48
WP/ 4 /2013 Working Paper Januar Hafidz, Sagita Rachmanira, Tika Octia Desember, 2013 TINGKAT PERSAINGAN DAN EFISIENSI BANK UMUM DAN BPR DI PASAR KREDIT MIKRO DI INDONESIA

Working Paper - bi.go.id · UMKM, kredit mikro mempunyai karakteristik yang berbeda. Karakteristik pembiayaan yang antara lain bersifat high cost dan high labour merupakan kendala

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

TINGKAT PERSAINGAN DAN EFISIENSI

BANK UMUM DAN BPR DI PASAR KREDIT

MIKRO DI INDONESIA

WP/ 4 /2013

Working Paper

Januar Hafidz, Sagita Rachmanira, Tika Octia

Desember, 2013

TINGKAT PERSAINGAN DAN EFISIENSI

BANK UMUM DAN BPR DI PASAR

KREDIT MIKRO DI INDONESIA

Tingkat Persaingan dan Efisiensi

Bank Umum dan BPR di Pasar Kredit Mikro di Indonesia

Januar Hafidz1, Sagita Rachmanira2, Tika Octia3

Abstrak

1 Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia. 2 Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia. 3 Research fellow, Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia.

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memegang peranan yang penting dan strategis dalam mendorong perekonomian Indonesia, sebagaimana terlihat dari keberhasilan sektor UMKM untuk bertahan dan menopang perekonomian pada saat krisis. Melihat pentingnya kontribusi UMKM terhadap perekonomian tersebut Bank Indonesia turut berupaya mengembangkan dan memperkuat peran UMKM antara lain dengan mewajibkan bank untuk menyalurkan kredit ke sektor UMKM minimal 20% dari total kredit bank. Di antara ketiga segmen UMKM, kredit mikro mempunyai karakteristik yang berbeda. Karakteristik pembiayaan yang antara lain bersifat high cost dan high labour merupakan kendala bagi bank dalam menyalurkan kredit mikro. Namun, seiring dengan semakin ketatnya persaingan dalam pembiayaan sektor korporasi dan ritel, ditambah dengan margin kredit mikro yang lebih tinggi, saat ini semakin banyak bank umum yang mulai masuk pada pembiayaan mikro. Kondisi ini mengakibatkan persaingan dalam pemberian kredit mikro menjadi meningkat, tidak hanya di antara sesama bank umum, tetapi juga dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang memang identik dengan pembiayaan mikro. Melalui perhitungan Herfindahl- Hirschman Index (HHI) disimpulkan bahwa: (i) terdapat market power dalam pemberian kredit mikro perbankan; serta (ii) terdapat persaingan antara bank umum dan BPR dalam penyaluran kredit mikro, sepanjang beroperasi dalam wilayah yang sama. Selanjutnya, melalui pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA), disimpulkan bahwa tingkat efisiensi bank umum relatif lebih baik daripada BPR. Berdasarkan kedua hasil perhitungan tersebut, terlihat adanya indikasi Competition-Inefficiency Hypothesis. Namun, hasil tersebut menjadi bias mengingat tingkat persaingan hanya dihitung berdasarkan pembiayaan usaha mikro, sedangkan tingkat efisiensi dihitung dari keseluruhan aktivitas bank. Terlebih usaha mikro hanya memegang pangsa terbatas dari total kredit bank.

1

I. LATAR BELAKANG

1.1 Pendahuluan

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memegang peranan yang

penting dan strategis dalam mendorong perekonomian Indonesia. Hal ini

antara lain dapat terlihat melalui keberhasilan sektor UMKM untuk bertahan

dan menopang perekonomian pada saat krisis. Berdasarkan data

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia,

pada tahun 2011 UMKM diperkirakan memberikan kontribusi sebesar

57,94% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)4 Indonesia, yang 34,73%

berasal dari usaha mikro. Selain itu, dengan pangsa unit usaha yang

mencapai 99,99% dari total unit usaha (UMKM dan usaha besar) di

Indonesia, UMKM dapat menyerap tenaga kerja hingga 97,24% dari total

tenaga kerja yang ada di UMKM dan usaha besar. Kontribusi UMKM terhadap

perekonomian yang cukup signifikan ini mengakibatkan daya tahan

(sustainability) dan pengembangan UMKM menjadi sangat penting. Salah

satu cara untuk mengembangkan dan memperkuat peran UMKM dalam

struktur perekonomian nasional adalah melalui peningkatan akses

kredit/pembiayaan terhadap UMKM. Melalui risetnya, Morduch (1999) dan

Robinson (2001) mengemukakan bahwa supply pembiayaan terhadap micro

and small enterpreneurs (MSE) memegang peranan yang penting dalam

memerangi kemiskinan dan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi

pada negara berkembang.

Di Indonesia, dengan sistem keuangan yang bersifat bank-based

economy, pembiayaan terhadap UMKM saat ini cenderung didominasi oleh

sektor perbankan, baik bank umum 5 maupun Bank Perkreditan Rakyat

(BPR). Pada awalnya tidak banyak bank umum yang menyalurkan kredit

kepada UMKM, terutama untuk usaha mikro. Pemberian kredit mikro

awalnya lebih identik dilakukan oleh BPR dan lembaga keuangan mikro

lainnya. Karakteristik penyaluran kredit mikro yang antara lain bersifat high

4 PDB atas dasar harga berlaku. 5 Bank umum terdiri atas Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS).

2

cost dan high labour merupakan beberapa kendala bagi bank umum dalam

melakukan pembiayaan mikro. Namun, seiring dengan semakin ketatnya

persaingan penyaluran kredit kepada sektor korporasi dan ritel, cukup

besarnya pangsa usaha mikro yang potensial untuk mendapatkan

pembiayaan, serta margin keuntungan segmen mikro yang relatif lebih tinggi

daripada sektor lainnya, mendorong bank umum untuk membiayai usaha

mikro. Hal ini menyebabkan persaingan di segmen mikro menjadi semakin

ketat, termasuk persaingan antara bank umum dan BPR.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini disusun dengan

tujuan untuk mengidentifikasi (i) karakteristik usaha dan pembiayaan mikro,

(ii) tingkat persaingan/kompetisi di pembiayaan mikro oleh bank umum dan

BPR, serta (iii) tingkat efisiensi bank umum dan BPR. Identifikasi terhadap

tingkat efisiensi dilakukan mengingat beberapa penelitian menunjukkan

bahwa persaingan antarbank mampu memengaruhi kinerja bank, salah

satunya mampu memengaruhi tingkat efisiensi (Casu dan Girardone, 2007,

Schaeck dan Čihák, 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan

dibandingkan antara tingkat efisiensi bank umum dan BPR guna melihat

apakah bank dengan tingkat persaingan yang lebih tinggi memiliki tingkat

efisiensi yang lebih baik.

Kajian akan diawali dengan studi pustaka mengenai tingkat kompetisi

industri perbankan secara umum, yang meliputi identifikasi kompetisi pada

industri perbankan, faktor yang mendorong kompetisi, serta dampaknya

terhadap kinerja bank. Mengingat penelitian akan difokuskan pada

pembiayaan usaha mikro maka pada bahasan selanjutnya akan diulas

mengenai perkembangan usaha dan pembiayaan mikro di Indonesia,

termasuk karakteristik pembiayaan mikro pada setiap kelompok bank, yakni

bank umum dan BPR. Kemudian, bahasan akan dilanjutkan dengan analisis

kuantitatif guna mengukur tingkat kompetisi dan efisiensi pembiayaan mikro

pada tiap-tiap kelompok bank. Tingkat kompetisi dihitung dengan

menggunakan pendekatan struktural Herfindahl-Hirschman Index (HHI),

sedangkan tingkat efisiensi diukur dengan menggunakan Data Envelopment

Analysis (DEA). Adapun data yang digunakan dalam kedua perhitungan

3

tersebut adalah data sekunder yang berasal dari laporan bulanan bank

umum dan BPR. Guna melengkapi analisis, akan dilakukan pembahasan

terhadap data primer yang berasal dari hasil survei tingkat persaingan bank

umum dan BPR dalam pembiayaan usaha mikro6, serta hasil focus group

discussion (FGD) dengan beberapa bank, baik bank umum maupun BPR.

Pada akhir bahasan, akan diulas mengenai kesimpulan dan rekomendasi

kebijakan.

6 Survei dilakukan dengan responden dari pihak perbankan (bank umum dan BPR) dan

masyarakat. Responden terdiri atas 64 responden bank umum, 63 responden BPR, dan

1.409 responden rumah tangga yang tinggal di wilayah DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bandarlampung, Medan, Batam, Denpasar, dan Makassar. Khusus

survei kepada masyarakat/rumah tangga dilakukan bekerja sama dengan Departemen

Statistik Bank Indonesia.

4

II. Studi Pustaka

Kompetisi adalah saling berjuang antara dua individu atau beberapa

kelompok untuk memperebutkan objek yang sama. Secara umum, terdapat

dua pendekatan dalam teori kompetisi, yaitu pendekatan struktural dan

nonstruktural (Bikker dan Haaf, 2002). Pendekatan struktural berangkat dari

teori konvensional Industrial Organization (IO), yakni perhitungan kompetisi

yang didasarkan dari tingkat konsentrasi atau yang dikenal dengan

pendekatan Structure Conduct Performance (SCP). Berdasarkan pendekatan

SCP, tingkat konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan perilaku kolusif dan

nonkompetitif. Semakin tinggi tingkat konsentrasi, semakin tinggi market-

power. Dengan demikian, terdapat korelasi negatif antara tingkat konsentrasi

dan kompetisi. Sementara itu, pendekatan nonstruktural lebih memfokuskan

pada informasi yang diperoleh tentang perilaku kompetitif dan tidak

bergantung dari tingkat konsentrasi, antara lain perhitungan kompetisi yang

didasarkan atas elastisitas revenue terhadap input price (Panzar dan Rosse,

1987).

Pada industri perbankan, perhitungan tingkat kompetisi merupakan

hal yang penting. Karakteristik bank yang berbeda dengan perusahaan

nonbank pada umumnya, serta peranan penting bank dalam perekonomian,

menyebabkan banyaknya penelitian mengenai tingkat kompetisi yang

dilakukan dengan menggunakan data perbankan, baik melalui pendekatan

struktural maupun nonstruktural. Di samping itu, perkembangan industri

perbankan yang relatif cepat merupakan faktor pendorong perubahan tingkat

kompetisi bank. Secara umum terdapat empat faktor yang memengaruhi

tingkat kompetisi industri perbankan, yakni regulasi, fast-growing demand

akan jasa perbankan, perkembangan teknologi, dan inovasi pasar keuangan

global (Maudos et al, 2002). Regulasi yang berdampak pada berubahnya

struktur pasar/industri perbankan (tercermin dari perubahan jumlah bank)

akan memengaruhi tingkat kompetisi. Deregulasi sistem keuangan Eropa

dan terbentuknya Economic and Monetary Union telah melatarbelakangi Casu

5

dan Girardone (2006) dalam melakukan penelitian mengenai tingkat

kompetisi pada Single European Market. Sementara itu dengan menggunakan

data perbankan di Eropa dan Amerika Serikat, Berger et al (2001)

menemukan bahwa proses merger, akusisi, serta adanya new entry

memengaruhi perubahan tingkat persaingan bank dalam pemberian kredit

usaha kecil.

Di Indonesia, industri perbankan mengalami perkembangan dan

perubahan struktural sejak dikenalkannya paket deregulasi pada bulan

Oktober 1988 oleh pemerintah. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah

memberikan liberalisasi atau kelonggaran izin pendirian bank. Akibatnya,

jumlah bank di Indonesia mengalami peningkatan signifikan menjadi 111

bank pada tahun 1988 dan mencapai puncaknya hingga 240 bank pada

tahun 1994 (Enoch et al, 2001). Perubahan struktural kembali terjadi akibat

krisis ekonomi 1997. Jumlah bank di Indonesia berkurang seiring

dilakukannya merger terhadap bank-bank pemerintah dan likuidasi

terhadap 23 bank. Selanjutnya, melalui Arsitektur Perbankan Indonesia (API)

yang dikenalkan pada tahun 2004, Bank Indonesia selaku otoritas

perbankan kembali berupaya mendorong terciptanya struktur pasar

perbankan yang sehat, antara lain melalui proses merger dan konsolidasi.

Saat ini, jumlah bank umum di Indonesia mencapai 120 bank (Desember

2012). Mulyaningsih dan Daly (2011) dalam penelitiannya mengenai tingkat

kompetisi bank di Indonesia antara tahun 2001--2009 mengemukakan

bahwa perbankan di Indonesia terkonsentrasi pada bank-bank besar. Bank

tersebut bekerja di pasar yang kurang kompetitif jika dibandingkan dengan

bank-bank kecil, serta memiliki kekuatan monopoli yang memungkinkan

mereka untuk berperilaku monopolis atau oligopolis. Penemuan ini didukung

oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa pasar yang terkonsentrasi

memberikan kontribusi pada lingkungan yang kurang kompetitif.

Dalam dekade terakhir, penelitian mengenai tingkat kompetisi

perbankan tidak hanya berhenti pada teridentifikasinya persaingan. Bahasan

mengenai bagaimana dampak kompetisi terhadap kinerja bank menjadi topik

penelitian yang menarik. Schäfer, et al (2010) dalam penelitiannya mengenai

6

MSE di Kazakhstan menyimpulkan bahwa tingkat persaingan bank memiliki

korelasi positif dengan tingkat pembiayaan bank terhadap MSE yang diukur

melalui volume pemberian kredit baru, tanpa memengaruhi repayment

dicipline. Namun, dalam penelitian yang sama diungkapkan bahwa ekspansi

pada tingkat kompetisi yang tinggi berpotensi mengurangi tingkat kehati-

hatian dan dapat mendorong bank melakukan excessive risk taking.

Sementara itu, Schaeck dan Čihák (2008) berpendapat bahwa

kompetisi antarbank mampu berpengaruh positif terhadap tingkat kesehatan

melalui transmisi efisiensi. Dalam penelitiannya, Schaeck dan Čihák (2008)

melakukan pengujian terhadap dua hipotesis, yakni The Competition-

Efficiency Hypothesis dan The Competition-Inefficiency Hypothesis. Hasil

pengujian menunjukkan bahwa hipotesis pertama dapat dibuktikan, artinya

kompetisi mampu menstimulasi bank menjadi lebih efisien dengan

menciptakan harga yang kompetitif atau sama dengan marginal cost pada

pasar persaingan sempurna. Argumen ini didukung oleh The Efficient

Structure Hypothesis (Demsetz, 1973) yang menyatakan bahwa semakin

tinggi market share atau tingkat persaingan yang rendah (telah dibahas

sebelumnya bahwa konsentrasi berkorelasi negatif dengan kompetisi),

cenderung menciptakan harga yang lebih tinggi dari marginal cost. Harga

yang tinggi ini identik dengan kondisi yang kurang efisien.

Selanjutnya, korelasi negatif antara tingkat kompetisi dan efisiensi

berdasarkan The Competition-Inefficiency Hypothesis dapat dijelaskan

sebagai berikut. Pada struktur perbankan dengan tingkat persaingan yang

tinggi, loyalitas nasabah cenderung menurun sehingga hubungan antara

nasabah dan bank menjadi kurang stabil dan lebih bersifat jangka pendek

(Boot dan Schmeijts, 2005). Kondisi yang demikian selain dapat memicu

munculnya permasalahan asymmetric information, juga menstimulus bank

agar lebih fokus dan banyak mengeluarkan biaya pada kegiatan yang

bertujuan untuk meningkatkan loyalitas nasabah. Dengan demikian, The

Competition-Inefficiency Hypothesis menyimpulkan bahwa kompetisi

berpotensi menimbulkan inefisiensi. Namun, pada penelitian Schaeck dan

Čihák (2008), hipotesis ini tidak terbukti. Pendapat lain mengenai hubungan

7

antara tingkat persaingan dan efisiensi bank diungkapkan oleh Casu dan

Girardone (2007). Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa kondisi

inefisien pada industri perbankan yang kompetitif dapat diartikan sebagai

dua hal, yakni bank sedang struggling dengan tingkat kompetisi yang tinggi

atau sebagai signal bahwa bank sedang tereksploitasi dengan peningkatan

market power.

Secara umum, selain perhitungan sederhana melalui accounting ratio,

terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan untuk menghitung tingkat

efisiensi bank, yaitu pendekatan parametrik dan nonparametrik. Pendekatan

parametrik memerlukan persyaratan spesifikasi dan estimasi dari fungsi

biaya atau fungsi produksi, sebagai contoh perhitungan efisiensi biaya

dengan menggunakan metode Stochastic Frontier Analysis (SFA) dan

Distribution Free Analysis (DFA). Hal utama yang perlu diperhatikan dalam

melakukan perhitungan tingkat efisiensi melalui pendekatan ini adalah

ketepatan dalam menentukan spesifikasi fungsi dan underlying proses

stokastik yang digunakan. Hadad, et al (2003) dalam penelitiannya mengenai

tingkat efisiensi perbankan di Indonesia, mencoba membandingkan kedua

metode parametrik tersebut dan menghasilkan kesimpulan yang sama. Baik

SFA maupun DFA menghasilkan bank yang sama sebagai bank acuan yang

paling efisien, kelompok bank asing sebagai kelompok bank yang paling

efisien, serta kesimpulan yang sama bahwa merger bank di Indonesia tidak

menjadikan bank menjadi lebih efisien.

Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan nonparametrik. Berbeda

dengan pendekatan parametrik, pendekatan ini tidak memerlukan spesifikasi

persamaan (fungsi) ekonometrik tertentu. Pendekatan nonparametrik

menggunakan teknik program linear untuk membentuk efficient frontier

sebagai acuan. Salah satu metode nonparametrik yang sering digunakan

untuk menghitung tingkat efisiensi di perbankan adalah Data Envelopment

Analysis (DEA). DEA memiliki keunggulan untuk mengukur tingkat efisiensi

dari suatu aktivitas ekonomi yang memiliki multiple input dan output. Pada

tahun 2006, Fiorentino, et al mencoba mengukur tingkat efisiensi perbankan

di Jerman melalui dua pendekatan, SFA dan DEA. Berdasarkan penelitian

8

tersebut, diperoleh hasil bahwa pendekatan nonparametrik cenderung lebih

sensitif terhadap pengukuran error dan outliers, sedangkan pendekatan

parametrik menghasilkan estimasi tingkat efisiensi yang kurang stabil

setelah 12 tahun periode estimasi.

Penggunaan metode parametrik dan nonparametrik dalam menghitung

tingkat efisiensi lembaga keuangan dapat dilakukan melalui tiga konsep

pendekatan input-output, yaitu pendekatan produksi, pendekatan

intermediasi, dan pendekatan aset. Pendekatan produksi mendefinisikan

institusi keuangan sebagai produsen dari akun-akun deposit dan kredit.

Sementara pendekatan intermediasi mendefinisikan institusi keuangan

sebagai intermediator yang mengubah sumber dana (dana pihak ketiga)

menjadi aset keuangan berupa kredit. Hampir menyerupai pendekatan

intermediasi, pendekatan aset mendefinisikan institusi keuangan sebagai

pencipta aset-aset, terutama kredit.

III. Karakteristik dan Perkembangan Pembiayaan

Usaha Mikro

9

Melalui PBI Nomor 14/22/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012, Bank

Indonesia mendefinisikan kredit mikro sebagai kredit yang diberikan kepada

pelaku usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro. Adapun definisi usaha

mikro sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang

UMKM adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan

usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagai berikut: (i)

memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha; dan (ii) atau memiliki hasil penjualan tahunan

paling banyak Rp300 juta. Namun, peraturan tersebut tidak mengatur

besarnya plafon untuk setiap segmen kredit UMKM. Akibatnya, besaran

plafon kredit UMKM setiap bank menjadi berbeda-beda tergantung dari risk

appetite bank tersebut. Sebagai contoh ada bank dengan plafon kredit mikro

maksimal sebesar Rp100 juta dan ada juga yang mencapai Rp500 juta. Dari

sisi masyarakat/nasabah, kondisi ini kurang menguntungkan mengingat

suku bunga kredit mikro lebih tinggi dari segmen kredit lainnya. Nasabah

yang mendapat kredit dari suatu bank sebesar Rp500 juta, namun termasuk

dalam kategori kredit mikro akan dikenakan suku bunga yang lebih tinggi,

padahal jika kredit tersebut diperoleh dari bank lain dan masuk dalam

segmen kredit kecil atau menengah akan dikenakan suku bunga kredit yang

lebih rendah.

Saat ini, jumlah pembiayaan perbankan ke sektor mikro diperkirakan

baru mencapai 14,8% dari total usaha mikro yang ada7. Sementara dari sisi

bank, pembiayaan mikro hanya 4,1% dari total kredit perbankan. Dengan

demikian, masih terdapat peluang bagi bank untuk meningkatkan

penyaluran kredit mikro. Hal ini didukung pula oleh potensi/permintaan

masyarakat yang cukup besar. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk

meningkatkan fungsi intermediasi ke UMKM, melalui PBI yang sama Bank

Indonesia mewajibkan bank umum untuk memberikan pembiayaan kepada

UMKM sekurang-kurangnya 20% dari total pembiayaan bank. Batasan

minimum ini akan diimplementasikan secara bertahap sampai dengan tahun

7 Menggunakan angka potensi usaha mikro dari Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah.

10

4,06

95,94

Mikro Non Mikro

Pangsa Kredit Mikro terhadap Total Kredit Bank Umum dan BPR (%)

86,21

13,79

Mikro BU Mikro BPR

Pangsa Kredit Mikro Bank Umum dan BPR (%)

2018. Akan tetapi, dalam peraturan tersebut tidak ditentukan pangsa

minimum untuk setiap segmen kredit UMKM.

Sampai dengan akhir 2012, kredit mikro memiliki pangsa yang

terendah dari porsi pembiayaan UMKM bank umum (18,5%). Karakteristik

sebagian besar usaha mikro yang bersifat tidak feasible dan/atau tidak

bankable, regulasi bank umum yang relatif lebih ketat dan kompleks, serta

penerapan prinsip tingkat kehati-hatian, terkadang menjadi kendala bagi

usaha mikro untuk mendapatkan pembiayaan bank. Sementara itu, dari sisi

bank, penyaluran kredit mikro juga bukan hal yang mudah karena

diperlukan biaya operasional yang cukup tinggi serta sumber daya manusia

(SDM) yang tidak sedikit dan memiliki keahlian khusus dalam pemberian

kredit mikro, termasuk pendekatan yang lebih intens jika dibandingkan

dengan segmen korporasi dan ritel. Selain itu, lokasi usaha mikro yang

sebagian besar berada di pelosok mengakibatkan bank sering mengalami

kendala infrastruktur antara lain transportasi, komunikasi, supply cash

(peredaran uang), dan fasilitas perbankan lainnya seperti pembukaan kantor

cabang dan ATM. Akibatnya, tidak semua bank umum memiliki eksposur

kredit mikro.

Grafik 1. Grafik 2

Sebaliknya, kredit mikro memiliki pangsa tertinggi dari total

pembiayaan UMKM BPR , yakni 69,7% (Desember 2012). Regulasi BPR yang

tidak seketat bank umum, dan juga lokasi BPR yang berdekatan dengan

usaha mikro, menyebabkan proses pembiayaan usaha mikro oleh BPR

menjadi lebih mudah dan cepat. Hal ini didukung oleh hasil survei yang

menunjukkan bahwa kecepatan persetujuan kredit menjadi faktor

11

79,96

20,04

Mikro Kecil & Menengah

Pangsa Rekening Kredit Mikro thd Rekening Kredit UMKM (%)

14,56

85,44

Mikro Non Mikro

Pangsa Rekening Kredit Mikro thd Rekening Total Kredit (BU dan BPR - %)

pertimbangan utama dalam mengajukan kredit kepada BPR, kemudian

diikuti oleh tingkat suku bunga yang kompetitif dan kemudahan persyaratan

administrasi. Oleh karena itu, kredit mikro merupakan salah satu andalan

penyaluran dana BPR. Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan BPR,

jumlah nominal kredit mikro yang disalurkan oleh bank umum lebih

mendominasi, yakni 86,21% dari total kredit mikro perbankan, sedangkan

BPR hanya sebesar 13,79%. Dominasi bank umum dalam penyaluran kredit

mikro ini antara lain didukung oleh infrastruktur dan permodalan yang lebih

kuat, sumber dana yang cukup, jaringan kantor yang luas, serta kuantitas

dan kualitas SDM yang lebih memadai jika dibandingkan dengan BPR.

Grafik 3.

Karakteristik lain dari kredit mikro adalah jumlah debitur kredit mikro

perbankan yang sangat banyak, tetapi dengan nominal kredit yang relatif

kecil. Akibatnya, kredit mikro memiliki jumlah rekening yang cukup

signifikan. Pangsa rekening kredit mikro terhadap rekening kredit UMKM

sangat dominan, yakni mencapai 79,96%, sedangkan jika dibandingkan

dengan rekening total kredit porsinya tercatat sebesar 14,56%.

Grafik 4. Grafik 5.

12

3.1 Bank Umum

Sebelum membahas mengenai perkembangan kredit mikro bank

umum, perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana struktur bank umum

di Indonesia. Saat ini, pangsa total aset, kredit, dan dana pihak ketiga

(DPK) bank-bank besar sangat dominan terhadap industri perbankan,

meskipun menunjukkan kecenderungan yang menurun.

Grafik 6. Perkembangan Pangsa Total Aset, Kredit, dan DPK

Kelompok Bank Terbesar

Apabila perbankan dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan total aset,

yakni 5 bank terbesar, 10 bank terbesar, dan 14 bank terbesar, terlihat

bahwa sejak tahun 2010 total aset cenderung turun pada semua kelompok

bank terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok bukan bank terbesar

mampu bersaing dalam mengakumulasi aset sehingga pangsa total asetnya

meningkat. Dari sisi penyaluran kredit, pangsa kredit kelompok bank

terbesar juga turun walaupun penurunannya tidak sebesar total aset.

Kondisi ini mencerminkan kelompok bukan bank terbesar mempunyai

keunggulan tersendiri dalam menyalurkan dana ke masyarakat dengan

berbagai strategi dan kemampuan yang dimiliki. Sementara itu,

53,28

67,06

73,71

41,27

64,7667,99

50,91

65,34

71,87

5 Bank Terbesar 10 Bank Terbesar 14 Bank Terbesar

Perkembangan Tingkat Konsentrasi DPK Perbankan

2010 2011 2012

50,30

64,75

71,34

48,85

63,32

69,80

48,23

62,96

69,47

5 Bank Terbesar 10 Bank Terbesar 14 Bank Terbesar

Perkembangan Tingkat Konsentrasi Aset Perbankan

2010 2011 2012

47,97

64,05

70,42

47,06

62,95

70,17

46,94

62,77

69,88

5 Bank Terbesar 10 Bank Terbesar 14 Bank Terbesar

Perkembangan Tingkat Konsentrasi Kredit Perbankan

2010 2011 2012 3

13

Pertumbuhan Tahun5 Bank

Terbesar

Bank

Lainnya1)

10 Bank

Terbesar

Bank

Lainnya2)

14 Bank

Terbesar

Bank

Lainnya3)

2011 17.88 24.90 18.69 26.29 18.75 27.90

2012 15.23 18.15 16.05 17.88 16.17 18.02

2011 22.18 26.71 22.38 28.37 24.10 25.57

2012 22.82 23.42 22.78 23.74 22.63 24.33

2011 -7.81 49.66 14.94 27.37 9.80 44.93

2012 42.92 -3.18 16.88 13.94 22.46 1.781) 115 Bank Lainnya

2) 110 Bank Lainnya

3) 106 Bank Lainnya

Pertumbuhan

Kredit (YoY)

Pertumbuhan

DPK (YoY)

Pertumbuhan

Aset (YoY)

penghimpunan dana kelompok bank terbesar pangsanya cenderung

fluktuatif dengan pangsa tahun 2012 lebih rendah daripada tahun 2010. Hal

ini mengindikasikan bahwa kelompok bukan bank terbesar dapat bersaing

dengan bank-bank besar dalam menghimpun dana masyarakat melalui

berbagai strategi, kemampuan yang dimiliki, dan juga pendekatan ke

nasabah.

Tabel 1. Pertumbuhan Total Aset, Kredit, dan DPK per Kelompok Bank

Terkait dengan konsentrasi tersebut, hal yang perlu diperhatikan

adalah apakah dengan terkonsetrasinya total aset, kredit ,dan DPK di

beberapa bank terbesar menyebabkan adanya praktik oligopoli dan/atau

kartel di perbankan Indonesia dalam penetapan suku bunga kredit. Untuk

mencermati hal tersebut, dilakukan analisis melalui tiga pendekatan sebagai

berikut. Pertama, melalui pendekatan ketentuan pelaporan dan publikasi

Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) 8 .. Laporan dan publikasi tersebut

mencerminkan kondisi bank yang sebenarnya, mengingat perhitungan SBDK

dilakukan dengan menggunakan data-data internal bank jika SBDK

ditambah dengan premi risiko akan menjadi suku bunga kredit. Dengan

demikian, praktik kartel dalam penetapan suku bunga kredit kemungkinan

kecil terjadi karena SBDK mencerminkan kondisi individu bank bukan

berdasarkan hasil kesepakatan dan/atau perbandingan dengan bank lain.

Kedua, pada saat penetapan suku bunga kredit, bank melakukan

benchmarking dan/atau peer group analisis terhadap besaran suku bunga

8 Melalui Surat Edaran (SE) Bank Indonesia No. 13/5/DPNP, sejak Maret 2011 Bank

Indonesia mewajibkan bank untuk melaporkan dan memublikasikan Suku Bunga Dasar Kredit (SDBK) yang komponennya terdiri atas Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), biaya overhead (OHC), dan margin keuntungan. SE tersebut kemudian diamandemen pada bulan

Januari 2013 melalui SE No. 15/1/DPNP yang pada amandemen tersebut ditambahkan

kewajiban bank untuk melaporkan dan memublikasikan SBDK kredit mikro.

14

5

5.5

6

6.5

7

7.5

8

8.5

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1

2010 2011 2012 2013

Sb. Deposito Rp (%)- Industri Sb. Deposito Rp (%)-14BB

Sb. Deposito Rp (%)-non 14 BB

10

11

12

13

14

15

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1

2010 2011 2012 2013

Sb. Kredit Rp (%)- Industri Sb. Kredit Rp (%)-14BBSb. Kredit Rp (%)-non 14 BB

kredit bank-bank pesaing agar suku bunga yang ditetapkan dapat bersaing

dan menarik bagi masyarakat. Dengan demikian, besaran dan pergerakan

suku bunga kredit suatu bank kemungkinan dapat sama dan searah dengan

bank yang lain. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai praktik kartel karena

tidak ada unsur persekongkolan dalam menetapkan suku bunga kredit

tersebut. Dalam hal ini, yang dilakukan bank merupakan bagian dari strategi

usaha bank untuk menjaga tingkat persaingan dan kelangsungan usahanya.

Grafik 7. Perkembangan Rata-Rata Suku Bunga Deposito Rupiah

Grafik 8. Perkembangan Rata-Rata Suku Bunga Kredit Rupiah

Ketiga, dari sisi pendapatan, secara umum sumber pendapatan bunga

perbankan mayoritas berasal dari penyaluran kredit yang mencapai sekitar

86,32% (Desember 2012). Dengan demikian, bank akan mempertimbangkan

dengan baik apabila akan melakukan penyesuaian suku bunga kredit karena

dapat memengaruhi kinerja pendapatan bank, kecuali jika penurunan suku

bunga kredit tersebut dapat dikompensasi dengan peningkatan volume kredit

dan/atau efisiensi. Sementara itu, sumber dana terbesar perbankan adalah

DPK, yakni mencapai sekitar 75,66% dari total pasiva. Mengingat perubahan

suku bunga simpanan berpotensi memengaruhi kemampuan bank dalam

menghimpun dana masyarakat terutama pada kelompok bukan bank

terbesar, bank akan melakukan benchmark dengan bank pesaing untuk

melihat bagaimana posisinya di pasar agar dapat bersaing, tetapi dengan

tetap memperhatikan kemampuan dan kesinambungan usaha bank.

15

Grafik 9.

Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut, dapat digambarkan bahwa

industri perbankan yang terkonsentrasi belum mengindikasikan adanya

kartel dalam penetapan suku bunga kredit. Kondisi ini tercermin juga dari

tren suku bunga kredit dan simpanan perbankan yang cenderung menurun,

sementara jika ada kartel biasanya terindikasi dari tingkat suku bunga yang

stabil atau cenderung meningkat.

3.1.1 Perkembangan Kredit UMKM

Secara umum, pangsa kredit UMKM terhadap total pembiayaan bank

umum sempat mengalami penurunan secara signifikan, yakni dari sekitar

rata-rata 51% menjadi rata-rata 18%--19%. Penurunan tersebut disebabkan

oleh perubahan definisi kredit UMKM menjadi hanya ditujukan untuk usaha

ekonomi produktif, tidak termasuk konsumsi, yang didasarkan atas besarnya

aset dan omzet sebagaimana definisi menurut UU Nomor 20 Tahun 2008.

Dengan mengacu pada definisi tersebut, penyaluran kredit bank umum

kepada usaha mikro dalam tiga tahun terakhir terus meningkat, baik dari

sisi volume maupun jumlah bank yang bermain di segmen mikro. Secara

total, pangsa kredit UMKM terhadap total kredit perbankan mencapai 19,31%

(Desember 2012), dengan pangsa kredit mikro terhadap total kredit UMKM

dan total kredit perbankan masing-masing sebesar 18,46% dan 3,57%.

16

TahunNominal

(T Rp)

Pangsa thd Kredit

UMKM (%)

Pangsa thd Total

Kredit (%)

NPL Gross

(%)

2010 71,63 19,02 4,03 2,69

2011 88,02 19,21 3,97 2,33

2012 97,18 18,46 3,57 2,49

Perkembangan Kredit Mikro Bank Umum Konvensional

Kelompok BankPangsa thd Kredit

UMKM (%)

Pangsa thd Total

Kredit (%)

Persero 27,40 6,92

Swasta 9,29 1,76

BPD 20,05 4,12

Campuran 0,91 0,04

KCBA 11,80 0,05

Kredit Mikro per Kelompok Bank - Des 2012

0%

25%

50%

75%

100%

Persero Swasta BPD KCBA Campuran Industri

Pangsa Komponen Kredit UMKM

Mikro Kecil Menengah

Tabel 2. Tabel 3.

Berdasarkan kelompok bank, kelompok bank Persero dan BPD

menyalurkan kredit mikro yang lebih besar dari kelompok bank lainnya. Hal

ini tercermin dari pangsa masing-masing sebesar 27,40% dan 20,05%

terhadap kredit UMKM, serta 6,92% dan 4,12% terhadap total kredit. Namun,

bila dilihat berdasarkan pangsa masing-masing segmen UMKM, pada semua

kelompok bank, kredit mikro justru memegang pangsa terkecil di antara

ketiga segmen kredit UMKM. Beberapa faktor seperti infrastruktur, SDM,

serta biaya operasional yang relatif lebih tinggi, mengakibatkan belum semua

bank masuk ke pembiayaan usaha mikro. Analisis ini didukung oleh hasil

focus group discussion (FGD) dengan beberapa bank umum yang menyatakan

bahwa terkait dengan kewajiban bank untuk melakukan pembiayaan

minimal 20% kepada sektor UMKM, sebagian besar bank (termasuk bank

besar) memilih untuk memenuhi kewajiban tersebut melalui penyaluran

kredit usaha kecil atau menengah, sedangkan kredit mikro akan diberikan

melalui linkage program.

Grafik 10.

Sementara itu, bila dilihat secara individual, dari 109 bank umum

konvensional (BUK), terdapat 80 bank, sebagian besar berasal dari kelompok

bank Persero dan Swasta, yang menyalurkan kredit mikro dengan jumlah

yang sangat bervariasi. Namun, hanya 11 bank dengan pangsa kredit mikro

17

Segmen KreditTotal Kredit

(T Rp)Pangsa terhadap

Total KreditJumlah Rekening(Juta Rekening)

Rata-rata Kredit/Rekening(Juta Rp)

Mikro 97,18 3,57% 5,74 16,93

Kecil 164,27 6,07% 1,14 144,35

Menengah 264,94 9,78% 0,30 879,60

Non UMKM 2.181,47 80,56% 32,26 83,94

Total 2.707,86 100,00% 39,44 68,66

terhadap total kredit lebih dari 5%, bahkan terdapat 41 bank yang pangsanya

di bawah 1%.

Tabel 4. Penyaluran Kredit UMKM Bank Umum Konvensional per Segmen

Kredit – 2012

Sementara itu, dari sisi kualitas kredit, pemberian kredit mikro bank

umum diimbangi dengan kualitas kredit yang cukup terjaga. Walaupun pada

periode 2002–2009 NPL gross kredit mikro cukup fluktuatif dan bahkan pada

beberapa periode tertentu berada di atas NPL gross kredit kecil dan

menengah, tetapi dalam tiga tahun terakhir rasio NPL gross kredit mikro

lebih rendah dari padaNPL gross segmen kredit kecil (4,74%), menengah

(2,57%), dan UMKM secara total (3,23%). Dalam perkembangannya,

perubahan definisi dan pelaporan kredit UMKM yang mengacu pada UU No.

20 Tahun 2008 sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mengakibatkan NPL

gross kredit mikro ketika memasuki tahun 2010 sempat turun cukup

signifikan. Pada bulan Desember 2009, pangsa kredit konsumsi di dalam

segmen mikro sangat signifikan (74,5%) dengan NPL gross yang relatif tinggi

(2,5%) sehingga ketika kredit konsumsi dikeluarkan dari pelaporan kredit

UMKM, NPL gross kredit mikro menjadi membaik. Kondisi ini juga ditunjang

oleh kinerja kredit mikro yang terus membaik. Sebaliknya, pada awal tahun

2010 rasio NPL gross kredit kecil mengalami peningkatan walaupun kredit

konsumsi telah dikeluarkan dalam klasifikasi segmen kredit kecil.

Peningkatan ini mengindikasikan memburuknya kinerja kredit kecil.

18

1%

2%

3%

4%

5%

6%

7%

8%

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

mikro kecil menengah

Perkembangan NPL Gross Kredit UMKM - Bulanan

Des-10 Des-11 Des-12

Executing

Outstanding (juta Rp)              2.660.382           3.826.197             6.428.660

Bank Umum 36 41 49

BPR 443 503 545

Rata-rata Suku Bunga (%) 13,03 12,29 11,78

Kisaran Suku Bunga (%) 7,5-17,00 7,00-17,00 6,50-16,78

Chanelling

Outstanding (juta Rp)              1.851.529           1.937.635                861.395

BPR 126 122 118

Total Linkage              4.511.911           5.763.832             7.290.055

Perkembangan Linkage Program

Grafik 11.

Dalam menyalurkan kredit mikro, bank umum dapat melakukannya

dengan beberapa cara, yakni secara langsung kepada masyarakat dan

melalui lembaga lain atau yang dikenal dengan istilah linkage program

melalui BPR. Program ini dapat dilakukan dengan skim executing dan

channeling. Selama tiga tahun terakhir, linkage program menunjukkan tren

yang meningkat hingga mencapai Rp7,29 T pada tahun 2012, khususnya

pada skim executing, sementara pada skim channeling cenderung fluktuatif.

Kenaikan tersebut terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah bank umum

dan BPR yang terlibat di dalam linkage program. Hal ini berdampak positif

mendorong turunnya suku bunga yang dikenakan oleh bank umum kepada

BPR pada skim executing.

Tabel 5.

Ke depan, pemberian kredit UMKM, termasuk kredit mikro, oleh bank

umum melalui BPR diperkirakan akan semakin meningkat, baik secara

nominal maupun jumlah bank. Hal ini antara lain didukung oleh faktor-

faktor berikut: (i) peraturan Bank Indonesia yang mewajibkan bank umum

19

untuk memiliki ekposur kredit UMKM setidaknya 20% dari total kredit.

Melalui kebijakan ini diharapkan supply kredit UMKM, termasuk kredit

mikro, akan meningkat hingga persaingan antarbank menjadi semakin ketat

dan pada akhirnya diharapkan mampu mendorong penurunan suku bunga

kredit UMKM; (ii) UMKM terbukti relatif lebih tahan dalam menghadapi

gejolak perekonomian, mampu menghasilkan pendapatan yang relatif stabil,

dan juga cukup prospektif; serta (iii) permintaan (demand) masyarakat akan

kredit UMKM (termasuk kredit mikro) dinilai masih cukup tinggi. Terlebih,

data menunjukkan bahwa beberapa bank menengah dan besar yang fokus

kepada penyaluran kredit mikro dan/atau UMKM cenderung mempunyai

rasio net interest margin (NIM) yang lebih besar dari peer group dan juga dari

rata-rata industri perbankan. Hal ini mencerminkan bahwa kredit mikro

mampu menghasilkan pendapatan yang memadai bagi bank. Namun,

karakteristik penyaluran kredit mikro yang bersifat high cost dan high labour

terkadang masih merupakan kendala bagi bank dalam melakukan ekspansi

pembiayaan pada usaha mikro.

3.1.2 Komponen Suku Bunga

Saat ini suku bunga kredit mikro relatif lebih tinggi dari segmen kredit

lainnya, tetapi telah menunjukkan tren menurun. Rata-rata suku bunga

kredit mikro industri perbankan pada tahun 2012 tercatat sebesar 17,52%.

Meskipun demikian, sumbangan kredit mikro terhadap pendapatan bunga

kredit perbankan masih relatif rendah, yakni sebesar 6,1%. Pangsa tersebut

berpotensi untuk terus meningkat seiring dengan meningkatnya volume

penyaluran kredit mikro. Dengan menggunakan pendekatan konsep SBDK,

struktur suku bunga kredit mikro terdiri atas empat komponen, yakni Harga

Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), biaya overhead (OHC), margin

keuntungan, dan kemudian ditambah dengan premi risiko untuk

mendapatkan perhitungan suku bunga kredit. Berdasarkan laporan 11 bank

yang mempunyai segmen kredit mikro yang cukup signifikan, secara rata-

rata (simple average) komponen terbesar pembentuk suku bunga kredit

mikro adalah OHC sebesar 40%, diikuti HPDK (30%), serta margin

keuntungan dan premi risiko masing-masing sebesar 15%. Dengan demikian,

20

2011 2012 2011 2012

Kredit Mikro 17,22 17,52 6,1 6,1

Kredit Kecil 15,49 14,65 9,2 8,7

Kredit Menengah 11,75 11,4 10,7 10,8

Rata-Rata Tertimbang

Suku Bunga (%)

Kontribusi thd

Pendapatan Bunga

Kredit (%)Segmen Kredit

Kontribusi Kredit UMKM thd Pendapatan Bunga Kredit

upaya penurunan suku bunga kredit mikro dapat dilakukan antara lain

melalui peningkatan efisiensi (fokus ke HDPK dan OHC) serta penetapan

margin keuntungan dan premi risiko yang wajar.

Tabel 6.

Penyumbang terbesar HPDK adalah biaya DPK, yakni sekitar 73% dari

HPDK. Hal ini terkait dengan besaran suku bunga simpanan dan volume

DPK. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan bank dalam menetapkan

suku bunga simpanan, antara lain suku bunga bank pesaing, kebutuhan

likuiditas, serta strategi usaha dan target-target yang telah ditetapkan

(seperti target penyaluran kredit dan laba).

Sementara itu, komponen pembentuk SBDK yang terbesar adalah OHC

yang sebagian besar dipengaruhi oleh biaya tenaga kerja (BTK) dan biaya

promosi. Besaran BTK antara lain terkait dengan perkembangan usaha bank,

kebutuhan pegawai, serta program pemeliharaan dan pengembangan

pegawai (retaining program). Sejalan dengan hal tersebut, data menunjukkan

bahwa BTK cenderung meningkat sejak tahun 2000 sampai dengan 2012.

Namun, jika dilakukan perbandingan data tahun 2011 dengan 2012, terlihat

bahwa kontribusi tenaga kerja terhadap kinerja bank menunjukkan

penurunan, baik berdasarkan kelompok bank maupun industri perbankan.

Ke depan, efisiensi dan efektivitas tenaga kerja perlu ditingkatkan. Oleh

karena itu, kenaikan BTK harus diimbangi dengan peningkatan produktivitas

pegawai baik dalam hal penyaluran kredit, penghimpunan dana maupun

dalam menghasilkan laba. Selanjutnya, perkembangan komponen OHC

lainnya, yaitu biaya promosi, antara lain dipengaruhi oleh strategi usaha,

upaya untuk meningkatkan brand awareness masyarakat, posisi persaingan

di industri, serta upaya untuk mempertahankan nasabah. Secara industri,

pangsa biaya promosi terhadap beban operasional cenderung meningkat

21

2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012

1 Persero 9.311 7.449 231,14 200,15 5.453,87 4.654,67 7.296,26 5.829,86 7,12 5,72 1,36 1,41 54,75 52,48

2 Swasta Devisa 8.580 8.551 146,97 158,43 5.401,62 5.587,89 6.864,06 6.787,70 5,49 5,19 1,40 1,43 81,63 77,41

3 Swasta Non Devisa 3.043 2.852 47,88 56,97 1.947,55 1.913,15 2.371,42 2.207,92 2,97 3,20 2,44 2,49 155,32 124,70

4 BPD 8.555 7.938 211,00 193,65 4.948,65 4.737,44 6.626,26 6.029,41 7,75 7,53 1,97 1,95 80,01 80,12

5 Campuran 18.732 16.541 259,54 269,62 12.425,19 11.526,87 11.835,57 9.975,06 11,72 9,27 1,24 1,20 89,58 73,65

6 KCBA 26.941 28.804 509,67 488,37 13.702,00 16.481,55 14.202,72 14.819,80 13,50 15,38 1,19 1,13 63,08 66,60

7 Industri 8.938 8.033 182,98 175,70 5.385,25 5.104,22 6.817,90 6.079,38 6,33 5,68 1,45 1,48 70,66 67,60

Ket: TA= Total Aset, TK= Jmh Tenaga Kerja, B.Diklat= Biaya Pendidikan dan Pelatihan, DPK= Dana Pihak Ketiga, BTK= Biaya Tenaga Kerja, Laba= Laba Bersih

No

Rekapitulasi Kontribusi/Kinerja Tenaga Kerja per Kelompok Bank

B.Diklat/TK (Juta Rp) BTK/Laba (%)DPK/TK (Juta Rp)TA/TK (Juta Rp) Laba/TK (Juta Rp) Kredit/TK (Juta Rp) BTK/TA (%)Kelompok Bank

sejak tahun 2010, tetapi masih relatif rendah, yakni sebesar 2,21% per

Desember 2012. Jika dibandingkan dengan DPK, kredit, dan total aset, porsi

biaya promosi sangat rendah, yakni di bawah 0,3%.

Tabel 7

Faktor lain yang ikut memengaruhi SBDK adalah margin keuntungan.

Dalam menetapkan margin keuntungan, bank antara lain memperhatikan

tingkat persaingan, target laba yang telah ditetapkan, serta strategi

pengembangan usaha (seperti pemupukan laba untuk meningkatkan modal).

Adapun estimasi premi risiko selain terkait dengan data historis kinerja NPL

kredit mikro, juga terkait dengan proyeksi bank terhadap kemampuan

membayar, prospek usaha, dan kinerja debitur. Oleh karena itu, bank perlu

mempunyai database yang baik dan mengembangkan metode/cara

perhitungan yang akurat untuk menghitung premi risiko, baik untuk

individu debitur maupun kelompok debitur agar bank dapat menetapkan

premi risiko yang wajar kepada nasabah.

3.2 Bank Perkreditan Rakyat

3.2.1 Perkembangan Kredit UMKM

Pangsa kredit mikro terhadap total kredit BPR menunjukkan tren yang

menurun sejak tahun 2010 hingga menjadi 31,21% pada tahun 2012.

Perkembangan yang sama juga terjadi pada pangsa kredit UMKM BPR yang

turun menjadi di bawah 50% dari total kredit BPR sejak tahun 2011. Khusus

pada kredit mikro, penurunan pangsa kredit mikro disebabkan oleh

pertumbuhannya yang melambat, yakni dari 12,82% (2011) menjadi 8,81%

22

2010 2011 2012 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012

Per Jenis Usaha * 33.844 41.100 49.819 21,44 21,22 100 100 100 6,10 5,22 4,75

a. Mikro 12.668 14.292 15.551 12,82 8,81 37,43 34,77 31,21 8,61 8,03 7,61

b. Kecil 3.669 3.795 4.838 3,45 27,48 10,84 9,23 9,71 6,08 5,86 5,70

c. Menengah 1.313 2.421 3.408 84,45 40,74 3,88 5,89 6,84 7,20 3,86 4,03

d. Non-MKM 16.195 20.591 26.022 27,14 26,38 47,85 50,10 52,23 4,09 3,32 2,96

Per Jenis Penggunaan 33.844 41.100 49.818 21,44 21,21 100 100 100 6,10 6,10 4,75

a. Modal Kerja 16.790 19.557 23.030 16,48 17,76 49,61 47,59 46,23 8,40 7,54 6,69

b. Investasi 1.929 2.364 2.964 22,56 25,40 5,70 5,75 5,95 5,06 4,17 4,65

c. Konsumsi 15.126 19.178 23.824 26,79 24,22 44,69 46,66 47,82 3,71 2,99 2,63

*) Untuk data tahun 2010 dan 2011, kriteria kredit berdasarkan jenis usaha telah disesuaikan dengan kriteria UMKM dalam UU No.20 Thn 2008 Tentang

UMKM

Penggolongan KreditPosisi (miliar Rp) Pertumbuhan (%) Pangsa (%) NPL (%)

(2012). Sementara itu, dari sisi kualitas, berbeda dengan perkembangan di

bank umum, kualitas kredit mikro BPR justru cenderung lebih tinggi jika

dibandingkan dengan segmen kredit lainnya meskipun dengan tren yang

menurun. Hal ini tercermin dari NPL gross kredit mikro BPR yang mencapai

7,61% per Desember 2012.

Tabel 8. Perkembangan Kredit Mikro BPR

3.2.2 Komponen Suku Bunga

Sumber dana BPR dalam membiayai kredit sebagian besar adalah DPK

yang mencapai 81,15% dari total sumber dana. Namun, pada tahun 2012

pertumbuhan DPK BPR tercatat lebih rendah dari kredit. Perkembangan ini

perlu dicermati khususnya terkait dengan kesinambungan penyaluran kredit

BPR. Sementara itu, selama 3 tahun terakhir LDR BPR relatif cukup tinggi,

yakni rata-rata sebesar 78%. Dengan kondisi tersebut BPR membutuhkan

sumber dana lain untuk membiayai kredit antara lain melalui linkage

program dengan bank umum. Sebagai alternatif sumber dana, linkage

program memiliki keunggulan dan kelemahan. Rata-rata suku bunga linkage

program yang mencapai 11,78% pada tahun 2012 merupakan sumber dana

mahal bagi BPR, mengingat rata-rata suku bunga deposito BPR hanya 8,40%.

Di sisi lain, dengan memperhatikan aspek (i) kontribusi dana dari linkage

program terhadap sumber dana BPR yang hanya sekitar 17%; serta (ii) tidak

diperlukannya biaya tambahan untuk penghimpunan dana linkage program,

yang dikeluarkan hanya biaya untuk penyaluran dana dan menetapkan

margin keuntungan; sumber dana linkage program seharusnya tidak

23

2010 2011 2012

Mikro 34,51 34,00 33,14

Kecil 29,87 27,39 26,57

Menengah 24,23 24,55 25,15

Selain MKM 28,13 27,30 26,12

Jenis Usaha KreditRata-Rata Suku Bunga (%)

Perkembangan Suku Bunga Kredit UMKM BPR

otomatis meningkatkan suku bunga kredit mikro BPR. Ke depan BPR perlu

mempunyai strategi untuk menyeimbangkan sumber dananya, baik yang

berasal dari DPK (dengan kondisi persaingan yang semakin ketat antar-BPR

dan juga BPR dengan bank umum) maupun yang berasal dari linkage

program (dengan kondisi pasokan dana yang sangat besar dari bank umum,

tetapi suku bunganya relatif lebih tinggi dari DPK).

Suku bunga kredit mikro di BPR merupakan yang tertinggi jika

dibandingkan dengan segmen kredit UMKM lainnya, yakni mencapai 33,14%

pada tahun 2012. Namun, seiring upaya efisiensi yang senantiasa dilakukan

oleh BPR, sejak tahun 2010 tren suku bunga kredit mikro cenderung turun.

Angka suku bunga tersebut lebih tinggi dari suku bunga kredit mikro bank

umum (17,52%). Walaupun dengan tingkat suku bunga yang cukup tinggi,

penyaluran kredit mikro BPR selama 2012 tetap tumbuh 8,81% (yoy), atau

lebih rendah dari pertumbuhan kredit mikro bank umum (10,41%).

Tabel 9.

Grafik12.

Secara umum, BPR memiliki struktur suku bunga kredit mikro yang

serupa dengan bank umum, tetapi dengan komposisi yang berbeda, yakni

HPDK (23,42%), OHC (31,18%), margin keuntungan (29,52%), dan premi

risiko (15,89%). Seperti halnya bank umum, HPDK BPR sangat tergantung

dari volume dan besaran suku bunga DPK sebagai sumber dana utama BPR

dengan pangsa yang mencapai 81,15%. Oleh karena itu, BPR akan

mempertimbangkan dengan saksama, antara lain dengan melihat suku

bunga BPR pesaing, strategi usaha, kebutuhan likuiditas, dan target-target

24

yang telah ditetapkan jika akan menyesuaikan suku bunga simpanan

mengingat hal itu dapat memengaruhi kemampuannya dalam menghimpun

dana masyarakat.

Sementara itu, OHC merupakan penyumbang terbesar terhadap beban

operasional BPR dengan pangsa rata-rata sebesar 51,61% dalam tiga tahun

terakhir. Adapun komponen terbesar pembentuk OHC adalah BTK, biaya

barang dan jasa, serta biaya promosi dan edukasi dengan pangsa masing-

masing sebesar 52,61%, 13,74%, dan 9,54%. Pangsa BTK serta biaya barang

dan jasa trennya menurun sejak tiga tahun terakhir, tetapi biaya promosi

cenderung meningkat. Dominasi BTK terjadi seiring perkembangan usaha

BPR dengan kebutuhan pegawai meningkat dan juga upaya dalam

mempertahankan tenaga kerja yang berkualitas (retaining program).

Sebagaimana bank umum, yang terpenting adalah kenaikan BTK tersebut

harus diiringi dengan peningkatan produktivitas pegawai baik dalam hal

penyaluran kredit, penghimpunan dana, maupun dalam menghasilkan laba.

Sementara itu, kenaikan biaya promosi terkait dengan upaya BPR untuk

memperkenalkan produk dan layanan kepada masyarakat, serta bagian dari

upaya untuk mempertahankan nasabah seiring dengan persaingan yang

semakin ketat.

Selanjutnya, margin keuntungan merupakan pembentuk terbesar

kedua terhadap suku bunga kredit mikro BPR. Beberapa faktor yang

menyebabkan hal tersebut antara lain (i) kredit merupakan sumber utama

pendapatan bunga BPR mengingat pangsa kredit terhadap penyaluran dana

tercatat cukup signifikan (76,94%), diikuti antarbank aktiva (ABA) sebesar

23,06%; (ii) laba merupakan komponen modal sehingga laba yang tinggi

dapat meningkatkan permodalan BPR yang antara lain berguna untuk

ekspansi usaha; dan (iii) berdasarkan hasil survei, nasabah kredit UMKM

(termasuk mikro) tidak terlalu memperhatikan suku bunga kredit yang

dikenakan oleh BPR karena akses dan kecepatan merupakan aspek yang

paling penting bagi nasabah. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan bagi

BPR dalam menetapkan suku bunga kredit yang relatif tinggi.

Margin keuntungan yang tinggi tersebut menyebabkan rasio returns on

assets (ROA) dan NIM industri BPR relatif tinggi bahkan lebih tinggi daripada

25

bank umum. Selain itu, tingginya margin keuntungan BPR juga tercermin

dari laba bersih yang tumbuh cukup tinggi, yakni sebesar 25,68% pada

tahun 2012 meskipun sedikit melambat jika dibandingkan dengan tahun

sebelumnya (28,04%). Selanjutnya, komponen pembentuk suku bunga kredit

mikro yang pangsanya terkecil adalah premi risiko. Besaran premi risiko yang

ditetapkan oleh BPR cukup moderat walaupun NPL gross kredit mikro rata-

rata sebesar 8,08% pada periode 2010--2012.

26

IV. Tingkat Kompetisi Pembiayaan Usaha Mikro antara

Bank Umum dan BPR

Perhitungan tingkat kompetisi dalam penelitian ini dilakukan melalui

pendekatan struktural dengan menghitung Herfindahl-Hirschman Index atau

yang dikenal dengan Herfindahl Index (HHI). HHI merupakan alat statistik

yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi. Menurut Bikker

dan Haaf (2002), kemampuan rasio konsentrasi dalam mencerminkan

kondisi struktural pasar menjadikan rasio konsentrasi sebagai alat statistik

yang sering digunakan dalam model struktural untuk menjelaskan kompetisi

bank. Di beberapa negara, HHI memegang peranan penting dalam proses

pelaksanaan antitrust perbankan. Sebagai contoh, Department of Justice dan

The Federal Commission Amerika Serikat menggunakan HHI sebagai indeks

untuk mengukur competitive effect dalam proses merger bank. US Horizontal

Merger Guidelines of 2010 membagi threshold HHI dalam tiga kategori, yakni

(i) Unconcentrated Markets, untuk HHI <1500; (ii) Moderately Concentrated

Markets, untuk 1500 < HHI < 2500; (iii) Highly Concentrated Markets, untuk

HHI >2500. Apabila proses merger menghasilkan angka HHI pada kategori

Highly Concentrated Markets dengan perubahan HHI pre-merger dan post-

merger lebih dari 200 poin, merger dinilai berhasil mencapai tingkat

konsentrasi yang cukup untuk menciptakan bank yang memiliki kekuatan

pasar (market power). Batasan tersebut bukanlah angka yang baku dan dapat

berbeda penerapannya di negara lain. The Australian Merger Guidelines

menetapkan single threshold HHI >2000 untuk menentukan apakah proses

merger menghasilkan tingkat konsentrasi yang mampu menciptakan market

power. Sementara UK Guidelines menetapkan bahwa tingkat kompetisi

cenderung berkurang apabila merger menghasilkan (i) 1000 < HHI < 2000,

dengan peningkatan HHI <250; atau (ii) HHI >2000 dengan peningkatan HHI

<150.

Secara matematis, HHI dapat diformulasikan sebagai hasil

penjumlahan dari kuadrat tingkat konsentrasi (pangsa) tiap-tiap bank yang

berada dalam sebuah pasar, atau dinyatakan dalam rumusan berikut:

27

𝐻𝐻𝐼 = ∑ 𝑠𝑖2𝑛

𝑖=1

(4.1)

dengan 𝑠 merupakan pangsa dari tiap-tiap bank, dan 𝑛 adalah jumlah bank.

HHI akan memiliki nilai terendah sebesar 1 𝑛⁄ 9, yakni apabila setiap bank

memiliki pangsa yang sama besar dan mencapai nilai tertinggi sebesar 110

dalam keadaan pasar persaingan tidak sempurna (monopoli). Kemampuan

HHI untuk mengidentifikasi tingkat persaingan dalam sebuah pasar dapat

dijelaskan sebagai berikut. Semakin tinggi angka HHI mengindikasikan

semakin tingginya tingkat konsentrasi dan adanya market power.

Berdasarkan teori ekonomi, market power menunjukkan seberapa besar

kemampuan perusahaan untuk dapat menaikkan harga di atas marginal cost

(𝑚𝑐) dan sekaligus berperan sebagai penentu harga (price setter). Dengan

demikian, pasar dengan market power yang tinggi mengindikasikan pasar

yang semakin mengarah ke monopoli. Hal ini sejalan dengan pendekatan SCP

pada bahasan sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat konsentrasi yang

tinggi akan menghasilkan perilaku kolusif dan nonkompetitif.

Selanjutnya, guna melengkapi analisis dan untuk mengidentifikasi

market power, dilakukan perhitungan indeks konsentrasi terhadap 𝑘 bank

terbesar (𝐶𝑅𝑘) dengan formula sebagai berikut:

𝐶𝑅𝑘 = ∑ 𝑠𝑖𝑛𝑖=1

(4.2) Tidak ada ketentuan khusus dalam menentukan jumlah bank terbesar

(𝑘 ) yang masuk dalam perhitungan indeks konsentrasi (𝐶𝑅𝑘) . Jumlah 𝑘

ditentukan berdasarkan arbitrary decision.

Pada bagian ini, perhitungan HHI akan dilakukan terhadap pangsa

pembiayaan usaha mikro di bank umum dan BPR. Oleh karena itu,

perhitungannya hanya akan melibatkan bank-bank yang memiliki eksposur

kredit mikro 11 . Adapun data yang digunakan bersumber dari laporan

9 Dapat dinyatakan dalam bentuk lain (1 𝑛) ∗ 10.000⁄ 10 Dapat dinyatakan dalam bentuk lain 10.000 11 Tidak termasuk kelompok Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) dengan pertimbangan

perbedaan karakteristik KCBA dengan kelompok bank lainnya, khususnya dalam hal

permodalan dan biaya dana.

28

bulanan individual bank kepada Bank Indonesia pada tiga posisi, yaitu

Desember 2010, Desember 2011, dan Desember 2012.

Mengacu pada threshold HHI yang digunakan di Amerika Serikat, dapat

disimpulkan bahwa pasar kredit mikro bank umum dalam tiga tahun

terakhir dikategorikan sebagai highly concentrated markets. Angka HHI yang

melampaui 2.500 mengindikasikan adanya pelaku dominan dalam

pemberian kredit mikro oleh bank umum. Hal ini diperkuat oleh pangsa 2

bank terbesar (𝐶𝑅2) yang mencapai >70%. Bahkan, dari total kredit mikro

yang didistribusikan oleh bank umum, >50% -nya hanya berasal dari 1 bank.

Akibatnya, pasar kredit mikro bank umum menjadi kurang kompetitif.

Namun, keberadaan 1 bank tersebut sebagai pelaku dominan dalam pasar

kredit mikro sedikit unik. Melalui pangsa terbesarnya, bank tersebut

memiliki kemampuan untuk memengaruhi harga. Akan tetapi, di sisi lain,

keberhasilan dan keahlian bank tersebut sebagai bank yang memfokuskan

usahanya pada sektor mikro justru menjadikannya sebagai role model dalam

pembiayaan usaha mikro. Sementara itu, apabila perhitungan HHI dilakukan

tanpa mengikutsertakan bank pelaku dominan, pasar kredit mikro bank

umum justru dikategorikan sebagai unconcentrated markets. Artinya, selain

pada bank pelaku utama, terdapat indikasi adanya persaingan di antara

sesama bank umum dalam pemberian kredit mikro.

Sementara itu, berdasarkan angka HHI dalam tiga tahun terakhir,

pasar kredit mikro BPR dapat dikategorikan sebagai unconcentrated markets.

Angka HHI yang sangat rendah mengindikasikan adanya persaingan di

antara sesama BPR dalam pemberian kredit mikro, dengan tingkat

persaingan yang cenderung meningkat selama periode pengamatan. Namun,

dengan skala usaha BPR yang hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu,

dapat diartikan bahwa kompetisi di antara sesama BPR dalam pemberian

kredit mikro hanya terjadi pada BPR yang beroperasi di wilayah yang sama.

29

Pangsa max (%) 57,2 62,5 62,6 60,8

Pangsa min (%) 0,001 0,001 0,001 0,001

HHI 3.616 4.119 4.084 3.940

CR2 74,5 75,7 71,5 73,9

HHI tanpa 2 bank terbesar 739,8 740,0 1.069,1 849,6

Jumlah Bank 77 78 78

Rata-rata

3 tahun201220112010

Pangsa max (%) 3,44 3,71 3,25 3,47

Pangsa min (%) 0,00001 0,00001 0,00001 0,00001

HHI 38,99 37,57 35,19 37,25

CR2 5,80 5,62 5,08 5,50

HHI tanpa 2 bank terbesar 24,33 22,65 23,60 23,53

Jumlah Bank 1530 1539 1548

Rata-rata

3 tahun201220112010

Pangsa max (%) 48,6 53,7 54,0 52,1

Pangsa min (%) 0,000002 0,000001 0,000002 0,000002

HHI 2.610 3.045 3.035 2896,7

CR2 63,2 65,0 61,6 63,3

HHI tanpa 2 bank terbesar 264,5 271,2 442,6 326,1

Jumlah Bank 1607 1617 1626

2010 2011 2012Rata-rata

3 tahun

Tabel 10 Tingkat Konsentrasi Bank Umum Tabel 11 Tingkat

Konsentrasi BPR

Selanjutnya, dengan memperhitungkan bank umum dan BPR dalam

satu kesatuan pasar kredit mikro, diperoleh kesimpulan yang relatif sama

dengan pasar kredit mikro bank umum, yaitu angka HHI yang menunjukkan

karakteristik highly concentrated markets dan kecenderungan adanya market

power. Hal ini disebabkan oleh skala usaha BPR yang jauh lebih kecil jika

dibandingkan dengan bank umum. Akibatnya, peranan bank umum dalam

pasar kredit mikro lebih dominan jika dibandingkan dengan BPR. Namun,

tanpa memperhitungkan pelaku utama, angka HHI menunjukkan

karakteristisk unconcentrated markets dan mengindikasikan adanya

persaingan antara bank umum dan BPR dalam pemberian kredit mikro. Perlu

ditekankan bahwa dengan skala usaha BPR yang hanya terkonsentrasi pada

wilayah tertentu, persaingan antara bank umum dan BPR dalam pemberian

kredit mikro hanya dapat terjadi apabila berada dalam satu wilayah operasi

yang sama.

Tabel 12. Tingkat Konsentrasi Bank Umum dan BPR

Kesimpulan ini sejalan dengan hasil survei dan FGD yang

menyimpulkan bahwa 90% BPR menganggap ada persaingan dengan bank

umum, baik dalam memperebutkan nasabah baru maupun take over debitur

dan pegawai. Sebaliknya, hanya 42% bank umum yang merasa bersaing

dengan BPR. Adanya perbedaan segmen pasar mikro bank umum dan BPR

sebagaimana tercermin dari perbedaan plafon kredit mikro, mengakibatkan

58% responden bank umum tidak merasa bersaing dengan BPR. Bagi bank

30

Rp juta

2010 2011 2012

Bank Umum 13,1 15,8 16,9

BPR 7,3 8,1 9,4

umum, main competitor dalam pembiayaan kredit mikro justru sesama bank

umum, khususnya dalam peer yang sama. Namun, terdapat fenomena

beberapa bank umum yang mulai melalukan pembiayaan mikro melalui

sistem mass community/community banking sehingga berpotensi

meningkatkan persaingan dengan BPR.

Tabel 13. Rata-Rata Plafond Kredit Mikro per Rekening

Selama periode pengamatan tiga tahun terakhir, rata-rata jumlah

plafon per rekening kredit mikro pada bank umum dan BPR mengalami

peningkatan. Secara industri, jumlah plafon per rekening kredit mikro di

bank umum lebih besar daripada di BPR, yakni >Rp10 juta per rekening di

bank umum dan <Rp10 juta di BPR. Data tersebut mengindikasikan adanya

segmentasi debitur kredit mikro antara bank umum dan BPR. Berdasarkan

pangsanya, sebagian besar kredit mikro yang disalurkan oleh bank umum

berada dalam kisaran Rp10 juta–Rp50 juta dan terjadi peningkatan pangsa

plafon >Rp500 juta. Sementara pada BPR, terjadi pergeseran jumlah plafon

kredit mikro yang diberikan oleh BPR. Bila sebelumnya sebagian besar kredit

mikro diberikan dalam plafon antara Rp1 juta–Rp10 juta per rekening oleh

BPR, pada akhir periode pangsa terbesar berubah menjadi kisaran plafon

Rp10 juta–Rp50 juta. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa secara

umum persaingan antara bank umum dan BPR dapat terjadi pada kisaran

plafond Rp1 juta s.d. Rp500 juta per rekening, dengan persaingan tertinggi

terjadi pada kisaran plafon Rp10 juta s.d. Rp50 juta.

31

Grafik 13. Pangsa Plafond Kredit Mikro per Rekening

Sementara itu, dari sisi nasabah, hasil survei menunjukkan bahwa

kecepatan persetujuan kredit menjadi pertimbangan utama dalam memilih

bank, selanjutnya suku bunga kredit yang tinggi justru menjadi alasan

utama bagi 49% responden yang merupakan debitur BPR untuk beralih ke

bank umum. Sebaliknya, 51% responden memilih untuk tetap menggunakan

fasilitas kredit BPR dengan alasan kemudahan dan kecepatan proses.

Apabila suatu saat jumlah kredit yang diajukan tidak dapat dipenuhi oleh

BPR, mayoritas responden (94,2%) akan beralih menggunakan jasa bank

umum. Selain itu, terdapat 21,3% responden debitur BPR yang

menginformasikan bahwa mereka pernah mendapat penawaran dari bank

umum yang mau melakukan take over kredit dengan plafon yang lebih tinggi

meskipun dengan agunan yang sama.

Grafik 14. Perilaku Debitur BPR

2,7%

56,5%52,7%

37,6%

14,9%

3,7%

24,3%

1,4%5,4%0,1%

Bank Umum BPR

> 500 juta

100 - 500 juta

50 - 100 juta

10 - 50 juta

1 - 10 juta

< 1 juta

2010

1,3%

43,0%

52,6%

47,0%

14,1%

6,6%

24,4%

2,8%7,7%

Bank Umum BPR

> 500 juta

100 - 500 juta

50 - 100 juta

10 - 50 juta

1 - 10 juta

< 1 juta

2012

2,5%

49,6%53,1%

43,2%

13,6%

4,9%

27,2%

1,6%3,7%

Bank Umum BPR

> 500 juta

100 - 500 juta

50 - 100 juta

10 - 50 juta

1 - 10 juta

< 1 juta

2011

32

V. Tingkat Efisiensi Bank Umum dan BPR

Perhitungan tingkat efisiensi dalam penelitian ini dilakukan melalui

dua pendekatan, yaitu perhitungan accounting ratio dan metode

nonparametrik DEA. Selanjutnya, hasil kedua pendekatan tersebut akan

dibandingkan dan dilihat tingkat konsistensinya. Adapun data yang

digunakan pada bagian ini bersumber dari laporan bulanan bank kepada

Bank Indonesia, meliputi bank umum maupun BPR untuk periode sampai

dengan Desember 2012.

5.1 Perhitungan Accounting Ratio

Secara umum, terdapat dua accounting ratio yang biasa digunakan

sebagai indikator untuk mengukur tingkat efisiensi bank, yakni rasio beban

operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan Cost to Income

Ratio (CIR). Perbedaan mendasar dari kedua rasio tersebut terletak pada

perhitungan beban bunga. Pada rasio BOPO, perhitungan tingkat cost

efficiency bank dihitung dari seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk

menghasilkan sejumlah pendapatan. Pada CIR, tingkat cost efficiency bank

dihitung tanpa memperhitungkan biaya bunga. Semakin rendahnya angka

kedua indikator tersebut menunjukkan tingkat efisiensi yang semakin baik.

Secara matematis, kedua rasio tersebut dihitung berdasarkan formula

berikut:

𝐵𝑂𝑃𝑂(%) =𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 (𝐵𝑂)

𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 (𝑃𝑂)

(5.1)

dengan BO meliputi beban bunga dan beban operasional selain bunga, serta

PO meliputi pendapatan bunga dan pendapatan operasional selain bunga.

𝐶𝐼𝑅(%) =𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑣𝑒𝑟ℎ𝑒𝑎𝑑 (𝑂𝐻𝐶)

𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ + 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝐿𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎

(5.2)

Sebagaimana telah diulas sebelumnya, beban bunga merupakan

pangsa terbesar di dalam beban operasional bank umum, yakni sekitar

34,63%, yang 93,42% dari beban bunga tersebut digunakan untuk

33

membayar biaya bunga DPK, selanjutnya diikuti BTK sebesar 18,89%.

Sementara dari sisi pendapatan operasional, pendapatan bunga merupakan

penyumbang terbesar, yakni pangsanya mencapai 76,75%, yang sebagian

besar pendapatan bunga tersebut berasal dari penyaluran kredit (86,32%).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkembangan rasio BOPO

sangat erat dipengaruhi oleh aktivitas intermediasi penghimpunan dan

penyaluran dana, baik dari sisi volume maupun suku bunga, di samping

perkembangan OHC terutama BTK.

Berdasarkan data historis sejak tahun 2005, baik rasio BOPO maupun

CIR bank umum menunjukkan tren yang menurun dengan kecenderungan

CIR yang lebih berfluktuatif. Rasio BOPO bank umum turun dari semula

87,7% (2005) menjadi 74,15% (2012), sementara CIR turun hingga menjadi

60,15% pada akhir periode observasi. Perkembangan ini mengindikasikan

bahwa bank umum di Indonesia senantiasa berupaya untuk meningkatkan

efisiensi dalam upaya untuk memberikan tingkat suku bunga yang wajar

kepada masyarakat.

Grafik 15. Grafik 16. Perkembangan

Rasio BOPO Bank Umum (%) Perkembangan CIR Bank Umum (%)

Meningkatnya efisiensi bank umum sebagaimana tercermin dari

perkembangan rasio BOPO dan CIR tersebut di atas, serta didukung oleh tren

penurunan suku bunga simpanan sebagaimana tercermin dari tren

penurunan suku bunga deposito rupiah 1 bulan, diindikasikan telah

mendorong penurunan rata-rata suku bunga kredit. Berdasarkan data

70

73

76

79

82

85

88

91

94

97

De

s-0

5

Ap

r06

Au

g06

De

c06

Ap

r07

Au

g07

De

c07

Ap

r08

Au

g08

De

c08

Ap

r09

Au

g09

De

c09

Ap

r10

Au

g10

De

c10

Ap

r11

Agt

11

De

s11

Ap

r12

Ags

'12

De

s'1

2

Perkembangan Rasio BOPO Perbankan (%)

60

61

62

63

64

65

66

67

68

69

70

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Perkembangan Cost to Income Ratio Perbankan (%)

34

historis sejak tahun 2005, pergerakan rata-rata suku bunga kredit rupiah

menunjukkan penurunan, yang per Desember 2012 tercatat rata-rata

sebesar 12,06%.

Grafik 17. Perkembangan Rata-Rata Suku Bunga Perbankan (%)

Namun, sedikit berbeda dengan argumen tersebut, hasil diskusi

dengan pengawas dan beberapa bank umum memberikan informasi bahwa

membaiknya tingkat efisiensi bank tidak selalu diikuti dengan penurunan

suku bunga kredit. Ketika bank semakin efisien, bank akan memperoleh

tambahan pendapatan, antara lain akibat keberhasilan mengurangi

sejumlah biaya tertentu, sebagaimana tercermin dari peningkatan margin

bank. Di samping itu, terdapat kecenderungan bahwa bank akan menjaga

besaran suku bunga kredit pada level tertentu berdasarkan hasil

benchmarking dan peer group analisis sehingga ketika bank semakin efisien

dapat terjadi bank akan menaikkan margin keuntungan sebagai balancing

agar suku bunga kredit tetap terjaga (tidak turun).

Sementara itu, kecenderungan membaiknya tingkat efisiensi juga

terjadi pada industri BPR. Rasio BOPO dan CIR industri BPR dalam beberapa

tahun terakhir menunjukkan tren yang menurun hingga menjadi 77,77%

(BOPO) dan 59,51% (CIR) per Desember 2012. Sebagaimana bank umum,

beban operasional BPR sangat dipengaruhi oleh komponen beban bunga

yang pangsanya mencapai 41,21%. Beban bunga tersebut sebagian besar

dialokasikan untuk membayar bunga DPK, yakni sebesar 78,73%. Komponen

terbesar kedua adalah BTK yang porsinya tercatat sebesar 27,35% dari beban

operasional BPR. Sementara itu, dari sisi pendapatan, pendapatan

4

6

8

10

12

14

16

18

De

s-0

5

Ap

r-0

6

Ag

ust

-06

De

s-0

6

Ap

r-0

7

Ag

ust

-07

De

s-0

7

Ap

r-0

8

Ag

ust

-08

De

s-0

8

Ap

r-0

9

Ag

ust

-09

De

s-0

9

Ap

r-1

0

Ag

ust

-10

De

s-1

0

Ap

r-1

1

Ag

ust

-11

De

s-1

1

Ap

r-1

2

Ag

ust

-12

De

s-1

2

Dep 1 bln Kredit

Perkembangan Rata-Rata Suku Bunga Perbankan (%)

35

Suku Bunga (%)

Tabungan 5,53 5,21 4,68

Deposito 10,25 9,85 8,40

Kredit yg Diberikan 30,56 29,48 28,29

Rasio (%)

LDR 79,02 78,54 78,63

ROA 3,16 3,32 3,46

ROE 26,71 29,46 32,63

BOPO 80,97 79,47 77,77

NPL Gross 6,12 5,22 4,75

NPL Net 4,25 3,67 3,25

NIM 12,92 12,09 11,96

INDIKATOR 2010 2011 2012

operasional BPR didominasi oleh pendapatan bunga dengan porsi 86,13%

yang sebagian besar bersumber dari penyaluran kredit (92,96%). Dengan

demikian, rasio BOPO BPR juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas

intermediasi BPR. Sebagaimana bank umum, membaiknya tingkat efisiensi

BPR serta didukung oleh penurunan suku bunga simpanan, menjadi salah

satu faktor yang menyebabkan penurunan suku bunga kredit BPR dan

berimbas pada penurunan NIM BPR.

Tabel 14. Indikator Utama BPR

5.2 Pendekatan Data Envelopment Analysis

DEA pertama kali dikenalkan oleh Charnes, et al (1978) atau yang

dikenal dengan model CCR, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh

Banker, et al (1984) atau yang dikenal dengan model BCC. Perbedaan di

antara kedua model DEA tersebut terletak dari asumsi model yang

digunakan. Model CCR menggunakan asumsi constant returns to scale (CRS)

yang berarti satu unit input akan menghasilkan unit output yang fixed.

Sebaliknya, model BCC menggunakan asumsi variable returns to scale (VRS).

Baik model CCR maupun BCC dapat dilakukan melalui dua pendekatan,

yakni input oriented dan output oriented. Input oriented bertujuan untuk

meminimalkan penggunaan input dalam rangka menghasilkan level output

tertentu, sedangkan output oriented bertujuan untuk memaksimalkan output

dengan level input yang tersedia.

36

Efficiency Approach

Accounting Ratio

Alternatif Input Output

1. Beban Overhead 1. Pendapatan Bunga Kredit

2. Biaya DPK 2. Pendapatan Operasional Lainnya

1. Beban Overhead 1. Kredit Volume

2. DPK Volume 2. Pendapatan Operasional Lainnya

Model Description

BOPO = Beban Operasional / Pendapatan Operasional

Frontier

DEA (Data Envelopment Analysis )

Alternatif 1

Alternatif 2

0

20

40

60

80

100

0

20

40

60

80

100

Alt 1 Alt 2

Perbandingan Rata-rata Tingkat Efisiensi (CCR)

BU BPR BU & BPR

%%

0

20

40

60

80

100

0

20

40

60

80

100

Alt 1 Alt 2

Perbandingan Rata-rata Tingkat Efisiensi (BCC)

BU BPR BU & BPR

%%

Tabel 15. Modelling Strategy untuk Perhitungan Efisiensi

Pada bagian ini, perhitungan DEA akan dilakukan terhadap 110 bank

umum12 dan 1.390 BPR dengan menggunakan periode data Desember 2012.

Mengingat bahasan efisiensi pada penelitian ini akan dikaitkan dengan

tingkat kompetisi dalam pemberian kredit mikro, metode yang dipilih adalah

DEA–output oriented melalui pendekatan intermediasi. Perhitungan DEA

dilakukan dengan menggunakan dua alternatif variabel input output untuk

setiap model CCR dan BCC. Selanjutnya, hasil perhitungan DEA akan

dibandingkan dengan tingkat efisiensi menggunakan accounting ratio, yaitu

rasio BOPO yang erat dipengaruhi oleh aktivitas intermediasi.

Grafik 18. Hasil DEA

Berbeda dengan rasio BOPO, angka DEA 100% menunjukkan tingkat

efisiensi bank yang paling tinggi. Berdasarkan hasil berhitungan DEA untuk

kedua alternatif variabel input output, baik menggunakan model CCR

12 Tidak termasuk kelompok Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) dengan pertimbangan

perbedaan karakteristik KCBA dengan kelompok bank lainnya, khususnya dalam hal

permodalan dan biaya dana.

37

maupun BCC, diperoleh kesimpulan yang sama, yaitu tingkat efisiensi yang

relatif lebih baik pada bank umum jika dibandingkan dengan BPR. Hal ini

dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya,

faktor yang paling memengaruhi tingkat efisiensi perbankan adalah HDPK

dan OHC. Pada BPR, dengan pasar yang relatif terbatas, guna menarik minat

masyarakat, BPR cenderung memberikan tingkat bunga DPK, yang

merupakan komponen terbesar HDPK, yang lebih tinggi jika dibandingkan

dengan bank umum, sejalan dengan tingkat suku bunga penjaminan BPR

yang lebih tinggi daripada bank umum. Sebaliknya, dengan sumber dana

yang lebih bervariasi, pasar yang lebih luas, infrastruktur dan fasilitas yang

lebih baik, serta SDM yang lebih memadai, bank umum mampu menekan

biaya operasional, khususnya OHC dan juga biaya dana, jika dibandingkan

dengan BPR.

Hasil perhitungan DEA tersebut konsisten dengan perhitungan tingkat

efisiensi melalui accounting ratio, BOPO. Hal ini ditunjukkan dari hubungan

antara DEA, baik model CCR maupun BCC, dengan rasio BOPO yang

menunjukkan adanya korelasi negatif. Artinya, semakin rendah rasio BOPO,

DEA akan menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu semakin tinggi. Kedua

hal tersebut menunjukkan perkembangan yang sama, yaitu tingkat efisiensi

yang semakin baik. Selanjutnya, tabel perbandingan antara hasil HHI dengan

DEA mengindikasikan bahwa bank umum cenderung memiliki angka HHI

dan DEA yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan BPR. Artinya, dengan

tingkat kompetisi yang lebih tinggi, justru dihasilkan tingkat efisiensi yang

cenderung lebih rendah pada BPR, atau sejalan dengan teori Competition-

Inefficiency hypothesis. Namun, hal ini menjadi bias untuk diartikan secara

langsung, mengingat tingkat kompetisi pada penelitian ini hanya difokuskan

dalam pemberian kredit mikro, sedangkan tingkat efisiensi dihitung dari

keseluruhan aktivitas bank. Walaupun efisiensi bank sangat dipengaruhi

oleh kegiatan intermediasi, pemberian kredit mikro memiliki pangsa yang

terbatas dari total intermediasi bank.

38

Alt 1 Alt 2 Alt 1 Alt 2

BU 1,069 61.423 41.593 75.294 55.387

BPR 23.60 44.013 32.580 50.042 37.381

BU & BPR 442.58 42.686 31.205 47.570 34.376

CRS VRSHHI

Alt 1 Alt 2 Alt 1 Alt 2

BU -0.570 -0.210 -0.515 -0.183

BPR -0.671 -0.367 -0.562 -0.333

BU & BPR -0.668 -0.346 -0.572 -0.306

CRS VRS

Tabel 16. Korelasi DEA dan BOPO Tabel 17. Perbandingan

HHI dan DEA

Sementara itu, Bank Indonesia sebagai regulator senantiasa berupaya

untuk mendorong persaingan dan efisiensi perbankan baik melalui

ketentuan maupun supervisory approach. Beberapa kebijakan yang telah

dikeluarkan Bank Indonesia antara lain adalah sebagai berikut.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan kewajiban publikasi informasi

SBDK pada bulan Maret 2011, termasuk pengaturan tambahan segmen

SBDK mikro pada bulan Februari 2013.

Bank wajib memasukkan target efisiensi (BOPO dan NIM), SBDK dan suku

bunga kredit di dalam RBB yang selanjutnya RBB tersebut dievaluasi dan

dimonitor oleh Bank Indonesia sebagai bagian dari supervisory action.

Bank Indonesia melakukan pemantauan secara rutin terhadap

perkembangan suku bunga (kredit dan simpanan) yang dilaporkan oleh

bank dan selanjutnya akan dilakukan supervisory action jika diperlukan.

Bank Indonesia mendorong linkage program antara bank umum dengan

BPR, dengan harapan BPR akan mendapatkan dana tambahan dengan

suku bunga yang relatif rendah untuk disalurkan kepada UMKM.

Di dalam ketentuan Multilicense:

o Salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh Bank Indonesia ketika

melakukan evaluasi RBB yang terkait dengan pembukaan jaringan

kantor bank adalah aspek efisiensi sehingga dapat mendorong bank

untuk senantiasa meningkatkan efisiensinya.

o Bank berdasarkan kelompoknya (Bank Umum Kegiatan Usaha/BUKU)

wajib menyalurkan kredit produktif dengan kisaran 55--70% dari total

kreditnya yang wajib dipenuhi paling lambat akhir bulan Juni 2016.

Dengan demikian, supply kredit produktif akan bertambah sehingga

39

dapat meningkatkan persaingan dan mendorong penurunan suku

bunga kredit, terutama kredit produktif.

o Kewajiban penyaluran kredit produktif tersebut termasuk di dalamnya

adalah kewajiban bank untuk menyalurkan kredit kepada UMKM

paling rendah 20% dari total kredit bank yang pemenuhannya secara

bertahap sampai dengan tahun 2018.

Selain itu, di dalam penilaian tingkat kesehatan bank dan juga di

dalam pemonitoran rutin terhadap kinerja bank, aspek efisiensi merupakan

salah satu faktor penting yang menjadi perhatian dan penilaian pengawas.

40

VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai tingkat persaingan dan

efisiensi antara bank umum dan BPR, khususnya dalam pembiayaan usaha

mikro yang dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut.

a. Secara umum, segmen mikro merupakan pasar yang potensial mengingat

permintaannya masih cukup besar dan relatif lebih tahan terhadap

gejolak perekonomian, di samping kualitas kredit mikro yang terjaga. Oleh

karena itu, bank umum dan BPR berupaya untuk menangkap peluang

tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya persaingan antara bank umum

dan BPR dalam penyaluran kredit mikro, walaupun secara implisit

terdapat perbedaan segmentasi dari sisi nominal kredit. Persaingan

tersebut selain disebabkan oleh mekanisme pasar dan strategi bisnis

bank, juga didorong oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank

Indonesia.

b. Sampai dengan akhir 2012, kredit mikro hanya memegang pangsa

sebesar 4,06% dari total pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan,

baik bank umum maupun BPR. Karakteristik pemberian kredit mikro

yang antara lain bersifat high cost dan high labour dapat menjadi kendala

bagi bank umum dalam melakukan pembiayaan ke usaha mikro.

Selanjutnya, skala usaha BPR yang jauh lebih kecil jika dibandingkan

dengan bank umum menyebabkan pangsa kredit mikro yang diberikan

oleh BPR hanya 13,79% dari total kredit mikro perbankan, sedangkan

selebihnya (86,21%) diberikan oleh bank umum.

c. Perhitungan tingkat kompetisi dalam penelitian ini dilakukan melalui

pendekatan struktural dengan HHI, dan diperoleh hasil sebagai berikut.

Adanya market power dalam pembiayaan kredit mikro oleh perbankan,

dengan >50% kredit mikro bank umum hanya diberikan oleh satu

bank. Walaupun pangsa satu bank tersebut sangat dominan, tidak

selalu berdampak negatif sepanjang tidak secara signifikan

41

memengaruhi harga. Bahkan, bank tersebut dijadikan role model oleh

bank lain dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha mikro.

Terdapat persaingan di antara sesama bank umum dan sesama BPR

dalam pemberian kredit mikro, dengan tingkat persaingan yang lebih

tinggi di BPR, khususnya bagi BPR dalam wilayah operasi yang sama.

Terdapat persaingan antara bank umum dan BPR dalam pembiayaan

kredit mikro. Berdasarkan segmen, persaingan tertinggi terjadi pada

kredit mikro dengan plafon antara Rp10 juta–Rp50 juta.

d. Selain persaingan secara langsung, terdapat sinergi antara bank umum

dengan BPR, yakni melalui linkage program. Namun, linkage program

tersebut masih merupakan sumber dana mahal bagi BPR.

e. Sementara itu, dari sisi efisiensi terlihat bahwa tingkat efisiensi bank

umum dan BPR menunjukkan tren yang membaik dengan tingkat

efisiensi yang cenderung lebih baik pada bank umum. Secara kuantitatif,

perhitungan tingkat efisiensi dilakukan dengan menggunakan DEA dan

accounting ratio, dengan hasil sebagai berikut.

Perhitungan tingkat efisiensi dengan DEA dan accounting ratio (BOPO)

menunjukkan hasil yang sejalan yang ditunjukkan oleh adanya

korelasi negatif antara DEA dan BOPO.

Hasil perhitungan DEA menunjukkan bahwa bank umum relatif lebih

efisien jika dibandingkan dengan BPR.

Jika dibandingkan dengan tingkat persaingan, diperoleh kesimpulan

bahwa tingkat persaingan yang lebih tinggi di BPR diikuti dengan rata-

rata angka DEA yang cenderung lebih rendah. Hal ini sejalan dengan

Competition-Inefficiency hypothesis yang menyatakan bahwa kompetisi

mengakibatkan inefisiensi. Namun, hasil ini dapat menjadi bias

mengingat kompetisi dalam penelitian ini hanya dilihat dari sisi

pembiayaan mikro yang memiliki pangsa relatif kecil terhadap total

pembiayaan bank. Sementara itu, efisiensi dihitung dari seluruh

kegiatan intermediasi bank.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penelitian ini merekomendasikan

beberapa hal sebagai berikut.

42

a. Dengan mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2008, definisi kredit UMKM

yang digunakan saat ini hanya ditujukan untuk usaha ekonomi produktif

dengan setiap segmen kredit UMKM diatur berdasarkan besarnya aset

dan omzet. Sementara itu, plafon maksimal untuk setiap segmen kredit

UMKM dapat berbeda-beda pada setiap bank. Untuk itu, perlu diatur

besaran plafon kredit untuk segmen mikro, kecil, dan menengah. Hal ini

bertujuan agar (i) terdapat keseragaman plafon antarbank untuk

kebutuhan pelaporan/statistik, dan (ii) tidak menimbulkan kesempatan

bagi bank untuk menempatkan suatu debitur pada segmen mikro dengan

tujuan untuk pengenaan suku bunga kredit yang lebih tinggi. Pengaturan

ini dimungkinkan karena (i) merupakan kewenangan Bank Indonesia

untuk mengatur batasan plafon kredit, dan (ii) UU UMKM hanya

menjelaskan/mengatur mengenai pengertian/definisi usaha mikro, kecil,

dan menengah (tidak mengatur batasan plafon kredit).

b. Di dalam PBI No. 14/22/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012, bank

umum wajib menyalurkan kredit UMKM paling rendah 20% dari total

kreditnya, tetapi tidak ditetapkan berapa porsi untuk setiap segmen

kredit (mikro, kecil, dan menengah) sehingga untuk mencapai target

tersebut kemungkinan besar bank akan lebih memilih menyalurkan

kredit ke segmen kecil dan/atau menengah karena nominal kreditnya

lebih besar jika dibandingkan dengan segmen mikro sehingga pencapaian

target 20% lebih managable. Oleh karena itu, agar diperoleh proporsi

penyaluran kredit yang lebih merata untuk setiap segmen kredit,

sebaiknya pencapaian target 20% kredit UMKM bank dapat dialokasikan

secara proporsional untuk setiap segmen kredit yang disesuaikan dengan

kemampuan, kebutuhan, dan strategi usaha bank.

c. Perlu ditinjau dan didiskusikan kembali besaran suku bunga dalam

linkage program agar menjadi sumber dana murah bagi BPR, tetapi tetap

memberikan keuntungan yang wajar bagi bank umum.

d. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai peran dan hubungan bank umum dan

BPR dalam penyaluran kredit mikro, apakah bersifat substitusi (saling

menggantikan) atau komplemen (saling melengkapi/mendukung).

43

e. Perlu dilakukan edukasi yang berkesinambungan baik oleh regulator,

pemerintah, maupun industri perbankan kepada masyarakat mengenai

besaran suku bunga kredit yang dikenakan oleh bank. Hal ini didukung

oleh hasil survei yang menyimpulkan adanya keterbatasan informasi

masyarakat mengenai perhitungan atau besaran suku bunga yang

ditetapkan, terutama pada nasabah BPR. Berdasarkan survei, hanya

6,9% responden BPR yang memiliki pengetahuan tentang prinsip suku

bunga dan hanya 39,5% responden BPR yang memiliki pengetahuan

tentang produk/layanan bank. Salah satu bentuk edukasi yang telah

dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui ketentuan publikasi

SBDK, termasuk untuk segmen kredit mikro.

f. Data historis dalam 3 tahun terakhir menunjukkan angka rasio NPL gross

kredit mikro cenderung lebih rendah daripada kredit kecil dan menengah.

Hal ini menunjukkan membaiknya kinerja kredit mikro. Dengan

perkembangan tersebut, dalam rangka pemenuhan kewajiban penyaluran

kredit UMKM paling rendah 20% dari total kredit bank sekaligus untuk

mendorong penyaluran kredit ke segmen mikro (insentif), perlu dikaji

kemungkinan pengenaan besaran ATMR untuk segmen mikro yang lebih

rendah daripada segmen kredit kecil dan menengah.

g. Perhitungan tingkat kompetisi dalam penelitian ini dilakukan dengan

mengasumsikan bank umum dan BPR dalam kesatuan pasar. Padahal,

dengan skala usaha yang relatif kecil, BPR memiliki wilayah operasional

yang terbatas. Dengan demikian, persaingan hanya terjadi apabila bank

umum dan BPR berada dalam wilayah operasional yang sama.

h. Perhitungan tingkat kompetisi dalam penelitian ini hanya difokuskan

pada pembiayaan kredit mikro, sementara tingkat efisiensi dihitung dari

keseluruhan aktivitas bank. Oleh sebab itu, hasil analisis mengenai

dampak tingkat persaingan terhadap tingkat efisiensi bank menjadi bias,

terlebih kredit mikro hanya memegang pangsa 4,06% dari total

pembiayaan bank.

44

1. Penutup

Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi tersebut, perlu dilakukan

pendalaman di beberapa aspek untuk melengkapi kajian ini, yaitu sebagai

berikut.

1. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk menguji kestabilan NPL gross

kredit mikro yang relatif lebih rendah dalam rangka pengenaan besaran

ATMR yang berbeda dengan segmen kredit lainnya.

2. Untuk melihat dampak tingkat persaingan terhadap efisiensi bank, perlu

dilakukan perhitungan tingkat kompetisi yang mencakup seluruh

aktivitas intermediasi bank.

3. Ke depan, guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif terkait

tingkat persaingan bank, perlu dilakukan perhitungan tingkat persaingan

per wilayah/daerah.

45

Daftar Pustaka

Banker, R.D., A.W. Charnes, dan W.W. Cooper. 1984. “Some Models for

Estimating Technical and Scale Inefficiencies in Data Envelopment Analysis”, Management Science, 30(9) 1078--1092.

Berger, A.N., Lawrence G. Goldberg, dan Lawrence J. White. 2001. “The

Effects of Dynamic Changes in Bank Competition on the Supply of

Small Business Credit”, European Finance Review 5, 115--139.

Bikker, J.A., dan K. Haaf. 2002. “Measure of Competition and Concentration in the Banking Industry: A Review of the Literature”, Economic & Financial Modelling 9, 53-98.

Boot, A.W., dan A. Schmeijts. 2005. “ The Competitive Challenge in Banking”,

Amsterdam Center for Law & Economics Working Paper No. 2005-08.

Casu, B., dan C. Girardone. 2007. “Does Competition Lead to Efficiency? The Case of EU Commercial Banks”, Essex University, Discussion Paper No. 07-01.

Casu, B., dan C. Girardone. 2006. “Bank Competition, Concentration and

Efficiency in the Single European Market”, The Manchester School, 7(4),

441--468.

Charnes, A., W.W. Cooper, dan Rhodes, E. 1978. “Measuring the Efficiency of Decision Making Units”, European Journal of Operational Research, 2,

429--444. Demsetz, H. 1973. “Industry Structure, Market Rivalry and Public Policy”,

Journal of Law and Economics, Vol. 51, pp.393--414.

Enoch, C., B. Baldwin, O. Frécaut, dan A. Kovanen. 2001. “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two Years of Living Dangerously 1997-99”, IMF Working Paper 01/52 (Washington: International Monetary

Fund). Fiorentino, E., A. Karmann, dan M. Koetter. 2006. “ The Cost Efficiency of

German Banks: A Comparison of SFA and DEA”, Discussion Paper, Series 2: Banking and Financial Studies 10, Germany: Deutsche

Bundesbank.

Hadad, M.D., W. Santoso, E. Mardanugraha, D. Illyas. 2003. “Pendekatan Parametrik Untuk Efisiensi Perbankan di Indonesia”.

Maudos, J., J.M. Pastor, dan F. Perez. 2002. “Competition and Efficiency in the Spanish Banking Sector: The Importance of Specialisation”, Applied Financial Economics 12, 505--516.

46

Morduch, J. 1999. “The Microfinance Promise”, Journal of Economic Literature, 37, 1569--1614.

Mulyaningsih, T., dan A. Daly. 2011. “Competitive Conditions in Banking

Industry: An Empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry Between 2001 and 2009”, Bulletin of Monetary Economics and Banking, Vol. 14. Jakarta:

Bank Indonesia.

Panzar, J.C., dan J.N. Rosse. 1987. “Testing for ‘Monopoly’ Equilibrium’, Journal of Industrial Economics 35, 443--456.

Robinson, M. 2001. “The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for

The Poor”, World Bank. Washington D.C.

Schaeck, K., dan M. Čihák. 2008. “How Does Competition Affect Efficiency

and Soundness in Banking? New Empirical Evidence”, ECB Working Paper No. 932. Frankfrurt: European Central Bank.

Schäfer, D., B. Siliverstovs, E. Terberger. 2010. “Banking Competition, Good or Bad? The Case of Promoting Micro and Small Enterprise Finance in Kazakhstan”, Applied Economics, Taylor and Francis Journals, vol.

42(6), 701-716.