalnya alasan-alasan untukkepentingan Pemeriksaan (Necessatie de information), untuk keamanan(Necessatie de surete), untuk perlindungan dari serangan-serangankhalayak ramai (protection de public), dan sebagainya.

c. Bahwa penahanan sementara tersebut harus dengan suatu batas waktu(limitation dans le temps), misalnya terhadap kejahatan-kejahatan yangdiancam dengan hukuman lebih dari lima tahun penjara maka bataswaktunya adalah empat bulan ditambah dengan perpanjangan maksimaldua bulan, kalau pemeriksaan belum selesai. Kalau dalam batas waktutersebut pemeriksaan pendahuluan juga belum selesai maka tertuduhharus segera dibebaskan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan sekalipuntertuduh berada di luar tahanan. Akan tetapi, biasanya kalau sampaiterjadi hal yang demikian, si tertuduh tersebut langsung menghilangmelarikan diri. Inilah salah satu cara untuk memaksa para petugas-petugas pemeriksaan pendahuluan tersebut untuk menyelesaikanpekerjaannya, sebelum waktu enam bulan tersebut berakhir.120

Perancis juga mengenal bentuk penahanan lainnya selain bentuk

penahanan sementara di atas, yaitu La Garde a Vue yang dilakukan

misalnya terhadap perkara flagrant delits atau tertangkap basah dan

dilakukan oleh polisi. Masa penahanan tersebut hanya berlangsung selama

24 jam dan dapat diperpanjang dua kali atau maksimum 48 jam. Apabila

belum ada cukup bukti tentang kejahatan yang dilakukan dan masa

penahanan tersebut habis maka tertuduh harus segera dibebaskan. Apabila

terdapat cukup bukti maka jaksa tadi akan memerintahkan untuk

melanjutkan pemeriksaan hingga ke persidangan. Atau dia dapat juga

menyampaikannya kepada Juge d’ Instruction untuk dilakukan pemeriksaan

pendahuluan. Dalam hal ini akan dipertimbangkan apakah penahanan

tersebut perlu ditingkatkan menjadi detention provisoire atau tidak.

Pidana yang diatur dalam KUHP ini tidak menjadi pembeda antara

bentuk kejahatan termasuk kejahatan ataupun pelanggaran. Sebagaimana

telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menurut Memorie van Toelichting,

pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu berdasarkan

perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechtsdelict) dan apa

yang disebut “delik undang-undang” (wetsdelict).121 Pembeda lainnya antara

120 Lintong, op cit, hal. 81.121 Utrecht, op cit., hal. 82.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

107

UNIVERSITAS INDONESIA

delik hukum atau delik undang-undang karena peraturan-peraturan pidana

dengan secara tegas menerangkan bahwa delik bersangkutan merupakan

kejahatan atau pelanggaran. Pembagian bentuk kejahatan di Indonesia ini

berbeda dengan pemabagian kejahatan di Perancis.

Kejahatan di Perancis dikenal dengan tiga bentuk, yaitu

Crimes/Felonies (kejahatan), Delits/Misdemeanors (kejahatan ringan), dan

Contraventions/Petty Offences (pelanggaran). Pidana yang dijatuhkan

menjadi salah satu pembeda bentuk kejahatan ini. Misalnya, bentuk

kejahatan Felony atau Misdemeanor dapat dipidana dengan pidana penjara

atau denda, sedangkan definisi petty offences adalah kejahatan yang hanya

dapat dihukum dengan denda. Akan tetapi, terdapat kesamaan antara

pembagian bentuk kejahatan biasa dan kejahatan ringan di Indonesia dengan

bentuk felonies dan misdemeanors di Perancis, yaitu dilihat dari lamanya

pidana penjara yang diancamkan. Indonesia mengenal bentuk kejahatan

ringan sebagai perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan

paling lama tiga bulan atau denda paling banyal Rp. 7.500,00 (tujuh ribu

lima ratus rupiah) termasuk bentuk tindak pidana penghinaan ringan.

Dengan demikian, bentuk kejahatan biasa adalah perkara yang ancaman

hukumannya di atas 3 bulan atau denda di atas Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima

ratus rupiah). Pembagian bentuk kejahatan di Perancis dapat dilihat dari

hukuman pidana yang dijatuhkan. Hal serupa juga disampaikan Utrecht

dalam bukunya Hukum Pidana I, “Perbedaan antara tiga macam delik ini

dirasa dalam beratnya sanksi (hukuman) yang dijatuhkan”.122

“One must bear in mind that in France criminal cases are heard bydifferent courts, depending on the nature of the offence. Our 1810 PenalCode and our new 1994 Code classify offences into three groups:- “contraventions”: very petty offences punished only by fines (minor

road offences, breach of bylaws, minor assaults, noise offences etc.).- “délits”: offences of greater importance subjected to a sentence of a

maximum of 10 years. Délits include theft, manslaughter, indecentassault, drug offences, fraud and deception, drunken driving, seriousunintentional bodily damages etc.

122 E. Utrecht, op cit.., hal. 85.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

108

UNIVERSITAS INDONESIA

- “crimes”: offences subjected to custodial sentences from 10 years toa life term (murder, rape, robbery, abduction)”.123

Definisi tersebut sulit ditemukan baik dalam Penal Code Perancis

maupun Penal Procedur Code Perancis. Hal tersebut justru dapat

disimpulkan dari pidana yang dikenakan bagi masing-masing bentuk

kejahatan. Article 131-1 Penal Code Perancis mengatur mengenai hukuman

yang dapat dijatuhkan bagi felonies. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

1° La réclusion criminelle ou la détention criminelle à perpétuité ;2° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de trente ans auplus3° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de vingt ans au plus4° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de quinze ans au

plus.La durée de la réclusion criminelle ou de la détention criminelle à tempsest de dix ans au moins.124

Terjemahan bebas pasal tersebut dalam Bahasa Inggris adalahsebagai berikut:

“The Penalties incurred by natural persons for the commission offelonies are:1° criminal imprisonment for life or life criminal detention;2° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of thirty

years;3° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of twenty

years;4° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of fifteen

years.The minimum period for a fixed term of criminal imprisonment orcriminal detention is ten years”.125

Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa pidana yang mungkin

dijatuhkan pada felonies adalah pidana penjara atau kurungan minimum 10

tahun dan paling lama seumur hidup. Untuk bentuk kejahatan paling berat,

123 Heuni, Criminal Justice System in Europe and North America: France, (Finlandia,2001), hal. 13.

124 Legifrance , French Penal Code, op cit, Pasal 131-1

125 Perancis (a), Penal Code, Pasal 131-1

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

109

UNIVERSITAS INDONESIA

Perancis hanya mengatur maksimal penjara 10 tahun dan tidak mengenal

pidana mati seperti di Indonesia. Akan tetapi, terhadap felonies tetap

dimungkinkan untuk dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam

article 131-10. Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap misdemeanors diatur

dalam article 131-3 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

The Penalties incurred by natural persons for the commission ofmisdemeanours are:1° imprisonment;2° a fine;3° a day-fine;4° a citizenship course;5° community service;6° Penalties entailing a forfeiture or restriction of rights, set out under

article 131-6;7° the additional Penalties set out under article 131-10.126

Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa terhadap misdemeanor tidak

hanya dapat dipidana dengan penjara, namun juga dapat dihukum dengan

denda, denda harian, pendidikan kewarganegaan, pelayanan masyarakat,

kehilangan atau pembatasan hak tertentu, dan pidana tambahan sebagaimana

diatur dalam article 131-10. Kedua bentuk felonies dan misdemeanor dapat

dihukum dengan penjara namun terdapat perbedaan lamanya pidana penjara

yang dikenakan terhadap dua bentuk kejahatan ini yang sekaligus menjadi

pembeda di antara keduanya.

“(Act no. 2003-239 of 18 March 2003 Art. 48 Official Journal of 19March 2003)The scale of custodial sentences is as follows:1° A maximum of ten years;2° A maximum of seven years;3° A maximum of five years;4° A maximum of three years;5° A maximum of two years;6° A maximum of one year;7° A maximum of six months;8° A maximum of two months”.127

126 Ibid, Pasal 113-3.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

110

UNIVERSITAS INDONESIA

Apabila terhadap felonies dapat dihukum dengan pidana penjara

minimal 10 tahun dan paling lama seumur hidup, misdemeanors justru dapat

dipidana penjara paling lama 10 tahun dan minimal 2 bulan. Sebagaimana

diatur dalam article 131-3, terhadap misdemeanor dapat juga dikenakan

bentuk pidana lain. Apabila misdemeanors dapat dipidana dengan penjara,

Pengadilan dapat memutus pidana denda harian yang mana nominalnya

ditentukan oleh hakim yang dihitung dari dari biaya yang dikeluarkan dan

tidak melebihi €1000 dikalikan sejumlah hari tertentu dan tidak melebihi

360. Hal ini diatur dalam article 131-5. Pengadilan juga dapat memutus

terdakwa dengan citizenship course atau kursus kewarganegaraan dibanding

memutus dengan pidana penjara. Metode, lamanya, dan materinya

ditentukan oleh conseil d’ etat dan bertujuan untuk mengingatkan kembali

nilai-nilai kebangsaan, rasa hormat terhadap martabat manusia yang menjadi

dasar hubungan sosial. Pengadilan menentukan biaya kursus ini yang tidak

melebihi denda bagi petty offences kategori ketiga dan dikeluarkan dari

ongkos perkara narapidana. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 131-5-1 Penal

Code Perancis.

Selain dua bentuk pidana tersebut, Perancis juga mengenal bentuk

pidana community service atau pelayanan masyarakat yang diatur dalam

article 131-8 Penal Code Perancis. Pengadilan dapat memilih alternatif

pidana selain penjara, yaitu melalui pelayanan masyarakat. Pengadilan dapat

memutus terdakwa untuk melakukan pelayanan masyarakat tanpa digaji

selama 40 hingga 210 jam di tempat-tempat badan hukum atau asosiasi

terakreditasi perihal pelayanan masyarakat ini. Akan tetapi, pelayanan

masyarakat ini tidak dapat dilakukan apabila terdakwa menolak atau tidak

hadir dalam pemeriksaan pengadilan. Ketiga bentuk pidana ini dapat

dijadikan alternatif bagi hakim dalam memutus perkara selain pidana

penjara. Tentunya hal ini kemudian dapat mengurangi jumlah narapidana di

penjara. Sayangnya, Indonesia belum mengenal bentuk-bentuk alternatif

pidana ini sedangkan perampasan atau pembatasan hak terpidana sudah

127 Ibid Pasal 131-4.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

111

UNIVERSITAS INDONESIA

dikenal di Indonesia melalui Pasal 35 KUHP. Yang membedakan bentuk

pidana ini di Indonesia dan di Perancis adalah bahwa di Indonesia bentuk

pidana ini merupakan bentuk pidana tambahan sedangkan di Perancis

bentuk pidana ini ada yang berada sebagai pidana pokok dan ada yang

berada di bentuk pidana tambahan. Sebagai bentuk pidana pokok,

perampsan dan pembatasan hak-hak tertentu diatur dalam article 131-6,

yaitu:

“(Act no. 92-1336 of 16 December 1992 Article 341 and 373 OfficialJournal of 23 December 1992 in force on 1 March 1994)(Inserted by Act no. 2003-495 of 12 June 2003 art. 6 III Official Journalof 13 June 2003)(Act no.2004-204 of 9 March 2004 Article 44 V Official Journal of 10March 2004 in force 1 October 2004)Where a misdemeanour is punishable by a prison sentence, the court mayimpose one or more of the following Penalties entailing forfeiture orrestriction of rights instead of the prison term:1° The suspension of a driving licence for a maximum period of five

years. This suspension may be restricted to the driving of a vehicleoutside professional activities, pursuant to conditions to bedetermined by a decree of the Conseil d'Etat; this limitation is,however, not possible in misdemeanour cases for which thesuspension of the driving licence,incurred as an additional Penalty,may not be limited to driving outside professional activities.

2° Prohibition to drive certain vehicles for a period not exceeding fiveyears;

3° The cancellation of the driving licence together with the prohibition toapply for a new licence for a period not exceeding five years;

4° Confiscation of one or more vehicles belonging to the convictedperson;

5° immobilisation of one or more vehicles belonging to the convictedperson pursuant to conditions determined by a decree of the Conseild'Etat for a maximum period of one year;

6° Prohibition to hold or carry a weapon for which a permit is needed;such a prohibition may not be imposed for more than five years;

7° Confiscation of one or more weapons belonging to the convictedperson or which are freely available to him;

8° Withdrawal of a hunting licence, together with a prohibition to applyfor a new licence; such a prohibition may not be imposed for morethan five years;

9° Prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal offunds by the drawer from the drawee or certified cheques, andprohibition to use payment cards, for a maximum duration of fiveyears;

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 127: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

112

UNIVERSITAS INDONESIA

10° Confiscation of the thing which was used in or was intended for thecommission of the offence, or of the thing which is the product of it.However, this confiscation may not be imposed for a pressmisdemeanour;

11° Prohibition, for a maximum period of five years, to exercise anyprofessional or social activity where the facilities afforded by suchactivity have knowingly been used to prepare or commit the offence.Such a prohibition is not applicable to the holding of an electoralmandate or union stewardship, nor may it be imposed for a pressmisdemeanour;

12° Prohibition, for a maximum period of three years, to frequent anyplaces or categories of place determined by the court, and in whichthe offence was committed;

13° Prohibition, for a maximum period of three years, to associate withcertain convicted persons designated by the court, in particular theperpetrators of the offence or any accomplices;

14° Prohibition , for a maximum period of three years, to enter intocontact with certain persons specially named by the court, notablythe victim of the offence”.128

Pidana tambahan di Perancis diatur dalam article 131-10, yaitu

“Where the law so provides, a felony or a misdemeanour may be punished

by one or more additional Penalties sanctioning natural persons which

entail prohibition, forfeiture, incapacity or withdrawal of a right, an

obligation to seek treatment or a duty to act, the impounding or confiscation

of a thing, the compulsory closure of an establishment, the posting a public

notice of the decision or the dissemination the decision in the press, or its

communication to the public by any means of electronic communication”.129

Sedangkan di Indonesia, pencabutan hak-hak melalui putusan hakim dapat

ditemukan pengaturannya dalam Pasal 35 ayat (1), yaitu:

“Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturanumum lainnya ialah:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yangtertentu;

2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata;

128 Ibid, Pasal 131-6

129 Ibid, Pasal 131-10

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 128: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

113

UNIVERSITAS INDONESIA

3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakanberdasarkan aturan-aturan umum

4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapanpengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu ataupengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;

5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalianatau pengampuan atas anak sendiri;

6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu”.130

Di samping felonies dan misdemeanors, Perancis juga mengenal

bentuk petty offences. Bentuk kejahatan ini dapat diartikan sebagai bentuk

kejahatan yang hanya dapat dihukum dengan pidana denda. Bentuk yang

hampir serupa dengan di Indonesia adalah pelanggaran. Perancis mengatur

sanksi pidana bagi petty offences melalui article 131-12, yaitu denda atau

hukuman perampasan atau pembatasan hak-hak sebagaimana diatur dalam

article 131-14. Akan tetapi bentuk pidana inii tidak mengurangi

kewenangan hakim untuk memutus satu atau lebih pidana tambahan. Petty

Offences di Perancis memiliki tingkatannya masing-masing. Hal ini yang

membedakan dengan bentuk pelanggaran di Indonesia. tingkatan tersebut

diatur dalam article 131-13, yaitu:

“(Ordinance no. 2000-916 of 19 September 2000 Article 3 OfficialJournal of 22 September 2000 in force on 1 January 2002)(Act no. 2003-495 of 12 June 2003 art. 4 I Official Journal of 13 June2003)Petty offences are offences which by law are punished with a fine not inexcess of €3,000.The amount of a fine is as follows:1° a maximum of €38 for petty offences of the first class;2° a maximum of €150 for petty offences of the second class;3° a maximum of €450 for petty offences of the third class;4° a maximum of €750 for petty offences of the fourth class;5° a maximum of €1,500 for petty offences of the fifth class; an amount

which may be increased to €3,000 in the case of a persistent offenderwhere the regulation so provides, except where the law provides thatrepetition of a petty offence constitutes a misdemeanour”.131

130 Moeljatno, op cit., Pasal 35 ayat (1).

131 Perancis (a), op cit., Pasal 131-13

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 129: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

114

UNIVERSITAS INDONESIA

Berbicara mengenai pidana denda, Indonesia juga mengenal bentuk

pidana ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada Pasal 10 KUHP.

Permberlakuan pidana ini pada bentuk kejahatan di Indonesia berbeda

dengan di Perancis. Di Perancis, pidana denda hanya dapat dikenakan pada

misdemeanors dan petty offences. Di Indonesia, pidana denda ini justru

dapat dikenakan baik pada bentuk kejahatan, kejahatan ringan maupun

pelanggaran di mana pasalnya memang memungkinkan bagi pelaku untuk

dijatuhi pidana denda. Di Perancis, pidana denda ini merupakan bagian dari

pidana pokok baik bagi misdemeanors maupun petty offences dan dapat

dijadikan alternatif pilihan hakim untuk memutus hukuman pidana bagi

pelaku. Di Indonesia, bentuk pidana denda ini juga termasuk dalam bentuk

pidana pokok. Akan tetapi, hakim lebih cenderung untuk memutus terdakwa

dengan pidana penjara dibandingkan dengan pidana denda. Hal ini

dipengaruhi oleh nilai denda yang tidak relevan lagi untuk diterapkan.

Misalnya pada Pasal 362 mengenai pencurian yang mengatur hukuman

penjara paling lama 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 900,00

(sembilan ratus rupiah). Apabila seseorang mencuri Rp. 2.500.000,00 (dua

juta lima ratus rupiah) dan pidana denda pada pasal tersebut diberlakukan

maka akan terasa sangat tidak adil bagi korban yang kehilangan uang

sebesar Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus rupiah) sementara pelaku

hanya dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 900,00 (sembilan ratus rupiah).

Oleh sebab itu, pidana denda ini menjadi tidak efektif lagi karena tidak

sesuai dengan perkembangan zaman.

Pidana denda dalam KUHP belum pernah diperbaharui lagi sejak

perubahannya yang terakhir, yaitu melalui Perpu No. 18 Tahun 1960.

Berdasarkan Perpu tersebut, semua jumlah pidana denda dalam KUHP

dikalikan 15 kali. Hingga awal tahun 2012 belum ada perubahan lagi

mengenai pidana denda ini. Di Indonesia, pidana denda masih berada pada

kedudukan yang sekunder, jika dibandingan dengan pidana hilang

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 130: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

115

UNIVERSITAS INDONESIA

kemerdekaan.132 hal ini dikaitkan pada posisi pidana denda yang selalu

diletakkan pada posisi kedua setelah penjara. Terkait hal ini, Mahkamah

Agung melalui PERMA No. 2 Tahun 2012 berusaha untuk mengefektifkan

kembali pidana denda sehingga hakim dapat memiliki alternatif lain selain

pidana penjara. Pada Pasal 3 PERMA tersebut diatur bahwa, “Tiap-tiap

maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal

303 ayat (1) dan (2) 303 bis ayat (1) dan (2), dilipatgandakan menjadi 1.000

(seribu) kali”.133 Pada Pasal 4 ditegaskan kembali bahwa, “Dalam

menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP

yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3

tersebut”.134 Mahkamah Agung memiliki harapan bahwa dengan

diefektifkannya kembali pidana denda ini dapat mengurangi beban Lembaga

Pemasyarakatan yang saat ini sudah banyak ditemukan kapasitas yang

melampaui batas.

132 Suhariyono AR., Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, (Jakarta: Papas SinarSinanti, 2007), hal. 168.

133 Indonesia (g), op cit., Pasal 3.

134 Ibid, Pasal 4.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 131: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

KUHP Indonesia yang keberlakuannya disahkan melalui Undang-

undang No. 1 Tahun 1946 telah mengalami beberapa perubahan hingga saat

ini. Pada tahun 1960, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 16

Tahun 1960 mengatur perubahan mengenai nilai barang dalam KUHP dari

yang sebelumnya bernilai Rp 25,00 (dua puluh lima rupiah) menjadi Rp

250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Perubahan mengenai nilai barang ini

tidak pernah lagi disesuaikan hingga awal tahun 2012. Pada Februari 2012,

Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012

kembali melakukan penyesuaian terhadap nilai barang dalam KUHP tersebut.

Nilai barang yang mengalami penyesuaian menurut PERMA tersebut adalah

nilai barang barang yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1)

dan 482 KUHP. Pasal-pasal tersebut merupakan pasal yang mengatur

mengenai tindak pidana ringan yang penanganannya diatur dalam Pasal 205-

210 KUHAP. Setidaknya terdapat tiga alasan pertimbangan PERMA tersebut

diberlakukan, yaitu mengefektifkan kembali Pasal 364, 373, 379, 384, 407

ayat (1) dan 482 KUHP, mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah

Agung, dan mengurangi overcapacity lapas. Berdasarkan uraian pada bab-bab

sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. PERMA tersebut mengatur bahwa Ketua Pengadilan Ketua Pengadilan

wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara

dan apabila nilai barang tersebut tidak melebihi Rp. 2.500.000,00 (dua

juta lima ratus ribu rupiah) maka ia menentukan hakim tunggal untuk

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 132: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

116

UNIVERSITAS INDONESIA

memeriksa dan memutus perkara bersangkutan sesuai dengan Pasal 205-

210 KUHAP yaitu acara pemeriksaan cepat. Dengan demikian melalui

PERMA ini perkara dengan objek perkara bernilai tidak lebih dari Rp.

2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dinilai sebagai bentuk

tindak pidana ringan. Melalui PERMA ini juga maka terhadap pelaku

yang memenuhi ketentuan tersebut otomatis tidak dapat ditahan karena

tidak lagi memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4)

KUHAP karena ancaman terhadap pelaku hanya tiga bulan penjara atau

kurang dari 5 tahun penjara. Dengan demikian, perkara tersebut juga

tidak dapat diajukan upaya kasasi karena ancaman hukuman yang kurang

dari satu tahun penjara.

2. Penanganan perkara yang diatur dalam PERMA tersebut kemudian

mengalami hambatan karena kedudukan PERMA yang kurang diatur

dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan perundang-undangan. Kedudukan PERMA sendiri dalam

undang-undang tersebut tidak disebut dalam susunan hierarkhi peraturan

perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 7 undang-undang

tersebut. Dalam pasal tersebut, diatur mengenai hierarkhi peraturan

perundang-undangan yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945,

Ketetapan MPR, undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota. Akan tetapi, dalam Pasal 8 undang-undang tersebut

diatur mengenai bentuk peraturan perundang-undangan lainnya dan

disinilah letak PERMA. Sekalipun tidak dijabarkan dalam susunan

hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-

undang No. 12 Tahun 2011 namun PERMA ini tetap memiliki kekuatan

mengikat sebagaimana peraturan perundang-undangan, yaitu mengikat

Ketua Pengadilan yang secara tegas disebutkan dalam pasal-pasalnya.

Sedangkan dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu, pihak yang

terlibat sebagai subsistem di dalamnya adalah kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Melihat kekuatan mengikat

PERMA tersebut maka dalam suatu Integrated Criminal Justice System

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 133: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

117

UNIVERSITAS INDONESIA

atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang terikat oleh PERMA tersebut

hanyalah Pengadilan. Sedemikian rupa pembagian tugas-tugas setiap sub

sistem yang terdapat dalam SPPT sehingga apabila terdapat inkonsistensi

penanganan perkara akan mempengaruhi seluruh sistem. Begitupula

halnya dengan kedudukan PERMA ini. Aparat kepolisian atau kejaksaan

tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti PERMA ini dan dalam

menjalankan tugasnya masih tetap berpatokan pada KUHP dan KUHAP.

Tentunya hal ini akan berpengaruh pada ketidaklancaran sistem yang

berjalan. Ketidaklancaran bukan saja mempengaruhi efisiensi, efektifitas,

dan produktifitas peradilan, melainkan “ancaman kegagalan dalam

menjalankan sistem peradilan yang baik” seperti terhambatnya proses

yang timbul karena bolak-baliknya hasil penyidikan antara penyidik dan

penuntut, penolakan dakwaan oleh hakim karena dianggap ada

kekeliuran dalam merumuskan dakwaan, dan lain sebagainya.

3. Bentuk tindak pidana ringan di Indonesia memiliki perbedaan dengan

pembagian kejahatan di Perancis. Tindak pidana ringan adalah sebuah

perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga

bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah termasuk

penghinaan ringan. Perkara yang dimaksud adalah Pasal 302 ayat (1)

mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1)

mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan,

Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan

ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1)

mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan

Pasal 315 mengenai penghinaan ringan. Terhadap bentuk tindak pidana

ringan ini memiliki bentuk pemeriksaannya tersendiri, yaitu acara

pemeriksaan cepat. Pembagian bentuk tindak pidana ini sedikit berbeda

dengan pembagian kejahatan di Perancis. Perancis membagi bentuk

kejahatan ke dalam tiga bentuk, yaitu crimes, delit, dan contravention.

Pembagian terkadang dikenal juga dengan felonies, misdemeanours, dan

petty offences. Pembagian ini didasarkan pada tingkat keseriusan tindak

pidana. Misdemeanors adalah perkara yang diancam dengan denda yang

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 134: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

118

UNIVERSITAS INDONESIA

melebihi € 3,750 atau pidana penjara minimal 2 bulan dan maksimum 10

tahun. Petty offences adalah perkara yang oleh hukum dapat dipidana

dengan denda paling banyak € 3000. Felonies adalah perkara yang

dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan minimal

10 tahun. Setiap bentuk kejahatan ini memiliki penanganannya tersendiri.

Bentuk tindak pidana paling sederhana atau contraventions/petty offences

ditangani oleh Police Court/Tribunal de Police. Misdemeanors atau

Delits, ditangani oleh Correctional Court/Tribunal Correctionnel.

Tindak pidana paling berat atau Crimes/Felonies ditangani oleh courts

assizes/Cour d'Assises. Semua bentuk pengadilan ini berada di

pengadilan tingkat pertama. Police Court diperiksa oleh hakim tunggal

sedangkan Cour d’ Assizes diperiksa dengan tiga orang hakim dan

sembilan orang juri. Correctional Court terdiri dari seorang hakim ketua

dan didampingi oleh dua orang hakim anggota. Correctional Court yang

menangani perkara delits juga dapat diperiksa oleh hakim tunggal tapi

hanya untuk bentuk-bentuk tindak pidana tertentu yang dipidana tidak

lebih dari 5 tahun. Peran penuntutan dalam perkara delits di Perancis

tetap dipegang oleh jaksa. Terhadap pelaku delits pun dapat dikenakan

penahanan. Perkara delits di Perancis memiliki kemungkinan untuk

diajukan upaya hukum kasasi. Indonesia mengenal dua bentuk pidana

yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, yaitu pidana pokok

dan pidana tambahan. Bentuk pidana di Perancis menjadi salah satu

pembeda bentuk kejahatan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Felonies dapat dipidana dengan pidana penjara dan tidak menutup

kemungkinan dikenakan pidana denda atau pidana tambahan.

Misdemeanours dapat dipidana dengan pidana penjara, denda, day-fine,

kursus kewarganegaraan, pelayanan masyarakat, perampasan atau

pengurangan hak-hak tertentu, dan pidana tambahan. Petty Offences

dapat dipidana dengan denda yang ditentukan melalui tingkatan bentuk

petty offences tersebut. Sehubungan dengan bentuk pidana yang dapat

dijatuhkan di Perancis tersebut, hakim lebih banyak memiliki alternatif

pidana yang dapat dijatuhkan dibandingkan di Indonesia. Pada dasarnya

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 135: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

119

UNIVERSITAS INDONESIA

selain pidana mati, hakim hanya memiliki alternatif pidana denda

daripada pidana penjara atau kurungan. Pidana denda di KUHP Indonesia

sendiri masih mengalami hambatan dikarenakan jumlahnya yang belum

disesuaikan sejak tahun 1960. Hal ini mengakibatkan hakim lebih

cenderung untuk menghukum terdakwa dengan pidana penjara yang akan

menambah jumlah narapidana di lapas. Oleh sebab itu, Mahkamah

Agung memiliki harapan bahwa dengan diefektifkannya kembali pidana

denda melalui PERMA ini dapat mengurangi beban Lembaga

Pemasyarakatan yang saat ini sudah banyak ditemukan melebihi

kapasitasnya.

5.2 Saran

Nilai barang yang diatur dalam pasal-pasal tindak pidana ringan

memang perlu dilakukan penyesuaian karena unsur nilai barang sebesar Rp.

250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) sulit untuk diterapkan sekarang ini.

Akan tetapi, penyesuaian tersebut perlu dilakukan melalui peraturan

perundang-undangan yang jelas ditentukan hierarkhi atau susunannya dalam

Pasal 7 Undang-undang No. 12 Tahun 2011. Kejelasan hierarkhi tersebut

mempengaruhi kekuatan mengikat peraturan yang bersangkutan. Pada awal

tahun 2012 ini, Mahkamah Agung mangambil inisiatif untuk menyesuaikan

nilai barang tersebut dengan mengeluarkan sebuah Peraturan Mahkamah

Agung. Penyesuaian melalui PERMA ini mengalami hambatan karena

kedudukan PERMA yang tidak diatur dalam susunan hierarkhi peraturan

perundang-undangan menimbulkan pertanyaan mengenai kekuatan mengikat

PERMA tersebut. Kekuatan mengikat bentuk peraturan perundang-undangan

tersebut didasarkan pada hierarkinya dalam arti peraturan perundang-

undangan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi.

Pemberlakuan PERMA tersebut pada akhirnya dirasa kurang tepat

karena kekuatan mengikat PERMA yang tidak dapat menjangkau penyidik

dan jaksa. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sistem peradilan pidana

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 136: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

120

UNIVERSITAS INDONESIA

terpadu karena pihak yang terlibat sebagi subsistem di dalamnya adalah

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Akan tetapi,

sikap Mahkamah Agung ini juga tidak dapat disalahkan karena penyesuaian

nilai barang dalam KUHP tersebut perlu dilakukan setelah kurang lebih

empat puluh dua tahun tidak pernah lagi dilakukan penyesuaian. Akibatnya

pasal-pasal tindak pidana ringan tersebut seolah “mati suri’ karena sulitnya

menemukan kasus yang nilai barangnya hanya di bawah Rp. 250,00 (dua

ratus lima puluh rupiah). Langkah Mahkamah Agung perlu mendapat

dukungan dari berbagai lapisan termasuk aparat penegak hukum lainnya.

Pemberlakuan PERMA ini perlu diperkuat dengan bentuk peraturan

perudang-undangan lainnya yang kedudukan dan hierarkhinya jelas

ditentukan dalam undang-undang sehingga materi muatannya dapat

menjangkau semua pihak yang terlibat dalam sebuah sistem peradilan pidana

terpadu. Sebagai contoh, penyesuaian nilai barang dalam KUHP yang

dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)

yang dikeluarkan pada tahun 1960. Oleh sebab itu, penyesuaian yang didasari

pada Perpu tersebut perlu disesuaikan lagi minimal dengan peraturan

perundang-undangan yang sederajat. Penyesuaian yang dilakukan melalui

PERMA ini dirasa kurang cukup menjangkau semua lapisan aparat penegak

hukum yang terlibat dalam sistem peradilan pidana terpadu.

Di samping melakukan penyesuaian nilai barang dalam pasal-pasal

tindak pidana ringan, Mahkamah Agung melalui PERMA ini juga bermaksud

mengefektifkan kembali pidana denda dalam KUHP dengan

melipatgandakannya menjadi 1000 kali lipat. Pidana denda ini diharapkan

dapat menjadi alternatif pidana yang dijatuhkan hakim kepada pelaku. Akan

tetapi, Indonesia perlu meniru langkah yang diambil Perancis dengan

mengatur pidana lain selain pidana penjara atau denda. Perancis mengenal

pula pidana community service dan citizenship course. Terhadap perkara yang

tidak terlalu kompleks dapat dipidana dengan pidana tersebut. Tentunya hal

tersebut membawa manfaat lebih bagi masyarakat atau diri pelaku sendiri

dibanding pembatasan kemerdekaan pelaku melalui pidana penjara.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 137: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

UNIVERSITAS INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, H.A.K., Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), jilid I,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994.

AR, Suhariyono, Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, Jakarta: Papas Sinar

Sinanti, 2007.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Harahap, Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

--------------------, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali, ed.2, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2001.

Jonkers, J.E., Buku Pedoman : Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina

Aksara, 1987.

Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul

Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2011.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Moeljatno, Bumi Aksara: Yogyakarta,

2007.

Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011.

Lumbuun, Ronald S., PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian

dan Pemisahan Kekuasaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

2005.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 138: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

122

UNIVERSITAS INDONESIA

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP,

1998.

Panggabean, Henry P., Fungsi Mahkamah Agung Dalama Praktik Sehari-hari:

Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi

Pengawasan Mahkamah Agung, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:

PT. Refika Aditama, 2003.

Siahaan, Lintong Oloan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan

Kita, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1981.

Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I., tk: tp, tt.

Artikel

Ashiddique, Jimly, Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com,

2006, diakses pada tanggal 21 April 2012 pukul 21.45 WIB.

Criminal Law, diunduh dari http://www.frenchlaw.com/criminal_law.html pada

tanggal 15 Juni pukul 12.35 WIB.

Jurnal

Bahiej, Ahmad, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”,

Sosio Religia, Vol. 4 No. 4 Agustus 2005.

Hafrida, “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Mewujudkan

Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Majalah Hukum Forum Akademika,

Vol. 18, Nomor 2 Oktober 2008.

Heuni, Criminal Justice System in Europe and North America: France, Finlandia,

2001.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 139: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

123

UNIVERSITAS INDONESIA

Ministere des Affaires Etrangeres, La France ἁ la loupe: The French Justice

System, 2007, diunduh dari http://www.justice.gouv.fr/ pada tanggal 5 Juni

2012 pukul 11.25 WIB.

Mochtar, Akil, “Integrated Criminal Justice System”, diunduh dari

http://www.akilmochtar.com /download/25 pada 13 Juni 2012 pukul 20.25

WIB.

Woods, Damon C. , The French Correctional Court, Journal of Criminal Law and

Criminology (1931-1951), Vol. 23 No. 1 (May-Jun, 1932), Northwestern

Law.

Seminar

Ali, Achmad, dkk. Seminar “Criminal Justice System Di Negara Hukum

Indonesia” dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2010.

Arsil, Landasan dan Tujuan PERMA No. 2 Tahun 2012, disampaikan pada

Seminar “PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya

dan Penegakan Restorative Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan

FHUI tanggal 11 April 2012.

Zulfa, Eva Achjani, PERMA 2/2012: Masalah atau Solusi?, disampaikan pada

Seminar “PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya

dan Penegakan Restorative Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan

FHUI tanggal 11 April 2012.

Internet

Asshiddiqie, Jimly, Tanya Jawab, http://jimly.com/tanyajawab?page=16, diakses

pada 13 Juni 2012 pukul 21.15 WIB.

Data Penghuni Lembaga Pemsyarakatan, Diunduh dari

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/search/current/monthly pada tanggal

13 Juni 2012 pukul 14.25 WIB.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 140: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

124

UNIVERSITAS INDONESIA

Polisi Diminta Bertindak Tegas Soal Penyiksaan Sapi, diakses dari

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/74448/polisi-diminta-bertindak-

tegas-soal-penyiksaan-sapi pada tanggal 31 Mei 2012 pada pukul 10.15

WIB.

Yoga Sugama Dilaporkan Ke Polisi, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/

v1/index.php/read/cetak/2012/03/02/178929/Yoga-Sugama-Dilaporkan-ke-

Polisi pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 11.45 WIB.

Wawancara

Wawancara dilakukan dengan Arsil, pada 4 April 2012 di LeIP, Jakarta.

Wawancara dilakukan dengan Sony Maulana Sikumbang pada tanggal 2 April

2012 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.

Wawancara dengan Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. pada tanggal 20 Juni 2012 di

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.

Wawancara dengan Bapak Suhartoyo, S.H, M.H, dari Kejaksaan Agung Republik

Indonesia pada tanggal 24 Mei 2012 di Kejaksaan Agung Republik

Indonesia, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan

Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, LN. No. 30 Tahun 1950

Indonesia, Undang-undang Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Nomor 8 Tahun 1981, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3209.

Indonesia, Undang-undang Tentang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985,

LN. No. 73 Tahun 985, TLN No. 3316.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian

Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 141: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

125

UNIVERSITAS INDONESIA

France, French Code Penal, revisi terakhir 13 Oktober 2010 oleh Legifrance.

Spencer, John Rason, French Penal Code, Selwyn College, diunduh dari

http://legislationline.org/documents/section/criminal-codes pada tanggal 1

Juni 2012 pukul 16.20 WIB.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 142: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 143: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 144: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 145: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 146: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 147: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 148: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1960

TENTANG BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PIDANA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dianggap perlu mengubah pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berhubungan nilai harga barang yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang;

b. bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

Mengingat : 1. Pasal-pasal yang bersangkutan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut;

2. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 10 tahun 1960;

Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 22 Maret 1960;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 149: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

Pasal I

Kata-kata "vijf en twintig gulden" dalam pasal-pasal 364, 373 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diubah menjadi "dua ratus lima puluh rupiah".

Pasal II

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 April 1960 Pejabat Presiden Republik DJUANDA.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 April 1960, Menteri Kehakiman, Indonesia, SAHARDJO.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012

Page 150: UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20315353-S43877-Perkara tindak.pdf · mahkamah agung no.2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 1960

TENTANG BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PIDANA.

Seperti telah diketahui maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak-pidana enteng (lichte misdrijven) ialah yang disebut dalam pasal 364 (pencurian ringan) pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 379 (penipuan ringan), pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan) dan pasal 482 (pemudahan ringan), karena harga barang yang diperoleh karena atau yang menjual obyek dari kejahatan-kejahatan seperti diatur dalam pasal-pasal tersebut tidak lebih dari Rp 25,-. Pelanggaran kejahatan-kejahatan enteng tersebut dahulu diadili oleh Hakim Kepolisian (Landgerecht onde stijl) yang dapat memberi hukuman penjara sampai 3 bulan atau hukuman denda sampai Rp 500,-.

Setelah Pengadilan Kepolisian dihapuskan (Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, Lembaran Negara tahun 1951 No. 9, yang mulai berlaku pada tanggal 14 Januari 1951), maka semua tindak-pidana ringan dan juga pelanggaran-pelanggaran (overtredingen) diadili oleh Pengadilan Negeri, yang dalam pemeriksaan mempergunakan prosedur yang sederhana (tidak dihadiri oleh Jaksa).

Oleh karena keadaan ekonomi telah berubah, harga barang-barang meningkat, maka dirasa perlu untuk menaikkan harga barang yang dinilai dengan uang Rp 25,- dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut di atas.

Pasal 432 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga suatu tindak-pidana ringan akan tetapi tidak dimuat dalam peraturan ini karena dalam pasal tersebut tidak dimuat harga Rp25,-. Pasal tersebut hanya menunjuk kepada pasal-pasal 364, 373 dan 379 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Harus diakui bahwa harga Rp 25,- itu tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang di mana harga barang-barang telah membubung tinggi, banyak kali lipat, jauh melebihi harga-harga barang pada kira-kira tahun 1915, ialah tahun ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana direncanakan, sehingga nilai uang Rp 25,- itu sekarang merupakan jumlah yang kecil sekali. Maka sewajarnya jumlah uang Rp25,- itu dinaikkan sedemikian hingga sesuai dengan keadaan sekarang. Jumlah yang selayaknya untuk harga barang dalam pasal-pasal itu menurut pendapat Pemerintah ialah Rp 250,- Berhubung dengan keadaan memaksa hal ini dilaksanakan dengan mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012