5
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia Page | 1 Ujian Tengah SemesterTake Home Test Mata Kuliah : Globalisasi dan Regionalisme dalam Ekonomi Dosen : Dr. Makmur Keliat Nama : Erika NPM : 0706291243 1. Jelaskan hubungan antara Regionalisme dan Globalisasi! Terminologi “globalisasi” merupakan terminologi yang masih muda usianya, mengingat terminologi ini sendiri baru lahir pada tahun 1990-an, ketika masa Perang Dingin telah berakhir. Adapun terminologi ini digunakan untuk menggambarkan kondisi dunia yang telah berubah semenjak Perang Dingin tersebut, di mana dunia sekarang telah menjadi semakin borderless karena berbagai macam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi dunia yang semakin borderless ini pada dasarnya melahirkan dua akibat, yaitu semakin terciptanya inter-connectedness dalam dunia internasional, serta muncul dan diakuinya peran aktor-aktor non-negara, terutama untuk menanggapi isu-isu non-konvensional yang semakin muncul ke permukaan sebagai akibat globalisasi. Adanya globalisasi yang semakin meluas tentunya memerlukan suatu pengaturan kolektif dari negara-negara dunia, dan pengaturan kolektif itu akan menjadi lebih mudah bila dilakukan bersama dengan negara-negara yang memiliki kesamaan sejarah, budaya dan nilai, serta kesamaan kepentingan politik, keamanan, dan ekonomi (Hurrell 1995, 55-58), yaitu dalam bentuk kerja sama regional. Kerangka regionalisme juga menjadi pilihan yang dirasa tepat karena region dilihat sebagai level yang paling tepat dan feasible untuk menyatukan negara-negara yang berbeda, karena faktor negosiasi yang lebih mudah dilakukan atas dasar kemiripan nilai dan konsensus masyarakat (Hurrell 2005, 42-43). Mary Farrell mengatakan bahwa dalam menanggapi fenomena globalisasi yang terjadi, negara kemudian menerapkan regionalisme sebagai bentuk respon ofensif dan defensif (Farrell 2005, 2). Respon ofensif di sini serupa dengan pandangan kaum Realis, yang mengatakan bahwa kerja sama regional merupakan sebuah alat untuk memperluas kepedulian dan ambisi nasional (Gilpin 2001, 349). Globalisasi yang terjadi membuat peran negara dalam dunia internasional semakin memudar, seiring dengan semakin terhubungnya setiap wilayah dunia. Untuk menanggapi hal tersebut, negara pun mengeluarkan respon ofensif dengan membentuk kerja sama regional sebagai usaha untuk memperkuat posisinya ketika kompetisi yang ada di dunia ini semakin meningkat (Gilpin 2000, 45) dengan tujuan agar negara tetap memiliki kekuatan dan pengaruh politik dalam dunia yang semakin borderless. Regionalisme, karenanya, merupakan respon ofensif dan bentuk resistensi dari negara yang tetap ingin mempertahankan pengaruh politiknya, dalam menanggapi globalisasi yang terjadi. Respon ofensif juga dapat dijelaskan ketika negara justru menggunakan kerangka kerja sama regional dalam mencapai kepentingan nasionalnya, seperti yang dilakukan Cina dalam kerja sama ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). ACFTA yang resmi dilaksanakan sejak 1 Januari 2010 kemarin memberikan keuntungan berupa perluasan pasar bagi produk-produk Cina, yang pada akhirnya akan membantu Cina dalam meningkatkan pertumbuhan

Uts Take Home

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Uts Take Home

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik . Universitas Indonesia

Page | 1

Ujian Tengah Semester—Take Home Test Mata Kuliah : Globalisasi dan Regionalisme dalam Ekonomi

Dosen : Dr. Makmur Keliat

Nama : Erika

NPM : 0706291243

1. Jelaskan hubungan antara Regionalisme dan Globalisasi!

Terminologi “globalisasi” merupakan terminologi yang masih muda usianya,

mengingat terminologi ini sendiri baru lahir pada tahun 1990-an, ketika masa Perang Dingin

telah berakhir. Adapun terminologi ini digunakan untuk menggambarkan kondisi dunia yang

telah berubah semenjak Perang Dingin tersebut, di mana dunia sekarang telah menjadi

semakin borderless karena berbagai macam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kondisi dunia yang semakin borderless ini pada dasarnya melahirkan dua akibat, yaitu

semakin terciptanya inter-connectedness dalam dunia internasional, serta muncul dan

diakuinya peran aktor-aktor non-negara, terutama untuk menanggapi isu-isu

non-konvensional yang semakin muncul ke permukaan sebagai akibat globalisasi. Adanya

globalisasi yang semakin meluas tentunya memerlukan suatu pengaturan kolektif dari

negara-negara dunia, dan pengaturan kolektif itu akan menjadi lebih mudah bila dilakukan

bersama dengan negara-negara yang memiliki kesamaan sejarah, budaya dan nilai, serta

kesamaan kepentingan politik, keamanan, dan ekonomi (Hurrell 1995, 55-58), yaitu dalam

bentuk kerja sama regional. Kerangka regionalisme juga menjadi pilihan yang dirasa tepat

karena region dilihat sebagai level yang paling tepat dan feasible untuk menyatukan

negara-negara yang berbeda, karena faktor negosiasi yang lebih mudah dilakukan atas dasar

kemiripan nilai dan konsensus masyarakat (Hurrell 2005, 42-43).

Mary Farrell mengatakan bahwa dalam menanggapi fenomena globalisasi yang

terjadi, negara kemudian menerapkan regionalisme sebagai bentuk respon ofensif dan

defensif (Farrell 2005, 2). Respon ofensif di sini serupa dengan pandangan kaum Realis, yang

mengatakan bahwa kerja sama regional merupakan sebuah alat untuk memperluas kepedulian

dan ambisi nasional (Gilpin 2001, 349). Globalisasi yang terjadi membuat peran negara

dalam dunia internasional semakin memudar, seiring dengan semakin terhubungnya setiap

wilayah dunia. Untuk menanggapi hal tersebut, negara pun mengeluarkan respon ofensif

dengan membentuk kerja sama regional sebagai usaha untuk memperkuat posisinya ketika

kompetisi yang ada di dunia ini semakin meningkat (Gilpin 2000, 45) dengan tujuan agar

negara tetap memiliki kekuatan dan pengaruh politik dalam dunia yang semakin borderless.

Regionalisme, karenanya, merupakan respon ofensif dan bentuk resistensi dari negara yang

tetap ingin mempertahankan pengaruh politiknya, dalam menanggapi globalisasi yang terjadi.

Respon ofensif juga dapat dijelaskan ketika negara justru menggunakan kerangka kerja sama

regional dalam mencapai kepentingan nasionalnya, seperti yang dilakukan Cina dalam kerja

sama ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). ACFTA yang resmi dilaksanakan sejak 1

Januari 2010 kemarin memberikan keuntungan berupa perluasan pasar bagi produk-produk

Cina, yang pada akhirnya akan membantu Cina dalam meningkatkan pertumbuhan

Page 2: Uts Take Home

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik . Universitas Indonesia

Page | 2

ekonominya. Kerja sama regional, karenanya, dilihat sebagai bentuk perpanjangan tangan

dari negara dominan untuk mengekalkan dominasinya di suatu kawasan, melalui peran

aktifnya dalam pembentukan aturan-aturan yang, secara tersembunyi, memberikan

keuntungan baginya. Sehingga dalam hubungannya dengan globalisasi, pandangan ini

melihat negara cenderung melawan globalisasi yang terjadi melalui regionalisme yang

dipraktikannya.

Selain mengeluarkan respon ofensif terhadap globalisasi melalui regionalisme,

regionalisme juga dapat dilihat sebagai bentuk respon defensif negara terhadap globalisasi.

Dalam pandangan ini, melalui kerja sama regional yang dibentuknya, negara berusaha untuk

melindungi posisinya dan melindungi kepentingan nasionalnya agar tidak tergerus dalam

kompetisi yang ditimbulkan karena semakin terhubungnya negara-negara dunia. Dalam

pandangan ini, kerja sama regional diciptakan sebagai bentuk mekanisme perlindungan bagi

negara anggotanya agar globalisasi yang terjadi tidak lantas menghancurkan negara-negara

anggota kerja sama regional tersebut. Contoh yang relevan dari pandangan ini adalah ketika

negara-negara ASEAN membuat wacana untuk membentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA).

Ketika itu, bentuk regionalisme AFTA bertujuan untuk memberi kemudahan lebih pada

negara-negara ASEAN dalam hal perdagangan ekspor-impornya, agar produk-produk negara

ASEAN dapat bersaing dengan produk sejenis yang memiliki harga jual lebih murah seperti

misalnya produk dari Cina. Dalam kerangka kerja sama ekonomi regional, adanya kerja sama

regional kemudian akan menimbulkan masalah trade diversion bagi negara-negara

non-anggota, yang justru menjadi tujuan bagi negara-negara anggota untuk tetap bertahan

dalam sistem kompetisi yang ditimbulkan dari globalisasi dunia yang semakin meluas.

Sehingga jika pada argumen sebelumnya, regionalisme dilihat sebagai perpanjangan tangan

negara dalam memperluas dan semakin mewujudkan kepentingan nasionalnya, argumen ini

mengatakan bahwa regionalisme adalah bentuk perpanjangan tangan negara dalam

mempertahankan posisi dan kepentingan nasionalnya dalam kompetisi globalisasi yang ada.

Globalisasi merupakan proses yang tidak dapat ditolak. Seiring dengan

perkembangan jaman, situasi dunia internasional pun semakin berubah. Jika tadinya setiap

negara terpisah-pisah dan karenanya negara sibuk mengatur kondisi dalam negerinya

sendiri-sendiri, globalisasi yang terjadi dewasa ini memaksa negara untuk berhubungan

dengan negara-negara lainnya karena tingkat connectivity antar negara semakin besar. Kerja

sama regional pun semakin tidak terhindarkan. Fenomena regionalisme muncul. Adapun

kemunculan fenomena regionalisme tersebut pada hakikatnya merupakan respon dari negara

terhadap globalisasi yang terjadi, di mana negara memberikan respon ofensif berupa

pemasukan kontrol politik di tengah meluasnya liberalisasi ekonomi dan globalisasi melalui

regionalisme yang diciptakannya, sekaligus respon defensif berupa perlindungan

komponen-komponen yang penting bagi kepentingan nasional melalui kerja sama regional

yang diciptakannya. Regionalisme, karenanya, lahir karena adanya kekhawatiran negara pada

proses globalisasi yang semakin marak terjadi.

Page 3: Uts Take Home

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik . Universitas Indonesia

Page | 3

2. Apakah yang membedakan antara Regionalisme pada periode 1960-an dengan

periode Paska Perang Dingin?

Fenomena regionalisme bukanlah fenomena baru dalam dunia internasional.

Berbagai bentu kerja sama regional sebenarnya telah tercipta sejak tahun 1960-an, ketika

Eropa sebagai salah satu kekuatan dunia pada tahun 1967 membentuk European Economic

Community yang tersusun dari dua kerja sama utama, yaitu European Steel and Coal

Community dan European Atomic Energy Agency. Sebagai salah satu bentuk kerja sama

ekonomi regional, EEC terbilang sukses mendatangkan keuntungan bagi negara anggotanya.

Pada perkembangannya, EEC kemudian berkembang menjadi Uni Eropa yang dikukuhkan

melalui Maastricht Treaty pada tahun 1992. Pembentukan Uni Eropa sendiri bertujuan untuk

mengaksesi negara-negara anggotanya untuk tunduk pada suatu aturan konstitusi yang sama,

serta untuk memperlancar perdagangan bebas antar anggotanya melalui eliminasi tarif impor,

kuota, dan berbagai hambatan perdagangan lainnya yang dapat membatasi perdagangan antar

negara anggota Uni Eropa. Pembentukan EEC ini kemudian menginspirasi berbagai kawasan

lain untuk kemudian mengadakan berbagai kerja sama ekonomi regional serupa. Fenomena

regionalisme pun semakin menguat. Hingga kini, tidak kurang ratusan bentuk kerja sama

regional telah terbentuk. Tren regionalisme yang terbentuk pun sedikit mengalami perbedaan

dengan regionalisme di periode 1960-an. Regionalisme periode 1960-an kemudian, oleh para

akademisi, disebut dengan istilah “old regionalism” sementara regionalisme periode paska

Perang Dingin kemudian disebut dengan istilah “new regionalism”, di mana old regionalism

terjadi di Eropa, sementara new regionalism terjadi di luar Eropa.

Pada dasarnya, old regionalism memiliki beberapa perbedaan dengan new

regionalism. Perbedaan pertama adalah pada sisi tingkat pembangunan ekonomi

negara-negara anggotanya. Pada regionalisme periode 1960-an, negara-negara anggota pada

umumnya memiliki tingkat pembangunan ekonomi yang relatif sama, yang ditunjukkan

misalnya dengan kesamaan pada besar GDP (Gross Domestic Product/Produk Domestik

Bruto), sehingga bentuk kerja sama yang tercipta antar negara-negara anggota pada

regionalisme periode 1960-an adalah kerja sama yang bersifat komplementer

(complementarily regionalism). Sementara pada regionalisme periode paska Perang

Dingin/new regionalism, terdapat gap yang cukup besar dalam hal tingkat pembangunan

ekonomi antar negara anggotanya, sehingga kerja sama yang terbentuk kemudian lebih

bersifat substitutionly.

Perbedaan kedua antara new regionalism dan old regionalism terletak pada tujuan

akhir dari regionalisme itu sendiri. Pada regionalisme periode 1960-an, tujuan akhir dari kerja

sama regional tersebut adalah untuk membentuk sebuah economic cooperation, seperti

misalnya yang ditunjukkan melalui pembentukan European Coal and Steel Community yang

bertujuan untuk menghasilkan kerja sama ekonomi terutama di bidang perdagangan besi dan

batu bara, dua komponen yang sangat dibutuhkan pada masa itu. Sementara regionalisme

periode paska Perang Dingin mayoritas lebih bertujuan untuk membentuk tidak hanya kerja

sama di bidang ekonomi, tapi juga kerja sama di bidang non-ekonomi lain, seperti misalnya

kerja sama keamanan, sosial budaya, dan lain-lain. Sehingga pada poin perbedaan ini, dapat

dilihat bahwa old regionalism pada umumnya lebih bersifat deepening (pendalaman), dan

new regionalism lebih bersifat broadening (perluasan). Pada pola pendalaman, kerja sama

Page 4: Uts Take Home

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik . Universitas Indonesia

Page | 4

yang terjadi diidentifikasikan dengan adanya keharusan untuk melakukan perubahan

kebijakan atau regulasi pada skala nasional sebagai akibat dari kesepakatan yang telah

diinstitusionalisasikan melalui kerja sama di tataran regional. Sedangkan pada pola perluasan,

kerja sama yang terjadi diindikasikan tidak saja oleh tiadanya keharusan untuk melakukan

perubahan pada kebijakan nasional, tetapi juga oleh semakin beragamnya isu yang ditangani

dan semakin bertambahnya aktor negara yang terlibat.

Perbedaan ketiga antara regionalisme periode 1960-an dan regionalisme periode

paska Perang Dingin terletak pada tujuan dan sejarah pembentukannya. Pada regionalisme

periode 1960-an, kerja sama regional dibentuk sebagai respon terhadap perubahan regional,

di mana muncul sebuah urgensi dari negara-negara yang berada pada satu kawasan untuk

membentuk sebuah kerja sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa old regionalism terbentuk

untuk merespon kepentingan regional yang muncul. Sementara pada new regionalism, kerja

sama regional yang tercipta merupakan respon dari perubahan global yang terjadi. Ada situasi

di luar kawasan yang tidak lagi bisa ditanggulangi melalui mekanisme multilateral secara

global, sehingga negara-negara di kawasan pun membentuk kerja sama regional. Contoh dari

kerja sama regional yang muncul sebagai respon dari perubahan global adalah ASEAN Plus

Three Swap Arrangement, di mana bentuk kerja sama ini muncul sebagai respon dari krisis

1998 yang terjadi karena globalisasi keuangan. Krisis ini kemudian melahirkan kesadaran

pada negara-negara ASEAN+3 bahwa mereka tidak bisa lagi bergantung pada mekanisme

multilateral. Perubahan global yang terjadi pada saat itu kemudian direspon dengan

pembentukan kerja sama regional, yang merupakan salah satu karakteristik dari new

regionalism. Menyinggung perbedaan ini, Farrell menyebutkan bahwa regionalisme yang

terbentuk sekarang bersifat multi-dimensional yang mencakup kerja sama di bidang ekonomi,

politik, sosial budaya, dan berbagai aktivitas regional lain di balik pasar bebas dan rejim

keamanan (Farrell 2005, 8)

Perbedaan selanjutnya antara old regionalism dan new regionalism adalah pada old

regionalism, aktor yang berperan penting dalam pembentukan regionalisme adalah negara, di

mana kerja sama regional yang terbentuk lebih merupakan kerja sama antar pemimpin negara

yang bersifat formal. Sementara pada new regionalism, proses regionalisasi muncul dari

„bawah‟ dan „dalam‟ kawasan, melalui masyarakat dan komunitas yang memberi respon dan

membentuk berbagai tipe kerja sama (Farrell 2005, 8), baik yang bersifat formal maupun

informal. Karenanya, regionalisme periode paska Perang Dingin ditandai dengan munculnya

aktor non-negara dan berbagai kelompok sosial yang berperan penting dalam pembentukan

dan implementasi kerja sama regional.

Dunia yang semakin terhubung karena globalisasi menghadirkan dunia yang

benar-benar berbeda dibanding dunia dahulu. Salah satu perbedaan yang terlihat adalah

semakin menjamurnya fenomena regionalisme di berbagai wilayah dunia. Mengenai hal ini,

mantan Sekretaris Jendral PBB, Boutros Boutros-Ghali mengatakan bahwa bentuk

regionalisme yang semakin masif terjadi merupakan bukti dari sebuah healthy

internationalism menuju tatanan dunia yang lebih baik. (Boutros-Ghali 2000,110-113).

Semoga.

Page 5: Uts Take Home

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik . Universitas Indonesia

Page | 5

DAFTAR REFERENSI

Boutros-Ghali, Boutros. “An Agenda for Democratisation”, dalam Holden, B. (ed.), Global

Democracy, Key Debates. (London: Routledge, 2000).

Farrell, Mary. “The Global Politics of Regionalism: An Introduction”, dalam Mary Farrell, et.

al. (eds.), Global Politics of Regionalism, Theory and Practice. (London: Pluto Press,

2005).

Gilpin, Robert. The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in The 21st

Century. (Princeton: Princeton University Press, 2000)

Gilpin, Robert. Global Political Economy: Understanding The International Economic Order.

(Princeton: Princeton University Press, 2001).

Hurrell, Andrew. “Regionalism in Theoretical Perspective”, dalam Fawcett, Louise dan

Andrew Hurrell (ed.), Regionalism in World Politics: Regional Organization and

International Order. (New York: Oxford University Press, 1995).

Hurrell, Andrew. “The Regional Dimensions in International Relations Theory”, dalam Mary

Farrell, et. al. (eds.), Global Politics of Regionalism, Theory and Practice. (London:

Pluto Press, 2005)