35
Urgensi Jaringan Dakwah Di Era Global Rabu, 13 Mei 2009 Sebagus apa pun sebuah agama atau ajaran, tidak akan memiliki arti dan manfaat jika hanya tersimpan dalam ide dan pikiran pemiliknya, tanpa disebarkan dan disiarkan kepada orang lain. Semuanya akan tinggal menjadi puing-puing yang tidak bernilai dan tidak bermanfaat. Karena itu, penyebaran dan penyiaran Agama Islam sebagai petunjuk hidup yang autentik, komprehensip, dan rasional adalah salah satu dari inti perintah penting Allah swt. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa penyiaran Agama Islam dewasa ini tertinggal dibandingkan dengan penyiaran agama, konsep, dan ide lain. Tampaknya, salah satu faktor ketertinggalan ini adalah sistem penyiaran Agama Islam kalah cepat daripada sistem penyiaran agama dan konsep lain itu, terutama di bidang jaringan informasi dan jaringan kerja. Dakwah Islam belum banyak menggunakan internet, homepage, serta media massa elektronik dan cetak. Zionisme, sekularisme dengan liberalisme dan humanismenya sudah banyak memanfaatkannya. Bahkan, untuk menyiarkan pahamnya, mereka sudah membangun jaringan yang luas dan rapi. Pada tahun 1970, seorang futulog, Alvin Toffler menulis sebuah buku yang berjudul, Future Shock. Dalam buku ini, ia mengidentifikasi perkembangan peradaban manusia ke dalam tiga gelombang (wave), yaitu (1) gelombang pertanian, (2) gelombang industri, dan (3) gelombang informasi. Dalam gelombang atau fase pertanian, orang yang paling menguasai tanah adalah orang yang paling berpengaruh. Dalam fase industri, orang yang paling menguasai industri adalah orang yang paling berkuasa. Sementara dalam fase informasi, orang yang paling menguasai informasi dunia adalah orang yang paling menguasai kehidupan. Pada tahun 1980-an, futulog, John Naisbitt menulis buku Megatrends. Dalam buku ini, ia mengidentifikasi sepuluh kecenderungan manusia modern. J. Naisbitt menempatkan peralihan masyarakat industri menuju masyarakat informasi sebagai kecenderungan pertama dari sepuluh kecenderungan dimaksud. Peralihan dari organisasi sistem hierarki kepada sistem jaringan menempati kecenderungan ke delapan. Pada tahun 1966, J. Naisbitt membuat sebuah buku yang secara khusus membahas delapan kecenderungan yang terjadi dan akan terus berkembang di Asia dengan judul Megatrends Asia. Kecenderungan petama adalah peralihan keadaan negara-bangsa kepada sistem jaringan. Sampai di sini, ada dua kata kunci yang perlu dicermati, yaitu, informasi dan jaringan. Untuk dapat bersaing ke depan, harus membangun informasi dan jaringan. Pradiksi-pradiksi para pakar di atas, sekarang dapat dirasakan. Jumlah anggota negara-negara Asian sudah bertambah. Demikian juga persekutuan-persekutuan negeri-negeri di berbagai belahan dunia terus merapatkan barisan. Keadaan ini membuktikan bahwa sebuah negara sudah merasakan ketidakmampuannya untuk menghadapi persaingan eknomi dan politik secara sendirian, melainkan harus melalui kerjasama dengan negara-negara tetangganya atau yang sepaham dengannya. Kegiatan penyiaran Agama Islam adalah bagian dari kegiatan dunia. Bagi seorang dai, penyampaian kebenaran Islam kepada umat merupakan sebuah kewajiban. Secara khusus, memperbaiki dan meluruskan aliran dan paham sesat yang tumbuh subur dan semarak di kalangan umat Islam Indonesia merupakan usaha yang harus dilakukan. Dalam usaha menyiarkan dakwah dan mengempang lahir dan berkembangnya aliran dan paham sesat pada zaman modern tidak bisa lagi dilakukan secara perorangan atau sebuah lembaga seperti MUI secara sendirian. Di era global, keberhasilan dakwah Islam sangat membutuhkan jaringan. Jaringan berarti hubungan horizontal dan vertikal antar sejumlah elemen atau lembaga. Jaringan ini berfungsi sebagai saluran informasi secara timbal balik untuk tujuan bersama melalui tindakan tertentu. Semakin luas bentuk sebuah jaringan semakin efektif usaha yang dilakukan untuk keberhasilan program. Urgensi jaringan bidang informasi dengan dakwah Islam didasarkan kepada tiga prinsip berikut. Pertama, prinsip kewajiban dakwah serta amar makruf dan nahi

Urgensi Jaringan Dakwah Di Era Global Rabu, 13 Mei 2009 · Urgensi Jaringan Dakwah Di Era Global Rabu, 13 Mei 2009 Sebagus apa pun sebuah agama atau ajaran, tidak akan memiliki arti

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Urgensi Jaringan Dakwah Di Era Global

Rabu, 13 Mei 2009

Sebagus apa pun sebuah agama atau ajaran, tidak akan memiliki arti dan manfaat jika hanya tersimpan dalam ide dan pikiran pemiliknya, tanpa disebarkan dan disiarkan kepada orang lain. Semuanya akan tinggal menjadi puing-puing yang tidak bernilai dan tidak bermanfaat. Karena itu, penyebaran dan penyiaran Agama Islam sebagai petunjuk hidup yang autentik, komprehensip, dan rasional adalah salah satu dari inti perintah penting Allah swt. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa penyiaran Agama Islam dewasa ini tertinggal dibandingkan dengan

penyiaran agama, konsep, dan ide lain.

Tampaknya, salah satu faktor ketertinggalan ini adalah sistem penyiaran Agama Islam kalah cepat daripada sistem penyiaran agama dan konsep lain itu, terutama di bidang jaringan informasi dan jaringan kerja. Dakwah Islam belum banyak menggunakan internet, homepage, serta media massa elektronik dan cetak. Zionisme, sekularisme dengan liberalisme dan humanismenya sudah banyak memanfaatkannya. Bahkan, untuk menyiarkan pahamnya, mereka sudah membangun jaringan yang luas dan rapi.

Pada tahun 1970, seorang futulog, Alvin Toffler menulis sebuah buku yang berjudul, Future Shock. Dalam buku ini, ia mengidentifikasi perkembangan peradaban manusia ke dalam tiga gelombang (wave), yaitu (1) gelombang pertanian, (2) gelombang industri, dan (3) gelombang informasi. Dalam gelombang atau fase pertanian, orang yang paling menguasai tanah adalah orang yang paling berpengaruh. Dalam fase industri, orang yang paling menguasai industri adalah orang yang paling berkuasa. Sementara dalam fase informasi, orang yang paling menguasai informasi dunia adalah orang yang paling menguasai kehidupan.

Pada tahun 1980-an, futulog, John Naisbitt menulis buku Megatrends. Dalam buku ini, ia mengidentifikasi sepuluh kecenderungan manusia modern. J. Naisbitt

menempatkan peralihan masyarakat industri menuju masyarakat informasi sebagai kecenderungan pertama dari sepuluh kecenderungan dimaksud. Peralihan dari organisasi sistem hierarki kepada sistem jaringan menempati kecenderungan ke delapan. Pada tahun 1966, J. Naisbitt membuat sebuah buku yang secara khusus membahas delapan kecenderungan yang terjadi dan akan terus berkembang di Asia dengan judul Megatrends Asia. Kecenderungan petama adalah peralihan keadaan negara-bangsa kepada sistem jaringan. Sampai di sini, ada dua kata kunci yang perlu dicermati, yaitu, informasi dan jaringan. Untuk dapat bersaing ke depan, harus membangun informasi dan jaringan.

Pradiksi-pradiksi para pakar di atas, sekarang dapat dirasakan. Jumlah anggota negara-negara Asian sudah bertambah. Demikian juga persekutuan-persekutuan negeri-negeri di berbagai belahan dunia terus merapatkan barisan. Keadaan ini membuktikan bahwa sebuah negara sudah merasakan ketidakmampuannya untuk menghadapi persaingan eknomi dan politik secara sendirian, melainkan harus melalui kerjasama dengan negara-negara tetangganya atau yang sepaham dengannya.

Kegiatan penyiaran Agama Islam adalah bagian dari kegiatan dunia. Bagi seorang dai, penyampaian kebenaran Islam kepada umat merupakan sebuah kewajiban. Secara khusus, memperbaiki dan meluruskan aliran dan paham sesat yang tumbuh subur dan semarak di kalangan umat Islam Indonesia merupakan usaha yang harus dilakukan. Dalam usaha menyiarkan dakwah dan mengempang lahir dan berkembangnya aliran dan paham sesat pada zaman modern tidak bisa lagi dilakukan secara perorangan atau sebuah lembaga seperti MUI secara sendirian. Di era global, keberhasilan dakwah Islam sangat membutuhkan jaringan. Jaringan berarti hubungan horizontal dan vertikal antar sejumlah elemen atau lembaga. Jaringan ini berfungsi sebagai saluran informasi secara timbal balik untuk tujuan bersama melalui tindakan tertentu. Semakin luas bentuk sebuah jaringan semakin efektif usaha yang dilakukan untuk keberhasilan program.

Urgensi jaringan bidang informasi dengan dakwah Islam didasarkan kepada tiga prinsip berikut. Pertama, prinsip kewajiban dakwah serta amar makruf dan nahi

munkar. Kedua, prinsip mencari kebenaran. Ketiga, perintah ta’awun, yakni kerjasama dalam berbuat baik.

Prinsip wajib dakwah didasarkan kepada Alquran surat an-Nahl: 125 yang artinya, ”Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik.” Alquran surat Ali Imran: 104 memerintahkan melakukan dakwah dan amar makruf serta nahi munkar. Dalam surat Ali Imran: 110 Allah juga menyatakan umat Islam sebagai umat terbaik karena melakukan amar makruf dan nahi munkar.

Prinsip mencari kebenaran didasarkan kepada lima ayat pertama dari surat al-’Alaq dan sejumlah hadis yang mewajibkan menuntut ilmu. Perintah mencari kebenaran didasarkan kepada surat al-Hujurat: 6. Dalam ayat ini Allah memerintahkan menyelidiki berita yang benar. Dalam menyampaikan dakwah, seorang dai harus menguasai ilmu yang hendak disampaikannya. Di antara ciri dai yang berhasil dalam dakwahnya adalah cinta ilmu dan informasi sehingga penjelasan yang disampaikannya akurat dan argumentatif. Di era global, agen berita ada di mana-mana. Agen-agen ini akan menyiarkan berita yang dipasok. Berita yang disiarkan tergantung kepada sumber pemasok. Dalam memasukkan berita, dakwah Islam sangat kurang dan selalu terlambat karena tidak menggunakan teknologi informatika. Lebih dari itu, zionisme, komunisme, dan sekularisme menggunakan taktik dan strategi yang canggih dengan cara licik. Mereka membungkus konsep dan ide mereka dengan baju agama dan didukung dengan kekuatan material. Karena itu tidak sedikit orang Islam yang Islamnya belum terdefinisi terkecoh dan tergiur dengan propaganda mereka. Bahkan, orang Islam yang lemah iman mudah menerimanya dan bahkan menyiarkannya pula. Informasi tentang fenomena seperti ini sulit terdeteksi tanpa melalui jaringan informasi yang terkordinir. Tanpa informasi dini, usaha antisipasinya pun tidak mungkin dilakukan.

Prinsip ta’awun (kerjasama) didasarkan atas surat al-Maidah: 2 yang memerintahkan manusia agar toloong-menolong dan kerjasama dalam memperjuangkan kebajikan.

Dengan demikian, jaringan dimaksudkan di sini adalah jaringan kerjasama dengan pihak-pihak atau lembaga-lembaga di berbagai daerah dan negeri untuk merealisasikan program dakwah dan mengantisipasi paham sesat dan berbahaya. Dakwah Islam sudah saatnya membangun jaringan yang luas, rapi, dan terkordinir. Jaringan ini tidak cukup sebatas kota dan daerah, tetapi juga melampaui batas-batas negara. Sebab, tantangan dan ancaman dakwah dewasa ini juga merupakan gerakan global. Jaringannya pun luas dan dinamis. Untuk memenangkan pertarungan, dakwah Islam harus menggunakan jaringan yang

lebih luas dan lebih dinamis. Paling tidak, dakwah Islam memliki jaringan yang sama dengan mereka.

Membangun jaringan yang besar bukanlah pekerjaan sim salabim. Membangun jaringan dakwah Islam harus secara bertahap dengan skala prioritas. Langkah pertama adalah membangun jaringan dengan lembaga-lembaga sejenis dan satu visi, seperti dengan sesama lembaga dakwah dan ormas Islam. Kemudian, membangun jaringan dengan lembaga yang tidak sejenis, tetapi satu visi, seperti lembaga-lembaga pendidikan Agama, lembaga riset, dan lembaga informasi yang bernuansa Islam. Selanjutnya, dengan lembaga yang tidak sejenis dan mungkin

tidak satu visi, seperti Perkebunan dan BUMN yang mungkin bisa memberikan dukungan dana, Kejaksaan dan Kepolisian yang diharapkan mendukung pembangunan mental spiritual serta membasmi ajaran-ajaran sempalan. Seterusnya dengan lembaga-lembaga di luar negeri. Semakin luas jaringan ini semakin besar efektifitasnya.

Sebagai gambaran umum penguasaan informasi alam maya melalui internet, Israel memegang rekor. Catatan waktu terbanyak saat online, Israel memimpin dengan rata-rata pengguna menghabiskan 57,5 jam online selama satu bulan, dua kali

lebih besar dibandingkan dengan penggunaan waktu rata-rata orang di AS. Makanya penyebaran ide zionisme efektif. Setelah Israel dan AS, yang menduduki lima besar dalam kategori tersebut adalah Finlandia, Korea Selatan, Belanda, dan Taiwan. Demikian juga dengan paham liberal Islam menyebar dengan cepat melalui JIL-nya. Sekarang ada juga Jaringan Islam Kampus (JARIK). Dari uraian ini dapat dipahami betapa perlunya membangun jaringan untuk lebih mengefektifkan

kegiatan penyiaran Agama Islam dan mengantisipasi tantangan yang mengancamnya di masa depan. (Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA/Ketua Majelis Syura Dewan Da’wah Provinsi Sumatera Utara)

Emansipasi atau Kesetaraan

Rabu, 04 Maret 2009

”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesunguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An

Nahl (16): 97)

Sebelum Islam datang, di masa jahiliyah kaum wanita dianggap sebagai manusia yang kurang beharga dan kurang berguna bagi kehidupan, bahkan hanya dianggap sebagai pelampiasan nafsu kaum lelaki, sesudah itu habislah peranannya. Bahkan para ayah malu dan merasa aib apabila mempunyai anak wanita. Untuk menghilangkan rasa malu tersebut, mereka mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Mereka betul-betul benci kepada kaum wanita, seperti apa yang dilakukan sendiri oleh Umar bin Khattab sebelum masuk Islam. Kehadiran Nabi Muhammad ke dunia dinyatakan oleh Allah sebagai pembawa rahmat bagi semua ummat manusia, termasuk kepada kaum wanita. Derajat wanita terangkat sebagai manusia yang mempunyai sifat lemah lembut. Hal tersebut dinyatakan

dalam ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah.

Sejarah membuktikan bahwa sejak kehadiran Islam itulah, sebenarnya dimulai gerakan-gerakan kemerdekaan dan emansipasi wanita yang diawali oleh Nabi sendiri yang telah mempelopori kemerdekaan dan emansipasi wantia itu dimulai dari keluarganya sendiri, istri-istrinya dan putrinya, sanak keluarga kemudian diteruskan kepada keluarga-keluarga para sahabat. Dari mereka dapat diambil suri tauladan bagaimana wanita berperilaku, bagaimana mengurus suami dan bergaul dengan suami, bagaimana mengurus anak-anak dan anggota keluarganya, bagaimana bertindak-tanduk, bagaimana harus belajar, apa saja yang mereka ketahui, bagaimana mengatur rumah tangga, bagaimana bertugas di luar rumah, bagaimana membawa diri di waktu bersama keluarga dan sewaktu berada di antara orang banyak dan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah kehidupan.

Wanita Dalam Islam

Pada masa Rasulullah, sering terjadi perselisihan antara ummat Islam dengan ummat agama lain, di mana wanita menjadi pendamping kaum laki-laki dalam membantu rakyat yang terkena musibah atau luka. Bahkan kaum wanita justru dapat memberikan dorongan keberanian luar biasa kepada kaum laki-laki untuk maju terus ke medan perang melawan musuh. Siti Khadijah, istri Rasulullah adalah wanita pertama yang memberikan keberanian dan semangat kepada Rasululah tatkala beliau merasa sangat takut dan gemetar tubuhnya dikala bertemu dengan Malaikat Jibril di Gua Hira ketika menerima wahyu pertama.

Ketika umat Nasrani membesarkan Maryam sebagai Ibunda Isa, maka ummat Islam memuliakan dan membesarkan Fatimah sebagai putri Rasulullah. Setelah

putra-putranya wafat, maka kasih sayang beliau dicurahkan sepenuhnya untuk putrinya, ”Fatimah”. Diajarinya Fatimah ilmu pengetahaun sehingga tumbuh sebagai wanita bijaksana dan mempunyai kelebihan-kelebihan. Setelah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, lahirlah putranya Hasan, Husein dan Mukhsin, namun Mukhsin meninggal sewaktu kecil, sedangkan Hasan dan Husein tumbuh dalam didikan Fatimah dengan sempurna sehingga menjadi pemimpin ummat. Fatimah sendiri sering dijadikan contoh oleh Rasulullah ketika memberi nasehat kepada para sahaat-sahabatnya, untuk istri dan anak-anak yang perempuan. Beliau mengatakan ”Contohlah Fatimah”.

Laki-laki dan Wanita Sama Derajatnya di Sisi Allah

Kalau dilihat dari segi kehambaan antara laki-laki dan wanita di sisi Allah yang Maha Adil, maka sesungguhnya Allah tidak membeda-bedakan dua jenis makhluk tersebut. Yang membedakan antara mereka adalah semata-mata perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan oleh masing-masing. Surga dijadikan bukan untuk kaum pria saja. Seorang kepala negara yang mempunyai kekuasaan yang sangat luas dibandingkan dengan rakyat biasa yang miskin adalah sama kedudukannya di mata Allah, keduanya sebagai hambaNya yang harus bertanggung jawab nanti di hadapan pengadilanNya yang Maha Adil.

Laki-laki dan wanita seperti yang disebut di atas tidak dibeda-bedakan, sama-sama berhak masuk surga, sama-sama diperbolehkan turut (berpartisipasi) berlomba memperoleh kebajikan, mengabdi kepada masyarakat dan agama. Jika kaum pria boleh maju, kenapa wanita tidak? Dasar persamaan antara kaum pria dan wanita

ini ditegaskan oleh Allah: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka

kerjakan”. (Q.S. An Nahl (16): 97)

Sungguh snagat rendah tindakan seseorang yang memandang rendah kaum wanita, sehingga terdapat dalam suatu rumah tangga di mana suami taat menjalankan ibadah sedang istrinya tidak tahu sama sekali, suami menjalankan sholat dengan khusu’ dan melakukan puasa dengan teratur sedang istrinya tidak. Anak lelaki disekolahkan dan dimasukkan ke tempat-tempat pendidiakn dan pengajian, tetapi anak wanita dibiarkan tinggal di rumah saja, padahal mereka nantinya akan menjadi ibu rumah tangga dan akan menjadi guru petama bagi anak-anaknya.

Memang ada jabatan-jabatan penting yang tidak diberikan oleh Allah kepada kaum wanita seperti jabatan kenabian dan kerasulan, akan tetapi bukankah yang melahirkan para Nabi dan para Rasul itu adalah kaum wanita?

Begitu juga terhormatnya Maryam ibu Nabi Isa, sehingga disebutkan dalam Al-Qur’an dengan panggilan seorang wanita saleh dan bertaqwa. Demikian juga Asiah dan Mashitah di zaman Fir’aun, Siti Khadijah dan Aisyah di zaman Nabi Muhammad.

Begitu juga bagi kaum wanita kurang dibenarkan; untuk memangku jabatan sebagai khalifah baik dilakukan sendirian maupun bersama kaum pria, namun pada permulaan Islam terdapat banyak wanita terpelajar dan terkemuka, bahkan banyak pula di antara mereka yang melebihi kaum pria, seperti Ummul Mukminin ((Ibu orang beriman), yaitu istri-istri Nabi Muhammad. Kekurangan yang ada pada diri kaum wanita tidak akan mengurangi derajatnya, karena masih banyak jabatan-jabatan penting yang dapat dipegangnya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai seorang wanita. Inilah salah satu ke-universalitas-an Islam.

Emansipasi Sebuah Justifikasi

Akhir-akhir ini semakin merebak perdebatan tentang ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan, terutama dalam ajaran Islam. Banyak orang mempertanyakan yang terkesan bias gender. Dalam beberapa tradisi agama ditemukan kesan mendiskreditkan perempuan, jika terjadi razia maksiat mesti yang terjaring adalah perempuan. Bapak-bapak lebih banyak menyalahkan perempuan. Ajaran Islam secara normatif mengajarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini mengandung tanda tanya besar bagi pemeluknya, apakah kesalahan terletak pada tekstualnya atau pada cara, memahaminya? Mungkinkah Islam mengajarkan prinsip kesetaraan itu memuat hal-hal yang kontradiktif, seperti memandang rendah terhadap perempuan. Pembicaraan kesetaraan sering dikaitkan dengan emansipasi. Sementara hal itu masih diperdebatkan. Apakah emansipasi berarti kesetaraan? Ada yang mengatakan emansipasi itu tidak perlu lagi dibicarakan karena sejak awal Islam telah memberikan kesetaraan. Di sisi lain ada yang memaknai dengan ”persamaan” yang identik dengan produk pemikiran Barat yang menyesatkan seperti tercemin dalam bentuk kebebasan, yang dilabelkan dengan gerakan ”Women Liberation”. Dalam gerakan ini perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki, yang kadangkala di luar batas kodrat dan harkat perempuan. (Amlir Syaifa Yasin/Sekretaris Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Tafsir Al-Qur’an Atau “Hermeneutika Al-Qur’an”

Selasa, 04 November 2008

Al-Qur’an sebabagi sebuah kitab suci dan pedoman hidup kaum Muslimin telah,

sedang dan akan selalu ditafsirkan. Karena itu, dalam pandangan kaum Muslimin tafsir al-Qur’an adalah istilahyang sangat mapan. Bagaimanapun, akhir-akhir ini istilah hermeneutika al-Qur’an (Quranic hermeneutics) sering digemakan oleh para orientalis dan para pemikir Muslimin modernis seperti Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Amina Wadud Muhsin, Ashgar Ali Engineer, Farid Esack dan lain-lain. Padahal istilah hermeneutika, adalah kosa kata filsafat Barat, yang juga sangat terkait dengan interpretasi Bibel.

Karena itu, hermeneutika tidaklah layak disinonimkan dengan tafsir al-Qur’an, yang memiliki konsep yang jelas, berurat serta berakar di dalam Islam. Hermeneutika dibangun atas faham relatifisme. Hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur’an itu relative, padahal fakta empiris menunjukkan para mufassir yang tekemuka sepanjang masa tetap memiliki kesepakatan-kesepakatan. Jika hermeneutika tetap digunakan sebagai sebuah sinonim terhadap tafsir, akan mengimplikasikan bahwa berbagai problematika yang ada didalam hermeneutika, juga terjadi di dalam al-Qur’an, padahal tidak seperti itu. Tulisan di bawah ini akan mengungkap bahwa hermeneutika tidaklah layak untuk dianggap sebagai tafsir. Bagaimana luasnya pembahasan mengenai tafsir didalam pemikiran para ulama kita terdahulu juga akan dieksplorasi. Akhirnya, masih banyak aspek y ang perlu digali dan diipelajari oleh kaum muslimin tentang tafsir al-Qur’an, ketimbang mewarisi, mengadopsi dan memodifikasi hermeneutika.

Sejarah Ringkas Tafsir al-Qur’an

Secara etimologis, kata tafsir ber-asal dari bahasa Arab, fassara, yang bermakna menerangkan atau menjelaskan. Kata tafsir disebutkan secara eksplisit di dalam surat al-Furqan (25:33) yang berbunyi sebagai berikut: wa la ya tunaka bimathalin illa ji aka bil-haqq wa ahsana tafsiran (Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya). Secara terminologis, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya pemahaman terhadadap Kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw, penjelasan mengenai makna-makna Kitab Allah dan penarikan hukum-hukum beserta hikmahnya diketahui.

Hermeneutika diasosiasikan kepada Hermes, seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang masih samar-samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Peran Hermes tersebut dianggap sinonim dengan peran Rasulullah saw yang menyampaikan

pesan Allah swt. Karena itu, hermeneutika dianggap sinonim dengan tafsir. Bagaimanapun, logika ini terlalu simplistic. Bagaikan manusia berkaki dua dan kanguru pun berkaki dua. Maka manusia sinonim dengan kanguru! Padahal bukan saja fisiologi dan psikologi manusia yang berbeda dengan kanguru, bahkan fisiologi kaki manusia jelas berbeda dengan fisiologi kaki kanguru. Jadi, sebenarnya terdapat banyak perbedaan antara tafsir dengan hermeneutika. Bahkan terdapat ketidakmungkinan jika mengaplikasikan hermeneutika ke dalam tafsir al-Qur’an. Dari sisi epistemologis, hermeneutika bersumber dari akal semata-mata. Jadi, hermeneutika memuat zann (dugaan), shakk (keraguan), mira (asumsi), sedangkan jdi dalam tafsir, sumber epistimologi adalah wahyu al-Qur’an. Karena itu, tafsir al-Qur’an terkait dengan apa yang telah disampaikan, diterangkan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman dalam surat an-Nahl (16:44) sebagai berikut: (Telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Kitab tersebut agar kamu jelaskan kepada umat manusia tentang apa yang telah diturunkan (Allah kepada mereka dan agar mereka memikirkannya). Maksud yang sama juga disebutkan di dalam surat al-Nahl (16:44) sebagai berikut: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Begitu juga dengan surat an-Nisa (4:105) yang menyebutkan: ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.”

Jadi, Rasulullah saw menyampaikan, menerangkan dan menjelaskan isi al-Qur’an. Jika ada diantara para sahabat yang berselisih atau tidak mengerti mengenai kandungan al-Qur’an, mereka merujuk langsung kepada Rasulullah saw mengenai makna sebuah ayat al-Qur’an sekaligus penjelasannya. Jadi, akal tidak dibiarkan lepas landas, melanglang buana kemana-mana, sebagaimana yang terjadi di dalam hermeneutika. Akal yang liberal tanpa ikatan akan dengan mudah menyalahtafsirkan al-Qur’an. Akibatnya, penyimpangan penafsiran. Menghindari

hal-hal seperti itu, setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan sangat hati-hati. Abu Bakr al-Siddiq misalnya mengatakan bumi mana yang membawaku dan langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan di dalam Kitab Allah apa yang tidak kuketahui.

Para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang pada penafsiran yang diberikan oleh Rasulullah saw. Mereka mengetahui asbab-al-nuzul (sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an). ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan: Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada ayat dari Kitab Allah yang diturunkan melainkan aku lebih mengetahui kepada siapa diturunkan dan dimana diturunkan. Seandainya aku tahu seseorang yang lebih mengetahui daripadaku tentang cara-cara yang diterimanya kitab Allah, niscaya aku mendatanginya.

Ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, para sahabat pertama-tama m enelitinya dalam al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan. Setelah itu, mereka merujuk kepada penafsiran Rasulullah saw, sesuai dengan fungsi beliau sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sekiranya penjelasan tentang ayat tertentu tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan hadits, maka para sahabat berijtihad. Ringkasnya, pada zaman para sahabat, ucapan, perbuatan, tindakan dan keputusan Rasulullah saw dijadikan sandaran untuk menafsirkan al-Qur’an.

Setelah generasi Sahabat (tabi’in), para tabi’in menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadits Nabi dan pendapat para sahabat. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa tabi’in, tafsir belum merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Tafsir masih merupakan bagian dari hadits. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa tafsir t idaklah semena-mena, namun selalu terkait dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.

Para mufassir dari kalangan tabi’in, tersebar di berbagai lokasi. Tabi’in Mekkah seperti Sa’id ibn Jubayr (m.95/714), Mujahid ibn Jabr (m. 104/722), ‘Ikrimah Maula ibn ‘Abbas (25-105 H), Tawus ibn Kisan al-Yamani dan ‘Ata ibn Abi Ribah (m. 114/732) meriwayatkan dari ‘Ibnu Abbas. Tabi’in Medinah seperti Zayd ibn Aslam, Abi al-‘Aliyah dan Mulammad ibn Ka’ab al-Qurazi meriwayatkan dari Ubayy ibn Ka’ab. Tabi’in Iraq seperti ‘Ilqimah ibn Qays, Masruq, al-Aswad ibn Yazid, Murah

al-Hamzani, ‘Amir al-Syabi, al-Hasan al-Basri, dan Qatadah ibn Di’amah al-Suddusi meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Mas’ud. Buku tafsir yang ditulis oleh para tabi’in belum ada yang sampai ke tangan generasi kita sekarang. Memang ada buku tafsir yang sekarang sudah diterbitkan, yaitu Tafsir Mujahid, namun buku tafsir ini bukan berarti ditulis oleh tangan Mujahid sendiri, namun diriwayatkan oleh Abu Bisr Warqa ibn ‘Umar (m. 160/776) dari Ibnu Abi Najih (m.132-750). Sebagaimana tafsir Ibnu ‘Abbas yang ditulis oleh murid dan para pengikut Ibnu ‘Abbas.

Menurut Ibnu Nadim, seorang sejarawan Muslim yang terkenal (m. 995), tafsir yang sudah ditulis oleh pengarangnya sendiri dan termasuk yang paling awal adalah karya Sa’id ibn Jubayr (m. 95/714), seorang Kibar al-tabi’in. Karya ini ditulis atas permintaan ‘Abd al-Malik ibn Marwan (m. 84/703). Tapi, karya ini belum sampai ke zaman kita sekarang. Karya tafsir termasuk yang paling tua yang sampai ke tangan generasi sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh wa al-Naza’ir, karya Muqatil ibn Sulayman al-Balkhi (m. 150/763), seorang tabi al-tabi’in. Di dalam karya tafsirnya, Muqatil menyebutkan beberapa orang mufassir dari kalangan tabi’in seperti Sa’id ibnu Jubayr, Mujahid ibn Jabr dan Dahhak ibn Muzahim (m. 105/723). Sa’id ibn Jubayr dan Mujahid ibn Jabr adalah murid langsung dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Selain karya tersebut, Muqatil juga menulis beberapa karya tafsir yang lain seperti tafsir Khamsumi’ah ayat min al-Qur’an, al-Tafsir fi Mutashabih al-Qur’an dan al-Tafsir al-Kabir. Pada zamannya, tafsir Muqatil termasuk karya yang dijadikan panduan bagi para ulama lain. Sufyan ibn ‘Uyaynah (107-198/725-814) misalnya, mempelajari karya Muqatil. Shafi’i (m. 204/820) juga punya akses ke tafsir Muqatil. Ia menganggap Muqatil sebagai pemimpin di dalam kajian literatur tafsir. Beberapa salinan tafsir Muqatil terus beredar di abad ketiga dan dipelajari oleh para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal (213-290/828-903).

Selain itu, pada abad kedua hijriyah, sudah terdapat banyak mufassir lain yang sezaman dengan Muqatil. Diantaranya adalah ‘Abd al-Rahma al-Suddi (m. 127/744), Muhammad ibn al-Sa’ib al-Kalbi (m. 146/763), Shu’bah ibn al-Hajjaj (83-160/702-776), Sufyan al-Thauri (m. 161/778) dan Ibnu Ishaq, pengarang buku Sirah yang terkenal.

Selain karya Muqatil, berbagai karya tafsir awal yang dinisbatkan kepada para pengarangnya juga sudah beredar. Diantaranya karya tafsir yang dinisbatkan kepada ‘Abdullah ibn Wahb (m. 197/812); al-Farra (m. 207/822) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an; ‘Abdurrazzaq al-San’ani dengan karya Tafsir al-Qur’an (m. 211/827) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an.

Bagaimanapun, sejak dari abad pertama sampai abad ketiga hijriyah, berbagai buku tafsir al-Qur’an tersebut belum ada yang memuat tafsir al-Qur’an secara utuh. Penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan baru bermula pada abad keempat hijriah. Ini pertama kalinya dipelopori oleh Ibnu Jarir al-Tabari (m. 310/922) yang menulis Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil al-Qur’an (Kumpulan Penjelasan Mengenai Tafsir al-Qur’an). Di dalam karyanya, al-Tabari mengumpulkan segala berita dari para otoritas sebelumnya yang berkaitan dengan al-Qur’an. Al-Tabari menggunakan system isnad untuk menafsirkan al-Qur’an. Tujuannya supaya penafsiran itu tidak sembarangan dan tetap bersandar kepada penafsiran yang otoritatif. Jadi, dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Tabari mengumpulkan berbagai hadits, pernyataan para sahabat dan tabi’in. Pendekatan al-Tabari yang menggunakan hadits-hadits, pendapat para sahabat dan para tabi’in, diikuti oleh para mufassir yang lain khususnya oleh Ibnu Kathir (m. 774 H/1377) dengan Tafsir al-Qur’an al-Karim; Jalaluddin al-Suyuti (m. 911 H/1505) dengan tafsirnya al-Dhurr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma’thur.

Setelah al-Tabari, muncul berbagai penekanan pendekatan yang lain ketika menafsirkan al-Qur’an. Penekanan dari aspek bahasa diantaranya dilakukan oleh al-Zajjaj (m. 311 H) dalam tafsirnya Ma’ani al-Qur’an; al-Wahadi (m. 468 H) dalam tafsirnya al-Basit; dan Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhit. Dari penekanan sisi teologis penafsiran al-Qur’an dilakukan diantaranya oleh al-Zamakshari (m. 406/1016) dengan al-kashshaf ‘an haqa ‘iq ghawamid al-tanzil (Penyingkap Realitas Rahasia-Rahasia Wahyu); Fakhruddin al-Razi (m. 610/1210) dengan Mafatih al-Ghayb (Kunci-Kunci yang Ghaib); dan al-Baydawi dengan Anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wail (Cahaya-cahaya wahyu dan Rasia-Rahasia Takwil). Penekanan terhadap aspek hukum dilakukan oleh al-Jassas (m. 370/981) dengan karyanya Ahkam al-Qur’an; Ibnu al-‘Arabi (m. 543/1148) dengan karyanya Ahkam al-Qur’an; al-Qurtubi (m. 671/1272) dengan

karyanya Jami’ Ahkam al-Qur’an. Penekanan terhadap isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu tasauf misalnya disusun oleh Abu Muhammad Sahl ibn ‘Abdullah al-Tasturi dengan karyanya yang disebut dengan tafsir al-Tasturi. Selain itu, ada juga diantara para mufassir yang menitikberatkan kepada penyaringan dan penapisan cerita-cerita terdahulu yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Para mufassir yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah ‘Alauddin ibn Muhammad al-Baghdadi al-Thalabi (m. 741 H) dan tafsri al-Khazin dengan karyanya Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil.

Pemaparan ringkas di atas meunjukkan bahwa tafsir beserta ilmu-ilmu untuk menafsirkan al-Qur’an telah menjadi sebuah disipln ilmu yang sangat matang. Ia adalah bagian yagn tidak terpisahkan dari Islam. Ia sudah berkembang sejak wahyu belumpun diturunkan secara sempurna. Selain itu, para mufassir terkemuka bersepakat dalam berbagai perkara. Masalah penyaliban Nabi Isa as, misalnya, tidak ada seorang pun mufasir dari dulu sampai sekarang yang berpendapat bahwa Nabi Isa a.s. mati di tiang salib. Begitu juga, para mufassir yang berwibawa bersepakat dalam berbagai perkara seperti, tidak boleh wanita muslimah berkawin dengan orang kafir; Allah itu satu, malaikat, surga, Negara dan kiamat itu semuanya ada dan pasti. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu relative adalah kekeliruan sekalipun terdapat beratus-ratus buku tafsri yang membahas masalah-masalah tersebut.

Berbeda dengan sejarah tafsir yang sudah begitu mapan di dalam Islam, hermeneutika muncul didalam konteks peradaban Barat, yang didominasi oleh konsep ilmu yang skeptik. Karena itu, konsep yang ditawarkan oleh para hermeneut tentang makna, kandungan, teori hermeneutika itu sendiri terus-menerus mengalami berbagai perobahan, perbedaan dan bahkan pertentangan. Konsep hermeneutika Friedrich D.E. Schleirmacher, seorang pendiri teologi Protestant Modern, misalnya, diubah dan dikritik oleh para hermeneut yang lain seperti Wilhem Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Hirsch, Emilio Betti dan lain-lain. Teori mereka tentang hermeneutika dibangun atas spekulasi akal. Karena itu, konsep dan teori mereka tidak akan jelas sebagaimaa penggunaan akal di dalam tafsir yang selalu terkait dengan al-Qur’an dan hadits-hadits dari Rasulullah saw. Karena itu, fenomena berbagai kesepakatan di antara berbagai mufassir tentang berbagai perkara masih ada di dalam tafsir. Hal seperti ini tidak terjadi didalam sejarah hermeneutika, yang selalu mencari-cari kebenaran

dengan tidak pernah berhenti mencari. Hasilnya, kebenaran tidak pernah akan dijumpai karena proses mencari yang tanpa henti. Dasr filosofis hermeneutic dijiwai oleh pemikiran skeptik.

Ulumul Qur’an dan Kredibilitas Mufassir

Selain tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu yang membantu dalam menafsirkan al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an) juga sudah wujud dengan s angat mapan. Kajian secara lebih khusus dan sistematis mencakup berbagai aspek di dalam al-Qur’an seperti al-qira’ah (ragam-bacaan al-Qur’an); tarikh al-Qur’an (sejarah al-Qur’an); asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu); al-nasikh wal-mansukh (ayat-ayat yang mengabrogasi dan yang terabrogasi); al-muhkam wal-mutashabbih (ayat-ayat yang jelas dan ayat yang samar-samar di dalam al-Qur’an); ahkam al-Qur’an (hukum-hukum al-Qur’an); I’jaz al-Qur’an (keagungan al-Qur’an); I’rab al-Qur’an (analisa grammar al-Qur’an); ghara ‘ib al-Qur’an (poin-poin yang menakjubkan di dalam al-Qur’an); fada ‘il al-Qur’an (kehebatan al-Qur’an); mushkil al-Qur’an (ayat-ayat yang sulit di dalam al-Qur’an); amthal al-Qur’an (perumpamaan-perumpamaan al-Qur’an), mufradat al-Qur’an (kosa-kata al-Qur’an), al-wujuh wa al-naza’ir fi al-Qur’an (makna al-Qur’an) dan sebagainya.

Banyak pembahasan mengenai qira’ah telah dibahas oleh para ulama kita terdahulu. Abu ‘Ubayd (m. 224/838), misalnya, telah membahas masalah ini didalam karyanya fada ‘il al-Qur’an. Pembahasan lebih mendalam mengenai qira’ah juga dilakukan oleh Ibnu Mujahid (m. 324 H) yang menulis al-Sa’ah fi al-qira’at. Setelah itu banyak sekali literatur tentang qira’ah seperti Abu al-Hasan (m. 399 H)

dengan karyanya Kitab al-Tadhkirah fi Qira’at al-thaman; Muhammad ibn Ja’far al-Khiza’i (m. 408 H) dengan karyanya Kitab al-Muntaha fi al-Qira’at al-‘ashr; Makki ibn Abi Talib al-Qays (m. 430 H) dengan karyanya Kitab al-Tabsirah; Muhammad ibn Ibrahim al Baghdadi al-Maliki (m. 438 H) dengan karyanya Kitab al-Raudah fi al-Qira’at Ihday ‘ashr; Al-Dani (m. 444) dengan karyanya Kitab al-Taysir dan juga Kitab Jami al-Bayan fi al-Qira’at al-Sab; Abu Muhammad al-Shatibi (m. 590/1194)

dengan karyanya Hirzul amani wa wajh al-tahani; al-Sakhawi (m. 643) dengan karyanya Kitab Jamal Qurra wa Ikmal iqra’; Ibnu al-Jazari dengan karyanya al-Nashr fi al-qira’at al-‘ashr; dan banyak lagi kitab-kitab qira’ah yang lain.

Pembahasan mengenai nasikh wa mansukh juga telah banyak sekali dilakukan oleh para sarjana Muslim terdahulu. Fihrist Ibnu Nadim misalnya menyebutkan berbagai nama yang sudah membahas secara mendalam mengenai nasikh wa mansukh. Abu Ubayd (m. 224/838) menulis Kitab al-nasikh wa al-mansukh; al-Nahhas (m. 338/950), Hibatullah (m. 410/1019); ‘Abdul Qahir al-Baghdadi (m. 429/1037) semua menulis buku dengan berjudul al-nasikh wa al-mansukh; Begitu juga dengan Makki al-Qaysi (430/1038) yang menulis al-Idah li nasikh al-Qur’an wa mansukhihi; al-Hazimi (m. 584/1188) dengan karyanya al-I’tibar fi bayan al-nasikh wa al-mansukh min al-athar dan banyak lagi karya yang lain.

Pembahasan mengenai asbab al-nuzul juga telah banyak dibahas oleh para ulama kita terdahulu. Disebutkan bahwa ‘Ikrimah (m. 105/723) dan al-Hasan al-Basri (m. 110/728) telah menulis Nuzul al-Qur’an; ‘Ali ibn al-Madini (m. 234/848) telah menulis Kitab al-Tanzil; Abdurrahman ibn Muhammad Abu al-Matarrif al-Andalusi (m. 402/1011) menulis al-Qisas wa al-as-bab al-lati nazala min ajliha al-Qur’an; Isma’il ibn Ahmad al-Nisaburi (m. 430/1038). Selain itu, karya asbab al-nuzul yang sampai ke tangan kita adalah karya al-Wahidi al-Nisaburi (m. 468/1075) Kitab asbab nuzul al-qur’an; Muhammad ibn As’ad al-‘Iraqi (m. 567/1171) dengan karyanya Asbab al-nuzul wa qisas al-furqaniyyah; al-Suyuti (m. 911/1505) dengan karyanya Lubab al-Nuqul fi asbab al-nuzul; dan lain sebagainya.

Pembahasan mengenai muhkam dan mutashabbiih misalnya, telah dilakukan oleh al-Kisa’I (m. 187/803) yang menulis tentang Mutashabih al-Qur’an; Pembahasan

mengenai Majaz al-Qur’an telah dilakukan oleh Abu ‘Ubaydah (m. 210/825); Ibnu Quraybah (m. 276/889) menulis tentang Mushkil al-Qur’an dan Gharib al-Qur’an; dan sebagainya. Kajian yang mendalam tentang berbagai segi al-Qur’an tersebut lambat laun menjadi dasar bagi terbentuknya disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Al-Baqillani (m. 1012 M) di dalam karyanya Nukat al-Intisar li-naql al-Qur’an (Permata Pertolongan di Dalam Periwayatan al-Qur’an) menyusun dan mereformulasikan

kembali berbagai sisi dari al-Qur’an yang sudah dibahas oleh para sarjana Muslim sebelumnya. Usaha seperti al-Baqillani, dilakukan juga oleh al-Zarkashi (m. 1391 M) di dalam karyanya al-Burhan fii ‘Uluym al-Qur’an (Kriteria untuk ilmu-ilmu al-Qur’an). Al-Suyuti, dengan banyak mengutip al-Zarkashi menulis juga pendapatnya tentang ilmu-ilmu al-Qur’an di dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Keyakinan terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an).

Ilmu-ilmu yang disebutkan di atas perlu dimiliki oleh para mufassir. Karena itu, isi kandungan al-Qur’an tidak bisa ditafsirkan semena-mena. Para mufassir harus memiliki kredibilitas supaya tidak menyebabkan penyimpangan penafsiran. Jika ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan sesuka hati oleh siapa saja, maka akan terjadi banyak kebingungan dan kerancuan penafsiran. Hal-hal seperti ini sudah dilakukan oleh banyak kelompok seperti Inkar Sunnah, Ahmadiyyah dan lain-lain yang menafsirkan sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Menghindari berbagai dampak seperti itu, maka para penafsir al-Qur’an harus memenuhi berbagai pra-syarat sebelum menafsirkan al-Qur’an. Pra-syarat ini juga membedakan tafsir dengan hermeneutika.

Berdasarkan kepada perkembangan tafsir dan berbagai aspek di dalam tafsir, maka penguasaan terhadap berbagai bidang ulumul qur’an menjadi sebuah keharusan bagi seorang mufassir. Al-Suyuti menetapkan 15 bidang ilmu yang diibaratkan sebagai alat bantu membedah maksud al-Qur’an supaya tidak terjadi penyimpangan. Al-Suyuti menyebutkan bahwa seorang mufassir harus menguasai bahasa; nahw; sarf; istishqaq; ma’ani; bayan; badi’; qira’ah; usuluddin; usul al-fiqh; asbab al-nuzul dan qisas; nasikh dan mansukh; fiqh; hadits-hadits yang menerangkan al-Qur’an dan ilmu yang dianugerahkan Allah dan mengamalkan ilmu-ilmunya.

Saat ini, orientalis pun sangat getol menafsirkan al-Qur’an. Karena itu, sangat banyak sekali ditemukan penafsiran yang memuat kepentingan mereka. Padahal, para ulama kita sejak dahulu sudah menetapkan bahwa diantara syarat-syarat para mufassir adalah berkaitan dengan keberagamaan dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-

Tabari, misalnya, mengemukakan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan. Al-Suyuti mengatakan bahwa sikap takabbur, cenderung kepada bid’ah, tidak tetap iman dan mudah goyah dengan godaan, cintakan dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.

Kredibilitas mufassir tersebut bertujuan membatasi penyimpangan yang mungkin berlaku di dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga tidak sembarangan orang b olehi menafsirkan al-Qur’an. Selain itu, tafsiran juga telah dibatasi oleh berbagai perkara, supaya penyimpangan penafsiran tidak dengan mudah berlaku. Hal-hal seperti ini tidak ada didalam hermeneutika, yang membuka penafsiran seluas mungkin bagi siapa saja untuk menginterpretasikan teks.

Kesimpulan

Setelah mengeksplorasi betapa luasnya pembahasan yang telah dilakukan oleh para ulama kita terdahulu mengenai tafsir, maka konsep Hermeneutika yang saat ini sedang begitu semarak dipropagandakan, bisa menjadi tidak mungkin untuk diaplikasikan kepada tafsir. Gagasan Schleirmacher bahwa penafsir bisa lebih mengerti lebih baik daripada pengarang sangat tidak tepat untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an. Tidak seorang pun di kalangan para mufassir akan mengatakan bahwa dia akan lebih mengerti daripada pengarang al-Qur’an, Allah swt.

Begitu juga gagasan Wilhem Dilthey yang menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Pendapat seperti ini jelas tidak bisa diaplikasikan di dalam tafsir. Bagi

para mufassir, Allah swt. sebagai pengarang al-Qur’an, justru mengubah sejarah, bukan malah dipengaruhi oleh sejarah. Al-Qur’an telah mengislamisasikan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantic dan kosa kata –khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci- yang digunakan untuk memproyeksikan bukan pandangan hidup Islam. Kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karim) sudah ada sebelum Islam. Kata-kata tersebut pada zaman Jahiliah termasuk kata-kata yang penting dalam pandangan hidup Jahiliah. Kata-kata tersebut sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian. Al-Qur’an mengubah semua ini dengan sangat mendasar dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur’an menyebutkan: “Sesungguhnya yang paling Mulia di sisi Tuhanmu adalah orang yang paling bertakwa.” Lebih lanjut, orang-orang Arab sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan mengarang dan membaca puisi. Al-Qur’an menghasilkan perubahan semantik yang dasar ketika kemuliaan diasosiasikan dengan kitab suci Al-Qur’an: kitab karim, atau dengan perkataan yang baik kepada orang tua (qawl karim). Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak merujuk kepada makna yang lain. Al-Qur’an lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar k eimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.

Begitu juga dengan gagasan Gadamer yang menyatakan bahwa penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsir tidakmungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsiran merupakan “reinterpretation”, memahami lagi teks secara baru dan makna baru pula.

Pendapat Gadamer seperti disebutkan di atas akan menggambarkan bahwa para penafsir tidak akan terlepas daripada latar belakang situasi budaya dan sosial. Bagi kaum Muslimin, para mufassir baik dulu, sekarang dan akan datang tidak terjebak dengan latar belakang sosial dan budaya. Tafsir yang dilakukan melampaui batas budaya lokal. Oleh sebab itu, masih terdapat banyak kesepakatan diantara para

mufassir, sekalipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.

Ringkasnya, ilmu tafsir masih tetap relevan digunakan di dalam studi Islam dan hermeneutika tidaklah sesuai untuk diterapkan ke dalam studi tafsiryang sudah berjalan mapan dalam Islam. Al-Qur’an adalah final, tetap dan tidak berubah.

Otentisitas al-Qur’an terjaga. Bahasa asal al-Qur’an tidak mengalami perubahan. Berbeda dengan al-Qur’an, teks bibel adalah tidak final, tidak tetap dan berubah-ubah. Terdapat beragam versi bibel. Bahasa asal Perjanjian Baru, misalnya, sudah mengalami berbagai perubahan. Dari bahasa Yunani kuno, berubah kepada bahasa Latin, berubah kepada bahasa Inggris dan berubah lagi kepada berbagai bahasa lain. Karena itu, hermeneutika diperlukan untuk mengetahui makna asal dari

Perjanjian Baru. Wallahu’alam. (Adnin Armas, MA)

Problem Teks Bible Dan Hermeneutika

Selasa, 04 November 2008

Setiap agama memiliki kitab keagamaan, dan setiap kitab keagamaan memiliki sejarah dan tradisi pemahamannya sendiri-sendiri. Problem pemahaman teks suatu agama tidak dapat diselesaikan oleh metode pemahaman teks agama lain. Sebagaimana juga problem undang-undang suatu Negara tidak dapat diselesaikan oleh undang-undang Negara lain. Berbagai kajian di kalangan cendekiawan Kristen sendiri menujukkan bahwa teks Bible baik secara historis maupun teologis memang bermasalah. Karena problem teks yang dihadapi para teolog Kristen inilah, maka mengapa hermeneutika asal Yunani itu diperlukan untuk menginterpretasikan Bible. Kajian berikut ini akan mengelaborasi di seputar teks

Bible, hermeneutika dan respon gereja terhadapnya.

Problem teks Bible

Istlah “Bible” digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya – meskipun memiliki konflk yang panjang dalam sejarah – berbagi irisan dalam soal Bible. Hingga kini Bible (Latin: Biblia, artinya ‘buku kecil’; Yunani: Biblos) biasanya dipahami sebagai

Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi. Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak Kristen disebut sebagai The Old Testament atau Perjanjian Lama. Istilah “Old Testament” ditolak oleh Yahudi karena istilah itu mengandung makna, perjanjian (covenant atau testament) Tuhan dengan Yahudi adalah Perjanjian Lama (Old Testament) yang sudah dihapus dan di gantikan dengan “Perjanjian Baru” (New

Testament) dengan kedatangan Jesus yang dipandang kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi menolak klaim Jesus sebagai juru selamat manusia.

Bagi Yahudi, yang disebut sebagai Bible adalah 39 Kitab dalam ‘Perjanjian Lama’ –nya kaum Kristen, dengan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut Kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan Bible, yang di dalamnya termuat Torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital. Louis Jacobs, seorang teolog Yahudi merumuskan: “A Judaism without God is no Judaism. A Judaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no Judaism.” Yang disebut Torah adalah lima kitab pertama dalam Hebrew Bible, yaitu Genesis (Kejadian), Exodus (Keluran), Leviticus (Imamat), Numbers (Bilangan), dan Deuteronomy (Ulangan).

Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab y ang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It’s a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalamnya dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi.

Problema lain dalam Hebrew Bible adalah soal standar moral para tokohnya. David, the King of Israel, digambarkan melakukan tindakan keji dengan melakukan perzinahan dengan Batsheba dan menjerumuskan suaminya, Uria, ke ujung kematian. Akhirnya, ia megawini Batsheba dan melahirkan Solomon. Harper’s Bible

Dictionary, mencatat sosok David sebagai: “The most powerful King of Biblical Israel.” Namun, David bukanlah sosok yang patut diteladani dalam berbagai hal. A Dictionary of the Bible mengungkap sederet kejanggalan perilaku dan moralitas David, sebagaimana tersebut dalam Bible. Peperangan-peperangan yang dilakukannya, terkadang diikuti dengan kekejaman yang ganas. Dan dosa besarnya, adalah perzinahannya dengan seorang perempuan cantik bernama Batsheba, yang ketika itu masih menjadi istri sah dari anak buahnya sendiri. “The great sins of his life, his adultery with Batsheba and murder of Uriah, are perhaps but the common crimes of an oriental despot, but so far as we can judge, they were not common to Israel, and David as well as his subjects knew of a higher moral standard.” Kasus perzinahan dan perselingkuhan banyak tersebar dalam Bible. Judah (Yehuda), tokoh Israel, anak Jacob dari Lea, berzina dengan menantunya sendiri y ang bernama Tamar (Kejaian 38:1-11 dan 15-18). Juga, Amon bin David diceritakan memerkosa adiknya sendiri. Kisah ini dengan sangat panjang dan secara terperinci diceritakan dalam 2 Samuel 13:1-22. Padahal, hukuman bagi pezina menurut Kitab Imamat 20, adalah hukuman mati.

Kajian ilmiah terhadap teks Perjanjian Baru (The New Testament) yang berkembang pesat di kalangan teologi Kristen serta fakta sejarah dan sains dalam Bible membuktikan banyaknya problema yang dihadapi. Dua pakar Yahudi, Israel Finkelstein dan Neil Asher Silberman, tahun 2002 lalu menulis buku: The Bible Unearthed: Archaelogy’s New Vision of Ancient Israel and the Origin of Its sacred Texts. Isinya memberikan kritik yang tajam terhadap berbagai data sejarah dalam Hebrew Bible. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satu bukunya yang berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985) menunjukkan problematika teks yang serius. Dalam pembukaan bukunya yang lain berjudul “A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menjelaskan adanya dua kondisi yang selau dihadapi oleh interpreter Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini

bermacam-macam, dan berbeda satu dengan lainnya.

Dalam bukunya itu Metzger menjelaskan bahwa The New Testament yang asalnya berbahasa Yunani (Greek) itu mengalami problem kanonifikasi yang rumit.

Banyaknya manuskrip menyebabkan keragaman versi Bible teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bible untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susuan Jerome, Vulget. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testaments, Metzger mengutiip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, “Limitationof Latin in Representing Greek”: “Although the Latin language is in general very suitable for use in making a translation from Greek, there still remain certain features which can not be expressed in Latin.”

Memang bahasa asli Bible menjadi salah satu sebab penting timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Greek yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal istilah Textus Receptus (teks yang disepakati) yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. (Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, hal. xxii-xxiv). Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament (the way is open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament canon). Jadi karena Bible asli tidak ditemukan maka teks standar untuk membuat berbagai versi pun diperparah lagi oleh tradisi kependetaan (Rabbanic Tradition) yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja. Disinilah sebenarnya akar masalahnya sehingga Bible memerlukan hermeneutika.

Hermeneutika Bible

The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilali dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu (1) literal interpretation, (2) moral interpretation, (3) allegorical interpretation, (4) anagogical interpretation.

Interpretasi literal maksudnya adalah interpretasi yang sesuai dengan makna yang jelas (plain meaning), sesuai konstruksi tata bahasa dan konteks sejarahnya. Model ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kemauan penulis Bible. Mereka percaya bahwa kata-kata yang tercantum dalam Bible adalah berasal dari Tuhan. Mereka dikritik sebab tidak mempertimbangkan banyaknya bukti yang menunjukkan adanya “individual style” pada masing-masing penulis Bible. Model ini dianut oleh banyak tokoh dalam sejarah Kristen, seperti Jerome (pakar Bible pada abad ke-4 M), Thomas Aquinas, Nicholas of Lyra, John Colet, Martin Luther, dan John Calvin.

Interpretasi moral adalah interpretasi yang mencoba membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari beberapa bagian dalam Bible. Biasanya juga digunakan teknik alegoris dalam model ini. The Letter of Barnabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu.

Menurut model ketiga, allegorical interpretation, teks-teks Bible mempunyai makna pada level kedua, diatas seseorang, sesuatu, ataupun yang jelas-jelas disebutkan secara gamblang dalam teks. Format utama model ini adalah tipologi. Tokoh-tokohi kunci dan peristiwa-peristiwa penting dalam Perjanjian Lama (Old Testament) dilihat sebagai satu tipe bayangan ke depan untuk tokoh dan peristiwa-peristiwa yang ada di Perjanjian Baru (New Testament).

Menurut pendukung metode ini, perahu Noah adalah satu “tipe” dari gereja Kristen yang sudah dirancang Tuhan sejak dulu. Philo (50 SM-20 M), seorang filosof Yahudi, adalah pelopor model interpretasi ini. Philo melakukan usaha kreatif yang menggabungkan tradisi Yahudi dengan tradisi Yunani. Ia tidak mengabaikan makna literal. Makna literal dipandang rendah, primitive, dan perlu diangkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu makna alegoris (kiasan). Model ini kemudian diikuti Christian Clement of Alexandria. Berikutnya, Origen melakukan sistematisasi terhadap prinsip-prinsip hermeneutika alegoris ini. Meunrutnya, ada tiga kategori makna dalam teks Bible, yaitu literal, moral, dan alegoris. Yang terakhir itulah yang tertinggi tingkatannya. Origen mengembangkan teorinya dari filsafat Paulus dan Yunani, bahwa tubuh manusia terdiri atas “body”, “soul” dan “spirit”. Sebagaimana teks Bible juga mempunyai pengertian “literal”, “moral”, dan “spiritual”.

Di abad pertengahan (500-1500 M), teori “tiga tingkat” Origen itu dikembangkan lagi menjadi “empat tingkat” dengan menambah model yang keempat, yaitu anagogis. Anagogical interpretation juga dikenal sebagai “mystical interpretation”. Model inidipengaruhi oleh tradisi mistik Yahudi (Kabbala) yang diantaranya mencoba mencari makna-makna mistis dari angka-angka dan huruf-huruf Hebrew. Contoh dari interpretasi empat tingkat adalah kata ‘jerusalem’. Pada level literal, Jerusalem adalah nama kota yang ada di bumi. Pada makna alegoris, Jerusalem diartikan sebagai “gereja Kristen”. Menurut makna moral, Jerusalem berarti jiwa (soul). Dan pada level anagogis (escatbological), Jerusalem adalah “kota Tuhan di masa depan”.

Dari empat model itu, dua model menjadi arus utama interpretasi Bible pada awal-awal sejarah kekristenan, yaitu model Alexandria (alegoris) dan model

Antioch (literal): Paparan Paulus dalam Galatia 4:24 tentang kisah Abraham, Hagar, dan Sarah menjadi sandaran model alegoris. Alexandria memang menjadi temapt yang subur bagi tradisi filsafat Yunani, sehingga berpengaruh besar terhadap model interpretasi Bible.

Agak sedikit berbeda dengan sistematika The Encyclopedia Britannica tentang herrmeneutika dalam tradisi Bible, Werner G. Jeanrond dalam bukunya “Theological Hermeneutics”, menguraikan secara sistematis sejarah perkembangan hermeneutik di kalangan Yunani, Yahudi, dan Kristen. Di kalangan Yahudi, misalnya, di awal-awal tumbuhnya Kristen, memiliki berbagai metode interpretasi terhadap Taurat, yaitu literalist interpretation, Midrashic Interpretations, Pesher interpretations, dan Allegorical interpretation.

Di masa awal Kristen, Jesus cenderung tidak mengikuti interpretasi secara literal, tetapi lebih mendekati metode Midrashic. Namun pada awal abad ke-3 M, aliran hermeneutika yang berkembang di kalangan Kristen, khususnya Alexandria, adalah allegorical interpretation. Tokoh hermeneutika alegoris yang menonjol adalah Origen (185-254). Aliran alegoris Alexandria segera mendapat kritikan dari aliran literal dan historis dari kalangan Kristen Antioch. Dari perseteruan dua aliran hermeneutika ini muncul seorang tokoh Kristen yang sangat terkenal yaitu Augustine of Hippo (354-430). Ia menulis buku De Doctrina Christiana (On Christian Doctrine), yang mencoba memadukan kedua aliran tersebut.

Model alegoris memang bisa menghasilkan pengertian yang liar. Karena itu, kalangan Kristen membatasi model ini dengan rule of faith, yaitu bahwa interpretasi haruslah sejalan dengan ajaran gereja. Selain rule of faith alat control penafsiran liar adalah apa yang disebut sebagai “hermeneutical circle”, maksudnya, suatu teks harus diinterpretasikan sesuai konteks Bible secara keseluruhan, bukan hanya konteks lokal teks terebut. Interpreter Bible pada awal-awal sejarah Kristen, seperti Irenaeus (m. 202 M) dan Tertulian (m. sekitar 222 M) berargumen bahwa hanya pastur-pastur yang memiliki garis otiritatif dari para apostles saja yang memiliki otoritas untuk menginterpretasi Bible (apostles atau rasul dalam terminology Kristen menunjuk pada pengikut Jesus).

Pada abad pertenghanan, muncul nama Thomas Aquinas (1225-1274), yang dianggap pemikir besar dalam hermeneutika. Bukunya, Summa T heologica menekankan pentingnya interpretasi secara literal. Dia bahkan masih menyatakan:

“The author of holy scripture is God, in whose power it is to signify meaning, not by words only (as man can also do), but by things themselves.” Disini teologi masuk ke dalam persoalan hermeneutika. Bahkan hingga masa reformasi, penempatan teologi sebagai basis interpretasi hermeneutika masih terus dilakukan.

Martin Luther, seorang tokoh reformis pada abad ke-16, menyatakan, bahwa “kata-kata Tuhan harus diartikan secara jelas (simplest meaning) selama masih memungkinkan. Kata-kata Tuhan itu, katanya, harus dipahami sesuai arti tata bahasa dan makna literalnya. Jika metode literal tidak digunakan, menurut Luther, maka akanmemberikan kesempatan kepada musuh untuk melakukan penghinaan kepada Bible. Para reformis Kristen ini menekankan model literal dengan tujuan untuk mengalihkan otoritas interpretasi Bible dari Gereja, konsili-konsili, dan Paus, ke teks Bible itu sendiri. Para reformis ini memang sangat anti kepada Paus dan Katolik. Menurut Luther, kekuatan anti-kristus adalah Paus dan bangsa Turki. Kekuatan jahat memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan Anti-kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki … Bangsa Turki adalah bangsa yang dimurkai Tuhan. (Antichrist is the Pope and the Turk together. A beast full of life must have a body and soul. The spirit or soul of Antichjrist is the Pope, his flesh and body the Turk … The Turk are the people of the Wrath of God).

Kisah pemberontakan Martin Luther terhadap Gereja memang menarik. Pada 31 Oktober 1517, ia mulai melawankekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremsi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus.

Problem Bible dan Sains

Namun interpretasi Bible secara rigid dan literal dengan dukungan teologi sekalipun masih belum mampu menghadapi perkembangan sains yang terjadi di luar gereja. Jeandrond menulis “The defenders of this rigid Biblicism attacked especially advances the natural sciences, which led to doubts about the possibility of an unqualified literalistic reading of the Scriptures, for instance the creations accounts in the Book of Genesis, Lutheran, Reformed and Roman Catholic orthodocies were thoroughly united in their rejection of the emerging scientific and rational world-view.” Kasus menarik antara model literal dan alegoris terjadi dalam soal penafsiran terhadap teori kosmologi. R. Hoykaas dalam bukunya, G.J. Rheticus Treatise on Holy Scripture and the Motion of The Earth, menjelaskan, bahwa bagi kelompok literal Kristen, penganut metode literalisme, ayat-ayat Bible tentang alam semesta haruslah diartikan secara literal, dan lebih dari itu, dasar-dasar kosmologi harus diambil dari Bible.

Akibat dari kekakuan kelompok literalis dapat dilihat ketika menjelaskan konsep dibalik makna “waters above the expanse” (air adalah di atas tanah atau udara). Makna kata-kata ini bertentangan dengan prinsip dasar Aristotelian bahwa alam telah menempatkan air di bawah udara, api, dan benda-benda langit. Tapi karena interpretasi literal maka teks Bible harus dimenangkan atas konsep filsafat “kafir” Aristotle. Tokoh-tokoh gereja Syria yang ingin agar kosmologi bebas dari pengaruh paganism, menempatkan konsep kosmologi Bible berhadapan dengan konsep kosmologi Yunani. Abad ke-6 M, penulis Kosmas Indikopleustes menyusun konsep ekstrim bahwa bumi itu datar, sebab Bible (New King James Version) menyatakan: “That it might be take hold of the ends of the earth, and the wicked be shaken out of it.” (Job, 38:13). Juga, “After these things I saw four angels standing at the four corner of the earth, that the wind should not blow on the earth, on the sea, or on any tree”. (Revelation, 7:1). Dalam versi LAI (Lembaga Alkitab Indonesia), ayat Ayub 38:3 diterjemahkan: “untuk memegang ujung-ujung bumi, sehingga orang-orang fasik dikebaskan daripadanya.” Sedangkan ayat Wahyu-wahyu 7:1 diterjemahkan: “Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut atau di pohon-

pohon.” Jadi karena metode tafsir literalisme, maka fakta bahwa bumi itu bulat harus dikalahkan oleh teks Bible bahwa bumi itu segi empat. Ia memiliki tepi, sehingga “orang jahat” bisa dibuang dari bumi.

Sejarah Kristen menunjukkan, otoritas Gereja pernah menghukum ilmuwan seperti Galileo Galilei (1564-1642), karena mengekspos teori ”heliocentric”, bahwa matahari adalah pusat tata surya. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan Gereja – yang mempunyuai doktrin infallibility (tidak pernah salah) karena merupakan wakil Kristus di muka bumi. Sampai abad ke-17, Gereja masih tetap berusaha mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi Gereja, dianggap sebagai “heresy” (kafir) dan dihadapkan ke Mahkamah Inquisisi. Kasus yang terkenal terjadi pada Galileo Galilei. Pada 19 Januari 1616, Galileo membuat dua statemen: (1) matahari adalah pusat galaksi dan (2) bumi bukanlah pusat tata surya.

Pada 24 Februari 1616, sekelompok pakar teologi yang dibentuk oleh Tahta Suci Vatikan (Holy Office) menyatakan, bahwa teori Galileo itu bertentangan dengan Bible. Maka, Paus Paul V, meminta Cardinal Bellarmine untuk memperingatkan Galilleo. Tetapi, pada 1632, Galileo kembali mengajarkan t eorinya itu. Maka, pada 16 Juni 1633, Galileo diinterogasi karena dipandang melakukan kesalahan dalam teologi, dengan menyebarkan teori “heliocentric”. Ia diundang ke Roma dan dipaksa oleh Mahkamah Inquisisi untuk mencabut teorinya dan mengikuti doktrin Gereja bahwa bumi adalah pusat tata surya. Di depan Inquisitor, Galileo akhirnya ‘bertobat, dan berjanji tidak akan menyebarkan lagi teori heliosentrisnya itu. Di depan Mahkamah gereja itu, Galileo menyatakan akan menghapus semua opini yang salah, bahwa matahari adalah pusat dari jagad raya dan tidak bergerak, dan bahwa bumi bukanlah pusat jagad raya dan bergerak. Ia berjanji tidak akan mempertahankan atau mengajarkan doktrin yang salah tersebut, dalam bentuk apapun, secara verbal atau melalui tulisan.

Sebelumnya, Nicolaus Copernicus (1473-1543), seorang Astronom dan ahli matematika sudah mengemukakan teori heliocentric itu. Sadar bahwa teorinya akan menimbulkan kontroversi, Copernicus menolak untuk mempublikasikan

teorinya. Tapi,atas desakan teman-temannya, pada tahun 1543 ia menerbitkan bukunya yang berjudul On the Revolutions of the Heavenly Spheres. TeoriCopernicus menakutkan penguasa Gereja, karena dianggap bertentangan dengan Bible. Sebagai contoh, disebutkan dalam Mazmur (Psalm) 93 ayat 1: “Yea, The world is established, it shall never be moved.” Tahun 1616, Gereja menempatkan buku On The Revolution dan buku-buku lain yang menjelaskan tentang perputaran bumi, ke dalam daftar buku-buku yang terlarang.

Perlu dicatat, bahwa problema benturan antara sains dan Bible itu terjadi pada abad pertengahan Eropa (500-1500 M). Zaman ini dikenal sebagai Medieval Europe atau “The Dark Ages of Eutope”. Tapi, kasus-kasus serupa masih berlanjut pada zaman pencerahan (enlightenment). Orang Eropa menyebut zaman ini sebagai zaman renaissance, yang artinya zaman ‘kelahiran kembali’ (rebirth). Mereka merasa, bahwa selama ratusan tahun, mereka telah mati, hidup dibawah cengkeraman kekuasaan Gereja. Karena itulah, pada zaman pencerahan mereka melakukan revolusi besar-besaran terhadap berbagai pemikiran tentang kehidupan, termasuk terhadap konsep keagamaan. Inti zaman pencerahan ini adalah zaman merebaknya paham “sekularisme, humanisme, dan liberalism”. Penafsiran tentang keagamaan pun disubordinasikan ke dalam paham-paham ini. Termasuk pemahaman terhadap Bible. Berkembangnya hermeneutika modern sebagai perangkat tafsir teks, termasuk teks Kitab Suci, adalah juga bagian dari menguatnya hegemoni sekularisme dan liberalism, disamping memang ada kebutuhan internal dalam Kristen, karena problema teks Bible dan doktrin ketuhanan.

Hermeneutika dan Liberalisasi

Sebenarnya, hermeneutika modern yang dipelopori oleh Friedrich Schlelermacher (1768-1834), juga memunculkan persoalan bagi kalangan Kristen. Sebab, hermeneutika modern menempatkan semua jenis teks pada posisi yang sama, tanpa mempedulikan apakah teks itu “Divine” (dari Tuhan) atau tidak, dan tidak

lagi mempedulikan adanya otoritas dalam penafsirannya. Semua teks dilihat sebagai produk pengarangnya. Penggunaan hermeneutika modern untuk Bible tampaknya juga merupakan bagian dari upaya liberalisasi di kalangan Kristen, mengingat Friedrich Schleiermacher sendiri adalah seorang teolog dan tokoh liberal Protestantism. Bagi Schleiermacher, faktor kondisi dan motif pengarang sangatlah penting untuk memahami makna suatu teks, di samping faktor gramatikal (tata bahasa).

Namun, sebelum Schleiermacher, upaya melakukan “liberalisasi” dalam interpretasi Bible sudah muncul sejak zaman Enlightenment di abad ke-18. The University of Halle memainkan peranan penting. Yang terkenal adalah Johann Solomo Semler (1725-1791). Para teolog liberal ini memainkan peranan penting dalam melakukan reapresiasi terhadap “akal manusia” dan tumbuhnya perlawanan terhadap otoritas yang tidak masuk akal (unreasonable authority). Semler melakukkan pendekatan radikal terhadap Bible dan sejarah dogma, dengan mengajukan p rogram hermeneutika dari perspektif “studi kritis sejarah”. Ia mengajukan gagasan transformasi radikal terhadap dasar-dasar hermeneutika teologis. Interpretasi Bible, kata Semler, harus dihentikan dari sekedar upaya untuk menverifikasi dogma-dogma tertentu. Dengan kata lain, interpretasi dogmatis terhadap teks Bible, harus diakhiri, dan perlu dimulai satu metode baru yang ia sebut “truly critical reading.” Hermeneutika, menurutnya, mencakup banyak hal, seperti tata bahasa, retorika, logika, sejarah tradisi teks, penerjemahan, dan kritik terhadap teks. Tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks sebagaimaa dimaksudkan oleh para penulis teks itu sendiri. (The main taks of hermeneutics, however, was to understand the texts as their authors bad understood them).

Jika dicermati, apa yang dilakukan Semler, Schleiermacher, dan para teolog liberal lainnya, masih dalam alur semangat liberalisasi dari kungkungan tradisi dan otoritas Gereja yang beratus-ratus tahun menyalahgunakan wewenangnya atas nama Tuhan. Mereka ingin mengembalikan pengertian teks Bible kepada konteks historis dan kondisi penulisnya, terlepas dari kungkungan tradisi Gereja ortodoks (baik Katolik maupun Protestan). Trauma terhadap Inkuisisi Gereja sangatlah mendalam, sehingga pada abad ke-18 di Eropa muncul fenomena yang disebut “anticlericalism”. Gambaran fenomena ini dapat dibayangkan dari ungkapan yang populer ketika itu: “Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a p riest whter you are in front or behind.” Orang Kristen sendiri di

Barat sudah jera dengan gereja dan para pendetanya.

Penutup

Perkembangan Hermeneutika dalam tradisiBible tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen dan peradaban Barat (Eropa), yang banyak dipengaruhi oleh trauma Barat terhadap otoritas Gereja, dan problematika teks Bible itu sendiri. Perkembangan tradisi kritiks teks dan kajian historisitas Bible telah membuka pintu lebar-lebar terhadap perkembangan hermenutika modern yang kemudian mensubordinasikan metode interpretasi Bible ke dalam prinsip-prinsip hermeneutika umum. Sebagai satu teks, Bible memang memiliki penulis (author). Banyak teori yang dikemukakan seputar penulisan Bible ini, maka dari itu metode hermeneutika sangat menekankan pada aspek historisitas dan kondisi penulis teks.

Apakah hermeneutika dalam tradisi interpretasi Bible ini sama dengan tradisi pemahaman dan penafsiran al-Qur’an atau teks-teks keagamaan lain? Dan apakah applicable jika metode semacam ini diterapkan untukmenafsirkan al-Qur’an? Jawaban kedua pertanyaan-pertanyaan sebenarnya memerlukan dua kajian penting yaitu: Pertama, komparasi antara konsep teks al-Qur’an dan konsep teks Bible. Kedua, perbandingan antara sejarah peradaban Islam dan peradaban Barat (Kristen-Eropa). Namun untuk sementara telah dapat difahami bahwa konsep teks Bible dan al-Qur’an serta posisi masing-masing dimata penganutnya jelas berbeda. Tradisi keagamaan dalam memahami Bible dan al-Qur’an sudah tentu berbeda dan realitanya menghasilkan peradaban yang berbeda pula. Seyogyanya ini disadari, agar tidak terjadi sikap latah, mengikuti kemana saja “sang tuan” memberi

petunjuk, meskipun harus masuk ke lubang biawak. Wallahu a’lam. * (Adian Husaini)

REFLEKSI PERADABAN: Fenomena Bangkitnya ‘Kaum

Luth’ di Indonesia

Senin, 30 Juni 2008

Sejumlah ayat al-Quran menjelaskan bahwa kehancuran suatu negeri atau sebuah peradaban bukan hanya terkait dengan aspek “hukum alam” semata, dan terlepas dari al- campur tangan al-Khaliq, Allah SWT. Dalam keyakinan kita sebagai kaum Muslim, suatu musibah atau bencana pasti terjadi atas kehendak Allah. Dan Allah sudah menjelaskan melalui wahyu-Nya, mengapa suatu bencana atau azab itu ditimpakan kepada umat manusia.

Misalnya, datangnya azab Allah terkait dengan tidak ditegakkannya aktivitas amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw : “Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan diantara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).

"Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum. (HR Abu Dawud)

Dalam al-Quran juga dijelaskan, bahwa azab Allah juga terkait dengan aspek kedurhakaan kepada Allah SWT. Disebutkan dalam firman-Nya (yang artinya): “Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96)

Maka apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,

Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS al-An’am:44).

Jika Allah menimpakan suatu azab, maka azab itu bukan hanya akan menimpa orang-orang yang zalim saja diantara mereka. Tapi, azab itu akan ditimpakan kepada semua anggota masyarakat. Allah SWT berfirman (yang artinya): ”Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah, bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” (QS al-Anfal: 25).

Kehancuran kaum Luth

Tentang kisah kehancuran kaum Nabi Luth a.s. al-Quran memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini. “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).

Di dalam surat Hud ayat 82 dikisahkan (artinya): ”Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”

Jadi, ayat-ayat al-Quran memberikan penjelasan yang sangat gamblang, bahwa diazabnya kaum Luth itu ada kaitannya dengan perilaku seksual yang menyimpang, yaitu perilaku homoseksual. Prof. Hamka mengutip sejumlah hadits Rasulullah saw dalam Tafsirnya, yakni Tafsir al-Azhar: “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda: “… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Tabhrani).

Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).

Syahdan, kaum Luth tinggal di tepi Laut Mati (Dead Sea). Negeri mereka dikenal sebagai negeri Sadum dan Amurrah (Sodom dan Gomorrah). Dalam analisisnya, Harun Yahya memperkirakan, bahwa makna ”menjungkirbalikkan negeri Luth” adalah bahwa kawasan itu pernah diluluhlantakkan dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Ia mengutip hasil penelitian arkeolog Jerman Werner Keller terhadap kawasan Laut Mati, yang mencatat: ”Bersama dengan dasar dari retakan

yang sangat lebar ini, yang persis melewati daerah ini, Lembah Siddim, termasuk Sodom dan Gomorrah, dalam satu hari terjerumus ke kedalaman. Kehancuran mereka terjadi melalui sebuah peristiwa gempa bumi dahsyat yang mungkin disertai dengan letusan, petir, keluarnya gas alam, serta lautan api.”

Kini, apa yang disebut sebagai ”Danau Luth” (Laut Mati) diperkirakan berada 400 meter di bawah permukaan laut. Titik terdalamnya mencapai 400 meter. Jadi, inilah titik terendah di permukaan bumi (800 meter). Sifat lainnya, kadar garamnya sangat tinggi, sekitar 30 persen, sehingga tidak ada organisme hidup, yang dapat bertahan hidup di tempat ini. Diperkirakan, kejadian yang menimpa kaum Luth itu terjadi sekitar 1.800 SM. (Lihat, Harun Yahya, Negeri-Negeri yang Musnah: Pembuktian Arkeologis dan Historis atas Kehancuran Kaum-kaum yang Dimurkai Allah, Bandung: Dizkra, 2002). Wallahu A’lam.

Kebangkitan kaum Luth

Manusia memang makhluk yang mudah sekali melupakan peringatan Allah. Lihatlah, fenomena yang terjadi di daerah-daerah bekas bencana. Beberapa hari setelah bencana, masjid-masjid dipenuhi manusia yang meratap dan berdoa kepada Allah. Tapi, ketika tahun berganti tahun, ketika bangunan-bangunan mulai direnovasi, saat sisa-sisa bencana mulai sirna, maka banyak lagi yang melupakan masjid. Shalat jamaah yang sebelumnya sempat ramai, kemudian menjadi sepi kembali.

Lebih parah lagi, kemaksiatan yang sebelumnya sempat mereda, kembali marak. Bahkan, ada yang secara terang-terangan kembali menantang Allah untuk menurunkan azabnya. Persis dengan apa yang dilakukan oleh kaum nabi-nabi yang diperingatkan tetapi malah menantang Allah dan Rasul-Nya. Simaklah perilaku kaum Luth ketika diberi peringatan: “Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: ”Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir.” (QS asy-Syu’ara: 165-167).

Jadi, karena memberikan nasehat dan peringatan kepada kaumnya, atas penyimpangan perilaku seksual mereka, maka Nabi Luth a.s. dianggap sebagai orang yang cerewet, usil, dan mengganggu hak asasi mereka, sehingga mereka meminta Luth a.s. untuk diam. Jika tidak mau, maka mereka megancamnya untuk mengusir dari negeri mereka. Itulah perilaku kaum homo di zaman Nabi Luth a.s.

Sekarang, marilah kita simak apa yang sedang terjadi di negeri kita? Televisi kita setiap hari menayangkan tontonan yang mengajak masyarakat untuk bersikap menerima perilaku kaum Luth, baik secara halus maupun secara terang-terangan, bahkan seringkali ditampilkan dengan sangat vulgar. Sering, tayangan ’kaum Luth’ ini dimunculkan dalam bentuk lawakan dan humor-humor segar, sehingga bisa membuat orang terlena dan terbuai dalam dunia tawa. Lama-lama, dia menganggap bahwa ’kaum Luth’ dan orientasi seksualnya adalah sesuatu yang normal dan absah, sama dengan manusia-manusia lainnya.

Tujuan dari kampanye besar-besaran semacam ini adalah terjadinya cara pandang masyarakat. Dulu, hampir tidak ada yang berani mengakui dirinya sebagai homo atau lesbi. Mereka malu, karena akan ada sanksi sosial. Kini, banyak yang secara terbuka mengakui. Bahkan, banyak yang bangga dan kemudian mengajak orang lain untuk bergabung dalam komunitas ’kaum Luth’. Lebih jauh lagi, atas nama HAM dan kebebasan berkeyakinan, ’kaum Luth’ kini menuntut legalitas perkawinan di antara mereka.

Pada tanggal 6-9 November 2006, di Kota Yogyakarta, berkumpullah 29 orang pakar HAM terkemuka dari 25 negara. Mereka memiliki berbagai latar belakang

dan bidang keahlian. Di ”kota pelajar” inilah, mereka menyusun suatu konsep tentang pengelolaan hukum internasional HAM dan pelaksanaannya terhadap pokok-pokok persoalan tentang orientasi seksual dan identitas gender. Termasuk di dalamnya persoalan kelompok lesbian. Para pakar itu kemudian berhasil melahirkan apa yang disebut sebagai ”The Yogyakarta Principles”. Yaitu, suatu ”Prinsip-prinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakuan Hukum Internasional atas Hak-

hak Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender dan hukum internasional sebagai landasan pijak yang lebih tinggi dalam perjuangan untuk hak asasi manusia yang paling dasar (baca: kebutuhan seksual) serta kesetaraan gender.”The Yogyakarta Principles adalah prinsip-prinsip pembelaan terhadap hak-hak seksual (sexual rights) seseorang, yang telah diungkapkan secara internasional di muka sidang Human Rights Council’s PBB di Genewa, pada 26 Maret 2007.

Dalam artikelnya yang berjudul ”Lesbian dan Hak-hak Sipil” di Jurnal Perempuan (edisi Maret 2008), Ratri M., menjelaskan tentang nilai strategis Prinsip-prinsip Yogyakarta tersebut: ”Prinsip-prinsip Yogyakarta ini merupakan tonggak sejarah (milestone) perlindungan hak-hak bagi lesbian, gay, biseksualdan transgender. Menggunakan standar-standar hukum internasional yang mengikat dimana negara-negara harus tunduk padanya.”

Pada 16 Desember 1966, PBB – melalui Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) mengeluarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Poitik, yang pada pasal 23-nya menyatakan adanya jaminan terhadap hak setiap manusia untuk membentuk keluarga dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa perkawinan tersebut hanya berlaku atas kelompok heteroseksual.

Dalam artikelnya yang berjudul ”Rahasia Sunyi: Gerakan Lesbian di Indonesia” di Jurnal yang sama, RR. Sri Agustine mencatat perkembangan gerakan ini di Indonesia. Dalam artikel ini disebutkan, bahwa gerakan legalisasi ’kaum Luth’ bukan hanya dilakukan oleh LSM-LSM seperti PERLESIN (Persatuan Lesbian Indonesia) tetapi juga sudah melibatkan lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Legitimasi keagamaan

Diantara pekembangan gerakan kebangkitan ’kaum Luth’ di Indonesia, yang terpenting untuk dicermati adalah prestasi mereka dalam merangkul cendekiawan bidang agama dalam memberikan legalitas keagamaan atas ’kehalalan’ perkawinan sesama jenis. Tahun 2004, dari Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang terbit sebuah Jurnal bernama ’Justisia’ (edisi 25, Th XI, 2004) dengan judul sampul yang mencolok mata: ”Indahnya Kawin Sesama Jenis.” Artikel-artikel dalam jurnal ini kemudian diterbitkan sebagai buku tersendiri dengan judul ”Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual.” (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005).

Buku ini secara terang-terangan mendukung, dan mengajak masyarakat untuk mengakui dan mendukung legalisisasi perkawinan homoseksual. Bahkan, dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15)

Gerakan ’kaum Luth’ dengan justifikasi keagamaan mendapatkan momentumnya

dengan kedatangan Irshad Manji, wanita lesbian, di Yogyakarta dan Jakartapada Mei 2008. Kedatangan Manji mendapatkan liputan media massa nasional yang sangat luas. Nong Darol Mahmada, aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menulis artikel di Jurnal Perempuan (Maret 2008) dengan judul: Irshad Manji: Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan

Ijtihad.

Dukungan yang sangat berarti bagi ’kaum Luth’ kemudian juga datang dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dosen pasca sarjana UIN Jakarta yang juga aktivis AKKBB. Dalam satu makalahnya yang berjudul ” Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, Prof. Mudah menulis: “Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Lihat, Majalah Tabligh MTDK Muhammadiyah, Mei 2008)

Dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan (Maret 2008), Prof. Musdah menyatakan: ”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.” Lalu, katanya lagi, ”Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”

Dukungan dan justifikasi keagamaan dari ”Doktor Terbaik IAIN Jakarta tahun

1996/1997” ini tentu sangat berarti bagi ’kaum Luth’ di Indonesia. Dengan justifikasi keagamaan seperti ini, bisa-bisa ’kaum Luth’ di Indonesia akan bersikap lebih garang lagi jika diberi peringatan. Dengan dalih menghalangi kebebasan beragama dan berkeyakinan dan jaminan HAM, para penolak perkawinan sesama jenis, nanti dapat dicap sebagai manusia biadab, tidak manusiawi, tidak toleran, anti-HAM, anti-kebebasan, dan sebagainya, sebagaimana ditulis dalam Jurnal

Justisia edisi perkawinan sejenis tersebut: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis.”. (adian husaini).

demi Kebebasan ?

Senin, 30 Juni 2008

Masih ingat Lia Eden? Dia mendakwahkan dirinya sebagai Jibril Ruhul Kudus. Lia,

yang mengaku mendapat wahyu dari Allah, pada 25 November 2007, berkirim surat kepada sejumlah pejabat negara. Kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, Lia berkirim surat yang bernada amarah. ”Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku,” tulis Lia dalam surat berkop ”God’s Kingdom: Tahta Suci Kerajaan Eden”. Jadi, mungkin baru ada di Indonesia, ”Malaikat Jibril” berkirim surat dan ”ganti tugas” sebagai ”pencabut nyawa.”

Saat ditanya tentang status aliran semacam ini, MUI dengan tegas menyatakan, ”Itu sesat.” Mengaku mendapat wahyu dari Malaikat Jibril, apalagi menjadi jelmaan Jibril adalah tindakan munkar yang wajib dicegah dan ditanggulangi. (Kata Nabi saw: ”Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman”).

Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengelarkan fatwa sesat terhadap kelompok Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di Semarang menurunkan laporan utama: ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, ”MUI bisa dijerat KUHP Provokator.” Sejumlah kelompok datang ke Komnas HAM meminta pembubaran MUI.

Dasar mereka untuk menghujat MUI adalah HAM dan kebebasan. Bagi kaum liberal ini, pasal-pasal dalam HAM dipandang sebagai hal yang suci dan harus diimani dan diaplikasikan. Dalam soal kebebasan beragama, mereka biasanya mengacu pada pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan: ”Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau keyakinan, dan kebebasan baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain dan dalam ruang publik atau privat untuk memanifestasikan agama dan keyakinannya dalam menghargai, memperingati, mempraktekkan dan mengajarkan.”

Deklarasi ini sudah ditetapkan sejak tahun 1948. Para pendiri negara Indonesia juga paham akan hal ini. Tetapi, sangatlah naif jika pasal itu kemudian dijadikan dasar pijakan untuk membebaskan seseorang/sekelompok orang membuat tafsir agama tertentu seenaknya sendiri. Khususnya Islam. Sebab, Islam adalah agama wahyu (revealed religion) yang telah sempurna sejak awal (QS 5:3). Umat Islam bersepakat dalam banyak hal, termasuk dalam soal kenabian Muhammad saw sebagai nabi terakhir. Karena itu, sehebat apa pun seorang Abu Bakar ash-Shiddiq,

Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan sebagainya, mereka tidak terpikir sama sekali untuk mengaku menerima wahyu dari Allah.

Ada batas

Masalah semacam ini sudah sangat jelas, sebagaimana jelasnya ketentuan Islam, bahwa shalat subuh adalah dua rakaat, zuhur empat rakaat, haji harus dilakukan di Tanah Suci, dan sebagainya. Karena itulah, dunia Islam tidak pernah berbeda dalam soal kenabian. Begitu juga umat Islam di Indonesia. Karena itulah, setiap penafsiran yang menyimpang dari ajaran pokok Islam, bisa dikatakan sebagai

bentuk kesesatan. Meskipun bukan negara Islam, tetapi Indonesia adalah negara dengan mayoritas pemeluk Islam. Keberadaan dan kehormatan agama Islam dijamin oleh negara. Sejak lama pendiri negara ini paham akan hal ini. Bahkan, KUHP pun masih memuat pasal-pasal tentang penodaan agama. UU No 1/PNPS/1965 yang sebelumnya merupakan Penpres No 1/1965 juga ditetapkan untuk menjaga agama-agama yang diakui di Indonesia.

Bangsa mana pun paham, bahwa kebebasan dalam hal apa pun tidak dapat diterapkan tanpa batas. Ada peraturan yang harus ditaati dalam menjalankan kebebasan. Seorang pengendara motor tidak bisa berkata kepada polisi,, ”Bapak melanggar HAM, karena memaksa saya mengenakan helm. Soal kepala saya mau pecah atau tidak, itu urusan saya. Yang penting saya tidak mengganggu orang lain.”

Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah membaca novel The Stanic Verses-nya Salman Rushdie. Novel ini sangat biadab; menggambarkan sebuah komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang diberi nama istri-istri Nabi Muhammad saw. Bagi Islam, ini penghinaan. Bagi kaum liberal, itu kebebasan berekspresi. Bagi Islam, pemretelan ayat-ayat al-Quran dalam Tadzkirah-nya kaum Ahmadiyah, adalah penghinaan, tapi bagi kaum liberal, itu kebebasan beragama. Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga bisa dikategorikan sebagai penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Sebaliknya, bagi kaum liberal, Ahmadiyah adalah bagian dari ”kebebasan beragama dan berkeyakinan.” Bagi Islam, beraksi porno dalam dunia seni adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu bagian dari seni dan kebebasan berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan agama.

Kaum liberal, sebagaimana orang Barat pada umumnya, menjadikan faktor ”mengganggu orang lain” sebagai batas kebebasan. Seseorang beragama apa pun, berkeyakinan apa pun, berperilaku dan berorientasi seksual apa pun, selama tidak mengganggu orang lain, maka perilaku itu harus dibiarkan, dan negara tidak boleh campur tangan. Orang boleh menjadi ateis, orang boleh menjadi pelacur, pemabok, menikahi kaum sejenis (homo/lesbi), dan sebagainya, yang penting

tidak mengganggu orang lain.

Bagi kaum pemuja paham kebebasan, pelacur yang taat hukum (tidak berkeliaran di jalan dan ada ijin praktik) bisa dikatakan berjasa bagi kemanusiaan, karena tidak mengganggu orang lain. Bahkan ada yang menganggap berjasa karena menyenangkan orang lain. Tidak heran, jika sejumlah aktivis AKKBB, kini sibuk berkampanye perlunya perkawinan sesama jenis dilegalkan di Indonesia. Dalihnya, juga kebebasan melaksanakan perkawinan tanpa memandang orientasi seksual. Mereka sering merujuk pada Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

Maka, seorang Profesor aktivis AKKBB, membuat pernyataan: ”Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.” Juga, ia katakan, bahwa ”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.” (Jurnal Perempuan, Maret 2008).

Apakah kaum liberal juga memberi kebebasan kepada orang lain? Tentu tidak! Mereka juga memaksa orang lain untuk menjadi liberal, sekular. Mereka marah ketika ada daerah yang menerapkan syariah. Mungkin, mereka akan sangat tersinggung jika lagu Indonesia Raya dicampur aduk dengan lagu Gundhul-gundhul Pacul. Mereka juga akan marah jika lambang negara RI burung garuda diganti dengan burung emprit. Tapi, anehnya, mereka tidak mau terima jika umat Islam tersinggung karena Nabinya diperhinakan, al-Quran diacak-acak, dan ajaran islam dipalsukan. Untuk semua itu, mereka menuntut umat Islam agar toleran,”dewasa”, dan tidak emosi. ”Demi kebebasan!”, katanya.

Logika kelompok liberal seperti Alian Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam membela habis-habisan kelompok Ahmadiyah

dengan alasan kebebasan beragama dan berkeyakinan sangatlah absurd dan naif. Mereka tidak mau memahami, bahwa soal Ahmadiyah adalah persoalan aqidah. Sebab, Ahmadiyah sendiri juga berdiri atas dasar aqidah Ahmadiyah yang bertumpu pada soal klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Dalam sejumlah penerbitan mereka, Ahmadiyah sendiri justru memilih tidak bersama Islam. Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai – sebuah penerbit buku Ahmadiyah – menerjemahkan buku berjudul Da’watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965). Buku ini aslinya dalam bahasa Urdu. Tahun 1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul ”Invitation to Ahmadiyyat”.

Buku ini membuktikan, bahwa Ahmadiyah sendiri memang mengakui bukan bagian dari Islam. ”Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Ta’ala di luar Ahmadiyah.” (hal. 377). Umat Islam dipaksa untuk betiman bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan Masih al-Mau’ud. Umat Islam diultimatum oleh pemimpin Ahmadiyah ini: ”Jadi, sesudah Masih Mau’ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mau’ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam.” (hal. 374).

Jika Ahmadiyah saja bersikap seperti itu terhadap umat Islam, mengapa kelompok seperti AKKBB ngotot membela Ahmadiyah? Untuk memahami misi kelompok semacam AKKBB ini, cobalah simak misi dan tujuan kelompok-kelompok persaudaraan lintas-agama seperti Free Mason atau Theosofie yang bersemboyan:

“There is no religion higher than Truth.”. (Adian Husaini/Ketua Dewan Da’wah)

SKB Tentang Ahmadiyah

Senin, 12 Mei 2008

Usai acara diskusi “Konstruksi Kepemimpinan Menuju Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Jakarta Media Center, saya ditanya oleh sejumlah wartawan mengenai Ahmadiyah, sehubungan dengan rencana diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, yang kini tengah menjadi berita hangat media massa di tanah air. Waktu itu saya menjawab, yang harus diterbitkan bukanlah sebuah SKB karena istilah itu sudah tidak dikenal lagi dengan

diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004. Istilah yang benar ialah Peraturan Menteri. Apakah Peraturan itu dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah Keputusan, dengan berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan untuk sebuah penetapan, seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur.

Beberapa jam setelah saya menjawab pertanyaan wartawan di atas, beredar berita melalui SMS bahwa saya sama saja dengan Adnan Buyung Nasution yang

menentang SKB tentang Ahmadiyah. Hal inilah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini, melengkapi apa yang sudah diberitakan oleh beberapa media, antara lain Detik.Com kemarin, Republika, Indopos dan The Jakarta Post hari ini. Saya menegaskan bahwa saya bukannya tidak setuju dengan SKB itu, tetapi bentuk peraturan hukum yang diterbitkan ialah Peraturan Bersama, bukan Surat Keputusan Bersama. Memang istilah Keputusan Bersama dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, tetapi setelah berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, maka istilah Peraturan Bersama lebih sesuai untuk digunakan. Dengan penjelasan ini, mudah-mudahan segala kesalahpahaman akibat pemberitaan sepotong-sepotong, dapat dijernihkan.

Pendapat saya tentang Ahmadiyah sebenarnya tegas saja. Bagi saya, seseorang masih dapat dikatakan seorang Muslim, apabila dia berpegang teguh dan berkeyakinan sejalan dengan prinsip akidah Islam, yakni La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah

Rasulullah. Tentang Muhammadur Rasulullah itu tegas pula dianut prinsip, bahwa sesudah beliau tidak ada lagi rasul dan nabi yang lain. Kalau mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad (lihat gambar) adalah nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w, saya berpendirian bahwa keyakinan tersebut sudah menyimpang dari pokok akidah Islam. Karena itu, lebih baik jika penganut Ahmadiyah itu menyatakan diri atau dinyatakan sebagai non-Muslim saja. Dengan demikian, hak-hak konstitusional mereka di negara Republik Indonesia ini tetap sah dan diakui. Saya memberikan contoh di Pakistan, para penganut Ahmadiyah –lebih khusus disebutkan kelompok Ahmadiyah Qadian atau Qadiani — yang tegas-tegas digolongkan sebagai minoritas bukan Muslim atau “Non Muslim minority”. Sebab itu Konstitusi Pakistan menetapkan bahwa mereka mempunyai wakil di Majelis Nasional Pakistan yang diangkat untuk mewakili golongan minoritas.

Dalam agama Islam memang diakui keberadaan mazhab-mazhab, yakni berbagai aliran penafsiran baik di bidang Ilmu Kalam, Fiqih dan Tasawwuf. Namun perbedaan penafsiran itu tidaklah sampai mempertentangkan pokok-pokok ajaran Islam, melainkan detil-detilnya. Dalam Kalam misalnya, tafsiran kaum Muktazilah dengan kaum Asy’ariyyah tentang al-Qada wal-Qadar, walau berbeda namun tetap dalam batas-batas yang sejalan dengan pokok-pokok akidah. Demikian pula halnya mazhab-mazhab fiqih, adalah perbedaan dalam menafsirkan kaidah-kaidah hukum sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang tidak menyimpang dari asas-asas syariah. Dalam Tasawwuf, para aliran sufi saling berbeda persepsi mengenai cara-cara berdzikir dalam mendekatkan diri kepada Allah. Namun dalam hal akidah yang pokok, tak ada perbedaan yang prinsipil di antara aliran-aliran tasawwuf. Adapun meyakini bahwa masih ada seorang nabi setelah Nabi Muhammad s.a.w, jelaslah menyalahi prinsip akidah Islam. Sebab itulah, Rabithah al-Alam al-Islami dan Organisasi Konfrensi Islam (OKI) telah lama mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmadiyah (Qadian) adalah golongan yang telah keluar dari Islam. Pemerintah Arab Saudi juga melarang penganut Ahmadiyah (Qadian) menunaikan ibadah haji. Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1984 juga telah menerbitkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang telah keluar dari Islam.

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Sebagai sebuah perkumpulan, Ahmadiyah Indonesia telah pula mendapat status badan hukum yang disahkan Kementerian Kehakiman pada

tahun 1950-an. Namun aktivitas gerakan ini sampai sekarang meresahkan bagian terbesar Umat Islam di Indonesia. Tempat ibadah mereka disebut “mesjid” juga. Sementara di samping al-Qur’an, mereka juga menggunakan Kitab Tadzkirah sebagai pegangan dalam keyakinan mereka, khususnya tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad serta ajaran-ajarannya. Sebab itu tidak mengherankan jika berbagai ormas Islam mendesak Pemerintah untuk melarang gerakan Ahmadiyah ini sejak lama. Dalam beberapa bulan terakhir ini isyu Ahmadiyah kembali mencuat dan tindak kekerasan terjadi di berbagai tempat. Dalam konteks inilah, wacana keluarnya “SKB” muncul ke permukaan.

Apakah dasar hukum yang diinginkan agar Pemerintah melarang keberadaan Gerakan Ahmadiyah itu? SKB yang menjadi bahan pembicaraan itu bersumber pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam undang-undang ini disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1). Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan kegiatan seperti itu, diberi “perintah dan peringatan keras” untuk menghentikan kegiatannya. Perintah itu dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam bentuk “Keputusan Bersama”. Apabila kegiatan itu dilakukan oleh sebuah organisasi maka “Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Apabila orang/organisasi tersebut telah diberi peringatan atau dibubarkan dan dilarang oleh Presiden, namun tetap membandel, maka kepada mereka dapat dituntut pidana dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 ini pula, ketentuan Pasal 156 KUHP ditambah dengan Pasal 156a yang antara lain berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia”.

Nah, kalau membaca dengan cermat isi UU Nomor 1/PNPS/1965 di atas, maka keliru kalau ada yang meminta Pemerintah — dalam hal ini Menteri Agama, mendagri dan Jaksa Agung — untuk menerbitkan “SKB “untuk melarang Ahmadiyah. “SKB” hanya dapat memberikan perintah dan peringatan keras kepada orang perorangan yang melanggar ketentuan Pasal 1 UU tersebut. Kalau Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan/perkumpulan/organisasi, maka yang dapat membubarkan dan melarangnya bukan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, tetapi Presiden Republik Indonesia. Jadi permintaan harus

disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukan kepada Muhammad Maftuch Basyuni, Mardiyanto dan Hendarman Supanji.

Ada kalangan yang berpendapat bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 itu sudah ketinggalan zaman, tidak sejalan dengan hak asasi manusia, demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen. Sebagai tafsiran dan pendapat boleh-boleh saja. Pendapat yang sebaliknya juga ada, namanya saja tafsir dan pemahaman. Namun hingga kini keberadaan undang-undang tersebut sebagai kaidah hukum postif secara formal masih berlaku, sebab belum pernah diubah atau dicabut oleh Presiden dan DPR. Mahkamah Konstitusi sampai kini juga belum

pernah membatalkan undang-undang itu dan menganggapnya bertentangan dengan UUD 1945 dalam permohonan uji materil.

Jadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 itu sah sebagai undang-undang yang berlaku. Bahwa sampai sekarang dua menteri dan Jaksa Agung belum juga menerbitkan “SKB” dan Presiden belum juga mengeluarkan Peraturan Presiden membubarkan dan sekaligus melarang organisasi/perkumpulan Ahmadiyah, semuanya itu tergantung kepada kemauan dan keberanian politik mereka itu. Walaupun konon, anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution menentang, namun nasehat anggota Wantimpres, bahkan Wantimpres sebagai sebuah lembaga, tidaklah mengikat Presiden. Jangankan hanya Adnan Buyung Nasution, nasehat seluruh anggota Wantimpres dapat diabaikan Presiden, kalau Presiden berpendapat lain. Saya dengar rapat mengenai Ahmadiyah ini telah beberapa kali dilakukan oleh beberapa menteri yang dipimpin Presiden dan juga dihadiri anggota Wantimpres. Namun hingga kini, kita belum tahu keputusan apa yang akan

diambil, baik oleh Manteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung, maupun oleh Presiden sendiri. Reaksi atau komentar Presiden atas soal Ahmadiyah ini belum terdengar. Ini beda dengan reaksi beliau yang cukup cepat terhadap isyu poligami yang dilakukan Aa Gym, walau hal itu lebih bersifat personal Aa Gym. Perbedaan tafsir mengenai poligami masuk ke dalam bidang fikih Islam. Masalahnya tidak menyangkut akidah, dibanding dengan isyu Ahmadiyah yang kini menyita banyak perhatian umat Islam, politisi dan aktivis hak asasi manusia di tanah air, bahkan gemanya jauh ke mancanegara. (Yusril Ihza Mahendra : dikutip dari yusrilihzamahendra.com

Hermeneutika dan Fundamentalisme

Jumat, 02 Mei 2008

Ahad (9/12/2007) lalu, di Solo, seorang mahasiswa pasca sarjana

Universitas Muhammadiyah Surakarta memberi saya sebuah buku

berjudul “Is Religion Killing Us? (Membongkar Akar Kekerasan

dalam Bibel dan al-Qur’an)”. Sudah cukup lama saya memiliki edisi

bahasa Inggris buku karya Jack Nelson-Pallmeyer tersebut. Banyak

hal bisa dikritisi dari isi buku ini, karena penulisnya sudah

menggugat kesucian teks Al-Quran. Misalnya, penulis

berkesimpulan, bahwa ”Masalah Islam yang identik dengan

kekerasan tidak hanya sebatas adanya ketidaksesuaian teks-teks,

tetapi berakar pada banyaknya ayat-ayat dalam Qur’an yang

melegitimasi kekerasan, peperangan dan intoleransi.” (hal. 165).

Penulis buku ini juga dengan semena-mena membuat kesimpulan,

bahwa ”Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan

penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi

penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu

lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan

yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” (hal. 180).

Tapi, Nelson-Pallmeyer menulis buku tersebut, berangkat dari

pengalaman dan pemahamannya sebagai seorang Kristen di Barat.

Pemahamannya terhadap Al-Quran dan Islam tampak dangkal.

Maka, yang lebih menarik, adalah membaca kata pengantar edisi

bahasa Indonesia buku ini yang ditulis oleh tokoh Katolik Dr.

Haryatmoko S.J. dan khususnya oleh Dr. Hamim Ilyas, seorang

dosen UIN Yogya yang juga anggota Majelis Tarjih

Muhammadiyah.

Karena cukup menarik, kita perlu menyimak kata pengantar Dr.

Hamim Ilyas yang berjudul ”Akar Fundamentalisme Dalam

Perspektif Al-Qur’an”. Berikut ini paparan Hamim Ilyas tentang

fundamentalisme:

”Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius

(mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi,

sehingga yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin

teologis, taoi juga doktrin-doktrin ideologis. Doktrin-doktrin itu

dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern,

yakni Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb,

Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam

Faraq, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi.”

Menurut Hamim Ilyas, ”Karakteristik fundamentalisme adalah

skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang

merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan

keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama

tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa

kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.”

Lalu, Hamim melanjutkan tulisannya tentang fundamentalisme

dengan mengutip pendapat Azyumardi Azra dan Martin E. Marty,

dengan menjelaskan sebagai berikut:

Pertama, oposionalisme. Fundamentalisme dalam agama mana pun

mengambil bentuk perlawanan – yang bukannya tak sering bersifat

radikal – terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan

eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi

maupun tata nilai Barat. Acuan atau tolok ukur untuk menilai tingkat

ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam

fundamentalisme Islam adalah Al-Quran dan pada batas-batas

tertentu juga hadits Nabi.

Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis

menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami

secara literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak

mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski

bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan

bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan

semacam ”kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.

Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum

fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru

terhadap teks kitab suci.

Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis.

Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis

dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin

literal kitab suci... Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-

historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada

bentuk masyarakat ”ideal” – seperti pada zaman kaum salaf – yang

dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.

”Karakteristik fundamentalisme yang telah mengakar membawa

konskuensi logis munculnya doktrin-doktrin yang justru mengekang,

menyiksa diri dan membatasi ruang gerak, bukannya membebaskan.

Doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin

ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai

sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan

manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial,” tulis sang

dosen tafsir UIN Yogya ini.

Ditambahkan lagi, bahwa ”Akar fundamentalisme yang berasal dari

kesalahan menafsirkan teks suci al-Qur’an ternyata benar-benar

mencoreng nama Tuhan (Allah Swt) dan al-Qur’an itu sendiri.

Menjadikan Islam sebagai idoelogi yang mendorong timbulnya

ekstrimisme dan radikalisme dapat diyakini sebagai perilaku

berlebih-lebihan dalam beragama yang jelas-jelas dilarang.”

Demikianlah kutipan paparan Dr. Hamim Ilyas tentang

fundamentalisme.

Ringkasnya, menurut Hamim Ilyas, fundamentalis adalah orang-

orang yang skripturalis atau literalis dalam memahami Al-Quran,

menolak hermeneutika, menolak pluralisme, menolak relativisme

dan sebagainya. Paparan dosen tafsir UIN Yogya tentang

”fundamentalisme Islam” ini – sebagaimana banyak cendekiawan

lainnya – masih sebatas membeo definisi fundamentalisme yang

aplikasikan oleh para ilmuwan Barat yang merujuk kepada

pengalaman sosial-keagamaan kaum Yahudi dan Kristen. Jika

dicermati, tulisan ini sebenarnya serampangan dan asal-asalan.

Kita tentu sudah maklum, bahwa istilah dan wacana

fundamentalisme keagamaan dikembangkan oleh Barat menyusul

berakhirnya Perang Dingin. Seperti ditulis Huntington dalam

bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of World

Order, bahwa adalah manusiawi untuk membenci karena untuk

penentuan jati diri dan membangun motivasi, masyarakat perlu

musuh. (It is human to hate. For self definition and motivation

people need enemies: competitors in business, rivals in achievement,

opponents in politics).

Sejak itu, wacana ”fundamentalisme keagamaan”, khususnya

”fundamentalis Islam” dikembangkan. Banyak sarjana dibayar untuk

meneliti dan menulis tentang masalah ini. Seminar-seminar tentang

fundamentalisme digelar. Media massa memainkan peran yang

dominan dalam pembentukan opini negatif tentang kaum yang dicap

sebagai fundamentalis.

Istilah-istilah “Islam fundamentalis”, “Islam eksklusif”, “Islam

militan”,Islam radikal”, “Islam konservatif”, dan sejenisnya

memang sering digunakan untuk memberikan stigma negatif

terhadap kelompok-kelompok Islam yang pemikirannya tidak

sejalan dan tidak disukai oleh Barat. Ilmuwan Yahudi, Prof. Bernard

Lewis, dalam bukunya The Crisis of Islam menyatakan, bahwa

fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan

bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. (Fundamentalists are anti-

Western in the sense that they regard the West as the source of the

evil that is corroding Muslim society).

Dalam “Catatan Pinggirnya” di Majalah Tempo, 27 Januari 2002,

Gunawan Muhammad menutup tulisannya dengan kalimat:

“Fundamentalisme memang aneh dan keras dan menakutkan: ia

mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada gilirannya membunuh

perbedaan.” Lalu, pada pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta,

21 Oktober 1992, Nurcholish Madjid mengatakan: “Kultus dan

fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika.”

Genderang perang yang ditabuh oleh Barat dan sekutu-sekutunya

dalam melawan fundamentalisme agama tentu saja dibuat dalam

perspektif Barat dan untuk kepentingan Barat. Karena itulah, proyek

ini mendapatkan kucuran dana yang sangat besar. Salah satu yang

menonjol adalah proyek liberalisasi Islam. Karena itu, kita tentu

maklum dengan munculnya orang-orang seperti Hamim Ilyas ini,

yang entah karena ketidaktahuannya atau karena hawa nafsunya

membuat opini-opini yang menyudutkan kaum Muslim dan

cendekiawan Muslim tertentu seperti al-Maududi, dengan memberi

stigma negatif semacam “fundamentalis” dan sebagainya.

Kita bisa saja tidak setuju dengan sebagian pemikiran Hasan al-

Banna atau Abul A’la al-Maududi. Tetapi, untuk apa memberi cap

bahwa mereka adalah fundamentalis, literalis, anti-pluralis, dan

sebagainya? Tuduhan-tuduhan seperti ini sebenarnya sangat naif dan

bodoh, apalagi dilakukan oleh seorang doktor dan dosen tafsir. Abul

A’la al-Maududi, misalnya, adalah pemikir besar yang karya-

karyanya telah memberi inspirasi dan manfaat bagi jutaan kaum

Muslim di seluruh dunia.

Lalu, dikatakan oleh Hamim Ilyas, bahwa salah satu ciri

fundamentalis adalah menolak hermeneutika. Pada muktamarnya di

Boyolali tahun 2004, NU juga menolak penggunaan hermeneutika

untuk Al-Quran. Apa NU juga fundamentalis? Di Muhammadiyah

sendiri, banyak tokohnya yang telah menulis secara kritis bahaya

penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa mereka semua itu

adalah kaum fundamentalis?

Jika dikatakan Hamim Ilyas, bahwa “doktrin sentral

fundamentalisme adalah Islam kaffah” maka, pada Muktamar

Muhammadiyah ke-45 di Malang, juga telah ditetapkan tujuan

jangka panjang Persyarikatan Muhammadiyah, yakni “tumbuhnya

kondisi dan faktor-faktor pendukung bagi terwujudnya masyarakat

Islam yang sebenar-benarnya.” Bukankah masyarakat Islam yang

sebenar-benarnya yang mau diwujudkan oleh Muhammadiyah juga

sesuai dengan konsep “Islam kaffah”? Apa Muhammadiyah juga

dicap fundamentalis karena mencita-citakan terbentuknya

masyarakat Islam yang kaffah?

Kita pun patut bertanya kepada doktor tafsir UIN Yogya ini, apa

salahnya jika kaum Muslim ingin menerapkan Islam secara kaffah

dalam seluruh aspek kehidupannya? Apa salahnya jika kaum

Muslim menolak paham Pluralisme Agama, sebagaimana telah

difatwakan oleh MUI dan banyak ulama lainnya? Sebelum MUI

menolak paham ini tahun 2005, pada tahun 2000, Vatikan juga telah

terlebih dahulu menolak paham tersebut. Juga, apa salahnya jika

kaum Muslim menolak paham relativisme, yang memang

merupakan paham yang merusak pikiran dan keimanan?

Sebenarnya, jika dicermati, sang dosen UIN Yogya ini pun tidak

konsisten dengan paham relativisme yang diagungkannya sendiri.

Lihat saja, gaya tulisannya yang menghujat dan menyalah-nyalahkan

apa yang disebutnya paham fundamentalisme! Artinya, dalam hal

ini, dia juga telah menjadi fundamentalis, karena merasa sok benar

sendiri, dan tidak menerima pandangan lain, selain pandangannya

sendiri.

Di akhir tulisannya, Dr. Hamim Ilyas mengkaitkan aksi terorisme

dengan tafsir fundamentalis. Katanya: “Akhirnya, terorisme yang

dilakukan oleh sebagian umat Islam, dalam kenyataannya

merupakan fakta yang direkayasa, mungkin oleh Barat dan mungkin

juga oleh Al-Qaidah pimpinan Usama bin Ladin. Perbuatan mereka

yang merusak itu sedikit banyak berhubungan dengan tafsir

fundamentalisme ini sebagai basis ideologis.”

Kesimpulan yang mengaitkan terorisme dengan tafsir keagamaan

sebenarnya terlalu jauh. Ada yang menarik kesimpulan sederhana,

karena pelaku aksi pengeboman membaca buku-buku Ibn Taimiyah,

kemudian dikatakan, bahwa buku Ibn Taimiyah adalah sumber

terorisme. Padahal, ratusan juta orang telah membaca karya-karya

Ibn Taimiyah, dan mereka tidak melakukan pengeboman. Karena

itulah, ada sebagian politisi Barat yang meminta agar Al-Quran

dilarang, hanya karena dia melihat para pelaku pengeboman juga

membaca Al-Quran.

Dengan menggunakan sedikit saja kecerdasan, kita bisa

membuktikan, bahwa aksi-aksi terorisme yang terjadi di berbagai

penjuru dunia bukanlah dipicu oleh paham keagamaan, tetapi lebih

banyak dipicu oleh faktor eksternal, terutama faktor ketidakadilan.

Para pengikut Hasan al-Banna di Palestina melakukan aksi jihad –

yang oleh Zionis Israel dikatakan sebagai “terorisme” -- karena

mereka terjajah dan terzalimi di negerinya. Di zaman penjajahan

Belanda, kita juga membanggakan pahlawan-pahlawan kita yang

berani mempertaruhkan nyawanya untuk meraih kemerdekaan,

meskipun oleh penjajah dilabeli dengan kaum ekstrimis, dan

sebagainya. Di Indonesia, para pengkit Hasan al-Banna atau

pengagum Abul A’la al-Maududi tidak melakukan aksi-aksi

pengeboman.

Karena itulah, sangatlah tidak tepat jika masalah fundamentalisme

dan terorisme dikaitkan dengan penolakan terhadap hermeneutika

dan relativisme. Ini sudah sangat berlebihan dan keterlaluan dalam

membebek dan membeo saja pada pendapat ilmuwan Barat. Orang

yang menolak penggunaan metode hermeneutika dan menggunakan

ilmu Tafsir untuk memahami Al-Quran sudah dimasukkan “kotak

maut” bernama fundamentalis. Bahkan, kaum Muslim yang

meyakini kebenaran agamanya sendiri, yang berjuang untuk menjadi

Muslim yang kaffah juga divonis sebagai “fundamentalis”, yang

dikonotasikan sudah dekat dengan “teroris”.

Di era reformasi dan penjajahan modern ini, sudah begitu banyak

aset-aset umat dan bangsa yang sudah hilang. BUMN sudah banyak

yang dijual. Kekayasan alam telah punah. Ekonomi, politik,

teknologi, budaya, dan sebagainya juga telah “dikuasai”. Yang

masih tersisa dalam diri kita saat ini adalah kemerdekaan iman dan

pemikiran; kemerdekaan untuk meyakini kebenaran agama kita

sendiri, kemerdekaan untuk memahami Al-Quran dengan cara kita

sendiri, bukan dengan cara agama atau budaya lain.

Kini, sisa-sisa milik kita yang paling pribadi dan vital itu pun mau

dirampas pula. Kita tidak boleh meyakini agama kita sendiri yang

benar, dan harus memeluk paham pluralisme dan relativisme. Kita

tidak boleh lagi menggunakan Ilmu Tafsir kita sendiri dalam

memahami Al-Quran, karena sudah ada ilmu baru yang disodorkan

Barat yang bernama hermeneutika. Intinya, kita disuruh beragama,

sebagaimana orang-orang Barat beragama.

Sayang sekali, saat ini, kemerdekaan iman dan pikiran kita itulah

yang hendak mereka rampas, baik dengan cara halus maupun kasar.

Kita bisa paham, jika yang berniat merampas kemerdekaan iman dan

pikiran kita adalah orang-orang sejenis Snouck Hurgronje dan

kawan-kawannya. Tapi, alangkah sedih dan prihatinnya kita, jika

yang melakukan perampasan iman dan pikiran kita itu adalah

oknum-oknum bergelar doktor dalam bidang agama, yang sedang

berkuasa di lembaga-lembaga agama. Mudah-mudahan Allah SWT

memberi kekuatan kepada kita untuk mempertahankan iman dan

pemikiran keislaman kita di tengah zaman yang penuh dengan fitnah

ini. Amin.

Mengenang Seabad Mohammad Natsir

Jumat, 02 Mei 2008

Kamis (15 November 2007), di Gedung Mahkamah Konstitusi,

Jakarta, digelar sebuah acara peluncuran panitia Refleksi Seabad

Moh. Natsir: Pemikiran dan Perjuangannya. Sejumlah tokoh Islam

dan pejabat tinggi negara tampak hadir, diantaranya Ketua Umum

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Syuhada Bahri, Ketua MUI KH

Khalil Ridwan, Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly As-

Shiddiqy, Menteri Sosial Bakhtiar Chamsah, Wakil Ketua MPR AM

Fatwa, dan sebagainya. Tampil sebagai pembicara dalam seminar

Prof. Dr. Ichlasul Amal, Ketua Dewan Pers yang juga mantan rektor

UGM Yogya.

Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli

1908. Karena itu, puncak peringatan seabad Moh. Natsir akan

dijadwalkan pada 17 Juli 2008. Tetapi, berbagai persiapan telah

dilakukan oleh panitia. Duduk sebagai ketua kehormatan dalam

panitia ini adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Bagi umat Islam Indonesia, nama Natsir tentu sudah sangat tidak

asing. Ia adalah seorang pemikir, dai, politisi, dan sekaligus

pendidik Islam terkemuka. Ia dikenal sebagai tokoh, bukan saja di

Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Dalam sambutannya, Ketua

Umum Dewan Da’wah, Syuhada Bahri menggambarkan Natsir

sebagai pribadi yang sangat unik. Menurut Syuhada, bidang apa pun

yang digeluti Moh. Natsir, visinya sebagai dai dan pendidik

senantiasa menonjol. Secara panjang lebar Syuhada menceritakan

pengalaman pribadinya selama lima tahun bekerja satu ruang dengan

Natsir.

Jika kita membuka lembaran hidup Natsir, kita memang menemukan

sebuah perjalanan hidup yang menarik. Sebagai politisi, Natsir

pernah menduduki posisi Perdana Menteri RI pertama tahun 1950-

1951, setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Jasa Natsir dalam soal terbentuknya NKRI ini

sangat besar. Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, Natsir

mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia

Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”),

yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke

dalam NKRI. Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam sambutannya,

juga menekankan jasa besar Natsir dalam soal NKRI ini, sehingga

bangsa Indonesia sangat layak memberi penghargaan kepada Natsir.

Selain itu, Natsir juga berulang kali duduk sebagai menteri dalam

sejumlah kabinet.

Dalam kesempatan itu, Mensos Bachtiar Chamsah mengakui, bahwa

dirinya, sebagai Menteri, sudah mengajukan Natsir agar diberi gelar

sebagai Pahlawan Nasional. Usulan itu didasarkan atas usulan dari

Pemda Sumatera Barat. Tetapi, tahun ini, usulan itu masih terganjal.

Bachtiar tidak menjelaskan mengapa usulan itu Natsir ditolak oleh

pihak Istana Kepresidenan. Yang jelas, katanya, tahun depan, dia

akan mengajukan usulan yang sama. Banyak yang menduga,

keterlibatan Natsir dalam PRRI merupakan faktor utama

terganjalnya usulan tersebut.

Tetapi, baik keluarga maupun para pelanjut perjuangan Moh. Natsir

tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Natsir bukan hanya pahlawan

bagi Indonesia. Tetapi, dunia Islam sudah mengakuinya sebagai

pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957,

Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari

Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu

perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir

juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal

al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada

Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah

diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-

Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-

Maududi. Karena itulah, hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir

masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan

anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.

Adalah menarik jika menilik riwayat pendidikan Natsir. Tahun

1916-1923 Natsir memasuki HIS (Hollands Inlandsche School) di

Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun

1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia

memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di AMS (Algemene

Middelbare School) di Bandung. Lulus dengan nilai tinggi, ia

sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di

Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi

Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka

juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji

tinggi.

Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu

sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan

Islam. Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan

memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad

A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma

LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya

sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.

Natsir memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti

belajar. Syuhada Bahri menceritakan pengalamannya selama

bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya,

Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang

dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn Katsir, dan

Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.

Kecintaan Natsir di bidang pendidikan dibuktikannya dengan

upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya

ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam

pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam

Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau,

Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir

juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina

Pondok Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991,

Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti

Kebangsaan Malaysia.

Natsir memang bukan sekedar ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-

tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan

terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang

berbagai masalah dalam Islam. Menurut Mensos Bachtiar Chamsah,

tulisan-tulisan Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.

Dalam kesempatan ini, kita cuplik sebuah artikel yang ditulis Natsir

pada tahun 1938, yang berjudul ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”.

(Ejaan telah disesuaikan dengan EYD).

Natsir membuka tulisannya dengan untaian kalimat berikut:

”Sebaik-baik menentang musuh ialah dengan senjatanya sendiri!

Qaedah ini dipegang benar oleh zending dalam pekerjaannya

menasranikan orang Islam. Tidak ada satu agama yang amat

menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka daripada

agama Islam.”

Artikel Natsir ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di

Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938. Natsir sangat peduli dengan

Konferensi tersebut, yang antara lain menyorot secara tajam kondisi

umat Islam Indonesia. Dr. Bakker, seorang pembicara dalam

Konferensi tersebut mengungkapkan kondisi umat Islam

sebagaimana yang digambarkan dalam buku Prof. Dr. H. Kraemer,

The Christian Message in a non-Christian World. Kata Dr. Bakker,

”Orang Islam yang berada di bawah pemerintahan asing lebih

konservatif memegang agama mereka dari negeri-negeri yang sudah

merdeka.”

Dr. Baker juga mengungkap tentang pengaruh pendidikan Barat

terhadap umat Islam. Katanya, ”Masih juga banyak orang Islam

memegang agama mereka yang turun-temurun dari dulu itu, akan

tetapi banyak pula yang sudah terlepas dari agama mereka, terutama

lantaran pelajaran Barat yang katanya netral itu telah merampas

dasar lain yang akan gantinya.”

Natsir sangat peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap

generasi muda. Ia menulis, bahwa ketika itu, sudah lazim dijumpai

anak-anak orang Islam yang telah sampai ke sekolah-sekolah

menengah yang belum pernah membaca Al-Fatihah seumur

hidupnya, atau susah payah belajar membaca syahadat menjelang

dilangsungkannya akad nikah. Karena itulah, tulis Natsir, Prof.

Snouck Hurgronje pernah menulis dalam bukunya, Nederland en de

Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het

Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat

melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).

Selanjutnya, Dr. Bakker mengingatkan, bahwa kaum misionaris

Kristen harus lebih serius dalam menjalankan aksinya di Indonesia,

supaya di masa yang akan datang, Indonesia tidak lebih susah

dimasuki oleh misi Kristen.

Menanggapi rencana Misi Kristen di Indonesia tersebut, Natsir

mengimbau umat Islam:

”Waktu sekaranglah kita harus memperlihatkan kegiatan dan

kecakapan menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi. Jawablah

Wereldcongres dari Zending itu dengan congres Al-Islam yang

sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk memperteguh benteng

keislaman. Sebab tidak mustahil pula di negeri kita ini, suara azan

bakal dikalahkan oleh lonceng gereja. Barang bathil yang tersusun

rapi, akan mengalahkan barang haq yang centang-perenang.!”

(Dimuat di Majalah PANDJI ISLAM, No. 33-34, 1938; dikutip dari

buku M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (kumpulan karangan

yang dihimpun dan disusun oleh Endang Saifuddin Anshari,

(Bandung: CV Bulan Sabit, 1969).

Demikianlah salah satu pesan Natsir yang mengingatkan kaitan erat

antara gerak Penjajahan, Misi Kristen, dan Orientalisme. Karena

pentingnya peran pendidikan ala Barat dalam menjauhkan generasi

muda Islam dari agamanya, bisa dimengerti jika Natsir sangat serius

dalam upaya pendirian sejumlah universitas Islam di Indonesia. Kita

berdoa, mudah-mudahan civitas academica di kampus-kampus Islam

yang dipelopori pendiriannya oleh Natsir memahami misi besar ini,

dan tidak terjebak ke dalam paham-paham sekularisme atau

liberalisme Barat yang secara gigih diperangi oleh Natsir sepanjang

hidupnya.

Betapa zalimnya, andaikan ada kampus Islam yang dulu didirikan

dengan niat mulia untuk memperjuangkan Islam justru menjadi

tempat perkaderan intelektual-intelektual yang merusak Islam.