Upload
vohuong
View
215
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang
manusia maupun hewan (zoonosis). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
Leptospira yang merupakan bakteri aerob (termasuk golongan spirochaeta) yang
berbentuk spiral dan bergerak aktif. Leptospirosis merupakan zoonosis yang
paling banyak tersebar luas di dunia. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia, khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan
sub tropis yang memiliki curah hujan tinggi. Faktor iklim ditambah dengan
kondisi lingkungan buruk merupakan tempat yang baik bagi kelangsungan
hidup bakteri patogen sehingga memungkinkan lingkungan tersebut menjadi
tempat yang cocok untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri Leptospira.
Lingkungan optimal untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri Leptospira
ialah pada tempat yang lembab yaitu pada suhu sekitar 25°C, serta pH
mendekati netral (pH sekitar 7). Pada keadaan tersebut bakteri Leptospira dapat
tahan hidup sampai berminggu-minggu.
Menurut International Leptospirosis Society (ILS) Indonesia merupakan
negara peringkat 3 insiden leptospirosis di dunia untuk mortalitas, dengan
mortalitas mencapai 2,5%-16,45 %. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian
mencapai 56%. Penderita leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna
kuning (kerusakan jaringan hati), akan memiliki risiko kematian lebih tinggi. Di
2
beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3%-54% tergantung dari
sistem organ yang terinfeksi. Daerah persebaran penyakit leptospirosis di
Indonesia yaitu di daerah dataran rendah dan perkotaan seperti Pulau Jawa,
Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi
Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, sapi,
babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan lain-lain.
Leptospira hidup di ginjal dan air kemihnya. Manusia biasa terinfeksi bakteri
Leptospira karena kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin
atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri Leptospira.
Salah satu hewan yang dapat menjadi reservoir dari bakteri Leptospira
adalah tikus. Menurut survei yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi
Jawa Tengah yang dilakukan di Kabupaten Demak, Klaten dan Pati menemukan
beberapa spesies tikus yang menjadi reservoir bakteri Leptospira. Jenis tikus
yang diduga kuat menjadi reservoir bakteri Leptospira antara lain Rattus
tanezumi, Rattus norvegicus dan S. murinus.
Bakteri Leptospira yang masuk kedalam tubuh akan memperbanyak diri
terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan selaput otak. Kuman tersebut
dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Leptospira
hidup dengan baik didalam tubulus ginjal. Leptospira di dalam tubuh tikus,
dapat bertahan selama hewan tersebut hidup tanpa menyebabkan sakit dan
Leptospira akan dikeluarkan melalui urin dan mencemari lingkungan.
3
Penentuan adanya bakteri Leptospira pada reservoir atau tikus
merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
penyebaran bakteri Leptospira sehingga penularan penyakit leptospirosis dari
tikus kepada hewan lainnya maupun kepada manusia dapat dicegah. Berberapa
cara identifikasi bakteri Leptospira pada tikus yang dapat dilakukan antara lain
adalah dengan pengambilan serum darah maupun pengambilan organ tubuh tikus
seperti ginjal, hati maupun jaringan lainnya. Metode yang dapat dilakukan untuk
memeriksa adanya bakteri Leptospira pada organ tubuh tikus salah satunya
dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
PCR merupakan salah satu cara untuk memperbanyak DNA suatu
organisme dengan menggunakan enzim polimerase yang diarahkan oleh
potongan urutan DNA yang spesifik bagi DNA mikroorganisme tersebut.
Potongan DNA yang urutannya spesifik bagi mikroorganisme dikenal dengan
istilah probe yang berperan sebagai penyidik atau primer yang mengawali dan
menuntun perbanyakan DNA tersebut. PCR adalah teknik cepat untuk
mengamplifikasi fragmen DNA spesifik secara in vitro dengan menggunakan 2
primer untai tunggal pendek. Dengan teknik ini sejumlah kecil fragmen DNA
yang diinginkan akan diamplifikasi secara eksponensial sampai jutaan kali dalam
beberapa jam.
Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pengendalian Penyakit
Bersumber Binatang (P2B2) merupakan salah satu balai penelitian dan
pengembangan yang melakukan berbagai aktivitas penelitian dan pengembangan
4
mengenai penyakit bersumber binatang, salah satunya adalah penyakit
leptospirosis. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara memiliki beberpa instalasi, salah
satunya adalah instalasi bakteriologi. Pemeriksaan bakteri Leptospira yang
dilakukan di instalasi bakteriologi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara dapat
dilakukan menggunakan suatu metode yang disebut Polymerase Chain Reaction
(PCR) yang dilakukan melalui pengambilan organ tubuh tikus (ginjal tikus).
Melalui PCR, dapat diketahui ada tidaknya bateri Leptospira pada organ tubuh
tikus yang diperiksa dalam waktu yang singkat sehingga hasil yang dibutuhkan
dapat segera diperoleh.
Pemeriksaan bakteri Leptospira pada tikus dengan PCR dilakukan
melalui proses yang panjang dan membutuhkan ketelitian serta keterampilan dari
operator, sehingga dalam aplikasinya memiliki beberapa kelemahan dan
kelebihan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui metode
pemeriksaan bakteri Leptospira pada ginjal tikus dengan metode Polymerase
Chain Reaction (PCR) yang dilakukan di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil suatu rumusan masalah
bagaimana pemeriksaan bakteri Leptospira pada ginjal tikus dengan metode
Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dilakukan di di Balai Litbang P2B2
Banjarnegara.
5
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mendeskripsikan cara pemeriksaan bakteri Leptospira pada ginjal tikus
dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dilakukan di di Balai
Litbang P2B2 Banjarnegara.
2. Tujuan khusus
a. Mendeskripsikan komponen-konponen yang dibutuhkan dalam
pemeriksaan bakteri Leptospira dengan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR) yang dilakukan di di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara.
b. Mendeskripsikan prinsip kerja pemeriksaan bakteri Leptospira dengan
metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dilakukan di di Balai
Litbang P2B2 Banjarnegara.
c. Mendeskripsikan kelebihan dan kekurangan pemeriksaan bakteri
Leptospira dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang
dilakukan di di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara.
D. Kegunaan
1. Bagi Mahasiswa
a. Memperoleh gambaran umum tentang cara pemeriksaan bakteri
Leptospira dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang
dilakukan di di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara.
6
b. Memperoleh wawasan tentang cara pemeriksaan bakteri Leptospira
dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dilakukan di di
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara.
c. Memperoleh pengalaman kerja secara langsung sehingga dapat digunakan
sebagai bekal bagi mahasiswa ketika akan memasuki dunia kerja.
2. Bagi Institusi Magang
a. Meningkatkan hubungan kerja sama yang baik antara Balai Litbang P2B2
Banjarneegara dengan Politeknik Banjarnegara.
b. Memberikan informasi dan umpan balik (Feedback) demi tujuan
perbaikan di institusi magang.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Leptospirosis
Menurut Ningsih (2009), Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis
yang disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang
dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud
fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious
jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain-lain.
Nama leptospirosis berasal dari bakteri penyebabnya yaitu Leptospira.
Leptospira tersusun dari dua kata yaitu lepto yang berarti tipis, sempit dan spiril
yang berarti terpuntir, seperti sekrup. Leptospira mempunyai panjang 6-20 μm
dengan lebar 1 μm, sumber lain menyebutkan panjang 5-15 μm dengan lebar 0,1
μm dapat bergerak aktif karena memiliki flagela dan hidup dalam kondisi
oksigen bebas (aerobik). Leptospira mempunyai periplasmik flagela yang
memungkinkannya untuk menembus jaringan (Ningsih, 2009).
B. Bakteri Leptospira
Suratmaan (2006), menyebutkan bahwa bakteri Leptospira termasuk
dalam genus Leptospira, family Leptospiraceae, order Spirochaetales,
Leptospira terdiri dari dua kelompok yang dibedakan berdasarkan sequen DNA
yaitu L. interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non
patogen, saprofit). Ningsih (2009) menambahkan, saat ini meskipun telah
8
dikenal sejumlah 16 genom species Leptospira patogen berdasarkan keterkaitan
DNA-nya namun secara klinis dan epidemiologis klasifikasi Leptospira lebih
didasarkan pada perbedaan serologi antar species. Leptospira patogen dibagi
kedalam serovar berdasarkan komposisi antigennya. Supriyanto (2005)
menambahkan bahwa reservoir Leptospira adalah hewan peliharaan dan
binatang liar seperti tikus. Leptospira ada di dalam tubulus renalis binatang
tersebut sehingga terjadi leptuspiruria seumur hidup binatang tersebut.
1. Morfologi Bakteri Leptospira
Bakteri Leptospira adalah bakteri gram negatif, berbentuk pegas,
langsing, lentur, tumbuh lambat pada kondisi aerob, tumbuh optimum pada
suhu 28oC-30oC, dengan ukuran panjang 5-25 μm, diameter 0,1-0,3 μm, dan
panjang gelombang 0,5 μm. Bakteri Leptospira memiliki flagella internal
yang khas, sehingga dapat menembus masuk ke dalam jaringan. Leptospira
memiliki struktur dua membran yang terdiri dari membran sitoplasma dan
dinding sel peptidoglikan yang menempel satu sama-lain, dan dilapisi oleh
lapisan bagian luar. Lipopolisakarida Leptospira mempunyai komposisi
yang sama dengan bakteri gram negatif yang lain, tetapi mempunyai
aktivitas endotoksik yang lebih rendah (Setiawan, 2008).
9
2. Reservoir Bakteri Leptospira
Hewan - hewan yang menjadi sumber penularan leptospirosis ialah
rodent ( tikus ), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga,
burung, insektivora ( landak, kelelawar, tupai ), sedangkan rubah dapat
sebagai karrier dari leptospira. Salah satu hewan yang dapat menjadi
reservoir bakteri Leptospira adalah tikus. Beberapa jenis tikus yang sering
ditemui disekitar kita dan merupakan jenis tikus yang berperan dalam
penyebarab penyakit antara lain:
a. Tikus rumah (Rattus tanezumi)
b. Tikus riol atau Rattus norvegicus (Berkenhout)
Panjang ujung kepala sampai ekor 300-400 mm, ekor 170-230
mm, kaki belakang 42-47 mm, telinga 18-22 mm. Rumus puting susu 3+3
= 12. Warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut
kelabu. Banyak dijumpai di saluran air/riol/got di daerah pemukiman kota
dan pasar.
c. Tikus ladang atau Rattus exulans (peale)
Panjang ukuran kepala sampai ekor 139-365 mm, ekor 108-147
mm, kaki belakang 24-35 mm, telinga 11-28 mm. Rumus puting susu 2+2
= 8. Warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut putih
kelabu. Terdapat di semak-semak dan kebun/ladang sayur-sayuran dan
pinggiran hutan. Kadang-kadang masuk ke rumah.
10
d. Tikus belukar atatu Rattus tiomanicus (miller)
Panjang ujung kepala sampai ekor 245-397 mm, ekor 123-225
mm, kaki belakang 24-42 mm, telinga 12-29 mm. Rumus puting susu 2+3
= 10. Warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut putih
krem. Terdapat di semak-semak dan kebun.
e. Tikus dada putih atau Rattus niviventer (bonhote)
Panjang ujung kepala sampai ekor 187-370 mm, ekor 100-210
mm, kaki belakang 18-33 mm, telinga 16-32 mm. Rumus puting susu 2+2
= 8. Berambut kaku. Warna rambut badan atas kuning coklat kemerahan,
rambut bagian perut putih. Ekor bagian atas berwarna coklat dan bagian
bawah berwarna putih. Terdapat di daerah pegunungan, semak-semak,
rumpun bambu dan hutan.
f. Tikus sawah atau Rattus argentiventer (Robinson & Kloss)
Panjang ujung kepala sampai ekor 270-370 mm, ekor 130-192
mm, kaki belakang 32-39 mm, telinga 18-21 mm. Rumus puting susu 3+3
= 12. Warna rambut badan atas coklat muda berbintik-bintik putih,
rambut bagian perut putih atau coklat pucat. Terdapat di sawah dan
padang alang-alang.
g. Tikus wirok atau Bandicota indica (Bechstein)
Panjang ujung kepala sampai ekor 400-580 mm, ekor 160-315
mm, kaki belakang 47-53 mm, telinga 29-32 mm. Rumus puting susu 3+3
= 12. Warna rambut badan atas dan rambut bagian coklat hitam.
11
Rambutnya agak jarang dan rambut di pangkal ekor kaku seperti ijuk.
Banyak dijumpai di daerah berawa, padang alang-alang, dan kadang-
kadang di kebun sekitar rumah.
h. Mencit rumah atau Mus musculus Linnaeus
Panjang ujung kepala sampai ekor kurang dari 175 mm, ekor 81-108
mm, kaki belakang 12-18 mm, telinga 8-12 mm. Rumus puting susu 3+2 =
10. Warna rambut badan atas dan rambut bagian perut coklat kelabut.
Terdapat di dalam rumah, dalam almari dan tempat menyimpan barang
lainya.
C. Diagnosis Leptospira
Diagnosis Leptospira dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik
khusus untuk mendeteksi keberadaan bakteri Leptospira atau antigennya secara
langsung. Pemeriksaan langsung meliputi kultur, mikroskopis, inokulasi hewan
(immuno) staining dan reaksi polimerase berantai. Pemeriksaan langsung dengan
isolasi bakteri leptospira patogen merupakan diagnosis pasti leptospirosis. Selain
itu juga ada pemeriksaan secara tidak langsung dan serologi.
1. Pemeriksaan bakteri Leptospira
Pemeriksaan bakteri Leptospira dapat dilakukan dengan beberapa cara
antara lain:
12
a. Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi bakteri Leptospira dalam
darah dan eksudat pleura, dalam minggu pertama sakit, khususnya antara
hari ke-3-7 dan di dalam urin pada minggu kedua, untuk didiagnosis
definitif leptospirosis. Bakteri Leptospira dapat dilihat dengan mikroskop
lapang gelap. Pengujian dengan mikroskop medan gelap atau hapusan
kental yang diwarnai dengan Giemsa kadang-kadang memperlihatkan
Leptospira di dalam darah segar pada infeksi awal.
b. Microscopic Agglutination Test (MAT)
MAT adalah pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi, yang terdiri dari IgM atau IgG. MAT
merupakan baku emas pemeriksaan serologi kuman leptospirosis dan
sampai saat ini belum ada uji lain yang lebih spesifik.
c. Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi PCR (Polymerase Chain
Reaction) untuk mendeteksi DNA bakteri Leptospira spesifik dapat
dilakukan dengan memakai primer khusus untuk memperkuat semua
strain patogen. Reaksi PCR lebih cepat, sensitif dan spesifik serta lebih
baik dibanding uji serologi dan bakteriologi.
d. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji ELISA sering dipakai dan dapat dilakukan dengan reagen
komersial maupun antigen yang dibuat sendiri. Uji ini memakai suatu
13
antigen yang bersifat spesifik pada genus, dapat mendeteksi antibodi
kelas IgM dan IgG. Keuntungan uji ELISA untuk mengetahui jenis
antibodi, apakah IgM dan IgG. Antibodi IgM merupakan prediksi
leptospirosis sebagai infeksi akut, dan IgG untuk infeksi terdahulu.
Meskipun demikian perlu diingat bahwa antibodi IgM kadang dapat
menetap selama beberapa tahun.
e. Serologi dengan rapid test menggunakan dip-stick
Saat ini dikenal ada dua jenis rapid test yaitu Leptotek Lateral
Flow dan Leptotek Dri Dot. Leptotek Dri Dot adalah alat diagnosis cepat
untuk leptospirosis mengandung partikel latex berwarna biru yang
diaktivasi dengan antigen Leptospira yang berspektrum luas kemudian
dikeringkan di atas kertas aglutinasi. Pengujian didasarkan pada
peningkatan antara antibodi spesifik Leptospira yang terdapat di dalam
serum penderita dengan antigen Leptospira yang ada di kertas aglutinasi.
Apabila di dalam serum penderita memang terdapat antibodi yang
spesifik Leptospira maka akan terjadi reaksi aglutinasi dengan antigen
Leptospira sehingga terbentuk granula-granula dibagian tetesan. Tingkat
kepositifan dari skrining tergantung pada jumlah antibodi spesifik dalam
serum specimen yang berkaitan dengan stadium penyakit dan faktor-
faktor lain.
14
f. Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal
bila darah, cairan serebrospinal, urin dan jaringan segera ditanam ke
media, kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.
g. Inokulasi hewan percobaan
Bakteri leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan,
oleh karena itu hewan yang dapat dipakai untuk isolasi primer bakteri
Leptospira. Umumnya dipakai golden hamsters (umur 4-6 minggu) dan
marmut muda (150-175g) yang bukan karier bakteri Leptospira. Isolasi
bakteri Leptospira dilakukan dengan cara biakan darah.
2. Jenis Sampel yang Digunakan untuk Diagnosis Leptospirosis
Jenis sampel yang biasa digunakan untuk diagnosis leptospirosis antara
lain:
a. Darah, yang diambil 10 hari pertama sakit yang dicampur heparin (untuk
mencegah pembekuan) digunakan untuk pemeriksaan biakan. Darah
untuk biakan sebaiknya diambil tidak lebih 10 hari sesudah serangan
penyakit, karena Leptospira sudah menghilang dari peredaran darah.
Sampel untuk biakan harus disimpan dan diangkut dalam suhu ambien,
karena temperatur yang rendah dapat merusak Leptospira patogen.
15
b. Darah beku atau serum, sampel ini sebaiknya diambil dua kali dengan
selang waktu beberapa hari, yaitu saat serangan penyakit dan sesudah
terjadinya serokonversi.
c. Urine untuk biakan, bakeri Leptospira umumnya cepat mati bila
tercampur dengan urine. Urine yang akan digunakan untuk biakan
mempunyai nilai tinggi, bila diperoleh dalam keadaan bersih. Urine
diinokulasi ke dalam media biakan dalam waktu tidak lebih dari 2 jam
sesudah pengambilan. Masa hidup Leptospira di dalam urine yang asam
dapat diperpanjang dengan menetralisasi urine tersebut.
d. Sampel postmortem (sesudah meninggal), pengambilan sampel ini adalah
sangat penting dan diusahakan untuk mengambil dari berbagai organ
dalam, termasuk otak, cairan sere-brospinal, cairan mata, paru, ginjal,
hati, jantung, dan darah yang berada di dalam jantung untuk pemeriksaan
serologis. Sampel postmortem harus diambil secepat mungkin secara
aseptik. Sampel yang sudah diambil harus segera diinokulasi ke dalam
medium biakan, dan harus disimpan dan diangkut pada suhu ± 4oC.
Terjadinya autolisis sel pada suhu ±4oC dan penurunan pH harus dicegah,
dan jangan ditaruh pada suhu yang rendah.
e. Sampel cairan serebrospinal dan dialisat digunakan untuk biakan.
16
D. Diagnosis Leptospira dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR merupakan salah satu cara untuk memperbanyak DNA suatu
organisme dengan menggunakan enzim polimerase yang diarahkan oleh
potongan urutan DNA yang spesifik bagi DNA mikroorganisme tersebut. PCR
adalah teknik cepat untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik secara in vitro
dengan menggunakan 2 primer untai tunggal pendek. Dengan teknik ini sejumlah
kecil fragmen DNA yang diinginkan akan diamplifikasi secara eksponensial
sampai jutaan kali dalam beberapa jam. Secara umum proses ini dapat
dikelompokkan dalam tiga tahap yang berurutan yaitu denaturasi template,
annealing (penempelan) pasangan primer pada untai tunggal DNA target dan
extension (pemanjangan atau polimerisasi), sehingga diperoleh amplifikasi DNA
antara 106-109 kali.
Adanya penemuan DNA polymerase (Taq polymerase) yang stabil pada
temperatur tinggi dan pengembangan alat yang mengatur temperatur proses PCR
secara otornatis, telah membuat PCR dapat digunakan untuk uji-uji diagnostik
secara praktis. DNA polymerase adalah enzim yang dapat mensintesis rantai
DNA yang baru dan DNA yang sudah ada. Penemuan enzim yang tahan panas
sangat membantu untuk mensintesis DNA baru, karena tahap awal proses PCR
dilakukan dengan cara pemanasan rantai DNA yang sudah ada pada temperatur
90 °C.
Reaksi Rantai Polimerase atau Polymerase Chain Reaction (PCR)
merupakan suatu teknik sintesis untuk mengamplifikasi atau melipatgandakan
17
fragmen DNA target secara in vitro dengan eksponensial yang menggunakan
primer atau pemula DNA yang tepat. Berbeda dengan proses replikasi yang
berlangsung secara diskrit untuk sepanjang rantai DNA, maka pada proses PCR
reaksi ini berjalan kontinu, tetapi hanya untuk satu segmen tertentu saja dari
suatu DNA.
1. Komponen-komponen PCR
Komponen-komponen yang diperlukan dalam pemeriksaan bakteri
Leptospira dengan PCR antara lain:
a. Template DNA
Template DNA adalah molekul DNA untai ganda yang
mengandung sequen target yang akan diamplifikasi. Ukuran DNA bukan
merupakan faktor utama keberhasilan PCR, berapapun panjangnya
asalkan mengandung sequen yang diinginkan. DNA berbentuk sirkuler
sebaiknya dilinerkan lebih dulu sebelum proses PCR. Konsentrasi DNA
template harus dioptimasi. Jika konsentrasinya terlalu rendah maka
primer mungkin tidak dapat menemukan target, sebaliknya bila terlalu
tinggi akan meningkatkan kemungkinan mispriming. Disamping itu
perlu diperhatikan kemurnian template karena akan mempengaruhi hasil
reaksi.
b. Primer
Susunan primer merupakan salah satu kunci keberhasilan PCR.
Pasangan primer terdiri dari 2 oligonukleotida yang mengandung 18-28
18
nukleotida dan mempunyai 40-60% GC content. Sequen primer yang
lebih pendek akan memicu amplifikasi produk PCR non spesifik. Ujung
3’ dari primer penting dalam menentukan spesifitas dan sensitivitas
PCR, ujung ini tidak boleh mempunyai 3 atau lebih basa G atau C,
karena dapat menstabilisasi annealing primer non spesifik. Disamping
itu, ujung 3’ dari kedua primer tidak boleh komplementer satu dengan
yang lainnya karena hal ini akan mengakibatkan pembentukan primer-
dimer yang akan menurunkan hasil dari produk yang diinginkan. Ujung
5’ primer tidak terlalu penting untuk annealing primer sehingga
memungkinkan untuk menambahkan sequen tertentu misalnya sisi
restriksi enzim, start codon atau sequen promoter.
Spesifitas PCR sangat tergantung pada suhu melting (Tm)
primer, yaitu suhu dimana separuh jumlah primer annealing pada
template. Hasil PCR akan baik jika Tm kedua primer serupa (dalam 2-4
oC) dan diatas 60oC. Konsentrasi primer biasanya optimal pada 0,1-0,5
iM. Konsentrasi primer yang terlalu tinggi akan menyebakan
mispriming (penempelan pada tempat yang tidak spesifik) dan
akumulasi produk non spesifik serta meningkatkan kemungkinan
terbentuk primer-dimer, sebailiknya bila konsentrasi primer terlalu
sedikit maka PCR menjadi tidak efisien sehingga hasilnya rendah.
19
c. DNA polymerase
DNA polymerase adalah enzim yang mengkatalis polimerasi
DNA. Biasanya digunakan Taq polymerase (polymerase yang tahan
panas) yang stabil pada suhu tinggi karena enzim ini diisolasi dari
Thermus aquaticus (Taq) yang hidup pada sumber air panas. Taq
adalah bakteri yang tetap mampu membelah diri dalam temperature
tinggi sehingga enzim polimerasenya bersifat tahan panas. Dengan
menggunakan Taq polymerase, tidak lagi dibutuhkan penambahan
enzim pada setiap pemanasan pada denaturasi DNA. Enzim ini masih
mempunyai aktivitas eksonuklease dari 5’ ke 3’ tetapi tidak mempunyai
aktivitas eksonuklease dari 3’ ke 5’. Konsentrasi enzim yang
dibutuhkan untuk PCR biasanya 0,5-2,5 unit. Kelebihan jumlah enzim
mengakibatkan akumulasi produk non spesifik, sedanghkan jika terlalu
rendah maka dihasilkan sedikit produk yang diinginkan.
d. Deoxynucleotide Triphosphate (dNTP)
Proses PCR memerlukan semua macam dNTP ( dATP, dGTP,
dCTP dan dTTP) sebagai bahan umtuk mensintesis untai DNA
komplementernya. Konsentrasi dNTP masing-masing sebesar 20-200
iM menghasilkan keseimbangan optimal antara hasil, spesifitas dan
ketepatan PCR. Konsentrasi masing-masing dNTP harus seimbang
untuk meminimalkan kesalahan penggabungan. Deoxynucleotide
Triphosphate akan menurunkan Mg2+ bebas sehingga mempengaruhi
20
aktivitas polymerase dan menurunkan annealing primer. Konsentrasi
dNTP yang rendah akan meminimalkan mispriming pada daerah non
target dan menurunkan kemungkinan perpanjangan nukleotida yang
salah, oleh karena itu, spesifitas dan ketepatan PCR meningkat pada
konsentrasi dNTP yang lebih rendah.
e. Konsentrasi Mg2+
Optimalisasi konsentrasi ion Mg2+ merupakan hal yang sangat
penting. Konsentrasi ion ini mempengaruhi beberapa hal antara lain:
annealing primer, suhu pemisahan untai template dan produk PCR,
spesifitas produk, pembentukan primer-dimer serta aktivitas dan
ketepatan enzim. Ion Mg2+ bebas akan mengikat DNA template, primer
dan membentuk kompleks terlarut dengan dNTP untuk membuat
substrat yang akan dikenali oleh enzim Taq polymerase. PCR harus
mengandung 0,5-2,5 iM Mg2+ dari total konsentrasi dNTP. Konsentrasi
yang lebih tinggi akan meningkatkan produk PCR tetapi menurunkan
spesifitasnya. Konsentrasi ion ini tergantung pada konsentrasi bahan-
bahan yang mengikatnya seperti dNTP, EDTA (Ethylenediamine
tetraacetic acid) dan fosfat.
2. Tahap Kerja PCR
PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga
tahap berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA templat,
21
penempelan (annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan
(extension) primer atau reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA
polimerase. Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang
antara 20–30 kali siklus. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR dalam
satu siklus:
a. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung
pada suhu tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi)
dan DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR
tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua
berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan
siap menjadi templat bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
b. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA
template yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu
antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat
menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di
sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
c. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari
jenis DNA polimerase yang dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini
biasanya dilakukan pada suhu 72 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.
22
BAB III
ANALISIS SITUASI UMUM DAN KHUSUS PADA UNIT KERJA
A. Analisis Situasi Umum
1. Profil Instansi
a. Nama Instansi : Balai LitBang P2B2 Banjarnegara
b. Alamat instansi : Jalan Selamanik no. 16 Banjarnegara
2. Sejarah Singkat Balai Litbang P2B2 Banjrnegara
Balai Litbang P2B2 merupakan salah satu instansi kesehatan yang
melaksanakan program penelitian dan pengembangan serta program
pencegahan dan pengendalian terhadap vektor dan reservoir terutama
penyakit bersumber binatang serta program kesehatan lain. Vektor-vektor
penyakit yang diteliti dan dikembangkan di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara
antara lain vektor penyakit Malaria, Demam Berdarah dan Filariasis
(Gotama, 2004).
Balai Litbang P2B2 membawahi wilayah kerja tertentu dan mempunyai
bidang-bidang kegiatan dalam rangka penelitian, pengembangan dan
pencegahan penyakit yang bersumber dari binatang. Wilayah kerja Balai
Litbang P2B2 Banjarnegara adalah seluruh Indonesia. Bidang kegiatan
tersebut antara lain pembiakan binatang-binatang yang menjadi vektor
penyakit (baik binatang pengerat, parasit, serangga maupun molusca), usaha
penagkapan dan pengamatan secara langsung terhadap lokasi yang
23
mengalami kejadian dan dicurigai sebagai sumber munculnya penyakit,
pengendalian dan terhadap binatang vektor penyakit, penelitian dan
pelaporan kasus (Gotama, Indra).
Gambar 3.1 Sejarah Balai Litbang P2B2 Banjarnegara
Sejarah Balai Litbang P2B2 Banjarnegara yaitu dari Proyek
Intensification of Communicable Disease Control – Asian Development Bank
(ICDC-ADB) yang dimulai pada tahun 1998, yaitu suatu proyek itensifikasi
Pemberantasan Penyakit Menular (IPPM) yang meliputi penyakit Malaria,
ISPA, TBC dan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
Proyek ICDC-ADB ini dilaksanakan di enam propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan Nusa
Tenggara Timur. Proyek ini terdistribusi 21 Kabupaten di enam Provinsi
tersebut.
Guna menunjang upaya menurunkan kejadian malaria di daerah
ICDC-ADB maka dibangun institusi penunjang proyek bernama Stasiun
Lapangan Pemberantasan Vektor (SLPV) di enam Provinsi, salah satunya di
24
Provinsi Jawa Tengah, SLPV ini berkedudukan di Banjarnegara Provinsi Jawa
Tengah dengan Annual Parasite Incidence tertinggi diantara empat kabupaten
pelaksana proyek ICDC-ADB lainnya di Jawa Tengah, yaitu: Banjarnegara,
Jepara, Kebumen, dan Pekalongan. SLPV ini secara adminstratif bertanggung
jawab kepada Kanwil Departemen Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, tetapi
secara teknis kepada Kepala Direktur Pemberantasan Penyakit Bersumber
Binatang (P2B2).
SLPV Banjarnegara mulai beroperasi tanggal 15 Agustus 1999 yang
menempati rumah kontrakan di Jalan Al Munawaroh No. 11 Banjarnegara
sampai dengan bulan September 2000. Gedung baru kemudian dibangun di
atas tanah Pemda Banjarnegara dengan luas tanah 1360 m2. Pembangunan
gedung mulai tanggal 6 Januari 2000 dan selesai tanggal 3 Mei 2000.
Kemudian baru ditempati sejak tanggal 14 September 2000.
Berlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di
Daerah, SLPV tidak diintegrasikan ke dalam Dinas Kesehatan Provinsi, tetapi
masih merupakan UPT Pusat dibawah Badan Litbangkes bernama UPF-
PVRP. Hal ini dimaksudkan agar SLPV dapat bermanfaat lebih luas bagi
kabupaten/provinsi lain di luar Jawa Tengah. Dengan berakhirnya Proyek
ICDC-ADB aset UPF-PVRP yang ada di Provinsi harus diberdayakan. Untuk
itu oleh Badan Litbangkes dan dibantu oleh Ditjen PPM-PL diusulkanlah
kelembagaan UPF-PVRP kepada Menpan.
25
Dengan persetujuan Menpan, Menteri Kesehatan dengan SK Nomor:
1406/MENKES/SK/IX/2003, tanggal: 30 September 2003 menetapkan
kelembagaan UPF-PVRP di enam Provinsi menjadi Loka Litbang P2B2.
Merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 894/Menkes/Per/IX/2008,
Loka Litbang P2B2 Banjarnegara mempunyai Unggulan Penelitian dan
Pengembangan di bidang Penyakit Bersumber Rodensia. Melalui Permenkes
920/MENKES/V/2011 Loka Litbang P2B2 Banjarnegara ditingkatkan status
kelembagaannya menjadi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, 3 (tiga) Balai
Litbang P2B2 di lingkungan Kementerian Kesehatan yaitu yang berlokasi di
Donggala Sulawesi Tengah, Banjarnegara Jawa Tengah dan Tanah Bumbu
Kalimantan Selatan (Balai Litbang P2B2).
3. Visi, Misi, Tugas dan Fungsi
a. Visi
Sebagai centre of excellence penelitian dan pengembangan penyakit
bersumber binatang, khususnya penyakit bersumber rodensia.
b. Misi
1) Menghimpun, mengkaji, mengembangkan, dan menyebarkan
informasi IPTEK tentang vektor, reservoir, bionomik serta dinamika
penularan P2B2.
2) Meningkatkan profesionalisme SDM dalam bidang pengamatan dan
pengkajian vektor, reservoir dan dinamika penularan serta cara
pengendaliannya.
26
3) Menggalang dan mengembangkan kemitraan lintas program dan sektor
terkait dalam pengamatan dan pengkajian vektor dan reservoir serta
dinamika penularan penyakit.
c. Tugas
Melaksanakan Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Ber
sumber Binatang.
d. Fungsi
1) Penyusunan rencana dan program penelitian dan pengembangan
pengendalian penyakit bersumber binatang.
2) Pelaksanaan kerjasama penelitian dan pengembangan pengendalian
penyakit bersumber binatang.
3) Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan penyusunan laporan penelitian
dan pengembangan pengendalian penyakit bersumber binatang.
4) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan pengendalian penyakit
sesuai keunggulannya.
5) Penentuan karakteristik epidemiologi penyakit bersumber binatang
6) Pengembangan metode dan teknik pengendalian penyakit bersumber
binatang.
7) Pengelolaan sarana penelitian dan pengembangan pengendalian
penyakit bersumber binatang serta pelayanan masyarakat.
8) Pengembangan jejaring informasi dan ilmu pengetahuan teknologi
kesehatan.
27
9) Pelaksanaan diseminasi dan promosi hasil-hasil penelitian dan
pengembangan pengendalian penyakit bersumber binatang.
10) Pelaksanaan urusan ketatausahaan dan kerumah tanggaan.
4. Kedudukan
Berdasarkan Permenkes No.920/Menkes/Per/V/2011 : Balai Penelitian
dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang yang
selanjutnya disebut Balai Litbang P2B2 adalah Unit Pelaksanan Teknis di
Lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan. Balai Litbang P2B2 berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, secara
administratif dibina oleh Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan dan secara Teknis Fungsional dibina oleh pusat yang bersesuaian
(Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat).
5. Kemampuan
Dalam melaksanakan fungsinya Balai Litbang P2B2 banjarnegara
didukung oleh:
a. SDM
Sumber daya manusia yang dimiliki oleh Balai Litbang P2B2
Banjarnegara terdiri dari beberapa orang yang bertugas sebagai Ketua,
Kasie PKS, Kasie Yanlit, Bendahara, Peneliti, Kepala Sub Bagian Tata
Usaha, Staff Teknis, Staff Administrasi, Teknisi Litkayasa, Pramubakti,
28
Satpam dan Pranata lab. Jumlah masing-masing bagian tersebut dapat
dilihat pada table dibawah ini:
Tabel 3.1 Daftar Keadaan Pegawai di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Per
Desember 2011
No Kedudukan Jumlah (orang)
1 Kepala Balai 12 Kasie PKS 13 Kasie Yanlit 14 Peneliti 55 Kepala Sub Bagian Tata Usaha 16 Bendahara 17 Staff Teknis 158 Staff Administrasi 69 Teknisi Litkayasa 310 Pramubakti 611 Satpam 812 Pranata Lab 9
b. Sarana dan Prasarana yang Dimiliki
1) Gedung Kantor L2 dan tiga rumah dinas
2) Kendaraan :
a) Tiga unit kendaraan roda 4 : Hiline, Panther, Avanza
b) Dua unit kendaraan roda 2 : Honda Supra X 125, Suzuki TS 125
3) Gedung Laboratorium:
a) Lab. Entomologi
b) Lab. Parasitologi
c) Lab. Rodentologi
d) Lab. Bakteriologi
e) Lab. Epidemiologi & Biostatistik (GPS, PDA)
29
4) Sarana Teknologi informasi : LAN, Internet (Modem ADSL, Modem
USB, Modem 56 Kbps, GIS)
5) Peralatan ATK : mesin ketik, mesin foto copy, printer, mesin hitung
elektronik
6) Personal komputer 23 unit dan 5 buah komputer note book
7) Sarana presentasi (Camera digital, Camera manual SLR, Handycam,
Mini DV, OHP, LCD viewer, Slide Proyektor, Banner, Sound System,
DVD Recorder , DVD Player)
8) Gedung Multimedia (Layar lebar, Sound System, DVD Recorder , DVD
Player, TV 29 inchi)
9) Kapasitas Meeting 100 orang
10) Ruang kelas kapasitas 80 orang
11) Ruang Rearing (tempat pengembangbiakan nyamuk)
12) Tempat pengembangbiakan mencit (Mus musculus albino)
13) Ruang Perpustakaan (+ 300 judul buku, jurnal, buletin, majalah, VCD
tutorial)
14) Green House (Tanaman pengusir nyamuk)
15) Musholla
16) Kandang Ternak untuk umpan nyamuk peliharaan
c. Kemampuan Dan Rencana Laboratorium Bakteriologi
1. Pemeriksaan air untuk bakteri Leptospira
30
2. Pemeriksaan darah untuk deteksi awal leptospirosis dengan
menggunakan Rapid Diagnostik Test : Lepto Tek Dridot / Lateral
Flow
3. Pemeriksaan MAT (Mikroscopik Aglutination Test)
4. Pemeriksaan fisik dan kimia air
5. Pemeriksaan bakteri Yersinia pestis (pes) pada rodent
6. Melakukan culture jaringan bakteri Leptospira pada rodent
7. Melakukan kultur jaringan bakteri Yersinia pestis (pes) pada organ
rodent
d. Kemampuan kegiatan yang telah dilakukan
1) Pengumpulan Data Dasar Malaria, DBD, Filaria, Leptospirosis, Pes
2) Survei Entomologi, Rodentologi, Parasitologi
3) Spot Survei Daerah Fokus Tinggi
4) Survei PSP (Pengetahuan, Sikap, Praktek)
5) Survei Pemetaan (GIS)
6) Melakukan Kegiatan Laboratorium (Rearing Nyamuk, Kolonisasi Mus
musculus albino, Pemeriksaan Hb, dan lain-lain)
7) Bioassay : Pasca Penyemprotan IRS, Kelambu berinsektisida
8) Konfirmasi Laboratorium Di Puskesmas Endemis
9) Desiminasi / Informasi Hasil Kegiatan (Ekspo, Buletin, Forum Ilmiah)
10) Penyuluhan P2B2 (Leaflet, Booklet, Banner, VCD, Replika nyamuk)
11) Melakukan Penelitan Dalam Bidang Dalam Bidang P2B2
31
12) Peningkatan Sumber Daya Manusia Bidang Entomologi, Parasitologi,
Rodentologi Metodologi Penelitian dan Administrasi
13) Melakukan Survei Epidemiologi di Daerah KLB
14) Kemitraan dengan Lintas Sektor
B. Analisis Situasi Khusus
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara merupakan salah satu balai penelitian
dan pengembangan yang melakukan kegiatan dalam upaya pengendalian penyakit
bersumber binatang. Hal tersebut didasarkan adanya berbagai macam penyakit
yang disebabkan oleh binatang-binatang baik secara langsung, sebagai vektor dari
suatu infectious agent yang dapat ditularkan dari manusia yang sakit kepada
manusia yang sehat maupun sebagai reservoir dari suatu agent penyakit.
Dalam rangka mendiagnosis suatu penyakit, Balai Litbang P2B2
Banjarnegara memiliki suatu instansi khusus yaitu instalasi bakteriologi. Instalasi
bakteriologi. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada instalasi
bakteriologi antara lain : Pemeriksaan air untuk bakteri Leptospira, pemeriksaan
darah untuk deteksi awal leptospirosis dengan menggunakan Rapid Diagnostik
Test : Lepto Tek Dridot / Lateral Flow, pemeriksaan MAT (Mikroscopik
Aglutination Test), pemeriksaan fisik dan kimia air, pemeriksaan bakteri Yersinia
pestis (pes) pada rodent dan melakukan culture jaringan bakteri Leptospira dan
Yersinia pestis (pes) pada rodent. Instalasi bakteriologi ikelola oleh seorang
32
koordinator, 2 orang staff dan seorang pranata lab. Struktur organisasi pada
instalasi bakteriologi dapat dilihat pada diagram berikut ini:
Gambar 3.2 Struktur Organisasi Instalasi Bakteriologi
Salah satu kegiatan yang dilakukan di instalasi Banteriologi adalah
pemeriksaan bakteri Leptospira dengan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR). PCR merupakan salah satu cara untuk memperbanyak DNA suatu
organisme dengan menggunakan enzim polimerase yang diarahkan oleh potongan
urutan DNA yang spesifik bagi DNA mikroorganisme tersebut.
Kepala BalaiBudi Santoso, SKM, M. Kes
Kasubag TUAsyhar Tunissea, SKM, M. Kes
KoordinatorDyah Widiastuti S. Si. M.Sc
StaffEndang Setyani, AMAKAsnan Prastawa, SKM
Pranata LabBarata Wella Ardhany
33
BAB IV
IDENTIFIKASI, PERUMUSAN MASALAH DAN PRIORITAS MASALAH
A. Identifikasi Masalah
Telah lama diketahui bahwa sifat-sifat makhluk hidup termasuk bakteri
dibawa oleh material kimiawi yang dikenal sebagai Deoxyribonucleic acid
(DNA). DNA berberntuk seperti benang yang saling melilit seperti spiral,
membentuk pita helix rangkap dimana setiap pita merupakan rangkaian panjang
dari molekul nukleotida. Masing-masing nukleotida tersusun atas gugus basa,
yaitu Adenin (A), Cytosin (C), Guanin (G) dan Thymine (T), gugus dioksiribose
dan gugus fosfat. Pita atau rangkaian panjang dalam satu jalur terbentuk akibat
ikatan kovalen antar nukleotida melalui gugusan dioksiribose dan gugusan
fosfatnya. Nukleotida dalam jalur yang berhadapan dihubungkan melalui gugus
basa masing-masing nukleotida, dimana hubungan tersebut hanya akan terjadi
antara A dengan T dan C dengan G. Sintesis DNA terjadi pada mitosis dan
membutuhkan enzyme DNA polymerase.
PCR merupakan salah satu cara untuk memperbanyak DNA suatu
organisme dengan menggunakan enzim polimerase yang diarahkan oleh potongan
urutan DNA yang spesifik bagi DNA mikroorganisme tersebut. Potongan DNA
yang urutannya spesifik bagi mikroorganisme dikenal dengan istlah probe karena
berperan sebagai penyidik atau primer yang mengawali dan menuntun
perbanyakan DNA tersebut.
34
Instalasi bakteriologi pada Balai Litbang P2B2 Banjarnegara merupakan instalasi
yang memiliki kegiatan untuk melakukan pemeriksaan bakteri Leptospira. Bakteri
Leptospira dapat ditemukan pada organ dalam tikus, salah satunya adalah ginjal
tikus. Pemeriksaan bakteri Leptospira pada ginjal tikus di instalasi bakteriologi
dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
Pada proses PCR, terdapat beberapa proses seperti proses denaturasi
dengan pemanasan 900C – 950C yang dimaksudkan untuk memisahkan untai
template DNA. Suhu denaturasi dipengaruhi oleh sequen target, jika sequen target
kaya akan G-C maka diperlukan suhu yang lebih tinggi. Suhu denaturasi yang
terlalu tinggi dan atau waktu denaturasi yang terlalu lama akan mengakibatkan
hilangnya aktivitas enzim. Waktu paruh adalah > 2 jam pada suhu 92,50C, 40
menit pada suhu 950C dan 5 menit pada suhu 97,50C.
Proses selanjutnya adalah annealing primer yang dimaksudkan untuk
proses penempelan primer pada sequen target DNA. Suhu dan lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk annealing primer tergantung pada komposisi basa,
panjang dan konsentrasi primer. Suhu annealing biasanya 50C dibawah nilai Tm
primer, yang berada pada range 550C-720C. Proses terakhir adalah extension, suhu
extension ditujukan untuk proses perpanjangan sequen DNA. Suhu extension
yang rendah bersamaan dengan konsentrasi dNTP yang tinggi akan
mengakibatkan misextension primer dan perpanjangan nukleotida yang salah,
sebaliknya kombinasi antara suhu annealing / extension yang tinggi dengan
konsentrasi dntp yang rendah akan menghasilkan ketepatan produk akhir PCR
35
yang tinggi. Lamanya waktu extension tergantung pada panjang sequen target,
konsentrasi sequen target dan suhu extension.
Jumlah siklus yang optimum terutama tergantung pada konsentrasi awal
DNA template saat parameter lain telah dioptimasi, biasanya adalah 25-35 siklus.
Siklus yang terlalu sedikit akan memberikan hasil yang sedikit, sebaliknya bila
terlalu banyak akan meningkatkan jumlah dan kompleksitas produk non spesifik.
Deteksi produk amplifikasi dapat dilakukan dengan visualisasi menggunakan alat
elektroforesis.
Deteksi produk amplifikasi dapat dilakukan dengan visualisasi
menggunakan elektroforesis gel agarosa yang hasilnya dapat dilihat pada gel
documentation.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, dapat diambil suatu perumusan
masalah bagaimana pemeriksaan bakteri Leptospira pada ginjal tikus dengan
metode Polymerase Chain Reaction (PCR) di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara.
C. Prioritas Masalah
Tikus merupakan salah satu reservoir dari bakteri Leptospira yang dapat
menyebabkan penyakit leptospirosis. Keberadaan bakteri leptospira pada tikus
dapat berada pada organ-organ dalam seperti pada jaringan dan sel. Pada jaringan,
bakteri leptospira dapat hidup pada organ ginjal. Pemeriksaan bakteri Leptospira
36
pada organ ginjal tikus dapat dilakukan melalui metode Polymerase Chain
Reaction (PCR). Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil suatu proiritas maslah
mengenai tahapan-tahapan dalam pemeriksaan bakteri Leptospira dengan PCR
yang dilakukan melalui beberapa kegiatan, antara lain pembuatan DNA,
komponen dan proses PCR pada mesin thermocycler, pembuatan agar, proses
elektroforesis dan pembacaan hasil PCR pada gel documentation serta kelebihan
dan kekurangan pemeriksaan molecular dengan metode PCR.
37
BAB V
PEMBAHASAN
Salah satu perkembangan teknik biologi molekuler yang sangat membantu
dalam pengembangan uji-uji diagnostik adalah PCR. PCR dapat mengamplifikasi
DNA dan jumlah yang sedikit menjadi jumlah yang dapat dideteksi (banyak). Balai
Litbang P2B2 Banjarnegara memilki instalasi bakteriologi yang salah satu
kegiatannya adalah melakukan pemeriksaan bakteri Leptospira pada rodent (tikus).
Pemeriksaan bakteri Leptospira pada tikus dapat dilakukan dengan pengambilan
spesimen jaringan berupa ginjal tikus. Pemilihan organ ginjal untuk deteksi bakteri
Leptospira didasarkan pada kehidupan bakteri Leptospira yang sering hidup pada
organ ginjal. Menurut P2 & PL Depkes semua tikus berpotensi menyebarkan bakteri
leptospira melalui kencingnya, bakteri itu mengakibatkan penyakit leptospirosis
dimana semua tikus berpotensi menyebarkan bakteri tersebut.
Salah satu metode yang dilakukan dalam diagnosis bakteri leptospira pada
ginjal tikus yang dilakukan di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara adalah dengan
metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Dalam proses PCR yang dilakukan di
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara meliputi tahapan sebagai berikut: Pembuatan DNA
(ekstraksi DNA), pencampuran DNA dengan komponen PCR lain, proses PCR,
pembuatan agar, elektroforesis dan pembacaan pada gel documentation.
A. Komponen-komponen PCR
Sebelum melakukan proses PCR, harus diketahui komponen-
komponen PCR yang digunakan, yang meliputi:
38
1. DNA template yang telah dibuat dari sampel berupa ginjal tikus. Template
DNA adalah molekul ganda yang mengandung sequen target yang akan
diamplifikasi. DNA yang digunakan pada pemeriksaan yang dilakukan
adalah sebanyak 5 µL. pembuatan DNA yang dilakukan di Balai Litbang
P2B2 Banjarnegara meliputi tahap-tahap berikut ini:
a. Pemecahan atau Pencampuran
Pada tahap ini, dilakukan dengan cara menggerus sampel
berupa ginjal tikus dengan menggunakan mortar. Homogenkan 25-50
mg sampel ginjal tikus dalam 1 ml DNAzol. Kemudian ambil
sebanyak 5-10 mg sampel ginjal yang telah halus dengan mikro pipet
dan dimasukkan kedalam tabung kemudia dibiarkan selama 5-10
menit pada suhu kamar. Untuk meminimalisir kerusakan DNA, maka
dilakukan pemcampuran atau vortex dengan beberapa bahan tambahan
yang meliputi: proteinase K ( untuk mempermudah dan memperbaiki
kerusakan isolasi DNA akibat proses homogenisasi). Cernakan sampel
ginjal tikus (25-100 mg) dalam 0,5 ml DNAzol tambahan dengan
proteinase K (100 µg/ml) selama 4-24 jam pada suhu kamar.
b. Sentrifugasi
Endapan yang dihasilkan dari tahap pertama dihomogenkan
dengan alat sentrifugasi selama 10 menit pada suhu 4-25 0C dengan
kecepatan 10.000 rpm. Setelah itu, pindahkan cairan kental
(supernatant) yang dihasilkan, pada tabung yang baru. Tahap ini
39
bertujuan untuk menghilangkan fragmen-fragmen jaringan yang tidak
dapat dipecahkan, sebagian cairan RNA dan kelebihan polisakarida
dari cairan.
c. Pengendapan DNA
Mengendapkan DNA dari cairan dengan menambahkan 0.5
ml ethanol 100% dalam 1 ml DNAzol yang digunakan untuk isolasi.
Campur sampel dengan cara membalikkan tabung beberapa kali dan
didiamkan pada suhu kamar selama 1-3 menit. Pastikan DNAzol dan
ethanol tercampur dengan baik untuk membentuk larutan sejenis.
DNA dengan cepat akan tampak sebagai endapan yang keruh.
Kemudian pindahkan DNA pada tabung yang bersih. Letakkan tabung
secara tegak lurus selama 1 menit dan hilangkan sisa ciaran dari dasar
tabung. Kemudian disentrifugasi pada suhu 4-25 0C dengan kecepatan
5.000 rpm selama 5 menit.
d. Pencucian DNA
Cuci DNA dengan 0.8-1 ml ethanol 70%. Letakkan tabung
secara vertikal selama 0,5 -1 menit sampai DNA dapat mencapai dasar
tabung. Kemudian hilangkan ethanol dengan pipet atau dituang.
e. Pelarutan DNA
Hilangkan sisa alkohol dari dasar tabung menggunakan pipet.
Selanjutnya, DNA dilarutkan dalam air. Tambahkan 8 mM NaOH atau
air untuk mendekati konsentrasi DNA sebesar 0,2-0.3 µg/µl. Pada
40
keadaan khusus untuk sampel jaringan, tambahkan 0,2-0,3 ml dari
NaOH 8 mM atau air kedalam isolasi DNA dari 10-20 mg sampel
ginjal. Kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
12.000 rpm.
2. Enzim
Enzim yang digunakan adalah enzim DNA polymerase. DNA
polymerase merupakan enzim yang mengkatalis polimerasi DNA. Enzim
yang digunakan adalah sebanyak 20 µL.
3. Primer
Primer yang digunakan pada pemeriksaan bakteri Leptospira di
Balai Libang P2B2 Banjarnegara adalah primer yang didasarkan pada
penelitian Fonseca (2006) dengan urutan primer G1 (5’- CTG AAT CGC
TGT ATA AAA GT-3’) dan G2 (5’-GGA AAA CAA ATG GTC GGA
AG-3’).
4. Air, Mg2+ dan dNTP
Proses PCR memerlukan semua macam dNTP (dATP, dGTP,
dCTP dan dTTP) sebagai bahan untuk mensintesis untai DNA
komplementer. Konsentrasi masing-masing dNTP harus seimbang untuk
meminimalkan kesalahan penggabungan. Sementara ion Mg2+ merupakan
ion yang sangat penting karena ion ini mempengaruhi beberapa hal antara
lain annealing primer, suhu pemisahan untai template dan produk PCR,
spesifitas produk serta aktivitas dan ketepatan enzim.
41
B. Prinsip Kerja Polymerase Chain Reaction (PCR)
Sebelum masuk ke proses PCR, Komponen-komponen tersebut
dicampur dan disentrifugasi pada selama 1 menit. Setelah disentrifugasi, sampel
yang diperoleh akan masuk proses PCR dalam mesin thermocycling selama 3
jam. Dalam PCR, DNA akan mengalami tahap denaturasi (pemisahan),
annealing (penempelan) dan extension (perpanjangan). Proses-proses tersebut
berlangsung dalam suhu yang berbeda dimana pengaturan suhu dapat dilakukan
pada mesin dan penetuan suhu pada proses yang dilaksanakan juga didasarkan
pada primer yang digunakan dimana di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara
menggunakan dasar penelitian yang dilakukan oleh Fonseca pada tahun 2006.
Pada mesin thermocycling tersebut, berlangsung tahap-tahap denaturasi,
annealing dan extension, dimana ketiga proses tersebut dilakukan pada suhu
yang berbeda sesuai dengan primer yang digunakan serta sampel yang
digunakan (sel atau jaringan).
1. Denaturasi (pemisahan), tahap ini berlangsung pada suhu tinggi. Pada
pemeriksaan yang dilakukan di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, sesuai
dengan primer yang digunakan yang didasarkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Fonseca (2006), suhu pre denaturasi dilakukan pada suhu
94 0C selama 5 menit dan suhu denaturasi dilakukan pada suhu 94 0C
selama1 menit.
2. Annealing (penempelan), tahap ini dilakukan pada suhu 52 0C selama 1
menit. Pada proses annealing, suhu harus sesuai dengan primer yang
42
digunakan (harus spesifik) sehingga suhu bisa diatur (dinaikkan atau
diturunkan) untuk memperoleh hasil yang optimal.
3. Extension (perpanjangan), suhu untuk tahap ini adalah 72 0C selama 1 menit
dan 72 0C untuk 5 menit tambahan (post extension). Suhu 72 0C merupakan
suhu optimum enzim Taq polymerase. Lamanya waktu extension tergantung
pada panjang sequen target, konsentrasi sequen target dan suhu extension.
Secara umum, proses denaturasi, annealing dan extension dapat dilihat
pada gambar berikut ini:
Gambar 5.1 Gambaran Proses Denaturasi, Annealing dan Extention pada PCR
Dalam rangka memperoleh jumlah DNA target yang sesuai, maka proses-
proses tersebut dilakukan secara berulang melalui beberapa siklus. Pada
pemeriksaan yang dilakukan di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, berdasarkan
primer yang digunakan, ketiga proses tersebut dilakukan dalam 39 siklus.
Selama siklus berlangsung, terjadi kenaikan dan penurunan suhu yang
43
disesuaikan dengan masing-masing proses dimana suhu tersebut dapat diatur
pada mesin thermocycling.
Setelah melalui proses PCR, hasil PCR harus dituangkan dalam sumur-
sumur yang dibuat pada media agar untuk proses elektroforesis.. Oleh karena itu,
sebelum proses elektroforesis, perlu dibuat agar terlebih dahulu. Pembuatan
media agar terdiri dari beberpa bahan, antara lain gel agarosa sebanyak 40 µL,
ditambah dengan TBE (Tris Borate EDTA) ½ x dan ethidium bromid (EtBr)
sebanyak 2,5 µL. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur dalam cetakan agar
dan dimasukkan kedalam microwave sampai mengeras (± 10 menit). Agar yang
sudah mengeras kemudian dibuat sumur untuk meletakkan sampel DNA yang
akan dilakukan pada alat elektroforesis.
Tahap selanjutnya adalah elektroforesis gel agarosa. Elektroforesis
adalah suatu teknik yang mengukur laju perpindahan atau pergerakan partikel-
partikel bermuatan dalam suatu medan listrik. Prinsip kerja dari elektroforesis
berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif (anion),dalam hal
tersebut DNA, yang bergerak menuju kutub positif (anode), sedangkan partikel-
partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak menuju kutub negatif (anode).
DNA merupakan molekul yang bersifat asam, sehingga akan bergerak dari kutub
negatif (katoda) ke kutub positif (anoda). Pergerakan DNA di dalam gel
tergantung pada berat/ukuran molekul DNA, bentuk konformasi DNA,
konsentrasi agarosa, tegangan listrik yang digunakan dan kekuatan bufer
44
elektroforesis dan jenis bufer yang digunakan untuk elektroforesis Elektroforesis
digunakan untuk mengamati hasil amplifikasi dari DNA.
Pada proses elektroforesis, juga terjadi proses visualisasi DNA. Cara
paling mudah untuk memvisualisasi DNA dalam elektroforesis gel adalah
dengan pengecatan menggunakan ethidium bromid (EtBr). EtBr akan mengikat
DNA dengan cara menginsersi dan akan menghasilkan warna orange/merah
fluoresen ketika diiluminasi dengan cahaya UV. EtBr dapat dituangkan dalam
gel ketika proses pembuatan dan running bufer, atau sebaliknya, gel direndam
dalam larutan EtBr (0,5 g/ml) setelah elektroforesis selama 10 menit. Warna
divisualisasikan dengan iradiasi UV (misalnya menggunakan gel documentation)
dan difoto. Proses elektroforesis dilakukan selama 10 menit. pada sumur sumur
agar yang telah dibuat, dimasukkan marker (digunakan sebagai standar
pembacaan pada hasil visual) sebanyak 2,5 µL dan 8 µL DNA.
Setelah melalui proses elektroforesis, agar hasil elektroforesis dapat
divisualisasi, hasil dapat dilihat dengan alat gel documentation. Melalui alat ini,
dapat dilihat sampel mana saja yang positif mengandung bakteri Leptospira
dimana hasil tersebut dapat dilihat pada posisi garis yang sejajar dengan standar
atau target yang ditentukan yaitu 285.
Pada pemeriksaan bakteri Leptospira pada ginjal tikus yang dilakukan di
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara yang telah dilakukan, digunakan specimen
beruoa sampel ginjal tikus yang diperoleh hasil trapping yang dilakukan di
daerah Sleman. Pemilihan organ ginjal pada pemeriksaan bakteri Leptospira
45
yang dilakukan di Balat Litbang P2B2 Banjarnegara adalah karena kebiasaan
hidup dari bakteri Leptospira yang sering hidup pada organ ginjal tersebut.
Sampel-sampel tikus yang diperiksa diberi kode untuk memudahkan saat
memasukkan hasil PCR kedalam sumur-sumur agar sehingga dalam
melatakkannya tidak terbalik. Kode dan hasil pemeriksaan terhadap sampel
ginjal tikus yang dilakukan, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.1 Hasil Pemeriksaan bakteri Leptospira pada Ginjal Tikus
No Kode Sampel Hasil Pemeriksaan
1 16 -2 65 -3 61 -4 30 -5 65 -6 20 -7 55 -8 58 -9 25 +10 28 -11 26 -12 8 -13 2 -14 52A -15 59 -
Sampel-sampel tersebut dimasukkan kedalam sumur-sumur yang telah
dibuat pada agarosa secara berurutan. Berdasarkan pemeriksaan menggunakan
gel documentation terhadap sampel-sampel ginjal tikus diatas, diperoleh hasil
visualisasi sebagai berikut:
46
Gambar 5.2 Hasil Pembacaan Gel Documentation pada Sampel
Ginjal Tikus yang Diperiksa
Berdasarkan pembacaan dengan menggunakan gel documentation,
menunjukkan bahwa sampel ginjal tikus nomor 9 dengan kode 25 positif
mengandung bakteri Leptospira. Hal tersebut dapat terlihat dari garis yang
sejajar dengan target pada marker yaitu 285 (diatas 200 dan dibawah 300).
Penetapan standar 285 didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fonseca
(2006).
marker
100
200
300
Sampel no. 1-14Sampel positif
(no. 9)
47
PCR merupakan metode yang dapat digunakan untuk amplifikasi DNA
baik pada hewan maupun manusia. metode pemeriksaan pada manusia dan
hewan adalah sama yang membedakan adalah dari jenis sampel yang digunakan
(sel atau jaringan). Begitu pula terhadap jenis penyakit yang akan diperiksa
dengan PCR, metode pemeriksaan yang dilakukan sama yang membedakan
adalah sampel dan primer yang digunakan.
C. Kelebihan dan Kekurangan Metode PCR
Pemeriksaan PCR sangat tergantung pada keahlian dan pengalaman
operator. Spesifitas hasil pemeriksaan dipengaruhi oleh adanya kemungkinan
kontaminasi spesimen saat pemrosesan di laboratorium, jika primer yang
digunakan tidak spesifik atau jika kondisi PCR tidak optimal memungkinkan
produk amplifikasi yang tidak spesifik. Sumber kontaminasi yang paling sering
adalah dari spesimen lain atau dari prosedur amplifikasi sebelumnya. Hasil
negatif palsu juga dapat terjadi jika ada bahan-bahan dalam spesimen yang
menghambat ekstraksi atau amplifikasi asam nukleat.
Tabel 5.2 Kelebihan dan Kekurangan PCR
Kelebihan Kekurangan
Sensitivitas tinggi Potensial terjadi hasil positif palsu akibat kontaminasi
Spesifitas tinggi Potensi terjadi hasil negatif palsu akibat adanya inhibitor PCR yang positif belum tervalidasi untuk semua penyakit infeksi (misalnya infeksi aktif atau laten) karena dapat mendeteksi organisme yang telah
48
matiReprodusibilitas baik Teknik prosedur yang kompleks, perlu
beberapa tahapanKemampuan untuk mendeteksi mikroorganisme penginfeksi yang tidak dapat diidentifikasi dengan metode konvensional
Peralatan dan reagen mahal
Sangat cepat, dapat memberikan hasil pada hari yang sama -
Dapat mendeteksi dan membedakan varian mikroorganisme (strain) -
Dengan semakin luasnya penggunaan PCR sebagai metode penunjang
diagnosis sangat perlu adanya standarisasi metode baik pada tahap pra-analitik
maupun tahap analitik. Standarisasi tahap pre-analitik antara lain meliputi antara
lain:
1. Pemilihan bahan pemeriksaan klinik sesuai dengan jenis penyakit dan jenis
(stage) beratnya penyakit.
2. Cara penyimpanan dan pengiriman ke laboratorium terutama sangat
tergantung target asam nukleat yang dideteksi, misalnya bila target adalah
DNA maka bahan disimpan pada suhu kamar atau dingin, tetapi bila RNA
bahan harus dibekukan.
3. Spesimen darah perlu penanganan khusus untuk deteksi patogen tertentu,
misalnya penambahan EDTA.
4. Pemilihan metode ekstraksi DNA atau RNA yang tepat sehingga didapatkan
target asam nukleat yang bebas dari matriks protein dan inhibitor.
49
Sementara itu, standarisasi pada tahap analitik dapat dilakukan dengan
cara:
1. Pemilihan primer sehingga didapatkan sensitifitas dan spesifisitas hasil yang
tinggi.
2. Reagen yang digunakan
3. Pemilihan mesin thermocycler yang juga menjadi penentu kondisi amplifikasi
yang diperlukan.
50
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan:
1. Komponen-komponen yang diperlukan dalam pemeriksaan bakteri Leptospira
pada ginjal tikus dengan metode PCR di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara
adalah DNA tempale, enzim, primer dan dNTP, konsebtrasi Mg2+ dan air.
2. Pada prinsipnya, pemeriksaan bakteri Leptospira pada ginjal tikus dengan
metode PCR di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara meliputi 3 proses yaitu
denaturasi (pemisahan), annealing (penempelan dan extension
(perpanjangan). Setelah itu, juga harus melalui proses elektroforesis dengan
gel agarosa sebelum dapat dilihat hasilnya pada gel documentation.
3. Dalam aplikasi metode PCR selain terdapat berbagai kelebihan seperti
sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dan dapat memperoleh hasil dalam
waktu yang cepat juga memiliki beberapa kekurangan seperti adanya hasil
pemeriksaan yang positif palsu atau negatif palsu.
B. Saran
1. Dalam pemeriksaan bakteri Leptospira dengan metode PCR, harus
dilaksanakan dengan teliti dan detail agar hasil yang diperoleh dapat optimal.
Oleh karena itu, para operator harus dapat bekerja sesuai dengan Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang ditentukan.
51
2. Proses pencampuran komponen-komponen PCR harus benar-benar tepat
sehingga hasil yang diperoleh dapat valid. Selain itu, juga diperlukan keahlian
yang khusus untuk dapat melakukan pemeriksaan dengan metode PCR
tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pelatihan kepada para operator
sebelum melalukan proses PCR.
3. Dalam pemeriksaan berbagai penyakit menggunakan PCR harus dilakukan
secara detail dan teliti oleh seorang operator yang handal sehingga hasil yang
diperoleh dapat dipertanggung jawabkan. Pelatihan terhadap operator juga
perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya human error dalam
melaksanakan pekerjaan.