Upload
nadia-simatupang
View
12
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya tujuan pembangunan daerah tidak hanya untuk
mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga harus mampu
mewujudkan distribusi pendapatan yang merata diantara golongan masyarakat.
Pembangunan sering diartikan dengan peningkatan pendapatan dan pengurangan
kemiskinan, namun bukan peningkatan pendapatan per orang melainkan
penekanan lebih besar terhadap pelayanan sosial khusunya kesehatan dan
pendidikan (Sudhir Anand and Martin Ravallion, 1993). Distribusi pendapatan
yang merata berimplikasi pada terwujudnya stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis di masyarakat. Masalah klasik yang besar dan mendasar bagi sebagian
daerah di Indonesia yaitu masih belum bisa dituntaskan sampai saat ini masalah
pengangguran dan kemiskinan. Perkembangan kondisi kemiskinan suatu daerah,
secara ekonomi merupakan salah satu indikator untuk mengetahui perkembangan
tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan menurunnya tingkat kemiskinan suatu
daerah berimplikasi pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat di suatu daerah.
Dalam mewujudkan tujuan Negara yaitu mewujudkan masyarakat adil
dan makmur maka pemerintah sebagai salah satu penyelenggara negara dan
pengemban amanat rakyat dalam mewujudkan tujuan negara, telah melakukan
program pembangunan nasional yang bertujuan untuk menciptakan perluasan
kesempatan bagi terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin seperti hak atas
pekerjaan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, kesehatan dan sebagainya
2
dengan sasaran utama yang selalu mendapat perhatian yaitu kemiskinan dan
pengangguran, juga target tujuan pembangunan millenium (MDGs) adalah
menghapuskan kelaparan dan kemiskinan (Barnes Anger, 2010). Dampak dari
pelaksanaan strategi pembangunan (pengentasan kemiskinan) yang berorientasi
ekonomi menyebabkan masyarakat sebagai kelompok sasaran hanya sebagai
obyek pembangunan, akibatnya dalam pemanfaatan bantuan tidak optimal
sehingga banyak program bantuan (pengentasan kemiskinan) kurang memberikan
hasil yang optimal karena kebijakan yang bersifat top down (Machmoed Zain,
2010) seperti berbagai program pengentasan kemiskinan yang berupaya untuk
meringankan beban hidup masyarakat telah dilaksanakan seperti bantuan langsung
tunai ( BLT), skema kredit usaha tani (KUT), serta beras miskin (raskin ).
Walaupun berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah namun
kegagalan tetap saja terjadi, hal ini salah satunya diakibatkan tidak tepatnya
uluran bantuan yang diberikan serta peluang ekonomi dan bisnis lebih cepat
dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi kuat yang memiliki produktivitas tinggi dapat
menikmati hasil yang lebih besar dibandingkan pelaku ekonomi lemah baik itu
melalui usaha perseorangan maupun kelompok atau patungan. Bahwa struktur
pemerintahan yang fokus pada peran institusi lokal dapat meningkatkan efisiensi
dan kesetaraan dalam pengentasan kemiskinan (JSTOR, 1996). Dalam
memecahkan masalah kemiskinan maka data dan informasi tentang kemiskinan
yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan
pelaksanaan dan pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan baik di tingkat nasional, provinsi maupun
3
kabupaten/kota dimana upaya penanggulangan kemiskinan tersebut ditujukan
untuk memperluas kesempatan berusaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat
yang kurang berdaya serta pentingnya basis data dalam setiap pembahasan tentang
kemiskinan yang dimulai dari identifikasi masyarakat miskin berdasarkan ukuran
standar hidup dan norma minimum (M.H. Suryanarayana, 1996). Masalah
kemiskinan bukan hanya berkisar pada masalah definisi dan karakteristik
masyarakat serta masalah yang berkaitan dengan konsumsi atau material, tetapi
juga mengacu kepada ketidakberdayaan dalam berbagai aspek kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat (Izza Mafruhah, 2000). Ketidakberdayaan
masyarakat tersebutlah yang dianggap sebagai penyebab gagalnya program
pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan sehingga ketimpangan pembagian
pendapatan yang terjadi tercermin dari masih adanya masyarakat miskin yang
perlu mendapat penanganan yang serius dari pemerintah.
Pemerintah mencanangkan program nasional, PNPM-Mandiri pada
tahun 2008 yang merupakan penggabungan Program Pengembangan Kecamatan
(PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dimana
dalam PNPM terdapat dua program inti yaitu PNPM-Mandiri Perdesaan yaitu
khusus bergerak di wilayah perdesaan serta PNPM-Mandiri Perkotaan yaitu
Program pemberdayaan khususnya bagi wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah
perkotaan. PNPM-Mandiri Perkotaan merupakan program pemberdayaan
masyarakat (community empowerment) yaitu pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat memberdayakan masyarakat miskin dalam arti memandirikan dan
meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dalam memperoleh hak- hak
4
ekonomi, sosial dan politik serta mengontrol keputusan keputusan yang
menyangkut kepentingannya baik dalam hal menyalurkan aspirasi,
mengidentifikasi masalah maupun kebutuhan- kebutuhannya sendiri. Melalui
PNPM-Mandiri Perkotaan diharapkan adanya perubahan perilaku/sikap dan cara
pandang masyarakat miskin serta mampu untuk berpartisipasi dalam semua aspek
kehidupan bermasyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan proses pelibatan diri
secara penuh pada suatu tekad yang telah menjadi kesepakatan bersama dimana
tiap pihak yang berkepentingan/ terlibat (pemerintah, pemodal dan masyarakat)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses perencanaan dan
pembangunan (Hery Budiyanto, 2011). PNPM-Mandiri Perkotaan memiliki target
untuk menanggulangi jumlah penduduk miskin pada wilayah yang menjadi target
sasaran. Dalam PNPM-Mandiri Perkotaan ada tiga kelompok program yang
dikembangkan yaitu meliputi : (i) kegiatan lingkungan, (ii) kegiatan sosial dan
(iii) kegiatan ekonomi. Kegiatan lingkungan diarahkan untuk pembangunan
infrastruktur lingkungan sepeti drainase, sanitasi, jalan lingkungan, persampahan
dan lain-lain yang bermuara pada membaiknya derajat kesehatan lingkungan
masyarakat. Kegiatan sosial diarahkan pada pengembangan aktivitas sosial seperti
pelatihan ketrampilan bagi masyarakat miskin, perawatan kesehatan lansia dan
lain-lain. Sedangkan kegiatan ekonomi dilakukan melalui sistem dana bergulir
dan kegiatan simpan pinjam bagi masyarakat miskin.
Kabupaten Badung sebagai penghasil PAD terbesar di Provinsi Bali dan
merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai banyak penduduk pendatang
yang datang dengan harapan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
5
Terlebih para migran ini apabila tidak didukung dengan keahlian dan ketrampilan
memadai menyebabkan muncul pengangguran dan penduduk miskin. Pemerintah
perlu belajar untuk merencanakan dan berupaya untuk mengontrol gerakan
penduduk dalam negara dimana pada sebagian besar wilayah migrasi muncul
kemiskinan (Ronald Skeldon, 2002). Dari data indikator perkembangan jumlah
angkatan kerja, bekerja dan menganggur yang ada di Kabupaten Badung periode
2005-2009 disajikan dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Indikator Perkembangan Angkatan kerja, Bekerja dan Menganggur
di Kabupaten Badung
No. Indikator
Tahun
2005
(orang)
2006
(orang)
2007
(orang)
2008
(orang)
2009
(orang)
1 Angkatan Kerja 228.940 232.437 233.807 234.599 238.087
2 Bekerja 216.360 226.946 224.841 227.091 231.073
3 Menganggur
( persen)
12.580
(5.49 )
5.491
(2.36)
8.966
(3.83)
7.508
(3.83)
7.014
(2.95)
Sumber : Profil Badung Tahun 2005-2009 (data diolah)
Dari Tabel 1.1 menunjukkan bahwa angkatan kerja pada tahun 2005
berjumlah 228.940 orang, yang bekerja berjumlah 216.360 orang dan yang
menganggur pada tahun yang sama berjumlah 12.580 orang dan tahun 2006
angkatan kerja menjadi 232.807 orang, yang bekerja sebanyak 226.946 orang dan
yang menganggur sebanyak 5.491 orang dan angkatan kerja pada tahun 2009
berjumlah 238.087 orang dan yang bekerja berjumlah 231.073 orang dan yang
menganggur berjumlah 7.014 orang. Dari data tersebut selama lima tahun dari
6
tahun 2005 s/d 2009 angkatan kerja di Kabupaten Badung terus mengalami
peningkatan demikian juga yang bekerja kecendrungan juga meningkat, namun
tingkat pengangguran kecendrungan menurun.
Dilain pihak kondisi di Kabupaten Badung disamping tingkat
pengangguran menurun, rumah tangga miskin juga mengalami penurunan yang
datanya dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Jumlah dan Proporsi Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Badung
( 2006-2009 )
Tahun Rumah Tangga
(RT)
Rumah Tangga Miskin
(RTM)
Prosentase
2006 89.138 5.201 5,83
2007 90.910 4.022 4,42
2008 93.877 3.826 4,08
2009 95.553 3.266 3,42 Sumber : BPS Kabupaten Badung, 2005-2010 (data diolah) Ket : KK :Kepala Keluarga
Dari Tabel 1.2 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga di Kabupaten
Badung menunjukkan kecendrungan yang semakin meningkat , sedangkan jumlah
rumah tangga miskin menunjukkan jumlah yang semakin menurun dengan
proporsi jumlah RTM terhadap RT pada tahun 2009 sebesar 3,42 persen.
Berdasarkan hasil pendataan tahun 2008 jumlah rumah tangga miskin (RTM) di
masing- masing kecamatan di Kabupaten Badung terdapat jumlah rumah tangga
miskin (RTM), seperti tampak pada Tabel 1.3.
7
Tabel 1.3
Jumlah dan Proporsi RTM Per Kecamatan di Kabupaten Badung
Tahun 2008
Kecamatan Rumah Tangga
(RT)
Rumah Tangga Miskin
(RTM)
Prosentase
Kuta Selatan 16.704 437 2,62
Kuta 9.025 115 1,27
Kuta Utara 14..420 272 1,89
Mengwi 24.853 1.043 4,20
Abiansemal 21.855 1.568 7,17
Petang 7.020 391 5,57
JUMLAH 93.877 3.826 4,07
Sumber : BPS Kabupaten Badung,2009 (data diolah)
Dari tabel 1.3 tampak bahwa proporsi jumlah RTM di Kecamatan Abiansemal
yang paling tinggi sebesar 7,17 persen dan Kecamatan Kuta memiliki proporsi
RTM terendah dibandingkan kecamatan lainnya yaitu sebesar 1,27 persen.
Dalam upaya mempercepat pengentasan angka kemiskinan tersebut,
Kabupaten Badung menerapkan program penanggulangan kemiskinan PNPM-
Mandiri Perkotaan. Adapun sektor ekonomi yang memberikan kontribusi dominan
bagi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di Kabupaten Badung
adalah sektor pariwisata terutama di wilayah Badung Selatan, dimana Kecamatan
Kuta termasuk diwilayah tersebut. Wilayah Kecamatan Kuta dikenal sebagai
daerah pariwisata, dimana dampak pariwisata menunjukkan kondisi wilayah Kuta
lebih makmur jika dibandingkan wilayah lainnya di Kabupaten Badung, karena
berbagai fasilitas sosial dan ekonomi tersedia di Kecamatan Kuta seperti
perhotelan dan restoran, jasa transportasi, sarana hiburan dan lain- lain. Namun
8
dari data kemiskinan pada Tabel 1.3 masih terdapat rumah tangga miskin di
Kecamatan Kuta. Dalam upayanya mempercepat pengentasan kemiskinan
tersebut, Kabupaten Badung menerapkan program penanggulangan kemiskinan
PNPM-Mandiri Perkotaan dimana salah satu kecamatan penerima Program
PNPM-Mandiri Perkotaan adalah Kecamatan Kuta. Dari Tabel 1.4 dapat
dijelaskan bahwa di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terdapat 115 rumah
tangga miskin dengan proporsi jumlah RTM di Desa/Kelurahan Kuta sebesar 1,90
persen dan Kedonganan sebesar 2,60 persen.
Tabel 1.4.
Jumlah dan Proporsi RTM di Kecamatan Kuta
Tahun 2008 Desa/ Kelurahan Rumah Tangga
(RT)
Rumah Tangga Miskin
(RTM)
Prosentase
Legian 965 2 0,21
Kuta 2.746 52 1,90
Tuban 3.269 27 0,80
Seminyak 815 2 0,25
Kedonganan 1.230 32 2,60
JUMLAH 9.025 115 1,27
Sumber : BPS Kabupaten Badung, 2009 (data diolah)
Pelaksanaan PNPM-Mandiri Perkotaan di wilayah Kuta dalam
pengentasan kemiskinan nampaknya perlu diteliti secara mendalam mengingat
Kecamatan Kuta merupakan pusat pengembangan pariwisata di Badung Selatan
yang dikunjungi oleh para wisatawan baik wisatawan domestik maupun
mancanegara namun di Kabupaten Badung masih terdapat masyarakat miskin,
serta bagaimana masyarakat miskin di Kecamatan Kuta memandang kemiskinan
9
itu sendiri. Hal ini dimungkinkan akibat ketidakberdayaan masyarakat miskin
dalam menyerap program- program pemerintah, kebijakan pemerintah yang tidak
berpihak kepada masyarakat miskin, serta akibat sikap, perilaku dan partisipasi
masyarakat miskin itu sendiri yang kurang memiliki peran dalam pembangunan
daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan
pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) dalam menanggulangi
kemiskinan di Kecamatan Kuta ?
2. Bagaimana dampak Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perkotaan (PNPM-MP) terhadap penghasilan rumah tangga miskin dan
penciptaan peluang kerja bagi masyarakat miskin di Kecamatan Kuta ?
3. Bagaimana persepsi masyarakat miskin di Kecamatan Kuta terhadap
kemiskinan ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan atas rumusan permasalahan sebagaimana yang
dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) di Kecamatan Kuta.
10
2. Untuk mengetahui apakah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) berdampak positif terhadap penghasilan
rumah tangga miskin dan penciptaan kesempatan kerja masyarakat miskin di
Kecamatan Kuta.
3. Untuk mengetahui persepsi masyarakat miskin di Kecamatan Kuta terhadap
kemiskinan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis ,
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah hasil penelitian tentang
penanggulangan kemiskinan.
2. Manfaat praktis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi bagi aparatur pemerintah Kabupaten Badung dalam merumuskan
kebijakan- kebijakan strategis yang berkaitan dengan program
penanggulangan kemiskinan maupun pemberdayaan masyarakat .
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan mempunyai banyak dimensi dan perumusan definisi
kemiskinan merupakan sesuatu yang problematik pada tataran konsep maupun
praktis tentang siapa yang dapat dianggap sebagai penduduk miskin, serta banyak
hal tentang kehidupan masyarakat miskin bahwa mereka memiliki akses pasar dan
kwalitas infrastruktur yang terbatas (Abhijit Banerjee, 2002)
Menurut Bappenas (2005), kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang
atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-
hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Hak- hak dasar tersebut antara lain :
1. Terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup
2. Rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan
3. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik
Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi
juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi
seseorang atau sekelompok orang dalam menjalankan hidup bermartabat. Hak-
hak dasar tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain
12
sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak
lainnya.
Kemiskinan menurut Suparlan (1995), didefinisikan sebagai suatu standar
tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada
sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang
umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang
rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan,
kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang
miskin.
Kemiskinan juga didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi
standar kebutuhan minimum, yang dikenal sebagai garis batas kemiskinan atau
garis kemiskinan yang terdiri dari dua komponen yaitu : garis kemiskinan
makanan dan non makanan. Menurut Badan Pusat Statistik, nilai standar
kebutuhan minimum makanan mengacu pada harga dan tingkat konsumsi dari 52
jenis bahan makanan dengan batas kecukupan makanan yang mampu
menghasilkan energi 2.100 kalori/kapita /hari, sedangkan non makanan terdiri dari
27 paket komoditi untuk perkotaan dan 25 komoditi untuk perdesaan yang dalam
hal ini mewakili pola konsumsi penduduk kelas bawah, dengan batas kecukupan
non makanan ditetapkan sebesar nilai rupiah yang dikeluarkan oleh penduduk
kelas bawah untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum non makanan seperti
perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan aneka barang jasa lainnya (Badan
Pusat Stastistik, 1999).
13
Penduduk miskin atau penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan
adalah individu dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan. Kriteria
penduduk miskin menurut BPS (2005) sebagai berikut :
1) Luas lantai perkapita : 8 m,
2) Jenis lantai tempat tinggal dari tanah/bambu/kayu murahan,
3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/bersama-sama dengan rumah
tangga lain,
4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga
lain,
5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6) Sumber air minum/ketersediaan air bersih : air hujan/ sumur / mata air tidak
terlindung,
7) Bahan bakar memasak sehari- hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah,
8) Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu,
9) Hanya membeli satu stel pakaian dalam setahun,
10) Hanya sangggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari,
11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik,
12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani : dengan luas lahan
500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp.600.000 per bulan,
13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya SD,
14
14) Tidak memiliki tabungan /barang yang mudah dijual dengan nilai minimal
Rp.500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal
motor atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka
dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.
Menurut Mubyarto (1998), kemiskinan adalah situasi serba kekurangan
disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan
ketrampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai
tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta
dalam pembangunan. Jadi kemiskinan yaitu suatu kondisi ketidakmampuan dan
ketidakberdayaan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak.
Selanjutnya Sharp, et.al (1996) dalam Kuncoro (2004) mengidentifikasi
penyebab kemiskinan yaitu : Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena
adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan
distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki
sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan
muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas
sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah yang pada
gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena
rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau
karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam
modal.
Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan
kemiskinan yang dikemukan oleh Ragnar Nurkse, ekonom pembangunan ternama
15
tahun 1953 bahwa a poor country is poor because it is poor, dalam Todaro
(2004) . Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal
menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan
rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan berimplikasi
pada rendahnya tabungan dan investasi, dan berimplikasi pada keterbelakangan
demikian seterusnya. Adanya lingkaran kemiskinan di suatu daerah di Indonesia
merupakan fenomena penyebab sekaligus akibat sehingga apabila pemerintah
mampu melakukan kebijakan anti kemiskinan yang mencakup sumber daya
manusia, prasarana dasar, struktur perekonomian dan penerimaan di daerah,
memungkinkan adanya peluang daerah untuk keluar dari lingkaran setan
kemiskinan Ragnar Nurkse (Jaka Sumanta, 2005).
Amartya Sen, dalam Todaro (2004) memaparkan bahwa tingkat
kemiskinan tidak dapat diukur dari tingkat pendapatan atau bahkan dari utilitas
seperti pemahaman konvensional; yang paling penting bukanlah apa yang dimiliki
seseorang ataupun kepuasan yang ditimbulkan oleh barang- barang tersebut,
melainkan apakah yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan barang tersebut.
Jadi pada intinya untuk dapat memahami konsep kesejahteraan secara umum dan
kemiskinan secara khusus, kita harus berfikir lebih dari sekedar ketersediaan
komoditi- komoditi dan kegunaannya.
Kemiskinan juga diklasifikasikan menjadi lima kelas menurut
Sumodingrat (1999), yaitu :
1) Kemiskinan Absolut, selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum
yang memungkinkan seseorang hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat
16
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Kemiskinan absolut merupakan
kemiskinan yang tidak mengacu atau tidak didasarkan pada garis kemiskinan.
2) Kemiskinan Relatif, apabila pendapatan sekelompok orang dalam masyarakat
lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa memperhatikan apakah
mereka termasuk dalam kategori miskin absolut atau tidak. Penekanannya
adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya
dan yang miskin atau dikenal dengan istilah adanya ketimpangan distribusi
pendapatan.
3) Kemiskinan Struktural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang
disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki
tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.
4) Kemiskinan Kronis, dibedakan tiga berdasarkan penyebabnya yaitu :
a. Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup
masyarakat yang tidak produktif.
b. Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian ( daerah- daerah yang kritis
akan sumberdaya alam dan daerah terpencil )
c. Rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya
lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti
ekonomi pasar.
5) Kemiskinan Sementara, terjadi akibat adanya : perubahan siklus ekonomi dari
kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman,
dan bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat.
17
Menurut Bagong Suyanto (2008), masyarakat miskin tidak memiliki
surplus pendapatan untuk bisa ditabung bagi pembentukan modal dan pendapatan
yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pokok sehari-
hari. Disamping itu faktor lain yang menyebabkan berbagai program pengentasan
kemiskinan menjadi kurang efektif tampaknya adalah berkaitan dengan kurangnya
dibangun ruang gerak yang memadai bagi masyarakat miskin itu sendiri untuk
memberdayakan dirinya.
Dari beberapa pengertian kemiskinan diatas, disimpulkan bahwa
kemiskinan adalah suatu kondisi kekurangan/ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan yang mendasar dan tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan material
semata.
2.1.2 Ukuran Kemiskinan
Berbagai pendekatan / konsep digunakan sebagai bahan perhitungan dan
penentuan batas- batas kemiskinan adalah sebagai berikut :
1. United Nation Development Program (UNDP,2000) meninjau kemiskinan
dari dua sisi yaitu dari sisi pendapatan dan kualitas manusia. Dilihat dari sisi
pendapatan, kemiskinan ekstrim (extreme poverty) atau kemiskinan absolut
adalah kekurangan pendapatan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dasar
atau kebutuhan minimal kalori yang diperlukan. Dari sisi kualitas manusia,
kemiskinan secara umum (overall poverty), atau sering disebut sebagai
kemiskinan relatif adalah kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
non pangan seperti pakaian, energi, dan tempat bernaung.
18
2. Bank Dunia menetapkan batas kemiskinan pada tahun 1992 melalui ukuran
dollar yaitu sebesar $ 98 atau senilai Rp. 203.000,- dan tahun 2000 diubah
menjadi $ 470. Karenanya bila seorang individu hanya mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya kurang dari satu dollar per hari dapat dikatakan sebagai
dibawah garis kemiskinan dan dengan menggunakan dollar sebagai mata uang
kunci akan dapat diketahui jumlah masyarakat miskin atau keadaan ekonomi
suatu negara..
Selanjutnya Sajogyo dalam Subagio (2000) menggunakan ukuran
pengeluaran ekuivalen beras untuk mengetahui tingkat kemiskinan yaitu 360 kg
beras untuk daerah perkotaan dan 240 kg beras untuk desa. Sajogyo merinci
kemiskinan dalam beberapa kategori seperti Tabel 2.1
Tabel 2.1
Kategori kemiskinan dipedesaan dan perkotaan
( dalam kg beras perkapita, pertahun )
Katagori Pedesaan Perkotaan
Melarat 180 270
Sangat miskin 240 360
Miskin 320 480 Sumber : Subagio ( 2000 )
2.1.3 Program Penanggulangan Kemiskinan
2.1.3.1 Latar Belakang Program
PNPM- Mandiri Perkotaan dilaksanakan sebagai upaya pemerintah untuk
membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam
menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Penanganan kemiskinan
membutuhkan keterlibatan semua pihak dan terkoordinasi baik pihak pemerintah,
swasta dan masyarakat.
19
Berdasarkan buku pedoman PNPM- Mandiri Perkotaan tahun 2008,
dijelaskan bahwa program PNPM- Mandiri Perkotaan merupakan kelanjutan
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), dengan prinsip-prinsip
pelaksanaan yaitu : bertumpu pada pembangunan manusia, berorientasi pada
masyarakat miskin, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, otonomi dalam
mengelola kegiatan pembangunan secara swakelola, desentralisasi, mempunyai
kesetaraan dan keadilan gender dalam menikmati manfaat kegiatan pembangunan,
pengambilan keputusan secara demokratis, transparansi dan akuntabel dalam
pengelolaan kegiatan, prioritas kebutuhan untuk pengentasan kemiskinan,
kolaborasi antara semua pihak yang berkepentingan dalam penanggulangan
kemiskinan, keberlanjutan dan sederhana dalam pelaksanaan program, maka dari
itu arah program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) mandiri (P2KP)
adalah untuk mendukung upaya peningkatan indek pembangunan manusia (IPM).
2.1.3.2 Tujuan Pelaksanaan PNPM-Mandiri Perkotaan
Tujuan umum pelaksanaan PNPM adalah "Meningkatnya kesejahteraan
dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri". Dengan demikian
secara khusus tujuan PNPM Mandiri Perkotaan dirumuskan sebagai berikut :
"Masyarakat di Kelurahan peserta program menikmati perbaikan sosial-ekonomi
dan tata kepemerintahan lokal".
2.1.3.3 Sasaran Program PNPM Mandiri Perkotaan
Sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan
secara nasional adalah :
20
a. Terbangunnya Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) yang dipercaya,
aspiratif, representatif dan akuntabel untuk mendorong tumbuh dan
berkembangnya partisipasi serta kemandirian masyarakat.
b. Tersedianya Perencanaan Jangka Menengah (PJM) Pronangkis sebagai wadah
untuk mewujudkan sinergi berbagai program penanggulangan kemiskinan
yang komprehensif dan sesuai dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat
dalam rangka pengembangan lingkungan permukiman yang sehat, serasi,
berjati diri dan berkelanjutan.
c. Terbangunnya forum LKM tingkat kecamatan dan kota/kabupaten untuk
mengawal terwujudnya harmonisasi berbagai program daerah.
d. Terwujudnya kontribusi pendanaan dari Pemerintah Kota/Kabupaten dalam
PNPM Mandiri Perkotaan sesuai dengan kapasitas fiskal daerah.
2.1.4. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat miskin sebagai persyaratan penting bagi solusi
berkelanjutan terhadap kemiskinan dan kelaparan. Pemberdayaan didefinisikan
sebagai kemampuan seseorang khususnya untuk memiliki akses terhadap sumber
daya produktif yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan pendapatan,
mendapatkan barang serta layanan yang dibutuhkan dan partisipasi dalam proses
pengembangan dan keputusan yang mempengaruhi masyarakat miskin (IFAD,
2002-2004).
Menurut Sumaryadi (2005) secara konseptual, ada 3 (tiga) prinsip dasar
dari konsep pemberdayaan masyarakat antara lain : 1) Pemberdayaan sangat
21
menekankan pentingnya partisipasi masyarakat, baik pada tahap perencanaan
program, pelaksanaan maupun pada tahap pengembangannya. 2) Pemberdayaan
selalu tidak memisahkan antara fisik proyek dengan pelatihan ketrampilan dan 3)
Sumber dana bagi kegiatan pemberdayaan masyarakat umumnya berasal dari
anggaran pemerintah, partisipasi pihak swasta dan dari partisipasi masyarakat
sendiri.
Modal sosial sebagai sebuah konsep yang didefinisikan sebagai suatu
proses pembelajaran sosial yang berfungsi untuk memberdayakan orang dan
melibatkan mereka sebagai warga negara dalam kegiatan kolektif yang bertujuan
untuk pembangunan sosial ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pembangunan
berkelanjutan (Ali Asadi,dkk, 2008). Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah
membantu pengembangan manusiawi dari masyarakat lemah, rentan, miskin,
marjinal dan kaum kecil seperti petani kecil, buruh tani, masyarakat miskin
perkotaan, masyarakat adat yang terbelakang, kaum muda pencari kerja, kaum
cacat dan kelompok wanita yang dikesampingkan. Memberdayakan kelompok-
kelompok masyarakat tersebut secara sosio ekonomi sehingga mereka sanggup
berperan serta dalam pengembangan masyarakat, karena salah satu akibat
pemberdayaan adalah meningkatnya kinerja masyarakat sehingga mereka mampu
mengambil tanggung jawab terhadap pekerjaannya.
Dalle Daniel Sulekale (2003), bahwa percepatan penanggulangan
kemiskinan dapat dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaan
masyarakat dari yang bersifat top- down menjadi partisipatif, dengan bertumpu
22
pada kekuatan dan sumber- sumber daya lokal. Penanggulangan kemiskinan yang
tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil.
Menurut Bagong Suyanto (2008) bahwa lambatnya perkembangan
ekonomi rakyat disebabkan sempitnya peluang untuk berpartisipasi dalam
pembangunan yang mana hal itu merupakan konsekuensi dari kurangnya
penguasaan dan pemilikan asset produksi terutama tanah dan modal, disamping
itu faktor lain yang menyebabkan berbagai program pengentasan kemiskinan
menjadi kurang efektif berkaitan dengan kurangnya dibangun ruang gerak yang
memadai bagi masyarakat miskin itu sendiri untuk memberdayakan dirinya.
Menurut Rakhmat Jalaludin (1999), upaya pemberdayaan masyarakat
dapat dilihat dari tiga sisi antara lain :
1) Menciptakan suasana/ iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling) dengan kata lain, adanya pemihakan kepada
masyarakat untuk maju dan berkembang karena pada dasarnya setiap manusia/
masyarakat mempunyai potensi yang dapat dikembangkan sehingga
pengertian pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun daya tersebut
dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi
yang dimiliki oleh masyarakat serta mengembangkan potensi tersebut.
2) Memperkuat potensi/ daya yang dimiliki masyarakat (empowering) dengan
kata kuncinya adalah penyiapan meliputi langkah-langkah nyata yang
menyangkut penyediaan berbagai masukan ( input) serta pembukaan akses
kedalam berbagai peluang (opportunity) yang akan membantu masyarakat
lebih berdaya guna.
23
3) Memberdayakan masyarakat mengandung makna melindungi. Dalam proses
pemberdayaan masyarakat harus dicegah yang lemah menjadi bertambah
lemah karena ketidakberdayaan dalam menghadapi yang kuat.
Margono (2000), mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah
mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa hingga masyarakat memiliki
daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya tanpa adanya kesan
bahwa perkembangan itu adalah hasil kekuatan eksternal. Masyarakat harus
dijadikan subyek bukan obyek.
Tingkat efektivitas dapat dievaluasi terkait dengan efektivitas pelaksanaan
PNPM-Mandiri Perkotaan meliputi variabel input, proses dan juga output.
Variabel input meliputi : ketepatan sasaran, tujuan dan tingkat sosialisasi; variabel
proses meliputi : kelembagaan, ketepatan penggunaan dana dan tujuan program,
prosedur, dan pengawasan sedangkan variabel output meliputi : kegiatan PNPM-
Mandiri Perkotaan, transparan dan diumumkan; gotong royong dan tambahan
pendapatan; monitoring dan evaluasi proyek.
Menurut Subagyo (2000) efektivitas adalah kesesuaian antara output
dengan tujuan yang ditetapkan. Tingkat efektivitas program dalam hal ini
menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan program
yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Jarak (range)
realisasi program sebagai berikut :
1) 1% sampai dengan 50% : tidak efektif
2) 51% sampai dengan 100% : efektif
24
Tingkat kualifikasi efektivitas menurut Keputusan Menpan No Kep./25/M/M
Pan/2/2004, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2
Tingkat Kualifikasi Efektifitas
No Nilai Interval (%) Tingkat Efektifitas
1 di bawah 40 Sangat tidak efektif
2 40 - 59,99 Tidak efektif
3 60 - 79,99 Cukup efektif
4 diatas 79,99 Sangat efektif
Sumber : SK.Menpan No.25/M/MPan/2/2004
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon kebijakan untuk
kemiskinan di negara kaya dan negara miskin (Peter Mc.Cawley, 2001) yaitu :
1. Negara kaya : kemiskinan relatif kecil dari jumlah penduduk, target
intervensi anti kemiskinan terjangkau baik dari segi biaya anggaran nasional
dan non anggaran, transfer perkapita untuk kelompok sasaran lebih besar, dan
program anti kemiskinan umumnya cukup efektif dan dilaksankan dengan cara
yang relatif efisien.
2. Di negara berkembang : kemiskinan pada beberapa kasus menunjukkan
proporsi lebih dari 50 persen jumlah penduduk, pembebanan biaya baik dari
segi anggaran nasional maupun non anggaran, transfer perkapita kepada
kelompok sasaran umumnya kecil serta program yang dimplementasikan
buruk dan membuat tujuan yang cendrung mengarah pada korupsi.
2.2 Penelitian Sebelumnya
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang Persepsi Masyarakat
Miskin Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
25
Masyarakat Mandiri Perkotaan dan Kemiskinan dalam Menanggulangi
Kemiskinan, Studi Kasus di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung ini belum pernah
ada yang melakukannya, sehingga hasil penelitian ini merupakan penelitian baru,
namun tidak menutup kemungkinan bahwa hasil penelitian serupa yang berkaitan
dengan penelitian di bidang kemiskinan telah banyak yang melakukannya dalam
program dan lokasi yang berbeda, seperti :
(i) hasil penelitian Subagyo (2000) dengan topik Efektivitas Penanggulangan
kemiskinan dalam Pemberdayaan Masyarakat, studi kasus di Kabupaten
Jawa Timur dengan obyek penelitiannya adalah masyarakat penerima
bantuan program IDT dan Program PKS ( program keluarga sejahtera )
dalam bentuk pembinaan kredit keluarga sejahtera. Hasil penelitiannya dapat
disimpulkan dengan teknik analisa yang digunakan adalah efektivitas
program dan uji statistik dengan menggunakan uji t, bahwa bantuan dana
yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk program IDT dan PKS
memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan dan
kesempatan kerja masyarakat. Selain itu bantuan- bantuan tersebut
berdampak positif terhadap peningkatan kepedulian penduduk kaya dengan
penduduk miskin terhadap ketimpangan ekonomi dan terhadap penurunan
jumlah penduduk miskin di desa IDT sebesar 5 persen dan di desa non IDT
sebesar 20 persen.
(ii) penelitian dari I Gusti Bagus Indrajaya (UNUD, 2003) yang meneliti
tentang Analisis Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan
Masyarakat di Provinsi Bali.
26
(iii) penelitian Wayan Artana Dana (UNUD, 2008) : Studi Komparatif
Karakteristik RTM dan Penyebab Kemiskinan di Kecamatan Kuta Selatan
dengan Kecamatan Petang Kabupaten Badung.
(iv) penelitian Bagus Krisno Dwipoyono I Gusti Bagus (UNUD, 2009) :
Efektivitas Penyaluran dan Dampak Bantuan Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) Terhadap Pendapatan dan Kesempatan Kerja Rumah
Tangga Miskin di Kota Denpasar.
(v) penelitian dari Anak Agung Mas Bagiawati (UNUD, 2011) : Persepsi
Masyarakat Miskin Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan ( PNPM-MP ) dalam
Menanggulangi Kemiskinan : Studi Kasus di Kelurahan Ubud Kabupaten
Gianyar, dengan hasil penelitian : bahwa Pelaksanaan Program PNPM-MP
sangat efektif dalam menanggulangi kemiskinan di Kelurahan Ubud
Kabupaten Gianyar dan berdasarkan persepsi responden bahwa faktor yang
mempengaruhi kemiskinan di Ubud antara lain : perempuan yang kurang
memperoleh hak, kemiskinan akibat kerentanan umur, pendidikan yang
kurang dan kemiskinan akibat tindakan sendiri.
27
BAB III
KERANGKA BERFIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berfikir Penelitian
Penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara bertahap, terpadu,
terukur, sinergi dan terencana yang dilandasi oleh kemitraan dan keterlibatan
berbagai pihak dan dikelola sebagai suatu gerakan bersama untuk mewujudkan
pemenuhan hak- hak dasar.
Tanpa koordinasi dan sinergi, tidak akan diperoleh efektivitas pelaksanaan
program penanggulangan kemiskinan dan efisiensi pemanfaatan dana
pembangunan dalam pengentasan kemiskinan. Keberhasilan PNPM- Mandiri
Perkotaan dalam menanggulangi kemiskinan sangat tergantung dari cara pandang
atau persepsi masyarakat terhadap kemiskinan serta efektivitas pelaksanaan
program diharapkan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin di
wilayah penerima program.
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu menafsirkan
kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Bila
individu memandang sesuatu yang dilihatnya dan mencoba menafsirkan,
penafsirannya sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi pelaku persepsi
dimana persepsi dipengaruhi oleh sikap, motif, kepentingan, minat dan
pengalaman masa lalu.
28
Kerangka berfikir penelitian mengenai Persepsi Masyarakat Miskin
terhadap Efektivitas Pelaksanaan Program PNPM-Mandiri Perkotaan (Studi kasus
di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dapat disajikan pada Gambar 3.1
Gambar 3.1. Kerangka Alur Penelitian
Keberhasilan pelaksanaan suatu program penanggulangan kemiskinan
PNPM-MP agar sesuai tujuan yang diinginkan dapat dilihat dari efektivitas
pelaksanaan program. Efektivitas program akan terwujud apabila adanya
partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam program serta persepsi yang tinggi dari
masyarakat miskin (RTM) terhadap PNPM-MP. Efektivitas program yang
diharapkan memberikan dampak positif meliputi adanya peningkatan pendapatan
RTM dan kesempatan kerja bagi RTM itu sendiri.
PNPM - MP
Efektivitas Program
Pendapatan RTM
Persepsi RTM
Kesempatan Kerja
29
3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Pelaksaanaan program penanggulangan kemiskinan PNPM-MP sebagai
upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dalam
menanggulangi kemiskinan secara mandiri diharapkan berhasil sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan. Keberhasilan dan efektivitas program penanggulangan
kemiskinan akan terwujud apabila adanya partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan pogram meliputi tahapan perencanaan, tahapan proses, dan tahapan
output yang dituangkan dalam Gambar 3.2.
PNPM - MP
Penurunan Angka Kemiskinan
Perencanaan/Input Hasil/Output Pelaksanaan/
Proses
Efektivitas Program
Dampak Program
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Persepsi Masyarakat Miskin
terhadap Efektifitas Pelaksanaan PNPM MP dan Kemiskinan
30
Tahapan pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan PNPM-MP
bagi masyarakat miskin meliputi berbagai tahapan dimana efektivitas program
diukur dari masing- masing tahapan melalui variabel input pada tahap
perencanaan, variabel proses pada tahap pelaksanaan dan variabel output pada
tahap hasil dari pelaksanaan program. Efektivitas dari setiap tahapan program
tersebut diharapkan berdampak pada penurunan angka kemiskinan. Dengan
menurunnya angka kemiskinan, maka kegiatan program penanggulangan
kemiskinan PNPM-MP efektif dan berdampak positif bagi masyarakat miskin.
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian mengenai dampak pelaksanaan program terhadap
peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di Kecamatan
Kuta sebelum dan sesudah menerima bantuan yaitu : adanya peningkatan
pendapatan dan peningkatan kesempatan kerja sesudah menerima program
dibandingkan sebelum menerima program PNPM Mandiri Perkotaan.
31
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Kemiskinan tidak hanya identik dengan kesulitan pemenuhan kebutuhan
dasar, tetapi juga ketidakmampuan dalam mengembangkan status sosialnya.
Melalui program PNPM-MP yang merupakan program penanggulangan
kemiskinan guna pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan tanpa dukungan
dan partisipasi dari masyarakat miskin itu sendiri untuk memberdayakan dirinya,
tentunya tujuan program tidak akan berhasil sesuai dengan yang diharapkan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian yaitu Kecamatan Kuta Kabupaten
Badung yang terdiri dari lima desa/kelurahan yaitu Tuban, Kuta, Kedonganan,
Legian, dan Seminyak. Penentuan lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung, didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah Kuta
merupakan pusat perdagangan dan kota pariwisata, namun masih memiliki
keluarga miskin dan Kecamatan Kuta sebagai wilayah penerima PNPM-MP.
Pemerintah Kabupaten Badung juga sudah melaksanakan program
penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan guna pengentasan kemiskinan.
Waktu penelitian yaitu tahun 2011
4.3 Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah seluruh
populasi rumah tangga miskin (RTM) yang ada di Kecamatan Kuta berdasarkan
32
hasil pendataan BPS Kabupaten Badung tahun 2008 yaitu sebanyak 115 rumah
tangga.
4.4. Identifikasi Variabel
Untuk menghindari agar pembahasan tidak keluar dari pokok
permasalahan, maka variabel yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah :
1.) Variabel Input / Perencanaan :
a. Sosialisasi P2KP
b. Sasaran
c. Tujuan bantuan
2.) Variabel Proses/ Pelaksanaan :
. a. Kelembagaan
b. Ketepatan penggunaan dana dan tujuan program
c. Prosedur dan pengawasan
3.) Variabel Output/Hasil:
a. Kegiatan PNPM-Mandiri Perkotaan
b. Transparan dan diumumkan
c. Gotong royong dan tambahan pendapatan
d. Monitoring dan evaluasi proyek
4.5. Definisi Operasional Variabel
Berdasarkan hasil identifikasi variabel diatas, selanjutnya dapat diuraikan
definisi operasional variabel sebagai berikut :
33
1). Sosialisasi P2KP, dimaksudkan bahwa masyarakat memperoleh
penjelasan/sosialisasi tentang program penanggulangan kemiskinan,
baik dilihat dari jenis kegiatan maupun lokasi kegiatan.
2). Sasaran, bahwa sasaran penerima manfaat dari program PNPM
Mandiri Perkotaan adalah masyarakat miskin sebagai pemegang peran
utama dalam pelaksanaan program
3). Tujuan bantuan dimaksudkan manfaat yang diperoleh masyarakat yaitu
untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia seutuhnya yang
meliputi peningkatan kemampuan sumber daya manusia, peningkatan
kesehatan dan aktifitas sosial.
4). Kelembagaan, dimaksudkan Lembaga Pengelola di tingkat masyarakat
adalah lembaga yang dipercaya, aspiratif, representatif, dan akuntabel
untuk mendorong timbul dan berkembangnya partisipasi dan
kemandirian masyarakat.
5). Ketepatan penggunaan dana, dan tujuan program adalah kesesuaian
alokasi dana dan tujuan program saat pelaksanaan program.
6). Prosedur dan pengawasan adalah kemudahan didalam pencairan dana,
proses pelaksanaan administrasi kegiatan dan kemudahan bantuan
dana bergulir.
7). Kegiatan PNPM-Mandiri Perkotaan, dimaksudkan bahwa
keberlanjutan dan pemeliharaan proyek PNPM- Mandiri Perkotaan
baik kegiatan fisik, sosial dan ekonomi.
34
8). Transparan dan diumumkan, bahwa keterbukaan dari realisasi
pelaksanaan hasil kegiatan, penerima program serta besaran dana yang
digunakan.
9). Gotong royong, dan tambahan pendapatan adalah keterlibatan atau
peran serta RTM, pemerintah setempat dan kelompok peduli untuk
bersama-sama menanggulangi kemiskinan di wilayahnya.
10). Monitoring, dan evaluasi proyek adalah pelaksanaan pengendalian
program berupa pertanggungjawaban keuangan, pengawasan oleh
instansi terkait dan kegiatan audit.
11) Total Pendapatan, yaitu jumlah keseluruhan pendapatan yang
diperoleh anggota keluarga dan kepala rumah tangga
12) Total Kesempatan Kerja, yaitu jumlah keseluruhan peluang kerja (jam
untuk bekerja) dari anggota keluarga dan kepala rumah tangga
13).Dampak Program adalah adanya perubahan dari sisi pendapatan dan
kesempatan kerja bagi penduduk miskin setelah dilaksanakannya
PNPM Mandiri Perkotaan.
14).Persepsi masyarakat miskin, merupakan pandangan, pendapat, respon
masyarakat miskin terhadap kemiskinan.
4.6. Sumber dan Jenis Data
4.6.1 Jenis Data Menurut Sumbernya
Jenis data menurut sumbernya meliputi data primer dan data sekunder :
35
1). Data primer adalah data yang diperoleh langsung dan diolah pertama kali oleh
peneliti, misalnya data mengenai pendapat responden terhadap pelaksanaan
program PNPM Mandiri Perkotaan.
2). Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua seperti
misalnya instansi Pemerintah di lingkungan pemerintah Kabupaten Badung,
data statistik kecamatan, profil kelurahan dan lain-lainnya.
4.6.2 Jenis Data Menurut Sifatnya
Berdasarkan sifatnya, data yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dibedakan menjadi dua :
1). Data Kuantitatif adalah data yang diperoleh dalam bentuk angka-angka,
seperti misalnya data jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin (RTM),
penerima manfaat, besarnya bantuan yang diterima, jumlah penduduk
penerima bantuan, dan lain-lain.
2). Data Kualitatif adalah data yang tidak berbentuk angka-angka yang diperoleh
dari penelitian, misalnya data mengenai pendapat responden mengenai
pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan Kuta, persepsi
mengenai kemiskinan.
4.7 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan metode sebagai berikut :
1). Wawancara terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyan (kuesioner)
yang telah dipersiapkan, pertanyaan yang diajukan terkait dengan variabel-
variabel yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian.
36
2). Observasi yaitu dilakukan dengan cara melakukan pengamatan lapangan
terhadap pelaksanan kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan Kuta,
seperti mengamati terhadap kegiatan fisik lingkungan yang dilakukan,
pengamatan kondisi sosial dan kemiskinan masyarakat di Kecamatan Kuta.
3). Wawancara mendalam (Indepth Interview) adalah wawancara yang dilakukan
khusus terhadap beberapa informan dengan menyiapkan daftar pertanyaan
terstruktur sehingga akan diketahui kondisi pelaksanaan program PNPM
Mandiri Perkotaan di Kecamatan Kuta, serta permasalahan yang dihadapi
dalam penanggulangan kemiskinan di Kuta.
4.8 Teknis Analisa Data
1). Untuk mengetahui tingkat efektivitas pelaksanaan program PNPM Mandiri
Perkotaan dilakukan dengan analisis deskriptif dengan terlebih dahulu
melakukan pengukuran instrumen penelitian dengan menggunakan skala
likert. Instrumen penelitian yang dirancang dalam kuesioner yang terdiri dari
empat katagori jawaban yang mempunyai gradasi dari yang sangat positif
sampai yang sangat negatif. Empat katagori jawaban tersebut adalah (a)
sangat setuju, (b) setuju, (c) tidak setuju, (d) sangat tidak setuju. Untuk
keperluan analisis maka jawaban atas kuesioner tersebut diberi skor.
Kesimpulan terhadap efektivitas berdasarkan perhitungan terhadap frekwensi
skor yang diperoleh dibandingkan dengan skor ideal, maka akan didapat nilai
tingkat efektifitas, dengan menggunakan acuan dari Keputusan Menpan No
Kep./25/M/M Pan/2/2004, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 2.2.
37
2). Untuk mengetahui dampak program terhadap peningkatan pendapatan KK
miskin dan kesempatan kerja digunakan analisis dengan rumus statistik uji
beda dua rata-rata. Menurut Nata Wirawan (2002) :
t = d
sd n
Keterangan :
d = nilai rata-rata beda n pengamatan berpasangan
Sd = Simpangan baku beda pengamatan berpasangan (Standar deviasi)
yang dapat dihitung dengan :
Sd = ( d - d )
n 1
d = d
n
df = v = ( n 1 )
Keterangan :
di = Beda pengamatan pasangan yang ke i
df = Degree of freedom (derajat bebas)
Tabel t yang digunakan adalah uji satu arah dengan taraf signifikansi adalah
5% dengan derajat bebas n 1. Bila t hitung nilainya lebih kecil dari t tabel
maka Ho diterima, artinya rata-rata karakteristik sebelum dan sesudah
program adalah sama, atau tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah program.
38
Bila t hitung lebih besar dari t tabel, maka Ho ditolak berarti rata-rata
karakteristik sesudah program lebih besar daripada sebelum program, berarti
program berdampak positif terhadap pendapatan maupun kesempatan kerja.
3) Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap kemiskinan
dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif melalui pengukuran terhadap
instrumen penelitian dengan menggunakan skala likert. Instrumen penelitian
dalam bentuk kuesioner. Jawaban terhadap instrumen penelitian tersebut
dikatagorikan menjadi empat katagori yaitu (a) sangat setuju, (b) setuju, (c)
tidak setuju, (d) sangat tidak setuju. Untuk keperluan analisis maka jawaban
terhadap kuesioner diberi skor. Kesimpulan terhadap jawaban responden akan
menentukan apakah persepsi masyarakat terhadap kemiskinan positif atau
negatif. Dalam analisis terhadap jawaban responden lebih jauh juga akan dapat
disimpulkan persepsi masyarakat terhadap kemiskinan apakah kemiskinan itu
dapat dihapuskan atau merendahkan martabat manusia.
4) Uji Hubungan antara variabel status perkawinan, jenis kelamin, dan latar
belakang pendidikan dengan total pendapatan baik sebelum maupun setelah
PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan Kuta.
Untuk memperkuat kesimpulan yang akan diperoleh dari analisis diatas maka
digunakan analisis Chi Square (2) yang ditujukan untuk mengetahui
hubungan antara berbagai variabel tersebut diatas. Apabila distribusi 2
h (chi
square hasil perhitungan) lebih besar dari t (chi square tabel) keputusan
berada di daerah penolakan terhadap hipotesis nol (Ho ditolak) dan menerima
39
Ha, sehingga kesimpulannya sesuai dengan formulasi yang terdapat pada Ha
artinya terdapat hubungan antara berbagai variabel tersebut.
40
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Kecamatan Kuta
Kecamatan Kuta, merupakan salah satu kecamatan dari 6 kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Badung dengan luas wilayah mencapai 17,52 Km2
berdasarkan pengukuran GPS tahun 2003. Ditinjau dari kondisi peruntukan lahan
di Kecamatan Kuta dalam Tahun 2010, maka peruntukan lahan di Kecamatan
Kuta didominasi lahan bukan pertanian 1.532 Ha. Jumlah penduduk di Kabupaten
Badung berdasarkan data registrasi penduduk tahun 2009 (Badung dalam angka,
2010) tercatat 388.514 jiwa, dengan jumlah penduduk Kecamatan Kuta sejumlah
9.182 KK atau sekitar 39.335 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 20.202 jiwa
dan perempuan sebanyak 19.133 jiwa serta kepadatan penduduk di Kecamatan
Kuta sebanyak 2.245 jiwa per Km2
dan merupakan kepadatan tertinggi jika
dibandingkan dengan kecamatan yang lain di Kabupaten Badung.
Pada tahun 2008 Kabupaten Badung mempunyai 3.266 rumah tangga
miskin dan sebanyak 115 rumah tangga miskin di Kecamatan Kuta (386 jiwa),
dimana dari jumlah rumah tangga miskin tersebut tersebar di beberapa
lingkungan/ lokasi banjar di wilayah Kuta yang terdiri dari 5 desa/ kelurahan.
5.2 Karakteristik Responden
Dalam penelitian ini responden adalah seluruh rumah tangga yang tergolong
miskin atau tidak mampu yang merupakan populasi dari penelitian ini. Lokasi
responden seluruhnya di wilayah Kecamatan Kuta, yang tersebar di 5 desa/
41
kelurahan, yang tidak bermukim dalam satu lokasi kawasan penduduk miskin,
namun terpencar-pencar yang menyatu dalam satu komunitas pemukiman
banjar/lingkungan, serta berada di seputar kawasan perhotelan dan restaurant.
Hasil penelitian mengenai karakteristik responden menurut kelompok
umur di Kecamatan Kuta dapat dijelaskan yaitu proporsi responden yang paling
besar berada pada umur 59 tahun keatas yang mencapai 42,61 persen, proporsi
jumlah responden yang paling kecil berada pada kelompok umur dibawah 39
tahun sebesar 6,09 persen. Faktor umur masing- masing responden dalam
penelitian ini, erat berkaitan dengan aspek kemiskinan, karena faktor umur
umumnya berpengaruh terhadap tingkat produktivitas, kesehatan dan kemampuan
fisik dalam melakukan berbagai jenis aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan
seseorang..
Karakteristik responden menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Kuta
menunjukkan bahwa sebagian besar adalah kepala keluarga laki-laki, sedangkan
perempuan hanya berkisar 10,43%, dimana umumnya merupakan Kepala
Keluarga yang berstatus sebagai Janda.
Dilihat dari Tingkat Pendidikan, proporsi tingkat pendidikan responden
yang tertinggi adalah SD sebesar 62,61 persen dan terendah adalah SMA sebesar
6,16 persen, sedangkan karakteristik berdasarkan jumlah anggota keluarga yang
dimiliki yaitu sebesar 39,13 persen memiliki jumlah anggota keluarga 3 sampai 4
orang dan sebesar 23,48 persen mempunyai jumlah anggota keluarga lebih dari 4
orang. Karakteristik responden di Kecamatan Kuta dapat dilihat pada Tabel 5.1.
42
Tabel 5.1.
Karakteristik Responden Kecamatan Kuta
Indikator
Jumlah
orang Persentase
Kelompok Umur (tahun)
39 7 6,09
40 49 25 21,74
50 59 34 29,56 >59 49 42,61
Jenis Kelamin
Laki-laki 103 89,57
Perempuan 12 10,43
Tingkat Pendidikan
Tidak Tamat SD 20 17,39
SD 72 62,61
SMP 16 13,91
SMA 7 6,16
Perguruan Tinggi - -
Jumlah Anggota Keluarga
1-2 43 37,39
3-4 45 39,13
> 4 27 23,48 Sumber : Hasil Penelitian, 2011(data diolah).
5.3 Efektivitas Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan Kuta
Efektivitas pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan Kuta,
berdasarkan pernyataan responden terhadap tahapan-tahapan program dimana
jawaban responden akan dikelompokkan dalam katagori positif dan negatif. Untuk
kelompok katagori positif berdasarkan pernyataan responden yang memilih
pernyataan sangat setuju dan setuju, sedangkan untuk kelompok katagori negatif
akan dipilih berdasarkan pernyataan responden yang memilih pernyataan tidak
setuju dan sangat tidak setuju.
5.3.1 Variabel Input/ Perencanaan
43
Variabel input pada tahap perencanaan yang berorientasi pada masyarakat
miskin terdiri dari 3 hal yaitu mengenai sosialisasi P2KP kepada masyarakat
miskin sudah dilaksanakan pemerintah melalui petugas kepada penerima bantuan,
dimana bantuan yang diberikan oleh pemerintah melalui P2KP sesuai kebutuhan
masyarakat miskin dan sudah sesuai dengan sasaran yang dituju yaitu masyarakat
miskin di perkotaan, serta tujuan bantuan yang diberikan oleh pemerintah melalui
P2KP sudah secara jelas diketahui para penerima bantuan bagi masyarakat miskin
perkotaan.
Berdasarkan hasil penelitian dari 115 responden rumah tangga miskin di
Kecamatan Kuta, maka indikator sosialisasi mendapat respon jawaban terbesar
dengan proporsi sebesar 99,13 persen seperti pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Persepsi Reponden Terhadap Indikator Orientasi Program
Keluarga Miskin pada Tahap Input/ Perencanaan
No Indikator
Jumlah Responden
Positif Negatif
Orang % Orang %
1 Sosialisasi P2KP kepada masyarakat miskin sudah dilaksanakan pemerintah melalui petugas kepada penerima bantuan
114 99,13 1 0,87
2 Bantuan yang diberikan oleh pemerintah melalui P2KP berupa bantuan sesuai kebutuhan masyarakat miskin sudah mengenai sasaran masyarakat miskin di perkotaan
113 98,26 2 1,74
3 Tujuan bantuan yang diberikan oleh pemerintah melalui P2KP sudah secara jelas diketahui para penerima bantuan bagi masyarakat miskin perkotaan
112 97,39 3 2,61
Rata-Rata 98,26 1,74
Sumber : Hasil Penelitian, 2011 (data diolah).
44
5.3.2 Variabel Proses/ Pelaksanaan
Variabel proses pada tahap pelaksanaan yang memprioritaskan masyarakat
miskin (mengelola program sendiri) meliputi terdapat kelembagaan ditingkat
desa/ kelurahan yang memiliki otonomi untuk mengambil keputusan pelaksanaan
kegiatan bantuan P2KP, kesesuaian antara tujuan program dengan ketepatan
pemanfaatan sehingga bantuan tidak menyimpang, prosedur dalam perolehan
bantuan P2KP mudah dimengerti dan dipahami masyarakat, serta adanya
pengawasan pemerintah dalam keterlibatan pemberian bantuan.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 115 responden di Kecamatan Kuta,
diketahui respon positif responden sebesar 99,13 persen terhadap indikator tujuan
program, ketepatan bantuan dan prosedur dalam perolehan bantuan serta diperoleh
respon negatif sebesar 4,35 persen pada indikator kelembagaan, seperti disajikan
pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Persepsi Reponden Terhadap Indikator
Prioritas Pada Masyarakat Miskin ( Mengelola Program Sendiri )
No Indikator
Jumlah Responden
Positif Negatif
Orang % Orang %
1 Terdapat kelembagaan ditingkat desa/ kelurahan dan memiliki otonomi untuk mengambil keputusan pelaksanaan kegiatan
110 95,65 5 4,35
2 Bantuan P2KP, disesuaikan antara tujuan program dgn ketepatan pemanfaatan sehingga bantuan tidak menyimpang
114 99,13 1 0,87
3 Prosedur dalam perolehan bantuan P2KP, mudah dimengerti dan dipahami masyarakat
114 99,13 1 0,87
4 Adanya pengawasan pemerintah dalam keterlibatan pemberian bantuan
113 98,26 2 1,74
Rata-Rata 98,04 1,96
Sumber : Hasil Penelitian, 2011 (data diolah).
45
5.3.3 Variabel Output/ Hasil
Untuk meneliti variabel output pada tahap hasil berupa transparansi dan
akuntabel, maka indikator yang dikaji meliputi seluruh kegiatan PNPM Mandiri
Perkotaan telah dapat dilaksanakan di lapangan, dilakukan pencatatan berupa
pembukuan/ laporan keuangan (transparan) dan diumumkan secara massal/
ditempel dipapan pengumuman desa, pelaksanaan proyek dapat memberikan
kesempatan kerja bagi masyarakat miskin dan dilaksanakan secara gotong royong
serta memberi tambahan upah bagi masyarakat miskin, juga dilakukan
pengawasan berupa monitoring maupun evaluasi proyek dari tingkat pusat,
provinsi, dan kabupaten.
Hasil penelitian diperoleh respon positif terhadap indikator pengawasan dan
monitoring program sebesar 99,13 persen, dan respon negatif sebesar 6,96 persen
pada indikator pembukuan/laporan keuangan, seperti disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Persepsi Reponden Terhadap Indikator
Transparansi dan Akuntabel
No Indikator
Jumlah Responden
Positif Negatif
Orang % Orang %
1 Seluruh kegiatan PNPMMandiri Perkotaan telah dapat dilaksanakan di lapangan
113 98,26 2 1,74
2 Pembukuan/laporan keuangan( transparan ) diumumkan secara massal/ditempel dipapan pengumuman desa
107 93.04 8 6,96
3 Pelaksanaan proyek ( kesempatan kerja bagi masyarakat miskin ) dilaksanakan secara gotong royong dan memberi tambahan upah bagi masyarakat miskin
111 96,52 4 3,48
4 Dilakukan pengawasan dari pusat, provinsi, dan kabupaten berupa monitoring dan evaluasi proyek.
114 99,13 1 0,87
Rata-Rata 96,74 3,26
Sumber : Hasil Penelitian, 2011(data diolah)
46
5.3.4 Perhitungan Efektifitas PNPM Mandiri Perkotaan.
Nilai efektifitas program PNPM-MP dilihat dari variabel input/
perencanaan, variabel proses/ pelaksanaan dan variabel output/hasil selanjutnya
dipetakan pada kualifikasi dengan mengikuti Pedoman Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor Kep 25/M/M.PAN/2/2004, yang disajikan
pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5
Perhitungan Efektivitas Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan
Kecamatan Kuta
No Variabel Jumlah
Responden
Rata-rata
( % )
Penilaian
Efektivitas
1 INPUT/ PERENCANAAN
a. Sosialisasi
b. Tujuan
c. Sasaran
115
115
115
98,13
98,26
97,39
Sangat Efektif
Sangat Efektif
Sangat Efektif
RATA-RATA PERENCANAAN 115 98,26 Sangat Efektif
2 PROSES/ PELAKSANAAN
a. Kelembagaan di Tk. masyarakat.
b.Bantuan sesuai program dan ketepatan
manfaat
c.Prosedur mudah dimengerti dan
dipahami.
d..Pengawasan pemerintah dlm
pemberian bantuan.
115
115
115
115
95,65
99,13
99,13
98,26
Sangat Efektif
Sangat Efektif
Sangat Efektif
Sangat Efektif
RATA-RATA PELAKSANAAN 115 98,04 Sangat Efektif
3 OUTPUT/HASIL
a. Transparan dan Akuntabel
115
96,74
Sangat Efektif
RATA-RATA HASIL 115 96,74 Sangat Efektif
Rata-Rata Penilaian Efektivitas 115 97,68 Sangat Efektif
Sumber : Hasil Penelitian, 2011(data diolah)
5.4 Dampak Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan Bagi Masyarakat Miskin di Kecamatan Kuta.
Penelitian ini mengukur dampak pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di
Kecamatan Kuta yaitu berdasarkan persepsi responden terhadap indikator dampak
program bagi masyarakat miskin, penggunaan bantuan oleh masyarakat miskin,
47
dampak program terhadap peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja serta
persepsi masyarakat miskin terhadap kemiskinan itu sendiri.
5.4.1 Persepsi Masyarakat Miskin Terhadap Dampak Pelaksanaan PNPM
Mandiri Perkotaan Di Kecamatan Kuta
Dampak pelaksanaan Program PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan
Kuta, ditinjau dari persepsi masyarakat miskin maka hasil penelitiannya diperoleh
respon positif terbesar yaitu 97,39 persen terhadap indikator adanya peningkatan
pendapatan masyarakat setelah program dan respon negatif sebesar 17,39 persen
pada indikator adanya peningkatan usaha setelah adanya program, sebagaimana
Tabel 5.6
Tabel 5.6
Persepsi Reponden Terhadap Indikator
Dampak Program PNPM Mandiri Perkotaan Bagi Masyarakat Miskin
No Indikator Jumlah Jawaban Responden (orang)
Positif Negatif
Orang % Orang %
1 Adanya peningkatan pendapatan
masyarakat setelah adanya PNPM Mandiri
Perkotaan
112 97,39 3 2,61
2 Adanya peningkatan/penciptaan kesempatan
kerja bagi masyarakat miskin setelah
adanya PNPM Mandiri Perkotaan
105 91,31 10 8,70
3 Adanya peningkatan usaha yang dapat
mendatangkan penghasilan setelah adanya
PNPM Mandiri Perkotaan
95 82,61 20 17,39
4 Adanya peningkatan barang-barang yang
dapat dipakai untuk berusaha setelah adanya
PNPM Mandiri Perkotaan.
100 86,96 15 13,04
Rata-Rata 89,57 10,45
Sumber : Hasil Penelitian, 2011 (data diolah)
48
Ditinjau berdasarkan persepsi responden terhadap penggunaan bantuan oleh
masyarakat, maka berdasarkan hasil penelitian terhadap 115 responden di
Kecamatan Kuta, hasilnya adalah sebagaimana Tabel 5.7.
Tabel 5.7
Penggunaan Bantuan PNPM Mandiri Perkotaan
Oleh Masyarakat Di Kecamatan Kuta
No Penggunaan Bantuan Oleh Masyarakat Frekwensi Persentase
1 Modal Usaha 30 26,09
2 Kebutuhan Sehari-hari 89 77,39
3 Biaya Sekolah 47 40,87
4 Kesehatan 28 24,35
5 Cicilan Utang 41 35,65
6 Lainnya 32 27,83
Sumber : Hasil Penelitian, 2011 (data diolah).
Berdasarkan jawaban responden pada Tabel 5.7 dapat dijelaskan bahwa sebanyak
77,39 persen responden menggunakan bantuan PNPM untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, 40,87 persen untuk biaya sekolah dan hanya 26,09 persen
responden menggunakan bantuan untuk modal usaha.
5.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Kemiskinan
Persepsi masyarakat miskin terhadap kemiskinan dibedakan menjadi 2 hal
yaitu persepsinya terhadap program penanggulangan kemiskinan dan terhadap
faktor penyebab kemiskinan. Persepsi responden terhadap program
penanggulangan kemiskinan mendapat respon positif dilihat dari indikator yaitu
adanya kejujuran, keadilan, keikhlasan dan sifat gotong royong; sangat peduli dan
tidak bersikap masa bodoh terhadap program serta mempunyai rasa percaya
terhadap program, masing- masing mendapat respon positif sebesar 100 persen
dan 99,13 persen, sedangkan indikator malu dan minder menerima bantuan dalam
49
program mendapat respon negatif sebesar 43,48 persen. Hasil persepsi responden
di Kecamatan Kuta terhadap penanggulangan kemiskinan adalah sebagaimana
Tabel 5.8.
Tabel 5.8
Persepsi Reponden Terhadap Penanggulangan Kemiskinan
No Indikator
Jumlah Jawaban Responden
Positif Negatif
Orang % Orang %
Persepsi Terhadap Penanggulangan Kemiskinan
1 Kejujuran, keadilan, keikhlasan dan sifat gotong
royong adalah hal yang sangat diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat.
115 100 - 0
2 Sangat Peduli dan tidak bersikap masa bodoh
terhadap program penanggulangan kemiskinan
yang dilaksanakan
114 99,13 1 0,87
3 Mempunyai rasa percaya terhadap program
penanggulangan kemiskinan 114 99,13 1 0,87
4 Malu dan minder menerima bantuan dalam
program penanggulangan kemiskinan. 65 56,52 50 43,48
5 Penanggulangan kemiskinan sebaiknya
dilakukan juga oleh masyarakat secara swadaya,
pemerintah dan kelompok peduli.
108 93,92 7 6,09
6 Belum merasa puas dengan pendapatan yang
selama ini didapatkan 93 80,87 14 12,17
7 Turut serta dalam menanggulangi kemiskinan di
wilayahnya. 102 88,69 13 11,30
8 Pengambilan keputusan dalam kegiatan rembug
warga oleh masyarakat sebaiknya dilakukan
dengan musyawarah mufakat.
112 97,4 3 2,61
9 Masyarakat seharusnya bersikap kritis terhadap
pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di
wilayahnya.
105 91,31 10 8,7
Sumber : Hasil Penelitian, 2011(data diolah)
Sedangkan hasil pengukuran persepsi masyarakat tentang faktor-faktor
penyebab kemiskinan itu sendiri, maka dari penelitian terhadap 115 responden
rumah tangga miskin yang terdapat di Kecamatan Kuta diperoleh respon positif
terhadap indikator kemiskinan terkait dengan pendidikan yang kurang sebesar
93,91 persen dan kemiskinan hanya dapat dihapus oleh tindakan sendiri sebesar
50
86,09 persen, sedangkan respon negatif responden sebesar 58,26 persen terhadap
indikator kemiskinan terkait dengan perempuan yang kurang memperoleh hak dan
sebesar 56,52 persen kemiskinan terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga
sebagaimana tampak pada tabel 5.9.
Tabel 5.9
Persepsi Reponden Terhadap Kemiskinan
No Indikator
Jumlah Jawaban Responden
Positif Negatif
Orang % Orang %
Persepsi Terhadap Kemiskinan
1 Kemiskinan ditentukan oleh nasib 58 50,43 57 49,56
2 Kemiskinan ditentukan oleh tindakan sendiri 92 80,00 23 20,00
3 Kemiskinan ditentukan oleh lingkungan 56 48,70 59 51,31
4 Kemiskinan ditentukan oleh Pemerintah 68 59,13 47 40,87
5 Kemiskinan hanya dapat dihapus oleh nasib 52 45,22 63 54,78
6 Kemiskinan hanya dapat dihapus oleh tindakan
diri sendiri 99 86,09 16 13,91
7 Kemiskinan hanya dapat dihapus oleh
lingkungan 75 65,22 40 34,78
8 Kemiskinan hanya dapat dihapus oleh
Pemerintah 75 65,22 40 34,78
9 Kemiskinan terkait dengan perempuan yang
kurang memperoleh hak 48 41,74 67 58,26
10 Kemiskinan terkait pendidikan yang kurang 108 93,91 7 6,09
11 Kemiskinan terkait dengan kekerasan dalam
rumah tangga 50 43,48 65 56,52
12 Kemiskinan terkait dengan kerentanan karena
umur 73 63,47 42 36,52
13 Kemiskinan terkait dengan keturunan 55 47,83 60 52,17
Sumber : Hasil Penelitian, 2011 (data diolah)
Dari berbagai persepsi masyarakat miskin tersebut, dilihat dari kondisi yang
dialami yaitu miskin secara material sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
akan pangan, sandang, papan dan kesehatan secara layak, bukan menjadi tolok
ukur bahwa orang miskin tidak bahagia bahkan kadang kala sebagian besar
masyarakat miskin merasa cukup bahagia dengan kondisi yang dialaminya. Untuk
mengetahui seberapa jauh faktor kemiskinan yang dialami masyarakat miskin di
Kecamatan Kuta dengan Kebahagiaan yang dialaminya, hasil penelitian terhadap
51
115 responden di Kecamatan Kuta bahwa sebanyak 95 orang (82,61%) responden
menyatakan bahagia dengan keadaan saat ini dan respon negatif sebanyak 20
orang (17,39%).
Untuk mengetahui persepsi masyarakat miskin terhadap urut-urutan
kegiatan yang diperlukan dalam penanggulangan rumah tangga miskin di
Kecamatan Kuta, maka diketahui bahwa urutan tindakan yang diperlukan dalam
menghapus kemiskinan adalah menunggu takdir menempati peringkat pertama
pilihan responden sebesar 86,09 persen dan bantuan pemerintah menempati
peringkat terakhir pilihan responden yaitu sebesar 38,26 persen. Adapun rincian
pernyataan responden tersebut adalah sebagaimana Tabel 5.10.
Tabel 5.10
Persepsi Reponden Terhadap Urutan-urutan Tindakan
Yang Diperlukan Dalam Menghapus Kemiskinan
Urutan Kegiatan Peringkat Persentase Pilihan
Prioritas I
Menunggu Takdir I 86,09
Bantuan Masyarakat setempat II 69,57
Kerja Keras III 65,22
Bantuan Pengusaha IV 52,17
Bantuan Pemerintah V 38,26
Sumber : Hasil Penelitian, 2011 (data diolah)
5.6 Hubungan Antar Variabel
Guna lebih mempertajam analisis maka dilihat hubungan atau keterkaitan
antar beberapa variabel dengan analisis Chi Square.
5.6.1. Hubungan Antara Variabel Total Pendapatan Dengan Umur Responden Sebelum PNPM
Hasil perhitungan hubungan antara total pendapatan dengan umur
responden sebelum PNPM dapat dijelaskan yaitu proporsi responden dengan
kelompok umur diatas 50 tahun lebih banyak mempunyai pendapatan kurang dari
52
Rp. 759.999,- dibandingkan responden dengan kelompok umur dibawah 50 tahun.
Hal ini diperjelas pada Tabel 5.11.
Tabel 5.11
Kelompok Pendapatan Rumah Tangga Miskin Menurut Umur
di Kecamatan Kuta, Sebelum Pelaksanaan PNPM
Pendapatan sebelum PNPM
Total Umur (tahun) = 59 orang 41 8 0 49
% 83.7 16.3 0.00 100.00
Total orang 84 28 3 115
% 73.00 24.30 2.60 100.00
Sumber : Hasil Perhitungan Statistik (data diolah)
5.6.2 Hubungan Antara Variabel Total Pendapatan Dengan Umur Responden Sesudah PNPM
Hasil perhitungan hubungan antara total pendapatan dengan umur
responden sesudah PNPM dapat dijelaskan yaitu responden yang mempunyai
pendapatan kurang dari Rp.1.026.666,- dan diatas Rp.1.026.667,- didominasi oleh
kelompok umur diatas 50 tahun dengan proporsi sebesar 44,1 persen , sedangkan
proporsi responden dengan kelompok umur dibawah 50 tahun yang mempunyai
pendapatan diatas Rp.2.053.333,- hanya sebesar 16 persen. . Hal ini diperjelas
pada Tabel 5.12.
53
Tabel 5.12
Kelompok Pendapatan Rumah Tangga Miskin Menurut Umur
di Kecamatan Kuta, Sesudah Pelaksanaan PNPM
Pendapatan sesudah PNPM Total
Umur (tahun) = 2.053.333
39 orang 5 2 0 7
% 71.4 28.6 0.00 100.00
40-49 orang 11 10 4 25
% 44.0 40.0 16.0 100.00
50-59 orang 14 15 5 34
% 41.2 44.1 14.7 100.00
>= 59 orang 31 12 6 49
% 63.3 24.5 12.2 100.00
Total orang 61 39 15 115
% 53.00 33.90 13.00 100.00
Sumber : Hasil Perhitungan Statistik (data diolah)
5.6.3 Hubungan Antara Variabel Total Pendapatan Dengan Status Perkawinan Responden Sebelum PNPM
Hubungan antara variabel total pendapatan dengan status perkawinan
sebelum PNPM bahwa responden dengan status kawin dan tidak kawin di
Kecamatan Kuta dominan mempunyai pendapatan kurang dari Rp.759.999,-, dan
hanya sebesar 2,7 persen responden dengan status kawin yang mempunyai
pendapatan diatas Rp.1.520.000,-.Dari hasil perhitungan kelompok pendapatan
rumah tangga miskin dan status perkawinan sebelum pelaksanaan PNPM tampak
pada Tabel 5.13.
54
Tabel 5.13
Kelompok Pendapatan Rumah Tangga Miskin Menurut Status Perkawinan
di Kecamatan Kuta, Sebelum Pelaksanaan PNPM
Pendapatan sebelum PNPM Total
Status
55
Sumber : Hasil Perhitungan Statistik (data diolah)
5.6.5 Hubungan Antara Variabel Total Pendapatan Dengan Jenis Kelamin
Sebelum PNPM
Berdasarkan hasil perhitungan bahwa hubungan antara variabel total
pendapatan dengan jenis kelamin sebelum PNPM yaitu proporsi responden
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan lebih banyak mempunyai pendapatan
kurang dari Rp. 759.999,-. Uraian tersebut dapat diperjelas dalam Tabel 5.15.
Tabel 5.15
Kelompok Pendapatan Rumah Tangga Miskin Menurut Jenis Kelamin
di Kecamatan Kuta, Sebelum Pelaksanaan PNPM
Pendapatan sebelum PNPM Total
56
dibandingkan responden dengan jenis kelamin perempuan. Uraian tersebut dapat
diperjelas dalam Tabel 5.16.
Tabel 5.16
Kelompok Pendapatan Rumah Tangga Miskin Menurut Jenis Kelamin
di Kecamatan Kuta, Sesudah Pelaksanaan PNPM
Pendapatan sesudah PNPM Total
=
2.053.333
Jenis Kelamin Laki-laki orang 53 36 14 103
% 51.50 35.00 13.60 100.00
Perempuan orang 8 3 1 12
% 66.70 25.00 8.30 100.00
Total orang 61 39 15 115
% 53.00 33.90 13.00 100.00 Sumber : Hasil Perhitungan Statistik (data diolah).
5.6.7 Hubungan Antara Variabel Total Pendapatan Dengan
Pendidikan Sebelum PNPM
Hasil perhitungan hubungan antara variabel total pendapatan dengan
pendidikan sebelum PNPM diketahui yaitu responden yang mempunyai
pendapatan kurang dari Rp. 759.999,- didominasi responden dengan pendidikan
tidak tamat SD sebesar 100 persen sedangkan proporsi responden dengan
pendidikan diatas SD bahkan SMA hanya sebesar 14,30 persen yang mempunyai
pendapatan diatas Rp.1.520.000,-. Uraian tersebut dapat diperjelas dalam Tabel
5.17.
57
Tabel 5.17
Kelompok Pendapatan Rumah Tangga Miskin Menurut Tingkat Pendidikan
di Kecamatan Kuta, Sebelum Pelaksanaan PNPM Pendapatan sebelum PNPM Total
58
Tabel 5.18
Kelompok Pendapatan Rumah Tangga Miskin Menurut Tingkat Pendidikan
di Kecamatan Kuta, Sesudah Pelaksanaan PNPM
Pendapatan sesudah PNPM Total
=
2.053.333
Pendidikan
Tidak tamat SD orang 17 3 0 20
% 85.00 15.00 0.00 100.00
SD orang 34 28 10 72
% 47.20 38.90 13.90 100.00
SMP orang 7 6 3 16
% 43.80 37.50 18.80 100.00
SMA orang 3 2 2 7
% 42.90 28.60 28.60 100.00
Total orang 61 39 15 115
% 53.00 33.90 13.00 100.00 Sumber : Hasil Perhitungan Statistik(data diolah)
5.6.9 Hubungan Antara Variabel Total Pendapatan Dengan Jumlah
Anggota Keluarga Sebelum PNPM
Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa hubungan antara variabel
total pendapatan dengan jumlah anggota keluarga sebelum PNPM yaitu proporsi
responden dengan jumlah anggota keluarga kurang dari 5 orang lebih banyak
mempunyai pendapatan kurang dari Rp.759.999,- dibandingkan dengan responden
yang mempunyai jumlah anggota keluarga diatas 5 orang lebih banyak
mempunyai pendapatan diatas Rp. 1.520.000,-. Uraian tersebut dapat diperjelas
dalam Tabel 5.19.
59
Tabel 5.19
Kelompok Pendapatan Rumah Tangga Miskin Menurut Jumlah Anggota Keluarga
di Kecamatan Kuta, Sebelum Pelaksanaan PNPM Pendapatan sebelum PNPM Total
60
% 57.80 30.40 11.80 100.00
>5 orang orang 2 8 3 13
% 15.40 61.50 23.10 100.00
Total orang 61 39 15 115
% 53.00 33.90 13.00 100.00 Sumber : Hasil Perhitungan Statistik (data diolah)
5.6.11. Hubungan Antara Variabel Total Kesempatan Kerja Dengan Umur
Sebelum PNPM
Berdasarkan hasil perhitungan dapat dijelaskan hubungan antara total
kesempatan kerja dengan umur responden sebelum PNPM bahwa responden yang
berumur dibawah 50 tahun sebesar 57,1 persen mempunyai kesempatan kerja
kurang dari 3 jam/kegiatan sedangkan proporsi responden dengan umur diatas 50
tahun lebih banyak mempunyai kesempatan kerja lebih dari 4 jam/kegiatan/bulan
bahkan sebesar 29,4 persen responden lansia mempunyai kesempatan kerja diatas
8 jam/kegiatan.. Hal ini diperjelas pada Tabel 5.21.
Tabel 5.21
Kesempatan Kerja Rumah Tangga Miskin Menurut Umur
di Kecamatan Kuta, Sebelum Pelaksanaan PNPM
Kesempatan Kerja sebelum PNPM Total
Umur (tahun) =9 jam
39 orang 4 3 0 7
% 57.1 42.9 0.00 100.00%
40-49 orang 10 12 3 25
% 40.0 48.0 12.0 100.00
50-59 orang 6 18 10 34
% 17.6 52.9 29.4 100.00
>= 59 orang 26 15 8 49
% 53.1 30.6 16.3 100.00
Total orang 46 48 21 115
% 40.00 41.70 18.30 100.00
Sumber : Hasil Perhitungan Statistik (data diolah)
5.6.12 Hubungan Antara Variabel Total Kesempatan Kerja Dengan Umur
Sesudah PNPM
61
Hasil perhitungan hubungan antara total kesempatan kerja dengan umur
sesudah PNPM dapat dijelaskan yaitu responden dengan kelompok umur dibawah
50 tahun mempunyai kesempatan kerja berkisar 5-8 jam/kegiatan sedangkan
proporsi responden dengan kelompok umur diatas 50 tahun sebesar 29,4 persen
mempunyai kesempatan kerja diatas 8 jam/kegiatan/bulan, hal ini menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan jumlah kesempatan kerja, sebagaimana diperjelas pada
Tabel 5.22.
Tabel 5.22
Kesempatan Kerja Rumah Tangga Miskin Menurut Umur
di Kecamatan Kuta, Sesudah Pelaksanaan PNPM
Kesempatan Kerja sesudah PNPM Total
Umur (tahun) =9 jam
39 orang 2 5 0 7
% 28.6 71.4 0.00 100.00
40-49 orang 8 13 4 25
% 32.0 52.0 16.0 100.00
50-59 orang 2 22 10 34
% 5.9 64.7 29.4 100.00
>= 65 orang 18 21 10 49
% 36.7 42.9 20.4 100.00
Total orang 30 61 24 115
% 26.10 53.00 20.90 100.00
Sumber : Hasil Perhitungan Statistik(data diolah)
5.6.13 Hubungan Antara Variabel Total Kesempatan Kerja Dengan Tingkat Pendidikan Sebelum PNPM
Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa hubungan antara variabel
total kesempatan kerja dengan Tingkat Pendidikan sebelum PNPM yaitu
didominasi responden dengan pendidikan tidak tamat SD dengan proporsi sebesar
65 persen mempunyai kesempatan kerja kurang dari 3 jam/kegiatan dan
kesempatan kerja berkisar 4-8 jam/kegiatan lebih banyak dimiliki responden
dengan pendidikan diatas SD. Uraian tersebut dapat diperjelas dalam Tabel 5.23.
62
Tabel 5.23
Kesempatan Kerja Rumah Tangga Miskin Menurut Tingkat Pendidikan
di Kecamatan Kuta, Sebelum Pelaksanaan PNPM
Kesempatan Kerja sebelum PNPM Total
=9 jam
Pendidikan Tidak tamat SD orang 13 6 1 20
% 65.00 30.00 5.00 100.00
SD orang 27 28 17 72
% 37.50 38.90 23.60 100.00
SMP orang 4 10 2 16
% 25.00 62.50 12.50 100.00
SMA orang 2 4 1 7
% 28.60 57.10 14.30 100.00
Total orang 46 48 21 115
% 40.00 41.70 18.30 100.00
Sumber : Hasil Perhitungan Statistik (data diolah)
5.6.14 Hubungan Antara Variabel Total Kesempatan Kerja Dengan Tingkat Pendidikan Sesudah PNPM
Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa hubungan antara variabel
total kesempatan kerja dengan Tingkat Pendidikan sesudah PNPM yaitu sebesar
45 persen responden dengan pendidikan dibawah SD dan sebesar 56,30 persen
responden dengan pendidikan diatas SD memperoleh kesempatan kerja diatas 5
jam/kegiatan, maka terjadi peningkatan jumlah kesempatan kerja yang diperoleh
responden. Uraian tersebut dapat diperjelas dalam Tabel 5.24.
63
Tabel 5.24
Kesempatan Kerja Rumah Tangga Miskin Menurut Tingkat Pendidikan
di Kecamatan Kuta, Sesudah Pelaksanaan PNPM
Kesempatan Kerja sesudah PNPM Total
=9 jam
Pendidikan Tidak tamat SD orang 10 9 1 20
% 50.00 45.00 5.00 100.00
SD orang 16 38 18 72
% 22.20 52.80 25.00 100.00
SMP orang 3 9 4 16
% 18.80 56.30 25.00 100.00
SMA orang 1 5 1 7
% 14.30 71.40 14.30 100.00
Total orang 30 61 24 115
% 26.10 53.00 20.90 100