68
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN

 · Web viewDi samping itu, pemberian pinjaman untuk sektor perdagangan juga mengalami kenaikan yang cukup berarti, yaitu sebesar 55,3% dalam tahun 1989/90 dan meningkat lagi dengan

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETERDAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN

BAB IV

KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETERDAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN

A. PENDAHULUAN

Kebijaksanaan keuangan negara dan moneter selama dua ta- hun pertama Repelita V tetap diarahkan pada peningkatan ke- mampuan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang selaras de- ngan upaya pemerataan pembangunan, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemantapan stabilitas nasional. Kemampuan untuk membiayai kegiatan pembangunan tersebut tercermin pada per- kembangan tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat.

Dalam rangka meningkatkan tabungan pemerintah dan seka- ligus mengurangi ketergantungan keuangan negara pada sumber- sumber migas, terus diupayakan langkah-langkah penyempurnaan sistem perpajakan yang telah diperbaharui sejak tahun 1984. Selain itu terus diupayakan peningkatan efisiensi pengeluaran rutin antara lain melalui pengurangan subsidi yang sekaligus juga dapat mendorong penggunaan sumber-sumber ekonomi secara lebih rasional. Ringkasan realisasi APBN selama dua tahun pertama pelaksanaan Repelita V dan perkembangan tabungan pe- merintah khususnya dapat dilihat pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1.

Sementara itu, untuk makin meningkatkan tabungan masyarakat telah ditempuh langkah-langkah mobilisasi dana melalui

IV/3

TABEL IV - 1

RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA,1988/89 - 1990/91(miliar rupiah)

Repelita V

U r a i a n

1988/89

1989/90

1990/91

Penerimaan Dalam Negeri

23.004,3

28.739,8

39.546,4

Pengeluaran Rutin

20.739,0

24.331,1

29.997,7

Tabungan Pemerintah

2.265,3

4.408,7

9.548,7

Dana Bantuan Luar Negeri

9.990,7

9.429,3

9.904,6

Bantuan Program

(2.040,7)

(1.007,2)

( 1.396,8)

Bantuan Proyek

(7.950,0)

(8.422,1)

( 8.507,8)

Dana Pembangunan

12.256,0

13.838,0

19.453,3

Pengeluaran Pembangunan

12.250,7

13.834,3

19.452,0

Surplus (+)/Defisit (-)

+ 5,3

+ 3,7

+ 1,3

GRAFIK IV - 1RINGKASAN REALISAS1 ANGGARAN PENDAPATANDAN BELANJA NEGARA,1988/89 - 1990/91

Penerimaan Dalam Pengeluaran Rutin

Negeri

Dana Bantuan Pengeluaran

Pembangunan

Luar Negeri

lembaga perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Dengan tujuan yang sama, berbagai langkah diambil untuk menggairahkan pasar modal. Pelaksanaan kebijaksanaan moneter dalam tahun 1990/91, bersama-sama dengan kebijaksanaan fiskal, tetap diarahkan pada upaya menjaga stabilitas perekonomian dalam rangka pe- mantapan Trilogi Pembangunan.

B. KEUANGAN NEGARA

1. Penerimaan Dalam Negeri

Berbagai langkah telah diambil dalam rangka makin meman- tapkan sumber-sumber penerimaan dari_dalam negeri. Salah satu langkah yang mendasar adalah pembaruan sistem perpajakan yang mulai dilaksanakan sejak tahun 1984. Di samping itu, berbagai upaya juga diambil untuk meningkatkan penerimaan bukan pajak baik melalui peningkatan efisiensi usaha dan penyempurnaan administrasi BUMN maupun melalui penertiban dan intensifikasi penerimaan rutin dari berbagai departemen/lembaga nondeparte- men. Seiring dengan itu penerimaan minyak bumi dan gas alam juga tetap diamankan.

a. Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam

Dalam tahun 1990/91 penerimaan migas sangat dipengaruhi oleh Krisis Teluk yang terjadi sejak awal Agustus 1990. Seba- gai akibat dari Krisis Teluk tersebut harga minyak Indonesia telah meningkat tajam sehingga pada bulan Oktober mencapai US$ 35,3 per barel. Pada bulan Februari 1991 Krisis Teluk berakhir dan harga minyak kembali menurun. Dengan perkembang- an yang terjadi tersebut, harga rata-rata minyak Indonesia pada tahun 1990/91 mencapai US$ 22,6 per barel.

Pada tingkat harga tersebut, penerimaan migas pada tahun 1990/91 mencapai Rp 17,7 triliun atau naik 57,4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selama dua tahun pertama Repelita V, penerimaan migas rata-rata meningkat dengan 36,3% per tahun, dengan penerimaan dari gas alam meningkat cepat. Perkembangan penerimaan dalam negeri dari sumber-sumber migas dan di luar migas dapat dilihat pada Tabel IV-2 dan Grafik IV-2.

b. Penerimaan di Luar Minyak Bumi dan Gas Alam Rangkaian langkah pembaruan perpajakan sejak tahun 1984

IV/5

TABEL IV - 2

PENERIMAAN DALAM NEGERI,

1988/89 – 1990/91

(miliar rupiah)

Repelita

V

Jenis Penerimaan

1988/89

1989/90

1990/91

1..

Penerimaan minyak bumi

dan gas alam

9.527,0

11.252,1

17.711,9

Minyak bumi

(8.326,3)

(9.502,0)

(14.577,5)

Gas alam

(1.200,7)

(1.750,1)

( 3.134,4)

2.

Penerimaan di luar

minyak bumi dan gas alam

13.477,3

17.487,7

21.834,5

Jumlah

23.004,3

28.739,8

39.546,4

GRAFIK IV - 2PENERIMAAN DALAM NEGERI.1988/89 - 1990/91

IV/6

hingga tahun kedua Repelita V telah membawa hasil yang menggembirakan. Dalam tahun 1989/90 dan 1990/91 penerimaan pajak mengalami peningkatan masing-masing sebesar 29,51 dan 27,81 sehingga dalam tahun 1990/91 mencapai Rp 19,7 triliun. Poten- si penerimaan pajak ini masih sangat besar, antara lain terlihat dari rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto yang pada tahun 1989 baru mencapai sekitar 11%. Rasio terse- but relatif masih rendah jika dibandingkan dengan negara-ne-gara lain seperti: Singapura, Muangthai dan Malaysia yang masing-masing sudah mencapai sekitar 181, 171 dan 23%.

Salah satu unsur penerimaan pajak yang penting adalah pajak penghasilan. Penerimaan pajak penghasilan pada tahun 1990/91 mencapai Rp 6,8 triliun atau 30,9% dari seluruh penerimaan pajak. Selama dua tahun pertama pelaksanaan Repe- lita V, penerimaan pajak penghasilan rata-rata meningkat 31% per tahun. Kenaikan ini lebih tinggi jika dibandingkan rata- rata kenaikan pada Repelita IV sebesar 15,4% per tahun. Keberhasilan ini tidak terlepas dari upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak penghasilan yang antara lain ditempuh mela- lui perluasan obyek dan wajib pajak serta penyempurnaan dalam pelayanan bagi wajib pajak. Selain diarahkan untuk mening-katkan penerimaan negara, pajak penghasilan juga diarahkan untuk lebih meningkatkan prinsip pemerataan dan keadilan. Untuk itu, sejak tahun 1990 Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang terdiri dari suami, isteri dan tiga anak telah ditingkatkan dari Rp 2,80 juta menjadi Rp 4,32 juta. Dengan tujuan yang sama, melalui Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 1990, ditetapkan pengecualian dari pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan yang diterima oleh Pramuka dan PMI, serta tabungan dalam rangka pemilikan rumah sederhana untuk dihuni sendiri. Se1anjutnya, dalam rangka meningkatkan pengembangan sumber daya manusia, dalam SK Menteri Keuangan No. 770 Tahun 1990 ditetapkan bahwa biaya pelatihan karyawan pemagang dan beasiswa tidak dikenakan pajak penghasilan.

Pajak penghasilan merupakan sumber penerimaan pajak dan sekaligus instrumen fiskal yang sangat penting. Namun pajak pertambahan nilai masih merupakan komponen yang terbesar da- lam penerimaan pajak. Dalam dua tahun pelaksanaan Repelita V, realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai mengalami ke- naikan masing-masing sebesar 29,6% dan 27,9% dibanding tahun sebelumnya, sehingga pada tahun 1990/91 telah mencapai Rp 7,5 triliun. Kenaikan yang cukup besar ini terutama didorong oleh

IV/7

meningkatnya kegiatan ekonomi dan meningkatnya ketertiban pemungutannya.

Dalam pada itu, insentif berupa penundaan dan penang-guhan pajak pertambahan nilai masih diberikan untuk kegiatankegiatan ekonomi yang penting. Untuk mendorong peningkatan penerimaan migas, melalui SK Menteri Keuangan No. 572 Tahun 1989, diberlakukan penundaan dan penangguhan PPN atas penyerahan jasa pencarian sumber-sumber dan pemboran minyak, gas bumi dan panas bumi bagi kontraktor yang belum berproduksi. Guna menunjang kegiatan penanaman modal penangguhan tersebut juga diberikan untuk impor dan pembelian barang modal tertentu.

Sumber penerimaan yang penting lainnya adalah bea masuk. Kebijaksanaan bea masuk terutama diarahkan sebagai pengatur arus dan pola impor barang agar mampu mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri, peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja yang makin luas. Melalui Paket Kebijaksanaan 28 Mei 1990, perlindungan nontarif makin dikurangi dengan mengalihkannya pada sistem tarif yang rasional. Bea masuk untuk 2.481 pos tarif diturunkan, termasuk 2.363 pos tarif komoditi industri.

Dalam tahun 1990/91 impor yang didorong oleh investasi dalam negeri naik pesat, sehingga realisasi penerimaan bea masuk pada tahun 1990/91 sangat meningkat dan mencapai Rp 2,5 triliun, atau naik 56,5% dibandingkan dengan tahun sebelum- nya. Rata-rata kenaikan penerimaan bea masuk pada dua tahun Repelita V adalah 44,8% per tahun.

Penerimaan cukai juga menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada tahun pertama Repelita V realisasi penerimaan cukai mengalami peningkatan 6,3% dibandingkan tahun 1988/89. Dalam tahun 1990/91 realisasi penerimaan cukai meningkat dengan 29,8%, sehingga mencapai Rp 1,9 triliun. Sumbangan terbesar dari penerimaan ini berasal dari cukai tembakau. Selain diarahkan untuk peningkatan penerimaan negara, kebijaksanaan pengenaan cukai tembakau juga diarahkan untuk mendorong industri tembakau yang banyak menyerap tenaga kerja. Dalam SK Menteri Keuangan No. 319 Tahun 1990 produsen K-1000, yang merupakan golongan terlemah dalam tingkatan produsen tembakau, rata-rata produksinya hanya dikenakan tarif cukai sebesar 0,5%. Perusahaan-perusahaan yang relatif padat karya dikena-kan tarif cukai yang lebih rendah dibandingkan perusahaan-

IV/8

perusahaan yang padat modal. Tarif cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), berkisar antara 5% sam ai dengan 17,5%, sedang- kan untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) tarif cukainya berkisar antara 20% sampai dengan 37,5%.

Kebijaksanaan penetapan cukai gula diarahkan pada terwu- judnya tingkat harga yang terjangkau oleh daya beli masyara- kat dan sekaligus mampu menjamin pendapatan petani dan indus- tri gula. Sejalan dengan itu, maka sejak 1 April 1990 telah dilakukap penyesuaian harga dasar gula pasir. Harga gula pa- sir jenis-jenis SHS I dan SHS II yang sebelumnya sebesar Rp 60.000,- dan Rp 59.800,- per kuintal dinaikkan masing-ma- sing menjadi Rp 65.000,- dan Rp 64.500,- per kuintal. Penyesuaian harga dasar juga dilakukan atas bir, yaitu dari Rp 600,- menjadi Rp 750,- per liter yang berlaku sejak 1 April 1990.

Dalam tahun 1990/91 realisasi penerimaan pajak ekspor hanya mencapai Rp 44,2 miliar sementara di tahun sebelumnya mencapai Rp 171,5 miliar. Penurunan ini terutama disebabkan oleh menurunnya ekspor berbagai komoditi primer dan beberapa komoditi penting lain seperti kayu gergajian dan olahan.

Sementara itu, realisasi penerimaan pajak bumi dan ba-ngunan dalam tahun 1990/91 mencapai Rp 811 miliar yang meru-pakan kenaikan sebesar 37,4% dari penerimaan tahun 1989/90 dan hampir dua kali penerimaan pada tahun 1988/89. Kebijaksa-naan yang ditempuh dalam bidang pajak bumi dan bangunan (PBB), di samping bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, juga ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Upaya untuk meningkatkan pajak bumi dan bangun- an ditempuh melalui penyempurnaan prdsedur pembayaran pajak, antara lain melalui sistem tempat pembayaran (Sistep) yang telah mencakup 81 Dati II, serta peningkatan pelayanan dan penyuluhan bagi wajib pajak. Peningkatan potensi pajak dan sekaligus peningkatan produktivitas tanah dan bangunan diupa- yakan melalui pemutakhiran data obyek pajak dan penyempurnaan klasifikasi Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).

Realisasi pajak lainnya yang terdiri atas bea meterai dan bea lelang dalam tahun 1989/90 mencapai Rp 275,5 miliar, sedang dalam tahun 1990/91 mencapai Rp 243,5 miliar. Penurun- an ini antara lain disebabkan oleh penyederhanaan bea meterai atas cek dan giro bilyet menjadi satu tarif yaitu sebesar Rp 500,- dalam upaya mempermudah transaksi di sektor keuangan dan perbankan.

IV/9

Realisasi penerimaan bukan pajak dalam dua tahun pelaksanaan Repelita V rata-rata meningkat dengan 16,1% per tahun. Dengan peningkatan tersebut, realisasi penerimaan bukan pajak pada tahun 1990/91 mencapai Rp 2,1 triliun. Upaya untuk meningkatkan penerimaan bukan pajak ini antara lain ditempuh melalui peningkatan efisiensi BUIAI dan intensifikasi pemu-

ngutan penerimaan yang dikelola oleh berbagai departemen/lembaga nondepartemen.

Efisiensi dan efektivitas BUMN ditingkatkan melalui per- ubahan status hukum BUMN ke arah yang lebih menunjang pencapalan maksud dan tujuan perusahaan, kerja sama operasi atau kontrak manajemen dengan pihak ketiga, konsolidasi atau mer-ger, pemecahan badan usaha, penjualan saham melalui pasar modal, penjualan saham secara langsung dan pembentukan perusa- haan patungan dengan pihak swasta. Langkah-langkah yang di-ambil tersebut disesuaikan dengan masalah-masalah yang diha-dapi oleh masing-masing BUMN.

Secara keseluruhan, perkembangan penerimaan di luar migas dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Grafik IV-3.

2. Pengeluaran Rutin

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, anggaran untuk pengeluaran rutin meningkat pula. Dalam dua tahun pelaksanaan Repelita V realisasi pengeluaran rutin ma-sing-masing meningkat sebesar 17,31 dan 23,3%, sehingga pada tahun 1990/91 mencapai Rp 30 triliun. Perkembangan pengeluar- an rutin dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4.

Salah satu pos yang besar dari pengeluaran rutin adalah belanja pegawai. Dalam tahun 1990/91, realisasi belanja pega- wai mencapai Rp 7,1 triliun atau naik sebesar 13,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini terutama digunakan untuk menampung tambahan pegawai negeri sipil dan ABRI, kenaikan pangkat/golongan, kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang makan dan tambahan belanja pegawai luar negeri. Perkembangan belanja pegawai dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-5.

Sementara itu, realisasi belanja barang pada tahun

IV/10

TABEL IV - 3

PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,1988/89 – 1990/91(miliar rupiah)

Repelita V

Jenis Penerimaan

1988/89

1989/90

1990/91

1.

Pajak Penghasilan

3.949,4

5.487,7

6.755,3

2.

Pajak Partambahan Nilai

4.505,3

5.836,7

7.462,7

3.

Bea Masuk

1.192,0

1.587,0

2.485,7

4.

Cukai

1.389,9

1.476,8

1.917,3

5.

Pajak Ekspor

155,6

171,5

44,2

6.

Pajak Lainnya

292,1

275,5

243,5

7.

Pajak Bumi dan Bangunan

424,2

590,4

811,0

8.

Penerimaan Bukan Pajak

1.568,8

2.062,1

2.114,8

Jumlah

13.477,3

17.487,7

21.834,5

GRAFIK IV - 3

PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,1988/89 - 1990/91

IV/11

TABEL IV – 4

PENGELUARAN RUTIN,

1988 – 1990/91

(miliar rupiah)

IV/12

TABEL IV - 5

BELANJA PEGAWAI, 1988/89 - 1990/91 (miliar rupiah)

Repelita V

Jenis Pengeluaran

1988/89

1989/90

1990/91

1. Tunjangan beras

518,3

588,4

639,8

2. Gaji pegawai/pensiun

3.832,7

4.826,0

5.570,5

3. Uang makan/lauk pauk

326,9

373,1

381,7

4. Lain-lain belanja

pegawai dalam negeri

185,1

242,6

263,6

5. Belanja pegawai luar negeri

135,2

171,4

197,9

Jumlah

4.998,2

6.201,5

7.053,5

1989/90 mencapai Rp 1,7 triliun atau naik 14,1% dibanding ta- hun sebelumnya. Dengan berbagai upaya penghematan dan efisi- ensi, realisasi belanja barang pada tahun 1990/91 dapat dikendalikan dan hanya naik 7,6% dari tahun 1989/90, yaitu men- jadi Rp 1,8 triliun. Dalam belanja barang tetap diutamakan penggunaan barang-barang produksi dalam negeri yang dihasil- kan oleh pengusaha golongan ekonomi lemah.

Subsidi daerah otonom diberikan terutama untuk mening-katkan pelayanan bagi masyarakat di daerah dalam bentuk be- lanja pegawai dan belanja nonpegawai. Untuk itu dana yang disediakan ditingkatkan sebesar 17,4% pada tahun 1989/90 se- hingga mencapai Rp 3,6 triliun dan 18,8% pada tahun 1990/91 sehingga mencapai Rp 4,2 triliun.

IV/13

Pembayaran hutang, yang terdiri atas bunga dan cicilan hutang pokok, merupakan pos terbesar dalam pengeluaran rutin. Dalam tahun 1990/91 realisasi pembayaran hutang mencapai Rp 13,4 triliun, naik 12,2% dari tahun 1989/90. Meningkatnya pembayaran hutang tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah hutang luar negeri yang jatuh tempo, naiknya suku bunga internasional dan nilai kurs beberapa mata uang kuat dunia terhadap rupiah.

Selanjutnya, realisasi belanja rutin lain-lain meningkat dari Rp 705,9 miliar pada tahun 1989/90 menjadi Rp 3.482,7 miliar pada tahun 1990/91 atau naik sebesar 377,4%. Peningkatan yang sangat besar ini terutama disebabkan oleh naiknya subsidi BBM sebagai akibat dari meningkatnya harga minyak mentah dan melonjaknya konsumsi BBM dalam negeri. Realisasi subsidi BBM pada tahun 1990/91 berjumlah Rp 3.301 miliar. Dalam jumlah ini termasuk pembayaran kekurangan subsidi BBM untuk tahun 1988/89 dan 1989/90 sebesar Rp 558,8 miliar.

3. Dana Pembangunan dan Pengeluaran Pembangunan

Dalam rangka mendorong kegiatan pembangunan yang makin meningkat di berbagai bidang, diperlukan penyediaan dana pembangunan yang makin besar. Dana pembangunan tersebut berasal dari tabungan pemerintah dan bantuan luar negeri. Apabila realisasi dana pembangunan pada tahun 1989/90 mencapai Rp 13,8 triliun maka untuk tahun 1990/91 telah meningkat menjadi Rp 19,5 triliun atau naik 40,6%. Peningkatan yang cukup tinggi ini terutama disebabkan oleh meningkatnya tabungan pemerintah dari Rp 4,4 triliun pada tahun 1989/90 menjadi Rp 9,5 tri- liun pada tahun 1990/91. Dengan kenaikan sebesar 116,6% tersebut, peranan tabungan pemerintah dalam keseluruhan dana pembangunan meningkat dari 31,9% pada tahun 1989/90 menjadi 49,1% pada tahun 1990/91. Perkembangan dana pembangunan, tabungan pemerintah dan dana bantuan luar negeri dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-6 dan Grafik IV-5.

Dana pembangunan tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan. Dalam Repelita V prioritas pengeluaran pembangunan terutama diarahkan pada pembangunan prasarana, baik fisik maupun sosial, termasuk operasi dan pemeliharaannya, peningkatan sumber daya manusia dan penanggulangan kemiskinan.

Seperti pada tahun pertama Repelita V, alokasi penge-

IV/14

TABEL IV - 6

PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAHDAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,1988/89 - 1990/91(miliar rupiah)

Repelita V

U r a i a n

1988/89

1989/90

1990/91

Tabungan Pemerintah

2.265,3

4.408,7

9.548,7

Persentase 1)

18,5%

31,9%

49,1%

Dana Bantuan Luar Negeri

9.990,7

9.429,5

9.904,6

Persentase 1)

81,5%

68,1%

50,9%

Jumlah Dana Pembangunan

12.256,0

13.838,0

19.453,3

Persentase 1)

100,0%

100,01

100,0%

1) Terhadap jumleh dana pembangunan

GRAFIK IV - 5

PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAHDAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI1988/89 - 1990/91

IV/15

luaran pembangunan terbesar untuk tahun 1990/91 diberikan pa- da sektor perhubungan dan pariwisata; sektor pertanian dan pengairan; sektor pendidikan generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; sektor pertambangan dan energi serta sektor pembangunan daerah, desa dan kota.

Realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor perhubungan dan pariwisata pada tahun 1990/91 mencapai Rp 3,7 triliun atau naik 24,5% dari tahun sebelumnya. Dalam jumlah tersebut tercakup dana yang digunakan untuk membiayai rehabilitasi dan pemeliharaan jalan sepanjang 41.097 km.

Realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian dan pengairan pada tahun 1990/91 mencapai Rp 2,3 triliun atau naik 12,6% dari tahun sebelumnya. Pengeluaran ini digunakan antara lain untuk meningkatkan produksi tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan dalam rangka penganekaragaman produksi pertanian, peningkatan ekspor nonmigas, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan petani. Selain itu, pengeluaran ini juga digunakan untuk membiayai pembangunan, pemeliharaan dan perbaikan irigasi.

Sementara itu realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada tahun 1990/91 mencapai Rp 2,1 triliun atau naik 36,2% dari tahun sebelum-nya. Pengeluaran ini terutama digunakan untuk membiayai program pendidikan di berbagai jenjang, baik berupa pembangunan sarana maupun prasarana pendidikan, dalam upaya meningkatkan mutu dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.

Salah satu sektor pembangunan yang juga memperoleh prioritas yang sangat tinggi adalah sektor pembangunan daerah, desa dan kota. Dalam tahun 1990/91, pengeluaran pembangunan bagi sektor ini mencapai Rp 1,9 triliun atau naik 41,5% dari tahun sebelumnya. Pengeluaran ini antara lain digunakan untuk membiayai berbagai program Inpres dalam upaya meningkatkan perekonomian daerah dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ke seluruh daerah.

Selanjutnya, realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor pertambangan dan energi pada tahun 1990/91 mencapai Rp 1,9 triliun atau naik 32,2% dari tahun sebelumnya. Pengeluaran ini terutama digunakan untuk membiayai pembangunan di

IV/16

subsektor energi berupa penambahan jaringan tegangan mene- ngah, jaringan tegangan rendah, gardu distribusi dan diversifikasi sumber-sumber energi serta untuk membiayai kegiatankegiatan pembangunan subsektor pertambangan. Pengeluaran pembangunan, termasuk yang bersumber dari bantuan proyek, menurut sektor dan subsektor seperti diuraikan di atas dapat dilihat pada Tabel IV-7.

Di dalam pengeluaran pembangunan tahun 1990/91 termasuk cadangan anggaran pembangunan sebesar Rp 2 triliun. Penye- diaan cadangan anggaran pembangunan ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan pembiayaan pembangunan pada tahun anggaran 1991/92 mengingat adanya berbagai kemungkinan yang dapat mengganggu kesinambungan pendapatan negara, seperti menurunnya harga minyak bumi di bawah harga patokan APBN.

Pengeluaran pembangunan terdiri dari pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dan pengeluaran pembangunan bantuan proyek. Realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek pada tahun 1990/91 mencapai Rp 11 triliun atau naik 102,2% dari Rp 5,4 triliun pada tahun 1989/90. Dalam ta- hun 1989/90 peningkatannya hanya 25,8% dibandingkan tahun 1988/89. Perkembangan pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek, yang terdiri dari pembiayaan pembangunan departemen dan lembaga pemerintah bukan departemen, pembiayaan pemba- ngunan daerah dan pembiayaan lainnya, dapat dilihat pada Tabel IV-8.

Realisasi pembiayaan departemen/lembaga pada tahun 1990/91 mencapai Rp 4,9 triliun atau naik 93,5% dari tahun sebelumnya. Pengeluaran ini digunakan untuk membiayai pembangunan sektoral yang menjadi tanggung jawab departemen/lem-baga.

Realisasi pembiayaan pembangunan bagi daerah pada tahun 1990/91 mencapai Rp 3 triliun atau naik 74,3% dari tahun sebelumnya. Dalam jumlah tersebut tercakup realisasi bantuan pembangunan desa yang mencapai Rp 180,6 miliar atau naik 61,3% dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini digunakan untuk meningkatkan bantuan desa dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 2 juta per desa, termasuk untuk meningkatkan bantuan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dari Rp 300 ribu menjadi Rp 500 ribu untuk tiap desa.

Selanjutnya, dalam rangka menciptakan dan memperluas lapangan kerja produktif serta memperlancar laju pertumbuhan

IV/17

TABEL IV - 7

PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,1988/89 - 1990/91(miliar rupiah)

Repelita V

No.

Sektor dan Sub Sektor

1988/89

1989/90

1990/91

1.

SERTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN

1.614,0

2.049,4

2.307,9

Sub Sektor Pertanian

(1.087,5)

(1.544,9)

(1.534,6)

Sub Sektor Pengairan

(526,5)

(504,S)

(773,3)

2.

SEKTOR INDUSIRI

446,8

399,8

547,1

Sub Sektor Industri

(446,8)

(399,8)

(547,1)

3.

SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI

2.073,4

1.417,3

1.874,3

Sub Sektor Pertambangan

(118,1)

(20,6)

(167,0)

Sub Sektor Energi

(1.955,3)

(1.396,7)

(1.707,3)

4.

SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA

2.010,5

3.006,0

3.743,3

Sub Sektor Prasarana Jalan

(1.046,9)

(1.359,5)

(2.316,4)

Sub Sektor Perhubungan Darat

(247,5)

(561,9)

(587,1)

Sub Sektor Perhubungan Laut

(243,3)

(295,4)

(276,1)

Sub Sektor Perhubungan Udara

(353,7)

(557,3)

(434,9)

Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi

(93,1)

(223,8)

(114,7)

Sub Sektor Pariwisata

(26,0)

(8,1)

(14,1)

5.

SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI

314,6

414,5

198,9

Sub Sektor Perdagangan

(192,5)

(291,2)

(42,1)

Sub Sektor Koperasi

(122,1)

(123,3)

(156,8)

6.

SBKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

265,8

281,2

579,7

Sub Sektor Tenaga Kerja

(52,8)

(75,5)

(67,1)

Sub Sektor Transmigrasi

(213,0)

(205,7)

(512,6)

7.

SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH, DESA

DAN KOTA

1.137,4

1.369,4

1.937,7

Sub Sektor Pembangunan Daerah,

Desa dan Kota

(1.137,4)

( 1.369,4)

(1.937,7)

8.

SEKTOR AGAMA

17,7

24,9

42,1

Sub Sektor Agama

(17,7)

(24,9)

(42,1)

9.

SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,

KEBUDAYAAN NASIONAL DAN KEPERCA-

YAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

1.606.0

1.506,6

2.051,7

Sub Sektor Pendidikan Umum dan

Generasi Muda

(1.480,4)

(1.342,4)

(1.793,6)

Sub Sektor Pendidikan Kedinasan

(113,8)

(155,4)

(243,1)

Sub Sektor Kebudayaan Nasional dan

Kepercayaan Terhadap Tuhan

Yang Maha Esa

(11,8)

(8,8)

(15,0)

IV/18

(Lanjutan Tabel IV - 7 )

Repelita V

No.

Sektor dan Sub Sektor

1988/89

1989/90 1990/91

10.

SEKTOR KESEHATAN, KBSEJAHTERAAN

SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPEN-

DUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA

339,1

469,9722,9

Sub Sektor Kesehatan

(209,3)

(313,7)(516,2)

Sub Sektor Kesejahteraan Sosial

dan Peranan Wanita

(18,3)

(20,2)(38,0)

Sub Sektor Kependudukan dan

Keluarga Berencana

(111,5)

(136,0)(168,7)

11.

SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN

PEMUKIMAN

481,3

494,6677,2

Sub Sektor Perumahan Rakyat dan

Pemukiman

(481,3)

(494,6)(677,2)

12.

SEKTOR HUKUM

27,1

25,135,2

Sub Sektor Hukum

(27,1)

(25,1)(35,2)

13.

SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN

NASIONAL

555,0

720,1996,2

Sub Sektor Pertahanan dan

Keamanan Nasional

(555,0)

(720,1) (996,2)

14.

SEKTOR PENERANGAN, PERS DAN KOMU-

NIKASI SOSIAL

27,0

59,793,8

Sub Sektor Penerangan, Pers dan

Komunikasi Sosial

(27,0)

(59,7)(93,8)

15.

SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI

DAN PENELITIAN

720,8

333,5553,8

Sub Sektor Pengembangan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi

(113,3)

(205,4)(223,5)

Sub Sektor Penelitian

(607,5)

(128,1)(330,3)

16.

SEKTOR APARATUR PEMERINTAH151,2

163,8215,5

Sub Sektor Aparatur Pemerintah

(151,2)

(163,8) (215,5)

17.

SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA

237,9

624,9334,7

Sub Sektor Pengembangan Dunia

Usaha

(237,9)

(624,9)(334,7)

18.

SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN

HIDUP

225,1

473,6540,0

Sub Sektor Sumber Alas dan Ling-

kungan Hidup

(225,1)

(473,6)(540,0)

CADANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN

2.000,0

Jumlah

12.250,7

13.834,319.452,0

IV/19

TABEL IV – 8

PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK,

1988/89 – 1990/91

(miliar rupiah)

IV/20

Dati II, realisasi bantuan pembangunan kabupaten/kotamadya dalam tahun 1990/91 ditingkatkan menjadi Rp 391,8 miliar atau naik 45,l% dari tahun sebelumnya. Jumlah tersebut mencakup peningkatan bantuan per jiwa dari Rp 1.450,- menjadi Rp 2.000,- dan bantuan minimum kabupaten/kotamadya dari Rp 170 juta menjadi Rp 500 juta.

Realisasi bantuan pembangunan Dati I juga meningkat dan mencapai Rp 486 miliar atau naik 50% dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini digunakan untuk meningkatkan bantuan per Dati I dari Rp 12 miliar menjadi Rp 14 miliar, ditambah dengan ban- tuan sebesar Rp 108 miliar yang dibagi secara proporsional kepada daerah-daerah tingkat I sesuai dengan luas wilayah daratan administrasinya.

Sementara itu, upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat terus diintensifkan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan memperlancar pelaksanaannya, bantuan untuk pembangunan sekolah dasar ditingkatkan menjadi Rp 373,5 mi- liar, naik 273,5% dari tahun sebelumnya. Bantuan pembangunan kesehatan/puskesmas juga dinaikkan menjadi Rp 193,4 miliar atau meningkat 58,3% dari tahun sebelumnya. Bantuan ini anta- ra lain digunakan untuk membangun 200 unit Puskesmas, 1.800 unit Puskesmas Pembantu, 600 unit Puskesmas Keliling, 1.000 unit rumah dokter dan para medis serta untuk merehabilitasi 3.000 unit Puskesmas yang sudah ada. Berbagai bentuk bantuan lainnya yang diarahkan untuk mendukung pembangunan daerah, seperti bantuan pembangunan dan pemugaran pasar, bantuan penghijauan dan reboisasi, serta bantuan peningkatan jalan dan jembatan, pada tahun 1990/91 juga disediakan.

Di samping bantuan-bantuan tersebut daerah juga memper- oleh dana pembangunan yang bersumber dari hasil pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sejalan dengan meningkatnya upaya pemungutan PBB, jumlah yang diterima daerah melalui sumber ini pada tahun 1990/91 mencapai Rp 656,9 miliar atau naik 37,4% dari tahun sebelumnya. Jumlah ini merupakan bagian Pemerintah Daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan setelah dikurangi oleh bagian pemerintah pusat dan biaya pemungutan.

Sementara itu, realisasi pembiayaan lainnya yang terdiri dari subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP) dan lain-lain pembiayaan pembangunan pada tahun 1990/91 mencapai Rp 1,1 triliun, turun 7,1% dari tahun sebelumnya. Realisasi penyertaan modal pemerintah mencapai Rp 322,8 miliar. Pembia-

IV/21

yaan ini diberikan dalam rangka memperkuat permodalan berba- gai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Realisasi pembiayaan lain-lain pada tahun 1990/91 mencapai Rp 505,3 miliar, turun 33,9% dari tahun sebelumnya. Pembiayaan ini antara lain digunakan untuk menampung berbagai program yang tidak tertampung dalam pembiayaan departemen/lembaga dan pembiayaan pemba- ngunan bagi daerah, seperti proyek keluarga berencana, pengembangan statistik, lingkungan hidup, pengembangan wilayah, dana tanaman ekspor/PIR, prasarana bis kota, dan proyek air minum daerah. Perkembangan realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dan realisasi bantuan proyek menurut alokasi sektoral dari tahun 1988/89 sampai dengan 1990/91 da-pat dilihat pada Tabel IV-9 dan Tabel IV-10.

C. PERKEMBANGAN MONETER

1. Kebijaksanaan Moneter

Sesuai dengan yang digariskan dalam Repelita V, kebijaksanaan moneter bertujuan untuk makin meningkatkan pengerahan dana masyarakat, efisiensi lembaga-lembaga keuangan dan perbankan serta keefektifan kebijaksanaan moneter. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut pada akhir Repelita IV dikeluarkan paket kebijaksanaan keuangan penting yang kemudian dikenal sebagai Pakto 1988. Paket ini pada bulan Maret, dan kemudian bulan September 1989, diikuti oleh ketentuan lanjutannya yang dikenal sebagai Pakmar 1989 dan Paket September 1989. Lang- kah-langkah kebijaksanaan tersebut telah mendorong pertumbuh- an sektor keuangan dengan sangat pesat selama dua tahun pertama Repelita V. Hal ini tercermin pada meningkatnya pengerahan dana masyarakat, baik melalui perbankan maupun pasar modal, serta meningkatnya pelayanan perbankan bagi masyarakat yang disertai dengan jangkauan yang semakin luas.

Selanjutnya, pada tanggal 29 Januari 1990 dikeluarkan lagi kebijaksanaan penting untuk menyempurnakan sistem perkreditan yang kemudian dikenal sebagai Pakjan 1990. Dengan adanya kebijaksanaan tersebut, sejak 1 Februari 1990 kredit likuiditas hanya dapat diberikan untuk mendukung pelestarian swasembada pangan, pengembangan koperasi, dan pembiayaan investasi tertentu. Kredit likuiditas, kecuali untuk kredit-kredit tersebut di atas, secara bertahap dialihkan menjadi penyediaan kredit biasa oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang didasarkan pada dana yang dihimpun dari masyarakat. Selain itu dalam rangka mendukung pengem-

IV/22

TABEL IV - 9

REALISASI PEIGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK,1988/89 - 1990/91(miliar rupiah)

IV/23

(Lanjutan Tabel IV - 9

Repelita V

No.

Sektor dan Sub Sektor

1988/89

1989/90

1990/91

10.

SEKTOR KFSEHATAN, KESEJAHTERAAN

SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDU-

DUKAN DAN KELUARGA BERENCANA

239,7

292,6

534,5

Sub Sektor Kesehatan

(158,1)

(172,5)

(362,8)

Sub Sektor Kesejahteraan Sosial

dan Peranan Wanita

(14,5)

(19,3)

(33,2)

Sub Sektor Kependudukan dan

Keluarga Berencana

(67,1)

(100,8)

(138,5)

11.

SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN

PEMUKIMAN

81,5

143,7

233,4

Sub Sektor Perumahan Rakyat

dan Pemukiman

(81,5)

(143,7)

(233,4)

12.

SEKTOR HUKUM

26,8

25,1

35,2

Sub Sektor Hukum

(26,8)

(25,1)

(35,2)

13.

SEKTOR PERTAHANAN DAN

KEAMANAN NASIONAL

175,0

216,2

593,2

Sub Sektor Pertahanan dan

Keamanan Nasional

(175,0)

(216,2)

(593,2)

14.

SEKTOR PENERANGAN, PERS

DAN KOMUNIKASI SOSIAL

14,0

22,6

35,7

Sub Sektor Penerangan dan

Komunikasi Sosial

(14,0)

(22,6)

(35,7)

15.

SEKTOR ILMU PENGETAHUAN,

TEKNOLOGI DAN PENELITIAN

149,1

130,5

199,6

Sub Sektor Pengembangan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi

(75,5)

(75,6)

(53,8)

Sub Sektor Penelitian

(73,6)

(54,9)

(145,8)

16.

SEKTOR APARATUR PEMERINTAH

149,2

101,6

148,0

Sub Sektor Aparatur Pemerintah

(149,2)

(101,6)

(148,0)

17.

SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA

25,4

205,8

234,4

Sub Sektor Pengembangan Dunia Usaha

(25,4)

(205,8)

(234,4)

18.

SEKTOR SUMBER ALAM DAN

LINGKUNGAN HIDUP

92,6

254,1

210,2

Sub Sektor Sumber Alam

dan Lingkungan Hidup

(92,6)

(254,1)

(210,2)

CADANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN

2.000,0

Jumlah

4.300,7

5.412,2

10.944,2

IV/24

TABEL IV - 10

REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,1988/89 - 1990/91(miliar rupiah)

IV/25

(Lanjutan Tabel

IV - 10)

Repelita V

No.

Sektor dan Sub Sektor

1988/89

1989/90

1990/91

10.

SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN

SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDU-

DUKAN DAN KELUARGA BERENCANA

99,4

177,3

188,4

Sub Sektor Kesehatan

(51,2)

(141,2)

(153,4)

Sub Sektor Kesejahteraan Sosial

dan Peranan Wanita

(3,8)

(0,9)

(4,9)

Sub Sektor Kependudukan dan

Keluarga Berencana

(44,4)

(35,2)

(30,2)

11.

SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN

PEMUKIMAN

399,8

350,9

443,8

Sub Sektor Perumahan Rakyat

dan Pemukiman

(399,8)

(350,9)

(443,8)

12.

SEKTOR HUKUM

0,3

-

-

Sub Sektor Hukum

(0,3)

( - )

( - )

13.

SEKTOR PERTAHANAN DAN

KEAMANAN NASIONAL

380,0

503,9

403,0

Sub Sektor Pertahanan dan

Keamanan Nasional

(380,0)

(503,9)

(403,0)

14.

SEKTOR PENERANGAN, PERS

DAN KOMUNIKASI SOSIAL

13,0

37,1

58,1

Sub Sektor Penerangan dan

Komunikasi Sosial

(13,0)

(37,1)

(58,1)

15.

SEKTOR ILMU PENGETAHUAN,

TEKNOLOGI DAN PENELITIAN

571,7

203,0

354,2

Sub Sektor Pengembangan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi

(37,8)

(129,8)

(169,7)

Sub Sektor Penelitian

(533,9)

(73,2)

(184,5)

16.

SEKTOR APARATUR PEMERINTAH

2,0

62,2

67,5

Sub Sektor Aparatur Pemerintah

(2,0)

(62,2)

(67,5)

17.

SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA

212,5

419,1

100,3

Sub Sektor Pengembangan Dunia Usaha

(212,5)

(419,1)

(100,3)

18.

SEKTOR SUMBER ALAM DAN

LINGKUNGAN HIDUP

132,5

219,5

329,8

Sub Sektor Sumber Alam

dan Lingkungan Hidup

(132,5)

(219,5)

(329,8)

Jumlah

7.950,0

8.422,1

8.507,8

IV/26

bangan usaha kecil dan untuk menunjang tercapainya sasaran pemerataan, bank-bank yang ada, kecuali bank asing/campuran yang telah diwajibkan memberikan 50% kreditnya untuk ekspor, diwajibkan untuk menyediakan sekurang-kurangnya 20% dari dana kreditnya untuk membiayai kredit usaha kecil.

Rangkaian kebijaksanaan tersebut telah memungkinkan perbankan untuk membiayai kegiatan-kegiatan dunia usaha yang semakin meningkat sejalan dengan pesatnya kegiatan investasi dan produksi di dalam negeri. Hal tersebut tercermin pada perkembangan kredit dan jumlah uang beredar yang meningkat dengan cepat selama tahun pertama Repelita V sampai dengan kuartal I tahun 1990/91.

Meningkatnya permintaan barang dan jasa, yang disertai oleh adanya dorongan kenaikan biaya produksi, telah menimbul- kan tekanan-tekanan pada tingkat harga. Untuk mengatasi hal itu sejak pertengahan tahun 1990 otoritas moneter melakukan pengetatan likuiditas. Langkah tersebut antara lain tercermin pada kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) se- jak Juni 1990. Selain itu, kredit likuiditas yang sudah jatuh tempo mulai ditarik sesuai dengan Paket Januari 1990 (Pak- jan). Demikianlah maka jumlah kredit likuiditas turun dari Rp 17,5 triliun pada akhir Maret 1990 menjadi Rp 13,1 triliun pada akhir Maret 1991. Selanjutnya, untuk memperkuat pengen- dalian moneter melalui pengendalian uang beredar, dalam bulan Nopember 1990 ditetapkan pagu terhadap simpanan Pemerintah di bank-bank umum. Di samping itu, penarikan dana simpanan peme- rintah di bank-bank umum yang berupa penerimaan pajak, retri- busi dan sebagainya ke dalam kas negara dipercepat dari satu kali seminggu menjadi dua kali seminggu.

Dalam rangka upaya makin memantapkan stabilitas moneter dan untuk mengatasi gejala spekulasi valuta asing yang terja- di pada triwulan IV tahun 1990/91, pada awal bulan Maret 1991 telah dilakukan pengalihan sebagian besar deposito Badan Usa- ha Milik Negara (BUMN) yang berada pada bank-bank Pemerintah untuk ditanamkan dalam SBI. Bersamaan dengan itu sebagian be-sar SBI milik BUMN tersebut disalurkan kembali dalam bentuk SBPU. Langkah-langkah tersebut juga dimaksudkan agar pengendalian moneter dapat dilakukan secara dua arah dengan lebih fleksibel.

Langkah-langkah ini telah berhasil meredam tekanan inflasi, sehingga laju inflasi selama tahun 1990/91 dapat dite- kan pada tingkat 9,1%.

IV/27

IV/28

Sementara itu, pada tanggal 28 Februari 1991 telah di- ambil kebijaksanaan yang ditujukan pada penyehatan bank-bank yang jumlahnya meningkat dengan pesat sejak Pakto 1988. Kebijaksanaan tersebut mencakup berbagai hal yang bertalian de- ngan perizinan, kepemilikan dan pengurusan bank; dan berisi pedoman operasional yang didasarkan pada prinsip kehati-hati- an yang antara lain tampak dari persyaratan permodalan yang ditentukan. Di samping itu kebijaksanaan tersebut juga mengandung ketentuan-ketentuan mengenai sistem pelaporan serta tata cara penilaian tingkat kesehatan suatu bank dan faktor penunjang yang diperlukan bagi pengembangan usaha bank. Kebijaksanaan yang mendasar tersebut dimaksudkan untuk mengarah- kan bank-bank agar dapat menyesuaikan manajemen, strategi dan pelaksanaan operasionalnya dengan perkembangan manajemen ope-rasi perbankan di dalam dan di luar negeri. Dalam hal persyaratan permodalan ketentuannya disempurnakan dan disesuaikan dengan standar yang ditetapkan Bank for International Settlements (BIS). Menurut standar ini besarnya modal bank minimum adalah 8% dari aktiva yang mengandung risiko. Pemenuhan persyaratan mengenai modal minimum tersebut dapat dilakukan se-

cara bertahap;bulan Maret 1992 sebesar 5%, bulan Maret 1993 sebesar 7%, dan baru bulan Desember 1993 diharuskan dapat mencapai sebesar 8%. Dengan kebijaksanaan tersebut diharapkan sektor perbankan akan dapat tumbuh dengan makin mantap.

2. Perkembangan Uang Beredar dan Sebab-sebab yang Mempengaruhinya

Seiring dengan meningkatnya kegiatan produksi dan investasi, permintaan akan uang dalam tahun pertama Repelita V naik dengan cepat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan uang beredar (M1) yang berlangsung selama tahun tersebut. Uang beredar selama tahun tersebut telah meningkat dari Rp 15 tri- liun pada tahun 1988/89 menjadi Rp 22,2 triliun pada tahun 1989/90, atau naik sebesar 47,6%. Kenaikan yang pesat dalam tahun 1989/90 ini masih berlanjut dalam semester pertama ta- hun 1990/91. Langkah-langkah pengendalian moneter yang disebutkan di atas berhasil mengurangi pertumbuhan uang beredar dalam semester II tahun 1990/91, sehingga dalam tahun 1990/91 uang beredar (M1) hanya meningkat 6,4% menjadi sebesar Rp 23,6 triliun. Kenaikan M1 tersebut terutama terjadi dalam uang kartal yang meningkat 16% atau sebesar Rp 1,2 triliun. Sedangkan uang giral hanya meningkat 1,2% atau sebesar Rp 169 miiliar. Dengan perkembangan tersebut, peranan uang kartal dalam uang beredar meningkat dari 35,1% pada akhir tahun

1989/90 menjadi 38,3% pada akhir tahun 1990/91; dan peranan uang giral menurun dari 64,9% pada akhir tahun 1989/90 menja- di 61,7% pada akhir tahun 1990/91. Perkembangan ini dipenga- ruhi oleh tingginya tingkat suku bunga simpanan yang mendo- rong uang giral dalam perbankan cenderung beralih ke deposito berjangka dan tabungan. Perkembangan uang beredar dan perbandingan laju pertambahan uang beredar dengan laju inflasi dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-11 dan Tabel IV-12.

Sementara itu, laju pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) masih cukup tinggi, meskipun menunjukkan pelambatan. Likuiditas perekonomian (M2) pada akhir tahun 1990/91 mencapai Rp 81,1 triliun, meningkat 26% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1989/90 likuditas perekonomian meningkat dengan 45,7%. Kenaikan likuiditas perekonomian tersebut terutama terjadi dalam uang kuasi yang meningkat 36,3% dalam tahun 1990/91 dan 44,8% dalam tahun 1989/90. Melambatnya pertumbuhan uang kuasi dalam tahun 1990/91 terutama disebabkan oleh penarikan depo- sito berjangka milik beberapa BUMN pada bank-bank pemerintah pada akhir tahun 1990/91.

Dilihat dalam rangka perkembangan uang beredar (Ml), surplus neraca pembayaran dalam tahun 1990/.91 memberi dampak menambah aktiva luar negeri bersih sebesar Rp 2,3 triliun. Selanjutnya pemberian kredit perbankan yang meningkat cukup pesat pada tahun tersebut juga berdampak menambah jumlah uang beredar sebesar Rp 29,7 triliun. Pertambahan tersebut terjadi sebagai akibat dari meningkatnya tagihan kepada perusahaan swasta dan perorangan sebesar Rp 31,2 triliun, dikurangi oleh menurunnya tagihan kepada lembaga-lembaga dan perusahaan pemerintah sebesar Rp 1,5 triliun. Sementara itu, dengan meningkatnya penerimaan pajak dan penerimaan migas, sektor keuangan Pemerintah memberikan pengaruh mengurangi uang beredar sebesar Rp 4,8 triliun. Sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar selama tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 da- pat dilihat pada Tabel IV-13.

3. Penghimpunan Dana

Dalam tahun kedua Repelita V persaingan dalam mengerah- kan dana masyarakat semakin ketat, terutama setelah dilakukan penarikan kredit likuiditas secara bertahap. Persaingan tersebut antara lain tercermin pada peningkatan suku bunga simpanan dan peningkatan jenis fasilitas dan pelayanan yang ditawarkan kepada nasabah.

IV/29

TABEL IV - 11

PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,1988/89 - 1990/91(miliar rupiah)

Repelita V

Uraian

1988/89

1989/90

1990/91

Jumlah Uang Beredar

15.009

22.155

23.570

(Uang Kartal)

(6.559)

(7.780)

(9.026)

Persentase (1)

44

35

38

(Uang Giral)

(8.450)

(14.375)

(14.544)

Persentase (R)

56

65

62

Mutasi Uang Beredar 1)

617

7.146

1.415

Persentase (i)

19

48

6

1) Terhadap tahun sebelumnya

TABEL IV - 12

PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1988/89 - 1990/91, 1)

Repelita V

U r a i a n

1988/89

1989/90

1990/91

Tingkat Kenaiken

Harga (1)

6,6

5,5

9,1

Tingkat Pertambahan

Jumlah Uang Beredar (i)

18,9

47,6

6,4

1) Terhadap tahun sebelumnya

IV/30

TABEL IV - 13

SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,1988/89 - 1990/91(milliar rupiah)

Repelita V

Faktor Perubahan

1988/89

1989/90

1990/91

SEKTOR AKTIVA LUAR NEGERI

-179

-712

2.277

SEKTOR PEMERINTAH

-120

-85

-4.818

SEKTOR KEGIATAN PERUSAHAAN

11.931

29.667

29.747

- Tagihan pada Lem-

baga/Perusahaan

Pemerintah

(1.213)

(1.109)

(-1.503)

- Tagihan pada Per-

usahaan Swasta dan

Perorangan

(10.718)

(28.558)

(31.250)

AKTIVA LAINNYA (BERSIH)

-3.125

-8.671

-10.449

TOTAL LIKUIDITAS

8.507

20.199

16.757

JUMLAH UANG BEREDAR

2.383

7.146

1.415

(Kartal)

(686)

(1.221)

(1.246)

(Giral)

(1.697)

(5.925)

(169)

UANG KUASI

6.124

13.053

15.342

IV/31

Selama tahun 1990/91 dana perbankan yang terdiri atas giro, deposito berjangka; dan tabungan, baik dalam rupiah maupun valuta asing, meningkat sebesar 30,9%, yaitu dari Rp 59,2 triliun pada akhir tahun 1989/90 menjadi Rp 77,5 triliun pada akhir tahun 1990/91. Perkembangan dana perbankan dalam rupiah dan valuta asing dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-14.

Untuk meningkatkan daya saing giro terhadap deposito berjangka dan tabungan yang suku bunganya terus meningkat, sebagian bank memberikan jasa bunga terhadap simpanan giro. Di samping itu, beberapa bank juga memberikan hadiah langsung maupun tidak langsung, memberikan keleluasaan menarik dana (melalui ATM) dan sebagainya. Upaya tersebut telah berhasil meningkatkan posisi giro rupiah dan valuta asing dari Rp 16 triliun pada akhir tahun 1989/90 menjadi Rp 17,9 triliun pada akhir tahun 1990/91, atau meningkat sebesar 12,3%. Dalam tahun 1988/89 posisi giro tersebut mencapai Rp 10,5 triliun.

Promosi perbankan untuk meningkatkan jumlah deposito berjangka dilakukan dengan menaikkan suku bunga, memberikan hadiah, fasilitas asuransi, menciptakan jenis-jenis deposito baru, seperti kombinasi deposito rupiah dan valuta asing (dual deposito) dengan suku bunga menarik, dan sebagainya. Sebagai hasilnya, deposito berjangka rupiah dan valuta asing dalam tahun 1990/91 mencapai Rp 49,8 triliun, meningkat sebe- sar 37,1% dibandingkan tahun 1989/90.

Dilihat dari jangka waktunya, pangsa deposito berjangka waktu panjang mengalami penurunan. Pangsa deposito berjangka waktu 24 bulan yang pada akhir tahun 1989/90 adalah 7,8% dari seluruh deposito, menurun menjadi 2,4% pada akhir tahun 1990/91. Demikian pula halnya, pangsa deposito berjangka wak- tu 12 bulan dan 6 bulan yang pada akhir tahun 1989/90 masingmasing sebesar 36,7% dan 19,2%, menurun menjadi 24,2% dan 17,2% pada akhir tahun 1990/91. Sementara itu pangsa deposito berjangka 1 bulan dan 3 bulan dalam periode yang sama meng-alami kenaikan yang cukup besar, yaitu masing-masing dari 16,3% dan 18,3% menjadi 28,4% dan 20,9%. Perkembangan demiki- an ini disebabkan oleh adanya suasana uang ketat yang menyebabkan masyarakat lebih cenderung untuk memegang dana yang dapat cepat dicairkan. Perkembangan deposito berjangka rupiah perbankan menurut jangka waktu dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-15.

Promosi untuk meningkatkan tabungan oleh perbankan dila-

IV/32

TABEL IV - 14

PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN

VALUTA ASING, 1)

1988/89 - 1990/91

(miliar rupiah)

Repelita V

U r a i a n

1988/89

1989/90

1990/91

Giro 2)

10.543,1

15.978,1

17.949,0

Deposito 3)

26.474,4

36.350,4

49.839,6

Tabungan 3)

2.485,3

6.863,6

9.722,2

Jumlah

39.502,8

59.192,1

77.510,8

Kenaikan 5)

8.532,9

19.689,3

18.318,7

Persentase (%) 5)

27,6

49,8

30,9

1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bankbank tabungan serta termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk.

2) Termasuk giro valuta asing.

3) Terdiri dari deposito berjangka rupiah dan valuta asing, serta termasuk sertifikat deposito.

4) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH).

5) Terhadap tahun sebelumnya.

IV/33

TABEL V - 15

PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN MENURUT JANGKA WAKTU, 1) 1988/89 - 1990/91

(miliar rupiah)

Repelita V

U r a i a n

1988/89

1989/90 2)

1990/91

1 Bulan 3)

3.578,2

4.575,2

9.568,6

3 Bulan

4.723,1

5.116,0

7.051,7

6 Bulan

3.019,2

5.381,0

5.820,9

9 Bulan

19,2

17,0

27,6

12 Bulan

7.227,1

10.289,9

8.177,2

18 Bulan

2,7

3,3

21,8

24 Bulan

2.071,3

2.177,2

814,1

Lainnya

343,3

461,9

2.268,4

Jumlah

20.984,1

28.021,5

33.750,3

Perubahan Jumlah 4)

4.328,4

7.037,4

5.728,8

Persentase (%) 4)

26,0

33,5

20,4

1) Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk serta sertifikat deposito.

2) Angka diperbaiki

3) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu 4) Terhadap tahun sebelumnya

IV/34

kukan dengan menaikkan suku bunga, mengubah cara perhitungan suku bunga menjadi secara harian, memberikan hadiah secara langsung, seperti perhiasan emas dan barang elektronik, serta hadiah tidak langsung, seperti undian. Nilai tabungan yang pada tahun 1989/90 mencapai Rp 6,9 triliun, meningkat 41,6% menjadi Rp 9,7 triliun pada akhir tahun 1990/91. Dalam tahun sebelumnya, jumlah tabungan meningkat dari Rp 2,5 triliun pa- da akhir 1988/89 menjadi Rp 6,9 triliun atau naik 176,2%. Sementara itu, jumlah buku penabung yang pada tahun 1989/90 adalah 27.206 ribu buah meningkat sebesar 12,6% dan menjadi 30.637 ribu buah pada akhir tahun 1990/91. Pada tahun sebelumnya jumlah buku penabung meningkat sebesar 20%.

Perkembangan sertifikat deposito bank dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-16. Selama tahun 1990/91 peredaran sertifikat deposito meningkat dari Rp 169,6 miliar pada akhir tahun 1989/90 menjadi Rp 434,2 miliar pada akhir tahun 1990/91. Dengan demikian peredaran sertifikat deposito selama tahun 1990/91 mengalami peningkatan sebesar 156% (lihat Tabel IV-17).

4. Perkreditan

a. Kebijaksanaan Perkreditan

Seperti disebutkan di atas, Paket Februari 1991 memuat penyempurnaan ketentuan-ketentuan dalam pengawasan dan pembinaan bank. Dalam paket kebijaksanaan tersebut tercakup juga penyempurnaan ketentuan-ketentuan di bidang perkreditan. De-ngan adanya ketentuan yang baru bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan kredit modal kerja dalam rangka jual beli saham. Penyempurnaan lain yang menyangkut perkreditan adalah ditentukannya batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada debitur dan grup debitur serta kepada pengurus, pemegang saham beserta keluarganya. Di sam-ping itu pembatasan pemberian cerukan (pengambilan dana yang melebihi saldo rekening giro) dihapuskan dan diserahkan kepa- da kebijaksanaan masing-masing bank karena fasilitas cerukan merupakan bagian dari fasilitas pemberian kredit dan diperhitungkan dalam BMPK. Dalam rangka mengurangi risiko kredit, diatur pula ketentuan mengenai jaminan pemberian kredit. Dalam ketentuan yang baru dibedakan antara pengertian jaminan pemberian kredit dan agunan. Penyempurnaan garansi bank juga dilakukan dalam paket kebijaksanaan ini.

IV/35

Tabel IV - 16PERKEMBANGAN TABUNGAN,

1988/89 – 1990/91

Repelita V

U r a i a n

Satuan

1988/89

1989/90

1990/91 1)

TABANAS/TASKA

Penabung

(ribu)

19.361

20.250

18.041

Posisi

(miliar rupiah)

1.646,0

1.892,2

1.688,6

TABUNGAN LAINNYA

Penabung

(ribu)

3.305

6.956

12.596

Posisi

(miliar rupiah)

839,3

4.971,4

8.033,6

JUMLAH

Penabung

(ribu)

22.666

27.206

30.637

Posisi

(miliar rupiah)

2.485,3

6.863,6

9.722,2

1) Angka sementara

TABEL IV - 17

PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK 1)1988/89 - 1990/91(miliar rupiah)

Repelita V

U r a i a n

1988/89

1989/90 2)

1990/91

Penjualan

799,7

518,2

434,7

Pelunasan

869,5

500,5

357,9

Dalam Peredaran

151,9

169,6

434,2

1) Termasuk.sertifikat deposito antar-bank 2) Angka diperbaiki

IV/36

b. Perkembangan Perkreditan

Jumlah pemberian kredit bank telah meningkat dari Rp 46,5 triliun pada akhir tahun 1988/89 menjadi Rp 71,6 triliun dalam tahun 1989/90, atau naik 53,8%. Jumlah kredit tersebut pada tahun 1990/91 mencapai Rp 100,4 triliun atau meningkat 40,3% dari tahun sebelumnya.

Dilihat dari kelompok bank, pinjaman bank umum pemerintah dalam tahun 1990/91 masih mempunyai peranan terbesar, yaitu sebesar Rp 54,7 triliun atau 54,5% dari seluruh pinjaman perbankan. Pangsa tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 59,5%. Pemberian pinjaman bank-bank umum swasta nasional telah meningkat dari Rp 24,5 triliun pada tahun 1989/90 menjadi Rp 35,6 triliun pada tahun 1990/91, sehingga peranannya telah naik dari 34,2% menjadi 35,5%. Sementara itu, peranan bank asing meningkat dari 5,3% pada akhir tahun 1989/90 menjadi 6,8% pada akhir tahun 1990/91 dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 6,8 trlliun pada tahun 1990/91. Perkembangan kredit menurut sektor perbankan dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-18.

Selanjutnya bila dilihat dari sektor ekonomi, yang meli- puti sektor produksi, perdagangan dan sektor lainnya, jumlah pinjaman untuk masing-masing sektor dari tahun ke tahun senantiasa mengalami peningkatan. Dalam tahun 1989/90 jumlah kredit untuk sektor produksi meningkat 42% dan dalam tahun 1990/91 meningkat 36,7% sehingga menjadi Rp 39,6 triliun. Di samping itu, pemberian pinjaman untuk sektor perdagangan juga mengalami kenaikan yang cukup berarti, yaitu sebesar 55,3% dalam tahun 1989/90 dan meningkat lagi dengan 29,7% dalam tahun 1990/91 sehingga menjadi Rp 29,6 triliun. Pinjaman perbankan untuk sektor lainnya yang antara lain meliputi usaha di bidang jasa juga meningkat, sebesar 72,8% pada tahun 1989/90 sehingga mencapai Rp 19,8 triliun dan sebesar 57,8% pada tahun 1990/91 sehingga mencapai Rp 31,2 triliun. Perkembangan kredit menurut sektor ekonomi dari tahun 1988/89 sam- pai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-19 dan Grafik IV-6.

Dalam hubungannya dengan pemberian pinjaman untuk peng- usaha kecil, hasil pemantauan pelaksanaan Paket Januari 1990 menunjukkan bahwa pada akhir Maret 1991 kredit perbankan yang tergolong dalam kredit usaha kecil (KUK) secara keseluruhan sudah melebihi 20% dari seluruh kredit perbankan. Beberapa

IV/37

TABEL IV - 18

PFRKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR PERBANKAN, 1) 1988/89 - 1990/91 (miliar rupiah)

Repelita V

U r a i a n.

1988/89

1989/90

1990/91

Bank Indonesia

1.583

691

724

Bank Pemerintah 2)

30.270

42.589

54.699

Bank Swasta Nasional 3)

12.679

24.498

35.641

Bank Asing Campuran

1.994

3.786

6.837

Jumlah

46.526

71.564

100.413

Perubahan Jumlah 4)

11.445

25.038

28.849

Persentase (%) 4)

32,6

53,8

40,3

1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit investasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit antar bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek

Pemberian KIK/KMKP dihapuskan sejak 1 April 1990.

2) Sejak Mei 1989 termasuk BTN

3) Termasuk Bank Pembangunan Daerah

4) Terhadap tahun sebelumnya

IV/38

IV/39

TABEL IV - 19

PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1)1988/89 - 1990/91(miliar rupiah)

Repelita V

U r a i a n

1988/89

1989/9O 2)

1990/91

Produksi 3)

20.382

28.950

39.587

Perdagangan

14.687

22.814

29.590

Lain-lain 4)

11.457

19.800

31.236

Jumlah

46.526

71.564

100.413

Perubahan Jumlah 5)

11.445

25.038

28.849

Persentase (%) 5)

32,6

53,8

40,3

1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KPKP, tetapi tidak termasuk kredit antara bank swasta, kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek. Pemberian KIK/KMKP dihapuskan sejak 1 April 1990

2) Angka diperbaiki

3) Termasuk sektor pertanian, pertambangan, dan perindustrian 4) Termasuk sektor jasa dan lain-lain

5) Terhadap tahun sebelumnya

GRAFIK IV - 6

PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI,1988/89 - 1990/91

bank masih belum dapat mencapai tingkat ini, namun sejumlah besar bank lainnya telah dapat melampaui batas minimal yang ditetapkan.

Dalam pada itu, kredit pemilikan rumah (KPR) yang dibe- rikan kepada masyarakat berpenghasilan menengah yang disalur- kan oleh PT Papan Sejahtera dalam tahun 1990/91 mengalami. kenaikan sebesar 2,5% sehingga mencapai Rp 242 miliar. Jumlah penerima KPR juga mengalami peningkatan sebesar 2,5% sehingga menjadi 23 ribu nasabah.

Dalam hal perkembangan pinjaman investasi dapat dikemu- kakan bahwa realisasi pemberian pinjaman investasi yang pada akhir tahun 1989/90 berjumlah Rp 15,7 triliun, pada tahun 1990/91 meningkat dengan 35,7% sehingga pada akhir tahun tersebut menjadi Rp 21,3 triliun. Sektor-sektor ekonomi utama yang mendapat kredit investasi adalah perindustrian, pertani- an dan jasa-jasa, yang pada akhir tahun 1990/91 memperoleh pangsa masing-masing sebesar 41,8%, 20,5%, dan 23,7% dari se- luruh kredit investasi. Perkembangan realisasi kredit inves- tasi menurut sektor ekonomi dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 dapat dilihat pada Tabel IV-20 dan Grafik IV-7.

Sesuai dengan Paket Januari 1990, KIK/KMKP telah dihapus sehingga KIK/KMKP yang ada sekarang ini hanya tinggal sisa posisi kredit sebelumnya yang belum terlunaskan. Sementara itu, pemberian Kredit Umum Pedesaan (Kupedes), yang juga digunakan untuk kegiatan investasi dan modal kerja di pedesaan, yang pada akhir tahun 1989/90 berjumlah Rp 992,5 miliar, pada tahun 1991 meningkat menjadi Rp 1,5 triliun.

5. Suku Bunga

Kebijaksanaan pengendalian moneter dalam tahun 1990/91 yang terutama diarahkan untuk mengendalikan laju inflasi mempunyai dampak yang sangat penting terhadap suku bunga. Peningkatan suku bunga yang cukup besar terjadi dalam bulan Februari dan Maret 1991, terutama suku bunga deposito. Pening- katan suku bunga tersebut perlu dilakukan oleh perbankan agar dapat memperoleh dana dari masyarakat untuk mengimbangi ada- nya penurunan dana pihak ketiga sebagai akibat adanya pemin-dahan deposito berjangka milik beberapa BUMN ke dalam SBI.

Suku bunga SBI yang pada akhir tahun 1989/90 adalah 9,9-13,9% meningkat menjadi 19-26% pada akhir tahun 1990/91. Sementara itu suku bunga SBPU yang pada akhir tahun 1989/90

IV/40

IV/41

TABEL IV - 20

PERKEMBANGAN REALISASI KREDIT INVESTASI

MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1)

1988/89 - 1990/91

(miliar rupiah)

Repelita V

U r a i a n

1988/89

1989/90

1990/91

Pertanian

2.610

3.629

4.354

Perindustrian

4.791

6.639

8.893

Pertambangan

313

321

388

Perdagangan

536

1.117

1.826

Jasa-jasa

1.895

3.767

5.046

Lain-lain

82

200

762

Jumlah

10.227

15.673

21.269

Perubahan Jumlah 2)

2.480

5.446

5.595

Persentase Perubahan (%)

32,0

53,3

35,7

1) Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat dan nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka ban- tuan proyek.

2) Terhadap tahun sebelumnya.

GRAFIK IV - 7

PERKEMBANGAN REALISA8I KREDIT INVESTASIMENURUT SEKTOR EKONOMI,1988/89 - 1990/91

adalah 13,4% meningkat menjadi 30,9% pada akhir tahun 1990/91. Suku bunga pasar uang antar bank juga mengalami peningkatan, yakni dari 10,8V pada akhir tahun 1989/90 menjadi 27% pada akhir tahun 1990/91.

Sejalan dengan peningkatan suku bunga SBI, SBPU dan suku bunga antar bank, suku bunga rata-rata tertimbang untuk deposito berjangka rupiah, yang pada akhir tahun 1989/00 adalah 16,9%, naik menjadi 23,2% pada akhir tahun 1990/91. Sementara itu, dilihat menurut jangka waktunya, suku bunga rata-rata tertimbang deposito berjangka 12 bulan, 6 bulan, dan 3 bulan, yang pada akhir tahun 1989/90 masing-masing adalah 17,8%, 16,9%, dan 16,2%, telah meningkat menjadi 20%, 23,4%, dan 24,2% pada akhir tahun 1990/91. Dengan naiknya suku bunga tabungan maka suku bunga (rata-rata tertimbang) pinjaman modal kerja juga mengalami peningkatan dari 20,2% pada akhir tahun 1989/90 menjadi 24% pada akhir tahun 1990/91. Sedangkan suku bunga investasi meningkat dari 18,8% menjadi 21,7% dalam periode yang sama. Dalam perkembangannya, tingkat beberapa jenis suku bunga tersebut di atas telah mulai berangsur-angsur menurun.

6. Perkembangan Harga

Mulai tahun anggaran 1990/91 perhitungan inflasi didasarkan atas Indeks Harga Konsumen (IHK) baru. Diagram timbangan yang digunakan dalam perhitungan diperoleh berdasarkan Survai Biaya Hidup (SBH) tahun 1989 yang dilaksanakan di 27 ibu kota propinsi. Berdasarkan kriteria dalam SBH tahun 1989 tersebut, diidentifikasi 200 sampai 225 komoditi barang dan jasa yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat. Perkembangan harga dari komoditi-komoditi yang diikuti secara berkala tersebut digunakan sebagai indikator inflasi. Berdasarkan IHK baru tersebut dalam tahun anggaran 1990/91 laju inflasi mencapai 9,1%. Laju inflasi dua tahun sebelumnya, berdasarkan IHK lama yang hanya mencakup 17 kota, tercatat 6,6% dan 5,5%. Perkembangan kenaikan harga dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91, dapat dilihat pada Tabel IV-21. Peningkatan laju inflasi dalam tahun anggaran 1990/91 terutama terjadi pada semester I yang mencapai 6,6%, dengan inflasi tinggi pada bulan April (1,4%), Juni (1,3%), dan Juli (2,2%). Dalam semes-ter II inflasi menurun mencapai 2,5% dengan inflasi tertinggi pada bulan Oktober (1,0%).

Laju inflasi yang meningkat dalam semester I tahun 1990/91 diperkirakan merupakan akibat dari beberapa faktor.

IV/42

TABEL IV - 21

PERSENTASE KENAIKAN HARGA, 1) 1988/89 - 1990/91

T a h u n

Kenaikan

(%)

1988/89

(Akhir Repelita IV)

6,55

1989/90

(Tahun Pertama Repelita V)

5,48

1990/91

(Tahun Kedua Repelita V)

9,11

1) Sampai dengan Maret 1990 menggunakan indeks harga konsumen gabungan 17 kota (April 1977 - Maret 1978 = 100). Selanjutnya menggunakan indeks harga konsumen gabungan 27 kota (April 1988 - Maret 1989 = 100).

Dalam bulan April 1990 inflasi terutama didorong oleh peningkatan permintaan masyarakat yang bersifat musiman, yaitu menjelang Lebaran, yang mendorong kenaikan harga-harga dalam kelompok makanan dan sandang cukup tinggi, yaitu sebesar 2,8% dan 1,4%. Kenaikan harga bensin dan minyak tanah pada bulan Juni telah pula memberikan andil inflasi nasional sebesar 0,7%. Selanjutnya, pada bulan Juli terjadi penyesuaian tarif angkutan sehingga indeks harga subkelompok transport meng- alami kenaikan sebesar 8,3% dan mendorong tingkat inflasi pa- da bulan Juli sebesar 2,2%. Selain itu, sebagai hasil meningkatnya mobilisasi dana masyarakat oleh perbankan, jumlah kredit dan uang beredar meningkat dengan cepat. Hal ini ikut mendorong meningkatnya permintaan masyarakat sehingga harga barang-barang meningkat lagi.

Inflasi tinggi pada semester I tersebut dapat ditekan pada semester II melalui serangkaian tindakan, di antaranya kebijaksanaan uang ketat sejak pertengahan tahun 1990. Selain

IV/43

itu, untuk mengatasi kelangkaan beberapa jenis komoditi, impor didorong dengan keringanan bea masuk. Berbagai kebijaksanaan tersebut telah berhasil menekan inflasi pada semester II pada tingkat 2,5% untuk seluruh semester.

Perkembangan harga di berbagai ibu kota propinsi menunjukkan bahwa Denpasar mengalami inflasi tertinggi, yaitu sebesar 12,3%. Beberapa kota lainnya dengan laju inflasi yang tinggi adalah Banda Aceh (10,5%), Palembang (10,4%), dan Banjarmasin (9,8%). Sedangkan inflasi di Jayapura, sebesar 4%, merupakan tingkat.inflasi terendah. Kota-kota yang mengalami laju inflasi rendah lainnya adalah Ambon (4,3%), Bengkulu (5,0%) dan Dili (5,3%).

D. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN LBMBAGA KEUANGAN LAINNYA

Dalam dua tahun pertama Repelita V, sektor perbankan menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini merupakan hasil dari rangkaian kebijaksanaan perbankan dan moneter, terutama kebijaksanaan Oktober 1988 yang kemudian disempurnakan dalam kebijaksanaan Maret 1989. Salah satu indikator perkembangan kelembagaan tersebut adalah kemampuan dalam memobilisasi dana, seperti yang sudah diuraikan di atas. Indikator lainnya adalah jumlah lembaga.

Adanya kemudahan membuka cabang bank dan bank baru, seperti yang diatur dalam Paket Oktober 1988, telah mendorong perbankan tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga jang- kauan pelayanan semakin luas. Jumlah bank, yang terdiri dari Bank Umum, Bank Pembangunan, Bank Tabungan serta Bank Asing, bertambah dengan 25 buah dalam tahun 1990/91 sehingga menjadi 176 bank. Sementara itu dalam tahun 1990/91 jumlah kantor bank mencapai 4.657 kantor, meningkat sebanyak 1.007 kantor dibandingkan tahun sebelumnya. Di samping itu, jumlah BPR meningkat menjadi 8.034 buah di mana 365 buah di antaranya merupakan BPR gaya baru. Dalam tahun 1990/91 terdapat 1 BPR yang dapat meningkat statusnya menjadi Bank Umum.

Peranan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan Lembaga Pembiayaan juga semakin meningkat. Peningkatan peranan LKBB tersebut tercermin pada jumlah aktiva LKBB yang mencapai Rp 4,8 triliun pada akhir tahun 1990/91 atau meningkat 16% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah dana yang dihim- pun juga meningkat dengan 19,2% sehingga pada tahun tersebut mencapai Rp 4,5 triliun, sedangkan jumlah penanaman dana LKBB

IV/44

meningkat dengan 17,1% sehingga menjadi Rp 4,4 triliun pada akhir tahun yang sama. Seperti dalam hal perbankan, untuk meningkatkan kemampuan LKBB juga diadakan perubahan dalam ketentuan-ketentuan tentang: persyaratan kesehatan, jumlah permodalau, posisi devisa netto, serta pemberian izin penerbitan sertifikat deposito rupiah kepada LKBB.

Hasil pelaksanaan kebijaksanaan deregulasi 20 Desember 1988 juga dapat dilihat dari meningkatnya kegiatan lembaga pembiayaan yang terdiri atas sewa guna usaha (leasing), modal ventura (venture capital), anjak piutang (factoring), kartu kredit dan pembiayaan konsumen. Sampai dengan akhir September 1990 perusahaan sewa guna usaha telah mencapai 120 buah, de- ngan nilai kontrak sebesar Rp 3,3 triliun. Selain itu, jumlah lembaga pembiayaan modal ventura 31 buah, lembaga anjak pi- utang 36 buah, lembaga kartu kredit 29 buah, dan lembaga pembiayaan konsumen 47 buah. Kegiatan usaha lembaga pembiayaan konsumen dan lembaga anjak piutang baru dimulai pada tahun

1990.

Jumlah perusahaan asuransi sampai akhir tahun 1990 mencapai 129 buah, terdiri dari 37 perusahaan asuransi jiwa, 5 perusahaan asuransi sosial, 86 perusahaan asuransi kerugian dan 4 perusahaan reasuransi. Di samping itu pada tahun terse- but juga terdapat 165 Yayasan Dana Pensiun. Sesuai dengan Pa- ket Desember 1988, pada bulan Desember 1990 semua perusahaan asuransi jiwa dan asuransi kerugian harus meningkatkan modal disetor, dengan rincian: asuransi jiwa nasional Rp 2 miliar, asuransi jiwa patungan Rp 4,5 miliar, asuransi kerugian nasional Rp 3 miliar, dan asuransi kerugian patungan Rp 15 miliar. Peningkatan modal disetor tersebut dimaksudkan agar asuransi semakin mampu menangani pertanggungan dengan risiko besar, yang selama ini direasuransikan ke perusahaan asuransi luar negeri.

Perkembangan pasar modal tidak terlepas dari kebijaksa- naan deregulasi Oktober 1988, Paket 20 Desember 1988, dan Keppres No. 53 Tahun 1990. Dalam Keppres tersebut Badan Pelaksana Pa sar Modal diganti menjadi Badan Pengawas Pasar Modal, dengan singkatan nama tetap Bapepam. Selanjutnya, penyelenggaraan Bursa Efek Jakarta dilaksanakan oleh pihak swasta dalam ben tuk persero, seperti yang telah dilaksanakan di Bursa Efek Surabaya. Sebagai hasil dari berbagai kebijaksanaan deregula si tersebut di atas jumlah perusahaan yang menjual saham dalam tahun 1990/91 mencapai 132 buah dengan nilai saham

IV/45

sebesar Rp 15,4 triliun, yang berarti terdapat kenaikan sebanyak 47 perusahaan dengan nilai kapitalisasi saham sebesar Rp 9,8 triliun. Jumlah perusahaan yang menerbitkan obligasi tidak mengalami perubahan, yaitu 23 perusahaan.

Swastanisasi pasar modal membuka kesempatan baik bagi investor maupun bagi perusahaan sekuritas. Investor mempunyai pilihan antara membeli saham dan sertifikat saham, sedangkan perusahaan sekuritas berpeluang untuk berfungsi sebagai reksa dana (investment fund). Kegiatan utama reksa dana ialah melakukan investasi, investasi kembali, atau perdagangan efek.

Berkaitan dengan swastanisasi pasar modal, lembaga penunjang pasar modal seperti Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek diwajibkan meningkatkan modal disetor dan mo- dal kerja. Selain itu, lembaga penunjang yang lain seperti Manajer Investasi, Reksa Dana, dan Lembaga Kliring juga disyaratkan agar mempunyai modal disetor. Persyaratan pemodalan di atas diperlukan dalam rangka menjaga kepentingan investor dan mendukung pengembangan pasar modal.

IV/46

IV/4