22
1. Latar belakang Negara Indonesia termasuk dalam Negara yang sedang berkembang, masalah yang selalu dihadapi oleh Negara yang sedang berkembang yaitu masalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pandapatan, antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line).Masalah dalam ketimpangan pendapatan terjadi akibat dari adanya distribusi pendapatan yang tidak merata di sejumlah wilayah di suatu negara dan masalah dalam distribusi pendapatan ini mengandung dua aspek. Aspek pertama adalah bagaimana menaikkan kesejahteraan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan aspek yang kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar penduduk atau rumah tangga.Keberhasilan mengatasi aspek yang pertama dapat dilihat dari penurunan presentase penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan.Sementara keberhasilan memperbaiki distribusi pendapatan secara menyeluruh adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan miskin lebih besar dari laju pertambahan pendapatan golongan mampu/kaya.Masalah ketimpangan di Indonesia karena 1

nurulaini27.files.wordpress.com  · Web viewLatar belakang. Negara Indonesia termasuk dalam Negara yang sedang berkembang, masalah yang selalu dihadapi oleh Negara yang sedang berkembang

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1. Latar belakang

Negara Indonesia termasuk dalam Negara yang sedang berkembang, masalah yang selalu dihadapi oleh Negara yang sedang berkembang yaitu masalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pandapatan, antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line).Masalah dalam ketimpangan pendapatan terjadi akibat dari adanya distribusi pendapatan yang tidak merata di sejumlah wilayah di suatu negara dan masalah dalam distribusi pendapatan ini mengandung dua aspek.

Aspek pertama adalah bagaimana menaikkan kesejahteraan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan aspek yang kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar penduduk atau rumah tangga.Keberhasilan mengatasi aspek yang pertama dapat dilihat dari penurunan presentase penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan.Sementara keberhasilan memperbaiki distribusi pendapatan secara menyeluruh adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan miskin lebih besar dari laju pertambahan pendapatan golongan mampu/kaya.Masalah ketimpangan di Indonesia karena banyaknya wilayah-wilayah di Indonesia yang mengalami ketimpangan dalam distribusi pendapatan.Ketidakmerataan distribusi pendapatan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.Diberbagai provinsi di Indonesia selalu ada beberapa wilayahnya yang mengalami masalah dalam ketimpangan distribusi pendapatan.

Provinsi Jawa timur sendiri dalam perekonomiannya memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih unggul. Hal ini merupakan bukti bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki potensi yang besar dan mengalami perbaikan dari tahun ke tahun.Namun dengan keunggulannya dalam pertumbuhan ekonomi yang sangat baik, Provinsi Jawa Timur bukannya tanpa masalah, ternyata provinsi ini memiliki masalah juga dalam hal ketimpangan pembangunan.Masalah ketimpangan di Jawa Timur dapat dilihat dari terdapatnya perbandingan yang jauh antara Kabupaten/Kota Jawa Timur dengan PDRB per kapita diatas rata-rata dengan PDRB per kapita dibawah rata-rata Jawa Timur.

Tabel 1 PDRBPerKapitaKabupaten/KotaProvinsiJawaTimurTahun2013(Rupiah)

No

Kab/Kota

Nilai

No

Kab/Kota

Nilai

1

KotaKediri

98.090.602,24

20

Kab.Situbondo

6.453.027,795

2

KotaSurabaya

38.674.715,72

21

Kab.Lamongan

6.396.147,337

3

KotaMalang

20.643.897,33

22

Kab.Magetan

6.298.747,808

4

Kab.Gresik

16.960.016,71

23

Kab.Jombang

6.252.132,684

5

Kab.Sidoarjo

15.650.475,67

24

Kab.Nganjuk

6.203.692,474

6

KotaMadiun

15.164.620,02

25

Kab.Blitar

6.042.277,327

7

KotaMojokerto

12.088.729,22

26

Kab.Kediri

6.036.640,819

8

KotaProbolinggo

10.988.967,35

27

Kab.Sumenep

5.955.340,465

9

Kab.Tulungagung

9.445.523,399

28

Kab.Jember

5.948.560,309

10

KotaBatu

9.237.597,368

29

Kab.Madiun

5.507.398,297

11

Kab.Mojokerto

9.164.037,321

30

Kab.Trenggalek

5.406.324,842

12

Kab.Tuban

9.048.398,568

31

Kab.Pasuruan

5.354.977,134

13

KotaBlitar

8.815.125,79

32

Kab.Bondowoso

5.022.077,071

14

Kab.Banyuwangi

8.537.740,066

33

Kab.Ponorogo

4.609.591,557

15

Kab.Bojonegoro

8.045.022,937

34

Kab.Ngawi

4.589.052,617

16

Kab.Lumajang

7.493.927,485

35

Kab.Bangkalan

4.418.976,221

17

Kab.Probolinggo

7.251.177,337

36

Kab.Sampang

3.787.005,514

18

Kab.Malang

7.135.941,835

37

Kab.Pacitan

3.410.594,342

19

KotaPasuruan

7.005.213,927

38

Kab.Pamekasan

3.150.932,624

Rata-Rata

11.060.137,57

Sumber:BPSProvinsiJawaTimur,2014

Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa ketimpangan antar kabupaten/kota di jawa timur sangat berbeda jauh antara 7 wilayah yang pendapatannya tinggi dengan 31 wilayah lain yang berpendapatan rendah. Dengan adanya hal ini dapat dianalisis faktor apa saja yang menyebabkan adanya ketimpangan antar kebupaten/kota di Jawa Timur.

Tabel 2 PDRBPer kapita Kota Surabaya & Kab BangkalanTahun2013(Rupiah)

KotaSurabaya

38.674.715,72

Kab.BangkalanBangkalan

4.418.976,221

Sumber:BPSProvinsiJawaTimur,2014

Pada tabel 2, kita bisa melihat bahwa PDRB antara kota Surabaya dengan kabupaten bangkalan mengalami perbandingan pendapatan yang jauh berbeda sehinga terjadi ketimpangan antar kedua wilayah tersebut, padahal jarak antar kedua wilayah tersebut tidak terlalu jauh karena sudah dibangunkannya jembatan suramadu sebagai jembatan penghubung wilayah Surabaya dengan Madura.Ketimpangan yang terjadi antar kedua wilayah tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ketimpangan tersebut Menurut Sjafrizal(2012) bisa dilihat dari perbedaaan kandungan sumberdaya alam, perbedaan kondisi demografis, kurang lancarnya mobilitas barang& jasa, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah serta adanya alokasi dana pembangunan antar wilayah. Selain faktor-faktor tersebut, pengaruh selerah masyarakat juga bisa mempengaruhi ketimpangan antara kota surabaya dengan kabupaten bangkalan.

Selera tersebut bisa berpengaruh jika terdapat mayarakat yang bekerja di wilayah bangkalan dengan memperoleh penghasilan dari kabupaten bangkalan atau memberikan kontribusi ketenagakerjaan di wilayah bangkalannamundalam mengeluarkan pendapatanya banyak masyarakat memilih mengkontribusikan pendapatanya ke Kota Surabaya. Adanya hal ini menjadikan ketimpangan pendapatan dimana dengan kunjungan selera yang cukup tinggi membuat banyak masyarakat kabupaten bangkalan yang lebih memilih berniat pergi ke Surabaya dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga dapat membantu menambah pendapatan kota Surabaya dan tidak menambah pendapatan kabupaten bangkalan.

Masyarakat banyak yang mempunyai selera tinggi untuk mengunjungi dan memaksimalkan kepuasanya dengan berkunjung ke Kota Surabayakarena setiap masyarakat pasti mempunyai selera yang berbeda-beda dalam setiap hal, seperti halnya makanan, pakaian, property dsb. Selera tersebut digunakan konsumen untuk mengetahui tingkat kepuasan (utilitas) yang dinikmati, dengan adanya pasar persaingan sempurna ini menandakan bahwa setiap konsumen memiliki tingkat utilitas yang berbeda-beda. Harga murah, model terbaru, substitusi yang mudah dicari sehingga akan menambah nilai plus untuk selera masyarakat.

Gambaran bahwa adanya selera bisa mempengaruhi ketimpangan misalkan masyarakat tersebut lebih memilih membeli pakaian di surabaya. Maka secara otomatis konsumen tersebut memberikan pendapatan terhadap kota surabaya. Ataupun masalah ini bisa sebaliknya, apabila konsumen asal surabaya yang memiliki selera di madura, seperti membeli bebek sinjai, maka konsumen tersebut akan memberikan kontribusi terhadap kabupaten bangkalan

Seperti yang kita ketahui bahwa pasar terjadi akibat adanya permintaan dan penawaran, kabupaten bangkalan dengan kota surabaya pastinya terdapat perbedaan pasar. Pasar yang terdapat di bangkalan umumnya mempunyai barang subtitusi yang kurang memadai jika di bandingkan dengan surabaya. Sehingga dalam penelitian proposal selera masyarakat dan kondisi pasar bisa berpengaruh terhadap ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

2. Rumuan Masalah

Ketimpangan ditribusi pendapatan yang terjadi antara kota Surabaya dengan kabupaten Bangkalan terlihat dari tabel 1 PDRB perkapita Kabupaten/KotaProvinsiJawaTimurTahun2013. Dimana adanya perbedaan pendapatan yang mencolok padahal letak lokasi kedua wilayah tersebut tidak terlalu jauh dengan adanya jembatan suramadu yang menghubungkan antara Surabaya dengan Madura khususnya membuat kota Surabaya lebih dekat dengan kabupaten Bangkalan.

Ketimpangan yang terjadi antar kedua wilayah tersebut bisa dilihat dari beberapa faktor menurut Sjafrizal (2012), namun selain faktor tersebut tingginya selera dan keinginan berkunjung masyarakat Bangkalan ke Kota Surabaya untuk memenuhi kebutuhan dan memaksimumkan pendapatanya dapat mempengaruhi kontribusi pendapatan antar kedua wilayah tersebut dan adanya kondisi pasar yang berbeda antara kedua wilayah tersebut juga bisa memberi pengaruh terhadap pendapatan sehingga nantinya juga akan berdampak pada ketimpangan distribusi pendapatan.

Berdasarkan Uraian di atas maka rumusan permasalahan penelitian yang relevan adalah :

1. Bagaimana selera masyarakat dapat mempengaruhi ketimpangan antara kota Surabaya dengan kabupaten Bangkalan?

2. Bagaimana perbedaan kondisi pasar dapat mempengaruhi ketimpangan antara kota Surabaya dengan kabupaten Bangkalan?

3. Landasan Teori

Menurut hipotesa Neo-Klasik, dalam proses pembangunan awalnya ketimpangan akan meningkat, proses ini akan terjadi hingga ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah mencapai titik puncak dan proses pembangunan masih terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan tersebut akan menurun (Syafrizal, 2008).

Ketimpangan antar wilayah dalam kenyataannya tidak dapat dihilangkan dalam proses pembangunan suatu daerah. Dengan adanya ketimpangan, maka akan mendorong daerah yang terbelakang untuk dapat berusaha meningkatkan kualitas pembangunannya agar tidak tertinggal dengan daerah yang sudah maju. Selain dampak positif dari adanya ketimpangan dalam pembangunan, adapun dampak negatif yangditimbulkan yaitu dengan semakin tingginya ketimpangan antar wilayah maka akan semakin terjadi inefisiensi ekonomi, sehingga melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dianggap tidaklah adil (Todaro, 2004).

a. Teori Permintaan

Permintaan secara sederhana dapat dimengerti sebagai suatu keinginan konsumen membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu Dalam berbagai literatur mikroekonomi misalnya Libbasky (1991), Turner (1991), Salvatore (1993), Green (1996), Mankiw (2006), Samuelson dan Nordhaus (2010) memandang permintaan sebagai jumlah dari suatu barang tertentu yang hendak dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga dalam kurun waktu tertentu. Apabila faktor lainnya tetap, Penentu bagi setiap pembeli untuk membeli barang atau jasa terletak pada harga barang yang bersangkutan.Harga merupakan sinyal utama yang dipakai konsumen untuk mengambil keputusan pembelian suatu barang dan jasa termasuk di dalamnya kemauan membayar.Jumlah barang yang dibeli masyarakat tergantung pada harganya.Semakin tinggi harga dari suatu barang, maka semakin sedikit unit barang tersebut yang dibeli oleh konsumen.Sebaliknya, semakinrendah harga barang maka semakin banyak jumlah barang yang dibeli.Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan pasti antara harga pasar dari suatu barang dengan kuantitas barang tersebut.

Permintaan akan suatu barang dipasar akan terjadi apabila konsumen mempunyai keinginan (willing) dan kemampuan (ability) untuk membeli, pada tahap konsumen hanya memiliki keinginan atau kemampuan saja maka permintaan suatu barang belum terjadi, kedua syarat willing dan ability harus ada untuk terjadinya permintaan (Turner, 1991). Lebih lanjut Turner mengatakan kendala yang membatasi terjadinya permintaan yaitu daya beli yang rendah atau harga barang dan jasa yang mahal.Green (1996) dan Salvatore (1993) menghubungkan permintaan terhadap suatu jenis barang/jasa dengan faktor harga barang tersebut dan faktor-faktor lainnya seperti:

1. Pendapatan: Kenaikan pendapatan biasanya akan mengakibatkan kenaikan permintaan.

2. Selera & preferensi:Keterbatasan teori yang mengkaji tentang perubahan selera mempersulit dalam mengukur selera dan preferensi konsumen, sehingga diasumsikan selera konsumen konstan.

3. Harga barang-barang yang berkaitan (substitusi dan komplemen) Merujuk kepada barang apapun yang perubahan harganya akan mempengaruhi permintaan.

4. Perubahan dugaan tentang harga dimasa depan, perkiraan akan terjadi penurunan harga dimasa depan akan meningkatkan permintaan barang tersebut.

5. Penduduk: Kenaikan jumlah penduduk dalam suatu perekonomian (dengan asumsi pendapatan perkapita konstan) akan meningkatkan permintaan

Lebih lanjut, fungsi permintaan dapat dirumuskan sebagai berikut (Salvatore, 1993)

Qx = F (Px, Py, M, T, E)

Dimana: Qx= Kuantitas barang X yang diminta

Px= Harga barang X yang dibeli

Py= Harga beberapa barang lain yang memiliki dampak atas permintaanbarang X.

M= Pendapatan nominal konsumen

T= Selera Konsumen

E= Dugaan konsumen akan masa depan

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan jumlah suatu komoditi yang diminta oleh rumah tangga, dalam konsep ini yaitu, (Lipsey dkk, 1995): 1.Jumlah yang diminta merupakan kuantitas yang diinginkan ini menunjukkan berapa banyak yang ingin dibeli oleh rumah tangga atas dasar harga komoditi itu, harga-harga lain, penghasilan dan selera, 2.Apa yang diinginkan tidak merupakan harapan kosong tetapi merupakan permintaan efektif, permintaan efektif yaitu z : pendapatan yang dibelanjakan dan harga-harga yang diinginkan.

Selanjutnya Ernes Engel (dalam Boediono dan Mc Cawley;1984) mengatakan tingkat konsumsi untuk suatu barang dari suatu rumah tangga dipengaruhi oleh: penghasilan rumah tangga, jumlah anggota keluarga, komposisi serta jenis kelamin, letak geografis, asal usul dan agama dari anggota keluarga, jumlah asset lancar serta harga dari barang itu. Mankiw (2006) menggolongkan jenis barang ke dalam empat golongan, yakni barang normal, inferor, subtitusi dan komplementer. Barang normal adalah barang yang jumlah permintaannya akan naik ketika pendapatan naik. Sedangkan barang inferior adalah barang yang jumlah permintaannya akan naik ketika pendapatan turun. Barang subtitusi (pengganti) merupakan hubungan dua barang atau lebih, ketika suatu barang mengalami penurunan harga, maka permintaan permintaan barang tersebut akan naik dan permintaan barang lain (pengganti) akan menurun. Sedangkan barang komplementer (pelengkap) adalah hubungan suatu pasangan barang yang jika salah satu mengalami peningkatan permintaan, maka permintaan barang lain akan meningkat juga.

b. Hukum Engel

Dalam ilmu ekonomi, hukum Engel menyatakan bahwa saat pendapatan meningkat, proporsi pendapatan yang dihabiskan untuk membeli makanan berkurang, bahkan jika pengeluaran aktual untuk makanan meningkat. Dalam kata lain, elastisitas pendapatan makanan selalu di antara 0 dan 1 Hukum ini dinamakan dari statistikawan Ernst Engel (1821–1896). Hukum Engel tidak menunjukkan bahwa pengeluaran makanan tetap tak berubah saat pendapatan meningkat: hukum ini menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran konsumen untuk produk makanan (dalam persenan) meningkat lebih kecil daripada peningkatan pendapatan. Salah satu penerapan hukum Engel adalah untuk melihat standar hidup suatu negara.Apabila "koefisien Engel" meningkat, maka negara ini lebih miskin, dan jika koefisiennya lebih kecil maka negara tersebut punya standar hidup yang tinggi.

Hubungan antara hukum Engel, perkembangan teknologi, dan proses perubahan struktural juga penting untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi jangka panjang seperti yang diusulkan oleh Paolo Leon(1967)dan Luigi Pasinetti(1981).

Pemikir komunis mengutip koefisien Engel sebagai pengukuran kuantitatif penderitaan kelas buruh. Beberapa pemikir Marxis menambah definisi koefisien Engel menjadi persentase pendapatan yang dihabiskan untuk membeli makanan, rumah, dan pakaian, atau dalam kata lain persentase pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan tetap hidup.

Di bawah merupakan penjelasan tentang teori Engel, yaitu sebuah generalisasi paling penting tentang perilaku konsumen adalah bahwa, pendapatan yang digunakan untuk belanja makanan cenderung menurun jika pendapatannya meningkat.Penemuan ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ekonom rusia, Ernest Engel dan dikenal sebagai Hukum Engel.sebagai pelopor dalam penelitian tentang pengeluaran rumah tangga. Penelitian Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan Hukum Engel. Ke empat butir kesimpulanya yang dirumuskan tersebut adalah:

1. Jika Pendapatan meningkat, maka persentasi pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil.

2. Persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.

3. Persentase pengeluaran konsumsi untuk pengeluaran rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.

c. Kurva Lorenz

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan – lapisan penduduk.Kurva Lorenz merupakan metode yang lazim digunakan untuk menganalisis statistik pendapatan perorangan.Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tingkatnya melambangkan presentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi dalamnya mewakili presentase kumulatif penduduk.Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut.Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakinn jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata (Lincolin Arsyad, 1997).

Gambar diatas menunjukan mekanisme kerja kurva tersebut.Jumah penerima pendapatan dinyatakan pada sumbu horizontal, tidak dalam arti absolute melainkan dalam presentase kumulatif.Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi terendah (penduduk yang paling miskin) yang jumlahnya meliputi 20% dari jumlah total penduduk. Pada titik 60 teradapat 60% kelompok bawah, demikian seterusnya sampai pada sumbu paling ujung yang meliputi 100% atau seluruh populasi atau jumlah penduduk. Sedangkan sumbu vertikal menyatakan bahwa dari pendapatan total yang diminta oleh masing–masing presentase kelompok penduduk tersebut. Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100%, sehingga itu berarti bahwa kedua sumbu (vertikal dan horizontal) sama panjangnya. Gambar ini secara keseluruhan berbentuk bujur sangkar, dan dibelah oleh sebuah garis diagonal yang ditarik dari titik nol pada sudut kiri bawah (titik asal) menuju ke sudut kanan atas. Pada setiap titik yang terdapat pada garis diagonal itu, presentase pendapatan yang diterima persis sama dengan presentase jumlah penerimaannya misalnya, titik tengah garis diagonal melambangkan 50% pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50% dari jumlah penduduk. Dengan kata lain garis diagonal pada gambar tersebut melambangkan “peranan sempurna” (perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan. Masing–masing pendapatan kelompok penerimaan pendapatan menerima presentase pendapatan total yang sama besarnya contohnya, 40% kelompok terbawah akan menerima 40% dari pendapatan total, sedangkan 5% kelompok teratas hanya menerima 5% dari pendapatan total. Kurva Lorenz memperhatikan hubungan kuantitatif aktual antara presentase penerima pendapatan dengan prosentase pendapatan total yang benar – benar mereka terima selama misalnya, satu tahun. Gambar tersebut diatas membuat kurva Lorenz yang menggunakan data desil (populasi terbagi menjadi sepuluh kelompok) yang terbuat dalam tabel diatas. Dalam kalimat lain, sumbu horizontal dan sumbu vertikaldibagi menjadi sepuluh bagian yang sama, sesuai dengan sepuluh kelompok desil. Titik A menunjukan bahwa 20% kelompok terbawah (termiskin) dari total penduduk hanya menerima 10% pendapatan total, titik B menunjukan bahwa 40% kelompok terbawah menerima hanya menerima 22% dari pendaptan total, demikian seterusna bagi masing – masing 4 kelompok lainya. Perhatikan bahwa titik tengah, yang menunjukan 50% penduduk hanya menerima 30% dari pendapatan total. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis pemerataan sempurna),maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya. Kasus ekstrim dari ketidakmerataan yang sempurna (yaitu, apabila hanya seorang saja yang tidak menerima pendapatan) akan diperhatikan oleh kurva Lorenz yang berhimpitan dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertikal disebelah kanan. Oleh karena itu tidak ada satu negara pun yang memperlihatkan pemerataan sempruna atau ketidaksamaan sempurna dalam distribusi pendapatannya, semua kurva Lorenz dari setiap negara akan ada di sebelah kanan garis diagonal seperti yang ditunjukan gambar diatas. Semakin parah tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan disuatu negara, maka bentuk kurva Lorenz-nya pun akan semakin melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah.

d.Teori Konsumsi

Teori Konsumsi adalah pengunaan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi. (Rosyidi, 2005) Konsumsi dalam istilah sehari hari sering diartikan sebagai pemenuhan akan makanan dan minuman. Konsumsi mempunyai pengertian yang lebih luas lagi yaitu barang dan jasa akhir yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.Barang dan jasa akhir yang dimaksud adalah barang dan jasa yang sudah siap dikonsumsi oleh konsumen.Barang konsumsi ini terdiri dari barang konsumsi sekali habis dan barang konsumsi yang dapat dipergunakan lebih dari satu kali.Menurut Penelitian Engel melahirkan empat butir kesimpulan (Nicholson, 2002), yang kemudian dikenal dengan Hukum Engel.Keempat butir kesimpulanya yang dirumuskan adalah (1) Jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil. (2) Persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan. (3) Persentase pengeluaran konsumsi untuk pengeluaran rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan. (4) Jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah, dan tabungan semakin meningkat.

e.Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan konsumsi

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen (Pindyck, 2009) diantaranya:

1. Preferensi Konsumen: Langkah pertama adalah menemukan cara yang praktis untuk mengambarkan alasan-alasan mengapa orang lebih suka satu barang dari pada banyak barang lain.

2. Keterbatasan Anggaran: Sudah pasti, konsumen juga mempertimbangkan harga oleh karena itu konsumen mempunyai keterbatasan pendapatan yang membatasi jumblah barang yangakan dibeli.

3. Pilihan-Pilihan Konsumen: Dengan mengetahui preferensi dan keterbatasan pendapatan konsumen dapat memilih untuk membeli kombinasi barang-barang yang memaksimalkan kepuasan. Kombinasi ini bergantung pada harga barang tersebut.

Teori Engel yang menyatakan bahwa: “Semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan” (Nicholson, 2002). Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dari persentase pengeluaran yang untuk bukan makanan. Artinya proporsi alokosi peengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan keluarga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapatan mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat, baik itu konsumsi barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa.Perilaku konsumen terhadap suatu barang tertentu dapat dianalisa melalui teori nilai guna (utility theory), yang membahas tentang kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh seseorang dari mengkonsumsikan barang-barang (Nicholson, 2002).Pada dasarnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan perilaku konsumen, yaitu pendekatan marginal utility dan pendekatan indifference. Pendekatan marginal utility bertitik tolak pada anggapan yang berarti bahwa kepuasan setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain. Dengan adanya teori pendekatan ini konsumen selalu berusaha mencapai kepuasan total yang maksimum. Sedangkan pendekatan indifference ini, pendekatan yang memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen bisa diukur. Karena barang-barang yang dikonsumsi mempunyai dan menghasilkan tingkat kepuasan yangsama. Anggapan yang diperlukan dalam pendekatan indifference ini adalah bahwa tingkat kepuasan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa menyatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah (Boediono, 1997). Perilaku konsumsi di atas berupaya untuk mencapai kepuasan maksimum yang hanya akan dibatasi oleh jumlah anggaran keuangan yang dimilikinya. Dengan kata lain konsumen dapat mengkonsumsi apa saja sepanjang anggarannya memadai untuk itu, serta konsumen cenderung menghabiskan anggarannya demi mengejar kepuasan tertinggi yang bisa dicapainya demi mengejar kepuasan maksimum. Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia sangat terbatas, hal ini mengakibatkan manusia dalam memenuhi setiap kebutuhannya akan berusaha memilih alternatif yang paling menguntukan dirinya. Lebih lanjut ia katakan bahwa timbulnya perilaku konsumen karena adanya keinginan meperoleh kepuasan yang maksimal dengan berusaha mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak-banyaknya, tetapi mempunyai keterbatasan pendapatan.

f.Pasar Persaingan Sempurna

Pasar persaingan sempurna adalah suatu struktur pasar dimana terdapat banyak penjual dan pembeli dimana masing-masing tidak dapat mempengaruhi keadaan pasar.

Ciri-ciri pasar persaingan sempurna:

· Jumlah pembeli dan penjual banyak, sehingga masing-masing pembeli dan penjual secara sendiri-sendiri tidak mampu mempengaruhi harga pasar.

· Harga ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran dan tidak dapat diubah.

· Setiap penjual dan pembeli sebagai pengambil harga (price taker).

· Setiap perusahaan menghasilkan barang yang sama (Homogenous) menurut pandangan konsumen.

· Setiap perusahaan bebas keluar masuk pasar (free entry and exit)

· Sumber produksi bebas bergerak ke manapun.

· Pembeli dan penjual mempunyai pengetahuan yang sempurna terhadap pasar (perfect knowledge).

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, L.2010. Ekonomi Pmbangunan. Edisi kelima. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.

Fatmawati,agnes.2015.Analisis pengaruh variabel kredit investasi, angkatan kerja yang bekerja,modal manusia (pendidikan), pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan pembangunan antar wiayah di Provinsi Jawa Timur. Universitas Brawijaya : fakultas ekonomi dan bisnis.

Hakiki,firza mahardika.2015.ketimpangan distribusi pendapatan rumahtangga masyarakat perkotaan. Universitas Diponegoro : fakultas ekonomi dan bisnis.

Krinantya,narina.2014. faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan antar wilayah provinsi di Jawa Timur dan D.I.Yogyakarta: Universitas Diponegoro : fakultas ekonomi dan bisnis.

Ratnasari,gita.2014. Pengaruh distribusi dan pengaruh pendapatan terhadap kemiskinan indonesia. Universitas Gunadarma : fakultas ekonomi dan bisnis.

Retnosari,devi.2006.Analisis pengaruh ketipangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa barat: Institut Pertanian Bogor : Fakultas ekonomi dan manajemen.

Sjafrizal.2012.ekonomi wilayah dan perkotaan. jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.

Warda.____.Analisis ketimpangan pembagunan ekonomi antar wilayah utara dan selatan Provinsi Jawa Timur.

1