Upload
nguyenkhuong
View
311
Download
24
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
PERBANDINGAN WAKTU PULIH HAMBATAN MOTORIK ANTARA PEMBERIAN LEVOBUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG PADA
SEKSIO SESAREA DENGAN ANESTESI BLOK SUBARAKHNOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR
YOSEPHINE ERVINA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2014
TESIS
PERBANDINGAN WAKTU PULIH HAMBATAN MOTORIK ANTARA PEMBERIAN LEVOBUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG PADA
SEKSIO SESAREA DENGAN ANESTESI BLOK SUBARAKHNOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR
YOSEPHINE ERVINA NIM 0914108203
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
TESIS
TESIS
PERBANDINGAN WAKTU PULIH HAMBATAN MOTORIK ANTARA PEMBERIAN LEVOBUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG PADA
SEKSIO SESAREA DENGAN ANESTESI BLOK SUBARAKHNOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
YOSEPHINE ERVINA NIM 0914108203
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 17 NOPEMBER 2014
Mengetahui,
Pembimbing I,
dr. I Ketut Sinardja, SpAn.KIC NIP. 195505211983021001
Pembimbing II,
dr. Tjok G.A. Senapathi, SpAn.KAR NIP. 197301232008011006
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, SpS(K) NIP. 195902151985102001
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS
NIP. 194612131971071001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 17 Nopember 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana,
No.: 4077/UN14.4/HK/2014, Tanggal 19 September 2014
Ketua : dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC
Anggota : 1. dr. Tjok G.A Senapathi, SpAn, KAR
2. Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC
3. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH
4. dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. Yosephine Ervina
NIM : 0914108203
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine - Degree)
Judul : Perbandingan Waktu Pulih Hambatan Motorik Antara
Pemberian Levobupivakain 0,5 % 10mg Dengan
Bupivakain 0,5% 10mg Pada Seksio Sesarea Dengan
Anestesi Blok Subarakhnoid di RSUP Sanglah Denpasar.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan
Peraturan Perundang – undang yang berlaku.
Denpasar,……………………………..
Yang membuat pernyataan,
(dr. Yosephine Ervina)
Materai
6 000
UCAPAN TERIMA KASIH
Syaloom, Salam sejahtera,
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Ijinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih, hormat dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, atas
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan
Dokter Spesialis I di Universitas Udayana.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa,
SpOT(K).M.Kes, atas berkenannya mengijinkan penulis menjalani Program
Pendidikan Dokter Spesialis I di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, SpS(K), dan Ketua Program Studi Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd.FAACS, karena telah
diberikan kesempatan untuk menjalani Program Magister pada Program Studi Ilmu
Biomedik, kekhususan kedokteran klinik (combine degree) Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. I Nyoman
Semadi, SpB.SpBTKV, atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis ini melalui Program Tugas Belajar
Departemen Kesehatan Angkatan IV.
Direktur Utama RSUP Sanglah dr. A.A. Sri Saraswati, M.Kes, atas kesempatan
yang telah diberikan untuk melakukan penelitian di Instalasi Bedah Sentral dan
Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah.
Kepala Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif, sekaligus Pembimbing I
tesis ini, dr. I Ketut Sinardja, SpAn.KIC, telah berkenan memberikan dukungan
semangat, bimbingan dan motivasi selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi
ini.
Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn.KIC.KAO, telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan dokter
spesialis anestesi.
Sekretaris Program Studi Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif, juga
selaku Pembimbing Akedemik, dr. IMG Widnyana, SpAn.MKes.KAR, atas
bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
pendidikan ini.
Kepala Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif dan Sekretaris Program
Studi Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif periode yang sebelumnya yaitu
dr. IB Gde Sujana, SpAn.MSi dan dr. I Gede Budiarta, SpAn.KMN, atas semua
kesempatan dan bimbingan yang tak henti-hentinya kepada penulis, sehingga penulis
bisa menyelesaikan semua tugas selama pendidikan spesialisasi ini.
Pembimbing II tesis ini, yaitu dr. Tjokorda G.A. Senapathi, SpAn.KAR, selalu
memberikan semangat dan bimbingan dengan sabar dalam proses penyelesaian tesis
ini. Kepada dokter I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid sebagai pembimbing
statistik, saya mengucapkan terimakasih karena telah dengan sabar membimbing tesis
ini di bidang ilmu statistik.
‘Bapak’ dokter I Wayan Sukra, SpAn.KIC, atas kemurahan hatinya dengan sabar
dan tanpa pamrih telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam proses
pendidikan, dan memberikan bekal menjadi seorang anestesiologist yang baik.
Staf pengajar Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana: dr. I Made Subagiartha, SpAn.KAKV.SH; dr. I Gusti Putu
Sukrana Sidemen, SpAn.KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn.KIC; Dr. dr. I Putu
Pramana Suarjaya, SpAn.MKes.KMN.KNA; dr. I Putu Agus Surya Panji, SpAn.KIC;
dr. I Wayan Aryabiantara, SpAn.KIC; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I
Ketut Wibawa Nada, SpAn.KAKV; dr. IGN Mahaalit Aribawa, SpAn.KAR; dr.
IGAG Utara Hartawan, SpAn.MARS; dr. Pontisomaya SpAn.MARS; dr. Putu
Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi Sinardja,
SpAn.MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. IB Krisna Sutawan, SpAn;
dan dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn, atas semua bimbingan, nasihatnya dan tiada
mengenal waktu selalu memberikan dasar-dasar ilmu anestesi untuk diterapkan.
Seluruh sejawat peserta PPDS I RSUP Sanglah, khususnya teman-teman residen
anestesi atas dukungan dan kerjasama dalam menjalani pendidikan yang penuh
kenangan suka maupun duka ini.
Kepada Papa (Alm) Hendra Leman dan mama Lies Lendeng, yang telah merawat
dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tanpa pamrih. Mama
memaklumi keputusan penulis untuk menempuh pendidikan dokter spesialis, mama
juga yang selalu mendukung dalam doa dan memberikan materi tanpa pamrih.
Kepada kakak-kakak (Agustinus Iwan Leman dan keluarga, Ridwan Leman dan
keluarga, M. Melani Leman dan keluarga) yang turut mendukung penulis dalam doa
supaya penulis dapat menyelesaikan studi ini dengan lancar. Kepada putri-putra
penulis Auxillia Briliana Shirley dan Rayllion Zefza Gerald, atas pengertian dan
kesabaran kalian.
Seluruh staf karyawan/wati di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, kepada
ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan bapak Komang Ganda, atas semua bantuan selama
penulis menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.
Para penata anestesi, perawat kamar operasi, perawat instrumen, perawat di
ruang intensif (RTI/HCU), perawat bangsal perawatan dan para pegawai di tempat
dimana penulis pernah bertugas selama menjalani pendidikan spesialis ini, yaitu
RSUP Sanglah-Denpasar, RSUD Masohi-Maluku Tengah, RSUD Soebandi-Jember,
RSUD Ekapata-Waikabubak Sumba Barat, atas semua bantuan dan kerjasamanya
yang tak terlupakan selama penulis bertugas dan menuntut ilmu.
Para pasien yang menjadi “sumber ilmu” selama penulis menjalani proses
pendidikan spesialisasi ini.
Akhirnya penulis menghaturkan doa semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak, yang tertulis di atas maupun yang
tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu telah membantu penulis selama
proses pendidikan dan penyelesaian tesis ini .
Semoga bermanfaat. “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi
orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Amsal 1:7)”.
Denpasar, Nopember 2014
dr. Yosephine Ervina
ABSTRAK
PERBANDINGAN WAKTU PULIH HAMBATAN MOTORIK ANTARA PEMBERIAN LEVOBUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DENGAN BUPIVAKAIN
0,5% 10 MG PADA SEKSIO SESAREA DENGAN ANESTESI BLOK SUBARAKHNOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Seksio sesarea merupakan salah satu tindakan bedah mayor yang sering dikerjakan pada wanita hamil. Penatalaksanaan anestesi dengan regional anestesi blok subarakhnoid menjadi pilihan karena mengurangi angka mortalitas dibandingkan anestesi umum. Obat anestesi lokal golongan amida levobupivakain dan bupivakain pada berbagai penelitian memiliki potensi yang sama, namun efek waktu pulih hambatan motorik dapat berbeda dan efek toksisitasnya yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan waktu pulih hambatan motorik pada populasi pasien yang menjalani operasi seksio sesarea di RSUP Sanglah Denpasar. Diharapkan levobupivakain dapat menjadi pilihan regimen obat anestesi selain bupivakain pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji klinik secara acak pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di kamar operasi IBS dan IRD RSUP Sanglah mulai bulan September 2014 sampai Nopember 2014. Penelitian ini mengambil sampel 72 pasien, yang dibagi menjadi 2 kelompok, 36 pasien per kelompok, yaitu kelompok A mendapatkan levobupivakain 0,5% 10 mg sedangkan kelompok B bupivakain 0,5% 10 mg. Dilakukan pencatatan waktu pulih hambatan motorik dengan memakai skala Bromage yang dimodifikasi (dari saat skor Bromage = 3 sampai dengan skor Bromage = 0). Kemudian analisis dilakukan dengan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences; Chicago, USA) untuk Windows 20.1.
Dari penelitian ini kami menyimpulkan bahwa levobupivakain memiliki rerata waktu pulih hambatan motorik lebih cepat dibandingkan bupivakain. Dengan rerata ± simpang baku pada kelompok A adalah 108,7 ± 12,0 menit sedangkan kelompok B adalah 152,0 ± 19,8 menit, yang secara statistik bermakna dengan nilai p < 0,001. Sedangkan kejadian efek samping pada penelitian ini yaitu hipotensi, mual, dan menggigil tidak bermakna secara statistik. Kami menyarankan pemberian levobupivakain 0,5% 10 mg pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid selain dengan bupivakain 0,5% 10 mg karena efek toksisitasnya yang rendah terhadap SSP dan jantung, mobilisasi pasien lebih cepat, dan efek samping minimal.
Kata Kunci: seksio sesarea, anestesi blok subaraknoid, bupivakain, levobupivakain.
ABSTRACT
COMPARISON BETWEEN MOTORIC RESISTANCE RECOVERY TIME GIVING LEVOBUPIVACAINE 0.5 % 10 MGS OR BUPIVACAINE 0,5% 10 MGS IN THE CAESAREAN SECTION WITH SUBARACHNOID BLOCK
ANESTHESIA IN SANGLAH HOSPITAL
Caesarean section is a major surgery that is often done in pregnant women. Management of choice regional anesthesia with subarachnoid block anesthesia of choice for reducing mortality compared to general anesthesia. Amide class of local anesthetics levobupivacaine and bupivacaine in various studies have the same potential, but the effects of motoric recovery time can be different and different toxicity effects. The result can be an option levobupivacaine anesthetic regimen in addition to bupivacaine at Caesarean section with subarachnoid block anesthesia. So the purpose of this study was to compare the motoric recovery time in population patient undergoing cesarean section at Sanglah Hospital. The research design was used a randomized clinical trial in patients underwent caesarean section surgery in the emergency operating room and Central Operating Theater in Sanglah hospital starting in September 2014 through November 2014, this study took a sample of 72 patients, who were divided into 2 groups, 36 patients per group, group A with levobupivacaine 0.5% 10 mgs, while group B bupivacaine 0.5% 10 mgs. The motoric recovery time recording using a modified Bromage scale (from the current Bromage score = 3 to the Bromage score = 0). Analyses were performed with SPSS (Statistical Package for the Social Sciences; Chicago, USA) for Windows 20.1. From this study we conclude that levobupivacaine has a mean motoric recovery time faster than bupivacaine. The mean ± standard deviations in group A was 108.7 ± 12.0 minutes, while group B was 152.0 ± 19.8 minutes, which is statistically significant with p < 0,001. While the incidence of side effects in this study are hypotension, nausea, and shivering are not statistically significant. So we recommend the use of levobupivacaine 0.5 % 10 mg in patients undergoing Caesarean section surgery with subarachnoid block anesthesia than with bupivacaine 0.5 % 10 mg because of its low toxicity effects on the CNS and heart, faster patient mobilization, and minimal side effects . Keywords: Caesarean section, subarachnoid block anesthesia, bupivacaine, levobupivacaine.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ................................................................................. i
PERSYARATAN GELAR ..................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ........................................... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..................................................... v
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................... vi
ABSTRAK .............................................................................................. xi
ABSTRACK ........................................................................................... xii
DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xviii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.......................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xxii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 5
1.3.1 Tujuan umum .............................................................. 5
1.3.2 Tujuan khusus ............................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 6
1.4.1 Manfaat Praktis ........................................................... 6
1.4.2 Manfaat Akademis ....................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................. 7
2.1 Seksio Sesarea ...................................................................... 7
2.1.1 Pengertian ..................................................................... 7
2.1.2 Indikasi ......................................................................... 7
2.1.3 Teknik operasi .............................................................. 7
2.1.4 Morbiditas dan mortalitas ............................................ 8
2.2 Teknik Anestesia ................................................................... 9
2.2.1 Anestesia neuraksial versus anestesia umum ............... 9
2.2.2 Anestesia blok subarakhnoid pada seksio sesarea ........ 10
2.2.2.1 Fisiologi ............................................................ 10
2.2.2.2 Teknik............................................................... 12
2.2.2.3 Keuntungan ...................................................... 14
2.2.2.4 Kerugian ........................................................... 16
2.3 Komplikasi anestesi ............................................................... 17
2.3.1 Sesak nafas ................................................................... 17
2.3.2 Hipotensi ...................................................................... 17
2.3.3 Kegagalan blok neuraksial ........................................... 20
2.3.4 Blok neuraksial tinggi .................................................. 20
2.3.5 Mual dan muntah .......................................................... 20
2.3.6 Menggigil ..................................................................... 23
2.3.7 Nyeri paskaoperatif ...................................................... 24
2.3.8 Toksisitas obat anestesi lokal ....................................... 24
2.4 Obat Anestesi Lokal ................................................................ 26
2.4.1 Struktur Obat Anestesi Lokal ......................................... 29
2.4.2 Bupivakain ..................................................................... 36
2.4.2.1 Struktur kimia ..................................................... 36
2.4.2.2 Farmakodinamik ................................................ 37
2.4.2.3 Farmakokinetik................................................... 37
2.4.3 Levobupivakain .............................................................. 39
2.4.3.1 Struktur kimia ................................................... 39
2.4.3.2 Farmakodinamik............................................... 39
2.4.3.3 Farmakokinetik ................................................ 41
2.4.3.4 Levobupivakain pada blok subarakhnoid ......... 41
2.5 Pulih dari anestesi ................................................................. 42
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ........................................................................................ 45
3.1 Kerangka Berpikir ................................................................. 45
3.2 Konsep .................................................................................. 46
3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................... 46
BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................... 47
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................ 47
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 47
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................... 48
4.4 Penentuan Sumber Data ........................................................ 48
4.4.1 Populasi penelitian ....................................................... 48
4.4.2 Sampel penelitian ........................................................ 48
4.4.3 Perhitungan jumlah sampel ......................................... 49
4.4.4 Teknik pengambilan sampel ........................................ 51
4.4.5 Alokasi sampel ............................................................ 51
4.5 Variabel Penelitian ................................................................ 52
4.5.1 Identifikasi variabel ..................................................... 52
4.5.2 Definisi operasional variabel ....................................... 52
4.6 Instrumen Penelitian ............................................................. 54
4.7 Alur Penelitian ...................................................................... 55
4.7.1 Persiapan ...................................................................... 55
4.7.2 Penapisan kasus ........................................................... 55
4.7.3 Alokasi Pasien ............................................................. 56
4.7.4 Perlakuan ..................................................................... 56
4.7.5 Penilaian dan pencatatan ............................................. 58
4.8 Analisis Statistik.................................................................... 60
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................... 62
5.1 Data Karakteristik Sampel ...................................................... 62
5.2 Uji Normalitas Data Sampel Berdasarkan Kelompok
Perlakuan ................................................................................. 65
5.3 Nilai Statistik Variabel Berdasarkan Kelompok Perlakuan .... 66
BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................... 71
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................... 79
7.1 Simpulan............................................................................... 79
7.2 Saran ..................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 80
LAMPIRAN ............................................................................................ 84
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien ................................................................ 61
Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Berdasarkan Kelompok Perlakuan ....... 65
Tabel 5.2 Hasil Analisis Perbedaan Rerata Waktu Pulih Hambatan
Motorik Berdasarkan Kelompok Perlakuan ............................ 66
Tabel 5.3 Kejadian Efek Samping Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 68
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Toksisitas kardiovaskuler akibat obat anestesi lokal ......... 25
Gambar 2.2 Lokasi kerja obat anestesi lokal ........................................ 26
Gambar 2.3a Channel natrium pada membran sel .................................. 27
Gambar 2.3b Ikatan obat anestesi lokal pada channel natrium ............... 28
Gambar 2.4a Obat anestesi lokal menghambat potensial aksi ................ 28
Gambar 2.4b Mekanisme aksi obat anestesi lokal .................................. 29
Gambar 2.5 Komponen kimia obat anestesi lokal ................................ 29
Gambar 2.6 Derajat ionisasi obat anestesi lokal menembus membran
sel ...................................................................................... 33
Gambar 2.7a Rumus kimia bupivakain ................................................... 37
Gambar 2.7b Rumus kimia levobupivakain ............................................ 39
Gambar 2.7c Rumus molekul S(-) Bupivakain dan R(+) Bupivakain .... 40
Gambar 2.8 Penentuan hambatan motorik ............................................ 43
Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep ..................................................... 46
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian ............................................. 47
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian ....................................................... 60
Gambar 5.1 Perbandingan rata-rata durasi waktu pulih hambatan
motorik antara kedua kelompok perlakuan ....................... 67
Gambar 5.2 Fluktuasi tekanan arteri rerata antara kedua kelompok
perlakuan ........................................................................... 69
Gambar 5.3 Hubungan antara waktu dan Bromage 3 sampai dengan
Bromage 0 pada kedua kelompok perlakuan .................... 69
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
APGAR : Appearance Pulse Grimace Activity Respiration
ASA : American Society of Anesthesiology
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
CO2 : Karbondioksida
CSE : Combined Spinal Epidural
CSS : Cairan Serebro Spinalis
CNS : Central Nervous System
Dkk : Dan kawan-kawan
ED50 : Effective Dose 50%
ED95 : Effective Dose 95%
EEG : Electroencephalography
EKG : Elektrokardiogram
HES : Hydroxyethyl Starch
IMT : Indeks Massa Tubuh
Interval QTc : Interval Corrected QT
KTP : Kartu Tanda Penduduk
N2O : Nitrous Oxide
NOS : Nitric Oxide Sintase
NSAID : Non-steroidal anti-inflammatory drug
PPX : Pipecolyl xylidide
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SIM : Surat Ijin Mengemudi
SSP : Susunan Saraf Pusat
SPSS : Statistical Package for the Social Sciences
TAR : Tekanan Arteri Rerata
Na+ : Natrium
K+ : Kalium
f (%) : distribusi frekuensi
% : persen
x/menit : kali/menit
kg/m2 : kilogram per meter kubik
mcg/kgBB : mikrogram per kilogram berat badan
mg/kgBB : milligram per kilogram berat badan
mg/kg/jam : milligram per kilogram per jam
ml/kgBB : milliliter per kilogram berat badan
µg/ml : mikrogram per mililiter
mg : milligram
mcg : mikrogram
ml : milliliter
mm : millimeter
msec : millisecond
= : sama dengan
≥ : lebih besar dan sama dengan
≤ : lebih kecil dan sama dengan
> : lebih besar atau lebih dari
< : lebih kecil atau kurang dari
L : Liter
L1 : Lumbal-1
L2 : Lumbal-2
pH : power of hydrogen
pKa : Konstanta disosiasi
S2 : Sakral-2
Th10 : Thorakal-10
Th6 : Thorakal-6
T2 : Torakal-2
Vs : Versus
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ........................................ 84
Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik ........................................................... 85
Lampiran 3 : Rincian Informasi .............................................................. 86
Lampiran 4 : Surat Pernyataan Persetujuan Uji Klinik ........................... 88
Lampiran 5 : Lembar Penelitian .............................................................. 89
Lampiran 6 : Pencatatan Hasil Evaluasi.................................................. 92
Lampiran 7 : Tabulasi Data Penelitian .................................................... 94
Lampiran 8 : Hasil Analisis SPSS ........................................................... 97
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seksio sesarea merupakan salah satu tindakan bedah mayor yang paling
sering dikerjakan pada wanita hamil di seluruh dunia. Dalam kurun waktu dua puluh
lima tahun terakhir ini kecenderungan utama dalam bidang anestesia obstetrik
menunjukkan peningkatan penggunaan teknik anestesia regional baik untuk bedah
sesar maupun persalinan. Angka mortalitas ibu saat digunakannya anestesi umum 17
kali lebih tinggi yang disebabkan gagal intubasi, gagal ventilasi dan oksigenasi, dan
atau aspirasi lambung (Wlody, 2003).
Antara tahun 1988-1992, hanya 17% wanita menjalani bedah sesar dilakukan
anestesi umum, 40% dengan analgesia spinal, 44% dengan analgesia epidural. Hal ini
disebabkan antara lain angka mortalitas ibu dengan anestesia umum cukup tinggi
(Kuczkowski, 2004). Hawkins dkk mendapatkan angka kematian ibu sekitar 32 per
1.000.000 kelahiran hidup saat anestesi umum digunakan dan hanya 2 per 1.000.000
kelahiran hidup saat anestesi regional digunakan. (Subasi dkk., 2012; Wlody,2003).
Regional anestesi blok subarakhnoid untuk seksio sesarea telah secara luas
dipilih karena teknik penempatan yang mudah dan onset yang cepat dengan tetap
memperhatikan perubahan fisiologi ibu hamil pada vena-vena epiduralis dan cairan
serebro spinalis yang mempengaruhi penyebaran blokade obat yang tidak diinginkan.
Seksio sesarea adalah prosedur operasi yang relatif singkat durasi operasinya, diikuti
mobilisasi dini pasien, yang potensial meningkatkan lambatnya pemanjangan
blokade (Misirlioglu dkk., 2013).
Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, dengan ditemukannya obat anestesi
lokal, maka rutin dapat dilakukan teknik anestesi regional blok subarakhnoid. Saat ini
obat anestesi lokal yang secara luas dipakai pada blok subarakhnoid yaitu
Bupivakain. Bupivakain adalah obat anestesi lokal jenis amida yang memiliki masa
kerja panjang dan mula kerja yang pendek. Seperti halnya anestesi lokal lainnya,
bupivakain akan menyebabkan blokade yang bersifat reversibel pada perambatan
impuls sepanjang serabut saraf, dengan cara mencegah pergerakan ion-ion natrium
melalui membran sel, ke dalam sel (Gristwood, 2002)
Saat ini dikenal levobupivakain yaitu obat anestesi lokal golongan amida juga
yang memiliki S(-) enantiomer menyebabkan efek toksik pada kardiovakular dan
sistim saraf pusat lebih rendah dibandingkan bupivakain serta memiliki efek poten
yang sama dengan bupivakain ((McClellan dan Spencer, 1998; Bardsley dkk., 1998).
Keuntungan levobupivakain dibandingkan bupivakain yaitu (1)
Ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan kardiovaskular
(2) Batas aman dosis letal 78% lebih besar untuk dapat menyebabkan kematian (3)
Toksisitas kardiak dan susunan saraf pusat yang lebih rendah (4) Potensiasi terhadap
hambatan sensorik dan motorik baik (5) Toksisitas yang dicetuskan levobupivakain
bersifat reversible (6) Perubahan kontraktilitas kardiak dan interval QTc pada
elektrokardiogram yang kecil (7) Efek depresan yang rendah pada
elektroensefalogram (Gristwood, 2002).
Levobupivakain aman dan efektif untuk anestesi blok subarakhnoid (Capogna
dkk., 1999 dan Kopacz dkk., 2000). Potensi anestesi levobupivakain dalam memblok
saraf mirip dengan bupivakain pada penelitian in vivo, dimana perbandingan efek
levobupivakain dan bupivakain, baik dari cara pemberian ataupun konsentrasi obat
adalah sama. Secara umum, onset dan durasi dari blok sensorik dan motorik untuk
levobupivakain ataupun bupivakain dalam dosis yang sama adalah equipotent (Foster
dan Markham, 2000).
Dalam beberapa penelitian diperkirakan bahwa blok motorik levobupivakain
lebih kurang dibandingkan bupivakain. Sehingga dapat disimpulkan potensi
bupivakain = levobupivakain, hambatan motorik bupivakain ≥ levobupivakain,
kardiotoksisitas bupivakain > levobupivakain dan neurotoksisitas bupivakain >
levobupivakain (Viscomy, 2004). Aksi obat anestesi lokal memiliki hubungan antara
farmakologikal dan biofisik. Semua obat anestesi lokal menghambat dan mengikat
channel natrium. Isomer bupivakain mengikat channel natrium lebih kuat dibanding
levobupivakain (Morgan dkk., 2006) sehingga blokade terhadap channel natrium
bupivakain lebih poten yang disebabkan bupivakain lebih bersifat stereoselektif
(Valenzuela dkk., 1995)
Disisi lain levobupivakain terdapat kekurangannya yaitu harganya yang lebih
mahal dibandingkan bupivakain, sekitar 57% lebih mahal sehingga saat ini
levobupivakain masih belum dapat menggantikan bupivakain (Gristwood, 2002)
Ginosar dkk., (2004) melakukan penelitian untuk mencari ED50 dan ED95 untuk
induksi analgesia spinal dengan bupivakain pada bedah sesar dan didapatkan ED50
dan ED95 induksi sukses adalah 7,6 mg dan 11 mg.
Dosis Levobupivakain yang direkomendasikan pada pemberiaan dosis tunggal
maksimum secara intratekal adalah 15 mg (Benhamou dkk., 2000). Pada penelitian
Parpaglioni dkk., 2006 dan Parpaglioni dkk., 2009 bahwa dosis minimum anestesi
lokal levobupivakain intratekal lebih besar dari ED50 untuk seksio sesarea yaitu 10,6
mg dan 6,2 mg. Sedangkan ED50 dan ED95 Levobupivakain intratekal tidak berbeda
dari ED50 (7,25 mg) dan ED95 (13mg) bupivakain isobarik intratekal yang ditambah
dengan fentanil dan morfin (Carvalho dkk., 2005).
Dari penelitian Elizabeth dan Kopacz, 2002 disimpulkan bahwa
levobupivakain merupakan alternatif selain bupivakain pada pasien dengan anestesi
subaraknoid. Efikasi klinis bupivakain terhadap levobupivakain pada anestesi blok
subarakhnoid adalah 1:1. Dosis dalam miligram levobupivakain sama dengan profil
bupivakain untuk blok sensorik dan motorik sampai tercapai kriteria pemindahan
pasien.
Glaser dkk., 2002 pada penelitiannya mendapatkan perbedaan antara transisi
Skala Bromage 0 menjadi 2 lebih cepat pada levobupivakain (4 ± 3 menit)
dibandingkan bupivakain (6 ± 5 menit).
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal yang rutin dipakai pada seksio
sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di RSUP Sanglah. Namun regimen
bupivakain ini memiliki efek samping yang dapat menimbulkan efek kerdiotoksisitas
yang fatal setelah pemberian injeksi intravena dan waktu hambatan pulih motorik
yang lebih lama. Dalam dua dekade terakhir, ditemukan obat anestesi lokal baru yaitu
levobupivakain yang lebih rendah efek samping terhadap kardiak dan
neurotoksisitasnya serta waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat. Pada
penelitian ini, peneliti mencoba membandingkan levobupivakain 0,5% 10 mg dan
bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid
dalam hal waktu pulih hambatan motorik, sehingga levobupivakain menjadi alternatif
selain bupivakain pada pasien seksio sesarea dengan anestesi blok subaraknoid dan
dapat tercapai kriteria pemindahan pasien yang lebih cepat dengan efek samping yang
minimal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, rumusan masalah
penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan waktu pulih hambatan motorik
setelah pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dibandingkan Bupivakain 0,5% 10
mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efikasi pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dibandingkan
Bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid
terhadap waktu pulih hambatan motorik.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk membandingkan waktu pulih hambatan motorik antara pemberian
Levobupivakain 0,5% 10 mg dibandingkan Bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio
sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat praktis
Pemberian levobupivakain 0,5% 10 mg diharapkan dapat menjadi alternatif pada
anestesi blok subarakhnoid pada pasien yang akan menjalani seksio sesarea selain
dengan pemberian Bupivakain 0,5% 10 mg.
1.4.2 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan ilmiah mengenai
pemberian Levobupivakain 0,5 % 10 mg dan Bupivakain 0,5 % 10 mg pada seksio
sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid sehingga dapat digunakan sebagai
pedoman untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Seksio Sesarea
2.1.1 Pengertian
Seksio sesarea adalah melahirkan bayi melalui insisi pada abdomen (laparotomi)
dan uterus (histerotomi). Istilah seksio sesarea berasal dari kata Latin caedere dan
sectio yang keduanya berarti memotong. Saat ini jumlah seksio sesarea lebih dari
30% semua kelahiran dan merupakan pembedahan paling sering dilakukan di
Amerika Serikat dan lebih 1 juta kasus dilakukan setiap tahunnya. Di negara maju
lainnya angka seksio sesarea bervariasi antara 15-30% (Tsen, 2009).
2.1.2 Indikasi
Indikasi seksio sesarea yang paling sering meliputi distosia, malpresentasi,
kondisi gawat janin, riwayat seksio sesarea sebelumnya dan permintaan pasien.
Adanya riwayat seksio sesarea bukan penyebab dilakukannya seksio sesarea pada
kehamilan yang sekarang. Persalinan normal pasien dengan riwayat seksio sesarea
merupakan alternatif pilihan yang menurun penerapannya (Tsen, 2009).
2.1.3 Teknik operasi
Insisi abdomen midline vertikal memungkinkan akses cepat dan paparan
pembedahan lebih besar, sedangkan insisi suprapubik horizontal (Pfannenstiel)
menawarkan sisi kosmetik lebih baik. Insisi uterus low transversal memungkinkan
rendahnya insiden ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan resiko infeksi,
perdarahan, adhesi usus dan omentum lebih sedikit dibandingkan insisi uterus
vertikal. Insisi uterus vertikal digunakan pada keadaan seperti: (1) ketika segmen
bawah rahim belum terbentuk baik (usia kehamilan < 34 minggu), (2) persalinan bayi
prematur pada wanita yang belum inpartu; (3) kehamilan multipel dan atau
malpresentasi. Pada kasus tertentu, insisi uterus vertikal dilakukan pada dinding
anterior (insisi klasik), khususnya pada plasenta previa anterior letak rendah atau
ketika direncanakan histerektomi (Tsen, 2009).
Eksteriorisasi uterus setelah lahirnya bayi membantu visualisasi dan perbaikan
insisi uterus. Efek eksteriorisasi pada perdarahan dan morbiditas masih kontroversi,
namun telah diamati tingginya kejadian mual, muntah, emboli udara vena
intraoperatif dan nyeri postoperatif (Tsen, 2009).
2.1.4 Morbiditas dan mortalitas
Morbiditas dan mortalitas ibu pada seksio sesarea lebih rendah dengan anestesia
neuraksial dibanding anestesia umum. Audit prospektif hasil akhir pasca seksio
sesarea mengindikasikan bahwa pada minggu pertama pasca operasi, kejadian nyeri,
stasis gastrointestinal, batuk, demam, dan depresi lebih rendah pada anestesia
neuraksial dibanding anestesia umum dan mobilisasi lebih cepat. Hasil akhir neonatus
antara teknik anestesi yang berbeda tidak begitu jelas. Skor APGAR dan
neurobehaviour relatif tidak sensitif untuk mengukur kesejahteraan neonatus
sedangkan analisa gas darah tali pusat lebih mencerminkan alasan seksio sesarea
dibandingkan efek perbedaan teknik anestesia (Tsen, 2009).
Komplikasi seksio sesarea meliputi perdarahan, infeksi, tromboemboli, trauma
ureter dan kandung kemih, nyeri abdomen, resiko ruptur uteri pada kehamilan
berikutnya dan kematian. Seksio sesarea non elektif memiliki resiko morbiditas
maternal lebih besar dibandingkan elektif. Resiko kematian maternal seksio sesarea
primer elektif tidak berbeda dengan persalinan normal, tetapi tindakan seksio sesarea
menempatkan ibu pada resiko morbiditas lebih tinggi (dan mungkin mortalitas) pada
kehamilan dan seksio sesarea berikutnya (Tsen, 2009).
2.2 Teknik anestesia
Teknik anestesia yang paling sesuai untuk seksio sesarea tergantung faktor ibu,
janin, dan obstetri. Kedaruratan dan durasi operasi memainkan peranan penting dalam
pemilihan teknik anestesia. (Tsen, 2009).
2.2.1 Anestesia neuraksial versus anestesia umum
Teknik neuraksial (epidural, spinal, CSE) merupakan metode yang dipilih untuk
anestesi pada seksio sesarea, dan keuntungan serta risiko yang ada spesifik pada tiap
teknik yang akan menentukan pemilihannya. Saat ini, anestesia neuraksial dapat
diberikan pada pasien yang pada masa lampau dilakukan anestesia umum. Contohnya
prolaps tali pusat yang masih dapat didekompresi dan status janin masih baik,
plasenta previa, dan preeklampsia berat tidak lagi menjadi indikasi absolut
dilakukannya anestesia umum (Tsen, 2009).
Pada analisa anestesia obstetri di Amerika Serikat tahun 1981-2001, terdapat
peningkatan anestesia neuraksial khususnya anestesia spinal, baik kasus emergensi
maupun elektif. Peningkatan pemakaian anestesia neuraksial untuk seksio sesarea
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1) penggunaan teknik epidural untuk
analgesia persalinan semakin banyak, (2) pengetahuan bahwa kateter epidural dapat
menurunkan perlunya anestesia umum pada kondisi gawat, (3) peningkatan kualitas
anestesia neuraksial dengan penambahan opioid pada anestetik lokal, (4) pemahaman
risiko komplikasi jalan napas saat dilakukan anestesia umum pada ibu hamil, (5)
mengurangi transfer obat ke janin, dan (6) ibu tetap sadar dan melihat suami atau
orang pendukungnya ada di kamar operasi selama proses persalinan (Tsen, 2009).
2.2.2 Anestesia blok subarakhnoid pada Seksio Sesarea
Nama lain anestesi blok subarkhnoid yaitu spinal anestesia, analgesia
subaraknoid, blok spinal, blok araknoid dan anestesia lumbal. Perkembangan
pengetahuan anatomi dan fisiologi ruang subaraknoid serta penemuan obat baru
untuk anestetik lokal menyebabkan anestesia blok subarakhnoid turut berkembang.
Anestesia blok subarakhnoid yaitu menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam
ruang subaraknoid sehingga menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan blok motorik.
Hilangnya aktivitas otonom, sensorik dan motorik diakibatkan karena hambatan saraf
yang bersifat sementara (reversible). Penyuntikan obat anestesi lokal ini biasanya
dilakukan di daerah lumbal pada tingkat medula spinalis berakhir yaitu L2 (Ankcorn
dan Casey, 1993).
2.2.2.1 Fisiologi
Nyeri kala 1 persalinan adalah akibat perubahan segmen bawah rahim dan
serviks. Nyeri dihantarkan oleh saraf aferen visceral dan saraf simpatis, masuk ke
medula spinalis segmen T10-L1. Selama kala 1 akhir dan kala 2, nyeri merupakan
akibat pelebaran dasar pelvis, vagina, dan perineum. Nyeri pelvis dihantarkan oleh
saraf somatik yang memasuki medula spinalis segmen S2-S4 (Wong, 2009).
Pada seksio sesarea, transmisi nyeri melibatkan jalur nosiseptif tambahan.
Deseksi dan manipulasi intraperitoneal melibatkan jalur nyeri visceral yang kurang
terlokalisir. Nyeri visceral dihantarkan oleh jalur setinggi pleksus seliakus. Impuls
nyeri somatik tambahan terjadi akibat stimulasi diafragma karena saraf interkostal
menginervasi sebagian dari diafragma perifer (Wong dkk., 2009).
Perubahan anatomi saat hamil mempengaruhi tehnik anestesi neuraksial.
Pembesaran uterus dan kompresi vena kava menyebabkan pelebaran vena epidural.
Pelebaran vena epidural menggeser cairan serebrospinal ruang subaraknoid regio
torakolumbar. Pergeseran ini menjelaskan rendahnya dosis anestesi spinal pada
wanita hamil. Kebutuhan dosis obat subarakhnoid juga dipengaruhi rendahnya berat
jenis cairan serebrospinalis pasien hamil (Wong dkk., 2009).
Pemberian anestesi neuraksial pada wanita hamil membutuhkan pemahaman
perubahan fisiologis kehamilan. Anestesiologis, obstetrisian, dan perawat harus
mengerti kemungkinan kompresi aortocaval selama anestesi spinal dan epidural.
Hanya 10% wanita hamil menunjukan klinis supine hypotension syndrome, tetapi
simpatektomi dan vasodilatasi akibat anestesi neuraksial menyebabkan wanita lebih
peka terhadap efek kompresi aortocaval. Adanya kompresi aortocaval mempercepat
onset kolaps kardiovaskular selama anestesi spinal total atau tinggi dan resusitasi
menjadi lebih sulit. Pada kasus kolaps kardiovaskular, intubasi endotrakea dikerjakan
untuk ventilasi mekanik dan melindungi paru-paru dari aspirasi (Wong dkk., 2009).
Anestesi lokal bekerja dengan memblok channels sodium membran saraf dan
mencegah hantaran impuls saraf. Pada anestesi spinal, anestesi lokal bekerja langsung
pada jaringan saraf ruang subaraknoid. Regresi anestesi disebabkan oleh penyerapan
vaskuler anestesi lokal pada ruang subaraknoid dan medula spinalis (Wong dkk.,
2009).
2.2.2.2 Teknik
Kontraindikasi anestesi neuraksial meliputi : (1) pasien menolak atau tidak mau
bekerjasama; (2) peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya massa, dapat
menyebabkan herniasi batang otak; (3) adanya kelainan pembekuan darah; (4)
hipovolemia yang tidak terkoreksi; (5) kurangnya latihan atau pengalaman pada
teknik ini. Menghindari anestesi regional pada gangguan ringan pembekuan darah
masih kontroversial. Anestesiologis sebaiknya menimbang resiko dan keuntungan
anestesi neuraksial untuk masing-masing pasien (Wong dkk., 2009).
Posisi Pasien
Wanita hamil cenderung mengalami lordosis lumbalis dan lebih sulit melakukan
fleksi. Tindakan anestesi spinal dapat dikerjakan pada posisi lateral atau duduk.
Banyak pasien obstetri menganggap posisi lateral lebih nyaman saat pemberian
anestesia spinal atau epidural; efek pada aliran balik vena dan curah jantung lebih
sedikit pada posisi lateral dan pemantauan janin lebih mudah. Posisi duduk cenderung
disertai tingginya insiden hipotensi orthostatik dan syncope. Posisi duduk dipilih dan
mungkin diperlukan pada pasien gemuk dimana identifikasi garis tengah menjadi
lebih mudah. Teknik aseptik dikerjakan meliputi pencucian tangan dan pemakaian
topi, masker, dan sarung tangan steril, pemberian desinfeksi kulit yang luas di
punggung dan penggunaan penyekat steril. Sedangkan pemakaian gaun steril masih
kontroversial (Wong dkk., 2009).
Pemilihan obat
Sebagian besar anestesiologis memberikan obat anestesi lokal hiperbarik untuk
anestesi spinal. Penggunaan larutan hiperbarik menimbulkan onset blok lebih cepat
dan ketinggian blok sensoris maksimal dengan durasi blok lebih singkat. Di Amerika
serikat, obat yang sering dipilih adalah bupivakain. Bupivakain, tetrakain,
levobupivakain, dan ropivakain memberikan durasi kerja intermediate hingga
panjang. Dosis bupivakain intratekal yang dilaporkan berhasil untuk anestesi seksio
sesarea berkisar antara 4,5-15 mg (Wong dkk., 2009). Dosis levobupivakain yang
direkomendasikan pada pemberiaan dosis tunggal maksimum secara intratekal adalah
15 mg (Benhamou dkk., 2000). Dosis minimum anestesi lokal levobupivakain
intratekal lebih besar dari ED50 untuk seksio sesarea yaitu 6,2 mg (Parpaglioni dkk.,
2009).
Larutan bupivakain yang hiperbarik cenderung akan menyebar ke kaudal pada
pasien dengan posisi terlentang bila disuntikkan di Lumbal 4 ke bawah sedangkan
bila disuntikan di Lumbal 3 ke atas akan menyebar ke cephalad, ini sesuai dengan
lekuk tulang belakang (Xu dkk., 2005). Martin dkk., pada penelitiannya tentang obat
anestesi lokal isobarik dan hiperbarik pada anestesi spinal menyatakan posisi duduk
setelah blok subarakhnoid dengan larutan yang isobarik > 2,5 menit menyebabkan
penyebaran kearah cephalad lebih cepat. Larutan isobarik diposisikan duduk selama
2,7 menit setelah blok subarakhnoid kemudian posisi pasien pada kedua kelompok
segera ditidurkan setelah blok subarakhnoid.
Larutan yang isobarik pada suhu tubuh (barisitas pada suhu 37ºC) akan menjadi
sedikit hipobarik sehingga akan menghasilkan penyebaran yang lebih cepat ke arah
cephalad, dan tidak menyebar jauh (menetap) dari CSS sebelum melekat pada medula
spinalis sedangkan yang hiperbarik cenderung menyebar lebih jauh ke arah caudal
sebelum melekat pada medula spinalis sehingga hal ini akan menghasilkan blok
motorik yang juga lebih cepat. Xu dkk., pada penelitiannya larutan hiperbarik lama
kerja lebih panjang bila awal penyuntikan dilakukan pada posisi lateral dekubitus.
2.2.2.3 Keuntungan
Keuntungan anestesia blok subarakhnoid (Ankcorn dan Casey, 1993) :
1. Biaya minimal.
2. Masa pulih cepat dan efek sampingnya sedikit.
3. Anestesia spinal menimbulkan efek minimal pada sistem pernapasan selama
tidak terjadi blok yang tinggi.
4. Resiko obstruksi jalan napas dan aspirasi isi lambung lebih kecil karena
pasien masih sadar.
5. Anestesia spinal menimbulkan relaksasi otot yang sangat baik untuk operasi
abdomen bawah dan ekstremitas bawah.
6. Perdarahan yang terjadi lebih sedikit pada anestesia spinal dibandingkan
anestesia umum karena turunnya tekanan darah dan meningkatnya drainase
vena.
7. Tanda-tanda hipoglikemia lebih mudah dikenali pada pasien yang masih sadar
dan setelah operasi pasien dapat segera makan seperti biasa karena efek
sedasi, mual dan muntah yang kecil.
8. Aliran darah splanchnik meningkat karena aliran darah ke usus meningkat.
9. Usus berkontraksi dan sfingter relaksasi meskipun peristaltik tetap ada, fungsi
usus cepat kembali normal setelah operasi.
10. Trombosis vena dalam pasca operasi dan emboli paru sangat jarang terjadi.
11. Paling baik digunakan untuk operasi daerah di bawah umbilikus, seperti
herniotomi, operasi ginekologi, obstetrik dan urologi.
Dalam bidang obstetrik, anestesia blok subarakhnoid biasa digunakan untuk
operasi bedah sesar (jika tidak terdapat hipotensi). Terdapat keuntungan untuk ibu
dan bayi pada operasi bedah sesar. Bayi yang lahir dari bedah sesar dengan anestesia
spinal lebih sadar dan tidak tersedasi selama tidak mendapat obat anestetik melalui
sirkulasi uteroplasenta. Sedangkan pada ibu, jalan napas paten dan resiko aspirasi isi
lambung yang menyebabkan pneumonitis kimiawi (sindrom Mendelson) lebih kecil
(Ankcorn dan Casey, 1993).
Banyak ibu yang menjalani operasi bedah sesar lebih memilih untuk tetap sadar
selama operasi dan dapat menyusui bayinya sesegera mungkin. Tetapi disamping itu
juga terdapat kekurangan anestesia blok subarakhnoid pada ibu hamil. Mungkin akan
sulit melakukan anestesia blok subarakhnoid jika fleksi lumbal terhambat oleh adanya
uterus yang membesar dan jika persalinan telah mulai, si ibu mungkin tidak bisa tetap
dalam posisi saat terjadi kontraksi (Ankcorn dan Casey, 1993).
2.2.2.4 Kerugian
Kerugian anestesia blok subarakhnoid (Ankcorn dan Casey, 1993):
1. Kadang-kadang sulit untuk menentukan ruang subaraknoid dan mendapatkan
cairan serebrospinal.
2. Waktu induksi anestesia spinal bisa menjadi lama jika anestesia blok
subarakhnoid dilakukan oleh orang yang belum terlatih.
3. Beberapa pasien tidak nyaman secara psikologi jika sadar saat dilakukan
operasi.
4. Hipotensi dapat terjadi jika blok terlalu tinggi, ahli anestesi harus mengetahui
penatalaksanaan hipotensi dan obat-obat serta alat-alat resusitasi harus
tersedia.
5. Meskipun menggunakan obat analgetika lokal kerja lama, anestesi blok
subarakhnoid biasanya tidak sesuai untuk operasi yang berlangsung lebih dari
dua jam.
6. Terdapat resiko secara teoritis untuk menyebarkan infeksi ke dalam ruang
subaraknoid dan menyebabkan meningitis. Hal ini seharusnya tidak terjadi
jika prosedur dilakukan dengan prinsip a dan antisepsis yang benar.
7. Sakit kepala karena perubahan posisi mungkin terjadi pasca operasi
(postdural puncture headache), tetapi jarang.
2.3 Komplikasi anestesi
2.3.1 Sesak nafas
Keluhan sesak nafas setelah anestesi neuraksial dapat terjadi. Penyebab paling
sering adalah hipotensi yang menyebabkan hipoperfusi batang otak, sehingga
penilaian dan penanganan tekanan darah perlu dilakukan. Penyebab lainnya yaitu
blok proprioseptif thorak, blok parsial otot abdomen dan interkostal, dan posisi
rekumben yang meningkatkan tekanan abdomen terhadap diafragma. Gangguan
signifikan respirasi jarang terjadi, karena blok neuraksial jarang mempengaruhi
nervus servikalis yang mengkontrol diafragma (Tsen, 2009).
Jika pasien kehilangan kemampuan berbicara, menggenggam erat, dan saturasi
oksihemoglobin turun (gejala anestesi spinal tinggi), anestesi umum intubasi rapid-
sequence induction dengan penekanan krikoid dilakukan untuk ventilasi dan
melindungi paru dari aspirasi cairan lambung (Tsen, 2009).
2.3.2 Hipotensi
Definisi hipotensi maternal masih kontroversial, namun peneliti menerima
definisi berikut: (1) penurunan tekanan darah sistolik >20% nilai basal atau (2)
tekanan darah sistolik <100 mmHg. Anestesia neuraksial menyebabkan hipotensi saat
blok saraf simpatis, yang mengontrol tonus otot polos vaskuler. Blok simpatis
preganglionik menyebabkan peningkatan kapasitansi vena, menggeser sebagian besar
volume darah ke dalam splanknik dan ekstremitas bawah sehingga menurunkan aliran
balik ke jantung. Juga terjadi penurunan resistensi pembuluh darah pre dan pasca
kapiler. Luasnya blok simpatis dan derajat hipotensi yang terjadi ditentukan oleh
onset dan penyebaran blok neuraksial sehingga hipotensi jarang terjadi pada anestesia
epidural karena onset blok lebih lambat (Tsen, 2009).
Faktor resiko terjadinya hipotensi
Penelitian menemukan bahwa denyut jantung basal >90 x/menit memiliki
kemungkinan 83% mengalami hipotensi bermakna (penurunan tekanan darah >30%),
sedangkan denyut jantung basal <90 x/menit memiliki kemungkinan 75% tidak
mengalami hipotensi bermakna. Respon ibu hamil terhadap tes stres supinasi
preoperatif akan memprediksi terjadinya gejala pada ibu, perlunya efedrin, atau
penurunan tekanan darah <80 mmHg saat anestesia spinal pada seksio sesarea.
Sampai saat ini, cara memprediksi ibu hamil akan mengalami hipotensi setelah
anestesia neuraksial pada seksio sesarea belum terbukti secara klinis; karena adanya
berbagai faktor yang mengontrol perubahan fisiologi, hormonal dan respon
hemodinamik saat kehamilan (Tsen, 2009).
Pencegahan hipotensi
Beberapa cara digunakan, termasuk penempatan uterus ke kiri, prehidrasi untuk
ekspansi volume darah, pemberian vasopresor, dan elevasi tungkai. Pada penelitian
Cyna dan kolega didapatkan bahwa intervensi berikut menurunkan insiden hipotensi:
(1) preload kristaloid 20 mL/kg versus kontrol (2) preload koloid versus kristaloid,
(3) profilaksis dengan efedrin versus kontrol, dan (4) alat kompresi ekstremitas
bawah versus kontrol. Peneliti menyimpulkan koloid lebih efektif dibandingkan
kristaloid; tidak ada perbedaan untuk dosis berbeda, laju, maupun metode pemberian
koloid atau kristaloid. Ueyama dan kolega menyatakan bahwa pemberian 1,5 L ringer
laktat, 0,5 L HES 6%, atau 1 L HES 6% sebelum anestesia spinal pada seksio sesarea
terkait insiden hipotensi (TDS <100 mmHg dan < 80% basal) sebesar 75%, 58%, dan
17% secara berturutan. Hanya 28% Ringer laktat dan 100% HES tetap di
intravaskuler pada 30 menit. Penemuan ini menegaskan pentingnya waktu pemberian
cairan preanestesia dan efek yang dihasilkan pada curah jantung. Lebih lanjut lagi,
pemberian cepat 1500-2000 mL cairan menyebabkan pelepasan atrial natriuretic
peptide, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan sensitivitas terhadap
vasokonstriktor (Tsen, 2009).
Penggunaan bebat kompresi ekstremitas bawah atau boot yang bisa mengembang
digunakan untuk pencegahan hipotensi. Pneumatic compression devices juga dapat
mencegah komplikasi tromboemboli (Tsen, 2009).
Penanganan hipotensi
Selama kehamilan, pemberian vasopresor menyebabkan kontriksi arteri femoralis
lebih besar dari arteri uterina, sehingga meningkatkan tekanan darah dan melindungi
aliran darah uterus. Mekanisme kedua yaitu upregulation nitric oxide sintase (NOS)
pada arteri uterina saat kehamilan. Adanya NOS menyebabkan arteri kurang sensitif
terhadap vasopresor; efek ini diperkuat oleh efedrin, obat yang secara independen
menyebabkan pelepasan NOS (Tsen, 2009).
Pemberian efedrin dapat menyebabkan takikardi. Takikardia disebabkan oleh
aktivitas beta-adrenergik. Agen vasopressor ini harus diberikan sesegera mungkin
setelah tekanan darah mulai turun, dibanding menunggu hipotensi yang nyata terjadi.
Efedrin diberikan intravena bolus dosis 5-10 mg (Tsen, 2009).
2.3.3 Kegagalan blok neuraksial
Gagalnya blok neuraksial didefinisikan sebagai ketidakcukupan blok baik luas,
densitas, atau durasi. Penyebab kegagalan antara lain faktor anatomi, teknik dan
obstetri. Bila blok tidak terjadi dan masih ada waktu, anestesia neuraksial dapat
diulang. Namun pada kondisi darurat mungkin diperlukan anestesia umum (Tsen,
2009).
Beberapa pelaku anestesia rutin memberikan dosis suplementasi, tanpa
menunggu pasien mengeluh nyeri. Pemberian opioid intravena (fentanyl), inhalasi
nitrous oksida (40-50% dalam oksigen), atau sedasi intravena (midazolam) dapat
membantu menangani breakthrough pain. Nyeri berat dapat diberikan ketamin
intravena dosis 5-10 mg (Tsen, 2009).
2.3.4 Blok neuraksial tinggi
Tidak jarang pasien mengeluh sesak nafas ringan atau penurunan kemampuan
batuk, khususnya bila blok mencapai level T2. Jika terjadi gangguan fonasi,
penurunan kesadaran, depresi napas atau gangguan ventilasi, pemberian anestesia
umum harus dilakukan. Blokade neuraksial tinggi disebabkan oleh beberapa
mekanisme, termasuk penyebaran cepat obat spinal atau epidural dan masuknya obat
epidural ke intratekal atau subdural yang tidak sengaja (Tsen, 2009).
2.3.5 Mual dan muntah
Mual dan muntah dapat terjadi karena disebabkan oleh multifaktor, secara garis
besar faktor-faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 faktor yaitu:
1. Faktor pasien, meliputi umur, jenis kelamin, kegemukan, riwayat motion
sickness, terlambatnya pengosongan lambung dan riwayat merokok. Wanita
dewasa 2-4 kali lebih besar resiko terjadinya mual muntah dibandingkan pada
pria dewasa. Pasien hamil yang gemuk memiliki resiko lebih tinggi terjadi
mual muntah hal ini karena banyaknya jaringan lemak sebagai tempat
penyimpanan obat anestesi atau karena produksi estrogen oleh jaringan lemak.
Pasien dengan keterlambatan pengosongan lambung seperti pada pasien yang
hamil akan memiliki resiko mual muntah lebih tinggi.
2. Faktor preoperatif yang meliputi puasa, kecemasan, alasan pembedahan dan
obat premedikasi. Puasa yang terlalu lama pada persiapan operasi elektif dan
pemberian makanan sebelum operasi dapat meningkatkan kejadian mual
muntah. Stres psikologi dan kecemasan sebelum operasi menjadi predisposisi
terjadinya mual muntah. Operasi yang berhubungan dengan kehamilan dan
gastrointestinal akan meningkatkan resiko mual muntah. Pemberian obat
premedikasi seperti opioid seperti morfin dan petidin meningkatkan sekresi
gastrik, mengurangi motilitas usus dan menghambat pengosongan lambung.
3. Faktor intraoperatif, meliputi faktor anestesi, teknik anestesi dan faktor
pembedahan. Alasannya adalah penurunan aliran darah serebral sebagai
konsekuensi terjadinya hipotensi. Alasan lainnya berhubungan dengan level
blok yang dicapai, karena terjadi peningkatan level blok yang dicapai, atau
karena penarikan struktur peritonial selama operasi karena level blok yang
tidak adekuat (Guler dkk., 2012). Lokasi operasi berhubungan dengan
tingginya kejadian mual muntah karena operasi di daerah abdomen dan
operasi obstetri/ginekologi. Penyebab mual dan muntah intraoperatif antara
lain hipotensi dan peningkatan aktivitas vagus, stimulus bedah, perdarahan,
obat (misalnya uterotonika, antibiotik) dan pergerakan pasien diakhir
pembedahan. Hipotensi menyebabkan hipoperfusi serebral dan batang otak,
dan stimulasi medula pusat muntah. Hipotensi juga menyebabkan iskemia
saluran cerna dengan pelepasan substansi emetogenik (misalnya serotonin)
dari usus. Pemantauan tekanan darah yang baik intraoperatif dapat
menurunkan kejadian emesis (Tsen, 2009).
Agen uterotonika berkontribusi pada mual dan muntah intraoperatif. Alkaloid
ergot berinteraksi dengan reseptor dopaminergik dan serotonergik. Oksitosin
menyebabkan mual dan muntah akibat hipotensi yang terjadi akibat pelepasan
nitric oxide dan atrial natriuretic peptide. Pemberian 15-metil-prostaglandin
F (Hemabate) menyebabkan mual lewat stimulasi otot polos traktus
gastrointestinal. Stimulasi bedah termasuk eksteriorisasi uterus, manipulasi
intraabdomen, dan traksi peritoneum dapat menyebabkan nyeri viseral dan
mual yang terjadi lewat stimulasi serat vagal dan aktivasi pusat muntah.
(Tsen, 2009).
4. Faktor pascaoperasi meliputi nyeri, pusing, mobilisasi, makan awal
pascaoperasi.
Algoritma penanganan mual muntah yaitu, pertama mengidentifikasi pasien
dengan resiko mual muntah. Kedua, mengurangi dasar resiko terjadinya mual muntah
pada penelitian ini dengan strategi meminimalkan penggunaan opioid dan hidrasi
yang adekuat. Ketiga, pemberian profilaksis mual muntah dengan 1-2 jenis obat pada
pasien dewasa dengan resiko moderat mual muntah. Keempat, pemberian terapi
profilaksis dengan kombinasi ≥ 2 obat/multimodal terapi pada pasien dengan resiko
tinggi untuk mual muntah. Kelima, pemberian profilaksis terapi antimuntah yang
sama dengan dewasa pada anak dengan resiko mual muntah. Keenam, pemberian
terapi antimuntah untuk pasien mual muntah yang tidak mendapatkan profilaksis atau
pada pemberian profilaksis yang gagal. Ketujuh, memastikan pencegahan dan terapi
mual muntah diterapkan secara klinis. Kedelapan, penggunaan secara umum preventif
multimodal untuk memfasilitasi diterapkannya kebijakan anti mual muntah (Gan
dkk., 2014)
2.3.6 Menggigil
Menggigil intraoperatif dan pascaoperatif disebabkan oleh karena vasodilatasi
sehingga terjadi penguapan panas, anestesi spinal juga menghambat pelepasan
katekolamin sehingga akan menekan produksi panas akibat metabolisme (Atkinson
dkk., 1992). Menggigil dapat berpotensi menimbulkan beberapa skuele antara lain
meningkatkan aktifitas otot yang akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi
CO2, hipertensi, takikardi, peningkatan cardiac output, pelepasan katekolamin, dan
peningkatan tekanan intraokuli. Menggigil selama anestesi spinal dapat dicegah
dengan mempertahankan suhu ruang operasi optimal, pemberian selimut, memakai
penghangat infus, pemberian pethidin 25 mg atau klonidin 150 mcg intravena.
Pethidin menjadi agen yang paling efektif secara konsisten (Tsen, 2009).
2.3.7 Nyeri paskaoperatif
Nyeri pasca operasi memiliki dua komponen, somatis dan viseral. Pendekatan
multimodal memberikan analgesia yang efektif pasca seksio sesarea, meliputi
pemberian NSAID. Beberapa peneliti kuatir akan penggunaan NSAID pada ibu
menyusui, namun American Academy of Pediatrics telah menyatakan bahwa
ibuprofen dan ketorolak dapat diberikan pada ibu menyusui (Tsen, 2009).
2.3.8 Toksisitas obat anestesi lokal
Reaksi toksis yang cepat umumnya bila terjadi suntikan intravaskuler atau dosis
besar subarakhnoid. Pemberian dosis obat yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat
dapat membawa kearah toksisitas sistemik setelah absorbsi vaskuler obat anestesi
lokal tersebut. Efek samping yang spesifik dihubungkan dengan beberapa obat
tertentu, misalnya: (1) Alergi oleh grup aminoester atau jenis prokain (procaine like
drug). (2) Met Hb-anemia, setelah pemberian prilokain. (3) Adiksi, setelah pemberian
kokain. (4) Toksisitas kardiak, karena bupivakain. (5) Iritasi neural lokal, oleh
kloroprokain (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013).
Kejadian intoksikasi antara 0,2-1,5%. Bila diberikan adrenalin 1/200.000 sebagai
vasokonstriktor untuk mengurangi absorbsi vaskuler, maka kejadian intoksikasi akan
menurun. Kontraindikasi adrenalin adalah pasien takikardi, hipertensi, dan aritmia.
Waktu dari penyuntikan sampai gejala intoksikasi, bila terjadi suntikan intravena 15-
30 detik, bila over dosis 5-30 menit. Pengaruh toksisitas tergantung dari kadar obat
anestesi lokal dalam plasma. Bila kadarnya 4 µg/ml terjadi gejala kepala terasa
melayang, pusing, tinnitus. Bila kadarnya 6 µg/ml gejalanya gangguan penglihatan,
disorientasi, dan ngantuk. Bila kadarnya 10 µg/ml gejalanya tidak sadar, twitching
otot, tremor (muka, ujung eksrimitas). Bila 12 µg/ml timbul kejang-kejang, dan bila
kadarnya 20 µg/ml terjadi henti nafas. Toksisitas sistemik obat anestesi lokal secara
primer umumnya mengenai susunan saraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Pada
umumnya SSP lebih dahulu terkena daripada sistem kardiovaskuler. Toksisitas SSP
berhubungan dengan potensi obat yaitu obat yang lebih poten toksisitasnya jauh lebih
berat, kadar CO2 dimana bila kadar CO2 darah meningkat maka ambang konvulsi
menurun, dan pH darah yang menurun maka ambang konvusi menurun (Lalenoh dan
Wahjoeningsing, 2013).
Obat anestesi lokal dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistem
kardiovaskuler, yaitu mempengaruhi otot jantung, dan otot polos dinding pembuluh
darah. Lidokain digunakan untuk terapi aritmia (Ventricular Ekstrasistole). Efek
primer dari lidokain adalah menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi.
Semakin poten obat anestesi lokal tersebut, makin kuat mendepresi jantung. Hal ini
terlihat pada bagan dibawah ini (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013).
Gambar 2.1 Toksisitas kardiovaskuler akibat obat anestesi lokal (Lalenoh, 2013)
Pencegahan terjadinya komplikasi adalah dengan mencegah overdosis dengan
memberikan obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan, hati-hati terjadi penyuntikan
intravena dengan cara teknik yang benar, sering diaspirasi, test dose 10% dari dosis
total, kenali gejala awal toksisitas, terus kontak verbal dengan pasien, monitor nafas,
tekanan darah, dan frekuensi nadi (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013)
2.4 Obat Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal adalah senyawa kimia yang bekerja dengan memblok proses
konduksi pada saraf perifer jaringan tubuh yang sifatnya sementara/reversible
(Gambar 2.2) (Morgan dkk., 2002; Stoelting dan Hiller, 1999).
Hipertensi-takikardi Berhubungan dengan toksisitas SSP
Efek inotropik negatif Penurunan curah jantung Hipotensi ringan-sedang
Vasodilatasi perifer Hipotensi berat
Sinus bradikardia Kolaps kardiovaskuler
Defek konduksi Aritmia ventrikuler
Kolaps kardiovaskuler
Gambar 2.2 Lokasi kerja obat anestesi lokal (Katzung, 2014)
Secara umum, pemberian analgetika lokal ke serabut saraf menghasilkan
gangguan depolarisasi membran sel tersebut sehingga mencegah terjadinya konduksi
dan impuls. Keutuhan sel dan metabolisme tidak terpengaruh, hanya saja jika larutan
analgetika lokal telah mencapai konsentrasi yang memadai, depolarisasi tidak akan
terjadi walaupun terdapat stimulus listrik. Konduktansi Na+ ke dalam sel (yang
normalnya menghasilkan depolarisasi) diblokade. Repolarisasi yang berhubungan
dengan keluarnya K+ melalui channel spesifik K+ tetap tidak terganggu (Wlody,
2003). Dengan peningkatan konsentrasi analgetika lokal, ketinggian potensial aksi
dikurangi, nilai ambang/threshold meningkat, penyebaran konduksi impuls
diperlambat dan periode refrakter diperpanjang. Akhirnya, konduksi saraf terblok
sempurna (Stoelting dan Hiller, 1999).
Obat anestesi lokal bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor
spesifik pada permukaan dalam dari channel natrium (Gambar 2.3a dan Gambar
2.3b). Jadi tempat kerja obat anestesi lokal adalah pada membran sel saraf, dimana
pada saraf bermielin, obat anestesi lokal bekerja pada nodus Ranvier. Dua atau tiga
nodus yang berdekatan harus terkena supaya konduksi tidak terjadi, paling sedikit 6-
10 mm dari serabut saraf harus terpapar anestetik lokal (Stoelting dan Hiller, 1999;
Heavner, 2008; Nostrand, 2014).
Gambar 2.3a Channel natrium pada membran sel (Nostrand, 2014)
Gambar 2.3b Ikatan obat anestesi lokal pada channel natrium (Nostrand, 2014) Impuls dikonduksikan di sepanjang akson sel saraf sesudah adanya eksitasi
kimia, mekanis atau elektris. Kebanyakan analgetika lokal berikatan pada channel
Na+ dalam keadaan inaktif, mencegah aktivasi channel selanjutnya dan influks Na+
dalam jumlah sementara yang cukup besar (menurunkan permeabilitas membran sel
saraf terhadap ion Na+) yang berhubungan dengan depolarisasi membran. Hal ini
tidak merubah potensial membran istirahat atau potensial ambang tapi memperlambat
depolarisasi. Potensial aksi tidak tercapai karena potensial ambang tidak pernah
terlewati. Dengan demikian maka potensial aksi tidak dapat diteruskan dan terjadilah
blokade saraf (Gambar 2.4a dan 2.4b) (Stoelting dan Hiller, 1999; Nostrand, 2014).
Gambar 2.4a Obat anestesi lokal menghambat potensial aksi (Nostrand, 2014)
Gambar 2.4b Mekanisme aksi obat anestesi lokal (Nostrand, 2014)
2.4.1. Struktur Obat Anestesi Lokal
Umumnya senyawa kimia obat anestesi lokal yang dipakai mempunyai
komponen kimia yang menunjukkan aktifitas lokal anestesi yaitu mempunyai ujung
aromatik, ujung amine, dan rantai perantara (intermediate chain) (Lalenoh dan
Wahjoeningsing, 2013; Heavner, 2008; Nostrand, 2014).
Gambar 2.5 Komponen kimia obat anestesi lokal (Nostrand, 2014) Komponen aromatik berupa hidrofobik, sedangkan komponen amine berupa
hidrofilik, umumnya berupa amino tersier atau sekunder. Pengubahan struktur
molekul akan menyebabkan perubahan sifat fisikokimia yang akan mempengaruhi
potensi dan toksisitas dari obat analgetika lokal tersebut. Oleh karena kelarutan dalam
lemak merupakan determinan penting dalam potensi anestetik maka perubahan pada
komponen aromatik atau amine akan mempengaruhi potensi zat anestetik tersebut.
Pemanjangan rantai perantara sampai dicapai suatu panjang kritis cenderung akan
meningkatkan potensi anestetik. Peningkatan derajat pengikatan protein akan
memperpanjang lama kerja obat analgetika lokal (Heavner, 2008).
Klasifikasi obat anestesi lokal juga dibuat berdasarkan perubahan ikatan pada
komponen aromatiknya. Adanya ikatan ester di antara residu aromatik dan rantai
perantara dikenal dengan obat anestesi lokal golongan amino-ester seperti Prokain,
Kloroprokain dan Tetrakain; Sedangkan obat anestesi lokal dengan ikatan amida
antara ujung aromatik dan rantai perantara dikenal dengan golongan amino-amida,
antara lain Lidokain, Mepivakain, Bupivakain Etidokain, dan Levobupivakain
(Heavner, 2008).
Perbedaan dasar antara golongan ester dan amide adalah dalam cara metabolisme
obat dan potensial alerginya. Golongan ester dihidrolisa diplasma oleh
pseudocholinesterase, sedangkan golongan amide dipecah oleh enzim di liver.
Metabolit hasil hidrolisa golongan ester adalah paraaminobenzoic acid yang dapat
menimbulkan reaksi alergi. Metabolisme golongan amide tidak menghasilkan
paraaminobenzoic acid dan laporan adanya reaksi dengan obat golongan ini sangat
jarang (Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013).
Sifat-sifat fisikokimia yang mempengaruhi obat anestesi lokal (Heavner, 2008;
Lalenoh dan Wahjoeningsing, 2013):
a. Kelarutan dalam lemak
Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik obat anestesi lokal
tersebut. Obat-obat yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi akan
lebih mudah menembus membran sel. Secara umum dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi kelarutan dalam lemak maka semakin poten dan semakin lama
kerja obat analgetika lokal tersebut. Kelarutan dalam lemak prokain <1, dan
obat ini paling kecil potensinya. Sebaliknya koefisien partisi bupivakain,
tetrakain dan etidokain bervariasi dari 30 sampai 140, menunjukkan kelarutan
dalam lemak yang tinggi. Obat ini menunjukkan blokade konduksi pada
konsentrasi yang sangat rendah karena potensi intrinsik anestesinya 20 kali
lebih besar dari prokain. Hubungan antara kelarutan dalam lemak dan potensi
intrinsik selalu konsisten dengan komposisi lipoprotein dari membran sel
saraf. Karena itu obat anestesi lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat
menembus membran saraf dengan lebih mudah yang direfleksikan sebagai
peningkatan potensi.
b. Ikatan protein
Kekhasan ikatan protein adalah mempengaruhi lama kerja obat anestesi local
tersebut. Bupivakain ikatan proteinnya tinggi sehingga lama kerjanya paling
panjang. Hubungan antara ikatan protein obat anestesi lokal dan lama
kerjanya adalah konsisten dengan struktur dasar membran saraf. Protein
membran saraf ±10 %. Karena itu obat yang diikat pada protein membran
bertendensi untuk memperpanjang lama aktifitas obat. Ikatan dengan protein
akan mengurangi jumlah bentuk bebas molekul obat analgetika lokal.
Banyaknya molekul yang terikat dianggap sebagai persediaan untuk
memelihara blok saraf.
c. Konstanta disosiasi (pKa)
pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH dimana zat yang terionisasi
dan zat yang tidak terionisasi ada dalam keseimbangan. Obat anestesi lokal
yang tidak berubah bentuk, bertanggung jawab untuk difusi menembus
selubung saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan
menembus epineurium yang korelasi dengan jumlah obat dalam bentuk dasar.
Presentasi dari obat anestesi lokal dalam bentuk dasar bila disuntikkan dalam
ke dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4 adalah sebaliknya proporsional
pada pKa obat tersebut. Semakin kecil nilai pKa suatu zat atau semakin besar
pHnya maka semakin besar persentase zat tersebut yang tidak terionisasi.
Derajat ionisasi berpengaruh penting dalam aksi dan distribusi obat, oleh
karena hanya bentuk yang tidak terionisasi yang dapat menembus membran
sel (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Derajat ionisasi obat anestesi lokal menembus membran sel
(Edgcombe dan Hocking, 2005)
Derajat ionisasi dari suatu senyawa bergantung pada sifat senyawa (asam
atau basa), konstanta disosiasi (pKa) dan pH medium dimana senyawa
tersebut berada. Dari penelitian invitro, obat anestesi lokal yang mempunyai
pKa hampir mendekati pH jaringan mempunyai mula kerja yang lebih cepat
daripada obat anestesi lokal dengan pKa yang tinggi.
d. Non Nervous tissue diffusibility
Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi melalui perinerium. Pada
invivo, obat anestesi lokal harus menembus jaringan pengikat yang bukan
jaringan saraf. Ada perbedaan kecepatan menembus jaringan yang bukan
saraf. Contoh: Prokain dan kloroprokain mempunyai pKa yang sama dan
onset time yang sama pada saraf yang diisolasi (invitro), tetapi pada invivo
onset time kloroprokain lebih pendek daripada prokain. Hal ini menunjukkan
bahwa kloroprokain lebih cepat menembus jaringan yang bukan jaringan
saraf.
e. Intrinsic Vasodilator Activity
Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja. Tingkatan dan lamanya
blokade saraf dihubungkan dengan jumlah obat anestesi lokal yang menembus
ke reseptor pada membran saraf. Setelah suntikan obat anestesi lokal,
sebagian obat akan diambil jaringan saraf dan beberapa bagian lainnya akan
diabsorbsi ke dalam sistem sirkulasi. Derajat absorbsi vaskuler berhubungan
dengan aliran darah ke daerah dimana obat anestesi lokal disuntikkan. Semua
obat anestesi lokal (kecuali kokain) bersifat vasodilator, tetapi derajat
vasodilatasi yang ditimbulkan oleh setiap obat berbeda-beda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal dalam cairan
serebrospinal (Morgan dkk., 2006) :
1. Umur
Semakin bertambahnya umur, ruang subaraknoid dan epidural menjadi lebih
kecil dan terjadi penurunan progresif dari cairan serebrospinal. Hal ini
menyebabkan penyebaran obat analgetika lokal lebih ke sefalad. Makin
bertambahnya umur, ketinggian analgesia yang dicapai makin tinggi.
2. Tinggi badan
Makin tinggi pasien, makin panjang medula spinalisnya dan volume cairan
serebrospinal dibawah L2 makin banyak sehingga pasien yang tinggi
memerlukan dosis yang lebih besar daripada pasien yang pendek.
3. Berat badan
Pada pasien gemuk terjadi penurunan volume cairan serebrospinal
berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural, sehingga
mempengaruhi penyebaran obat analgetika lokal dalam ruang subaraknoid.
Penelitian klinis mengindikasikan bahwa obesitas hanya sedikit berpengaruh
terhadap penyebaran obat analgetika lokal dalam cairan serebrospinal.
4. Jenis kelamin
Jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran obat anaestesi
lokal dalam cairan serebrospinal sepanjang semua faktor yang berpengaruh
adalah tetap.
5. Tekanan intra abdominal
Peningkatan tekanan intra abdominal sering dikaitkan dengan peningkatan
penyebaran obat anestesi lokal dalam ruang subaraknoid.
6. Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal
dalam cairan serebrospinal.
7. Tempat penyuntikan
Penyuntikan obat pada L2-3 atau L3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah
kranial, sedangkan penyuntikan pada L4-5, karena bentuk vertebra,
memudahkan obat berkumpul di daerah sakral.
8. Kecepatan penyuntikan
Makin cepat penyuntikan obat makin tinggi tingkat analgesia yang tercapai.
9. Dosis
Makin besar dosis makin besar intensitas blok.
10. Berat jenis
Berat jenis obat adalah berat dalam gram dari 1 ml cairan itu (gram/ml).
Barisitas adalah perbandingan antara berat jenis obat dengan cairan
serebrospinal. Penyebaran obat hiperbarik dan hipobarik dalam cairan
serebrospinal dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik selama
dan setelah penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien.
11. Konsentrasi larutan
Pada umumnya, tinggi analgesia meningkat dengan bertambahnya kepekatan
konsentrasi larutan obat analgesia lokal.
12. Manuver Valsava
Mengejan akan meninggikan tekanan cairan serebrospinalis sehingga
analgesia yang dicapai lebih tinggi, terutama bila dilakukan oleh pasien segera
setelah obat disuntikkan dalam ruang subaraknoid.
2.4.2. Bupivakain
2.4.2.1 Struktur kimia
Bupivakain merupakan obat analgetika lokal golongan amida sintetik yang
pertama kali dibuat oleh A.F. Ekenstam tahun 1957 dan dipasarkan dengan nama
Marcain (Mulroy, 2002). Nama kimia bupivakain adalah “1-n-butyl-DL-piperidine-
2-carboxylic acid-2,6 dimethylanilide hydrocloride” (Gambar 2.7a). Struktur
kimianya mirip dengan mepivakain, perbedaannya pada rantai yang lebih panjang
dengan tambahan tiga grup metil pada cincin piperidin. Keadaan ini menyebabkan
kelarutan terhadap lemak dan ikatan obat dengan protein meningkat (Guler dkk.,
2012).
Gambar 2.7a Rumus kimia bupivakain (Guler dkk, 2012).
2.4.2.2 Farmakodinamik
Potensi bupivakain hampir 3-4 kali lipat daripada lidokain dan 8 kali dari
prokain. Masa kerja 2-3 kali lebih lama dibandingkan mepivakain atau lidokain, serta
20-25% lebih lama dari tetrakain. Oleh karena pKa bupivakain lebih tinggi (8,1)
maka mula kerja obat ini lebih lama (5-7 menit) dan analgesia adekuat dicapai dalam
15-25 menit (Mulroy, 2002).
2.4.2.3 Farmakokinetik
Bupivakain dapat ditemukan dalam darah dalam waktu 5 menit setelah infiltrasi
atau setelah pemberian melalui epidural atau blok saraf interkostal. Absorpsi ke
dalam pembuluh darah bergantung pada dosis obat yang diberikan. Di dalam plasma
70-90% bupivakain berikatan dengan protein (Mulroy, 2002).
Bupivakain merupakan obat analgetika lokal golongan amida, karena itu
metabolisme utamanya di hati. Dengan mekanisme pemindahan cincin piperidin,
hasil metabolitnya berupa “pipecolyl xylidide (PPX)” yang memiliki efek toksik
seperdelapan bupivakain. Dapat melalui sawar darah plasenta seperti obat analgetika
lokal lainnya secara difusi pasif, tetapi level terendah yang pernah dilaporkan (rasio
vena umbilikalis/maternal) adalah 0,31-0,44. Sekitar 10% diekskresi tanpa diubah
melalui urin dalam 24 jam; PPX juga diekskresikan melalui urin (Mulroy, 2002).
Efek bupivakain dalam darah terhadap sistem saraf otonom adalah antiaritmia,
disebabkan oleh blok reseptor α-adrenergik. Tidak ditemukan efek samping yang
serius dari bupivakain dengan dosis klinis. Hipotensi dan bradikardia tidak lebih
besar dibandingkan mepivakain atau lidokain. Menggigil lebih sering ditemukan pada
bupivakain daripada obat analgetika lokal lainnya. Kejang dijumpai setelah
penyuntikan secara tidak sengaja ke dalam pembuluh darah atau setelah overdosis
relatif. Bupivakain biasanya digunakan dalam enam sediaan konsentrasi dari 0,125%-
0,75%. Konsentrasi 0,5% merupakan sediaan yang paling sering digunakan (Mulroy,
2002).
Wanita hamil membutuhkan dosis bupivakain lebih kecil karena adanya
peningkatan sensitivitas sel saraf terhadap obat analgetika lokal, penurunan jumlah
cairan serebrospinal dan efek uterus gravid terhadap penyebaran obat intratekal ke
arah sefalad (Morgan dkk., 2006). Ginosar dkk., 2004 menganjurkan dosis
bupivakain antara 7,6-11,2 mg.
2.4.3 Levobupivakain
2.4.3.1 Struktur Kimia
Levobupivakain ([2S]–1–butyl–N-[2,6-dimethylphenyl] piperidine–2-
carboxamide) adalah obat anestesi golongan amida, termasuk dalam famili n-alkyl
substitusi dari pipecoloxylidide. Formula kimianya adalah C18H28N2O [Gambar 2.7b]
(Bajwa dan Kaur, 2013)
Gambar 2.7b Rumus kimia levobupivakain (Bajwa dan Kaur, 2013)
2.4.3.2 Farmakodinamik
Levobupivakain merupakan obat anestesi lokal golongan amida yang memiliki
isomer S(-) dari bupivakain (Gambar 2.7c). Secara umum, penelitian secara in vitro
dan in vivo pada manusia dengan blok saraf menunjukkan bahwa levobupivakain
sama potennya dengan bupivakain dan menghasilkan blok sensorik dan motorik yang
sama pula. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan levobupivakain memiliki blok
sensorik yang lebih lama, yang berhubungan dengan aktivitas vasokonstriksi
levobupivakain daripada R (+) enantiomer (dexbupivakain) pada dosis kecil (Foster
dan Markham, 2000).
Gambar 2.7c Rumus molekul S (-) Bupivakain dan R (+) Bupivakain (Nostrand, 2014)
Levobupivakain toksisitasnya lebih kurang dibandingkan dengan bupivakain.
Dosis letal levobupivakain 1,3-1,6 kali lebih tinggi dibandingkan bupivakain,
sehingga keuntungannya adalah lebih aman dibandingkan bupivakain. Penelitian in
vitro membuktikan dengan levobupivakain resiko kardiotoksisitas yang rendah
dibandingkan dengan dexbupivakain dan atau bupivakain, termasuk rendahnya efek
atau rendahnya potensi pada memblok saluran kalium kardiak pada status
terinaktivasi; memblok saluran natrium kardiak; mengurangi angka depolarisasi
maksimal, memperlama konduksi atrioventrikuler; dan memperlambat durasi interval
QRS. Perbedaan antara kedua obat tersebut terhadap kontraktilitas kurang konsisten,
namun levobupivakain tampaknya tidak memperburuk kondisi ini. Percobaan pada
hewan, levobupivakain hanya sedikit dan kurang memperberat gangguan kardiak,
khususnya aritmia ventrikular. Pada manusia, levobupivakain intravena (dosis rata-
rata 56 mg) menyebabkan kurangnya efek inotropik negatif daripada bupivakain
(dosis 48 mg). Pada studi lain dengan pemberian intravena, peningkatan maksimum
rata-rata pada QTc interval secara signifikan lebih kurang dengan levobupivakain
dibandingkan dengan bupivakain (3 vs 24 msec) pada sukarelawan yang menerima >
75mg (Foster dan Markham, 2000).
Resiko yang rendah terhadap toksisitas sistem saraf pusat dengan levobupivakain
dibandingkan dengan dexbupivakain dan/atau bupivakain juga telah dilaporkan,
termasuk kurangnya tendensi untuk menyebabkan apnea dan tingginya dosis
konvulsif (levobupivakain 103 mg vs bupivakain 85 mg) studi pada hewan.
Sedangkan pada manusia, 64% yang mendapat bupivakain intravena (dosis rata-rata
65,5mg) dibandingkan dengan 36% yang mendapat levobupivakain (67,7mg)
mengalami gangguan sistem saraf sentral atau perifer. Levobupivakain intravena 40
mg menyebabkan sedikit perubahan penekanan sistem saraf perifer pada EEG
dibandingkan pemberian bupivakain 40 mg (Foster dan Markham, 2000).
2.4.3.3 Farmakokinetik
Data farmakokinetik yang tersedia tentang levobupivakain masih sangat terbatas.
Konsentrasi plasma levobupivakain tergantung pada dosis dan rute pemberiannya.
Waktu paruh eliminasi setelah pemberian intravena 40 mg adalah 1,3 jam dan volume
distribusinya adalah 67 L. Levobupivakain terikat protein sangat tinggi (> 97%).
Metabolisme oleh sistem sitokrom P450 (CYP), terutama isoform CYP1A2 dan
CYP3A4, kemudian diekskresi dalam 48 jam melalui urin (71%) dan feses (24%)
(Bajwa dan Kaur, 2013; Foster dan Markham, 2000).
2.4.3.4 Levobupivakain pada blok subarakhnoid
Levobupivakain menjadi alternatif yang menarik pada anestesi blok
subarakhnoid, dimana levobupivakain menyebabkan blok motorik dan sensorik
dengan karakteristik dan pulih yang mirip dengan bupivakain. Regresi blok motorik
terjadi lebih awal pada levobupivakain dibandingkan dengan bupivakain. Pemberian
intratekal levobupivakain 15 mg memberikan blok motorik dan blok sensorik yang
adekuat selama sekitar 6,5 jam. Dosis yang lebih sedikit (5-10 mg) digunakan pada
operasi one-day care. Dosis minimal obat anestesi lokal levobupivakain yang
direkomendasikan pada studi Sell dkk adalah 11,7 mg (Sell dkk., 2005).
2.5 Pulih dari anestesi
Seksio sesarea merupakan pembedahan abdomen mayor dengan sekuele anatomi,
fisiologi, dan hormonal yang signifikan, bahkan ketika dilakukan secara elektif tanpa
komplikasi pada ibu hamil yang sehat. ASA Practice Guideline untuk anestesi obstetri
menyatakan bahwa perangkat dan personil yang sesuai harus tersedia merawat pasien
obstetri agar pulih dari anestesia neuraksial atau umum. Hal yang sama juga
dinyatakan oleh National Obstetric Anasthetic Service Guidelines dari Inggris yang
menyatakan bahwa pelayanan pasca operasi pasien seksio sesarea harus sesuai
standar pelayanan yang diperlukan semua pasien pasca operasi. Setelah pulih,
observasi (laju respirasi, denyut jantung, tekanan darah, nyeri dan sedasi) dilakukan
tiap setengah jam selama 2 jam dan tiap jam setelahnya untuk pasien stabil. Jika
ditemukan tidak stabil, observasi dan medikasi lebih lanjut perlu dilakukan (Tsen,
2009).
Penentuan waktu pulih hambatan motorik setelah dilakukannya blok subarkhnoid
menggunakan skor Bromage yang dimodifikasi. Pengukuran tersebut menilai secara
kualitatif dan kuantitatif penyebaran dan intensitas hambatan motorik pada
ekstrimitas bawah, dengan mengadopsi dari Bromage, yang menggunakannya untuk
menentukan keadekuatan anestesi epidural pada operasi abdominal (Bromage, 1965).
Klasifikasi derajat hambatan motorik menurut Bromage (Bromage, 1965).
Gambar 2.8 Penentuan hambatan motorik (Bromage, 1965)
Untuk menentukan masa kerja hambatan motorik dapat digunakan modifikasi
skala Bromage, yaitu sebagai berikut (Gambar 2.8) (Graham dan McClure, 2001) :
0 : tidak ada hambatan motorik
1 : tidak dapat mengangkat tungkai bawah, dapat menggerakkan lutut dan kaki
2 : tidak dapat menekuk lutut dan tungkai bawah, dapat menggerakkan kaki
3 : tidak dapat menekuk pergelangan kaki, hambatan motorik komplit
Keterbatasan sistem skoring ini adalah penentuan secara kualitatif hambatan
motorik dan tidak memiliki sensitifitas untuk mendeteksi derajat kelemahan motorik
yang berhubungan dengan hambatan segmental yang dibutuhkan pada analgesia
persalinan (Graham dan McClure, 2001). Penentuan fungsi motorik pada kelompok
otot yang berbeda dengan inervasi persarafan yang berbeda pula menjadikan
pengukuran penyebaran obat sebaik densitas hambatan tersebut. Bromage
menggunakannya untuk menentukan keadekuatan anestesi epidural pada operasi
abdominal namun ternyata dapat diadopsi pula untuk penggunaan pada pasien yang
menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid (Bromage,
1965).
Modifikasi skor bromage tampaknya memiliki korelasi lebih baik daripada
extended skor Bromage. Hal ini dikarenakan sifat subyektif terhadap skor 0 atau
dikarenakan skor Bromage yang dimodifikasi menjadi begitu tepat terhadap
kehilangan perubahan kekuatan otot (adduktor) yang ditunjukkan pada skor 0 (Breen
dkk., 1993).
Kesepakatan derajat antara extended Skor Bromage dan Skor Bromage yang
dimodifikasi untuk seluruh tingkatan adalah 0,4. Hal ini mengindikasikan kekuatan
dari kesepakatan antara kedua metode tersebut dan lebih baik dapat dikatakan sama
(Graham dan McClure, 2001)
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Blok subarakhnoid merupakan teknik yang umum digunakan dalam operasi
bedah sesar. Pemberian levobupivakain 0,5% 10 mg diharapkan waktu pulih
hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan pemberian bupivakain 0,5% 10 mg
pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid.
Beberapa penelitian dilakukan untuk memberikan obat anestesi lokal dengan
dosis minimal untuk mengurangi kejadian hipotensi, dan waktu pulih hambatan
motorik yang cepat. Di Rumah Sakit Sanglah, pemberian levobupivakain pada
operasi seksio sesarea blok subaraknoid adalah jarang. Maka pemberian
levobupivakain sebagai pilihan obat anestesi lokal intratekal kiranya waktu pulih
hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan dengan bupivakain.
Umur pasien, umur kehamilan, status fisik ASA, tinggi badan dan indeks masa
tubuh adalah faktor internal pasien yang menimbulkan perbedaan karakteristik
subyek penelitian. Sedangkan obat premedikasi intravena, cairan prehidrasi, obat
anestesi lokal untuk blok subarakhnoid dan posisi pasien selama pembedahan
merupakan faktor eksternal pasien yang harus dikendalikan. Hal ini sesuai dengan
yang ditunjukkan pada gambar 3.1.
3.2 Konsep
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep diatas, hipotesis penelitian ini yaitu: Pemberian
Levobupivakain 0,5% 10 mg menghasilkan waktu pulih hambatan motorik yang lebih
cepat dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada seksio sesarea dengan
anestesi blok subarakhnoid.
Levobupivakain 0,5 % 10 mg
Bupivakain 0,5 % 10 mg
Variabel perancu - Usia - Tinggi Badan - Berat Badan - Anatomi kolumna vertebralis - Tempat penyuntikan - Kecepatan penyuntikan - Posisi pasien
waktu pulih hambatan motorik
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji klinik, acak untuk mengetahui
perbandingan efek antara Levobupivakain 0,5% 10 mg dan Bupivakain 0,5% 10 mg
pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid.
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat
RSUP Sanglah Denpasar dari bulan September sampai Nopember 2014.
Subyek yang eligibel
Randomisasi sederhana
Kelompok A
Levobupivakain 0,5% 10 mg
Kelompok B
Bupivakain 0,5% 10 mg
Dilakukan evaluasi :
Waktu pulih hambatan motorik di ruang pulih
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dalam bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, khususnya
dalam subdivisi anestesi obstetri.
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi penelitian
Populasi target dari penelitian ini adalah wanita hamil yang akan menjalani
operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid. Populasi terjangkau
diambil dari wanita hamil yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok
subarakhnoid di ruang operasi Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat
RSUP Sanglah Denpasar dari bulan September sampai Nopember 2014.
4.4.2 Sampel penelitian
Sampel penelitian ini adalah semua wanita hamil yang akan menjalani operasi
seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di ruang operasi Instalasi Bedah
Sentral dan Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar, setelah penderita lolos
dari seleksi kriteria eligibilitas sebagai berikut:
Kriteria inklusi :
1. Wanita hamil dan janin tunggal
2. Menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid
Kriteria eksklusi :
1. Pasien menolak.
2. Usia ≤ 16 Tahun atau ≥ 40 tahun
3. Tinggi badan ≤ 140 cm atau ≥ 170 cm
4. Status fisik ASA ≥ 3
5. Indeks massa tubuh ≤ 20 kg/m2 atau ≥ 35 kg/m2
6. Pasien memiliki alergi terhadap obat yang digunakan dalam penelitian ini
7. Pasien yang memiliki penyakit hipertensi berat dalam kehamilan.
8. Pasien beresiko perdarahan pasca persalinan akibat atonia uteri
9. Pasien dengan kelainan pembekuan darah
10. Pasien dengan kontra indikasi relatif maupun absolut untuk dilakukan
anestesi blok subarakhnoid.
11. Perubahan dosis obat yang diberikan.
12. Menarik diri dari keikutsertaan sebagai subyek penelitian.
13. Tidak mengikuti prosedur cara kerja.
14. Teknik anestesi blok subarakhnoid gagal atau memerlukan anestesi umum
selama tindakan pembedahan.
15. Terjadi penyulit berat selama tindakan anestesi seperti kejang, syok berat
(syok anafilaktik), gangguan pernafasan.
4.4.3 Perhitungan jumlah sampel
Perhitungan besar sampel pada penelitian ini berdasarkan skala data dari variabel
tergantung (waktu pulih hambatan motorik) yaitu numerik. Sehingga rumus
perhitungan besar sampel yang digunakan yaitu uji hipotesis terhadap rerata 2
populasi untuk 2 kelompok independen. Adapun rumus tersebut adalah:
(zα + zβ) S 2
n1 = n2 = 2
(x1-x2)
Keterangan:
n1 ; n2 = Perkiraan besar sampel
S = Simpang baku kedua kelompok (dari pustaka)
(x1-x2) = Perbedaan klinis yang diharapkan (Clinical judgment)
zα = Kesalahan tipe I (ditetapkan) = 1,96
zβ = Kesalahan tipe II (ditetapkan) = 0,842
Pada penelitian Vanna dkk, 2006 dan Guler dkk, 2012 simpang baku yang
digunakan adalah 50,9. Nilai x1 adalah rerata waktu pulih hambatan motorik pada
kelompok yang mendapatkan bupivakain 0,5% 10 mg yaitu 132,66 menit. Nilai x2
adalah rerata waktu pulih hambatan motorik pada kelompok yang mendapatkan
Levobupivakain 0,5% 10 mg yaitu 99 menit. Jadi didapatkan perbedaan rerata (x1-x2)
waktu pulih hambatan motorik pada 2 kelompok adalah 33,66 menit. Berdasarkan
rumus diatas jumlah sampel minimal untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah 72
(Sastroasmoro, 2006).
4.4.4 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling, dimana
setiap pasien baru yang memenuhi kriteria eligibilitas dimasukkan dalam penelitian
sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.
4.4.5 Alokasi sampel
Alokasi sampel yang masuk dalam kelompok perlakuan A atau B dilakukan
menggunakan computer generated permutted block randomization of graphpad
quickcal software dengan hasil randomisasi seperti tersebut dibawah ini:
1 A 13 B 25 B 37 B 49 B 61 A
2 B 14 B 26 B 38 A 50 A 62 B
3 A 15 A 27 A 39 A 51 B 63 A
4 A 16 A 28 A 40 A 52 B 64 A
5 B 17 A 29 B 41 A 53 A 65 B
6 B 18 A 30 A 42 A 54 B 66 B
7 B 19 B 31 A 43 B 55 A 67 A
8 B 20 A 32 A 44 A 56 B 68 A
9 B 21 B 33 A 45 B 57 A 69 B
10 A 22 B 34 B 46 B 58 B 70 A
11 A 23 B 35 B 47 B 59 B 71 B
12 A 24 A 36 B 48 B 60 A 72 A
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Identifikasi variabel
Variabel bebas : Levobupivakain 0,5% 10 mg dan Bupivakain 0,5% 10 mg
Variabel tergantung : Waktu pulih hambatan motorik
Variabel kendali : Usia, tinggi badan, berat badan, anatomi tulang belakang,
tempat penyuntikan, kecepatan penyuntikan.
4.5.2 Definisi operasional variabel
1. Obat anestesi blok subarakhnoid adalah obat anestesi lokal Bupivakain 0,5%
10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg diinjeksikan ke dalam ruang
subarakhnoid menggunakan spuit 2,5 ml.
2. Kegagalan teknik spinal adalah gagalnya obat masuk ke dalam ruang
subarakhnoid
3. Waktu nol (0) adalah titik awal dimulai penghitungan waktu, yaitu pada saat
obat anestesi lokal disuntikkan kedalam ruang subarakhnoid
4. Skala Bromage adalah suatu cara untuk menentukan derajat hambatan motorik
secara kualitatif pada tindakan anestesia blok subarakhnoid. Skala Bromage
terdiri dari :
Bromage IV : tidak ada hambatan motorik
Bromage III : hambatan motorik parsial atau sebagian
Bromage II : hambatan motorik hampir lengkap
Bromage I : hambatan motorik lengkap
Untuk menentukan masa kerja hambatan motorik digunakan modifikasi skala
Bromage, yaitu sebagai berikut :
0 : tidak ada hambatan motorik
1 : tidak dapat mengangkat tungkai bawah
2 : tidak dapat menekuk lutut
3 : tidak dapat menekuk pergelangan kaki
5. Masa kerja hambatan motorik adalah saat pasien mulai tidak dapat
mengangkat tungkai bawah sampai mulai dapat menekuk pergelangan kaki
(modifikasi skala Bromage 1 sampai skala 3 berakhir)
6. Waktu pulih hambatan motorik adalah saat pasien mulai dapat menekuk
pergelangan kaki sampai dapat kembali menggerakkan tungkai tanpa
hambatan (modifikasi skala Bromage 3 berakhir sampai skala 0)
7. Efektifitas adalah tercapainya hambatan motorik saat pasien tidak dapat
menekuk pergelangan kaki (Skor modifikasi Bromage = 3) dan tercapai
hambatan sensorik setinggi torakal 6.
8. Umur adalah usia resmi saat akan dilakukan operasi, diketahui dari tanggal
lahir yang didapat dari wawancara atau dari dokumen resmi, misalnya KTP
atau SIM.
9. Status fisik ASA adalah sistem penilaian dan pengklasifikasian status fisik
pasien praoperasi menurut American Society of Anesthesiologists (Morgan
dkk., 2006), dikatakan status fisik ASA I jika pasien sehat dan normal dan
ASA II jika pasien dengan penyakit medis ringan-sedang.
10. Tinggi badan (TB): diukur dengan alat ukur tinggi badan dengan nama
dagang Health Scale dengan seri TZ 120, dalam posisi berdiri tegak tanpa alas
kaki, dengan satuan meter (m).
11. Berat badan (BB): diukur dengan alat timbangan dengan nama dagang Health
Scale seri TZ 120, posisi berdiri memakai busana seminimal mungkin, dengan
satuan kilogram (kg).
12. Indeks masa tubuh (IMT) adalah pemeriksaan antropometri untuk
menentukan status gizi yang dinilai dengan membagi berat badan dengan
pangkat dua tinggi badan (IMT = BB/TB2), dengan satuan kg/m2.
13. Obat premedikasi intravena adalah metokloperamid 10 mg dan ranitidin 50
mg intravena ± 30 menit sebelum tindakan pembedahan.
14. Cairan prehidrasi adalah pemberian cairan ringer laktat 10 ml/kgBB secara
infus cepat sebelum blok subarakhnoid dilakukan.
15. Posisi pasien adalah pasien tidur telentang dengan satu bantal di kepala dan
posisi meja operasi sedikit dimiringkan ke kiri ± 15° setelah dilakukan blok
subarakhnoid.
16. Hipotensi adalah tekanan darah sistolik turun sebanyak 20% dari nilai rata-
rata awal atau kurang dari 90 mmHg.
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Obat ampul Levobupivakain 0,5% 10 mg
2. Obat ampul Bupivakain 0,5% hiperbarik 10 mg
3. Jarum spinal G27 bevel runcing
4. Jarum untuk “pin-prick test”, dipakai mandrain dari jarum spinal
5. Spuit 2,5 ml
6. Betadin cair
7. Alkohol 70%
8. Sarung tangan steril
9. Kasa steril
10. Tensimeter, monitor EKG, saturasi oksigen
11. Oksigen dan kanul nasal
12. Alat tulis dan format penelitian
4.7 Alur Penelitian
4.7.1 Persiapan
Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan persetujuan etik dari Komisi Etik
Litbang Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
4.7.2 Penapisan kasus
Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra anestesia pada pasien yang akan
menjalani pembedahan seksio sesarea dengan teknik anestesi blok subarakhnoid.
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel.
Setelah mendapat penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan menandatangani
surat persetujuan tindakan.
4.7.3 Alokasi pasien
Alokasi pasien dilakukan dengan metode computer generated permutted block
randomization of graphpad quickcal software, subyek penelitian dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok A menerima Levobupivakain 0,5% 10 mg dan kelompok B
menerima Bupivakain 0,5% 10 mg.
4.7.4 Perlakuan
1. Pada setiap pasien wanita yang akan menjalani operasi bedah sesar dengan
anestesia spinal yang telah memenuhi kriteria penerimaan dilakukan
randomisasi acak sederhana dengan cara mengambil amplop.
2. Pasien dipasang kanula intravena G 18-20 dan prehidrasi sebelum blok
subarakhnoid, diberikan cairan ringer laktat 10 ml/kgBB secara infus cepat
dan pasien disiapkan ke kamar operasi.
3. Pasien diberikan premedikasi Ranitidin 50 mg Intravena dan Metoklopramid
10 mg Intravena.
4. Di kamar operasi, dipasang monitor EKG, tensimeter saturasi oksigen dan
diberikan oksigen melalui kanul nasal 2-3 L/menit.
5. Data awal tekanan darah, tekanan arteri rerata, frekuensi napas dan saturasi
oksigen dicatat.
6. Pasien kemudian diposisikan lateral dekubitus kiri. Daerah bahu diganjal
dengan bantal kecil agar posisi kolumna vertebralis benar-benar horizontal.
Dilakukan identifikasi tempat penyuntikan pada ruang intervertebralis L3-4
atau L4-5. Dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah penyuntikan.
Kemudian dilakukan pungsi dura dengan jarum spinal G 27. Pastikan ujung
jarum berada di ruang subarakhnoid, yang ditandai dengan mengalirnya cairan
serebrospinal.
7. Pada kelompok perlakuan A dilakukan penyuntikan 10 mg larutan bupivakain
0,5% dengan kecepatan penyuntikan 0,1 ml/detik. Dilakukan barbotase
sejumlah kecil cairan serebrospinal (0,1 ml).
8. Pada kelompok perlakuan B dilakukan penyuntikan 10 mg larutan bupivakain
0,5% dengan kecepatan penyuntikan 0,1 ml/detik. Dilakukan barbotase
sejumlah kecil cairan serebrospinal (0,1 ml).
9. Dievaluasi ketinggian blok sensoris dengan metode pinprick pada garis
midklavikula dengan jarum G 23, diharapkan ketinggian blok mencapai
dermatom Th 6.
10. Dievaluasi hambatan motorik sesuai skor bromage dan dicatat waktu saat skor
bromage sama dengan 0.
11. Bila terjadi efek samping hipotensi, yaitu tekanan darah sistolik turun
sebanyak 20% dari nilai rata-rata awal atau kurang dari 90 mmHg, tetesan
infus dipercepat dan diberikan efedrin 5 mg intravena. Pemberian efedrin
dapat diulang setiap 60 detik sampai tekanan darah sistolik > 80% nilai basal.
Setelah tercapai, tetesan infus disesuaikan kembali sesuai keperluan rumatan.
12. Menit ke 0 dimulai saat penyuntikan obat intratekal.
13. Setelah bayi lahir, dicatat skor apgar menit 1 dan 5 serta berat badan lahir
bayi. Kemudian diberikan drip intravena oksitosin 2 ampul dan metergin 1
ampul (sesuai operator).
14. Bila terjadi efek samping depresi nafas, jika perlu dilakukan intubasi dengan
pernafasan dibantu atau dikontrol.
15. Jika operasi belum selesai tetapi pasien mulai merasa nyeri dapat diberikan
ketamin intravena.
16. Setelah operasi selesai, dievaluasi masa kerja hambatan motorik. Kemudian
pasien dibawa ke ruang pulih.
17. Di ruang pulih, diobservasi skor bromage dan dicatat waktu pulih hambatan
motorik pasien.
18. Setelah pasien memenuhi kriteria skor bromage modifikasi 0 dan tidak ada
efek samping yang berat, pasien dipindahkan ke ruang rawat.
4.7.5 Penilaian dan pencatatan
Untuk penilaian waktu pulih dari hambatan motorik setelah pemberian obat
anestesi lokal, dilakukan penilaian kualitatif berdasarkan modifikasi skala Bromage,
yaitu Bromage 0: tidak ada hambatan motorik; Bromage 1: hambatan motorik parsial
atau sebagian; Bromage 2: hambatan motorik hampir lengkap; sedangkan Bromage
3: hambatan motorik lengkap. Dicatat waktu pada saat pasien mengalami hambatan
motorik lengkap.
Setelah operasi selesai, waktu pulih hambatan motorik dicatat berdasarkan
modifikasi skala Bromage, yaitu: 0=tidak ada hambatan motorik; 1=tidak dapat
mengangkat tungkai bawah; 2=tidak dapat menekuk lutut; 3=tidak dapat menekuk
pergelangan kaki. Mulainya masa kerja hambatan motorik dicatat mulai saat pasien
tidak dapat mengangkat tungkai bawah sampai mulai dapat menekuk pergelangan
kaki, yaitu modifikasi skala Bromage 1 sampai 3 berakhir. Sedangkan masa pulih
hambatan motorik pasien dicatat mulai saat pasien dapat menekuk pergelangan
kakinya sampai dapat kembali menggerakkan kaki tanpa hambatan, yaitu skala
Bromage 0.
Untuk analgesia paska operasi diberikan drip kontinyu fentanyl 0,25
mcg/kgBB/jam dengan syringe pump dan bolus ketorolak 3 x 30 mg intravena.
Adanya kejadian komplikasi lainnya seperti mual, menggigil dan perdarahan selama
operasi juga dicatat pada lembar yang telah disediakan.
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian
4.8 Analisis Statistik
Data yang terkumpul dianalisis menggunakan análisis statistik deskriptif, yaitu
menggunakan karakteristik subyek. Karakteristik sampel dalam hal umur, berat
Pasien rencana seksio sesarea ASA I dan II dengan anestesi blok subarakhnoid
Memenuhi kriteria penerimaan
Posisi lateral dekubitus kiri →Blok subarakhnoid di L3-4, bupivakain 0,5% 10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg→posisi telentang miring
kiri ±15°
Catat waktu mulai hambatan motorik (Bromage 3)
Pasang infus, prehidrasi, pasang alat monitor non invasif (EKG, NIBP,
pulse oksimetri)
Analisis Statistik
Simpulan Penelitian
Ruang pulih
Catat waktu pulih hambatan motorik (Bromage 0)
badan, tinggi badan dan indeks masa tubuh dipresentasikan dalam rerata ± simpang
baku. Sedangkan Status fisik ASA I atau Status fisik ASA II dan ukuran kehamilan
dipresentasikan dalam distribusi frekuensi f (%).
Perbandingan karakteristik dipresentasikan sesuai tabel berikut:
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien
Karakteristik Kelompok A (Levobupivakain 0,5% 10 mg)
Kelompok B (Bupivakain 0,5% 10 mg)
Umur (thn) Tinggi Badan (cm) Berat badan (kg) Indeks massa tubuh (kg/m2) Status fisik ASA I/II Umur Kehamilan (preterm/aterm)
Nilai dalam rerata ± simpang baku dan distribusi frekuensi f (%).
Pada analisis uji hipotesis beda rerata, data berskala pengukuran numerikal
mengenai umur, umur kehamilan, berat badan, tinggi badan dan indeks masa tubuh
pada kedua kelompok diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada
tingkat kemaknaan p > 0,05.
Bila data memiliki sebaran yang normal (p > 0,05) dilakukan uji independent t test.
Jika nilai p < 0,05 ditetapkan sebagai tidak normal, uji dilakukan dengan Mann-
whitney test.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinik pada pasien yang menjalani operasi
seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di kamar operasi instalasi bedah
sentral dan kamar operasi instalasi gawat darurat RSUP Sanglah periode September
2014 sampai Nopember 2014. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria penerimaan
sebanyak 72 pasien, dibagi menjadi 2 kelompok dengan masing-masing berjumlah 36
sampel pada setiap kelompok perlakuan.
Pasien rencana seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid diberikan
bupivakain 0,5% 10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg, dicatat waktu mulai
hambatan motorik (Bromage 3) dilanjutkan di ruang pulih dicatat waktu pulih
hambatan motorik (Bromage 0), sehingga didapat total waktu dari mulai hambatan
motorik sampai pulih hambatan motorik. Data ditampilkan dalam bentuk rerata ±
simpang baku untuk data numerik dan dalam bentuk distribusi frekuensi untuk data
ketegorikal.
5.1 Data Karakteristik Sampel
Karakteristik pasien ditunjukkan pada tabel 5.1, data disajikan dalam bentuk
rerata ± simpang baku dan distribusi frekuensi f (%). Data berupa pengukuran
numerikal adalah umur, berat badan, tinggi badan, dan IMT dipresentasikan dalam
bentuk rerata ± simpang baku. Sedangkan data kategorikal nominal adalah status fisik
ASA dan ukuran kehamilan dipresentasikan dalam distribusi frekuensi f (%).
Karakteristik sampel digambarkan demikian bertujuan untuk melihat apakah antara
kedua kelompok sudah sebanding (comparable).
Variabel umur ditampilkan dalam rerata dan simpang baku dengan uji yang
digunakan adalah uji independent t karena berskala data rasio dan sebaran data
berdistribusi normal. Variabel berat badan, tinggi badan, dan IMT dengan uji yang
digunakan adalah uji Mann-whitney karena sebaran data dari variabel tersebut tidak
berdistribusi normal. Uji Chi-square dari status fisik ASA dan ukuran kehamilan
ditampilkan dalam bentuk distribusi proporsi karena variabel tersebut berskala data
kategorikal. Distribusi proporsi dari semua variabel tersebut ditampilkan dalam tabel
5.1.
Populasi pasien terdiri atas 72 pasien wanita hamil yang menjalani operasi seksio
sesarea di ruang operasi Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat RSUP
Sanglah dengan usia rerata ± simpang baku pada levobupivakain 0,5% 10 mg adalah
28,9 ± 4,9 sedangkan pada bupivakain 0,5% 10 mg adalah 28,9 ± 5,5 setelah
dilakukan uji statistik ternyata tidak ada perbedaan bermakna secara statistik dengan
nilai p 0,964. Selain itu dapat dilihat perbedaan rerata berat badan, tinggi badan dan
IMT. Rerata berat badan pada kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg adalah 64,2 kg
dengan simpang baku 7,6 dan pada kelompok bupivakain 0,5% 10 mg adalah 68,6 kg
dengan simpang baku 12,3. Rerata tinggi badan kelompok levobupivakain 0,5% 10
mg adalah 156,0 cm dengan simpang baku 6,4 dan pada kelompok bupivakain 0,5%
10 mg 156,1 cm dengan simpang baku 7,5. Rerata IMT pada kelompok
levobupivakain 0,5% 10 mg yaitu 26,4 kg/m2 dengan simpang baku 3,1 sedangkan
pada kelompok bupivakain 0,5% 10 mg adalah 28,2 kg/m2 dengan simpang baku 4,5.
Secara statistik ketiga variabel ini tidak berbeda bermakna dengan nilai p berurutan
sebesar 0,077, 0,856, dan 0,060.
Status fisik pasien digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu status fisik ASA I dan
II. Distribusi proporsi variabel status fisik ASA I pada kelompok levobupivakain
0,5% 10 mg sebesar 58,3% dan pada kelompok bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan
69,4%. Sedangkan variabel status fisik ASA II pada kelompok levobupivakain 0,5%
10 mg sebesar 41,7% dan pada bupivakain 0,5% 10 mg sebesar 30,6%. Secara
statistik terdapat perbedaan proporsi status fisik ASA yang tidak berbeda bermakna
dengan nilai p sebesar 0,326. Variabel ukuran kehamilan dikelompokkan menjadi 2
yaitu hamil preterm dan hamil aterm, dengan distribusi proporsi variabel ukuran
kehamilan pada kedua kelompok perlakuan sebesar 5,6% dengan hamil preterm dan
sebesar 94,4% dengan hamil aterm. Didapatkan nilai proporsi yang sama pada kedua
kelompok perlakuan sehingga tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik
dengan nilai p sebesar 1,000.
Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Karakteristik
Kelompok
Levobupivakain 0,5%
10 mg (n = 36)
Kelompok
Bupivakain 0,5%
10 mg (n = 36)
Nilai p
Umur 28,9 ± 4,9 28,9 ± 5,5 0,964a
Berat Badan 64,2 ± 7,6 68,6 ± 12,3 0,077b
Tinggi Badan 156,0 ± 6,4 156,1 ± 7,5 0,856b
IMT 26,4 ± 3,1 28,2 ± 4,5 0,060b
Status Fisik
- ASA I
- ASA II
21 (58,3)
15 (41,7)
25 (69,4)
11 (30,6)
0,326c
Ukuran Kehamilan
- Preterm
- Aterm
2 (5,6)
34 (94,4)
2 (5,6)
34 (94,4)
1,000c
Ket: a: Hasil independent t test
b: Hasil Mannwhitney test
c: Hasil Chi-square test
5.2 Uji Normalitas Data Sampel Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Uji normalitas pada masing-masing kelompok terlebih dahulu dilakukan sebelum
menilai perbandingan variabel. Hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro Wilk,
berdasarkan uji normalitas tersebut didapatkan variabel kelompok perlakuan yang
tidak berdistribusi normal (p <0,05) dilakukan uji statistik Wilcoxon.
5.3 Nilai Statistik Variabel Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Dari 72 pasien yang dianalisis tersebut, analisis dengan uji Wilcoxon didapatkan
rerata waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan levobupivakain
0,5% 10 mg adalah sebesar 108,7 menit dengan simpang baku 12,0 menit. Sedangkan
angka waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan bupivakain
0,5% 10 mg adalah sebesar 152 menit dengan simpang baku 19,8 menit. Data ini
disajikan dalam tabel 5.2. Terdapat perbedaan waktu rerata yang secara statistik
bermakna yaitu p <0,001. Grafik perbandingan rata-rata durasi waktu pulih hambatan
motorik antara kedua kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 5.1.
Tabel 5.2 Hasil Analisis Perbedaan Rerata Waktu Pulih Hambatan Motorik
Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Variabel
Kelompok
Levobupivakain 0,5%
10 mg (n = 36)
Kelompok
Bupivakain 0,5%
10 mg (n = 36)
Nilai p
Waktu pulih hambatan
motorik
108,7 ± 12,0 152 ± 19,8 <0,001*
Ket: *Nilai p dari uji Wilcoxon
Gambar 5.1 Perbandingan rata-rata durasi waktu pulih hambatan motorik antara kedua kelompok perlakuan
Kejadian efek samping ditampilkan pada tabel 5.3, dari hasil uji Chi Square
didapatkan hasil tidak ada kejadian efek samping pada kelompok Levobupivakain
0,5% 10 mg sebanyak 41,7% sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg
didapatkan 52,8%. Kejadian efek samping hipotensi pada kelompok Levobupivakain
0,5% 10 mg sebanyak 16,7% sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg
didapatkan 11,1%. Kejadian efek samping mual pada kelompok Levobupivakain
0,5% 10 mg sebanyak 8,3%, sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg
didapatkan 16,7%. Kejadian efek samping menggigil pada kelompok Levobupivakain
0,5% 10 mg sebanyak 33,3%, sedangkan pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg
didapatkan 19,4%. Perbedaan kejadian efek samping antara kedua kelompok
perlakuan secara statistik dengan uji Pearson Chi square tidak bermakna, dengan
nilai p 0,36 (p > 0,05).
Tabel 5.3 Kejadian Efek Samping Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Efek Samping
f (%)
Kelompok
Levobupivakain 0,5% 10 mg
(n = 36)
Kelompok
Bupivakain 0,5% 10 mg
(n = 36)
Nilai p
Tidak ada 15 (41,7) 19 (52,8)
Hipotensi 6 (16,7) 4 (11,1) 0,36**
Mual 3 (8,3) 8 (16,7)
Menggigil 12 (33,3) 7 (19.4)
Ket: ** Nilai p dari uji Chi Square
Gambar 5.2 menunjukkan bahwa setiap kelompok memiliki nilai dasar tekanan
arteri rerata yang hampir sama. TAR pada kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg
adalah 94 mmHg, dan bupivakain 0,5% 10 mg adalah 92 mmHg. Terdapat perbedaan
dalam fluktuasi tekanan arteri rerata dimana kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg
mengalami penurunan lebih landai dibandingkan bupivakain 0,5% 10 mg. Penurunan
TAR nyata pada bupivakain 0,5% 10 mg adalah pada menit ke-5 dan levobupivakain
0,5% 10 mg adalah pada menit ke-10, sedangkan TAR pada menit ke-10 bupivakain
0,5% 10 mg meningkat. Setelah itu pada menit ke-20, TAR kedua kelompok akan
kembali sama, namun masih berada dibawah nilai dasar.
50556065707580859095
100
0 1 2 3 4 5 7 10 12 15 20
Teka
nan
Arte
ri Re
rata
(mm
Hg)
Menit ke-
Levobupivakain 0,5% 10 mg Bupivakain 0,5% 10 mg
Gambar 5.2 Fluktuasi tekanan arteri rerata antara kedua kelompok perlakuan
Gambar 5.3 Hubungan antara waktu dan Bromage 3 sampai dengan Bromage 0 pada
kedua kelompok perlakuan
Hubungan antara waktu dan mulai terjadinya Bromage 3 yaitu saat tidak dapat
menekuk pergelangan kaki, hambatan motorik komplit sampai dengan Bromage 0
yaitu tidak ada hambatan motorik diperlihatkan pada gambar 5.3. Pada gambar
tersebut dapat dilihat waktu yang optimal untuk dilakukan pembedahan, dimana pada
kelompok levobupivakain 0,5% 10 mg dicapai mula kerja yang lebih lama dan waktu
pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan bupivakain 0,5% 10 mg.
BAB VI
PEMBAHASAN
Levobupivakain dan Bupivakain adalah obat anestesi lokal golongan amida.
Levobupivakain memiliki S (-) enantiomer dari bupivakain, memblok saraf sama
poten dengan bupivakain dan menghasilkan blok sensorik dan motorik yang sama
pula namun dengan dosis letal yang lebih rendah dibandingkan bupivakain.
(McClellan dan Spencer, 1998)
Keuntungan levobupivakain dibandingkan bupivakain yaitu (1)
Ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan kardiovaskular
(2) Batas aman dosis letal 78% lebih besar untuk dapat menyebabkan kematian (3)
Toksisitas kardiak dan susunan saraf pusat yang lebih rendah (4) Potensiasi terhadap
hambatan sensorik dan motorik baik (5) Toksisitas yang dicetuskan levobupivakain
bersifat reversible (6) Perubahan kontraktilitas kardiak dan interval QTc pada
elektrokardiogram yang kecil (7) Efek depresan yang rendah pada
elektroensefalogram (Gristwood, 2002).
Dosis bupivakain pada seksio sesarea berdasarkan pada penelitian
Ginosar dkk. (2004), yang melakukan penelitian untuk induksi analgesia spinal
dengan bupivakain ED95 induksi sukses adalah 11 mg. Sedangkan dosis minimum
anestesi lokal levobupivakain intratekal berdasar pada penelitian Parpaglioni dkk.
(2006) adalah lebih besar dari ED50 untuk seksio sesarea yaitu 10,6 mg. Dosis efikasi
klinis bupivakain terhadap levobupivakain pada anestesi blok subarakhnoid adalah
1:1 berdasarkan penelitian Elizabeth dan Kopacz, 2002.
Penelitian ini menggunakan Levobupivakain 0,5% isobarik (Chirocaine®) dan
Bupivakain 0,5% hiperbarik. Levobupivakain benar-benar menunjukkan respek
terhadap CSS pada wanita hamil. Penelitian Glaser dkk. (2001) membuktikan bahwa
penyebaran obat pada anestesi spinal dengan levobupivakain dapat diprediksi sama
seperti bupivakain. Pada penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Guler dkk. (2012) dimana pemberian levobupivakain isobarik memberikan
keuntungan khusus karena penyebaran obat yang dapat diprediksi. Guler dkk
mengevaluasi pengaruh levobupivakain terhadap kualitas blok dan kejadian efek
samping seperti hipotensi dibandingkan dengan efek klinis yang disebabkan oleh
bupivakain hiperbarik pada seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid.
Hasilnya waktu hambatan motorik dengan bupivakain hiperbarik bertahan lebih lama,
sedangkan efek samping hipotensi dan mual lebih sering terjadi pada kelompok
bupivakain. Level hambatan sensorik yang dibutuhkan pada seksio sesarea juga
tercapai pada kedua kelompok perlakuan.
Penelitian Guler dkk. (2012) menggunakan 2 ml levobupivakain 0,5% isobarik
dan 2 ml bupivakain 0,5% hiperbarik pada pasien yang menjalani operasi seksio
sesarea didapatkan rerata durasi waktu hambatan motoriknya adalah 99 menit dengan
simpang baku 9,13 pada kelompok levobupivakain, sedangkan rerata durasi waktu
hambatan motorik pada kelompok bupivakain adalah 132,66 menit dengan simpang
baku 7,15.
Pada penelitian kami dikerjakan dengan memberikan levobupivakain 0,5% 10
mg dan bupivakain 0,5% 10 mg yang diberikan pada pasien yang menjalani seksio
sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di RSUP Sanglah. Obat anestesi lokal
bupivakain paling sering digunakan karena masuk dalam formularium RSUP Sanglah
dan harganya yang relatif lebih murah. Namun saat ini dikenal pula levobupivakain
yang sama potensi dan efektifitasnya, yang dapat diberikan pada pasien yang
menjalani seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid.
Hasil penelitian ini, dari 72 pasien yang kami analisis dengan uji Wilcoxon
didapatkan rerata waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan
levobupivakain 0,5% 10 mg adalah sebesar 108,7 ± 12,0 menit, Sedangkan angka
waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan bupivakain 0,5% 10
mg adalah sebesar 152 ± 19,8 menit. Terdapat perbedaan waktu rerata yang secara
statistik bermakna yaitu p <0,001. Berarti pemberian levobupivakain 0,5% 10 mg
pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid
memiliki waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan bupivakain
0,5% 10 mg.
Gambar 5.3 menunjukkan mula kerja hambatan sensorik setinggi Th6 dan
hambatan motorik pada penelitian ini lebih cepat pada bupivakain 0,5% 10 mg
dibandingkan levobupivakain 0,5% 10 mg, hal ini sesuai dengan penelitian Guler
dkk. (2012). Hasil ini secara klinik akan berguna pada pembedahan darurat yang
membutuhkan waktu singkat untuk dimulainya pembedahan tetapi pada pembedahan
elektif/terencana hasil ini secara klinik tidak bermakna. Mula kerja obat anestesi lokal
sangat ditentukan oleh nilai pKa-nya dimana semakin rendah nilai pKa semakin cepat
mula kerjanya. Anestesi lokal dengan nilai pKa mendekati pH fisiologis akan
mempunyai konsentrasi basa non ionisasi yang lebih tinggi yang bisa melewati
membran sel-sel saraf dimana mula kerjanya akan berlangsung sangat cepat. pKa
menjelaskan jumlah obat anestesi lokal yang ada dalam bentuk non ionisasi aktif pada
pH jaringan. Di dalam saraf akson bupivakain terpisah ke dalam bentuk non ionisasi
dan ionisasi. Bentuk ionisasi membuat hambatan channel natrium dari dalam dan
mencegah depolarisasi dengan mencegah masuknya natrium secara cepat melalui
membran sel akson (Xu dkk., 2005)
Waktu mulainya gerakan kedua kelompok perlakuan ditampilkan pada gambar
5.3 dimana waktu pulih hambatan motorik bupivakain 0,5% 10 mg lebih lama
dibandingkan levobupivakain 0,5% 10 mg, ini sesuai dengan penelitian Guler dkk.
(2012). Hasil ini dalam klinik sangat bermanfaat bagi tindakan pembedahan yang
membutuhkan waktu yang panjang.
Hasil waktu pulih hambatan motorik antara kedua kelompok perlakuan secara
statistik bermakna. Morgan (2006) menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena
isomer bupivakain mengikat channel natrium lebih kuat dibandingkan
levobupivakain. Penelitian yang dilakukan Guler dkk. (2001) juga mendapatkan
durasi hambatan motorik lebih pendek pada kelompok levobupivakain. Efek barisitas
pada karakteristik blok masih menjadi kontradiksi dalam literatur yaitu beberapa studi
melaporkan perbedaan barisitas tidak mempengaruhi karakteristik blok, disisi lain ada
pula penelitian yang melaporkan bahwa terjadi blok motorik dan pulih motoriknya
lebih cepat dengan larutan yang hiperbarik. Meskipun pada penelitiannya tidak
mengevaluasi perbedaan blok sensorik dan motorik antara kedua kelompok yang
berbeda barisitasnya.
Foster dan Markham (2000) pada penelitian mereka menyatakan bahwa pada
levobupivakain terjadi durasi hambatan motorik yang lebih lama dibandingkan
dengan bupivakain, hal ini berhubungan dengan adanya faktor intrinsik
levobupivakain yaitu kemampuan vasokonstriktornya, sedangkan bupivakain
mencetuskan vasodilatasi.
Levobupivakain dan bupivakain telah menunjukkan efektifitas dan potensi yang
sama baik dari segi waktu mula kerja, durasi hambatan sensorik dan motoriknya pada
seksio sesarea dengan anestesi spinal. Namun levobupivakain secara umum
memberikan hambatan sensorik dan motorik yang lebih baik, dengan perubahan
hemodinamik yang sama dengan bupivakain. Berdasarkan data ini levobupivakain
tampaknya menjadi alternatif yang menarik untuk digunakan sebagai anestesi spinal
(Glaser dkk., 2001).
Kejadian efek samping pada penelitian ini yang didapat adalah hipotensi pada
kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 16,7% sedangkan pada kelompok
Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 11,1%. Kejadian efek samping mual pada
kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 8,3%, sedangkan pada kelompok
Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 16,7%. Kejadian efek samping menggigil pada
kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 33,3%, sedangkan pada kelompok
Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 19,4%. Pasien yang tidak mengalami efek
samping pada kelompok Levobupivakain 0,5% 10 mg sebanyak 41,7% sedangkan
pada kelompok Bupivakain 0,5% 10 mg didapatkan 52,8%. Hasil uji statistik Pearson
Chi square pada kedua kelompok tersebut tidak bermakna, dengan nilai p 0,36 (p >
0,05). Perbedaan yang tidak bermakna tersebut bisa disebabkan oleh variabel-variabel
bebas dan faktor resiko pada masing-masing sampel yang tidak sama.
Hipotensi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anestesi blok
subarakhnoid. Hal ini selain dikarenakan oleh efek oleh ibu yang menyebabkan
asidosis dengan mempengaruhi perfusi uteroplasenta, hipotensi terjadi akibat blok
simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan kapasitas vaskuler yang
akhirnya akan menurunkan aliran darah balik ke jantung kemudian diikuti dengan
penurunan tekanan darah (Atkinson dkk., 1992). Pemberian hidrasi dengan kristaloid
atau koloid sebelum dilakukan tindakan mengurangi kejadian efek samping hipotensi
(Guler dkk., 2012).
Berbeda dengan penelitian Guler dkk., pada penelitian ini didapatkan kejadian
hipotensi yang lebih banyak pada kelompok levobupivakain yaitu 6 pasien
dibandingkan bupivakain hanya 4 orang, namun hasil ini secara statistik tidak
bermakna. Sedangkan Guler dkk. pada penelitiannya mendapatkan kejadian hipotensi
yang signifikan lebih rendah 16,6% pada kelompok levobupivakain.
Pada penelitian ini, mual dan muntah dapat terjadi karena disebabkan oleh: (1)
Faktor pasien, meliputi wanita hamil, kegemukan, dan terlambatnya pengosongan
lambung; (2) Faktor preoperatif yang meliputi puasa, kecemasan, alasan pembedahan.
Puasa yang terlalu lama pada persiapan operasi elektif dan pemberian makanan
sebelum operasi dapat meningkatkan kejadian mual muntah. Stres psikologi dan
kecemasan, operasi yang berhubungan dengan kehamilan dan gastrointestinal.
Pemberian opioid petidin meningkatkan sekresi gastrik, mengurangi motilitas usus
dan menghambat pengosongan lambung; (3) Faktor intraoperatif yaitu lokasi operasi
di daerah abdomen dan operasi obstetri/ginekologi serta pemberian obat uterotonika.
Alasan lain adalah penurunan aliran darah serebral sebagai konsekuensi terjadinya
hipotensi. Alasan lainnya berhubungan dengan level blok yang dicapai, karena terjadi
peningkatan level blok yang dicapai, atau karena penarikan struktur peritonial selama
operasi karena level blok yang tidak adekuat (Guler dkk., 2012); (4) Faktor
pascaoperasi meliputi nyeri, pusing, mobilisasi, makan awal pascaoperasi.
Kejadian efek samping menggigil dapat terjadi disebabkan oleh karena
vasodilatasi sehingga terjadi penguapan panas, pasien dalam keadaan sadar sehingga
dapat merasakan suhu kamar operasi yang dingin disertai pemberian cairan infus
yang sudah terpapar dingin diberikan tanpa memakai penghangat infus. Anestesi
spinal juga menghambat pelepasan katekolamin yang akan menekan produksi panas
akibat metabolisme.
Keterbatasan penelitian ini adalah ketersediaan obat levobupivakain yang
terbatas, harga obat yang mahal, dan belum masuk dalam daftar formularium obat
RSUP Sanglah sehingga penggunaannya terbatas pada pasien-pasien umum.
Keterbatasan lainnya, adalah penelitian ini kurang banyak untuk dapat mencapai
tingkat obyektifitas dan kemaknaan yang lebih tinggi.
Manfaat yang didapat dari pemberian levobupivakain sebagai obat anestesi lokal
pada operasi seksio sesarea dengan blok subarakhnoid, yaitu efek toksisitasnya
terhadap kardiovaskuler dan susunan saraf pusat yang rendah sehingga aman bila ada
ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan kardiovaskular
dengan batas aman dosis letal 78% lebih besar untuk dapat menyebabkan kematian.
Selain keuntungan toksisitasnya yang lebih rendah, levobupivakain memiliki waktu
pulih hambatan motorik yang lebih cepat dibandingkan bupivakain sehingga dapat
mempercepat mobilisasi pasien, dan tercapai kriteria pemindahan pasien yang lebih
cepat dengan efek samping minimal.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Waktu pulih hambatan motorik levobupivakain 0,5% 10 mg lebih cepat daripada
bupivakain 0,5% 10 mg dengan potensi yang sama, sehingga levobupivakain dapat
digunakan sebagai alternatif obat anestesi lokal pada pasien yang menjalani seksio
sesarea dengan anestesi blok subarakhnoid di RSUP Sanglah. Kejadian efek samping
adalah hipotensi, mual dan menggigil, namun pada kedua kelompok perlakuan tidak
bermakna.
7.2 Saran
Perlu dipertimbangkan penggunaan levobupivakain sebagai alternatif obat
anestesi lokal pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan blok
subarakhnoid dan masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti penggunaan
levobupivakain dan bupivakain dengan dosis yang berbeda, dengan disertai adjuvant
maupun tidak serta penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Ankcorn, C., Casey, W.F. 1993. Spinal Anaesthesia – a practical guide. Update in Anaesthesia 48 (3): 2-15
Atkinson, R.R., Rushman, G.B., Lee, J.A. 1992. Spinal Analgesia: Intradural;
Extradural. In: A Synopsis of Anaesthesia. 10th ed. Singapore: PG Publishing Pte Ltd. p.662-92
Bajwa, S.S., Kaur, J. 2013. Clinical profile of levobupivacaine in regional
anesthesia: A systematic review. J Anaesthesiol Clin Pharmacol 29: 530-9 Bardsley, H., Gristwood, R., Baker, H., Watson, N., Nimmo, W. 1998. A comparison
of the cardiovascular effects of levobupivacaine and rac-bupivacaine following intravenous administration to healthy volunteers. Br J Clin Pharmacol 46: 245-9
Benhamou, D., Burke, D., Cox, C.R., Gunter, J.B., Henderson, D. 2000.
Levobupivacaine. Drugs 59(3): 551-79 Breen, T.W., Shapiro, T., Glass, B., Foster-Payne, D., Oriel, N.E. 1993. Epidural
anaesthesia for labor in an ambulatory patient. Anesth Analg 77: 919-24 Bromage, P.R. 1965. A comparison of the hydrochloride and carbon dioxide salt of
lidocaine and prilocaine in epidural analgesia. Acta Anaesthesiologica Scandinavica, Suppl. XVI: 55-6
Capogna, G., Celleno, D., Fusco, P. 1999. Relative potencies of bupivacaine and
ropivacaine for analgesia in labour. Br J Anaesth 82: 371-3 Carvalho, B., Durbin, M., Drover, D.R., Cohen, S.E., Ginosar, Y., Riley, E.T. 2005.
The ED50 dan ED95 of intrathecal isobaric bupivacaine with opioids for cesarean delivery. Anesthesiology 103: 606-12
Edgcombe, H., Hocking, G. 2005. Local Anaesthetic Pharmacology, [cited 2014 Oct. 30]. Anaesthesia UK. Available from: URL: http://www.frca.co.uk/article.aspx?articleid=100505
Elizabeth, A.A., Kopacz, D.J. 2002. Hyperbaric Spinal Levobupivacaine: A comparison to racemic bupivacaine in volunteers. Anesth Analg 94: 188-93
Foster, R.H., Markham, A. 2000. Levobupivacaine A Review of its Pharmacology and
Use as a Local Anesthetic. Drugs 59(3): 551-79 Gan, T.J., Diemunsch, P., Habib, A.S., Kovac, A., Kranke, P., Meyer, T.A., et al.
2014. Consensus Guidelines for the Management of Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth Analg 118: 85-113
Glaser, C., Marhofer, P., Zimpfer, G., Heinz, M., Sitzwohl, C., Kapral, S., et al. 2002.
Levobupivacaine versus racemic bupivacaine for spinal anesthesia. Anesth Analg 94(1): 194-8
Graham, A.C., McClure, J.H. 2001. Quantitative assessment of motor block in
laboring woman receiving epidural analgesia. Anaesthesia 56: 470-6 Gristwood, R.W. 2002. Cardiac and CNS toxicity of Levobupivacaine: Strength of
evidence for advantage over bupivacaine. Drug 25(3): 153-63 Guler, G., Cakir, G., Ulgey, A., Ugur, F., Bicer, C., Gunes, I., et al. 2012. A
comparison of spinal anesthesia with levobupivacaine and hyperbaric bupivacaine for cesarean sections: A randomized trial. Open J Anesthesiol 2: 84-9
Ginosar, J., Mirikatani, E., Drover, D.R., Cohen, S.E., Riley, E.T. 2004. ED50 and
ED95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine co administered with opioids for cesarean delivery. Anesthesiology 100: 676-82
Heavner, J.E. 2008. Pharmacology of Local Anesthetics. In : Longnecker,D.E.,
Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol W.M., editors. Anesthesiology. New York: Mikroraw Hill, p. 954 -71
Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2001. Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed., New York: Lange Medical Books, McGraw-Hill. Available from: http://www.accessmedicine.com
Kopacz, D.J., Allen, H.W., Thompson, G.E. 2000. A comparison of epidural levobupivacaine 0,75% with racemic bupivacaine for lower abdominal surgery. Anesth Analg 90: 642-8
Kuczkowski, K.M. 2004. Nonobstetric surgery during pregnancy. Obstet Gynecol Surv 59 (1): 52-6
Lalenoh, D.C., Wahjoeningsing, S. 2013. Farmakologi Perinatal. Dalam: Bisri, T.,
Wahjoeningsing, S., Suwondo, B.S., editor. Anestesi Obstetri. Bandung: Saga Olahcitra. h. 15-40
Morgan, J. G., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anaesthesia. 4th Ed.
United State of America: McGraw-Hill. McClellan, KJ., Spencer, CM. 1998. Levobupivacaine. Drugs 56: 355-62 Misirlioglu, K., Sivrikaya, G.U., Hanci A., Yalcinkaya A. 2013. Intrathecal low-dose
levobupivacaine and bupivacaine combined with fentanyl in a randomized controlled study for caesarean section: blockade characteristics, maternal and neonatal effects. Hippokratia 17 (3): 262-7
Mulroy M.F. 2002. Systemic toxicity and cardiotoxicity from local anesthetics:
Incidence and preventive measures. Regional Anesthesia and Pain Medicine 27 (6): 556-61
Nostrand, J.V. 2014. Local anesthetics. (serial online), [cited 2014 Oct. 30].
Available from: URL: http://www.powershow.com/view/95d6b-N2ZjN/Local_Anesthetics_powerpoint_ppt_presentation
Parpaglioni, R., Frigo, M.G., Lemma, A., Sebastiani, M., Barbati, G. 2006. Minimum
local anaesthetic dose (MLAD) of intrathecal levobupivacaine and ropivacaine for Caesarean section. Anaesthesia 61: 110-5
Parpaglioni, R., Baldassini, B., Barbati, G., Celleno, D. 2009. Adding sufentanyl to
levobupivacaine or ropivacaine intrathecal anaesthesia affects the minimum local anaesthetic dose required. Acta Anaesthesiologica Scandinavica 53(9): 1214-20
Sell, A., Olkkola, K.T., Jalonen, J., Aantaa, R. 2005. Minimum effective local
anaesthetic dose of isobaric levobupivacaine and ropivacaine administered via a spinal catheter for hip replacement surgery. Br J Anaesth 94: 239-42
Stoelting, R.K., Hiller, S.C. 2006. Pharmacology & Physiology in Anesthetic
Practice. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
Subasi, D., Ekinci, O., Kuplay, Y. 2012. Comparison of intrathecal hyperbaric bupivacaine and levobupivacaine with fentanyl for caesarean section. Göztepe Tıp Dergisi 27(1): 22-9
Sastroasmoro, S., Ismael, S. 2006. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi
ke-2, CV Sagung Seto, Jakarta.
Tsen, L.C. 2009. Anesthesia for Cesarean Delivery. In: Chestnut, D.H., Polley, L.S., Tsen, L.C., Wong, C.A., editor. Chestnut’s Obstetric Anesthesia: principles and Practice, 4th Ed. Philadelphia. Mosby Elsevier. p.521
Viscomy, C.M. 2004. Pharmacology of Local Anesthetics. In: Rathmell.J.P., Neal
J.M., Viscomy C.M., editor. Regional Anesthesia: The requisites in anesthesiology, 1th Ed. Philadelphia. Mosby Elsevier. p.20
Valenzuela, C., Snyders, D.J., Bennett, P.B., Tamargo, J., Hondeghem, L.M. 1995. Stereoselective block of cardiac sodium channel by bupivacaine in guinea pig ventricular myocytes. Circulation 92(10): 3014-24
Wlody, D. 2003. Complications of regional anesthesia in obstetrics. Clin ObstetGynecol 46(3): 667-78
Wong, C.A., Nathan, N., Brown, D.L. 2009. Spinal, Epidural, and Caudal
Anesthesia: Anatomy, Physiology, and Technique. In: Chestnut, D.H., Polley, L.S., Tsen, L.C., Wong, C.A., editor. Chestnut’s Obstetric Anesthesia: principles and Practice, 4th Ed. Philadelphia. Mosby Elsevier. p 223
Xu, L., Guo, Q.L., Yan, Q. 2005. Isobaric and Hyperbaric Local Anesthetic Used In
Spinal Anesthesia. Reg Anaesth 03: 325-7
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
RINCIAN INFORMASI
Perbandingan waktu pulih hambatan motorik antara pemberian
Levobupivakain 0,5% 10 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada Seksio
Sesarea dengan Anestesi Blok Subarakhnoid di RS Sanglah Denpasar
Di RS Sanglah Denpasar saat ini tengah dilakukan penelitian oleh tim peneliti
dari Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu pulih hambatan motorik antara
pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada Seksio
Sesarea dengan Anestesi Blok Subaraknoid.
Obat anestesi lokal diberikan secara blok subaraknoid pada seksio sesarea untuk
memberikan analgesia dan relaksasi yang adekuat. Setelah pemberian obat anestesi
lokal subarakhnoid kami evaluasi waktu pulih terhadap hambatan motorik yang dapat
berbeda pada setiap obat anestesi lokal tersebut. Penelitian-penelitian sejenis yang
pernah dilakukan di luar negeri dengan dosis obat seperti kelompok A maupun
kelompok B dan menunjukkan hasil yang baik untuk memberikan waktu pulih yang
lebih cepat pada operasi seksio sesarea. Mengingat efek samping pemberian obat
anestesi lokal secara subarakhnoid seperti hipotensi sangat tergantung dosis dan cara
pemberian, maka menurunkan dosis obat anestesi lokal menjadi 10 mg merupakan
upaya mengurangi gejolak hemodinamik dan tetap menjaga hambatan motorik yang
adekuat pada seksio sesarea dengan blok subarakhnoid.
Kepada semua pasien akan diberikan perlakuan yang sama, sesuai dengan
prosedur pelaksanaan dimana pemberian obat anestesi lokal melalui ruang
subarakhnoid akan diberikan sesuai kelompoknya. Demikian pula mengenai
penanganan bila terjadi komplikasi maupun efek samping yang timbul akan diberikan
pengobatan sesuai standar terbaik yang ada, tanpa membedakan berdasarkan
kelompok perlakuannya.
Keuntungan yang bisa dirasakan oleh pasien yang ikut serta dalam penelitian ini
adalah biaya obat yang digunakan akan ditanggung oleh peneliti. Disamping itu
pasien akan dievaluasi, diawasi secara cermat sebelum, selama dan sesudah tindakan
oleh peneliti.
Semua data dari penelitian ini akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak
mungkin orang lain akan menghubungkannya dengan Anda. Anda diberikan
kesempatan yang sebesar-besarnya untuk menanyakan semua hal yang belum jelas
tentang penelitian ini kepada peneliti.
Bagi semua pasien yang akan menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi
blok subarakhnoid di ruang operasi Instalasi Gawat Darurat dan ruang operasi
Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah diharapkan bisa ikut serta dalam penelitian ini.
Tidak ada paksaan untuk ikut atau menolak diikutsertakan dalam penelitian ini. Bila
Ibu (atau Suami pasien) bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini, kami ucapkan
banyak terima kasih dan bila tidak bersedia, kami akan tetap akan memberikan
pelayanan sebagaimana mestinya.
Hormat kami,
Peneliti
(dr. Yosephine Ervina)
Catatan : Nomer telpon peneliti yang dapat dihubungi 081340475070 / 0361-3603917
Lampiran 4
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN UJI KLINIK
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : …………………………………………………………….. Umur/kelamin : ………………tahun, L / P Alamat : …………………………………………………………….. Pekerjaan : …………………………………………………………….. Nomor telp. :…………………………………………………………….. Nomor KTP/SIM : …………………………………………………………….. Setelah memperoleh penjelasan dari peneliti tentang tujuan, manfaat dan resiko penelitian ini serta semua pertanyaan saya telah dijawab dengan jelas oleh peneliti, dengan ini memberikan :
PERSETUJUAN Untuk ikut serta/mengikutsertakan saya sendiri*/ istri* saya: Nama : …………………………………………………………….. Umur/kelamin : ………………tahun, L / P Alamat : …………………………………………………………….. Pekerjaan : …………………………………………………………….. Nomor telp. :…………………………………………………………….. Nomor KTP/SIM : …………………………………………………………….. Dalam penelitian di kamar operasi Instalasi Gawat Darurat atau di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar, yang berjudul: Perbandingan waktu pulih hambatan motorik antara pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Blok Subarakhnoid di RS Sanglah Denpasar. Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Denpasar, .......................2014 Penanggung jawab penelitian, Yang membuat pernyataan, (dr. Yosephine Ervina) (……………………….........) Saksi: 1 …………………..(dari pihak RS Sanglah) 2 …………………..(dari pihak keluarga) * Lingkari & coret yang lain
Lampiran 5
LEMBAR PENELITIAN
Perbandingan Waktu Pulih Hambatan Motorik antara pemberian Levobupivakain 0,5% 10 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg pada Seksio
Sesarea dengan Anestesi Blok Subarakhnoid di RS Sanglah Denpasar
Data Umum
1. No. Rekam medis : ……………………………… No. sampel : ………….
2. Nama Pasien : ………………………………………………….……….
3. Umur Pasien : ……………………………………………….....……….
4. Umur kehamilan : ................................................................................
6. Tanggal Operasi : ……………………………………………….………….
Data Khusus
1. Diagnosis : ………………………………………………………….....
3. Berat badan : …… kg, Tinggi badan : ……. cm, IMT : …….. kg/m2
4. Status Fisik ASA : ………………………………………………………….......
Cara Kerja
1. Kelengkapan identitas dan persetujuan tindakan diperiksa kembali di ruang
persiapan kamar operasi.
2. Dilakukan pemasangan kateter intravena G18 dan diberikan premedikasi
metokloperamid 10 mg dan ranitidin 50 mg intravena ± 30 menit sebelum
tindakan pembedahan
3. Diberikan cairan prehidrasi Ringer Laktat 10 ml/kgBB sebelum dilakukan blok
subaraknoid secara infus cepat dan pasien disiapkan ke kamar operasi.
4. Di kamar operasi dilakukan pemasangan alat monitor tekanan darah non invasif,
EKG dan pulse oksimetri.
5. Pasang O2 nasal kanul 2 L/mnt.
6. Posisikan pasien lateral dekubitus kiri dengan posisi meja datar, satu bantal di
kepala.
7. Dengan teknik steril dilakukan blok subarakhnoid pada ruang lumbal (L3-4 atau
L4-5) pendekatan median atau paramedian, memakai jarum spinal G 27. Setelah
diyakini jarum spinal masuk kedalam ruang subarakhnoid, yang ditandai oleh
keluarnya liquor yang jernih, diinjeksikan obat anestesi lokal Bupivakain 0,5% 10
mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg blok subarakhnoid dilakukan oleh residen
anestesi semester enam ke atas.
8. Setelah blok subarakhnoid selesai, pasien diposisikan telentang dengan satu
bantal di kepala dan posisi meja operasi sedikit dimiringkan ke kiri ± 15°.
9. Dievaluasi ketinggian blok sensoris dengan metode pinprick pada garis
midklavikula dengan jarum G 23, diharapkan ketinggian blok sensorik setinggi
dermatom thorakal 6.
10. Selanjutnya dilakukan pencatatan waktu dimulainya hambatan motorik (Skor
Modifikasi Bromage = 3).
11. Bila terjadi hipotensi (penurunan TDS ≥ 20% nilai awal atau penurunan TAR ≥
10% nilai awal) diberikan ephedrin 5 mg intravena, dapat diulang sampai tercapai
batas normal tekanan darah.
12. Tindakan seksio sesarea dengan insisi uterus melintang pada bagian bawah rahim
dikerjakan setelah ketinggian blok subarakhnoid tercapai.
13. Setelah bayi lahir, seorang residen anestesi memberikan oksitosin bolus intravena
10 IU secara perlahan. Segera setelah pemberian bolus dilanjutkan dengan
pemberian oksitosin kontinyu 0,04 IU/menit dengan cara melarutkan oksitosin 20
IU dalam cairan Ringer Laktat 500 ml tetesan rumatan.
13. Plasenta kemudian dilahirkan dengan traksi tali pusat terkontrol oleh operator.
14. Setelah luka operasi ditutup dan pasien dibersihkan, pasien dipindahkan ke ruang
pulih. Jumlah cairan yang diberikan selama operasi dan adanya kejadian
komplikasi lainnya seperti mual, muntah dan menggigil selama operasi dicatat
pada lembar yang sudah disediakan.
20. Bila terjadi komplikasi :
• Hipotensi (penurunan TDS ≥ 20% nilai dasar atau penurunan TAR ≥ 10%
nilai dasar) diberikan ephedrin 5 mg intravena, dapat diulang sampai tercapai
batas normal tekanan darah.
• Mual dan atau muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena.
• Menggigil, berikan bolus pelan petidin 25 mg intravena.
21. Untuk analgesia pasca operasi diberikan fentanyl kontinyu 0,25 mcg/kgBB/jam
(dengan syringe pump) dan bolus ketorolak 3 x 30 mg intravena.
22. Di ruang pulih, pasien dicatat waktu pulih blok motorik, yaitu skor modifikasi
bromage = 0
22. Semua hasil pemeriksaan dicatat pada formulir yang sudah disediakan
Lampiran 6
PENCATATAN HASIL EVALUASI
Tabel Waktu Mulai dan Waktu Pulih Blok Motorik
Variabel tergantung Waktu
Skor Bromage 3 Pk.
Skor Bromage 0 Pk.
Tabel Respon Kardiovaskuler
Waktu dari mulai blok motorik sampai pulih blok motorik :...........................menit Hambatan sensorik setinggi............. Pemberian ephedrin setelah pemberian obat anestesi lokal intratekal: menit ke-..... Efek samping lainnya: - Mual : YA/TIDAK* Terapi:........................
- Muntah : YA/TIDAK* Terapi:........................
- Menggigil : YA/TIDAK* Terapi:........................
Jumlah cairan yang diberikan selama operasi : Kristaloid ........ml + Koloid.......ml Perkiraan jumlah perdarahan selama operasi : .........................ml *Lingkari & coret yang lain
Nilai dasar
Setelah pemberian Bupivakain 0,5% 10 mg atau Levobupivakain 0,5% 10 mg
Menit ke-1
Menit ke-2
Menit ke-3
Menit ke-4
Menit ke-5
Menit ke-7
Menit ke-10
Menit ke-12
Menit ke-15
Menit ke-20
TDS (mmHg)
TDD (mmHg)
TAR (mmHg)
Lampiran 8
HASIL ANALISIS SPSS
KLP
Case Processing Summary
KLP
Cases
Valid Missing
N Percent N
Umur (Tahun) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 100.0% 0
Bupivakain 0,5% 10mg 36 100.0% 0
BB (Kg) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 100.0% 0
Bupivakain 0,5% 10mg 36 100.0% 0
TB (cm) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 100.0% 0
Bupivakain 0,5% 10mg 36 100.0% 0
IMT Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 100.0% 0
Bupivakain 0,5% 10mg 36 100.0% 0
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 100.0% 0
Bupivakain 0,5% 10mg 36 100.0% 0
Case Processing Summary
KLP
Cases
Missing Total
Percent N Percent
Umur (Tahun) Levobupivakain 0,5% 10 mg .0% 36 100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg .0% 36 100.0%
BB (Kg) Levobupivakain 0,5% 10 mg .0% 36 100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg .0% 36 100.0%
TB (cm) Levobupivakain 0,5% 10 mg .0% 36 100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg .0% 36 100.0%
IMT Levobupivakain 0,5% 10 mg .0% 36 100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg .0% 36 100.0%
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg .0% 36 100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg .0% 36 100.0%
Descriptives
KLP Statistic Std. Error
Umur
(Tahun)
Levobupivakain
0,5% 10 mg
Mean 28.86 .818
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 27.20
Upper Bound 30.52
5% Trimmed Mean 28.90
Median 29.00
Variance 24.066
Std. Deviation 4.906
Minimum 18
Maximum 39
Range 21
Interquartile Range 6
Skewness -.097 .393
Kurtosis -.075 .768
Bupivakain 0,5%
10mg
Mean 28.92 .917
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 27.06
Upper Bound 30.78
5% Trimmed Mean 28.67
Median 28.50
Variance 30.250
Std. Deviation 5.500
Minimum 20
Maximum 45
Range 25
Interquartile Range 6
Skewness .618 .393
Kurtosis .909 .768
BB
(Kg)
Levobupivakain
0,5% 10 mg
Mean 64.22 1.262
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 61.66
Upper Bound 66.79
5% Trimmed Mean 64.10
Median 64.50
Variance 57.378
Std. Deviation 7.575
Minimum 45
Maximum 82
Range 37
Interquartile Range 5
Skewness .414 .393
Kurtosis .914 .768
Bupivakain 0,5%
10mg
Mean 68.61 2.054
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 64.44
Upper Bound 72.78
5% Trimmed Mean 67.38
Median 68.50
Variance 151.902
Std. Deviation 12.325
Minimum 50
Maximum 120
Range 70
Interquartile Range 11
Skewness 2.228 .393
Kurtosis 8.066 .768
TB
(cm)
Levobupivakain
0,5% 10 mg
Mean 156.03 1.069
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 153.86
Upper Bound 158.20
5% Trimmed Mean 156.42
Median 156.00
Variance 41.113
Std. Deviation 6.412
Minimum 136
Maximum 165
Range 29
Interquartile Range 10
Skewness -.867 .393
Kurtosis 1.240 .768
Bupivakain 0,5%
10mg
Mean 156.06 1.246
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 153.53
Upper Bound 158.58
5% Trimmed Mean 156.16
Median 155.00
Variance 55.883
Std. Deviation 7.475
Minimum 142
Maximum 170
Range 28
Interquartile Range 15
Skewness -.145 .393
Kurtosis -.894 .768
IMT Levobupivakain
0,5% 10 mg
Mean 26.4115 .51755
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 25.3609
Upper Bound 27.4622
5% Trimmed Mean 26.1521
Median 25.3906
Variance 9.643
Std. Deviation 3.10530
Minimum 22.31
Maximum 35.56
Range 13.24
Interquartile Range 4.08
Skewness 1.321 .393
Kurtosis 1.572 .768
Bupivakain 0,5%
10mg
Mean 28.1825 .74279
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 26.6746
Upper Bound 29.6905
5% Trimmed Mean 27.8693
Median 27.5550
Variance 19.863
Std. Deviation 4.45674
Minimum 21.48
Maximum 41.52
Range 20.04
Interquartile Range 6.17
Skewness 1.003 .393
Kurtosis 1.334 .768
Durasi
(menit)
Levobupivakain
0,5% 10 mg
Mean 108.75 1.996
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 104.70
Upper Bound 112.80
5% Trimmed Mean 108.64
Median 110.00
Variance 143.393
Std. Deviation 11.975
Minimum 75
Maximum 140
Range 65
Interquartile Range 14
Skewness .049 .393
Kurtosis 1.877 .768
Bupivakain 0,5%
10mg
Mean 152.00 3.302
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 145.30
Upper Bound 158.70
5% Trimmed Mean 151.94
Median 157.50
Variance 392.571
Std. Deviation 19.813
Minimum 120
Maximum 185
Range 65
Interquartile Range 31
Skewness -.014 .393
Kurtosis -1.349 .768
Tests of Normality
KLP
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic
Umur (Tahun) Levobupivakain 0,5% 10 mg .081 36 .200* .986
Bupivakain 0,5% 10mg .104 36 .200* .961
BB (Kg) Levobupivakain 0,5% 10 mg .237 36 .000 .925
Bupivakain 0,5% 10mg .222 36 .000 .805
TB (cm) Levobupivakain 0,5% 10 mg .177 36 .006 .923
Bupivakain 0,5% 10mg .134 36 .099 .948
IMT Levobupivakain 0,5% 10 mg .174 36 .008 .883
Bupivakain 0,5% 10mg .102 36 .200* .937
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg .208 36 .000 .934
Bupivakain 0,5% 10mg .166 36 .014 .925
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Tests of Normality
KLP
Shapiro-Wilk
df Sig.
Umur (Tahun) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 .917
Bupivakain 0,5% 10mg 36 .233
BB (Kg) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 .018
Bupivakain 0,5% 10mg 36 .000
TB (cm) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 .015
Bupivakain 0,5% 10mg 36 .093
IMT Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 .001
Bupivakain 0,5% 10mg 36 .040
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 .034
Bupivakain 0,5% 10mg 36 .018
T-Test
Group Statistics
KLP N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Umur (Tahun) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 28.86 4.906 .818
Bupivakain 0,5% 10mg 36 28.92 5.500 .917
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances
t-test for Equality of
Means
F Sig. t df
Umur (Tahun) Equal variances assumed .123 .727 -.045 70
Equal variances not assumed -.045 69.104
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
Sig. (2-tailed) Mean Difference
Std. Error
Difference
Umur (Tahun) Equal variances assumed .964 -.056 1.228
Equal variances not assumed .964 -.056 1.228
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Umur (Tahun) Equal variances assumed -2.505 2.394
Equal variances not assumed -2.506 2.395
Mann-Whitney Test
Ranks
KLP N Mean Rank Sum of Ranks
BB (Kg) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 32.18 1158.50
Bupivakain 0,5% 10mg 36 40.82 1469.50
Total 72
TB (cm) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 36.94 1330.00
Bupivakain 0,5% 10mg 36 36.06 1298.00
Total 72
IMT Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 31.86 1147.00
Bupivakain 0,5% 10mg 36 41.14 1481.00
Total 72
Test Statisticsa
BB (Kg) TB (cm) IMT
Mann-Whitney U 492.500 632.000 481.000
Wilcoxon W 1158.500 1298.000 1147.000
Z -1.766 -.182 -1.882
Asymp. Sig. (2-tailed) .077 .856 .060
a. Grouping Variable: KLP
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
ASA * KLP 72 100.0% 0 .0% 72 100.0%
umur kehamilan kategori * KLP 72 100.0% 0 .0% 72 100.0%
ASA * KLP
Crosstab
KLP
Levobupivakain 0,5%
10 mg
Bupivakain 0,5%
10mg Total
ASA 1 Count 21 25 46
% within KLP 58.3% 69.4% 63.9%
2 Count 15 11 26
% within KLP 41.7% 30.6% 36.1%
Total Count 36 36 72
% within KLP 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .963a 1 .326
Continuity Correctionb .542 1 .462
Likelihood Ratio .966 1 .326
Fisher's Exact Test .462 .231
Linear-by-Linear Association .950 1 .330
N of Valid Cases 72
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.00.
ASA * KLP
Crosstab
KLP
Levobupivakain 0,5%
10 mg
Bupivakain 0,5%
10mg Total
ASA 1 Count 21 25 46
% within KLP 58.3% 69.4% 63.9%
2 Count 15 11 26
% within KLP 41.7% 30.6% 36.1%
Total Count 36 36 72
b. Computed only for a 2x2 table
umur kehamilan kategori * KLP
Crosstab
KLP
Levobupivakain
0,5% 10 mg
Bupivakain 0,5%
10mg Total
umur kehamilan kategori Preterm Count 2 2 4
% within KLP 5.6% 5.6% 5.6%
Aterm Count 34 34 68
% within KLP 94.4% 94.4% 94.4%
Total Count 36 36 72
% within KLP 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .000a 1 1.000
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .000 1 1.000
Fisher's Exact Test 1.000 .693
Linear-by-Linear Association .000 1 1.000
N of Valid Cases 72
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00.
Crosstab
KLP
Levobupivakain
0,5% 10 mg
Bupivakain 0,5%
10mg Total
umur kehamilan kategori Preterm Count 2 2 4
% within KLP 5.6% 5.6% 5.6%
Aterm Count 34 34 68
% within KLP 94.4% 94.4% 94.4%
Total Count 36 36 72
b. Computed only for a 2x2 table
KLP
Case Processing Summary
KLP
Cases
Valid Missing
N Percent N
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 100.0% 0
Bupivakain 0,5% 10mg 36 100.0% 0
Case Processing Summary
KLP
Cases
Missing Total
Percent N Percent
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg .0% 36 100.0%
Bupivakain 0,5% 10mg .0% 36 100.0%
Descriptives
KLP Statistic
Std.
Error
Durasi
(menit)
Levobupivakain 0,5% 10 mg Mean 108.75 1.996
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 104.70
Upper Bound 112.80
5% Trimmed Mean 108.64
Median 110.00
Variance 143.393
Std. Deviation 11.975
Minimum 75
Maximum 140
Range 65
Interquartile Range 14
Skewness .049 .393
Kurtosis 1.877 .768
Bupivakain 0,5% 10mg Mean 152.00 3.302
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 145.30
Upper Bound 158.70
5% Trimmed Mean 151.94
Median 157.50
Variance 392.571
Std. Deviation 19.813
Minimum 120
Maximum 185
Range 65
Interquartile Range 31
Skewness -.014 .393
Kurtosis -1.349 .768
Tests of Normality
KLP
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg .208 36 .000 .934
Bupivakain 0,5% 10mg .166 36 .014 .925
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality
KLP
Shapiro-Wilk
df Sig.
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 .034
Bupivakain 0,5% 10mg 36 .018
Mann-Whitney Test
Ranks
KLP N Mean Rank Sum of Ranks
Durasi (menit) Levobupivakain 0,5% 10 mg 36 19.36 697.00
Bupivakain 0,5% 10mg 36 53.64 1931.00
Total 72
Test Statisticsa
Durasi (menit)
Mann-Whitney U 31.000
Wilcoxon W 697.000
Z -6.982
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
Test Statisticsa
Durasi (menit)
Mann-Whitney U 31.000
Wilcoxon W 697.000
Z -6.982
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: KLP
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Efek Samping * KLP 72 100.0% 0 .0% 72 100.0%
Efek Samping * KLP Crosstabulation
KLP
Levobupivakain
0,5% 10 mg
Bupivakain
0,5% 10mg Total
Efek Samping Tidak ada Count 15 19 34
% within KLP 41.7% 52.8% 47.2%
Hipotensi Count 6 4 10
% within KLP 16.7% 11.1% 13.9%
Mual Count 3 6 9
% within KLP 8.3% 16.7% 12.5%
Mengigil Count 12 7 19
% within KLP 33.3% 19.4% 26.4%
Total Count 36 36 72
% within KLP 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 3.186a 3 .364
Likelihood Ratio 3.225 3 .358
Linear-by-Linear
Association
1.264 1 .261
N of Valid Cases 72
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 4.50.