42
1 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013 Media Publikasi dan Informasi Dunia Reptil dan Amfibi Volume VI No 2, Juni 2013 Plus : Kunjungan Annemarie Ohler di IPB Deskripsi Katak Kecil Baru dari Pulau Dewata Belajar Konservasi Jenis Ternacam Punah di Jersey Catatan Perkelahian Cicak Rumah Mengenal Ular Papua Workshop Herpetologi di Bogor

Warta herpetofauna juni 2013

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Warta herpetofauna juni 2013

1 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Media Publikasi dan Informasi Dunia Reptil dan Amfibi

Volume VI No 2, Juni 2013

Plus :

Kunjungan Annemarie Ohler di IPB

Deskripsi Katak Kecil Baru dari Pulau Dewata

Belajar Konservasi Jenis Ternacam Punah di Jersey

Catatan Perkelahian Cicak Rumah

Mengenal Ular Papua

Workshop Herpetologi di Bogor

Page 2: Warta herpetofauna juni 2013

2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Daftar Isi :

Kunjungan Annemarie Ohler ke IPB 4

Workshop Herpetologi di Bogor 6

Harangan Batang Toru “Sepenggal Cerita Herpeto-

faunaku” 9

Berita: Deskripsi Katak Kecil Baru dari Pulau Dewata

15

Air Terjun Kedung Kayang: Menengok Habitat Her-

petofauna di Sawangan, Jawa Tengah 16

Herpetofauna Gunung Ranai Potensial bagi Pening-

katan Khasanah Kekayaan Jenis Hayati Nusantara 19

Belajar Konservasi Jenis Terancam Punah di Jersey

24

Catatan Perkelahian Cicak Rumah (Hemidactylus fre-

natus) dari Kab. Murung Raya 28

Mengenal Ular Papua 32

Patofisiologi Bisa Ular Berbisa Papua 36

Pustaka tentang Penangkaran Reptil 42

Warta Herpetofauna

media informasi dan publikasi dunia amfibi dan reptil

Penerbit :

Perhimpunan Herpetologi Indonesia

Pimpinan redaksi :

Mirza Dikari Kusrini

Redaktur:

Luthfia N. Rahman

Tata Letak & Artistik :

Arief Tajalli

Luthfia N. Rahman

Sirkulasi :

KPH “Python” HIMAKOVA

Alamat Redaksi :

Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil Indone-

sia, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata

Fakultas Kehutanan – IPB

Foto cover luar :

Gonocephalus liogaster oleh Arief Tajalli

Foto cover dalam :

Boiga dendrophilla oleh Arief Tajalli

WARTA HERPETOFAUNA

Page 3: Warta herpetofauna juni 2013

3 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Indonesia menyembunyikan kekayaan jenis herpetofauna

yang masih cukup besar. Hal ini terbukti dari kedatangan

beberapa ahli Herpetofauna dari luar negeri beberapa waktu

terakhir ini Indonesia, khususnya di Bogor. Kedatangan

mereka terutama karena tertarik akan kekayaan jenis herpe-

tofauna yang dimiliki oleh Indonesia. Selain itu, mereka juga

membawa ilmu yang dapat menambah wawasan Herpe-

tologis Indonesia sehingga catatannya dibagikan dalam edisi

Warta Herpetofauna kali ini.

Selain itu, dideskripsikannya jenis katak baru dari Pulau Bali

oleh Amir Hamidy serta cerita kekayaan jenis herpetofauna

dari Kepulauan Natuna juga membuktikan bahwa Indonesia

kemungkinan masih menyimpan potensi kekayaan Herpeto-

fauna yang lebih besar lagi.

Selamat membaca!

REDAKSI MENERIMA SEGALA BENTUK TULISAN, FOTO, GAMBAR, KARIKATUR, PUISI ATAU INFO

LAINNYA SEPUTAR DUNIA AMFIBI DAN REPTIL.

BAGI YANG BERMINAT DAPAT MENGIRIMKAN LANGSUNG KE ALAMAT REDAKSI

Berkat Kerjasama:

Page 4: Warta herpetofauna juni 2013

4 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

KUNJUNGAN ANNEMARIE OHLER KE IPB

Mirza D. Kusrini dan Luthfia Nuraini

Dept. Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB

Foto-foto oleh : Chairunas Adha Putra

Tahukah Anda bahwa Kuhl dan Van Hasselt

dimakamkan di Bogor? Mungkin beberapa dari

Anda mengerenyitkan dahi ketika membaca nama-

nama ini. Siapakah Kuhl dan Van Hasselt itu?

Mungkin pernah mendengar nama jenis Limnonec-

tes kuhlii atau Leptobrachium hasseltii. Nah, nama

spesies ini memang merujuk pada dua nama yaitu

Heinrich Kuhl dan Johan Coenraad van Hasselt.

Dua sahabat dari Eropa (Kuhl berkebangsaan Jer-

man dan van Hasselt berkebangsaan Belanda) ini

tiba di Indonesia pada tahun 1820 untuk mengum-

pulkan berbagai specimen hidupan liar. Delapan

bulan kemudian, Kuhl meninggal sehingga peker-

jaan pengumpulan specimen dilanjutkan oleh van

Hasselt yang meninggar dua tahun kemudian. Dua

orang naturalis yang masih berusia dua puluhan

tahun ini kemudian dimakamkan di kompleks

makam Belanda di Kebun Raya Bogor.

Cerita mengenai Kulh dan van Hasselt menga-

wali presentasi Prof Annemarie Ohler , curator dari

Museum National d'Histoire Naturelle (Paris, Per-

ancis) saat memberikan presentasi berjudul

“Biodiversity and Conservation of Oriental Am-

phibians” di Fakultas Kehutanan IPB ada tanggal

10 Mei 2013. Annemarie bahkan menyempatkan

untuk napak tilas ke Kebun raya Bogor khusus un-

Pembukaan seminar diawali dengan informasi singkat mengenai Annemarie Ohler oleh moderator (Mirza D. Kusrini)

Page 5: Warta herpetofauna juni 2013

5 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

tuk menyambangi makam ke dua tokoh ini.

Menurut Annemarie, kedua tokoh ini meru-

pakan salah satu pelopor penelitian berbagai jenis

amfibi dan reptil Jawa . Bagi ahli sistematika dan

taksonomi Amfibi yang telah menulis banyak pub-

likasi ilmiah dan mendeskripsikan spesies, genus

dan family Amfibi baru ini, specimen yang dikum-

pulkan Kuhl dan van Hasselt merupakan sumba-

ngan penting bagi taksonomi satwa liar terutama

bidang herpetology.

Tak kurang dari 25 peserta seminar yang

berasal dari berbagai institusi seperti MZB-LIPI,

Mahasiswa pascar sarjana IPB (Biosains Hewan,

KVT, MEJ) dan UI serta beberapa mahasiswa S1

dengan tekun menyimak presentasi yang diberi-

kan dengan menarik ini. Annemarie juga menge-

mukakan jumlah penemuan penting di bidang

penelitian amfibi di dunia dan posisi Asia Tenggara

pada khususnya

Sebuah kehormatan bagi IPB untuk menjadi

tuan rumah bagi kehadiran Annemarie Ohler. Ini

adalah kunjungan pertama ibu seorang anak dari

pernikahannya dengan Alain Dubois (yang juga

merupakan herpetologist terkenal) ke Indonesia.

Selama karirnya yang sudah lebih dari 20 tahun,

Annemarie telah mendeskripsikan tidak kurang

dari 23 spesies amfibi. Salah satu jenis amfibi yang

dideskripsikan berasal dari Indonesia yaitu Fejer-

varya iskandari ( Veith, Kosuch, Ohler & Dubois,

2001 ).

Annemarie menyatakan bahwa walaupun ada

beberapa jenis amfibi yang beliau deskirpsikan,

namun lebih banyak berdasarkan pengamatan ter-

hadap specimen mati. Oleh karena itu beliau sa-

ngat bersemangat untuk mengamati katak saat

berjalan-jalan di sekitar penginapan di lLandhuis,

Kebun Raya Bogor maupun di Cibodas. Antusi-

asme ini terlihat saat beliau bercerita melihat Hyla-

rana nicobariensis yang merupakan jenis umum

namun bagi beliau istimewa karena merupakan

kali pertama beliau memegang specimen hidup

dari jenis ini!

Suasana seminar

Page 6: Warta herpetofauna juni 2013

6 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

WORKSHOP HERPETOLOGI DI BOGOR

Luthfia Nuraini dan Mirza D. Kusrini

Dept. Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB

Pada tanggal 27-31 Mei 2013 yang lalu diseleng-

garakan workshop herpetology dengan tema Re-

search, collection and lab techniques in Herpetology.

Workshop ini merupakan hasil kerjasama antara

University of Texas at Arlington (UTA) dengan Fa-

kultas Kehutanan IPB, Museum Zoologicum Bo-

goriense (MZB)-LIPI dan Universitas Brawijaya (UB),

Malang. Lokakarya ini merupakan bagian dari

proyek eksplorasi herpetofauna di wilayah gunung

berapi di Sumatera dan Jawa yang didanai oleh Na-

Seagian dari peserta workshop berpose bersama di depan penginapan di Kebun Raya Cibodas. Foto oleh MDK

Page 7: Warta herpetofauna juni 2013

7 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

tional Science Foundation dengan peneliti utama

Eric. N. Smith dari University of Texas at Arlington

dan Michael Harvey dari Browald College. Walau-

pun lokakarya ini merupakan kerjasama dengan

tiga organisasi, namun kegiatan ini juga dihadiri

oleh beberapa peserta dari luar mitra yaitu dari

Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Se-

marang, Universitas Negeri Papua, Universitas

Soedirma dan mahasiswa pascasarjana lulusan

Biologi ITB yang kini bersekolah di Jerman. Selama

5 hari, 27 peserta saling berbagi hasil penelitian

yang telah dan sedang dilaksanakan, berbagi ilmu

mengenai berbagai teknik dalam rangka inventa-

risasi Herpetofauna dan teknik preservasi.

Kegiatan workshop ini pada dasarnya dibagi

menjadi dua kegiatan besar yaitu forum di mana

para peserta yang hadir mempresentasikan hasil

penelitian yang telah dilaksanakan. Forum ini dilak-

sanakan selama 3 hari di Fak. Kehutanan IPB dan

MZB-LIPI, Cibinong. Pada forum ini juga terdapat

forum untuk memperkenalkan museum satwa di

LIPI sekaligus trip keliling MZB untuk melihat

koleksi yang ada di MZB sehingga para peserta

sekaligus dapat belajar mengenai preservasi yang

baik dan benar dalam rangka membuat specimen

yang dapat bertahan hingga bertahun-tahun.

Di luar kegiatan forum tersebut juga diadakan

kegiatan monitoring herpetofauna di sekitar kam-

pus IPB Darmaga. Monitoring ini diikuti oleh selu-

ruh peserta workshop dengan dipandu oleh ang-

gota Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH)

HIMAKOVA. Selain sebagai program monitoring

rutin, kegiatan ini juga ditujukan untuk memperke-

nalkan keanekaragaman herpetofauna kampus

IPB terutama kepada peserta yang berasal dari

luar IPB. Selain itu dilakukan pengambilan be-

berapa contoh spesimen katak untuk digunakan

dalam simulasi preservasi dan pembuatan speci-

men yang baik dan benar. Simulasi preservasi dije-

laskan oleh tim dari MZB-LIPI.

Kegiatan selanjutnya adalah field trip ke Resor

Cibodas wilayah Taman Nasional Gunung Gede-

Pangrango (TNGP) yang dilaksanakan selama 2

hari. Kegiatan dibuka dengan pengenalan kawa-

san dengan perjalanan di sekitar Curug Ciwalen.

Kegiatan malam dilakukan dengan pencarian am-

fibi dan reltil di sekitar Kebun Raya Cbodas. Esok

harinya kegiatan ditutup dengan perjalanan ke Cu-

rug Cibeureum untuk mengamati berbagai men-

dapatkan spesies herpetofauna diurnal termasuk

berudu di sekitar Telaga Biru dan Curug Ci-

beureum.

Prof. Dr. Bambang Hero Sahardjo, Dekan Fakultas

Kehutanan IPB memberikan sambutan dan se-

lamat datang kepada para peserta disaksikan

oleh Eric N. Smith selaku peneliti utama dan ketua

penyelenggara lokakrya Mirza D. Kusrini

Page 8: Warta herpetofauna juni 2013

8 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Lokasi 1 (Sungai Nabottar)

Page 9: Warta herpetofauna juni 2013

9 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Harangan Batang Toru

“Sepenggal Cerita Herpetofauna ku”

Tulisan dan Foto-foto oleh Siska Handayani

Email : [email protected] Mahasiswa Biologi FMIPA USU/ Anggota Biopalas FMIPA USU

K awasan Hutan Batang Toru secara

geografis terletak antara 930 53'- 990

26' BT dan 020 03'-010 27' LU dan

secara administratif kawasan ini

terletak di antara 3 kabupaten yaitu kabupaten

Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara dan

Kabupaten Tapanuli Tengah.

Kawasan seluas 136.000 ha ini terbagi manjadi

dua blok, yaitu Blok Barat seluas 76.007 ha dan

Blok Timur seluas 59,993 ha. Pada Blok Barat

memiliki stasiun pemantauan flora fauna seluas

12.000 ha. Stasiun itu biasa disebut Pondok

Mayang karena di sekitarnya banyak tumbuh

pohon mayang merah (Maduca laurifolia).

Kawasan yang masih berstatus hutan produksi

dan areal peruntukan lain ini masih menyimpan

misteri mengenai flora faunanya karena masih

banyak flora fauna yang belum terekspos,

khususnya Herpetofauna, sehingga masih terbuka

peluang besar untuk kegiatan penelitian. Yayasan

Lokasi 2 (Sungai CII) Lokasi 3 (Aek Liang)

Page 10: Warta herpetofauna juni 2013

10 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Ekosistem Lestari (YEL) sedang mengusahakan

perubahan status kawasan tersebut menjadi

“Kawasan Hutan Lindung”.

Penelitian dilakukan selama 12 hari dengan

menetap selama 25 hari dihutan. Pengumpulan

data dilakukan menggunakan metode VES-NS

(Visual Encounter Survey-Night Stream) dan

metode Line transect. Pengambilan titik sampiling

secara purposive random sampling. VES-NS

digunakan pada habitat aquatic (sungai atau anak

sungai) sedangkan metode line transect

digunakan pada habitat terestrial.

Herpetofauna yang ditemukan kemudian

ditangkap dan dihitung jumlah individu masing-

masing jenis. Sampel kemudian difoto bagian

ventral, dorsal, ekstremitas atas, ekstremitas

Hasil dari penelitian ini didapatkan 15 jenis amfibi dari 6 famili, dan 11 jenis reptil dari 6 famili yang lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Kelas Ordo Family Spesies Amfibi Anura 1. Bufonidae 1. Pelophryne signata

2. Dicroglossidae 2. Limnonectes blythii

3. Limnonectes kuhlii

4. Limnonectes paramacrodon

3. Microhylidae 5.Microhyla palmipes

4. Megophrydae 6. Megophrys nasuta

5. Ranidae 7. Rana chalconota

8. Rana hosii

9. Rana picturata

6. Rhacophoridae 10. Chiromantis sp.

11. Polypedates macrotis

12. Philautus sp.

13. Nyctixalus pictus

14. Rhacophorus barisani

15.Rhacophorus cyanopuncatus

Reptil Squamata 1. Agamidae 1. Aphaniotis acutirostris

2. Draco melanopogon

3. Gonocephalus grandis

2. Colubridae 4. Dryocalamus subannulatus

5. Rhabdophis subminiatus

6. Xenochrophis trianguligerus

3. Geckonidae 7. Cyrtodactylus marmoratus

4. Scincidae 8. Mabuya multifasciata

5. Testudinae 9. Manouria emys emys

6. Viperidae 10. Ovaphis monticola

11. Trimeresurus popearum

2 Kelas 2 Ordo 12 Famili 26 Spesies

Page 11: Warta herpetofauna juni 2013

11 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

bawah, sisi tubuh bagian samping dan bagian

kepala yang dianggap penting untuk proses

identifikasi, kemudian diukur morfometri.

Herpetofauna yang didapatkan diidentifikasi di

lapangan kemudian semua jenis herpetofauna

yang telah selesai diukur morfometrinya langsung

dikembalikan ke habitat asalnya.

Semua jenis amfibi yang ditemukan

merupakan ordo Anura, masing-masing dari famili

Bufonidae, Microhylidae dan Megophryidae (1

Spesies), famili Dicroglossidae (3 Spesies), famili

Ranidae (3 Spesies) serta famili Rhacophoridae (6

spesies). Semua jenis reptil yang ditemukan

merupakan ordo Squamata, masing-masing dari

Chiromantis sp. merupakan temuan yang paling menarik. Ditemukan pada jalur H yaitu dikolam rawa-rawa. Pada waktu ditemukan, Chiromantissp. ini sedang berasosiasi dengan Rhacophorus barisani.

Page 12: Warta herpetofauna juni 2013

12 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Beragam Jenis amfibi dan reptil di

Harangan Batang Toru yang menarik

Page 13: Warta herpetofauna juni 2013

13 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Rana hosii

Polypedates macrotis

Trimeresurus popearum

Page 14: Warta herpetofauna juni 2013

14 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Rhacophorus barisani

famili Agamidae (3 Spesies), famili Geckonidae,

Scincidae dan Testudinae (1 Spesies), Colubridae

(3 Spesies) dan Viperidae (2 Spesies).

Jenis amfibi yang paling umum ditemukan

adalah dari famili Ranidae, kemudian

Dicroglossidae, Rhacophoridae, Microhylidae,

Megophrys dan Bufonidae. Jenis reptil yang

paling umum ditemukan adalah dari famili

Agamidae, kemudian disusul oleh famili

Geckonidae, Viperidae, Colubridae, Scincinidae

dan Testudinae. . Spesies amfibi yang paling

sering ditemukan adalah Rana signata dari famili

Ranidae sedangkan spesies reptil yang paling

sering ditemukan adalah Gonocephalus grandis

dari famili Agamidae.

Page 15: Warta herpetofauna juni 2013

15 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Pulau Bali, terkenal atas keindahan pano-

rama. Tidak pelak lagi, pulau ini menjadi favorit

para wisatawan yang datang ke Indonesia. Nah,

para pecinta amfibi dan reptil, jangan sia-siakan

waktu libur anda di Bali tanpa melihat keane-

karagaman amfibi dan reptile disana. Tidak banyak

penelitian mengenai amfibi dan reptile di Bali,

mungkin karena kebanyakan orang menanggap

Pulau Bali tidak memiliki kawasan alam yang ter-

sisa dan jenis yang ada tidak berbeda jauh dengan

apa yang ada di Pulau Jawa.

Sawah sebagai ekosistem buatan manusia

yang penting bagi kehidupan orang banyak dan

indah dipandang. Namun demikian, sawah bukan

habitat yang nyaman bagi berbagai jenis amfibi.

Tak heran, jumlah jenis yang ada di sawah biasanya

terbatas walaupun populasi jenis tersebut bi-

asanya melimpah karena kurangnya saingan. Me-

nemukan spesies baru di sawah tampaknya tidak

mungkin. Jangan salah, Annemarie Ohler dan ka-

wan-kawan mendeskripsikan jenis baru yang dite-

mukan di sawah yaitu Fejervarya iskandari.

Tak berbeda dengan temuan Annemarie

Ohler, peneliti dari MZB LIpi, Amir Hamidy

mendeksripsikan spesies baru yang ditemukan dari

persawahan di Wangaya Gede dan Batukaru pada

ketinggian 438-815 m di atas permukaan laut. Spe-

sies katak berukuran kecil ini ini (pejantan dewasa

berukuran 16—17 mm, atau sebesar kuku manusia)

diberi nama sebagai Microhyla orientalis .

Penelitian yang diketuai oleh Masafumi Ma-

tsui dari Kyoto University dan dipublikasikan pada

journal Zootaxa pertengahan Juni 2013 menyebut-

kan bahwa M. orientalis memiliki ciri khas antara

lain corak garis pada punggung, corak garis hitam

pada bagian samping yang memanjang dari mata

hingga setengah badan, dan moncong bulat. Se-

mentara, perbedaan jari kaki cukup ekstrem. Jari

pertama tak sampai seperlima dari jari ketiga. Ha-

sil lengkap penemuan ini bisa dibaca pada pub-

likasi ini Matsui M, Hamidy A, Eto K. 2013. Descrip-

tion of a new species of Microhyla from Bali, Indo-

nesia (Amphibia, Anura). Zootaxa 3670 (4): 579–

590 (14 Jun. 2013)

Mirza D. Kusrini

BERITA: DESKRIPSI KATAK KECIL BARU

DARI PULAU DEWATA

Foto: Amir Hamidy

Page 16: Warta herpetofauna juni 2013

16 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Air Terjun Kedung Kayang:

Menengok Habitat Herpetofauna di Sawangan,

Kabupaten Magelang, Jawa Tengah

Yonathan

Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fakultas Biologi UGM

Email: [email protected]

Obyek wisata ini berada di kaki Gunung Merapi, na-

mun masuk ke kawasan Taman Nasional Gunung

Merbabu. Air terjun ini berada pada ketinggian 1100

meter dpl dengan tinggi air terjun sekitar 40 meter.

Kondisi alam yang masih sangat asri tentu saja

menyimpan berbagai kekayaan fauna, khususnya

herpetofauna.

Keanekaragaman herpetofauna di lokasi ini

belum terlalu banyak diteliti. Sampai saat ini baru

studi tentang komunitas Ordo Anura saja yang telah

dilakukan oleh Qurniawan et al. (2010). Kami dari

Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fakultas Biologi

UGM, mencoba untuk mengeksplor potensi herpe-

tofauna yang ada di tempat tersebut. Sambil bertu-

juan untuk jalan-jalan, kami juga sering melakukan

sampling di tempat tersebut. Hasil yang didapat pun

cukup menggembirakan karena banyaknya jenis

herpetofauna yang masih dapat ditemukan di tem-

pat tersebut. Kami masih dapat menemukan amfibi,

kadal, bahkan ular di tempat tersebut.

Berdasarkan hasil tiga kali kami berkunjung ke

lokasi tersebut selama tahun 2012 hingga 2013, seti-

daknya kami menemukan 12 jenis amfibi, 6 jenis ka-

dal, dan 2 jenis ular .

Hal yang menarik adalah ditemukannya cukup

banyak jenis amfibi di daerah tersebut. Qurniawan

et al. (2010) hanya mencatat 7 jenis amfibi di sepan-

jang aliran Sungai Kedung Kayang. Phrynoidis as-

pera, Fejervarya limnocharis, Occidozyga sumatranus,

Polypedates leucomystax, dan Rhacophorus rein-

wardtii merupakan catatan baru untuk wilayah ini.

Lokasi tersebut memang sangat mendukung bagi

keberadaan amfibi karena terdapat pula sumber air

yang beragam mulai dari aliran air hingga kolam dan

genangan air. Tipe habitat pun cukup beragam mu-

lai dari area persawahan, vegetasi riparian, kebun

buatan, hingga semak-semak yang cukup lebat.

Kondisi lingkungan juga sangat mendukung karena

kelembaban yang sangat tinggi di lokasi tersebut.

Dari ke-12 jenis amfibi tersebut, 2 jenis ditemukan

dalam fase larva yaitu Polypedates leucomystax dan

Rhacophorus reinwardtii. Keduanya ditemukan di

kolam kecil dekat area persawahan.

Selain itu, hal yang lain yang menarik adalah

ditemukannya ular jenis Lycodon subcinctus dari Fa-

mili Colubridae ini. Ular yang biasa disebut ular cicak

bergaris ini adalah ular yang cukup jarang ditemu-

kan bahkan tergolong langka. Ketika ditemukan,

ular ini sedang berada di semak-semak aktif mencari

makan yaitu berupa cicak.

A ir Terjun Kedung Kayang adalah salah satu obyek wisata yang cukup popular

yang ada di Kabupaten Magelang, tepatnya di Desa Wonolelo, Kecamatan Sa-

wangan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Page 17: Warta herpetofauna juni 2013

17 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Air Terjun Kedung Kayang (foto oleh Iman Akbar M.)

Page 18: Warta herpetofauna juni 2013

18 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Keanekaragaman herpetofauna di kawasan Air Terjun Kedung Kayang, Kecamatan Sawangan, Kabupaten

Magelang terbukti sangat potensial karena masih ditemukan banyak sekali jenis herpetofauna. Selain itu,

area sampling yang dikaji pun belum mencakup keseluruhan area obyek wisata tersebut karena daerah di

atas air terjun belum secara teratur dan rutin disampling. Jenis herpetofauna masih mungkin bertambah

di lokasi ini. Hal tersebut menjadi tugas kita bersama untuk terus mengeksplor potensi kekayaan herpeto-

fauna di tempat tersebut. Semoga minat mempelajari keanekaragaman herpetofauna terus berkembang

dan semakin diperhatikan. Hidup herpetologi Indonesia!

Ordo Anura Subordo Lacertilia Subordo Serpentes

Phrynoidis aspera Bronchocela jubata Lycodon subcinctus

Duttaphrynus melanostictus Bronchocela cristatella Rhabdophis chrysargos

Microhyla achatina Cyrtodactylus marmoratus

Huia masonii Gehyra mutilata

Hylarana chalconota Hemidactylus garnotti

Odorrana hosii Eutropis multifasciata

Fejervarya limnocharis

Occidozyga sumatranus

Limnonectes kuhlii

Polypedates leucomystax

Rhacophorus reinwardtii

Limnonectes microdiscus

Daftar jenis yang ditemukan di lokasi

Lycodon subcinctus dalam posisi menyerang (foto oleh Yonathan)

Berudu Rhacophorus reinwardtii (foto oleh Yonathan)

Page 19: Warta herpetofauna juni 2013

19 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Herpetofauna Gunung Ranai Potensial Bagi

Peningkatan Kasanah Kekayaan Jenis Hayati Nusantara

Awal Riyanto Pemerhati Herpetofauna

Bekerja pada Pusat Penelitian Biologi – LIPI

Page 20: Warta herpetofauna juni 2013

20 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

G unung Ranai terletak di pulau Bungu-

ran, dahulu pulau ini dikenal sebagai

Great Natuna (Natuna Besar).

Secara administrasi pemerintahan, ma-

suk dalam Kabupaten Natuna, Propinsi Kepulauan

Riau. Dari sudut pandang politis dan biogeografi,

kepulauan Natuna mempunyai posisi yang sangat

strategis dan penting. Secara politis, kepulauan

ini terletak di batas terluar wilayah NKRI yaitu se-

belah Barat Laut di atas Laut Cina Selatan dan ber-

batasan dengan wilayah Malaysia. Adapun secara

biogeografi, kepulauan Natuna bersama kepu-

lauan Seribuat (termasuk pulau Tioman), Anambas

dan Tambelan menjadi batu loncatan (stepping

stones) pada Paparan Sunda Besar yaitu antara

Semenanjung Malaysia dengan Kalimantan.

Keempat kepulauan tersebut masih menyatu seki-

tar 17.000 tahun yang lalu ketika permukaan laut

berada pada level 120 m di bawah permukaan laut

masa sekarang.

Pada masa itu, kepulau Natuna sudah

terpisah oleh sungai Sunda Besar menjadi Natuna

Utara dan Natuna Selatan. Sekitar 11.000 tahun

yang lalu yaitu ketika permukaan laut pada level 50

m dibawah permukaan laut saat ini, kepulaun

Natuna Utara mulai terpisah dari kepulauan Anam-

bas. Adapun kepulaun Natuna Selatan, Tambelan

dan Tioman masih menyatu. Kepulauan Natuna

Selatan dan Tambelan mulai terpisah ketika per-

mukaan laut pada level 30 m di bawah permukaan

laut masa kini. Selanjutnya terpisah dengan pulau

Tioman ketika permukaan laut pada level 20 m di-

bawah permukaan laut masa kini (lihat Leong et.

al., 2003).

Terisolasinya kepulauan tersebut kemung-

kinan besar menyebabkan terjadinya proses spesi-

asi. Banyak deskripsi jenis-jenis baru marga Cyrto-

dactylus dari kawasan stepping stones tersebut

maupun dari daratan Semenanjung Malaysia,

Page 21: Warta herpetofauna juni 2013

21 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

seperti C. tiomanensis (2000) dari pulau Tioman,

C. aurensis (2005) dari pulau Aur (kepulaun

Seribuat), C. seribuatensis (2006) dari pulau

Seribuat, C. batucolus, C. jarakensis dan C.

pantiensis (2008) dari Semenanjung Malaysia,

dan C. hikidai (2012) dari pulau Bunguran serta C.

majulah (2012) dari pulai Bintan.

Pada Oktober 2011, penulis berkesem-

patan melakukan survei singkat di G. Ranai (dari

titik koordinat 03o57’22.5” LU; 108o21’16.5” BT

hingga 03o57’22.6” LU; 108o21’00.2” BT) yang

meliputi tiga macam tipe habitat yaitu kebun

cengkeh, air terjun dan hutan primer. Dari sur-

vei singkat ini setidaknya dijumpai sebanyak 18

jenis herpetofauna yang terdiri atas 6 jenis Aga-

midae, 2 jenis Gekkonidae (satu diantaranya

jenis baru), 1 jenis Scincidae, 2 jenis Colubridae, 1

jenis Pythonidae, 1 jenis Bataguridae, 1 jenis

“unidentified” Dricroglossidae, 1 jenis Microhyli-

dae, 2 jenis Megophryidae dan 1 jenis

“unidentified” Rhacophoridae. Jenis yang ma-

sih berstatus “unidentified” tersebut mengindi-

kasikan kemungkinan jenis “undescribed” dan

masih dalam kajian penulis, yaitu Philautus dan

Limnonectes kecil.

Adapun jenis baru yang dimaksud sudah

terbit diakhir tahun 2012 pada jurnal Zootaxa

nomor 3583 yaitu Cyrtodactylus hikidai Riyanto,

2012. Cyrtodactylus hikidai. Jenis baru ini dijum-

pai melimpah pada malam hari dalam hutan

primer G. Ranai. Umum dijumpai pada batang

maupun bebatuan besar dan hidup berdampin-

gan dengan Cnemaspis cf. kendallii yang jumlah-

Page 22: Warta herpetofauna juni 2013

22 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

nya lebih melimpah dan aktif baik di siang maupun

malam hari. Berdasarkan karakter morfologi tam-

paknya C. hikidai mempunyai kekerabatan dekat

dengan C. consobrinus dan C. aurensis. Sepintas C.

hikidai mirip dengan kedua jenis tersebut baik

ukuran maupun pola warna. C. hikidai berbeda den-

gan C. consobrinus dalam hal tidak memiliki sisik be-

sar dan pore pada femoral, memiliki 6 precloacal

pores terletak pada lipatan precloacal yang dalam

dan pola garis putih di leher atas menyerupai ben-

tuk anak panah terbalik; sedangkan C. consobrinus

mempunyai sisik besar pada femoral dan pola garis

putih pada leher menyerupai huruf “H”.

Adapun yang membedakannya dengan C. aurensis

adalah hadirnya tubercular pada permukaan kepala,

legan dan paha serta jumlah precloacal pores yang

lebih sedikit.

Disamping itu kemungkinan besar survei

singkat di G. Ranai tersebut merupakan momen

kedua setelah Leong et. al. (2003) untuk mendapat-

kan gambar hidup dari katak endemik yang

dideskripsikan pada tahun 1895 oleh Gűnther pada

lokasi yang sama yaitu Kalophrynus bunguranus.

Pengungkapan herpetofauna di G. Ranai yang dila-

kukan dalam durasi waktu yang singkat ini seti-

daknya menjanjikan diperolehnya temuan-temuan

baru dan berpotensi dalam peningkatan kasanah

kekayan jenis hayati Indonesia. Oleh karena itu

pada tahun 2013 ini telah direncanakan untuk mela-

kukan inventarisasi lanjutan di Natuna.

Bahan Bacaan

Grismer, L.L. (2005) New species of bent-toed

gecko (Cyrtodactylus Gray 1827) from Pulau

Aur, Johor, West Malaysia. Journal of

Herpetology, 39 (3), 424–432.

Grismer, L.L. & Leong, T.M. (2005) The new species

of Cyrtodactylus (Squamata: Gekkonidae)

from Southern peninsular Malaysia. Journal

of Herpetology, 39 (4), 584–591.

Grismer, L.L., Wood, Jr. P.L. & Youmans, T.M. (2007)

Redescription of the gekkonid lizard

Cyrtodactylus sworderi (Smith, 1925) from

Philatus sp. Katak pohon ini boleh dibilang tersebar merata di G. Ranai karena dapat dijumpai pada habi-

tat kebun cengkih dan hutan primer. Selain katak pohon tersebut ditemukan pula Limnonectes sp. yang

mempunyai suara sangat keras. Katak ini ditemukan pada lantai hutan. Kedua jenis katak tersebut mem-

buka peluang sebgai kandidat jenis baru.

Page 23: Warta herpetofauna juni 2013

23 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

southern Peninsular Malaysia. Hamadryad,

31, 250–257.

Grismer, L.L., Onn, C.K., Grismer, J.L., Wood, Jr.P.L.

& Belabut, D. (2008) Three new species of

Cyrtodactylus (Squamata: Gekkonidae)

from Peninsular Malaysia. Zootaxa, 1921, 1–

23.

Grismer, L.L., Wood, Jr. P.L. & Lim, K.K.P. (2012)

Cyrtodactylus majulah, a new species of

bent-toed gecko (Reptilia: Squamata:

Gekkonidae) from Singapore and the Riau

Archipelago. The Raffles Bulletin of Zoology,

60 (2), 487–499.

Gűnther, A. 1895. The reptils and batrachians of

the Natuna Islands. Nov. Zool., London, 2:

499-502.

Leong, T.M., L.L. Grismer and Mumpuni. 2003.

Preliminary Checklist of the Herpetofauna

of the Anabas and Natuna Islands (South

China Sea). Hamadryad (27) 2: 165–174.

Riyanto, A. (2012) Cyrtodactylus hikidai sp. nov.

(Squamata: Gekkonidae): a new bent toed

gecko from Mount Ranai, Bunguran island,

Indonesia. Zootaxa, 3583, 22–30.

Youmans, T.M. and L.L. Grismer. (2006). A new

species of Cyrtodactylus (Reptilia:

Squamata: Gekkonidae) from the Seribuat

archipelago, West Malaysia. Herpetological

Natural History, 10(1): 61–70.

Page 24: Warta herpetofauna juni 2013

24 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Belajar Konservasi Jenis Terancam Punah di Jersey

Adininggar Ul-Hasanah Mahasiswa Konservasi Biodiversitas Tropika SPs IPB

J ersey adalah pulau kecil di Selat Ing-

gris seluas kota Bogor. Viktor Hugo,

penulis Les Misérables, pernah tinggal

di sana. Henry Cavill, sang Superman

dalam film Man of Steel, dilahirkan di Jersey. Dalam

dunia konservasi, Jersey lebih dikenal sebagai lokasi

Durrell Wildlife Conservation Trust, yaitu lembaga

konservasi satwaliar dunia yang didirikan almarhum

Gerald Durrell. Semua ini berawal dari suatu kebun

binatang yaitu Durrell Wildlife Park (DWP).

Saat ini Durrell Wildlife Park (DWP) tidak

hanya kebun binatang, tetapi juga pusat penelitian

dan penangkaran satwaliar terancam punah. Berba-

gai jenis kera, lemur, kelelawar, burung, reptil, am-

fibi, dan satu jenis beruang terdapat di taman ini.

Untuk memastikan keberlanjutan upaya konservasi

berbagai jenis tersebut, program penelitian dan pe-

latihan juga dikembangkan di Jersey dan di lapan-

gan. Pada bulan Februari sampai Mei 2013, saya

berkesempatan mengikuti Durrell Endangered Spe-

cies Management (DESMAN) Certificate course di

Durrell Conservation Academy, Jersey untuk belajar

Excidobates mysteriosus, katak unik dan terancam punah dari Peru. Foto oleh A. Ul-Hasanah

Page 25: Warta herpetofauna juni 2013

25 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Peserta DESMAN 2013 mendengarkan penjelasan tentang Ouaisne Common

Nature Reserve. Berudu Rana dalmatina, katak asli

Jersey, dibesarkan di DWP dan kemudian katak de-

wasa dilepaskan di Ouaisne yang merupakan habitat

alaminya. Foto oleh A. Khairunissa.

secara langsung upaya konservasi satwaliar teran-

cam punah.

Selama 12 minggu, 14 peserta dari benua

Amerika, Asia, Afrika, dan Eropa mengikuti pro-

gram yang merupakan kerjasama dengan DICE,

Kent University. Kegiatan terdiri dari penyam-

paian bermacam materi mengenai teori biologi

konservasi, seperti keanekaragaman hayati, pri-

oritasi konservasi, reintroduksi spesies, genetik,

jenis invasive, teknik monitoring satwaliar, dan

statistik.

Materi pendukung juga disampaikan, antara

lain edukasi, manajemen proyek, fasilitasi dan ko-

munikasi. Penyampaian materi diselingi tidak

hanya presentasi dari para pakar dan staff Durrell,

tetapi juga diskusi kelompok kecil. Saya juga

mendapat kesempatan melihat kegiatan di be-

lakang layar Departemen Herpetofauna DWP.

Pada minggu ke-9, masing-masing peserta me-

nentukan sendiri topik fokus pembelajaran, yaitu

dengan berbagai departemen di DWP ataupun

belajar secara mandiri. Saya mengikuti staf herpet

dari pagi sampai siang, dari membersihkan terrar-

ium, menyiapkan pakan reptil, sampai mengukur

skink Gonglyomorphus cf. fontenayi yang baru me-

netas.

Pengetahuan yang diperoleh dari DESMAN

sangat berkaitan dengan Indonesia. Materi yang

disampaikan adalah pengalaman konservasi Dur-

rell di berbagai ekosistem pulau, seperti Mada-

gascar, Kepulauan Pasifik dan Karibia selama pu-

luhan tahun antara lain dengan Geochelone yni-

phora, Iguana delicatissima, dan Leptodactylus fal-

lax, serta taxa non-herpet seperti aves dan

mamalia. Seperti yang telah diketahui, jenis-jenis

di ekosistem pulau lebih terancam punah diband-

ingkan ekosistem daratan. Indonesia sebagai ne-

gara dengan 17.000 pulau dengan endemisitas

tinggi, termasuk jenis herpetofauna, membu-

tuhkan pemahaman mengenai konsep tersebut.

Penggiat konservasi di Indonesia perlu belajar

dari keberhasilan dan kegagalan dari negara-

negara lain untuk dapat diaplikasikan di Indone-

sia.

Apabila anda tertarik untuk pengikuti pelati-

han ini, pendaftaran untuk DESMAN 2014 telah

dibuka sampai September 2013. Kunjungi http://

www.durrell.org/ untuk informasi lengkap. Ter-

ima kasih pada Ian Singleton, Durrell Wildlife Con-

servation Trust dan peserta DESMAN 2013.

Page 26: Warta herpetofauna juni 2013

26 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Diskusi mengenai keuntungan dan kelemahan konservasi eks-situ. Foto oleh A. Ul-Hasanah

Penulis memaparkan hasil diskusi kelompok mengenai faktor penyakit dalam reintroduksi satwaliar. Foto oleh J.F. Chu

Page 27: Warta herpetofauna juni 2013

27 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Pengunjung di terarium Herp House di DWP dapat belajar tentang berbagai jenis herpeto-fauna, termasuk Komodo dari Indonesia. Foto oleh M.A. dela Cruz

Dan Garrick, staff Durrell, menyiapkan pakan untuk kura-kura Pyxis planicauda dari Madagaskar.

Foto : A. Ul-Hasanah Foto oleh J.F. Chu

Mahasiswi Nottingham Trent University mengunjungi ruang Dendrobatidae off show

Page 28: Warta herpetofauna juni 2013

28 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Catatan Perkelahian Cicak rumah (GEKKONIDAE;

Hemidactylus frenatus)

dari Kabupaten Murung Raya

Oleh:

Mistar (Yayasan Ekosistem Lestari – Medan)

Marga Cicak rumah Hemidactylus frenatus adalah jenis asli Asia dan Indo-

Pasifik, dalam kurun waktu 60 tahun sukses membuat koloni baru di pulau-

pulai di seluruh Pasifik dan benua Amerika, persebaran secara umum mengikuti

persebaran populasi manusia (Greer 1989; dalam Das dkk 2011).

Catatan ini dibuat pada 9 Desember 2012, ketika mengamati di sebuah

penginapan di Desa Batu Ampar, Kecamatan Sumber Barito, Kabuapaten

Murung Raya, Propinsi Kalimantan Tengah. Secara geografis –terletak pada

0.36475 Lintang Selatan. 114.06935 Lintang Utara pada ketinggian 63 meter

dari permukaan laut.

P erkelahian antara dua individu cicak

rumah yang di amati belum diketahui

penyebabnya, hasil pengamatan

diduga seekor betina (gambar 1),

sedang di taksir oleh seekor jantan, karena mungkin

kurang menyukai maka betina berjalan menuju arah

ke arah jantan (gambar 2), melihat kondisi ini jantan

gambar 2 langsung memasang posisi defensif, dan

mungkin pemuda tanggung tidak begitu takut

dengan ancaman, maka dengan segera terjadi

perkelahian (gambar 3), dan betina seperti

mengabaikan perkelahiran tersebut.

Perkelahian yang tidak berimbang hanya

memakan waktu kurang dari dua menit, porsi tubuh

dan mungkin pengalaman, maka jantan berwarna

gelap membanting (gambar 4), namun pejantan

lebih kecil tetap melakukan perlawanan dengan

gigitan (panah merah) yang melukai meskipun

sudah tergantung, dan akhirnya kedua cicak

tersebut jatuh ke permukaan tanah dari ketinggian

sekitar 2.5 meter, dan keduanya langsung

menghentikan perkelahian.

Apakah gigitan berdampak kematian?

Di Indonesia banyak terdapat kepercayaan dan

meyakini misalnya; Suku Dayak di Kalimantan

percaya bahwa gigitan cicak hutan Cyrtodactylus sp

dapat menyebabkan kematian, dan Suku

Mandailing di Sumatera Utara meyakini bahwa

gigitan tokek Gekko sp tidak akan terlepas sampai

ada suara petir.

Page 29: Warta herpetofauna juni 2013

29 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Gambar 1. Hemidactylus frenatus betina, seperti di kejar dan menuju arah H. frenatus (gambar 2) dan dengan segera memasang posisi defensif. Foto M. Kamsi_PTCT

Gambar 1

Gambar 2

Page 30: Warta herpetofauna juni 2013

30 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Gambar 3. Karena mengabaikan peringatan defensif, maka jantan berwarna gelap langsung menyerang

dengan gigitan.

Hasil studi (Das, Brahma dan Purkayastha,

2011) mengenai Cicak rumah H. frenatus pada air

liur terdapat bakteri Staphylococcus. Bakteri

Staphylococcus diketahui berpatogen pada

mamalia (Clausen and Duran-Reynalds, 1937) dan

dapat menyebabkan infeksi pada kulit,

bacteremia dan septicaemia (Fry et al., 2009;

Heffelfinger et al., 2010; Das et al 2011).

Bagaimanapun infeksi tidak akan berakibat fatal,

kecuali mengenai pembuluh darah. Marga

Hemidatylus umumnya mempunyai gigi kecil dan

taring kecil biasanya tidak cukup untuk melukai

manusia. Tapi entahlah untuk sesama jenis-nya?

Daftar Pustaka

Newbery, B., D. N. Jones, 2011. Presence of Asian

House Gecko Hemidactylusfrenatus across an

urban gradient in Brisbane: influence of habi-

tat and potential for impact on native gecko

species. Suburban Wildlife Research Group,

Australian School of Environmental Studies,

Griffith University, Nathan, Qld. 4111, Australia.

Das, M., R. K. Brahma, J. Purkayastha. 2011. More

in our mind than in their mouth? A preliminary

inspection inside the oral cavity of two house

Geckos: Hemidactylus frenatus Schlegel, 1836

and Hemidactylus aquilonius McMahan & Zug,

2007. Herpetology Notes, volume 4: 303-306

(2011).

Page 31: Warta herpetofauna juni 2013

31 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Gambar 4. Jantan berukuran kecil melakukan gigitan, meskipun sudah tergantung.

Page 32: Warta herpetofauna juni 2013

32 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Mengenal Ular Papua

Oleh : Keliopas Krey

Papuan white snake (Micropechis ikaheka), Bintuni

S ecara farmakologi, venom ular merupakan sumber protein dan peptida aktif yang kaya. Mereka memainkan peran penting dalam melumpuhkan, immobilisasi dan mencerna mangsa. Venom telah berevolusi untuk secara khusus menargetkan berbagai titik kritis dalam sistem fisiologis mangsa

(Ghorbanpur et al. 2010).

Mengapa Perlu Mengenal Ular Papua?

Semua organisme hidup di bumi memiliki

peranannya masing-masing. Bahkan hingga mati

tetap saja berguna bagi kehidupan lainnya.

Yakinlah, ular mempunyai peranan penting di alam,

misalnya dalam suatu rantai makanan. Jasa ular

yang terbesar sebagai pengendali hama seperti

tikus dan serangga yang sering menyerang

tanaman. Walaupun demikian manusia cenderung

tidak menyukai ular sehingga peranannya tersebut

tidak sebesar yang dapat dilakukannya. Karena

tidak disukai (dari jenis ular berbisa hingga yang

tidak berbisa) mereka tetap saja dibunuh.

Bagaimana dengan satwaliar unik yang satu ini di

Papua? Yang jelas tidak banyak orang di Papua yang

mengenalnya apalagi menyukainya. Barangkali

beberapa alasan sederhana mengapa kita perlu

mengenal ular Papua yaitu :

1. Ular merupakan satwa liar ”berbahaya” yang

habitatnya terdekat dengan kehidupan manusia

di Papua

2. Ular berperan penting bagi kesejahteraan hidup

manusia dalam menjaga keseimbangan

lingkungan di Papua

3. Makhluk eksotis, unik, indah, menantang dan

sangat banyak ragamnya

Page 33: Warta herpetofauna juni 2013

33 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Beberapa contoh ular berbisa ELAPIDAE

Acanthophis antarticus (Mamberamo) Micropechis ikaheka (Manokwari)

4. Mengenal ular merupakan pengabdian bagi

pelestarian satwa Tanah Papua tercinta

Pengelompokkan Ular Papua

Terdapat kurang lebih 2.700 jenis ular di

dunia, tetapi hanya 300 jenis dari jumlah tersebut

dapat membunuh manusia. Secara khusus di

Papua total spesies ular yang tersebar mencapai

83 spesies, masih jauh dibanding wilayah negara

tetangga Papua New Guinea yang mencapai 103

spesies.

Spesies ular di wilayah biogeografi New

Guinea (Papua dan Papua New Guinea)

diklasifikasikan menjadi beberapa famili. Delapan

famili ular yang diketahui dari Papua yaitu

Acrochordidae (jenis ular arsip), Boidae (jenis ular

sanca), Colubridae (ular pohon, ular air dan ular

tanah), Phytonidae (python) Elapidae (ular berbisa

terestrial), Hydrophiidae (ular laut), dan

Typhlopidae (ular buta), termasuk Cylindrophiidae,

diwakili oleh Cylindrophis aruensis, endemik Pulau

Aru.

Acrochordidae, Boidae, Phytonidae,

Typhlopidae dan Cylindrophiidae merupakan

kelompok ular tidak beracun (non-venomous

snakes). Walaupun kebanyakan spesiesnya tidak

beracun, namun beberapa spesies Colubridae

termasuk ular beracun menengah (mildly

venomous). Yang satu ini, Hydrophiidae, toksisitas

tinggi dari venom famili ini berarti semua spesies,

apakah aggressive atau inoffensive, harus dianggap

sangat berbahaya.

Elapidae merupakan kelompok ular beracun

yang sangat mematikan di bumi Papua. Sembilan

genus dan 15 spesies elapid diketahui terdapat di

Papua. Venom atau racun Elapidae Papua

mengandung bahan racun saraf (neurotoksin),

bahan racun otot (myotoksin) atau bahan racun

darah (haematoksin). Neurotoksin merupakan

suatu toksin yang berperan secara spesialisasi

pada sel syaraf, myotoksin mempengaruhi fungsi

bahkan menghancurkan otot, sedangkan

haematoksin bekerja pada sel darah. Sebenarnya

racun digunakan oleh ular sebagai pertahanan

melawan hewan lain dan untuk membunuh

mangsa. Jika racun itu terkena manusia maka

suatu efek umum yang akan muncul adalah

kelumpuhan yang ekstrim dan sangat cepat

hingga menyebabkan kematian.

Page 34: Warta herpetofauna juni 2013

34 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Aspidomorphus mueleri (Mamberamo) Furina tritis (Merauke)

Boiga irregularis, (Colubridae, mildly venomous). Ciri khas : pupil vertical. Hidup nokturnal dan semi-arboreal

Page 35: Warta herpetofauna juni 2013

35 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Ular beracun Ular Tidak Beracun

- Gerakannya lambat

- Beraktifitas di malam hari (nokturnal)

- Membunuh mangsanya dengan cara

menyuntikkan cairan bisa

- Bentuk kepala cenderung segitiga

- Memiliki taring bisa

- Bersifat kanibal

- Gerakannya cepat

- Beraktifitas di siang hari (diurnal)

- Membunuh mangsanya dengan cara

membelit

- Bentuk kepala cenderung bulat lonjong

- Tidak memiliki taring bisa

- Gigitannya tidak mematikan

Acanthophis praelongus (Merauke) Tropidonophis picturatus (Pulau Gam)

Perbedaan Ular Beracun dan Tidak Beracun di

Papua

Membedakan ular beracun dan tidak beracun

di Papua memang tidak mudah. Namun demikian,

secara umum kita dapat mengenal dan

membedakan kedua tipe ular tersebut dengan

mengamati sejumlah ciri umum seperti pada tabel

di bawah ini

Mengapa Manusia TAKUT Ular?

Tidak hanya di Papua, hampir manusia se-

antero bumi ini takut dengan ular. Kadang keta-

kutan itu berlebihan (phobia) hingga berdampak

buruk pada kondisi psikis dan fisik seseorang.

ANDA MUNGKIN PUNYA ALASAN SENDIRI UNTUK TAKUT

DENGAN ULAR.

Paling tidak dalam ulasan ini disederhanakan

bahwa ular ditakuti manusia dan juga mangsanya

karena taringnya yang beracun. Racun atau bisa

ular tersimpan dalam kelenjar racun yang terletak

pada rahang bagian atas tepatnya di bawah mata.

Selain racun, manusia juga takut jika melihat mata

ular yang tidak pernah tertutup dan juga lidah

bercabang yang selalu menjulur keluar. Mata ular

yang tidak pernah menutup (walaupun telah

mati) tampaknya mampu menghipnotis

mangsanya bahkan manusia.

Page 36: Warta herpetofauna juni 2013

36 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Pertolongan Pertama pada Gigitan Ular

Informasi tentang pengobatan racun ular

secara tradisional banyak terdapat diantara

masyarakat Papua. Misalnya suku Biak Numfor

memiliki kearifan menggunakan beberapa jenis

tumbuhan. Sementara di Merauke, kearifan lokal

pengobatan racun ular menggunakan mantra oleh

orang khusus. Walaupun demikian, pembuktian

secara ilmiah terhadap pengetahuan kearifan lokal

dan keamanan klinis pengobatan tradisional belum

pernah dilakukan. Pengobatan medis terhadap

korban gigitan ular beracun Papua hingga saat ini

belum tersedia di Indonesia. Oleh karena itu, perlu

dijelaskan disini tentang teknik praktis bila

seseorang terkena gigitan ular beracun. Prosedur

sederhana bila orang tergigit ular beracun adalah :

1. Korban harus tetap tenang dan tidak bergerak

2. Kenali jenis ular

3. Gunakan perban elastis yang lebar untuk

membelit di bagian atas dan di bagian bawah

gigitan disepanjang tangan atau kaki. Pasang

tongkat atau benda keras lainnya pada kaki atau

tangan untuk mencegah gerakan-gerakan.

Pastikan agar kaki atau tempat yang digigit

tetap dialiri darah.

4. Mintalah pertolongan atau pengangkutan ke

rumah sakit

5. Korban dibawa ke rumah sakit. Usahakan

korban tenang dan tidak banyak bergerak.

Korban gigitan ular beracun harus tetap tenang

dan tidak banyak bergerak agar memperkecil

kecepatan racun ular untuk menjalar mengikuti

aliran darah ke seluruh bagian tubuh. Perban yang

elastis akan sangat membantu membatasi

penyebaran bisa dan dapat memperlambat

serangan saraf beberapa jam. Hati-hati agar aliran

darah tidak berhenti mengalir karena dapat

mengakibatkan matinya jaringan otot dan

kehilangan anggota tubuh, atau menyebabkan bisa

mengalir ke tubuh lebih cepat ketika tekanan

dilepaskan .

Dalam banyak hal ular menggigit tapi racunnya tidak disemprotkan. Tanda-tanda

bahwa ular telah menyemprotkan racunnya kedalam tubuh adalah korban merasa

pusing, berkeringat, mual, muntah-muntah, tekanan darah rendah, kelenjar getah

bening membengkak dan sakit serta warna air seni (urin) kemerahan. Tanda-tanda

lanjutan adalah kelopak mata berat, lemah, pandangan berganda, dan lidah kaku.

Page 37: Warta herpetofauna juni 2013

37 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

PATOFISIOLOGI BISA (VENOM) ULAR BERBISA PAPUA

Aditya Krishar Karim

Jurusan Biologi, FMIPA-Universitas Cenderawasih

P erkiraan jumlah jenis ular berbisa

(venomous snake) di Indonesia dan

Papua belum diketahui secara pasti, na-

mun jenis ular berbisa banyak terdapat dan

memiliki penyebaran yang luas dibeberapa wilayah

di Indonesia termasuk di Papua. Menurut Kartika-

sari dkk (2012), terdapat 82 jenis ular di Papua, dan

beberapa jenis diantaranya adalah ular berbisa.

Pada umumnya ular berbisa di wilayah Asia Teng-

gara termasuk Indonesia tergolong anggota famili

Viperidae, Elapidae, beberapa jenis dari famili Colu-

bridae dan Atractaspidae (Warrell, 2010).

Informasi dan data tentang jenis ular berbisa di

Papua diperoleh dan dirangkum dari buku “ A

Guide to The Snake of Papua New Guinea” yang ditu-

lis oleh Mark O’Shea tahun 1996. Walaupun jenis

ular berbisa ini umumnya terdapat di Papua New

Guinea, beberapa jenis juga dijumpai dan dila-

porkan terdapat dibeberapa wilayah Papua. O’Shea

(1996) membagi jenis ular ini kedalam jenis ular ti-

dak berbisa (non-venomous snakes), berbisa se-

dang (mildly venomous snakes) dan berbisa tinggi

(highly venomous snakes). Dalam tulisan ini akan

membahas sedikit patofisiologi bisa ular dari jenis

ular berbisa tinggi di Papua. Pengetahuan tentang

jenis-jenis ular berbisa dan komponen dari bisa

setiap jenis ular akan sangat membantu dalam

penanganan korban atau penderita gigitan ular

berbisa terutama yang ada di wilayah Papua.

Dalam tulisan ini tidak bisa membahas secara detail

semua jenis ular berbisa dan kompenen dari bisa

ular yang jumlahnya sangat banyak.

Jenis Ular Berbisa di Papua

Umumnya jenis ular berbisa di Papua termasuk

dalam famili Elapidae, beberapa jenis ular berbisa

tinggi diantaranya Acanthopis spp (A. antarcticus,

A. rugosus), Oxyuranus scutellatus canni, Mi-

cropechis ikaheka, Pseudechis spp (P. papuanus, P.

australis), Laticauda spp (L. colubrina dan L. lati-

cauda) dan Enhydrina schitosa. Jenis-jenis ular ber-

bisa ini akan dibahas dalam tulisan ini.

Jenis ular berbisa tinggi lainnya adalah dari jenis

ular laut sesungguhnya (true sea-snakes) misalnya

dari genus Acalyptophis (ditemukan beberapa di

pulau disekitar pulau Salawati), Astrotia

(Kepulauan Aru dan Papua), Aipysurus (di Kepu-

lauan Aru dan Kei), Hydrelaps (ditemukan di Kepu-

lauan Aru dan Merauke), Disteira, Hydrophis,

Lapemis dan Pelamis, beberapa jenis-jenisnya

memiliki penyebaran sampai di Papua.

Selain itu juga beberapa jenis ular berbisa lain

juga terdapat diwilayah Papua yang dikategorikan

sebagai ular berbisa sedang diantaranya Furina

tristis (Brown-headed snake, ditemukan di kepu-

lauan Aru dan Merauke), Aspidomorphus muellerii

(Gambar 1), A. schegeli, (Schlegel’s crowned snake,

Fakfak, Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo), A.

lineacholis (Striped crowned snake, Misool, Sala-

wati dan Seram), Rhinoplocephalus boschmai

(Australian small-eyed snake, Merauke), Demansia

atra (Lesser black whipsnakes, Merauke), D.

papuaensis (Greater black whipsnake, Merauke)

dan lain-lain.

Page 38: Warta herpetofauna juni 2013

38 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Furina tristis (Brown-headed snake) Aspidomorphus muellerii (crowned snake)

Gambar 1. Beberapa jenis ular berbisa sedang di wilayah Papua

Gambar 2. Jenis ular berbisa tinggi Acanthophis antarcticus di Hutan Percobaan UNCEN Waena, Papua

Patofisiologi Bisa Ular Papua

Komponen toksin (racun) pada bisa ular dapat

dikategorikan sebagai enzim, polipeptida, glikopro-

tein dan senyawa dengan berat molekul yang kecil

Komponen bisa ular ini juga dapat dibagi atas seny-

awa protein (90-95%) dan non-protein (5-10%)

(McCue, 2005). Setiap bisa ular mengandung lebih

dari ratusan protein yang berbeda-beda (80-90%

pada ular viperid dan 25-70% pada bisa ular elapid).

Phospholipase-A2 (PLA2), protease, hyaluronidase,

5’nucleotidase, ATPase, alkaline phosphomono-

esterase dan lain-lain dilaporkan berasosiasi den-

gan bisa ular ini dan penyebab utama gejala biolo-

gis (simptom) keracunan pada korbannya (McCue,

2005; Warell, 2010).

Gigitan ular berbisa (envenomisasi) bertang-

gung jawab terhadap beberapa komplikasi patolo-

gis keracunan baik secara lokal atau sistemik

(menyeluruh) pada korbannya. Bisa ular (venoms)

dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan lokal,

nekrosis sel, pendarahan dalam (hemorragi), hi-

langnya fungsi dari otot/lumpuh (paralisis), pem-

bekakan (edema), tekanan darah turun

(hypotensi), kerusakan pada daerah kornea

(corneal ulceration), tachycardia (denyut jantung

cepat), thrombophlebitis (inflamasi pada pembu-

luh darah vena yang berkaitan dengan thrombus/

gumpalan darah), rhabdomyolysis (rusaknya otot),

ecchymosis (ekstravasasi dari darah dikulit), beng-

kak dan iritasi pada daerah uvea, lapisan tengah

dari mata (anterior uveitis), dan pecahnya sel darah

merah (hemolisis) bahkan kematian (Frangides et

al., 2006; Kumar et al., 2010; Warrell, 2010).

Jenis ular Acanthophis (death adders) tersebar

Page 39: Warta herpetofauna juni 2013

39 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

di Australia, Pulau Torres, Papua New Guinea, dan

Papua (dulu namanya Irian Jaya), pulau Seram, Hal-

mahera, Obi, dan Tanimbar. Diperkirakan kurang

lebih 12 spesies dan 3 subspesies jenis ular ini diketa-

hui (Hoser, 1998). Bahkan jenis ular ini (Gambar 2),

banyak ditemukan di Hutan kampus UNCEN

Jayapura (Karim dan Wasaraka, 2001; Indrayani dan

Karim, 2006).

Jenis ular Acanthophis spp. kaya dengan ‘short-

chain’ dan ‘long-chain’ postsynaptic neurotoxins

(neurotoksin post-sinapsis rantai panjang dan rantai

pendek) yang mengikat reseptor acetylcholi-

nesterase (nicotinic AChR) pada otot rangka dan

bisa menyebabkan paralisis atau kelumpuhan. Jenis

ular ini juga dapat menyebabkan neurotoksik,

myotoksik, rhabdomyolysis dan memiliki pengaruh

pada koagulasi darah (Fry et al., 2001). Beberapa

studi melaporkan bisa jenis ular ini juga mengand-

ung lima neurotoksin post-sinapsis dan empat jenis

enzim PLA2 (Chow et al., 1998; Kim and Tamiya,

1981ab; Tyler et al., 1997).

Neurotoksin yang terdapat pada jenis ini yaitu

acanthoxin a, b dan c, ditemukan pada jenis A. ant-

arcticus, A. praelongus dan A. pyrrhus (van der Wey-

den et al., 1997, 2000; Wickramaratna and Hodgson,

2001). A. rugosus dari Papua mengandung juga PLA2

myotoksin yang dapat menginduksi myotoksik

(Wickramaratna et al., 2003). Dari beberapa peneli-

tian juga menyebutkan pada jenis Acanthophis ini

juga ditemukan kunitz-type protease inhibitor seba-

gai inhibitor faktor koagulasi (Chow et al., 1998).

O. scutellatus canni mengandung racun taipoxin (a

lethal phospholipase-A2 toxin) yang bersifat neuro-

toksik pre-sinapsis dan myotoksik (Harris and

Maltin, 1982). Komponen lain yang terdapat pada

ular ini diantaranya OS-2 (inhibitor pre-sinapsis pada

transport ion K+), taipan toxin-1 (neurotoksin post-

sinapsis yang dapat berikatan pada reseptor

asetilkolinesterase pada sel otot), oscutarin

(aktivator prothrombin yang dapat menyebabkan

defibrinasi, koagulopati yang cepat), dan racun lain

adalah taicatoxin (Possani et al., 1992; Lalloo et al.,

1995; Doorty et al., 1997).

Jenis ular berbisa yang lain adalah M. ikaheka

(Gambar 3), mengandung toksin yang bersifat neu-

rotoksik kuat, myotoksik, antikoagulan, platelet ag-

gregation inhibiting dan insulin-secretion stimulat-

ing activities (Sundell et al., 2001; Gao et al., 2001),

juga ditemukan haemoglobinuria-inducing toxin

(MiPLA-1) pada jenis ular ini, hemoglobinuria yang

diinduksi menyebabkan kerusakan pada ginjal yang

disebabkan oleh mekanisme yang belum diketahui

pasti. MiPLA-1 juga menunjukkan efek biologis yang

lain termasuk myotoksik pada otot, antikoagulasi

dan antiplatelet. MiPLA-1 merupakan suatu protein

yang tersusun atas 124 asam amino dengan

"pancreatic loop" (Gao et al., 1999).

Gambar 3. Jenis ular berbisa tinggi Micropechis ikaheka di wilayah Papua

Page 40: Warta herpetofauna juni 2013

40 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Toksin lain dari ular ini seperti mikatoksin, dapat

menyebabkan paralisis neuromuscular (Nirthanan

et al., 2002), mikarin suatu aktivator prothrombin

yang merupakan metalloproteinase polipeptida

rantai tunggal dengan berat molekul 47 kDa (Gao

et al., 2002).

Bisa ular Pseudechis australis merupakan

campuran kompleks protein dan non-protein dan

bersifat neurotoksin pre-sinapsis dan post-sinapsis,

myotoksin, prokoagulan. Bisa ular ini juga men-

gandung mulgotoksin yang akan mempengaruhi

pada sistem kardiovaskular dan otot, serta bisa ular

ini juga mengandung enzim PLA2 (Geh et al.,

1997b). Fatehi et al. (1994) melaporkan pada P.

australis juga mengandung lima PLA2 yang ho-

molog yaitu Pa-3, Pa-8, Pa-9C, Pa-10F dan Pa-12B

yang memiliki efek pada neuromaskuler verte-

brata, sedangkan jenis lainnya seperti P. papuanus

dilaporkan juga mengandung PLA2 platelet inhibi-

tor (Kamiguti et al., 1994). Gigitan ular berbisa ini

menyebabkan gejala sakit kepala, mual dan mun-

tah, rasa sakit dipinggang, menyebabkan rhabdo-

myolysis, kerusakan pada ginjal, koagulapathy, dan

paralisis. Bisa ular P. papuanus juga banyak men-

gandung toksin PLA2 dengan aktivitas neurotoksik,

myotoksik dan antikoagulan (Campbell et al., 1972;

Lalloo et al., 1994).

Pada jenis ular laut yang berbisa seperti dari ge-

nus Laticauda dan Hydrophiinae kebanyakan men-

gandung ‘short-chain’ dan ‘long-chain’ post-

synaptic neurotoxins, misalnya erabutoxins dite-

mukan pada bisa ular Laticauda spp. (Guinea et al.,

1983). Kim and Tamiya (1982) melaporkan L. colu-

brina dari kepulauan Solomon mengandung kom-

ponen neurotoksik rantai panjang yaitu Lc a

(Laticauda colubrina a) sebanyak 16.6%, hampir

sama dengan komponen Lc b (Laticauda colubrine

b) dari Filipina yaitu 10.0%. Toksin Lc a dan Lc b

mengandun 69 asam amino dengan adanya residu

sistein kedua toksin ini hanya berbeda satu sama

lain pada lima posisi sekuens asam aminonya. Se-

lain itu juga L. colubrina juga dilaporkan mengand-

ung LcPLA-II (Laticauda colubrina phospholipase-A2

II; phospholipase-A2 rantai tunggal) dan LcPLH-I

(Laticauda colubrina phospholipase-A2 homologue

I; suatu protein homolog yang tidak memiliki aktivi-

tas enzimatik) memiliki efek pada transmisi neuro-

muscular dan kontraksi pada otot pada hewan uji

ayam dan tikus (Takasaki et al., 1988; Rowan et al.,

1989)

Ular laut lain E. schistosa, banyak mengandung

toksin dengan aktivitas myotoksik dan menyebab-

kan kerusakan pada ginjal (Lind and Eaker, 1981;

Gawade et al., 1982).

Daftar Pustaka Chow, G., S. Subburaju. and R.M. Kini. 1998. Purifi-

cation, characterization, and amino acid se-quence determination of acanthins, potent inhibi-tors of platelet aggregation from Acanthophis antarcticus (common death adder) venom. Arch. Biochem. Biophys. 354: 232-238.

Fatehi, M., E.G. Rowan, A.L. Harvey and J.B. Harris. 1994. The effects of five phospholipases A2 from the venom of king brown snake, Pseudechis aus-tralis, on nerve and muscle. Toxicon. 32(12): 1559-72.

Frangides, C.Y., V. Koulouras, S.N. Kouni, G.V. Tzort-zatos, A. Nikolaou, J. Pneumaticos, C. Pierrakeas, C. Niarchos, N.G. Kounis. and C.M. Koutsojannis. 2006. Snake venom poisoning in Greece. Experi-ences with 147 cases. European J. Internal Med. 17: 24-27.

Fry, B.G., J.C. Wickramaratna, A. Jones, P.F. Ale-wood. and W.C. Hodgson. 2001. Species and re-gional variations in the effectiveness of antivenom against the in vitro neurotoxicity of death adder (Acanthophis) venoms. Toxicol. Appl. Pharmacol. 175: 140-148.

Hoser, R. 1998. Death adders (genus Acanthophis): An overview, including descriptions of five new species and one subspecies. Monitor. 9: 20-41.

Indrayani, E. dan A.K. Karim. 2006. Keragaman Amphibi dan Reptil di Kawasan Hutan Kampus Universitas Cenderawasih, Waena, Papua. Prosiding Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas Sebagai Penunjang Pembangunan yang Berkelanjutan. 16 September 2006. Universitas Soedirman, Purwokerto.

Page 41: Warta herpetofauna juni 2013

41 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

Karim, A.K. dan Z.A. Wasaraka. 2001. Keragaman Jenis-Jenis Hewan di Kawasan Hutan Kampus Waena III Universitas Cenderawasih. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih (tidak dipublikasikan)

Kim, H. S. and N. Tamiya. 1981a. The amino acid se-quence and position of the free thiol group of a short-chain neurotoxin from common-death-adder (Acanthophis antarcticus) venom. Biochem. J. 199: 211-218.

Kim, H.S. and N. Tamiya, N. 1981b. Isolation, properties and amino acid sequence of a long-chain neurotoxin, Acanthophis antarcticus b, from the venom of an Aus-tralian snake (the common death adder, Acanthophis antarcticus). Biochem. J. 193: 899-906.

Kim, H.S. and N. Tamiya. 1982. Amino acid sequences of two novel long-chain neurotoxins from the venom of the sea snake Laticauda colubrina. Biochem J. 207(2): 215-23.

Kumar, B.K., S.S. Nanda, P. Venkateshwarlu, Y.K. Kumar. and R.T. Jadhav. 2010. Antisnake venom serum (ASVS). Inter. J. Pharmaceut. Biomed. Res. (IJPBR). 1(3): 76-89.

Gao, R., R.M. Kini. and P. Gopalakrishnakone. 2002. A novel prothrombin activator from the venom of Mi-cropechis ikaheka: isolation and characterization. Arch Biochem Biophys. 408 (1): 87-92.

Gao, R., R.M. Kini. and P. Gopalakrishnakone. 1999. Puri-fication, properties, and amino acid sequence of a he-moglobinuria-inducing phospholipase A(2), MiPLA-1, from Micropechis ikaheka venom. Arch Biochem Bio-phys. 05: 181-92

Geh, S.L., A. Vincent, S. Rang, T. Abrahams, J. Jacobson, B. Lang. and D.A. Warrell. 1997. Identification of phos-pholipase A2 and neurotoxic activities in the venom of the New Guinean small-eyed snake (Micropechis ika-heka). Toxicon. 35(1): 101-109.

Geh, S.L. and R.M. Rampal. 1997. Neuromuscular and cardiovascular effects of mulgotoxin, isolated from the venom of the Australian king brown snake, Pseudechis australis. Toxicon. 35(4): 479-479.

Harris, J.B. and C. A. Maltin. 1982. Myotoxic activity of the crude venom and the principal neurotoxin, tai-poxin, of the Australian taipan, Oxyuranus scutellatus. Br J Pharmacol. 76(1): 61-75.

Kamiguti, A.S., G.D. Laing. and R.D. Theakston. 1994. Biological properties of the venom of the Papuan black snake (Pseudechis papuanus): presence of a phospholi-pase A2 platelet inhibitor. Toxicon. 32(8): 915-925.

Kartikasari, S.N., A.J. Marshall. And B.M. Beehler. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI.

Yayasan Obor Indonesia dan Conservation Interna-tional. Jakarta.

McCue, M.D. 2005. Enzyme activities and biological functions of snake venoms. Applied Herpetology. 2: 109-123.

Nirthanan, S., R. Gao, P. Gopalakrishnakone, M.C.E. Gwee, H.E. Khoo, L.S. Cheah. and R.M. Kini. 2002. Phar-macological characterization of mikatoxin, an alpha-neurotoxin isolated from the venom of the New-Guinean small-eyed snake Micropechis ikaheka. Toxi-con. 40(7): 863-871.

O’Shea, M. 1996. A Guide to The Snakes of Papua New Guinea. Published in Papua New Guinea by Independ-ent Publishing, Independent Group Pty Ltd, PO.Box 168, Porst Moresby.

Rowan, E.G., A.L. Harvey, C. Takasaki. and N. Tamiya. 1989. Neuromuscular effects of a toxic phospholipase A2 and its nontoxic homologue from the venom of the sea snake, Laticauda colubrina. Toxicon. 27(5): 587-91.

Takasaki, C., S. Kimura, Y. Kokubun. and N. Tamiya. 1988. Isolation, properties and amino acid sequences of a phospholipase A2 and its homologue without ac-tivity from the venom of a sea snake, Laticauda colu-brina, from the Solomon Islands. Biochem J. 253(3): 869-75.

Tyler, M.I., K.V. Retson-Yip, M.K. Gibson, D. Barnett, E. Howe, R. Stocklin, R.K. Turnbull, T. Kuchel. and P. Mirtschin. 1997. Isolation and amino acid sequence of a new long-chain neurotoxin with two chromatographic isoforms (Aa e1 and Aa e2) from the venom of the Aus-tralian death adder (Acanthophis antarcticus). Toxicon. 35: 555-562.

van der Weyden, L., P. Hains, M. Morris. and K. Broady. 1997. Acanthoxin, a toxic phospholipase A2 from the venom of the common death adder (Acanthophis ant-arcticus). Toxicon. 35(8): 1315-1325.

van der Weyden, L., P. Hains, K. Broady, D. Shaw. and P. Milburn. 2001. Amino acid sequence of a neurotoxic phospholipase A2 enzyme from common death adder (Acanthophis antracticus) venom. J. Nat.Toxins. 05: 33-42.

Warrell, D.A. 2010. Guidelines for the management of snake-bites. World Health Organization, Regional Of-fice for South-East Asia, Indraprastha Estate, Mahatma Gandhi Marg, New Delhi-110 002, India. 153p.

Wickramaratna, J.C., B.G. Fry, M.I. Aguilar, R.M. Kini. and W.C. Hodgson. 2003. Isolation and pharmacologi-cal characterization of a phospholipase A2 myotoxin from the venom of the Irian Jayan death adder (Acanthophis rugosus). Br. J. Pharmacol. 138: 333-342.

Page 42: Warta herpetofauna juni 2013

42 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME VI, NO. 2 JUNI 2013

PUSTAKA TENTANG PENANGKARAN REPTIL

Berikut disajikan beberapa pustaka mengenai penangkaran reptil. Beberapa dari pustaka-pustaka ini

bisa di download dari internet. Jika diperlukan, hubungi Mirza D. Kusrini untuk mendapatkan file dari

pustaka yang ada di bawah ini :

Ciofi C, Swingland IR. 1997. Environmental sex de-

termination in reptiles. Applied Animal Behaviour

Science 51 : 251-265

Coiro, J. 2007. Captive breeding of varanus exanthe-

maticus. Biawak 1(1): 29-33

Connolly, JD, Cree A. 2008. Risks of a late start to

captive management for conservation: Pheno-

typic differences between wild and captive indi-

viduals of a viviparous endangered skink

(Oligosoma otagense). Biological Conservation

141 : 1283 –1292.

Dwyer, Q. and M. Perez. 2007. Husbandry and re-

production of the black water monitor, varanus

salvator komaini. Biawak 1(1): 13-20

———————-. 2007. Varanus salvator komaini

(black water monitor) reproduction. Biawak 1(2):

89

Lapid, R. H., I. Nir and B. Robinzon. 2005. Growth

and body composition in captive testudo graeca

terrestris fed with a high-energy diet. Applied

Herpetology 2: 201-209.

Lillywhite, H. B. 1996. Husbandry of the little file

snake, acrochordus granulates. Zoo Biology 15

(3): 315-327

MacGregor, J. 2006. The call of the wild: Captive

crocodilian production and the shaping of con-

servation incentives. Cambridge, TRAFFIC Inter-

national: 49

Mann, S. L. and R. Meek. 2004. Understanding the

relationship between body temperature and ac-

tivity patterns in the giant solomon island skink,

corucia zebrata, as a contribution to the effec-

tiveness of captive breeding programmes. Ap-

plied Herpetology 1: 287-298.

Mendyk, R. W. 2008. Remarks on osteological de-

formities in a captive-bred emerald tree monitor,

varanus prasinus. Biawak 2(2): 72-79

Pasmans F, Blahak S, An Martel, Pantchev N. 2006.

Introducing reptiles into a captive collection: The

role of the veterinarian. The Veterinary Journal

175: 53–68.

Poder, J.M. L. 2007. Notes on breeding varanus al-

bigularis in captivity. Biawak 1(2): 73-76

Rauschenberger, R. H., S. E. Trauth and J. L. Farris.

2004. Incubation of alligator snapping turtle

(macrochelys temminckii) eggs in natural and

agricultural soils. Applied Herpetology 1: 299-309.

Sakaoka K, Sakai F, Yoshii M, Okamoto H, Nagasawa

K. 2013. Estimation of sperm storage duration in

captive loggerhead turtles (Caretta caretta).

Journal of Experimental Marine Biology and Ecol-

ogy 439 : 136–142

Shine R. 1999. Why is sex determined by nest tem-

perature in many reptiles?. Tree 14(5) : 186-189

Visser, G. and H. Zwartepoorte. 2005. Reproduction

of the pig-nosed turtle carettochelys insculpta

(ramsay, 1886) at the rotterdam zoo. Radiata 14

(3): 3-

Zhou, T., H. Zhao and W. McCord. 2005? Captive

breeding of chelonians in hainan province, china.

Reptilia: 39-42.