Upload
rahmi-ranju-orangest
View
470
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
i
KEBIJAKAN PENATAAN RUANG
PROVINSI MALUKU UTARA
“STUDI PENDEKATAN STRATEGI PEMBANGUNAN BERDIMENSI WILAYAH
KEPULAUAN DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH”
Laporan Penelitian
Kerjasama
PANITIA PERANCANG UNDANG-UNDANG (PPUU)
DEWAN PERWAKILAN DAERAH RI
Dengan
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat‐Nya, kami dapat
menyelesaikan kegiatan penelitian sebagai bagian dari memorandum of understanding antara Dewan
Perwakilan Daerah RI dengan Universitas Khairun Ternate yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum.
Penelitian dengan Judul “Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara” dilaksanakan pada 4
(empat) wilayah penelitian yakni Kabupaten Halmahera Selatan, Halmahera Tengah, Kota Tidore
Kepulauan dan Kota Ternate dengan fokus melakukan pemetaan terhadap kebijakan penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota dalam wilayah administrasi Provinsi Maluku
Utara dengan pendekatan wilayah kepulauan sebagaimana tertuang pada rencana struktur ruang, pola
ruang maupun kawasan strategis.
Kami berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian konflik
perencanaan tata ruang Provinsi/Kabupaten/Kota. Semoga bermanfaat
Ternate, Agustus 2011
Dr. Husen Alting, SH.MH Ketua Tim Peneliti
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 7
D. Lokasi Penelitian 7
E. Kerangka Metode 7
F. Komposisi Tim Peneliti 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9
A. Pengertian Tata Ruang 9
B. Perencanaan Tata Ruang 10
C. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional 18
D. Penataan Ruang Dalam Era Otonomi Daerah 21
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 23
A. Karateristik Wilayah Penelitian 23
A.1 Provinsi Maluku Utara 25
A.2 Kota Ternate 28
A.3 Kota Tidore Kepulauan 29
A.4 Kabupaten Halmahera Tengah 30
A.5 Kabupaten Halmahera Selatan 31
B. Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara 33
B.1 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan Strategi Provinsi Maluku Utara 33
B.2 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan
Strategi Kota Ternate 52
B.3 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan
Strategi Kota Tidore Kepulauan 79
iv
B.4 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan
Strategi Halmahera Tengah 111
B.5 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan
Strategi Halmahera Selatan 132
C. Strategi Penataan Ruang Berdimensi Wilayah Kepulauan 140
BAB IV PENUTUP 147
Daftar Pustaka 149
v
DAFTAR TABEL
1. Rencana Sistem Perkotaan Provinsi Maluku Utara 36
2. Rencana Jaringan Jalan Provinsi Maluku Utara 38
3. Distribusi Fungsi Pendukung Tujuan Tata Ruang Kota pada Pulau‐Pulau Di Kota Ternate 56
4. Estimasi Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Kawasan Kota Ternate 2011‐2030 69
5. Rencana Klasifikasi Pelabuhan Di Kota Ternate 93
6. Rencana Sistem Trayek Penyebrangan Transportasi Laut 93
7. Rencana Peruntukan Hutan Lindung Kota Tikep 97
8. Kebijakan & Strategi Hutan Pengembangan Pola Ruang Kawasan Lindung98
9. Luasan Peruntukan Kawasan Pemukiman 100
10. Wilayah Pengembangan Kabupaten Halteng 116
11. Penetapan Orde Kota Kabupaten Halteng 117
12. Rencana Pengelolaan & Sebaran Lokasi Kawasan Lindung kabupaten Halteng 122
13. Potensi Bahan Galian di Kabupaten Halmahera Tengah 129
vi
DAFTAR GAMBAR
1. Peta Ren cana Struktur Ruang Provinsi Maluku Utara 42
2. Peta Rencana Pola Ruang Provinsi Maluku Utara 47
3. Peta Rencana Kawasan Strategis 51
4. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Ternate 55
5. Peta Rencana Pola Ruang Kota Ternate 74
6. Peta Rencana Kawasan Strategis Kota Ternate 78
7. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Tikep 95
8. Peta Rencana Pola Ruang Kota Tikep 106
9. Peta Rencana Kawasan Strategis Kota Tikep 110
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah membutuhkan sistem pemerintahan yang baik (good governance). Sebuah pemerintahan dapat disebut baik apabila mengembangkan dan menerapkan prinsip‐prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip tersebut membutuhkan indikator yang jelas agar dapat dipedomani oleh setiap aparatur pemerintahan di daerah. Indikasi profesional, misalnya meliputi profesional dalam mengejar kesempurnaan proses untuk mencapai kuantitas dan kualitas hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, yang didukung dengan kesungguhan dan ketelitian kerja, ketekunan dan ketabahan, integritas tinggi, serta kebulatan pikiran dan perbuatan.
Perencanaan tata ruang dimaksudkan untuk menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien dan serasi. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan fungsional yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan sumber daya, sehingga tercapainya hasil pembangunan yang optimal dan efisien bagi peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, untuk mencapai keselarasan pemanfaatan ruang, kesinambungan dan keberlanjutan memerlukan suatu arahan yang bersifat holistik komprehensif berupa politik penataan ruang dan untuk dapat diterapkan secara memaksa harus diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang‐undangan.
Undang‐Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar di dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya yang tersedia di wilayahnya dengan tetap memelihara dan menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku termasuk juga di dalamnya mengenai penataan ruang.
Wewenang pemerintah daerah dalam hal penataan ruang adalah menyelenggarakan penataan ruang daerahnya yang didalamnya terdapat unsur perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sedangkan wewenang Pemerintah Pusat adalah dalam hal pengaturan penataan ruang dan berperan dalam memfasilitasi dan melakukan bentuk pengawasan dan pengendalian tata ruang dalam skala nasional.
Sebagai upaya dalam menterpadukan program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam sehingga tercipta suatu pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyusun suatu rencana tata ruang yang dapat menjadi acuan/pegangan dalam pembangunan wilayah. Produk rencana tata ruang tersebut harus dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan daerah dan telah menjadi hasil kesepakatan semua stakeholders di daerah. Namun dalam kenyataannya, banyak produk tata ruang belum sepenuhnya dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan pembangunan sektoral dan pembangunan wilayah karena beberapa faktor seperti:
(1) adanya perubahan kebijakan daerah yang sangat mendasar,
(2) proses penyusunannya tidak melalui prosedur dan komitmen yang lengkap,
(3) data dan informasi yang dipergunakan tidak lengkap,
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
2
(4) perumusan muatan rencana tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku,
(5) produk rencana tata ruang belum disahkan menjadi suatu peraturan yang mengikat bagi seluruh pelaku pembangunan, dan sebagainya.
Penataan Ruang perlu dijadikan pedoman dalam mempercepat pembangunan ekonomi daerah serta mendayagunakan sumber daya alam secara seimbang. Program penataan ruang diarahkan untuk (1) meningkatkan penyelenggaraan kegiatan perencanaan tata ruang yang efektif, transparan dan partisipatif, (2) mengembangkan penyelenggaraan kegiatan pemanfaatan ruang yang tertib berdasarkan rencana tata, dan (3) meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjamin efektifitas dan efisiensi kegiatan pembangunan secara berkelanjutan.
Dalam menjalankan penataan ruang di daerah, Pemerintah Daerah merupakan pelaku yang dominan dalam melaksanakan penataan ruang daerah yang tentunya sangat tergantung dari kemampuan aparatnya. Dengan diberlakukannya otonomi daerah yang luas menuntut pergeseran pengertian terhadap aspek pembinaan oleh Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah serta menuntut Pemerintah Pusat untuk memfasilitasi penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah Daerah dengan menumbuhkan serta mengembangkan kemampuan melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan dan supervisi yang semuanya dilakukan tanpa mengandung unsur pemaksaan yang melanggar keotonomian Pemerintah Daerah. Hal ini sejalan pula dengan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa pembinaan penataan ruang meliputi pembinaan aparatur pemerintah dan masyarakat di bidang penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh instansi yang diberi tugas dalam penataan ruang.
Strategi dan arah kebijakan pengembangan di tiap wilayah mengacu pada strategi dan arah kebijakan yang berbasiskan perencanaan wilayah darat melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan berbasiskan perencanaan wilayah laut melalui Arah Pengembangan Wilayah Laut. Selain itu, sesuai dengan arahan Presiden RI, strategi pembangunan juga mengacu pada paradigma Pembangunan untuk Semua (Development for All). Paradigma ini bertumpu pada 6 (enam) strategi dan arah kebijakan, yaitu:
Pertama, strategi pembangunan inklusif yang mengutamakan keadilan, keseimbangan dan pemerataan. Semua pihak harus dan ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan melalui penciptaan iklim kerja untuk meningkatkan harkat hidup keluar dari kemiskinan. Seluruh kelompok masyarakat harus dapat merasakan dan menikmati hasil‐hasil pembangunan terutama masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan, kawasan perdesaan, daerah pedalaman, daerah tertinggal dan daerah pulau terdepan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi harus dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri; serta Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, Pulau Terdepan dan daerah pasca konflik dan pasca bencana merupakan program yang diarahkan langsung untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif.
Kedua, strategi pembangunan berdimensi kewilayahan. Strategi pembangunan wilayah mempertimbangkan kondisi geografis, ketersediaan sumber daya alam, jaringan infrastruktur, kekuatan sosial budaya dan kapasitas sumber daya manusia menyebabkan yang tidak sama untuk setiap wilayah. Strategi pembangunan wilayah juga memperhitungkan basis daratan dan basis atau maritim sebagai satu kesatuan ruang yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, strategi pembangunan berdimesni kewilayahan memperhatikan tata ruang wilayah Pulau Sumatera, Pulau Jawa‐Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Pulau Papua. Dengan strategi ini, kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengoptimalkan potensi dan keunggulan daerah dan membangun keterkaitan antarwilayah yang solid termasuk mempercepat pembangunan pembangkit dan jaringan listrik, penyediaan air bersih, serta
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
3
pengembangan jaringan transportasi (darat, laut dan udara) dan jaringan komunikasi untuk memperlancar arus barang dan jasa, penduduk, modal dan informasi antarwilayah.
Ketiga, strategi pembangunan yang mendorong integrasi sosial dan ekonomi antarwilayah secara baik. Dalam hal ini perhatian terhadap pengembangan pulau‐pulau besar, kecil dan terdepan harus dilakukan dengan memperhatikan poteni daerah sebagai modal dasar yang dikelola secara terintegrasi dalam kerangka geoekonomi nasional yang solid dan kuat. Dengan kesatuan ekonomi nasional yang kuat untuk lima tahun mendatang, maka posisi tawar Indonesia dalam globalisasi percaturan perekonomian dunia, secara geo‐ekonomi berada pada posisi yang lebih kuat, dan lebih berdaya saing. Kebijakan untuk memperkuat integrasi sosial dan ekonomi antarwilayah diarahkan pada pengembangan pusat‐pusat produksi dan pusat‐pusat perdagangan di seluruh wilayah terutama di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Keempat, strategi pengembangan ekonomi lokal. Pengembangan ekonomi lokal menjadi penting dan mendesak sebagai upaya memperkuat daya saing perekonomian nasional. Para gubernur, bupati dan walikota mempunyai kewenangan yang luas dan peran dominan dalam pengembangan ekonomi lokal. Peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam mendorong pembangunan daerah pada intinya mempunyai arah sebagai berikut: (1) menciptakan suasana atau iklim usaha yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; (2) meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber‐sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar; (3) mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, dan menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang; (4) memperkuat kerjasama antardaerah; dan (5) membentuk jaring ekonomi yang berbasis pada kapasitas lokal dengan mengkaitkan peluang pasar yang ada di tingkat lokal, regional dan internasional; (6) mendorong kegiatan ekonomi bertumpu pada kelompok, termasuk pembangunan prasarana berbasis komunitas; dan (7) memperkuat keterkaitan produksi‐pemasaran dan jaringan kerja usaha kecil‐menengah dan besar yang mengutamakan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif daerah.
Kelima, strategi pembangunan disertai pemerataan (growth with equity) yang bertumpu pada keserasaian pertumbuhan ekonomi (pro‐growth) dalam menciptakan kesempatan kerja (pro‐jobs) dan mengurangi kemiskinan (pro‐poor) yang tetap berdasarkan kelestarian alam (pro‐environment). Kebijakan pembangunan diarahkan untuk memperkuat keterkaitan antarwilayah (domestic interconnectivity), membangun dan memperkuat rantai industri hulu hilir produk unggulan berbasis sumber daya lokal, mengembangkan pusat‐pusat produksi dan perdagangan baik di Jawa‐Bali maupun di luar wilayah Jawa Bali yang didukung dengan penyediaan prasarana dan sarana, peningkatan SDM, pusat‐pusat penelitian, pembangkit listrik dan penyediaan air bersih; serta perbaikan pelayanan sesuai standar pelayanan minimal. Sejalan dengan arah kebijakan ini, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan salah satu dorong untuk menciptakan dan membangun pusat‐pusat pertumbuhan dan perdagangan di seluruh wilayah.
Keenam, strategi pengembangan kualitas manusia. Orientasi pembangunan adalah peningkatan kualitas manusia (the quality life of the people) sebagai bagian dari penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak‐hak dasar rakyat terutama pangan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sanitasi dan air bersih, perumahan, sumber daya alam dan lingkungan, dan jaminan keamanan. Oleh sebab itu, kebijakan pembangunan akan diarahkan pada peningkatan akses dan mutu layanan dasar termasuk pangan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sanitasi dan air bersih, perumahan, sumber daya alam dan lingkungan, dan jaminan keamanan terutama bagi masyarakat yang berada di daerah perdesaan, kawasan perbatasan, pulau‐pula terluar dan daerah pasca konflik dan pasca bencana. Dengan meningkatnya kualitas manusia, kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat dan membaik secara merata di seluruh wilayah.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
4
B. Permasalahan
Provinsi Maluku Utara yang dibentuk melalui Undang‐undang Nomor 46 Tahun 1999 dan hanya berselang waktu kurang lebih 2 bulan, wilayah ini dilanda konflik yang mengakibatkan tatanan ekonomi dan sosial kemasyarakatan maupun prasarana dan sarana yang telah dibangun sebelumnya menjadi hancur. Pembangunan daerah yang dilaksanakan dalam kurun waktu 1999 – 2005 difokuskan pada upaya‐upaya penanggulangan pasca konflik. Walaupun demikian dalam kurun waktu tersebut pembangunan di Provinsi Maluku Utara tetap berjalan sebagaimana mestinya dan telah menunjukan kemajuan berarti di berbagai bidang terutama keberhasilan dalam menciptakan stabilitas keamanan wilayah yang semakin kondusif sehingga pembangunan dapat terlaksana. Pencapaian keberhasilan ditunjukan oleh kemajuan diberbagai bidang seperti bidang politik dan pemerintahan, hukum dan keamanan, perekonomian daerah, sosial budaya dan kemasyarakatan, infrastruktur, sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, pengembangan wilayah dan penataan ruang.
Propinsi Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan yang terletak diantara 30 Lintang
Utara‐ 30 Lintang Selatan dan 124
0 ‐ 129
0 Bujur Timur memiliki luas wilayah 145.819,1 kilometer
persegi. Sebagian wilayah Maluku Utara merupakan wilayah laut, yaitu seluas 100.731,44 kilometer persegi (69,08 persen). Sisanya seluas 45.087,66 kilometer persegi (30,92 persen), adalah daratan. Jumlah pulau di Provinsi Maluku Utara sebanyak 1.428 buah pulau besar dan kecil.
Dari aspek geologi, Wilayah Maluku Utara terdiri dari 2 (dua) lengkungan kesatuan yang melintasi Philipina, Sangir Talaud dan Minahasa yang dilingkupi oleh lengkung Sulawesi dan Palung Sangihe yang berciri vukanis dengan lengkung kontinen Melanesia yang bergerak dari gugusan melalui Irian (Papua) Bagian Utara yang bercirikan bukan vulkanis. Selain itu kepulauan di wilayah ini pada umumnya merupakan pertemuan jalur gempa lingkar pasifik. Oleh karena itu, wilayah ini termasuk daerah rawan bencana.
Permasalahan yang dihadapi Provinsi Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan adalah rendahnya aksesibilitas, terbatasnya infrastruktur wilayah, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM, dan keamanan di laut, namun secara khusus wilayah ini masih memiliki keterbatasan baik dibidang infrastruktur perekonomian, sosial, keamanan dan kelembagaan. Dalam rangka upaya percepatan pembangunan di wilayah provinsi kepulauan, maka persoalan mendasar yang dihadapi adalah terbatasnya kapasitas sumber‐sumber pembiayaan pembangunan daerah (pendapatan daerah) baik yang diperoleh dari PAD, dan terutama melalui APBN. Demikian halnya dengan penentuan DAU dan DAK yang kurang memperhatikan realitas kondisi objektif wilayah kepulauan. Keterbatasan dalam upaya mengoptimalkan PAD, DAU dan DAK, tidak terlepas dari ketentuan‐ketentuan regulatif terutama yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan serta sistim bagi hasil antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dalam rangka percepatan pembangunan Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi kepulauan. Jalinan kerjasama yang dilakukan oleh (tujuh) provinsi kepulauan yang tergabung dalam Forum Kerjasama Antar Pemerintahan Daerah Provinsi Kepulauan telah melakukan langkah‐langkah percepatan pembangunan daerah kepulauan di berbagai aspek yaitu meliputi: aspek politik dan pemerintahan, apek hukum dan HAM, aspek sosial ekonomi dan aspek pertahanan keamanan.
Penggunaan sumber daya alam dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, dengan mengutamakan sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat, memperkuat struktur ekonomi yang memberikan efek pengganda yang maksimum terhadap pengembangan industri pengolahan dan jasa dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup serta keanekaragaman hayati guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, RTRWN yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional merupakan matra spasial dalam pembangunan nasional yang mencakup pemanfaatan sumber
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
5
daya alam yang berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup dapat dilakukan secara aman, tertib, efektif, dan efisien.
Ditinjau dari aspek pengembangan wilayah, Provinsi Maluku Utara memiliki potensi dan pengembangan yang sangat baik. Potensi yang strategis sangat menjanjikan pembangunan di masa yang akan datang yaitu :
a) Letak yang strategis karena berada pada pelintasan dua kutub wilayah perekonomian antara Sulawesi Utara (Manado, Bitung) dan Papua (Sorong, Jayapura), sehingga dapat menjadi persinggahan komoditi‐komoditi antar kedua wilayah tersebut sebelum dipasarkan ke konsumen.
b) Provinsi Maluku Utara berada pada bibir lautan pasifik yang berhadapan langsung dengan negara yang tumbuh dan maju seperti : Philipina, Malaysia dan Brunei Darussalam, Korea, jepang dan Negara‐negara di Amerika Latin yang merupakan pasar potensial. Untuk itu komoditi yang berpotensi untuk pengembangan eksport seperti : Hasil laut, hasil hutan/kayu, kopra, cacao dan cengkih.
c) Dengan melihat karakteristik wilayah Provinsi Maluku Utara, terdiri dari 76,28 persen merupakan perairan, maka dapat dikatakan bahwa, pengembangan potensi unggulan daerah khususnya subsektor perikanan dan kelautan mempunyai prospek yang sangat menjanjikan.
Sedangkan berdasarkan karakteristik wilayah kepulauan, maka konsepsi pengembangan wilayah diarahkan pada :
a) Pengembangan Berbasis Kepulauan, meliputi : Gugusan Kepulauan Pulau Halmahera, Gugusan Kepulauan Pulau Bacan, Gugusan Kepulauan Sula. Penempatan pusat pemerintahan di Sofifi, sebagai suatu langkah pengembangan Pulau Halmahera sangat mendukung upaya akselerasi pembangunan untuk mengejar ketertinggalan Pulau Halmahera dan sekitarnya.
b) Penetapan Pusat‐Pusat Pertumbuhan meliputi : Kota Tobelo sebagai pusat pertumbuhan di Halmahera Utara, Kota Maba sebagai pusat pertumbuhan di Halmahera bagian timur, Kota Weda sebagai pusat pertumbuhan di Halmahera bagian tengah, Kota Labuha sebagai pusat pertumbuhan di Pulau Bacan dan Halmahera Bagian Selatan, Kota Sanana sebagai pusat pertumbuhan di Kepulauan Sula dan Kota Sofifi berfungsi untuk untuk menjembatani antar wilayah kabupaten/kota.
c) Konsep Pengembangan “Laut‐Pulau”, Konsep ini didasari oleh anggapan bahwa laut merupakan sarana penghubung antar pulau‐pulau di Provinsi Maluku Utara, dan juga dianggap sebagai wilayah potensial untuk dapat dibudidayakan, sehingga pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya juga terdapat di wilayah laut.
Berdasarkan RTRW Provinsi Maluku Utara, telah ditetapkan :
a) Kawasan sentra produksi misalnya Wilayah Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan Kota Tidore kepulauan merupakan sentra produksi kelapa, kakao, pala, cengkeh, vanili, dengan komoditi andalan kelapa.
b) Pengembangan Kawasan Prioritas, meliputi :
Kawasan Cepat Tumbuh, kawasan ini meliputi (1) Kawasan Halmahera Utara dan sekitarnya; dan (2) Kota Ternate dan sekitarnya.
Kawasan Perbatasan, yaitu kawasan yang perlu diperhatikan dari segi kepentingan pertahanan keamanan yaitu Kawasan Pulau Morotai dan Halmahera Timur.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
6
Kawasan‐kawasan yang menunjukan produktivitas yang tinggi pada suatu jenis penggunaan, seperti : Kawasan Ternate, Tidore, dan Sofifi. Kawasan ini berpotensi untuk kegiatan pelayanan tingkat regional, pemerintahan, pendidikan, pengembangan industri.
Kawasan Khusus, kawasan khusus ini, meliputi kawasan kritis dan kawasan rawan bencana, kawasan kritis adalah kawasan yang dianggap kritis untuk dikembalikan fungsinya, meliputi : areal perambahan hutan/pengusahaan hutan (HPHH), areal bekas tambang, maupun perladangan berpindah yang dilakukan oleh penduduk setempat. Sedangkan kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan bencana berupa gunung berapi, gerakan tanah dan gempa bumi serta tsunami. Kedua jenis kawasan sampai saat ini belum dipetakan.
Kawasan Tertinggal, Faktor‐Faktor penyebab ketertinggalan suatu wilayah/kawasan dengan wilayah lain antara lain : faktor geografis yang bervariasi seperti iklim, geomorfologis, topografi dan lain sebagainya, faktor sumberdaya alam yang dimiliki suatu daerah, faktor sumberdaya manusia maupun faktor kebijakan yang kurang tepat. Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya belum banyak tersentuh oleh program‐program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, politik masih sangat terbatas serta terisolir. Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat 5 (lima) kawasan tertinggal di Provinsi Maluku Utara, yaitu : Kawasan Halmahera Timur, Kawasan Kepulauan Sula (Taliabu Barat), Kawasan Halmahera Barat (Loloda dan Ibu), Kawasan Halmahera Utara (Morotai Selatan Barat), Kawasan Halmahera Selatan (Bacan Barat, Gane Barat dan Gane Timur) serta Kawasan Pulau Ternate (Pulau Moti).
Sejumlah permasalahan pengembangan wilayah antara lain : masih terbatasnya infrastruktur dan rendahnya aksesibilitas wilayah, belum optimalnya pengembangan wilayah strategis, cepat tumbuh, pulau‐pulau kecil, dan kawasan perbatasan pulau Morotai, belum optimalnya pengembangan komoditas unggulan, Belum optimalnya koordinasi, sinergi dan kerjasama antar pelaku pengembangan kawasan baik pusat Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya peningkatan daya saing produk unggulan disamping belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Sedangkan permasalahan dalam penataan ruang adalah Rencana Tata Ruang belum dijadikan acuan dalam pembangunan lintas sektor dan wilayah, serta banyaknya penyimpangan dalam pemanfataan ruang. Keterbatasan ruang wiayah, perubahan struktur dan pola ruang serta pertumbuhan dan mobilitas penduduk yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun melahirkan kebutuhan akan Perencanaan tata ruang yang komprehensif dan mengintegrasikan pendekatan berbasis wilayah kepulauan.
Ketidakberadaan dokumen regulasi penataan ruang Provinsi Maluku Utara serta masih tidak sinkronnya perencanaan tata ruang provinsi dengan Kabupaten/Kota, sebagaimana diamanatkan dalam UU Penataan Ruang, menginspirasi Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate, untuk melaksanaan penelitian dengan judul : Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”, dimana ruang lingkup permasalahan, dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Kerangka Pengaturan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) di provinsi Maluku Utara?
2. Apakah regulasi penataan ruang Provinsi Maluku Utara telah menerapkan pendekatan pembangunan berdimensi wilayah kepulauan?
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian dengan judul Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”, bertujuan, antara lain :
1. Untuk mengidentifikasi Kerangka Pengaturan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) di provinsi Maluku Utara.
2. Untuk mengidentifikasi apakah regulasi penataan ruang Provinsi Maluku Utara telah menerapkan pendekatan pembangunan berdimensi wilayah kepulauan.
3. Untuk merumuskan strategi penataan dan pengembangaan Penataan Ruang Provinsi Malut yag mengintegrasikan pendekatan pembangunan berdimensi wilayah kepulauan dalam kerangka Otonomi Daerah.
Diharapkan penelitian ini dapat berguna, untuk :
a) Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan Dokumen Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi Malut.
b) Memberikan Rekomendasi terkait Penyusunan dan Pengembangan Struktur dan Pola Ruang sebagaimana termuat dalam dokumen RTRW Provinsi Maluku Utara yang mengintegrasikan pendekatan pembangunan berdimensi wilayah kepulauan.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah provinsi Maluku Utara. Penetapan lokasi penelitian pada level provinsi namun dilakukan site selection secara non purposive. Lokasi penelitian yang teridentifikasi, sebagai berikut :
1. Kab. Halmahera Tengah;
2. Kab. Halmahera Selatan;
3. Kota Tidore Kepulauan;
4. Kota Ternate.
E. Kerangka Metode
Guna mendapatkan data yang valid dan reliabel, dilakukan pengumpulan 2 (dua) jenis data, yakni :
1. Data Primer. Data ini diperoleh dari sumber langsung dilapangan melalui metode wawancara (indepth interview). Indepth ini dilakukan pada narasumber yang diyakini memberikan masukan data yang valid dan reliabel dengan menggunakan tools pedoman wawancara.
2. Data Sekunder. Data ini merupakan data yang diperoleh dari kajian kepustakaan meliputi perundang‐undangan, buku‐buku perencanaan pembangunan, teks book, makalah, jurnal serta sumber internet.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan isi (contain analysis), serta dirumuskan secara deskriptif kualitatif.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
8
F. Komposisi Tim Peneliti
Komposisi Tim Peneliti pada aktivitas penelitian ini, meliputi :
Pengarah : Rektor Universitas Khairun
Penanggung Jawab : Dekan Fakultas Hukum
Ketua : Dr. Husen Alting, SH.MH
Administrasi & Keuangan : Siti Barora Sinay, SH.MH
Anggota :
1. Jamal Hi. Arsad, SH.MH
2. Fatmah Laha, SH.MH
3. M. Asyikin, SH.MH
4. Ahmad Mufti, SH.MH
5. Mardiah Ibrahim, SH.MH
6. Sultan Alwan, SH.MH
7. Amrianto, SH.MH
8. Bambang Daud, SH.MH
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
9
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tata Ruang
Tata ruang terdiri dari 2 (dua) kata yaitu tata dan ruang. Tata berarti struktur atau pola sedangkan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Hal tersebut berarti tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang1.
Rencana tata ruang adalah rekayasa atau metode pengaturan perkembangan tata ruang di kemudian hari; rencana tersebut berdimensi tiga, dan berdimensi empat jika unsur waktu dipandang sebagai dimensi keempat; rencana tata ruang disebut berorientasi kepada kecenderungan karena memperhatik kecenderungan perkembangan pada waktu yang lalu, masa kini dan waktu yang akan datang2.
Menurut Rapoport3 Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Tata ruang pada hakikatnya merupa k an l i n g ku n gan f i s i k y an g mempun y a i hubung an organisatoris / fungsional antara berbagai macam objek dan manusia, yang terpisah dalam ruang‐ruang tertentu.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.26 Tahun 2006, yang dimaksud dengan ruang adalah: “Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.” D.A.Tisnaamidjaja, menjelaskan pengertian ruang adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak”.
Sedangkan tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang4.
1 Pasal 1 Undang‐Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 2 Kamus Tata Ruang, hal:1998:91 3Pandangan Rapoport yang dikutip oleh Ginandjar Kartasasmita. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES. hal: 1996:427.
4 Pasal 3 Undang‐Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
10
B. Perencanaan Tata Ruang
Tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Bentuk tata ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi letak, luas, dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) yang direncanakan dapat dicapai pada akhir periode rencana. Selain bentuk tersebut, tata ruang juga dapat berupa suatu prosedur belaka (tanpa menunjuk alokasi letak, luas, dan atribut lain) yang harus dipenuhi oleh para pelaku pengguna ruang di wilayah rencana. Namun tata ruang dapat pula terdiri dari gabungan kedua bentuk di atas, yaitu terdapat alokasi ruang dan juga terdapat prosedur5.
Di dalam tata ruang tercakup distribusi tindakan manusia dan kegiatannya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dirumuskan sebelumnya. Konsep tata ruang menurut Foley6 tidak hanya menyangkut suatu wawasan yang disebut sebagai wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek‐aspek non spasial atau aspasial. Menurut Wheaton dan Porteous7 bahwa, hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor‐faktor non fisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas.
Menurut Eko Budihardjo8 bahwa pada kebanyakan perencanaan kota dan lingkungan, masyarakat acapkali dilihat sekadar sebagai konsumen yang pasif. Memang mereka diberi aktivitas untuk kehidupan, kerja, rekreasi, belanja dan bermukim, akan tetapi kurang diberi peluang untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dan perencanaannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagai makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan terhadap habitat dan lingkungannya. Rasa tersebut merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan.
Menurut J.T. Jayadinata9 Pendekatan dengan partisipasi penduduk dalam perencanaan kota, memungkinkan keseimbangan antara kepentingan administrasi dari pemerintah setempat dan integrasi penduduk setempat dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat lokal. Dijelaskan lebih lanjut bahwa terdapat 2 macam partisipasi penduduk yaitu partisipasi vertikal dan partisipasi horisontal. Partisipasi vertikal adalah interaksi dengan cara dari bawah ke atas (bottom up), sedang partisipasi horisontal adalah interaksi penduduk dengan berbagai kelompok lain.
Langkah awal penataan ruang adalah penyusunan rencana tata ruang. Rencana tata ruang diperlukan untuk mewujudkan tata ruang yang memungkinkan semua kepentingan manusia dapat terpenuhi secara optimal. Rencana tata ruang, oleh sebab itu, merupakan bagian yang penting dalam proses pembangunan, bahkan merupakan persyaratan untuk dilaksanakannya pembangunan, baik bagi daerahdaerah yaag sudah tinggi intensitas kegiatannya maupun bagi daerah‐daerah yang baru mulai tumbuh dan berkembang.
Menurut Budihardjo dan Sujarto10, perencanaan tata ruang kota selama ini masih saja cenderung terlalu berorientasi pada pencapaian tujuan ideal berjangka panjang, yang sering meleset akibat banyaknya ketidakpastian. Di sisi lain terdapat jenis‐jenis
5 Herman Haeruman. 2004. Penataan Ruang dalam Era Otonomi Daerah yang Diperluas. Available from http://www.bktrn.org; INTERNET diakses tanggal 05/07/2011.
6 Pandangan Foley yang dikutip oleh Ginandjar Kartasasmita, op‐cit. hal: 427. 7 Pandangan Wheaton dan Porteous yang dikutip oleh Ginandjar Kartasasmita, ibid. hal: 427. 8 Eko Budihardjo, Tata Ruang Perkotaan, Bandung:Alumni. hal:2005:8. 9 J.T. Jayadinata Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB Bandung. hal:1986:201.
10 Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto. 2005. Kota Berkelanjutan. Bandung: Alumni.hal:2005:208.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
11
perencanaan yang disusun dengan landasan pemikiran pemecahan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek, kurang berwawasan luas. Seyogyanya pendekatan yang diambil mencakup keduanya.
Selanjutnya dijelaskan oleh Suciati11 bahwa, beberapa usulan atau rekomendasi untuk peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup di masa mendatang agar dapat berkelanjutan:
1. Agar pengelolaan dan tata ruang kota tidak lagi sekadar dilihat sebagai management of growth atau management of changes melainkan lebih sebagai management of conflicts.
2. Mekanisme development control yang ketat agar ditegakkan, lengkap dengan sanksi (dis‐insentif) buat yang melanggar dan bonus (insentif) bagi mereka yang taat pada peraturan.
3. Penataan ruang kota secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model‐model participatory planning dan over the board planning atau perencanaan lintas sektoral sudah dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan.
4. Kepekaan sosio‐kultural para penentu kebijakan dan profesional khususnya di bidang tata ruang kota dan lingkungan hidup seyogyanya lebih ditingkatkan melalui forum‐forum baik secara formal maupun informal.
5. Dalam setiap perencanaan tata ruang kota dan pengelolaan lingkungan hidup agar lebih diperhatikan kekayaan khasanah lingkungan alam.
6. Peran serta penduduk dan kemitraan dengan pihak swasta agar lebih digalakkan. 7. Prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan pada kepentingan rakyat
agar dijabarkan dalam rencana dan tindakan nyata.
Menurut David Cadman and Leslie Austin‐Crowe12 perencanaan tata ruang dapat mempengaruhi proses pembangunan melalui 3 alat utama yaitu:
1. Rencana pembangunan, yang menyediakan pengendalian keputusan melalui keputusan strategis dimana pemerintah mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur guna lahan dan perubahan lingkungan.
2. Kontrol pembangunan, yang menyediakan mekanisme administratif bagi perencana untuk mewujudkan rencana pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol pembangunan ini berlaku pula bagi pemilik lahan, pengembang dan investor.
3. Promosi pembangunan, merupakan cara yang paling mudah mengetahui interaksi antara perencanaan tata ruang dengan proses pembangunan. Dalam konteks pemerintahan, maka dengan adanya rencana tata ruang, pemerintah menginginkan adanya pembangunan dan investasi di daerahnya dengan cara mempromosikan dan memasarkan lokasi, membuat lahan yang siap bangun dan menyediakan bantuan dana serta subsidi.
Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya memuat
tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni :
11 Suciati, Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota Pati, Tesis Universitas Diponegoro Semarang. hal:2006:67‐68.
12 David Cadman and Leslie Austin‐Crowe, Development Property. Third Edition. London: E and FN Spon. hal:1991:143.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
12
a. proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
b. proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri,
c. proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan‐tujuan
pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah. Selain itu, rencana tata ruang dalam Jurnal Kiprah13 hendaknya: 1. Quickly yielding, rencana tata ruang mampu menganalisis pertumbuhan dan
perkembangan daerah, menghasilkan langkah‐langkah serta tahapan‐tahapan dan waktu pelaksanaan pembangunan untuk kurun waktu tertentu.
2. Political friendly, demokratisasi dan transparansi sudah menjadi kebutuhan dalam seluruh rangkaian proses penyusunannya. Pengetahuan‐pengetahuan rencana tata ruang mulai dari rembug desa hingga penetapan oleh DPRD sangat menentukan kewibawaan rencana tata ruang.
3. User friendly, mudah dimengerti dan dipahami oleh segenap lapisan masyarakat. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, sehingga masyarakat mudah memahami rencana dan perkembangan yang terjadi.
4. Market friendly, rencana tata ruang membuka peluang kepentingan dunia usaha dan rencana penanaman investasi dengan memperhatikan rencana tata guna tanah yang sesuai dengan peruntukannya.
5. Legal friendly, mempunyai kepastian hukum dan masyarakat dapat memperoleh kemudahan‐kemudahan untuk melakukan investasinya.
Lebih lanjut dalam Jurnal Kiprah14, suatu rencana tata ruang akan berhasil bila memenuhi kriteria/unsur‐unsur sebagai berikut:
a. Disusun berdasarkan orientasi pasar. b. Rencana tata ruang memiliki peluang bagi aktor atau stakeholder mengikuti dan
mengisi tata ruang tersebut. c. Mempunyai batasan‐batasan yang jelas terutama menyangkut kewenangan masing‐
masing aktor dan stakeholder agar mempunyai kepastian hukum yang jelas. d. Disusun untuk mengurangi dampak psikologis yang berkembang di dalam masyarakat
dan mengakomodasikan berbagai kepentingan pelaku pembangunan, baik kelompok minoritas (misalnya pengembang, kontraktor) maupun mayoritas (masyarakat).
e. Mempunyai informasi yang jelas mengenai tahapan pelaksanaan pembangunan dan kapan rencana tersebut dilaksanakan.
f. Memiliki konsep pembangunan fisik, sosial, dan ekonomi yang pasti, masyarakat mengetahui alokasi pembangunan dan pengembangan, sehingga diperoleh informasi daerah/kawasan yang dapat dikembangkan dan dipertahankan.
g. Disusun untuk membangun kebersamaan, memperoleh kesepakatan dengan
13 Kiprah. Kiprah Rencana Tata Ruang dalam Pembangunan Perkotaan. Kiprah No. 2 Tahun I, November
2001. hal:22. 14 Kiprah, ibid.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
13
menunjukkan pula kelemahan dan kelebihan rencana tata ruang serta dampak yang akan ditimbulkannya, baik positif maupun negatif.
Penataan ruang telah ditetapkan melalui UU No. 24 Tahun 1992 yang kemudian direvisi melalui UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang kemudian diikuti dengan penetapan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) untuk operasioalisasinya. Berdasarakan UU No. 26 Tahun 2007, khususnya pasal 3, termuat tujuan penataan ruang, yakni bahwa Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan
berdasarkan asas: a. keterpaduan; bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan
berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan antara lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.
c. keberlanjutan; bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
e. keterbukaan; penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas‐luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
f. kebersamaan dan kemitraan; penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
g. pelindungan kepentingan umum; penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
h. kepastian hukum dan keadilan; penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundangundangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
i. akuntabilitas. penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.
Sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer sesuai dengan kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana‐rencana yang sifatnya lebih rinci. RTRW Nasional disusun dengan memperhatikan wilayah
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
14
nasional sebagai satu kesatuan wilayah yang lebih lanjut dijabarkan dalam strategi serta struktur dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah propinsi (RTRWP), termasuk di dalamnya penetapan sejumlah kawasan tertentu dan kawasan andalan yang diprioritaskan penanganannya.
Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indoensia yang diarahkan pada pencapaian sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah yang memberikan wewenang terhadap pemerintah daerah untuk menjalankan urusan wajib dan urusan pilihan sesuai dengan asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Sejalan dengan hal tersebut, wewenang penyelenggaraan penataan ruang pada wilayah Nasional/provinsi/Kabupaten/Kota dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: ‐ pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
‐ pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; ‐ pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan ‐ kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antarprovinsi.
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi: perencanaan tata ruang wilayah nasional; pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi: penetapan kawasan strategis nasional; perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional; pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional dapat dilaksanakan pemerintah daerah melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.
b. Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi: ‐ pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
‐ pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; ‐ pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan ‐ kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antarkabupaten/kota.
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi meliputi: perencanaan tata ruang wilayah provinsi; pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi, pemerintah daerah provinsi melaksanakan: penetapan kawasan strategis provinsi; perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi; pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
15
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Disisi lain, dalam menjalankan wewenang sebagaimana tersebut diatas, pemerintah daerah provinsi melakukan beberapa langkah, sebagai berikut : ‐ menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan: rencana umum dan rencana
rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; ‐ arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan ‐ petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; ‐ melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
c. Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi: ‐ pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; ‐ pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; ‐ pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan ‐ kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi: perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota; pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Dalam melaksanakan kewenangan penataan ruang sebagaimana tersebut diatas, pemerintah daerah kabupaten/kota: ‐ menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana
rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
‐ melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat: a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi; b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam
wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
d. penetapan kawasan strategis provinsi; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama
jangka menengah lima tahunan; dan f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi
arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Dalam kerangka perencanaan yang bersifat hierarkhi, Rencana tata ruang wilayah provinsi yang disusun berdasarkan horizon waktu 20 (dua puluh) tahun menjadi pedoman untuk:
‐ penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; ‐ penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; ‐ pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi; ‐ mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah
kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor; ‐ penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
16
‐ penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan ‐ penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Sesuai amanat Pasal 25 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan
bahwa Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus memperhatikan perkembangan masalah provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten serta upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan keselarasan aspirasi pemangunan kabupaten dengan mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi; b. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten.
Rencana tata ruang wilayah kabupaten yang disusun dalam jangka waktu 20 (Dua puluh) tahun menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan.dalam pelaksanaannya dapat ditinjau kembali 1 kali dalam 5 Tahun, sedangkan apabila terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang itetapkan dengan peraturan perundang‐undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang‐Undang, maka Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Dalam kaitannya dengan pengembangan sistem permukiman, maka didalam RTRWN sendiri telah ditetapkan fungsi kota‐kota secara nasional berdasarkankriteria tertentu (administratif, ekonomi dukungan prasarana, maupun kriteria strategis lainnya) yakni sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Untuk mewujudkan fungsi‐fungsi kota sebagai mana ditetapkan dalam RTRWN secara bertahap dan sistematis, maka pada saat ini tengah disusun review Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP). Dengan kata lain, SNPP dewasa ini merupakan bentuk penjabaran dari RTRWN.
Menurut Undang‐Undang 26 Tahun 2007, penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah Nasional, wilayah Provinsi, dan wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu. Dengan melihat pembagian di atas, maka RTRW Provinsi Maluku Utara dapat dikategorikan masuk dalam tata ruang kawasan perkotaan yang berorientasi pada tata ruang wilayah kepulauan.
Rencana tata ruang diperlukan mulai dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten sampai ke tingkat kawasan, sesuai dengan kebutuhannya. Pada tingkat nasional, ada RTRW Nasional yang merupakan penjabaran secara keruangan arah pembangunan nasional jangka panjang dan merupakan acuan dalam penyusunan program‐program pembangunan nasional jangka menengah dan jangka pendek. RTRW Provinsi merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Sedangkan RTRW Kabupaten/Kota, merupakan penjabaran RTRW provinsi ke dalam
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
17
strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota15. Selanjutnya pada kawasan‐kawasan di bawah wilayah kabupaten/kota serta kawasan‐kawasan yang diprioritaskan pembangunannya, diperlukan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan disusun berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang. Begitu juga dengan rencana tata ruang kepulauan Maluku sampai saat ini masih dalam Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia, sehingga belum bisa dijadikan pedoman dasar dalam perencanaan RTRW di yang berdimensi kepulauan di Maluku termasuk Maluku Utara.
Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan, secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasi kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan. Penanganan penataan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten, diakomodasikan perencanaannya dalam RTRW Kabupaten yang bersifat umum. Rencana tata ruang kawasan perkotaan dengan jenis kedalaman rencana umum adalah kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan.
Fungsi rencana tata ruang wilayah kota/rencana umum tata ruang kawasan perkotaan adalah: (1) menjaga konsistensi perkembangan kota/kawasan perkotaan dengan strategi perkotaan nasional dan arahan rencana tata ruang wilayah provinsi dalam jangka panjang; (2) menciptakan keserasian perkembangan kota dengan wilayah sekitarnya; (3) menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan daerah.
Adapun muatan rencana tata ruang wilayah kota/rencana umum tata ruang kawasan perkotaan, meliputi:
1. Tujuan pemanfaatan ruang wilayah kota/kawasan perkotaan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
2. Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kota/kawasan perkotaan, meliputi:
a. Struktur pemanfaatan ruang yang meliputi distribusi penduduk, sistem kegiatan pembangunan dan sistem pusat‐pusat pelayanan permukiman perkotaan termasuk pusat pelayanan koleksi dan distribusi; sistem prasarana transportasi; sistem telekomunikasi, sistem energi, sistem prasarana pengelolaan lingkungan termasuk pengairan.
b. Pola pemanfaatan ruang yang meliputi kawasan lindung, kawasan permukiman, kawasan jasa (perniagaan, pemerintahan, transportasi, pariwisata, dll), kawasan perindustrian.
3. Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan mencakup upaya:
a. Pengelolaan kawasan lindung dan budidaya.
b. Pengelolaan kawasan fungsional perkotaan, dan kawasan tertentu.
c. Pengembangan kawasan yang diprioritaskan dalam jangka waktu perencanaan, termasuk kawasan tertentu.
15 Rencana Kerja Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 2012.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
18
d. Penatagunaan tanah, air, udara dan sumber daya lainnya dengan memperhatikan keterpaduan sumberdaya alam dengan sumberdaya buatan.
e. Pengembangan sistem kegiatan pembangunan dan sistem pusat‐pusat pelayanan permukiman perkotaan; sistem prasarana transportasi; sistem telekomunikasi, sistem energi, sistem prasarana pengelolaan lingkungan termasuk sistem pengairan.
4. Pedoman pengendalian pembangunan wilayah kota/kawasan perkotaan, meliputi:
a. Pedoman perijinan pemanfaatan ruang/pengembangan wilayah kota/kawasan perkotaan bagi kegiatan pembangunan di wilayah kota/kawasan perkotaan (pedoman pemberian ijin lokasi).
b. Pedoman pemberian kompensasi, serta pemberian insentif dan pengenaan dis‐insentif di wilayah kota/kawasan perkotaan.
c. Pedoman pengawasan (pelaporan, pemantauan, dan evaluasi) dan penertiban (termasuk pengenaan sanksi) pemanfaatan ruang di wilayah kota/kawasan perkotaan.
C. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional
Penataan ruang wilayah nasional bertujuan16 untuk mewujudkan: (1) ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; (2) keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (3) keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (4) keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (5) keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang; (6) pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; (7) keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah; (8) keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan (9) pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional.
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang. Kebijakan pengembangan struktur ruang17 meliputi: (1) Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah meliputi: (a) menjaga keterkaitan antarkawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah di sekitarnya; (b) mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan; (c) mengendalikan perkembangan kota‐kota pantai; dan (d) mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya. Sedangkan, strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana meliputi: (a) meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara; (b) mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama di kawasan terisolasi; (c) meningkatkan jaringan energi untuk memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik; (d) meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air; dan (e) meningkatkan jaringan transmisi dan distribusi minyak
16Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2009 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2010.
17 Lampiran Peraturan Presiden RI ibid.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
19
dan gas bumi, serta mewujudkan sistem jaringan pipa minyak dan gas bumi nasional yang optimal.
Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang meliputi18: (1) kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung; (2) kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya; dan (3) kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis nasional. Kebijakan pengembangan kawasan lindung meliputi: (1) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan (2) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi: (a) menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; (b) mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30 persen dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya; dan (c) mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah. Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi19: (a) menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup; (b) melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; (c) melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya; (d) mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; (e) mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; (f) mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan (g) mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana.
Kebijakan pengembangan kawasan budi daya meliputi20: (1) perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya; dan (2) pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. Strategi untuk perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya meliputi: (a) menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional untuk pemanfaatan sumber daya alam di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah; (b) mengembangkan kegiatan budi daya unggulan di dalam kawasan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya; (c) mengembangkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi; (d) mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya pertanian pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional; (e) mengembangkan pulau‐pulau kecil dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan skala ekonomi; dan (f) mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang bernilai ekonomi tinggi di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan/atau landas kontinen untuk meningkatkan perekonomian nasional. Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan
18 Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
20
budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi: (a) membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana; (b) mengembangkan perkotaan metropolitan dan kota besar dengan mengoptimalkan pemanfaaatan ruang secara vertikal dan kompak; (c) mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30 persen dari luas kawasan perkotaan; dan (d) membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan perkotaan besar dan metropolitan untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya; (e) mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan pulau‐pulau kecil.
Kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional meliputi21: (1) pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional; (2) peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara; (3) pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional; (4) pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (5) pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa; (6) pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, dan ramsar; dan (7) pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan. Sedangkan strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi: (a) menetapkan kawasan strategis nasional berfungsi lindung; (b) mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; (c) membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; (d) membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya; (e) mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan (f) merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional.
Strategi untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara meliputi22: (a) menetapkan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan; (b) mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan; dan (c) mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budi daya terbangun.
Strategi untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional meliputi: (a) mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah; (b) menciptakan iklim investasi yang kondusif; (c) mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan; (d) mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan; (e) mengintensifkan promosi peluang investasi; dan (f) meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi.
21 Ibid. 22 Ibid.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
21
Strategi untuk pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal meliputi23: (a) mengembangkan kegiatan penunjang dan/atau kegiatan turunan dari pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi; (b) meningkatkan keterkaitan kegiatan pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi dengan kegiatan penunjang dan/atau turunannya; dan (c) mencegah dampak negatif pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi terhadap fungsi lingkungan hidup, dan keselamatan masyarakat.
Strategi untuk pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa meliputi24: (a) meningkatkan kecintaan masyarakat akan nilai budaya yang mencerminkan jati diri bangsa yang berbudi luhur; (b) mengembangkan penerapan nilai budaya bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan (c) melestarikan situs warisan budaya bangsa.
Strategi untuk pelestarian dan peningkatan nilai kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia meliputi: (a) melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya; (b) meningkatkan kepariwisataan nasional; (c) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (d) melestarikan keberlanjutan lingkungan hidup. Strategi untuk pengembangan kawasan tertinggal meliputi: (a) memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan; (b) membuka akses dan meningkatkan aksesibilitas antara kawasan tertinggal dan pusat pertumbuhan wilayah; (c) mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat; (d) meningkatkan akses masyarakat ke sumber pembiayaan; dan (e) meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi.
D. Penataan Ruang Dalam Era Otonomi Daerah
Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya.
Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal di tahun 2001, mulailah era baru dalm sistem pembangunan di daerah. Pada hakekatnya otonomi daerah mengandung makna yaitu diberikannya wewenang (authority) pada Pemerintah Daerah (Pemda) menurut kerangka perundang‐undangan yang berlaku untuk mengatur kepentingan (interst) daerah masing‐masing. Melalui kebijakan otonomi daerah ini, pemerintah pusat mendesentralisasikan sebagian besar kewenangannya pada Pemda.
Secara konseptual, desentralisasi dapat dibedakan atas 4 bentuk dengan turunan yang berbeda yakni 1) devolusi, yang merupakan penyerahan urusan fungsi‐fungsi pemerintahan dari pusat ke Pemerintah Daerah hingga menjadi urusan rumah tangga daerah; 2) dekonsentrasi, yang merupakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah; 3) delegasi, yang merupakan penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah atasan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas‐tugas pemerintahan dengan pertangungjawaban kepada atasnya; 4) Privatisasi, yang merupakan pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat kepada organisasi non pemeriontah baik yang berorientasi profit maupun non profit. Lazimnya prinsip devolusi mengacu pada desentralisasi politik, dekonsentrasi pada pengertian desentralisasi administrasi, dan delegasi maupun privatisasi sebagai tugas/subcontracting.
Dengan demikian, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga
23 Ibid. 24 Ibid.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
22
harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting juga adalah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Dalam konteks ini, konsen pemerintah pusat dalam bidang penataan ruang adalah untuk menjamin (a) tercapainya keseimbangan pemanfaatan ruang makro antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya, antara kawasan perkotaan dan perdesaan, antara wilayah dan antar sektor; (b) tercapainya pemulihan daya dukung lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan menjamin keberlanjutan pebangunan; (c) terwujudnya keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas propinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi struktur pemanfaatan ruang; (d) terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (basic needs) akan pelayanan publik yang memadai.
Di sisi lain, menurut PP 25 Th 2000, kewenangan pusat dalam bidang tata ruang meliputi (a) Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, serta (penetapan) pola dan struktur pemanfaatan ruang nasional. (b) Fasilitasi kerjasama atau penyelesaian masalah antar propinsi/daerah, misal melalui penyusun RTRW pulau atau RTRW kawasan Jabodetabek. (c) Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil dan criteria penataan per wilayah ekosistem daerah tangkapan air. (d) Penyiapan standar, kriteria dan fasilitasi kerjasama penataan ruang.
Berkenaan dengan hal tersebut, instrumen pengikat yang dapat digunakan sebagai acauan sekaligus alat keterpaduan dan kerjasama pembangunan antar daerah adalah melalui (a) Instrumen perundang‐undangan yang mengikat. (b) Kebijakan‐kebijakan yang jelas dan responsif sesuai dengan kebutuhan daerah. (c) Bantuan dan kompensasi dalam bentuk fiskal. (d) Penyediaan langsung prasarana berfungsi lintas wilayah dan tulang punggung (backbone) pengembangan wilayah. (e) Mendorong kemitraan secara vertikal dan horizontal yang bersifat kerjasama pengelolaan (co‐management) dan kerjasama produksi (co‐production).
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
23
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
A. Karateristik Wilayah Penelitian
Ruang merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara umum serta merupakan objek publik. Keberadaan ruang yang terbatas perlu ditata, diatur, dimanfaatkan sedemikian rupa secara arif dan efisien sehingga memungkinkan pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung didalamnya secara optimal dimanfaatkan untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan.
Sesuai dengan amanat Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2007 dijabarkan bahwa penataan ruang merupakan pendekatan pembangunan berdimensi spasial yang memberikan perhatian utama pada pengaturan perilaku manusia dalam memanfaatkan ruang dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya yang bertujuan untuk mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, aman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dalam wadah NKRI. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang bersifat kewilayahan disamping melalui 3 (tiga) rangkaian proses yang berkaitan, perlu mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang, didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya, dan dilakukan sebagai langkah strategis untuk mengatasi kesenjangan wilayah.
Rencana tata ruang berisi rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang adalah arahan pengembangan elemen‐elemen pembentuk struktur ruang yang terdiri dari sistem pusat‐pusat permukiman, sistem jaringan transportasi (darat, laut, udara), sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan prasarana sumber daya air yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Adapun rencana pola pemanfaatan ruang berisi arahan distribusi peruntukan ruang untuk berbagai kegiatan baik peruntukan ruang untuk fungsi lindung maupun fungsi budidaya.
Sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, rencana tata ruang memiliki fungsi yang sangat vital dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu rencana tata ruang harus disusun dengan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara proporsional, di samping mempertimbangkan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan pertahanan keamanan.
Sebagaimana diketahui, kinerja pembangunan di satu wilayah/kawasan tidak dapat dilepaskan dari wilayah/kawasan lainnya, mengingat adanya pola hubungan saling mempengaruhi antar wilayah/kawasan. Pencapaian hasil pembangunan di wilayah perencanaan sangat dipengaruhi oleh kinerja pencapaian hasil pembangunan di wilayah lain yang memiliki keterkaitan. Sebaliknya kinerja pencapaian hasil pembangunan di wilayah perencanaan juga akan mempengaruhi pencapaian hasil pembangunan di wilayah lainnya. Pola hubungan antar wilayah/kawasan tersebut tidak terbatas pada hasil‐hasil pembangunan, tetapi juga pada dampak negatif yang ditimbulkan.
Adanya hubungan saling mempengaruhi tersebut harus diakomodasi dalam penyusunan rencana tata ruang, yakni dengan memperbesar unit analisis yang tidak
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
24
terbatas pada wilayah perencanaan, tetapi mencakup wilayah di sekitarnya dalam satu eco‐region. Dengan kata lain, perencanaan tata ruang harus dilakukan dengan pendekatan eco‐region. Dengan pendekatan ini, suatu wilayah/kawasan dalam satu eco‐region harus dipandang sebagai satu sistem interaksi yang komplementer antara ekosistem, tatanan budaya, dan potensi sumber daya alam. Suatu wilayah/kawasan tidak lagi dipandang dari aspek struktural ruang dan pola pemanfaatannya, melainkan interaksi antara manusia dengan ruang (termasuk pola perilaku) dan sistem nilai penyangga kehidupan mereka.
Agar pemanfaatan sumber daya alam dapat dilakukan tanpa mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, perlu dilakukan penyusunan neraca lingkungan, yakni upaya untuk mengumpulkan data dan informasi tentang kondisi berbagai jenis sumber daya alam yang terdapat di suatu daerah. Berdasarkan neraca lingkungan tersebut, dilakukan perhitungan kebutuhan sumber daya dan kemampuan pemulihan keseimbangan lingkungan hidup setelah intervensi manusia yang selanjutnya diterjemahkan dalam menetapkan lokasi pengembangan dan intensitas kegiatan budidaya dalam rencana pola pemanfaatan ruang.
Pada penyusunan neraca lingkungan perlu diperhatikan prinsip bahwa, pemanfaatan sumber daya alam tidak hanya untuk kepentingan saat ini, namun juga kepentingan generasi yang akan datang. Di samping itu, harus disadari bahwa apabila pemanfaatan sumber daya alam melebihi kemampuan pemulihan keseimbangan lingkungan akan berakibat pada ketidak‐seimbangan ekosistem, sehingga menimbulkan gangguan alam (natural disturbance) dan kerusakan bentang alam (landscape damage). Gangguan alam dan kerusakan bentang alam selanjutnya akan mengakibatkan bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang nantinya tidak sampai melampau batas‐batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan sumber daya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan ekosistem.
Untuk mengetahui daya dukung lingkungan, diperlukan analisis yang mendalam terhadap berbagai aspek fisik, antara lain struktur batuan dan jenis tanah, kemiringan lahan, sistem tata air wilayah, serta pola tutupan vegetasi. Berdasarkan hasil analisis ini, wilayah perencanaan dapat digambarkan menurut potensi pengembangannya, termasuk kawasankawasan yang memiliki potensi terkena bencana longsor. Pada tahap ini, penguasaan teknologi berikut kemampuan aplikasinya juga dapat diperhitungkan mengingat teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan secara artifisial.
Contoh perhatian terhadap daya dukung lingkungan dalam perencanaan tata ruang adalah perhatian terhadap aspek geologi. Terkait dengan hal tersebut, dalam perencanaan tata ruang dikaji berbagai aspek geologi untuk mendapatkan data dan informasi tentang keadaan geomorfologi suatu daerah, potensi semberdaya air (tanah), potensi sumberdaya mineral dan energi, kemampuan tanah sebagai fondasi bangunan, serta berbagai bencana geologi seperti gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, dan gerakan tanah. Hasil analisis neraca lingkungan, daya dukung lingkungan, dan daya tampung lingkungan merupakan landasan bagi perumusan alokasi ruang untuk berbagai jenis kegiatan masyarakat sesuai dengan potensi pengembangannya.
Pada kawasan ‐kawasan yang secara f is ik harus dil indungi atau memberikan perlindungan terhadap bagian wilayah lain harus ditetapkan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
25
sebagai kawasan lindung. Sebaliknya kegiatan‐kegiatan yang bersifat intensif harus diletakkan pada lokasi yang aman dari ancaman bencana seperti tanah longsor, banjir, tsunami, dan sebagainya.
Khusus untuk kawasan rawan bencana longsor, pengaturan jenis dan intensitas kegiatan harus dilakukan secara sangat hati‐hati. Pertama, hal ini dimaksudkan agar kegiatan yang akan dikembangkan tidak semakin meningkatkan potensi kejadian bencana longsor. Kedua, dimaksudkan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi apabila terjadi bencana longsor, baik kerugian harta benda milik masyarakat, lingkungan permukiman, prasarana dan sarana, maupun nyawa manusia.
Kawasan rawan bencana longsor pada umumnya merupakan kawasan dengan kemiringan curam dengan struktur batuan yang tidak stabil dan memiliki curah hujan tinggi. Pada kawasan seperti ini, apabila tidak ditetapkan sebagai kawasan lindung, jenis kegiatan yang sesuai adalah kegiatan kehutanan atau perkebunan dengan jenis tanaman yang memiliki perakaran kuat dan tajuk rimbun. Perakaran yang kuat berfungsi untuk menstabilkan tanah, sementara tajuk yang rimbun berfungsi untuk menahan air hujan agar mengalir secara perlahan dan tidak menggerus tanah.
Secara administratif, rencana tata ruang disusun secara berhirarki mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Prov ins i (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Rencana‐rencana tersebut adalah rencana yang bersifat umum yang pada umumnya memerlukan perencanaan yang lebih rinci untuk operasionalisasinya.
A.1. Provinsi Maluku Utara
Luas total wilayah Provinsi Maluku Utara mencapai 140.255,36 km2, dengan luas wilayah perairan 106.977,32 km2 (76,27%), dan daratan seluas 33,278 km2 (23,73 %).Terdiri dari 395 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu, sebanyak 64 pulau telah di huni, sedangkan 331 pulau lainnya tidak dihuni. Jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak 849.724 jiwa, rata‐rata laju pertumbuhan sebesar 2,16% per tahun.
Pulau yang tergolong relatif besar adalah Pulau Halmahera (18.000 km2), pulau yang ukurannya relatif sedang yaitu Pulau Obi (3900 km2), Pulau Taliabu(3195 km2), Pulau Bacan (2878 km2), dan Pulau Morotai (2325 km2). Pulau‐pulau yang relatif kecil antara lain Pulau Ternate, Tidore, Makian, Kayoa, Gebe dan sebagainya. Secara administrasi terbagi menjadi 7 wilayah Kabupaten dan 2 wilayah Kota yaitu Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Morotai. Terdiri dari 8 (delapan) sub etnis yaitu, Ternate, Tidore, Makian, Galela, Tobelo, Sanana, Maba dan Bacan yang masing – masing memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda‐beda serta memiliki kekhasan sendiri‐sendiri. Banyaknya sub etnis tersebut merupakan suatu potensi yang kuat dan tangguh dalam menangani pembangunan di Provinsi Maluku Utara.
Propinsi Maluku Utara secara geografis terletak di Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Halmahera, Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Maluku, Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Samudera Pasific, Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram. Berada pada 3o Lintang Utara hingga 3o Lintang Selatan dan 124o hingga 129o BujurTimur. Wilayah ini dilintasi khatulistiwa, tepatnya di Halmahera Tengah yang memberi efek penting pada pemanasan air laut yang bergerak dari samudera Indonesia ke Pasifik.
Geo posisi Propinsi Maluku Utara dalam perspektif regional maupun internasional berada pada posisi strategis karena terletak di bibir pasific (pasific reem) yang secara langsung berhadapan dengan negara‐negara Asia Timur dan negara‐negara pasific serta merupakan lintasan antara dua benua Asia dan Australia dan dua samudra Hindia dan Pasifik. Pada era globalisasi area ini merupakan area yang pertumbuhan ekonominya sangat pesat akibat
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
26
pergeseran pertumbuhan ekonomi dari Kawasan Eropa.
Disamping infrastruktur perhubungan laut baik pelabuhan maupun armada perhubungan yang cukup potensial di Maluku Utara juga didukung oleh potensi lain yang sangat berpengaruh terhadap mobilisasi orang dan barang dalam pemenfaatan jasa perhubungan laut. Potensi‐potensi yang dimiliki sebagai modal pengembangan pertumbuhan ekonomi bagi Provinsi Maluku Utara dapat diuraikan dibawah ini.
Potensi lahan yang cukup luas terutama untuk beberapa komoditas tanaman pangan seperti padi dengan luas panen tahun 2003 mencapai 16.409 ha dengan produksi mencapai 60.131 ton, jagung dengan luas panen 2.464 ha dengan produksi 3.778 ton, ubi jalar luas panen 3.321 ha dengan luas panen 28.387 ton, ubi kayu luas panen 8.585 ha dengan produksi 103.297 ton, kacang tanah dengan luas panen 1.547 ha dengan luas panen 1.748 ton. Komoditas pertanian lain yang juga banyak diusahakan di wilayah ini adalah, kedele, kacang hijau, tanaman sayur‐sayuran seperti kentang, kol/kubis, sawi, tomat, bawang merah, bawang daun, bawang putih dan buah‐buahan seperti alpokat, jeruk, belimbing, sukun, durian, jambu, manggis, pepaya pisang, rambutan dan salak.
Di sektor perkebunan terdapat potensi perkebunan kelapa yang cukup besar, yang ditunjukkan oleh kondisi bahwa sebagian besar penduduk wilayah ini mengusahakan komoditas ini. Tercatat terdapat 10 komoditi perkebunan yang terdapat di Propinsi Maluku Utara yang menopang sub‐sektor perkebunan. Jenis komoditi utama adalah tanaman coklat (kakao), cengkeh dan kelapa. Dari beberapa komoditi ini rata‐rata tingkat produktivitas tertinggi berada di Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat.
Luas areal perkebunan kelapa adalah 162.393 ha dengan produksi tahun 2003 sebesar 121.831 ton kelapa. Komoditas lain yang juga cukup potensial dan banyak diusahakan adalah cengkih dengan luas areal mencapai 10.882 ha dan produksi tahun 2003 mencapai 6.528 ton; pala juga banyak diusahakan di beberapa lokasi dengan total keseluruhan areal perkebunan seluas 9.833 ha dan produksi tahun 2003 mencapai 5.899 ton; kakao dengan luas areal mencapai 26.686 ha dan produksi 19.998 ton; pala dengan luas areal 9.833 ha dengan produksi mencapai 5.899 ton; kopi dengan luas areal 4.025 ha dengan produksi mencapai 2.414 ton.
Kawasan hutan di Maluku Utara tahun 2003 seluas 3.184.910 Ha, yang terdiri dari hutan lindung 702.539 ha, hutan produksi terbatas 572.845 ha, hutan produksi 552.227 ha, hutan PPA 48.836 ha dan hutan konversi 1.308.463 ha. Dari potensi kayu tersebut dimanfaatkan dalam bentuk ekspor produksi kayu lapis 28.371 ton dengan nilai ekspor 11.476.000 US Dollar dan kayu gergaji 329.000 ton dengan nilai ekspor 62.000.000 US Dollar.
Jenis ternak yang mempunyai akses pengembangan agribisnis adalah; sapi potong dan unggas (ayam buras, ras pedaging, ras petelur dan itik). Secara umum wilayah Maluku Utara memiliki kesesuaian dimana lahan pengembangan peternakan meliputi lahan kosong, padang pengembalaan, kebun kelapa dan lahan pekarangan. Wilayah Maluku Utara merupakan suatu hamparan yang bisa dijadikan sebagai kawasan untuk pengembangan peternakan yang terkonsentrasi.
Dengan melihat karakteristik wilayah Provinsi Maluku Utara, terdiri dari 76,28% merupakan perairan, maka dapat dikatakan bahwa, pengembangan potensi unggulan daerah dibeberapa sektor, khususnya subsektor perikanan dan kelautan mempunyai prospek yang sangat menjanjikan. Potensi yang tersedia pada subsektor perikanan dan kelautan (standing stock) sebesar 694.382,48 ton per tahun dengan potensi lestari sebesar 347.191,24 ton per tahun, dan baru dimanfaatkan sebesar 26,51% atau sekitar 92.052,21 ton per tahun. Jenis ikan yang tersebar di perairan Maluku Utara adalah ikan pelagis besar (tuna, cakalang, tongkol, Kakap dan tenggiri) potensi per tahun sebesar 211.590,00 ton, ikan pelagis kecil (teri, kembung, layang, selar dan julung) dengan potensi per tahun sebesar 169.834,33 ton, jenis ikan demersal (kakap merah, lencan, ekor kuning, baronang) sebesar 135.005,24 ton per
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
27
tahun, ikan karang dengan potensi per tahun sebesar 97.801,78 ton, Lobster dengan potensi per tahun sebesar 11.999,74 ton, Cumi‐cumi potensi pertahun sebesar 35.072,18 ton, Udang Penied potensi per tahun Sebesar 26.545,26 ton.
Selain itu produksi perikanan tangkap untuk jenis ikan pelagis besar 25.488,36 ton per tahun, pelagis kecil sebesar 40.159,66 ton per tahun, demersal sebesar 14.997,10 ton per tahun, ikan karang sebesar 9.872,48 ton per tahun, Lobster sebesar 2.973,97 ton per tahun, Cumi‐cumi sebesar 4.987,98 ton per tahun, dan Udang Penied 2.002,10 Ton pertahun. Sedangkan perikanan budidaya dengan jenis komoditi ikan kerapu dengan luas lahan sebesar 24,75 Ha, Rumput laut dengan luas lahan 74,25 Ha, Ikan Nila dan Ikan Mas dengan luas lahan 22,67 Ha, dan Udang Windu dengan luas lahan 20,10 Ha, produksi yang dicapai pada tahun 2004 untuk jenis ikan kerapu sebesar 38.484 ton per tahun, rumput laut sebesar 16.387 ton per tahun, Ikan Nila dan Ikan Mas sebesar 19.682 ton per tahun, dan Udang Windu Sebesar 3.556 ton Pertahun.
Potensi bahan galian logam dan non‐logam seperti nikel‐kobal, tembaga, emas dan perak merupakan komoditi unggulan untuk dikembangkan lebih lanjut. Pulau Halmahera mempunyai potensi endapan bahan galian emas yang cukup prospektif, temuan endapan emas epitermal di daerah Gosowong dengan potensi yang terkandung dalam busur magnetik. Untuk bahan galian nikel, perencanaan penyediaan biji nikel untuk konsumsi pabrik Feni tahun 2000 ‐ 2030 dibutuhkan sebanyak 48.750.000 ton. Sedangkan yang baru tersedia sampai dengan saat ini hanya sebanyak 16.355.000 ton, sehingga terdapat kekurangan biji nikel sebanyak 32.395.000 ton. Sumber endapan nikel laterit di daerah teluk Weda yang sampai saat ini belum dilakukan eksploitasi secara terinci yang berkisar 92.000.000 ton. Indikasi adanya hidro karbon ditunjukan oleh gejala rembesan minyak seperti yang ditemukan di Pulau Halmahera yang dilakukan oleh Pertamina dan British Petroleum di Cekungan Halmahera Selatan dengan rembesan flour pada kedalaman 3000 meter, selain itu terdapat potensi panas bumi di Jailolo, energi panas bumi di Songa Bacan.
Demikian pula untuk kegiatan usaha pertambangan yang didukung ketersediaan potensi tambang, utamanya eksploitasi Emas dan Nikel. Sementara masih tersedia potensi bahan galian yang belum diolah sebanyak 18 belas jenis bahan galian yang termasuk golongan A, B dan C. Tingkat produksi dalam tahun yang sama mencapai nilai ekspor 11.670.000 US Dollar.
Dari berbagai potensi yang dimiliki tersebut, sehingga Propinsi Maluku Utara disebut sebagai laboratorium alam geologi dikarenakan kedudukannya berada pada tumbukan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Australia yang bergerak ke arah selatan, lempeng Eurasia yang bergerak dari arah barat dan Lempeng Pasifik dari arah barat. Beberapa sumber daya mineral atau bahan galian tambang yang ditemukan tersebar hampir di seluruh daerah Maluku Utara, seperti; Tembaga, Uranium, Emas, Nikel, Batu Bara, Alumanium/Bauksit, Magnesit, Pasir Besi, Titanium, Mangan, Asbes, Kaolin, Diatomit, Batu Permata, Kromit, Pasir Kuarsa, Batu Gamping, Batu Apung, Granit, Talk, Migas, Potensi Panas Bumi, dan Sumber Daya Air. Emas : 78.200.000 ton Au=2‐30 gram/ton yang terdapat di 16 lokasi dan tersebar di Bacan, Galela, Loloda, Kao, Obi, Sanana, Taliabu Barat, Kayoa, Morotai Selatan dan Morotai Utara. Mangan : di Kecamatan Galela dan Kecamatan Loloda Utara, dan baru eksploitasi sebesar 221.553 ton. Tembaga dengan jumlah kandungan sebesar 70.000.000 ton tersebar di Bacan, Obi, Loloda, Besi dengan jumlah kandungan sebesar 87.700.000 ton (20% Fe), Pasir Besi dengan jumlah kandungan sebesar 10.000.000 ton (terkira), Batu Bara terdapat di 10 lokasi dan tersebar di Bacan, Jailolo, Galela, Kao, Makian/Malifut, Morotai Selatan, Obi, Sanana, Taliabu Barat dan Loloda. Nikel dengan luas areal 47.898 Ha, terdapat di Obi dan Taliabu.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
28
A.2. Kota Ternate
Kota Ternate merupakan daerah otonomi bagian dari provinsi Maluku Utara, terdiri dari 5 pulau, yakni : pulau Ternate, pulau Moti, pulau Hiri, pulau Tifure dan pulau Mayau/Batang Dua. Kota Ternate mempunyai potensi strategis sebagai kota perdagangan yang dikenal sejak zaman penjajahan Belanda.
Secara geografis Kota Ternate terletak pada posisi 0o‐2o Lintang Utara dan 126o‐128o Bujur Timur dengan ketinggian rata‐rata dari permukaan laut yang beragam dan disederhanakan/dikelompokan dalam 3 kategori, yaitu ; Rendah (0 ‐ 499 M), Sedang (500‐699 M), Tinggi (lebih dari 700 M). Luas wilayah Kota Ternate adalah 5.795,4 Km2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut (5.547,55 Km2) sedangkan luas daratan 249,6 Km2. • Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Maluku • Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Maluku • Sebelah Timur dengan Selat Halmahera • Sebelah Barat dengan Laut Maluku
Kota Ternate mempunyai ciri daerah kepulauan dimana wilayah terdiri dari delapan buah pulau, lima diantaranya berukuran sedang merupakan pulau yang dihuni penduduk sedangkan tiga lainnya berukuran kecil dan hingga saat ini belum berpenghuni. Jumlah penduduk Kota Ternate pada akhir tahun 2010 berjumlah 208.753 jiwa yang terditribusi pada 7 kecamatan, dengan tingkat persebaran yang tidak merata pada setiap kecamatan. Distribusi jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Ternate Selatan dengan jumlah sebesar 75.018 jiwa atau sekitar 35,94% dari jumlah penduduk Kota Ternate, sedangkan distribusi penduduk terkecil adalah Kecamatan Pulau Batang Dua dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.941 jiwa atau sekitar 1,41% dan Kelurahan Pulau Hiri dengan jumlah penduduk sekitar 3.000 jiwa atau sekitar 1,44% dari jumlah penduduk Kota Ternate. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Ternate Selatan yaitu 3.277 jiwa/Km2, kemudian disusul oleh Kecamatan Ternate Utara dengan kepadatan 3.212 jiwa/Km2, dan Kecamatan Ternate Tengah dengan kepadatan 2.812 jiwa/Km2. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan Pulau Batang Dua dengan kepadatan rata‐rata 24 jiwa/Km2.
Kondisi topografi lahan kepulauan Ternate adalah berbukit bukit dengan sebuah gunung berapi yang masih aktif dan terletak ditengah pulau Ternate. Permukiman masyarakat secara intensif berkembang di sepanjang garis pantai kepulauan. Dari 5 pulau besar yang ada, umumnya masyarakat mengolah lahan perkebunan dengan produksi rempah‐rempah sebagai produk unggulan dan perikanan laut yang diperoleh disekitar perairan pantai. Pulau Ternate memiliki kelerengan fisik terbesar diatas 40 % yang mengerucut kearah puncak gunung Gamalama terletak ditengah ‐ tengah Pulau. Didaerah pesisir rata‐rata kemiringan adalah sekitar 2% sampai 8%.
Kedalaman laut adalah bervariasi, pada beberapa lokasi disekitar P. Termate, terdapat tingkat kedalaman yang tidak terlalu dalam, sekitar 10 meter sampai pada jarak sekitar 100 m dari garis pantai sehingga memungkinkan adanya peluang reklamasi. Tetapi pada bagian lain terdapat tingkat kedalaman yang cukup besar dan berjarak tidak jauh dari garis pantai yang ada. Selanjutnya dijelaskan bahwa kondisi topografi Kota Ternate juga ditandai dengan keberagaman ketinggian dari permukaan laut (Rendah: 0‐499 M, Sedang: 500‐699 M, dan Tinggi: lebih dari 700 M). Dengan kondisi tersebut, ciri Kota Ternate merupakan wilayah kepulauan, lima diantaranya didiami penduduk (Pulau Ternate, Hiri, Moti, Mayau, dan Tifure), sedangkan untuk tiga pulau yang berukuran kecil tidak dihuni (Pulau Maka, dan Gurida).
Kota Ternate ditinjau dari sudut oceanografi memiliki daerah perairan atau atau laut. Hal ini dapat dilihat pada daerah bagian barat dan selatan, luas perairan 5.544,55 Km2 (atau 95,7 %). Luas wilayah perairan tersebut cukup potensial bila dimanfaatkan sebagai wilayah pengembangan perikanan laut karena memiliki bermacam‐macam hasil laut, ikan pelagis besar
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
29
seperti; Tuna, Cakalang, Ikan pelagis kecil seperti; Selar, Layang, Kembung, Julung, Ekor kuning, Teri, dan lain‐lain, dan ikan dasar seperti; ikan Kerapu, Bawal, Kakap Merah, dan beberapa jenis ikan lainnya.
Struktur Ekonomi Kota Ternate ditunjang oleh sembilan lapangan usaha kegiatan ekonomi, yaitu : 1) Pertanian, 2) Pertambangan dan penggalian, 3) Industri pengolahan, 4) Listrik, gas, dan air minum, 5) Bangunan/konstruksi, 6) Perdagangan, hotel, dan restoran, 7) Angkutan dan komunikasi, 8) Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, serta 9) Jasa‐jasa.
A.3. Kota Tidore Kepulauan
Kota Tidore Kepulauan sebagai daerah otonom yang dimekarkan dari Kabupaten Halmahera Tengah berdasarkan Undang‐undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran wilayah yang diresmikan pada tanggal 31 Mei 2003. Secara geografis, letak wilayah Kota Tidore Kepulauan berada pada batas astronomis 0⁰‐20⁰ Lintang Utara dan pada posisi 127⁰‐ 127,45⁰ Bagian Timur. Kota Tidore Kepulauan memiliki total luas wilayah 13.862,86 Km2 dengan daratan 9.116,36 Km2 dan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate dan Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera barat.
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur dan Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah.
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan dan Kecamatan pulau Moti Kota ternate.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Laut Maluku.
Secara administratif, kota Tidore Kepulauan terdiri dari 8 (delapan) kecamatan dan 72 desa/kelurahan seperti yang diuraikan berikut ini : 1. Kecamatan Tidore; Jumlah desa/kelurahan 11 dengan ibukota Gamtufkange, dan luas
daerah 212,15 Km2. 2. Kecamatan Tidore Selatan; Jumlah desa/kelurahan 8 dengan ibukota Gurabati, dan luas
daerah 249,32 Km2. 3. Kecamatan Tidore Utara; Jumlah desa/kelurahan 12 dengan ibukota Rum, dan luas
daerah 221,33 Km2. 4. Kecamatan Tidore Timur; Jumlah desa/kelurahan 4, dengan ibukota Tosa dan luas
daerah 199,92 Km2. 5. Kecamatan Oba; jumlah desa/kelurahan 9 dengan ibukota Payahe, dan luas daerah
2.373,63 Km2. 6. Kecamatan Oba Selatan; Jumlah desa/kelurahan 7, dengan ibukota Lifofa, dan luas
daerah 2.210,92 Km2. 7. Kecamatan Oba Utara; jumlah desa/kelurahan 9 dengan ibukota Sofifi, dan luas daerah
1.155,91 Km2. 8. Kecamatan Oba Tengah; jumlah desa/kelurahan 12, dengan ibukota Akelamo dan luas
daerah 2.493,17 Km2.
Daerah Kota Tidore Kepulauan secara fisiografi dapat di bagi manjadi 2 bentukan utama yaitu pada daerah Pulau Tidore dan Pulau Halmahera. Pulau Tidore memiliki satuan bentukan asal gunungapi. Satuan ini memiliki kelerengan bervariasi mulai dari 2 % hingga lebih dari 40%, hal ini sesuai dengan jenis bentukan asal Satuan vulkanik. Bagian ke dua wilayah Kota Tidore yang berada pada Pulau Halmahera memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pulau Tidore. Satuan geomorfologi ini antara lain adalah dataran alluvial, perbukitan denudasional, perbukitan denudasional ultramafik, Plato dan Monoklin.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
30
Berdasarkan Peta Jenis Penggunaan Lahan (2008) Kota Tidore Kepulauan masih didominasi oleh hutan (66,74%). Kemudian Kebun campuran (16,27%) dan ketiga adalah Tegalan (5,57%). Adapun pertanian adalah 1,54 % berupa sawah dengan kondisi pemanfaatan lahan ini laju peralihan dari lahan hutan menjadi yang lain dapat menjadikan kemungkinan terjadinya perubahan ekosistem yang paling mendasar.
Sumberdaya hutan di wilayah Kota Tidore Kepulauan banyak yang merupakan hutan lindung. Hutan lindung seluas 3.295,82 Km2, hutan produksi 121,77 Km2, hutan konversi 1.627,62 Km2, hutan Produksi terbatas 1.039,08 Km2, dan tidak terdapat hutan suaka alam. Hutan lindung yang paling luas terdapat dikecamatan Oba dan Oba Utara yaitu 1.591,09 Km2. Hutan konversi berada di wilayah Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan.
Wilayah Kota Tidore Kepulauan terdiri dari wilayah daratan (42,51%) dan lautan (57,49%). Secara umum wilayah lautan Kota Tidore Kepulauan termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 6, yaitu WPP Laut Seram dan Teluk Tomini. Pemanfaatan sumberdaya perikanan pada WPP 6 masih rendah kecuali untuk kelompok udang penaid yang sudah mencapai lebih tangkap (over fishing). Sub sektor perikanan di Kota Tidore Kepulauan memegang peranan penting sebagai penyumbang PDRB tertinggi dalam sektor pertanian.
A.4. Kabupaten Halmahera Tengah Kabupaten Halmahera Tengah terletak antara 0o45′ LU ‐ 0o15′ LS dan 127o45′ BT ‐
129o26′ BT, dengan luas wilayah 8.381,48 kilometer persegi terdiri dari luas daratan 2.276,83 kilometer persegi (27 persen) dan luas lautan 6.104,65 kilometer persegi (73 persen). Wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Tengah. Berdasarkan UU No.1 Tahun 2003, wilayah Kabupaten Halmahera Tengah mencakup 6 (enam) kecamatan dan 33 desa. Kecamatan tersebut antara lain Weda, Weda Utara, Weda Selatan, Patani, Patani Utara dan Pulau Gebe dan pada tahun 2008 dilakukan pemekaran dua kecamatan yaitu kecamatan Weda Tengah dan kecamatan Patani Barat (Perda Nomor 23 dan 24 Tahun 2008). Luas wilayah keseluruhan adalah 8.381,48 kilometer persegi. Dengan 46 Desa dan 43 pulau besar dan kecil, terdapat pula 2 pulau yang dihuni Pulau Gebe dan Pulau Yoi selain Pulau Halmahera. Kabupaten Halmahera Tengah memiliki batas‐batas sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Timur Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Irian Jaya Barat Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Selatan Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Tidore Kepulauan
Kabupaten Halmahera Tengah merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 46 buah pulau besar dan kecil, selain pulau utama (Halmahera) diantaranya pulau yang besar adalah gugusan Pulau Gebe (Pulau Gebe dan Pulau Yoi) yang didiami penduduk, sedangkan yang lain adalah pulau‐pulau kecil/pulau karang. Gugusan Pulau Gebe memiliki jarak yang relatif jauh dari Pulau utama (Halmahera), dimana daerah ini termasuk lingkungan kontinen Melanesia yang bergerak dari gugusan yang melalui Irian bagian Utara yang berciri vulkanis. Wilayah ini memiliki karakteristik fisik, geografis dan biografis yang unik serta memiliki sumber daya alam yang besar dan beraneka ragam yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Kondisi fisiografi pulau utama di Kabupaten Halmahera Tengah sangat bervariasi mulai dari daratan pantai, daratan, perbukitan hingga daerah pegunungan. Berdasarkan kondisi tersebut, sebagian besar Pulau Halmahera yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Halmahera Tengah adalah berupa daerah perbukitan dan pegunungan.
Kabupaten Halmahera Tengah adalah daerah kepulauan yang beriklim tropis dimana iklimnya sangat dipengaruhi oleh angin laut. Curah hujan rata‐rata 1.695 ‐ 2.570 per tahun dengan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
31
jumlah hari hujan 85 ‐ 157 hari. Makin ke Utara makin banyak turun hujan terutama di Kecamatan Weda, dengan curah hujan antara 3001 ‐ 3500 milimeter, sedangkan semakin ke Timur makin kurang hujan terutama di Kecamatan Patani dan Pulau Gebe.
Kabupaten Halmahera Tengah secara geologi termasuk dalam mandala geologi Halmahera Tengah yang terdiri dari batuan ultra basa (Ub), batuan sedimen yang berumur Paleosen ‐ Eosen berupa batu gamping (Tpel) dan konglomerat (Tpec). Kegiatan tanaman pangan di Kabupaten Halmahera Tengah apabila dilihat per kelompok komoditi maka sampai tahun 2007 tanaman padi sawah mencapai luas panen 2.990 Hektar dengan produksi sebesar 10.570 ton, tanaman jagung mencapai luas panen 1.576 Hektar dengan produksi sebesar 5.064 ton, tanaman ubi kayu mencapai luas panen 2.457 Hektar dengan produksi sebesar 49.986 ton, sedangkan kacang tanah mencapai luas panen 934 Hektar dengan produksi sebesar 4.827 ton. Sampai akhir tahun 2007 areal tanaman perkebunan dan produksi untuk tanaman kelapa masing‐masing adalah 10.048 Hektar dan 7.387 ton, cengkeh memiliki luas areal sebesar 1.423 Hektar dengan hasil produksi 1.258 ton, kakao memiliki luas areal seluas 2.737 Hektar dengan hasil produksi sebesar 1.177,5 ton, dan pala memiliki luas areal seluas 8.517. Luas areal hutan di Kabupaten Halmahera Tengah adalah 209.500 Hektar, terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan konversi dan areal penggunaan lain. Luas areal penggunaan lain di Kabupaten Halmahera Tengah adalah 15.250 Hektar. Penangkapan ikan di perairan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah menghasilkan berbagai jenis ikan konsumsi bernilai ekonomis penting. Produksi perikanan di Kabupaten Hamahera Tengah pada tahun 2007 adalah 16.380,1 ton dengan nilai Rp. 133.377.150,00 Ikan hasil tangkapan tersebut didaratkan di Kabupaten Halmahera Tengah dalam bentuk ikan segar sebanyak 1.537,5 ton dan ikan kering sebanyak 455 ton.
A.5. Kabupaten Halmahera Selatan
Kabupaten Halmahera Selatan sebagai daerah otonom yang baru dimekarkan dari Kabupaten Maluku Utara (sekarang Halmahera Barat) Provinsi Maluku Utara sesuai dengan Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2003, terletak antara 126° 45’ bujur timur dan 129° 30’ bujur timur dan 0° 00’ lintang utara. Kabupaten Halmahera Selatan terletak di kawasan timur Indonesia, tepatnya berbatasan dengan : a. Sebelah utara dibatasi oleh Kota Tidore Kepulauan dan Kota Ternate; b. Sebelah selatan dibatasi oleh Laut Seram; c. Sebelah timur dibatasi dengan Laut Halmahera; d. Sebelah barat dibatasi Laut Maluku.
Luas wilayah Kabupaten Halmahera Selatan adalah 8.126,54 km², yang terdiri dari daratan seluas 753,23 km² (9%) dan luas lautan sebesar 7.373.32 km² (91%). Berdasarkan PERDA No. 8 Tahun 27 Kecamatan dalam wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Selatan menjadi 30 kecamatan dimana semula berdasarkan UU No. 1 Tahun 2003 terdiri atas 9 kecamatan antara lain : Kecamatan Bacan 281,38 km²,
Kecamatan Bacan Barat 166,95 km², Kecamatan Bacan utara 244,67 km², Kecamatan Bacan Selatan 156,27 km², Kecamatan Bacan Timur 428,04 km², Kecamatan Bacan Timur Selatan 296,56 km², Kecamatan Bacan Timur Tengah 255,14 km², Kecamatan Gane Barat 455,90 km², Kecamatan Gane Barat Selatan 233,23 km², Kecamatan Gane Barat Utara 463,31 km², Kecamatan Gane Timur 606, 48 km², Kecamatan Gane Timur Selatan 280,89 km², Kecamatan Gane Timur Tengah 285,98 km², Kecamatan Kasiruta Barat 252,10 km², Kecamatan Kasiruta Timur 228,96 km², Kecamatan Kayoa 80,92 km², Kecamatan Kayoa Barat 25,00km², Kecamatan Kayoa Selatan 24,07 km², Kecamatan Utara 36,22 km², Kecamatan Kep Batanglomang 51,54 km², Kecamatan Kep Joronga 137,54 km², Kecamatan Makian 51,25 km², Kecamatan Makian Barat 32,82 km², Kecamatan Mandioli Selatan 128,19 km², Kecamatan Mandioli Utara 89,39
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
32
km², Kecamatan Obi 991,02 km², Kecamatan Obi Barat 87,30 km², Kecamatan Obi Selatan 1.000,59 km², Kecamatan Obi Timur 587, 56 km², Kecamatan Obi Utara 148, 40 km².
Sebagai wilayah kepulauan , Kabupaten Halmahera memiliki daerah landai yang cukup luas. Kondisi jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Halmahera Selatan khususnya tiap Kecamatan secara umum terdiri dari : Jenis tanah Podsolik Merah Kuning, terdapat pada : Obi Bagian Timur dan Kepulauan Kayoa; Jenis tanah kompleks terdapat di Obi Bagian Tengah; Jenis Tanah Latosal terdapat pada Gane Timur, Gane Barat dan Bacan; Jenis Tanah Regusol yang terdapat pada Pulau Makian dan Pulau Obi dipesisir Utara sedangkan Jenis Tanah Alluvial terdapat pada Pulau Obi Bagian Barat.
Gambaran umum mengenai kondisi geologi, jenis batuan diwilayah Kabupaten Halmahera Selatan mempunyai komposisi yang sangat bervariasi, dimana terdiri dari batuan beku, sediment dan metamorf, karakteristik dan perebaran batuannya tertentu sesuai dengan daerah pembentukannya seperti : batuan beku di sebagian Pulau Makian sebagai hasil dari erupsi Gunung Kie Besi, Batuan sediment di Pulau Kayoa, Batuan residul di sebagian Pulau Obi serta batuan Skiss Metamorf di sebagian Pulau Bacan dan sebagainya.
Tekstur tanah adalah perbandingan ukuran partikel‐partikel kandungan tanah antara debu, tanah liat dan pasir dari satu contoh tanah. Tekstur berpengaruh langsung terhadap unsure hara, drainase dan kepekaan terhadap erosi. Juga sangat berpengaruh terhadap pengelolaan tanah dan pertumbuhan tanaman terutama dalam hal mengatur kandungan udara dalam rongga tanah, persediaan dan kecepatan peresapan air di daerah tersebut, dimana hal itu sangat berperan dalam mudah tidaknya lapisan tanah diolah. Definisi tekstur dapat diartikan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, yaitu menggambarkan halus, sedang dan kasar sedangkan secara kuantitatif tekstur ini menggambarkan susunan relative berat fraksi‐fraksi yaitu pasir, debu dan tanah liat.
Kabupaten Halmahera Selatan merupakan Kabupaten Kepulauan yang dicirikan oleh wilayah perairannya jauh lebih luas dari wilayah daratannya dengan jumlah pulau yang sangat banyak. Hasil survey Toponimi yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara dan Halmahera Selatan tahun 2007 mengindentifikasi jumlah pulau di wilayah administrative Kabupaten Halmahera sekitar 371 pulau. Jika merujuk pada pasal 1 ayat 3 undang‐undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil, maka Kabupaten Halmahera Selatan hanya memiliki dua pulau yang tidak tergolong pulau kecil, yaitu pulau Obi dan Pulau Bacan. Kedua pulau ini memiliki luas lebih dari 2.000 km² yaitu 3.111 km² dan 2.053 km². dengan demikian pulau‐pulau kecil di Kabupaten Halmahera Selatan adalah 269 pulau.
Dilihat dari peruntukannya, sebanyak 41 pulau memiliki penduduk, baik yang sifatnya menetap maupaun penduduk musiman atau temporer. Beberapa pulau yang tidak berpenghuni dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya laut khususnya budidaya mutiara, dan juga dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Hasil identifikasi pulau juga diketahui bahwa terdapat 33 pulau yang belum bernama, sedangkan yang sudah bernama sebanyak 338 pulau. Hal ini berarti selain kedua pulau tersebut di atas, maka seluruh pulau di Kabupaten Halmahera Selatan merupakan pulau kecil. Berikut disajikan beberapa pulau yang memiliki luas lebih besar dibandingkan pulau‐pualu lainnya.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
33
B. Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara
Dari perspektif ketersediaan regulasi terkait penataan ruang wilayah Provinsi Maluku Utara pada 4 (empat) wilayah penelitian saat ini telah menyusun rencana tata ruang wilayah dan telah di konsultasikan bahkan mendapat persetujuan dari menteri terkait yakni Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Kehutanan. Dari hasil wawancara teridentifikasi bahwa untuk Kota Tidore Kepulauan saat ini telah mengajukan revisi perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah karena harus menunggu persetujuan Menteri Kehutanan terkait penetapan luas kawasan hutan (rencana pengembangan kawasan hutan lindung dan hutan produksi). Kota Ternate baru mengajukan Dokumen Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah ke Menteri Pekerjaan Umum cq Dirjen Penataan Ruang untuk mendapatkan persetujuan substansi. Sedangkan RTRW Kabupaten Halmahera Selatan saat ini telah selesai dibahas dalam rapat Koordinasi anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Secara khusus, dokumen RTRW Kabupaten Halmahera Tengah saat ini telah mendapat ijin substansi dari Menteri Pekerjaan Umum. Dalam skala Provinsi, RTRW Provinsi Maluku Utara saat ini belum dirampungkan dokumen revisi untuk diajukan kembali ke Dirjen Penataan Ruang. Hal ini menjadi kendala bagi Kabupaten/Kota yang telah mendapatkan persetujuan substansi untuk menindaklanjutinya melalui penetapan Peraturan Daerah Tentang RTRW karena harus dilakukan penyesuaian dengan RTRW Provinsi sebagaimana amanat Pasal 25 UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa penyusunan rencana tata ruang wilayah Kabupaten mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi.
B.1 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan Strategis
Provinsi Maluku Utara
Berdasarkan Undang‐undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang kuat dalam menyusun kebijaksanaan pembangunan daerah. Terkait dengan hal tersebut, akan ditempuh pendekatan pembangunan daerah baik pembangunan sektoral maupun pengembangan penataan ruang.
Dalam kegiatan penataan ruang digunakan pendekatan pengembangan wilayah. Wilayah sebagai ajang pembangunan, pengembangannya didasarkan pada satuan geografi dan seluruh unsur yang terkait dengannya, dimana batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi atau aspek fungsional. Berdasarkan aspek fungsional, di Provinsi Maluku Utara telah berkembang hubungan interaksi desa‐kota yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Perkembangan wilayah perkotaan sampai saat ini telah memunculkan adanya skala dan hierarki atau wilayah perkotaan atau kota. Secara fungsional, di Provinsi Maluku Utara terdapat wilayah perkotaan meliputi Kawasan Ternate, Tidore, Sofifi dan Sidangoli, Jailolo, Tobelo, Galela, Daruba, Maba/Buli, Weda, Labuha, Laiwui, Falabisahaya dan Sanana. Wilayah dengan fungsi kota atau perkotaan tersebut secara administratif diantaranya merupakan kota, yaitu Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan. Sedangkan perkotaan lainnya secara fungsional merupakan ibukota Kabupaten dan/atau pusat Kecamatan. Sedangkan pada hierarki yang lebih rendah, diantaranya terdapat Ibukota Kecamatan lainnya maupun Ibukota Kecamatan Pemekaran, serta Ibukota Kecamatan Persiapan.
Penataan ruang di Prov ins i Maluku Utara dapat dipandang sebagai sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah berdimensi kepulauan yang bertujuan untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan, oleh sebab itu dalam setiap tahap penataan ruang (yang terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang), harus diperhatikan prinsip‐prinsip karaktersitik daerah kepulauan dan wilayah pesisir. Hal tersebut secara garis besar telah ditetapkan sebagai kebijakan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
34
Ruang Wilayah Nasional.
Penataan Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara pada dasarnya mengakomodasi tujuan dan sasaran pembangunan daerah, dikaitkan dengan potensi, serta kendala dan limitasi pengembangan yang dihadapi. Konsep penataannya tidak terlepas dari tujuan pengembangan wilayah yang pada dasarnya selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Konsep pengembangan tata ruang wilayah provinsi Maluku Utara merupakan struktur umum ruang wilayah provinsi dalam kerangka pengembangan potensi dan mengatasi permasalahan pokok wilayah untuk mendorong perwujudan tujuan pengembangan tata ruang, yang memperlihatkan garis besar kondisi sistem kegiatan sosial‐ekonomi berupa: pusat‐pusat permukiman utama, lokasi pengembangan kegiatan‐kegiatan utama pembentuk ruang, keterkaitan antarkawasan, dan orientasi ekspor.
Selain berfungsi sebagai arahan lokasi investasi di wilayah, RTRWN juga berfungsi sebagai pedoman bagi Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Maluku Utara menyelenggaraan penataan ruang di wilayahnya. Dengan demikian, kebijakan dan strategi terkait pengelolaan pola ruang, struktur ruang dan kawasan strategis yang temuat dalam RTRW Provinsi Maluku Utara berlaku dan menjadi dasar dan pedoman dalam konteks penataan ruang di kabupaten/kota. Pada saat ini RTRW Provinsi Maluku Utara masih dalam tahap rancangan peraturan daerah, karena RTRW Provinsi Maluku Utara sudah mendapat pengesahan/persetujuan dari menteri, sehingga diharapkan dalam penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang tengah dalam proses revisi memperhatikan daerah‐daerah kepulauan yang dimiliki oleh sebagian besar wilayah di Indonesia. Pada bagian ini akan disampaikan pokok‐pokok kebijakan dan strategi terkait dengan pengelolaan pola ruang, struktur ruang dan kawasan strategis yang telah disepakati sebagai substansi RTRW Provinsi Maluku Utara yang berdimensi kepulauan.
Sebagaimana termuat dalam Buku Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara Tahun 2007‐2027 dirumuskan Visi penataan ruang yang merupakan penjabaran visi Provinsi Maluku Utara yakni ”Terwujudnya Tata Ruang Provinsi Maluku Utara yang berbasis pada sumber daya dan pengembangan berdasarkan gugus pulau menuju masyarakat Maluku Utara yang sejahtera”. Visi ini dijabarkan dalam Misi Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara, sebagai berikut: (1) Menciptakan keserasian pelestarian kawasan lindung dan pemanfaatan kawasan
budidaya, dengan berbasis pada mitigasi bencana; (2) Mengembangkan potensi sumberdaya alam secara optimal dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup; (3) Meningkatkan dan mengembangkan prasarana wilayah secara berkelanjutan, membuka
daerah‐daerah terisolir dan membuka kantong‐kantong produksi baru; (4) Menata pusat‐pusat pengembangan sesuai dengan daya dukung dan kapasitas wilayah
dan kondisinya sebagai provinsi gugus pulau dengan dukungan sistem jaringan transportasi yang memadai.
Dalam RTRW kebijakan strategi penataan ruang Provinsi Maluku Utara meliputi: (a) kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara; (b) kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang wilayah Provinsi Maluku Utara; (c) kebijakan dan strategi penetapan kawasan strategis Provinsi Maluku Utara; (d) kebijakan dan strategi pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Maluku Utara.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
35
B.1.1 Kebijakan Rencana Struktur Ruang Provinsi Maluku Utara
Pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara dilakukan dengan konsep pendekatan ‘Gugus Pulau’ dengan pembagian berdasarkan kesamaan ekosistem dan sosial budaya (kependudukan), transportasi, potensi sumberdaya alam dan perekonomian. Pendekatan ini dilakukan dengan maksud untuk mengoptimalkan pengembangan wilayah‐wilayah di Provinsi Maluku Utara. Pendekatan gugus pulau ini masih cukup efektif untuk dilakukan dalam pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Maluku Utara dan diharapkan dapat mengurangi bahkan menghindarkan potensi konflik antar wilayah. 1. Masing‐masing gugus pulau ini nantinya diharapkan dapat menjadi wilayah yang mandiri
dan mampu memenuhi kebutuhan utama wilayahnya masing‐masing dengan mengandalkan potensi yang dimiliki. Kemandirian gugus pulau ini mencakup aksesibilitas yang baik secara internal Gugus Pulau maupun eksternal terhadap gugus pulau yang lain, mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya, mampu mengembangkan potensi yang dimiliki secara berkelanjutan.
2. Kebijakan Pengembangan Struktur Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara: 3. pengembangan tata ruang makro; 4. pengembangan struktur ruang gugus pulau; 5. pengembangan sistem pusat permukiman perkotaan dan perdesaan; 6. pengembangan sistem kota‐kota; 7. peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang
merata dan berhierarki; 8. pengembangan dan peningkatan kualitas jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana
transportasi; 9. pengembangan dan peningkatan kualitas jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana
energi; 10. pengembangan dan peningkatan kualitas jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana
telekomunikasi; dan
11. pengembangan dan peningkatan kualitas jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana sumber daya air.
Kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi pengembangan tata ruang makro; yakni: (1) mengembangkan pusat‐pusat orientasi pelayanan di 8 gugus Pulau dan mengembangkan kota‐kota kabupaten sebagai pusat pertumbuhan. Peningkatan fungsi kota ini perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan jangkauan pelayanan kota‐kota tersebut sesuai dengan fungsi pelayanan masing‐masing; (2) meningkatkan akses antara ibukota provinsi dengan kota‐kota orientasi pelayanan wilayah pengembangan maupun kota‐kota kabupaten lainnya dan juga dengan wilayah sekitarnya melalui pengembangan sistem jaringan transportasi baik darat, laut, maupun udara, seperti sistem transportasi yang dikembangkan antar pusat kegiatan nasional dan pusat kegiatan wilayah, yaitu Kota Ternate, Kota Soasio, Kota Sofifi dengan kota‐kota lain utamanya pusat kegiatan nasional di luar Provinsi Maluku Utara seperti Kota Ambon, Kota Manado, dan Kota Sorong adalah transportasi udara dan laut, karena dari ketiga kota ini dipisahkan oleh laut dalam dan luas. Antara pusat kegiatan wilayah (Kota‐kota Ternate, Soasio, Sofifi) dengan pusat kegiatan lokal, seperti Jailolo, Tobelo, Weda, Labuha, Sanana, Maba, dikembangkan kombinasi antar sistem transportasi darat, penyeberangan, laut dan udara, tergantung kondisi geografisnya, misalnya sistem transportasi yang dikembangkan adalah kombinasi antara, darat, laut dan udara. Untuk kota ‐ kota pusat kegiatan lokal yang terletak dalam satu pulau, seperti Kota‐kota Weda, Maba, Jailolo, Tobelo, sistem transportasi yang dikembangkan adalah transportasi darat, sedangkan antar pusat kegiatan lokal yang terpisah oleh laut namun jaraknya relatif dekat seperti Kota‐kota Tobelo‐Daruba, Ngofakiaha‐Weda dikembangkan sistem transportasi laut dan penyeberangan. Sedang antar pusat kegiatan lokal yang terpisah oleh laut dengan jarak yang cukup jauh dikembangkan sistem transportasi laut dan udara; (3) meningkatkan peran kota‐kota yang berfungsi sebagai pintu keluar/masuk
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
36
menuju provinsi lainnya melalui penyediaan prasarana dan sarana dasar wilayah serta jaringan transportasi yang menghubungkan wilayah Provinsi dengan wilayah pelayanannya serta wilayah provinsi lainnya; (4) meningkatkan pelayanan kota‐kota yang befungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN), serta kota‐kota lain yang berfungsi sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Pengembangan diarahkan pada penyediaan prasarana dan sarana dasar wilayah sesuai dengan fungsi dan peran kota‐kota agar terjadi pemerataan pelayanan.
Kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi pengembangan struktur ruang gugus pulau yakni: (1) mengembangkan gugus pulau sesuai dengan kriteria yang berlaku; (2) meningkatkan fungsi dan peran pusat‐pusat gugus pulau yang ada; (3) mengembangkan prasarana dan sarana dasar yang dibutuhkan pada setiap gugus pulau; (4) mengembangkan keterkaitan antar gugus pulau yang berdekatan; (5) mengembangkan keterkaitan prasarana dan sarana antar gugus pulau untuk memenuhi kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Sedangkan kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi pengembangan sistem perkotaan, yakni: (a) memperkuat keterkaitan ekonomi dan spasial di dalam wilayah daratan di pulau‐pulau besar serta pulau‐pulau kecil; (b) pengembangan wilayah daratan agar dapat membentuk suatu kesatuan ekonomi spasial yang solid serta efesien dalam hal penyediaan prasarana wilayah; (c) memperkuat fungsi‐fungsi yang sudah ada di kota‐kota yang terpilih sebagai pusat‐pusat pertumbuhan, agar terbentuk kesatuan sistem yang mempunyai hierarki dan fungsi ruang saling mengisi; (d) mengembangkan keterkaitan antar kota secara fungsional yang dilakukan dengan pengembangan fungsi pelayanan kota yang terintegrasi antara ibukota Provinsi, ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan; (e) mengembangkan keterkaitan secara tata ruang yang dilakukan dengan meningkatkan aksesibilitasnya terutama dengan pengembangan jaringan jalan; (f) mengembangkan dan meningkatkan fungsi ibukota kabupaten terutama sebagai pusat wilayah belakangnya; (g) mengarahkan kota‐kota menjadi pusat kegiatan koleksi dan distribusi bagi wilayah belakang, berdasarkan kondisi potensi‐potensi sumber daya alam yang khas sehingga dapat menjadi suatu keunggulan komperatif yang dapat meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakatnya; (h) mengembangkan kota‐kota sebagai pusat pelayanan yang berhierarki agar tercapai efisiensi dalam pembiayaan pembangunan fasilitas, dan dengan memperhatikan faktor kedekatan gugus pulau sehingga dapat lebih memperluas cakupan pelayanan kota‐kota tersebut. Tabel 3.1 menguraikan mengenai rencana sistem perkotaan di Provinsi Maluku Utara :
Tabel 3.1 Rencana Sistem Perkotaan Provinsi Maluku Utara
No Hirarki
Gugus Pulau (Wilayah Pemba‐ngunan)
Kota/ Ibukota
Kabupaten/ Kecamatan
Skala Pelayanan
A B C D E F
Fungsi Kewenangan
1. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) 1 Ternate Nasional Provinsi * * * * *
2. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
1 Tidore (Soasio) Provinsi Provinsi * * * *
3 Tobelo, Provinsi Provinsi * * *
6 Labuha Provinsi Provinsi * * *
7 Sanana Provinsi Provinsi * * *
3. Pusat Kegiatan Strategis
Nasional (PKSN) 4 Daruba Nasional Nasional * * * *
4.
Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang diusulkan menjadi PKW
sampai akhir tahun perencanaan
1 Sofifi Regional Provinsi * * * *
2 Sidangoli, Regional Kabupaten * * *
2 Jailolo Regional Kabupaten * * *
5 Weda Regional Kabupaten * * *
8 Bobong Regional Kabupaten * * *
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
37
No Hirarki
Gugus Pulau (Wilayah Pemba‐ngunan)
Kota/ Ibukota
Kabupaten/ Kecamatan
Skala Pelayanan
A B C D E F
Fungsi Kewenangan
5 Maba Regional Kabupaten * * *
5. Pusat Kegiatan Lokal (PKL)
3 Galela Regional Kabupaten * * *
4 Bere‐Bere Regional Kabupaten * * *
4 Wayabula Regional Kabupaten * * *
3 Kao Regional Kabupaten * * *
3 Malifut Regional Kabupaten * * *
2 Kedi Regional Kabupaten * * *
2 Tongutesungi Regional Kabupaten * * *
2 Susupu Regional Kabupaten * * *
5 Buli Regional Kabupaten * * *
5 Payahe Regional Kabupaten * * *
5 Patani Regional Kabupaten * * *
5 Subaim Regional Kabupaten * * *
6 Guruapin Regional Kabupaten * * *
5 Lelief Regional Kabupaten * * *
6 Mafa Regional Kabupaten * * *
6 Saketa Regional Kabupaten * * *
6 Babang Regional Kabupaten * * *
7 Falabisahaya Regional Kabupaten * * *
7 Dofa Regional Kabupaten * * *
5 Pulau Gebe Regional Kabupaten * * *
Sumber : RTRW Provinsi Maluku Utara 2007‐2027. Keterangan: Fungsi Kota meliputi : A : Pusat administrasi Provinsi/Kabupaten B : Pusat perdagangan, jasa dan pemasaran C : Pusat perhubungan dan Komunikasi D : Pusat produksi pengolahan E : Pusat pelayanan sosial (kesehatan, pendidikan dan lainnya) F : Pusat pendidikan tinggi
Begitu juga dengan kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi pengembangan sistem pusat pemukiman perkotaan dan perdesaan, yakni: (a) mengembangkan pusat‐pusat permukiman sesuai dengan fungsi dan peran masing‐masing kota; (b) menyediakan prasarana dan sarana pendukung pusat permukiman perkotaan dan perdesaan sesuai fungsi masing‐masing; (c) mengembangkan interaksi desa‐kota yang saling menguntungkan.
Kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki yakni: (a) menjaga keterkaitan antarkawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah sekitarnya; (b) mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan; (c) menjaga kota‐kota pantai dari bencana tsunami melalui manajemen resiko bencana; (d) mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
38
Kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi pengembangan dan peningkatan kualitas jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana transportasi: (1) meningkatkan kualitas jaringan prasarana transportasi dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut dan udara agar dicapai pemerataan pembangunan, dengan melihat tingkatan kepentingan dan potensi kota‐kota yang bersangkutan; (2) mengembangkan sistem jaringan prasarana transportasi wilayah agar dicapai keterkaitan antar pusat‐pusat permukiman di provinsi; (3) mengembangkan sistem jaringan prasarana transportasi wilayah untuk membuka wilayah terisolir; (4) mengembangkan sistem jaringan transportasi wilayah untuk mendukung kegiatan evakuasi bila terjadi bencana alam; (5) mengembangkan prasarana perhubungan laut dengan meningkatkan keterkaitan intra‐regional yaitu hubungan antar‐pelabuhan dalam provinsi serta keterkaitan inter‐regional yaitu hubungan antara pelabuhan dalam provinsi dengan pelabuhan yang ada di luar provinsi; (6) mengembangkan fungsi pelabuhan‐pelabuhan laut untuk mendukung pengembangan wilayah terutama yang erat kaitannya dengan pusat‐pusat pengembangan; (7) mengembangkan prasarana perhubungan darat untuk meningkatkan keterkaitan intra pulau besar maupun pulau kecil; (8) pengembangan jaringan jalan untuk meningkatkan aksesibilitas antara pusat‐pusat produksi dengan daerah pemasaran; mendukung pengembangan daerah pedalaman; (9) memperlancar perhubungan antar kota; serta mendukung pengembangan sektor lainnya; (10) pengembangan prasarana perhubungan udara untuk menciptakan hubungan dan keterkaitan antara pusat‐pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan, baik di dalam provinsi maupun dengan daerah di luar provinsi serta untuk meningkatkan akses udara pada wilayah‐wilayah yang didorong perkembangannya maupun pada wilayah‐wilayah yang masih sulit dijangkau; (11) optimalisasi fungsi bandar udara Provinsi, pengembangan bandara‐bandara lokal, serta bandara‐bandara perintis. Tabel 3.2 memberikan gambaran perencanaan jaringan jalan di provinsi Malut.
Tabel 3.2 Rencana Jaringan Jalan Provinsi Maluku Utara Nomor Ruas
Nama Ruas Gugus Pulau
Status Panjang (Km)
Kabupaten Halmahera Utara 039.1 Daruba – Daeo 4 N 25,59039.2 Daeo – Berebere 4 N 68,00.034 Podiwang – Tobelo 3 N 47,86.035 Tobelo – Galela 3 N 27,02.036 Kao – Podiwang 3 N 32,90.037 Galela ‐ Lapangan Terbang 3 N 10,87038.2 Basso – Kao 3 N 71,49
Kabupaten Halmahera Barat 038.1 Sidangoli (Dermaga Ferry) ‐ Basso 2, 5 N 23,23043.1 Simpang Dodinga‐Akelamo (KM60) 2, 5 N 63,01054.1 Basso ‐ Simpang Dodinga 2, 5 N 2,67033.1 Jailolo – Goal 2 P 21,19
054.1 Simpang Dodinga‐Dodinga (Dermaga Ferry)
2P 3,30
030.1 Simpang Dodinga‐ Bobaneigo 2, 5 P 3,32033.2 Simpang Dodinga‐Jailolo 2 P 32,40
Kota Tidore Kepulauan .029 Payahe – Weda 1 N 24,5043.2 Akelamo (KM60) – Payahe 1 N 52,47.021 Keliling Pulau Tidore 1 P 29,19 Kabupaten Halmahera Timur
059.1 Subaim – Buli 5 P 60,00059.2 Buli – Gotowase 5 P 45,00
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
39
Nomor Ruas
Nama Ruas Gugus Pulau
Status Panjang (Km)
030.1 Bobaneigo ‐ Ekor 5 P 41,81030.2 Ekor – Subaim 5 P 52,47
Kabupaten Halmahera Tengah 058.1 Weda – Sagae 5 P 50,00058.2 Sagae ‐ Gotowase 5 P 60,00
Kabupaten Halmahera Selatan.028 Labuha ‐ Babang 6 P 18,32 Saketa ‐ Mautiting 6 K 21,00 Mautiting ‐ Mafa 6 K 43,00 Mafa ‐ Weda 5, 6 K 50,00 Kota Ternate
.032 Keliling Pulau Ternate 1 N 8,60 Kabupaten Kepulauan Sula
.026 Sanana ‐ Manaf 7 P 31,86
.027 Sanana ‐ Pohea 7 P 12,05Sumber : RTRW Provinsi Maluku Utara 2007‐2027. Keterangan : N : Jalan Nasional; P : Jalan Provinsi; K : Jalan Kabupaten.
Sedangkan kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi pengembangan dan peningkatan kualitas jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana energi yakni: (1) pengembangannya prasarana energi untuk mendukung pengembangan kawasan‐kawasan yang potensial bagi pengembangan perindustrian dan pertambangan serta kawasan permukiman penduduk; (2) mengembangkan jaringan prasarana energi listrik di pusat‐pusat permukiman, pusat‐pusat produksi, dan pusat‐pusat distribusi sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya; (3) meningkatkan jaringan energi untuk memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik.
Rencana sistem jaringan Energi dan Kelistrikan di Provinsi Maluku Utara dimaksudkan untuk menunjang kegiatan sosial, ekonomi, pertahanan keamanan di kawasan budidaya dan pusat permukiman. Pengembangan jaringan kelistrikan diselaraskan dengan pengembangan pusat perkotaan, pusat produksi, dan pusat distribusi sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya, serta mengacu pada RTRWN.
Rencana peningkatan jaringan dan pelayanan listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Provinsi Maluku Utara adalah dalam bentuk: (1) Peningkatan dan penambahan kapasitas daya listrik yang ada saat ini untuk
mengantisipasi meningkatnya kebutuhan listrik pada masa mendatang, baik kebutuhan listrik rumah tangga (domestik) maupun kebutuhan listrik non domestik (sarana umum, seperti: industri, perkantoran; penerangan jalan umum; dan fungsi lainnya);
(2) Sedapat mungkin meminimalkan jumlah gangguan serta meningkatkan pelayanannya. (3) Mempercepat dan mempermudah prosedur permohonan berlangganan bagi masyarakat,
terutama bagi masyarakat di perdesaan yang belum terlayani jaringan listrik PLN;
Rencana pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik di Provinsi Maluku Utara untuk menyalurkan tenaga listrik antarsistem yang menggunakan kawat saluran udara dengan kemampuan 150 KV. Pembangkit tenaga listrik yang dikembangkan di Provinsi Mjaluku Utara dapat merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan atau sumberdaya listrik berbasis sumberdaya lokal utamanya pada pulau‐pulau
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
40
kecil dan daerah terpencil, yang dikelola oleh PLN maupun pihak swasta atau masyarakat.
Penambahan energi listrik sampai akhir tahun perencanaan sebesar 30% dari yang telah tersedia dan penyediaan energi listrik diarahkan untuk dapat lebih meningkatkan pertumbuhan wilayah di Provinsi Maluku Utara terutama pada bagian dari Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, yang selama ini relatif masih belum tersedia jaringan listrik yang memadai dibandingkan daerah lainnya. Penyediaan listrik permukiman di Provinsi Maluku Utara meliputi Kota Ternate, Tidore Kepulauan, kota‐kota di Kabupaten Halmahera Utara, dan Kabupaten Halmahera Selatan, dan akan menjadi wilayah prioritas bagi peningkatan pelayanan prasarana energi.
Begitu juga dengan kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi pengembangan dan peningkatan kualitas jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana telekomunikasi, yakni: (1) mengarahkan pengembangan untuk mendukung kawasan‐kawasan yang sulit dijangkau oleh prasarana perhubungan/transportasi, terisolir, dan rawan bencana alam, serta kawasan‐kawasan yang akan menjadi pusat‐pusat pengembangan wilayah (industri dan pariwisata); (2) mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi di kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta pada kawasan terisolasi dan kawasan strategis; (3) mengembangkan (a) Adi Marga Kepulauan (Archiepelagic Super Highway) yang menghubungkan seluruh ibukota provinsi dan kawasan pusat pertumbuhan regional dengan fasilitas jaringan tulang punggung, (b) Kota Multimedia (Multy media Cities) yang melayani kota‐kota pusat kegiatan ekonomi nasional dan (c) Pusat Akses Masyarakat Multimedia Nusantara (Nusantara Multy media Community Access Centers) yang melayani semua ibukota kecamatan.
Prasarana telekomunikasi adalah perangkat komunikasi dan pertukaran informasi yang dikembangkan untuk tujuan‐tujuan pengambilan keputusan baik untuk publik ataupun privat. Sistem jaringan telekomunikasi dibagi menjadi 2 (dua) kelompok meliputi kelompok jaringan sentral telekomunikasi yaitu sistem yang menghubungkan antar sentral‐sentral yang secara sistematis menunjukkan jenjang (hirarki) dari sentral utama (makro) ke sentral lokal (mikro) dan kelompok jaringan telepon yaitu sistem jaringan telepon yang menghubungkan antara sentral lokal (STO manual) dengan pelanggan yang secara sistematis menunjukkan jenjang dari kabel primer, kabel sekunder dan kaber tersier (pelanggan). Prasarana telekomunikasi yang dikembangan, meliputi: sistem kabel dan sistem seluler serta sistem satelit.
Rencana jaringan telekomunikasi disusun sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kemudahan pelayanan telekomunikasi bagi dunia usaha dan masyarakat. Rencana jaringan telekomunikasi Provinsi Maluku Utara adalah: (1) Sistem jaringan diarahkan sebagai gabungan antara jaringan pelayanan telekomunikasi yang disiapkan pemerintah dan yang dibangun swasta; (2) Cakupan pelayanan yang seluas mungkin dengan pelayanan yang optimal, dan terus ditingkatkan perkembangannya hingga mencapai pelosok wilayah yang belum terjangkau dan wilayah terisolir; (3) Mengintegrasikan pengembangan sistem jaringan telekomunikasi dengan sistem jaringan transportasi sehingga semua kawasan yang memiliki tingkat aksesibilitas akan didukung oleh pelayanan jaringan telekomunikasi; (4) Penempatan telepon umum perlu diarahkan pada ibu kota provinsi, ibukota kabupaten, pusat kecamatan dan pusat‐pusat desa.
Kawasan pengembangan/peningkatan pelayanan sistem jaringan telekomunikasi meliputi: (1) Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yaitu Kota Ternate; (2) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); (3) Pusat Kegiatan Lingkungan (PKL); (4) Kota‐kota kecamatan; (5) Kawasan permukiman; (6) Kawasan perdagangan jasa, industri dan pertambangan.
Demikian juga kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi strategi pengembangan dan peningkatan kualitas jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana sumber daya air, yakni: (1) mengarahkan pengembangan sumberdaya air
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
41
untuk mendukung pengembangan usaha pertanian tanaman pangan, terutama persawahan lahan basah dan pasang surut mendukung perkebunan pada wilayah‐wilayah potensial bagi kegiatan pertanian; (2) meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumberdaya air; (3) mengembangkan sistem jaringan sumberdaya air pada kawasan potensial untuk kegiatan pertanian tanaman pangan yang dapat mendukung swasembada pangan; (4) memenuhi kebutuhan air baku bagi penyediaan air untuk keperluan pengairan, air minum dan air industri.
Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air di Provinsi Maluku Utara merupakan rencana pengembangan wilayah sungai skala provinsi. Pengembangan sistem jaringan sumber daya air Provinsi Maluku Utara mencakup konservasi dan pendayagunaan sumber daya air serta pengendalian daya rusak air.
Konservasi sumber daya daya air dapat dilakukan dengan cara mengamankan daerah tangkapan air, sehingga pada musim kemarau tidak terjadi kekeringan. Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya air yang tersedia. Potensi sumberdaya air di Provinsi Maluku Utara dapat dikembangkan untuk pembangkit tenaga listrik perdesaan atau daerah‐daerah terpencil dengan menggunakan sistem pembangkit listrik Mikro Hidro. Selain itu, sumber daya air berperan untuk mendukung pengembangan usaha pertanian tanaman pangan, sawah lahan basah dan pasang surut, dan juga bagi usaha perkebunan. Pengendalian daya rusak air dapat dilakukan dengan mengadakan pengawasan dan memberikan sanksi kepada pihak‐pihak yang membuang limbah yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap badan air/sungai di Provinsi Maluku Utara.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
42
Gambar 3.1 Peta Struktur Ruang Provinsi Maluku Utara
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
43
B.1.2 Kebijakan Rencana Pola Ruang Provinsi Maluku Utara Di samping strategi pengembangan struktur ruang di Provinsi Maluku Utara juga
mengembangkan pola ruang yang disesuaikan dengan pola ruang nasional. Kebijakan pengembangan pola ruang wilayah Provinsi Maluku Utara merupakan pengembangan tata ruang mikro di Provinsi Maluku Utara, yang meliputi kebijakan pengembangan kawasan lindung dan kebijakan pengembangan kawasan budidaya.
1. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Lindung
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan guna pembangunan berkelanjutan. Kebijakan pengembangan kawasan lindung meliputi: a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup; c. pemantapan dan pengendalian kawasan lindung.
Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi: a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
di dalam bumi; b. pemantapan kawasan hutan lindung berdasarkan Keppres No. 32/1990 melalui
pengukuhan dan penataan batas di lapangan untuk memudahkan pengendaliannya; c. memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terutama berkaitan dengan
fungsi hidrologis untuk pencegahan banjir, menahan erosi dan sedimentasi, serta mempertahankan fungsi peresapan bagi air tanah.
d. memberikan perlindungan pada kawasan yang berada pada ketinggian 1.000 M d.p.l dengan kelerengan lebih dari 40 persen bercurah hujan tinggi, dan mampu meresapkan air ke dalam tanah, termasuk di dalamnya kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung;
e. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya;
f. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah;
g. pengembalian fungsi hidro‐orologi kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan (rehabilitasi dan konservasi);
h. melindungi kawasan yang berfungsi sebagai suaka alam dan margasatwa untuk melindungi keanekaragaman hayati, ekosistem dan keunikan alam;
i. melindungi dan menjaga kawasan rawan bencana, yaitu kawasan yang sering mengalami bencana alam seperti gerakan tanah, longsoran, runtuhan, banjir bandang dan rayapan;
j. melindungi kawasan yang berfungsi melestarikan fungsi badan perairan dan kerusakan oleh kegiatan budidaya. Termasuk sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota;
k. melindungi kawasan cagar budaya yaitu kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun yang memiliki bentuk geologi alami yang khas;
l. melindungi pulau‐pulau kecil dengan luasan maksimal 10 Km2 agar tetap lestari; m. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung pada kawasan lindung yang
pemanfaatan ruangnya telah berubah menjadi kawasan perkebunan dan pertanian;
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
44
n. pencegahan dilakukannya kegiatan budidaya, kecuali kegiatan yang tidak menganggu fungsi lindung;
o. pemantauan terhadap kegiatan yang diperbolehkan berlokasi di hutan lindung (antara lain penelitian, eksplorasi mineral dan air tanah, pencegahan bencana alami) agar tidak menganggu fungsi lindung.
p. pencegahan dilakukannya kegiatan budidaya di sepanjang pantai yang dapat mengganggu kelestarian fungsi pantai;
q. pengendalian kegiatan di sekitar sempadan pantai; r. pengembalian fungsi lindung pantai yang mengalami kerusakan s. pencegahan dilakukannya kegiatan budidaya bagi perlindungan kawasan dapat
mengganggu atau merusak kualitas air, kondisi fisik dan dasar sungai serta alirannya; t. pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar sungai; u. pengamanan daerah aliran sungai. v. pencegahan dilakukannya kegiatan budidaya disekitar danau yang dapat mengganggu
fungsi danau (terutama sebagai sumber air dan sumber energi listrik); w. pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar danau; x. pengamanan di daerah hulu.
Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup; b. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk dari tekanan perubahan dan/atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkanperubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
e. mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
f. mengelola sumberdaya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Strategi untuk pemantapan dan pengendalian kawasan lindung meliputi : a. Melakukan pemantapan dan pengendalian kawasan lindung yang ada di Provinsi Maluku
Utara yang meliputi kawasan Taman Nasional, cagar alam, cagar budaya, serta kawasan‐kawasan lain yang teridentifikasi sebagai kawasan lindung, termasuk kawasan rawan bencana.
b. Pemantapan dan pengendalian dilakukan agar fungsi kawasan lindung dalam pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan serta nilai sejarah dan atau budaya bangsa dapat dipertahankan.
2. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya
Kebijakan pengembangan kawasan budidaya di Provinsi Maluku Utara meliputi: a. Menetapkan kawasan budi daya untuk pemanfaatan sumber daya alam; b. Memanfaatkan ruang untuk kegiatan budidaya di Provinsi Maluku Utara dilakukan secara
optimal sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
45
c. Mengupayakan optimasi pemanfaatan sumber daya wilayah sesuai dengan daya dukung lingkungan;
d. Perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budidaya; e. Pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan
daya tampung lingkungan.
Strategi pengembangan untuk menetapkan kawasan budi daya meliputi: a. Menetapkan kawasan budidaya untuk pemanfaatan sumber daya alam di darat maupun di
laut secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah; b. Mengembangkan kegiatan‐kegiatan budidaya beserta prasarana penunjangnya baik di
darat maupun di laut secara sinergi; c. Mengembangkan dan mempertahankan kawasan budidaya pertanian pangan daerah; d. Mengembangkan kegiatan untuk ketahanan budidaya pengelolaan sumber daya alam laut
yang bernilai ekonomi di ZEE dan atau landas kontinen. Strategi pengembangan untuk memanfaatkan ruang untuk kegiatan budidaya meliputi: a. Kawasan budidaya perkotaan, yaitu mengembangkan kawasan permukiman yang sudah
ada baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Pengembangan permukiman perlu memperhatikan aspek keselamatan mengingat Provinsi Maluku Utara sangat rentan terhadap bahaya bencana alam, baik bahaya gunungapi, gempa maupun tsunami. Pengembangan kawasan budidaya perkotaan didasarkan atas pertimbangan kemampuan lahan dan kesesuaian lahan bagi pembangunan dan pengembangan fisik perkotaan;
b. Kawasan budidaya hutan, yaitu mengembangkan sumberdaya alam hutan untuk peningkatan produksi hasil hutan kayu dan non kayu secara lestari, perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di sekitar kawasan hutan. Kawasan budidaya hutan produksi diarahkan pada peningkatan pengelolaan hutan alam tropis yang sudah ada dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) maupun Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) melalui Hak penguasaan Hutan (HPH) maupun Hutan Tanaman Industri (HTI);
c. Kawasan budidaya hutan produksi terbatas, yaitu meningkatan pengelolaan hutan alam tropis yang sudah ada pada kawasan yang memiliki limitasi dan kendala dalam daya dukung wilayah yang sangat terbatas dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan pembatasan‐pembatasan khusus lainnya yang berkaitan dengan masalah pelestarian dan perlindungan sumberdaya alam;
d. Kawasan budidaya pertanian pangan lahan basah, yaitu mengembangkan kawasan pada wilayah yang memiliki kesesuaian lahan optimal dan ketersediaan sarana dan prasarana irigasi. Pengembangan kawasan budidaya pertanian pangan lahan basah terutama diarahkan pada komoditas padi sawah melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi;
e. Kawasan budidaya pertanian pangan lahan kering yang pengembangannya diarahkan pada kawasan pada wilayah yang memiliki kesesuaian lahan optimal dan prospektif bagi pengembangan tanaman palawija, holtikultura atau tanaman pangan lainnya. Pengembangannya diprioritaskan pada komoditas unggulan pertanian pangan lahan kering provinsi Maluku Utara seperti padi ladang, jagung, kacang‐kacangan, dan ubi‐ubian;
f. Kawasan budidaya perkebunan yaitu mengembangkan kawasan pada wilayah yang memiliki kesesuaian lahan optimal dan prospektif bagi pengembangan tanaman perkebunan atau tanaman tahunan perkebunan. Pengembangan kawasan budidaya perkebunan dilakukan melalui pengembangan perkebunan rakyat dan oleh perusahaan perkebunan besar. Pengembangan perkebunan rakyat perlu memperoleh perhatian lebih melalui upaya rehabilitasi, peremajaan, dan perluasan areal di sekitar perkebunan yang telah ada. Sasaran pembangunan kawasan budidaya perkebunan adalah peningkatan produksi dalam rangka ekspor, perluasan kesempatan kerja, peningkatan pemanfaatan pertanian dan pemeliharaan lingkungan hidup;
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
46
g. Kawasan budidaya peternakan yaitu mengembangkan kawasan peternakan terutama wilayah yang memiliki lokasi transmigrasi dan pusat‐pusat permukiman di perkotaan dan di perdesaan. Sasaran pengembangan kawasan budidaya peternakan adalah meningkatkan produksi dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat;
h. Kawasan budidaya perikanan yaitu mengembangkan kawasan budidaya perikanan pada lokasi‐lokasi yang sudah ada maupun lokasi potensial melalui pengembangan budidaya tambak ikan, udang, rumput laut, dan lainnya. Pengembangan kawasan budidaya perikanan wajib memperhatikan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari. Sasaran pengembangan kawasan budidaya perikanan adalah untuk meningkatkan produksi dalam rangka memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan pembinaan sumberdaya hayati perikanan;
i. Kawasan pertambangan yaitu mengembangkan kawasan pertambangan pada lokasi‐lokasi potensial pertambangan dengan memperhatikan aspek kelestarian dan daya dukung lingkungan serta arahan pemanfaatan ruang;
j. Kawasan industri yaitu mengembangkan aneka industri kecil yang sudah ada, serta mengembangkan industri besar dan menengah baru untuk mengolah bahan baku yang berasal dari hasil pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, dan hasil hutan. Sasaran pengembangan kawasan industri adalah untuk meningkatkan nilai tambah terhadap kegiatan produksi primer yang dihasilkan oleh masyarakat setempat. Untuk mencegah timbulnya dampak‐dampak negatif dari industri maka sebaiknya kawasan industri dialokasikan pada kawasan budidaya non pertanian dan non permukiman, terutama bagi industri skala menengah dan besar. Untuk industri yang memerlukan kedekatan dengan sungai, baik sebagai sumber air baku kegiatan industri maupun sebagai bahan penerima buangan yang bersifat cair, maka dapat berlokasi di dekat sungai yang bukan merupakan sumber air minum langsung maupun sumber air baku untuk air minum dengan terlebih dahulu melakukan pengolahan air buangan. Sementara industri kecil dan rumah tangga dapat berbaur dengan kegiatan permukiman, perdagangan dan pertanian dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan hidup;
k. Kawasan pariwisata yaitu mengembangkan pariwisata alam antara lain wisata pantai, taman laut, wisata alam hutan dan panorama alam serta wisata budaya/sejarah di seluruh obyek wisata potensial dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
Kemudian kebijakan strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan di Provinsi Maluku Utara adalah sebagai berikut: (a) memberikan arahan pemanfaatan ruang kawasan budidaya secara optimal dan mendukung pembangunan berkelanjutan; (b) memberikan arahan untuk menentukan prioritas pemanfaatan ruang antar kegiatan budidaya yang berbeda; (c) memberikan arahan bagi perubahan jenis pemanfaatan ruang dari jenis kegiatan budidaya tertentu ke jenis lainnya; (d) membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana; (e) mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan; (f) membatasiperkembangan kawasan terbangun di kawasan perkotaan untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankanfungsi kawasan perdesaan di sekitarnya; (g) mengembangkan kegiatan budi daya yang dapat mempertahankan keberadaan pulau‐pulau kecil; (h) pengendalian pemanfaatan ruang kegiatan budidaya yang dapat mengganggu fungsi lindung; (i) penanganan masalah tumpang tindih antar kegiatan budidaya.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
47
Gambar 3.2 Peta Rencana Pola Ruang Provinsi Maluku Utara
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
48
B.1.3 Kebijakan Rencana dan Strategi Penetapan Kawasan Strategis Provinsi Maluku Utara
Kebijakan penetapan kawasan strategis Provinsi Maluku Utara meliputi: 1. Pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk
mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya;
2. Menunjang pertahanan keamanan nasional pada kawasan strategis yang berada di wilayah perbatasan;
3. Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam perekonomian provinsi yang produktif, efisien dan mampu bersaing dalam perekonomian nasional dan internasional;
4. Pemanfaatan sumberdaya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
5. Pengembangan kawasan cepat tumbuh untuk mendukung kawasan lain yang masih tertinggal;
6. Pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antar kawasan dan mempercepat pembangunan kawasan tersebut sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan kawasan lain.
Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi: a. menetapkan kawasan strategis provinsi berfungsi lindung, setelah kawasan strategis
nasional berfungsi lindung ditetapkan di Provinsi Maluku Utara, yaitu di Pulau Jiew; b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis provinsi yang berpotensi mengurangi
fungsi lindung kawasan, terutama di Pulau Gebe, Pulau Obi dan Pulau Jiew; c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis provinsi yang berpotensi
mengurangi fungsi lindung kawasan; d. membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis
provinsi yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya di kawasan yang berfungsi lindung;
e. mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis provinsi yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan
f. merehablitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis provinsi;
g. merehabilitasi kawasan budi daya di Kawasan Pulau Gebe dan Kawasan Pulau Obi, yang rusak sebagai akibat kegiatan penambangan dan kegiatan budi daya lainnya.
Mengingat Provinsi Maluku Utara secara geografis adalah daerah perbatasan, khususnya daerah Kabupaten Morotai yang berbatasan dengan laut pasifik, maka penataan ruang strategis dalam rangka pengembangan kebijakan strategi untuk menunjang pertahanan keamanan nasional pada kawasan strategis yang berada di wilayah perbatasan meliputi: (a) mendukung kawasan strategis nasional yaitu Pulau Morotai yang berfungsi khusus pertahanan dan keamanan; (b) memprioritaskan kawasan andalan dan kawasan perbatasan seperti di Pulau Morotai dan Pulau Jiew untuk memperkuat keanekaragaman dan jati diri masyarakat Provinsi Maluku Utara; (c) menetapkan kawasan strategis provinsi yang befungsi untuk pertahanan dan keamanan sekaligus pulau kecil terluar, pada kawasan Pulau Jiew; (d) mengarahkan pengembangan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga; (e) meningkatkan keberpihakan pemerintah dalam pembangunan sarana dan prasarana ekonomi; (f)
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
49
meningkatkan kerja sama masyarakat dalam memelihara lingkungan; (g) meningkatkan kemampuan kerja sama kegiatan ekonomi antar kawasan perbatasan dengan kawasan negara tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang lintas negara; (h) mengembangkan kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam lokal melalui pengembangan sektor‐sektor unggulan; (i) meningkatkan wawasan kebangsaan masyarakat; dan penegakan supremasi hukum serta aturan perundang‐undangan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan.
Kemudian strategi kebijakan untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam perekonomian di Provinsi Maluku Utara meliputi: (a) mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumberdaya alam dan kegiatan budidaya unggulan sebagai penggerak pengembangan wilayah, terutama di Kawasan Ternate, Tidore, Sidangoli dan Sofifi, Kawasan Kepulauan Sula, Kawasan Pulau Bacan, Kawasan Halmahera Selatan, Kawasan Weda, Kawasan Pengembangan Ekonomi – Pertanian : Halut ‐ Halbar – Haltim, Kawasan Pulau Gebe, Kawasan Pulau Obi; (b) menciptakan iklim investasi yang kondusif; (c) mengelola pemanfaatan sumberdaya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan; (d) mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan; (e) mengintensifkan promosi peluang investasi; (f) meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi; (g) meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah secara keseluruhan.
Selanjutnya kebijakan strategi untuk pemanfaatan sumberdaya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal di Provinsi Maluku Utara adalah mengembangkan kegiatan penunjang dan/atau kegiatan turunan dari pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi dan meningkatkan keterkaitan kegiatan pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi dengan kegiatan penunjang dan/atau turunannya serta mencegah dampak negatif pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi terhadap fungsi lingkungan hidup, dan keselamatan masyarakat.
Begitu juga dengan kebijakan strategi untuk pengembangan kawasan cepat tumbuh di wilayah Provinsi Maluku Utara meliputi: (a) mengarahkan pengembangan untuk mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan kawasan tersebut sehingga dapat mengembangkan kawasan tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi’ yang sinergis; (b) mempertimbangkan batas wilayah administrasi, dan menekankan pada pertimbangan keterkaitan mata‐rantai proses produksi dan distribusi; (c) pengembangan produk unggulan kawasan, serta mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerjasama antar sektor, antar pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah; (d) peningkatan penyediaan prasarana dan sarana, seperti pembangunan sistem jaringan perhubungan termasuk outlet‐outlet pemasaran yang efisien dalam rangka menghubungkan kawasan cepat tumbuh dengan pusat‐pusat perdagangan nasional dan internasional, termasuk upaya untuk meningkatkan aksesibilitas yang menghubungkan dengan wilayah‐wilayah tertinggal; (e) peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia untuk mendukung pengembangan produk kawasan; (f) pengembangan penelitian dan pengembangan yang menjadi tulang punggung pengembangan produk berdaya saing; (g) peningkatan akses terhadap sumber input atau faktor produksi, meliputi pengembangan sarana dan prasarana (infrastruktur fisik, lembaga penyedia, pelayanan), sumber daya modal (lembaga penyedia, jenis modal, pelayanan), dan input bahan baku (lembaga penyedia, jenis input); (h) pengembangan keterkaitan, kerjasama dan kemitraan, yaitu penciptaan jaringan kerja/jejaring yang melibatkan baik antardaerah dalam satu provinsi, antara pusat‐provinsi‐kabupaten, antara pemerintah‐pengusaha, atau antara pemerintah‐masyarakat‐LSM‐swasta, dan pengembangan keterkaitan antar sektor/komoditi (input‐output); (i) penciptaan Iklim Usaha yang kondusif, yang terdiri dari pengembangan regulasi yang meliputi kebijakan‐kebijakan yang diarahkan kepada pengurangan hambatan untuk iklim usaha, seperti halnya kebijakan fiskal, insentif dan peraturan perundangan lainnya, beserta penegakan hukumnya, serta keberadaan leadership
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
50
baik dalam pemerintahan dan pemimpin pasar.
Kemudian kebijakan strategi untuk pengembangan kawasan tertinggal di Provinsi Maluku Utara meliputi: (a) memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan; (b) membuka akses dan meningkatkan aksessibilitas antara kawasan tertinggal dan pusat pertumbuhan wilayah; (c) mengembangkan prasarana dan da sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat; (d) meningkatkan akses masyarakat ke sumber pembiayaan; (e) meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi; (f) peningkatan kapasitas (capacity building) terhadap masyarakat, aparatur pemerintah, kelembagaan, dan keuangan daerah; (g) peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di kawasan tertinggal; (h) percepatan pembangunan SDM sangat diperlukan melalui pengembangan sarana dan prasarana sosial terutama bidang pendidikan dan kesehatan; (i) pembentukan pengelompokan permukiman untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyediaan pelayanan umum, terutama untuk wilayah‐wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk rendah dan tersebar; (j) peningkatan kepada sumber‐sumber permodalan, khususnya dengan skema dana bergulir dan kredit mikro, serta melalui upaya penjaminan kredit mikro oleh pemerintah kepada perbankan; (k) peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di kawasan tertinggal dengan kawasan cepat tumbuh dan strategis, terutama pembangunan sistem jaringan transportasi yang menghubungkan antar wilayah; (l) pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal, melalui peningkatkan nilai tambah produk‐produk primer dengan pendekatan terpadu dari hulu hingga hilir; (m) peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pengembangan prasarana utama untuk kegiatan ekonomi seperti listrik, air bersih, dan telekomunikasi.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
51
Gambar 3.3 Peta Rencana Kawasan Strategis Provinsi Maluku Utara
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.2 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan Strategis Kota Ternate
Mengacu pada UU no. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dimana penataan ruang wilayah perkotaan harus mencantumkan Tujuan, Kebijakan dan Strategi penataan ruang wilayah Kota. Tujuan penataan ruang diuraikan secara umum dengan memperhatikan karakteristik wilayah Kota Ternate dan kecenderungan perkembangannya. Kebijakan dan strategi yang dijabarkan meliputi kebijakan dan strategi penetapan struktur ruang wilayah yang terdiri atas sistem perkotaan dan sistem pengembangan prasarana wilayah meliputi jaringan transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air kota, dan infrastruktur perkotaan yang meliputi penyediaan air minum kota, pengelolaan air limbah kota, persampahan kota, draenase kota, penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan jalan pejalan kaki, dan jalur evakuasi bencana. Selain itu, diuraikan pula kebijakan dan strategi penetapan pola ruang wilayah meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya serta kebijakan dan strategi penetapan kawasan strategis.
Tujuan pengembangan wilayah Kota Ternate di masa depan disusun untuk rentang waktu 20 tahun kedepan dengan memperhatikan isu‐isu strategis di Kota Ternate. Dengan demikian maka tujuan pengembangan tata ruang wilayah Kota Ternate yang ingin dicapai adalah “Mewujudkan Kota Ternate sebagai Kota Pesisir dan Kepulauan yang Adil, Mandiri dan Berkelanjutan berbasis pada sektor unggulan Jasa Perdagangan, Perikanan dan Pariwisata“. Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang Kota Ternate maka ditempuh melalui Kebijakan dan strategi penataan ruang Kota Ternate antara lain :
a. Kebijakan penetapan struktur ruang; b. Kebijakan pola ruang; dan c. Kebijakan penetapan kawasan strategis
Berdasarkan tujuan penataan ruang wilayah Kota Ternate yang telah dirumuskan sebelumnya, maka disusun suatu kebijakan dan strategi untuk mewujudkan tujuan penataan ruang Kota Ternate. Kebijakan dan strategi penetapan ruang ini meliputi kebijakan dan strategi yang terkait dengan struktur ruang wilayah, pola ruang wilayah, penetapan kawasan strategis Kota Ternate. Adapun kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Kota Ternate adalah sebagai berikut:
Penetapan hirarki pusat pertumbuhan wilayah yang tersebar di pulau‐pulau dalam wilayah Kota Ternate. Strategi yang dapat dilakukan, antara lain : - Membagi wilayah kota menjadi 7 (Tujuh) bagian wilayah kota, masing‐masing
dilayani oleh pusat pelayanan kota, sub pusat pelayanan kota dan pusat lingkungan serta menetapkan peran, fungsi dan struktur kegiatan utama secara spesifik;
- Mempertahankan keterkaitan antar pusat dan sub pusat pelayanan kota, dengan wilayah di sekitarnya.
- Menyediakan sarana dan prasarana dasar kota sesuai dengan fungsi dan tata jenjang pelayanan pada masing‐masing pusat, sub pusat pelayanan dan pusat lingkungan.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Peningkatan akses pelayanan perkotaan yang menghubungkan pusat‐pusat pertumbuhan secara hirarkis diseluruh pulau. Untuk melaksanakan kebijakan ini, maka strategi yang dapat dilakukan, adalah : - Mendorong perkembangan sub‐sub pusat pelayanan eksisting agar lebih optimal
dalam mendukung perkembangan kawasan. - Mengembangkan sub‐sub pusat pelayanan baru di kawasan yang belum terlayani
oleh pusat pelayanan.
Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi listrik, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di pulau‐pulau dalam wilayah Kota Ternate dalam rangka mendukung pengembangan sektor unggulan serta sektor lainnya. Strategi yang dapat dilakukan, antara lain : - Meningkatkan kualitas dan kuantitas jaringan prasarana transportasi untuk
menunjang sektor unggulan. - Mengembangkan jaringan prasarana transportasi darat untuk meningkatkan
aksesibilitas antar kawasan di seluruh pulau pada wilayah Kota Ternate. - Mengembangkan prasarana transportasi laut untuk meningkatkan aksesibilitas
antar pulau di seluruh wilayah Kota Ternate. - Mengembangkan prasarana transportasi udara dalam rangka meningkatkan
pelayanan antar kawasan baik regional dan Nasional. - Mengembangkan kapasitas sumber energi listrik dan distribusi pelayanan hingga
mencapai pusat‐pusat lingkungan pada seluruh pulau dalam wilayah Kota Ternate dengan memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal.
- Mengembangkan sumber daya air untuk pemanfaatan, pengendalian dan pelestarian sumber daya air melalui pembuatan sumur‐sumur resapan dan perlindungan kawasan mata air dan danau.
- Mengembangkan pelayanan telekomunikasi yang merata hingga menjangkau seluruh pulau di kawasan Kota Ternate.
- Mengembangkan kapasitas pelayanan air minum hingga mencapai pusat‐pusat pelayanan lingkungan terutama pada kawasan ketinggian atau daerah rawan air bersih diseluruh pulau dalam wilayah Kota Ternate.
- Mengembangkan kapasitas pelayanan persampahan hingga mencapai wilayah yang belum terlayani di pulau Ternate, peningkatan sistim pengelolaan sampah di TPA Buku Deru‐Deru yang berwawasan lingkungan, mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan persampahan dan mengamankan kawasan perairan Kota Ternate (kali mati dan pesisir pantai) dari sampah.
- Mengembangkan sistem jaringan drainase perkotaan untuk mengendalikan genangan air dan banjir.
- Mengembangkan sistem pembuangan air limbah di setiap kawasan dan mengamankan kawasan pesisir dari pencemaran.
- Mengembangkan prasarana pejalan kaki pada wilayah yang mempunyai bangkitan lalu lintas yang tinggi.
- Mengembangkan jalur dan ruang evakuasi bencana pada wilayah yang rawan bencana di Kota Ternate.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.2.1 Kebijakan Rencana Struktur Ruang Kota Ternate
Rencana struktur ruang wilayah kota merupakan kerangka sistem pusat‐pusat pelayanan kegiatan kota yang berhierarki satu dengan lainnya yang dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah kota. Rencana struktur ruang wilayah kota berfungsi :
1. sebagai arahan pembentuk sistem pusat‐pusat pelayanan wilayah kota yang memberikan layanan bagi wilayah kota;
2. sebagai arahan perletakan jaringan prasarana wilayah kota sesuai dengan fungsi jaringannya yang menunjang keterkaitan antar pusat‐pusat pelayanan kota; dan
3. sebagai dasar penyusunan indikasi program utama jangka menengah lima tahun untuk 20 (dua puluh) tahun.
Berdasarkan kondisi eksisting Kota Ternate pusat pelayanan utama kota saat ini berada di sekitar kawasan Pusat Kota. Sedangkan untuk kearah luar pusat pelayanan kota cenderung tumbuh mengikuti struktur jaringan jalan. Sementara itu penyebaran permukiman berkembang secara sporadis tanpa adanya pola yang jelas. Kondisi ini sudah barang tentu akan mempengaruhi penyediaan sarana dan prasarana yang kebutuhannya dari waktu ke waktu terus meningkat.
Pada tatanan wilayah Kota Ternate fungsi pelayanan primer diemban oleh Kecamatan Ternate Utara, Ternate Tengah dan Ternate Selatan yang dicirikan dengan ketersediaan fasilitas pelayanan terhadap seluruh wilayah pengembangannya terutama dalam konteks pelayanan administrasi pemerintahan. Sedangkan fungsi pelayanan sekunder diemban oleh masing‐masing Kecamatan Pulau Ternate, Moti, Pulau Hiri dan Pulau Batang Dua yang memiliki jangkauan pelayanan terhadap wilayah pengembangan pusat (central) ruang kota.
Adapun penetapan sistem pusat pelayanan kota Ternate direncanakan sebagai berikut : 1. Sistem pusat pelayanan kota dikembangkan dalam 1 (satu) pusat pelayanan kota, 6 (enam)
sub pusat pelayanan kota, dan 26 (dua puluh enam) pusat lingkungan. 2. Masing‐masing Sistem pusat pelayanan kota dilengkapi dengan fasilitas pendidikan,
fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas keamanan dan keselamatan; 3. Pengembangan fasilitas pendidikan terdiri atas:
a. TK dan SD dengan jangkauan pelayanan lingkungan; b. SLTP dengan jangkauan pelayanan sub pelayanan kota; c. SLTA dengan jangkauan pelayanan kota; dan d. Pendidikan/Perguruan Tinggi dengan jangkauan pelayanan kota dan regional.
4. Pengembangan fasilitas kesehatan terdiri atas: a. Balai Pengobatan dan praktek dokter dengan jangkauan pelayanan lingkungan; b. Puskesmas, puskesmas pembantu, dan apotik dengan jangkauan pelayanan SPK; dan c. Rumah sakit dengan jangkauan pelayanan kota dan regional.
5. Pengembangan fasilitas peribadatan menyebar ke seluruh Kota Ternate sesuai dengan agama yang dianut oleh masyarakat disesuaikan dengan jangkauan pelayanan masing‐masing jenis rumah ibadah serta jumlah dan sebaran pemeluknya.
6. Pengembangan fasilitas keamanan dan keselamatan terdiri atas : a. Mengembangkan fasilitas pos polisi dengan jangkauan pelayanan setingkat lingkungan
dan berlokasi di setiap pusat lingkungan; b. Pemadam kebakaran berada dalam jangkauan pusat dan sub pelayanan setingkat kota
dan berlokasi di Kota Ternate; c. Rencana pengembangan pemadam kebakaran dibuat dalam hierarki di setiap
kecamatan Kota Ternate; d. Badan Penanggulangan Bencana Daerah berada dalam jangkauan pelayanan setingkat
kota dan berlokasi di Kecamatan Ternate Selatan.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Gambar 3.4 Peta Rencana Struktur Ruang Kota Ternate
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Tabel 3.3 Distribusi Fungsi Pendukung Tujuan Tata Ruang kota pada Pulau‐pulau di Kota Ternate
Tujuan Tata Ruang Kota
Fungsi Pendukung Tujuan Tata Ruang Kota
Pulau Pendukung Tujuan Tata Ruang Kota
KOTA JASA & PERDAGANGAN
Pusat perdagangan hasil laut, P. Ternate, P. MAYAU
Kawasan produksi hasil laut Cluster Ternate, Moti, Batang Dua
Pusat perdagangan hasil pertanian, perkebunan & peternakan
P. Ternate, cluster BATANG Dua, cluster Moti
Kawasan produksi hasil pertanian, perkebunan & peternakan
Cluster Ternate, cluster Moti, cluster Batang Dua
Perdagangan hasil produksi industri P. Ternate Kawasan produksi hasil industri P. Ternate Jasa‐jasa tersier P. Ternate
KOTA PARIWISATA
Wisata pantai, laut & perbukitan P. Ternate, p. Hiri Wisata budaya P. Ternate Wisata sejarah P. Ternate Wisata ilmu pengetahuan P. Ternate Wisata belanja P. Ternate
KOTA PERIKANAN
Industri yang berbasis perikanan/kelautan
P. Ternate, P.moti, P.mayau, P.tifure, P. Hiri
Pelabuhan pendaratan ikan (PPI) P. Ternate Pelabuhan perikanan nasional P. Ternate
Pelabuhan/dermaga perikanan lokal P. Ternate, P. Mayau, P. Moti, P.tifure
KOTA PESISIR Estetika wajah kota pantai P. Ternate, P.moti, P.mayau, P.tifure, P. Hiri
KOTA KEPULAUAN Keterhubungan antar pulau P. Ternate, P. Moti, P. Hiri, P. Mayau, P.tifure
Dalam penentuan Bagian Wilayah Kota (BWK) telah dilakukan analisis dimana terdapat 7 BWK, yang kesemuanya memiliki peran dan fungsi secara proporsional terhadap wilayah dalam masing‐masing BWK.
1. BWK – 1 dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan, yaitu di kelurahan Dufa‐Dufa Kecamatan Ternate Utara yang meliputi Kelurahan Tarau, Sango, Tabam, Tafure, Akehuda, Tubo, Dufa – Dufa, Sangadji Utara, Sangadji, Toboleu, Kasturian, Salero, Soa‐Sio, dan Soa. Dengan pusat BWK ‐ 1 terletak di Kelurahan Dufa‐Dufa. Adapun arah pengembangan di BWK – I adalah sebagai : Pemukiman, Bandara, Pelabuhan, Pariwisata, Militer, Jasa, Perdagangan, Perikanan, Pendidikan, Olah Raga.
2. BWK – II dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan; yaitu di kelurahan Salahuddin Kecamatan Ternate Tengah yang meliputi Kelurahan Makassar Timur, Makassar Barat, Salahuddin, Kalumpang, Santiong, Gamalama, Moya, Kampung Pisang, Marikurubu, Muhajirin, Tanah raja, Maliaro, Stadion, Takoma, dan Kota Baru. Pusat BWK – II di Kelurahan Salahuddin. Adapun arah pengembangan di BWK ‐ II diarahkan sebagai : Jasa, Perdagangan, Pariwisata, Pelabuhan, Pemukiman, Pendidikan, Pemerintahan, Militer, Olah Raga
3. BWK – III dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan; yaitu di kelurahan Kalumata Kecamatan Ternate Selatan yang meliputi : Kelurahan Sasa, Gambesi, Ngade, Fitu, Kalumata, Kayu Merah, Tabona, Ubo‐Ubo, Bastiong Karance, Bastiong Talangame, Mangga Dua Utara, Mangga Dua, Jati Perumnas, Jati, Tanah Tinggi Barat, Tanah Tinggi, dan Toboko. Pusat BWK – III di Kelurahan Kalumata. Adapun arah pengembangan BWK – III sebagai : Jasa Perdagangan, Pariwisata, Pelabuhan, Perikanan, Militer, Olah Raga, Pendidikan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
4. BWK – IV dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan; yaitu di kelurahan Jambula Kecamatan Pulau Ternate yang meliputi : Kelurahan Jambula, Kastela, Foramadiahi, Rua, Afe Taduma, Dorpedu, Togafo, Loto, Takome, Sulamadaha, Tobololo, Bula dan Kulaba. Pusat BWK – IV di Kelurahan Jambula. Adapun arah pengembangan BWK – IV sebagai : Pemukiman, Pariwisata, Pertanian.
5. BWK – V dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan; yaitu di kelurahan Togolobe Kecamatan Pulau Hiri yang meliputi : Kelurahan Faudu, Tomajiko, Dorari Isa, Togolobe, Tafraka, dan Mado. Pusat BWK – V di Kelurahan Togolobe. Adapun arah pengembangan BWK – V sebagai : Perikanan dan Pertanian, Permukiman.
6. BWK – VI dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan; yaitu di kelurahan Moti Kota Kecamatan Moti yang meliputi Kelurahan Moti Kota, Takofi, Tadenas, Figur, Tafamutu, dan Tafaga. Pusat pemerintahan BWK – VI di Kelurahan Moti Kota. Adapun arah pengambangan BWK – VI sebagai: Permukiman, Pertanian dan Perikanan.
7. BWK – VII dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan, yaitu di kelurahan Mayau Kecamatan Batang Dua yang meliputi Kelurahan Mayau, Tifure, Bido, Lelewi, Perum Bersatu dan Pante Sagu. Pusat pemerintahan BWK – VII di Kelurahan Mayau. Adapun arah pengembangan BWK – VII sebagai : Permukiman, Pertanian, Perikanan.
a. Rencana Sistem Transportasi Sistem Transportasi Darat
Sistem transportasi secara fisik terlihat nyata dan berfungsi dalam pengangkutan barang maupun penumpang untuk menempuh jarak. Adapun ruang pelayanan sistem transportasi spasial adalah berupa ruang geografis yang relatif perkembangannya secara tak beraturan sehingga sulit diprediksi serta fungsi bagian‐bagian ruangnya juga berubah‐ubah secara dinamis. Perluasan jaringan transportasi akan lebih membuka peluang bagi perluasan pasar komoditas suatu wilayah, sedangkan perluasan kawasan budidaya dan perluasan pasarnya juga membutuhkan pengembangan sistem transportasi.
Dalam perkembangannya, Kota Ternate khususnya yang terjadi di Pulau Ternate, sangat terpengaruh oleh tingkat pertumbuhan jaringan jalan. Bagian wilayah Kota yang terletak pada jalur jalan utama terlihat lebih cepat berkembang (ruas‐ruas jalan di Kelurahan Muhajirin dan Kelurahan Gamalama) dari pada Bagian Wilayah Kota yang berada pada jalur jalan yang jarang dilewati kendaraan. Jalur utama yang sangat padat adalah jalur jalan Pahlawan Revolusi (jalur sangat padat), jalur padat di Jl. Mononutu sampai ke Bastiong, serta jalur padat di Kampung Makassar, upaya pemerintah untuk menata sirkulasi lalu lintas Kota Ternate merupakan usaha yang sangat tepat, mengingat tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan sudah tidak seimbang dengan jumlah jalan yang ada.
Perkembangan lalu lintas yang terjadi di Kota Ternate selama ini sering menimbulkan berbagai akibat di sub sektor perhubungan darat. Disatu sisi perkembangan itu sendiri sangat menggembirakan, namun disisi lain sangat merisaukan. Sisi ini dibayangi dengan semakin besarnya tantangan yang dihadapi yakni semakin tingginya mobilitas penduduk dan arus barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Kemampuan untuk membangun sarana dan prasarana tidak bertahan cukup cepat untuk menampung kenaikan mobilitas tersebut. Persoalan tidak akan pernah selesai bahkan akan lebih rumit bila cara pendekatan dalam pemecahan masalah semata‐mata hanya melihat jangka pendek yang tidak mempunyai akar yang kokoh untuk penyelesaian jangka panjang.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
b. Jaringan Jalan dan Jembatan Jaringan Jalan
Jaringan jalan di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan jalan kolektor primer, kolektor sekunder, jalan lingkungan dan jalan setapak. Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan kota. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini berupa jalan aspal dengan lebar bahu ± 6‐8 meter. Sementara jaringan jalan sekunder dan jalan lingkungan umumnya berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan pemukiman maupun antara lingkungan pemukiman dengan pusat‐pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi jalan‐jalan ini berupa jalan‐jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah, dengan lebar ± 4‐6 meter serta jalan setapak lebar minimal 1 meter.
Jaringan jalan yang terdapat di wilayah Kota Ternate berdasarkan fungsinya, terdiri dari: jalan kolektor primer, kolektor sekunder, lokal primer dan lokal sekunder. 1. Jalan Kolektor Primer yaitu jalan yang menghubungkan pusat kota dengan pusat‐pusat
kawasan. Jalan kolektor ini juga sekaligus berfungsi sebagai jalan penghubung antara satu distrik dengan distrik‐distrik lainnya.
2. Jalan Kolektor Sekunder yaitu jalan yang menghubungkan pusat distrik dengan pusat‐pusat lingkungan. Disamping itu jalan ini juga menjadi penghubung antara pusat‐pusat lingkungan.
3. Lokal primer yaitu jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan local, atau pusat kegiatan local dengan pusat kegiatan lignkungan serta antar pusat kegiatan lingkungan
4. Lokal sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan
Pengembangan prasarana dan sarana jalan sangat diperlukan dalam penigkatan mutu dan daya tampung ruas jalan meliputi status, fungsi jaringan, sistim jaringan dan aturan penggunaan ruang di sepanjang jalan. Peningkatan maupun Pembukaan ruas‐ruas jalan baru dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi darat serta menghindari “bottle neck” seperti yang terjadi di kawasan Mangga Dua ‐ Bastiong, Jl. Yos Sudarso (SPBU – perempatan Tanah Tinggi), Kawasan Pasar Kota Baru – Rencana Jl. Reklamasi Kota Baru Bastiong), Kawasan Depan Pelabuhan A.Yani, Kawasan Dodoku Ali – Jl. Air Sentosa, Rencana Jl. Reklamasi Kota Baru Bastiong – Jl. Mangga Dua, Jl. Raya Bastiong – Jl. Pasar Bastiong, Rencana Jl. Reklamasi Dufa‐dufa Salero – Jl. Air Sentosa. Berikut ini adalah rencana Pengembangan prasarana dan sarana jalan di Kota Ternate meliputi : • Peningkatan mutu dan daya tampung ruas jalan nasional (kolektor primer) dari Bandara
Sultan Baabullah ke pelabuhan Ferry Bastiong. • Peningkatan mutu dan daya tampung ruas jalan – jalan provinsi (kolektor primer) yang
meliputi : Ruas Jalan Tafure – Ruas Jalan Tabam – Ruas Jalan Sango – Ruas jalan Tarau – ruas jalan Kulaba ‐ ruas jalan Bula – ruas jalan Tobololo, ruas jalan sulamadaha – ruas jalan Takome – ruas jalan Loto – ruas jalan Togafo – ruas jalan Afetaduma – ruas jalan Dorpedu – ruas jalan Rua – ruas jalan Kastela – ruas jalan Jambula – ruas jalan Sasa – ruas jalan Gambesi – ruas jalan Fitu – ruas jalan Ngade – ruas jalan Kalumata – ruas jalan Kayu Merah – ruas jalan Bastiong (pertigaan jalan masuk pelabuhan ferry)
• Peningkatan mutu dan daya tampung ruas jalan – jalan Kota pada Ruas Jl. Yos. Sudarso – Jl. Terminal Cinta – Jl, Melati Kalumata; Ruas Jl. Ngidi – Jl. Ngade Sone – Jl. Tubo – Terminal Baru Bandara Sultan Baabullah – Tarau.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Pembangunan ruas jalan baru, termasuk bangunan pelengkapnya. Pembangunan jalan baru dalam rangka mendukung program minapolitan di Kota Ternate, waterfront city serta dalam upaya memperlancar aksesibilitas transportasi. - Rencana jalan Reklamasi Kalumata ‐ Fitu - Rencana jalan pantai Fitu – Pasar Sasa - Rencana jalan Reklamasi Dufa Dufa – Salero - Rencana jalan Reklamasi Kota Baru – Bastiong - Peningkatan jalan Daulase – Tafure Pembangunan jalan baru dalam rangka mendukung peningkatan hasil‐hasil produksi perkebunan dan pertanian Pembangunan jalan produksi kawasan Ngade puncak ‐ kawasan Tubo. Pembangunan jalan baru dan peningkatan jalan dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan serta menunjang pertumbuhan perekonomian di wilayah pulau –pulau. - Ruas jalan keliling pulau Hiri - Ruas jalan keliling pulau Moti - Ruas jalan pulau Mayau - Ruas jalan pulau Tifure
Rencana peningkatan kualitas jaringan jalan di Kota Ternate dibedakan antara jalan utama dan jalan lokal dengan arahan sebagai berikut: 1. Perbaikan drainase dan membangun fasilitas jalan (trotoar, marka jalan, drainase dan
lampu jalan) pada jalan utama, terutama di wilayah Pusat Kota Ternate. 2. Peningkatan kualitas perkerasan jalan pada jalan lokal dari perkerasan batu atau tanah
menjadi perkerasan aspal. 3. Pelebaran jalan pada jalan utama dan jalan lokal yang mengalami bottle neck. 4. Penyediaan lahan parkir dan mengurangi parkir On Street (parkir di badan jalan).
Jembatan
Pengembangan prasarana jembatan di wilayah Kota Ternate antara lain meliputi upaya perbaikan kondisi; peningkatan prasarana; serta pembuatan prasarana jembatan baru. Pengembangan prasarana jembatan melalui upaya perbaikan kondisi terutama diarahkan bagi jembatan‐jembatan eksisting yang kondisinya sudah kurang memenuhi persyaratan keselamatan bagi pengguna yang melintas di atasnya.
Sedangkan upaya peningkatan prasarana ditujukan untuk meningkatkan kinerja jembatan dalam memberikan layanan transportasi bagi penggunanya. Upaya peningkatan dilakukan melalui pelebaran jembatan sehingga mampu menampung lebih banyak lajur jalan. Hal tersebut dilakukan agar jembatan tidak menjadi salah satu titik kemacetan pada saat kondisi lalu lintas padat di jalur jalan yang dihubungkan oleh jembatan tersebut.
Berikut rencana pengembangan prasarana jembatan di Kota Ternate sebagai berikut; • Peningkatan jembatan pada ruas jalan nasional (kolektor primer); Jembatan di ruas
jalan Bandara Sultan Baabullah – Pelabuahan Ferry Bastiong. • Peningkatan jembatan ruas pada jalan – jalan propinsi (kolektor primer dan sekunder);
Jembatan di ruas jalan keliling Pulau Ternate (Tafure – pertigaan jalan masuk Pelabuhan Ferry).
• Pembangunan jembatan baru dan peningkatan jembatan pada ruas jalan – jalan Kota pada; - Pembangunan Jembatan Ngadesonge menghubungkan Kelurahan Kasturian dan
Toboleu. - Jembatan pada Jalur rencana Jalan Pantai Dufa Dufa ‐ ke Salero - Jembatan pada Jalur rencana Jalan Pantai Kalumata ‐ Sasa - Jembatan pada Jalur Jalan Pantai Kota Baru – Bastiong
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
- Jembatan pada keliling pulau Hiri, keliling pulau Moti dan jalur jalan Mayau dan Tifure.
- Perbaikan jembatan‐jembatan kecil di jalan jalan lokal sekunder dan lokal primer. - Pelebaran jembatan kecil penghubung antar kawasan.
C. Rencana Sistem Terminal
Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan atau barang, serta perpindahan moda angkutan (UU No.22 Tahun 2009). Sebagai prasarana tempat naik dan turunnya penumpang dari moda angkutan umum, maka terminal akan memainkan peran sebagai “point transfer” (titik perpindahan) dari satu moda angkutan ke moda angkutan lainnya, dari moda angkutan regional ke moda angkutan lokal atau sebaliknya.
Dengan demikian maka terminal juga akan berperan sebagai simpul pengikat dari upaya pemisahan sistem pergerakan regional dengan sistem pergerakan lokal yang bergerak dalam sirkulasi sistem pergerakan kawasannya. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa Kota Ternate telah memiliki 5 buah Terminal, yaitu Terminal Gamalama di Gamalama kawasan Tapak I, Terminal Dufa Dufa di Kelurahan Dufa Dufa, Terminal Bastiong di Kelurahan Bastiong Talagame, Terminal Sulamadaha di kelurahan Sulamadaha, Terminal Sasa di Kelurahan Sasa.
Menurut Undang Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, klasifikasi terminal dibagi berdasarkan tingkat intensitas penggunannya (terminal tipe A, Tipe B, Tipe C). Adapun terminal yang ada di Kota Ternate jika diklasifikasikan sesuai undang‐undang diatas, maka terbagi sebagai berikut; a. Terminal Sulamadaha merupakan terminal tipe C yang berfungsi sebagai terminal dalam
kota yang memberikan pelayanan angkutan penumpang dan barang antar kawasan dan memiliki intensitas rendah. Angkutan barang dari/ke pulau hiri.
b. Terminal Dufa Dufa merupakan terminal tipe C yang berfungsi sebagai terminal dalam kota dan melayani lanjutan perjalanan penyeberangan dari dan ke Kabupaten lain, yaitu Halmahera Barat, dan Halmahera Utara.
c. Terminal Gamalama merupakan terminal tipe A yang berfungsi sebagai terminal induk yang memberikan pelayanan bagi sistem pergerakan lokal Kota Ternate melalui angkutan umum dalam kota.
d. Terminal Bastiong merupakan terminal tipe B yang berfungsi sebagai terminal dalam kota yang memberikan pelayanan angkutan penumpang dan barang serta melayani lanjutan perjalanan penyeberangan dari dan ke Kabupaten/kota, yaitu Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, dan Kota Tidore kepulauan.
e. Terminal Sasa merupakan terminal tipe C yang berfungsi sebagai terminal dalam kota yang memberikan pelayanan angkutan penumpang dan barang antar kawasan.
Untuk mengoptimalkan fungsi dari terminal yang ada maka setiap Kendaraan Bermotor
Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek. Dalam upaya pengembangan kota serta memberikan pelayanan yang lebih baik bagi pergerakan masyarakat melalui angkutan umum, baik untuk kepentingan sistem pergerakan regional antar kota, maupun sistem pergerakan antar kawasan di dalam wilayah Kota Ternate, maka direncanakan untuk dilakukan pengembangan prasarana terminal di Kota Ternate, yang antara lain : - Terminal Gamalama Tapak I, penanganan masalah terminal lebih diarahkan kepada
peningkatan kualitas pelayanan bagi pengguna jasa terminal melalui peningkatan fasilitas ruang tunggu terminal, membuka ruang/lahan parkir kendaraan pribadi, perbaikan/mengoptimalkan fasilitas menara kontrol dan penertiban area pedagang kaki lima.
- Rencana pengembangan terminal Bastiong. Terminal tersebut belum berfungsi secara optimal dikarenakan kurangnya fasilitas dan penataan. Karena itu penanganan masalah
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
terminal lebih diarahkan kepada peningkatan kualitas pelayanan bagi pengguna jasa terminal melalui peningkatan fasilitas ruang tunggu terminal, perbaikan/mengoptimalkan fasilitas menara kontrol dan penertiban area pedagang kaki lima.
- Rencana Pengembangan Terminal Dufa Dufa, Sulamadaha dan Sasa perlu peningkatan pemberdayaan melalui penambahan fasilitas untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
- Rencana Pengembangan Terminal baru Moti, Hiri dan Batang Dua. D. Sistem Transportasi Laut
Secara geografis posisi Kota Ternate sangat strategis terletak pada kawasan Indonesia timur bagian utara, merupakan pintu gerbang utama dan menjadi simpul asal‐tujuan antar provinsi, Kota/Kabupaten diwilayah provinsi Maluku Utara.
Kota Ternate terdiri dari beberapa pulau dan didominasi oleh perairan/laut sehingga transpotasi laut merupakan moda transportasi yang memegang peranan penting dalam pengembangan perekonomian di daerah.
Pengembangan sistem transportasi Laut di Kota Ternate didasarkan pada pembangunan wilayah yang dipacu terlebih dahulu dengan menyediakan sarana dan prasarana pendukung transportasi laut. Diharapkan nantinya secara bertahap mengarah ke pola yang lebih sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai faktor pendukung bagi pengembangan sosial‐ekonomi pulau‐pulau di wilayah Kota Ternate yang tercapai pada sector andalan jasa perdangan, perikanan dan pariwisata. Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, kegiatan‐kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengembangkan sistem transportasi laut di Kota Ternate, yaitu : (1) Tatanan kepelabuhanan; dan (2) Alur Pelayaran. Tatanan kepelabuhanan
Tatanan Kepelabuhanan adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra‐dan antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.
Tatanan Kepelabuhanan di Kota Ternate secara umum memiliki peran yaitu dalam rangka mengembangkan Kota Ternate sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan membuka keterisolasian pulau‐pulau kota Ternate serta mewujudkan keseimbangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di pulau‐pulau dalam wilayah kota Ternate.
Secara hierarki saat ini Kota Ternate memiliki beberapa pelabuhan antara lain : Pelabuhan pengumpul : Pelabuhan Ahmad Yani. Pelabuhan pengumpan : Pelabuhan Bastiong, Dufa‐dufa.
Kota Ternate juga memiliki dermaga speed boat/pelabuhan rakyat/tambatan perahu yang fungsinya menunjang pelabuhan tersebut diatas, antara lain Dermaga VIP di dermaga residen Kel Muhajirin, Dermaga Kota Baru, Dermaga Mesjid Raya, Dermaga Dufa‐Dufa,Dermaga Bastiong, Dermaga Moti Kota, Dermaga Tadenas, Dermaga Tafaga, Dermaga Takofi, Dermaga Tafamutu, Dermaga Togolobe, Dermaga Mayau dan Dermaga Tifure.
Terminal Khusus Berdasarkan Undang‐undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang. Sedangkan Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. Berdasarkan definisi diatas maka Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Dufa‐dufa, Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) Bastiong dan pelabuhan BBM Pertamina Jambula, merupakan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
kategori pelabuhan terminal khusus. Angkutan Penyeberangan : Pelabuhan Ferry Bastiong dan Mayau Batang Dua
Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya (berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran). Penetapan lintas angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan mempertimbangkan: - pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh
perairan; - fungsi sebagai jembatan; - hubungan antara dua pelabuhan, antara pelabuhan dan terminal, dan antara dua
terminal penyeberangan dengan jarak tertentu; - tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya; - Rencana Tata Ruang Wilayah; dan - jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai optimalisasi keterpaduan
angkutan antar‐dan intramoda. - Angkutan penyeberangan dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan
teratur.
Kota Ternate dalam struktur Tata Ruang Nasional maupun Tata Ruang Propinsi Maluku Utara, berperan sebagai pintu gerbang internasional, khususnya terhadap wilayah Pasifik. Karena itu, keberadaan dan pengembangan system transportasi laut internasional dan nasional menjadi salah satu tulang punggung pemicu pertumbuhan ekonomi nasional dan regional dikawasan Indonesia Timur bagian Utara.
Dalam lingkup wilayah provinsi Maluku Utara, Kota Ternate menjadi simpul asal‐tujuan pelayaran antar Kota/Kabupaten dengan tingkat intensitas yang cukup tinggi melayani penumpang dan barang.
Dalam lingkup wilayah Kota Ternate transportasi laut juga berperan penting, karena merupakan akses perhubungan dari/ke Kecamatan Batang Dua (Pulau Tifure dan Mayau), Pulau Hiri dan Kecamatan Moti (Pulau Moti). Untuk itu transportasi laut diharapkan dapat berfungsi sebagai pemberi pelayanan bagi kegiatan usaha untuk mewujudkan keseimbangan antar pulau yang lebih efisien.
Keseimbangan antar kawasan pulau yang dimaksud yaitu berlangsungnya kegiatan ekonomi antar kawasan yang berimbang yaitu kegiatan ekonomi yang efisien, dapat mendorong semakin intensifnya interaksi perdagangan antar pulau, pengangkututan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan dengan demikian dapat berpengaruh terhadap timbulnya pusat‐pusat kegiatan ekonomi di kawasan yang akhirnya membuka kesempatan yang lebih luas dari masing‐masing pulau untuk berkembang. Rencana pengembangan dan peningkatan kepelabuhan dalam wilayah Kota Ternate sebagai upaya meningkatkan peran sub pusat pelayanan dan pusat lingkungan di kawasan pulau‐pulau, serta memantapkan perannya sebagai kawasan hiterland Kota Ternate.
Alur Pelayaran Struktur jaringan pelayaran transportasi laut di Kota Ternate dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Jaringan pelayaran Nasional.
Sejauh ini Pelabuhan A Yani yang tergolong sebagai pelabuhan Nasional, melayani jaringan pelayaran nasional yang merupakan layanan angkutan laut antar provinsi, dimana pelabuhan yang disinggahi hanya pelabuhan dengan status nasional saja. Jaringan Pelayanan Nasional ini diantaranya dilayani oleh PELNI dan perusahaan pelayaran nasional lainnya. Kota‐kota yang dilalui Kapal Pelni adalah :
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
- Rute Timur tujuan : Sorong – Manokwari – Biak – Jayapura. - Rute Barat tujuan : Bitung ‐ Makassar ‐ Bau Bau – Palu – Balikpapan
Surabaya – Jakarta – Padang – Medan. - Rute Selatan : Ambon – Namlea – Banda ‐ Tual.
Sementara itu, jalur pelayaran nasional yang dilayani oleh non PELNI, juga cukup signifikan, karena sebagian besar membawa muatan barang bernilai ekonomi. Diantaranya adalah kapal Peti Kemas dan kapal Tanker, serta kapal barang non peti kemas. Asal tujuan trayek pelayaran kapal non pelni diantaranya adalah Jakarta, Surabaya, Makasar, Bitung. Alur pelayaran nasional angkutan penyeberangan : Bastiong – Bitung (Prop. Sulawesi Utara)
b. Jaringan pelayaran Regional.
Trayek pelayaran regional yang dilayani oleh Pelabuhan A Yani adalah tujuan ke Sanana, Falabisahaya, Bobong (Kab.Kepulauan Sula), Buli (Kab. Halmahera Timur), Weda (Kab. Halmahera Tengah), Tobelo (Kab. Halmahera Utara) dan Jailolo dan Loloda (Kab.Halmahera Barat), serta Pulau Gebe (Halmahera Tengah), Daruba (Kab.Morotai), Batang Dua(Kota Ternate). Sedangkan trayek regional yang dilayani oleh pelabuhan Bastiong meliputi tujuan ke Bacan dan Obi (Kab. Halmahera Selatan), Rum, Goto, Gita, Payahe (Kota Tidore Kepulauan), Labuha, Kayoa dan Makian (Kab. Halmahera Selatan) sedangkan Pelabuhan Dufa‐dufa melayani trayek ke Jailolo. Alur pelayaran Regional angkutan penyeberangan :
Bastiong – Sofifi Bastiong – Sidangoli Bastiong – Rum
c. Jaringan pelayaran Lokal/Rakyat
Selain trayek pelayaran nasional, regional, juga didukung oleh dermaga speed boat/pelabuhan rakyat/tambatan perahu dan merupakan feeder bagi pelayaran regional serta digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari satu pulau ke pulau yang lain, yaitu:
- Dermaga VIP Residen Kel Muhajirin - Dermaga Kota Baru : Kota Baru ‐ Sofifi - Dermaga Mesjid Raya : Gamalama ‐ Sidangoli - Dermaga Dufa‐dufa : Dufa‐dufa ‐ Jailolo - Dermaga Bastiong : Bastiong – Rum, Bastiong – Kayoa,
Bastiong – Makian, Bastiong – Gita - Dermaga Moti Kota : Moti Kota – Ternate, Moti Kota – Makian,
Moti Kota – Tidore - Dermaga Tadenas : Tadenas – Ternate, Tadenas – Makian,
Tadenas – Tidore - Dermaga Tafaga : Tafaga – Ternate, Tafaga – Makian,
Tafaga – Tidore - Dermaga Takofi : Takofi – Ternate, Takofi – Makian,
Takofi – Tidore - Dermaga Tafamutu : Tafamutu – Ternate, Tafamutu – Makian,
Tafamutu – Tidore - Dermaga Togolobe : Togolobe – Ternate - Dermaga Mayau : Mayau – Ternate, Mayau – Tifure - Dermaga Tifure : Tifure – Ternate, Tifure ‐ Mayau
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Untuk meningkatkan peran Kota Ternate sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara dalam perspektif perhubungan laut, maka perlu dilakukan pengembangan system transportasi laut yang mencakup pengembangan dan pembangunan kepelabuhanan, dermaga maupun rute pelayarannya. Antara lain; a. Pengembangan dan peningkatan hierarki Pelabuhan
• Pengembangan Pelabuhan Ahmad Yani dari pelabuhan pengumpul menjadi pelabuhan Utama yang melayani rute Nasional dan internasional yang berfungsi sebagai pelabuhan ekspor‐impor, sehingga dibutuhkan perluasan area untuk peningkatan dan pengembangan diantaranya untuk mendukung fungsi bongkar muat peti kemas dan non peti kemas. Selain itu juga dibutuhkan pengembangan fasilitas seperti terminal penumpang, pergudangan, dermaga dan perlengkapannya seperti fasilitas crane, Lapangan Petikemas dan fasilitas pendukung lainnya.
Pengembangan menjadi pelabuhan internasional akan memperkuat kedudukan Ternate sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan koridor ekonomi Indonesia wilayah VI yang berfungsi menghubungkan antara Kota dan daerah‐daerah penting di Indonesia Timur dengan pusat‐pusat pertumbuhan di Luar Negeri, misalnya hubungan dengan Philipina, Jepang, Hongkong, Taiwan, Korea, Singapura, Negara Negara kepulauan Pasifik, Hawaii serta pantai Barat Amerika.
• Pembangunan beberapa dermaga yang ada saat ini berstatus sebagai pelabuhan rakyat/tambatan perahu akan ditingkatkan menjadi pelabuhan pengumpan, yaitu Pelabuhan Moti, Mayau Batang Dua, Tifure Batangdua, dan pulau Hiri. Fasilitas pelabuhan akan dilengkapi dengan sarana ruang tunggu dan gudang penyimpanan sementara.
b. Pengembangan dan Peningkatan sarana prasarana pelabuhan.
• Pelabuhan Bastiong dan Dufa‐dufa tetap dipertahankan sebagai pelabuhan Pengumpan namun sarana prasarana kepelabuhanannya perlu ditingkatkan dan dikembangkan seperti fasilitas terminal penumpang, pergudangan, panjang dermaga, lantai dermaga, daya tampung kolam pelabuhan dan fasilitas kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan.
• Pengembangan dermaga speed boat Dufa‐dufa yang melayani trayek Dufa‐dufa – Jailolo, Dufa‐dufa – Sidangoli. Pengembangan dermaga mencakup pembangunan dermaga baru, ruang tunggu, tempat parkir dan fasilitas penunjang lainnya.
• Pengembangan Dermaga speed boat VIP pelabuhan Residen di kelurahan Muhajirin yang berfungsi sebagai pelabuhan khusus tamu Negara, Pemerintah Pusat dan daerah, Tamu wisatawan mancanegara dan tamu kesultanan dari ke Ternate.
• Rehab dermaga/tambatan perahu di kawasan Sub Pusat Pelayanan pulau Moti yaitu dermaga Tafaga, dermaga Tanjung Pura di Takofi, dermaga Tafamutu, dermaga Tadenas
• Peningkatan tempat tambat dan kolam sandar pelabuhan ferry bastiong, daya tampung parkir kendaraan dan peningkatan sarana prasarana ruang tunggu.
• Peningkatan sarana prasarana pelabuhan Ferry Mayau Batang Dua c. Pembangunan Dermaga speed boat/tambatan perahu/pelabuhan rakyat.
• Pembangunan baru dermaga speed boat terpadu kelurahan Mangga Dua yang melayani trayek Mangga Dua ‐ Sofifi, Mangga Dua ‐ Rum, Mangga Dua ‐ Makian, Mangga Dua – Kayoa, Mangga Dua‐Gita. Pengembangan dermaga mencakup pembangunan dermaga baru, ruang tunggu, tempat parker dan fasilitas penunjang lainnya.
• Pembangunan baru Dermaga Sasa yang dipersiapkan untuk menunjang pengembangan kawasan Kota Baru dan sekitarnya.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Pembangunan Pos AL di Batang Dua untuk pengamanan wilayah perairan dari kejahatan (misalnya ilegal fishing, dan ilegal loging).
• Pembangunan baru dermaga/tambatan perahu di Sulamadaha • Pengembangan rute baru angkutan penyeberangan dari Bastiong ‐ Moti Kota –
Bastiong, Bastiong – Tifure – Mayau – Bastiong, untuk itu diperlukan pembangunan pelabuhan ferry di Moti Kota dan Tifure serta sarana prasarana.
B.2.2 Kebijakan Rencana Pola Ruang Kota Ternate
Rencana Pola Pemanfaatan ruang diarahkan untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam proses alokasi pemanfaatan ruang untuk memperoleh manfaat optimal bagi pengembangan wilayah Kota Ternate dengan tetap memperhatikan kepentingan masa depan. Pemanfaatan Ruang Kota Ternate berdasarkan fungsi utamanya secara makro terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Penetapan kawasan lindung di Kota Ternate pada dasarnya dijadikan titik tolak di dalam pengembangan tata ruang wilayah yang berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam pengertian ini deliniasi kawasan lindung diintegrasikan dengan tata ruang wilayah secara keseluruhan. Setelah kawasan lindung ditetapkan sebagai limitasi dan atau kendala di dalam pengembangan wilayah, barulah kemudian dapat direkomendasikan arahan kawasan budidaya untuk mengakomodasikan kebutuhan ruang baik bagi kegiatan budidaya pertanian maupun budidaya non pertanian.
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan ini dipertahankan sebagai kawasan lindung sesuai fungsinya untuk menjaga tata air kawasan bawahnya terutama Hutan Lindung di Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulau Moti, Pulau Mayau dan Pulau Tifure. Kawasan lindung di Kota Ternate direncanakan berupa : a. Kawasan Hutan Lindung. b. Kawasan Yang Memberi Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya. c. Kawasan Perlindungan Setempat. d. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota e. Kawasan Cagar Budaya f. Kawasan Rawan Bencana Alam g. Kawasan Lindung Lainnya.
a. Kawasan Hutan Lindung
Keberadaan hutan lindung diwilayah Kota Ternate tersebar diseluruh pulau. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 415/Kpts‐II/1999 tentang peta hutan dan perairan kawasan Provinsi Maluku, luas hutan lindung di tetapkan pada masing‐masing pulau adalah sebagai berikut Pulau Ternate 1999,476 Ha, Pulau Hiri 663,007 Ha, Pulau Moti 622,043 Ha, Pulau Tifure 534,426 Ha, dan Pulau Mayau 2422,736 Ha. Total Hutan lindung di Kota Ternate adalah 2662,483 Ha. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi eksisting. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 415/Kpts‐II/1999 tersebut, Pulau Hiri, Tifure dan Pulau Mayau ditetapkan seluruh wilayahnya adalah hutan lindung. Namun kondisi faktual pada wilayah pulau‐pulau ini masyarakatnya telah melakukan kegiatan budidaya permukiman, perkebunan, dan pertanian selama ratusan tahun. Untuk itu direkomendasikan SK Menteri Kehutanan nomor 415/Kpts‐II/1999 agar ditinjau kembali.
Dari hasil analisa citra satelit terkini, luas hutan lindung eksisting yang ada di Kota Ternate adalah sebagai berikut : Pulau Ternate 2323 Ha, Pulau Hiri 512,84 Ha, Pulau Moti 588,69 Ha, Pulau Tifure ‐ Ha, dan Pulau Mayau 590,87 Ha. Total Hutan lindung eksisting di Kota Ternate adalah 4015,4 Ha.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Berdasarkan Pengelolaan pada kawasan hutan lindung dimaksudkan untuk membatasi beberapa kegiatan budidaya yang sudah terlanjur dilakukan di kawasan hutan lindung, seperti permukiman masyarakat dan kegiatan pariwisata agar tidak merusak kawasan lindung. Arahan Pengelolaan berikut diberlakukan pada kawasan lindung yang memiliki kegiatan budidaya terbatas (didalam kawasan lindung juga terdapat aktifitas manusia, tetapi dalam jumlah yang relatif sangat sedikit dan melakukan kegiatan budidaya yang sangat terbatas, antara lain :
• Hutan Lindung dijaga kelestariannya dengan kegiatan pemantauan dan pemeliharaan hutan melalui program monitoring dan rehabilitasi serta penghijauan kembali hutan lindung
• Pelarangan bagi pengembangan kegiatan budidaya di Hutan Lindung • Kawasan Lindung dalam bentuk kelompok pohon Bakau (mangrove) juga diarahkan
sebagai pelindung garis pantai dan sebagai habitat biota laut tertentu. • Hutan Lindung difungsikan juga sebagai kawasan resapan air, pengendali iklim
perkotaan dan habitat satwa tertentu dengan memanfaatkan potensi vegetasi, udara dan tanahnya.
• Lahan Hutan Lindung dijaga struktur fisik tanahnya dari resiko longsor dan abrasi (khusus yang terletak di kawasan pesisir).
• Mengatur jenis‐jenis kegiatan yang dapat dilakukan dan harus berwawasan lingkungan • Pengembangan permukiman untuk penduduk lokal terbatas, artinya lahan untuk
permukiman dibatasi sesuai dengan daya dukung lingkungan setempat (sesuai hasil survey dan perhitungan yang harus segera dibuat)
• KDB maksimum 5 % • Bentuk rumah penduduk harus permanen • Kegiatan pariwisata yang sudah ada dipertahankan sedangkan untuk penambahan
diperlukan studi dan perijinan tambahan • Setiap penghuni kawasan lindung ini berkewajiban menjaga dan memelihara
kelestariannya dan bagi siapa yang melanggar akan dikenakan sangsi sesuai peraturan yang berlaku.
b. Kawasan Yang Memberi Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya
Arahan Pengelolaan kawasan berfungsi lindung, khususnya kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, bertujuan untuk mengatur pemanfaatan ruang sehingga tidak terjadi kegiatan yang dapat merusak lingkungan kawasan yang perlu untuk dilindungi. Upaya Pengelolaan kawasan berfungsi lindung untuk kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya berupa Kawasan Resapan Air.
Kawasan konservasi dan resapan air adalah kawasan dengan angka kemiringan lahan diatas 25%. Pada kawasan konservasi dan resapan air yang bukan merupakan hutan lindung diwujudkan sebagai ruang hijau atau budidaya pertanian. Kegiatan mengubah kemiringan lahan di kawasan resapan air dapat dilakukan dengan menempuh prosedur perijinan yang diatur tersendiri dengan pengendalian yang ketat Pengelolaan pada kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan perlindungan yang intensif pada zona‐zona yang memiliki kemampuan menyerap air tanah dengan baik sehingga debit mata air disekitarnya dapat terjaga. Arahan Pengelolaan pada kawasan resapan air ini berupa: • Pengaturan KDB yang mengatur tentang luasan tanah yang dapat ditutupi oleh setiap
pemilik tanah agar kemampuan tanah dalam menyerap air dapat terjaga. • Kewajiban setiap pemilik lahan untuk melakukan penghijauan, penanaman vegetasi yang
dapat menyimpan air, dan memeliharanya. • Penerapan teknologi sumur‐sumur resapan air di beberapa titik lokasi permukiman kota
untuk menambah cadangan air tanah.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Pemanfaatan secara maksimal areal pemakaman sebagai daerah resapan air dengan melakuan penghijauan
• Taman‐taman Kota dan Ruang Terbuka Hijau kota (jalur hijau, lapangan olah raga, dll) difungsikan juga sebagai daerah resapan air.
• Pemantapan kawasan resapan air melalui pengukuhan dan penataan batas di lapangan untuk memudahkan pengendalian;
• Pengendalian kegiatan budidaya yang telah ada atau berlangsung lama; • Pengendalian fungsi hidrologi kawasan hutan di kawasan resapan air dan telah mengalami
kerusakan melalui langkah rehabilitasi dan konservasi; • Pencegahan kegiatan budidaya di kawasan resapan air kecuali kegiatan yang tidak
mengganggu fungsi kawasan lindung; • Pemantauan terhadap kegiatan yang di perbolehkan berlokasi di kawasan resapan air
seperti kegiatan penelitian, eksplorasi mineral dan air tanah, dan lain‐lain agar tidak mengganggu fungsi lindung;
• Pengendalian, pencegahan dan pemantauan kawasan resapan air di Kota Ternate untuk menjaga ketersediaan dan kualitas air;
• Pengendalian, pencegahan dan pemantauan kawasan resapan air di wilayah Kota Ternate dilakukan guna menjaga kelestarian kandungan air tanah Kota Ternate;
c. Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan perlindungan setempat berfungsi untuk melindungi kelestarian suatu manfaat atau suatu fungsi tertentu, baik yang merupakan bentuk alami maupun buatan, disekitar wilayah perairan yaitu meliputi sempadan pantai, Sempadan Kali Mati, sekitar Mata Air, dan sekitar mata air. Kondisi penggunaan lahan di kawasan sempadan pantai saat ini (eksisting) per kecamatan: • Pulau Ternate;
‐ Kecamatan Ternate Utara: berupa permukiman, ‐ Kecamatan Ternate Tengah : berupa permukiman, ‐ Kecamatan Ternate Selatan : berupa permukiman ‐ Kecamatan Pulau Ternate ; berupa permukiman, hutan sekunder, semak belukar,
kebun campuran. • Pulau Hiri
Kecamatan Hiri : berupa permukiman, hutan sekunder, semak belukar, kebun campuran • Pulau Moti
Kecamatan Moti : berupa permukiman, hutan sekunder, semak belukar, kebun campuran.
• Pulau – Pulau Batang Dua Kecamatan Batang Dua berupa permukiman, hutan sekunder, semak belukar, kebun campuran.
Kali Mati/Barangka adalah istilah lokal untuk menyebutkan saluran primer alami yang secara fisik meyeruapai bentuk sungai. Perbedaannya dengan sungai, barangka/kali mati tidak memiliki komponen mata air dan volume air hanya berasal dari air hujan serta air buangan dari limbah cair rumah tangga. Dengan demikian maka barangka/kali mati dapat didefenisikan sebagai saluran drainase primer sehingga perlakuan teknis dan administrasi meyangkut sempadannya berbeda dengan sempadan sungai pada umumnya.
Sementara itu pengertian sungai adalah tempat‐ tempat dan wadah serta jaringan air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (PP 35 Tahun 1991 Tentang Sungai). Sedangkan defenisi sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
kelestarian fungsi sungai. Dengan melihat kondisi eksisting di Kota Ternate maka jelas bahwa kali mati/barangka bukanlah sungai, saluran irigasi primer maupun kanal. Melainkan lebih tergolong pada jenis saluran drainase primer.
Dengan demikian maka arahan sempadan yang diberlakukan pada kali mati/barangka lebih ditujukan untuk pemeliharaan fungsi saluran drainase primer dan member perlindungan terhadap permukiman disekitar kali mati/barangka.
Pengelolaan pada kawasan sekitar mata air bertujuan untuk menjaga sumber air agar dapat mencukupi kebutuhan suplai air bersih bagi warga Kota Ternate dan sekitarnya. Pengelolaan pada kawasan sekitar mata air, juga mendukung fungsi kawasan sebagai daerah resapan air.
Adapun mata air di Kota Ternate yakni mata air Tege ‐ Tege di Kelurahan Marikurubu, mata air Ake ga’ale di Kelurahan Sangadji, mata air Santosa di Kelurahan Salero, dan mata air Akerica di Kelurahan Rua, mata air Jebubu di Kelurahan Tafaga, mata air Ake boki dan Ake Hula Kelurahan Tadenas (Moti). Kawasan Sekitar Mata Air ditetapkan sebagai garis melingkari mata air dengan radius 200 meter (PP tentang sungai dan danau Tahun 2004). Arahan umum kawasan sekitar mata air adalah sebagai berikut:
a. Sebagai kawasan perlindungan bagi berfungsinya aliran air dari mata air.
b. Sebagai fasilitas penunjang transmisi untuk pengolahan air bersih.
c. Kawasan sempadan mata air dijaga dalam bentuk ruang hijau.
d. Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau adalah adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ternate meliputi taman lingkungan, taman kota, hutan kota, jalur hijau, kawasan hijau dan taman pemakaman. Rencana ruang terbuka hijau mengacu kepada prinsip bahwa: a. Penduduk adalah pelaku utama yang kegiatannya menjadi dasar pembentukan dan
penataan ruang. b. Aspek kenyamanan Penduduk harus diperhatikan, yang terbagi atas :
• Kenyamanan fisik, yaitu perlindungan terhadap faktor iklim dan cuaca (teduh, sejuk, silau dan sebagainya) serta keterbatasan kemampuan fisiologis manusia (rasa lelah, jarak jangkauan dan sebagainya).
• Kenyamanan psikologis, yaitu rasa aman, keselamatan, keramaian, penerangan dan sebagainya).
c. Bentuk dan elemen‐elemen pembatas, lansekap dan “streetscape” ditujukan untuk menunjang unsur‐unsur setempat yang bersifat alami, yaitu dalam pemilihan material, jenis perkerasan, jenis penghijauan, jenis pembatas dan sebagainya.
d. Keistimewaan alam setempat menjadi unsur‐unsur penting pembentuk citra kawasan dengan memperhatikan faktor‐faktor fisik lingkungan setempat, yaitu geologi, hidrologi, flora‐fauna, iklim dan cuaca.
Rencana pengelolaan Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ternate meliputi: • Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau milik atau yang dikuasai oleh Daerah adalah
kewenangan Pemerintah Daerah • Setiap orang atau Badan dapat melakukan pengelolaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau atas izin dari Kepala Daerah • Pemerintah Daerah berwenang mengatur pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau milik orang
atau Badan dengan Peraturan Daerah
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Dalam upaya pengendalian dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau, setiap usaha atau kegiatan oleh dan/atau untuk kepentingan perorangan atau Badan yang memakai lokasi Ruang Terbuka Hijau tidak boleh menyimpang dari fungsinya dan harus memperoleh izin dari Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku
• Pengelolaan RTH oleh setiap badan/perorangan dapat dilaksanakan secara terpadu oleh instansi Pemda, masyarakat dan pelaku pembangunan lain sesuai bidang tugas dan tanggung jawab masing‐masing atas ijin Kepala Daerah
• Setiap penghuni atau pihak yang bertanggung jawab atas rumah/bangunan atau persil yang terbangun, wajib menghijaukan halaman/pekarangan dimaksud dengan menanam pohon pelindung, perdu, semak hias, penutup tanah/rumput, serta memeliharanya dengan baik.
Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan, sebagai berikut: • Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari Ruang Terbuka Hijau Publik dan RTH privat; • Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20%
ruang terbuka hijau publik dan privat, 10% terdiri dari ruang terbuka hijau hutan kota; • Apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total
luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.
Berdasarkan dari ketetapan tersebut di atas, maka dapat diestimasikan bahwa dari luas total Kota Ternate adalah 16.196 Ha, dimana dari luas tersebut dimanfaatkan 30% sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau sekitar 7.526 Ha. Apabila dirinci menurut pemanfaatannya, maka untuk RTH berupa taman publik dan privat sebesar 20 % adalah 5.017 Ha dan berupa hutan kota sebesar 10 % adalah 16.196 Ha. Untuk lebih jelasnya estimasi kebutuhan RTH di Kota Ternate, sebagaimana pada tabel 3.5.
Tabel 3.4 Estimasi Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Kawasan Kota Ternate 2011‐2030
No Kecamatan Luas(Ha)
RTH Publik 20%
RTH Privat 10%
RTH 30%
1 Pulau Ternate 5.260 1052 105,2 15782 Moti 2.486 497,2 49,72 745,83 Pulau Batang Dua 2.947 589,4 58,94 884,14 Ternate Selatan 2.119 423,8 42,38 635,75 Ternate Tengah 1.729 345,8 34,58 518,76 Ternate Utara 992 198,4 19,84 297,67 Pulau Hiri 663 132,6 13,26 198,9
Total 16.196 3239,2 323,92 4858,8Sumber: Buku Analisis RTRW, Tahun 2010
Pola ruang untuk Kawasan Budidaya direncanakan meliputi: kawasan hutan sekunder, kawasan pertanian, kawasan perikanan, kawasan jasa dan perdagangan, kawasan pariwisata, kawasan permukiman, kawasan industri kecil dan menengah, kawasan pertambangan Golongan C, dan non hijau dan Kawasan lain‐lain
a. Kawasan Permukiman
Penataan kawasan budidaya yang diperuntukan bagi kawasan perumahan dan pemukiman direncanakan berdasarkan 2 (dua) kategori lingkungan yaitu Lingkungan perumahan dan pemukiman berkepadatan tinggi; dan Lingkungan perumahan dan pemukiman berkepadatan rendah dan sedang.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Lingkungan perumahan dan permukiman berkepadatan tinggi
Di beberapa lokasi khususnya di Kecamatan Ternate Utara, Ternate Tengah dan Ternate Selatan terdapat lingkungan perumahan dan permukiman berkepadatan tinggi yang cenderung kumuh. Kawasan ini tersebar khususnya pada bagian pesisir pantai dari kelurahan‐kelurahan seperti Kalumata, Kayu Merah, Bastiong Karance, Bastiong Talangame, Mangga Dua, Mangga Dua Utara, Kota Baru, Kampung Makassar Timur, Soa Sio, Salero, Sangaji, Kasturian dan Dufa‐dufa yang ditunjukkan oleh fakta visual adanya kepadatan atau kerapatan bangunannya. Dengan mengacu pada angka kepadatan penduduk maksimum menurut WHO yakni 90 jiwa/ha, dan dengan asumsi bahwa satu Rumah Tinggal dihuni oleh 2 sampai 5 jiwa, maka kepadatan maksimum bangunan Rumah Tinggal adalah sebesar sekitar 19 sampai 45 rumah/ha. Namun pada kawasan terbangun yang sudah dalam keadaan berkepadatan bangunan dalam kategori tinggi, maka tentu saja tidak dapat serta merta dilakukan pembongkaran, tetapi harus ditempuh cara yang lebih arif, yakni : • Dilakukan pembinaan terhadap aspek penyehatan lingkungan perumahan dan
permukiman, untuk menghindari atau mencegah terjadinya proses kekumuhan kawasan. Program yang dilakukan misalnya dalam bentuk KIP (Kampung Improvement Program), pendekatan dengan metode Tri Daya (pemberdayaan masyarakat, ekonomi dan infrastruktur), PNPM Mandiri serta peremajaan kawasan atau sejenisnya
• Pengendalian terhadap aspek KDB (Koefisien Dasar Bangunan), dimana dilakukan pengawasan terhadap upaya perluasan bangunan secara horisontal agar tidak menambah tingkat kepadatan, sebaliknya diarahkan pembangunan secara vertikal.
• Penetapan Kawasan permukiman kumuh di Kota Ternate melalui Surat Keputusan Walikota berdasarkan hasil survey konprehensip.
• Adapun penanganan kawasan kumuh tersebut melalui program tertentu seperti KIP atau Tri Daya serta peremajaan kawasan sejenis, dilakukan dengan pengkajian yang lebih mendetail yaitu melalui penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Lingkungan perumahan dan permukiman berkepadatan rendah dan sedang
Lingkungan perumahan dan permukiman berkepadatan rendah dan sedang tersebar pada seluruh kecamatan di Kota Ternate dan dapat dijumpai pada kawasan yang terletak bagian atas dengan tingkat kemiringan lereng 15% hingga 25%.
Ruang pengembangan pada kawasan yang berkepadatan rendah dan sedang mengarah pada pola perubahan fungsi lahan dari lahan tidur menjadi ruang perumahan serta sebagian konversi lahan pertanian/perkebunan tetapi tetap dibatasi pada kelas kelerengan 15%.
Di Kecamatan Ternate Utara, Ternate Tengah, Ternate Selatan, Pulau Ternate, Batang Dua dan Hiri dimungkinkan terjadi peluang konversi lahan pertanian/perkebunan pada kelas lereng 15% menjadi ruang perumahan permukiman.
Kawasan pengembangan Kota Baru sebagai pusat pertumbuhan baru wilayah kota merupakan konversi lahan pertanian/perkebunan, kedepan akan menjadi andalan lokasi pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Ternate yang dikembangkan dalam bentuk pembangunan perumahan terencana dengan pola Lisiba BS, Rusunawa/Rusunami ataupun real estate.
Pengembangan fasilitas perumahan dan permukiman di Kota Ternate harus atas dasar pemahaman bahwa perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia sebagai wadah untuk melakukan aktivitas sehari‐hari dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dan membina keluarga. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang atas kebutuhan dan arahan ruang. Penentuan kebutuhan dan arahan ruang perumahan permukiman di Kota Ternate didasarkan pada kesediaan lahan dan kecenderungan jumlah penduduk yang akan didistribusi.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Jumlah penduduk yang akan terdistribusi pada kawasan perkotaan Kota Ternate hingga tahun 2030 sekitar 299.458 jiwa. Untuk kebutuhan jumlah rumah diasumsikan 1 kepala keluarga (KK) terdiri dari 5 orang anggota keluarga dan membutuhkan 1 unit rumah. Perbandingan masing‐masing klasifikasi rumah beserta luas tipe kapling diuraikan sebagai berikut : • Untuk kapling tipe A (besar) dengan luasan 600 m2 (20 x 30) • Untuk kapling tipe B (sedang) dengan luasan 300 m2 (15 x 20) • Untuk kapling tipe C (kecil) dengan luasan 150 m2 (10 x 15)
Perbandingan jumlah rumah untuk masing‐masing tipe kapling adalah 1 : 3 : 6, dengan asumsi 10% untuk tipe A, 30% untuk tipe B dan 60% untuk tipe C. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat diperkirakan kebutuhan sarana permukiman dan perumahan di kawasan perkotaan adalah kurang lebih 59.892 unit dengan luas lahan keseluruhan kurang lebih 1.437,40 Ha. Secara rinci jumlah rumah yang dibutuhkan berdasarkan klasifikasi tipe kapling diuraikan pada tabel berikut;
Untuk pengembangan lokasi kawasan perumahan, maka rencana pengembangan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: • Tidak terganggu oleh polusi (air, udara, suara). • Dapat disediakan air bersih (air minum). • Memberikan kemungkinan untuk perkembangan pembangunannya. • Mudah dan aman mencapai tempat kerja. • Tidak berada dibawah permukaan air setempat. • Mempunyai kemiringan rata‐rata
Dalam menentukan kawasan perumahan harus pula memperhatikan aspek‐aspek sosial yang terdapat dalam kawasan perencanaan seperti tempat‐tempat keramat atau peninggalan sejarah dan penghidupan penduduknya.
Alokasi ruang kegiatan permukiman secara konsepsional diarahkan pada lahan‐lahan dengan karakter sebagai berikut : • Kemiringan maksimum 15 % (untuk kegiatan perumahan) • Tidak terletak pada zona rawan bencana • Tidak terletak pada kawasan fungsi lindung (30‐40 dan >40%)
b. Kawasan Jasa dan Perdagangan
Kawasan jasa dan perdagangan Kota Ternate dikelompokkan menjadi : • Jasa & Perdagangan skala Kota dan Regional Provinsi (pelayanan primer) • Jasa & Perdagangan skala Kota (pelayanan sekunder) • Jasa & Perdagangan skala Lokal/Kecamatan (pelayanan tersier)
Lokasi kawasan Jasa & Perdagangan skala Kota dan Regional yang berada di Kelurahan Gamalama dan Kelurahan Muhajirin tetap dipertahankan fungsi dan tingkatan pelayanannya. Sedangkan alokasi ruang kegiatan jasa dan perdagangan skala pelayanan sekunder, adalah di Bastiong, Dufa‐dufa dan Sasa. Alokasi ruang kegiatan Jasa & Perdagangan skala tersier diarahkan di Sulamadaha, Moti Kota, Togolobe, dan Mayau.
Alokasi pengembangan ruang kegiatan jasa & perdagangan adalah pada lahan budidaya pemukiman/perumahan dan diarahkan pada pusat‐pusat pertumbuhan permukiman, mengelompok pada area tertentu yang mudah dikenali, aman dan tidak memiliki kecenderungan menimbulkan gangguan‐gangguan sosial, keamanan dan lingkungan.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
c. Kawasan Perkantoran Kawasan perkantoran yang dimaksud adalah kawasan perkantoran pemerintahan baik untuk skala Kelurahan, Kecamatan, dan Kota, sedangkan untuk perkantoran pemerintah Kota Ternate berada di Jalan Yos Sudarso, Jalan Cengkih Afo, Jalan Pattimura. Perencanaan pembagian ruang untuk kawasan perkantoran diarahkan guna penyediaan ruang bagi aktivitas perkantoran pemerintah maupun swasta.
Rencana pengelolaan kawasan perkantoran di wilayah Kota Ternate meliputi: • Pengembangan fasilitas beraksesibiltas tinggi bagi perkantoran pemerintah pada semua
tingkatan, pada pusat pelayanan pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan. • Meminimalisir pengembangan fasilitas swasta bercampur dengan fasilitas perdagangan
dan jasa untuk tidak berada dalam satu komplek kawasan perumahan; • Pengembangan fasilitas perkantoran eksisting milik pemerintah dan swasta dilakukan
melalui strategi penataan dan rehabilitasi. d. Kawasan Industri
Kegiatan sektor industri Kota Ternate saat ini masih terbatas pada industri kecil, yang tersebar di seluruh Kecamatan. Hal ini dapat dilihat dari Data yang diperoleh dari Dinas Perinkop Kota Ternate Tahun 2010 bahwa Daftar Jumlah Perusahaan industri di Kota Ternate sebanyak 403 Perusahaan industri dengan Rincian jenis Usaha yakni : Industri Pangan 121 buah, Industri kimia dan bahan Bangunan 208 buah, industri sandang, kulit, kerajinan sebanyak 69 serta industri kecil bidang logam 5 buah. Banyaknya tenaga kerja yang terserap pada sub sektor industri berjumlah 1526 orang. Pengelompokan kegiatan industri yang ada dan berpeluang dikembangkan di Ternate saat ini adalah tipologi industri kecil dan menengah. Sebagai tipe Kota Jasa dan perdagangan, maka peluang pengembangan indstri harus disediakan karena cenderung berkaitan erat dengan kebutuhan pengembangan sektor jasa dan perdagangan. Pengembangan lokasi ruang kegiatan industri dengan melihat tipologi industri yang berkembang adalah cenderung yang mendekati pasar. Kebutuhan alokasi ruang untuk jenis‐jenis industri sebagaimana hasil analisis tersebut diatas adalah : • Industri yang cenderung membutuhkan kedekatan dengan pelabuhan diletakkan pada
posisi dekat dengan pelabuhan, misalnya industri perbaikan kapal, pabrik es untuk kebutuhan perikanan/nelayan, industri kilang BBM, dan industri pengantongan/pengepakan bahan tertentu yang berorientasi untuk di pasarkan ke daerah lain, selain untuk kebutuhan Kota Ternate sendiri.
• Industri penambangan Galian C dikonsentrasikan pada daerah dekat bahan baku yang dijauhkan dengan konsentrasi perumahan dan permukiman
• Industri kerajinan, perabotan dan industri bahan bangunan dapat dikonsentrasikan pada suatu kawasan industri kecil/menengah yang dapat dilayani atau terjangkau oleh sistim transportasi untuk kebutuhan distrbusi penjualan produk dan kemudahan aliran bahan baku.
• Industri kimia yang beresiko atau membahayakan lingkungan diletakkan pada kawasan yang jauh dari jangkauan kepadatan perumahan dan permukiman serta fasilitas strategis perkotaan lainnya.
• Industri kecil fotocopy, dan penjilidan dapat diletakkan pada kawasan di sentra‐sentra perumahan/permukiman atau di pusat jasa & perdagangan, perkantoran serta di pusat pendidikan.
• Industri kecil jasa perbaikan elektronika dapat dialokasikan di sentra‐sentra perumahan/permukiman atau di pusat jasa & perdagangan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Industri perbengkelan kendaraan cenderung membutuhkan tempat yang mudah terjangkau oleh masyarakat pemakai jasa, sehingga dapat terletak di pusat‐pusat permukiman.
Dilihat dari keadaan spasial Kota Ternate, khsusunya di P. Ternate, dan berdasarkan hasil analisis lainnya menunjukkan bahwa di Ternate Utara, Ternate Tengah dan Ternate Selatan (BWK I, II, III), industri yang diarahkan sebagaimana yang telah ada saat ini tetap dikembangkan untuk mendukung percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan lain. Untuk pulau Moti, dan Batang Dua (BWK VI, VII) diarahakan untuk industri pertanian dan perikanan sedangkan Kecamatan Pulau Ternate (BWK IV) mengingat kondisi topografi dan daerah rawan bencana gunung berapi maka industri yang diarahkan adalah industri kerajinan (home industry). e. Kawasan Pariwisata
Sebagai Kota tua dan bersejarah Ternate memiliki sejumlah objek wisata, antara lain: • Wisata Sejarah berupa Benteng Peninggalan Portugis/Belanda/Spanyol. • Wisata Budaya berupa Kedaton, Mesjid Sultan dan Atraksi Kesenian • Wisata Agro berupa Pohon Cengkih Terbesar dan Tertua di Dunia dan Perkebunan • Wisata Bahari di Pulau Moti, Hiri dan Batang Dua • Wisata Alam berupa panorama pantai, gunung, danau dan batu angus. • Wisata Kuliner makan khas Kota Ternate
Objek‐objek wisata ini secara optimal belum dikembangkan. Disamping objek pariwisata tersebut diatas, tersedia pula prasarana pariwisata lainnya seperti hotel dan penginapan di Kota Ternate.
Rencana Pengembangan Pariwisata di Kota Ternate meliputi; penetapan kawasan pengembangan pariwisata, pengembangan objek dan daya tarik wisata, aksesibilitas, pengembangan fasilitas penunjang wisata, pengembangan SDM dan Kelembagaan, pegelolaan lingkungan dan pengembangan pasar pariwisata.
Rencana penetapan Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP), Kota Ternate yaitu; a. Kawasan Pengembangan Pariwisata Alam meliputi; pantai, danau, geologi dengan
dukungan atraksi wisata buatan yang masih terkait dengan wisata alam mencakup Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW); Batus Angus – Pantai Tanbangan – Pantai Sulamadaha – Pantai Tolire Kecil – Danau Tolire Besar.
b. Kawasan Pengembangan Pariwisata Alam dengan dukungan wisata Buatan yang terkait dengan panorama pantai mencakup wilayah ODTW; Pantai Taduma ‐ Pantai Bobane Ici – Pantai Rua – Pantai Kastela – Benteng Gamlamo – Makam Sultan Babullah.
c. Kawasan Pengembangan Pariwisata Budaya mencakup wilayah ODTW; Benteng Toluco/Holandia ‐ Benteng Orange ‐ Benteng Kalamata (Santalucia) ‐Benteng Kota Janji (Santo Pedro) ‐ Benteng Kastela (Santo Paolo) ‐ Kedaton Sultan Ternate ‐ Mesjid Sultan Ternate ‐ Jembatan Residen ‐ Kuburan Sultan Babullah ‐ Kuburan Sultan Badaruddin II
d. Kawasan Pengembangan Pariwisata Sejarah mencakup wilayah ODTW; Benteng Kota Janji – Danau Laguna ‐ Benteng Kalamata.
e. Kawasan Pengembangan Wisata Kuliner mencakup Kawasan Tapak I, I plus, II, III, Kawasan Swering, dan kawasan rencana jalan reklamasi Dufa Dufa – Salero.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Gambar 3.5 Peta Rencana Pola Ruang Kota Ternate
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.2.3 Kebijakan Rencana dan Strategi Penetapan Kawasan Strategis Kota Ternate Kawasan strategis adalah kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, serta pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ternate, secara hirarkis terdapat beberapa jenjang kawasan strategis yaitu Kawasan Strategis Nasional (KSN), Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dan Kawasan Strategis Kota Ternate.
a. Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Kawasan Strategis Nasional (KSN) adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Dalam sisten penataan ruang nasional (RTRWN) mengarahkan Kota Ternate sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN), yang ditunjang oleh keberadaan Bandara Sultan Baabullah dan Pelabuhan Ahmad Yani. Dengan demikian perlunya dilakukan deliniasi terhadap kawasan Bandara dan Pelabuhan, untuk memberikan fungsi yang strategis dan saling menunjang sehingga dapat beraglomerasi dalam satu kesatuan kawasan strategis Bandara dan Pelabuhan.
b. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Maluku Utara
Penetapan Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Maluku Utara dilakukan berdasarkan kepentingan pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Maluku Utara, menetapkan Kota Ternate dalam satu kawasan strategis yang terintegrsai dengan beberapa kawasan sekitarnya yaitu Kota Ternate, Tidore, Sidangoli dan Sofifi sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan perekonomian, karena potensial untuk pengembangan industri. Kawasa ini berpotensi untuk kegiatan pelayanan tingkat regional, pemerintahan, pendidikan dan pengembangan industri. Untuk itu pengembangannya diarahkan pada: a. Peningkatan pelabuhan Ternate sebagai pelabuhan ekspor, dengan penyediaan prasarana
dan sarana penunjangnya seperti prasarana jalan dan penyeberangan dari dan ke Pelabuhan Ternate;
b. Peningkatan bandar udara Sultan Baabullah di Ternate; c. Peningkatan pelayanan transportasi antar moda dan sarana penyeberangan; d. Peningkatan pelayanan fasilitas regional seperti pelabuhan laut, bandar udara, rumah sakit
dan lain‐lain; e. Peningkatan peningkatan prasarana perkotaan yang menunjang di Kota Ternate terutama
peningkatan aksesibilitas dari wilayah produksi ke pusat pengumpul atau pasar; f. Pengembangan sarana pendidikan tinggi dan ketrampilan khusus penunjang industri di
Kota Ternate; g. Pengembangan permukiman baru untuk mengantisipasi permasalahan lahan dan
pertumbuhan penduduk di Pulau Ternate, serta pengembangan sumber‐sumber air bersih; h. Pengembangan pariwisata di Kota Ternate sebagai strategi penunjang kehidupan industri
rakyat; terutama wisata sejarah dengan adanya situs sejarah Kerajaan Ternate.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
c. Kawasan Strategis Kota Ternate
Kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting terhadap perkembangan kawasan makro Kota Ternate baik dari segi ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Selain itu, kawasan strategis juga akan berpengaruh terhadap tata ruang di wilayah sekitarntya, kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat kawasan ini mempunyai pengaruh yang sangat penting maka diperlukan penetapan secara tegas dan rencana serta penanganan perkembangannya harus dilihat secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai sektor, sinergis dengan kawasan yang ada di sekitarnya, dan harmonis tetap mempertimbangkan dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan.
d. Kawasan Strategis Pertahanan Dan Militer
Kawasan strategis pertahanan dan militer, merupakan kawasan yang dinilai memiliki nilai strategis dan dirpioritas untuk kegiatan pertahanan dan keamanan. Sistem kegiatan didalamnya memiliki sfesifikasi dan aktivitas khusus terkait dengan sistem keamanan dan pertahanan negara. Perlunya ditetapkan deliniasi kawasan stratgeis ini, yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi kepentingan sistem pertahanan dan keamanan negara, lokasi kawasan ini antara lain; di Kelurahan Tubo (Lapangan tembak AD), Kelurahan Takome (Lapangan tembak AD), Kelurahan Akehuda (AL), Kelurahan Siko (KOREM), Kelurahan Manggadua Utara (KODIM), Kelurahan Salahudin (Kipan/AD), Kelurahan Takoma (Kepolisian/Polres).
Sedangkan untuk pengembangan kawasan strategis pertahanan dan keamanan hingga tahun 2030, dapat memanfaatkan lahan yang dipandang memiliki nilai strategis untuk mempertahankan keamanan dan stabilitas negara.
e. Kawasan Strategis Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi
Kawasan strategis kepentingan pertumbuhan ekonomi, merupakan kawasan yang memiliki nilai strategis terhadap kepentingan ekonomi Kota Ternate. Penetapan kawasan ini bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi Kota Ternate, dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang ada, sehingga diharapkan dapat menjadi sumber‐sumber pendapatan ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat. Fungsi kawasan diarahkan untuk kegiatan budidaya, dengan mengembangkan aglomerasi berbagai kegiatan ekonomi yang memiliki :
• Potensi ekonomi cepat tumbuh • Sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi • Potensi ekspor • Dukungan jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi • Kegiatan ekonomi yang memanfaatkan teknologi tinggi
Kawasan strategis kepentingan pertumbuhan ekonomi, yang diarahkan pengembangannya di Kota Ternate meliputi :
• Pengembangan Kawasan Kota Baru Ternate di Kecamatan Ternate Selatan dan Kecamatan Ternate Pulau
• Pengembangan Kawasan Minapolitan Kota Ternate • Kawasan Water Front City (Kawasan Reklamasi) Kota Ternate • Kawasan Lokasi Industri di Tafure dan Tabam • Kawasan pengembangan lahan pertanian di Kec. Pulau Moti dan Batang Dua • Kawasan Agrowisata di Foramadiayahi
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
f. Kawasan Strategis Lingkungan Hidup
Kawasan Strategis Rawan Bencana ditetapkan sebagai bagian dari perlunya pertimbangan faktor kebencanaan di dalam pengembangan wilayah. Kawasan ini ditetapkan di pada Kawasan Gunung Gamalama utama, yaitu:
• Hampir seluruh wilayah Kota Ternate untuk kawasan rawan letusan gunung; • Kawasan sepanjang pesisir pantai untuk kawasan rawan bencana tsunami, terutama di
Kecamatan Batang Dua (Pulau Mayau dan Tifure) • Kawasan Danau Laguna dan sekitarnya • Kawasan Danau Tolire dan Sekitarnya • Kawasan Mata Air Ake Gale, Santosa, Tege‐Tege, Ake Rica, Ake Minta, Ake Tubo Kawasan‐kawasan tersebut perlu dilakukan pelestarian untuk menjaga kelangsungan dan kelestarian lingkungan, yang berfungsi untuk menjaga keselamatan lingkungan dan masyarakat.
g. Kawasan Strategis Kepentingan Sosial Budaya
Kawasan Strategis Kepentingan Sosial Budaya, merupakan kawasan yang memiliki niai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya. seperti :
• Keraton Kesultanan Ternate di Kelurahan Soa Kecamatan Ternate Utara • Pesta Rakyat yang disebut “Legu Gam” yang sudah menjadi agenda tahunan Kota Ternate
yang setiap tahun dilaksanakan di Lapangan Ngaralamo • Kawasan Benteng Kota Janji di Kelurahan Fitu Kecamatan Ternate Selatan • Kawasan Benteng Orange di Kelurahan Makassar Timur Kecamatan Ternate Tengah • Kawasan Benteng Toloco/Holandia di Kelurahan Sangaji Utara Kecamatan ternate Utara
Kawasan wisata budaya di Kawasan Kelurahan Soasio seperti Upacara Adat Kolano Uci Sabea, Penobatan Kapita/Fanyura, Baramasuwen (bambu Gila), Badabus, Soya‐soya, Cakalele, Lagu dan Dadansa, Tide dan Ronggeng, Gala, Upacara Adat perkawinan Malut, Lala, Dana‐dana, Salajin dan Togal yang merupakan wisata budaya yang memiliki potensi sebagai atraksi budaya tradisional Ternate.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Gambar 3.6 Peta Rencana Kawasan Strategis Kota Ternate
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.3 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan Strategis Kota Tidore Kepulauan
Pengembangan Tata Ruang Kota Tidore Kepulauan didasarkan pada Visi “Terwujudnya Kota Tidore Kepulauan yang Maju, Mandiri dan Berkeadaban” yang bertujuan demi “Terwujudnya Kota Tidore Kepulauan sebagai kota bahari dengan didukung oleh kegiatan pertanian ‐ perkebunan dan pariwisata yang maju dan mandiri serta mampu mempertahankan nilai – nilai kebudayaan yang ada”. Tujuan ini diharapkan mampu menjadi grand scenario bagi pengembangan tata ruang wilayah secara spasial maupun sektoral.
Pembangunan wilayah Kota Tidore Kepulauan selama kurun waktu dua puluh tahun dibagi menjadi empat tahap pembangunan jangka pendek yaitu antara tahun 2010‐2015, 2015‐2020, 2020‐2025, 2025‐2030. Berdasarkan analisis ekonomi, potensi‐masalah dan analisis SWOT, kegiatan utama yang akan dikembangkan dalam pembangunan wilayah antara lain pertanian‐perkebunan, pariwisata dan perikanan. Pembangunan pada kegiatan pertanian‐perkebunan dilakukan pada sepuluh tahun pertama dari tahun 2010‐2020 dengan membangun sarana dan prasarana pertanian yang merata di semua wilayah. Pembangunan pada sektor pariwisata dilakukan disepanjang tahun perencanaan meliputi sarana dan prasarana penunjang pariwisata (2010‐2030). Kegiatan pembangunan di sektor pariwisata diusahakan dilakukan secara berkelanjutan dengan melakukan evaluasi pada pelayanan pariwisata.
Pembangunan pada sektor perikanan sebagai bagian pertanian (basis ekonomi) dilakukan setelah pembangunan pada bidang pertanian‐perkebunan dirasa telah mencukupi dan mampu melayani Kota Tidore Kepulauan secara mandiri. Sehingga kegiatan pembangunan pada sektor perikanan dilakukan pada sepuluh tahun terakhir dari tahun perencanaan yaitu pada tahun 2020‐2030. Pembangunan yang dilakukan meliputi pembangunan sarana dan prasarana perikanan, daerah pelabuhan, pengelolaan perikanan. Seluruh kegiatan pendukung kegiatan utama pembangunannya dilakukan diseluruh tahun perencanaan meliputi pembangunan dan perbaikan jaringan jalan, jaringan drainase, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi dan pemantapan pada sistem pelayanan perkotaan lainnya termasuk persampahan, pemenuhan ruang terbuka hijau, ruang terbuka non hijau dan sarana prasarana penunjang lainnya. B.3.1 Kebijakan Rencana Struktur Ruang Kota Tidore Kepulauan
Struktur tata ruang wilayah akan diarahkan pada peningkatan hubungan Kota Tidore Kepulauan dengan pusat – pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan pada Provinsi Maluku Utara dengan jaringan transportasi Laut dan jaringan jalan arteri yang terpadu. Sedangkan, hubungan intra regional akan ditunjang dengan transportasi laut dan darat. Transportasi laut ditunjang oleh 5 pelabuhan yang terdapat di Rum, Soasio, Sofifi, Goto dan Loleo yang sudah beroperasi dengan baik dan melayani pelayaran dalam skala regional (Pelabuhan Goto, Pelabuhan Loleo) maupun yang sudah melayani pelayaran nasional dan regional (Rum, Soasio, Sofifi). Transportasi darat ditunjang oleh 4 Terminal yang masing – masing letaknya berdekatan dengan pelabuhan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perpindahan antar moda transportasi. Selain itu terdapat rencana jaringan jalan ‘Trans Halmahera’ yang merupakan jaringan jalan arteri untuk pergerakan dalam skala nasional melewati Kota Tidore Kepulauan dari Sofifi hingga Kecamatan Oba.
Dengan adanya peran Kota Sofifi Sebagai pusat administrasi (pemerintahan) Provinsi Maluku Utara maka akan membawa dampak bagi perkembangan fisik dan kegiatan di Tidore kepulauan. Dengan demikian diperlukan pengembangan struktur tata ruang yang sesuai dengan kondisi tersebut. Struktur Tata Ruang Kota Tidore Kepulauan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan pusat – pusat aktivitas ekonomi meliputi Pulau Tidore sebagai PKW, Sofifi sebagai PKLW, Gita‐Payahe sebagai PKL 1 dan seluruh ibukota kecamatan sebagai Pusat Kegiatan Kecamatan (PKL 2).
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
b. Struktur jaringan transportasi meliputi pengembangan terminal angkutan darat di Soasio dan Sofifi, Pengembangan perhubungan laut di Soasio dan Sofifi serta pengembangan jaringan jalan regional yang meliputi pengembangan jaringan jalan ‘Trans Halmahera’ sebagai jalan arteri yang di dalam Kota Tidore Kepulauan menghubungkan Sofifi, Loleo, Gita‐Payahe dan Lifofa. Jaringan transportasi diarahkan agar terminal dan atau sub terminal terletak berdekatan dengan pelabuhan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pergerakan antar moda
c. Pusat – pusat pengembangan kawasan wisata bahari dan budaya yang tersebar di seluruh wilayah Kota Tidore Kepulauan
Untuk memudahkan pelaksanaan prioritas pembangunan Kota Tidore Kepulauan dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan kriteria pembagian wilayah. Selain memudahkan prioritas pelaksanaan penanganan dan pembangunan wilayah kota tetapi juga, memudahkan dalam penangan masalah terutama dalam perencanaan tata ruang yang lebih detail. Berdasarkan tata ruang, penentuan Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) didasarkan pada : 1. Kesamaan sifat kondisi alami 2. Kesamaan sifat fungsi bangunan 3. Kesamaan sifat kepadatan bangunan 4. Kesamaan sifat kegiatan penduduk 5. Keterkaitan fungsi satu peruntukan dengan peruntukan lainnya (Unity) 6. Batas alam maupun batas jalan 7. Batas administrasi 8. Kekompakan Wilayah Pembangunan tersebut dilihat dari pola perkembangan 9. Kemudahan dalam pelaksanaan tahap pembangunan kota
Kota Tidore Kepulauan menjadi wilayah kota sejak tahun 2003 sebagai pemekaran di wilayah Provinsi Maluku Utara. Terjadinya pemekaran wilayah dikarenakan wilayah tersebut dikategorikan dapat berkembang lebih pesat dan mandiri jika berdiri sendiri menjadi sebuah kota. Dalam perkembangannya, Kota Tidore Kepulauan telah ditetapkan menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) untuk mendukung keberadaan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Ternate. Ternate sebagai ibukota provinsi telah berkembang menjadi kota yang padat dengan berkumpulnya fasilitas perdagangan harus didukung oleh Tidore sebagai simpul transportasi dan distribusi barang dan jasa kepada wilayah lainnya. Seiring berkembangnya Ternate, maka direncanakan perpindahan ibukota Provinsi Maluku Utara ke Kota Sofifi. Kota Sofifi yang merupakan wilayah Kota Tidore Kepulauan dalam RTRW Provinsi Maluku Utara direncanakan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara. Perpindahan pusat pemerintahan tersebut ditujukan agar Ternate dapat berkembang menjadi pusat perdagangan di Provinsi Maluku Utara.
Berdasarkan kondisi diatas dan pertimbangan keberadaan Kota Tidore Kepulauan yang strategis, maka pengembangan Kota Tidore Kepulauan didasarkan pada konsep komplementer. Kota Tidore Kepulauan tidak didorong untuk menjadi wilayah yang berdaya saing dengan kabupaten/kota lainnya melainkan didorong menjadi pelengkap bagi wilayah sekitarnya. Hal tersebut berkaitan dengan status Kota Tidore Kepulauan sebagai wilayah andalan bagi wilayah sekitarnya seperti Ternate, Weda, Sidangoli, dan sekitarnya. Sehingga Kota Tidore Kepulauan dikembangkan menjadi tiga satuan wilayah pengembangan dengan pengembangan pada potensi unggulan yang berbeda yang sesuai dengan karakteristik wilayah masing‐masing.
Pulau Tidore khususnya dikembangkan menjadi daerah wisata budaya, sejarah, agro dan bahari (Kota resort island) dengan konsep pengembangan tepian air (waterfront). Pulau Tidore sebagai SWP I mempunyai fungsi sebagai pusat pemerintahan untuk Kota Tidore Kepulauan tidak didorong menjadi wilayah yang lebih padat dari yang sekarang karena mempertimbangkan:
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
1. Keadaan fisik geologis 2. Keberadaan Sofifi yang akan dikembangkan menjadi ibukota provinsi dan akan
berkembang menjadi kawasan yang ramai/padat penduduk. 3. Keberadaan Ternate yang telah berkembang menjadi pusat perdagangan dengan
banyaknya fasilitas pendukung perdagangan antara lain: transportasi yang memadai seperti bandar udara dan fasilitas perbankan Bank Indonesia.
4. Banyaknya potensi alam dan budaya yang dapat dikembangkan menjadi potensi pariwisata. Pulau Tidore yang dikelilingi oleh pulau‐pulau kecil lainnya sangat cocok untuk daerah peristirahatan dengan potensi wisata alam dan budayanya. Potensi wisata alam terdiri dari panorama gunung, perkebunan dan bahari, sedangkan wisata budaya terdiri dari kesultanan, peninggalan sejarah dan wisata ziarah (keagamaan).
Wilayah Kota Tidore Kepulauan di Pulau Halmahera berada di tengah‐tengah Pulau Halmahera. Posisi tersebut menjadi posisi yang strategis dan vital sebagai penghubung antara Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan. Pembagian wilayah Kota Tidore Kepulauan di Pulau Halmahera berdasarkan: 1. Fungsi Kota Tidore Kepulauan sebagai simpul transportasi. 2. Jarak dan waktu yang ditempuh dalam perjalanan darat di wilayah antar kecamatan
Kota Tidore Kepulauan. 3. Rencana Kota Sofifi akan dikembangkan menjadi ibukota Provinsi Maluku Utara.
Pengembangan SWP II meliputi Kecamatan Oba Utara dan Oba Tengah. Pusat kegiatan SWP II adalah Kota Sofifi. Kota Sofifi yang direncanakan sebagai ibukota provinsi yang baru diperkirakan akan berkembang pesat. Perkembangan wilayah Kota Sofifi sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan jasa dijadikan sebagai pusat kegiatan SWP II yang melayani hingga Kecamatan Oba Tengah. Hal ini dikarenakan jarak antara ibukota Kecamatan Oba Tengah (Loleo – Akelamo) dengan wilayah BWK Kota Sofifi sangat dekat. Diperkirakan dengan berkembangnya Kota Sofifi aglomerasinya dapat menjangkau sampai Oba Tengah. Sehingga Oba Tengah akan menjadi daerah yang mendukung kegiatan di Kota Sofifi. Kesamaan karakteristik wilayah Oba Utara dan Oba Tengah adalah mempunyai daerah perkebunan dan daerah pertambangan. Dengan demikian Oba Utara dan Oba Tengah berada dalam satu satuan wilayah pengembangan.
Pada pengembangan SWP III secara kewilayahan, Kecamatan Oba dan Oba Selatan mempunyai jarak yang relatif jauh dengan pusat kota dan ibukota provinsi. Untuk mencapai pusat kegiatan lainnya seperti Bacan, membutuhkan waktu enam jam. Gita‐Payahe dapat dijadikan pusat kegiatan baru untuk wilayah Kota Tidore Kepulauan bagian selatan dengan mempertimbangkan agar dapat memicu pertumbuhan daerah selatan. Pertumbuhan pusat kegiatan baru tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai akses atau gerbang dari/ke wilayah di luar Kota Tidore Kepulauan yang ada di selatan seperti Weda dan Bacan. Pembangunan di Gita‐Payahe akan didorong pada lima tahun pertama masa perencanaan (Tahun 2010‐2014).
Dengan kondisi wilayah tersebut, maka tujuan pengembangan Kota Tidore Kepulauan secara umum terdiri atas tercapainya pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability), yang perlu dicapai melalui upaya‐upaya pembangunan dan pemanfaatan yang saling berkaitan dan berkesinambungan. Pengembangan Kota Tidore Kepulauan harus mampu mempertahankan keberlangsungan hidup (sustainability) sumber‐sumber daya yang dimilikinya baik sumber daya alam (natural resources) seperti panorama alam, kondisi topografi, flora dan fauna serta iklim maupun aneka sumberdaya budaya (cultural resources).
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
a. Penetapan Kawasan Perkotaan dan Kawasan Pedesaan
Kondisi wilayah Kota Tidore Kepulauan yang dipisahkan oleh selat menjadikan wilayah tersebut mempunyai perbedaan karakteristik wilayah. Pulau Tidore lebih memiliki karakteristik wilayah perkotaan sedangkan wilayah di Pulau Halmahera lebih berkarakteristik pedesaan. Dengan konsep pengembangan struktur ruang wilayah multi nukleus, Kota Tidore Kepulauan direncanakan mempunyai pusat‐pusat aktivitas yang terdapat di satuan wilayah masing‐masing. Diharapkan terdapat perkembangan pada Kota Tidore Kepulauan dengan berkembangnya wilayah perkotaan. Penetapan wilayah perkotaan dan pedesaan di Kota Tidore Kepulauan dilakukan berdasarkan:
1. Kondisi wilayah eksisting 2. Kecenderungan perkembangan penduduk untuk tahun perencanaan 3. Konsep pengembangan wilayah 4. Konsep pengembangan penduduk 5. Konsep pengembangan sarana dan prasarana
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian (kegiatan pertanian, kegiatan penunjang pertanian, dan kegiatan pengolahan produk pertanian), termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan dapat berupa satu atau beberapa desa/kelurahan pada satu kecamatan yang ditetapkan sebagai kawasan perkotaan dengan kedudukan sebagai ibukota kecamatan dan area di luar ibukota kecamatan dimaksud adalah sebagai kawasan perdesaan.
Dengan demikian, Kota Tidore Kepulauan dibagi menjadi kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan dengan ketetapan:
1. Pulau Tidore merupakan 100% wilayah perkotaan. 2. Wilayah Kota Tidore Kepulauan bagian pulau Halmahera yang merupakan wilayah
perkotaan sebesar 40% dan 60% termasuk kawasan pedesaan.
b. Rencana Sistem Pedesaan
Dalam kaitannya dengan pengembangan sistem permukiman perkotaan dan perdesaan, maka sistem kegiatan pembangunan harus mampu mengupayakan cara‐cara keterpaduan berbagai instrumen yang ada, sehingga pengembangan sistem permukiman dapat dilaksanakan. Pengembangan ini meliputi antara lain:
• Pengembangan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan yang dilaksanakan secara serasi dan saling mendukung dengan memperkuat interaksi antar dua wilayah.
• Pengembangan sistem permukiman yang diarahkan untuk menunjang kegiatan perekonomian, dan sektor‐sektor produksi yang didukung oleh pola jaringan transportasi dan jaringan prasarana wilayah lainnya.
• Pengembangan pusat‐pusat permukiman perdesaan yang disusun terkait dengan pusat permukiman perkotaan yang melayaninya, sehingga secara keseluruhan, pusat‐pusat permukiman saling terkait, berjenjang dan dapat menguatkan perkembangan kota dan desa yang serasi.
• Peningkatan fasilitas pelayanan perkotaan yang sesuai dengan fungsi kota dan hierarki kota.
• Rencana pengembangan infrastruktur jaringan jalan sebagai penghubung antara satu pusat permukiman dengan pusat permukiman lainnya.
• Pembangunan permukiman yang diarahkan untuk meningkatkan infrastruktur lingkungan permukiman yang meliputi sistem drainasi, suplai air bersih, pembuangan limbah.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
c. Rencana Sistem Kota‐kota Tidore Kepulauan
Diawali dengan adanya konsep pengembangan pusat pelayanan, rencana sistem pusat pelayanan kegiatan disusun untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pelayanan dalam wilayah Kota Tidore Kepulauan. Rencana sistem pusat pelayanan juga disusun untuk memudahkan pencapaian masyarakat pada pusat pelayanan. Untuk itu, beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan rencana sistem pusat pelayanan antara lain adalah sebagai berikut: • Struktur pelayanan wilayah Kota Tidore Kepulauan disusun dengan berjenjang
berdasarkan hierarkhinya, yaitu pusat pelayanan regional (Pusat Pelayanan Kota) dan pusat kegiatan lingkungan wilayah, pusat kegiatan lokal (Sub Pusat Pelayanan Kota) dan pusat pelayanan kecamatan (Pusat Pelayanan Lingkungan).
• Pusat Pelayanan Kota (PKK) dikonsentrasikan di pusat kota dengan tingkat aksesibiitas yang sangat baik guna memudahkan pencapaian pelayanan pusat regional terhadap wilayah Kota Tidore Kepulauan dan wilayah lain disekitarnya sebagai daerah layanan pusat pelayanan ini. Wilayah lain disekitarnya meliputi Ternate dan Tidore.
• Sub Pusat Pelayanan Kota (Sub‐PPK) dikonsentrasikan di lokasi dengan tingkat aksesibiitas yang baik guna memudahkan pencapaian pelayanan pusat ini terhadap pusat pelayanan lain dibawahnya dan mendorong pertumbuhan kawasan setempat.
• Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) dengan tingkat pelayanan yang lebih rendah disebarkan sesuai dengan kebutuhan penduduk untuk memudahkan tingkat pencapaian masyarakat setempat terhadap pusat pelayanan terdekat. Penetapan struktur pusat‐pusat pelayanan di wilayah perencanaan dan Kota Tidore
Kepulauan secara luas didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain sebagai berikut:
• Pertimbangan Hierarki Sistem Kota‐Kota Sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan telah melayani seluruh wilayah Tidore Kepulauan. Antar wilayah di Kota Tidore Kepulauan juga sudah dilayani oleh jalur transportasi darat dan laut. Permasalahan persebaran sarana prasarana Kota Tidore Kepulauan secara keseluruhan adalah terdapat perbedaan jumlah di Pulau Tidore dengan Pulau Halmahera. Sebaran sarana prasarana di Kota Tidore Kepulauan lebih banyak di Pulau Tidore. Tujuan dari pertimbangan potensi dan masalah sebaran sarana prasarana di Kota Tidore Kepulauan dan distribusi penduduk adalah menenetukan hierarki sistem kota‐kota. Dengan pertimbangan hierarki sistem kota‐kota sebagai acuan maka dapat dikelompokkan pembagian wilayah.
• Pertimbangan Kondisi Fisik dan Geografis Wilayah Terkait dengan pengaruh kondisi fisik wilayah Kota Tidore Kepulauan terhadap bentukan struktur ruang yang ada serta distribusi layanan sarana prasarana, maka pengembangan struktur ruang maupun pembentukan BWK (Bagian Wilayah Kota), juga harus memperhatikan aspek ini. Beberapa natural constrain, seperti laut dan perbukitan, serta artificial constrain, seperti bangunan dan infrastruktur perlu diperhatikan. Hal ini untuk memastikan bahwa adanya kondisi fisik tersebut tidak menghambat aksesibilitas pusat pelayanan satu menuju pusat pelayanan lainnya, maupun dari pusat pelayanan menuju masyarakat.
• Pertimbangan Fungsional dan Kesamaan Karakteristik Wilayah (Homogenitas Wilayah) Satuan wilayah pengembangan juga didasarkan atas kesamaan fungsi dan karakter yang ada pada masing‐masing wilayah desa dan aspek homogenitas kesesuaian pemanfaatan ruang dan kemungkinan pengembangan, terutama berkaitan denga rencana pengembangan pemanfaatan lahan.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Pertimbangan Lokasi Optimum Masa Depan dan Arahan Pengembangan Wilayah Penentuan lokasi optimum pada dasarnya mengacu pada konsep jarak dan waktu tempuh terhadap pusat pelayanan sebagai variabel tingkat pencapaian masyarakat. Dengan memperhatikan lokasi optimum dalam penetapan struktur ruang, diharapkan tingkat pelayanan yang diberikan pada penduduk wilayah Kota Tidore Kepulauan merata dalam suatu optimum‐areal.
• Satuan Wilayah Pengembangan Suatu wilayah dengan semua kota yang berada di dalamnya mempunyai hubungan hierarki dan terikat oleh sistem jaringan jalan sebagai prasarana perhubungan darat, dan atau yang terikat oleh sistem jaringan sungai atau perairan laut sebagai prasarana perhubungan air. Sebagai kota orde I dalam RUTR Provinsi Maluku Utara, Kota Tidore Kepulauan memiliki sifat pelayanan regional, pusat pemerintahan, pusat permukiman dan pusat pelayanan sosial. Rencana Pusat Pelayanan di dalam Kota Tidore Kepulauan terdiri dari Pusat Pelayanan Kota yaitu Pulau Tidore dan Kota Sofifi, Sub Pusat Pelayanan Kota yaitu Payahe dan Hierarki III yaitu Ibukota Kecamatan. Dengan kesatuan jaringan transportasi terutama perhubungan darat dan kesamaan karakteristik wilayah, maka Kota Tidore Kepulauan dibagi menjadi tiga rencana satuan wilayah pengembangan. SWP I meliputi Pulau Tidore, SWP II meliputi Oba Utara dan Oba Tengah, SWP III meliputi Oba dan Oba Selatan.
• Pusat Pelayanan Kota (PPK) Pulau Tidore direncanakan sebagai pusat kegiatan wilayah dengan cakupan wilayah pelayanan regional meliputi Kota Tidore Kepulauan, Ternate dan daerah lainnya yang lebih dekat dengan Kota Tidore Kepulauan. Pulau Tidore sebagai PKW karena merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai: 1) simpul kedua kegiatan ekspor‐impor yang mendukung PKN; 2) Pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota; 3) Simpul transportasi yang melayani skala provisni atau beberapa kabupaten/kota. Satu pulau Tidore merupakan satu PKW karena kesamaan kondisi alam, terhubung dengan baik dalam jaringan transportasi darat dan lebih bersifat urban dibandingkan dengan wilayah lainnya. Ketersediaan fasilitas yang lebih lengkap adalah salah satu pertimbangan bahwa pulau Tidore sebagai pusat kegiatan wilayah yang melayani wilayah sendiri maupun wilayah di luar Kota Tidore kepulauan. Pusat kegiatan wilayah ini lebih berfungsi pada ketersediaan fasilitas pemerintahan kota, pusat perdagangan, pusat pengembangan pendidikan, pusat wisata budaya dan sejarah, perantara jalur perhubungan laut.
Pusat kegiatan lingkungan wilayah terletak di Kota Sofifi dengan pusat kawasan di Sofifi. Pusat kegiatan lingkungan wilayah ini direncanakan mempunyai fungsi layanan kota regional karena status Kota Sofifi yang telah direncanakan sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara. Sofifi mempunyai lokasi yang strategis karena dilewati oleh jalur trans Halmahera dan mempunyai pelabuhan yang menghubungkan dengan wilayah sekitar seperti Tidore dan Ternate. Sofifi mempunyai fungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi, pusat perkantoran regional provinsi, pusat pengembangan pendidikan tinggi, pusat perdagangan dan jasa regional dan permukiman perkotaan. Pada masanya, dengan perencanaan sebagai ibukota provinsi Kota Sofifi akan menjadi kota yang padat sehingga Kota Sofifi termasuk hierarki I bersama dengan Pulau Tidore.
• Sub Pusat Pelayanan Kota (Sub‐PPK) Pusat kegiatan lokal di Kota Tidore Kepulauan terletak di Gita‐Payahe yang direncanakan sebagai pusat kegiatan baru untuk layanan kecamatan dan kecamatan lainnya. Kondisi fisik Payahe sebagai ibukota Kecamatan Oba telah berkembang menjadi permukiman lebih padat dibandingkan dengan kecamatan Oba Selatan. Payahe mempunyai wilayah yang strategis dengan adanya dataran yang landai dan dilewati oleh jalur trans Halmahera yang menghubungkan antara Kota Tidore Kepulauan dengan Weda dan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
daerah Halmahera Selatan. Sedangkan Gita telah berkembang sebagai pelabuhan lokal yang direncanakan akan ditingkatkan menjadi pelabuhan yang dapat melayani Kota Tidore Kepulauan dan wilayah di luar Kota Tidore Kepulauan. Sehingga, Kota Gita‐Payahe berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa kawasan Kota Tidore Kepulauan bagian selatan, pengembangan perkebunan, industri agro dan permukiman transmigrasi.
• Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) Dalam pengembangan struktur ruang Kota Tidore Kepulauan, semua ibukota kecamatan (IKK) di Kota Tidore Kepulauan dikembangkan sebagai pusat layanan kegiatan kecamatan. Pusat pelayanan ini berfungsi untuk melayani kebutuhan kegiatan penduduk di wilayah kecamatan Kota Tidore Kepulauan. Pusat layanan kegiatan kecamatan antara lain Tomagoba, Gurabati, Rum, Tosa, Sofifi, Loleo‐Akelamo, Gita‐Payahe dan Lifofa. Fungsi pusat layanan kegiatan kecamatan yaitu sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan kecamatan baik pendidikan, kesehatan dan layanan umum, pusat perdagangan kecamatan. Pemerataan fasilitas di kecamatan juga diturunkan sampai kepada desa agar pelayanan dapat merata di semua wilayah.
Rencana Penetapan Bagian Wilayah Kota (BWK) Kota Tidore Kepulauan
Penetapan BWK atau Bagian Wilayah Kota dilakukan dengan mengacu pada beberapa prinsip yang antara lain adalah sebagai berikut:
• BWK Kota Tidore Kepulauan hanya pada wilayah yang telah mempunyai karakteristik perkotaan dan sedang berkembang.
• Masing‐masing BWK memiliki karakteristik dan fungsi tertentu yang dominan serta mampu menjadi pembeda antar masing‐masing BWK.
• Pengelompokkan wilayah BWK antara lain berdasarkan kesamaan karakteristik kegiatan wilayah yang dominan dan kecenderungan perkembangan.
• Natural constrain, seperti kondisi fisik, menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam penentuan BWK.
• Keberadaan faktor aksesibilitas juga salah satu variabel yang diperhatikan dalam penentuan BWK mengingat variabel ini erat kaitannya dalam struktur ruang wilayah dan pemerataan layanan pusat kegiatan. Berdasarkan beberapa pertimbangan yang mengacu pada konsep tersebut, maka BWK
Kota Tidore Kepulauan dapat dirumuskan sebagai berikut: • BWK A:
Tidore dan Tidore Selatan dikategorikan dalam satu wilayah BWK dikarenakan kedua wilayah tersebut memiliki kesamaan dari segi keberadaan situs wisata budaya sehingga mempermudah pengembangan kedua wilayah tersebut dalam satu wilayah pengembangan parwisata di kedepannya. Selain itu, Tidore dan Tidore Selatan mempunyai jarak yang cukup dekat yang dalam interaksi wilayah dikategorikan mempunyai interaksi yang tinggi, sehingga kondisi fisik perkotaan saling terhubung. Dengan menjadikan Tidore dan Tidore Selatan dalam satu wilayah BWK, diharapkan Tidore Selatan akan berkembang menjadi limpahan kegiatan dari Tidore yang saat ini juga menjadi pusat perdagangan dan pusat fasilitas sosial dan umum.
• BWK B: Tidore Utara dan Tidore Timur ditetapkan sebagai satu wilayah BWK mengingat kedua desa ini memiliki kesamaan karakter dan fungsi yang menonjol sebagai pusat pertanian dan permukiman serta memiliki layanan fasilitas umum dan sosial yang cukup memadai. Dari segi kerakteristiknya, kedua desa tersebut dapat dikatakan memiliki kesamaan sebagai wilayah limpahan kegiatan dari Ternate dan Kecamatan Tidore sebagai ibukota Kota Tidore Kepulauan. Dikatakan sebagai limpahan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
kegiatan dari Ternate karena Tidore Utara merupakan gerbang masuk dan keluarnya orang, barang dan jasa dari dan/atau ke Ternate. Dikatakan sebagai limpahan kegiatan dari Kecamatan Tidore karena letak Tidore Timur yang berdekatan dengan Kecamatan Tidore dan mempunyai akses yang lebih baik. Dua wilayah sebagai limpahan wilayah sekitarnya dan potensi alam perkebunan dan bahari maka Tidore Utara dan Tidore Timur termasuk dalam satu bagian wilayah kota.
Pusat utama pelayanan kegiatan di Kota Tidore Kepulauan yang terletak di Tidore merupakan pusat kegiatan dengan lingkup pelayanan wilayah yang berfungsi melayani kebutuhan penduduk Kota Tidore Kepulauan. Adapun demikian, dalam upaya menciptakan struktur ruang yang memadai dan dapat mendukung pengembangan wilayah secara merata di Kota Tidore Kepulauan, dikembangkan pusat pusat kegiatan pada masing‐masing BWK dengan jumlah satu pusat kegiatan dan satu sub pusat kegiatan pada masing‐masing BWK.
Wilayah Kota Tidore Kepulauan yang direncanakan sebagai daerah perkotaan selain
pulau Tidore adalah Kota Sofifi. Kota Sofifi sebagai ibukota provinsi direncanakan mempunyai 4 BWK. BWK tersebut adalah: • BWK 1 :
Bagian wilayah Kota Sofifi 1 lebih utama difungsikan sebagai pusat pemerintahan skala provinsi, pengembangan pariwisata, dan pelayanan skala kota. Penggunaan lahan untuk pusat pemerintahan skala provinsi dibatasi pada Kantor Gubernur dan pelengkapnya. Sehingga guna lahan di BWK 1 terdiri dari pelabuhan, perdagangan/komersial, pemerintahan, perumahan, wisata, ruang terbuka hijau dan fasilitas umum. Permukiman di BWK 1 khusus untuk kepadatan rendah‐sedang.
• BWK 2 : BWK 2 dibagi menjadi 6 sub BWK dan sebagai pusat Kota Sofifi. Pembagian penggunaan lahan di BWK 2 antara lain pelabuhan, pemerintahan, perumahan, wisata, ruang terbuka hijau dan fasilitas umum. Fungsi utama dari BWK 2 adalah sebagai pusat pemerintahan skala provinsi untuk semua departemen dan perkantoran swasta lainnya, pelabuhan penumpang dengan skala sub regional, pusat kegiatan skala kota, perdagangan dan jasa.
• BWK 3 : BWK 3 direncanakan sebagai area konservasi kota dengan memanfaatkan areal pertanian. BWK 3 dijadikan sebagai daerah penyeimbang antara BWK 1 dan 2 dengan BWK 4. BWK 3 juga sebagai lokasi terminal yang mencakup layanan seluruh Kota Sofifi dan terminal angkutan darat yang melayani antar provinsi. Sehingga guna lahan pada bagian wilayah Kota Sofifi ini dibagi menjadi pelabuhan, perdagangan/komersial, pemerintahan, perumahan, ruang terbuka hijau, fasilitas umum, pergudangan dan industri. Guna lahan tersebut menunjang fungsi BWK 3 yang berada diantara pusat kota (BWK 2) dan pusat industri pengolahan (BWK 4) dengan fungsi utama sebagai area konservasi dengan memanfaatkan areal pertanian.
• BWK 4 : BWK 4 direncanakan sebagai lokasi untuk kawasan industri pengolahan khususnya industri agro. Untuk menunjang fungsi BWK ini maka terdapat fasilitas pelabuhan dan pergudangan. BWK 4 dibagi menjadi dua wilayah sub BWK. Pada bagian wilayah kota ini dibagi menjadi pelabuhan, pemerintahan, perdagangan/komersial, perumahan, ruang terbuka hijau, fasilitas umum, pergudangan dan industri.
e. Rencana Kebutuhan Sarana Hunian
Ketersediaan perumahan di Kota Tidore Kepulauan pada dasarnya masih bersifat seperti daerah pedesaan (rural) di Indonesia dengan pemenuhan kebutuhan perumahan yang diusahakan sendiri oleh masyarakat. Ketersediaan sarana hunian yang disediakan pemerintah
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
tergolong masih sedikit. Proyeksi jumlah kebutuhan rumah untuk tahun 2030 di Kota Tidore Kepulauan sebanyak 26.840 unit rumah. Luas lahan untuk permukiman pada tahun 2030 diperkirakan membutuhkan 3,16 Km2. Dengan total luas wilayah Kota Tidore Kepulauan sebesar 9.116,36 Km2, maka luas lahan untuk permukiman tersebut masih mencukupi. Hal yang perlu diperhatikan adalah Kota Tidore Kepulauan memiliki kerawanan bencana yang kompleks dari bencana gunung berapi, longsor, banjir, tsunami dan gempa bumi. Selain itu wilayah Kota Tidore Kepulauan mempunyai area lindung dan daerah bergunung‐gunung yang luas.
Ketentuan berdasarkan standar nasional Indonesia, fisik lingkungan perumahan
mempunyai ketentuan sebagai berikut: 1. Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali dengan
rekayasa/ penyelesaian teknis. 2. Kemiringan lahan tidak melebihi 15% dengan ketentuan:
a. Tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar landai dengan kemiringan 0‐8%.
b. Diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8‐15%. Kebutuhan akan rumah tidak mempengaruhi produksi pertanian‐perkebunan di Kota
Tidore Kepulauan, maka rencana untuk penyediaan perumahan di Kota Tidore Kepulauan antara lain: 1. Perumahan hanya diperbolehkan di daerah terbangun (built‐up area) dan daerah bebas
bencana. 2. Rumah yang disediakan berupa rumah tinggal dengan tipe rumah sederhana dengan
luas kavling sesuai dengan peraturan Pemerintah Daerah. 3. Pengendalian penyelenggaraan pembangunan gedung dengan penerbitan IMB (Ijin
Mendirikan Bangunan), Penerbitan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung dan Perpanjangan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung, Persetujuan Rencana Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung.
4. Melakukan peningkatan dan sinkronisasi perijinan oleh pemerintah daerah. 5. Rencana penyediaan perumahan di Kecamatan Oba Utara, Oba Tengah, Oba dan Oba
Selatan, sebagian pemenuhan kebutuhan masih diserahkan pada masyarakat setempat namun sesuai dengan ketentuan IMB.
f. Rencana Pengembangan Fasilitas Umum
Rencana Pengembangan Fasilitas Pendidikan
Perencanaan sarana pendidikan harus didasarkan pada tujuan pendidikan yang akan dicapai, dimana sarana pendidikan dan pembelajaran ini akan menyediakan ruang belajar harus memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta sikap secara optimal. Oleh karena itu dalam merencanakan sarana pendidikan harus memperhatikan : 1. Berapa jumlah anak yang memerlukan fasilitas ini pada area perencanaan; 2. Optimalisasi daya tampung dengan suatu shift, 3. Efisiensi dan efektivitas kemungkinan pemakaian ruang belajar secara terpadu; 4. Pemakaian sarana dan prasarana pendukung; 5. Keserasian dan keselarasan dengan konteks setempat terutama dengan berbagai jenis
sarana lingkungan lainnya.
Sarana pendidikan di Kota Tidore Kepulauan terdiri dari jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi. Berdasarkan perbandingan jumlah sarana pendidikan eksisting dan hasil proyeksi untuk tahun 2030, maka dapat diketahui bahwa sarana pendidikan TK di Kota Tidore Kepulauan masih kurang untuk mencukupi kebutuhan pendidikan taman kanak‐kanak. Sarana pendidikan TK saat ini dirasa perlu karena sebagai pendidikan pengantar sebelum
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
pendidikan dasar. Pada jenjang pendidikan ini telah diajarkan pengenalan huruf dan menulis sehingga dapat merintis pengurangan buta huruf. Pengembangan sarana pendidikan di Kota Tidore Kepulauan sebagai berikut: 1. Peningkatan dan perbaikan bangunan sekolah dan perguruan tinggi yang telah ada pada
saat ini. Serta peningkatan fasilitas pembelajaran di sekolah‐sekolah menyangkut ketersediaan laboratorium dan perpusatakaan.
2. Mendirikan sekolah baru dibeberapa titik untuk daerah yang belum terlayani di wilayah perencanaan.
3. Untuk pulau‐pulau kecil di Kota Tidore Kepulauan yang terdapat permukiman seperti pulau Mare dan pulau Maitara setidakknya terdapat 1 (satu) sarana pendidikan untuk setiap tingakatan (TK, SD, SLTP dan Taman bacaan).
4. Menyediakan sekolah menengah kejuruan berdasarkan potensi wilayah pengembangan.
Rencana Pengembangan Fasilitas Kesehatan Sarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kesehatan kepada
masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan sarana ini adalah didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut. Dasar penyediaan ini juga akan mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit‐unit atau kelompok lingkungan yang ada. Tentunya hal ini dapat terkait dengan bentukan grup bangunan/blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya. Sedangkan penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. Beberapa jenis sarana yang dibutuhkan adalah antara lain:
a. Rumah Sakit. b. Posyandu yang berfungsi memberikan pelayanan kesehatan untuk anak‐anak usia balita. c. Balai pengobatan warga yang berfungsi memberikan pelayanan kepada penduduk dalam
bidang kesehatan dengan titik berat terletak pada penyembuhan (currative) tanpa perawatan, berobat dan pada waktu‐waktu tertentu juga untuk vaksinasi.
d. Balai kesejahteraan ibu dan anak (BKIA) / Klinik Bersalin), yang berfungsi melayani ibu baik sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan serta melayani anak usia sampai dengan 6 tahun.
e. Puskesmas dan balai pengobatan, yang berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama yang memberikan pelayanan kepada penduduk dalam penyembuhan penyakit, selain melaksanakan program pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit di wilayah kerjanya.
f. Puskesmas pembantu dan balai pengobatan, yang berfungsi sebagai unit pelayanan kesehatan sederhana yang memberikan pelayanan kesehatan terbatas dan membantu pelaksanaan kegiatan puskesmas dalam lingkup wilayah yang lebih kecil.
g. Tempat praktek dokter, merupakan salah satu sarana yang memberikan pelayanan kesehatan secara individual dan lebih dititikberatkan pada usaha penyembuhan tanpa perawatan.
h. Apotik, berfungsi untuk melayani penduduk dalam pengadaan obat‐obatan, baik untuk penyembuhan maupun pencegahan. Status Tidore yang telah ditetapkan oleh RUTR Provinsi sebagai PKW dan status Kota
Sofifi sebagai PKLW dan ibukota Provinsi Maluku Utara membutuhkan fasilitas yang dapat melayani secara regional. Sehingga rencana pemenuhan kebutuhan fasilitas kesehatan di Kota Tidore Kepulauan dengan:
1. Mendirikan rumah sakit umum tipe B dengan skala layanan provinsi di Kota Sofifi dan mendirikan rumah sakit tipe D di Payahe untuk jangkauan layanan wilayah Tidore bagian Selatan (Oba dan Oba Selatan).
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
2. Peningkatan dan perbaikan bangunan fasilitas kesehatan yang telah ada untuk skala layanan Kota Tidore Kepulauan terutama yang terletak di pusat kota.
3. Menambah fasilitas puskesmas pembantu di wilayah Tidore bagian Pulau Halmahera untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan. Penambahan ini mempertimbangkan lokasi yang luas dengan persebaran permukiman yang mengelompok dibeberapa tempat.
4. Menambah fasilitas BKIA atau rumah bersalin di pusat kegiatan terutama di Tidore (Soasio), Tidore Utara (Rum), Kota Sofifi, Oba (Payahe). Pembangunan sarana kesehatan BKIA bertujuan untuk meningkatkan akses kesehatan bagi ibu dan anak.
5. Penambahan fasilitas kesehatan seperti praktek dokter, apotek dan lainya yang dapat disediakan oleh masyarakat diserahkan pada masyarakat dan diarahkan pada pusat‐pusat kegiatan lainnya.
6. Di setiap satuan permukiman diharuskan terdapat pos pelayanan terpadu (Posyandu). Dengan standar pelayanan posyandu yang melayani 1.250 jiwa, maka di Kota Tidore Kepulauan dibutuhkan posyandu sebanyak 112 unit posyandu. Lokasi yang dipakai untuk posyandu dapat dilakukan di balai warga atau rumah warga.
7. Untuk pulau‐pulau kecil di Kota Tidore Kepulauan yang terdapat permukiman seperti Pulau Mare dan Pulau Maitara setidaknya terdapat 1 (satu) sarana kesehatan untuk fasilitas posyandu untuk balita dan lansia, puskesmas pembantu.
8. Setiap fasilitas kesehatan mempunyai kepadatan bangunan (BCR) 60% dan 40% untuk parkir dan lahan terbuka hijau.
Rencana Pengembangan Fasilitas Peribadatan
Sarana peribadatan merupakan sarana kebutuhan kerohanian sehingga perlu disediakan di lingkungan perumahan yang direncanakan selain sesuai peraturan yang ditetapkan juga sesuai dengan keputusan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena berbagai macam agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat penghuni yang bersangkutan, maka kepastian tentang jenis dan jumlah fasilitas peribadatan yang akan dibangun baru dapat dipastikan setelah lingkungan perumahan dihuni selama beberapa waktu. Pendekatan perencanaan yang diatur adalah dengan memperkirakan populasi dan jenis agama serta kepercayaan dan kemudian merencanakan alokasi tanah dan lokasi bangunan peribadatan sesuai dengan tuntutan planologis dan religius.
Jenis sarana peribadatan sangat tergantung pada kondisi setempat dengan memperhatikan struktur penduduk menurut agama yang dianut, dan tata cara atau pola masyarakat setempat dalam menjalankan ibadah agamanya. Saat ini, fasilitas sarana ibadah umat Islam sudah terpenuhi, sedangkan fasilitas umat Kristiani lebih banyak tersedia di Kecamatan Oba dan Oba Utara. Adapun jenis sarana ibadah untuk agama Islam, direncanakan sebagai berikut:
• Kelompok penduduk 250 jiwa, diperlukan musholla/ langgar • Kelompok penduduk 2.500 jiwa, disediakan masjid • Kelompok penduduk 30.000 jiwa, disediakan masjid desa • Kelompok penduduk 120.000 jiwa, disediakan masjid kecamatan
Untuk sarana ibadah agama lain direncanakan bagi pemeluk Katholik mengikuti ketentuan paroki, Hindu mengikut adat, Budha, dan Kristen Protestan mengikuti sistem kekerabatan atau hierarki lembaga. Dalam hal pemenuhan kebutuhan sarana peribadatan, rencana pembangunannya antara lain:
• Pembangunan fasilitas peribadatan skala layanan Kota Sofifi yang terletak di pusat kota.
• Pembangunan fasilitas peribadatan skala layanan kecamatan seperti Masjid Agung di pusat kegiatan baru Payahe dengan lokasi dapat berdekatan dengan kantor kecamatan.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Penambahan sarana peribadatan diserahkan kepada kesepakatan masyarakat dengan syarat pembangunan mengikuti IMB dan ketentuan bangunan tahan gempa.
• Membantu masyarakat dengan diberikannya pedoman standar pembangunan bangunan peribadatan.
• Dalam satu tempat peribadatan harus mempunyai 40% lapangan terbuka hijau dan parkir.
• Untuk sarana ibadah agama Islam dan Kristen Protestan dan Katolik, kebutuhan ruang dihitung dengan dasar perencanaan 1,2 m²/jemaah, termasuk ruang ibadah, ruang pelayanan dan sirkulasi pergerakan. Sedangkan tempat ibadah agama lain disesuaikan berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat dalam melakukan ibadah agamanya.
Rencana Pengembangan Fasilitas Pemerintahan dan Pelayanan Umum
Fasilitas perkantoran di Kota Tidore Kepulauan merupakan fasilitas pemerintah dan pelayanan umum yang memberikan jasa pelayanan pada masyarakat. Skala pelayanan untuk fasilitas ini dibedakan menjadi: skala wilayah Kota Tidore Kepulauan, skala kota, skala wilayah kecamatan dan skala lingkungan desa. Pengembangan wilayah Kota Tidore Kepulauan berdasarkan satuan wilayah pengembangan dan pembagian pusat‐pusat kegiatan mengharuskan adanya perhitungan luasan fasilitas pemerintahan dan pelayanan umum.
Kebutuhan lahan perkantoran pemerintahan pada lingkup kelurahan meliputi: kantor kelurahan, Pos Kamtib, pos pemadam kebakaran, agen pelayanan pos, loket pembayaran air bersih, loket pembayaran listrik dan lahan parkir. Kebutuhan lahan perkantoran pemerintahan pada lingkup kecamatan meliputi: kantor kecamatan, kantor polisi, pos pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, dan kantor stasiun telekomunikasi. Kebutuhan lahan perkantoran pemerintahan pada lingkup perkotaan di Kecamatan Tidore dan sekitarnya untuk perkantoran pelayanan setingkat kabupaten, di Kota Sofifi digunakan untuk perkantoran pemerintahan tingkat provinsi.
Dengan perbedaan cakupan layanan, maka direncanakan bahwa luas kebutuhan perkantoran di Kota Sofifi dua kali lebih banyak dibandingkan kebutuhan perkantoran di Kecamatan Tidore.
Rencana pengembangan sarana pemerintahan dan pelayanan umum atau perkantoran: 1. Kawasan perkantoran dialokasikan pada pusat‐pusat kegiatan baik skala kota,
kecamatan dan desa dengan pertimbangan mempermudah penduduk Kota Tidore Kepulauan dalam mengakses perkantoran pemerintahan dan pelayanan umum. Pulau Tidore untuk pusat perkantoran skala regional dan kota, sedangkan Kota Sofifi untuk pusat perkantoran skala provinsi.
2. Dibangunnya fasilitas layanan pemerintah dan pelayanan umum kantor pemadam kebakaran dengan mempertimbangkan bahwa kondisi perkotaan di Kota Tidore Kepulauan dua puluh tahun kedepan akan semakin padat. Penyediaan kantor pemadam kebakaran bertujuan untuk mengatisipasi bencana kebakaran dengan seiring padatnya intensitas bangunan di perkotaan.
3. Penyediaan kantor Pos dan Giro untuk peningkatan pelayanan jasa komunikasi dan pengiriman barang di setiap ibukota kecamatan dengan pusat kantor di Kecamatan Tidore dan Kota Sofifi yang berskala layanan regional.
4. Bangunan perkantoran di Pulau Tidore mempunyai kepadatan bangunan 50% dengan ketinggian maksimal 4 lantai.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Rencana Pengembangan Fasilitas Perdagangan Sarana perdagangan dan niaga ini tidak selalu berdiri sendiri dan terpisah dengan
bangunan sarana yang lain. Dasar penyediaan selain berdasarkan jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit‐unit atau kelompok lingkungan yang ada. Tentunya hal ini dapat terkait dengan bentukan grup bangunan / blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya. Sedangkan penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. Menurut skala pelayanan, penggolongan jenis sarana perdagangan dan niaga adalah:
1. Toko/warung (skala pelayanan unit RT ≈ 250 penduduk), yang menjual barang‐barang kebutuhan sehari‐hari;
2. Pertokoan (skala pelayanan 6.000 penduduk), yang menjual barang‐barang kebutuhan sehari‐hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa seperti wartel, fotocopy, dan sebagainya;
3. Pusat pertokoan dan/atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit desa ≈ 30.000 penduduk), yang menjual keperluan sehari‐hari termasuk sayur, daging, ikan, buah buahan, beras, tepung, bahan‐bahan pakaian, pakaian, barang‐barang kelontong, alat‐alat pendidikan, alat‐alat rumah tangga, serta pelayanan jasa seperti warnet, wartel dan sebagainya;
4. Pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kecamatan ≈ 120.000 penduduk), yang selain menjual kebutuhan sehari‐hari, pakaian, barang kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, reparasi, unit‐unit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan serta kegiatan niaga lainnya seperti kantor‐kantor, bank, industri kecil dan lain‐lain.
5. Pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit perkotaan ≈ penduduk), yang selain menjual kebutuhan sehari‐hari, pakaian, barang kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, reparasi, unit‐unit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan serta kegiatan niaga lainnya seperti kantor‐kantor, bank, industri kecil dan lain‐lain. Kondisi eksisting sarana perdagangan di Kota Tidore Kepulauan hanya sebatas untuk
cakupan wilayah lokal. Lokasi pusat perbelanjaan yang dapat diketahui antara lain: ‐ Pasar daerah di Kecamatan Tidore ‐ Pasar lokal di dekat pelabuhan Rum ‐ Pasar lokal di dekat pelabuhan Goto ‐ Pasar lokal di Payahe Selain lokasi perdagangan yang diketahui, kemungkinan masyarakat melakukan
kegiatan perdagangan yang dilakukan di lingkungan terkecil permukiman setempat. Untuk menggerakkan perekonomian di Kota Tidore Kepulauan bidang pariwisata harus
dikembangkan. Sebagai basis perekonomian di Kota Tidore Kepulauan adalah pertanian‐perkebunan. Kedua bidang tersebut harus ditunjang oleh sarana perdagangan sebagai pengembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sehingga rencana sarana perdagangan di wilayah perencanaan:
1. Perbaikan dan peningkatan pasar di Sofifi (dekat Goto) menjadi pasar induk yang melayani regional. Dengan ketentuan maksimal ketinggian bangunan 4 lantai dan KDB 50%.
2. Perbaikan dan peningkatan pelayanan pasar induk Sari Malaha yang dapat melayani regional dan Kota Tidore Kepulauan. Dengan ketentuan masksimal ketinggian bangunan 4 lantai dan KDB 50%.
3. Perbaikan pasar induk kecamatan dengan maksimal ketinggian bangunan 3 lantai, ketentuan KDB 50%. Desain pasar induk kecamatan didasarkan pada pasar tradisional dengan keleluasaan interaksi antara pembeli dan penjual.
4. Pembangunan pasar pusat kerajinan di pusat‐pusat kota pengembangan pariwisata yang tersebar di Soasio, Rum, Gurabati, Sofifi dan Payahe.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
5. Pengaktifan pasar ikan di Soasio untuk menunjang kegiatan perdagangan perikanan. 6. Pembangunan toko dan warung diserahkan kepada masyarakat namun lebih diarahkan
kepada pusat kegiatan baru dan pusat‐pusat kegiatan lainnya.
Rencana Sistem Jaringan Transportasi Kota Tidore Kepulauan merupakan bagian dari gugusan pulau di Kepulauan Maluku.
Sarana perhubungan yang telah ada di Kota Tidore Kepulauan antara lain perhubungan darat dan perhubungan laut. Baik perhubungan darat maupun perhubungan laut sangat berperan penting dalam bidang ekonomi, budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta untuk kemakmuran rakyat. Hal tersebut dikarenakan dengan perhubungan yang baik maka dapat meningkatkan mobilitas penduduk antar wilayah untuk dapat mengakses suatu layanan tertentu. Selain itu, perhubungan tersebut dapat berperan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa.
1. Rencana Pengembangan Sistem Transportasi Darat Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan
mengikat pusat‐pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. Sistem jaringan jalan di Kota Tidore Kepulauan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer tersebut meliputi jaringan jalan trans Halmahera yang melayani pergerakan antar wilayah di Provinsi Maluku Utara. Kondisi jaringan jalan primer di Kota Tidore Kepulauan sudah dalam keadaan baik. Sistem jaringan jalan sekunder meliputi jaringan jalan yang menghubungkan tiap pusat kegiatan di wilayah Kota Tidore Kepulauan. Kondisi jaringan jalan sekunder di Kota Tidore Kepulauan sudah dalam keadaan baik namun masih terdapat jaringan jalan yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki.
Kondisi jalan di Kota Tidore Kepulauan bervariasi dari yang masih berbatu dan jalan tanah yang dalam kondisi buruk sampai dengan kondisi baik. Kondisi jalan tanah yang sudah baik mempunyai lebar dan keadaan jalan yang layak untuk digunakan. Sedangkan jalan lainnya yang beraspal ada yang lastasir (lapis tipis aspal pasir) dan ada yang beraspal. Sehingga rencana untuk pengembangan jaringan jalan di Kota Tidore Kepulauan adalah:
1. Perbaikan untuk jalan dalam kondisi rusak berat menjadi kondisi baik dengan fasilitas pelengkap antara lain drainase, trotoar, jalur hijau, penerang jalan dan rambu‐rambu lalu lintas.
2. Perbaikan jalan dari kondisi jalan sedang menjadi baik dengan fasilitas pelengkap antara lain drainase, trotoar, jalur hijau, penerang jalan dan rambu‐rambu lalu lintas.
3. Meneruskan pembuatan jalan di Pulau Tidore yang menghubungkan lokasi‐lokasi pariwisata terutama ruas jalan: ‐ Gamtufkange – Gurabunga – Jaya – Afa‐afa – Mareku. ‐ Dowora – Kalaodi – Fabaharu – Ome. ‐ Jaya – Fabaharu. ‐ Jalan atas penghubung dari Tuguiha (Tidore Selatan) – Tidore Timur. ‐ Jalan penghubung Tidore (Dowora) – Tidore Timur (Mafututu) – Tidore Utara
(Rum). 4. Pembuatan jalan lokal sekunder baru di wilayah Kota Tidore Kepulauan bagian Pulau
Halmahera dengan tujuan sebagai pengontrol perkembangan kawasan budidaya yang pada perkembangannya dapat berubah menjadi jalan kolektor sekunder. Ruas jalan yang dimaksud adalah ruas jalan yang menghubungkan Guraping (Oba Utara) – Loleo (Oba Tengah) – Yehu (Oba Tengah) – Gilatua (Oba).
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
2. Rencana Pengembangan Sistem Transportasi Laut
Keberadaan transportasi laut sangat penting bagi penunjang pergerakan penduduk dan kegiatan di Kota Tidore Kepulauan. Pergerakan melalui jalur laut pada kondisi saat ini dapat dirinci sebagai berikut: a. Pergerakan transportasi laut intensitas paling padat dilakukan antara Rum – Ternate. b. Pergerakan transportasi laut intensitas paling padat dalam Kota Tidore Kepulauan
dilakukan antara Soasio – Sofifi. c. Pergerakan transportasi laut intensitas sedang dalam Kota Tidore Kepulauan dilakukan
antara Soasio – Gita (Kecamatan Oba). d. Pergerakan laut lainnya dilakukan dari setiap masing‐masing pelabuhan dengan
intensitas yang sangat kecil dan dilakukan secara spontan. Berdasarkan Profil Wilayah Kota Tidore Kepulauan 2009 terdapat usulan sarana
pelabuhan seperti di bawah ini: Tabel 3.5 Rencana Klasifikasi Pelabuhan di Kota Tidore Kepulauan
No Nama
Pelabuhan Pulau
Usulan Klasifikasi Pelabuhan
Profil dermaga
Tiang Pancang
Lantai
Ukuran (M)
Kedalaman Faceline Dermaga (LWS)
P L
1 Soasio Tidore P. Regional Spun File Beton 42 8 6 2 Rum Tidore P. Lokal Beton Beton 22 4 3 3 Gurabati Tidore P. Lokal Kayu Kayu 12 4 3 4 Maitara Maitara P. Lokal Kayu Kayu 12 4 3 5 Mare Mare P. Lokal Beton Kayu 12 4 3 6 Sofifi Halmahera P. Nasional Spun File Beton 46 8 6 7 Galala Halmahera P. Lokal Kayu Kayu 12 4 3 8 Guraping Halmahera P. Lokal Beton Kayu 22 4 3 9 Somahode Halmahera P. Lokal Kayu Kayu 12 4 3 10 Maidi Halmahera P. Lokal Kayu Kayu 12 4 3 11 Loleo Halmahera P. Lokal Beton Kayu 22 4 3 12 Lola Halmahera P. Lokal Beton Kayu 22 4 3 13 Gita Halmahera P. Regional Baja Beton 60 8 5
Sumber: Profil Wilayah Kota Tidore Kepulauan, 2009, Buku Rencana RTRW 2010‐2030 Dengan melihat pergerakan laut eksisting, keberadaan pelabuhan dan rencana
pengembangan wilayah Kota Tidore Kepulauan, maka direncanakan sistem penyeberangan transportasi laut sebagai berikut: Tabel 3.6 Rencana Sistem Trayek Penyeberangan Transportasi Laut
No. Kategori Trayek Penyeberangan
Menghubungkan Intensitas Keterangan
1 Trayek Utama Rum ‐ Ternate Besar Sofifi ‐ Ternate
Soasio (Goto) ‐ Sofifi PKW ‐ PKW/PKLW Soasio (Goto) ‐ Gita
Loleo ‐ Soasio (Goto)
2 Trayek Pengumpan
Rum ‐ Sofifi Sedang PKW – PKL
Gita ‐ Sofifi PKLW – PKL
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Rum ‐ P. Maitara Gurabati ‐ P Mare Maidi ‐ Gita Lola – Sofifi (Goto) Rum ‐ Gurabati IKK – IKK Gurabati ‐ Loleo Gurabati ‐ Gita 3 Trayek Perintis Lifofa ‐ Maidi Kecil
Lola ‐ P. Woda sesuai dengan permintaan
menghubung pelabuhan dengan lokasi wisata
Sumber:Buku Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tidore Kepulauan 2010‐2030
Ketersediaan sarana penunjang transportasi laut dapat direncanakan, sebagai berikut: 1. Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana pelabuhan Payahe dan Loleo
sebagai pelabuhan yang melayani angkutan antar wilayah. 2. Pengembangan dan peningkatan fasilitas pelabuhan Sofifi, Soasio dan Rum sebagai
pelabuhan yang melayani angkutan antar pulau (regional dan nasional) 3. Pengembangan pelabuhan Goto (Soasio) menjadi pelabuhan petikemas yang melayani
dalam Kota Tidore Kepulauan dan wilayah disekitarnya. 4. Penyediaan prasarana pergudangan untuk memenuhi perpindahan arus barang melalui
pelabuhan. 5. Pengembangan fasilitas pelabuhan yang terpisah antara penumpang dan barang dengan
dilengkapi fasilitas penunjang yang mencukupi. 6. Penyediaan pelabuhan untuk keperluan industri di Payahe.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Gambar 3.7 Peta Rencana Struktur Ruang Kota Tidore Kepulauan
RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KOTA TIDORE KEPULAUAN
PETA 7.5
PPK
PPK
Pusat Kegiatan Lingkungan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.3.2 Kebijakan Rencana Pola Ruang Kota Tidore Kepulauan
1. Kawasan Lindung
Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang wilayah Kota Tidore Kepulauan terbagi menjadi kebijakan dan strategi untuk kawasan lindung serta kebijakan dan strategi untuk kawasan budidaya. Pengembangan kawasan lindung di Kota Tidore Kepulauan dibagi menjadi 4 yaitu: 1) Kawasan yang memberi perlindungan bawahnya. 2) Kawasan perlindungan setempat. 3) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya. 4) Kawasan rawan bencana.
Masing – masing kelompok kawasan tersebut dikembangkan berdasarkan permasalahan kondisi eksisting dan potensi – potensi yang ada baik potensi eksisting kawasan maupun kawasan baru yang berpotensi dikembangkan menjadi kawasan lindung.
a. Rencana Pengembangan Kawasan yang Memberi Perlindungan Bawahnya
Hutan lindung yaitu kawasan hutan yang bersifat memberikan perlindungan pada kawasan sekitarnya dan kawasan bawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, serta untuk pemeliharaan spesies tanaman. Kawasan hutan lindung bertujuan untuk pencegahan erosi dan atau sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah sehingga menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air dan air permukaan.
Tidore Kepulauan memiliki hutan lindung yang ditetapkan sebagai taman nasional yaitu Taman Nasional Aketajawe‐Lolobata . Taman nasional ini terdapat di Kecamatan Oba Utara, Oba Tengah dan Oba.
Luasan hutan lindung terbesar adalah Taman Nasional Aketajawe‐Lolobata yang terdapat di Oba Utara, Oba Tengah dan Oba. Kemudian di wilayah Oba Selatan serta di Pulau Tidore. Hutan lindung ini terutama berada di area yang tinggi seperti di gunung Kiematubu yang dberada di Pulau Tidore. Dengan demikian rencana pengembangan hutan dan kawasan lindung dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Hutan Lindung dan Hutan Kota perlu dipertahankan keberadaannya dan keutuhannya untuk daya dukung serta menjaga keseimbangan ekosistem selain berfungsi sebagai catchment area (daerah tangkapan air) yang diharapkan sebagai sumber air baku untuk kebutuhan masyarakat dan PDAM.
b) Kerusakan hutan lindung sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia karena adanya pertambahan penduduk yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan usaha dan permukiman serta adanya penebangan liar, untuk itu segala penebangan liar atau perambah hutan segera dihentikan dan ditindak agar tidak terulang lagi pelanggaran lingkungan oleh masyarakat maupun instansi / perusahaan.
c) Perencanaan dan pengelolaan yang ketat terhadap keseimbangan lingkungan fungsi kawasan hutan ditingkatkan.
d) penyangga lingkungan juga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata dan daya tarik Kota Tidore Kepulauan, dengan adanya taman nasional Aketajawe‐Lolobata.
e) Pembuatan buffer zone kawasan lindung. f) Pemanfaatan kawasan hutan untuk dapat diakses oleh umum/ masyarakat sehingga
dapat menjadi bagian dari sistem kota, dengan pengelolaan dan pengawasan yang ketat sehingga tidak terjadi perambahan.
g) Peningkatan pengawasan dengan melibatkan masyarakat sebagai alat kontrol. h) Pengawasan dan pengendalian kuantitas sumberdaya air. i) Pengelolaan sumberdaya hutan secara ADATIF. j) Penempatan pos jaga pada tempat yang strategis.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Tabel 3.7 Rencana Peruntukan Hutan Lindung Kota Tidore Kepulauan
No Lokasi Rencana
Peruntukan Luas (Ha) 1 Hutan Aketajawe‐Lolobata di Oba Utara, Oba
Tengah dan Oba Taman Nasional
49.991,762 Kawasan Lindung Aketajawe‐Lolobata di Oba
Utara, Oba Tengah dan Oba Buffer zone Hutan Lindung Aketajawe‐Lolobata,
28.249,93Hutan Produksi Terbatas 3 H.Lindung Oba Selatan dan Oba Hutan Lindung 18.042,364 Hutan Gunung Kiematubu di P. Tidore Hutan Lindung 780,585 Hutan Gunung Pandanga Hutan Lindung 1.851,156 Hutan P. Maitara Hutan Lindung 234,157 Hutan P. Mare Hutan Lindung 651,678 Hutan P. Woda Hutan Lindung 41,639 Hutan P. Raja Hutan Lindung 17,6710 Hutan P. Tamen Hutan Lindung 17,4511 Hutan P. Gurato Hutan Lindung 32,95Tidore Kepulauan 99.911,30Sumber: Penghitungan Berdasar Peta dan Analisis Studio
b. Kawasan Perlindungan Setempat Danau
Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau dilakukan untuk melindungi danau dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau. Danau berada di Sofifi yaitu danau Guara Marasai. Danau ini sebenarnya adalah laguna yang menjorok ke daratan yang kemudian pada muaranya dibangun jembatan. Danau Gurua Marasai memiliki luasan sebesar 34,84 Ha.
Rencana pengembangan perlindungan danau meliputi: ‐ Penetapan kawasan mangrove di sekitar danau sebagai kawasan lindung. ‐ Pencegahan berkembangnya kegiatan budidaya pada kawasan di sekitar danau agar
tidak merusak fungsi danau. ‐ Pengendalian kegiatan budidaya yang ada di kawasan sekitar danau agar tidak
mengganggu fungsi danau.
Sumber Mata Air
Perlindungan terhadap mata air dimaksudkan agar kuantitas dan kuantitas air tidak berkurang. Perlindungan ini dilakukan untuk melindungi mata air dari kegiatan – kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya. Kebijaksanaan pengelolaan kawasan sekitar mata air meliputi:
‐ Pencegahan dilakukan kegiatan budidaya di sekitar mata air yang dapat mengganggu fungsi mata air.
‐ Pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar mata air. ‐ Radius pengaman sekitar mata air minimal 200 m terkecuali bagi bangunan atau
kegiatan yang terkait dengan pengamanan dan pemanfaatan mata air secara terkendali serta tidak mengganggu mata air.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Sempadan Sungai Kawasan sempadan sungai adalah kawasan sepanjang tepi kiri dan kanan sungai, meliputi sungai alam dan buatan, serta kanal. Tujuan perlindungan adalah untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai, serta mengamankan aliran sungai. Berdasar Peraturan Menteri PU No.63/PRT/1993 kawasan sempadan sungai ditetapkan: ‐ Untuk sungai yang berada diluar kawasan permukiman sekurang – kurangnya 50 m
di kiri‐kanan sungai tidak bertanggul, dan 25 m di kiri‐kanan sungai bertanggul. ‐ Untuk sungai yang berada di dalam kawasan permukiman sekurang – kurangnya
10 m di kiri‐kanan sungai tidak bertanggul, dan 3 m di kiri‐kanan sungai bertanggul, serta cukup untuk dibangun jalan inspeksi sungai atau jalan lingkungan.
Sempadan Pantai
Kawasan sempadan pantai adalah kawasan sepanjang tepi pantai. Pengaturan kawasan sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Kawasan sempadan pantai diukur selebar 100 m dari garis pantai (diukur dari garis pantai pada saat titik pasang tertinggi ke arah darat), yang proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai dengan perkecualian untuk kepentingan umum dan permukiman nelayan yang sudah ada yang umumnya menempati kawasan pantai. Terdapat dua macam kawasan sempadan pantai di Kota Tidore Kepulauan, yaitu: sempadan pantai berhutan bakau dan sempadan pantai tidak berhutan bakau (non mangrove). Penanganan sempadan pantai mangrove menjadi kawasan strategis lindung hutan bakau dengan penanganan yang spesifik. Penanganan untuk sempadan pantai non mangrove yaitu dengan melakukan reboisasi mangrove dan pembangunan tanggul atau komponen penahan abrasi.
c. Kawasan Cagar Budaya / Kawasan Bersejarah
Kawasan cagar budaya adalah kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi karena mempunyai nilai sejarah dan sebagai bagian identitas adat istiadat masyarakat Kota Tidore Kepulauan. Daerah yang dijadikan cagar budaya di Kota Tidore Kepulauan adalah Benteng Tahula, Masjid Sultan, Museum Malige Sonyine, Makam Sultan Nuku, Makam Sultan Djamaluddin, dan Permukiman masyarakat adat terpencil Tugutil. Tabel 3.8 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pola Ruang Kawasan Lindung
Kebijakan Pengembangan Strategi Pengembangan
Konservasi dan revitalisasi kawasan bersejarah di Kota Tidore Kepulauan
• Mengkonservasi kawasan/permukiman bersejarah seperti Gurabunga sebagai warisan budaya yang penting
• Mengkonservasi kawasan dan bangunan peninggalan bersejarah seperti: o Kedaton sultan Tidore o Masjid Sultan Tidore o Museum Sunyine Malige o Makam Sultan Nuku o Benteng Tahuela o Monumen pendaratan Spanyol o Benteng Tjobee
• Penataan kawasan bersejarah yang mengalami kerusakan
• Pembuatan Perda atau UU perlindungan kawasan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Kebijakan Pengembangan Strategi Pengembangan
bersejarah • Penetapan batas delineasi kawasan (bangunan)
bersejarah • Rehabilitasi atau restorasi kawasan bersejarah
Konservasi dan regenerasi pada kawasan lindung
• Mempertahankan luasan dan fungsi daerah lindung • Memperbaiki daerah lindung yang rusak dengan
penanaman kembali Pengaturan dan penataan kawasan lindung
• Delineasi dan pemantapan kebijakan perlindungan daerah tangkapan air dan daerah penyangga
• Delineasi dan pengaturan kawasan sumber air baku • Delineasi dan pemantapan pengaturan kawasan
sempadan sungai dan sempadan pantai • Delineasi dan pemantapan kebijakan pengaturan
pembangunan pada daerah kawasan bencana 2. Kawasan Budidaya
Kawasan budidaya merupakan kawasan yang kondisi fisik dan potensi sumber alamnya dianggap dapat dan perlu dimanfaatkan bagi kepentingan produksi (kegiatan usah) maupun pemenuhan kebutuhan permukiman. Oleh karena itu, penetapan kawasan ini dititik beratkan untuk memberikan arahan pengembangan berbagai kegiatan budidaya sesuai dengan potensi sumber daya alam yang ada dengan memperhatikan optimalisasi pemanfaatannya.
a. Pengembangan Kegiatan Permukiman dan Perumahan Terkait dengan penyediaan permukiman dengan kondisi lingkungan yang memadai,
perencanaan kawasan permukiman dilakukan dengan beberapa langkah berikut: • Mengatur distribusi jumlah dan kepadatan rumah tinggal sehingga tercipta kesesuaian
dan keseimbangan distribusi pusat‐pusat pelayanan, penataan, penggunaan lahan, serta arahan distribusi penduduk.
• Mendukung dan menyediakan pemenuhan rumah tinggal sesuai dengan kebutuhan, baik kebutuhan rumah besar, menengah, dan kecil.
• Pengupayaan peningkatan dan pemugaran perumahan yang kondisinya kurang layak dengan program perbaikan perumahan dengan menyertakan sumber dana masyarakat yang ada.
• Melakukan penetapan titik aman atau lokasi evakuasi penduduk apabila terjadi bencana.
• Penataan dan perbaikan kembali lingkungan hidup kawasan permukiman yang sudah tumbuh secara alami, seperti penataan dan revitalisasi lingkungan, pengadaan jalan lingkungan, dan pengadaan sarana prasarana permukiman.
• Penyediaan sarana prasarana permukiman yang sesuai dengan kebutuhan hidup penduduk setempat.
• Mengembangkan permukiman dengan konsep memiliki taman, ruang terbuka, dan penghijauan yang cukup.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Tabel 3.9 Luasan Peruntukan Kawasan Pemukiman
No Lokasi Luas (Ha)
1 Tidore 9.520,482 Tidore Selatan 2.135,923 Tidore Utara 1.555,444 Tidore Timur 1.023,755 Oba Utara 8.530,426 Oba Tengah 2.855,507 Oba 5.604,708 Oba Selatan 2.519,19
Tidore Kepulauan 33.745,40Cadangan permukiman transmigrasi 6.300,00
b. Pengembangan Kawasan Perkantoran dan Pemerintahan
Termasuk di dalam kawasan perkantoran adalah pusat pemerintahan di wilayah perencanaan, baik dalam skala Kecamatan, maupun skala desa yang tersebar pada masing‐masing desa. Rencana pengembangan kawasan perkantoran dan pusat pemerintahan di wilayah perencanaan dilakukan di tiga lokasi utama, yaitu Kawasan perkantoran dan pemerintahan ditetapkan berada di Soasio dan Sofifi. Soasio merupakan perkantoran skala kota, Sofifi perkantoran skala provinsi. Zonasi pengembangan perkantoran dan pemerintahan di Soasio dan Sofifi diutamakan terletak pada kawasan dengan aksesibilitas yang baik. Beberapa konsep yang mendasari penetapan kawasan perkantoran adalah:
• Kawasan perkantoran, khususnya pusat pemerintahan, sebaiknya diletakkan di lokasi strategis dan beraksesibilitas tinggi yang memungkinkan pelayanan kawasan ini mampu menjangkau daerah layanannya. Sehingga apabila pusat perkantoran eksisting berada di lokasi yang belum menjangkau daerah layanannya, maka perlu dilakukan peningkatan aksesibilitas yang menghubungkan kawasan perkantoran dengan kawasan lainnya.
• KDB maksimal 50%. KLB maksimal 3 (tiga) lantai, ketinggian bangunan maksimal 16 meter.
• Baik kawasan perkantoran pada umumnya maupun pusat pemerintahan harus didukung oleh sarana prasarana pendukung yang memadai sehingga mempermudah operasional kegiatan di dalamnya.
• Pengembangan kawasan perkantoran dan pemerintahan memperhitungkan zonasi kawasan konservasi dan rawan bencana agar tidak terjadi konflik dalam pemanfaatannnya.
• Pengembangan pusat perkantoran pemerintahan berada pada Kota Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara. Pengembangan pusat perkantoran pemerintahan skala kota berada di Pulau Tidore sedangkan pengembangan pusat perkantoran pemerintahan skala kecamatan berada pada ibukota kecamatan (IKK) masing‐masing.
c. Pengembangan Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan perdagangan dan jasa merupakan kawasan yang penting, baik dalam aspek ekonomi wilayah, maupun keberadaannya sebagai pendukung kegiatan bermukim masyarakat. Keberadaan sarana perdagangan dan jasa merupakan urat nadi bagi distribusi barang ke konsumen. Untuk itu, kawasan ini dituntut memiliki pencapaian yang baik terhadap masyarakat sekitar dan memiliki aksesibilitas yang memadai.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Skenario kawasan perdagangan dan jasa di Kota Tidore Kepulauan diarahkan pada kawasan pusat – pusat Wilayah pengembangan. Terutama di Sofifi sebagai pusat administrasi Provinsi Maluku Utara dan Soasio sebagai pusat administrasi Kota Tidore Kepulauan.
Penempatan kawasan perdagangan dan jasa juga melihat potensi lokasi yaitu kedekatan dengan kawasan permukiman, kedekatan dengan pusat kawasan/lingkungan dan kedekatan dengan kawasan komersial yang lain. Tetapi penentuan kawasan komersial khususnya kawasan perdagangan dan jasa disesuaikan dengan tema atau potensi kawasan setempat. Sehingga arahan pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa di Kota Tidore Kepulauan adalah sebagai berikut: 1. Kawasan perdagangan dikhususkan untuk menjual hasil bumi sumberdaya alam yang
ada dan hasil industri agro. Kawasan perdagangan berdasarkan sumber daya alam dibedakan menjadi pasar umum tradisional dan pasar ikan serta pertokoan.
2. Khusus untuk pengembangan pasar ikan dapat dijadikan satu dengan kegiatan tempat pelelangan ikan (TPI) dan pelabuhan pendaratan ikan (PPI). Pengembangan tersebut tersebar diseluruh kecamatan yang mempunyai kegiatan nelayan cukup besar seperti pada Soasio, Gurabati, Akelamo dan Gita serta tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan di semua wilayah Kota Tidore Kepulauan. Sehingga dapat mengakomodasi kegiatan perdagangan di bidang perikanan secara maksimal.
3. Pengembangan jasa diarahkan pada jasa‐jasa yang mendukung perekonomian Kota Tidore Kepulauan dengan prime mover economic‐nya sektor pariwisata. Sehingga layanan jasa yang akan dikembangkan di Kota Tidore Kepulauan antara lain: perbankan, jasa transportasi dan perhubungan, hotel dan restoran, dan lainnya.
4. Untuk Pulau Tidore yang akan dikembangkan sebagai resort island jasa‐jasa penunjang antara lain: perbankan, jasa transportasi dan perhubungan, hotel dan restoran, kuliner, kelengkapan fasilitas olahraga, beauty and spa treatment, dan lainnya.
5. Untuk Kota Sofifi yang akan dikembangkan menjadi ibukota provinsi jasa‐jasa yang dikembangkan antara lain: jasa perkantoran, pusat layanan informasi, jasa perbankan, transportasi dan perhubungan, fotocopy dan percetakan, dan lainnya.
6. Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa mempunyai ketentuan masksimal ketinggian bangunan 4 lantai dan KDB 50% dan mudah dijangkau oleh masyarakat.
d. Pengembangan Kawasan Pendidikan
Pengembangan kawasan pendidikan di Wilayah Perencanaan tidak dialokasikan secara khusus dalam kawasan perencanaan. Hal ini dikarenakan sarana pendidikan di wilayah perencanaan tergolong tersebar dan sebagian besar menyatu dengan kawasan permukiman. Akibatnya, sulit dipisahkan antara kawasan pusat pendidikan dengan kawasan fungsi lain dalam suatu kawasan.
Adapun demikian, dalam arahan dan upaya pengembangan pusat‐pusat pendidikan di masa depan dalam lingkup wilayah perencanaan, perlu dilakukan peningkatan tingkat pencapaian masyarakat untuk mempermudah masyarakat di wilayah perencanaan mengakses layanan sarana pendidikan. Adapun beberapa konsep yang diacu dalam pengembangan kawasan dan pusat pendidikan antara lain adalah sebagai berikut:
• Pusat pendidikan sebaiknya diletakkan di kawasan yang cukup kondusif bagi kegiatan pendidikan di dalamnya, tenang, nyaman, dan sebisa mungkin dekat dengan taman, lapangan, atau ruang terbuka hijau.
• Pusat pendidikan sebaiknya diletakkan pada lokasi strategis dengan aksesibilitas wilayah yang memadai untuk mengakomodasi mobilitas pelajar. Apabila suatu kawasan pendidikan memiliki lokasi yang cukup jauh, perlu diadakan peningkatan aksesibilitas, baik dengan perbaikan jalan, peningkatan layanan angkutan umum, maupun pengadaan layanan angkutan pelajar (angkutan kota).
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Perlu ada peningkatan kualitas lingkungan pendidikan di kawasan pendidikan yang belum memadai, baik melalui pengadaan taman bermain, pengadaan ruang terbuka hijau, maupun revitalisasi lingkungan hidup, menurut kebutuhan masing‐masing kawasan pendidikan.
• Pusat pendidikan tinggi dikembangkan di Kota Sofifi yang melayani seluruh Provinsi Maluku Utara. Sedangkan pendidikan tinggi di Pulau Tidore diarahkan sebagai pelengkap pendidikan tinggi di Kota Sofifi.
• Dengan mengandalkan sektor pertanian pada umumnya sebagai sektor basis terutama pada bidang perkebunan dan perikanan serta menjadikan sektor pariwisata sebagai penggerak perekonomian Kota Tidore Kepulauan, maka pendidikan menengah kejuruan diarahkan untuk mendukung kegiatan utama pertanian‐perkebunan, pertanian perkotaan, perikanan, pariwisata bahari, jasa dan perdagangan (wirausaha).
e. Pengembangan Kegiatan Wisata
Kondisi alam Kota Tidore Kepulauan telah memberikan modal untuk dimanfaatkan sebagai obyek wisata alam baik wisata agro dan pendakian maupun wisata bahari. Sedangkan keragaman budaya dan sejarah merupakan warisan yang tak ternilai harganya. Potensi wisata bahari dapat dijumpai di seluruh bagian wilayah Tidore Kepulauan, potensi wisata budaya di Tidore dijumpai di Pulau Tidore dan seluruh Tidore Kepulauan sebagai budaya masyarakat pesisir, demikan pula potensi wisata alam yang berupa dataran tinggi pegunungan dan bukit dengan kondisi alam yang masih lestari. Kriteria untuk menentukan obyek wisata di Kota Tidore Kepulauan dengan menggunakan analisis supply and demand. Namun untuk mencegah terjadinya overlay analisis dengan RIPDDA Kota Tidore Kepulauan, maka obyek wisata yang dijadikan sebagai pengembangan kegiatan wisata di Kota Tidore Kepulauan mengacu pada kawasan obyek wisata unggulan dari RIPDDA.
f. Kawasan Budidaya Pertanian
Sektor pertanian secara umum merupakan sektor primer yang menyumbangkan PDRB terbesar di Kota Tidore Kepulauan. Sektor pertanian dibedakan menjadi sektor pertanian tanaman pangan, sektor pertanian tanaman perkebunan, sektor peternakan, kehutanan, dan perikanan.
Kota Tidore Kepulauan mempunyai kondisi fisik dan alam yang cocok untuk tanaman perkebunan. Pertanian tanaman pangan yang dapat dikembangkan di Kota Tidore Kepulauan adalah jagung, ubi kayu dan kacang tanah. Pertanian sawah hanya dapat dibudidayakan di bagian wilayah pulau Halmahera dengan kriteria dataran rendah dan landai. Kecamatan Oba adalah salah satu kecamatan yang cocok untuk dikembangkan pertanian sawah dan penghasil tanaman pangan. Tanaman jagung dikembangkan di wilayah Pulau Halmahera, ubi kayu dikembangkan di seluruh wilayah Kota Tidore Kepulauan khususnya kecamatan Oba dan Oba Selatan, kacang tanah dikembangkan di seluruh Kota Tidore Kepulauan.
g. Kawasan Pengembangan Kegiatan Perkebunan
Sektor basis ekonomi di Kota Tidore Kepulauan adalah sektor pertanian‐perkebunan. Perkebunan dalam perhitungan LQ dan Shift‐share memberikan gambaran bahwa sektor tersebut memberikan sumbangan terbesar dan memberikan peluang untuk dapat dijadikan sektor investasi. Hasil‐hasil perkebunan dapat mencukupi kebutuhan masyarakat Tidore Kepulauan sendiri dan daerah sekitarnya atau dapat dikatakan berpotensi untuk diekspor. Kegiatan pertanian‐perkebunan menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan sektor ekonomi lainnya. Karena itu kegiatan pertanian‐perkebunan dijadikan sektor basis perekonomian di Kota Tidore Kepulauan.
Kawasan perkebunan dapat dijumpai di seluruh wilayah Kota Tidore Kepulauan. Rencana pengembangan pada kawasan perkebunan adalah sebagai berikut:
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
1. Kawasan perkebunan lebih dikembangkan pada jenis komoditi unggulan yaitu cengkeh (seluruh Tidore khususnya Pulau Tidore), pala (seluruh Tidore khususnya di Pulau Halmahera), kakao (khususnya di Pulau Halmahera), kelapa (khususnya di Pulau Halmahera).
2. Dalam perencanaan kawasan perkebunan diperbolehkan terdapat lokasi industri agro. 3. Pengelolaan perkebunan dan perluasan lahan perkebunan hanya diperbolehkan pada
hutan yang dapat dikonversi.
h. Kawasan Pengembangan Kegiatan Peternakan
Sebagaimana kondisi sektor peternakan di Kota Tidore Kepulauan yang ikut menyumbangkan PDRB pada sektor primer, kegiatan peternakan dapat dikembangkan untuk menyokong sektor pertanian pada umumnya di Kota Tidore Kepulauan. Kegiatan peternakan dikembangkan melalui peningkatan teknologi, pendayagunaan pasar, dan budidaya tanaman sebagai pakan ternak. Kegiatan pengembangan peternakan di Kota Tidore Kepulauan dibagi menjadi dua yaitu:
1. Pengembangan peternakan ruminansia secara intensif (sapi dan kambing) khususnya pada Pulau Halmahera.
2. Pengembangan peternakan unggas di Pulau Tidore sebagai bentuk kegiatan peternakan di lingkungan perkotaan.
Ternak sapi dan kambing di Pulau Halmahera merupakan potensi yang dapat diunggulkan di Kota Tidore Kepulauan. Kota Tidore Kepulauan dapat menjadi sebagai suplier utama jika usaha peternakan diintegrasikan dengan usaha transportasi. Untuk mengembangkan potensi peternakan tersebut, maka direncanakan disediakan lahan untuk kawasan peternakan di Oba Tengah.
i. Kawasan Pengembangan Kegiatan Perikanan
Kota Tidore Kepulauan sebagai bagian dari NKRI memiliki lokasi yang strategis dengan sumber daya alam perikanan yang sangat berlimpah. Potensi perikanan laut di Kota Tidore Kepulauan kurang berkembang karena terkendala oleh kurangnya keterampilan dalam budidaya perikanan laut dan darat. Konsep rencana pengembangan perikanan terdiri dari:
1. Rencana Pengembangan Perikanan Tangkap
Daerah penangkapan ikan 2, yang memiliki potensi untuk pengembangan perikanan pelagis kecil dan demersal (utamanya: ikan layang, kembung, julung‐julung, kuwe, dan kakap merah); berada di perairan pantai sebelah Selatan, Tenggara, Timur, Timur laut, Utara, Barat laut dan Barat Pulau Morotai, perairan pantai Tidore dan Ternate dan wilayah periaran pantai Sanana. Arahan kegiatan penangkapan ikan 2 berada pada wilayah perairan pantai, maka diarahkan hanya untuk pengembangan aktivitas perikanan rakyat atau perikanan skala kecil dan menengah. Pengembangan perikanan tangkap dilakukan dengan mendayagunakan pelabuhan pendaratan ikan (PPI) di Soasio yang sekarang ini masih sepi dari nelayan. Selain pendayagunaan PPI di Soasio, direncanakan juga pembangunan PPI di Gurabati karena di daerah ini sudah terdapat pelabuhan nelayan lokal dan terdapat potensi untuk dikembangkan. Berkaitan dengan pembangunan industri perikanan di Gita‐Payahe maka pada daerah ini direncanakan pembangunan pelabuhan perikanan pantai (PPP) untuk mendukung permintaan akan hasil laut yang akan melonjak pada daerah ini.
Hasil penangkapan ikan yang ada akan dijual di TPI yang berada di dekat tiap – tiap PPP dan PPI. Selain dijual langsung sebagai produk segar, hasil laut juga diolah pada industri perikanan yang ada di Gita‐Payahe sehingga dapat meningkatkan harga jual dan daya saing produk perikanan Kota Tidore Kepulauan. Hasil olahan dari produk perikanan di Gita‐Payahe dapat dipasarkan di Soasio dan Ternate.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
2. Rencana Pengembangan Perikanan Budidaya
Komoditas akuakultur yang akan dikembangkan di Tidore Kepulauan mencakup spesies air tawar, air payau dan air laut. Mengingat sumberdaya alam yang sebagian besar didominasi oleh perairan laut, maka penekanan pengembangan diberikan pada komoditas budidaya laut (marikultur).
Sistem teknologi Akuakultur meliputi: jaring apung, jaring tancap,kandang (pen culture), sekat (eclosure), longline dan rakit, sehingga rencana pengembangan pertanian mengikuti konsep tersebut diatas antara lain:
1. Peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan mengenai perikanan di Gita‐Payahe.
2. Peningkatan teknologi penangkapan ikan melalui bantuan pengadaan kapal – kapal dengan teknologi penyimpanan yang lebih baik baik dari segi kapasitas (30 – 300 GT) maupun teknologi penyimpanan (freezer) serta peralatan penangkapan ikan yang lebih baik.
3. Pengembangan tambak udang di perairan selat Halmahera. 4. Pengembangan perikanan air payau dengan memanfaatkan hutan bakau. 5. Pengembangan pertanian darat khususnya di wilayah bagian Pulau Halmahera (Oba dan
Oba Selatan). Pada pengembangan ini perlu pembangunan kawasan budidaya terpadu mulai dari unit pembenihan, pembesaran, pasca panen dan industri pendukung.
6. Meningkatkan pelatihan‐pelatihan dibidang perikanan bagi masyarakat Kota Tidore Kepulauan dan memberikan keterampilan pada jenjang pendidikan sekolah menengah kejuruan.
7. Pengadaan sarana dan prasarana penunjang budidaya laut dan pantai, seperti pembangunan saluran irigasi tambak, pembangunan jalan baru, PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai), PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan), dan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang diprioritaskan pada lokasi‐lokasi dengan banyak kegiatan nelayan.
8. Penetapan Zona Pengelolaan Wilayah Laut Kota Tidore Kepulauan. Zona pengelolaan ini ditetapkan berdasarkan peraturan yang telah ada yaitu Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor Per.16/Men/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil dan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.17/Men/2008 Tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau‐Pulau Kecil yang menyebutkan bahwa zona pengelolaan wilayah laut untuk kepulauan ditetapkan sepertiga jarak zona ekonomi eksklusif yaitu sebesar 4 mil dari garis tepi pantai terluar.
j. Kawasan Industri
Pengembangan kegiatan industri di Kota Tidore Kepulauan lebih dikembangkan kepada industri bersih (non limbah) dan industri agro. Pengembangan industri tersebut untuk mendukung sektor basis di Kota Tidore Kepulauan yaitu pertanian‐perkebunan. Pengembangan kegiatan industri ini direncanakan dan diarahkan pada lokasi‐lokasi yang dekat dengan sumber bahan baku dan dapat menarik banyak pekerja. Lokasi kawasan industri di Kota Tidore Kepulauan antara lain: a. Industri bersih (non limbah) di Tidore Selatan dan Tidore. Keberadaan industri ini untuk
mengolah hasil kerajinan setempat dan mengolah hasil perikanan. b. Industri agro di Kecamatan Tidore Utara dan Tidore Timur. Keberadaan industri ini untuk
mengolah hasil perkebunan di Tidore Utara dan Tidore Timur. c. Industri agro di Oba Utara dan Oba Tengah. Keberadaan industri ini untuk mengolah
hasil perkebunan di Oba Utara dan Oba Tengah. d. Industri agro dan perikanan di Oba dan Oba Selatan. Keberadaan industri ini untuk
mengolah hasil perkebunan di Oba dan Oba Selatan.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
k. Kawasan Pertambangan
Potensi pertambangan di Kota Tidore Kepulauan hampir dapat dijumpai di seluruh wilayah. Usaha pertambangan di Kota Tidore Kepulauan yang telah ada antara lain pertambangan pasir, batu dan emas. Beberapa kegiatan pertambangan berada pada kawasan lindung. Sehingga rencana pengembangan kawasan pertambangan antara lain:
• Kawasan pertambangan dipusatkan di kecamatan Oba Utara, Oba Tengah dan Oba. • Kawasan pertambangan yang berada di dalam kawasan lindung harus dilakukan studi
kelayakan mengenai kegiatan pertambangan di lokasi tersebut. Jika tidak layak dilakukan pertambangan maka tidak diperbolehkan melakukan budidaya pertambangan di dalam kawasan lindung.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Gambar 3.8 Peta Rencana Pola Ruang Kota Tidore Kepulauan
RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KOTA TIDORE KEPULAUAN
PETA 8.3
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.3.3 Kebijakan Rencana Kawasan Strategis Kota Tidore Kepulauan
Dengan mempertimbangkan struktur dan pola ruang ditetapkan Penetapan kawasan strategis dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tidore Kepulauan, sebagai berikut :
1. Kawasan Strategis Lingkungan Hidup
2. Kawasan Strategis Sosial Budaya
3. Kawasan Strategis Ekonomi
4. Kawasan Strategis Wisata
Kawasan Strategis Lingkungan Hidup Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis lingkungan hidup diarahkan
pada kawasan lindung bakau, kawasan lindung sungai, Kawasan Lindung Taman Nasional Aketajawe‐Lolobata. Pada kawasan lindung bakau, teridentifikasi bahwa seluruh kawasan bakau di Kota Tidore Kepulauan merupakan kawasan lindung. Hal ini dikarenakan fungsi utama hutan bakau sebagai habitat hidup ikan payau dan sebagai penahan gelombang pasang surut air laut serta penahan gelombang tsunami yang potensi terjadi di Kota Tidore Kepulauan. Kawasan Bakau di Kota Tidore Kepulauan termasuk kawasan hutan bakau yang unik karena tumbuh di sedimen pasir. Dikatakan unik karena relatif jarang terdapat hutan bakau yang tumbuh pada media tanam sedimen pasir. Dengan kemudahan adaptasi hidup hutan bakau tersebut, maka seluruh kawasan hutan bakau di Kota Tidore Kepulauan merupakan kawasan strategis lingkungan hidup. Selain di Kota Tidore, kawasan Bakau juga terdapat di Payahe, Tauno dan Gilatua yang berfungsi sebagai buffer zone. Penanganan yang dilakukan untuk kawasan strategis lingkungan hidup hutan bakau di Kota Tidore Kepulauan antara lain:
1. Perlindungan terhadap flora dan fauna yang terdapat dalam hutan bakau dengan melarang penebangan dan pemanfaatan hutan bakau yang dapat merusak ekosistem.
2. Memberikan alternatif mata pencaharian kepada masyarakat yang mempunyai mata pencaharian menjual kayu bakar bakau. Alternatif mata pencaharian disesuaikan dengan kemampuan dan keahlian masing‐masing individu.
3. Kegiatan yang diperbolehkan antara lain: mengambil kayu kering tanpa harus menebang, budidaya perikanan air payau, wisata alam menyusuri hutan bakau dengan perahu.
Disamping kawasan lindung Bakau, terdapat kawasan yang dilindungi dan termasuk dalam kawasan strategis lingkungan hidup karena terletak dengan dengan pemukiman penduduk adalah kawasan lindung sungai yakni sungai Akebale, Akeoba dan Akelamo merupakan sungai yang sering mengalami banjir serta Sungai Oba, Toniku dan Kayasa merupakan sungai‐sungai yang berada di Kecamatan Oba Utara. Ketiga sungai tersebut merupakan sumber air baku bagi masyarakat sekitar. Berdasarkan data RDTR Kota Sofifi, sungai Oba sebagai sungai terbesar merupakan muara sungai‐sungai kecil lainnya dengan aliran permukaan air akan mengisi air tanah. Sungai Oba memiliki 16 DAS disekelilingnya. Sungai Toniku meskipun musim kemarau masih dialiri air, sedangkan sungai Kayasa merupakan sungai yang tidak pernah kering. Sehingga keberadaan ketiga sungai tersebut sangat vital bagi Kota Sofifi yang akan dikembangkan menjadi ibukota propinsi yang kebutuhan air bersih juga meningkat.
Penanganan untuk kawasan strategis lingkungan hidup sungai antara lain: 1. Perlindungan terhadap flora dan fauna di sekitar kawasan sungai dan sempadannya. 2. Penanaman tanaman hijau sepanjang sungai di sebelah kiri dan kanan sempadan sungai. 3. Melarang kegiatan penambangan pasir, penebangan pohon dan pengrusakan sempadan
sungai. 4. Pembuatan lubang biopori disepanjang daerah sempadan sungai dengan mengajak
masyarakat sekitar. 5. Pengelolaan DAS di sepanjang sungai.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Kawasan stratgis lingkungan hidup lainnya adalah Kawasan Lindung Taman Nasional Aketajawe‐Lolobata yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/Menhut‐II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Kawasan tersebut mempunyai luas ± 167.300 Ha yang mencakup daerah Halmahera Tengah, Kota Tidore Kepulauan dan Halmahera Timur. Kawasan lindung Taman Nasional yang berada di dalam administratif Kota Tidore Kepulauan adalah Taman Nasional Aketajawe. Ditetapkannya kawasan lindung Taman Nasional Aketajawe‐Lolobata sebagai kawasan strategis karena dibawah kawasan taman nasional ini terdapat daerah budidaya permukiman perkotaan Sofifi yang dalam keberlanjutan kota membutuhkan sumber air baku. Kawasan Taman Nasional Aketajawe dihuni oleh masyarakat hutan Tugutil. Selain itu kawasan lindung Taman Nasional Aketajawe‐Lolobata memiliki berbagai rangkaian habitat dan spesies dari unit biogeografi kelompok Halmahera dalam satu unit pengelolaan. Flora yang dimiliki dalam kawasan lindung Taman Nasional Aketajawe‐Lolobata adalah hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan yang berpotensi memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Fauna yang dimiliki kawasan lindung Taman Nasional Aketajawe‐Lolobata antara lain 28 jenis mamalia dengan 1 jenis mamalia sebagai hewan endemik Halmahera, 211 jenis burung dengan 4 jenis burung sebagai endemik Halmahera, 38 jenis reptil dengan 7 jenis reptil sebagai endemik Halmahera, 6 jenis amfibi dengan 2 jenis endemik amfibi Halmahera. Penanganan perlindungan yang dilakukan pada kawasan ini, yaitu:
• Perlindungan terhadap perwakilan keanekaragaman ekosistem dan rangkaian habitat yang lengkap dari dataran rendah sampai pegunungan, yang mencakup perwakilan asli dari seluruh jenis habitat darat yang penting di Pulau Halmahera.
• Perlindungan daerah resapan air yang penting bagi kawasan sekitarnya atau dibawahnya untuk kebutuhan air masyarakat, pertanian, industri dan lainnya.
• Perlindungan terhadap masyarakat hutan Tugutil. Kawasan ini merupakan pilihan bagi masyarakat hutan Tugutil untuk dapat terus menjalankan cara hidup tradisionalnya.
Kawasan Strategis Sosial Budaya Kawasan strategis sosial budaya di Kota Tidore Kepulauan memegang peranan penting
terhadap kesatuan NKRI terkait dengan isu perlindungan adat‐istiadat dan budaya terhadap klaim negara asing. Kawasan strategis sosial budaya di Kota Tidore Kepulauan selain sebagai identitas diri Kota Tidore Kepulauan juga menjadi identitas bagi Kepulauan Maluku dan negara Indonesia. Kawasan strategis ini meliputi Kawasan Konservasi Gurabunga, dan Kawasan Konservasi Kedaton Kesultanan Tidore
Kawasan Strategis Ekonomi
Kawasan Strategis Ekonomi diperuntukan bagi pengembangan ekonomi Kota Tidore Kepulauan dikembangkan Kawasan startegis ekonomi Goto sebagai salah satu lokasi pelabuhan yang menjadi simpul transportasi dan distribusi barang dan jasa. Fungsi pelabuhan Goto (Soasio) sebagai pelabuhan peti kemas menjadi salah satu alasan ditetapkannya Goto (Soasio) sebagai kawasan strategis ekonomi.
Kawasan Strategis Ekonomi lainnya yang dikembangkan adalah Kota Sofifi yang di diarahkan sebagai pusat perdagangan, perkantoran, jasa dan pendidikan tinggi. Rencana penanganan yang diterapkan untuk Sofifi adalah sebagai berikut:
• Perlu dilengkapi dengan akomodasi perkotaan dan sarana prasarana sosial ekonomi regional yang memadai, yaitu: kantor pemerintahan dan legislatif, rumah sakit, terminal, perguruan tinggi, pasar atau pusat perdagangan, perbankan, markas Korem/Kodim dan Polda/polres, pengadilan negeri, kejaksaan negeri, gedung olahraga, gedung hiburan rakyat dan gedung lainnya.
• Arahan daerah terbangun untuk Kota Sofifi diatur agar tetap rendah yaitu sebesar 40%, hal ini dimaksudkan agar Kota Sofifi menjadi Kota yang ‘lega’.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
• Arahan tinggi bangunan ditetapkan lebih dari 1 (satu) untuk menanggulangi ancaman tsunami. KLB ditetapkan dalam jangkauan 1 – 4 lantai.
• Penyediaan ruang terbuka hijau. • Penyediaan infrastruktur air bersih, drainase dan air limbah yang baik.
Kawasan Strategis Ekonomi lainnya yang dikembangkan adalah Kawasan Strategis Ekonomi Rum yang menjadi pintu masuk pergerakan barang dan jasa serta Kawasan Strategis Ekonomi Gita‐Payahe yang merupakan kawasan yang berada di simpul jalan arteri ‘Trans Halmahera’. Kawasan ini juga merupakan kawasan pengembangan industri agro dan perikanan.
Kawasan Strategis Wisata
Penetapan kawasan strategis wisata di Kota Tidore Kepulauan diambil dari obyek wisata unggulan dan telah dikenal baik oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Dengan penetapan kawasan strategis wisata diharapkan dapat terjaga reputasinya sebagai lokasi wisata unggulan dengan jenis penanganan sebagai kawasan yang akan dilindungi, dikonservasi dan dikembangkan sebagai wisata bahari. Beberapa kawasan yang dikembangkan antara lain Pulau Mare dan Pulau Maitara.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Gambar 3.9 Peta Rencana Kawasan Strategis Kota Tidore Kepulauan
RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KOTA TIDORE KEPULAUAN
PETA 12.1
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.4 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan Strategis Kabupaten Halmahera Tengah
Kebijakan pembangunan Kabupaten Halmahera Tengah dilandasi oleh visi pembangunan jangka panjang 2005 ‐ 2025 yang berbunyi “Mewujudkan Kabupaten Halmahera Tengah yang Mandiri, Maju dan Sejahtera yang Bertumpu pada Pengembangan Potensi Sumberdaya Laut dan Kepulauan “.
Dari visi di atas dapat ditafsirkan bahwa pembangunan ekonomi di Kabupaten Halmahera Tengah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menjadikan sumberdaya laut sebagai tumpuan. Hal ini menunjukkan terjadina reorientasi pembangunan dari pembangunan yang berbasis daratan (land basis) menjadi pembangunan yang berbasis lautan (marine basis). Hal ini didasari oleh kondisi geografis wilayah yang sebagian besar adalah lautan yang menyimpan potensi bahari yang sangat besar, baik potensi perikanan maupun sumberdaya laut yang lain seperti pertambangan, wisata alam dan sumber energi.
Skenario pengembangan Kabupaten Halmahera Tengah dibagi kedalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Tahap Percepatan (Acceleration) : 2009 – 2013
Strategi pada tahap percepatan diarahkan pada pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada dan peningkatan produksi pada sektor‐sektor unggulan Halmahera Tengah (perkebunan, perikanan laut dan pariwisata). Strategi percepatan ini berupa: merubah bahan mentah menjadi bahan olahan hasil sektor – sektor unggulan dan membangun berbagai industri pengolahan; Meningkatkan infrastruktur produksi dan distribusi untuk memperlancar investasi, produksi dan pemasaran produk‐produk unggulan; Meningkatkan kualitas SDM yang bertumpu pada karakteristik dan potensi lokal; Meningkatkan teknologi yang dapat digunakan dalam mengoleh bahan mentah menjadi bahan olahan.
(2) Tahap Transformasi (Transformation) : 2014 – 2018 Strategi pada tahapan transformasi diarahkan untuk menarik investasi untuk pengembangan industri pengolahan hasil industri (pertanian/perkebunan, perikanan). Hal ini dikarenakan pada tahapan ini telah mengalami perubahan dari pengekspor bahan mentah berubah menjadi pengekspor bahan setengah jadi dalam bentuk produk olahan hasil industri.
(3) Tahap Penguatan (Strengthening) : 2019 – 2029 Strategi pada tahapan penguatan diarahkan pada penyiapan transformasi ekonomi dari sektor industri ke sektor jasa yang ditandai oleh bertumbuhnya sektor perdagangan (trade), Jasa (services) baik untuk jasa perdagangan maupun jasa pariwisata (tourism Industry/ecotourism). Pada tahun 2029 diharapkan Kabupaten Halmahera Tengah telah melakukan ekspor bahan jadi (final product) dengan produk turunannya dan dipertahankan dengan melakukan strategi penguatan sehingga pada tahun 2029 terjadi perubahan daya saing dari mengandalkan keunggulan komparatif (comparative advantage) menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Secara internal, kebijakan penetapan struktur ruang wilayah Kabupaten Halmahera
Tengah akan diarahkan pada: a. Membentuk dan memperkuat struktur kegiatan dan implikasi ruangnya bagi kota‐
kota yang akan diposisikan sebagai pusat‐pusat pertumbuhan dan pengembangan wilayah. Oleh karena itu, struktur tata ruang wilayah Kabupaten Halmahera Tengah akan dibagi menjadi 5 wilayah pengembangan, yaitu: wilayah pengembangan Weda, Weda Utara, Weda Selatan, Patani dan Gebe.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
b. Meningkatkan pertumbuhan wilayah dengan memperkuat dan mengoptimalkan keterkaitan fungsi kegiatan antar wilayah pengembangan.
c. Pola pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung yang ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut :
(a) Keppres No. 32 Tahun 1990 (b) Keppres No. 57 Tahun 1989 (c) Daya dukung lingkungan Kabupaten Halmahera Tengah
d. Pola pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya yang akan berfungsi sebagai penyangga bagi kawasan lindung maupun kawasan budidaya maupun kawasan budidaya intensif. Pengembangan kawasan budidaya yang bersifat intensif harus memperhatikan kriteria‐kriteria yang sudah ditentukan dengan memperhatikan potensi dan kesesuaian lahan.
e. Sentra‐sentra kegiatan yang ada di sekitar kota‐kota, seperti pertambangan, tanaman pangan, perkebunan, penangkapan ikan, pariwisata, pengolahan kayu hutan, industri, akan menjadi tulang punggung perkembangan wilayah.
Secara eksternal, kebijakan penetapan struktur ruang wilayah Kabupaten Halmahera
Tengah akan diarahkan pada: (1) Penataan sistem kota‐kota yang tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan ekonomi/produksi
dan berperan sebagai pintu masuk‐keluar (multigate) bagi kawasan sekitarnya sehingga menciptakan keterkaitan ekonomi dan spasial antara Kabupaten Halmahera Tengah dengan wilayah sekitarnya.
(2) Pengembangan simpul‐simpul kegiatan transportasi regional yang handal sebagai sarana mempercepat arus pergerakan hasil produksi dari simpul‐simpul kegiatan ekonomi dan jasa produksi.
(3) Kebijakan penetapan struktur ruang wilayah kabupaten merupakan suatu kebijakan yang akan digunakan untuk mengembangkan struktur ruang wilayah kabupaten yang terdiri dari sistem perkotaan, sistem perdesaan, dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten yang diinginkan di masa mendatang sebagai penjabaran visi pembangunan daerah dikaitkan dengan potensi dan masalah pengembangan wilayah. Dengan melihat kedudukan dan peran Kabupaten Halmahera Tengah yang sangat
strategis dalam lingkup wilayah Provinsi Maluku Utara serta potensi yang dimilikinya, maka fungsi utama yang ditetapkan bagi pengembangan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah adalah :
(a) Fungsi Sebagai Daerah Pertambangan; Sektor pertambangan saat memberikan kontribusi sekitar 23.28 persen terhadap total perekonomian. Kontributor utama adalah pertambangan nickel yang berada di P. Gebe dikelola oleh PT. Aneka Tambang. Produksi nickel dari P. Gebe ini diekspor dengan tujuan Jepang, hanya sebagian kecil yang dijual antar pulau (ke Pomala, Sulawesi Tenggara). Operasional pertambangan di P. Gebe kini sudah berakhir, sehingga Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah mempercepat realisasi pembangunan industri tambang lainnya yaitu di Kecamatan Weda terdapat potensi tambang nikel dengan kandungan yang cukup besar. Potensi ini sekarang sudah mau masuk ke tahap ekploitasi yang dilakukan oleh PT. Weda Bay Nickel. Pengembangan kawasan pertambangan ini diharapkan dapat menjadi salah satu penggerak utama (pre–mover) perekonomian wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang memberikan multiflier effect (dampak pengganda) yang signifikan terhadap munculnya kegiatan ikutan.
(b) Fungsi sebagai Sentra Pengembangan Pertanian dan Perkebunan, sektor pertanian dan perkebunan merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah. Komoditi utama sub sektor perkebunan adalah kelapa dengan produksi 93.71 ton (sekitar 90 persen dari total produksi perkebunan). Produksi kelapa tersebut diolah lebih lanjut menjadi minyak kelapa rakyat, batok kelapa dan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
kopra. Pada tahun 2002 sebanyak 1.246 ton kopra dijual antar pulau dengan tujuan Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Komoditas lainnya adalah cengkeh, kakao, pala, kayu manis. Selain itu, untuk sektor perkebunan saat ini sudah ada investor yang sudah masuk untuk mengembangkan perkebunan sawit di daerah Waleh. Pengembangan kegiatan ekonomi yang bertumpu pada potensi lokal ini dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan.
(c) Fungsi sebagai Pengembangan Aktivitas Kelautan (Termasuk Pengembangan Pariwisata Bahari), yaitu dalam kaitannya dengan potensi dan karakteristik wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang memiliki wilayah pesisir/pantai. Pengembangan aktivitas kelautan ini, terutama untuk memanfaatkan potensi perikanan laut sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal.
(d) Transportasi Laut (Pelabuhan Laut), Transportasi laut merupakan transportasi utama dalam melakukan hubungan dengan daerah lainnya di wilayah kabupaten Halmahera Tengah maupun Propinsi Maluku Utara, mengingat kondisi wilayahnya yang berupa kepulauan. Pengembangan pelabuhan/dermaga laut sebagai outlet (pintu gerbang) diintegrasikan dengan pengembangan jaringan jalan di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah. Pengembangan Pelabuhan/dermaga laut untuk pelayanan penumpang dan kegiatan bongkar muat barang diarahkan pada 4 (empat) outlet utama, yaitu di Weda, Lelilef, Patani, dan Gebe.
(e) Transportasi Udara, Pengembangan transportasi udara diarahkan untuk melayani pergerakan penduduk dan atau barang yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan transportasi lainnya. Untuk pelayanan pergerakan transportasi udara dapat memanfaatkan fasilitas bandara/lapangan terbang yang saat ini sudah dibangun oleh perusahaan pertambangan.
(f) Terminal Angkutan Penumpang, Untuk ke depan dengan adanya rencana pengembangan satuan permukiman baru akan memerlukan pelayanan angkutan umum darat sehingga diperlukan terminal angkutan umum. Konsep pengembangan terminal harus diintegrasikan dengan pengembangan transportasi laut (pelabuhan/dermaga laut) mengingat kondisi wilayah yang berupa kepulauan. Sehingga pergantian antar moda akan lebih mudah dilakukan.
(g) Fungsi Pusat Pemerintahan Kabupaten, Kawasan ini merupakan konsentrasi kantor‐kantor pemerintah tingkat kabupaten. Perkembangan lebih lanjut akan diarahkan dipusat Kota Weda yang membentuk kawasan pemerintahan terpadu.
(h) Fungsi sebagai Tempat Permukiman Penduduk, baik untuk menampung perkembangan penduduk lokal dari Kabupaten Halmahera Tengah sendiri maupun untuk menampung penduduk yang bermigrasi sebagai akibat pengembangan sektor kegiatan (pertambangan dan perkebunan) yang akan menarik orang untuk bermukim di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah.
Perumusan pola pengembangan tata ruang wilayah Kabupaten Halmahera Tengah
dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu : a. Keterkaitan antar wilayah daratan dan lautan; b. Interaksi antar wilayah (tata ruang makro); c. Memperkuat intra wilayah (tata ruang mikro). Ketiga pendekatan ini bukan merupakan pendekatan yang terpisah, tetapi sebagai suatu kesatuan yang saling berkaitan, dengan mengacu pada kondisi, potensi, dan permasalahan pengembangan Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.4.1 Kebijakan Rencana Struktur Ruang Kabupaten Halmahera Tengah
Rencana struktur ruang wilayah adalah gambaran susunan unsur‐unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang digambarkan secara hirarkis dan berhubungan satu sama lain. Rencana struktur ruang wilayah diantaranya meliputi hirarki pusat pelayanan wilayah, seperti: sistem pusat‐pusat perkotaan dan perdesaan, pusat‐pusat permukiman, hirarki sarana dan prasarana wilayah seperti sistem jaringan transportasi.
Pengembangan sistem kota‐kota dan kota‐desa dimaksud sebagai upaya untuk menetapkan kota‐kota yang ada di Kabupaten Halmahera Tengah agar berkembang sesuai dengan fungsi pelayanan dan interaksi baik antarkota maupun terhadap wilayah belakangnya agar lebih bersinergi dalam rangka pengembangan wilayah.
Struktur tata ruang mencerminkan kerangka dasar pola keterkaitan antara satu elemen ruang dengan elemen ruang lainnya. Struktur tata ruang juga mencerminkan arah pengembangan ruang wilayah yang bersangkutan. Dengan karakteristik wilayah kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah membutuhkan suatu struktur tata ruang yang kompak serta didukung oleh sistem transportasi regional yang handal. Untuk itu dalam pengembangan struktur tata ruang Kabupaten, sesuai kaidah penataan ruang, perlu memperhatikan unsur‐unsur pokok seperti: (1) Pusat‐pusat pertumbuhan
(2) Pelabuhan sebagai simpul penghubung (sistem transportasi)
(3) Kawasan strategis
Pengembangan pusat pertumbuhan di wilayah pesisir merupakan komponen penting dalam membangun struktur ruang wilayah kepulauan. Dalam hal ini pusat‐pusat tersebut berfungsi sebagai tempat berkumpulnya berbagai aktivitas yang ada di suatu pulau. Pusat pertumbuhan di pesisir ini menjadi titik temu dari aktivitas di wilayah daratan (hinterland) dengan aktivitas di wilayah lautan.
Pengembangan struktur ruang wilayah Kabupaten Halmahera Tengah didasarkan pada konsep dasar sebagai berikut : (1) Pengembangan Struktur Tata Ruang Dalam Konteks Intra Wilayah
Konsep pengembangan tata ruang secara intra wilayah Kabupaten Halmahera Tengah mengacu kepada tujuan‐tujuan pengembangan struktur tata ruang Kabupaten, dan bertitik tolak dari pertimbangan kapasitas dan aksesibilitas di setiap wilayah terhadap pusat‐pusat pelayanan utama.
Dalam penyusunan konsep struktur tata ruang intra Wilayah Halmahera Tengah beberapa pertimbangan yang lebih spesifik perlu diperhatikan yaitu 6 (enam) prinsip pengembangan Tata Ruang Halmahera Tengah :
a. Pengembangan tata ruang dilandasi oleh prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
b. Keterkaitan sektor‐sektor ekonomi dalam upaya memacu pembangunan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah dengan memperhatkan implikasi keruangan yang didasarkan atas komplementari antarsektor‐sektor yang terpilih dalam wilayah yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan saling ketergantungan antarwilayah (pulau/Kabupaten) yang dalam jangka panjang dapat membentuk satu kesatuan ekonomi wilayah.
c. Keterkaitan antara kawasan yang berkembang pesat dan sektor‐sektor pengembangan utama dengan kawasan yang terisolir dan tertinggal pertumbuhannya. Dimaksudkan agar terjadi penyebaran dan penjalaran pertumbuhan ke daerah‐daerah yang tertinggal tersebut.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
d. Keterkaitan fungsional antara kawasan pusat pertumbuhan dengan wilayah belakangnya dalam rangka pemerataan pembangunan sampai ke daerah‐daerah belakang.
e. Keterkaitan fungsional dan spasial antarpulau.
f. Keterkaitan antara ketiga sistem laut darat dan udara dalam menunjang struktur pengembangan tata ruang intra wilayah.
Peluang yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pembangunan Kabupaten Halmahera Tengah yaitu:
a. Letak geografis wilayah Halmahera Tengah yang cukup strategis dalam skala regional dan nasional.
b. Hubungan ekonomi yang telah terbentuk secara regional.
c. Adanya peluang pasar baik domestik maupun Internasional bagi produk‐produk sumberdaya alam yang sangat besar di Halmahera Tengah.
(2) Grand Strategy Pengembangan Pusat‐pusat Pertumbuhan
Berdasarkan pada kapasitas dan konsep rencana ruang secara intra wilayah, maka grand strategy pengembangan Kabupaten Halmahera Tengah, adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan aksebilitas Kawasan cepat tumbuh terutama Kota Weda dengan mengembangkan sarana dan prasarana perhubungan darat, laut dan udara untuk memperlancar aliran investasi, produksi dan pemasaran produk‐produk unggulan.
b. Mengembangkan dan mengoptimalkan SDM yang bertumpu pada karakteristik masyarakat lokal, memberdayakan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat Halmahera Tengah yang religius sesuai visi daerah yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
c. Mengembangkan investasi di sektor‐sektor unggulan serta menyusun srategi pemasaran dan proposi investasi di pusat‐pusat pertumbuhan terutama di Wairoro dan Patani.
d. Memanfaatkan keunggulan komparatif dan kompetitif untuk mengembangkan komoditas unggulan/strategis yang menjadi unggulan pasar regional dan pasar ekspor sebagai kekuatan pendorong untuk meningkatkan daya saing Kawasan.
e. Kota Weda akan dikembangkan pusat perdagangan, jasa yang akan diposisikan sebagai inlet dan oulet pergerakan orang dan barang” simpul pemasaran”.
f. Membangkitkan ekonomi lokal dengan dukungan sektor agribisnis (perikanan laut dan perkebunan), industri pengolahan hasil perikanan laut.
g. Mengembangkan produk pariwisata dengan memantapkan produk‐produk yang telah ada dan diversifikasi lokasi objek wisata yang baru.
h. Memperkuat kerjasama antarwilayah yang sinergis dengan daerah‐daerah lainnya.
i. Meningkatkan keterkaitan usaha untuk menata struktur ekonomi dan memberdayakan sumberdaya lokal untuk mengembangkan struktur industri.
j. Mempersiapkan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha untuk mengantisipasi tantangan era perdagangan bebas (free trade).
Rencana struktur pemanfaatan ruang Kabupaten Halmahera Tengah dilakukan dengan membagi wilayah kota ke dalam beberapa zona pengembangan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi struktur tata ruang wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang efisien dalam pemanfaatan ruang dan efektif dalam membentuk struktur‐struktur pelayanan umum serta terpadu dan bersinergis dalam memanfaatkan semua potensi dan sumberdaya yang tersedia. Kabupaten Halmahera Tengah sebagai wilayah yang relatif baru telah mengalami
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
perubahan yang sangat besar terhadap struktur tata ruangnya, dimana sebelumnya hanya sebagai kawasan dengan fungsi sekunder maka setelah pemekaran, menjadi kawasan dengan fungsi primer.
Rencana pembagian wilayah Kabupaten Halmahera Tengah didasarkan pada beberapa aspek yang dinilai memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk dan menciptakan struktur tata ruang Kabupaten Halmahera Tengah yang terpadu, serasi, selaras dan berkesinambungan yaitu : (1) Mempersiapkan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah untuk go international.
(2) Mempertimbangkan akselerasi pembangunan dan penyebaran pusat‐pusat pelayanan dalam upaya pemerataan pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Halmahera Tengah.
(3) Memperhatikan wilayah administratif Kabupaten Halmahera Tengah dengan batas‐batasnya serta cakupan luas wilayah dari masing‐masing kecamatan tersebut.
(4) Memperhitungkan keberadaan sistem‐sistem pelayanan dan fungsi‐fungsi kawasan yang berkembang di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah.
(5) Mempertimbangkan kondisi karakteristik alam dan geografis yang dimiliki Kabupaten Halmahera Tengah serta aspek sosial budaya kependudukan.
Dengan dasar pertimbangan‐pertimbangan tersebut, maka wilayah Kabupaten
Halmahera Tengah dibagi ke dalam lima Zona/ Wilayah Pengembangan dengan fungsi yang akan dikembangkan, secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 3.11
Tabel 3.10 Wilayah Pengembangan Kabupaten Halmahera Tengah
Wilayah Pengembangan Pusat Fungsi Yang Dikembangkan
WP Weda ( I)
Weda a. Pusat pemerintahan kabupatenb. Simpul transportasi laut dan darat c. Pertanian tanaman pangan d. Pertambangan e. Perikanan laut f. Permukiman g. Jasa dan Perdagangan h. Pariwisata
WP Weda Selatan ( II)
Wairoro a. Pertanian tanaman pangan b. Perkebunan c. Pertambangan d. Perikanan laut e. Permukiman f. Pariwisata
WP Weda Tengah ( III)
Sagea a. Pusat pemerintahan kecamatan b. Perkebunan c. Perikanan laut d. Permukiman e. Pariwisata
WP Patani ( IV)
Patani a. Pusat pemerintahan kecamatanb. Simpul transportasi laut c. Pertambangan d. Perikanan laut e. Permukiman f. Pariwisata
WP P.Gebe (V) Kapaleo a. Pusat pemerintahan kecamatan
b. Simpul transportasi laut dan udara c. Pertambangan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
d. Perikanan laut e. Permukiman f. Pariwisata
Sumber : Buku Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Halmahera Tengah Tahun 2009‐2029
a. Sistem Hierarki Perkotaan
Dalam rangka mengidentifikasi sistem hirarki perkotaan di Kabupaten Halmahera Tengah dilakukan analisis skalogram terdapat beberapa 9 kelompok fasilitas dan dikontrol dengan jumlah penduduk di masing‐masing kecamatan. Apabila di suatu kecamatan memiliki kelompok fasilitas diberi nilai 1, apabila tidak terdapat fasilitas diberi nilai 0. Nilai masing‐masing fasilitas tersebut dijumlahkan untuk memperoleh total skor. Berdasarkan total skor tersebut dan jumlah penduduk ditentukan hirarki masing‐masing kota kecamatan di Kabupaten Halmahera Tengah. Kelompok fasilitas dimaksud meliputi pendidikan, kesehatan, keagamaan, perhubungan, perindustrian, pariwisata, pemasaran, kelembagaan dan keuangan serta usaha masyarakat. Dari identifikasi 9 faktor tadi, Kabupaten Halmahera Tengah menetapkan orde kota sebagaima tabel 3.12 berikut ini.
Tabel 3.11 Penetapan Orde Kota Kabupaten Halmahera Tengah
No Kecamatan Ibu Kota Kecamatan Orde Kota Hierarki Kota
1 Weda Weda 2 1
2 Weda Tengah Sagea 3 3
3 Weda Selatan Wairoro 3 2
4 Patani Wailegi 3 3
5 Patani Tengah Tepeleo 3 3
6 Pulau Gebe Kapaleo 3 2
Sumber: Buku Analisis Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Halmahera Tengah Tahun 2009‐2029
B. Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Transportasi
Berdasarkan fungsi dan peranan aspek transportasi dalam pengembangan wilayah, maka kebijakan pengembangan sistem transportasi diarahkan untuk menunjang pengembangan tata ruang di Kabupaten Halmahera Tengah dan mencapai efisiensi dalam sistem koleksi dan distribusi pada barang dan jasa yang diperdagangkan. Hal ini dapat dicapai dengan pengembangan teknologi sistem transportasi dengan penerapan sistem transportasi terpadu antara transportasi laut, darat, dan udara. Sesuai dengan fungsinya tersebut, maka kebijakan pengembangan sistem transportasi diarahkan untuk menunjang pengembangan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah, dengan tujuan sebagai berikut: a. Pengembangan sistem transportasi yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
wilayah kabupaten agar dapat berkembang dengan serasi bersama‐sama dengan wilayah yang ada di sekitarnya dengan sasarannya adalah:
(a) Membuka keterisolasian wilayah khusus wilayah terbelakang/terpencil, terutama di Patani dan Pulau Gebe.
(b) Menunjang kegiatan ekspor‐impor dengan wilayah lainnya.
(c) Menunjang perkembangan sektor‐sektor utama.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
b. Pengembangan sistem transportasi yang bertujuan untuk mendukung pemerataan pembangunan, yaitu dengan sasaran:
(a) Memperlancar koleksi dan distribusi arus barang dan jasa serta meningkatkan mobilisasi penduduk.
(b) Meningkatkan keterhubungan ke wilayah‐wilayah potensi yang masih belum dimanfaatkan.
c. Pengembangan sistem transportasi yang bertujuan untuk mendukung kegiatan pariwisata, yaitu dengan sasaran meningkatkan komunikasi kawasan pariwisata dengan dunia luar (baik wisatawan mancanegara maupun domestik).
d. Meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas pergerakan penduduk dan barang.
Berdasarkan pola pergerakan yang terjadi di wilayah kota tersebut, maka konsep pengembangan sistem transportasi di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah didasarkan pada konsep integrasi sistem transportasi intermoda (laut, udara, dan darat), dimana untuk pergerakan eksternal (dalam kaitannya dengan hubungan eksternal) menggunakan sistem transportasi udara dan laut. Sedangkan untuk pergerakan internal (dalam kaitannya dengan hubungan antara pusat dan antara pusat dengan wilayah belakangnya), dikembangkan sistem transportasi laut dan darat (termasuk penyeberangan antar pulau).
Rencana Pengembangan Sistem Transportasi Darat
Rencana jaringan jalan dikembangkan untuk menghubungkan antar pusat kegiatan sedangkan rencana jaringan penyeberangan untuk menjembatani antarpulau. Berdasarkan UU No 13 Tahun 1980 dan PP 26 Tahun 1985 Tentang jalan, jaringan jalan dibagi menjadi jaringan primer dan sekunder. Jaringan primer menghubungkan antar kota besar dan kota kecil, desa, dan daerah hinterlandnya, sedangkan jaringan jalan sekunder adalah jaringan yang menghubungkan antara pusat‐pusat kegiatan dalam satu kota.
Adapun jaringan jalan di Kabupaten Halmahera Tengah terdiri atas jaringan jalan kolektor primer 2 , kolektor primer 3 dan kolektor primer 4. (1) Rencana Jalan Kolektor Primer ke 2
Jalan kolektor primer 2 ini berfungsi untuk menghubungkan antarPusat Kegiatan Wilayah (PKW), dengan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) ke 1 dan ke 2, serta harus disesuaikan dengan rencana pengembangan sistem transpotasi yang lain, seperti transportasi laut dan udara. Selain itu pengembangan transportasi darat diarahkan untuk mendukung dan meningkatkan akses jalan trans Pulau Halmahera yang diharapkan dapat melayani Kota Maba (Ibukota Kabupaten Halmahera Timur), Sagea, Lelilef, Kobe, Weda (Ibukota Kabupaten Halmahera Tengah), Payahe, ibu Kota Provinsi Maluku Tengah di Sofifi serta pusat industri di Sidangoli.
(2) Jalan Kolektor Primer ke 3
Jalan lokal primer 3 ini diharapkan untuk menghubungkan antar Pusat Kegiatan Lokal I (antara ibu kota kabupaten/ kota yang setingkat dengan ibu kota kabupaten/kota), serta untuk meningkatkan aksesibilitas di pusat‐pusat pengembangan ekonomi. Adapun rencana jalan kolektor primer ke 3 tersebut adalah jalan yang menghubungkan Kota Patani ‐ Waleh ‐ Sagea dan Weda ‐ Maffa. Jalan ini diharapkan dapat membantu meningkatkan aksesibilitas ke sentra‐sentra produksi perkebunan, peternakan, perikanan, industri dan wisata.
(3) Jalan Kolektor Primer 4 Jalan kolektor primer 4 diharapkan dapat menghubungkan antara PKL 1 dan PKL 2 Pusat (antara Ibu Kota Kabupaten/Kota yang setingkat dengan Kota Kabupaten/Kota dengan Ibu Kota Kecamatan). Adapun rencana jaringan jalan kolektor primer 4 ini adalah jalan di sekeliling Pulau Gebe.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
(4) Penyeberangan Prasarana dan sarana penyeberangan feri berfungsi sebagai penghubung jalan dari pulau yang satu dengan yang lain, baik jalan kolektor primer 2 maupun jalan kolektor primer 3 dan 4. Adapun tempat penyeberangan tersebut adalah yang menghubungkan Pulau Gebe dengan wilayah kecamatan lainnya yang berada di Pulau Halmahera. Penyeberangan tersebut akan melayani simpul (pelabuhan) di Patani dan di Pulau Gebe.
Rencana Sistem Transportasi Laut
Dalam usaha pengembangan wilayah, peranan sarana dan prasarana transportasi laut di Kabupaten Halmahera Tengah cukup besar peranannya, hal ini disebabkan karena wilayah tersebut sebagian besar berupa lautan dan daratan berbentuk kepulauan yang tersebar di beberapa tempat, sehingga pengembangan sarana dan prasarana transportasi sangat berperan dalam peningkatan interaksi antarwilayah dan interwilayah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka perencanaan sistem tranportasi laut ini harus terintegrasi dengan sistem transportasi yang lain serta dapat mendukung hubungan antarwilayah di Kabupaten Halmahera Tengah, yaitu untuk menghubungkan antar pusat‐pusat pertumbuhan yang direncanakan, yaitu antarkota orde yang atas ke kota orde di bawahnya, serta antarkota orde yang sama.
Berdasarkan hasil analisis pola pergerakan serta arahan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Halmahera Tengah, maka rencana rute transportasi laut adalah sebagai berikut : (1) Ternate‐Patani PP. (2) Ternate‐Soasio‐Gita‐kayoa‐Bisui‐Mafa‐Weda‐Mesa‐Benemo‐Patani‐Gebe‐Kabare‐
Yabekaki‐Sawnek‐Sorong PP. (3) Ternate‐Patani‐Buli PP. (4) Ternate‐Patani‐Gebe PP. (5) Ternate‐Dama‐Wayabula‐Daruba‐Bere‐bere‐Wasile‐Lolasita‐Wayamli‐Buli‐Bicoli‐Peniti‐
Gemia‐Gebe –P. Gag‐ P.Pam‐Saonek‐Sorong PP
Adapun pengembangan sistem transportasi laut di Kabupaten Halmahera Tengah dijelaskan sebagai berikut:
(1) Rencana Pelabuhan
Untuk mendukung pengembangan sistem transportasi laut tersebut perlu didukung oleh pengembangan sistem pelabuhannya. Dalam hal ini pelabuhan‐pelabuhan yang dikembangkan ini mengacu pada arahan hirarki kota pada RTRW, yaitu untuk menghubungkan antarpusat‐pusat pertumbuhan yang direncanakan, yaitu antarPusat Kegiatan Wilayah (PKW) dengan Pusat Kegiatan Lokal (PKL 1) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL 2) Berdasarkan hasil analisis pola pergerakan, serta analisis struktur kota dan pusat‐pusat pemukiman, serta mengacu pada SISTRANAS yang ditetapkan dengan KepMen No 15 tahun 1997 tanggal 6 Juni 1997 tentang pelabuhan, maka ditetapkan fungsi ‐ fungsi pelabuhan sebagai berikut:
a. Pelabuhan Pengumpan Wilayah (regional feder port ).
Pelabuhan Pengumpan Wilayah berfungsi sebagai kegiatan alih muatan angkutan laut dalam jumlah kecil dan jangkauan pelayanan relatif dekat serta sebagai pengumpan kepada pelabuhan utama. Pelabuhan yang ditetapkan sebagai Pelabuhan Pengumpan Wilayah adalah Pelabuhan Ternate yang berfungsi untuk melayani interaksi antar Kabupaten Halmahera Tengah dengan wilayah yang lebih luas (hubungan eksternal) dan menghungkan antara Kota Ternate (PKW) dan kota ‐ kota dibawahnya PKL 1 dan PKL 2. (interaksi internal/antarwilayah)
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
b. Pelabuhan Pengumpan Lokal
Pelabuhan yang diarahkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal adalah Pelabuhan Weda yang merupakan pelabuhan ke dua setelah Ternate berfungsi untuk mendistribusikan orang dan barang dari PKW (Pelabuhan Ternate) ke PKL 1 dan 2. Selain itu pelabuhan ini berfungsi juga sebagai pintu gerbang (Gateway) yang menghubungkan dengan wilayah lain, seperti: Sulawesi, Papua, Ambon, Jawa dan Kalimantan, sehingga selain berfungsi internal juga eksternal. Pelabuhan kolektor ini umumnya berada pada PKL 1 yang merupakan Ibukota Kabupaten/Kota atau yang setingkat. Untuk mendukung fungsi tersebut, maka perlu dilakukan peningkatan peran dari pelabuhan tersebut, seperti diuraikan sebagai berikut:
(a) Peningkatan kelengkapan fasilitas pelabuhan, seperti: gudang, lapangan parkir, sarana bongkar muat.
(b) Peningkatan pelayanan admisnistrasi dan birokrasi di pelabuhan dalam hal Pelayaran Nusantara dan Pelayaran Samudera
(c) Peningkatan prasarana pelabuhan.
(d) Peningkatan fasilitas pendukung.
c. Pelabuhan Antara
Pelabuhan Patani diklasifikasikan sebagai pelabuhan antara yang berfungsi untuk mendistribusikan barang dan orang dari pelabuhan kolektor ke wilayah yang lebih kecil atau ke pelabuhan‐pelabuhan kecil (Local Port). Mengingat adanya peningkatan fungsi dan peran dari pelabuhan tersebut dikaitkan dengan kondisi eksisting masing‐masing pelabuhan, maka perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan pada beberapa pelabuhan seperti:
(a) Peningkatan kelengkapan fasilitas pelabuhan, seperti: gudang, lapangan parkir, sarana bongkar muat.
(b) Peningkatan pelayanan admisnistrasi dan birokrasi di pelabuhan dalam hal Pelayaran Nusantara dan Pelayaran Samudera
(c) Peningkatan prasarana pelabuhan. (2) Pelabuhan untuk Kota‐kota Strategis
Kota‐kota strategis yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah yang tidak mempunyai orde/hirarki dalam pelayanan wilayah, namun memiliki peran yang penting karena memiliki sumber alam yang potensial. Kota‐kota tersebut adalah kota Lelilef dan Pulau Gebe. Tujuan dari pengembangan pelabuhan pada kota‐kota tersebut untuk pengangkutan bahan baku dan hasil produksi dari kegiatan ekonomi yang ada di kota‐kota tersebut. Sampai saat ini pelabuhan‐peabuhan tersebut mempunyai kualitas seperti pelabuhan antarpulau. Untuk selanjutnya apabila skala industrinya semakin besar, maka perlu adanya peningkatan kemampuan dari pelabuhan tersebut.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.4.2 Kebijakan Rencana Pola Ruang Kabupaten Halmahera Tengah
Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budidaya. Pola ruang wilayah kabupaten merupakan penjabaran lebih rinci dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Pola ruang wilayah kabupaten dikembangkan dengan sepenuhnya memperhatikan daya dukung sumberdaya wilayah yang dimiliki serta mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Berikut adalah penjelasan tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah berdasarkan analisis yang sesuai dengan pedoman penyusunan RTRW Kabupaten.
Rencana pola pemanfaatan ruang Kabupaten Halmahera Tengah meliputi rencana pola pemanfaatan kawasan lindung dan rencana pola pemanfaatan kawasan budidaya. Pola pemanfaatan ruang disusun dengan memperhatikan keselarasan penggunaan ruang baik untuk kawasan terbangun (permukiman, perdagangan dan jasa, jalan, area parkir, dsb) maupun kawasan budidaya pertanian, kehutanan dan kawasan lindung. Perencanaan pembangunan daerah ke depan harus mempertahankan kondisi dimana kawasan terbangun hanya menempati sebagian kecil luasan lahan yang ada. Lahan pertanian tetap menjadi prioritas pada penggunaan lahan kawasan budidaya. Demikian juga halnya dengan hutan dan kawasan lindung Berikut adalah penjelasan tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah berdasarkan analisis yang sesuai dengan pedoman penyusunan RTRW Kabupaten. a. Rencana Pola Pemantapan Kawasan Lindung
Di dalam Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten, pemantapan kawasan lindung merupakan salah satu produk utama yang akan dihasilkan. Penetapan kawasan lindung ini mengacu pada hasil analisis kesesuaian lahan yang tercantum dalam Keppres No. 32 tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam serta sumberdaya buatan guna pembangunan berkelanjutan.
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan. Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah : (1) Kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain kawasan hutan
lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air; (2) Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan
sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air; (3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka
alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
(4) Kawasan rawan bencana alam, antara lain kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan
(5) Kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan terumbu karang.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Tabel 3.12 Rencana Pengelolaan & Sebaran Lokasi Kawasan Lindung Kab. Halmahera Tengah Klasifikasi Kawasan
Lindung Rencana Pengelolaan Lokasi
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan dibawahnya : Kawasan Resapan Air
Kawasan resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap kawasan resapan air, dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan pengendalian banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan.
Seluruh area hutan lindung dan hutan produksi
Kawasan perlindungan setempat (ruang terbuka hijau)
a. Jalur sempadan sungai dan pantaib. Kawasan sekitar danau/bendungan/waduk c. Kawasan sekitar tegangan tinggi d. Sempadan jalan By Pass Halut e. Taman Kota dan pemakaman umum
Tersebar
a. Taman lingkungan untuk 100 penduduk dengan luas 100 m2, atau standar 1 m2/pdd yang dapat berdekatan dengan fasilitas pendidikan SD
b. Taman skala kelurahan atau untuk 1000 – 2000 penduduk dengan dan taman‐taman dengan luas 6.00 m2;, atau standar 0,3 m2/pdd.
c. Taman skala Kecamatan atau untuk 10,000 penduduk dengan luas 2000 m2, atau standar 0,2 m2/pdd.
Kawasan rawan bencana
Kawasan yang diidentifikasi memiliki potensi mengalami bencana alam akibat gunung merapi, tsunami dan banjir
Weda, wairoro dan sekitar aliran air (rawan banjir), sepanjang pesisir pantai (rawan tsunami)
Sumber : Buku Analisis Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Halteng Tahun 2009‐2029.
Sesuai dengan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, maka rencana kawasan lindung yang akan ditetapkan di Halmahera Tengah terdiri atas : (1) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yaitu kawasan hutan
lindung (2) Kawasan perlindungan setempat
a. Sempadan pantai b. Sempadan sungai c. Kawasan sekitar danau/waduk
(3) Kawasan suaka alam a. Kawasan cagar alam b. Kawasan suaka margasatwa c. Kawasan suaka alam laut
(4) Kawasan rawan bencana alam,
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Berdasarkan hasil analisis, maka rencana kawasan lindung di wilayah Halmahera Tengah adalah meliputi : (1) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya (yang dalam hal ini
terdiri dari hutan lindung ), tersebar di Kecamatan Weda, terutama di Desa Kluting Jaya, Tilope, Sosowomo, Loleo, Nusliko, Kobe, Lelilef Waibule, Kobe Kule, dan Sawai seluas 58.038 hektar atau sekitar 22,9 hektar.
(2) Kawasan Suaka Alam Akejawatae berada di Kec. Weda. (3) Kawasan perlindungan setempat berlokasi di sepanjang pantai seluruh pulau, sekitar
danau dan sungai. b. Rencana Pola Pengembangan Kawasan Lindung
Kawasan budidaya merupakan kawasan di luar kawasan lindung, yang mempunyai fungsi utama budidaya, antara lain seperti : kawasan hutan produksi, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan permukiman.
Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan kawasan lindung yang mengalami degradasi lingkungan seperti P Gebe diusulkan oleh Pemda Halmahera Tengah kepada Departemen Kehutanan untuk dirubah statusnya menjadi kawasan bukan hutan lindung sesuai dengan kapasitas dan kualitas lingkungannya. Dengan berakhirnya penambangan nikel di Pulau Gebe pada Tahun 2005, persoalan mendasar yang muncul adalah bagaimana mengolah sumber daya yang terdapat di Pulau Gebe kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat dipertahankan. Oleh karena Pulau Gebe merupakan pulau kecil, maka untuk perencanaan pembangunan setelah masa penambangan oleh PT. ANTAM berakhir harus mengacu pada konsep pembangunan wilayah pesisir, karena kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat yang mendiami pulau kecil dan pulau besar relatif sama dengan kondisi di wilayah pesisir pada umumnya. Arah pembangunan di pulau kecil adalah untuk mencegah munculnya konflik pemanfaatan, menjamin keberlanjutan pemanfaatan, serta optimalisasi ruang dan sumber daya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pembangunan pulau kecil sangat ditentukan oleh kemampuan penduduknya mempertahankan sumber daya, seperti : (1) energi, air, dan sumber daya lainnya; (2) sistem alami; (3) teknologi; (4) fleksibilitas penduduk atas ekses pembangunan; (5) ketahanan ekosistem dari bencana alam; (6) kerja sama pemerintah dan masyarakat dalam mencegah kerusakan lingkungan; (7) tata nilai budaya (World Coast Conference, 1993).
Rencana Pengembangan Kawasan Pertanian
Potensi komoditas unggulan sektor pertanian di Kabupaten Halmahera Tengah cukup besar dan memungkinkan untuk dikembangkan sebagai komoditas andalan di dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah ini ke depan. Dari hasil analisis kesesuaian lahan dapat diketahui sebaran komoditas yang dapat dikembangkan di daerah ini terutama untuk sub‐sektor tanaman pangan dan holtikultura. Komoditas tanaman pangan antara lain: padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, ubi‐ubian, dan sayur‐sayuran.
Pertanian (Padi gogo, jagung, kedele, kacang tunggak, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah) di rencanakan di Kec Weda terutama di Desa Wairoro Inda, Desa Weda, Desa Kobe, Desa Leliwef Waibulen, dan Desa Dotte, Kec.Patani terutama di Desa Sibenpopo dan Desa Peniti seluas 8.866 hektar.
Rencana Pengembangan Kawasan Perkebunan Di Kabupaten Halmahera Tengah pengembangan kawasan perkebunan diarahkan pada
peningkatan produksi dan peningkatan aksesibilitas kawasan perkebunan dengan pusat‐pusat aktivitas ekonomi seperti pelabuhan. Komoditas unggulan perkebunan di Kabupaten Halmahera Tengah yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah komoditas kelapa,
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
cengkeh, pala, kakao, kopi dan jambu mete. Kelapa sangat dominan di daerah ini, sedangkan komoditas perkebunan yang dijadikan komoditas unggulan dan memiliki prospek yang cukup besar adalah pala dan cengkeh. Perkebunan kelapa sawit direncanakan di Kecamatan Weda Utara sementara cengkeh, pala, kakao, kelapa, dan vanila direncanakan di Kecamatan Patani yaitu di Desa Peniti, Banemo dan Kipa 155 hektar.
Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang serta mempunyai peran sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jati diri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan permukimannya maka terlihat jelas bahwa kualitas sumberdaya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman di mana masyarakat tinggal menempatinya.
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Dengan memperhitungkan jumlah penduduk Kabupaten Halmahera Tengah sebanyak 39.562 jiwa pada tahun 2008, maka akan terdapat sekitar 8.660 kepala keluarga yang membutuhkan tempat tinggal atau rumah. Apabila asumsi perbandingan pembangunan rumah yang ditetapkan untuk rumah mewah, menengah dan sederhana adalah 1:3:6 digunakan dengan asumsi luas unit rumah masing‐masing adalah 300 meter persegi, 200 meter persegi
dan 100 meter persegi, serta sekitar sepertiga kepala keluarga yang belum mempunyai rumah, maka dibutuhkan lahan sekitar 433.000 meter persegi atau sekitar 433,0 hektar. Alokasi lahan untuk perumahanan ini akan disesuaikan dengan distribusi jumlah penduduk di masing‐masing wilayah.
Rencana Pengembangan Kawasan Perkotaan
Salah satu komponen penting pengembangan wilayah perkotaan adalah Kawasan Pusat Pemerintahan. Pengembangan Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah di Weda dimaksudkan untuk pembangunan pusat pelayanan kepada masyarakat wilayah kabupaten. Keberadaan fungsi kegiatan Pusat Pemerintahan Kabupaten diharapkan dapat mendukung pembangunan di seluruh wilayah kabupaten dan juga Kota Weda. Fungsi kegiatan Pusat Pemerintahan yang akan dikembangkan di wilayah Weda ini adalah pelayanan skala kabupaten.
Rencana Pengembangan Kawasan Jasa dan Perdagangan
Pada prinsipnya, pengelolaan kawasan perdesaan dan perkotaan di Kabupaten Halmahera Tengah diarahkan untuk menjaga dan mengoptimalkan fungsinya masing‐masing, serta mensinergikan pertumbuhan dan perkembangannya secara berimbang, sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang berkelanjutan.
Rencana pengembangan sarana ekonomi di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah diarahkan berdasarkan potensi yang berkembang selama beberapa tahun terakhir ini. Terdapatnya fasilitas perdagangan dengan skala pelayanan lokal di Weda serta beberapa wilayah ibukota kecamatan diharapkan dapat mendorong terjadinya kegiatan ekonomi dengan skala lokal. Keberadaan kegiatan ini akan memberikan kontribusi terhadap kegiatan ekonomi yang lebih luas apabila tersedianya fasilitas perdagangan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk dan secara luas dapat mencakup semua wilayah di Kabupaten Halmahera Tengah.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Rencana Pengembangan Kawasan Hutan Produksi Berdasarkan peruntukan hutan dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Maluku
Tengah tahun 2003, luas jenis pemanfaatan hutan untuk wilayah Kabupaten Halmahera Tengah terdiri dari :
(1) Hutan produksi yang dapat di konversi : 72.280,92 hektar (30,52 persen)
(2) Hutan produksi tetap : 42.612,66 hektar (17,99 persen)
(3) Hutan produksi terbatas : 47.624,62 hektar (20,10 persen)
(4) Hutan lindung : 74.371,99 hektar (31,39 persen)
Berdasarkan luasan hutan yang ada maka rencana pengembangan di areal kawaan hutan perlu dibatasi untuk kegiatan‐kegiatan yang ekploitatif, karena dapat mengganggu keseimbangan lingkungan secara langsung. Untuk itu pemanfaatan hutan produksi diarahkan untuk pemanfaatan kegiatan hutan non kayu atau kegiatan sekunder. Komoditi hutan (Mahoni, Akasia, Aghatis, Casuarina, Kayu Putih, Shorea SP). Hutan Produksi tetap direncanakan di Kec.Weda terutama di Desa Kluting Jaya, Tilope, Sosowomo seluas 20,554 hektar. Hutan Produksi Terbatas direncanakan di Kec. Weda yaitu di Desa Kobe, Weda, Nusliko, Sosowomo, Tilope, dan Kluting Jaya 47.622 hektar.
Rencana Pengembangan Kawasan Industri
Pertimbangan utama dalam penentuan lokasi industri adalah faktor kemudahan pencapaian (aksesibilitas), baik dalam hal penyediaan bahan baku maupun pemasaran hasil‐ hasil industri. Oleh karena itu hasil industri harus dekat dengan jaringan jalan. Selain itu, lokasi industri perlu mempertimbangkan jarak dengan lokasi permukiman untuk kemudahan memperoleh tenaga kerja dan mengurangi dampak negatif dari hasil samping industri berupa polusi, baik padat, cair, maupun gas. Kemudian, mengingat salah satu komponen biaya produksi adalah pengadaaan prasarana dan sarana penunjang, maka lokasi industri perlu memperhatikan jaraknya terhadap pelayanan fasilitas dan prasarana tersebut.
Mengingat kegiatan industri disamping menghasilkan produksi juga menghasilkan sampingan berupa limbah padat, cair, dan gas, maka untuk mencegah timbulnya dampak‐dampak negatif sebaiknya dialokasikan pada kawasan budidaya non pertanian dan non permukiman, terutama bagi industri skala menengah dan besar. Untuk industri yang memerlukan kedekatan dengan sungai, baik sebagai sumber air baku kegiatan industri maupun sebagai bahan penerima buangan yang bersifat cair, maka dapat berlokasi di dekat sungai yang bukan merupakan sumber air minum langsung maupun sumber air baku untuk air minum dengan terlebih dahulu melakukan pengolahan air buangan. Selain dari itu terdapat jenis industri yang lokasinya dapat berbaur dengan kegiatan permukiman, perdagangan dan pertanian seperti jenis industri kecil atau industri rumah tangga.
Rencana Pengembangan Kawasan Perikanan dan Kelautan Kawasan pesisir adalah wilayah milik bersama (common proverty) yang dibentuk oleh
beberapa subsistem yang saling berpengaruh satu dengan lainnya dan sinergi diantaranya membentuk sumberdaya pembangunan yang besar. Pemanfaatan yang berlebihan pada salah satu subsistem, selain berdampak negatif (mengancam kelanjutan) pada subsistem tersebut juga berdampak negatif pada subsistem lainnya, yang pada tahap selanjutnya dapat mengancam keberlanjutan potensi sumberdaya pembangunan yang terbentuk oleh sinergi sub‐sub sistem tersebut diatas. Bekenaan dengan fenomena tersebut maka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐plau kecil harus didasarkan pada kesadaran upaya konversi sumberdaya milik bersama guna kepentingan kesejahteraan masyarakat yang dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan sifat dan dinamika subsistem yang ada agar bisa menjamin keberadaan fisik dan fungsi sub‐subsitem pesisir yang ada.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Data yang ada mengungkapkan bahwa potensi luas lahan untuk budidaya perikanan ada sekitar 48.986,18 hektar yang terdiri dari 34.879,44 hektar untuk budidaya laut; 9.546,52 hektar untuk budidaya payau; dan 4.560,22 hektar untuk budidaya air tawar. Potensi yang besar tersebut tersebut sampai saat ini belum dimanfaatkan karena sumber daya manusia dibidang budidaya perikanan yang belum memadai dan dukungan infrastruktur yang sangat minim. Laporan yang ada mengungkapkan bahwa kegiatan budidaya jaring apung dan rumput laut sudah pernah dilakukan oleh masyarakat peisir sehingga pengembangannya akan dapat diterima dengan baik.
Di masa mendatang, budidaya perikanan bagi wilayah yang memiliki kelayakan perairan yang tinggi seperti Kabupaten Halmahera Tengah dapat menjadi alternatif utama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, baik melalui hasil langsung dari upaya budidaya mereka sendiri maupun melaui hasil tidak langsung dari keterlibatan mereka pada kegiatan budidaya perikanan oleh pihak ketiga (investor).
Berkenaan dengan permasalahan tersebut maka upaya yang perlu dilakukan dalam pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Tengah adalah Infrastruktur yang meliputi : (1) Peningkatan kemampuan pelayanan pelabuhan pendaratan ikan (PPI) yang telah ada
terhadap perahu dan kapal penangkap ikan yang memerlukannya dengan fasilitas gudang pendingin.
(2) Pengadaan pabrik Es guna menunjang nelayan‐nelayan kecil yang menggunakan perahu tanpa alat pendingin.
(3) Pengadaan industri pengolahan ikan di PPI yang berkelayakan tinggi.
(4) Peningkatan kemampuan armada (perahu) penangkapan ikan milik masyarakat dengan penggantian atau penambahan jumlah sarana dan prasarana penangkapan, misalnya dengan penambahan motor tempel sebagai sumber tenaga penggerak perbaikan armada supaya nelayan dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh.
(5) Pembangunan Dok / Bengkel kapal perikanan
(6) Pengadaan bantuan pada pengembangan alat tangkap yang ramah lingkungan dan mudah dikuasi oleh masyarakat.
Secara umum tujuan pengelolaan wilayah pesisir memiliki dasar yang sama dengan
tujuan penataan ruang wilayah daratan seperti yang telah digariskan, yakni (1) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, (2) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. (3) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak terhadap lingkungan, serta (4) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Secara spesifik pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Halmahera Tengah adalah sebagai berikut : (1) Menjaga kualitas lingkungan pantai dan laut agar tetap dapat berfungsi sebagai
sumberdaya penting untuk kegiatan komersial, rekreasi, sumber pangan (source of noursihment).
(2) Menjaga keanekaragaman species (biodiversity) agar tetap lestari (sustainable), hal ini juga adalah berupa wujud komitmen Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan konvensi dunia mengenai perlindungan keanekaragaman hayati.
(3) Mengkonservasi proses ekologi yang penting, seperti pencegahan kekeruhan yang menganggu intervensi sinar matahari ke dalam laut, yang merupakan prasyarat penting bagi ekosistem bawah laut.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
(4) Memelihara kualitas air, diantaranya melalui perwujudan konsep keterpaduan pengelolaan sumberdaya air antara hulu dan hilir (integrated upstream dan downstream water management).
(5) Mengkonservasi habitat tertantu, terutama bagi ekosistem mangrove dan terumbu karang. Mangrove memiliki fungsi khusus dalam konservasi habitat dan biota air payau lainnya, sekaligus berfungsi sebagai filter pencemar dari darat, serta penahan gelombang atau pencegah abrasi pantai.
(6) Melindungi habitat yang sensitif dari berbagai aktivitas yang merusak, baik sebagai akibat dari interaksi manusia dengan alam, maupun interaksi alam itu sendiri.
(7) Melokalisir pemanfaatan sumberdaya kelautan yang intensif pada area/zona tertentu, sehingga kriteria keberlanjutan pemanfaatan dapat dipenuhi.
(8) Memisahkan kegiatan yang tidak kompatibel untuk menghindari konflik pemanfaatan.
(9) Memungkinkan pengendalian berbagai kegiatan secara selektif pada lokasi yang berbeda.
(10) Memungkinkan pemisahan kegiatan‐kegiatan rekreasi yang tidak kompatibel.
(11) Mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda dalam satu daerah pantai dan pesisir secara bersinergi satu dengan yang lainnya, tanpa ada satu pihak yang dirugikan.
(12) Membuat zona “sanctuary”, khusus untuk daerah laut yang harus dilindungi: terutama bagi ekosistem yang memiliki dampak luas dan penting bagi ekosistem
Penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Halmahera Tengah diarahkan dalam bentuk
zonasi, sebagai dasar kebijakan dan arahan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir. Penataan ruang di wilayah pesisir dalam bentuk zonasi, mempunyai peran sebagai berikut :
(1) Menyediakan kendali kegiatan pada lokasi yang berbeda,
(2) Melindungi habitat penting/kritis, seperti daerah pemijahan (spawning and breeding ground), daerah pembesaran/asuhan serta tempat makanan (nursery and feeding ground), dan daerah penangkapan (fishing ground) ekonomi penting, termasuk pula untuk perencanaan usaha pemulihan habitat yang rusak baik secara alamiah maupun buatan.
(3) Sebagai alat dalam memastikan penggunaan sumberdaya secara rasional.
(4) Memastikan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Berdasarkan karakteristik dan kondisi wilayah pesisir yang ada di Kabupaten Halmahera Tengah dan hasil analisa kesesuaian pemanfatan lahan pesisir, berdasarkan penggunaan potensi sumberdaya, mempertimbangkan penggunaan ruang saat ini dan kecenderungan arah perkembangan pembangunan daerah, serta mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, maka usulan zonasi wilayah pesisir dan laut Kabupaten Halmahera Tengah adalah sebagai berikut:
(1) Zona preservasi / zona inti :
a. Cagar alam,
b. Daerah Perlindungan Laut (DPL),
c. Daerah Perlindungan Mangrove (DPM).
(2) Zona konservasi / perlindungan :
a. Perlindungan dan rehabilitasi terumbu karang,
b. Perlindungan dan rehabilitasi mangrove,
c. Perlindungan dan rehabilitasi padang lamun.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
(3) Zona pemanfaatan umum terbatas :
a. Perikanan tangkap tradisional (pancing, pukat, jubi, bagan, sero),
b. Perikanan budidaya laut (rumput laut, ikan, kepiting),
c. Perikanan tambak ikan (bandeng, udang),
d. Pariwisata bahari (pantai pasir putih, snorkeling, menyelam) berwawasan lingkungan (ekowisata),
(4) Zona pemanfaatan Umum Bebas
a. Perikanan tangkap dengan beragam alat tangkap
b. Peruntukan lahan pesisir atau/dan pulau kecil, seperti untuk pengembangan perumahan penduduk.
(5) Zona Penggunaan Khusus antara lain untuk lokasi pengembangan Pelabuhan Umum, pelabuhan perikanan, pangkalan pendaratan ikan, dan alur pelayaran.
Rencana Pengembangan Kawasan Pariwisata
Potensi wisata di Kabupaten Halmahera Tengah sebenarnya cukup besar, baik wisata darat maupun wisata bahari/ pantai. Wisata alam daratan terdapat suaka alam seluas 3.309 hektar dan juga terdapat hutan lindung seluas 42.700 hektar, sehingga keberadaan flora dan fauna dalam hutan tersebut masih asli. Sedangkan untuk wilayah laut dan pulau‐pulau kecil juga masih menyimpan pesona kealamian yang belum tergali selama ini.
Pengembangan obyek wisata akan memberikan efek penggandaan terhadap kegiatan perekonomian lainnya. Kegiatan perekonomian yang diperkirakan terpengaruh oleh pengembangan obyek‐obek wisata antara lain adalah : (1) Kegiatan‐kegiatan jasa konstruksi dan bangunan berupa pembangunan jalan akses dan
penataan kawasan obyek wisata, pembangunan bangunan‐bangunan dan fasilitas umum di kawasan wisata,
(2) Kegiatan‐kegiatan pengembangan ekonomi lokal seperti kegiatan pembuatan dan penjualan souvenir khas daerah, kegiatan restorasi dan warung‐warung makan,
(3) Pengembangan obyek‐obyek wisata ini akan merangsang pertumbuhan sektor transportasi, baik transportasi eksternal maupun internal kabupaten,
(4) Pengembangan obyek‐obyek wisata juga diharapkan akan merangsang pertumbuhan agen‐agen perjalanan wisata yang akan memasarkan paket‐paket wisata,
(5) Pengembangan obyek wisata juga akan memberikan pendapatan langsung kepada daerah melalui pungutan atau retribusi karcis masuk dan retribusi parkir kendaraan.
Rencana Pengembangan Kawasan Pertambangan
Daerah Maluku bagian Tengah merupakan daerah strategis untuk prospek cebakan sumber daya mineral dan energi kecuali batu bara dan gambut. Pembentukan bahan galian logam di daerah ini sangat dipengaruhi oleh lempeng Pasifik yang dikenal sangat kaya membawa endapan bahan galian ogam. cebakan‐cebakan bahan galian logam yang potensial di daerah ini seperti nikel (Ni), kobal (Co), krom (Cr), tembaga (Cu), emas (Au), perak (Ag) don mangan (Mn). Terdapatnya batuan ultrabasa di Halmahera, Pulau Gebe dan pulau‐pulau kecil lainnya telah menghasilkan endapan laterit nikel mengandung kobal yang sangat potensial. Cadangan laterit nikel‐kobal Indonesia sampai saat ini masih termasuk kaya di dunia.
Selain bahan galian logam, sumber daya bahan galian non‐logam di daerah Maluku bagian Tengah juga cukup potensial. Kekayaan sumber daya tersebut cukup beragam baik jenis, potensi maupun sebarannya dan didukung oleh ingkungan kondisi geologi daerah setempat yang memungkinkan terbentuknya berbagai bahan galian non‐logam seperti bahan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
bangunan, bahan keramik, batu mulia dan mineral indusif. Bahan galian tersebut dapat dikatakan merupakan komoditas non‐migas yang diandalkan dan diharapkan dapat dikembangkan di masa datang.
Khusus untuk Kabupaten Halmahera Tengah memiliki potensi sumber daya alam berupa sumber daya mineral/bahan galian yang cukup berperan besar dan mampu memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1980, bahan galian digolongkan menjadi : (1) Golongan A : Golongan bahan galian yang strategis
(2) Golongan B : Golongan bahan galian yang vital
(3) Golongan C : Golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan A atau B
Beberapa bahan galian B dan C yang terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah antara lain diuraikan pada Tabel 3.13, sebagai berikut : Tabel 3.13 Potensi Bahan Galian di Kabupaten Halmahera Tengah
No Lokasi Komoditas Golongan
Bahan Galian Potensi Keterangan
1 Teluk Weda
Nikel (Ni) B Sumber daya 92.100.000 T @ Ni = 1,39 %
PT Weda Bay Nikel 1988
2 Weda Asbes (Ab) C Cadangan 12.000.000 m3 Belum diusahakan
3 P. Sayati Tembaga (Cu) B Indikasi DSM, 1998 4 P. Gebe Nikel (Ni) B Cadangan Kadar Tinggi;
11.400.000 T Kadar Ni = 2,45 %
PT Aneka Tambang 1979
5 P. Gebe Kromit (Kr) C ‐ ‐ 6 P. Gebe Asbes (Ab) C ‐ ‐ Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Maluku Tengah
Dari kondisi geologi yang ada mineralisasi terjadi dalam batuan ultra basa yang menghasilkan nikel dan asbes; yang terdapat atau berlokasi di bagian Tengah yaitu sekitar daerah G. Limber. Pada saat ini pertambangan nikel akan diperluas di Kecamatan Weda oleh perusahaan pertambangan PT. Weda Bay Nickel yang termasuk dalam Kontrak Karya Generasi VII dengan luas 120.500 hektar. Saham dari perusahaan ini 90 persen Strand Minerals dan sisanya 10 persen dipegang PT. Aneka Tambang.
Sumberdaya mineral yang ada diperkirakan sebesar 202,3 juta ton kering dengan kadar nikel 1,37 persen dan cobalt 0,12 persen. Sumberdaya ini diperoleh dari daerah prospek Santa Monica dengan klasifikasi inferred sebesar 75,8 juta ton kering dengan kadar nikel 1,38 persen dan cobalt 0,12 persen dan dari sumberdaya Big Kahuna klasifikasi inferred sebesar 40,4 juta ton kering dengan kadar nikel 1,32 persen dan cobalt 0,17 persen.
Berdasarkan pemetaan tanah laterit yang dilakukan, diperkirakan kawasan tersebut (Lelilef) memiliki cadangan nikel senilai US$ 10 miliar dengan rata‐rata produksi pertahun 60.000 ton nikel dan 5.000 ton cobalt. Pihak Weda Bay sendiri merencanakan menginvestasikan US$ 600 juta sampai satu miliar dalam pendirian penambangan nikel dan fasilitas pengolahan terpadu di lokasi tersebut. Cadangan ini adalah salah satu dari deposit nikel terpenting dalam skala global dan ekstraksi nikel ini mungkin akan berakhir paling sedikit selama 50 tahun. Kegiatan akan dimulai di Teluk Weda, termasuk pembangunan fasilitas pelabuhan dan landasan udara. Selain nikel, potensi pertambangan lainnya yang terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah antara lain emas yang terdapat di Kecamatan Weda (Laporan Penyelidikan Umum KP.DU.405 PT. Aneka Tambang). Kegiatan‐kegiatan usaha pertambangan di Kabupaten Halmahera yang telah berlangsung sampai dengan Juli 2000 berjalan melalui sistem usaha Kontrak Karya (KK) dan Kuasa Pertambangan (KP).
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.4.3 Kebijakan Rencana dan Strategi Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Halmahera Tengah
Jenis kawasan strategis kabupaten meliputi kawasan strategis dari sudut kepentingan, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya serta fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi, antara lain adalah kawasan metropolitan, kawasan ekonomi khusus, kawasan pengembangan ekonomi terpadu, kawasan tertinggal, serta kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya, antara lain adalah kawasan adat tertentu, kawasan konservasi warisan budaya, termasuk warisan budaya yang diakui sebagai warisan dunia. Kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, antara lain adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan dunia.
a. Rencana Kawasan Strategis Kepentingan Ekonomi
Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sesuai PP Nomor 26 Tahun 2008 ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut : Terdapat (7) tujuh kawasan pengembangan sektor‐sektor unggulan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Tengah, yaitu kawasan sentra produksi sektor pertanian tanaman pangan, kawasan pengembangan tanaman perkebunan, kawasan pengembangan sektor perikanan, kawasan pengembangan sektor peternakan, kawasan pengembangan sektor pertambangan, industri pengolahan (kecil‐menengah), dan pengembangan sektor pariwisata.
Sebaran kawasan pengembangan sektor‐sektor ekonomi di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah adalah: (1) Kawasan sentra produksi pertanian tanaman pangan
Kawasan tanaman pangan meliputi kawasan pesawahan dan tegalan yang komoditas utamanya digunakan untuk kepentingan penyediaan tanaman pangan. KSP pertanian tanaman pangan: a. Zona inti terdapat di Kecamatan Weda, yang merupakan sentra tanaman kacang tanah, kacang kedele, padi, ubi jalar, buah‐buahan dan sayuran.
b. Zona pendukung : Kecamatan Weda Selatan, Patani
(2) Kawasan sentra produksi perkebunan Berdasarkan potensinya maka KSP perkebunan di Kabupaten Halmahera Tengah adalah a. Zona inti : Kecamatan Weda (Desa Waleh), dengan komoditas utama kelapa, cengkeh dan coklat.
b. Zona pendukung : Kecamatan Patani (komoditas cengkeh, pala, kopi) dan Kecamatan Gebe (komoditas kelapa, coklat, kopi).
(3) Kawasan sentra produksi peternakan
Kegiatan peternakan di Kabupaten Halmahera Tengah terdiri dari peternakan sapi, kambing, ayam buras, itik. Kawasan sentra produksi peternakan meliputi : a. Zona inti : Kecamatan Weda, Kecamatan Patani b. Zona pendukung: Kecamatan Gebe
(4) Kawasan Sentra Produksi Perikanan
KSP Perikanan di Kabupaten Halmahera Tengah terdiri dari 2 zona inti yaitu : B. Kec. Weda dengan basis usaha di Desa Weda. Komoditas unggulan adalah ikan cakalang, tuna, tongkol, julung, sardine, ekor kuning, selar, tembang, teri dan lain‐lain. Akses perdagangan saat ini ke Surabaya, Makasar dan daerah lainnya.
B. Kecamatan Patani dan Kecamatan Gebe.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
(5) Kawasan sentra produksi industri kecil Potensi sektor industri di Kabupaten Halmahera Tengah adalah industri kecil dan industri rumah tangga yang mengolah hasil pertanian. Pengembangan kawasan sentra produksi industri kecil meliputi : Kecamatan Weda dan Patani (industri pengolahan hasil pertanian).
(6) Kawasan Pengembangan pariwisata Kegiatan pariwisata direncanakan akan dikembangkan di Desa Sagea, Kecamatan Weda. Obyek wisata Sagea ini berupa danau dan goa air serta kawaan wisata bahari P.Gebe.
(7) Kawasan pengembangan pertambangan Kawasan pertambangan terdapat di Kecamatan Weda, yaitu di Desa Lelief sampai Tanjung Uli dengan luas sekitar 20.000 hektar.
b. Rencana Kawasan Strategis Kepentingan Lingkungan
Berdasarkan kriteria tersebut, sedikitnya terdapat 3(tiga) kawasan yang dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis untuk kepentingan lingkungan di Kabupaten Halmahera Tengah. Ketiga kawasan tersebut antara lain: (1) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya (yang dalam hal ini
terdiri dari hutan lindung ), tersebar di Kecamatan Weda Selatan terutama di Desa Kluting Jaya, Tilope, Sosowomo, Loleo, Nusliko, Kobe, Lelilef Waibule, UPT Kobe Kule, dan Sawai seluas 58.038 hektar atau sekitar 22,9 hektar.
(2) Kawasan Suaka Alam Aketawaje berada di Kec. Weda.
(3) Kawasan perlindungan setempat berlokasi di sepanjang pantai seluruh pulau, sekitar danau dan sungai.
c. Rencana Kawasan Strategis Sosial Budaya
Dalam kaitanya dengan hal tersebut, maka penetapan kawasan sosial budaya dengan menekankan pada konteks etnis, agama, tempat bersejarah dan tempat permukiman serta tempat ibadah yang perlu dijaga kelestariannya. Tempat‐tempat tersebut dapat dilakukan penyelamatan dan tetap dipertahankan sebagai budaya leluhur yang perlu dilestarikan.
Budaya masyarakat Halmahera Tengah sering disimbolkan sebagai budaya ”Fogogoru” yang maknanya saling mengasihi. Suku daerah yang ada di Halmahera Tengah adalah Tobaru, Patani, Sawai dan Togutil. Bahasa daerah yang dimiliki oleh suku‐suku tersebut adalah bahasa Tobaru, Gorap, Sawai, dan Togutil. Kesenian rakyat antara lain Lala Yon, Cakalele, Cokaiba dan hasil kerajinan daerah adalah anyaman
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.5 Kebijakan Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang dan Kawasan Strategis Kabupaten Halmahera Selatan
Penataan ruang wilayah Kabupaten Halmahera Selatan bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah yang seimbang, serasi, aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berbasis pertanian, perikanan dan kelautan, dan pariwisata untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan mengoptimalkan dan mensinergikan pemanfaatan sumber daya. Oleh karena itu, Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten diarahkan pada : a. pengembangan sistem kota‐kota; b. pengembangan sistem pusat permukiman perkotaan dan perdesaan; c. peningkatan aksesibilitas regional maupun sub regional dengan pengembangan sistem
transportasi yang terpadu; d. pengembangan sistem jaringan prasarana energi; e. pengembangan sistem jaringan prasarana telekomunikasi; f. pengembangan sistem jaringan prasarana sumber daya air; g. pengembangan sistem jaringan pengelolaan dan pengendalian limbah; h. pengembangan sistem jalur evakuasi bencana; i. pemantapan dan pengendalian kawasan lindung; j. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup. k. pemanfaataan ruang untuk kegiatan budidaya di Kabupaten Halmahera Selatan
dilakukan secara optimal sesuai dengan daya dukung lingkungannya; l. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya; m. pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan
daya tampung lingkungan; n. pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan strategis; dan o. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara
B.5.1 Kebijakan Rencana Struktur Ruang Kabupaten Halmahera Selatan
Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Halmahera Selatan terdiri atas : Pusat‐pusat kegiatan, Sistem jaringan prasarana utama dan Sistem jaringan prasarana lainnya.
Sistem pusat kegiatan, terdiri atas: Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yaitu kawasan perkotaan Labuha di Kecamatan Bacan. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang terdiri dari kawasan perkotaan Gurapin di Kecamatan Kayoa, kawasan perkotaan Maffa di Kecamatan Gane Timur, kawasan perkotaan Saketa di Kecamatan Gane Barat, dan kawasan perkotaan Babang di Kecamatan Bacan Timur.
Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) terdiri dari kawasan perkotaan Laiwui di Kecamatan Obi, kawasan perkotaan Bajo di Kecamatan Kepulauan Batanglomang, kawasan perkotaan Kukupang di Kecamatan Kepulauan Joronga, kawasan perkotaan Waikyon di Kecamatan Makian.
Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) terdiri dari kawasan perkotaan Indari di Kecamatan Bacan Barat, kawasan perkotaan Yaba di Kecamatan Bacan Barat Utara, kawasan perkotaan Mandaong di Kecamatan Bacan Selatan, kawasan perkotaan Wayaua di Kecamatan Bacan Timur Selatan, kawasan perkotaan Bibinoi di Kecamatan Bacan Timur Tengah, kawasan perkotaan Gane Dalam di Kecamatan Gane Barat Selatan, kawasan perkotaan Dolik di Kecamatan Gane Barat Utara, kawasan perkotaan Gane Luar di Kecamatan Gane Timur Selatan, kawasan perkotaan Bisui di Kecamatan Gane Timur Tengah, kawasan perkotaan Palamea di Kecamatan Kasiruta Barat, kawasan perkotaan Loleojaya di Kecamatan Kasiruta Timur, kawasan perkotaan Busua di Kecamatan Kayoa Barat, kawasan perkotaan Laluin di Kecamatan Kayoa Selatan, kawasan perkotaan Laromabati di Kecamatan Kayoa Utara, kawasan perkotaan Mataketen di Kecamatan Makian Barat, kawasan perkotaan Jiko di Kecamatan Mandioli Selatan, kawasan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
perkotaan Indong di Kecamatan Mandioli Utara, kawasan perkotaan Jikohai di Kecamatan Obi Barat, kawasan perkotaan Wayaloar di Kecamatan Obi Selatan, kawasan perkotaan Sum di Kecamatan Obi Timur, kawasan perkotaan Madapolo di Kecamatan Obi Utara.
Sistem jaringan prasarana utama terdiri atas: Rencana Transportasi Darat, Rencana Transportasi Laut, Rencana Transportasi Udara; dan Rencana Intermoda.
Sistem jaringan transportasi darat, terdiri atas :
a. jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, terdiri atas jaringan jalan, jaringan prasarana lalu lintas dan jaringan pelayanan lalu lintas;
b. jaringan transportasi penyeberangan, terdiri dari pelabuhan penyeberangan dan jaringan penyeberangan; serta
c. rencana antar moda.
Pengembangan sistem jaringan jalan di Kabupaten Halmahera Selatan, terdiri atas:
a. Jaringan Jalan Provinsi Kolektor Primer‐2, yang terdiri dari: 1. ruas Labuha – Babang; dan 2. ruas Mafa – Akelamo – Wosi – Doro – Fulai – Dolit – Meloku – Semo.
b. Jaringan Jalan Provinsi Kolektor Primer‐3, yang merupakan jalan keliling Pulau Halmahera bagian selatan, yaitu ruas Bisui – Matuting – Papaceda – Ranga‐ranga – Gane Luar – Lemiel – Gane Dalam – Pasipale – Tawa – Lemolemo – Kotiti – Saketa;
c. Jaringan Jalan Kabupaten Kolektor Primer‐4/Lokal, yang terdiri dari: 1. Jalan keliling Pulau Bacan, yaitu ruas Babang – Bori – Walsabatang – Geti –
Yaba – Jojame – Kusu – Indari – Poan – Labuha – Panambuang – Kubung – Wayaua – Silang – Wayakuba – Babang; dan
2. Jalan keliling Pulau Obi, yaitu ruas Lewui – Anggoi – Sesepe – Mano – Bobo – Fluk – Wayaloar – Soligi – Baru ‐ Lewui.
Sedangkan Jaringan prasarana lalu lintas terdiri atas: Terminal Angkutan Umum Tipe B di Labuha; Terminal Angkutan Umum Tipe C, yaitu di Babang, Indari, Yaba, Wayakuba, Mafa, Saketa, Bisui, Tawa, Gane Luar, Lewui, Mano, Wayaloar, dan Soligi; serta Pos Jembatan Timbang di Labuha.
Jaringan pelayanan lalu lintas, terdiri dari: Trayek Angkutan Antar Kota dalam Provinsi (AKDP), yaitu Labuha – Weda dan Labuha ‐ Sofifi yang melalui penyeberangan Sayoang ‐ Saketa; serta Trayek Angkutan Perkotaan dan Perdesaan, yang terdiri dari: Trayek Labuha – Babang; Trayek Labuha – Kusu; Trayek Babang – Yaba; Trayek Yaba – Kusu; Trayek Babang – Wayakuba; Trayek Mafa – Saketa; Trayek Mafa – Bisui; Trayek Saketa – Batula; Trayek Saketa – Tawa; Trayek Saketa – Bisui; Trayek Bisui – Gane Luar; Trayek Tawa – Gane Luar; Trayek Lewui – Mano; Trayek Lewui – Soligi; Trayek Mano – Wayaloar; dan Trayek soligi – Wayaloar.
Sedangkan Pelabuhan penyeberangan, terdiri dari: Pelabuhan Penyeberangan Ngofakiama, Pelabuhan Penyeberangan Guruapin, Pelabuhan Penyeberangan Marituso, Pelabuhan Penyeberangan Yaba, Pelabuhan Penyeberangan Babang, Pelabuhan Penyeberangan Saketa, Pelabuhan Penyeberangan Wayakuba, Pelabuhan Penyeberangan Lewui, dan Pelabuhan Penyeberangan Wayaloar.
Jaringan penyeberangan, yaitu lintasan penyeberangan antar pulau yang terdiri atas : Lintasan penyeberangan antar pulau antar provinsi, yaitu Wayaloar – Wahai; Lintasan penyeberangan antar pulau antar kota/kabupaten yaitu Wayaloar – Sanana, dan Ngofakiama – Soasio; Lintasan penyeberangan antar pulau dalam kabupaten, yang terdiri dari: Lintasan penyeberangan Ngofakiama ‐ Guruapin; Lintasan penyeberangan Guruapin ‐ Marituso; Lintasan penyeberangan Marituso ‐ Jojame; Lintasan penyeberangan Babang ‐ Saketa; dan Lintasan penyeberangan Wayakuba – Lewui.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Sistem jaringan transportasi antar moda adalah berupa transportasi Triple “S” (Sofifi‐Saketa‐Sayoang), terdiri atas:
a. rencana transportasi Triple “S” berupa jalan primer (kolektor primer tingkat 2) yang menghubungkan Sofifi – Saketa, dan penyeberangan antara Saketa – Sayoang.
b. moda transportasi pada sistem transportasi Triple “S” bertujuan untuk mengintegralkan antara transportasi darat jarak jauh yang didukung transportasi penyeberangan berupa sarana penyeberangan.
c. untuk mewujudkan rencana ini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c maka diperlukan peningkatan sektor‐sektor antara lain :
1. peningkatan fungsi jalan Sofifi ‐ Saketa sesuai dengan statusnya, baik dari segi geometrik maupun tingkat pelayanannya.
2. peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana pendukung untuk pelabuhan penyeberangan.
3. penyediaan armada kapal penyeberangan (feri).
Sistem Jaringan Transportasi Laut Sistem transportasi laut terdiri atas: Tatanan kepelabuhan, yang terdiri dari pelabuhan
laut umum dan pelabuhan laut khusus; Dermaga Pangkalan; serta Pelayaran Angkutan Laut, yang terdiri dari pelabuhan pangkalan dan jalur angkutan laut.
Pelabuhan laut umum terdiri atas: Pelabuhan nasional, yaitu Pelabuhan Labuha; Pelabuhan regional, yaitu Pelabuhan Babang; Pelabuhan lokal, yang terdiri dari: Pelabuhan Ngofakiaha, Pelabuhan Loromabati, Pelabuhan Guruapin, Pelabuhan Laluin, Pelabuhan Lelei, Pelabuhan Buibesar, Pelabuhan Gamagubu, Pelabuhan Leleojaya, Pelabuhan Yaba, Pelabuhan Indari, Pelabuhan Pigaraja, Pelabuhan Garunggarung, Pelabuhan Mafa, Pelabuhan Dolit, Pelabuhan Fulai, Pelabuhan Doro, Pelabuhan Saketa, Pelabuhan Bisui, Pelabuhan Lemolemo, Pelabuhan Tawa, Pelabuhan Pasipalele, Pelabuhan Gane Luar, Pelabuhan Madopolo, Pelabuhan Lewui, Pelabuhan Jikotamo, Pelabuhan Soligi, Pelabuhan Wayaloar, Pelabuhan Mano.
Pelabuhan laut khusus terdiri atas: Pelabuhan Perikanan, yaitu di Labuha; Pelabuhan Ikan, yaitu di Panambuang dan Jikotamo; Pelabuhan Pengalengan Ikan, yaitu di Ngofakiama; serta Pelabuhan Pertamina, yaitu di Babang.
Dermaga pangkalan yaitu dermaga pangkalan kapal navigasi dan pandu yang berada di Labuha dan Babang. Sedangkan Pelabuhan pangkalan yaitu pelabuhan pangkalan (homebase) pelayaran nusantara yang berada di Labuha.
Jalur angkutan laut, terdiri atas: Jalur angkutan laut pelayaran luar negeri (internasional); Jalur angkutan laut pelayaran nasional (PELNI); serta Jalur angkutan laut pelayaran nusantara dan jalur angkutan laut pelayaran rakyat/pelayaran regional.
Sistem Jaringan Transportasi Udara
Sistem jaringan transportasi udara, terdiri atas Tatanan kebandarudaraan; dan Ruang udara untuk penerbangan. Tatanan kebandarudaraan di Kabupaten Halmahera Selatan terdiri atas: Bandar Udara Tersier, yaitu Bandar Udara Oesman Sadik di Kecamatan Bacan, dan Bandar Udara Perintis, yaitu Bandar Udara di Kecamatan Obi.
Sistem jaringan prasarana lainnya, terdiri atas: Sistem jaringan energi, Sistem jaringan telekomunikasi, Sistem jaringan sumber daya air; dan Sistem prasarana pengelolaan lingkungan.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.5.2 Kebijakan Rencana Pola Ruang Kabupaten Halmahera Selatan
Rencana pola ruang wilayah terdiri atas rencana kawasan lindung dan kawasan budidaya yang digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000. Kawasan lindung terdiri atas: a. Kawasan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya; terdiri lagu Kawasan hutan
lindung; dan Kawasan resapan air. Kawasan Hutan Lindung Kecamatan Gane Barat Utara seluas 14.564 Ha, Kecamatan Gane Timur seluas 5.083 Ha, Kecamatan Bacan seluas 136 Ha, Kecamatan Bacan Barat seluas 1.054 Ha, Kecamatan Bacan Barat Utara seluas 7.968 Ha, Kecamatan Bacan Timur seluas 4.706 Ha, Kecamatan Bacan Timur Selatan seluas 3.027 Ha, Kecamatan Bacan Timur Tengah seluas 6.393 Ha, Kecamatan Gane Barat seluas 12.181 Ha, Kecamatan Gane Barat Selatan seluas 2.931 Ha, Kecamatan Gane Timur Selatan seluas 2.537 Ha, Kecamatan Gane Timur Tengah seluas 1.758 Ha, Kecamatan Kasiruta Barat seluas 6.080 Ha, Kecamatan Kasiruta Timur seluas 13.384 Ha, Kecamatan Kayoa seluas 4.358 Ha, Kecamatan Kayoa Barat seluas 656 Ha, Kecamatan Kayoa Selatan seluas 217 Ha, Kecamatan Kayoa Utara seluas 2 Ha, Kecamatan Kepulauan Batanglomang seluas 2.018 Ha, Kecamatan Kepulauan Joronga seluas 8.126 Ha, Kecamatan Makian seluas 4.062 Ha, Kecamatan Makian Barat seluas 3.025 Ha, Kecamatan Mandioli Selatan seluas 7.557 Ha, Kecamatan Mandioli Utara seluas 6.153 Ha, Kecamatan Obi seluas 17.344 Ha, Kecamatan Obi Barat seluas 3.548 Ha, Kecamatan Obi Selatan seluas 14.977 Ha, Kecamatan Obi Timur seluas 4.034 Ha, Kecamatan Obi Utara seluas 11.577 Ha.
Kawasan resapan air, ditetapkan menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Halmahera Selatan dengan kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan
b. Kawasan perlindungan setempat; Kawasan perlindungan setempat, terdiri atas: Kawasan sempadan pantai; Kawasan sempadan sungai; Kawasan sekitar danau/ waduk; dan Kawasan sekitar mata air.
Kawasan sempadan pantai terdapat di sepanjang pantai di Kabupaten Halmahera Selatan dengan ketentuan: Daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; dan Daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
Sedangkan Kawasan sempadan sungai terdapat di sepanjang sungai di Kabupaten Halmahera Selatan dengan ketentuan: Daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebih paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar; Daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; Daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai; dan Daratan sepanjang tepian Sungai Inggoi dalam kawasan perkotaan Labuha yang diatur secara khusus pada lokasi‐lokasi permukiman nelayan.
Kawasan sekitar danau/waduk terdapat di Kabupaten Halmahera Selatan dengan ketentuan: Daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi; atau Daratan sepanjang tepian danau atau waduk yang lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau waduk.
c. Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, terdiri dari: Kawasan cagar alam; Kawasan pantai berhutan bakau; dan Kawasan konservasi perairan. Kawasan suaka alam di Kabupaten Halmahera Selatan, terdiri atas: Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela di Kecamatan Bacan Selatan, Bacan Timur, Bacan Timur Selatan, Bacan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Timur Tengah, seluas 20.187 Ha; Kawasan Cagar Alam di Kecamatan Obi dan Obi Selatan, seluas 37.226 Ha; serta Kawasan Cagar Alam Taman Laut Kepulauan Widi di Kecamatan Gane Timur Selatan, seluas 2.531 Ha.
Kawasan pantai berhutan bakau di Kabupaten Halmahera Selatan tersebar di: Kecamatan Gane Timur seluas 191 Ha, Kecamatan Bacan seluas 276 Ha, Kecamatan Bacan Barat seluas 646 Ha, Kecamatan Bacan Timur seluas 567 Ha, Kecamatan Bacan Timur Selatan seluas 212 Ha, Kecamatan Bacan Timur Tengah seluas 433 Ha, Kecamatan Gane Barat Selatan seluas 904 Ha, Kecamatan Gane Timur Selatan seluas 163 Ha, Kecamatan Kasiruta Barat seluas 67 Ha, Kecamatan Kasiruta Timur seluas 345 Ha, Kecamatan Kayoa seluas 876 Ha, Kecamatan Kayoa Barat seluas 16 Ha, Kecamatan Kayoa Selatan seluas 402 Ha, Kecamatan Kayoa Utara seluas 29 Ha, Kecamatan Kepulauan Batanglomang seluas 367 Ha, Kecamatan Kepulauan Joronga seluas 832 Ha, Kecamatan Mandioli Selatan seluas 453 Ha, Kecamatan Mandioli Utara seluas 226 Ha, Kecamatan Obi seluas 885 Ha, Kecamatan Obi Barat seluas 794 Ha, Kecamatan Obi Selatan seluas 31 Ha, Kecamatan Obi Timur seluas 1.586 Ha, Kecamatan Obi Utara seluas 440 Ha.
Kawasan konservasi perairan di Kabupaten Halmahera Selatan, yaitu perlindungan kawasan konservasi perairan yang tersebar di Kecamatan Kayoa, Kecamatan Kayoa Selatan dan Kecamatan Gane Timur Selatan.
d. Kawasan rawan bencana, terdiri dari : Kawasan rawan banjir di Kecamatan Bacan Selatan; Kawasan rawan letusan gunung api di Pulau Makian (Gunung Kie Besi); Kawasan rawan longsor Kecamatan Gane Barat dan Kecamatan Gane Barat Utara, Kecamatan Bacan Timur Tengah; dan Kawasan rawan gelombang pasang dan tsunami. Diseluruh wilayah Kabupaten.
Kawasan budidaya, terdiri atas: Kawasan peruntukan hutan produksi; Kawasan peruntukan pertanian; Kawasan peruntukan perkebunan; Kawasan peruntukan kelautan dan perikanan; Kawasan peruntukan pertambangan; Kawasan peruntukan industri; Kawasan peruntukan pariwisata; Kawasan peruntukan permukiman; Kawasan pesisir dan pulau‐ pulau kecil; dan Kawasan peruntukan lainnya.
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Kawasan peruntukan hutan produksi terdiri atas: Kawasan hutan produksi tetap; dan
Kawasan hutan produksi terbatas. Kawasan hutan produksi tetap, tersebar di Kecamatan Gane Barat Utara, Gane Timur, Bacan, Bacan Barat, Bacan Barat Utara, Bacan Selatan, Bacan Timur, Bacan Timur Selatan, Bacan Timur Tengah, Gane Barat, Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, Gane Timur Tengah, Kasiruta Barat, Kasiruta Timur, Kayoa, Kayoa Barat, Kayoa Selatan, Kayoa Utara, Kepulauan Batanglomang, Kepulauan Joronga, Makian, Makian Barat, Mandioli Selatan, Mandioli Utara, Obi, Obi Barat, Obi Selatan, Obi Timur, dan Obi Utara dengan luas kurang lebih 134.300 Ha. Kawasan hutan produksi terbatas, tersebar di Kecamatan Gane Barat Utara, Gane Timur, Bacan, Bacan Barat, Bacan Barat Utara, Bacan Selatan, Bacan Timur, Bacan Timur Selatan, Bacan Timur Tengah, Gane Barat, Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, Gane Timur Tengah, Kasiruta Barat, Kasiruta Timur, Kayoa, Kayoa Barat, Kayoa Selatan, Kayoa Utara, Kepulauan Batanglomang, Kep Joronga, Makian, Makian Barat, Mandioli Selatan, Mandioli Utara, Obi, Obi Barat, Obi Selatan, dan Obi Timur dengan luas kurang lebih 77.303 Ha.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Kawasan Peruntukan Pertanian Kawasan peruntukan pertanian terdiri atas: Kawasan peruntukan pertanian lahan basah;
Kawasan peruntukan pertanian lahan kering; Kawasan peruntukan perkebunan; dan Kawasan peternakan. Kawasan peruntukan pertanian lahan basah dikembangkan di: Kecamatan Bacan Barat Utara seluas 398 Ha, Kecamatan Bacan Timur Tengah seluas 160 Ha, Kecamatan Gane Barat Selatan seluas 7.358 Ha, Kecamatan Gane Timur Selatan seluas 10.583 Ha, Kecamatan Kayoa Utara seluas 1.275 Ha, Kecamatan Kepulauan Joronga seluas 1.316 Ha, dan Kecamatan Makian seluas 699 Ha.
Kawasan peruntukan pertanian lahan kering sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ikembangkan di: Kecamatan Gane Barat Utara seluas 943 Ha, Kecamatan Bacan seluas 798 Ha, Kecamatan Bacan Barat seluas 87 Ha, Kecamatan Bacan Selatan seluas 135 Ha, Kecamatan Bacan Timur seluas 259 Ha, Kecamatan Bacan Timur Selatan seluas 546 Ha, Kecamatan Bacan Timur Tengah seluas 1.897 Ha, Kecamatan Gane Barat seluas 1.095 Ha, Kecamatan Kasiruta Barat seluas 163 Ha, Kecamatan Kasiruta Timur seluas 144 Ha, Kecamatan Makian seluas 32 Ha, Kecamatan Mandioli Selatan seluas 1.400 Ha, Kecamatan Mandioli Utara seluas 20 Ha, Kecamatan Obi seluas 703 Ha, Kecamatan Obi Selatan seluas 249 Ha, Kecamatan Obi Timur seluas 2.479 Ha, dan Kecamatan Obi Utara seluas 2.073 Ha.
Kawasan peruntukan perkebunan dengan komoditas utama kelapa, cengkih, kakao dan pala, dikembangkan di: Kecamatan Gane Barat Utara seluas 13.054 Ha, Kecamatan Gane Timur seluas 39.535 Ha, Kecamatan Bacan seluas 11.389 Ha, Kecamatan Bacan Barat seluas 3.282 Ha, Kecamatan Bacan Barat Utara seluas 734 Ha, Kecamatan Bacan Selatan seluas 3.940 Ha, Kecamatan Bacan Timur seluas 15.319 Ha, Kecamatan Bacan Timur Selatan seluas 14.976 Ha, Kecamatan Bacan Timur Tengah seluas 9.168 Ha, Kecamatan Gane Barat seluas 10.911 Ha, Kecamatan Gane Barat Selatan seluas 8.647 Ha, Kecamatan Gane Timur Selatan seluas 11.450 Ha, Kecamatan Gane Timur Tengah seluas 17.519 Ha, Kecamatan Kasiruta Barat seluas 7.460 Ha, Kecamatan Kasiruta Timur seluas 6.651 Ha, Kecamatan Kayoa seluas 957 Ha, Kecamatan Kayoa Barat seluas 945 Ha, Kecamatan Kayoa Selatan seluas 1.254 Ha, Kecamatan Kayoa Utara seluas 60 Ha, Kecamatan Kepulauan Batanglomang seluas 1.615 Ha, Kecamatan Kepulauan Joronga seluas 1.536 Ha, Kecamatan Mandioli Selatan seluas 2.600 Ha, Kecamatan Mandioli Utara seluas 2.094 Ha, Kecamatan Obi seluas 25.854 Ha, Kecamatan Obi Barat seluas 2.866 Ha, Kecamatan Obi Selatan seluas 34.894 Ha, dan Kecamatan Obi Timur seluas 27.726 Ha.
Sedangkan Kawasan peternakan dikembangkan di: Kecamatan Kayoa, Kecamatan Bacan Barat, Kecamatan Bacan, Kecamatan Bacan Timur, Kecamatan Gane Timur, dan Kecamatan Gane Barat
Kawasan Peruntukan Kelautan dan Perikanan
Kawasan peruntukan perikanan di Kabupaten Halmahera Selatan terdiri atas: Kawasan minapolitan; Kawasan peruntukan perikanan tangkap; dan Kawasan peruntukan budidaya perikanan. Kawasan minapolitan, terdiri atas: Kawasan minapolitan Labuha, dengan prasarana pendukung berupa pelabuhan perikanan; Kawasan minapolitan Panambuang, dengan prasarana pendukung berupa pelabuhan ikan; Kawasan minapolitan Jikotamo, dengan prasarana pendukung berupa pelabuhan ikan; serta Kawasan minapolitan Ngofakiama, dengan prasarana pendukung berupa pelabuhan pengalengan ikan.
Sedangkan Kawasan peruntukan perikanan tangkap, terdiri atas: Wilayah perairan sebelah timur, dengan potensi perikanan utama adalah ikan tuna, ikan cakalang, dan lobster terdapat di Kecamatan Gane Timur, Gane Timur Tengah, dan Gane Timur Selatan; Wilayah perairan sebelah selatan, dengan potensi perikanan utama adalah ikan tuna dan ikan cakalang berlokasi di perairan sekitar Kecamatan Obi Selatan dan Obi Timur; Wilayah perairan barat, dengan potensi perikanan utama adalah ikan tuna, ikan cakalang, ikan kakap, lobster dan ikan kerapu berlokasi di perairan sekitar Kecamatan Kasiruta Barat dan Kayoa Barat; dan Wilayah
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
perairan sebelah utara dan barat dengan potensi perikanan utama adalah ikan cakalang, ikan tuna,ikan kakap,dan ikan kerapu,berlokasi di sekitar perairan Kecamatan Makian dan Makian Barat.
Kawasan peruntukan budidaya perikanan, terdiri atas: Pengembangan Keramba Jaring Apung, yaitu di: Pesisir Selatan Kecamatan Gane Barat Selatan seluas kurang lebih 29 Ha; Pesisir Utara dan Barat Kecamatan Obi seluas kurang lebih 167 Ha; Pesisir Utara dan Selatan Labuha seluas kurang lebih 19 Ha; Pesisir Utara Kecamatan Bacan Utara seluas kurang lebih 23 Ha; Pesisir Timur Kecamatan Mandioli Utara seluas kurang lebih 19 Ha; Pesisir Timur Kecamatan Kasiruta Timur seluas kurang lebih 38 Ha; Pesisir Barat Kecamatan Bacan Barat seluas kurang lebih 27 Ha; Kecamatan Kayoa Selatan seluas kurang lebih 2 Ha; dan Pesisir Kecamatan Kepulauan Batang Lomang seluas 3 Ha.
Pengembangan Budidaya Rumput Laut, yaitu di Perairan sekitar Kepulauan Joronga seluas kurang lebih 16 Ha; Perairan Selatan Kecamatan Obi Utara seluas kurang lebih 6 Ha; Pesisir Barat Kecamatan Bacan seluas kurang lebih 3 Ha; dan Pesisir Kecamatan Kayoa seluas kurang lebih 3 Ha.
Pengembangan Budidaya Mutiara, yaitu di Perairan sekitar Kecamatan Obi Barat seluas kurang lebih 19 Ha; Perairan di sekitar Kecamatan Kasiruta Barat seluas kurang lebih 12 Ha; Perairan di sekitar Kasiruta Timur seluas kurang lebih 11 Ha; dan Perairan sekitar Bacan Kecamatan Bacan Selatan seluas kurang lebih 11 Ha.
Kawasan Peruntukan Pertambangan Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 huruf e
terdiri dari: Kawasan pertambangan mineral; Kawasan pertambangan batubara; Kawasan pertambangan minyak dan gas bumi; serta Kawasan pertambangan panas bumi. Kawasan pertambangan mineral terdapat di kawasan Bacan, yaitu pada Kecamatan Bacan, Bacan Barat dan Bacan Timur; dan kawasan Obi, yaitu pada Kecamatan Obi dan Obi Selatan, Obi Timur, Obi Barat dan Obi Utara.
Kawasan pertambangan batubara terdapat di kawasan Bacan, yaitu pada Kecamatan Bacan, Bacan Barat dan Bacan Timur; kawasan Obi, yaitu pada Kecamatan Obi dan Obi Selatan, Obi Timur, Obi Barat dan Obi Utara.
Kawasan pertambangan minyak dan gas bumi terdapat di kawasan perairan laut halmahera pada Kecamatan Gane Timur, Gane Timur Tengah, Gane Timur Selatan, Gane Barat Selatan. Sedangkan Kawasan pertambangan panas bumi terdapat di Kecamatan Bacan Timur Tengah.
Kawasan Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil
Kawasan pesisir dan pulau‐pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 huruf i terdiri atas: Kawasan pesisir; dan Pulau‐pulau kecil. Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut dalam wilayah Kabupaten Halmahera Selatan. Ketentuan pengelolaan dan pengaturan kawasan pesisir secara teknis diatur berdasarkan ketentuan perundang‐undangan yang berlaku. Pulau‐pulau kecil merupakan pulau‐pulau di wilayah Kabupaten Halmahera Selatan dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Ketentuan pengelolaan dan pengaturan kawasan pesisir secara teknis diatur berdasarkan ketentuan perundang‐undangan yang berlaku.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B.5.3 Kebijakan Rencana dan Strategi Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Halmahera Selatan
Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Halmahera Selatan, terdiri atas: Kawasan Strategis Provinsi; dan Kawasan Strategis Kabupaten. Kawasan strategis kabupaten meliputi kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi, kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya, kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi, serta kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan daya dukung lingkungan.
Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi terdiri atas: Kawasan perkotaan Labuha; Kawasan wisata Kepulauan Widi; Kawasan wisata Kepulauan Guraici; Kawasan minapolitan Labuha; Kawasan minapolitan Panambuang; Kawasan minapolitan Jikotamo; dan Kawasan minapolitan Ngofakiama.
Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya terdiri atas: Kawasan warisan sejarah Labuha Lama, Kawasan transmigrasi Gane Timur, dan Kawasan transmigrasi Mafa.
Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi terdiri atas: Kawasan Pulau Obi, dan Kawasan potensi batubara Kecamatan Bacan.
Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan daya dukung lingkungan terdiri atas: Kawasan terumbu karang Gane Barat Selatan, Kawasan terumbu karang Pulau Obi, Kawasan terumbu karang selatan Pulau Bacan, Kawasan terumbu karang Mandioli, Kawasan terumbu karang Kasiruta, Kawasan terumbu karang Kayoa, dan Kawasan terumbu karang Kasiruta Timur.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
C. Strategi Penataan Ruang Wilayah Berdimensi Wilayah Kepulauan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya.
Rencana tata ruang disusun secara berhirarki mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Di samping untuk mengarahkan pemanfaatan ruang dan pengendalian pada lingkup wilayah perencanaan, rencana tata ruang yang disusun oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi merupakan pedoman bagi penyelenggaraan penataan ruang di tingkat pemerintahan yang lebih rendah, termasuk dalam penyusunan rencana tata ruang. Dilihat dari substansinya, RTRWN berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang memiliki nilai strategis nasional (sistem nasional). RTRWP berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan sistem provinsi dengan memperhatikan sistem nasional yang ditetapkan dalam RTRWN. Sementara RTRWK berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang di wilayahnya dengan memperhatikan hal‐hal yang telah diatur dalam rencana tata ruang pada hirarki di atasnya.
Rencana tata ruang adalah pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karenanya, efektivitas implementasi rencana sangat ditentukan oleh komitmen para pemangku kepentingan terhadap ketentuan‐ketentuan rencana tata ruang. Penyusunan rencana detail tata ruang didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain dalam rangka pengembangan pusat‐pusat pertumbuhan, revitalisasi kawasan pusat kota, pengembangan kawasan permukiman skala besar, dan sebagainya. Serupa dengan itu, pada kawasan‐kawasan rawan bencana longsor juga perlu disusun rencana detail tata ruang yang didasarkan pada pertimbangan penyelamatan lingkungan dari ancaman bencana. Dalam rencana detail tata ruang kawasan rawan bencana longsor, arahan pengembangan kegiatan budidaya dibatasi pada kegiatan‐kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kawasan. Selain itu, rencana detail tata ruang juga memuat arahan pembangunan infrastruktur pencegahan bencana seperti bendungan, dinding penahan gerakan tanah, dan sebagainya.
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Dengan asumsi bahwa perencanaan tata ruang telah meletakkan landasan bagi pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, upaya‐upaya yang harus diterapkan pada tahap pemanfaatan ruang sebagai upaya pencegahan bencana longsor.
Sebagaimana telah dijelaskan, rencana tata ruang merupakan pedoman dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pada tahap ini pemangku kepentingan dituntut untuk secara konsisten mengikuti ketentuan‐ketentuan yang tertera dalam rencana tata ruang, baik ketentuan yang berkenaan dengan lokasi kegiatan, besaran kegiatan, dan pola‐pola pengelolaan kegiatan.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Dilihat dari sudut pandang penataan ruang di Provinsi Maluku Utara, salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai dalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai‐nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien, sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera. Perwujudan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Dengan karateristik wilayah kepulauan yang mencapai 70% wilayah laut penyusunan rencana tata ruang wilayah meliputi struktur dan pola ruang termasuk kawasan strategis seharusnya menggunakan pendekatan pulau/gugus pulau sehingga akselerasi pembangunan antar kawasan/pulau dalam wilayah Kabupaten/Kota dapat tercapai sesuai dengan potensi wilayah masing‐masing. Hal ini dapat dilihat pada penataan ruang wilayah pada 4 (empat) Kabupaten/Kota yang belum sepenuhnya menerapkan pendekatan kepulauan dalam penyusunan Rencana Struktur, Pola maupun Kawasan Strategis.
Pada wilayah Kota Ternate, rentang geografis pada bentang alam teridentifikasi pada penataan Pulau Ternate, Pulau Moti, Pulau Hiri dan gugusan Pulau di Kecamatan Batang Dua. Perencanaan struktur ruang di wilayah Kota Ternate diarahkan pada keterhubungan antara pusat‐pusat pertumbuhan perkotaan serta keterhubungan antar Pulau‐pulau, baik keterhubungan internal maupun eksternal terhadap orientasi regional KTI. Pada dasarnya konsep struktur tata ruang kota Ternate mengambil analogi struktur sel hidup yang memiliki unsur sub sistim Inti dan sub sistim Plasma yang diimplementasikan pada pola keterhubungan fungsional antar Pulau Ternate sebagai pusat utama pertumbuhan Kota terhadap Pulau – pulau hinterlandnya. Pemanfaatan dan pengembangan pulau yang terintegrasi dalam perencanaan pembagian wilayah kota Ternate menjadi 7 Bagian Wilayah Kota yang memiliki peran dan fungsi yang proporsional. Penataan Pulau Moti, Hiri dan Batang Dua berada pada Bagian wilayah Kota V, VI dan VII yang diarahkan bagi pengembangan pemukiman, pertanian dan perikanan.
Disisi lain, untuk menjamin aksesibilitas dalam rangka pengembangan ekonomi telah dirancang jaringan transportasi laut dalam rencana sistem transportasi meliputi jalan yang akan ditingkatkan untuk wilayah pulau‐pulau meliputi Ruas jalan keliling pulau Hiri, Ruas jalan keliling pulau Moti, Ruas jalan pulau Mayau, dan Ruas jalan pulau Tifure serta pembangunan jembatan baru pada Jembatan pada keliling pulau Hiri, keliling pulau Moti dan jalur jalan Mayau dan Tifure.
Dalam lingkup wilayah provinsi Maluku Utara, Kota Ternate menjadi simpul asal‐tujuan pelayaran antar Kota/Kabupaten dengan tingkat intensitas yang cukup tinggi melayani penumpang dan barang. Dalam lingkup wilayah Kota Ternate transportasi laut juga berperan penting, karena merupakan akses perhubungan dari/ke Kecamatan Batang Dua (Pulau Tifure dan Mayau), Pulau Hiri dan Kecamatan Moti (Pulau Moti). Untuk itu transportasi laut diharapkan dapat berfungsi sebagai pemberi pelayanan bagi kegiatan usaha untuk mewujudkan keseimbangan antar pulau yang lebih efisien.
Trayek pelayaran regional yang dilayani oleh Pelabuhan A Yani adalah tujuan ke Sanana, Falabisahaya, Bobong (Kab.Kepulauan Sula), Buli (Kab. Halmahera Timur), Weda (Kab. Halmahera Tengah), Tobelo (Kab. Halmahera Utara) dan Jailolo dan Loloda (Kab.Halmahera Barat), serta Pulau Gebe (Halmahera Tengah), Daruba (Kab.Morotai), Batang Dua(Kota
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Ternate). Sedangkan trayek regional yang dilayani oleh pelabuhan Bastiong meliputi tujuan ke Bacan dan Obi (Kab. Halmahera Selatan), Rum, Goto, Gita, Payahe (Kota Tidore Kepulauan), Labuha, Kayoa dan Makian (Kab. Halmahera Selatan) sedangkan Pelabuhan Dufa‐dufa melayani trayek ke Jailolo. Selain trayek pelayaran nasional, regional, juga didukung oleh dermaga speed boat/pelabuhan rakyat/tambatan perahu dan merupakan feeder bagi pelayaran regional serta digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari satu pulau ke pulau yang lain, yaitu: - Dermaga VIP Residen Kel Muhajirin - Dermaga Kota Baru : Kota Baru ‐ Sofifi - Dermaga Mesjid Raya : Gamalama ‐ Sidangoli - Dermaga Dufa‐dufa : Dufa‐dufa ‐ Jailolo - Dermaga Bastiong : Bastiong – Rum, Bastiong – Kayoa, Bastiong – Makian, Bastiong – Gita - Dermaga Moti Kota : Moti Kota – Ternate, Moti Kota – Makian,
Moti Kota – Tidore - Dermaga Tadenas : Tadenas – Ternate, Tadenas – Makian,
Tadenas – Tidore - Dermaga Tafaga : Tafaga – Ternate, Tafaga – Makian,
Tafaga – Tidore - Dermaga Takofi : Takofi – Ternate, Takofi – Makian,
Takofi – Tidore - Dermaga Tafamutu : Tafamutu – Ternate, Tafamutu – Makian,
Tafamutu – Tidore - Dermaga Togolobe : Togolobe – Ternate - Dermaga Mayau : Mayau – Ternate, Mayau – Tifure - Dermaga Tifure : Tifure – Ternate, Tifure ‐ Mayau Alur pelayaran Lokal angkutan penyeberangan : Bastiong – Mayau Batang Dua
Pada wilayah Kota Tidore Kepulauan secara fisiografi dapat di bagi menjadi 2 bentukan utama yaitu pada daerah Pulau Tidore dan Pulau Halmahera. Di Kota Tidore Kepulauan terdapat 4 (empat) buah terminal. 2 (dua) diantaranya berada di pulau Tidore yaitu di Soasio dan Rum. Kota Tidore Kepulauan merupakan Kota Orde I dengan pusat pertumbuhan di Soa Sio dan Sofifi. Sebagai kota orde I, Kota Tidore Kepulauan memiliki sifat pelayanan regional, pusat pemerintahan, pusat permukiman dan pusat pelayanan sosial.
Selain itu, Kota Sofifi diusulkan menjadi PKLW untuk menggantikan fungsi pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara yang selama ini berada di Kota Ternate. Dengan demikian Kota Ternate yang semula merupakan kota dengan fungsi pusat pemerintahan, difokuskan hanya untuk kegiatan pusat perdagangan dan jasa, karena di kota ini sudah berkembang sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih lengkap dibandingkan kota‐kota/kawasan‐kawasan lain di Provinsi Maluku Utara.
Pengembangan sistem transportasi laut sangat diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan pergerakan pada wilayah kepulauan. Pergerakan transportasi laut memerlukan dukungan sarana pergerakan seperti kapal baik feri maupun speedboat yang terpadu dengan jaringan transportasi darat. Pelabuhan tesebar di Soasio, Rum, Sofifi, Loleo, dan Payahe. Masing – masing pelabuhan melayani pelayaran penumpang, barang, dan juga pelayaran nelayan. Klasifikasi masing – masing pelabuhan adalah: Pelabuhan Nasional : Sofifi; Pelabuhan Regional : Soasio, Gita‐Payahe, Rum; dan Pelabuhan lokal : Loleo, Gurabati, Lifofa. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sistem transportasi sangat penting dalam mengakomodasi mobilisasi penduduk maupun sebagai lintasan barang dan jasa. Meskipun demikian, moda transportasi perlu terus diitingkatkan selaras dengan pertumbuhan kota Tidore maupun Sofifi sebagai sentra aktivitas pemerintahan maupun ekonomi.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Dalam perencanaan kawasan strategis yang diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di Pulau Tidore maupun Pulau Halmahera, ditetapkan kawasan strategis ekonomi Goto, Kota Sofifi, Rum dan Gita‐Payahe. Hal ini dasarkan pada pertimbangan bahwa Goto (Soasiu) merupakan salah satu lokasi pelabuhan yang menghubungkan Tidore dengan Pulau‐Pulau disekitarnya. Dalam RTRW 2010‐2030 ditetapkan perencanaan fungsi pelabuhan Goto (Soasiu) sebagai pelabuhan peti kemas. Disisi lain, guna mendukung perkembangan Kota Sofifi yang akan menunjang perkembangan wilayah disekitarnya akan dilakukan penyesuaian fungsi sebagai daerah pelayanan regional. Sedangkan bagi pengembangan pelabuhan Rum diarahkan sebagai pintu masuk barang dan jasa ke Kota Tidore Kepulauan, akan dilengkapi dengan peningkatan akomodasi perkotaan, berupa fasilitas penginapan dan rumah makan serta pasar dan pusat perdagangan. Sedangkan di Pulau Halmahera pada wilayah pengembangan Gita Payahe yang berada di simpul jalan arteri “Trans Halmahera” akan diarahkan pada pengembangan industri agro dan perikanan.
Dalam perspektif Perencanaan berbasis wilayah kepulauan, dapat disimpulkan bahwa perencanaan tata ruang di Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi penelitian belum sepenuhnya mengintegrasikan pendekatan kepulauan. Hal ini dapat terlihat pada minimnya perencanaan baik struktur maupun pola ruang khususnya pada kawasan budidaya yang diarahkan guna pengembangan pulau‐pulau kecil bahkan wilayah pesisir. Padahal sebagaimana diketahui bahwa Wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara biogeofisik maupun sosial ekonomi, wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi antara proses‐proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Jika disandingkan dokumen perencanaan tata ruang wilayah Provinsi Maluku Utara dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota yang sudah menggunakan pendekatan berbasis wilayah kepulauan melalui gugus pulau, maka perencanaan Tata Ruang Kabupaten/Kota dalam wilayah penelitian belum menggunakan pendekatan ini namun mengintegrasikan perencanaan pengembangan wilayah khususnya pulau‐pulau kecil dalam rencana struktur Penataan Wilayah Perkotaan‐Perdesaan dalam bentuk cluster Bagian Wilayah Kota (pada RTRW Kota Ternate dan RTRW Kota Tidore Kepulauan), sedangkan pada RTRW Kab. Halmahera Tengah secara spesifik menyusun pola pengembangan fungsi wilayah dengan pendekatan keterkaitan antar wilayah daratan dan lautan; interaksi antar wilayah; serta memperkuat intra wilayah sebagai satu kesatuan yang saling berkaitan. Hal ini dilatarbelakangi pada pertimbangan akan karateristik wilayah dengan pemikiran bahwa wilayah daratan dan lautan menjadi satu kesatuan yang saling terintegrasi, sehingga konsep pengembangan yang digunakan adalah “laut‐pulau”. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah penyediaan prasarana dan sarana transportasi antar pulau yang memadai dan juga perairan laut dianggap sebagai wilayah potensial untuk dapat dibudidayakan sebagai kawasan budidaya/produksi, sehingga terdapat pemanfaatan ruang wilayah lautan berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya wilayah laut dan pesisir. Sedangkan pada RTRW Kabupaten Halmahera Selatan secara tegas telah merumuskan penataan kawasan pesisir dan Pulau‐pulau kecil dimana pengembangan wilayah pada kawasan tersebut terintegrasi dalam kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten dengan menerapkan strategi pengembangan pusat kegiatan dan jaringan prasarana utama.
Dalam kerangka pegembangan hukum nasional, paradigma penataan ruang tertuang dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memuat ketentuan pokok, antara lain :
a. Pembagian wewenang antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing‐masing tingkat pemerintahan dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan;
b. Pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui penetapan peraturan perundang‐undangan termasuk pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
penataan ruang ;
c. Pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang;
d. Pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan;
e. Pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang, termasuk pengawasan terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
f. Hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang.
g. Penyelesaian sengketa, baik sengketa antar daerah maupun antar pemangku kepentingan lain secara bermartabat.
h. Penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai negeri sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan yang dilakukan.
i. Ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan
j. Ketentuan peralihan yang mengatur keharusan penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.
Dalam arahan klasifikasi penataan ruang khususnya penataan ruang wilayah nasional sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (3) telah ditegaskan bahwa penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Hal ini menunjukkan bahwa UU ini memandang karateristik ruang darat dan laut merupakan satu kesatuan yang saling berkontribusi terhadap pencapaian sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Namun pengakuan ini tidak terjabarkan secara lebih detail dalam batang tubuh UU tersebut.
Jika dikaitkan dengan wewenang pemerintah daerah sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah berdasar UU No. 32 Tahun 2004 dimana semua urusan telah menjadi kewenangan pemerintah daerah kecuali urusan‐urusan yang bersifat lintas wilayah yang perlu ditangani pemerintah pusat memberi peluang lebih besar kepada daerah untuk mengekspresikan potensi dan keinginan daerah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan wilayah. Maka dalam konteks perencanaan, pasal 22 huruf (i) Undang‐Undang 32 tahun 2004 menegaskan bahwa kewajiban otonomi daerah adalah untuk menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. Kewenangan daerah dalam pengaturan dan perencanaan tata ruang daerah juga merupakan sebagian dari penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah otonom. Hal itu ditegaskan dalam ketentuan pasal 10 Ayat (2), pasal 13 dan pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam kaitan dengan kewenangan pengaturan tata ruang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007, maka dapat dirincikan kewenangan‐kewenagan tersebut antara lain wewenang pemerintah dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan pasal 8 ayat (1)‐(6). Wewenang pemerintah provinsi dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan pasal 10 ayat (1)–(7) sedangkan wewenang pemerintah kabupaten/kota terdapat dalam ketentuan pasal 11 ayat (1)–(6).
Berdasarkan pada prinsip–prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diuraikan diatas, maka kewenangan pengelolaan sumber daya laut yang disebutkan dalam pasal 18A UUD 1945 jo pasal 18 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, maka pemerintah daerah
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
memiliki kewenangan untuk melakukan intepretasi terhadap makna “pemanfaatan wilayah laut”. Jika dihubungkan dengan pengaturan tata ruang wilayah laut maka sudah barang tentu aspek dan karateristik kewilayaan yang melekat pada provinsi kepulauan termasuk Maluku Utara menjadi sangat penting. Namun ketidakjelasan pengaturan dalam UU Penataan Ruang akan menimbulkan permasalahan terkait penafsiran terhadap makna pemanfaatan wilayah laut. Dalam dimensi ini, jika dilihat pada ketentuan Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2007 maka kerangka pengaturannya lebih dititikberatkan pada sistim fungsi utama kawasan yakni aspek karateristik.
Oleh karena itu, dalam kerangka perlindungan terhadap masyarakat serta pemangku kepentingan yang memanfaatkan ruang, diperlukan pengaturan secara tegas dan spesifik terkait tata ruang wilayah bagi provinsi yang memiliki karateristik wilayah kepulauann (didominasi oleh laut) sehingga akan berkorelasi positif terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut sesuai dengan peruntukkannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004.
Dari prespektif politik, kebijakan politik negara selama ini cenderung mengabaikan keberadaan wilayah provinsi yang memiliki karateristik kepulauan. Akibatnya pola pembangunan dan kebijakan kelautan tidak mampu menjawab berbagai realitas sosial kemasyarakatan terutama bagi masyarakat pesisir. Dan tidak secara tegas menggambarkan keperpihakan negara terhadap realitas wilayah propinsi kepulauan termasuk di dalamnya penataan ruang wilayah laut dalam kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep penataan ruang wilayah laut, bukan dimaksudkan sebagai upaya pengkaplingan wilayah laut bagi daerah. Tetapi lebih menitikberatkan kepada pengaturan batas administrasi kewenangan daerah dalam mengelola wilayah laut sebagai kosekuensi dari penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah otonom.
Dalam hal pengelolaan wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945, provinsi kepulauan sangat dirugikan oleh kebijakan politik negara. Khususnya bertalian dengan konsep pengataan ruang wilazah laut, yang tidak mengakomodir kepentingan lokal daerah kepulauan. Sehingga memicu munculnya reaksi dari daerah‐daerah yang memiliki karateristik kepulauan. Padahal pola kebijakan pembangunan daerah kepulauan dalam konsep otonomi daerah menjadi tuntutan untuk menata kembali gagasan pembangunan wilayah laut bagi provinsi kepulauan yang selaras dengan konsep wawasan nusantara.
Konsep penataan ruang wilayah laut bagi provinsi kepulauan menjadi sangat penting. Karateristik provinsi kepulauan berbeda dengan provinsi lain, menuntut adanya perbaikan pengaturan tata ruang wilayah laut yang sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dan prinsip‐prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan daerah untuk mengelola wilayah laut lebih menitikberatkan kepada pengaturan batas administrasi kewenangan daerah dalam mengelola wilayah laut secara sistimatis, terencana, dan didasarkan pada prinsip‐prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah serta peraturan perundang‐undangan yang berlaku. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi terhadap Undang‐Undang Nomor 26 tahun 2007.
Disisi lain, dinamika politik pembahasan penataan ruang bagi provinsi kepulauan perlu diap resiasi secara positif sebagai upaya mensinergikan akselerasi pembangunan pada provinsi dengan karateristik kepulauan melalui pendekatan gugus sebagaimana termuat dalam Rancangan Peraturan Presiden mengenai Rencana Tata Ruang Kepulauan Maluku (RTR Kepulauan Maluku) yang didalamnya mengatur tentang rencana struktur ruang serta pola ruang Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan atau yang dikenal sebagai RTR Pulau/Kepulauan pada prinsipnya merupakan pengejawantahan strategi operasional dari PP no.47/1997 tentang RTRWN, yang mengemukakan strategi pemanfaatan ruang pulau/kepulauan secara terpadu untuk mewujudkan efektifitas pemanfaatan ruang nasional di pulau/kepulauan dimaksud.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
Sebagai suatu strategi, RTR Pulau/Kepulauan ini berfungsi untuk memberikan arah keterpaduan pembangunan lintas wilayah dan lintas sektor, dengan mensinergikan kepentingan lintas wilayah (cross‐jurisdiction) dan lintas sektor (multi‐stakeholder) dalam pemanfaatan ruang yang berorientasi pada upaya mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah melalui efektivitas pemanfaatan sumber daya alam. Dengan demikian, alat keterpaduan pembangunan lintas wilayah ini memegang peranan penting dalam perencanaan maupun pemanfaatan ruang baik darat, laut maupun udara sebagai satu kesatuan. Namun kegiatan perencanaan ini juga menyisakan diskursus tersendiri terkait bagaimana merefleksikan upaya penataan ruang terpadu yang menerapkan konsep gugus pulau, serta bagaimana menerapkan Perpres RTR dalam program pengembangan wilayah (integrated development program) yang terpadu baik secara administrative (keterpaduan antar provinsi, antar Provinsi‐Kabupaten) maupun secara ekologis (keterpaduan antar wilayah laut, pesisir dan daratan).
Dengan demikian, keberadaan regulasi terkait perencanaan tata ruang berbasis wilayah kepulauan menjadi sangat penting tidak hanya bagi Provinsi Maluku Utara tetapi juga provinsi kepulauan lainnya dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang digunakan sebagai pedoman dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang menyatakan bahwa perumusan konsepsi rencana paling sedikit harus mengacu pada : a) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b) pedoman bidang penataan ruang; dan c) rencana pembangunan jangka panjang daerah provinsi yang bersangkutan serta memperhatikan :
‐ perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsi;
‐ upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi; ‐ keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota; ‐ daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; ‐ rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan; ‐ rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan ‐ rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Keberadaan regulasi ini akan mendorong pembangunan di Indonesia khususnya pada Provinsi‐provinsi dengan karateristik pulau baik pulau besar maupun pulau‐pulau kecil sebagai pusat‐pusat pertumbuhan wilayah dan beranda depan negara (frontier region) yang pada saat ini menghadapi kondisi ketertinggalan, keterisolasian dan keterbatasan aksesibilitas, serta keterbatasan pelayanan publik.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
P E N U T U P A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang penting untuk dikemukakan berdasarkan uraian di atas adalah dalam era otonomi daerah dewasa ini penataan ruang memiliki peran penting dalam menjawab berbagai isu dan tantangan nyata dalam pembangunan, seperti konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, degradasi kualitas lingkungan, kesenjangan tingkat perkembangan antar wilayah serta kawasan, serta lemahnya koordinasi dan pengendalian pembangunan.
Penataan ruang merupakan instrumen untuk mengkaji keterkaitan antar fenomena tersebut serta untuk merumuskan tujuan dan strategi pengembangan wilayah terpadu sebagai landasan pengembangan kebijakan pembangunan sektoral dan daerah, termasuk sebagai landasan pengembangan sistem perkotaan yang efisien sesuai dengan fungsi‐fungsi yang telah ditetapkan. Dalam perkembangannya, kini penataan ruang memiliki peran yang strategis dalam konteks pembangunan nasional karena diarahkan sebagai landasan untuk mempertahankan integritas wilayah NKRI.
Dari prespektif politik, kebijakan politik negara selama ini cenderung mengabaikan keberadaan wilayah provinsi yang memiliki karateristik kepulauan. Akibatnya pola pembangunan dan kebijakan kelautan tidak mampu menjawab berbagai realitas sosial kemasyarakatan terutama bagi masyarakat pesisir. Dan tidak secara tegas menggambarkan keperpihakan negara terhadap realitas wilayah propinsi kepulauan termasuk di dalamnya penataan ruang wilayah laut dalam kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep penataan ruang wilayah laut, bukan dimaksudkan sebagai upaya pengkaplingan wilayah laut bagi daerah. Tetapi lebih menitikberatkan kepada pengaturan batas administrasi kewenangan daerah dalam mengelola wilayah laut sebagai kosekuensi dari penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah otonom.
Dengan karateristik wilayah kepulauan yang mencapai 70% wilayah laut penyusunan rencana tata ruang wilayah meliputi struktur dan pola ruang termasuk kawasan strategis seharusnya menggunakan pendekatan pulau/gugus pulau sehingga akselerasi pembangunan antar kawasan/pulau dalam wilayah Kabupaten/Kota dapat tercapai sesuai dengan potensi wilayah masing‐masing. Hal ini dapat dilihat pada penataan ruang wilayah pada 4 (empat) Kabupaten/Kota yang belum sepenuhnya menerapkan pendekatan kepulauan dalam penyusunan Rencana Struktur, Pola maupun Kawasan Strategis.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
B. Rekomendasi
Untuk mendukung peran tersebut secara efektif dan konsisten maka penyelenggaraan penataan ruang akan berpijak pada 2 pokok yakni : 1) pengaturan penataan ruang nasional khususnya melalui percepatan penyelesaian penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau serta alat operasionalisasinya. 2) penguatan peran daerah dalam penataan ruang, khususnya melalui penguatan peran gubernur dalam pengendalian pemanfaatan ruang, peningkatan kerjasama antar daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang serta penguatan kelembagaan penataan ruang di daerah (TKPRD).
Penataan ruang merupakan instrumen untuk merumuskan tujuan dan strategi pengembangan wilayah terpadu sebagai landasan pengembangan kebijakan pembangunan sektoral dan daerah, termasuk sebagai landasan pengembangan infrastruktur yang efisien sesuai dengan fungsi‐fungsi yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemanfaatan ruang untuk pembangunan infrstruktur perlu mengacu dan seuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut, untuk dapat mewujudkan kerangka pembangungan strategis tersebut perlu dipersiapkan langkah‐langkah perbaikan terhadap proses penyelelenggaraan penataan ruang, antara lain :
a. Mendorong proses penyusunan RTRW yang tidak hanya bersifat top‐down akan tetapi juga diimbangi denan proses bottom‐up sehingga tercipta sinergi antar kepentingan pusat dan daerah, maupuan antara kepentingan pemerintah dan seluruh pelaku pembangunan.
b. Melaksanakan proses penyusunan rencana tata ruang yang bersifat dinamis dan fokus kepada hal‐hal yang strategis (strategic planning) serta mempertimbangkan keragaman budaya lokal.
c. Mengembangkan konsep audit penataan ruang sebagai instrumen monitoring dan evaluasi atau pengendalian pelaksanaan rencana tata ruang dalam skala wilayah maupun kota.
d. Meningkatkan penegakan hukum atas pelanggaran Tata Ruang berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
e. Meningkatkan kapasitas perencana baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dan sistem informasi penataan ruang sebagai alat monitoring dan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang bersama‐sama dengan lembaga‐lembaga pendidikan, asosiasi profesi dan LSM.
Penelitian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi Maluku Utara “Studi Pendekatan Strategi Pembangunan Berdimensi Wilayah Kepulauan Dalam Perspektif Otonomi Daerah”
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko. Tata Ruang Perkotaan, Bandung: Alumni. 2005
Budihardjo, Eko dan Djoko Sujarto. Kota Berkelanjutan. Bandung: Alumni. 2005.
Hermit, Herman. Pembahasan Undang‐undang Penataan Ruang, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Jayadinata. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB Bandung. 1986
Kartasasmita, Ginandjar. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES. 1996.
Ridwan, Juniarso. Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung, 2008.
Silalahi, M. Daud. Hukum Lingkungan: dalam sistem penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 2001.
Suciati, Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota Pati, Tesis Universitas Diponegoro Semarang. 2006.
Haeruman , Herman. Penataan Ruang dalam Era Otonomi Daerah yang Diperluas. 2004. http://www.bktrn.org; diakses tanggal 05/07/2011.
Kiprah Rencana Tata Ruang dalam Pembangunan Perkotaan. Kiprah No. 2 Tahun I, November 2001.
Buku Analisis dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara
Buku Analisis dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ternate
Buku Analisis dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tidore Kepulauan
Buku Analisis dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah
Buku Analisis dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan
Undang‐Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah‐Wilayah Pesisir
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2009 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2010.