Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 1
Dalam beberapa tahun terakhir, menjelang perayaan kemerdekaan, berbagai media kerap mengangkat kisah tokoh-tokoh Tionghoa yang turut andil dalam
persiapan dan perjuangan kemerdekaan. Mulai dari Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Yap Tjwan Bing, tokoh Tionghoa di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); hingga Djiauw Kie Siong yang rumahnya dipakai untuk “mengamankan” Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Bahkan majalah Tempo pada tahun 2019 mengangkatnya secara khusus dalam edisi kemerdekaan berjudul “Aktivis Cina di Awal Republik”. Edisi majalah tersebut selain juga muncul dalam edisi bahasa Inggris (“Chinese Descendants in Shaping Indonesia”), juga dibuat versi buku dengan judul yang sama.
Munculnya kembali narasi-narasi ini tak lepas dari fakta bahwa pengetahuan tentang peran politik Tionghoa tersebut dengan sengaja dihapuskan oleh rejim Orde Baru di bawah Soeharto. Didi Kwartanada, sejarawan dan pemerhati masalah Tionghoa, dalam artikelnya di majalah Prisma (Vol. 39, 2020) membahas secara detail mengenai proses hilangnya tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI dari buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI). SNI diterbitkan sebanyak enam jilid pada tahun 1975. Namun, pada edisi tahun 1984, keberadaan tokoh Tionghoa dalam BPUPKI yang semula muncul, justru dihilangkan dan hanya disebutkan “empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda.” Padahal, hanya ada satu orang perwakilan golongan Arab, yaitu A. R. Baswedan dalam BPUPKI dan justru terdapat empat orang golongan Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa. Meskipun telah ada upaya koreksi, nyatanya pada edisi pemutakhiran tahun 2010 dan buku acuan baru, Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), perihal ini masih belum dimasukkan kembali.
Tak hanya itu, fakta ini masih dibarengi dengan kisah tragis dari tokohnya akan status kewarganegaraan yang tidak terwujud. Yap Tjwan Bing menjadi korban rasisme di Bandung tahun 1963 dan harus pindah ke Amerika Serikat hingga wafatnya memendam kerinduan akan tanah air Indonesia. Sementara Liem Koen Hian dipenjara oleh bangsanya sendiri dengan tuduhan menjadi simpatisan komunis pada Agustus 1951.
Etnik Tionghoa dalam Refleksi Kemerdekaan Indonesia
Daftar IsiEtnik Tionghoa dalam Refleksi Kemerdekaan Indonesia 1Kesetaraan Etnik Tionghoa dalam Sejarah Indonesia 2Inspirasi Christianto Wibisono 3Seputar Riset 3Ulasan Buku 4Memajukan Indonesia yang Inklusif 4
Mengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah IndonesiaNewsletter SETARA
Diterbitkan 2 kali setahun oleh Tim Penelitian Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).
Penanggung Jawab Lidya Christin Sinaga, S.IP., M.A.
Redaktur 1. Prof. Dr. Asvi Warman Adam, APU.2. Syafuan Rozi, M.Si.
Editor 1. Hayati Nufus, LL.M2. Nina Andriana, M.Si3. Atika Nur Kusumaningtyas, M.Stat
Desain GrafisAnggih Tangkas Wibowo, S.T., M.MSI.
Alamat: Pusat Penelitian Politik, Widya Graha LIPI, Lt.3Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan
Email: [email protected] || Website: http://politik.lipi.go.id
Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 ISSN 2775-0930
“Hilangnya” narasi sejarah penting ini pada akhirnya menjadi salah satu biang langgengnya stigma bahwa etnik Tionghoa tidak mempunyai peran dalam memperjuangkan republik ini. Upaya meluruskan peran Tionghoa dalam sejarah pendirian bangsa, kini banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Salah satunya diuraikan Asvi Warman Adam dalam bagian lain di newsletter ini. Upaya ini pada akhirnya menjadi penting untuk mendorong inklusivitas dalam identitas kebangsaan yang sejak era pendiri bangsa ini bersepakat pada pemikiran Ernest Renan dan Otto Bauer mengenai bangsa, yaitu ‘kehendak akan bersatu’ dan bahwa bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Sehingga, jelas bahwa fakta sejarah mengenai kontribusi etnik Tionghoa dalam pendirian republik ini menunjukkan adanya kehendak untuk bersatu. Menutup refleksi ini saya ingin mengulang kembali apa yang pernah ditegaskan oleh Mely G. Tan (1979), “jelas bahwa etnik Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia akan menaati konsep bangsa Indonesia ini karena tidak didasarkan pada ras atau etnisitas, sehingga menjadi dasar menegaskan hak mereka sebagai bagian dari bangsa ini.” (Lidya Christin Sinaga)
Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 2
Kesetaraan Etnik Tionghoa dalam Sejarah Indonesia
oleh WR Supratman yang merupakan wartawan koran
Sin Po. Surat kabar ini yang pertama memuat syair lagu
Indonesia Raya tahun 1928 dan mengedarkannya juga
dalam bentuk selebaran. Rekaman lagu ini pertama kali
dibuat oleh perusahaan rekaman milik Yo Kim Tjan.
Setelah Indonesia merdeka lagu tersebut diaransemen
oleh Jos Cleber tahun 1950. Rekaman itu makin lama
makin kurang jelas dan banyak noise. Itulah sebabnya
Addie MS dengan Twilite Orchestra dan Victorian
Philharmonics Orchestra merekam ulang secara digital
di Australia. Pembiayaan sekitar 600 juta rupiah (tahun
1997) ditanggung oleh pengusaha rekaman Tionghoa
Youk Tanzil.
Tahun 2002 saya pernah menulis “Cina absen dalam
pelajaran sejarah” (Koran Tempo, 2 Februari 2002).
Kesulitan untuk menempatkan Tionghoa dalam sejarah
Indonesia karena tidak ada kerajaan yang dapat diberi
label Tionghoa seperti halnya Hindu, Buddha dan Islam.
Selain itu, berbeda dengan kebanyakan etnik lain, orang
Tionghoa tersebar di Indonesia tanpa ada provinsi “asal”
(misal Minangkabau dari Sumatera Barat, Sunda dari
Jawa Barat, dan Bugis dari Sulawesi Selatan). Padahal
Denys Lombard menulis terdapat empat mega budaya
yang memengaruhi peradaban Nusantara yang berasal
dari India, Arab, Tiongkok, dan Eropa.
Tahun 1971 diterbitkan buku Koentjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia yang membahas
14 suku bangsa di tanah air. Termasuk di antaranya
suku Tionghoa yang ditulis Puspa Vasanty. Bambang
Purwanto dalam acara “Nggosipin Tionghoa” tanggal 2
Agustus 2021 mengemukakan pandangan tegas, seperti
Koentjaraningrat, bahwa seyogianya etnik Tionghoa
dianggap sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia.
Beragam aspirasi, seperti yang disampaikan oleh tokoh-
tokoh di atas, akan terus muncul pada semangat yang
sama untuk mendorong kesetaraan etnik Tionghoa
dalam rumah Indonesia. (Asvi Warman Adam)
Anggapan bahwa etnik Tionghoa tidak setara
dengan etnik lain dalam sejarah Indonesia timbul
antara lain dari anggapan bahwa mereka tidak
punya andil dalam kemerdekaan Indonesia. Ini tergambar
dalam penelitian Benny Subianto tentang “Asal Usul
Kekerasan terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia” yang
dilakukan pada tiga daerah, yaitu Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan (penelitian yang
tidak diterbitkan pada awal Reformasi). Disimpulkan
bahwa ada tiga penyebab terjadinya kekerasan tersebut,
yakni a) etnis Tionghoa masih dianggap liyan (orang lain)
bagi sebagian besar penduduk Indonesia, b) kesenjangan
ekonomi, c) karena etnis Tionghoa tidak ikut dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Itulah sebabnya sejak tahun 2002 saya menulis
berulang-ulang di beberapa surat kabar nasional tentang
usulan John Lie sebagai pahlawan nasional. Perwira
Angkatan Laut itu menyabung nyawa menembus blokade
Belanda dengan speedboat selama belasan kali tahun
1947-1949 untuk menjual hasil bumi dari Sumatera dan
menukar dengan senjata di Singapura dan Phuket untuk
keperluan tentara nasional. Nama John Lie kemudian
diajukan oleh Yayasan Nabil sebagai calon pahlawan
nasional dari Sulawesi Utara tahun 2008 dan disetujui
Presiden tahun 2009.
Bukan hanya itu, terdapat empat orang Tionghoa
menjadi anggota BPUPKI dan seorang di PPKI seperti
diungkapkan Didi Kwartanada. Namun, di dalam
buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan tahun 1984
disebutkan bahwa dalam BPUPKI terdapat empat
etnik keturunan Arab dan seorang Indo-Eropa. Jauh
sebelumnya ada beberapa orang Tionghoa juga ikut
Kongres Pemuda kedua 1928 yang melahirkan Sumpah
Pemuda. Bahkan kongres itu berlangsung di gedung yang
dimiliki seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liang.
Lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan pada
penutupan Kongres Pemuda II tahun 1928 digubah
Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia
Pusat Penelitian Politik-LIPI mengucapkan Selamat HUT Ke-76 Republik Indonesia
Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh
Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 3
Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia
Inspirasi CHRISTIANTO WIBISONO“Saya rasa kita sudah stop bicara soal etnik Tionghoa, mereka sudah berbaur, sudah muncul Ahok, Grace Natalie, Tjhai Chui Mie, sudah jalan sendiri. Yang penting sekarang adalah justru membangun struktur-struktur supaya bisa tumbuh entitas-entitas yang diakui sebagai Indonesia incorporated.”
Indonesia incorporated yang dibayangkan oleh CW adalah masyarakat banyak sebagai pemegang saham, maju dalam persaingan global dengan mendayagunakan seluruh modal yang ada tanpa mempermasalahkan SARA. Jika SARA masih dipermasalahkan, menurut CW itu malah menjadi bom waktu dan menghambat kemajuan bangsa. Padahal secara intelektual, teknologi kita sudah mampu. Ia pun menambahkan bahwa ideologi Pancasila sebenarnya sudah selesai, “Pancasila itu lebih tinggi daripada kiri dan kanan, itu betul-betul ekstrim tengah yang pas”, pungkas CW. Indonesia telah kehilangan seorang Christian Wibisono, namun mimpinya untuk mewujudkan Indonesia Incorporated harus tetap dilanjutkan. (Syafuan Rozi Soebhan)
Tanggal 22 Juli 2021, Indonesia kehilangan seorang putra terbaiknya. Christianto Wibisono (CW) atau Oey Kian Kok tutup usia pada umur 76 tahun.
Beruntung satu bulan sebelum beliau berpulang, tepatnya 24 Juni 2021, kami sempat melakukan diskusi secara daring dengan beliau. Ini kali kedua kami berdiskusi mengenai topik riset Tionghoa Indonesia. Seperti biasa, beliau selalu bersemangat menyampaikan pokok-pokok pemikirannya
mengenai kebangsaan.
“Saya merasa berkepentingan memelihara, merawat dan
meruwat bangsa ini, yang dilahirkan oleh BPUPKI. BPUPKI
itu pendiri bangsa, founding fathers, jadi founding fathers
harus dihargai secara layak supaya ia diperingati dan diikuti
teladannya. “
Demikian diungkapkan Pak CW dalam wawancara kami. Beliau bercerita bahwa dari empat orang Tionghoa di BPUPKI, salah satunya yaitu Tan Eng Hoa yang mewakili pakar/cendekiawan adalah saudara sepupu beliau. “Anak dari mbakyu-nya papa saya. Makanya dia marga Tan, saya marga Oey.
Lebih jauh beliau mengungkapkan pandangannya mengenai pertarungan politik identitas yang kerap menjadi sandungan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurutnya,
Sebagai kelanjutan riset tahun 2020, pada tahun 2021 ini riset difokuskan pada pengumpulan data melalui survei dan wawancara mendalam mengenai dampak
dari meningkatnya pengaruh global Tiongkok dan relasi Indonesia-Tiongkok terhadap identitas etnik Tionghoa. Dengan basis responden etnik Tionghoa, pengumpulan data bertujuan untuk menggali pandangan dan pengalaman sebagai Tionghoa di tengah dinamika sosial-politik kebangsaan. Proses pengumpulan data yang dilakukan pada masa pandemi mengharuskan tim membatasi kegiatan yang bersifat tatap muka. Sehingga, survei daring dan wawancara mendalam yang menggabungkan model daring dan tatap muka, dipilih sebagai instrumen dalam proses pengumpulan data.
Pemilihan responden dan narasumber dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan tua (lahir pada tahun 1925 hingga tahun 1980) dan golongan muda (lahir pada tahun 1981 hingga 2004). Pembagian kategori usia ini sangatlah penting, karena pengalaman sejarah dan interaksi sosial yang dialami oleh masing-masing kategori usia ini tentunya berbeda dan memberikan pengaruh terhadap cara pandang mereka.
Seputar Riset Survei daring yang telah dilakukan berhasil menjaring
173 responden di tiga lokasi penelitian, dengan proporsi, Jabodetabek 107 responden, Sumatera Utara 45 responden, dan Sulawesi Utara 21 responden. Harus diakui bahwa model survei daring cukup membatasi tim untuk dapat memperoleh jumlah responden yang diharapkan. Namun, dukungan dari jaringan mitra penelitian sangatlah membantu tim dalam mengatasi kesulitan tersebut. Selanjutnya, wawancara mendalam dilakukan kepada 28 orang Tionghoa dengan variasi latar belakang profesi sebagai berikut, 1) pengurus asosiasi Tionghoa, 2) akademisi, 3) politisi, 4) siswa/mahasiswa yang pernah menempuh studi di Tiongkok, dan 5) profesi lain yang spesifik, seperti dokter, advokat, analis politik, pengusaha, pedagang, dan lain sebagainya. Hasil pengolahan data survei dan wawancara mendalam menunjukkan bahwa pengalaman yang dialami oleh masing-masing responden dan narasumber dalam penelitian ini sangat subjektif dan beragam, sehingga pemaknaan yang diberikan pun menjadi kaya. Strategi yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan stereotip terhadap etnik Tionghoa pun menjadi sangat khas, karena lahir dari pengalaman, karakter dan cara pandang yang berbeda. (Nina Andriana)
Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 4
Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia
Memajukan Indonesia yang Inklusif
Membicarakan Indonesia saat ini mengingatkan saya pada ucapan sejarawan Perancis Ernest Renan yang terkenal dengan pertanyaannya “Qu’est-ce qu’une
nation “? (What is a nation?). Presiden Soekarno dalam rapat BPUPKI menyatakan dirinya terinspirasi oleh konsep bangsa dari Renan ini, selain dengan konsep geopolitik (Suryadinata, 2010). Renan dan Soekarno, dengan konteks sosiologis, berbekal pengalaman historis yang dialami masing-masing pada ruang geografis yang berbeda, mempunyai aspirasi yang dibentuk oleh nilai-nilai mengenai nasion yang tidak dibatasi oleh afiliasi suku, agama, dan ras, tetapi terkait dengan ide kesejahteraan bersama.
Sebuah negara dengan beragam kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya, sudah pasti memerlukan rasa aman yang diperoleh dari terpenuhinya kesejahteraan sebagai hak mereka. Namun, bagaimana kita merefleksikan realitas kecenderungan minoritisasi yang masih dialami etnik Tionghoa saat ini?
Belajar dari pengalaman sejarah Indonesia dalam kurun waktu yang berbeda, jelas bahwa etnik Tionghoa sebagaimana warganegara dari etnik Jawa, Aceh, Papua, dan lainnya mempunyai kontribusi pada perkembangan peradaban budaya, ekonomi, dan politik. Kontribusi positif ini tentu tidak dapat dinafikan begitu saja dan harus tercatat serta terekam dalam memori bangsa. Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan karakter sebagai negara yang inklusif perlu dilakukan terus menerus tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat.
Aspirasi ini hanya bisa terwujud jika demokrasi berbasiskan good governance, bukan sekadar lip service (di satu sisi ada pemilu dan berlangsung institusionalisasi regulasi mengenai HAM, di sisi lain “ramah” pada ekonomi pasar), serta memperhatikan dan memasukkan suara dari kelompok-kelompok (yang dianggap) minoritas, atau yang selama ini ter/di-pinggirkan dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan untuk isu-isu penting terkait kesejahteraan publik.
Misalnya, tidak adanya lagi persekusi terhadap identitas agama/suku/ras, bukan sekadar untuk mematuhi UU 40/2008 yang lahir karena konteks reformasi pasca-kekerasan pada etnik Tionghoa, melainkan karena terbentuknya kesadaran yang luas dan tertanam dalam benak orang Indonesia, sebagai rumah tempat bernaung beragam kelompok. Inklusivitas diperlukan sebagai prekondisi dari munculnya regulasi selain pembiasaan untuk berpikir dan bertindak humanis pada kelompok-kelompok yang dianggap minoritas (baik politik, sosial, kultural termasuk agama, ekonomi dan/atau orientasi gender).
Lalu, pertanyaannya, darimana inklusivitas yang dibayangkan ini bisa diperoleh? Lebih dua dekade pascareformasi 1998 telah banyak pelajaran diperoleh dari orang-orang muda yang bekerja di ruang sunyi tanpa gegap-gempita baliho kampanye seperti di masa pemilu. Mereka membangun inklusivitas sebagai bagian dari bangsa Indonesia dengan beragam cara. Solidaritas Nusa Bangsa lewat perumusan UU No.40/2008; memperbanyak kapasitas literasi dan sekaligus memperluas wawasan multikultural oleh Sanggar Rebung Cendani; fasilitasi dialog antar-komunitas seperti dilakukan oleh aktivis Tionghoa di Semarang lewat EIN Institute; masuk ke kancah politik; dan juga berbagai kontribusi positif dari individu dan kelompok Tionghoa lainnya pada khazanah kebangsaan Indonesia.
Kesadaran tentang Indonesia yang inklusif di tingkat masyarakat tentunya memerlukan peran pendidikan lewat kurikulum sekolah. Contoh baik juga harus dilakukan oleh penyelenggara negara, misalnya terkait dengan ketegasan untuk tidak melanggengkan persekusi yang didukung oleh peraturan diskriminatif dan berpotensi memunculkan rasa tidak aman di kalangan minoritas, terutama terkait blasphemy dan UU ITE. Tanpa dukungan dari masyarakat dan institusi negara, akan sulit untuk memajukan ide Indonesia inklusif yang bisa menjamin rasa aman serta kesejahteraan semua orang dan kelompok. (Irine Hiraswari Gayatri)
Indonesia yang multikultur menjadi penting diteliti karena dapat menjadi satu strategi yang diharapkan mampu menghilangkan stereotip negatif.
Buku Potret Pemenuhan Hak Sipil & Politik Etnik Tionghoa: di Singkawang & Tangerang yang ditulis oleh Tim Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik-LIPI menganalisis penguatan hak sipil dan politik serta partisipasi politik etnik Tionghoa di Singkawang dan Tangerang, di tengah momen Pemilu Serentak 2019.
Pada praktiknya, pengalaman pemenuhan hak sipil dan politik etnik Tionghoa di tiap wilayah tidaklah homogen. Konteks lokal di mana komunitas tersebut tumbuh dan berkembang memengaruhi kekhasan komunitas etnik Tionghoa di tiap wilayah, yang pada gilirannya berpengaruh terhadap keragaman kelompok dan partisipasi politik yang dilakukan. Di tengah anggapan bahwa etnik Tionghoa merupakan kelompok yang seragam, kehadiran buku ini diharapkan dapat membuka mata pembaca mengenai keragaman etnik Tionghoa yang tidak dapat digeneralisir
dalam sebuah kerangka tunggal. (Atika Nur Kusumaningtyas)
Judul: Potret Pemenuhan Hak Sipil & Politik Etnik Tionghoa: di
Singkawang & TangerangEditor:
Lidya Christin SinagaTahun Terbit:
2020Penerbit:
Yayasan Pustaka Obor IndonesiaJumlah Halaman: xx + 202 halaman
Ulasan Buku
Setelah dua dekade reformasi yang membuka kesempatan bagi seluruh warga negara untuk berpartisipasi mewujudkan hak sipil dan politiknya, etnik Tionghoa
masih berhadapan dengan prasangka rasial dan stereotip negatif masyarakat serta elite politik yang melihat keberadaan etnik ini sebagai “liyan/other”, sehingga identitas mereka rentan dipolitisasi terutama pada momen-momen elektoral. Padahal, negara berkewajiban melindungi hak sipil dan politik seluruh warga negara, termasuk hak memilih dan dipilih secara politik serta hak untuk tidak mendapatkan diskriminasi. Partisipasi politik sebagai ruang perjumpaan yang setara dalam bingkai