Upload
siscaedline
View
322
Download
32
Embed Size (px)
Citation preview
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme
ekonomi disektor riil melalui aktivitas investasi atau jual beli serta memberikan pelayanan
jasa simpanan atau perbankan bagi para nasabah dalam aktivitasnya bank syariah akan
memberikan produk bank syariah. Produk yang diberikan oleh bank syariah tidak terlepas
mengenai akad dan konsep keuntungan dalam islam. Dalam islam, menurut penuturan Ibnu
Arabi, transaksi ekonomi tanpa unsure ‘Iwad sama dengan riba.
Akad
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengkokohkan. Secara
bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath) maksudnya
adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya pada
yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Dalam Al-Qur’an kata alqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia
diminta untuk memenuhi akadnya. Istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis
dalam KUH Perdata¹.
Menurut undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dalam pasal 1
angka (13) akad adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah atau UUS dan pihak lain
yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip
syariah.
Sedangkan pengertian perjanjian adalah suatu persetujuan dimana suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih (Ibid
2007 : 45) perbedaan antara perikatan islam (Akad) dengan perikatan KUHPerdata adalah
dalam tahapan perjanjiannya dimana dalam hukum perikatan islam (akad) janji pihak pertama
dan pihak kedua terpisah atau dua tahap sedangkan dalam KUHPerdata hanya satu tahap
setelah ada perjanjian maka timbul perikatan.
Akad, yang disebut juga perjanjian, kesepakatan atau transaksi, dapat diartikan
sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah. Dalam istilah fiqih secara
umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang
¹ Al-Qur’an dan terjemahnya Khadim Haramain asy Syarifain, Mamlakah Arabiah Asuudiyah
muncul dari satu pihak seperti wakaf, talak dan sumpah maupun yang muncul dari dua pihak
seperti jual beli, sewa, wakalah dan gadai.
Dalam arti khusus, akad diartikan sebagai keterkaitan antara ijab, yang diesebut juga
pernyataan penawaran atau pemindahan kepemilikan, dan qabul, yang disebut juga
pernyataan penerimaan kepemilikan, dalam lingkup yang diisyaratkan dan berpengaruh pada
sesuatu (Santoso, 2003). Pada akad terdapat tiga rukun. Yang pertama adalah pelaku akad.
Pelaku akad haruslah orang yang mampu melakukan akad untuk dirinya (ahliyah) dan
mempuyai otoritas Syariah yang diberikan pada seseorang dan merealisasikan akad sebagai
perwakilan dari yang lain (wilayah). Selanjutnya, yang kedua yakni objek akad. Objek akad
harus ada ketika terjadi akad, harus sesuatu yang disyariatkan, harus bida diserahterimakan
ketika terjadi akad, dan harus sesuatu yang jelas antara dua peluku akad. Dan rukun yang
terakhir shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul. Ijab qabul harus jelas
maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul dan bersambung antara ijab dan qabul.
Terdapat empat syarat yang terdapat pada akad yaitu syarat berlakunya akad
(In’iqod); syarat sahnya akad (Shihah); syarat terealisasikannya akad (Nafadz); syarat Lazim.
Syarat In’iqod ada yang umum dan khusus. Syarat umum harus selalu ada pada setiap akad,
seperti syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek akad dan Shighah akad, akad bukan
pada sesuatu yang diharamkan, dan akad pada sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat
khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad tertentu, seperti syarat minimal
dua saksi pada akad nikah. Syarat shihah, yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar
akad berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus bersih dari cacat. Syarat nafadz ada
dua, yaitu kepemilikan, yaitubarang dimiliki oleh pelaku dan berhak menggunakannya, dan
wilayah. Syarat Lazim, yaitu bahwa akad harus dilaksanakan apabila tidak cacat.
Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang
dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya.
Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-
masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qobul². Dapat
diperoleh tiga unsure yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut:
² Nazir, Habib, Muhammad Hasanuddin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, Bandung: Kaki Langit,
2004. Hal 45.
a. Pertalian Ijab dan Qobul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh suatu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu. Qobul adalah pernyataan menerima atau menyetujui
kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qobil). Ijab dan Qobul ini harus ada
dalam melaksanakan suatu perikatan (akad)
b. Dibenarkan oleh Syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal yang
diatur oleh Allah SWT dalam Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Al
Hadist. Pelaksanaan akad dan tujuan akad maupun obyek akad tidak boleh
bertentangan dengan syariah. Jika bertentangan mengakibatkan akad itu tidak sah.
c. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad
menimbulkan akibat hukum terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para
pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para
pihak³.
Subyek akad (aqid) dalam hukum perikatan islam adalah sama dengan subyek hukum
pada umumnya yaitu pribadi-pribadi yang padanya terdapat ketentuan berupa pembebanan
kewajiban dan perolehan hak. Subyek hukum terdiri dari dua macam yaitu manusia dan
badan hukum kaitannya dengan ketentuan dalam hukum islam4 Manusia. Manusia sebagai
subyek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut
mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang
berhubungan dengan tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Kata mukallaf berasal dari
bahasa arab yang berarti yang membebani hukum. Dalam hal ini adalah orang-orang yang
telah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan Allah SWT.
a. Badan hukum. Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam
hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap
orang lain atau badan lain. Hukum memiliki kekayaan yang terpisah dari perorangan.
Yang dapat menjadi badan hukum adalah dapat berupa negara, daerah otonomi,
perkumpulan orang-orang5. Dalam islam badan hukum tidak diatur secara khusu
³ Ghofroni A. Mas’adi Op cit., hal 76-77
4 Dewi, Gemala, Hukum Perbankan, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004. Hal 15
namum terlihat dari beberapa dalil menunjukan adanya badan hukum dengan
menggunakan istilah Syarkah (persekutuan) yang dibentuk berdasarkan hukum dan
milik tanggung jawab kehartaan yang terpisah dari pendirinya.
Perbedaan wa’ad dan akad
Dalam falam fiqh, muamalat islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad
adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya sementara akad adalah kontrak
kedua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak yakni pihak yang member janji
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak
memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya6.
Untuk wa’ad, terms and condition belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (unwell
defined) dimana bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya maka sanksi yang
diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Disisi lain, Akad mengikat kedua belah pihak
yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban
mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and
condition sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (well defined) dimana bila salah satu atau
kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak itu sudah tidak dapat memenuhi kewajibannya,
maka yang bersangkutan atau mereka menerima sanksi seperti yang disepakati dalam akad.
Tabel perbedaan akad dan wa’ad
Wa’ad Akad
Definisi Janji antara satu pihak
dengan pihak lainnya
Kontrak antara kedua belah
pihak
Hubungan pengikatan Mengikat satu pihak yakni
pihak yang member janji
berkewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya
Mengikat kedua belah pihak
yang saling bersepakat
Pengenaan sanksi Jika pihak yang berjanji tidak
dapat memenuhi kewajiban,
sanksi yang diterima
biasanya adalah sanksi moral
Jika salah satu pihak atau
kedua belah pihak yang
terikat dalam kontrak tidak
dapat memenuhi
kewajibannya, maka ia atau
mereka menerima sanksi
yang sudah disepakati dalam
akad
Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya terutama diturunkan dari
kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari kebiatan tolong menolong
(tabarru’). Turunan dari tijarah adalah perniagaan (al-bai’) yang berbentuk kontrak
pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya. Cakupan akad yang akan dibahas
meliputi akad perniagaan (Al-Bai’) yang umum digunakan untuk produk bank syariah.
Allah telah menghalalkan perniagaan (Al-Bai’) dan mengharamkan riba (QS 2:275). Inilah
dasar utama operasi bank syariah yang meninggalkan penggunaan sistem bunga dan
menerapkan penggunaan sebagian akad-akad perniagaan dalam produk-produk bank syariah7.
Dalam melihat produk-produk bank syariah, selain bentuk atau nama produknya, yang perlu
diperhatikan adalah prinsip syariah yang digunakan oleh produk yang bersangkutan dalam
akadnya (perjanjian), dan bukan hanya nama produknya sebagaimana produk-produk
konvensional. Hal ini terkait dengan bagaimana hubungan antara bank dan nasabah yang
menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, suatu produk bank syariah
dalam menggunakan prinsip-prinsip syariah yang berbeda. Demikian juga, satu prinsip
syariah dapat diterapkan pada beberapa produk yang berbeda.
Akad atau transaksi yang berhubungan dengan kegiatan usaha bank syariah dapat
digolongkan ke dalam transaksi untuk mencari keuntungan (tijarah) dan transaksi tidak untuk
mencari keuntungan (tabarru’). Transaksi untuk mencari keuntungan dapat dibagi lagi
menjadi dua, yaitu transaksi yang mengandung kepastian (Natural Certainty Contract atau
NCC), yaitu kontrak dengan prinsip nonbagi hasil, yaitu jual-beli dan sewa, dan transaksi
lainnya adalah transaksi yang mengandung ketidakpastian (Natural Uncertainty Contracts
5 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, cetakan ke 8, Bandung : Sumur Bandung, 1981, hal. 23
6 Karim, Adiwarman. Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006, hal.
65
atau NUC), yaitu kontrak dengan prinsip bagi hasil. Menurut Karim (2004), transaksi NCC
berlandaskan pada teori pertukaran sedangkan NUC berlandaskan pada teori percampuran.
Semua transaksi untuk mencari keuntungan tercakup dalam pembiayaan dan pendanaan
sedangkan transaksi tidak untuk mencari keuntungan tercakup dalam pendanaan, jasa
pelayanan (fee based income), dan kegiatan sosial.
Natural Certain Contracts adalah kontrak atau akad dalam bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun waktunya (timing). Objek
pertukarannya, baik barang maupun jasa, ditetapkan di awal akad dengan pasti baik
jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of
delivery). Pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya, baik real assets
maupun financial assets. Natural Uncertainty Contracs adalah kontrak atau akad dalam bisnis
yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return) baik dari segi jumlah maupun
waktunya. Pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan dan
kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapat keuntungan. Keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama8
Skema jenis akad / transaksi
Berbagai jensi akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam
kelompok pola, yaitu, yang pertama pola titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah
yad dhamanah. Akad berpola titipan (Wadi’ah) ada dua, yaitu wadi’ah yad amanah dan
wadi’ah yad dhamanah. Pada awalnya, Wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah
‘tangan amanah’ yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah
‘tangan penanggung’. Akad wadi’ah yad Dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam
aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.
Pola selanjutnya yaitu pola pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan. Akad pola
pinjaman, satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan dalam perbankan syariah
adalah Qardh dan turunanya Qardhul Hasan. Karena bunga dilarang dalam islam, maka
pinjaman Quardh maupun Quardhul Hasan merupakan pinjaman tanpa bunga. Lebih khusus
7 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hal. 37
8 Karim, Adiwarman, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan, PT Raja Grafindo Persada, 2007 hal51-52
lagi, pinjaman Quardhul Hasan merupakan pinjaman kebajikan yang tidak bersifat komersial
tetapi bersifat sosial.
Pola berikutnya adalah pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musharakah.Akad
pola bagi hasil, akad bank syariah yang utama dan paling penting yang disepakati oleh para
ulama adalah akad dengan pola bagi hasil dengan prinsip mudharabah (trustee profit sharing)
dan musyarakah (joint venture profit syaring). Prinsipnya adalah al-ghunm bi’l-ghurm atau
al-kharaj bi’l-daman, yang berarti bahwa tidak ada bagian keuntungan tanpa ambil bagian
dalam risiko (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996) atau untuk setiap keuntungan ekenomi riil
harus ada biaya ekonomi riil (Khan, 1995)
Konsep bagi hasil yang digambarkan dalam buku fiqih pada umumnya diasumsikan
bahwa pihak yang bekerjasama bermaksud untuk memulai atau mendirikan suatu usaha
patungan (joint venture) ketika semua mitra usaha turut berpartisipasi sejak awal beroperasi
dan tetap menjadi mitra usaha sampai usaha berakhir pada waktu semua asset dilikuidasi.
Jarang sekali ditemukan konsep usaha yang terus berjalan ketika mitra usaha bisa dating dan
pergi setiap saat tanpa mempengaruhi jalannya usaha.
Pola keempat adalah pola jual beli, seperti murabahah, salam, dan istishna. Akad pola
jual beli, jual beli (buyu’, jamak dari bai’) atau perdagangan atau perniagaan atau trading
secara terminology Fikih islam berarti tukar menukar harga atas dasar saling ridha (rela), atau
memindahkan kepemilikan dengan imbalan pada sesuatu yang diizinkan (Santosa, 2003). Jual
beli dibolehkan syariah berdasarkan Alquran, Sunnah, dan Ijmak (consensus) para ulama.
Dalam QS 2:274 disebutkan bahwa “Allah menghalalkan perniagaan (al-bai’) dan
mengharamkan riba.” Sedangkan dalam QS 4:29 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka dama suka antar kamu.” 9
Pola selanjutnya adalah pola sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina. Transaksi
nonbagi hasil selain yang berpola jual beli adalah transaksi berpola sewa atau ijarah. Ijarah,
biasanya juga disebut sewa, jasa, atau imbalan merupakan akad yang dilakukan atas dasar
suatu manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah istilah dalam fikih islam yang berarti
9 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hal. 76
memberikan sesuatu untuk disewakan. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Jadi, hakikatnya ijarah adalah penjualan
manfaat10. Dan untuk pola terakhir adalah pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah,
ujr, sharf, dan rahn.
Fiqh muamalat membagi akad, berdasarkan dari segi ada atau tidak adanya
kompensasi, menjadi dua bagian yakni akad tabarru’ dan akad tijarah. Pada hakikitnya akad
tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah Swt semata
itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil sedangkan akad
tijarah adalah segala macam perjanjian for profit transaction dimana akad ini dilakukan
dengan tujuan mencari keuntungan11
10 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hal. 99
11 Karim, Adiwarman, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan, PT Raja Grafindo Persada, 2007 hal 66-70
Skema jenis akad/transaksi bank syariah12
JENIS AKAD / TRANSAKSI
TABARRU’(tidak mencari untung)
PENDANAAN
JASA PERBANKAN
SOSIAL
TIJARAH(mencari untung)
PENDANAAN
PEMBIAYAAN
JASA PERBANKAN
Pola Titipan Wadi’ah yad Dhamanah
Pola Pinjaman Qardh Qardhul Hasan
Pola lainnya Wakalah, Kafalah, Hiwalah, Rahn
Lain-lain Hibah, Waqf, Shadaqah, Hadiah
DENGAN KEPASTIAN
NONBAGI HASIL
JASA PERBANKAN
DENGAN KETIDAKPASTIAN
BAGI HASIL
Pola Jual Beli Murabahah Salam Istishna
Pola Sewa Ijarah Ijarah wa Iqtina Ujr
Pola Lainnya Sharf
Pola Bagi Hasil Mudharabah Musharakah
Lain-lain Muzara’ah, Musaqah, Mukharabah
12 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hal. 38.
Skema akad dan produk bank syariah13
13 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hal. 39.
Pendanaan SosialJasa PerbankanPembiayaan
Pola Titipan-Wadiah yad Dhamanah (Giro, Tabungan)
Pola Pinjaman-Qardh (Giro, Tabungan)
Pola Bagi Hasil-Mudharabah Mutlaqah Mudharabah Muqayadah (executing) (Tabungan, Deposito, Investasi, Obligasi)
Pola Sewa-Ijarah (Obligasi)
Pola Pinjaman-Qardhul Hasan (Pinjaman Kebajikan)
Pola Lainnya-Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Ujr, Sharf (Jasa Keuangan)
Pola Titipan-Wadi’ah yad Amanah (Jasa Non Keuangan)
Pola Bagi Hasil-Mudharabah Muqayyadah (Channelling) (Jasa Keagenan)
Pola Bagi Hasil-Mudharabah-Musyarakah(Investement Financing)
Pola Jual Beli-Mudharabah-Salam-Istishna(Trade Financing)
Pola Sewa-Ijarah-Ijarah wa iqtina(Trade Financing)
Pola Pinjaman-Qardh(Talangan)
Daftar Pustaka:
Al-Qur’an dan terjemahnya Khadim Haramain asy Syarifain, Mamlakah Arabiah Asuudiyah
Dr. Habib Nazir, Muhammad Hasanuddin, S.Ag. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan
Syari’ah, Kaki langit, Bandung , 2004.
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Karim, Adiwarman, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan, PT Raja Grafindo Persada,
2007