Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
USM
PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURATYANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas
Dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan
Program Studi S1.Ilmu Hukum
Oleh
Nama :Umi Fathekah.
Nim :A.111.12.0005.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
TAHUN 2016
i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul : “PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN
SURAT YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL
INDONESIA MILITER (TNI)”. Yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana hukum di Universitas Semarang.
Skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak berupa
dorongan yang sangat berharga bagi penulis. Untuk itu melalui kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan banyak terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Prof. Dr. H. Pahlawansjah Harahap, S.E., M.E., selaku Rektor Universitas Semarang.
2. Ibu B. Rini Heryanti, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarnag.
3. Ibu Endah Pujiastuti, S.H., M.H., selaku Ketua Program S1 Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Semarang.
4. Ibu Ani Triwati, S.H.,M.H., selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini.
5. Ibu Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen, beserta staf dan karyawan di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Semarang.
7. Kedua orang tuaku tercinta yang telah memberikan dukungan penuh sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
8. Kakakku tersayang yang telah memberikan dukungan penuh sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
v
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang
orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari Ayat-ayat kami
kecuali orang-orang yang zalim.
(Qs.Al-Ankabut : 49)
Kupersembahkan skripsi ini untuk :
1. Allah SWT
2. Keluargaku tercinta
3. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Semarang angkatan 2012
4. Almamaterku Tercinta
vii
ABSTRAK
Pada kenyataannya meskipun banyak peraturan yang mengatur mengenai kejahatan
pemalsuan dan dengan ancaman yang cukup berat, masih banyak anggota masyarakat
termasuk anggota TNI yang memalsukan surat demi tujuan tertentu. Peneliti mengangkat dua
permasalahan yaitu bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan
surat yang dilakukan oleh anggota TNI dan bagaimanakah pertimbangan hakim militer dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh
anggota TNIdengan studi kasus Putusan Nomor 28-K / PM.II-10 / AD / VII / 2015 di
Pengadilan Militer II-10 Semarang. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskritif analitis,
metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Pemidanaan terhadap pelaku
tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI dengan studi kasus Putusan
Nomor 28-K / PM.II-10 / AD / VII / 2015 di Pengadilan Militer II-10 Semarang. Pemidanaan
didasarkan pada dakwaan Oditur Militer II-10 Semarang yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP,
pembuktian dalam perkara ini ada 3 (tiga) alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan
Terdakwa GWA, dan3 (tiga) surat-surat. Pada intinya Oditur Militer menuntut terdakwa
pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan. Putusan Pengadilan Militer II-10 Semarang mengadili
Terdakwa GWA dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.Pertimbangan hakim militer
dalam menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa GWA meliputi hal yang memberatkan yaitu
perbuatan Terdakwa GWA bertentangan dengan sumpah prajurit ketiga yaitu tunduk kepada
hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan karena menyuruh memasukan keterangan
palsu kepada pejabat yang berwenang demi memenuhi keinginan Terdakwa GWA untuk
menceraikan istri Terdakwa. Sebelum perkara ini Terdakwa GWA telah di pidana penjara
selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan selama 5 (lima) bulan dalam perkara
menelantarkan keluarga sesuai Putusan Pengadilan Nomor : 14-K/PM II-10/AD/IV/2014,
yang meringankan Terdakwa GWA adalah bahwa Terdakwa GWA mengakui berterus terang
mengakui perbuatan yang dilakukannya dan tidak berbelit-belit sehingga memperlancar
jalannya persidangan.
Kata kunci : pemidanaan, anggota militer, pemalsuan surat
viii
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN .....................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................................ii
HALAMAN PENGUJIAN ....................................................................................................iii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .........................................................................................vi
ABSTRAK .............................................................................................................................vii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................viii
BAB IPENDAHULUAN ......................................................................................................1
A. Latar Belakang Penelitian ..................................................................................1
B. Perumusan Masalah ............................................................................................4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................................5
D. Sistematika Penulisan .........................................................................................6
BAB IITINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................8
A. Tinjauan tentang Tindak Pidana .........................................................................8
1. Pengertian Tindak Pidana ...........................................................................8
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana ...........................................................................11
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana .......................................................................14
4. Tindak Pidana Pemalsuan Surat..................................................................15
B. Tinjauan tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ..........................................17
1. Pengertian Tentara Nasional Indonesia ......................................................17
2. Peran, Tugas dan Fungsi TNI .....................................................................19
3. Tinjauan tentang Sistem Peradilan Militer .................................................20
4. Kode Etik Tentara Nasional Indonesia .......................................................25
BAB IIIMETODE PENELITIAN ......................................................................................29
A. Metode Pendekatan ............................................................................................29
ix
B. Spesifikasi Penelitian .........................................................................................30
C. Metode Penentuan Sampel .................................................................................30
D. Metode Pengumpulan Data ................................................................................31
E. Metode Analisis Data .........................................................................................32
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................................34
A. Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat
yangdilakukan oleh Anggota TNI berdasarakan Putusan Nomor: 28-
K/PM.II-10/AD / 2015 di Pengadilan Militer II-10 Semarang ..........................34
B. Pertimbangan Hakim Militer dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Pelaku
Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang dilakukan oleh Anggota TNI
berdasarkan Putusan Nomor : 28-K / PM.II-10 / AD / 2015 di Pengadilan
Militer II-10 Semarang ......................................................................................46
BAB VPENUTUP.................................................................................................................52
A. Simpulan .............................................................................................................52
B. Saran ...................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Sebagai
negara yang berdasarkan atas hukum, sudah menjadi kewajiban bersama untuk
menegakkan hukum di segala bidang kehidupan masyarakat. Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan “Setiap
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib
menjunjung hukum pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dengan adanya
Pasal 27 ayat (1) tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia memperlakukan
sama semua orang di mata hukum (equality before the law)tanpa mengenal suku,
ras, agama, jabatan dan lain-lain.
Untuk menegakan hukum di Indonesia, diperlukan peraturan hukum,
diantaranya berupa undang-undang. Undang-undang berfungsi sebagai pengatur
tingkah laku masyarakat sehingga tidak berbuat sesuatu yang dapat merugikan
anggota masyarakat lainnya. Tindak kriminal semakin marak terjadi dengan
berbagai macam modus, sehingga dibutuhkan penegak hukum yang berkompeten
dan objektif.
2
Di Indonesia kejahatan dan pelanggaran secara umum telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dibagi menjadi 3 buku,Buku
Kesatu mengenai ketentuan umum, Buku Kedua mengatur mengenai kejahatan dan
Buku Ketiga mengatur mengenai pelanggaran. KUHP dirasa masih kurang lengkap
dalam membahas mengenai ketentuan umum, kejahatan dan pelanggaran. Dengan
kurang lengkapnya KUHP maka dibuatlah undang-undang khusus yang mengatur
mengenai kejahatan atau pelanggaran yang belum secara khusus dibahas dalam
KUHP.
Tidak seimbangnya antara tenaga kerja dan lapangan pekerjaan, maka angka
kejahatan semakin meningkat. Kejahatan dapat meresahkan dan merugikan, baik
bagi individu, masyarakat ataupun negara. Pelaku tindak kejahatan tidak hanya
masyarakat umum saja tetapi ada pula anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Salah satu contoh tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI adalah pemalsuan
surat.
Hukum pidana Indonesia masih mengacu pada KUHP, pemalsuan surat
merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur di KUHP,dalam buku
kedua mengenai kejahatan. Bab XII pada buku tersebut menjelaskan bahwa yang
termasuk dalam pemalsuan surat hanyalah yang berupa tulisan-tulisan saja,
termasuk didalamnya pemalsuan tanda tangan yang diatur dalam Pasal 263 KUHP
sampai dengan Pasal 276 KUHP.Tindak pidana pemalsuan surat sebagian
diantaranya dengan modus membuat surat palsu atau memalsukan surat
3
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP. Rumusan Pasal 263 KUHP
menyebutkan :
1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapatmenerbitkan atau menimbulkan suatu hak, suatu perikatan atau suatupembebasan hutang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagisuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh oranglain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli adanya, maka kalaumempergunakan surat itu dapat mendatangkan suatu kerugian karenapemalsuan surat dan diancam dengan hukuman penjara paling lama enamtahun.2. Diancam dengan hukuman yang sama, barang siapa dengan sengajamemakai surat yang isinya tidak benar seolah-olah surat itu asli dan tidakdipalsukan, kalau mempergunakannya menimbulkan atau mendatangkansuatu kerugian.
Kemudian bentuk/model lainnya berupa memalsukan akta-akta otentik
sebagaimana diatur dalam Pasal 264. Rumusan pemalsuan surat selanjutnya pada
Pasal 264 KUHP, sebagai berikut :
1. Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapantahun, jika dilakukan terhadap :
a) Akta-akta otentik;b) Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga hukum ;c) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu
perkumpulan , yayasan, perseorangan atau maskapai ;d) Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagaipengganti surat-surat itu ;
e) Suatu kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.2. Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakaisurat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yangdipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itumenimbulkan kerugian.
4
Bentuk kejahatan pemalsuan surat yang paling sering digunakan adalah
menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik yang mana diatur
dalam KUHP pada Pasal 266. Rumusan pemalsuan surat yang terdapat pada Pasal
266 KUHP sebagai berikut :
1) Barang siapa menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu aktaotentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh aktaitu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain Memakaiakta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jikapemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara palinglama tujuh tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakaisurat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yangdipalsukan seolah-olah benar dantidak palsu, jika pemalsuan surat itudapat menimbulkan kerugian.
Pada kenyataannya meskipun banyak regulasi yang mengatur mengenai
kejahatan pemalsuan dan dengan ancaman yang cukup berat, masih banyak anggota
masyarakat termasuk anggota TNI yang memalsukan surat demi tujuan tertentu.
Salah satu contoh pemalsuan surat oleh anggota TNI yang terjadi di wilayah hukum
Pengadilan Militer Semarang dengan no perkara 28-K/PM.II-10/AD/VII/2015.
Pentingnya dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI.
Berdasarkan latar belakang diatas , maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PEMALSUAN SURAT YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA
TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)”
5
B. Perumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang penelitian sebagaimana telah diuraikan diatas,
dalam penelitian ini pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut
dirumuskan sebagai berikut :
1) Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat
yang dilakukan oleh anggota TNI dengan studi kasus Putusan Nomor 28-
K/PM.II-10/AD/VII/2015 di Pengadilan Militer II-10 Semarang?
2) Bagaimanakah pertimbangan hakim militer dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota
TNI dengan studi kasus Putusan Nomor 28-K / PM.II-10 / AD / VII / 2015 di
Pengadilan Militer II-10 Semarang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan
surat yang dilakukan oleh anggota TNI dengan studi kasus di Pengadilan
Militer II-10 Semarang.
b) Untuk mengetahui pertimbangan hakim militer dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota
TNI dengan studi kasus di Pengadilan Militer II-10 Semarang.
2. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis.
6
a. Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk menambah wawasan, yang diharapkan dapat memberikan
masukan bagi perkembangan hukum pidana khususnya di bidang hukum
pidana militer.
b. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan :
1) Sebagai bahan kajian dan masukan bagi semua komponen, baik
lembaga eksekutif, lembaga legislatif, maupun lembaga yudikatif yang
menyangkut tentang pemidanaan pelaku tindak pidana pemalsuan surat
yang dilakukan oleh anggota militer.
2) Sebagai bahan kajian dan masukan bagi aparat penegak hukum
khususnya bagi anggotaTNI.
D. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan dalam memahmi keseluruhan dari isi skripsi ini,
maka penulis susun dalam bentuk bab per bab yang terdiri atas lima bab, yaitu:
BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan pustaka, terdiri dari tinjauan tindak pidana meliputi pengertian
tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana,
tindak pidana pemalsuan surat. Dilanjutkan dengan tinjauan tentang
Tentara Nasional Indonesia (TNI) uraiannya meliputi pengertian
7
Tentara Nasional Indonesia (TNI), peran, fungsi dan tugas TNI, serta
tinjauan tentang sistem peradilan militer, dan kode etik TNI.
BAB III : Metode penelitian, terdiri dari metode pendekatan, spesifikasi
penelitian, metode penentuan sampel, sumber dan jenis data, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data.
BAB IV : Hasil penelitian dan pembahasan, meliputi pemidanaan terhadap pelaku
tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI
dengan studikasusdi Pengadilan II-10 Semarang, dan pertimbangan
hakim militer dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak
pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI dengan studi
kasus di Pengadilan Militer II-10 Semarang.
BAB V : Bab penutup, yang berisi tentang simpulan dari penulisan skripsi ini dan
saran-saran yang dapat diberikan tarhadap permasalahan yang dihadapi
dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana
pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang TindakPidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Seperti kita ketahui sumber hukum pidana di Indonesia secara umum
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),sedangkan dalam
KUHP tidak terdapat mengenai pengertian atau penjelasan mengenai tindak
pidana. Tindak pidana dalam ilmu hukum pidana saling erat kaitannya karena
merupakan bagian yang pokok dan penting selain kesalahan dan pidana. Akan
tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan para ahli hukum pidana mengenai
pengertian tindak pidana. Para ahli hukum pidana menggolongkan pidana menjadi
dua golongan yaitu aliran monistis dan aliran dualistis.
Aliran monitis adalah aliran yang melihat kecenderungan syaratuntuk adanya pidana itu, kesemuanya merupakan sifat dari perbuatanatau dengan kata lain tidak memisahkan antara perbuatan pidana(criminal act) dengan pertanggung jawaban pidana (criminalresponsibility). Sedangkan aliran dualistis adalah aliran yangmemisahkan antara pengertian pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal resposibility).1
Istilah tindak pidana atau heit strafbaar feit dalam ilmu hukum memiliki
banyak pengertian maupun terjemahan–terjemahan yang bermakna serupa.
1 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto FH Undip, 1990), halaman 40.
9
Terjemahan atau tafsiran tersebut diantaranya ada yang menyebutkan tindak pidana
(delik) sebagai perbuatan yang dapat atau boleh dihukum.2
Sebenarnya strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belandayang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan berbagai artidiantaranya yaitu delik, tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwapidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata strafbaar feitterdiri dari tiga suku kata yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilahyang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu ternyatastraf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan Baarditerjemahkan dengan artian dapat atau boleh, sedangkan untuk katafeit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran danperbuatan.3
Simons ,menyatakan bahwa strafbaar feit adalah suatu handeling
(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seorang yang mampu bertanggung jawab.4 Selanjutnya Van Hattum juga
berpendapat bahwa “Strafbaar feit adalah tindakan yang karena telah melakukan
tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat di hukum”.5 Kedua ahli
tersebut sependapat dengan merujuk penggunaan istilah tindak pidana dalam
merumuskan strafbaar feit.
Moeljatno tidak menggunakan istilah tindak pidana, tetapi menggunakan
kata perbuatan pidana, yang merumuskan bahwa perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar
2SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Storia Grafika, 2002), halaman 204.3Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag I, (Jakarta : Grafindo, 2002), halaman 69.4S.R. Sianturi, Op.Cit., halaman 205.5P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Sinar Baru, 1990),
halaman 175.
10
larangan tersebut. Menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan ini adalah
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan ini juga merugikan
masyarakat, dalam arti bertentangan atau menghambat akan terlaksananya tata
dalam masyarakat dianggap baik dan adil.6
Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana adalah perbuatan yangbertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki. Perbuatanpidana hanya menunjukan sifatnya perbuatan yang terlarang. Menurutpandangan tradisional pengertian perbuatan pidana mencakup isi sifatdari perbuatan yang terlarang dan kesalahan terdakwa.7
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Utrecht yang memberikan definisi
serta menganjurkan pemakaian istilah “peristiwa pidana” untuk menterjemahkan
istilah strafbaar feit tersebut. Menurut beliau pemakaian istilah peristiwa pidana
sudah tepat karena meliputi suatu perbuatan (handelen) ataupun suatu kelalaian
(zerzuim).8
Tindak pidana (delik) atau strafbaar feit pada dasarnya adalah perbuatan
yang melawan hukum yang berlaku. Perbuatan melawan hukum itu dapat
merugikan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan istilah-istilah dan pengertian tindak
pidana (delik) atau strafbaar feit tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
perbedaan-perbedaan istilah seperti ini hanya menyangkut terminologi bahasa yang
6Moeljatno, Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Subjektif sebagai Dasar Dakwaan, (Jakarta :Sinar Grafika, 1996), halaman 28.
7Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, (Jakarta : Aksara Baru,1981), halaman 9.
8SR.Sianturi, Op.Cit., halaman 207.
11
ada serta untuk menunjukan tindakan hukum apa saja yang terkandung
didalamnya.9
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Berikut adalah klasifikasi tindak pidana yaitu :
a) Kejahatan dan pelanggaran;
Dalam KUHP telah ada klasifikasi tindak pidana (delik), yang mana
klasifikasi itu dibagi menjadi dua bagian yaitu di dalam Buku Kedua
mengenai kejahatan dan Buku Ketiga mengenai pelanggaran. Yang mana di
dalam Buku Kedua dan Ketiga tersebut dibagi lagi menjadi beberapa bab.
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict ataudelik hukum dan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delikundang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yangdirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan sepertipembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan sebagainya.Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang telahditentukan di dalam undang-undang, misalnya saja keharusan untukmempunyai SIM (Surat Izin Mengemudi) bagi yang mengendaraisepeda motor, disini tidak ada kaitannya dengan masalah keadilan.10
b) Delik formal dan delik materiil;
Delik formal adalah delik yang mengacu pada perbuatan yang telah
diatur di dalam undang-undang, sehingga pelaku sudah dapat dipidana
terlepas apakah sudah atau belum ada akibatnya, misalnya adalah tindak
9Roeslan Saleh, Perbuatan dan Pertanggung jawaban Pidana, (Jakarta : Aksara Baru cetakan ke3, 1997) halaman 20.
10Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), halaman 56.
12
pidana (penghasutan) Pasal 160 KUHP, (sumpah palsu)Pasal 242 KUHP.
Delik materiil adalah delik yang titik beratnya pada akibat yang dilarang,
delik ini dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, maksudnya adalah
pelaku baru dapat dipidana apabila perbuatannya tersebut menimbulkan
akibat yang dilarang atau hasil perbuatannya dikehendaki sesuai rencana
pelaku, misalnya Pasal 338KUHP (pembunuhan) dan Pasal 187 KUHP
(pembakaran) .
c) Delik Dolus dan Delik Culpa ;
Delik dolus dan delik culpa pada dasarnya sama-sama merupakan
bentuk kesalahan (schuld). Delik dolus adalah delik yang didalam
perumusannya memuat unsur kesengajaan, maksudnya adalah pelaku dengan
sadar telah merencanakan tindak pidana itu dan mengetahui akibat yang
timbul jika melakukannya. Sebagai contoh untuk delik dolus Pasal 187
KUHP (menimbulkan kebakaran) dan Pasal 338 KUHP (pembunuhan),
sedangkan delik culpa adalah delik yang didalam perumusannya tidak
memuat unsur kesengajaan. Pelaku tidak sengaja atau karena kealpaanya
merugikan orang lain misalnya Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP.
d) Delik Commissionis, Delik Omissionis dan Delik Coomissionis per
Omissionis Commissa ;
Pelanggaran hukum itu dapat berbentuk berbuat sesuatu yang
dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya malah
13
diharuskan/diwajibkan. Delik commissionis adalah suatu delik atau tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan cara berbuat sesuatu yang
dilarang oleh undang-undang. Delik ini berupa pelanggaran terhadap
larangan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dalam undang-undang
pidana misalnya Pasal 285 KUHP (pemerkosaan). Delik Ommissionis
adalah suatu delik atau tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan
cara berbuat sesuatu sehingga timbul kejahatan yang melanggar undang-
undang. Delik ini berupa pelanggaran terhadap perintah atau kewajiban
untuk melakukan sesuatu perbuatan yang diatur dalam undang-undang.
Contoh delik ommissionis Pasal 217 KUHP (membuat kegaduhan di
persidangan) Pasal 224 KUHP (panggilan sebagai saksi/juru bahasa). Delik
Coomissionis per Omssionis Commissa adalah delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan yang dilakukan dengan tidak berbuat
sesuatu. Contoh delik ommissionis adalah ibu yang dengan sengaja tidak
memberikan air susunya kepada bayinya sehingga mengakibatkan bayinya
meninggal, penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api karena
tidak memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP).
e) Delik aduan dan Delik Biasa.
Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya
hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang
berkepentingan/pihak yang dirugikan, contohnya adalah perzinaan dan
pemerasan. Delik aduan sendiri dibedakan menjadi dua yaitu delik aduan
14
relatif dan delik aduan absolute. Delik aduan absolute adalah delik aduan
yang atas sifatnya hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan, contohnya
adalah kejahatan penghinaan (Pasal 310 sampai 319 KUHP). Delik aduan
relatif adalah delik aduan yang bercirikan adanya hubungan khusus antara
pelaku dengan korban. Contoh delik aduan relatif pencurian dalam keluarga
Pasal 367 KUHP, sedangkan delik biasa adalah delik yang dapat diproses
tanpa adanya persetujuan atau laporan dari pihak yang dirugikan atau pihak
korban. Dalam delik biasa walaupun pihak korban telah berdamai dengan
pihak tersangka proses hukum tetap saja berjalan berbeda halnya dengan
delik aduan.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana diperlukan untuk membantu mengetahui ada
tidaknya suatu tindak pidana. Sebagaimana diketahui belum ada kesepakatan
mengenai pengertian tindak pidana oleh para ahli hukum, sehingga tiap ahli hukum
pidana menafsirkan berbeda, begitu pula dengan unsur-unsur tindak pidana. Para
ahli hukum mengemukakan pendapatnya masing-masing mengenai unsur tindak
pidana. Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbuatan pidana.
Lamintang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana menjadi tiga pokok yakni
wederrechtjek(melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan sengaja
ataupun dengan tidak sengaja) dan strafbaar (dapat dihukum).11
11Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana indonesia,(Bandung : Sinar Baru , 1992), halaman173.
15
Christhine dan Cansil mengemukakan pendapatnya mengenai unsur
tindak pidana. Christhine dan Cansil merumuskan bahwa pokok-pokok perbuatan
pidana selain harus melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan
Handeling (perbuatan manusia), strafbaar gesteld (diancam dengan pidana),
toerekeningsvatbaar (dilakukam oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab)
dan adanya schuld (kesalahan).12
Dari beberapa pendapat para ahli diatas, penulis menyimpulkan bahwa
unsur-unsur tindak pidana pada dasarnya hampir sama semua yaitu :
a. Perbuatan manusia (handeling)
b. Melanggar hukum (wederrechtjek)
c. Diancam dengan pidana (strafbaar feit)
d. Dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan(toerekeningsvatbaar)
4. Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Tindak pidana pemalsuan surat adalah tindak pidana yang mana
didalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek)
yang mana dengan tujuan seolah-olah itu nampak benar adanya, padahal
sebenarnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Dalam ketentuan KUHP
dikenal beberapa bentuk jenis (modus) dalam memalsukan surat.
12Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta : Pradnya Paramita ,2007).Halaman 38.
16
Bentuk modus dalam memalsukan surat antara lain di dalam Pasal263 ayat (1) menyebutkan barang siapa membuat secara tidak benar ataumemalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan ataupembebasan hutang atau yang diperuntukan sebagai bukti dari suatu hal,dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surattersebut seolah olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jikapemakaiannya tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuansurat, dengan di penjara paling lama enam tahum. Dengan kata lain agardapat dihukum maka pada waktu memalsukan surat itu harus denganmaksud akan menggunakannya atau menyuruh orang lain menggunakanseolah-olah surat itu asli dan dapat menimbulkan kerugian. Tindak pidanapada Pasal 263 ayat (1) dinamakan kualifikasi pemalsuan surat (valschheidin geschrift).13
Dengan demikian sesuai bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHP tidak setiap
pemalsuan surat dapat dijatuhi pidana, menurut Wirjono Prodjodikoro dalam
pembatasan yaitu dibatasi dua macam surat :
a) Surat yang dapat menertibkan suatu hak atau suatu perikatan atau suatupembebasan hutang.Surat yang dimaksudkan ialah surat perjanjian atau surat kontrak sepertisurat jual beli, sewa menyewa, surat pinjaman uang dan lain-lain. Inisemua mengandung timbulnya hak –hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.
b) Surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu tindakan .Surat ini harus ditujukan untuk membuktikan sesuatu kejadian dan suratini harus ada kekuatan pembuktian (bewijskracht).14
Penulis menyimpulkan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 263 ayat (1) KUHP
meliputi:
a) Unsur objektif
1. Perbuatan
1) Membuat surat palsu
13“Pemalsuan Surat”(http://daragina.blogspot.co.id/2014/11/pemalsuan-surat-valschheid-in-geschrift.html. diaksestanggal 24 November 2014).
14Wirjono Prodjokuro, Tindak Pidana Tertentu, (Bandung : Refka Aditama, 2002), halaman 184.
17
2) Memalsu
2. Objeknya yakni surat :
1) Yang dapat menimbulkan hak
2) Yang menimbulkan suatu perikatan
3) Yang menimbulkan suatu pembebasan hutang
4) Yang diperuntukan sebagai bukti dari pada sesuatu hal.
3. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tertentu.
b) Unsur Subyektif
Dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang seolah-olah asli
dan tidak dipalsukan.
Adapun penjelasan terhadap Pasal 263 ayat (1) KUHP yang dimaksud
dengan surat adalah segala surat yang baik ditulis tangan, dicetak maupun ditulis
memakai mesin dan lain-lainnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin maju sekarang ini, surat tidak hanya ditulis, dicetak dan lainnya,
tetapi telah ada pula surat elektronik yang tidak ditulis atau tertera pada selembar
kertas.
B. Tinjauan tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)
1. Pengertian Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian dari masyarakat
umum yang telah dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas
pembelaan negara dan bangsa serta memiliki peran dan fungsi sebagai mana telah
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang
18
Tentara Nasional Indonesia. Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No.34
Tahun 2004,Tentara Nasional Indonesia adalah prajurit yang telah dipersiapkan
dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman
militer maupun ancaman bersenjata, sehingga dapat menegakkan kedaulatan
negara, mempertahankan keutuhan negara, dan melindungi keselamatan bangsa.
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia No 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia, TNI terdiri atas TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan
Laut, TNI Angkatan Udara yang melaksanakan tugasnya secara matra dan
gabungan di bawah pimpinan panglima. Tiap-tiap angkatan tersebut mempunyai
kedudukan yang sama sederajat. Untuk menjadi anggota TNI haruslah yang
mempenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang dan diangkat
oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang TNI. Undang-Undang Tentara
Nasional Indonesia Pasal 2 menyebutkan jati diri Tentara Nasional Indonesia:
a. Tentara Rakyat yaitu Tentara yang anggotanya berasal dari warganegara Indonesia.
b. Tentara Pejuang yaitu tentara yang menegakan Negara KesatuanRepublik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalammelaksanakan dan menyelesaikan tugasnya.
c. Tentara Nasional yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugasdemi kepentingan negara diatas kepentingan daerah, suku, ras dangolongan agama.
d. Tentara profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik,diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dandijamin kesejahteraanya, serta mengikuti kebijakan politik negarayang menganut prinsip demokrasi, supermasi sipil, hak asasi manusia,ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telahdiratifikasi.
19
Anggota TNI harus dan wajib untuk mematuhi peraturan dan tata tertib
yang berlaku, serta taat pada atasan selain itu anggota TNI harus menjaga nama
baik ketentaraan dan kesatuannya.
2. Peran, Tugas dan Fungsi TNI
Tentara Nasional Indonesia prajurit yang terlatih diharapkan dapat
menjaga kedaulatan NKRI. Peran TNI dirasa sangat dibutuhkan karena TNI
berperan sebagai alat negara dibidang pertahanan yang dalam menjalankan
tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara sesuai dengan Pasal
5 Undang-Undang TNI. Maksud arti dari kebijakan dan keputusan politik negara
adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Adapun tugas pokok dari TNI adalah sebagaimana diatur pada Pasal 7 UU
TNI :
Tugas pokok TNI adalah menegakan kedaulatan Negara,mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesiayang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruhtumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhanbangsa dan negara.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang TNI
pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa TNI sebagai alat pertahanan dan
keamanan negara, berfungsi sebagai :
20
a) Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancamanbersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan,keutuhan wilayah, keselamatan bangsa.
b) Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksudpada ayat (1) huruf a.
Peran, tugas dan fungsi TNI yang sangat sentral haruslah ditunjang oleh
prajurit yang berkualitas. Prajurit yang dimaksud adalah prajurit yang bermoral
serta tunduk pada hukum dalam TNI, prajurit di kelompokan dalam golongan
kepangkatan dan kesatuan yang mana sebagai anggota TNI telah diberi wewenang
dan tanggug jawab sesuai undang-undang.
3. Tinjauan tentang Sistem Peradilan Militer.
a. Pengertian sistem peradilan militer.
Pengertian hukum pidana militer tidak dapat dipisahkan dari hukummiliter itu sendiri. Berdasarkan tata hukum di Indonesia tidakditemukannya kualifikasi atas hukum militer karena di Indonesia hanyadikenal Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Akantetapi bukan karena tidak ditemukannya kualifikasi hukum militer berartitidak ada peraturan mengenai peradilan militer, justru malah sebaliknyabanyak produk hukum yang mengatur mengenai militer atau peradilanmiliter itu sendiri baik berupa Konstitusi, UU, TAP MPR/MPRS, Perpu,UU Darurat, Keppres, Inpres, Peraturan Penguasa tertinggi, DekritPresiden, dan Penetapan Presiden.15
Banyaknya jumlah peraturan di bidang kemiliteran di Indonesia
merupakan kekhususan tersendiri. Peraturan-peraturan yang bersifat khusus hanya
berlaku bagi militer, inilah yang disebut hukum militer. S. Sianturi membagi 3
15Hasan Ashari, “Kewenangan Penyidikan Terhadap tindak Pidana Pembunuhan Oleh AnggotaTNI di Pengadilan Militer II-10 Semarang”, Skripsi, UniversitasSemarang 2012.
21
katagori konstruksi hukum pidana militer, yakni landasan hukum, sumber hukum
formal dan cakupan hukum:
Landasan hukum militer di Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945,Sapta Marga, sumpah prajurit dan doktrin militer Indonesia (CaturDarma Eka Karma, Doktrin Opskamdagri, Doktrin Opshan, dll):sementara sumber-sumber hukum formal lainnya adalah UUD, UU, danperaturan lainnya, adat dan kebiasaan-kebiasaan (custom dan usage),perjanjian-perjanjian internasional, putusan hakim, dan doktrin militer diIndonesia. Sedangkan cakupannya meliputi hukum disiplin militer,hukum pidana militer, hukum acara pidana militer, hukum kepenjaraanmiliter, hukum pemerintahan militer atau hukum Tatanegara (darurat)militer, hukum administrasi militer, hukum internasional (hukumperang)/hukum sengketa bersenjata dan hukum perdata militer.16
Ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi setiap anggota TNI yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya disebut KUHPM),
Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (selanjutnya disebut KUHDM) dan
Peraturan Displin Milter (selanjutnya disebut PDM) serta peraturan-peraturan
lainnya. Semua peraturan hukum diterapkan kepada Tamtama, Bintara maupun
Perwira yang melakukan suatu tindakan yang merugikan negara, kesatuan ataupun
yang merugikan masyarakat.
Apabila ada anggota TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak
pidana umum maupun tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM
dapat diadili oleh Peradilan Militer. Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan bahwa peradilan
militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan
16S.R Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta : Alumni, cetakan kedua, 1985),halaman 3.
22
bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan
kepentingan penyelenggara pertahanan keamanan negara.Undang-Undang No.34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya pada Pasal 65 ayat (2)
menyatakan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal
pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dalam undang-undang.
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer yang merupakan badan
pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata secara
organisasi dan administratif berada di bawah pembinaan panglimaTNI. Pembinaan
tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 disebutkan
macam-macam pengadilan dalam lingkungan peradilan milter, yaitu :
1. Pengadilan Militer
Pengadilan militer bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara
pidana pada tingkat pertama dengan satu orang hakim ketua dan dua orang hakim
anggota, dan dihadiri oleh satu orang oditur militer dan dibantu oleh satu panitera.
Hakim ketua paling rendah berpangkat Mayor, sedangkan hakim anggota dan
Oditur militer paling rendah berpangkat Kapten dan Panitera paling rendah
berpangkat Pembantu letnan Dua (Pelda) dan paling tinggi berpangkat kapten.
23
Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1997 tentang kekuasaan Pengadilan Militer adalah memeriksa dan memutus
padatingkat pertama tindak pidana yang terdakwanya adalah:
a) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;b) Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan
huruf c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” kaptenkebawah : dan
c) Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili olehPengadilan Militer.
2. Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara
pidana pada tingkat banding dengan satu orang hakim ketua dan dua orang hakim
anggota, dan dihadiri oleh satu orang Oditur Militer dan dibantu oleh satu orang
Panitera. Hakim ketua paling rendah berpangkat kolonel, sedangkan hakim
anggota dan Oditur Militer paling rendah berpangkat setingkat dengan terdakwa.
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi diatur dalam Pasal 41 ayat (1),(2) dan
(3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer adalah sebagai berikut:
(1) Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama :a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah:
1) prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat mayor ke atas ;2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b
dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanyatermasuk tingkat kepangkatan mayor keatas dan;
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadilioleh pengadilan militer tinggi
b. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata UsahaAngkatan Bersenjata.
24
(2) Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkatbanding perkara pidana yang telah diputus oleh pengadilan militerdaerah hukumnya yang dimintakan banding
(3) Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhirsengketa kewenangan mengadili antara pengadilan militer dalam daerahhukumnya.
3. Pengadilan Militer Utama
Pengadilan militer utama bersidang untuk memeriksa dan memutus
sengketa, dengan majelis hakim yang terdiri satu orang hakim ketua dan dua
orang hakim anggota, dan dibantu oleh satu orang panitera. Hakim ketua paling
rendah berpangkat Brigadir Jendral/Laksamana Pertama atau Marsekal
Pertama, sedangkan hakim anggota paling rendah berpangkat Kolonel.
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama diatur dalam Pasal 43ayat (1), (2)
dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer sebagai berikut:
(1) pengadilan militer utama memutus pada tingkat pertama dan terakhirsemua sengketa tentang wewenang mengadili ;
a. antar pengadilan militer yang berkedudukan di daerah hukumpengadilan militer tinggi yang berlainan;
b. antar pengadilan militer tinggi ; danc. antara pengadilan militer tinggi dan pengadilan militer.
(2) sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi :
a. apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinyaberwenang mengadili atas perkara yang sama ;
b. apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidakberwenang mengadili perkara yang sama
(3) pengadilan militer utama memutus perbedaan pendapat antara perwirapenyerah perkara dan oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu
25
perkara kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ataupengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
4. Pengadilan Militer Pertempuran.
Pengadilan Militer pertempuran merupakan pengadilan tingkat pertama
dan terakhir dalam mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di
daerah pertempuran, yang merupakan pengkhususan (diferensiasi atau
spesialisasi) dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Pengadilan
ini merupakan organisasi kerangka yang baru berfungsi apabila diperlukan dan
disertai pengisian pejabatnya diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No.31
Tahun 1997.
Pengadilan Militer Pertempuran bersidang untuk memeriksa dan
memutus suatu perkara pidana dengan seorang hakim ketua dan beberapa
hakim anggota yang berjumlah ganjil, dihadiri satu oditur militer/oditur militer
tinggi dan dibantu oleh seorang panitera. Hakim ketua paling rendah
berpangkat Letnan Kolonel sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah
berpangkat Mayor.
4. Kode Etik Tentara Nasional Indonesia (TNI)
a. Pengertian Kode Etik.
Kode etik merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu
kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma
26
sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka
termasuk dalam kategori norma hukum yang didasari kesusilaan.
Kode etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda
pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik
merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku dan
berbudaya. Tujuan kode etik agar profesionalisme memberikan jasa sebaik-
baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi
perbuatan yang tidak professional.17 Kode etik sendiri disusun oleh organisasi
profesi sehingga masing-masing dari profesi mempunyai kode etik tersendiri
termasuk TNI.
b. Fungsi Kode Etik.
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai
perlindungan dan pengembangan bagi profesi yang lebih mementingkan pada
kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas professional dan pedoman bagi
masyarakat sebagai seorang professional. Menurut Biggs dan Blocher
mengemukakan tiga fungsi kode etikyaitu:
1. Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah. Dengan adanyakode etik yang jelas terlebih khusus dalam rangka mengatur hubunganantara anggota profesi dengan pihak pemerintah akan memberikankejelasan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak bolehdilakukan.
2. Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi. Denganadanya kode etik hal ini akan memberikan kejelasan tentang caramenjalin hubungan yang baik dengan rekan sejawat yang tentunya akan
17“kodeetik”(https://id.m.wikipedia.org/wiki/kode-etik-profesidiaksestanggal 17 desember2015).
27
sangat mempengaruhi peforma dari masing-masing anggota profesi untukbekerja dengan maksimal tanpa adanya perasaan iri atau ketidaksukaandalam bekerja.
3. Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi. Hal iniberkaitan dengan hasil kerja oleh praktisi dalam suatu profesi, dengankode etik tentunya para anggota profesi yang bijaksana tidak akanmemberikan kemudahandan penyelewengan tindakan bekerja, yangnantinya hanya akan merugikan bagi dirinya sendiri dan perusahaan.Selain itu, hal tersebut juga akan memberikan penggambaran lebih baikkepada setiap anggota profesi untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan sekecil apapun itu dalam bekerja.18
Adapun kesimpulan secara umum fungsi kode etik profesi adalah:
1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip
profesionalitas yang digariskan.
2. Sebagai sarana control social bagi masyarakat atas profesi yang
bersangkutan.
3. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang
hubungan etika dalam keanggotaan profesi.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas melaksanakan kebijakan
pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keurtuhan wilayah, dan melindungi bangsanya. Dalam menjalankan tugasnya
angota TNI mempunyai regulasi khusus mengenai kode etik TNI yang terdiri
atas Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan 8 Wajib TNI.
18“FungsiKodeEtik’(http://bayudwiristanto.blogspot.co.id/2015/03/etika-dan-kode-etik-fungsi-kode-etik.html. diaksestanggal03maret 2015).
28
a. Sapta Marga Prajurit.
1. Kami warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yangberpendidikan Pancasila.
2. Kami patriot Indonesia pendukung serta pembela ideologi negara,yang bertanggung jawab dan tidak kenal menyerah.
3. Kami ksatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
4. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah bhayangkari negaradan bangsa Indonesia.
5. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin,patut dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dankehormatan prajurit.
6. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakankeperwiraan di dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sediaberbakti kepada negara dan bangsa.
7. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia setia dan menepati janjiserta Sumpah Prajurit.
b. Sumpah Prajurit
1. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkanPancasila dn Undang-Undang Dasar 1945.
2. Tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.3. Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan.4. Menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab
kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia.5. Memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya.
c. 8 Wajib TNI.
1. Bersikap ramah tamah tehadap rakyat.2. Bersikap sopan santun terhadao rakyat.3. Menjunjung tinggi kehormatan wanita,.4. Menjaga kehormatan diri di muka umum.5. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannnya.6. Tidak sekali-kali merugikan rakyat.7. Tidak sekali menakuti dan menyakiti hati rakyat.8. Menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi
kesulitan rakyat sekelilingnya.19
19Kodeetik”(www.tniad.mil.id)
29
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu
masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan
tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Jadi metode
penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian. Dalam
penelitian Skripsi ini penulis menggunakan metode penulisan sebagai berikut:
A. Metode Pendekatan
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.20
Pendekatan hukum normatif (yuridis normatif)biasa disebut juga sebagai
penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum yang mempergunakan
sumber data sekunder.21
20Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif ( Jakarta : Raja GrafindoPersada, 1990 ), halaman 13.
21 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurimentri, (Jakarta: GhalliaIndonesia, 1994), halaman 10.
30
B. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yaitu
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan obyek
penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya. Bersifat deskriptif karena penelitian ini mempunyai
maksud untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI .
C. Metode Penentuan Sampel
Sampel adalah sebagian individu atau wakil populasi yang teliti
berdasarkan pada asumsi bahwa sumber informan tersebut memahami
permasalahan penelitian yang telah di tetapkan.22
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Non
Random Sampling, dimana dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa
sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Teknik
Non Random Sampling ini dilakukan dengan cara purposive sampling,dimana
penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel
dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan
pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi
22Suharmi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,1998), halaman 109.
31
kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama
dari populasinya.23
Sampel yang di pilih dalam penelitian ini adalah beberapa kasus tindak
pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota militer dalam satu tahun
terakhir, dengan ketentuan bahwa tindak pidana pemalsuan surat yang
dilakukan oleh anggota TNI tersebut sudah di putuskan oleh pengadilan dan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Selanjutnya, pihak yang
menjadi responden dalam penelitian ini diantaranya satu orang Hakim Militer,
satu orang Oditur Militer, dan satu orang Panitera, yang dapat dimintai
keterangannya tentang pemidanaan terhadap anggota militer yang melakukan
tindak pidana pemalsuan surat di Pengadilan Militer II-10 Semarang.
D. Metode Pengumpulan Data
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum
terarah pada data sekunder dan data primer. Data primer adalah data yang
diperoleh langsung dari sumbernya, sedangkan data sekunder adalah data yang
telah dikumpulkan dan disistematisir oleh pihak lain.24 Karena penelitian ini
yuridis normatif maka sumber dan jenis datanya terfokus pada data sekunder
yang meliputi bahan-bahan hukum yang menjadi pijakan dasar peneliti dalam
rangka menjawab permasalahan dan tujuan penelitian. Bahan-bahan hukum ini
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
23Ibid.24Soemitro, op.cit., halaman 9.
32
a. Bahan hukum primer, yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI.
4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
5. Peraturan perundangan dan peraturan pemerintah yang berkaitan
dengan Hukum Pidana Militer Indonesia.:
b. Bahan hukum sekunder, yaitu:
1. Buku-buku, literatur, artikel, makalah, dan tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan pemalsuan surat.
c. Bahan Hukum tersier, yaitu:
Ensiklopedi. Kamus, jurnal hukum, media masa, dan lain-lain sebagai
penunjang.
Berkaitan dengan penelitian yuridis normatif yang peneliti ajukan maka
metode pengumpulan data bersandar pada data sekunder yaitu dengan cara
studi pustaka, studi dokumenter, dan masalah-masalah hukum yang telah
dibukukan.
E. Metode Analisis Data
Metode ini tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan masalah, spesifikasi
penelitian dan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yang dilakukan.
Pada penelitian yuridis normatif ini teknik analisis datanya bersifat analisis
33
data kualitatif normatif. Analisis kualitatif yaitu analisa yang bersifat non
statistik atau non sistematis. Data yang diperoleh akan dianalisa isinya dengan
menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum, pendapat ahli dan peraturan
perundang-undangan yang ada.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan
oleh anggota TNI berdasarkan Putusan Nomor : 28-K / PM.II-10 / VII / AD
2015 di Pengdilan Militer II-10 Semarang.
Untuk mengetahui pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan
surat, peneliti mendapatkan putusan di Pengadilan Militer II-10 Semarang. Pada
tahun 2015 diadakan sidang pemeriksaan kasus pemalsuan surat yang dilakukan
oleh oknum anggota TNI kesatuan Yonif 400/ Raider atas nama Prajurit Kepala
(Praka) GWA.
Terdakwa GWA diajukan di persidangan Pengadilan Militer II-10 Semarang
karena didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu melakukan pemalsuan surat dengan
kronologi kejadian sebagai berikut :
a. Bahwa terdakwa GWA pada tanggal 3 September 2007 menikah secara
sah menurut agama dengan MR (Saksi 1) yang mana pernikahan itu
dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Taman Kab. Pemalang
sesuai kutipan akta nikah Nomor 122/28/IX/2007 melalui kesatuan Yonif
400/ Raider dan telah dikaruniai seorang anak DA umur 6 tahun.
b. Pada tahun 2008 sampai 24 Mei 2012 atas permintaan Ketua Koni Kab.
Semarang terdakwa GWA beserta 3 orang lainnya Serda MK, Serda CR,
Kopda ST mendapat perintah dari Danyonif untuk memperkuat tim
Forki Kab. Semarang dalam rangka mengikuti kejuaraan karate Propinsi
35
Jawa Tengah Terdakwa GWA pindah domisili di Kab. Semarang.
Kemudian pada tanggal 6 November 2012 setelah kejuaraan selesai
terdakwa pindah dari Kabupaten Semarang ke Kota Semarang dengan
alamat Yonif 400/ Raider Rt. 03 Rw.006 Kelurahan Srondol Kulon
Kecamatan Banyumanik tercatat di Disdukcatpil Kota Semarang dengan
berstatus belum kawin.
c. Bahwa pada tahun 2009 Terdakwa GWA mengetahui bila MR (Saksi 1)
kembali memeluk agamanya semula yaitu Kristen Protestan, sehingga
terdakwa melaporkan kejadian tersebut kepada Dan Yonif 400/ Raider
Mayor Inf Feri Irawan dan meminta ijin untuk pergi ke Pemalang untuk
menjemput Saksi 1 dan anaknya sekaligus mengurus domisili ke kota
Semarang dengan tujuan agar bisa memudahkan Terdakwa GWA untuk
membimbing anaknya belajar agama Islam, akan tetapi Saksi 1 menolak
ajakan Terdakwa GWA. Terdakwa GWA melaporkan kejadian itu ke
Danyonif 400/ Raider kemudian memanggil kedua belah pihak untuk
menyatukan keutuhan rumah tangganya namun tak pernah menemukan
titik temu sehingga kedua belah pihak sepakat untuk melakukan
perceraian. Danyonif 400/ Raider akhirnya menyetujui perceraian itu dan
mengeluarkan Surat Ijin Cerai Nomor : SIC/1/VI/2013 tanggal 27 Juni
2013, dan akhir bulan juni 2013 terdakwa pergi menemui Saksi 1 di
Pemalang untuk meminta Akta Nikah Terdakwa EL dan Saksi 1 guna
36
melengkapi persyaratan permohonan gugatan cerai namun Saksi 1 tidak
memberikannya.
d. Pada tanggal 3 Juli 2013 Terdakwa GWA menemui AA (Saksi 2) untuk
meminta bantuan menguruskan duplikat akta nikah selanjutnya atas
permintaan tersebut pada hari itu juga membuat laporan kehilangan akta
nikah Terdakwa EL ke Polsek Taman Polres Pemalang Nomor Pol :
LK/354/VII/12013/ Sek Taman. Berdasarkan laporan kehilangan tersebut
kemudian KUA Kec. Taman mengeluarkan Duplikat akta nikah Nomor :
KK. 11.27.11. PW. 01/436/2013 tanggal 3 Juli 2013 a.n Terdakwa Praka
GWA dan Sdri. MR. Kemudian oleh terdakwa duplikat itu digunakan
sebagai kelengkapan administrasi guna mendaftarkan permohonan
perceraian di Pengadilan Agama Pemalang yang tercatat dalam Register
Perkara Nomor : 1900/Pdt.G/2013/PA. Pml tanggal 4 Juli 2013.
e. Pada tanggal 16 Januari 2014 berdasarkan putusan Pengadilan Agama
Pemalang Nomor 1900/Pdt.G12013/PA. Pml yang amar putusannya
menyatakan mengabulkan permohonan cerai Terdakwa GWA dengan
Saksi 1, atas putusan tersebut Saksi 1 mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi Agama Semarang. Kemudian pada tanggal 25 Agustus 2014
sesuai salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor :
164/Pdt. G./2014/PTA. Smg menguatkan putusan Pengadilan Agama
Pemalang tersebut dan menghukum terdakwa membayar Mut’ah sebesar
Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) kepada Saksi 1, memberi biaya
37
pengasuhan anaknya sebesar Rp. 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah) setiap bulannya sampai anaknya umur 21 tahun dan menetapkan
hak asuh anak jatuh ke Saksi 1.
f. Sepengetahuan Saksi 1 untuk mengajukan persyaratan permohonan
gugatan cerai Terdakwa GWA telah memalsukan dokumen berupa status
perkawinan di E-KTP Nomor NIK : 3374131601810006 milik Terdakwa
GWA dari sudah kawin menjadi belum kawin dan surat ijin cerai dari
Danyonif 400/ Raider yang belum tercantum nomor register namun
sudah di tanda tangani oleh Danyonif 400/ Raider serta Duplikat akta
nikah yang dikeluarkan dari KUA Kec. Taman Kab. Pemalang Nomor :
KK.11.27 PW . 01/436/2013 tanggal 3 Juli 2013, sehingga pada tanggal
12 Januari 2015 Saksi 1 melaporkannya ke Pomdam IV/Diponegoro.
Dalam kasus ini Terdakwa GWA didakwa dengan dakwaan tunggal,
Terdakwa GWA didakwa telah melanggar Pasal 266 ayat (1) KUHP. Dalam
persidangan dengan Terdakwa GWA, pembuktian dari keterangan saksi-saksi
sebagai berikut:
1. Saksi 1 : MR (Mantan istri terdakwa)
2. Saksi 2 : AZ (Teman terdakwa)
3. Saksi 3 : WW (Pegawai Disdukcaptil terdakwa)
38
Selain alat bukti dari kesaksian para saksi, juga didapati alat bukti berupa
barang dan surat sebagai berikut:
1. E-KTPNIK. 3374313 1601810006 atas nama GWA
2. Duplikat Akta Nikah Nomor KK/11.2711PW01/436/2013
tanggal 3 Juli 2013
3. Akta Nikah Nomor 1225/28/IX/2007 tanggal 03 September
2007 atas nama GWA dan MR.
4. Surat ijin Cerai danYonif 400/Raider NomorSIC/1/VI/2013
tanggal 27 Juni 2013
5. Bukti Laporan Kehilangan berupa Akta Nikah Nomor Polisi:
LK/354/VII/2013/Sek.Taman
Saksi 1 MR pada intinya mengenal dan tahu mengenai Terdakwa GWA
dalam hubungan suami istri. Keterangan Saksi MR membenarkan bahwa dalam
proses perceraian antara Terdakwa GWA dengan saksi, Terdakwa GWA telah
memalsukan surat-surat dalam dalam pengajuan permohonan gugatan pereraian di
Pengadilan Agama Pemalang, karena sepengetahuan saksi, untuk dapat
mengajukan permohonan gugatan cerai harus dilengkapi dengan kutipan akta
nikah yang asli sebagai dasar pengajuan permohonan perceraian. Dalam
pemeriksaan di Pengadilan Agama Pemalang saat pemeriksaan surat-surat, saksi
melihat ada surat tanda laporan kehilangan surat/barang yang diterbitkan oleh
Polres Taman Pelres Pemalang yang isinya berupa kehilangan barang berupa surat
39
nikah Nomor 122/28/IX/2007 padahal sebenarnya surat nikah antara Terdakwa
GWA dan saksi tidak terjadi kehilangan. Pada akhir Agustus 2013 sekira pukul
19.00 wib Terdakwa GWA datang kerumah saksi untuk meminta buku akta nikah
yang dipegang oleh saksi untuk digunakan Terdakwa GWA mengajukan
permohonan cerai di Pengadilan Agama, tetapi berkata pada Terdakwa GWA
besok pagi saja tetapi saksi tidak juga memerikan buku akta nikahnya karena saat
itu sedang capek. Adanya putusan dari Pengadilan Agama Pemalang Nomor :
164/pdt.G/2013/PA tanggal 16 Januari 2014 dan dikuatkan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor: 64.Pdt. G/PTA.Smg tanggal 25
Agustus 2014 bahwa perkawinan antara Terdakwa GWA dengan saksi telah putus
karena perceraian tetapi menurut saksi yang dijadikan dasar perceraian saksi
dengan Terdakwa GWA adalah adanya cacat hukum secara administrasi karena
Terdakwa GWA telah memalsukan dokumen sehingga Putusan Pengadilan Agama
Semarang Nomor164/Pdt. G/PTA.Smg adalah cacat hukum. Karena perbuatan
Terdakwa GWA yang melanggar hukum, saksi melaporkan tindak pidana
pemalsuan yang dilakukan Terdakwa GWA ke Mapomdam IV/Diponegoro. Selain
memalsukan buku akta nikah, Terdakwa GWA juga memalsukan status Terdakwa
GWA dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga Terdakwa GWA.
Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa GWA membenarkan sebagian
dan meluruskan sebagian yaitu bahwa pada saat Terdakwa GWA meminta kutipan
akta nikah kepada saksi, yaitu pertama sekira pukul 15.00 saksi mengatakan “saya
tidak mau kasih”, kemudian sekira pukul 19.00 Terdakwa GWA datang kembali
40
ke rumah saksi untuk meminta kutipan akta nikah saksi tetap mengatakan tidak
mau kasih. Dengan tidak diberikannya kutipan nikah, Terdakwa GWA akhirnya
mempunyai pikiran untuk menduplikat akta nikah.
Saksi 2 AZ pada intinya mengenal dan tahu mengenai Terdakwa GWA
pada saat mengurus pernikahan Terdakwa GWA dengan Saksi 1 dan kebetulan
bertetangga. Berdasarkan keterangan Saksi AZ bahwa pada tanggal 3 Juli 2013
sekira pukul 09.00 wib, Terdakwa GWA menemui Saksi 2 dirumah Saksi 2, dalam
pertemuan tersebut Terdakwa GWA meminta tolong pada Saksi 2 untuk dibuatkan
surat kehilangan buku nikah miliknya. Dengan adanya alasan kehilangan, bisa
dibuatkan duplikat akta nikah terdakwa GWA dengan Saksi 1. Terdakwa GWA
berkeinginan mengajukan gugatan cerai terhadap istri Terdakwa GWA yaitu Saksi
1, Terdakwa GWA meminta kepada Saksi 2 untuk mau membantu dalam proses
pengurusan penggugatan cerai tersebut. Dalam pembicaraan tersebut Terdakwa
GWA tidak memiliki kutipan akta nikah Saksi 1 karena pada saat Terdakwa GWA
meminta kepada Saksi 1, Saksi 1 tidak memberikan akta tersebut, Terdakwa GWA
mengatakan kepada Saksi 2 supaya mau membantu Terdakwa GWA untuk
membuat duplikat akta nikah.
Selanjutnya sekira pukul 09.30 saksi menuju ke kantor desa untuk
meminta pengantar yang isinya adanya kehilangan berupa buku nikah atas nama
Terdakwa GWA, selanjutnya Saksi 2 menuju Polsek Taman Polres Pemalang
untuk membuat laporan kehilangan. Dengan surat pengantar dari kantor desa
tersebut saksi ke Polsek Taman Pemalang untuk mengajukan permohonan untuk
41
menerbitkan surat tanda kehilangan surat/barang tanggal 3juli 2013 Nomor Pol :
LK/354/VIU2013/ Kec.Taman yang ditanda tangani Ka SPK Ru I Aiptu Herry
Apriyanto yang berisikan berupa kehilangan Surat Nikah Nomor 122/28/IX/2007
atas nama Tedakwa GWA dengan Saksi-1. Sekira pukul 10.00 wib saksi menuju
kantor KUA Kec. Taman Kab.Pemalang untuk mengajukan penerbitan duplikat
Akta Nikah sehingga terbit duplikat kutipan akta nikah Nomor
KK.11.27.11/Pw.01/136/103 tanggal 03 Juli 2013. Atas keterangan saksi tersebut
Terdakwa GWA membenarkan seluruhnya.
Saksi 3 WW pada intinya saksi tidak mengenal Terdakwa GWA dan
baru bertemu di persidangan ini dan tidak ada hubungan keluarga. Saksi 3
membenarkan bahwa pada tanggal 6 Nopember 2012 Dinas Kependudukan dan
pencatatan Sipil Kec. Banyumanik mengelurkan E-KTP NIK 337413161810006
atas nama GWA anggota Yonif 400/Raider dengan status belum kawin. Saksi
sebagai Kasi Pengawasan dan Pengendalian Penduduk Disdkcatpil Kota Semarang
sebelumnya sudah meneliti berkas pemohon yaitu GWA dalam membuat E-KTP
di Kec. Banyumanik termasuk tergolong kedatangan yaitu pindah dari
Kab.Semarang ke Kec. Banyumanik Kota Semarang sesuai data dari Semarang
dengan status belum kawin. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa GWA
membenarkan seluruhnya.
Dalam persidangan, Terdakwa GWA juga menerangkan bahwa kondisi
rumah tangganya memang tidak haromonis sehingga terdakwa GWA dan istri
sepakat untuk melakukan perceraian, kemudian Danyonif 400/Raider
42
menyetujuinya dengan mengeluarkan Surat Ijin Cerai No : SIC/1/VI/2013 tanggal
27 Juni 2013.
Setelah mendapat surat ijin cerai Terdakwa GWA bermaksud untuk
mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama Pemalang akan tetapi ditolak
dengan alasan berkas tidak lengkap karena belum ada kutipan akta nikah.
Terdakwa GWA meminta akta nikah kepada Saksi 1 akan tetapi Saksi 1 tidak
memberikannya. Dengan tidak diberikannya akta nikah, Terdakwa GWA
menemui Saksi 2 untuk meminta bantuan supaya dibuatkan duplikat kutipan akta
nikah.
Setelah mendengar keterangan Terdakwa GWA dan para saki-saksi, Oditur
Militer berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa GWA tersebut memenuhi unsur –
unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dan diancam dengan pidana yang
tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP. Tuntutan Oditur Militer II-10
Semarang 23 Juni 2013 sebagai berikut :
a. Pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.b. Menetapkan barang-barang bukti :
1. E-KTP NIK .3374131601810006 atas nama GWA2. Duplikat akta nikah Nomor KK/11.2711 PW 01/436/2013
tanggal 3 Juli 20133. Akta nikah Nomor : 1225/28/IX/2007 tanggal 3 September
2007 atas nama GA dan MR.4. Surat ijin Cerai danYonif 400/Raider Nomor SIC/1/VI/2013
tanggal 3 Juli 2013.5. Bukti Laporan Kehilangan berupa Akta Nikah Nomor Polisi :
LK/354/VII/2013/Sek.Tamanc. Membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah)
Keterangan saksi sebagai berikut :1. Mantan istri terdakwa : MR (saksi 1)2. Pengurus pernikahan GA dengan MR : AA (saksi 2)
43
3. Pegawai Disdukcatpil kota Semarang : WW (saksi 3).25
Atas tuntutan Oditur Militer tersebut, Terdakwa GWA mengajukan
permohonan pembelaan secara lisan yaitu untuk memohon keringanan hukuman
dengan alasan bahwa perbuatan ini dilakukan karena buku kutipan nikah yang
seharusnya dipegang oleh suami di pegang oleh istri karena pada saat di minta
oleh Terdakwa GWA, istri Terdakwa GWA tidak memberikannya sehingga
terdakwa GWA berupaya untuk melengkapi persyaratan perceraian di Pengadilan
Agama. Terdakwa GWA mengakui kesalahannya Terdakwa dan menyesali akan
kesalahan yang telah mengakibatkan Terdakwa GWA berperkara saat ini dan
Terdakwa GWA berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar
hukum.
Pengadilan Militer II-10 berpendapat bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh Terdakwa GWA melanggar Pasal 266 ayat 1 KUHP yang mana
unsur-unsur yang ada pada Pasal 266 ayat 1 adalah sebagai berikut :
1. Unsur ke-1 : Barang siapa.
2. Unsur ke-2: Menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam
suatu Akta otentik tentang suatu tindakan dimana
seharusnya akta itu menyatakan kebenarannya
dengan maksud untuk menggunakan akta itu atau
menyuruh orang lain untuk menggunakannya
25 Putusan Pengadilan Militer II-10 Semarang, Nomor :28-K/PM.II-10/AD/VII/2015
44
seolah-olah keerangannya itu sesuai dengan
kebenaran.
3. Unsur ke-3: Jika penggunaannya dapat menimbulkan kerugian.
Putusan Pengadilan Militer II-10 Semarang Nomor : 28-K / PM.II-10 /AD
/VII /2015 tanggal 25 Agustus 2015 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa GWA terbukti secara sah dan meyakinkanbersalah melakukan melakukan tindak pidana : “menyuruhmemasukan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akta otentikdengan maksud untuk menggunakan akta itu jika penggunaanyadapat menimbulkan kerugian”
2. Memidana Terdakwa GWA dengan penjara selama 4 (empat)bulan
3. Menetapkan barang bukti berupa:a. E-KTP E-KTP NIK .3374131601810006 atas nama GWAb. 2 eksemplar Buku Kutipan akta nikah Nomor
1225/28/IX/2007 tanggal 3 September 2007 atas nama GWAdan MR.
c. 1 lembar foto copy surat ijin cerai dari Dan Yonif 400/RaiderNomor SIC/1/VI/2013 tanggal 23 Juni 20131 lembar fotocopy Surat Tanda Penerimaan Laporan KehilanganSurat/Barang berupa Akta Nikah Nomor Polisi :LK/354/VII/2013 Sek. Taman tanggal 3 Juli 2013.
d. 1 lembar foto copy duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor :Kk.11.2711 / PW.01 /436/ 2013 tanggal 3 Juli 2013.
4. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 7.500(tujuh ribu lima ratus rupiah).26
Putusan tersebut diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim pada tanggal 25 Agustus 2015 oleh Hakim ketua Letnan Kolonel
Chk Esron Sinambela , S.S., S.H., M.H. NRP 11950006980270 , hakim
anggota I Siti Alifah, S.H., M.H. NRP 574652, hakim anggota II Niarti S.H.
26 Ibid.
45
NRP 522941 dan Panitera Bety Novita Rindarwati S.H. NRP 535951
masing-masing sebagai Hakim Anggota I dan sebagai Hakim Anggota II,
Oditur Militer Mayor Chk Kemis, S.H.NRP 58855 dan Paniera Kapten Sus
Bety Novita Rindarwat,S.H.NRP 535951.27
Dengan demikian pemidanaan bagi anggota militer yang melakukan
tindak pidana pemalsuan surat dengan studi kasus Putusan Nomor 28-K /
PM.II-10 / AD / VII / 2015 di Pengadilan Militer II-10 Semarang meliputi
dakwaan Oditur Militer II-10 Semarang yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP
pembuktian dalam perkara ini ada 3 (tiga) alat bukti yaitu keterangan saksi,
keterangan Terdakwa GWA, 2 (dus) lembar barang-barang dan 3 (tiga)
surat-surat. Pada intinya Oditur Militer menuntut terdakwa pidana penjara
selama 7 (tujuh) bulan. Putusan Pengadilan Militer II-10 Semarang
mengadili Terdakwa GWA dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
Berdasarkan uraian putusan tersebut, peneliti menganalisa bahwa
putusan yang dijatuhkan Pengadilan terhadap Terdakwa GWA sudah adil
karena dalam kasus ini Terdakwa GWA mengakui perbuatan yang
dilakukannya telah melanggar hukum dan Terdakwa GWA juga
menjelaskan alasan-alasannya melakukan tindak pidana pemalsuan akta
nikah tersebut. Sebelum menjatuhkan putusan tersebut pengadilan juga
sudah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
27 Ibid.
46
sehingga putusan tersebut dirasa sudah adil dan sudah sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan Terdakwa GWA.
B. Pertimbangan hakim militer dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku
tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI berdasarkan
Putusan Nomor : 28-K / PM-II-10 / AD / VII / 2015 di Pengadilan Militer II-10
Semarang.
Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan diciptakan saling berdampingan
dan harus saling menjaga hubungan baik, baik hubungan antara manusia dengan
hewan dan alam ataupun menjaga hubungan antara manusia dengan manusia
karena sesuai dengan kodratnya manusia itu sebagai makhluk sosial. Sebagai
makhluk sosial terkadang secara sadar atau tidak sadar dalam menjalankan
pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari terkadang selalu dihadapkan pada posisi
yang mendesak sehingga menjadi bimbang mengenai keputusan yang diambil.
Salah satu contoh pekerjaan yang membutuhkan pemikiran yang matang dan
kejelian dalam menghadapi suatu permasalahan adalah hakim.
Hakim dalam dunia peradilan mempunyai peran yang sentral karena dia
diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memutuskan perkara.
Pertimbangan hakim merupakan aspek terpenting untuk memutuskan sebuah
masalah karena pada dasarnya keputusan hakim harus mengandung nilai keadilan
dan kepastian hukum sehingga menimbulkan banyak manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan.
47
Hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap Terdakwa GWA sebelumnya
sudah dipertimbangkan secara teliti sesuai fakta dengan persidangan yang ada.
Untuk memberikan keputusan yang adil kepada para pihak yang bersengketa,
hakim seharusnya dapat teliti, baik serta cermat jika dihadapkan dengan kasus-
kasus yang ada. Selain itu hakim dalam melakukan pemeriksaan perlu adanya
pembuktian. Pembuktian adalah tahapan paling penting dalam persidangan,
pembuktian bertujuan untuk memperoleh keyakinan bahwa peristiwa/kronologi
kejadian itu benar-benar terjadi.
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang
dilakukan oleh anggota TNI dengan studi kasus di Pengadilan Militer II-10
Semarang, atas nama Terdakwa GWA anggota Yonif 400/Raider. Terdakwa GWA
didakwa oleh Oditur Militer atas Pasal 266 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa
barang siapa menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam sebuah akta
otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,
dengan maksud untuk memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
kebenaran, diancam jika pemakaian akta itu dapat menimbulkan kerugian.
Adapun dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
Terdakwa adalah pertimbangan yuridis dan non yuridis :
a. Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yang berkaitan dengan terpenuhinya unsur-unsur
tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada seseorang. Tidak
terpenuhinya salah satu unsur dari tindak pidana yang didakwakan, maka
48
dapat berakibat bebasnya Terdakwa dari dakwaan dan tuntutan jaksa
penuntut umum. Selain terpenuhinnya unsur-unsur tersebut hakim juga
mempertimbangkan berdasarkan keterangan saksi, Terdakwa dan alat
bukti.
Dalam contoh kasus tersebut telah terpenuhi unsur-unsur tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan yaitu tindak pidana pemalsuan
surat sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP. Unsur-unsur
tersebut meliputi:
1. Unsur barang siapa, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa
menurut UU adalah orang yang tunduk pada perundang-undangan
RI, termasuk pula anggota TNI.
Dalam hal ini terdakwa memenuhi unsur tersebut karena Terdakwa
GWA merupakan warga Negara Indonesia dan Terdakwa GWA juga
merupakan anggota TNI.
2. Unsur menyuruh memasukan suatu keterangan palsu ke dalam suatu
Akta otentik tentang suatu tindakan dimana seharusnya akta itu
menyatakan kebenarannya dengan maksud untuk menggunakan akta
itu atau menyuruh orang lain untuk menggunakannya seolah-olah
keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, bahwa yang dimaksud
menyuruh adalah kehendak itu hanya ada pada si penyuruh
(Terdakwa) sedangkan yang disuruh tidak terdapat kehendak untuk
49
memasukan keterangan palsu. Bahwa yang dimaksud akta otentik
adalah akta yang dibuat oleh pejabat berwenang.
Dalam unsur kedua Terdakwa GWA memenuhi unsur karena
Terdakwa GWA menyuruh memasukan keterangan palsu kepada
pejabat berwenang demi memenuhi keinginan Terdakwa GWA
untuk mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama.
3. Unsur jika penggunaanya dapat menimbulkan kerugian, yang
dimaksud penggunaan dalam hal ini adalah penggunaan terhadap
akta yang dibuat oleh Terdakwa yang mengakibatkan kerugian
kepada pihak lain.
Dalam unsur ketiga Terdakwa GWA memenuhi unsur karena
perbuatan yang dilakukan Terdakwa GWA merugikan Saksi 1,
karena dengan demikian Saksi 1 tidak lagi menjadi tanggung jawab
Terdakwa GWA dan juga anak dari pernikahan Terdakwa GWA
dengan Saksi 1.
Adapun fakta-fakta lain dalam proses persidangan selain
terpenuhinya unsur-unsur tersebut pengadilan telah menghadirkan 3
orang saksi yaitu MR, AA dan WW. Pengadilan juga menetapkan alat
bukti berupa E-KTP E-KTP NIK .3374131601810006 atas nama GWA.
2 eksemplar Buku Kutipan akta nikah Nomor 1225/28/IX/2007 tanggal 3
September 2007 atas nama GWA dan MR. 1 lembar foto copy surat ijin
cerai dari Dan Yonif 400/Raider Nomor SIC/1/VI/2013 tanggal 23 Juni
50
20131 lembar foto copy Surat Tanda Penerimaan Laporan Kehilangan
Surat/Barang berupa Akta Nikah Nomor Polisi : LK/354/VII/2013 Sek.
Taman tanggal 3 Juli 2013. 1 lembar foto copy duplikat Kutipan Akta
Nikah Nomor : Kk.11.2711 / PW.01 /436/ 2013 tanggal 3 Juli 2013.
Berdasarkan fakta persidangan yang ada dan setelah
mendengarkan keterangan para saksi, Terdakwa GWA dinyatakan terbukti
secara sah dan menyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana
pemalsuan surat. Dalam perkara ini hakim memutuskan bahwa Terdakwa
GWA harus dipenjara selama 4 (empat) bulan dan dibebani membayar
biaya perkara sebesar Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b. Pertimbangan Non Yuridis
Pertimbangan yang bukan hanya dilihat dari aspek non hukum.
Penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan untuk pelaku, hakim
harus menyesuaikan dengan apa yang menjadi alasan Terdakwa
melakukan tindak pidana pemalsuan surat tersebut. Hal tersebut
merupakan salah satu pertimbangan yang perlu hakim lakukan sebelum
menjatuhkan putusan, sehingga dalam penjatuhan pidana dirasakan adil
oleh semua pihak.
Adapun hal yang meringankan Terdakwa GWA yaitu Terdakwa
GWA mengakui berterus terang mengakui perbuatan yang dilakukannya
dan tidak berbelit-belit sehingga memperlancar jalannya persidangan.
51
Dalam hal ini alasan Terdakwa GWA melakukan pemalsuan duplikat
akta nikah tersebut karena kehidupan rumah tangga dengan Saksi 1 berjalan tidak
harmonis dan ditambah pada tahun 2009 Terdakwa GWA mendengar bahwa
istrinya kembali memeluk agamanya sebelumnya yaitu Kristen Protestan sehingga
dia ingin menggugat cerai istri. Dalam mendaftarkan permohonan cerai berkas
administratif ada yang kurang lengkap yaitu akta nikah, yang mana akta nikah
dipegang oleh saksi dan diminta terdakwa tidak diberikan sehingga terdakwa
memalsukan akta nikah dengan cara berpura-pura akta nikahnya hilang sehingga
dikeluarkannya duplikatnya.
52
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan
oleh anggota TNI berdasarkan Putusan Nomor : 28-K / PM.II-10 / AD 2015
di Pengadilan Militer Semarang, dalam hal ini contohnya dilakukan oleh
Praka GWA di Pengadilan II-10 Semarang. Pemidanaan meliputi dakwaan
oditur militer Pasal 266 ayat (1), tuntutan Oditur Militer agar Terdakwa GWA
dijatuhi pidana penjara 7 (tujuh) bulan. Selanjutnya pembuktian dalam
perkara ini meliputi keterangan saksi ada 3 (tiga) orang dan barang bukti ada
2 buah alat bukti sura. Terdakwa mengajukan pledoi secara lisan. Pengadilan
Militer II-10 Semarang menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa
GWA selama 4 (bulan). Putusan Pengadilan Militer Semarang II-10 tersebut
sudah adil dan sudah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Terdakwa
GWA.
2. Pertimbangan hakim militer dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku
tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh Anggota TNI berdasarkan
Putusan Nomor : 28-K / PM.II-10 AD / VII / 2015 di Pengadilan Militer II-10
Semarang Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan meliputi
pertimbangan yuridis dan non yuridis. Yuridis memenuhi Pasal 266 ayat (1)
53
Barang siapa menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain Memakai akta itu
seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika
pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun”. Dan pertimbangan non yuridis Bahwa Terdakwa GWA
berterus terang dan mengakui perbuatannya sehingga memperlancar jalannya
persidangan.
B. Saran
Dari kesimpulan tersebut maka disarankan kepada para penegak hukum
khususnya para hakim militer lebih mempertimbangkan latar belakang dari
pelaku dalam melakukan tindak pidana dengan mempertimbangkan hak asasi
manusia.
x
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adami Chazawi. Pengantar Hukum Pidana Bag I. Jakarta : Grafindo, 2002.
Cansil dan Cristhine Cansil. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta : Pradnya Paramita ,2007.
Hasan Ashari. Kewenangan Penyidikan Terhadap tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anggota
TNI di Pengadilan Militer II-10 Semarang. Skripsi, Semarang 2012.
Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana indonesia. Bandung : Sinar Baru , 1992.
Moeljatno. Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Subjektif sebagai Dasar Dakwaan. Jakarta :
Sinar Grafika, 1996.
P.A.F Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, 1990.
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. Jakarta : Aksara Baru,
1981.
Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990.
S.R Sianturi. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta : Alumni, cetakan kedua, 1985.
SR. Sianturi.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Storia Grafika, 2002.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif . Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1990.
Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto FH Undip, 1990.
Suharmi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), halaman 109.
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010.
Wirjono Prodjokuro. Tindak Pidana Tertentu. Bandung : Refika Aditama, 2002.
B. PeraturanPerundang-undangan.
Sekretariat Negara RI. Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.Jakarta, 1945.
xi
Sekretariat Negara RI.Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentangKitabUndang-
UndangHukumPidana. Jakarta, 1981.
Sekretariat Negara RI.Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997
tentangPeradilanMiliter.Jakarta, 1997.
Sekretariat Negara RI.Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentangTentaraNasional
Indonesia. Jakarta, 2004.
C. Website
http://daragina.blogspot.co.id/2014/11/pemalsuan-surat-valschheid-in-geschrift.html.
diaksestanggal 24 November 2014 .
https://id.m.wikipedia.org/wiki/kode-etik-profesidiaksestanggal 17 desember 2015.
http://bayudwiristanto.blogspot.co.id/2015/03/etika-dan-kode-etik-fungsi-kode-etik.html.
diaksestanggal 03 maret 2015.
www.tniad.mil.id