23
Working Paper In Economics & Finance Oleh : MOHAMMAD HANIF PERAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (Satu setengah Dekade Pasca Krisis Ekonomi 1997)

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

UMKM di Indonesia (Satu setengah dekade pasca krisis ekonomi 1997)

Citation preview

Page 1: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

Working Paper In Economics & Finance

Oleh :

MOHAMMAD HANIF

PERAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DALAM

PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (Satu setengah Dekade Pasca Krisis Ekonomi 1997)

Page 2: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi sebagai imbas dari krisis keuangan di Thailand. Krisis

ini diawali dengan jatuhnya nilai mata uang Bath Thailand pada bulan Juli 1997 dan berakibat langsung

terhadap nilai Rupiah yang terdepresiasi secara eksponensial, dari Rp2.400 per dollar menjadi Rp16.500 per

dollar pada bulan Juni 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13.3% dan

inflasi meningkat hingga sampai 77%. Pada saat itu, Indonesia boleh dikatakan telah “kehilangan pijakan”

dalam kancah perdagangan internasional dan praktis Perekonomian Indonesia saat itu berada di titik nadir

yang tak ubahnya seperti kertas yang dihempas oleh badai krisis. Jika Indonesia sebelum terkena krisis

termasuk negara dengan kemajuan ekonomi yang luar biasa sehingga sering disebut Miracle dengan

digolongkan sebagai negara “High Performing Asian Economics” dan dijadikan contoh bagi negara-negara

berkembang lainnya karena dianggap berhasil, maka ketika terjadi krisis terjadi telah melenyapkan attribut

itu dalam sekejap dan menempatkan kembali Indonesia dalam klasifikasi negara „miskin‟. PDB per kapita

Indonesia pada tahun 1997 yang sempat mencapai $1.200 anjlok tinggal $300 pada Januari 1998, atau

kurang lebih sama dengan 20 tahun sebelumnya.

Krisis saat itu telah mengakibatkan kedudukan posisi pelaku sektor ekonomi berubah. Banyak Perusahaan

saat itu satu persatu pailit karena bahan baku impor meningkat secara drastis dan biaya cicilan utang

meningkat sebagai akibat dari nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menurun dan berfluktuasi. Sektor

perbankan juga ikut terpuruk dan turut memperparah sektor industri dari sisi permodalan. Banyak

perusahaan yang tidak mampu lagi meneruskan usaha karena tingkat bunga yang tinggi. Berdasarkan Data

Departemen Koperasi dan UKM (Tabel 1) menunjukkan bahwa akibat krisis ekonomi, jumlah unit usaha

menurun drastis (7.42%) dari 39.77 Juta unit usaha di tahun 1997 menjadi 36.82 Juta unit usaha di tahun

1998.

Unit Usaha (Ribu ) 1997 1998 1999 2000%Growth

1997-1998

%Growth

1998-2000

UMKM : 39,765.11 36,813.58 37,911.72 39,176.79 -7.42% 6.42%

1. Usaha Kecil (inc Mikro) 39,704.66 36,761.69 37,859.51 39,121.35 -7.41% 6.42%

2. Usaha Menengah 60.45 51.89 52.21 55.44 -14.16% 6.84%

Usaha Besar 2.09 1.83 1.89 2.01 -12.44% 9.84%

Total 39,767.20 36,815.41 37,913.61 39,178.80 -7.42% 6.42%

Dibandingkan Usaha Mikro dan Kecil, Usaha Menengah dan Besar mengalami penurunan jumlah unit usaha

cukup signifikan yaitu diatas 10%. Bahkan sesudah krisis, dibandingkan Usaha Besar, Usaha Menengah

relatif lebih lambat untuk pulih dari krisis ekonomi, padahal Usaha Menengah memiliki peranan strategis

untuk menjaga dinamika dan keseimbangan struktur perekonomian nasional.

Usaha Besar walaupun dengan penurunan jumlah unit usaha yang lebih rendah dibandingkan Usaha

Menengah, namun memiliki efek yang luar biasa pada perekonomian nasional. Ada sekitar 260 unit usaha

yang mengalami kebangkrutan saat itu dan sebagian besar modalnya berasal dari modal asing dan sektor

perbankan. Sedangkan dari sisi kontribusi terhadap PDB Nasional, Usaha Besar menyumbang sekitar 42%

dari PDB Nasional waktu itu (Grafik 1). Akibatnya, ketika krisis berlangsung Perekonomian Indonesia

mengalami kontraksi hebat yaitu mencapai hingga 13.3% (Grafik 2).

Tabel 1 : Data Perkembangan Dunia Usaha Indonesia 1997-2000

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2000 (diolah)

Page 3: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

40.45% 41.97% 43.08%

17.41% 16.03% 15.65%

42.14% 42.00% 41.27%

0.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

1997 1998 1999

Usaha Kecil (inc Mikro) Usaha Menengah Usaha Besar

-13.30%-15.00%

-10.00%

-5.00%

0.00%

5.00%

10.00%

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

% GDP Growth

Grafik 1 juga menjelaskan bahwa selama tahun 1997-1998, kontribusi Usaha Kecil terhadap perekonomian

nasional tetap meningkat walaupun kondisi sedang krisis. Sebaliknya, Usaha Besar dan Usaha Menengah

relatif menurun. Ini menegaskan bahwa UMKM khususnya Usaha kecil sesungguhnya memiliki tingkat

kompetisi yang lebih baik daripada Usaha Besar terutama pada saat krisis ekonomi. UMKM telah

menunjukkan kemampuannya dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional saat itu bahkan menjadi

katup pengaman, dinamisator dan stabilisator bagi pemulihan ekonomi karena kemampuannya memberikan

sumbangan yang cukup signifikan pada PDB Nasional maupun penyerapan tenaga kerja. Ketika terjadi

krisis, banyak perusahaan formal skala menengah dan besar terpaksa menutup usahanya sebagai akibat

tekanan inflasi, depresiasi rupiah, dan kekurangan modal yang bersumber dari dana asing dan perbankan.

Banyak dari mereka akhirnya beralih profesi menjadi tenaga kerja di sektor Usaha Kecil. Tabel 2

menunjukkan daya serap UMKM saat dan pasca krisis.

UMKM (Ribu Orang ) 1997 1998 1999 D 1997-1998 D 1998-1999

Usaha Kecil (inc Mikro) 57,483 57,342 59,940 (141) 2,598

Usaha Menengah 7,726 6,972 7,230 (755) 258

Total 65,209 64,314 67,170 (895) 2,856

Tabel 2 menunjukkan bahwa saat krisis ekonomi, sektor Usaha Kecil dan Menengah mengalami penyusutan

tenaga kerja. Namun periode berikutnya, sektor Usaha Kecil mampu menyerap hampir 20 kali lipat jumlah

tenaga kerja yang hilang selama periode 1997-1998. Sedangkan Usaha Menengah baru menyerap

sepertiganya. Ini menunjukkan Usaha kecil mampu bangkit dari krisis dalam waktu relatif singkat dan

menjadi kekuatan pendorong bagi pembangunan perekonomian nasional. Berikut adalah daya serap tenaga

kerja UMKM menurut sektor ekonomi (Grafik 3) dan distribusinya menurut sektor ekonomi (Grafik 4).

Grafik 1 : Distribusi PDB berdasarkan Skala Usaha Grafik 2 : Pertumbuhan Perekonomian Indonesia

Tabel 2 : Daya Serap UMKM Periode 1997-1999

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2000 (diolah)

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2000 (diolah)

Sumber : Bank Indonesia (diolah)

Page 4: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

5.64%

15.68%

-21.72%

-0.66%

5.82%

-0.15%

Pertanian

Industri Pengolahan

Pertambangan, Listrik, Air, dan Bangunan

Perdagangan, Restoran, dan Hotel

Pengangkutan dan Telekomunikasi

Jasa Keuangan dan lainnya

%Labour Growth

Pertanian

60.23%

Industri

Pengolahan

9.11%

Pertambangan,

Listrik, Air, dan

Bangunan0.76%

Perdagangan,

Restoran, dan

Hotel23.11%

Pengangkutan

dan

Telekomunikasi3.14%

Jasa Keuangan

dan lainnya

3.65%

Berdasarkan grafik 3 dan 4, bahwa tenaga kerja yang bergerak di sektor UMKM lebih terkonsentrasi pada

sektor pertanian. Sektor ini tumbuh 5.64% pada tahun 1999. Sektor Perdagangan, Restoran, dan hotel

merupakan sektor terbesar kedua yaitu mencapai 23.11% dengan tingkat pertumbuhan turun sebesar

0,66%. Sedangkan Sektor Industri pengolahan merupakan sektor dengan tingkat pertumbuhan paling

tinggi yaitu mencapai 15.68%. Kontribusi sektor ini baru mencapai 9.11% dari seluruh tenaga kerja UMKM.

Besarnya tenaga kerja UMKM di sektor Pertanian dan Perdagangan tidak terlepas dari mudahnya akses ke

sektor ini, dan komoditas ini tetap diperlukan sekalipun pada masa krisis karena orang membutuhkan

makan dan distribusi pangan. Sementara itu, disisi lain pasar luar negeri masih terbuka karena daya saing

harga dari komoditas pertanian indonesia mengalami peningkatan pada saat nilai tukar rupiah mengalami

penurunan (depresiasi).

Menurut Partomo (2004), ada beberapa faktor yang menyebabkan bertambahnya pelaku UMKM pasca

krisis ekonomi yaitu :

1. Produk UMKM umumnya barang konsumsi dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang

rendah sehingga ketika terjadi perubahan tingkat pendapatan (penurunan) akibat krisis ekonomi tidak

banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan.

2. Sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank sehingga mereka terhindar dari beban biaya

bunga tinggi akibat adanya peningkatan suku bunga ketika terjadi krisis di sektor perbankan.

3. Hambatan keluar-masuk dalam industri yang ditekuni pelaku UMKM hampir tidak ada.

4. Dengan adanya krisis ekonomi menyebabkan sektor formal banyak memberhentikan pekerjanya. Para

penganggur ini akhirnya memasuki sektor informal, melakukan kegiatan usaha yang umumnya berskala

kecil, akibatnya jumlah pelaku UMKM meningkat.

Menurut Mudradjad Kuncoro, dalam Harian Bisnis Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2008 mengemukakan

bahwa UMKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar

negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga,

menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor.

UMKM merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi. Gerak sektor

UMKM amat vital untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UMKM cukup fleksibel dan

dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Mereka juga

Grafik 3 : Pertumbuhan Tenaga Kerja UMKM

(1998-1999)

Grafik 4 : Distribusi Tenaga Kerja UMKM Menurut

Sektor Ekonomi (Tenaga Kerja tahun 1999)

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2000 (diolah)

Page 5: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha lainnya, dan mereka juga cukup

terdiversifikasi dan memberikan kontribusi penting dalam ekspor dan perdagangan. Pasca krisis,

peningkatan peran dan kegiatan uaha UMKM semakin nampak jelas. UMKM telah menunjukkan

perkembangan yang terus meningkat dan bahkan mampu menjadi penopang pertumbuhan ekonomi

nasional pada tahun-tahun berikutnya. Hal tersebut dapat dilihat pada data BPS tahun 2003, yang

menunjukkan populasi UMKM mencapai sekitar 42.39 juta unit usaha atau 99.99% dari keseluruhan pelaku

bisnis di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 42.33 juta Usaha Kecil dengan pertumbuhan 9,46% (2000-

2003) dan usaha menengah sebanyak 63,546 dengan pertumbuhan 13.46% (2000-2003). Disamping itu

UMKM juga memberikan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu 96.70% dan memberikan

kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp. 1,148.5 triliun atau 57,06%. Sedangkan

pada tahun 2010, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 53.82 juta unit usaha atau meningkat 27%

dibandingkan tahun 2003 dan telah menyerap 97.22% dari tenaga kerja nasional serta berkontribusi pada

PDB Nasional sebesar 3,466.4 triliun atau 57.12% (BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2010).

Namun demikian, Jumlah dan potensi yang dimiliki UMKM ini ternyata belum menjadi modal yang cukup

bagi UMKM untuk terus maju dan berkembang pesat. Sampai saat ini UMKM belum mengalami

perkembangan berarti, meski ketangguhannya telah teruji pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998.

Untuk itulah, banyak pihak mengkritisi bahwa sistem perekonomian nasional masih belum cukup memihak

dan memberikan kesempatan kepada UMKM, terutama dari sisi permodalan. Masalah Permodalan masih

merupakan salah satu faktor kritis bagi UMKM, baik untuk pemenuhan kebutuhan modal kerja maupun

modal investasi dalam pengembangan usaha. Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari krisis 1997 adalah

ketidakpedulian sektor perbankan pada UMKM produktif. Sebelum krisis, kredit perbankan amat

terkonsentrasi pada kredit korporasi dan juga konsumsi. Hanya segelintir kredit yang disalurkan bank ke

sektor UMKM. Dari jumlah unit usaha UMKM yang mencapai angka 51,41 juta (BPS, 2008) yang tersebar di

seluruh wilayah di semua sektor usaha hanya sekitar 39% yang telah memperoleh kredit perbankan

(Hafsah, 2004), sedangkan sisanya belum sama sekali tersentuh lembaga perbankan. Sebagian besar dari

UMKM tersebut terdapat sekitar 95.7% merupakan pelaku usaha mikro : usaha rumah tangga, pedagang

kaki lima, dan berbagai jenis usaha bersifat informal lainnya. Padahal skala usaha ini paling banyak

menyerap tenaga kerja dan menopang peningkatan taraf hidup masyarakat. Selain itu, faktor internal

seperti kekurangmampuan dalam manajemen, penguasaan teknologi, pemasaran dan rendahnya

kompetensi menyebabkan kualitas UMKM saat ini masih rendah. Data menunjukkan bahwa produktivitas

UMKM per tenaga kerja masih rendah dibawah 2% (BPS, 2010). Sebaliknya, produktivitas Usaha Besar

mencapai 30% per tenaga kerja terhadap Output. Untuk itu, peran serta pemerintah sangat diperlukan

sehingga UMKM dapat berperan optimal dalam pembangunan ekonomi Indonesia baik secara kuantitas

maupun kualitas.

Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang peran UMKM dalam pembangunan ekonomi

Indonesia selama satu setengah dekade pasca krisis 1997, penulis mencoba menyajikan dalam working

paper ini, yang dimulai dengan Bab I : Pendahuluan; Bab II : Pembahasan; dan Bab III : Kesimpulan.

Penulisan juga menggunakan metode SWOT Analysis untuk melihat kondisi saat ini dan prospek ke depan.

Page 6: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

II. PEMBAHASAN

II.1. Definisi UMKM

Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, pengertian usaha Mikro, Kecil dan Menengah

(UMKM) mengacu kepada kriteria usaha, yaitu :

1. Usaha mikro :

a. Usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria

usaha mikro.

b. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk

tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak

Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2. Usaha kecil :

a. Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan

usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,

dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung atau maupun tidak langsung dari usaha menengah atau

usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil.

b. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling

banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)

sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

3. Usaha menengah :

a. Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan

usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,

dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung atau maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau

usaha besar.

b. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling

banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha; atau memiliki Hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus

juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

II.2. Trend Perkembangan UMKM : Krisis 1997 – saat ini

Krisis ekonomi tahun 1997 telah mengakibatkan jumlah unit usaha UMKM menurun dari 39.77 Juta unit

usaha di tahun 1997 menjadi 36.82 Juta unit usaha di tahun 1998 atau turun 7.42%. Namun, sejak tahun

1998-2011 jumlah unit usaha UMKM terus mengalami peningkatan dengan rata-rata tumbuh sebesar

3.19% setiap tahunnya (Grafik 5). Pada tahun 2011, jumlah unit usaha UMKM mencapai 55.21 Juta atau

99.99% dari keseluruhan pelaku bisnis di Indonesia (Grafik 6). Jumlah ini meningkat 12.62% dalam lima

tahun terakhir (2006-2011). Ini menunjukkan bahwa peran UMKM dalam pembangunan ekonomi terus

meningkat secara signifikan dan menjadi penopang pembangunan karena besarnya konsentrasi pelaku

bisnis di sektor ini (kekuatan mayoritas dalam dunia usaha). UMKM telah menjadi motor penggerak

ekonomi nasional dan regional pasca krisis ekonomi hingga saat ini. Dibandingkan dengan usaha besar

yang kontribusi dan pertumbuhannya lebih lambat, UMKM memiliki prospek untuk terus bertumbuh

kedepannya seiring meningkatnya permintaan barang dan jasa dalam negeri.

Page 7: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Jumlah Unit UMKM (Ribu)

% Average Annual Growth (Pasca krisis : 3.19%)

Usaha Mikro

98.82%

Usaha Kecil

1.09%

Usaha Menengah

0.08%

Usaha Besar

0.01%

Berdasarkan distribusi Skala usaha UMKM, Usaha Mikro merupakan usaha yang mendominasi UMKM

Indonesia selama ini. Rata-rata Usaha Mikro mendominasi 98.89% dari total jumlah unit usaha UMKM

dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2.38% per tahun (Tabel 3). Selama tahun 2006-2011, Usaha Kecil

merupakan skala usaha dengan tingkat pertumbuhan tertinggi yaitu mencapai 4.97% per tahun. Pada

tahun 2011, skala usaha ini mencapai 602 ribu unit usaha atau meningkat 27.24% dibandingkan tahun

2006.

Unit Usaha (Ribu ) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 %Avg Dist %Avg Growth (2006-2011)

Usaha Mikro 48,512.44 49,608.95 50,847.77 52,176.80 53,179.68 54,559.97 98.89% 2.38%

Usaha Kecil 472.60 498.57 522.12 546.68 573.59 602.20 1.03% 4.97%

Usaha Menengah 36.76 38.28 39.72 41.13 42.62 44.28 0.08% 3.79%

UMKM 49,021.80 50,145.80 51,409.61 52,764.60 53,795.89 55,206.44 100.00% 2.41%

Sedangkan dari sisi sebaran unit usaha berdasarkan sektor ekonomi, UMKM sejak tahun 1998 hingga saat

ini masih didominasi oleh unit usaha dari Sektor Pertanian. Alasannya jelas karena sektor pertanian

merupakan sektor dimana outputnya merupakan kebutuhan pokok masyarakat dengan jumlah permintaan

yang cenderung meningkat, skala ekonomi dan kekuatan merek tidak begitu dipentingkan, dan bersifat

padat karya. Skala ekonomi yang dimaksud disini adalah Sumber daya manusia, Modal, dan ketersediaan

teknologi. Kontribusi sektor ini terhadap konsentrasi usaha UMKM dari tahun ke tahun terus menunjukkan

penurunan. Pada tahun 1998, unit usaha UMKM terkonsentrasi di sektor ini mencapai 62.04%, dan turun

menjadi 58.76% di tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2011, konsentrasi usaha disektor ini hanya

mencapai 49.98% (Tabel 4). Penurunan ini tidak terlepas dari berbagai persoalan di sektor ini seperti

penurunan kualitas kesuburan tanah, berkurangnya luas lahan, banyaknya hama dan penyakit tanaman,

penggunaan teknologi yang masih rendah, dan perubahan iklim yang tidak menentu dalam beberapa tahun

terakhir. Nilai tambah yang rendah karena masih dijual dalam keadaan mentah menyebabkan produk yang

dihasilkan memiliki daya jual yang rendah. Akibatnya, pendapatan yang dihasilkan juga akan rendah. Inilah

yang menjadi pendorong sebagian pelaku bisnis lebih memilih sektor lain yang lebih prospektif, memiliki

nilai tambah, dan lebih menguntungkan.

Grafik 5 : Trend Jumlah Unit UMKM (1997-2011) Grafik 6 : Distribusi Unit Usaha berdasarkan

Skala Usaha

Tabel 3 : Jumlah Unit Usaha UMKM, Distribusi, dan Rata-Rata Pertumbuhan

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2011 (diolah)

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2011 (diolah)

Page 8: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

Unit Usaha Berdasarkan Sektor Ekonomi 1998 2005 2011

Pertanian 62.04% 58.76% 49.98%

Industri Pengolahan 5.92% 6.29% 6.19%

Pertambangan, Listrik, Air, dan Bangunan 0.64% 0.81% 1.59%

Perdagangan, Restoran, dan Hotel 23.22% 22.82% 29.44%

Pengangkutan dan Telekomunikasi 4.33% 6.05% 6.46%

Jasa Keuangan dan lainnya 3.85% 5.26% 6.34%

TOTAL 100.00% 100.00% 100.00%

Para pelaku usaha UMKM dalam lima tahun terakhir, lebih melirik sektor Perdagangan, Restoran, dan Hotel

sebagai basis usahanya. Ini terbukti dengan meningkatnya kontribusi sektor ini dari 22.82% di tahun 2005

menjadi 29.44% di tahun 2011 (Tabel 4). Sedangkan sektor lainnya yang juga mulai menarik minat para

pelaku UMKM adalah sektor Pengangkutan dan Jasa keuangan & lainnya. Konsentrasi usaha UMKM pada

kedua sektor ini menunjukkan peningkatan selama periode 1998-2011. Kedua sektor ini memberikan nilai

tambah yang lebih baik dibandingkan sektor pertanian, misalkan pada rumah makan, toko, jasa angkutan,

jasa keuangan, dll. Jasa merupakan produk yang semakin menggeliat ditawarkan oleh banyak pelaku

UMKM belakangan ini. Menurut Schoell dan Gultinan (1992), menyatakan bahwa sektor jasa sangat

berkembang pesat akhir-akhir ini karena beberapa faktor atau penyebab, antara lain :

1. Perkembangan teknologi yang sangat pesat termasuk teknologi informasi.

2. Adanya peningkatan pengaruh sektor jasa.

3. Persentase wanita yang masuk dalam angkatan kerja semakin besar.

4. Tingkat harapan hidup semakin meningkat.

5. Produk-produk yang dibutuhkan dan dihasilkan semakin kompleks.

6. Adanya peningkatan kompleksitas kehidupan.

7. Meningkatnya perhatian terhadap ekologi dan kelangkaan sumber daya

Tabel 4 : Distribusi Unit UMKM menurut Sektor Ekonomi

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2011 (diolah)

Page 9: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

II.3. Peran UMKM dalam Perekonomian Nasional

II.3.1. Peran UMKM terhadap PDB Nasional

PDB UMKM pasca krisis terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, PDB UMKM mencapai 3,466 triliun

atau meningkat 4.5 kali dari jumlah PDB tahun 1998. PDB UMKM meningkat rata-rata 15.33% setiap

tahunnya dengan rata-rata kontribusi terhadap PDB Nasional mencapai 57.56% (Grafik 7).

51.00%

52.00%

53.00%

54.00%

55.00%

56.00%

57.00%

58.00%

59.00%

60.00%

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

3,500,000

4,000,000

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

PDB Riil UMKM (Milyar) %UMKM thd PDB Nasional

% Average Annual Growth (Pasca krisis : 15.33%)

Secara kontribusi, PDB UMKM lebih tinggi dibandingkan Usaha Besar walaupun rata-rata kenaikan PDB

UMKM masih lebih rendah dibandingkan Usaha Besar yang mencapai 21.37% setiap tahunnya. Sekalipun

tetap dominan, peranan UMKM dalam menciptakan PDB Nasional mengalami penurunan selama periode

2002-2005, namun sejak tahun 2005 sampai saat ini kontribusi UMKM terus mengalami peningkatan.

Rendahnya kontribusi UMKM selama 2002-2005 menunjukkan bahwa tingkat produktivitas UMKM saat itu

cukup rendah. Hal ini karena kinerja UMKM yang kurang efisien, kurangnya tenaga profesional, dan

penggunaan teknologi yang rendah. Dengan adanya kecenderungan peningkatan kontribusi UMKM

menunjukkan bahwa lambat laun kinerja UMKM sudah mulai dibenahi dan membuahkan hasil. Ini tentunya

tidak terlepas dari upaya pemerintah yang terus berusaha membenahi UMKM dan menciptakan iklim yang

sehat dalam persaingan usaha antara sesama UMKM maupun UMKM dengan Usaha Besar, misalnya

dengan penerapan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dibidang UMKM untuk periode 2005-

2009 dan penyusunan rencana strategis kementerian Koperasi dan UMKM.

Berdasarkan skala usaha UMKM, Usaha Mikro merupakan penyumbang terbesar dengan rata-rata 58% dari

total PDB UMKM. Sedangkan Usaha Kecil dan menengah hanya berkontribusi masing-masing 18% dan 24%

(Grafik 8). Adapun laju pertumbuhan Usaha mikro rata-rata selama 2006-2010 mencapai 5.14% sedikit

lebih rendah dibandingkan Usaha Kecil dan Usaha Menengah yang mencapai 5.98% dan 5.34%. Secara

keseluruhan, pertumbuhan UMKM per tahun dalam lima tahun terakhir mencapai 5.34% atau sedikit lebih

rendah dibandingkan dengan usaha besar yang mencapai 6.22% (Grafik 9). Tingginya pertumbuhan output

(GDP) Usaha Besar dibandingkan UMKM karena pada umumnya produktivitas Usaha Besar lebih efisien dan

efektif. Bahkan laju pertumbuhan Usaha Besar yang semula jauh lebih rendah dibandingkan UMKM (2003-

2005), karena pada waktu itu usaha besar masih mengalami restrukturisasi dan pembenahan pasca krisis,

Grafik 7 : Trend PDB Riil UMKM dan Kontribusinya terhadap PDB Nasional

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Page 10: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

namun lambat laun tingkat pertumbuhan outputnya semakin meningkat. Bahkan sejak tahun 2007, output

Usaha Besar ini meningkat lebih besar dibandingkan UMKM. Pada tahun 2009, pasca krisis sub-prime

mortgage yang mengakibatkan lesunya perekonomian dunia sebagai akibat pertumbuhan ekonomi di

negara-negara maju mengalam kontraksi juga berpengaruh pada kinerja output perekonomian Indonesia.

Krisis saat itu masuk ke Indonesia melalui jalur transmisi finansial dan perdagangan. Akibatnya,

pertumbuhan output pada masing-masing skala usaha mengalami penurunan, namun kondisi ini tidak

berlangsung lama karena pada tahun 2010 sudah menunjukkan perbaikan seiring mulai membaiknya

perekonomian dunia. Saat itu, pertumbuhan output UMKM menurun cukup signifikan. Hal ini karena ekspor

non-migas Indonesia mengalami kontraksi sebagai akibat melemahnya daya beli masyarakat dunia dan

merosotnya harga berbagai komoditas ekspor. Tekanan pada kinerja Ekspor lebih disebabkan negara

tujuan utama ekspor cenderung terkonsentrasi pada sejumlah negara , dimana lebih dari separuh pangsa

ekspor tertuju ke empat sampai lima negara saja (mitra dagang utama indonesia), yaitu Jepang, AS,

Singapura, Korea, dan China (Bank Indonesia, 2009). Kontraksi disisi ekspor ini tentunya akan berpengaruh

pada kinerja output UMKM mengingat kontribusinya terhadap total ekspor non-migas nasional mencapai

rata-rata 20% selama tahun 2008-2009.

57.05% 57.39% 57.79% 58.52% 59.19%

18.46% 18.33% 18.09% 17.65% 17.24%

24.49% 24.28% 24.12% 23.83% 23.56%

0%

25%

50%

75%

100%

2006 2007 2008 2009 2010

% PDB Usaha Mikro % PDB Usaha Kecil % PDB Usaha Menengah

3.00%

4.00%

5.00%

6.00%

7.00%

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Usaha Mikro Usaha Kecil (Inc Mikro) Usaha Menengah

UMKM Usaha Besar PDB Nasional

Berdasarkan sektor ekonomi, PDB UMKM memiliki keunggulan dalam sektor tersier seperti Perdagangan,

Restauran, dan Hotel dan bidang usaha yang memanfaatkan sumber daya alam (pertanian tanaman bahan

makanan, perkebunan, peternakan dan perikanan). Besarnya kontribusi sektor Perdagangan, Restauran

dan Hotel menunjukkan bahwa sektor ini memiliki nilai tambah yang jauh lebih besar dibandingkan sektor

pertanian. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hampir separuh dari usaha UMKM

terkonsentrasi pada sektor pertanian. Namun, kontribusi sektor ini pada tahun 2010 hanya mencapai

24.70%. Sebaliknya UMKM di sektor Perdagangan, Restauran dan Hotel berkontribusi 26.87%. Dari sisi laju

pertumbuhan output, sektor ini juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu mencapai 8.50%

pada tahun 2010 jauh diatas sektor pertanian yang hanya mencapai 3.62% (Grafik 10).

Berbeda dengan UMKM, Usaha besar justru memiliki keunggulan dalam sektor padat modal seperti listrik,

gas dan air bersih serta pertambangan dan penggalian, dan pengolahan lebih lanjut dari produk hasil

ekstraksi sumber daya alam (industri pengolahan). Konstribusi masing-masing sektor ini pada PDB Nasional

mencapai 28.56% dan 44.30% (Grafik 10).

Grafik 8 : Distribusi PDB Riil UMKM

menurut Skala Usaha Grafik 9 : Laju Pertumbuhan PDB menurut Skala Usaha

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Page 11: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

24.70%

12.04% 12.09%

26.87%

6.41%

17.89%

1.26%

44.30%

28.56%

1.13%

7.04%

17.70%3.62%

8.91%8.50%

0.00%

2.00%

4.00%

6.00%

8.00%

10.00%

0.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

UMKM-Share GDP (%) Usaha Besar-Share GDP (%) UMKM-Growth Rate (%)Share GDP (%) Growth Rate (%)

II.3.2. Peran UMKM terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Nasional

Kontribusi UMKM dalam menyerap tenaga kerja menunjukkan trend meningkat pasca krisis tahun 1997.

Rata-rata daya serap UMKM mencapai 97.03% dari total tenaga kerja nasional. Pada tahun 2011, UMKM

menyerap kurang lebih 101 Juta jiwa tenaga kerja atau 97.04% dari total tenaga kerja nasional (Grafik 11).

Dengan daya serap yang tinggi, UMKM telah menjamin stabilitas pasar tenaga kerja, penekanan

pengangguran, dan menjadi wahana bangkitnya wirausaha baru, serta tumbuhnya wirausaha nasional yang

tangguh dan mandiri. UMKM tetap menjadi tumpuan utama penyerapan tenaga kerja pada masa

mendatang seiring terus meningkatkan pelaku usaha di sektor usaha ini. Ini menjadi bukti bahwa UMKM

merupakan katup pengaman, dinamisator, dan stabilisator perekonomian Indonesia. Selama periode 2005-

2011, jumlah tenaga kerja yang diserap UMKM selalu meningkat setiap tahunnya. Bahkan peningkatan

daya serap terbesar terjadi pada tahun 2006. Saat itu, tingkat tenaga kerja di sektor UMKM meningkat

13.17% sementara disisi lain Usaha Besar justru mengurangi tenaga kerjanya pada periode 2005-2006

(Grafik 12). Krisis sub-prime mortgage juga mempengaruhi tingkat tenaga kerja pada Usaha Besar, dimana

pada tahun 2009 jumlah tenaga kerja Usaha Besar turun sebesar 2.96%. Adanya PHK atas karyawan pada

Usaha Besar, akan menyebabkan peluang meningkatnya tenaga kerja di sektor UMKM. Hal ini karena daya

tampung dan daya serap perusahaan besar sangat terbatas dan cenderung menurun setiap tahunnya.

Grafik 10 : Distribusi PDB UMKM dan Usaha Besar menurut Sektor Ekonomi

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Page 12: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

96.20%

96.40%

96.60%

96.80%

97.00%

97.20%

97.40%

-

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Tenaga Kerja UMKM (Ribu) %UMKM thd Tenaga Kerja Nasional

-10.00%

-5.00%

0.00%

5.00%

10.00%

15.00%

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Annual Growth TK UMKM (%) Annual Growth TK Usaha Besar (%)

Berdasarkan skala usaha UMKM, penyerapan tenaga kerja UMKM didominasi oleh skala Usaha Mikro. Sektor

ini menyerap kurang lebih 93.43% dari total tenaga kerja UMKM setiap bulannya. Sedangkan Usaha Kecil

hanya menyerap 3.58% dan sisanya 2.89% diserap oleh Usaha Menengah (Grafik 13). Sedangkan menurut

sektor ekonomi, tenaga kerja Usaha Mikro ini sebagian besar (54.02%) berada di sektor pertanian. Hanya

23.86% yang berada di sektor Perdagangan, Restoran, dan Hotel (produk tersier). Sebaliknya, tenaga kerja

Usaha Kecil sebagian besar berada di sektor Perdagangan, Restoran, dan Hotel (37.78%) dan sektor Jasa

keuangan dan lainnya (38.77%). Artinya, tenaga kerja Usaha Kecil lebih banyak terkonsentrasi pada

produk-produk tersier dan hanya sebagian kecil yang bekerja di sektor pertanian. Sedangkan pada Usaha

Menengah, tenaga kerja sebagian besar berada di sektor Industri Pengolahan (42.18%) atau lebih

terkonsentrasi pada produk sekunder (pengolahan atau produksi). Sebagian lainnya, tenaga kerja pada

Usaha Menengah juga banyak ditemukan pada sektor Perdangangan, Restauran, dan Hotel (20.29%) dan

sektor Jasa Keuangan dan lainnya (14.79%). Seperti halnya Usaha Menengah, tenaga kerja Usaha Besar

sebagian besar berasal dari sektor Industri Pengolahan (72.95%). Sedangkan tenaga kerja Usaha Besar

pada sektor tersier seperti Jasa dan Perdagangan hanya sebesar 8.75% dan 6.93% (Grafik 14).

93.36% 93.33% 93.39% 93.56% 93.57% 93.35%

3.57% 3.62% 3.74% 3.66% 3.65% 3.85%

0%

25%

50%

75%

100%

2006 2007 2008 2009 2010 2011

% TK Usaha Mikro % TK Usaha Kecil % TK Usaha Menengah

54.02%

1.86%

16.02%

46.40%

1.46%

8.89%

15.84%

42.18%

11.35%

72.95%

1.26%

3.06%

3.47% 1.57%

6.44%23.86%

37.78%

20.29% 25.19%

6.93%4.04%

2.70%

3.25%3.85%

3.48%

7.93%

38.77%

14.79% 11.63% 8.75%

0%

25%

50%

75%

100%

Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah

UMKM Usaha Besar

Jasa Keuangan dan lainnya

Pengangkutan dan Telekomunikasi

Perdagangan, Restoran, dan Hotel

Pertambangan, Listrik, Air, dan Bgn

Industri Pengolahan

Pertanian

Grafik 11 : Trend Tenaga Kerja UMKM dan

kontribusinya thd Tenaga Kerja Nasional

Grafik 12 : Laju Pertumbuhan Tenaga Kerja

UMKM dan Usaha Besar

Grafik 13 : Distribusi Tenaga Kerja UMKM

menurut Skala Usaha

Grafik 14 : Distribusi Tenaga Kerja menurut

Sektor Ekonomi dan Skala Usaha

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2011 (diolah)

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2011 (diolah)

Page 13: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

Tumbuhnya UMKM di Indonesia dapat menjadi langkah awal bagi perbaikan ekonomi nasional. Ini tidak

terlepas dari kompleksitas masalah tenaga kerja Indonesia. Menurut Suryo Bambang Sulisto, Ketua Umum

Kadin Indonesia, dari jumlah angkatan kerja yang tersedia, terdapat 80% merupakan tenaga tidak terlatih.

Kondisi ini tentunya sulit untuk diserap oleh industri dan bisnis skala besar yang sedang berupaya

meningkatkan daya saingnya. Akibatnya, pengangguran akan tercipta karena ada sejumlah angkatan kerja

yang tidak terserap dalam dunia usaha. Dengan pertumbuhan UMKM yang terus meningkat diharapkan bisa

menciptakan lapangan kerja baru bagi seluruh lapisan masyarakat. Data BPS 2011, menunjukkan bahwa

rata-rata penambahan unit usaha UMKM mencapai 1.2 Juta unit setiap tahunnya dan rata-rata daya serap

UMKM mencapai 3-5 tenaga kerja, dalam dua tahun kedepan jumlah tenaga kerja yang terserap akan

bertambah sekitar 12 Juta jiwa. Dengan demikian, semakin tinggi jumlah unit usaha UMKM dan daya serap

tenaga kerja kedepan, diharapkan dapat menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan di masa

mendatang.

II.3.3. Peran UMKM terhadap Ekspor Nasional

Dari sisi ekspor, selama pasca krisis secara volume menunjukkan trend meningkat. Rata-rata kontribusi

ekspor UMKM terhadap ekspor non-migas nasional mencapai 18.12% per tahun (Grafik 15). Berdasarkan

skala usaha, ekspor UMKM lebih didominasi oleh skala Usaha Menengah (68.42%). Sedangkan Usaha Mikro

dan Kecil hanya berkontribusi masing-masing 9.25% dan 22.33% (Grafik 16).

0.00%

5.00%

10.00%

15.00%

20.00%

25.00%

0

50,000

100,000

150,000

200,000

2000 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ekspor UMKM (Milyar) %UMKM thd Ekspor Non-migas Nasional

9.45% 9.20% 9.25% 8.86% 9.49%

22.33% 22.53% 22.51% 22.70% 21.60%

68.22% 68.27% 68.24% 68.44% 68.91%

0%

25%

50%

75%

100%

2006 2007 2008 2009 2010

% Ekspor Usaha Mikro % Ekspor Usaha Kecil % Ekspor Usaha Menengah

Secara keseluruhan, kontribusi UMKM

terhadap ekspor non-migas nasional

secara relatif stabil pasca krisis 1997

sampai dengan 2008. Namun sejak tahun

2009, kontribusi UMKM sedikit menurun

dan mencapai 15.81% di tahun 2010.

Seperti halnya UMKM, Usaha Besar juga

mengalami penurunan pada periode ini.

Penurunan ini disebabkan adanya krisis

sub-prime mortgage yang berimbas pada

melemahnya perekonomian dunia dan

merosotnya harga-harga komoditas

ekspor. Rentannya kinerja ekspor

Grafik 15 : Trend Ekspor UMKM dan

kontribusinya thd Ekspor non-migas Nasional

Grafik 16 : Distribusi Ekspor UMKM

menurut Skala Usaha

-20.00%

-10.00%

0.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ekspor UMKM Ekspor Usaha Besar Ekspor Non-migas Nasional

Grafik 17 : Laju Pertumbuhan Ekspor

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Page 14: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

Indonesia terhadap shock di kondisi eksternal ini sesungguhnya tidak terlepas dari karakteristik komoditas

ekspor Indonesia yang meliputi (1) ketergantungan terhadap komoditas primer, (2) komoditas ekspor yang

kurang terdiversifikasi, dan (3) tingginya kandungan impor pada komoditas ekspor. Kondisi ini

menyebabkan kondisi ekspor Indonesia baik UMKM maupun Usaha Besar mengalami kontraksi pada tahun

2009. Ekspor UMKM dan Usaha Besar saat itu mengalami kontraksi masing-masing 8.85% dan 1.82%

(Grafik 17).

UMKM mengalami kontraksi yang cukup besar, ini dimungkinkan karena komoditas ekspor UMKM sendiri

sebagian besar mengandung bahan dasar alam yang sudah mengalami proses pengolahan untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi. Padahal ketika perekonomian global sedang berkontraksi, praktis

permintaan ekspor untuk konsumsi ini akan turun seiring menurunnya penghasilan luar negeri. Belum lagi,

pemberlakuan proteksi oleh negara luar terhadap produk konsumsi khususnya makanan dan minuman.

Selain itu, turunnya harga barang-

barang komoditas konsumsi juga ikut

memperparah kinerja ekspor UMKM.

Berdasarkan sektor ekonomi,

komoditas ekspor UMKM sebagian

besar berasal dari sektor industri

pengolahan (88.31%). Bahkan untuk

Usaha Menengah, 97.53% dari

kegiatan ekspornya bersumber dari

dari sektor ini. Sedangkan pada Usaha

Besar, kontribusi sektor ini terhadap

total ekspornya mencapai 72.24%.

Sedangkan sektor lainnya seperti

sektor Pertambangan, hanya didominasi oleh Perusahaan-perusahaan Skala besar (Grafik 18).

Pada sektor industri pengolahan, Komoditas ekspor UMKM didominasi oleh komoditas Makanan, Minuman

dan tembakau (22.59%) dan komoditas Pupuk, kimia dan barang dari karet (16.64%). Sedangkan Usaha

Besar lebih didominasi oleh komoditas Alat Angkutan Mesin dan Peralatannya (27.03%) dan komoditas

Pupuk, Kimia dan barang dari karet (20.78%). Sedangkan untuk komoditas makanan, minuman, dan

tembakau pada skala Usaha Besar hanya berkontribusi sebesar 15.31% (Tabel 5).

Industri Pengolahan Usaha Kecil Usaha Menengah UMKM Usaha Besar

Makanan, Minuman dan Tembakau 24.24% 22.26% 22.59% 15.31%

Tekstil, Brg Kulit dan Alas Kaki 16.15% 11.87% 12.60% 11.61%

Brg Kayu dan Hasil Hutan lainnya 19.88% 12.63% 13.86% 6.53%

Kertas dan Barang Cetakan 8.07% 7.28% 7.41% 6.33%

Pupuk, Kimia dan Brg dr Karet 21.04% 15.74% 16.64% 20.78%

Semen & Brg Galian bukan logam 4.06% 1.27% 1.74% 1.45%

Logam Dasar Besi dan Baja 0.00% 7.86% 6.53% 9.99%

Alat angkutan Mesin & Peralatannya 1.44% 16.65% 14.07% 27.03%

Barang lainnya 5.12% 4.44% 4.56% 0.99%

Total 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%

Grafik 18 : Distribusi Ekspor menurut Sektor Ekonomi dan Skala Usaha

Tabel 5 : Distribusi Komoditas Ekspor Industri Pengolahan menurut Skala Usaha

36.73%

1.67%10.36%

0.19%

60.35%

97.53%88.31%

72.24%

2.92% 0.80% 1.33%

27.56%

0%

25%

50%

75%

100%

Usaha Kecil Usaha Menengah UMKM Usaha Besar

Pertanian Industri Pengolahan Pertambangan

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Page 15: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

II.3.4. Peran UMKM terhadap Penyerapan Investasi Nasional

Perkembangan investasi (pembentukan modal tetap bruto) memberikan harapan yang cukup baik pada

UMKM. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah investasi UMKM setiap tahunnya dan besarnya daya

serap UMKM terhadap investasi nasional yang secara rata-rata mencapai 48.11% (Grafik 19). Pada tahun

2010, jumlah investasi yang diserap oleh UMKM mencapai 927 triliun dengan rata-rata tingkat investasi

yang diserap per unit usaha untuk skala Usaha Mikro mencapai 2 Juta, Usaha Kecil mencapai 400 Juta, dan

Usaha Menengah mencapai 7 Milyar. Dibandingkan dengan Usaha Besar dimana rata-rata tingkat investasi

yang diserap mencapai 135 Milyar per unit usaha, maka pengembangan UMKM hanya membutuhkan

tingkat investasi yang jauh lebih rendah, dengan konsekuensi akan memberikan kontribusi yang besar bagi

pembangunan ekonomi nasional (rata-rata share terhadap GDP nasional mencapai 57.56%).

Adapun Investasi yang diserap UMKM, sebagian besar diserap oleh Usaha Menengah (46.14%). Sedangkan

Usaha Mikro dan Kecil masing-masing menyerap Investasi UMKM sebesar 15.72% dan 38.14% (Grafik 20).

0.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

0

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Investasi pada UMKM (Milyar) %UMKM thd Investasi Nasional

15.24% 15.15% 16.08% 15.86% 16.26%

39.13% 39.47% 38.20% 36.90% 37.00%

45.63% 45.38% 45.72% 47.24% 46.73%

0%

25%

50%

75%

100%

2006 2007 2008 2009 2010

% INV pada Usaha Mikro % INV pada Usaha Kecil % INV pada Usaha Menengah

Berdasarkan tingkat pertumbuhan

investasi, pada periode 2004-2007

praktis daya serap investasi UMKM

tumbuh lebih tinggi dibandingkan

pertumbuhan investasi nasional yang

kala itu mencapai rata-rata 29.40%.

Sedangkan daya serap investasi Usaha

Besar hanya tumbuh 23.08%. Namun,

pada tahun 2008 terjadi kondisi

sebaliknya, dimana daya serap investasi

UMKM hanya mencapai 31.22%

sedangkan investasi Usaha Besar dan

nasional masing-masing tumbuh 50.69%

dan 40.47% (Grafik 21). Pada tahun

2009, pasca krisis sub-prime mortgage

Grafik 19 : Trend Investasi UMKM dan kontribusinya thd

Total Investasi Nasional

Grafik 20 : Distribusi Investasi UMKM

menurut Skala Usaha

0.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

70.00%

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Investasi pada UMKM Investasi pada Usaha Besar Investasi Nasional

Grafik 21 : Laju Pertumbuhan Investasi

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Sumber : BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Page 16: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

pertumbuhan investasi di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini karena krisis tersebut telah memicu

penurunan kepemilikan investor asing di pasar modal, karena ada kesulitan likuiditas di pasar global

sehingga memaksa mereka untuk menarik dananya (deleveraging) dari Indonesia. Selain itu, penurunan ini

juga diduga kuat didorong oleh perilaku risk aversion dari investor yang kemudian memicu terjadinya flight

to quality dari aset yang dipandang berisiko ke aset yang lebih aman. Selain itu dampak tidak langsung dari

sisi finansial akibat krisis ini adalah munculnya hambatan terhadap ketersediaan pembiayaan ekonomi, baik

yang bersumber dari perbankan, lembaga keuangan lain maupun pihak-pihak lainnya (Bank Indonesia,

2009). Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan investasi nasional turun menjadi 30.45% pada tahun 2009

dan 21.08% pada tahun 2010. Selama periode 2009 dan 2010, pertumbuhan investasi UMKM dan Usaha

Besar mengalami penurunan (Grafik 21). Pada akhir tahun 2011, indonesia memperoleh pencapaian yang

luar biasa, yaitu naiknya peringkat investasi Indonesia menjadi Investment Grade oleh Lembaga

Pemeringkat Kredit Internasional Fitch Ratings dan Moody‟s. Sebuah pencapaian yang luar biasa setelah

peringkat yang sama diperoleh pada tahun 1997, yaitu saat krisis ekonomi Asia. Kondisi ini diharapkan

akan menarik kembali minat investor pada berbagai sektor di Indonesia setelah perekonomian dunia

dihantam dua krisis berturut-turut yaitu Sub-prime mortgage US dan European Sovereign Debt.

Berdasarkan sektor ekonomi, daya serap investasi sebagian besar terjadi pada sektor usaha yang bergerak

pada produk tersier yaitu Jasa Keuangan dan lainnya, Pengangkutan dan telekomunikasi, dan

Perdagangan, restoran dan Hotel. Ketiga sektor ini mendominasi daya serap investasi baik pada Usaha

Mikro, Kecil, Menengah maupun Besar (Grafik 22). Sedangkan Industri Pengolahan mendapatkan porsi

yang kecil walaupun sektor ini mendominasi produk ekspor Indonesia.

6.53% 7.41% 7.02%1.82% 4.22%

3.39%12.12%

8.22%13.31% 10.96%1.44%

2.94%2.27%

18.83%11.17%16.37%

16.16%16.25%

6.56%11.04%

28.60%

23.07%25.54%

17.39% 21.16%

43.68%38.30% 40.70% 42.09% 41.45%

0%

25%

50%

75%

100%

Usaha Kecil

(Inc Mikro)

Usaha

Menengah

UMKM Usaha Besar INVESTASI

NASIONAL

Jasa Keuangan dan lainnya

Pengangkutan dan Telekomunikasi

Perdagangan, Restoran, dan Hotel

Pertambangan, Listrik, Air, dan Bgn

Industri Pengolahan

Pertanian

Walaupun tenaga kerja dan unit usaha sebagian besar terkonsentrasi pada sektor pertanian, namun sektor

ini kurang menarik bagi investor dalam menanamkan modalnya di sektor ini. Ada beberapa hal yang

menjadi penyebab ketidaktertarikan ini, yaitu :

1. Sektor pertanian memiliki risiko dan ketidakpastian yang sangat tinggi dibandingkan sektor lain.

2. Masih minimnya sarana pendukung yang tersedia seperti Irigasi, infrastruktur, dll.

Grafik 22 : Distribusi Investasi menurut Sektor Ekonomi dan Skala Usaha

Sumber : BPS dan Kementerian Negara

Koperasi dan UKM 2010 (diolah)

Page 17: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

3. Masih sulitnya birokrasi yang ada apabila hendak mendirikan usaha pertanian yang memiliki skala

ekonomi yang cukup besar.

4. Masih tidak stabilnya iklim politik khususnya pada beberapa komoditi pertanian yang menjadi komoditas

politik.

5. Masih maraknya pungutan-pungutan liar sehingga semakin meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan.

II.4. Analisa UMKM berdasarkan Pendekatan SWOT Analysis

II.4.1. Kekuatan (Strength)

Berdasarkan berbagai peran UMKM diatas, menunjukkan bahwa UMKM memiliki peranan yang signifikan

terhadap proses pembangunan Indonesia baik masa krisis maupun pasca krisis ekonomi 1997 sampai

dengan saat ini. Berdasarkan Data BPS dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2011, diketahui bahwa

jumlah pelaku usaha UMKM saat ini mencapai 55.2 Juta unit usaha atau 99.99% dari seluruh pelaku

ekonomi nasional. Keberadaan UMKM dengan jumlah yang cukup besar dengan tingkat pertumbuhan

2.41% setiap tahunnya dan menyebar hingga kepelosok daerah, merupakan kekuatan ekonomi yang

sesungguhnya dalam stuktur pelaku ekonomi nasional.

Dari sisi tingkat daya serap tenaga kerja, UMKM mampu menyerap hingga 97.24% dari total tenaga kerja

nasional. Rata-rata daya serap UMKM mencapai 3-5 tenaga kerja per unit usaha. Sehingga dengan

pertumbuhan yang positif setiap tahunnya, UMKM dapat menyerap tenaga kerja cukup besar sehingga

dapat menjamin stabilitas pasar tenaga kerja, penekanan pengangguran, menurunkan angka kemiskinan,

dan menjadi wahana bangkitnya wirausaha baru, serta tumbuhnya wirausaha nasional yang tangguh dan

mandiri.

Sedangkan dilihat dari perannya terhadap PDB Nasional, UMKM berkontribusi rata-rata 56.67% dari PDB

Nasional. PDB UMKM menunjukkan pertumbuhan positif pasca krisis ekonomi 1997 dan bergerak dengan

kecepatan yang sama dengan PDB Nasional. Bahkan laju pertumbuhan UMKM pernah berada diatas laju

PDB Nasional pada periode 2004-2007. Sebagian besar PDB UMKM disumbangkan oleh Usaha Mikro

dengan rata-rata kontribusi mencapai 58% setiap tahunnya. Dengan melihat kondisi ini, PDB UMKM

merupakan sandaran bagi produktifitas nasional.

Disisi ekspor non-migas nasional, rata-rata kontribusi UMKM mencapai 18.12%. Dengan besar kontribusi ini

setidaknya UMKM telah menjadi penguat ekspor non-migas nasional. Total ekspor UMKM terus bertumbuh

dengan rata-rata pertumbuhan 13.94%. Adanya peran UMKM dalam sektor ekspor, merupakan bukti

kemampuan dan daya saing produk UMKM di pasar persaingan internasional, sekaligus merupakan potensi

yang perlu terus dipelihara untuk menjaga kesinambungan perdagangan internasional dan meraih devisa

lebih besar.

Terakhir adalah dari sisi daya serap investasi (pembentuk modal tetap bruto), UMKM mampu menyerap

48.11% dari total investasi nasional. Sebagian besar Investasi UMKM ini diserap oleh Usaha Menengah

(46.14%), sedangkan Usaha Mikro dan Kecil menyerap masing-masing 15.72% dan 38.14%. Adapun Rata-

rata pertumbuhan investasi di sektor UMKM mencapai 32.77% setiap tahunnya, bahkan pada periode

2004-2007 pertumbuhan investasi UMKM melebihi pertumbuhan investasi Usaha Besar maupun Nasional.

Dengan tingkat investasi ini, dibandingkan dengan Usaha Besar, maka pengembangan UMKM hanya

Page 18: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

membutuhkan tingkat investasi yang jauh lebih rendah, dengan konsekuensi akan memberikan kontribusi

yang besar bagi pembangunan ekonomi nasional.

Dengan melihat berbagai peranan UMKM terhadap pembangunan ekonomi diatas, membuktikan bahwa

UMKM merupakan katup pengaman, dinamisator, dan stabilisator perekonomian Indonesia serta sudah

teruji kekuatan dan kehandalannya ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997 dan krisis

ekonomi dunia seperti Sub-prime mortgage US dan European Sovereign Debt.

II.4.2. Kelemahan (Weakness)

Dari Total unit usaha sebesar 55.21 Juta unit terdapat 99.91% atau 55.16 Juta unit usaha merupakan

Usaha Mikro dan Kecil, dengan skala usaha yang tidak ekonomis. Dengan bentuk badan usaha perorangan,

kebanyakan usaha ini dikelola secara tertutup, dengan legalitas usaha dan administrasi kelembagaan yang

sangat tidak memadai. Bahkan pada Usaha Mikro, sebagian besar pelaku usaha di sektor ini termasuk

dalam kelompok keluarga miskin, berpenghasilan rendah, bergerak di sektor informal (tidak memiliki ijin

usaha), dan umumnya belum mengenal perbankan dan lebih sering berhubungan dengan

rentenir/tengkulak.

Selain itu, UMKM juga menghadapi persoalan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kebanyakan SDM

UMKM berpendidikan rendah dengan keahlian teknis, kompetensi, kewirausahaan dan manajemen yang

seadanya. Masalah klasik lain yang dihadapi adalah terbatasnya akses kepada sumber daya produktif,

terutama terhadap bahan baku, permodalan, teknologi, sarana pemasaran serta informasi pasar.

Sedangkan dalam hal pendanaan, UMKM memiliki permasalahan karena modal sendiri yang terbatas,

tingkat pendapatan rendah, aset jaminan dan administrasi tidak memenuhi persyaratan perbankan. Bahkan

bagi Usaha Mikro dan Kecil sering kali terjerat rentenir atau tengkulak dan kurang tersentuh oleh lembaga

pembiayaan (unbankable). Berdasarkan data Bank Indonesia, kredit yang disalurkan oleh Perbankan ke

sektor UMKM sebagian besar masih terserap oleh Usaha Kecil dan Menengah. Sedangkan Usaha Mikro

hanya menyerap dibawah 20% dari total kredit UMKM (Grafik 23). Kredit ini sebagian besar disalurkan

pada sektor tersier yaitu Sektor Perdagangan, Restoran, dan Hotel dan Sektor Jasa Keuangan dan lainnya

(Grafik 24). Padahal, mayoritas pelaku usaha UMKM terkonsentrasi pada Sektor Pertanian.

18.79% 19.21% 19.78%

35.73% 31.98% 32.10%

45.48% 48.81% 48.11%

0%

25%

50%

75%

100%

2010 2011 May-12

Mikro Kecil Menengah

Pertanian

6.50%

Industri

Pengolahan

11.40%

Pertambangan,

Listrik, Air, dan

Bgn6.42%

Perdagangan,

Restoran, dan

Hotel46.37%

Pengangkutan

dan

Telekomunikasi3.94%

Jasa Keuangan

dan lainnya

25.36%

Grafik 23 : Distribusi Kredit UMKM menurut Skala Usaha Grafik 24 : Distribusi Kredit UMKM menurut

Sektor Ekonomi

Sumber : Bank Indonesia (diolah)

Page 19: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

Adapun berkaitan dengan akses teknologi, umumnya UMKM mengunakan teknologi sederhana dan kurang

memanfaatkan teknologi yang lebih memberikan nilai tambah. UMKM juga sulit untuk memanfaatkan

informasi pengembangan produk dan usahanya. Dalam upaya pemberdayaannya, UMKM menghadapi

adanya ketimpangan dalam penguasaan sumber daya produktif baik antar pelaku usaha, antar daerah

maupun antara pusat dan daerah.

Berbagai kondisi diatas, telah berakibat pada rendahnya tingkat produktivitas dan daya saing produk

UMKM. Terlebih lagi UMKM tidak memiliki jaringan pasar dan pemasaran yang luas. Kebanyakan dari

mereka hanya memiliki akses pasar di tingkat lokal, atau yang paling maju mereka dapat melakukan sedikit

ekspor melalui Usaha Menengah dan Besar yang berlaku sebagai perantara.

II.4.3. Peluang (Opportunity)

Setelah satu setengah dekade pasca krisis ekonomi 1997, kondisi perekonomian sudah menunjukkan

perbaikan bahkan pertumbuhan ekonomi indonesia dapat tumbuh diatas angka 6% dengan stabilitas yang

tetap terjaga dengan baik. Kondisi ini memberikan peluang sangat lebar bagi UMKM untuk tumbuh apalagi

kondisi perekonomian Indonesia ditopang oleh stabilitas politik dan keamanan yang relatif aman dan

terjaga. Dengan demikian diharapkan akan makin meningkatkan daya beli dan keanekaragaman pola

permintaan masyarakat, serta jumlah penduduk yang sangat besar, berarti pasar dalam negeri akan

berkembang lebih besar. Selain itu, UMKM dapat didorong menjadi motor penggerak perekonomian

nasional, mengingat kandungan impornya yang rendah, dan keterkaitan antar sektor yang relatif tinggi.

UMKM umumnya bergerak di sektor padat karya yang memerlukan investasi relatif rendah dan lag waktu

yang singkat, sehingga upaya untuk mendorong pertumbuhannya menjadi relatif lebih mudah dan lebih

cepat.

Berbagai potensi tersebut akan terus dapat dikembangkan karena ditopang dengan tersedianya jumlah

penduduk sebagai tenaga kerja yang potensial. Terlebih dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah telah

menetapkan arah pembangunan dengan penekanan pada pendidikan yang diharapkan semakin Link and

match dengan tantangan persaingan tenaga kerja dan penciptaan wirausaha baru. Selebihnya

pengembangan UMKM dapat terus dilakukan karena alam Indonesia mengandung kekayaan yang tiada tara

dan tersedianya keragaman bahan baku bagi produk inovatif.

Seiring prospek pengembangan kedepan, adanya perubahan struktur pelaku ekonomi dari pertanian ke

agrobisnis, diharapkan akan dapat memacu dan meningkatan produktivitas usaha dan investasi bagi usaha

UMKM. Kondisi ini diharapkan akan memacu peluang bagi usaha UMKM terutama di bidang agrobisnis,

agroindustri, kerajinan industri, dan industri-industri lainnya sebagai pelaku sub-kontraktor yang kuat dan

efisien bagi usaha besar.

Berlakunya perdagangan bebas, serta makin pesatnya kerjasama ekonomi antar negara terutama dalam

konteks ASEAN dan APEC, akan menciptakan peluang baru bagi UMKM, sehingga dapat meningkatkan

peranannya sebagai penggerak utama pertumbuhan industri manufaktur dan kerajinan, agroindustri,

ekspor non migas, dan penciptaan lapangan kerja baru.

Page 20: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

II.4.4. Ancaman (Threat)

Walaupun perdagangan bebas akan menciptakan peluang penggerak utama pertumbuhan ekonomi

nasional, namun perdagangan bebas yang ditandai dengan berlakunya Asean Free Trade Area (AFTA) dan

ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada tahun 2010, juga dapat menjadi ancaman, karena

asimetris dalam penguasaan pasar dan rendahnya daya saing produk UMKM di pasar internasional. Produk

UMKM dalam negeri akan semakin terhimpit dengan masuk dan beredarnya produk impor ditambah dengan

berkembangnya bisnis retail oleh Usaha Besar akan memberikan tekanan persaingan pada produk UMKM.

Namun demikian, walaupun Usaha Besar memberikan ancaman, perlu disadari bahwa keberadaannya

dapat menjadi mitra penting dalam pengembangan ekonomi rakyat. Bersama Usaha Besar, UMKM dapat

mengembangkan kerjasama seperti pengembangan kemitraan dan jaringan pasar bersama, tempat

magang, alih teknologi, pendampingan dan advokasi serta CSR (Corporate Social Responsibility) dengan

menekankan pada bentuk kerjasama yang saling membutuhkan, menguntungkan, dan membesarkan.

Sementara disisi lain, peningkatan kapasitas usaha UMKM terbentur oleh masalah pendanaan dimana

produk jasa lembaga keuangan sebagian besar masih berupa kredit konsumsi dan modal kerja (bersifat

jangka pendek). Menurut data Bank Indonesia, rata-rata kredit investasi hanya mencapai 10% dari total

kredit yang disalurkan ke UMKM, sisanya merupakan kredit konsumsi dan modal kerja (Grafik 25).

Kondisi ini akan mempersulit upaya

peningkatan kapasitas usaha termasuk

dalam rangka pengembangan produk-

produk yang berdaya saing. Disamping

itu, bunga pinjaman juga masih

dianggap terlalu tinggi, dan persyaratan

pinjaman juga tidak mudah dipenuhi,

seperti persyaratan nilai jaminan yang

jauh lebih tinggi dari nilai pinjaman

meskipun usahanya layak. Dunia

perbankan sebagai sumber pendanaan

terbesar masih memandang bahwa

usaha UMKM merupakan jenis usaha

yang beresiko tinggi.

Selain masalah diatas, masalah lain adalah iklim usaha yang kurang kondusif diantaranya (a) ketidakpastian

dan ketidakjelasan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya proses

perizinan, dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi; (b) proses bisnis dan persaingan usaha yang tidak

sehat; dan (c) lemahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan UMKM. Di samping itu, otonomi

daerah sebagai implimentasi UU No.22 tahun 1999 yang diharapkan mampu mempercepat tumbuhnya

iklim usaha yang kondusif bagi UMKM, temyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Sejumlah

daerah telah mengidentifikasi peraturan-peraturan yang menghambat, sekaligus berusaha mengurangi

dampak negatif yang ditimbulkan, bahkan telah meningkatkan pelayanan kepada UMKM dengan

mengembangkan pelayanan satu atap. Namun, masih terdapat daerah lain yang memandang UMKM

sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru yang tidak perlu,

sehingga biaya usaha UMKM meningkat.

44.79% 40.19% 39.03% 37.87% 38.11% 37.11% 35.99%

13.04%9.31% 8.55% 8.65% 9.13% 10.18% 10.54%

42.17%50.50% 52.42% 53.48% 52.76% 52.71% 53.47%

0%

25%

50%

75%

100%

2001 2005 2008 2009 2010 2011 May-12

Modal Kerja Investasi Konsumsi

Grafik 25 : Distribusi Kredit UMKM menurut Jenis Penggunaan

Sumber : Bank Indonesia (diolah)

Page 21: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

II.5. Upaya untuk Pengembangan UMKM ke depan

Pengembangan UMKM pada hakekatnya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan

masyarakat. Berdasarkan hasil analisa SWOT diatas, maka upaya pengembangan UMKM kedepan adalah :

1. Menciptakan Iklim Usaha yang Kondusif

Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan mengusahakan

ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan

pajak dan sebagainya.

2. Bantuan Permodalan

Pemerintah perlu memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi

UMKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal,

sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura.

3. Perlindungan Usaha

Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan ekonomi

lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun

peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan.

4. Pengembangan Kemitraan

Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antara UMKM, atau antara UMKM dengan

pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli

dalam usaha. Disamping itu juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih

efisien. Dengan demikian UMKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis

lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.

5. Pelatihan

Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UMKM baik dalam aspek kewiraswastaan, manajemen,

administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya dalam pengembangan usahanya.

6. Memperkuat Asosiasi

Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya antara lain dalam

pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi

anggotanya.

7. Mendirikan sentra usaha di masing-masing daerah/wilayah.

Perlu dibangun sentra usaha yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan semua kegiatan yang

berkaitan dengan upaya penumbuhkembangan UMKM di tingkat daerah atau wilayah dan juga

berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal

yang dihadapi oleh UMKM.

8. Mengembangkan Promosi

Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar diperlukan media khusus

dalam upaya mempromosikan produk-produk yang dihasilkan. Disamping itu perlu juga diadakan talk

show antara asosiasi dengan mitra usahanya.

Page 22: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

III. KESIMPULAN

Berdasarkan data-data yang sudah dipaparkan, UMKM memiliki peran yang strategis dalam pembangunan

ekonomi nasional dilihat dari (1) Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai

sektor, (2) Penyedia lapangan kerja yang terbesar, (3) Pemain penting dalam pengembangan kegiatan

ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat, (4) Pencipta pasar baru dengan tingkat Investasi rendah

namun berkontribusi tinggi terhadap output nasional, dan (5) Sumbangannya dalam menjaga neraca

pembayaran melalui kegiatan ekspor. Berdasarkan Peran tersebut telah membuktikan bahwa UMKM

merupakan katup pengaman, dinamisator, stabilisator perekonomian Indonesia dan sudah teruji kekuatan

dan kehandalannya ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997 dan krisis ekonomi dunia

seperti Sub-prime mortgage US dan European Sovereign Debt.

UMKM yang umumnya berbasis pada sumber daya ekonomi lokal dan tidak bergantung pada impor, serta

hasilnya mampu diekspor karena keunikannya, maka pembangunan UMKM diyakini akan memperkuat

pondasi perekonomian nasional. Perekonomian Indonesia akan memiliki fundamental yang kuat jika UMKM

telah menjadi pelaku utama yang produktif dan berdaya saing. Untuk itu, pembangunan UMKM perlu

menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi nasional dalam jangka panjang.

Namun, dalam pembangunan UMKM ke depan tentunya tidak berjalan dengan mulus karena masih

banyaknya hambatan dan tantangan yang harus segera diselesaikan, dan ini bukan saja menjadi pekerjaan

rumah pemerintah melainkan membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. Berbagai permasalahan

tersebut adalah rendahnya kualitas SDM, lemah dalam memperoleh pasar & memperluas pasar, lemah

dalam permodalan, keterbatasan jaringan usaha, iklim usaha yang tidak kondusif, penggunaan teknologi

yang sederhana, dan kewirausahaan dan manajemen yang seadanya. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya

tingkat produktivitas dan daya saing produk UMKM.

Melalui analisis SWOT, penulis mencoba mengidentifikasi berbagai permasalahan UMKM saat ini dan di

masa datang dan disisi lain menggali potensi dan kekuatan yang dimiliki oleh UMKM sendiri. Berdasarkan

hasil analisis, penulis dengan bertumpu pada kajian-kajian UMKM sebelumnya mencoba membangun

upaya-upaya apa saja yang dibutuhkan dalam membangun UMKM ke depan dengan harapan UMKM ini

kelak menjadi kekuatan ekonomi yang produktif, memiliki nilai tambah, dan mampu bersaing baik di pasar

domestik maupun internasional seiring mulai diberlakukannya perdagangan bebas kawasan seperti AFTA

dan ACFTA.

Page 23: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik (2007). Statistik Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2005-2006.

2. ________________ (2008). Perkembangan Indikator Makro UKM No.28/05/Th XI.

3. Bank Indonesia (1999). Laporan Tahunan 1998/1999.

4. ____________ (2000). Laporan Tahunan 2000.

5. ____________ (2009). Laporan Tahunan 2009.

6. ____________(2009). Hasil Kajian kredit Konsumsi Mikro, Kecil dan Menengah untuk kegiatan

Produktif.

7. ____________ (2012). Laporan Perkembangan Kredit UMKM Triwulan I.

8. ____________ (2012). Statistik Perbankan Indonesia Vol.10 No.4.

9. Deputi Bidang Pengkajian Sumber daya UMKM – DepKop & UKM (2006). Jurnal Pengkajian Koperasi

dan UKM No. 2 Tahun I.

10. Gemari (2008). Kredit Pundi dan Krista : Siap Atasi Krisis Global Edisi 94/Tahun IX

11. Gerai Info (2011). Newsletter Bank Indonesia Edisi XIII Tahun 2.

12. Hafsah, M. J. (2004), “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM),“ Infokop No. 25

Tahun XX

13. Kementerian Koperasi dan UKM (2010). Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah Republik Indonesia Tahun 2010-2014 No. 01/Per/M.KUKMII/2010.

14. __________________________ (2011). Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM)

dan Usaha Besar (UB) tahun 2006-2011.

15. Partomo, T.S. (2004), “Usaha Kecil Menengah dan Koperasi,” Working Paper Series 9.

16. Rafinaldy, N. (2006), “Memeta Potensi dan Karakteristik UMKM Bagi Penumbuhan Usaha Baru,”

Infokop No. 29 Tahun XXII.

17. Syarif, T. (2008), “Pendekatan dan Strategi Pembangunan Ekonomi yang Berorientasi pada Perbaikan

Iklim Usaha UMKM,” Infokop Volume 16, 37-50.

18. Suarja, W. (2007), “Kebijakan Pemberdayaan UKM dan Koperasi Guna Menggerakkan Ekonomi Rakyat

dan Menanggulangi Kemiskinan,” LPPM IPB-Bogor

19. Suhanto (2012). Pemberdayaan UMKM dan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri.

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

20. Todara, M. P. dan Smith, S. C. (2006). Pembangunan Ekonomi Jilid I-II. Edisi 9. Penerbit Erlangga.

21. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

22. Winantuningtyastiti (2009), “Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Melalui Strategi Pengembangan

Usaha Menengah, Kecil dan Mikro : Harapan Penopang Dampak Krisis Ekonomi Global”, Kajian 14 (1).

23. WorldBank (2005). Indonesia Policy Briefs : Mendukung Usaha Kecil dan Menengah.

http://www.worldbank.or.id