Upload
fathimatuzzahro-fathim
View
21
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas
Citation preview
UPAYA PENANGGULANGAN MALNUTRISI DI PEDESAAN
Malnutrisi adalah istilah umum untuk suatu kondisi medis yang disebabkan oleh
pemberian atau cara makan yang tidak tepat atau tidak mencukupi. Istilah ini seringkali
lebih dikaitkan dengan keadaan undernutrition (gizi kurang) yang diakibatkan oleh
konsumsi makanan yang kurang, penyerapan yang buruk, atau kehilangan zat gizi
secara berlebihan. Namun demikian, sebenarnya istilah tersebut juga dapat mencakup
keadaan overnutrition (gizi berlebih). Seseorang akan mengalami malnutrisi bila jumlah,
jenis, atau kualitas yang memadai dari zat gizi yang mencakup diet yang sehat tidak
dikonsumsi untuk jangka waktu tertentu yang cukup lama. Keadaan yang berlangsung
lebih lama lagi dapat menyebabkan terjadinya kelaparan.
Manutrisi akibat asupan zat gizi yang kurang untuk menjaga fungsi tubuh yang sehat
seringkali dikaitkan dengan kemiskinan, terutama pada negara-negara berkembang.
Sebaliknya, malnutrisi akibat pola makan yang berlebih atau asupan gizi yang tidak
seimbang lebih sering diamati pada negara-negara maju, misalnya dikaitkan dengan
angka obesitas yang meningkat. Obesitas adalah suatu keadaan di mana cadangan
energi yang disimpan pada jaringan lemak sangat meningkat hingga ke mencapai
tingkatan tertentu, yang terkait erat dengan gangguan kondisi kesehatan tertentu atau
meningkatnya angka kematian.
Ketika berbicara mengenai gizi kurang (undernutrition), perhatian terbesar akan ditujukan
pada anak, terutama balita. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut, asupan kurang yang
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, akan memberikan dampak terhadap
proses tumbuh kembang anak dengan segala akibatnya di kemudian hari. Tidak hanya
pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan mentalnya. Satu hal yang akan
berdampak pada produktivitas suatu bangsa.
Masalah malnutrisi masih ditemukan pada banyak tempat di Indonesia, dan ironisnya
Indonesia mengalami kedua ekstrim permasalahan malnutrisi. Di satu sisi, daerah yang
mengalami rawan pangan dan kelompok dengan kemampuan ekonomi yang kurang
memadai amat rentan terhadap terjadinya malnutrisi dalam bentuk gizi kurang.
Organisasi pangan dunia (FAO) mencatat pada kurun waktu 2001-2003 di Indonesia
terdapat sekitar 13,8 juta penduduk yang kekurangan gizi. Sementara berdasarkan data
Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005, angka gizi buruk dan gizi kurang adalah 28 % dari
jumlah anak Indonesia.
Di sisi lain, di beberapa tempat seperti daerah perkotaan dan pada kelompok ekonomi
berkecukupan, obesitas menjadi bagian dari masalah kesehatan. Sekalipun belum ada
data resmi yang diungkapkan pemerintah, beragam penelitian menunjukkan angka
obesitas yang cukup mencengangkan. Satu di antaranya menyebutkan hingga 4,7% atau
sekitar 9,8 juta penduduk Indonesia mengalami obesitas, belum termasuk 76,7 juta
penduduk (17,5%) yang mengalami kelebihan berat badan atau berpeluang mengalami
obesitas. Lebih menyedihkan lagi, angka obesitas pada anak juga cukup tinggi.
Sekalipun keadaan undernutrisi sering disebabkan oleh keadaan kekurangan pangan
baik karena masalah produksi atau masalah distribusi patut dijadikan catatan bahwa tidak
jarang undernutrisi, khususnya pada anak, juga terjadi karena kesalahan pola pemberian
makanan ataupun jenis makanan yang diberikan. Akibatnya anak tidak mendapatkan
asupan yang memadai bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya. Hal yang
serupa juga terjadi pada masalah overnutrisi di mana, asupan yang didapatkan tidak
semata-mata dalam jumlah yang banyak saja tetapi juga memiliki kandungan gizi yang
nilai kalorinya terlalu tinggi. Sepintas, dapat diamati bahwa kedua permasalahan ini
mungkin berpangkal pada pengetahuan yang kurang memadai tentang gizi di
masyarakat. Oleh karenanya, edukasi kepada masyarakat dengan memberikan informasi
yang tepat tentang pemenuhan gizi akan menjadi langkah yang baik dalam mencegah
terjadinya undernutrisi maupun overnutrisi.
1. Konsep Malnutrisi
a. Definisi Malnutrisi
Malnutrisi (mal: salah, nutrisi: gizi)
Merupakan istilah umum dari kelainan-kelainan yang disebabkan karena gangguan gizi.
Dapat berupa suatu kekurangan ataupun kelebihan dari salah satu nutrient (bahan
makanan).
b. Pengelompokan Malnutrisi
1) Malnutrisi jenis bahan yang kurang
Kelompok KEP yaitu kurang energi protein
Ada 3 jenis: kwasiorkor, marasmik, marasmik kwashiorkor
2) Kelompok kekurangan vitamin/mineral
a) Anemi kekurangan zat besi
b) Defisiensi vitamin A
c) Penyakit gondok endemic
d) Penyakit defisiensi lainnya seperti beri-beri, pellagra, scurvy, rickets
3) Menurut derajat tingkatan keadaan gizi
a) Gizi lebih
b) Gizi baik
c) Gizi kurang
d) Gizi buruk
4) Menurut sebab terjadinya malnutrisi
a) Primary malnutrition
Terjadi karena makanan yg dimakan (intake) tidak cukup / berlebihan
b) Secondary malnutrition
Terjadi meskipun makanan yg dimakan sudah cukup untuk kebutuhannya karena sebab
lain, misal karena kebutuhan meningkat, gangguan absorbsi
2. Terdapat “3 Jebakan” kondisi Masyarakat di Pedesaan
a. Adat dan Budaya yang masih kuat
Budaya yang turun temurun masih menjadi “kiblat atau panutan” bagi masyarakatnya
seperti: memberi makan bayi yang masih baru lahir (di “lothek”). Atau anak-anak tidak
boleh makan daging karena bisa menyebabkan kecacingan. (pantang terhadap makanan
tertentu).
Perbedaan gender : seperti laki-laki sebagai tulang punggung keluarga / kepala keluarga.
Sedangkan perempuan : mengurus anak di rumah.
Dampak : kebutuhan nutrisi diutamakan untuk ayah yang bekerja setelah itu baru
anak-anak kemudian yang terakhir baru ibu. Sehingga anak-anak dan perempuan rentan
terhadap kekurangan pangan
b. Sosial Ekonomi
Umumnya bekerja sesuai kondisi tempat tinggal seperti: petani, nelayan.
Dampak : pada musim kemarau terjadi kekeringan sehingga tidak ada air, tidak bisa
bercocok tanam sehingga kesulitan pangan.
Pada musim penghujan timbul banjir sehingga banyak sawah terendam dan gagal panen
serta kesulitan pangan
Keadaan keuangan yang kurang mencukupi untuk satu keluarga sehingga anggota
keluarga tidak cukup mendapatkan jatah makanan.
c. Geografis
Kondisi alam di pegunungan, laut, pulau terpencil sehingga jauh dari fasilitas kesehatan,
jauh dari perkotaan.
Dampak: terjadi kesulitan dalam transportasi pengiriman bantuan serta kekurangan
pengetahuan tentang nilai gizi / nutrisi untuk anak sehingga mudah terkena malnutrisi.
3. Penyebab Malnutrisi
Penyebab langsung :
1) Kekurangan konsumsi zat gizi protein / kalori secara kualitatif / kuantitatif.
2) Proses infeksi, baik infeksi saluran pencernaan, pernapasan atau penyakit-penyakit
lain yang terjadi pada anak.
Penyebab tidak langsung:
1) Pemberian ASI (Air Susu Ibu) dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) atau
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang terlambat.
2) Cara memperkenalkan makanan bayi yang salah pada tahun pertama kehidupan
balita, sehingga anak tidak mau makan dan akhirnya terjadi malnutrisi.
3) Pemberian makanan terlalu dini, sehingga menyebabkan anak marasmus/kurang
kalori. Hal ini disebabkan antara lain: usia penyapihan terlalu dini, kurang dari 2 tahun,
susu buatan yang “overdilusi” (kelebihan proporsi air daripada susunya) serta kurangnya
perawatan terhadap botol susu/sterilisasi kurang.
4) Masalah gizi musiman (seasonal variation), artinya pada musim paceklik, banyak balita
kurang makan dan kurang kalori. Akan tetapi pada musim panen, masalah kurang makan
ini hilang.
5) Kelaparan, khususnya akibat panen yang gagal.
6) Kemiskinan, khususnya pada daerah-daerah yang kebutuhan keluarganya sangat
tergantung dari pendapatan pekerjaan yang mereka tekuni.
4. Tanda-tanda anak marasmus (kurang kalori) :
1) Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, dan pantat keriput.
2) Wajah seperti orang tua (monkey face).
3) Kulit keriput, kering, jaringan lemak sub kutis sangat sedikit, bahkan sampai tidak ada.
4) Rambut tipis, kemerahan, dan mudah dicabut.
5) Anak cengeng dan rewel.
6) Sering disertai diare kronik atau konstipasi serta penyakit kronik.
7) Tekanan darah, denyut jantung dan pernapasan berkurang.
5. Tanda-tanda anak kwashiorkor (kurang protein) :
1) Bengkak (oedema) hampir di seluruh tubuh, terutama punggung dan kaki (dorsum
pedis).
2) Wajah bulat dan sembab (moon face).
3) Mata kuyu dan sayu.
4) Rambut tipis, jarang, dan mudah dicabut.
5) Terdapat bercak merah-hitam pada kulit, kadang terkelupas (crazy pavement
dermatosis).
6) Cengeng, rewel, dan ”apatis”.
7) Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk, anak
berbaring terus menerus.
8) Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia).
9) Pembesaran hati.
10) Sering disertai infeksi, anemi, dan diare.
6. Tanda-tanda anak marasmus-kwashiorkor
Tanda-tanda marasmic-kwashiorkor adalah gabungan dari tanda-tanda yang ada pada
marasmus dan kwashiorkor yang ada.(Depkes RI, 1999).
7. Indeks Pengukuran
Indeks BB/U dengan standar Harvard dan klasifikasi Gomez, sebagai berikut:
1) Normal : ≥ 90%
2) Ringan : ≥ 75 - < style="color: rgb(0, 204, 204);">
8. Proses Terjadinya Malnutrisi GIZI buruk adalah
Kondisi tubuh yang tampak sangat kurus karena makanan yang dimakan setiap hari tidak
dapat memenuhi zat gizi yang dibutuhkan, terutama kalori dan protein. Tanda awal gizi
buruk: berat badan anak, letak titiknya dalam KMS, jauh berada di bawah garis merah
(BGM). Bila hal ini tidak segera ditangani maka akan terjadi KEP. Kurang Energi Protein
(KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak
disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan menurut umur
(BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang
paling berat dan meluas terutama pada balita. Pada umumnya penderita KEP berasal
dari keluarga yang berpenghasilan rendah.
9. Hubungan KEP dengan Tingkat Imunitas KEP
Dapat terjadi karena masalah ekonomi orang tua yang terhimpit kemiskinan. Anak
menderita sakit yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan. Sanitasi lingkungan
yang buruk dan pemahaman warga terhadap kesehatan kurang. Selain itu, bisa juga
disebabkan oleh pola konsumsi yang tidak memperhatikan keseimbangan gizi. Hal itu
dapat menimpa siapa saja, tidak mengenal status ekonomi. Anak orang yang
berkecukupan pun bila tidak diperhatikan keseimbangan gizinya dapat terkena gizi buruk
yang akhirnya bisa menjadi KEP. Setiap individu tidak akan memiliki metabolisme yang
normal apabila kebutuhan kalori (energi) nya tidak terpenuhi. Sumber energi manusia
adalah zat-zat gizi sumber energi seperti hidrat arang, lemak, dan protein. Kekurangan
protein juga akan menurunkan imunitas terhadap penyakit infeksi. Sumber protein utama
dari makanan adalah daging, ikan, telur, tahu, tempe, susu, dan lain-lain (umumnya lauk-
pauk). Karena sistem imunitas tubuh itu sangat bergantung pada tersedianya protein
yang cukup maka anak-anak yang mengalami kurang protein mudah terserang infeksi
seperti diare, infeksi saluran pernapasan, TBC, polio, dan lain-lain. Penyakit yang
berhubungan dengan KEP antara lain Defisiensi Dilakukan pemeriksaan kadar serum
retinol, Anemiavitamin A/ Avitaminosis A Dilakukan pemeriksaan Hb, MCV
(Meanterutama karena defisiensi zat besi Corpuscular Volume), MCH (Mean
Corpuscular Hemoglobin), MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) dan
hapusan darah, serta penyakit karena Defisiensi Pemeriksaan serum riboflavin.vitamin
B2
10. Angka-angka Prevalensi KEP Prevalensi KEP
Sulit ditentukan di masyarakat, sehingga jarang didapat jumlah yang akurat penderita
KEP. Hal ini disebabkan karena identifikasi KEP berdasarkan antropometri (mengukur
gangguan pertumbuhan fisik dan perubahan proporsi protein dan lemak) yang mana
pemeriksaannya kurang spesifik. Contoh: BB/U rendah bukan saja karena kurang makan,
tetapi bisa karena penyakit. Bengkak bukan saja berarti kwashiorkor. Dari contoh
tersebut, sehingga muncul istilah false (+), misalnya BB/U seseorang berdasarkan
standar Amerika masuk kategori status gizi buruk, padahal di Indonesia (yang berbeda
ras) masuk kategori status gizi kurang/sedang. False (-), misalnya jika seseorang
dikatakan sehat padahal orang tersebut sakit. KEP kebanyakan terjadi pada Negara
miskin, meskipun pada Negara berkembang dan Negara majupun KEP juga ada. KEP
banyak terjadi jika morbidity (angka kesakitan) dan mortility (angka kematian) tinggi.
Distribusi KEP banyak didaerah-daerah rawan pangan, terpencil, juga daerah-daerah
urban (perkotaan) terutama daerah slump areas (daerah kumuh). Pada tahun 2000,
sekira 30% atau 7 juta anak balita masih menderita KEP dalam tingkat ringan, sedang,
dan berat. Tahun 2005, jumlahnya menurun, sekira 1,67 juta dari 20,87 juta (8%) anak
usia 0-4 menderita KEP. Angka prevalensi tersebut jauh di atas negara anggota ASEAN
lainnya. Anak yang menderita KEP umumnya badannya lebih pendek (stunted), sebagian
lagi kurus. Data statistik menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Indonesia setiap
minggu hanya makan 1 butir telur, 1/2 potong daging, dan 1/2 gelas susu. Ini tak lain
karena kemiskinan yang sudah di tengkuk, sehingga mereka tidak mampu mengakses
pangan hewani yang memang relatif mahal harganya. Susu misalnya, masih dianggap
barang luks yang harganya mahal. Saat ini harga susu sekitar Rp 1.800 per liter. Di
tengah impitan kehidupan yang makin sulit, bisa dimaklumi jika masyarakat lebih
mementingkan membeli dan mengonsumsi pangan karbohidrat daripada pangan sumber
protein/mineral. Bagi warga miskin, yang penting perut seluruh anggota keluarga bisa
kenyang, sementara kualitas gizi urusan belakangan.
11. Dampak KEP
a. Pada usia < 2 merusak sel-sel otak sehingga jumlah sel tidak tumbuh secara optimal.
Dan hal
ini tidak bisa dikoreksi dengan terapi gizi.
b. Pada usia > 2 tahun : jumlah sel-sel otak sudah terbentuk, terjadi pengurusan/atropi
sel-sel
otak. Dan bisa diperbaiki dengan terapi gizi. Tapi sulit sekali disembuhkan.
12. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Pencegahan Malnutrisi antara lain: mempertahankan status gizi anak seoptimal mungkin,
menurunkan resiko timbulnya penyakit infeksi dan memperbaiki diit anak malnutrisi,
meminimalkan akibat penyakit infeksi pada anak, merehabilitasi anak-anak yang
menderita KEP fase dini (malnutrisi ringan). Operasional dari kebijaksanaan pencegahan
Malnutrisi tersebut antara lain:
1. Program promosi ASI
2. Program peningkatan kualitas makanan dengan bahan-bahan lokal. Ibu hamil
dan ibu menyusui diharapkan untuk meningkatkan kebutuhan zat-zat gizinya
antara lain dengan : pemberian tablet besi, pemberian dan perbaikan makanan
ibu hamil, program peningkatan makanan keluarga, misalnya: penyuluhan
tentang proses pemasakan daging yang direbus tidak terlalu lama, sebab akan
menurunkan lemak serta vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, K).
3. Program imunisasi, perbaikan sanitasi lingkungan.
4. Deteksi dini dan pengobatan semua penyakit infeksi serta program oral dan
internal pada dehidrasi karena diare.
5. Meningkatkan hasil produksi pertanian
6. Penyediaan makanan formula yg mengandung tinggi protein dan tinggi energi utk
anak-anak yg disapih
7. Memperbaiki infrastruktur pemasaran
8. Subsidi harga bahan makanan
9. Pemberian makanan suplementer
10. Pendidikan gizi
11. Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan
Penanggulangan Malnutrisi antara lain:
1. Ibu memberikan aneka ragam makanan dalam porsi kecil dan sering kepada
anak sesuai kebutuhan dan petunjuk cara pemberian makanan dari rumah
sakit/dokter/puskesmas.
2. Bila balita dirawat, perhatikan makanan yang diberikan lalu, teruskan di rumah.
3. Berikan hanya ASI, bila bayi berumur kurang dari 4 bulan.
4. Usahakan disapih setelah berumur 2 tahun
5. Berikan makanan pendamping ASI (bubur, buah-buahan, biskuit, dsb.) bagi bayi
di atas 4 bulan dan berikan bertahap sesuai umur.
6. Pengobatan awal (terutama: untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa)
7. Pengobatan/pencegahan thd hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, dan pemulihan
ketidakseimbangan elektrolit
8. Pencegahan (jika ada) ancaman atau perkembangan renjatan septik
9. Pengobatan infeksi
10. Pemberian makanan
11. Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain seperti kekurangan vitamin,
anemia berat, dan payah jantung
12. Rehabilitasi (terutama: untuk memulihkan keadaan gizi)
TINJAUAN PUSTAKA
oleh: Dr. Rahajeng
Malnutrisi adalah suatu keadaan di mana tubuh mengalami gangguan dalam penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas. Malnutrisi dapat disebabkan oleh kurangnya asupan makanan maupun adanya gangguan terhadap absorbsi, pencernaan dan penggunaan zat gizi dalam tubuh.[1]
Malnutrisi merupakan masalah yang menjadi perhatian internasional serta memiliki berbagai sebab yang saling berkaitan. Penyebab malnutrisi menurut kerangka konseptual UNICEF dapat dibedakan menjadi penyebab langsung (immediate cause), penyebab tidak langsung (underlying cause) dan penyebab dasar (basic cause).[2]
Gambar 1.
Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan penyebab langsung malnutrisi yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi, mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh. Kurangnya asupan makanan sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah.
Di Indonesia, angka kebutuhan energi untuk kelompok umur 0-6 bulan adalah 550 kkal/hari, kelompok umur 7-12 bulan 650 kkal/hari, kelompok umur 1-3 tahun 1000 kkal/hari, dan kelompok umur 4-6 tahun 1550 kkal/hari.[3]
Pemberian makanan tambahan sebagai pendamping ASI dimulai saat anak berusia 6 bulan dengan tetap memberikan ASI. Pemberian makanan tambahan ASI dinaikkan bertahap dari segi jumlah, frekuensi pemberian, dan jenis dan konsistensi makanan yang diberikan. Untuk anak yang mendapatkan ASI, rata-rata makanan tambahan yang harus diberikan 2-3 kali/hari untuk usia 6-8 bulan, 3-4 kali/hari untuk usia 9-11 bulan dan 4-5 kali/hari usia 12-24 bulan.[4] Jika densitas dalam makanan rendah atau anak tidak lagi mendapatkan ASI mungkin diperlukan frekuensi makan yang lebih sering. Variasi makanan diberikan untuk memenuhi kebutuhan nutrien. Daging, ayam, ikan atau telur harus diberikan setiap hari atau sesering mungkin. Demikian pula buah dan sayuran, sebaiknya diberikan setiap hari. Kegagalan untuk menyediakan asupan makanan sesuai angka kebutuhan ini secara terus-menerus akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan.[5]
Cara pemberian makanan yang salah dapat dapat disebabkan karena ibu tidak memiliki pengetahuan yang cukup, misalnya mengenai pemberian ASI eksklusif maupun cara pemberian makanan pendamping ASI. Ibu seharusnya mendapatkan informasi yang lengkap dan obyektif mengenai cara pemberian makanan yang bebas dari pengaruh komersial. Mereka perlu mengetahui masa pemberian ASI yang dianjurkan; waktu dimulainya pemberian makanan tambahan; jenis makanan apa yang harus diberikan, berapa banyak dan berapa sering makanan diberikan, dan bagaimana cara memberikan makanan dengan aman.[6]
Kematian akibat penyakit dapat disebabkan salah satu atau kombinasi dari berbagai penyebab lain seperti rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air bersih dan fasilitas sanitasi, kurangnya kebersihan makanan serta pengasuhan anak yang tidak memadai. Pengasuhan anak yang tidak memadai sendiri dapat dikarenakan ibu bekerja sehingga ibu juga memiliki lebih sedikit waktu untuk memberi makan anaknya.
Penyebab tidak langsung yang dapat menyebabkan malnutrisi adalah kurangnya ketahanan pangan keluarga, kualitas perawatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan serta sanitasi lingkungan. Ketahanan pangan dapat dijabarkan sebagai kemampuan keluarga untuk menghasilkan atau mendapatkan makanan. Sebagai tambahan, perlu diperhatikan pengaruh produksi bahan makanan keluarga terhadap beban
kerja ibu dan distribusi makanan untuk anggota keluarga. Sanitasi lingkungan berpengaruh terhadap kesehatan, produksi serta persiapan makanan untuk dikonsumsi serta kebersihan. Pelayanan kesehatan bukan hanya harus tersedia, namun juga harus dapat diakses dengan mudah oleh ibu dan anak. Status pendidikan dan ekonomi perempuan yang rendah menyebabkan kurangnya kemampuan untuk memperbaiki status gizi keluarga. Adapun penyebab dasar berupa kondisi sosial, politik dan ekonomi negara.
Malnutrisi, yang dapat berupa gizi kurang atau gizi buruk, dapat bermanifestasi bukan hanya di tingkat individual namun juga di tingkat rumah tangga, masyarakat, nasional dan internasional sehingga upaya untuk mengatasinya perlu dilaksanakan secara berkesinambungan di berbagai tingkatan dengan melibatkan berbagai sektor.[7] Dengan demikian, penting untuk mengenali penyebab gizi kurang dan gizi buruk di tingkat individu, masyarakat, maupun negara agar selanjutnya dapat dilakukan tindakan yang sesuai untuk mengatasinya.
UNICEF memperkenalkan pendekatan “Assessment, Analysis and Action” dalam penanganan malnutrisi. Setelah adanya penilaian (assessment) mengenai adanya malnutrisi, selanjutnya perlu dilakukan analisis mengenai penyebabnya. Berdasarkan analisis penyebab dan penilaian sumber daya yang tersedia, tindakan (action) dirancang dan dilaksanakan untuk mengatasi masalah. Malnutrisi merupakan manifestasi dari serangkaian penyebab yang saling berkaitan. Namun demikian, identifikasi penyebab langsung malnutrisi pada kasus-kasus individual ataupun pada masyarakat dengan prevalensi malnutrisi yang tinggi tetap relevan untuk dilakukan agar dapat dilakukan penanganan yang sesuai konteks kasus maupun masyarakat.[8]
Secara klinis, malnutrisi dinyatakan sebagai gizi kurang dan gizi buruk. Gizi kurang belum menunjukkan gejala khas, belum ada kelainan biokimia, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi dalam waktu singkat dan dapat terjadi dalam waktu yang cukup lama. Gangguan pertumbuhan dalam waktu yang singkat sering terjadi pada perubahan berat badan sebagai akibat menurunnya nafsu makan, sakit seperti diare dan ISPA, atau karena kurang cukupnya makanan yang dikonsumsi. Sedangkan gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama dapat terlihat pada hambatan pertambahan panjang badan.
Pada gizi buruk disamping gejala klinis didapatkan pula kelainan biokimia yang khas sesuai bentuk klinis. Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu kwashiorkor, marasmus,dan marasmus kwashiorkor. Kwashiorkor adalah gangguan gizi karena kekurangan protein biasa sering disebut busung lapar.
Gejala yang timbul diantaranya adalah edema di seluruh tubuh terutama punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perubahan status mental: rewel kadang apatis, menolak segala jenis makanan (anoreksia), pembesaran jaringan hati, rambut kusam dan mudah dicabut, gangguan kulit yang disebut crazy pavement,pandangan mata tampak sayu. Pada umumnya penderita sering rewel
dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.[9],[10]
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya tampak sangat kurus (tinggal tulang terbungkus kulit), muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit, perut cekung, kulit keriput, rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Pada stadium lanjut yang lebih berat anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.[11]
Untuk menentukan status gizi menggunakan beberapa langkah. Langkah pertama adalah dengan melihat berat badan dan umur anak disesuaikan dengan grafik KMS (Kartu Menuju Sehat). Bila dijumpai berat badan di bawah garis merah (BGM) maka dilanjutkan dengan langkah menentukan status gizi balita dengan menghitung berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) berdasarkan standar WHO-NCHS. Dinyatakan gizi buruk bila BB/TB <-3 SD standar WHO-NCHS.[12]