Vulkan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

vul

Citation preview

BAB VIII

BAB I. AKTIVITAS GUNUNG APII.1. Pendahuluan

Lebih dari 80% permukaan bumi, baik di dasar laut hingga daratan tersusun atas ribuan gunung api. Di Indonesia saja, terdapat 128 gunung api aktif yang tersebar dari Sabang sampai Merauke (lihat Gambar VII.9 pada Bab VII), dan sebanyak 84 di antaranya menunjukkan aktivitas eksplosifnya sejak 100 tahun terakhir.

Emisi gas yang dihasilkan oleh aktivitas gunung api, kita sadari maupun tidak, telah berperan besar dalam kehidupan baik dalam bertahan hidup maupun berevolusi. Selama era pembentukan bumi, letusan gunung api telah menghasilkan / membentuk bentang alam indah, berupa pegunungan, paparan, dataran dan lembah. Bentang alam tersebut makin diperindah oleh proses-proses eksogen berupa pelapukan dan erosi, serta pembentukan soil yang subur, sehingga vegetasinya lebat dan terlihat warna biru dari kejauhan. Gunung api selalu membangun dirinya sendiri dan sekaligus menghancurkan tubuhnya dan apapun di sekitarnya. Tidak dipungkiri bahwa lahan yang dibentuk oleh hasil pelapukan aktivitas gunung api serta kandungan unsur-unsur / gasnya dapat menyuburkan lahan pertanian. Ironisnya, meskipun lahan tersebut sangat subur, dari waktu ke waktu, tetap saja terancam akan bahaya gunung api, baik langsung maupun tidak langsung. Ibarat makan buah simalakama, di samping kesuburan dan sumber daya alam yang melimpah, juga berbahaya.

I.2. Bencana Letusan Gunung api yang Pernah AdaBencana alam yang ditimbulkkan oleh aktivitas gunung api meliputi aliran dan seruakan piroklastika (awan panas), jatuhan bom gunung api, abu dan debu gunung api, aliran lava dan gas. Bencana ikutannya adalah guguran awan panas, lava dan lahar. Di dunia, sedikitnya 13 kali letusan sangat besar dengan korban jiwa yang sangat besar juga sejak 2000 tahun yang lalu (Tabel I.1). Letusan-letusan gunung api dengan indeks letusan 4-8 sangat jarang terjadi, karena letusan-letusan besar tersebut memerlukan energi letusan yang sangat besar, dengan waktu akumulasi yang sangat lama. Tabel I.1. Letusan-letusan besar gunung api di dunia yang banyak memakan korban jiwa (sumber: Oppenheimer (2003), dan Smithsonian Global Volcanism Program; ILG: indeks letusan gunung api)ErupsitahunTinggi kolom letusan (km)ILGN. hemis-phere (C)Korban

Vesuvius79?7??

Taupo181517?~

Baekdu9692567??

Kuwae1452?60.5?

Huaynaputina16004660.81400

Tambora18154370.5> 71,000

Krakatau18832560.336,600

Santamara1902346Tanpa anomali7,00013,000

Katmai19123260.42

Mt. St. Helens1980195Tanpa anomali57

El Chichn19823245?> 2,000

Nevado del Ruiz1985273Tanpa anomali23,000

Pinatubo19913460.51202

Letusan Gunung Vesuvius (Italia) yang terjadi pada 24 dan 25 Agustus 79 M, yang melanda daerah Pompeii, Stabei dan Herculaneum. Sekitar 20.000 jiwa dan ribuan tempat tinggal terkubur oleh material rempah gunung api tersebut (Gambar I.1). Contoh bencana alam gunung api yang lain adalah guguran awan panas di desa Turgo, lereng Gunung Merapi pada 22 November 1994, yang menelan sedikitnya 60 jiwa, harta benda dan tempat tinggal (Gambar I.2). Untuk dapat bertahan di lingkungan gunung api, diperlukan manajemen bencana, yaitu perencanaan yang matang dan pemahaman akan aktivitasnya.

Gambar I.1. Sisa reruntuhan dampak bencana letusan Gunung Vesuvius pada tanggal 24 dan 25 Agustus 79 M yang dilatarbelakangi oleh gunung api tersebut (sumber: www.volcano.und.nodak.edu). Gambar I.2. Guguran awan panas 22 November 1994 (atas, foto: Mongin, 1994) dan korban seruakan di Dusun Turgo (bawah; foto: Bronto, 1994).

Abu dan debu hasil erupsi gunung api dapat merusak pertanian. Kasus ini biasa terjadi saat aktivitas Gunung Merapi meningkat, seperti pada periode aktif 1994, 1997, 2002 dan 2006 (Gambar I.3 kiri). Erupsi Gunung Kilauea (Hawaii) pada 1969-1974 menyebabkan gagal panen di Kona dan Puna (http://pubs.usgs.gov/ gip/hazards; Gambar I.3 kanan). Letusan gunung api juga dapat mengacaukan navigasi pesawat terbang, abu dan debu gunung api menghalangi jarak pandang pilot. Dampak lain yang ditimbulkan adalah kebakaran, seperti di Kalapana (Hawaii) oleh lava Kupainaha pada 1991 (http://pubs.usgs.gov/gip/hazards). Erupsi gunung api juga dapat membentuk rekahan di permukaan tanah, akibat tenaga inflasi sebelum erupsi berlangsung. Contoh: rekahan di Kapoho (Hawaii) oleh erupsi Gunung Kilaeua 1960 (Gambar I.4; http://pubs.usgs.gov/gip/hazards).a. b. Gambar I.3. a. Daun tembakau di Dusun Stabelan (Kab. Boyolali) yang rusak oleh abu gunung api Merapi pada Juli 2006. b. Kebun tales yang rusak oleh abu gunung api Galunggung pada 1994

Gambar I.4. Aliran lava basalt di Gunung Kilauea (Hawaii) April 1983 yang mengakibatkan kebakaran dan memotong jalan Royal Garden (foto: JD. Griggs, USGS).Letusan gunung api juga dapat memicu tsunami, seperti letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883. Tsunami tersebut hingga setinggi 40 m dan membunuh sedikitnya 36.000 orang di sepanjang selat Sunda (Gambar I.5). a. b.

Gambar I.5. Krakatau sebelum dan setelah letusan 26 Agustus 1883 (kiri) dan morfologi tiga dimensi Anak Krakatau, Lang dan Verlaten (kanan) (Simkin & Fiske, 1983).

Menurut Simkin dan Fiske (1983), tsunami tersebut terrekam hingga Samudra India, Samudra Pasifik, pantai barat Amerika, Amerika Selatan dan Terusan Inggris. Awan gelap dirasakan hingga New York yang berjarak 4828 km dari Gunung Krakatau. Letusan tersebut dicirikan oleh nilai Indeks Letusan Gunung api (ILG) 6 dan tenaga yang dilepaskannya mencapai 200 mega ton TNT (Pararas-Carayannis, 1974). Sebagai perbandingan, kekuatan bom di Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) pada tanggal 16 Agustus 1945 adalah 20 ribu ton. Meskipun letusan Krakatau pada 1883 dikategorikan besar, namun letusan Gunung Santorin (Thera) di Samudra Aegean pada abad ke 5 SM dengan ILG 6 intensitasnya 1,5x lebih kuat dari Krakatau 1883.

Bencana gunung api yang lain adalah lahar. Lahar dari Gunung Nevado del Ruiz (Columbia) pada 13 November 1985 mencapai Desa Armero di sepanjang Sungai Lagunilas dan Guali sejauh 70 km, menelan 22.000-27.000 korban jiwa, serta mengendapkan sedimen setebal 4-10 m (Parnell dan Burke, 1990; Gambar I.6). Lahar letusan Gunung Kelut pada tahun 1990, menewaskan sedikitnya 33 orang, serta 500 rumah dan 55 sekolahan rusak berat, di sepanjang Kali Bladag. Contoh lain adalah lahar di Gunung Pinatubo (1991), El Palmar (1989), St. Hellens (1982), Villarrica (1984), Galunggung (1994) dan lain-lain.

Gambar I.6. Lahar Gunung Nevado del Ruiz yang mencapai Desa Armero (Columbia) pada 13 November 1985 yang memakan 22.000-27.000 korban jiwa (foto: Janda, Cascade Volcano Observatory, USGS).LATIHAN TUGAS:

1. Jelaskan mengapa ada gunung api di permukaan bumi!

2. Apa pentingnya vulkanologi bagi manusia dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan?

3. Apa hubungan gunung api dengan manusia?

4. Apa hubungan gunung api dan komponen fisik bumi?

5. Apa hubungan gunung api dan tektonika?

6. Mengapa dalam perkumpulan / organisasi ahli-ahli vulkanologi sedunia, terdapat juga di dalamnya para ahli kimia dan interior bumi?BAB II. Proses VulkanismeII.1. Pengertian Vulkanologi

Berasal dari bahasa Italia yaitu kata vulcano yang berarti Dewa Api (penjaga pada tubuh gunung api). Dalam bahasa Belanda vulkaan yang berarti gunung api. Dalam bahasa Inggris: volkanologi berasal dari kata volcanology, yaitu volcano (= gunung api) dan logos (ilmu). Jadi, di Indonesia dapat menyebutnya ilmu gunung api, vulkanologi atau volkanologi, namun penyebutan harus secara konsisten.Kata Volcano (gunung api) pertama kali berasal dari pulau kecil yang bernama Volcano, terletak di Laut Mediterania, Sicily. Berabad-abad tahun yang lalu, masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut mempercayai bahwa di atas puncak Gunung Volcano tinggal seorang dewa yang bernama Volcan. Mereka berpikir bahwa fragmen-fragmen lava panas dan awan abu letusan yang dierupsikan Volcano adalah hasil / bagian dari tempaan besi Dewa Volcan hingga menimbulkan petir, saat sang dewa menempa /memukul besi baja untuk diolah menjadi senjata. Senjata tersebut diperuntukkan bagi Jupiter (raja dewa) dan Mars (dewa perang). Di Polinesia, masyarakat percaya bahwa material yang dierupsikan dari Gunung Pele adalah luapan kemarahan Pele (sebutan untuk Dewi Gunung api), saat dia marah atau kecewa. Kini, kita telah memahami bahwa erupsi gunung api adalah sesuatu proses alamiah yang dapat kita pelajari, diinterpretasi dan diprediksi kapan kejadiannya. Kata gunung api (volcano) juga mengacu pada bukaan atau kaldera, tempat magma dan gas muncul ke permukaan. Magma adalah batuan lelehan yang terletak di bawah permukaan bumi, muncul ke permukaan melalui pipa kepundan, jika telah dierupsikan ke permukaan disebut lava. Saat magma naik ke permukaan, biasanya mengandung kristal, fragmen dari batuan dinding (tak-terlelehkan) dan gas terlarut. Namun, pada dasarnya komposisi magma terdiri dari oksigen, silikon, aluminium, besi, magnesium, kalsium, kalium, natrium, titanium dan mangan, yang disebut sebagai common elements atau unsur-unsur umum. Di samping unsur-unsur yang umum dijumpai, dalam magma juga terdapat unsur-unsur jarang atau rare elements. Saat mengalami pendinginan, cairan magma mengalami pengendapan kristal dari berbagai jenis mineral hingga pembatuan berlangsung sempurna, membentuk batuan beku atau batuan magmatik. II.2. Lingkup Pembelajaran VulkanologiMenurut Tilling (1999), gunung api merupakan pegunungan, namun sangat berbeda dengan jenis pegunungan yang lain. Gunung api tidak terbentuk dari proses lipatan dan penghancuran, tapi oleh pengangkatan dan erosi. Tubuh gunung api terbentuk dari akumulasi material hasil aktivitasnya, yaitu lava, bom (aliran abu terkerakkan) dan tefra (abu jatuhan dan debu). Suatu gunung api umumnya berbentuk bukit atau gunung kerucut yang dibangun di seputar kaldera yang berhubungan dengan reservoir batuan cair. Reservoir tersebut terletak di bawah permukaan bumi pada kedalaman 1,5-10 km. Jadi, menurutnya lingkup pembelajaran vulkanologi berawal dari sumber (reservoir), tempat magma pembentuk gunung api berasal, hingga geomorfologi dan material yang menyusunnya.

Menurut Alzwar dkk (1988), gunung api adalah suatu timbulan di permukaan bumi, yang tersusun atas timbunan rempah gunung api, tempat dengan jenis dan kegiatan magma yang sedang berlangsung, dan tempat keluarnya batuan leleran dan rempah lepas gunung api dari dalam bumi. Jika gunung api harus berbentuk timbulan, maka tipe gunung api perisai tidak termasuk di dalamnya. Jika gunung api tersebut adalah aktivitas magma yang sedang berlangsung, maka gunung api yang telah mati (tidak aktif) tidak termasuk di dalamnya. Hal itu menimbulkan suatu kontroversi mengenai morfologi kerucut gunung api seperti Gunung Ungaran, Merbabu, Muria, Lawu dan lain-lain, yang tidak dapat dimasukkan sebagai gunung api. Apalagi gunung api-gunung api purba yang kini hanya menyisakan batuan-batuan gunung api saja, seperti Pegunungan Kulon Progo, Pegunungan Menoreh, Gunung Lasem dan Gunung Gajah Mungkur di Wonogiri. Maka, bagian-bagian tersebut tidak termasuk pula sebagai gunung api.Menurut MacDonald (1972), gunung api adalah tempat / bukaan berasalnya atau keluarnya batuan pijar atau gas dan / umumnya keduanya ke permukaan bumi, hingga lama-kelamaan terakumulasi dan membentuk bukit atau gunung. Menurut Bronto (2006), gunung api merupakan tiap-tiap proses alam yang berhubungan dengan kegiatan kemunculan magma ke permukaan bumi, meliputi asal-usul pembentukan magma di dalam bumi hingga kemunculannya di permukaan bumi dalam berbagai bentuk dan kegiatannya (Gambar II.1). Jadi setiap magma yang muncul ke permukaan bumi adalah gunung api.

Gambar II.1. Ruang lingkup pembelajaran vulkanologi dan ilmu-ilmu turunannya yang lain (Bronto, 2006).

Dalam proses pembelajarannya, vulkanologi membutuhkan interdisiplinarry dengan ilmu-ilmu geologi murni, seperti geofisika, vulkanologi fisik, petrologi dan geokimia; serta ilmu-ilmu terapan yang lain, seperti sosial dan ekonomi (Gambar II.2)

Gambar II.2. Interdisciplinarry proses pembelajaran vulkanologi terhadap ilmu-ilmu pendukung yang lain.

II.3. Proses Tektonisme Vs. VulkanismeProses vulkanisme yang membentuk gunung api, tidak pernah lepas dari tatanan tektonik, di mana gunung api tersebut berada. Sedangkan tatanan tektonik dari suatu daerah berhubungan dengan proses tektonik lempeng secara global. Secara umum, bumi tersusun atas beberapa lapisan material bumi yang dapat dibagi dalam tiga lapisan, yaitu inti bumi, selubung (mantle bumi) dan kerak bumi (Gambar II.3). Inti bumi terletak di bagian paling dalam, memiliki ketebalan 3478 km. Inti bumi dibagi menjadi dua lapisan, yaitu inti dalam bersifat padat, tersusun atas Ni dan Fe, dan berada pada kedalaman 5100-6378 km; dan inti luar bersifat plastis-cair, tersusun atas oksida Fe, sulfur dan bijih nikel, serta berada pada kedalaman 2900-5100 km. Mantel (selubung bumi) dapat dibagi dalam dua lapisan, yaitu selubung dalam yang bersifat cair dan selubung luar yang bersifat plastis, keduanya tersusun atas Mg dan SiO2. Lapisan bumi paling luar disebut kerak bumi, bersifat padat dan kaku (mudah patah). Tabel II.1. adalah sifat dan komposisi lapisan-lapisan inti, selubung dan kerak bumi.

Gambar II.3. Lapisan-lapisan penyusun bumi (Mason & Moore, 1982).

Tabel II.1. Material penyusun bagian dalam bumi dan sifat-sifatnya (sumber: Mason & Moore, 1982)Ketebalan (km) Densitas (gr/cm3)Tipe batuan

Atas (top)Bawah (bottom)

Kerak bumi302,2-Batuan silisik

-2,9Andesit, basalt pada bagian dasar

Selubung (mantel atas)7203,4Peridotit, eklogit, olivin, spinel, garnet, piroksen

4,4Peroksit, oksida

Selubung bawah2.1714,4-Magnesium dan SiO2

-5,6

Inti luar2.2599,9-Fe+oksigen, sulfur, bijih nikel

-12,2

Inti dalam1.22112,8-Fe+oksigen, sulfur, bijih nikel

-13,1

Ketebalan keseluruhan6.371

Pembangunan reservoir magma sering berkaitan dengan proses tektonik lempeng di bawah permukaan bumi tersebut. Secara tektonik ada dua mekanisme pembangunan reservoir magma, yaitu akibat pelelehan batuan dan adanya arus konveksi pada lapisan mantel atas. Proses pelelehan terjadi karena adanya tumbukan (subduksi) yang selanjutnya menyebabkan terjadinya gesekan yang sangat kuat pada kedua lempeng. Gesekan tersebut, menghasilkan panas dan tekanan hancuran yang tinggi. Material hancuran kemudian terlelehkan sebagian, kemudian naik ke permukaan melalui zona rekahan dan terkumpul dalam suatu reservoir dapur magma (Gambar II.4). Jika terdapat zona lemah yang mencapai permukaan tanah, aliran magma akan melaluinya hingga mencapai permukaan membangun tubuh gunung api.

Gambar II.4. Diagram tatanan tektonik mekanisme pembentukan dapur magma gunung api (Tatsumi, 1989 dan Tatsumi dan Eggins, 1985).

Dengan dikontrol oleh daya apungan dan tekanan gas dalam massa cair panas tersebut, magma mengalir ke permukaan melalui zona rekahan / zona yang paling lemah. Karena sifatnya yang cair dan panas, maka magma tersebut kadang-kadang juga mengerosi / menghancurkan material atau batuan yang dilaluinya. Proses itu disebut sebagai erupsi, yaitu proses keluarnya magma ke permukaan bumi melalui zona rekah / zona lemah. Di permukaan proses erupsi tersebut dapat berlangsung secara efusif (lelehan) maupun eksplosif (ledakan/letusan). Proses erupsi dalam satu tubuh gunung api dapat berlangsung secara berulang-ulang secara periodik atau secara monogenetik (sekali bererupsi kemudian mati).

Proses vulkanisme yang dikontrol oleh tektonik lempeng, kini telah membentuk beberapa gugusan gunung api di dunia, yaitu gugusan gunung api busur kepulauan, gugusan gunung api busur magmatik dan gugusan gunung api punggungan tengah samudra. Gugusan-gugusan gunung api tersebut dikenal sebagai ring of fire (cincin api; Gambar II.5). Gugusan gunung api tersebut juga dijumpai di Indonesia (Gambar II.6).

Gambar II.5. Gugusan api (ring of fire) yang terdiri atas zona tunjaman dan gugusan gunung api yang menghubungkan tunjaman Kormadec di New Zealand hingga tunjaman Peru di Amerika Selatan, melalui Indonesia, Filipina, Jepang, Aleutia dan Amerika (pubs.usgs.gov/publications/text/fire.html).

Gambar II.6. Busur gunung api di Indonesia akibat penunjaman lempeng Pasifik di bawah lempeng Eurasia (Simkin & Siebert, 1994).II.4. Seri Batuan Gunung api Ditinjau dari TatananTektoniknyaLebih dari ~90% gunung api terbentuk oleh proses tektonik, di awali dari proses pembentukan magmanya, pembentukan rekahan tempat keluarnya magma hingga tipe dan seri magmanya. Hanya sedikit sekali gunung api yang proses pembentukannya tidak berhubungan dengan proses tektonik lempeng, dan hal itu sangat sulit penjelasannya. Gunung api yang terbentuk akibat proses tektonik, lebih mudah dijelaskan melalui konsep tektonik lempeng (Fisher and Schmincke, 1984; Wyllie, 1971; Gambar II.6).

Gambar II.7. Tatanan tektonik proses vulkanisme yang diinterpretasi berdasarkan volume batuan intrusi dan ekstrusi di pemrukaan bumi, volume magma digambarkan dalam satuan km3 per tahun (FisherdanSchmincke,1984.)Berdasarkan tatanan tektonik yang berkembang, yaitu adanya jalur tunjaman dan jalur pemekaran, muncul gugusan gunung api (vulcanic arch/magmatic arch) dan gunung api yang dibentuk oleh proses pemekaran di belakang busur (hotspots). Ke semua bentuk dan tipe gunung-apinya pun bervariasi, sesuai dengan tingkat kedalaman dan proses pembentukan magma sumbernya. Gunung api yang terbentuk oleh proses divergen (pemekaran) lantai samudra menghasilkan seri batuan toleeitik. Gunung api yang terbentuk pada proses konvergen (penunjaman) sehingga membentuk proses pelelehan batuan yang menunjam, menghasilkan seri magma Kalk-alkalin, alkalin dan toleeitik. Gunung api yang terbentuk oleh proses rifting (hotspot) di belakang busur kepulauan, menghasilkan seri batuan alkalin, yang kaya akan kandungan unsur K. Tabel II.2. menginformasikan beberapa seri batuan gunung api yang terbentuk berdasarkan tatanan tektoniknya.

Tabel II.2. Material penyusun bagian dalam bumi dan sifat-sifatnya (sumber: Mason & Moore, 1982)Sifat-sifat magma

Seri batuanModel Tepian LempengJenis lempeng

Konvergen Divergen Samudra Benua

Alkalin (((

Toleeitik ((((

Kalk-alkalin(

Batuan-batuan gunung api terbentuk dari proses pembekuan dan fragmentasi magma dari seri-seri magmatik, sesuai dengan posisi tatanan tektoniknya. Secara mineralogi, seri-seri magmatik tersebut memiliki komposisi mineral tertentu. Tabel II.3 menjelaskan sifat mineralogi dan sifat kimia seri-seri magmatik tipe toleeitik, Kalk-alkalin dan alkalin.Tabel II.3. Tiga tipe seri magmatik batuan gunung api yang pembentukannya dikontrol berdasarkan tatanan tektoniknyaNORMSSERI MAGMATIK

Tipe ToleeitikTipe Kalk-alkalinTipe Alkalin

OrtopiroksenOrtopiroksenTanpa Ortopiroksen

Piroksen rendah CaSebagai fenokris dan massa dasarSebagai fenokrisJarang

MagnetitTerbentuk di akhirTerbentuk di awalBervariasi

Oksida Fe-TiBiasanya ilmenitMagnetit dan ilmenitBervariasi

AmfibolHanya berasal dari diferensiasi silikaMelimpah, kecuali dari magma primitifDijumpai di semua jenis

Sifat kimiaMg > Ca (Mg untuk Ol, OPX dan CPX)Ca > Mg (Ca pada augit, amfibol, titanit)Ca+Na > Mg (Ca+Na pd CPX, amfibol, aegirin, dll)

MORYaTidakTidak

Busur kepulauanYaTidakTidak

Busur magmatikYaYaYa

Didasarkan atas Kandungan SiO2 dalam magma, tipe / kelompok batuan gunung api dan keterdapatannya terhadap tatanan tektoniknya (Tabel II.4). Beberapa magma muncul sebagai batuan ultramafik, karbonatan, dan lava yang bersifat sangat alkalin.Tabel II.4. Beberapa tipe magma dari batuan gunung api berdasarkan kandungan silika dan keterdapatannya berdasarkan tatanan tektoniknyaSiO2 (%)Tipe magmaNama batuan seri gunung apiTatanan tektoniknya

~50Basa / mafikBasalMid oceanic ridge basalt

~60Intermediet / menengahAndesitBusur kepulauan dan busur magmatik dangkal

~65Asam / felsik rendah SiDasitBusur magmatik: lempeng benua dengan dapur magma tengah (B)

~70Asam / felsik kaya SiRiolitBusur magmatik: segregasi pada lempeng benua dengan dapur magma dalam (A)

Latihan tugas1. Bagaimana tatanan tektonik di Indonesia, gambarkan?

2. Tipe gunung api apa yang dapat berkembang di Indonesia? Mengapa demikian?

3. Tugas dikumpulkan: merangkum jenis-jenis batuan gunung api yang dihasilkan oleh kegiatan Gunung Merapi, Gunung Kelut, Gunung Semeru, Gunung Krakatau, Gunung Galunggung, Gunung Muria, Gunung Marapi, Gunung Lewotobi, Gunung Tambora, Gunung Talang dan Gunung Gamalama; sumber data: bpptk Yogyakarta

BAB III. Erupsi Gunung api, Tipe ERUPSI dan Indeks Letusan Gunung apiIII.1. Mekanisme Erupsi Gunung Api

Erupsi gunung api terjadi manakala magma yang tersimpan di dalam bumi, baik dari dapur magma atau magma primer (reservoir magma), lapisan asthenosfer maupun kantong-kantong magma dangkal, menembus ke permukaan bumi melalui suatu bukaan / rekahan, yang terbentuk secara tektonik. Keluarnya magma ke permukaan dapat berlangsung secara lelehan (effusif) maupun letusan (eksplosif).

Material yang dierupsikan secara efusif adalah lava, yang selanjutnya dapat tertumpuk di puncak gunung api, mengalir di lereng-lereng sampai kaki gunung api, atau dapat pula menggantung pada lereng gunung api. Jika lava menggantung pada lereng gunung api, maka dapat memicu terjadinya longsoran atau guguran awan panas. Jika hal itu terjadi, maka lava masif tersebut terfragmenkan hingga berukuran abu-bongkah, dan jika kemudian terjadi hujan lebat dalam waktu yang singkat dapat longsor menjadi lahar (aliran debris lumpur). Aliran lava (secara effusif) pada lava basaltik yang sangat encer di tengah samudra, dapat pula membentuk letusan-letusan lava fountain menghasilkan tuf basaltik atau kerucut skoria. Aliran lava biasanya terjadi pada gunung api yang memiliki seri magma encer dengan kandungan silika rendah (basa) hingga sedang (intermediet).Erupsi eksplosif dapat terjadi manakala kaldera tersumbat material, dapat berupa kubah lava dan / rempah gunung api terfragmentasi. Material penyumbat kawah tersebut mengeras (membatu), sehingga aliran magma ke permukaan tidak lancar. Aliran magma yang tersumbat membentuk tekanan yang tinggi di bawah kawah. Magma panas juga menguapkan airtanah yang ada di sepanjang pipa kepundan hingga kawah gunung api. Saat tekanan magma dan gas terakumulasi maksimal, yaitu ketika elastisitas sumbat magma mencapai titik kritis hingga tidak mampu lagi menahan tekanan letusan, maka terjadilah letusan gunung api.

III.2. Tipe Erupsi Gunung Api

Didasarkan atas mekanisme erupsinya, ada tiga tipe erupsi gunung api, yaitu:a. Tipe erupsi freatik, yaitu jika tekanan erupsi dibentuk oleh tekanan gas yang terkandung di dalam pipa kepundan dan / bagian atas dapur magma. Dalam tubuh gunung api tersusun atas batuan sarang yang banyak mengandung air. Lapisan sarang tersebut berdekatan dengan sumber magma panas, sehingga terjadi pendidihan airtanah membentuk uap (gas). Uap air terakumulasi dan menekan sumbat gunung api ke atas. Ketika sumbat gunung api tidak mampu menahan tekanan tersebut, terjadilan letusan freatik. Tipe erupsi freatik menghasilkan material gunung api berupa abu dan debu gunung api, serta gas bertekanan tinggi. Contoh: letusan Gunung Papandayan (Garut) pada tahun 2003-2004. Pada tipe letusan ini, magma tidak sampai ikut terlontarkan.b. Tipe erupsi magmatik, terjadi jika tipe magmanya basaltik, encer dan rekahan (kawah gunung api) tidak tersumbat. Magma mengalir ke permukaan dengan tekanan rendah. Erupsi magmatik biasa terjadi pada gunung api tipe perisai pada gugusan punggungan tengah samudra dan tipe strato. Material yang dierupsikan adalah lava seperti pembentukan kubah lava pada gunung api tipe strato di Gunung Merapi, aliran lava pahoehoe, banjir (sungai) lava dan lava Aa seperti Gunung Kilauea di Hawaii.c. Tipe erupsi freatomagmatik, terjadi pada gunung api yang memiliki tekanan erupsi sangat besar dan viskositas magma tinggi. Saat letusan berlangsung, gunung api memuntahkan material fragmental, berasal dari fragmentasi magmanya sendiri dan material runtuhan batuan dinding saat deflasi letusan. Campuran material fragmental membentuk awan padat berdensitas tinggi. Fragmen-fragmen yang lebih besar, seperti blok dan bom gunung api jatuh kembali ke dalam kawah dan sekitarnya. Kumpulan material jatuhan tersebut bergerak secara cepat menuruni lereng sebagai aliran debris awan panas di bawah pengaruh gaya gravitasi bumi. Beberapa material yang berukuran lebih kecil membentuk kolom letusan dan terbawa angin, lalu terendapkan di suatu tempat sebagai material jatuhan piroklastika. Partikel abu yang paling halus dilontarkan ke atmosfer (pada lapisan stratosfer) dan untuk beberapa saat terbawa angin hingga beberapa puluh kilometer, untuk selanjutnya diendapkan di suatu tempat.

Gambar III.1. Beberapa tipe erupsi gunung api berdasarkan mekanisme erupsinya, dengan menggunakan model di Gunung Vulcano. (a) tipe freatik, (b-c) freatomagmatik dan (d) magmatik dari suatu seri kegiatan (siklus) erupsi Gunung Vulcano, Italia (Frazzettaetal.,1983).Didasarkan atas tinggi kolom letusan, jangkauan material letusan dan volume material letusannya, ada 7 tipe letusan yaitu tipe Hawaiian, sumber lava (Lava fountain), Strombolian, Surtseyan, Vulkanian, Phreatoplinian, Plinian (Vesuvian) dan Peleean (Gambar III.2).

Gambar III.2. Tipe-tipe erupsi gunung api didasarkan atas tingkat eksplosivitas dan tinggi kolom letusan; Ft % tefra yang dilontarkan dan Ad (km2) jarak terjauh sebaran material letusannya (Cas et al., 1988 dan Walker, 1973).a. Lava fountain, yaitu lava yang dilepaskan secara besar-besaran, seperti meluahnya gelembung gas ke udara. Dalam hal ini, tingkat eksplosivitas letusannya ditentukan dari kandungan volatil dalam magma. Magma yang kental memiliki tekanan dalaman 100 atm beberapa meter di bawah permukaan. Kecepatan erupsi magma ditentukan dari seberapa besar kandungan gas dalam magma. Pada erupsi plinian, kecepatan erupsi dapat mencapai 400-600 m/dt. Kecepatan erupsi dapat ditentukan dari ukuran butir blok yang diendapkan di dekat kawah. Tinggi lava fountain ditentukan dari jumlah kandungan gas dalam magma yang dierupsikan. Tinggi lava fountain dapat mencapai 200-800 m dengan kandungan air sebelum erupsi mencapai 0,3% sampai 0,6%.

b. Tipe Hawaian, ditemukan di sepanjang celah atau rekahan yang berfungsi sebagai kawah linear. Contoh: erupsi Gunung Mauna Loa di Hawaii pada 1950 dan Gunung Kilauea pada tahun 1959. Pada tipe erupsi celah ini, dicirikan oleh material erupsi adalah lelehan lava melalui zona pengangkatan dan aliran (banjir) lava yang mengalir menuruni lereng. Pada erupsi pusat, aliran / luahan lava ini dapat setinggi beberapa ratus kaki atau lebih. Pada bentukan kawah purba, aliran lava tersebut dapat berbentuk danau lava, atau kerucut, atau aliran terradiasi.c. Tipe Strombolian: yaitu tipe erupsi gunung api dengan model erupsi Gunung Iraz (Costa Rica) pada tahun 1965. Dicirikan oleh luahan lava pijar yang berasal dari puncak gunung api, membentuk gugusan yang melengkung sebagaimana langit. Pada lereng kerucut gunung api, lava mengental dan bergabung dengan aliran (sungai) lava yang menuruni lereng.

d. Tipe Surtseyan, yaitu erupsi eksplosif hidrovulkanik lava basaltik Gunung Surtsey pada 1963. Tipe erupsi ini hampir sama dengan erupsi tipe Strombolian, hanya saja sedikit lebih eksplosif, yang dibentuk oleh mekanisme hidrovulkaniknya. Sebagaimana air mendidih, maka terbentuk uap dan makin tumbuh secara eksplosif, yang selanjutnya terjadi fragmentasi magma hingga berukuran lebih kecil seperti abu halus.e. Tipe Vulknian: didasarkan pada erupsi Gunung Parcutin pada 1947. Material berdensitas yang terdiri dari campuran abu dan material lain dieksplosikan dari kawah gunung api, menyembur lebih tinggi dari puncak tinggi kolom erupsinya.

f. Tipe "Pelan" atau "Nue Ardente (guguran awan panas), seperti yang dijumpai di gunung Mayon (Philipina) pada 1968. Erupsinya dicirikan oleh kandungan gas, debu, abu dan fragmen hancuran lava yang dilontarkan sevara vertikal dari kawah gunung api. Beberapa fragmen diendapkan kembali di seputar kawah, menyerupai bentuk tongue, sebagai guguran avalans yang menuruni lereng dengan kecepatan lebih dari 100 mile/jam. Tipe letusan ini dikategorikan besar dan banyak memakan korban jiwa, seperti letusan Gunung St. Pierre pada 1902, bagian dari Gunung Pele di Martinique, Lesser Antilles.g. Tipe Plinian atau Vesuvian adalah tipe letusan gunung api yang ditandai dengan pembentukan kolom letusan setinggi 45 km atau lebih tinggi dan melontarkan material dinding dan isi kawah gunung api. Tipe erupsi ini sering terjadi pada gunung api bertipe komposit. Tipe letusan ini terjadi pada letusan Gunung Vesuvius di Italia pada 79 M. Erupsi dicirikan oleh letusan eksplosif yang kaya akan gas laten, membentuk awan yang menyerupai kelopak bunga di atas gunung api, komposisi material erupsi dasitik sampai riolitik, kecepatan gaya konveksi letusan beberapa ratus meter per detik, dan letusan ini menghasilkan tefra yang sangat tebal dan sebarannya luas, tersusun atas pumis dan abu gunung api. Karena kecepatannya yang tinggi, dan volume material lontarannya sangat besar, maka dampak yang dihasilkannya pun besar. Letusan Gunung Krakatau (1883 M), Tambora (1815 M) dan Vesuvius (79 M) adalah contoh tipe letusan Plinian yang pernah terjadi di dunia.III.3. Indeks Letusan Gunung api (ILG)

Intensitas letusan gunung api diukur dengan nilai Indeks Letusan Gunung api (ILG). Nilai ILG ditentukan dari kualitas eksplosivitasnya, dan kuantitas dari tinggi kolom letusan, volume material yang dilontarkan, klasifikasi tipe erupsinya dan periode letusan (Newhall and Self, 1982; Tabel III.1).Tabel III.1. Indeks letusan gunung api (ILG), tipe dan periode erupsi dan contoh letusan gunung apinya (Newhall and Self, 1982)ILGPemerian Tinggi kolomVolume (km3)Klasf.tipe erupsiPeriode Contoh

0non-explosif25 kmSatuanPlinianRatusan tahunSt. Helens, 1981

6Kolossal>25 kmPuluhanPlin/Ultra-PlinianRatusan tahunKrakatau, 1883

7Superkolossal >25 km Ratusan Ultra-PlinianRibuan tahunTambora, 1815

8Megakolossal>25 km 1,000s km3Ultra-PlinianPuluhan ribu tahunYellowstone, 2 jtl

Menurut Newhall & Self (1982), letusan-letusan dengan VEI 4-5 sangat jarang terjadi. Didasarkan pada hasil pengamatan letusan-letusan gunung api di dunia, Simkin & Siebert (1994) menjumpai letusan ber-VEI 4-5 hanya terjadi dalam 20 kali dan VEI 2-3 terjadi dalam 20 kalinya VEI 4-5 (Tabel III.2).

Tabel III.2. Nilai VEI dan total letusan gunung api yang pernah terjadi di dunia (Simkin & Siebert, 1994)

VEI 012345678

Jumlah letusan 487623317673311919520

Menurut Sparks, et al. (1978), jarangnya letusan gunung api dengan VEI lebih besar atau sama dengan empat menandakan faktor-faktor yang mengontrol letusan tersebut sangat sulit terjadi. Letusan-letusan besar tersebut dibentuk oleh magma jenuh air atau hampir jenuh air; air berubah menjadi uap sehingga meningkatkan tekanan magma. Makin tinggi gradien tekanan magma pada reservoir magma, makin tinggi vesikulasi dan fragmentasinya, akibatnya magma bergerak ke permukaan dengan sangat cepat, menerobos sumbat lava hingga runtuh dan terjadi letusan yang melontarkan magma terfragmentasi, batuan dinding dapur magma dan gas dalam volume yang besar. Letusan itu disebut letusan freatomagmatik, yang di permukaan sering bertipe Volkanian hingga Plinian.Gambar III.3 menggambarkan beberapa tipe letusan gunung api dengan ciri-ciri endapannya di lapangan, yang diinterpretasi dari kenampakan umumnya.

Gambar III.3. Gambaran secara umum tipe letusan, ciri dan jenis endapannya (SheridanandWohletz,1983a)

Latihan tugas1. Tipe gunung api apa dengan tipe erupsi yang bagaimana yang sering berdampak bencana terbesar?2. Tipe gunung api apa yang dapat berkembang di Indonesia? Mengapa demikian?3. Tugas dikumpulkan: merangkum kegiatan Gunung Merapi; sumber data: bpptk YogyakartaBAB IV. Tipe Gunung apiDidasarkan pada bentang alam dan jenis batuan yang menyusun tubuh gunung api, para ahli vulkanologi mengelompokkannya menjadi empat tipe gunung api, yaitu gunung api komposit atau strato (composite volcanoes), gunung api perisai (shield volcanoes), dan kubah lava (lava domes). Tipe gunung api lain yaitu maar, cincin tuf, skoria tuf dan kerucut tuf terbentuk dari letusan tunggal gunung api, baik secara freatik maupun freatomagmatik.IV.1. Gunung api Komposit (Composite volcanoes)Gunung api tipe komposit paling umum dijumpai di dunia, disebut juga gunung api-strato. Gunung api ini dicirikan oleh bentukan lereng berundak, kerucut simetri dan tubuh yang besar. Tubuh gunung api tersusun atas perselingan lava, abu gunung api, endapan sinder, blok dan bom; dapat mencapai tinggi 2,5 km (8000 kaki), dan merupakan jenis gunung api terindah (Gambar IV.1.a). Contoh: Gunung Merapi (Gambar IV.1.b), Galunggung, Kelud, Semeru dan Slamet (Indonesia), Fuji (Jepang), Cotopaxi (Ekuador), Shasta (California), Hood (Oregon), Pinatubo (Philipina), Rainier (Washington), Ruapehu (Newzealand), del Ruiz (Colombia), Colima (Meksiko) dan lain-lain.

Kebanyakan tipe gunung api komposit memiliki kawah di puncak, tempat berpusatnya kepundan atau kelompok kepundan. Lava mengalir melalui zona rekahan pada dinding kawah atau di sepanjang pipa pada lerengnya. Lava mengalami pemadatan di dalam celah membentuk gang (dike) yang berperan sebagai tulang rusuk (rib) yang dapat memperkuat kerucut gunung api.

Ciri utama tipe komposit adalah adanya sistem konduit, yaitu bagian gunung api yang dilalui magma dari dapur magma (bumi) ke permukaan. Tubuh gunung api tersusun atas akumulasi material yang dierupsikan melalui konduit tersebut dan makin lama makin bertambah besar oleh lava, sinder, abu dan lain-lain yang dihasilkan selama periode aktivitasnya berlangsung. Saat gunung api ini beristirahat, proses erosi menghancurkan kerucut. Setelah kerucutnya terkelupas oleh erosi tersebut, selanjutnya dikeraskan dengan magma yang mengisi konduitnya (sumbat gunung api) dan celah (rekahan: gang) hingga tersingkap, hal itu dapat mengurangi laju erosi. Akhirnya, semua yang tersisa adalah suatu kompleks sumbat gunung api dan batuan gang (intrusi ke samping) yang terlihat di permukaan tanah, sebagai petunjuk dari sisa-sisa bekas gunung api.

a. b.b

Gambar IV.1. (a) Bentukan tipe gunung api komposit (seketsa: MacDonald, 1972). (b) Gunung Merapi (Indonesia, foto: Mulyaningsih, 2006).Hampir 90% kepulauan di Indonesia tersusun atas batuan gunung api bertipe komposit. Beberapa sisa-sisa gunung api komposit ini terdapat di Jawa, yaitu Pegunungan Kulon Progo, Ponorogo-Pacitan, Jatibarang, Cikotok, Pongkor, Pangandaran, Cupunagara dan lain-lain. Aktivitas gunung api dari gugusan Pegunungan Kulon Progo dan Ponorogo-Pacitan barangkali mirip dengan aktivitas Merbabu-Telomoyo-Ungaran-Tidar-Merapi masa kini. Keduanya memiliki afinitas magma induk andesitis, yang memproduksi aliran lava, abu piroklastika dan beberapa lahar pada fasies medialnya. Kebanyakan aktivitas gunung api di Indonesia masa kini dicirikan oleh pembangunan tubuh gunung api, yang menghasilkan perselingan erupsi efusif dan freatik. Hingga kini, aktivitas Gunung Merapi masih dicirikan oleh pembangunan tubuhnya. Aktivitas Gunung Krakatau pada awalnya lebih dicirikan oleh erupsi-erupsi eksplosif yang menyemburkan materialnya, magmatis dari dapur magma dan material penyusun puncak gunung api dan dinding dapur magma. Kini aktivitas Gunung Krakatau dicirikan oleh letusan-letusan eksplosif lemah freatik dengan pembangunan tubuh gunung api. Gunung Kelud memiliki danau kawah pada puncaknya. Letusan Gunung Kelud yang sangat besar pada masa lalu, menyebabkan bagian puncak hilang sehingga terbentuk cekungan yang besar. Kini cekungan tersebut terisi air (meteorik) membentuk danau kawah yang sangat indah (Gambar IV.2). Cekungan depresi akibat runtuhnya sebagian puncak gunung api oleh erupsi eksplosif tersebut biasanya dikenal sebagai kaldera. Bentuk kaldera umumnya melingkar, berukuran besar (luas) dengan diameter 1-25 km, dan panjang depresi mencapai 100 km.

Gambar IV.2. Danau kawah di Gunung Kelut November 2007 (foto: BPPTK).IV.2. Gunung api Perisai (Shield volcanoes)Tubuh gunung api perisai tersusun atas aliran-aliran lava (cair), yang mengalir dari pipa kepundannya ke segala arah, atau kelompok kepundan dan bergerak ke samping. Tipe gunung api ini berbentuk kerucut dengan kemiringan kecil atau bahkan datar, atau berbentuk kubah datar seperti perisai perang. Tubuh gunung apinya dibentuk secara perlahan oleh pertumbuhan ribuan aliran lava sangat encer (basaltik), yang menyebar dalam radius yang cukup jauh. Aliran lava tersebut kemudian mendingin dan membeku sebagai lapisan lava tipis dengan kemiringan yang sangat kecil. Lava-lava tersebut umumnya juga keluar dari dalam bumi melalui rekahan-rekahan (fisures) yang selanjutnya berkembang pada tepian (lereng) kerucut (Gambar IV.3). Beberapa gunung api perisai besar dijumpai di Kalifornia bagian utara dan Oregon, dengan diameter 5-6,5 km dan tinggi 500-600 m. Tipe gunung api ini juga dijumpai di Kepulauan Hawaii, yaitu Mauna Loa dan Kilauea, yang dikenal sebagai gunung api perisai teraktif di dunia.a. b.b

Gambar IV.3. (a) Bentukan tipe gunung api perisai, seketsa oleh Tiling (1997). (b) Gunung api Alcedo (Galapagos), foto: Camp (2000).IV.3. Kubah Lava

Kubah lava gunung api terbentuk dari kumpulan aliran lava yang muncul di puncak seputar kawah gunung api, membentuk morfologi kubah, yang dibentuk dalam satu periode erupsi. Kubah lava dapat terbentuk apabila magma yang keluar bersifat kental, sehingga hanya menumpuk di atas lubang kepundan membentuk bukit atau kubah batuan beku. Dalam pertumbuhannya, pada bagian luar tubuh kubah mendingin dan mengeras, yang selanjutnya diterobos oleh aliran lava berikutnya. Karena pada bagian luar mengeras, maka pada batas antara lava lama (keras di bawah) dan lava baru (plastis di atas) terbentuk perlapisan terpisah. Oleh proses pendinginan dan pengerasan yang tidak bersamaan tersebut menyebabkan, bagian yang plastis mudah runtuh, gugur menuruni lereng membentuk guguran kubah lava.

Struktur dalam dari kubah lava berupa perlapisan lava koheren yang makin mendingin dan mengeras secara gradasi ke atas dan ke luarnya. Hal itu mengindikasikan bahwa pertumbuhannya membesar ke luar dan ke atas.

Kubah lava ini sangat umum menyusun gunung api tipe komposit. Apabila magma keluar di bidang miring maka bentuk kubah tidak simetri, cenderung membentuk lidah lava ke arah yang lebih rendah atau bahkan mengakibatkan longsoran material kubah lava itu sendiri, seperti yang terjadi di G. Merapi. Kubah lava Merapi yang dihasilkan selama periode erupsinya tahun 2005-2006, hingga tanggal 13 Mei mencapai volume 5,2 juta m3, dengan ketinggian 200 m (Gambar IV.4). Kubah lava tahun 1911-1913 akhirnya runtuh akibat tergerus oleh aliran lava tahun 2005-2006 pada tanggal 15 Juni 2006, setelah sebelumnya rekah akibat gempabumi tanggal 27 Mei 2006.Kubah lava yang muncul di dasar laut, permukaannya tersusun atas endapan hialoklastik berbutir pasir atau yang lebih kasar. Pada bagian tengah, lava terbreksiasi karena pembekuan yang sangat cepat, permukaan lava terlapisi dengan kerak kaca, sedangkan pada bagian dalam tersusun atas batuan beku masif (Gambar VIII.13). Kubah lava andesitis di dasar laut atau jika menyentuh tubuh air sering terbreksiasi membentuk breksi autoklastik. Breksi ini dicirikan oleh komposisi fragmen dan matriksnya sama. Lava basaltis di dasar laut tidak mampu mengalir dalam jarak yang jauh, biasanya membentuk struktur bantal yang memanjang sesuai dengan arah alirannya.

Gambar IV.4. Gambar atas: kubah lava Gunung Merapi pada tanggal 13 Mei 2006, hasil aktivitasnya pada 2005-2006 (foto: BPPTK, 2006). Gambar bawah: kubah lava Gunung Kelud yang mencapai ketinggian 150 m dari dasar kawah November 2007.IV.4. Tipe Gunung api Lain

Tipe gunung api yang lain adalah kerucut skoria, maar, cincin tuf dan kerucut tuf (http://pubs.usgs.gov/gip/volc/structures; Gambar IV.5).

Gambar IV.5. Beberapa tipe gunung api yang dibentuk oleh letusan hidrovulkanik, yaitu kerucut skoria (scoria cone), maar, cincin tuf (tuff ring) dan kerucut tuf (tuff cone) (http://pubs.usgs.gov/gip/volc/structures).a. Kerucut skoria dan kerucut tuf

Kerucut skoria dan kerucut tuf adalah tipe gunung api terkecil yang tingginya kurang dari 300 m, diameter 3-5 km, dan gradien lereng lebih dari 35o, beberapa kerucut sinder yang lebih tua memiliki slope 15-20o (www.geologi.sdsu.edu/). Yang membedakan antara kerucut skoria dan kerucut sinder adalah komposisinya. Komposisi tubuh kerucut skoria tersusun atas lapilli-lava basalt, sedangkan kerucut tuf tersusun atas abu (tuf) gunung api.

Kerucut skoria juga disebut kerucut sinder (cinder cones). Lereng-lereng kerucut skoria lurus-lurus dan kawah puncak sangat besar, dengan onggokan material di puncak relatif kecil. Kebanyakan morfologinya simetri, namun beberapa ada yang tak-simetri, karena (1) pertumbuhan tefra ke atas terhalang arah angin, (2) pertumbuhan memanjang melalui bukaan eruptif, atau (3) naiknya lava basalt secara parsial pada sisi tertentu. Ketika material skoria disemburkan, bagian interiornya teroksidasi sehingga berwarna merah.Material erupsi kerucut sinder dibentuk oleh peleburan dan penguapan gas secara cepat dari lava cair, membentuk sinder, menumpuk dan masuk kembali ke dalam kawah dan membangunnya hingga setinggi 1200 kaki. Material gunung api tersebut terkumpul di puncak gunung api membentuk lingkaran mengerucut. Kebanyakan kerucut sinder memiliki kawah yang berbentuk cekungan seperti panci yang terletak di puncaknya (Gambar IV.6).

Gambar IV.6. Ilustrasi kerucut skoria (kiri, www.usgs.volcano.gov/science), dan kawah kerucut skoria di La Porina (kanan; www.geologi.sdsu.edu/).Setelah seluruh gas dilepaskan, magma diefusikan sebagai lava encer menuruni lereng di sekitar kerucut gunung api. Tipe erupsi kerucut sinder Strombolian, secara monogenetik, dengan kolom letusan yang terdiri atas tefra basalt setinggi beberapa ratus meter. Kecuali kerucut sinder Cerro Negro, di sisi barat laut Gunung Las Pilas (Nicaragua), meletus sebanyak 20 kali sejak 1850 (www.geologi.sdsu.edu/).

Kerucut sinder biasanya dijumpai sebagai parasit oleh erupsi lereng gunung api tipe perisai dan strato. Tefra kerucut sinder berukuran lapilli hingga bom (jarang), kadang-kadang mengandung material hasil semburan lava kaya gas terlarut. Fragmen tefra berlubang-lubang bekas keluarnya gas (vesicles), membentuk struktur skoriaan atau sinderan. Tefra tertumpuk sebagai endapan jatuhan membangun tubuh gunung api di sekitar kepundan (www.geologi.sdsu.edu/). Lava dengan kandungan gas yang sangat tinggi diledakkan secara hebat ke udara, sehingga terfragmenkan menjadi material padat lalu jatuh sebagai sinder (bola api) diatas puncak gunung api di sekitar kepundan.

Gunung api kerucut sinder banyak dijumpai di Amerika Utara, seperti Mauna Kea di Hawaii dan Paricutin di Meksiko (www.usgs.volcano.gov/science). Kerucut sinder Paricutin dibangun selama 9 tahun dengan luas wilayah 100 mil2. Letusannya pada tahun 1946 telah menghancurkan kota San Juan (www.usgs.volcano.gov/science).b. Maar dan cincin tuf

Tipe gunung api tersebut dihasilkan oleh erupsi eksplosif hidrovulkanik, yang menghasilkan depresi berbentuk melingkar dengan rim rendah akibat lontaran debris. Letusan itu dipicu oleh naiknya kolom magma karena intrusi diapirik. Depresi maar dapat menyingkapkan bagian dasar pada dinding lubang bagian dalam. Cincin tuf (tuff ring) sendiri dibangun di atas batuan dasar. Maar mengandung material batuan dinding terfragmentasi yang lebih besar. Jadi endapan maar dihasilkan dari letusan freatik yang dibentuk oleh intrusi diapirik yang menyinggung airtanah. Cincin tuf mengandung fragmen-fragmen material magmatik yang lebih banyak (juvenil), contoh: tuf palagonit. Jadi, cincin tuf dihasilkan dari kombinasi airtanah yang terpanaskan dengan vesikulasi magma (erupsi freatomagmatik) akibat intrusi yang relatif dangkal.Maar hampir menyerupai kerucut tuf, dibedakan dengan kawah yang dangkal dan morfologi yang datar. Tipe gunung api ini diinterpretasi oleh banyak ahli terbentuk di atas diatrema yang dihasilkan oleh letusan yang sangat besar. Letusan tersebut dihasilkan oleh ekspansi gas atau magmatik. Diameter maar bervariasi yaitu 200-6.500 ft dengan kedalaman kawah 30-650 ft, yang biasanya kawah terisi air membentuk danau alam. Kebanyakan maar memiliki rim (lingkaran kawah) yang tersusun atas campuran material lepas dan fragmen batuan gunung api dan hancuran batuan dinding dari diatrema.

Maar dan cincin tuf dapat ditemukan di bagian barat Amerika Serikat, di daerah Eifel (Jerman), Arab Saudi (Gambar IV.7) dan daerah-daerah dengan gunung api muda di dunia.

Gambar IV.7. Maar (atas) dan cincin tuf (tuff ring: bawah) di Saudi Arabia (www.geologi.sdsu.edu/).Fosil maar juga banyak dijumpai di sekitar Gunung Muria, Jawa Tengah, seperti maar Gembong, maar Gunungrowo dan maar Bambang. Rim kawah maar tersusun atas batuan piroklastika hasil letusan hidrovulkanik, lava basalt dan batuan dasar. Contoh ideal letusan maar dijumpai di Zuni Salt Lake di New Mexico. Danau garam ini berada pada dasar kawah datar yang dangkal dengan diameter 6.500 kaki dan sedalam 400 kaki (http://pubs.usgs.gov/gip/volc/structures). Rim rendah ini tersusun atas pecahan-pecahan lepas lava basaltik dan batuan dinding (dasar) yaitu batupasir, serpih dan batugamping. Contoh lain adalah erupsi Tarawera yang dapat menimbun tiga desa dan membunuh sedikitnya 150 orang di Pulau New Zealand Utara pada 1886 (www.geologi.sdsu.edu/).

LATIHAN TUGAS:

FIELD TRIP KE GUNUNG MERAPI DAN MENYIAPKAN PAPER UNTUK DIPRESENTASIKAN -----

------ MEMPERSIAPKAN UJIAN TENGAH SEMESTER -------

BAB V. Material Erupsi Gunung apiV.1. Identifikasi Material Gunung ApiUntuk dapat merekonstruksi kejadian bencana alam letusan gunung api, diperlukan pengetahuan yang cukup dalam mengetahui sejarah bencana tersebut pada masa lalu. Sebaran bencana dapat diprediksi dengan mengetahui sebaran material gunung api, intensitas bencana diketahui dari sifat fisik endapannya. Untuk itu diperlukan teknik pemerian secara genesis terhadap material erupsinya. Langkah-langkah pemerian endapan gunung api adalah:

(1) Mengetahui orientasi masing-masing sekuen dan susunan stratigrafi endapan gunung api, seperti lava, tefra, aliran dan seruakan piroklastika, yaitu sebaran lateral dan vertikalnya.(2) Mengenal bentuk, ukuran dan tipe batuan dalam endapan; bentuk butir, ukuran butir dan komposisi batuan (monolitik / polilitik).

(3) Mengenal topografi dari permukaan endapan: terjal/landai, pada morfologi yang tinggi / di lembah

(4) Lingkungan pengendapan material gunung api: dalam lembah fluviatil atau non-fluviatil

(5) Mengetahui penyirapan dan gradasional diameter butiran dalam endapan secara lateral dan vertikal

(6) Mengetahui tanda-tanda pemanasan yang ditunjukkan oleh susunan atau penyirapan pipa-pipa keluarnya gas dalam material endapan, serta mengenali jika ada indikasi alterasi dan sirapan pecahan fragmen batuan.Material erupsi gunung api terdiri atas endapan piroklastika atau yang sering disebut arus piroklastika berdensitas dan jatuhan, lava dan gas (Gambar V.1).

Gambar V.1. Skema ruang lingkup material erupsi gunung api, yang terdiri atas kolom letusan, piroklastika aliran, lava, gas dan lahar (Anonim, 2000).V.2. Mekanisme Aliran Lava

Aliran lava merupakan material vulkanik yang sangat umum dijumpai di Hawaii. Karena suhunya yang tinggi, lava tersebut dapat berbahaya bagi yang dilalunya. Di permukaan, lava basaltik, seperti yang dierupsikan oleh Gunung Mauna Kea, kohala, Mauna Loa dan Hualalai di komplek gunung api perisai Hawaii (Gambar V.2), kecepatannya jauh lebih tinggi dibandingkan orang berlari (pubs.usgs.gov/gip/intro). Lava dierupsikan ke permukaan secara efusif dalam bentuk material plastis. Pada lereng yang lebih curam, lava mengalir dengan laju yang lebih cepat dan lebih berbahaya. Pada ujung aliran, lajunya lebih lambat dibandingkan dengan orang berjalan. Selama erupsi Mauna Loa pada 1950, laju ujung lava rata-rata mencapai 6 mph selama lebih dari 2 jam.Laju aliran lava ditentukan oleh kemiringan lereng, gaya gravitasi bumi dan volume lava yang dierupsikan. Aliran dengan volume yang besar menghasilkan laju aliran yang lebih tinggi. Jarak yang ditempuh oleh tubuh aliran tergantung dari laju dan durasi erupsi, makin lama maka makin besar dan jangkauannya makin jauh. Laju aliran lava juga ditentukan dari afinitas dan komposisi lava.

Gambar V.2. Gugusan gunung api perisai di Hawaii yang menghasilkan aliran lava basaltik (www.pubs.usgs.gov/gip/intro).Erupsi bertipe Hawaii dicirikan oleh komposisi basaltik, beberapa periode erupsi berperilaku beda. Erupsi Hualalai pada 1800-1801 menghasilkan aliran lava yang lebih encer dibandingkan dengan erupsi-erupsi Gunung Kilauea dan Mauna Loa. Erupsi lava yang menghasilkan lava fountain (hujan lava) dan banjir lava (Gambar V.3), sungai lava (Gambar V.4) dan genang lava (Gambar V.5).

Gambar V.3. Erupsi lava basaltik melalui kawah Pu'u 'O'o di Gunung Kilauea (1983), aliran lava ke arah timur hingga 12 mil dari puncak gunung api (www.pubs.usgs.gov/gip/intro).

Gambar V.4. Erupsi lava melalui kawah gunung api yang menghasilkan sungai atau banjir lava di Gunung .

Gambar V.5. Erupsi Gunung Kupaianaha yang menghasilkan genang lava. Lava mengalir dari kawah gunung api dan terkumpul dalam suatu pipa lava, kawah lama gunung api (www.pubs.usgs.gov/gip/intro)V.3. Mekanisme Aliran Piroklastika

Menurut MacDonald (1972) dan Fisher & Schminke (1984), mekanisme aliran piroklastika dapat berlangsung dalam empat mekanisme (Gambar V.6), yaitu:a. Runtuhan eksplosif vertikal atau sering disebut pembentukan kolom erupsi plinian, material erupsi jatuh kembali ke permukaan tanah, tertransportasi dan terendapkan.b. Ledakan lateral, seperti yang terjadi di Gunung. St. Helens pada 1980.

c. Luapan berlebih (boiling-over ), yaitu akibat kandungan gas yang sangat tinggi dalam magma yang dierupsikan melalui pipa kepundan.

d. Runtuhan gravitasional pada kubah lava yang sangat panas.

Gambar V.6. Mekanisme erupsi eksplosif gunung api (MacDonald, 1972).B. Endapan piroklastika

Didasarkan atas komposisi materialnya, endapan piroklastika terdiri dari tefra (pumis dan abu gunung api, skoria, Pele's tears dan Pele's hair, bom dan blok gunung api, accretionary lapilli, breksi vulkanik dan fragmen litik), endapan jatuhan piroklastika, endapan aliran piroklastika, tuf terelaskan dan endapan seruakan piroklastika (Gambar V.7).

Gambar V.7. Tiga mekanisme pengendapan material piroklastika (jatuhan, seruakan dan aliran: kiri) dan penampang vertikal endapan seruakan dasar, aliran piroklastika dan seruakan abu cendawan; fragmen putih (litik) dan fragmen hitam (skoria dan lapili) (Sparks et al., 1997). Aliran piroklastika merupakan debris terdispersi dengan komponen utama gas dan material padat berkonsentrasi partikel tinggi. Mekanisme transportasi dan pengendapannya dikontrol oleh gaya gravitasi bumi, suhu dan kecepatan fluidisasinya. Material piroklastika dapat berasal dari guguran kubah lava, kolom letusan, dan guguran onggokan material dalam kubah (Fisher, 1979). Material yang berasal dari tubuh kolom letusan terbentuk dari proses fragmentasi magma dan batuan dinding saat letusan.

Dalam mendiskripsi genetis endapan gunung api, terutama yang berasal dari letusan langsung (endapan piroklastika), parameter-parameter yang digunakan adalah struktur (struktur pengendapan dan morfologi fragmen) dan tekstur batuan, meliputi diameter butir material, komposisi dan hubungan antar lapisan batuan (Tabel V.1). Sebagai contoh jatuhan abu ( menutupi topografi (di semua permukaan tanah yang terjangkau), aliran piroklastika ( mengikuti topografi (di lembah), aliran piroklastika = nuee ardente = glowing ash cloud dengan campuran abu pijar dan gas membentuk tubuh fluida/semifluida. Kecepatannya > 200 km/jam; suhu > 600C; tekanan tinggi dan bersifat korosifTabel V.1. Beberapa istilah produk lontaran gunung api dan sifat umumnya dari material yang berkomposisi andesit-basal (dari rangkuman beberapa buku: McPhie et al., 1993; Fisher and Schmincke, 1984; Cas and Wright, 1988; dan Gary et al., 1972).

Ukuran butirNamaEndapan terkonsolidasi

> 6 cmBom : fragmen membulat ==> ketika dilontarkan dalam bentuk larutan atau lentur (plastik):

'bread-crust bombs' = struktur kerak roti, permukaannya retak / robek ketika dilontarkan dalam bentuk padatan

Breksi vulkanik

2 mm - 6 cmLapilli :

Pumis

Accretionary lapili tuff lapilli (Lapilli Tuff)

1/16 - 2 mm 600 m/dt.Kerucut sinder

Di permukaan, material letusan pada zona batas atas, tersusun atas lontaran material berdensitas rendah (abu-lapili) membentuk kolom letusan. Pada tubuh aliran utama, yang terletak pada bagian paling bawah, terdiri atas campuran padatan-gas dengan konsentrasi partikel tinggi, abu-litik-bom yang berdiameter abu hingga bongkah. Dinamika pengendapan aliran piroklastika ini dikontrol oleh gaya gravitasi bumi dan tekanan aliran. Zona batas bawah berupa seruakan piroklastika yang diendapkan secara turbulen, terdiri atas campuran gas dan abu gunung api konsentrasi partikel sangat rendah, sebagai efek dari tekanan turbulensi yang sangat cepat dan panas.

Dalam endapan piroklastika, baik jatuhan, aliran maupun seruakan; material yang menyusunnya dapat berasal dari batuan dinding, magmanya sendiri, batuan kubah lava dan material yang ikut terbawa saat transportasinya. Secara megaskopis, fragmen batuan tersebut dicirikan oleh:

1. Fragmen endapan piroklastika yang berasal dari fragmentasi magma saat letusan dicirikan oleh bentuk butir menyudut hingga membulat. Fragmen bom biasanya membulat, permukaannya berstruktur kerak roti dan warnanya abu-abu sampai kemerahan. Fragmen blok berbentuk menyudut, masif dan lebih kristalin dibanding bom. Pada fasies proksimal, dijumpai beberapa fragmen yang berwarna kemerahan akibat teroksidasi saat dilontarkan. Pengamatan mikroskopis pada inti piroklastika yang berdiameter lebih besar dari satu-setengah meter berstruktur porfiritik, sedangkan pada fragmen yang lebih kecil (~ ( < 30 cm) berstruktur skoria.2. Fragmen piroklastika yang berasal dari penghancuran kubah lava, dicirikan oleh bentuk butir menyudut hingga membulat tanggung, kadang-kadang telah lapuk / teroksidasi dan pada permukaan fragmen jarang menunjukkan struktur kerak roti. Secara megaskopis, fragmen ini dicirikan oleh pada bagian luar sangat berongga dan makin ke dalam makin masif, dari pengamatan mikroskopis berstruktur porfiritik.3. Material yang ikut terbawa saat tranportasinya, dicirikan oleh bentuk butir agak membulat dan permukaannya terabrasi sangat lanjut.

4. Material yang berasal dari hancuran batuan dinding dapur magma; warna tidak segar, bentuk fragmen blok / menyudut dan teralterasi lanjut.Dalam satu sekuen piroklastika, ke empat jenis fragmen tersebut kadang-kadang dijumpai secara bersamaan, secara acak, menyatu dan sulit dibedakan satu sama lain. Di daerah penelitian, endapan piroklastika dengan ke empat fragmen tersebut hanya dijumpai di fasies proksimal. Untuk membedakan endapan piroklastika dan lahar, dilakukan pengukuran arah magnetik fragmen batuan untuk fraksi kasar dan anisotropi untuk fraksi halus. Aliran piroklastika cenderung dialirkan secara monomodal sehingga tidak terbentuk arah penjajaran fragmen, sedangkan lahar dialirkan secara unimodal sehingga lebih dijumpai penjajaran fragmen.Endapan paling bawah dari bahan letusan gunung api biasanya berupa endapan jatuhan piroklastika. Endapan ini dicirikan oleh struktur pengendapan laminasi, sortasi sangat baik, ukuran butir abu hingga granule dan tersusun atas lapili pumis atau skoria (Gambar V.8). Penyebaran endapan ini sangat luas dan sangat bergantung pada arah angin. Di Merapi, endapan ini umumnya hanya dijumpai pada ketinggian lebih dari 300 m dpl dan tersusun atas abu, skoria (sinder), lapili dan bom. Di atas endapan jatuhan piroklastika adalah endapan seruakan piroklastika. Cas & Wright (1987) membagi endapan seruakan piroklastika menjadi tiga yaitu seruakan pangkal (base surge), seruakan dasar (ground surge) dan seruakan abu cendawan (ash cloud surge) (Gambar V.7). Seruakan pangkal dihasilkan dari letusan freatomagmatik (Moore, 1967), dicirikan oleh material abu-granule, kadang-kadang (kebanyakan) mengandung pumis, struktur pengendapan slump hingga laminasi silang dan selalu menumpang di atas endapan jatuhan piroklastika. Endapan seruakan dasar dan seruakan abu cendawan berasosiasi dengan endapan aliran piroklastika dan masing-masing sebagai endapan zona batas bawah dan zona batas atas aliran (Fisher, 1979). Endapan seruakan dasar dicirikan oleh komposisinya abu volkanik, skoria (berukuran lapili) dan bom, namun di daerah distal bom tersebut sangat jarang ditemukan.

Gambar V.8. Tefra endapan abu dan debu jatuhan piroklastika dari letusan Gunung Redoubt pada tahun 1989-1990, yang tersusun atas pumis berukuran lapili, fragmen arang kayu 8 cm, fragmen litik dan abu kasar (USGS).

Secara umum, endapan seruakan piroklastika biasanya mengandung arang kayu (charcoal) yang sangat halus dengan diameter kurang dari 5 cm, tidak sebanyak dan sebesar pada endapan aliran piroklastika, terebaran mengikuti geomorfologinya membentuk bulan sabit (Gambar V.9). Struktur pengendapan slump-laminasi hingga laminasi silang dengan sortasi sedang-baik, ukuran butir abu-lapili, pada bagian bawah gradasi terbalik, yang berbatasan dengan aliran piroklastika berubah menjadi gradasi normal, dan dijumpai pipa-pipa keluarnya gas. Bagian bawah lapisan menggerus lapisan batuan di bawahnya, sehingga endapannya sering terlihat bercampur dengan paleosol. Beberapa seruakan piroklastika sering menunjukkan struktur accretionarry lapilli. Hal itu juga dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa letusan tersebut berlangsung pada saat suhu udara tinggi dan beruap.

Gambar V.9. Endapan seruakan piroklastika Gunung Punalika (Ekuador) yang berstruktur dune berlapis, tersusun atas lapili, abu dan debu gunung api (USGS).

Material letusan yang terakhir adalah endapan aliran piroklastika. Endapan ini dicirikan oleh komposisi abu, bom dan blok yang berukuran mm hingga beberapa meter, struktur pengendapan masif hingga gradasi, endapan ini terkonsentrasi hanya pada lembah dan tebalnya dapat mencapai puluhan hingga ratusan meter (Gambar V.10). Sebarannya terkonsentrasi pada dasar lembah, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk untuk mengetahui paleogeomorfologi lembah. Dalam endapan biasanya sangat kaya akan arang kayu yang masih insitu berdiameter mencapai 20-50 cm dan panjang lebih dari 2 m.

Gambar V.10. Endapan aliran piroklastika di daerah Jurang Pengantin (Gunung Muria) dengan fragmen pecahan litik yang masih menunjukkan orientasi fragmen pecahan radial.

V.4. Gas

Di udara, 1-5% komponen gas di atmosfer dihasilkan oleh aktivitas gunung api, meliputi CO2, SO2, dan unsur-unsur jejak yaitu N, H, CO, S, Ar, Cl dan F, sedangkan penguapan air menempati 70-90%. Gas-gas tersebut selanjutnya membentuk senyawa yang bersifat toksik, seperti HCl, HF, H2SO4 dan H2S, menghasilkan aktivitas gunung api fumarolik (Tabel V.2).Tabel V.2. Gas vulkanik dan emisinya di udara (sumber: USGS)

Gas UtamaGas jejakGas toksik

H2O (70-90%)CO2SO2N, H, S,

F, Ar,

CO, CLHCl, HFH2SO4H2S

Macam-macam aerosol belerang sering hadir dan kadang-kadang sulfur juga terakumulasi sebagai kristalin dalam fumarol, yang disebut sulfatara (warna kuning dasar; Gambar V.117). Di beberapa gunung api, akumulasi kristal sulfur ini dapat bernilai ekonomi. H2S sering disebut sebagai gas buangan (sewer gas) karena baunya seperti telur busuk. Gas tersebut dapat mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan. SO2 terasa sangat dingin di kulit, yang baunya seperti bau gas yang tercium sesaat setelah menyalakan korek api. Jika keduanya hadir bersama-sama, maka dapat bereaksi dengan cepat membentuk sulfatara dan uap air.

Gambar V.11. Sulfatara yang terakumulasi di kawah Gunung Merapi (foto: PVMGB, www.vsi.esdm.gov).

a. Bahaya emisi gas

Gas gunung api sangat berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya atau bagi siapa saja yang menghirupnya. Suhu gas tinggi dan berracun, emisi gas dalam jumlah yang besar dapat bersifat membunuh. Sebagai contoh adalah gas atau uap yang diemisikan oleh kolom lava pada gunung api aktif atau dalam keadaan istirahat dapat sangat berbahaya bagi siapa saja yang berjalan di atasnya karena dapat berracun. Pada kasus-kasus (jarang terjadi) ribuan orang dapat mati oleh erupsi gas gunung api tersebut, seperti yang pernah terjadi di Lake Nyos, Pegunungan Mammoth (California) dan eruspi Puu Oo di Gunung Kilauea (Hawaii). Dari data pengamatan di HVO (Hawaii Volcano Observatory) diperoleh data bahwa emisi gas CO2 di Pegunungan Mammoth telah mengakibatkan pepohonan di empat wilayah hutan mati, salah satu yang terluas mencakup 11,3 hektar. Pada awal letusan Gunung Kilauea pada 1983, hasil pengukuran emisi gas di dekat kawah adalah 150 ton SO2 per hari. Namun, pada saat erupsi mencapai puncaknya, SO2 yang dilepaskan mencapai 30.000 ton per hari, dengan periode sekali dalam 3-4 minggu selama 24 jam atau kurang per periode, di sepanjang tahun 1983-1986. Reaksi kimia akibat emisi gas tersebut menghasilkan dua gas berracun, yaitu vog dan laze yang berbahaya bagi masyarakat dan wisatawan di Big Island (Hawaii), dan menyebabkan hujan asam (Gambar V.12). Vog adalah sulfur dioksida yang dilepaskan di puncak gunung api. Sulfur yang terkandung pada tubuh pipa lava bereaksi dengan oksigen, partikel debu, sinar matahari dan air, membentuk campuran aerosol sulfat, asam sulfur, dan jenis oksida sulfat yang lain. Vog tersebut selanjutnya terbawa angin dan dapat menyebabkan hujan asam.

Laze adalah campuran dari asam hidroklorik dan uap air laut; ketika lava menyentuh air laut, terjadi reaksi kimia antara lava panas dan air laut, menghasilkan asap putih. Asap laze juga dapat membentuk hujan asam dengan pH 1,5-2,5, bersifat sangat korosif pada kulit dan pakaian, serta dapat menyebabkan iritasi pada tenggorokan, mata, telinga dan hidung.

Gambar V.1. Sulfatara yang terakumulasi di kawah Gunung Merapi (foto: PVMGB, www.vsi.esdm.gov).

V.5. Lahar

Martini (1997) mendefinisikan lahar sebagai aliran lumpur pekat yang terbentuk dari campuran air, partikel dan lumpur. Komponen air dapat berasal dari air hujan, danau kawah dan mencairnya es, sedangkan partikelnya berasal dari longsoran onggokan piroklastika yang telah ada maupun material yang langsung dari letusan. Komposisi partikel lahar bervariasi dari abu hingga bom dan litik granul hingga boulder (( >1 m). Densitas dan viskositas lahar tinggi dengan konsentrasi partikel 20-60% atau 60-90% total berat. Lahar diendapkan secara cepat dalam arus turbulen di sepanjang lereng gunung api atau lembah-lembah sungai, sama cepatnya dengan aliran sungai. Pada konsentrasi partikel yang telah berkurang (rendah), debris lahar berubah menjadi aliran lumpur dalam arus transisi-laminer.

Didasarkan pada suhunya saat pengendapan, lahar dapat berupa lahar yang masih panas (jika dari letusan langsung) dan lahar dingin (onggokan yang telah lama). Sedangkan sumber airnya dapat berasal dari air hujan, es atau danau. Lahar Merapi lebihsering sebagai lahar dingin-hangat dengan sumber air dari air hujan.Karena penamaan kuantitatif lahar sulit dilakukan di lapangan; sebagai lahar distal, medial dan / proksimal, maka selanjutnya lahar ditentukan sebagai lahar kohesif (cohesive) dan lahar tak-kohesif (non-cohesive). Lahar kohesif dicirikan oleh struktur masif-gradasi-laminasi silang, ukuran butir abu pasir hingga boulder yang tertanam dalam lumpur pekat, terpilah buruk-sedang, bentuk fragmen menyudut hingga membulat tanggung, konsentrasi fragmen besar berada di setengah hingga sepertiga bagian bawah aliran dan di permukaan sering menunjukkan penjajaran fragmen sebagai lahar tak-kohesif. Lahar kohesif ini dihasilkan dari penggabungan beberapa material dalam satu kesatuan endapan, sehingga konsentrasi lumpurnya dapat mencapai 30-50% total berat sebagai matriks. Material lumpur tersebut dapat berasal dari alterasi hidrotermal akibat pemanasan magma pada tubuh gunung api, fragmentasi material magma dan dinding, serta batuan dinding lembah yang tererosi saat aliran. Konsentrasi partikel dalam lahar kohesif sekitar 12-20% atau 40% total berat; di fasies proksimal diameter fragmen dapat mencapai lebih besar dari empat meter, struktur masif dan gradasi dan beberapa fragmen masih berstruktur kekar prisma, sedangkan di daerah distal didominasi oleh partikel berukuran pasir-granul, struktur silangsiur (mangkuk), sortasi sedang dan kadang-kadang berstruktur gradasi normal. Lahar tersebut dapat menjadi lebih encer oleh penambahan komponen air sungai dan berkurangnya material sedimentasi hingga membentuk lahar tak-kohesif. Lahar tak-kohesif dicirikan oleh sortasi sedang hingga baik, lepas-lepas, bentuk butir pasir hingga bongkah, tertanam dalam sedikit abu, umumnya dijumpai penjajaran fragmen yang menunjukkan arah pengendapan dan diendapkan di atas lahar kohesif.

Bencana yang dapat ditimbulkan oleh lahar, diketahui sangat besar. Sebagai contoh adalah lahar pada 1883 yang menenggelamkan 2.000 rumah di sepanjang bantaran Sungai Boyong, dan lahar pada 1969 yang meratakan permukiman di Sorasan dan Koroulon (seputar Sungai Gendol-Opak). Lahar konsentrasi partikel rendah di Nevado Del Ruiz pada 13 November 1985 meratakan hulu Sungai Lagunillas, dalam radius 70 km dari sumbernya, mengubur kampung-kampung di Armero dan membunuh sedikitnya 23.000 jiwa hanya dalam beberapa menit (kom. tertulis dengan Marso pada 23 September 2003).

LATIHAN TUGAS:

FIELD TRIP KE PEGUNUNGAN SELATAN DAN DATARAN YOGYAKARTA------- MENYIAPKAN PAPER UNTUK DIPRESENTASIKAN DI AKHIR KULIAH

TIGAS DIKERJAKAN SECARA BERKELOMPOK, MASING-MASING KELOMPOK TERDIRI DARI 3-4 ORANG:

1. KELOMPOK I membahas aktivitas gunung api (memilih studi kasus di salah satu gunung api di Indonesia)2. KELOMPOK II membahas material gunung api TERSIER (memilih studi kasus di salah satu wilayah di Indonesia)

3. KELOMPOK III membahas material gunung api KUARTER yang telah istirahat panjang (memilih studi kasus di salah satu gunung api tidak aktif di Indonesia, contoh: Gunung Muria, Gunung Lawu, Gunung Sindoro, Gunung Lasem dan lain-lain)

4. KELOMPOK IV membahas material gunung api AKTIF (memilih studi kasus di salah satu gunung api aktif di Indonesia)

BAB VI. Pengamatan dan Penanganan Bahaya Letusan Gunung api

VI. Bahaya Gunung Api

Dalam pengamatan aktivitas gunung api, ada dua pengamatan yang harus dilakukan yaitu seismologi dan vulkanologi, meliputi geofisika, geokimia dan lingkungan.Intensitas dan waktu bahaya tiap-tiap gunung api bervariasi, tergantung pada tingkat kegiatannya; dalam tahap pembangunan kerucutnya atau tahap penghancuran (pembentukan kaldera). Gunung api yang mempunyai tingkatan bahaya beragam tersebut antara lain G. Krakatau di Selat Sunda (e.g. Simkin & Fiske, 1983; Kusumadinata, 1979), G. Galunggung di Tasikmalaya Jawa Barat (Bronto, 1986) dan G. Batur di P. Bali (Bronto, 2000b).

Berdasarkan proses kegiatan gunung api maka bahaya gunung api dapat dibagi menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder (Tabel VIII.6). Bahaya primer adalah bahaya yang timbul secara langsung pada saat erupsi. Bahaya sekunder adalah bahaya yang terjadi setelah kegiatan gunung api berlalu (beristirahat).

Tabel VI.3. Beberapa jenis bahaya primer dan sekunder akibat kegiatan erupsi gunung api dari tahun 1900 sampai 1986 (dimodifikasi dari Anonim, 1997; Blong, 1984; Bronto, 1994, 1995a; Sriwana, 1998 dan Tilling, 1989).

Bahaya PrimerJumlah korban%Bahaya SekunderJumlah korban%

1. Awan panas 36.80048,41. Lahar hujan dan banjir bandang28.40037,4

2. Lontaran/ hujan batu (pijar)2. Pencemaran air tanah & permukaan

3. Longsoran batuan gunung api3. Kekurangan air bersih dan sehat

4. Lahar letusan4. Kelaparan dan penyakit menular3.2004,2

5. Aliran lava1000,1Lain-lain2.2002,5

6. Hujan abu (jatuhan)3.0004,0

7. Tsunami/ gelombang pasang air laut4000,5

8. Gas beracun1.9002,5

9. Gempa bumi

10. Hentakan udara & petir

11. Deformasi permukaan tanah

12. Anomali geotermal/ letusan freatik

13. Anomali air tanah

14. Lubang letusan baru

VI.2. Manajemen Penanggulangan Bencana

Menurut Carter (1992) manajemen penanggulangan bencana (disaster management) adalah: an applied science wich seeks, by the systematic observation and analysis of disasters, to improve measures relating to prevention, mitigation, preparedness, emergency response and recovery Suatu ilmu terapan yang berupaya untuk meningkatkan usaha penanggulangan melalui pengamatan secara sistematis dan analisis bencana, berupa tindakan pencegahan, mitigasi, kesiap-siagaan, tanggap darurat dan rehabilitasi.

Manajemen penanggulangan bencana bertujuan untuk mengorganisir dengan baik, rapi, tertib dan lancar jika bencana terjadi.

Penanggulangan bencana dibagi menjadi empat tahap (Bronto, unpublished), yaitu: 1. Pada saat terjadi bencana (disaster impact quick response), oleh petugas SAR (Search and Resque) dan anggota masyarakat untuk menyelamatkan jiwa penduduk dan harta benda yang terlanda bencana. Contoh: a) mengangkut korban yang luka-luka ke rumah sakit,

b) mencari korban yang hilang,

c) menguburkan korban yang meningal dunia dan

d) menyelamatkan harta benda yang tertinggal.2. Rehabilitasi (recovery), dilakukan setelah bencana berlalu, yaitu membangun kembali secara darurat sarana dan prasarana, seperti jalan, pasar, barak-barak pengungsian, saluran air, tanggul-tanggul pengaman dan lain-lain, agar kehidupan berangsur kembali normal.3. Rekonstruksi (development), pembangunan sarana dan prasarana yang permanen setelah melalui pertimbangan tata guna lahan dan usaha penanggulangan bencana di masa mendatang.4. Pencegahan (prevention), mitigasi dan kesiapsiagaan (preparedness) bertujuan untuk mencegah terulangnya bencana serupa di waktu yang akan datang. Pengertian mitigasi bencana alam gunung api secara luas yaitu usaha untuk mengurangi atau meringankan penderitaan yang mungkin dialami sebagai akibat kegiatan gunung api (safe loss of life and damages caused by volcanic disaster).

Usaha mitigasi bencana alam letusan gunung api terbagi dalam dua kategori, yaitu fisik dan non fisik. Usaha secara fisik adalah :

1. Pembangunan dam/tanggul pengendali lahar dan kantong-kantong lahar.

2. Pembuatan terowongan air untuk mengurangi volume air danau kawah, contoh: di G. Kelut Jawa Timur dan G. Galunggung di Jawa Barat.

3. Pembangunan barak-barak pengungsian, petunjuk arah pengungsian dan papan-papan informasi tentang kebencanaan di daerah rawan bencana.

4. Pengadaan alat peringatan dini (sirene dan kentongan) di daerah rawan bencana.

5. Pembuatan rumah beratap seng dengan kemiringan tajam untuk menghindari menumpuknya endapan jatuhan abu.

6. Pembuatan rumah bawah tanah (rumah pendam atau bunker) untuk menyelamatkan diri dari hujan abu dan lontaran batu.

7. Latihan penanggulangan bencana secara berkala.

Usaha penanggulangan bencana non fisik adalah :

1. Penelitian bencana gunung api untuk menilai potensi bahaya yang akan datang (volcanic hazard assesment).

2. Pembuatan Peta kawasan rawan bencana.

3. Pemantauan (pengamatan/ monitoring) kegiatan gunung api.

4. Pembakuan dan pemberlakuan prosedur tetap sistem peringatan dini.

5. Penyuluhan terhadap masyarakat di kawasan rawan bencana, secara langsung, melalui media cetak maupun elektronika.

VI.3. Organisasi Penanggulangan Bencana

Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 106 tahun 1999, pengelola manajemen bencana di tingkat pusat adalah Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), merangkap sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan, beranggota para menteri terkait dan Gubernur Kepala Daerah setempat.

Pada tingkat propinsi organisasi penanggulangan bencana disebut Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) yang diketuai oleh Gubernur, beranggota instansi/ dinas pemerintah propinsi, komando teritorial dan organisasi sosial kemasyarakatan. Pada tingkat kabupaten atau kota organisasi penanggulangan bencana dinamakan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) yang diketuai oleh Bupati atau Walikota, dan beranggota pemerintah daerah, komando teritorial dan organisasi sosial-kemasyarakatan di daerah tersebut. Pada tingkat kecamatan dan desa organisasi penanggulangan bencana dinamakan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana (Satgas PB).

VI.4. Penilaian Potensi Bahaya

Penilaian potensi bahaya gunung api (volcanic hazard assessments) bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis bahaya gunung api, intensitas bahaya, arah, sebaran dan jangkauan, dan jika mungkin waktu kejadian, serta saran usaha penanggulangannya. Untuk menilainya dibutuhkan data vulkanologi, meliputi data geologi, geofisika, geokimia, klimatologi, monitoring dan sosial-kependudukan. Bentang alam dan pola aliran dapat membantu dalam memperkirakan arah gerakan gravitasi, seperti halnya awan panas, lava dan lahar. Data stratigrafi, sedimentologi dan petrologi berguna untuk mengetahui evolusi dan karakter kegiatan gunung api. Data struktur geologi berguna untuk mengetahui daerah-daerah yang lemah untuk deformasi muka tanah, kemunculan gas beracun dan lubang letusan baru. Data geofisika, geokimia dan pemantauan bermanfaat untuk mengetahui tingkat kegiatan magma di bawah gunung api dan memperkirakan besarnya letusan. Data klimatologi mendukung analisis letusan freatik, freatomagmatik dan penanggulangan banjir lahar hujan. Data sosial-penduduk diperlukan untuk pemberdayaan masyarakat di daerah bencana untuk bersama-sama dengan pemerintah dan masyarakat lainnya melakukan usaha penanggulangan bencana. Studi terpadu untuk menganalisis potensi bahaya gunung api antara lain dilakukan di G. Muria (Wirakusumah dkk., 2000), G. Batur (Bronto, 2000b), G. Krakatau (Bronto, 2000c) dan G. Galunggung (Bronto, 2001a). Analisis potensi bahaya ini akan semakin tajam apabila selalu diperbarui dengan data pemantauan gunung api.

VI.5. Pemetaan Kawasan Rawan Bencana

Peta kawasan rawan bencana (dulu disebut peta daerah bahaya gunung api) adalah peta petunjuk tingkat kerawanan bencana pada suatu daerah, bila terjadi erupsi gunung api. Peta ini menjelaskan jenis dan sifat bahaya gunung api, zonasi daerah rawan bencana, jalur penyelamatan dan lokasi pengungsian, dan titik-titik pos pengamatan dan penanggulangannya. Peta ini merupakan salah satu hasil tindak lanjut dari studi penilaian potensi bahaya gunung api.

Peta kawasan rawan bencana gunung api (Gambar VI.1) meliputi:

a. Kawasan rawan bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar/ banjir dan hujan abu, serta tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas, aliran lava dan lontaran batu (pijar) apabila letusan membesar. Di kawasan ini masyarakat harus waspada jika terjadi erupsi/ letusan gunung api dan atau hujan lebat, melaporkan kejadian bahaya yang mengancam keselamatan jiwa dan kerusakan harta benda sambil menunggu instruksi dari pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.b. Kawasan rawan bencana II berpotensi terlanda awan panas, lava, lontaran atau guguran batu (pijar), lahar dan gas beracun. Jika terjadi peningkatan kegiatan gunung api, masyarakat harus mengungsi. Penduduk dapat kembali bila daerahnya telah dinyatakan aman kembali.c. Kawasan rawan bencana III: sering terlanda awan panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), dan gas beracun. Kawasan ini hanya diberlakukan pada gunung api yang sangat giat atau sering meletus, seperti G. Merapi, G. Semeru dan G. Batur. Kawasan ini tidak direkomendasikan untuk pemukiman tetap. Jika kegiatan gunung api meningkat, masyarakat umum dilarang melakukan kegiatan apapun di wilayah ini.

Peta kawasan rawan bencana gunung api hanya berlaku untuk kegiatan kegiatan gunung api bersekala kecil sampai menengah, yaitu dengan ILG 3 atau lebih kecil, tipe letusan sebesar-besarnya Vulkanian, dan dengan sejarah erupsi yang sama. Untuk mengantisipasi penyimpangan kegiatan, perlu disusun skenario yang lain, contoh: untuk ILG menengah (4-5), dan ILG besar (6; Bronto, 1989). Keberhasilan penggunaan peta kawasan rawan bencana tergantung dari hasil pemantauan dan perkiraan besarnya letusan yang akan datang.

Gambar VI.1. Contoh peta kawasan rawan bencana Gunung Merapi (dimodifikasi dari Pardiyanto dkk, 1977).

VI.6. Pemantauan Gunung ApiPemantauan kegiatan gunung api bertujuan untuk memperkirakan besaran letusan yang akan terjadi melalui model atau skenario erupsi gunung api, mencakup :

1. Mendeteksi adanya peningkatan kegiatan atau precursor.

2. Memperkirakan waktu dan besaran letusan awal.

3. Memperkirakan waktu dan besaran letusan berikutnya, terutama letusan puncak atau paroksismal.

4. Memperkirakan lama letusan dan mengidentifikasi penurunan kegiatan.

5. Memperkirakan luasan daerah yang akan terlanda, jenis ancaman bahaya yang akan terjadi, apakah awan panas, lontaran batu, hujan abu, aliran lava, aliran lahar dan sebagainya.

Model erupsi yang diputuskan berdasar data pemantauan akan menjadi acuan untuk memberlakukan peta kawasan rawan bencana yang sesuai.

Pemantauan gunung api dilaksanakan melalui pos-pos pengamatan yang didirikan di kawasan gunung api aktif di bawah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, secara visual dan instrumental. a. Pemantauan visual dilakukan langsung terhadap perilaku kegiatan gunung api dari waktu ke waktu, misalnya perubahan fisik gas (warna asap, tinggi kolom asap, arah sebaran asap atau abu gunung api dan lain-lain). Jika kawah gunung api berupa danau, perlu diamati perubahan-perubahan yang terjadi di dalam danau. Peralatan yang digunakan adalah teropong (binokuler), termometer, alat penakar curah hujan dan alat komunikasi. Termometer untuk mengukur temperatur gas (fumarol dan solfatara), air danau kawah, mata air panas dan suhu udara.b. Pemantauan secara instrumental menggunakan peralatan berdasarkan disiplin ilmu geologi, geofisika dan geokimia. Berdasarkan ilmu geologi, obyek yang diamati adalah perkembangan volume kubah lava, aliran lava, intensitas rekahan (bukaan) dan komposisi bahan padat. Peralatan yang digunakan adalah teodolit, ekstensiometer, peralatan kerja lapangan dan laboratorium geologi.

Pemantauan secara geofisika berupa pemantauan kegempaan, deformasi, kemagnetan dan gaya berat. Kegiatan magma baik yang masih berada di bawah permukaan tanah maupun yang telah dierupsikan menimbulkan getaran atau gempa gunung api (volcanic earthquakes). Kegempaan itu dipantau dengan alat seismometer dan data direkam di dalam seismograf.

Gambar VI.2. Tiltmeter yang dipasang untuk melakukan pemantauan kegiatan gunung api (BPPTK).

Magma yang sedang naik ke permukaan juga menimbulkan perubahan atau deformasi terhadap tubuh gunung api. Tekanan magma pada lereng dan puncak gunung api menyebabkan inflasi, dan saat kegiatannya menurun kembali terjadi pengkerutan atau deflasi. Pengukuran deformasi menggunakan jaring triaterasi yang dipasang pada puncak gunung api (Gambar VI.3)

Gambar VI.3. Jaringan triaterasi di puncak Gunung Merapi untuk pemantauan dan pengukuran deformasi (BPPTK).

Saat aktivitas meningkat, terjadi anomali seismik yang ditandai dengan gempa-gempa tremor, vulkanik dangkal dan vulkanik dalam (contoh hasil pencatatan pada Gambar VI.4).

Gambar VI.4. Contoh rekaman seismik di Gunung Merapi (BPPTK).

Metode pemantauan kemagnetan dengan menggunakan magnetometer akan memberikan perilaku magma di bawah permukaan (Gambar VI.5). Sedangkan pemantauan gravitasi dengan alat gravimeter lebih ditekankan untuk mengetahui struktur geologi bawah permukaan berupa sesar dan kekar yang akan menjadi jalan pergerakan magma ke permukaan bumi.

Gambar VI.5. Contoh variasi intensitas magnetik antara stasiun IJO dan LEM di Gunung Merapi (BPPTK).

Pemantauan dengan metoda geokimia bertujuan untuk mengetahui perilaku magma yang sedang bergerak ke permukaan. Contoh: analisis gas di udara dan di dalam tanah, air dari danau kawah, mata air panas, mata air dingin, air sungai berhulu di daerah puncak, dan lain-lain (contoh pada Tabel VI.3). Analisis kimia dapat meliputi unsur mayor, unsur minor atau jarang tanah serta isotop. Gambar 10.14 menunjukkan grafik data kandungan HCl dan SO2 di dalam gas solfatara di kawah Gendol, G. Merapi. Salah satu alat untuk mendeteksi gas SO2 di udara adalah COSPEC (Correlation Spectrometer).

Tabel VI.3. Contoh hasil pengukuran gas Gunung Merapi pada 2 Februari 1992

Unsur gas dalam kawah% mol kondisi normalPeningkatan pada 2 Februari 1992

Uap air

HCl

SO2CO2H2O2+Ar18,95

0,1

0,74

0,03

2,86

0,02

0,0098,13

10,53

10,86

1,66

35,77

11,6

3,28

VI.7. Sistem Peringatan Dini

Untuk memberikan peringatan dini dan usaha penyelamatan diri anggota masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana gunung api maka dibuat kriteria tingkat kegiatan gunung api di Indonesia (Tabel VI.4).

Tabel VI.4. Kriteria tingkat kegiatan gunung api dan kewaspadaan masyarakat (BPPTK dan Bronto, tak-dipublikasikan).

Tingkat kegiatan gunung apiTingkat kewaspadaan masyarakat

Aktif normal (Tingkat I)

Aktivitas gunung api berlangsung normal, tidak ada tanda-tanda erupsiKeadaan aman, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana dapat beraktivitas sehari-hari dengan tenang.

Waspada (Tingkat II)

Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang tampak visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya.Masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana sambil menunggu perintah lebih lanjut dari pemerintah daerah setempat, yaitu peningkatan penjagaan (ronda/ siskamling), perbaikan pos jaga, perbaikan jalan/ rute pengungsian, penyediaan alat peringatan (kentongan, lodspeaker, bedug, sirine) dll. Pemerintah daerah dan instansi terkait mulai memberikan penyuluhan, merencanakan pengadaan bahan/ peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan untuk usaha penyelamatan dan pengungsian.

Siaga (Tingkat III)

Peningkatan kegiatan semakin nyata, hasil pengamatan visual/ pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis, perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.Masyarakat mensiagakan diri lebih intensif: penjagaan diperketat, tidak bekerja dalam lembah sungai atau puncak gunung yang berpotensi terlanda bencana, mensiagakan barang-barang keperluan pribadi yang mudah dibawa saat mengungsi. Pemerintah daerah dan instansi terkait mensiagakan sarana dan prasarana untuk penyelamatan dan pengungsian: alat transportasi, sirine/ alarm, barak pengungsia, tenda, alat masal dll. Meningkatkan penyuluhan kebencanaan pada masyarakat.

Awas (Tingkat IV)

Menjelang letusan utama, letusan awal berupa abu/asap mulai terjadi. Berdasarkan analisis data pengamatan akan diikuti letusan utama.Sesuai perintah pimpinan daerah masyarakat di kawasan rawan bencana harus mengungsi. Aparat pemerintah daerah dan instansi terkait membantu memperlancar dan mempercepat pengungsian menuju barak-barak yang disediakan sesuai rute yang sudah ditentukan.

------ mempersiapkan ujian akhir semester ------

DAFTAR BACAANAdams, M. C., Moore, J. N., and Forster, C., 1985. Fluid flow in volcanic terrainshydrogeochemisty of the Meager Mountain thermal system. Geotherm. Res. Council Trans. 9: 377382.

Alzwar, M., 1985, G. Kelut, Berita Berkala Volkanologi Edisi Khusus, no. 108, Direkt. Vulkanologi, 60.

Alzwar, M., H. Samodra and J.J. Tarigan, 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunung api, Nova, Bandung, 226.

Anderson, E. M., 1936. The dynamics of the formation of cone-sheets, ringdykes, and cauldron subsidences. Proc. Roy. Soc., Edinburgh 56 : 128163.

Anonim, 1997, Volcanoes and associated topics in relation to nuclear power plant siting, Provisional Safety Standards Series no. 1, Internat. Atomic Energy Agency, Vienna, 49.

Bakornas PB, 1997a, Pedoman Penyusunan Prosedur Tetap Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana (Protap Satkorlak PB), Sekretariat Bakornas PB, Kantor Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3F, Jakarta Pusat, 10.

Bakornas PB, 1997b, Pedoman Penyusunan Prosedur Tetap Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Protap Satlak PB), Sekretariat Bakornas PB, Kantor Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3F, Jakarta Pusat, 10.

Bakornas PB, 1997c, Buku Pedoman Tim Reaksi Cepat, Sekretariat Bakornas PB, Kantor Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3 F, telp. (021) 3507521 3453283, Fax.3454383, E-mail : [email protected], Jakarta Pusat, 22.

Bronto, S., 1992, Volcanoes and their volcanic hazard map preparations, Prosid. EMNHD-2, Yogyakarta, Vo.3.1-3.13.

Bronto, S., 1995a, Awan panas, bahaya dan penanggulangannya, Lokakarya strategi penanganan Kawasan Merapi Pasca Bencana 22 November 1994 di UGM Yogyakarta, 30 Januari, 28.Carey, S. N. and Sigurdsson, H., 1982. Influence of particle aggregation on deposition of distal tephra from the May 18, 1980 eruption of Mount St. Helens volcano. J. Geophys. Res. 87 : 70617072.

Carey, S. and Sparks, R. S. J., 1986. Quantitative models of the fallout and dispersal of tephra from volcanic eruption columns. Bull. Volcanol. 48 : 109125

Cas, R. A. F. and Wright, J. V., 1987. Volcanic successions: Modern and ancient. Allen and Unwin, London, 528 pp.

Crandell, D. R., Miller, C. D., Glicken, H. X., Christiansen, R. L., and Newhall, C. G., 1984. Catastrophic debris avalanche from ancestral Mount Shasta volcano, California. Geology 12 : 143146.

Crowe, B. M. and Fisher, R. V., 1973. Sedimentary structures in base-surge deposits with special reference to cross-bedding, Ubehebe Craters, Death Valley, California. Geol. Soc. Am. Bull. 84 : 663682

Curtis, G. H., 1954. Mode of origin of pyroclastic debris in the Mehrten Formation of the Sierra Nevada. Univ. Calif. Publ. Geol. Sci. 29 : 453502

Davis, J. C., 1973. Statistics and data analysis in geology . Wiley and Sons, New York, 550 pp.

Decker, R., 1987. Dynamics of Hawaiian volcanoes: an overview. U.S. Geol. Surv. Prof. Pap. 1350, pp. 9971018.

Druitt, T. H. and Bacon, C. R., 1986. Lithic breccia and ignimbrite erupted during the collapse of Crater Lake, Oregon. J. Volcanol. Geotherm. Res. 29 : 132.

Druitt, T. H. and Sparks, R. S. J., 1982. A Proximal ignimbrite breccia facies on Santorini, Greece. J. Volcanol. Geotherm. Res. 13 : 147172.

Druitt, T. H. and Sparks, R. S. J., 1984. On the formation of calderas during ignimbrite eruptions. Nature 310 : 679681.

Fisher, R. V. and Schmincke, H.-U., 1984. Pyroclastic rocks . Springer-Verlag, Berlin, 472 pp.

Fisher, R. V. and Smith, G. A., 1991. Volcanism, tectonics, and sedimentation. In: R. V. Fisher and G. A. Smith (Eds.), Sedimentation in volcanic settings . Soc. Econ. Paleontol. Mineral. Spec. Pub. 45, pp. 18.

Fisher, R. V., Schmincke, H.-U., and Bogaard, P. v. d., 1983. Origin and emplacement of a pyroclastic flow and surge unit at Laacher See, Germany. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 375392.

Fournier, R. O. and Rowe, J.J., 1966. Estimation of underground temperatures from the silica content of water from hot springs and wet-steam wells. Am. J. Sci. 264 : 685697.

Frazzetta, G., La Volpe, L., and Sheridan, M. F., 1983. Evolution of the Fossa cone, Vulcano. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 329360.

Gill, J., 1981. Orogenic andesites and plate tectonics . Springer-Verlag, New York, 390 pp.

Katsui, Y., 1963. Evolution and magmatic history of some Krakatoan calderas in Hokkaido, Japan. J. Fac. Sci. Hokkaido Univ. Ser. 4, 11 : 631650.

Keller, J., 1980. The island of Vulcano. Rend. Soc. Ital. Min. Petrol. 36 : 369414.Kokelaar, P., 1986. Magma-water interactions in subaqueous and emergent basaltic volcanism. Bull. Volcanol. 48 : 275290.

Kusumadinata, K., 1979, Data Dasar Gunung api Indonesia, Direktorat Vulkanologi, Bandung, 820.

Lorenz, V., 1986. On the growth of maars and diatremes and its relevance to the formation of tuff rings. Bull. Volcanol. 48 : 265274.

MacDonald, G. A., 1972. Volcanoes . Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 510 pp.

Marsh, B. D., 1979a. Islandarc volcanism. Am. Sci. 67 : 161172.

Marsh, B. D., 1979b. Island arc development: some observations, experiments, and speculations. J. Geol. 87 : 687713.

Marsh, B. D. 1984. On the mechanics of caldera resurgence. J. Geophys. Res. 89 : 82458252.

Marsh, B. D. and Carmichael, I. S.