13
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 711 Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan (Studi Kasus: Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya) Yunie Nurhayati R. (1) , Suhirman (1) Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. (2) (2) Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. Abstrak Pemikiran terhadap aspek keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam pada dasarnya muncul karena adanya kesadaran terhadap dampak lingkungan yang merugikan manusia. Banyak literatur yang berusaha untuk menemukan definisi terbaik yang jika dioperasionalisasikan ke dalam konsep kebijakan akan mengarah pada manfaat (outcome) yang diharapkan (Rydin, 2003). Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mendapat baik kritikan maupun dukungan (Wood, 1993). Perkembangan isu dan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara global juga telah mempengaruhi kelembagaan pengelolaan SDA di Indonesia, terutama setelah era demokratisasi yang terjadi dalam kurun waktu Tahun 1998 – 2008. Dalam konteks nasional, terjadi transisi kelembagaan di sektor pertambangan secara fundamental semenjak era otonomi daerah. Hal ini dicirikan dengan digantikannya UU No.11 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Pertambangan yang bersifat sentralistik dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang bersifat desentralistik serta mengadopsi paradigma baru dalam pengelolaan pertambangan. Berdasarkan UU No.4 Tahun 2009, daerah kabupaten memiliki peran dan kewenangan yang besar untuk mengelola pertambangan di daerah otonomnya. Di sisi lain, pemerintah kabupaten memiliki keterbatasan kapasitas SDM dan pengalaman dalam mengelola pertambangan. Hal ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti tumpang tindih kepentingan sektoral, tumpang tindih izin pertambangan, kerusakan lingkungan, praktik pertambangan ilegal dan konflik sosial di masyarakat. Adanya kekosongan hukum pada peraturan di tingkat di tingkat yang lebih teknis mengakibatkan lemahnya kerangka aturan formal dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat daerah. Oleh karena itu, dinamika kelembagaan dalam proses pengambilan keputusan secara utama dipengaruhi oleh jejaring dan wacana aktor yang terbentuk dari pola relasi dan sistem nilai yang melekat pada aktor. Jejaring aktor ini sebagian besar adalah jejaring informal yang terbentuk di dalam konteks kerangka aturan informal dan bersifat dinamis dan cair dan sebagian besar didasari oleh kepentingan ekonomi. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang dikeluarkan dalam pertambangan pasir besi sebagian besar mendukung kepentingan ekonomi, baik pengusaha, masyarakat lokal, maupun perekonomian daerah. Kata-kunci: dinamika kelembagaan, aturan, jejaring aktor, pengelolaan pertambangan PENDAHULUAN Pemikiran terhadap aspek keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam pada dasarnya muncul karena adanya kesadaran terhadap dampak lingkungan yang merugikan, dipicu oleh tragedi Teluk Minamata yang terjadi di Jepang Tahun 1950. Menurut Redclift (1999), ketika istilah keberlanjutan digunakan dalam relasinya dengan masyarakat, hal ini seringkali

V2N3 Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

  • Upload
    atibaus

  • View
    22

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

wqwqw

Citation preview

  • Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

    Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 711

    Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan (Studi Kasus: Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya)

    Yunie Nurhayati R. (1), Suhirman

    (1) Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.

    (2)

    (2) Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.

    Abstrak

    Pemikiran terhadap aspek keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam pada dasarnya muncul karena adanya kesadaran terhadap dampak lingkungan yang merugikan manusia. Banyak literatur yang berusaha untuk menemukan definisi terbaik yang jika dioperasionalisasikan ke dalam konsep kebijakan akan mengarah pada manfaat (outcome) yang diharapkan (Rydin, 2003). Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mendapat baik kritikan maupun dukungan (Wood, 1993). Perkembangan isu dan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara global juga telah mempengaruhi kelembagaan pengelolaan SDA di Indonesia, terutama setelah era demokratisasi yang terjadi dalam kurun waktu Tahun 1998 2008. Dalam konteks nasional, terjadi transisi kelembagaan di sektor pertambangan secara fundamental semenjak era otonomi daerah. Hal ini dicirikan dengan digantikannya UU No.11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan yang bersifat sentralistik dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang bersifat desentralistik serta mengadopsi paradigma baru dalam pengelolaan pertambangan. Berdasarkan UU No.4 Tahun 2009, daerah kabupaten memiliki peran dan kewenangan yang besar untuk mengelola pertambangan di daerah otonomnya. Di sisi lain, pemerintah kabupaten memiliki keterbatasan kapasitas SDM dan pengalaman dalam mengelola pertambangan. Hal ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti tumpang tindih kepentingan sektoral, tumpang tindih izin pertambangan, kerusakan lingkungan, praktik pertambangan ilegal dan konflik sosial di masyarakat. Adanya kekosongan hukum pada peraturan di tingkat di tingkat yang lebih teknis mengakibatkan lemahnya kerangka aturan formal dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat daerah. Oleh karena itu, dinamika kelembagaan dalam proses pengambilan keputusan secara utama dipengaruhi oleh jejaring dan wacana aktor yang terbentuk dari pola relasi dan sistem nilai yang melekat pada aktor. Jejaring aktor ini sebagian besar adalah jejaring informal yang terbentuk di dalam konteks kerangka aturan informal dan bersifat dinamis dan cair dan sebagian besar didasari oleh kepentingan ekonomi. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang dikeluarkan dalam pertambangan pasir besi sebagian besar mendukung kepentingan ekonomi, baik pengusaha, masyarakat lokal, maupun perekonomian daerah.

    Kata-kunci: dinamika kelembagaan, aturan, jejaring aktor, pengelolaan pertambangan

    PENDAHULUAN

    Pemikiran terhadap aspek keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam pada dasarnya muncul karena adanya kesadaran terhadap

    dampak lingkungan yang merugikan, dipicu oleh tragedi Teluk Minamata yang terjadi di Jepang Tahun 1950. Menurut Redclift (1999), ketika istilah keberlanjutan digunakan dalam relasinya dengan masyarakat, hal ini seringkali

  • Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

    712 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3

    menyiratkan pergeseran paradigma dimana masyarakat perlu mempertimbangkan segala sesuatu dalam kaitannya dengan alam. Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mendapat baik kritikan maupun dukungan (Wood, 1993).

    Perkembangan isu dan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara global juga telah mempengaruhi kelembagaan pengelolaan SDA di Indonesia, terutama setelah era demokratisasi yang terjadi dalam kurun waktu Tahun 1998 2008. Perkembangan yang lebih progresif dapat dilihat dengan adanya Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Salah satu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang memiliki dampak langsung terhadap lingkungan adalah kegiatan pertambangan, terutama yang dilakukan di kawasan pesisir (Dahuri dkk, 2004). Aktivitas penambangan dan industri tersebut, menurut Dahuri, akan menimbulkan gangguan fisik, kimiawi, dan biologi terhadap ekosistem wilayah pesisir. Selain itu, Ruchyat (2009) menyebutkan bahwa salah satu karakterisik pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks dan berpotensi konflik adalah pengelolaan kawasan Pesisir. Salah satu daerah di pesisir Indonesia yang mengalami konflik pengelolaan pertambangan adalah Kabupaten Tasikmalaya, yaitu konflik dalam praktik pertambangan pasir besi. Praktik pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya dimulai sejak Tahun 2004 dimana pengelolaan sudah dilakukan oleh pemerintah daerah.

    Ostrom (1990) menilai bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi kelembagaan pengelolaan sumber daya alam adalah kerangka aturan, baik formal maupun informal yang bekerja di dalam suatu praktik pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks nasional, terjadi transisi kelembagaan di sector pertambangan secara fundamental semenjak era otonomi daerah. Hal ini dicirikan dengan digantikannya UU No.11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan yang bersifat

    sentralistik dengan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara yang bersifat desentralistik serta mengadopsi paradigma baru dalam aspek investasi dan mekanisme perdagangan internasional. Dengan adanya mandat baru UU No.4 Tahun 2009, daerah kabupaten memiliki peran dan kewenangan yang besar untuk mengelola pertambangan di daerah otonomnya. Di sisi lain, pemerintah kabupaten memiliki keterbatasan kapasitas SDM dan pengalaman dalam mengelola pertambangan yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

    Otoritas dan tanggung jawab yang besar bagi pemerintah daerah kabupaten yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas kelembagaan telah menimbulkan berbagai persoalan seperti tumpang tindih kepentingan sektoral, tumpang tindih izin pertambangan, kerusakan lingkungan, praktik pertambangan ilegal dan konflik sosial di masyarakat. Meskipun konsep pembangunan berkelanjutan telah diadposi ke dalam berbagai peraturan dari tingkat pusat hingga tingkat daerah, termasuk di sektor pertambangan, praktik pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya masih menunjukkan berbagai dampak lingkungan, terutama di kawasan sempadan pantai dan lahan-lahan bekas pertambangan.

    Dinamika kelembagaan dari tingkat pusat mempengaruhi dinamika kelembagaan di tingkat daerah dan semakin kompleks dengan adanya konflik kepentingan hingga tingkat lokal. Dinamika kelembagaan ini tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan dan gagasan antar aktor untuk mengarahkan keputusan (Bots, 2008). Oleh karena itu, studi mengenai dinamika kelembagaan dalam konteks pembangunan berkelanjutan penting untuk merumuskan kebijakan pengelolaan pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya agar lebih berkelanjutan. Fokus dinamika kelembagaan dalam tulisan ini mengacu pada kerangka kelembagaan Ostrom (1990), yaitu arena aturan formal dan informal yang mempengaruhi aturan operasional pertambangan pasir besi. Selain itu, dilakukan pula analisis jejaring aktor untuk melihat bagaimana aturan formal dan informal

  • Yunie Nurhayati R.

    Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 713

    bekerja dalam suatu struktur hubungan aktor yang terlibat di dalam praktik pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya.

    METODOLOGI

    Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif karena bertujuan untuk mengetahui suatu situasi atau kejadian secara mendalam (Babbie, 2007). Berdasarkan teknik penelitian, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan utama. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus tunggal holistik karena menggunakan satu unit analisis dan sekaligus menyatu dalam kasusnya, yaitu dinamika kelembagaan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir selatan Tasikmalaya.

    Terdapat 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya yang memiliki aktivitas pertambangan pasir besi, yaitu Kecamatan Cikalong, Cipatujah, dan Karangnunggal. Namun aktivias pertambangan pasir besi di Karangnunggal sudah menurun drastis dan hampir berhenti. Oleh karena itu, studi ini hanya mengambil kasus studi di Kecamatan Cikalong dan Cipatujah yang masih aktif melakukan kegiatan pertambangan pasir besi.

    Persebaran potensi pasir besi tidak merata di seluruh wilayah di kedua kecamatan ini, hanya 3 (tiga) desa dari masing-masing kecamatan yang memiliki aktivitas pertambangan pasir besi. Dari ketiga desa di kedua kecamatan ini, penulis memilih desa yang paling sering muncul di media, yaitu Desa Cikawungading di Kecamatan Cipatujah dan Desa Mandalajaya di Kecamatan Cikalong. Richardson (2002) menjelaskan bahwa bahasa, dan bagaimana ia direproduksi di tempat yang berbeda, adalah sangat penting dalam membentuk peristiwa-peristiwa di dunia, dan bahasa tertentu dapat memperkuat struktur kekuasaan. Dengan demikian, banyaknya actor yang mengacu pada kedua desa ini di media publik mencerminkan kompleksitas kepentingan, argumen, dan gagasan yang terjadi di kedua wilayah tersebut. Oleh karena itu, analisis dinamika kelembagaan pertambangan pasir besi di tingkat lokal dilakukan di kedua desa tersebut.

    Analisis Kerangka Aturan

    Analisis kerangka aturan dibagi menjadi analisis kerangka aturan formal dan informal. Analisis kerangka aturan formal bersumber dari peraturan perundangan hingga peraturan daerah yang secara legal mengatur pengelolaan pertambangan pasir besi dalam aspek ekonomi, lingkungan, maupun sosial serta berbagai peraturan lainnya yang sesuai dengan konteks studi ini seperti peraturan tata ruang, kawasan pesisir, dan kebencanaan. Analisis terhadap berbagai aturan ini dilakukan dengan standar analisis isi dan analisis deskriptif kualitatif pada umumnya, yaitu berupa penelaahan bacaan, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Penyajian dilakukan melalui gambar/skema dan diagram alir untuk mempermudah pemahaman isi secara visual. Proses yang sama dilakukan dalam analisis kerangka informal, namun data dan informasi bersumber dari naskah wawancara dan aturan yang berlaku di luar kebijakan formal.

    Analisis Jejaring Aktor

    Analisis jejaring aktor yang dilakukan dalam studi ini mengikuti kaidah analisis kualitatif, yaitu analisis isi pada umumnya, yaitu klasifikasi, interpretasi, kodifikasi, lalu kesimpulan. Klasifikasi dilakukan berdasarkan indikator dan parameter yang telah dirumuskan pada bagian tinjauan literatur. Kodifikasi dilakukan sebelum proses penarikan kesimpulan, yaitu berupa pengelompokkan interpretasi berdasarkan aspek-aspek utama yang mengandung kesamaan makna dari naskah wawancara aktor kunci. Hal ini dilakukan untuk memsntrukturkan jawaban dan mengklasifikasinnya menjadi aspek-aspek yang lebih rinci untuk menjelaskan pencapaian parameter dan indikator. Selanjutnya kesimpulan disajikan dalam bentuk tabel yang lebih ringkas yang menjelaskan pencapaian setiap paramater dan indikator dari sasaran analisis jejaring aktor. Pada akhirnya, jejaring aktor digambarkan dalam bentuk skema hubungan aktor secara visual untuk menjelaskan pola dan struktur hubungan antar aktor secara keseluruhan.

  • Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

    714 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3

    KERANGKA KERJA TEORITIS: PENDEKATAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

    Kebanyakan analisis terbaru mengenai CPR dalam kaiannya dengan tindakan kolektif, fokus pada satu tingkat analisis, yang disebut dengan analisis tingkat operasional (Kiser dan Ostrom 1982). Tindakan individu dalam situasi operasional secara langsung mempengaruhi dunia fisik. Analisis pada level perubahan kelembagaan jauh lebih sulit daripada analisis pada level keputusan operasional dalam menetapkan suatu aturan yang ditetapkan. Aturan-aturan yang mempengaruhi pilihan operasional dibuat dalam satu set aturan pilihan kolektif yang aturan pilihan kolektif tersebut juga dibuat dalam seperangkat aturan pilihan konstitusi. Aturan pilihan konstitusional untuk pengaturan mikro dipengaruhi oleh aturan-pilihan kolektif dan pilihan-insitutional bagi yurisdiksi yang lebih besar.

    Lembaga dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan (working rules) yang digunakan untuk menentukan siapa yang berhak untuk membuat keputusan dalam beberapa arena, tindakan apa yang diikuti atau dibatasi, aturan agregasi apa yang akan digunakan, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus atau tidak harus diberikan, dan

    hadiah apa yang akan diberikan kepada individu tergantung pada tindakan mereka (Ostrom 1986a). Aturan ini harus benar-benar digunakan, dipantau, dan ditegakkan ketika individu membuat pilihan tentang tindakan yang akan diambil (Commons, 1957). Aturan (working rules) adalah pengetahuan umum dan dipantau dan ditegakkan (E. Ostrom, 1990). Aturan ini mungkin atau tidak mungkin sangat mirip dengan hukum formal yang disajikan dalam peraturan perundang-undangan, peraturan administratif, dan keputusan pengadilan.

    Hubungan antara arena dan aturan jarang melibatkan arena tunggal yang hanya berhubungan dengan satu set aturan. Paling sering, beberapa arena kolektif pilihan mempengaruhi seperangkat aturan operasional yang benar-benar digunakan oleh appropriators untuk membuat pilihan tentang pengambilan unit sumberdaya dan strategi investasi dalam CPR. Keputusan yang dibuat di level legislatif nasional dan perundang-undangan berkenaan dengan akses terhadap sumber daya, ketika diberi legitimasi dalam pengaturan lokal dan diimplementasikan, cenderung mempengaruhi aturan operasional yang digunakan di lapangan. Demikian pula, proses konstitusional pilihan formal dan informal dapat terjadi di arena lokal, regional, dan/atau nasional.

  • Yunie Nurhayati R.

    Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 715

    KONFIRMASI EMPIRIK: KERANGKA ATURAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN PASIR BESI DI KABUPATEN TASIKMALAYA

    Analisis kerangka aturan pengelolaan pertambangan pasir besi meliputi analisis kerangka aturan formal, informal, dan jejaring aktor dalam arena pengambilan keputusan terkait pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya.

    Kerangka Aturan Formal

    Pergeseran sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah mempengaruhi kerangka formal kelembagaan pertambangan di Indonesia. Sebelum era desentralisasi, induk aturan pertambangan mengacu pada Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan. Undang-undang ini bersifat sentralistik karena perizinan dan pengelolaan pertambangan berada dalam sepenuhnya dalam kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri. UU 11/1967 belum mengakomodasi peran pemerintah daerah tingkat II atau kabupaten sehingga dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan sistem desentralisasi saat ini berlaku.

    Undang-Undang No.4 Tahun 2009 merupakan induk regulasi di sektor pertambangan mineral dan batubara yang saat ini berlaku. UU ini diantaranya diturunkan ke dalam PP No. 23

    Tahun 2010 dan PP No. 23 Tahun 2010. Kedua peraturan pemerintah tersebut mengatur 2 (dua) hal yang sangat mempengaruhi dinamika pertambangan pasir besi di tingkat daerah, yaitu peningkatan nilai tambah dan penetapan Wilayah Pertambangan (WP). Aturan mengenai peningkatan nilai tambah yang sudah diturunkan ke dalam Peraturan Menteri ESDM No. 7 dan No.11 Tahun 2012 bertujuan untuk mendorong terciptanya industri pengolahan dan pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri sebelum melakukan ekspor.

    Terdapat beberapa regulasi penting yang belum dietapkan (ditandai dengan kotak berwarna abu-abu). Hal ini menimbulkan persoalan di daerah dan pada tingkat operasional di lapangan. Aturan penting di sektor pertambangan yang menentukan izin pertambangan pasir besi adalah Peraturan Menteri ESDM tentang penetapan WP. Berdasarkan UU No.4 Tahun 2009 dan PP No.22 Tahun 2010, izin pertambangan harus mengacu pada Wilayah Pertambangan. Karena Permen ini belum ditetapkan sejak Tahun 2009, maka UU No.4 Tahun 2009 pun belum dapat diimplementasikan sementara aturan lama (UU No. 11 Tahun 1967) telah dihapuskan secara otomatis sejak UU No.4 Tahun 2009 ditetapkan. Hal ini menimbulkan terjadinya kekosongan hukum (lack of law) di sektor pertambangan.

  • Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

    716 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3

    Gambar 3 Kerangka Aturan Formal Pengelolaan Pertambangan di Tingkat Pusat dan Daerah (Sumber : UU No.4 Tahun 2009; PP No. 22 Tahun 2010; Permen ESDM No.7 dan No.11 Tahun 2012; dan hasil

    analisis, 2013)

    Dengan demikian, kebijakan di tingkat daerah menjadi satu-satunya yang menentukan mekanisme dalam pertambangan pasir besi. Konflik kepentingan terjadi karena proses pembuatan kebijakan di tingkat daerah dapat dengan mudah diakses oleh kelompok kepentingan dalam pertambangan pasir besi. Berbagai aktor dengan kepentingan berbeda dapat melakukan tindakan untuk mempengaruhi proses-proses pembuatan keputusan, baik secara formal maupun informal. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kepentingan dan aturan yang relatif tidak stabil karena faktor dorongan dan penekanan berbagai kelompok kepentingan dan tidak ada acuan dari aturan yang lebih tinggi.

    Kerangka Aturan Informal

    Setelah UU No.11 Tahun 1967 secara resmi tidak diberlakukan lagi dan UU No.4 tahun 2009 masih menunggu aturan teknis untuk dapat diimplementasikan di daerah, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya menerapkan mekanisme alternatif dalam penerbitan IUP, termasuk untuk pasir besi karena banyaknya permohonan IUP dari pengusaha. Pada periode pemerintahan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten

    Tasikmalaya memberikan kebijakan yang mudah dalam penerbitan IUP pasir besi sehingga saat ini masih banyak IUP yang masih berlaku.

    Alternatif penerbitan IUP memuat mekanisme informal di tingkat lokal, yaitu adanya rekomendasi pemerintah di tingkat desa dan kecamatan serta persetujuan pemilik lahan dan masyarakat sekitar yang diperoleh melalui sosialisasi di tingkat lokal. Dengan adanya pelembagaan mekanisme informal ke dalam mekanisme formal, masyarakat memiliki kontrol yang lebih besar dalam penggunaan sumberdaya yang dapat memperngaruhi kehidupannya. Jika kita lihat diagram yang dikembangkan oleh Ostrom (1990) pada Gambar 2, ada dua hal yang akan mempengaruhi aturan yang bekerja dalam penggunaan sumberdaya alam atau yang Ostrom sebut dengan istilah operational rules in use, yaitu mekanisme formal dari kebijakan pemerintah di tingkat pusat hingga daeerah dan mekanisme informal di tingkat komunitas dan dunia usaha serta kelompok kepentingan lain. Ketika mekanisme formal tidak bekerja, maka mekanisme informal menjadi faktor yang sangat menentukan aturan tersebut.

  • Yunie Nurhayati R.

    Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 717

    Gambar 4 Kerangka Aturan Eksisting Pengelolaan Pertambangan di Tingkat Pusat dan Daerah (Sumber: Hasil Analisis, 2013)

    Dalam kasus ini, mekanisme informal terjadi di tingkat lembaga lokal dan komunitas, yaitu dengan adanya proses sosialisasi kepada masyarakat sekitar daerah penambangan dan perizinan di tingkat institusi lokal (Desa dan Kecamatan). Dalam kasus ini juga, mekanisme informal tersebut difasilitasi dan dilembagakan ke dalam mekansime formal sehingga keduanya tidak terpisahkan. Jika dilihat dalam Gambar 5.3, koordinasi lintas sektoral dilakukan dalam tahap perizinan melalui rekomendasi dari seluruh SKPD. Hal ini ditujukan untuk menghindari tumpang tindih kepentingan pada saat izin dikeluarkan karena persoalan penggunaan ruang, terutama di kawasan pesisir akan beririsan dengan berbagai kepentingan.

    Jejaring Aktor dalam Praktik Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya Terdapat 2 (dua) mekanisme hubungan dalam jejaring aktor dalam praktik pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu hubungan formal dan/atau prosedural; dan hubungan informal. Hubungan formal dan/atau prosedural terjadi ketika terdapat aturan yang jelas dan transparan dalam berinteraksi, baik melalui mekanisme regulasi formal, hubungan

    struktural, maupun regulasi di tingkat lokal atau di dalam internal lembaga itu sendiri. Hubungan formal dan/atau struktural terjadi di dalam konteks kelembagaan formal. Dalam kasus ini, hubungan formal terjadi antar lembaga di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan daerah, antara pemerintah dengan dunia usaha dan masyarakat yang mekanismenya diatur di dalam suatu peraturan formal, antara institusi lokal (kecamatan dan desa) dengan masyarakat dalam konteks kewenangan formalnya, serta antara dunia usaha dengan masyarakat dalam konteks aturan formal. Hubungan seperti ini dapat dengan mudah diidentifikasi, baik melalui wawancara maupun kajian dokumen legal karena prosedurnya sudah jelas dan transparan. Hubungan formal ini memiliki keterbatasan dalam memfasilitasi dan menyelesaikan isu dan permasalahan dalam situasi chaos atau berkonflik karena sifatnya yang rigid dan prosedural. Situasi yang terjadi dalam kasus pertambangan pasir besi merupakan situasi yang kompleks, berbagai kelompok aktor melakukan tindakan untuk memaksa dan mempengaruhi aktor lain agar sejalan dengan kepentingannya. Situasi seperti ini akan menimbulkan berbagai hubungan informal. Hubungan informal ini dapat berupa proses negosiasi, koalisi, kompromi, ataupun

  • Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

    718 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3

    penekanan terbuka seperti protes dan demonstrasi. Berbagai bentuk hubungan tersebut dilakukan aktor untuk mengartikulasikan masalah serta membuat pihak lain sadar terhadap masalah tersebut, termasuk dengan adanya peran media dalam pembentukan opini. Munculnya kelompok

    kepentingan di luar konteks kelembagaan formal seperti Ormas, LSM, dan media difasilitasi oleh lingkungan rezim demokrasi membuat situasi semakin cair dan dinamis.

    Hubungan informal yang terjadi dalam praktik pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya, sebagian besar didorong oleh kepentingan ekonomi. Dalam hal ini dunia usaha menjadi aktor yang memiliki power besar untuk mempengaruhi sikap aktor lain. Namun, tidak semua aktor bergerak atas nilai ekonomi, beberapa aktor yang meskipun tidak dominan, bergerak karena nilai-nilai lingkungan, seperti WALHI dan Kantor Lingkungan Hidup.

    Kepentingan sosial dalam jejaring aktor ini terbagi juga ke dalam dimensi ekonomi dan lingkungan, dimana masyarakat yang memiliki akses terhadap sumberdaya ekonomi berkompetisi dengan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sumberdaya ekonomi

    namun merasakan eksternalitas negatif pertambangan pasir besi.

    Pembangunan Berkelanjutan dalam Kerangka Normatif Pertambangan Pasir Besi

    Kerangka normatif pertambangan mengandung 3 (tiga) dimensi utama, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. UU No.4 Tahun 2009 memuat dimensi sosial dan ekonomi sekaligus. Dimensi sosial ini terutama terlihat dari aspek pemberdayaan masyarakat dan ketenagakerjaan. UU No.4 Tahun 2009 yang diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 memuat kewajiban pengusaha untuk melakukan pemberdayaan masyarakat lokal melalui kegiatan CSR-nya. Namun, dimensi sosial ini belum mencapai rasionalitas komunikatif yang dikemukakan Rydin (2003) karena rasionalitas komunikatif sudah berbicara mengenai kontrol masyarakatsebagai salah satu pihak yang berkepentinganterhadap lingkungan yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan masyarakat masih berupa balas jasa atau kompensasi atas eksternalitas negatif yang ditimbulkan akiba kegiatan pertambangan bagi masyarakat, belum memuat kontrol masyarakat terhadap lingkungan tersebut.

  • Yunie Nurhayati R.

    Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 719

    Gambar 6 Pembangunan Berkelanjutan dalam Kerangka Normatif Pertambangan Pasir Besi (Sumber : Hasil Sintesis dan Analisis, 2013)

    Rasionalitas komunikatif ini sudah terlembagakan ke dalam mekanisme formal, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan. Regulasi ini mengatur peran aktif masyarakat dalam penilaian terhadap Amdal dan izin lingkungan yang diajukan oleh pengusaha. Perwakilan masyarakat bersama-sama dengan instansi berkepentingan, ahli, dan organisasi lingkungan tergabung dalam Tim Penilai Amdal untuk menilai kelayakan Amdal yang dibuat oleh pengusaha. Hal ini menunjukkan adanya akses dan kontrol berbagai pemangku kepentingan untuk menentukan keputusan terhadap lingkungan.

    Dalam aspek lingkungan, induk kerangka normatif adalah UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa lingkungan hidup sebagai prinsip dalam setiap pembangunan ekonomi. Dalam sektor pertambangan, aspek lingkungan termuat dalam konsep Good Mining Practice yang sudah diadopsi ke dalam Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca tambang. Selain itu, konsep Good Mining

    Practice juga diadopsi ke dalam kebijakan sektoral di bidang pertambangan di tingkat kabupaten, yaitu Rencana Strategis Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 -2015 sejalan dengan Rencana Strategis kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 -2015.

    Kerangka normatif yang memuat dimensi ekonomi dalam sektor pertambangan adalah UU No.4 Tahun 2009 yang diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 selanjutnya dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Menteri ESDM No 7 dan No.11 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Regulasi ini mengandung upaya untuk menumbuhkan ekonomi melalaui penciptaan industri pengolahan dan pemurnian mineral. Pertumbuhan ekonomi dapat diperoleh melalui peningkatan investasi di sektor industri pengolahan tersebut, peningakatan nilai tambah material (mineral pasir besi), peningkatan pendapatan daerah dan nasional melalui pajak dan royalti, serta keseimbangan neraca perdagangan. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri.

  • Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

    720 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3

    Gambar 7 Proses Pengambilan Keputusan Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya (Sumber: Hasil Analisis, 2013)

    Rasionalitas ekonomi juga bekerja di tingkat lokal, yaitu dengan mendorong tumbuhnya sektor UMKM dan jasa oleh masyarakat lokal untuk mendukung kegiatan pertambangan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja lokal dan pemasukan royalti unuk APBDes memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal, diantaranya perbaikan sarana dan prasarana lingkungan. Di tingkat lokal hal ini dilembagakan melalui peraturan dan kesepakatan di tingkat desa, yaitu antara Pemerintah Desa dengan Pengusaha sebagai salah satu prasyarat mendapatkan rekomendasi dan persetujuan di tingkat desa. Dalam tataran ini, rasionalitas ekonomi sudah berkolaborasi dengan rasionalitas komunikatif karena masyarakat dilibakan dalam pengambllan keputusan terhadap lingkungannya. Kolaborasi ini, menurut Rydin (2003) disebut rasionalitas kemakmuran masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.

    Baik rasionalitas ekonomi maupun rasionalitas lingkungan di sektor pertambangan sudah terlembaga ke dalam kebijakan formal, kolaborasi keduanya termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009 dalam bentuk instrumen ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ini terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; pendanaan lingkungan hidup; dan insentif dan/atau disinsentif.

    KESIMPULAN

    Dinamika kelembagaan dalam proses pengambilan keputusan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu kerangka aturan,

    jejaring aktor, dan wacan aktor. Adanya kekosongan hukum (lack of law) pada peraturan di tingkat di tingkat yang lebih teknis mengakibatkan lemahnya kerangka aturan formal dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat daerah. Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan secara utama dipengaruhi oleh jejaring dan wacana aktor yang terbentuk dari pola relasi dan sistem nilai yang melekat pada aktor-aktor tersebut. Jejaring aktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan sebagian besar adalah jejaring informal yang terbentuk di dalam konteks kerangka aturan informal. Jejaring ini bersifat dinamis dan cair karena terbentuk atas dasar kepentingan dan preferensi aktor.

    Jejaring informal dari aktor-aktor dalam praktik pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya sebagian besar didasari oleh kepentingan ekonomi. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang dikeluarkan dalam pertambangan pasir besi sebagian besar mendukung kepentingan ekonomi, baik pengusaha, perekonomian masyarakat, maupun perekonomian daerah. Meskipun demikian, aspek lingkungan dan sosial tetap dipertimbangkan. Hal ini dapat dilihat, salah satunya dalam kebijakan moratorium penghentian sementara kegiatan pertambangan pasir besi dimana kepentingan ekonomi masih menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan dipengaruhi oleh jejaring aktor informal, terutama oleh pengusaha dan pemerintah dengan sentralitas yang paling besar.

  • Yunie Nurhayati R.

    Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 721

    PEMBELAJARAN

    Beberapa temuan, terutama yang berkaitan dengan teori yang digunakan sebagai kerangka kerja dalam studi ini adalah sebagai berikut.

    a). Wacana Formal dan Wacana Informal dalam Kelembagaan Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya

    Secara formal, wacana pembangunan berkelanjutan, baik dari dimensi lingkungan, ekonomi,maupun sosial dan rasionalitas dari ketiganya sudah termuat dan terlembagakan dalam peraturan-peraturan yang ada. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memuat dimensi ekonomi dan sosial meskipun dimensi ekonomi masih menjadi kerangka utamanya dan dimensi sosial sebagai bentuk kompensasi bagi masyarakat lokal atas eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan. Dimensi lingkungan pun sudah terlembagakan, induknya di dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi acuan bagi perencanaan setiap kegiatan pembangunan ekonomi, termasuk juga sektor pertambangan. Undang-undang ini juga memuat kolaborasi rasionalitas lingkungan dan ekonomi melalui instrumen ekonomi lingkungan hidup meskipun belum dapat dilaksanakan karena belum diturunkan ke dalam peraturan yang lebih teknis.

    Secara kebijakan/kelembagaan formal, wacana pertambangan berwawasan lingkungan lebih dominan, namun secara informal atau praktik, pertambangan pasir besi sangat dipengaruhi oleh wacana pertambangan untuk menambah kekayaan. Hal ini terjadi karena koalisi aktor-aktor dalam wacana ini dibentuk atas dasar kepentingan dan preferensi individu aktor yang sifatnya temporer, cair, dan dinamis.

    b). Pilihan Rasional dan Arena Pilihan Kolektif dalam Sistem Terbuka

    Arena pilihan kolektif dalam kasus ini tidak dapat diasumsikan bahwa setiap individu di dalam komunitas memiliki pengaruh dan

    kesempatan yang sama untuk mengambil tindakan dengan pilihan rasional (asumsi tragedy of the common). Hal ini juga tidak sesederhana prisoners dilemma game yang dikembangkan Hardin, Dawes (1973, 1975), dan Ostrom (1990) dimana persoalan daya dukung dan resiko degradasi lingkungan dapat diselesaikan dengan kecukupan informasi diantara individu atau yang disebut dengan istilah herder. Baik tragedy of the common maupun prisoners dilemma mengasumsikan bahwa arena pilihan kolektif berada pada suatu sistem tertutup dimana setiap individu herder di dalamnya lah yang menentukan pilihan, mengambil tindakan, berbagi resiko, dan merasakan dampak dari tindakan tersebut. Penulis menemukan bahwa dalam kasus ini sistem sumberdaya ini bersifat terbuka dan terhubung dengan sistem yang luas dimana individu atau aktor herder dari luar sistem memiliki pilihan untuk bertindak. Resiko dari tindakan tersebut secara langsung dapat dirasakan oleh aktor di dalam sistem namun pihak herder yang melakukan tindakan tidak selalu akan menerima dampak dari tindakan tersebut karena bisa jadi mereka bukan bagian dari sistem tersebut. Sebagian besar pihak herder bertindak atas dasar pilihan rasional, namun komunitas di dalam sistem sumberdaya yang akan merasakan dampak paling besar sekalipun kedua pihak sama-sama bertindak atas dasar pilihan rasional.

    c). Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya dan Relasi Kuasa

    Pendekatan kelembagaan yang dikembangkan Ostrom (1990) untuk pengelolaan Common Pool Resources tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam kasus ini karena sebagian besar pertambangan pasir besi dilakukan dalam lahan milik masyarakat (private goods). Konsep barang privat ini memberikan kuasa yang lebih besar kepada pemilik sumberdaya, dalam hal ini lahan, untuk menentukan keputusan dan tindakan. Hal ini menjadi semakin kompleks dalam kasus dimana lahan tersebut dimiliki oleh masyarakat di luar komunitas yang terkena eksternalitas negatif secara langsung. Dalam hal ini, masyarakat lokal memiliki kontrol yang rendah dalam menentukan keputusan terhadap

  • Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

    722 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3

    lingkungan. Meskipun ada ketentuan secara konstusional dalam UUD 194 Pasal 33 ayat 3 bahwa semua kekayaan alam dikuasai oleh negara, namun pada praktiknya skema penguasaan oleh negara ini harus berkompetisi dengan penguasaan oleh bisnis (rasionalias ekonomi korporat) atau yang Rydin (2003) sebut dengan slogan money talks.

    Ostrom (1990) menilai bahwa arena pilihan kolektif dan operasional sangat dipengaruhi oleh arena pilihan konstitusional, namun dalam kasus ini pengaruh dari arena pilihan konstitusional tersebut tidak signifikan. Hal ini disebabkan arena pilihan atau aturan konstitusional terkait pertambangan pasir besi masih belum ditetapkan dan diterjemahkan ke dalam pengaturan yang lebih rinci untuk diimplementasikan di tingkat daerah sehingga aturan kolektif dan operasional dipengaruhi oleh power. Arena pilihan kolektif maupun pilihan operasional dalam kasus ini sangat dipengaruhi oleh power yang melekat pada penguasaan terhadap sumberdaya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Foucault bahwa power ada dalam setiap relasi dan praktik sosial dan power tidak melekat pada aktor ataupun mekanisme kebijakan. Dalam kasus ini, power tersebut melekat pada wacana (discourse) dan anti-wacana (wacana kompetitor). Kedua wacana ini lah yang pada akhirnya mendorong tindakan aktor dalam kasus pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya.

    Ucapan Terima Kasih

    Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dosen Pembimbing, Dr. Suhirman, yang telah memberikan pembelajaran, pengetahuan, dan motivasi kepada penulis untuk mengerjakan studi ini sebaik-baiknya. Selain itu, terima kasih juga penulis tujukan kepada semua narasumber, yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya, Pemerintah Kecamatan Cikalong dan Kecamatan Cipatujah, Pemerintah Desa Mandalajaya dan Desa Cikawungading, Asosiasi Pengusaha Tambang Kabupaten Tasikmalaya, WALHI, dan masyarakat di Desa Mandalajaya dan Desa Cikawungading.

    Daftar Pustaka

    Dahuri, Rokhmin dkk. (2004). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. (Jakarta: PT. Pradnya Paramita)

    Dryzek, J. (1990), Discursive Democracy: Politics, Policy, and Political Science (Cambridge University Press: Cambridge)

    Foucault, M. (1984). The Order of Discourse, in M. Shapiro (ed.), Language and Politics (Oxford: Basil Blackwell)

    Gillham, B. (2000). Case Study Research Methods. New York: Continuum.

    Gupta, Dipak K. (2001). Analyzing Public Policy, Concepts, Tools, and Techniques, CQ Press.

    Hajer, Maarten A. 2006. Doing Discourse Analysis: Coalitions, Practices, Meanings. Utrecht

    Hermans, Leon M., Wil A.H. Thissen. (2011). Actor analysis methods and their use for public policy analysts. European Journal of Operational Research 196 (2009) 808818.

    Hudalah, Delik. 2010. Peri-urban Planning in Indonesia: Contexts, approaches and institutional capacity. Groningen: Rijksuniversiteit Groningen.

    Imawan, Riswandha. (2000). Formulasi Kebijakan Publik dan Penyerapan Aspirasi Masyarakat, Makalah disampaikan pada Orientasi DPRD hasil Pemilu 1999, Purwokerto.

    Irwin, A. (1995), Citizen Science: A Study of People, Expertise and Sustainable Development London: Routledge

    Killingsworth, M.J., dan J.S Palmer (1992). Ecospeak: Rhetoric and Environmental Politics in America (Carbondale: Southern Illinois University Press).

    Kusumanegara, Solahudin. (2010). Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Penerbit Gava Media)

    Madani, Muhlis. (2011). Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Graha Ilmu)

    Mitchell,Setiawan, Rahmi. (2000). Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)

    Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collection

  • Yunie Nurhayati R.

    Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 723

    Action (Cambridge: Cambridge University Press)

    Redclift, Michael. (1999). Pathways to Sustainability: Issues, Policies and Theories dalam Kenny dan Meadowcroft. Planning Sustainability: Environmental Politics. (London dan New York: Routledge).

    Ripley, Randall B. (1985) Policy Analysis in Political Science. (Chicago: Nelson Hall Publisher)

    Ruchyat, Denny Dj. (2009). Bahari Nusantara untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Ketahanan Nasional. (Jakarta: The Media of Social and Culture Communication)

    Rydin, Yvonne. 2003. Conflict, Consensus, and Rationality in Environmental Planning: An Institutional Discourse Approach. New York: Oxford University Press.

    Yin, Robert K. 2009. Case Sudy Research: Design and Methods4th ed. Thousand Oaks: Sage

    Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan

    Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

    Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

    Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

    Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

    Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan

    Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

    Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang

    Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

    Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

    Peraturan Menteri ESDM No. 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral

    Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral

    Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan

    Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

    Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya No. 02 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 2031

    Rencana Strategis Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tasikmalaya 2011 2015

    Rencana Strategis Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 2015

    KERANGKA KERJA TEORITIS: PENDEKATAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM(Sumber : Hasil Sintesis dan Analisis, 2013)(Sumber: Hasil Analisis, 2013)