Upload
reza-irian-rama
View
62
Download
21
Embed Size (px)
DESCRIPTION
rrrrr
Citation preview
PELAYANAN KESEHATAN
PENCEGAHAN, PENGENDALIAN PENYAKIT INFEKSI DAN NON INFEKSI
Tugas Dosen: DR. EMAN
Oleh : ANTHON WIYANTO PRAYOGO,.NIM: P2CC14064REZA IRIAN RAMA,. NIM : P2CC14067
VITTA NOVILA,. NIM : P2CC 14058
MAGISTER MANAJEMENUNIVERSITAS JENDRAL SUDIRMAN PURWOKERTO
I. PENDAHULUAN dan LATAR BELAKANG.Badan yang sehat adalah menjadi idaman setiap umat manusia, begitu pentingnya arti sebuah kesehatan bagi setiap orang maka banyak upaya dilakukan untuk menjaga agar seseorang tetap dalam keadaan yang sehat Atau terkena penyakit.Penyakit merupakan salah satu gangguan bagi kehidupan manusia .memahami tentang penyakit maka dibedakan penyakit menular dan penyakit yang tidak menular.
II. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT INFEKSI Menurut Departemen Kesehatan Indonesia, tahun 2008, penyakit infeksi
adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen, dan bersifat sangat dinamis. Menurut Kansas Departement of Health and Environment tahun 2013, penyakit infeksi dapat dikalsifikasikan sebagai berikut:
NO PENYAKIT1, Influenza2. Tuberkulosis (TBC)3. Muntaber4. Cacar air5. Tifus6. Campak7. Pneumonia8. Hepatitis9. Penyakit PES10. Kolera11. Polio12. Ebola13. AIDS14. DBD15. Rabies16. Panu17. Malaria18. Toxoplasmosis19. Disentri hasiler20. Tetanus21. Konjungtivitis22. SARS23. Rubela24. Flu Burung25. Demam chikungunya26. Leishmaniasis27. Demam kuning28. Roseola infatum
29. Anthrax30. Leptospirosis
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas pejamu, agen infeksi (patogenitas, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi faktor risiko pada pejamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.
1. Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:
a. Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat meningkat
dengan pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B), atau
pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara
umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan
tubuh.
b. Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan
dengan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah
pemanasan (Pasteurisasi atau Sterilisasi) dan memasak makanan
seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi
c. Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara yang paling mudah
untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya sangat
bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang
telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu
“Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari dua
pilar/tingkatan yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan standar) dan
“Transmissionbased Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara
penularan). Prinsip dan komponen apa saja dari kewaspadaan standar
akan dibahas pada bab berikutnya.
d. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis” / PEP)
terhadap petugas kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan
pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh
lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau
pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapat perhatian adalah hepatitis
B, Hepatitis C dan HIV. Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada bab
selanjutnya.
2. Kewaspadaan berbasis transmisi:
Kontak Droplet Udara/ Air Bone
Penempatan
pasien
Tempatkan di
ruang rawat
terpisah, bila tidak
mungkin
kohorting, bila ke
duanya tidak
mungkin maka
pertimbangkan
epidemiologi
mikrobanya dan
populasi pasien.
Bicarakan dengan
petugas PPI
(kategori IB)
Tempatkan dengan
jarak >1 meter3
kaki antar TT
Jaga agar tidak ada
kontaminasi silang
ke lingkungan dari
pasien lain
(kategori IB)
Tempatkan pasien di
ruang terpisah, bila
tidak mungkin
kohorting. Bila
keduanya tidak
mungkin, buat
pemisah dengan jarak
>1 meter antar TT dan
jarak dengan
pengunjung.
Pertahankan pintu
terbuka, tidak perlu
penangan khusus
terhadap udara dan
ventilasi (kategori IB)
Tempatkan pasien
di ruang terpisah
yang mempunyai:
1. Tekanan negatif
2. Pertukaran
udara 6-12 x
/jam
3. Pengeluaran
udara terfiltrasi
sebelum udara
mengalir ke
ruang atau
tempat lain di RS
Usahakan pintu
ruang pasien
tertutup. Bila ruang
terpisah tidak
memungkinkan,
tempatkan pasien
dengan pasien lain
yang mengidap
mikroba yang
sama, jangan
dicampur dengan
infeksi lain
(kohrting) dengan
jarak >1 meter.
Konsultasikan
dengan petugas
PPIRS sebelum
menempatkan
pasien bila tidak
ada ruang isolasi
dan kohorting tidak
memungkinkan
(kategori IB)
Transport
paisen
Batasi gerak,
transport pasien
hanya kalau perlu
saja. Bila
diperlukan pasien
keluar ruangan
perlu kewaspadaan
agar resiko
minimal transmisi
ke pasien lain atau
lingkungan
(kategori IB)
Batasi gerak dan
transportasi untuk
batasi droplet dari
pasien dengan
mengenakan masker
pada pasien (kategori
IB) dan menerapkan
hygienen respirasi
dan etika batuk
Batasi gerak dan
transportasi pasien
hanya kalau
diperlukan saja.
Bila perlu untuk
pemeriksaan pasien
dapat diberi masker
bedah untuk cegah
mencegahnya
droplet nuklei
(kategori IB)
APD petugas Sarung tangan dan
cuci tangan
Memakai sarung
tangan bersih non
steril, lateks saat
masuk ke ruang
pasien, ganti
sarung tangan
setelah kontak
dengan bahan
infeksius (feses,
cairan drain),
lepaskan sarung
tangan sebelum
Masker
Pakailah bila bekerja
dalam radius 1 m
terhadap pasien
(kategori IB), saat
kontak erat. Masker
seyogyanya
melindungi hidung
dan mulut, dipakai
saat memasuki ruang
rawat pasien dengan
infeksi saluran napas.
Perlindungan
saluran napas
Kenakan maskes
respirator saat
masuk ruang pasien
atau suspek TB paru
Orang yang renta
seharusnya tidak
boleh masuk ruang
pasien yang
diketahui atau
suspek campak,
cacar air kecuali
petugas yang telah
keluar dari kamar
pasien dan cuci
tangan dengan
antiseptic (kategori
IB)
Gaun
Pakai gaun bersih,
tidak steril pada
saat masuk ruang
pasien untuk
melindungi baju
dari kontak dengan
pasien, permukaan
lingkungan, barang
di ruang pasien,
cairan diare pasien,
ileostomy,
colostomy, luka
terbuka. Lepaskan
gaun sebelum
keluar ruangan.
Jaga agar tidak ada
kontaminasi silang
ke lingkungan dan
pasien lain
(kategori IB).
Apron
Bila gaun
permeable, untuk
mengurangi
imun.
Bila terpaksa harus
masuk maka harus
mengenakan
masker respirator
untuk pencegahan.
Orang yang telah
pernah sakit
campak atau cacar
air tidak perlu
memakai masker
(kategori IB)
Masker
bedah/prosedur
Sarug tangan
Gaun
Goggle
Bila melaukan
tindakan dengan
kemungkinan
timbul aerosol
penetrasi cairan,
tidak dipakai
sendiri.
Peralatan
untuk
perawatan
pasien
Bila memungkinan
peralatan
nonkritikal dipakai
untuk 1 pasien
atau pasien
dengan infeksi
mikroba yang
sama. Bersihkan
dari disinfeksi
sebelum dipakai
untuk pasien lain
(kategori IB)
Tidak perlu penangan
udara secara husus
karena mikroba tidak
bergerak jarak jauh
Transisi pada TB
Sesuai pedoman T
CDC
MTB (obligat
airbone)
Campak, cacar air
(kombinasi
transmisi) norovirus
(partikel feses,
vomitus), rotavirus
melalui partikel
kecil aerosol.
3. Contoh pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit TBC
Departemen Kesehatan Indonesia menilai program pemberantasan penyakit menular oleh jajaran kesehatan bersama dengan sektor terkait selama tahun 2001 masih belum optimal. Penyakit infeksi di Indonesia yang masih menjadi prioritas salah satunya adalah tuberkulosis. Mengenai penyakit Tuberkulosis (TB) yang masih tinggi di Indonesia, Menkes mengemukakan, jika semua provinsi dan kabupaten mempunyai rencana strategi penanggulangan tuberkulosis disertai dukungan dana. Laporan WHO (2010) memperkirakan ada 8,8 juta pasien TB baru dan 2,6 juta diantaranya adalah pasien dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif dengan 1,1 juta angka kematian pasien pertahun di seluruh dunia.
Pada tahun 2011 menurut WHO insidens pasien TB kasus baru di Indonesia sekitar 4% jumlah pasien TB di dunia dan merupakan ke 4 terbanyak setelah India, Cina dan Afrika Selatan. Menurut Global TB Report 2011, terdapat 189 per 100.000 penduduk atau 450.000 kasus. Prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan 4%.Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya (Strategi Nasional TB, 2011).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdiri dari 4 pilar yaitu: 1. Manajerial
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB meliputi:a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB yang merupakan bagian dari
program PPI Fasyankes dengan mengeluarkan SK penunjukkan Tim / Penanggung jawab
b. Membuat kebijakan dan SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans
c. Memberi pelatihan PPI TB bagi petugas yang terlibat dalam program PPI TB
d. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensife. Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan
bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TBf. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB
meliputi tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan termasuk aspek kesehatan kerja. Monitoring dan Evaluasi
g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB dengan menggunakan daftar tilik, menganalisa dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan
h. Melaksanakan Advokasi, Komunikasi, Mobilisasi dan Sosialisasi terkait PPI TB
i. Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan kejadian infeksi)j. Memfasilitasi kegiatan riset operasional
2. Pengendalian AdministratifPengendalian Administratif adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah/mengurangi pajanan M.Tb kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan. Upaya ini mencakup:a. Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari “pintu
masuk” pendaftaran fasyankesb. Mendidik pasien mengenai etika batuk.c. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang
mempunyai ventilasi baik, dan terpisah dengan pasien umum. d. Menyediaan tisu dan masker, serta tempat pembuangan tisu maupun
pembuangan dahak yang benar.e. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIEf. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek
dan TB, termasuk diagnostik, terapi dan rujukan sehingga waktu berada pasien di fasyankes dapat sesingkat mungkin.
g. Melaksanakan skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.
h. Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB.i. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi semua
petugas kesehatan.
3. Pengendalian LingkunganPengendalian Lingkungan adalah upaya peningkatan dan pengaturan
aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi / menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi utraviolet sebagai germisida.a. Pemanfaatan Sistem Ventilasi: Sistem Ventilasi adalah sistem yang
menjamin terjadinya pertukaran udara di dalam gedung dan luar gedung yang memadai, sehingga konsentrasi droplet nuklei menurun.
b. Penggunaan Radiasi Ultraviolet pada aliran udara atas Pada struktur bangunan tertentu, dimana ACH yang cukup, tidak dapat
dicapai dengan sistem ventilasi atau bila transmisi MTb merupakan risiko tinggi untuk morbiditas dan mortalitas, seperti di ruang perawatan MDR- TB, maka diperlukan suatu sistem pengendalian‐ tambahan, yaitu dengan penggunaan sistem radiasi UV upper room atau germisida radiasi ultraviolet (UVGI). Sistem pengendalian lingkungan seperti ini tidak menggunakan udara segar atau aliran udara yang diarahkan.
4. Pengendalian dengan Alat
5. Perlindungan Diri a. Pemakaian Respirator Partikulatb. Edukasi dan penerapan etika batukc. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium Tbd. Keamanan Cara Pengumpulan sputume. Proteksi saat transportasi pasien
III. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT NON INFEKSIPemahamaan tentang penyakit non infeksi / Penyakit tidak menulari adalah penyakit yang terjadi bukan karena disebabkan oleh mikoorganisme patogen.Penyakit tidak menular menurut klasifikasi diagnose ICD X adalah sebagai berikut :
No Penyakit Kode ICD X
1 Angina pectoris I.202 Infark Miokard Akut I.213 Infark Miokard Subsekuen I.224 Hipertensi Esensial(Primer) I.10
5 Jantung hipertensi I.116 Ginjal Hipertensi I.127 Jantung dan Ginjal Hipertensi !.138 Hipertensi Sekunder I.159 Diabetes melitus bergantung insulin E.1010 Diabetes melitus tidak bergantung insulin E.1111 Diabetes melitus berhubungan malnutrisi E.1212 Diabetes melitus YTD lainnya E.1313 Diabetes melitus YTT E.1414 Neo[lasma ganas serviks Uteri C.5315 Neoplasma ganas payudara C,5016 Neoplasma ganas hati dan saluran empedu intrahepatik C2217 Neoplasma ganas Bronkhus dan paru C.3418 Paru obstruksi menahun J.44.919 Kecelkaan lalulintas traffict accident V.89.920 PsikosisSumber: Dirjen P2M&PL Depkes RI, 2003, Surveilans Epidemiologi Penyakit.
Beberapa penyakit tidak menular yang menunjukkan kecenderungan meningkat menurut surveilans epidemiologi penyakit yang diterbitkan oleh dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan depkes R.I tahun 2003 adalah penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker, diabetes melitus, kecelakaan dan sebagainya.Dari penyakit tidak menular, berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insiden dan prevalensi DM tipe 2 diberbagai penjuru dunia, bahkan WHO memprediksikenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.(konsensus pengelolaan dan pencegahanDiabetes melitus tipe 2 di Indonesia tahun 2006). Data badan pusat statistik indonesia 2003 memperkirakan penduduk indonesia diatas usia 20 tahun adalah sekitar 133 juta jiwa.
Situasi ini merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis / sub spesialis bahkan tenaga kesehatan yang ada.Penyakit DM memberikan dampak yang sangat besar terhadap kualitas hidup sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar bagi semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah.Penanggulan Dm dan upaya pencegahan adalah merupakan sebuah pilihan.Pencegahan diabetes dibagi dalam pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan penyakit Dm : Dm merupakan penyakit menahun dalam kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik peningkatan kadar gula darah akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. ( ADA ,2005) yang akan diderita
seumur hidup. Pengelolaan penyakit tersebut menjadi sangat penting.mengingat dampak yang ditimbulkan oleh penyakit Dm tersebut yang dapat berakibat kecacatan apabila tidak ditangani dengan benar. Pencegahan diabetes dibagi dalam pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.an klinis yang terkait resistensi insulin, sidroma metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu/ gu1. Pencegahan primer adalah upaya pencegahan yang berorientasi pada
faktor resiko terjadinya diabetes .Faktor resiko DM tipe 2 dibagi atas :a. Faktor resiko yang tidak dapat diubah : seperti ras, etnik, riwayat
keluarga dengan DM, usia lebih dari 45 tahun, melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita DM gestasional,riwayat berat badan lahir rendah kurang dari 2,5 kg.
b. Faktor risiko yang dapat diperbaiki : berat badan lebih (iMT lebih 23 kg/m², kurang aktivitas fisik, hipertensi (tekanan darah lebih 140/90 mm Hg), dislipidemia (HDl kurang 35mg/dl dan atau trigliserida lebih 250mg /dl) diet tinggi gula kurang serat.
c. Faktor risiko lain terkait dengan risiko Dm :keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin,sidrom metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu / glukosa darah puasa terganggu,riwayat penyakit kardiovaskuler
Pencegahan primer lebih menekankan pada terjadinya penyakit diabetes melitus yaitu lebih menekankan pada pola hidup yang sehat yaitu melakukan aktifitas secara benar dan terukur, mengatur pola makan ( tinggi serat rendah karbohidrat dengan menu yang seimbang), hindari kegemukan.
2. Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan yang berorientasi pada faktor resiko terjadinya progresivits dan timbulnya komplikasi penyakit setelah ditetapkan diagnosis diabetes.
Pencegahan sekunder dilaksanakan dengan melakukan monitoring dan pengendalian kadar gula darah secara teratur agar komplikasi dapat dihambat atau dihindari, mengkonsumsi obat penurun dan pengendalikadar gula darah secara benar dan teratur. Menghindari faktor resiko, melaksanakan pola hidup sehat, mengatur pola makan, menghindari kegemukan.
3. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan yang berorientasi terhadapPenyulit /komplikasi serta pencegahan kecacatan lebih lanjut pada penyandang diabetes.
Pencegahan tersier dilaksanakan dengan melakukan rehabilitasi guna pemulihan fungsi normal tubuh sehingga dapat melakukan aktifitas normal kembali.
Pengelolaan penyakit DM :Tujuan dari pengelolaan diabetes adalah peningkatan kualitas
hidup para penyandang diabetes. Yang dibedakan untuk tujuan jangka pendek menghilangkan keluhan atau gejala, mempertahankan rasa nyaman, dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.Tujuan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat terjadinya komplikasi.
IV. KESIMPULAN /PENUTUP.
........... menunggu rangkuman antara penyakit menular dan tidak menular........
DAFTAR PUSTAKA
Aditama TY, Subuh M. 2011, Strategi Nasional Pengendalian TB, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI, 2008, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya; Jakarta
Kansas Departement of Health and Environment, 2013, KDHE Bureau of Epidemiology and Public Health Informatics Infectious Disease Epidemiology and Response SectionStandard Infectious Disease Classifications
Kementrian Kesehatan RI, 2012, Pedoman Pencegahan dan pengendalian Infeksi Tuberkulosis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan