Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SENI BUDAYA DAN PARIWISATA
BALI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seni budaya dan pariwisata
O L E H :
Beby Anggreani (120709006)
DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN & INFORMASI S-1
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat-Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya yang berjudul “Seni Budaya dan Pariwisata Bali”.
Penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas Mata kuliah Seni Budaya dan
Pariwisata Bali, pada Semester VI Program Studi Ilmu Perpustakaan & Informasi-S1 FIB
USU.
Dan dalam penulisan makalah ini tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi baik
saat perencanaan, pelaksanaan, maupun pengolahan. Penulis menyadari bahwa dalam
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, Penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif dan membangun, untuk penulisan
karya tulis ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Medan , Mei 2015
Penulis
PARIWISATA DI GIANYAR BALI DARI WISATA BUDAYA SAMPAI
WISATA WANA
Gianyar merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Daerah ini banyak
diketemukan berbagai macam objek wisata, seperti objek wisata budaya, objek wisata
purbakala, objek wisata remaja, objek wisata bahari, dan objek wisata wana. Masing-masing
objek wisata tersebut memberikan suguhan atraksi wisata yang mempesona.
1. WISATA BUDAYA
Wisata budaya adalah gerak atau kegiatan wisata yang dirangsang oleh adanya objek-
objek wisata yang berujud hasil-hasil seni budaya setempat. Hasil-hasil seni budaya tersebut
seperti: adat-istiadat, upacara keagamaan, tata hidup masyarakat, dan peninggalan sejarah.
Wisata budaya yang dikembangkan di Gianyar adalah jalur potensi utama yang turut
mempopulerkan Gianyar sebagai daerah tujuan wisata. Jalur wisata budaya di Gianyar dapat
dilihat dalam diagram sebagai berikut.
Diagram Alur wisata di atas dimulai dari Kecamatan Sukawati menuju Kecamatan Ubud,
Kecamatan Tegallalang, Kecamatan Tampaksiring kemudian kembali ke Kecamatan
Sukawati (Diagram: Wahyu Tri Atmojo, 2007).
Kecamatan Sukawati:
Batubulan, Celuk, Singapadu,
Batuan.
Kecamatan Tampaksiring:
Tampaksiring.
Kecamatan Tegallalang:
Sebatu.
Kecamatan Ubud:
Mas, Peliatan, Ubud.
Berdasarkan alur wisata budaya di atas dapat dijelaskan, bahwa jalur utama yang turut
mendukung potensi wisata budaya dimulai dari Desa Batubulan, Desa Celuk, Desa
Singapadu, dan Desa Batuan yang terkonsentrasi di Kecamatan Sukawati. Desa Mas, Desa
Peliatan, dan Desa Ubud terkonsentrasi di Kecamatan Ubud. Desa Sebatu terkonsentrasi di
kecamatan Tegallalang, dan Desa Tampaksiring terkonsentrasi di Kecamatan Tampaksiring.
Jalur wisata yang telah disebutkan di atas, masyarakatnya mempunyai aktivitas tersendiri
sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang mereka miliki. Tari Barong terkonsentrasi di
Desa Batuan dan Desa Singapadu. Seni kerajinan perak terletak di Desa Celuk, seni ukir kayu
terkonsentrasi di Desa Batubulan, seni lukis terdapat di Desa Mas dan Desa Ubud, sedangkan
seni kerajinan kayu terdapat di Desa Sebatu, Desa Tegallalang, Desa Tampaksiring, dan Desa
Peliatan.
Sementara itu seni kerajinan yang mengacu pada tradisi terfokus di daerah tertentu. Hal itu
disebabkan tidak semua perajin mampu membuatnya, karena masih harus memperhatikan
hal-hal yang sifatnya sacral, sedangkan seni kerajinan yang bentuknya mengacu pada benda
sakral tetapi sudah dibuat untuk kepentingan pariwisata, terdapat di Desa Pakuduwi,
Tegallalang, Singapadu, Guang, dan Desa Puaya. Desa Pakuduwi merupakan tempat
berkumpulnya para seniman dan berkembangnya seni kerajinan kayu yang mengambil objek
garuda. Desa Singapadu dan Desa Puaya merupakan tempat pembuatan Barong, baik untuk
kebutuhan dalam seni pertunjukan ritual dan wisata maupun sebagai benda seni kerajinan.
Para seniman Gianyar, selain memiliki jiwa yang kreatif juga tanggap terhadap fenomena-
fenomena yang sedang berkembang. Apabila mengacu pada Becker mereka itu digolongkan
seniman yang integrated professional (Becker, 1982), yakni seniman yang tanggap terhadap
tantangan dan perubahan zaman. Mereka berlomba-lomba menciptakan seni kerajinan
sebagai benda cenderamata. Benda cenderamata yang ada biasanya mengacu pada benda-
benda seni tradisi, tetapi perwujudan bentuk-bentuk seni tradisi itu sudah ditinggalkan nilai-
nilai sakral dan magisnya. Bentuknya telah dimodifikasi sedemikian rupa dan mempunyai
ukuran yang relatif lebih kecil sehingga mudah untuk dibawa.
2. WISATA PURBAKALA
Wisata purbakala adalah pengembangan kepariwisataan dengan memperkenalkan potensi
kepurbakalaan dan peninggalan sejarah. Keberadaan purbakala pada umumnya dapat
dijadikan sebagai objek penelitian maupun objek pariwisata. Pada masa prasejarah sudah
banyak ditemukan berbagai jenis peralatan dan benda peninggalan budaya yang bertalian
dengan keperluan sehari-hari dan keperluan untuk keagamaan yang berlangsung pada waktu
itu. Objek wisata purbakala dan peninggalan sejarah yang terdapat di Gianyar cukup
potensial sebagai objek wisata. Objek wisata Tirta Empul yang menyatu dengan Pura Tirta
Empul terletak di Tampaksiring. Bagi masyarakat setempat meyakini bahwa, apabila mereka
mimpi buruk, usahanya ingin maju, dan lain-lain meluangkan waktu khusus untuk
membersihkan diri dengan cara mandi di Tirta Empul. Mereka meyakini bahwa air yang
berada di Tirta Empul itu air suci. Begitu juga dengan objek wisata purbakala Gunung Kawi.
Objek wisata Gunung Kawi yang terletak di pinggiran sungai Pakerisan itu juga terdapat
candi Tebing yang dipahatkan pada batu cadas di dinding tebing Gunung Kawi. Di bagian
timur deretan candi Tebing terdapat ruangan yang merupakan kompleks vihara. Berdasarkan
paparan A.J. Bernet Kempers, ruangan ini merupakan tempat pertemuan para pendeta atau
ruang makan sebagaimana yang dijumpai pada vihara-vihara yang dipahatkan pada batu di
India (Bernet Kempers, 1956).
Objek wisata purbakala lain yang cukup menarik wisatawan adalah Goa Gajah yang
terletak di Bedulu Gianyar. Objek wisata Goa Gajah tersebut juga menyatu dengan pura Goa
Gajah yang merupakan tempat suci sebagai pusat kegiatan agama Hindu. Pintu masuk
menghadap ke arah selatan yang tingginya kurang lebih dua meter dan lebarnya satu meter.
Di atas pintu masuk dihiasi dengan pahatan kepala kala besar dengan satu tangan yang
diletakkan di samping kanan kepala. Kepala kala itu tampak menyeramkan dengan mata
melotot, mulutnya dibuat sekaligus sebagai mulut goa yang dihiasi dengan giginya yang
besar dengan maksud untuk menolak kekuatan-kekuatan jahat yang akan mengganggu kaum
agamawan yang sedang bertapa dalam goa (Bernet Kempers, 1977).
3. WISATA REMAJA
Youth tourism merupakan kegiatan wisata yang dilakukan oleh kaum remaja.
Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bermotif sosial, seperti: sifat,
ruang lingkup, maupun volume gerakannya. Wisata remaja sebagai pusat kegiatan remaja
merupakan tempat atau ajang untuk menyalurkan keinginannya yang merindukan alam
kebebasan untuk beraktivitas. Hal itu dilakukan sebagai langkah mengantisipasi ekspresi
kaum remaja yang mengalami problem sosial seperti minuman keras, narkotika, dan lain-lain.
Bukit Jati dibangun dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti kolam renang dan
camping ground yang sering digunakan untuk kegiatan pramuka. Mereka dapat menikmati
kegiatan yang dilakukan di alam terbuka dan sekaligus melakukan aktivitas wisata untuk
mengenal alam lingkungannya. Lokasi lain yang dibangun oleh pemerintah Kabupaten
Gianyar untuk kepentingan wisata remaja adalah Pantai Lebih dan Batubulan. Kegiatan-
kegiatan wisata remaja yang dikemas biasanya dalam bentuk mass tourism atau semi mass
tourism dengan pertimbangan biaya yang relatif murah.
4. WISATA BAHARI
Pantai merupakan salah satu bagian dari daya tarik bagi komunitas wisatawan. Wisata
bahari atau wisata pantai banyak diketemukan di daerah Gianyar Bali. Pada tahun 1960-an
kawasan Sanur merupakan pantai yang menjadi pusat perhatian komunitas wisatawan, baik
wisatawan domestik maupun mancanegara. Pada dekade 1970-an, wisata pantai bergeser ke
kawasan Kuta yang terkenal di mancanegara. Kuta merupakan tempat wisata pantai yang
tumbuh secara alami. Kawasan Kuta bukanlah hasil rekayasa. Keberadaan pantai Kuta mulai
muncul ke pentas dunia pariwisata internasional ketika kedatangan gelombang kaum hippies
sekitar tahun 1970-an (Philip Frik Mckean, 1975).
Sementara itu pantai Muaya yang terletak di Jimbaran juga mulai diangkat sebagai objek
wisata. Lebih-lebih belakangan ini, bahwa Jimbaran menjadi berita hangat berkaitan dengan
meledaknya bom di pantai itu yang terkenal dengan sebutan bom Bali II yang meledak pada
tanggal 1 Oktober 2005. Pantai Jimbaran tadinya sebuah desa yang diapit oleh gemerlap
pariwisata antara Kuta dan Nusa Dua yang hanya berjarak kurang lebih dua kilometer dari
Bandara Internasional Ngurah Rai.
Menurut pengamatan Putu Fajar Arcana, bahwa pada tahun 1970-an Jimbaran merupakan
daerah pantai yang penduduknya sebagian besar sebagai nelayan. Namun demikian pada
tahun 1990-an Jimbaran telah berubah total seiring dengan merebaknya dunia pariwisata.
Perubahan itu terjadi sebagai jawaban kemiskinan yang dialami oleh komunitas nelayan yang
menghuni di kawasan Jimbaran. Mereka kemudian mencoba usaha dengan membuka warung
makan dengan menu ikan bakar untuk komunitas wisatawan. Warung-warung itu tidak lama
kemudian tumbuh subur sehingga status warung tersebut naik berubah menjadi kafe (Arcana,
2005). Wisata pantai tersebut berkaitan erat dengan kegiatan menikmati pemandangan alam,
yakni pemandangan alam yang berupa pantai dengan pasir berwarna putih. Di pantai ini
komunitas wisatawan bisa menikmati sinar matahari, olah raga air seperti berselancar, perahu
layar, menyelam, dan kegiatan upacara agama bagi umat Hindu. Begitu juga pantaipantai
yang tersebar di wilayah Gianyar, dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata, meskipun situasi
dan kondisi yang ada memang belum seramai seperti di kawasan Kuta, Sanur, maupun
Jimbaran.
Namun demikian keberadaan pantai yang tersebar di Gianyar juga turut andil dalam
perkembangan kepariwisataan di Kabupaten Gianyar. Seperti yang terdaftar di Monografi
Kabupaten Gianyar, bahwa pantai yang ada di Gianyar juga ramai dikunjungi oleh
wisatawan, meskipun masih didominasi oleh wisatawan domestik, terutama pada hari-hari
raya tertentu, kegiatan keagamaan, dan hari-hari libur lainnya.
5. WISATA WANA
Wisatawan yang datang dan berlibur ke Bali selalu disuguhi berbagai macam atraksi
kesenian maupun keunikan benda-benda budaya yang berakar pada seni tradisi. Namun
demikian pengembangan jalur wisata yang telah terurai di atas dirasa akan terjadi kejenuhan
dan kebosanan, sehingga diperlukan usaha-usaha lain untuk mengatasinya. Sebagai jawaban
dari rasa kejenuhan dan kebosanan itu muncul kawasan wisata wana atau wisata hutan.
Hutan yang berada di Gianyar biasanya dihuni oleh berbagai jenis satwa, seperti kijang
(Muntiacus munchac), harimau (Felis tigris), kera (Macacus cynomolgus), dan lain
sebagainya. Satwa yang paling banyak dan menjadi kebanggaan masyarakat Gianyar adalah
jalak putih (Sturnus melanopterus). Berkaitan dengan jenis satwa yang ada, di desa
Singapadu Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar terdapat taman burung (Bali Bird Park).
Taman burung tersebut menampung komunitas satwa khususnya jenis burung termasuk di
dalamnya burung jalak putih (Sturnus melanopterus).
Taman burung ini dibuat untuk kepentingan pariwisata dan pelestarian burung bertaraf
internasional. Keberadaan taman burung yang mengoleksi berbagai jenis burung itu menjadi
salah satu inspirasi bagi masyarakat Gianyar dalam membuat dan menciptakan karya seni
kerajinan maupun seni lukis yang menampilkan objek burung dengan berbagai macam gaya.
Demikian juga dengan wanara wana (hutan kera) yang terletak di desa adat Padang Tegal,
Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Kera-kera (Macacus cynomolgus) yang lucu, lincah,
dan tidak jarang mau diajak bercanda dengan komunitas wisatawan merupakan atraksi dari
gerak kera yang dapat memberikan hiburan. Komunitas wisatawan yang menikmati objek
wisata wanara wana juga bisa belanja cenderamata yang tersedia di artshop.
SENI BUDAYA MASYARAKAT BALI
1. OGOH-OGOH
Kebudayaan Bali sangat beraneka ragam, ada yang sudah tersedia sejak dulu dan ada juga
yang lahir melalui kreatifitas manusia sebagai hasil cipta dan karsa manusia melalui proses
internalisasi dan eksternalisasi. Begitu juga halnya dengan tradisi membuat dan mengarak
ogoh-ogoh yang serentak dilakukan hampir diseluruh desa yang ada di Bali pada sehari
sebelum hari raya Nyepi dirayakan. Ada hal menarik yang perlu di baca tentang pemunculan
ogoh-ogoh yang di paparkan oleh Jero Mangku Andhi, 2011 dalam Widnyani, 2012: 3
sebagai berikut:
“Ogoh-ogoh yang sekarang kita kenal sesungguhnya mirip sekali dengan tradisis lama
Masyarakat yang beragama Hindu di Bali yang dikenal dengan Barong Landung di
seluruh Bali, dan atraksi Ndong-nding di Gianyar dan Karangasem. Selain itu, tarian
Sang Kalika dalam wujud Boma mirip dengan ogoh-ogoh pada setiap upacara Ngaben
Ngewangun. Tradisi Barong Landung dan Ndong-nding ini dapat dipakai rujukan
dalam rangka menelusuri cikal bakal keberadaan dan wujud ogoh-ogoh yang
belakangan berkembang di Bali”
Penjelasan tentang ogoh-ogoh yang dikemukakan oleh Jero Mangku Andhi dapat
dijelaskan bahwa ogoh- ogoh tersebut merupakan sebuah proses pengembangan kreatifitas
manusia yakni masyarakat Hindu Bali dalam menciptakan sebuah kebudayaan baru dalam
balutan seni dan kemewahan yang tentunya enak dinikmati. Berawal dari sesuatu yang
sederhana yakni tradisi Barong Landung yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat,
Ndong-nding, tarian Sang Kalika, hingga bentuk wajah Boma, kemudian dipengaruhi dengan
berbagai kecangggihan teknologi berupa bentuk warna, kertas yang beraneka jenis dan
bahan-bahan lainnya yang diciptakan dan disediakan oleh sekelompok Masyarakat yang
memiliki berbagai jenis keahlian, sehingga menghasilkan ogoh-ogoh yang terkesan unik,
mewah, megah namun tetap seram yakni berpijak pada konsep Bhuta Kala. Meminjam
gagasan Berger dalam Samuel, 2012:35 ini merupakan proses internalisasi dimana manusia
mencerap segala sesuatu pada lingkungan yang dihuninya, akhirnya melahirkan masyarakat
yang kreatif sebagai realitas objektif karena adanya berbagai individu yang
mengeksternalisasikan dirinya masing-masing lewat aktivitasnya.
Ogoh-ogoh yang kini dinikmati tidak saja oleh masyarakat Bali, namun juga masyarakat
luar Bali hingga mancanegara telah memiliki keunikan tersendiri sehingga penampilannya
selalu dapat menjadi daya tarik bagi banyak orang. Disamping itu, karena ogoh-ogoh ini
hanya di pertontonkan pada waktu-waktu tertentu maka hal ini juga membuat masyarakat
selalu menanti kehadirannya, terlebih setiap tahun selalu ada yang baru yang terwujud atas
pemikiran masyarakat Bali yang kreatif dan inovatif. Namun, yang menarik disini adalah
banyak dapat ditemui ogoh-ogoh yang habis diarak pada saat sehari sebelum hari raya Nyepi
atau Pengrupukan, ogoh-ogoh ini tidak langsung di bakar melainkan di pajang di pinggir
jalan. Hal ini mungkin karena untuk mewujudkan sebuah ogoh-ogoh diperlukan dana yang
cukup banyak serta curahan tenaga dan pikiran yang cukup menyita waktu si pembuat,
sehingga ada rasa tidak rela untuk membakar ogoh-ogoh yang besar dan megah. Tentu hal ini
sangat bertentangan dengan konsep dari pembuatan ogoh-ogoh, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ida Pedanda Made Gunung yang merupakan seorang tokoh agama Hindu
terkemuka di Bali pada Dharma Wacana di Bali TV tanggal 15 Pebruari 2010 jam 17.30 wita
yang dikutip oleh Widnyani, 2012:11 yakni :
“Ogoh-ogoh sebagai perwujudan buta kala harus segera di bakar agar buta kala
berubah menjadi buta hita yakni kekuatan jahat itu berubah menjadi energy
kebaikan yang disebut buta hita. Oleh karena itu, ogoh-ogoh harus segera di
bakar setelah di arak dan diajak menari agar buta kala segera berubah menjadi
buta hita. Dan jangan ogoh-ogoh yang sudah diurip-urip itu di pajang di
pinggir jalan”
Menyimak dengan baik pernyataan yang dikemukakan oleh seorang tokoh agama di atas,
maka ogoh-ogoh ini sangat menarik untuk dikaji mengingat banyak masyarakat sepertinya
kurang memahami makna dan fungsi ogoh-ogoh sehingga masyarakat Hindu Bali banyak
yang justru memajang ogoh-ogohnya setelah di arak keliling desa/kota di pinggir jalan.
Berbagai alasan yang membuat masyarakat memajang ogoh-ogoh di pinggir jalan juga harus
di pahami secara mendalam, selain itu juga dalam tulisan ini juga dipahami dan dianalisis
alasan masyarakat untuk membuat ogoh-ogoh yang mewah bahkan kini yang terjadi tidak
saja berupa buta kala melainkan juga terlahir bentuk-bentuk yang ada pada jaman modern
yang menghadirkan kecanggihan teknologi.
Hadirnya ogoh-ogoh yang unik, mewah, megah dan kreatif tentu memberikan peluang
tersendiri bagi pengusaha dan penjual bahan-bahan yang digunakan untuk pembuat ogoh-
ogoh serta industri budaya yang kini sudah mulai membuat ogoh-ogoh untuk dijual kepada
masyarakat dari ukuran kecil yang diperuntukkan bagi anak-anak hingga ukuran yang besar
untuk di arak oleh para pemuda keliling desa/kota bahkan untuk lomba. Hal ini menjadi
menarik juga karena, adanya atraksi ogoh-ogoh telah mampu menciptakan industri kreatif
yang tentu memberikan keuntungan yang luar biasa, khususnya pada perayaan hari raya
Nyepi sebagai rejeki musiman yang dapat di panen oleh siapapun yang mau berkreatifitas dan
mau memproduksi ogoh-ogoh sesuai dengan konsumsi masyarakat dan trend yang berlaku di
masyarakat.
Hari raya Nyepi di Bali biasanya identik dengan kehadiran Ogoh-ogoh. Bagi orang awam
seperti kita Ogoh-ogoh mungkin hanya patung-patung berukuran besar, dan tak jarang
berpenampilan menyeramkan, yang diarak sepanjang jalan dan menjadi tontonan masa.
Begitu populernya Ogoh-ogoh sehingga tidak heran menjadi salah satu atraksi wisata.
Memang, Ogoh-ogoh pada dasarnya adalah boneka raksasa yang diarak keliling desa
menjelang malam sehari sebelum hari raya nyepi, atau dikenal dengan Pangrupukan, yang
kemudian akan dibakar. Pangrupukan sendiri merupakan tahap ketiga sebelum Nyepi
berlangsung. Di tahap ini warga akan menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah
dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul
benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh yang tujuannya
adalah untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan
sekitar.
Menurut Wikipedia Indonesia, Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan
Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta
Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan
tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan
sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Rakshasa.
Ogoh-ogoh yang diarak dan kemudian dibakar memiliki tujuan yaitu mengusir untuk Buta
Kala dari lingkungan sekitar. Mengusir Buta Kala yang diwujudkan dalam bentuk Ogoh-ogoh
bisa diartikan sebagai perlambang upaya untuk mengusir kekuatan jahat yang bisa
menggangu keseimbangan kehidupan.
Oleh karenanya wujud Ogoh-ogoh bisanya memang selalu berbentuk patung raksasa yang
mengerikan, meski bukan hal yang mutlak juga. Ogoh-ogoh juga kerap berbentuk dalam
wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Surga dan Naraka, seperti: naga, gajah,
Widyadari dan semacamnya. Dalam perkembangannya rupa Ogoh-ogoh juga bisa berbentuk
tokoh-tokoh yang popular, bahkan terkadang berbau politik atau SARA, yang sebenarnya
menyimpang dari tujuan Ogoh-ogoh itu sendiri.
Terlepas dari itu, Ogoh-ogoh merupakan salah satu bentuk karya seni yang patut
diapresiasi, terlepas sebagian besar dari mereka nasibnya berujung di pembakaran api. Ogoh-
ogoh dikerjakan dengan telaten biasanya memerhatikan estetika seni tersendiri serta memiliki
detil dan ornamen yang kaya, sehingga hadir dalam rupa-rupa yang cantik untuk dipandang,
terlepas betapa mengerikan penampakannya.
Ogoh-ogoh biasanya terbuat dari bambu yang dianyam. Namun kini Ogoh-ogoh juga
dimodifikasi oleh sejumlah perajinnya dengan menggunakan gabus yang relatif lebih ringan
dan gampang dikreasikan dalam berbagai bentuk dan rupa yang diinginkan. Modal
mengerjakan Ogoh-ogoh ini juga bervariasi, tergantung detil dan besarnya. Biasanya dengan
minimal Rp. 300 ribu kita sudah bisa membuat segiah Ogoh-ogoh sederhana. Tapi tak jarang
Ogoh-ogoh juga memerlukan modal besar karena memerlukan pengerjaan yang rumit dan
bahan yang tak murah pula, seperti Ogoh-ogoh Nangluk Mrana yang berukuran panjang 13
meter, lebar 2 meter dan tingginya 3 meter. Ogoh-ogoh ini siap untuk memeriahkan
Pangrupukan tahun ini.
Proses pengerjaan Ogoh-ogoh gabus tidak banyak berbeda dengan yang terbuat dari
bambu, hanya saja memerlukan ketelitian yang lebih dalam merancang pola sosok yang akan
dibentuk. Kekurang telitian dalam mengerjakan pola dan memotong gabus akan
menyebabkan bentuk Ogoh-ogoh yang tidak simetris.
Karena relatif lebih cepat dikerjakan serta memilik penampilan yang tak kalah
dibandingkan Ogoh-ogoh anyaman bambu, tidak heran banyak warga yang kemudian
menjadikan Ogoh-ogoh sebagai dekorasi, baik di rumah, bahkan di hotel.
Tidak hanya itu, kabarnya kini di Bali juga sudah ada museum yang khusus menampilkan
berbagai Ogoh-ogoh. Museum ini terletak di sebelah barat Pura Taman Ayun, Mengwi,
Badung berdekatan dengan Museum Yadnya. Dengan nuansa magis yang cukup kental, kita
bisa menyaksikan berbagai macam dan bentuk Ogoh-ogoh dengan ketinggian rata-rata sekitar
2 hingga 5 meter. Pemandu tidak akan segan-segan bercerita tentang cerita-cerita di balik
setiap Ogoh-ogoh yang dipamerkan, sehingga memberi pengalaman tersendiri saat
mengunjungi museum ini.
Jadi, saat berkunjung ke Bali, terutama sebelum Nyepi, tidak ada salahnya untuk
mengunjungi museum ini, selain menyaksikan arak-arakan Ogoh-ogoh yang memenuhi jalan.
2. NGABEN
Upacara ngaben terdiri atas kata upacara dan ngaben. Menurut Keputusan Pesamuhan
Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat di Denpasar tanggal 4 Nopember 2007
upacara berasal dari bahasa Sanskerta suku kata “upa” yang berarti “hubungan” dan “car”
yang berarti ’gerak’ atau ’action’ mendapat akhiran ’a’ menjadi kata benda ”cara” yang
berarti ’gerakan’. Jadi, upacara adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan
(pelaksanaan) dari suatu yajña (tindakan). Sejalan dengan itu, Titib (1998: 147) menjelaskan
bahwa secara harfiah tata pelaksanaan suatu yadnya disebut upacara. Kata upacara dalam
bahasa Sanskerta berarti mendekati. Dalam kegiatan upacara agama diharapkan terjadinya
suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa, kepada sesama manusia,
kepada alam lingkungan, pitara dan resi. Pendekatan itu diwujudkan dengan berbagai bentuk
persembahan dan tata pelaksanaan sebagaimana yang telah diatur dalam ajaran agama Hindu.
Kesucian adalah sifat Tuhan. Orang harus suci lahir dan batin bila ingin memanjatkan doa
dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Upacara memberikan identitas tersendiri bagi agama-
agama tertentu yang membedakannya dengan agama yang lainnya. Tiaptiap agama memiliki
aturan dalam tata pelaksanaan upacaranya.
Dalam melaksanakan upacara yadnya, umat Hindu (di Bali) menggunakan sarana yang
disebut upakara. Kata upakara berasal dari bahasa Sansekerta suku kata “upa” yang artinya
’hubungan dengan’, “kara” yang artinya ’pekerjaan tangan’. Jadi, upakara berarti segala
sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan tangan yang pada umumnya berbentuk
pengolahan materi, seperti daun, kembang, buah, kayu, air, dan api (Keputusan Pesamuhan
Agung PHDI Pusat, 2007).
Pada umumnya upakara adalah berbentuk materi. Bentuk materi upakara itulah yang
disebut banten (Surayin, 1992:4). Oleh karena banten di Bali merupakan ciri khas yang unik
yang mengaitkan daya cipta yang religius yang mengandung magis, yang mengandung
budaya seni dan adat, yang berciri desa, kala, dan patra serta nista, madya, dan utama, maka
terungkaplah suatu nilai luhur yang tiada tandingannya. Banten membuat orang terpesona dan
memburu keinginan orang yang mempunyai daya seni dan keagungan yang luhur sehingga
memberi andil untuk menjadikan Bali terkenal di seluruh dunia.
Pemeluk agama Hindu di Bali mengenal sarana-sarana sebagai perlengkapan upacara
agama Hindu. Sarana upacara agama Hindu terdiri atas berbagai jenis lambang yang
mencakup tataran aksara, gambar lambang, dan berbagai jenis bentuk sesaji di dalam banten.
Sarana upacara tersebut diyakini memiliki kekuatan yang berhubungan dengan religiusitas
dan dianggap sebagai sesuatu yang sakral oleh pemeluk agama Hindu. Upacara
diimplementasikan pelaksanaannya melalui yajña. Pengertian yajña menurut Titib (1998:147)
berasal dari kata ”yaj” (bahasa Sanskerta) yang berarti ”pemujaan, memuja, mengorbankan,
memberi”. Yajña berarti mengorbankan, berkorban. Sebagai suatu pemujaan yang memakai
korban suci, maka yadnya memerlukan dukungan sikap mental yang suci pula, di samping
adanya sarana yang akan dipersembahkan/dikorbankan. Makna dan tujuan pelaksanaan
yadnya adalah sebagai pengejawantahan ajaran Veda, sebagai cetusan rasa terima kasih,
untuk meningkatkan kualitas diri, sebagai salah satu cara untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan yang dipuja dan untuk menyucikan.
Jenis atau penggolongan yadnya yang telah umum dikenal adalah berdasarkan tujuan atau
sasaran yadnya itu dipersembahkan. Di bawah ini dipetik penjelasan Agastya Parwa tentang
jenis dan penggolongan yadnya.
”Kunan ikan yajña lima pratekanya, lwirnya: deva yajña, rsi yajña, pitra yajña,
bhuta yajña, menusa yajña; nahan tan panca yajña rin loka. Deva yajña naranya taila
pwa krama ri bhatara siwagni makagelaran in mandala rin bhatara, yeka deva yajña
naranya, rsi yajña naranya, kapujan san pandita mwan san wruh ri kalinganin dadi
wwan ya rsi yajña naranya. Pitra yajña naranya tilemin bwat hyan siwasraddha, yeka
pitra yajña naranya. Butha yajña naranya tawur wwan kapujan in tuwuh ada pamuwan
kunda wulan makadi walikrama, ekadasa dewata mandala, ya bhuta yajña naranya.
Aweh amanan rin kraman ya ta manusa yajña naranya; ika ta liman wiji i sdennin
lokacara manabhyasa ika makabheda lima.”
Terjemahannya: ’Adapun yang disebut yadnya lima bentuknya, yaitu dewa yadnya,resi
yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya, manusa yadnya semuanya disebut panca yadnya. Dewa
yadnya adalah upacara persembahan kepada api suci Siwa (Siwagni) dengan membuat
mandala yadnya, resi yadnya adalah pemujaan kepada para pendeta dan orang-orang yang
memahami makna hakikat hidup, pitra yadnya adalah pemujaan kepada roh suci leluhur,
bhuta yadnya adalah tawur dan upacara kepada tumbuh-tumbuhan, antara lain dalam bentuk
upacara walikrama dan Eka Dasa Rudra dan memberi makanan kepada masyarakat itu
disebut manusa yadnya; itulah disebut panca yadnya, lima jumlahnya, pelaksanaannya
berbeda satu sama lain.’
Kelima yadnya tersebut dilaksanakan melalui upacara dan upakara sebagai dasar
pengembalian tiga hutang manusia (Tri Rna). Umat Hindu di Bali menganut kepercayaan
adanya roh masih hidup setelah badan kasar takbergerak dan terbentang kaku. Untuk itu
dilaksanakan upacara yang khas yaitu upacara penyelenggaraan jasat yang berpulang yang
disebut Pitra yadnya (Surayin, 2002:1).
Menurut Wiana (2004: 25-27; Purwita, 1992:4) ) upacara ngaben termasuk ke dalam
upacara pitra yajña Ngaben berasal dari bahasa Bali dari asal kata “api” mendapat prefiks
nasal “ng” dan sufiks “an” sehingga menjadi “ngapian”, kemudian mengalami sandi sehingga
menjadi “ngapen”. Terjadi perubahan bunyi konsonan “p” menjadi “b” menurut hukum
perubahan bunyi “p, b, m, w (rumpun huruf bilabial) sehingga kata “ngapen” berubah
menjadi “ngaben”. Kemudian kata ngaben diberi arti ’menuju api’. Dalam ajaran agama
Hindu api adalah lambang kekuatan Dewa Brahma, jadi ”ngaben” berarti ’menuju Brahma’.
Maksud dan tujuan ngaben adalah melepaskan atma dari unsur Panca Maha Butha dan
mengantarkan sang atman menuju alam Brahman atau alam ketuhanan.
Dilihat dari keadaan jasat orang yang di-aben, maka upacara ngaben itu dapat dibagi
menjadi tiga jenis. Ada yang disebut sawa wadana, asti wadana, dan swasta. Perbedaan jenis
ngaben tersebut terletak pada pangawak. Dalam ngaben sawa wadana ada jasat (sawa) orang
yang baru meninggal sebagai pangawak Ngaben asti wadana adalah upacara ngaben yang
menggunakan tulang belulang orang yang sudah lama meninggal dan sudah lama dikuburkan.
Tulang belulang itu diangkat dari kuburan dan tulang belulang yang tersisa itulah yang
dijadikan pangawak. Ngaben swasta adalah upacara ngaben yang tidak ditemukan
jenazahnya, pangawaknya menggunakan simbol dalam bentuk Tirtha atau Kusa ( daun alang-
alang).
Dalam lontar Sundarigama (Wiana, 2004:27) pe-ngaben-an dalam upacara pitra yadnya
dapat dibedakan menjadi lima tingkatan yang disebut Panca Wikrama. Lima jenis ngaben
tersebut dari yang paling utama sampai yang upacaranya sederhana.
1) Sawa prateka, upacara ngaben ini dari segi bentuk upacaranya merupakan ngaben
yang paling besar secara sekala. Ngaben sawa prateka ini arah surga yang dituju
disebutkan ring daksina artinya ’di Selatan’. Dewatanya Dewa Brahma, wikunya
Bhagawan Rama Parasu, tirtanya Merta Kamandalu, bidadarinya Dewi Gagar
Mayang. Menggunakan wadah atau bade dan damar kurung, patulangan, gamelan
gambang, menggunakan banten teben, panjang ilang yang lengkap.
2) Sawa wedana, menggunakan damar angenan, pengawak kayu cendana, surganya ring
pascima (Barat), dewatanya Dewa Mahadewa, bidadarinya Dewi Sulasih, wikunya
Bhagawan Kanwa, tirtanya Merta Kundalini, gamelan gong trompong, boleh
memakai wadah atau bade dan damar kurung.
3) Pranawa, boleh menggunakan wadah dan juga boleh tidak, memakai banten teben,
damar kurung dan patulangan, pangawak tirta. Cukup memakai bale salunglung,
surganya ring uttara dewatanya Dewa Wisnu, bidadarinya Dewi Tunjung Biru,
wikunya Bhagawan Jenaka, tirtanya Merta Pawitra. Gamelannya Saron.
4) Ngaben swasta, tidak menggunakan wadah atau bade, tidak menggunakan damar
kurung, tanpa banten teben, dan tanpa patulangan. Saji lengkap dengan nasi angkeb,
caru ayam putih lima ekor, sorganya ring wetan (Timur), dewatanya Sang Hyang
Iswara, bidadarinya Dewi Supraba, wikunya Bhagawan Bhrgu. Menggunakan tirta
Maha Merta dan gamelan Turas.
5) Ngaben mitra yajña, dari segi bentuk ngaben inilah yang paling sederhana, tetapi dari
segi spiritual paling utama. Ngaben ini jarang dianjurkan oleh para pendeta kecuali
Ida Pedanda Made Sidemen dari Griya Taman Sanur. Setelah beliau tiada penggunaan
ngaben mitra yajña yang paling sederhana ini hampir-hampir tidak terdengar lagi
dianjurkan oleh para Pandita. Ngaben ini dengan pangawak Daksina, sorganya ring
madhya (tengah), dewatanya Dewa Siwa, bidadarinya Dewi Supini, wikunya
Bhagawan Wararuci, tirtanya Sanjiwani, cukup memakai saji lengkap dan nasi
angkeb.
Daftar Pustaka
http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Article-23598-Wahyu%20Tri%20Atmojo.pdf
http://kopikeliling.com/art/ogoh-ogoh-seni-patung-raksasa-yang-mengagumkan.html
http://www.pps.unud.ac.id/disertasi/pdf_thesis/unud-15-1492312087-bab%20ii
%20disertasi.pdf