Upload
iwayanyudiartana
View
143
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
UU Pemerintahan Daerah dan Sejarah Perkembangan Peraturan Tata Ruang di Indonesia
Citation preview
TUGAS REVIEW
UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH DAN
SEJARAH PERKEMBANGAN PERATURAN PERENCANAAN KOTA DI
INDONESIA
TUGAS MATA KULIAH
PEMERINTAHAN DAERAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN
Oleh:
I Wayan Yudiartana
1291861003
PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2013
1
TUGAS REVIEW UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
I. Pengantar
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu
pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai
landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada
masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi
sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan
digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah
dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi
yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program
pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik
dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Mengacu pada Undang-Undang ini Pasal 1 Butir c, disebutkan Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Selanjutnya pada Pasal 1 Butir e, yang dimaksud dengan Daerah
Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem
hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
a) Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau
Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah
tangganya (Pasal 1 Butir b);
b) Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala
Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-
pejabat di daerah (Pasal1 Butir f) dan
c) Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada
2
Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau
Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya (Pasal 1
Butir d).
Dalam UU No. 5 Tahun 1974 ini disebutkan dengan jelas bahwa titik berat
otonomi daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II (Pasal 11 Butir 1). Dalam
kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)
orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam
Negeri (Pasal 15 Butir 1 dan Pasal 16 Butir 1), untuk masa jabatan 5 (lima) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya (Pasal 17
Butir 1), dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah
Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika
dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 22 Butir
3 dan Pasal 23 Butir 1).
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti
hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran;
mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan;
mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan (Pasal 29 Butir 1), dan kewajiban seperti a) mempertahankan,
mengamankan serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; b) menjunjung
tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara,
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan
Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan
kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang
3
pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan
memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program
pembangunan Pemerintah (Pasal 30).
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui
bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam
prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (kontrol dari pusat) yang dominan
dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu
fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No.5 Tahun 1974 ini adalah
ketergantungan pemerintah daerah yang relatif tinggi terhadap pemerintah
pusat.Hal ini pada akhirnya akan sangat membuat perencanaan di daerah (baik
kota maupun desa) menjadi sangat tergantung pada pusat baik dari segi kebijakan
dan anggaran biaya. Oleh karena itu kemudian dilakukan revisi dan
penyempurnaan terhadap UU No. 5 Tahun 1974.
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa
reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan
dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih
demokratis). Pemerintahan B.J.Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim
Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional
dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu (Kuncoro, 2004: 35):
a) melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang
berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi
kepada daerah;
b) pembentukan negara federal; atau
c) membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum
desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974,
yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang
mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-
undang sebelumnya antara lain :
4
a) Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi
daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban
daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
b) Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-
sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena
kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping
itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
c) Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi
daerah dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, adalah pentingnya
pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini
otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih
dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan
sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
d) Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana
semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri,
hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang
tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh,
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah (Pasal 7 Butir 1 dan 2).
e) Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk
membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi
masyarakat (Pasal 1 Butir i). Sedang yang selama ini disebut Daerah
5
Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan
kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi,
yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
f) Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau
otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai
peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi
perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan
dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya
diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman
yang ditetapkan oleh pemerintah.
g) Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil yang diukur
dari garis pantai kea rah laut lepas dan atau kea rah perairan kepulauan
(Pasal 3), sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan
wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi (Pasal 10 Butir 3).
h) Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah
lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD
mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala
daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku
kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
i) Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan
DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu
disahkan oleh pejabat yang berwenang.
j) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas
daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah (Pasal 5 Butir 1). Daerah yang tidak
mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau
digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih
dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 6 Butir
1 dan 2).
6
k) Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan
dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan
oleh DPRD.
l) Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan
pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah,
berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
m)Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada
propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi
adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni
serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau
diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota.
Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum,
kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan
tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan
yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
n) Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan
dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern
oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar
daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki
kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala
Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf
Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha
milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu
sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur,
Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan
Kandep dihapus.
o) Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan
DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila
pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat
diterima oleh DPRD.
7
p) UU No. 22 Tahun 1999 juga sudah mengatur secara rinci penetapan
Kawasan perkotaan yang terdiri atas Kawasan Perkotaan dan Kawasan
Perkotaan Baru (Pasal 90) dan Pembentukan, Penghapusan dan atau
Penggabungan Desa (Pasal 93-94) serta Pemerintahan Desa (Pasal 95).
q) UU No. 22 Tahun 1999 juga sudah mengatur tentang Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah yang bertugas memberikan
pertimbangan kepada Presiden mengenai Pembentukan, Penghapusan,
Penggabungan daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
(Pasal 115).
UU No. 22 Tahun 1999 dapat dikatakan memperbaiki kekurangan dan
kesalahan penafsiran pada UU No. 5 Tahun 1974. Namun dalam pelaksanaannya
sekarang ini juga perlu diawasi supaya pelaksanaan otonomi daerah ini tidak
menyimpang. Dalam pelaksanaan UU No 22 Tahun 1999 ini juga menemui
banyak kendala antara lain :
a) Kualitas dan kemampuan pemerintah daerah yang terbatas
b) Ketimpangan sumber daya antara daerah yang satu dengan daerah
lainnya
c) Birokrasi kegiatan lintas kota yang tidak praktis
d) Pelimpahan urusan yang tidak disertai dengan pelimpahan pembiayaan
e) Perbedaan kesiapan pemerintah daerah
f) Munculnya beragam aspirasi masyarakat yang dapat memecah
persatuan nasional.
g) High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi
buta.
h) High Cost Economic dalam bentuk KKN
i) Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan
j) Pemda bisa menyedot sumbangan dari BUMD-BUMD yang berada
dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset,
melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh
jajaran pimpinan BUMD
k) Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria
pembuktian berkelanjutan
8
l) Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya
m)Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan
n) Bangkitnya egosentrisme
o) Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-
aspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi
otonomi sebenarnya.
p) Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di
daerah.
Oleh karena itu UU. No. 22 Tahun 1999 direvisi kembali dan diganti
dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada
tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal
karena keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah
berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonnomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab.
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang : pembentukan daerah
dan kawasan khusus,pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah,
perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian
perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan
dalamkebijakan otonomi daerah.
Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan
dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya
beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI
Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan
daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-
daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-
9
undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum
berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.
Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan
sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan DPRD yaitu kepala daerah dan
wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang
meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.
Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”.
Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama
Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi
kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula
desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan
sebutan lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan
badan pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.Namun dari semua
itu, hal terpenting tentang pelaksanaan Otonomi Daerah adalah kiprah serta peran
serta masyarakat yang bisa menjadikan sebuah daerah menjadi maju dengan
segala kekayaan alam serta potensi daerah yang dimilikinya. Dengan adanya
Otonomi Daerah, daerah yang sebelumnya dikenal sebagai daerah kaya namun
tidak mendapatkan kompensasi dari kekayaan yang dimilikinya tersebut bisa
berubah menjadi lebih maju dan mampu mengelola segala kekayaan alam serta
potensi yang ada di daerah itu sendiri.
Untuk dapat mewujudkan penyelenggaraan otonomi daerah yang benar-
benar sehat atau untuk mewujudkan kesesuaian antara prinsip dan praktek
penyelenggaraan otonomi daerah, maka terdapat beberapa faktor yang perlu
diperhatikan. Faktor-faktor tersebut adalah : faktor manusia pelaksana (Kepala
Daerah dan DPRD, Aparatur Pemerintah Daerah, partisipasi masyarakat), faktor
keuangan daerah, faktor peralatan dan faktor organisasi dan manajemen.
10
II. Perbedaan UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004
No Komponen Pembeda UU No. 5 Tahun 1974 UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 20041 Dasar Filosofi Keseragaman Keanekaragaman dalam kesatuan
(NKRI)Keanekaragaman dalam kesatuan
(NKRI)2 Susunan Pemerintahan Pendekatan Tingkatan Daerah
(Level Approach)pendekatan besaran dan isi otonomi
(size and content approach), ada daerah yang besar dan ada daerah yang kecil berdasar kemandirian masingmasing,
ada daerah dengan isi otonomi terbatas dan ada daerah yang otonominya luas.
pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), dengan
menekankan pada urusan yang berkeseimbangan dengan azas eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi.
3 Kecenderungan Pemerintahan
Sentralistik (Terpusat) Desentralisasi (Daerah) Desentralisasi (Daerah) dengan menghormati daerah
khusus/istimewa seperti : DIY, Papua4 Penyelenggaraan Dilaksanakanya Asas
Desentralisasi,Dekonsentrasi,Dan Tugas Pembantuan Secara
Seimbang
desentralisasi terbatas pada daerah provinsi dan pada luas daerah
kabupaten/kota, dekonsentrasi terbatas pada kebupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas pembantuan yang seimbang pada semua tingkatan pemerintahan sampai ke desa
desentralisasi diatur berkesimbangan antara daerah provinsi,
kabupaten/kota, desentralisasi terbatas pada kabupaten/kota dan
luas pada provinsi, tugas pembantuan berimbang pada semua tingkatan
pemerintahan.
5 Model OrganisasiPenyelenggara
Pemerintahan Daerah
Model Efisiensi Structural (Structural Efficiency Model)
Model Eklektik,(Perpaduan Antara Structural Efficiency Model Dengan
Local Democracy Model)
Model Eklektik,(Perpaduan Antara Structural Efficiency Model Dengan
Local Democracy Model)6 Mekanisme Transfer
Kewenangan Pemerintahan Dari Pemerintah Pusat
Kepada Daerah Otonom
Penyerahan UrusanPemerintahan Dengan Prinsip
Otonomi Yang Nyata
Paradigma PembagianUrusan Pemerintahan
Paradigma PembagianUrusan Pemerintahan
11
7 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah
Pola “Fungsi Mengikuti Uang” (Function Follow Money)
Kebijakan Perimbangan Keuangan Yang Lebih Adil Bagi Daerah
Kebijakan Perimbangan Keuangan Yang Lebih Adil Bagi Daerah
8 Sistem Kepegawaian Sistem Terintegrasi (Integrated System)
Sistem Campuran (Mixed System) Sistem Campuran (Mixed System)
9 Sistem Pertanggungjawaban
Sistem Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
Bersifat Vertikal Ke Atas
Tergantung Pada Model Pemilihan Kepala Daerah
Tergantung Pada Model Pemilihan Kepala Daerah
10 Sistem Pengelolaan Antar Asas Penyelenggaraan Pemerintahan
Pengelolaan Keuangan Antar Asas Dijadikan Satu Dalam APBN
Pengelolaan Keuangan Antar Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah Dipisahkan
Pengelolaan Keuangan Antar Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah Dipisahkan
11 Kedudukan Kecamatan Kecamatan Adalah Pelaksana Asas Dekonsentrasi, Sedangkan Camat Berkedudukan Sebagai Kepala Wilayah
Kecamatan Dijadikan Lingkungan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Sedangkan Camat Berkedudukan Sebagai Pimpinan SKPD Yang Menjalankan Asas Desentralisasi
Kecamatan Dijadikan Lingkungan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Sedangkan Camat Berkedudukan Sebagai Pimpinan SKPD Yang Menjalankan Asas Desentralisasi
12
TUGAS REVIEW SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERATURAN
TENTANG PERENCANAAN KOTA DESA DI INDONESIA
Sejarah Peraturan Tentang Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia
dapat dibagi menjadi 5 masa, yaitu masa VOC dan Penjajahan Belanda, Masa
Perang Dunia II - Tahun 1950an, Masa 1950 - 1960, Masa 1970 - 2000 dan masa
tahun 2000an. Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah perkembangan Perencanaan
Wilayah dan Kota di Indonesia sebagai berikut (www. dokter-kota.blogspot.com):
1. Masa VOC dan Penjajahan Belanda
a) Secara teknis, perencanaan fisik di Indonesia sudah dimulai sejak masa
VOC di abad 17 yaitu dengan telah adanya De Statuten Van 1642, yaitu
ketentuan perencanaan jalan, jembatan, batas kapling, pertamanan, garis
sempadan, tanggul-tanggul, air bersih dan sanitasi kota;
b) Pada masa pemerintahan Hindia Belanda terjadi 2 hal yang dapat dikatakan
sebagai dasar perencanaan kota, yaitu: munculnya Regeringsregelement
1854 (RR 1854), berisi sistem pemerintahan dengan penguasa tunggal di
daerah residen; dan diundangkannya Staatsblad 1882 Nomor 40 yang
memberikan wewenang kepada residen untuk mengadakan pengaturan
lingkungan dan mendirikan bangunan di wilayah (gewent) kewenangannya;
c) Selain itu juga dikeluarkan Reglement op het Beleid der Regering van
Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) mengenai sentralisasi dan dekonsentrasi.
Pada saat itu sudah dikenal wilayah administratif, misalnya di Jawa ada
Gewest (Residentie), Afdeeling, District dan Onder-district.(Josef Riwu
Kaho, 2007:23);
d) Lalu sesuai perkembangannya, pada tahun 1903 Pemerintah Belanda
menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in
Nederlandsch Indie (Stb 1903/329) yang lebih dikenal dengan sebutan
Decentralisatiewet 1903 (Undang-Undang Desentralisasi 1903) yang
memberi kemungkinan bagi pembentukan Gewest atau bagian Gewest yang
mempunyai keuangan sendiri (Josef Riwu Kaho, 2007:23-24);
13
e) Sejak tahun 1905 yaitu sejak diundangkannya Decentralisatie Besluit
Indische Staatblad 1905/137 dan Locale Radenordonnantie (Stb 1905/181).
Menurut kedua peraturan ini, daerah yang diberi keuangan sendiri ini
disebut Locaal Ressort, sedangkan Raad-nya disebut Locale Raad. Locale
Raad dibedakan ke dalam Gewestelijke Raad bagi Gewest dan Plaatselijke
Raad bagi daerah –daerah yang merupakan bagian dari Gewest (Josef Riwu
Kaho, 2007:24). Maka perencanaan kota lebih eksplisit sehubungan dengan
pemberian kewenangan otonomi bagi stadsgemeente (kota praja) untuk
menyusun perencanaan kotanya;
f) Namun hal itu belum dirasakan memuaskan karena dirasakan sangat
terbatas. Maka dikeluarkanlah Wet op de Bestuurshervorming (Stb
1922/216). Titik berat Undang-Undang ini adalah pembentukan badan-
badan pemerintahan baru dengan mengikutsertakan penduduk asli dengan
pemberian hak untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembebanan
tanggung jawab sebagai akibat dari pemberian hak tadi (Josef Riwu Kaho,
2007:25);
g) Pelaksanaan lebih lanjut undang-undang tersebut diatur dengan Provincie-
ordonnantie (Stb 1924/78), Regentschap-ordonnantie (Stb 1924/79) dan
Stadsgemeente-ordonnantie (Stb 1926/365). Berdasarkan peraturan tersebut
dibentuklah berbagai propinsi, regentschap dan stadsgemeente yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri di Jawa dan Madura.
Dengan demikian Locaal Resort yang dibentuk sebelumnya, dihapuskan.
(Josef Riwu Kaho, 2007:26);
h) Di luar Jawa dan Madura, keadaannya berbeda. Berdasarkan
Groepsgemeenschap-ordonanntie (Stb 1937/464) dan Stadsgemeente-
ordonantie Buitengewesten, sedangkan Locaal Ressort yang dibentuk
berdasarkan UU Decentralisasi 1903 tetap dipertahankan (Josef Riwu Kaho,
2007:26);
i) Di daerah yang dikuasai Belanda terdapat juga apa yang disebut Inlandsche
Gemeente seperti Desa, Huta, Kuria, Marga dan sebagainya. Untuk Jawa
dan Madura, Inlandsche Gemeente diatur dengan Inlandsche Gemeente
Ordonnantie (IGO) (Stb 1906/83), sedangkan untuk daerah di luar pulau
14
Jawa dan Madura diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonnantie
Buitengewesten (IGOB) (Stb 1939/490), Byblad 9308, Stb 1931/507 dan
Desa ordonantie (Stb 1941/356). Karena pecah perang dunia II, maka Desa-
ordonanntie tidak/belum sempat dilaksanakan (Josef Riwu Kaho, 2007:27);
j) Di daerah yang tidak langsung dikuasai oleh Belanda, terdapat daerah
otonom yang disebut Zelf-besturende landschappen. Zelfbesturende
landschappen ini terdiri dari kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang
mempunyai ikatan dengan Belanda melalui kontrak politik, baik kontrak
politik yang panjang (lange contracten) seperti Kasunanan Sala/Surakarta,
Kesultanan Yogyakarta, Deli dan sebagainya, maupun kontrak politik
pendek (korte verklaring) seperti Pakualaman, Mangkunegaran, Kesultanan
Goa, Bone dan sebagainya (Josef Riwu Kaho, 2007:27-28);
k) Kompleksitas permasalahan perencanaan kota dan desa yang dihadapi pada
masa ini masih sangat sederhana.
2. Masa Pendudukan Jepang
a) Pada masa Jepang menguasai wilayah Hindia Belanda, pemerintahan di
bekas wilayah jajahan ini dibagi menjadi tiga komando, yaitu (Josef Riwu
Kaho, 2007:28):
Sumatera di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV yang
berkedudukan di Bukittinggi;
Jawa dan Madura berada di bawah Komando Panglima Angkatan Darat
XVI yang berkedudukan di Jakarta;
Daerah lainnya berada di bawah Komando Panglima Angkatan Laut
yang berkedudukan di Makasar.
b) Pada tanggal 11 September 1943, dikeluarkan peraturan yang bernama
Osamuseirei;
c) Osamuseirei No. 3 mengatur pemberian wewenang kepada Walikota yang
semula hanya berhak mengatur rumah tangga daerahnya saja, sekarang
diwajibkan juga untuk menjalankan urusan pemerintahan umum;
d) Selanjutnya, kedudukan Stadsgemeente dan Regentschap dengan
Osamuseirei No. 12 dan No. 13 diubah menjadi Si dan Ken yang otonom,
15
tetapi sifat demokratisnya ditiadakan, karena hak-hak Raad dan College
dialihkan kepada Kepala Daerah;
e) Dengan Osamuseirei No. 21 dan No. 26 ditetapkan pula bahwa Provinsi,
Dewan Kabupaten dan Dewan Gemeente dihapuskan (Josef Riwu Kaho,
2007:29);
f) Selanjutnya dalam Osamuseirei No. 27 Tahun 1942 ditetapkan antara lain:
Jawa dan Madura, kecuali wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta dibagi atas beberapa Syuu (Karesidenan), Si
(Stadsgemeente), Ken (Regentschap), Gun (Distrik/Kawedanan), Son
(Onderdistrict) dan Ku (desa). Kepala-kepala pemerintahannya disebut :
Tyo; jadi berturut-turut terdapat Syuutyo, Sityo, Kentyo dan seterusnya;
Urusan yang semula dijalankan oleh para Bupati, Wedana, Asisten
Wedana, Kepala Desa, Kepala Kampung (Wijkmeester) yang berada di
Daerah Si (Kota) diambil alih oleh Sityo;
Di samping itu ada Daerah Istimewa yang ditentukan oleh Gunseikan,
yang disebut Tokubetsu Si;
g) Osamuseirei No. 28 tahun 1942 menetapkan pula bahwa Surakarta dan
Yogyakarta diubah menjadi Kooti. Syuu dan Kooti merupakan daerah yang
berdiri sendiri khusus mengurus bidang ekonomi/pangan (Josef Riwu Kaho,
2007:29).
3. Masa Perang Dunia (PD) II - Tahun 1950an
a) Diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1945 yang mengatur tentang
Pembentukan Komite Nasional Daerah yang bertugas untuk mengatur
otonomi di daerah;
b) Tanggal 10 Juli 1948 diundangkanlah UU No. 22 Tahun 1948 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Unsur yang menonjol ialah sebutan
Propinsi bagi Daerah Tingkat I, Kabupaten dan Kota Besar bagi Daerah
Tingkat II, dan Desa (Kota kecil, Negeri, Marga dan sebagainya) bagi
Daerah Tingkat III (Josef Riwu Kaho, 2007:34-35);
16
c) Pada tahun 1948 diterbitkan peraturan perencanaan pembangunan kota
sebagai peraturan pokok perencanaan fisik kota khususnya untuk kota
Batavia, wilayah Kebayoran dan Pasar Minggu, Tanggerang, Bekasi, Tegal,
Pekalongan, Cilacap, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang,
Palembang dan Banjarmasin;
d) Peraturan ini dinamakan Stadsvorming Ordonantie/SVO;
e) Ordonansi Pembentukan Kota atau Stadsvorming Ordonantie/SVO
(Staatsblad 1948 no.168) adalah peraturan perundang-undangan yang
diterbitkan tahun 1948 oleh pemerintah pendudukan Belanda yang
digunakan untuk penataan ruang dalam periode 1950-1959;
f) SVO ini ditujukan untuk menanggapi perkembangan kota yang mendesak,
yaitu memperbaiki keadaan kota-kota yang hancur atau rusak semasa
terjadinya perang kemerdekaan, termasuk pembangunan perumahan yang
masih terus diperhatikan pemerintah. Namun SVO hanya berlaku bagi
limabelas dari limapuluh kotapraja yang ada. Dan pelaksanaannya juga
sebatas pemeliharaan kota, bukan pembangunan (www.
darasalsabilla.blogspot.com) ;
g) Peran serta masyarakat dalam SVO mengatur empat hal :
Kewajiban walikota mengumumkan draft rencana kota lewat surat
kabar lokal atau surat kabar yang banyak dibaca oleh masyarakat
lokal diwilayah objek perencanaan;
Hak setiap anggota masyarakat untuk mendapat informasi
penataan ruang dan dokumen tata ruang;
Hak mengajukan keberatan kepada Pemerintah Daerah dalam
waktu satu bulan setelah diumumkan;
Hak untuk mengajukan banding atas keputusan tentang keberatan
yang ditolak.
h) Diberlakukannya Staatblad Indonesia Timur (SIT) No. 44 Tahun 1950 bagi
wilayah Negara Indonesia Timur. Yang mana isi dan jiwa SIT No. 44 Tahun
1950 ini mendekati UU No. 22 Tahun 1948, tetapi disesuaikan dengan
struktur Negara bagian.SIT No. 44 Tahun 1950 ini menetapkan bahwa
17
Negara Indonesia Timur ini tersusun atas dua atau tiga tingkatan Daerah
Otonom yaitu Daerah, Daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian;
i) Muncul gagasan-gagasan tentang pembangunan kota baru, baik kota satelit
seperti wilayah Candi di Semarang maupun Kebayoran Baru di Jakarta,
serta kota baru mandiri seperti Palangkaraya di Kalimantan Tengah dan
Banjar Baru di Kalimantan Selatan;
j) Pembangunan nasional pada saat itu mendapat bantuan dari negara-negara
maju.
4. Masa 1950 - 1960
a) Masih diberlakukannya Ordonansi Pembentukan Kota atau Stadsvorming
Ordonantie / SVO (Staatsblad 1948 no.168);
b) Pemberlakuan SIT No. 44 Tahun 1950 yang menjadi awal mula UU No. 44
Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
c) Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah Tahun 1956 akibat adanya perubahan ketatanegaraan waktu itu.Saat
itu terdapat dua jenis daerah otonom yaitu daerah Swatantra dan Daerah
Istimewa (Josef Riwu Kaho, 2007:40);
d) Diberlakukannya Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang
Pemerintahan Daerah dan Penetapan presiden No. 5 Tahun 1960 tentang
DPRD Gotong Royong dan Sekretariat Daerah;
e) Diberlakukan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
f) Diberlakukannya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja;
g) Perkembangan penduduk kota-kota, khususnya di Jawa dan Sumatera
berdampak terhadap berbagai segi, baik fisik, budaya, sosial dan politik;
h) Pembangunan nasional semakin kompleks;
i) Peningkatan tenaga ahli perencanaan wilayah dan kota.
5. Masa 1970 - 2000
a) RUU tentang Pokok-Pokok Bina Kota (1972);
18
b) RUU ini disusun oleh Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, Ditjen
Cipta Karya, Departemen PU. RUU ini dibuat sebagai pengganti SVV/
SVO yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia (www.
penataanruang.pu.go.id);
c) Pada bulan Agustus 1972, RUU tentang Pokok-Pokok Bina Kota selesai
disusun. Materi ini kemudian diajukan sebagai laporan kepada Presiden
Republik Indonesia (Soeharto) dengan surat Menteri Pekerjaan Umum
dan Tenaga Listrik (PUTL) Sutami nomor 9/15/2 tertanggal 26
September 1972;
d) Selanjutnya surat Menteri PUTL nomor Men.9/3/22 tanggal 14 Maret
1973 dilayangkan kepada Menteri Kehakiman untuk meminta saran
dan tanggapan RUU Pokok-pokok Bina Kota yang telah diajukan
kepada Presiden dan Menteri Sekretariat Kabinet dalam waktu yang tidak
terlalu lama;
e) Sementara itu, awal 1974 berlaku UU 5/1974 tentang “Pokok- pokok
Pemerintahan di Daerah”. Menteri Sekretariat Kabinet menyarankan agar
Departemen PUTL menyesuaikan materi RUU tentang Pokok-pokok
Bina Kota dengan undang-undang baru tersebut. Setelah mengadakan
evaluasi dan pengembangan pemikiran, dengan surat nomor Men.9/2/20
tanggal 15 Februari 1975, Menteri PUTL kembali menyampaikan laporan
kepada Sekretariat Kabinet yang menjelaskan Mengenai naskah RUU
tentang Pokok-Pokok Bina Kota yang telah disesuaikan disertai
tambahan RUU tentang Jalan serta tiga Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP), yakni RPP Teknik Penyehatan Bidang Air Minum, RPP Teknik
Penyehatan Bidang Air Buangan dan RPP tentang Kontraktor Umum di
Bidang Bangunan Umum dan Bangunan Sipil serta Konsultan di Bidang
Bangunan Umum dan Bangunan Sipil;
f) Dua bulan kemudian, tepatnya tanggal 17 April 1975, atas prakarsa
Sekretariat Kabinet diadakan pertemuan koordinasi wakil dari
Departemen PUTL, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman
dan Bappenas. Setelah pertemuan koordinasi, Sekretariat Kabinet
meminta Departemen PUTL mengadakan penyesuaian RUU tentang
19
Pokok-pokok Bina Kota terhadap RUU tentang Tata Guna Tanah yang
diajukan Depdagri;
g) Hasil dari penyesuaian ini lalu menjadi awal RUU tentang tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pembinaan Kota (1975);
h) Selain itu juga ada RUU tentang Tata Ruang Kota (1978);
i) Pada masa ini juga berlaku RUU Tata Guna Tanah usulan Ditjen Agraria
Depdagri. Sehingga hal ini Pada saat itu pula sempat terjadi kebingungan
di lingkungan pemerintah daerah yang selama ini dibina Departemen
PUTL, terhadap Permendagri 4/1980 tentang “Pedoman Penyusunan
Rencana Kota”. Selanjutnya, sebagai aturan pelaksanaan diterbitkan
Permendagri 650/123/233-234. Semua Rencana Kota harus dijadikan
Peraturan Daerah. Sempat terjadi kebingungan di daerah karena harus
melaksanakan arahan Depdagri yang tidak selalu sama dengan
Departemen PUTL. Sementara itu, juga terjadi kericuhan ganti cover
dari rencana kota untuk digunakan kota lain sebagai jalan pintas
membuat rencana karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia,
sekaligus mengejar target sesuai dengan arahan Depdagri agar setiap kota
memiliki rencana kota;
j) Kondisi tersebut menyebabkan pada tahun 1985 ditetapkan SKB
Mendagri-Menteri PU nomor 650-1595 dan 503/KPTS/1985 tentang
Tugas-tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota. SKB tersebut
perlu melibatkan Menpan karena berbagai keluhan di pemerintah daerah,
akibat kerancuan kewenangan perencanaan kota. Pada SKB tersebut
diatur;
k) Tugas dan tanggung jawab Departemen PU adalah di bidang tata ruang
(teknik planologi) dalam perencanaan kota, yang meliputi penetapan
kriteria dan standar teknik penyusunan rencana-rencana tata ruang kota,
bantuan teknik, petunjuk dan saran dalam menyusun tata ruang
kota/wilayah;
l) Tugas dan tanggung jawab Depdagri adalah di bidang administrasi
perencanaan kota, yang meliputi pengesahan, pengaturan, koordinasi
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian administrasi tata ruang kota;
20
m) Tindak lanjut kewenangan tersebut diatur dalam Kepmen PU nomor
640/KPTS/ 1986 dan Permendagri 2/1987 (mencabut Permendagri
4/1980). Dalam hal ini, terlihat pengaturan aspek administrasi
perencanaan yang diatur dalam SKB belum cukup terurai untuk
memenuhi hal-hal yang perlu dibina Depdagri. Pada saat itu, aspek
penatagunaan tanah pun belum cukup terkait dengan penataan ruang
(kota). Rencana kota kurang diterima karena lebih merupakan produk
prestise dan pajangan di rumah pejabat atau kantor pemerintah daerah.
Sementara itu, perencanaan tata guna tanah lebih memiliki civil effect
yang digunakan untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah;
n) Pada tanggal 17 Desember 1991, Dewan Pertimbangan Agung dengan
surat nomor 29/DPA/1991 menyampaikan kepada Presiden tentang
keserasian pengembangan Daerah Perkotaan dan Daerah Pedesaan yang
mengusulkan segera ditetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Tata
Ruang, baik itu Rencana tata ruang pedesaan di sekitar kota dan pusat
Pertumbuhan;
o) Pada tanggal 21 Januari 1992, Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup memberi jawaban pemerintah terhadap pemandangan
umum atas RUU tentang Penataan Ruang. Sebelumnya, pada tanggal 27
September 1991, Presiden menyampaikan bahwa RUU tentang Penataan
Ruang layak dibicarakan dalam sidang DPR guna mendapat persetujuan
dan menugaskan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
(Emil Salim) mewakili pemerintah untuk membahas RUU tentang
Penataan Ruang menjadi UU tentang Penataan Ruang. Dengan demikian,
RUU tentang Penataan Ruang telah memenuhi syarat untuk diproses
menjadi undang-undang. Jawaban pemerintah terhadap pemandangan
umum fraksi di DPR, menandai RUU tentang Penataan Ruang dibahas
menjadi Undang-Undang tentang Penataan Ruang nomor 24 tahun 1992
yang akhirnya disahkan dan ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 13
Oktober 1992;
21
p) Pada masa ini juga mulai dikenalkan istilah otonomi daerah dengan
pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah;
q) Pada masa ini kompleksitas pembangunan nasional, regional dan lokal
semakin meningkat disertai pengaruh metode-metode dan teknologi
negara maju;
r) Peningkatan program transmigrasi untuk membuka lahan-lahan pertanian
baru di luar Jawa;
s) Pembangunan yang lebih bersifat sentralistik;
t) Industrialisasi mulai digalakkan ditandai dengan munculnya kawasan-
kawasan industri;
u) Standarisasi hirarki perencanaan dari yang umum, detail dan terperinci
untuk tiap daerah tingkat I dan II.
6. Masa Tahun 2000an
a) Diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai
pengganti UU No. 24 Tahun 1992 yang lebih menegaskan pentingnya
penataan ruang dalam perencanaan kota dan desa di Indonesia;
b) Berlakunya Otonomi Daerah secara benar dengan diberlakukannya UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi
lagi dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah;
c) Imbas dari otonomi daerah ini juga diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa yang mengatur otonomi desa;
d) Kabupaten dan Kota berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD);
e) Tingginya wacana partisipasi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat;
f) Tingginya wacana pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development).
22
DAFTAR PUSTAKA
Kuncoro, 2004 , Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan,
Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
Riwu Kaho Josef, 2007, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
http://dokter-kota.blogspot.com/2012/09/sejarah-perencanaan-wilayah-dan-kota-
di.html diakses 23 Maret 2013
http://penataanruang.pu.go.id/taru/sejarah/sejarah.htm diakses 23 Maret 2013
http://darasalsabilla.blogspot.com/2008/04/perbandingan-svo-uu-241992-dan-
uu.html diakses 23 Maret 2013
23