Upload
vuque
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
25
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengetahuan dan Penguasaan Pohon Sialang
Pohon sialang merupakan penyebutan dari masyarakat Riau terhadap pohon
lebah madu hutan yang merupakan jenis pohon-pohon yang secara rutin,
khususnya pada saat musim pembungaan menjadi tempat lebah A.dorsata
bersarang (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007). Pada mulanya yang disebut sebagai
pohon sialang adalah pohon kruing (Dipterocarpus spp), yang bersama pohon pulai
(Alstonia scholaris) dikenal dalam istilah masyarakat sebagai sulu batang dan bao
kaluang. Kedua jenis pohon ini adalah pohon yang dianggap sati atau angker bagi
masyarakat. Penguasaan pohon Kruing secara khusus berada di tangan adat.
Dahulu, sebagian besar koloni lebah hutan hanya bersarang di pohon Kruing dan
hanya sedikit yang di pohon Pulai. Keunggulan pohon Kruing sebagai tempat
bersarang lebah dibanding jenis yang lain adalah karena kemampuannya untuk
menahan air/kedap air, sehingga meskipun hujan lebat, air hujan tidak akan
mempengaruhi kualitas dari madu. Sebagaimana pohon kruing yang dikelola oleh
SU (55 tahun) yang pada saat musim panen, satu pohonnya bisa menghasilkan
hingga 1,3 ton madu. Hal tersebut diyakini juga karena adanya tuah dari pohon.
Pemanfaatan sialang milik adat dilakukan oleh anggota kelompok
sepersukuan. Pihak yang menjadi pengelola ditunjuk oleh adat dan pewarisannya
turun temurun kepada persukuan yang bersangkutan. Pada masa lalu hasil madu
dibagi-bagikan pada siapapun yang mau atau untuk memenuhi kebutuhan
subsisten saja. Saat ini dimana masyarakat mempunyai pencaharian yang
beragam, memanen madu hutan merupakan kegiatan yang hanya dilakukan oleh
orang-orang dengan keahlian khusus. Keahlian tersebut diantaranya mengetahui
ritual-ritual untuk memanen madu sialang, mampu memanjat pohon sialang, serta
bersedia kerja beresiko. Oleh sebab itu hanya kelompok-kelompok pemanjat yang
mampu melakukannya. Biasanya para pemanjat ini berkerabat dekat dengan
bathin (kepala suku) atau keturunan langsung dari pemanjat sialang.
Jenis-jenis pohon lain (Tabel 3) diluar penguasaan adat bisa dikuasai secara
pribadi maupun kelompok sehingga pengelolaannya melibatkan anak-anak
pemilik pohon dan dapat diwariskan. Pohon sialang yang dikuasai secara pribadi
26
maupun kelompok merupakan pohon-pohon hasil pencarian dengan masuk ke
dalam hutan. Pemilihan pohon yang dapat menjadi tempat lebah madu bersarang
dilakukan dengan mengamati pertanda-pertanda sebagai tuah dari pohon atau
secara visual terlihat bekas-bekas sarang di dahan pohon. Sebagai pertanda pohon
sudah ada pemiliknya dan agar lebah mau bersarang, maka daerah sekitar pohon
dibersihkan dari semak dengan luasan selebar tajuk. Pada saat pohon ditemukan
kemudian dibersihkan, biasanya dalam jangka waktu 2 – 3 bulan lebah mulai
bersarang. Namun waktu untuk panen hanya bisa ditentukan melalui survey
secara teratur.
Tabel 3 Jenis-jenis pohon sarang lebah madu
No Nama Lokal Nama Ilmiah
1. Randu Ceiba pentandra
2. Cempedak air Artocarpus maingayi
3. Batu Irvingia malayana
4. Kedungdung Spondias pinnata
5. Balau Shorea atrinervosa
6. Ara Ficus spp
7. Meranti Shorea spp
8. Kempas Koompasia malaccesis
9. Rengas Gluta rengas
Berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat (komunikasi pribadi dengan
MN, AD, BJ, HS, NZ) pertanda adanya tuah suatu pohon melalui penampilan
fisik pohon sialang diantaranya adalah: 1) adanya pintu gobang atau pintu
gerbang dimana dahan-dahan pohon saling bersilang atau bertemu sehingga
membentuk seperti pintu gerbang, 2) perakaran pohon yang saling bertautan, 3)
bentuk bagian ujung batang utama yang tumpul tidak berdaun seperti ada sarang
burungnya atau seperti tongkat. Adanya salah satu dari pertanda-pertanda tersebut
sudah cukup untuk memperkirakan suatu pohon berpotensi menjadi tempat lebah
bersarang.
Karakter percabangan yang serupa ditemukan dalam penelitian Kahono
(2002) yang menggambarkan pohon yang menjadi sarang lebah adalah pohon-
pohon besar dengan percabangan yang tinggi dan sangat terbuka jika dilihat dari
bawah maupun samping, sehingga memudahkan lebah melakukan orientasi dan
27
mempunyai ruang terbang yang lebih luas. Meskipun terlihat terlindung, sarang
lebah A. dorsata akan dibuat di tempat yang memungkinkan cahaya matahari
tetap masuk (Hadisoesilo dan Kuntadi 2007). Berbagai jenis pohon yang dapat
menjadi tempat lebah madu bersarang menandakan tidak ada jenis tumbuhan
tertentu yang benar-benar menjadi pilihan untuk tempat membangun sarang,
kecuali karakteristik fisik seperti pohon yang menjulang tinggi, tajuk tidak terlalu
padat dan percabangan relatif terbuka dengan kulit pohon relatif bersih dan halus
(Hadisoesilo dan Kuntadi 2008). Oldroyd dan Wongsiri (2006) menyebutkan
bahwa lebah hutan banyak dijumpai bersarang di cabang pohon yang memiliki
diameter 5 hingga 100cm dengan sudut kemiringan yang disukai 25o– 35
o.
Gambar 3 Pengenalan fisik pohon yang dipilih lebah untuk bersarang
Jual beli pohon sialang tidak lazim dilakukan (meskipun pernah juga terjadi)
karena dianggap aset yang sangat menguntungkan. Sebagaimana diceritakan oleh
HS (34 tahun, komunikasi pribadi) :
“pernah ada yang mau jual sialangnya, orang dari Lubuk Kambang Bunga,
karena dia mau merantau. Saya ditawari harganya 4,5 juta, tapi sedang tidak
Bekas sarang lebah Ujung batang tumpul
Terdapat pintu gobang
28
punya uang. Wajar saja harganya segitu, hitungannya upah dia pelihara, nanti
dua kali saja lebah naik dan panen bagus sudah balik modal. Yang beli pun orang
desa situ jadi tidak kemana-mana”
Berharganya pohon sialang ditunjukkan juga oleh kepercayaan masyarakat
bahwa jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan sialang, yang biasa terjadi
adalah pohon yang diperebutkan akan mati, atau lebahnya tidak mau naik,
sebagaimana diceritakan oleh MN :
“kejadian kira-kira dua tahun yang lalu pohon pulai diperebutkan oleh
pemanjatnya, adat pun turun tangan dan kemudian kepala desa yang mengambil
alih, tidak lama kemudian pohon tersebut mati tersambar petir. Biasa memang
begitu kalau sialang sudah diperebutkan kalau tidak tiba-tiba mati ya lebah tidak
mau naik lagi”
Masing-masing pemilik pohon biasanya sudah mempercayakan pemanenan
madunya pada satu kelompok pemanjat. Tugas kelompok ini untuk melakukan
survey mengenai kondisi sialang, membersihkan dan menyampaikan ke pemilik
jika sarang sudah siap panen. Jenis penguasaan pohon sialang akan menjadi
penentu dalam pembagian porsi madu yang didapatkan (Tabel 4).
Tabel 4 Penentuan bagi hasil panenan berdasarkan penguasaan pohon sialang
No Penguasaan Porsi Pembagian
1 Adat - Pemanjat akan mendapat bagian 30% dari jumlah
panenan
- Ketua adat akan mendapat bagian tergantung
kesukarelaan kelompok pemanjat, dan tidak ada
kewajiban untuk memberi bagian pada ketua adat
- Anggota kelompok pemanjat akan mendapatkan bagi
rata dari jumlah madu yang sudah dikurangi oleh
pemanjat
- Jika pemanjat lebih dari satu maka bagian dari 30%
dibagi dengan jumlah pemanjat. Sedangkan bagian
untuk anggota, pembaginya menjadi seluruh anggota
kelompok termasuk pemanjat
2
Kelompok - Hasil dibagi rata karena biasanya kelompok itu juga
termasuk pemanjat dan anggotanya. Maka meskipun
hanya anggota karena dia juga termasuk pemilik
pohon tidak dibedakan porsinya
- Anggota kelompok yang berhalangan hadir dalam
kegiatan pemanenan, jika dia mewakilkan perannya
pada orang lain maka bisa mendapat bagian,
29
Tabel 4 Lanjutan
No Penguasaan Porsi Pembagian
jika tidak maka tergantung pada hasil panenan jika
memang banyak bisa diberi bagian sesuai kerelaan
kelompok. Jika hasil tidak memungkinkan tidak ada
porsi pembagian untuknya, dan itu sudah dapat
diterima.
3 Kepemilikan Pribadi - Pemilik pohon akan mendapatkan bagian sebesar
30%
- Pemanjat mendapatkan bagian 30% dari sisa hasil
yang sudah diberikan pada pemilik pohon
- Anggota kelompok mendapatkan bagi rata dari hasil
yang sudah dikurangi dengan jatah pemanjat
Kelompok pemanjat biasanya berkerabat, sehingga pembagian porsi
seringkali tidak kaku seperti pembagian diatas, kecuali untuk bagian pemilik
pohon memang sudah ketentuan umum 30% dari hasil keseluruhan. Pembagian
keuntungan dapat juga ditentukan berdasarkan pada penemu pohon. Penemu
pohon sialang berhak memilih dahan mana yang menjadi bagiannya, sehingga
madu yang dipanen dari sarang yang berada di dahan tersebut akan menjadi
haknya. Pada dasarnya penguasaan oleh adat bersifat komunal untuk persukuan,
yang kemudian pemeliharaannya diserahkan pada kelompok tertentu oleh adat,
dan pembagian hasil dilakukan dengan rata kepada tiap-tiap anggota kelompok
tanpa pertimbangan perannya.
5.2. Pemanenan Madu
5.2.1. Persiapan Pemanenan
Persiapan pemanenan madu hutan akan melalui berbagai proses dari awal
berupa tahapan survey untuk mencari sarang siap panen pada pohon sialang,
pembagian tugas yang dilakukan oleh kelompok pemanjat pada saat sarang lebah
sudah siap dipanen, dan pemilihan waktu yang tepat untuk memanen madu.
Tabel 5 Tahapan dalam persiapan pemanenan madu hutan
No Tahapan Aktifitas
1 Persiapan Pemanenan
a. Survey - Dilakukan untuk mengetahui sudah adanya lebah
madu yang bersarang di pohon sialang
- Pembersihan tanah di sekitar pohon sialang dari
30
Tabel 5 Lanjutan
No Tahapan Aktifitas
tumbuhan bawah dan semak-semak, jika di bawah
tajuk tidak bersih maka lebah akan enggan
bersarang. Pembersihan dilakukan dengan luasan
sebesar tajuk pohon
b. Pembagian Tugas
Juagan Tuo - Memimpin ritual dalam pemanenan madu. Saat ini
seringkali juragan tuo sudah tidak ikut memanjat,
sehingga hanya membacakan
mantera, melakukan ritual tata cara adat dalam
memanen dan mendampingi selama kegiatan
berlangsung
- Saat memanen menjadi penyortir pertama madu,
dengan membersihkan kepala madu dari tai
masam atau bee pollen, serta menjatuhkan sarang
tempat anakan lebah
Juagan Mudo
- Membantu pekerjaan dari juagan tuo, dengan ikut
memanjat ke dahan-dahan sialang dan memanen
madu
- Menggantikan peran juagan tuo untuk memanjat
pohon, jika juagan tuo tidak turut naik
Tukang
Sambut
- Membersihkan sekitar pohon sialang sebelum
melakukan panen
- Menyambut timbo yang diturunkan para juragan
dari atas pohon dan menyampaikannya pada
tukang tiris. Jika lokasi penirisan tidak dibawah
pohon langsung, tugas tukang sambut untuk
mengantarkan sampai lokasi penirisan
- Menarik kembali timbo keatas
Tukang Tiris - Melakukan sortiran berikutnya pada kepala madu
yang sudah dipanen dari bee pollen agar kualitas
madu benar-benar bersih
- Meniris kepala madu hingga tuntas
- Karena penirisan memakan waktu dan tempat
meniris terbatas biasanya madu yang sudah
sebagian besar tertiris disingkirkan ke wadah lain
untuk ditiris lagi kemudian.
c. Persiapan Panen - Pemanenan akan dipertimbangkan waktu yang
tepat madu siap dipanen
- Pemanenan madu hutan secara tradisional
dilakukan pada malam hari sehingga waktu yang
tepat adalah pada saat bulan gelap sehingga
suasana malam memang pekat.
- Persiapan panen harus mempertimbangkan waktu,
karena waktu panen terbatas hingga pukul 04.00,
sehingga sarang bisa dipanen keseluruhan pada
malam itu juga.
31
Pada saat survey, jumlah sarang yang terlihat akan dihitung. Sarang yang
ditemukan dianggap layak untuk dipanen jika jumlahnya minimal 10-15 sarang
karena rata-rata mampu menghasilkan 100 kg madu, bahkan jika panen pada
waktu yang tepat maka satu sarang bisa menghasilkan hingga 20 kg madu. Lebah
madu A.dorsata merupakan penghasil madu yang paling potensial dari jenis lebah
lainnya, satu koloni lebah A.dorsata dalam satu kali panen dapat menghasilkan
madu sebesar 5-20 kg/koloni, lebah A.mellifera 1-5 kg/koloni, sedangkan
A.cerana 1-2 kg/koloni (Adalina 2011).
Jumlah minimal sarang yang dapat dipanen diperhitungkan dari modal biaya
dan tenaga mereka untuk melakukan pemanenan dengan hasil nantinya yang bisa
didapatkan. Jumlah minimal sarang yang dapat dipanen belum tentu dapat
memberikan hasil panen yang sesuai harapan, berikut ini informasi yang diperoleh
dari pemanjat:
“ ndak brani aku nokok begitu itu, bebohong sudahnya awak tu, aku kalo
dari bawah ndak berani ngomong, na iyo kalo pas kalo idak, sudahnya bohong,
kalo sudah diatas baru aku tau tu, kalo ndak punya isi bayangan tunam pasti
nampak, kalo bayangan tunam tidak nampak bisa jadi ponuh madunya”(saya
tidak berani menduga-duga, berbohong namanya, kalau hanya dilihat dari bawah
tidak berani ngomong, iya kalau benar, juka salah jadinya berbohong, kalau sudah
diatas baru bisa tahu, kalau bayangan tunam terlihat maka sarang tidak berisi
madu, jika bayangan tunam tidak kelihatan bisa jadi madunya penuh) (MN 72
tahun, pemanjat senior)
Pada saat hasil survey menunjukkan jumlah sarang belum memenuhi syarat,
biasanya survey akan diulangi 10 hari kemudian. Menurut pengalaman
masyarakat, dalam 10 hari biasanya jumlah sarang sudah bertambah 2-3 kali lipat.
Hal yang sama juga diamati oleh Woyke et al. (2001) bahwa terjadi penambahan
jumlah sarang A.dorsata yang berkoloni di suatu tempat lebih dari 2 kali lipat
dalam 2 minggu. Kegiatan pemanenan madu direncanakan setelah jumlah sarang
minimal dapat dipanen telah terpenuhi.
Pemanenan madu secara tradisional dilakukan pada malam hari. Bahkan
pada masyarakat di Sungai Telang Jambi, secara khusus pemanenan dilakukan
pada saat tanggal 27 penanggalan bulan, sehingga kondisi bulan tidak terlihat atau
32
bulan mati (Aliadi dan Djatmiko 1998). Pertimbangan jarak tempuh ke lokasi
panen juga menjadi bahan pertimbangan. Jika lokasi pemanenan jauh maka sejak
siang kelompok pemanjat sudah pergi ke lokasi dimaksud, terutama bila masih
harus berjalan kaki masuk ke dalam hutan.
Alat-alat yang diperlukan dalam pemanenan madu adalah: 1)
tangga/salimangkat, 2) timbo (ember), 3) Tunam (obor), 4) pisau pengiris, 5) tali,
6) jerigen dan corong, dan 7) alat peniris madu. Tunam/obor yang dipergunakan
masih tradisional dengan memanfaatkan kulit kayu jangkang (Dellenia exenia)
untuk mengusir lebah pergi dari sarangnya dan mengecoh lebah agar terbang
mengikuti bara api tunam. Bara dari tunam kayu jangkang bisa bertahan lama dan
tidak mudah mati. Asap dari bara tunam ini aman dan tidak mematikan lebah
madu. Tunam yang masih baru dengan panjang ±1 meter dapat dipakai hingga 2
kali panen.
Perlu ketepatan waktu untuk persiapan alat-alat terutama tangga dan tali
temali untuk memanjat sialang (Gambar 4). Tangga ini mampu bertahan untuk
satu tahun lamanya, sehingga untuk periode panen berikutnya masih bisa
dimanfaatkan hanya perlu melihat kondisi rotan yang mengikat pohon dengan
tangga yang dibuat. Seringkali tangga juga dimanfaatkan beruang untuk
mendapatkan madu, pemangsa madu yang lain adalah burung elang. Untuk
perlindungan, biasanya disekeliling pohon ditutup dengan seng.
Gambar 4 Tangga yang digunakan untuk memanjat sialang (a) induk lie, (b)
induk tukis.
a b
33
Keterangan :
a : Induk Lie adalah sarana pemanjat untuk naik ke pohon.
kayu-kayu diikat di batang pohon dengan menggunakan rotan yang
disebut tali pinggang. Masing-masing tali pinggang berjarak ± 1m. Untuk
mengikat rotan pada batang kayu agar dapat berfungsi juga sebagai
penyekat dan penjejak kaki, maka dipakai potongan kayu kecil sebagai
induk sungkit.
b : Induk Tukis adalah tangga penghubung tanah dengan pohon.
Secara keseluruhan tangga untuk memanjat pohon yaitu induk tukis dan
induk lie disebut sebagai sali mangkat
5.2.2. Prosesi Panen
Menurut kepercayaan setempat, pohon sialang dihuni oleh makhluk-
makhluk halus atau disebut sebagai akuan, sehingga untuk dapat memanjat pohon
harus disertai membaca doa dan monto atau mantera yaitu membacakan atau
menyanyikan syair-syair dengan tujuan menenangkan atau membuai-buai sang
lebah dan meminta ijin untuk dapat diambil madunya. Oleh sebab itu nyanyian-
nyanyian mantera disebut dengan menumbai atau mambuai-buai. Ritual-ritual
dalam prosesi panen yang dilakukan oleh juagan disajikan pada Tabel 6. Pada
saat peralatan telah siap dan bulan telah gelap, maka dimulailah kegiatan panen
madu (Gambar 5).
Tabel 6 Prosesi panen madu hutan
No Tahap Makna dan Aktifitas
1. Prosesi
Panen
a. Menumbai - dilakukan dibawah pohon sialang sebagai penghormatan
terhadap makhluk-makhluk halus atau akuan penghuni
pohon
- membaca doa dan monto atau mantera dengan tujuan
menenangkan atau membuai-buai sang lebah dan
meminta ijin untuk dapat diambil madunya
b. Kaji - menepuk-nepuk pohon sebanyak tiga kali
- saat terdengar dengungan dari lebah dan terdengar juga
oleh semua yang ada di bawahnya maka diartikan lebah
sudah menjawab
- Jika lebah tidak mendengung, pohon kembali ditepuk-
tepuk hingga diulang 3 kali.
- Jika belum dijawab juga berarti hari itu sialang belum
boleh dipanjat.
34
Tabel 6 Lanjutan
No Tahap Makna dan Aktifitas
c. Tanda alam
- melihat bayangan anggota tubuh jari jemari, tangan, kaki,
telinga, pada pohon sialang, jika utuh semuanya maka
satu syarat lagi telah terpenuhi.
- mengamati penampakan hewan-hewan di sekitar pohon
seperti: cicak,lipan, kecoak, ular. Bagi kepercayaan
mereka kadang kala hewan-hewan ini adalah perwujudan
makhluk halus „akuan’ penghuni pohon sialang
- Pada saat hewan-hewan tersebut terlihat dengan posisi
kepala menghadap ke puncak pohon maka berarti
„pemilik pohon‟ mengijinkan untuk dipanjat.
2 Memanjat
Sialang
a. Dahan
pertama
(Jombang)
- Pembacaan mantera
b. Dahan
tempat
lebah
bersarang
(Balai
Tonga)
- Mantera disenandungkan berupa pujian untuk sang lebah
yang digambarkan sebagai si hitam manis, memuji rumah
lebah yang berada di balai tonga sebagai tempat yang
cantik elok
- sarang disapu menggunakan asap dari bara tunam sambil
merapalkan mantera agar lebah pergi dari sarangnya
- Bara dari tunam yang berjatuhan akan diikuti oleh lebah,
bara tunam yang berhembus sesuai arah angin dapat
menguntungkan pekerja karena tidak terganggu dengan
lebah yang turun ke bawah
Gambar 5 Prosesi memanjat pohon sialang
Menyalakan Tunam
Berdoa
Memanjat sialang
35
Pada saat timbo telah penuh terisi madu, maka timbo diturunkan disertai
dengan mendendangkan mantera, demikian hingga seluruh sarang dapat dipanen.
Untuk mengakhiri kegiatan di atas pohon kembali mantera dinyanyikan sebagai
tanda meminta pamit dan berterimakasih untuk nantinya akan berkunjung
kembali. Prosesi panen yang dilakukan malam hari menimbulkan nuansa sakral
dan penuh penghayatan. Gambar 6 menyajikan ilustrasi pada saat pemanjat berada
diatas pohon sialang dan tampilan fisik sialang yang dipanjat oleh juagan.
Gambar 6 Ilustrasi (Sumber: Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007) dan tampilan
sialang yang dipanjat oleh juagan saat panen
5.3. Hasil Panenan
5.3.1. Pengolahan Hasil dan Kualitas Madu
Bongkahan kepala madu yang telah disortir oleh juagan tuo di atas pohon
akan disortir lagi oleh tukang tiris untuk menghilangkan sisa-sisa tai masam yang
mungkin masih tertinggal. Tai masam atau bee pollen jika tercampur akan
menurunkan kualitas madu sehingga akan diperhatikan sebaik mungkin agar tidak
tercampur dengan madu yang ditiris. Setelah itu dilakukan kegiatan penirisan
madu yang bertujuan untuk memisahkan cairan madu yang berada dalam kepala
madu (Tabel 7). Kepala madu yang belum tertiris sempurna akan ditampung
dalam wadah yang lain. Penirisan berikutnya akan dilakukan di rumah. Madu
36
hasil tirisan berikutnya ini akan lebih encer karena lebih banyak mengandung air.
Biasanya madu ini diperuntukkan bagi konsumsi tetangga yang ingin membeli.
Tabel 7 Tahapan penirisan madu
No Tahapan Keterangan
1
Persiapan alat peniris madu
2
Hasil panenan dari dalam timbo dituang ke atas alat
peniris. Timbo kemudian langsung ditarik lagi ke atas
pohon
3
Untuk mendapatkan madu yang bersih maka kepala
madu dicek kembali untuk membersihkannya dari
sisa-sisa bee pollen yang terlewat oleh pemanjat.
4
Kepala madu diiris melintang dari penampangnya,
untuk mengeluarkan cairan madunya.
5
Madu hasil tirisan mengalir ke dalam jerigen melalui
corong yang telah diberi kasa sebagai penyaring
Sarang lebah madu A.dorsata terdiri atas beberapa bagian yakni: kepala
madu, bee pollen dan sarang anakan (Gambar 7).
37
Gambar 7 Susunan sarang lebah madu Apis dorsata
(sumber: Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007)
Keterangan :
1) kepala madu dengan ketebalan dapat mencapai 15- 25 cm,
2) sel penyimpan bee pollen berada diatara sel madu dan sel anakan,
3) sarang anakan dengan ketebalan hanya berkisar 3,5 cm
Madu hutan Tesso Nilo dikenal sebagai madu hitam, karena secara umum
madu yang dihasilkan cenderung berwarna kemerahan dan gelap. Dikatakan
bahwa warna tersebut disebabkan oleh sumber pakan lebah yaitu bunga sawit dan
akasia, sebagaimana juga dinyatakan oleh Adalina (2011) tentang madu A.dorsata
yang memiliki sumber pakan utama Acacia mangium, namun hal tersebut juga
kurang diyakini oleh petani madu.
Seringkali didapatkan madu dari pohon sialang yang jauh di dalam hutan
pun warnanya hitam, sedangkan madu dengan sialang yang berada di sekitar
akasia dan sawit terkadang juga berwarna kekuningan. Jika suatu ketika
didapatkan hasil panen dengan madu yang lebih cerah warnanya, bisa jadi pada
periode panen berikutnya madu yang dihasilkan berwarna kehitaman. Petani madu
tidak secara khusus mengenali jenis-jenis tumbuhan pakan dari lebah madu,
namun mengenalinya dari segi rasa. Pada saat bunga mateo banyak bermunculan
maka warna madu hutan akan lebih gelap dan berasa pahit manis.
Negueruela dan Arquillue (2000) menyatakan bahwa warna madu sangat
tergantung oleh kandungan karoten, xanthophylls dan flavonol, seperti juga halnya
mineral tanah yang terserap oleh perakaran tumbuhan kemudian mempengaruhi
nektar bunga sehingga berpengaruh pada warna madu. Nektar yang berasal dari
3
2
1
38
berbagai jenis bunga juga akan memberikan warna madu yang gelap bahkan
mendekati hitam (Negueruele dan Arquillue 2000). Kandungan asam amino lebih
tinggi terdapat dalam madu berwarna gelap, demikian juga kandungan tyrosine
dan tryptophan yang tidak dimiliki oleh madu dengan warna yang lebih muda
(Negueruela dan Arquillue 2000). Tryptophan merupakan salah satu bentuk asam
amino esensial yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, memiliki manfaat
untuk membantu mengatasi stress, insomnia, dan mengurangi pre menstrual
syndrome (Medical Dictionary 2012). Sedangkan tyrosin merupakan jenis asam
amino non essensial dalam tubuh yang bermanfaat untuk menyeimbangkan
neurotransmiter otak, meningkatkan energi dan fokus tubuh (Live Strong 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Adalina (2011) tentang komposisi bahan
yang terkandung dalam madu dari Apis dorsata yang berada disekitar HTI Acacia
Mangium. Hasil tersebut dibandingkan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia)
untuk madu yaitu SNI 01-3545-2004 disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Komposisi kandungan madu Apis dorsata dan standar
madu dalam SNI
Berdasarkan Tabel 8, kualitas madu Apis dorsata dengan sumber pakan Acacia
mangium menunjukkan hasil yang memenuhi standar SNI kecuali untuk kadar air
dan keasaman (Adalina 2011)
Madu akan lebih encer pada saat sarang masih baru, sedangkan sarang
dengan larva yang sudah besar dan warna sarang sudah kehitaman, madu akan
No Jenis analisa Hasil analisa SNI
1 Kadar air (%) 25,0 ≤ 22
2 Fruktosa (%), b/b dan
Glukosa %, b/b
merupakan gula tereduksi
42,56
35,40
≥ 65
4 Sukrosa (%), b/b Tidak terdeteksi ≤ 5 b
5 HMF (mg/kg) 0,40 ≤ 50
6 Enzim diastase (DN) 68,94 ≥ 3
7 Keasaman (ml N NaOH/kg) 101,38 ≤ 50
39
lebih kental dan semakin pekat warnanya. Petani madu mengenalnya dengan
istilah sambang jalu. Bagi mereka madu tersebut lebih bagus dibanding yang
lain, meskipun demikian tidak ada pembedaan, hasil madu sambang jalu tetap
disatukan dengan madu yang lain.
Pengambilan madu dibatasi hingga maksimal pukul 04 00 pagi, sehingga
jika dalam satu pohon tidak bisa tuntas dipanen pada malam itu, maka dilanjutkan
pada malam berikutnya. Embun yang sudah mulai turun bisa mempengaruhi hasil
madu berkaitan dengan kadar air yang dikandungnya. Sebagaimana penelitian
Bogdanov (1999) dalam Sande et al. (2009) yang menyatakan bahwa secara
umum kadar air mempengaruhi kualitas dari madu, semakin tinggi kadar air maka
semakin mudah terfermentasi yang berakibat menurunnya kualitas. Peristiwa
fermentasi lebih mudah terjadi pada madu dengan kadar air diatas 20% yang
disebabkan oleh bakteri Khamir (Adalina 2011).
Lebah madu hutan A. dorsata belum bisa dibudidayakan, namun mampu
memberikan nilai lebih dibanding madu hasil lebah budidaya. Lebah budidaya
dapat distimulasi perkembangan koloninya dengan perlakuan berupa pemberian
pakan tambahan yakni sukrosa maupun fruktosa dan juga protein buatan
(VanEngelsdrop dan Meixner 2010). Hal itu merupakan hasil rekayasa manusia
untuk mendapatkan madu dari lebah secara konstan terutama pada saat paceklik
pakan, atau juga untuk menggenjot produk selain madu yang dapat dihasilkan
oleh lebah, seperti royal jelly, bee pollen. Sedangkan lebah madu hutan secara
alami mendapat pakan dari hasil pencarian bermacam jenis tumbuhan dan
bermigrasi teratur untuk mencari kecukupan pakan.
5.3.2. Pemasaran Madu Hutan
Madu hutan Tesso Nilo merupakan produk yang sangat diminati oleh
konsumen, berapapun jumlah madu yang dihasilkan dengan segera akan habis.
Konsumen ini berasal dari berbagai tempat, bisa konsumen lokal yang berada di
sekitar desa maupun para transmigran, juga konsumen dari luar daerah. Umumnya
petani madu telah memiliki pelanggan tetap yang bisa langsung dihubungi pada
saat memiliki stok madu, atau para konsumen ini yang menghubungi mereka
langsung untuk menanyakan ketersediaan madu.
40
Data dari WWF-Riau Programme yang melakukan survey potensi madu
sialang pada tahun 2009 menunjukkan hasil madu per bulan rata-rata di Desa
Lubuk Kambang Bunga adalah ± 783kg dari 56 pohon sialang, sedangkan dari
Desa Air Hitam ± 96 kg dari 8 pohon sialang yang tercatat dikelola oleh
kelompok pemanjat dari desa-desa tersebut. Hasil madu sialang bersifat fluktuatif
karena sangat tergantung dengan ketersediannya di alam. Pada saat musim
tumbuhan hutan berbunga secara bersamaan, akan terjadi panen raya yang
waktunya tidak tentu, sebagaimana pernyataan Momose et al. (1998) bahwasanya
siklus pembungaan serentak pada hutan dataran rendah adalah antara 2-10 tahun
dan interval tersebut tidak tetap. Produksi madu yang dihasilkan pada tahun-tahun
terakhir semakin sulit diprediksi, bahkan mengalami penurunan yang sangat
drastis. Menurut petani madu hal tersebut disebabkan oleh kejadian kebakaran
juga timbulnya banyak asap sehingga lebah madu enggan bersarang di pohon-
pohon sialang.
Petani madu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo, terdiri
dari 3 kelompok pemanjat yang berasal dari Desa Air Hitam, Desa Lubuk
Kambang Bunga dan Desa Gunung Sahilan. Kelompok-kelompok tersebut
merupakan penyuplai kebutuhan asosiasi untuk pengiriman madu ke Malaysia.
Serapan asosiasi untuk produk madu dari petani yang hanya didasarkan adanya
pesanan dari pihak Malaysia menjadikan peran asosiasi menjadi sangat terbatas,
sehingga petani lebih banyak menjual sendiri hasil madunya ke konsumen.
Saat ini harga madu curah APMTN dihargai Rp47 000,00 per kilogram.
Sedangkan jika konsumen langsung membeli pada petani madu maka harga
umumnya akan ditawarkan sebesar Rp35 000,00 per kilogram dan jika memang
terjadi tawar menawar maka harga berkisar Rp30 000,00–Rp35 000,00 per
kilogram. Bahkan jika mendekati masa liburan dimana banyak perantau disana
yang hendak mudik seperti para transmigran atau pegawai-pegawai perusahaan di
sekitar desa, harga bisa mencapai Rp40 000,00–Rp50 000,00 per kilogram.
Harga madu dari petani akan dibeli oleh pihak APMTN sebesar Rp33 000
per kilogram. Harga tersebut diperoleh dari hasil kesepakatan diantara para petani
sendiri pada saat pembentukan APMTN. Madu curah yang dibeli oleh pihak
APMTN terutama digunakan untuk suplai permintaan konsumen dari TLH
41
Product Industries Sdn Bhd, Malaysia. Permintaan ini tidak tetap, pada tahun
2011 dilakukan 7 kali transaksi dengan masing-masing sebesar 1 ton madu.
Namun sepanjang tahun 2012 hingga bulan Juli 2012 belum ada permintaan
kembali. Madu hutan Tesso Nilo di Malaysia biasanya dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan permen, ice cream, juga bahan kosmetik dengan label
mereka sendiri. Hal ini tidak masalah bagi pihak WWF selaku pendamping petani
madu APMTN karena pihak Malaysia sudah cukup fair dengan memvideokan
proses pemanenan untuk kepentingan promosi mereka dengan pernyataan madu
berasal dari hutan Tesso Nilo dimana madu hutan melimpah ruah.
Proses pengiriman ke Malaysia dilakukan secara langsung dari kantor
APMTN di Desa Lubuk Kambang Bunga menuju Pelabuhan Dumai Riau,
kemudian menggunakan kapal laut ke Port Klang Malaysia. Pengiriman madu ke
Malaysia mereka istilahkan melalui jalur tikus, karena tanpa menggunakan
dokumen-dokumen resmi untuk ekspor komoditas. Alasan yang lain adalah
karena tidak adanya ekspedisi atau jasa pengiriman yang sanggup untuk
melakukan pengiriman madu hingga ke Malaysia.
Jangkauan pemasaran untuk produk madu hutan Tesso Nilo belum terlalu
luas karena seringkali masih kalah bersaing dengan produk madu Sumbawa yang
membawa brand yang cukup kuat untuk kesehatan pria, juga produk madu Danau
Sentarum yang terkenal karena berasal dari Borneo. Penampilan atau warna
produk madu dari Sumbawa dan Danau Sentarum memang lebih menarik bagi
konsumen karena memiliki warna kekuningan jernih, sedangkan madu hutan
Tesso Nilo adalah madu hitam dengan pasar yang masih terbatas. Berbagai upaya
sudah dilakukan pihak WWF sebagai pendamping petani madu, melalui Jaringan
Madu Hutan Indonesia (JMHI) dimana APMTN juga menjadi anggotanya untuk
semakin memperluas segmen pasar madu hitam, namun belum menampakkan
hasil yang menggembirakan.
PT Dian Niaga yang selama ini menjadi pemasar madu dari para Anggota
JMHI, pernah memesan ± 300 kg madu pada tahun 2011. Namun hingga April
2012 belum ada pesanan kembali, karena menurut pihak PT Dian Niaga suplai
dari Sumbawa masih mencukupi, dan terkendala dengan minat konsumen yang
kurang pada madu yang berwarna gelap. Perlu pembelajaran bagi konsumen
42
untuk mengenali kualitas tinggi madu bukan dari warnanya yang lebih terang,
karena ternyata madu hitam memiliki kandungan antioksidan yang lebih tinggi
dan merupakan hasil nektar berbagai macam jenis tumbuhan. Sangat potensial
sebenarnya untuk menjadi madu yang sangat diminati jika konsumen luas
mengetahui informasi tersebut.
Pihak APMTN juga membuat produk madu kemasan dengan label green
and fair product dari pihak WWF. Produk madu dalam kemasan ini merupakan
madu hutan yang telah dikurangi kadar airnya, dari sebelumnya dengan kadar air
22% - 24% menjadi hanya ± 18% saja. Untuk 1 kilogram madu akan mengalami
penyusutan ± 250ml pada saat telah berkurang kadar airnya.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengurangi kadar air ± 24jam. Namun
kendalanya adalah listrik di Desa Lubuk Kambang Bunga yang hanya tersedia di
malam hari, sehingga seringkali membutuhkan waktu hingga 3 hari untuk menjadi
produk yang siap dikemas. Madu kemasan dijual dengan harga Rp35 000,00 per
250ml. Produk terutama disediakan atau dijual untuk kepentingan kunjungan-
kunjungan tamu, atau pameran-pameran dan sedikit dilepas di pasaran dengan
menitipkannya ke apotik dan toko obat. Pada tahun 2011 tercatat 500 kilogram
madu dikurangi kadar airnya dan dikemas. Pembuatan dan pemasaran madu
dalam kemasan ini belum dilakukan dengan profesional dan dimanajemen dengan
baik karena dibuat hanya berdasarkan pesanan, disamping itu dari segi SDM
belum ada upaya pengembangan maupun peningkatan ketrampilan.
Produk sampingan lain dari madu hutan adalah lilin lebah. Belum banyak
permintaan untuk lilin lebah, terakhir pemesanan dari Yogjakarta sebanyak 200
kilogram pada tahun 2011 dan dari Malaysia sebanyak 50 kilogram, dengan harga
Rp15 000,00 per kilogram. Jika tidak ada permintaan lilin ini disimpan saja oleh
para petani. Produk bee pollen juga sudah ada yang berminat, biasanya digunakan
sebagai bahan baku kosmetik, dan dihargai Rp20 000,00 per kilogram kering.
Sayangnya pemanfaatan bee pollen belum populer bagi petani madu Tesso Nilo,
terutama karena pertimbangan harga untuk bee pollen kering yang terlalu rendah
dibandingkan resiko pengambilannya, menjadikan pengambilan produk ini belum
dilakukan untuk kepentingan komersial.
43
5.4. Transfer Pengetahuan dan Perubahan
Transfer pengetahuan tentang pemanfaatan madu hutan dilakukan secara
turun temurun. Pemanjat akan menurunkan ilmunya pada anak, menantu atau
kerabatnya sepersukuan yang bersedia untuk belajar dan bernyali untuk mampu
memanjat pohon sialang. Proses memanjat sialang membutuhkan kemampuan
untuk menumbai, suatu pengetahuan yang bagi masyarakat petalangan merupakan
bagian dari tradisi lisan turun temurun, tunjuk ajar dalam memanfaatkan sumber
daya alam.
Tradisi menumbai merupakan bagian dari tombo/terombo hasil pewarisan
adat istiadat, sehingga memiliki pakem saat digunakan baik itu cara bertutur
maupun isi syair yang disenandungkan yang sudah tetap. Disebut tradisi lisan
karena penyampaiannya memang melalui lisan kepada generasi berikutnya yang
memang mau belajar. Proses pembelajaran akan dilakukan dengan mengikuti
kegiatan yang dilakukan pemanjat saat memanen madu, memperhatikan, dan
mengingat senandung yang dituturkan. Pengalaman-pengalaman dalam
memanfaatkan sumber daya alam turut menyumbangkan kematangan masyarakat
tradisional dalam mengelola alam, akumulasi dari pengalaman akan bermanfaat
untuk pengelolaan sumber daya alam dengan lebih baik.
Pengetahuan tradisional untuk mengatur kehidupan secara umum bagi
masyarakat suku Melayu Petalangan merupakan suatu bentuk sastra lisan yang
saat ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Proses pewarisannya terhambat
oleh kurang minatnya generasi muda dalam mempelajari budayanya sendiri.
Disamping itu terombo yang berisi asal-usul persukuan, tata batas hak wilayat
menjadi tak berarti saat disenandungkan, pada saat segala apa yang terucap di
dalamnya sudah tidak dapat lagi ditemukan dalam kenyataan. Tradisi lisan disebut
sebagai nyanyi panjang dan orang-orang yang menguasai tombo (pebilang tombo)
yang dilantunkan dalam nyanyi panjang sebagian besar merupakan generasi yang
sudah uzur bahkan banyak sudah wafat. Terkadang juga karena demikian lamanya
nyanyian panjang tidak disenandungkan banyak diantaranya yang sudah lupa isi
dari tombo.
44
Pewarisan nyanyi panjang tombo ke generasi berikutnya memiliki kaidah
yang diatur dalam adat, sebagaimana disarikan dari Effendy (2008) sebagai
berikut :
- Pewaris merupakan anggota persukuan yang dipilih oleh ketua persukuan,
pemangku adat dan orang tua-tua adat, dipilih yang memiliki ingatan kuat,
cerdas, fasih dan bagus suaranya
- Orang-orang terpilih (rata-rata tiga orang, bisa dua laki laki satu perempuan
atau dua perempuan satu laki-laki) kemudian dilatih oleh penutur sebelumnya
- Setelah dilatih dan dianggap mampu melakukan nyanyi panjang maka
diujikan dengan mengundang anggota persukuan untuk menyaksikan mereka
bertutur, jika sudah dianggap baik maka mereka akan ditetapkan sebagai
penutur nyanyi panjang yang akan mewariskan ke generasi berikutnya.
Luruhnya pengetahuan tradisional disebabkan oleh tersingkirnya adat
istiadat masyarakat setempat. Manusia saat ini mulai merasa lebih logis dan
realistis, sehingga ada yang menganggap adat istiadat sebagai keterbelakangan.
Maka tradisi manumbai merupakan tata cara adat turun temurun yang terjaga
karena pemanenan madu hutan masih berlangsung hingga saat ini. Masyarakat
yang masih berpegang teguh pada ajaran tersebut sesuai tuntunan nenek moyang
pun masih dapat ditemukan. Meskipun dari hasil wawancara dengan informan
yang masih muda mereka tidak lagi menganggap monto manumbai sebagai
sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan, sebagaimana diungkapkan sebagai berikut :
” saya sangat percaya pada aturan adat dengan membaca mantera, dan
perlunya perlindungan diri, tapi sebagai orang Islam yang terpenting adalah
berdoa dan kondisi fisik bagus dan nyali yang besar untuk mampu memanjat
sialang”(RN 33 tahun, pemanjat)
RN adalah generasi muda pemanjat yang sudah bersedia untuk memanen
siang hari, jika kondisi memaksa atau pemilik pohon menginginkannya.
Sedangkan pemanjat generasi tua sama sekali tidak mau panen siang karena itu
larangan besar dari nenek moyang. Bagi generasi muda, saat ini lebih baik
berpikir praktis dan realistis saja, karena jika terlalu lama menunggu maka hasil
madu sudah banyak berkurang.
45
Pada saat panen memungkinkan dilakukan malam hari, mereka pun lebih
memilih waktu tersebut, dengan tetap melaksanakan prosesi ritual dan
menghitung saat yang tepat. RN pernah membuktikan saat ritual menepuk pohon
dan lebah tidak berdengung meskipun sudah ditepuk hingga tiga kali, maka pada
saat sudah berada di atas pohon kawanan lebah menyerangnya. Panen malam itu
gagal karena tidak mungkin memaksakan diri dengan kondisi lebah yang agresif
sehingga terpaksa harus turun saat itu juga. Panen siang dapat dilakukan kapan
pun selama madu sudah siap panen. UP (28 tahun, komunikasi pribadi) adik dari
RN masih enggan mempelajari mantera manumbai karena menurutnya
merepotkan karena harus menghafal, dan jikapun harus panen malam masih ada
orang yang bisa melakukan ritual, dia bertugas memanjat saja.
Pada masa lalu madu hutan merupakan produk yang sangat jarang
diperjualbelikan lebih banyak menjadi konsumsi keluarga atau masyarakat adat
yang memiliki pohon-pohon sialang (kebutuhan subsisten). Pemanenan yang
hanya dapat dilakukan setahun sekali, menjadikan madu hutan bukan komoditas
yang dapat diharapkan menjadi tumpuan penghidupan. Oleh sebab pemanenan
yang hanya dapat dilakukan setahun sekali maka di masa lalu madu hutan disebut
sebagai madu taon. Rendahnya nilai pasar bagi madu di masa lalu, perjalanan jauh
ke pasar dan kesulitan pengangkutan akibat belum adanya transportasi yang
memadai tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
membawanya. Harga yang masih rendah dan berbagai kendala tersebut
menjadikan kurang minatnya masyarakat memasarkan madu hutan pada saat itu.
Sejalan dengan waktu, terjadi pergeseran minat masyarakat luas pada
bahan-bahan herbal dan alami untuk menjaga kesehatan dan pengobatan berbagai
penyakit dengan efek samping yang minimal bagi tubuh, maka makin meningkat
pula permintaan terhadap madu hutan. Permintaan yang semakin meningkat dapat
memacu pengelolaan madu hutan secara lebih intensif dalam upaya memperoleh
hasil lebih cepat, dengan cara survey keberadaan sarang setiap bulan,
membersihkan tumbuhan bawah sekitar sialang agar lebah mau bersarang. Oleh
karena itu kemudian madu hutan dapat dipanen 3-4 kali dalam setahun.
Adanya panen siang merupakan pengaruh yang dibawa oleh masyarakat dari
Sumatera Barat. Bagi generasi tua pemanjat, panen siang inilah yang menjadi
46
penyebab 2 tahun ini lebah madu jarang bersarang ke pohon sialang mereka.
Panen siang menyebabkan banyak lebah mati dan menjadi jera bersarang di sana.
Meskipun mereka tidak melakukan panen siang tapi mendapatkan imbasnya
berupa penurunan kuantitas panenan. Perbedaan siang dan malam menurut petani
madu memberikan rasa yang berbeda, jika madu dipanen siang akan lebih terasa
bau sengatnya dan jumlah yang dapat dipanen lebih sedikit dibanding jika dipanen
malam.
Perlindungan diri untuk panen siang berupa pakaian berlapis-lapis dan berat,
wajah pun dilindungi dengan rapat, untuk menahan serangan lebah. Sedangkan
panen malam tidak perlu baju hingga berlapis-lapis dan cukup memakai tudung
kepala. (komunikasi pribadi: MN, SO, BU). Hal itu berkaitan dengan agresifitas
lebah madu yang dirasakan oleh pemanjat, panen siang akan menyebabkan lebah
menyerang jika terusik sarangnya, sedangkan saat panen malam lebah cenderung
lebih tenang dan terkendali.
Kekhawatirannya adalah pada saat kaum muda sudah kurang memahami
esensi dari pengetahuan tradisionalnya sendiri. Kondisi ini memprihatinkan
karena lambat laun menumbai sebagai salah satu tunjuk ajar adat budaya yang
tersisa akan turut menghilang sebagaimana tombo-tombo persukuan yang lain.
Menyikapi kondisi tersebut pihak Dewan Kesenian Kabupaten Pelalawan melalui
Asosiasi Tradisi Lisan Riau berusaha untuk menggali kembali tradisi menumbai,
menuliskannya, mendokumentasikannya sebagai bentuk pelestarian sebuah
falsafah hidup tentang menjaga dan memelihara kelestarian alam (Komunikasi
pribadi, Tengku Nahar, Sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Pelalawan).
5.5. Komersialisasi dan Adopsi Inovasi Produk
Trend untuk back to nature dan save the planet menjadikan permintaan
konsumen terhadap madu hutan sebagai produk yang lebih bersih dan higienis
juga bersahabat dengan alam dalam pemanfaatannya. Permintaan yang tinggi
terhadap madu hutan didasari oleh daya tarik utama penghasil madu yaitu lebah
hutan liar yang menggambarkan kealamian produk yang dihasilkannya.
Kemudahan akses menuju Desa Lubuk Kambang Bunga maupun Air Hitam juga
mendukung peningkatan kemampuan pasar madu hutan untuk menembus
khalayak yang lebih luas.
47
Penghasil madu hutan Tesso Nilo yaitu lebah A.dorsata merupakan jenis
lebah yang belum mampu dibudidayakan, sehingga ketersediannya sangat
tergantung dari keberadaannya di alam. Faktor perilaku lebah A.dorsata yang
agresif dan penempatan sarangnya yang secara alami berada di lokasi terbuka
menyulitkan untuk dilakukan budidaya. Berbeda dengan jenis A.mellifera dan
A.cerana yang memiliki tipe persarangan alami yang diletakkan pada lubang-
lubang pohon atau tempat tertutup, sehingga memudahkan lebah untuk
beradaptasi saat dibudidayakan dalam kotak-kotak untuk tempat bersarang buatan
(Bradbear 2009). Produk madu dari lebah yang belum bisa dibudidayakan inilah
yang mampu menarik minat konsumen, karena satwa ini akan mencari berbagai
sumber pakan alami dari berbagai macam jenis tumbuhan di alam. Oleh sebab itu
hal yang sangat penting dilakukan adalah dengan tetap mempertahankan
ketersediaan pakan yang cukup bagi keberlangsungan produk dengan cara
menjaga kualitas hutan sebagai lingkungan tempat lebah bersarang.
Pada tahun 2009 pihak TNTN dan WWF-Riau Programme mengadakan
pelatihan singkat tentang pengembangan sistem pengawasan mutu Internal dengan
mentor dari ICS (Internal Control System) dan fasilitator dari Aliansi Organik
Indonesia (AOI). Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk peningkatan
ketrampilan petani madu dalam memperlakukan produk dan memberikan
informasi tata cara panen yang lebih ramah lingkungan. Kegiatan tersebut
sekaligus menjadi proses pembentukan APMTN. Tabel 9 menyajikan beberapa
perubahan dalam tata cara panen dan pengolahan produk.
Tabel 9 Perubahan tata cara panen dan pengolahan produk
No Pengetahuan Lokal Tata Cara Baru
1.
Teknis Pemanenan
- Pemanenan dilakukan dengan
mengiris semua bagian sarang tanpa
menyisakan anakannya. Hal tersebut
mempunyai pengaruh negatif bagi
kelangsungan populasi lebah (Khan,
1999)
- Peralatan panen masih seadanya,
pisau pengiris terbuat dari besi yang
mudah berkarat
- Pemanenan sarang dilakukan
hanya pada kepala madu dan
meninggalkan anakan lebah.
- Menyisakan sedikit kepala madu
untuk bahan makanan anakan
lebah ±3-4 cm
- Teknik pemotongan kepala madu
dengan irisan miring bukan
vertikal agar sarang mampu
bertahan dari terpaan angin.
48
Tabel 9 Lanjutan
No Pengetahuan Lokal Tata Cara Baru
- Pemanenan dilakukan dengan
menghitung jumlah saranf yang
memenuhi standar minimal untuk
dipanen
- Peralatan untuk mengiris sarang
menggunakan pisau stainlesstell,
atau irisan bambu yang
ditajamkan (sesuai ajaran nenek
moyang, tidak diperkenankan
membawa alat semacam besi-
besi yang tajam), timbo
menggunakan ember yang
bersih
- Pada saat jumlah minimal panen
sarang terpenuhi maka harus
dilihat kepala madu yang
dipanen sudah tebal dan terlihat
menggembung
2. Pengolahan produk dan standarisasi alat
- madu diperas memakai tangan
- sortiran hanya dilakukan diatas
pohon oleh pemanjat, hingga
sesampai di bawah langsung diperas,
tanpa disortir lagi sehingga produk
seringkali tercampur anakan dan bee
pollen yang turut terperas
- belum ada standarisasi untuk
peralatan yang bersih
- wadah penampung memakai tempat
seadanya tanpa pertimbangan
kebersihan
- madu ditiris dengan
menggunakan alat peniris
- kepala madu disortir oleh
pemanjat, kemudian oleh tukang
tiris di bawah, sehingga bersih
dari bee pollen maupun anakan
yang masih tersisa
- penirisan dilakukan selama
maksimum 1,5 jam untuk
menghindari tingginya kadar air.
- penirisan madu menggunakan
alat-alat yang bersih : pisau
stainlessteel agar bebas karat,
sarung tangan dan masker
- jerigen penampung hasil adalah
jerigen baru yang bersih
Aturan tata cara baru untuk menyisakan sarang dan sedikit kepala madu
merupakan upaya untuk kelangsungan panen, dapat dilakukan selama 2 kali
periode panen. Pada periode panen ke-3, biasanya anakan sudah besar dan mampu
terbang maka sarang akan dijatuhkan karena jika tidak dilakukan, sarang yang
tersisa dan kosong akan menyebabkan koloni lebah berikutnya enggan bersarang.
Woyke et al. (2001) menyatakan bahwa pada saat pertama kali membangun
sarang, lebah tidak akan menempati sarang kosong yang masih tersisa mereka
akan menggunakan tempat yang lain meskipun itu sangat berdekatan, sehingga
49
sisa sarang yang tertinggal akan menghalanginya untuk bersarang di tempat yang
sama. Sarang yang telah ditinggalkan suatu koloni biasanya sudah tua, berwarna
kecoklatan gelap, sehingga elastisitasnya sudah berkurang, sehingga tidak dapat
digunakan lagi sebagai tempat berkembang telur-telur lebah.
Pada pemanenan dengan tata cara baru dengan menyisakan sarang, maka
periode panenan berikutnya akan menghasilkan madu yang lebih sedikit, namun
paling tidak pemanenan dapat dilakukan lebih teratur. Cara tersebut tidak dapat
dilakukan untuk setiap sarang yang dipanen, pada saat posisi sarang terlalu dekat
dengan ujung dahan, maka sarang dijatuhkan semua untuk mengurangi berat yang
ditanggung dahan karena adanya pemanjat di atasnya.
Inovasi yang terjadi pada pengolahan produk dengan penirisan awalnya bagi
petani madu dianggap merepotkan dan lama, namun terbukti adanya peningkatan
kualitas disertai harga maka petani madu bersedia merubah cara peras menjadi
tiris. Peningkatan harga madu pada awalnya mengagetkan konsumen. Namun
setelah melihat kondisi madu yang tampak lebih bersih dan jernih peningkatan
harga tidak menjadi masalah. Pengguna madu meliputi juga masyarakat yang
tidak dapat menjangkau harga madu tiris, sehingga untuk segmen ini masih
tersedia madu peras yang lebih murah harganya. Namun khusus petani madu yang
telah tergabung dalam APMTN, madu yang dipanen sudah diproses dengan cara
ditiris, tidak lagi menggunakan cara peras.
Sebelumnya tata cara madu tiris sudah diperkenalkan pada petani madu
sejak tahun 1996. Namun karena harga belum bagus dan masih sama saja dengan
peras maka kecenderungan masih banyak memeras agar proses lebih cepat. Sejak
terdapat APMTN sebagai wadah petani madu berorganisasi dan sepakat mengenai
harga dengan konsekwensi tata cara yang lebih higienis dan ramah lingkungan
maka harga madu terdongkrak menjadi lebih baik. Penghasilan dari madu hutan
ini memberikan hasil yang sangat cukup meskipun tidak dapat menjadi tempat
menggantungkan nafkah karena sifatnya yang tidak kontinu tiap bulan. Gambaran
penghasilan yang diperoleh petani madu dengan cara tiris jika diasumsikan panen
menghasilkan 100 kg hasil madu dengan sialang penguasaan adat dan kelompok
sejumlah 5 orang. Pemanjat akan mendapatkan penghasilan hingga Rp900 000,00
sedangkan pekerja dibawah akan mendapatkan penghasilan hingga Rp500 000,00.
50
Penghasilan tersebut didapatkan dari panen satu malam dan pada satu pohon
sialang, seringkali kelompok pemanjat akan memanen selama beberapa malam
untuk beberapa pohon sialang.
Inovasi merupakan bentuk upaya mengatasi kekurangan dan ketidakpuasan
untuk memperoleh mutu yang lebih baik (Koentjaraningrat 1990), sehingga
berbagai perubahan yang terjadi dalam pengetahuan masyarakat merupakan
sebuah kewajaran. Kearifan lokal sebagai bagaian dari pengetahuan lokal
senantiasa berkembang mengalami penguatan kearah yang lebih baik (Ali
Murtopo 1978 dalam Sartini 2004). Menghadapi berbagai dinamika yang terjadi,
secara alami sebuah budaya memiliki filter berupa local genius yaitu
identitas/kepribadian budaya yang menyebabkan suatu masyarakat mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri
(Sartini 2004). Efek terjadinya komersialisasi menyebabkan perlunya sebuah
dialog yang menjembatani antara pengetahuan lokal masyarakat terutama generasi
muda yang terus berkembang dengan pemahaman terhadap pengetahuan yang
menjadi identitas kulturalnya. Oleh sebab itu secara khusus banyak pemerhati
budaya Melayu Petalangan yang concern untuk menggali dan mempertahankan
keberadaan tata cara panen yang lestari, ritual manumbai dan panen malam hari
sebagai identitas budaya yang patut dipertahankan.
5.6. Pemanenan Madu Hutan Tesso Nilo dan Implikasinya terhadap
Konservasi Keanekaragaman Hayati
Perlindungan untuk pohon sialang dalam imbo kopungan sialang (rimba
kepungan sialang) secara adat adalah seluas ± 2 hektar, sehingga dalam kisaran
luasan tersebut lingkungan sekitar sialang tidak diperkenankan diganggu (AI 80
tahun, Bathin hitam, komunikasi pribadi). Untuk kepentingan mendesak seperti
pohon harus ditebang maka harus ada upacara adat dengan mengkafani pohon,
karena bagi mereka pohon sialang adalah makhluk bernyawa yang setara dengan
mereka, sehingga penghormatan dilakukan untuk menghargai kematiannya.
Sebagaimana tercermin dalam tunjuk ajar masyarakat petalangan mengenai imbo
kopungan sialang (Turner 1997):
51
Apo tando kopungan sialang
Tompat sialang ampak daan
Tompat lobah melotaan saang
Imbo dijago dan dipeliao
Imbo ta bolei ditobe tobang
Bilo ditobe di makan adat
Bilo ditobang dimakan undang
Apa tanda-tanda hutan sialang
Adalah tempat sialang menjulurkan dahan
Tempat lebah meletakkan sarang
Hutan dijaga dan dipelihara
Rimba tidak boleh dibuka dan ditebang
Bila dibuka di hukum adat
Bila ditebang ada aturannya
Keberadaan tunjuk ajar yang demikian menunjukkan bahwa masyarakat dalam
pengetahuan lokalnya telah memiliki maksud-maksud yang jelas dalam upayanya
melakukan pengaturan terhadap pemanfaatan sumberdaya dalam hutan.
Sebuah penelitian dari Dyer dan Seeley (1991) dalam Zurbuchen et al.
(2010) mengemukakan tentang kemampuan foraging dari lebah madu A.dorsata
yang mencapai 12 km. Hal tersebut mengisyaratkan bahwasanya pengetahuan
tradisional masyarakat dengan adanya aturan rimba kepungan sialang menjadi
sesuatu yang dapat diterima secara ilmiah. Kepungan sialang akan memberikan
ruang bagi lebah untuk leluasa mencari pakan dalam radius yang cukup dan sesuai
dengan kemampuan foragingnya. Keberadaan penelitian-penelitian ilmiah yang
belum berkembang seperti saat ini, maka kemampuan manusia secara alami untuk
belajar dan beradaptasi dengan lingkungan menunjukkan keeratan hubungan
manusia dengan alam sekitarnya. Hal tersebut merupakan hasil ekstraksi dari
kemampuan masyarakat di masa lalu untuk mempelajari alam lewat pertanda-
pertanda yang diberikan.
Keanekaragaman tumbuhan yang tinggi pada wilayah yang berada di
sekeliling sialang menjadikan imbo kepungan sialang dilindungi secara khusus
dan penggunaannya dibatasi. Imbo menjadi sumber plasma nutfah bagi hutan
secara keseluruhan. Sumber daya alam yang berharga bagi masyarakat yaitu madu
dan lilin juga tumbuhan obat bisa didapatkan juga dalam imbo. Pohon sialang
secara fisik merupakan tumbuhan yang menempati tajuk teratas dari komposisi
hutan, memberikan perlindungan bagi banyak kehidupan yang lain. Hal-hal
tersebut yang menjadi ajaran adat dari masyarakat Suku Melayu Petalangan
(Turner 1997).
52
Perlindungan terhadap pohon sialang berarti juga perlindungan bagi
serangga penyerbuk seperti lebah madu A.dorsata. Meskipun A.dorsata bukan
merupakan pollinator terbaik bagi semua tumbuhan, karena sifatnya yang
merupakan pencari nektar, sedangkan beberapa jenis tumbuhan tidak
menghasilkan nektar hanya pollen (Kevan 1999). Pollen tetap dibutuhkan sebagai
penyedia protein bagi lebah namun dicari sesuai kecukupan kebutuhan koloni saja
(Kevan 1999; Minarti 2010). Polen penting bagi perkembangbiakan dan masa
hidup lebah (Minarti 2010), sedangkan nektar berguna untuk penyedia energi
pergerakan lebah, terutama untuk terbang (Kevan 1999).
A.dorsata merupakan pollinator utama bagi beberapa jenis tumbuhan
dataran rendah penting seperti dari famili Dipterocarpaceae, Leguminosae,
Orchidaceae, Meliaceae, Sterculiaceae (Momose et al. 1998). Masa aktif
A.dorsata pada pukul 05 00-06 00 dan hingga malam pukul 18 00-20 00
merupakan jeda waktu dimana serangga sosial lainnya belum aktif atau sudah
mengakhiri aktifitasnya. Bagi tumbuhan dengan pembungaan pada jam 05 00
seperti Dryobalanops spp, Dipterocarpus tempehes, Dillenia exelsa, atau spesies
Dipterocarpus spp yang berbunga pada pukul 18 00 maka A. dorsata yang sangat
berperan (Momose et al. 1998). Untuk itulah peran lebah hutan tidak bisa
dikesampingkan untuk menjaga kelangsungan adanya jenis-jenis tumbuhan
tersebut.
Pada kawasan TNTN, ketersediaan pakan lebah dari dalam kawasan
ditunjang dengan kekayaan jenis dalam ekosistem hutan dataran rendah. Kawasan
hutan Tesso Nilo dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dapat
diketemukan + 360 jenis tumbuhan per hektar yang tergolong dalam 165 marga
dan 57 suku, selain itu ditemukan 82 jenis tanaman obat (LIPI 2003). Jenis-jenis
tumbuhan obat biasanya merupakan jenis yang berbunga sepanjang tahun,
sehingga menjadi sumber pakan bagi lebah madu. Itulah penyebab madu hutan
sekaligus berkhasiat obat karena nektar didapatkan dari tumbuhan dengan
beragam manfaat obat. Tumbuhan hasil budidaya dari perkebunan seperti karet,
akasia (Acacia mangium), kelapa sawit (Elaeis guinensis), juga menyediakan
pakan bagi lebah madu, karena kawasan TNTN berbatasan langsung dengan
perkebunan-perkebunan, baik milik masyarakat maupun perusahaan.
53
Pengetahuan tradisional masyarakat Melayu Petalangan yang menjadi
persukuan utama dari masyarakat Desa Lubuk Kambang Bunga dan Desa Air
Hitam tentang penataan hutan dan lahan dalam sejarahnya bukan hanya pada
keberadaan pohon sialang. Wujud dari kedekatan mereka dengan hutan dan
lingkungan tercermin dalam pengetahuan mereka yang secara tradisional
memberikan pengaturan pada penggunaan lahan dan berbagai sumber daya
penting yang dapat dimanfaatkan dari dalam hutan. Beberapa penggunaan lahan
yang pada masa lalu terdapat dalam adat masyarakat Melayu Petalangan yang
merupakan masyarakat asli di kedua desa tersebut adalah : 1) Tanah Kampung
sebagai tempat pemukiman, 2) Tanah Dusun sebagai tempat berkebun dan
cadangan tanah pemukiman, 3) Tanah Peladangan sebagai tempat berladang
secara berpindah-pindah, dan 4) Imbo Laangan, yang terdiri dari imbo kopungan
sialang (terdapat pohon-pohon sialang yang dimiliki secara komunal, dapat
dimanfaatkan bersama-sama hasil madunya) dan Imbo simpanan/imbo dalam
(tempat berbagai jenis pohon beserta hewan-hewan di dalamnya) (Turner 1997;
Shomary 2005; Effendy 2008; LPUIR 2009). Satu bagian lain dari imbo laangan
adalah imbo simpanan yang bagi tunjuk ajar masyarakat ini dirinci sebagai berikut
(Turner 1997) :
Apo tando imbo simpanan
Tompat kayu amuan umah
Tompat kayu lobat bebuah
Tompat kayu banyak gotah
Tompat gau dengan dame
Tompat otan beampaian
Tompat ake bejeloan
Tompat binatang beanak pinak
Tompat sosak dilopean
Tompat sompit dilapangkan
Tompat nasib ditumpangkan
Tompat akuan dibosakan
Tompat menjadi sui teladan
Apa tanda rimba simpanan
Tempat mengambil kayu untuk rumah
Tempat pohon berbuah banyak
Tempat adanya pohon bergetah
Tempat adanya gaharu dan damar
Tempat terdapatnya bermacam rotan
Tempat akar-akar menjalar
Tempat satwa berkembang biak
Tempat melupakan kesedihan
Tempat rasa sesak dilapangkan
Tempat masa depan disandarkan
Tempat akuan berasal
Tempat sumber suri tauladan untuk kehidupan
Kepercayaan yang mereka anut adalah bahwa penggunaan hutan dan lahan
tidak diperkenankan sembarangan karena akan mendatangkan musibah (Shomary
2005). Menebang pohon hanya seperlunya tidak mubazir dan harus melalui
upacara adat. Pohon hutan yang tidak boleh ditebang adalah, pohon yang buahnya
54
bisa di makan, kayu berminyak, kayu induk gaharu, induk kemenyan, induk
damar, juga pohon sialang.
Kemampuan masyarakat ini secara turun temurun untuk mengatur dan
memelihara alam dan sekitarnya merupakan bukti ketinggian ilmu sebagai bagian
dari upaya menjaga kelangsungan kehidupan. Hal tersebut secara hakiki
merupakan perwujudan pengakuan pada hutan dan lahan sebagai pendukung
kehidupan manusia yang harus dihormati untuk memenuhi kebutuhan lahiriah
yaitu secara sosial, ekonomi dan batiniah untuk kepentingan budaya secara
berkelanjutan (Turner 1997).
Pada masa lalu penguasaan atas tanah diatur berdasarkan persukuan dimana
mereka telah turun temurun mendiami kawasan tersebut. Wilayah itu disebut
sebagai Hutan Tanah Wilayat atau Tanah Wilayat. Hak atas tanah tersebut
ditentukan berdasarkan Tombo atau Terombo yang merupakan asal usul hutan
tanah dan persukuan pemiliknya juga mengandung petuah-petuah nilai luhur
budaya masyarakatnya. Kerajaan Pelalawan sebagai tempat bernaung suku-suku
memberikan pengakuan semacam Surat Keterangan Hutan Tanah kepada Kepala
Persukuan berdasarkan tombo masing-masing persukuan (Effendy 2008).
Sayangnya aturan adat yang telah dengan solid memberikan peraturan yang
luhur tentang pengaturan hak milik, dan tata batas atas tanah dan hutan persukuan
harus berakhir seiring berubahnya struktur pemerintahan. Kepala suku yang
dahulu menjadi pemimpin formal menjadi tergeser perannya dengan adanya
Kepala Desa yang dipilih berdasarkan aturan pemerintah Indonesia (Effendy
2008). Tombo yang mereka pegang kemudian seakan-akan tidak berarti dan yang
semakin menyakitkan bagi masyarakat lokal adalah pemindahan pemanfaatan
hutan mereka kepada perusahaan-perusahaan besar yang mengusahakan HPH,
kelapa sawit dan HTI, tanpa mengindahkan keberadaan mereka sebagai
masyarakat setempat.
Kepemilikan yang diatur oleh negara menjadikan peran hutan sebagai
pengemban fungsi ekologi sekaligus pemenuhan kebutuhan bagi manusia menjadi
terbagi-bagi berdasarkan sistem yang diatur oleh pemerintah. Kepemilikan oleh
negara menyebabkan kearifan yang dimiliki masyarakat dalam mengatur hutan
dan lahan dihilangkan sama sekali dan semakin tergerus oleh berbagai
55
kepentingan. Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat di Desa Lubuk Kambang
Bunga dan Air Hitam, sebagai contoh banyaknya pohon sialang masyarakat adat
yang ditebang sia-sia untuk pembukaan perkebunanan dan pemberian ijin konsesi
HPH. Kondisi tersebut menjadi pelengkap semakin menghilangnya budaya
pengaturan hutan dan lahan oleh masyarakat setempat.
Adanya pengetahuan lokal masyarakat Melayu Petalangan yang
memanfaatkan madu hutan dengan tata cara tertentu dan terlembaga akan
memberikan sumbangan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara
berkesinambungan. Tata cara pemanenan yang merupakan perwujudan dari sikap
menghargai alam diantaranya terhadap pohon sialang juga lebah-lebah penghasil
madu merupakan bentuk penghormatan bagi penghasil sumberdaya yang
bermanfaat bagi kehidupan mereka, sehingga pemanfaatannya tidak akan
dilakukan dengan semena-mena.
Pemanenan madu hutan dengan menggunakan pengetahuan tradisional
dapat memberikan implikasi yang positif maupun negatif terhadap konservasi
keanekaragaman hayati (Tabel 10).
Tabel 10 Pemanenan madu dan implikasi terhadap konservasi keanekaragaman
hayati
Tahapan Implikasi untuk Konservasi
1) Persiapan Panen
a. Proses Survey
b. Pembagian Tugas
c. Persiapan Panen
- Survey untuk mengetahui kondisi sialang setiap bulan
dilakukan sekaligus mengamati kondisi lingkungan yang
terjadi, juga pada pohon sialang maupun lebah yang
bersarang. Survey merupakan praktek yang umum
dilakukan untuk monitoring penggunaan sumber daya alam
secara tradisional, sekaligus juga pengamatan terhadap perubahan ekosistem (Berkes et al. 2000).(+)
- Berdasarkan hasil survey maka sarang minimal yang dapat
dipanen adalah 10-15 sarang, menurut pemikiran petani
madu adalah agar tenaga dan biaya sesuai dengan
keuntungan yang nanti diterima. Namun ternyata dapat
memberikan kesempatan bagi koloni yang terlebih dahulu
bersarang untuk membesarkan beberapa generasi keturunan
yang ditandai oleh sarang yang berwarna gelap (Woyke et
al. 2001), sehingga dapat memberikan keberlangsungan
produk) (+)
- Penggunaan tali sebagai alat memanjat pohon
menyebabkan pemanenan bisa dilakukan saat jumlah
sarang masih sedikit (5 sarang) hal ini bisa mengganggu
56
Tabel 10 Lanjutan
Tahapan Implikasi untuk Konservasi regenerasi dari lebah madu (-)
- Panen madu dilakukan pada malam hari, suasana gelap
memberikan kondisi tenang pada lebah. Lebah diusir
dengan pelan menggunakan asap tunam sehingga terbang
mengikuti perginya bara api. Suatu pengetahuan tradisional
yang memahami tentang perilaku satwa, memanfaatkan
madu tanpa keinginan mengusik yang merusak. Panen
malam akan dilakukan pada saat bulan gelap dan rembulan
tidak nampak lagi, karena ternyata jika malam bulan
purnama Apis dorsata akan tetap aktif (Warrant 2007) dan
juga menunggu saat yang tepat yaitu diatas pukul 20.00.
Karena ternyata memang lebah Apis dorsata aktif
sepanjang pagi pukul 05.00 hingga pukul 20.00 (Momose,
1998).
- Peningkatan harga mendorong dilakukannya panen siang
yang bukan budaya petani madu di Desa Lubuk Kambang
Bunga dan Air Hitam. Panen siang ternyata memicu
agresifitas lebah madu sebagai satwa diurnal, saat terancam
lebah akan menyengat dan mengakibatkan kematian
baginya, sehingga panen siang lebih beresiko menyebabkan
lebih banyak lebah yang mati dibanding panen malam. (-)
2) Prosesi Panen
a. Menumbai
b. Kaji
c. Tanda alam
- Detail-detail yang sangat mereka perhatikan tersebut
merupakan perlambang dari upaya menangkap pertanda-
pertanda alam. Aktifitas memanfaatkan sumber daya alam
disesuaikan dengan kerelaan alam untuk berbagi. Balutan-
balutan mitos yang dipegang teguh hingga saat ini
merupakan simbolisme kejujuran, ketinggian budi pekerti
dalam upaya berjalan beriringan dengan alam dan
pemahaman pada hakikat asal usul kehidupan (Turner,
1997). (+)
Petani madu menginformasikan bahwa sejak tahun 2008 jumlah panenan
mulai menurun, sangat berbeda dengan panenan yang diperoleh dari tahun-tahun
sebelumnya. Beberapa pohon sialang yang biasanya secara teratur bisa dipanen
madunya, tidak ada lebah yang bersarang hingga sepanjang tahun 2011. Hal
tersebut diakibatkan oleh kejadian kebakaran hutan dan lahan yang juga
menimbulkan kabut asap. Kebakaran sebagaimana menurut Notohadinegoro
(2006) mengakibatkan kerusakan habitat karena dapat mempengaruhi kemampuan
fotosintesis tumbuhan dan kehidupan satwa. Pada saat daur kehidupan tumbuhan
57
sebagai sumber pakan lebah madu terganggu, maka akan berefek buruk pada
kelangsungan hidup lebah madu. Selain karena adanya kebakaran hutan dan
lahan, diyakini juga sebagai akibat adanya panen siang. Lebah sebagai binatang
yang aktif di siang hari akan bereaksi jika terganggu. Sarang yang diambil akan
diikutinya hingga ke bawah, padahal lebah jika terendam dalam madu akan
langsung mati. Hal tersebut juga yang menyebabkan lebih banyak induk lebah
mati pada saat panen siang.
Hedge (1999) menyatakan semakin intensifnya penggunaan pestisida juga
mampu mengancam kelangsungan hidup lebah madu, sebagaimana diketahui
kawasan di sekitar desa dan sekeliling Taman Nasional Tesso Nilo merupakan
perkebunan sawit dan HTI yang membutuhkan pestisida untuk perlindungan
tanamannya. Sebab lain adalah sifat lebah yang secara teratur bermigrasi
(Hadisoesilo dan Kuntadi 2007), sehingga tidak adanya lebah bersarang dapat
disebabkan karena peristiwa tersebut.
Peristiwa migrasi dimana koloni lebah A.dorsata berpindah tempat dari
sarangnya saat ini menuju tempat yang lain merupakan hal yang biasa terjadi.
Migrasi tersebut terjadi tahunan dan mampu mencapai jarak hingga puluhan
kilometer untuk mendekati lokasi dengan kecukupan pakan yang memenuhi
kebutuhan koloninya (Momose et al. 1998; Oldroyd et al 2000; Woyke et al.
2001; Kahono 2002). Migrasi juga dapat diakibatkan karena adanya predasi oleh
manusia (Oldroyd et al. 2000). Namun sebenarnya pada kondisi normal koloni
yang bermigrasi akan digantikan oleh koloni lain yang akan datang bersarang di
lokasi tersebut (Kahono 2002), sehingga kejadian tidak bersarangnya lebah
mungkin disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
5.7. Dampak Pemanfaatan Madu Hutan terhadap Konservasi Kawasan
Taman Nasional Tesso Nilo
Pengelolaan kawasan yang memiliki kekayaan hayati yang tinggi
memerlukan dukungan dari masyarakat yang merupakan pengguna langsung dari
sumber daya alam, pengelolaan tidak bisa hanya berdasarkan informasi tentang
ekologi dan fungsi kawasan saja (Manalu 2010). Taman nasional sebagai
pengelola sumberdaya alam beserta ekosistem di dalamnya dituntut mampu
memberikan pemahaman pada masyarakat sekitar kawasan tentang fungsi dan
58
peranan kawasan berdasarkan mandat dari undang-undang. Pemahaman tersebut
harus dalam bahasa yang dapat diterima masyarakat dan aplikatif dalam
keseharian mereka, sehingga dapat menumbuhkan peran serta aktif yang dapat
menguntungkan bagi pengelolaan kawasan dan juga bagi masyarakat.
Keberadaan pohon sialang yang berada dalam kawasan TNTN merupakan
potensi untuk menarik peran serta masyarakat berkontribusi pada pengelolaan
taman nasional. Sebagaimana yang terjadi pada saat penelitian berlangsung,
kelompok pemanjat yang sedang masuk dalam kawasan taman nasional untuk
mensurvey pohon silang menemukan bahwa perambahan dalam kawasan sudah
mendekati kepungan sialang milik adat dalam jarak ± 500m. Terancamnya pohon
sialang milik persukuan menyebabkan mereka tergerak untuk memberikan
informasi kepada pihak pengelola, sehingga bisa secepatnya ditanggulangi.
Kejadian tersebut memberikan sudut pandang yang jelas bahwa pengelolaan
kawasan konservasi akan lebih berhasil jika masyarakat di sekitar kawasan
memberikan kepeduliannya pada taman nasional. Jika semua pihak bisa
menyikapi penunjukan taman nasional dengan bijak maka penunjukan suatu
kawasan konservasi dengan keberadaan masyarakat tradisionalnya di sekitar
kawasan merupakan upaya memelihara suatu media hubungan tradisional manusia
dengan alamnya (Watson et al. 2003). Pada saat terdapat otoritas pengelola dan
memiliki tupoksi sebagai kawasan perlindungan alam maka memungkinkan aset
masyarakat lokal bisa lebih terjaga beserta segala bentuk pemanfaatan
tradisionalnya dengan aturan yang telah disepakati. Namun demikian kondisi di
lapangan yang terjadi di TNTN adalah begitu kerasnya benturan kepentingan
untuk alih fungsi lahan menjadikan permasalahan semakin kompleks dan sukar
terurai.
Permasalahan perambahan di TNTN dari sisi masyarakat dilatar belakangi
juga oleh pengertian bahwa tanah tersebut adalah tanah milik nenek moyang
mereka. Jika dirunut berdasarkan kepemilikan suku maka dalam kawasan taman
nasional Tesso Nilo terdapat dua persukuan yang dipimpin oleh Bathin Hitam dan
Bathin Muncak Rantau. Pembatasan wilayah berdasarkan pada aliran sungai,
daerah di sekitar Sungai Sawan merupakan wilayah kekuasaan Bathin Hitam
sedangkan daerah sekitar Sungai Nilo merupakan daerah kekuasaan Muncak
59
Rantau. Sistem perbathinan sebagai kepala persukuan yang masih terdapat disana
dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi mendapatkan legalitas semu untuk
membuka kawasan dalam taman nasional.
Kepala persukuan yang berada di Desa Lubuk Kambang Bunga yaitu Bathin
Hitam (AI, 80 tahun, komunikasi pribadi) sempat gusar dengan kejadian
pembukaan lahan dalam taman nasional yang terjadi dalam wilayah
kekuasaannya. Bathin hitam tidak pernah sekalipun mengeluarkan ijin untuk
kegiatan tersebut, sehingga memunculkan kekhawatiran dipalsukannya
tandatangan dan stempel bathin dan beliau menjadi terseret dalam kasus. Menurut
beliau kawasan tersebut sebenarnya tidak juga diperkenankan dibuka jika sesuai
peraturan adat karena telah masuk dalam imbo kopungan sialang.
TNTN sebagai Kawasan Pelestarian Alam penunjukannya dilatar belakangi
oleh kejadian konflik berulang antara manusia dengan gajah sumatera. Hal
tersebut dipicu oleh tingginya frekwensi gangguan terhadap lahan yang
diusahakan manusia, sehingga diperlukan suatu habitat yang secara khusus
mengakomodir kebutuhan habitat bagi satwa liar dan meminimalkan kejadian
konflik yang berulang. Namun permasalahan tidak juga selesai karena kebutuhan
lahan yang selalu meningkat, sehingga terjadi kondisi yang berlawanan yaitu
masyarakat setempat dan pendatang yang kemudian menjadi pengganggu habitat
satwa dan melakukan aktifitas illegal logging serta bermukim dalam kawasan
taman nasional. Hal tersebut dilakukan sebagai kegiatan antara untuk menegakkan
klaim lahan dalam kawasan taman nasional.
Kebutuhan manusia yang tidak hanya sekedarnya dalam memenuhi
kebutuhan hidup, menyebabkan konflik penguasaan lahan selalu terjadi dalam
kawasan taman nasional. Menurut Kepala Desa Lubuk Kambang Bunga (Tengku
Effendy, komunikasi pribadi) memenuhi kebutuhan tidak cukup untuk saat ini
saja tapi memikirkan juga nasib anak cucu nantinya, mereka juga butuh lahan
untuk mencukupi hidup. Hal itulah yang mendasari tetap maraknya perambahan
dalam kawasan. Pemilikan terhadap lahan sangat penting bagi mereka karena
mampu meningkatkan status dalam masyarakat dan menjadi simbol kesejahteraan.
Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik menyebabkan jarak terentang
jauh antara pihak pengelola taman nasional dengan masyarakat desa sekitar
60
kawasan. Beberapa informan menyatakan bahwasanya mereka mengetahui
tentang Taman Nasional Tesso Nilo, namun karena seringnya terjadi konflik dan
perasaan adanya ketidakadilan melihat kenyataan di depan mata. Pada saat
masyarakat kecil yang membuka lahan untuk urusan perut dikejar-kejar dan
ditangkap, sedangkan oknum yang membuka lahan hingga ribuan hektar dibiarkan
saja. Informan dari Desa Lubuk Kambang Bunga (NZ, 38 tahun) menyatakan:
“perambah itu rata-rata pendatang, kita yang orang sini asli jadi penonton saja,
masyarakat luar seenaknya bisa punya lahan di sini, dan tidak banyak tindakan
untuk mereka”
Mengenai satwa liar seperti gajah, dimata masyarakat mengapa binatang
lebih dipentingkan daripada manusia. Mereka sulit memahami mengapa satwa liar
perlu dilindungi, karena dalam pemikiran mereka tidak ada manfaat dari satwa-
satwa tersebut, hanya merusak dan tidak bisa dikonsumsi. Seringnya kejadian
konflik menjadikan fungsi konservasi yang diemban Taman Nasional Tesso Nilo
dengan tiga pilar utama berupa perlindungan, pemanfaatan dan pengawetan,
dimata masyarakat menjadi sekedar „tukang tangkap-tangkap‟ saja. Hal tersebut
mengkondisikan taman nasional dan masyarakat berada pada sisi saling
berlawanan dan bermusuhan, yang imbasnya kegiatan pengelolaan lebih terfokus
untuk pengamanan yang sebenarnya hanya salah satu bagian saja dari fungsi
keseluruhan kawasan konservasi sebagai pengelola ekosistem beserta segenap
sumberdaya yang ada di dalamnya.
Sisi lain dari banyaknya permasalahan yang terjadi adalah terdapatnya
potensi madu hutan sebagai penunjang penghasilan masyarakat. Hal tersebut
mampu memunculkan kesadaran pada pentingnya keberadaan pohon sialang
sebagai tempat lebah madu bersarang. Peraturan Desa (Perdes) tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Kepungan Sialang secara Lestari dan
Berkelanjutan telah dibuat oleh Pemerintah Desa Air Hitam pada tahun 2010.
Perdes tersebut mengatur perlindungan terhadap pohon sialang dengan adanya
hutan kepungan sialang sehingga dalam radius 100m2
tidak boleh dirusak ataupun
dibuka untuk dijadikan lahan perkebunan, pertanian maupun pemukiman. Sesuai
Perdes, pihak desa akan turut mendapatkan bagian sebesar 2,5%. dari hasil panen
madu.
61
Desa Lubuk Kambang Bunga belum bersedia untuk membuat Perdes
tentang sialang meskipun pernah pihak WWF menawarkan menginisiasinya.
Menurut Kepala Desa karena kekhawatiran terjadi tumpang tindih dengan aturan
negara, karena posisi sialang yang sebagian juga berada di dalam kawasan taman
nasional yang secara peraturan perundangan memiliki fungsi perlindungan. Bibit-
bibit kesadaran masyarakat tersebut merupakan potensi penting yang dapat
dikembangkan dalam komunikasi pengelola kawasan TNTN dengan masyarakat
sekitar kawasan. Melalui penghargaan terhadap kekayaan budaya berupa
pengetahuan lokal masyarakat tentang pemanenan madu yang juga telah
diimbangi dengan kesadaran masyarakat mengenai pohon sialang dan perlunya
perlindungan bagi ekosistem di sekelilingnya. Kondisi tersebut dapat menciptakan
sinergi yang dapat dikolaborasikan dengan tujuan pengelolaan sebuah kawasan
konservasi yaitu perlindungan sumberdaya alam beserta ekosistemnya.