33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat saat ini, sangat perlu adanya nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung. Dengan nilai-nilai tersebut memungkinkan kondisi yang dicita-citakan dapat terwujud. Namun, seiring modernisasi dan globalisasi yang semakin cepat dan tak bisa dihindari, maka orang-orang saat ini cenderung meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu pula yang terjadi di sekolah- sekolah saat ini, siswa- siswi hanya mendalami ilmu eksakta dalam belajarnya sedangkan ilmu sosialnya cenderung mereka abaikan. Hal ini menimbulkan dua sisi yang seolah berdampingan akan tetapi terjadi tabrakan nilai-nilai. Di satu sisi, siswa-siswi disini akan memperlihatkan daya saing mereka antar individu dalam proses pembelajaran, karena pada dasarnya ilmu eksakta akan meningkatkan tingkat kecerdasan siswa- siswi dalam aspek kognitif. Namun disisi lain, akan memperlihatkan persaingan mereka yang sifatnya individualistis, tidak peduli terhadap sesama (apatis) dan seolah-olah teman-teman sekelas adalah musuh. Hal ini banyak terjadi pada mereka yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang banyak terdapat pada ilmu sosial, khususnya sejarah. 1

justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat saat ini, sangat

perlu adanya nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung. Dengan nilai-nilai tersebut

memungkinkan kondisi yang dicita-citakan dapat terwujud. Namun, seiring

modernisasi dan globalisasi yang semakin cepat dan tak bisa dihindari, maka orang-

orang saat ini cenderung meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu pula yang

terjadi di sekolah- sekolah saat ini, siswa-siswi hanya mendalami ilmu eksakta dalam

belajarnya sedangkan ilmu sosialnya cenderung mereka abaikan. Hal ini menimbulkan

dua sisi yang seolah berdampingan akan tetapi terjadi tabrakan nilai-nilai. Di satu sisi,

siswa-siswi disini akan memperlihatkan daya saing mereka antar individu dalam

proses pembelajaran, karena pada dasarnya ilmu eksakta akan meningkatkan tingkat

kecerdasan siswa-siswi dalam aspek kognitif. Namun disisi lain, akan memperlihatkan

persaingan mereka yang sifatnya individualistis, tidak peduli terhadap sesama (apatis)

dan seolah-olah teman-teman sekelas adalah musuh. Hal ini banyak terjadi pada

mereka yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang banyak terdapat

pada ilmu sosial, khususnya sejarah.

Dengan demikian, pendidikan humaniora sangat penting diterapkan di sekolah-

sekolah dengan tujuan dapat menyeimbangkan antara aspek kognitif dengan apektif

siswa-siswi. Dengan pendidikan humaniora, siswa-siswi dapat belajar bagaimana cara

berbangsa, bernegara dan beretika dalam bermasyarakat yang baik, karena siswa-siswi

inilah yang selanjutnya akan menjadi the new generations bagi negeri ini di masa

depan. Dengan sejarah, tentunya akan mampu menjadikan the new

generations menjadi the golden age generations, karena sejarah mampu

mengembangkan identitas sosial dan prospek masa depan melalui gudang-gudang

pengalaman dan ingatan kolektif.

Saat ini sejarah merupakan bagian dari rumpun ilmu sosial. Meskipun begitu,

ada keunikan tersendiri pada sejarah dibanding dengan disiplin ilmu sosial lainnya.

akan tetapi, beberapa keunikan ini menyebabkan perdebatan mengenai pemasukan

sejarah sebagai ilmu dan bagian dari ilmu sosial. Dengan beberapa masalah diatas,

1

Page 2: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

menimbulkan minat kami untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan sejarah

sebagai humaniora dan juga sejarah sebagai ilmu sosial.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan posisi sejarah dalam ilmu pengetahuan?

2. Mengapa terjadi permasalahan mengenai sejarah sebagai ilmu?

3. Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai humaniora?

4. Apa fungsi sejarah sebagai humaniora dalam dunia pendidikan?

5. Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai seni dan ilmu?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui penjelasan dimana letak sejarah dalam ilmu

pengetahuan.

2. Untuk mengetahui apa yang menjadi masalah mengenai sejarah sebagai

ilmu sehingga banyak menimbulkan perdebatan.

3. Untuk mengetahui maksud dari pengertian sejarah sebagai humaniora.

4. Untuk mengetahui apa fungsi sejarah sebagai humaniora.

5. Untuk mengetahui maksud dari sejarah sebagai ilmu dan seni, serta

D. Manfaat Penulisan

Besar harapan penulis untuk mampu menjadikan makalah ini sebagai sumber

acuan atau referensi bagi rekan-rekan mahasiswa untuk lebih memahami mengenai apa

arti dari sejarah sebagai humaniora dan ilmu sosial. Mengingat betapa pentingnya

nilai- nilai kemanusiaan kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu

pula, banyak perdebatan mengenai apakah pantas sejarah dimasukkan sebagai ilmu,

sedangkan sejarah memiliki perbedaan dengan ilmu- ilmu sosial apalagi ilmu eksakta.

Penulis berharap semoga makalah ini mampu memberikan cahaya yang lebih terang

dalam memahami posisi sejarah sebagai ilmu sosial bagi rekan- rekan mahasiswa.

2

Page 3: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

BAB II

SEJARAH SEBAGAI HUMANIORA dan SEBAGAI ILMU SOSIAL

A. Perkembangan Sejarah Sebagai Ilmu

Sejarah adalah salah satu disiplin ilmu tertua yang embrio-embrionya telah ada

dalam cerita-cerita rakyat atau mitos yang berkembang dalam kehidupan di masyarakat

yang paling sederhana. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homo sapiens memiliki

potensi untuk menyimpan pengalamannya di dalam memorinya (ingatan), dan

sewaktu-waktu diperlukan dapat diproduksi (keluarkan) baik dalam angan- angannya

maupun dalam bentuk cerita (Kartodirdjo, 1993: 58). Sehingga pada mulanya, sejarah

banyak meriwayatkan tokoh- tokoh mitologis dan kepahlawanan (sage), dan memuat

banyak mitos di dalamnya.

Penulisan sejarah sebetulnya telah ada sebelum Herodotus (198-117 SM), yaitu

tulisan karya Homerus yang berjudul Illiad dan Odyssey (Supardan, 2011: 312).

SyairIlliad yang berkisah mengenai perang antara Yunani dan Troya pada kurun waktu

sekitar 1200 SM. Sedangkan syair odyssey berkisah mengenai petualangan panjang

Odysseus setelah jatuhnya kota Troya. Tulisan ini muncul dalam bentuk puisi serta di

dalamnya banyak memuat mitos dan lebih merupakan sebuah legenda daripada karya

sejarah yang sesungguhnya. Bahkan peradaban Mesir, Sumeria, Babilonia dan Cina

merupakan bangsa-bangsa yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah. Meskipun

begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai

peradaban yang melahirkan ilmu sejarah yang pertama, karena orang-orang Mesir,

Sumeria, Babilonia dan Cina tidak menulis mengenai ilmu sejarah.

Penulis sejarah Yunani yang terkenal adalah Herodotus (198-117 SM) yang

dijuluki sebagai “Bapak Sejarah”. Hal ini tidak terlepas dari sikap objektif yang

ditunjukannya dalam karyanya yang berjudul History of the Persian Wars (Sejarah

Perang-perang Persia). Herodotus melihat bahwa perang ini merupakan bentrokan dua

peradaban yang berbeda, antara Yunani dan Persia. Berbeda dengan Homerus,

Herodotus berusaha keras untuk melakukan inkuiri atau penelitian secara kritis dan

memberi penjelasan-penjelasan yang naturalistik serta tidak banyak menunjukan

adanya “campur tangan” para dewa. Adapun Thucydides yang menulis tentang The

Peloponnesian War (431-404 SM) berkisah mengenai perang saudara antara dua polis

3

Page 4: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

yang berbeda antara  Athena dan Sparta. Sebuah hal yang penting bagi perkembangan

penulisan sejarah adalah Thucydides mencoba mencari sebab dari segala peristiwa-

peristiwa yang terjadi. Sedangkan Polybius adalah sejarawan yang mengembangkan

metode kritis dalam penulisan sejarah.

Sejarah yang mula mulanya berkisah mengenai tokoh mitologi dan

kepahlawanan, di dalamnya juga banyak terdapat mitos, sehingga sangat sukar

dibedakan antara permainan imajinasi dengan realita yang terjadi sebagaimana

keadaannya. Di dalamnya sukar dibedakan antara Dichtung und Wahrnheit atau antara

rekaan dengan yang sebenarnya (Ismaun, 2005: 150). Mengatasi hal tersebut maka

munculah kritik sejarah yang merupakan inti dari metodologi sejarah.

Kritik sejarah berkembang pada abad ke- 17 hingga akhirnya  mencapai taraf

kematangan pada abad ke- 19. Kebangkitan sejarah sebagai disiplin ilmiah dimulai di

Jerman, dimana Leopold von Ranke mencetuskan diktumnya dalam karyanya yang

berjudul A Critique of Modern Historical Writers, bahwa tugas sejarah hanyalah

menunjukan apa yang benar- benar telah terjadi (wie es eigentlich gewesen ist)

(Ismaun, 2005: 152-153). Maka sejak abad ke- 18, para sejarawan mulai meninggalkan

paradigma sejarah klasik. Mereka mulai memusatkan perhatian pada pemaparan

narasi-narasi peristiwa politik yang terutama didasarkan pada dokumen- dokumen

resmi.

Akan tetapi, setelah adanya perjuangan pemisahan antara sejarah dengan sastra

dan seni untuk menjadikan sejarah sebagai ilmu, setingkat dengan ilmu- ilmu

kealaman yang ketika itu mencapai puncak perkembangannya, ada proses dalam

sejarah yang tidak cocok dengan proses-proses ilmiah, yang sesuai dengan ukuran

ilmu- ilmu kealaman. Timbul sebuah kesadaran, meskipun sejarawan berpegang teguh

terhadap ajaran Ranke ada soal-soal yang tidak bisa dipecahkan untuk membela

pendiriannya.

Memang ciri- ciri pengetahuan yang ilmiah, menurut W. H. Walsh (Ismaun,

2005: 153) ialah: (1) diperoleh secara metodik dan disusun secara sistematis; (2) terdiri

dari setidak- tidaknya mencakup sejumlah kebenaran umum; (3) memberikan

kemampuan untuk membuat prediksi yang berhasil, sehingga dengan demikian kita

dapat mengamati arah proses kejadian-kejadian ke arah masa depan, setidak- tidak

4

Page 5: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

dalam batas waktu tertentu; (4) objektif dalam pengertian bahwa setiap peneliti harus

mau menerima kebenaran di dalamnya, bagaimanapun kecenderungan pribadinya.

Sebagai reaksi akan timbulnya “sejarah ilmiah”, timbullah dua macam

anggapan mengenai ciri- ciri disiplin sejarah. Pertama, mereka berpendapat bahwa

sejarah adalah disiplin ilmiah, akan tetapi merupakan ilmu yang khas, yang lain

daripada ilmu kealaman. Kedua, mengatakan bahwa sejarah adalah tetaplah sebagai

suatu seni, dalam konteks ini seni yang setingkat dengan ilmu.

Maka, baiknya kita melihat prosedur penulisan itu sendiri untuk mengatasi

silang pendapat seperti ini. Sifat ilmiah dari sejarah dapat dilihat dari betapa tajamnya

kritik sumber yang dipakai dalam meniliti sumber-sumber sejarah. Sifat ilmiah ini

didapat seperti ketika sejarah menggunakan alat-alat atau bahan- bahan kimia untuk

menentukan palsu tidaknya sebuah dokumen. Pada hakikatnya, sejarah adalah sebuah

kisah, sehingga hasil penelitian tersebut belum dikatakan sebagai sejarah tanpa adanya

narasi. Maka disamping sejarah yang ilmiah, sejarah pun masuk dalam seni karena

penggunaan tata bahasa yang indah untuk menarik minat pembaca.

Kedudukan sejarah sebagai ilmu adalah khas dan unik, karena sejarah benar-

benar memenuhi persyaratan sebagai ilmu jika dipandang dari sudut metode dalam

taraf penelitian sumber- sumbernya. Sejarah dipandang sebagai seni dalam aspek

kemahiran penafsiran atau interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun

dalam penyajian materi sejarah. Dalam interpretasi inilah sering menimbulkan apa

yang dinamakan sebagai subjektivitas karena faktor latar belakang pengetahuan,

keyakinan, pandangan hidup atau tujuan.

Maka sejarah bisa merupakan bagian dari ilmu humaniora karena ada unsur-

unsur memelihara budaya dan memberi makna atas perkembangan umat manusia.

Sejarah digolongkan sebagai ilmu sosial karena sejarah mencari generalisasi-

generalisasi sosial dan pola- pola aktivitas manusia melalui analitis, kemudian sejarah

memakai generalisasi tersebut untuk mendapatkan kekhususan atau spesialis

(Gottschalk, 2008: 30).

Dengan demikian, sejarah mempunyai aspek masuk ke dalam ilmu-ilmu sosial,

maupun masuk ke dalam ilmu humaniora. Baik yang unik dan khas atau yang berulang

dan umum. Sesuai dengan guna pada suatu waktu yang kita pentingkan, guna reflektif

5

Page 6: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

dan guna inspiratif lebih memerlukan peristiwa- perisitiwa yang digambarkan secara

unik dan khas. Sedangkan guna instruktif ataupun edukatif lebih memerlukan

penyajian yang dititikberatkan  pada yang berulang dan umum.

B. Permasalahan Sejarah Sebagai Ilmu

Pada abad ke- 18 dan ke- 19 perkembangan ilmu mencapai fase positivisme

yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam, sehingga diberi fungsi normatif untuk

menentukan seberapa jauh pelbagai cabang ilmu dapat digolongkan sebagai ilmu,

bahkan dominasi pikiran positivisme ini masih sangat kuat hingga abad ke- 20. Dalil-

dalil atau hukum- hukum yang dapat dirumuskan sehingga mampu membuat

generalisasi dan memprediksi atau membuat proyeksi ke masa depan  merupakan salah

satu kriteria yang digunakan (Kartodirdjo, 1993: 126-127).

Menurut aliran positivisme, ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah, tidaklah

bisa dikatakan sebagai ilmu karena memang tidak mampu membuat hukum- hukum.

Sama halnya sejarah sebagai ilmu menurut Auguste Comte (1798-1857) dalam

bukunya yang berjudul Course de Philosophie Positive, metodologi ilmiah umum,

artinya dapat diterapkan terhadap semua ilmu pengetahuan yang ada (Kartodirdjo,

1980: 18). Artinya, bagi Comte, sejarah harus menerapkan metode dengan prosedur

yang sama seperti halnya dalam fisika.

Pada akhir abad ke- 19 timbul reaksi dari golongan yang terkenal sebagai kaum

neo-Kantianis sebagai sanggahan atas pendapat kaum positivisme. Golongan ini

dipelopori oleh beberapa filsuf Jerman seperti Johan Gustav Droysen (1808-1884),

Wilhelm Dilthey (1833-1911), Heinrich Rickert (1863-1936) serta Wilhelm

Windelband (1848-1915) yang kemudian mendapat dukungan dari beberapa kalangan

filsuf dari luar Jerman, seperti Benedetto Croce dari Italia (1866-1952) dan R. G.

Collingwood dari Inggris (1889- 1945). Mereka menerangkan sejarah berdasarkan

teori idealisme bahwa adanya perbedaan fundamental antara ilmu sejarah dan ilmu-

ilmu kealaman. Dalam ilmu ada dikhotomi, yaitu ilmu alam (realie) dan ilmu

humaniora atau ilmu kemanusiaan, keduanya generik dan berdiri sejajar, masing-

masing mempunyai kedudukan otonom (Kartodirdjo, 1993: 127).

 Skema dikotomi menurut Sartono Kartodirdjo:

6

Page 7: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

Ilmu Alam Ilmu Kemanusiaan

1.        Nomothetis

2.        Generalisasi

3.        Deskriptif- analitis

4.        Eksplanasi

5.        Kuantitatif

6.        Objektif

1.     Idiografis

2.     Keunikan

3.     Deskriptif- naratif

4.     Interpretasi

5.     Kualitatif

6.     Subjektif

Dalam ilmu kealaman diadakan tinjauan terhadap gejala-gejala yang serba

universal atau generalis, sedangkan dalam humaniora diadakan tinjauan terhadap

gejala-gejala serba unik atau individual. Dalam ilmu kealaman bersifat nomothetis atau

menjabarkan hukum- hukum, sedangkan dalam ilmu humaniora bersifat idiografis,

yakni menggambarkan pengertian- pengertian dengan mengadakan individualisasi dan

memperhatikan keunikan (Ismaun, 2005: 163-164).

Generalisasi dicapai melalui analisis, sedangkan gambaran yang khusus dicapai

melalui narasi. Apabila ilmu alam bersifat kuantitatif, maka ilmu humaniora lebih

bersifat kualitatif. Penggunaan kausalitas dalam menghubungkan sebuah gejala

menjadikan ilmu alam terumuskan dalam sebuah eksplanasi, sedangkan hubungan

kualitatif dirumuskan dengan menggunakan interpretasi (tafsiran). Dengan demikian,

terlihat bahwa ilmu alam akan lebih bersifat objektif terhadap objek kajiannya,

sedangkan ilmu humaniora mempunyai tendensi cara kerja subjektif. Dalam hal ini,

ilmu sosial mengambil tempat di tengahnya tetapi cenderung lebih dekat kepada ilmu

alam karena kajiannya tentang tindakan dan kelakuan manusia menunjukan perhatian

kepada keteraturan atau keajegan. Jadi, dalam mengamati pola, struktur, lembaga,

kecenderungan, semuanya mirip dengan hukum- hukum.

Dikotomi (pemisahan atau pembelahan) dalam ilmu antara ilmu alam dengan

humaniora yang disebabkan pertentangan antara teori positivisme dengan teori

idealisme mengakibatkan adanya dua pendapat mengenai sejarah sebagai ilmu, yaitu

7

Page 8: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial dan sejarah sebagai humaniora. Sejarah

sebagai ilmu-ilmu sosial lebih cenderung pada aspek nomothetis sedangkan sejarah

sebagai humaniora masuk ke dalam aspek idiografis.

Pertentangan antara teori positivisme dengan teori idealisme sebenarnya bisa

dikurangi ketajamannya dan didekatkan dalam suatu sintesis. Hukum alam yang keras

bagaikan “hukum besi” dan mempertahankan determinismenya tidak sekeras dahulu

menurut anggapan semula. Dalam psikologi, bahkan dalam fisika sendiri, dalam

mekanika dan astronomi dikenal prinsip-prinsip relativitas atau kenisbian (Ismaun’

2005: 169).

Dalam sejarah, selain memusatkan perhatian pada yang serba unik, harus juga

dapat melihat pada suatu yang seba unik, khusus dan individual ada faset serba umum

dan ada fenomena yang berulang dengan tendensi serba universal. Artinya sesuatu

yang serba unik tidak dapat dinyatakan dengan menyampingkan yang serba umum,

sebaliknya sesuatu yang serba umum tidak dapat ditunjukan tanpa memperhatikan

yang serba unik.

Dalam menerangkan sejarah maka harus  dengan mencari koligasi antar fakta-

fakta sejarah, dicarilah hubungan intrinsik antar fakta dan dan fungsi fakta- fakta.

Koligasi antar fakta dalam penulisan sejarah sangat penting sehingga cerita dalam

sejarah tidak hanya mengenai tentang apa, dimana, kapan dan siapa, akan tetapi juga

harus menjelaskan  bagaimananya dan sebab peristiwanya.

Sejarah memberikan pengetahuan perspektif, yaitu pengetahuan berupa

interpretasi atau penafsiran yang ditentukan oleh pandangan kita terhadap peristiwa-

peristiwa sejarah. Ada berbagai macam cerita sejarah dimulai dari yang paling

sederhana sampai yang paling rumit atau sering disebut dengan istilah sophisticated,

dari yang naif sampai yang sangat kritis. Pada umumnya sebagian besar cerita-cerita

sejarah berbentuk uraian mengenai peristiwa-peristiwa dalam urutan kronologis dan

deskripsi tokoh- tokoh serta situasi dan kondisinya (Ismaun, 2005: 172).

Dalam perkembangan sejarah sebagai ilmu telah banyak timbul banyak

persoalan mengenai metodologinya. Sebagian besar sejarawan saat ini tidak

membedakan dirinya antara golongan sejarawan sebagai ilmuan humaniora dengan

golongan sejarawan sebagai ilmuwan sosial. Persoalan tersebut diantaranya,

8

Page 9: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

(1) mengenai pendekatan, generalisasi kontra individualisasi, umum dengan abstrak

atau nomothetis kontra idiografis; (2)  mengenai metode, sistem kontra kiat seni (art),

maksudnya sejarawan ilmu sosial menggunakan metodologi dengan prosedur dalam

suatu sistem yang ketat untuk merumuskan  keumuman atau generalisasi. Sedangkan

sejarawan humaniora biasanya tidak memulai dengan pernyataan hipotesis (dugaan

sementara), meskipun ia beranggapan menggunakan metode yang ketat; (3) mengenai

analisis, pro dan kontra kuantifikasi, maksudnya sejarawan sosial menggunakan aspek

kuantitatif seperti angka- angka statistik meskipun itu dalam bentuk perkiraan,

sedangkan sejarawan humaniora bersikap skeptis terhadap kuantifikasi karena bagi

mereka banyak sekali aspek- aspek yang tidak bisa diukur dengan angka- angka; (4)

mengenai estetika, dimana sejarawan lebih mengutamakan ide untuk mencapai

kecermatan dan kejelasan melalui keketatan metode analisis, sedangkan sejarawan

humaniora mengutamakan ide untuk mencapai karya tulis sejarah yang bernilai sastra.

Penggunaan kuantifikasi atau angka-angka statistika mempunyai kelebihan

tersendiri. Pertama, penyajian kuantitatif akan membantu para sejarawan menjelaskan

argumennya secara sistematis dan jelas, serta mempersiapkan diri ketika adanya

penolakan. Kedua, akan mendorong sejarawan untuk lebih memperhatikan

keseluruhan rentetan perubahan dan keseluruhan corak yang kontras pada perbedaan

antara perode-periode, situasi-situasi dan struktur- struktur. Ketiga, memungkinkan

kepada peneliti yang lain dalam subjek yang sama untuk menambah, memperbaiki atau

menolak hasil dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan data kuantitatif dapat dihindari

distorsi sejarah atau pemutar balikan fakta ataupun penyimpangan secara ideologis

daripada pemakaian kualitatif dan intuitif (Ismaun, 2005: 176-177).

Namun, ada penolakan mengenai penggunaan kuantifikasi dalam penulisan

sejarah, penggunaan data kuantifikasi menimbulkan kekaburan dan pengingkaran

tanggung jawab. Argumentasi ini didasarkan secara ekstrem pada subjektivisme yang

mendasar bahwa tidak ada sejarah yang objektif, karena sejarawan dikuasai oleh

subjektivitas-subjektivitas masing-masing. Disamping itu, penggunaan data

kuantifikasi sangat sulit untuk dilaksanakan karena sukarnya pengolahan, sulit

dipelajari dan biayanya yang relatif sangat mahal.

Kritik berdasarkan subjektivisme  yang sangat ekstrem adalah sangat

berbahaya. Kritik ini percaya bahwa semua kenyataan pada hakikatnya tidak dapat

9

Page 10: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

dikenali menurut sebagaimana keadaannya, atau ada keunikan- keunikan pada sifat-

sifat insani, sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya, hal ini dapat menyesatkan

atau anggapan ini harus ditolak. Carl Becker (Supardan, 2011: 318) mengatakan

bahwa pemujaan terhadap fakta dan pembedaan fakta antara fakta keras dan fakta

lunak merupakan sebuah ilusi. Sebab fakta sejarah tidaklah seperti batu bata yang

mudah dipasang. Akan tetapi, fakta itu  sengaja dipilih oleh sejarawan yang relevan

dengan kebutuhan penelitian.

Untuk itu, dalam menghadapi permasalahan yang yang mengandung

komplikasi dan kontroversi, baiknya kita memiliki pendirian seperti, berusaha

memperoleh pengetahuan sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan dengan

argumentasi yang lebih meyakinkan dan dilengkapi dengan dokumentasi yang lebih

baik. Selanjutnya, pengetahuan sejarah diupayakan penyajiannya dekat dengan

kebenaran, dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis, historis

substantif dan sosial-budaya. Menggunakan cara pendekatan kualitatif ataupun

kuantitatif sesuai dengan efektivitas dan kemampuan kita.

C. Sejarah Sebagai Humaniora

Pengetahuan manusia umunya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar,

yaitu ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau sering

disebut dengan istilah humaniora. Pada mulanya sejarah merupakan bagian dari ilmu

humaniora dan kemudian sejarah menjadi bagian dari disiplin ilmu- ilmu

sosial. Pengertian humaniora sampai saat ini masih belum baku, menurut Ralph Barton

Perry (Sjamsuddin, 2007: 274) menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu adalah

cabang-cabang dari pengetahuan santun. Ilmu kemanusiaan merupakan cabang-cabang

dari kajian-kajian tertentu yang mempunyai kecenderungan untuk memanusiakan

manusia (humanize) sebagai lawan dari ilmu fisika yang cenderung untuk

mengembangkan kemampuan- kemampuan intelektual manusia.

Pokok-pokok kajian humaniora ialah filsafat, interpretasi tentang sastra dan

sejarah, kritik tentang seni, musik dan teater yang semuanya membahas tentang batas-

batas, kedalaman-kedalaman dan kapasitas-kapasitas dari semangat manusia. termasuk

juga didalamnya pendidikan liberal yang merupakan lawan dari pendidikan praktis.

10

Page 11: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

Sejarah dan Ilmu Kemanusiaan erat hubungannya dengan pendidikan, sebab

digunakan untuk kepentingan pendidikan. Konsepsi klasik tentang Humaniora berasal

dari tradisi Hellenistik paidagogia (Yunani = training, latihan) yang diperlukan bagi

pendidikan umum untuk mengembangkan pribadi seseorang agar tumbuh harmonis

dan seimbang. Sejarah Humaniora berawal dari retorik Socrates, seorang juru pidato

dan guru pidato bangsa Yunani. Oleh orang Romawi konsepsi retorik dari Socrates ini

dimasukkan dalam Artes Liberales atau pendidikan liberal sebagai suatu seni diskusi,

yang sesuai tentang pemerintahan dan etika. Pendidikan liberal disini bisa diartikan

untuk mengajarkan kepada manusia akan kebebasan dalam berpendapat.

Humaniora berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan. Pengetahuan ketika

itu dibagi atas dua kelompok: pertama, Quadrivium yaitu ilmu berhitung seperti

geometrika, astronomi, dan music, Kedua Trivium yaitu ilmu bahasa, dialektika,

retorika, yang dikenal juga dengan artes liberales. Dalam perkembangan kemudian

yang termasuk humaniora adalah bahasa, filsafat, musik, seni– seni visual, dan sejarah.

Semuanya dipisahkan dengan matematika, sains, atau ilmu– ilmu alamiah serta ilmu–

ilmu social yang baru berkembang kemudian.

Humaniora menekankan kepada kedua hal, yang pertama keunikan manusia di

dalam alam dimana manusia sendiri, melalui intelegensinya, mampu mengontrol

perkembangan fisik dan mental. Kedua, pencarian manusia akan nilai- nilai (values),

dalam pencarian ini manusia mempergunakan daya-daya kreatifnya.

Mengenai alasan dilakukan pendekatan humaniora dalam pendidikan di

sekolah-sekolah berpangkal pada kebutuhan-kebutuhan hidup modern yang mutakhir

dari masyarakat yang sudah sangat industrialistis. Perkembangan ilmu alam dan

teknologi telah meningkatkan taraf hidup, produksi, distribusi dan konsumsi barang-

barang telah mencapai suatu puncak tertinggi. Akan tetapi, pada perkembangan

selanjutnya, masyarakat tersebut bisa menjadi pemberontak akan kemapanan nilai-nilai

keluarganya, sekolah, lingkungan hidup dan keagamaannya. Tetapi dalam peranannnya

sebagai pemberontak, personalitasnya yang menonjol mendesaknya untuk bertindak,

merasa, berpikir dan percaya kepada visi pribadinya tentang dunia. Keadaan

ambivalensi terhadap masyarakat yang seperti ini, para siswa acapkali menolak tujuan-

tujuan dan isi dari mata pelajaran yang diberikan.

11

Page 12: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

Hal ini menjadikan manusia membutuhkan suatu pengetahuan tradisional yang

relevan  sebagai tambahan terhadap pengetahuan yang diberikan setiap hari sebagai

tuntutan untuk dapat hidup layak dalam suatu masyarakat industri. Dengan demikian,

sebagai alasan utama dan sederhana dari humaniora adalah bahwa humaniora dapat

mengisi kebutuhan pengetahuan tradisional dan mengingatkan mereka, bahwa dalam

zaman mesinpun, mereka tetaplah manusia (Sjamsuddin, 2007: 279).

Menurut Earl C. Kelley (Sjamsuddin, 2007: 279), (Kartodirdjo, 2005: 184), ada

enam dasar fundamental sebagai alasan tambahan kepada pendekatan ilmu- ilmu

kemanusiaan berasal dari kebutuhan untuk mendidik orang-orang untuk hidup dalam

masyarakat demokratis, yaitu pertama manusia memerlukan manusia lainnya, artinya

manusia ketika pertama kali lahir harus dibesarkan dan belajar lebih dahulu kepada

orang lain, tanpa itu semua manusia akan mati, karena pada dasarnya manusia

bukanlah hewan yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya semenjak

lahir. Kedua, manusia memerlukan komunikasi antara yang tua dengan yang muda.

Didalamnya mencakup saling pengertian ketika terjadi interaksi diantara

keduanya. Ketiga, manusia juga harus menikmati hubungan kasih sayang dengan

sesama. Cinta kasih adalah prinsip terkuat dalam ilmu pendidikan. keempat, setiap

orang memerlukan suatu konsep kerja tentang jati diri. Seseorang dapat berpikir baik

tentang dirinya, ia dapat bekerja efektif di sekolah atau dunia pada umumnya. Kelima,

untuk mengembangkan seluruh potensinya, maka manusia memerlukan kemerdekaan.

Kemerdekaan ini adalah sebagai suatu kebutuhan bagi suatu bangsa  dimana

manusia  hidup berdekatan satu sama lain.Keenam, setiap individu patut mendapatkan

kesempatan untuk berkreasi. Dalam konteks ilmu kemanusiaan, kreativitas adalah

cara-cara baru untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia.

Ketika ada alasan-alasan dasar penggunaan  pendekatan humaniora dalam

pendidikan, maka ada tujuan-tujuan  yang ingin dicapai dari humaniora, yaitu berupa

perbaikan tingkah laku dan juga sikap-sikap yang diharapkan pada diri siswa yang

telah menggunakan waktunya untuk mengikuti program ilmu-ilmu kemanusiaan.

1. Adapun mata pelajaran humaniora yang efektif mencoba mencapai tujuan-

tujuan berikut ini: Menyimpulkan bahwa ia manusia dan karena itu ia penting.

Seorang siswa harus melihat bahwa dalam semua sifat (nature), ia unik karena

kecerdasannya (intelegencinya).

12

Page 13: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

2. Mengenal bahwa ia bagian dari masyarakat dan harus mencari tempatnya

dalam sistem yang berlaku, mengubah apa yang dapat dilakukannya dan

menyesuaikan diri dengan apa yang tidak dapat diubahnya.

3. Menunjukan bahwa ia kreatif, bukan saja dalam menyesuaikan diri dengan

kehidupan sehari-hari tetapi dalam mengalami atau membuat sesuatu yang

belum ada sebelumnya dalam musik, seni plastis, atau dalam sastra.

4. Menimbang bahwa semua pengetahuan berhubungan satu sama lain.

Kompartementalisasi pendidikan harus dipertanyakan sehubungan dengan

pembagian dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Kompartementalisasi adalah

bentuk disosiasi yang lebih rendah, dimana bagian diri terpisah dari kesadaran

bagian lain dan berperilaku seolah- olah memiliki kepribadian yang terpisah

dari nilai-nilai aslli mereka.

5. Harus menemukan dirinya sendiri dengan pertanyaan- pertanyaan yang

mendasar bersifat filosofis, seperti “siapa aku ini?”; :apa artinya hidup ini?”.

Tujuan- tujuan diatas yang menekankan suatu kesatuan  tentang visi, tentang

kehidupan dapat tercakup dalam jawaban- jawaban atas pertanyaan-pertanyaan

ini.

6. Mengidentifikasikan kebutuhan akan nilai-nilai dalam suatu masyarakat bebas

(a free society). Dapat dikatakan bahwa suatu nilai adalah suatu sikap yang

permanen, suatu standar untul membuat pilihan-pilihan yang

menyangkut concern individu, komunitasnya dan bangsanya. Jadi , suatu

perasaan  (sense) apa yang penting  sebagai pedoman dalam berperilaku

sehari- hari adalah hasil yang paling signifikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.

Sejarah mempunyai fungsi dalam humaniora, seringkali sejarah disebut sebagai

seni dan ilmu. Sejarah sebagai ilmu karena sejarah termasuk dalam disiplin ilmu-ilmu

sosial yang memiliki metodologi dalam penulisan sejarah. Sedangkan sejarah sebagai

seni terlihat pada tahap penafsiran atau interpretasi dan penulisan sejarah, dimana

sejarawan harus menggunakan bahasa dan retorika. Deskripsi tentang peristiwa-

peristiwa, tentang pelaku-pelaku sejarah, semuanya menggunakan media bahasa

sehingga menghasilkan  suatu narasi (cerita) sejarah yang menarik. Penggunaan

retorika membuat membuat sejarah erat sekali hubungannya dengan sastra sehingga

sejarah dianggap sebagai suatu “seni” dan karena itu termasuk ke dalam ilmu

humaniora atauartes liberales. Yang membedakannya dengan sastra murni adalah

13

Page 14: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

sejarah merupakan produk rekonstruksi sejarawan atas dasar sumber- sumber sejarah

yang ada.

Selain sejarah sebagai seni dan ilmu, fungsi sejarah juga terlihat dari ungkapan

latin, Historia Magistra Vitae yang artinya “sejarah adalah guru kehidupan”.

Sebagaimana sebuah tulisan karya Andrik Purwasito yang berjudul “Menggugat

Historiografi Indonesia” dalam Jurnal Sejarah vol. 13, beliau mengemukakan bahwa:

Sejarah adalah memori kesadaran yang mampu membentuk watak dan jati diri

bangsa. Sejarah yang salah (dalam memaknai evenement) akan membentuk watak dan

jati diri yang menyimpang juga. Demikian saya katakan, bahwa sejarah adalah ibu

kandung  dari sejatinya kehidupan rohani bangsa. Artinya sejarah yang benar akan

membawa  kita ke dalam situasi yang penuh persaudaraan, kebebasan tanpa

kecurigaan, dan kesederajatan yang tidak memandang suku, ras, agama, golongan,

partai atau kekayaan...

Ketika merujuk definisi tersebut, maka tidak salah jika para sejarawan dahulu

memasukan ilmu sejarah ke dalam ilmu humaniora atau ilmu mengenai nilai-nilai

kemanusiaan. Dengan kata lain, bahwa sejarah mempunyai kecenderungan untuk

memanusiakan manusia dengan memasukan unsur- unsur yang mengandung nilai

nasionalisme, patriotisme yang mampu memberikan pengaruh yang besar dalam

kehidupan manusia. Pendapat ini sama halnya dengan yang dungkapkan oleh John

Tosh (Sjamsuddin, 2007: 285), (Ismaun, 2005: 189) serta Trouillot (Nordholt,

Purwanto dan Saptari, 2013: 1). Dengan fungsi tersebut, sejarah akan mampu

menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat sejarah

akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu

menguatkan watak dan jati diri bangsa.

D. Sejarah Sebagai Ilmu Sosial

Perkembangan sejarah secara kritis semakin berkembang di abad ke- 18 dan

ke- 19. Kemudian setelah terjadinya perang dunia ke II, sejarah cenderung

menggunakan pendekatan ilmu sosial. Proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan

ilmu- ilmu sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

14

Page 15: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

1. Sejarah sebagai deskriftif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk

menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks.

2. Pendekatan multidimensional atau social scientific adalah yang paling tepat

untuk dipergunakan sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala

tersebut.

3. Ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan yang pesat, sehingga dapat

menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan

sekali untuk keperluan analisis historis.

4. Studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian pada pengkajian hal-hal informatif

tentang apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana, tetapi juga ingin melacak

pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam

pelbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu menuntut adanya alat analitis

yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola dan

sebagainya.

Peminjaman alat analitis dari ilmu- ilmu sosial adalah wajar karena sejarah

konvensional tidak memiliki hal itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya

kebutuhan menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta cukup memakai bahasa

kehidupan sehari- hari dan common sense. Pada periode rapproachement itu terjadi

inovasi yang sangat penting dalam studi sejarah, sehingga sejarah terhindar dari

kemacetan.

Relevansi metodologi sejarah dengan pendekatan Ilmu Sosial, bertolak dari

konsep sejarah sebagai sistem. Konsep sistem sendiri mencakup prinsip – prinsip

sebagai berikut:

1. Suatu sistem terdiri atas unsur–unsur atau aspek–aspek yang merupakan suatu

kesatuan

2. Fungsi–fungsi unsur–unsur tersebut saling pengaruhi–mempengaruhi dan ada

saling ketergantungan, dan bersama–sama mendukung fungsi sistem

3. Saling ketergantungan disebabkan karena setiap unsur memiliki dimensi–

dimensi unsur lain

4. Dalam mendeskripsi unsur–unsur serta salaing pengaruhnya tidak ada faktor

atau dimensi yang deterministik

15

Page 16: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

5. Dalam studi sejarah pendekatan sistem yang sinkronis sidatnya perlu diimbangi

oleh pendekatan diakronis

Dipandang dari titik pendirian sejarah konvensional perubahan metodologi

tersebut sangat revolusioner, meninggalkan penulisan sejarah yang naratif. (Sartono

Kartodirdjo, halaman 121)

Sebagai ilmu, karena sejarah memiliki metodologi penelitian yang mampu

dipertanggung jawabkan metode-metode ilmiah yang objektif dalam penelitian sejarah

terletak pada heuristik, kritik sumber dan juga penulisan sejarah berdasarkan analisis.

Kemudian sebagai ilmu, sejarah masuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial karena

fokus kajiannya adalah manusia meskipun perhatian utama terletak pada perisitiwa di

masa lampau yang tidak berulang dan laporan yang bersifat sastra. Dalam kerja sama

ini ilmu-ilmu sosial pun menggunakan pendekatan historis untuk dapat

mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan serta pola-pola umum sebelum dapat

melakukan ramalan-ramalan (prediksi) masa yang akan datang (Kartodirdjo, 1993:

209)

Sebenarnya sejarah mempunyai kedudukan yang unik di dalam rumpun ilmu-

ilmu sosial. Meskipun sejarah termasuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial,

namun antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya itu masih dapat dibedakan.

Perbedaan tersebut dapat dilihat dari bagan berikut ini

Sejarah Ilmu- ilmu Sosial

Masa lampau (past) Masa kini

Temporal- spasial Atemporal- aspasial

Diakronik Sinkronik

Ideografik Nomotetik

Partikularistik Generalistik

Terjadi sekali (einmalig) Terjadi berulang- ulang

Tidak teratur Beraturan

Tidak dapat dieksperimen Dapat dilakukan eksperimen

Tidak untuk meramal Dapat untuk meramal

16

Page 17: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

Kajian sejarah terikat pada waktu, terutama pada kelampauan. Faktor waktu ini

yang amat membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya sehingga sering

dikatakan bahwa sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia pada masa

lampau, sedangkan ilmu sosial adalah pengkajian manusia pada masa kini. Meskipun

begitu, sejarah mengkaji masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu, tetapi kajian

ini bisa digunakan untuk pedoman di masa yang akan datang.

Selain memperhatikan masalah temporal, sejarah juga sangat memperhatikan

masalah spasial atau ruang, karena kejadian atau peristiwa yang terjadi pasti

ditanyakan kapan dan dimana. Ilmu sosial cenderung mengabaikan hal ini karena bagi

ilmu sosial, suatu kejadian bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Dalam penggunaan

perspektif juga terdapat perbedaan antara sejarah dengan ilmu sosial. Ilmu sejarah

menggunakan perspektif diakronik, sedangkan ilmu sosial memakai perspektif

sinkronik. Perbedaan keduanya dapat diumpamakan oleh Sartono Kartodirdjo seperti

penampang batang kayu. Jika diakronik penampang vertikal,  maka diakronik

penampang horizontal. Untuk fenomena yang ditandai secara utuh diperlukan

pendekatan secara diakronik, sedangkan ilmu-ilmu sosial yang mencari keumuman

memakai perspektif sinkronik sehingga berbentuk seperti garis yang mendatar.

Pada akhirnya ilmu sosial akan melihat kesamaan setiap peristiwa sejarah tanpa

terlalu memperhatikan perbedaan waktu dan tempat terjadinya sebuah peristiwa.

Selanjutnya sejarah akan menekankan pada kekhususan dari masing- masing peristiwa

sejarah dibanding dengan peristiwa sejarah lainnya, sehingga bagi sejarah suatu

peristiwa hanya terjadi sekali atau einmalig. Oleh sebab itu sejarah disebut juga kajian

yang ideografik, partikularistik, serta kekhasan. Sebaliknya, kajian ilmu-ilmu sosial

akan menekankan pada fenomena yang sama di semua peristiwa sejarah sehingga

dapat ditarik suatu hukum yang dapat berlaku secara umum. Oleh karena itu, kajian

ilmu-ilmu sosial disebut nomotetik atau generalistik, keumuman. Dengan adanya

perbedaan sifat-sifat tersebut menyebabkan sejarah bersifat tidak teratur sedangkan

ilmu sosial bersifat teratur karena peristiwanya yang berulang-ulang, sehingga ilmu

sosial dapat dipakai untuk meramal, sedangkan sejarah tidak bisa.

Pada dasarnya dikotomi antara sejarah dengan ilmu- ilmu sosial memiliki

kelemahan tersend iri, yaitu terlalu mengkotak- kotakkan ilmu seakan-akan terlihat

tidak ada keterkaitan satu sama lain. Padahal pada kenyataannya, antara sejarah dengan

17

Page 18: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

ilmu-ilmu sosial lainnya saling memerlukan. Dalam mencapai kekhususan diperlukan

sebuah generalisasi atau keumuman untuk mencapai kesimpulan. Sebaliknya,

meskipun sejarah yang disimpulkan akan bersifat kekhususan, materi itulah yang akan

digunakan para ilmuan sosial untuk mengambil kesimpulan umum dan merumuskan

generalisasi atau teori atau “hukum umum” untuk “meramalkan”  peristiwa-peristiwa

yang akan datang.

Sejarah tidak mentabukan penggunaan konsep-konsep yang umum digunakan

dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu untuk

kepentingan analisis sehingga menambah kejelasan dalam eksplanasi atau interpretasi

sejarah, maka penggunaan ilmu-ilmu sosial itu wajar saja. Selain itu, pendekatan

antara sejarah dan ilmu- ilmu sosial ini ada hubungannya dengan ketidakpuasan para

sejarawan sendiri dalam bentuk- bentuk historiografi lama yang ruang lingkupnya

terbatas.

Pada perkembangan selanjutnya para sejarawan telah membiasakan diri

mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam

lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu- ilmu sosial lain. Ketika

menganalisis suatu peristiwa, para sejarawan memakai disiplin ilmu lain yang relevan

dengan objek kajiannya, hal ini dikenal dengan istilah interdisipliner atau

multidimensional yang memeberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Penggunaan

akan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat

dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman mengenai suatu masalah, baik

keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.

18

Page 19: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

BAB III

KESIMPULAN

Seiring perkembangannya, sejarah terus mengikuti perkembangan-

perkembangan dalam bidang keilmuannya. Sejarah semakin kritis dalam meneliti

setiaap sumber- sumber sejarah. Namun disisi lain, sejarah tetap menarik dengan

penggunaan narasi dalam penulisan sejarahnya. Disinilah keunikan sebuah sejarah,

dimana mampu memadukan antara ilmu dengan seni. Meskipun banyak perdebatan

mengenai kedudukan sejarah sebagai ilmu, akan tetapi sejarah tetap mampu berdiri dan

memberikan keunikan tersendiri.

Kedudukan sejarah dalam ilmu sosial adalah unik dan khas karena sejarah

benar-benar memenuhi syarat sebagai ilmu jika dilihat dari metode penelitian dari

sumber-sumbernya. Sedangkan sejarah sebagai seni dapat dilihat dalam aspek

kemahiran interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun dalam

penyampaian materi. Dalam hal interpretasi lah sering timbul subjektivitas karena

faktor latar belakang pengetahuan, keyakinan dan pandangan hidup ataupun tujuan

para sejarawan masing- masing.

Permasalahan sejarah sebagai ilmu bisa kita atasi dengan pendirian kita sendiri,

seperti berusaha memperoleh pengetahuan sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan

dengan menggunakan argumentasi yang meyakinkan dan dilengkapi dengan

doumentasi yang baik. Kemudian pengetahuan sejarah tadi harus kita upayakan dekat

dengan kebenaran. Dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis,

historis subtantif dan sosial-budaya. Selanjutnya menggunakan cara pendekatan yang

kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan kemampuan kita.

Sejarah sebagai humaniora antara lain memiliki arti bahwa sejarah mempunyai

kecenderungan untuk memanusiakan manusia dengan memasukan unsur-unsur yang

mengandung nasionalisme maupun patriotisme yang mampu memberikan pengaruh

yang besar bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, fungsi dari sejarah yaitu akan

mampu menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat

sejarah akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu

menguatkan watak dan jati diri bangsa.

19

Page 20: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

Sejarah tidak menutup diri untuk menggunakan konsep-konsep yang umum

digunakan dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu

untuk kepentingan analisis untuk menambah kejelasan eksplanasi atau interpretasi

sejarah maka penggunaan konsep-konsep ilmu sosial itu adalah wajar saja.

Pada perkembangan selanjutnya para sejarawan telah membiasakan diri

mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam

lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu- ilmu sosial lain. Ketika

menganalisis suatu peristiwa, para sejarawan memakai disiplin ilmu lain yang relevan

dengan objek kajiannya, hal ini dikenal dengan istilah interdisipliner atau

multidimensional yang memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Penggunaan

berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat

dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman mengenai suatu masalah, baik

keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.

  

20

Page 21: justclipin.files.wordpress.com viewMeskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ... Babilonia dan Cina tidak menulis

DAFTAR PUSTAKA

Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto.

Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Hasan, S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Jakarta:

Depdiknas.

Ismaun. (2005). Pengantar Belajar. Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan.

Bandung: Historia Utama Press, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS.

Kartodirdjo, S. (1980).  Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia

(UI- Press)

Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nordholt, H.S., Purwanto, B. dan Saptari, R. (Eds) (2013). Perspektif Baru Penulisan

Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Purwasito, A. (2007). “Menggugat Historiografi Indonesia”. Jurnal Sejarah. 13,  (13),

55-65.

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Supardan, D. (2011). Pengantar Ilmu Sosial. Sebuah Kajian Pendekatan

Struktural.Jakarta: Bumi Aksara.

21