20
komunitas matematika Kebon Jeruk, 11 Juni 2011 KREATIF MEMBELAJARKAN MATEMATIKA Wahidin headymathic.wordpress.com [email protected] A. Pendahuluan Selalu lebih mudah menolong orang-orang yang dapat menolong dirinya sendiri dari pada menolong mereka yang tak berdaya. Salah satu kelemahan terbesar dari sifat alami manusia adalah dalam menanggapi suatu ide baru. Bagaimanapun hal itu membuat anda berpikir bahwa gagasan yang anda gemari mungkin salah, keyakinan anda yang paling kokoh bisa menjadi goyah, …. Karena itu, wajar jika masyarakat membenci ide baru dan mereka cenderung untuk salah memperlakukan orang pertama yang membawa ide baru tersebut (Rogers, 1983). IMSTEP-JICA melaporkan bahwa rendahnya kualitas pemahaman matematika siswa dikarenakan dalam proses pembelajaran guru umumnya terlalu berkonsentrasi pada latihan menyelesaikan soal yang bersifat prosedural dan mekanistik daripada pengertian. Guru biasanya menjelaskan konsep secara informatif, memberikan contoh soal, dan soal- soal latihan (Herman, 2007). Kesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri dan Dahlan (2007) melaporkan bahwa banyaknya siswa yang tidak menyukai pelajaran matematika di antaranya disebabkan oleh gurunya yang galak dan metode pelajaran yang membosankan (monoton). Hasanudin (2007) juga menuliskan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran matematika sekarang ini pada umumnya guru masih mendominasi kelas, siswa pasif (datang, duduk, nonton, berlatih, …., dan lupa), guru memberitahu konsep, siswa menerima barang jadi. Demikian juga dalam latihan dari tahun ke tahun soal yang diberikan adalah soal yang itu-itu juga, tidak bervariasi, hanya berkisar pada pertanyaan apa, berapa, tentukan, selesaikan, jarang sekali menggunakan kata-kata mengapa, bagaimana, darimana, atau kapan. Pendekatan dan metode yang dikuasai guru belum beranjak dari pola tradisional, pilihan favorit guru dalam mengajar 1

headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

KREATIF MEMBELAJARKAN MATEMATIKAWahidin

headymathic.wordpress.com [email protected]

A. Pendahuluan

Selalu lebih mudah menolong orang-orang yang dapat menolong dirinya sendiri dari pada menolong mereka yang tak berdaya.

Salah satu kelemahan terbesar dari sifat alami manusia adalah dalam menanggapi suatu ide baru. Bagaimanapun hal itu membuat anda berpikir bahwa gagasan yang anda gemari mungkin salah, keyakinan anda yang paling kokoh bisa menjadi goyah,…. Karena itu, wajar jika masyarakat membenci ide baru dan mereka cenderung untuk salah memperlakukan orang pertama yang membawa ide baru tersebut (Rogers, 1983).

IMSTEP-JICA melaporkan bahwa rendahnya kualitas pemahaman matematika siswa dikarenakan dalam proses pembelajaran guru umumnya terlalu berkonsentrasi pada latihan menyelesaikan soal yang bersifat prosedural dan mekanistik daripada pengertian. Guru biasanya menjelaskan konsep secara informatif, memberikan contoh soal, dan soal-soal latihan (Herman, 2007). Kesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri dan Dahlan (2007) melaporkan bahwa banyaknya siswa yang tidak menyukai pelajaran matematika di antaranya disebabkan oleh gurunya yang galak dan metode pelajaran yang membosankan (monoton). Hasanudin (2007) juga menuliskan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran matematika sekarang ini pada umumnya guru masih mendominasi kelas, siswa pasif (datang, duduk, nonton, berlatih, …., dan lupa), guru memberitahu konsep, siswa menerima barang jadi. Demikian juga dalam latihan dari tahun ke tahun soal yang diberikan adalah soal yang itu-itu juga, tidak bervariasi, hanya berkisar pada pertanyaan apa, berapa, tentukan, selesaikan, jarang sekali menggunakan kata-kata mengapa, bagaimana, darimana, atau kapan.

Pendekatan dan metode yang dikuasai guru belum beranjak dari pola tradisional, pilihan favorit guru dalam mengajar matematika adalah metode ceramah dan ekspositori, guru asyik menerangkan materi baru di depan kelas dan murid mencatat, siswa jarang sekali mengkomunikasikan secara lisan hasil dan pengalamannya, siswa mengikuti penjelasan atau informasi yang diberikan guru tetapi mereka jarang mengajukan pertanyaan, siswa hanya mencontoh apa-apa yang dikerjakan guru dan mengingat rumus-rumus atau aturan matematika dengan tanpa makna dan pengertian (Wahyudin, 2008).

Kasus Lessons Study di Sumedang menemukan bahwa siswa sulit memahami variabel, siswa tidak mengetahui kegunaan matematika, siswa tidak atau kurang mampu berfikir tingkat tinggi (pemecahan masalah), siswa ingin segera mampu menyelesaikan masalah matematika dengan meminta rumus/aturan/algoritma dari guru, dan siswa cepat jenuh dalam belajar matematika, guru kesulitan memberikan pemaknaan simbol-simbol matematika, waktu (jam pelajaran) makin sedikit sehingga sulit untuk berimprovisasi, guru merasa pembelajaran dengan pemecahan masalah sangat menyita waktu.

Sementara itu rote learning cenderung menjadikan siswa berfikir pasif, mereka tidak berfikir secara terstruktur, dan belajar menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna. Pembelajaran yang procedural, seperti penerapan rumus cenderung menghilangkan kemampuan siswa untuk melihat struktur masalah secara utuh. Padahal, pemahaman akan struktur masalah merupakan bentuk dari pemikirian yang produktif.

1

Page 2: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

Inilah gambaran sebuah situasi kelas tradisional yang dikritik oleh Ernest, bahwa tugas-tugas kelas mengajarkan siswa untuk melakukan prosedur simbolik tertentu, bekerja tetapi bukan untuk berfikir, hanya untuk menjadi automatons. Hal serupa disampaikan Silver bahwa aktivitas siswa sehari-hari terdiri atas menonton gurunya menyelesaikan soal-soal di papan tulis, kemudian meminta siswa bekerja sendiri dalam buku teks atau LKS yang disediakan (Turmudi, 2008). Banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu pelajaran 45 menit secara tidak efektif, rutinitas, hal ini dapat membosankan, membahayakan, dan merusak seluruh minat siswa (Sobel dan Maletsky, 2004).

Realitas inilah yang terus mengukuhkan posisi pelajaran matematika sebagai pelajaran yang menakutkan bagi sebagian siswa, dan menggejala baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA (Turmudi, 2008). Bagi banyak orang, nama matematika menimbulkan kenangan masa sekolah yang merupakan beban berat, bahkan Piaget mengungkapkan bahwa, siswa cerdas sekalipun secara sistematis menemui kegagalan dalam pelajaran matematika (Maier, 1985). Rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) sering kali menghinggapi perasaan siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan tinggi. Ruseffendi (2006) menyatakan bahwa, “matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan mata pelajaran yang paling dibenci”. Hal ini nampak dari rendahnya hasil belajar matematika yang diperoleh siswa. Lebih dari itu suasana belajar menjadi tidak menarik, cenderung membosankan dan rutinitas belaka (Asyhadi, 2005).

Guru maupun sarana dan prasarana menjadi sorotan utama berkenaan dengan kualitas pendidikan nasional. Tentu saja hal ini akan berujung kepada pembelajaran di kelas yang minim inovasi dan kreatifitas, juga minim penguasaan ragam metode dan penggunaan ragam media. Akibatnya siswa sebagi pebelajar memperoleh pengetahuan minimalis, mereka tidak banyak mengetahui isi pelajaran yang semestinya mereka terima (standard isi menjadi persoalan). Proses pembelajaran pun menjadikurang menarik yang akan dapat melemahkan standard proses pendidikan nasional. Kesemuanya ini akan menggerogoti standard kompetensi lulusan.

Sementara Suydam dan Weaver mencatat, guru umumnya mempercayai bahwa siswa belajar lebih efektif manakala mereka tertarik dengan apa yang dipelajarinya dan mereka akan berprestasi baik kalau mereka menyukai matematika, karena itu sikap positif siswa terhadap matematika menjadi penting untuk dipelihara (Turmudi, 2008). Logikanya, secara kontraposisi, ketika sikap siswa tidak positif, mereka mulai tidak suka kepada matematika, maka prestasi belajar mereka akan menurun. Senada dengan hal tersebut, ketakutan kepada matematika akan berujung kepada rendahnya hasil belajar matematika.

Pembaharuan dalam pendidikan dan pembelajaran Matematika di negeri kita tampaknya mengikuti kecenderungan inovasi negara-negara lain. Perhatian pemerintah dan pakar pendidikan matematika diberbagai negara untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa mengarah kepada upaya mengatasi rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika. Sekarang ini tengah diuji-cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara kontekstual dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Misalnya Belanda dengan RME, dengan pendekatan ini diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan menyajikan materi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Amerika Serikat dengan CTL, pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam menyelesaikan tugas matematika melalui pembelajaran yang dimulai dengan masalah-masalah kontekstual. Pendekatan seperti ini diduga mampu mengantarkan siswa dalam merespons setiap masalah dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah tersebut. Jepang dengan open-

2

Page 3: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

ended, pendekatan ini, diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan memberi soal-soal terbuka yang memiliki banyak jawab benar. Singapura dengan concrete-victorial-abstract approach, peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa diduga dapat dilakukan melalui perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang menarik perhatian siswa. Australia dengan mathematics in context. Sedangkan di Indonesia sendiri di tingkat SD tengah dipopulerkan PMRI. Kesemuanya ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas matematik siswa (Puskur, 2007).

Agar kesulitan yang dihadapi siswa dapat diatasi dan kemampuan matematik dapat ditingkatkan, tentu dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang mampu memberikan kebermaknaan belajar bagi siswa, karena menurut Madnesen dan Sheal dalam Suherman (2004) bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cara siswa belajar. Jika belajar hanya dengan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, dan belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan bisa mencapai 90%. Dari uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukup dengan mendengar dan melihat, tetapi harus dengan hands-on activity, minds-on, konstruksivis, dan daily life. Oleh karena itu guru mesti menghadirkan metode pembelajaran yang dapat mendukung cara belajar siswa secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

B. Pembelajaran Kreatif

Sementara ini pembelajaran kreatif dipopulerkan dengan PAKEM ataupun PAIKEM. Proses belajar dapat dikatakan active learning apabila mengandung: 1) Komitmen (Keterlekatan pada tugas), 2) Tanggung jawab (Responsibility), dan 3) Motivasi. Dimaksudkan aktif di sini adalah bahwa peserta didik maupun guru berinteraksi untuk menunjang pelajaran, siswa bertanya, memberi tanggapan, memecahkan masalah serta mengungkapkan dan mendemonstrasikan ide atau gagasannya.

Inovatif artinya kecenderungan guru untuk mengadopsi pembelajaran baru, kemampuan mencipta dan memvariasikan metode pembelajaran. Pembelajaran efektif meliputi perencanaan, penyajian, dan penutupan. Maksudkan adalah bahwa tercapainya suatu kompetensi merupakan dasar yang utama dalam membuat suatu rancangan pembelajaran.

Menyenangkan yang dimaksud adalah ketertarikan pada pembelajaran matematika, sikap positif terhadap matematika, yang dapat berupa self believe, self concept, maupun selft efficacy siswa. Menciptakan suatu suasana belajar yang hidup, semarak, terkondisi dan ekpresip serta menarik perhatian peserta didik pada materi yang diajarkan. Tentu hal ini perlu adanya motivasi yang baik, sehingga siswa akan lebih mudah dan senang belajar matematika, motivasi dalam pembelajaran matematika adalah usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi sehingga seseorang terdorong untuk belajar lebih baik, dan mempengaruhi siswa sehingga pada diri siswa timbul dorongan untuk belajar, sehingga diperoleh pengertian, pengetahuan, sikap dan penguasaan kecakapan, agar lebih dapat mengatasi kesulitan-kesulitan.

Sedangkan pembelajaran kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan, mengimajinasikan,melakukan inovasi, dan melakukan hal-hal yang kartistik lainnya. Kreatifitas adalah sebagai kemampuan (berdasarkan data dan informasi yang tersedia) untuk memberikan gagasan-gagasan baru dengan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah,yang menekankan pada segi kuantitas, ketergantungan dan keragaman jawaban dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Pembelajaran kreatif penekanannya bagaimana guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran matematika

3

Page 4: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

ini mampu memfasilitasi proses belajar mengajar. Selain guru kreatif dalam variasi metode menngajar dan membuat alat peraga, siswa juga diajak dan diberi kesempatan untuk merancang/membuat sesuatu serta menuliskan ide atau gagasannya (Suhariyanto, 2006).

Pembelajaran matematika selain bertujuan yang menekankan pada penguasaan konsep, juga: 1) melatih cara berfikir dalam menarik kesimpulan, 2) mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan, 3) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan 4) mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan.

Sesuatu yang baru atau original merupakan komponen yang sangat penting di dalam menumbuhkan kreativitas. Guilford mengidentikkan atau mengistilahkan kreativitas dengan produksi divergen (divergent production) atau sering juga disebut berpikir divergen, dengan 4 komponen: 1) kelancaran (fluency), 2) fleksibilitas (flexibility), 3) keaslian (originality), dan 4) elaborasi (elaboration). Williams menambahkan aspek sikap afektif dalam komponen kreativitas, yaitu aspek keterbukaan (opened), rasa ingin tahu (curiosity), imajinasi (imagination), dan pengambilan risiko (risk-taking). Runco mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan yang melibatkan kemampuan berpikir divergen dan berpikir konvergen, pembuatan soal (problem finding), ekspresi diri, motivasi instrinsik, sikap mempertanyakan, dan kepercayaan diri. Torrance mengaitkan kreativitas dengan komitmen moral, kepercayaan diri, kemampuan melihat masalah dari sudut pandang berbeda, dan kemampuan menemukan solusi berbeda. Harris mengaitkan kreativitas dengan kemampuan, sikap, dan proses: 1) kreativitas sebagai kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru dengan cara mengkombinasikan, mengubah, atau mengaplikasikan ulang ide-ide yang sudah ada (kemampuan), 2) kemauan untuk menerima perubahan atau sesuatu yang baru (sikap), dan 3) manusia kreatif senantiasa bekerja keras dan terus menerus membuktikan ide-ide kreatifnya (proses) (Syaiful, 2009).

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal ada berbagai model yang sementara ini penulis anggap sebagai pembelajaran yang kreatif. Dalam praktiknya, guru harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran kreatif adalah, memulai pelajaran dengan sesuatu yang memotivasi dan menantang, dengan permainan dan cerita sejarah para ilmuan matematika, kemudian isilah pelajaran dengan variasi metode, penggunaan alat peraga matematika. Tutuplah pelajaran matematika dengan refleksi maupun pertanyaan-pertanyaan yang probing-prompting.

4

Perhatikan gambar di samping, ada berapa tongkat yang anda lihat?

Page 5: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

A B C P Q R

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

C. Beberapa Pembelajaran Kreatif dalam Matematika

1. CTL

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkrit, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Tujuh indikator pembelajarn kontekstual, yaitu: a) modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), b) questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), c) learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), d) inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), e) constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), f) reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), g) authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara) (Suherman, 2004).

Contoh untuk inkuiri: Siswa dihadapkan pada tiga buah kerucut yang diberi label A, B, dan C. Panjang jari-jari ketiga kerucut tersebut sama tetapi tingginya berbeda. Tinggi kerucut B dan C masing-masing adalah 2 dan 3 kali tinggi kerucut A. Sedangkan untuk kerucut yang diberi label P, Q, dan R yang panjang jari-jarinya berbeda, dengan tinggi sama. Jari-jari kerucut Q dan R masing-masing adalah 2 dan 3 kali jari-jari kerucut P.

Apakah ada hubungan antara volum kerucut-kerucut tersebut?

2. RME

Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna. Menurut Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika

Realistic Mathematics Education (RME) pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai

5

Page 6: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.

RME dikembangkan dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan matematika vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabangan matematika).

Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

Contoh:Seorang anak yang belum masuk SD disuruh oleh ibunya untuk membeli gula pasir

dan minyak goreng, si anak tadi tidak keliru berapa uang kembaliannya, padahal ia belum belajar matematika. Serupa dengan kisah seorang nenek yang menjual sayur di kios kecilnya, ia tidak pernah salah dengan transaksinya, begitu pula dalam hal menghitung keuntungan penjualannya. Seorang anak ataupun nenek tadi tidak pernah mengalami pembelajaran matematika secara formal, tetapi lingkungan sebagai konteks yang mengajari mereka. Ironinya, ketika si anak masuk sekolah formal (SD), kemudian gurunya menyajikan soal “Budi mempunyai uang Rp 20.000,- dia membeli buku seharga Rp 2.750,- pensil Rp 1.500,- penggaris Rp 2.300,- dan jangka Rp 2.100,-“ siswa begitu sulit untuk menghitung kembalian uang Budi. Nampak bahwa konteks matematika yang begitu akrab dengan anak, akan berubah sulit ketika hadir di dalam kelas-kelas formal.

Ketika pertama kali memperkenalkan bilangan, mulailah dengan hal-hal yang akrab dengan realitas anak, misalnya hidung menunjukkan bilangan 1, mata menunjukkan 2, jari tangan menunjukkan 5, roda bajai yang menunjukkan 3, ban mobil yang menunjukkan 4, dan sebaginya. Itulah matematika, hadirkan dalam konteks kehidupan anak.

Ketika menjelaskan konsep pengurangan, kita dapat menggunakan balon yang sengaja dipecahkan. Misalnya gambar lima balon kemudian pecah satu balon di samping mengilustrasikan 5 – 1 = 4.

6

Page 7: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

Sedangkan untuk menunjukkan bahwa sesuatu lebih besar dari yang lainnya, misalnya antara buah jeruk dengan bola sepak, cukup memanfaatkan dua buah penggaris yang ditempelkan pada permukaan jeruk dan bola (seperti konsep garis singgung persekutuan dua lingkaran). Sehingga tanda kurang dari “ < ” dapat diperkenalkan pada murid SD.

Mana yang lebih panjang antara jari telunjuk dengan jempol? Siswa SD akan mengangkat tangannnya dan melakukan seperti gambar di samping, ia akan mengatakan bahwa jari telunjuk lebih panjang dari jempol. Minta mereka mengukur panjang jari telunjuk dan jempolnya, misalnya didapat panjang telunjuk = 6 cm dan jempol = 5 cm, sehingga kesimpulannya 6 > 5.

Untuk konsep lebih banyak siswa SD dapat diperkenalkan melalui pasangan kaos kaki dengan sepatu.

Hubungkan (padankan) saja kaos kaki dengan sepatu melalui garis, ternyata ada satu kaos kaki yang tidak mempunyai pasangan sepatu, jadi kaos kaki lebih banyak dari sepatu. Banyak kaos kaki adalah 7 dan sepatu sebanyak 6, sehingga 7 lebih banyak dari 6, 7 lebih dari 6, dengan simbol dituliskan bahwa 7 > 6.

3. PBL

Problem Based Learning (PBL) hadir mengingat kehidupan manusia adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa maupun untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi.  Kondisi yang harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal. Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri (Suherman, 2004).

7

Page 8: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

Contoh:Sebuah perusahaan ban mengeluarkan aturan bahwa setiap pemakaian ban yang

Sebuah perusahaan ban mengeluarkan aturan bahwa setiap pemakaian ban yang diproduksinya harus diganti setelah ban tersebut melakukan dua juta putaran. Bagaimana seorang pengendara mengetahui bahwa ban tersebut sudah waktunya untuk diganti?

Penyelesaian Kalau memandang masalah ban sebagai sumber belajar, maka kita dapat

menyelesaikannya secara langsung dengan menggelindingkan ban tersebut, kemudian diukur panjang satu putaran ban. Misalnya 1 putaran ban = 1,4 meter, sehingga

2 juta putaran = 2,8 juta meter = 2800 km

Jadi pada saat speedometer menunjukkan angka 02800 maka ban sudah harus diganti.

Kalau dipandang sebagai terapan belajar maka kita memanfaatkan konsep keliling lingkaran, yaitu K = πd, (d: diameter ban, yang bias diukur panjangnya dengan penggaris). Mengingat konsep keliling setara dengan satu putaran roda, selanjutnya bisa diketahui kapan ban harus diganti.

4. Problem Posing

Sebuah pemecahan masalah dengan  melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana sehingga dapat dengan mudah dipahami. Sintaksnya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, minimalisasi tulisan-hitungan, cari alternatif, menyusun soal-pertanyaan. Perumusan atau pembentukan soal dari situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, saat, atau setelah pecahan suatu masalah. Sehubungan dengan hal ini Silver dalam Surtini (2003) memberikan istilah problem posing diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif yang berbeda, yaitu: 1) presolution posing, yaitu siswa membuat soal dari situasi yang diadakan, 2) within solution posing, siswa merumuskan ulang soal yang telah diselesaikan, dan 3) post solution posing, yaitu siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru.

Contoh: Perhatikan gambar berikut:

8

Page 9: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA persegipanjang yang

kelilingnya 40 cm

persegi semula yangbelum diketahui ukurannya

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

5. Open-Ended

Poppy (2003) menyatakan bahwa salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang lebih berorientasi pada aktivitas serta kreativitas siswa yaitu pendekatan open-ended. Hal ini didasari oleh pendapat Shimada yang menyatakan bahwa pendekatan open-ended adalah pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki metode atau penyelesaian yang benar lebih dari satu, sehingga dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengetahuan/pengalaman menemukan, mengenali, dan memecahkan masalah dengan beberapa teknik.

Pembelajaran dengan masalah terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk untuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjutnya siswa juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterbukaan, dan ragam berpikir.

Sajian masalah haruslah kontekstual, kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, dan tabel), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitakkan dengan materi selanjutnya, siapkan rencana bimbingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri). Sintaksnya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat respon siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

Contoh soal:Sebuah ubin berbentuk persegi dipotong secara vertikal, sehingga diperoleh ubin berbentuk persegipanjang yang kelilingnya 40 cm.

9

Page 10: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

11 banyaknya 1 buah

14

banyaknya 4 buah

uah

4

5

l persegi

p persegi

… …

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

Tentukan luas ubin semula.

6. Benda Konkrit

Karton berbentuk persegi dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan berpikir kreatif siswa, instruksikan kepada siswa untuk membagi karton tersebut menjadi empat bagian yang sama, seperti:

7. Discovery

Suatu pendekatan dalam belajar dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi objek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan (Suherman, 2004).

Contoh: Bagaimana memperoleh rumus Luas SegiempatPersegi satuan disusun sehingga membentuk persegipanjang, kemudian dihitung

banyaknya secara keseluruhan maupun berdasarkan sisi-sisinya. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar-gambar berikut:

Perhatikan persegipanjang berikut:panjang = 5 persegilebar = 4 persegibanyaknya persegi = 20 ; (luas persegipanjang) 20 = 4 5

Jadi kalau ada persegipanjang berukuran panjang (p persegi) dan lebar (l persegi), berikut:

10

Page 11: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

Maka luasnya adalah L = p l.

Proses seperti di atas merupakan bentuk penalaran induktif untuk memperoleh rumus luas persegipanjang. Sementara untuk menentukan luas segiempat lainnya (jajargenjang, belah ketupat, layang-layang, dan trapesium) dengan memanfaatkan rumus luas persegipanjang, yang dibantu oleh alat peraga model-model segiempat yang dapat dipotong-potong sehingga berdasarkan potongan yang ada dikonstruksi membentuk persegipanjang, kemudian konsep kekekalan luas (Piaget) digunakan di sini. Berikut contoh hasilnya. Jajargenjang

L = a t

Belah ketupat

L = 12

d1× d2

Layang-layang

L = 12

d1× d2

Trapesium

L = 12(a+b)×t

Tampilan-tampilan tersebut di atas dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga model luas bangun segiempat yang dapat dibongkar pasang oleh peserta didik. Namun bagi sekolah yang mengalami keterbatasan alat peraga, maka dapat menggambar maupun menggunting kertas.

11

Page 12: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

8. CPSCreative Problem Solving (CPS) merupakan variasi dari pembelajaran dengan

pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. CPS adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan ketrampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir (Pepkin, 2004). Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.

Contoh: Pada suatu pantai terdapat 10 binatang yaitu berupa kura-kura dan pinguin. Jika banyaknya kaki binantang tersebut adalah 32, maka tentukan banyaknya kura-kura dan pinguin.

Kalau cara prosedural, kerjanya dengan menggunakan SPLDV ataupun tabel. Tetapi secara kreatif dapat dilakukan sebagai berikut: Gambarkan 10 binantang tersebut dengan bentuk geometris berikut

Berikan kaki masing-masing dua, sehingga banyaknya ada 20 kaki.

Mengingat banyaknya keseluruhan kaki ada 32, maka tinggal 12 kaki lagi yang perlu dibagikan kepada binatang-binatang tersebut.

Sehingga banyaknya binatang berkaki empat (kura-kura) adalah 6 dan penguin adalah 4.

D. Penutup

Kreativitas dalam pembelajaran matematika dapat diwujudkan dengan penguasaan konsep matematika, penguasaan ragam metode, dan penggunaan ragam media. Meminjam istilah Einstein, “kalau ingin maju, harus berani melakukan hal yang baru, berani melakukan hal baru, harus siap disalahkan” Orang-orang yang kreatif, tidak dapat dibendung oleh keadaan, kekuasaan, maupun kekuatan apa pun. Kreativitas bagaikan air bah yang akan siap menerjang dinding-dinding konvensional (status quo) pembelajaran.

Untuk menjadi guru yang dapat membelajarkan matematika secara kreatif, tentu menggudangkan ilmu menjadi keharusan bagi mereka yang telah memilih untuk menjadi guru. Jika anda bisa mengajarlah, namun jika anda tidak bisa, maka belajarlah. Tidak elok rasanya seorang guru ataupun calon guru yang akan mengajarkan matematika, sementara keilmuan matematika itu sendiri tidak mereka kuasai dengan baik. Mereka lemah terhadap penguasaan berbagai strategi pembelajaran. Hal ini sangat berbahaya, karena salah mengajar sama saja dengan mengajarkan kesalahan.

12

Page 13: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

REFERENSI

Asyhadi, A. 2005. Pengenalan Laboratorium Matematika di Sekolah. IHT Media Bagi Staf LPMP Pengelola Laboratorium Matematika Tanggal 5 s.d. 11 September 2005 di PPPG Matematika Yogyakarta.

Dahlan, JA. (2010). Tugas Creative Mind Map dalam Pembelajaran Matematika. Makalah SPS UPI.

Gozali, S. (2007). Senang Belajar dan Mengajar Matematika melalui Lesson Study. Bandung: Prosiding Seminar Nasional, 8 Desember 2007 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Gravemeijer. (1994). Developing Realistics Mathematics Education. Freudenthal Institute. Utrecht.

Hasanudin, D. (2007). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Implementasi Lesson Study. Bandung: Prosiding Seminar Nasional, 8 Desember 2007 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Maier, H. 1985. Kompendium Didaktik Matematika. Bandung: CV Remaja Karya.Pepkin K. L. (2004). Creative Problem Solving In Math. Tersedia di:

http://www.uh.edu/hti/cu/2004/v02/04.Poppy, RY. 2003. Pendekatan Open-ended: Salah satu Alternatif Model Pembelajaran

Matematika yang Berorientasi Pada Kompetensi Siswa. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yogyakarta, tanggal 28 – 29 Maret 2003.

Puskur, (2007). Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Balitbang Depdiknas.

Rogers, EM. (1983). Diffusion of Innovation. USA: The Free Prees.Ruseffendi, ET. 2006. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.Sobel, MA. dan Evan M. (2004). Mengajar Matematika. Ed. 3. Jakarta: Erlangga.Suhariyanto. (2006). Membuat Siswa Senang Matematika. SMPN 4 Tulang Bawang Tengah.Suherman, E. 2004. Model-Model Pembelajaran Matematika Berorientasi Kompetensi Siswa.

Makalah disajikan dalam acara Diklat Pembelajaran bagi Guru-guru Pengurus MGMP Matematika di LPMP Jawa Barat tanggal 10 Desember 2004: Tidak Diterbitkan.

__________. 2010. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya. http://educare.e-fkipunla.net

Sulastri, S. dan Dahlan, JA. 2007. Penerapan Model Pembelajaran Quantum Teaching untuk Mengurangi Kecemasan Matematika Siswa pada Topik Bangun Datar. Bandung: Prosiding Seminar Nasional, 8 Desember 2007 Jurdik Matematika FPMIPA UPI.

Surtini, S., Rahadjo, S. dan Badjuri. (2003). Implementasi Problem Posing pada Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Cacah Siswa Kelas IV SD di Salatiga. Lembaga Penelitian UT.

Syaiful. (2009). Berfikir Kreatif Matematika dan Pemecahan Masalah. Makalah SPS UPI.

Herman, T. (2007) Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP. Bandung: Prosiding Seminar Nasional, 8 Desember 2007 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Turmudi. 2008. Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (berparadigma Eksploratif dan Investigasi). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

13

Page 14: headymathic.files.wordpress.com · Web viewKesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri

komunitas matematika kreatif UHAMKA

Kebon Jeruk, 11 Juni 2011

Van den Heuvel-Panhuizen. (2000). Mathematics Education in the Netherlands a Guided Tour. http://www.fi.uu.nl/en/indexpulicaties.html.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran: Pelengkap untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Bandung: Diktat Perkuliahan UPI. Belum diterbitkan.

14