33
TUGAS MANDIRI II MAKALAH URGENSI PERATURAN DAERAH DALAM MENGATASI MASALAH ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS (PRO) OLEH: RIVAI PUTRA, SH KANWIL KEMENKUMHAM SUMATERA BARAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENYUSUNAN DAN PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas Diklat Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya Mengatasi anak jalanan, pengemis dan gelandangan

Citation preview

Page 1: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

TUGAS MANDIRI II

MAKALAH

URGENSI PERATURAN DAERAH DALAM MENGATASI MASALAH ANAK JALANAN,

GELANDANGAN DAN PENGEMIS(PRO)

OLEH:

RIVAI PUTRA, SH

KANWIL KEMENKUMHAM SUMATERA BARAT

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

PENYUSUNAN DAN PERANCANGAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2012

BAB I

Page 2: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang tidak

kunjung selesai, mulai dari kesadaran masyarakat sampai

kemampuan pemerintah dalam menganalisis masalah dan

merencanakan program yang menjanjikan. Namun faktanya

selama ini program-program tersebut hanya bersifat aturan yang

tertulis diatas kertas, sedangkan keluh kesah warga senantiasa

didengar dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti anak

jalanan, gelandangan dan pengemis yang hingga kini masih

menuai masalah tanpa ada solusi yang tepat untuk

mengatasinya. Fenomena anak yang hidup di jalan saat ini

mudah kita temui di sudut-sudut kota besar termasuk di Kota

Padang. Mata kita sudah tidak asing lagi melihat anak -anak

mengerumuni mobil-mobil dipersimpangan lampu merah,

mendatangi warung-warung pinggir jalan menawarkan jasa atau

sekedar meminta sumbangan. Aktivitasnya mulai dari bermain

musik, menjual koran, menyemir sepatu hingga meminta

sumbangan dengan membawa selebaran/kotak amal.

Jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke

tahun. Banyak hal yang menjadi faktor pendorong ataupun

penarik bagi seorang anak untuk terjun dan bergabung menjadi

anak jalanan, salah satunya adalah masalah kemiskinan yang

tentu saja bukan hal baru di Indonesia. Jumlah anak usia sekolah

yang berada di jalanan kota Padang mencapai 250 orang.1

Pasalnya, selain minimnya keuangan dari keluarga, anak juga

dijadikan pekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari

1http://www.sumbarpost.com/berita-209-ranperda-anjal-dan- pengemisdigodok bakal-ada-sanksi-bagi-pemberi.html#.T72Q9VLDu9s, diakses tanggal 20 Mei 2012 pukul 19.15 WIB.

Page 3: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

meskipun mereka masih dikatakan dibawah umur. Dengan usia

yang sangat muda, pada umumnya anak-anak jalanan bekerja di

sektor informal. Pilihan sektor informal adalah sebuah jawaban

atas rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh

anak-anak jalanan.

Interaksi anak-anak di jalan membuat mereka rentan

terhadap perlakuan kekerasan dan eksploitasi. Anak-anak

jalanan yang dipaksa berjuang untuk mempertahankan

hidupnya. Keadaan ini membentuk jiwa anak-anak jalanan

menjadi keras dan terkadang timbul kesan jauh dari etika dan

norma-norma kehidupan masyarakat. Anak-anak yang hidup di

jalan ini tentu sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup

dalam asuhan orang tuanya. Anak-anak dijalan hidup secara

bebas. Mereka bebas melakukan apa saja yang mungkin belum

patut dilakukan anak-anak seumuran mereka. Umumnya terlihat

berpakaian lusuh, kumal, dandanan jauh dari kesan rapi hingga

tato menghiasi tubuh mereka. Rokok, minuman keras, dan

mabuk-mabukan sepertinya sudah umum dilakukan anak-anak

yang seharusnya mengenyam pendidikan di sekolah. Anak-anak

di jalan sebagian besar putus sekolah karena ketiadaan biaya.

Akibatnya mereka seakan tidak terdidik. Keadaan-keadaan inilah

yang menyebabkan sebagian besar kelompok masyarakat

mengasingkan mereka. Masyarakat terkadang tidak

menganggap mereka bagian dari warga masyarakat. Akibatnya

terjadi penolakan di setiap kehadiran mereka.

Selain kehadiran anak jalanan yang mengganggu dan

meresahkan, di beberapa kota besar keberadaan anak jalanan

dan pengemis ini diduga terorganisir. Bahkan, hal yang sama

juga diduga kuat terjadi di Kota Padang. Beberapa waktu lalu,

salah seorang anggota DPRD Kota Padang menyampaikan

Page 4: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

dugaan itu. Saat itu ia mengatakan, sekitar dua minggu sebelum

gempa dahsyat melanda Sumbar (30 September 2009) ia

menemukan fakta mencurigakan, yang mengindikasikan bahwa

anak jalanan dan pengemis di Kota Padang terindikasi

terorganisir. Para anak jalanan dan pengemis itu diduga kuat

dikoordinir seorang tenaga pengarah, yang kemudian mengambil

jatah persenan dari para pengemis.2

Hal  itu dapat dilihat dari mobilitas pengemis yang

kebanyakan cacat. Bahkan, ada wanita-wanita yang

menggendong anak-anak hilir mudik, dengan meminta meminta

sedekah. Anehnya, anak yang digendong itu pun berganti-ganti.

Para pengemis itu sering terlihat di beberapa lokasi. Pada pagi

hari, dia bisa berada di Simpang Kadang. Siangnya di Simpang

Kinol dan sorenya di Jalan Proklamasi dan beberapa tempat

lainnya. Setidaknya, ini mengindikasikan ada orang yang

mengantar jemputnya dari satu lokasi ke lokasi lain. Orang-orang

inilah yang dimaksud sebagai koordinatornya. Mereka pun

hampir bisa dipastikan akan mengeruk keuntugan dari para

pengemis tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena tersebut timbul pertanyaan, yakni

bagaimanakah urgensi dibentuknya peraturan daerah dalam

mengatasi persoalan anak jalanan, gelandangan dan pengemis

yang merupakan suatu bentuk penyakit sosial di kehidupan

bermasyarakat.

C. Tujuan Penulisan

2 Ibid.

Page 5: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui urgensi

dibentuknya peraturan daerah dalam mengatasi persoalan anak

jalanan, gelandangan dan pengemis.

D. Metode Penulisan

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat normatif.

Bentuk penelitian ini ialah penelitian preskriptif, yaitu penelitian

yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa

yang harus dilakukan guna mengatasi masalah.3 Pendekatan

penelitian yang digunakan meliputi pendekatan peraturan

perundang-undangan. Jenis data yang digunakan adalah data

sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa bahan

pustaka melalui peraturan perundang-undangan dan buku-buku

literatur. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis data yang ada untuk

selanjutnya dikaji dan diinterpretasikan oleh penulis untuk

mendapatkan kesimpulan yang diharapkan.

3 Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, 1986, Jakarta: UI-Press, hlm. 10.

Page 6: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Anak Jalanan,

Gelandangan dan Pengemis

Anak jalanan menurut PBB adalah anak yang

menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk

bekerja, bermain atau beraktifitas lain. Anak jalanan sebagian

tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampak dari

keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena

kemiskinan dan kehancuran keluarganya.

Menteri Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia

mendefinisikan anak jalanan sebagai berikut:

a. Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di jalanan,

putus sekolah, dan tidak lagi memiliki hubungan dengan

keluarganya.

b. Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di jalanan,

putus sekolah, dan tetapi masih memiliki hubungan

dengan keluarganya, meskipun hubungan tersebut

tidakberlangsung dengan teratur.

c. Anak jalanan adalah anak-anak yang bersekolah dan

Page 7: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

anak putus sekolah yang meluangkan waktunya di

jalanan tetapi masih memiliki hubungan yang teratur

dengan keluarganya.

Dari berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan

bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang meluangkan

mayoritas waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun

tidak, baik yang masih sekolah maupun tidak sekolah, dan

masih memiliki hubungan dengan keluarganya maupun tidak

lagi memiliki hubungan dengan keluarganya.4

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam

keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam

masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal

dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup

mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah

orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-

minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan

gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan

pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-

sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya

cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal

meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan,

agama dan letak geografis5.

4Menteri Kesejahteraan Sosial, 2008, Pemberdayaan Anak Jalanan, http://elmurobbie.wordpress.com/2008/10/23/pemberdayaan-anak-jalanan/, diakses tanggal 23 Mei 2012.

5 Alkotsar, Artidjo, Advokasi Anak Jalanan, 1984, Jakarta: Rajawali.

Page 8: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya

anak jalanan, gelandangan dan pengemis adalah sebagai berikut

:

a. Kemiskinan Individu dan Keluarga  

Kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang

menentukan terjadinya kegiatan menggelandang dan

mengemis dikarenakan tidak cukupnya penghasilan yang

diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

b. Umur

Ternyata faktor umur memberikan pengaruh yang cukup

signifikan, dimana sebagian dari gelandangan dan

pengemis yang ditemui adalah berusia yang masih sangat

muda, yaitu kurang dari 13 tahun. Faktor umur yang masih

muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk

melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis

karena tiadanya memikirkan rasa malu yang terlalu kuat.

Bahkan mereka (anak-anak) terlihat riang berlari-lari dan

bercanda dengan temannya saat mengemis. Selain itu

kaum perempuan berumur lebih dari 40 tahun sepertinya

memberikan peluang yang lebih besar untuk memperoleh

”belas kasihan” dari penduduk kota. Kondisi tersebut

sangat wajar jika dikaji lebih lanjut dimana mereka akan

mendapat beberapa keuntungan, di antaranya adalah

sebagai berikut: (i) calon pemberi uang akan iba melihat

seorang ibu dengan anak kecil yang digendongnya; (ii)

uang yang diperoleh akan lebih banyak, selain terkadang

mereka diberikan juga makanan, khususnya untuk anak

yang digendongnya.

c. Pendidikan Formal

Page 9: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

Berkenaan dengan faktor umur tersebut di atas, ternyata

faktor pendidikan juga turut mempengaruhi responden

untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis.

Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak,

semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan

formal di sekolah. Namun, mereka memilih menjadi

gelandangan dan pengemis dibandingkan bersekolah

karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk

kebutuhan sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang

tua.

d. Ijin Orang Tua

Sebagian besar anak-anak yang melakukan kegiatan

menggelandang dan mengemis diketahui bahwasanya

mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan

disuruh oleh orang tuanya.

e. Rendahnya Keterampilan

Para pengemis dan gelandangan merupakan orang-orang

tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia

kerja. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena sebagian

terbesar dari mereka adalah masih berusia yang belia atau

muda. Semestinya mereka sedang menikmati kegiatan

akademik atau di dunia pendidikan. Sementara mereka

yang tergolong umur relatif lebih tua dan berjenis kelamin

perempuan sejak muda tidak pernah memperoleh

pendidikan ketrampilan. Oleh karena itu, kegiatan

menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling

gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh

penghasilan secara mudah. Tetapi menurut mereka,

mengemis itu terkadang agak sulit untuk memperoleh

uang karena harus berkeliling dan mencoba serta mencoba

Page 10: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

untuk meinta-minta, dimana tidak semua calon pemberi

sedekah langsung memberikannya, dan bahkan tidak

memperdulikannya.

f. Sikap Mental

Kondisi ini terjadi karena di pikiran para anak jalanan,

gelandangan dan pengemis muncul kecendrungan bahwa

pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang

biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan

untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber

penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan

sarana produktif, serta terbatasnya ketrampilan

menyebabkan mereka menjadikan mengemis sebagai

suatu pekerjaan,atau dengan kata lain, tiada jalan selain

mengemis untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi

kebutuhan hidupnya.  Selain itu, sikap mental yang malas

ini juga didorong oleh lemahnya kontrol warga masyarakat

lainnya atau adanya kesan permisif terhadap kegiatan

menggelandang dan mengemis yang dilakukan oleh warga

karena keadaan ekonomi mereka yang sangat terbatas.

Sementara di sisi lain, belum dimilikinya solusi yang tepat

dalam jangka pendek bagi mereka yang menjadi anak

jalanan, gelandangan dan pengemis. Keadaan yang

demikian ini juga turut memunculkan dan sedikit menjaga

adanya budaya mengemis yang terjadi.

g. Sulitnya memperoleh Modal Usaha

Akses lainnya yang sulit untuk diperoleh adalah modal

usaha. Kesulitan ini diakibatkan karena perolehan modal

usaha memerlukan berberapa syarat yang sangat sulit

untuk dipenuhi oleh keluarga miskin, yang menyebabkan

mereka mencari pekerjaan lain yang tidak membutuhkan

Page 11: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

modal yakni mengemis. Syarat utama yang dibutuhkan

adalah adanya agunan yang berupa sertifikat tanah. Warga

dusun dan keluarga Gepeng tidak berani menyerahkan

sertifikat tanahnya sebagai agunan karena mereka tidak

mau mengambil resiko terburuk, yaitu tanahnya disita jika

usahanya tidak berhasil.

B. Urgensi Pembentukan Daerah dalam Rangka

Melindungi Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis

Negara yang baik menurut Aristoteles ialah negara yang

diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga

unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu; pertama

pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua

pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang beradasarkan

pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat

secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan

konstitusi; ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti

pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan

berupa paksaan-paksaan yang dilaksanakan pemerintah

despotik.6

Menurut paham Julius Stahl pokok-pokok utama negara

hukum yang mendasari konsep negara hukum yang demokratis

ialah:1. berdasarkan hak asasi sesuai pandangan individualistik;

2. untuk melindungi hak asasi perlu trias politica Montesquieu

dengan segala variasi perkembangannnya; 3. pemerintah

berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur) dalam

Rechtsstaat materiil dan ditambah prinsip doelmatig bestuur di

dalam Socialeverzorgingsstaat; 4. apabila di dalam menjalankan

6 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, 2007, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, hlm. 9-10.

Page 12: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

pemerintahan masih dirasa melanggar hak asasi maka harus

diadili dengan suatu pengadilan administrasi.7

Konsitusi negara Indonesia yakni Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 telah memberikan jaminan

seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh kesejahteraan,

sebagaimana yang termuat beberapa pasal,diantaranya :

Pasal 27

(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pe kerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam

upaya pembelaan negara.

Pasal 28H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang

sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang

memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai

manusia yang bermartabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak

milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-

wenang oleh siapa pun.

7 Padmo Wahyono, “Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional” dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, Penyunting Muh. Busyro Muqoddas, dkk, 1992, Yogyakarta: UII Press, hlm,40-41.

Page 13: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

Pasal 31

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya.

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu

sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan

dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan

undang-undang.

(4) Negara memprioritaskan anggara n pendidikan sekurang-

kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan

belanja negara se rta dari anggaran pendapatan dan belanja

daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan

pendidikan nasional.

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi

dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan

bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan

umat manusia.

Pasal 34

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh

negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi

seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

kemanusiaan.

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pela

yanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini

diatur dalam undang-undang.

Page 14: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

Pengaturan dari pasal-pasal tersebut kemudian dituangkan

dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan,

diantaranya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang

Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1974 menyatakan bahwa "Setiap warga negara

berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan

berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-

usaha kesejahteraan sosial".

Selain usaha menciptakan sistem perekonomian yang

sifatnya mendasar, perlu pula usaha yang sifatnya lebih pada

pelaksanaan langsung di lapangan. Hal ini dibutuhkan untuk

dapat sesegera mungkin mengantisipasi keadaan sosial yang

memprihatinkan ini. Pengaturan yang bersifat lebih teknis di

bawah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 adalah Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1981 tentang

Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin. Pasal 2 ayat

(1) dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 di atas

menyebutkan bahwa fakir miskin berhak mendapatkan

pelayanan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ayat (2) pasal yang

sama menyatakan bahwa pelayanan kesejahteraan sosial bagi

fakir miskin tersebut meliputi bantuan sosial dan rehabilitasi

sosial.

Bantuan sosial adalah bantuan bersifat sementara yang

diberikan kepada keluarga fakir miskin agar mereka dapat

meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Bantuan sosial

yang diberikan dapat berbentuk bantuan santunan hidup,

bantuan sarana usaha ekonomi produktif, atau bantuan sarana

kelompok usaha bersama. Bantuan ini berupa bahan atau

peralatan untuk menunjang usaha ekonomi produktif. Sesuai

dengan asas kekeluargaan yang dianut, maka sarana usaha

Page 15: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

ekonomi produktif tersebut diberikan dan dikelola dalam sebuah

kelompok usaha bersama yang berada dalam pembinaan

pemerintah.

Tindak lanjut dari pemberian bantuan sosial adalah

rehabilitasi sosial yang berfungsi sebagai proses

refungsionalisasi dan pengembangan, untuk memungkinkan fakir

miskin mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar

dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses rehabilitasi sosial

ini, fakir miskin berhak untuk mendapatkan pembinaan

kesadaran berswadaya, pembinaan mental, pembinaan fisik,

pembinaan keterampilan, dan pembinaan kesadaran hidup

bermasyarakat. Fakir miskin yang telah selesai menjalani

pembinaan dapat diberikan bantuan permodalan oleh Depsos

guna meningkatkan taraf kesejahteraannya.

Terkait dengan perlindungan anak menurut Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak,

dinyatakan bahwa anak adalah potensi serta penerus cita cita

bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi

sebelumnya. Agar setiap anak mampu memikul tanggung

jawab tersebut maka perlu mendapat kesempatan yang

seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar

secara rohani, jasmani maupun sosial.

Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa negara

menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk

perlindungan terhadap hak-hak anak yang merupakan hak

asasi manusia. Berdasarkan konvensi hak-hak anak yang sudah

diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor

36 Tahun 1990, secara tegas menentukan hak-hak anak yang

secara garis besar berupa hak atas kelangsungan hidup, hak

Page 16: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

untuk tumbuh kembang, hak atas perlindungan serta hak

berpartisipasi. Selain itu Undang-Undang no 23 tahun 2002

tersebut memberikan asas berdasarkan prinsip - prinsip dasar

konvensi hak-hak anak tersebut, yaitu :

1. Non diskrimanasi .

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan

perkembangan

4. Penghargaan terhadap pendapat anak

Namun peraturan-peraturan tersebut sepertinya masih

belum efektif dan belum mampu untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan terkait anak jalanan, gelandangan dan pengemis

ini, karenanya diperlukan suatu regulasi di tingkat daerah yang

dapat mengatur dan mengembalikan mereka ke keadaan yang

lebih bermartabat. Keberadaan peraturan Daerah tersebut

dimungkinkan keberadaannya menurut Peraturan Pemerintah

Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandang dan

Pengemis, pada Pasal 4 dinyatakan :

(1) Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan

khusus berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak

bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan

petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri.

Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal tiga dasar agar

hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu

mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Ketiga dasar

tersebut sangat penting untuk mengukuhkan kaidah yang

tercantum dalam peraturan perundangan menjadi sah secara

Page 17: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat

diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk jangka

waktu yang panjang.

Para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan

pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum

beragam, bergantung pada sudut pandang yang dibidiknya.

Soerjono Soekanto berbicara mengenai derajat efektivitas

suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga

masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak

hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa:“Taraf

kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator

berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum

merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai

tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan

melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.8

Terkait dengan efektivitas hukum dalam masyarakat,

Ronny Hanintijo Soemitro mengutip Metzger bahwa efektif

tidaknya suatu sistem hukum ditentukan oleh 5 (lima) syarat,

yaitu:

a. mudah-tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu

ditangkap atau dipahami;

b. luas-tidaknya kalangan dalam masyarakat yang

mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan;

c. efisien dan efektif–tidaknya mobilisasi aturan-aturan

hukum yang dicapai dengan bantuan aparat administrasi

dan warga masyarakat yang harus berpartisipasi dalam

memobilisasi hukum;

8 Soejono Soekanto, Sosiologi ; Suatu Pengantar, 1996, Bandung : Rajawali Pres, hlm. 62.

Page 18: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

d. tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa yang

mudah dihubungi dan dimasuki warga masyarakat serta

efektif untuk menyelesaikan sengketa itu;

e. adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan

anggota-anggota masyarakat bahwa aturan-aturan dan

pranata-pranata hukum memang memiliki daya

kemampuan yang efektif.9

Sebagai daerah otonom sebagaimana kewenangan yang

diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah berwenang untuk

membuat peraturan daerah guna menyelenggarakan urusan

otonomi daerah dan tugas pembantuan. Kedudukan Peraturan

Daerah memiliki tempat tersendiri dalam tata urutan peraturan

perundang-undangan di Indonesia, pada Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menyatakan Jenis dan hierarki

Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud

9 Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Kemiskinan, 1989, Semarang: Tugu Muda, hlm. 46.

Page 19: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

dengan peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan

yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan

persetujuan bersama kepala daerah. Peraturan Daerah

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang

dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan

yang ada di atasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-

masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum, serta peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi.

Fenomena sosial yang berkaitan dengan anak jalanan,

gelandangan, pengemis dan pengamen di jalanan termasuk

pelaku eksploitasi dan pengguna jalan yang menggunakan jalan

tidak sesuai dengan fungsi jalan, tidak dapat dianggap sebagai

suatu bentuk kewajaran di dalam masyarakat, melainkan harus

ditanggulangi secara berkesinambungan dan melibatkan

seluruh komponen masyarakat baik

dilingkup pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.

Kendatipun demikian dalam rangka melakukan pembinaan

terhadap anak jalanan, gelandangan, pengemis, serta

pengamen di jalanan harus bersumber pada nilai-nilai

kemanusiaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dengan mengedepankan peningkatan kualitas sumber daya

manusia dan pemberdayaannya secara berkesinambungan.

Seiring dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah maka

daerah harus berperan aktif dalam melaksanakan upaya-upaya

bagi penanganan permasalahan sosial tersebut.

Dalam rangka mengatasi persoalan anak jalanan,

gelandangan dan pengemis, ada tiga bentuk usaha yang harus

dilakukan , yakni :

Page 20: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

1. Usaha preventif, merupakan usaha untuk mencegah

timbulnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis di

dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan

maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi

sumber timbulnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

Usaha preventif tersebut dapat dilakukan antara lain

dengan :

a. Penyuluhan dan bimbingan sosial;

b. Pembinaan sosial;

c. Bantuan sosial;

d. Perluasan kesempatan kerja;

e. Pemukiman lokal;

f. Peningkatan derajat kesehatan.

2. Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau

meniadakan anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang

ditujukan, baik kepada seseorang maupun kelompok orang

yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.

Usaha represif tersebut meliputi :

a. razia;

b. penampungan sementara untuk diseleksi;

c. pelimpahan.

3. Usaha rehabilitatif terhadap anak jalanan, gelandangan dan

pengemis meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi,

penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar

fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga

masyarakat. Usaha rehabilitatif sebagaimana dimaksud

dalam dilaksanakan melalui Rumah Singgah dan Panti Sosial.

Oleh karena itulah diperlukan adanya suatu produk hukum

daerah berupa Peraturan Daerah yang dapat berlaku dengan

efektif yang dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan

Page 21: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

yang baku mengenai pembinaan anak jalanan, gelandangan,

dan pengemis. Ketentuan baku tersebut meliputi :

1. Mengembangkan pembinaan pencegahan, pembinaan

lanjutan dan rehabilitasi sosial agar tidak terjadi anak

yang berada di jalanan, gelandangan dan pengemis baik

yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak,

dengan mencegah meluasnya pengaruh negatif karena

keberadaan mereka di jalanan terhadap masyarakat

lainnya, sehingga masyarakat kembali menjadi anggota

masyarakat yang menghayati harga diri, serta

memungkinkan pemberdayaan untuk memiliki kembali

kemampuan guna mencapai taraf hidup dan penghidupan

yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia;

2. Memetakan identitas, asal usul anak jalanan, gelandangan,

pengemis guna dijadikan dasar pembinaan pencegahan,

pembinaan lanjutan dan rehabilitasi sosial;

3. Mengklasifikasikan kriteria pembinaan anak jalanan,

gelandangan, dan pengemis;

4. Membangun presepsi yang sama dalam melakukan

pembinaan terhadap anak jalanan, gelandangan,

pengemis dan pengamen oleh berbagai pihak baik dari

pemerintah, masyarakat, keluarga maupun perorangan;

5. Mengupayakan fasilitas baik berupa sarana dan prasarana

agar anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen

mendapatkan pendampingan secara kuantitas maupun

kualitas; dan

6. Membangun sinergi antar dinas terkait maupun dengan

lembaga lembaga sosial, termasuk perguruan tinggi agar

terbentuk jaringan yang komprehensif dalam rangka

Page 22: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

melakukan pembinaan terhadap anak jalanan,

gelandangan, dan pengemis.

Pemberdayaan terhadap anak jalanan, gelandangan dan

pengemis juga suatu hal yang penting untuk dimuat dalam

sebuah peraturan daerah, karena dengan dilakukannya berbagai

kegiatan pemberdayaan tersebut diharapkan dapat

meningkatkan kualitas dari setiap anak jalanan, gelandang dan

pengemis. Pemberdayaan tersebut dilakukan oleh pemerintah

daerah dan/atau melibatkan lembaga sosial yang memiliki

kegiatan usaha kesejahteraan sosial. Kegiatan pemberdayaan

misalnya dapat dilakukan antara lain melalui :

a. Pelatihan Keterampilan Berbasis Rumah Tangga, dilakukan

untuk memberi pengetahuan dan keterampilan yang

disesuaikan dengan bakat dan minat serta lingkungan

sosialnya, yang dilaksanakan bekerja sama dengan lintas

sektoral dan stake holder;

b. Pelatihan Kewirausahaan, dilakukan untuk memberi

pemahaman dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip

usaha kecil dan menengah yang disesuaikan dengan

keterampilan yang mereka miliki dan berdasarkan kondisi

lingkungan tempat mereka berdomisili sehingga mereka

dapat termotivasi untuk melakukan aktifitas usaha mandiri

guna membantu penghasilan keluarganya;

c. Pemberian bantuan modal usaha ekonomis produktif,

dilakukan guna memberikan bantuan stimulan berupa

barang/bahan dagangan dan/atau modal usaha kecil

sebagai modal dasar dalam rangka membentuk dan

memotivasi untuk menciptakan kemandirian yang

dilakukan secara perorangan;

Page 23: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

d. Pembentukan kelompok usaha bersama, dimaksudkan

untuk mengembangkan usaha ekonomis produktif melalui

pembinaan dalam bentuk pengelompokan keluarga yang

memiliki jenis usaha yang sama antara beberapa kepala

keluarga;

e. Pengembangan kelompok usaha bersama, dimaksudkan

untuk mengembangkan kelompok usaha bersama yang

berhasil melalui pendekatan pemberian modal usaha

pengembangan.

Selain maksud dan tujuan pembinaan dan pemberdayaan

bagi anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen,

keberadaan peraturan daerah juga diperlukan untuk :

a. Menghambat laju pertumbuhan anak jalanan,

gelandangan, dan pengemis di jalanan melalui

pembinaan pencegahan secara terorganisir dan

berkesinambungan.

b. Mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri serta

menumbuhkan rasa tanggung jawab dirinya maupun

sebagai anggota masyarakat.

c. Mengembalikan mereka kedalam keadaan kehidupan dan

penghidupan masyarakat yang lebih layak.

d. Meningkatkan kesejahteraan mereka melalui upaya

bimbingan sosial dan keterampilan melalui bantuan

eknomis produktif maupun usaha-usaha lain dalam

rangka pemberdayaan keluarga.

Page 24: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan perwujudan kesejahteraan sosial ternyata

belum efektif untuk mengatasi penyakit sosial seperti anak

jalanan, gelandangan dan pengemis. Padahal undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah menjamin

terpenuhinya hak-hak warga negara tersebut. Oleh karenanya

dirasakan penting untuk membentuk suatu regulasi daerah

dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang

pembinaan dan pemberdayaan anak jalanan, gelandangan dan

pengemis dengan mengatur sejumlah tindakan yang aplikatif

dan efektif sehingga dapat mendukung, meningkatkan,

memberdayakan dan menyejahterakan anak jalanan,

gelandangan, dan pengemis agar kembali menjadi manusia yang

bermartabat.

B. Saran

Keberadaan sebuah peraturan daerah tentang anak

jalanan, gelandangan dan pengemis diharapkan tidak

menimbulkan permasalahan baru dalam penerapannya nanti.

Oleh karena itu dalam merumuskan materi muatan peraturan

daerah tersebut jangan memuat ketentuan/pasal-pasal yang

menjadikan anak jalanan, gelandangan dan pengemis sebagai

suatu subjek/pelaku tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi

pidana berupa kurungan atau denda, karena terkadang posisi

mereka hanyalah sebagai korban dari sebuah pengeksploitasian.

Page 25: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

Sebaliknya pencantuman ketentuan pidana harus diancamkan

kepada pihak-pihak yang sengaja mengkoordinir dan

mengeksploitasi anak jalanan, gelandangan dan pengemis guna

mencari keuntungan pribadi dari pekerjaan mereka.

Page 26: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Artikel

Alkotsar, Artidjo, Advokasi Anak Jalanan, 1984, Jakarta: Rajawali.

Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Kemiskinan, 1989,

Semarang: Tugu Muda.

Muh. Busyro Muqoddas, dkk (ed.), Politik Pembangunan Hukum

Nasional, 1992, Yogyakarta: UII Press.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo

Persada, Jakarta,2007.

Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga,

UI-Press, Jakarta, 1986.

Soejono Soekanto, Sosiologi ; Suatu Pengantar, 1996, Bandung :

Rajawali Pres.

Menteri Kesejahteraan Sosial, 2008, Pemberdayaan Anak

Jalanan,

http://elmurobbie.wordpress.com/2008/10/23/pemberdaya

an-anak-jalanan/, diakses tanggal 23 Mei 2012.

http://www.sumbarpost.com/berita-209-ranperda-anjal-

danpengemis digodokbakal-ada-sanksi-bagi-

pemberi.html#.T72Q9VLDu9s, diakses tanggal 20 Mei 2012

pukul 19.15 WIB.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan

Anak

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok

Kesejahteraan Sosial

Page 27: Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandang dan Pengemis

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1981

tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin.