Upload
sumanadi-dembank
View
28
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan
dongeng, cerita rakyat, legenda, babad, mite, adat istiadat, permainan rakyat,
tarian rakyat, nyanyian rakyat dan sebagainya. Kekayaan tersebut diwariskan
secara turun temurun. Khazanah kebudayaan tradisional tersebut, sebagian
terekam dalam naskah-naskah lama dari berbagai daerah, seperti: Aceh, Batak,
Nias, Minangkabau, Lampung, Sunda, Jawa, Bali, dalam berbagai huruf daerah
setempat. Di samping itu, ada yang terekam sebagai tradisi lisan (Wahjono,
1999:105).
Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau tersebut,
sampai sekarang merupakan warisan kebudayaan para leluhur, antara lain terdapat
dalam berbagai cerita rakyat yang masih diturunkan dari mulut ke mulut dan kini
telah banyak direkam di dalam berbagai tulisan (Mulyadi, 1994:1). Kadang—
kadang terdengar ungkapan “warisan budaya”, yang menggambarkan sesuatu
mencakup teks klasik yang diwariskan secara turun—temurun.
Dalam konteks Indonesia, ungkapan ini berdsifat emotif karena orang
teringat dengan mereka yang menurunkan warisan-sesepuh dan nenek moyang
seseorang. Mereka ini pantas dihormati, sehingga generasi sekarang mendapat
tugas moral untuk merawat apa yang telah ditinggalkan mereka untuk ketururunan
mereka yang masih hidup. Namun, seruan untuk memperhatikan nilai objek ini
sebagai pusaka tidaklah cukup. Karya sastra seolah-olah diperlakukan sama
1
2
dengan keris tombak atau bahkan kereta, mencucinya dan memberinya sajian di
depannya tidak akan banyak membantu untuk menghargai roh pembuatnya.
Sebaliknya, menghormati naskah sebagai pusaka mungkin membuat warisan itu
dilestarikan lama sesudah warisan itu tidak digunakan lagi. Pandangan sarjana
Barat menekankan, bahwa teks Indonesia (lisan dan tertulis) berguna karena
mungkin dalam teks terdapat informasi yang berguna bagi ahli sejarah, linguis,
antropolog atau mahasiswa teologia (Robson, 1994:7).
Ada perbedaan cara memaknai sebuah warisan di mata bangsa Indonesia
dan para sarjana Barat. Bangsa Indonesia menganggap warisan budaya yang
berupa teks (lisan dan tertulis), adalah sebuah “pusaka” yang perlu “dilestarikan”
dengan berbagai cara menurut tradisi masing-masing daerah. Sarjana Barat
menganggap teks (lisan dan tertulis) adalah sebuah peristiwa budaya rohani
bangsa Indonesia, di dalamnya terekam berbagai pemikiran, konsep, nilai budaya
manusia Indonesia di masa lampau.
Pemikiran antara Barat dengan Timur bukanlah sesuatu yang harus
disikapi dengan pertentangan atau dikotomi rasa dengan rasio. Namun, yang lebih
penting dilakukan adalah bagaimana kedua pandangan itu dipadukan, sehingga
mampu meneropong konsep atau pemikiran yang tertuang di dalam teks tersebut,
tidak hanya sebatas rasa tetapi juga rasio. Bila demikian, masyarakat telah
“menghargai” arti penting sebuah teks baik lisan maupun tertulis. Kadang—
kadang masyarakat terlena, bahkan melupakan nilai hakiki sebuah teks lisan atau
tertulis. Mereka tidak sampai pada jawaban terhadap pertanyaan apa yang “ada di
balik teks”, mengapa demikian dan sebagainya. Akhirnya mereka terjebak pada
3
sisi fenomenal sebuah teks, tidak menyentuh sisi nomenal. Banyak teks lisan
maupun tulis yang memiliki muatan budaya dan perlu dijelaskan secara lebih
dalam, filosofis atau sufistik, sehingga teks itu menjadi bermakna bagi kehidupan
manusia yang menghasilkannya.
Berbicara masalah teks atau naskah, maka tidak dapat dilepaskan dengan
bahasa sebagai medium penting, di samping aksara (huruf). Dalam kajian
linguistik fungsi bahasa sebagai alat komunikasi menurut Roman Jakobson
memiliki 6 fungsi, yaitu emotive, referential, poetic, phatic, metalingual dan
conative (dalam Teeuw, 1988:53). Poetic function adalah salah satu fungsi bahasa
yang berkaitan dengan bentuk-bentuk ekspresi manusia melalui seni dan logika
berbahasa. Bentuk penyampaian bahasa ada yang tertulis ada juga yang lisan
(tuturan). Konsekuensi dari penyampaian secara lisan adalah munculnya bentuk
ekspresi seni berbahasa lewat nyanyian, ungkapan tradisonal, puisi lisan, pantun,
dan sebagainya. Semua itu termasuk sastra lisan atau kesussastran gantian1.
Sastra lisan adalah yang dituturkan secara lisan. Sastra ini di Indonesia pada
umumnya berbentuk prosa, seperti dongeng-dongeng, ada juga yang berbentuk
prosa liris seperti sastra kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra
kentrung dan jemblung (Jawa) dan lain-lain (Hutomo, 1991:60). Sastra lisan
dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak mengetahui tulisan. Oleh karena itu,
sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat merupakan sebagian budaya
rakyat yang merangkumi semua aspek tentang kehidupan suatu masyarakat. Sastra
1 Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa, 1978. Kembang Rampe Kasusastran Bali Purwa,
Buku I. Hal:4. Kesusastran Gantian adalah untuk menyebut Sastra Rakyat atau sastra lisan di Bali. Lihat juga Bagus, I Gusti Ngurah Bagus,1979. “Penerjemahan Karya Sastra Tradisional Ke Dalam Bahasa Indonesia” Dalam Bahasa dan Sastra. Tahun V. No.5. Ha:13.
4
ini hanya bertumpu pada hasil kesusastraan yang bercorak pertuturan atau verbal
arts yang terdapat dalam suatu bangsa. Sastra lisan ini dapat disampaikan dalam
bentuk puisi seperti: jampi, mantera, pantun, paribhasa, bahasa berirama, dan
teka-teki (Hamid, 1986:1).
Di samping sastra lisan kesusastraan Bali, juga ada sastra tulis, yang telah
memiliki akar sejarah yang panjang. Menurut I Gusti Ngurah Bagus, sejarah
kesusastraan Bali dapat dibagai menjadi dua babak yaitu zaman klasik dan zaman
modern (1990:4). Zaman klasik, bila dilihat dari cara penyampaiannya, dapat
dibedakan menjadi sastra lisan dan sastra tulis. (1) Sastra lisan adalah karya sastra
yang disampaikan secara oral dari mulut ke mulut, dalam bahasa Bali disebut
sastra pegantian. Sastra pegantian ini dapat ditemukan seperti dongeng rakyat
yang di Bali disebut dengan satua berjenis pribahasa, seperti wangsalan dan
seloka. Sastra lisan ini agak telah berkembang sejak masa prasejarah, seiring
dengan berkembangnya bentuk-bentuk kesenian yang lain pada zaman itu. Hanya
saja, jenis sastra yang ada pada saat itu belum diketahui dengan jelas. (2) Sastra
tulis secara historis telah berkembang pada zaman Bali Kuna. Menurut Bagus
diperkirakan sekitar abad ke-9 pada zaman Dinasti Warmadewa. Menurut prasasti
???apa zaman itu telah ada pertunjukan wayang yang disebut perbwayang yang
mempertunjukkan cerita-cerita tertentu yang diambil dari khazanah kesusastraan
Bali pada waktu itu (1990:5—6).
Dalam sejarah kebudayaan Hindu-Jawa, hubungan Bali dengan Jawa telah
terjadi sejak abad ke-10 dengan perkawinan Udayana dengan Gunapriya sampai
akhirnya Bali jatuh ke tangan Gajah Mada 1343 M (Tim penyusun, 1980:56).
5
Sejak saat itu tradisi keraton Jawa yang mengembangkan tradisi tulis atau sastra
dilajutkan di keraton-keraton di Bali. Hal ini terjadi sekitar abad ke-16, yakni pada
zaman Gelgel di bawah Raja Dalem Waturenggong yang memerintah tahun
1460—1550 M. Zaman ini merupakan zaman kesusastraan Bali mencapai masa
puncak keemasan. Zaman ini ditandai dengan datangnya pujangga besar
Danghyang Nirartha tahun 1489 M. Beliau bukan saja ahli agama, namun juga
pujangga besar yang banyak muridnya. Sejak saat itu, kesusastraan Kawi
berkembang dengan pesat, di samping itu munculnya cipta sastra Bali yang subur.
Salah seorang murid Danghyang Nirartha adalah Ki Gusti Dauh Bale Agung.
Sekitar abad ke-17, mulailah diperkenalkan sastra tembang (macepat)
dalam tradisi sastra keraton yang terus berkembang sampai sekarang. Pada
pemerintahan Dalem Bekung 1550—1580 M., ada pengarang yang bernama
Pangeran Telaga. Selanjutnya, pada zaman Dalem Sagening tahun 1580—1605
M terkenal Arya Manguri. Pada zaman Klungkung 1710—1775 pengarang-
pengarang Bali hampir muncul di seluruh pelosok Bali.
Salah satu bentuk sastra tulis adalah geguritan yang merupakan bagian
penting dari ragam kesusastraan Bali itu sendiri. Sastra geguritan (puisi naratif)
memiliki kaidah tersendiri, dan dapat disimak dalam aspek bentuk (form) dan isi
(content). Oleh karena geguritan memiliki dua aspek tersebut, maka kajian
terhadap geguritan menjadi khas. Geguritan karena menggunakan medium bahasa
Bali, maka di dalamnya terdapat simbol budaya dan logika berbahasa Bali
sebagai alat komunikasi. Fenomena menarik pada geguritan Kasmaran adalah
Geguritan ini tidak memiliki unsur naratif. Namun, mengunakan jenis bladbadan.
6
Blabadan adalah salah satu bentuk dari jenis sastra lisan yang dikenal dengan
puisi atau syair. Blabadan disampaikan secara oral, merupakan bahasa kiasan
yang memiliki kaidah bantang, arti paribasa dan arti sejati. Geguritan merupakan
salah satu jenis dan bentuk sastra tulis tradisional, yang mempunyai kaidah sendiri
yang disebut padalingsa. Kemampuan menciptakan bladbadan dan simbol-
simbol budaya yang ada di dalamnya, merupakan sesuatu yang menarik untuk
dianalisis dari sudut pemaknaan antara teks dan konteksnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa permasalahan yang
dibahas diangkat dalam penelitian ini. Adapun masalah yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Bladbadan dan Macepat sebagai pembangun struktur
Geguritan Kasmaran ?
2. Bagaimana makna teks dan konteks dalam Geguritan Kasmaran ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran logika
berbahasa masyarakat Bali dengan menggunakan ungkapan yang mengandung
simbol dan gaya estetika komunikasinya. Ini berarti, bahwa GK adalah karya
sastra yang tidak hanya memuat kaidah kebahasaan namun juga indeks dan simbol
budaya yang dapat dicermati melalui eksplorasi bahasa yang diungkapkan dalam
nyanyian tembang.
7
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1. Mengungkapkan rancang bangun atau struktur Geguritan Kasmaran yang
dibentuk oleh peran penting Bladbadan dan Macepat.
2. Mengungkapan makna teks melalui eksplorasi kebahasaan dikaitkan
dengan simbol sosial-budaya Bali. Ini artinya makna yang dibangun
adalah makna teks dan konteks dalam kehidupan masyarakat Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran untuk pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-
ilmu sastra bidang bladbadan. Dalam konteks penelitian karya sastra tradisional,
kajian ini dapat digunakan sebagai referensi yang terkait dengan karya sastra Bali
yang berbentuk puisi, namun pengungkapanya lebih terfokus pada pemilihan kata.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan dapat menjadi alternatif dalam berkomunikasi
yang bersifat santun, indah, dan harmonis, sehingga tidak menimbulkan konflik
dalam kehidupan bermasyarakat. Secara spesifik kajian ini dapat digunakan dalam
berkomunikasi yang tidak vulgar dalam kehidupan masyarakat saat ini.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian terhadap Geguritan Kasmaran belum banyak dilakukan. Salah
satu penelitian berbentuk skripsi adalah karya Cokorda Istri Sukrawati (1987)
yang berjudul ”Aspek Bladbadan dalam Geguritan Kasmaran: Analisis Struktur
dan Fungsi”. Dalam penelitian ini dipaparkan secara panjang lebar tentang aspek
bahasa (linguistik) yang terdapat dalam Bladbadan. Analisis mulai dari aspek
pembentukan Bladbadan sampai pada aspek isi yang meliputi, tema dan amanat.
Namun, penelitian ini belum menukik pada persoalan logika berbahasa dan
muatan simbol budaya yang terdapat dalam bahasa dan estetika Bladbadan. Untuk
itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memperdalam analisis yang telah dilakukan
oleh Sukrawati dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.
Landasan teoretis yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
poststrukturalisme, khususnya analisis wacana. Analisis ini berangkat dari
pemahaman antara teks dan konteks. Hal yang penting mengenai sifat teks ialah
teks itu bila dituliskan tampak seakan-akan terdiri atas kata-kata dan kalimat-
kalimat, namun sesungguhnya terdiri atas makna-makna yang harus diungkapkan.
Teks adalah hasil lingkungannya, hasil suatu proses pemilihan makna yang terus-
menerus, yang dapat digambarkan sebagai jalan setapak atau jalan kecil melalui
jaringan-jaringan yang membentuk suatu sistem kebahasaan (Halliday dan Hasan,
1994:14—15).
8
9
Menurut Fishman 1985 sebagaimana dikutif Putra Yadnya (2004:4),
bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni:
(1) bahasa sebagai bagian dari budaya; (2) sebagai indeks budaya; dan (3) sebagai
simbol budaya. Sebagai bagian budaya, bahasa merupakan pengejewantahan
perilaku manusia. Misalnya, upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan
tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami
budaya tersebut harus menguasai bahasa, karena dengan cara itu barulah mereka
bisa berpartisipasi. Sebagai indeks budaya, bahasa mengungkapkan cara berpikir
dan menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam
item leksikal. Sebagai simbolik budaya, bahasa menunjukkan identitas budaya
etnis.
2.2 Konsep
2.2.1 Teks dan Konteks
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesi (2006:1230), teks adalah (a)
kata-kata asli dari pengarangnya; (b) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran
atau alasan ; (c) sesuatu yang tertulis untuk dasar memberi pelajaran, berpidato
dan lain sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1159), teks
diartikan sebagai (1) a) naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang; b)
kutipan kitab suci atau pangkal ajaran atau alasan ; c) latihan tertulis untuk dasar
memberi pelajaran, berpidato. (2) teks wacana tertulis ; diskursif adalah teks yang
mengaitkan fakta secara bernalar; ekspresif teks yaitu mengungkapkan perasaan-
perasaan dan pertimbangan dalam diri pengarang; evaluatif adalah teks untuk
mempengaruhi pendapat dan perasaan pembaca; film adalah penerjemahan
10
percakapan, uraian, dan sebagainya kedalam bahasa lain dan diproyeksikan pada
bagian bawah layar putih; informatif adalah teks yang hanya menyajikan berita
faktual tanpa kontemporer; naratif adalah teks yang tidak bersifat dialog, dan
isinya merupakan suatu kisah sejarah, deretan peristiwa dan lain sebagainya;
persuasif adalah teks yang fungsi utamanya mempengaruhi pendapat, perasaan
dan perbuatan pembaca. Sedangkan konteks menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga (2006:613) adalah apa yang ada di depan atau di belakang
( kata, kalimat, ucapan) yang membantu menentukan makna (kata, kalimat,
ucapan, dan lain sebagainya). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
(2005:591) mengartikan konteks adalah: 1) bagian suatu uraian atau kalimat yang
dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian : orang itu harus dilihat sebagai manusia
yang utuh dan lain-lain, konteks kehidupan pribadi dan masyarakat. Konteks
budaya keseluruhan budaya atau situasi non linguistis tempat komunikasi terjadi;
konteks linguistis konteks yang memberikan makna yang paling cocok pada unsur
bahasa; konteks semotaktis adalah linguisti semantis yang ada di sekitar suatu
unsur bahasa; makna unsur-unsur bahasa; konteks sintaksis adalah linguistik
gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan kelas-kelas dan fungsi unsur
tersebut.
2.2.2 Geguritan Kasmaran
Membaca geguritan berbeda dengan membaca karya sastra Bali yang lain.
Menurut Granoka, dalam tulisannya yang berjudul Sastra Paletan Tembang,
geguritan memiliki tiga unsur pokok, yaitu unsur bunyi, unsur lambang dan unsur
11
isi, yang nantinya unsur bunyi dan unsur lambang dimasukkan ke dalam aspek
(konvensi) bentuk dan unsur isi dimasukkan ke dalam aspek (konvensi) isi
(Granoka dalam Sukrawati, 1987:77).
Geguritan dalam pembacaan maupun penciptaannya diikat oleh suatu
aturan yang disebut dengan padalingsa di satu pihak, dan di pihak lain karena
geguritan itu terikat dengan isinya, sehingga sering tidak tepat pemilihan dan
pemakaian katanya untuk memenuhi aturan padalingsa tersebut (Ginarsa,
1980:v). Oleh sebab itu, antara konvensi bentuk dan isi secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri mempengaruhi pemilihan kata atau diksi dalam karya sastra
geguritan.
Sebagaimana diketahui, pupuh diikat oleh padalingsa, yaitu banyaknya
baris dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris dan bunyi akhir setiap
baris dan setiap pupuh mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Geguritan
Kasmaran, sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan menggunakan satu
jenis pupuh, yaitu pupuh sinom, dengan aturan sebagai berikut
i--------a, ii--------I, iii--------a, iv--------I, v--------I, vi--------u, vii--------a, viii-----
---I, ix----u, x--------a.
Maksud dari padalingsa di atas adalah, bahwa pupuh sinom itu terdiri atas
sepuluh baris, masing-masing baris memiliki jumlah suku kata yang beragam.
Baris pertama terdiri atas delapan suku kata, baris keduan terdiri atas delapan suku
kata, baris ketiga terdiri atas delapan suku kata pula, sampai baris kedelapan
umumnya terdiri dari delapan suku kata. Baris kesembilan terdiri atas empat suku
kata, dan baris kesepuluh terdiri atas delapan suku kata. Kemudian, bunyi akhir
12
pada setiap baris dalam geguritan disebut guru suara. Pupuh sinom memiliki guru
suara yang beragam di setiap barisnya. Baris pertama diakhiri dengan guru suara,
a, baris kedua, i, baris ketiga, a, baris keempat, i, baris kelima, i, baris keenam, u,
baris ketujuh, a, baris kedelapan, i, baris kesembilan, u, dan baris kesepuluh
diakhiri dengan guru suara, a.
Baik pembacaan maupun penciptaan geguritan pemakaian padalingsanya
ketat. Selain itu, dalam pembacaan juga diikat oleh metode belajar menyanyikan
geguritan yang disebut dengan macapat. Pembaca harus mahir metode ini yang
akan diolah sesuai dengan kemauannya, untuk menepati guru basa atau ucapan
yang bisa dimaknai, sehingga pengartos atau penerjemah lebih mudah memahami
dan menerjemahkan maksud dalam geguritan tersebut.
Dalam rangka pemenuhan padalingsa ini, dituntut penguasaan
pembendaharaan kata yang luas dan daya kreativitas pengarang, sehingga
karyanya mengalir ketika dibaca.
2.2.3 Bbladbadan
Bladbadan secara umum dimasukkan ke dalam bahasa kias, termasuk asa
kias. Menurut Ketut Ginarsa seperti yang dikutip oleh Sukrawati (1987:53),
bladbadan berasal dari kata dasar badbad yang berarti ulur atau mulur. Kemudian,
mendapat sisipan (infix) -el-, dengan akhiran –an, sehingga menjadi beladbadan
atau bladbadan yang artinya peribahasa yang terdiri atas kalimat yang dimulurkan
atau dipanjangkan, sehingga dapat melukiskan sesuatu yang jitu sesuai dengan
maksud pembicara.
13
Namun, menurut Simpen A.B. (1982) lebih suka menggunakan istilah
beblabadan daripada bladbadan. Menurut Simpen beblabadan berasal dari kata
babad (bukan badbad), yang berarti tutur jati sane sampun kalampahin riin (suatu
cerita yang dianggap betul-betul terjadi pada zaman dahulu). Kata babad
kemudian mendapat sisipan (infik) -el- sehingga menjadi belabad atau blabad,
kemudian mendapat akhiran -an, menjadi blabadan. Setelah itu kata balabadan
mengalami proses reduplikasi sehingga menjadi beblabadan yang berarti kata-
kata dalam bahasa kias dan mengandung persamaan bunyi atau bersajak ( Simpen,
1982:39).
Menurut Tim Peneliti Balai Penelitian Bahasa Singaraja (1980),
sependapat dengan etimologi kata bladbadan sebagaimana dikemukakan oleh
Ketut Ginarsa, yang disampaikan dalam kesusastraan Bali. Bentuk ini pada
umumnya disampaikan dalam pemakainnya lewat permainan kata-kata yang
terselubung.
Dengan kata lain, amanat yang ingin disampaikan oleh bladbadan selalu
dilontarkan dalam bentuk kias atau dalam bentuk untaian kalimat yang tidak
lengkap. Menurut Sukrawati, kalimat tersebut dipanjangkan, sehingga dapat
melukiskan kata-kata yang jitu (tepat) sesuai dengan maksud pembicara. Cara
memainkan persamaan bunyi dan permainan kata-kata yang terselubung yang
berlainan artinya.
Menurut Simpen, A.B (1982), beblabadan dibangun tiga untaian kata.
Kata pertama disebut giing atau bantang, kata kedua adalah arti yang sebenarnya,
ketiga arti peribahasanya atau makna kiasnya. Dalam memainkan bladbadan atau
14
mabeblabadan, setiap orang dianggap mengerti arti sesungguhnya, sehingga
mudah mengasosiasikan dengan pengertian yang dimaksudkan. Dalam
mengasosiasikan pengertian tersebut unsur kesamaan bunyi sangat membantu atau
menentukan.
Pemakaian blabadan dalam masyarakat maupun dalam karya sastra
tersebut biasanya disampaikan dalam untaian kalimat atau untaian kalimat tidak
lengkap. Misalnya, ngudyang cening masok gedenan dini?, ngodag-odag dini?
atau jika diucapkan lebih singkat ngudyang cening masok gedenan dini? Jika
kalimat tersebut tidak mengandung unsur kiasan atau bladbadan, maka
kalimatnya akan berbentuk: ngudyang cening ngodag-odag dini? Untuk
menjadikannya kalimat yang mengandung unsur kiasan atau bladbadan, bagian
tertentu dari kalimat tersebut, dipanjangkan (dibabad). Maksud diperpanjang
bukanlah kata-katanya ditambahkan, akan tetapi terdapat perpanjangan arti dan
makna kiasan sebagai bagian dari respon komunikasi. Bladbadan memiliki arti
yang berlapis antara denotasi dengan konotasi. Pada contoh kalimat di atas, sok
gedenan adalah bantang, bodag itu arti sejatinya dan ngodag-odag itulah makna
kiasannya. Jadi, kata sok gedenan itu dipanjangkan (dimulurkan), sehingga
menjadi ngodag-odag. Dalam proses terbentuknya bisa saja arti paribasanya yang
timbul pertama-tama, kemudian barulah dicari giingnya, sehingga jika dilihat
secara keseluruhan dari ketiga tahapan tersebut dapat dikenali sebagai bladbadan
(Sukrawati, 1987: 59).
Bebladbadan sebagai seni permainan kata yang mementingkan
persamaan bunyi. Proses terbentuknya dengan cara memodifikasi bentuk
15
dasarnya, penggantian fonem awal sehingga menjadi kata dasar baru yang
bermakna. Penghilangan fonem awal, adalah proses yang dijumpai alam
pembentukan bebladbadan yang ada dalam geguritan kasmaran. Dalam konteks
ini, bladbadan adalah sebuah bentuk paribhasa Bali yang memiliki tata susun
yang kompleks. Di dalamnya terdapat unsur lagu, permainan bunyi, permainan
arti, lapis arti denotatif, serta konotatif dan pilihan kata yang sesuai dengan
tututan arti dan pola persajakannya.
2.3 Landasan Teori
Teori bukan saja diperlukan dalam menyimpulkan generalisasi-
generalisasi yang dapat diambil berdasarkan fakta-fakta hasil pengamatan, tetapi
juga dalam memberi kerangka orientasi untuk mengklasifikasi dan menganalisis
fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian. Kecuali itu, teori mampu
memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi dan mengisi
lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah dan akan
terjadi (Ratna, 2005). Shelbegker (Dalam Moleong, 2002:34) menyatakan, bahwa
teori merupakan seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis
(mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan yang
lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana
untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.
Berdasarkan prinsip dasar penggunaan teori sebagaimana disebut di atas,
maka pada penelitian ini digunakan satu teori yaitu teori semiotika. Argumentasi
penggunaan satu teori ini didasarkan oleh pertimbangan: (1) karakteristik data
dalam penelitian ini adalah teks yang satuan bahasa terkecil adalah kata, tembang,
16
permainan bunyi, makna memerlukan analisis teori semiotika; (2) analisis data
memiliki kecenderungan untuk mengekplorasi makna di balik pilihan kata yang
digunakan dalam membangun karya sastra bersangkutan; (3) semiotika
sesungguhnya sudah dipandang cukup untuk menganalisis topik penelitian ini.
Lebih lanjut uraian tentang teori semiotika adalah sebagai berikut.
2.3.1 Teori Semiotika
Analisis makna geguritan Kasmaran, dalam penelitian menggunakan teori
semiotik. Secara etimologi, semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
semion "tanda"maka semiotika berarti ilmu tanda (Van Zoest, 1993:1). Istilah lain
untuk semiotika adalah semiologi, seperti yang dipergunakan oleh Ferdinan de
Saussure yang mengacu pada dikotomi language parole, signifian dan signifie,
sintagmatik dan paradigmatik sebagai tataran linguistik umum, akan diacu dalam
pengungkapan makna dalam Geguritan Kasmaran. Dilengkapi dengan Charles
Sander Peirce yang mengkaji semiotik pada tataran logika.
Menurut Peirce, pada prinsipnya dalam hal semantik, semiotik ada tiga
hubungan berkaitan dengan tanda dan acuannya yaitu: (1) hubungan antara tanda
dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan; tanda itu disebut ikon; (2)
hubungan itu timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks; (3)
akhirnya hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah terbentuk
secara konvensional; tanda itu disebut simbol. Sebuah peta geografis, potret
adalah ikon, sebuah tiang petunjuk jalan dan sebuah petunjuk arah angin adalah
indeks dan anggukan kepala menandakan persetujuan adalah simbol (Van Zoest,
1992: 5—6).
17
Untuk memudahkan pemaknaan sebuah karya, pertama kali dilakukan
pembacaan heuristik sebagai pembacaan berdasarkan struktur
kebahasaannya/berdasarkan sistem konvensi tingkat pertama dan konvensi sastra
(Pradopo, 1994:109). Kemudian, dianalisis dan ditafsirkan secara hermeneutika,
yaitu melakukan tafsiran dengan analogi-analogi melalui perbandingan-
perbandingan atas sesuatu yang sudah diketahui. Namun, tidak kalah pentingnya
adalah pragmatik semiotik sebagai hubungan antara tanda atas pengiriman dan
penerimanya sudah menyangkut tataran kegunaan dari kebahasaan yang
mengandung makna dalam komunikasi praktis. Dalam hal ini, yang diperhatikan
bagaimana suatu tanda disampaikan oleh pengirim dan bagaimana seorang dapat
menerima tanda tersebut dengan baik, merupakan hal yang penting diperhatikan
dalam penelitian ini.
Menurut Goldmann dalam Teeuw (1984:153), bahwa struktur kemaknaan
itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu,
tetapi sebagai wakil golongan masyarakatnya. Dalam hal ini Goldmann seorang
Marxis yang tipikal; katanya, individu berbicara sebagai juru bicara klasnya,
ditentukan oleh situasi sosialnya sebagai manusia, dan situasi itu dalam karya
pengarang yang agung secara optimal dan jelas terbayang dalam karya seninya.
Tentu yang paling penting dalam hal ini adalah bagaimana mendapatkan
makna dari karya-karya yang dibaca. Sebab menurut Mukarovsky dalam Teeuw
(1984:64—65), semiotika dikembangkan lagi berdasarkan analisis situasi karya
sastra, menyangkut multidimensional, karena tegangan karya sastra dalam
hubungannya dengan penulis, pembaca dan kenyataan. Dalam tegangan antara
18
ikatan dan kelonggaran sistem bahasa dan konvensi sastra. Kemudian, dalam
tegangan antara struktur dan variasi, dalam keadaan pembaca sebagai variabel
segi sosial, waktu dan kebudayaan, dan tegangan bagi si peneliti sendiri dalam
peranan rangkapnya sebagai pembaca dan peneliti. Justru dinamika itulah yang
dianggap mengakibatkan nilai keindahan, sesuai dengan keadaan kebudayaan
pembaca yang bersangkutan.
Dalam masyarakat modern terdapat, kecendrungan untuk menghapuskan
yang konkrit dan individual. Sastra dan seni mengambil hak utama dari
kekonkritannya, dari kepribadian seorang manusia yang terungkap di dalamnya.
Akhirnya, yang penting bukanlah fokalisator atau instansi naratif atau implied
author, seperti yang ditonjolkan oleh aliran strukturalis tertentu, melainkan
manusia yang hidup, yaitu penulis dan keunikannya.
Sejalan dengan karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medium,
maka unsur bahasa itu dipandang sebagai tanda yang dapat ditafsirkan dan proses
penafsirannya itu dapat terjadi berkali-kali (Hoed dalam Suarka, 2003:58). Dalam
konteks ini, teks GK merupakan sebuah tanda bahasa, sehingga memungkinkan
untuk ditafsirkan. Segala sesuatu yang ada dalam geguritan ini adalah sebuah
tanda yang mewakili sesuatu.
Menurut Sumaryono (1996:12), Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
hermeneuin yang berarti menafsirkan. Kata hermeneia yang merupakan kata
benda berarti penafsiran atau interpretasi. Untuk memahami suatu teks, bantuan
teori hermeneutika memegang peranan penting. Hermeneutik merupakan ilmu
tafsiran dengan analogi melalui perbandingan-perbandingan atas sesuatu yang
19
sudah diketahui. Hermeneutik berkaitan dengan kitab suci dan dipergunakan
untuk menafsirkan komentar-komentar aktual atas teks kitab suci (Irmayani dalam
Suniti, 2007:20).
2.4 Model Penelitian
Unsur Kabudayaan Bali
Bahasa Bali dan Seni
Seni Sastra
Sastra Tradisional Sastra Modern
Geguritan Kasmaran
Bladbadan dan Geguritan Sebagai Pembangun Struktur GK
Makna Teks dan Konteks GK
Sastra Lisan / Tertulis Sastra Tulis
Komunikasi dan logika dalam
Harmoni
20
Keterangan Tanda:
: Hubungan antara unsur dalam kerangka analisis
Kebudayaan Bali terdiri tujuh unsur, namun dalam hal ini dilihat dua unsur
budaya, yaitu bahasa dan seni. Kedua unsur budaya ini di Bali berpadu menjadi
seni sastra. Seni sastra ini menurut zamannya dibagi penjenisannya menjadi sastra
tradisional dan sastra modern. Sastra tradisional berdasarkan cara
penyampaiannya dibagi dua, yaitu sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan
termasuk blabadan dan sastra tulisan salah satunya adalah geguritan barpadu
dalam kemasan sastra yang memuat teks budaya, disebut Geguritan Kasmaran.
Ada dua yang ingin dicapai jawabannya dari geguritan ini, yaiyu bagaimana
bladbadan sebagai pembangun struktur Geguritan Kasmaran dan bagaimana
pengungkapan makna teks dan konteks melalui ranah estetika, sehingga sesuai
dengan kaidah komunikasi dan logika menuju pada suatu keharmonisan hidup
bermasyarakat.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengacu kepada penelitian kualitatif, yaitu suatu strategi
penelitian yang menghasilkan data atau keterangan yang dapat mendeskripsikan
realita sosial dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan masyarakat.
Proses Penelitian ini bersifat siklus, bukan linier seperti pada penelitian kuantitatif
(Sugiyono, 1992:2).
Ciri penting metode kualitatif adalah: (1) memberikan perhatian utama
pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural;
(2) lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian, sehingga
makna selalu berubah; (3) tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek
penelitian, subjek sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung di
antaranya; (4) desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian
bersifat terbuka; (5) penelitian bersifat alamiah; terjadi dalam konteks sosial
budayanya masing-masing (Ratna, 2004:48).
Penelitian kualitatif ditunjang oleh metode analisis isi (conten analysis).
Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi
komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah,
sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat
komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksud oleh penulis,
sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan
naskah dengan konsumen (Vredenbreght, 1983:66—68; Ratna, 2004:48).
21
22
Penerapan metode ini tampaknya lebih mengarah pada aspek komunikasi dan
laten. Penelitian jenis kualitatif dimaksudkan sebagai penelitian yang temuan-
temuanya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya,
tetapi menggunakan prosedur yang menghasilkan temuan yang diperoleh dari
data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan beragam sarana. Sarana itu
meliputi pengamatan, wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku,
kaset video, dan sebagainya (Strauss & Juliet Corbin, 2003:5).
3.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang
sering digunakan dalam kajian sastra, yaitu pendekatan tematis-filosofis. Suatu
penelitian pada hakikatnya membangun segitiga pemahaman mencakup:
pertanyaan, pernyataan, dan kenyataan. Pertanyaan yang diajukan ini bisa bersifat
deskriptif, ‘bagaimana”, mengenai objek material mencari relasi kausalitas atau
bahkan korelasi, sedemikian rupa sehingga mulai tampak kebulatan sistemnya.
“Ke mana”, yakni mempertanyakan arah normatifnya keajegannya atau hukum-
hukumnya, kemudian berakhir pada pertanyaan esensial, yakni “Apa” hakikatnya.
Suatu pendekatan tematis filosofis tentu saja harus sampai ke akar-akarnya
yang sedalam-dalamnya, yang barangkali justru tidak tampak pada permukaan
fenomenalnya (Supadjar, 2002:43—44). Di samping pendekatan tematis-filosofis,
juga ditunjang oleh pendekatan antropologis. Pendekatan ini didasarkan pada
kenyataan: pertama adanya hubungan antara ilmu antropologi dengan bahasa.
Kedua dikaitkan dengan tradisi lisan, baik antropologi maupun sastra sama-sama
mempermasalahkannya sebagai objek yang penting (Ratna, 2004:44). Kedua
23
pendekatan ini sesungguhnya saling terkait dan sifatnya saling mengisi sehingga
mendapatkan suatu kajian yang holistik. Menurut Mulyana (2001:33—35)
pendekatan subjektif dalam penelitian ilmu sosial mengamsumsikan, bahwa
pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan
bersifat interpretatif. Realitas sosial dianggap sebagai interaksi-interaksi sosial
yang bersifat komunikatif, tidak seperti kebanyakan hewan, tumbuhan, dan
mineral manusia punya pikiran, kepercayaan, keinginan, niat, maksud, dan tujuan.
Semua ini memberi makna kepada kehidupan dan tindakan mereka, dan membuat
kehidupan dan tindakan mereka dapat dijelaskan.
3.3 Data dan Sumber Data
3.3.1 Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data
kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat, kata-kata, ungkapan,
dan gambar atau foto (Sugiyono, 2001:3). Dalam Peneliian ini jenis datanya
berupa kalimat, ungkapan, kata-kata dari berbagai sumber data. Sumber data
adalah sumber primer, yaitu data yang diperoleh Teks GK. Kemudian, di samping
sumber primer juga menggunakan sumber sekunder, yaitu data yang diperoleh
secara tidak langsung dari berbagai buku, hasil penelitian, dokumen, dan
sebagainya.
3.3.2 Sumber Data
Menurut Lofland (dalam Moleong, 1993:112), bahwa sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
24
tambahan seperti dokumen dan lain sebagainya. Sumber data dalam penelitian ini
adalah sumber langsung (primer) yang diperoleh teks GK. Sedangkan sumber tak
langsung (sekunder) dapat diperoleh melalui buku-buku, artikel, dokumen tertulis,
dan sebagainya dari perpustakaan atau tempat. Teks sebagai sumber data dapat
diuraikan sebagai berikut.
Geguritan Kasmaran (di singkat GK) seperti diterangkan oleh Sukrawati
(1987) ada tiga naskah yang ditemukan, dalam rangkaian pemilihan naskah
menggunakan ilmu filologi. Filologi yang diterapkan Sukrawati (1987, 19—20),
adalah filologi tradisional dan modern. Filologi tradisional diterapkan dengan
membanding-bandingkan beberapa naskah GK yang didapat. Filologi modern
dipakai untuk memilih dan memilah naskah yang dibandingkan di atas, dengan
lebih menekankan pada naskah yang memiliki syarat kelengkapan dan kejelasan,
yang dipakai objek kajian adalah tiga naskah sebagai berikut.
1. Lontar GK milik Gdong Kirtya, Singaraja
2. GK transkripsi lontar milik Gdong Kirtya
3. GK, teks, terjemahan dan keterangan oleh Ketut Ginarsa
Naskah tersebut di atas adalah naskah yang bersumber dari satu naskah
yaitu berasal dari karya seorang Perbekel Desa Selat, Karangasem bernama Ketut
Rumiasta yang diciptakan sekitar tahun 1940-an dan ditulis dalam sebuah buku.
Kemudian, disalin ke dalam lontar oleh pihak Gdong Kirtya, berjumlah 6 lembar
dengan ukuran lontar 50 x 3,8 cm, disimpan dalam kropak dengan nomor iv d
2196/16. Dengan keterangan Kasmaran druwen Gdong Kirtya, Kasmaran turunan
buku kepunyaan Perbekel Desa Selat, Karangasem (Sukrawati, 1987:31). Dari
25
lontar milik Gdong Kirtya tersebut, ditranskripsikan, diketik atau disalin pada
tanggal 24 Januari 1941 di atas kertas tipis ukuran double folio. Tebal naskah 5
halaman dengan keterangan naskah ini di salin dari lontar no. iv d. 2196, seperti
tersebut di atas (Sukrawati, 1987:31).
Ginarsa (dalam Sukrawati, 1987:35) juga menyatakan, bahwa buku yang
berjudul GK, teks, terjemahan dan keterangan disalin juga dari lontar nomor
2196/IVd milik Gedong Kirtya Singaraja. Keterangan tentang identitas naskah di
atas mengakui, bahwa naskah GK berasal dari Selat Karangasem, karya Ketut
Rumiasta. Namun, setelah Sukrawati membanding-bandingkan ketiga naskah
tersebut terdapat kekurangan dan kelebihan masing- masing naskah. Pada akhirya,
demi mendapat naskah yang memiliki keunggulan baik dari minimnya kesalahan
serta kelengkapan dipergunakan naskah GK terbitan dari Ketut Ginarsa
(Sukrawati, 1987:39—47).
Kajian yang dilakukan Sukrawati terhadap naskah di atas, penulis
mencoba melihat dan mempelajari naskah lampiran dari skripsinya Sukrawati dan
buku GK yang diterbitkan oleh Ginarsa. Dari hasil perbandingan tersebut teks GK
lampiran skripsinya Sukrawati sama dengan teks GK Ginarsa. Hal ini tidak aneh
karena sukrawati memakai teks GK terbitan Ginarsa sebagai objek kajian. Namun,
untuk objek kajian ini, penulis berketetapan untuk memakai terbitan GK dari
Ginarsa dengan tetap memperhatikan kajian aspek blabadan yang dikaji oleh
Sukrawati. Alasan kenapa di pakainya GK terbitan Ginarsa karena di samping ada
teks GK, juga terdapat terjemahan dan keterangan tentang kata yang dijadikan inti
26
(arti-sejati) dalam blabadan, sedangkan teks lampiran dalam penelitian Sukrawati
hanya mencantumkan teks geguritannya saja tanpa terjemahan dan keterangan.
3.3 Penentuan Informan
Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan model snowball.
Teknik ini dimaksudkan, cara menentukan informan dengan mula-mula
jumlahnya kecil (informan kunci), kemudian informan ini diminta untuk memilih
teman lain yang dianggap tahu tentang masalah yang sedang dikaji untuk
dijadikan informan. Begitu seterusnya, sehingga jumlah informan semakin banyak
sampai dianggap sudah mencukupi untuk mendapatkan data yang lengkap, baru
diakhiri (Sugiyono, 1992:56).
3.4 Pengumpulan Data
Data dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni data primer dan
data sekunder. Data primer berupa teks GK. Teks ini masih berbahasa Bali dengan
tulisan latin. Data sekunder adalah berupa insformasi para informan, buku-buku,
majalah dan sebagainya.
Data primernya adalah teks dan data sekundernya adalah berbagai
informasi dari informan, namun secara metodologis ditentukan tata-cara
pengambilan data tersebut. Adapun cara pengambilan data adalah sebagai berikut.
Data ini digunakan untuk mengkroscek data teks dengan sumber-sumber lisan dan
tertulis mengenai nilai-nilai dongeng yang dihayati oleh masyarakat.
Fakta sosial seringkali tersimpan dalam dokumen yang merupakan bahan
utama dalam suatu penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan
27
juga teknik pencatatan dokumen dengan mencatat peristiwa-peristiwa yang berupa
teks, catatan, pendapat-pendapat, temuan-temuan yang dimuat dalam media cetak
yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.
3.4.1 Studi Pustaka
Kepustakaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemilihan
bahan teks atau naskah yang digunakan. Kekhasan metode kepustakaan dalam
penelitian ilmu sastra disebabkan oleh hakikat karya, yaitu sebagai dunia yang
otonom, dan sebagai aktivitas imajinasi. Hakikat karya sastra sebagai dunia
otonom menyebabkan karya sastra berhak untuk dianalisis terlepas dari latar
belakang sosial yang menghasilkannya. Imajinasi karya sastra juga berhak untuk
dianalisis secara ilmiah sama dengan unsur-unsur lain dalam masyarakat yang
sesungguhnya (Ratna, 2004:39).
3.4.2 Wawancara
Wawancara adalah kegiatan dalam penelitian yang bertujuan untuk
mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat
dan pandangan-pandangannya. Wawancara dapat dibagi menjadi dua golongan
yaitu wawancara berencana (standardized interview) dan wawancara tanpa
berencana (unstandardized interview). Pengolongan ini merupakan penggolongan
secara umum (Koentjaraningrat, 1977:126). Wawancara dilakukan secara
mendalam dengan para informan yang berkaitan dengan topik kajian. Jenning
(2001:162) menjelaskan wawancara mendalam (in-depth intervieuw) merupakan
suatu proses tanya jawab antara peneliti dengan subjek tersebut. Dengan
28
demikian, dalam penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah wawancara
mendalam, sehingga percakapan yang dilakukan dapat disesuaikan dengan
informan.
3.5 Analisis Data
Data yang dikumpulkan dari hasil penelitian lapangan berwujud kata-kata
dan bukan rangkaian angka, sehingga bentuk analisisnya menggunakan
pendekatan deskripsi kualitatif yang disusun ke dalam teks yang diperluas dan
mendalam. Semua kegiatan analisis ini merupakan analisis pemaknaan yang
mempertimbangkan makna di balik fakta sosial yang ditemukan di lapangan dan
juga kepustakaan. Dengan demikian, langkah-langkah yang digunakan dalam
analisis ini (Muhadjir, 2002:45; Milles & Haberman, 1992:16-19) adalah sebagai
berikut.
(1) Reduksi Data adalah sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar, yang diperoleh
dari berbagai catatan-catatan tertulis di lapangan. Jadi, reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang mempertajam, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan
cara sedemikian rupa, sehingga diharapkan sampai pada kesimpulan yang
valid.
(2) Penyajian Data merupakan bagian dari analisis untuk merangkai atau
menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bentuk naratif yang dilengkapi dengan jaringan kerja
29
yang berkaitan. Setelah itu dilakukan tahap analisis interpretatif terhadap
semua informasi atau data yang telah diperoleh. Interpretasi ini adalah
kegiatan yang mencoba mencari makna di balik fakta, sehingga gejala yang
diamati dapat memiliki, nilai dalam kehidupan masyarakat luas. Dengan
demikian diharapkan dapat menyususn informasi secara runut dan mudah
dimengerti dan bercirikan ilmiah.
(3) Menarik Kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data sudah mulai
mencari arti kata-kata, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab
akibat dan proporsi-proporsi. Setelah mencermati hasil analisis, akhirnya
kegiatan penelitian ini ditutup dengan menarik kesimpulan akhir yang
bersifat utuh.
3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis
Penyajian hasil analisis merupakan tahap akhir kegiatan penelitian yang
dilakukan secara informal, berupa uraian kata-kata, kalimat, atau narasi. Namun,
jika dibutuhkan penggunaan data kuantitatif yang disertai oleh teknik formal
berupa bagan, grafik atau tabel sebagai pelengkap narasi.