109
Vol. 22 No. 2, November 2019 P-ISSN 1410 3974 E-ISSN 2580 8907 BERKALA ARKEOLOGI BALAI ARKEOLOGI SUMATERA UTARA PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BAS VOL. 22 NO. 2 Hal 65135 Medan, November 2019 P-ISSN 1410 3974 E-ISSN 2580 8907 BATU NISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’ ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE Dedy Satria PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO Mochammad Fauzi Hendrawan AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK SHELTER IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT Nenggih Susilowati MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN ISTANA MAIMUN, KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL MODIFICATION AND VARIATION, MEDAN CITY, NORTH SUMATRA PROVINCE Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR Syahrul Rahmat

Vol. 22 No. 2, November 2019 P-ISSN 1410 E-ISSN 2580 8907repositori.kemdikbud.go.id/17361/1/Sangkhakala Vol 22 No... · 2020. 2. 6. · islam; arsitektur DDC 303.69 Syahrul Rahmat

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • Vol. 22 No. 2, November 2019 P-ISSN 1410 – 3974

    E-ISSN 2580 – 8907

    BERKALA ARKEOLOGI

    BALAI ARKEOLOGI SUMATERA UTARA

    PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    BAS VOL. 22 NO. 2 Hal 65—135 Medan,

    November 2019 P-ISSN 1410 – 3974 E-ISSN 2580 – 8907

    BATU NISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’ ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE Dedy Satria

    PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO Mochammad Fauzi Hendrawan

    AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK SHELTER IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT Nenggih Susilowati

    MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN ISTANA MAIMUN, KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL MODIFICATION AND VARIATION, MEDAN CITY, NORTH SUMATRA PROVINCE Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi

    INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR Syahrul Rahmat

  • Vol. 22 No. 2, November 2019 P-ISSN 1410 – 3974 E-ISSN 2580 – 8907

    BERKALA ARKEOLOGI

    Sangkhakala terdiri dari dua kata yaitu Sangkha dan Kala. Sangkha adalah sebutan

    dalam Bahasa Sansekerta untuk jenis kerang atau siput laut. Sangkha dalam mitologi

    Hindhu digunakan sebagai atribut dewa dalam sekte Siwa dan Wisnu. Sedangkan Kala berarti waktu, ketika atau masa. Jadi Sangkhakala merupakan alat dari kerang laut yang

    mengeluarkan suara sebagai tanda bahwa waktu telah tiba untuk memulai suatu tugas

    atau pekerjaan. Berkenaan dengan itu, BERKALA ARKEOLOGI SANGKHAKALA merupakan

    istilah yang dikiaskan sebagai terompet ilmuwan arkeologi dalam menyebarluaskan arti

    dan makna ilmu arkeologi sehingga dapat dinikmati oleh kalangan ilmuwan khususnya

    dan masyarakat luas umumnya. Selain itu juga merupakan wadah informasi bidang

    arkeologi yang ditujukan untuk memajukan arkeologi maupun kajian ilmu lain yang

    terkait. Muatannya adalah hasil penelitian, tinjauan arkeologi dan ilmu terkait. Dalam

    kaitannya dengan penyebarluasan informasi dimaksud, redaksi menerima sumbangan

    artikel dalam Bahasa Indonesia maupun asing yang dianggap berguna bagi

    perkembangan ilmu arkeologi. Berkala Arkeologi ini diterbitkan dua kali dalam setahun

    yaitu pada bulan Mei dan November.

    Dewan Redaksi

    Ketua Redaksi : Andri Restiyadi, M.A. (Arkeologi Sejarah)

    Anggota Redaksi : Ery Soedewo, S.S., M.Hum. (Arkeologi Sejarah)

    Drs. Bambang Budi Utomo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

    Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara)

    Redaksi Pelaksana : Nenggih Susilowati, S.S., M.I.Kom. (Arkeologi Prasejarah)

    Dyah Hidayati, S.S. (Arkeologi Prasejarah)

    Mitra Bestari : Prof. Dr. M. Dien Madjid, M.Ag. (UIN Syarif Hidayatullah)

    Prof. (Ris.). Dr.Truman Simanjuntak (Centre for Prehistoric and Audtronesia Studies)

    Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak (Universitas Negeri Medan)

    Dr. Titi Surti Nastiti (Pusat Arkeologi Nasional)

    Manajer Jurnal : Taufiqurrahman Setiawan, M.A. (Arkeologi Prasejarah)

    Penata Letak : Abdullah Imansyah

    Kesekretariatan : Ali Ma’ruf, S.E.

    Alamat Redaksi/Penerbit:

    Balai Arkeologi Sumatera Utara Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Tanjung Selamat, Medan Tungtungan, Medan 20134

    Telp. (061) 8224363, 8224365

    E-mail: [email protected]

    Laman: www.sangkhakala.kemdikbud.go.id

    © Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019

  • KATA PENGANTAR

    Dedy Satria 65—80

    BATU NISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’ ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE

    Mochammad Fauzi Hendrawan 81—95

    PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO

    Nenggih Susilowati 96—110

    AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT

    ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK SHELTER

    IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT

    Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi 111—121

    MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN ISTANA MAIMUN,KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA

    ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL MODIFICATION

    AND VARIATION,MEDAN CITY, NORTH SUMATRA PROVINCE

    Syahrul Rahmat 122—135

    INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR

    CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR

    Vol. 22 No. 2, November 2019 P-ISSN 1410 – 3974

    E-ISSN 2580 – 8907

    BERKALA ARKEOLOGI

    DAFTAR ISI

  • BERKALA ARKEOLOGI

    P-ISSN 1410 - 3974 Terbit : November 2019 E-ISSN 2580 – 8907

    Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh digandakan tanpa ijin dan biaya

    DDC 959.8 Dedy Satria (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh Sumut) BATUNISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’ Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 22 No. 2, Hal. 65—80 Jenis batu nisan tipe plangpleng merupakan bentuk yang sangat khas. Gaya seni pahat menjadi ciri utama jenis batu

    nisan ini. Hal itu menjadikannya berbeda dengan batu nisan lainnya di Lamreh. Bentuk motif lokal maupun asing dari latar belakang kebudayaan dan sistem kepercayaan

    yang berbeda. Hal ini menjadi karakter yang mencerminkan satu masyarakat ‘campuran’ di awal perkembangan Islam di Aceh Besar dan Banda Aceh. Batu nisan ini menjadi penanda yang sangat penting sebagai

    bukti awal kehadiran masyarakat Muslim di sepanjang pesisir Aceh Besar dan Banda Aceh. Sebagai benda seni ia menjadi karya cipta manusia dari masa lampau, serta

    menjadi bukti puncak pencapaian perkembangan kebudayaan dalam suatu masyarakat kuno di Aceh Besar yang dikenal sebagai ‘masyarakat Lamuri’.

    (Dedy Satria

    Kata kunci: Nisan Plangpleng; Lamuri; arkeologi Islam; Aceh

    DDC 959.801 Mochammad Fauzi Hendrawan (Balai Arkeologi Sumatera Utara)

    PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL

    KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 22 No. 2, Hal. 81—95

    Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki data arkeologi berupa kapal karam yang beragam dari berbagai masa dan tipe kapal. Salah satu kapal karam yang

    ditemukan di Pulau Bawean adalah Kapal karam Pulau Nusa, yang memiliki indikasi berasal dari abad ke-19 karena komponen penggeraknya bertenaga uap. Pada saat ditemukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2016

    kondisi Kapal karam Pulau Nusa tidak dalam kondisi utuh, sebagian komponen sudah terfragmentasi dan tersebar. Selain itu sebagian besar fragmen tersebut sudah

    terkonkresi dengan karang dan bagian bawahnya tersedimentasi hingga terkubur di dasar laut. Penelitian ini akan membahas proses apa yang melatarbelakangi kondisi kapal karam menjadi seperti sekarang. Analisis yang

    dipakai yaitu analisis lingkungan dan analisis kontekstual. Kedua perangkat analisis tersebut dilakukan untuk menjawab proses pembentukan data arkeologi yang dibagi

    menjadi dua tahap, yaitu proses behavioral (pre-depositional) dan proses transformasi (depositional dan post-depositional). Selain itu juga mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap proses tersebut, yang berupa

    cultural transform dan noncultural transform. Dari hasil sintesis dua analisis didapat kesimpulan pada awalnya

    pembentukan data arkeologi dipengaruhi oleh noncultural transform, tetapi selanjutnya karena lokasi yang dangkal dan adanya aktivitas manusia karena nilai ekonomi lingkungan dan kapal karam sendiri, maka faktor cultural

    transform turut ikut berperan. (Mochammad Fauzi Hendrawan)

    Kata kunci: Bawean; kapal karam; kapal uap; arkeologi bawah air; transformasi

    DDC 720.1 Nenggih Susilowati (Balai Arkeologi Sumatera Utara) AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 22 No. 2, Hal. 96—110

    Lingkungan Nagari Situmbuk, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat memiliki gua-gua dan ceruk-ceruk yang menarik secara alamiah, serta keberadaannya juga berkaitan dengan aktivitas

    manusia masa lalu hingga masa kini. Gua dan ceruk yang terdapat di kawasan Situmbuk sebagian berkaitan dengan aktivitas manusia yang memanfaatkannya sebagai hunian

    sementara. Keberadaannya juga berkaitan dengan aktivitas manusia yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya sebagai areal persawahan, perkebunan, dan hutan tropisnya. Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana

    bentuk aktivitas manusia berkaitan dengan pemanfaatan gua dan ceruk di Nagari Situmbuk di masa lalu ? Mengapa terdapat perbedaan dalam pemanfaatan gua dan ceruk di

    sana ? Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif menggunakan alur penalaran induktif dengan melakukan pengamatan terhadap satuan maupun konteksnya. Gua dan ceruk yang memiliki indikasi

    dimanfaatkan orang-orang dengan budaya yang berbeda adalah Ngalau Guong, Ngalau Tompok Syohiah I, dan Ngalau Muaro. Pemanfaatan Ngalau Guong berkaitan dengan kehidupan berburu dan perladangan sederhana

    sehingga masih memanfaatkan gua/ceruk di sana sebagai hunian sementara. Ngalau Tompok Syohiah I berkaitan dengan perkembangan budaya Pra Islam (tradisi megalitik

    yang ditandai dengan keberadaan menhir dan kubur semu), Islam, hingga kini yang tersirat melalui simbol-simbol pada dinding guanya. Tradisi yang berlangsung di gua itu juga berkaitan dengan aktivitas pertanian yang

    telah dilaksanakan secara intens. Adapun Ngalau Muaro berkaitan dengan aktivitas perkebunan yang berlangsung pada sekitar abad ke- 18- 19.

    (Nenggih Susilowati)

    Kata kunci: aktivitas; berburu; tradisi megalitik; hunian; pertanian

  • DDC 959.8 Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi (Balai Arkeologi Sumatera Utara)

    MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN ISTANA MAIMUN, KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 20 No. 2, Hal. 151—164

    Istana Maimun merupakan salah satu bangunan cagar

    budaya ikonik di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Memiliki perpaduan gaya Melayu dan kolonial yang unik. Pokok bahasan dalam artikel ini berkaitan dengan fondasi bangunan Istana Maimun. Bagian fondasi memiliki peran

    yang krusial dalam sebuah bangunan, namun jarang dijadikan sebagai pokok bahasan penelitian. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini berkaitan

    dengan struktur, komposisi, dan fungsi dari fondasi. Tujuan dari penulisan artikel ini selain menjawab permasalahan juga diharapkan akan dapat menambah perbendaharaan arsitektural terutama mengenai gaya

    fondasi bangunan yang memiliki perpaduan dari gaya tradisional Melayu dan Kolonial. Melalui penelitian yang bersifat deskriptif-analitis, kesimpulan yang didapatkan dari

    penelitian ini adalah fondasi bangunan terdapat tiga macam yang menyesuaikan dengan fungsinya menopang bangunan di atasnya yang terdiri dari satu, dua, dan tiga tingkat bangunan.

    (Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi)

    Kata kunci: istana maimun; fondasi bangunan; arkeologi islam; arsitektur

    DDC 303.69 Syahrul Rahmat (STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau)

    INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 19 No. 2, Hal.122—135

    Sebagai salah satu bangunan tradisional di Minangkabau,

    masjid yang didirikan sebelum abad ke-20 memiliki keunikan dari segi bentuk bangunan. Tokoh-tokoh adat memiliki peranan besar dalam pendirian masjid, terutama di daerah Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

    Perwujudan adat sebagai salah satu kebudayaan masyarakat kemudian juga ikut mempengaruhi makna dari setiap bagian yang ada pada bangunan masjid. Hal

    tersebut mengindikasikan bahwa pada suatu masa tertentu, adat dan Islam memiliki interaksi yang cukup intens sehingga meninggalkan jejak pada arsitektur bangunan. Penelitian yang dilakukan dengan

    menggunakan metode penelitian sejarah ini melihat bagaimana interaksi adat dan agama dalam wujud bangunan masjid yang dibangun pada awal adab ke-18

    dan awal abad ke-20. Bentuk-bentuk interaksi antara adat dengan agama Islam pada masjid-masjid tersebut ada dalam wujud fisik serta dalam wujud ide atau makna.

    (Syahrul Rahmat)

    Kata kunci: Islam; adat; bangunan; masjid kuno

  • BERKALA ARKEOLOGI

    P-ISSN 1410 – 3974 Publish : November 2019 E-ISSN 2580 – 8907

    The discriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

    DDC 959.8 Dedy Satria (Iakatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh-Sumut)

    ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, page 101—115 Plangpleng type tombstone is a very distinctive shape.

    Sculpture style is the main characteristic of this type of tombstone. That makes it different from other tombstones in Lamreh. Forms of local and foreign motifs from different cultural backgrounds and belief systems. This is a

    character that reflects a 'mixed' society at the beginning of the development of Islam in Aceh Besar and Banda Aceh. This tombstone is a very important marker as the initial

    evidence of the presence of Muslim communities along the coast of Aceh Besar and Banda Aceh. As an art object, it has been a human work of the past, and is evidence of the culmination of the achievement of cultural development in

    an ancient society in Aceh Besar known as the 'Lamuri community’.

    (Dedy Satria) Keywords: Nisan Plangpleng; Lamuri; Islamic Archaeology; Aceh

    DDC 959.801 Mochammad Fauzi Hendrawan (Balai Arkeologi Sumatera Utara) PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, page 116—134 Indonesian archipelago holds considerably amount of

    archaeological data includes shipwreck that vary from various periods and types. In Bawean Island, a shipwreck with steamer component indicated from the 19th century

    named Pulau Nusa was found. In 2016, Pulau Nusa shipwreck was found by Balai Arkeologi Yogyakarta in a fragmentary shape with scattered components. Numbers of scattered components has concreted with coral and the

    bottom part has gone through sedimentation thus buried in sea floor. This research focused on the underlying process behind the current condition of Pulau Nusa shipwreck.

    Conducted as an explorative research with inductive reasoning, this research used two main method of analysis, i.e environmental and contextual analysis. These two method of analysis are used to answer the data formation

    process which divided into two steps, behavioral process (pre-depositional) and transformation process (depositional and post-depositional) along with cultural and noncultural factors that have impact on those process. From the

    synthesis of two analyses came the conclusion at first the formation of archaeological data influenced by Noncultural

    transform, but further because it is located in the shallow sea and the existence of human activity due to the

    economic value of the environment and shipwreck itself, the cultural transformation factor also contributes to the role.

    (Mochammad Fauzi Hendrawan) Keywords: Bawean; shipwreck; steamship; underwater archaeology; transformation

    DDC 720.1 Nenggih Susilowati (Balai Arkeologi Sumatera Utara) ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK SHELTER IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, page 135—150 Nagari Situmbuk, Salimpaung Subdistrict, Tanah Datar

    District, West Sumatra Province has naturally interesting caves and rock shelters, and their existence is also related to past and present human activities. The caves and rock shelters in the Situmbuk area are partly related to human

    activities that use them as temporary dwellings.Its existence is also related to human activities that utilize the surrounding environment as rice fields, plantations and

    tropical forests. The problem raised is how is the form of human activity related to the use of caves and rock shelters in Nagari Situmbuk in the past? Why is there a difference in the use of caves and rock shelters there? The

    method used in this research is qualitative using inductive reasoning flow by observing the unit and its context. The caves and rock shelters which have indications of being

    used by people with different cultures are Ngalau Guong, Ngalau Tompok Syohiah I, and Ngalau Muaro. The use of Ngalau Guong is related to hunting life and simple farming so that it still utilizes caves / rock shelters there as

    temporary dwellings. Ngalau Tompok Syohiah I is related to the development of Pre-Islamic culture (megalithic tradition which is marked by the presence of menhirs and pseudo graves), Islam, until now which is implied through

    symbols on the walls of the cave. The tradition that takes place in the cave is also related to agricultural activities that have been carried out intensely. Then Ngalau Muaro,

    this relates to plantation activities that took place around the 18th century to the 19th.

    (Nenggih Susilowati) Keywords: activity; hunting; megalithic traditions; shelter;

    agriculture

    DDC 959.8 Stanov Purnawibowo and Andri Restiyadi (Balai Arkeologi Sumatera Utara)

  • ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL

    MODIFICATION AND VARIATION, MEDAN CITY, NORTH SUMATERA PROVINCE Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, page 151—164 Maimun Palace is one of the iconic cultural heritage buildings in Medan City, North Sumatra Province. It has a

    unique blend of Malay and colonial styles. The subject in this article deals with the building foundations of the Maimun Palace. The foundation part has a crucial role in a building, but it is rarely used as a research topic. The

    issues raised in this paper relate to the structure, composition, and function of the foundation. The purpose of writing this article besides answering the problem is also expected to be able to increase architectural treasury,

    especially regarding the style of building foundations that have a blend of traditional Malay and Colonial styles. Through descriptive-analytical research, the conclusion

    obtained from this study is that there are three kinds of building foundations that adjust to the function of supporting the buildings above which consist of one, two and three levels of the building.

    (Stanov Purnawibowo and Andri Restiyadi) Keywords: Istana Maimun; building foundation; Islamic archeology, architecture

    DDC 303.69 Syahrul Rahmat (STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau)

    CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, page 165—180 As one of the traditional buildings in Minangkabau, the mosque built before the 20th century is unique in term of

    the building shape. Customary leaders have a major role in the mosque construction, especially in Tanah Datar District, West Sumatra. The customary embodiment as

    community's culture also influences the meaning of every part of the mosque building. This indicates that at a certain time, customs and Islam had a quite intense interaction to leave a mark on the building architecture. The research

    conducted using a historical research method. This research aimed to discover the interaction of custom and religion in term of mosque building built in the early of 18th and 20th century. The interaction between custom

    and Islam are analyzed in form of physical, meaning, and idea.

    (Syahrul Rahmat) Keywords: Islam; custom; building; ancient mosque

  • KATA PENGANTAR

    Pada bulan November 2019 Balai Arkeologi Sumatera Utara menerbitkan Berkala

    Arkeologi Sangkakala Volume 22 Nomor 2. Materi yang diterbitkan ini meliputi kajian arkeologi prasejarah, arkeologi maritim, arkeologi Islam-Kolonial, sejarah, dan epigrafi Artikel pertama diawali tulisan Dedy Satria yang berjudul Batu Nisan Lamreh Tipe Plangpleng. Bentuk motif lokal maupun asing dari latar belakang kebudayaan dan sistem kepercayaan yang berbeda menjadi cermin satu masyarakat campuran di awal perkembangan Islam di Aceh Besar dan Banda Aceh. Batu nisan ini menjadi penanda yang sangat penting sebagai bukti awal kehadiran masyarakat muslim di sepanjang pesisir Aceh Besar dan Banda Aceh.

    Artikel kedua ditulis oleh Mochammad Fauzi Hendrawan dengan judul Proses Pembentukan Data Arkeologi pada Kapal Karam di Pulau Nusa Kepulauan Bawean. Pada

    artikel tersebut Hendrawan membahas mengenai proses yang melatarbelakangi kondisi salah satu kapal karam di Pulau Nusa Kepulauan Bawean hingga terdeposit seperti sekarang. Analisis yang dipakai yaitu analisis lingkungan dan analisis kontekstual. Artikel ketiga berjudul “Aktivitas “Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar- Sumatera Barat” ditulis oleh Nenggih Susilowati. Gua dan ceruk yang terdapat di kawasan Situmbuk sebagian berkaitan dengan aktivitas manusia yang memanfaatkannya sebagai hunian serta memanfaatkan lingkungan sekitarnya sebagai areal persawahan perkebunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gua dan ceruk ini memiliki indikasi dimanfaatkan orang-orang dengan budaya yang berbeda pada abad ke 18-19 M.

    Artikel selanjutnya berjudul Modifikasi Tanah dan Variasi Pondasi Bangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara ditulis oleh Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi. Melalui penelitian yang bersifat deskriptif analitis, kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah terdapat tiga macam pondasi bangunan Istana Maimun yang menyesuaikan dengan fungsinya untuk menopang bangunan di atasnya terdiri dari 3 tingkat bangunan. Artikel terakhir berjudul “Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar” yang ditulis oleh Syahrul Rahmat. Menurut Rahmat, perwujudan adat sebagai salah satu kebudayaan masyarakat, ikut mempengaruhi makna dari setiap bagian yang ada pada bangunan masjid kuno di Tanah Datar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa suatu masa tertentu, adat dan Islam memiliki interaksi yang cukup intens sehingga meninggalkan jejak pada arsitektur bangunan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sejarah.

    Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para mitra bestari yaitu Prof. Dr. M. Dien Majid (UIN Syarif Hidayatullah), Prof. (Ris). Dr. Truman Simanjuntak (Centre for Prehistoric and Austronesian Studies), Dr. Titi Surti Nastiti (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dan Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak (Universitas Negeri Medan) sebagai mitra bestari; Bambang Drs. Budi Oetomo (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia), dan Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara) sebagai editor tamu yang telah berkontribusi dalam melakukan penelaahan artikel dalam penyusunan sangkakala berkala arkeologi ini sehingga menjadi karya ilmiah yang lebih baik.Demikian disampaikan sebagai pengantar, semoga karya ilmiah dalam Berkala Arkeologi Sangkakala ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang sejarah budaya di sumatera bagian utara. Kritik dan saran dapat dikirimkan melalui surat elektronik ke alamat [email protected].

    Medan, November 2019 Dewan Redaksi

  • https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/ P-ISSN: 1410-3974; E-ISSN: 2580-8907

    Berkala Arkeologi

    SANGKHAKALA Vol. 22 No. 2 2019, 65-80 10.24832/bas.v22i1.407

    Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ (Dedy Satria)

    65

    BATU NISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’

    ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE

    Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit: 15-05-2019 13-07-2019 07-08-2019

    Dedy Satria

    Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh-Sumut [email protected]

    Abstract Plangpleng type tombstone is a very distinctive shape. Sculpture style is the main characteristic of this type of tombstone. That makes it different from other tombstones in Lamreh. Forms of local and foreign motifs from different cultural backgrounds and belief systems. This is a character that reflects a 'mixed' society at the beginning of the development of Islam in Aceh Besar and Banda Aceh. This tombstone is a very important marker as the initial evidence of the presence of Muslim communities along the coast of Aceh Besar and Banda Aceh. As an art object, it has been a human work of the past, and is evidence of the culmination of the achievement of cultural development in an ancient society in Aceh Besar known as the 'Lamuri community’. Keywords: Nisan Plangpleng; Lamuri; Islamic Archaeology; Aceh

    Abstrak

    Jenis batu nisan tipe plangpleng merupakan bentuk yang sangat khas. Gaya seni pahat menjadi ciri utama jenis batu nisan ini. Hal itu menjadikannya berbeda dengan batu nisan lainnya di Lamreh. Bentuk motif lokal maupun asing dari latar belakang kebudayaan dan sistem kepercayaan yang berbeda. Hal ini menjadi karakter yang mencerminkan satu masyarakat ‘campuran’ di awal perkembangan Islam di Aceh Besar dan Banda Aceh. Batu nisan ini menjadi penanda yang sangat penting sebagai bukti awal kehadiran masyarakat Muslim di sepanjang pesisir Aceh Besar dan Banda Aceh. Sebagai benda seni ia menjadi karya cipta manusia dari masa lampau, serta menjadi bukti puncak pencapaian perkembangan kebudayaan dalam suatu masyarakat kuno di Aceh Besar yang dikenal sebagai ‘masyarakat Lamuri’. Kata Kunci: Nisan Plangpleng; Lamuri; arkeologi Islam; Aceh

    PENDAHULUAN

    Secara kuantitas batu nisan yang ditemukan di Bukit Lamreh – Ujong Bate Kapal adalah data arkeologis terbanyak yang ditemukan di situs ini. Lokasi berada di Kampung Lamreh, Kecamatan (Mukim) Mesjid Raya, Aceh Besar dengan titik koordinat lintang 5° 35’ – 5° 36’ dan bujur timur 95° 31’ – 95° 32’. Lebih dari 200 buah batu nisan yang telah berhasil dikumpulkan dalam survei dan pemetaan batu nisan di situs/tapak Lamreh. Hal ini diperoleh dari penelitian kerjasama tahun 2014 antara Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dengan Universitas Sumatera Utara Medan dan University Saint of Malaysia (USM), serta melibatkan peneliti arkeologi Aceh dan lembaga swadaya

    masyarakat (MAPESA Banda Aceh dan CISAH Aceh Utara – Lhok Seumawe). Sementara penelitian lain juga dilakukan berupa Kajian Zonasi Kawasan Lamreh Tahun 2016 yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh. Data ini juga perlu ditambahkan dengan belasan batu nisan yang diamankan dan menjadi koleksi Museum Aceh, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, dan peneliti secara individu atau kerjasama lembaga swadaya masyarakat (MAPESA Banda Aceh dan CISAH Aceh Utara – Lhok Seumawe).

    Berdasarkan hasil kedua kajian tersebut diketahui hanya 100 buah batu nisan yang ditemukan dalam keadaan utuh dan masih pada lokasi awalnya, walaupun

    https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/index.php/SBAhttps://sangkhakala.kemdikbud.go.id/index.php/SBAhttps://sangkhakala.kemdikbud.go.id/index.php/SBA/article/view/407

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 66

    sebagian besar telah tercabut dari tanah atau rebah di lokasi makam awalnya. Lebih dari 100 buah batu nisan lainnya berupa pecahan yang berserakan dan tidak diketahui lagi lokasi asalnya. Jumlah seluruh batu nisan tersebut kurang dari setengahnya mengandung inskripsi. Setengah dari inskripsi tersebut menyebut nama atau gelar tokoh dan keterangan tahun kematiannya. Sebagian lainnya berupa batu nisan polos atau mengandung berbagai ragam bentuk motif dengan gaya yang khas.

    Melalui batu nisan berinskripsi inilah dapat digambarkan dengan sangat terbatas keadaan masa lampau di Bukit Lamreh, Ujong Bate Kapal ini. Khususnya pengamatan terhadap perkembangan seni pahat batu nisan dapat diikuti secara seksama dengan penyusunan tipologi berdasarkan gaya bentuk batu nisan secara kronologis setidaknya dapat disusun dengan lebih rinci dan akurat.

    Jenis batu nisan ini merupakan salah satu dari banyak jenis batu nisan di Aceh yang cukup bervariasi dalam hal bentuk dan gaya seni pahatnya. Studi batu nisan di Aceh telah dilakukan dengan sangat rinci oleh Hasan M. Ambary (1996) dan Othman M. Yatim (1988). Hasan M. Ambary mengelompokkan batu nisan di Aceh dalam salah satu jenis tipe batu nisan dalam sistem tipologi batu nisan Muslim di Nusantara dan membedakan jenis-jenis batu nisan dari periode Kesultanan Samudera – Pasai dan periode Kesultanan Aceh, sementara Othman M. Yatim dengan lebih rinci mengelompokkan tipe batu nisan Aceh dalam korpus ‘Batu Aceh’ dalam empat periode atau fase perkembangan dari periode Kesultanan Samudera – Pasai hingga periode akhir Kesultanan Aceh.

    Namun dari kajian kedua pakar batu nisan di Aceh tersebut, tidak (belum) menyentuh satu kelompok batu nisan yang cukup khas dari Kawasan Bukit Lamreh yang cukup beragam dalam hal bentuk dan jenis motifnya. Salah satu tipenya dikenal sebagai batu nisan tipe plangpleng. Othman M. Yatim sebenarnya menyebut jenis batu nisan tipe plangpleng (yang disebutnya sebagai plakpling) di

    Kampung Pande, Banda Aceh. Namun ia tidak membicarakannya lebih mendalam dalam kajiannya (Yatim and Nasir 1990). Sebenarnya batu nisan ini juga ditemukan di kawasan Lembah Sungai Aceh dan sekitas pesisir Banda Aceh, seperti Kampung Ilie, Lamteh, Pango, Neusu, dan kampung terdekat di Kuala Aceh (Yatim and Nasir 1990, 23; Satria 2014, 1–48; 2016, 1–27).

    Fase baru dalam penelitian dan pengkajian batu nisan di Aceh khususnya untuk jenis batu nisan tipe plangpleng mulai dilakukan oleh Suwedi Montana dengan merinci bentuk batu nisan itu sebagai jenis batu nisan berbentuk piramidal. Tipe batu nisan ini berdasarkan teks inskripsi yang dipahatkan pada batu nisan telah dibuat paling awal pada abad ke-13 M. dan abad ke-14 M. hingga abad ke-15 M (Montana 1997, 85–95). Cloude Guillot dan Ludvic Kalus yang melanjutkan pengkajian batu nisan berbentuk piramidal ini mempertanyakan sistem kronologis batu nisan yang disusun oleh Suwedi Montana. Namun hasil kajian epigarafis membuktikan bahwa jenis batu nisan ini dibuat paling awal pada pertengahan akhir abad ke-14 M. dan sepanjang abad ke-15 M (Guillot 2008, 326–36).

    Suprayitno (2011, 125–27) yang memperkaya kajian tentang batu nisan dari kawasan Bukit Lamreh berhasil membaca teks inskripsi dari sebuah batu nisan berangka tahun dari awal abad ke-11 M. Walau masih diragukan, namun belum ada yang membantah kebenaran hasil pembacaan tersebut dalam kajian-kajian ilmiah. Lagipula jenis batu nisan yang diamatinya bukan jenis batu nisan tipe plangpleng yang menjadi objek utama dalam penulisan ini.

    Batu nisan tipe plangpleng merupakan salah satu jenis batu nisan di Lamreh. Hasil observasi menunjukkan bahwa gaya rancangan bentuk motif batu nisan tipe plangpleng secara umum sama. Namun bila diamati lebih teliti, sebenarnya batu nisan ini cukup beragam dalam jenis bentuk motif hiasannya. Dengan demikian sebagai benda budaya seni pahat batu dari jenis batu nisan ini mengalami perkembangan yang cukup berarti.

  • Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ (Dedy Satria)

    67

    Dalam observasi dikatahui ada dua kelompok batu nisan tipe plangpleng yang memiliki gaya rancangan bentuk motif yang cukup mencolok dan memiliki perbedaan yang sangat berarti. Perubahan-perubahan bentuk motif melalui transformasi, baik lokal atau peminjaman dari luar (asing) menjadi perhatian penting dalam pengamatan ini. Berbagai jenis elemen bentuk motif yang digunakan pada masing-masing kelompok batu nisan mencerminkan latar belakang budaya dan sistem kepercayaan yang berbeda. Hal itu terjadi pada saat awal Islam masuk dan diterima sebagai sistem kepercayaan yang baru.

    Kedua kelompok batu nisan tipe plangpleng itu merupakan hasil perkembangan yang mengikuti waktu. Secara kronologis perkembangan tersebut terjadi bersamaan dengan perkembangan masyarakat pembuat dan penggunanya. Hal ini semua menjadi dasar dan tolok ukur untuk mamahami perkembangan peradaban manusia penghuni lokasi ini di masa lampau.

    Batu nisan yang ada di kawasan Bukit Lamreh ini telah diketahui sebagai peninggalan dari masyarakat muslim awal di pesisir Aceh Besar. Dengan demikian perkembangan dan keberagaman gaya rancangan bentuk motif pada batu nisan menjadi salah satu bahan untuk mengetahui sejarah perkembangan kebudayaan. Yaitu suatu masyarakat yang telah menjadi mapan dalam segala aspek kehidupannya, khususnya dalam sistem kepercayaan (religi), sistem sosial-politik, seni, teknologi, dan ekonomi.

    Berbagai jenis bentuk motif serta gaya seni pahat pada batu nisan plangpleng menjadi permasalahan yang cukup menarik untuk diamati di sini. Pembentukan dan perubahan bentuk motif baik lokal maupun asing menghasilkan bentuk-bentuk yang bersifat baru. Warisan kebudayaan Islam ini tidak mungkin terjadi bila masyarakatnya tidak melakukan hubungan dengan masyarakat pendatang (asing). Dengan demikian bentuk motif dan gaya seni pahat yang berkembang juga banyak dipengaruhi oleh pengaruh

    kebudayaan dari luar, terutama kebudayaan Islam.

    Tulisan ini bertujuan untuk mengenal dan memahami berbagai jenis bentuk motif serta gaya seni pahat pada batu nisan plangpleng. Perubahan bentuk motif baik lokal maupun asing sehingga menghasilkan bentuk-bentuk yang bersifat baru, namun tetap bercorakkan warisan kebudayaan Islam lokal yang mapan.

    Batu nisan plangpleng sebagai warisan kebudayaan Islam diamati untuk memahami pembentukan awal masyarakat muslim di pesisir Aceh Besar dan Banda Aceh yaitu sebagai masyarakat yang terbentuk melalui hubungan dan percampuran masyarakat lokal dengan pendatang (asing). Suatu kelompok masyarakat dengan perkembangan kebudayaan baru yang dilandasi oleh hukum Islam.

    METODE

    Data yang digunakan di sini yaitu data selektif berupa batu nisan dengan jenis tertentu dengan kemiripan yang relatif sama secara morfologis. Yaitu meliputi rancangan bentuk batu nisan dan gaya bentuk motif, serta ragam tema motif dan teks inskripsi dalam kaligrafi Islam. Seperti telah disebut di atas, bentuk motif merupakan hal yang sangat menarik untuk dipahami dalam tulisan ini. Pengamatan ditujukan untuk melihat perubahan-perubahan bentuk motif, baik lokal atau peminjaman dari luar (asing), melalui perubahan bentuk (transformasi) sehingga menghasilkan bentuk baru yang bersifat ‘campuran’. Ini dilakukan untuk memahami hubungan masyarakat lokal yang bukan Islam dengan para pendatang baik orang yang bukan Islam maupun orang Islami sendiri.

    Kaligrafi Islam sebagai hasil kebudayaan Islam yang khas dalam bentuk teks inskripsi juga perlu diamati di sini. Penyusunan sistem kronologis berdasarkan keterangan waktu kematian tokoh-tokoh yang dimakamkan dapat membantu mengetahui dan memahami gaya rancangan bentuk motif pada batu

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 68

    nisan tipe plangpleng yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

    Pengamatan pada jenis batuan sebagai bahan baku juga menjadi perhatian di sini, walau pun dalam kesempatan ini dilakukan hanya sekilas. Khususnya terhadap karakter batuan dengan tekstur dan kekerasan tertentu. Hal ini perlu dilakukan karena pemilihan jenis batuan sebagai salah satu penentu dan sangat mempengaruhi hasil dari bentuk rancangan dan hasil gaya seni pahat batu.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Batu Nisan Tipe ‘Plangpleng’ di Lamreh

    Terminologi batu nisan

    plangpleng, juga dikenal dengan dialeg

    berbeda sebagai ‘Plakpling’ atau

    ‘Pelakpling’. Berdasarkan fonologi berasal

    dari bahasa Aceh ‘plangpleng’ yang berarti

    belang-belang atau mengandung berbagai

    macam corak hiasan untuk jenis-jenis

    motif (Abu Bakar et al. 2001, 729).

    Penamaan ini sesuai dengan corak hiasan

    dengan teknik pahat dalam (bas relief)

    yang menutupi seluruh permukaan tiang

    balok batu (pilar) kerucut (piramidal) baik

    di keempat sisi maupun pada kempat

    sudut batu nisannya. Hasil seni pahat

    menghasilkan efek fisual bentuk yang

    sangat khas dengan garis-garis tebal dan

    dalam bahkan membentuk rongga yang

    tembus. Ukuran jenis batu nisannya pun

    relatif hampir sama dengan tinggi

    maksimal 87 cm, lebar 27 cm hingga 23

    cm.

    Secara morfologis, batu nisan

    tipe plangpleng sangat berbeda dengan

    jenis dan tipe batu nisan Lamreh lainnya.

    Yaitu jenis tipe balok batu pilar – slap

    dengan mahkota kubah (doom) dan/atau

    stupa, tipe balok batu pilar – slap miniatur

    kuil Hindu atau candi, dan tipe balok batu

    slap dengan berbagai variasi lengkung

    untuk bagian puncaknya. Selain itu juga

    ditemukan jenis batu nisan yang sering

    ditemukan di Aceh Utara dan Lhok

    Seumawe, yaitu tipe batu ‘Pasai’, dan jenis

    ‘Batu Aceh’.

    Persebaran Batu Nisan di Lamreh

    Persebaran batu nisan di Lamreh

    meliputi lokasi yang luas terutama pada

    bagian tepi Tanjung Ujong Bate Kapal, dari

    Kuala Lubok di lingkungan Benteng – Kuta

    Lubok sebagai lokasi II, punggung pukit

    dekat lereng terjal pada bukit sebelah

    timur – yaitu meliputi lokasi I atau teras

    bukit I dengan struktur besar dan

    berhubungan dengan dua bukit kecil, teras

    bukit II sebagai lokasi III, teras bikit III

    sebagai lokasi IV - , Lhok Cut, hingga bukit

    utara di lingkungan Benteng – Kuta Inong

    Bale sebagai lokasi V serta bukit barat

    dekat Teluk Krueng Raya sebagai lokasi

    VI.

    Batu nisan sebagai penanda

    makam ditemukan dalam kelompok

    makam atau pemakaman bersama yang

    ditata saling berdekatan. Beberapa makam

    ditemukan di bagian punggung bukit yang

    relatif datar atau lereng bukit yang landai.

    Lokasi pemakaman biasanya golongan

    sosial tertentu, dilengkapi dengan struktur

    dari bongkahan batu tanpa perekat semen

    sebagai teras dan pembatas areal

    pemakaman bersama dengan dua hingga

    tujuh makam atau lebih.

    Table 1. Enam lokasi pengamatan survei

    Lokasi Nomor

    Teras di bukit timur, dengan struktur besar dan berhubungan dengan dua bukit kecil, serta bagian lereng bukit yang terjal

    Lokasi 1

    Kuala Lubok di lingkungan Benteng-Kuta Lubok

    Lokasi 2

    Teras II bukit timur, di bawah (sisi utara) teras II bukit timur dan berbatasan dengan tebing

    Lokasi 3

    Teras III bukit timur, di bawah (sisi utara) teras II bukit timur dan berbatasan dengan tebing

    Lokasi 4

    Bukit utara di lingkungan Benteng-Kuta Lokasi 5

  • Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ (Dedy Satria)

    69

    Inong Bale meliputi Lhok Cut, lembah sempit

    Bukit dekat Teluk Krueng Raya Lokasi 6

    Nisan Berinskripsi

    Penulis bersama tim Muhammad Taqiyuddin, MAPESA Banda Aceh dan CISAH Lhok Seumawe – Aceh Utara sempat mengikuti perkembangan penemuan kembali batu nisan di kawasan arkeologi Bukit Lamreh ini pada tahun 2012-2014. Batu nisan mengandung teks inskripsi menjadi tujuan utama ekspedisi mencari jejak Lamuri ini selain jenis-jenis atau keragaman temuan kepurbakalaan di tempat ini.

    Tujuan survei dan pengamatan berangkat dari dan dititikberatkan untuk mencari dan menemukan serta mengkaji kembali beberapa batu nisan dari Bukit Lamreh yang telah dikaji dan dipublikasikan secara luas oleh Suwedi Montana (1997), Cloude Guillot (2008), dan Suprayitno (2011). Pertama, hasil pengamatan dan ditemukan kembali batu nisan dengan teks inskripsi memuat nama tokoh bergelar Sultan (?) yang memerintah pada transisi abad ke-13 M. tahun 680 Hijriah atau 1211 M. sebagai penguasa Islam tertua di Sumatera dan Nusantara (Montana 1997, 85–95). Batu nisan yang dimaksud tidak ditemukan dalam survei ini.

    Kedua, hasil pengamatan dan ditemukan kembali batu nisan dengan teks

    inskripsi mengandung tahun kematian almarhum yang berasal dari 398 Hijrah atau 1008 M., abad ke-5 Hijrah atau abad ke-11 M (Suprayitno 2011). Batu nisan ini, batu nisan tipe slap (serupa tipe batu nisan ‘Pasai’) – dan bukan tipe plangpleng, ditemukan dalam survei berada di lokasi I dan melalui pembacaan ulang oleh Taqiyuddin Muhammad diketahui batu nisan tidak menyebut nama tokoh dan berangka tahun 839 Hijrah atau 1439 M., pertengahan awal abad ke-15 M. Saat ini batu nisan dimaksud disimpan dalam labolatorium Jurusan Sejarah Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

    Dalam survei ini juga ditemukan secara sporadis beberapa batu nisan dengan teks inskripsi yang dipahatkan pada batu nisan dan tanpa memberikan catatan khusus terhadap keberagaman bentuk batu nisan. Tipe batu nisan dengan gaya seni pahat, meliputi rancangan bentuk batu nisan dan gaya bentuk motif seni pahat batu nisan, serta gaya penulisan teks inskripsi atau kaligrafi Islam (khat) tertentu, dicatat dengan sekilas dan belum dilakukan klasifikasi dengan sistematis untuk menyusun tipologi yang bersifat kronologis. Pahatan teks inskripsi memuat nama tokoh dengan keterangan waktu wafat sebagai sumber primer untuk penyusunan sejarah Aceh dari periode sebelum Kesultanan Aceh Darussalam.

    Table 2. Nama gelar tokoh dengan atau tanpa keterangan angka tahun

    (hasil pembacaan Muhammad Taquyuddin tahun 2012-2014)

    No. Batu Nisan Penanggalan

    KELOMPOK I Hijrah Masehi

    1. ‘Malik Syamsuddin’ Wafat 822 H 1419 M

    2. ‘Malik Alawaddin’ Wafat 822 H 1419 M

    3. ‘Amir Qara Khadijah’ Wafat 816 H 1419 M

    4. Syaihk Zainuddin - -

    5. ‘Sirajul Mulk - -

    6. Abd adh dha’if Abd ar Rahim - -

    KELOMPOK II Hijrah Masehi

    7. ‘Maulana Kadhi Sadr al Islam Isma’il’ Wafat 852 H 1449 M

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 70

    8. ‘Sultan Muhammad bin Awaluddin’ Wafat 834 H 1431 M

    9. ‘Malik Nizar bin Zaid’ Wafat 837 H 1434 M

    10. ‘Malik Zaid’ Wafat 840 H 1437 M

    11. ‘Malik Jawaduddin’ Wafat 842 H 1439 M

    12. ‘Malik Zainal Abidin’ Wafat 845 H 1442 M

    13. ‘Malik Muhammad Syah Wafat 848 H 1444 M

    14. ‘Abd adhdha’if ’Nina Muhajirin’ - -

    15. ‘Abd adh dha’if Mu’adz’ - -

    16 Abd adh dha’if Muzhiruddin’ - -

    Melalui daftar di atas dapat dipahami ada dua periodesasi atau dua kelompok batu nisan dalam sistem kronologis batu nisan Lamreh tipe plangpleng. Pertama, kelompok batu nisan dari dekade kedua abad ke-15 M. yaitu tahun 1414 dan 1419 M. dengan jumlah pertanggalan yang masih jarang dengan tiga batu nisan berangka tahun. Kedua, kelompok batu nisan dari pertengahan awal abad ke-15 M. meliputi tahun 1431 hingga 1449 M. dalam jumlah relatif lebih banyak dengan enam di antaranya berangka tahun. Dengan demikian dapat dipahami di sini dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun pada masa transisi akhir abad ke-14 M. hingga pertengahan awal abad ke-15 M, yaitu paling awal antara tahun 1380-an M. hingga 1450 M., ada dua generasi yang telah memeluk Islam dan menjadi penguasa Islam di tempat ini di masa lampau. Kedua generasi tersebut merupakan anggota golongan atas dari istana dunia Islam yang khas dalam sistem hukum – syariah Islam dengan lembaga kesultanan dan lembaga hukum syariah ‘Sadr al Islam’ atau ‘qadhi’.

    Teks inskripsi menjelaskan gelar-gelar kehormatan dalam dunia Islam yang menunjukkan bukti adanya sistem kenegaraan dengan dasar hukum syariah Islam yang mapan. Gelar sultan untuk jabatan penguasa tertinggi atau raja; gelar ‘qadhi sadr al Islam’ jelas sebagai seorang ulama fikih atau hukum Islam menjadi hakim dan penasehat penguasa dan masyarakat muslim; dan sekelompok orang bergelar ‘malik’ yang dalam tradisi negara Islam merupakan gelar untuk para pejabat atau anggota dewan islana,

    sebagai raja mereka menjadi pejabat yang mengurus berbagai urusan. Dengan demikian jenis dan gaya seni pahat batu nisan tipe plangpleng dibuat dan digunakan khusus untuk golongan (dewan) istana sebagai bentuk formal penanda makam tokoh-tokoh kehormatan.

    Tema Bentuk Motif

    Jenis bentuk motif atau tema motif sebagai elemen hiasan pada batu nisan Lamreh tipe plangpleng cukup banyak dan beragam. Tema motif jenis-jenis bunga atau floral termasuk bentuk motif paling sering muncul pada batu nisan tipe plangpleng. Khususnya, bunga teratai dengan berbagai penggambarannya, berkelopak lima serupa jari dan dengan delapan kelopak yang berujung tajam atau kelopak lebar gaya pre-Gupta, India. Bunga teratai merupakan suatu bentuk motif yang paling jelas menggambarkan adanya unsur gaya seni pahat India dengan latar belakang kepercayaan dan budaya Hindu atau Buddha pada jenis batu nisan ini. Tema motif bunga atau sulur, tanaman menjalar, sebenarnya cukup beragam, namun belum dapat dikenal dengan baik, tetapi nampaknya berasal dari tema floral lokal yang banyak jenisnya di tempat ini. Seperti bunga berkelopak empat berukuran kecil yang penggambarannya serupa bunga melu atau melati dan/atau bunga cendana.

    Suluran dengan tangkai lalu daun atau bunga lebar dan berat sering ditemukan serangkai dengan pola anyaman tali berkembang untuk menggayakan bentuk lentera gantung. Tema motif ini sangat dikenal dalam

  • Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ (Dedy Satria)

    71

    kesenian dunia Islam dan dikenal sebagai motif arabesque dalam pola anyaman berkembang. Atau tema motif geometrik pola bintang dan lentera gantung yang bentuknya digayakan dari pola anyaman berkembang sebagai ciri lain kesenian dunia Islam yang khas selain kaligrafi Islam untuk teks inskripsi.

    Tema bentuk motif lain dan khas berupa penggayaan dari huruf S atau C dengan ujung bergulung membentuk spiral sering muncul dengan berbagai penggambaran, biasanya ada sepasang huruf yang ditata saling berlawanan. Tema bentuk motif ini cukup dikenal dalam kesenian kuno Asia Tenggara dan kepulauan (Al-Faruqi and Al-Faruqi 2003, 411–13; Lambourn 2004, 211–48). Beberapa monumen batu besar (megalitik) dan benda-benda dari perunggu gaya Dongson dihias dengan tema motif tersebut.

    Bentuk motif ini merupakan satu petunjuk penting mengenai kehadiran kesenian lokal atau Asia Tenggara dan kepulauan. Sepasang huruf S berlawanan arah dengan teknik penggayaan atau styler membentuk figur wajah manusia yang disamarkan dengan penggambaran mata besar dan hidung besar, serta misai (kumis) lebar. Tema bentuk motif ini dikenal dengan motif antropomorfik hanya ditemukan untuk kelompok batu nisan Lamreh plangpleng. Walau belum dapat dipastikan, awal kehadiran bentuk motif antropomorfik merupakan penggambaran dari perwujudan figur ‘wajah leluhur’ (?). Namun ini menjadi bukti tradisi kesenian Asia Tenggara awal kehadirannya pada batu nisan ini. Figur lain seperti ‘manusia’ disusun secara vertikal (bertingkat) pada bagian sudut batu nisan lain yang khas ditemukan dari tradisi megalitik. Motif ini menjadi satu bukti penting latar belakang kebudayaan dan sistem kepercayaan masyarakat kuno di Aceh Besar dan Banda Aceh sebelum beralih menjadi Islam.

    Bentuk batu nisan Lamreh tipe plangpleng berupa miniatur tugu dengan bagian yang mengerucut mengingatkan pada bentuk ‘kuil menara’ Hindu bergaya Dravidian yang dikenal dalam arsitektur

    sebagai transformasi Shikara. Mungkin sekali bentuk ‘kuil menara’ Hindu ini menjadi gagasan awal untuk rancangan bentuk dasar dari batu nisan ini. Bila ini benar, maka ini menjadi bukti lain pengaruh kesenian Asia Selatan pada jenis batu nisan ini. Keempat sisi batu nisan dan bahkan pada keempat sudut batu nisan dipenuhi permukaannya dengan berbagai tema bentuk motif. Bentuk tema motif figur yang digayakan bentuknya membentuk sosok wajah manusia, sebagai motif antropomorfik, walau tidak selalu ada, juga mengingatkan pada bentuk motif kala yang dipahatkan pada bagian atas pintu atau relung dan bagian atas kuil-kuil Hindu.

    Teknik pahat batu dengan teknik pahat dalam (bas relief), menghasilkan bentuk timbul dari garis-garis lebar dan berat yang dalam satu teknik pahat serupa dengan yang digunakan untuk membuat patung. Teknik pahat dalam ini menjadi bukti lain gaya seni pahat batu untuk relief timbul yang sudah mapan di kawasan Asia Selatan, khususnya gaya seni pahat India Selatan atau dari kawasan Tamil Nadu. Teknik pahat dangkal berupa goresan halus untuk rincian bentuk motif isi juga ditemukan. Namun tema dan bentuk motif yang dihadirkan tetap sama.

    Perlu untuk disebutkan di sini, dalam survei lepas yang dilakukan tahun 2013 di lokasi II teras bukit II ditemukan altar batu dengan hiasan singa yang diketahui berasal dari tradisi seni pahat batu dari India Selatan Tamil. Gaya motif singa dalam panil dan goresan halus kelopak bunga teratai pada altar batu ini mirip dengan seni pahat kuil-kuil Hindu Tamil di kota Quanzhou Fujian dari abad ke-13 M. (tulisan tentang ini dalam proses penerbitan dalam Buletin Arabes, Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh tahun 2019 (lihat Lee 2009, 279–80). Bukti ini menjadi satu-satunya yang menghubungkan gaya seni pahat Tamil pada batu nisan Lamreh tipe plangpleng.

    Bahan Baku Batuan

    Jenis bahan batuan yang digunakan cukup bervariasi dan secara umum berupa jenis batuan dentritik atau

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 72

    batuan sedimen dengan tekstur dan butiran halus dan seragam berwarna cerah dari kekuningan atau krem, kecoklatan hingga keabuan. Jenis lain bertekstur dan butiran kasar dan seragam berwarna gelap keabuan. Kandungan batuan berupa tuffa atau debu gunung berapi yang terendapkan sehingga kekerasan batuannya termasuk jenis batuan sedang dengan kekerasan 5 hingga 7 skala Mosh. Kedua jenis batuan ini lebih sering digunakan sebagai bahan baku batu nisan dari pada jenis batuan lainnya. Khusus untuk jenis batu nisan Lamreh tipe plangpleng jenis batuan dentritik tekstur halus lebih dipilih sebagai bahan batuan dari pada jenis batuan dentritik tekstur kasar. Jenis batuan lain berupa batuan pasir metamorfik dengan tekstur dan butiran kasar seragam mengandung kuarsa berwarna cerah dari kekuningan hingga kecoklatan. Bahan baku batuan lainnya yang juga digunakan yaitu jenis batuan beku luar yang keras atau andesitik berwarna gelap abu-abu. Untuk dua jenis batuan terakhir, jarang digunakan untuk bahan baku batu nisan karena termasuk jenis batuan keras dengan kekerasan lebih dari 6 hingga 7 skala Mosh.

    Selain jenis-jenis batuan tersebut ada pula batu nisan yang dibuat dengan bahan batuan tuffa yang lunak berwarna cerah putih serta bertekstur dan butiran seragam dengan kekerasan kurang dari 5 Mosh. Jenis-jenis batuan tersebut termasuk jenis batuan lokal yang dikenal sebagai formasi batuan Seulimum yang membentang dari timur hingga ke barat Pantai Aceh Besar.

    Keberagaman jenis bahan batuan untuk bahan baku batu nisan cukup menarik untuk diamati, karena tidak ada pembatasan dalam pemilihan jenis dan mutu batu nisan. Walaupun demikian untuk jenis batu nisan dentritik lebih sering digunakan. Tekstur batuan dentritik kasar atau halus memberikan kesan yang berbeda dalam hasil gaya seni pahat batu. Batuan bertekstur halus memungkinkan pemahat untuk membentuk motif yang lebih rinci dalam pengerjaan akhir.

    Garis-garis lurus atau melengkung yang dihasilkan lebih bagus

    dan sempurna, walaupun tebal dan terkesan berat. Pemahat dapat dengan lebih mudah membuat berbagai jenis bentuk motif yang rumit. Seperti bentuk motif berbagai jenis bunga dan dedaunan atau floral, motif arabesque dengan pola anyam berkembang, lentera gantung, atau bentuk geometrik pola bintang, bahkan untuk teks inskripsi dengan rincian bentuk yang rumit. Teknik pahat dalam atau bas relief menghadirkan nuansa permukaan batu nisan yang tidak datar, berkontur dan terkesan multi dimensi.

    Sementara untuk jenis batuan sedimen dentritik bertekstur kasar hal tersebut tidak ditemukan, bentuk motif terkesan kurang lentur dengan garis-garis pendek yang kaku, tebal dan berat, serta dalam. Keahlian dan kemahiran pemahat sangat terukur dari kedua jenis batuan sedimen dentritik tersebut. Secara kronologis, berdasarkan teks inskripsi penggunaan kedua jenis bahan batuan sedimen dentritik tersebut agaknya berlangsung dalam waktu yang bersamaan. Hanya saja jenis batuan dentritik halus lebih sering digunakan.

    Tipologi dan Klasifikasi Batu nisan Lamreh Tipe Plangpleng

    Hasil pengamatan berdasarkan rancangan bentuk motif, gaya seni pahat batu, dan bahan batuan, batu nisan tipe plangpleng dibedakan menjadi dua jenis. Dengan demikian pengertian tipe di sini lebih untuk membedakan gaya seni pahat batu dan teknik pahat batu, serta jenis bahan batuan yang digunakan.

    Tipe Plangpleng I

    Bahan batuan menggunakan jenis batuan sedimen dentritik bertektur dan butiran kasar seragam menjadi ciri khas kelompok batu nisan Lamreh tipe plangpleng I ini. Jenis bahan yang relatif keras tidak begitu mudah untuk menghasilkan gaya seni pahat batu nisan yang rumit, gaya seni pahat bidang datar. Rancangan bentuk motif terkesan monoton dengan pengerjaan yang lebih teliti dan lebih rumit hanya pada bagian tertentu dari elemen motif, seperti lengkungan kelopak bunga atau yang

  • Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ (Dedy Satria)

    73

    berlubang dan tembus pada keempat sudut batu nisan.

    Tema bentuk motif pada keempat sisi batu nisan berupa bunga teratai dengan lima kelopak yang kaku lalu diulangi bersusun tiga secara vertikal, serta hiasan panil berupa pola dua huruf ‘S’ berlawanan arah, serta gaya penulisan kaligrafi Islam khat naskhi. Teks inskripsi dipahatkan pada panil yang terbagi menjadi kolom-kolom, ini merupakan gaya penulisan yang sangat khas dan tidak ditemukan dalam gaya penulisan pada tipe plangpleng II. Penulisan teks dalam kolom-kolom mungkin sekali menjadi penanda kronologis untuk jenis-jenis batu nisan awal di Lamreh. Garis-garis tipis yang halus dengan ujung melebar dan lengkungan yang kurang lentur, terkesan kaku berlawanan dengan bentuk-bentuk garis lentur pada kelompok batu nisan Lamreh tipe plangpleng II.

    Ada dua contoh jenis batu nisan tipe plangpleng I dalam keadaan utuh dan masih pada lokasi makam semula walaupun telah tercabut dari makamnya. Pertama batu nisan dengan teks inskripsi menyebut nama atau gelar tokoh ‘Malik Alawaddin’ wafat 822 Hijrah atau 1419 M dan kedua batu nisan makam ‘Malik Syamsuddin’ wafat 822 Hijrah atau 1419 M (gambar 1).

    Dalam survei juga ditemukan dua tipe batu nisan sejenis, namun hanya berupa pecahan bagian dari batu nisan. Rancangan bentuk motif, gaya kaligrafi Islam, dan gaya seni pahat batu kedua batu nisan itu sama. Jenis batuan dentritik bertekstur kasar merupakan jenis bahan baku yang jarang digunakan untuk batu nisan Lamreh tipe plangpleng dan kedua batu nisan tersebut merupakan contoh yang masih dapat diamati dengan baik. Jarangnya penggunaan jenis tipe plangpling I cukup mengherankan dan perlu dipertanyakan. Namun dari contoh yang berhasil ditemukan penggunaannya hanya untuk penanda makam tokoh golongan penguasa dari periode tertentu sangatlah memungkinkan.

    Gambar 1. Jenis batu nisan tipe plangpleng I pada Makam ‘Malik Syamsu ad Din’ kolom panil II, wafat

    822 H (1419M) (Sumber: Deddy Satria, 2018)

    Tipe Plangpleng II

    Bahan batuan menggunakan jenis batuan sedimen dentritik bertektur dan butiran halus seragam menjadi ciri khas kelompok batu nisan Lamreh tipe plangpleng II ini. Karena jenis bahan yang relatif lebih mudah untuk dipahat menghasilkan gaya seni pahat batu nisan yang berbeda dan khas, tidak lagi gaya seni pahat bidang datar, tetapi hasil pahatan dengan permukaan berkontur. Rancangan bentuk motif lebih bervariasi dengan pengerjaan yang lebih teliti dan lebih rumit. Garis-garis tebal yang berat dengan lengkungan yang sangat lentur, tidak kaku, berlawanan dengan bentuk-bentuk garis kaku pada kelompok batu nisan Lamreh tipe plangpleng I.

    Rancangan gaya bentuk motif seni pahat batu nisan Lamreh tipe plangpleng II memiliki pola dan elemen yang sama dengan batu nisan Lamreh tipe plangpleng I. Bentuk motif disusun secara struktural-vertikal (Tabel 4 dan Gambar 3). Dari bawah, bagian kaki berupa bentuk sederhana profil lotus atau kelopak bunga teratai, atau belah rotan – badan bawah/panil dengan panil besar untuk motif dan kaligrafi Islam (umumnya hanya

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 74

    pada batu nisan bagian kepala makam) – hiasan badan bawah/ panil biasanya terdiri dari dua tema motif ‘S’ berhadapan berlawanan arah membentuk figur antropomorfik, atau tema motif huruf ‘C’ dengan berbagai posisi (namun bagian ini tidak selalu ada) – hiasan badan atas berupa pengulangan tema motif; bunga berkelopak empat dipadu pola anyaman, pola anyaman berkembang atau arabesque dan pola geometrik – pola bintang – bagian puncak dengan mahkota, bentuk kerucut. Struktur demikian menjadi karakter jenis/tipe batu nisan plangpleng yang khas. Sementara gaya penulisan kaligrafi Islam menggunakan khat naskhi merupakan ornamen yang khas gaya ‘Lamuri’. Garis-garis lengkung yang berat tapi sangat lentur serta garis vertikal pendek dengan ujung yang sedikit melengkung menjadi ciri khas khat naskhi gaya ‘Lamuri’.

    Gambar 2. Struktur batu nisan Plangpleng (Sumber: Deddy Satria, 2018)

    Table 3. Skema Rancangan gaya bentuk motif seni pahat batu nisan Lamreh – ‘Plangpleng’ secara struktural-

    vertikal, berangka tahun 1430-1450 M.

    Struktural – Vertikal Tema Bentuk Motif

    Puncak Mahkota

    Badan atas Pengulangan tema bentuk motif bunga teratai; bunga berkelopak empat dipadu pola anyaman dan tunas atau daun, pola anyaman berkembang atau arabesque, geometrik bintang, atau lentera gantung dengan penggayaan bentuk (styler).

    Hiasan badan bawah /panil

    Tema bentuk motif dua huruf ‘S’ berhadapan berlawanan arah dengan ujung bergulung (spiral) membentuk figure antropomorfik, stilasi – mata besar ; hidung besar ; mulut ; misai (kumis). Atau dua bentuk huruf ‘C’ dalam berbagai posisi. Bagian ini tidak selalu ada.

    Badan bawah/panil persegi empat

    Batu nisan bagian kepala makam; dengan teks inskripsi pendek. Gaya kaligrafi Islam khan naskhi-ornamental; dengan garis tebal dan berat, serta diimbangi garis lengkungan yang berat namun lentur.

    Batu nisan bagian kaki makam; bentuk motif dengan berbagai tema bentuk motif ; bunga besar berkelopak empat, pola anyanan – pola bintang atau arabesque geometrik.

    Kaki batu nisan Profil lotus atau belah rotan.

    Beberapa batu nisan memiliki rancangan motif secara vertikal yang dibatasi dengan garis pembatas pada bagian-bagian sudut batu nisan. Namun pada rancangan motif yang lain garis-garis pada bagian keempat sudut langsung berhubungan dengan tema motif lain yang

    biasanya berupa penggayaan figur makhluk serupa ‘manusia’ dengan kepala, badan, sepasang tangan dan kaki (gambar 4). Figur disusun secara vertikal dengan empat susunan pada keempat bagian sudut batu nisan. Gaya penggambaran figur ini mengingatkan pada gaya

  • Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ (Dedy Satria)

    75

    penggambaran yang khas pada monumen batu besar (megalitik).

    Kelompok batu nisan ini menjadi penanda periodisasi gaya batu nisan dari periode yang sama, antara 1430 hingga 1440 M Jenis plangpleng ini agaknya dibuat hanya untuk anggota golongan istana/kesultanan. Dengan demikian, tokoh-tokoh istana, mungkin anggota dewan istana dengan gelar-gelar Arab; qadhi, para malik dan sultan sebagai pemimpin dewan istana. Tokoh lain bergelar ‘Syaikh Zainuddin’ tokoh ulama lain yang kedudukannya nampaknya cukup istimewa di masa hidupnya dalam periode yang sama, namun jenis batu nisannya dengan tipe ‘lengkung Persia’ slap, jenis batuan tuffa. Tokoh lain dengan penanda makam menggunakan jenis batu nisan yang sama yaitu ‘orang kaya’ muslim India bergelar ‘Nina Muhajirin’ (gambar 3). Lokasi persebaran kelompok batu nisan ini relatif terbatas meliputi lokasi I di bukit utama – teras bukit tertinggi hingga dan

    khususnya pada lokasi teras bukit II dari perbukitan tanjung ini.

    Rancancangan bentuk motif campuran merupakan karakter yang khas dari batu nisan Lamreh ini. Bentuk motif dari kesenian Hindu-Buddha terutama bunga atau kelopak teratai sangat mendominasi empat sisi batu nisan. Pada jenis batu nisan lain bahkan muncul bentuk atap bertingkat gaya Dravidian atau bentuk stupa dengan caitra atau payung bertingkat-tingkat. Sementara bentuk motif dunia Islam yang sangat khas berupa pola anyaman berkembang atau arabesque, geometrik pola bintang, atau lentera gantung, dan kaligrafi Islam dalam gaya penulisan (khat) naskhi dan naskhi ornamental gaya ‘Lamuri’ atau tughra menjadi elemen lain yang sangat mencolok dan memberikan warna yang berbeda. Pada jenis batu nisan lain bahkan muncul bentuk kubah untuk bentuk bagian puncak batu nisan..

    Gambar 3. Jenis batu nisan tipe plangpleng II. A: Batu nisan Makam ‘Maulana Kadhi Sadar Islam Isma’il, wafat

    852 H/ 1449 M; B: Motif antropomorfik pada batu nisan ‘Malik Muhammad Syah; C: Batunisan makam Malik muhammad Syah wafat 848 H/ 1444 M; D: Batu nisan makam Nina Muhajirin; E: Batu nisan makam malik Zainal

    abidin. (Sumber: Deddy Satria, 2018)

    A

    B

    C D E

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 76

    Gambar 4. Jenis batu nisan tipe plangpleng II. A: Batu nisan makam Makam Nizar bin Zaid wafat 837 H/ 1434 M. Figur makhluk seperti manusia disusun secara vertikal (bertingkat) pada bagian sudut batu nisan. B-E: Batu nisan

    Lamreh tipe Plangpleng II tanpa inskripsi dari lokasi teras bukit II (Sumber: Deddy Satria, 2018)

    Table 4. Gaya seni pahat ‘campuran’ pada batu nisan Plangpleng

    Bentuk motif bunga atau kelopak teratai. Bentuk atap bertingkat gaya Dravidian Bentuk stupa dengan caitra atau payung bertingkat-tingkat.

    Gaya seni pahat dan kesenian Hindu-Buddha Asia Selatan

    Bentuk motif pola anyaman berkembang atau arabesque,

    Bentuk motif geometrik pola bintang, Bentuk motif lampu gantung Kaligrafi Islam; khat naskhi (ornamental) - tughra Bentuk kubah – kerucut untuk bentuk bagian

    puncak batu nisan.

    Dunia Islam; gaya kesenian Arab-Persia dan India-Persia Islam

    Bentuk motif huruf ‘S’ atau ‘C’ dengan ujung bergulung (spiral) ;

    Figur wajah manusia yang disamarkan, bentuk motif antropomorfik.

    Tradisi–gaya kesenian bentuk motif benda-benda logam Dongson, Asia Tenggara

    Tradisi-gaya kesenian megalitik Asia Tenggara

    Bentuk motif sederhana pengulangan pola huruf ‘S’ atau ‘C’ dengan ujung bergulung (spiral) dan seringkali menjelma (tramsformasi) menjadi figur yang menghadirkan ‘wajah manusia’ yang disamarkan, antropomorfik (gambar 3). Pola sederhana tersebut mengingatkan pada bentuk motif yang diterakan pada benda-benda logam gaya Dongson. Motif ini menjadi hiasan pada monumen batu besar, megalitik Asia Tenggara, khususnya cara

    menggambarkan sosok figur wajah manusia yang bersahaja dan figur serupa ‘manusia’ bersusun secara vertikal.

    Contoh tema bentuk motif antropomorfik dengan penggambaran yang baik dengan mata besar, hidung besar, dan kumis (misai) lebat menutupi bibir serta ‘wajah manusia’ pada keempat sudut batu nisan (gambar 3). Gaya motif ini dapat diamati pada batu nisan tokoh ‘Sultan Muhammad bin Alawaddin’ wafat

    A B C D E

  • Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ (Dedy Satria)

    77

    834 Hijrah atau 1431 M., ‘Malik Nizar bin Zaid’ wafat 837 Hijrah atau 1434 M., ‘Malik Muhammad Syah’ wafat 848 Hijrah atau 1444 M. dan ‘Maulana Qadhi Syaikh Ismail’ wafat 852 Hijrah atau 1449 M. Gejala ini tidak tampak dengan nyata pada periode sebelumnya, atau sebelum angka tahun 1431 M. lalu tahun 1435 M. dan 1444 M. hingga 1449 M. Dengan demikian berarti bahwa bentuk motif ini merupakan gaya pengembangan baru yang belum dibuat sebelum masa itu. Bila hal ini benar.

    Gaya pahatan yang kaku atau lentur dengan garis-garis tebal dengan teknik pahat dalam, atau poresan pahat datar dua teknik pahat yang sekilas memiliki ciri yang sama dengan gaya pahat kuno yang berkembang di Nusantara pada jaman pertengahan. Bentuk batu nisan plangpleng dengan gaya miniatur kuil menara Hindu gaya Dravidian merupakan bukti yang sangat menguatkan dugaan pemahat batu nisan telah mengenal dengan baik kaidah seni pahat Asia Selatan (Lee 2009, 271–91). Bentuk dan gaya serta kaidah seni pahat batu nisan mungkin sekali dari kawasan India bagian selatan.

    Kehadiran masyarakat Hindu Tamil dari kawansan India Selatan di Lamuri, Aceh, sebenarnya telah terjadi cukup lama (Wolters 2011, 226). Sejak peristiwa penyerangan armada Rajendra Choladewa I pada awal abad ke-11 M. hingga peneguhan kedudukan kelompok pedagang Tamil Nadu pada abad ke-13 M. (Subbarayalu 2009, 158–68; 2015, 158–68), dengan demikian koloni ini telah mapan berkedudukan di Lamuri. Pengaruh kebudayaan Hindu Tamil dalam seni pahat batu nisan tentunya sangat memungkinkan terjadi.

    Berdasarkan teks inskripsi, periode Lamreh 1430 M. hingga 1450 M. merupakan masa sangat stabil dalam bidang sosial-budaya, pemerintahan yang telah mapan dan teratur di tempat ini. Seorang penguasa tertinggi bergelar sultan dengan ‘dewan istana’ beranggotakan seorang qadhi dan beberapa orang pembesar bergelar malik. Ada lima (5) orang tokoh bergelar malik yang kedudukannya dapat disamakan

    sebagai pembesar istana dan anggota kehormatan dewan kerajaan. Mereka berkedudukan yang dapat disamakan dengan menteri atau pejabat yang mengurus satu atau beberapa urusan yang berhubungan dengan mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Kedudukan qadhi sebagai penegak hukum syariah Islam memiliki kedudukan istimewa dan sekaligus sebagai penasehat sultan dan dewan kerajaan.

    Tokoh lain bergelar Nina, ‘Nina Hisyamuddin’, yaitu kelas ‘orang kaya’ Muslim India yang kedudukannya biasanya sebagai anggota atau wakil dari perkumpulan pedagang Muslim India yang mengurusi urusan perdagangan jarak jauh. Tokoh lain yang dituliskan nama atau gelarnya pada batu nisan yaitu tokoh yang didepan namanya diberikan keterangan sebagai ‘abd adh dha’if’ atau berarti ‘hamba yang lemah’ untuk tokoh ‘Abd Allah’, ‘Mu’adz’ dan ‘Muzhiruddin’. Belum dapat diketahui peran dan kedudukan ketiganya. Namun demikian penulisannya pada batu nisan sudah pasti sebagai penanda yang istimewa. Hal tersebut mengingat tidak semua batu nisan mengandung inskripsi dan dimakamkan dalam lingkungan pemakaman pembesar istana.

    Sebagai penjelasan awal dapat diajukan di sini keketiganya tentulah berhubungan dengan penguasa tertinggi, yaitu sultan. Seperti hamba-hamba atau orang kepercayaan sultan yang menjalankan pekerjaan atau perintah khusus dari sultan, seperti, dapat disamakan dengan kedudukan ‘bujang dandan’ yang ditemukan dalam tradisi Melayu – Aceh masa Kesultanan Aceh atau kesultanan Melayu lainnya di masa kemudian (Iskandar 1978, 97). Kelompok orang ini sekaligus sebagai pengawal pribadi para sultan dan seringkali digunakan sebagai mata-mata sultan untuk tujuan kerahasiaan. Mereka sangat dekat dengan kehidupan istana atau dalam. Batu nisan ketiga tokoh tersebut tanpa mengandung angka tahun, namun dari gaya seni pahat dan gaya bentuk motif dapat dipastikan berasal dari periode yang sama.

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 78

    Generasi ini telah memerintah dan menjabat paling awal sejak tahun 1420 hingga 1450 M merupakan salah satu generasi terbaik, selain satu generasi lain di atas mereka. Yaitu generasi paling awal dari periode tahun 1390 atau 1400 hingga 1420 M, dipimpin oleh tokoh tak dikenal dan pembesar istana bergelar ‘Malik Alawaddin’ dan ‘Malik Syamsuddin’. Generasi ini mungkin sekali memerintah di Lamreh pada periode transisi abad ke-15 M, tahun 1390-an M hingga 1420 M.

    Dalam periode ini juga muncul tokoh pimpinan perempuan yang memiliki wibawa cukup besar bergelar ‘Amir Qara Khadijah’ diduga sebagai pimpinan (Arab; amir) perkampungan (Arab: qura; berarti kampung, sumber Taqiyuddin Muhammad tahun 2012) di lingkungan istana. Dan seorang pembesar istana lainnya bergelar ‘Sirajul Mulk’. Namun dalam periode ini belum ditemukan batu nisan yang mengandung teks inskripsi yang menyebut gelar tokoh penguasa tertinggi sebagai sultan. Di lokasi pengamatan utama dekat puncak bukit kecil yang berdekatan dengan struktur besar ditemukan dua makam dengan penanda batu nisan berukuran besar polos dan tidak mengandung teks inskripsi. Ini cukup mengherankan dan sulit untuk dipahami, tentang kedudukan tokoh-tokoh yang dimakamkan di sini. Walaupun ada dugaan kedua tokoh tersebut pernah memerintah sebagai penguasa di tempat ini.

    Sementara batu nisan lain yang dibuat berbeda dengan kedua kelompok batu nisan di atas mungkin sekali berasal dari periode sebelum atau sesudah periode ini. Terutama jenis-jenis atau tipe batu nisan yang lain termasuk jenis batu nisan tipe plangpleng lain yang pertanggalannya berasal dari sebelum tahun 1430-an M. atau sebelum tahun 1420 M. Seperti gaya bentuk batu nisan dan gaya seni pahat batu nisan pada penanda makam ‘Amir Qara Khadijah, wafat 816 Hijrah/1414 M.’ Gaya bentuk batu nisan ini bukan jenis batu nisan Lamreh tipe plangpleng. Jenis batu nisannya dapat dibandingkan dengan batu nisan makam ‘Sirajul Mulk’ tanpa angka

    tahun dan banyak batu nisan polos atau bermotif lainnya yang serupa (lihat pula batu nisan makam ‘Sultan Muhammad Syah’ di Kuta Lubok, Lamreh) yaitu, bentuk batu nisan tipe balok batu pilar – slap dengan puncak kubah (doom). Kelompok batu nisan ini termasuk gaya dan bentuk awal jenis tipe batu nisan Lamreh. Persebarannya cukup luas meliputi lokasi I di bukit utama – tertinggi hingga teras III perbukitan ini, di atas Lhok Cut dan lokasi Benteng – Kuta Inong Balee).

    KESIMPULAN

    Batu nisan Lamreh plangpleng merupakan salah satu jenis dari lima atau enam tipe batu nisan Lamreh yang memiliki kedudukan yang istimewa. Jenis batu nisan ini dibuat untuk menandakan (sebagai penanda) makam tokoh-tokoh pembesar negeri dan istana. Para pimpinan masyarakat lokal – datu, ulama atau guru agama Islam, serta orang-orang kaya muslim (sebagai wakil (agen) perkumpulan pedagang asing) juga menggunakan batu nisan sejenis. Batu nisan ini berdasarkan teks inskripsi dibuat sepanjang periode transisi abad ke-14 M. dan abad ke-15 M. serta sepanjang abad ke-15 M.

    Gaya dan bentuk seni pahat batu nisan Lamreh plangpleng sebagai ‘kesenian campuran’ pada seni pahat batu nisan menjadi gambaran masyarakat pembuat dan penggunanya. Yaitu masyarakat kota – pelabuhan dari berbagai bangsa baik lokal maupun asing, muslim, secara umum mungkin sekali berasal dari Arab atau Persia serta Asia Selatan khususnya India Selatan atau kawasan Tamil.

    Melalui uraian di atas dapat dipahami tentang latar belakang dan perkembangan sejarah kebudayaan masyarakat di masa lampau yang membuat dan menggunakan batu nisan Lamreh plangpleng. Yaitu, berbagai bangsa dengan berbagai latar belakang budaya dan kepercayaannya telah dipersatukan oleh gagasan ajaran dan hukum Islam. Namun demikian,

  • Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ (Dedy Satria)

    79

    masyarakat pesisir di pelabuhan ini sebenarnya dipersatukan oleh kepertingan yang sama untuk menjalankan perdagangan dan pelayaran dalam jaringan dunia. ‘Masyarakat campuran’ ini merupakan gambaran umum karakter masyarakat pesisir di kota – pelabuhan dalam jaringan pelayaran dan perdagangan jarak jauh. Jaringan yang luas itu mulai dari kawasan Timur Tengah lalu Asia Selatan (khususnya India bagian selatan), Asia Tenggara – kepulauan (Nusantara), hingga ke Cina sejak abad ke-9 M. atau abad ke-10 M. dan khususnya pada masa Lamreh kuno abad ke-14 M. hingga abad ke-15 M.

    Masyarakat kota pelabuhan tempat berkumpul berbagai bangsa dengan latar belakang budaya dan kepercayaan yang berbeda manjadi ciri umum masyarakat di kota pelabuhan dalam persinggahan Ibnu Bathuthah saat berlayar menuju Kota Zaitun, Quanzhou, Fujian pada pertengahan abad ke-14 M., tahun 1344/1345 M (Ibn Bathuthah 2009, 342).

    Berdasar uraian di atas, nisan-nisan plangpleng dapat dibedakan menjadi dua tipe. Jenis batu nisan ini merupakan salah satu warisan budaya yang khas dan menjadi identitas atau gambaran karakter dari masyarakat Lamuri – Islam, selain jenis dan tipe batu nisan Lamreh lainnya. Yaitu karakter satu masyarakat kuno sebagai ‘masyarakat campuran’ yang mengadopsi berbagai latar belakang kebudayaan asing, baik tradisi kesenian dunia Islam Arab atau Persia Islam, serta tradisi kesenian Hindu-Buddhisme Asia Selatan yang sebelumnya di tempat asalnya telah diadopsi oleh masyarakat campuran muslim India.

    Gaya seni pahat batu tradisi kesenian Asia Selatan lebih mendominasi lewat rancangan bentuk batu nisan yang meminjam bentuk (transformasi) arsitektural ‘kuil menara’ (Sikhara) gaya Dravidian dan bentuk motif padma (bunga teratai) yang sangat dominan dan konsisten. Sementara elemen motif lokal mencerminkan tradisi seni pahat dan motif yang cukup tua dari periode magalitik, sebagai simbol ‘rajah’ yang memiliki

    ‘kekuatan pelindung’ bersifat magis-religius. Ajaran Islam yang bersifat dogmatis dan praktis hadir dalam bentuk pahatan teks inskripsi (kaligrafi Islam) dan fungsi batu nisan sebagai penanda makam dengan arah kiblat Ka’bah di Makkah.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abu Bakar, Budiman Sulaiman, M.Adnan Hanafiah, Zainal Abidin Ibrahim, and Syarifah. 2001. Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Pusat

    Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka.

    Al-Faruqi, Ismail R., and Lois Lamnya Al-

    Faruqi. 2003. Atlas Budaya Islam Manjelajah Khasanah Peradaban Gemilang, Ornamen Dalam Seni Islam. Bandung: Mizan.

    Ambary, Hasan Muarif. 1996. Aspek-

    Aspek Arkeologi Indonesia No. 19: Makam-Makam Islam Di Aceh.

    Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

    Guillot, Claude. 2008. Les Monuments

    Foneraires et l’Histoire Du Sultananate de Pase a Sumatera. Cahierd’Archipel. Paris: Association Archipel.

    Ibn Bathuthah, Muhammad bin Abdullah.

    2009. Rihlah Ibnu Bathuthah, Memoar Perjalanan Keliling Dunia Di Abad Pertengahan. Pertama. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

    Iskandar, Teuku. 1978. Hikayat Aceh

    (Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandar Muda). Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh.

    Lambourn, Elizabeth. 2004. “The

    Formation of the Batu Aceh Tradition in Fifteenth-Century Samudera-Pasai.” In Indonesia and The Malay World, 211–48. Leicester: University of Leicester.

    Lee, Risha. 2009. “Rethinking Community:

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 80

    The Indic Carvings of Quanzhou.” In Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflection on the Chola Naval Expedition to Southeast Asia, edited

    by Hermman Kulke, K. Kesavapany, and Vijay Sakhuja, 271–91. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

    Montana, Suwedi. 1997. “Nouvelles

    Donne´es Sur Les Royaumes de Lamuri et Barat.” Archipel, no. 53:

    85–95. Satria, Dedy. 2014. “Jenis Batu Nisan Tipe

    ‘Batu Pasai’ Dan Plangpleng (Kelompok Pemakaman Kuno Dari Pango Bagian Selatan, Ulee Kareng, Banda Aceh.” Arabesk XVI (1): 1–48.

    ———. 2016. “Jenis Batu Nisan Tipe ‘Batu

    Pasai’ Dan Plangpleng (Kelompok Pemakaman Kuno Dari Pango Bagian Selatan, Ulee Kareng, Banda Aceh.” Arabesk 14 (1): 1–27.

    Subbarayalu, Y. 2009. “Anjuvvannam: A

    Maritime Trade Guild of Medieval Times.” In Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflection on the Chola Naval Expedition to Southeast Asia, 158–68. Singapore: Institute of

    Southeast Asian Studies. ———. 2015. “Sebuah Prasasti

    Perkumpulan Pedagang Tamil Di Neusu, Aceh.” In Barus Negeri Kamper, 529–34. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-EFEO-Pusat Penelitian Arkeologi.

    Suprayitno. 2011. “Evidence of The

    Beginning of Islam in Sumatera: Study on the Acehnese Tombstone.” Tawarikh 2 (2): 125–27.

    Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan

    Maritim Sriwijaya Dan Perdagangan Dunia Abad III-Abad VII. Jakarta:

    Komunitas Bambu. Yatim, Othman M. 1988. Batu Aceh, Early

    Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: Kuala

    Lumpur: Museum Association of Malaysia c/o Muzium Negara.

    Yatim, Othman M, and Abdul Halin Nasir.

    1990. Epigrafi Islam Terawal Di Nusantara. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.

    .

  • https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/ P-ISSN: 1410-3974; E-ISSN: 2580-8907

    Berkala Arkeologi

    SANGKHAKALA Vol. 22 No. 2 2019, 81-95 10.24832/bas.v22i1.408

    Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean (Mochammad Fauzi Hendrawan)

    81

    PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN

    PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON

    SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO

    Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit: 12-05-2019 08-07-2019 10-08-2019

    Mochammad Fauzi Hendrawan

    Balai Arkeologi Sumatera Utara Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No. 1

    Tanjung Selamat, Medan tuntungan, Medan [email protected]

    Abstract Indonesian archipelago holds considerably amount of archaeological data includes shipwreck that vary from various periods and types. In Bawean Island, a shipwreck with steamer component indicated from the 19th century named Pulau Nusa was found. In 2016, Pulau Nusa shipwreck was found by Balai Arkeologi Yogyakarta in a fragmentary shape with scattered components. Numbers of scattered components has concreted with coral and the bottom part has gone through sedimentation thus buried in sea floor. This research focused on the underlying process behind the current condition of Pulau Nusa shipwreck. Conducted as an explorative research with inductive reasoning, this research used two main method of analysis, i.e environmental and contextual analysis. These two method of analysis are used to answer the data formation process which divided into two steps, behavioral process (pre-depositional) and transformation process (depositional and post-depositional) along with cultural and noncultural factors that have impact on those process. From the synthesis of two analyses came the conclusion at first the formation of archaeological data influenced by Noncultural transform, but further because it is located in the shallow sea and the existence of human activity due to the economic value of the environment and shipwreck itself, the cultural transformation factor also contributes to the role. Keywords: Bawean; shipwreck; steamship; underwater archaeology; transformation

    Abstrak

    Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki data arkeologi berupa kapal karam yang beragam dari berbagai masa dan tipe kapal. Salah satu kapal karam yang ditemukan di Pulau Bawean adalah Kapal karam Pulau Nusa, yang memiliki indikasi berasal dari abad ke-19 karena komponen penggeraknya bertenaga uap. Pada saat ditemukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2016 kondisi Kapal karam Pulau Nusa tidak dalam kondisi utuh, sebagian komponen sudah terfragmentasi dan tersebar. Selain itu sebagian besar fragmen tersebut sudah terkonkresi dengan karang dan bagian bawahnya tersedimentasi hingga terkubur di dasar laut. Penelitian ini akan membahas proses apa yang melatarbelakangi kondisi kapal karam menjadi seperti sekarang. Analisis yang dipakai yaitu analisis lingkungan dan analisis kontekstual. Kedua perangkat analisis tersebut dilakukan untuk menjawab proses pembentukan data arkeologi yang dibagi menjadi dua tahap, yaitu proses behavioral (pre-depositional) dan proses transformasi (depositional dan post-depositional). Selain itu juga mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap proses tersebut, yang berupa cultural transform dan noncultural transform. Dari hasil sintesis dua analisis didapat kesimpulan pada awalnya pembentukan data arkeologi dipengaruhi oleh noncultural transform, tetapi selanjutnya karena lokasi yang dangkal dan adanya aktivitas manusia karena nilai ekonomi lingkungan dan kapal karam sendiri, maka faktor cultural transform turut ikut berperan.

    Kata Kunci: Bawean; kapal karam; kapal uap; arkeologi bawah air; transformasi

    https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/index.php/SBAhttps://sangkhakala.kemdikbud.go.id/index.php/SBAhttps://sangkhakala.kemdikbud.go.id/index.php/SBA/article/view/408

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95 82

    PENDAHULUAN

    Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2016 melakukan kegiatan Penelitian Bentuk dan Karakter Tinggalan Arkeologi Maritim di Pulau Bawean: Identifikasi Potensi (Tahap II). Pada tahap kedua ini salah satu temuan data baru adalah Kapal karam Pulau Nusa. Pencarian Kapal karam Pulau Nusa pernah dilakukan pada kegiatan tahap I di tahun 2015, namun belum berhasil ditemukan. Pada tahap kedua pencarian berhasil dilakukan dengan bantuan narasumber seorang pencari besi tua dari kapal karam. Kapal karam Pulau Nusa memiliki keletakan LS 50 45‟ 54.5” dan BT 1120 31‟ 56.3‟‟ yang berada di Desa Dedawang, Kecamatan

    Tambak dengan penanda alam berupa karang kapal-kapal yang berada diantara Pulau Nusa dan Pulau Bawean. Kapal karam Pulau Nusa berada pada kedalaman 7 meter dari permukaan laut. Data yang berhasil diidentifikasi dan direkam oleh Balai Arkeologi Yogyakarta berupa blok mesin bagian bawah dengan poros engkol (crankshaft/ kruk as) dan roda penggerak mesin (fly wheel), sebuah baling-baling (blade propeller), as gardan, baling-baling, gading-gading kapal, pipa-pipa, dua buah boiler, dan beberapa bagian kapal yang belum teridentifikasi (Priswanto 2016, 5).

    Gambar 1. Peta Lokasi Shipwerck Pulau Nusa (Dibuat oleh: M. Fauzi Hendrawan, 2018)

    Sebagai data arkeologi, temuan Kapal karam Pulau Nusa dapat dikategorikan sebagai data arkeologi maritim (maritime archaeology), arkeologi perkapalan (nautical archaeology), dan arkeologi bawah air (underwater archaeology). Ketiganya merupakan

    bagian dari disiplin ilmu arkeologi, arkeologi maritim lebih menekankan kajiannya terhadap aktifitas dan interaksi manusia di perairan beserta budaya materialnya yang meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, religi, dan aspek lainnya (Muckelroy 1978, 4). Arkeologi perkapalan

  • Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean (Mochammad Fauzi Hendrawan)

    83

    lebih memfokuskan kajiannya terhadap perkapalan, seperti desain kapal, proses pembuatan kapal, teknologi kapal, konstruksi, dan galangan kapal (Grenn 2006, 97). Arkeologi bawah air mempelajari suatu kehidupan masa lalu berdasarkan peninggalan yang ditemukan di bawah air seperti laut, danau, rawa, dan sungai. Cakupan arkeologi bawah air meliputi berbagai peninggalan yang jatuh dan terkubur di bawah air seperti pesawat, kapal, bangunan tenggelam, perangkap ikan, jembatan, dermaga, dan pemecah ombak.

    Kapal karam Pulau Nusa tentunya telah mengalami suatu proses hingga terbentuk seperti sekarang. Posisi kapal karam yang berada di antara karang-karang kapal yang ada di antara Pulau Nusa dan Pulau Cina juga menarik untuk diketahui pengaruhnya dalam proses pembentukan data arkeologi. Kajian mengenai pembentukan data arkeologi pada kapal karam di Indonesia masih jarang dilakukan, kebanyakan masih mendeskripsikan tinggalan arkeologi bawah air tanpa membahas proses yang melatarbelakangi terbentuknya data tersebut. Penelitian seperti ini sendiri penting dilakukan pada data arkeologi untuk meminimalisir bias interpretasi pada penelitian-penelitian selanjutnya pada kapal karam tersebut. Dengan penjabaran yang demikian, memunculkan permasalahan yang akan dibahas, berupa bagaimana proses pembentukan data arkeologi pada kapal karam di Pulau Nusa, Bawean? Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan mengenai proses perjalan dari kapal utuh yang digunakan hingga menjadi kapal karam yang merupakan data arkeologi. Diharapkan juga penelitian ini akan melengkapi produk kearkeologian maritim di Indonesia.

    Proses pembentukan data arkeologi pada kapal karam sama seperti proses pembentukan data arkeologi pada umumnya yang mencakup proses buat – pakai – buang – terdeposisi hingga ditemukan oleh arkeolog. Selama proses tersebut kapal telah mengalami perubahan dalam berbagai dimensi dan saat ditemukan sebagai kapal karam, dan tidak

    dapat menginformasikan secara langsung mengenai kondisi masa lalu secara menyeluruh. Untuk mengetahui pembentukan data arkeologi pada suatu kapal karam perlu diidentifikasi dan dijelaskan mengenai proses tingkah laku pendukungnya (behavioral processes) dan proses transformasi (transformational processes) yang terjadi pada kapal karam.

    Pengamatan terhadap kedua proses tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisir bias yang terjadi pada suatu kesimpulan dalam penelitian, karena pada dasarnya data arkeologi merupakan akumulasi dari sejumlah bias. Seperti pada Kapal karam Pulau Nusa, saat ditemukan Kapal karam Pulau Nusa tidak menginformasikan kondisi masa lalu secara menyeluruh kepada arkeolog. Perlu memahami kapal karam dengan cara mengetahui bagaimana kapal karam terbentuk, mengalami perubahan, sampai dengan kondisi saat ditemukan saat ini (Yuwono 2003, 2).

    METODE

    Penelitian ini bersifat eksploratif berawal dari rasa keingintahuan akan data arkeologi pada suatu tempat, yang kemudian dilakukan penjajagan, sifat penelitian ini menyarankan atau merangsang untuk penelitian lebih lanjut. Metode penalaran yang digunakan adalah penalaran induktif. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diklasifikasikan terlebih dahulu sebelum dideskripsikan. Interpretasi hasil analisis dalam penelitian ini berupa hipotesis yang terkait dengan tujuan dan permasalahan yang diajukan (Tanudirjo 1988, 84). Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualtitatif, yaitu memperoleh dan menggumpulkan data dengan cara menghimpun pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain (Putra 2007, 18).

    Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka, penelusuran internet, wawancara, dan survei arkeologi bawah air. Studi pustaka dan penelusuran

  • BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95 84

    internet digunakan untuk mencari data sejarah serta sebagai langkah mengidentifikasi kapal karam tersebut. Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kapal karam setelah tenggelam berdasarkan sepengetahuan narasumber. Identifikasi Kapal karam Pulau Nusa dilakukan dengan menggunakan metode survei arkeologi bawah air, survei arkeologi bawah air juga bertujuan untuk pengamatan dan mengetahui potensi peninggalan bawah air. Informasi dan data yang diperoleh dari kegiatan survei tersebut dijadikan sebagai dasar untuk penanganan lebih lanjut (Anonim 2006,11).

    Metode survei arkeologi bawah air sebenarnya sama dengan survei arkeologi di darat, yang meliputi tahap perencanaan, persiapan, dan pelaksanaan survei. Perbedaannya terletak pada lingkungan lokasi survei dilakukan, seperti laut, sungai, danau, dan rawa. Dengan kondisi yang seperti ini dibutuhkan peralatan yang dapat mendukung manusia untuk berkegiatan di lingkungan tersebut, salah satunya adalah SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus) yang

    berfungsi untuk membantu bernafas penyelam yang melakukan survei arkeologi bawah air.

    Data yang terkumpul digunakan untuk menjawab permasalahan yang sudah diajukan dengan analisis yang akan digunakan, yaitu analisis lingkungan dan kontekstual. Pendugaan identitas kapal karam tersebut dilakukan dengan melakukan studi pustaka dan penelusuran internet. Pendugaan identifikasi kapal karam digunakan untuk menjelaskan konteks sistem kapal tersebut sampai