38
SKENARIO 3 RONA MERAH DI PIPI Seorang perempuan berusia 30 tahun, dating ke rumah sakit dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok, dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus. Kemudian dokter mneyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin, dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup 1

WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

SKENARIO 3

RONA MERAH DI PIPI

Seorang perempuan berusia 30 tahun, dating ke rumah sakit dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok, dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.

Kemudian dokter mneyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin, dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup

1

Page 2: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

KATA SULIT

1. Subfebris : demam ringan dengan suhu rata rata 37,5oC – 38,5oC (IPD, 2014)2. Malar rash : penyakit inflamasi yang menyerang jaringan perifer kolagen pada

berbagai sistem organ tubuh (Medscape). Erupsi sementara dikulit, berkenaan di pipi (Dorland, edisi 29).

3. Marker Autoimun : mengindentifikasi respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme mempertahankan self tolerance sel T/sel B atau keduanya (buku imunologi dasar FKUI, 2014).

4. Hematologi : ilmu kedokteran yang mempelajari darah dan jaringan pembentuk darah termasuk morfologi dan patologinya (Dorland, edisi 29).

5. Sistemic Lupus Erimatosus (SLE) : penyakit autoimun yang kompleks ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh (IPD, 2014)

6. Follow up : pengawasan berskala panjang.

PERTANYAAN1. Apa penyebab dari SLE ?2. Mengapa SLE penanganannya seumur hidup ?3. Kenapa terjadi demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu ?4. Apa saja klasifikasi Autoimun ?5. Kenapa pipi merah saat terkena matahari ?6. Apakah SLE bisa disembuhkan ?7. Factor apa saja yang mempengaruhi SLE ?8. Kenapa SLE lebih umum menyerang wanita dibanding laki laki ?9. Bagaimana cara pencegahannya ?10. Apakah SLE bisa diturunkan ?11. Apa pemeriksaan penunjang lain untuk SLE ?12. Kenapa gejala yang timbul bervariasi ?13. Bagaimana penatalaksanaannya secara simtomatik ?14. Bagaimana sikap pasien untuk mengahadapi dalam perawatan seumur hidup ?

BRAIN STORMING1. Kegagalan toleransi sistem imun2. Karena tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dikendalikan3. Karena terdapat reaksi antigen dari diri sendiri, hiang timbul dikarenakan

jumlah limfosit Tnya4. Berdasarkan simtomatik (lupus, diabetes melitus tipe 1), berdasarkan

penyebab ( bawaan lahir, mutasi gen)5. Karena sinar UV merupakan factor pencetus atau factor yang memperparah

SLE6. Tidak bisa, tetapi SLE bisa dikendalikan7. Genetic, hormone, factor lingkungan, obat obatan, defisiensi komplemen,

sinar UV, produksi autoantibodi spesifik, stimulasi sel B poliklonal8. Karena hormone estrogen bisa memperbesar kemungkinan terjadinya lupus

pada wanita dibandingkan dengan hormone testosterone pada laki laki9. Yang bisa dicegah hanya dari factor lingkungan saja10. Ya, bisa11. Biopsy ginjal, pemeriksaan dada (x-ray)12. Karena sistemik dan self antigen banyak serta bervariasi

2

Page 3: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

13. Antipiretik, kortikosteroid14. Doa, usaha, ikhtiar, dan tawakal

3

Page 4: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

HIPOTESIS

Autoimun adalah penyakit yang disebabkan oleh kegagalan toleransi terhadap self antigen, autoimun dapat menimbulkan berbagai macam kelainan yang dapat diturunkan melalui genetic. Penyakit autoimun tidak dapat disembuhkan tetapi hanya bisa dikendalikan, salah satu contohnya adalah systemic lupus eritematosus. Penderita dengan autoimun membutuhkan penanganan seumur hidup, sehingga penderita penyakit auotimun harus sabar dan tawakal.

4

Page 5: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

SASARAN BELAJAR

LI. 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN AUTOIMUN LO. 1.1. DEFINISILO. 1.2. KLASIFIKASI LO. 1.3. ETIOLOGI LO.1.4. TOLERANSI IMUNLO. 1.5. PATOFISIOLOGIS

LI. 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUSLO. 2.1. DEFINISI LO. 2.2. ETIOLOGILO. 2.3. EPIDEMIOLOGILO. 2.4. PATOFISIOLOGILO. 2.5. MANIFESTASI KLINISLO. 2.6. PENEGAKKAN DIAGNOSIS LO. 2.7. DIAGNOSIS BANDINGLO. 2.8. TATALAKSANALO. 2.9. PENCEGAHANLO. 2.10.PROGNOSIS

LI. 3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN DALAM SEGI AGAMA TENTANG SIKAP MENGHADAPI COBAAN

5

Page 6: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN AUTOIMUN1.1. DEFINISIAutoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. (Karnen, Imunologi dasar, 10th Edition)

Autoimun ialah reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi. Penyakit autoimun yaitu ketidakmampuan mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing tetapi tidak terhadap antigen sendiri (self-nonself discrimination). Ketidakmampuan sistem imun untuk memberikan respons terhadap antigen tubuh sendiri disebut toleransi diri (self-tolerance). ( Kresno, S.B. 2003. Imunologi:Diagnosis dan Produser Laboratorium).

1.2. KLASIFIKASI Penyakit autoimun menurut organ :

a. Penyakit autoimun organ spesifik Terbentuknya antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran yaitu kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.Yang termasuk penyakit autoimun spesifik :

Tiroiditis Hashimoto Tirotoksikosis Anemia pernisiosa Gastritis atrofi autoimun Penyakit addison

b. Penyakit autoimun non-organ spesifikPenyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada penyakit autoimun yang non-organ spesifik sering juga dibentuk kompleks imun yang di endapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi dan ginjal serta menimbulkan kerusakan. Perbedaan antara penyakit imun organ spesifik dan non-spesifik

Organ Spesifik Non-organ spesifik

Antigen Terdapat di dalam alat tubuh tertentu

Tersebar di seluruh tubuh

Kerusakan Antigen dalam tubuh Penimbunan kompleks sistemik dalm ginjal, sendi dan kulit

Tumpang tindih Dengan antibodi organ spesifik dan penyakit lain

Dengan antibodi non-organ spesifik dan penyakit lain.

Penyakit autoimun menurut mekanisme :a. Penyakit autoimun melalui antibodi

Anemia hemolitik autoimunSalah satu penyebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi ialah destruksi oleh antibodi terhadap antigen pada permukaan sel tersebut. Destruksi sel dapat terjadi akibat aktivasi komplemen dan opsonisasi oleh

6

Page 7: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

antibodi dan komponen komplemen. Antibodi yang dapat menimbulkan anemia hemolitik autoimun dibagi dalam 2 golongan berdasarkan sifat fisiknya yaitu antibodi panas dan dingin.

Miastenia gravisTimbulnya miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada umumnya penderita menunjukkan timoma atau hipertrofi timus dan bila kelenjar timus di angkat, penyakit kadang-kadang dapat menghilang.

TirotoksikosisPada tirotokosis, autoantibodi dibentuk terhadap reseptor hormon. Disini dibentuk antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormon (TSH).

b. Penyakit autoimun melalui kompleks imun Lupus erimatosus sistemik

Agrerat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membran basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengendap di dinding arteri dan sendi dan membentuk endapan lumpy-bumpy. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit dan menimbulkan refleks inflamasi sebagai glomerulonefritis. Derajat gejala penyakit dapat berubah-ubah sesuai dengan kadar kompleks imun.

Artritis reumatoidPada penyakit ini dibentuk imunoglobin yang berupa IgM (disebut reumatoid factor), yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Kompleks RF dan IgG ditimbun di sinovia sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat kemotaktik terhadap granulosit. Respon inflamasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi.

c. Penyakit autoimun melalui sel T Hashimoto thyroiditis

d. Penyakit autoimun melalui komplemen

1.3. ETIOLOGI1. Faktor genetik

Dasar dari autoimunitas adalah predisposisi genetik. Hubungan genetik dengan predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah hubungannya dengan MHC. Hubungan ini karena penyakit autoimun bergantung pada sel T sedangkan seluruh respons imun diperantai sel T bergantung pada MHC.

2. Ketidakseimbangan sitokinKetidakseimbangan sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 yang

disebabkan defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor sitokin. 3. Sequestered antigen

Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi dapat memajankan antigen sekuester dengan antigen, yang mengakibatkan terbentuknya autoantibodi karena antigen sekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem imun.4. Aktivasi dan kelainan pada sel-sel T autoreaktif

Yang mengakibatkan aktivasi sel T autoreaktif adalah respons sel Th1 dan pembentukan berbagai jenis epitop atau peptida baru yang tidak pernah diekspresikan sebelumnya oleh sel dendritik kelenjar thymus. Kelaianan pada sel T autoreaktif yaitu tidak memiliki gen yang menyandi CTL-4 (Cytotoxic T lymphocyte antigen-4).

7

Page 8: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

5. Rangsangan molekul poliklonalTerjadi karena molekul poliklonal seperti virus Epstain-Bar dapat merangsang

sel B secara langsung dan menimbulkan autoimunitas. 6. Reaksi silang dengan antigen bakteri

Reaksi autoimun diduga terjadi akibat respons terhadap antigen yang mempunyai reaksi silang dengan mikroorganisme yang masuk badan.

7. Kadar sitokin menurun8. Gangguan MHC9. Gangguan terhadap respons IL-2

1.4. TOLERANSI IMUNToleransi lmunologiToleransi imunologi adalah suatu keadaan saat seseorang tidak mampu mengebangkan suatu respons imun melawan suatu nntigen ynng spesifik. Toleransi-diri secara khusus menunjukkan kurangnya responsivitas imun terhadap antigen jaringannya sendiri. Yang jelas, toleransi-diri semacam itu diperlukan jika jaringan kita dapat hidup secara harmonis dengan pasukan limfosit yang merusak. Dua kelompok besar mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan keadaan toleran: toleransi sentral dan toleransi perifer.a. Toleransi sentral.Mekanisme ini menunjukkan pemusnahan limfosit T dan B yang self-reactive selama proses pematangannya dalam organ limfoid sentral (yaitu timus untuk sel T dan sumsum tulang untuk sel B). Telah dinyatakan (dengan konfirmasi eksperimental pada tikus) bahwa banyak antigen protein autolog (-sendiri) diproses dan disajikan oleh APC timus serta MHC-sendiri. Setiap sel T yang berkembang yang mengeluarkan reseptor untuk antigen-sendiri tersebut diseleksi secara negative (dimusnahkan secara apoptosis), sehingga kumpulan sel T perifer yang dihasilkan dimusnahkan oleh sel self-reactive. Seperti pada sel T, pemusnahan sel B yang self-reactive juga terjadi. Ketika sel B yang berkembang bertemu dengan antigen yang terikat membran selama perkembangannya dalam sumsum tulang, sel tersebut mengalamiapoptosis. Sayangnya, proses pemusnahan limfosit yang self-renctive kurang sempurna. Banyak antigen- sendiri yang tidak muncul dalam timus sehingga sel T yang membawa reseptor untuk autoantigen semacam itu lolos masuk ke perifer. Dalam sistem sel B terjadi pulaa slippage, dan sel B yang membawa reseptor untuk berbagai antigen-diri, termasuk tiroglobulin, kolagen, dan DNA, dapat dengan mudah ditemukan dalam darah periferindividu yang sehat.

b. Toleransi perifer.

Sel T self-reactive yang lolos dari seleksi negatif dalam timus secara potensial dapat menimbulkan malapetaka, kecuali jika sel tersebut dimusnahkan atau diberangus secara efektif. Telah diidentifikasi adanya beberapa mekanisme pendukung dalam jaringan perifer yang melenyapkan sel T yang berpotensi autoreaktif tersebut:

1. Anergi: Anergi menunjukkan inaktivasi memanjang atau ireversibel (daripada apoptosis) limfosit yang diinduksi melalui pertemuannya dengan antigen pada keadaan tertentu. Ingat kembali bahwa aktivasi sel T memerlukan dua sinyal: pengenalan antigen peptida dengan molekul MHC-sendiri pada APC serta sejumlah sinyal kostimulator kedua (misalnya, melalui molekul B7) yang dihasilkan oleh APC. Jika sinyal kostimulator kedua tidak dikirimkan, sel T menjadi anergik. Sel semacam itu tidak akan responsif, bahkan jika antigen yang cocok diserahkan lagi oleh APC kompeten yang dapat mengirimkan

8

Page 9: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

kostimulasi. Karena molekul kostimulasi tidak cukup banyak dikeluarkan pada sebagian besar jaringan normal, pertemuan antara sel T autoreaktif dan antigen diri yang spesifik sering kali menimbulkan anergi. Sel B dapat pula menjadi anergik jika bertemu dengan antigen tanpa adanya sel T helper yang spesifik.

2. Kematian sel ynng diinduksi oleh aktivas: Mekanisme lain untuk mencegah aktivasi sel T yang tidak terkendali selama respons imun normal yang melibatkan apoptosis sel T aktif oleh system ligan Fas-Fas. Ligan Fas adalah suatu protein membran yang secara struktural homolog dengan TNF sitokin dan terutama dikeluarkan pada limfosit T aktif; peranannya dalam pembunuhan yang diperantarai CTL telah dibahas. Limfosit (di antara berbagai jenis sel) juga mengeluarkan Fas, dan pengeluaran Fas sangat meningkat pada sel T aktif. Akibatnya, pengikatan Fas oleh ligan Fas, yang turut dikeluarkan pada kelompok sel T aktif yang sama, dapat berfungsi menekan respons imun dengan menginduksi apoptosis sel ini. Secara teoretis, kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi semacam itu dapat pula menyebabkan pemusnahan sel T yang autoreaktif di perifer. Oleh karena itu, antigen-sendiri yang berlimpah diharapkan akan dapat menyebabkan perangsanganberulang dan persisten terhadap sel T autoreaktif di perifer, yang pada akhimya akan membersihkannya melalui apoptosis yang diperantarai oieh Fas.

3. Penekanan perifer oleh sel T: Meskipun kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dan anergi merupakan mekanisme utama toleransi-diri perifer, terdapat pula mekanisrne fail-safe tambahan. Banyak perhatian telah difokuskan pada sesuatu yang disebut sel T regulatoris, yang dapat mengatur fungsi sel T lain. Meskipun mekanisme yang mendasari pengaruhnya masih sukar untuk dipahami, diketahui bahwa sitokin tertentu yang dihasilkan oleh sel ini (misalnya, IL-10 dan faktor pertumbuhan transformasi dapat melemahkan berbagai respons sel T; sel T regulatoris mengubah pula aktivitas sel T melalui jalur yang melibatkan kontak sel-ke sel secara langsung.

9

Page 10: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

Sumber : Kumar, Cotran, Robbins. (2012). Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7 vol 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

1.5. PATOFISIOLOGI

1. Kegagalan Kematian Sel yang Diinduksi oleh Aktivasi.Aktivasi sel T yang berpotensi autoreaktif secara persisten dapat menyebabkan apoptosis sel tersebut melalui sistem ligan Fas-Fas. Hal ini berarti kelainan pada jalur ini memungkinkan terjadinya proliferasi dan persistensi sel T autoreaktif dalam jaringan perifer. Sebagai penunjang hipotesis ini, dilakukan percobaan, yaitu tikus dengan keiainan genetik dalam Fas atau ligan Fas menderita penyakit autoimun kronis menyerupai SLE. Sementara, sejauh ini

10

Page 11: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

tidak ada penderita SLE yang ditemukan mengalami mutasi dalam gen Fas atau ligan Fas, kelainan kecil lainnya pada kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dapat berperan pada penyakit autoimun manusia.2. Gangguan pada Anergi Sel T.Perlu diingat bahwa sel T yang berpotensi autoreaktif yang lolos dari pembersihan sentral akan menjadi anergik pada saat sel tersebut bertemu dengan antigen sendiri tanpa adanya kostimulasi. Hal ini terjadi setelah anergi semacam itu dapat rusak jika sel normal yang biasanya tidak mengeluarkan molekul kostimulator dapat diinduksi untuk melakukan hal tersebut. Dalam kenyataannya, induksi semacam itu dapat terjadi setelah terdapat infeksi, atau dalam situasi lain yang terjadi nekrosis jaringan dan inflamasi lokal. Pada penderita dengan sklerosis multipel telah diperhatikan terjadi pengaturan (up-regulation) molekul kostimulator B7-1 pada sistem saraf pusatnya, yaitu suatu penyakit autoimun yang sel T-nya bereaksi terhadap mielin. Induksi pengeluaran B7-1 yang serupa terjadi dalam sinovium para pasien artritis rematoid dan kulit pasien psoriasis. Pengamatan telah membuka kemungkinan untuk terjadinya manipulasi imunologis pada penyakit autoimun yang dicapai pada jalur kostimulator penghambat.3. Pemintasan Kebutuhan Sel-B Untuk Bantuan Sel-T.Banyak antigen-sendiri mempunyai determinan yang beragam, beberapa di antaranya dikenali oleh sel B, dan yang lain oleh sel T. Respons antibodi terhadap antigen tersebut hanya terjadi jika sel B yang berpotensi self-reactive menerima bantuan dari sel T, dan toleransi terhadap antigen tersebut dapat disertai dengan pembersihan atau anergi sel T-helper dengan adanya sel B spesifik yang sangat kompeten. Oleh karena itu, bentuk toleransi ini dapat diatasi jika kebutuhan terhadap sel T-helper yang toleran tergantikan. Satu cara untuk melakukan hal ini adalah jika epitop sel-T dari suatu antigen-sendiri dimodifikasi, yang memungkinkan pengenalan oleh sel T yang tidak dimusnahkan. Sel ini kemudian dapat bekerja sama dengan sel B, yang membentuk autoantibodi. Modifikasi determinan sel-T suatu antigen yang semacam itu dapat dihasilkan dari pembentukan kompleks dengan obat atau mikroorganisme. Sebagai contoh, anemia hemolitik autoimun, yang terjadi setelah pemberian obat tertentu, dapat disebabkan oleh perubahan yang diinduksi oleh obat pada permukaan sel darah merah yang menghasilkan antigen yang dapat dikenali oleh sel T-helper.

4. Kegagalan Supresi yang Diperantarai Sel T.Kemungkinan berkurangnya fungsi sel T – regulatoris (supresor) yang dapat menyebabkan autoimunitas merupakan hal yang sangat menarik. Penelitian telah memrnjukkan adanya tipe khusus sel T CD4+ antigen spesifik yang menyekresi IL-10; sel T CD4+ ini dapat menekan proliferasi sel T lain yang antigen-spesifik dan, yang lebih penting adalah mencegah kolitis autoimun pada tikus percobaan. Masih diselidiki apakah hilangnya sel T regulator tersebut berperan pada autoimunitas pada manusia.5. Mimikri Molekular.Beberapa agen infeksius memberikan epitop kepada antigen-diri, dan respons imun yang melawan mikroba tersebut akan menghasilkan respons yang serupa terhadap antigen-diri yang bereaksi-silang. Sebagai contoh, penyakit jantung rematik kadang-kadang muncul setelah infeksi streptokokus karena antibodi terhadap protein M streptokokus bereaksi silang dengan glikoprotein jantung. Mimikri molekular dapat pula diterapkan pada epitop sel T. Bukti paling kuat yang mendukung hal ini diperoleh dari klon sel T yang reaktif terhadap protein dasar mielin yang berasal dari penderita sklerosis multipel; klon ini bereaksi pula dengan peptide yang berasal dari sejumlah protein non sendiri, termasuk banyak yang berasal dari virus.6. Aktivasi Limfosit Poliklonal.Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam beberapa kasus, toleransi dipertahankan melalui anergi. Namun, autoimunitas dapat terjadi jika klon yang self-reactive, tetapi anergik

11

Page 12: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

tersebut dirangsang oleh mekanisme yang tidak tergantung antigen.Beberapa mikroorganisme beserta produknya mampu menyebabkan aktivasi poliklonal (yaitu antigen-nonspesifik) sel B. Yang paling tepat untuk diteliti adalah lipopolisakarida bakteri (endotoksin), yang menginduksi limfosit tikus untuk membentuk anti-DNA, antitimosit, dan antibodi antisel darah merah in vitro. Selain itu, super antigen tertentu dapat berikatan dan mengaktivasi sekumpulan sel T CD4+ dengan cara yang tidak tergantung antigen. Jadi, pada saat aktivasi super antigen sel-T, beberapa sel T autoreaktif dapat dirangsang, dan dapat terjadi autoimunitas.7. Pelepasan Antigen Terasing.Tanpa memperhatikan mekanisme pasti sehingga terjadi toleransi-diri (pemusnahan atau anergi), jelaslah bahwa induksi toleransi memerlukan interaksi antara antigen yang ada dan sistem imun. Jadi, setiap antigen-sendiri yang benar-benar telah diasingkan selama perkembangannya mungkin dianggap asing jika selanjutnya bertemu dengan sistem imun. Yang termasuk dalam kategori ini adalah antigen spermatozoa dan antigen okular. Uveitis pascatrauma dan orkhitis pascavasektomi mungkin terjadi akibat respons imun melawan antigen yang biasanya diasingkan dalam mata dan testis. Pelepasan antigen saja tidak cukup untuk menyebabkan autoimunitas; inflamasi yang menyertai cedera jaringan penting pula untuk mengatur (upregulate) jalur kostimulator yang sangat penting untuk induksi suatu respons imun.8. Pajanan Epitop-Sendiri yang Tersembunyi dan Penyebaran Epitop. Akhir-akhir ini telah dinyatakan bahwa "pengasingan molekular" antigen jauh lebih lazim daripada pengasingan anatomis. Oleh karena itu, tiap-tiap protein-sendiri mempunyai determinan antigenik (epitop) yang relatif sedikit yang diproses secara efektif dan disajikan. Selama perkembangannya, sebagian besar sel T yang mampu bereaksi dengan epitop dominan semacam itu dimusnahkan dalam timus ataupun menjadi anergik di perifer. Sebaliknya, sejumlah besar determinan-sendiri tidak diproses sehingga tidak dikenali oleh system imun; jadi, sel T yang spesifik untuk epitop sendiri yang "tersembunyi / rahasia" tersebut tidak dimusnahkan. Hal itu berarti sel T semacam itu dapat menyebabkan penyakit autoimun jika epitop rahasia tersebut kemudian disajikan dalam suatu bentuk imunogenik. Dasar molekular kerahasiaan epitop serta penyingkapan rahasia epitop tersebut tidak sepenuhnya dimengerti, meskipun mungkin banyak hal yang harus dilakukan dengan kemampuan antigen untuk diproses oleh APC. Penguraian proteolitik parsial suatu antigen pada lokasi cedera jaringan hanyalah suatu mekanisme yang menghasilkan epitop rahasia. Dalam setiap kejadian, telah menjadi dalil bahwa tanpa memperhatikan pemicu awal respons imun (misalnya, infeksi mikroba yang bereaksi-silang, pelepasan antigen yang terasing, kegagalan sel T supresor), kemajuan serta kronisitas respons autoimun dipertahankan melalui rekrutmen sel T autoreaktif yang mengenali determinan sendiri yang tersembunyi secara normal. Induksi sel T autoreaktif semacam itu kadang-kadang disebut sebagai penyebarnn epitop karena respons imun "menyebar" ke detelminan yang pada mulanya tidak dikenali.

2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN SISTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS2.1. DEFINISILupus Eritematosis Sistemik adalah Penyakit autoimun yang kempleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan meilbatkan banyak sistem organ dalam tubuh. (IPD 2014) Lupus Eritematosis Sistemik ( Connective tissue disease) adalah Penyakit autoimun sistemik dengan kelainan klinis yang sangat bervariasi.perbandingan wanita : pria 9:1

12

Page 13: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

LES ditandai oleh produksi AA non organ spesifik terhadap berbagai molekul dalam nukleus,sitoplasma dan permukaan sel. Anti nuclear antibodi (ANA) ditemukan pada > 95% penderita LES dibanding anti RNA. LES juga merupakan penyakit Hipersensitivitas tipe III,antibodi membentuk kompleks dengan DNA yang dapat mengendap di dinding arteri,sendi,dan membran basal glomelurus. Derajat berat penyakit dapat berubah-ubah sesuia dengan kadar kompleks imun. (Immunologi dasar edisi 11)

2.2. ETIOLOGIEtiologi SLE belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE.

Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 ke sel T helper 2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik.

Respon imun yang terpapar faktor eksternal yaitu lingkungan seperti radiasi ultraviolet bisa menyebabkan disregulasi sistem imun.( Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. )Penyebab terjadinya penyakit Lupus Eritematosus Sistemik memiliki dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.A. Faktor Internal

1. Genetik:a. Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%) dibanding

kembar dizigotik (3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2, DR3 dari MHC kelas II.b. Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan HLA DR4 dan

HLA DR5.c. Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen, serta aktivasi sel

T.d. Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom yang menetukan

ciri seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun yang menyebabkan peningkatan autoimunitas.

Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.

2. Defisiensi komplemena. Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP.b. Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik.c. 80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES.d. Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan

menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun.e. Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat,

menaikkan jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu mengendap di jaringan yang menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.

3. Hormon

13

Page 14: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

a. Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang akan menekan fungsi sel Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan peningkatan produksi antibodi.

b. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B (imunosupresor).c. Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan sistem

imun.d. 3 jenis imunomodulator :

Imunorestorasi Imunostimulasi Imunosupresi

4. AutoantibodiTabel Autoantibodi Patogenik pada SLE

Antigen Spesifik Prevelensi (%) Efek Klinik UtamaAnti-dsDNA 70-80 Gangguan ginjal, kulitNukleosom 60-90 Gangguan ginjal, kulitRo 30-40 Gangguan kulit, ginjal,

gangguan jantung fetusLa 15-20 Gangguan jantung fetusSm 10-30 Gangguan ginjalReseptor NMDA 33-50 Gangguan otakFosfolipid 20-30 Trombosis, abortus∝-Actinin 20 Gangguan ginjalC1q 40-50 Gangguan ginjal

B. Faktor Eksternal Lingkungana. Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.b. Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian

terjadi reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar endotel setelah itu terjadi inflamasi.

Faktor lingkungan yang mungkin berhubungan dengan pathogenesis SLEFaktor fisik/kimia

Amin aromatic Hydrazine Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,

penisilamin Merokok Pewarna rambut Sinar ultraviolet (UV)

Faktor makanan Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan L-canavanine (kuncup dari alfalfa)

Agen Infeksi Retrovirus DNA bakteri/endotoksin

Hormon dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen) Terapi sulih hormone (HRT), pil kontrasepsi oral Paparan estrogen parental

14

Page 15: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

2.3. EPIDEMIOLOGIDalam 30 tahun terakhir, systemic lupus eritomatosus (SLE) telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin Filipina. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tepai paling banyak pada usia produktif. Frekuensi terkena penyakit SLE lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. ( Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. )

Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000 pasien telah didiagnosa sebagai SLE. Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu antara 14,6/100.000 - 50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per tahun. Insiden SLE bervariasi di seluruh dunia.

Eropa Utara telah melaporkan adanya SLE sebesar 40/100.000. Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE dibandingkan wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan terhadap penyakit ini. Pada anak-anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada wanita kulit putih di bawah usia 15 tahun sampai 31/100.000 pada wanita Asia usia 10-20 tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi yaitu 4,4/100.000 pada wanita kulit putih, 31/100.000 pada wanita Asia, 19,86/100.000 pada kulit hitam dan 13/100.000 pada Amerika latin.

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang berbeda di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus, tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990. Insiden rata-rata ialah 37,7/10.000 perawatan. Penelitian oleh Purwanto dkk. di Yokyakarta tahun 1983-1986 melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000 perawatan. Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986 mendapatkan insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan.

Penderita umumnya adalah wanita dengan perbandingan wanita terhadap pria 9:1; kebanyakan menjangkiti usia reproduktif, namun dapat juga terjadi pada masa kanak-kanak.

2.4. PATOFISIOLOGIPenyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibat terganggunya

regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralasin [Apresoline, prokainamid(Pronestyl)], isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi

15

Page 16: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.

Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

Gejala yang paling sering pada SLE pada sistem muskuloskeletal, berupa arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.

Patogenesis Sistemic Lupus Eritematosus

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan faktor pencetus yang ada di lingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam tubuh yaitu:

1. Sel T dan B menjadi otoreaktif2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

16

Page 17: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

3. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain: o Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin

dalam tubuho Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis o Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena

adanya mimikri molekulAkibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam

tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang membentuk kompleks imun, kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Antibodi-antibodi yang terbentuk pada SLE sangat banyak, antara lain Antinuclear antibodi (ANA), anti double staranded DNA (ds DNA), anti-ss A (Ro), anti-ss B (La), antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70.

2.5. MANIFESTASI KLINISGejala bervariasi dari orang ke orang, dan dapat datang dan pergi. Hampir semua orang dengan SLE memiliki nyeri sendi dan bengkak. Beberapa mengembangkan arthritis. Sendi jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut sering terkena.

Gejala umum lainnya termasuk: Nyeri dada saat mengambil napas dalam-dalam Kelelahan Demam tanpa penyebab lainnya Ketidaknyamanan kelamin, kegelisahan, atau perasaan sakit (malaise) Rambut rontok Sariawan Sensitivitas terhadap sinar matahari Ruam kulit - sebuah "kupu-kupu" ruam di sekitar setengah orang dengan SLE. Ruam

yang paling sering terlihat di atas pipi dan hidung, tetapi bisa meluas. Ia mendapat lebih buruk di bawah sinar matahari.

Pembengkakan kelenjar getah bening

Gejala lain tergantung pada bagian mana dari tubuh dipengaruhi: Otak dan sistem saraf: sakit kepala, mati rasa, kesemutan, kejang, masalah

penglihatan, perubahan kepribadian Saluran pencernaan: nyeri perut, mual, dan muntah Jantung: irama jantung abnormal (aritmia) Paru paru : muntah darah dan kesulitan bernapas Kulit: warna kulit merata, jari-jari yang berubah warna saat dingin (fenomena

Raynaud) Ginjal: pembengkakan di kaki, berat badan bertambah

Beberapa orang hanya memiliki gejala kulit. Ini disebut lupus diskoid.

17

Page 18: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

2.6. PENEGAKKAN DIAGNOSISPemeriksaan fisik:

a. Keadaan umum lemah, kurus (kakeksia), b. Rambut kepala dan alis mudah rontok, c. Urtikaria pada wajah, d. Ulkus mucosa mulut,e. Bercak hiperpigmentasi pada kulit tangan dan kaki, terutama pada daerah yang

terpapar sinar matahari.( http://penelitian.unair.ac.id )

Pemeriksaan penunjang:Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat diagnosa SLE , yaitu :

1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah autoantibodi terhadap inti sel sering muncul di dalam darah.

2.   Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di dalam sel.

3.   Pemeriksaan anti-Sm antibodiyaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (proteinyang ditemukandalam sel protein inti).

4.    Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immunecomplexes(kekebalan) di dalam darah

18

Page 19: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

5.   Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement  (kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spesifikdari C3 dan C4 – dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.

6.  Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengauhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep.

7.   Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit8.   Urine Rutin9.   Antibodi Antiphospholipid 10. Biopsy Kulit11. Biopsy Ginjal

Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupus dan ini merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untuk mengenali sistemik lupus. Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa ditemukannya ANA. Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam menentukan jenis penyakit autoimun yang muncul dan menentukan program pengobatan seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif pada banyak keadaan, oleh karena itu dalam pemeriksaan ANA harus di dukung dengan catatan kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya. Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukup untuk mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupus akan tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut. 

Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif,  bukanlah bukti keberadaan Lupus, karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap :

1. Orang - orang dengan penyakit jaringan connective lainnya.2. Pasien yang sedang diobati dengan obat-obatan tertentu, misal menggunakan obatprok

rainamid, hidralazin, isoniazid klorpromazin. dan 3. Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogren’ssyndrome,4. rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati (liver).

( http://mandumna.webuda.com/1_30_8-Pemeriksaan-Laboratorium.htm )

Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas

NO. Kriteria Definisi1. Eritema/bercak malar

(butterfly rash)Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

2. Bercak/ruam diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi

3. Fotosensitivitas Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik

4. Ulkus mulut/Ulserasi Ulkus mulut/nasofaring,biasanya tidak nyeri

19

Page 20: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

mukokutaneus oral atau nasal

5. Artritis non erosif Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

6. Serositif a. PleuritisRiwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisikb. PerikarditisDibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik

7. Gangguan ginjal/Nefritis a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukanb. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

8. Gangguan saraf/Ensefalopati KejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)PsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

8999Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosisLeukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaanLimfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaanTrombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat

10Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema

11. Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

2.7. DIAGNOSIS BANDING1. Serangan pada Ginjala) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).

2. Serangan pada Jantung dan Parua) Pleuritis

20

Page 21: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

b) Pericarditisc) Efusi pleurad) Efusi pericarde) Radang otot jantung atau Miocarditisf) Gagal jantungg) Perdarahan paru (batuk darah).

3. Serangan Sistem Sarafa) Sistem saraf pusat- Cognitive dysfunction- Sakit kepala pada lupus- Sindrom anti-phospholipid- Sindrom otak- Fibromyalgia.b) Sistem saraf tepi- Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kakic) Sistem saraf otonom- Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat

menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.

4. Serangan pada KulitLesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi discoid. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :

a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitive terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.

b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh

c) Lesi non spesifik- Rambut rontok (alopecia)- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari.

Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok (7).- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai

pusing.

5. Serangan pada Sendi dan Otota) Radang sendi pada lupusb) Radang otot pada lupus

6. Serangan pada Mata

7. Serangan pada Daraha) Anemiab) Trombositopeniac) Gangguan pembekuand) Limfositopenia

21

Page 22: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

8. Serangan pada Hati

2.8. TATALAKSANATidak ada obat untuk SLE. Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala. Gejala berat yang melibatkan jantung, paru-paru, ginjal, dan organ lainnya sering perlu perawatan dari spesialis.

Secara farmakologis :Bentuk ringan dari penyakit dapat diobati dengan:

NSAID untuk gejala sendi dan radang selaput dada Krim kortikosteroid untuk ruam kulit (glukokortikosteroid) Obat yang digunakan untuk mengobati malaria (hydroxychloroquine) dan dosis

rendah kortikosteroid untuk gejala kulit dan artritis

Pengobatan untuk SLE lebih parah mungkin termasuk: Kortikosteroid dosis tinggi Obat sitotoksik (obat yang menghalangi pertumbuhan sel atau obat-obatan yang

mengurangi atau menekan sistem kekebalan tubuh): obat ini digunakan jika tidak mendapatkan yang lebih baik dengan kortikosteroid, atau jika gejala bertambah buruk ketika berhenti mengkonsumsi. Efek samping dari obat ini dapat parah, sehingga perlu diawasi secara ketat jika mengkonsumsinya

Secara non farmakologis :a. Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.

b. Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.

c. IstirahatPenderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

d. Tabir suryaPada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.

e. Monitor ketatPenderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan

22

Page 23: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian  faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

2.9. PENCEGAHANUntuk mencegah kekambuhan SLE, pasien sebaiknya melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Hindari stress dan trauma fisik.Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memliki kecenderungan akan penyakit ini.

b. Hindari merokok.c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.d. Cukuplah beristirahat.

Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa memicu kambuhnya SLE.e. Diet sesuai kelainan.f. Hindari infeksi

Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.

g. Hindari pajanan sinar ultravioletSinar ultraviolet dapat menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak kemerahan yang menonjol atau menebal.

h. Hindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen.( http://buletinsehat.com/obat/sistemik-lupus-eritematosus-sle/. Sistemik Lupus Eritematosus. 22 Mei 2012. 20:31 )

2.10. PROGNOSISPerjalanan penyakit SLE sangat beragam. Walaupun tanpa pengobatan, beberapa pasien mengalami perjalanan penyakit yang relatif jinak yang hanya disertai manifestasi pada kulit dan/ atau hematuria. Dalam kasus yang jarang, perjalanan penyakit demikian cepat hingga terjadi kematian dalam waktu beberapa bulan saja. Penyakit tersebut paling sering ditandai dengan remisi serta relaps bejangka waktu beberapa tahun hingga beberapa puluh tahun. Serangan akut biasanya dikendalikan dengan menggunakan obat steroid atau imunosupresif lainnya. Secara keseluruhan, dengan pengobatan yang digunakan pada saat ini, dapat diperkirakan angka kelangsungan hidup untuk 5 tahun adalah 90% dan untuk 10 tahun adalah 80%. Penyebab utama kematian adalah gagal ginjal, infeksi yang ikut menyerang, dan serangan pada sistem saraf pusat yang difus.

3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN DALAM SEGI AGAMA TENTANG SIKAP MENGHADAPI COBAAN1. SABAR

Definisi sabar Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah

berfirman:والعشي بالغداة ربهم يدعون الذين مع نفسك واصبر

   “Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari.” (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.

23

Page 24: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:

ربهم وجه ابتغاء صبروا والذين“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22). Macam – macam sabarSabar terdiri dari 3 macam, yaitu: 1)      Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah2)      sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah3)      sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.2. IKHLAS Definisi ikhlas

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya.

Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi)Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.

Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ayat – ayat al-quran tentang ikhlas :  "Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)

kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3)."Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).

3. RIDHODefinisi ridho

Ridho ( berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan (ر$ض"qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.

Macam – macam ridho Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir

Allah terbagi menjadi tiga macam:

24

Page 25: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya.

2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat.

3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.

Ayat al-quran tentnag ridho م% ال' $س( اإل( ,ه$ الل (د' ن ع$ الد/ين' $ن, إ

   “Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)

'ة1 ن ح'س' و'ة1 س(% أ ,ه$ الل س%ول$ ر' ف$ي %م( 'ك ل 'ان' ك 'ق'د( ا  ل $ير" 'ث ك ,ه' الل 'ر' و'ذ'ك 'خ$ر' اآل( 'و(م' (ي و'ال ,ه' الل ج%و 'ر( ي 'ان' ك $م'ن( ل

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam  itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab ayat 21)

25

Page 26: WRAP UP SKENARIO 3 MPT.docx

DAFTAR PUSTAKA

26