8
Volume 1 No. 4 Desember 2020 1 P embaca yang budiman, Newsletter Desentralisasi dan Pelembagaan Demokrasi Lokal di Indonesia terbitan keempat dari volume satu ini merupakan edisi khusus yang menampilkan tema tentang Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19. Pada terbitan kali ini, informasi yang disajikan berupa artikel dari hasil tulisan para peneliti Otonomi Daerah P2P LIPI dan publikasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Otonomi Daerah P2P LIPI. Situasi pandemi Covid-19 masih belum berakhir. Pemerintah telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bahkan saat ini kebijakan PSBB tersebut kembali dilonggarkan dengan asumsi memasuki periode adaptasi kebiasaan baru atau yang dikenal dengan new normal. Namun, di masa new normal ini justru jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 semakin meningkat dari hari ke hari. Kita tidak lagi bisa bertumpu pada pemerintah untuk menghadapi kondisi demikian. Kita perlu melakukan antisipasi cepat dan tangkas menghadapi Covid-19 di era new normal. Apalagi pada 9 Desember 2020, DPR dan Pemerintah menetapkan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah di Indonesia. Pertimbangan DPR dan Pemerintah melaksanakan pilkada serentak 2020 ialah mengacu pada beberapa negara yang telah melakukan pemilu di masa pandemi, seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Tujuan lainnya ialah untuk menstimulasi perekonomian yang lesu dengan cara menggerakkan perekonomian rakyat melalui pelaksanaan Pilkada Serentak. Misalnya, mendorong Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) membuat sanitizer dan masker yang akan digunakan di 270 daerah sebagai protokol Covid-19 saat pilkada. Maksud demikian, bukanlah menjadi alasan yang pas dengan kondisi saat ini bahkan terkesan dipaksakan. Lantas pelaksanaan Pilkada 2020 yang terkesan dipaksakan ini untuk kepentingan siapa? Dalam konteks ini, Tim Otonomi Daerah P2P LIPI merespons problematika pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 dari berbagai aspek. Respons tersebut dituangkan dalam bentuk artikel/opini singkat yang ditulis oleh tim peneliti. Pembaca bisa mendapatkan informasi tersebut di edisi ini. Akhir kata, kami tim redaksi mohon maaf bila ada kekurangan dalam newsletter ini. Saran dan usulan kritis yang konstruktif untuk perbaikan materi newsletter edisi-edisi berikutnya dari para pembaca sangat diharapkan. Terima kasih. Salam Hangat, Redaksi Pengantar Redaksi Daftar Isi Pengantar Redaksi 1 Artikel: Pilkada 2020: Taruhan Reputasi Oleh R. Siti Zuhro 2 Dinasti Politik dalam Pilkada Oleh R. Siti Zuhro dan Nyimas Latifah Letty Aziz 3 Potensi Konflik Sosial Pilkada 2020 Oleh Dini Rahmiati 5 Pilkada Serentak dan Netralitas ASN Oleh Yusuf Maulana 6 Publikasi Hasil Penelitian 7 DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL Newsletter Diterbitkan 4 kali setahun oleh Tim Penelitian Otonomi Daerah Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Penanggung Jawab Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A. Redaktur 1. Nyimas Latifah Letty Aziz, S.E., M.Sc., M.Eng. 2. Drs. Heru Cahyono Editor Yusuf Maulana, S.A.P. Sekretaris Dini Rahmiati, S.Sos., M.Si. (Hp. +62 817-763-719) Desain Grafis Anggih Tangkas Wibowo, S.T., M.MSI. Alamat: Pusat Penelitian Politik Widya Graha LIPI, Lt.3 Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan Email: [email protected] Website: http://politik.lipi.go.id TIM PENELITI OTONOMI DAERAH P2P LIPI Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A. (Politik dan Pemerintahan) Drs. Heru Cahyono (Politik dan Pemerintahan) Nyimas Latifah Letty Aziz, S.E., M.Sc., M.Eng. (Politik Ekonomi dan Pembangunan Wilayah) Yusuf Maulana, S.A.P. (Administrasi Publik) Dini Rahmiati, S.Sos., M.Si. (Politik dan Pemerintahan) Informasi kerjasama penelitian silahkan menghubungi Sekretaris Redaksi Volume 1 No. 4 Desember 2020 ISSN 2722-8959

Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

Volume 1 No. 4 Desember 2020 1

Pembaca yang budiman, Newsletter Desentralisasi dan Pelembagaan Demokrasi Lokal di Indonesia terbitan keempat dari volume satu ini merupakan edisi khusus yang menampilkan

tema tentang Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19. Pada terbitan kali ini, informasi yang disajikan berupa artikel dari hasil tulisan para peneliti Otonomi Daerah P2P LIPI dan publikasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Otonomi Daerah

P2P LIPI.

Situasi pandemi Covid-19 masih belum berakhir. Pemerintah telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bahkan saat ini kebijakan PSBB tersebut kembali dilonggarkan dengan asumsi memasuki periode adaptasi kebiasaan baru atau yang dikenal dengan new normal. Namun, di masa new normal ini justru jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 semakin meningkat dari hari ke hari. Kita tidak lagi bisa bertumpu pada pemerintah untuk menghadapi kondisi demikian. Kita perlu melakukan antisipasi cepat dan tangkas menghadapi Covid-19 di era new normal. Apalagi pada 9 Desember 2020, DPR dan Pemerintah menetapkan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah di Indonesia.

Pertimbangan DPR dan Pemerintah melaksanakan pilkada serentak 2020 ialah mengacu pada beberapa negara yang telah melakukan pemilu di masa pandemi, seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Tujuan lainnya ialah untuk menstimulasi perekonomian yang lesu dengan cara menggerakkan perekonomian rakyat melalui pelaksanaan Pilkada Serentak. Misalnya, mendorong Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) membuat sanitizer dan masker yang akan digunakan di 270 daerah sebagai protokol Covid-19 saat pilkada. Maksud demikian, bukanlah menjadi alasan yang pas dengan kondisi saat ini bahkan terkesan dipaksakan. Lantas pelaksanaan Pilkada 2020 yang terkesan dipaksakan ini untuk kepentingan siapa?

Dalam konteks ini, Tim Otonomi Daerah P2P LIPI merespons problematika pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 dari berbagai aspek. Respons tersebut dituangkan dalam bentuk artikel/opini singkat yang ditulis oleh tim peneliti. Pembaca bisa mendapatkan informasi tersebut di edisi ini.

Akhir kata, kami tim redaksi mohon maaf bila ada kekurangan dalam newsletter ini. Saran dan usulan kritis yang konstruktif untuk perbaikan materi newsletter edisi-edisi berikutnya dari para pembaca sangat diharapkan. Terima kasih.

Salam Hangat,

Redaksi

Pengantar Redaksi Daftar IsiPengantar Redaksi 1Artikel:Pilkada 2020: Taruhan Reputasi Oleh R. Siti Zuhro 2Dinasti Politik dalam Pilkada Oleh R. Siti Zuhro dan Nyimas Latifah Letty Aziz 3 Potensi Konflik Sosial Pilkada 2020 Oleh Dini Rahmiati 5Pilkada Serentak dan Netralitas ASN Oleh Yusuf Maulana 6Publikasi Hasil Penelitian 7

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL

Newsletter

Diterbitkan 4 kali setahun oleh Tim Penelitian Otonomi Daerah Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).

Penanggung Jawab Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A.

Redaktur 1. Nyimas Latifah Letty Aziz, S.E., M.Sc., M.Eng.2. Drs. Heru Cahyono

Editor Yusuf Maulana, S.A.P.

SekretarisDini Rahmiati, S.Sos., M.Si. (Hp. +62 817-763-719)

Desain GrafisAnggih Tangkas Wibowo, S.T., M.MSI.

Alamat: Pusat Penelitian Politik Widya Graha LIPI, Lt.3Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan

Email: [email protected]: http://politik.lipi.go.id

TIM PENELITI OTONOMI DAERAH P2P LIPI

Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A. (Politik dan Pemerintahan)

Drs. Heru Cahyono (Politik dan Pemerintahan)

Nyimas Latifah Letty Aziz, S.E., M.Sc., M.Eng. (Politik Ekonomi dan Pembangunan Wilayah)

Yusuf Maulana, S.A.P. (Administrasi Publik)

Dini Rahmiati, S.Sos., M.Si. (Politik dan Pemerintahan)

Informasi kerjasama penelitian silahkan menghubungi Sekretaris Redaksi

Volume 1 No. 4 Desember 2020 ISSN 2722-8959

Page 2: Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

Volume 1 No. 4 Desember 2020 2

Pilkada 2020: Taruhan Reputasi

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL

Newsletter

Di tengah desakan kuat rakyat akan penundaan pilkada serentak 9 Desember 2020, DPR dan pemerintah tetap bergeming. Pemerintah sepertinya yakin tidak

ada yang perlu dikhawatirkan karena akan ada penegakan hukum keras bagi pelanggar protokol kesehatan, mulai dari teguran hingga ancaman diskualifikasi.  Keyakinan ini diragukan banyak pihak: Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Komnas HAM, akademisi, aktivis pemilu/pilkada, Komite 1 DPD, NU, dan Muhammadiyah.

Pertama, Covid-19 belum mencapai puncaknya, makin meluas, dan tersebar di semua provinsi. Jumlah korban terus bertambah. Kedua, pilkada adalah bentuk kontestasi yang melibatkan rakyat secara langsung sehingga dapat dipastikan akan ada peningkatan pergerakan penduduk yang signifikan.

Sementara secara medis ada korelasi positif antara naiknya mobilitas penduduk dan tingginya penambahan kasus positif Covid-19 sehingga besar kemungkinan akan muncul kluster pilkada sebagaimana peringatan yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo.

Keraguan publik kepada pemerintah dalam menegakkan peraturan protokol kesehatan cukup berdasar. Jauh sebelum masa kampanye, data Kemendagri per 8 September 2020 menyebutkan, ada 69 calon kepala/wakil kepala daerah yang mendapat teguran karena melanggar protokol kesehatan saat tahapan pilkada. Saat pendaftaran, 260 dari 650 bakal paslon melanggar protokol kesehatan.

Lalu bagaimana jadinya dengan masa kampanye hingga masa tahapan pemilihan dan penetapan pemenang pilkada? Oleh karena itu, kebijakan untuk tetap melaksanakan pilkada merupakan taruhan reputasi besar bagi pemerintah. Tanpa pilkada saja, dampak Covid-19, khususnya di bidang ekonomi, telah membuat kepercayaan rakyat pada

pemerintah turun.

Bukan sekadar ritual

Sebagai pilar penting demokrasi, idealnya pilkada mampu menghasilkan proses konsolidasi demokrasi dan mampu mewujudkan demokrasi yang semakin sehat dan bermartabat bagi daerah. Dengan itu diharapkan lahir pemimpin terpilih yang berkualitas dan mampu memperbaiki tata kelola pemerintahan daerahnya. Sayang jika pilkada yang berbiaya mahal hanya melahirkan demokrasi prosedural dan penguasa.

Sejauh ini proses konsolidasi demokrasi melalui pilkada langsung serentak sulit terwujud karena reformasi dan pelembagaan partai belum memadai sehingga rentan terhadap konflik internal. Selain itu, parpol juga masih belum mampu merespons tuntutan publik yang sangat

dinamis, termasuk era disrupsi yang penuh ketidakpastian sekarang ini.

Sebagai sarana komunikasi politik, dalam konteks pilkada, parpol punya tanggung jawab untuk turut menciptakan pilkada yang aspiratif, partisipatif, transparan, dan akuntabel. Bukan yang elitis dan mem-fait accompli  rakyat untuk memilih pilihan elite. Karena semestinya parpol jadi kepanjangan tangan rakyat dan sejatinya rakyatlah pemilik pilkada dan pihak yang paling berkepentingan dengan proses suksesi pemimpinnya.

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi pilkada tahun ini, permasalahan krusial yang patut dicermati adalah bagaimana membangun reputasi pemerintah dan parpol. Bagi parpol, Pilkada 2020 penting dalam konteks Pemilu 2024.

Pilkada via DPRD

Di tengah Covid-19 yang masih meluas, rakyat berharap pemerintah bisa menunjukkan empati kuat akan nasib kesehatan dan keselamatan rakyat. Pemerintah perlu mempertimbangkan pentingnya penundaan pilkada hingga batas waktu yang layak menurut pakar kesehatan yang memang punya otoritas soal pandemi ini.

Di era disrupsi yang penuh ketakpastian, pemerintah harus mengedepankan kebijakan berbasis sains sehingga keputusannya rasional, bermanfaat (tak kontroversial), lebih terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan ke publik.

Jika pandemi belum juga bisa dikendalikan setelah batas penundaan, sebagai jalan tengah rakyat dan pemerintah perlu mencari bentuk pilkada lain yang tak mengundang banyak kerumunan. Dalam konteks ini, sebenarnya prinsip memilih kepala daerah sudah dipayungi secara hukum di Konstitusi. UUD 1945 Pasal 18 Ayat (4): ”Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Jelas sekali konstitusi secara eksplisit tidak menyebutkan pilkada langsung atau pilkada langsung serentak maupun pilkada tak langsung. Titik tekan amanat konstitusi adalah ”dipilih secara demokratis”. Artinya, tidak mempermasalahkan mekanisme yang digunakan.

Karena pilkada pilar penting demokrasi daerah, mekanisme pilkada yang diterapkan di daerah harus memberikan korelasi positif dan bermanfaat. Bukan sebaliknya, malah menggerus nilai-nilai budaya lokal atau bahkan sering abai pada nilai-nilai penting Pancasila.

Pengalaman empirik selama ini menunjukkan banyak praktik pilkada yang bersifat distortif dan memunculkan

Page 3: Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

Volume 1 No. 4 Desember 2020 3

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL

Newsletter

konflik sosial, kerusuhan, dan menghasilkan  bad governance atau divided governance, pemerintahan yang tidak efektif. Pilkada langsung dan tak langsung masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta dampaknya.

Pilkada langsung melibatkan masyarakat langsung (demokrasi partisipatoris), sedangkan pilkada via DPRD melibatkan wakil rakyat (demokrasi perwakilan). Karena itu, pilkada via DPRD kiranya patut dipertimbangkan jadi solusi jalan tengah karena sifatnya lebih mengurangi pergerakan rakyat ketimbang pilkada langsung. Sekali lagi, ini dalam konteks darurat kesehatan seperti saat ini.

Wacana pilkada via DPRD sebetulnya bukan hal baru dan pernah disuarakan NU (2012) dan Muhammadiyah (2014). Alasannya bukan karena pandemi, melainkan karena pilkada langsung dinilai lebih banyak mudarat ketimbang pilkada via DPRD. Salah satunya, maraknya korupsi kepala daerah.

Sebagai alternatif di masa darurat Covid-19, bentuk pil-kada via DPRD cenderung lebih compatible (berkesesuaian) karena tak mengundang banyak kerumunan. Akan tetapi, untuk itu, perlu dibuat ketentuan pilkada via DPRD yang mampu menyerap aspirasi rakyat.

Bangsa Indonesia harus bijak dalam menetapkan keputusan pilkada, khususnya, terhadap masalah kemanusiaan (nyawa manusia) dan harmoni sosial di daerah. Jika pilkada serentak memang untuk rakyat, keberpihakan pada isu kemanusiaan dan krisis kesehatan harus mengedepan. Suara, aspirasi, dan kepentingan rakyat mesti diutamakan. Bukan sebaliknya, kepentingan elitenya saja atau pertimbangan keuntungan ekonomi dan kekuasaan belaka. (R. Siti Zuhro).

*Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di Kompas edisi 5 Oktober 2020 di halaman 7 dengan judul “Pilkada 2020: Taruhan Reputasi”https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/05/pilkada- 020-taruhan-reputasi/

Dinasti Politik dalam Pilkada

Isu dinasti politik dalam pilkada selalu menjadi isu yang hangat. Pro kontra berkenaan dengan isu tersebut tidak dapat dihindarkan. Hal ini tampaknya sudah menjadi

turun menurun terjadi hampir di semua daerah pemilihan. Padahal kita tahu bahwa pilkada sebagai pilar penting demokrasi merupakan suatu sistem suksesi kepemimpinan yang memberikan kesempatan sama bagi semua warga negara, khususnya bagi para kader partai politik (parpol). Sayangnya, sistem rekrutmen dan kaderisasi partai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan, terkesan cenderung tertutup. Parpol belum punya standar kriteria baku dalam menentukan rekrutmen elitenya dan promosi kadernya sebagaimana halnya di birokrasi atau perusahaan besar.

Fenomena Politik Dinasti dalam Pilkada

Indonesia memiliki keragaman daerah dengan nilai-nilai budaya lokalnya yang sangat khas dan unik. Namun satu hal yang sama, hampir tidak ada satu pun daerah yang terbebas dari warisan nilai-nilai feodalisme, praktik patrimonialisme, patronase dan ciri-ciri masyarakat komunal yang cenderung sangat permisif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Weber, patrimonialisme adalah a system of rule based on administrative and military personnel who were responsible only to the ruler. Sedangkan neopatrimonialisme adalah a modern form of the traditional patrimonial form of rule, is a mixed. Di sini, elements of patrimonial and rational bureaucratic rule co-exist and are sometimes interwoven.

Dalam konteks Indonesia, warisan sistem nilai yang ada tidak seluruhnya bisa dieliminasi ketika demokrasi diterapkan di negeri ini sejak 1998. Konsekuensinya, dinasti politik mendapatkan peluangnya di era demokrasi karena

demokrasi yang diterapkan di Indonesia sifatnya sangat prosedural dan cenderung mencerminkan model mix/hybrid system.

Dalam sistem patrimonial semua hubungan kekuasaaan, baik politik maupun administrasi, merupakan hubungan yang bersifat personal. Tidak ada perbedaan antara sektor privat dan publik. Dalam sistem neopatrimonial, meskipun secara teori ada pembedaan antara sektor privat dan publik, realitasnya seringkali sulit dibedakan. Yang terjadi justru sistem campuran dan hubungan yang bersifat pribadi dan legal rasional.

Sistem multi partai dan praktik pilkada langsung sejak 2005, di satu sisi relatif meningkatkan partisipasi politik rakyat. Namun, di sisi lain juga memunculkan distorsi yang cukup serius sehingga menghambat konsolidasi demokrasi lokal. Distorsi yang terjadi misalnya pelanggengan kekuasaan melalui dinasti politik. Praktik ini jelas tampak seperti yang terjadi di Banten. Bagaimana kekuatan-kekuatan lokal yang ditanamkan sejak lama berkelindan dalam politik dan pemerintahan sehingga memengaruhi proses pilkada dan tata kelola pemerintahan di Banten.

Praktik-praktik dinasti politik mendorong terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan. Posisi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah seakan-akan bisa diwariskan turun temurun kepada istri, anak, saudara, dan kerabat dekatnya. Bahkan, hasil pilkada berputar hanya kepada kelompok-kelompok tertentu itu saja. Masalah politik uang, politik transaksional, kolaborasi pasangan calon dengan para pemodal dalam pilkada seakan-akan menjadi hal yang wajar. Akibatnya, pilkada menghasilkan pemimpin yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

Page 4: Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

Volume 1 No. 4 Desember 2020 4

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL

Newsletter

Paradoks Demokrasi dalam Pilkada

Mata rantai berkembangnya dinasti politik sangat kental

hampir di semua daerah pemilihan dan sulit untuk

dinafikkan dalam pilkada. Padahal, pilkada sebagai sistem

demokrasi memberikan peluang yang sama kepada

warga negara untuk memilih dan dipilih. Harapannya,

sistem demokrasi diharapkan mampu menghentikan atau

mengurangi kecenderungan menjamurnya dinasti politik

atau politik kekerabatan yang mempraktikkan sistem yang

kurang transparan dan tidak akuntabel.

Masalahnya, praktik yang terjadi saat ini justru demokrasi

menyuburkan dinasti politik. Ini berarti terjadi paradoks

demokrasi. Apa yang salah dengan demokrasi kita?

Mengapa demokrasi tidak berkorelasi positif terhadap

meningkatnya kualitas transparasi dan akuntabilitas?

Sebaliknya, justru memunculkan kekuatan politik dan

ekonomi yang bersekongkol mengeksploitasi daerah.

Dalam kasus Indonesia, beberapa daerah cenderung

rentan mempraktikkan dinasti politik karena kegagalan

daerah membangun demokrasi yang menciptakan

partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Seiring dengan

itu, muncullah penyimpangan karena pemimpin hasil pilkada

gagal menciptakan pemerintahan yang bersih dan melayani.

Anehnya, distorsi tersebut bukannya segera diperbaiki,

tetapi terkesan dibiarkan sehingga terjadi akumulasi yang

cukup serius yang daya rusaknya semakin nyata, bahkan

dinasti politik ini bak virus menyebar hampir ke seluruh

wilayah di Indonesia. Menurut catatan Kemendagri ada 83

kasus dinasti politik era pilkada langsung (2005-2018).

Fenomena ini sebenarnya merupakan fenomena umum

yang terjadi di banyak negara berkembang. Kentalnya

praktik dinasti politik tersebut khususnya karena pengaruh

kultur/tradisi/nilai-nilai warisan lama, seperti feodalisme,

patrimonialisme dan atau patron-cleint relationship.

Kegagalan era reformasi dalam mereduksi praktik dinasti

politik karena demokrasi yang dibangunnya gagal memutus

mata rantai nilai-nilai masa lalu yang menjadi prasyarat bagi

tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai yang kompatibel

bagi demokrasi. Lemahnya praktik good governance dan

peran masyarakat lokal juga membuat bangunan dinasti

politik eksis tanpa ada perlawanan yang berarti.

Lepas dari itu, UU Pilkada tidak mengatur dan atau

membatasi dinasti politik. Tiadanya peraturan mengenai

politik kekerabatan/dinasti dalam UU Pilkada tersebut

secara tidak langsung memberi peluang praktik politik

kekerabatan. Masalahnya bagaimana stakehoders terkait

pilkada mampu mencegah kecenderungan maraknya politik

kekerabatan dan ikut memberantas KKN di daerah.

Apa Langkah Selanjutnya?

Untuk mencegah pembajakan demokrasi oleh praktik suap, kolusi dan nepotisme (KKN) melalui dinasti politik tidak cukup hanya mengandalkan UU Pilkada sebagai payung hukum, tapi lebih dari itu diperlukan penegakan hukum yang konkrit yang mampu memberi penalti (seperti diskualifikasi) bagi para pelanggarnya tanpa pandang bulu. Karena itu, Bawaslu RI dan daerah yang telah dikuatkan posisinya secara hukum dituntut untuk mampu melakukan pengawasan dan penindakan yang tegas secara administratif terhadap para peserta yang melanggar peraturan.

Solusi mujarab terhadap dinasti politik dapat terjadi jika parpol memiliki komitmen yang kuat dalam melakukan reformasi parpol. Parpol harus melakukan kaderisasi dan sistem promosi yang benar, transparan dan akuntabel. Seleksi calon pemimpin dan pengawasan sebagai suatu mekanisme untuk menjaga kualitas (quality control) kader harus senantiasa dilakukan parpol. Ke depan parpol harus membuat sistem rekrutmen elite dan kaderisasinya secara jelas, transparan, dengan mengutamakan merit system. Dengan itu, tidak ada orang yang secara mendadak menjadi calon ketua partai atau kepala daerah. Hal tersebut tidak berarti menutup pintu bagi anak dan kerabat dekat ketua umum dan petinggi parpol, tetapi mereka harus melewati proses penyaringan secara berjenjang seperti yang terjadi di birokrasi.

Last but not least dukungan dan peran civil society dan semua stakeholders terkait demokrasi, khususnya pemilu dan pilkada (parpol), melalui pressure imperative-nya untuk memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi bagi semua warga negara secara berkeadilan sangat diperlukan. Power tends to corrupt absolute power corrupts absolutely ini harus diperangi dan dilawan. Kehadiran dan peran relawan demokrasi/pemilu yang kuat sangat penting dalam mengawal dan mencegah terjadinya distorsi pilkada di semua tahapan prosesnya. Seiring dengan itu, tidak hanya parpol tapi institusi penegak hukum dan kampus-kampus mestinya menjadi garda terdepan pencerah/pengedukasi bagi rakyat dan pendorong peningkatan kualitas demokrasi.

Karena itu, rekrutmen calon kepala daerah harus dilakukan secara transparan, akuntabel dan adil agar memunculkan kepala-kepala daerah yang kapabel dan berintegritas yang mampu memajukan daerah. Bukan kepala-kepala daerah yang direkrut secara nepotis, kolutis apalagi karena keturunan dan kekerabatan semata. Di era demokrasi saat ini cara-cara tersebut harus dihapuskan karena menghambat proses demokrasi dan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan governability. (R. Siti Zuhro dan Nyimas Latifah Letty Aziz).

Page 5: Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

Volume 1 No. 4 Desember 2020 5

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL

Newsletter

Potensi Konflik Sosial Pilkada 2020

Dalam beberapa minggu ke depan, 270 daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak. Pilkada akan

diselenggarakan pada 9 Desember 2020 dengan melibatkan sekitar 105 juta pemilih. Sembilan provinsi di Indonesia yang akan melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur adalah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Selain itu, pada tingkat kabupaten dan kota terdapat 224 Kabupaten dan 37 kota yang akan melaksanakan pilkada.

Pilkada tahun ini merupakan pilkada istimewa karena digelar dalam situasi pandemi COVID-19. Hal ini tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Pilkada yang semula akan  diselenggarakan  23 September  2020, diundur setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI  tanggal 30 Maret 2020 menyetujui penundaan tahapan Pilkada Serentak sebagai respons terhadap pandemi. DPR RI kemudian meminta pemerintah untuk menyiapkan payung hukum baru berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengirim surat ke Presiden mengusulkan norma hukum dalam Perppu, hingga akhirnya RDP Komisi II pada 14 April 2020 menyetujui penundaan Pilkada Serentak 2020 menjadi 9 Desember 2020. Pada tanggal 27 Mei 2020 diputuskan bahwa Pilkada Serentak 2020 akan dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020. Setelah KPU berkirim surat kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kepala BNPB melalui surat No: B-196/KA GUGUS/PD.01.02/02/2020 memutuskan bahwa Pilkada dapat dilanjutkan dengan menerapkan protokol kesehatan.

Dengan situasi pandemi seperti sekarang ini, hal penting yang harus dilihat adalah apakah potensi konflik dalam Pilkada dapat dihindari? Tulisan ini melihat bahwa potensi konflik dalam Pilkada Serentak di era pandemi ini sulit untuk dihindari, bahkan cenderung semakin  besar. Menurut Adrianus Meliala, ada dua asumsi untuk melihat potensi konflik sosial dalam Pilkada ini. Pertama, konflik sosial dapat dihindari dengan meniadakan atau menekan potensi konflik berupa: (a) kontak fisik; (b) kerumunan massa; (c) perasaan  (kemarahan, kebencian) kolektif; dan (d) perilaku di media sosial. Upaya meminimalisir potensi konflik tersebut dapat dilakukan misalnya dengan: (1)mengubah metode Pilkada manual menjadi Pilkada digital atau e-voting; (2) meniadakan kegiatan khususnya pada tahap pra-pemberian suara yang bersifat menciptakan kerumunan orang, khususnya yang anarkis; (3) berupaya sekeras-kerasnya meniadakan atau menekan munculnya permasalahan atau isu yang memicu atau memancing perasaan kolektif, baik yang berasal dari pelaksana Pilkada, peserta, atau pihak-pihak lain. Ketiga poin ini masing masing memiliki pertanyaan lanjutan, yaitu

maukah, mungkinkah dilakukan? dan bisakah? Kedua, konflik sosial tidak mungkin dihindari, di mana potensi konflik tetap ada atau dibiarkan ada dengan penjelasan sosiologis  bahwa: (1) masyarakat mudah emosi dan tidak rasional; (2) masyarakat permisif sekaligus loyal pada orang yang dijadikan panutan; dan (3)  sudah tertanam kebencian kolektif demikian juga perasaan kolektif.  Sementara itu menurut pendekatan kriminologis, jika potensi konflik dibiarkan ada maka akan muncul kelompok yang dibayar melakukan anarki. Selanjutnya, akan muncul pula kelompok yang secara ideologis mendukung anarki. Terdapat pula proses belajar menciptakan atau melakukan konflik dalam berbagai model, bahkan mitos. Pelaku konflik ini berpeluang besar lepas dari tanggung jawab hukum. Selanjutnya penjelasan politis melihat bahwa potensi konflik tetap ada, yaitu konflik sosial dianggap fungsional, artinya tetap ada gunanya secara politis karena bisa mengubah konstelasi.  Konflik sosial ini bisa diciptakan dan dikelola guna menjatuhkan kompetitor. Kerumunan justru digalang dalam kampanye.

Potensi konflik dalam Pilkada 2020 kali ini juga dipersulit oleh situasi selama pandemi COVID-19 ini, yaitu resesi ekonomi, pro-kontra penyelenggaraan Pilkada Serentak, ketidakpuasan terkait hadirnya beberapa UU, gangguan keamanan, dan  money politics. Faktor-faktor tersebut bisa memperburuk potensi konflik sosial yang sudah ada. Faktor-faktor penyulit ini ada yang bersifat alami dan mengalami habituasi, namun ada pula yang merupakan hasil rekayasa.

Tentunya harapan kita semua adalah Pilkada ini dapat terlaksana dengan baik. Pilkada merupakan perwujudan demokrasi lokal di mana rakyat yang telah memenuhi persyaratan mempunyai hak  konstitusional untuk memilih dan dipilih. Rakyat berdaulat menentukan pemimpin pemerintahan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota secara langsung dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya  saing daerah, menurut asas otonomi seluas-luasnya. Namun mengingat pandemi COVID-19 yang belum tertangani  dengan baik, banyak pihak menginginkan Pilkada ini ditunda.  Sementara itu, pemerintah tetap berpendapat bahwa Pilkada Serentak memang harus dilakukan sesuai jadwal.  «Pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai penegakan hukum dan sanksi tegas agar tidak terjadi kluster baru pilkada,» terang Fadjroel Rahman sebagai juru bicara pemerintah. Pilkada Serentak ini justru diharapkan menjadi momentum tampilnya cara-cara baru dan inovasi baru bagi masyarakat bersama penyelenggara negara untuk bangkit bersama dan menjadikan Pilkada sebagai ajang adu gagasan, adu berbuat dan bertindak untuk meredam dan memutus rantai penyebaran COVID-19.

Pilkada pada dasarnya memiliki dampak multidimensi. Keberhasilannya tidak hanya tergantung pada

Page 6: Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

Volume 1 No. 4 Desember 2020 6

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL

Newsletter

penyelenggara Pilkada, tetapi juga memerlukan kerja sama dari seluruh Kementerian/Lembaga, partai politik, dan masyarakat. Antisipasi terhadap terjadinya konflik sosial dapat dilakukan dengan menyiapkan strategi dan sumber daya yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan konflik sosial, dan  melakukan pemulihan  jika terjadi konflik sosial.

Untuk itu, antisipasi konflik sosial yang dapat dilakukan adalah peningkatan integritas dan netralitas penyelenggara Pilkada. Proses penyelesaian sengketa pilkada harus dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan koordinasi yang baik antara aparat penegak hukum, Pemerintah  Daerah, satgas COVID-19, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Penyelenggara Pilkada juga harus memiliki strategi melawan  hoax/disinformasi/berita bohong terkait Pilkada. KPU, Bawaslu, Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemenpora, Kemendagri, Pemda, dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) perlu mendorong pendidikan digital untuk melawan kampaye jahat dan hoax.

Selain itu, komitmen dari pembentuk UU, peserta Pilkada,

dan partai politik sangat diperlukan untuk menguatkan

kerangka hukum pemilu yang demokratis, dan menjaga

serta melindungi kemandirian KPU dan jajarannya.

Pilkada yang ideal adalah tentu Pilkada tanpa konflik

sosial, tanpa kerusuhan, tanpa perang di media sosial

ataupun kampanye hitam. Untuk menciptakan hal tersebut,

semua elemen harus terlibat dan memiliki peran penting

dalam mendorong agar pilkada berlangsung  free and fair,

damai, dan tetap sehat. Negara dalam hal ini selain perlu

melindungi hak konstitusional rakyat untuk dipilih dan

memilih, juga harus melindungi hak hidup sehat setiap

warganya, mengingat kondisi pandemi COVID-19 masih

menunjukkan ketidakpastian. (Dini Rahmiati)

*Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di http://www.politik.lipi.

go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1427-potensi-konflik-sosial-

pilkada-2020 pada 9 November 2020.

Pilkada Serentak dan Netralitas ASN

Sistem pelayanan publik yang netral dari politik merupakan salah satu sifat penting dalam birokrasi. Larangan berpolitik yang diberlakukan kepada

Aparatur Sipil Negara (ASN) sangat penting untuk menjaga persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik yang netral dari intervensi. Semua ini sangat penting agar pelayanan publik yang coba diterapkan dapat mengikuti nilai-nilai yang diinginkan, seperti dinyatakan oleh Huber (2007:1) sebagai “world famous for its political capacity, impartialty and integrity”. Secara hukum, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengatur, antara lain, soal netralitas dan disiplin ASN. Sementara Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) diberi tugas mengawasi dan memberikan rekomendasi jika ada pelanggaran perilaku

ASN.

Dalam realitasnya, ASN tidak berada dalam ruang hampa politik. Mereka selalu bersinggungan dengan dinamika politik, terutama di tingkatan lokal. Momentum Pilkada kerap memosisikan aparatur sipil ini menjadi sorotan, tak terkecuali ketika kepala daerah di tempatnya bertugas cenderung memanfaatkan mereka untuk kepentingan elektoral. Ini karena ASN dianggap mampu menggerakkan potensi sosial dan politik yang mereka miliki. Selain itu, politik dan birokrasi tidak dapat dipisahkan. Ini karena birokrasi bersumber pada dua persimpangan: pertama, birokrasi adalah bagian dari pemerintahan yang tidak bisa dipisahkan sebagai alat dari kekuasaan. Kedua, birokrasi harus bersifat bebas dari politik.

Perhelatan pilkada serentak 2020 yang dilaksanakan di masa pandemi tidak menyurutkan pelanggaran

netralitas ASN yang terjadi. Data KASN mencatat, sampai pertengahan November 2020, 857 ASN dilaporkan melakukan pelanggaran netralitas ASN dengan 625 ASN mendapatkan rekomendasi sanksi dan 458 ASN sudah dijatuhi sanksi. Kategori pelanggaran yang dilakukan antara lain: Kampanye/sosialisasi media sosial (25.0%), mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada salah satu calon (14.2%), melakukan pendekatan ke parpol terkait pencalonan dirinya atau orang lain sebagai calon (13.8%), menghadiri deklarasi pasangan calon peserta pilkada (11.1%), melakukan foto bersama pasangan calon dengan mengikuti symbol yang mengindikasikan keberpihakan(9.4%).

Meskipun telah dibuat regulasi dan tindakan untuk menindak ASN yang tidak netral, pelanggaran di setiap perhelatan pilkada seringkali tetap terjadi. Pertama, Hal ini disebabklan oleh adanya motif untuk mendapatkan jabatan atau proyek, apabila calon yang didukung oleh seorang ASN menang, maka ASN tersebut akan diangkat menduduki jabatan tinggi dan strategis untuk memimpin berbagai proyek pemerintah daerah. Kedua, adanya hubungan kekerabatan dengan calon peserta pemilu yang secara emosional akan mendukung kerabatnya. Ketiga, kurangnya edukasi terkait aturan dan regulasi, beberapa ASN mengaku tidak menyadari bahwa memosting dukungan di sosial media termasuk pelanggaran dan menganggap itu sebagai sebuah kebebasan ekspresi politik. Keempat, takut melanggar “perintah”, tekanan struktural terutama untuk calon petahana yang ikut berkontestasi dalam pilkada meskipun calon petahana tersebut sudah cuti dari jabatannya. Kelima, lemahnya pemberian sanksi kepada ASN yang seringkali

Page 7: Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

Volume 1 No. 4 Desember 2020 7

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL

Newsletter

Modul Program Kegiatan Desa Cerdas kerjasama P2P LIPI dengan Pemerintah Kabupaten

Kudus, Jawa Tengah

Policy Paper Pengembangan Desa Cerdas kerjasama P2P LIPI dengan Pemerintah Kabupaten

Kudus, Jawa Tengah

Policy Paper 2014 (Daerah Otonom Baru) kerjasama P2P LIPI dengan Setwapres 2014

Resume Penelitian Jurnal Penelitian Politik 2018

tidak begitu berat serta pihak lain yang melanggar tidak diberikan sanksi.

Selain berbagai faktor tersebut, ada faktor budaya yang terbangun pada birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan dan kolonial. Pada era kolonial, pegawai pemerintah digunakan sebagai alat negara untuk mengendalikan masyarakat. Dalam kasus birokrasi di Indonesia di zaman kependudukan Jepang sampai demokrasi parlementer, Sutherland (1980) melihatnya birokrasi hanya sebagai alat kontrol administrasi dan politik saja. Begitu juga pada masa zaman Orde Lama dan Orde Baru, orientasi birokrasi masih juga terdapat campur tangan politik dalam soal pengisian jabatan pegawai di berbagai level pemerintahan oleh partai politik. Campur tangan politik terhadap birokrasi sangat kuat sehingga kenaikan pangkat pegawai sangat ditentukan oleh kesetiaan seorang pegawai kepada partai. Dari budaya birokrasi yang sudah terbangun bertahun-tahun tersebut, dapat dirumuskan bahwa kecenderungan birokrasi untuk bermain politik belum dapat sepenuhnya dihilangkan dari budaya birokrasi Indonesia baik pusat maupun daerah.

Untuk mengatasi beberapa persoalan netralitas ASN dalam pilkada, ada beberapa langkah yang sekiranya bisa dilakukan. Pertama, memastikan bahwa uraian tugas dapat

dipahami dan dilaksanakan oleh ASN yang bersangkutan, karena seringkali kompetensi tidak disadari ASN dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pencalonan kepala daerah khususnya calon petahana. Kedua, membangun pemahaman dan kesadaran Masyarakat, ASN, NGO, pemerintah, akademisi karena masih adanya rasa permisif di kalangan masyarakat terkait dengan netralitas ASN. Ketiga, membangun sistem merit. Sistem merit dalam ASN perlu ditegakkan dan dikontrol khususnya dalam mutasi dan promosi jabatan, apabila sistem ini terbangun dengan baik, maka celah mengajak ASN untuk tidak netral kepada salah satu pasangan calon dapat diminimalisir. Keempat, membuat mitigasi resiko. Yaitu adanya perlindungan bagi ASN yang dipaksa atau diancam oleh atasan atau calon kepala daerah untuk tidak netral dan mendukung calon tertentu. Kelima, pengawasan yang tidak hanya top-down, namun bisa juga melakukan pengawasan secara horizontal, lintas jabatan dan juga pengawasan dari masyarakat. Keenam, melakukan integrasi penanganan pelanggaran, bukan hanya kepada ASN, tetapi kepada pihak lain yang terkait. Selain hal tersebut, pelaksanaan pilkada di masa pandemi saat ini, pemerintah perlu memberi perhatian khusus untuk perlindungan keselamatan dan kesehatan pegawai ASN yg bertugas dari potensi kluster baru Covid-19 pada Pilkada Serentak 2020. (Yusuf Maulana)

Publikasi Hasil-Hasil Penelitian Otonomi Daerah

Page 8: Volume 1 No. 4 Desember 2020 Newsletter - LIPI

Volume 1 No. 4 Desember 2020 8

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL

Newsletter

Publikasi Hasil-Hasil Penelitian Otonomi Daerah 2005-2019

Publikasi Buku 2005-2009 (Kajian Birokrasi dan Otonomi Daerah)

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

Publikasi Buku 2010-2014 (Kajian Pemekaran dan Relasi Kepala Daerah)

Publikasi Buku 2015-2019 (Kajian Otonomi Khusus)

Policy Paper 2015-2019 (Otonomi Khusus)

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020

PUBLIKASI HASIL-HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH 2005-2017 PUBLIKASI BUKU 2005-2009

PUBLIKASI BUKU 2010-2014

PUBLIKASI BUKU 2015-2017 REVIEW BUKU 2018

POLICY PAPER 2015-2019

PROSIDING FGD 1, 11 MARET 2020 PROSIDING WEBINAR, 22 APRIL 2020