Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Dengan Menggunakan Media Audio Visual Pada Mata Pelajaran Ips Smp Muhammadiyah 2 Kadungora Kabupaten Garut

Embed Size (px)

Citation preview

PROPOSAL

12

BAB 1PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah

Keberhasilan dalam pembelajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terlibat dalam semua kegiatan belajar mengajar. Diantara faktor-faktor tersebut adalah siswa, guru, kebiajakan pemerintah dalam membuat kurikulum, serta dalam proses belajar seperti metoda, sarana dan prasarana (media pembelajaran), model, dan pendekatan belajar yang digunakan. Kondisi riil dalam pelaksanaannya latihan yang diberikan tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep. Rendahnya mutu pembelajaran dapat diartikan kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya dapat berasal dari siswa, guru maupun sarana dan prasarana yang ada, minat dan motivasi siswa yang rendah, kinerja guru yang rendah, serta sarana dan prasarana yang kurang memadai akan menyebabkan pembelajaran menjadi kurang efektif. Saat sekarang ini sistem pembelajaran harus sesuai dengan kurikulum yang menggunakan sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Kesatuan Pendidikan). Jadi pendidikan tidak hanya ditekankan pada aspek kognitif saja tetapi juga afektif dan psikomotorik.

Permasalahan yang dialami dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial meliputi faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal yang dialamai oleh siswa meliputi hal-hal seperti; sikap terhadap belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, kemampuan mengolah bahan belajar, kemampuan menyimpan perolehan hasil belajar, kemampuan menggali hasil belajar yang tersimpan, kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar, rasa percaya diri siswa, intelegensi dan keberhasilan belajar, kebiasaan belajar dan cita-cita siswa. Faktor-faktor internal ini akan menjadi masalah sejauh siswa tidak dapat menghasilkan tindak belajar yang menghasilkan hasil belajar yang baik. (Dimyati & Mudjiono, 2002).

Faktor eksternal meliputi hal-hal sebagai berikut; guru sebagai pembimbing belajar, prasarana dan sarana pembelajaran, kebijakan penilaian, lingkungan siswa di sekolah, dan kurikulum sekolah. Dari sisi guru sebagai pembelajar maka peranan guru dalam mengatasi masalah-masalah eksternal belajar merupakan prasyarat terlaksanannya siswa dapat belajar.(Dimyati & Mudjiono, 2002)

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai bagian integral dari kurikulum pembelajaran di persekolahan, selayaknya disampaikan secara menarik dan penuh makna dengan memadukan seluruh komponen pemebalajaran secara efektif. Selain itu, IPS sebagai disiplin ilmu yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap dinamika perkembangan masyarakat. Dalam praktek pembelajarannya harus senantiasa memperhatikan konteks yang berkembang. Pendekatan-pendekatan pembelajaran efektif yang diambil dari teori pendidikan modern menjadi salah satu intrumen penting untuk diperhatikan agar pembelajaran tetap menarik bagi peserta didik serta senantiasa relevan dengan konteks yang berkembang.

Tujuan utama IPS adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat secara umum.

Untuk mencapai tujuan di atas, diperlukan strategi yang memadukan setiap komponen pembelajaran secara integrated dan koheren. Penentuan materi yang tepat, metode yang efektif, media dan sumber pembelajaran yang relevan serta proses evaluasi yang dapat mengukur tingkat pencapaian proses dan hasil terhadap tujuan pembelajaran menjadi pekerjaan utama para aktor pembelajaran agar kegiatan belajar mengajar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Peran pendidik yang kini mengalami pergeseran dari teacher centered menuju student centered merupakan suatu fenomena yang memiliki makna filosofis terhadap praktek pembelajaran di persekolahan. Oleh karenanya, guru abad sekarang harus mampu meningkatkan profesionalismenya serta senantiasa beradaptasi dengan dinamika perkembangan dunia pendidikan pada khususnya dan dinamika global pada umumnya.

Hasil belajar yang merupakan daya serap siswa yang berupa kemampuan kognitif atau kemampuan mengerjakan tes samapi sekarang masih menjadi pedoman untuk menaikan siswa ke kelas yang lebih tinggi dan menerima siswa atau mahasiswa baru. Oleh karena itu, mutu pendidikan yang digambarkan dalam hasil belajar bidang studi IPS masih sangat perlu segera ditingkatkan, terutama karena memasuki tantangan baru era globalisasi.

Media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar ikut membantu guru memperkaya wawasan anak didik. Aneka macam bentuk dan jenis media pendidikan yang digunakan oleh guru menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi anak didik. Dalam menerangkan suatu benda, guru dapat membawa bendanya secara langsung ke hadapan anak didik di kelas. Dengan menghadirkan bendanya seiring dengan penjelasan mengenai benda itu, maka benda itu dijadikan sebagai sumber belajar.

Kalau dalam pendidikan di masa lalu, guru merupakan satu-satunya sumber belajar bagi anak didik. Sehingga kegiatan pendidikan cenderung masih tradisional. Perangkat teknologi penyebarannya masih sangat terbatas dan belum memasuki dunia pendidikan. Tetapi lain halnya sekarang, perangkat teknologi sudah ada dimana-mana. Pertumbuhan dan perkembangannya hampir-hampir terkendali, sehingga wabahnya pun menyusup ke dalam dunia pendidikan. Di sekolah-sekolah kini, terutama di kota-kota besar, teknologi dalam berbagai bentuk dan jenisnya sudah dipergunakan untuk mencapai tujuan. Ternyata teknologi, yang disepakati sebagai media itu, tidak hanya sebagai alat bantu, tetapi juga sebagai sumber belajar dalam proses belajar mengajar. Media sebagai sumber belajar diakui sebagai alat bantu auditif, visual, dan audiovisual. Penggunaan ketiga jenis sumber belajar ini tidak sembarangan, tetapi harus disesuaikan dengan perumusan tujuan instruksional, dan tentu saja dengan kompetensi guru itu sendiri, dan sebagainya.

Anjuran agar menggunakan media dalam pengajaran terkadang sukar dilaksanakan, disebabkan dana yang terbatas untuk membelinya. Menyadari akan hal itu, disarankan kembali agar tidak memaksakan diri untuk membelinya, tetapi cukup membuat media pendidikan yang sederhana selama menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Cukup banyak bahan mentah untuk keperluan pembuatan media pendidikan dan dengan pemakaian keterampilan yang memadai untuk tercapainya tujuan. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi.

Pembelajaran dengan menggunakan media Audio-visual adalah sebuah cara pembelajaran dengan menggunakan media yang mengandung unsur suara dan gambar, dimana dalam proses penyerapan materi melibatkan indra penglihatan dan indra pendengaran. Umar Hamalik (1986) dan Sudirman, dkk menyatakan media pembelajaran berfungsi sebagai :

(1) menyiarkan informasi penting; (2) memotivasi siswa dalam pembelajaran; (3) menambah pengayaan dalam belajar; (4) menunjukkan hubungan-hubungan antar konsep; (5) menyajikan pengalaman-pengalaman yang tidak ditujukan guru; (6) membantu belajar perorangan; (7) mendekatkan hal-hal yang ada diluar kelas ke dalam kelas.

Dengan demikian, penggunaan media pembelajaran yang bisa melibatkan lebih dari satu indra akan berpengaruh terhadap kualitas informasi yang diterima, dan semakin efektifnya dalam proses mengingat terhadap informasi yang sudah diterima.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan mencoba melakukan penelitisan dengan judul : Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Siswa dengan Menggunakan Media Audio-Visual Pada Pelajaran IPS Di Kelas VII-A SMP Muhammadiyah 2 Kadungora Kabutapen Garut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Bagaimana proses pembelajaran dengan menggunakan Media Audio Visual di kelas VII-A SMP Muhammadiyah 2 Kadungora?2.Bagaimanakah hasil belajar siswa dengan menggunakan Media Audio Visual di kelas VII, SMP Muhammadiyah 2 Kadungora?1.3 Tujuan Penelitian

Untuk memberi arah yang jelas tentang maksud dari penelitian ini dan berdasar pada rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1.Untuk mengetahui proses pembelajaran dengan menggunakan Media Audio Visual di kelas VII, SMP Muhammadiyah 2 Kadungora.

2.Untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan menggunakan Media Audio Visual di kelas VII, SMP Muhammadiyah 2 Kadungora.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Berikut penulis kemukakan manfaat dari penelitian ini, yaitu:1. Secara Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembuktian bahwa penggunaan media merupakan salah satu hal penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Terlebih lagi penggunaan media audio visual yang memadukan antara indera pendengar dan indera penglihat

2. Secara Praktis

a. Hasil pembelajaran sebagai umpan balik untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembelajaranb. Meningkatkan kualitas atau mutu sekolah melalui peningkatan prestasi siswa dan kinerja guruc. Mendorong untuk meningkatkan profesionalisme guru.

d. Memperbaiki kinerja guru e. Menumbuhkan wawasan berfikir ilmiahf. Meningkatkan kualitas pembelajarang. Meningkatkan minat siswa dalam memahami Materi pelajaran.

h. Memiliki rasa tanggung jawab terhadap perolehan ilmu.i. Memotivasi siswa untuk lebih mantap dalam belajar.j. Meningkatkan prestasi siswa.k. Siswa dapat berfikir kritis dan kreatif dalam menyeraf informasi yang ada.

1.5 Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahtafsiran terhadap pokok-pokok masalah yang diteliti, di bawah ini akan diterangkan secara operasional beberapa istilah teknis yang dipandang penting untuk diketahui kejelasannya.

1. Peningkatan Prestasi Belajar Siswa

Peningkatan berarti mempertinggi (Purwadarman:1984). Sedangkan kinerja adalah suatu proses yang disusun untuk meningkatkan hasil-hasil produk (Soetisna, 2000:47). Guru merupakan pekerjaan atau jabatan profesional, artinya tidak semua orang mampu melakukan pekerjaan tersebut dengan baik.

Hasil belajar siswa yaitu adanya perubahan tingkah laku pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Hasil belajar siswa yang dimaksud dalam penellitian ini adalah sebagai akibat dari penggunaan media Audio Visual pada proses pembelajaran.

2.Media Pembelajaran Audio Visual

Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi.

Pembelajaran dengan menggunakan media Audio-Visual adalah sebuah cara pembelajaran dengan menggunakan media yang mengandung unsur suara dan gambar, dimana dalam proses penyerapan materi melibatkan indra penglihatan dan indra pendengaran.

3.Pembelajaran IPS

Setiap mata pelajaran tentu memiliki karakteristik yang membedakan dari mata pelajaran yang lain, demikian juga mata pelajaran Pengetahuan Sosial untuk SMP. Beberapa karakteristik mata pelajaran Pengetahuan Sosial, antara lain :

a. Pengetahuan Sosial merupakan perpaduan antara sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah dan kewarganegaraan.

b.Materi kajian Pengetahuan Sosial berarti dari struktur keilmuan sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah dan kewarganegaraan. Dari kelima struktur keilmuan itu kemudian dirumuskan materi kajian untuk Pengetahuan Sosial.

c.Materi Pengetahuan Sosial juga menyangkut masalah sosial dan tema-tema yang dikembangkan dengan pendekatan indispliner dan multidispliner. Yang dimaksud indispliner yaitu melibatkan disiplin ilmu ekonomi, ekonomi, geografi dan sejarah. Sedangkan multidispliner yaitu materi kajian itu mencakup aspek kehidupan masyarakat.

4. Konsep Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), disebutkan bahwa : Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). Geografi, sejarah, dan antropologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi memberikan kebulatan wawasan yang berkenaan dengan wilayah-wilayah, sedangkan sejarah memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai, kepercayaan, struktur sosial, aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekspresi dan spiritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi dan psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial.

5. Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Menurut Awan Mutakin (1998), berdasarkan rumusan tujuan umum tersebut dapat dirinci sebagai berikut:a. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.b. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.c. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.d. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.e. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.BAB 2KAJIAN PUSTAKA

2.1 Belajar dan Pembelajaran

1. Hakikat Belajar dan Pembelajaran

Belajar pada prinsipnya adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber atau obyek belajar baik secara sengaja dirancang atau tanpa sengaja dirancang (Suliana,2005). Kegiatan belajar tersebut dapat dihayati (dialami) oleh orang yang sedang belajar. Selain itu kegiatan belajar juga dapat di amati oleh orang lain. Belajar yang di hayati oleh seorang pebelajar (siswa) ada hubungannya dengan usaha pembelajaran, yang dilakukan oleh pembelajar (guru). Pada satu sisi, belajar yang di alami oleh pebelajar terkait dengan pertumbuhan jasmani yang siap berkembang. Pada sisi lain, kegiatan belajar yang juga berupa perkembangan mental tersebut juga didorong oleh tindakan pendidikan atau pembelajaran. Dengan kata lain, belajar ada kaitannya dengan usaha atau rekayasa pembelajar. Dari segi siswa, belajar yang dialaminya sesuai dengan pertumbuhan jasmani dan perkembangan mental, akan menghasilkan hasil belajar sebagai dampak pengiring, selanjutnya, dampak pengiring tersebut akan menghasilkan program belajar sendiri sebagai perwujudan emansipasi siswa menuju kemandirian. Dari segi guru, kegiatan belajar siswa merupakan akibat dari tindakan pendidikan atau pembelajaran. Proses belajar siswa tersebut menghasilkan perilaku yang dikehendaki, suatu hasil belajar sebagai dampak pengajaran. (Dimyati & Mudjiono, 2002). Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia, atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar tentang suatu hal tersebut tampak sebagai perilaku belajar yang tampak dari luar.

Tabel 2.1 : Ciri-ciri Umum Pendidikan, Belajar, dan perkembangan.Unsur-unsurPendidikanBelajarPerkembangan

1. PelakuGuru sebagai pelaku mendidik dan siswa yang terdidikSiswa yang bertindak belajar atau pembelajarSiswa yang mengalami perubahan

2. TujuanMembantu iswa untuk menjadi pribadi mandiri yang utuhMemperolah hasil belajar dan pengalaman hidupMemperoleh perubahan mental

3. ProsesProses interaksi sebagai faktor eksternal belajarInternal pada diri pembelajarInternal pada diri pembelajar

4. TempatLembaga pendidikan sekolah dan luar sekolahSembarang tempatSembarang tempat

5. Lama waktuSepanjang hayat dan sesuai jenjang lembagaSepanjang hayat Sepanjang hayat

6. Syarat terjadi Guru memiliki kewibawaan pendidikanMotivasi belajar kuatKemauan mengubah diri

7.Ukuran KeberhasilanTerbentuk pribadi terpelajarDapat memecahkan masalahTerjadinya perubahan positif

8. Faedah Bagi masyarakat mencerdaskan kehidupan bangsaBagi pembelajar mempertingi martabat pribadiBagi pembelajar memperbaiki kemajuan mental

9. Hasil Pribadi sebagai pembangun yang produktif dan kreatifHasil belajar sebagai dampak pengajaran dan pengiringKemajuan ranah kognitif, akfektif, dan psikomotorik

Adaptasi dari Monks, Knoers, (Siti Rahayu, 1989)

Apakah hal-hal di luar siswa yang menyebabkan belajar juga sukar ditentukan? Oleh karena itu, beberapa ahli mengemukakan pandangan yang berbeda tentang belajar.

a.Belajar Menurut pandangan Skinner

Skinner berpadangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responsnya menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut :

(i)kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulakan respons pembelajar,

(ii)respons si pembelajar, dan

(iii) konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut. Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respons yang baik diberi hadiah. Sebaliknya, perilaku respons yang tidak baik diberi teguran dan hukuman.

Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner. Pandangan Skinner ini terkenal dengan nama teori Skinner. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu (i) pemilihan stimulus yang diskriminatif, dan (ii) penggunaan penguatan. Sebagai ilustrasi, apakah guru akan meminta respons ranah kognitif atau afektif. Jika yang akan dicapai adalah sekedar menyebut ibu kota negara Republik Indonesia adalah Jakarta, tentu saja siswa hanya dilatih menghafal.

Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori kondisioning operan sebagai berikut :

(1) Kesatu, mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan perilaku siswa yang positif atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negatif diperlemah atau dikurangi.

(2) Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih disukai oleh siswa, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat dijadikan penguat.

(3) Ketiga, memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatnya.

(4)Keempat, membuat program pembelajaran program pembelajaran ini berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku, dan evaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran, guru mencatat perilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut menjadi catatan penting bagi modifikasi perilaku selanjutnya. (Sumadi Suryabrata, 1991).

b.Belajar Menurut Gagne

Menurut Gagne, belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari (i) stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan (ii) proses kognitif yang dilakukan oleh pembelajar. Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Sebagai ilustrasi, siswa kelas dua SMP mempelajari nilai luhur Pancasila. Mereka membaca berita di surat kabar tentang bencana alam gempa bumi di Flores dan banjir di beberapa provinsi di jawa. Mereka bersama-sama mengumpulkan bantuan bencana alam dari orang tua siswa SMP. Mereka mampu mengumpulkan 4 kuintal beras, 100 potong pakaian, dan uang sebesar Rp 5.000.000,00. Hasil bantuan tersebut kemudian mereka serahkan ke Palang Merah Indonesia yang mengkoordinasi bantuan di kota setempat. Perilaku siswa mengumpulkan sumbangan tersebut merupakan hasil belajar nilai luhur Pancasila. Hal ini merupakan dampak pengiring.

Menurut Gagne, belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi inernal, dan hasil belajar.

Komponen tersebut dilukiskan dalam bagan 2.1 sebagai berikut.

Kondisi internal belajar

Kondisi eksternal belajar

Komponen Esensial Belajar dan Pembelajaran

(Adaptasi dari Bell Gredler, 1991:188).

Bagan 2.1 melukiskan hal-hal berikut :

(1)Belajar merupakan interaksi antara keadaan inernal dan proses kognitif siswa dengan stimulus dari lingkungan.

(2)Proses kognitif tersebut menghasilakn suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif.

Kelima hasil belajar tersebut merupakan kapabilitas siswa. Kapabilitas siswa tersebut berupa :

(1)Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilikan informasi verbal memungkinkan individu berperanan dalam kehidupan.

(2)Keterampilan intelekutal adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiri dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, dan prinsip.

(3)Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahakn aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.

(4)Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

(5)Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.

Gagne berpendapat bahwa, dalam belajar terdiri dari tiga tahap yang meliputi sembilan fase. Tahapan itu sebagai berikut : (i) persiapan untuk belajar, (ii) pemerolehan dan unjuk perbuatan (performansi), dan (iii) alih belajar. Pada tahap persiapan dilakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan dan mendapat kembali informasi. Pada tahap pemerolehan dan perfomansi digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik, pembangkitan kembali dan respons, serta penguatan. Tahap alih belajar meliputi pengisyaratan untuk membangkitkan, dan pemberlakukan secara umum. Adanya tahap dan fase belajar tersebut mempermudah guru untuk melakukan pembelajaran.

Dalam rangka pembelajaran, maka guru dapat menyusun acara pembelajaran yang cocok dengan tahap dan fase-fase belajar. Pola hubungan antara fase belajar dengan acara-acara pembelajaran tersebut dapat digunakan untuk pedoman pelaksanaan kegiatan belajar di kelas. Sudah barang tentu guru masih harus menyesuaikan dengan bidang studi dan kondisi kelas yang sebenarnya. Guru dapat memodifikasi seperlunya.

Tabel 2.2 : Hubungan antara Fase Belajar dan Acara Pembelajaran

PersiapanFase belajarKeterangan

Persiapan untuk belajar1.Mengarahkan perhatianAcara pembelajaran

Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus.

2. EkspektansiMemberitahu siswa mengenai tujuan belajar

3.Retrival (infromasi dan keterampilan yang relevan untuk memori kerja)Merangsang siswa agar mengingat siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya.

Pemerolehan dan unjuk perbuatan4.Persepsi selektif atas sifat stimulusMenyajikan stimulus yang jelas sifatnya

5.Sandi semantikMemberikan bimbingan belajar

6.Retrival dan responsMemunculkan perbuatan

Retrival dan alih7. PenguatanSiswa

8.PengisyaratanMemberikan balikan informatif

9.Pemberlakuan secara umumMeningkatkan retensi dan alih belajar

(Belajar Menurut Pandangan Gagne)

c. Belajar Menurut Pandangan Piaget

Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.

Selanjutnya menurut Piaget (Dahar, 1996) perkembangan intelektual melalui tahap-tahap berikut. (i) sensori motor (0: 0-2; 0 tahun), (ii) pra-opterasional (2: 0-7; 0 tahun), (iii) operasional konkret (7: 0-11: 0 tahun), dan (iv) operasi format (11: 0-ke atas).

Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sonsorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pengengaran, perabaan dan menggerak-gerakannya. Pada tahap pra-operasional. Anak mengembalikan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakn simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolong-golongkan. Pada tahap operasi konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis. Walau kadang-kadang memecahkan masalah secara trial and error. Pada tahap operasi formal anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa.

Pengetahuan dibangun dalam pikiran. Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial.

Belajar pengetahuan meliputi tiga fase. Fase-fase itu adalah fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gelaja lain lebih lanjut.

Menurut Piaget, pembelajaran terdiri dari empat langkah berikut :

(1) Langkah satu : Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri. Penentuan topik tersebut dibimbing dengan beberapa pertanyaan, seperti berikut :

(a)Pokok bahasana manakah yang cocok untuk eksperimentasi?

(b)Topik manakah yang cocok untuk pemecahan masalah dalam situasi kelompok?

(c)Topik manakah yan dapat disajikan pada tingkat manipulasi secara fisik sebelum secara verbal?

(2) Langkah dua : Memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut. Hal ii dibimbing dengan pertanyaan seperti :

(a)Apakah aktivitas itu memberi kesempatan untuk melaksanakan nictode eksperimen?

(b)Dapatkah kegiatan itu menimbulkan pertanyaan siswa?

(c) Dapatkah siswa membandingkan berbagai cara bernalar dalam mengikuti kegiatan di kelas?

(d)Apakah masalah tersebut merupakan masalah yang tidak dapat dipecahkan atas dasar pengisyaratan perseptual?

(e)Apakah aktivitas itu dapat menghasilkan aktivitas fisik dan kognitif?

(f)Dapatkah aktivitas itu dapat memperkaya konstruk yang sudah dipelajari?

(3)Langkah tiga : Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan, yang menunjang proses pemecahan masalah. Bimbingan pertanyaan berupa:

(a)Pertanyaan lanjut yang memancing berpikir seperti bagaimana jika?

(b)Memperbandingkan materi apakah yang cocok untuk menimbulkan pertanyaan spontan?

(4)Langkah empat : Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi. Bimbingan pertanyaan berupa:

(a)Segi kegiatan apakah yang menghasilkan minat dan keterlibatan siswa yang besar?

(b)Segi kegiatan manakah yang tidak menarik, dan apakah alternatifnya?

(c)Apakah aktivitas itu memberi peluang untuk mengembangkan siasat baru untuk penelitian atau meningkatkan siasat yang sudah dipelajari?

(d)Apakah kegiatan itu dapat dijadikan modal untuk pembelajaran lebih lanjut?

Secara singkat, Piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, ekperimental, dan eksplanasi (Bell Bredler, 1991 : 3001-357).

d. Belajar Menurut RogersRogers menyayangkan praktek pendidikan di sekolah tahun 1960-an. Menurut pendapatnya, praktek pendidikan menitikberatkan pada segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominan dan siswa hanya menghafalkan pelajaran.

Rogers mengemukakan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan dan pembelajaran tersebut sebagai berikut :

(1)Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.

(2)Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.

(3)Pengorganisasisan bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru, sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.

(4)Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu, bekerja sama dengan melakukan pengubahan diri terus-menerus.

(5)Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar.

(6)Belajar mengalami (experiental learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri. Hal ini berarti bahwa evaluasi dari instruktur bersifat sekunder.

(7)Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh.Rogers mengemukakan saran tentang langkah-langkah pembelajaran yang perlu dilakukan oleh guru. Saran pembelajaran itu meliputi hal berikut :

(1)Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur,

(2)Guru menggunakan metode simulasi,

(3)Guru menggunakan metode inquiri, atau belajar menemukan (discovery learning).

(4)Guru menggunakan metode simulasi,

(5)Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelompok lain.

(6)Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.

(7)Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreativitas (Snelbecker, 1974: 483-494; Skager, 1984: 33; Bergan dan Dunn, 1976: 122-128).

Keempat pandangan tentang belajar tersebut merupakan bagian kecil dari pandangan yang ada. Untuk kepentingan pembelajaran, para guru dan calon guru masih harus mempelajari sendiri dari psikologi belajar. Di samping itu, para guru masih perlu memilih teori yang relevan bagi bidang studi asuhannya. Guru juga perlu memodifikasi secara praktis sesuai dengan kondisi perilaku siswa belajar.

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung terhadap kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Pemahaman seorang guru terhadap pengertian pembelajaran akan mempengaruhi cara atau metode guru itu mengajar.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh pakar-pakar, secara umum dapat diartikan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses perubahan dalam perilaku sebagai hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara lengkap, Surya, (2003 : 7) menjelaskan pengertian pembelajaran dapat dirumuskan sebagai berikut: pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.2. Masalah-masalah dalam Belajar

Suryabrata (1984) mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dan ini masih lagi digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :

a. Faktor-faktor non-sosial

Kelompok faktor-faktor ini boleh dikatakan juga tidak terbilang jumlahnya, seperti misalnya : keadaan suhu, suhu udara, cuaca, waktu (pagi, siang atau malam), tempat (letaknya, pergedungannya), alat-alat yang dipakai untuk belajar (alat tulis, buku, alat peraga, dan sebagainya yang dapat kita sebut sebagai alat pelajaran).

b. Faktor-faktor sosial

Yang dimaksud dengan faktor sosial disini adalah faktor manusia (semua manusia), baik manusia itu hadir maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan, jadi tidak langsung hadir. Kehadiran orang atau orang-orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak kali mengganggu belajar itu; misalnya kalau satu kelas murid sedang melaksanakan ujian, lalu banyak anak-anak lain bercakap-cakap di samping kelas, atau seseorang sedang belajar di kamar, satu atau dua orang hilir mudik keluar masuk kamar belajar itu dan sebagainya.

Selain kehadiran yang langsung seperti yang dikemukakan di atas, mungkin juga orang lain itu hadir tidak secara langsung atau dapat disimpulkan kehadirannya; misalnya saja potret dapat merupakan representasi dari seseorang, suara nyanyian yang dihidangkan lewat radio maupun tape recorder juga dapat merupakan representasi bagi kehadiran seseorang.

2. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelajar, dan ini pun dapat lagi digolongkan menjadi dua golongan yaitu :

a. Faktor-faktor fisiologi

Faktor-faktor fisiologi ini masih dapat lagi dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1) Keadaan tonus jasmani pada umumnya

Keadaan tonus jasmani pada umumnya ini dapat dikatakan melatar belakangi aktivitas belajar, keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan jasmani yang lelah lain pengaruhnya dari pada yang tidak lelah. Dalam hubungannya dengan hal ini ada dua hal yang perlu dikemukakan yaitu :

(a)Nutrisi harus cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya tonus jasmani, yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah dan lain sebagainya.

(b)Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu belajar itu.

2)Keadaan fungsi-fungsi fisiologi tertentu terutama fungsi-fungsi alat indra.

b. Faktor-faktor psikologi

Arden N. Frandsen (dalam S. Suryabrata, 1984) mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar adalah sebagai berikut:

1)Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas

2)Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman.

3)Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan kooperasi maupun kompetensi

4)Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran

5)Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar.

2.2 Media Pembelajaran

1. Pengertian Media

Media pengajaran atau alat peraga lebih dikenal sebagai salah satu alat bantu pengajaran. Dikatakan sebagai alat karena fungsinya sebagai alat untuk membantu guru dalam memperlancar jalannya pengajaran, sehingga dapat memperjelas pemahaman siswa terhadap materi yang sedang dipelajari. Alat bantu tersebut merupakan cara untuk menyajikan suatu materi pelajaran melalui peragaan. Hidayat (1991:107), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan media pengajaran ialah suatu alat yuang dipergunakan dalam proses penyampaian pengajaran kepada siswa untuk membantu mempermudah, memperlancar jalannya pengajaran sehingga materi dapat dipahami oleh siswa.

Sadiman (1984 : 7) mengatakan bahwa, Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi dengan efektif dan efisien.

Sehubungan dengan itu, Hastuti (1986 : 177) berpendapat bahwa Media berasal dari bahasa Latin dengan bentuk jamak medium yang berarti perantara, maksudnya segala sesuatu yang membawa pesan dari suatu sumber untuk disampaikan kepada penerima pesan. Hamalik (1994:12) memberikan pengertian bahwa media adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.

Menurut Subiakto (1993 : 206), yang dimaksud dengan alat atau media dalam pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial adalah segala alat yang dapat digunakan oleh guru atau pengajar serta pelajar untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan media dalam pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial adalah suatu alat atau perantara yang dipergunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pelajaran atau menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang minat dan perhatian siswa dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Kedudukan media pengajaran dalam proses belajar mengajar itu memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses belajar mengajar ditandai dengan adanya beberapa unsur antara lain: tujuan, bahan, metode, dan alat serta evaluasi. Unsur metode dan alat atau media merupakan unsur yang tidak bisa dilepaskan dari unsur lainnya yang berfungsi sebagai cara atau teknik untuk mengantarkan bahan pelajaran agar sampai kepada tujuan. Dalam pengajaran, tujuan, media atau alat memegang peranan yang sangat penting, sebab dengan adanya media tersebut bahan pelajaran dapat dengan mudah dipahami oleh siswa.

Sejalan dengan fungsi media pembelajaran, Sudhana (1987 :100) berpendapat:

Ada enam fungsi pokok dari media pengajaran, yaitu :

1) Sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.

2) Salah satu unsur yang harus dikembangkan guru.

3) Penggunaannya integral dengan tujuan dan isi pelajaran.

4) Sebagai alat hiburan untuk menarik minat siswa.

5) Untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan oleh guru.

6) Untuk mempertinggi mutu belajar mengajar.

Namun hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan media dalam pengajaran adalah prinsip tidak ada satu media pun yang paling baik untuk keseluruhan masalah atau tujuan pengajaran. Sebab setiap media memiliki karakteristik yang berbeda, yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena itu, dalam pemilihan media harus disesuaikan dengan tujuan, kemampuan siswa, sifat materi, dan kemampuan guru dalam menjalankan media tersebut. Jadi, sebenarnya tidak ada suatu media pun yang dapat dipergunakan oleh segala macam situasi dan kondisi.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa media merupakan suatu alat yang menjadi pengantar dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan demikian, yang dimaksud dengan media pengajaran bahasa Indonesia adalah alat yang dapat dipergunakan oleh guru dan siswa dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan.

2. Media Audio Visual

Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi.

Pembelajaran dengan menggunakan media Audio-visual adalah sebuah cara pembelajaran dengan menggunakan media yang mengandung unsur suara dan gambar, dimana dalam proses penyerapan materi melibatkan indra penglihatan dan indra pendengaran. Dalam proses belajar mengajar media pembelajaran berfungsi sebagai:1) menyiarkan informasi penting ; 2) memotivasi siswa dalam pembelajaran; 3) menambah pengayaan dalam belajar; 4) menunjuka hubungan hubungan antar konsep; 5) menyajikan pengalaman-pengalamn yang tidak ditunjukan guru; 6) membantu belajar perorangan; 7) mendekatkan hal-hal yang ada diluar kelas kedalam kelas.O. Hamalik (1982) dan Sudirman, dkk mengelompokan media berdasarkan jenisnya dalam beberapa kelompok :

1.Media auditif yaitu media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti tepe recorder.

2.Media visual yaitu media yang hanya mengandalkan indera penglihatan dalam wujud visual.

3.Media audio visual yaitu media yang mempunyai unsur suara dan gambar.

Dalam sebuah penelitian bahwa penerimaan informasi sebelum menjadi ilmu pengetahuan dalam diri kita itu diawali melalui proses indra. Menyadur pendapat Vernon A. Magnesen bahwa dalam kegiatan belajar, sebuah ilmu pengetahuan bisa di terima oleh indra kita ternyata memiliki tingkatan prosentase yang berbeda, dengan pengklasifikasian sebagia berikut:

10% dari apa yang kita baca

20% dari apa yang kita dengar

30% dari apa yang kita lihat

50% dari apa yang kita lihat dan dengar

70% dari apa yang kita katakan

90% dari apa yang kita katakan dan lakukan

Aristoteles mengusulkan bahwa model pendidikan awal berasal dari serapan indra. Dan masing-masing indra mempunyai kontribusi yang berbeda. Penggabungan indra-indra dalam proses belajar akan menambah daya serap siswa.

Dengan demikian penggunaan media belajar audio-visual akan merangsang keterlibatan indra penglihatan dan pendengaran dan juga suasana diri (mood) sehingga akan memudahkan dalam penyerapan informasi yang pada akhirnya akan di simpan di otak dalam memori.2.3 Pembelajaran IPS

1. Pengertian Pendidikan IPS

Istilah IPS merupakan sub program pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, oleh karena itu lahirlah Pendidikan IPS (dan Pendidikan IPA). Istilah ini adalah penegasan dan akibat dari istilah IPS-IPA saja agar bisa dibedakan dengan pendidikan tinggi di Universitas. Namun, menurut Al Mukhtar (1991: 47), mata pelajaran ilmu-ilmu sosial sendiri, sudah ada jauh sebelum digunakan istilah IPS seperti yang terdapat dalam kurikulum 1962 dan 1968.

Istilah lain yang muncul selain dari nama Pendidikan IPS ini adalah Studi Sosial. Istilah ini diperkenalkan di Indonesia pada Tahun 1971, pada Seminar Nasional Civics Education di Tawangmangu - Solo, sebagai terjemahan dari istilah Social Studies yang telah digunakan di Amerika untuk mata pelajaran ini dalam kurikulum Sekolahnya (Al Mukhtar, 1991: 48). Kendatipun istilah ini tidak dijadikan nama bagi Pendidikan IPS, namun menurut Al Mukhtar, istilah ini terus berkembang sebagai sebutan konseptual dalam pembaharuan pendidikan IPS yang secara operasional lebih berperan sebagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum Pendidikan IPS.

Nama-nama lainnya yang identik dengan penamaan Pendidikan IPS (PIPS) dan Studi Sosial ini masih menurut Al Mukhtar (2001; 24-49), adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan Ilmu Sosial (PIS), dan Ilmu Sosial Dasar (ISD). Setiap istilah yang digunakan, merupakan cerminan dari dasar pemikiran serta visi, misi dan arah pengembangannya, terutama tujuan dari setiap program. Namun, secara umum orang mengidentikkan IPS dan PIPS adalah sebutan untuk program pendidikan IPS di tingkat dasar dan menengah, sedangkan Studi Sosial, Pendidikan Ilmu Sosial dan Ilmu Sosial Dasar, adalah nama-nama untuk program pendidikan yang biasa dilaksanakan di tingkat Perguruan Tinggi.

Sekalipun diajarkan di tingkatan yang berbeda, namun dua-duanya tetap mempunyai kesamaan, yakni sama-sama berbasiskan ilmu sosial, sedangkan perbedaannya terdapat dalam segi kedalaman dan keluasan isi materi, serta tujuan akhir dilaksanakannya program tersebut.

Perbandingan pendidikan IPS untuk tingkat Dasar dan Menengah dan di Perguruan Tinggi, digambarkan oleh Somantri (2001:103) sebagai berikut:

Pendidikan IPS untuk tingkat Dasar dan Menengah Pendidikan IPS untuk FPIPS dan jurusan IPS FKIP

Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis psikologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah, dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila. Pendidikan IPS adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah (dan psikologis) untuk mewujudkan tujuan pendidikan FPIPS, dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila.

Perbandingan Pend. IPS untuk tingkat Dasar & Menengah dengan di Perguruan Tinggi.

Di sekolah-sekolah Amerika sendiri yang sampai saat ini dianggap sebagai salah satu sumber utama dalam pendidikan IPS (studi sosial) di Indonesia ternyata mempunyai tiga tradisi dalam memandang (pendekatan) pendidikan IPS untuk proses pembelajaran di tingkat persekolahannya R.D. Barr et al. dalam David T. Nayloretal. (1987:35-37).

Pertama, ada yang memandang IPS sebagai Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan membentuk warga negara yang baik melalui penanaman nilai-nilai yang baik sebagai kerangka dasar pengambilan keputusan. Kedua, memandang IPS sebagai Ilmu Sosial yang bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik melalui pengambilan keputusan yang mendasar, dengan penguasaan konsep ilmu sosial, proses dan problem sosial. Ketiga memandang IPS sebagai Reflektif Inkuiri yang bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik melalui kesiapan dalam proses penelitian yang mana pengetahuan itu didapatkan dengan cara mengetahui/memahami kebutuhan-kebutuhan warga negara untuk membuat keputusan dan memecahkan permasalahannya.

Penggunaan metode pada ketiga pendekatan IPS ini pun sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada pendekatan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan, metode yang digunakannya adalah penanaman nilai dan konsep dengan teknik membaca, ceramah dan membahas tanya jawab dan contoh-contoh pemecahan masalah. Pada pendekatan IPS sebagai ilmu sosial, diserahkan pada tiap ilmu itu sendiri, karena tiap-tiap ilmu sosial tersebut mempunyai metodenya sendiri-sendiri dalam menguji pengetahuannya. Sedangkan pada pendekatan IPS sebagai Reflektif Inkuiri, metode yang digunakannya adalah memberikan kesiapan pada siswa untuk mengambil keputusan secara terstruktur dan disiplin, yang bertujuan untuk mengidentifikasi masalah dan merespon konflik melalui alat tes kognitif.

Adapun mengenai isi materinya, untuk pendekatan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan, materinya merupakan hasil seleksi yang telah ditafsirkan oleh guru dengan keahliannya yang berfungsi memaparkan nilai-nilai, sikap dan kepercayaan. Pada pendekatan IPS sebagai pendidikan ilmu sosial, materinya yang tepat adalah mengajarkan struktur, konsep, problem dan proses-proses ilmu sosial. Sedangkan pada pendekatan IPS sebagai reflektif inkuiri materinya adalah menganalisis nilai-nilai individual warga negara serta masalah-masalah sosial yang timbul.

Somantri dalam bukunya Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS (2001: 73, 92 dan 103), juga mencatat beberapa definisi dari Social Study (Pendidikan IPS) ini, termasuk menurut Somantri sendiri adalah sebagai berikut:

1. Menurut National Commission on Social Studies (NCSS) :

The term social studies is used to include history, economics, anthropology, sociology, civics, geography and all modifications of subjects whose content as well as aim is social. In all content definitions, the social studies is conceived as the subject matter of the academic disciplines somehow simplified, adapted, modified, or selected for school instruction.

2. Menurut Somantri :

a. Suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu lainnya serta masnlah-masalah sosial terkait, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis, untuk tujuan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

b. Penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis, untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah, dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila3. Menurut Rumusan Forum Komunikasi II HISPIPSI Tahun 1991 versi pendidikan dasar dan menengah :

Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.

4. Menurut versi IPS jurusan Pendidikan IPS :

Pendidikan IPS adalah seleksi dari disiplin-disiplin ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.

Sedangkan Djahiri dalam bukunya Pengajaran Studi Sosial / IPS (1983: 2) mengartikan Pendidikan IPS sebagai:

Ilmu Pengetahuan yang memadukan sejumlah konsep pilihan dari cabang-cabang ilmu sosial dan ilmu lainnya, serta kemudian diolah berdasarkan prinsip pendidikan dan didaktik, untuk dijadikan program pengajaran pada tingkat persekolahan. Jadi, IPS atau Studi Sosial konsep-konsepnya merupakan konsep pilihan berdasarkan kriteria tertentu dari berbagai ilmu, lalu dipadu dan diolah secara didaktis pedagogis kearah kecocokannya dengan siswa, baik aspek pribadi maupun aspek sosial serta ekologisnya.

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, kita dapat menarik kesimpulan. bahwa betapapun secara redaksional pengertian Pendidikan IPS itu berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun dilihat dari substansinya, tampak jelas bahwa pengertian-pengertian itu mempunyai substansi yang sama. Namun demikian, untuk ditingkat pendidikan dasar dan menengah Indonesia, rumusan Forum Komunikasi II HISPIPSI Tahun 1991 versi pendidikan dasar dan menengah tampaknya lebih cocok dianut di Indonesia.

2. Karakteristik Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

1. Karakteristik IPS

Setiap mata pelajaran tentu memiliki karakteristik yang membedakan dari mata pelajaran yang lain, demikian juga mata pelajaran Pengetahuan Sosial untuk SMP.

Beberapa karakteristik mata pelajaran Pengetahuan Sosial antara lain:

a. Pengetahuan Sosial merupakan perpaduan antara sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah dan kewarganegaraan.

b. Materi kajian Pengetahuan sosial berasal dari struktur keilmuan sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah dan kewarganegaraan. Dari kelima struktur keilmuan itu kemudian dirumuskan materi kajian untuk Pengetahuan Sosial.

c. Materi Pengetahuan Sosial juga menyangkut masalah sosial dan tema-tema yang dikembangkan dengan pendekatan indisipliner dan multidisipliner. Yang dimaksud indisipliner yaitu melibatkan disiplin ilmu ekonomi, ekonomi, geografi, dan sejarah. Sedangkan yang dimaksud dengan multidisipliner yaitu materi kajian itu mencakup aspek kehidupan masyarakat.

d. Materi Pengetahuan Sosial menyangkut peristiwa dan perubahan masyarakat masa lalu dengan sebab akibat dan kronologis, masalah-masalah sosial dan isu-isu global yang terjadi di masyarakat.

2. Fungsi Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran Pengetahuan Sosial Geografi adalah salah satu program untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan siswa dalam menggunakan dan memanfaatkan peta dalam kehidupan sehari-hari.

Standar kompetensi ini disiapkan dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi Pengetahuan Sosial Geografi, sebagai hasil cipta intelektual dalam pemanfaatan peta yang berkonsekuensi pada fungsi dan tujuan mata pelajaran Pengetahuan Sosial Geografi sebagai :

a. Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan sosial.

b. Sarana penyebarluasan informasi geografis Indonesia untuk berbagai keperluan.

c. Sarana pengembangan penalaran

d. Sarana pemahaman letak suatu daerah, negara sampai dunia.

3. Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan SosialTujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Menurut Awan Mutakin (1998), berdasarkan rumusan tujuan umum tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

a. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.

b. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

c. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.

d. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.

e. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.

4. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam IPS

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam Ilmu Pengetahuan Sosial diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Nilai KetuhananMateri pembelajaran apapun dalam pendidikan IPS wajib berlandaskan kepada nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan merupakan nilai transendental yang menjadi core value dari sistem nilai yang ada.

b. Nilai EdukatifSalah satu tolak ukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan IPS adalah adanya perubahan tingkah laku sosial peserta didik kearah yang lebih baik. Proses pembelajaran IPS tiidak hanya terbatas di kelas dan sekolah pada umumnya melainkan lebih jauh dari itu dilaksanakan dalam kekhidupan sehari-hari.

c. Nilai PraktisPembelajaran tidak memiliki makna yang dalam jika tidak memiliki nilai praktis. Pokok bahasan IPS tidak hanya konsep teoritis belaka, melainkan digali dari kehidupan sehari-hari yang bersifat kontekstual.

d. Nilai TeoritisPembelajaran IPS tidak hanya menyajikan fakta dan data yang terlepas dari kerangka teoritis, melainkan dibina dan dikembangkan kemampuan nalar kearah sense of rality, sense of discovery, sense of inquiry, serta kemampuan mengajukan hipotesis terhadap suatu masalah.

e. Nilai FilsafatMenumbuhkan kemampuan merenung tentang eksistensi dan pernannya di tengah masyarakat, sehingga tumbuh kesadaran mereka selaku anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial

f. Nilai Kemanusiaan.Nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, tanggung jawab, kejujuran, kedamaian, tanpa kekerasan, dan sebagainya perlu disaampaikan secara terpadu dalam pembelajaran IPS, sehingga dihasilkan kualitas lulusan yang unggul (human excellence) atau manusia utuh/kaffah sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional.

5. Konsep Pembelajaran Terpadu dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)Pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS sering disebut dengan pendekatan interdisipliner. Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik (Depdikbud, 1996:3). Selah satu di antaranya adalah memadukan Kompetensi Dasar. Dengan pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari.Dalam pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan pembelajaran terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu topik dari suatu cabang ilmu tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Topik/tema dapat dikembangkan dari isu, peristiwa, dan permasalahan yang berkembang. Bisa membentuk permasalahan yang dapat dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang, contohnya banjir, pemukiman kumuh, potensi pariwisata, IPTEK, mobilitas sosial, modernisasi, revolusi yang dibahas dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial.

3. Sumber Pembelajaran IPS

Menurt association for Educational Communications and Technology (AECT, 1977), sumber pembelajaran (learning resources) adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan ekektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran.

Sumber pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu :

1.Sumber pembelajaran yang sengaja direncanakan ( learning resources by design), yakni semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal, serta dirancang untuk kepentingan pembelajaran yang akan diselenggarakan, seperti buiku teks,buku bacaan, media elektronik, serta multimedia; dan

2. Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan (learning resources by utilization), yakni sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan, dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar, serta mempuanyai keterkaitan dengan bahan belajar yang akan dipelajari siswa.

Baik sumber pembelajaran yang direncanakan (by design) maupun yang karena dimanfaatkan (by utilization), paling tidak mempunyai enam komponen sebagai berikut:

1)Pesan, yaitu informasi yang terdapat di dalam bahan ajar yang sudah mengandung makna, misalnya materi pelajaran yang siap untuk disampaikan oleh guru kepada siswanya.

2)Orang, iaitu semua yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam proses pembelajaran, misalnya : guru, siswa, kepala sekolah, tutor, instruktur, pustakawan, sejarawan, pengrajin, petani, pedagang, dokter dan sebagainya.

3)Bahan, yaitu sesuatu yang mengandung pesan yang memerlukan alat penampil, seperti program transparansi, program audio, program film bingkai, program video, buku, spanduk, atlas, globe, dan sebagainya.

4)Peralatan, yaitu semua peralatan yang digunakan untuk menampilkan perangkat lunak, seperti proyektor OHP, proyektor slide suara, tape recorder, proyektor video, VCD player, komputer dan sebagainya.

5)Teknik, yaitu semua cara, metode dan strategi yang digunakan untuk menyampaikan pesan agar dapat diterima oleh khalayak dengan efektif dan efisien, seperti pemanfaatan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, bermain peran, simulasi, inqiri, portofolio dan sebagainya.

6)Lingkungan, yaitu tempat dimana siswa belajar, misalnya kelas, perpustakaan, laboratorium, mesjid, rumah ibadah, lapangan olah raga, dan alam sekitarnya. Secara garis besar, lingkungan dapat terdiri atas lingkungan fisik (hutan, sungai, gunung, dll), sosial (organisasi pemuda, ormas, LSM, kelompok pencapir, dll), dan budaya (adat istiadat, seni tradisional, situs sejarah, mitodologi, dll).

Uraian tentang enam komponen sumber pembelajaran di atas dapat ditampilkan dalam matriks di bawah ini:

Tabel 2.3. Komponen Sumber Pembelajaran

No.Komponen Sumber PembelajaranYang Direncanakan

(by design)Yang Dimanfaatkan (by utilization)

1.PesanKurikulum

Matei pelajaran, dll.Cerita Rakyat

Nasihat

Dongeng, dll.

2.OrangGuru

Kepala SekolahSejarawan

Petani

Pengrajin

Pengusaha, dll.

3.BahanBuku Teks/Bahan

Ajar

Program :

OHP

Audio

Video

Komputer, dllCandi

Arca

Museum

Internet

4.PeralatanProyektor

OHP/Slide/

Tape Recorder

VCD player

Kamera

Film

Radio, Televisi, dll.Mesin jahit\

Mobil

Traktor, dll.

5.TeknikMetode :

Ceramah

Diskusi

Tanya Jawab

Simulasi

Inquiri, dll.Dialog interaktif

Dialog spontan

Diskusi spontan

Pertanyaan spontan, dll.

6.LingkunganRuang kelas

Perpustakaan

Laboratorium, dll.Hutan,

Orsospol, Ormas, LSM, Kesenian, dll.

Sumber : diolah dari AECT (1977) ; Plomp dan Ely (1996); Rumampuk (1988).

Dengan melihat uraian mengenai sumber belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber pembelajaran adalah media yang dijadikan rujukan dalam menopang kemudahan belajar.

4. Pemilihan Sumber Pembelajaran IPS

Sebagai sumber pembelajaran IPS, media pendidikan diperlukan untuk membantu guru dalam menumbuhkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran IPS. Diversifikasi aplikasi media atau multimedia, sangat direkomendasikan dalam proses pembelajaran IPS, misalnya melalui : pengalaman langsung siswa di lingkungan masyarakat; dramatisasi; pameran dan kumpulan benda-benda; televisi dan film; radio recording; gambar; foto dalam berbagai ukuran yang sesuai bagi pembelajaran IPS; grafik, bagan, chart, skema, peta; majalah, surat kabar, buletin, folder, pamflet, tanya jawab, cerita lisan, dan sejenisnya (Rumampuk, 1988 : 23-27; Mulyono, 1980 : 10-12).

Media pendididkan dapat dijadikan sumber pembelajaran IPS, baik sebagai hardware maupun software. Sebagai hardware IPS, media pendidikan merupakan educational tools, berarti media itu dipergunakan untuk menunjang kemudahan dalam suatu proses pembelajaran IPS. Sedangkan software IPS, isi atau pesan yang terdaspat dalam media dapat dijadikan content atau materi dalam suatu proses pembelajaran IPS. Dalam pemanfaatan media sebagai software, guru IPS tentu saja harus dapat memilah dan memilih isi atau pesan media mana saja yang relevan atau cocok untuk diadopsi menjadi content atau dalam suatu proses pembelajaran IPS.Adapun pemilihan media pendidikan, baik sebagai hardware maupun software IPS dapat melalui proses berikut ini :

a.Harus diketahui dengan jelas media itu dipilih untuk tujuan apa.

b.Pemilihan media harus secara objektif, bukan semata-mata didasarkan atas kesenangan guru, sekedar selingan, atau hiburan. Hendaknya pemilihan media itu benar-benar didasarkan atas pertimbangan untuk peningkatan efektivitas belajar siswa.

c.Tidak ada satu pun media yang dipakai untuk semua tujuan. Tiap-tiap media mempunyai kelebihan dan kekurangannya.

d.Pemilihan media hendaknya disesuaikan, baik dengan metode mengajar yang digunakan maupun materi pelajaran, mengingat media adalah bagian integral dalam porses pembelajaran.

e.Untuk dapat memilih media dengan cepat, guru hendaknya mengenal ciri-ciri media itu.

f.Pemilihan media supaya disesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan.

g.Pemilihan media juga harus didasarkan pada kemampuan, gaya/pola belajar siswa. (Gerlach and Ely, 1980; Sleelam and Cobun, 1978 dalam Rumampuk, 1988 : 19).

Dari uraian diatas, pemilihan media pembelajaran selain terkait dengan pencapaian kurikulum pembelajaran, juga harus memperhatikan kebutuhan belajar siswa dan karakteristik media itu sendiri yang mampu menunjang keberhasilan proses pembelajaran.

Selanjutnya, dalam hal pengadaan dan pemanfaatan media massa sebagai sumber pembelajaran IPS, maka langkah-langkahnya ialah sebagai berikut :

1.Membut daftar kebutuhan media melalui identifikasi sumber dan sarana pembelajaran yang diperlukan untuk proses pembelajaran IPS.

2.Menggolongkan ketersediaan alat, bahan atau sumber pembelajaran tersebut; dan

3.Bila sumber pembelajaran tersebut tersedia, pikirkan kesesuaian penggunaannya, bila belum, lakukan modifikasi bila diperlukan (Depdiknas, 2002 : 9).

2.4 Pola Pembelajaran Berbasis Media

Ditinjau dari prosesnya, pendididkan adalah komunikasi, karena dalam proses pendidikan terdapat komunikator, komunikan, dan pesan (message), yakni sebagai komponen-komponen komunikasi. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communiation berasal dari kata Latin communicatio, yang berarti pemberitahuan, pemberian bagian (dalam sesuatu), pertukaran, dimana si pembicara mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya; ikut mengambil bagian. Kata kerjanya communicare, artinya berdialog, berunding atau bermusyawarah (Onong Uchjana Effendy, 1994:9 dan Anwar Arifin, 1992:19-20). Jadi, secara konseptual arti komunikasi itu sendiri sudah mengandung pengertian memberitahukan (dan menyebarkan) berita, pengetahuan, pikiran-pikiran, nilai-nilai dengan maksud untuk menggugah partisipasi agar hal-hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama.

Ditinjau dari efek yang diharapkan, tujuan komunikasi bersifat umum. Dalam hal inilah maka dalam proses komunikasi melahirkan istilah-istilah seperti penerangan, propaganda, indoktrinasi, pendidikan dan lain-lain. Inti dari itu semua adalah untuk mencapai persetujuan mengenai sesuatu pokok ataupun masalah yang merupakan kepentingan bersama.

Dengan demikian, pendidikan adalah bagian khususnya komunikasi, karena ia memiliki tujuan yang bersifat khusus. Memang dalam berbagai komunikasi yang sekedarnya mungkin tidak direncana, karenanya tidak dikatakan sebagai komunkasi pendidikan (educative communication), sementara komunikasi dalam proses pendidikan terjadi karena ada rencana dan ada tujuan yang diinginkan.

Pendidikan itu sendiri dpat dirumuskan dari sudut normatif, karena pendidikan menurut hakikatnya memang sebagai suatu peristiwa yang memiliki norma. Artinya, bahwa dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan masyarakat, nilai-nilai moral, kesusilaan yang semuanya merupakan sumber norma di dalam pendidikan. Aspek itu sangat dominan dalam merumuskan tujuan secara umum. Oleh karena itu, persoalan ini akan merupakan bidang pembahasan teori dan filsafat ilmu pendidikan. Tetapi disamping perumusan secara normatif pendidikan dapat pula dirumuskan dari sudut secara teknis, yakni terutama dilihat dari segi peritiwanya. Peristiwa dalam hal ini merupakan suatu kegiatan prkatis yang berlangsung dalam satu masa dan terikat dalam satu situasi serta terarah pada satu tujuan. Pertistiwa tersebut adalah satu rangkaian kegiatan komunikasi antar manusia, yaitu rangkaian kegiatan yang saling mempengaruhi. Satu rangkaian proses perubahan dan penumbuhan-kembangan fungsi jasmaniah, penumbuh-kembangan watak, intelek dan sosial. Semua ini tercakup dalam peristiwa pendidikan. Degan demikian, pendidikan itu merupakan himpunan kultural yang sangat kompleks yang dapat digunakan sebagai perencanaan kehidupan manusia. Sedangkan peristiwa atau proses interaksi pendidikannya adalah suatu proses teknis.

Di dalam proses teknis inilah secara spesifik disebut proses pembelajaran. Kata pembelajaran sengaja dipakai sebagai padanan kata dari kata instruction (bahasa Inggris). Kata instruction mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks guru-siswa di kelas (ruang) formal, pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri guru secara fisik. Oleh karena itu, dalam pembelajaran yang ditekankan adalah proses belajar, maka usaha-usaha yang terencana dalam memenipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa kita sebut pembelajaran.

Masalah pembelajaran itu sendiri merupakan masalah yang cukup kompleks dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Dari sekian banyak denfinisi pembelajaran, di sini dikutip dua definisi yang dianut A. Cheadar Alwasilah (dalam pengantarnya untuk versi terjemahan buku Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning) sebagai berikut:

(1) A relatively permanent change in response potentiality which occurs as a result of reinforced practice dan (2) a change in human disposition or capability which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth. (1)Pilihan potensinya relative tetap yang sama sebagai hasil dari kekuatan yang praktis. Dan (2) perubahan dalam diri manusia atau kemampuan pada mulanya dapat ditahan dan berasal dari proses perubahan yang tidak sederhana.

Dari dua definisi ini ada tiga prinsip yang layak diperhatikan. Pertama, proses pembelajaran menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen. Tentunya, dlam proses ini terdapat peran penggiat pembelajaran, yakni guru atau dosen sebagai pelaku perubahan (agent of change).

Anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Oleh karena itu, proses pembelajaran seyoginya menyirami benih kodrati ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar mengajar, dengan demikian, adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal.

Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh linear sejalan proses kehidupan. Artinya, proses belajar mengajar memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia didesain secara khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti di atas. Ketiga hal ini menegaskasn definisi pembelajaran.

Dari ketiga hal tersebut diatas, tampak bahwa guru berposisi sebagai peran pengingat dalam proses optimalisasi diri siswa untuk menghasilkan perubahan perilaku yang relatif permanent (kualitas ideal). Guru disebut sebagai peran pengingat, karena dengan pertimbangan bahwa siswa adalah orang yang memiliki benih kodrati yang tidak terpisahkan dari lingkungan khidupannya, maka dalam melaksanakan tugasnya sebagai peran pengingat, guru hendaknya memiliki kemampuan dalam merencanakan dan menciptakan lingkungan belajar secara kondusif bagi siswa-siswinya.

Berdasarkan pemahaman tersebut, guru tidaklah dipahami sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi dengan posisinya sebagai peran pengingat tadi-ia pun harus mampu merencanakan dan mencipatakan sumber-sumber belajar lainnya sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif. Sumber-sumber belajar selain guru inilah yang disebut sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan dan/atau diciptakan secara terencana oleh para guru atau pedidik, biasanya dikenal sebagai media pembelajaran. Dengan demikian, komponen-komponen komunikasi pembelajaran menjadi komunikator, komunikan, pesan dan media.

Kata media sebenarnya bukanlah kata asing bagi kita, tetapi pemahaman banyak orang terhadap kata tersebut berbeda-beda. Saat mengajar, saya sering bertanya kepada mahasiswa tentang apa arti media, jawaban meraeka vriatif, ada yang mengartikan sebagai alat informasi dan komukasi, sarana prasarana, fasilitas, penunjang, penghubung, penyalur dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kata itu sendiri sering digunakan orang untuk beberapa hal yang berbeda-beda pula, misalnya sebagai ukuran (size) pakaian dan tanda pengaturan mesin pendingin (air conditioner) yang biasa disingkat menjadi M sebagai kepanjangan dan medium, ada juga yang memakainya dalam menjelaskan kata pertengahan seperti dlam kalimatmedio abad 19 (atau pertengahan abad 19); ada yang memakai kata media dalam istilah mediasi, yakni sebagai kata yang biasa dipakai dalam proses perdamaian dua belah pihak yang sedang bertikai dan lain-lain.

Sumber pembelajaran adalah media yang dijadikan rujukkan dalam menopang kemudahan belajar. Hal ini selaras dengan temuan Worth (1999), bahwa kemampuan rata-rata manusia dalam mengingat lebih kuat secara verbal dan visual daripada verbal saja atau visual saja. Untuk lebih jelasnya disajikan di bawah ini.

Tabel 2.4.Kemampuan Rata-rata usia dalam Mengingat

MengingatSesudah 3 jamSesudah 3 hari

Verbal saja70%10%

Visual saja72%20%

Verbal dan Visual85%65%

Sumber : The Psychology of Audiences by H.L. Holing Worth

Kemudian dari Dale`s Cone Experience (1946 : 39) atau kerucut pengalaman Dale memperlihatkan, bahwa pengalaman belajar seseorang 75% diperoleh melalui indera lihat, 13% melalui indera dengar dan selebihnya melalui indera lainnya. Semakin menuju ke kerucut, pengalaman makin bersifat abstrak dan makin menuju ke dasar, pengalaman itu semakin konkrit.

Selanjutnya, Sheal (dalam Depdiknas, 2002) lewat kerucut pengalaman belajarnya juga mengungkapkan bahwa kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Secara visual, dapat digambarkan di bawah ini.

baca

lihat

Lihat dan dengar

katakan

katakan katakan dan lakukan

Berdasarkan kerucut pengalam belajar di atas, jika guru mengajar dengan banyak ceramah, maka siswa akan mengingat hanya 20% karena siswa Cuma mendengarkan, sebaliknya, jika guru mengajar siswa untuk melakukan sesuatu dan melaporkannya, maka mereka akan mengingat sebanyak 90%.BAB 3METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai pelaksanaan penelitian dalam rangka penulisan skripsi, yakni : Pendekatan Penelitian, Prinsip-prinsip PTK, Prosedur PTK, Proses Pelaksanaan Tindakan, Latar Situasi Sosial, Subjek, dan Data Penilitian, dan Instrumen Penelitian.3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini dilakukan berdasarkan paradigma naturalistik-kualitatif yang mengacu pada kondisi lingkungan alamiah (natural), sebab mengkaji fenomena yang lebih banyak berasal dari setting/contexts alamiah yang berpengaruh dalam memberikan arti/pengertian.

Pendekatan kualitatif berpijak pada suatu asumsi, bahwa dunia, realitas, situasi, dan peristiwa yang terjadi sebagai objek suatu studi tentang perilaku manusia dan fenomena sosial seharusnya dipandang dengan cara yang bermacam-macam dan oleh orang yang berbeda-beda, serta dipahami melalui pendekatan humanistik (Nasution, 1997); maka penelitian yang dikategorikan studi kasus kualitatif ini mempunyai karakteristik, antara lain: (1) latar belakang alamiah atau natural setting; (2) manusia sebagai alat atau instrumen penelitian dapat lebih adaptabel;(3) menggunakan metode kualitatif; (4) analisis data secara induktif; (5) teori dari dasar (grounded theory) melalui analisis secara induktif; (6) laporannya bersifat deskriptif; (7) lebih mementingkan proses daripada hasil; (8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus penelitian; (9) adanya kriteria khusu untuk keabsahan data; (1) desain penelitian bersifat sementara; (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama antara peneliti dengan responden dan narasumber.

Dilihat dari aspek metodologis, penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan (action research), yang pada hakekatnya merupakan sebuah siklus dari sejak perencanaan (planning), pelaksanaan tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi, sebagaimana digagas pertama kali oleh kurt Lewin, seperti dibawah ini;

Gambar 3.1. Desain Action Reseach Model Kurt Lewin

Pemilihan metode ini dilatarbelakangi atas dasar analisis masalah dan tujuan penelitian yang memerlukan sejumlah informasi dan tindak lanjut yang terjadi di lapangan berdasarkan daur ulang yang menuntut kajian dan tindakan secara reflektif, kolaboratif, dan partisipatif. Oleh karena itu, maka penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang dipusatkan pada situasi sosial kelas yang membutuhkan sejumlah informasi dan tindak lanjut secara langsung berdasarkan situasi alamiah yang terjadi dalam pelaksanaan pembelajaran. Pertimbangan lainnya, bahwa perumusan rencana tindakan berdasarkan situasi sosial yang ada dan berkembang dalam pembelajaran di dalam kelas mengingatkan serangkaian tindak lanjut dari situasi empirik yang mendukung bagi pelaksanaan program tindakan.

Penelitian tindakan adalah suatu pendekatan khusus dalam penelitian kelas, sehingga merupakan akumulasi antara prosedur penelitian dan tindakan substantif. Sebagai prosedur penelitian, penelitian tindakan ditandi oleh adanya suatu kajian reflektif-diri secara inquiri, partisipasi, dan kolaborasi terhadap latar alamiah dan atau implikasi dari suatu tindakan. Sedangkan sebagai tindakan substantif, penelitian tindakan ditandai oleh adanya intervensi skala kecil berupa pengembangan program pembelajaran dengan memfungsikan latar kealamiahannya sebagai upaya melakukan reformasi diri atau peningkatan kualitas pembelajaran IPS, melalui pemanfaatan media sebagai sumber pembelajaran, sehingga menjadikan pembelajaran IPS menjadi lebih bermakna.

Penelitian terhadap pembelajaran yang terjadi di kelas, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengkaji dan memberikan solusi terhadap berbgai permasalahan yang terjadi dan dialami oleh guru dalam hubungannya dengan situasi kelas (Dunkin and Biddle, 1974; Hopkins, 1993), yang dalam pelaksanaannya bersifat kontekstual dan sangat tergantung pada realitas sosial kelas. Atas dasar ini, maka penelitian tindakan kelas ini menempatkan sentralitas dan otonomi profesional guru dalam proses refleksi terhadap kinerja dan aktivitas mengajarnya.3.2 Prinsip-prinsip Penelitian Tindakan Kelas

Esensi penelitian tindakan kelas merupakan kajian terhadap konteks situasi sosial yang dicirikan adanya unsur tempat, pelaku dan kegiatan dalam waktu tertentu untuk maksud meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya. Dalam memaknai situasi sosial kelas yang berlangsung di dalam situasi alamiah yang menuntut sejumlah informasi dan tindak lanjut secara langsung, maka penelitian tindakan kelas merupakan intervensi dalam skala kecil terhadap situasi sosial kelas, dengan tujuan meningkatkan mutu pembelajaran (Hopkins dalam Wiriaatmadja, 2005:12).Penelitian Tindakan Kelas terutama memanfaatkan data pengamatan dan perilaku empirik. PTK menelaah ada tidaknya kemajuan, sementara itu kegiatan proses pembelajaran tetap berjalan. Informasi-informasi dikumpulkan, diolah didiskusikan, dan dinilai. Perubahan kemajuan dicermati dari waktu ke waktu atau dari peristiwa ke peristiwa. Tujuannya adalah memberi masukan bagi pengembalian keputusan praktis dalam situasi kongkrit, dan validasi teori atau hipotesis yang dihasilkan tidak tergantung hanya pada uji kebenaran ilmiah semata, namun lebih-lebih dari manfaatnya dalam membantu orang untuk bertindak lebih terampil dan lebih intelejen dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam penelitian.Kemmis & McTaggart (1982) telah mengembangkan model Kurt Lewin menjadi perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen sama dengan desain Lewin, di mana satu untaian dipandang sebagai satu siklus, dan siklus pertama dapat disusul dengan siklus berikutnya. Oleh karena itu, pengertian siklus di sini adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Gambaran awalnya seperti tampak berikut ini: IDENTIFIKASI

PERMASALAHAN PENELITIAN

PENYUSUNAN

RENCANA TINDAKAN

Pelaksanaan

Tindakan

Revisi Observasi

Refleksi

Pelaksanaan

Tindakan

Revisi Observasi

Refleksi

Pelaksanaan

Tindakan

observasi

Revisi

refleksi

Pelaksanaan

Tindakan

Pelaksanaan

Tindakan

Observasi

Refleksi

Gambar 3.2.Desain PTK Model Kemmis dan McTaggart

Gambar tersebut mengilustrasikan, bahwa dalam PTK (Penelitian Tindakan Kelas; Classroom Action Reserc), daur refleksi merupakan syarat utama yang harus dilakukan oleh peneliti agar mencapai hasil seusuai dengan apa yang diaharapkan. Untuk itu, maka prosedur pelaksanaan PTK, terdiri dari : (1) mengidentifikasi masalah ; (2) merumuskan gagasan pemecahan masalah; (3) menyusun rencana tindakan dalam mengatasi masalah; (4) melaksanakan tindakan yang direncanakan; (5) melakukan observasi atas tindakan yang dilakukan; dan (6) melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan perumusan rencana tindakan berikutnya hingga tercapai tujuan yang diharapkan. Langkah-langkah kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus selama penelitian, sesuai dengan karakteristik penelitian daur ulang (Elliot, 1991; Kemmis, 1982; Stenhouse, 1984).3.3 Prosedur Penelitian Tindakan Kelas

Prosedur PTK berbentuk daur ulang atau siklus (cicle) yang mengacu pada model Kemmis and McTaggart (Hopkins, 1993 : 48). Siklus ini tidak hanya berlangsung satu kali, melainkan beberapa kali hingga tujuan pembelajaran melalui pemanfataan media massa sebagai sumber pembelajaran menjadikan pembelajaran IPS lebih bermakna.

Secara operasional, tahap-tahap kegiatan penelitian dalam setiap siklus, adalah sebagai berikut :

1.Perencanaan

Perencanaan (planning) yaitu menyusun rencana tindakan dan penelitian (termasuk revisi dan perubahan rencana) yang akan dilaksanakan di dalam pembelajaran IPS. Perencanaan ini dibuat sesudah peneliti menyikapi kondisi siswa, fakta yang terjadi, melalui proses inkuiri. Hal ini dimaksudkan untuk menggalai keadaan yang terjadi, sehingga dapat menentukan strategi apa yang akan diterapkan oleh guru dalam pembelajaran. Di sini, rencana disusun secara reflektif, partisipatif dan kolaboratif.

3. Tindakan

Pelaksanaan tindakan (acting) yaitu praktik pembelajaran nyata berdasarkan rencana yang telah disusun bersama sebelumnya. Terkadang perubahan harus dilaksanakan, tatkala kondisi kelas memerlukannya. Tindakan ini diarahkan guna memperbaiki keadaan, meningkatkan kualitas, atau mencari solusi permasalahan. 3.Observasi

Observasi atau pengamatan pelaksanaan tindakan di kelas harus dilakukan dengan cermat oleh peneliti dan mitranya, dengan membuat catatan lapangan. Catatan ini akan sangat berguna pada saat peneliti mengawali kegiatan analisis terhadap apa yang sedang terjadi di kelas.

4.Refleksi

Pada tahap refleksi, peneliti dan guru mitra secara kolaboratif merenungkan kembali tentang rencana dan pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan berdasarkan hasil analisis terhadap data, proses, dan hasil pelaksanaan tindakan yang telah dikerjakan. Dilihat dari proses dan waktu pelaksanaannya, refleksi dalam penelitian ini mencakup :

a.Refleksi Awal, yakni refleksi yang dilakukan pada saat dilakukan masa orientasi terahadap berbagai permasalahan serta faktor-faktor pendukung dan penghambat rencana pengembangan model dalam pembelajaran pendidikan IPS. Refleksi di sini, bertujuan untuk merumuskan proposal awal terhadap situasi social dalam pengembangan model yang akan dilakukan, selanjutnya dituang kan ke dalam suatu rancangan awal rencana program tindakan yang akan dilakukan;

b.Refleksi Proses, yakni refleksi yang dilakukan pada saat pelaksanaan program tidakan yang bertujuan untuk mengkaji proses, dan implikasi dari program tindakan yang dilakukan terhadap perolehan hasil belajar siswa, unjuk kerja guru dan siswa dalam pembelajaran IPS, serta implikasi-implikasi lain dimaksudkan untuk melakuakn revisi terhadap rencana yang telah disusun, serta sebagai dasar dalam merancang rencana program tindakan selanjutnya dalam hubungannya dengan pengembangan model pemanfaatan media massa sebagai sumber pembelajaran IPS dalam meningkatan hasil belajar siswa.

c.Refleksi Hasil, yakni refleksi yang dilakukan pada akhir pelaksanaan program sesuai dengan rancangan program tindakan yang telah ditetapkan dan focus permasalahan serta tujuan pelaksanaan program tindakan. Artinya, program pelaksanaan telah dipandang berhasil dan mendukung ketercapaian tujuan dari program tindakan, yaitu setelah terjadinya peningkatan perolehan hasil belajar siswa, baik dilihat dair pengusaan materi, sikap, serta keterampilan-keterampilan social, unjuk kerja guru, dan proses belajar mengajar dalam pembelajaran IPS. Refleksi disini, pada dasarnya dimaksudkan untuk melakukan rekonstruksi dan revisi terhadap model pemanfaatan media sebagai sumber pembelajaran IPS dalam meningkatkan hasil belajar siswa, yang dikembangkan dalam program tindakan ini sesuai dengan tujuan pokok dari pelaksaan tindakan.

5.Revisi

Pada tahap ini, berdasarkan hasil kajian dan refleksi terhadap pelaksanaan program tindakan, sesuai dengan rancangan rencana program tindakan yang telah ditetapkan, peneliti dan guru mitra secara kolaboratif dan partisipatif melakukan revisi terhadap rencana program tindakan yang telah disusun dan ditetapkan sebelumnya. Revisi ini dimaksudkan untuk melihat kekurangan-kekurangan dalam pembelajaran dan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap rencana dan pelaksanaan program tindakan yang telah dilakukan serta sebagai dasar penyusunan rancangan rencana program tindakan selanjutnya.

3.4 Proses Pelaksanaan Tindakan

Berdasarkan temuan dan refleksi awal pada saat orientasi terhadap pelaksanaan pembelajaran IPS, maka pelaksanaan program tindakan dalam upaya peningkatan Prestasi Belajar Siswa dengan menggunakan Media Audio Visual pada Pelajaran IPS di Kelas VII-A SMP Muhammadiyah 2 Kadungora Kabupaten Garut yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :

1.Perencanaan Bersama (joint planning)

Perencanaan bersama ini dilakukan antara peneliti dan guru mitra tentang topic kajian, berdasarkan criteria-kriteria yang telah sama-sama disepakati, waktu, dan tempat observasi yang akan dilakukan.

2.Pelaksanaan Program Tindakan (program action)

Mempertimbangakan situasi social kelas, yakni sesuai dengan karakteristik penelitian tindakan, bahwa rencana program tindakan berkembang dan berubah sesuai dengan tuntutan situasi lapangan (McNiff, 1992; Hopskins, 1993). Untuk itu, rencana yang telah ditetapkan tidak bersifat absolute melainkan berkembang sejalan dengan perkembangan situasi social di lapangan di mana program tersebut dilaksanakan (Hopskins, 1993; Suwarsih, 1994). Pelaksanaan program tindakan dilakukan dengan

3.Observasi Kelas (classroom observation)

Pendekatan observasi yang dipakai adalah kemitraan (Partnership observation) atau observasi kolaboratif (collaborative observation) (Hopskins, 1993), yakni peneliti dan guru mitra mengamati proses pelaksanaan tindakan, pengaruh, kendala, dan atau permasalahn yang timbul salama pembelajaran IPS berlangsung. Observasi dilaksanakan terhadap fokus-fokus pengamatan yang telah disepakati bersama oleh peneliti dan dua orang mitra peneliti.

4.Diskusi Balikan (feedback discution)

Diskusi balikan atau refleksi kolaboratif antara peneliti dan dua orang mitra terhadap hasil observasi dilaksanakan berdasarkan hasil pencatatan selama observasi berlangsung secara cermat dan sistematis di dalam catatan lapangan (field notes) terhadap pelaksanaan tindakan. Hasilnya, selanjutnya didiskusikan bersama untuk direfleksi, recheck, dan atau reinterprestasi. Temuan yang dperoleh dan disepakati, kemudian dijadikan acuan bagi perumusan rencana pengembangan pembelajaran (action) berikutnya.

3.5 Latar Situasi Sosial dan Subyek Penelitian1.Latar Situasi Sosial Penelitian

Menurut Nasution (1992), latar situasi social penelitian merujuk pada lokasi situasi social yang ditandai oleh adanya tiga unsure yaitu : tempat, pelaku, dan kegiatan. Atas dasar ini, maka dalam penelitian ini termasuk dalam ketiga unsure tersebut ialah :

a.Tempat, yaitu SMP Muhammadiyah 2 Kadungora, Jalan Raya Kadungora nomor 39, Kabupaten Garut :

b.Subyek penelitian, yaitu siswa di kelas VII-A berjumlah 39 orang yang terlibat dalam proses pembelajaran IPS, dengan siswa yang terdiri dari beragam karakter, serta kondisi social ekonomi yang heterogen; dan

c.Pemilihan kelas VII-A, sebab dalam stuktur kurikulum sekolah mata pelajaran IPS baru diberikan di kelas tersebut. Adapun pengambilan kelas VII A sebagai proyek penelitian, oleh karena itu karakterisktik kelas tersebut sesuai dengan focus kajian penelitian ini yang dapat memberikan informasi setuntas mungkin (redundant). Hal ini sejalan dengan prinsip purposive sample (Nasution, 1997; Moleong, 1994).

d.SMP Muhammadiyah 2 Kadungora yang sedang mengembangkan diri kearah peningkatan kualitas pendidikan dalam berbagai segi. Hal ini, antara lain, ditandai dengan penataan saran