Click here to load reader
Upload
hakhanh
View
214
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Terapi Intensif Antituberkulosis pada Dewasa dengan Meningitis
Tuberkulosis
Abstrak
Latar Belakang
Meningitis tuberkulosis sering mematikan. Terapi awal antituberkulosis dan terapi
tambahan dengan glukokortikoid memperbaiki tingkat kesembuhan, tapi hampir
satu per tiga pasien dengan kondisi ini masih meninggal dunia. Kami berhipotesis
bahwa terapi intensif antituberkulosis dapat meningkatkan pembasmian
organisme Mycobacterium tuberculosis intreserebral dan menurunkan tingkat
kematian di antara pasien.
Metode
Kami melakukan percobaan acak, double-blind, dan terkontrol plasebo yang
melibatkan dewasa yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan
dewasa yang tidak terinfeksi HIV dengan diagnosis klinis meningitis tuberkulosis
yang dimasukkan ke satu dari dua rumah sakit di Vietnam. Kami membandingkan
regimen standar selama 9 bulan (termasuk rifampin 10 mg per kilogram berat
badan per hari) dengan regimen intensif yang termasuk rifampin dosis tinggi (15
mg per kilogram per hari) dan levofloxacin (20 mg per kilogram per hari) selama
8 minggu awal terapi. Keluaran utama adalah kematian dalam 9 bulan setelah
pengacakan.
Hasil
Total 817 pasien (349 diantaranya terinfeksi HIV) diikutseratakan; 409
diantaranya secara acak diikutsertakan untuk mendapat regimen standar, dan 408
lainnya diikutsertakan untuk medapat regimen intensif. Selama 9 bulan follow-up,
113 pasien di kelompok terapi intensif, dan 114 pasien di kelompok terapi standar
meninggal dunia (rasio risiko, 0.94; interval kepercayaan 95%, 0.73 hingga 1.22;
p=0.66). Tak ada bukti efek diferensial yang signifikan dari terapi intensif pada
keseluruhan populasi atau pada subgrup apapun, dengan kemungkinan
pengecualian pasien yang terinfeksi M. tuberculosis resisten isoniazid. Juga tak
ada perbedaan signifikan pada keluaran sekunder di antara kelompok-kelompok
terapi. Jumlah keseluruhan kejadian efek samping yang mengganggu terapi tidak
berbeda secara signifikan di antara kelompok-kelompok terapi (64 kejadian pada
kelompok terapi standar dan 95 kejadian pada kelompok terapi intensif, P=008).
Kesimpulan
Terapi antituberkulosis intensif tidak berhubungan dengan tingkat kesembuhan
yang lebih tinggi di antara pasien dengan meningitis tuberkulosis dibandingkan
terapi standar.
Terapi awal dengan kemoterapi antituberkulosis dan terapi tambahan dengan
glukokortikoid mengurangi tingkat kematian dan disabilitas dari meningitis
tuberkulosis, tetapi penyakit ini masih membunuh atau melumpuhkan hampir
setengah pasien dengan kondisi ini. Pedoman saat ini merekomendasikan terapi
dengan empat obat antituberkulosis setidaknya selama 2 bulan awal terapi, diikuti
terapi dengan dua obat (rifampin dan isoniazid) selama 7 hingga 10 bulan.
Bagaimanapun, rekomendasi ini berdasarkan data dari tuberkulosis paru dan tidak
diperhitungkan perbedaan kemampuan obat antituberkulosis untuk menembus
otak.
Rifampin dianggap sebagai obat penting dalam terapi tuberkulosis, tapi
konsentrasi obat ini di cairan serebrospinal (CSS) kurang dari 30% konsentrasi di
plasma. Pada tuberkulosis paru, peningkatan dosis oral rifampin dari 10 hingga 13
mg per kilogram berat badan memiliki profil efek samping yang dapat diterima
dan menyebabkan peningkatan 65% konsentrasi obat di plasma. Perbandingan
acak baru-baru ini terhadap dosis rifampin intravena yang lebih tinggi (kurang
lebih 13 mg per kilogram per hari) dengan dosis oral standar (10 mg per kilogram
per hari) pada 60 orang dewasa Indonesia dengan meningitis tuberkulosis
menunjukkan bahwa mortalitas di antara pasien yang menerima dosis intravena
yang lebih tinggi, 50% lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang menerima
dosis standar.
Fluorokuinolon adalah agen antituberkulosis aktif dengan kemampuan
penetrasi sawar darah otak yang baik. Sebagai contoh, konsentrasi levofloksasin
di CSS mencapai 70% dari konsentrasi di plasma, dan obat ini memiliki aktivitas
bakterisidal awal yang mendekati isoniazid. Sebuah penelitian acak yang
melibatkan orang dewasa Vietnam dengan meningitis tuberkulosis memberi kesan
bahwa penambahan awal levofloksasi pada regimen empat obat antituberkulosis
standar memperbaiki tingkat kesembuhan, terutama di antara pasien yang diobati
sebelum onset koma. Sehingga kami ingin menguji hipotesis bahwa terapi
antituberkulosis intensif - dengan rifampin dosis tinggi (15 mg per kilogram per
hari) dan tambahan levofloksasin (20 mg per kilogram per hari) selama 8 minggu
pertama terapi - berdampak pada rendahnya tingkat kematian dan disabilitas
akibat meningitis tuberkulosis daripada dengan regimen yang direkomendasikan
saat ini.
Metode
Populasi dan Keadaan Penelitian
Kami merekrut partisipan penelitian dari dua pusat di Ho Chi Minh City,
Vietnam: Rumah Sakit Pham Ngoc Thach untuk Penyakit Paru dan Tuberkulosis
dan Rumah Sakit untuk Penyakit Tropis. Rumah sakit berkapasitas 500 tempat
tidur ini melayani komunitas lokal dan bertindak sebagai pusat rujukan tersier
bagi pasien dengan tuberkulosis berat (Rumah Sakit Pham Ngoc Thach) atau
penyakit infeksius (Rumah Sakit untuk Penyakit Tropis) di Vietnam bagian
selatan.
Deskripsi lengkap mengenai metodenya sudah diterbitkan di tempat lain dan
dilampirkan di dalam protokolnya, tersedia dengan teks lengkap artikel ini di
NEJM.org. Orang dewasa (≥18 tahun) dengan diagnosis klinis meningitis
tuberkulosis (setidaknya gejala meningitis selama 5 hari, rigiditas nuchae, dan
abnormalitas CSS) berhak untuk mengikuti percobaan ini. Pasien secara berurutan
diklasifikasikan sebagai meningitis tuberkulosis definite, probable, atau possible
atau kondisi alternatif, sesuai dengan kriteria diagnostik yang diterbitkan. Pasien
tidak bisa mengikuti percobaan ini jika mereka mendapat obat antituberkulosis
lebih dari 7 hari untuk infeksi saat ini; jika mereka diketahui atau dicurigai hamil;
jika mereka diketahui atau dicurigai hipersensitif terhadap atau efek samping
buruk dari fluorokuinolon atau rifampin; jika tuberkulosis resisten obat multipel
diketahui (dengan dasar hasil uji sputum suseptibilitas obat sebelumnya atau uji
Xpert MTB/RIF [Cepheid]) atau dicurigai ada; atau jika konsentrasi kreatinin
plasma lebih dari 3 kali batas atas nilai normal (untuk pria, >360 µmol per liter
[4.07 mg per desiliter], dan untuk wanita, >300 µmol per liter [3.39 mg per
desiliter]), jika konsenrasi bilirubin plasma lebih dari 2.5 kali batas atas nilai
normal (bilirubin total >42.5 mmol per liter), atau jika kadar aspartat atau alanin
aminotransferase plasma lebih dari lima kali batas atas nilai normal (>185 U per
liter atau >200 U per liter, beturut-turut).
Pengawasan Penelitian
Persetujuan tertulis untuk mengikuti penelitian ini diperoleh dari seluruh pasien
atau dari keluarga mereka jika pasien tidak mampu memberi ijin. Percobaan ini
diijinkan oleh Komite Etik Penelitian Tropis Oxford, dewan pengulas institusonal
di rumah Sakit untuk Penyakit Tropis dan di Rumah Sakit Pham Ngoc Thach, dan
komite etik Kementerian Kesehatan, Vietnam. Dewan pemantau data dan
keamanan independen mengulas data setelah 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun, dan 3
tahun. Uji Xpert MTB/RIF yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan
cara dibeli. Rifampin dan plasebo nya yang sesuai, begitu pula beberapa
levofloksasin, dibeli dari Mekophar dan Sanofi, berturut-turut. Sebagian
levofloksasin dan seluruh plasebo yang mirip levofloksasin disumbangkan oleh
Sanofi. Baik Mekophar maupun Sanofi tidak mengambil bagian dalam desain,
implementasi, atau analisis dari penelitian ini, termasuk persiapan manuskrip, atau
dalam keputusan untuk mengirim hasil untuk publikasi. Semua penulis menjamin
ketepatan dan keutuhan data serta ketelitian dari laporan ini untuk protokol
penelitian.
Penyelidikan Laboratorium
Spesimen CSS diwarnai dan dikultur dengan menggunakan metode standar
untuk bakteri piogenik, jamur, dan mikobakteri serta diuji dengan uji Xpert
MTB/RIF. Isolat Mycobacterium tuberculosis diuji kerentanannya terhadap
isoniazid, rifampin, ethambutol, dan streptomisin dengan metode tabung indikator
pertumbuhan mikobakteri. Seluruh pasien diuji antibodinya terhadap human
immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis C dan adanya antigen permukaan
hepatitis B. Jumlah sel CD4 dihitung untuk semua orang dewasa yang terinfeksi
HIV segera setelah pengacakan.
Perlakuan Penelitian
Semua pasien mendapat terapi standar antituberkulosis oral, yang terdiri dari
isoniazid (5 mg per kilogram per hari; maksimal, 300 mg per hari), rifampin (10
mg per kilogram per hari), pirazinamid (25 mg per kilogram per hari; maksimal, 2
g per hari), dan etambutol (20 mg per kilogram per hari; maksimal 1.2 g per hari)
selama 3 bulan, diikuti rifampin dan isoniazid pada dosis yang sama selama 6
bulan tambahan. Pasien yang sebelumnya mendapat terapi tuberkulosis juga
mendapat streptomisin (20 mg per kilogram per hari; maksimal, 1 g per hari)
selama 3 bulan pertama. Seluruh pasien mendapat terapi tambahan dengan
deksametason selama 6 hingga 8 bulan pertama terapu, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.Terapi intensif terdiri dari regimen standar 9 bulan dengan
tambahan 8 minggu pertama terapi rifampin dengan dosis berbasis berat badan (5
mg per kilogram per hari) dan levofloksasin (20 mg per kilogram per hari).
Kepatuhan terapi diyakinkan dengan penggunaan pengawasan minum obat untuk
pasien rawat inap, didorong oleh instruksi yang detil saat pemulangan, dan diukur
oleh jumlah pil saat kunjungan follow-up bulaan. Untuk pasien yang terinfeksi
M.tuberculosis yang resisten terhadap rifampin, isoniazid, atau keduanya, terapi
disesuaikan berdasarkan praktek lokal dan kerentanan organisme.
Pasien yang terinfeksi HIV menerima terapi antiretroviral sesuai dengan
panduan Vietnam. Terapi antiretroviral yang dimulai sebelum pendaftaran
dilanjutkan kecuali ada kontraindikasi penggunaan rifampin. Jika regimen terapi
antiretroviral yang diterima pasien pada saat pendaftaran termasuk nevirapin, obat
tersebut diganti dengan efavurenz. Untuk pasien yang sebelumnya tidak mendapat
terapi antiretroviral, terapi dimulai setelah 8 minggu terapi antituberkulosis.
Profilaksis kotrimoksazol (960 mg per hari) diberikan untuk semua pasien yang
memiliki jumlah sel CD4 di bawah 200 per milimeter kubik.
Pengacakan dan Perahasiaan Tugas Kelompok Penelitian
Pasien dikelompokkan berdasarkan lokasi, status infeksi HIV, dan kriteria
British Medical Research Council yang di modifikasi. MRC grade 1
mengindikasikan skor koma Glasgow 15 ( pada skala 3 hingga 15, dengan skor
terendah mengindikasikan tingkat kesadaran menurun) tanpa tanda neurologis,
tingkat 2 dengan skor 11 hingga 14 (atau skor 15 dengan tanda neurologis fokal),
dan tingkat 3 dengan skor 10 atau lebih rendah. Pasien ditugaskan secara acak
dengan rasio 1:1 untuk menerima terapi antituberkulosis standar atau intensif
berdasarkan daftar pengacakan yang dilakukan komputer, dengan pengacakan
dalam ukuran blok variabel 4 dan 6.
Apoteker penelitian ini mempersiapkan pil dengan bentuk serupa, secara
berurutan menomori paket terapi berdasarkan daftar pengacakan untuk dibagikan
sesuai urutan pasien yang direkrut. Seluruh partisipan, dokter yang ikut serta, dan
peneliti tetap tidak tahu penugasan terapi sampai pasien terakhir selesai di follow-
up. Dokter yang ada bertanggung jawab untuk mengikutsertakan partisipan dan
memastikan bahwa obat penelitian diberikan dari paket terapi yang benar.
Pemantauan harian seluruh pasien rawat inap oleh satu peneliti memastikan
manajemen yang seragam antara lokasi penelitian dan keakuratan pencatatan data
klinis di catatan penelitian individual.
Pengkajian Keluaran Akhir
Kondisi pasien dinilai setiap hari sampai dipulangkan dari rumah sakit untuk
pengkajian perjalanan klinis dan neurologis dan kejadian efek samping terkait
obat. Setelah pemulangan, kunjungan bulanan dijadwalkan untuk evaluasi klinis
dan pemantauan laboratorium hingga penyelesaian terapi 9 bulan.
Keluaran akhir utama adalah kematian pada 9 bulan setelah pengacakan.
Keluaran akhir sekunder termasuk disabilitas neurologi atau kematian, dan
kejadian efek samping serius. Keluaran akhir disabilitas dinilai dengan skor
“pertanyaan mudah” (berdasarkan jawaban dua pertanyaan ya atau tidak
bergantung dependensi pasien pada orang lain di aktivitas sehari-hari dan apakah
penyakit telah meninggalkan pasien dengan masalah lain) dan skor Rankin yang
dimodifikasi (skor disabilitas yang berkisar antara 0 [tak ada gejala] hingga 5
[kebergantungan total pada orang lain] dan diklasifikasikan sebagai “keluaran
akhir baik,” keluar akhir intermediet,” “disabilitas berat,” atau “kematian,” seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya. Pasien diperiksa pada bulan ke -2, 6, dan 9
setelah pengacakan; skor terburuk dari kuesioner diambil sebagai keluaran akhir.
Jika penilaian disabilitas selama 9 bulan hilang, penilaian sebelumnya digunakan.
Kejadian neurologis baru didefinisikan sebagai terjadinya salah satu kejadian
berikut: gejala serebelum; monoplegia, hemiplegia, paraplegia, atau tetraplegia;
kejang; cranial nerve palsy; atau menurunnya skor koma Glasgow 2 poin atau
lebih selama 2 hari atau lebih dari skor tertinggi yang tercatat sebelumnya.
Analisis Statistik
Kami menghitung bahwa dengan jumlah sampel sekitar 750 pasien, termasuk
minimal 350 pasien yang terinfeksi HIV, percobaan ini memiliki 80%
kemampuan untuk mendeteksi 10-persen-poin lebih rendah risiko kematian dalam
9 bulan di antara pasien yang menerima terapi intensif daripada mereka yang
menerima terapi standar (30% vs. 40%, sesuai target rasio bahaya 0.7) di
keseluruhan populasi dan 15-persen-poin lebih rendah risiko kematian pada
subkelompok pasien yang terinfeksi HIV (50% vs. 65%), pada tingkat signifikansi
5% dua sisi.
Analisis statistik mengikuti protokol dan rencana analisis statistik. Keluaran
akhir primer dianalisa pada seluruh pasien dan di subkelompok yang ditentukan
sebelumnya, dengan analisis berdasarkan model bahaya-proporsional Cox dengan
stratifikasi berdasarkan status infeksi HIV dan tingkkat MRC. Keluaran akhir
sekunder setelah kejadian dianalisis dengan cara yang sama dengan keluaran akhir
primer. Analisis regresi multivariabel Cox tambahan dan analisis skor disabilitas
berdasarkan imputasi multipel kovariat yang hilang dan keluaran akhir disabilitas,
seperti yang diterangkan di rencana analisis statistik.
Populasi analisis primer adalah populasi yang ditujukan-untuk-dirawat, yang
termasuk semua pasien yang menjalani pengacakan. Analisis keluaran akhir
primer diulang pada populasi per-protokol, yang tidak termasuk pasien yang
cenderung bukan meningitis tuberkulosis atau diagnosis alternatif sesuai kriteria
diagnostik, pasien dengan infeksi resisten multiobat, atau pasien yang menerima
kurang dari 50 hari perawatan dengan obat penelitian untuk alasan selain
kematian. Semua analisis statistik dilakukan dengan perangkat lunakbstatistik R,
versi 3 1.2.
Hasil
Populasi Penelitian
Dari 18 April 2011 hingga 18 Juni 2014, total sebanyak 817 pasien dewasa
secara acak ditugaskan untuk mendapat terapi antituberkulosis standar serta baik
placebo (409 pasien; kelompok terapi standar) atau tambahan rifampin dan
levoflokasin (408 pasien; kelompok terapi intensif). Total 53 pasien (28 orang di
kelompok terapi standard an 25 orang di kelompok terapi intensif) tidak
menyelesaikan follow-up dengan alasan selain kematian. Total 121 pasien (59
orang di kelompok terapi standard an 62 orang di kelompok terapi intensif) tidak
diikutsertakan dalam populasi per protokol. Kondisi lain selain meningitis
tuberkulosis didiagnosis didiagnosis pada 14 pasien (5 orang di kelompok terapi
standard an 9 orang di kelompok terapi intensif), dan 8 pasien (3 di kelompok
terapi standard an 5 orang di kelompok tetapi intensif) dipastikan tidak memiliki
meningitis tuberculosis. Total 103 pasien menerima kurang dari 50 hari terapi
regimen penelitian dengan alasan selain kematian, dan 15 pasien ini ditentukan
memiliki meningitis tuberkulosis resisten obat multiple. Kami menilai kepatuhan
dari intervensi selama 8 minggu, dan 4.0% partisipan (33 dari 817, 19 orang di
kelompok terapi standard an 14 orang di kelompok terapi intensif) dinilai tidak
patuh terhadap terapi (<100% dosis obat yang diterima).
Karakteristik Awal
Karakteristik awal pasien seimbang antara kedua kelompok terapi, dengan
pengecualian konsentrasi natrium di plasma (lebih rendah pada kelompok terapi
intensif), frekuensi episode tuberkulosis sebelumnya (lebih tinggi di kelompok
terapi intensif), jumlah total sel darah putih di CSS (lebih tinggi pada kelompok
terapi intensif), dan persentase limfosit di CSS (lebih rendah pada kelompok
terapi intensif). Total 68.5% dari pasien adalah pria, nilai tengah usia pasien
adalah 35 tahun, dan nilai tengah durasi penyakit adalah 15 hari. Mayoritas pasien
memiliki penyakit yang ringan hingga sedang; hanya 17.4% yang memiliki
penyakitr MRC tingkat 3 pada saat masuk. Total 42.7% pasien terinfeksi HIV.
Menggunakan kriteria diagnostic yang terpublikasi, kami menentukan 49.5%
pasien memiliki meningitis tuberkulosis definite, 26.2% memiliki meningitis
tuberkulosis probable, dan 21.3% memiliki meningitis tuberkulosis possible. Di
antara pasien dengan penyakit yang dikonfirmasi dengan kultur, 26.7% memiliki
infeksi resisten isoniazid, dan 4.7% memiliki infeksi resisten multiobat.
Karakteristik klinis awal pasien berdasarkan derajat keparahan penyakit MRC
yang disediakan di tabel S4 di Appendiks Tambahan.
Keluaran Akhir Primer
Selama 9 bulan follow-up, 113 pasien di kelompok terapi intensif dan 114
pasien di kelompok terapi standar meninggal dunia (rasio bahaya, 0.94; interval
kepercayaan 95% [IK], 0.73 sampai 1.22; P=0.66). Taka da bukti efek yang
berbeda dari terapi intensif di keseluruhan populasi atau di subkelompok yang
dispesifikasikan sebelumnya, walaupun ada dugaan keuntungan terapi intensif
bagi pasien dengan infeksi resisten isoniazid (P=0.006). Probabilitas kesembuhan
keseluruhan berdasarkan kelompok terapi di populasi per protokol dan kelompok
derajat MRC ditunjukkan pada Gambar S1 dan S2 di Apendiks Tambahan.
Analisis regresi Cox menunjukkan faktor-faktor berikut sebagai predictor
kesembuhan buruk: kekurangan neurologis yang lebih berat saat awal mula terapi,
seperti yang diindikasikan oleh derajat MRC yang lebih tinggi (rasio bahaya
untuk derajat 2 vs. derajat 1, 2.41; 95% IK, 1.70 hingga 3.42; rasio bahaya untuk
derajat 3 vs. derajat 1, 6.31; 95% IK, 4.36 hingga 9.12); Infeksi HIV (rasio
bahaya, 2.53; 95% IK, 1.90 hingga 3.36); dan infeksi resisten multiobat atau
resisten rifampin (rasio bahaya, 4.72; 95% IK 2.41 hingga 9.24) atau infeksi
dengan resistensi obat yang tidak diketahui (rasio bahaya dibandingkan dengan
tidak adanya resistensi isoniazid atau rifampin, 1.76; 95% IK 1.27 hingga 2.45).
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah sel CD4 yang lebih tinggi dihubungkan
dengan penurunan mortalitas (rasio bahaya per peningkatan 100 sel per millimeter
kubik, 0.62; 95% IK, 0.44 hingga 0.87).
Keluaran Akhir Sekunder dan Kejadian Efek Samping
Tidak ada bukti efek yang berbeda dari terapi intensif pada keluaran akhir
sekunder yang dispesifikasikan sebelumnya. Secara keseluruhan, tidak ada
perbedaan signifikan antara kelompok terapi berkaitan kejadian efek samping
klinis, terlepas dari tingginya frekuensi kejang pada kelompok terapi intensif
dibandingkan dengan kelompok terapi standar (23 vs. 11 pasien, P=0.04), begitu
pula dengan frekuensi gangguan penglihatan yang lebih tinggi pada kelompok
terapi intensif (14 vs. 4, P=0.02). Tanda-tanda alergi obat lebih sering pada
kelompok terapi intensif dibandingkan kelompok terapi standar (terjadi pada 30
pasien vs.17 pasien); bagaimanapun, perbedaan ini tidak mencapai signifikansi
(P=0.052). Perbedaan antara kelompok penelitian dalam jumlah kejadian efek
samping yang menyebabkan gangguan dalam terapi antituberkulosis juga tidak
mencapai signifikansi (64 kejadian pada kelompok terapi standar vs. 95 kejadian
pada kelompok terapi intensif, P=0.08). Ada lebih banyak gangguan akibat
jaundice pada kelompok terapi intensif daripada kelompok terapi standar ( pada
19 vs 7 pasien, P=0.02). Kelainan laboratorium tambahan dicatat pada Tabel S5 di
Apendiks Tambahan. Ada lebih banyak pasien secara signifikan dengan
peningkatan kadar bilirubin derajat 3 atau derajat 4 pada kelompok terapi intensif
daripasa kelompok terapi standar (49 vs. 31, P=0.04), begitu pula lebih banyak
pasien dengan hiponatremia grade 3 atau 4 (112 vs. 81, P=0.01). Nilai tengah
durasi perwatan awal adalah 31 hari pada kelompok terapi intensif dan 30 hari
pada kelompok terapi standar. Total 11 pasien (4 orang di kelompok terapi
standard an 7 orang di kelompok terapi intensif) memiliki perpanjangan interval
QT yang diperbaiki di atas ambang kritis 500 msec (dihitung menggunakan rumus
Framingham) pasa suatu waktu tertentu antara awal dan 4 minggu terapi.
Diskusi
Pada percobaan pragmatis, teracak, double-blind, terkontrol placebo ini
melibatkan orang dewasa dengan meningitis tuberkulosis, terapi antituberkulosis
intensif tidak dihubungkan dengan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi daripada
terapi standar. Hasilnya berlawanan dengan penemuan dari penelitian sebelumnya
yang mengesankan bahwa peningkatan dosis rifampin dan penambahan
fluorokuinolon pada regimen standar dapat memperbaiki keluaran akhir pasien
dengan meningitis tuberkulosis.
Keterbatasan penelitian kami adalah kami menguji regimen daripada kontribusi
dari masing-masing obat. Desain factorial dapat memungkinkannya tapi
menyebabkan butuhnya ukuran sampel yang besar. Bagaimanapun, penemuan
negatif kami mengesankan bahwa dosis rifampin yang lebih tinggi ataupun dosis
levofloksasin yang lebih tinggi tidak memperbaiki terapi meningitis tuberkulosis.
Ada beberapa penjelasan yang mungkin terkait hasil kami. Mungkin dosis
rifampin yang digunakan penelitian kami (15 mg per kilogram per hari) tidak
meningkatkan konsentrasi obat di otak secara memadai untuk meningkatkan
pembasmian bakteri. Data baru-baru ini menyebutkan bahwa dosis rifampin yang
jauh lebih tinggi (hingga 35 mg per kilogram per hari) mungkin memiliki profil
efek samping yang dapat diterima dan mungkin diperlukan untuk meningkatkan
pembasmian M.tuberculosis pada tuberkulosis paru secara signifikan. Lebih
lanjut, pemberian oral mungkin menghasilkan konsentrasi rifampin plasma yang
lebih rendah daripada pemberian intravena pada dosis yang sama. Beberapa
laporan menyebutkan bahwa keuntungan relatif rifampin pada terapi meningitis
tuberkulosis mungkin sedang dengan adanya pembasmian efektif mikobateri oleh
isoniazid.Peran utama rifampin pada terapi tuberkulosis paru mungkin untuk
memperpendek durasi terapi daripada untuk meningkatkan pembasmian
mikobakteri awal. Secara kontras, fluorokuinolo meningkatkan sterilisasi sputum
awal tapi tidak memperpendek durasi terapi, karena peningkatan relaps penyakit
yang tak dapat diterima. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
fluorokuinolon baik tidak memiliki efek pada keluaran akhir meningitis
tuberkulosis atau memberi keuntungan pada pasien dengan sakit ringan. Analisis
farmakokinetik dan farmakodinamik melibatkan pasien yang direkrut untuk
percobaan kami membantu menunjukkan kemungkinan ini.
Regimen antituberkulosis intensif dapat, bagaimanapun, menguntungkan
pasien yang terinfeksi M.tuberculosis resisten isoniazid. Cara bagaimana
penemuan ini seharusnya mempengaruhi praktik klinis masih tidak pasti, bahwa
deteksi resistensi isoniazid biasanya membutuhkan kultur bakteri dan sering
memakan waktu berminggu-minggu. Perkembangan tes molekuler cepat yang
dapat secara reliabel mendeteksi resistensi isoniazid di CSS dapat membantu
diagnosis awal dan penyesuaian terapi Bagaimanapun, intensifikasi empiris
regimen terapi mungkin dibutuhan pasien yang berisiko tinggi infeksi resisten
isoniazid atau pada lingkungan dengan prevalensi bakteri resisten isoniazid tinggi.
Mortalitas keseluruhan pada populasi kami lebih rendah daripada yang
diantisipasikan dengan dasar laporan sebelumnya. Ini mungkin akibat kombinasi
diagnosis sebelumnya (38.9% pasien memiliki penyakit MRC derajat 1 saat
pengacakan), peningkatan ketersediaan obat lini kedua untuk infeksi resisten obat,
dan perbaikan manajemen infeksi HIV. Walaupun hasil penelitian kami tidak
mendukung perubahan pada regimen terapi yang direkomendasikan saat ini untuk
meningitistuberkulosis, terapi antituberkulosis yang ditingkatkan dengan dosis
obat antituberkulosis lini pertama yang lebih tinggi, termasuk rifampin intravena,
atau obat antituberkulosis terbarubedakuilin dan delamanis, masih butuh
penyelidikan. Sementara itu, kunci penentu kesembuhan dari infeksi berbahaya ini
adalah diagnosis yang lebih awal dan terapi.