Upload
gsmlina-r-panyalai
View
618
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
VEGETASI POHON/HUTAN; ALTERNATIFLANGKAH PENINGKATAN POTENSIAL PENYIMPANAN KARBON,
DALAM RANGKA MITIGASI CO2 ATMOSFIR
Oleh : Gusmailina
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan inventarisasi gas-gas rumah kaca (GRK) di Indonesia yang dilakukan
pada tahun 1994, menunjukkan bahwa emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4
sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg.
Sementara penyerapan CO2 pada tahun yang sama oleh hutan sebanyak 364,726 Gg, untuk
tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya.
Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Peningkatan
simpanan karbon (carbon store) di dalam tanah, tanaman maupun produksi tanaman
mempunyai efek menguntungkan terhadap lingkungan dan pertanian. Lahan tanaman
budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola baik untuk aspek produksi maupun
penyimpanan karbon. Pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan
pengelolaan lahan yang salah satunya adalah, pengelolaan unsur hara yang efisien. Sehingga
pertumbuhan tanaman pohon sebagai sumber rosot dapat dipacu. Akan tetapi upaya-upaya
penurunan emisi GRK tidak berarti apabila pemerintah berencana menandatangani investasi
membangun pembangkit listrik sebesar 10.000 MW berbahan bakar batubara. Untuk tiap MWh
listrik yang dihasilkan, pembangkit batubara dapat menghasilkan 934kg CO2, maka total emisi
CO2 yang dihasilkan tidak kurang dari 21 juta ton setiap tahunnya. Total proyeksi emisi CO2
Indonesia dari berbagai sektor untuk tahun 2005 sebesar 245,89 juta ton. Pilihan untuk
pembangunan pembangkit listrik dengan bahan bakar yang murah perlu ditinjau kembali,
karena pertimbangan lingkungan perlu mendapat porsi yang seimbang dengan ekonomi dalam
rencana pembangunan (Salim, 2006).
Pada awal dua dasawarsa terakhir, manusia berada dalam suatu krisis global yang
serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multi dimensional. Krisis ini menyentuh setiap segi
aspek lingkungan, terutama segi kehidupan seperti, kesehatan, mata pencaharian, energi,
kualitas lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan
krisis multi dimensi intelektual, moral serta spiritual, yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
1
Krisis lingkungan antara lain: kegiatan pencemaran dan perusakan
lingkungan akibat ulah dan perbuatan manusia. Namun kepedulian untuk
menjaga kelestarian lingkungan masih sedikit sekali dilakukan oleh manusia sekarang ini.
Kebanyakan perusahaan berlomba-lomba mencari laba yang setinggi-tingginya tanpa
menghiraukan dampak sosial yang terjadi pada lingkungan. Hal tersebut merupakan tindakan
yang harus dibayar mahal oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Tulisan ini menyajikan beberapa aspek tentang kerusakan lingkungan akibat manusia,
serta langkah solusi untuk meminimalisasi dampak serta menjaga kelestarian pohon, hutan,
atau vegetasi guna menciptakan lingkungan yang bersih, indah, sehat serta sekaligus
mendukung program Kyoto Protocol. Berdasarkan Kyoto Protokol, negara-negara maju yang
meratifikasi perjanjian (termasuk Indonesia) wajib menurunkan emisi gas rumah kaca mereka.
Setiap negara memiliki kewajiban yang berbeda, dengan total penurunan sebesar 5,2%
dibandingkan tingkat emisi tahun 1990. Menurut Pejabat Kepala UNFCCC, Richard Kinley,
negara-negara tersebut sudah melakukan tindak-tindakan yang sesuai untuk menurunkan emisi
hingga setidaknya 3,5% dalam periode komitmen pertama, yaitu tahun 2008-2012 dengan
bantuan mekanisme berbasis pasar yang tersedia dalam Kyoto Protokol target penurunan emisi
akan tercapai. Mekanisme penurunan gas rumah kaca yang tersedia dalam Kyoto Protokol
adalah Joint Implementation, Emission Trading, serta Clean Development Mechanism/CDM
(atau Mekanisme Pembangunan Bersih/MPB). CDM merupakan satu-satunya mekanisme
yang memungkinkan kerjasama antara negara maju dengan negara berkembang. Indonesia
juga telah telah melakukan beberapa tindakan yang mendukung berjalannya Protokol Kyoto.
Pada Juli 2005 Komnas Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) resmi dibentuk.
Komisi ini memiliki otoritas menyetujui proyek-proyek MPB di Indonesia. Apabila telah
disetujui, proyek-proyek tersebut dapat didaftarkan kepada CDM Executive Board di tingkat
internasional. Saat ini lima proyek telah mendapat persetujuan Komnas MPB, sementara satu
proyek lain sedang dikaji (Anonimus, 2006).
A. Tragedi Lingkungan Dunia
Musibah kebocoran instalasi nuklir Chernobyl, memiliki dampak sangat luas. Hingga
kini kasus Chernobyl masih menghantui masyarakat dunia terhadap nuklir karena berdampak
pada daerah sekitarnya. Bocornya pabrik kimia di Bophal, India, juga menjadi tragedi
2
mengejutkan dunia, karena telah menyebabkan kematian ribuan penduduk (+2000 orang)
akibat pelepasan senyawa kimia beracun, methyl isocyanate. Penduduk yang tinggal di sekitar
pabrik yang menjadi korban, sekalipun belum pernah merasakan manfaat dari kehadiran pabrik
kimia tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 70 % penduduk perkotaan
di dunia sesekali menghirup udara tidak sehat, 10 % menghirup udara yang bersifat marjinal,
sisanya menghirup udara dengan kadar udara beracun. Beberapa peneliti di Universitas
Harvard, menunjukkan bahwa kematian akibat pencemaran udara di USA berkisar antara
50.000 dan 100.000 per tahun, padahal tingkat pencemaran udaranya cenderung lebih rendah
daripada kota-kota di negara berkembang. Umumnya pencemaran udara lebih mempengaruhi
anak-anak dari pada orang dewasa. Studi telah membuktikan bahwa anak-anak yang tinggal di
kota dengan tingkat pencemaran udara yang lebih tinggi, memiliki paru-paru lebih kecil.
Pada 1980, akibat pencemaran udara di kota industri Cubatao, Brasilia, 40 dari setiap 1000
bayi yang lahir meninggal saat dilahirkan, 40 yang lain kebanyakan cacat, dan meninggal pada
minggu pertama. Pada tahun yang sama, 10.000 dari 80.000 jumlah penduduk, mengalami
kasus medis darurat yang meliputi TBC, pneumonia, bronkitis, emphysema, asma, dan
penyakit-penyakit pernapasan lain. Demikian juga di kota metropolitan Athena, Yunani,
tingkat kematian melonjak 500 persen, akibat pencemaran udara. Bahkan di daerah-daerah
yang jauh dari fasilitas industri, pencemaran udara juga dapat menyebabkan kerusakan.
Di daerah-daerah hutan tropis di Afrika, para ilmuwan melaporkan adanya tingkat
hujan asam dan kabut asap yang sama tingginya dengan di Eropa Tengah, akibat pembakaran
rutin padang rumput. Hal ini juga sering menimpa Indonesia, dengan penyebab yang sama
yaitu kebakaran hutan dan gambut yang hampir setiap tahun terjadi pada musim kemarau,
sehingga mengakibatkan udara makin panas, pandangan jadi terhalang, serta mewabahnya
penyakit akibat gangguan pernafasan. Kasus PT Inti Indo Rayon Utama di Porsea, Sumatera
Utara, bahan buangan yang mencemari lingkungan sekitarnya. Kasus lain di Jawa Timur yaitu
tercemarnya air susu ibu (ASI) oleh logam berat mercuri karena tercemarnya pantai Kenjeran
yang membuat 80 persen siswa SD di kawasan itu lamban menerima pelajaran. Hal ini
menunjukkan masih rendahnya kepedulian pengusaha untuk turut serta mengelola lingkungan
dengan benar. Menurut Emil Salim, bahwa ada lima perbedaan perubahan lingkungan masa
lalu dengan masa kini yakni:
3
1. Perubahan lingkungan masa lampau berjalan dengan sangat lamban, sehingga kehidupan di
bumi dapat menyesuaikan diri dengan evolusi perubahan ini. Sedangkan perubahan saat ini
terjadi sebaliknya.
2. Kerusakan lingkungan akhir-ahir ini bersifat global, melewati batas-batas negara. Banyak
kasus yang dapat dijadikan contoh untuk hal ini. Pencemaran udara oleh Amerika Serikat
mengakibatkan turunnya hujan asam di Kanada. Pencemaran industri di Jerman
menyebabkan hujan asam di Skandinavia, begitu pula kebakaran hutan di Indonesia
mencemari negara-negara Asean lainnya.
3. Kerusakan lingkungan masa kini telah menjangkau batas-batas generasi dan merugikan
generasi mendatang. Misalnya penciutan sumber daya hayati yang terjadi saat ini jelas
akan mengurangi pemakaiannya oleh generasi yang akan datang.
4. Banyak kerusakan lingkungan sekarang ini bersifat irreversibel, tak dapat dipulihkan
kembali. Ini berlaku baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun yang tidak
dapat diperbaharui. Hal ini terjadi karena penggunaan yang melampaui ambang batas
pemba-haruan diri.
5. Masalah lingkungan tidak lagi terbatas dalam ekologi yang ditangani secara ilmiah belaka.
Artinya di masa lampau masalah lingkungan diperlakukan sebagai problematik ilmu dan
teknologi. Tetapi saat ini keadaan berubah, lingkungan telah menyusup masuk ke bidang
sosial ekonomi. Sehingga lahir ekonomi lingkungan juga akuntansi lingkungan.
B. Hujan Asam
Sumber utama pencemaran di kota-kota besar, berasal dari sektor transportasi yang
padat. Kendaraan bermotor di kota-kota besar memberikan kontribusi sekira 70% terhadap
pencemaran udara. Penyebab polusi lainnya ialah sektor industri sekira 15%, rumah tangga
10%, serta lainnya 5% (Budiwati, 2002). Umumnya yang terjadi di perkotaan, kemampuan
penambahan ruas jalan dengan laju pertambahan kendaraan bermotor sangat tidak seimbang.
Seperti di Jawa Barat, pertambahan ruas jalan per tahun rata-rata di bawah 0,5%, sedangkan
laju pertambahan kendaraan rata-rata mencapai 15%. Akibatnya, pada ruas-ruas jalan tertentu
sulit dihindari terjadinya kemacetan lalu lintas yang berpotensi terhadap pencemaran udara
kota yang ditimbulkan dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Kondisi seperti ini yang
berdampak terhadap tingginya risiko hujan asam. Sampling yang dilakukan LAPAN di kota
4
Bandung sepanjang tahun 2000-2001, menunjukkan bahwa kisaran pH antara 5,89, sampai
4,69. Kondisi seperti ini sudah menunjukkan bahwa wilayah kota Bandung sudah sangat
buruk dalam komposisi keasamaan air hujannya. Bahkan, sebagian daerah sudah dapat
dipastikan terkena hujan asam.
Ketika terjadi kebakaran hutan yang memuncak di daerah Sumatra Utara pada tahun
1997, BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) menyebutkan bahwa pH air hujan menurun
hingga di bawah 4, ini sudah dikategorikan sebagai hujan asam. Akibat dari turunnya hujan
asam maka bangunan dan batuan menjadi lebih mudah keropos, demikian pula besi menjadi
lebih mudah berkarat dan keropos. Hujan asam merusak struktur tanah dan tanaman sehingga
dapat menggagalkan panen. Hujan asam juga mencemari air tanah dangkal dan air permukaan
sehingga dapat mematikan biota air.
II. MENJAGA MEKANISME KESEIMBANGAN ALAM SEBAGAI UPAYA MINIMASI
Di alam terjadi proses hubungan timbal balik, saling ketergantungan antar komponen.
Materi yang dibuang akan menjadi bahan baku bagi yang lain, sehingga tidak ada komponen
yang hilang dengan percuma. Selain itu, di alam tidak ada yang gratis, oleh sebab itu semua
dinamika komponen pendukungnya berpengaruh pada lingkungan, termasuk hasil perbuatan
manusia. Oleh sebab itu jika kita ingin memperoleh lingkungan yang berkualitas baik, maka
kita juga harus memperlakukan lingkungan dengan baik. Salah satu cara adalah dengan peduli
terhadap keberadaan pohon. Kepada masyarakat perlu disosialisasikan manfaat keberadaan
pohon bagi kelangsungan hidup manusia.
A. Beberapa Manfaat Vegetasi Pohon
1. Menahan laju air sehingga akan lebih banyak air yang terserap ke dalam tanah. Menurut
penelitian, tegakan hutan yang berdaun jarum mampu membuat 60% air hujan terserap
tanah, bahkan tegakan hutan yang berdaun lebar mampu membuat 80% air hujan terserap
tanah. Dengan kemampuan ini akan meningkatkan cadangan air tanah. Saat ini, kawasan
Punclut yang merupakan kawasan resapan air bagi warga Bandung dan sekitarnya hanya
mampu meresapkan air 5 liter/dt. Jumlah ini terus mengecil seiring dengan meluasnya
permukaan tanah yang tertutup. Perlu diketahui, air tanah yang sekarang ini kita nikmati
sesungguhnya merupakan hasil resapan air hujan sekira 6.000 tahun lalu ketika areal
serapan air masih sangat luas. Selain itu, akar pohon akan menahan tanah yang terkikis
5
agar tidak masuk ke aliran sungai/saluran air yang akan menimbulkan endapan.
Kemampuan inilah yang dapat mencegah terjadinya kekurangan air di musim kemarau dan
banjir di musim hujan (Adiningsih, 2002).
2. Menjaga kesuburan tanah. Saat hujan, butir-butir air hujan tidak langsung menimpa
permukaan tanah. Setelah ditahan oleh tajuk pohon selanjutnya ditahan oleh serasah yang
berupa daun dan ranting kering. Dengan demikian tidak mengelupaskan dan memercikkan
butir-butir lapisan tanah bagian atas, yang umumnya subur/tanah humus.
3. Memasok kebutuhan oksigen (O2). Melalui proses fotosintesis, tajuk pohon mengurangi
kadar CO2 (hasil aktivitas manusia, pabrik, kendaraan bermotor) di udara dan menghasilkan
O2 yang sangat diperlukan manusia. Menurut Mudjono (1977), setiap 1 hektare lahan hijau
dapat mengubah 3,7 ton CO2 menjadi 2 ton O2. Proses ini sangat penting sebab gas CO2
sangat beracun dan bila dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan efek rumah
kaca.
4. Menyaring kotoran (debu jalanan, abu pabrik/rumah tangga). Dengan struktur tajuk dan
kerimbunan dedaunan, debu, dan abu dapat menempel pada daun, yang di saat hujan akan
tercuci oleh air hujan. Dari berbagai pengamatan yang dirangkum oleh Bianpoen (1977)
diketahui bahwa kumpulan pohon yang terdapat di sebidang tanah seluas 300x400 m2
mampu menurunkan konsentrasi debu di udara dari 7.000 partikel/liter menjadi 4.000
partikel/liter. Selain itu diketahui pula bahwa antara ujung-ujung suatu jalur hijau yang
memiliki panjang 5 km dengan lebar 2 km, terjadi penurunan konsentrasi debu dengan
perbandingan 50 : 3. Dengan tajuknya yang lebat, barisan pohon mampu mengurangi
kecepatan angin. Menurut Kitredge (1948), jalur hijau (shelterbelts) mampu mereduksi
20% dari kecepatan angin di tempat terbuka. Ini berarti dapat mengurangi kadar debu yang
beterbangan. Yang menurut hasil pengukuran kadar debu oleh Badan Meteorologi dan
Geofisika (R.P. Sudarno, 1984), sejak 1978 konsentrasi debu di semua kota mengalami
kenaikan.
5. Mereduksi beberapa zat pencemar udara. Selain CO2, peristiwa pembakaran (terutama yang
berbahan bakar minyak) juga menghasilkan limbah asap yang mengandung sulfur dioksida
(SO2). Di udara, SO2 ini akan bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfat (H2SO4).
Bila bercampur air hujan akan menghasilkan hujan asam yang membahayakan kesehatan
kulit serta menimbulkan korosi. Dalam hal ini tajuk pohon berfungsi menahan air hujan
6
tersebut, yang kemudian pada beberapa pohon yang mengeluarkan air gutasi, kandungan
asamnya dinetralkan.
6. Keenam, meningkatkan kenyamanan lingkungan. Pepohonan mampu membentuk
mikroklimat yang sejuk, mengurangi kebisingan, mencegah silaunya sinar matahari,
mengurangi bau busuk serta menyekat pemandangan yang kurang layak. Kegiatan
metabolisme evapotrenspirasi tumbuhan akan menyebabkan suhu di sekitar tajuk menjadi
lebih rendah dan kadar kelembapannya meningkat (Zoer'aini, 1988).
Manusia penting menyadari bahwa sebatang pohon sangat berarti dan banyak memberi
manfaat bagi kelangsungan dan kualitas hidup manusia. Oleh karenanya perlu sosialisasi
kembali dari sekarang secara bersama untuk berupaya menghutankan kembali hutan, serta
menghijaukan kembali kota. Masalah penghijauan bukan menjadi urusan pemerintah semata.
Masyarakat pun harus terlibat aktif. Seharusnya masyarakat jangan hanya mengeluh bila
kotanya menjadi gersang dan panas, tetapi juga ikut berbuat dan mendukung program dari
pemda setempat. Namun pemerintah juga mempunyai aturan yang tegas sehingga bagi perusak
lingkungan diberi sanksi. Pemerintah harusnya berani menegur para pengembang yang tidak
menyediakan sarana ruang terbuka hijau. Sesuai dengan peraturan ada, bahwa daerah
pemukiman harus menyediakan sedikitnya 20% dari lahan untuk RTH
B. Jalur Hijau / RTH (Ruang Terbuka Hijau)
Yang termasuk ruang terbuka hijau itu di antaranya taman kota, hutan kota, jalur hijau,
halaman rumah, perkantoran, dan pusat bisnis, serta kebun binatang. Ia berfungsi sebagai filter
udara dan daerah tangkapan air. Daun-daun pepohonan berfungsi menyerap polutan-polutan di
sekitarnya, serta melepaskan oksigen (O2) yang membuat udara di sekitarnya menjadi segar.
Ketika hujan turun, tanah dan akar-akar pepohonan akan mengikat air yang jatuh sehingga
menjadi cadangan air.
Kawasan hijau juga melepaskan anion (ion negatif) lebih besar ketimbang kawasan
tanpa pepohonan. Data menunjukkan, konsentrasi anion terbesar bisa ditemukan di hutan rimba
atau air terjun, yakni sebesar 50.000 ion per cc (sentimeter kubik) udara. Berikutnya di
pegunungan dan pantai 5.000 ion per cc, pinggiran kota dan tempat terbuka 700 – 1.500 ion per
cc, taman kota 400 – 600 ion per cc, jalur hijau di dalam kota 100 – 200 ion per cc, perumahan
dalam kota 40 – 50 ion per cc, dan yang terkecil di dalam ruang ber-AC yakni 0 – 25 ion per cc
7
(Yudana, 2001). Anion memberi pengaruh baik bagi kesehatan sampai ada yang menyebutnya
sebagai vitamin udara. Manfaat lain, ion negatif dapat membunuh dan menghentikan aktivitas
bakteri; mengurangi penyakit pernapasan karena berfungsi mengaktifkan gerakan bulu getar
hidung, melebarkan saluran napas, menjaga peredaran darah normal, dan mengurangi
kecepatan pernapasan; menaikkan kemampuan menyerap dan memanfaatkan oksigen,
mengaktifkan pembaharuan sel dan meningkatkan fungsi pertahanan tubuh; serta
menghilangkan kelelahan. Yang terakhir ini karena anion akan menguraikan asam laktat
penyebab rasa lelah menjadi air dan ion laktat. Untuk kebutuhan menjaga kesehatan tubuh,
diperlukan 1.000 – 2.000 ion per cc. Artinya, kebutuhan tersebut akan terpenuhi bila kita
berada di pinggiran kota. Sebaliknya, secara fisiologis kita akan kekurangan anion bila
konsentrasinya cuma di bawah 50 ion per cc udara.
Soeriatmadja dalam Seminar Penghijauan Kota yang diselenggarakan oleh Paguyuban
Pelestarian Budaya Bandung dan Pikiran Rakyat menyatakan tahun 1961 kota Bandung yang
luasnya 8.098 Ha terdiri dari taman alam dan buatan seluas 3.431 Ha. Namun setelah 20 tahun
kemudian hanya tinggal 716 Ha saja (Suara Pembaruan, 29-1-1991). Perhitungan yang
dilakukan berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen berdasarkan Rumus Gerakis pada tahun
1988 di Kotamadya Bandung mestinya sudah harus tersedia penghijauan sebesar 5.093,61 Ha
(Ryanto, 1989 dalam Dephut).
Jumlah karbon yang diserap oleh pohon yang sedang dalam pertumbuhan tergantung
dari spesies, iklim dan tanah, serta umur pohon. Kecepatan penyerapan karbon sebatang pohon
lebih tinggi di awal pertumbuhan, dan akan menurun ketika pohon mencapai usia dewasa.
Oleh sebab itu sebuah hutan yang sedang dalam masa pertumbuhan akan menyerap 10 ton
karbon per hekatar per tahun (Foley, 1993). Sehingga bila diperkirakan untuk menyerap 10
persen dari emisi karbondioksida keatmosfir saat ini dibutuhkan areal penanaman hutan sekitar
700.000 km persegi.
Bahan bakar biomasa berasal dari kayu atau sisa-sisa tanaman pertanian yang ditanam.
Bahan ini dapat digunakan secara berkelanjutan, dengan jumlah yang digunakan setara dengan
jumlah yang ditanam. Jika hal ini dilakukan, tidak ada emisi karbon dioksida kaarena
tumbuhan yang ditanam menggunakan CO2 sebanyak yang dilepaskan ketika bahan dibakar.
Jika energi yang dihasilkan digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil, maka ada pula
penghematan CO2.
8
C. Tumbuhan Penyerap Polutan Atau Tanaman Produktif
Mengahadapi minimnya ruang terbuka hijau, tentu saja pemerintah daerah harus
berupay mengembalikan fungsi taman yang telah berubah. Seperti pemda DKI dalam tahun-
tahun belakangan telah berhasil mengembalikan fungsi setidaknya 14 lokasi taman setiap
tahunnya. Kalau saja upaya itu dilakukan secara berkelanjutan dan konsisten, maka perlu
waktu sekitar 19 tahun agar 270 taman, yang telah berubah fungsi, kembali menjadi taman.
Keberhasilan berdirinya hutan kota di tengah Kota New York, yang dinamai Central
Park, mungkin bisa dijadikan contoh bahwa mengembalikan fungsi taman bukan hal yang
mustahil. Pendirian kawasan terbuka hijau ini berkat "ngotot" nya seorang arsitek lanskap
setempat dan telah berhasil meyakinkan Panitia Kota, yang menganggap taman tidaklah
menguntungkan secara ekonomis, melalui suatu kampanye besar-besaran. Lahan yang sudah
telanjur menjadi peruntukan lain pun berhasil dihutankan kembali meski harus dibeli dengan
nilai mahal. Upaya pemulihan fungsi RTH akan lebih bermakna bila program Pemda membuat
taman interaksi sosial di wilayah lingkungan permukiman yang padat.
PENUTUP
Meningkatnya emisi GRK hasil aktivitas manusia yang terus menerus, akan
meningkatkan bencana yang terkait dengan iklim. Untuk mengantisipasi dampak perubahan
iklim, diperlukan kajian untuk mengidentifikasi daerah dan sektor mana yang rentan terhadap
perubahan iklim kemudian menentukan strategi adaptasi yang paling sesuai. Adaptasi perlu
dimasukkan ke dalam agenda rencana pembangunan, terutama di bidang yang rentan dampak
perubahan iklim seperti pertanian, perikanan, kesehatan, kehutanan, dan sumberdaya air.
Kegiatan-kegiiatan rehabilitasi lahan kritis dengan cara reforestasi, melarang illegal logging,
penangkapan ikan dengan racun, serta hemat air, sebenarnya sudah termasuk adaptasi terhadap
perubahan iklim. Kegiatan-kegiatan ini sekarang menjadi semakin penting dengan adanya
ancaman perubahan iklim.
Pentingnya penataan perkotaan dalam rangka membangun cadangan oksigen, cadangan
air, sera penyaring debu dan polutan, tidak hanya pemerintah, tetapi warga masyarakat dituntut
peran aktifnya serta berkewajiban untuk menghijaukan ruang yang bisa dihijaukan, baik
9
berupa taman, lapangan, kantor atau pertokoan, pabrik serta sarana-sarana umum lainnya.
Semoga ini tidak membuat kita kehabisan oksigen, dan sulit bernafas.
DAFTAR BACAAN
Anonimus, 2006. Satu Tahun Protokol Kyoto; Dunia secara perlahan mulai mengurangi emisi gas rumah kaca. Yayasan Pelangi Indonesia. Jakarta
Adiningsih N. U. 2002. Wacana gerakan sejuta pohon. Mari tanam pohon!. Pikiran Rakyat Media. Bandung.
Budiwati, Tuti. 2002. Akibat padatnya lalu lintas berpolusi tinggi, Bandung terancam hujan asam. Pikiran Rakyat Seri Makalah Hijau. Mutu Udara Kota. Bandung
Irwan, D. Zoer'aini, 1994. Peranan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan kota: Studi Kasus Laokasi Pemukiman Kota Jakarta. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Irawan, 2001. Analisa Kemungkinan Penerapan Environmental Costing di Indonesia Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Jakarta.
Salim, N. 2006. Hari Bumi 2006: Solusi bagi perubahan iklim. Yayasan Pelangi Indonesia. Jakarta.
Yudana, I. G. A. 2001. Kembalikan sumber vitamin udara. Intisari Online www.indomedia.com/intisari/ Diakses Februari 2004.
10