Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Vol. 2(1) Februari 2018, pp. 137-149
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885 (online)
137
PENGATURAN HUKUM TERHADAP LINTAS PESAWAT ASING DI ATAS ALUR
LAUT KEPULAUAN INDONESIA
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Kedaulatan Negara di Ruang Udara)
Cut Miftahul Jannah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Enzus Tinianus
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Abstrak - Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pengaturan hukum terhadap lintas
pesawat asing di atas alur laut kepulauan Indonesia, dilihat dari pengaturannya dalam hukum internasional dan
penerapannya dalam hukum nasional negara kepulauan. Data yang diperoleh dalam penulisan artikel ini melalui
penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian yang dilaksanakan berdasarkan
asas-asas hukum bagi ketentuan-ketentuan internasional mengenai hak dan izin lintas pesawat udara asing di
atas negara kepulauan khususnya ketentuan dalam hukum internasional dan pengaturannya dalam hukum
nasional negara Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, hak-hak dan kewajiban pesawat asing dalam
melaksanakan lintas alur laut kepulauan telah diatur dalam Konvensi UNCLOS 1982, Konvensi Chicago 1944,
dan juga telah diatur dalam perundang-undangan Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan. Kemudian
bentuk-bentuk upaya yang dapat dilakukan oleh negara kepulauan dalam mengatasi pesawat asing yang
melakukan pelanggaran dapat dilakukan dengan shadowing (membayangi), interception (mengusir), dan apabila
tidak dipatuhi maka negara kepulauan dapat melakukan tindakan memaksa seperti force down mendarat paksa
dan use of force (penghancuran) sesuai dengan hukum yang berlaku. Disarankan kepada pemerintah melalui
institusi penegak hukum ataupun lembaga-lembaga pemerintah dapat lebih memperhatikan dan lebih cepat
dalam penanganan penerbangan non schedule (tidak berjadwal) yang tidak melapor di Flight Information
Region (FIR) Indonesia.
Kata Kunci : Kedaulatan Udara, Hak-Hak Pesawat Asing,Negara Kepulauan, Alur Laut Kepulauan.
Abstract - The purpose of this thesis is to explain the regulation of foreign aircraft lanes over the sea lanes of
the Indonesian archipelago, according to international law and its application in the national law of the
archipelagic state. The Data in this thesis was obtained through library research, ie by conducting research on
the basis of legal principles for international provisions on the rights and permission of foreign aircraft lanes
over the archipelagic state, especially its regulation in international law and Indonesia national law. The
research shows that the rights and obligations of foreign aircraft in crossing archipelagic sea lanes has been
regulated in UNCLOS Convention 1982, Chicago Convention 1944. It also has been regulated in the legislation
of Indonesia as one of the archipelagic states. Thus the forms of effort that can be done by the archipelagic state
in overcoming the violation of foreign aircraft can be done by shadowing, interception, and if disobeyed then
the archipelagic state can perform forceful actions such as forced down, forced landing and use of force
(destruction) in accordance with applicable law. It is suggested to the government through law enforcement
agencies or government agencies can pay more attention and more quickly in the handling of unscheduled
flights that do not report in Flight Information Region (FIR) Indonesia.
Keywords: Air sovereignty, rights of foreign aircraft, archipelago state, Archipelagic sea lane.
PENDAHULUAN
Suatu negara memiliki kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi dalam melaksanakan
yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Kedulatan tersebut meliputi wilayah darat, wilayah udara
dan wilayah laut. Negara harus mampu menjaga kedaulatan wilayah negaranya sebagai salah
satu bagian dari pertahanan negara.
Pelanggaran-pelanggaran kedaulatan di wilayah kedaulatan suatu negara baik di darat,
udara, maupun laut menjadi masalah sendiri dalam masyarakat internasional. Pelanggaran
kedaulatan suatu negara dapat menjadi masalah serius antarnegara, dimana hal ini dapat
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 138
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
menyebabkan renggangnya hubungan atau keharmonisan dari negara pelanggar dan yang
dilanggar tersebut. Kondisi yang tidak harmonis antara negara-negara ini dapat memunculkan
isu-isu perang antar negara tersebut. Salah satu contoh konflik wilayah kedaulatan yaitu
konflik antar negara yang terjadi antara Thailand dan Kamboja merupakan konflik akibat
adanya perbedaan kepentingan dan persepsi, dimana yang menjadi pokok permasalahan
merupakan wilayah kedaulatan. Wilayah Candi Preah Vihear yang terletak di selatan
Kamboja dan utara Thailand telah lama menjadi sumber konflik perbatasan wilayah
Kamboja–Thailand. Masing-masing negara mengklaim wilayah candi tersebut sebagai bagian
dari teritori mereka.
Pelanggaran kedaulatan di wilayah udara juga sering terjadi, hal ini terjadi karena
wilayah udara yang sangat luas. Kedaulatan wilayah udara negara kepulauan meliputi seluruh
daratan/pulau, perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial termasuk ruang udara
di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber daya alam yang ada di dalamnya.
Ketentuan ini dinyatakan dalam pasal 2 Konvensi UNCLOS 1982.1 Wilayah kedaulatan
negara Indonesia juga sering terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat asing di atas
wilayahnya, baik oleh pesawat sipil asing maupun pesawat pemerintah asing. Pelanggaran ini
disebabkan adanya perbedaan kepentingan di antara negara-negara di dunia sehingga negara-
negara yang di masuki oleh pesawat asing tanpa izin dari negara kolong merasa sangat
dirugikan dan terancam keamanan negaranya. Mereka memasuki wilayah negara Indonesia
dengan maksud dan tujuan yang bermacam-macam misalnya untuk research illegal,
mengumpulkan informasi militer, ataupun hanya sekedar memotong jalan, dan sebagainya.
Dalam pasal 1 Konvensi Chicago 19442 telah jelas disebutkan bahwa setiap negara
mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity) atas
ruang udara atas wilayah kedaulatannya, yang artinya bahwa setiap negara memiliki hak
untuk menjaga dan memberlakukan aturan untuk melindungi wilayah kedaulatan negaranya
1Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nation Conference on the Law of the Sea (UNCLOS)
1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut) yang selanjutnya disebut dengan UNCLOS 1982. 2Convention on International Civil Aviation 1944, 15 UNTS, opened signature 7 December 1944, entered
into force 4 April 1947, (The Chicago Convention) yang kemudian disebut dengan Konvensi Chicago 1944.
Indonesia meratifikasi Konvensi Chicago 17 Desember 1944 pada 27 April 1950 dan dinyatakan efektif satu
bulan kemudian. Peraturan Presiden No 5 tahun 2005 tentang Pengesahan Protocol On The Authentic
Quinquelingual Text Of The Convention On International Civil Aviation, Chicago 1944 (Protokol Tentang
Naskah Asli Bahasa Kelima Dari Konvensi Penerbangan Sipil Internasional), Chicago 1944.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 139
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
tanpa mengabaikan kewajibannya atas ruang udara, namun tetap saja banyak negara-negara
yang melakukan pelanggaran terhadapnya.
Karena kedaulatan di ruang udara bersifat mutlak, maka di ruang udara ini tidak
dikenal adanya hak lintas damai3 bagi pesawat-pesawat asing seperti halnya di lautan. Hal ini
disebabkan karena tidak semua negara memiliki laut teritorial4. Di dunia, ada sekitar 45
negara yang tidak memiliki laut teritorial. Sebagai contoh negara yang tidak memiliki laut
teritorial di benua asia adalah Afganistan, Armenia, Kazakhstan, dan banyak negara lainnya.
Negara-negara yang tidak memiliki laut teritorial ini sering disebut juga dengan negara
terkurung karena tidak ada wilayah daratannya yang terhubung langsung dengan laut. Namun
setiap negara meskipun tidak memiliki wilayah laut teritorial pasti memiliki ruang udara di
atasnya yang dapat dikuasai. Hanya saja apabila suatu pesawat asing ingin melintasi di ruang
udara negara lain, maka pesawat tersebut harus meminta izin kepada negara kolong tersebut.
Izin tersebut dapat diberikan kepada negara pengguna baik melalui perjanjian bilateral
maupun multilateral, maka ruang udara nasional dapat dimasuki atau dilalui pesawat udara
asing. Namun untuk negara kepulauan dalam pasal 53 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa
negara kepulauan dapat menetapkan rute pelayaran dan penerbangan di atasnya yang cocok
digunakan untuk lintas dan pesawat udara asing.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat 2 (dua) permasalahan pokok
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan dan izin lintas di atas wilayah kedaulatan negara kepulauan
bagi pesawat udara asing ?
2. Tindakan apakah yang dapat dilakukan oleh negara Indonesia sebagai negara
kepulauan terhadap pelanggaran kadaulatan yang telah dilakukan oleh pesawat udara
asing ?
METODE PENELITIAN
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, berfokus pada norma
hukum positif yang berupa perjanjian-perjanjian internasional, dan perundang-undangan yang
3Lintas damai adalah lintas sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara
pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi UNCLOS 1982 dan peraturan hukum
internasional lainnya. 4Laut Teritorial adalah Jalur Laut Selebar 12 Mil Laut yang diukur dari Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 140
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
berlaku serta bahan-bahan bacaan yang mempunyai relevansi dengan permasalahan
penelitian ini.
Sesuai dengan tipe penelitian ini yaitu menggunakan penelitian hukum normatif
dimana kajian utamanya adalah data sekunder, maka data-data yang diperoleh adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui Penelitian Kepustakaan
(Library Research), yaitu dengan melakukan penelitian yang dilaksanakan berdasarkan asas-
asas hukum bagi ketentuan-ketentuan internasional mengenai hak dan izin lintas pesawat
udara asing di atas negara kepulauan khususnya ketentuan dalam hukum internasional dan
pengaturannya dalam hukum nasional negara Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan, membaca, mempelajari, serta menganalisis konvensi-konvensi internasional,
peraturan perundang-undangan, buku teks, jurnal, makalah, media massa, artikel, dan
berbagai dokumen lainnya yang relevan dengan penelitian ini serta karya ilmiah yang
berkaitan termasuk melalui internet.
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang menggunakan metode penelitian
hukum normatif, yakni dengan cara mengumpulkan data-data yang berkualitas dengan
metode analisis kualitatif dan menguraikannya dengan menggunakan metode deskriptif
analitis, dengan mempelajari permasalahan berdasarkan data dan informasi yang
dikumpulkan untuk mendapat gambaran yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian
ini kemudian diinterprestasikan dan disusun dalam bentuk tulisan kemudian diolah secara
sistematis dan selanjutnya dapat menghasilkan analisis yang berguna.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Konsep negara kepulauan telah di atur dalam Konvensi Hukum Laut Internasional
(UNCLOS 1982), yaitu dalam Bab IV Konvensi mulai pasal 46 sampai dengan pasal 54. Di
negara kepulauan, semua kapal dan pesawat asing memiliki hak untuk menikmati lintas alur
laut dan rute penerbangan, hal ini di atur di dalam pasal 53 ayat (2) UNCLOS 1982. Untuk
memenuhi hak-hak tersebut, negara kepulauan harus menetapkan alur laut kepulauan dan rute
penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat asing yang
terus-menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui alur laut kepulauan yang telah
ditetapkan. Setidaknya ada tiga jenis konsep negara kepulauan yang di atur dalam konvensi
UNCLOS 1982 yaitu hak lintas damai, lintas alur laut kepulauan dan hak lintas transit.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 141
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
UNCLOS mengatur banyak hal terkait dengan keselamatan bernavigasi, antara lain
dalam pasal 53 ayat (1) menyatakan bahwa negara kepulauan harus dengan jelas
menunjukkan sumbu-sumbu alur laut dan skema pemisah lalu lintas5 yang telah ditetapkan
dalam peta-peta dan harus diumumkan sebagaimana mestinya.Pengertian lintas sebenarnya
telah dijelaskan dalam pasal 18 ayat (2) UNCLOS 1982, yaitu “lintas berarti navigasi melalui
laut teritorial untuk keperluan melintasi laut tanpa melintasi perairan pedalaman atau singgah
di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, atau
berlaku ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau
fasilitas pelabuhan tersebut.
Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian lintas
mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan
navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force mejeure atau mengalami kesulitan atau
guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal ataupun pesawat udara yang dalam
bahaya atau kesulitan.
Pengertian hak lintas dalam hukum udara dapat ditemukan dalam pasal 5 dan 6
Konvensi Chicago 1944 yang mengatur tentang penerbangan tidak berjadwal (non scheduled
flight) dan penerbangan berjadwal (scheduled flight), serta dalam International Air Service
Transit Agreement dan International Air Transport Agreement tanggal 7 Desember 1944.
Pasal 5 Konvensi Chicago 1944 antara lain menyatakan: “Semua pesawat terbang (all
aircraft) negara peserta yang bukan penerbangan berjadwal (non scheduled flight)
mempunyai hak untuk melewati wilayah udara negara peserta lainnya (in transit non stop
across…) dan untuk turun bukan dengan maksud mengadakan angkutan (non traffic) dengan
suatu notifikasi”.
Selanjutnya pasal 5 ayat 2 mengatakan bahwa apabila pesawat terbang tersebut
membawa penumpang, barang pos atau muatan yang dipungut bayaran selain dari
penerbangan berjadwal mempunyai hak untuk menaikan dan menurunkan penumpang dan
sebagainya, akan tetapi harus mentaati peraturan-peraturan, syarat-syarat atau pembatasan-
pembatasan yang ditentukan oleh negara setempat. Dalam pasal ini menunjukkan bahwa
ketentuan ini berlaku bagi semua pesawat terbang, baik pesawat negara atau pemerintah
maupun pesawat swasta.
5Skema Pemisah Lalu Lintas adalah Pengaturan Pemisahan Lalu Lintas untuk Keselamatan Pelayaran
melalui Alur Laut
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 142
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
Ketentuan dalam pasal 5 Konvensi Chicago ini berbeda dengan pengertian lintas di
dalam Konvensi UNCLOS 1982, dalam Konvensi UNCLOS 1982 tidak memberikan hak
kepada kapal atau pesawat asing untuk menaikkan atau menurunkan penumpang selama
melaksanakan lintas alur laut kepulauan kecuali dalam keadaan force majeure6. Namun
dalam Konvensi Chicago hal ini dibolehkan asalkan sesuai dengan aturan dan syarat-syarat
yang ditentukan oleh negara yang dilalui atau negara setempat. Hal ini dapat menimbulkan
penafsiran hukum yang berbeda dalam masyarakat internasional.
Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 menentukan, bahwa: “No scheduled international air
service may be operated over or into the territory of a contracting state, except whit the
special permmision or other authorization of that state, and in accordance with the terms of
such permission or authorization”. Pasal 6 tersebut pada prinsipnya adalah bahwa pesawat
asing yang melakukan penerbangan di atas ruang udara suatu negara haruslah meminta izin
terlebih dahulu kepada negara kolong atau negara dimana tempat ia terbang. Hal ini
bermaksud bahwa apabila ada penerbangan yang berjadwal tentu memungkinkan terjadinya
persaingan dengan penerbangan nasional. Untuk mencegah hal yang demikian diperlukan
adanya persetujuan lebih dulu antara kedua belah pihak yaitu negara pesawat dan negara
yang akan di lintasi. Pasal ini menunjukkan hanya bagi penerbangan berjadwal untuk
mengangkut penumpang dengan melalui izin khusus.
Dalam Annex 11 dijelaskan bahwa setiap negara harus mempunyai unit pelayanan
lalu lintas udara, yang tujuan-nya antara lain guna mencegah terjadinya tubrukan
antarpesawat, dan memberikan saran dan informasi yang berguna bagi keselamatan dan
efisiensi pelaksanaan penerbangan.7 Apabila wilayah itu berada di atas laut bebas maka
penentuannya harus bekerja sama dengan lingkup regional dalam bentuk suatu perjanjian.8
Negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang telah meratifikasi UNCLOS
memiliki hak untuk menetapkan jalur alur laut kepulauan dan menetapkan jalur penerbangan
di atas alur laut kepulauan dengan membentuk alur pembatasan laut kepulauan Indonesia.
Dalam pelaksanaan alur laut kepulauan, ada 2 (dua) hak yang diberikan bagi pesawat asing
yaitu hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan.
6Force majeure atau keadaan memaksa adalah kejadian atau keadaan yang terjadi diluar kuasa. 7Annex 11, Air Traffic services, Thirteenth edition july 2001, Bagian 2.2., hal. 2-1-1-2. 8Ibid, bagian 2.1.2.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 143
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
Hak Lintas Transit
Negara-negara yang berbatasan dengan selat sangat mengkhawatirkan akibat yang
mungkin timbul dari kecelakaan yang terjadi di sekitar selat yang dekat dengan negaranya
dan dapat membahayakan sumber daya yang dimiliki oleh negara tersebut. Padatnya lalu
lintas yang ada di selat juga akan mempersulit negara pantai untuk mengakses sumber daya di
perairan sekitar selat, selain itu negara pantai juga mengkhawatirkan keamanan negaranya.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Indonesia
mengakui bahwa kapal dan pesawat udara memiliki hak untuk melintasi dan terbang di atas
perairan Indonesia.
Semua kapal dan pesawat udara mempunyai hak lintas transit, yang tidak boleh
dihalangi, kecuali bahwa, apabila selat ini berada antara suatu pulau dan daratan utama
negara yang berbatasan dengan selat, lintas transit tidak berlaku apabila pada sisi ke arah laut
pulau itu terdapat suatu rute melalui laut lepas atau melalui suatu zona ekonomi eksklusif
yang sama fungsinya bertalian dengan sifat-sifat navigasi dan hidrografis.9
Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan
Bab ini semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin
antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona
ekonomi eksklusif lainnya. Namun demikian persyaratan transit secara terus menerus,
langsung dan secepat mungkin tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalui selat untuk
maksud memasuki, meninggalkan atau kembali dari suatu negara yang berbatasan dengan
selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat masuk negara itu.10
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Konsepsi perairan kepulauan (archipelago water) merupakan konsepsi baru yang
dimuat dalam konvensi hukum laut 1982. Sebelumnya wilayah-wilayah perairan dimana
negara pantai harus memberikan akomodasi dalam bentuk hak untuk melakukan lintasan bagi
kapal-kapal asing, hanya terbatas pada laut teritorialnya dan selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional.11
Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk melakukan
transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu
9Pasal 38 UNCLOS 1982 10Ibid, 11Ibid, 138.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 144
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi
eksklusif lainya.12
Hal utama dari pengaturan tentang hak lintas alur laut kepulauan adalah bahwa
lintasan ini selain dalam bentuk lintas pelayaran ini juga mencakup lintas penerbangan, yang
dilakukan dalam cara yang normal. Kedua, pasal 53 Konvensi ini menyebutkan adanya
keharusan bahwa lintas pelayaran atau penerbangan tersebut hanya dimaksudkan untuk suatu
lintasan terus menerus, langsung, secepat mungkin dan tidak terhalang. Ketiga, aturan ini
menetapkan bahwa lintasan tersebut harus dilakukan antara satu bagian lain dari laut lepas
atau zona ekonomi eksklusif.13
Sebagai implementasi ketentuan pasal 53 ayat 3 Konvensi UNCLOS 1982, dalam
pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 mengatur tentang Lintas Alur-Alur Laut
Kepulauan Indonesia. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, pada tahun 2002 negara
Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan
Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut
Kepualaun Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. Hal ini dikarenakan menurut
UNCLOS pasal 53 ayat (9) mewajibkan hal tersebut sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:
“Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema
pemisah lalu lintas, suatu negara kepulauan harus mengajukan usul-usul kepada organisasi
internasional berwenang dengan maksud untuk dapat diterima”. Organisasi tersebut hanya
dapat menerima alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang demikian sebagaimana disetujui
bersama dengan negara kepulauan, setelah itu barulah negara kepulauan dapat menentukan,
menetapkan atau menggantinya.
Ketentuan pasal 2 Peraturan Pemerintah ini memberikan hak kepada kapal dan
pesawat udara asing melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan, untuk pelayaran atau
penerbangan dari satu bagian laut bebas (laut lepas) atau zona ekonomi eksklusif ke bagian
lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan
Indonesia.
Dalam pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002 tentang Hak dan
Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut
Kepualaun Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, menetapkan 3 (tiga) alur laut laut
kepulauan yang dapat dipergunakan sebagai lalu lintas internasional yaitu :
12Pasal 53 ayat (3) UNCLOS 13Etty R. Agoes. Op.Cit, hlm. 138.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 145
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
1. Pertama, jalur pada ALKI I yang difungsikan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan
melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda ke Samudera
Hindia, dan sebaliknya; dan untuk pelayaran dari Selat Singapura melalui Laut Natuna
dan sebaliknya (Alur Laut Cabang I A).
2. Kedua, jalur pada ALKI II yang difungsikan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi
melintasi Selat Makasar, Laut Flores, dan Selat Lombok ke Samudera Hindia, dan
sebaliknya.
3. Ketiga, jalur pada ALKI-III-A yang difungsikan untuk pelayaran dari Samudera
Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu.
ALKI III-A sendiri mempunyai 4 cabang, yaitu ALKI Cabang III B: untuk pelayaran
dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti
ke Samudera Hindia dan sebaliknya; ALKI Cabang III C: untuk pelayaran dari
Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda ke Laut Arafura
dan sebaliknya; ALKI Cabang III D: untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi
Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu ke Samudera
Hindia dan sebaliknya; ALKI Cabang III E: untuk pelayaran dari Samudera Hindia
melintasi Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Maluku.
Meskipun Indonesia telah menyediakan 3 jalur lintas damai yang menghubungkan
samudera Hindia dan samudera Pasifik serta laut Cina Selatan, tetapi negara-negara barat
yang diprakarsai Amerika Serikat menginginkan tambahan ALKI IV yang menghubungkan
dari timur ke barat melalui laut Jawa. Keinginan ini disampaikan menteri pertahanan
Amerika Serikat pada forum The 7th IISS Asia Security Summit Shangri-La Dialogue di
Singapura tahun 200814.
Sesuai dengan ketentuan pasal 54 UNCLOS, hak dan kewajiban bagi kapal-kapal
yang melakukan lintasan juga tunduk pada pengaturan yang sama seperti dalam pelaksanaan
hak lintas transit. Pokok utama dari pengaturan ini adalah bahwa semua kapal dan pesawat
udara dapat melakukan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur-alur laut dan rute
penerbangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian hak ini juga dapat dinikmati oleh
kapal-kapal perang maupun pesawat udara militer. Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2002 mengharuskan kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan hak
lintas alur kepulauan melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan
14Helvas Ali, AS tetap Tuntut ALKI Timur-Barat, 2008.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 146
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung,
cepat, dan tidak terhalang. Ketentuan dalam ayat ini merupakan penerapan ketentuan pasal 54
jo pasal 39 ayat 1 Konvensi UNCLOS 1982. Dalam hal ini jelas tidak ada artian bahwa kapal
atau pesawat udara dapat melintas dengan santai (normal mode). Seperti telah diuraikan pada
bagian tentang hak lintas transit, kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada kapal dan
pesawat udara asing ini tidak secara otomatis melahirkan hak-hak bagi negara kepulauan.
Seperti juga halnya degan lintas transit, hak negara kepulauan untuk mengatur
pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauannya terbatas hanya
kepada hal-hal yang tercantum dalam pasal 42 ayat (1).15 Menurut Prof Etty R. Agoes yang
berpendapat bahwa hak lintas alur laut kepulauan mempunyai derajat yang sama dengan hak
lintas transit. Oleh karena hak lintas transit mengandung unsur kebebasan pelayaran, dan
demikian meluangkan dak kapal selama untuk berlayar dibawah permukaan air, maka hal
yang sama pun dapat dibenarkan pada pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan.16
Ketentuan pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002, yang merupakan
pelaksanaan pasal 54 jo pasal 40 Konvensi menetapkan bahwa sewaktu melaksanakan hak
lintas alur kepulauan, kapal atau pesawat udara asing, termasuk kapal atau pesawat udara
riset atau survei hidrografi, tidak boleh melakukan riset kelautan atau survei hidrografi, baik
dengan mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah
memperoleh izin penelitian dari Pemerintah Indonesia. Atas dasar itu, kapal atau pesawat
udara asing dibolehkan melakukan kegiatan survei dan pemetaan terhadap benda berharga
asal muatan kapal yang tenggelam di dasar laut (benda cagar budaya) setelah memperoleh
izin dari Pemerintah Indonesia.
Pasal 6 ayat 3 implementasi dari pasal 54 jo pasal 42 ayat 1 huruf C memuat
ketentuan mengenai larangan bagi kapal dan pesawat udara asing menaikkan ke atas kapal
atau menurunkan dari kapal orang, barang atau uang secara bertentangan dengan perundang-
undangan kepabeanan, keimigrasian, fiskal dan kesehatan. Pengecualian terhadap ketentuan
ini diberikan dalam keadaan force majeure atau dalam keadaan musibah.
Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 menerapkan pasal 54 jo pasal 39
ayat (3) UNCLOS. Namun dalam Peraturan Pemerintah ini tidak mengatur secara spesifik
tentang lintas alur kepulauan bagi kapal-kapal perang dan pesawat militer asing, dan hanya
mengatur tentang kewajiban-kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam pasal 4 ayat (4).
15Ibid, hlm. 145. 16Ibid,
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 147
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
Untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran kedaulatan oleh pesawat udara asing,
negara kolong dalam hal ini dapat melakukan beberapa upaya untuk menjaga keamanan
negaranya yaitu dengan cara melakukan pembayangan (shadowing), selanjutnya tahap kedua
dilakukan intersepsi (interception), kemudian diperintahkan untuk force down, apabila upaya
tersebut tidak dipatuhi maka tahap akhir negara dapat melakukan penghancuran dengan
senjata (use of force).
Pasal 3 Konvensi Chicago hasil dari amandemen yang dimuat dalam Protocol
Montreal 1983 menyatakan bahwa jika “state aircraft” masuk ruang udara negara lain tanpa
otorisasi atau izin yang sah maka negara kolong dapat melakukan:
a. intercepted for purposes of identification;
b. directed to leave the violated air space by a determined route;
c. directed to land for the purpose of further investigation/prosecution;
d. forced to land for further investigation/prosecution.
Pasal 8 Konvensi Chicago 1944 menambahkan bahwa pesawat tanpa awak seperti
balloons, drones, some miniature insize yang terbang di atas wilayah negara lain
diperlakukan sebagai pesawat negara atau pesawat militer yang harus tunduk pada otorisasi
khusus negara kolong. Negara peserta konvensi Chicago sepakat bahwa penerbangan pesawat
tak berawak tersebut di daerah terbuka untuk pesawat sipil harus dikendalikan untuk
menghindarkan bahaya bagi civil aircraft.17
KESIMPULAN
Pengaturan hukum terhadap lintas alur laut kepulauan telah diatur dalam hukum
Internasional yaitu :
a. Konvensi UNCLOS 1982 mengatur mengenai hak lintas alur laut kepulauan terdapat
dalam pasal 53 dan pasal 54 Konvensi UNCLOS 1982.
b. Konvensi Chicago 1944 dalam pasal 5 dan 6 mengatur tentang penerbangan tidak
berjadwal (non scheduled flight) dan penerbangan berjadwal (scheduled flight).
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia juga mengatur mengenai hak dan
kewajiban terhadap lintas alur laut kepulauan yaitu dalam:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
17 Ibid,
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 148
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
b. Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulaun melalui Alur Laut
Kepulauan yang Ditetapkan.
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga diatur mengenai
pelanggaran wilayah kedaulatan negara oleh pesawat asing.
Negara kolong berhak melakukan intersepsi atau penyergapan dan memaksa turun
pesawat yang melakukan pelanggaran untuk kemudian diproses menurut hukum yang
berlaku di negara tersebut. Penentuan status hukum pesawat sangatlah penting untuk
pelaksanaan penegakan hukum terkait pelanggaran wilayah tersebut. Apabila terdapat
Pesawat Udara Sipil Asing yang melanggar wilayah udara negara Indonesia maka
personel lalu lintas udara harus memberikan:
1) Peringatan agar pesawat udara tersebut meninggalkan zona larangan atau pembatasan
terbang.
2) Personel lalu lintas udara juga harus menginformasikan adanya pesawat udara yang
melanggar zona larangan maupun pembatasan terbang kepada aparat yang bertugas di
bidang pertahanan negara.
3) Apabila peringatan yang diberikan tidak ditaati maka dilakukan tindakan pemaksaan
oleh pesawat udara negara (state aircraft) untuk keluar wilayah Indonesia atau
pembatasan terbang untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara terdekat.
Semua awak pesawat udara beserta muatannya diperiksa dan disidik dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila state aircraft atau Pesawat Negara masuk ruang udara negara lain tanpa
otorisasi yang sah maka negara kolong dapat melakukan:
a. intercepted for purposes of identification (Dicegat untuk tujuan identifikasi).
b. directed to leave the violated air space by a determined route (Diarahkan untuk
meninggalkan ruang udara yang dilanggar dengan rute yang ditentukan).
c. directed to land for the purpose of further investigation/ prosecution (Diarahkan ke darat
untuk tujuan penyelidikan/ penuntutan lebih lanjut)
d. forced to land for further investigation/prosecution (Dipaksa untuk mendarat untuk
tujuan penyelidikan / penuntutan lebih lanjut).
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.1 Februari 2018 149
Cut Miftahul Jannah, Enzus Tinianus
DAFTAR PUSTAKA
Etty R. Agoes, Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing. Bandung: Abardin. 1991.
Annex 11, Air Traffic services, Thirteenth edition july 2001.
Helvas Ali, Amerika Serikat tetap Tuntut ALKI Timur-Barat, 2008.
Konvensi Chicago 1944.
Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia.
Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.