6
1 PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang- undang Nomor: 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor: 1), sebenarnya termasuk dalam kelompok peraturan-peraturan hukum administratif. Undang-undang ini dalam perkembangannya hendak ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Secara sosiologis, suatu undang- undang-undang yang dibuat dalam kurun waktu tertentu adalah sesuai dengan perkembangan ketika itu, akan tetapi karena masyarakat juga berkembang, maka undang-undang yang dibuat tadi menjadi tidak atau kurang relevan lagi sehingga perlu untuk dilakukan peninjauan kembali atau melakukan reorientasi atau reevaluasi, atau dengan kata lain perlu melakukan pembaharuan hukum, yaitu pembaharuan terhadap Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974. Pembaharuan itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum. Pembaharuan yang hendak dilakukan saat ini, di antaranya adalah mengenai ketentuan pidananya, yaitu sebagaimana yang ditunjukan dalam Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 yang diusulkan oleh Badan Legislasi DPR-RI. Kebijakan penal yang terimplementasi dalam Undang-undang Perkawinan saat ini, adalah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 dan tidak diatur sendiri oleh Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974. Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mencantumkan ancaman pidana bagi pria yang menikah lebih dari satu tanpa izin dari pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah ini yang menentukan: apabila seorang suami 1 Anggota TIM RUU Perubahan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Fakultas Hukum Univ. Jember.

UU+Perkawinan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

UU perkawinan

Citation preview

  • 1

    PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

    (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1

    A. NDAHULUAN

    Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-

    undang Nomor: 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor: 1),

    sebenarnya termasuk dalam kelompok peraturan-peraturan hukum administratif.

    Undang-undang ini dalam perkembangannya hendak ditinjau kembali untuk

    disesuaikan dengan perkembangan zaman. Secara sosiologis, suatu undang-

    undang-undang yang dibuat dalam kurun waktu tertentu adalah sesuai dengan

    perkembangan ketika itu, akan tetapi karena masyarakat juga berkembang, maka

    undang-undang yang dibuat tadi menjadi tidak atau kurang relevan lagi sehingga

    perlu untuk dilakukan peninjauan kembali atau melakukan reorientasi atau

    reevaluasi, atau dengan kata lain perlu melakukan pembaharuan hukum, yaitu

    pembaharuan terhadap Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974. Pembaharuan itu

    sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum.

    Pembaharuan yang hendak dilakukan saat ini, di antaranya adalah mengenai

    ketentuan pidananya, yaitu sebagaimana yang ditunjukan dalam Rancangan

    Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974

    yang diusulkan oleh Badan Legislasi DPR-RI. Kebijakan penal yang terimplementasi

    dalam Undang-undang Perkawinan saat ini, adalah diatur dalam Peraturan

    Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan

    Tahun 1974 dan tidak diatur sendiri oleh Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974.

    Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mencantumkan ancaman pidana

    bagi pria yang menikah lebih dari satu tanpa izin dari pengadilan sebagaimana diatur

    dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah ini yang menentukan: apabila seorang suami

    1 Anggota TIM RUU Perubahan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Fakultas Hukum Univ. Jember.

  • 2

    bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan

    secara tertulis kepada pengadilan. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut diatur

    dalam Pasal ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dengan

    maksimum denda Rp 7.500,-- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Sedangkan bagi

    Pencatat Perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal-pasal: 6; 7; 8; 9; 10 ayat (1);

    11; 13; dan 44 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dipidana dengan pidana

    kurungan maksimum tiga bulan atau denda maksimum Rp 7.500,-- (tujuh ribu lima

    ratus rupiah). Ketentuan ini, apabila dilihat dari segi rumusan ancaman pidananya

    memang sudah seharusnya untuk ditinjau kembali. Demikian juga halnya dengan

    penempatan ancaman pidana tersebut, yang seharusnya segala sesuatu yang

    berkaitan dengan pembatasan hak-hak rakyat adalah diatur dalam undang-undang,

    bukan dalam peraturan pemerintah.

    Kebijakan yang hendak mencantumkan ketentuan pidana dalam Undang-

    undang Perkawinan yang akan datang, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari

    kecenderungan kebijakan legislatif yang selalu mencantukan ketentuan pidana

    dalam hukum administrasi. Hukum administrasi pada dasarnya merupakan hukum

    mengatur atau hukum pengaturan, yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan

    kekuasaan mengatur atau kekuasaan pengaturan, sehingga penggunaan istilah

    hukum pidana administrasi sering pula disebut dengan hukum pidana mengenai

    pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan. Dengan demikian, hukum pidana

    administrasi itu merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana

    sebagai sarana untuk menegakkan atau melaksanakan norma yang ada dalam

    hukum administrasi tersebut. 2

    Sehubungan dengan telah adanya Rancangan Undang-undang tentang

    Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 tersebut, maka yang menjadi

    pertanyaan: apakah relevan mencantumkan hukum pidana sebagai sarana untuk

    menegakkan norma dalam Undang-undang tentang Perkawinan yang akan datang?

    Pertanyaan ini mengemuka, karena apabila dikaitkan dengan hukum administrasi 2 Barda Nawawi Arief, Penggunaan Sanksi Pidana Dalam Hukum Administrasi, Makalah yang disampaikan

    pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Diselenggarakan oleh ASPEHUPIKI bekersama dengan Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Hotel Surya Prigen Pasuruan, Tanggal 13 19 Januari 2002, hal.. 2-3.

  • 3

    yang bersanksi pidana, seperti Undang-undang tentang Pasar Modal, Undang-

    undang tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang tentang Perbankan,

    Undang-undang tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

    dan masih banyak lagi. Kesemuanya lebih banyak mengatur mengenai kegiatan di

    bidang ekonomi. Sedangkan yang menyangkut perkawinan, apakah tidak sebaiknya

    cukup mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) manakala

    Rancangan Undang-undang (RUU). Karena, di dalam RUU tentang KUHP 1999-

    2000 telah diatur mengenai hal tersebut dalam Bab XIV tentang Tindak Pidana

    terhadap Asal-usul dan Perkawinan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 410), dan Bab

    XXIX tentang Tindak Pidana Jabatan (Pasal 576, Pasal 577, Pasal 580).

    B. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA Masalah penggunaan hukum pidana atau sanksi pidana dalam Undang-

    undang tentang Perkawinan, pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan

    hukum pidana. Dikaitkan dengan diskusi ini, Barda Nawawi Arief mempertanyakan: 3

    apakah penggunaan hukum pidana dalam bidang administrasi di Indonesia dapat

    disamakan dengan administratif penal law.

    Dalam kaitan ini, Andi Hamzah pernah menulis 4 bahwa di Indonesia

    perkembangan perundang-undangan pidana di luar KUHP berbeda dengan Belanda.

    Di Belanda, pada umumnya perundang-undangan pidana di luar KUHP itu dibagi

    dua, yaitu perundang-undangan pidana dan perundang-undangan administrasi yang

    bersanksi pidana. Menurut Andi Hamzah perundang-undangan administrasi yang

    bersanksi pidana itu, biasanya berupa delik pelanggaran saja. Di Indonesia lanjut

    Andi Hamzah menjadi lain, karena ada perundang-undangan administrasi yang

    sanksinya sampai pidana mati. Contoh yang dikemukakan, adalah seperti Undang-

    undang tentang Tenaga Atom (Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1964).

    Dengan demikian, apabila dibandingan dengan Belanda, di Indonesia dalam

    mengimplementasikan kebijakan hukum pidana (penal policy) di bidang hukum

    3 Ibid., hal. 3-4. 4 Andi Hamzah, Hukum Pidana Khusus (Economic Crime), Bahan Penataran Nasional: Hukum Pidana dan

    Kriminologi, Hotel Gracia, Semarang, 23-30 Nopember 1998, hal. 1.

  • 4

    administrasi dapat dikatakan tidak ada perbedaan dengan perundang-undangan

    pidana. Bahkan sekarang ada kecenderungan untuk mencantumkan ketentuan

    ancaman pidana yang tinggi, baik pidana penjara maupun denda. Jadi, rumusannya

    lebih berorientasi kepada potential victim daripada actual victim. Atau dengan kata

    lain lebih ditujukan kepada perlindungan masyarakat daripada ditujukan kepada

    perlindungan korban nyata atau direct victim.

    Dalam Rancangan Baru Undang-undang Perkawinan, yaitu Rancangan

    Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Badan

    Legislasi DPR-RI telah mencantumkan ketentuan pidana dalam Pasal 9 ayat (2),

    Pasal 16 ayat (2), dan Pasal 20 ayat (2), yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974. Semula, dalam Undang-undang Nomor: 1

    Tahun 1974 mengenai ketentuan Pasal 9 itu tidak dipecah ke dalam ayat-ayat, akan

    tetapi oleh Badan Legislasi DPR-RI dibagi menjadi dua ayat. Rumusan yang telah

    diatur dalam Pasal 9 ditempatkan menjadi ayat (1), sedangkan ayat (2) yang berisi

    ketentuan pidana itu merupakan tambahan dari Badan Legislasi DPR-RI, yang

    berbunyi: Suami yang melanggar ketentuan ayat (1) di atas dapat dikenakan sanksi

    pidana penjara sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun. Adapun alasan mencantumkan

    ketentuan pidana tersebut, dapat diketahui dari keterangan Badan Legislasi DPR-RI

    yang menyatakan: Perlu adanya sanksi agar dapat terwujudnya ketentuan yang

    diatur dalam Pasal 3 ayat (2) sehingga tidak mudah untuk dilanggar (mengacu pada

    Pasal 279 KUHP).

    Selanjutnya, Pasal 16 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 yang terdiri dari

    dua ayat itu, dalam Rancangan Baru ketentuan yang diatur dalam ayat (1) tetap tidak

    berubah. Perubahan hanya pada ayat (2) yang berbunyi: Bagi pejabat yang ditunjuk

    yang melanggar ketentuan ini akan diberikan sanksi berupa peringatan sampai

    dengan pemecatan terhadap status PNS. Adapun alasan pencantuman sanksi

    seperti ini, adalah sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Badan Legislasi

    DPR-RI: Karena ketentuan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 45 ayat

    (1) butir a dan b tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan.

    Kemudian, seperti halnya dengan ketentuan Pasal 9 di atas, yang tidak

    dipecah ke dalam ayat-ayat, akan tetapi dalam Rancangan Baru dibagi menjadi dua

  • 5

    ayat. Rumusan yang telah diatur dalam Pasal 20 ditempatkan menjadi ayat (1),

    sedangkan ayat (2) yang berisi ketentuan pidana itu merupakan tambahan dari

    Badan Legislasi DPR-RI, yang berbunyi: Pegawai pencatat perkawinan yang

    melanggar ketentuan ayat (1) di atas dikenakan sanksi pidana penjara sekurang-

    kurangnya 1 (satu) tahun dan dikenakan sanksi administrasi.

    Terlepas dari rumusan sanksi yang demikian itu, tapi apa yang telah dirancang

    oleh Badan Legislasi DPR-RI tersebut, tentu dapat dimengerti adalah sebagai upaya

    untuk mendukung norma yang ada dalam Undang-undang Perkawinan. Undang-

    undang Perkawinan sebagai perundang-undangan administrasi yang selanjutnya

    hendak dicantumkan ketentuan pidana di dalamnya, sehingga nantinya dapat disebut

    sebagai undang-undang administrasi yang bersanksi pidana, maka kedudukan

    hukum pidana tersebut menurut Muladi 5 adalah sebagai penunjang penegakan

    norma yang berada dalam hukum administrasi tersebut. Kendati kedudukannya

    sebagai penunjang, akan tetapi dalam hal-hal tertentu lanjut Muladi, hukum pidana

    dapat juga lebih fungsional daripada sekedar hanya berfungsi subsidiair. Meskipun

    begitu, Muladi mengingatkan bahwa penggunaan hukum pidana sebagai primum

    remedium harus dilakukan dengan hati-hati dan selektif, yaitu dengan

    mempertimbangkan, baik kondisi objektif (yang berkaitan dengan perbuatan) maupun

    hal-hal subjektif (yang berkaitan dengan pelaku), kerugian atau korban yang

    ditimbulkan, kesan masyarakat terhadap tindak pidana yang bersangkutan, serta

    tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Ini berarti, bahwa hukum pidana sebagai

    bagian dari sistem yang lebih luas tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai

    perkembangan yang terjadi dalam sistem yang lebih besar tersebut. Untuk itu,

    keterlibatan hukum pidana selain dapat bersifat otonom, juga dapat bersifat sebagai

    pelengkap terhadap hukum lain.

    Dengan demikian, tanpa dukungan hukum pidana dalam hukum administrasi,

    termasuk Undang-undang Perkawinan, dirasakan belum kuat untuk menegakkan

    undang-undang dimaksud. Padahal, apabila memperhatikan ketentuan pidana yang

    diatur dalam Pasal 407 misalnya, pada intinya mengancam dengan pidana penjara

    5 Ibid. hal. 7-8.

  • 6

    paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV (Rp 7.500.000,--) bagi

    setiap orang yang melangsungkan perkawinan, sedang perkawinannya yang ada

    menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut, atau

    perkawinan dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk dilangsungkannya

    perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 407 ini menyebutkan: yang dimaksud dengan

    perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah adalah perkawinan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mencegah atau membatalkan perkawinan

    berikutnya yang dilakukan oleh salah satu pihak yang terikat oleh perkawinan

    tersebut sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

    tentang Perkawinan. Kemudian, Pasal 576 menentukan: (1) setiap orang yang

    berwenang mengawinkan orang menurut hukum yang berlaku bagi kedua belah

    pihak, melangsungkan perkawinan seseorang, padahal mengetahui bahwa

    perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang sudah ada pada waktu itu menjadi

    halangan yang sah baginya untuk kawin lagi, dipidana dengan pidana penjara paling

    lama tujuh tahun; (2) setiap orang yang berwenang mengawinkan orang menurut

    hukum yang berlaku bagi kedua belah pihak, melangsungkan perkawinan

    seseorang, padahal mengetahui bahwa perkawinan tersebut ada halangan yang sah

    selain halangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana

    penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak kategori III

    (Rp 3.000.000,--).

    Apabila memperhatikan ketentuan pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal

    RUU tentang KUHP di atas, sudah lebih terperinci daripada yang diusulkan oleh Tim

    Legislasi DPR-RI. Karena itu, kembali kepada pertanyaan yang dikemukakan pada

    bagian akhir bagian Pendahuluan tadi, apakah tidak sebaiknya cukup mengacu saja

    kepada ketentuan KUHP manakala RUU tentang KUHP sudah diundangkan. Namun

    masalahnya, hingga kini RUU tentang KUHP masih belum diundangkan, entah

    kapan?