Upload
trinhxuyen
View
255
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
True Story:Tuntutlah Ilmu Sampai
Ke Negeri Perancis By:
Marjohan UsmanGuru SMAN 3 Batusangkar
HP.085263537981Ranti Komala Dewi (Co-Writer)
Kata Pengantar
Membaca cerpen (cerita pendek), novel ataupun kisah nyata merupakan hobbi yang
baik. Lewat kegiatan membaca akan diperoleh pengalaman pencerahan melalui melalui
alur-alur kisah yang dipaparkan dari awal hingga akhir. Demikian pula dengan kisah nyata
yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”.
Kisah nyata ini agaknya juga tepat disebut sebagai traveling book, karena juga
mengisahkan tentang tokoh utama (single figure) yang bernama Ranti Komala Dewi dan
sekaligus penulis collaborator untuk kisah nyata ini. Kami menceritakan bagaimana liku-
liku kesulitannya dalam menempuh pendidikan, merajut mimpinya menjadi kenyataan.
Kisahnya diharapkan bisa memberi inspirasi dan motivasi bagi pembaca berusia muda
mengenai perjuangannya- mulai dari desa kecil di kaki bukit, desa Padang Ganting, dekat
kota Batusangkar dan juga dekat dari Pagaruyung- Sumatera Barat hingga menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Sorbonne, metropolitan Paris- Perancis. Kemudian, kami juga
mengisahkan bagaimana ia berjuangan untuk berubah dari gadis desa yang pemalu dan
kurang percaya diri hingga menjadi wanita yang mampu menggapai mimpi dan merayakan
kemenangannya disamping menara Eiffel Perancis, menara mimpinya saat kanak-kanak.
Tidak ada gading yang tidak retak. Kisah nyata ini agaknya ada kekurangan dan
butuh kritikan positif dari pembacanya. Kritikan positif dapat disampaikan melalui email
[email protected]. Atas perhatian dari pembaca kami ucapkan terima kasih.
Batusangkar, Desember 2011
Marjohan Usman
Ranti Komala Dewi (Co-Writer)
DAFTAR ISI
BAB. 1 Sweet memory dari Perancis
BAB. II Masa Kecil
BAB. III. Aku Dalam Pandangan Orangtuaku
BAB. IV Menggapai Masa Depan
BAB. V Menatap Dunia
BAB. VI Bonjour Paris
BAB. VII Kuliah di Universitas Sorbonne
BAB VIII. Meneropong Istano Basa Pagaruyung Dari Paris
BAB. IX Merayakan kemenangku di Eiffel
BAB X. Catatan Ringkas Tentang Tinggal di Perancis
BAB. 1 SWEET MEMORY DARI PERANCIS
Welcome in Batusangkar
Tidak terasa aku tiba lagi di tanah kelahiranku Padang Ganting- Batusangkar. Aku
seharusnya dijemput oleh keluarga ku- ayah, dan uni. Namun dalam kenyataan bahwa aku
tidak dijemput- tetapi aku menjemput. Aku menjemput mereka, ya karena aku yang
menunggu mereka lebih duluan di bandara Internasional Soekarno- Hatta, Jakarta. Setelah
mengurus beberapa hal, keesokan harinya kami naik pesawat lagi menuju Padang, Sumatera
Barat.
Tentu saja memoriku tentang Perancis dan Paris masih hangat, karena kayaknya baru
kemaren aku berada di sana. Aku masih ingat bahwa aku mengalami banyak pengalaman
manis dan juga sejumlah keterbatasan hidup.
“ Ada penglaman menyenangkan dan juga pengalaman susah, ya...banyak susahnya,
apalagi aku termasuk warga baru di sana. Aku menemukan beberapa hal cukup kontra dengan
kondisi di kampungku sendiri- di Batusangkar. Dalam lingkungan keluarga aku bisa
memperoleh banyak kemudahan dan merasa hidup lebih nyaman. Di Perancis semua suka
dan duka musti dihadapi dan diatasi sendiri”
Kisah nyata ini berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”. Tentu saja
kisah nyata ini berisi tentang ide-ide dan kisahku dari A sampai Z, dari Padang Ganting,
sebuah desa kecil dekat Batusangkar, hingga ke Menara Eiffel di Perancis. Aku juga akan
memaparkan eksistensi Istano Basa Pagaruyung dan Eiffel itu sendiri.
Eiffel dan Istano Basa Pagaruyung adalah dua situs sejarah yang sangat terkenal di
dunia yang berada di dua negara dan dua budaya yang amat berbeda. Eiffel dibangun oleh
ahli arsitektur beberapa abad silam dan Istano Basa Pagaruyung dibangun oleh masyarakat
melalui sistem adatnya. Dalam membangun Rumah Gadang di nagari Pagaruyung tidak
hanyak sebatas masalah duit, tetapi juga melibatkan unsur adat, dan ninik mamak (kaum
kerabat dalam suku). Mereka melaksanakan seremoni adat, musyawarah dan selanjutnya
juga melibatkan sumbangan kaum kerabat.
Dari Perancis aku memahami betapa besarnya sumbangan keluarga kerajaan
Pagaruyung itu sendiri untuk lokasi pembangunan Istano Basa Pagaruyung itu sendiri.
Sehingga akhirnya di sana bisa berdiri sebuah Rumah Gadang atau Istano Basa Pagaruyung
yang melambangkan bangunan kebudayaan Minangkabau. Sekali lagi bahwa bangunan ini
bisa berdiri berkat kerja sama pemerintah- kaum adat dan masyarakat Minangkabau dari
berbagai daerah di negeri ini. Sementara itu Eiffel dibangun hanya atas nama ahli yang
bernama Gustave Alexandre Eiffel tahun 1889.
Aku berasal dari desa kecil dekat Batusangkar, yaitu Desa Padang Gantiang. Di sana
aku tumbuh. Kata papa bahwa waktu kecil terlihat lugu dan amat pemalu. Papa dan mama
selalu memotivasiku untuk menjadi gadis yang berani, hingga aku bisa melepaskan “topeng
malu” itu sendiri.
Kalau aku runut kembali tentang perkembangan pribadiku, dari orang pemalu hingga
bisa jadi berani, aku merasa hal itu sebagai hal yang incredible (suatu hal yang cukup luar
biasa). Aku mulai dari zero dan bisa menjadi new hero, paling kurang untuk kaum perempuan
atau orang-orang di daerah pinggir di negeriku- Padang Gantiang. Sebenarnya kisah perjalan
hidupku yach ..... biasa- biasa saja.
Jujur saja, kalau aku renungkan kembali perjalanan ini “until I get master” dalam
bidang ilmu pengetahuan dari Universitas Sorbone- sebuah Universitas yang sangat
terkemuka di Eropa dan malah juga terkemuka di dunia “Wow...I feel it very amazing”. Aku
rasa bahwa perjalan hidupku dari awal hingga sekarang pastilah tidak mudah bagiku untuk
mencapainya. Aku melakukan banyak usaha dan pengorbanan.
Aku memperoleh banyak dorongan dari keluarga. Setiap kali aku “down”- ya aku
bisa ambruk” maka pasokan semangat dan energi motivasi dari mereka sungguh sangat
berarti. Aku selalu memperoleh support dari mereka.
Support itu sendiri tidak diperoleh dengan serta merta, pasti berawal dari
kegagalanku dan baru muncul support mereka. Ada stimulus maka ada pula response.
Master Degree yang aku peroleh di Sorbone Universite sekarang adalah kumpulan
dari serangkaian jerih payah yang telah aku lakukan dan aku lewati. Aku sekarang sangat
appreciate atas perjalanan hidupku sendiri.
Proses Panjang
Sebelum mendapatkan degree of master di universitas Eropa ini, aku sebelumnya
harus melewati proses pendidikan dari SD, SMP dan SMA di desa kecil di Pinggiran bukit
dekat Batusangkar. Kemudian aku melangkah menuju Universitas Andalas di Padang, terus
ke Universitas Udayana, di Denpasar- Bali, dan selanjutnya aku terbang melintasi benua
menuju Sorbone di Jantung Eropa.
Dalam tesis studiku di Sorbone- aku menyatakan bahwa keberhasilan itu aku
persembahkan buat mereka: kedua orangtua ku yang tercinta, juga keluarga dan kerabatku,
serta tidak ketinggalan pula dukungan dari banyak orang dari kampung dan kampusku.
Aku masih ingat bahwa saat aku baru saja selesai ujian mempertahankan tesis, aku
merasa tidak sabaran untuk mengirim SMS ke berbagai orang yang amat berjasa padaku
“Hai....terimakasih...atas doa, dukungan kalian, lewat pertolonganmu...aku baru saja selesai
memperoleh master , Alhamdulillah”. Appresiasi ini aku lakukan bahwa aku bisa begini ya
karena dukungan dan dorongan dari mereka.
“Aku bisa begini bukan karena usahaku semata tapi adalah berkata dukungan
orangtuaku...sahabatku....familiku....orang orang yang begitu ikhlas pada ku”. Appresiasi ini
tak mungkin aku wujudkan dengan uang, namun dengan rasa syukurku yang begitu
mendalam pada Tuhan dan rasa terimakasih yang tulus pada mereka-mereka yang amat aku
cinta.
Ya pada hari H tersebut aku sibuk SMS-SMSan hingga larut malam “I finish my
study...I finish my study, merci beaucoup pour tout”.
Seminggu setelah berada lagi di kampungku, ya aku sempatkan untuk berbagi cerita
dan berbagi pengalaman dengan para siswa SMA Negeri 1 Padang Ganting dan SMA Negeri
3 Batusangkar. Aku diberi kesempatan untuk mempresentasikan penglaman belajarku from
Batusangkar hingga Eiffel atau Perancis. Aku tetap bersemangat walau para siswa tengah
berpuasa dan tampak sedikit mengantuk, karena aku bersemangat maka semangatku juga
menular pada mereka. Aku ingin mereka juga bisa mengikuti jejak studiku dari Batusangkar
hingga ke Sorbone.
Sebenarnya bagi siswa yang belajar di kaki bukit dekat Batusangkar, untuk bisa
menembus pendidikan di Universitas favorite di Indonesia- seperti di Universitas Indonesia,
ITB, Unpad, UGM...sungguh sungguh amat sulit, apalagi untuk menuju Sorbone. Namun aku
mengatakan pada mereka kalau dulu bagiku menuju Sorbone adalah amat mustahil...ya
karena saat itu banyak keterbatasan. Maka kini dengan kemudahan berbagai tekhnologi
informasi “Internet bisa diakses melalui phonecell di tangan”. Maka aku yakinkan mereka
bahwa hal-hal yang tidak bisa akan bisa menjadi luar biasa. “Kuncinya adalah ketekunan ,
motivasi dan percaya diri”.
Aku juga berbagi motivasi kepada mereka, “Kalau sekarang infomasi buat sukses
sudah cukup banyak, bisa diperoleh secara langsung dari orang orang yang datang sebagai
pelaku sukses dari universitas. Juga bisa diperoleh lewat internet dengan akses yang begitu
mudah. Nah sekarang mengapa tidak mencoba untuk menuju sukses..mengapa musti
takut....mengapa musti ragu”.
Aku mensupport para junior tersebut “Ya coba lihat aku sekarang...kok aku bisa..!”
Pada hal di zaman aku sekolah SMP dan SMA akses menuju ibukota kabupaten begitu sulit,
aku harus menunggu mobil yang bermerek STS yang warnanya merah hampir satu atau dua
jam, itupun untuk pergi les Bahasa Inggris yang berlokasi dalam kota kecil, Barusangkar.
“Namun kamu sekarang begitu mudah, kamu udah punya transpor sepeda
motor..atau paling kurang naik ojek yang siap mengantarkan kamu kapan saja. Seharusnya
kamu akan jauh lebih sukses dari saya”.
Aku sebagai tokoh dalam kisah nyata yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke
Negeri Perancis”. Andai tokohnya adalah seorang cowok maka itu hal yang biasa. Atau
andai aku sebagai tokoh perempuan yang berasal dari metropolis bisa sukses dalam
pendidikan sampai di Sorbone, maka itu juga hal biasa. Namun aku adalah tokoh seorang
perempuan kampung, yang berasal dari pinggir bukit dekat kota kecil pula- kota
Batusangkar, dan waktu kecil akupun sebagai perempuan kecil yang amat pemalu, namun
kemudian melalui serangkaian perjalanan panjang yang penuh perjuang hingga bisa
menyelesaikan pendidikan master pada Sorbone, lebih cepat dari target, maka aku sebagai
tokoh akan menjadi luar biasa.
Aku rasa bahwa kisah nyata “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis” ini akan
sarat dengan pesan-pesan buat pembacanya. Intinya bahwa pembaca peduli selalu dengan
emansipasi perempuan’
“Bahwa perempuan harus selalui bangkit untuk pendidikan. Perempuan desa
sekalipun- jangan kehilanghan semangat dan mudah putus asa, jangan terlalu banyak lagi
mengkhawatirkan atas keterbatasan diri sendiri”.
Dulu orang memang banyak mengkhawatirkan anak perempuan untuk studi ke tempat
yang jauh. Orang tua cemas kalau anak perempuan mereka tidak mampu hidup...cemas
kalau anak perempuan bakal ditimpa kesusahan dan bencana. Yang ditanamkan pada diri
anak perempuan adalah rasa takut dan rasa cemas.
“Wah mama takut kamu bakal diganggu orang....mama takut kamu bakal kelaparan
dan sakit”, dan akhirnya anak perempuan akan tumbuh jadi kerdil.
Seharusnya anak perempuan juga harus “Keep struggle- tetaplah berjuang hidup”
sebagaimana halnya semangat anak laki-laki.
“Mengapa anak laki-laki diizinkan dan diberi kepercayaan untuk belajar ke ibukota
propinsi dan malah sampai ke universitas favorite di Pulai Jawa. Kalau begitu anak- anak
perempuan juga perlu memperoleh kesempatan dan hak seperti itu (?)”
Sebenarnya perjalanan dan perjuanganku juga sarat dengan keraguan yang datang
dari famili dan kedua orang tuaku. Namun aku sudah memilihki pagar- pagar atau rambu-
rambu mengenai kehidupan. Aku mengerti tentang “some do’s dan some dont’s (beberapa
hal yang aku boleh lakukan dan beberapa hal yang musti aku hindari)”.
Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang gadis asal
Minangkabau- atau wanita timur. Intinya aku tetap memakai aturan agama dan nilai sopan
santun sebagai orang timur.
“Aku harus berada dalam pagar tersebut. Kalau aku lompat pagar maka aku khawatir
kalau ada buaya- ada celaan. Maksudnya kalau di negeri ku hidup itu musti ada tata krama
timur, sedangkar di Eropa mereka menganut kebebasan yang sangat bebas dalam bertindak”.
Usahaku untuk bergerak dari perempuan kecil yang terbatas dengan wawasan,
memiliki rasa percaya diri yang rendah...ya melalui serangkaian usaha. Aku sering jatuh dan
bagun. Ketika aku jatuh atau gagal maka aku tidak perlu meratapi kegagalan itu. Aku harus
segera bangkit atau bangun. Jatuh dan bangun dalam perjuang untuk meningkatkan kualitas
diri dengan melalui serangkaian “move on- selalu bergerak dan berusaha”.
Bukan menunggu dan berdiri dengan penuh ragu-ragu, apalagi tanpa percaya diri.
“Kalau gagal ya jangan patah hati...ayo coba lagi dan bangkit lagi !!!”.
Larangan dan dorongan dari keluarga aku rangkum menjadi resep hidup buatku
selama dalam perjalanan hidup di rantau orang. Ternyata sangat dahsyat bagiku dalam
menuntun diri sendiri.
Aku menyedari bahwa kemampuan akademikku saat di SMP dan SMA masih sebatas
rata-rata. Di SMA dulu aku bukan termasuk siswa yang memperoleh juara umum, aku malah
tercatat sebagai siswa yang cuma rangking empat besar di kelas. Namun kemudian aku sadar
dan banting stir, bahwa aku harus hebat dalam bidang akademik namun tidak perlu terlalu
kutu buku. Maka aku juga aktif dalam organisasi sekolah- juga aktif dalam kegiatan
masyarakat di sekitar rumahku.
Sekali lagi bahwa saat aku di SMA, prestasiku tidak begitu cemerlang, tidak seperti
adik dan kakakku. Mereka pernah menjadi student teladan- atau sekarang dikenal dengan
istilah “siswa berprestasi” di sekolah. Terus terang saat itu figurku adalah kakakku. Akhirnya
melalui figur dari kakak, semangat suksesku bisa update lebih baik.
Dengan menyadari segala keterbatasanku- keterbatasan sebagai konsekuensi tinggal
di kampung, yang notabenenya miskin dengan informasi dan ilmu pengetahuan,
keterbatasanku dalam bidang akademi yang cuma rata-rata (sebagai siswa yang hanya biasa
biasa saja). Sebagai anak kampung, aku cuma sibuk dengan eksplorasi namun miskin dengan
outlook (pandangan keluar) hingga batu loncatan buat suksesku kurang bagus.
Walau aku memiliki batu loncatan yang kurang bagus, namun dalam membidik
sukses aku menggunakan strategi yang aku sebut sebagai “pandai-pandai dalam melihat
peluang”. Kita pengen ke sana tetapi kita tidak bisa, kita melihat rumput tetangga lebih hijau,
dan kita berfikir bagai rumput di daerah mereka bisa hijau. Ya bagaimana aku bisa sukses
kayak tetangga dan itu membutuhkan juga banyak peluang. Untuk memperoleh batu loncatan
yang bagus ya perlu banyak trik trik yang hebat yang musti juga aku lakukan.
Sekali lagi, kalau aku runut kebelakang, aku kagum sendirian bahwa ternyata aku
cukup hebat dalam mendisiplinkan waktu buat belajar dan buat melakukan serangkaian
aktivitas. Hingga sekarang aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan memiliki gelar
edukasi dari Perancis. Walaupun itu belum apa-apa dibandingkan dengan mereka yang
sudah memperoleh Doktor dari sana. Namun bagiku sebagai perempuan yang tulen besar di
kampung, gelar akademis yang demikian maknanya sudah amat luar biasa.
Remaja Perlu Punya Mimpi
Apa sih mimpiku buat masa depan ? Melalui kisah nyata Tuntutlah Ilmu Sampai Ke
Negeri Perancis ini aku ingin para remaja untuk memiliki mimpi- yaitu memiliki cita-cita
buat masa depan mereka. Aku juga ingin memaparkan beberapa mimpi atau keinginanku.
Aku ingin berbagi cerita agar kaum perempuan, termasuk yang berada di daerah pinggir,
agar bisa melakukan move on. Sekali lagi bahwa mereka harus melakukan MOVE ON, yaitu
bergerak, berusaha, berkarya dan belajar selalu. Jangan statis, beku apalagi serba pasif.
Aku sebagai tokoh dapat dikatakan sebagai perempuan yang pada mulanya ultra
kampung yang sering menemui banyak kekagetan atau cultural- shocked. Aku sudah
memperoleh comparison (perbandingan) antara timur dan barat melalui pengalaman hidup
selama tinggal di Paris.
Aku jadi mengerti bahwa “ternyata sistem pendidikan yang bagus seperti ini... tidak
hanya membebek padas guru, tidak hanya nrimo saja”.
Aku juga memperoleh studi di bidang pariwista maka aku berani mengungkapkan
bahwa “pariwisata kita jauh lebih bagus dari pariwisata Perancis itu sendiri”. Namun
problemnya adalah pengelolaan pariwisata kita sangat kurang....jauh lebih kurang
dibandingkan Perancis.
Pengembangan pariwisata kita tampaknya masih tergantung dari sistem proyek.
“Kalau tidak ada proyek maka asset wisata yang begitu eksotik dibiarkan sia-sia saja hingga
tidak berjalan lagi”.
“Pembangunan dan pengelolaan wisata Perancis bersifat kontinue sepanjang waktu.
Mereka telah membuat kalender event wisata begitu detail. Mengapa demikian....ya karena
wisata mereka sudah bien organisee (well organized). Pengembangan pariwisatanya
terlaksana secara desentralisasi yang profesional. Sekali lagi- kalau pengembangan pariwisata
kita terkesan berdasarkan proyek secara desentralisasi”.
Aku juga ingin menyampaikan kepada para ABG- anak baru gede atau para remaja
sebagai pembaca buku dan bacaan lain yang terhebat di dunia. Para ABG adalah orang orang
yang memiliki kemampuan dan semangat yang lebih besar di bandingkan kelompok generasi
yang lain. Di mana- mana ada aktivitas pasti para ABG menempati porsi yang lebih banyak.
Konsert musik dan event olah raga selalu penuh oleh dukungan remaja (ABG).
“Karena ABG memiliki semangat yang gede maka aku berharap agar mereka
memanfaatkan semangat tersebut untuk hal-hal yang positif untuk menuju masa depan.
Dengan memiliki sebuah masa depan maka cobalah untuk move on bersama mimpi itu.
Mimpi tersebut dapat diwujudkan melalui semangat”.
Aku fikir bahwa para ABG perlu berfikir untuk jangka panjang.....untuk masa
depan. Arah visi mereka kemana ? Untuk pengembangan visi...ya perlu rencana jangka
panjang. Visi jangka panjang perlu didukung oleh banyak ilmu pengetahuan. Untuk itu
mereka perlu membaca yang harus ekstra banyak. Mereka harus cari tahu tentang isue-isue
tentang dunia 20 atau 30 tahun ke depan dan jangan hanya bersikap apatis.
Sebagian remaja memang ada yang belum punya mimpi. Begitu ditanya tentang
masa depan, mereka banyak menjawab “I don’t know...I don’t know”.
Penyebanya adalah remaja sekarang hidupnya serba gampang. Mereka selalu merasa
keenakan. Alam juga membuat mereka jadi manja. Akibatnya mereka cenderung berkata
“wah esok itu akan ngampang aja”.
Contohnya kalau mereka berhalangan untuk hadir, untuk menyampaikan problem
juga gampang. Cukup telepon aja atau kirim SMS ...ya beres. Kalau dulu untuk memberi
khabar harus kirim surat dan mencari orang untuk mengantarkan surat tersebut. Problemnya
lagi bahwa teman itu sendiri jaraknya jauh, kita harus jalan. Sekali lagi kalau sekarang kita
bisa naik ojek atau kasih telpon, jadi hidup begitu enak dan tantangan hidup jadi kurang.
Fasilitas yang serba mudah bisa membuat orang kehilangan motivasi untuk jadi maju.
Aku melihat fenomena tersebut. Setelah itu yang membuat para ABG susah untuk move on
adalah karena kurang terbiasa untuk mandiri “semua serba di bantu, makan dihidang,
pakaian disetrikakan, kebutuhan yang lain disediakan...mereka minim usaha dan minim
pengalaman hidup”.
Karena aku sudah punya pengalaman hidup di Eropa, aku bisa membandingkan
kehidupan mereka dengan kehidupan kita. “Jauh sekali bedanya, kalau dari budaya
kemandirian, mereka punya budaya yang lebih invidu. Individualism tentu tidak pas buat
kita. Efek dari kemandirian juga ada bagusnya- mereka lebih struggle..mereka lebih
berjuang.
Umur 20 tahun mereka musti ke luar rumah, mereka harus hidup mandiri. Namun
sistem pemerintahan memandang bahwa anak- anak yang usianya masih 25 tahun ke bawah
dianggap masih kecil, sehingga mereka musti punya kartu khusus dan dalam menggunakan
fasilitas umum, seperti naik bus, trem...mereka akan memperoleh banyak potongan harga.
Walau pemerintah memberi mereka banyak kemudahan dalam memberikan potongan
harga..itu semua punya tujuan untuk mengimprove mereka. Semenatara mereka harus ke luar
rumah dan mandiri yang dilakukan oleh keluarga...juga untuk mengimprove mereka.
“Terlihat bahwa umur 20 tahu mereka harus dilepas...dan pemerintah menerima
mereka dengan memberikan layanan kemudahan hidup sampai usia 25 tahun. Jadi ada sistem
membina untuk kemandirian generasi muda mereka. Bukan terlalu memuji kalau aku berani
menyatakan bahwa orang Perancis sangat kommitment dengan dirinya. Really they have self
commitment”.
Aku berfikir bahwa para remaja kita yang bisa melakukan move on dan berhasil, itu
terjadi karena mereka memiliki kommitment yang hebat. Aku melihat bahwa ibunya anak-
anak Perancis tidak monopoli kekuasaan- tidak suka banyak memerintah, tetapi malah
menghargai. Begitu anak melakukan aktivitas positif, ya langsung diberi reward- pujian dan
penghargaan.
“Anak-anak yang orang tuanya sangat otoriter, gemar bertengkar, gemar
mengomel...ya akhirnya pendidikan anak juga tidak akan berjalan mulus”.
Remaja juga bakal tumbuh sukses andai mereka punya orang tua, sebagai figur, yang
punya kesibukan. Sehingga mereka mengappreciate bahwa hidup memang butuh kesibukan
atau akativitas.
Aku berasal dari keluarga, dimana orang tuaku memilkiki tiga orang anak perempuan.
Namun walau kami semua perempuan kami semua harus keep struggle sebagaimana halnya
anak-anak laki-laki. Papa sering berkata: “Kamu harus kuat, dan tidak boleh cengeng. Tidak
zamannya lagi bagi perempuan untuk bersikap cengeng, karena cengeng melambangkan
sebagai karakter yang lemah. Orang yang lemah akan mudah diotak atik oleh orang lain”.
Papa juga mengajarkan bahwa aku harus tahu dan menguasai hal hal yang baru, kalau
tidak aku bakal ketinggalan. Lain halnya dengan mamaku, ia lebih suka memberitahu tentang
batasan-batasan “kamu tidak boleh begini dan kamu harus melakukan ini”. Dengan cara
demikian aku jadi tahu tentang berbagai rule of life (peraturan hidup). Ini aku peroleh lewat
dialog.
“Dialog keluarga perlu selalu untuk dijaga/ dipelihara dan selalu dikembangkan.
Apalah yang akan terjadi andai suatu keluarga jarang berdialog, maka pasti anggota keluarga
akan jalan sendiri- sendiri dan mereka juga tidak akan akrab dan utuh”.
Melalui kisah nyata ini aku juga ingin, secara sekilas, membandingkan perempuan di
pedesaan Perancis dan perempuan di desaku sendiri. Perempuan di desaku hidup dibawah
pengaruh keluarga, mereka belum punya kemerdekaan sepenuhnya...namun itu bagus
menurut kulturku. Pasti intinya demi keamanan dan perlindungan terhadap perempuan itu
sendiri.
“Namun jeleknya, mereka menjadi kaku dalam membikin decision (keputusan) buat
hidupnya”. Well.....!! Di kampungku terlalu banyak musyawarahnya dalam mengambil
keputusan, sehingga seseorang susah untuk menjadi dewasa. Di Perancis seseorang merasa
dewasa kalau sudah tamat kuliah atau kalau sudah bekerja.
Dalam kultur kita, selama kita masih kuliah maka kita masih belum dewasa dan
belum ada kekuasan dalam membuast keputusan yang penuh. Namun kadang- kadang,
seperti halnya aku, meski udah bekerja dan tamat kuliah, mama dan papaku masih tetap
mengurusku seperti mengurus anak kecil. “Akhirnya kita merasa terbuai dan termanja gara
gara campur tangan orang tua yang kelewat banyak. Orang tua berfikir bahwa aku masih
sebagai seorang gadis yang harus diayomi selalu”.
Di perancis, keluarga memperkenalkan budaya demokrasi dan setiap anak harus
memiliki nilai struggle yang hebat. Orang tua akan berkata “kamu harus menjadi desicion
maker untuk dirimu sendiri, hidup kamu tergantung pada- kamu mau susah atau kamu mau
senang semua tergantung pada kamu ”.
Namun kalau di sini, musti bawa-bawa nama keluarga. Kalau menjadi orang sukses
dan orang baik, maka nama keluarga juga jadi baik. Kalau kamu melakukan kesalahan atau
sampai membuat hal yang kontra, maka nama keluarga akan ikut tercemar. Kalau di Perancis
tidak begitu, “Kalau kamu gagal dalam hidup ya resikonya buat kamu sendiri. Sekali lagi
bahwa kalau dalam budaya kita, keberhasilan dan kegagalan akan dikaitkan dengan keluarga
besar kita.
Aku Menggunakan Pola Fikir Gabungan
Bagaimana ya pola fikirku setelah pulang dari Perancis ? Aku kenal ada seorang
teman yang sempat mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat
selama satu tahun. Sebelum pergi ke sana dia dikenal baik, karena suka serba mengikut pada
pola fikiran orang tua. Namun begitu pulang dari Amerika serikat, ayahnya telah
menganggap dia sebagai anak yang suka kontra dan keras kepala. Itu gara-gara ia suka
memiliki pola fikiran yang kritis- dan mengungkapkan perasaan dan fikiran secara serta
merta. Kalau tidak suka ya, ia bilang tidak suka, dengan resiko bahwa orang tua merasa
ditentang.
Namun bagiku, aku akan menggunakan cara berfikir yang combine (gabungan) pola
fikir asliku dan pola fikir Eropa. Aku berfikir bahwa pasti budaya kita itu bagus dari pada
budaya fikir barat. Tetapi begitu aku pergi ke Eropa aku lihat budaya fikir mereka dengan
semangat struggle (berjuang) juga sangat bagus untuk disadur.
Aku pingin orang tua juga mempersiapkan anak anak untuk struggle dan bersikap
terbuka pada anak-anak. Bila ada masalah keluarga maka ada baiknya untuk dibicarakan
dengan melibatkan anak-anak.
Budaya Minang yang aku lihat ya bersifat “tarik ulur”. Seorang anak dilepas...mereka
dilepas, bila ternyata ada kesalahan ya ditarik lagi. Budaya tarik ulur begini tidak ada di sana.
Kalau salah ya salah kamu, kalau untung ya manfaatnya bagi kamu. “Kalau saya salah ya ini
hidup saya, yang lain mengapa harus repot repot mengurusku”.
Aku masih ingat tentang bagaimana perlakuan orang tua Perancis pada anak-anak
mereka. Pasti orang tua memahami tentang perkembangan dan prilaku anaknya dan mereka
berusaha untuk mengembangkan anak anaknya buat menghadapi masa depan, jadi kesannya
bahwa orang tua Perancis sangat bertanggung jawab buat masa depan anak.
Anak anak disuruh agar memiliki hobbi, namun jangan larut hanya dengan hobbi
semata, karena itu itu tidak hanya untuk satu sisi, anak musti mampu hidup dalam banyak
sisi. Sebagai target di Indonesia, bahwa setiap anak harus menguasai IPTEK (Ilmu
Pengetahuan dan Tekhnologi), namun juga harus mantap IMTAQnya (Iman dan Taqwanya).
Hidup itu ada sisi A, B, C nya. Jadi anak jangan hanya menguasai sisi A saja, tetapi juga
bagus dalam menguasai sisi B dan C nya.
Aku merasa bahwa meskipun aku sudah menjadi decision maker (pengambil
keputusan), namun aku masih memerlukan peran mama dan papaku. Bila aku tidak tahu satu
hal maka aku akan melemparkan permasalahanku pada papa dan mamaku. Bagiku papa
adalah ibarat kamus berjalan, walau ia miskin dalam referensi pengetahuan, namun ia
mampu memberi solusi berdasarkan pengalaman hidup yang ia miliki. Sementara mama
berperan sebagai pemberi pertimbangan bagiku. Jadi begitu selesai pendidikan di Eropa
bukan berarti aku sudah mandiri dalam menggunakan pemikiran, ternyata aku masih butuh
pemikiran orang di sekitarku- sekali lagi mama dan papaku.
Ada yang bertanya bahwa apakah orang tua yang di Perancis semuanya memperoleh
pendidikan Pascasarjana dan Doktoral. Aku lihat tidak semuanya, namun mereka semuanya
cukup well educated. Mereka menjadi well educated karena sistem pendidikan mereka yang
berkualitas. Umumnya tidak ada anak anak SD, SMP dan SMA yang berkeliaran saat jam
belajar. Saat mengajar guru dan stakedholder sekolah bekerja dengan profesional dalam
mendidik.
Kalau kedapatan ada anak yang berkeliaran pada saat jam belajar, maka orang tuanya
dipanggil dan didenda oleh pemerintah. Umumnya sekolah di Perancis dari SD sampai SMA
adalah gratis. Jadi orang tua sangat diminta untuk turut peduli dalam mendidik anak mereka,
tolonglah ikut mengantarkan anak kesekolah dan genjotlah disiplin dan motivasi belajar
mereka.
Televisi perancis juga tidak begitu banyak mempengaruhi karakter konsumtif anak
anak sekolah. Iklan televisi sering menggoda anak anak untuk menjadi konsumtif, apalagi
kalau materi iklan khusus untuk konsumsi mereka seperti iklan parfum, kosmetik, makanan.
Aku perhatikan bahwa iklan di TV Perancis tidak begitu dominan. Dalam satu jam, tayangan
televisinya cuma selama 15 atau 20 menit. Beda dengan TV di negara kita, yang mana
tayangan iklan lebih panjang dari acara pokoknya. Iklan nyang panjang terkesan tidak banyak
mendidik, tapi malah membuat masyarakat menjadi konsumerisme.
Kualitas pendidikan juga ditentukan oleh kualitas para guru. Guru-guru di TK, SD,
SMP dan SMA semuanya menerapkan model pembelajaran fun learning. Fun learning juga
dikenal dengan istilah PAKEM yaitu- pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan.
Aku melihat selama musim dingin pembelajaran memang banyak berada dalam ruangan,
namun dalam musim semi, para guru membawa anak anak untuk belajar ke luar kelas, malah
sampai ke luar sekolah, mereka belajar di alam.
Dalam musim semi tersebut, aku pernah menemui guru TK menggiring murid mereka
berjalan di taman, di jalan dan terus naik metro. Anak anak berjalan berbaris berpasangan,
mengikuti alur alur. Guru guru amat terbuka pada siswa dan siswa lebih berani untuk
berbicara dengan guru guru mereka. Namun kalau di negara kita, terlihat bahwa sebahagian
siswa mendewakan guru dan menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh guru “semuanya
betul”. Seolah olah guru adalah sumber ilmu dan sumber kebenaran secara mutlak.
Di Perancis saat mereka entre le metro (saat masuk metro) aku dengar pembicaraan
guru dan murid sangat terbuka. Anak- anak bilang pada gurunya “Ibuk kenapa ini harus
begini....ibuk kenapa harus begitu...?”
Anak anak sangat antusias bertanya pada guru mereka. Dan guru mereka menjawab,
namun ada yang protes kenapa begitu mon pere dis moi nes pas comme ca (ayah ku bilang
tidak begitu). Anak anak sangat berani dalam berbicara dan termasuk dalam memprotes, aku
lihat bahwa sosok guru bukan sebagai sosok yang menakutkan bagi siswa siswi mereka. Guru
guru look nice semua terhadap anak anaknya.
Di saat anak anak sibuk berbicara dan ruangan terkesan bruyant (ribut) gurunya
terllihat senyum saja. Tidak menghardik hardik untuk mendiamkan anak anak didik mereka.
Mereka mengatakan bahwa suasana ribut itu menandakan adanya suasana yang kreatif. Guru
Tk tersebut berkata padaku “Pardone si mes enfantes sont bruyantes”- maaf ya kalau anak-
anakku semua berisik.
Sekali lagi bahwa aku lihat banyak guru guru di sana suka ngajak anak anak ke
lapangan. Mereka semua adalah guru guru yang bersikap terbuka- membuka diri terhadap
anak didik mereka. Berdebat dengan guru adalah hal yang biasa, dan kalau guru tidak tahu
maka dengan enteng guru akan berkata “Je pas atau aku tidak tahu”. Kemudian hubungan
guru dan orang tua adalah berbentuk partner. Apakah guru ataupun orang tua tidak satupun
yang bersifat dominan. Itulah kira-kira isi kisah nyata ini yang berjudul “Tuntutlah Ilmu
Sampai Ke Negeri Perancis”.
BAB. II MASA KECIL
Desa Padang Ganting
Tema kisah nyata ini adalah tentang travelling experience. Aku akan memulainya
dari cerita masa kecil, yang dimulai dari Padang Ganting.
Padang Ganting adalah sebuah desa kecil yang terletak cukup dekat dari Batusangkar.
Jaraknya hanya 20 menit dari kota Batusangkar. Desa ini juga dekat dengan kota
Sawahlunto. Di sekitar daerah ini terdapat dua daerah atraksi wisata yaitu Pagaruyung dan
Sawahlunto, sebuah kota tua. Atraksi menarik yang terdapat di Padang Ganting yaitu “air
panas”. Tempat ini banyak dikunjungi orang dari dalam dan luar Kabupaten Tanah Datar.
Desa Padang Ganting juga sangat bermakna bagiku, karena aku lahir disini. Aku
menghabiskan masa anak-anakku di sana. Dari lahir, terus TK, SD, SMP dan terus SMA, aku
tinggal di desa Padang Ganting.
Aku dilahirkan oleh seorang ibu, yang bernama Warni. Ia berprofesi sebagai guru
Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Padang Ganting. Sementara ayahku, yang berprofesi
sebagai guru olah raga di SMP Negeri 3 Limo Kaum, Batusangkar. Aku punya seorang
kakak perempuan, Yeyen Wulandari dan seorang adik perempuan, seorang mahasiswi
Farmasi, Unand Padang. Jadi, aku tidak memiliki saudara laki-laki.
Waktu masih kecil aku une petite (sedikit) pemalu. Namun aku memiliki dan
memuja seorang kakak yang sangat pemberani dan sangat kreatif. Ia selalu mengarahkan aku
sejak kecil dan selalu mengajakku untuk bermain.
“Kami melakukan banyak kreasi donc J’ai une dirigeante (jadi aku punya seorang
leader). Dari kecil aku selalu menjadi follower nya. Kakak tersebut memiliki peran penting
dalam figur masa kecilku”.
Aku pada mulanya termasuk anak yang sangat sangat pemalu. Bila ada orang baru
atau tamu papa yang datang aku suka melihatnya dari balik gorden atau melihat-lihat saja dari
jarak jauh. “Jangan malu-malu Ranti.., orang pemalu temannya sedikit..!!” Seru papa atau
mama dari belakangku.
Mama mendaftakan aku untuk pendidikan dini ke Taman Kanak-Kanak, namanya
TK Al-Amin di Padang Ganting. Di sana aku belajar bersosialisasi dan belajar bermain.
“Ternyata bermain juga butuh belajar, lho...!”
Aku juga belajar menari dan bernyanyi. Tentu saja saat belajar di TK aku mulai
belajar mencintai seni, tari, dan lagu. Setelah itu aku melanjutkan ke SD.
Saat belajar di SD, aku juga belajar bersosialisasi. Teman teman ku jadi bertambah
banyak. Waktu belajar di SD aku belum suka show up, jadi aku masih timidite (pemalu).
Aku beruntung karena selalu diajak ke mana-mana oleh kakak yang pemberani. Ia selalu
mengajak ku melakukan eksplorasi- menjelajah ke sekitar rumah.
“Siapa ikut pergi memanjat pohon cherry....pohon rambutan....!!” Meskipun sebagai
anak perempuan namun aku sering diajar memanjat pohon oleh kakak. Kadang kadang juga
oleh papa.
“Kamu harus bisa memanjat pohon agar tulang dan badanmu kuat”. Memanjat pohon
juga membuat aku lebih berani dan tidak mengalami alto- phobie (takut dengan ketinggian).
Aktivitas ini sekaligus membuat otot tangan dan otot kaki jadi kuat.
Aku diajak papa melakukan aktivitas yang demikian karena papa (ayah) sebagai
seorang guru olah raga. Meskipun aku perempuan, aku juga diajar main bola takraw.
Barangkali karena papa pengen punya anak cowok. Namun bakat ku untuk main bola
takraw tidak berkembang.
Pengalamanku saat di bangku TK, ya masih sebatas bermain-main saja. Saat aku
duduk di bangku SD, aku mulai punya pengalaman dalam bidang nyanyi dan baca puisi.
“Aku masih belum punya pengalaman menarik waktu belajar di SD. Berbeda
dengan kakak ku yang selalu menjadi bintang kelas. Ia malah jagoan untuk tingkat sekolah
yaitu untuk bidang akademik. Aku bersyukur karena masih bisa juara dalam lomba baca
puisi- dan pelatihnya adalah mamaku sendiri.
Masa Remaja
Memasuki tingkat SMP berarti memasuki masa remaja. Saat duduk di bangku SMP
pengalalaman suksesku sudah mulai berkembang. Usia belajar di tingkat SMP dapat
dikatakan sebagai usia remaja awal. Setiap orang ingin menonjolkan dirinya-
memperlihatkan bakatnya. Mereka ingin mewujudkan kemampuan diri, mengenal
lingkungan.
Aku juga demikian. Aku ikut aktif dalam berorganisasi- organisasi sekolah, dan aku
tetap melanjutkan hobiku dalam bidang baca puisi dan menari. Guru- guru sering melibatkan
aku dalam lomba baca puisi. Alhamdulillah dari kelas dua dan kelas tiga, aku selalu
memperoleh juara satu dalam lomba baca puisi. Aku bisa menang karena aku selalu diayomi
oleh seorang ibu, yang kebetulan juga seorang guru Bahasa Indonesia. Jadi bisa melatih aku
untuk baca puisi.
Saat duduk di SMA, pengalaman sukses ku tentu semakin berkembang dari segi
kualitas dan kuatitas. Sebagai efek positif, aku menjadi sosok yang lebih berani dibanding
saat aku belajar di SMP dulu.
Saat duduk di bangku SMA, bakat baca puisiku tetap berkembang dan aku juga selalu
memperoleh juara pada setiap perlombaan. Aku semakin antusias dengan organisasi sekolah.
Aku sempat dicalonkan menjadi ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan ini
membuatku harus sering tampil di depan publik sekolah.
Saat pemilihan ketua osis, dilakukan penghitungan suara dan “Horee...hore...!!
Pendukungku bersorak gembira. Aku memperoleh suara terbanyak dan ikut jadi team
formatur, namun aku terpilih menjadi sekretaris OSIS. Karena aktif dalam Osis dan sering
tampil akhirnya watak pemaluku yang menjadi topeng pada wajahku ternyata bisa lepas. Aku
sudah jadi orang pemberani saat aku duduk di bangku SMA.
Berteman berarti bersosial. “Kalau pengalamanku dalam berteman saat di bangku
TK dan SD belum begitu signifikan. Dalam usia itu aku hanya asyik bermain main dengan
kakak. Aku belum begitu populer hingga aku sekolah di SMP. Orang-orang hanya mengenal
kakakku. Namaku hanya dihubungkan dengan nama kakak.
“Oh kamu adiknya Yeyen ya....!!” Aku protes dengan sikap mereka. Mengapa
namaku tidak begitu dikenal, kecuali nama kakakku.
Teman-temanku hanya masih sebatas teman sekolah. Mereka adalah teman
sebangku, teman sekelas, dan teman sama-sama belajar. Hanya baru sebatas itu. Saat duduk
di bangku SMP aku mulai mengenal arti persahabatan. Itu awalnya- dimulai dari teman
sebangku. Dari dia aku mulai mengenal keluarganya: ibunya bagaimana, ayahnya bagaimana,
serta kakaknya bagaimana (?).
Aku punya teman sebangku yang sangat pintar dan juga baik. Aku juga ingin
sepintar dan sebaik dia. Kalau boleh, aku lebih baik dan lebih pintar dari dia lagi. Aku mulai
mengerti dengan arti persahabatan saat duduk di bangku SMP. Namun persahabatan saat di
bangku SMA lebih bercorak bentuk “gang”.
“Gang itu semacam pertemanan yang terasa lebih eksklusif dan lebih akrab. Aku
punya gang dalam kelas, dan juga gang untuk pergi les bahasa Inggris”.
Gang yang aku punya adalah seperti petit club (grup kecil). Gang untuk pergi les
(kursus) bahasa Inggris anggotanya adanya 5 orang. Kami pergi les bersama-sama. Gang
dalam kelas ada lagi, begitu pula gang untuk berkumpul dalam OSIS. Gang ini adalah tempat
berbagi (sharing) pengalaman dan perasaan. Juga tempat untuk berbagi suka dan duka.
Dalam gang aku lebih banyak mengekspose kegembiraanku.
Aku juga punya kesan yang banyak dengan guru. Aku mengenal figur orang dewasa
yang baik, di luar keluarga sendiri lewat pribadi mereka. Guru- guru TK memperkenalkan
jenis jenis permainan padaku. Itu adalah saat-saat yang sangat indah. Kemudian pengalaman
bersama guru saat di SD mulai melebar, aku mulai tahu guru yang pemarah dan guru yang
sangat baik. Yang selalu aku ingat adalah guru yang punya pengalaman emosi dengan ku- ya
seperti guru yang baik dan berwajah cantik.
Di bangku SMP aku mulai mengenal guru yang pintar dalam mengelompokan siswa.
“Ini kelompok siswa yang kreatif, ini kelompok siswa yang pintar, ini kelompok
siswa yang nakal. Ow....aku berfikir bahwa ternyata guru juga mengelompok-ngelompokan
siswa. Kalau begitu aku sendiri dikelompokan ke mana oleh guru guru tersebut ?”
Saat di bangku SMA aku melihat gaya guru yang punya kemampuan dalam
merangkul pribadi siswa. Karena saat itu para siswa sudah memiliki karakter tersendiri.
Pribadiku sendiri memperoleh pengaruh atau warna dari figur guru-guru di sekolah
dan juga figur orang tua di rumah. Figur yang memberiku motivasi tentu saja “figur mama
dan papaku”.
Uni (kakak perempuanku) orangnya juga berpengaruh padaku. Ia memperlihatkan
“beginilah perempuan yang punya motivasi dan struggle itu. Orang yang cengeng seperti
ini....orang yang tidak cengeng adalah seperti ini”.
Papaku lebih banyak mendorong ku, “kamu harus mandiri, orang perempuan sekarang
harus mandiri dan kamu harus bisa mengurus kebutuhan diri sendiri”. Mama juga tempat
diskusi yang baik dan menyenangkan bagiku, walaupun mama banyak memperlihatkan
kekhawatirannya, dan banyak mengungkapkan kata “tidak boleh”.
Sekarang rumah kami terlihat damai. Kalau aku dan adik-kakak dahulu sering
berantam, sekarang itu jadi sweet memory. Berantam itu ada gunanya, yaitu untuk
mempertahankan ego masing-masing, pandangan, pendapat dan harga diri. Namun berantam
tidak boleh mengarah ke kriminalitas.
“Habis berantem, kami ngambek dan setelah itu kami baikan kembali”.
Beda usiaku dengan kakak hanya terpaut dua tahun, dengan demikian kami ibarat
sahabat, ibarat temanan saja. Sebagai teman ya kami banyak bermain, belajar dan melakukan
eksplorasi bersama. Sekali- sekali saling berantem lagi. Walaupun ada teman- teman tetangga
namun kakak musti ikut bermain bareng.
Ternyata juga ada figur luar yang ikut memperkaya fikiran ku. Untuk membaca puisi
ya aku mengidolakan Khairil Anwar. Aku berfikir mengapa ia bisa jadi sastrawan. Untuk
belajar bahasa Inggris, aku ingin bahasa Inggrisku seperti bahasa anak- anak dalam film-film
berbahasa Inggris dalam Televisi. Tentu saja figur tersebut aku tahu dari tontonan dan juga
dari bacaan.
“Untuk tokoh sastra, mama yang banyak memperkenalkannya padaku, kemudian
baru aku baca biografinya”.
Saat aku duduk di Bangku SMP dan SMA. Aku mencari figur-figur yang lain. Aku
ingin tahu figur-figur dunia luar, dan menjalar ke berbagai figur internasional. Mereka
adalah figur politikus, bangsawan, dan negarawan, juga olahragawan, ilmuwan dan seniman.
“Untuk tahu dengan berbagai figur maka minat baca penting berkembang sejak di
bangku SD, SMP dan SMA. Melalui bacaan aku bisa membandingkan jenis jenis karakter
figur leader di Indonesia. Aku sempat, waktu di SMA, menjadikan B.J Habibie sebagai figur
idola. Aku berfikir mengapa ia bisa menjadi keren dan hebat begitu”.
Melepas Topeng “Malu”
Saat kecil aku termasuk anak yang pemalu. Tapi aku tidak merasakannya sebagai
suatu halangan karena aku selaku dilindungi. Namun karakter malu mulai terasa sebagai
penghalang saat aku harus tampil di SMP dan SMA. Aku berfikir bagaimana orang bisa
speak up, mengapa aku takut untuk speak up.
“Rasanya mulutku seperti rasa dikunci. Papa dan mama selalu mendorongku untuk
banyak tampil di depan publik, keberanian tampil tadi membuat aku mudah untuk speak up”.
Ketika aku tampil di publik sekolah, waktu MOS (masa orientasi sekolah), orang
orang tidak mengenal ku sebagai Ranti. Orang hanya mengenalku sebagai adiknya Yeyen, ya
kakak perempuan. Namaku dan aku sendiri tidak dikenal oleh publik karena aku tidak banyak
speak up, itu karena aku masih memelihara karakter maluku. Kalau begitu, karakter malu-
menjadi masalah bagiku. Memang semua orang akhirnya tahu dengan ku, karena kakakku
sebagai siswa yang ngetop, maka aku juga numpang ngetop.
“Aku tidak mau numpang ngetop lewat nama kakakku. Aku harus ngetop sebagai
Ranti, maka aku harus speak up dan aku harus move on”.
Usahaku melepaskan diri dari pengaruh ngetop kakak dimulai saat masa MOS. Pada
mulanya selama tiga hari orang-orang masih mengenalku bukan sebagai aku.
“Oooo ....kamu adiknya Yeyen !!” Namun kemudian aku sendiri mulai menonjolkan
diri. Aku mulai berbicara dan memperkenalkan diri sendiri.
“Nama ku Ranti....!!”. Berbarengan dengan itu aku juga menampilkan bakatku
sebagai jago puisi dan jago tari, maka namaku mulai eksis sebagai “Ranti si jago baca puisi,
dan orang mengenalku sebagai Ranti”.
Aku kemudian bergaul dan bergabung dengan semua teman di kelas dan teman-teman
baru sebagai sosok “Ranti”. Seterusnya aku juga bergaul dengan teman teman dari Osis dan
aku juga memperkenalkan diri sebagai Ranti.
“Namaku Ranti Komala Dewi, Panggil Aku Ranti..., ya..!!” Aku tidak membawa-
bawa nama Yeyen, kakakku. Setelah beberapa hari, hasilnya aku terpilih menjadi ketua kelas.
Malah aku “ketua kelas satu satunya yang cewek waktu di SMP”. Menjadi ketua kelas
berjenis kelamin cewek membuat aku makin populer seantaro SMP, mungkin juga ke
sekolah lain.
Fenomena sekarang adalah anak-anak kalau tamat dari SD Padang Gantiang,
sebagian pergi ke SMP-SMP di kota Batusangkar. Atau kalau tamat SMP ya mereka pergi ke
SMA-SMA di Batusangkar. Kalau aku saat itu belum terpikir, yang jadi patokan bagiku
adalah Uniku. Ia tamat dari SD Padang Ganting, dan terus ke SMP Padang Ganting dan SMA
Padang Ganting. Walaupun ia hanya bersekolah di sekolah desa, namun aku lihat ia tetap
sangat cerdas dan berprestasi.
“Ia bisa menjadi juara kelas dan juga menjadi juara umum. Untuk mata pelajaran
Bahasa Inggris, uni juga menjadi asistennya guru kursus Bahasa Inggris. Ia mengajar untuk
kelas- kelas debuteur (pemula). Jadi aku melihatnya sebagai figur yang sangat asyik dan aku
juga pengen seperti uni”. Jadi kalau begitu sukses itu bisa juga terjadi di desa. Ya aku masih
dibayang-bayangi menurut cara belajar kakakku.
“Kami diperlakukan secara adil oleh orang tua. Kalau membeli pakaian, model dan
warna baju kami juga sama. Kata orang bahwa pakaian kami ibarat pakaian anak panti
asuhan- ya serba seragam”.
Sebenarnya aku pengen ikut pendidikan ke luar desa Padang Ganting. Itu
waktu aku mau enter ke SMA. Walaupun uni melanjutkan ke SMA Padang Ganting, namun
teman- teman lain ada yang melanjutkan ke daerah luar seperti ke sekolah SAA atau SMA-
SMA lain di Bukit Tinggi, di Padang dan di Padang Panjang. Ketiga kota ini sangat terkenal
dengan kualitas pendidikannya.
“Wooow....ternyata sekolah di luar kualitas bagus yaaa !!”
Mamaku bilang bahwa sekolah itu di mana mana bagus. “Kalian selagi masih di SD,
SMP dan SMA harus sekolah di bawah asuhan dan pengawasan mama”.
Tinggal, bersekolah dan menghabiskan di Padang Ganting ternyata sangat
mengasyikaan bagiku. Di luar aktivitas belajar, aku berjuang untuk mengatasi problemku
yaitu karakter pemalu dan rasa percaya diri yang rendah. Sekarang aku jadi tahu bahwa
karakter pemalu bisa berkurang lewat banyak pergaulan dan banyak mengekspose diri. Nah
itulah yang juga aku lakukan. Secara tidak langsung aku bermain dan meniru prilaku kakakku
yang pemberani. Maka akhirnya aku juga bisa menjadi pemberani dan aku bisa berkata
“Goodbye my shy character”.
Dalam bergaul bersama teman, aku bukan asal bergaul saja. Kalau kita selalu
menonjolkan sikap egois dan otoriter, maka pasti semua kawan akan avoid (menghindar) dari
kita. Dalam bergaul kakak ku menjadi guide bagiku dan ia mengatakan beberapa karakter
“some do’s dan some dont’s”.
Ia sering berkata “kamu tidak boleh berkelakukan menang sendiri, itu namanya
egoist...kamu juga tidak boleh monopoli dalam berbicara dan dalam berperan terus...nanti
teman temanmu jadi tak enak”.
Mama dan mama mengatakan bahwa waktu kecil aku juga termasuk anak yang susah
makan dan suka pilih pilih jenis makanan. Ini tentu tidak bagus untuk pertumbuhan otak dan
pertumbuhan badan.
Papa sering bilang “Kamu jangan pilih-pilih makanan terus...bagaimana badanmu
bisa gede kalau malas makan. Semua jenis makanan itu harus dimakan...!!”
Aku juga melihat bahwa masalah makan juga dialami oleh banyak anak- anak. Untuk
itu maka para orangtua perlu mengatasi ini. Mereka perlu memberi persuasif, sedikit
memaksanya dan memperkenalkan makanan yang bergizi dan sehat pada anak. Kalau tidak
demikian anak anak akan bisa memiliki gizi buruk.
Aku ingat bahwa dulu keluargaku juga suka musik. Dengan musik suasana rumah
menjadi ceria. Namun suara musik tidak perlu hingar bingar sehingga membuat kita susah
dalam berkomunikasi dan juga susah buat berkonsentrasi. Papaku sendiri menyukai musik
dangdut, ia suka dengan suara Iis Darliah, seorang penyanyi dangdut yang ngetop saat itu.
“Kalau begitu, aku dulu “anak dangdut dan sekarang menjadi anak Celindion”.
Celindione adalah salah seorang penyanyi dunia berbahasa Perancis, berasal dari Quebec-
Canada.
Kata mamaku, aku punya style tersendiri pada waktu kecil. Kelebihanku adalah dari
segi kerapian. Aku lebih rapi dibandingkan kakak dan adikku. Kerapianku juga terlihat dari
cara berpakaian. Kamarku juga sangat rapi.
“siapa saja yang ingin masuk kamarku musti minta izin dan mereka tidak boleh
membuat kamarku berantakan. So dari kecil aku sudah menyukai kerapian dan keteraturan”.
BAB. III. AKU DALAM PANDANGAN ORANGTUAKU
Bayi yang Baik
Kata papa aku adalah bayi yang luar biasa. Maksudnya proses kelahiranku begitu
mudah. Kelahiran kakak dan adikku lebih sulit. Kakakku, Yeyen, saat lahir, tubuhnya terlilit
oleh plasenta. Dokter perlu waktu yang lama untuk membantu proses persalinannya. Begitu
pula dengan kelahiran anak yang ketiga (adikku yang bernama Putri). Namun tidak demikian
dengan aku.
“Proses kelahiran Ranti sangat mudah dan waktu kecil ia tidak termasuk bayi yang
suka rewel”. Kata papa dan mama.
Ketika sekolah di TK, dalam pandangan papaku. Yang diingat oleh papa bahwa aku
suka mengikuti schedule kakak. Kalau kakak suka nyanyi dan menari, maka aku juga suka
menyanyi dan menari. Otomatis aku terbawa oleh kebiasaan kakak. Papa dan mama
mendaftarkanku ke TK Al-Amin. TK nya termasuk pelayanan mendidik yang sangat bagus.
Talenta-talenta yang dimiliki oleh murid bisa berkembang, termasuk pembinaan
imtaqnya (imtaq= iman dan taqwa). Karena guru Tk tersebut memiliki kualitas pribadi yang
bagus. Mereka menemani anak-anak ibarat menemani anak-anak mereka sendiri. Disana
terlihat hubungan guru dan murid yang sangat harmonis.
Karakterku terbentuk mungkin karena posisi kelahiranku.
“Biasanya anak paling tua sangat banyak diharapkan sebagai model bagi adik-
adiknya. Anak bungsu (anak ketiga) yang suka cengeng. Sementara aku adalah anak yang
kedua yang tumbuh lebih mandiri”.
Aku memiliki daerah kekuasaan dan milik yang sangat bersih, yaitu kamarku sendiri.
Kamar tidur sekaligus kamar belajarku adalah tempat yang paling nyaman dan paling indah
di dunia. Kamarku penuh dengan dekorasi, sehingga tampak lebih menarik dari kamar
kakak dan adik. Saat adikku masih duduk di TK, bila ia mau masuk ke kamarku, maka ia
harus cuci tangan dulu, aku khawatir apa saja yang ia sentuh akan menjadi kotor.
”Putri....., bila mau masuk kamarku kamu cuci tanganmu...cuci kakimu...baru kamu
boleh main dalam kamarku. Kalau tidak kamarku bisa kotor”.
Papaku juga masih ingat bahwa saat aku duduk di kelas satu SMP, aku sudah menjadi
ketua kelas. Sehingga aku memilki wibawa, cara bicaraku tenang dan aku tidak banyak
bercanda. Teman teman senang dan sekaligus menghormatiku. Karena karakterku sudah
terupdate, aku suka bergaul dan ditambah dengan kepopuleran nama kakakku, maka guru-
guru juga dekat denganku.
Aku mulai aktif di sekolah, diajak oleh guru-guru dan aku tidak suka menolak.
“Ikut pramuka yuuk,....ikut LPIR...yuk, ikut lomba puisi yuk...”. semuanya aku
welcome dan tidak aku tolak.
Karena itu adalah kesempatan untuk berkembang dan kata pepatah bahwa
“Kesempatan itu tidak pernah datang dua kali”.
“Kamu pilih mana puisi atau menyanyi ?” Maka aku lebih bagusan baca puisi dari
menyanyi. Barangkali karena mama banyak mendorongku untuk baca puisi. Bakat-bakatku
terhadap olahraga tidak kelihatan.
“Bakat Ranti hanya pada bidang sastra dan sains. Barangkali pengaruh talenta dari
bakonya (keluarga ayah)”. Kata papa.
Papaku juga ingat bahwa waktu duduk di SMA aku sudah senang berorganisasi di
sekolah. Hari Minggu aku juga punya kegiatan di luar sekolah dan di luar rumah. Aku
bergabung dengan kegiatan diskusi agama di Batusangkar. Aku mulai bersentuhan dengan
pemikiran yang diberikan oleh tentorku yang datang dari STAIN Batusangkar. Di sana aku
juga bersuara- aku mendengar dan aku juga berbicara, maka aktualisasiku makin bertambah.
Waktu kecil aku juga suka menulis, aku tidak banyak ingat lagi. Tetapi papa lebih
banyak ingat. Papa mengatakan bahwa kalau aku sedih maka aku menulis, kalau merasa
gembira maka aku juga menulis. Itu berarti aku menulis dalam buku diari.
Pernah waktu aku pulang sekolah, papaku seorang perokok dan aku disuruh untuk
beli rokok buat papa. Tapi saat itu aku separo enggan atau juga merasa capek, maka aku
terlihat menolak. Tentu saja papa tersinggung.
“Wah Ranti, anakku sekarang sudah gede, sudah enggan membantu papa...!!”. Aku
merasa bersalah dengan kalimat papa dan aku sangat bersedih. Aku tidak bisa ngobrol dengan
siapa-siapa selama seminggu, perasaan dan fikiranku aku goreskan dalam bentuk tulisan.
Kadang kadang orang melihat profesi guru olah raga lebih rendah dari profesi guru
lain. Ada yang bertanya :”Mengapa bapak bisa punya anak anak cerdas, pada hal ayahnya
hanya seorang guru olah raga”.
Papa menjelaskan bahwa kami tumbuh dan didik dengan melibatkan keluarga yang
lain. Bila liburan sekolah tiba, maka aku sering dibawa libur ke kota lain- ke Medan, Pekan
Baru dan Jambi. Kami juga memiliki beberapa famili yang bekerja sebagai dosen di
Universitas, juga ada famili yang sudah memperoleh gelah Doktor. Aku sering berbagi cerita
dengan mereka. Dan itu semua adalah salah satu cara untuk menanamkan motivasi untuk
berhasil dalam diriku.
Sebagian orang tua , bila liburan datang mereka suka membawa anak untuk ke mall,
pergi mejeng atau shoping. Ini juga bagus, bamun efek dari gaya liburan satu warna saja akan
membuat anak menjadi suka konsumtif. Mereka cuma senang shopping. Bisa jadi shopping
hal hal yang tidak begitu essential.
Pasokan Motivasi
“Itulah aku beruntung, karena saat kecil, liburan kami cukup bervariasi- pergi
ketempat famili, ke pantai, ke pabrik, ke pusat belanja, ke Universitas, ke pelabuhan,
sehingga aku mengenal bermacam-macam profesi dalam hidup ini”.
Tidak saja kami yang berkunjung ke tempat famili. Aku juga beruntung punya paman
dan bibiku yang sukses. Mereka juga sering pulang ke kampung. Habis makan siang atau
makan malam, aku diajak untuk bertukar fikiran.
“Ranti.....kalau kamu ingin berhasil..ini yang harus kamu lakukan. Orang yang gagal
dalam studi bisa terjadi karena mereka tidak memiliki agenda dalam hidup”. Mereka sangat
memberiku semangat untuk berhasil. Sering kalau aku terbentur aku juga minta pendapat
mereka.
Aku merasakan bahwa orang tua sebagai sumber kasih sayang dan juga sumber
motivasi. Bila aku merasa sukses atau bila aku merasa gagal maka aku buru buru
mengungkapkannya pada mama dan papa di rumah. Saat aku kelas 2 SMP aku bermasalah
dengan karakter malu ku.
Papa berkata :”Wah mengapa kita harus selalu malu, karena malu akan menghalangi
kita untuk maju. Papa rasa kamu pasti tampil seperti orang lain, untuk itu tumbuhkanlah rasa
berani”.
Papa dan mama mendukungkku dalam menyalurkan hobbi. Hobbi itu punya manfaat
bagi kita. Salah satu manfaat hobbi adalah untuk memupuk rasa percaya diri.
Sekali papa mengatakan bahwa berkomunikasi dengan orang lain sangat bermanfaat
dalam menambah percaya diri dan wawasan. Disamping itu, pengalaman ku pergi ke tempat
lain bersama orang tua, paman atau famili lain, juga sangat besar manfaatnya untuk
membuka cakrawalaku. Aku merasa sangat beruntung memiliki kakak dan paman yang
selalu datang untuk memotivasiku.
“Kamu harus berhasil....kamu harus maju”, kata mereka setiap saat.
Semua anak tentu mempunyai harapan. Harapan yang tidak dapat dicapai akan
menimbulkan rasa stressed. Papaku berpendapat bahwa sumber terjadinya stressed adalah
oleh faktor dalam rumah dan faktor lingkungan. Orang tua punya peranan untuk ikut
membantu anak untuk mengatasi stressed. Tidak bijaksana malah kalau orang tua ikut
menambah stressed bagi anak.
“Berkomunikasi atau bertukar fikiran bisa menjadi sarana untuk mengurangi stressed
bagi anak”. Kata papaku.
Kata ibuku bahwa saat kecil dan remaja aku memiliki rasa solidaritas dan rasa sosial
yang tinggi. Semasa remaja, aku senang mengajak teman akrab ku pulang sekolah jalan kaki.
Sebagai gantinya, uang untuk ongkos transportasinya kami gunakan buat membeli ice cream.
“ Nah lagi lagi makan ice cream bareng bisa menjadi sarana menambah keakrapan
kami. Atau uang untuk transportasi dari teman teman lain kami kumpulkan, dan kami
serahkan buat teman yang kurang mampu. Ini salah satu wujud solidaritas kami untuk
anggota gang kami”.
Ibuku juga masih menyimpan memory atas pribadiku. Ibu berkata: “Ranti waktu
remaja sangat menjaga harga diri. Suatu ketika pulang sekolah diledek oleh salah seorang
anak laki laki yang tinggalnya sedikit jauh dari rumah. Esok pagi ia datangi anak laki laki
tersebut agar tidak meledeknya lagi, karena ia juga punya harga diri. Itu dilakukan ranti
dengan bahasa yang santun. Ini merupakan salah satu yang dilakukan Ranti untuk mengatasi
masalah pribadinya”.
Lulus dari SMA
Lulus dari SMA, papa dan mama menyarankan agar aku melanjutkan pendidikan ke
UNP (Universitas Negeri Padang), karena mereka berdua adalah guru dan lulusan dari UNP.
Tetapi paman dan familiku yang lain menyarankan aku untuk memilih UNAND (Universitas
Andalas). Mereka memberi perbandingan pendidikan antara ke unuversitas tersebut.
Menurutku kedua-duanya cukup bagus.
Aku tahu bahwa kuliah ke UNP adalah untuk menjadi guru (tetapi sekarang ada
jurusan untuk profesi guru dan profesi non guru). Aku pada mulanya ingin memilih profesi
yang lain, seperti ahli pada bidang tehnologi, maka aku mendaftar menjadi mahasiswa
UNAND. Namun dalam perjalan, setelah lulus dari UNAND aku juga sempat menjadi guru
dalam pendidikan sempoa. Lulus dari UNAND aku segera mencari kegiatan agar tidak
menganggur.
Aku juga sempat bergabung dalam kegiatan GO (Ganesa Operasion). Itu semacam
bimbingan belajar, mempersiapkan pelajar SLTA untuk masuk universitas. Aku berfikir
bahwa dengan bergabung dalam aktivitas sempoa dan ganesa operasion, itu berarti aku
ternyata juga sebagai guru.
Mama masih punya memory tentang diriku. Bahwa aku termasuk yang cukup hemat.
“Ranti itu anaknya sangat hemat”, Kata mana. Betul bahwa kelebihan uang aku
tabungkan. Kemudian aku gunakan untuk membeli pakaian. Kata mama bahwa aku senang
dengan life style. Aku yakini bahwa aku suka dengan performance, andaikata aku cuma
peduli dengan kualias akademik namun mengabaikan penampilan, tentu aku menjadi pribadi
yang kurang menarik.
Ada seorang mahasiswa laki laki yang aku lupa namanya, ia pintar namun kurang
peduli dengan penampilan maka teman-teman lain memberi ia gelar “Einstein”. Einstein kan
seoran ilmuwan. Analogi untuk teman tersebut bahwa ia pintar, namun penampilan sedikit
urakan alias kurang rapi.
Tabunganku tidak semata aku gunakan untuk beli baju dan pakaian lain. Suatu hari
aku merasa bahasa Inggrisku masih berlepotan, aku ingin memolesnya dan aku punya
separoh uang dan aku ingin mama membantuku separoh lagi buat biaya belajar Bahasa
Inggris paket liburan selama 40 hari.
Ke dua orang tuaku memandang surprised untuk perkembangan hobiku pada seni
tarik suara atau nyanyi. Karena selama duduk pada bangku SD, SMP dan SMA aku kurang
mendalami hobbi nyanyi. Namun di perguruan tinggi secara iseng-iseng aku menekuni hobbi
nyanyi. Ternyata aku juga bisa oke. Aku sempat menampilkan kebolehan menyanyi saat
mengikuti kegiataan LPJ (Latihan Pra Jabatan) di Jakarta. Teman teman peserta LPJ dari
seluruh Indonesia memberiku standing ovation – tepuk tangan sampai berdiri.
Saat menjadi mahasiswa aku memiliki banyak memori. Misalnya pengalaman saat
KKN (Kuliah Kerja Nyata). Kami grup mahasiswa KKN ditempatkan di Solok Selatan,
jaraknya cukup jauh dari Padang. Aku sangat menyenangi kegiatan KKN, aku belajar
bersosialisasi (bergaul) dengan masyarakat dan sekaligus bersama teman teman mahasiswa
lain.
Bersama rombongan kami juga ada seorang mahasiswa asal Amerika. Ia juga mampu
beradaptasi bersama kami. Suatu ketika ia dan beberapa teman lain aku ajak ke kampung ke
Padang Ganting. Mereka menyukai suasana dan pemandangan Padang Ganting. Rumah aku
sendiri, di desa ini, terletak antara dua bukit yang cukup tinggi di depan dan di belakang
rumahku. Pada hari-hari lain mereka aku ajak ke Sawah Lunto buat melihat tambang batu
bara dan juga aku ke Danau Singkarak untuk menangkap ikan bilih.
Orang tua berprinsip bahwa sebaiknya aku tidak banyak bertandang ke rumah teman.
Sebaliknya mereka berprinsip bahwa biarlah teman temanku yang mengunjungi rumahku,
dengan demikian papa dan mama akan mengenal teman-temanku dan apa saja yang kami
lakukan secara bersama. Sering kata mereka bahwa aktivitas remaja tidak akan terpantau oleh
mata orang tua saat mereka diluar jangkauan pengawasan orang tua. Bukan atas nama orang
tua yang otoriter namun atas menjaga budaya sebagai orang timur dan sebagai pemeluk
agama Islam, yang mana aku tidak hanya tahu dengan berbagai aturan hidup tetapi juga harus
mengamalkannya.
“Misalnya aku harus berpakaian sopan, bergaul secara sopan, punya teman orang baik
baik”. Di Timur, apalagi untuk suku Minang (tentu juga untuk suku suku bangsa yang lain)
bahwa perbuatan negative yang sempat dikerjakan oleh seorang anak akan bisa mencoreng
nama orang tua, sekaligus memberi aib untuk keluarga besar. Jadi orang tua perlu punya
kontrol atas prilaku dan pergaulan anak sepanjang masa.
“Kita harus tahu dimana anak kita berada. Dengan semua teman anak kita harus
dekat. Kita beri mereka kebebasan beraktivitas...apa mereka mau bakar ubi...atau bakar ikan.
Kegiatan tersebut pasti asyik dalam masya remaja,” kata mama.
BAB. IV MENGGAPAI MASA DEPAN
Hidup Perlu Memilih
Pour quoi moi tombe l’amour avec l’anglais. Kenapa aku jatuh cinta dengan bahasa
Inggris, pada hal ketika di SMA aku menyukai mata pelajaran sains (?).
Familiku, termasuk uni, menginginkan aku menjadi dokter. Sehingga ujian SPMB
(Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) untuk masuk universitas pun aku kejar sampai ke
UNRI Pekanbaru. Karena sejak dari bangku SMA kelas aku sudah intens berbagi info
dengan uni dan kami sering bincang-bincang.
“Bahwa jurusan yang bagus buat mu adalah farmasi dan juga kedokteran”. Kata Uni
dan aku juga setuju. Alasanku memilih dokter juga tidak begitu jelas, namun banyak siswa
SMA bercita-cita pengen jadi dokter. Alasannya tenaga dokter selalu dibutuhkan, dokter
penampilannya cukup anggun dan lapangan kerjanya masih mudah dan luas.
Seolah-olah prospek masa depan dokter lebih bagus. Dokter pagi sampai siang
bertugas di rumah sakit dan sore sampai malam bisa buka praktek di rumah buat ngumpulin
duit.
“Kalau duit sudah punya, mimpikan bisa dibeli”. Selain pengen jadi dokter, aku juga
ingin kuliah di psikologi. Aku menjadi tertarik setelah membaca buku-buku psikologi.
Psikologi perlu untuk pengembangan diri dan untuk memotivasi orang lain.
Semua siswa yang tamat SMA biasanya segera untuk mencari informasi: ingin kuliah
kemana dan bagaimana lagi tamat SMA ? Informasi ini mereka peroleh dari guru, orang tua,
teman-teman, alumni dan juga dari media. Bagiku yang tinggal di desa, yang nota benenya
memperoleh informasi serba terbatas saat itu. Aku memperoleh informasi dari alumni dan
juga dari uni, kakak ku sendiri.
Sebetulnya masalah yang dihadapi oleh ABG (anak anak SMA) adalah biasa-biasa
saja. Namun saat itu kita menganggap masalah itu begitu besar.
“Kayaknya mereka butuh psikolog ya !!” Jadi dari diskusi dengan para senior aku
memperoleh bahwa dunia psikologi itu sangat asyik dan menyenangkan, sehingga itu yang
membuat aku makin tertarik dengan psikologi. Sementara mama menyarankan agar aku
menjadi guru, pada hal dalam keluarga kami profesi guru sudah banyak.
“Bagaimana kalau aku pilih karir yang lain, mungkin aku nanti kerja di bank, jadi
dokter atau profesi lain”.
Mama tetap menyarankan aku jadi guru, tapi kakak ku dan aku deny (menolak) untuk
jadi guru. Namun aku akhirnya jadi guru juga, yaitu mengajar/ dosen di Politeknik Negeri
Padang.
“Memang banyak siswa dalam memilih kuliah tahunya cuma pilih UI, ITB, IPB,
UGM, UNPAD dan lain-lain. Kalau aku memilih universitas patokannya cuma kakak ku. Ia
kuliah di UNAND, maka aku juga bakal pilih UNAND”.
Uni kuliah di jurusan farmasi, UNAND. Dan ia selalu membanggakan almamaternya.
“Oh....UNAND itu hebat lho...., Farmasi ini juga bagus!!”. Uni membandingkan
kuliah di farmasi dengan sistem belajar di SMA.
“Kalau di SMA..belajar kimia dan biologi itu cuma kulit-kulitnya aja. Namun kalau
belajar di farmasi pelajaran kimia dan biologi sudah mendalam dan lebih detail, jadi lebih
asyik.”
Uniku belajar di UNAND dan prestasi akademiknya tetap gemilang. Kalau begitu aku
juga bakalan gemilang seperti uni. Uni selalu memperkenalkan UNAND padaku. Akhirnya
saat ada waktu yang agak panjang, aku diajak uni ke Padang, ke UNAND. Namun kesannya
komplek kampus UNAND terlihat dari bawah, membuat aku tertawa, geli.
“Uni kok kampus UNAND mirip dengan markas Power Ranger, film idolaku, ...!!.
Kok kuliahnya tempatnya sudah jauh ke pelosok..ke ujung !!
Dalam imageku kuliah itu, seperti yang aku lihat dalam televisi....ya gedung
bertingkat, warna putih dengan gedung bertingkat. Atau seperti gedung perkuliahan di
Singapura.
Lantas Uni membela dan menerangkan, “Arsitektur komplek UNAND itu nomor satu
di Aia Tenggara”.
“Lantas kenapa dindingnya dibiarkan tidak dicat...jadi tetap seperti markas power
ranger”.
Uni menjelaskan lagi bahwa komplek kampus UNAND adalah kampus terluas di Asia
Tenggara. Dinding kampus bukan dibiarkan tanpa dicat. Bangunannya didesain sudah seperti
itu jadi ada kesan agar menyatu dengan alam, jadi back to nature”.
Lokasi UNAND yang jauh dari kota memberikan arti yang bagus, karena udara bersih
dan tidak terkontaminasi oleh pengaruh kota atau pasar. Aku memang merasakan lingkungan
UNAND terasa sejuk, kita bisa refresh dan terasa segar. Kita bisa lebih fokus untuk urusan
kuliah, apalagi pusat perbelanjaan yang bisa memecah kosentrasi belajar mahasiswa yang
mudah diganggu oleh karakter konsumerisme. Andaikata dekat UNAND ada mall, pasti
mahasiswa habis kuliah pergi hang out, akibatnya tugas- tugas bisa terabaikan.
Akhirnya aku menjadi salah seorang member atau mahasiwa UNAND. Aku harus
punya mimpi buat menggapai masa depan. Aku mengambil jurusan bahasa Inggris.
Pilihan Pada Bahasa Inggris
“Mengapa pilihanku jatuh ke Bahasa Inggris, kenapa tidak pada psikologi ?”
Saat aku ikut ujian masuk perguruan tinggi, aku mengambil paket IPC, jadi ada 3
pilihan. Pilihan satu, dua dan tiga. Pilihan satu dan dua aku tak jebol, ya aku jebol hanya
untuk pilihan ke tiga yaitu Bahasa Inggris.
“Bahasa Inggrisku pun juga belum pas, I am not sure with my English ability”. Aku
belum yakin dengan kemampuan Bahasa Inggrisku. Kemampuan bahasa asingku masih jauh
di bawah kemampuan kakak.
Sebetulnya psikologi termasuk pilihan favoritku. Aku ngambil psikologi di UI, walau
mama memberi pandangan bahwa UI terlalu jauh untuk jarak geografi dan keuangan.
Mungkin itu kekhwatiran mama sebagai seorang ibu terhadap anak perempuannya.
“Oh ya Universitas Indonesia terlalu jauh, namun di UNAND tidak ada jurusan
psikologi, adanya hanya di USU (universitas Sumatra Utara). Jadi aku ambil psikologi USU
saja, kemudian pilihan kedua adalah manajemen, dan pilihan ketiga Bahasa Inggris.
Pertama enter ke universitas, aku punya kesulitan dengan bahasa Inggris. Karena
teman-teman bahasa Inggris mereka sudah sangat qualified. Karena banyak teman teman
yang qualified datang dari Jakarta, dan kota-kota di Pulau Jawa, malah dari seluruh
Indonesia. Temanku juga ada dari Papua.
“Pas mahasiswa angkatan ku, mahasiswanya cukup beragam dari seluruh Indonesia”.
Maka aku pun terpacu juga untuk meningkatkan mutu bahasa Inggrisku dan wawasan
lainnya.
Waktu duduk di bangku SMA aku senang berorganisasi. Maka begitu jadi mahasiswa
aku juga enter organisasi. Tetapi papa menyarankan agar untuk semester satu dan semestar
dua aku coba adaptasi dulu dengan sistem perkuliahan. Aku juga ingin tahu, seperti apa
sistem perkuliahan itu (?). Pasti beda dengan sistem belajar di SMA.
“Jadi aku juga mengurungkan niat untuk masuk organisasi”.
Sebetulnya paduan untuk aktif dalam organisasi sudah ada buku petunjuknya.
“Kalau kamu kuliah di jurusan ini...di sini enaknya organisasi. Kalau kamu kuliah di
jurusan sains...ke sini bagusnya organisasi, agar pribadi kamu bisa berkembang”. Demikian
penjelasan yang sempat aku peroleh.
“Aku tidak menyesal tidak ikut organisasi pada dua semester pertama, namun aku
sudah ada target untuk tahun-tahun selanjutnya”.
Aku mulai searching tentang sistem belajar di universitas. Aku juga cari info tentang
organisasi yang aku senangi. Ternyata organisasi yang cocok untukku adalah “UKS” atau
Unit Kegiatan Seni di UNAND.
“Dalam organisasi ini ada empat divisi yaitu: vokal, tari, teater, dan ...” Aku ikut dua
divisi yaitu vokal dan tari.
Itupun ada sistem seleksinya. Kegiatan dalam divisi ini juga punya tahap. Misalnya
untuk divisi vokal: ada pengenalan not lagu. Kalau tari waktunya perminggu
“Ya kamu coba tampilkan tari Minang, tari Bali, atau dari daerah lain. Kalau lulus...ya
coba kuasai tari kontemporer”. Jadi kita diberi tantangan...sayang waktu tidak cukup. Hasil
dari seleksi, aku dinyatakan masuk divisi vokal, karena pengumuman divisi ini keluar lebih
dulu, sehingga aku batal untuk bergabung dengan divisi tari.
Aku beruntung bisa bergabung dengan divisi vokal. Karena grup vokal UNAND kan
sering dipakai dan diundang oleh badan badan lain untuk pertunjukan. Sehingga aku juga ikut
terpakai dalam kegiatan vokal. Akibatnya pengalaman hidupku jadi banyak. Acara vokal
grup tidak hanya sering dipakai dilingkungan UNAND, tapi juga sering dipakai di hotel-
hotel, seperti hotel Pangeran Beach dekat makam pahlawan Padang.
Bahasa Inggris di jurusan Sastra Inggris UNAND sampai semester lima, pelajarannya
masih bersifat umum.
“Ya banyak listening, reading, writing, grammar, vocabulary, translation”. Namun
di semester lima itu juga ada pendalaman. Aku harus membuat keputusan, apakah aku masuk
ke literature atau ke linguistik.
“Nah berdasarkan pengalamanku belajar dari semester satu sampai lima, ternyata
untuk ku- literatur sedikit membosankan. Bacaannya ya karya sastra...Shakespeare, ya
notabenenya...harus baca kisah nyata yang tebal-tebal. Sementara itu aku kurang suka banyak
membaca, sehingga kajiannya terasa berat”.
Masih tentang literatur. Aku mengalami sedikit kesulitan, aku mulai memahami point
of view (titik pandang)- sastra ini mempunyai tujuannya begini, tetapi teman teman
berpendapat lain. wah sedikit sulit untuk menginterprestasikannya. Kemudian aku lihat kuliah
literatur.
“Kuliah literatur kan lebih fokus pada structure. Memahami rumus TGG (transformer
grammar generative) - satu kata dapat dirumuskan. Di sana ada pelajaran tentang semiotic
dan pragmatic. Kajian bahasa itu bagaimana dan aku lihat sangat menyenangkan”.
Dalam kajian linguistic juga ada istilah saving face, yaitu dalam berkomunikasi kita
harus memilih kata dan menggunakan kata agar wajah orang dan wajah kita bisa
diselamatkan. Intinya kita harus menggunakan bahasa yang santun, dan seterusnya.
Benar benar menyenangkan. Jadi dalam kuliah ini kita dikasih satu gambar dan kita
dikasih waktu untuk menginterprestasikan. Tentu saja harus berdasarkan teori dan harus
terarah. Namun kalau kuliah literatur itu harus based on our opinion. Semuanya betul namun
kita tidak tahu exactly meaning sesuai dengan pengarang kisah nyata.
Walau dosen bilang “semua pendapat anda itu betul!”. Tapi aku pikir wah bisa
ngambang saja semua pembahasan.
Dosen Favorite
Setiap mahasiswa tentu punya dosen favorite, sebagaimana siswa SMA yang punya
guru idola. Aku senang dengan dosen speech karena “il tojours parle l’anglais- selalu bicara
bahasa Inggris”. Ia merasa upset begitu menemui mahasiswa sastra Inggris yang malah
menggunakan Bahasa Minang dan Bahasa Indonesia dengan porsi berlebihan saat belajar
Bahasa Inggris.
Dia bicara bahasa Inggris selalu “semuanya pake bahasa Inggris...semuanya pake
bahasa Inggris”. Aku fikir tujuannya tentu memotivasi mahasiswa agar menjadi mahasiswa
Bahasa Inggris yang profesional. Anehnya bahwa sebahagian mahasiswa semester satu dan
semester dua terlihat dislike him karena dosen itu terlalu strict. Kalau difikir-fikir, sekali
lagi, bahwa karakter dosen itu adalah untuk membiasakan kita dalam menggunakan Bahasa
Inggris. Ternyata benar bahwa mendalami bahasa asing sangan ampuh dengan selalu
menggunakan dan membiasakannya.
Pengalaman Kost
Tidak mungkin aku tinggal di Padang Ganting dan mondar mandir sejauh hampir 150
km tiap hari dari kampungku ke kampus. Maka mamaku sengaja memilih tempat kost dan
memasukan aku ke tempat kost yang mahasiswinya beragam.
Aku memperoleh tempat kost yang cukup besar dengan enam kamar. Dan masing-
masing kamar ditempati oleh dua mahasiswi. Jadi totalnya adalah 12 mahasiswi. Tempat
kostku berlokasi di Andaleh.
“Kalau ada 12 orang teman satu kost, itu berarti juga ada 12 karakter yang saling
berbeda. Maka aku belajar memahami berbagai karakter teman. Di tempat kostku sangat
terbatas, semua serba satu. Toilet satu...kamar mandi satu...dapur satu.., nah kami belajar
memanage diri agar tidak tumpang tindih dalam penggunaanya”.
Bayangkan kalau aku telat bangun, maka tentu antrian untuk masuk toilet dan kamar
mandi bisa sangat panjang. Handuk dan sabun tentu sudah berjejer menunggu antrian.
“Oleh sebab itu aku berusaha mengatur waktu agar tidak terjebak antrian dan juga
memahami kebiasaan teman yang nota-bene berbeda kebiasaanya, kampung dan
keluarganya,...jurusan kuliahnya juga berbeda”.
Pada mulanya aku sempat komplaint. “Apakah aku pengen punya kamar sendiri atau
menyewa paviliun. Ya agar aku tidak terganggu“.
“Tapi itu tidak bagus”, kata mama, karena kita harus bisa bersosialisasi dan juga bisa
menyesuaikan diri. Kalau kita tidak bisa mengatasi complain maka sepanjang hidup, kita
akan penuh dengan masalah.
Kalau di rumah sendiri, kita punya kamar sendiri. Kita sudah bisa memahami karakter
orang tua dan kakak adik. Namun tinggal di tempat kost, nah saatnya kita mempraktekan cara
hidup yang sebenarnya.
“Bagaimana kita bisa hidup enjoy tanpa masalah dan mampu beradaptasi dengan
masalah. Kalau aku tidak bergabung tinggal dengan teman-teman, maka.....kapan lagi aku
mengenal sosialisasi hidup, bahwa hidup memang seperti itu selalu (?).
Aku tidak pernah menyesal menjadi mahasiswa sastra Inggris. Di sana aku menyukai
British Study dan American Study. Aku juga bisa belajar tentang Australia study.
“Kenapa orang Australia bisa berbeda dengan aborigine ?” Keingin-tahuanku tentang
budaya luar juga bertambah, “wah ternyata budaya mereka juga menarik...!!” Rasa tertarik ku
yang sudah timbul sejak kecil untuk mengenal dunia luar, ternyata menjadi terpenuhi lewat
kuliah pada sastra Inggris.
Menjadi seorang mahasiswa harus mampu untuk memanaj keuangan. Inilah yang jadi
problem sebagian mahasiswa. Gara gara tak memampu memanaj keuangan telah membuat
mereka suka ngutang hingga kuliah bisa terganggu.
“Kalau tinggal bareng orang tua...bila uang habis ya kita bisa merengek. Namun kalau
begini terus ..kapan kita mau dewasa”.
Aku memperoleh trik-trik mengatur keuangan dari uniku. “Aku mencatat apa-apa
saja kebutuhan utama ku. Kalau sesuatu itu tidak begitu penting ya jangan dibeli...dengan
cara demikian uang ku bisa berlebih”. Kelebihan uang tentu bisa aku gunakan untuk
mengikuti kegiatan lain. Selain mengatur keuangan, mahasiswa juga harus pintar dalam
mengatur waktu.
Kuliah yang Mengasyikan
Kuliah di Bahasa Inggris itu asyik karena harus banyak presentasi setiap hari. Aku
tak perlu lagi menggunakan banyak angka- angka dan rumus. Ada presentasi dalam
kelompok dan tidak besoin beaucoup de temps (need much time). Sehingga uni merasa
cemburu “wah belajar santai tapi, kuliah lancar...!!”
IPK (indeks prestasi kiumulative) yang aku raih tinggi juga meskipun aku naik
panggung buat pertunjukan tiap sebentar di UNAND dan di hotel.
Saat aku kuliah kakakku juga masih kuliah di jurusan farmasi. “Uni sering cemburu,
uangnya sering kurang, karena uang nya banyak habis untuk praktek. Sementara uangku
selalu berlebih dan bisa nabung”.
Mahasiswa juga punya home work, malah home-worknya jauh lebih banyak
dibanding home-work saat di SMA. Namun aku punya cara tersendiri dalam mengatur waktu
agar tidak teledor dengan home-work.
“Yang jelas aku tidak suka menunda nunda waktu dengan home work. Begitu ada
home work, ya aku segera menyelesaikannya. Nah bila selesai aku kan bisa kerjakan yang
lain. kalau kita ada homework- kita segera selesaikan dan kalau ada kendala kita bisa punya
waktu untuk segera mengatasi, misalnya kita bisa konsultasi dengan para senior”.
Pernah aku merasa lagi males. Nah aku menunda membuat homework,yaaah
akhirnya aku teledor. “Wah aku jadi kelabakan, ternyata tugasnya harus dikumpulkan besok”.
Seperti yang telah aku ceritakan bahwa aku tinggal di tempat kost, yaitu menyewa
kamar, untuk tempat tinggal. Disana juga ada beberapa mahasiswi lain yang tinggal diseputar
kamarku. Aku tidak punya masalah dengan ibu kost. Komunikasi kami cukup lancar. Ibu kost
usianya agak tua, jadi aku ibarat tinggal dengan nenek saja.
“Ibarat seorang nenek tentua ia butuh didengar dan butuh bercerita- cerita”.
Tiap kali pulang ke tempat kost, ibu kost selalu bertanya “bagaimana kuliahnya..?”
Nah aku memutuskan duduk sebebtar bareng dengan ibu kost untuk beramah tamah. Aku
juga menanyakan tentang dia.
“Apakah ibu ada sehat sehat? Ibu tadi sholat dimana ?” dan seterusnya. Melihat
hubunganku begitu dekat dengan ibu kost, maka semua teman-teman mengangkatku sebagai
ketua kost.
Sebagai ketua kost maka aku kadang-kadang punya peran sebagai perantara untuk
menyampaikan aspirasi pada ibu kost.
“Kalau ada problem, biasanya problem tentang air....kenapa airnya lama hidup, kalau
boleh hidup waktu subuh...” Setelah itu baru aku sampaikan ke ibu kost. Masalah lain juga
tentang listrik “kalau boleh ganti dong lampu listriknya bu...yang lama agak gelap”.
Kenapa aku yang diutus jadi ketua ?, ya soalnya aku kan anak sastra dan cara
berbicaraku lebih baik. Kalau teman jurusan yang lain kan jurusannya bukan sastra dan
mereka mengatakan cara berkomunikasinya kurang bagus.
Di tempat lain aku dengar ada beberapa anak yang bermasalah dengan ibu kost
mereka. Penyebabnya bisa berasal dari mahasiswa itu sendiri yang kurang bisa beradaptasi.
Tapi aku lihat bila ada masalah, ya penyebabnya karena sudah ada perbedaan masalah antara
ibu kost dan sang mahasiswa.
“Solusi yang ditawarkan ibu kost..beda dengan solusi yang dimiliki sang
mahasiswa”.
Aku kini bisa memahami berbagai karakter orang secara luas. Itu dapat terjadi saat
kuliah itu sendiri. “ Saat kuliah aku berjumpa dengan banyak orang. Kawan-kawan yang ada
dalam satu rumah- di tempat kost- saja cukup beragam dan complicated karakter mereka”.
Mengapa sih ada sebahagian mahasiswa yang bermasalah dengan homework ? dan
juga ada yang bermasalah dengan dosen sendiri ?
“Aku bisa tahu tentang itu berdasarkan pengalaman. Aku sendiri punya teman, ia
dalam belajar suka tergantung pada teman lain. temannya pintar. Ia terlihat serba bergantung
dalam membuat PR. Namun kalau teman pintar tidak hadir maka ia jadi kebingungan, ia
tidak mandiri dalam belajar. Akhirnya ia jadi bingung...diskusi belajar dengan siapa lagi”.
Money dan waktu kadang-kadang bisa jadi penyebab sebuah problem. Kalau aku
tidak merasakan money dan waktu sebagai problem, ya karena aku sudah terlatih dalam
mengaturnya. Uangku bukannya berlebih, tetapi cukup, namun aku bisa mengaturnya.
Sebagian teman memang ada yang bermasalah dengan uang, itu karena mereka kurang
mengerti membedakan antara mana yang penting dan mana yang kurang penting untuk dibeli.
Kalau aku dapat uang dari orang tua, maka aku membuat klasifikasi dalam
penggunaanya. Aku musti menyisakan untuk hal-hal utama seperti biaya makan, sewa kamar,
biaya trasportasi, biaya kebutuhan kuliah dan kalau ada sisa baru aku gunakan untuk kegiatan
ekstra, buat shopping atau membeli novel. Jadi aku punya pembukuan tersendiri. Dari
pembukuan aku bisa tahu sisa uangku setiap bulan.
“Nah kekurangan dan kelebihan uang ku itu dimana letaknya ?”
Nah saat aku mau melakukan penelitian maka aku besoin beaucoup de l’argent
(butuh banyak uang). Jadi aku tidak beli yang tidak penting dulu. Kalau ada kelebihan uang,
oke kita bisa gunakan untuk leisure – untuk bersenang- senang.
Penting Memiliki Cita-cita
Setiap orang harus punya cita-cita, namun banyak siswa SMA dan juga mahasiswa
yang masih bingung dengan masa depan. Mereka tidak punya cita-cita. Sehingga kalau
ditanya “Kamu nanti ingin jadi apa ?” Banyak yang menjawab tidak tahu,....aku belum
memikirkannya,....tergantung mama saja”.
Teman- teman ku sebagian juga bingung tentang masa depan. “kamu nanti mau kerja
dimana..?”.
Dan ada yang menjawab, “I don’t think it,...what will be..will be..”. Aku berfikir
bahwa keberadaan teman-teman juga berpengaruh terhadap pribadi kita. Kalau teman-teman
tidak punya cita-cita, maka kita juga ikut kehilangan semangat.
Kawan-kawan yang sangat disiplin biasanya cepat suksesnya. Ada teman-teman yang
malah santai. Kalau pulang kuliah kok mereka harus dulu hang out, tapi kalau aku pulang
kuliah harus singgah dulu ke tempat kost.
“Aku merasa kamar kost ku sebagai tempat perhentian paling baik. Nah kalau sudah
sampai di tempat kost aku bisa memulai suatu aktivitas baru. Aku pun kalau mau hang out ya
harus pulang dulu. Rasanya fikiran terasa segar kalau bisa pulang dulu”.
Bergaul itun sangat penting, apalagi kalau sampai ikut berorganisasi. Aku lihat ada
teman saat di SD, SMP dan SMA penampilannya kalem. Ia hanya sibuk belajar saja, tidak
peduli berteman dan berorganisasi. Akibatnya ia menjadi siswa yang pasif. Namun ia
berubah saat kuliah, itu bukan karena kuliahnya, tapi karena ia ikut enter organisasi.
“Orang kalau sudah masuk organisasi ia mau tidak mau harus speak up, jadi ia harus
berani, ia harus speak up, dan percaya diri juga bertambah”.
Ikut berorganisasi apakah di sekolah atau di luar sekolah, ya sangat penting bagi
pembentukan karakter. Orang yang punya karakter pemberani, suka menolong dan
gentlement pasti disenangi oleh banyak orang. Ada juga fenomena sebaliknya, teman yang
saat di SD, SMP dan SMA prestasinya sangat bagus, namun setelah kuliah ia menjadi
manusia “nasakom”. Nasakom maksudnya “nasib satu koma”, ya belajar namun IPK hanya
satu koma, sangat mengecewakan.
Ada temanku mengatakan, tentang fenomena ini.
“Ranti aku ketika di SMA, aku pintar lho, selalu juara umum, tapi sekarang aku kok
merasa bego ??”.
Kondisi seperti ini aku lihat juga terjadi pada teman laki-laki, dimana mereka tidak
bisa mengatur waktu, cenderung menunda pekerjaan serta tugas dan kelewat banyak hang
out. Seolah olah mereka berprinsip “kuliah..ah santai aja..!” kayaknya begitu menjadi
mahasiswa mereka ingin merasakan style hidup yang baru.
Walau mereka sudah dewasa, sudah jadi mahasiswa, namun kuliah masih belum
terarah, maka keluarga mereka juga perlu mengarahkan dan mengingatkan mereka.
“Kamu kan udah dewasa..kuliahnya kok kelewat santai...kurang bersemangat,
semangat kan penting buat merebut masa depan”. Paling kurang seperti ini komplain dari
keluarga. Bagiku ..walaupun ada teman yang santai, ya kita tidak perlu terpengaruh, kalau
bisa kitalah yang memberi mereka pengaruh positif bagi perubahan karakter mereka.
Learning independent atau kemandirian dalam belajar sangat penting bagi setiap
mahasiswa. Ini adalah salah satu karakter yang perlu untuk dimiliki. Tentang kemandirian
ini, mama dan papaku sudah wanti-wanti dari semula.
Papa berkata “Kalian waktu sekolah di SD, SMP dan SMA banyak disuapi, banyak
dibimbing. Namun begitu masuk universitas kalian harus lebih kreatif, coba untuk mencari
informasi sendiri, cari solusi sendiri dan hidup juga lebih mandiri”.
That is absolutely true, saat belajar di bangku SMP dan SMA, bila ada kegiatan apa-
apa saja maka kita selalu dikasih tahu, bila ada bea siswa kita juga kita tahu, kalau perlu
diumumkan lewat mikrofon. Namun ketika jadi mahasiswa, tidak begitu lagi. Malah dosen
kesannya tidak mau tahu dengan problem kita. Kalasu kita ingin mengikuti kegiatan kampius,
ingin beasiswa atau ingin ikut seminar...ya cari informasinya sendiri. Bila informasi ini tidak
diburu ya rugi sendiri.
Ada istilah “some do’s dan some dont’s atau beberapa perintah dan beberapa
larangan” yang perlu diketahui oleh mahasiswa. Ternyata mahasiswa harus punya rule
(peraturan) yang harus dipatuhi. Terutama dalam menghargai waktu selama belajar.
Keputusan untuk berbuat harus ada pada diri kita sendiri, mau gagal atau mau sukses.
Kalau saat belajar di bangku SD sampai SMA, campur tangan orang tua untuk
membuat anak sukses sangat gede. Kesalahan yang kita lakukan waktu kecil bisa dipandang
sebagai hal yang wajar, namun kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa harus menjadi
tanggung jawabnya sendiri.
Sistem perkuliah di universitas membuat mahasiswa harus proaktif, tidak serba
menunggu anjuran sang dosen melulu. Idealnya kita bisa berbuat jauh lebih banyak dari
yang di harapkan dosen. Andaikata dosen menyuruh kita membaca satu chapter, ya kapan
perlu kita baca hingga satu buku.
“Gunanya agar kaya dengan wawasan dan kaya informasi. Juga berfanfaat bagi kita
dalam mengikuti perkuliahan yaitu kita bisa bertukar pendapat dengan dosen”. Kalau belajar
di tingkat SMA, semua terasa serba disuapin, disendokin dan akibatnya siswa pasif dan
cengeng.
Self-Confident
“Seperti apa sih ciri-ciri mahasiswa yang bakal gagal dalam kuliah, sehingga mereka
segera diberi warning sebelum kegagalan ini terjadi ?”
Aku mendeteksi bahwa mahasiswa yang bakal gagal atau sukses dalam kuliah sudah
terlihat berdasarkan spirit atau semangatnya. Walaupun seseorang itu pintar namun kalai ia
ternyata tidak bersemangat nah ujung –ujungnya ia bisa gagal.
Dalam diskusi misalnya, aku punya teman yang memiliki ide-ide yang amat
cemerlang, namun ia tidak bersemangat maka ia juga tak sukses dalam diskusi. Disuruh
bikin artikel 10 lembar, ia mengeluh “aduh aku capek, aku malas”. Wah biar aku tulis aja 5
halaman.
“Orang seperti ini terbiasa bekerja di bawah target bukan di atas target. Seharusnya
kalau disuruh menulis 10 halaman ya kita usahakan 15 halaman, nah itu baru namanya
bekerja dan belajar di atas target dan bersemangat”.
Semangat dan kemauan sangat menentukan keberhasilan kita. Meskipun kitas cerdas
namun kalau kemauan lemah ya juga sia-sia saja. Cerdas tanpa kemauan serta tanpa
semangat ya tidak akan menjamin buat sukses.
Jadi ciri-ciri mahasiswa yang bakal gagal, sehingga dianjurkan untuk pergi cari
konseling, adalah mereka yang juga tidak punya self- confident (percaya diri). Sebetulnya ia
mampu namun merasa tidak percaya diri, nah inilah yang menyebabkan tidak berhasil dalam
kuliah.
Kalau kita tidak punya confident pada diri berarti kita tidak appreciate pada
kemampuan diri. Nah kalau kita tidak appreciate pada diri bagaimana orang lain bisa
appreciate pada diri kita. Ini penyebabnya kita tidak move on.
“Kalau kita tidak move on atau memperlihatkan kemampuan pada orang lain, ya
bagaimana orang akan mengenal kelebihan kita.....bagaimana orang akan percaya pada kita”.
Kepercayaan diri sangat penting. Kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas
misalnya, “wah apa aku mampu atau tidak menyelesaikan tugas ini ?” karena kita tidak punya
percaya diri, maka kita terkesan tidak berkemauan. Apa sih ya faktor pembangkit confident
ini ?
Kalau aku merasa bahwa confident bisa gede ya sebagai pengaruh
lingkungan...lingkungan teman-teman. Maka teman itu punya power, the power of friend in
growing of self confident. The power of parent...the power of family...ya orang tua dan
keluarga juga berpengaruh dalam menumbuhkan confident. Tentu teman, orang tua dan
keluarga yang selalu memberi dukungan positif.
Perkuliahan ku dari semester pertama sampai semester delapan ya lancar- lancar saja.
Kadang kalau ada waktu aku juga menyisip untuk memperbaiki nilai. Aku mulai merasa
kendala saat menulis tesis. Karena aku memperoleh dosen pembimbing yang memiliki
banyak anak bimbingan, jadi terasa antri untuk memperoleh bimbingan.
Namun aku tetap memiliki positif thinking aja terhadap dosen pembimbing. Karena
ternyata aku bisa menyelesaikan kuliah lebih cepat dibanding senior satu tahun atau dua
tahun di atasku.
Malah pembimbingku bilang “wah kamu kamu masih baru..bisa cepat ya selesai ?”.
pada mulanya mungkin ia menanggap aku mahasiswa dengan BP yang lebih tua ternyata
tidak.
Mahasiswa yang sedang kuliah harus jeli melihat masa depan. Mulai kuliah aku mulai
melihat masa depan lebih mendunia. Untuk itu aku ikut aktifitas untuk menuju dunia. Aku
ikut menari..menyanyi..yang scopenya UNAND. Aku diberitahu oleh dosen pembimbing
bahwa kalau berhasil maka ikut panggung di Sydney, Australia..woww hebat bisa menuju
dunia. Aku berfikir bahwa dunia luar semakin dekat. Aku dulu memimpikan “ternyata Eropa
sangat memukau...Eropa itu sangat inspiratif”.
Thesis
Ketika kuliah banyak orang melihat tesis sebagai sebuah hantu. Mengapa ? Karena
mereka tidak terbiasa dengan sistem penulisan. Apalagi aktivitas mengarang sejak bangku
SD, SMP dan SMA kegiatan mengarang jarang digubris. Mereka melihat rulenya tesis itu
cukup berat, kajian pustakanya..,kendala mereka di sana.
“Benar bahwa penyebabnya sulit menulis dimulai sejak di SD, di SMP, dan di
SMA..di mana projek mengarang kurang memperoleh tempat”.
Mengapa kultur mengarang kurang tumbuh saat di sekolah rendah dulu ? Pada hal
latihan mengarang waktu kecil sangat penting terhadap kemampuan menulis pada taraf
pendidikan selanjutnya.
Nah saat aku duduk di bangku SMP dulu, hari pertama sekolah guru bahasa Indonesia
udah memberi writing project “Ayo kamu bikin pengalaman selama liburan...!”
Pertama kali menulis memang susah, sehingga aku mengeluh pada mama.
“Mama aku nggak bisa mengarang...!” aku bertanya tentang bagaimana cara
mengarang yang bagus. Namun saat di SMA aku menjadi pengurus mading (majalah
dinding..dan aku bertanggung jawab untuk menulis. Maka aku rajin bikin cerpen untuk
ditempel pada mading dan setelah itu aku juga rajin bikin puisi.
Menullis cerpen kan butuh tema. “oh sekarang hari ibu kartini dan temanya tentang
wanita,...sekarang hari kemerdekaan..temanya tentang nasionalisme”. Karena aku pengurus
mading maka aku dengan leluasa menempatkan cerpen-cerpenku. Karena aku senang menulis
cerpen maka aku punya kemudahan dalam menulis dan memajangnya pada mading.
Sementara teman-teman yang jarang menulis waktu dulu, ya mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan ide-ide mereka.
Aku sempat membantu teman yang kuliah di peternakan, yang mengalami kesulitan
dfalam menulis tesis. Sebenarnya ia pintar, tapi ia susah untuk memulai. Ia tidak mengerti
tentang step-step dalam penulisan. “Penyebabnya ya karena tidak terbiasa dalam menulis”.
Final Project- Skripsi
Bagaimana ya aku merampungkan skripsiku sebagai final project ku, dan juga trik-
trik yang juga harus diketahui oleh banyak mahasiswa ?
“Pertama aku perlu membaca banyak literatur di perpustakaan. Aku menjadi orang
paling rajin mengunjungi perpustakaan, membaca berbagai jenis skripsi dan tesis yang telah
diselesaikan oleh para senior. Dengan demikian aku bisa memperoleh inspirasi untuk
memperoleh judul skripsiku”.
Mahasiswa sastra Bahasa Inggris yang mendalami linguistrik, skripsi mereka banyak
yang membahas tentang semiotik, prakmatik, psikolinguistik, sosiolinguistik..dn “tik...tik”
lainnya. Tema-tema seperti itu sudah banyak dibahas dijurusan dan pembimbing ingin kita
untuk mencari dan membahas subjek yang lain. Akhirnya aku melakukan studi literatur.
“Aku membaca banyak judul-judul tesis yang sudah ada di perpustakaan. Sehingga
aku mencari judul yang sedikit dikaji untuk menambah khazanah ilmu di sastra Inggris”.
Aku lebih memilih ke dalam bidang sosilogi dalam bahasa atau sosiolinguistik. Aku
harus mencari masalah dalam sosiologi.
“Repot juga ya mencari masalah dalam sosiologi...!!”. Aku berfikir dan kembali ke
lingkungan. Apa yang jadi masalah dalam lingkungan ? Ternyata aku lebih tertarik
mengangkat masalah “swear word” yaitu kata kata bersumpah.
“Swear Words adalah kata carut marut atau kata-kata yang mengungkap emosi kesal,
seperti sumpah mati...., biar aku disambar gledek. Nah ini contoh dari swear word tersebut”.
Aku kurang mengenal swear word dalam kehidupan karena mamaku jaraaaang atau
hampir tak pernah menggunakan swear word dalam marahnya. Namun dalam pergaulan, aku
tahu banyak swear word. Teman-teman menggunakan swear word untuk keakraban. Swear
word yang lain seperti “Oh my god,....very awesome......bullshit” Ada banyak lagi bentuk dan
jenis swear word tersebut.
Aku berfikir, kenapa teman-teman menggunakan kata kata kotor, kata kata emosi,
swear word untuk untuk mengungkapkan bahwa hubungan emosi mereka cukup dekat (?).
Tapi aku mengambil kasus swear word dalam bahasa Inggris.
Kendala lagi bahwa untuk melakukan penelitian tentu aku nggak mungkin pergi ke
Inggris atau ke komunitas orang orang Inggris, apalagi ke Australia, Amerika atau London.
Sehingga aku memilih media televisi yang ada swear wordnya..
Menurut teori bahwa film-film yang ada dalam cinema itu juga mengaju pada
kehidupan harian dan kebenaran masyarakat Inggris. Meskipun ada suatu kelebaian
(melebihkan) dalam film tetapi itu untuk membuat daya tarik bagi film. Aku akhirnya
mengambil film latar berlakang orang Inggris.
Lagi-lagi aku mencari teori tentang menggunakan film sebagai sumber data. Aku
menemukan teori bahwa film ada yang mengacu pada peristiwa kehidupan sehari-hari. Aku
mencari film yang banyak menggunakan swear word.
Aku memilih tiga film. Satu film bersifat “true story”, nah itu memperkuat
penelitianku. Filmnya adalah “Mr and Mrs Smith”, aku menemukan film dari cinema
berbagai DVD yang aku beli available in the market.
Film Mr and Mrs Smith adalah film yang mewakili upper and middle class. Aku
mendengar bagaimana mereka mengeksplorasikan swear word dalam hidup mereka, yaitu
kata sumpah serapah. Kemudian film Domino. Domino is also a true story.
Voila, quelle tittre de ton thesis ? (apa judul tesis mu ?). Oh it is “ swear word in three
movies” (oh kata kata sumpah dalam tiga sinema). Attend je regarder mon ordinateur
(tunggu sebentar aku lihat judulnya dalam laptop dulu..!).
“Setelah kamu punya judul buat thesis, nah bagaimana kiat- kita supaya cepat
menyelesaikan thesis tersebut ?”
Waktu tiba saatnya menulis thesis, aku tidak menunda-nunda kesempatan. Di saat
judulku sudah di-acc (disetujui oleh pembimbing) aku langsung menjalankan penulisan.
Searching literatur (cari cari literatur lagi) di perpurstakaan. Untuk sistematika penulisan,
walau aku sudah tahu dari dosen dan juga dari buku buku, namun juga lebih bagus melihat
contoh langsung. Aku menemukan banyak bentuk dan aku comparison (bandingkan) mana
yang lebih bagus dan lebih aku pahami, aku pakai.
Saat judul thesisku sudah OK pada siang hari dan ada revisi, ya aku langsung
perbaiki malam nya, tanpa menunda waktu yang lebih lama. Aku takut lupa atau ide ide juga
bisa tidak cemerlang lagi kalau ditunda sehari- dua hari sesudah itu. Kebiasaan positif ini
menguntungkan aku.
Mahasiswa lain mungkin bisa punya problem dalam menulis thesis. Problem mereka
mungkin dalam keterbatasan menemui buku, atau theory yang baru untuk mendukung thesis
kita.
“Maka kita juga harus gigih bertanya pada dosen dan juga kepada para senior, mana
tahu mereka punya info tentang buku yang dicari. Aku sendiri sampai mencari buku sumber
thesis ke universitas lain, seperi ke UPI, Universitas Bung Hatta, ke UNP, dan ke
perpustakaan daerah”.
Akhirnya setelah thesis atau skripsi selesai maka pintu terbuka menuju dunia, namun
ada lagi pintu pintu lain yang tertutup. I open one door, enter another door and open several
doors”. Waktu selesai aku merasakan hampir nganggur dan jadi pengangguran.
BAB. V MENATAP DUNIA
Mencari Pekerjaan
Kerja dan belajar serius merupakan kunci sukses dalam studi. Aku akhirnya mampu
menyelesaikan skripsi dan terus ujian kompre. Aku dinyatakan sebagai sarjana baru pada
sastra bahasa Inggris di Universitas Andalas Padang.
Namun setelah ujian kompre, kebetulan kakakku menikah. Aku juga ikut merasa
sibuk atas persiapan pernikahan kakak tersebut. Aku merasa bahagia karena bisa
memberikan tenaga bagi suksesnya pernikahan kakak.
Setelah itu aku sempat diskusi dengan famili, “setelah kamu selesai kuliah apasih
projek kamu ?”
“Ya....tentu aku pengerja dan aku takut jadi pengangguran”, jawabku.
“ Kamu sudah cari info...?”
“ Ya....kebetulan juga ada info pekerjaan dari saudara papa bahwa di UNP ada
lowongan untuk menjadi dosen. Passing gradenya tidak begitu tinggi yaitu untuk lulusan S.2
dan lulusan S.1”.
Aku juga mendengar bahwa juga ada kesempatan jadi tenaga pendidik atau dosen di
UNAND. Aku mencari info lebih lanjut dari UNAND dan bagaimana passing grade nya.
“Besoknya aku ke Padang ....!!”
“Buat apa....?” Tanya mama.
“ Ada lowongan untuk jadi dosen di UNAND”. Aku menjelaskannya pada mama.
Ternyata informasinya benar bahwa disana juga dibutuhkan dosen dengan pendidikan
S.2 dan S.1. Sayang saat itu aku belum mendapatkan transkrip nilai, namun ijazah sudah
ada.
“Aku harus fighting (berjuang) untuk mendapatkan transkripsi nilai, kalau ditunggu
bisa-bisa ..peluang emas jadi hilang. Karena transkrip nilai kelarnya 2 bulan lagi. Aku
menemui petugas di kantor jurusan dan mengikuti berbagai petujuk demi kemudahanku”.
Aku kemudian ikut mendaftar menjadi dosen di UNAND walau hanya dengan
menggunakan keterangan transkrip nilai saja. Bagiku Ini merupakan langkah berikutnya
untuk move on from being a girl to be a woman, berpindah dari seorang bocah perempuan
menjadi perempuan dewasa. Tentu saja banyak orang yang menginginkan jadi dosen,
mendapat pekerjaan dan aku termasuk salah seorang fighter di sana. Aku berusaha keras dan
belajar untuk menang.
Namun jauh sebelumnya aku juga sudah fighting atau bersaing dengan para senior
untuk mencari posisi dosen di UNAND dan politeknik yang ada di Payakumbuh. Dua-duanya
politeknik “Polikteknik Unand di Padang dan yang di Payakumbuh”. Sebetulnya juga ada
formasi butuh dosen untuk sastra Inggris. Karena aku tahu suasana Sastra Inggris, kalau aku
ikut formasi dosen sastra, aku pikir aku tidak bakal berkembang karena aku dibayang-
bayangi oleh sosok dosenku, mereka sudah sangat pintar dan senior dan aku belum, gap akan
besar.
Kalau aku ambil posisi dosen Politani- UNAND yang di Payakumbuh ya agak jauh
dari Padang. “Menurutku bahwa Padang tetap menjadi kota yang bagus buat menimba
ilmu. Ya aku ikut saja formasi Politeknik yang di Padang saja. Disini formasi yang ada
cuma untuk satu orang dosen. Agaknya aku harus bersaing untuk mengisi satu formasi ini”.
Mama sempat komplain. “Mengapa kamu ambil yang formasi ini, karena hanya
untuk satu orang, sementara itu kamu masih fresh graduate- baru lulus kemaren. Saingan
kamu yang lain sudah banyak yang senior”.
Aku menjelaskan argument ku pada mama. “Mama... itu bukan final choice bagiku,
kalau gagal ya aku cari peluang yang lain. That’s the first time for me to use my degree.
Finally mama oke with my choice.”
Persyaratan test untuk menjadi dosen meliputi TPA (test potensi akademik), test
akademik, dan wawancara. Jadi ada tiga unsur. Untuk mengantisipasi agar lulus dalam test
TPA aku perlu belajar dan berjuang. Untuk lulus dalam test TPA aku harus tahu banyak
dengan pengetahuan umum. Saat aku di SMA, aku jurusan sains dan itu berarti pemahaman
sejarah dan hukum agak kurang. Jadi aku mungkin lebih kuat pada bidang numerikal
dibandingkan bidang verbal.
Sejak kecil orang tua sudah menanamkan padaku kesadaran untuk menjadi orang
yang mandiri.
“Ya aku sudah ditanamkan untuk mandiri, sehingga aku harus menjalankan prinsip
mandiri, termasuk dalam belajar”.
Kemandirian ku sudah aku buktikan saat menyelesaikan thesis. Saat itu aku punya
banyak waktu kosong. Kasihan waktu terbuang percuma. Maka aku berusaha untuk mencari
kegiatan part-time pada bimbingan belajar sempoa. Aku mencari informasi dan mendaftar ke
sana. Aku diterima dan aku bekerja untuk membimbing siswa sekolah dasar untuk bahasa
Inggris.
“Aku juga mendaftar ke GO (Ganesya Operation). Ada empat tahapan seleksi yang
harus aku lalui dan ternyata melalui empat tahapan aku lulus juga”.
Aku juga mengajar privat untuk mengisi waktu luang. Akhirnya aku juga merasakan
enaknya mengajar. Maka saat ada lowongan untuk menjadi dosen, semua keluarga juga
mendukung, maka aku langsung respon, “Why not”. Pada hal dahulu saat masih duduk di
bangku SMA, juga saat mendaftar ke universitas aku sudah bilang tidak akan menjadi guru,
seperti mama.
Akhirnya aku lulus seleksi menjadi dosen Politeknik Negeri Padang. Aku menjadi
young lecturer dan aku tentu merasa sedikit nervous mengajar mahasiswa yang usianya
hampir sebaya aku.
“By the way aku merasa nervous mengajar mahasiswa karena aku sebelumnya hanya
terbiasa mengajar anak-anak SD di pusat bimbingan belajar dan sekarang harus mengajar
mahasiswa”.
Aku mengajar di Politeknik Negeri Padang, mahasiswa yang aku ajar usianya sedikit
di bawah ku. Mereka tampak ibarat siswa SMA. Kami menyebut mereka sebagai siswa
kelas empat SMA- karena tingkah laku mereka masih seperti anak SMA saja. Mereka juga
ragu apakah aku ini dosen mereka atau tidak.
“Berapa umur miss. Apakah miss dosen kami......, apakah miss sudah
menikah,...apakah miss memiliki ilmu yang luas ?” Mereka semua bertanya dan juga ragu
atas eksistensiku.
Komentar dan pertanyaan mereka muncul akibat usia ku terpaut sedikit saja dari
usia mereka. Tampaknya mereka sedikit under estimate pada ku. Itu terlihat dari wajah
mereka yang sedikit enggan. Ya mahasiswa Politeknik itu kan banyak yang laki-laki, dan
sekali lagi mereka itu mahasiswa ibarat murid kelas empat SMA. Karena karakter mereka
seperti anak SMA: suka menggoda guru, agak cengeng dan sedikit nakal.
Mereka pun sering menggodaku, menanyakan statusku. Ya aku katakan “Aku
sudah married dan punya anak dua dan tinggal di perumnas”.
Mereka bertanya lagi “Kok miss terlihat masih muda,....apakah kami boleh pergi
membuat PR ke rumah miss ?”
Malah ada yang agak bandel sampai-sampai mengirim SMS segala. Sementara
dosen wanita yang lebih tua tentu tidak begitu lagi diperhatikan oleh mahasiswa. Memang
mereka sedikit nakal.
“ Ya agak sedikit nakal, ibarat anak- anak SMK saja. Benar karena mayoritas
mahasiswa Politeknik adalah lulusan SMK”.
Saat bienvenu (kedatangan) CPNS baru, dan mereka adalah para dosen yang berusia
muda, termasuk aku. Kami diberitahu bahwa mengajar mahasiswa politeknik yang rata-rata
banyak berasal dari lulusan STM. Karakter mereka agak berbeda dari mahasiswa yang
kuliah di universitas yang orientasinya adalah mencari ilmu. Sementara kalau dipoliteknik,
orientasi mereka adalah kuliah untuk siap kerja. Itu perbedaanya.
So pasti karakter dan gaya belajar mereka juga berbeda.
“Miss ..aku kurang ngerti dengan pelajaran yang miss berikan, boleh dong ke rumah
miss untuk buat PR atau minta bantu sama miss ?” Sementara mahasiswa yang belajar di
universitas mereka dituntut untuk betul-betul mandiri.
“Kalau di university...kalau tugas ya tugas...nggak ada bilang- bilang ggak bisa. Kalau
di politeknik mereka masih suka bergantung, ada masalah kelas sedikit, langsung bergantung
atau mengadu/ bermohon perlindungan”.
From Padang to Bali
From Padang to Bali, itu terjadi karena keharusan juga. Setelah aku jadi dosen dengan
status CPNS (calon pegawai negeri sipil). Untuk menjadi dosen penuh ada peraturannya yaitu
tenaga dosen pendidikannya paling kurang harus pascasarjana. Untuk politeknik itu baru
sebuah keputusan yang baru dan berlaku untuk politeknik seluruh Indonesia.
Sebelumnya Rektor juga sudah menyatakan bahwa dosen yang baru memperoleh
pendidikan Strata 1 diwajibkan untuk melanjutkan pendidikan ke S.2 (pascasarjana).
“Aku kemudian melakukan searching ke internet lagi dan menemukan informasi
tentang beasiswa. PUDIR I (pembantu rektor I) juga menyatakan bahwa ada kuliah dengan
program double degree. Tetapi itu untuk bidang pariwisata. Dia menambahkan bahwa
program itu juga bagus buat ku karena masih ada korelasinya dengan sastra Inggris”.
Aku mendaftarkan diri dan ikut ujian tulis. Setelah aku ikut ujian untuk kuliah
double degree, ya ternyata aku dinyatakan lulus.
“Ujian untuk mengambil pascasarjana ke Bali dengan program double degree, calon
mahasiwa tidak perlu pergi kesana untuk test. Professornya yang datang ke Politeknik
Padang. Aku langsung mengikuti ujian tertulis”.
Sistem ujian ya sistem jemput bola, mereka datang untuk memberi ujian. Saat itu ada
5 orang yang ikut program double degree dan setelah test/ seleksi semuanya dinyatakan
lulus. Malah ada satu orang yang tidak mengambil, mungkin karena dia punya alasan
keluarga. Dan bagiku sendiri lulus untuk pendidikan S.2 di Universitas Udayana berarti
perpanjangan untuk menjadi mahasiswa lagi.
Jangankan pergi ke pulau Bali, aku sendiri sebelumnya kurang punya pengalaman
tinggal dan studi di kota- kota besar di Pulau Jawa. Naamun sekarang aku harus beradaptasi
untuk tinggal di Pulau Bali, yaitu sebuah pulau Internasional. Apalagi Pulau Bali sendiri
memiliki kultur yang berbeda dengan kultur di kampungku.
Studi di Bali tidak begitu stressed malah aku merasa santai. Aku juga merasa
sangat excited.
“Wow..aku mau kuliah di Bali, wow Bali daerah yang mengagumkan....!”
Bali adalah sebuah pulau yang sangat beken dan terkenal di seantaro dunia. Namun
mamaku mulai melakukan interferensi.
“Wah Ranti , bagaimana hidup dan makanmu di sana ? di situ kan susah
makannya,...kamu harus cari makanan halal ya..!!!”
Penduduk asli pulau Balim umumnya memiliki budaya, agama, dan tradisi yang
unik dan berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tata cara yang ada di Bali juga beda
dengan di kampungku. Naluri keibuan mama atas diriku kembali muncul. Mama mulai
mencari info.
“Siapa ya orang Kabupaten Tanah Datar atau orang Batusangkar yang ada di Pulau
Bali ? Di mana tempat tinggal yang aman bagi Ranti ? dan dimana makanan halalnya ?”
Mama lebih beraksi duluan dari padaku.
Di mata mama mungkin aku masih kecil, jadi aku selalu diurus seperti itu.
“Aku rasa ini adalah semacam mother’s instink to protect her daughter’ life”.
Sebelum aku pergi kesana, mama lebih dulu memahami dan mengetahui medannya.
“ Mengapa mama begitu besar khwatirnya, pada hal aku selalu bersikap confident.
Dan ini juga sudah ditanamkan oleh papa sejak dulu
“Kamu harus selalu memiliki percaya diri yang tinggi”. Kata papa berulang kali.
Namun ternyata papa juga merasa gundah di saat seorang ibu merasa gundah terhadap
anaknya.
“ Ya papa juga ikut gundah dan sangat peduli “ Itu karena aku seorang perempuan
dan tidak punya saudara yang tinggal di pulau Bali.
Aku lulus dan terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana di Universitas Udayana Bali.
Aku mengambil jurusan kajian pariwisata untuk master degree. Saat aku enter ke dalam
kelas pariwisata, aku merasa blank.
“Karena aku tidak punya basic tentang dunia parawisata. Pada minggu pertama
kuliah tentu ada semacam kelas orientasi, untuk mengenal kampus dan sistem perkuliahan di
sana. Wah kuliah pertama itu terasa ngambang saja bagiku”..
Aku merasa blank kuliah di parawisata karena basic pendidikan S.1 hanya tentang
sastra bahasa Inggris. Aku hanya belajar tentang linguistik, semiotik, psikolinguitik dan
pragmatik. Sementara di S.2 aku akan menyorot kajian pariwisata. Aku akan belajar tentang
hukum, imigrasi, pabean atau beacukai....dan lain-lain.
“Ternyata kuliah di pariwisata adalah kuliah tentang ilmu yang interdisipline. Semua
disiplin ilmu bisa masuk ke sana. Jadi aku merasa seperti anak SMA lagi. Ya aku belajar dan
belajar, menghafal dan menghafal terhadap semua mata kuliah. Aku juga banyak diskusi
dengan teman-teman dari jurusan lain”.
Dari diskusi tersebut aku bisa memahami banyak teori. Kuliah di sana kami juga
bikin tugas bersama teman-teman. Namun tugas- tugas di S.2 lebih berat dibanding dengan
tugas saat kuliah S.1. Kalau ada satu buku untuk satu mata pelajaran, maka paling kurang
mahasiswa yang kuliah S.2 harus memahami satu chapter perminggu, itu juga harus
diringkas, disiapkan power pointnya buat presentasai di kelas.
Aku juga harus tentang trik-trik agar sukses kuliah di S.2 di Udayana. Mahasiswa
yang sukses atau tidak sukses bisa terlihat dari excited atau tidak excited-nya ia dalam
mengikuti perkuliahan. Kemudian juga apakah aktif atau tidak aktif dalam perkuliahan.
Karena program double deggree ini nanti musti lanjut kuliah ke Sorbonne, atau universitan
Angers di Paris- Perancis, maka aku harus aktif dan merasa excited dengan kuliahku ini.
“Kamu kuliah di Bali...?” Tanya teman
“Ya...aku kuliah di pulau Bali, sambil kuliah aku juga bisa rekreasi dan shopping”.
Terus terang bahwa aku merasa kesulitan kuliah di Udayana, khusus dalam semester
pertama, karena aku harus memahami topik-topik baru. Senentara itu sistem transportasi di
pulau Bali juga berbeda dengan Sumatera Barat. Transportasi disana tidak lancar.
Transportasi umum tidak bisa meng-acces semua rute. Jadi yang lebih praktis adalah naik
taxi. Namun untuk mencapai kampus, aku tidak merasa ada masalah.
“Selain kuliah aku juga ikut kegiatan belajar di Alliance Francaise, ya buat belajar
bahasa Perancis”.
Karena program kuliah double degree Udayana dan Perancis, mahasiswanya harus
menguasai Bahasa Perancis dan ikut belajar Bahasa Perancis. Maka musti ada mess untuk
belajar bahasa Perancis. Ini menentukan apakah mahasiswa bisa lulus atau tidak untuk
menuju Paris. Jadi sebelum mahasiswa enter ke universitas di Paris, mahasiswa sudah
diseleksi lebih dulu, dengan ketentuan kita bisa menyelesaikan pendidikan 2 semester di
Udayana, terus kemampuan Bahasa Perancis juga bagus.
“What is double degree ?”
Double degree itu maksudnya adalah “dua sarjana”. Kuliah dalam satu program, kita
bisa memperoleh dua gelar sarjana. Seharusnya dalam satu kurun waktu kita bisa mendapat
satu gelar sarjana, namun melalui double degree kita bisa memperoleh dua gelar sarjana.
Dalam dua tahun dengan dua gelar sarjana- bagi ku yaitu “sarjana pariwisata dan satu gelar
sarjana dari Universitas di Paris- gestion touristique et hotelerie”.
Jurusan gestion touristique et hotelerie itu hanya ada di Sorbonne, sementara kalau di
Universitas Angers yang ada hanya jurusan touristique. Disana memang pure departement
(jurusan murni) seperti yang ada di Bali. Program double degree ini memang sudah satu
paket perkuliahan. Kalau begitu aku harus menyelesaikan 2 thesis, di Udayana dan di Paris.
Untuk project akhir di Udayana, aku baru sebatas menyelesaikan propposal thesis,
karena waktunya tidak cukup. Selanjutnya aku harus konsentrasi menuju Perancis.
“Nanti bila pendidikanku bisa selesai yang di Perancis maka aku musti kembali ke
Udayana buat menyelesaikan proposalku, melakukan penelitian dan menulis laporan
(thesis)”.
Perkuliahanku yang belum selesai di Udayana ditangguhkan dan aku siap-siap untuk
enter ke Sorbonne. Aku juga harus menyelesaikan thesis di Paris, yang mana thesis tersebut
harus ditulis dalam bahasa Perancis, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
dan ditulis dengan ketentuan penulisan di Udayana.
BAB. VI BONJOUR PARIS
Passing Grade
Pendidikan di Perancis akhirnya menjadi kenyataan. Aku tentu punya cerita dari Bali
menuju Paris. Ada dilemna antara lulus atau tidak. Untuk nilai administrasi di Udayana,
alhamdulillah, aku bisa lulus dan IPK (indeks prestasi kumulatif) di atas 3.00. Ya sesuai
dengan passing grade yang ditentukan oleh Sorbonne universite.
Syarat untuk mengikuti beasiswa adalah memiliki TOEFL (Test of English as
Foreign Language) dengan skor passing grade 500. TOEFL adalah test untuk Bahasa Inggris.
Sementara untuk Bahasa Perancis, level passing gradenya diberi istilah “A-1, A-2, B-1 dan
B-2”. Tingkatan passing gradenya juga disebut “ A-une, A-deaux, B-une dan B-deaux”.
“Tidak semua mahasiswa bisa melalui passing grade B-deaux dan aku punya
keinginan besar untuk bisa kuliah di Perancis, Bonjour Paris”.
Aku hampir tidak bisa memperoleh passing grade B-deaux, mungkin hanya A-deaux,
atau mungkin A-une dan B-une.
“ A-une, A-deaux, B-une dan B-deaux ya semacam tingkatan nilai TOEFL- mungkin
dengan skor 450, 500, 550 atau 600”. Jadi ujian bahasa Perancis di universitas Udayana
hanya bisa untuk mencapai A-deaux atau B-une. Sementara untuk di universitas Sorbonne
musti skor passing gradenya bahasa Perancis B-deaux.
B-deaux itu adalah syarat untuk bisa enter menjadi master. Supaya tidak ada kendala
dalam perkuliahan maka mahasiswa harus memperoleh level B-deaux. Karena jam untuk
belajar Bahasa Perancis selama tinggal di Pulau Bali tidak cukup, maka belajar Bahasa
Perancis dilanjutkan ke CCF- Cultural Centre Francais- Jakarta.
Belajar Bahasa Perancis juga perlu kiat-kiat khusus. Cara yang terbaik untuk
menguasai bahasa Perancis- dan juga bahasa asing lainnya- adalah melalui praktek, practice
makes perfect.
“Kosa kata tidak bisa dihafal, jadi hanya bisa dipakai melalui percakapan. Lewat
percakapan kostakata, tata bahasa dan makna kata jadi terpakai”.
Aku ingin tahu tentang kepastian untuk menuju Paris. Selama ikut kursus bahasa
Perancis aku sudah tahu siapa saja yang akan melanjutkan studi di Perancis. Dari pulau Bali
hanya ada 3 orang yang terseleksi tidak lulus. Bagi yang bisa melanjutkan kursus bahasa
Perancis ke CCF itu berarti bisa ke Perancis, namun itu baru pernyataan sepihak dari Alliance
francais Pulau Bali.
Aku merasa kepastian untuk bisa kuliah di Perancis belum jelas. Apalagi pihak Dikti
juga pernah bilang “Kalian belum seratus persen lulus untuk menuju Perancis”. Dikti itu
berarti Dirjen Pendidikan Tinggi- dari Kementrian Pendidikan Nasional. Aku bisa
memahami pernyataan Dikti tersebut, apalagi dari segi bahasa Perancis kami yang belum
lancar. Passing grade bahasa Perancis kami untuk bisa studi di Perancis harus pada level B-
Deaux. Aku harus melanjutkan pada B-une, mungkin B-une blanc. Ya level untuk B-une
pemaksaan target.
Aku dan teman teman juga harus mengurus visa dan passport. Namun aku masih
merasa belum pasti untuk berangkat, karena Bahasa Perancisku belum bagus banget. Kita
bisa yakin lulus atau tidak kalau sudah memperoleh attestation dari Paris. Ternyata attestation
itu datangnya berbeda-beda, tidak serentak, tentu saja ada yang dapat info lebih dulu, yang
belum dapat info tentu masih berfikir apakah lulus atau tidak.
Akhirnya aku menerima attestation hampir satu bulan sebelum berangkat. Info
kedatangan attestation aku peroleh lewat Dikti Jakarta.
“Aduuuhhh....aku punya waktu 15 hari untuk menyiapkan segala sesuatu untuk
menuju Perancis. Berarti waktu yang aku miliki sangat kurang untuk bersiap-siap”.
Untungnya aku sudah punya passport. Aku membuatnya dulu waktu mau pergi jalan-
jalan sekeluarga ke Malaysia. Saat itu mama dan papa juga membuat passport, ya kami
sempat berlibur ke Malaysia.
Makin dekat saat keberangkatan menuju Perancis, aku merasakan fikiran dan
perasaan serba berkecamuk. Perasaan risau bercampur dengan perasaan senang, takut, cemas
dan confused about what next- aku bingung tentang apalagi yang bakal terjadi.
“Kebingunanganku yang pertama adalah tentang argent (uang). Beasiswa dari Dikti
pasti macet. Jadi mahasiswa yang mendapatkan program Dikti, termasuk aku, untuk
mengurus diri dan menyiapkan dana lebih dahulu. Nota bene aku jangan mengharap uang
Dikti lebih dulu”.
Ternyata benar, ketika kami berangkat menuju Perancis jam 14.00 WIB sore dan
beasiswanya baru cair jam 17.00 WIB. Sehingga kami kucar-kacir, menjemput beasiswa ke
Dikti dengan tergopoh-gopoh sambil membawa dengan segumpal besar bagagge (barang-
barang). Alors (kemudian) aku mondar mandir antara Dikti dan bank untuk mengurus
beasiswa bagi 5 orang. Saat itu setiap orang memperoleh 6.000 Euro. Setelah itu mata uang
Euro harus dikonversi kedalam bentuk Rupiah.
Ya kami mencari money changer lagi untuk menukar Euro.
“Apakah ada money changer yang punya stock menukar 6.000 Euro kali 5 orang.
Kalau money changer bilang ada, maka kami harus balik lagi ke bank. Saat itu kami harus
bawa uang cash (tunai) itupun sudah beberapa jam kami alami sebelum keberangkatan.
Bearti beasiswa 6.000 Euro untuk enam bulan, jadi 1.000 Euro per bulan”.
Sebenarnya sebelum aku berangkat ke Perancis, mama sudah stand by lewat pinjaman
ke Bank BRI Batusangkar. Ya itu namanya beasiswa dari bunda.
“Nanti kalau ada kesulitan ya nanti ada uang cadangan buat mu. Ini uang dari mama,
silahkan tukarkan ke Euro...!”. Kata mama saat itu padaku.
Tentu saja pergi ke Perancis tidak seperti pulang kampung. Kalau pulang kampung
semua barang-barang bisa diboyong. Namun kalau ke Perancis yang dibawa tentu barang-
barang yang diprioritaskan dan terbatas. Sebelum berangkat kami semua sudah diberi
penjelasan oleh Dikti dan Pusat Budaya Perancis Jakarta.
Yang harus dibawa adalah dokumen. Kami disarankan untuk tidak membawa yang
asli, tetapi yang sudah dilegalisir. Kemudian mama juga menyediakan rice cooker.
“Ya Ranti kan orang Indonesia asli, makan nasi, di sana orang tidak masak nasi, ya
mama mencari rice cooker kecil buat satu orang, praktis buat masak”. Kata mama.
Aku cari rice cooker buat tyraveling, juga membawa beras 2 liter. Di sana mana aku
tahu tempat orang jual beras, paling kurang satu minggu setelah itu baru bisa cari beras.
Berasnya ya beras Padang Ganting, namanya beras sokan, rasanya enak sekali.
Akhirnya aku sebagai gadis yang berdarah separoh desa dan separoh kota buat
pertama kali akan terbang menuju negara super moderen. Kami berangkat menuju Perancis,
dari Jakarta menuju Singapore....oh tidak, pesawat kami terbang dari Jakarta menuju Dubai-
sebuah negara Arab. Dari Dubai terbang lagi menuju Perancis. Kami terbang dengan
maskapai ETTIHAT –ya tentu pesawat dari negara Arab.
Pesawat tersebut penuh dengan penumpang asing. Pesawat itu dilengkapi dengan
fasilitas hiburan. Jadi memang cocok untuk penerbangan yang cukup jauh dan
membosankan, ya kami hampir 10 jam dalam pesawat. Dalam pesawat kami bisa nonton
film, bisa main game dan mendengar lagu. Karena pesawatnya bagus maka pelayanannya
juga bagus.
“Dalam pesawat itu aku mulai mengenal jenis- jenis makanan internasional walau
aku tidak tahu makanan tersebut. Aku melihat jenis makanan yang serba asing...ini makan
apa.., tentu rasanya beda, kemudian apakah seleraku bisa menerima atau tidak ?” Maka aku
selalu memilih omelete....telur dadar...ya telur dadar.
“Kamu memilih apa ?” Tanya teman.
“Ya omelete, soalnya aku tidak tahu dengan rasa makanan lain. Kalau aku ambil
makan yang aku tak kenal rasanya, tahu tahu aku tidak suka. Tentu aku bisa jadi ashamed.
Ada sebuah makanan khas dari Bangladesh-namanya Dalpiji- ternyata rasanya tidak pas
untuk lidah orang Sumatera”.
Bienvenu a Paris
Bienvenu a Paris atau selamat datang di Paris. Penerbanganku bersama pesawat
ETTIHAT cukup lancar dari Jakarta menuju Abu Dabhi, kemudian transit dan terus ke
Perancis, mungkin ada selama 10 jam. Pesawat mendarat di bandara Charge De Gaul Etoile
di Paris.
“Dari Bandara menuju universitas Sorbonne wah......sangat dilemna dan menyedihkan
karena seharusnya kami booking ke Perancis setahun yang lalu”.
Kata salah seorang dari Indonesia juga demikian, bahwa kami seharusnya sudah
booking tempat tinggal di Perancis lebih awal, misalnya setahun yang lalu. Sementara itu aku
mempersiapkan diri buat menuju Perancis tidak cukup dalam waktu satu bulan. Apalagi aku
kuliah di Sorbonne dan harus menjari tempat menginap.
“Sorbonne itu berada dalam wilayah zona satu, itu berarti wilayah jantung kota Paris”.
Daerah yang berada di jantung kota tentu saja merupakan tempat yang favorite . Aku
memperoleh informasi bahwa banyak penginaman atau apartemen yang sudah penuh.
Mencari tempat tinggal di kota Paris musti melalui waiting list. Akses untuk mencari
penginapan bagi mahasiswa bisa dibantu lewat Crouse.
“Nah saat itu pada libur, maka crouse juga pada sibuk untuk menjawab berbagai
email”.
Aku juga pernah mengajukan sejumlah pertanyaan dengan cara mengirim email dan
mereka menjawab pakai mesin penjawab email. “Pardon je ne peut pas repondre de ton
question audjourd’hui, en vacance - maaf aku tidak bisa menjawab pertanyaan anda sekarang,
lagi libur”.
“Jadi pada hari keberangkatan itu, kami tidak tahu mau nginap dimana. Saat itu aku
juga tidak tahu duitnya seberapa...aku cuma bawa duit 2.000 Euro untuk 2 bulan sambil
menunggu beasiswa kapan cair, alhamdulillah beasiswa saat keberangkatan sudah cair. Ya
kalau tidak ada tempat menginap, kita kan bisa cari hotel dan kita punya banyak uang...ha
ha!!”
Arrive la bas (sampai di sana) ya aku sedikit lega. Untung kami semuanya berlima
orang dan itu semuanya perempuan. Dan semuanya belum pernah pergi ke luar negeri. Yang
berlima itu adalah aku (Ranti), Hajjah, Rossi, Hikmah dan Deni. Jadi dengan berlima aku
merasa lega, satu nasib- satu derita.
Kami berlima langsung melapor ke CROUSE, bahwa kita mahasiswa asing dari
Indonesia sudah sampai di Bandara Perancis. CROUSE itu adalah badan yang mengurus
etudiante (student) dari luar negeri yang postnya ada di bandara. Sekali lagi bahwa crouse itu
adalah lembaga yang mengurus etudiante etranger (foreign student).
Enak juga karena CROUSE punya stand kecil untuk menyambut mahasiswa asing
yang datang. Mahasiswa yang sudah datang ya langsung melapor ke sana.
“aku melapor bahwa kami sudah datang dari Indonesie tetapi tidak tahu dimana mau
tinggal”. CROUSE memberi kami voucher untuk hotel dan menginap selama 3 hari 2
malam. Kami juga dikasih tiket bus dan kami dijemput oleh senior PPI.
PPI adalah Persatuan Pelajar Indonesiia untuk wilayah Perancis. Kami harus punya
kontak dengan PPI. CROUSE juga semacam pusat informasi bagi mahasiswa asing yang
didanai oleh pemerintah Perancis. Aku tidak tahu apakah ada CROUSE di Indonesia, atau
mungkin langsung saja diurus oleh biro penerangan, attache budaya atau kantor Duta Besar.
Sebelum berangkat ke Perancis kami sudah mendaftar langsung menjadi anggota PPI.
Sehingga PPI Perancis cukup welcome dan kami bisa minta tolong carikan pemondokan buat
kami. Ternyata pemondokan di Zona I dan Zona II memang sangat susah. Syukur ada yang
membantu, aku bisa kontak Pak Sudrajat, salah seorang anggota attache pendidikan di KBRI
Paris, dan aku kirim email pada beliau.
Email-nya selalu on line. Aku bertanya tentang hal-hal yang aku ingin tahu. Pak
Sudrajat mengutus special envoie- Bang Ikhsan- untuk menjemput kami ke Bandara. Jadi
Bang Ikhsan adalah semacam guide untuk membantu mahasiswa Indonesia.
Kami mendapat hotel untuk menginap, setelah dipandu oleh Bang Ikhsan. Kami
merasa fatigue (letih) juga. Selama istirahat di hotel untuk melepas fatigue, kami semua sibuk
email, chatting dengan keluarga, mengabarkan bahwa kami sudah sampai di Perancis dengan
selamat.
Kami esoknya mendaftar ke CROUSE lagi. Ternyata kami tidak BGF seratus persent.
BGF itu berarti Boursierre Goverment Francaise atau Beasiswa Pemerintah Perancis. Karena
biaya hidup perbulan ditanggung oleh pemerintah Indonesia lewat DIKTI dan Perancis
hanya menanggung untuk biaya kuliah saja juga meliputi securite sociale atau jaminan social
dan juga jaminan kesehatan, cuma itu. Berarti mereka tidak bertanggung jawab untuk
mencarikan lorgement atau penginapan.
“Walau kami bermohon-mohon tetap tidak dapat”. Kami pada hari berikutnnya
melapor ke KBRI dan salah seorang staff dari KBRI namanya Buk Ida memberi kami alamat
salah seorang Perancis namanya Madam Francoisse. Tempat tinggal Madam Francoiusse
jauh sekali.
“Kami tinggal di rumah madam Franchoisse Kami butuh waktu untuk naik TER-
semacam transportasi kereta api- selama dua setengah jam untuk mencapai kampus, yang
lokasinya jauh sekali”.
Zona Kota Paris
Kalau di Paris untuk zona I dan II (arrondissement I dan II) kita bisa menggunakan
metro- kereta api bawah tanah. Sementara untuk menuju zona yang lebih luar, ya kita harus
menggunakan transportasi TER. Akhirnya kami memutuskan tinggal di tempat Madam
Francoisse karena apartemennya bisa menampung kami berlima orang. Jadi Madam
Francoisse langsung menjadi ibu kost kami.
Madam Franchoisse sendiri sudah memiliki pengalaman dalam menampung
mahasiswa asal Indonesia. Ia punya apartement dan menyewakan beberapa kamarnya untuk
mahasiswa Indonesia. Bagusnya lagi bahwa ia juga bisa berkomunikasi dalam Bahasa
Indonesia dengan anak-anak kostnya. Ia sendiri pernah tinggal dan berkunjung beberapa kali
ke Indonesia. Ia cukup memahami budaya dan karakter anak-anak Indonesia jadi ia bisa
menerima anak-anak dari Indonesia.
Setelah tinggal di rumah Madam Francoisse selama dua minggu, kami berlima baru
belajar mengenal lingkungan. Mula-mula kami pergi ke luar untuk mencari kiosk dimana
orang menjual roti, beras, rempah-rempah dan bahan pangan dari Indonesia.
“Ayo teman-teman kita jalan-jalan ke luar aku ingin beli beras yang bagus agar
nasinya enak..!” Ajak salah seorang teman.
Setelah itu kami juga pergi ke kampus dan berbincang-bincang dengan mahasiswa
asing yang belajar di universitas Sorbonne.
“Kamu tinggal dimana ?” Tanya seorang teman.
“Kami berlima tinggal bareng di rumah Madam Franchoisse”. Aku menjawab dan
teman-teman tersebut tampak surprised bahwa kami berlima bisa tinggal pada satu tempat,
karena seperti itu jarang terjadi.
“Biasanya mahasiswa-mahasiwa yang datang ke Paris kalau mau cari tempat tinggal
hanya bisa untuk satu atau dua kamar, jarang yang bisa untuk lima orang. Selalu ada yang
terpisah satu orang”.
Kamar yang aku peroleh milik seorang CROUSE, kamar itu partager (sharing) untuk
dua orang. Teman ku yang dua lagi dapat tempat di studio privee (kamar mirip studio)
letaknya di lantai bawah.
“Kalau aku mencari kamar sendirian, sewanya bisa lebih mahal dan itu pun tersedia
di luar zona”.
Harga kamarku perbulan 175 Euro dan itupun aku sudah memperoleh potongan.
Selama tinggal di lorgement, tentu saja kami harus bisa adaptasi dengan ibu kost. Selain itu
juga perlu beradaptasi dengan makanan dan way of life orang-orang Perancis.
Hari-hari berikutnya pagi-pagi sekali aku ke luar untuk mencari kartu buat Phone-cell,
kartu Perancis, aku juga mau mencari buah-buahan dan daging, walaupun kami membawa
beras dan rendang.
Diam-diam madam Franchoice juga memperhatikan aku. Ia datang mentertawakan
aku: “Tu est a Paris, Pas a Jakarta. Les kiosk encore ferme- Kamu sekarang di Paris, tidak
di Jakarta, kedai-kedai masih tutup”.
Sejak dari Jakarta kami juga membawa pakaian yang lengkap. Aku sendiri
membawa pakaian untuk musim dingin. Aku merasa cuaca yang sangat kontra antara Jakarta
dan Paris, hari terasa dingin dan aku sudah memakai musim dingin. Madam Francoisse
berkata lagi.
“ Ranti, mengapa kamu sudah memakai pakaian musim dingin, ini kan masih di akhir
musim panas- Pour quoi tu porte le vetement de hiver, il fait en fini de l’ete encore”.
“Astaga......!!!, mengapa Madam Francoisse menyindir ku. Aku merasa sangat
dingin .... suhu sudah terasa dingin dan aku lihat suhu menujukan angka 16 derajat celsius”.
Aku dan teman-teman sudah merasa kedinginan dan Madam Franchoisse, juga yang
lain, terlihat masih santai saja. Pokoknya budaya berpakaian juga dipengaruhi oleh musim
dan cuaca . Contohnya pakaian untuk musim panas ya tetap pakaian musim panas, walau kita
sendiri sudah merasa kedinginan, mereka masih bertahan.
Kemudian tentang karakter madam Francoisse itu sendiri juga perlu kami pahami.
Walaupun ia sudah sering datang ke Indonesia dan sudah tahu dengan attitude (sikap) orang
Indonesia itu sendiri. Lagi pula ia sendiri bisa berbahasa Indonesia dan mencintai Indonesia,
namun juga tetap tidak memahami tentang budaya kami sepenuhnya.
“Pagi-pagi sekali kami sudah bangun. Kami sudah menggunakan kamar mandi untuk
berwudlu buat sholat dan cuci muka, ia berkata “Kenapa kalian pagi-pagi sudah bruyant
(meribut) itu tidak bagus, di sini kamu boleh beraktivitas di atas jam 9.00 atau jam 10.00 pagi
itu baru boleh bruyant, kalau sebelum itu orang-orang masih tidur di sini”.
Kami complaint (mengeluh) padanya, “Tidak boleh seperti itu madam, kamar mandi
kan hanya satu. Tiap pagi kami harus bruyant karena tiap pagi kami harus praying- sholat”.
Madam Francoisse menjawab, “Ya kalian boleh tetapi pagi-pagi tidak boleh bruyant, coba
suaranya pelan-pelan ya”.
Madam Franchoisse selanjutnya berkata: “Terus saya ingat attitude orang Indonesia
bahwa kalian tidak bayar air. Kalau di sini, keluar kamar ya kamu harus matikan lampu.
Kalau tentang kebiasaan mandi, saya tahu bahwa di Indonesia orang tidak bayar air. Tapi di
Perancis mereka harus bayar”.
Jadi di Perancis orang selalu melakukan budaya penghematan. Itulah mengapa kami
selalu dilihat dan Francoisse sering berkata “keluar kamar tolong matikan lampu,,,,ya !!!”.
“Ranti, kenapa kamu tidur tidak mematikan lampu ?” Tanya Madam Francoisse suatu
hari. Aku complaint dan menjawab, “Saya phobie gelap madam, saya terbiasa tidur pake
lampu”.
Madam Francoisse menjawab lagi , “Oh cela pas de probleme- oh itu tidak masalah”.
Terus ia juga sering bilang, “Mandi juga tidak boleh lama-lama, tidak boleh buang-
buang air yang banyak dan tidak boleh bising (bruyant)”. Pokoknya hidup di Perancis harus
ekstra hemat.
Nah itu culturenya kalau di Perancis dan culturenya yang biasa aku lakukan di
kampung sendiri. Madam Francoisse selalu mengajak kami untuk memahami budaya hemat
orang Perancis, “Parce que quelque chose ici est chere- karena segala sesuatu di sini harganya
mahal”.
“Kalian hobi masak ya..maka beras kalian cepat habis”. Kata Madam Francoisse
menyindir. Ia kami memang suka masak, masak nasi, masak sayur, masak lauknya, dan
madam Francoisse selalu melihat kami dengan senang.
Madam Francoisse itu usianya sudah lebih dari separoh baya dan ia sudah pensiun.
Suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia mengatakan bahwa dia punya dua
anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Yang perempuan sudah menikah, sementara yang
laki-laki sudah bekerja tetapi tinggal sama dia.
Seperti Apa Universitas Sorbonne itu ?
Seperti apa Sorbonne itu ? Oh ya waktu aku enter ke Sorbonne kami tidak boleh
memakai jilbab. Sorbonne termasuk universitas yang punya M.o.U (memorandum of
understanding) yang melarang mahasiswi memakai jilbab di lingkungan kampus.
Dalam wawancara ketika aku enter ke universitas Sorbonne, aku diberitahu:
“Si tu va au Sorbonne universite, tu dois changer ton chapeau- Kalau anda belajar di
Universitas Sorbonne, anda harus ganti selendangnya, maksudnya jilbab”. Kami semua
mengiyakannya. Akhirnya untuk mengganti jilbab kami berlima memakai chapeau
(selendang) menutup kepala yang sederhananya.
Jadi kami berlima memakai chapeau, seperti anak kecil. Orang Perancis melihat kami
serba lugu. Kami jalan-jalan keliling kampus universitas Sorbonne. Untuk melihat-lihat dan
mengenal lokasi.
“Ayooo.....mari kita melihatnya kampus itu ya...!!, Bagaimana susunan gedung-
gedung agar kita tidak tersesat”.
Dalam imajinasiku bahwa mungkin susunan gedung universitas Sorbonne seperti
susunan gedung kampus UNAND dan Udayana. Ternyata tidak seperti itu susunannya.
Universitas Sorbonne terletak pada gedung dengan lima lantai. Di sana tedapat kantor
Crouse (Kantor informasi buat mahasiswa), lantai dua untuk beureau (kantor), lantai tiga
untuk Irrez- Paris Une, dan seterusnya.
Kami ingin mencari seseorang di Universitas Sorbonne namun kami susah mencari
orang yang kami maksud, yaitu Madam Surmais. Katanya ruangannya di Sorbonne.
“Kami sudah sering email-emailan, namun susah cari kantornya”. Rupanya madam
yang kami cari itu keluar melihat kami kecil-kecil mirip boneka teletubby dan berkata
“Ayo....masuk, cari siapa ya...?”
“Kami mencari madam Sourmais..!” Tanya kami,
“Oh ya saya Madam Sourmais”. Kami datang dari Indonesia dan kami orang
Indonesia dan ternyata nama kami sudah terpampang. “Voila...etes vous Indosiennes ?
“Je te vois comme lycennes- aku lihat kamu layak anak SMA saja”, Kata Madam
Sourmais, belum seperti mahasiswa S.2, apalagi wajah kami semua juga masih imut-imut.
“ Tapi wajah orang asia memang seperti itu, terlihat muda dari usianya dan susah
untuk ditebak”. Dia bicara seperti itu.
Aku tidak bisa membayangkan, kalau di Indonesia suasana kantor itu ramai, namun
kalau di Perancis suasananya sepi ya harus serba effektif dan effisien- maksudnya serba
hebat.
“Buat apa karyawan banyak kalau kerjanya tidak effektif. SDM tenaga kerja yang
dipakai di sana sangat minim dan upahnya atau gajinya cukup mahal”. Kata salah seorang
temanku saat bincang-bincang ringan di depan kampus Sorbonne.
Para staff disana juga mengatakan hal yang demikian, “karena tenaga sedikit
sementara administrasinya banyak ya kelelahan juga mengerjakannya”.
Tentang tenaga administrasi juga berbeda antara Perancis dan Indonesia. Kalau di
Indonesia ya...banyak tenaga administrasinya sehingga banyak pula yang bisa melayani kita.
Kalau di sana tenaga administrasi terbatas dan pelayanannya juga terbatas.
Mereka enak saja bilang: “Attend...je ne pa le temps- tunggu...aku tidak punya
waktu”. Nah seperti itu jawaban kebanyakan, ya tidak ada waktu. Sehingga kita susah untuk
pose la question (memberi pertanyaan).
Terus kita kalau membayangkan kelas Universitas Sorbonne pasti membayangkan
kelas internasional dengan ruangan serba waaaah dan menggunakan bahasa Inggris. Ternyata
biasa-biasa saja. Ternyata tidak ada kelas internasional. “Maka di sini Sorbonne, kalian musti
parle francais (bicara Bahasa Perancis). Kelas internasional kan identik memakai bahasa
Inggris”. Jadi siapa saja belajar di universitas Sorbonne musti tahu bahasa Perancis.
“Oke kita enter ke Sorbonne dan kita pake bahasa Perancis di sana”. Saat kami di
Indonesia kami melihat Universitas Sorbonne memiliki kelas yang basgus, kelasnya full ac,
full fasilitas. Ternyata kelas di sana menggunakan kipas angin yang biasa saja dan ini dipakai
pada musim panas. Meja dan baku belajar di Sorbonne biasa-biasa saja. Beda dengan kita,
kalau kelas S.2 kita kesannya rapi dan lebih bagus dari pada kelas-kelas S.1.
Kuliah di Sorbonne terasa unik, karena kuliah tidak selalu di gedung Sorbonne.
Kuliahnnya sistem kelas travelling, bukan moving kelas saja, juga travelling kelas.
“Kami pernah kuliah di cinema, di rumah sakit, ...itu penyebabnya adalah karena
keterbatasan kelas, karena di Perancis susah sekali mencari tanah atau lokasi untuk
membangun kelas dan gedung baru. Merenovasi gedung saja susah apalagi meruntuhkannya.
Perancis itu lahannya sempit”.
Geografi alam Perancis itu sempit, tidak luas seperti alam Indonesia. Sehingga pada
umumnya orang Perancis membangun rumah susun atau apartemen dan tinggal di
apartemen. Tentu saja mereka juga tidak punya pekarangan.
“Kalau ada yang punya pekarangan itu sudah sangat mewah sekali. Punya
pekarangan ukuran 2 kali 2 meter sudah bagus sekali, mereka menanam bunga dan sayur
yang mereka hargai tinggi sekali”.
Teman-teman ku juga bilang “ya memang begitu situasinya di sini”. Kami sempat
complaint juga “Kenapa kuliahnya sampai travelling jauh-jauh sekali ? ya sampai ke rumah
sakit, ke bioskop”. Ya itu terjadi karena keterbatasan kelas, kalau di Indonesia kalau buka
jurusan baru tentu berfikir apakah ada kelasnya atau tidak (?)
Bagusnya bahwa sistem perkuliahan di sana memang sesuai dengan waktu. Kalau 4
SKS (sistem kredit semester) untuk empat jam ya memang empat jam. Kalau bagi kita empat
jam pelajaran...kadang-kadang 40 menit kali empat, atau 45 menit kali empat. Kalau 6 SKS
ya memang untuk enam jam.
Dosennya betul-betul prepare-bien (well prepared), prepare bien le materi. Kalau aku
jadi dosen di sana mungkin aku tidak sanggup mempersiapkan materi sebaik dosen Perancis.
Ia menyajikan begitu banyak materi dengan persiapan sebaik mungkin.
Kita membayangkan bahwa Universitas Sorbonne itu keren...dosen-dosennya juga
keren. Ternyata tidak semua dosennya yang bisa berbahasa Inggris. Mereka tidak melayani
bahasa Inggris dan mereka bahkan tidak mengerti bahasa Inggris.
“Kita kan berfikir “kalau pergi ke luar negeri harus berbahasa Inggris- ya seperti itu.
Dan teman-teman di kelas juga tidak selalu bisa bahasa Inggris, karena mereka yang enter ke
sana memakai bahasa Perancis.
“Seulement francaise, non parle l’anglais (hanya bahasa Perancis- tidak berbahasa
Inggris), seperti kata-kata banyak teman-teman.
Kenapa Sorbonne terkenal di Eropa ? Ya karena ia termasuk universitas tertua juga,
sama tuanya dengan Oxford di Inggris. Gedung Sorbonne termasuk gedung situs bersejarah.
Adaptasi dengan Dosen dan Teman-teman Eropa
Aku harus bisa adaptasi dengan dosen dan teman-teman Eropa. Kalau tidak bisa
adaptasi, aku bisa mengalami cultural shocked (kekagetan budaya). Aku juga sempat
mengalami cultural shock (kekagetan budaya) pertama karena penggunaan Bahasa Perancis.
Sejak dari Jakarta aku berfikir bahwa kalau kita sudah mahir berbahasa Inggris maka itu bisa
beres untuk tinggal di Perancis.
“Aku bisa pake bahasa Inggris dengan teman-teman dan ternyata mereka tidak respon
dengan bahasa Inggrisku. Mereka banyak tidak mengerti dengan bahasa Inggris, karena
bahasa Inggris ternyata tidak populer di Perancis. Mereka sering bilang: Je ne comprend pas-
aku tidak mengerti”.
Mereka bilang seperti itu. Ya mulailah aku rajin menggunakan bahasa Perancis. Pada
mulanya aku berbicara seadanya...bawa kamus selalu, tidak ngerti ya lihat kamus...atau pake
bahasa Tarzan (bahasa isyarat). Namun setelah itu aku raji menambah perbendaharaan kata
dan aku rajin membuat kalimatnya yang benar. Kalau tidak mahir berbahasa Perancis ya
perkuliahanku bisa jadi berantakan.
Aku bergabung dengan kelompok milling list. Sebenarnya dulu sebelum aku enter ke
Paris, aku sudah bergabung dengan milling list nya PPI Perancis. Aku bergabung dengan
masyarakat etudiantes (mahasiswa) di Paris. Lewat milling list itu aku bisa menanyakan
segala sesuatu. Terus waktu sudah berada di kampus aku juga bergabung dengan milling list
yang ada di universitas Sorbonne.
Aku mengutarakan pada milling list bahwa kami bertiga mengalami kesulitan dalam
menggunakan bahasa Perancis. Yang bertiga itu adalah aku (Ranti), Hajjah dan Rossi. Dua
lagi temanku sejak dari Jakarta, jurusan kuliahnya berbeda dengan kami yaitu: jurusan
antropologi dan patrimoin de historie atau peninggalan sejarah, mereka adalah Hikmah dan
Deni.
Akhirnya teman-teman di kelas universitas Sorbonne bisa welcome pada kami.
Mereka menganggap bahwa mahasiswa yang masuk Sorbonne tentu sudah perfect dengan
penggunaan bahasa Perancis. Umumnya mahasiswa asing yang ingin kuliah di universitas
Sorbonne harus ikut waiting list (daftar tunggu).
Salah seorang teman Perancis berkata “Soalnya kalau kamu lulus untuk ke Sorbonne,
bukan berarti harus masuk tahun ini, ya ada waiting listnya. Menunggu tiga tahun bahkan
sampai lima tahun untuk studi ke Sorbonne baru kamu akan dipanggil”.
“Aku tidak seperti itu, malah menunggu beberapa bulan saja”. Paparku padanya.
“Kenapa kamu bisa masuk ke sini begitu cepat ?” Wooww aku jadi surprised dengan
kesempatan belajarku di sana.
“Kamu tahunya masuk kesini kapan ya..?”
“Tiga minggu pendant troiseme ou quartieme avant moi aller – selama tiga atau
empat minggu sebelum aku pergi ke sini” Jawabku.
“Voila – iya” jawab mereka dengan kaget. Karena mereka untuk bisa masuk ke
universitas Sorbonne juga menunggu cukup lama. Sementara bagiku terasa serba instant
(serba cepat) dan alhamdulillah.
Aku punya kebiasaan tidak mau tertinggal lama, kalau ada masalah ya langsung aku
atasi. Aku tidak suka menunda nunda waktu apalagi menunda dalam mengatasi masalah. Aku
melanjutkan kebiasaan seperti itu saat belajar di Paris.
“Kalau ada tugas langsung dikerjakan”.
Di sana kalau aku tidak mengerti yang diajarkan oleh dosen, ya minggu pertama dan
minggu kedua teman teman cukup welcome- cukup membantu, karena mereka memiliki nice
culture. Teman yang nice untuk diajak ngobrol ya aku suka duduk dekat dia selama kuliah.
Aku selalu mencari orang yang nice diajak berteman dan bergaul untuk kuliah dan
menulis. Mereka kalau sudah kuliah itu semuanya terlihat serius, kalau sedang istirahat ya
bersikap rilek dan kalau sedang bekerja dan belajar terlihat serius sekali.
Kalau nggak ngerti saat dosen intermezzo (selingan) ya aku tanya mereka.
“Saya dapat pointnya seperti ini....bagaimana ya”.
Mereka menjawab “atted Ranti, je t’erxplique desormais- tunggu Ranti nanti aku
jelaskan ya..!” Kadang-kadang aku suka melihat catatan mereka. Kalaupun aku menyalin
tulisan mereka, ya tulisannya berbeda-beda dan tidak bisa aku baca.
“Tulisan teman-temann Eropa kok pada jelek semua...!!”. Aku fikir mengapa tulisan
mereka banyak yang jelek-jelek. Mereka umumnya asli orang Perancis dan sebagian datang
dari Eropa lainnya dan juga dari luar Eropa, seperti aku.
Walau mereka bersikap baik baik, tapi mereka menolak kalau diganggu. Aku tidak
bisa bertanya pada mereka dengan bebas.
“Je sais Ranti , tu as de probleme avec etudi- aku tahu Ranti kamu punya kendala
dalam belajar” Mereka selalu serius dalam belajar itu karena mereka juga susah membagi
waktu antara kerja dan kuliah. Kalau tidak serius ya bisa gagal.
“Il n’y a pa le temps beaucoup pour la discuter sur mattre dans la classe (aku tidak ada
banyak waktu untuk diskusi tentang materi pelajaran)”. Katanya padaku. Dia juga bilang
bahwa nanti ia akan scan catatannya dan mengirimkan ke e-mailku atau, setelah ia scan ia
printkan buatku, ya mereka baik sekali.
Mereka scan kan tiga puluh lembar catatannya buatku, mereka memang baik.
“voila mon email- ini emailku”, kata ku.
Dan dia memang mengirimkan scannya ke emailku. Mereka memang sangat baik,
ikhlas dan sangat suka membantu ku.
Tapi aku mau bilang “aku tidak bisa baca tulisan kamu” kan jadi tidak enak. Ia sudah
capek-capek membantuku dan aku tentu juga perlu menggunakan bahasa yang sopan selalu.
Begitu melihat aku kesulitan dalam berbahasa Perasncis selama belajar di kelas dan
tidak mengerti dengan mendalam tentang apa yang dibahas dosen, maka teman-teman banyak
bersimpati pada ku
“Ranti mana emailmu...nanti aku scankan dan aku kirim ya ke emailmu. Ne
t’inquiette pas- don’t worry- dont worry Ranti”. Kata teman-teman yang lain. Ya mereka
bilang seperti itu.
Sambil menunggu catatan yang akan dikirim oleh teman, aku coba membikin point-
point kuliah yang aku peroleh dari dosen di kelas. Tidak memahami bahasa Perancis secara
mendalam membuat kuliah di Sorbonne terasa dalam neraka. Maka aku selalu berusaha keras
dalam belajar dan termasuk dalam menguasai bahasa Perancis, malah tidurku hanya dua jam
di malam hari.
Teman yang baik hati juga membantu meringankanku dalam belajar, seperti mengirim
email dan scannya. Kalau mereka udah mengirim catatannya mereka bilang ”kamu cari
artinya dan kamu interpretasikan (tafsirkan) sendiri”. Nah aku kemudian menerangkannya ke
teman-teman tersebut dan ternyata penafsiranku ternyata betul dan aku gembira. Aku juga
mencari literatur lain lewat internet, serta beli buku dan baru belajar lagi- ya seperti itu”.
BAB. VII KULIAH DI UNIVERSITAS SORBONNE
Menjadi Mahasiswa Sorbonne
“Seperti apa ya perkuliahan S.2 di Universitas Sorbonne itu ?” Inilah pertanyaan
yang sering muncul dalam fikiran sejak dari kampungku hingga sampai di Perancis. Akhirnya
aku menjadi salah seorang mahasiswa di universitas tertua di negara Perancis dan juga tertua
di Eropa.
“Ya sebenarnya perkuliahan di sana cukup berat. Berat itu karena kita mengalami
keterbatasan berbahasa untuk memahami dosen dan memahami literatur. Di Universitas
sorbone bahasa pengantarnya adalah bahasa Perancis. Kalau bahasa Perancis kita pas-pasan
nah....akan muncul masalah”
Dosen-dosen di Perancis sangat menghargai kerja keras dan kejujuran, mereka
membenci plagiat- pemalsuan karya tulis. Misalnya dalam perkuliahan, satu kalimat yang
kita ambil, musti dicantumkan sumbernya, dan kalimat tersebut harus diolah menjadi kalimat
kita sendiri atau kita pharaprasekan.... sehingga kalimatnya harus beda dengan kalimat yang
kita kutip. Kalau masih sama ya itu namanya masih plagiat (atau contekan).
Membuat satu slide untuk presentasi saja, itu aku butuh waktu sampai 3 hari. Dosen
bilang ...perbaiki lagi...kalimat yang dikutip harus diparaphrase- atau memakai kalimat
sendiri. Slide yang aku siapkan saat itu membahas tentang suatu pulau di benua Eropa...ya
aku cari di internet.
“Aku cari di internet dan ini artikelnya ada 10 lembar”
Dosen bilang “Ya kamu cari point yang penting-penting saja. Aku searching lagi...dan
itu tentang kepulauan di laut Mediterannia. Ya kalau tentang pulau tentu tentang
georafinya...aku bingung bagaimana mau memparaphrasenya (?). Jadi aku bekerja bolak
balik lagi, geografi pulau itu kan bersifat nyata. Nah menurut mereka itu tidak bisa diterima.
Sudah diparaphrase ..ya harus dibolak balik lagi. “Tidak begitu Ranti kamu masih
lakukan paraphrase lagi....!!”. Kata teman satu grupku.
Aku harus paraphrase lagi sampai kalimat-kalimat yang aku tulis berbeda dari
sumber yang aku peroleh. Itu aku lakukan sampai tiga kali dan itu bikin aku jadi stress. Jadi
untuk tampil dengan power point aku harus butuh waktu tiga hari.
Aku punya grup, satu diantaranya bernama Maud. Aku tanya “Maud bagaimana
pendapatmu tentang power point ku ?” Maud menyarankan agar aku lakukan paraphrase
lagi.
“Paraphrase lagi ?” Tanyaku. Maaf, sementara presentasi di kampungku banyak
mahasiswa yang membuat presentasi copy-paste saja. Tetapi kalau di Perancis, menurutku,
ya tidak.
Aku mengambil jurusan S.2 di Universitas Sorbonne di bidang manajemen
touristique. Sistem penilaian kuliahnya sama dengan di Indonesia yaitu ada nilai tugas- nilai
presentasi dan nilai ujian. Ujiannya ada ujian tengah semester serta nilai ujian semester, tidak
ada ujian individu.
Kuliah di Perancis tentu punya kesulitan dan kemudahan. Kesulitan ya..karena kalau
passing graden untuk kuliah S.2 maka harus lebih qualified- bermutu. Proses kuliahnya
lebih berat.
“Kamu harus baca literature yang banyak. Lucu juga kalau mahasiswa S.2 membaca
sedikit literatur. Teman-teman asli orang Perancis saja masih struggle membuat tugas, apa
lagi baki aku dan teman-teman yang jauh dari Perancis”.
Bikin tugas biasanya kita lakukan seharian penuh- yaitu dari pagi sampai malam. Nah
itu hal biasa dan itu hal yang wajar. Teman-temanku semua bikin tugas dengan serius dan
mereka jarang terdengar yang mengeluh. Kalau kita dulu kadang-kadang suka mengeluh
“Wow bikin tugas saja repot...suka hang out dulu, suka menunda waktu dan malah juga suka
komplain”.
Bagaimana Anak Eropa Belajar ?
Bagaimana sih beda belajar kita dengan anak Perancis ? Kalau mereka (orang
Perancis) cara belajarnya lebih sistematis. Bagi mereka kalau belajar itu ya belajar.
“Saat belajar mereka terlihat bersungguh-sungguh”. Tetapi ada juga bagi anak-anak
Perancis yang merasa capek belajar, akhirnya mereka main, namun mereka tidak
mengganggu yang sedang belajar.
Terus kalau membuat tugas mereka serius dalam menyelesaikannya dan dalam
presentasi ya mereka duduk dengan serius, menghargai teman yang tampil. Kalau kita (maaf)
kadang kadang dalam membuat tugas asal jadi saja (asal-asalan) dan kalau mereka tidak.
Kalau mereka saat membuat tugas, mereka menerima kritikan untuk penyempurnaan.
”Ini tugas kamu masih perlu diperbaiki..coba perbaiki lagi...boleh sempurna...!” Ya
seperti itu, mereka struggle (berjuang) dalam belajar.
Aku lihat cara belajar mahasiswa di sana sangat bagus. Tentu ada faktor yang
berpengaruh dalam membentuk karakter mereka. Yaitu kualitas orang tua dalam mendidik
rumah dan juga kualitas pemerintahan mereka berpengaruh atas kualitas mahasiswa di sana.
Faktor budaya juga berpengaruh, budaya individu juga ada dampak positifnya untuk
membuat mereka jadi mandiri. “Kalau mereka tidak bangkit dalam belajar, yang menanggung
resiko adalah individu yang bersangkutan”. Kegagalan yang terjadi pada diri tidak ada yang
lain bisa banyak membantu...seperti itu, jadi individu mereka sangat tinggi.
Selama aku tinggal di Perancis, aku merasa bahwa aku lebih bersyukur punya budaya
Indonesia, khusus budaya orang Minangkabau. Walau mereka punya budaya struggle yang
tinggi, budaya individu dan kemandirian yang lebih tinggi, namun mereka sudah terblokade
oleh kebiasaan individual secara turun temurun. Contoh budaya seragam pada warna rumah.
Aku melihat cat atau warna dinding rumah di sana semuanya coklat..terlihat
membosankan dan tidak ada variasi. Sehingga aku sempat bertanya.
“Mengapa warna dinding rumah kamu semuanya sama, warnanya coklat, jadi terlihat
tanpa variasi...kalau dikampung ku setiap orang bebas mendesain warna rumahnya, sehingga
terlihat lebih menarik ?”
Begitu juga saat aku pergi ke taman. Aku menemui anak-anak bermain bersama
anak anak, dan kakek- nenek berkumpul-kumpul kakek- nenek yangh lain.
“Mengapa kakek-nenek tidak menyatu nenek dengan anak-anak. Sehingga kakek-
nenek terlihat pada kesepian”. Paling-paling aku melihat orang orang tua bermain sendirian
dengan gelang-gelang atau bermain catur. Aku juga sering melihat nenek atau kakek jalan
bareng anjing mereka. Akhirnya mereka sudah terblokade dalam kesepian budaya mereka.
Aku pernah bertanya, “Kenapa anda (kakek- nenek) tidak mau bergabung dengan
anak anak di taman”. Mereka menjawab bahwa khawatir mengganggu anak-anak, dan
mereka nanti boleh bergabung, ada timing (waktunya) anak-anak gabung dengan kakek dan
nenek, misal seperti pada hari natal.
“Mereka datang ke rumah saya untuk acara natal, tapi mereka setelah itu balik lagi”.
Bila anak-anak dan cucu mereka kembali kerumah mereka maka kakek- nenek jadi
kesepian lagi, wah kalau begitu lebih enak ni negeri ku.
Di sana terlihat anak-anak punya kehidupan tersendiri dan kakek-nenek juga punya
aktivitas tersendiri.
“Apakah anda tidak merasa kesepian ?” Tanyaku suatu hari.
“Kesepian..? Tentu saja...ya bagaimana lagi” Jawab kakek-nenek dengan nada pasrah.
“Kami dulu punya anak, kami pelihara dan kami didik. Setelah dewasa mereka
mandiri dan kami lepaskan”
Ya begitulah budaya mereka, mereka sudah terblokade oleh budaya individu dan
beresiko untuk menjadi kesepian di hari tua. Budaya ini kan sudah turun temurun dan aku
lihat bahwa mereka sendiri tidak nyaman dengan kondisi itu.
Kalau di Indonesia kakek-nenek, ayah-ibu dan anak-anak lebih menyatui. Anak-anak
senang bermain dengan kakek dan nenek mereka. Jadi kakek-nenek di Indonesia lebih merasa
bersatu dengan anggota keluarga mereka dan mereka bisa jauh dari rasa kesepian.
Indonesia di Mata Penduduk Perancis
“Bagaimana ya pendapat orang Perancis tentang orang Indonesia ?” Tentu saja
mereka punya pendapat tersendiri. Waktu aku shopping ke sebuah toko dan pedagangnya
orang Perancis asli (wanita Perancis) dan ia bilang “Je n’ai pas de religion et Je suis une
atheist- aku tidak punya agama dan aku seorang atheist”.
Walaupun ia atheist, ia sangat appreciate terhadap Indonesia. Ia berkata “Presente-
orang mana kamu ?”
Saya menjawab “Saya orang Indonesia”.
“Oooo Orang Indonesia “ jawabnya. Tetapi karena aku memakai jilbab, maka ia tidak
bisa membedakan antara orang Indonesia dengan orang Malaysia.
Ketika saya bilang dari Indonesia, ia bilang “Je sais Indonesia- Aku tahu Indonesia.
Saya atheist tetapi saya suka dengan Islam yang ada di Indonesia”. Ia berkata lebih lanjut,
“Aku lihat bahwa Islam di Indonesia berbeda dengan karakter orang Islam yang di
Mekkah. Walaupun di Mekkah tempat munculnya agama Islam tetapi orang laki-laki kurang
mengayomi orang perempuan. Sepertinya saya lihat orang laki-laki merendahkan orang
perempuan”.
Ia menambahkan, “Ya seperti yang aku ketahui bahwa sampai sekarang orang laki-
laki di Arab masih menempatkan posisi wanita lebih rendah- mungkin seperti budak ya,
karena wanita tidak boleh keluar rumah, tidak boleh berkarir. Kalau di Indonesia...orang
Islamnya lebih moderen, seperti dalam kitab kamu (seperti dalam Al-quran). Bahwasanya
agama kamu akan sangat flexible dengan zamannya”.
“Tetapi kultur orang laki-laki di Arab tampak mengekang, tidak seperti orang laki-laki
di negara kamu. Seperti yang saya lihat di televisi bahwa perempuan Islam di Indonesia bisa
conduite la voiture (mengendarai mobil). Terus saya lihat perempuan Islam di Indonesia juga
bekerja, punya kegiatan di luar rumah, berkarir, dan bisa mengurus suami. Jadi Perempuan
Islam punya kesamaan dengan laki-laki Indonesia”.
Wanita itu menambahkan bahwa wanita Islam yang di Indonesia punya ilmu, punya
wawasan sehingga bagus untuk pendidikan anak di Rumah. Tetapi berbeda dengan di Arab,
beda posisi laki-laki dengan wanita. Sehingga laki-laki bisa semena-mena terhadap wanita-
memperlakukan wanita sesuka hati. Wanita tidak bisa berbuat apa-apa dan itu wajar sebagai
akibat dari budaya mereka.
“Tetapi tidak begitu dengan wanita Islam Indonesia, mereka punya karir, mereka
punya pendidikan dan mereka juga mengurus anak. Dengan budaya kamu terjadi good
cooperation (kerja sama yang baik) antara wanita dan laki-laki”
Wanita perancis itu berkata, ia appreciate sekali dan ia juga senang dengan cara
pengamalan Islam di Indonesia.
Aku juga bertanya, “Etes vous fier terrorist en Indonesie- kamu takut dengan terrorist
Indonesia ? Orang di dunia mengatakan Islam itu terrorist dan sementara itu Indfonesia
adalah negara Islam paling besar di dunia”.
Ia menjawab, “saya tidak takut, karena saya tahu bahwa kepala terrorist itu bukian di
Indonesia, ia bukan orang Indonesia, tetapi ia cuma bersarang di Indonesia, karena penduduk
Islam terbesar di Indonesia. Saya sangat appreciate dengan Islam Indonesia”.
Walaupun wanita Perancis itu atheist namun ia sangat appreciate dengan Islam
Indonesia. Sama halnya dengan pemerintahan Perancis pada waktu Perang Dunia I, bahwa
masyarakat Maroko dan Aljazair membantu pemerintah Perancis dalam perang. Sehingga
Perancis menang dalam perang dan sebagai appreciate pada orang Islam Maroko dan
Aljazair, Perancis menghadiahkan masyarakat Islam sebuah masjid yang lumayan besar di
Kota Paris. Aku melihat mesjid Paris itu begitu megah dan besar.
Kemudian aku akan menggambarkan tentang bagaimana dosen perancis memandang
mahasiswa asal Indonesia. Tapi pertama-tama mereka kaget, termasuk teman-teman
mahasiswa, mereka bilang. ”Vous etes plus jeunes- anda semua tampak masih muda”
Waktu akun presentasi perkuliahan dalam kelas, mereka bilang “kamu plus jeune-
kamu masih muda- untuk menjadi dosen”. Demikian mereka memandang tentang kami.
Sistem pendidikan kita berorientasi ke Amerika ya, bahwa posisi Universitas lebih
tinggi dari Politeknik. Sementara kalau di Eropa posiosi Politeknik lebih tinggi dari
Universitas.
“Wow vous etes professeurs au Politeknik- kamu dosen politeknik ya...! Umur kamu
berapa...?”
“Umurku 25 tahun”, Jawabku.
Mereka protes, “Wah tidak mungkin, umur kamu pasti 19 tahun “. Kemudian aku
perlihatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk).
“Woh...benar ya umur kamu sudah 25 tahun. Jadi mahasiswa kamu sebesar apa
ya....?”. Tanya mereka.
“Ya sebesar saya semua......” Jawab ku tersenyum.
“That is impossible- wah tidak mungkin”, dan mereka tidak bisa menerima jawabanku
karena tidak masuk logika mereka. Karena kalau di Perancis menjadi dosen itu ilmunya musti
sudah cukup, sudah terlihat lebih tua dari mahasiswanya.
Saya menerangkan, “Saya waktu fresh graduate (sarjana S.1) ikut test formasi dosen
dan langsung diterima, ternyata saya lulus. Kemudian ada formasi bahwa dosen harus S.2,
ya saya ikut formasi kuliah S.2 di sini baru setelah itu lanjut lagi menjadi dosen. Sebelum
mengajar sebagai dosen saya juga sudah punya pengalaman dalam mengajar. Kemudian saya
mengajar mahasiswa dan aku katakan pada mahasiswaku bahwa kita hampir seusia.
“Voila...o begitu” Katanya. Tapi mereka tetap merasa aneh dan kembali bertanya
“Sebesar apa mahasiswa kamu ?”
Sorbone and Everything in French
Sorbone juga menyediakan beberapa fasilitas buat mahasiswa, misalnya internet buat
mahasiswa. Disamping itu universitas Sorbonne juga menyediakan fotocopi gratis buat
mahasiswa. Jadi mahasiswa menggunakannya untuk memfotokopi apa saja. Kecuali telepon,
tidak ada yang gratis.
Perancis itu negaranya bien organisee- well organised. Aku diberi kalender agademik
dan tiap-tiap pindah akademik sudah ada event yang teratur. Pindah musim dari musim
dingin ke musim semi, misalnya ada liburan dua minggu- dua minggu. Jadi kita selalu
merencanakan kegiatan untuk setiap liburan “Voila...liburan besok kita kemana...?” Dan kami
berlima segera merencanakan kegiatan libur.
Liburan ku pertama di Perancis adalah ke tempat famili. Aku memutuskan untuk jalan
sendiri, karena aku punya famili di sebuah kota kecil di Perancis, yaitu di kota Pau, sebuah
kota dibawah pegunungan Pyrenne. Familiku itu bekerja di perusahaan Indonesie Total,
semacam perusahaan minyak. Mula-mula ia bekerja di Kalimantan dan kemudian pindah ke
sini, ke Perancis.
Di Perancis dia bekerja di Pau. Akhirnya aku bisa sampai disana dan kami bisa
bersilaturrahmi. Ia mengatakan bahwa ia sudah tinggal di sana selama dua tahun, balik lagi ke
Kalimantan- bekerja dan kembali lagi ke Pau. Tinggal di Perancis enak sekali, karena
jaminan sosialnya cukup memadai. Meskipun ia bawa istri dan dua anak namun tidak ada
masalah.
Sebelumnya untuk pergi ke kota Pau, ada dilemna ya membuatku sedikit ragu antara
pergi atau tidak. Karena kota Pau agak jauh ke selatan. Harga tiket untuk orang yang usia 25
tahun ke bawah, beda dengan yang berusia 26 tahun ke atas. Yang berusia 25 tahun ke
bawah, dikenakan biaya tarif tiket separoh umur orang dewasa yaitu sama dengan tarif anak-
anak, separoh harga. Kita memperoleh diskon 50 %., tapi kita harus punya kartu dan aku juga
bikin kartu.
Ya aku buat kartu yang menyatakan usia ku masih 25 tahun. Karena usia 25 tahun
berarti aku memperoleh fasilitas diskon harga. Jadi diantara kami berlima maka aku yang
berusia paling muda, maka aku yang bisa menikmati potongan harga.Tentu saja temanku
yang berempat merasa iri hati untuk hal ini.
Karena kota Pau sangat jauh ke bawah, ke selatan, dan biayanya sangat mahal. Di
kota Pau mimpiku untuk main ski bisa terwujud, ya mimpiku sejak masa kecil. Saat itu kami
sedang liburan musim dingin. Aku masin ski di pegunungan Pyrenne. Pyrenne adalah
pegunungan panjang di Perancis dan cukup populer di Eropa. Tempat-tempat main ski itu
banyak karena pegunungan Pyrenne itu sangat panjang di selatan Eropa, dekat ke arah
Spanyol dan Italy.
Aku mengira main ski itu gampang. Aku mencoba main ski di pegunungan Pyrenne.
Ake menyewa sepatu ski dan tongkat ski. Aku coba meluncur dan ternyata sulit, aku terjatuh
tunggang langgang. Memang sakit dan pegal, penasaran aku coba lagi dan lagi aku jatuh
berguling guling. Sepatuku terbenam dalam salju. Sepatunya sangat berat sehingga aku
dibantu untuk melepaskan dari benaman salju. Akhirnya aku menyewa pelosotan dan aku
belajar meluncur seperti mainan anak- anak, ya asyik juga dan aku senang karena mimpiku
bermain ski sudah terwujud.
Ada banyak tempat menarik yang telah aku kunjungi di Perancis. Pertama aku pergi
ke Eiffel. Kalau orang melihat Eiffel itu begitu excited (menyenangkan). Aku juga
memikirkan hal yang sama saat aku berada di Sumatra, namun setelah aku pergi ke Eiffel dan
melihat Eiffel dengan mata dan kepala sendiri.
“Ya...Eiffel itu biasa-biasa saja. Eiffel itu hanyalah sebuah bangunan besi atau
kerangka besi yang grande (besar) saja”.
Ini gedung besi memang lebar dan tinggi. Tapi begitu melihat bahwa umurnya sudah
begitu tua ya...baru terasa makna dan nilai sejarahnya., maka kita baru bisa appreciatenya.
Aku melihat tidak ada semacam keunikan pada Eiffel.
Kalau di Sumatera Barat atau di Batusangkar, kita tentu bisa bisa melihat Rumah Adat
yang bangunannya cukup unik, seperti atapnya dari ijuk, tiang rumah adat ada yang miring,
dinding rumahnya yang penuh ukiran. Kemudian ada jenis rumah adat yang lain, jadi
kesannya betul-betul indah dan unik. Kalau menara eiffel aku lihat tidak unik...karena sudah
perfect (sempurna). Ya karena Perancis itu IT-nya (informasi Technology) lebih maju, maka
menara Eiffel bisa terlihat lebih keren dan unik.
Aku juga berfikir bahwa apakah orang Perancis di sana juga tahu dengan rumah adat
yang di Batusangkar.
“Ya waktu aku ikut sebuah acara di Kedutaan Besar Indonesia di Paris, saat itu semua
kedubes dari seluruh dunia ada di sana. Kebetulan waktu itu aku memakai pakaian baju
kurung adat Minangkabau untuk menyambut para tamu”.
Para tamu surprised melihatku dan bertanya, “Kenapa topi kamu seperti ini”.
Aku menjawabnya “Chapeaunya (topinya) ini namanya tengkuluak, memang seperti
tanduk buffalo karena atap rumah adat kami juga seperti tanduk buffalo”.
Aku menceritakan bahwa Minangkabau itu asal katanya “Menang Kerbau atau the
winning buffalo”.
“Saya pernah pergi ke West Sumatra (Minangkabau) dan saya punya satu miniatur
rumah adat kamu”. Kata salah seorang Duta Besar padaku. Mereka terlihat excited (terlihat
senang).
Kalau di Eropa pakaian tradisionil mereka lebih mengacu kepada pakaian kerajaan
Inggris. Pakaian kita lebih mengacu pada ke bentuk ya ada dasarnya, kainnya dari beledru.
Contoh seperti pakaian adat kita, atau mungkin pakaian adat daerah ada yang memakai goni
seperti pakaian adat di Irian Jaya.
“Di Perancis bentuk pakaian dan rumah adat tidak banyak variasi, kalau kita punya
banayk variasi pakain dan rumah adat jadi begitu unik”.
Di kampus kami juga bincang-bincang tentang tradisi. “Terus terang mereka hampir
tidak ada yang tahu dengan Pagaruyung dan rumah adatnya. Mereka cuma lebih tahu Bali,
karena beberapa orang di antara mereka telah berkunjung ke Bali. Mereka mengatakan bahwa
orang Indonesia itu nice (sangat baik)”.
BAB VIII. MENEROPONG ISTANO BASA PAGARUYUNG DARI PARIS
Bagiku sendiri saat aku dekat di kampung (Padang Ganting) dan begitu dekat dengan
Istano Basa Pagaruyung, namun Istano Basa Pagaruyung terlihat biasa-biasa saja. Tetapi
setelah aku berada di Perancis dan pergi jalan-jalan ke Eiffel, aku juga merasa rindu dengan
Batusangkar, dengan Istano Basa Pagaruyung. Aku merasa bangga bahwa Istano Basa
Pagaruyung juga begitu anggun, tidak kalah cantik dari Eiffel dari Perancis.
“Aku jauh-jauh di Perancis mempelajari budaya sendiri. Terasa indahnya negeriku,
Batusangkar, ya setelah aku jauh beribu-ribu mil jauhnya di negeri orang. Aku sangat
merasakan bahwa Pgaruyung itu begitu indah, orang-orangnya ramah, punya event budaya
yang banyak, lantas alamnya begitu magnificemt- menakjubkan”.
Kita juga punya budaya bagus dan mereka juga punya budaya bagus dan mereka
hidup lewat budayanya juga. Mereka membuat gedung yang punya nilai sejaran dan yang
membangunnya hanya para ahli, sementara kalau di kampungku, rumah adat dibangun secara
kolaborasi (gotong royong) oleh masyarakat dan pemuka adat.
Tempat-Tempat Menarik di Perancis
Kenapa sih menara Eiffel bisa menjadi populer ? “Itu karena menara Eiffel sebagai
menara paling tinggi pada waktu itu. Kemudian dari dalam menara Eiffel kita bisa melihat
view kota Paris yang menakjubkan. Menara itu terdiri atas tiga tingkat, kita bisa naik tangga
kemudian lift menuju puncak menara. Kita bisa membeli tiket untuk naik lift atau tangga
menuju puncak pada sebuah tempat di pinggang menara Eiffel. Owww ......menara Eiffet itu
besar sekali, karena pada tiang yang empat itu sudah lift dan tangga. Jadi dibandingkan
dengan tugu Monas (Monumen Nasional) di Jakarta ya Monas belum berarti”.
Setelah mengunjungi menara Eiffel, aku juga mengunjungi Le Musse De L’ouvre.
Musse de L’ouvre adalah museum tempat tersimpannya lukisan Monalisa. Lukisan ini
terkenal dengan “Misty Smile” atau senyum yang berkabut. Monalisa tersenyum namun
senyumnya punya seribu makna- apakah itu senyum sedih, sakit, senang, cemburu....jadi
senyum yang susah untuk ditebak. Senyum misty smile adalah senyum banyak makna.
Itulah bedanya dengan kita, orang Perancis appreciate sekali dengan museum. Mereka
bisa betah tinggal berlama-lama dalam museum. Jadi kalau mereka datang ke sini, kita bawa
mereka ke rumah gadang, ke museum, ke Istano Basa Pagaruyung, maka mereka betah sekali
dan tinggal berlama-lama dalamnya. Mereka terlihat excited, terlihat mereka sangat
menghargai sejarah. Orang tua dan muda semua suka pergi ke museum. Sementara kita di
sini tidak termasuk pencinta museum. Bagitu pergi ke museum bikin boring (bosan) dan
karakterku tidak usah ditiru. Bagi mereka tinggal di museum terlihat kedamaian
Aku juga suka mengunjungi Arc De Triompe atau gerbang kemanangan. Gerbang ini
dibangun oleh Napoleon Bonaparte untuk menghargai perjuangan tentaranya. Dekat Arch De
Triompe ada jalan Champ D’ellysse.
“Champs d’ellysse est le plus belle avenue sur le monde- Champ d’ellyse adalah jalan
terindah di dunia”. Aku juga mengunjungi Sans Sacre, itu adalah gereja. Gereja yang
dibangun di atas bukit, dari sana kita juga bisa melihat view of Paris dan termasuk menara
Eiffel.
Aku juga pergi ke Notre Dame. Ini adalah juga gereja dan di depannya ada tempat
bulat, semacam zero ground atau titik nolnya kota Paris. Zero ground juga semacam daya
tarik untuk wisatawan mengunjungi Paris, dan yang belum menginjak zero ground di depan
Notre Dame dianggap belum benar-benar mengunjungi kota Paris. Atau ada cerita bahwa
andai kita menginjakkan kaki ke sana maka suatu kita akan datang lagi ke Paris.
“Aku berjalan di depan Notre Dame dan aku mencari-cari dimana posisi lobang zero
ground itu. Ternyata zero ground itu tidak besar, kecil, namun kok bisa dibuat menjadi daya
tarik. Ya itu karena bien organisse- karena dikelola dengan baik hingga menyebar ke dalam
emosional banyak orang di dunia”.
Bulan ramadan juga datang di Perancis....haaa dan aku pernah berpuasa di Perancis.
Aku juga punya pengalaman dalam menjalankan ibadah di negara tersebut. Tentu saja waktu
berbuka dan waktu sahur di Perancis berbeda dengan di negara kita. Di negara kita karena
terletak persis di pertengahan globe- di garis equator, maka jumlah malam sama panjang
dengan jumlah siang, masing-masing selama 12 jam. Kalau di Perancis berbeda-beda, kalau
puasa di musim panas ya...siangnya panjang. Sahurnya cepat dan berbukanya lambat. Tetapi
kalau berpuasa di musim dingin ya.... siangnya pendek, sahurnya bisa jam 6 pagi dan
berbukanya jam 5 sore.
Kalau kita menanyakan di mana mesjid, dan mesjid pasti ada. Tetapi jangan bayangan
mesjid seperti di negara kita atau seperti gedung mesjid di negara negara Arab. Tetapi di
kota-kota kecil, mesjid tampak tidak seperti mesjid, ia adalah bangunan biasa saja tetapi telah
digunakan sebagai “Praying place” atau tempat sembahyang. Di sana ada kegiatan sholat
namun kita tidak mendengar suara azan, karena pemerintah Perancis melarang azan pakai
microphone. Kalau azan, ya di dalam saja, dan kalau kita ingin tahu jadwal waktu sholat
silahkan download sendiri atau minta ke pengurus mesjidnya.
Orang Perancis juga ada yang beragama Islam. Orang- orang di Perancis sholad di
mesjid tidak pakai mukena kayak kita. Mereka sudah pakai jilbab, menutup aurat, pakai kaus
kaki. Jadi mereka pakaian apa adanya di badan dan langsung sholat, jadi tidak ribet pakai
mukena segala seperti kita di Indonesia.
Ternyata habis sholat tata cara berdoa mereka sedikit berbeda. Mereka habis sholat
tampak tenang-tenang saja, mungkin lagi berzikir atau berdoa. Kalau kita berzikirnya jelas
menghitung jari dan berdoanya kita mengangkat tangan. Aku berfikir bahwa merka lama
sekali berdoanya, ketika aku sodorkan tangan untuk salaman, mereka membalas.
“Tu prie comme ca- leve tes mains- kamu berdoa seperti itu- mengangakat tangan”,
tanya mereka, “Oui, parce que on demande quelque de Dieu Allah- ya kita angkat tangan
karena meminta dan bermohon pada Tuhan Allah” jawabku. “Ah...ce bien comme ca- ah
bagus seperti itu” kata mereka lagi.
Di Perancis juga banyak orang yang memakai jilbab, juga ada jilbab yang dalam.
Dulu juga ada yang memakai cadar. Tetapi sekarang Pemerintah Perancis melarang
pemakaian cadar. Kalau kedapatan perempuan muslimah memakai cadar ya mereka dikenai
denda 1.000 Euro lebih. Pemerintah Perancis hanya mengizinkan pemakaian jilbab saja,
bukan pemakaian cadar.
Halal Food
Halal food atau makanan hal adalah hal yang susah diperoleh di Perancis. Orang-
orang muslim tentu perlu berhati-hati dalam mencari daging, khawatir kalau memakan
jambon atau daging babi. Di sana daging ayam dan daging yang ada tanda halalnya harganya
sangat mahal. Harganya bisa dua kali lipat.
Untuk mendapatkan daging halal kita bisa pergi ke butcherie halal. Bucherie halal
adalah toko daging yang khusus menyediakan daging halal semuanya.
“Ya ada label halalnya, dan sekali lagi harganya mahal. Tidak semua daerah punya
bucherie halal, jadi kita harus mencarinya”.
“Adu aku lapar dan pengen beli makanan dari pedagangan makanan yang bakal lewat.
Apakah ada di Paris?”
“Oh...tidak ada”. Di sana tidak seperti di negara kita yang ada warung, kedai
makanan, tempat jual bakso, somai, sate, rujak, nasi goreng dan makanan- yang kadang-
kadang lewat dan kita tinggal membelinya dari rumah. Kalau di sana jam 8.00 malam toko
dan kiosk sudah tutup.
Kalau begitu harus kita prepare bien (mempersiapkan dengan baik) dan takut kita
kelaparan kalau belajar malam
“Ya kita persiapkan sebelum toko tutup. Kalau di sana kalau toko tutup ya tutup.
Meskipun kita antri namun kalau sudah tiba waktu tutup ya ditutup”.
Tentang cara makan. Kalau kita di Indonesia makannya terdiri atas nasi dan lauk
pauk. Aku lihat bahwa teman-teman Perancis makannya banyak sekali. Makan mereka ada
yang namanya baguet, ya sejenis roti keras, dan ini sangat terkenal. Ada yang makan
croissant- juga sejenis roti. Makan siang mereka terdiri dari roti yang panjang.
Ada temanku membawa roti yang panjang dan banyak “Makan kamu ternyata banyak
ya..!” Kataku pada teman yang bisa menghabiskan banyak roti, yang ia makan selama
perkuliahan yang cukup lama dari jam 9.00 pagi sampai jam 7.00 malam.
Di universitas Sorbonne juga tersedia resto yang menjual pizza yang isinya kentang,
salada, telur dan mentega seperti itu. Sebagian teman beli roti, salad dan “apporte dans la
classe- membawanya kedalam kelas” untuk dikonsumsi selama kuliah.
Kalau kami dari Indonesia pergi kuliah juga bawa bekal “ada nasi, lauk, sayur, buah”.
Dan mereka melihat “kamu makan ini tiap hari ?”
Aku menjawab, “C’est bien, et tu port beaucoup croisant tout le jour aussi- iya dan
kamu juga bawa banyak roti tiap hari”
“Kamu langsing tapi mengapa makan roti sekantong...!” Kataku.
Mereka pernah makan nasi tetapi tidak terlalu suka makan nasi, katanya “Makanan
kalian terlalu banyak bumbu”.
Mereka juga bertanya “Kamu bisa masak asia....bagaimana kamu masak rendang,
sampadeh, gulai ayam , kamu cari bahannya kemana...?”
Aku menjawab “Ke toko asia”. Woww ...pasti harganya mahal karena bahan-
bahannya diimpor dari Asia. Kalau mereka cuma makan baguet, yang nota bene di dalamnya
ada sayur, kentang, daging dan semuanya tidak diimport.
Dulu ada teman (turist asal Perancis) yang berlibur di Batusangkar dan ketika mereka
hendak balik ke Perancis, aku tercium aroma bumbu kambing.
“Kenapa ya ada aroma bumbu kambing..?” Ternya iya, Fanchoise Belluche membawa
beberapa saschet bumbu kambing ke negaranya. Katanya bumbu tersebut enak ditaburi di
atas makanan, rasa dan aromanya enak sekali.
Orang-orang Perancis suka suasana happy. Mereka suka soiree- atau night party.
Umumnya orang-orang kantor libur Jumat, Sabtu dan Minggu. Maka mahasiswa Perancis
pada Jum’at malam sudah mulai ber happy-happy (soiree). Tentu saja suasana di apartemen
jadi heboh dan kita tidak bisa komplain terhadap suasana yang demikian. Mereka heboh
sampai jam 3 malam, mereka mabuk-mabuk itu biasa. Namun orang Indonesia tidak perlu
meniru soiree seperti itu.
Orang Perancis juga paling hobby membuat soiree pada weekend.
“Bagaimana besok ya..kita buat soiree..?” Mereka mengadakan soiree untuk
mengatasi stressed, karena tingkat stressed mereka cukup tinggi. Tingkat frustasi juga tinggi.
Tentang pelayanan. Di Perancis berlaku layana post. Kalau mau ke bank musti buat
rendezvous atau janjian dulu. Dan orang orang di sana paling hobby rendesvous- janjian dulu.
Kalau rendesvous tentu tidak ada antrian dan itu butuh besoin beacoup de temps- butuh
waktu yang banyak.
Mereka bilang “Aku susah hidup di Perancis, birokrasinya banyak”. Ya memang
begitu kalau di Perancis, mereka juga merasakan.
“Waiting is boring...!!” Mereka mengalami stressed tinggi karena sebahagian kuliah
dan juga bekerja dengan target yang tinggi. Oleh sebab itu mereka selalu struggle.
“Ya beginilah kalau umur sudah 20 tahun ke atas. Maka untuk mengatasi stress ya
kami perlu membuat soiree”.
Ternyata mereka appreciate juga terhadap budaya mengundang makan. Kalau orang
Perancis mengundan makan beda caranya dengan budaya kita di Indonesia. Aku lupa waktu
itu, kami diundang makan di Rumah Catalina.
“Wow enak...dan Catalina baik sekali”. Ternyata kami dibagi atas beberapa
kelompok kecil.
“Kenapa kami musti dibagi atas beberapa kelompok..?” Tanyaku.
Ia menjawab, “Iya karena masing masing doivent apporter quelque choses (harus
bawa sesuatu) seperti minuman, banana, roti”.
Aku menyela “Kalau begitu undangannya sama saja dengan bohong-bohongan. Kalau
seperti itu, aku juga bisa mengundang kalian tiap hari”. Ya ternyata mereka hanya
menyediakan tempat saja.
“Iya mereka menyediakan tempat, dan membagi kelompak atas empat orang, nanti
kita beli juice apa...,minuman apa......, makanan apa..desert nya apa dan nanti kita gabungkan
duitnya, ya seperti itu.
” Waktu pertama aku bergabung dengan teman-teman Perancis karena aku suka
bergaul dengan yang lain. Tetapi kemudian aku mengalami pembengkakkan dalam
kekurangan uang, karena aku harus beli dua. Kalau di Indonesia ini namanya adalah arisan”.
Ini arisan karena harus serba dibawa sendiri. Mereka ternyata excited juga.
“Aduh Ranti..kita minumnya vin rouge (anggur merah) saja”.
Tapi yang bilang “Kamu tidak boleh minum vin rouge karena ada alkoholnya,
karena kamu orang muslim jadi kamu minum juice saja”.
Di saat mereka memilih pizzanya itu jambon (pakai daging babi), ia memilihkan
untukku pizza vegetarian. Jadi ia harus keluar dua kali untuk mencari dua jenis pizza.
Seharunya orang Indonesia yang bertiga ini gabung aja ya untuk beli makanan.
Setelah makanan tersedia dan lengkap, mereka tunjuk beberapa makanan dan
menjelaskan kepada kami yang berasal dari Indonesia dan teman-teman yang muslim lainnya.
“Kalian tidak boleh makan yang ini. La vie dans Indonesiene sans touche
ici...pas..pas..pas,-- hidupnya orang indonesia tidak boleh menyentuh yang ini...yang
ini....yang ini”. Katanya sambil menunjuk hidang yang pakai daging babi dan alkohol.
Makanan ini tidak boleh...yang ini juga tidak boleh. Untuk mendapatkan pizza kita
kan juga antri memesannya. Dia membeli pizza kemaren dan menyimpannya dalam kulkas
sehingga pizza menjadi dingin dasn berku, dia kemudian memanaskannya di atas micro
wave nah akhirnya pissa oke.
“Pizza is finish... !”
“Oke kasihkan buat ku...” Kata salah seorang teman Perancis.
”Oh tidak ini buat orang Indonesie” Jelas seorang teman. Kalau kita bilang dari awal
beberapa makanan yang tidak boleh dimakan, maka mereka ingat sekali.
“Kamu tidak boleh makan itu karena makan yang ini, tidak halal”
Jalan-jalan ke luar Paris
Aku juga sempat memikirkan bagaimana untuk jalan-jalan ke luar kota Paris. Jalan
jalan ke pedesaan Perancis cukup menyenangkan. Ada beberapa daerah yang sudah aku
kunjungi seperti Larocheal, L’ile, Grenope, Pau, namun interaksiku dengan penduduk hanya
terjadi di kota Pau saja, karena aku sempat menginapdi sana.
Aku sempat diundang makan oleh orang Pau keturunan Arab. Undangan makannya
ya betul-betul makan. Kalau undangan makan oleh orang Perancis....ya undangan bohongan
karena kita yang harus bawa makan dan minumnya. Itulah beda undangan dari orang Asia
atau orang Islam...ya betul betul makan dan gratis.
Saat berada di kota Pau, aku diundang makan...betul-betul makan dan tetangga sana
juga ramah dan suka berkomunikasi. Waktu itu berada di daerah Perdu.
Aku bertanya “Madamr.....Kalau metro di sini menuju kota nomor berapa, aku ingin
balik ke Paris ?”
“Oh di depan rumah saya aja tunggu, metro sering berhenti di depan rumah saya,
besok datang ya untuk makan dan minum”. Kata seorang wanita Perancis keturunan Arab.
Ternyata ia betul-betul masak buat ku dan aku diundang dan gratis. Sekali lagi, ya itulah beda
undangan orang asli Perancis dan dengan orang Islam Perancis keturunan Asia- ya betul-betul
makan.
Budaya kota juga berbeda dengan budaya pedesaan. Beda orang Perancis kota dan
orang Perancis desa...ya seperti di Batusangkar (di Indonesia). Kalau di pedesaan mereka
juga ramah, suka bertanya “kamu kemana....menunggu bus nomor berapa ?, kok tidak tadi
kamu berangkat” Kalau kita nyasar mereka juga suka menujukin ya, beda sekali dengan
yang di Paris. Malah kalau di Paris, polisinya dan pemandunya juga rada-rada cuek.
Aku pernah tanya “Monsieur....dimana jalan ini....Monsieur dimana letak resto
terdekatt...?”
Mereka menjawab dengan separoh hati, “La bas....la bas- di sana.di sana !” Katanya
sambil menunjuk tanpa arah yang jelas. Mereka hanya asal jawab saja. Jadi kalau di Paris kita
harus mencari tempat sendiri saja.
“Barangkali penyebabnya kalau di Paris orang-orang internasional sudah banyak yang
datang dan terlalu banyak yang bertanya sehingga mereka mungkin jadi bosan melayani.
Kalau di daerah orang orang masih nice- ramah dan suka menolong”.
Karena aku sudah coba berada di desa Perancis dan juga di kota, maka aku sangat
merasakan betapa indahnya berada di kampung sendiri. Ini sering aku ungkapkan pada
teman-teman. Aku membuat comparison (perbandiungan hidup) antara hidup di Perancis dan
hidup di Indonesia.
“Ah...Francais n’est pa bon..parce que les gens sans hospitalite mais Indonesie
hospitalite- ah Perancis tidak begitu bagus, orangnya tidak ramah tetapi Indonesia masih
ranah”.
Orang Perancis ternyata mengakui bahwa orang-orang di negara mereka memang
demikian dan Indonesia lebih nyaman. Mereka juga excited ketika aku menyatakan bahwa
aku di kampung selalu conduite la motocycle (mengendarai sepeda motor).
Ah ternyata kamu bisa membawa sepeda motor ?”
Dan aku menjaqwan “Oui...ya”.
Oh bagus dan teman yang dari Belanda bilang, “Wah saya tidak bisa bawa motor
cycle.., karena di Belanda orang banyak bawa sepeda”.
Aku menerangkan, “Wah kalau di Indonesia orang tidak memakai sepeda lagi,
mereka semua memakai sepeda motor”.
Dan ia tampak surprised, “Wah maju sekali Indonesia kalau begitu”.
Aku sendiri berfikir bahwa transpor Indonesia sudah semakin semraut ya karena
jumlahnya begitu banyak dan selalu bertambah. Aku melihat bahwa di Perancis tidak semua
orang menggunakan mobil, dan kalau ada mobil mereka kecil-kecil.
“Mengapa mobil mereka kecil-kecil dan mobil kita di Indonesia besar-besar”.
Ternyata semakin besar mobil semakin besar pula pajaknya di sana. Dan semuanya di sana
pakai pajak, televisi saja pakai pajak. Kalau pajak televisi di Indonesia tidak pernah dipungut
lagi.
Jadi mereka konsepnya itu pajak. Kalau bikin rumah yang gede maka pajaknya juga
gede lagi. Mendingan bikin rumah kecil aja, boleh pajaknya juga kecil. Bikin rumah gede
pajaknya gede, beli mobil gede pajaknya juga gede. Mereka dibatasi oleh peraturan seperti
itu. Sementara kalau kita di Indonesia tidak begitu.
Aku katakan “Kalau kamu PNS di Indonesia, kamu bisa beli motor tanpa pake DP-
dana panjar atau uang muka, karena ada kerja sama antara pihak motor dengan pihak PNS.
Itu bikin mudah dan transportasi juga mudah di Indonesia, karena ada banyak angkot
(angkutan kota), banyak andong, ada ojek...malah ojek bisa antarin kamu sampai ke depan
pintu. Sementara kalau di Perancis dari sini ke simpang ya harus jalan kaki. Di Perancis itu
berjalan ya dipaksa untuk berjalan. Di dalam koridor kita dipaksa untuk berjalan”.
Pendidikan Dalam Keluarga
Orang orang Perancis sangat peduli terhadap pendidikan, termasuk pendidikan dalam
keluarga. Orang tua sangat terbuka dalam hal mendidik anak. Kalau bagi kita di Indonesia
mungkin ada hal-hal yang unpolite (tidak sopan) atau taboo (terlarang) untuk dibicarakan
oleh orang tua bersama anak. Klau mereka punya ketentuan sendiri
“Umur 20 kamu harus mandiri, kamu harus bisa bertanggung jawab terhadap diri
sendiri. Jadi anak-anak dipaksa untuk dewasa. Mereka dipaksa untuk tahu banyak sebelum
berumur 20. Di sana having sex itu dianggap biasa, malah itu dianggap normal dan tidak
normal kalau tidak having sex”.
Dan aku menjelaskan “Itu tidak boleh dalam masyarakat saya dan dalam agama saya.
Kalau terjadi itu menjadi disgrace (hal yang memalukan) bagi keluarga”.
Mereka juga menambahkan “Di sini tidak masalah dan kamu harus makan obat ini
dan obat itu akar kamu tidak terinfeksi dan tertular penyakit. Seorang ibu boleh mernjelaskan
tentang hal itu”.
“Lihat kakak kamu yang perempuan, kalau ia hamil dalam usia muda itu bakalan
repot punya baby”. Sang ibu membicarakan seperti itu dengan anaknya yang masih duduk di
SMP dan SMA. Dan percakapan seperti itu biasa saja di rumahnya. Mereka terbukanya
seperti itu dan semuanya serba dibicarakan. Sebaliknya bagi kita menganggap percakapan
begitu masih taboo, dan bagi mereka tidak.
Solidaritas yang Hilang
Aku sebagai orang Indonesia bersyukur punya culture seperti di Indonesia. Karena di
sana kulturnya individual sekali. Saat kita dicopet dan dijambret di kota maka tidak ada yang
berani dan sudi untuk membantu, solidaritas hilang. Walau kejadian itu terjadi di depan
mata dan mereka cuma mampu bilang “arret..arret- berhenti...berhenti”. Sampai ada datang
petugas baru mereka berani untuk berhenti.
Beda dengan kita di sini. Begitu kita diganggu “dijambret atau dicopet” kita berteriak
dan datang orang sekampung memberi kita bantuan. Si penjambret bakal digebuk rame-rame
hingga hancur- dihakimi massa, itu karena solidaritas yang tinggi.
Itu benar, aku sudah lihat dengan mata sendiri ada peristiwa berantem dalam mobil
umum sebanyak dua kali. Saat itu aku lagi duduk dalam metro di dekat mereka. Namun satu
orangpun dalam metro tidak ada yang berani melerainya. Yang berantem itu malah antara
laki-laki dan perempuan, yang laki-lakinya sedang mabuk. Aku lihat bahwa sudah jelas laki-
laki itu yang salah...dan tidak ada satupun yang berani melerainya. Sampai dibunyikan
alaram, masinisnya turun dan ia menelpon polisi....maka polisi yang datang untuk
melerainya, ya seperti itu.
Aku bertanya pada teman, “Kenapa kalian tidak suka melerai mereka berantem..?”
dan mereka tidak punya rasa solidaritas yang tinggi.
Mereka bilang “Prosedur di Perancis ini ribet, Ranti. Kalau kamu bantu kamu nanti
juga bisa berurusan ke polisi, dan kita sendiri juga punya banyak urusan”. Mereka sendiri
bilang bahwa negaranya ribet/ repot dengan urusan administrasi.
“Je ne sens pas comme ca- aku tak merasa demikian, aku tidak suka demikian. Kalau
hal itu terjadi padaku...siapa yang akan membantu ku, aku merasa tidak nyaman tinggal di
sini...apalagi aku tidak punya siapa- siapa di sini. Kommunikasi saya terbatas dan disaat saya
pulang ke resident saya ada terjadi sesuatu ....tidak ada yang membantu saya”.
Iya menjelaskan bahwa “Ya begitulah kalau di Perancis !!”.
Jadi setelah aku tinggal di Perancis aku jadi makin cinta dan makin rindu ke
Indonesia, makin cinta ke kampungku dekat Batusangkar. Dimana di sana ada rasa damai dan
budaya solidaritas sangat tinggi. “mungkin kita punya fasiltas alam dan fasilitas sosial maka
kita sangat welcome sekali tinggal di Indonesia”. Tapi di Indonesia kita merasa dimanja oleh
alam, kalau di sana ya serba terbatas.
Remaja dan Budaya Belajar
Aku tidak merasakan perbedaan antara remaja kita dan remaja Perancis. Remaja kita
sekarang yang di SMP dan SMA kayaknya sudah menyaingi remaja luar negeri. Yang
anehnya bahwa anak SMP tampak lebih centil dan lebih dewasa. Mereka pake tas udah
seperti anak kuliahan, sementara anak kuliah (mahasiswa) masih pakai ransel.
Di sana juga seperti itu. Anak-anak ABG (anak baru gede) di SMP dan SMA itu
terlihat lebih centil dibanding anak kuliahan, anak kerjaan. Sama halnya dengan di sini
(Indonesia), sudah mulai terlihat fenomena yang sama.
Budaya belajar remaja ? Kalau di Indonesia, umumnya remaja kita masih punya
banyak budaya bermain, sambil belajar mereka bermain, jadi ada kesan kurang bersungguh-
sungguh. Kalau di sana, kalau belajar yang belajar. Tidak ada bermain sambil belajar. Mereka
belajar secara profesional. Kalau bikin tugas, begitu serius dan tidak asal jadi apalagi
mencontek pada teman.
Ini bisa terjadi karena faktor budaya. Remaja kita santai dan cuek dengan belajar
karena kontrol dari sekolah, orang tua dan lingkungan sangat longgal. Juga karena adanya
budaya permisif- serba membolehkan. Kalau kita disini, seorang anak diharapkan belajar
hanya semampunya. Kalau remaja di sana sejak usia kecil sudah dituntun untuk serius dalam
belajar dan do your best jadilah yang terbaik.
Guru-guru untuk penyajian mengajar cukup berkualitas tetapi untuk standard tidak
pula, guru disana biasa-biasa saja. Aku sempat bincang bincang dengan teman.
“Wah di Sorbonne tidak seperti yang saya bayangkan. Mereka banyak tidak tahu
bahasa Inggris malah lebih keren bahasa Inggris tukang asongan di Pulau Bali, mereka mau
update dan influence bahasa Inggris mereka walau kedengarannya hancur tetapi mereka
berani untuk berbicara karena mereka tahu bahwa bahasa Inggris adalah bahasa
Internasional”.
Mereka merasa bahwa bahsa Inggeris bisa sebagai pemersatu sementara di sana tidak,
tidak mau tahu dengan bahasa Inggris. Para staff di Sorbonne dan bahkan di Bank para
karyawannya juga tidak tahu bahasa Inggris “Je ne comprend pas anglais- aku tidak ngerti
bahasa Inggris, kata mereka”.
Ya mereka tidak berkeinginan untuk bisa berbahasa Inggris. Tetapi kalau kita bertemu
dengan seseorang yang bisa bahasa Inggris, ternyata mereka juga mau memakai bahasa
Inggris. Jadi intinya adalah memang karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Juga tidak
punya kemauan.
Menikah di mata Orang Perancis
Tentu saja orang Perancis memiliki pandangan terhadap pernikahan. Mereka berfikir
bahwa menikah perlu keputusan yang sangat luar biasa.
“Kamu projeknya habis ini apa ?” Kata mereka.
“Wah saya habis ini bisa memutuskan masa depan ya seperti menikah...?
“Wowww...hebat”. Kata mereka.
“se marrie...!” Seru mereka semua.
“Pourquoi..mengapa ?”
Kalau di Indonesia, kalau sudah kuliah ya cari kerja dan setelah kerja ya menikah.
Dan kalau di Perancis tidak begitu, kalau menikah adalah keputusan yang final sekali dan
keputusan yang berat untuk menikah.
Mereka menikah dan kalau break- bercerai ya bisa ribet mengurusnya. Mereka
berfikir bahwa kalau mereka punya hubungan beda jenis tanpa ada ikatan yang diatur oleh
negara kalau “Separe ya separe- bercerai ya bercerai, tak perlu mengurus-ngurus”. Namun
ada kesannya bahwa mereka tidak suka bertanggung jawab hanya suka senangnya saja, tentu
tidak layak untuk ditiru. Walau mereka malah mengurus administrasinya.
Kalau di Indonesia, menikah itu sangat didamba dan sangat sakral, sehingga pesta
pernikahan hampir ada setiap hari. Kalau di bandingkan di Perancis, pernikahan kita di
Indonesia lebih meriah. Pernikahan kita ada acaranya, ada adatnya, banyak orang terlibat dan
semua orang sekampung tahu...apalagi ada band tunggalnya, ya ibarat ada konser saja. Kalau
pernikahan di Perancis sepi...cuma dihadiri pengantin dan orang tua kedua belahan pihak-
suasananya sepi ya mungkin lebih ramai suasana selamatan kita di Indonesia.
Agaknya ada hal-hal positif yang bisa kita peroleh dari orang Perancis, utamanya
adalah tentang disiplin waktu dan kommitmen dengan diri sendiri. Orang Perancis memang
punya kommitmen atau tekad yang bagus dalam memajukan diri mereka sendiri. Mereka
sejak dari kecil sudah diajar untuk bertanggung jawab atas diri.
“Kamu harus bertanggung jawab, karena umur 20 kamu bertanggung jawab, salah
kamu ya untuk diri kamu”. Kalau kita di Indonesia sampai usia 20, lewat dari usia 20 dan
malah sampai kuliah masih diayomi, masih dinasehati- diarahkan oleh orang tua, juga oleh
keluarga besar. Kalau di sana tidak begitu diayomi...jadi mereka lebih struggle dan mereka
lebih individual.
Kalau mereka punya problem dan gagal ya mereka shocked sendiri, tidak bisa lari ke
keluarga atau ke teman. Memang ada beberapa teman yang bersimpati namun itu belum tentu
menjamin mereka. Kalau begitu andai kita memilih stress ya lebih enak strees nya orang
Indonesia dibandingkan dengan stressnya orang Perancis. Kalau kita stress ya sangat banyak
yang peduli, mama, papa dan famili kita. Kalau di Perancis resiko stress ya tanggung sendiri.
Orang Perancis banyak stressed- sedikit sedikit stressed. Karena mereka memperoleh
banyak tekanan dan kurang pengayoman dari keluarga. Terhimpit oleh ekonomi membuat
mereka stressed. Kalau kita terhimpit ekonomi ya masih bisa mengeluh dan bermohon
bantuan pada famili atau kita bisa buka usaha sendiri, buka warung goreng pisang, jual bakso.
Kalau di Perancis tidak bisa buka warung dan jualan seenaknya, karena ada peraturan dan
pajak. Jadi mereka stressed dan tingkat stressednya lebih tinggi.
Sekali lagi bahwa lebih enak stressnya orang kita daripada mereka. Stress tentu saja
perlu diatasi. Kalau mereka stressnya diatasi oleh pemerintah. Kalau stressnya orang kita ya
banyak yang peduli- mama, papa, kakak dan lain-lain.
Jalan-Jalan Keluar Perancis
Selama tinggal di Perancis aku menyempatkan diri untuk pergi jalan-jalan ke luar
Perancis. Dari Sorbonne aku pergi ke Amsterdam, Italy. Juga ke Spanyol. “Como esta
tu...esto mallo.... no la etindio”, ini contoh dari bahasa Spanyol.
Kalau di Italy “gracia jawabnya brego”. Kalau di panyol “gracie jawabnya denada”.
Aku senang dengan Italy, negaranya bagus sekali, dan pariwisata di negara ini sangat bien
organise- terkelola dengan baik semuanya mulai dari bangunannya, kebersihannya,
touristiknya.
“Kami pergi ke Italy dengan bus pariwisata bareng dengan PPI Perancis, kita
traveling rame-rame. Traveling itu termasuk program tahunan PPI Perancis”.
Ada banyak hal-hal yang di indah di Italy, utamanya adalah Italy punya team
sepakbola yang populer di dunia Lazio, AC Millan dan Inter Millan. Aku juga punya kota
favorite yaitu Venesia. Aku suka kota air Venesia..melihat gondola atau sampannya Venesia
sebagai sarana transport air. Venesia itu adalah kota air dan kendaraanya air- gondola. Di
Venesia rumah punya gang dan setiap gang itu adalah air sehingga transport dengan sampan
gondolla.
Kalau aku comparison (bandingkan) bahwa ternyata orang Italy tidak lebih nice dari
orang Perancis. Kalau orang Perancis lebih independent dan lebih sabar. Kalau mereka di
restaurant menunggu agak lama lantas mereka mudah jadi marah,mereka mengomel begitu.
Orang Perancis mungkin lebih sabar dalam hal ini. Bisa jadi ini pendapat ku.
Orang Perancis suka basa basi. Kalau ada hal yang tidak bagus, mereka bisa bilang
“Ah c’est bien- ah itu bagus”. Itu aku rasakan saat presentasi, aku tahu bahwa presentasiku
tidak bagus tetapi ia tetap mengatakan “C’est tres bien- itu sangat bagus”. Kalau orang Italy
suka complaint.
Saat aku pergi ke Italy, aku tidak bisa melihat menara Pisa. Karena Pisa letaknya
masih jauh di selatan. Aku masih ingat dengan beberapa kota Italy yag aku singgah
seperti Turin- tempat base campnya Juventus, besoknya ke Milan- base campnya AC Millan
dan Inter Milan, dan Venesia.
“Kalau ke Pisa enaknya pakai avion (pesawat) saja. Aku punya waktu hanya satu
minggu di Italy, jadi tidak bisa meliput banyak hal”.
Klub bola Juventus dan AC Millan itu memang bagus. Tetapi menurutku bahwa klub
bola Spanyol lebih bagus lagi. Aku tanya bahwa mahasiswa yang ikut main bola dengan Italy
dan Spanyol, mereka bilang bahwa kalau main lawan Italy dan Spanyol kita kalah. Main bola
sudah menjadi cultur mereka.
Makanan Indonesia tetap lebih menarik dari Italy dan Perancis. Itu karena kita kaya
dengan rempah-rempah dan juga karena makanan kita sangat beragam. Italy, makannanya
tidak beragam. Mereka lebih suka memperhitungkan nilai gizi dari pada cita rasa. Contohnya
seperti membakar daging, masih ada darahnya sudah dibangkit.
“Itu kan masih mentah, masih ada darahnya ?”
Dan ia bilang “Ini bagus..bagus untuk percernaakan. Lebih bagus dari rendang yang
kamu masak....karena sudah hitam warnanya...hilang nilai gizinya. Gizinya menguap..sudah
jadi keras....kalau seperti ini..dagingnya masih lembut...masih ada darah, kita tidak butuh
banyak tenaga untuk mengunyahnya”.
Di Spanyol, aku suka mengunjungi Barcelona dan Madrid. Kedua kota ini juga
populer dengan klub bolanya Real Madid. Di antara kota yang aku kunjungi seperti Paris,
Lion, kota-kota di Spanyol, maka aku lebih tertarik dengan Barcelona.
Barcelona memiliki banyak attraksi wisata. Aku mengibaratkanya seperti Little Bali
(Bali Kecil). Tetapi Bali memiliki jarak yang jauh antar attraksi wisata, pergi ke Tanah Lot
masih butuh waktu. Kalau di sana tidak. Kayaknya tiga hari belum puas kita di sana. Kotanya
bagus dan pemerintahnya sangat mendukung.
“Tetapi hati-hati bahwa di Barcelona banyak pencopet yang dilakukan oleh para
immigrant dari Afrika Utara”. Di Paris kita juga harus hati-hati dengan aksi copet. Itu juga
sering dilakukan oleh para immigrasnt yang datang dari Africa utara.
“Mereka datang untuk profesinya sebagai pencopet”. Tentu saja saja pernyataan ini
membuat warga negara yang satu negara dengan si pencopet jadi gerah dan jadi malu karena
aksi si pencopet yang bikin nama jelek bangsa dan negara.
Waktu travelingku ke Spanyol juga terbatas, kami terbang dengan pesawat. Aku juga
pergi ke Amsterdam, di sana banyak orang Indonesia dan banyak sekali restorant Indonesia.
Di sana kita bisa makan di restorant Indonesia. Di Paris juga ada restorant Bali dan restorant
Indonesia, tetapi di Amsterdam lebih banyak lagi. Aku merasa like at home (merasa seperti di
negerei sendiri) karena rumah banyak pakai style batu bata, banyak sepeda onthel. Kalau
begitu budaya sepeda onta (onthel) kita dulu berasal dari Belanda.
Keberadaan restorant Indonesia di Amsterdam ikut membantu cita rasa orang Belanda
dan orang Eropa. Itu so pasti karena ikut memperkaya kuliner Eropa. Beberapa merek
makana di Belanda memakai nama Indonesia. Jadi di Belanda aku ketemu banyak orang
Indonesia dan ketemu banyak restorant Indonesia. Bidsa jadi orang kenal Indonesia lewat
Belanda, tetapi kalau untuk Indonesia mereka cuma tahu Bali saja.
“Oh ya saya tahu Bali, kalau begitu Indonesia dimananya Bali”. Wah mereka tidak
tahu banyak tentang geografi, mereka buta geografi ya.
Thesis ku di Sorbonne
Aku menghadapi dilemna saat bikin thesis. Kami ada tiga orang yang satu program
dan satu jurusan di Sorbonne itu. Yang bertiga itu adalah aku (Ranti), Hajjah dan Rossi. Yang
dua memang dosen manajemen di Indonesia, sementara itu aku dosen sastra Inggris
Politeknik Padang.
Profesor bilang bawa aku belum bisa ujian bulan Juli dan aku hanya bisa ujian bulan
September. Aku harus mengikuti teleconfremce dengan Indonesia dan di Paris. Nah timbul
rasa was-was (khawatir) dalam hatiku. Aku merasa underestimate dan dua teman lain mereka
memang dari jurusan manajemen.
Aku bertanya bahwa apakah mungkin untuk menyiapkan seminar. Tidak mungkin
jawab pembimbinghku. Namun aku tetap menemui pembimbing dan mengikuti konsultasi.
Aku merasa tidak yakin, namun saat ada ujian proposal aku bertanya bahwa aku boleh ikut
ujian proposal “Oh c’est bon – ya kamu boleh” kata pembimbing.
Ternyata proposalku bagus dan aku lulus dan melanjutkan pada tahap berikutnya. Aku
mengikuti regulernya dan membuat rendesvous dan melakukan perbaikan pada proposalku.
Aku melakukan penelitian tentang pariwisata di kampunku di Batusangkar yaitu
tentang manajemen Istano Basa Basa Pagaruyung. Aku minta koordisasi dengan papa dan
mamaku di Indonesia untuk menyebarkan angket dan juga membatu mengolah angket ku
menjadi data- merci maman et papa.
Sementara itu aku tetasp rajin rendesvous dan konsultasi dengan pembimbing. Dia
tetap bilang bahwa aku tidak bisa ikut ujian bulan Juli seperti teman kamu dari jurusan
manajement. Walau ia bilang tidak boleh aku tetap memasukan tesis, aku membuat
rendesvous dan pengen bicara tentang tesisku. Dalam imajnya bahwa aku masih punya
peluang untuk menulis tentang memoar (thesis) ku.
Di saat diskusi, pembimbingku bertanya “kamu sudah kelah tesisnya ?”
“Ya sudah”, jawabku. Dia meminta aku menerangkan apa yang aku teliti dan apa
yang aku tulis, maka terjadi diskusi yang mendalam tentang tesisku.
Dia bertanya “kok kamu bisa cepat menulisnyas ?”
Ternyata aku bisa menjawab semua pertanyaan pembimbing dan mengikuti rulenya.
Dan dia bilang tesisku boleh diikutsertakan dalam ujian tesis, tetapi aku harus ikut proses
mereka dulu. Aku merevisi lagi daftar perpustakaanya dan mengikuti berbagai prosedur lagi.
Aku serahkan tesis pada pembimbing karena mereka baca dulu dan berfikir apakah tesisku
layak atau tidak untuk ikut dalam ujian.
“Tapi sekarang berdasarkan eksplanation kamu bahwa tesis kamu sudah layak untuk
ikut dalam ujian tesis”. Kata pembimbingku.
Aku merasa lega dengan respon pembimbingku. Itu pengalaman yang sangat excited
dan ternyata aku boleh ikut ujian tesis. Pada hal sebelumnya ia beberapa kali bilang “kamu
tidak boleh, kamu tidak boleh”. Tapi aku yakin dan aku selalu berusaha dan tidak pernah
give-up (menyerah) atau menyerah dalam berbagai hal.
“Kita tetap struggle dan berusaha, dan alhamdulillah ternyata aku lulus”. Dan aku
akhirnya juga boleh ikut ujian dengan teman-teman yang lain dalam ujian.
Pembimbingku bilang “wah kamu hebat ya, ternyata bisa menyelesaikan sama dengan
teman-teman kamu”.
BAB. IX MERAYAKAN KEMENANGKU DI EIFFEL
Flash Black
Akhirnya aku bisa menyelesaikan semua mata pelajaranku, menyiapkan proposal,
rendesvous dan konsultasi dengan pembimbing. Menyiapkan instrumen penelitian,
menyebarkan angket, menulis laporan penelitian, rendesvous lagi dan struggle melalui
prosedur. Akhirnya aku bisa ikut ujian tesis dan ikut merayakan kemenang buat diri belajar di
universitas Sorbonne.
Aku flashback tentang perjuangan ku mulai dari Indonesia, di Bali, ikut test dan
terseleksi, menempuh pendidikan yang menyenangkan dan melelahkan. Akhirnya aku bisa
merampungkan final projekku.
Dan aku lulus, namun aku merasa tidak percaya bahwa aku lulus ujian thesis.
“Apakah benar aku lulus”... iya aku lulus...aku lulus. Kedua juri itu berdiri dan
menemui aku dan menyalami aku.
“Tu passe et felicitation- kamu lulus dan selamat ya...!”.
“Aku lulus monsieur...!!”
“Iya... tue est passe et felicitaion- iya kamu lulus dan selamat ya..!”.
Aku merasa tidak yakin, sempat kehilangan self confident dan ternyata aku mampu.
Dalam kondisi tanpa self confident, aku tetap berusaha dan aku mampu rupanya. Namun aku
merasa dalam mimpi.
“Benar, benar aku tetap merasa bermimpi saja”.
Aku masih punya waktu dua minggu sebelum pulang ke Indonesia, aku pengen
merayakan kemenanganku menyelesaikan kuliah di universitas Sorbonne. Karena Perancis
adalah negara impianku saat masih kecil dan jadi aku harus merayakan hari kemenangan.
Hari wisuda adalah puncak impianku merayakannya di tempat kota impianku- mendapatkan
degree di Eiffel dan di universitas Sorbonne.
Langsung aja, dan awalnya tidak ada pesta- pesta segala. Kami bertiga yang lulus
menikmati kemenangan di cafe. Orang minum beer dan kami minum coke- coca cola.
Bagaimana di cafe dan di bar...?? Tetapi minumnya kami tetap coca cola- no liquor no
alcohol. Setelah itu aku mentraktir teman teman agar ikut serta merayakan kemenanganku.
Itu mereka yang ikut membantu ku, meminjamkan aku buku. Aku ingin merayakannya di
menara Eiffel.
Aku berada di Eiffel, dari pagi, sampai siang dan sampai malam. Aku tahu itu adalah
saat terakhir aku melihat menara Eiffel. Aku memotret diri ku saat pagi, siang, sore dan
malam dengan latar belakang Eiffel, seolah oleh aku berada di sana 24 hours. Memang aku
berada dekat Eiffel cukup lama untuk terakhir kali saat itu.
“Orang bisa melihat fotoku di Facebook dan berfikir ini...apakah foto siang apa
malam ?”
“Iya itu foto-fotoku dari siang sampai malam. Dan aku mengirim SMS sebanyak
mungkin ke teman-teman dan mengatakan “Saya lagi di Eiffel dan terima kasih karena sudah
membantuku, silahkan datang sekarang ke sini boleh saya traktir ...! ”
“Oh ya kami datang...kami ingin traktir crab (udang)...aku ingin traktir pizza.... aku
ingin traktit vin rouge”. Meman tidak semua teman yang datang, yang punya waktu dan
kesempatan memang datang untuk ikut merayakan kemenanganku dan berbagi gembira untuk
ku.
“Voila merci merci mes amis, merci mes professeur- merci mes parents- merci
Soubone et merci Eiffel- ya...terimakasih teman- teman, dosen –dosenku, orangtua ku dan
juga terima kasih Sorbonne dan Eiffel”.
I go back to Batusangkar
A bientot- sampai jumpa Perancis. Tidak terasa masa berakhirku di Perancis tinggal
menghitung hari. Aku akan recall some sweet memories (mengenang beberapa kenangan
manis) tentang Perancis. Selama berada di Perancis aku juga merasa bangga dengan
Pagaruyung. Pagaruyung yang aku maksud mewakili adat Minangkabau, mewakili kota
Batusangkar, juga mewakili kampungku Padang Ganting. Selanjutnya kata Pagaruyung yang
aku maksud juga untuk mewakili culturenya, sosialnya dan juga event budaya dan sosialnya.
Saat aku berada di sana, aku juga bangga dengan way of life (cara hidup) bangsa kita.
Waktu aku sampai di Perancis, melihat budaya-budaya yang dibanggakan-banggakan oleh
orang dari seluruh dunia, apalagi dalam tiga tahun terakhir Perancis menjadi destinasi nomor
satu di dunia. Jadi setelah aku melihat destinasi wisata yang ada di sana, memang mereka
mempunyai sejarah dan budaya yang sudah lama sekali. Tersus manajemen pengelolaan
wisata mereka juga bagus. Suasana destinasinya juga aman. Kemudian aku berfikir dan
bandingkan bahwa destinasi wisata yang ada di Batusangkar dan di Sumatera Barat juga
sangat significant.
“Kelemahan destinasi wisata kita adalah kurang teroganisir secara baik. Kalau Eiffel,
musse de l’ouvre,...ya memang terorganisir baik”.
Mungkin semua negara bisa membangun seperti itu. Hanya saja kalau kita
bandingkan dengan situs wisata di Indonesia, ternyata Indonesia memiliki keunikan dan hal-
hal yang lebih spesifik. Misalnya, kita memiliki rumah adat dari masing-masing Propinsi.
Begitu pula kalau kita bandingkan dengan Batusangkar.
Melihat rumah adat- Istano Basa Basa Pagaruyung- pasti membuat mereka sangat
excited. Mereka akan bertanya mengapa rumah adat Pagaruyung punya atap seperti tanduk,
mengapa tanduknya tidak sepasang, mengapa harus tujuh. Lantas mengapa disebut gonjong,
gonjong limo itu apa ? Rumahnya dibuat dari apa, mengapa harus diukir dan atapnya
mengapa dari ijuk ? Terus buat apa rumahnya harus besar, memiliki beberapa bilik dan
fungsinya untuk apa?
Mereka juga ingin tahu bahwa mengapa rumah adat kita harus ada jenjang dan
mengapa harus ada ruangan di bawah. Setelah aku berbicara dan menjelaskan tentang rumah
adat kita, ternyata teman-temanku surprised.
“Wowooow...mereka merasa sangat excited”. Terasa juga bahwa adat dan rumah adat
kita sangat bagus. Pembicaraan tentang rumah gadang ini terjadi di kelas ku di Sorbonne
pada mata pelajaran Gestion et Touristique Destination- manajemen dan destinasi pariwisata.
Pada waktu itu aku juga mempresentasi tentang Borobudur, karena Borobudur sudah
menjadi salah satu dari situs dunia. Pada waktu itu aku juga menjelaskan hal lain
“Oh situs ini adalah salah satu situs di negeri saya, ada lagi yang lain seperti candi
Mendut, candi Prambanan, di Sumatera juga ada candi Muara Takus, malah dalam bentuk
rumah....ya rumah adat ini paling besar yang kami sebut Istano Basa Basa Pagaruyung”.
Aku memperlihatkan gambar Istano Basa Basa Pagaruyung. Ow.... mereka terlihat
excited dan bertanya, “Mengapa rumahnya besar sekali....mengapa orangnya terlihat kecil..?”
Ya aku jelaskan bahwa rumah gadang itu besar, punya banyak bilik. Dan mereka
berkomentar “Kalau begitu orang kampung kamu kaya-kaya !”
Rumah gadang itu besar, lahannya besar, dapurnya terpisah dan di depannya juga ada
rankiang (barn) buat penyimpan padi. Ini dalam penggunaan aslinya, kalau sekarang hanya
sebagai simbol saja lagi. Mushola (praying house) juga terpisah, tamannya juga terpisah.
Sementara orang Perancis dan juga orang Eropa yang lain kebanyakan membangun
rumah dalam bentuk apartemen. Mereka tidak ada punya taman. Mereka sebagian juga punya
jardin (taman) tetapi ukurannya amat kecil dan mereka gembira sekali punya taman. Ukuran
taman mereka hanya sekitar dua meter kali dua meter, disana mereka menanam bunga. Perlu
diingat bahwa ada yang punya taman, tapi jaraknya jau sekali dari rumah. Kalau taman kita
bisa di depan, samping atau di belakang rumah dan kita bisa langsung menikmatinya.
Saat aku melakukan perjalanan aku melewati beberapa kota kecil. Kota kecil seperti
Angers dan Pau besarnya mungkin ibarat kota Batusangkar dan ekonominya hidup.
Transportasi mereka adalah metro dan bus, sehingga penggunaan transportasi mereka untuk
publik kurang lancar, musti menunggu dan terbatas sampai jam 8.00 atau jam 9.00 malam.
“Kampung saya plus petit (lebih kecil) transportasinya lebih lancar dan tersedia
sampai tengah malam. Kalau kamu capek berjalan kamu bisa naik ojek- sepeda motor rental-
dan kamu bisa diantar sampai ke depan rumah”.
‘Perekonomian di kampung ku juga hidup, warung terbuka sepanjang waktu”
“Warung itu apa ?” Tanya mereka.
“Warung itu adalah publik cafe yang menjual kebutuhan kita, kita dapat mencari cafe-
cafe lain untuk membeli sate, lontong, nasi goreng, bakso saat kita lapar. Kalau disini
(Perancis) cafe dibuka pada waktu yang terbatas”.
Aku juga menceritakan tentang fasilitas lain, seperti gerobak yang menjual makanan.
Yang mengantarkan makanan bagi kita dan kita bisa membelinya saat lapar. Kalau di
Perancis hal seperti ini tidak ada.
Toko-toko dan restauran di Perancis terbatas waktunya, sementara kalau di kota-kota
Indonesia toko, restaurant dan juga supermarket ada yang terbuka 24 jam. Kita bisa
memperoleh kebutuhan kita kapan saja.
Aku juga bisa mendeskripsikan kampungku, Padang Ganting, buat teman-teman di
sana. Kampungku yang dikelilingi oleh banyak bukit dalam sebuah lembah, juga penuh
dengan bentangan sawah dan ladang. Kampungku menghasilkan beras dan produk pertanian
yang berlimpah.
Meskipun pantai jauh dari rumah saya, namun saya bisa menikmati pemandangan
kelapa. Karena kesannya bagi orang Perancis bahwa pantai itu ada kelapanya. Aku butuh
waktu 3 jam untuk mencapai pantai. Kampungku alamnya hijau karena banyak ladang dan
sawah dan juga bukit, sehingga udaranya sangat segar sepanjang waktu dan juga tidak banyak
polisi.
Hubungan dengan Tetangga
Kulture kita juga berbeda dengan mereka. Bagi kita, tetangga itu adalah bagian dari
famili kita.
“Kenapa kalian menganggap tetangga sebagai keluarga, kalau bagi kami orang
Perancis, tetangga itu ya tetangga- mereka orang lain”. Aku menjelaskan bahwa kami di
Indonesia beragama Islam dan orang Islam itu semua bersaudara. Walaiupun apa saja
stratanya, mereka itu semuanya saudara kami.
“Oh comme ca- oh begitu ya”.
“Oh enak hidup di kampung kamu. Hidup terasa lebih mudah”. Memang ya rasa
kekeluargaan kita sangat kuat. Kalau kita jauh dari negeri, maka teman satu kampung apalagi
satu sekolah akan terasa seperti keluarga sendiri.
Sementara kalau di sana, di Perancis, kalau seseorang sudah berusia 20 tahun, maka
mereka tidak bisa diatur lagi. Kultur individu mereka yang sangat tinggi membuat tetangga
terasa sebagai orang asing. Namun dengan kultur individu membuat mereka juga sebagai
decision maker yang bagus, lebih mandiri dan lebih percaya diri.
”Kalau aku ambil keputusan ini, maka konsekuensinya ya tentu buatku sendiri..!!”
Sementara bagi kultur kita ada semacam sistem musyawarah. Kalau kita ada masalah
dan kalau kita membuat keputusan, ya musti melibatkan ayah dan ibu, bisa jadi anggota
famili yang lain- kakak dan adik.
Temanku di Sorbonne bilang “Wah...ribet ya. Karena kalau kita bermasalah semuanya
harus tahu. Berarti paman-pamanmu juga tahu dengan keputusan mu ?”
Social event yang ada di Batusangkar juga membuatku bangga saat berada di
Perancis, yaitu seperti baralek, sunatan. Aku menjelaskan sama teman-teman bahwa kalau di
Batusangkar pesta pernikahan terlihat besar. Besoin de boucoup l”argent (butuh uang
banyak)”
“Begitu ya...!”
“Iya kalau pesta itu butuh orang sekampung”
Ow.....semuanya !”. Iya semuanya diundang.
“Kalau dahulu diumumkan di mesjid atau di surau.Sekarang zamannya sudah
moderen ya...pakai undangan, namun ada face to face invitation (undangan tanpa pakai
kartu). Utusan tuan rumah membawa sereh dan cigaret dalam carano. Namun tentu juga yang
patut diundang dan yang tidak, juga tergantung prioritas”.
“Ribet ya...melaksanakan pesta perkawinan di kampung kamu, khususnya di
Minang”. Betul kita terikat oleh sistem adat. Mereka berkata bahwa apa saja yang terjadi
pada diri kita, minimal keluarga kita tahu dengan problem kita.
“Oh iya, untuk menikahpun kita harus memperoleh persetujuan dari Datuak Pucuak
(datuk tertinggi)”. Mereka bertanya tentang apa itu datuk pucuk.
“Datuk Pucuk itu adalah pimpinan kaum”.
‘Wah ribet sekali. Sementara di sini (Perancis) tidak. Kalau kamu mau tinggal
bareng ...ya tinggal bareng. Kalau mau menikah paling-paling yang tahu ya orang tua. Kalau
mereka tidak setuju ya no problem...kami bisa lanjut menikah”.
Selama berada di Perancis, aku belum melihat upacara tentang kematian. Kematian
seseorang diurus oleh gereja. Tetapi kalau acara perkawinan ada aku temui namun pesta
Perkawinan di Perancis tidak begitu meriah seperti di Indonesia. Pestanya sepi dan terlihat
sederhana. Kalau pesta di negeri kita melibatkan adat- famili dan kaum kerabat serta juga
orang di desa. Pesta pernikahan/ perkawinan kita sangat bermakna, karena ada beberapa
tahapan yang harus dilalui.
Kalau bagi mereka, kalau ya.. nikah, sangat praktis. Kalau bagi kita pernikahan
penuh dengan upacara. Ada acara melamar, mengantarkan tando (tanda), acara pernikahan,
melihat kandang (kamar pengantin), acara ngidam, acara bayi turun mandi dan acara akekah
buat bayi.
Social Event
“Social event di Perancis tidak terlalu ribet. Itu karena budaya individual. Terhadap
kakek, nenek, paman, tante saja kta sudah bersifat individu” Kata mereka.
“Agaknya apa ya pesta yang besar di Perancis, pesta tahun baru juga tidak besar ?”
Yang agak besar adalah pesta untuk menyambut antar musim, menyambut musim
panas...musim bunga.
Negeri kita memiliki cultural event, seperti pacu jawi di Batusangkar, pacu itik di
Payakumbuh dan pacu kuda di beberapa kota. Event-event terasa lebih tradisionil. Mereka
juga ada pesta-pesta rakyat seperti fete de la mousse, tetapi tidak semeriah pesta kita. Pada
waktu mau masuk musim panas ya masing-masing region menyelenggarakan fete de la
mousse. Di sana ada musik dan kita menikmatinya begitu saja- santai saja. Mereka cukup
happy dengan hal itu, apakah mau menikmati musik jazz, musik country, musik Maroko,
musik Aljazair. Tentu ada daerah daerahnya.
Aku menikmati musik jazz dekat Musse de l’ouvre.
“Aku melihat tidak begitu waaah....!!. Ya lebih meriah mungkin band-band tunggal
di kampung kita. Soalnya kalau ada acara organ tunggal sampai ada orang jualan. Sementara
kalau di sana, orang tidak bebas berjualan. Kalau berjualan ada pajaknya. Jadi di sana mereka
mencari makanan dan minuman sendiri, duduk-duduk dan tertawa-tertawa. “Mereka terlihat
menikmatinya, namun aku tidak bisa menikmatinya”.
“Hanya seperti ini meriahnya...? Kalau di kampung saya acara kecil terasa meriah.
Acara pernikahan yang besar terasa lebih meriah lagi”.
Kami juga sempat bincang-bincang tentang seni. Aku mengambil topik tari tradisionil
Minang. Aku pernah menampilkan tari Indang, tari asli Pariaman. Saat itu ada kegiatan seni
yang bekerjasama dengan PPI Paris. Kami menampilkan acara pada waktu INALCO
menampilkan culture dari berbagai bahasa atau negara. INALCO adalah lembaga yang
khusus mengajarkan bahasa-bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia, juga memperkenalkan
tari dan budaya Indonesia.
Pada waktu itu pilihan kami adalah menampilkan tari Indang. Tari Indang adalah tari
yang membutuhkan banyak orang. Gerakan tari Indang pada akhir-akhir gerakan mirip
dengan tari saman dari Aceh. Ada gerakan cepat-cepat. Teman-teman dari Perancis excited
sekali melihat kami menari indang, duduk dan melakukan gerakan harmonis sampai gerakan
cepat. Apalagi orang-orang di sana umumnya susah untuk duduk bersimpuh dan bersila
(crossed leg)- mereka hanya terbiasa duduk di atas kursi.
“Kamu tahan duduk bersila dan bersimpuh lama-lama. Itukan bikin kaki pegal”
Komentar mereka dan kita sudah biasa duduk seperti itu. Mereka juga memperhatikan hal-hal
kecil seperti itu.
Aku juga memperkenalkan alat-alat music tradisional seperti saluang, talempong,
rebana. Sementara kalau alat music di Perancis umumnya sudah moderen. Aku juga bangga
memperkenalkan situs-situs parawisata. Kalau di sana aku memperhatikan unsur bangunan
mereka. Di perancis banyak chateau (benteng) dan gereja. Jenis bangunan tersebut memang
tampak artistik namun itu bisa dibangun. Bangunan tersebut juga dibangun oleh para ahli dan
butuh biaya.
Tetapi bagi kita membangun rumah gadang secara bergotong royong oleh
masyarakat. Tidak mengeluarkan biaya ibarat orang Eropa yang membangunnya secara
individu atau kelompok. Lalu situs lain yang kita miliki di dekat Batusangkar seperti batu
batikam (pierced stone), batu basurek (inscripted stone), itu juga jadi pemikiran mereka.
“Mengapa batunya bisa bolong, apakah itu benar ? Mengapa batu basurek bisa ditulis
bagus sekali dengan tulisan Sangskerta”. Jadi situs wisata kita lebih unik dari mereka.
“Orang Perancis dan juga orang Eropa sistem masyarakat mereka lebih individu ,
sementara sistem sosial kita bersifat kekeluargaan. Kebiasaan untuk bersilaturahmi adalah
keharusan. Keponakan dengan paman (kemenakan dan mamak) juga harus ada silaturrahmi,
kalau di sana tidak begitu penting”.
Jangankan dengan paman, seorang anak kalau sudah dewasa tidak bisa dipengaruhi
oleh ayah dan ibu secara leluasa. Kita di sini senang dengan budaya gotong royong dalam
keluarga dan juga dengan tetangga. Kalau di sana budaya gotong royong tidak begitu penting.
Malah dengan tetangga saja mereka juga tidak saling kenal.
Ketika aku tinggal di sana, di apartemen, aku juga tidak tahu siapa yang tinggal di
kamar atas, bawah, atau kamar kiri dan kanan. Paling aku tahu nama mereka dari box
suratnya. “Oh itu namanya Jacque....yang ini namanya Celine, cuma aku tidak kenal”. Ada
juga aku yang kenal tetapi mereka umumnya tidak mahu saja.
Kalau di desa Perancis orang-orangnya lebih welcome. Mungkin mereka menganggap
kalau kita datang “oh ini ada turis...!” Ya seperti kita di desa yang melihat kedatangan orang
asing saja.
“Kamu turis...kamu datang dari mana ?....Kamu menunggu apa ? Bagaimana
pendapatmu tinggal di sini? Apa dingin?”
Yang berkarakter lebih welcome dan ramah itu memang banyak yang berusia nenek-
nenek dan kakek-kakek, karena mereka merasa kesepian. Jadi aku pikir kalau lancar bahasa
Perancis ya banyak ngobrol dengan nenek-nenek dan kakek-kakek di Pedesaan Perancis,
Namun bagi yang muda dan yang berusia 40-an dan 50-an, tidak mau banyak ngobrol karena
prinsip time is money.
Mereka menduga aku bukan dari Batusangkar- Indonesia. Mereka mengatakan aku
datang dari Thailand atau Korea. Mungkin karena postur tubuhku sedikit mirip orang Asia
Timur. Mereka susah membedakan antara Indonesia dan Malaysia, “Aku asli orang
Indonesia”. Mereka juga susah membedakan antara orang Indonesia, Philipina, Malaysia, dan
Thailand.
Aku juga pernah diduga sebagai orang China. “Tetapi jarang orang China memakai
vieil (kerudung)” Katanya. Ya kalau tidak orang Malaysia, mungkin orang Indonesia.
Kotaku dan kota mereka
Aku ingin membandingkan kota-kota kecil di kampungku dan kota-kota di Perancis.
Saat aku berkunjung ke kota Lille, aku ingat dengan kota Bukittinggi, maksudnya dengan
“menara jam gadang”. Kota Lille terdekat dekat perbatasan ke Belanda dan tidak jauh ke
Amsterdam. Di puat kota ada beberapa bangunan dan juga ada Jam Gadangnya. Aku bilang
pada teman “Di Sumatera juga ada kota dengan jam gadannya”.
“Juga ada ya...”
“Iya, ada jam gadang. Malah di kota Bukittinggi alamnnya lebih kaya. Kamu bisa
melihat gunung merapi tinggi, ada canyon (lembah) dan ada lobang Jepang (Japanese
Tunnel) juga kebun binatang. Kalau di sini hanya sebatas kota saja”.
“Perancis hanya banyak dataran. Kalau di Indonesia kita terbagi atas lima pulau
besar- Sumatra, Jawa, Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Celebes) dan Irian (Papoua). Di
tengah pulau kamu bisa menemukan gunung yang tinggi, lembah dan danau. Kalau di
Perancis cuma ada pegunungan Pyrenne. Relief alam Indonesia lebih kaya daripada Perancis.
Kalau begitu pemandangan alam kita lebih belok”.
A bientot Sorbonne...!!
Begitu selesai tesisku aku mungkin mengatakan a bientot Sorbonne- selamat tinggal
Sorbonne. Namaku tentu bakal jadi kenangan di sana dan aku tentu memiliki sweet memory
tersendiri. Aku harus pamit sama teman- teman dan mengatakan thank you karena sudah
banyak membantu sementara aku sendiri memiliki segudang keterbatasan.
Mereka bilang “Saya suatu hari aku juga ingin mengunjungi West Sumatra. West
Sumatra itu berapa lama perjalanan kalau dari Bali ?”. Ternyata titik poin perjalanan mereka
bukan Jakarta, tetapi Bali. Mereka lebih mengenal Bali dari pada Jakarta.
“Lumayan..yaitu dua kali naik pesawat. Pertama dari Bali Ke Jakarta dan yang ke dua
dari Jakarta ke West Sumatra. Jadi total waktu sekita 3 atau 4 jam”. Jawabku.
“Wah jauh ya....!! “ Kata mereka.
“Karena pulau kami terpisah-pisah diantara ratusan pulau besar dan kecil”
“Iya...saya suatu saat ingin ke Bali. Tentang Bali aku sudah banyak baca dari buku”.
Bali punya budaya yang sangat hidup dengan agama Hindunya. Mereka juga ingin melihat
daerah-daerah lain. Karena aku sudah memperkenalkan Sumatera, Minangkabau, dan
Batusangkar maka mereka juga ingin berkunjung ke sana.
Mereka juga memikirkan jarak antar destinasi. Misal mereka butuh waktu berapa
lama antara Padang dan Bukittinggi, antara Padang dan Batusangkar. Berapa lama menuju
Solok. Dan ternyata membutuhkan waktu yang lama dan tidak ada kereta api yang cepat.
Kalau memakai mobil bisa capek, padahal di Perancis juga ada voiture atau bis.
Di Perancis juga ada co-voiture, yaitu bis yang disewa bareng-bareng untuk mengatar
penumpang di suatu kota ke tempat mereka. Walau ada train, namun co-voiture lebih murah
dan praktis. Pemilik co-voiture memasang iklan diinternet, penumpang bisa buat janji dan
harga lebih murah, ya semacam mobil rental atau mobil travel bagi kita. Tetapi mobil travel
kita sudah diorganisir.
Menjadi mahasiswa magister di Perancis selalu membuat aku merasa seperti ABG
(Anak Baru Gede) alias remaja. Aku punya teman seperti Maud Petit, ia ketua kelas kami.
“Dengannya aku bercanda, aku mengatakan bahwa Maud di kampungku berarti Mort
atau mati”.
“O la la....astaga” Katanya. “Nama saya jadi seram di negaramu”, Katanya lagi. Dia
orangnya baik dan welcome sekali, ia sering jadi temanku saat presentasi kelompok dan dia
asli orang Perancis. Aku juga punya teman dari Amsterdam, namanya Willeke, dan dia paling
pintar di kelas. Terus juga ada Abdellah yang datang dari Aljazair. Veronica, ia berasal dari
Mexico, Catalina datang dari Spanyol.
Aku tidak punya teman akrab di seputar apartement. Di depan apartemen saja, aku
jarang bertemu teman yang tinggal di sana walau kamar kami saling berhadapan. Biasanya
kalau kami berpapasan mau masuk, kami hanya sekedar bertegursapa “Comment ca va ?-
Apa kabar ?” Kita juga saling ketemu di lift atau tangga tapi jarang atau tidak pernah ngobrol,
masing-masing menjaga privacy. Kami juga jarang ketemu tetangga bersebelahan karena
berbeda jadwal kegiatan.
Melewati waktu untuk kuliah memang terasa lama. Aku sering kangen dengan
kampung, kangen dengan orang tua. Kangen pada mama aku ekspresikan lewat masakan.
Kalau aku kangen rumah dan kalau di rumah mama paling gemar masak sampadeh, bubur
kacang ijo, ice cream, jadi aku juga bikin sendiri boleh like at home- terasa di rumah sendiri.
Saat aku memasak sampadeh atau bubur kacang ijo, lantas aku gagal, ya aku langsung
telpon mama. Aku juga belajar masak lewat buku kuliner. Jadi setelah berada di Perancis aku
jadi pintar memasak. Kalau berada dekat mama, aku jadi keenakan suka tahu beres saja. Kita
suka masak bareng-bareng, kalau buat diri sendiri ya lebih enak beli sendiri.
Di Peranncis, walau kita ada duit buat membelinya, tetapi rasanya kadang-kadang
tidak sesuai dengan lidah, ya lebih enak bikin sendiri. Jadi aku mengekspresikan rasa
masakan dengan masakan yang di rumah.
Untuk kebutuhan menelpon ke orang tua, aku mencari kartu yang menyediakan paket-
paket menelpon murah. Kalau pakai kartu biasa juga terasa mahal. Meskipun mahal harga
voucher telepon, tetap dibeli karena terasa sebagai kebutuhan untuk kontak dengan keluarga.
Soalnya di Perancis tidak ada yang bisa mendengar keluhan dan kegembiraanku, semua pada
sibuk dengan perasaan masing-masing.
Access internet di Perancis sangat lancar dan cepat. Apartementku juga dilengkapi
dengan access internet. Kelas dimana aku kuliah juga dilengkapi dengan internet. Kami tidak
perlu menunggu loading yang lama. Aku memanfaatkan access ini untuk berkomunikasi ke
Indonesia, termasuk melalui facebook. Rasanya kalau aku tidak access internet ke kampung,
aku merasa terasing sendirian di Perancis.
“Maaf...kalau di kampung kita untuk sinyal HP saja sering putus-putus, begitu pula
dengan sinyal internet loadingnya lama. Kadang untuk internet aku klik ya kemudian aku
makan dulu atau mandi dulu sambil menunggu loading yang cukup lama, Kalau di sana
tidak,...klik..klik....ya cepat jalannya”.
Di sana access internet lancar sekali. Begitu buka internet ya langsung aktif. Sehingga
teman-teman di Indonesia sering bilang “Ranti ..kamu pergi kuliah ..atau rekreasi di Perancis,
soalnya selalu OL (On line)”. Ya dua-duanya...belajar dan rekreasi, apalagi jurusanku gestion
de touristique- manajemen parawisata. Karena jurusannya pariwisata jadi kuliahnya jalan-
jalan.
Aku memang selalu OL. Setelah belajar cukup lama dari pagi hingga sore aku mencek
internet kalau-kalau ada pesan yang masuk. Sekali lagi bahwa OL itu penting agar
komunikasiku tidak putus dengan kampung. Kalau teman-teman kirim pesan lewat HP
harganya lebih mahal dan juga terbatas. SMS ke luar negeri harganya bisa Rp.1 000, sepuluh
kali SMS sudah sepuluh ribu. Dengan akses internet sangat mudah dan murah- pesan lewat
facebook, lewat yahoo, dan lain lain. Ini fasilitas gratis yang efektif, jadi harus dimanfaatkan
tiap hari. Kalau aku sibuk sekali dengan kuliah dan buat tugas, aku buka internet sekali tiga
hari, aku selalu bawa laptop atau netbook agar selalu bisa meng-accessnya.
Berpisah dengan kamar
Selama tinggal di Perancis, kamarku atau apartemen adalah tempat yang paling
nyaman bagiku. Disana aku memperoleh rasa rileks dan nyaman. Akhirnya aku harus
berpisah dengan kamar tersebut.
Aku merekam dulu kamar itu sebelum aku berkemas dan membersihkannya. Kamar
tersebut harus bersih, kaca-kaca dan dinding. Sebelum aku enter kamar tersebut, pemilik
apartement memperlihatkan suasana kamar yang bersih dan kondisi semua fasilitasnya.
“Lampunya bagus, kulkas dan dapurnya bagus. Kamar mnandi dan showernya bagus.
Itu semua dicek lagi. Jadi sebelum kita enter de lieu- masuk atau keluar dari tempat kita harus
verifikasi lagi”.
“Kapan aku harus enter de lieu”. Aku harus membersihkan kamar, mengosongkan
kamar lagi seperti kondisi sebelum masuk kamar itu. Kamar tersebut harus direkam dulu,
kemudian dibandingkan after dan before. Biasanya bila kita masuk ke suatu resident, kita
juga menyerahkan sejumlah uang jaminan sebagai jaminan. Kalau tiba-tiba dalam satu
minggu atau satu bulan ada kerusakan, maka uang jaminan kita akan dikurangi.
Saat aku datang ke Sourbon, sebelum musim dingin, maka aku membawa banyak
pakaian persiapan musim dingin. Tentenganku agak banyak, aku membawa abon, rendang,
beras dan juga rice cooker untuk memasak. Di sana juga ada rice cooker tetapi ukurannya
terlalu besar. Nah saat aku mau pulang barang-barang tersebut harus aku tinggalkan karena
memerlukan banyak tempat di pesawat, atau tidak diizinkan untuk membawa barang yang
lebih.
Aku juga membeli perlengkapan selama tinggal disana, seperti sepatu boot yang tebal
untuk musim. Itu hanya aku pakai selama musim dingin- dua bulan dan masih sangat bagus.
Aku harus mencari teman untuk menyerahkan barang-barangku yang masih bagus bagus
“Sepatu, kamus, buku-buku kuliah yang mahal, pakaian harus aku tinggalkan di sana
karena bagasi di pesawat sangat terbatas, karena kita juga harus membawa banyak oleh-oleh.
Meskipun sebahagian oleh-oleh juga sudah dikirimkan lewat post meskipun harganya
mahal”.
Saat aku mempaskan barang-barang ke bagasi, aku mensortir baju, pakaian, buku-
buku dan hal-hal lain. Jadi benda-benda yang aku fikir tidak akan berguna di Indonesia ya
aku tinggalkan.
Aku harus mencari teman yang membutuhkan.
“Hello ini aku..Ranti, aku ada kamus, ada buku kuliah, ada boot dan baju buat musim
dingin...kamu butuh, pakai ya...dan jangan dibuang...!”
Biasanya tawaran gratis ini dilempar ke milling list PPI. Namun aku tidak
melemparnya ke milling list, karena sudah ada teman-teman yang memesannya. “Aku besok
booking selimut dingin dan kamus ya...!” Ya aku berikan ke teman-teman secara gratis.
“Ini boot masih bagus tolong dipakai ya,...ini juga ada rice-cooker....tolong
dipakai...jangan dibuang”. Aku mencari teman-teman yang butuh item-item tersebut.
Saat aku datang ke Perancis aku merasa banyak bingung dan saat aku mau balik ke
Indonesia aku juga banyak merasa bingung.
“Rasanya hal-hal yang aku inginkan sebelumnya sudah terlewati dan aku tidak punya
waktu yang banyak untuk membuat sweet memory yang lain. Aku tidak tahu entah kapan ke
Perancis lagi”.
Aku butuh waktu untuk mengakhiri dan menghentikan berbagai hal. Saat aku sampai
di Perancis aku membuka- membuka-membuka berbagai akses dan begitu mau pulang aku
harus menutup- menutup- menutup akses itu lagi. Pada saat pertengahan term aku
memperpanjang- mempepanjang- memperpanjang berbagai akses.
“Aku harus menutup aksesku sebagai anggota perpustakaan, menutup akses dari
apartemen, menutup akses sebagai anggota mahasiswa di Sorbonne”.
Saat terakhir aku menutup kamarku di apartemen aku melihat ke belakang dulu.
Tetapi teman-temanku tidak, mereka menguncinya dan langsung kabur. Kalau aku mengunci
dan merekamnya lagi.
“Je suis triste- aku merasa sedih, sedih sekali”. Biasanya disaat kita mau pergi kita
tidak boleh melihat ke belakang lagi. Katanya agar mereka tidak jadi ragu.
Karena kami datang dengan grup dan mengakhiri kuliah dalam grup dan pulang juga
dengan grup, maka kesedihan tidak begitu mendalam, merasa sedih ya tentu saja. Kita
berbagi kesedihan bersama-sama. Teman-teman PPI yang ada disana juga mengantarkan
kami sampai ke airport. Lagu “Champ D’ellysse- jalan terindah di dunia” selalu menggema
dalam fikiraku. Sedih banget perasaanku.
Aku suka dengan Champ D’ellysse. Aku sering jalan-jalan di sana, ada pusat
pertokoan yang hardanya mahal. Aku suka melihat Champ D’ellysse di malam hari karena
lampu warna-warni sangat menakjubkan. Aku melangkan dan melantunkan senandung
Champ D’ellysse yang sudah aku pelajari saat mengikuti kursus bahasa Perancis dulu.
“Aku sempat sedih. Namun di saat pertengahan kuliah aku sempat jenuh. Kalau di
Udayana kuliah terasa lebih nyaman. Sebetulnya kuliah di Sorbonne tidak berat dan yang
berat itu adalah cara hidup di Perancis itu. Kita harus struggle, meskipun cuacanya dingin,
ada salju..kita harus mengurus surat-surat ke kampus atau ke luar untuk cari makan. Hidup
memang berat anak mami (anak manja) mungkin tidak bisa hidup di sana”.
“A biento perancis.......!!”
Kesedihanku meninggalkan Perancis disambut oleh kegembiraanku menuju kampung.
Bahwa di sana ada orang-orang yang sangat mencintaiku sedang menunggu kedatanganku.
Sedihku dengan Perancis karena aku tidak tahu entah kapan mau kesana lagi. Di saat separoh
jalan aku masih bersedih “aduh kapan ke Paris lagi”.
Oh sudah dekat ke Indonersia dan aku lupa dengan kesedihan. Perasaan ini pelan-
pelan digantikan oleh kehangatan sambutan dari mama, papa, adik dan kakak yang sedang
menungguku. Pesawat yang aku tumpangi penuh dengan orang-orang manca negara. Pesawat
tersebut milik maskapai penerbangan Malaysia. Jadi ia terbang dari Perancis terus ke
Malaysia dan dari Malaysia transit ke Jakarta.
Tiket ku dari Perancis dibayarkan oleh Dikti, ya penerbangan dari Perancis ke
Jakarta. Papa dan uni menyambutku yang datang dari Padang. Ternyata aku yang mendarat di
Jakarta duluan dan aku menyambut papa dan uni yang datang dari Padang. Penerbangan
mereka sedikit tertunda karena terjebak macet.
“Ha..ha...jadi akulah yang datang dari Perancis menunggu kedatangan papa dan uni,
pindah terminal dan menyambut mereka”. Jadi suasana menjadi terbalik.
“Yang akan dijemput menjadi menjemput”.
Aku kemudian ke Dikti, dan butuh istirahat sebentar satu atau dua hari. Kami
kemudian menuju Padang dan papa berangkat lebih duluan.
“Judul ceritanya: papa menjemput anaknya tapi kok tidak terbawa..? ha ha”. Itu
karena papa cuma punya waktu dua hari dan harus balik lagi. Sementara itu aku harus
mengurus prosesdur laporan perkuliahan di Sorbonne ke Dikti, jadi tentu aku butuh waktu.
Akhirnya hari berikutnya aku terbang ke bandara internasinal Minangkabau di Padang dan
terus menuju kampungku, Padang Ganding, tentu saja aku disambut sangat hangat oleh
mama, papa dan semua keluarga besarku. Terimakasih atas cintamu semua padaku.
BAB X. CATATAN RINGKAS TENTANG TINGGAL DI PERANCIS
Terima kasihku
Apa yang akan terjadi esok kita tidak akan pernah tau, tapi kita hanya bisa
merencanakan dan berdoa semoga kita tergolong kedalam orang-orang yang beruntung
dimana hari ini lebih baik dari hari kemaren dan hari esok lebih baik dari hari ini.
Alhamdulillah saya merasakan sebagai salah satu dari kumpulan orang yang beruntung
karena bisa masuk dalam program DDIP (Double Deggre Indonesia Perancis). Program ini
diselenggarakan oleh DIKTI.
Keberhasilanku tentu berkat doa dan dukungan dari kedua orang tuaku. Mereka
adalah papaku, Yuhasnil (seorang guru Olah Raga di SMP N 3 Batusangkar) dan mamaku,
Warni (seorang guru Bahasa Indonesia di SMA N 1 Padang Ganting) serta keluarga besar
tercinta. Pengalaman selama lebih kurang satu setengah tahun menjalani kehidupan sebagai
mahasiswa Pascasarjana (1 tahun di Universitas Udayana Bali, program Studi Magister
Kajian Pariwisata, dan 5 bulan di Sorbonne University Paris 1, Gestion des Activités
Touristiques et Hôtelières ) membuat aku menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari
sebelumnya.
Betapa tidak, aku sebagai lulusan sarjana Sastra dan Bahasa Inggris, melanjutkan
Master dibidang “Kajian Pariwisata” dan “Manajemen Pariwisata dan Perhotelan” yang
tentunya menambah ilmu dan wawasan saya pada disiplin ilmu yang berdeda dengan latar
belakang Sarjanaku sebelumnya.
Ini mampu memacuku agar lebih giat lagi untuk mempelajari ilmu yang sangat baru
bagiku, karena aku memiliki tanggung jawab untuk membagikan ilmu kepada mahasiswa
dan mahasiswiku di Politeknik Negeri Padang nanti. Aku berharap semoga aku bisa
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga bermanfaat bagi diri sendiri,
bagi lembaga, masyarakat, nusa, bangsa dan agama.
Universitas Sorbonne
Universitas Paris I Pantheon-Sorbonne (Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne)
adalah sebuah universitas di Paris, Perancis tempat aku melanjutkan Master 2 pada tahun
kedua Program DDIP ini bersama 4 orang mahasiswi lainya, setelah satu tahun yang lalu di
Universitas Udayana.
Dalam melewati hari-hari selama belajar di Paris, aku memperoleh banyak
pengalaman, yaitu bagaimana sistem perkuliahan, cara mengikuti pelajaran dan berinteraksi
dengan dosen serta teman-teman yang memiliki perbedaaan dalam Budaya.
Aku mengambil beberapa mata kuliah dalam kajian parawisata. Matakuliah yang
diambil dibagi dalam beberapa unit, dimana masing-masing unit terdapat beberapa
matakuliah yang lebih merujuk ke jurusan kita lagi. Dalam mengikuti proses belajar di kelas,
awalnya aku mengalami masalah dalam berdiskusi dengan teman-teman dan para dosen. Ini
karena kemampuan bahasa Perancisku yang sangat “pas-pasan”.
Soalnya sebelumnya aku baru belajar bahasa Perancis lebih kurang sembilan bulan,
dan juga tidak semua teman- teman di Universitas Sorbonne yang fasih menggunakan bahasa
Inggris. Pada hal bahasa Inggris bisa jadi bahasa alternatif karena sebagai Internasional.
Pada umumnya mereka mengerti bahasa Inggris tetapi mereka lebih memilih untuk
menggunakan bahasa negara- yaitu Bahasa Perancis.
Mereka berbahasa Perancis sebagai wujud penghargaan dan kecintaan terhadap
negaranya sendiri. Maka awalnya aku berusaha untuk mengikuti perkuliahan dengan
mencatat pointpoint penting yang bisa aku tangkap dari penjelasan dosen. Tapi aku sering
kehilangan beberapa kata, dan aku minta bantuan teman-teman yang ada di samping untuk
membantuku melengkapi ketertinggalan pada catatanku.
Pada umumnya merekan sangat bersahabat dan mau membantu siswa asing yang
menuntut ilmu di negeri mereka. Tapi kalau terus-menerus dan lama-lama juga bisa
mengganggu konsentrasi mereka, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk meminjam
catatan salah seorang dari mereka untuk melengkapi cacatanku yang sering tertinggal pada
setiap mata kuliah yang aku ikuti.
Catatan perkuliahan: Pertemuan pertama, catatan kosong, dan Pertemuan kedua,
sedikit aku sudah bisa mengikuti perkuliahan, meskipun aku perlu menterjemahkannya
kedalam bahasa Indonesia. Aku punya beberapa point yang tertinggal dan aku membuat
“Note” apa yang harus dilakukan untuk lebih memahami materi.
Kejenuhan
Selain itu, masalah yang aku alami dalam perkuliahan adalah juga kejenuhan dan
kelelahan karena pertemuan yang lumayan lama, rata-rata satu kali pertemuan itu berkisar
antara 3 sampai 4 jam. Ada juga yang 5 jam bahkan 6 jam satu kali pertemuan tapi jarang
sekali, dan bahkan aku pernah punya pengalaman satu kali pertemuan pada satu mata kuliah
dimulai dari pukul 09:00 pagi dan berakhir pada pukul 20:00 malam. Oleh karena itu aku
mengatasi dengan membawa bekal cemilan dan minuman, karena perkuliahan dimulai dari
pukul 09:00 pagi dan berakhir pada pukul 19:00 atau pukul 20:00 malam untuk tiga mata
kuliah dalam sehari.
Namun demikian, ada kalanya aku merasa berlalu tidak terasa karena didalam kelas
juga sering terjadi semacam diskusi antara mahasiswa dan dosen yang mampu mencairkan
suasana dari kejenuhan, sehingga topik pada hari itu menjadi lebih hangat dan menarik untuk
dikaji. Karena mereka bebas berpendapat berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing
tentang apa yang berhubungan dengan materi yang disampaikan oleh dosen.
Apa lagi kalau mata kuliah yang pematerinya didatangkan khusus dari perusahaan
yang sudah sukses dan berkecimpung langsung di lapangan, sehingga pembahasan menjadi
lebih mengena (touching) karena dikaji dengan teori yang ada dan kemudian dibandingkan
dengan apa yang ada di lapangan berdasarkan pengalaman si pemateri. Meskipun aku tidak
terlalu paham karena aku baru mendapatkan ilmu mengenai manajemen pariwisata dan
perhotelan, sehingga apa-apa yang berhasil aku tangkap dan pahami adalah merupakan suatu
pengetahuan yang baru bagi ku.
Meskipun banyak hambatan-hambatan yang aku alami dalam mengikuti perkuliahan
di Sorbonne, namun tidak menyurutkan semangatku untuk tetap menjadi pribadi yang lebih
baik. Itu disebabkan dalam diri ku sudah tertanam semangat struggle- berjuang bahwa untuk
sampai ke Perancis tidaklah mudah bagi ku, sudah banyak halangan, rintangan dan
pengorbanan yang aku lalui.
Seperti waktu setahun yang lalu dimana aku berjuang untuk tetap menegakkan
kepala dan melangkahkan kaki untuk menghadapi hari-hari yang sangat melelahkan. Untuk
mendapatkan gelar Master di Universitas Udayana Bali dalam satu tahun, program S2 yang
seharusnya dijalani dalam kurung waktu kurang lebih dua tahun atau empat semester
dijadikan satu tahun dan dipadatkan menjadi dua semester saja.
Dimana pada semester satu aku mengambil beban 16 SKS dan alhamdulillah IP
Semesterku 3,75 dan pada semester ke dua aku mengambil beban 20 SKS dan IP Semesterku
3,50. Pada semester ke dua adalah masa-masa terberat bagi ku, dimana beban SKS yang
lebih banyak dan jadwal perkuliahan yang padat serta tugas-tugas yang menumpuk sangat
menyita waktu ku. Pada saat inilah aku baru merasa 24jam tidak lah cukup untuk
menyelesaikan segala sesuatunya dalam satu hari.
Belum lagi pelajaran bahasa Perancis yang semakin hari semakin memperlihatkan
keistimewaananya dengan perbedaan masing-masing artikel pada tiap-tiap objek kata benda,
namun tetap harus dihadapi dan dijalani. Kuliah yang dimulai dari hari Senin sampai Jumat
setiap minggunya dari pukul 08:00 pagi sampai pukul 12:00 siang. Kemudian dilanjutkan
dengan kursus bahasa Perancis dari Senin sampai Jumat dari pukul 14:00 siang sampai
pukul 16:30 sore.
Weekend yang Kelabu
Aku tidak punya weekend dan weekendku terasa kelabu. Untuk weekendpun
jadwalku sudah terisi penuh dengan tumpukan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen-dosen
dari Universitas Udayana dan tidak kalah staf pengajar bahasa Perancis yang dengan senang
hati memberikan latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Perancis kami.
Dengan pengalaman kurang lebih satu tahun di Indonesia dalam mengikuti program
DDIP ini, setidaknya sudah melatih ku untuk menghadapi bagaimana menjalani hari-hari
yang super sibuk dan membuat ku lebih berjuang di Paris.
Karena jarak antara logement tempat ku tinggal lumayan jauh dari kampus, yang
memakan waktu kurang lebih 45 menit naik metro (kereta bawah tanah). Meskipun
memakaan waktu yang cukup lama diperjalanan dalam metro sebelum ke kampus, tapi aku
masih bersyukur karena masih bisa tinggal didalam zona 1. Karena di Paris (zona 1 dan 2)
tidaklah mudah untuk mendapatkan tempat tinggal apalagi dengan harga yang murah. Aku
mendapatkan tempat tinggal ini bukan dengan cara yang mudah, butuh usaha, kerja keras
dan kesabaran karena sebelumnya aku tidak mendaftar untuk menjadi penghuni di asrama
dibawah naungan CROUS ini. Padahal untuk menempati asrama ini kita sudah harus daftar
online lebih kurang satu tahun sebelumnya.
Sebelum mendapatkan tempat tinggal ini, aku diberikan voucer menginap untuk dua
hari di hotel oleh CNOUS setelah daftar diri di kantor CNOUS yang ada di bandara. Setelah
itu saat melaporkan diri ke KBRI Perancis, salah satu pegawai KBRI memberikan alamat
orang Perancis yang biasa menyewakan kamar untuk lima orang sekaligus untuk kami
setelah batas waktu menginap di hotel habis.
Tapi daerah itu lumayan jauh karena berada di luar paris yaitu zona tiga, dimana
memakan waktu kurang lebih dua jam untuk perjalanan ke kampus. Ini disebabkan harus naik
Bus ke gare (stasiun), kemudian naik RER (yang menghubungkan dari zona dalam dan luar
Paris), lalu naik metro (kereta bawah tanah yang menghubungkan dalam Paris yaitu untuk
zona 1 dan 2).
Setelah dua minggu di sana, akhirnya pihak kampus berhasil mendapatkan tempat
tinggal yang lebih dekat jarak tempuhnya dengan kampus setelah kami ceritakan kesulitan-
kesulitan yang dialami karena berdomisili di luar Paris. Dimana tempat tinggal ini dikelola
oleh CROUS yang memang disediakan untuk fasilitsas para pelajar, baik itu pelajar yang
berkewarganegaraan Perancis sendiri maupun pelajar yang bukan berkewarganegaraan
Perancis seperti aku.
Setelah mendapatkan tempat tinggal yang tetap dengan menandatangani kontrak dan
membayar uang jaminan tentunya, barulah bisa mengurus segala sesuatunya karena di
Perancis segala urusan di kirim via pos dan itu artinya alamat tetap sangat diperlukan untuk
tinggal di negara Perancis. Seperti halnya untuk alat bayar transportasi ( Metro dan RER)
diperlukan tiket, ada yang berlaku satu kali jalan, tiket sehari, dua hari, tiga hari, weekend
dan ada juga untuk mingguan atau bulanan, dan bahkan tahunan.
Di Paris tersedia banyak jenis tiket untuk pembayaran alat transfortasi yang kita
tumpangi. Mulai dari tiket satu kali jalan yang tentu harganya lebih mahal dibandingkan
harga tiket untuk satu hari perjalanan (mobilis). Ini Disebabkan aku berdomisili di Paris
dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun, maka aku memilih untuk menggunakan kartu
Navigo mingguan sebelum aku bisa mengurus Navigo bulanan.Karena syarat untuk mengurus
Navigo bulanan diperlukan kartu mahasiswa dan bukti surat kontrak tempat tinggal tetap
kita.
Selain itu, setelah mendapatkan surat kontrak tempat tinggal tetap barulah aku bisa
mengurus kartu Bank. Selain berfungsi sebagai alat penyimpanan uang dan pembayaran,
kartu Bank juga sangat penting fungsinya untuk mengisi saldo pada kartu mahasiswa untuk
berbagai keperluan salah satunya untuk mencuci di mesin resident- tempat tinggalku.
Karena terdapat perbedaan harga jika kita mencuci di mesin yang disediakan di resident
dengan mesin di luar yang memang digunakan oleh umum.
Setelah melalui proses belajar hampir satu semester di Universitas Paris I Pantheon-
Sorbonne yang dimulai dari bulan September dan berakhir pada bulan Januari, jadwal ujian
diadakan dalam satu minggu. Untuk mencapai kelulusan, skor nilai yang harus dicapai
minimal adalah 10/20 dalam tiap-tiap mata kuliah. Seperti nilai ku pada mata kuliah
Développement Touristique Durable” yang diajarkan oleh Madame Clothilde Luquiau, aku
mendapatkan nilai 12/20. Bagi namanya yang tidak tampil atau kolom namanya kostong, itu
berarti nilainya kurang dari 10/20 yang berarti tidak lulus dalam mata kuliah ini.
Di sela-sela aktifitas di kampus, aku menyempatkan diri untuk ikut berpartisipasi
dalam acara-acara yang diselanggarakan oleh pihak KBRI Perancis. Baik itu dalam bidang
ilmu pengetahuan maupun dibidang lainnya seperti seni dan budaya sebagai wujud cinta
akan negara Republik Indonesia.
Mencari Kesibukan Positif
Meskipun baru satu bulan aku menginjakkan kaki di negeri Napoleon ini, aku sudah
aktif berpartisipasi di dalam bidang keilmuan. Aku mengikuti “Lomba Karya Tulis Ilmiah”
(LKTI) yang diselenggarakan oleh PPI Perancis dimana pesertanya berasal dari seluruh
pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di negara Perancis. Lomba ini diselenggarakan dalam
rangka memperingati hari “Sumpah Pemuda” yang diadakan pada akhri bulan Oktober 2010
sampai awal bulan November 2010. Alhamdulillah aku termasuk kedalam tujuh besar finalis
yang akan melalui tahap penyeleksian berikutnya.
Selain dalam bidang keilmuan, aku juga ikut serta berpartisipasi aktif dalam bidang
seni dan budaya yang diselenggarakan oleh KBRI Perancis. Pada minggu ke dua di kota
Paris aku menjadi penanti tamu dengan menggunakan kostum daerah ku yaitu “baju kuruang
dan tangkuluak tanduak” (pakaian adat suku Minangkabau, Sumbar) di rumah Kedutaan
Besar Republik Indonesia.
Acara yang diadakan di rumah KEDUBES Perancis ini mengundang seluruh
perwakilan KEDUBES dari negara-negara lain yang ditugaskan di Perancis. Didalam acara
ini selain menjadi penanti tamu, aku sekaligus mempromosikan budaya Indonesia khususnya
budaya Minangkabau tempat aku dilahirkan. Para perwakilan KEDUBES dari negara lain
sangat tertarik dengan kostum yang aku pakai, terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang
mereka ajukan mengenai suku Minangkabau dan meminta untuk berfoto bersama dengan
mereka. Suatu kesempatan yang luar biasa bagi ku bisa menjadi duta budaya bagi Indonesia
untuk mempromosikan kekayaan yang tak ternilai harganya dengan keragaman suku-suku
yang kita miliki di Indonesia.
Dalam acara “Soirée d'integration PPI-INALCO 2010” (INALCO adalah Institut
Bahasa-bahasa dan Kebudayaan Timur yang ada di Perancis) yang diadakan di dalam
ruangan balai budaya kantor KBRI Perancis pada bulan Desember 2010 lalu, aku juga ambil
peran dengan ikut serta mengisi acara dengan menampilkan “Tari Indang” yaitu tarian
daerah yang berasal dari daerah Minangkabau. Acara ini diadakan dalam rangka inaugurasi
INALCO (Institut Bahasabahasa dan Kebudayaan Timur) sekaligus malam keakraban
dengan PPI yang merupakan Perhimpunan Pelajar Indonesia Perancis. Sehingga diharapkan
rasa saling menghargai antar sesama dapat lebih terwujud lagi.
Pada acara ini tari indang yang juga disebut tari dindin-badindin ini merupakan
suatu bentuk sastra lisan yang disampaikan atau ditampilkan secara berkelompok sambil
berdendang dan memainkan rebana kecil dimana ditampilkan sebagai pembuka acara.
Selain berkesempatan menampilkan budaya Indosesia di sini aku juga mendapatkan banyak
pengetahuan mengenai budaya Perancis. Karena acara ini berisikan kegiatan-kegiatan yang
ditampilkan oleh mahasiswa-mahasiswa baik dari negara Indonesia maupun dari negara
Perancis.
KBRI ( Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Perancis tidak hanya berfungsi
sebagai tempat menyalurkan kemampuan dalam bidang keilmuan (seperti mengikuti Lomba
Karya Tulis Ilmiah), seni serta budaya, tapi juga merupakan rumah kedua bagi ku. Betapa
tidak di sinilah segala sesuatu mengenai Indonesia masih kental terasa meskipun berada jauh
dari negara Indonesia.
Staf-sataf yang bekerja di KBRI Perancis sangat mencerminkan budaya Indonesia di
mana masyarakat yang terkenal dengan keramahannya. Mulai dari satpam yang selalu
menyapa hangat tiap kali aku berkunjung kesana, serta pelayanan- pelayanan lainnya yang
berhubungan dengan administrasi kita selama berdomisili di Perancis.
Selain itu, KBRI Perancis juga menyelenggarakan kegiatan untuk program
keagamaan. Seperti mengadakan sholat Idul Adha bagi umat muslim serta mengadakan
acara-acara dalam rangka memperingati hari-hari besar keagamaan lainnya seperti Natal dan
lain-lain.
Mengenal Perancis
Tidak hanya mencoba menggali dan menambah ilmu terpaku pada Universitas Paris I
Pantheon-Sorbonne dan KBRI Perancis saja, aku juga tidak menyia-nyiakan kesempatan
yang hanya berkisar kurang lebih satu tahun di Perancis dengan mengunjungi tempat-tempat
pameran yang diadakan di Paris. Seperti dalam pameran “SPECTACULAIRE LA FETE
DES SORTIE CULTURELLES” yang menawarkan stan-stan mengenai budaya negara
Perancis, dimana aku kunjungi pada minggu pertama aku sampai di negara sejuta cahaya ini.
Paris adalah kota tujuan turis paling populer di dunia, selain itu aku juga pernah
membaca di dalam salah satu situs Internet yang mengatakan bahwa Paris hari ini menjadi
salah satu pusat bisnis dan budaya terdepan di dunia, dan campuran politik, pendidikan,
hiburan, media, fashion, sains dan seni semuanya membantu statusnya sebagai salah satu
kota global terbesar di dunia.
Hal ini semakin membuat aku tertarik untuk mengetahui tentang segala aspek pada
umumnya (seperti politik, pendidikan, hiburan, media, fashion, sains dan seni) serta
pariwisata khususnya di Paris. Dimana dengan mengunjungi pameran-pameran yang
diadakan di Paris, aku merasakan kegiatan itu tidak hanya mampu menambah wawasan ku
tapi juga mampu membuka lebih lebar lagi pandangan ku.
Olah Raga
Diselang beraktifitas untuk menggali ilmu dan mendapatkan pengalaman lebih
banyak lagi di negeri orang, aku tidak lupa menyempatkan diri untuk berolah raga lebih
kurang dua jam per minggu. Karena tanpa organ tubuh yang sehat, maka kegiatan aku
selama di sini tentu akan terganggu dan tidak akan maksimal.
Memang tanpa sadar selama ini kita sudah menjaga kesehatan otak melalui
membaca, karena membaca merupakan latihan otak yang bagus dan sangat efektif untuk
mencegah kepikunan. Tapi bagi ku harus diimbangi juga dengan aktivitas fisik yang bisa
mencegah penuaan seperti joging dan jalan kaki karena olahraga favorit ku adalah jogging.
Di mana kegiatan olah raga joging maupun jalan kaki dapat memperlancar sirkulasi
oksigen, peredaran darah dan distribusi nutrisi ke seluruh anggota tubuh kita. Sehingga
secara otomatis, selain sehat fisik, otak pun mendapat cukup oksigen, darah dan nutrisi.
Biasanya pada semester yang lalu aku meluangkan waktu untuk joging pada hari
rabu atau jumat, dikarenakan jadwal kuliah ku dari senin, selasa dan rabu, serta sabtu untuk
kelas bahasa Perancis dan bahasa Inggris. Untuk kegiatan olah raga ini aku tidak perlu
melakukannya jauhjauh, karena di depan tempat tinggal ku terdapat taman yang cukup luas.
Taman ini selain menyediakan tempat untuk bermain anak-anak, juga fasilitas olah raga
lainnya seperti tempat berbain basket, tempat bermain footsall, serta rute untuk joging.
Sehingga membuat ku selalu bersemangat untuk berolah raga meskipun.
sudah akhir musim gugur yang udaranya sudah mulai dibawah 10°C. Pada musim
dingin dimana jalan-jalan sudah mulai sering ditutupi oleh salju dan udara yang sudah tidak
bersahabat lagi, aku lebih memilih melakukan olah raga didalam ruangan resident ku saja.
Dengan melakukan senam erobik yang bisa di download lewat youtobe dan tentunya tetap
bisa menjaga tubuh ku agar tetap sehat dan bisa beraktifitas meskipun sudah masuk musim
dingin.
Objek Wista Paris
Sebagai mahasiswa yang menimba ilmu mengenai Manajeman Pariwisata dan
Perhotelan di Universitas Paris I Pantheon-Sorbonne maka ku berkewajiban untuk
mengetahui keistimewaan kota Paris dari sudut pandang pariwisata, selain itu juga untuk
menambah wawasan ku tentang aspek-aspek kehidupan di negara Perancis. Beberapa objek-
objek wisata terfavorit yang telah aku kunjungi di Paris:
Museum Luvre
Museum Luvre (Musée du Louvre) merupakan salah satu museum terbesar dan paling
terkenal di dunia. Gedung ini adalah bekas sebuah istana bangsawan yang terletak di pusat
Perancis. Louvre menjadi salah satu daya tarik terbaik di Paris karena istana itu sendiri
mencerminkan kekayaan sejarah pada abad pertengahan sampai sekarang.
Di taman Museum Louvre, terdapat piramida louvre yang merupakan sebuah
piramida kaca dan besi yang besar dimana dikelilingi oleh tiga piramida kecil. Piramida
utama yang paling besar berperan sebagai pintu masuk utama ke dalam museum, namun
tidak mampu menangani jumlah pengunjung yang banyak setiap hari. Sehingga dibangunlah
piramida dan lobi bawah tanah agar pengunjung bisa masuk melalui lobi yang luas dan bisa
naik ke bangunan utama Louvre. Di dalam museum ini terdapat barang antik Mesir, Yunani
dan Romawi, lukisan, patung abad pertengahan, seni dari Renaissance dan seni modern,
lukisan Mona Lisa karya Lepnardo da Vinci 500 tahun yang lalu serta kitab Isra-Mi‟raj
bergambar karya pelukis Persia 800 tahun yang lalu.
Menara Eiffel
Menara Eiffel merupakan sebuah menara besi yang telah menjadi ikon global
Perancis yang terkenal di dunia. Setiap wisatawan pada umumnya memprioritaskan untuk
mengunjungi menara eiffel pada hari pertama mereka berwisata di kota Paris. Menara Eiffel
merupakan menara tertinggi di dunia hingga tahun 1930 yang kemudian digantikan oleh
gedung Chrysler di New York.
Dari puncak Menara Eiffel kita bisa menikmati pemandangan kota Paris yang dapat
diakses dengan lift. Dari platform pertama atau kedua tangga dibuka bagi semua wisatawan
yang naik dan turun, ini juga tergantung apabila mereka telah membeli tiket lift atau tiket
tangga.
Di sekitar Menara Eiffel banyak terdapat tempat-tempat yang menarik untuk
dikunjungi. Apabila kita mengunjungi Menara Eiffel dengan menggunakan Merto (kereta
bawah tanah) yang arah keluarnya dari stasiun Trokadero, maka akan terlihat Menara Eiffel
pencakar langit yang mengah.
Di dekat Menara Eiffel juga terdapat taman yang sangat luas. Taman ini tidak hanya
dimanfaatkan oleh para wisatawan untuk beristirahat sejenak, bahkan juga dijadikan sebagai
tempat berkumpul orang Perancis yang sudah lanjut usia. Pada umumnya mereka
memanfaatkan taman ini sebagai tempat perkumpulan seusia mereka. Mereka berkumpul
sambil berbagi cerita, bahkan mereka bermain bersama seperti bermain catur, kartu, dan
lempar bola besi.
Arc de Triomphe dan Champs-Elysées
Arc de Triomphe yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Gapura
Kemenangan, merupakan suatu monumen di Paris yang terletak di ujung barat wilayah
Champs-Élysées. Monumen ini dibangun atas dasar perintah dari Napoleon Bonaparte yang
bertujuan untuk menghormati jasa tentara kebesarannya.
Arc de Triomphe merupakan salah satu monumen paling terkenal di kota Paris dan
berada tepat di tengah konfigurasi persimpangan jalan raya berbentuk bintang lima. Champs-
Élysées merupakan salah satu jalan yang paling terkenal di dunia dimana Champs-Élysées
dikenal sebagai “La plus belle avenue du monde “ yang artinya jalan terindah di dunia.
Jalan ini memiliki panjang 2 kilometer dan juga sangat populer dengan orang-orang kaya dan
terkenal. Serta menjadi strip real estat termahal kedua di dunia dan real estat termahal
pertama di Eropa.
Kita bisa menikmati Champs-Élysées dengan berjalan kaki dari Arc de Triomphe
sampai ke Place de la Concorde yang ditempuh dengan jarak 2 kilometer. Place de la
Concorde merupakan alun-alun di kota Paris, dimana di setiap sudut dari oktagon alun-alun
adalah patung, yang menandakan kota-kota di Perancis yaitu Lille, Strasbourg, Lyon,
Marseille, Bordeaux, Nantes, Brest dan Rouen.
Cathédrale Notre-Dame
Cathédrale Notre-Dame atau juga biasa dikenal dengan Notre Dame de Paris,
merupakan sebuah katedral megah yang dibangun di pinggir Sungai Seine, Paris.Dalam
Bahasa Perancis Notre Dame memiliki arti Bunda Kami dan ini merupakan geraja yang
dibangun untuk dipersembahkan kepada Bunda Maria.
Katedral ini terkenal di dunia karena dibangun dengan gaya arsitektur gothehic
Perancis yang megah. Selain itu, di depan Katerdral terdapat Ground Zero dimana berfungsi
sebagai tempat menghadap ke Cathédrale Notre-Dame dan memohon doa untuk
pengampunan bagi mereka yang beragama Kristen.
Namun disisi lain, terdapat kepercayaan bagi para wisatawan yang berkunjung ke
sana, mereka beranggapan bahwa jika berdiri diatasnya dan menghadap ke arah depan
Cathédrale Notre-Dame maka suatu hari nanti mereka pasti akan kembali lagi ke sana. Ada
juga beberapa wisatawan yang berdiri dan memejamkan mata sambil berdoa dan berharap
doanya akan terkabul setelah itu.
La Mosquee de Paris
La Mosquee de Paris adalah mesjid terbesar di negara Perancis. Mesjid ini merupaka
mesjid tertua yang dibangun pada tahun 1922 dengan menggunakan arsitektur Islam
Spanyol. Mesjid ini dibangun oleh pemerintah Perancis sebagai balas budi kepada muslim
Maroko dan Aljazair yang telah bertempur dipihak Perancis pada masa perang dunia
pertama.
Mesjid ini juga mamiliki menara yang tingginya 30 meter, serta di dalam mesjid
terdapat makam imam mesjid pertama yang terkenal karena melindungi orang-orang Yahudi
di ruang bawah tanah sewaktu Hitler menduduki kota Paris.
Di dalam komleks mesjid terdapat perpustakaan Al-Azhar, dan juga terdapat taman
yang menyejukkan mata sewaktu kita memasuki pintu utama Mesjid ini. Serta di depan
mesjid juga terdapat toko muslim yang menjual aksesoris muslim mulai dari Alquran,
terjemahan, sajadah, dan lain-lain.
Di negara Perancis agama terbesar ke dua adalah agama Islam. Di mesjid inilah
pertama kalinya aku melakukan sholat Jumat berjamaah, serta umat Islam di sini khususnya
bagi kaum perempuan menunaikan kewajiban sholat tidak menggunakan mukenah, cukup
dengan berpakaian rapi, bersih dan yang paling penting adalah menutup aurat. Selain itu
setelah sholat mereka berdoa tidak mengangkat kedua telapak tangan, dan mereka berkata
sambil tersenyum kepada ku kalau aku berdoa sambil mengangkat kedua telapak tangan ku.
Sacré Coeur
Basilique du Coeur Sacré adalah sebuah gereja Katolik Roma yang terletak di bukit
Montmartre. Objek wisata ini terletak pada titik tertinggi di Paris dan merupakan salah satu
objek wisata yang dominan di kota Paris. Bagian atas kubah ini terbuka untuk para
wisatawan yang menawarkan pemandangan kota Paris sampai 30 mil jauhnya ke segala arah.
Dari sini kita bisa melihat dan menikmati pemandanganmenara Eiffel dan menara
Montparnasse dari kajauhan.
Sacre Coeur adalah sebuah gereja „kontroversial‟ yang dibangun pada abad ke-19.
Disebut kontroversial karena pada saat itu pembangunannya ditentang oleh banyak orang
karena bentuk kubahnya yang tidak seperti bentuk kubah gereja- gereja yang ada di Prancis
pada umumnya. Bentuk kubah gereja Sacre Coeur lebih menyerupai kubah masjid yang
dibuat dari batu marmer putih.
Namun seiring berjalanya waktu, keberadaan Sacre Coeur dapat diterima oleh
masyarakat. Pada saat sekarang ini bisa dibilang gereja ini telah menjadi salah satu icon
terpenting kota Paris.
Château de Versailles
Château de Versailles adalah salah satu kastil terbesar di dunia, di mana Chateau de
Versailles mempunyai 2.000 jendela, 700 kamar, 1250 perapian, 67 tangga dan lebih dari
1.800 hektar taman. Di dalamnya terdapat banyak sekali lukisan-lukisan, permadani, patung,
perabot istana yang luar biasa.
Aku berkesempatan menikmati tahun pertama kastil ini dibuka kembali untuk umum
pada tahun 2010 setelah kurang lebih lima tahun ditutup karena sedang direnovasi. Selain
luas kastil ini juga terdiri dari dua lantai. Untuk mengelilingi ruangan demi ruangan yang
terdapat didalamnya memakan waktu yang cukup lama.
Setelah puas mengelilingi kastil dari lantai satu hingga lantai dua, kita masih
disuguhkan dengan pemandangan halaman kastil yang sangat luas sekali. Sehingga tidak
heran jika Versailles adalah chateau Prancis, yang sudah terdaftar sejak tahun 1979 sebagai
Warisan Dunia.
Sungai Seine
Sungai Seine merupakan sungai utama di Perancis. Selain menjadi salah satu tujuan
objek wisata di kota Paris, sungai seine juga merupakan salah satu jalur lalu lintas air
komersial khususnya bagian sungai yang terletak didalam kota Paris. Menelusuri sungai
seine merupakan suatu pengalaman yang sangat menyenangkan, betapa tidak disepanjang
jalur sungai baik di sebelah kanan maupun di sebelah kiri terdapat monumen-monumen yang
bersejarah yang merupakan karya arsitektur yang luar biasa. Perjalanan yang sanagt menarik
dimulai dari pinggiran sunagi seine dekat menara Eiffel, melewati Grand Palais, sampai du
Louvre, dan melewati Museum d‟Orsay sampai Kathedral Notre-Dame.
Selain menikmati tempat-tempat bersejarah dipinggiran sungai seine, wisatawan
juga bisa menikmati betapa indahnya jembatan di sepanjang sungai. Diantaranya jembatan
Pont Charles de Gaulle yang merupakan salah satu situs Warisan Bersejarah. Jembatan
terkenal lainya adalah Pont d‟Austerlitz dan jembatan Pont de Bercy.
Opera
Gedung Opera ini merupakan sebuah bangunan teater yang berfungsi untuk
mementaskan opera. Pada awalnya teater ini dibangun khusus untuk pementasan opera,
namun gedung ini juga digunakan untuk penampilan seni lainnya karena setelah pementasan
opera kemudian diikuti dengan satu sesi tarian balet.
Gedung ini adalah bangunan besar yang memiliki pentas yang luas dimana dapat
menampung 450 seniman serta tersedia 2200 tempat duduk. Bangunan ini penuh dengan
hiasan yang kaya dengan dekorasi, seperti garis-garis, garis tegak, dan sosok bersayap.
Selain itu juga terdapat patung-patung dan hiasan lainnya, seperti pada pusat auditorium
yang terdapat hiasan tempat lampu-lampu lilin yang memiliki berat lebih dari enam ton.
Pada saat siang hari, warna gedung yang ditampilkan merupakan warna standard klasik.
Tetapi pada saat malam hari, gedung ini menyajikan pemandangan bagi mata yang
sangat menawan karena pada malam hari Opera House terlihat terang benderang dengan
bantuan lampu sorot berkekuatan ribuan watt yang dipasang di bagian puncak kanan dan kiri
gedung ini. Selain itu, gedung ini juga dikelilingi oleh bangunan lain dengan sinar lampu
yang menampilkan khas klasik, sehingga menyempurnakan keindahan bagunan Opera ini.
Taman Luxemburg
Taman Luxembourg merupakan salah satu taman terbesar yang terletak di tengah-
tengah kota Paris dan persis berlokasi di belakang Gedung Senat yang sangat megah.
Taman ini berdekatan dengan Universitas Sorbonne dan juga sungai seine yang berjarak
sekitas kurang lebih satu kilometer. Pada saat musim panas, taman ini dipenuhi oleh orang-
orang yang sedang berjemur sambil membaca. Selain itu taman ini juga dimanfaatkan
sebagai tempat pertunjukan, tempat hiburan dan tempat bermanin untuk anak-anak.
Di taman ini juga disediakan tempat untuk berolah raga seperti jogging dan tenis,
selain tempat bersantai tentunya. Taman yang luas ini diurus dengan baik oleh petugas
khusus. Petugas ini bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan dan keindahan taman,
mereka bertugas untuk menyapu dedaunan yang rontok pada musim gugur, menggunting
serta membentuk tanaman-tanaman, menanam bunga, menyiram serta merawatnya.
Sehingga taman ini selalu memberikan kenyamanan bagi para pengunjung.
Taman ini ditutup pada jam 19:00 oleh para penjaga taman yang mengenakkan
seragam seperti pakaian polisi. Di negara Perancis dilarang untuk bermalam di taman-taman
seperti halnya larangan untuk bermalam dan tidur di dalam stasiun metro. Pagar taman ini
adalah satu-satunya pagar yang dimanfaatkan sebagai pameran foto. Foto-foto besar dipajang
selama dua bulan dengan tema-tema yang berbeda. Pagar yang digunakan adalah bagian
pagar yang menghadap jalan teramai yaitu simpang tiga Rue de Vaugirard yang menuju ke
Universitas Sorbonne dan pantheon.
Objek Wisata di Luar Paris
Selain mengunjungi objek-objek wisata yang terkenal di kota Paris aku juga
menyempatkan diri untuk melihat objek-objek wisata yang terdapat di luar daerah Paris. Aku
memanfaatkan libur natal dan tahun baru untuk mengunjungi kota Pau yang terletak dibagian
selatan negara Perancis. Aku memilih kota Pau sebagai tempat objek wisata yang akan aku
kunjungi karena bertepatan dengan musim dingin. Dimana pada musim dingin atraksi wisata
yang paling tepat dan menarik bagi aku adalah bermain ski. Kota Pau terletak di region
aquitanie yaitu di Pegunungan Pyrenees yang berbatasan dengan Samudra Atlantik dan
Spanyol.
Pegunungan Pyrenees
Pegunungan Pyrenees adalah pegunungan di Eropa barat daya yang membentuk
perbatasan alami antara Perancis dan Spanyol. Aku memilih tempat bermain ski di kawasan
Gourette, disini kita bisa bermain ski di atas gunung pada musim dingin. Sedangkan pada
musim panas objek wisata ini menjadi pusat rekreasi bagi para wisatawan pecinta alam.
Karena di sini menawarkan atraksi wisata seperti trekking, panjat tebing, turun ke gua,
hakking serta bersepeda gunung.
Untuk bisa sampai ke objek wisata tempat bermain ski di daerah Gourette ini
tidaklah sulit. Karena tersedia bus khusus dari stasiun kota Pau, cukup dengan membayar 5
Euro kita sudah bisa langsung sampai di lokasi ini.
Bermain Ski
Di dekat arena bermain ski terdapat tokotoko untuk menyewakan alat-alat untuk
bermain ski. Tidak perlu khawatir bagi pemula kerena, para pelayan toko akan dengan
ramah membantu kita seandainya kita bingung dengan banyaknya pilihan yang ada. Hal
yang penting dan perlu disiapkan sebelun menuju tempat bermain ski adalah Sweater tebal
dengan leher yang tinggi, jaket khusus (tebal dan waterproof), celana long john, celana ski
(tebal dan waterproof), kaus kaki ski (panjang dan tebal), sepatu salju (tebal dan dengan
lapisan anti gelincir), sarung tangan ski (tebal dan waterproof), dan topi musim dingin serta
kacamata hitam dengan category kegelapan minimal 3 karena sinar matahari yang melimpah
bila menerpa salju akan memantul dan membuat silau.
Selain bermain ski, di sini juga terdapat alternatif atraksi wisata bagi anak-anak yang
tidak cukup umur untuk melakukan olah raga ski, tentunya masih dengan pengawasan dari
orang tua.
kota Pau
Di kota Pau selain menawarkan keindahan alam lewat deretan pegunungan Pyrenees
kita juga bisa menikmati kesejukan alam sembari menelusuri jalan-jalan yang ada di kota
Pau.
Di sekitar centre de ville (pusat kota) terdapat banyak sekali objek-objek wisata yang
bagus untuk dikunjungi. Diantaranya Place Clemenceau yang terletak pas ditengah-tengah
pusat kota Pau, musse Bernadotte, musee national du Chateau de Pau, Palais Beaumont
Casino, Musee des Beaux-art dan masih banyak lagi objek-objek wisata lainnya. Selain itu,
kota Pau memberikan sensasi yang berbeda memalui ketenangan dan keramahan alam serta
masyarakat yang tinggal di daerah ini.
Untuk menuju ke kota Pau aku menggunakan TGV atau Train à Grande Vitesse yang
artinya kereta berkecepatan tinggi. Kereta ini tidak hanya menghubungkan kotakota di
Perancis terutama Paris, tetapi juga negara-negara tetangga, seperti Belgia, Jerman, dan
Swiss.
TGV
TGV adalah kereta penumpang, namun ada juga yang digunakan untuk pengiriman
surat yaitu antara Paris dan Lyon. Dengan kelebihan yang dimiliki oleh TGV ini telah
mampu menggantikan trafik udara antar kota-kota yang telah terhubung dengan TGV jalur
ini.
TGV mempunyai rute yang menghubungkan antar kota di negara Perancis. Pada
umunnya kota-kota besar yang ada di Perancis sudah bisa diakses dengan menggunakan
TGV. Seperti dari Paris menuju Lille, Rennes, Nantes, La Rochelle, Bordeaux, Montpellier,
Marseille, Lyon dan Strasbourg.
Sistem transportasi yang ada di Perancis memberikan fasilitas dan keistimewan bagi
pelanggannya. Seperti kartu Navigo yang aku gunakan jika berpergian di dalam wilayah
Paris, aku juga mendapatkan pengurangan harga jika aku menggunakan TGV sebagai alat
transportasi jika aku ingin bepergian keluar kota Paris.
Potongan Harga
Potongan-potongan harga di negara Perancis biasanya berdasarkan pada faktor umur.
Banyak terdapat potongan-potongan harga untuk umur dibawah 26 tahun, baik itu dalam
pembayaran alat transportasi maupun untuk nonton di bioskop dan bahkan untuk masuk ke
dama musium gratis bagi yang berumur dibawah 26 tahun.
Sebelum mendapatkan potongan harga untuk tiket TGV tentunya kita harus
mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditentukan. Kita harus mengurus kartu umur 12
sampai 25 tahun (jika kita masih berumur dibawah 26 tahun) di kantor SNCF dimana SNCF
adalah Operator kereta di Negara Perancis. Untuk menemukan kantor SNCF tidaklah sulit
karena kantor SNCF terdapat di stasiun-stasiun besar di kota Paris.
Prosedur untuk mengurus kartu umur 12 tahun hingga 25 tahunpun tidaklah memakan
waktu yang lama, karena ketika kita mengurus kartu ini langsung siap pada saat itu juga.
Untuk mendapatkan kartu ini kita harus mempersiapkan:
Paspor asli yang menunjukkan bahwa kita masih berumur dibawah 26 tahun
Pas photo ukuran 3,5 x 4,5 sebagai ukuran standar pas photo di negara Perancis
Uang sebesar 49 Euro
Kartu itu dapat digunakan dalam kurung waktu 1 tahun, dan memberikan potongan
harga 25%. Potongan yang cukup besar karena harga tiket yang seharusnya aku bayar penuh
untuk tujuan dari Paris ke Pau sebasar 84.10 Euro, aku hanya membayar 63 Euro saja.
Selain diberikannya potongan harga dalam menggunakan sarana transportasi di
Perancis, dengan memiliki kartu 12 tahun hingga 25 tahun ku juga bisa mendapatkan
potongan harga untuk nonton di bioskop-bioskop yang ada di Perancis.
Bagi yang belum memiliki kartu 12 tahun sampai 25 tahun, atau bagi yang umurnya
sudah diatas 25 tahun dikenakan biaya sebesar 10.50 Euro untuk satu film. Tarif ini berlaku
disemua bioskop-bioskop yang ada di negara Perancis, baik itu di bioskop-bioskop besar
dan ternama di Paris maupun bioskop-bioskop standar atau biasa.
Bagi yang memiliki umur dibawah 25 tahun, saat membeli tiket sebelum menonton
terdapat pilihan harga untuk pelajar atau yang masih berumur di bawah 26 tahun. Tawaran
potongan harga untuk menonton dibioskop-bioskop di Perancis sangat besar yaitu 62,86%
dari tarif biasanya. Harga yang seharusnya dibayar 10.50 Euro aku hanya membeli tiket
dengan harga 3.90 Euro saja.
Perancis adalah tempat tujuan wisata paling populer di dunia. Perancis menawarkan
pariwisata berupa wisata klasik. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh Perancis dalam
pariwisata diantaranya adalah:
Kota-kota yang kaya akan warisan budaya.
Menawarkan barisan gunung, pesisir, dan laut mediterania.
Minuman anggur (Wine) yang berkualitas tinggi.
di bagian timur dan selatannya ada beberapa tempat resort ski.
memiliki kereta kecepatan tinggi yang disebut TGV (train à grande vitesse).
Pariwisata di Perancis bertahan hingga saat ini tidak terlepas dari peran pemerintah
negara Perancis dan masyarakat. Dimana pemerintah mengatur segala kebijakan demi
kelangsungan pariwisata di negara ini.
Salah satu contohnya adalah dalam penataan bagunan di Perancis untuk mendirikan
ataupun menghancurkan bangunan yang sudah ada tidaklah mudah, karena pemerintah
mempertahankan bangunan-bangunan yang sudah ada dan berdiri sejak lama untuk
mempertahankan keaslian struktur bangunan yang artistik.
Budaya di negara Perancis terbentuk oleh geografi, sejarah serta pengaruh dari
kelompok dalam dan luar negeri. Perancis, terutama Paris, telah menjadi suatu tempat yang
penting sebagai pusat kebudayaan dan seni sejak abad ke-17. Dari akhir abad ke- 19, Perancis
juga telah memiliki peranan penting dalam seni modern, film, fashion dan makanan.
Namun belakangan ini kepopulerannya mulai berkurang dengan meningkatnya
kepraktisan negara-negara di Eropa bagian Timur yang lebih murah. Banyak yang
berspekulasi tentang pariwisata Perancis bahwa bila wisata sampai berhenti maka akan
sangat berpengaruh terhadap perekonomian dengan kemungkinan kehancuran ekonomi.
Karena ekonomi negara Perancis banyak tergantung pada sektor pariwisata melalui
jumlah uang yang dibawa per tahunnya ke dalam kas negara.
Pembangunan Bidang Wisata Indonesia
Salah satu sektor pembangunan yang menarik perhatian di negara kita dewasa ini
adalah pembangunan dibidang pariwisata. Pariwisata diharapkan dapat memacu dan
memobilisasi pertumbuhan ekonomi masyarakat, devisa negara, serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah wisata itu sendiri.
Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 10 Tahun
2009, Bab II pasal 3 dinyatakan bahwa: “Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan
jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta
meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.”
Meskipun Indonesia memiliki potensi wisata yang cukup besar, namun banyak
masalah yang muncul dalam pelaksanaannya. Pada umumnya penduduk di sekitar masih
kurang sadar wisata serta hambatan lain dalam pengembangan tempat wisata seperti atraksi
wisata yang belum dikemas dengan menarik dan terbatasnya sarana dan prasaran pariwisata
serta masih bersifat lokal.
Faktor yang dianggap penting dan menghambat pengembangan pariwisata di
Indonesia adalah belum terlibatnya partisipasi masyarakat secara nyata. Masyarakat belum
mempunyai kesadaran yang utuh untuk menjaga daya tarik wisata dan belum mengetahui
apa yang bisa dilakukan terhadap potensi wisata yang ada. Hanya sebagian kecil masyarakat
yang memanfaatkan peluang untuk memperoleh manfaat dari aktivitas pariwisata dengan
menjual makanan dan minuman di sekitar daya tarik wisata.
Kendala ini muncul karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan pariwisata dan
keadaan ini diperparah dengan kurangnya dukungan pemerintah dalam memberikan
sosialisai, pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat yang berkaitan dengan
kepariwisataan. Beberapa permasalah diatas telah mengakibatkan kepariwisataan di
Indonesia belum berkembang secara optimal, maka perlu upaya sinergi untuk mendongkrak
kegiatan kepariwisataan agar wisatawan baik lokal maupun mancanegara bisa lebih lama
tinggal dan mendapatkan pengalaman yang berbeda.
Jika Pariwisata Indonesia dikelola dan berjalan dengan baik maka akan memberikan
manfaat yang besar dalam segala aspek kehidupan. Bagi masyarakat keberadaan pariwisata
mampu menciptakan peluang usaha dan bagi pemerintah bisa menjadi sumber PAD.
Dalam menjadikan Indonesia sebagai tujuan destinasi wisata maka haruslah memiliki
atraksinya, situasinya, keunikannya, dan fasilitas kepariwisataan yang menyebabkan tempat
atau daerah-daerah di Indonesia menjadi sasaran kunjungan wisatawan.
Destinasi wisata adalah pusat dari segala fasilitas dan pelayanan yang telah
disiapkan untuk memenuhi kebutuhan wistawan. Disebutkan juga suatu wilayah dapat
dikatakan sebagai destinasi, jika pada tempat atau wilayah tersebut sudah terdapat 4 (empat)
“A” yaitu:
1) Atraksi (attraction), seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang
menawan, dan seni pertunjukan.
2) Aksesibilitas (accessibilities), seperti transportasi lokal dan terminal.
3) Amenitas atau fasilitas (amenities) seperti tersedianya akomodasi, rumah makan,
dan agen perjalanan.
4). Ancilarry services yaitu bentuk dari wadah organisasi pariwisata seperti
destination marketing management organization, conventional and visitor
Bureau
Selama aku menjalani tugas belajar di kota Paris, aku banyak belajar tentang
kepariwisataan disini. Dengan harapan ilmu yang aku dapat selama ini bisa bermanfaat
untuk perkembangan Pariwisata di Indonesia nantinya.
Bio Data Penulis
Marjohan Usman, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Program Pelayanan Keunggulan
Kabupaten Tanah Datar. Sumatera Barat. Penulis freelance Menulis pada koran Singgalang,
Serambi Pos, Haluan dan Sripo (Sriwijaya Post). Menulis buku dengan judul “School
Healing- Menyembuhkan Problem Sekolah (Pustakan Insan Madani, Yogyakarta)”
Dan “Generasi Masa Depan- Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan (Bahtera
Buku, Yogyakarta)”.
Ranti Komala Dewi (Co-Writer) , adalah Dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Padang.
Ia Memperoleh Pendidikan Pascasarjana Double Degree pada Universitas Udayana,
Denpasar- Bali dan Universitas Sorbonne, Perancis