Agama Masyarakat Negara Demokrasi
IslamkuIslam andaIslam kIta
Agama Masyarakat Negara Demokrasi
IslamkuIslam andaIslam kIta
Abdurrahman Wahid
KATA PENGANTAR:dR. m. sYaFI’I anWaR
Islamku Islam anda Islam kitaagama masyarakat negara demokrasiAbdurrahman Wahid
kata Pengantar:M. Syafi’i Anwar
Penyelaras akhir:Ahmad SuaedyRumadiGamal FerdhiAgus Maftuh Abegebriel
Rancang sampul:M. NoviWidhi Cahya
setting/layout:M. Isnaeni “Amax’s”Hanung Seto
xxxvi + 412 halaman: 15,5 x 23,5 cm IsBn 979 - 98737- 0 – 3
Cetakan I : Agustus 2006
diterbitkan oleh:
Jl. Taman Amir Hamzah No. 8Jakarta 10320, IndonesiaTelp. : +62-21-3928233Fax : +62-21-3928250Email : [email protected] : www.wahidinstitute.org
g vii h
Pengantar Redaksi
B ahwa “Tuhan tidak perlu dibela”, itu sudah dinyatakan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam suatu tulisannya yang kemudian menjadi judul
salah satu buku kumpulan karangannya yang diterbitkan beberapa tahun lalu. Tapi, bagaimana dengan umatNya atau manusia pada umumnya?
“Merekalah yang sebenarnya justru perlu dibela” ketika mereka menuai ancaman atau mengalami ketertindasan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Konsekuensi dari pembelaan, adalah kritik, dan terkadang terpaksa harus mengecam, jika sudah melewati ambang toleransi. “Pembelaan”, itulah kata kunci dalam esaiesai kumpulan tulisan Abdurrahman Wahid kali ini. Maka, bisa dikatakan, esaiesai ini berangkat dari perspektif korban, dalam hampir semua kasus yang dibahas.
Wahid tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, etnis, warna kulit, posisi sosial, agama apapun untuk melakukannya. Bahkan, Wahid tidak ragu untuk mengorbankan image sendiri—sesuatu yang seringkali menjadi barang mahal bagi mereka yang merasa sebagai politisi terkemuka— untuk membela korban yang memang perlu dibela. Maka orang sering terkecoh bahwa seolah Wahid sedang mencari muka ketika harus mengorbankan dirinya sendiri. Munculnya tuduhan sebagai ketua ketoprak, klenik, neo-PKI, dibaptis masuk Kristen, kafir, murtad, agen Zionis Yahudi dan sebagainya, tidak akan menjadi beban bagi dirinya ketika harus membela korban.
g viii h
Islamku Islam anda Islam kIta
Bahkan jika dia sendiri yang jadi korban, tidak akan ragu juga untuk memperjuangkannya, seperti kasus diskriminasi yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam pemilihan presiden 2004. Hanya untuk tidak meloloskan dia menjadi calon presiden, KPU merekayasa sebuah aturan yang aneh bin diskriminatif dengan melanggar UUD 45 dan perundanganundangan yang ada, yang di masa depan yang panjang, mungkin baru akan terasa bahwa hal itu akan menjadi problem besar bangsa Indonesia untuk menegakkan demokrasi dan kedaulatan hukum. Meskipun ia selama ini selalu menjadi pembela orang lain, ia tidak ambil pusing –ketika dirinya menjadi korban, tak ada yang membantu atau membelanya.
Wahid dalam esaiesainya ini melakukan pembelaan mulai dari Inul Daratista yang dikeroyok oleh para seniman terkemuka di Jakarta dengan alasan agama, Ulil Abshar Abdalla aktivis Islam Liberal yang divonis hukuman mati juga dengan alasan agama Islam oleh para ulama terkemuka, sampai ancaman untuk menutup pesantren AlMukmin di Ngruki, Solo oleh polisi, meskipun ia tetap mengkritik pandangan Abu Bakar Ba'asyir dan pengikutnya.
Wahid juga melakukan pembelaan terhadap rakyat Irak dan Saddam Hussein dalam berhadapan dengan kejahatann Presiden Amerika Serikat George W. Bush Jr., rakyat Palestina yang terus menerus menjadi bulanbulanan Israel, serta rakyat tertindas di negaranegara berkembang atas dominasi kapitalis dunia dalam globalisasi. Dan tentu saja, rakyat kecil yang menjadi korban kebijakan pemerintah sendiri. Mereka adalah rakyat Aceh yang terpaksa memilih bergabung dengan GAM, sebagian rakyat Papua yang terpaksa bergabung dengan OPM, serta rakyat Ambon yang menjadi korban rekayasa kekerasan. Begitu juga pemeluk agama minoritas, selalu menjadi subjek pembelaannya.
Satu hal yang dihindari Wahid yang memproklamirkan diri sebagai pengikut setia Mahatma Gandhi adalah kekerasan, termasuk yang dilakukan dari pihak korban. Hanya kalau orang Islam diusir dari rumahnya yang sah dengan semenamena, kata Wahid menurut hukum Islam, mereka baru boleh melakukan kekerasan.
Di samping itu, Wahid juga menghindari satu sudut pandang saja dalam melihat banyak hal, termasuk agama. Judul utama buku ini memperlihatkan bahwa pluralitas diutamakan
g ix h
PEnGantaR
termasuk dalam melihat Islam: “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”. Tak ada satu Islam, Islam adalah multi wajah, wajah manusiawi.
Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan bersandar pada etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Wahid, termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah globalisasi ini: untuk perdamaian abadi dan saling menghormati antar bangsa dan antar manusia.
The Wahid Institute dengan senang hati mempersembahkan esaiesai ini yang ditulis Wahid pasca lengser dari kursi kepresidenan. Wahid Institute berhutang budi kepada banyak pihak, terutama kepada harian dan majalah yang tulisantulisannya dimuat dalam kumpulan ini; juga kepada mereka yang secara tekun mencatat, menyimpan dan memperbaiki jika perlu, atas semua naskah ini. Juga kepada Abdurrahman Wahid sendiri yang dengan rela memberikan naskah ini untuk diterbitkan. Terakhir rasa terima kasih yang besar disampaikan kepada Dr. M. Syafi’i Anwar Direktur ICIP (International Center for Islam and Plu-ralism), yang dalam kesibukannya menyelesaikan disertasi doktornya, masih menyempatkan diri untuk membaca, menseleksi dan memberikan saran perbaikan serta mensistematisasi dan memberi kata pengantar buku ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu. Kami hanya bisa mengucapkan semoga amal ibadah bapak ibu sekalian diterima oleh Allah Swt. Amiiin.
Selamat membaca,
Jakarta, Agustus 2006
the WAHID Institute
g xi h
P ada mulanya adalah sebuah pertemuan. Tepatnya pertemuan antara saya dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tanggal 11 Oktober 2001 di rumahnya, di ka
wasan Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu itu saya menemuinya untuk keperluan wawancara dalam rangka penulisan disertasi yang sedang saya tulis pada Departement of Indonesian Studies, University of Melbourne, Australia. Hari masih pagi, kirakira pukul 8 ketika saya datang ke rumah Gus Dur. Tapi sepagi itu deretan orang yang antri untuk bertemu Gus Dur sudah cukup panjang. Gus Dur baru selesai mandi pagi ketika saya datang. Segera saja Mas Munib, ajudan Gus Dur memberitahukan bahwa saya sudah datang. Begitu diberitahu saya sudah datang, Gus Dur segera bertanya “Mana Mas Syafi’i?.” Segera saya pun menghampiri dan menyalaminya. “Wawancaranya di mobil saja, ya Mas ...sambil jalanjalan ...,” ujarnya dengan rileks.
Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran mantan presiden RI keempat ini, meskipun senang juga karena Gus Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya melayani ummat. Bagi seorang mantan wartawan seperti saya, tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting adalah kesediaan narasumber untuk diwawancara. Namun yang sedikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil dengan Gus Dur itu. Saya khawatir, orangorang yang ingin bertemu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa karena mereka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah
Islamku, Islam Anda, Islam KitaMembingkai Potret Pemikiran Politik
KH Abdurrahman Wahid
Oleh M. Syafi’i Anwar
g xii h
Islamku Islam anda Islam kIta
cukup lama menunggu. “Tapi bagaimana dengan orangorang yang sudah cukup lama menunggu itu. Nanti mereka kecewa karena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak apaapa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa menunggu, Munib sudah memberi tahu mereka, dan mereka maklum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda di sini tidak banyak,” kata Gus Dur. Akhirnya saya pun tak dapat menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami berdua berkeliling naik mobil, berputarputar di kawasan Ciganjur dan Pasar Minggu.
Selama hampir satu jam sopir membawa kami berputarputar di kawasan tersebut, sementara saya sibuk merekam dan mencatat hasil wawancara. Kadangkadang kami berdua tertawa tergelakgelak, terutama kalau Gus Dur membuat joke-joke yang segar tentang berbagai soal politik mutakhir. Gus Dur menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan, disertai dengan argumenargumen yang kaya wawasan, bahkan dengan banyak kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menjadi landasan jawabannya. Ketika sopir menghentikan mobil di rumah Gus Dur, wawancara pun belum selesai dan dilanjutkan kembali di rumah. Tapi saya segera membatasi diri untuk tidak berlamalama lagi karena mempertimbangkan banyaknya orang yang sudah antri. Sewaktu hendak pulang, Gus Dur berkata: “Mas, saya ingin mempercayakan kepada sampeyan untuk mengedit dan memberi pengantar untuk kumpulan artikel saya. Ini kumpulan artikel saya era pasca lengser. Anda kan wartawan, jadi bisa mengguntinggunting kumpulan tulisan itu.”
Sejenak saya tertegun dengan permintaan dan ungkapan Gus Dur itu. Bagaimana pun saya merasa surprise dengan apa yang diungkapkan Gus Dur. Bukan apaapa, di satu sisi saya merasa mendapat kehormatan dengan kepercayaan itu. Tapi di sisi lain, saya merasa bahwa tugas mengedit dan memberi pengantar untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur juga bukan pekerjaan sederhana. Masalahnya bukan saja karena waktu saya yang terbatas, tapi juga karena saya merasa bukan tokoh yang pas untuk mengedit dan memberi pengantar untuk tokoh sekaliber Gus Dur. Meskipun sebagai mantan wartawan mungkin saya banyak memperoleh informasi tentang sepak terjang seorang Gus Dur, baik sebagai tokoh nasional maupun news maker, tetapi itu tidak berarti saya paham dengan apa yang dilakukan. Apalagi pernyataan dan tindakan Gus Dur terkadang nyleneh dan kontrover
g xiii h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
sial, bahkan tidak jarang menimbulkan polemik dan perdebatan antara mereka yang setuju dan tidak. Jangankan saya yang berlatar belakang Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sendiri pun, pikiran dan sepak terjang Gus Dur tak selamanya bisa dipahami kalangan nahdliyin.
Terus terang pada awalnya saya khawatir, janganjangan editing dan kata pengantar yang akan saya lakukan nanti justru tidak berhasil memotret jalan pikiran yang sebenarnya atau otentisitas dari latar belakang ucapan dan tindakannya. Apalagi bagi sebagian besar warga nahdliyin, Gus Dur adalah figur yang dihormati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan dan tindakannya. Bukan saja karena ia adalah cucu pendiri NU Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga karena Gus Dur adalah ulamaintelektual NU terkemuka dan berwawasan kosmopolitan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batasbatas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.1
Namun demikian, sebagai orang Muhammadiyah dan juga mantan wartawan, saya barangkali termasuk orang yang percaya bahwa Gus Dur adalah Gus Dur. Ia memang dilahirkan oleh sejarah sebagai tokoh terkemuka, tetapi ia bukan seorang wali atau figur yang can do no wrong. Ia tetap manusia biasa yang punya kekuatan dan kelemahan, dan tentu saja ia bisa salah dalam berfikir atau bertindak. Sekalipun kita mungkin tidak setuju ter-hadap gagasan dan sepak terjangnya, tetapi kita tetap harus fair untuk menilai kontribusinya dalam pemikiran politik Islam di Indonesia. Bagi saya, Gus Dur bersamasama dengan intekletual Muslim lainnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia.2
Karena itu ketika dia menawari untuk mengedit dan memberi kata pengantar kumpulan tulisannya untuk dijadikan buku, secara spontan saya menerimanya. Pada saat itu saya cuma berkeyakinan bahwa kepercayaan dari seorang Gus Dur kepada saya tentu dengan pertimbangan tersendiri. Menariknya, ketika tawaran Gus Dur itu saya diskusikan dengan temanteman, mereka dengan segera menganjurkan agar tawaran itu saya terima. Salah satu di antara sahabat saya yang memberikan dorongan
g xiv h
Islamku Islam anda Islam kIta
agar saya mengerjakan pekerjaan editing dan memberi kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini adalah Dr. Haidar Bagir, MA intelektual muda Muslim alumnus Universitas Harvard, yang juga Direktur Penerbit Mizan. “Dengan mengedit dan memberikan kata pengantar yang kritis terhadap kumpulan tulisan Gus Dur, Anda bisa berperan untuk menjadi semacam “perantara” bagi simbiose intelektual di antara kalangan NU dan Muhammadiyah,” ujar Haidar.
Ucapan Haidar itu mengingatkan saya pada Dr. Greg Barton, sahabat lama saya yang juga menjadi dosen di Deakin University, Australia. Dalam bukunya, Barton menyebut saya yang waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Berita Ummat, sebagai orang yang berusaha menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokohtokoh modernis Muslim, terutama Amien Rais. Greg Barton mungkin sedikit berlebihan ketika menyebutkan peran saya sebagai perantara untuk menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokohtokoh Islam modernis, walaupun saya bisa memahami apa yang dia maksud.3 Yang jelas saya merasa dekat dengan siapa saja, baik dengan tokohtokoh Muhammadiyah maupun NU dan sejumlah cendekiawan Muslim lainnya. Karena sebagai wartawan, saya merasa nyaman dan akrab dengan berbagai tokoh dari kedua ormas terbesar di Indonesia itu, seperti Gus Dur, Mas Amien Rais, Bang Syafi’i Ma’arif, Gus Mus (KH Mustafa Bisri), Dr. Fahmi Saefuddin, M. Dawam Rahardjo, Kang Muslim Abdurrahman, dan lainlain. Tentu saya juga merasa akrab dengan Cak Nur, Bang Hussein Umar, dan tokohtokoh cendekiawan lintas agama. Lepas dari perbedaan pendapat dan visi mereka dalam pergumulan ide dan percaturan politik, saya merasa merasa berhutang budi secara intelektual kepada mereka semua.
Adalah sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah yang juga memberikan dorongan positif kepada saya untuk mengedit dan memberikan kata pengantar buku Gus Dur ini. “Itu suatu kehormatan. Anda tak perlu ragu untuk untuk melakukannya. Saya sendiri merasa dekat dengan Gus Dur, sekalipun tidak semua pikiran dan tindakan politiknya saya setujui. Tapi kita harus jujur, jernih, dan bijak dalam menilai pikiran dan tindakan seseorang,” ujarnya ketika kami bertemu di National University of Singapore, tahun 2004 yang lalu.
Dengan dorongan para sahabat dan para senior itulah, sun
g xv h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
tingan dan kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini saya kerjakan.
Memperkuat Substansi IslamJudul buku ini, Islamku, Islam Anda, Islam Kita diambil
dari salah satu artikel yang ditulis Gus Dur. Ia dipilih karena dapat menggambarkan pengembaraan intelektual Gus Dur dari masa ke masa. Sebuah pengembaraan intelektual yang bukan saja tidak linear, tetapi juga berproses. Itu terlihat misalnya dalam pengakuan Gus Dur sendiri, yang melihat Islam sebagai agama yang tengah mengalami perubahanperubahan besar. Diakui oleh Gus Dur bahwa di masa mudanya, di tahuntahun 1950an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke Jombang, Jawa Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam gerakan Ikhwanul Muslimun di kota kelahirannya itu. Lalu pada tahun 1960an, Gus Dur tertarik untuk mendalami nasionalisme dan sosialisme Arab di Mesir dan Irak, tepatnya ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas AlAzhar, Kairo dan Universitas Baghdad, Irak. Pengalaman menimba ilmu di kedua negara tersebut tentu berpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya. Namun setelah kembali ke Indonesia di tahun 1970an, Gus Dur melihat perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda dengan di Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengambil berbagai ideologi nonagama, bahkan juga pandangan dari agamaagama lain.
Selanjutnya Gus Dur mengatakan, pengembaraan intelektual itu menghasilkan dua hal sekaligus: pengalaman pribadinya tidak akan pernah dirasakan atau dialami oleh orang lain, sementara mungkin saja pengalaman Gus Dur punya kesamaan dengan orang lain yang punya pengembaraan sendiri. Persoalan apakah pengembaraan Gus Dur itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sementara pengembaraan orang lain berakibat sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi Gus Dur. Sebab pengalaman pribadi seseorang tidak akan pernah sama dengan orang lain. Orang justru harus bangga dengan pikiranpikirannya sendiri yang berbeda dengan orang lain.
Berangkat dengan pandangan semacam itu, Gus Dur menyimpulkan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah
g xvi h
Islamku Islam anda Islam kIta
Islam yang khas, yang diistilahkan sebagai “Islamku”. Tetapi Gus Dur menyatakan, “Islamku” atau “Islamnya Gus Dur” perlu dilihat sebagai rentetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui oleh orang lain, tetapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Sementara yang dimaksud dengan “Islam Anda”, lebih merupakan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Gus Dur memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang harus dihargai. Menurut Gus Dur, “kebenaran” semacam itu berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman. Keberagamaan semacam itu diformulasikan oleh Gus Dur sebagai “Islam Anda” yang juga perlu dihargai. Adapun perumusan tentang “Islam Kita” lebih merupakan derivasi dari keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam yang didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Visi tentang “Islam Kita” menyangkut konsep integratif yang mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, dan menyangkut nasib kaum Muslimin seluruhnya. Dalam konteks ini, Gus Dur menyadari adanya kesulitan dalam merumuskan “Islam Kita”. Itu karena pengalaman yang membentuk “Islamku” berbeda bentuknya dari “Islam Anda”, yang menyebabkan kesulitan tersendiri dalam mencari formulasi atas “Islam Kita”. Tetapi persoalan mendasar dalam konteks “Islam Kita” itu terletak pada adanya kecenderungan sementara kelompok orang untuk memaksakan konsep “Islam Kita” menurut tafsiran mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus Dur bertentangan dengan semangat demokrasi.
Dari uraian yang secara agak panjang dipaparkan di sini, menjadi jelas kiranya bahwa perjalanan intelektual seorang Abdurrahman Wahid lebih merupakan “proses menjadi” (process of becoming), daripada “proses adanya” (process of being). Yang menarik dan hampir jarang diketahui adalah, bahwa seorang Gus Dur yang kita kenal sebagai pemikir liberal itu, di masa mudanya juga tertarik pada pemikiran Ikhwanul Muslimin yang umumnya sangat konsen dengan ideologisasi Islam. Tetapi setelah melalui pendidikan dan pengalaman pribadi, akhirnya mengantarkannya menjadi cendekiawan Muslim liberal, yang secara sadar menolak konsepsi atau gerakan yang mengusung tematema
g xvii h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
yang berorientasi pada ideologisasi Islam. Penjelasan ini cukup penting karena ia bisa menjadi semacam perspektif bahwa pendidikan, bacaan, dan pengalaman seseorang bisa merubah pandangan hidup dan pemikirannya. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa seseorang tidak seharusnya memonopoli atau memaksakan penafsirannya kepada orang.
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa keja-yaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturaliza-tion). Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya yang berjudul “Islam: Ideologis Ataukah Kultural”. Ketidak setujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misalnya terhadap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh para pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur menafsirkan kata tersebut dengan “perdamaian”. Menurut Gus Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upayaupaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara nonMuslim menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima prinsipprinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.
Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia, menurut Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upayaupaya politis yang
g xviii h
Islamku Islam anda Islam kIta
mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teksteks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upayaupaya sejumlah kalangan untuk menjadi kan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkahlangkah sejumlah pemerintah daerah dan DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam”. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islam-kan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan daerah itu bukan saja ahistoris, tetapi juga bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945. Mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).
Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan siasia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana negara dibuat dan dipertahankan”. Dasar yang dipakai oleh Gus Dur ada dua. Pertama, bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika Nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dilakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakilwakil kelompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat mengantikan posisinya. Ini berarti, sistem yang dipakai adalah penunjukkan. Sementara Umar menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk melalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilihlah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya, Utsman digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau
g xix h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
marga yang menurunkan caloncalon raja dan sultan dalam sejarah Islam.
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negarabangsa (na-tion-state), ataukah hanya negarakota (city-state).
Dari paparan tersebut di atas, cukup jelas kiranya ke arah mana alur pemikiran politik Gus Dur. Dalam konteks ini, sebagai warga Muhammadiyah yang mengamati perkembangan pemikiran politiknya, pada tahun 1995 lewat buku Pemikiran dan Aksi Is-lam Indonesia, saya mengelompokan pemikirannya ke dalam tipologi pemikiran substantifinklusif.4 Jika dalam aksi atau tindakan politiknya, mungkin saya bisa punya persepsi lain, dalam hal pemikiran politik saya tetap berpendapat bahwa pemikiran politik Gus Dur sampai sekarang tetap tidak berubah. Untuk itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum Muslimin. Paradigma itu adalah (1) substantifinklusif, dan (2) legaleksklusif.
Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantifinklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsepkonsep teoritis yang berhubungan dengan politik. Adapun ciriciri yang menonjol pada pemikiran substantifinklusif ada empat. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci ber-isikan aspekaspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan detildetil pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lainlain.5
Kedua, pendukung paradigma substantifinklusif meyakini bahwa missi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk membangun kerajaan atau negara. Tetapi seperti halnya para nabi lainnya, yakni mendakwahkan nilainilai Islam dan kebajikan.
g xx h
Islamku Islam anda Islam kIta
Dengan demikian missi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain Fawzi alNajjar, concern utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam (al- wihda al-ijtimai) daripada membangun sebuah negara atau sistem pemerintahan.6 Kenyataan kemudian terbukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk melakukan musyawarah dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian terpilih Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sistem dan mekanisme yang berbeda.
Ketiga, para proponen paradigma substantifinklusif berpendapat bahwa syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. Demikian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik. Karena Islam dipandang sematamata sebagai agama dan bukannya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara, syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, tetapi tetap diletakkan dalam kerangka sistem keimanan Islam. Menurut Al Ashmawi, mantan hakim agung Mesir yang juga dikenal sebagai pemikir progressif Islam terkemuka, bahkan Al Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan membawa manusia pada tujuantujuan yang benar dan orientasiorientasi etis yang mulia.7
Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantif-inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai–nilai Islam (Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kul
g xxi h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
tural, dan Islam hanyalah satu diantara kekuatan kultural yang bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan itu, proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi dan bukannya politisasi.8
Sementara itu, paradigma legaleksklusif mempunyai ciriciri umum sebagai berikut. Pertama, paradigma legaleksklusif dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan ummat manusia. Para pendukung paradigma legaleksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didisain untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legaleksklusif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam. Paradigma ini menghendaki agar ummat Islam selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya (khulafa ar rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan modal untuk mewujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsepkonsep politik Barat. Akibatnya, paradigma ini mendorong ummat Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistemsistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam.
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, dan dunia tersebut. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga menegasikan adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang implementasinya harus didukung oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim untuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai al
g xxii h
Islamku Islam anda Islam kIta
ternatif terhadap sistemsistem dunia yang berlaku. Keempat, dalam konteks politik paradigma legaleksklusif
menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentukbentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiomidiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia, pendukung paradigma legaleksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.
Dengan memahami kedua paradigma pemikiran politik Islam tersebut di atas, kita akan bisa memahami alasan Gus Dur menolak formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam tersebut di atas. Jelas kiranya bahwa sebagai pemikir Islam substantifinklusif, kritikkritiknya banyak diarahkan kepada pada pendukung paradigma legaleksklusif, yang banyak dianut oleh kelompok Islam radikal, fundamentalis, maupun kelompokkelompok revivalis lainnya. Mengenai hal ini, cukup menarik kiranya pandangan John L.Esposito, guru besar kajian agama dan hubungan internasional dari Georgetown University, Washington, tentang Gus Dur. Berikut pandangan Esposito tentang Gus Dur yang saya kutip agak panjang dari naskah aslinya, sebagai berikut:
“Wahid believes that contemporary Muslims are at critical crossroad. Two choices or paths confront them: to pursue a traditional, static legalformalistic Islam or to reclaim and refashion a more dynamic cosmopolitan, universal, pluralistic worldview. In contrast to many “fundamentalists” today, he rejects the nation that Islam should form the basis for the nation-state’s political or legal system, a nation he characterizes as a Middle Eastern tradition, alien to Indonesia. Indonesian Muslims should apply a moderate, tolerant brand of Islam to their daily lives in a society where “a Muslim and a nonMuslim are the same”, a state in which religion and politics are separate. Rejecting legalformalism or fundamentalism as an aberration and a major obstacle to Islamic reform and to Islam’s response to global change, Wahid has spent his life promoting the development of a multifaceted Muslim identity and a dynamic Islamic tradition capable of responding to the realities of modern life. Its cornerstones are free will and the right of all Muslims, both laity and religious scholars (ulama) to “perpetual reinterpretation” (ijtihad) of the Quran
g xxiii h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
and tradition of the Prophet in light of “ever changing human stations.”9
Pandangan Esposito itu layak untuk dipertimbangkan,
karena ia muncul dari kajian akademis seorang pakar terkemuka yang dikenal punya perspektif empatik terhadap kajian Islam.
Tapi setajam apa pun kritik yang dilontarkan terhadap kelompok tersebut, Gus Dur tetap menghargai perbedaan pendapat. Hanya saja, ketika sebagain dari kelompok itu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, ia nampak tidak mau kompromi. Ia memang anti kekerasan.
HAM dan Perlunya Pembaruan FiqhDalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manu
sia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan amat menghargai hak asasi manusia. Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari klaim mereka. Di negerinegeri Muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia justru banyak terjadi. Jadi apa yang mereka klaim itu tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi, pemikiran yang tergolong berani tentang hak asasi manusia justru disuarakan oleh Gus Dur tentang ketidak sesuaian pandangan fiqh/ hukum Islam dengan deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam sebaliknya memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap mereka yang berpindah agama atau murtad. Menurut hukum Islam yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar kaum Muslimin, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu apa kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 haruslah dihukum mati,” tandasnya.
Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun sayangnya Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih subtil tentang ketentuan fiqh yang dikritiknya itu. Padahal seandainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang soal itu, kritiknya mungkin akan lebih mengena. Dalam konteks ini, saya teringat Ibrahim Moosa, seorang pemikir Islam progresif asal Afrika Selatan. Menurut Moosa, hukum Islam klasik memang
g xxiv h
Islamku Islam anda Islam kIta
melarang orang Islam pindah agama ke agama lain. Ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasi hak asasi manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu kebebasan berpikir, berbuat dan beragama, termasuk di dalamnya hak untuk mengubah agama dan kepercayaan. Padahal, ketentuan hukum Islam, perpindahan agama adalah murtad (riddah) dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu diancam dengan sanksi hukuman mati.10
Namun menurut Moosa, pandangan seperti ini berasal dari kesepakatan ulama masa pertengahan yang menganggap murtad sebagai perlawanan terhadap agama dan hukumannya telah ditetapkan dalam hukum. Sementara para pemikir Islam progresif, termasuk Moosa tentunya, berpendapat bahwa murtad tidak berarti perlawanan terhadap agama dan sebagai sesuatu yang dapat diberi sanksi. Selanjutnya Moosa berpendapat, ketentuan tentang murtad tersebut tidaklah bersumber pada Al Qur’an, tetapi dari Hadits. Namun Moosa berpendapat bahwa Hadits tersebut dapat diragukan kesahihannya karena kemungkinan terjadi kesalahan transmisi atau pemahaman. Pada akhirnya, Moosa menyimpulkan, semangat ajaran Al Qur’an memberikan kebebasan yang luas bagi seseorang untuk memilih kepercayaannya.11
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al Qur’an dan Hadits. Sekarang, perbudakan tidak akui bangsa Muslim manapun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum Muslimin. Karena itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh yang sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada fir-man Allah dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan, “Kullu man ’alayha fâ nin. Wa yabqâ wajhu rabbika” (Tiada yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan), Gus Dur lalu merujuk pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebabsebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri). Apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya adalah sebuah usaha untuk memberikan substansiasi bagi fiqh itu sendiri, dengan tetap berpijak pada fundamen yang telah digariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at (maqâshid al-syarî’ah).
Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata
g xxv h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
bukan dalam konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam praktek, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya Gus Dur juga menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut hak asasi manusia seperti hakhak kaum minoritas, penghormatan terhadap nonMuslim, hingga kasuskasus yang dipandangnya sebagai “ketidakadilan” sejumlah kelompok kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia, misalnya, tanpa ragu membela Ulil AbsharAbdala, intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam liberal”. Seperti diketahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan tokoh NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Menanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh karena itu ia mengkritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan tuduhantuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati itu sama sekali tidak berdasar.
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama, majelis ulama dan seniman karena “goyang ngebor”nya yang dianggap melanggar batasbatas kesusilaan umum. Seperti biasa, para tokoh agama dan ulama itu menggunakan justifikasi fatwa-fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Sementara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas nama menjaga kesucian seni dan “moralitas” seniman juga ikut menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan mengatakan bahwa “goyang ngebor” nya adalah bagian dari kreativitas dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa menerima alasannya. Atas nama agama dan moralitas seni, mereka menghangatkan opini publik yang menista si “Ratu Ngebor”, Inul Daratista. Begitu gencarnya kecaman dan cercaan terhadap perempuan lugu anggota Fatayat NU yang pintar mengaji ini, sehingga hampirhampir saja Inul putus asa dan menyerah. Dan kalau saja Inul menyerah, dapat diduga karirnya sebagai penyanyi akan tamat. Itu berarti, ia akan kehilangan nafkah yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran ke
g xxvi h
Islamku Islam anda Islam kIta
caman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi “wong cilik” bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif. Sementara banyak tokoh agama yang tidak hirau terhadap soal atau bahkan mengambil sikap diam, Gus Dur tampil dengan pandangan yang melawan arus demi membela hak asasi Inul.
Dari pandangan dan impressinya terhadap hak asasi manusia itu, jelas Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilainilai hak asasi manusia.
Antara Demam Syari’at dan Kapitalisasi Dalam konteks ekonomipolitik, implikasi dari penolakan
Gus Dur terhadap ideologisasi, formalisasi, dan politisasi Islam sebagai syari’at (jalan atau petunjuk ummat manusia) terlihat dari ketidak setujuannya terhadap gagasan ekonomi Islam. Menurut Gus Dur, gagasan ekonomi Islam terlalu memfokuskan pada aspekaspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilainilai tersebut di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam, menurut Gus Dur, lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar bunga bank, asuransi, dan sejenisnya. Bagi Gus Dur, prinsip “ekonomi Islam” adalah pendekatan parsial yang memanfaatkan kata Islam sebagai predikat atau simbol saja. Padahal yang terpenting bukanlah nama atau simbol itu sendiri, tetapi substansinya. Untuk itu, tanpa ragu Gus Dur tanpa ragu mendukung “ekonomi kerakyatan” baik dalam konsepsi maupun aplikasinya. Dukungannya terhadap ekonomi kerakyatan didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, dalam konsepsi Islam, orientasi ekonomi haruslah memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kesejahteraan rakyat banyak, yang dalam teori ushul fiqh dinamakan al maslahah al ammah. Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan itu tidaklah ditentukan format dan bentuknya. Oleh karena itu, acuan dan praktek perdagangan bebas dan efisiensi yang dibawakan oleh sistem kapitalisme tidaklah bertentangan dengan Islam, karena Islam sendiri mengajarkan fastabiqu al khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan dalam persaingan dan perlombaan yang sehat, akan dihasilkan kreatifi-tas dan efisiensi yang justru menjadi inti dari praktek ekonomi
g xxvii h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
yang sehat pula. Dalam bahasa Gus Dur, ummat Islam “bisa menerima pelaksanaan prinsipprinsip Islam dalam orientasi dan mekanisme ekonomi kapitalistik tanpa harus memeluk kapitalisme itu sendiri”. Yang ditentang oleh Islam adalah orientasi kapitalistik yang hanya mengutamakan pengusaha besar dan pemilik modal. Sebab dalam Islam yang terpenting justru kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Dalam konteks tersebut di atas, ia tidak setuju dengan pandangan yang menggeneralisasi bahwa setiap bunga bank sebagai riba. Mengutip pendapat Yusuf Qardhawi, jika bunga bank dipungut dari upaya nonproduktif, maka ia dapat dikatakan riba. Tetapi jika bunga bank tersebut merupakan bagian dari sebuah upaya produktif, maka ia bukan riba, tetapi merupakan bagian dari ongkos produksi saja. Selanjutnya, Gus Dur juga mengkritik kecenderungan yang ia namakan sebagai “demam syari’at” yang kini banyak dilakukan oleh bankbank swasta di mana pemilik sahamnya sebagian adalah nonMuslim. Menurut Gus Dur, kecenderungan seperti itu karena kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum Islam. Jelas bahwa Gus Dur tidak setuju dengan langkah-langkah yang mengarah pada formalisasi syari’at Islam seperti itu.
Namun lepas dari ketidak setujuan Gus Dur kepada “demam syari’at” bank-bank swasta, perkembangan bank-bank yang memanfaatkan jasa syari’at itu menurut laporan sejumlah media massa nasional ternyata cukup bagus. Bahkan permodalan, likuiditas, dan kinerja bank-bank syari’at disebutkan mengalami kenaikan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini. Untuk itu, tentu saja masih diperlukan data dan penelitian yang valid. Yakni penelitian yang memverifikasi apakah demam syari’at yang melanda bank-bank konvensional itu, bagian dari peningkatan kesadaran masyarakat terhadap implementasi syari’at, ataukah justru hal itu semacam bentuk “kapitalisasi syari’at” yang lebih didasarkan pada motifmotif ekonomi yang tunduk pada kepentingan pasar.
Islam Radikal dan Pendangkalan Agama Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan te
rorisme, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radikal. Menurut Gus Dur, satusatunya alasan penggunaan kekerasan
g xxviii h
Islamku Islam anda Islam kIta
yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebatkan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri tidak terancam. Tidak tanggungtanggung, kecaman Gus Dur dialamatkan kepada kelompokkelompok Islam “garis keras” yang beberapa waktu lalu sering unjuk rasa dengan membawa pedang, celurit, atau bahan peledak lain hingga mereka yang melakukan sweeping terhadap warga asing (terutama AS) dan kafekafe minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.12
Menurut Gus Dur, lahirnya kelompokkelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena “ketertinggalan” ummat Islam terhadap kemajuan Barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif materialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan kelompokkelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakangerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang belatar belakang pendidikan ilmuilmu eksakta dan ekonomi. Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mere-ka penuh dengan hitunganhitungan matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayatayat suci Al Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidahkaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teksteks yang ada.13
Pandangan Gus Dur tersebut di atas, sebenarnya tertuju kepada kelompokkelompok yang dalam sosiologi agama bisa dikategorikan sebagai neofundamentalisme. Ini mengingatkan saya pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur ter
g xxix h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
hadap kebangkitan neofundamentalis Islam. Rahman menilai, keberadaan neofundamentalisme Islam di berbagai negeri Muslim, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neofundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual karena pandanganpandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah keIslaman klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman menilai kelompok neofundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh Al Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam.14 Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan.
Pribumisasi, Bukan Arabisasi Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial
budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderungan semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu terlihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakan katakata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk penyebutan Fakultas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “ahad” untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolaholah kalau tidak menggunakan katakata berbahasa Arab tersebut, akan menjadi “tidak Islami” atau keIslaman seseorang akan berkurang karenanya. Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satusatunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi. Padahal Arabisasi bukanlah Islamisasi.
Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah diungkapkan pada tahun 1980an, yakni ketika ia mengungkapkan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor–faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan
g xxx h
Islamku Islam anda Islam kIta
nya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai kebutuhan, bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi antara agama dengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhankebutuhan lokal di dalam merumuskan hukumhukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar normanorma itu menampung kebutuhan–kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qâidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membentuk panteisme.15
Mencari PerdamaianMasalah terakhir yang dibahas Gus Dur dalam kumpulan
tulisan ini adalah Islam dan hubungannya dengan pedamaian dan masalahmasalah internasional. Dalam kumpulan tulisan ini nampak jelas sikap Gus Dur terhadap perdamaian dunia mendorong upayaupaya ke arah perwujudan perdamaian di dunia. Tanpa ragu Gus Dur mengecam invasi AS ke Irak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein. Peperangan yang tidak seimbang itu memang berhasil menumbangkan rezim diktator Saddam Hussein. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, militer AS berhasil menangkap hiduphidup Saddam Hussein. Ini mungkin tidak menjadi prediksi Gus Dur ketika ia menurunkan kolomkolomnya di media massa, dan juga perhitungan para pengamat, bahwa Saddam akhirnya tertangkap dalam keadaan yang penuh dengan ironi. Tetapi masalahnya tidak akan berhenti di sana. Gus Dur pernah memperkirakan, masalahmasalah baru akan terus bermunculan, seiring dengan kondisi obyektif yang ada di Irak pasca pendudukan AS dan tentara sekutu di negeri Seribu Satu Malam itu. Dan ternyata apa
g xxxi h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
yang terjadi di Irak sekarang adalah sebuah drama peperangan, pendudukan, dan perlawanan yang sepertinya tak berujung.
Ada beberapa hal lain tentang masalah internasional yang disorot oleh Gus Dur, seperti kritiknya terhadap mantan Perdana Menteri (kini Menteri Senior) Singapura Lee Kuan Yew yang dinilainya terlalu provokatif dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Lee juga dikritik oleh Gus Dur karena pandangannya yang stereotipe dan agak misleading terhadap Islam Sunni di Indonesia. Namun Gus Dur sadar pandangan Lee yang salah terhadap Islam di Indonesia itu karena kurangnya pengetahuan mantan PM Singapura itu tentang dinamika dan perkembangan Islam di Indonesia.
Memang ada masalah internasional lain yang dibahas oleh Gus Dur, tetapi dalam kumpulan tulisannya kali ini ia lebih menyorot perlunya upayaupaya untuk mengembangkan dunia yang damai dan jika mungkin jauh dari peperangan dan kekerasan. Ia memang concern dengan perdamaian dunia, dan percaya bahwa agama maupun tokohtokohnya bisa berperan aktif dalam mengusahakan perdamaian dunia. Tetapi, seperti sebuah judul tulisannya dalam buku ini, “Dicari Perdamaian, Perang Yang Didapat”. Ada nada getir dalam tulisannya itu. Dan seperti halnya Gus Dur, kita juga tidak tahu akan seperti apa masa depan sejarah dunia di abad ke 21 jika perang menjadi alternatif yang gampang dicetuskan, ketimbang usahausaha kolektif untuk mewujudkan perdamaian.
Sebuah Bingkai Pemikiran Bagi mereka yang mengikuti secara intens pemikiran poli
tik Gus Dur, buku ini memang belum bisa memetakan bingkai pemikirannya dengan utuh. Bisa jadi karena cakupan persoalan yang dibahas cukup luas dan beragam, sehingga agak sulit untuk menganalisis secara terstruktur dan lebih memfokus. Demikian pula bagi pembaca yang ingin mendapatkan pembahasan yang tuntas, apalagi dengan mengidealisasikan penggunaan disiplin akademis yang ketat, jelas tidak atau belum mendapatkannya di sini. Sebab buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel yang dibatasi oleh aktualitas peristiwa, waktu penulisan, dan ketersediaan halaman media tempat Gus Dur menuliskan gagasangagasannya. Mudahmudahan dengan penerbitan kumpulan tulisan ini akan memudahkan Anda memahami konstruk dan
g xxxii h
Islamku Islam anda Islam kIta
prisma pemikiran Gus Dur yang luas itu, sekalipun itu ditulis melalui kolomkolom lepas di berbagai media.
Akhirnya dengan terus terang saya nyatakan bahwa sekalipun buku ini memuat pemikiran penting dan visioner, tentu tidak terlepas dari kekurangan. Lazimnya sebagai sebuah kumpulan tulisan, ada sejumlah repetisi atau pengulangan baik dalam ide maupun penyajian di sanasini. Pengulangan itu dimungkinkan terjadi karena meskipun tema pokok atau topik yang diulas berbeda judulnya, substansi dan missi yang disampaikan kemungkinan menggunakan referensi yang sama. Sementara itu, produktivitas Gus Dur sebagai penulis prolifik ternyata sangat mencengangkan. Menurut penuturannya, dalam satu minggu ia menulis antara dua atau tiga kali, bahkan terkadang hingga empat kali, di media yang berbeda, baik nasional maupun lokal. Padahal kita tahu, meskipun sudah tidak menjabat sebagai presiden, kesibukan tokoh yang satu ini tidaklah berkurang. Ia masih sering melakukan perjalanan ke luar negeri atau berbagai kota dan pelosok tanah air, baik untuk memenuhi undanganundangan seminar atau pertemuan internasional, maupun untuk menjadi penceramah dalam pengajian atau melakukan kegiatan sosialpolitiknya sebagai Ketua Dewan Syura PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).
Toh sesibuk apa pun, Gus Dur tetap meluangkan waktunya untuk menulis artikel. Sebuah kegiatan yang tidak mudah dilakukan banyak oleh orang. Sebagai intelektual dan sekaligus pemimpin serta poli tisi, Gus Dur sangat menyadari pengaruh dari ideide dan gagasan yang dituangkannya dalam bentuk tulisan. Hal lain yang tak boleh dikesampingkan adalah leverage atau pengaruh Gus Dur di mata warga nahdliyyin dan publik Indonesia lainnya.
Bagaimana pun, paling tidak menurut saya selaku penyunting, tulisantulisan Gus Dur tetap enak dibaca dan gampang dicerna. Mudahmudahan ini bukanlah sebuah apologia karena ketidak sempurnaaan saya selaku penyunting. Wallahu alam bi al sawab.
Jakarta, akhir Maret 2005
g xxxiii h
mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId
Catatan:
1 Lihat Greg Barton dan Greg Fealy, eds., Nahdlatul Ulama, Tradisional Islam and Modernity in Indonesia, Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, 1966; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Jakarta Paramadina, 1999. Khusus tentang pemikiran dan kiprah Abdurrahman Wahid, lihat. hal.325430 dan hal.488501.
2 Saya telah menulis analisis tentang pemikiran politik Nurcholish Madjid, Abdurrahmad Wahid, M. Amien Rais, A. Syafi’i Maarif, Moeslim Abdurahman, Kuntowijoyo, dan lainlain dalam buku saya Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
3 Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 2002, hal. 313314.
4 M. Syafi’i Anwar, op. cit., hal. 155162. 5 Husain Fawzi alNajjar, al-Islam wa al-Siyasa: Bahth fi Usul al-Nazariy-
ya al-Siyasiyya wa Nizam al-hukm fi al-Islam, Cairo: Dar al-Sha’b, 1977, hal. 74, dikutip dari Bassam Tibi, “The Idea of an Islamic State and the Call for the Implementation of the Shari’a”, sebagian dimuat dalam Middle East Information Center dari The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder. Available at http://middleeastinfo.org/article4480.html, pp.116. Untuk pembahasan lebih mendalam soal paradigma ini, lihat misalnya, Qamaruddin Khan, Political Concepts in the Qur’an, Lahore: Islamic Book Foundation, 1982, hal..7576; Fazlur Rahman, Islam, New York, Chicago, San Francisco: Holt, Rinehart, and Winston, 1966, hal. 101; Mohammed Arkoun, “The Concept of Authority in Islamic Thought,” dalam Klauss amd Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and Society, London: Curzon Press, 1988, hal. 7071, M. Din Syamsuddin, “Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia”, Studia Islamika, Vol. 2, No.4, 1995, hal. 5168.
6 Husain Fawzi Al Najjar, op. cit.7 AlAshmawi, Usul al-Shari’a, Cairo: Maktabat Madbuli, 1983, hal. 53 and
93, dikutip dari Bassam Tibi, op. cit.8 M. Syafi’i Anwar, op. cit., hal. 144-145. Bandingkan dengan M. Din Syam
suddin, op. cit.hal. 5168.9 Lihat John L. Esposito, Unholy War: Terror in the Name of Islam, Ox
fordNew York: Oxford University Press, 2002, p.140.10 Ibrahim Moosa, Islam Progressif: Refleksi Dilematis tentang Hak Asasi
Manusia, Modernitas,dan Hak-Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (terj), Jakarta: ICIP, 2004, hal. 38.
11 Ibid., hal. 4041. 12 Tindakan sweeping terhadap warga asing terutama dilakukan oleh FPI
(Front Pembela Islam). Sementara itu, penting untuk dicatat sejak Soeharto tumbang di Indonesia hingga sekarang muncul kelompokkelompok Islam “garis keras” semacam Lasykar Jihad, Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Ikhwanul Muslimin, Hammas, Lasykar Jundullah, dan sebagainya. Lasykar Jihad resmi membubarkan diri tahun 2002. Hingga sekarang yang nampak masih aktif dan terorganisir adalah FPI dan MMI. Buku yang mengulas hal ini adalah Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002.
g xxxiv h
Islamku Islam anda Islam kIta
13 Untuk memahami gerakan Islam radikal atau fundamentalis Islam, ada sejumlah ciri penting yang melekat dalam kelompok ini. Ciri yang utamanya adalah berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan seperti itu, menurut mereka sangat perlu demi menjaga kemurnian doktrin Islam secara utuh (kaffah). Menurut kaum Islam radikal, doktrindoktrin yang terdapat di dalam Qur’an dan Sunnah adalah doktrin yang bersifat universal dan telah mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia dan berlaku tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Bagi kelmpok Islam radikal fundamentalis yang penting adalah ketaatan mutlak kepada wahyu Tuhan, yang berlaku secara universal. Bagi kaum fundamentalis, iman dan ketaatan terhadap wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an dan praktek Sunnah Nabi lebih penting daripada penafsiranpenafsiran terhadap kedua sumber utama pedoman kehidupan ummat Islam itu. Kecenderungan doktriner seperti ini terutama sekali dilandasi oleh sikap untuk memahami dan mengamalkan doktrin secara murni dan totalitas.Untuk uraian yang bagus mengenai hal ini, lihat William E. Shepard, “Islam and Ideology: Towards Typology” dalam International Journal of Middle Eastern Studies, No.19, 1987. Bandingkan dengan Bruce Lawrence, Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against the Modern Age, New York: I.B. Tauris, 1990, hal.40.
14 Fazlur Rahman, “Roots of Islamic NeoFundamentalism”, in Philip H. Stoddard, et.al., (eds), Change and the Muslim World, Syracuse, N.Y: Syracuse University Press, 1981. pp.2526.
15 Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh, eds, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989, hal. 82. M. Syafi’i Anwar, op. cit., 160.
g xxxv h
daftar Isi
Pengantar redaksi ~ vPengantar M. syafi’i anwar ~ ixdaftar isi ~ xxxiii
BAB I ISLAM DALAM DISKURSUS IDEOLOGI, KULTURAL DAN GERAKAN ~ 1 - 78
Adakah Sistem Islami? ~ 3Islam: Pengertian Sebuah Penafsiran ~ 8Islam: Pokok dan Rincian ~ 12Islam dan Deskripsinya ~ 17Islam dan Formalisme Ajarannya ~ 21Islam: Pribadi dan Masyarakat ~ 25Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan ~ 30Islam: Agama Populer Ataukah Elitis? ~ 34Islam: Apakah Bentuk Perlawanannya? ~ 38Islam: Ideologis ataukah Kultural? (1) ~ 42Islam: Ideologis ataukah Kultural? (2) ~ 46Islam: Ideologis ataukah Kultural? (3) ~ 50Islam: Ideologis ataukah Kultural? (4) ~ 54Islam: Ideologis ataukah Kultural? (5) ~ 59Islam: Gerakan ataukah Kultur? ~ 63Islamku, Islam Anda, Islam Kita ~ 66Kaum Muslimin dan CitaCita ~ 70Islam dan Orientasi Bangsa ~ 74
g xxxvi h
Islamku Islam anda Islam kIta
BAB II ISLAM, NEGARA DAN KEPEMIMPINAN UMAT 79-118
Negara Islam, Adakah Konsepnya? ~ 81Islam dan Perjuangan Negara Islam ~ 85Negara Berideologi Satu Bukan Dua ~ 89Islam, Negara dan Rasa Keadilan ~ 92Negara dan Kepemimpinan dalam Islam ~ 96NU dan Negara Islam (1) ~ 100NU dan Negara Islam (2) ~ 106Islam: Perjuangan Etis ataukah Ideologis? ~ 111Yang Terbaik Ada di Tengah ~ 116
BAB III ISLAM, KEADILAN DAN HAK ASASI MANUSIA ~119- 158
Islam dan Hak Asasi Manusia ~ 121Penafsiran Kembali Kebenaran Relatif ~ 124Islam dan Kepemimpinan Wanita ~ 128Islam dan Dialog Antar Agama ~ 133Umat Buddha dan Kesadaran Berbangsa ~ 136Islam dan Idiosinkrasi Penguasa ~ 138Ulil dengan Liberalismenya ~ 142Aceh, Kekerasan dan Rasa Kebangsaan ~ 147Ras dan Diskriminasi di Negara Ini ~ 151Keadilan dan Rekonsiliasi ~ 155
BAB IV ISLAM DAN EKONOMI KERAKYATAN ~ 159 - 220
Islam dan Orientasi Ekonomi ~ 161Islam, Moralitas dan Ekonomi ~ 164Islam dan Keadilan Sosial ~ 168Islam dan Masalah Kecukupan ~ 172Islam dan Kesejahteraan Rakyat ~ 176Islam: antara Birokrasi dan Pasar Bebas ~ 180Islam dan Teori Pembangunan Nasional ~ 184Islam dan Globalisasi Ekonomi ~ 188Syari’atisasi dan Bank Syari’ah ~ 191Ekonomi Rakyat ataukah Ekonomi Islam? ~ 196
g xxxvii h
daFtaR IsI
Apakah itu Ekonomi Rakyat? ~ 200Ekonomi Ditata dari Orientasinya ~ 205Benarkah Harus ada Konsepnya? ~ 209Kemiskinan, Kaum Muslimin dan Parpol ~ 213Menyelesaikan Krisis Mengubah Keadaan ~ 217
BAB V ISLAM, PENDIDIKAN DAN MASALAH SOSIAL BUDAYA ~ 221 - 288
Pendidikan Islam Harus Beragam ~ 223 Bersabar dan Memberi Maaf ~ 228Berkuasa dan Harus Memimpin ~ 231Tata Krama dan ‘Ummatan Wahidatan ~ 235Agama Di TV dan Dalam Kehidupan ~ 239Arabisasi, Samakah dengan Islami? ~ 243Penyesuaian Ataukah Pembaharuan Terbatas? ~ 248Pentingnya Sebuah Arti ~ 253Sistem Budaya Daerah Kita dan Modernisasi ~ 257“Tombo Ati” Berbentuk Jazz ~ 261Dicari: Keunggulan Budaya ~ 265Keraton dan Perjalanan Budayanya ~ 269Akan Jadi Apakah Para Raja? ~ 274Islam dan Marshall McLuhan di Surabaya ~ 277Diperlukan Spiritualitas Baru ~ 280Doktrin dan Tembang ~ 284
BAB VI ISLAM TENTANG KEKERASAN DAN TERORISME ~ 289 - 352
Terorisme Harus Dilawan ~ 291Terorisme di Negeri Kita ~ 295Bersumber dari Pendangkalan ~ 299NU dan Terorisme Berkedok Islam ~ 304Bom di Bali dan Islam ~ 310Benarkah Mereka Terlibat Terorisme? ~ 314Benarkah Ba’asyir Teroris? ~ 319Sikap yang Benar dalam Kasus Bali ~ 323Kepala Sama Berbulu Pendapat LainLain ~ 327Tak Cukup dengan Penamaan ~ 332Memandang Masalah dengan Jernih ~ 336Kekurangan Informasi ~ 340
g xxxviii h
Islamku Islam anda Islam kIta
Gandhi, Islam dan Kekerasan ~ 345Berbeda Tetapi Tidak Bertentangan ~ 349
BAB VII ISLAM, PERDAMAIAN DAN MASALAH INTERNASIONAL ~ 353 - 405
Kita dan Perdamaian ~ 355Perdamian Belum Terwujud Di Timur Tengah ~ 360Dicari Perdamaian Perang Yang Didapat ~ 365Kita dan Pemboman Atas Irak ~ 370Saddam Hussein dan Kita ~ 374Adakah Perdamaian Di Irak? ~ 378Dapatkah Kita Hindarkan Perang Dunia Ke Tiga?~ 382Haruskah Ada Kesepakatan? ~ 392Pertentangan Bukanlah Permusuhan ~ 396IndonesiaMuangthai: Sebuah Kemungkinan Memperluas Kerjasama ~ 400Pembentukan Sebuah Forum Di Bangkok ~ 403
LAMPIRAN ~ 407 - 411
dImanakaH sIstEm Islam
BAB 1ISLAM DALAM DISKURSUS
IDEOLOGI, KULTURAL DAN GERAKAN
g 3 h
Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan: “masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi al-silmi kâffah)” (QS alBaqarah [2]:208)1. Di sinilah ter
letak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan mereka yang menterjemahkan kata tersebut dengan kata sifat kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Islami.
Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami, dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam
� Bermula dari ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-aktha’ asy-sya’iah (kesalahankesalahan yang populer) yaitu idiom “Islam Kaffah” yang hanya dikenal dalam komunitas muslim Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidahkaidah gramatikal Arab. Istilah “Islam Kaf-fah” tidak hanya merupakan tinda kan subversif gramatikal tetapi juga pemaksaan istilah yang kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk “Islam Kaffah” ini sebagai doktrin teologis. Doktrin ini di tangan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Idiom “Islam Kaffah” ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat ‘sifat dan mausuf (yang disifati), belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata ‘Kaf-fah’ dalam ayat tersebut sebagai keterangan dari kata ganti yang ada dalam “udkhulu” yaitu dlamir “antum” atau keterangan dari “assilmi”.
adakah sistem Islami?
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 4 h
kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “partai politik Islam” dalam kehidupan berpolitik. Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati eksistensi parpolparpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan untuk mengikuti mereka.
Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara nonmuslim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan, karena juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti ini, –sering disebut muslim nominal atau abangan–, tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajaran Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama “kaum santri”.
eg
Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuanketentuan nonorganisatoris yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai “muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prinsipprinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.
Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al
g 5 h
Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji kepada profesi masingmasing, yang disampaikan ketika membacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?
Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sendirinya ti dak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting, karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak mementingkan arti sistem.
Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebutkan bahwa partai tersebut adalah partai Islam, penulis dihujani kritik tajam sela ma berbulanbulan dari mereka yang menginginkan partai tersebut dinyatakan sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbedabeda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan).
Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang diperintah oleh orangorang nonmuslim (para kolonialis Belanda)? Jawab muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan tersebut, yang di kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat dipraktekkan dalam kehidupan seharihari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada kerajaankerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di kawasan tersebut.
eg
Diktum Muktamar NU di Banjarmasin tersebut, memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan badanbadan formal Islam bukanlah satu
adakaH sIstEm IslamI?
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 6 h
satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di kawasan tersebut melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan antara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan melalui jalurjalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyyah2 beberapa abad yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah)3. Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah
� Ibn Taimiyyah, nama lengkapnya adalah Taqî alDîn Ahmad Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M), adalah salah seorang intelektual Islam dari Syiria yang menuntut dibukanya kembali pintu ijitihad. Ibnu Taimiyah juga menjadi salah seorang pelopor pemurnian Islam dan berpengaruh sangat luas, terutama di daratan Arab. Pemikiranpemikirannya menjadi inspirasi antara lain bagi gerakan Wahabiyah di Arab Saudi abad XVIII dan para pemikir pembaharu di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Karya Ibnu Taimiyah yang berpengaruh antara lain, al-Radd ‘alâ al-Manthiqiyyîn (Bantahan terhadap Ahli Logika) dan al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah (Penyingkapan berbagai Metode Pembuktian). Pemikirian Ibnu Taimiyyah ini banyak ditelanjangi dalam studi pesantren lewat karya AnNabhany yang berjudul Syawahidul Haqq yang sama sekali tidak memberikan celah lolosnya pemikiranpemikiran Ibnu Taimiyyah. Hanya saja ada yang dilupakan oleh komunitas pesantren bahwa nama Ibnu Taimiyyah ini banyak mewarnai pemikiranpemikiran murid terkasihnya yang bernama Ibnu Katsir yang dikenal sebagai tokoh tafsir bil ma’tsur yang menjadi referensi wajib dan populer di pesantren. Disamping itu itu lewat karya spesifiknya yang berjudul “Iqtidlo’us Shirat al-Mustaqim Fie Mukhalafati Ahl al-Jahim”, Ibnu Taimiyyah termasuk dalam barisan ulama yang “menghalalkan” ritual tahlil dan hadiah bacaan al-Qur’an kepada orang-orang yang sudah meninggal dan yang paling populer adalah dia juga penganjur tarawih 20 raka’at.
� Statemen Umar bin Khattab yang sangat terkenal ini sering muncul sebagai landasan berfikir tentang keharusan adanya Daulah Islamiyyah untuk menuju Khilafah Islamiyyah dan juga sebagai dalil pijakan tentang formalisasi syari’ah. Jika ditelusuri dalam studi penelitian dan kritik hadis, perkataan Umar bin Khattab di atas diinformasikan hanya melewati satu jalur trasmiter (sanad) yang ditulis oleh adDarimi, yaitu melalui jalur AdDari. Hadis tersebut berasal dari Yazid bin Harun dari Baqiyyah dari Sufyan bin Rustam dari Abdurrahman bin Maisarah dan dari rawi yang mendengar langsung statemen Umar yaitu Tamim AdDari. Hanya jalur inilah yang membuat kita tahu dan mengerti
g 7 h
sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ungkapan tersebut yang menunjukkan secara spesifik adanya sebuah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.
Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihakpihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (UndangUndang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan UndangUndang (UU) di pihak lain. e
bahwa Umar bin Khattab pernah mengeluarkan statemen yang sekarang dibuat sebagai landasan politisideologis ini. Bahkan jika ditelusuri dari perspektif edisi original versionnya, nampak sekali bahwa Umar tidak bermaksud untuk menjadikan ini sebagai wacana politik, akan tetapi lebih pada jaring peng-aman sosial. Umar melakukan tindakan seperti ini berkaitan dengan adanya fenomena kecemburuan sosial dalam proyek pembuatan rumahrumah ketika Umar menjadi khalifah. Kondisi saat itu menunjukkan adanya kecenderungan merusak tatanan sosial kemasyarakatan “Arab mini”. Statemen lengkap Umar adalah sebagai berikut:
An Tamim Ad-Dariy qala: Tathawala an-nas fil al-bina fi zamani Umar, faqala Umar: Ya ma’syara al-uraib, al-ardla al-ardla, fainnahu la Islama illa bi Jama’ah, wala Jama’ata illa bi Imarah wala Imarata Illa bi tha’ah, faman sawwadahu qaumuhu ala al-fiqh kana hayatan lahu wa la-hum, wa man sawwadahu qaumuhu ala ghayri fiqhin kana halakan lahu wa lahum.
Artinya: Dari Tamim adDari, dia berkata: Pada masa Umar, orangorang bermegahmegah dan sombong dalam membangun rumah. Kemudian Umar berkata: Wahai komunitas Arab kecil. Lihatlah tanah itu, lihatlah tanah itu, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan komunitas dan tidak ada komunitas kecuali dengan kepemimpinan dan tidak ada imarah kecuali dengan taat. Barang siapa oleh komunitasnya dipercaya untuk memimpin mereka dengan berdasarkan pemahaman yang benar, maka hal itu akan menjadi kehidupan bagi dirinya dan komunitasnya, dan barang siapa dipercaya komunitasnya untuk menjadi pemimpin mereka dengan tidak berdasar pada pemahaman yang benar, maka itu akan menjadi kerusakan untuk dirinya dan komunitasnya.
adakaH sIstEm IslamI?
g 8 h
Para santri yakin bahwa kekuasaan menjatuhkan azab dan memberikan pahala atas sebuah perbuatan, berada di tangan Allah Swt. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium
yang didasarkan atas kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. Adagium itu berbunyi: “memberikan pengampunan dan menurunkan siksa kepada siapapun adalah otoritas Allah (yaghfiru li-man yasya’ wa yu ‘adzibu man yasyâ).” Dalam hal ini, kendali atas keadaan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.
Dalam konteks ini pula, sebuah pengertian baru haruslah dipertimbangkan: sampai di manakah peranan negara dalam menjatuhkan hukuman, sebagai salah satu bentuk siksaan. Dapatkah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagian dari siksa di dunia? Sudahkah manusia terbebas dari siksa neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara? Kalau belum, berarti ada penggandaan (dubbleleren) antara negara sebagai wakil Allah dan kekuasaan Allah sendiri untuk menetapkan hukuman. Bukankah justru hal ini bertentangan dengan hadits Nabi Saw: “Idra’ul hudud bi as-syubuhat. (Jangan berlakukan hukum hadd ketika permasalahan tidak jelas).” Dari hadis ini dapat difahami, bahwa hendaknya hakim jangan menjatuhkan hukuman mati jika ia raguragu, benarkah si terdakwa nyatanyata bersalah? Jelas dari hadits itu pula memberikan pengertian bahwa kekuasaan negara ada batasnya, sedangkan kekuasaan Allah tidak dapat dibatasi.
Islam: Pengertian sebuah Penafsiran
g 9 h
Dari pengertian yang sangat sederhana ini, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak dapat sebuah negara disebut sebagai negara Islam, tanpa harus memperkosa halhal yang menjadi kewajiban negara secara wajar. Jadi, dalam masalah azab dan pahala pun kita langsung terkait dengan pertanyaan adakah negara agama atau tidak? Jawaban yang salah akan berakibat pada konsep yang salah pula dalam hubungan antara agama dan negara. Hal inilah yang memerlukan perenungan mendalam dari kita dalam menanggapi pendapat bahwa diperlukan sebuah negara Islam, kalau memang diinginkan berdiri negara teokratis itu, bagi bangsa kita yang majemuk.
eg
Memang benar, diperlukan pemikiran yang mendalam tentang konsepsi yang jelas dalam hubungan antara negara dan agama, jika diinginkan keselamatan kita sebagai bangsa yang majemuk terpelihara di kawasan ini. Kalau belum apaapa kita sudah menyuarakan adanya negara Islam, tanpa adanya konsepsi yang jelas tentang hal itu sendiri, berarti telah dilakukan sebuah perbuatan yang gegabah dan sembrono. Bukankah sikap demikian justru harus dijauhi oleh kaum muslimin dalam mencari hubungan antara agama dan negara? Apalagi jika ditemukan motifmotif lain dalam mendirikan sebuah negara agama, seperti adanya keinginan untuk berkuasa sendiri bagi partaipartai politik Islam, yang melihat bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai “kekalahan” dalam pertarungan politik di tingkat nasional.
Dengan demikian gagasaan federalisme, yang menganggap gagasan NKRI bertentangan dengan keinginan berbagai propinsi untuk lebih independen dari pemerintah pusat, dapat dinilai sebagai aspirasiaspirasi separatis. Sebenarnya propinsi hanya menghendaki pengambilan keputusan tentang penerimaan dan pengeluaran uang harus lebih banyak dilakukan di daerah dari pada di pusat. Jadi dengan demikian, yang diingini adalah fungsi federal dari pemerintahan, bukannya separatisme Indonesia untuk menjadi 7 (tujuh) negara atau republik federatif. Kalau ada orangorang yang menghendaki Indonesia dalam bentuk federatif menjadi tujuh republik, maka pendapat itu adalah merupakan suara minoritas yang sangat kecil, yang tidak perlu mendapatkan
Islam: PEnGERtIan sEbuaH PEnaFsIRan
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 10 h
perhatian besar.Cara yang terbaik untuk mengetahui benar tidaknya bahwa
yang menghendaki bentuk RI sebagai republik federatif, –yang bertentangan dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah suara minoritas yang demikian kecil, dapat diketahui melalui pemilihan umum. Dan jika hal itu dilakukan dengan pengawasan internasional, maka akan menghasilkan mayoritas suara bagi partaipartai politik yang hanya menginginkan perampingan kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal penunjukkan kepala daerah oleh DPRD setempat maupun penetapan anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat pada daerah, dan bukannya pada pemerintah pusat.
eg
Karena ketidakmampuan memahami hal ini, maka para eksponen konsep negara federal sebenarnya harus menjelaskan bahwa gagasan mereka tidak berarti menjadikan RI terkepingkeping menjadi sekian negara yang masingmasing berdaulat. Bahkan negara unitaris seperti Jepang dan Perancispun memberikan kedaulatan penuh kepada propinsi/negara bagian untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masingmasing. Bahkan kepolisiannya pun ditetapkan dan diatur oleh pemerintah daerah setempat. Jadi, independensi daerah dari pusat tidaklah berarti hilangnya kesatuan negara —yang berarti, watak negara kesatuan dapat saja menampung aspirasiaspirasi federal. Singkatnya, negara federal bukanlah negara federatif.
Langkanya penjelasan seperti ini telah menerbitkan kesalahpahaman sangat besar antara partaipartai politik yang mempertahankan NKRI dan menentang negara federal di satu pihak, dan eksponen gagasan negara federal yang mencurigai NKRI. Keduaduanya memiliki baik legitimasi maupun kepentingan masingmasing tentang konsep negara yang dikehendaki. Sangatlah tragis untuk melihat kecurigaan yang satu terhadap yang lain dalam hal ini, dan lebihlebih untuk menyifati gagasan NKRI sebagai gagasan nasionalistik, dan gagasan negara federal sebagai sebuah pandangan Islam. Jadi, satu sama lain saling menyalahkan, padahal keduaduanya saling menyepakati perlunya sebuah negara yang satu, dengan watak federal dalam artian in
g 11 h
dependensi seperti yang dimaksudkan diatas.Dari sinilah kita menjadi tahu, bangsa kita telah kekehilang
an komunikasi dan sosialisasi me ngenai kedua hal di atas. Kita lalu curiga antara satu terhadap yang lain. Kecurigaan itu telah menjadikan kehidupan politik kita sebagai bangsa menjadi sangat labil. Tidak stabilnya sistem politik itu menjadi penyebab dari krisis multidimensional yang kita alami sekarang ini. Jadi, bukankah ketidakmampuan komunikasi dan sosialisasi politik tersebut dapat dinilai sebagai azab dari Allah bagi bangsa kita? h
Islam: PEnGERtIan sEbuaH PEnaFsIRan
g 12 h
Para penganjur “negara Islam” selalu menggunakan dua firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qur’ân sebagai landasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka se
lalu mengemukakan bahwa kitab suci tersebut menyatakan; “Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulû fî al-silmi kâffah)” (QS. alBaqarah [2]: 208), yang jelasjelas harus ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotongpotong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompokkelompok lain. Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan “terkena” firman Tuhan dalam kitab suci tersebut; “Tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]:53) dengan mementingkan “milik sendiri” itu, mereka melupakan firman lain: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lî al-‘âlamîn)” (QS al-Anbiyâ [21]:107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun sedikit sekali yang diperhatikan kaum muslimin.
Firman Tuhan berikut juga sering dijadikan landasan bagi gagasan negara Islam; “Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, Kutuntaskan bagi kalian pemberian nikmatKu dan Kurelakan bagi kalian Islam sebagai agama (al yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa ra-dhîtu lakum al-Islâma dîinan)” (QS alMaidah [5]:3) Firman Tuhan itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem kenegaraan yang “berbau agama”. Diandaikan, tanpa negara, Is
Islam: Pokok dan Rincian
g 13 h
lam tidak dapat diwujudkan dengan sempurna. Sebuah andaian yang justru harus kita bicarakan secara tuntas dalam tulisan ini. Kalau hal ini tidak kita lakukan, maka dasar bagi sebuah negara Islam akan goyah selamanya dan gagasan bernegara seperti itu akan kehilangan kredibilitas.
Dengan demikian, permasalahannya menjadi jelas bagi kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif, kita harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang tidak dapat ditawartawar lagi. Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melaksanakannya merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin, di manapun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “dan berjihadlah kalian dengan harta benda kalian dan diri/jiwa kalian (wa jâhidû bi amwâlikum wa anfusikum)” (QS atTaubah [9]:41).
eg
Tentu saja, kedua firman “sistemik” di atas, tidak berdiri sendiri, sebagaimana dipahami oleh penganut paham negara Islam tersebut –yang tentunya, berhak melakukan hal itu sepenuhnya. Terserah pada publik untuk mengartikan kedua “perintah sistemik” Tuhan itu secara berdiri sendiri atau justru sebaliknya. Jika cara pendekatan negara Islam lebih mengutamakan kesendirian penggunaan kedua “perintah sistemik” itu, maka timbul pertanyaan; di manakah terletak kesempurnaan Islam? Karenanya, kedua “perintah sistemik” tersebut dalam pandangan penulis artikel ini haruslah dipahami bersamasama “perintah sistemik” lain. Hanya dengan cara demikianlah dapat dicapai pengertian yang benarbenar rasional dan utuh. Cara yang pertama, jelas hanya “mau menangnya sendiri”, berdasarkan emosi dan sama sekali tidak rasional.
“Perintahperintah sistemik” lain yang dapat digunakan dalam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya menggunakan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana
Islam: Pokok dan RIncIan
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 14 h
yang palsu (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi)” (QS alBaqarah [2]:256). Perintah dalam bentuk pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci “Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku (lakum dînu-kum wa liyadîn)” (QS al-Kafirun [109]:6). Jelas, kitab suci al-Qur’ân tidak menyatakan lembaga tertentu menjadi “penjamin” kelebihan agama Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.
Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendirisendiri. Dalam pandangan penulis, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita sandari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagaimana yang disebutkan di atas, tentang diutusnya Nabi kita Muhammad Saw, untuk membawakan persaudaraan di antara sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini, tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan: “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diterima (amal)nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâma dînan fa lan yuqbala minhu wa hua fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebenarannya sendiri.
Prinsip ini seperti dalam pernyataan Konsili Vatikan II (19621965)1 di bawah Paus Yohannes XXIII; “Kami para Uskup yang berkumpul di Vatikan menghormati hak tiap orang untuk
1 Konsili Vatikan II adalah sebuah pertemuan (konsili) besar para Kardinal (pemimpin tertinggi gereja Katolik di suatu negara)) sedunia untuk membahas persoalanpersolan penting dalam gereja Katolik atas undangan Sri Paus Yohanes Paulus XXIII di kota Vatikan 19621965. Kompilasi lengkap pembicaraan dan keputusan Konsili Vatikan II telah diterbitkan oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI (Konferensi Wali Gereja) Pusat tahun 1993 (edisi revisi). Ungkapan yang paling terkenal dari Konsili vatikan II adalah keselamatan tidak hanya ada di Gereja Katolik Roma, dan implikasinya harus memberikan penghormatan kepada kepercayaan dan agama lain. Dan statemen ini merupakan pembaharuan dari cara pandang gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II yang memandang keselamatan hanya ada pada Gereja Katolik Roma.
g 15 h
mencapai kebenaran abadi, walaupun tetap meyakini hal itu ada dalam Gereja Katolik Roma.” Sekarang, gereja tersebut merupakan lembaga yang tidak berfungsi penuh sebagai negara, walaupun secara protokoler memang demikian. Ini adalah proses menuju perubahan signifikan dalam peran yang diambil Vatikan –dari sebuah negara penuh, menjadi sebuah negaraprotokoler. Tentu saja, ini adalah sebuah proses sejarah yang sangat menarik, walaupun dalam perubahan ini tetap ada Bapak Suci Sri Paus, yang oleh kaum Katolik dianggap tidak “terbantahkan (infallible)”2 sebagai pemberi tafsir dan fatwa tunggal, yang tak dikenal oleh Islam.
eg
Dengan melihat kepada “kenyataan” tersebut, jelaslah bahwa ketiadaan negara tidak berarti kaum muslimin “harus” hidup secara individual (perorangan), melainkan mereka harus membuat komunitas masingmasing, dan merumuskan “kewajibankewajiban kolektif agama” yang mereka anut. Dengan kata lain, ber amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kewajiban agama dan mencegah larangannya) dilakukan secara persuasif oleh tiap warga masyarakat beragama Islam, yang merasa memiliki kemampuan.
Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara hakhak dan kewajibankewajiban perorangan (individual) dan secara bersama (kolektif). Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyataan” seperti ini harus terusmenerus kita sadari dalam sebuah kehidupan bersama. Dengan cara ini, kita akan dapat memahami ucapan Umar bin Khattab ketika menjabat khalifah bertujuan sebagai jaring pengaman sosial “Tiada Islam tanpa komunitas, tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi tha’ah).”
Di sinilah, letak kegunaan membagi perspektif pernyataan dan perintah agama, yang disampaikan kepada kita melalui kitab suci al-Qur’ân maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, dalam ar-
2 Dalam keyakinan teologi Islam Syi’ah juga dikenal adanya kemak-suman imam dua belas sebagai orang yang paling berhak meneruskan kepemimpinan Rasulullah SAW.
Islam: Pokok dan RIncIan
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 16 h
tian perorangan dan bermasyarakat (individual ataupun kolektif). Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib ke para Raja setelah mereka, kemudian para Presiden hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, walaupun harus ada suksesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya.
Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama. Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar memimpin Madinah sebagai komunitas, Umar memimpin imperium Islam dari Persia di timur hingga Gibraltar di barat, negarabangsa (nation-state) di bawah imperialisme hingga kini, dan negara kota (city-state) di kawasankawasan teluk saat ini, semuanya memiliki legitimitas yang sama dalam pandangan Islam.
Tak adanya kesamaan dalam kedua hal di atas, yang juga diikuti oleh keragaman yang sangat tinggi dalam kalangan masyarakatmasyarakat Islam, membuat sebuah konsep negara Islam tidak dapat dibangun. Pilihannya, kita harus membangun masyarakatmasyarakat Islam –yang beraneka ragam. Ini berarti, perlunya “kajian kawasan” (area studies) –sebagaimana pernah penulis kemukakan kepada Universitas Perserikatan BangsaBangsa (PBB) (United Nation University) di Tokyo dalam tahuntahun 1980an, di bawah Rektor Dr. Soedjatmoko.3 Mudah mengatakannya, sulit membuat pusatpusat kajian seperti itu, bukan? h
3 Dr. Soedjatmoko adalah salah seorang intelektual Indonesia yang mendunia. Terkenal dengan gagasan dimensi manusia dalam pembangunan di masa Orde Baru. Karena gagasannya itu dia diangkat menjadi Rektor Universitas Persarikatan BangsaBangsa (PBB) pada 1980 yang bermarkas di Tokyo, Jepang. Soedjatmoko meninggal pada 1989 dalam usia 67 tahun.
g 17 h
Islam dan deskripsinya
Djamil Suherman1 menulis beberapa cerita pendek tentang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi Kulsum. Dijelaskannya, bagaimana di pesantren orang
berbudaya tersendiri yang lepas dari budaya umum, yang ada di pedesaan kita. Termasuk di dalamnya penggambaran para santri yang mencintai buah hati mereka, tanpa boleh berhubungan sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti H.B. Jassin,2 sebagai deskripsi terbaik tentang dunia pesantren. Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Suherman menentukan pandangan kita tentang para penghuni pondok pesantren dan jaringanjaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak kalah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam ceritacerita silat/kungfu karya Chin Yung3, yang diterjemahkan dalam bahasa
1 Djamil Suherman, seniman dan penulis puisi angkatan 1950an yang terkenal dan menaruh perhatian besar terhadap pesantren serta terhadap perjuangan dan kepahlawanan kaum muda. Beberapa karyanya dibukukan dalam bentuk kumpulan puisi dan ceritacerita pendek.
2 Hans Bague (HB) Jassin (19172000) itulah nama aslinya. Sastrawan dan kritikus sastra yang lebih dikenal Paus Sastrawan dan Wali Sastra Indonesia ini adalah dokumenter sastra terbaik yang dimiliki Indonesia hingga sekarang. Lembaganya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki menyimpan ribuan karyakarya sastra Indonesia. Gigihnya membela kebebasan berkarya membuat dia pernah divonis penjara karena menolak mengungkap penulis cerpen “Panji Kusmin” yang dianggap menghina agama sehingga diseret ke pengadilan dan sampai sekarang belum terungkap siapa penulis cerpen tersebut.
3 Nama asli novelis silat kelahiran Haining, China 6 Pebruari 1924 ini adalah Zha Liangyong. Beberapa karyanya yang sangat populer di Indonesia adalah trilogi Sia Tiaw Enghiong, Sin Tiaw Hiaplu, dan To Liong To.
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 18 h
kita secara terpisah oleh O.K.T stsu Boe Beng Tjoe4, kedua bahasa itu mencapai dua puluh lima judul (per judul 20 jilid).
Sebaliknya “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis5, menggambarkan realita kegundahan hati para pengikut tradisionalisme agama di Ranah Minang, karena tidak menemukan pemecahan rasional atas krisis multidimensional yang dihadapi lembaga pondok pesantren di kawasan tersebut. Nada lebih mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tampak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis keagamaan yang mendalam di Sumatera Barat. Deskripsi situasi itu oleh A.A. Navis, jelas menunjukkan dinamika lain dari dunianya Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan kedua karya itu saja, sudah menunjukkan pentingnya arti sebuah deskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah digumuli.
Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa deskripsi kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu, sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme pondok pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis yang berlarutlarut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbedaan dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kitalah untuk sanggup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya.
Dalam film “The Singer, Not The Song”, dari tahun 50 atau 60an, John Mills6 yang menjadi Pendeta Keogh berusaha
4 Oey Kim Tiang atau OKT alias Boe Beng Tjoe alias Aulia (19031995). Pria kelahiran Tangerang ini sejak sekitar tahun 1950an telah menerjemahkan lebih dari 100 judul cerita silat ke dalam bahasa Indonesia.
5 Ali Akbar Navis, demikian nama lengkapnya, adalah salah satu sastrawan besar Indonesia. Mulai memperkenalkan karyakarya fiksinya kepada publik pada awal tahun 1950an dan langsung terkenal karena ciri khas kritik sosialnya yang tajam dan terkenal satiris. Dilahirkan di Padangpanjang, Sumatera Barat, tahun 1924 Navis sampai sekarang memilih tetap tinggal di daerahnya sambil mengajar dan terus menulis. Karyakaryanya terus mengalir di media massa lokal maupun nasional. Novelnya yang paling terkenal juga sangat kritis terhadap keadaan keberagamaan yang terbit sekitar 1956 berjudul Robohnya Surau Kami.
6 Sir John Mills (1908 2005), adalah seorang sineas terkenal asal Inggris. Dia mengabdikan hidupnya untuk film selama 70 tahun. Pernah mengembara di Hollywood, AS, tetapi kemudian kembali ke Inggris untuk menjadi penulis skenario, aktor, dan mempromosikan anakanaknya menjadi aktor dalam berbagai film. Dua anak perempuannya menjadi aktris terkenal di Ing
g 19 h
melakukan konversi kepada agama Kristen atas diri Dirk Bogarde7 yang bermain sebagai Ancleto, si bandit yang piawai. Akhirnya, ketika Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak, di saat itulah si pendeta yang ikut ditembus peluru merangkak mendekatinya. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde yang telah memeluk agama Kristen, melihat Pendeta Mills yang mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi Kristen sungguhsungguh karena pengorbanan Pendeta Mills dan bukan karena "kebenaran" yang dibawakan dan dikhotbahkan pendeta tersebut.
Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang sudah muak dengan “kebenaran ajaran agama”, yang lebih berpengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari “pembawa kebenaran” itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang kita anggap tidak penting. Permasalahannya bagi kita adalah pilihanpilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh deskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abaikan, berarti kita melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita hanya melihat sisi universal dan ideal dari agama tersebut.
Dalam kenyataan seharihari kita melihat pentingnya arti deskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”. Akibat dari melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi universal atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah proses yang dijalani secara berbedabeda oleh orangorang yang berlainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang tidak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang sangat penting, tetapi juga sama pentingnya untuk melihat bagaimana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari kenyataankenyataaan empirik dalam kehidupan kita.
Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu
gris. Pernah mendapatkan Oscar dalam salah satu filmnya. Film dengan judul The Singer Not the Song adalah salah satu karya diujung ketenarannya tahun 1961. Setelah itu memang masih memproduksi berbagai film tetapi tidak lagi setenar sebelumnya.
7 Sir Dirk Bogarde (19211999). Aktor kelahiran Inggris keturunan Belanda ini bernama asli Derek Van den Bogaerde. Akhir tahun 1930 Dirk bergabung dalam Kesatuan Intelejen Foto Udara Angkatan Darat Inggris. Dia pernah ditugaskan di Jerman, India, Malaysia dan Jawa. Dirk menulis ‘A Gentle Occupation’, buku semi biografi–fiksi yang menceritakan pengalamannya bertugas di Jawa.
Islam dan dEskRIPsInya
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 20 h
pihak dan pendekatan idealismeuniversal di pihak lain, penting untuk samasama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepincangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa memahami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekankan diri pada aspek empirik belaka sama saja artinya dengan memisahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat.
Dewasa ini, kehidupan dua organisasi keagamaan Islam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah seolah terpaku dalam pandangan universal yang idealistik, yaitu bagaimana sumbersumber tekstual (adillah naqliyyah) membentuk hukum agama/fiqh secara ideal; dan dari situ dibangun sebuah kerangka universal tentang “kehidupan menurut ajaran Islam”. Terkadang sudut pandang ini tidak bersinggungan dengan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja, mengenai perjudian dan hiburan malam. Yang lebih dipentingkan adalah melarang keduanya, tanpa menghilangkan sebabsebab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi kalau ketidakpastian hukum masih merajalela? Bukankah yang kaya dan berpunya akan selalu memenangkan perkara hukum? Dengan ketidakpastian itu, herankah kita kalau ada orang berjudi untuk mencari kekayaan dengan cepat?
Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Islam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran formal (berarti pendekatan idealformalistik) yang bersifat universal? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan baik. Dari situ "nasib" sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga penelitian dewasa ini diuji. h
g 21 h
Dalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjangan antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh pa
ham komunisme dirumuskan dengan kata “rakyat”, dalam teori dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi dalam praktek justru yang banyak dibela adalah kepentingan kaum aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham tersebut, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan. Karena itu, kita harus berhatihati dalam merumuskan orientasi paham keIslaman, agar tidak mengalami nasib seperti paham komunisme.
Orientasi paham keIslaman sebenarnya adalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja kata “maslahah ‘ammah”,1 yang berarti kesejahteraan umum. Inilah seharusnya yang menjadi objek dari segala macam tindakan yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau kemaslahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci dalam adagium fiqh: “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuh
1 Teori tentang maslahah telah dirangkum dan dibahas secara komprehensif oleh Izzuddin Ibn Abdissalam dalam karyanya Qawa’idul Ahkam Fie Masalih Al-Anam.
Islam dan Formalisme ajarannya
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 22 h
an/kesejahteraan mereka (tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah).”2
Adapun yang tidak langsung mengenai kebutuhan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâ-lih).”3 Artinya, menghindari halhal yang merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. Dengan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti daripada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang digunakan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga tahun lalu. Karena Amien yakin bangsa ini waktu itu belum dapat menerima seorang wanita (Megawati)4 sebagai Presiden negara, hingga dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.
eg
Nah, pengaturan melalui kesejahteraan/keselamatan/keutuhan sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi pegangan gerakangerakan Islam di negeri kita semenjak dahulu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) dari UndangUndang Dasar (UUD) kita. Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18 Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta tersebut dari UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asalusul mereka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia.
2 Kaidah ini sangat populer dalam “turas qadim/literatur klasik” pesantren mulai dari Al-Asybah wa an-Naza’ir karya Jalaluddin As-Suyuti dan juga judul kitab yang sama karya Ibnu Nujaim alHanafi sampai dengan literatur karya Ulama kelahiran Padang Indonesia yang sangat masyhur di Saudi Arabia, Syeikh Yasin alFadany AlMakky yang berjudul “Al-Fawa’id al-Janiy-yah ala Syarh Al-Mawahib Al-Saniyyah Ala al-Fara’id al-Bahiyyah”
3 Adagium ini merupakan salah satu dari lima adagium pokok dalam diskursus kaidah fiqih yaitu al-umur bimaqashidiha, al-yaqin la yuzalu bi as-syak, al-dlarar yuzalu, al-masyaqqat tajlibu at-taisir dan dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâlih
4 Megawati Soekarno Putri, begitu nama lengkapnya, adalah putri pertama presiden Republik Indoensia Soekarno yang kemudian menjadi presiden ke5 RI.
g 23 h
Pendapat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KHA Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indonesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU),5 itu jelas menonjolkan semangat persatuan Indonesia pada tingkat paling tinggi. Bahwa para ulama fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keutuhan dan kesejahteraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.
Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam hanya bersandar pada formalitas belaka. Secara kultural, masuknya beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau sebaliknya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang digambarkan dengan indahnya oleh James Siegel6 dalam The Rope of God, sebagai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan praktekpraktek kaum sufi itu. Demikian pula, diciptakannya tembang Ilir-ilir� oleh Sunan Ampel, menunjukkan bagaimana terjadi saling pengaruhmempengaruhi yang sangat halus antara budaya daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam.
Demikian pula manifestasi budaya santri dalam tradisi Tabot8 di Sumatera Barat dan Bengkulu. Dengan mudahnya wahana ekspresi keagamaan kaum Syi’ah itu menjadi budaya daerah setempat di hadapan tindakantindakan “budaya Sunni”
5 Mereka semua adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang mewakili berbagai kelompok masyarakat dan berbagai kelompok Islam yang bertugas merumuskan UUD 1945 seperti yang kita kenal sekarang. Kini UUD 1945 itu telah diamandemen beberapa pasalnya setelah tumbangnya Orde Baru, kecuali Preambule atau Pembukaan tidak diperkenankan untuk diubah.
6 James Siegel adalah Profesor Antropologi dan Kajian Asia di Universitas Cornell Amerika Serikat. ‘The Rope of God’ bukunya yang mengulas tentang sejarah Aceh diterbitkan pertama kali tahun 1969. Pada tahun 2000, buku tersebut diperbaharui dengan memasukkan dua bab sejarah kontemporer Aceh.
7 Salah seorang wali dari Wali Songo yaitu Sunan Ampel (versi lain menyebut Sunan Kalijaga) menciptakan tembang ini sebagai sarana syi’ar Islam. Tembang berbahasa Jawa ini juga diyakini sarat dengan nilai tasawuf.
8 Tradisi Tabot diadaptasi dari upacara Assyura, hari berkabung bagi kaum muslim Syi’ah atas gugurnya Husain bin ‘Alî bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw dari puteri Beliau Fâthimah al-Zahra. Husain gugur dalam perang tak seimbang antara 40 pengikut beliau dengan ribuan pasukan tentara ‘Ubaidillah bin Zaid di Padang Karbala Iraq, pada 10 Muharam 61 H (681 M).
Islam dan FoRmalIsmE ajaRannya
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 24 h
dalam beberapa abad terakhir. Penggunaan “budaya adat” sebagai wahana ekspresi dari yang sebelumnya dikenal sebagai budaya agama, menunjukkan betapa besar dinamika budaya yang terjadi.
eg
Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat kitab suci alQur'an “Dan dalam diri utusan Tuhan benarbenar telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan tandatanda kebesaran Allah (laqad kâna lakum fî rasûlillâhi uswatun hasanatun li man kâna yarju Allâha wa al-yauma al âkhira wa dzakara Allâha katsîra)” (QS al-Ahzâb [33]:21). Dalam kasu makro ayat itu dapat juga digunakan sebagai pengingat bagi kita akan pentingnya melestarikan lingkungan alam.
Halhal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi gerakangerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah mementingkan formalisasi ajaranajaran agama tersebut dalam kehidupan bernegara, yang tidak menjadi kebutuhan utama masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama tersebut menjadi sumber inspirasi bagi gerakangerakan Islam dalam kehidupan bernegara, seperti di negara ini.
Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya mengilhami juga lahirnya partaipartai CDU (Christian Democratic Union, Uni Demokratik Kristen)9, di Jerman dan sejumlah negara lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, daripada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang telah dijalankan dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. h
9 Dalam anggaran dasarnya partai ini mengklaim sebagai partai yang diinspirasi oleh nilainilai etika sosial gereja kekristenan dan nilainilai tradisi liberal pencerahan Eropa. Dilahirkan pada tahun 1945 CDU berangkat dari partai lokal sebelum partai yang bersifat nasional terbentuk.
g 25 h
Islam: Pribadi dan masyarakat
Sejarah perkembangan Islam di manapun juga, senantiasa memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem individu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Kedua
hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan pengetahuan mendalam akan agama tersebut. Kalau hal ini telah dilaksanakan, maka akan kita lihat beberapa kemungkinan untuk pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah pendirian tersebut, dengan dalih Islam telah sempurna, dan tidak memerlukan pengembangan. Pendapat tersebut perlu diuji kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.
Memang kitab suci al-Qurân tidak pernah secara jelas membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kandungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita memahami kitab suci tersebut, mana yang merupakan perintah (khittah) untuk perorangan, dan mana yang untuk masyarakat. Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan Ku-jadikan kalian ber-bangsabangsa dan bersukusuku bangsa agar saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât [49]:13). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 26 h
tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.Dalam kitab suci al-Qurân terdapat sebuah ayat yang sa-
ngat penting yang berbunyi: “kawinilah apa yang baik bagi kalian, daripada wanitawanita, dua, tiga atau empat orang wanita (tetapi) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya seorang (istri) saja (fankihû mâ thâba lakum min an-nisa matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a wa in khiftum an lâ ta’dilû fa wâhidah)” (QS alNisa [4]:3).1 Jelas ini merupakan perkenan, bukan perintah. Karena itu, ia bersifat perorangan karena tidak dapat dilakukan generalisasi, itupun harus dirangkaikan dengan kenyataan, siapakah yang menentukan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki, berapa orang perempuan pun akan tetap dirasa "adil". Sedangkan bagi perempuan, masalah keadilan itu bersangkut paut dengan rasa keadilan secara "normal", tentu lebih banyak kaum perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.
eg
Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakatan (kolektif) jelas peranan menggunakan akal dan pikiran kita menjadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah satu adagium “harta warisan“ yang dipakai NU sebagai patokan adalah: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru (al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd al-ashlah).”2
1 Ayat ini sering dimunculkan “terpotong” sehingga difahami secara parsial dengan tanpa melibatkan pesan ketuhanan sebelum ayat ini. Jika difahami secara lengkap dengan melibatkan setting yang ada di sekitarnya (ma haula an-nushus/ around the texts), ayat ini sebenarnya merupakan penghormatan yang tinggi terhadap martabat perempuan. Sebelum ayat ini diturunkan, lelaki Arab memiliki budaya mengawini wanita dalam jumlah yang tak terbatas. Kemudian dirubah oleh ayat Allah itu dengan grafik menurun yaitu dari seratus, lima puluh, lima belas, sepuluh hingga menjadi empat istri. Belum lagi jika digelar diskursus tentang “in” (jika) dalam ayat ini yang sangat berbeda dengan frame “idza” dimana “in” akan menunjuk sesuatu yang sulit bahkan mustahil terjadi.
2 Jargon ini tidak diketahui secara pasti siapa “al-muassis al-awwal” nya, karena dalam tradisi keilmuan klasik tidak pernah muncul jargon indah ini. Sebenarnya adagium ini akan lebih indah lagi jika ada penambahan “al-ijad
g 27 h
Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu, yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadikan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki kedua dimensi tersebut. Umpamanya saja, kewajiban berpuasa, yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat individual, perintah Allah Swt: “Diperintahkan kepada kalian untuk berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaumkaum sebelum kalian (kutiba ’alaikum al-shiyâm kamâ kutiba ’ala ladzîna min qablikum)” (QS alBaqarah [2]:183). Perintah yang sepintas lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumbersumber tertulis (dalil naqli).
Dalam perintah Nabi yang tertulis saja, yang membawakan sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk membedakan atau menetapkan, mana yang berwatak kolektif dan mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dikemukakan adanya adagium: “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur (uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi).” Memang hal itu adalah kerja terpuji, tetapi tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah kewajiban yang timbul itu berlaku untuk perorangan seorang muslim ataukah bagi sekelompok kolektif kaum muslimin? Jika diartikan sebagai kewajiban kolektif, bagaimanakah halnya dengan mereka yang tidak bersekolah? Benarkah mereka termasuk orangorang bersalah?
Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harfi-yah (literalis), karena tidak akan tercapai kesepakatan kaum muslimin tentang “kewajiban” bersekolah. Tapi apakah tanpa kesepakatan itu, lalu orang tidak berhak mendapat pendidikan? Dalam keadaan tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka seseorang dapat mengikuti pendapat wajib bersekolah, sama halnya seperti orang yang mengikuti pendapat tidak wajib bersekolah. Apakah sesuatu itu merupakan kewajiban universal ataukah kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh mengenai hal ini, yaitu adanya ungkapan populer “mencintai tanah air
bil jadid al-ashlah/ menciptakan sesuatu yang baru dan tidak hanya sebagai “konsumen” barang baru. Sebenarnya kebanyakan komunitas muslim masih terhenti pada “al-muhafadlatu ala al-qadim al-salih/ menjaga warisanwarisan yang lama” dengan bernaung dibawah label “as-salaf as-salih” tanpa berani melangkah progresif dalam memahami peta nazariyatul makrifah/epistemology.
Islam: PRIbadI dan masyaRakat
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 28 h
adalah sebagian (pertanda) dari keimanan (hubbu al-wathan min al-îmân).”3 Tidak jelas apa wujud “kewajiban” mencintai tanah air yang menjadi tanda keimanan seseorang itu? Apakah ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dengan menggunakan akal, sehingga sumber tertulis (dalil naqli) maupun keterangan rasional (dalil aqli) dapat digunakan bersamaan.
Terkadang, sebuah ucapan yang secara harfiyah tidak me-nunjukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti sendiri oleh kaum muslimin. Contohnya, adalah ucapan Nabi Muhammad Saw: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (tanah) Tiongkok (uthlub al-ilma walau bi al-shîn).”4 Ungkapan tersebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan hingga ke tanah Cina, namun para ahli hadis memberikan arti lain lagi. Menurut mereka, yang dimaksudkan oleh ungkapan Nabi Muhammad Saw tersebut jelasjelas menunjukan, kewajiban mempelajari ilmu pengetahuan nonagama juga. Bukankah di tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang sama di mata agama, antara pengetahuan agama (Islamic stu-dies) dan pengetahuan nonagama? Perumusan sikap oleh para ahli agama Islam tersebut, yaitu kewajiban menuntut disiplin ilmu nonagama, memberikan kedudukan yang sama diantara keduanya.
Di lihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik berupa ayatayat kitab suci alQuran maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, akan memiliki peluangpeluang yang sama bagi pendapatpendapat yang saling berbeda, antara universalitas se
3 Statemen ini sering dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah pesan kenabian (Hadis), padahal berdasarkan penelitian hadis tidak pernah ada sumber hadishadis yang muktabar baik al-kutub al-tis’ah (Kitab hadis sembilan: Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmizi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Muwatta’ dan Sunan Ad-Darimy) atau pun di luar kitab-kitab tersebut yang melansir pesan kenabian ini. Menganggap statemen ini sebagai sebuah hadis merupakan sebuah kesalahan metodologis yang tidak bisa dibenarkan oleh ramburambu ulumul hadis.
4 Hadis dlaif ini diriwayatkan oleh AlUqaili dalam Al-Dlu’afa, Baihaqi dalam Sya’bu al-Iman dan Ibnu ‘Ady dalam Al-Kami. Lihat Jalaludin Suyuti, Al-Jami’ Al-Saghir, I:44.
g 29 h
buah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang tidak diperbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan dan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan: “Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan janganlah terpecahbelah/saling bertentangan (wa’ tashimû bi habli Allâh jamî’an walâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103).
Ini menunjukkan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat itu penting, tetapi pertentangan dan keterpecahbelahan adalah sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus dibedakan dari pertentangan dan keterpecahbelahan dari sebuah totalitas masyarakat. Mudah untuk mengikuti ayat kitab suci tersebut, bukan? h
Islam: PRIbadI dan masyaRakat
g 30 h
Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya1, kitab suci al-Qurân sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? Karena,
seperti dikatakannya, kitab suci tersebut menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan halhal yang paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, al-Qurân memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia akan merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wahuwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS aliImran [3]: 85). Bukankah istilah merugi merupakan istilah profesional dalam dunia perdagangan. Walaupun dalam ayat ini, kata merugi dimaskudkan untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu tidak memperoleh pahala?
Istilahistilah lain dari dunia profesi lain juga dipakai dalam pengertian yang sama oleh kitab suci al-Qurân. "Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka ia akan melipatgandakan imbalannya (man dzal-ladzi yuqridhullâh qardhan hasanan fayudhâ’ifahu lahu)” (QS alBaqarah (2): 245). Kata pinjaman di sini, jelas menunjuk ke
1 Disertasi tersebut berjudul The Commercial –Theological Terms in the Koran terbit di Lieden 1892.
Islam: sebuah ajaran kemasyarakatan
g 31 h
pada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit seperti di bumi.
Ketika Allah Swt berfirman: “Barang siapa menginginkan panenan di akhirat kelak, akan Kutambahi panenannya (man kâna yurîdu harts al-âkhirati nazid lahu fi hartsihi)” (QS alSyura [42]:20). Panenan yang dimaksudkan sebagai pahala di akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Digunakannya istilahistilah perdagangan dan pertanian dalam al-Qurân untuk keinginan memperoleh pahala bagi amal perbuatan, merupakan penghargaan yang sangat tinggi atas profesiprofesi manusia.
Dalam sebuah ayat suci al-Qurân dinyatakan: “Orang-orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû)” (QS alBaqarah [2]:177). Ini jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika mengucapkan prasetia?
eg
Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas, jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada profesi. Pemahaman ini justru hilang dari kehidupan kaum muslimin dari beberapa abad silam, karena memberikan perhatian terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebijakankebijakan dan tindakantindakan mereka, alias memberi perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek politik dalam kehidupan bangsabangsa muslim.
Sebagai akibat, perhatian atas masalahmasalah profesional ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, bangsabangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalahmasalah profesionalisme. Dengan sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai penerapan ajaranajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama lain.
Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya, diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional.
Islam: sEbuaH ajaRan kEmasyaRakatan
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 32 h
Kita ambil sebuah firman Allah dalam al-Qurân: “Jika kalian disapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih baik lagi (wa idzâ huyyîtum bitahiyya-tin fa hayyû bi ahsana minhâ)” (QS alNisa [4]:86). Jika ayat ini ditafsirkan dengan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang produsen barang, maka maknanya menjadi kalau barang produksi Anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas pujian baik yang diucapkan.
eg
Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pemahaman lengkap terhadap kitab suci al-Qurân: kitab suci itu ja-nganlah hanya dipahami sebagai dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pemahaman sejarah masa lampau.
Jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakangerakan Islam dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan.
Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci al-Qurân: “Apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum nonMuslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah, utusanNya, sanak keluarga terdekat, anakanak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian (mâ afâ ‘a Allâhu alâ rasûlihi min ahli al-Qurâ fa lillâhi wa li ar-rasûlihi wa lidzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîni wa ibni al-sabîl, kaila yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’ minkum)” (QS alHasyr [59]:7). Ayai itu menjadi bukti bahwa Islam lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan?
g 33 h
Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut daripada masalah bentuk negara.
Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini. h
Islam: sEbuaH ajaRan kEmasyaRakatan
g 34 h
Pada tahuntahun 50an dan 60an, di Mesir terjadi perdebatan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr.
Thaha Husein,1 salah seorang tuna netra yang pernah menjabat menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi, menganggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahanperubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh sajaksajak puja (al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dzibâ’iyyah dan al-barzanji2 sebagai dekadensi bahasa yang justru akan memperkuat tradisionalisme dan menentang pembaharuan. Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thaha Husein, lahirlah para pembaharu sastra dan bahasa Arab yang kita kenal sekarang ini.
1 Dr. Thaha Husein (18891973) adalah seorang penulis terkenal dari Mesir. Thaha Husain, meskipun kehilangan penglihatan sejak kecil, namun dengan kecerdasan yang tinggi, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Mesir, sebelum kemudian meraih gelar Doktor di Universitas Sorbonne, Perancis. Thaha Husein seorang ahli bahasa dan pernah menjabat berbagai posisi penting di pemerintahan Mesir. Bukunya yang terkenal berjudul “Sejarah Sastra Arab” dan “Al-Ayyam”.
2 AlBarzanji adalah karya sastra yang berisi pujipujian terhadap Nabi Muhammad SAW yang sudah barang tentu memuat kisahkisah kehidupan Beliau. Sebenarnya ini bermula dari sebuah karya berjudul Iqdul Jawahir yang disusun oleh Syeikh Ja’far al-Barzanji bin Husein bin Abdul Karim yang lahir di Madinah 1690 dan meninggal di Madinah juga tahun 1766. Nama AlBarzanji diambilkan dari asal usul beliau dari daerah Barzanj di Kurdistan.
Islam: agama Populer ataukah Elitis?
g 35 h
Namanama terkenal seperti Syauqi Dhaif3 dan Suhair alQalamawi4 muncul sebagai bintangbintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaharuan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, munculah madzhab baru bahasa Arab, yang dirasakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa praIslam (‘asr al-jâhiliyah).
Dalam pandangan ini, produkproduk dekaden harus dikesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap paham serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu. Sejalan dengan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiy-yah), yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawakan agama, dianggap sebagai penghalang bagi munculnya kecenderungan baru tersebut. Karena sifatnya yang intelektual, pandangan ini tidak langsung diikuti oleh rakyat kebanyakan, halnya menjadi pemikiran elitis dari kaum cendekiawan di negerinegeri Arab selama dua puluh lima tahun.
eg
Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga berkembang. Persamaannya dengan pandangan antitradisionalisme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsabangsa Mesir, yaitu pandangan elitisme kaum cendekiawan ini tidak menyentuh pikiranpikiran rakyat awam di negeri ini. Perbedaanya, agama dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan menghambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan politik organisasi tradisional agama, seperti NU (Nahdlatul Ulama). Tradisionalisme agama yang dibawa NU justru menyatu dengan kaum nasionalis, karena keduaduanya harus berhadapan dengan modernisme nonideologis yang datang dari Barat, dalam
3 Dr. Syauqi Dhaif adalah juga penulis Mesir sezaman dan juga menjadi salah satu pembela pembaharuan Dr. Thaha Husein dalam sastra dan bahasa Arab. Tulisannya tertuang dalam karya 3 jilid “Tarikh al-Adab al-Araby”.
4 Suhair alQalamawi (19111997), juga penyair terkenal di Mesir yang menjadi pembela Thaha Husein dari seranganserangan mereka yang tidak setuju dengan pembaharuannya.
Islam: aGama PoPulER ataukaH ElItIs?
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 36 h
berbagai bentuk. Yang terpenting diantaranya adalah pragmatisme yang dibawa oleh para teknokrat, yang dipermukaan berarti penyerahan diri secara total kepada sistem nilai yang dimiliki orangorang Barat.
Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul dipermukaan adalah manifestasi tradisionalisme agama, digabungkan dengan semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau. Kedua paham itu menampilkan tradisionalismenya sendiri: antiBarat, anti penuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau. Kalau hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita lalu dapat melihat kedangkalan dua paham tersebut.
Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu, seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr, pluralnya buhur) seperti yang ada dalam sajaksajak Arab tradisional, muncul sebagai “wakil agama” dalam blantika musik kita dewasa ini. Hal ini karena, pembaharuan bahasa dan sastra nasional, yang dirintis Sutan Takdir Alisyahbana tidak sampai menyentuh akar tradisionalisme agama itu. Sebagai akibatnya kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbaharui dan berwatak kontemporer dan —pada saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama.
eg
Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai kepada sebuah pertanyaan yang fundamental: haruskah kehidupan beragama kita sematasemata berwatak tradisional dan adakah penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme agama itu dianggap sebagai “bahaya”? Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara mendalam, karena selama ini percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme agama tidak menyukai ideologisasiagama dalam kehidupan bernegara, seperti terbukti dari penolakan NU atas Piagam Jakarta.
Kehidupan beragama kita, yang menjadi salah satu penyumbang kebudayaan dalam kebudayaan nasional kita, bagaimana
g 37 h
pun juga haruslah berwatak rasional. Apa yang dikemukakan A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini bukan berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemenelemen positif dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi unsurunsur irrasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisionalisme itu sendiri haruslah diganti dengan nilainilai rasional yang akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu. Seperti halnya dengan kontrareformasi yang dijalani oleh gereja Katolik Roma, yang dijalankan untuk menjamin kelangsungan hidup tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi —misalnya, dan musik hard rock serta rap di sisi lain, samasama rasionalnya dalam penyampaian pesanpesan gerejawi melalui misa dan sebagainya.
Jadi revitalisasi tradisionalisme memang agama sangat diperlukan, dalam bentuk memasukkan unsurunsur rasional ke dalamnya, hingga modernisme agama itu sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan, baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang berjumlah lebih dari 170 juta jiwa.
Masalahnya sekarang, bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu? h
Islam: aGama PoPulER ataukaH ElItIs?
g 38 h
Pada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan penilaiannya atas diri KH. A. Mutamakkin dalam sebuah seminar yang berlangsung di IAIN (UIN, red) Syarif Hi
dayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar untuk menyambut terbitnya sebuah buku1 tentang diri beliau, yang memang benarbenar merupakan karya berbobot ilmiah dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandang. Baik dari aspek epistemologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis. Karya tersebut memerlukan sebuah penanganan serius yang harus diteruskan oleh para peneliti lainnya.
Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut pandang yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami tokoh KH. A. Mutamakkin yang wafat pada abad ke 18 Masehi dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Diantara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masyarakat adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama), KH. A. M. Sahal Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah satu sesepuh keluarga dan keturunan beliau, dengan pengaruh sangat besar semasa hidup nyaadalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu (2001) dan dimakamkan di desa tersebut. Sebagai penghafal alQur’ân beliau memimpin sebuah pesantren di desa tersebut dan mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah akhlakul karimah.
1 Buku tersebut ditulis oleh Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Muta-makkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, (Yogyakarta: Samha, 2002).
Islam: apakah Bentuk Perlawanannya?
g 39 h
Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakin itu penulis juga menggunakan Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amangkurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh disertasi Dr. Soebardi2; juga ceritera ketoprak dan ceriteraceritera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang beliau dan terutama tulisantulisan beliau sendiri. Yang tidak sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, yang menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di Yogyakarta, tulisan Dr. Abdul Djamil,3 Rektor IAIN Walisongo di Semarang.
eg
Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin telah memelopori sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan penelitian mendalam, agar kita menemukan strategi perjuangan Islam yang tepat di negeri ini.
Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan sikap menentangnya. Kaum syari’ah/ fiqh (hukum Islam) pada umumnya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar adagium yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam pemerintahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anarki semalam (sittuna sanatan min imâmin fâjirin ashlahu min lailatin bila sulthan).”4 Sikap ini merupakan sebuah kenyataan tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan, semuanya tergantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum, termasuk pelanggar fiqh/hukum Islam terkena sanksi atau tidak secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu
2 Lihat S. Soebardi, The Book of Cebolek, (The Hague: Martijnus Nijhoff, 1975).
3 Buku tersebut berjudul, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerak-an Islam KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, (Yogyakarta: LKIS, 2001).
4 Ibnu Taimiyyah; as-Siyasah al-Syar’iyyah Fi Islah Ar-Ra’iy wa Ar-Ra’iyah, hal.218. Ibnu Taimiyyah dalam karyanya yang lain bahkan menyatakan bahwa “Tuhan mendukung pemerintahan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung pemerintahan yang dhalim meskipun mukmin”. Lihat Ibnu Taimiyah; al-Hisbah fi al-Islam, Riyadh, Mansyurat alMuassasah alSa’diyah, 1980, hal, 17.
Islam: aPakaH bEntuk PERlaWanannya?
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 40 h
menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah karena memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan sebagai penguasa.
Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersikap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu pemberontakan di beberapa tempat dalam abad tersebut. Dalam pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara terbuka. Sikap ini, sebenarnya samasama bersifat politis, bila dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak menghukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Cerita ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu yang memilukan di waktu itu.
eg
Di sini, KH. A. Mutamakin memperkenalkan pendekatan yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan alternatif terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perlawanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin wajib bertindak dan menampilkan para ulama sebagai kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekatan inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kultural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang penguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.
Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelasjelas menentang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa. Di masa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada pe-nguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KH. A. Mutamakin mengembangkan sikap kultural di atas, yakni pilihan alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpinpemimpin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang
g 41 h
tergabung dalam kalangan NU dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) masa itu menampilkan perlawanan kultural terhadap kekuasaan.
Sekarang, pertanyaan pokok adalah, haruskah perlawanan kultural itu dikembangkan terus di masa depan? Atau justru dimatikan? Dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi perlawanan politis saja. Jawabannya menurut penulis adalah sesuatu yang sangat komplek: bagi organisasi nonpolitis, seperti NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural yang lebih didasarkan pada alternatifalternatif yang mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan bagi organisasiorganisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tekanan harus diletakkan pada penciptaan sistem politik yang bersih, meliputi ketiga bidang eksekutiflegislatifyudikatif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita. Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya perlakuan yang sama bagi semua warga negara di muka UndangUndang.
Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di saat ini, mengembangkan pendekatan kultural yang dahulu dirintis KH. A. Mutamakin? h
Islam: aPakaH bEntuk PERlaWanannya?
g 42 h
Dalam acara NU (Nahdlatul Ulama)/PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan beberapa pesantren di Kalimantan Selatan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis melihat sebuah fenomena yang sangat menarik. Di tiap tempat, penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badar, bahkan di acara lainnya justru orangorang nonmuslim yang membawakannya. Ini berarti, sajak Arab ciptaan KH. Ali Mansyur dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi khazanah budaya nasional, minimal budaya NU/PKB. Terlepas dari penyerahan Bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sajak tersebut di Muktamar Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, fakta lainnya adalah penyebaran sajak yang ditembangkan dalam birama (bahr) tradisional tersebut, tampak jelas telah dianggap sebagai fenomena budaya nasional tanpa disadari.
Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagupuja dalam qasidah dzibâ’iyah, yang dibawakan jutaan anakanak muda NU setiap minggu. Ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam di negeri ini, antara lain lewat budaya, disampaikan secara damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui, kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai itu.
Islam: Ideologis Ataukah Kultural? (01)
g 43 h
Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai aktifitas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita, beberapa abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap sebagai tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat di berbagai daerah. Perayaan Tabot, di Bengkulu umpamanya, dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh. Adat yang satu ini, menampilkan diusungnya tabot (peti mati/ keranda cucu) Nabi Saw, Sayyidina Husein, yang justru menjadi tanda bagi kesetiaan orang pada ajaran ahl al-bait (keluarga Rasulullah) yang menjadi titik sentral ajaran Syi’ah. Bahwa Tabot telah menjadi manifestasi budaya Indonesia, menunjukkan perkembangan sejarah yang sangat penting.
eg
Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan namanama di Gedung DPR/MPRRI kita. Gedung yang megah itu diharuskan menggunakan namanama dalam bahasa Sansekerta, seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan nama DPR/MPR sebagai institusi produk UndangUndang Dasar (UUD), lebih mencerminkan dialog yang umu dipakai antara para pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, yang menggunakan pengaruh bahasa Arab. Lihatlah katakata yang dipakai, seperti Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga kata itu, baik kata dewan, wakil maupun rakyat, sebelum mengalami konjugasi dalam bahasa kita adalah katakata yang berasal dari bahasa Arab. Begitu juga dengan pemilihan umum, kata “umum” digunakan untuk halhal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.
Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari katakata Arab dan kemudian dari katakata Sansekerta, menunjukkan kemampuan beradaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita. Kalau itu kita kaitkan dengan bidangbidang lain, akan lebih besar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian seharihari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm dalam bahasa Arab. Kata ini semula digunakan untuk menunjuk hukum agama Islam (fiqh). Namun karena perluasan pemakaiannya yang meliputi produkproduk yang dihasilkannya, akhirnya kata itu melingkupi makna baru, yang memiliki arti yang berbeda dari asal usulnya. Al-hukm yang semula berarti aturan
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (01)
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 44 h
dan undangundang agama (canonical law), berkembang menjadi hukum –yang berarti undangundang dan peraturan negara. Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh perubahan arti kata law atau recht, yang diambilkan dari bahasabahasa Eropa modern.
Belum lagi kalau diingat terjadinya bahasasemu (meta language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh Dr. Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, harga disesuaikan berarti dinaikkan, dan sebagainya. Akibat dari penggunaan bahasa semu ini, masyarakat terkotakkotak dan timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutannya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of violence) —terutama dalam bentuk munculnya penggunaan preman, yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
eg
Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan adalah pembakuan arti yang kita gunakan seharihari. Tanpa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tampak antara lain, adanya pernyataan seorang anggota fraksi PDIP DPRRI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai bangsa, juga menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti pengutamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa kepada pemenuhan kebutuhan golongan dan ambisi pribadi.
Dengan demikian, kebutuhan menyamakan pandangan tentang demokrasi yang ingin kita ciptakan dalam kehidupan bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari 150 tahun, Alexis de Tocquevile1 menerbitkan bukunya tentang demokrasi di Amerika Serikat, sampai hari inipun pembicaraan tentang jenisjenis dan jangkauan proses tersebut dalam kehi
1 Penulis buku Democracy in America, terbit pertama kali tahun 1840, hampir bersanaan waktunya dengan tersiarnya buku The Communist Mani-festo karya Karl Marx & Friedrick Engels.
g 45 h
dupan bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian, perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), karenanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.
Karena itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam, agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 UUD kita, haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pengertian di kalangan gerakangerakan Islam tersebut. Bukankah pencantuman Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD akan berarti memasukkan ideologi agama ke da lam kehidupan negara, dan dengan demikian memberi kepadanya kedudukan resmi sebagai ideologi negara? Bukankah dengan demikian, para warga negara lain yang nonmuslim dimasukkan ke dalam lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang berpaham atau berideologi nonagama, seperti kaum nasionalis dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di negeri ini? Ini adalah pertanyaanpertanyaan dasar yang harus dijawab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benarbenar demokratis di masa depan. h
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (01)
g 46 h
Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri ini diatur
oleh UndangUndang Dasar (UUD) yang tidak mencantumkan Islam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup masyarakat. Demikian halnya dengan Indonesia, tentu masyarakat sendiri yang memilih berkeyakinan Islam, dan masyarakat yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya sebagai ideologi negara seperti di Tiongkok. Persamaan mendasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara itu dalam hubungan formal dan nonformal dengan mereka.
Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. Mengingat perbedaan tersebut, maka pentinglah arti sejarah bagi pembentukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, tulisan ini mencoba menyoroti hal itu, agar kita tidak terusmenerus melakukan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas kesalahankesalahan masa lampau, dalam menyongsong masa depan.
Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah sejarah masingmasing yang saling berbeda. Sejak semula Tiongkok berpenduduk sangat banyak, maka pemerintahan dikem
Islam:Ideologis ataukah kultural? (02)
g 47 h
bangkan lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh sistem administrasi yang sama dan birokrasi yang tunggal di semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nanking maupun Beijing. Bahkan Tiongkok telah memiliki wadah tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan semenjak ratusan tahun yang lalu.1 Sementara APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Universitas Tokyo, Jepang dan Ecole Superieur, Perancis yang berusia sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.
eg
Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat ditelusuri pada sejarah masingmasing. Tiongkok sebagai negara daratan (land-based country) dan Indonesia sebagai negara maritim. Sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China dan keragaman kerajaankerajaan di negeri kita. Kalau daratan Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaannya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbedaan sangat besar dalam cara hidup masingmasing daerah. Ada yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebudayaan Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakrakusuma2 dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan sistem kepegawaiannya.
Namun, pengenalan antropologis antara keduanya, dengan yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua dengan konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang
1 Dinasti T’ang (618-906) paling berjasa membangun sistem pemerintahan Kerajaan Tiongkok yang solid. Dinasti ini juga membuat sistem perekrutan bagi pegawai negeri itu, yang biasanya diambil dari muridmurid yang belajar di kuil.
2 Ia juga bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman yang sukses membawa puncak kejayaan Kerajaan Mataram dalam segala bidang, kehidupan politik, militer, kesenian, kesusastraan, dan keagamaan. Sultan Agung menjadi penguasa Mataram tahun 1613 sampai 1645 M.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (02)
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 48 h
juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan keduanya. Umpamannya saja, pada kuatnya kekuasaan pihak yang memerintah (the ruling class).
Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiongkok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan yang menguasai negeri itu sejak lebih dari 2000 tahun lampau. Kelompok birokrat ini sanggup bertahan, bahkan menghadapi tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalaman Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarang pun, masih belum diketahui bagaimana keberadaan mereka dalam pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasaan komite militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok masih sangat besar. Apakah kelas bersenjata itu diserap ke dalam komite militer tersebut dengan bawahanbawahannya, juga tidak kita ketahui.
Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilainilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja, dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan muslim (dikenal dengan nama kaum santri) berhasil menyelusup ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi tersebut. Jalan yang dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal hidup masa kini dan masa mendatang.
eg
Jelas, kalau kita proyeksikan bayangan masa lalu itu, bertambah nyata persamaan maupun perbedaan sistemsistem politik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan. Bagaimana masingmasing menjawab tantangan yang dihadapi, yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan persaingan, adalah pengenalan sebuah proses yangmenarik untuk dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya deskripsi historis sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial HindiaBelanda).
Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya catatancatatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan
g 49 h
sejarah kedua bangsa. Bahwa ada perbedaanperbedaan sejarah di dua orkestrakamar (chamber orchestra) itu adalah hal yang wajar. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari pelajaran yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula.
Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita menjadi sebuah bangsa yang hanya mengandalkan dominasi masa lampau, terlepas sama sekali dari konteks historis yang sedang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang dapat menatap masa depan sendiri? Semuanya terpulang kepada kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara lebih mendalam sebagai bangsa yang samasama bukan negara agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical development) yang berbeda. h
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (02)
g 50 h
Beberapa partai politik masih mencantumkan Islam sebagai asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkumpulan lain yang nonpolitis. Ketika hal itu ditanyakan pada
penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah kehendak mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini berarti Anda menerima pandangan mereka?
Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam Islam di Indonesia, tapi tidak di tempat lain yang penduduknya homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jumlahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk menganggap konsep negara Islam diterima seluruh kaum muslimin di negeri ini, hanya karena Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia.
Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal kebenaran yang dibawakan oleh statistik tadi. Lain halnya dengan bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tempat ke kawasan tersebut dari daerah asal, dan di Pakistan mereka membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam
Islam: Ideologis ataukah kultural? (03)
g 51 h
Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran penulis.
eg
Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik maupun perkumpulan. Karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan/atau perkumpulanperkumpulan, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam UndangUndang Dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang ingin agar UndangUndang Dasarnya diubah menjadi UndangUndang Dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak?
Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan perkumpulan yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari sikap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa yang harus dilakukan, walaupun mayoritas mereka tidak berpendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase yang buta huruf. Kalau dalam hal ini kita memiliki keberanian, maka mereka yang bercitacita mendirikan negara Islam tidak akan memperoleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan menempuh jalan pemberontakan bersenjata.
Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang mendasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 19661 harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham MarxismeLeninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerangan, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum
1 Meskipun UUD 1945 telah dilakukan amandemen setidaknya empat kali dan secara hukum TAP MPR dan MPRS tidak berlaku lagi, tetapi TAP MPRS No. 25 tahun 1966 ini sampai sekarang masih menjadi inspirasi dan bahkan menjadi konsideran bagi berbagai UU, Peratuan atau regulasi di berbagai tingkatan dan bahkan Peraturan Daerah (PERDA) di beberapa tempat untuk membatasi kebebasan berpolitik warga negara tertentu.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (03)
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 52 h
apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Lembaga dapat dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga bernama Freemason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama)2. Di sinilah diperlukan ketelitian kita, agar produkproduk kenegaraan kita tidak merugikan diri sendiri.
eg
Mengetahui hal sekecil ini, yaitu perbedaan antara paham dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan seperti itu, kita akan berjalan ke arah yang salah, yaitu menindak hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang memerlukan tindakan. Prinsip ini penting diingat oleh lembaga lembaga yang mengutamakan perembugan/permusyawaratan, seperti yang dibuat oleh UndangUndang Dasar kita: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seringkali hanya dianggap sebagai ajang percaturan kekuasaan.
Walaupun banyak dijalankan oleh umat muslim, tetapi sistem politik nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi politik Jawa dalam menjaga keberlangsungan negara. Sering kontinuitas kekuasan diwariskan dari sebuah generasi kepada generasi selanjutnya. Joko Tingkir, umpamanya, mempunyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin3 dari Kajen, Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV4 di Surakarta. Sedang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa Kesultanan Demak (memerintah tahun 15501582) yang digulingkan oleh Sutawidjaya5, pendiri dinasti Mataram yang kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Pana-tagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih
2 Beberapa sumber menyebut Freemason sebagai organisasi rahasia internasional yang anti agama. Bahkan Gereja Katolik pada masa Paus Leo XIII melalui Ensiklik berjudul Humanum Genus (1884), melarang semua umat Katolik bergabung dengan organisasi itu.
3 Mengenai KH. A. Mutamakkin, lihat pula Bab I bag. 9 berjudul Islam: Apakah Bentuk Perlawanannya?
4 Amangkurat IV memerintah Kesultanan Surakarta tahun 17191726 M.5 Sutawidjaya mengangkat diri sebagai raja dengan gelar Panembahan
Senapati setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya 1582. Sutawijaya memerintah sampai kirakira 1601 yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang yang kemudian terkenal dengan Panembahan Seda Krapyak.
g 53 h
keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin, berarti masih terkait dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I, dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati penulis.
Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang mendalam atas sistem politik nasional kita sekarang, dengan sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Contoh tadi juga memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan memberikan suara kepada partaipartai politik yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Benarkah apa yang disangkakan penulis itu? Pemilu adalah satusatunya tempat untuk menguji kebenaran pendapat itu. Sejarahlah yang akan menjawab h
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (03)
g 54 h
Dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuk bidang humaniora di Universitas Soka Gakkai, Tokyo, barubaru ini, penulis mengemukakan dalam
sambutannya bahwa sebuah tradisi baru telah dimulai di Asia. Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang membawa moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita melihat hal yang sama dilakukan Partai Komeito, yang didukung oleh gerakan Buddha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang dipimpin oleh Perdana Menteri India Atal Behari Vajpayee. Dan, didukung oleh oraganisasi Hindu kenamaan di negeri itu, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), yang didirikan tahun 1925, setahun sebelum NU lahir (tahun 1926).
Malam harinya, sebelum pemberian gelar tersebut, penulis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli gerakan Islam di Indonesia, yang tinggal di Ito City (sekitar dua jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan beliau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi penulis: “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara. Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam kehidupan bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan tersebut, badan yang terasa kecapaian akibat berkendaraan mobil ke Ito City selama dua jam itu, hilang seketika. Inilah yang penulis cari selama beberapa tahun ini, tetapi tidak pernah dirumuskannya dalam bentuk pertanyaan seperti itu.
Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus terang saja, dikembangkan penulis di Indonesia melalui PKB),
Islam:Ideologis ataukah kultural? (04)
g 55 h
adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam masyarakat sekuler di Barat ada moralitas nonagama dalam kehidupan politik, di negaranegara berkembang yang belum memiliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasardasar agama. Dalam pandangan penulis, ukuranukuran ideologisagama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk kepentingan para pemeluk agama tersebut. Di sinilah terletak perbedaan antara moralitas dan ideologi, walaupun samasama berasal dari wahyu yang satu.
eg
Kita harus jeli membaca sejarah bangsabangsa di dunia, untuk mengambil pelajaran serta sikap yang diperlukan. Kita sering mendengar moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan agama, seperti diperlihatkan Jiang Zemin dan Zhu Rongji di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandarkan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Oleh karena itu, kita harus mampu mengembangkan moralitas politik yang di dasarkan pada ajaranajaran umum semua agama. Kejujuran, kesungguhan kerja dan pertanggunganjawab secara jujur kepada nasib bangsa di kemudian hari, merupakan sebagian moralitas umum agamaagama. Karenanya, pemakaian agama untuk menimbulkan moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan bukannya dicurigai.
Antonio Gramsci1 mengemukakan gagasan sosialisme yang penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu terdapat peran besar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas MarxismeLeninisme yang sarat dengan ketentuanketentuan organi
1 Antonio Gramsci (18911937) adalah pendiri dan anggota Partai Sosialis Italia/ the Italian Socialist Party (PSI). Seorang penulis, intelektual, wartawan dan aktivis yang sangat aktif dan terkenal sebelum akhirnya ditangkap oleh pemerintahan fasis Italia dan dimasukkan penjara hingga meninggal. Meski hidup di penjara lebih dari 20 tahun, ia meninggalkan berbagai catatan teoriteori politik dari refleksi dan suratsuratnya di dalam penjara yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku the Prison Notebooks. Melalui catatancatatan dan suratnya itulah lahir berbagai teori politik yang terkenal hingga sekarang. Beberapa istilah seperti “hegemony”, “organic intellectual” dan “historical bloc” berasal dari tulisannya tersebut.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (04)
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 56 h
satoris belaka. Pandangannya saat itu (sebelum 1927) dianggap sebagai penyimpangan Komunisme di Italia, namun adanya kebangkrutan dan kehancuran UniSoviet justru membenarkannya. Demikian pula halnya dengan Alexander Dubcek2 di Praha yang berani menawarkan Komunisme yang berwajah kemanusiaan. Namun, beberapa puluh tahun kemudian apa yang mereka bawakan menjadi kenyataan: bahwa Komunisme pun harus melakukan koreksi atas peranannya dalam kebangunan manusia di akhir abad lalu dan sepanjang abad ini. Pengamatan ini sepenuhnya mengikuti apa yang diingatkan Vladimir Ilyich Lenin: “penyakit kiri kekanakkanakan (leftism infantile disease)” yang dihadapi kaum revolusioner manapun, yaitu heroisme romantis. Mereka menganggap revolusi akan rampung ketika aku yang berjuang. Akuisme seperti inilah yang justru merusak revolusi, karena perjuangan jangka panjang harus ditundukkan kepada kebutuhan pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka hidupnya.
Lawan dari akuisme itu adalah budaya/kultur dan agama, termasuk manifestasi budayanya yang sangat penting dalam sejarah umat manusia. Kalau tidak kita pahami dengan benar, peranan agama tidak lagi berorientasi kultural, melainkan berorientasi institusional. Kegagalan memahami hal ini berarti kegagalan pula dalam memahami proses demokratisasi, yang memang sejak semula sudah tidak ideal. Sir Winston Spencer Churchill3 pernah menyatakan, demokrasi banyak kelemahan dan kekurangannya, tetapi ia tetap merupakan perwujudan terbaik dari upaya umat manusia menegakkan pemerintahan yang benar. Dengan menghiraukan halhal seperti ini, maka pandangan Mao Zedong4 di RRT menjadi sesuatu yang tidak sehat.
2 Alexander Dubcek (1921 1992), salah seorang pemimpin partai komunis, pernah menduduki Sekretaris Jenderal di Slovakia yang mencanangkan pembaruan, pembebaskan media dari sensorship dan mengkritik pemerintah.
3 Sir Winston Leonard Spencer Churchill (18741965), adalah salah seorang pemimpin terkemuka Kerajaan Inggris (United Kingdom). Pernah menjadi Perdana Menteri maupun anggota parlemen dan menduduki jabatan penting di berbagai bidang. Ia juga seorang penulis yang produktif dan terkenal.
4 Mao Zedong atau Mao Tsetung (1893–1976), adalah pendiri Negara Republik Rakyat Cina/The People’s Republic of China. Pemimpin Cina dan Komunis paling terkenal dengan pencanangan Revolusi Kebudayaan (Cultural Revolution).
g 57 h
eg
Demikianlah, terlihat betapa erat hubungan antara budaya/kultur dan politik, paling tidak untuk menampilkan kesusilaan politik (political morality) yang diperlukan oleh sistem pemerintahan manapun di dunia ini. Kata-kata Zhu Rongji5 “sediakan sepuluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan sebuah lagi untuk diriku, kalau aku juga korup”, adalah ungkapan moralitas yang diingini. Karenanya, baik itu moralitas sekuler dari sebuah ideologi duniawi seperti Komunisme, maupun moralitas agama yang digunakan dalam pengembangan sistem politik, haruslah dibaca sebagai keniscayaan sebuah pemerintahan yang benarbenar bertanggung jawab pada rakyat.
Di sini, kita harus belajar dari para moralis dunia, dari Fir’aun Akhnaton di Mesir kuno hingga Mahatma Gandhi di India dalam abad ke 20, membuat ramburambu yang harus digunakan dalam mengemban amanat rakyat yang kita junjung tinggi. Kegagalan memahami hal ini, hanya akan membuat seorang penguasa mementingkan diri saja, seperti halnya Kaisar Nero6 yang membakar kota Roma untuk mencari kesenangan. Juga Kaisar Wu Zetian7 yang curiga dan menganggap semua orang ingin menyingkirkan dirinya dari pemerintahan, maupun Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Mataram yang bergembira dengan para dayangdayangnya di atas Taman Sari dengan membuang dan menyaksikan lawanlawan politiknya di makan buaya, karena tidak dapat melawan binatangbinatang buas itu tanpa senjata.
Jadi benar menurut kaidah fiqh: “tindakan dan kebijaksanaan seorang pemimpin mengenai rakyat yang dipimpin, harus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka”, merupakan
5 Dia salah seorang Perdana Menteri Cina 19982003 ketika jabatan presiden dipegang Jiang Zemin.
6 Nero Claudius Caesar Drusus Germanicus (3768 C.E.) raja di kota Roma. Terkenal dengan bakatnya sebagai penulis puisi dan penyanyi tetapi juga sangat ambisius. Ia membakar kota Roma konon untuk membangun istana yang megah, karena kota Roma ketika itu tidak cukup untuk membangun istana yang menjadi citacitanya.
7 Wu Zetian (625-705 AD) adalah Permaisuri Kaisar Kao Tsung pada zaman Dinasti Tang. Setelah suaminya meninggal, dia menjalankan kekaisaran. Dalam mengamankan kekuasan, Wu membentuk pasukan khusus untuk mematamatai lawan politiknya. Dia tak segan membunuh kaum oposisi yang melawan kebijakannya.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (04)
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 58 h
sebuah rambu moral yang melarang seorang pemimpin untuk menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri. Tiap agama dan keyakinan memiliki sejumlah adagium/ketentuan seperti itu, karena itulah moralitasagama sangat diperlukan dalam menciptakan sistem politik yang sehat. Karenanya, kita tidak perlu raguragu bahwa moralitasagama memberikan sumbangan bagi pembentukan sistem politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Pada tingkat inilah agama dan politik dapat dihubungkan, dan tidak pada tingkat ideologis. h
g 59 h
Dalam perjalanan menuju Banjarmasin, di pagi hari, penulis mengikuti siaran warta berita televisi di ruang tunggu pesawat Mandala. Ditayangkan di televisi itu peringatan
Tabot di Bengkulu, yang diselenggarakan untuk menghormati Syekh Burhanudin1 yang hidup di kawasan itu pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18 Masehi. Karena dijelaskan dalam pemberitaan tersebut, bahwa acara tersebut juga diikuti orangorang keturunan India, jelaslah bahwa orang-orang Syi’ah sekte Isma’illiyah2 adalah pembawa Islam ke Bengkulu saat itu. Sekte Syi’ah Isma’iliyah inilah yang kemudian menurunkan para pemimpin yang bernama Aga Khan di negeri India.
Walaupun kemudian ajaran Sunni tradisional menguasai Bengkulu, upacara Tabot itu tampaknya tidak juga kunjung hilang, dan sekarang bahkan menjadi bagian dari adat setempat. Di permukaan tampak Syi’isme dalam baju adat atau kultur masyarakat setempat, walaupun seluruh ajaran kaum muslimin —di kawasan itu, di “sunni”kan melalui fiqh/hukum Islam. Ini berarti
1 Syekh Burhanuddin adalah seorang tokoh tarekat dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat. Dia murid Syekh Abdurrauf Singkel, ulama terkemuka Aceh yang juga seorang tokoh tarekat Syattariah, Qadiriyah dan Naqsabandiyah.
2 Syi’ah Ismailiyah merupakan salah satu sekte Syi’ah. Syi’ah sekte ini muncul karena perbedaan pendapat tentang imam ke-7 pengganti Ja’far al-Shiddiq. Menurut kelompok ini, pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Ismail meskipun ia sudah meninggal. Namun kelompok lain (Syi’ah Imamiyah atau Syi’ah Dua Belas) berpendapat bahwa pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Musa alKadzim, adik Ismail.
Islam:Ideologis ataukah kultural? (05)
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 60 h
bahwa, Sayyidina Hasan dan Husain dimuliakan dalam “ajaran” Sunni, dengan dilepaskan dari sekte Syi’isme. Ini adalah kejadian lumrah, seperti halnya pembacaan dziba’ oleh jutaan warga Nahdltul Ulama di berbagai kawasan di negeri kita.
Kedua hal tersebut di atas, yaitu munculnya Syi’isme dan pembacaan dziba’ dalam bentuk budaya adalah bentuk paling kongkrit dari penampilan Islam di masa lampau di negeri ini, yakni dalam bentuk kultural, bukannya ideologis. Hal ini harus kita perhatikan baikbaik, jika ingin memahami proses masuknya Islam ke Indonesia dan menyimak perkembangan agama tersebut di kawasan Asia Tenggara. Ketidakmampuan memahaminya, hanya akan menghadapkan Islam pada pahampaham lain di negeri ini. Sesuatu yang jelasjelas tidak diingini oleh mayoritas kaum muslimin Indonesia —bahkan mayoritas bangsa.
Inilah yang menjadi tema utama yang harus diperhatikan dalam mencermati perkembangan Islam di negeri ini, yang sering disebut sebagai “negerinya kaum muslim moderat.” Kegagalan mengambil sikap ini, apapun alasannya (ideologis ataupun politis), jelas menjadi tantangan bagi kaum muslimin di negeri ini. Karena kedudukan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslimin (sekitar 185 juta jiwa) terbesar di seluruh dunia. Dengan sendirinya siapa yang menang di negeri ini akan menentukan masa depan Islam; apakah ia berkembang sebagai ideologi ataukah secara kultural?
Tulisantulisan berikut akan mencoba menelusuri perkembangan ini, tentu saja dengan memenangkan pendapat kaum moderat yang tidak mementingkan ideologi. Dalam pandangan mereka, Islam muncul dalam keseharian kultural, tanpa berbaju ideologi sama sekali. Dengan mencoba bersikap simpatik kepada pendekatan ideologis, penulis bermaksud menekankan pentingnya saling pengertian antara kedua pendekatan tersebut.
eg
Kalau kita tidak menginginkan terorisme merajalela di negeri kita, dengan menggunakan nama Islam, tentu pendekatan ideologis ini harus benarbenar diperhatikan dengan cermat. Apapun sebabsebab yang menimbulkannya, terorisme dengan menggunakan nama Islam lebih banyak disebabkan oleh ketidakpahaman mereka akan proses modernisasi yang dialami bangsa
g 61 h
kita mulai abad ke19 masehi hingga saat ini. Ini bukan berarti, penulis meniadakan kemungkinan adanya asalusul lain bagi terorisme yang menggunakan nama Islam yang kini sudah merajalela di manamana —seperti kita saksikan di berbagai kawasan di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai sebuah proses sejarah, hal itu adalah sesuatu yang biasa, betapapun sakit dan susah kita dibuatnya, akibat dari rumahrumah, sekolahsekolah dan tempattempat umum lain yang dirusakkan, maupun jiwa yang melayang karenanya. Namun dapat disimpulkan bahwa terorisme bukannya sebuah proses yang tidak dapat dihindari.
eg
Di samping itu ideologis, pendekatan institusional ini seringkali ditunggangi oleh kepentingan politis. Ini terjadi terusmenerus hingga tulisan ini dikirimkan ke meja redaksi untuk diterbitkan. Kepentingan politik sesaat, untuk merebut atau mempertahankan kepemimpinan negara, membuat sejumlah lingkaran kekuasaan di negeri ini —dalam beberapa tahun terakhir, untuk mendukung gerakangerakan ideologis Islam. Karena kepentingan politik mereka, dikombinasikan dengan ketakutan sebagian penguasa untuk menindak terorisme berbaju ideologis itu, jadilah toleransi kepada gerakangerakan mereka justru menjadi pendorong para teroris untuk menggunakan nama suci agama.
William Cleveland menuliskan dalam disertasinya3, beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan ideologi Islamistik dari Syakib Arsalan, pemimpin sekte Druz di Lebanon yang juga kakek dari Kamal Jumlad ini, berasal dari penolakannya terhadap gagasan nasionalisme Arab. Hal itu timbul dari ambisi pribadi Syakib untuk tetap menjadi anggota Parlemen Ottoman di Turki. Ambisi ini hanya dapat dicapai kalau keutuhan Islam di bawah pemerintahan Ottoman dapat dipertahankan di seluruh kawasan Arab, juga di tempattempat lain dalam dunia Islam. Tentu saja, kita dapat menolak atau menerima pendapat ini, tapi yang terpenting adalah upaya untuk mencoba mengerti asalusul historis mau
3 Judul disertasi Profesor Sejarah di Universitas Simon Fraser, Canada ini yaitu, Islam Against the West: Shakib Arslan and the Campaign for Is-lamic Nationalism.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (05)
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 62 h
pun idealistik dari gagasan itu sendiri. Disertasi itu, yang ditulis oleh paman tua Paul Cleveland,
ketua Lembaga Persahabatan Amerika SerikatIndonesia (Usindo) saat ini, mencoba menggali alasanalasan historis pemikiran utama yang dikembangkan Syakib Arsalan, yang tentu saja berbeda, atau mungkin bertentangan dengan sebabsebab idealistik dari Syakib Arsalan, yang dikenal sebagai penganjur Islam ideologis dengan bukunya “limâzâ ta’-akhkhara al-muslimûn wa taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Selain Mereka Maju?)”. Dari sinilah kita lalu mengerti mengapa harus diketahui sebabsebab paham Islam ideologis itu, termasuk nantinya sebabsebab sosiologis dan sebagainya. Kalau tujuan ini dapat dicapai, nama Islam dapat dijernihkan dan dipisahkan dari terorisme, serta dapat dikembangkan pegangan lebih pasti bagi kaum “muslimin moderat”. Mereka ini dalam pandangan penulis adalah mayoritas kaum muslimin yang tengah disalahpahami orang —terutama oleh kaum nonmuslim. h
g 63 h
Ketika menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002 penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) untuk hadir dalam acara terse
but di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega. Setelah berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan pemerin-tah akan datang pada peringatan yang sama di Candi Borobudur oleh Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), pada waktu yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada penulis, akan datangkah ke acara KASI?
Ketika penulis menjawab ya, segera disusul dengan pertanyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang berbeda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah alasannya? Karena penulis yakin, KASI mewakili para bhiksu dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agamawan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang awam (laymen).1 Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.
Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai Sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ter
1 Baik pihak KASI maupun Walubi mengaku sebagai organisasi paling sah yang memayungi seluruh umat Buddha Indonesia. Saat ini (2006), organisasi KASI ditingkat nasional dijalankan oleh seorang Sekretaris Jenderal Bhiksu Vidya Sasana Sthavira. Sedangkan DPP Walubi dipimpin oleh Ketua Umum Siti Hartati Murdaya.
Islam, Gerakan ataukah kultur ?
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 64 h
nyata tidak jadi hadir untuk keperluan tersebut di Candi Borobudur. Namun, pemerintah diwakili Menteri Agama. Dengan demikian jelas, pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan umat Buddha di negeri kita. Sedangkan di Balai Sidang hadir Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, yang bukan membidangi masalah agama. Dengan ungkapan lain, pemerintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan umat Buddha dan bukannya KASI.
Nah, disamping penulis, juga hadir Kardinal Dharmaatmadja, Haksu Tjhie Tjay Ing dan seseorang yang mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untunglah, datang Akbar Tandjung mewakili DPR dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertindak selaku penasihat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai perwakilan umat Buddha di Indonesia tidak dapat dihindari lagi.
Sebenarnya, sikap tidak jelas pemerintah itu sangat menguntungkan KASI. Dengan ungkapan lain, di hadapan kekuasaan pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ternyata KASI justru ditunjang dua pihak yang penting, pihak agamawan Buddha sendiri dan para pemuka agamaagama lain yang menghargainya. Bukankah kedua modal itu akan memungkinkan KASI dapat bergerak lebih maju?
Kejadian di atas menjadi lebih menarik lagi, jika kita bandingkan dengan keadaan internal kaum muslim di Indonesia. Kalau dalam agamaagama lain seorang agamawan diangkat organisasi tertinggi dari agama tersebut, yang biasanya didominasi para agamawan, justru dalam Islam hal itu tidak ada. Bukankah justru Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “Tidak ada kependetaan dalam Islam (lâ rahbâniyyata fî al-Islâm).” Karenanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada pihak yang memiliki otoritas dalam pengangkatan ulama. Semua terserah pada pengakuan masyarakat kepada seseorang untuk dianggap sebagai ulama. Karena kekosongan itu, lalu organisasiorganisasi Islam meletakkan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya keulamaan dalam arti penguasaan ilmuilmu agama dalam kepengurusan MUI itu sendiri. Seseorang yang hanya hafal sepuluh ayat al-Qur’an dan sepuluh hadis Nabi, sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan harian MUI. Seolah aspek penguasaan ilmuilmu agama di lingkungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa
g 65 h
tradisi Islam kultural dalam kehidupan umat. Jadi organisasi itu tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya tampilan wakil gerakangerakan agama atau organisasi, seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan yang dimiliki umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan. Karena langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mempersatukan seluruh elemen umat Islam adalah menentukan musuh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak kekuatan Islam. Dan dikatakan kekuatan, karena tak adanya sikap dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiranpemikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan pemikiran para ahli agama itu sendiri.
Contoh konkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu kisah Ki Panji Kusmin2 di awalawal tahun 1970an. Orang awam ini dapat digambarkan sebagai pihak representatif yang mewakili Islam, atau justru sebaliknya. Kemudian beberapa tokoh muslim yang memiliki kekuatan sendiri, walau didukung oleh kekuatan pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tuhan tidak perlu dibela siapa pun dalam kebesaranNya. Sangat nyata, dengan berniat membelaNya berarti terjadi dikotomi pandangan para tokoh agama berpandangan formal itu.
Karena tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Islam, maka harus ada standar minimal untuk menilai apakah seseorang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak. Tanpa kriteria ini, hanya situasi semrawutlah yang lahir, seperti yang terjadi sekarang ini. Di sinilah arti penting dari sabda Nabi Muhammad Saw: “Kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat, (idzâ wussida al-amru ilâ ghairi ahlihi, fantazdiri al-sâ’ah).”3 Sanggupkah kaum muslimin di negeri kita menetapkan kriteria tersebut? h
2 Ki Panji Kusmin adalah nama samaran pengarang cerpen Langit Ma-kin Mendung dalam Majalah Sastra (1971). Cerpen yang dinilai menghina Tuhan itu, menyeret pemimpin majalah Sastra, HB Jassin dihukum 1 tahun penjara, karena tidak mau membeberkan identitas asli Panji Kusmin.
3 Hadis ini diriwayatkan oleh AlBukhari dalam Bab Al-Ilm lewat jalur Abu Hurairah. Statemen Nabi ini muncul karena dialog dan pertanyaan dari seorang badui yang menanyakan tentang kapan terjadinya kiamat.
Islam, GERakan ataukaH kultuR ?
g 66 h
Saat membaca kembali makalahmakalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak dis
kusi, penulis mendapati pandanganpandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahanperubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin� di Jombang, dalam tahuntahun 50an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahuntahun 60an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah)2 di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahuntahun 70an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi nonagama, serta berbagai pandangan dari agamaagama lain.
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan
1 Sebenarnya penyebutan Ikhwanul Muslimin meski populer di berbagai tulisan adalah sesuatu yang salah kaprah karena tidak sesuai dengan historis sosiologisnya. Nama tersebut bukanlah bentuk idlafah akan tetapi sifat mausuf. Sehingga yang sesuai dengan kaidah bahasa adalah AlIkhwan al-Muslimun. Dari Al-Ikhwan inilah kemudian muncul Al-Jama’ah Al-Islamiy-yah pimpinan Dr.Umar Abdurrahman yang menyusun kitab Kalimatu Haqq dan juga Jama’ah al-Muslimin pimpinan Syukri Mustofa yang sering disebut dengan Jama’ah at-Takfir wal Hijrah serta Hizbut tahrir yang dinakhodai oleh Taqiyyuddin anNabhany alFilastiny.
2 Paham ini diusung oleh Partai “Al-Ba’tsu Al-Araby al-Isytiraky (Kebangkitan Arab Sosialis)” yang populer dengan sebutan “Partai Baath.”
Islamku, Islam anda, Islam kita
g 67 h
pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiranpikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
eg
Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satusatunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika halhal irrasional itu benarbenar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan3 seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam
3 Marshall McLuhan adalah ahli media terkemuka kelahiran Kanada 1911, menulis berbagai buku di antaranya Understanding Media: The Exten-sions of Man, (Cambridge: The MIT Press, 1994).
Islam-ku, Islam anda, Islam kIta
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 68 h
masingmasing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orangrombongan lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyunduyun ke alunalun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan mejakursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
eg
Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusankeharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiranpikiran tentang masa depan Islam.
Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak
g 69 h
umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologilslam”, yang oleh orangorang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah halhal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan? h
Islam-ku, Islam anda, Islam kIta
g 70 h
Soal citacita kaum muslimin, tentu saja harus dipresentasikan dengan mendalam. Ini sesuai dengan kenyataan, bahwa kaum muslimin terbagi dalam dua kelompok besar.
Ada kaum muslimin yang menjadi gerakan Islam, ada pula yang hanya ingin menjadi warga negara tempat mereka hidup, tanpa menjadi warga gerakan apapun di dalamnya. Dalam hal ini sudah tentu harus dikecualikan gerakan yang menyangkut seluruh warga negara, seperti gerakan Pramuka yang menggantikan gerakan kepanduan di masa lampau dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengecualian ini dilakukan dengan kesadaraan penuh karena ia menyangkut kehidupan seluruh warga bangsa, dan dengan demikian tidak memiliki “warna ideologis apapun.”
Sedangkan jenis lainnya adalah kaum muslimin warga gerakangerakan Islam, apapun wujud dan bentuknya. Ada yang hanya bersifat lokal belaka, nasional, dan ada yang bersifat internasional. Yang terakhir ini dapat dilihat pada pembubaran Laskar Jihad di Saudi Arabia yang secara otomatis berarti pula pembubaran perkumpulan yang bernama Laskar Jihad1 di Indonesia. Juga dapat dilihat pada pembentukan Nahdlatul Ulama (NU) di beberapa kawasan mancanegara, ataupun pembentukan Ikhwanul Muslimin di sejumlah negara Timur Tengah. Karena sifatnya yang sangat heterogen, jelas tidak ada satu pihak pun yang dapat mengajukan klaim sebagai “perwakilan Islam” di manapun.
1 Laskar Jihad adalah organisasi milisi Islam yang didirikan oleh Fourm Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) pimpinan H. Ja’far Umar Thalib pada tanggal 14 Februari 1998. Banyak mengirimkan pasukan ke Ambon ketika di sana terjadi konflik berdarah. Tetapi kemudian Laskar Jihad dibubarkan pada 7 Oktober 2002.
kaum muslimin dan Cita-Cita
g 71 h
Karena itu pula lembagalembaga keagamaan Islam, tidak dapat bersatu dalam sebuah kesatuan dengan memiliki otoritas penuh. Lembaga yang mencoba mewakili ulama atau kaum muslimin dengan klaim seperti itu, dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI), hanya menjadi salah sebuah diantara organisasiorganisasi Islam yang ada. Lembaga ini tidak memiliki supremasi, seperti yang ada dalam agamaagama lain, seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuanpersekutuan GerejaGereja Indonesia (PGI) atau Parisada Hindu Dharma. Tetapi, MUI harus berbagi tempat dengan NU, Muhammadiyah dan lainlain. Karenanya, hanya halhal yang disepakati bersama oleh sekian banyak perkumpulan itu, yang dapat dianggap sebagai nilainilai yang diterima umat.
Ketika Rois Syuriyah NU cabang Pasuruan menyatakan “pengeboran Inul“ bertentangan dengan ketentuan agama Islam, disusul dengan fatwa MUI daerah itu, timbul reaksi di kalangan para warga negara republik kita. Untuk apa kedua lembaga itu “mengurus Inul” sejauh itu? Apalagi ketika H. Rhoma Irama menyatakan Inul tidak boleh membawa lagu ciptaan beliau, kalangan muda santri mentertawakannya sebagai “tindakan ketinggalan jaman”. Karena memang, orang seperti Inul tidak cocok membawakan lagulagu beliau. Dalam hal ini, masyarakat mengembangkan pandangan mereka sendiri. Ketika ditanya dalam wawancara TV, Inul menyatakan, ia “mengebor” untuk mencari makan. Ia tidak menutupnutupinya dengan berbagai istilah "keren" seperti memajukan seni dan sebagainya, melainkan secara berterusterang ia mengatakan mencari makan. Kejujuran ucapan seperti ini, sangat bertentangan dengan sikap palsu gaya “sok untuk kepentingan bangsa” yang diperlihatkan kebanyakan tokohtokoh politik kita. Padahal itu untuk menutupi ambisi pribadi masingmasing. Mungkin inilah maksud pepatah “katakan apa yang benar, walaupun pahit (qul al-haqqa walau kana murran).”
Karenanya tidak heran, jika pendapat atau kritikan berbagai macam pihak terhadap Inul, tidak memperoleh respon yang berarti dari kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, pendapat mereka itu akhirnya memiliki pengaruh sangat terbatas, bahkan banyak badanbadan penyiaran yang tidak mendukung. Bahkan ancaman H. Rhoma Irama untuk menggerakkan sejumlah organisasi ekstrim Islam melawan Inul, dalam pandangan penulis
kaum muslImIn dan cIta-cIta
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 72 h
merupakan sesuatu yang sudah keterlaluan (over acting), yang mengancam keselamatan hidup kita sebagai bangsa. Apa bedanya ancaman itu dengan tindakan Front Pembela Islam (FPI) yang menyerbu rumahrumah makan (Coffe House) di Kemang, Jakarta Selatan beberapa tahun lalu.
eg
Kita harus merubah moralitas masyarakat dengan sabar, agar sesuai dengan ajaranajaran Islam yang kita yakini kebenarannya, dengan memberikan contoh yang baik sebagai wahana utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengahtengah masyarakat. Hal ini yang tampaknya sering tidak disadari beberapa tokoh Islam maupun beberapa perkumpulan kaum muslimin. Masyarakat kita sekarang ini memiliki kemajemukan sangat tinggi, kalau kita tidak menyadari hal ini, kita akan mudah marah dan bersikap “memaksakan” kehendak kepada masyarakat.
Cara itu membutuhkan sikap serba resmi (formalisme) yang belum tentu disepakati semua pihak. Mengapa? Karena ini dapat menjurus kepada “terorisme moralitas”, dengan akibat yang sama seperti peledakan bom di Bali, di Medan maupun di lapangan terbang Cengkareng. Pelakunya harus dicari sampai dapat dan harus diganjar hukuman sangat berat, karena bersifat merusak dan mengacaukan keadaan secara umum. Tentu saja kita tidak ingin tuduhan ini terjadi pada tokohtokoh yang kita kagumi seperti H. Rhoma Irama.
Karena itu dalam pandangan penulis, perlu diperhatikan bahwa citacita kaum muslimin dibagi dua, yaitu antara keinginan kaum muslim yang tidak memasuki perkumpulan gerakan Islam manapun, dan citacita para warga gerakan Islam. Tanpa adanya perhatian terhadap perbedaan ini, maka apa yang kita anggap penting, tidak begitu diperhatikan oleh kaum muslim yang lain. Akibatnya kita akan kehilangan hubungan. Berlakulah dalam hal ini adagium ushûl fiqh (teori hukum Islam atau Is-lamic legal theory), yang berbunyi “yuthalaqu al-âm wa yurâdû bihi al-khâs (hal umum yang disebut, hal khusus yang dimaksud).” Kita harus hatihati dan sadar sepenuhnya dengan apa yang kita ucapkan, agar kita memperoleh setepatnya apa yang kita inginkan. Memang ini melelahkan, tapi inilah konsekuensi
g 73 h
kaum muslImIn dan cIta-cIta
dari apa yang kita upayakan selama ini. Dengan demikian, keputusan para pendiri negeri ini untuk
tidak mendirikan sebuah negara agama adalah keputusan yang berakibat jauh. Hal ini harus kita sadari konsekuensinya. Karena ada pemisahan agama dari negara, maka hukum yang berlaku bukanlah hukum Islam, tetapi hukum nasional yang belum tentu sama dengan keyakinan kita.
Artinya, dasar dari pembentukan hukum itu adalah tata cara yang kita gunakan bersama seharihari sebagai bangsa atau yang bukan berdasarkan suatu agama, yang memperoleh materi hukumnya dari wahyu yang dikeluarkan Tuhan.
Selama berabadabad ini, kaum muslimin melakukan penafsiran kembali (reinterpretasi) wahyu Tuhan itu, sebagai acuan moral dalam menjalani kehidupan seharihari. Namun ada juga yang kemudian menjadi materi hukum nasional kita dan ada yang menjadi moralitas bangsa (setidaktidaknya moralitas kaum muslimin).
Daripada memperjuangkan ajaranajaran Islam menjadi hukum formal, lebih berat memperjuangkan moralitas bangsa. Tapi ini adalah konsekuensi terjauh dari pandangan kita untuk memisahkan agama dari negara. Mudah kedengarannya, tapi sulit dilaksanakan, bukan? h
g 74 h
Yang paling banyak dilakukan orang adalah mengacaukan antara orientasi kehidupan dengan konsep sebuah bangsa. Makanya sering ada kerancuan dengan menganggap ada
nya sebuah konsep negara dalam Islam. Atas dasar ini, orang pandai –semacam Abul A’la Al-Maududi,1 menganggap ideologi sebagai sebuah kerangkapandang Islam. Karena itulah, ia lalu menganggap tidak ada nasionalisme dalam Islam, karena Islam bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Tentunya, ini berhadapan dengan kenyataan bahwa sangat besar jumlah kaum muslimin yang memeluk nasionalisme, seperti mendiang Bung Karno. Pertanyaannya, dapatkah mereka dianggap kurang Islam dibanding ulama besar tersebut?
Pendapat alMaududi itu jelas membedakan antara mereka yang menerima universalitas Islam sebagai sebuah formalitas, dengan mereka yang tidak memiliki atau mempercayai formalitas seperti itu. Pendapat ini, antara lain disanggah oleh seorang peneliti dari Amerika Serikat (AS), William Cleveland. Dalam disertasinya berjudul “Islam Against the West: Shakib Arslan and the campaign for Islamic nationalism”, Cleveland mengungkap
1 Sayyid Abul A’la Maududi (1903-1979) adalah pendiri organisasi Islam terkenal di Pakistan Jamaat-e-Islami dan seorang teolog Islam yang sangat berpengaruh di dunia. Pikiranpikirannya yang cenderung konservatif dalam menafsirkan Islam banyak mempengaruhi anakanak muda di kampus di seluruh dunia Islam dan menjadi inspriasi bagi gerakan Islam. Bekas wartawan, aktivis Islam, ulama dan politisi ini adalah penulis buku, artikel, dan ceramah yang sangat produktf. Beberapa bukunya yang terkenal adalah Islamic Law and Constitution (Lahore: Islamic Publication, 1960); Towards Understanding Islam; Human Rights in Islam; Introduction to the Study of the Qur’an, (London: Islamic Foundation, 1988).
Islam dan Orientasi Bangsa
g 75 h
kan bahwa teori universalitas dan formalitas pandangan Islam Shakib Arsalan2 (kakek Kamal Jumlad3 dari Lebanon, seorang pemimpin Druz) ini, bersumber pada keanggotaannya dalam parlemen Ottoman (Ustmaniyyah). Kalau Shakib tidak berpandangan demikian, maka ia harus ikut nasionalisme Arab, sebuah pandangan yang justru ditolaknya. Dengan demikian, universalitas dari pandangan formal Islam ia jadikan teori, karena ia ingin mempertahankan kedudukannya sebagai anggota parlemen Ot-toman tersebut.
Terlihat ada dua orientasi yang saling bertentangan antara karyakarya AlMaududi dengan Shakib Arsalan dalam disertasi Cleveland di atas. Tapi pandangan AlMaududi dan Shakib yang dikenal di kalangan orangorang Perancis –sebagai golongan l’integrist (di dunia Barat lain dikenal dengan sebutan Islamists) itu, menganggap bahwa Islam harus diwujudkan secara keseluruhan, bukan secara parsial. Sebagai landasan, pandangan itu selalu menggunakan ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan Kusempurnakan bagi kalian pemberian nikmatKu, dan Kurelakan bagi kalian Islam sebagai agama kalian (al-yauma akmaltu la-kum dîinakum wa atmamtu alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al-Islâma dîna)” (QS alMaidah [5]:3). Menurut pandangan ini, Islam hanya akan tampak dan berarti kalau ia menjadi sebuah sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara formal. Maka, dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam.
eg
Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: Islam formal dan tidak formal. Dalam pandangan formal, ajaran Islam selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk undangundang (UU). Formalisasi ini juga mengancam kebersamaan
2 Shakib Arsalan (18691946) adalah cendekiawan muslim sekaligus nasionalis lahir di Lebanon. Ia juga penulis buku “Limadza Ta’akhara al-Musli-mun wa Limadza Taqaddama Ghayruhum” yang terbit pertama kali di Cairo 1939.
3 Kamal Jumlad adalah pendiri Partai Progresif Libanon Lebanese Pro-gressive Party (PSP) dari kelompok suku Druz yang mati tertembak pada 1977. Partai itu kemudian dipimpin oleh anaknya Walid Jumlad.
Islam dan oRIEntasI banGsa
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 76 h
kaum muslimin Indonesia. Karena negara akan menetapkan sebuah versi (madzhab) dalam Islam untuk dijadikan UU, sedang hukum Islam versi lain berada di luar UU. Dengan demikian, yang benar atau yang salah adalah apa yang tertera dalam rumusan UU itu, sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya tentu saja tidak dipakai.
Formalisasi ini sudah tentu berbeda dari pandangan umum madzhab fiqh (Islamic law school). Da lam pandangan mereka, orang dapat saja berbeda pandangan dan rumusan aturan, tergantung dari pilihan masingmasing. Adagium terkenal dalam hal ini adalah: “perbedaan pandangan di kalangan para Imam adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-aimmah rahmat al-um-mah).”4 Bahkan, pandangan ini memperkenankan perubahanperubahan rumusan hukum agama dari waktu ke waktu.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1989 di Pondok Pesantren AlMunawwir, Krapyak, Yogyakarta, merumuskan kebolehan itu dengan katakata: rumusan hukum agama sangat tergantung kepada prinsipprinsip yang digunakan. Jelaslah, perubahan rumusan hukum agama itu menjadi diperkenankan, karena adanya kebutuhan. Salah satu kaidah fiqh berbunyi: “kebu-tuhan dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat (al-hâjatu tanzilu manzilata al-dharûrah).” Prinsip ini memperkenankan perubahan rumusan hukum agama jika memang ada kebutuhan nyata untuk itu.
Karena hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah keputusankeputusan hukum yang diwujudkan secara formal, hingga dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilaksanakan, dan yang ada adalah UU formal. Dan, sistem formal agama lalu menjadi lahan tawarmenawar. Karena itu, banyak pihak yang berpendapat bahwa, ajaran formal Islam selalu bersifat kaku dan tidak mampu menampung perkembanganperkembangan
4 Sering juga diungkapkan dengan redaksi “ikhtilafu ummati rahmah” yang akhirnya mengilhami sebuah penulisan kitab populer di pesantren dengan judul “rahmatul ummah fi ikhtilaf al-a’immah” yang dicetak bersama dengan kitab pluralisme hukum dengan judul “Al-Mizan Al-Kubra” karya Abdul Wahhab as-Sya’rany. As-Sya’rani ini juga mempersembahkan karya yang juga memuat pluralisme fiqhiyyah dengan judul “Kasyful Ghummah An Jami’ Al-Ummah” yang juga merupakan pembekalan komprehensif kepada para intelektual dalam menghadapi perbedaan pendapat yang memang sudah merupakan “historical necessity (hatmiyyah at-tarikh)”
g 77 h
Islam dan oRIEntasI banGsa
baru yang terjadi. Contohnya adalah sikap para penguasa Saudi Arabia yang telah membongkar tanah pusara Sayyid Ali al Uraidhi,5 di Madinah, untuk mencegah terjadinya penyembahan berhala yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi ratusan juta orang kaum tradisionalis muslim, yang seringkali disebut orang kolot, sikap seperti itu berarti justru membuat Islam tidak bergerak sesuai dengan perkembangan zaman. Islam akan mengalami kebekuan, yang sering di sebut dengan istilah al-jumûd.
eg
Penentengan terhadap pembongkaran makam Sayyid ‘Uraidhi di atas, putra ketiga Ja’far Shaddiq setelah Isma’il (diabadikan dalam nama kelompok Syi’ah Isma’iliyyah) dan Musa al-Kadzim (perintis Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang memerintah Iran dan menjadi kelompok mayoritas di Irak saat ini), menunjukkan betapa besar para pengikut beliau di seluruh dunia, katakanlah para kelompok Sunni tradisionalis. Namun perasaan mereka dianggap sepele saja oleh pemerintah Saudi Arabia. Sikap formal yang diwariskan Muhammad bin Abdul Wahab6 (diabadikan dalam istilahsalah, Wahabbisme) membuat pemerintah Saudi Arabia menjadi formalis, merusak/menghancurkan makam beliau di ‘Uraidhah, dekat Madinah, beberapa waktu yang lalu.
Kejadian di atas, dilakukan oleh rezim yang katanya berundang-undang dasar kitab suci al-Qurân dengan 6666 ayatnya. Hal ini menunjuk dengan jelas kenyataan bahwa formalisme di
5 Sayyid Ali alUraidhi adalah tabi’i al-tâbi’în salah seorang keturunan Ja’far al--Shadiq, seorang ahli sufi yang dihormati yang dimakamkan di Madinah dan menjadi salah satu kuburan yang menjadi tempat ziarah para jamaah haji.
6 Muhammad bin Abdul Wahab, dilahirkan sekitar 1700 dan meninggal 1791, adalah pendiri aliran Wahabi yang merupakan salah satu cikal bakal aliran sangat konservatif. Pengaruh aliran Wahabi masih terasa hingga kini di seluruh dunia. Abdul Wahab sebagai penasehat spiritual AbdulAziz ibn AbdulRahman alSaud atau terkenal dengan Muhammad Ibnu Saud bekerjasama mendirikan kerajaan yang sampai sekarang dikenal dengan Arab Saudi atau Saudi Arabia. Salah satu kebijakan pemerintah Ibnu Saud yang didukung oleh aliran Wahabi atau Muhammad bin Abdul Wahab adalah memurnikan Islam dari pahampaham mistik yang bisa merusak akidah Islam. Mereka melarang kebiasaan atau tradisi berziarah kubur dan melakukan pengrusakan berbagai kuburan yang dianggap keramat dengan cara kekerasan.
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
g 78 h
negeri itu justru memacu konservativisme di kalangan para ulamanya. Kalau hal ini tidak mereka perbaiki dalam waktu dekat ini, maka di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia akan terjadi pertentangan sangat dah syat, yang belum pernah terjadi selama ini. Keputusan Raja Saudi pertama, Abdul Aziz, di tahun 1924, untuk mengijinkan kaum muslimin melakukan ibadah haji menurut keyakinan masingmasing, telah membuat Saudi Arabia bisa diterima semua kalangan Dunia Islam. Keputusan membongkar kuburan Sayyid ‘Uraidhi adalah sesuatu yang justru berkebalikan dari keluasan pandangan di atas.
Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat: “Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû fi al-silmi kâffah)” (QS alBaqarah [2]:208), yang berarti kalau Anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sung guhsungguh dan tak tanggungtanggung. Para formalis mengartikan kata “al-silmi” di sini, dengan arti Islam sebagai sistem, katakanlah sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh pengikut yang sedikit, sedangkan mayoritas kaum muslimin (terutama para ulama Indonesia), memegang arti Islam sebagai pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum nonmuslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang berbunyi: “Tiadalah Kuutus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa mâ arsal-nâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS alAnbiya [21]:107). Ini jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia ini. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bukan? h
BAB II ISLAM NEGARA DAN KEPEMIMPINAN UMAT
g 81 h
Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan
pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.
Jawabanjawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan katakata: tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan siasia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakarlah yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji
negara Islam, adakah konsepnya?
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 82 h
itu disampaikan oleh para kepala suku/wakilwakil mereka, dan dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar1 ditikam Abu Lu’luah2 dan berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (electoral college ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan.3 Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali
1 Umar Ibn Khattab ra adalah Khalifah Islam kedua (634 – 644M) setelah Nabi Muhammad saw menggantikan Abu Bakar AshShiddiq. Kepemimpinannya dikenal tegas dan adil, serta berani melakukan interpretasi pemahaman Islam demi penegakan keadilan.
2 Abu Lu’luah adalah seorang Parsi yang berkomplot dengan seorang bekas pembesar Parsi, Hurmuzan dan Jufainah, karena dendam akibat Umar dianggap telah mengagresi mereka dan membunuh para raja mereka. Sosok Abu Lu’luah, bernama asli Firuz, adalah tawanan perang dari Persia ketika Umar bin Khattab memperluas wilayah kekuasaan Islam. Ia dibawa ke Madinah untuk menjadi budak sebelum menyatakan masuk Islam. Firuz akhirnya dimerdekakan oleh Mughirah bin Syu’bah, sehingga ia disebut maulâ (yang dimerdekakan dan dilindungi). Abu Lu’luah adalah orang yang mempunyai rasa kebangsaan yang tinggi. Meski sudah masuk Islam dan tinggal di Madinah, namun identitas Persia yang pernah memiliki kaisar dan kerjaan besar tidak pernah dilupakannya. Dalam hatinya terdapat dendam kepada Umar bin Khattab, yang telah memerangi kerajaan bangsanya. Inilah yang menjadi motifasi Abu Lu’luah untuk membunuh Umar bin Khattab.
3 Dalam kondisi terluka, Umar bin Khattab diminta oleh beberapa orang yang ada disekitarnya untuk menunjuk pengganti yang akan menjalankan roda kepemerintahan. Jawaban Umar ketika itu membuat kaget orangorang yang hadir yaitu: “Apabila saya menunjuk seorang pengganti untuk menjadi khalifah maka orang yang lebih baik ketimbang saya yaitu Abu Bakar pernah melakukan itu, dan jika saya tidak menunjuk pengganti maka orang yang lebih baik ketimbang saya dan Abu Bakar yaitu Rasulullah SAW juga tidak pernah menunjuk pengganti”. Pernyataan Umar di akhir hidupnya yang menjelaskan tentang tidak adanya formula baku dalam suksesi kepemerintahan ini, telah direkam oleh hampir semua kitab hadis yaitu Sahih AlBukhari dalam bab al-Ahkam, Sahih Muslim dalam bab al-Imarah, Sunan Abi Dawud dalam bab al-Kharaj wal Imarah, Tirmizi dalam bab al-Fitan dan juga Musnad Imam Ahmad.
g 83 h
bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan caloncalon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami”.
eg
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negarabangsa (nation-state), ataukah negarakota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negarabangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia diIslamkan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin4 ataukah Leon Trotsky?5 Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.
Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan tersebut tercabiktercabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya keme
4 Joseph Stalin (1879 1953) adalah salah satu pemimpin terkemuka Uni Soviet pada masa perang sipil di negara itu dan Perang Dunia II, disamping Vladimir Lenin (1870 1924) yang digantikannya kemudian.
5 Leon Trotsky (1879–1940) adalah musuh politik Stalin karena berbeda pandangan soal masa depan Uni Soviet dan kebijakan ekonomi negara itu. Setelah mengantikan kedudukan Lenin, Stalin menjadi diktator dan menindas kaum buruh serta petani secara kejam. Trotsky melawan Stalin dan dia dideportasikan, kemudian harus hidup di Meksiko, dan akhirnya dibunuh oleh seorang intel Soviet.
nEGaRa Islam, adakaH konsEPnya?
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 84 h
lut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat ini. Satusatunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama “Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara tersebut, haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Kalau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?
eg
Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan tersebut, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayoritas penganut agama tersebut?
Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” kaum nonmuslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu? h
g 85 h
Penulis menerima sebuah permintaan dari temanteman MILF (Moro Islamic Liberation Front)1, untuk menghentikan penyerbuan tentara Philipina atas kampkamp mere
ka di Philipina Selatan. Padahal, mereka sudah menandatangani Perjanjian Tripoli (Lybia) pada 2001, yang berisikan ketentuan memperjuangkan otonomi daerah itu bagi kaum muslimin, melalui negosiasi dan perundingan. Ini berarti mereka telah meninggalkan perjuangan bersenjata, guna memungkinkan perundingan damai. Namun, MNLF (Moro National Liberation Front),2 yang dipimpin oleh Nur Misuari, menurut tentara Philipina kembali pada perjuangan bersenjata dengan cara bergerilya, untuk memperjuangkan sebuah Negara Islam (NI).
Ternyata, kemudian Nur Misuari dikejarkejar, dan dengan menggunakan perahu memasuki kawasan Malaysia di Sarawak. Di tempat itu ia ditangkap oleh pihak keamanan Malaysia, lalu diterbangkan ke Kuala Lumpur, dan selanjutnya diekstradisikan ke Manila. Kini ia meringkuk di tahanan, dan menjalani proses pengadilan Philipina. Sekarang, pihak MILF meminta pertolongan penulis agar tentara Philipina tidak menyerbu kampkamp
1 Perjanjian antara pemerintah Manila dengan pemimpin MNLF (Moro National Liberation Front) Nur Misuari dinilai tidak satupun mencakup penyelesaian prinsipil bagi rakyat Moro, maka Salamat Hasyim keluar dari MNLF dan membentuk MILF (Moro Islamic Liberation Front) tahun 1984 dengan tujuan berdirinya negara Islam di selatan Filipina.
2 Kesepakatan umat Islam Mindanao untuk mendirikan Moro National Liberation Front (MNLF) pada tanggal 18 Maret 1968 merupakan langkah politik untuk merespon situasi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan umat Islam di Filipina pada umumnya. Ini setidaknya diperlihatkan pada peristiwa Jabidah (Jabidah Massacre) yang telah menewaskan generasi muda Muslim yang sebelumnya dilatih secara rahasia oleh militer Filipina tetapi kemudian dibunuh secara biadab di sebuah pulau di teluk Manila.
Islam dan Perjuangan negara Islam
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 86 h
MILF yang dianggap juga akan memberontak, seperti halnya MNLF. Penulis menjawab, tidak dapat melakukan hal itu, karena tidak akan didengar oleh tentara Philipina; sedangkan Presiden Gloria Macapagal Arroyo saja tidak didengar oleh tentara Philipina. Apalagi orang luar yang melakukan hal itu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tentara Philipina, atau oknumoknum dalam kepemimpinan formalnya, cenderung untuk melanggar kebijakan pemerintah untuk berunding. Hal ini patut disayangkan, tetapi demikianlah kenyataan yang ada dan sikap seperti itu juga dijalankan oleh oknumoknum militeristik dalam lingkungan tentara Thailand dan Indonesia. Di Thailand, mereka cenderung mencurigai orangorang Islam di selatan, timur dan utara negeri itu. Diabaikan kenyataan, bahwa komunitas kaum muslimin kini sudah mencapai antara 2025% dari total penduduk negeri itu. Demikian juga Indonesia, ada sikap menolak berunding dengan pihak GAM dan pihak Hasan Tiro untuk merumuskan batasanbatasan otonomi khusus di Aceh, dengan menembak mati orangorang GAM yang dianggap sebagai pengacau keamanan yang harus ditumpas dengan kekerasan bersenjata oleh aparat keamanan.
Akibat kekerasan di kawankawasan itu, unsurunsur yang tadinya menolak separatisme, mau tak mau akhirnya menjadi kaum separatis. Sedangkan pihak moderat (kaum yang tidak keras), akhirnya dikalahkan oleh kelompokkelompok garis keras (kaum ekstrimis atau fundamentalis kalangan kaum mudanya). Kaum moderat itu digambarkan oleh saingansaingan mereka sebagai yang berhati lemah dan tunduk pada pemerintah. Selanjutnya keadaan akan dikuasai oleh mereka yang berhaluan keras, hingga menimbulkan kesan seolaholah seluruh kaum muslimin di kawasankawasan itu benarbenar telah menjadi kaum separatis secara keseluruhan.
Dengan demikian, terjadi eskalasi antara perlawanan mereka dan pembalasan bersenjata oleh aparat pemerintah, yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Di Aceh, misalnya, proyek DOM (Daerah Operasi Militer) berjalan bertahuntahun tanpa ada penyelesaian, dan akhirnya dunia internasional menyalahkan negara kita sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kalau Belanda saja tidak dapat menyelesaikan penyelenggaraan pemerintahan pendudukan/kolonial selama lebih dari 350 tahun, apakah kita juga akan bermusuhan dengan rakyat
g 87 h
sendiri di kawasan Aceh untuk masa yang sama?Karenanya, jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah
pertentangan pemerintah dan kaum beragama di Philipina, Thailand dan Aceh, sebaiknya dilakukan secara berunding, agar tidak menjadi semakin berlarutlarut. Perundingan seperti itu mengharuskan adanya kesediaan oknumoknum militer untuk mendengarkan dan menghormati pendapat pemerintah, dan bukan sebaliknya.
eg
Dengan demikian, penyelesaian yang diharapkan bukanlah penyelesaian militer, melainkan penyelesaian politis. Kenyataan yang demikian sederhana, memang tampak seperti mengalah kepada mereka yang berhaluan keras (kaum ekstrimis atau fundamentalis). Namun, yang kita utamakan bukanlah mereka, tapi rakyat banyak yang menginginkan otonomi khusus melalui perundingan damai. Dalam kenyataannya, tidak sedemikian benar yang terjadi, karena toh pada akhirnya kaum ekstrimis itu akan diserap oleh masyarakat yang memang berjiwa moderat. Hal inilah yang mendorong Bung Karno menyelesaikan masalah Tengku Daud Beureueh3 di Aceh, yang dikenal sebagai pemimpin pemberontakan Darul Islam di tahuntahun 50an dengan penyelesaian secara politis. Demikian pula, diselesaikannya pemberontakan PRRI Permesta secara politis setelah penyerbuan oleh TNI ke kawasan Sumatera Barat dan Tomohon di Sulawesi Utara.
Kalau penyelesaian politis ini tidak dilakukan, maka rakyat kebanyakan akan dimanipulir oleh kaum muda yang bergaris keras. Mereka tinggal menunjuk kepada kenyataan adanya represi dan penembakan oleh tentara atas penduduk yang tidak bersalah, yang nantinya akan membuat perlawanan rakyat menjadi semakin nyata. Kalau ini terjadi, oknumoknum militer itu akan menyerahkan persoalan kepada pemerintah yang dengan susah payah harus mengulang kembali dari awal perundingan dengan mereka yang menginginkan otonomi khusus bagi ka
3 Tengku Muhammad Daud Beureueh (w. 1987) adalah salah seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia dan Gubernur pertama Propinsi Aceh. Tapi karena kecewa dengan pemerintah pusat dan Soekarno, dia mendukung proklamasi NII (Negara Islam Indonesia) dan PRRI yang memberontak kepada kepemimpinan pusat RI. Ia lalu terkenal dengan pemimpin pemberontak.
Islam dan PERjuanGan nEGaRa Islam
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 88 h
wasan yang bersangkutan, dalam jumlah orang yang lebih sedikit dari semula.
Karena itu, jelas bagi pihak militer yang ingin menggunakan kekerasan di Philipina Selatan, Thailand Selatan maupun di Aceh, hendaknya segera menghentikan langkahlangkah mereka itu. Biarkan pemerintah mencari penyelesaian damai melalui perundingan dengan kaum moderat yang masih berjumlah besar. Kalau terlambat, perundingan itu akan menjadi lebih sulit, dan hasilnya tidak dapat dipastikan. Demikian pula, dalam proses yang terjadi wibawa pemerintah masih akan tetap besar kalau penyelesaian dicapai melalui perundingan sekarang. Dan sebaliknya, wibawa itu tentu semakin berkurang, kalau eskalasi pertentangan bersenjata tetap berjalan. Benarkah para jenderal itu berpikir hanya untuk kepentingan bangsa dan bukannya kepentingan sendiri? h
g 89 h
Selama beberapa tahun terakhir ini, ada suarasuara untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara, yaitu sebagai pengganti Pancasila. Menurut pandangan penulis, hal itu
terjadi akibat terjadi penyempitan pandangan mengenai Pancasila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mereka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, dilarang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melainkan soal pengertian Pancasila tersebut.
Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang benar tentang Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukannya kritik terhadap pendekatan yang terasa monolit bagi rakyat itu. Karena dalam pandangan mereka penafsiran pemerintah hanyalah satu dari penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana yang benar, Mahkamah Agung (MA) harus mengemukakan penafsiran legal berdasarkan Undangundang (UU) yang ada. Jadi, penafsiran yang tidak sejalan dengan pemerintah, belum tentu salah. Penafsiran legallah yang dijadikan ukuran, bukan penafsiran pemerintah.
Ketika yang dianggap benar hanyalah penafsiran kekuasaan dan MA takut membuat penafsiran legal yang mengikat, maka masyarakat tidak memiliki pilihan lain, kecuali mencarikan alternatif bagi Pancasila yang telah dikebiri itu. Muncullah Islam sebagai alternatif penafsiran, bukannya alternatif ideologis. Namun, karena kurangnya kecanggihan, maka Islam dikemukakan
negara Berideologi satu, Bukan dua
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 90 h
sebagai alternatif ideologis bagi Pancasila, bukannya terbatas pada masalah penafsiran saja. Dalam bahasa teori hukum Islam (ushûl fiqh), hal itu dinamai penyebutan yang mutlak umum, dengan maksud yang mutlak khusus (yuthlaqu al-‘âm wa yurâdu bihi al-khâsh).1
Hal itu perlu dinyatakan di sini, karena akhirakhir ini muncul anggapan, bahwa sesuatu yang berdasarkan Islam sangat berbahaya bagi negara kita. Ini antara lain dikemukakan Lee Kuan Yew, Menteri Senior Republik Singapura, yang menyatakan bahwa dalam satu dua generasi lagi Indonesia akan diperintah oleh teroris yang menggunakan Islam. Ini tentu dapat dibaca sebagai undangan bagi Amerika Serikat, untuk menduduki Indonesia dan membagibaginya ke dalam beberapa negara. Tentu saja, penulis boleh beranggapan bahwa hal itu dikemukakan karena Lee Kuan Yew takut dengan Indonesia yang kuat dan besar serta tidak dapat “disogok”. Itu akan sangat berbahaya bagi Singapura, karena itu Indonesia harus dibagibagi ke dalam beberapa republik.
Namun, asumsi di balik pernyataan “Islam akan tumbuh di negeri ini sebagai alternatif Pancasila,” adalah sesuatu yang banyak dipakai orang. Karena itu, kita harus memahami Islam pada fungsi sebagai penafsir, dengan demikian ia tidak dapat menjadi ideologi negara yang plural dan majemuk ini. Dalam hal ini, Islam memiliki fungsi yang sama dengan nasionalisme, sosialisme dan pandanganpandangan lain di dunia ini. Inilah yang merupakan pembedaan antara Pancasila sebagai ideologi negara yang berwatak pluralistik, dari berbagai ideologi masyarakat yang berkembang di negeri ini, seperti Islam, nasionalisme, sosialisme, dan lainlain.
Jelaslah, dengan uraian di atas, bahwa penghadapan Islam kepada Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, karena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum kepada pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan, berarti rasionalitas telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengendalikan pandangan hidup kita. Tentu kita lebih mementingkan sesuatu yang rasional, bila dibandingkan dengan sesuatu yang emosional.
1 Dalam tradisi keilmuan pesantren istilah semacam ini termasuk kategori “majaz mursal”.
g 91 h
Sebagai bangsa, tentu kita hanya mempunyai sebuah ideologi negara, tetapi dengan penafsiran kemasyarakatan yang berbedabeda. Dengan demikian, yang diberlakukan secara formal adalah penafsiran legal yang dilakukan oleh MA. Inilah yang harus kita bangun ke depan, dan untuk itu diperlukan keberanian moral untuk berhadapan dengan negara, atau dengan kata lain menghadapi sistem kekuasaan. Kalau ini dilupakan, sudah tentu kita tidak tahu apa yang menjadi tugas kita di masa depan.
Pembedaan antara ideologi di satu sisi dan penafsiran atasnya, menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan kita di masa depan. Beberapa minggu sebelum dilengserkan dari jabatan Presiden, penulis mengusulkan pada sebuah sidang kabinet agar dibuat ketentuan bahwa keputusan bertentangan atau tidaknya seluruh peraturan daerah (perda) berdasarkan Syari’ah Islâmiyah yang dibuat DPRD di semua tingkatan di Indonesia dengan UndangUndang Dasar (UUD), harus dilakukan secara legal oleh MA. Inilah mengapa sebabnya MA harus kuat dan berani, serta berkedudukan sama tinggi dengan badan legislatif maupun eksekutif.
Di sinilah keseimbangan antara badanbadan yudikatif, legislatif dan eksekutif harus benarbenar dijaga, sebagai sebuah hal yang mendasar bagi kehidupan kita. UUD adalah instrumen satusatunya yang mempersatukan kita sebagai bangsa, karena itu penafsiran atasnya secara legal, adalah sesuatu yang sangat penting bagi kita. Kita berideologi negara yang satu, bukannya dua. Tapi mempunyai penafsiran legal atasnya, yang dapat bervariasi dalam bentuk dan isi, walaupun hanya satu pihak yang dapat melakukannya, yaitu MA. Karena itulah, keanggotaannya harus diputuskan bersama oleh pihak eksekutif dan legislatif.
Dengan pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa ideologi negara kita hanyalah satu, yaitu Pancasila. Pendekatan lain, yaitu menjadikan Islam sebagai ideologi negara adalah sesuatu yang salah. h
nEGaRa bERIdEoloGI satu bukan dua
g 92 h
Dalam dua sumber tekstual kitab suci al-Qurân mengenai keadilan, tampak terlihat dengan jelas bagaimana keadilan dapat ditegakkan, baik dari masalah prinsip
hingga prosedurnya. Dari sudut prinsip, kitab suci al-Qurân menyatakan; “Wahai orangorang yang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksisaksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri (yâ ayyuha al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisthi syuhadâ’a li Allâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS alNisa [4]:135). Dari ayat ini tampak jelas bahwa, rasa keadilan menjadi titik sentral dalam Islam.
Sedangkan dari sudut prosedur, kitab suci al-Qurân menya-takan; “Jika kalian saling berhutang, maka hendaknya kalian gunakan tandatanda tertulis (idzâ tadâyantum bidainin ilâ ajalin musammâ faktubûhu)” (QS alBaqarah [2]:282). Dalam hal ini, rasa keadilan harus ditegakkan dengan bukti tertulis, sehingga tidak dapat dipungkiri oleh orang. Prosedur ini juga dijalankan dalam masyarakat berteknologi maju, sehingga kesan yang ada selama ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat tertinggal dapat dihilangkan.
Demikian pula, seorang hakim tidak dapat lepas dari tuntutan keadilan ini, seperti yang dikemukakan oleh sebuah hadits; “idraul hudud bi as-subuhat” yang memberikan pesan jika seorang hakim raguragu tentang kesalahan seorang terdakwa, maka ia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, sebab ditakutkan si hakim berbuat kesalahan.” Jadi, aspekaspek keadilan dalam Islam bersifat menyeluruh, meliputi prinsip, prosedur dan pelaksanaannya.
eg
Islam, negara dan Rasa keadilan
g 93 h
Apa yang dikemukakan di atas, adalah aspekaspek keadilan dalam masalah mikro. Dalam banyak hal, keadilan mikro itu seluruhnya tergantung dari bangunan makro sistem kemasyarakatan yang ditegakkan. Banyak ungkapan dari sumbersumber tertulis dalam Islam yang memungkinkan adanya penafsiran makro yang berdasarkan prinsip keadilan bagi umat manusia. Ungkapan dalam hadits; “Tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima (al-yadu al-‘ulyâ khairun min al-yadi al-suflâ),” jelas menunjukkan adanya keharusan dipeliharanya keadilan dalam hubungan antara negara kreditor kepada debitor. Sayangnya, hal ini justru tidak terdapat dalam tata ekonomi modern kita di seluruh dunia saat ini.
Pengertian makro, juga tampak dalam keharusan bagi para pemimpin negara/masyarakat untuk menunaikan tugas membawa kesejahteraan. Adagium fiqh menyatakan; “Langkah dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Artinya, kesejahteraan masyarakat tidak akan dapat tercapai, jika pemimpinnya tidak mewujudkan keadilan seluruh warga masyarakat, melainkan hanya untuk sebagian saja.
Ini sangat penting untuk diperhatikan karena kebanyakan di negerinegeri muslim, seorang penguasa selalu menikmati kekayaan berlimpah, sementara banyak kaum miskin di sekelilingnya. Kehidupan kaum miskin seperti terombangambing di tengah banyaknya produkproduk yang dihasilkan oleh para pemilik modal yang berjumlah sangat kecil. Ketimpangan situasi seperti itu terjadi dalam kehidupan modern –secara internasional dewasa ini. Dengan situasi yang tidak adil seperti itu, jelas bahwa Islam tidak menyetujui kapitalisme klasik yang didasarkan pada prinsip persaingan bebas (laises faire) dalam pergaulan internasional saat ini.
eg
Karena itu, orientasi pembangunan negara untuk kepentingan warga masyarakat/rakyat kebanyakan, harus lebih diutamakan, dan bukannya pengembangan sumber daya manusia yang tinggi maupun penguasaan teknis yang memadai bagi modernisasi. Dengan kata lain, bukan modernitas yang lebih dikejar
Islam, nEGaRa dan Rasa kEadIlan
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 94 h
melainkan terpenuhinya rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat yang harus diutamakan. Kehidupan modern yang penuh kenikmatan bagi sekelompok orang bukanlah sesuatu yang dituju Islam, melainkan kesejahteraan bagi seluruh penduduk. Prinsip ini sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup sebuah negara.
Di sinilah kemampuan kita untuk menemukan sebuah sistem yang menjamin kepentingan rakyat kebanyakan, diatas kepentingan, dalam batas waktu tertentu, kelompok industrialis pemilik modal. Dalam pengertian ini, asas keseimbangan diperlukan agar kesejahteraan orang kebanyakan benarbenar diperhatikan, tanpa mengekang kelompok industrialis maupun pemilik modal untuk berkembang.
Sebenarnya telah banyak percobaan untuk menemukan sistem yang demikian itu, namun semuanya gagal apabila hanya mengandalkan kepada ideologiideologi yang ada yaitu sistem kapitalisme, sosialisme maupun komunisme. Seringkali, koreksikoreksi dilakukan dengan mencampuradukkan beberapa ideologi di dalam sebuah wawasan yang sangat umum. Seperti modifikasi atas ideologi kapitalisme menjadi folks kapitalismus (kapitalisme rakyat), yang mencoba mengoreksi kapitalisme klasik yang hanya mementingkan persaingan bebas, dengan tidak menganggap penting arti rakyat kebanyakan.
Folks kapitalismus mengambil semangat egalitarian dari sosialisme, ini berbeda dari birokrasi komunisme yang banyak mengadopsi dari kapitalisme klasik, paling tidak mengenai caracara berkompetisi. Islampun juga pernah harus melakukan hal yang sama yaitu dengan berani mengambil caracara dari ideologiideologi lain. Puluhan tahun yang lalu, ada gagasan tentang “Sosialisme Islam”1, yang walaupun gagal berkembang namun tetap saja harus dihargai sebagai upaya dinamisasi agama tersebut. Begitu juga dengan pengertianpengertian dasar yang kita terus mengalami perubahan. Dahulu, pengangguran berarti tiadanya pekerjaan bagi seorang warga negara, sekarang orang yang bekerja tapi di bawah 35 jam perminggu sudah dinamai penganggur.
Dengan arti perubahan tersebut, maka pemahaman kita
1 H. Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto adalah tokoh Islam yang merumuskan ide ini pada wal masa pergerakan Indonesia.
g 95 h
mengenai hubungan antara negara dan warganya juga bersifat dinamis. Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran warganya pada taraf tertentu, maka hal itu sudah dianggap menunaikan kewajiban menciptakan kesejahteraan, karena negara mampu melindungi para warganya dengan menjamin taraf kehidupan pada titik tertentu, misalnya, melalui asuransi sosial. Ini berarti penciptaan kemakmuran dan keadilan, yang keduaduanya dijadikan tujuan UUD 1945 sudah ditunaikan dengan baik, meski ada sejumlah warga negara yang berkerja di bawah 35 jam. Nah, kalau ini berhasil diwujudkan oleh sebuah masyarakat Islam, berarti pula Islam telah berhasil mensejahterakan warga negara tanpa menjadi sebuah sistem formal. Sangat kompleks memang, tapi cukup berharga untuk direnungkan, bukan? h
Islam, nEGaRa dan Rasa kEadIlan
g 96 h
Sebenarnya, terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan dan konsep negara dalam pandangan Islam. Penulis pernah mengemukakan sebuah sumber tertulis
(dalil naqli) dalam pandangan Islam. Adagium itu adalah “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah). Di sini tampak jelas, arti seorang pemimpin bagi Islam, ia adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakan perintahperintah Islam dan pencegah laranganlaranganNya (amar ma’rûf nahi munkar). Karenanya, pemimpin dilengkapi dengan kekuasaan efektif, yang jelas kekuasaan efektif inilah yang oleh Munas Ulama tahun 1957 di Medan, dinyatakan sebagai “wewenang kekuasaan efektif “ (syaukah).
Karena itulah, Munas tersebut mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah “penguasa pemerintahan untuk sementara, dengan kekuasaan efektif (walîyyu al-amri li dha-rûri bi al-syaukah).” Maksud dari kata “untuk sementara”, karena ia adalah pengganti Imam yang dalam hal ini Kepala Pemerintahan. Namun wewenang yang dimilikinya sebagai pengganti Imam tidak berdasarkan sumber tertulis (dalil naqli), melainkan karena pertimbangan rasional (dalil aqli), yang tidak mengurangi keabsahan kekuasaan itu sendiri. Kemudian kata “sementara”, artinya sebelum datangnya hari kiamat. Keputusan Munas di atas, dinyatakan berlaku bagi semua Presiden Republik Indonesia, namun oleh mereka yang “dibius” oleh konsep Negara Islam, dinyatakan hanya berlaku untuk Kepresidenan Bung Karno saja.
negara dan kepemimpinan dalam Islam
g 97 h
Karena itu diandaikan, di dalam bukan negara Islam tidak ada konsep Islam tentang kepemimpinan, dan dengan demikian konsep itu tidak memiliki keabsahan dalam pandangan Islam. Ternyata setelah berjalan puluhan tahun lamanya, kini kita mengetahui kenyataan sebenarnya, yaitu bahwa kelangkaan konsep Islam tentang negara, tidak berarti agama tersebut tidak memiliki pandangan tentang kepemimpinan. Pandangan ini melihat kepemimpinan menurut Islam berlaku untuk kepemimpinan negara (kepemimpinan formal) maupun kepemimpinan dalam masyarakat (kepemimpinan nonformal). Dalam tulisan ini akan ditinjau orientasi minimalnya, karena halhal lain diserahkan kepada akal kita untuk merumuskannya.
eg
Dalam pandangan Islam: “orientasi seorang pemimpinan terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin”. Ini berarti, Islam tidak membedabedakan antara kepemimpinan negara dengan kepemimpinan masyarakat, juga mengenai bentuk dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenegaraan atau kemasyarakatan yang melatarbelakangi kepemimpinan itu, apakah itu imperium dunia, republik negara bangsa atau negara kota. Maka dari itu, siasia juga jika kita kaitkan langsung kepemimpinan di “Negara Islam” yang ada dengan proses demokratisasi. Karenanya, kita lihat sekarang ini kepemimpinan dalam “Negara Islam”ada yang bersifat otoriter atau demokratis, dengan sistem pemerintahan Raja atau Amir, kepemimpinan ulama maupun kepemimpinan para sesepuh masyarakat (community leaders). Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahteraan langsung pada masyarakat, selama itu pula kepemimpinan yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan umat Islam.
Namun di sinilah kita sering terjebak, yaitu dalam anggapan kesejahteraan di atas hanya menyangkut kenyataankenyataan lahiriah dan angka statistik belaka, seperti kepemilikan benda, usia hidup ratarata dan sebagainya. Sering dilupakan, masalah kesejahteraan juga menyangkut kemerdekaan berbicara dan berpendapat, kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di hadapan undangundang. Halhal itu nantinya akan menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan rakyat dalam menentukan bentuk negara yang mereka ingini dan
nEGaRa dan kEPEmImPInan dalam Islam
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 98 h
beberapa aspek kehidupan agar tercipta rasa keadilan. Proses peralihan (transisi) kepemimpinan dunia, negara
dan masyarakat seperti kita lihat dewasa ini, masih menimbulkan keresahan. Keresahan ini seperti yang menghinggapi negara dengan mayoritas warganya yang beragama Islam, akibat dari gagalnya upayaupaya terorisme dengan mengatasnamakan Islam yang terjadi di manamana. Seharusnya, para pakar masyarakat muslim di seluruh dunia, harus mensosialisasikan pengenalan dan identifikasi sebab-sebab utama munculnya terorisme itu. Dan bukannya diselesaikan dengan penyerangan dan pengeboman seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak. Pengeboman itu sendiri secara tidak jujur dikemukakan Presiden Amerika Serikat (AS) Geogre W. Bush Jr. sebagai upaya menurunkan diktaktor Saddam Husein dari jabatan kepresidenan di Irak. Padahal, pertimbanganpertimbangan geopolitik internasional yang membuat Amerika mengambil tindakan terhadap Irak. Yaitu, karena Saudi Arabia telah “menyimpang” dari politik luar negeri AS, padahal ia adalah penghasil minyak bumi (BBM) nomor satu di dunia, maka harus dicarikan kekuatan pengimbang terhadapnya. Pilihan itu jatuh kepada Irak, karena ia adalah penghasil minyak bumi kedua terbesar saat ini. Karena Irak di bawah kepresidenan Saddam tidak akan mungkin mengikuti politik luar negeri AS maka ia harus diganti secepatnya. Kalau Saddam dianggap sebagai “kekuatan jahat” (evil force), mengapakah hal itu tidak dikenakan atas para pemimpin Saudi Arabia? Negara yang telah menghukum mati sekitar dua ribu orang yang dianggap “kaum oposan”? Standar moral ganda (double morality) seperti inilah yang digunakan para pemimpin seperti Bush saat ini, yang membuat istilah “politik” dicitrakan sangat buruk. Padahal oleh mendiang Presiden AS John F. Kennedy, politik sebagai “karya termulya”, karena menyangkut kesejahteraan (lahir dan batin) rakyat.
eg
Kembali pada kepemimpinan Islam. Dalam Islam kepemimpinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan orang banyak. Sebuah adagium terkenal dari hukum Islam adalah “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf
g 99 h
al-imâm ‘alâ al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jelaslah dengan demikian kepemimpinan yang tidak berorientasi kepada hal itu, melainkan hanya sibuk dengan mengurusi kelangsungan kekuasaan saja, bertentangan dengan pandangan Islam. Karenanya, dalam menilai kepemimpinan dalam sebuah gerakan, selalu diutamakan pembicaraan mengenai kesejahteraan itu, yang dalam bahasa Arab dinamakan al-mashlahah al-âmmah (secara harfiyah, dalam bahasa Indonesia berarti: kepentingan umum).
Selain itu, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku) tentang bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilihan dalam kongres atau muktamar, tetapi masih tampak betapa kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang itu membentuk kehidupannya sesuai dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika pemimpin berdasarkan garis keturunan itu tidak memahami tugas dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasaan dan kemudahankemudahan yang diperolehnya, maka akan menjadi lemahlah kepemimpinan tersebut. Apalagi jika kepemimpinan itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang takut kepada tekanantekanan dari luar dirinya. Memang kedengarannya mudah mengembangkan kepemimpinan dalam kehidupan, tetapi sebenarnya sulit juga, bukan? h
nEGaRa dan kEPEmImPInan dalam Islam
g 100 h
Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam (NI), yang dikembangkan oleh beberapa partai politik
yang menggunakan nama tersebut?1 Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang tepat atasnya. Ini berarti, keingintahuan akan hubungan NU dan keadaan bernegara yang kita jalani sekarang ini dipersoalkan orang. Dengan kata lain, pendapat NU sekarang bukan hanya menjadi masalah intern organisasi yang didirikan tahun 1926 itu saja, melainkan sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum bangsa kita. Dengan berupaya menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin menjadi bagian dari proses berpikir bangsa ini yang sangat luas. Sebuah keinginan yang pantaspantas saja dimiliki seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI.
1 Historisitas kemunculan Darul Islam sebagai sebuah gerakan politik di Indonesia tidak terlepas dari konstalasi sosiopolitik di Indonesia sekitar tahun 19491962. Dengan menggunakan legitimasi agama (Islam), DI dengan didukung tentaratentara yang dikenal dengan sebutan TII/ Tentara Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai gerakan yang mengarah pada upaya menggantikan sistem politik Republik Indonesia yang mendasarkan ideologinya pada Pancasila dengan Negara Islam. Islam politik yang dikedepankan DI secara tidak langsung menggambarkan proses relasi antara Islam dan politik yang integral. Artinya, Islam dihadapan DI dipandang mengamanatkan pembentukan Negara Islam. Berdasarkan pandangan itu, pada 7 Agustus 1949 M (12 Syawal 1368 H), Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia atau alDaulah alIslamiyah di sebuah desa bernama Gunung Cupu, Tasikmalaya Jawa Barat.
nu dan negara Islam (1)
g 101 h
Dalam sebuah tesis Magister –yang dibuatnya beberapa tahun yang lalu, Pendeta Einar Martahan Sitompul2, yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab sebuah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi tersebut dinamai bahts al-masâ’il (pembahasan masalah)3. Salah sebuah masalah yang diajukan kepada muktamar tersebut berbunyi: wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal diperintah orangorang nonmuslim? Muktamar yang dihadiri oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam. Sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul “Bughyah al-Mustarsyidîn”.4
Jawabaan di atas seolah memperkuat pandangan Ibn Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, hukum agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya “pimpinan berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan
2 Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasila : Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas, (Jakarta: Sinar Harapan 1989). Buku ini diberi Kata Pengantar oleh KH. Abdurrahman Wahid.
3 Forum ilmiah yang beranggotakan para ulama berkeahlian khusus yang bertugas membahas masalahmasalah waqi’iyyah (aktual) dengan mendasarkan pada al-kutub al-mu’tabarah. Forum ini juga banyak dijumpai di pesantrenpesantren dengan beranggotakan santrisantri senior sebagai ajang penguasaan terhadap referensireferensi klasik.
4 Nama lengkap kitab ini adalah “Bughyatul Mustarsyidin Fi Talhis Fa-tawa Ba’dli al-A’immah al-Muta’akhirin” yang disusun oleh AsSayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar yang dikenal dengan sebutan Ba’alawy. Kitab ini dicetak bersama dengan dua kitab yaitu Itsmidul Ainain dan Ghayah Talkhis al-Murad. Keberadaan Kitab Bughyatul Mustarsyidin yang di pesantren cukup disebut dengan Bughyah ini sangatlah berarti dalam diskursus pesantren, karena hampir dipastikan kitab ini selalu muncul dalam kajiankajian permasalahan aktual meski sebenarnya kitab ini merupakan kompilasi dari fatwafatwa para ulama Hadramaut, Yaman.
nu dan nEGaRa Islam (1)
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 102 h
berbilang yang khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah diperkirakan oleh kitab suci al-Qurân dengan firman Allah; “Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis lakilaki dan perempuan dan Kujadikan kalian berbangsabangsa dan bersukusuku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal (innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS alHujurat [49]:13). Firman Allah ini juga yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah kalian (eraterat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah terbelahbelah/saling bertentangan (wa’tashimû bi ha-bli Allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS aliImran [3]:103).
eg
Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara Hindia Belanda (Indonesia) dalam pandangan Islam. Menurut pendapat organisasi tersebut tidak perlu NI didirikan. Dalam hal ini, diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidak-nya didirikan sebuah NI.
Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh NU dan banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini disebabkan oleh heterogenitas sangat tinggi di antara warga negara Indonesia, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai tanggungjawab tiap kaum muslim untuk melaksanakan Syari’ah Islam.
Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; “Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Kusempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmatKu dan Kurelakan Islam “sebagai” agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al-Islâma dînan)” (QS alMaidah [5]:3). Jelaslah dengan demikian, Islam tidak harus mendirikan negara agama, melainkan ia berbi
g 103 h
cara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara. Demikian pula, firman Allah; “Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan (udkhulû fî al-silmi kâffah)” (QS alBaqarah (2): 208). Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaranajaran kehidupan yang tidak terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah prinsipprinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melanggar prinsipprinsip tersebut. Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (al-Islâm shalihun likulli zamânin wa makânin).
Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan Kitab Suci; “Orang yang tidak ‘mengeluarkan’ fatwa hukum (se-suai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir –atau dalam variasi lain dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq- (wa man lam yahkum bimâ anzala Allâhu faulâika hum al kâfirûn)” (QS alMaidah [5]:44).5 Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan NI, karena hukum Islam tidak bergantung pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at juga tidak karena undangundang negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh syari’at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang kepada Islam dan dengan sendirinya melaksanakan syari’at Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah negara agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah Nabi Muhammad Saw wafat.
5 Pandangan fundamentalisme ini didasarkan pada beberapa ayat alQuran yang memerintahkan tentang pemberian putusan. Sebagaimana difirmankan Tuhan dalam Q.S. alMaidah, (5): 44, 45 dan 47. Ayatayat itu dengan tegas memberikan penilain yang negatif, terutama kepada mereka yang tidak melaksanakan perintah. Tak hanya itu, golongan yang mendapat celaan Tuhan itu pun dikategorikan kafir, zalim dan fasik. Kaum fundamentalis memahami ketiga ayat itu secara atomistik. Atomisme yang mereka lakukan tidak hanya mengisolasi ayat dari konteksnya, tapi juga memahami frasa terakhir dari ayatayat itu dari frasafrasa sebelumnya. Padahal, konteks ketiga ayat itu sebenarnya menyebutkan bahwa subyek yang dikritik sehingga menjadi kafir, zalim dan fasik adalah kaum Yahudi dan Kristen yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa atau hukum yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, pihak yang mendapat kritik sebagaimana terkandung dalam ayatayat itu bukan umat Islam pengikut Nabi Muhammad.
nu dan nEGaRa Islam (1)
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 104 h
eg
Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuangkan Indonesia menjadi NII, Negara Islam Indonesia. Kemajemukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaranajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang “berakal sehat” tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau hal itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.
Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, tentang kebolehan Imam berbilang yang berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu mengapakah fatwafatwa beliau tidak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU itu? Karena, pandangan beliau dirujuk oleh wangsa yang berkuasa di Saudi Arabia bersamasama dengan ajaranajaran Madzhab Hambali (disebutkan juga dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang secara de facto melarang orang bermadzhab lain. Kenyataan ini tentu saja membuat orangorang NU bersikap reaktif terhadap madzhab tersebut. Tentu saja hal itu secara resmi tidak dilakukan, karena sikap Saudi Arabia terhadap madzhabmadzhab nonHambali juga tidak bersifat formal. Dengan kata lain, pertentangan pendapat antara “pandangan kaum Wahabi” yang secara de facto demikian keras terhadap madzhabmadzhab lain itu, melahirkan reaksi yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah contoh dari sikap keras yang menimbulkan sikap yang sama dari “pihak seberang”.
Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau mengalah itu membuat gagasan membentuk NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak nonmuslim ataupun pihak kaum muslimin nominal (kaum abangan), berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam
g 105 h
itu. Jadi gagasan yang semula tampak indah itu, pada akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga negara Indonesia, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan sejarah. Kalaupun toh dipaksakan –sekali lagi untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di negara kita tahuntahun 50an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali dalam sejarah modern bangsa kita. h
nu dan nEGaRa Islam (1)
g 106 h
Ketika berada di Makassar pada minggu ke tiga bulan Februari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio televisi kawasan tersebut, yang direlay oleh studiostu
dio TVRI seluruh Indonesia Timur. Penulis memulai wawancara itu dengan menyatakan, menyadari sepenuhnya bahwa masih cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam (NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar1 yang dinyatakan meninggal dalam paruh kedua tahun 60an ternyata masih besar. Karenanya, penulis menyatakan dalam wawancara tersebut, pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang pembentukan NI di Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan, bahwa ia menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi ia juga tidak memusuhi orangorang yang berpikiran seperti itu.
Dalam dialog interaktif yang terjadi setelah itu, penulis dihujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada yang menyatakan, penulis adalah diktator karena tidak menyetujui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya menganggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara terbuka di muka umum tentang gagasan tersebut, itu sudah berarti saya bukan diktator. Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak adanya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan tidak boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog
1 Kahar Muzakkar (19211965) adalah pemimpin pemberontak DII/TII di Sulawesi Selatan. Namanya menjadi inspirasi bagi gerakan tuntutan penerapan Syariat Islam yang diusung Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan yang dipimpin anaknya Aziz Kahar.
nu dan negara Islam (2)
g 107 h
interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus dipikirkan, seperti pengaruhnya bagi berbagai kawasan dunia Islam lainnya dan juga kadar pengetahuan agama Islam yang rendah.
Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, digabungkan dengan rasa kekhawatiran sangat besar lembaga/institusi keIslaman melihat tantangan modernisasi, membuat mereka melihat bahaya di manamana terhadap Islam. Proses pemahaman keadaan seperti itu, yang terlalu menekankan pada aspek kelembagaan/institusional Islam belaka, dapat dinamakan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum muslimin. Pihakpihak lain yang nonmuslim juga mengalami pendangkalan seperti itu, dan juga memberikan responsi yang salah terhadap tantangan keadaan. Kalau kita melihat pada budaya/kultur kaum muslimin dimanamana, sebenarnya kekhawatiran demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan mereka. Cara hidup, membaca al-Qurân dan Hadist, main rebana, tahlil, berbagai bentuk “seni Islam” dan lainlainnya, justru mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang besar, dalam diri kaum muslimin.
Salah seorang penanya dalam dialog interaktif itu mengutip al-Qurân “Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir (wa man lam yahkum bimâ anzala Allâh fa’ulâika hum al-kâ-firûn)” (QS alMaidah [5]:44). Lalu bagaimana mungkin kita menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawab penulis, karena ada masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita agar melaksanakan hukum Allah. Jika negara yang melakukan itu, maka dapat saja lembaga bikinan manusia ini ditinggalkan. Jadi, untuk memelihara pluralitas bangsa, tidak ada kewajiban mendirikan NI atau menentang mereka yang menentang adanya gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenarnya jadi pandangan Islam dalam soal wajib tidaknya gagasan mendirikan NI.
Netralitas ini sangat penting untuk dijunjung tinggi, karena hanya dengan demikian sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat didirikan. Dengan berdirinya NII, maka pihak minoritas baik minoritas agama maupun minoritas lainlainnya, tidak mau berada dalam negara ini dan menjadi bagian dari negara tersebut. Dengan demikian, yang dinamakan Republik
nu dan nEGaRa Islam (2)
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 108 h
Indonesia tidak dapat diwujudkan, karena ketidaksediaan tersebut. Akhirnya, Indonesia akan tidak terwujud sebagai kesatuan, karena ada negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku dan lainlainnya, berada di luar susunan kenegaraan NKRI, karena berdasarkan agama mayoritas penduduknya itu.
Karenanya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk menghilangkan Piagam Jakarta2 dari Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputusan itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad�, yang dikeluarkan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang sangat mendasar, dengan menyatakan bahwa mempertahankan wilayah Republik Indonesia adalah kewajiban agama bagi kaum muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk mendirikan Markas Besar Oelama Djawa–Timoer (MBODT) di Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari kegiatan bermacammacam untuk mempertahankan Republik Indonesia, yang notabene bukanlah sebuah NI. Diteruskan dengan perang gerilya melawan tentara pendudukan Belanda di tahuntahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan pesantrenpesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga tercapainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 1950.
eg
2 Tujuh kata Piagam Jakarta yang dibuang oleh sidang PPKI itu adalah “Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’ah Islam bagi para pemeluk-pemeluknya.”
3 Resolusi Jihad digagas oleh KH. Hasyim Asy’ari yang ketika itu menjabat sebagai Rais Akbar Nahdlatul Oelama. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan perlawanan semesta kepada penjajah Belanda yang dibackingi antara lain oleh tentara Inggris. Resolusi Jihad dikeluarkan pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad inilah yang memberikan dorongan dan inspirasi bagi Bung Tomo sebagai pemimpin perjuangan untuk melakukan perlawanan semesta kepada penjajah di Surabaya. Itu pula yang kemudian melahirkan Peristiwa 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan dan Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan.
g 109 h
Perkembangan sejarah setelah itu menunjukkan bahwa agama Islam tidak berkurang perannya dalam kehidupan bangsa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam Dewan Konstituante di tahun 19561959. Demikian juga beberapa kali pemberontakan bersenjata terhadap NKRI dapat digagalkan seperti DITII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kiprah yang dilakukan oleh AlAzhar di Kairo.
Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah memiliki jumlah terbesar kaum muslimin. Ini berbeda dari bangsabangsa lain, Indonesia justru memiliki jumlah yang sangat besar kaum “muslimin statistik” atau lebih dikenal dengan sebutan “muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang taat beragama dengan nama “kaum santri” masih merupakan minoritas. Karena itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin memaksakan NI atas diri mereka.
Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci al-Qurân yang di sebutkan di atas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegakkan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Dalam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (reinterprensi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian orangorang nonmuslim. Sebuah diktum mengemukakan, “Barang siapa menyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka (man ta-syâbbaha bi qaumin fahuwa min hum).”4 Tetapi sekarang, tidak ada lagi persoalan tentang hal itu karena esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.
Karena itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
4 Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar dan juga Imam Ahmad dalam musnadnya. Sedangkan Tirmidzi dalam bab al-Isti’dzan meriwayatkan dengan redaksi “Laisa minna man ta-syabbaha bighairina wala tasyabbahu bil yahud wala bi an-nashara (Bukan termasuk golonganku orang yang menyerupai sebuah komunitas selain kami, janganlah kalian berlaku seperti Yahudi dan Nasrani).” Di akhir hadis ini Imam Tirmidzi memberikan komentar pendek tentang nilai hadis ini yang sebenarnya dlaif.
nu dan nEGaRa Islam (2)
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 110 h
(PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum muslim menegakkan ajaranajaran agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demikian, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita. h
g 111 h
Pada suatu pagi selepas olahraga jalanjalan, penulis diminta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah
Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktifis NU dan PKB dan sekelompok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesempatan itu, penulis mengemukakan pentingnya memahami arti yang benar tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar, maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekerasan/terorisme dan tidak memperhatikan suarasuara moderat. Padahal, justru Islamlah pembawa pesanpesan persaudaraan abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.
Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata al-Qurân, Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn) (QS alAnbiya [21]:107), dengan kata “rahmah” diambilkan dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamîn” di sini berarti manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).
Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemu
Islam: Perjuangan Etis ataukah Ideologis?
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 112 h
kakan bahwa kitab suci al-Qurân menggunakan istilah-istilah paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk menyatakan halhal yang paling dalam dari keyakinan manusia. Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orangorang yang merugi (perniagaannya) (wa huwa fi al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Begitu juga ayat lain, “menghutangi Allah dengan hutang yang baik (yuqridhullâha qard-han hasanan)” (QS alBaqarah [2]:245), serta ayat “barang siapa menginginkan panen di akhirat, akan Kutambahi panenannya (man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati nazid lahû fi hartsihi)” (QS al-Syûra [42]:20).
eg
Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar antara orangorang kaya saja di lingkungan anda semua (kailâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’i min-kum)” (QS alHasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap oleh alQuran adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu sendiri.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, bentuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari sukusuku kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin dengan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diteruskan dengan sistem para pemilih (ahl al-halli wa al-aqdi) baik langsung maupun tidak, diteruskan dengan sistem kerajaan atau keturunan di satu sisi dan kepala negara atau kepala pemerintahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta memimpin melalui coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiadanya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pandangan Islam.
Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara
g 113 h
yang akan dibentuk. Di zaman Nabi Saw, negara meliputi satu wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diteruskan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemudian Dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah kerajaankerajaan lokal dari Dinasti Murabbitîn1 di barat Afrika hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; model negarabangsa (nation state) dan negara kota (city state). Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut dirinya negarabangsa, seperti Kuwait dan Qatar.
eg
Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’ atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat (ummah) dalam pengertian ini. Sidney Jones2 mengupas peru
1 Kerajaan Murabbitin didirikan 1056 M di Morroco oleh Dinasti Berber dari Sahara. Pada masa Dinasti Moor, kekuasaan kerajaan ini meluas dari Mauritania, Gibraltar, Aljazair, Senegal dan Mali, hingga ke daratan Eropa yaitu Spanyol dan Portugal.
2 Sidney Jones adalah Direktur International Crisis Group (ICG) yang banyak melakukan riset di Indonesia terutama tentang tumbuhnya gerakan Islam radikal meski terkadang risetnya terkesan generalisasi terhadap kasuskasus gerakangerakan Islam di Indonesia. Tidak banyak yang mengetahui sepak terjang wanita yang lahir 31 Mei 1952 pada era Orde Baru. Sebab, Sidney Jones baru dikenal oleh publik Indonesia pada tahun 2002 melalui artikelnya yang berjudul “Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of the “Ngruki Network” in Indonesia.” Sebelumnya, wanita ini memang pernah sangat akrab dengan Indonesia ketika menjadi aktivis LSM terkemuka seperti Ford Foundation (19771984), Amnesty International (19841988), Direktur Divisi Asia Human Rights Watch (19892002). Sekitar 20 tahun lebih, Sidney mengenal Indonesia. Sebagai peneliti yang banyak “asam garam” dengan Orde Baru, Sidney telah mampu merekam apa saja yang terjadi selama 20 tahun yang terkait dengan berbagai isu seputar Tapol, Pelanggaran HAM, dan isuisu lain yang merupakan “makanan” kelompok LSM. Sedang International Crisis Group (ICG)
merupakan sebuah organisasi nonprofit yang melakukan riset lapangan dan advokasi tingkat tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya. Organisasi ini bersifat multinasional dan independen dengan mempekerjakan lebih dari 90 staff di beberapa perwakilan di hampir 30 negara dengan kantor pusat di Belgia serta kantorkantor advokasi tersebar di Washington DC, New York, Moscow dan Paris serta kantor urusan media di London.
Islam: PERjuanGan EtIs ataukaH IdEoloGIs?
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 114 h
bahan arti kata "umat Islam" dalam berbagai masa di Indonesia, yang diterbitkan di jurnal Indonesia Universitas Cornell di Ithaca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya para pengikut gerakangerakan Islam di sini belaka.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pandangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan ada pandangan agama tersebut tentang masyarakat. Ini semua, akan membawa konsekuensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal ideologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku untuk para warga gerakangerakan Islam saja. Jadi negara dapat saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyantuni hakhak semua warga negara di hadapan UndangUndang Dasar (UUD), baik mereka muslim maupun nonmuslim.
Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan mengajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, warga negara nonmuslim akan menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun dalam kenyatan praktis. Padahal Republik Indonesia tanpa meng
ICG pada saat ini mengoperasikan tiga belas kantor cabang (Amman, Belgrade, Bogota, Cairo, Freetown, Islamabad, Jakarta, Kathmandu, Nairobi, Osh, Pristina, Sarajevo dan Tbilisi) dengan para analis yang bekerja di lebih dari 30 negara dan daerah krisis di empat benua. Di Afrika, negaranegara tersebut meliputi Burundi, Rwanda, Republik Demokratik Congo, Sierra Leone-Liberia-Guinea, Ethiopia, Eritrea, Somalia, Sudan, Uganda dan Zimbabwe; di Asia, Indonesia, Myanmar, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Afghanistan dan Kashmir; di Eropa, Albania, Bosnia, Georgia, Kosovo, Macedonia, Montenegro, dan Serbia; di Timur Tengah, seluruh bagian Afrika Utara sampai ke Iran; dan di Amerika Latin, Colombia.
ICG mendapatkan dukungan dana dari pemerintah, yayasan amal, perusahaan dan donor individual. Negaranegara yang pada saat ini turut menyediakan dana antara lain: Australia, Austria, Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss, Republik Rakyat Cina (Taiwan), Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Sumbangan dari yayasan dan donor swasta meliputi Atlantic Philanthropies, Carnegie Corporation of New York, Ford Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, William & Flora Hewlett Foundation, Henry Luce Foundation, John D. & Catherine T. Mac Arthur Foundation, John Merck Fund, Charles Stewart Mott Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Sigrid Rausing Trust, Sasakawa Peace Foundation, Sarlo Foundation of the Jewish Community Endowment Fund, the United States Institute of Peace dan The Fundacao Oriente.
g 115 h
gunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidupnya, berhasil menghilangkan kesenjangan itu. Dengan demikian, terjadilah proses alami kaum muslimin memperjuangkan 'ideologi masyarakat' yang mereka ingini melalui penegakkan etika Islam, bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional? h
Islam: PERjuanGan EtIs ataukaH IdEoloGIs?
g 116 h
Judul diatas diilhami oleh jargon populer: “Sebaikbaik persoalan adalah yang berada di tengah (khairu al-umûr aus-âthuha).” Ia juga bisa mencerminkan pandangan agama
Buddha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh penganut agama tersebut. Walaupun demikian, judul itu dimaksudkan untuk mengupas sebuah buku karya tokoh Syi’ah terke-muka Dr. Musa al-Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan” –dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu. Katakanlah sebagai sebuah resensi, yang juga semacam analisa terhadap kecenderungan umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa kita, dan mempengaruhi kehidupan di negeri ini.
Dalam kenyataan hidup seharihari, sikap mencari jalan tengah ini, akhirnya berujung pada sikap mencari jalan sendiri di tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, terlebih dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah jalan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami masalah tersebut dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “jalan tengah” sebagai sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian.
Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang “independen” dari bangsabangsa lain, merupakan sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpamanya menggangap kerajaan Majapahit memiliki angkatan laut yang kuat dan menguasai kawasan antara Pulau Madagaskar di lautan Hindia/Samudra Indonesia di Barat dan Pulau Tahiti di tengah-tengah Lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan Majapahit hanyalah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang menguasai kawasan perairan tersebut selama berabadabad.
Yang terbaik Berada di tengah
g 117 h
Kita tentu tidak senang dengan klaim sejarah tersebut karena mengartikan kita lemah di hadapan Tiongkok. Tetapi kenyataan sejarah berbunyi lain, Australia, misalnya, yang menjadi dominion Inggris, secara hukum dan tata negara, memiliki indenpendensi sendiri terlepas dari negara induk.
eg
Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan penyimpanganpenyimpangan. seperti itu Umpamanya saja, seperti ditunjukkan oleh Oswald Spengler dalam “Die Untergang des Abendlandes” (The Decline of The West). Dalam buku itu digambarkan, ternyata kejayaan peradaban Barat dalam abad ke 20 ini mulai mengalami keruntuhan (Untergang). Filosof Spanyol kenamaan, Ortega Y Gasset, juga menunjuk kepada tantangan dari massa rakyat kebanyakan dalam peradaban modern ini terhadap karyakarya dan produk kaum elit, seperti tertuang dalam bukunya yang sangat terkenal “Rebellion of the Masses” (Pemberontakan Rakyat Kebanyakan).
Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Arnold Jacob Toynbee dalam karya momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, A Study of History. Toynbee mengemukakan sebuah mekanisme sejarah dalam peradaban manusia, yaitu tantangan (challenges) dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat, seperti tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya, kalau tantangan dapat diatasi dengan kreatifitas, seperti tantang-an banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemudian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk masa selanjutnya, maka akan melahirkan peradaban tepi sungai yang sangat besar, seperti di tepian Nil, Tigris, Euphrat, Gangga, Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi dan Brantas. Lahirnya pusatpusat peradaban dunia di tepian sungaisungai itu, merupakan bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.
Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, penulis buku Aera Eropa ia menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusiaan Umum pertama, Eerste Algemeene Menselijk Patron). PKU I itu, menurut karya Romein tersebut memperlihatkan diri dalam tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaan
yanG tERbaIk ada dI tEnGaH
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
g 118 h
kerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi kuat di bawah kekuasaan raja, yang moralitasnya sama di manamana. Pada abad ke6 sebelum masehi, terjadi krisis moral besarbesaran yang disusul dengan munculnya namanama Lao Tze dan Konghucu di China, Budha Gautama di India, Zarathustra di Persia dan Akhnaton di Mesir. Para moralis hebat ini mengembalikan dunia kepada tradisionalismenya, dengan memperkuat “keseimbangan”. Sebaliknya, para filosof Yunani Kuno, membuat penyimpangan pertama terhadap PKU I itu, dengan mengemukakan rasionalitas sebagai ukuran perbuatan manusia yang terbaik. Penyimpanganpenyimpangan PKU I ini diikuti oleh penyimpanganpenyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan hukum Romawi (Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Re-naissance (Abad Kebangkitan), Abad Pencerahan (Aufklarung), Abad Industri dan Abad Ideologi. Dengan adanya penyimpangan itu, Eropa memaksa dunia untuk menemukan PKU II (Tweede Algemeene Menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk finalnya.
eg
Nah, kita menolak teokrasi (negara agama) dan sekularisme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila. Kompromi politik yang dikembangkan kemudian (dan sampai sekarang belum juga berhasil) sebagai ideologi bangsa, menolak dominasi agama maupun kekuasaan anti agama dalam kehidupan bernegara. Karena sekularisme dipandang sebagai penolakan kepada agama dan bukannya sebagai pemisahan agama dari negara, maka kita merasakan perlunya mempercayai Pancasila yang menggabungkan Sila Pertama (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), dan silasila lain yang oleh banyak penulis dianggap sebagai penolakan atas agama.
Buku yang ditinjau penulis ini, sebenarnya adalah upaya dari jenis yang berupaya menyatukan “kebenaran agama” dan ilmu pengetahuan sekuler (dirumuskan sebagai kemerdekaan berpikir oleh pengarangnya). Jelas yang dituju adalah sebuah sintesa baru yang terbaik bagi kita, dari dua hal yang saling bertentangan. Apakah ini merupakan sesuatu yang berharga, ataukah hanya berujung kepada sebuah masyarakat (dan negara) “yang bukanbukan”? h
g 119 h
BAB III ISLAM KEADILAN DAN HAK ASASI MANUSIA
g 121 h
Tulisantulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali
tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negerinegeri muslimlah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti AlMaududi, seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Bahkan, baginya hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan Allah Swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah Swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan adanya hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakantindakan manusia? AlMaududi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.
Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan, yang kemudian melahirkan Pakistan, tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Jenderal Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah me
Islam dan Hak asasi manusia
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 122 h
menangkan kepresidenan Pakistan melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhantuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orangorang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?
eg
Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifi-kasi atas Deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Padahal fiqh/hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (aposta-sy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di hadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak Deklarasi Universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan alMaududi terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/hukum Islam itu sendiri. Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.
Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/hukum Islam, yang secara formal sudah berabadabad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita hanya kepada Allah dan utusanNya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubahubah maka hilanglah keIslaman kita.
g 123 h
eg
Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qurân dan al-Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktekpraktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompokkelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini kepada mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qurân, “Semuanya akan binasa dan yang tetap ha-nya Dzat Tuhanmu (Kullu man ‘alayha fânin. Wa yabqâ wajhu rabbika)” (QS alRahman [55]: 2627) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan ushûl fiqh (Islamic legal theory) “Hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebabsebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman)” jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsipprinsip yang digunakan”. Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obatobat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam memang menjadi agama di setiap masa dan tempat (shalihun li kulli zamân wa makân). Indah bukan, untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup? h
Islam dan Hak asasI manusIa
g 124 h
Dalam dialog dengan para mahasiswa di Samarinda akhir Januari lalu, lagilagi keluar sebuah pertanyaan yang di manamana penulis hadapi, terutama dari kalangan
anak muda. Seorang mahasiswa bertanya; mengapa penulis tak mau menerima sesuatu yang dianggap sebagai pendirian Islam, umpamanya saja mengenai kehadiran “negara Islam”? Nah, jawaban atas pertanyaan itu, penulis kemukakan dalam tulisan ini untuk dipikirkan bersama. Kalau ada argumentasi berbeda, diharapkan disampaikan pada penulis. Bisa jadi itu akan merubah pendirian penulis, atau malah sebaliknya. Ini penting dilakukan, untuk semakin menajamkan argumentasi orang yang pro (menyetujui) atau kontra (menentang) terhadap sebuah gagasan atau pendapat. Ini hal biasa dalam sebuah pertukaran pendapat yang bebas dan terbuka, untuk mencapai kebenaran bagi sebuah persoalan.
Kita memang belum terbiasa dengan hal seperti ini, karena sekian lama kita terpasung dalam menyampaikan pendapat. Mengapa? Karena para penguasa otoriter memaksakan pendapat dan memaksakan “kebenaran” miliknya sendiri. Karena kalau pintu perdebatan dibuka, salahsalah akan ada argumentasi yang menyangkal “kebenaran” yang dikemukakan rezim tersebut. Apalagi, kalau kontra argumentasi itu dikemukakan dalam bentuk pertanyaan. Kalau tidak dapat menjawab, maka sang penguasa itu akan kehilangan pendapat, sesuatu yang tidak diinginkan. Bukankah filosof Yunani kuno, Plato, pernah menyata-kan, sebuah pertanyaan berarti separuh kebenaran. Ketakutan akan lemahnya argumentasi sendiri, menyebabkan seseorang tidak memperkenankan adanya pertukaran argumentasi, yang menjadi dasar sebuah perdebatan terbuka dan saling tukar penda
Penafsiran kembali “kebenaran Relatif”
g 125 h
pat. Karenanya sejarah telah mencatat, seorang penguasa otoriter tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat. Lain halnya dengan agama yang memiliki “kebenaran moral”, yang tetap akan ada walaupun terjadi penyanggahan. Kitab suci al-Qurân menyatakan; “Kalau para hamba-Ku bertanya tentang diriKu, maka sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) memenuhi permintaan orang yang berdo’a jika (diajukan) kepada-Ku (wa idzâ sa’alaka ‘ibâdî ‘annî fa-innî qarîbun ujîbu da’wata al-dâ’i idzâ da’âni)” (QS alBaqarah [2]:186).
Prinsip di atas, perlu dikemukakan di sini, karena hanya melalui dialog yang bebas dan terbuka, dapat dicapai kebenaran akhir yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan wajar. Inilah arti penting dari sikap jujur, untuk mempertahankan kebenaran, berpikir, berpendapat dan menyatakan pendapat. Ini pula yang merupakan ciri berlangsungnya kehidupan demokratis, tidak seperti di beberapa negara tetangga kita. Mereka mengajukan klaim sebagai negara demokratis, namun dengan alasan keamanan internal, diberlakukan kekangan/hambatan psikologis agar tidak menyatakan pendapat secara bebas. Dengan kata lain, yang berlaku di tempattempat itu adalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi sesungguhnya. Kalau ditambahkan embel-em-bel kata lain pada istilah demokrasi, seperti demokrasi rakyat dan demokrasi Islam, maka pada akhirnya demokrasi itu sendiri akan mati dan tidak muncul ke permukaan.
eg
Kembali pada pertanyaan mahasiswa di atas, mengapa ada “ajaran Islam” yang ditolak? Penulis dapat menjawab bahwa tidak pernah menolak “ajaran Islam yang baku”, seperti tauhid dan sebagainya. Namun, penulis hanya menyanggah pendapat yang oleh banyak orang dianggap sebagai “ajaran tetap” dalam agama Islam. Padahal, ajaran itu telah berubah melalui perubahan zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara tertentu itu, adalah penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh kaum muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai kebenaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah dengan adanya penafsiran ulang itu.
Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah penafsiran ulang atas ucapan Rasulullah Saw: “Maka Aku (akan) membang
PEnaFsIRan kEmbalI “kEbEnaRan RElatIF”
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 126 h
gakan kalian (di hadapan) umatumat (lain) pada hari kiamat (fa innî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah).” Dalam penafsiran lama, kaum muslimin mengartikan kebanggaan beliau itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga merekapun berbanyakbanyak anak. Tafsiran ulang yang baru, yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: kebanggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat dan waktu (Shalihun li kulli zamânin wa makânin).
Dengan demikian, apa yang tadinya dianggap sebagai “kebenaran” lalu dianggap oleh sebagaian kaum muslimin sendiri, pada masa kini, sebagai “kebenaran relatif” yang perlu diberi tafsiran baru. Contoh di atas adalah sebuah kenyataan empirik yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.
Sebuah tafsir ulang lain yang dapat dikemukakan di sini, adalah melaksanakan sumpah setia ketika berjanji; “Orangorang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âahadû)” (QS alBaqarah [2]:176), sebuah ungkapan firman Allah yang tadinya dianggap janji secara umum saja. Tafsir ulang atas istilah tersebut, dapat diartikan dengan pengertian baru “menjunjung ting gi profesionalisme”. Bukankah janji tertinggi dari seseorang, disampaikan ketika ia mengucapkan sumpah/prasetia jabatan? Bukankah dengan demikian, berarti Islam sangat mengutamakan profesionalisme, dengan segala implikasinya?
eg
Jelaslah dari keterangan di atas, dengan tafsir ulang seperti itu, “kebenaran relatif” Islam dapat ditegakkan secara pasti. Dengan demikian, ada jalinan sangat halus antara keyakinan yang terdapat dalam diri seorang muslim dan data empirik. Hal ini telah terjadi dengan sendirinya, sebagai proses alami yang wajar, dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin. Ini dimungkinkan oleh kenyataan yang terdapat dalam sejarah kaum muslim sendiri, seperti yang kita ketahui dari bacaan selama ini.
Ketentuan ushûl fiqh (teori hukum Islam) berbunyi; bahwa hukum agama (qarâr al-hukmi) terbagi dalam dua jenis;
g 127 h
qath’iyah al-tsubût (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau dalil naqli) dan dhanniyah al-tsubût (hukum tidak berdasarkan sumber tertulis atau dalil aqli). Dengan demikian, sepanjang dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat berlaku berdasarkan pandangan akal dan selama tidak bertentangan dengan sumber-sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits. Pembedaan ini dilakukan dalam teori hukum Islam karena tidak semua hal lalu ada sumbersumber tertulisnya. Bagi kasuskasus yang termasuk dalam kategori ini, maka dibuatlah jenis hukum yang tidak berdasarkan pada sumbersumber tertulis. Termasuk dalam hal ini, fatwa Syekh Yusuf alQaradhawi, bahwa bunga bank yang tidak eksploitatif dan berguna bagi reproduksi barang (termasuk dalam ongkos produksi), tidaklah dapat dianggap riba. Masih banyak penafsiran lain tentang hal ini. Di sinilah sangat terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu al-ummah).” Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.
Sekarang, bila sebuah hukum agama sudah ada dalam sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah al-tsubût), sementara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Lalu ,apakah yang harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita menggunakan sebuah kaidah hukum Islam (qaidah al-fiqh), bahwa keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât).1 Hal ini, umpamanya saja, terlihat pada kasus negara yang sudah meratifikasi Deklarasi Universal tentang HakHak Asasi Manusia (HAM) —(Universal Declaration of Human Rights) yang ditetapkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Deklarasi HAM itu terdapat masalah hak memeluk atau berpindah agama. Ini tentu bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab menurut hukum agama (fiqh) orang yang berpindah agama Islam kepada agama lain, harus dianggap sebagai apostacy (murtad). Kalau hukum ini dilaksanakan, maka lebih dari 25 juta jiwa penduduk Indonesia –yang berpindah dari agama Islam ke agama lain dalam lingkungan negara Republik Indonesia, dapat dijatuhi hukuman mati . h
1 Lihat Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadla’ir fi al-Furu’, hal. 60
PEnaFsIRan kEmbalI “kEbEnaRan RElatIF”
g 128 h
Sejumlah pemimpin partaipartai politik Islam, beberapa tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu
adalah ungkapan al-Qurân “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-ri-jâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ)” (QS AlNisa [4]:34), yang dapat diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung jaab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari ucapan mereka di muka umum. Anggapan bahwa wanita lebih lemah, yang menjadi pendapat dunia Islam pada umumnya selama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.
Untuk melanjutkan anggapan ini digunakan beberapa sumber tekstual (‘adillah naqliyah). Seperti ungkapan “Wanita hanya mempunyai separuh akal lelaki”, dan sumbersumber sejenis. Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci al-Qurân dipakai dalam hal ini, yaitu “Bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua kali bagian wanita (Li al-dzakari mistlu hazzi al-untsayain)” (QS alNisa [4]:11). Padahal kutipan itu hanya mengenai masalah warismewaris saja. Karena itu, dua pandangan di atas, yang selalu menilai rendah wanita, masih umum dipakai orang dalam dunia Islam.
Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah Swt dalam al
Islam dan kepemimpinan Wanita
g 129 h
Qurân. “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan (Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsa),” (QS alHujurat [49]:13) mengisyaratkan persamaan seperti itu. Perbedaan pria dan wanita hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat institusional/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak orang dalam literatur Islam klasik. Akibatnya, masyarakat pun menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri.
Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penulis pernah didatangi seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan negeri tersebut. Ia meminta agar penulis membacakan surat AlFatihah bagi bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Katanya: "Bukankah Rasulullah Saw bersabda Tidak akan pernah sukses sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada wanita?1" Bukankah dengan naiknya Benazir Bhutto menjadi
1 Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual dan apa adanya. Mereka berpendapat, berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang dalam agama. Mereka menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, alKhattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah. Lihat alAsqalani, Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari, Juz. VIII, hal. 128. Demikian pula alSyaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berkata, bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. (Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad alSyaukani, Nail al-Autar, Mesir: Mustafa alBabi alHalabi, t.t., Juz. VII, hal. 298). Para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, alGhazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan lakilaki sebagai kepala negara (Muhammad Yusuf Musa, Nizam al-Hukm fi al-Islam). Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat lakilaki ini bagi kepala negara sebagai mana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada hadis seperti tersebut sebelumnya. (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. III, hal. 315).
Dalam memahami dan mengkaji hadis mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya (sisi historis) yang melingkupi teks tersebut. Sebenarnya jauh sebelum hadis tersebut muncul, yakni pada masa awal dakwah Islam dilakukan oleh Nabi ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Raja Kisra di Persia. Kisah pengiriman surat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Rasulullah Muhammad SAWtelah mengutus ‘Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas di
Islam dan kEPEmImPInan WanIta
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 130 h
Perdana Menteri, nasib Pakistan akan seperti yang disampaikan Rasulullah itu?’’ Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi? Bukankah Nabi Muhammad Saw menunjuk kepada kepemimpinan Abad VII hingga IX Masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (in-dividual leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara justru dilembagakan?
Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui si
lakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobekrobek surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin alMusayyab —setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah SAW— kemudian Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang telah merobekrobek surat saya, akan dirobekrobek (diri dan kerajaan) orang itu” (alAsqalani. Fath al-Bari, hal. 127128). Tidak lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuhmembunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak lakilakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah ‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Za-hab, Beirut: Dar alFikr, 1979, Jilid. I, hal. 13).
Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat diungkap bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan kepala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum lakilaki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H. tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalahmasalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.
g 131 h
dang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan, kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen, juga mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak boleh menyimpang dari UndangUndang Dasar, dengan penjagaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya beranggotakan kaum pria. Kata tamu Pakistan tersebut: "Anda benar, namun saya minta Anda tetap membacakan surat AlFatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan."
Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal: sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabadabad lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama Islam di mata orangorang itu, dalam kenyataan berlawanan dengan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolaholah terjadi perbenturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan, ribuan anakanak perempuan ulama muslimin justru menjadi sarjana S1 hingga S3, karena UUD memungkinkan hal itu. Bukankah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD kita, termasuk dalam pendidikan?
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang warga masyarakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tanpa mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawininya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di muka undangundang? Karenanya, sidang kabinet saat penulis menjadi Presiden telah memutuskan: Tidak diperkenankan adanya peraturan daerah atau produkproduk lain hasil DPRD I atau DPRD II, yang berlawanan dengan UndangUndang Dasar. Dalam hal ini, yang memiliki wewenang untuk menyatakan, apakah sebuah produk DPRD tersebut melanggar UUD atau tidak mestinya adalah Mahkamah Agung. Jika tidak sah, otomatis produk itu tidak berlaku lagi.
Jelaslah, memperjuangkan hakhak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap sabar dan bertindak hatihati dalam hal ini. Tetapi, keadaan ini pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika Serikat (AS) yang dianggap memelihara hakhak wanita dan pria secara berimbang menurut UndangUndang Dasarnya, ternyata dalam praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah dalam sejarah AS ada presiden wanita, walaupun UUDnya tidak
Islam dan kEPEmImPInan WanIta
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 132 h
pernah melarang akan hal itu. Di sini, ternyata terdapat kesenjangan besar antara teori dan praktik dalam sebuah masyarakat paling “maju” sekalipun. h
g 133 h
Charles Torrey dalam disertasi doktornya di Universitas Heidelburg tahun 1880an, mengemukakan bahwa alQurân mempunyai keistimewaan, berupa penggunaan
istilahistilah profesi untuk menyatakan keyakinan agama. Disebutkannya ayat; “Barang siapa memberikan pinjaman yang baik pada Allah, maka akan diberi imbalan berlipat ganda (man dzal ladzi yuqridu Allâha qardlan hasanan fa yudhâ’ifahu)” (QS al:Baqarah (2): 245), yang berarti bukan sebuah transaksi kredit melainkan pelaksanaan amal kebajikan. Contoh lain, adalah; “Barang siapa menghendaki panenan yang baik di akhirat, akan Kutambahi panenannya (man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati nazid lahu fî-hartsihi)” (QS al Syura [42]:20) –yang lagilagi menggunakan kata panenan sebagai penunjuk kepada amal kebajikan/amal sholeh.
Di sini, Torrey juga menggunakan sebuah ayat lain untuk me nunjuk kepada perbedaan antara Islam dan agamaagama lain, tanpa menolak klaim kebenaran agamaagama tersebut. “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi perdagangannya (wa man yabtaghi ghaira al-Islâm dînan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85).Dalam ayat ini jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak kerjasama antar Islam dengan berbagai agama lainnya.
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang ker
Islam dan dialog antar-agama
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 134 h
jasama antara Islam dan agamaagama lain, terutama dalam halhal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam; “Sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma lâ yatim-mu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun)”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antar agama juga menjadi kewajiban.
eg
Kitab suci al-Qurân juga menyatakan: “Sesungguhnya te-lah Kuciptakan kalian sebagai lakilaki dan perempuan, dan Kujadikan kalian berbangsabangsa dan bersukusuku bangsa agar kalian saling mengenal (Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS alHujurat [49]:13), menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara lakilaki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).
Tentu saja, adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan secara total, karena masingmasing memiliki kepercayaan/aqidah yang dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiranpenafsiran aqidah/keyakinan itu. Umat Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohanes XXIII dari tahun 1962 hingga 1965, menyebutkan bahwa para uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. Jadi, keyakinan masingmasing tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan.
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa kerjasama antara berbagai sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan masyarakat, karena masingmasing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya
g 135 h
berbedabeda. Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan antar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian materi menggunakan buktibukti kuantitatif, seperti tingkat penghasilan ratarata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan –misalnya, telpon atau kendaraan perkeluarga.Sedangkan yang tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati secara empirik dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.
eg
Yang dikemukakan di atas adalah persamaanpersamaan yang dapat dicapai antara berbagai agama. Lalu, bagaimana halnya dengan ayat al-Qurân, seperti; “Dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka (Wa lan tardhâ ‘anka al-yahûdu wa la al-nashârâ hattâ tattabi’a millatahum)” (QS alBaqarah [2]:120). Selama Nabi Muhamad Saw masih berkeyakinan; Tuhan adalah Allah, dan beliau sendiri adalah utusan Allah Swt, selama itu pula orangorang Yahudi dan Kristen tidak dapat menerima (berarti tidak rela kepada) keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan sikap kaum muslimin sendiri. Selama orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka selama itu pula kaum muslimin tidak akan rela kepada kedua agama tersebut. Dalam arti, tidak menerima ajaran mereka.
Kalau kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya wajarwajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan/aqidah. Tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masingmasing. h
Islam dan dIaloG antaR aGama
g 136 h
Tulisan ini merupakan sambutan yang disampaikan penulis atas datangnya Hari Raya Waisak 2547/2003. Semakin hari semakin nyata, bahwa peranan umat Buddha sebagai
bagian dari bangsa Indonesia tampak semakin penting, terutama karena mereka banyak yang bergerak di bidang ekonomi dan dunia usaha. Dunia tersebut mengharuskan adanya orientasi yang jelas sebagai umat agar tidak terjadi kehilangan arah secara kolektif. Karena itulah, dalam jumlah penganut yang tidak terlalu besar, namun pengaruh umat Budha itu sendiri tambah hari tampak semakin besar.
Jacob Oetama, pemimpin umum “Kompas” mengatakan masa depan bangsa kita ditentukan oleh kemampuan mempersatukan diri antara dua golongan yang berperan besar dalam hidup kita: kaum muslimin “mainstream” (mereka yang tidak mendukung terorisme serta tidak menghendaki negara agama di negeri kita) dan kaum pengusaha. Kaum pengusaha yang memiliki demikian banyak sumbersumber dan kemampuan teknis, siapa lagi kalau bukan pengusaha Tionghoa, yang umumnya beragama Budha dan Konghucu.
Orangorang Tionghoa, yang di negeri asal dianggap sebagai perantau (Hoa-Kiauw), di negeri ini menggangap diri dan diterima sebagai warga negara, dan memiliki hakhak yang sama dengan para warga negara yang lain. Mengapa? Karena mereka lahir di negeri ini dan menjadi warga negara, sehingga sepatutnya mereka juga dikenal sebagai “penduduk asli” seperti yang lainlain juga. Hanya karena peraturan kolonial yang tertulis sajalah mereka dianggap sebagai “orang Asing Timur” (vremde oster-lingen) yang hidup damai dengan penduduk Asli. Orangorang
umat Budha dan kesadaran Berbangsa
g 137 h
seperti John Lie1 yang turut angkat senjata memperjuangkan kemerdekaan kita, adalah bukti dari perjuangan mereka mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Yang sangat menyakitkan, mereka dianggap sebagai orang lain.
Tentu saja, menganggap mereka sebagai orang lain adalah kesalahan besar yang harus kita koreksi. Kalaupun ada ikatan dengan tanah leluhur, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat kultural dan historis belaka. Sama dengan orang Minahasa dan orang Minangkabau menggunakan namanama barat, seperti Frederick Waworontu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan mereka Barat.
Karena itulah, saya selalu melawan anggapan atau penyebutan umat Budha, yang sebagian besar dianut oleh suku Tionghoa di negeri ini, sebagai “warga keturunan”. Mereka adalah orang Tionghoa sebagaimana halnya ada orang Papua, orang Aceh, orang Sunda dan sebagainya. Juga menjadi kerja kita untuk memberi kerangka gerak yang memadai bagi umat Budha, yang merupakan salah satu asset (kekayaan) bangsa kita. Pengembangan asset ini haruslah dilakukan dengan kepala dingin, sebagai bagian dari penataan kehidupan nasional secara keseluruhan dalam jangka panjang.
Kalau nilainilai yang diikuti golongan Islam seperti santri ditentukan oleh Majelis Ulama Indonesia, orangorang Katholik oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia dan umat Kristen Protestan oleh Persekutuan GerejaGereja Indonesia, orangorang Konghucu oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, maka umat Budha, dalam pandangan penulis, mengikuti dan melaksanakan nilainilai agama yang dirumuskan oleh Konferensi Agung Sangha Indonesia. Bukannya oleh pihak atau perkumpulan orang awam. Merekalah yang harus tunduk kepada perkumpulan para agamawan. Hal inilah yang harus kita sadari, baik sebagai aparat pemerintah maupun sebagai warga masyarakat. Selama hal ini belum terwujud dengan sempurna, maka kehidupan kita sebagai bangsa juga akan pincang. h
1 John Lie alias Jahya Daniel Dharma adalah perwira Angkatan Laut RI keturunan Tionghoa. Dengan kapal kecil cepat bernama the Outlaw, ia rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda dengan membawa hasil bumi Indonesia ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang diperolehnya lalu diserahkan kepada pejabat RI yang ada di Sumatera sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.
umat buddHa dan kEsadaRan bERbanGsa
g 138 h
Idiosinkrasi adalah sifatsifat perorangan yang khusus ada pada seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang kebanyakan. Dalam sejarah Islam, hal ini juga tampak se
cara jelas, walaupun ia juga ada di kalangan nonmuslim. Kalau idiosinkrasi ada dalam diri penguasa muslim, maka ia akan dimaafkan, karena orang itu banyak jasanya dalam bidangbidang lain untuk kepentingan bersama. Baik di masa kuno maupun di masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang, idiosinkrasi itu akan tetap ada dan akan dibiarkan selama tidak merugikan kepentingan orang banyak.
Seperti Sultan Agung Hanyakrakusuma, seorang penguasa yang dinilai berjasa sangat besar bagi kepentingan orang banyak. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya dalam membangun sistem birokrasi agraris untuk mencapai kemajuan pertanian yang tidak pernah surut semasa hidupnya. Sebaliknya, salah satu kekurangannya adalah ketidakmampuannya dalam menggunakan kekuatan laut untuk kejayaan bangsa yang dipimpinnya. Karena itu, kekuatan laut dari berbagai kota pelabuhan dalam masa pemerintahan Mataram saat itu, merupakan saingan politik yang harus dihancurkan.
Salah satu idiosinkrasi yang dimiliki Sultan Agung Hanya krakusuma adalah kegemarannya menyiksa para oposan politik yang menentangnya. Terkenal sekali deskripsi bagaimana ia bercengkerama dengan para dayang di atas taman/gazebo di atas air, dan para tahanan politik dibiarkan berkumpul di atas tanah (seperti pulau kecil) yang ada di tengah kolam. Dan, pada saat yang ditentukan, ia membiarkan para pengawal melepaskan beberapa buaya yang merayap ke “pulau” itu dan memakan para
Islam danIdiosinkrasi Penguasa
g 139 h
tawanan politik yang tak bersenjata. Anehnya, ia tampak menikmati bagaimana lawanlawan politiknya menjerit ketakutan sebelum dimangsa buayabuaya buas tersebut.
eg
Sultan Trenggono dari Demak, dalam abad sebelumnya, sangat tertarik dengan seorang wanita cantik, yang kebetulan menjadi istri muda Ki Pengging Sepuh, salah seorang panglimanya. Suatu ketika, Ki Pengging diperintahkan sang Sultan untuk menyerbu daerahdaerah nonmuslim di Jawa Timur, dan akhirnya ia pun gugur di daerah Pasuruan (Segarapura, Kemantren Jero, kini terletak di Kecamatan Rejoso). Maka, seiring dengan kematian Ki Pengging Sepuh itu, segera setelah habis masa iddah si perempuan muda dan cantik itupun diambil Sultan Trenggono sebagai istri selir. Idiosinkrasi pemimpin Kesultanan Demak tersebut menunjukkan, bahwa motif pribadi dapat saja mendorong seorang penguasa untuk mengambil tindakan atas nama agama, dalam hal ini “pengislaman daerah Pasuruan”.
Drama seperti itu menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi akan membuat seorang penguasa pada akhirnya menjadi lalim dan mempersamakan kepentingan pribadi dengan kepentingan bangsa secara utuh. Hal ini juga mendera para pemimpin seperti Mao Zedong (RRT) dan Kim Il Sung (Korea Utara). Begitu lama mereka berkuasa, tanpa berani ada yang menentang secara terbuka, hingga memaksa orang banyak untuk melawan dengan cara mereka sendiri.
Dengan demikian, masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan, baik waktu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu, maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara yang bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan menciptakan tradisi demokrasi yang benarbenar hidup di kalangan rakyat. Para penguasa yang demikian lama menguasai pemerintahan, seperti yang terjadi di sebagian negara, jelasjelas tidak demokratis walaupun mereka melaksanakan aturan kelembagaan yang ada. Tanpa mengembangkan tradisi demokrasi dalam lembagalembaga yang bersangkutan, klaim sejumlah pemimpin bahwa di negara mereka sudah tercipta demokrasi, yaitu
Islam dan IdIosInkRasI PEnGuasa
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 140 h
dengan adanya pemilihan umum yang teratur, jelas merupakan pelanggaran terhadap gagasan demokrasi itu sendiri.
eg
Hal itulah yang harus diingat ketika seorang penguasa menyatakan akan membangun demokrasi dalam konsep negara Islam. Pendapat tersebut mengabaikan dua hal, di satu pihak yaitu adanya idiosinkrasi para penguasa. Di pihak lain terjadi demokrasi sebagai formalitas saja. Keduanya merupakan sesuatu yang harus dihilangkan dalam konsep tersebut. Dengan kata lain, sebuah konsep tentang negara dalam Islam, tidak dapat hanya terkait dengan idealisme kekuasaan itu sendiri, melainkan juga terkait kepada mekanisme apa yang digunakan.
Kenyataan seperti itulah yang pada akhirnya memaksa Kongres Amerika Serikat (AS) untuk membatasi kepresidenan di negara itu hanya dalam masa dua term saja, pada paruh pertama abad yang lalu.Pembatasan itu tadinya hanya bersifat tradisi, yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat semenjak George Washington. Namun karena Franklin Delano Roosevelt (FDR) terpilih kembali untuk keempat kalinya pada tahun 1944, walaupun secara efektif kekuasaan berada di tangan pembantunya yaitu Harry Hopkins1, Kongres kemudian mengubah undangundang, dengan membatasi masa jabatan Presiden Amerika Serikat hanya untuk dua kali empat tahun saja.2
Jelaslah dengan demikian, bahwa membuat konsep tentang sebuah negara demokratis bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan sebuah agama, seperti konsep negara dalam Islam. Ini belum lagi diingat, bahwa para pemilih senantiasa berkembang dalam pikiran dan perasaan —seperti
1 Walaupun tidak pernah secara resmi menjadi Wapres, namun Harry Lloyd Hopkins yang juga arsitek kebangkitan ekonomi Amerika Serikat atau New Deal, amat dipercaya FDR dalam menjalankan programprogram politiknya.
2Konstitusi Amerika (1787) semula tidak membatasi masa jabatan Presiden. Belajar dari masa kepresidenan Franklin D. Roosevelt (19331945) yang menjabat lebih dari 3 kali masa jabatan, maka agar siklus kepemimpinan demokrasi tetap terpelihara, Kongres membatasi masa jabatan presiden melalui Amandemen keXXII yang disetujui Kongres pada tanggal 12 Maret 1947, diratifikasi tanggal 26 Februari 1951.
g 141 h
yang terjadi di Republik Islam Iran saat ini. Dahulu para pemilih di sana mendukung para Ayatullah konservatif, sekarang justru mendukung para Ayatullah dan para pemimpin moderat, seperti Presiden Khatami.
Ada keharusan menjawab pertanyaan yang belum juga dilaksanakan oleh Parlemen Iran hingga saat ini, yaitu membiarkan orangorang yang tidak beragama Islam atau yang dianggap demikian oleh Parlemen Iran, mencalonkan diri sebagai presiden. Bukankah hal itu menunjukkan ketakutan bahwa orangorang nonmuslim akan dapat menjadi presiden, dan bukankah ketakutan seperti itu menunjukkan para legislator Iran membatasi demokrasi itu sendiri? Kalau kecenderungan moderatisme di Iran berlangsung terus, hal ini akan menjadi tekanan terhadap para anggota parlemen yang membuat undangundang tentang syaratsyarat pemilihan presiden agar tidak bertentangan dengan demokrasi. h
Islam dan IdIosInkRasI PEnGuasa
g 142 h
Ulil AbsharAbdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri”. Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan
Muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi ada hal yang membedakan Ulil dari orangorang pesantren lainya, yaitu profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya hal itulah yang akhirnya membuat ia dimakimaki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.
Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asasasas keyakinannya sendiri akan “kebenaran” Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama Islam. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini.
Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan “Assalâmu’alaikum” dapat diganti dengan
ulil dengan liberalismenya
g 143 h
ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan hal itu. Segera penulis dimakimaki oleh mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya. Seperti KH. Syukron Makmun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) yang mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bershalat. Penulis, demikian kata kyai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan “selamat pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan disudahi dengan ucapan “salam”. Jadi, menurut paham Mazhab al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan nonmuslim. Di lingkungan Universitas AlAzhar di Kairo misalnya, para syaikh/kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda perkenalan“ tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi yang cerah (shabâh al-nûr).” Kurangnya pengetahuan kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang, adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.
eg
Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil AbsharAbdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batasbatas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Segala sesuatu musnah kecuali Dzat Allah (kullu syai’in halikun illa wajhah)” (QS alQashash [28]:88), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil antiMuslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir (man kaf-fara akhâhu musliman fahuwa kâfirun)."
ulIl dEnGan lIbERalIsmEnya
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 144 h
Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd1 (Averoes) yang membela habishabisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahanperubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham serba akal “ahl al-aqli (kaum rasionalis)” dalam Islam memang sangat lebar. Kedua pendekatan ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi (ahl al-dzauq),” seperti dikemukakan oleh alJabiri. Ketiga sumber ini, diusung oleh alImam alGhazali2 dalam magnum opus (karya besar), “Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih diajarkan di pondokpondok pesantren dan perguruanperguruan tinggi di seantero dunia Islam.
Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menya-takan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini (al-yauma akmaltu lakum dînakum)” (QS alMaidah [5]:3) dan “Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh (ud-khulû fî al-silmi kâffah)” (QS alBaqarah [2]:208), maka seolaholah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsipprinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian ten
1 Nama lengkapnya adalah Abu alWalid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, lahir di Cordoba pada 520 H./1126 M. dan wafat di Maghribi pada 1198 M. Di Barat ia dikenal dengan nama Averroes. Dia adalah seorang doktor, ahli hukum, dan tokoh filsafat yang paling populer pada periode perkembangan filsafat Islam (7001200). Di samping sebagai seorang yang paling otoritatif dalam fungsi sebagai komentator atas karyakarya filasuf Yunani Aristoteles, Ibnu Rushd juga seorang filosof Muslim yang paling menonjol dalam usaha mencari persesuaian antara filsafat dan syariat (al-ittishâl bain al-hikmah wa al-syarî`âh). Ibn Rushd menulis banyak buku antara lain Fashl al-Maqâl wa Taqrîr mâ baina al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, al-Kasyf `an Ma-nahij al-Adillah, Tahafut al-Tahâfut, dan Bidâyat al-Mujtahid.
2 Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ahmad al-Thûsi al-Syâfi’î. Lahir pada 450 H/1058 M di Tabaran, satu dari dua buah kota kecil di Khurasan. AlGhazali termasuk ulama yang pemikiranpemikirannya sangat mewarnai dunia Islam. Beberapa karyanya antara Tahâfut al-Falasifah, Kimiyyat al-Sa’âdah, Misykat al-Anwâr, dan Ihyâ` Ulûm al-Dîn. Bukubuku tersebut hingga sekarang menjadi bacaan penting dalam kajian Islam.
g 145 h
tang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orangorang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut. Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam.
Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum Muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa di rumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendirisendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil AbsharAbdalla tersebut.
Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasangagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapatpendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaanperbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmah al-ummah).”
Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam media khalayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orangorang seperti Ulil. Padahal pemikiranpemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada ra
ulIl dEnGan lIbERalIsmEnya
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 146 h
dikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahirnya terorisme yang sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Islam. Pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit di lakukan, bukan? h
g 147 h
Dalam berbagai pernyataan, sejumlah pejabat pemerintah pekan lalu menyatakan, sikap pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM)1 menunjukkan tidak mau berunding
dengan RI. Dengan demikian GAM harus dianggap sebagai musuh bersenjata dan harus diserang. Kapolri bahkan menyatakan, Polri akan menambah personil di kawasan itu guna menghadapi setiap kemungkinan. Bentuk-bentuk lain tindakan fisik yang akan dilakukan terhadap GAM disuarakan secara bergantian, umumnya oleh para pejabat tinggi kita. Ini merupakan pertanda ketidaksabaran mereka untuk berunding dan akan kembalinya penyelesaian konflik di Aceh ke arena perjuangan bersenjata melawan GAM. Konsekuensi dari pandangan tersebut, jelas tidak hanya menyangkut pemerintah saja, melainkan seluruh bangsa.
Kalau kita tidak berunding dengan GAM, sudah tentu konsekuensinya adalah kembali bertempur melawan mereka. Ini berarti memaksa kelompokkelompok GAM yang moderat untuk bergabung dengan mereka yang ekstrim (bergaris keras). Artinya, rakyat Aceh akan menyaksikan kembali berbagai tindak
1 Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang dianggap separatis) yang memiliki tujuan supaya daerah Aceh atau yang sekarang secara resmi disebut Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara kedua pihak yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Su-matra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro yang sekarang menjadi warga negara dan bermukim di Swedia. Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah Indonesia memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.
aceh, kekerasan dan Rasa kebangsaan
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 148 h
kekerasan yang mau tidak mau akan mengorbankan nyawa banyak orang yang tidak bersalah, seperti kembalinya Daerah Operasi Militer (DOM)2 di Tanah Rencong. Kalau DOM I saja sudah mengorbankan lebih dari 9.900 nyawa yang tidak bersalah, kemungkinan besar hal seperti itu akan terulang kembali. Dalam keadaan demikian, salahkah jika rakyat kawasan Nangroe Aceh Darussalam (NAD)3 lalu beranggapan: Apa gunanya berada di lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI)?
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dua hal akan menjadi akibat dari ucapanucapan para pejabat pemerintah kita mengenai Aceh. Pertama, membuat kelompokkelompok akomodatif di kalangan GAM tidak dapat bersikap lain kecuali mengikuti kebijakan keras dari kelompokkelompok ekstrim di dalam GAM sendiri. Kedua, jika hal itu terjadi, akan ada akibat politis yang harus kita hindari yaitu memisahnya NAD dari NKRI. Ini tentu bukan kehendak kita, karena pada pasca perang kemerdekaan saja, para pemimpin berbagai gerakan Islam menyetujui dihapusnya Piagam Jakarta, dari UUD 1945 demi menjaga kelangsungan negara dan kesatuan bangsa kita. Relakah kita jika keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara yang dihasilkan tanggal 17 Agustus 1945 tercabikcabik, karena adanya kebijakan kita yang selalu gegabah dalam masalah NAD?
Tentu saja kita tidak hanya ingin hal itu terjadi, apalagi hanya karena ucapanucapan tidak berarti dari para pejabat pemerintah sendiri. Ribuan warga telah memberikan nyawa dan harta benda mereka, masih banyak para pejuang yang menanggung cacat sebagai akibat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan, sebagai sebuah entitas negara dan bangsa. Tentu saja kita menjadi tidak akan rela adanya berbagai tuntutan separatisme seperti itu. Karenanya, melalui tulisan ini, penulis mengajukan sanggahan terhadap ucapanucapan seperti
2 Kebijakan DOM memporakporandakan seluruh pranata sosial yang mendukung kehidupan kultural dan ekonomi rakyat. Secara sistematis terjadi pelanggaran HAM sangat berat yang memenuhi syarat untuk di katakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
3 Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan
g 149 h
itu, yang mengganggu keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara.
Siapa pun yang mengeluarkan pernyataan, dari rakyat jelata di tingkat yang paling rendah hingga pejabat pemerintah pusat, semua harus berhatihati dalam menanggapi langkahlangkah yang diambil oleh kelompokkelompok ekstrim di lingkungan GAM itu sendiri. Tidak semua hal dapat dipecahkan melalui langkahlangkah yang gegabah dan terburuburu. Karena itu diperlukan daya tahan sangat besar untuk berunding dalam jangka panjang, guna menyelamatkan teritorial negara kita. Ini yang penulis lakukan semasa menjadi presiden dengan berpergian ke sana ke mari ke luar negeri, menjaga agar dunia internasional mengakui keutuhan teritorial kita. Tidak rela rasanya jika langkah penulis itu dianggap sebagai lelucon saja, dan kemudian saat ini keutuhan teritorial itu terganggu karena ucapanucapan sangat negatif dari dalam negeri sendiri.
eg
Para pejabat pemerintah yang mengeluarkan ucapanucapan di atas, jelas tidak mengikuti perintah agama untuk bersabar dan memaafkan, dari apa yang kita anggap sebagai kesalahankesalahan mereka. Apalah artinya mengeluarkan biaya sangat besar dalam RAPBN untuk menerjemahkan kitab suci al-Qurân dalam bahasa nasional kita, kalau kemudian para pejabat pemerintah kita sendiri tidak mau memahaminya? Kearifan sikap justru sangat diperlukan, dan hanya didapat kalau kita sendiri mau mengerti dan mengambil pelajaran, antara lain dari kitab suci kita sendiri.
Puluhan ayat kitab suci al-Qurân meminta kaum muslimin untuk bersikap sabar dalam menghadapi berbagai persoalan. Yang paling sederhana adalah firman Allah: “Bersabarlah terha-dap apa yang menimpa kamu (washbir ’alâ mâ ashâbak)” (QS. Luqman [31]:17), dan ungkapan “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik (fashbir shabran jamîla)” (QS. al-Ma’ârij [70]:5), menunjukkan kepada kita betapa kuatnya kedudukan sikap bersabar itu dalam pandangan Islam. Terkadang orang kehilangan kesabaran, dan menjadi teroris seperti orang yang meledakkan bom di Bali.
Karenanya kita himbau sekali lagi bagi orangorang yang
acEH, kEkERasan dan Rasa kEbanGsaan
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 150 h
mengemukakan “jalan kekerasan” di atas. Dalam saatsaat serba sulit seperti sekarang ini, tentu mudah bagi kita untuk menjadi marah. Tetapi bukankah justru sikap mudah marah itu yang dikehendaki golongan ekstrim di negeri kita, dari mana pun ia berasal. Kedewasaan sikap kita justru harus ditunjukan di saatsaat seperti ini. Dengan sendirinya ucapanucapan yang menunjukkan hilangnya kesabaran harus dihindari. h
g 151 h
Dalam perjalanan ke gedung TVRI saat subuh awal Februari 2003, penulis mendengar siaran sebuah radio swasta Jakarta yang menyiarkan dialog tentang masalah
ras dan diskriminasi. Karena format siarannya dialog interaktif, maka dapat dimengerti jika para pendengar melalui telepon mengemukakan pendapat dan pernyataan berbedabeda mengenai kedua hal itu. Ada yang menunjuk kepada keterangan etnografis, yang menyatakan orangorang di Asia Tenggara, Jepang, Korea, Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan mempunyai penduduk asli dari ras Mongol (Mongoloid). Karena itu narasumber pada dialog itu, menolak perbedaan antara kaum asli dan kaum turunan di Indonesia. Menurutnya kita semua berasal dari satu turunan dan tidak ada bedanya satu dari yang lain. Maka pembagian kelompok asli dan keturunan di negeri kita tidak dapat diterima dari sudut pemikirannya.
Pendengar lain juga memiliki pandangan yang sama, ada yang melihat dari segi sejarah atau historis, bahwa orang yang mempunyai asalusul sangat berbeda secara bersamasama mendirikan negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihitung titik tolak eksistensi kita sebagai bangsa. Menurut pendapat ini, kalau menggunakan ukuran tersebut kita tidak akan dapat membedabedakan warga negara Indonesia yang demikian besar jumlahnya. Pendapat ini juga menolak pembedaan para warga negara kita menjadi asli dan keturunan, karena hal itu tidak berasal dari kenyataan historis tentang pembentukan bangsa ini. Menurut pendapat ini, perbedaan seperti itu terlalu dipaksakan dan tidak sesuai dengan kenyataan empirik, ini berarti penolakan atas teori perbedaan tersebut.
Ras dan diskriminasi di negara Ini
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 152 h
Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskriminasi golongan di negeri kita. Yang ada adalah diskriminasi perorangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga dengan ras yang berbeda. Penulis bertanyatanya akan hal itu, bagaimana kita menjelaskan adanya semacam kuota yang terjadi di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh mengisi 15% kursi mahasiswa baru di sebuah Perguruan Tinggi Negeri? Juga, bagaimana menerangkan bahwa dalam seluruh jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras “non pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kamil dan Brigjen Purnawirawan TNI Teddy Yusuf? Juga pertanyaan sebaliknya, soal adanya “kuota halus” di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager dari “orangorang pribumi asli” dalam perusahaanperusahaan besar milik mereka.
Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa lampau bendera Merah Putih berkibar diatas sejumlah kapal laut milik Indonesia, yang menandakan kebesaran angkatan laut kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut kita waktu itu adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan angkatan laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari sebuah dominion angkatan laut dari angkatan perang Inggris Raya (Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, angkatan laut kita pada era tersebut adalah bagian dari sebuah angkatan laut Tiongkok. Kenyataan sejarah ini harus kita akui, jika kita ingin mendirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar dan jaya.
eg
Sebelum masa ini, para warga negara keturunan Tionghoa harus mengganti namanya menjadi nama “pribumi”, tidak diperkenankan mendirikan sekolahsekolah dan tidak diperbolehkan membuat surat kabar atau majalah umum berbahasa Mandarin. Terlebih parah lagi adalah mereka dilarang beragama Konghucu1, karena keyakinan tersebut diasumsikan adalah sebuah fil
1 Ajaran Konghucu atau Konfusianisme (juga: Kong Fu Tze atau Konfu-sius) dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama
g 153 h
safat hidup, bukannya agama. Sebagai akibat, kita memiliki pengusaha bermata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa. Padahal jelas sekali, dia bukan seorang muslim, atau pun bukan pula beragama Kristiani, melainkan ia “beragama” Budha dalam kartu identitasnya.
Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihakpihak pejabat pemerintah yang beranggapan, negara dapat menentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenarnya memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara) yang beranggapan jika warga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu, maka para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang diizinkan negara. Inilah bahaya penafsiran oleh negara, padahal sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau bukan, adalah pemeluknya sendiri. Karena itu, peranan negara sebaiknya dibatasi pada pemberian bantuan belaka. Karena hal itu pula lah penu lis menyanggah niatan Kapolda Jawa Tengah, yang ingin menutup Pondok Pesantren AlMukmin di Ngruki, Solo. Biarkan masyarakat yang menolak peranannya dalam pembentukan sebuah negara Islam di negara ini!
Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara peranan negara dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu, justru masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya
dari orangorang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Konghucu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang beliau sabdakan: “Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaranajaran kuno tersebut”. Meskipun orang kadang mengira bahwa Konghucu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau Agama Konghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Konghucu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Konghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut “Ren Dao” dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah “Tian” atau “Shang Di”. Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Konghucu yang dilahirkan pada tahun 551 SM. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmuilmu baru ketika berumur 32 tahun. Konghucu banyak menulis bukubuku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Beliau meninggal dunia pada tahun 479 SM.
Ras dan dIskRImInasI dI nEGaRa InI
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 154 h
agama tersebut di negeri ini. Di sinilah terletak arti firman Tuhan dalam kitab suci al-Qurân: “Tak ada paksaan dalam beragama, (karena) benarbenar telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu (lâ ikrâha fî ad-dîn qadtabayyana ar-rusydu min al-ghayyi)” (QS. AlBaqarah [2]: 256). Jelas dalam ayat itu, tidak ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan mana yang palsu. Jika semua agama itu bersikap saling menghormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.
Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi memang ada di masa lampau, tetapi sekarang harus dikikis habis. Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dan bangsa yang besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai kekayaan bangsa. Berbeda, dalam pandangan Islam, wajar terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah bangsa besar, seperti manusia Indonesia. Kitab suci al-Qurân menyebutkan: “Berpeganglah kalian kepada tali Tuhan dan secara keseluruhan serta jangan terpecahpecah dan saling bertentangan (wa’ tashimû bi habli Allah jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS. Ali Imran [3]:103). Ayat kitab suci tersebut jelas membedakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang nyatanyata dilarang.
Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah Tahun Baru Imlek yang harus kita hargai, seperti harihari besar agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasardasar perbedaan di antara kita, sambil menolak pertentangan dan keterpecahbelahan di antara komponenkomponen bangsa kita, jauh lebih berharga daripada hadiah materi. Apalagi, jika penerima hadiah itu telah berlimpahlimpah secara materi, sedangkan pemberi hadiah itu justru secara relatif lebih tidak berpunya. Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskriminasi, tetapi justru upaya mengikis habis tindakan itu memerlukan waktu, yang mungkin memerlukan masa bergenerasi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu sangat panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyataan empirik dalam kehidupan. Mudah dirumuskan, namun sulit dilaksanakan. h
g 155 h
Minggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis meresmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin orangorang eks Tapol (Tahanan Poli
tik) dan Napol (Narapidana Politik), kasarnya orangorang PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sudah dibubarkan. Mereka mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yang dianggap sebagai organisasi perempuan PKI. Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah itu, disaksikan antara lain oleh SK Trimurti1, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai sekarang pun masih mengalami tekanantekanan dan kehilangan segalagalanya. Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan, karena dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hakhak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilu. Rumahrumah dan harta benda mereka yang dirampas. Dan stigma (cap) pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini.
Dengan dipimpin oleh dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati2, mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru) yang memiliki cabang di manamana, walhasil gerakan mereka berskala nasional. Namun karena prikemanusiaan juga lah penu
1 Soerastri Karma Trimurti begitu nama lengkapnya. Permpuan yang lahir pada 1912 ini adalah wartawan tiga zaman. Pernah mendapat penghargaan Bintang Mahaputera V yang disematkan langsung oleh Presiden Soekarno.
2 Penulis buku menggemparkan dengan judul Aku Bangga Jadi Anak PKI, (Jakarta: Cipta Lestari, 2002).
keadilan dan Rekonsiliasi
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 156 h
lis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti halnya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia). Bahkan waktu turut “berkuasa”, PKI pernah turut memberikan cap pemberontak kepada (mantan) anggota DI/TII itu.
Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan, Kartosuwiryo merekrut anggota dengan menggunakan nama DI/ TII, karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, guna menghindarkan kekosongan daerah Jawa Barat, yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan RI) akibat Perjanjian Renville3 . Seorang pembaca menyanggah “catatan” penulis itu karena di matanya tidak mungkin Kartosuwiryo menjadi “penasehat militer” Jenderal Soedirman. Lebih pantas kalau ia adalah penasehat politik. Pembaca itu tidak tahu, bahwa penasehat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis sendiri, KH. A. Wahid Hasyim. Karena itu simpati penulis kepada anggota DI/ TII juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada mantan orangorang PKI.
eg
Di sini penulis ingin menekankan, bahwa konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok manapun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses demokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar. Dengan penduduk saat ini 205 juta lebih, kita harus mampu menegakkan keadilan, dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah. Seperti pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpasar, bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang yang dibalik pemboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh
3 Perundingan Renville dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika USS Renville yang dimulai pada 8 Desember 1947. Pada tanggal 17 Januari 1948 hasil Perjanjian Renville ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr. Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, dimana sebagian isinya: penghentian tembak menembak disepanjang “Garis van Mook”. Penghentian tembak menembak yang diikuti dengan perletakan senjata dan pembentukan daerahdaerah kosong militer. Mengakui secara de facto kekuasaan RI sekitar daerah Yogyakarta.
g 157 h
lebih dari 200 orang. Pernyataan Amrozi ini seharusnya mendorong kita memeriksa “pengakuan” tersebut. Karena hal ini tidak dilakukan maka hingga saat ini kita tetap tidak tahu, apakah pendapat Amrozi itu berdasarkan fakta atau tidak. Demikian juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakan bom di Hotel Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.
Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam perspektif prikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau menggunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakekat kehidupan bangsa kita yang demikian beragam. Kebhinekaan/keragaman justru menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. Karenanya kita tidak boleh menyalahkan siapasiapa atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.
Sebuah contoh lagi dapat dikemukakan. Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap sebagai “biang kerok” terorisme di negeri kita, saat ini mendekam di LP (Lembaga Permasyarakatan) Cipinang, Jakarta Timur setelah pengadilan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara. Memang pengadilan menetapkan ia bersalah namun kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat datadata yang “tidak pasti (unreliable)” digunakan dalam mengambil keputusan. Selain itu, memang pengadilanpengadilan kita penuh dengan “mafia peradilan’, maka kita tidak dapat diyakinkan oleh “kepastian hukum” yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus Akbar Tandjung, jelas keputusan Mahkamah Agung akan terus “diragukan” apapun bunyi keputusan itu sendiri. Tidak heranlah sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam menegakkan kedaulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari luar negeri, karena langkanya kepastian hukum tadi.
eg
Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di sini. Kyai Mahfud Sumalangu (Kebumen), adalah pahlawan yang memerangi balatentara pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Ketika Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas
kEadIlan dan REkonsIlIasI
Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa
g 158 h
usul Jenderal Besar AH. Nasution, antara lain berupa ketentuan bahwa Komandan Batalyon TNI haruslah berijazah. Ijazah itu hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja (tidak termasuk pesantren), maka kyai kita itu tidak diperkenankan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya diangkat seorang perwira muda bernama A. Yani. Akibatnya kyai kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian dinyatakan oleh A. Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis ini terjadi pada awal tahun 50an, namun bekasnya yang pahit masih saja tersisa sampai hari ini.
Korbankorban politik seperti ini masih banyak terdapat di negeri kita dewasa ini. Karenanya, kita harus memiliki kelapangan dada untuk dapat menerima kehadiran pihakpihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya orangorang mantan Napol dan Tapol PKI, yang kebanyakan bukan orang yang benarbenar memahami ideologi komunis. Karena itulah, penulis tidak pernah menganggap mantan anggota PKI maupun DI/TII sebagai “lawan yang harus diwaspadai”. Penulis justru beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai “kezalimankezaliman”, justru pernah mereka jalani saat “berkuasa”. Sekarang mereka berpegang pada keyakinan yang mereka miliki, yang tidak bertentangan dengan undangundang dasar. Kalau kita juga menggunakan cara pandang itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa yang kita perlukan adalah rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan “yang adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan), mengapakah kita tidak melakukan hal seperti itu pada orangorang mantan PKI dan DI/TII? Jadi, pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau buktibukti yang jelas masih dapat dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasuskasus yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun terakhir ini, justru meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang terjadi 4050 tahun yang lalu. Kedengarannya mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan. h
BAB IVISLAM DAN EKONOMI KERAKYATAN
g 161 h
Dalam pandangan Islam, tujuan hidup perorangan adalah mencari kebahagian dunia dan akhirat yang dicapai melalui kerangka peribadatan kepada Allah Swt. Terkenal
dalam hal ini firman Allah melalui kitab suci al-Qurân: “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada Ku (wa mâ khalaqtu al-jinna wa al-insâ illâ liya’budûni)” (QS. adz-Dzâriyât [51]:56). Dengan adanya konteks ini, manusia selalu merasakan kebutuhan akan Tuhan, dan dengan demikian ia tidak berbuat sesuka hati. Karena itulah, akan ada kendali atas perilakunya selama hidup, dalam hal ini adalah pencarian pahala/kebaikan untuk akhirat, dan pencegahan sesuatu yang secara moral dinilai buruk atau baik di dunia. Karena itulah do’a seorang muslim yang paling tepat adalah “Wahai Tuhan, berikan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat (rabbanâ âtinâ fî ad-dunya hasanatan wa fî al-âkhirati hasanatan)” (QS. alBaqarah [2]:201).
Yang digambarkan di atas adalah kerangka mikro bagi kehidupan seorang Muslim di dunia dan akhirat. Hal ini adalah sesuatu yang pokok dalam kehidupan seorang manusia, yang disimpulkan dari keyakinan akan adanya Allah dan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusanNya. Tanpa kedua hal pokok itu sebagai keyakinan, secara teknis dia bukanlah seorang muslim.
Karena manusia adalah bagian dari sebuah masyarakat, maka secara makro ia adalah makhluk sosial yang tidak berdiri sendiri. Terkenal dalam hal ini ungkapan: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan. (La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Dengan demikian, kedudukan dan tugas seorang pemimpin sangat berat dalam pandangan Islam. Dia harus menciptakan kelompok yang
Islam dan Orientasi Ekonomi
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 162 h
kuat, patuh dan setia pada kerangka peribadatan yang dikemukakan Islam. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki strategi yang jelas agar tercapai tujuan masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan ini diungkapkan dengan indahnya dalam pembukaan Undangundang Dasar (UUD) 1945. Sedang dalam bahasa Arab, seornag pemimpin harus mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat yang bertumpukan keadilan dan kemakmuran atau “al-maslahah al-âmmah”.
eg
Hal kedua yang harus ditegakkannya adalah orientasi yang benar dalam memerintah, termasuk orientasi ekonomi yang jelas. Jika segala macam kebijakan pemerintah, tindakan yang diambil dan peraturanperaturan di bidang ekonomi yang selama ini –sejak kemerdekaan kita, hampir seluruhnya mengacu kepada kemudahan prosedur dan pemberian fasilitas kepada usaha besar dan raksasa, yang berarti orientasi ini tidak memihak kepada kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka sekarang sudah tiba saatnya untuk melakukan perubahanperubahan dalam orientasi ekonomi kita. Orientasi membangun UKM, dijalankan dengan penyediaan kredit yang berbunga sangat rendah sebagai modal pembentukan UKM tersebut.
Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan tekanan dalam ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada bidang ekspor, yang hasilnya dalam bentuk pajak sangat sedikit kembali ke kas pemerintah, karena begitu banyak keringanan untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus diutamakan perluasan pasaran di dalam negeri secara besarbesaran.
Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, peningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya tergantung kepada tata niaga internasional.
Ini berarti, kita harus tetap memelihara kompetisi yang jujur, mengadakan efisiensi dan menciptakan jaringan fungsional bagi UKM kita, baik untuk menggalakkan produksi dalam negeri, maupun untuk penciptaan pemasaran dalam negeri yang kita perlukan. Keterkaitannya adalah tetap memelihara tata niaga inter
g 163 h
nasional yang bersih dan bersaing, disamping memperluas basis pajak kita (dari sekitar 2 juta orang saat ini ke 20 juta orang wajib pajak dalam beberapa tahun mendatang). Ditambah dengan, pemberantasan kebocorankebocoran dan pungutan liar yang masih ada sekarang ini. Barulah dengan demikian, dapat kita naikkan pendapatan.
eg
Tata ekonomi seperti itu akan lebih memungkinkan tercapainya kesejahteraan dengan cepat, yang dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan sebagai terciptanya masyarakat adil dan makmur. Dalam fiqh disebutkan “kebijakan dan tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus sejalan dengan kemaslahatan mereka’ (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah)”. Itu berlaku juga untuk bidang ekonomi. Ekonomi yang berorientasi kepada kemampuan berdiri di atas kaki sendiri, menjadikan ekonomi kita akan sesuai dengan ajaranajaran Islam.
Apakah ekonomi yang sedemikian itu akan dinamai ekonomi Islam atau hanya disebut ekonomi nasional saja, tidaklah relevan untuk didiskusikan di sini. Yang terpenting, bangunan ekonomi yang dikembangkan, baik tatanan maupun orientasinya, sesuai dengan ajaran Islam. Penulis yakin, ekonomi yang sedemikian itu juga sesuai dengan ajaranajaran berbagai agama lain. Karenanya, penamaan ekonomi seperti itu dengan nama ekonomi Islam, sebenarnya juga tidak diperlukan sekali, karena yang terpenting adalah pemberlakuannya, dan bukan penamaannya.
Dalam kerangka inilah, kepentingan mikro ekonomi Islam secara pribadi, yaitu untuk mencapai kebahagiaan duniaakhirat, lalu sama posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang mementingkan keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa. Sebenarnya kita dapat melakukan hal itu, apabila tersedia political will untuk menerapkannya. Memang, ekonomi terlalu penting bagi sebuah bangsa jika hanya untuk diputuskan oleh sejumlah ahli ekonomi belaka, tanpa melibatkan seluruh bangsa. Karena menyangkut kesejahteraan seluruh bangsa, maka diperlukan keputusan bersama dalan hal ini. Untuk mengambil keputusan seperti itu, haruslah didengar lebih dahulu perdebatannya. h
Islam dan oRIEntasI EkonomI
g 164 h
Sejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa ada kaitan langsung antara Islam dan ekonomi. Dengan demikian, ada yang dinamakan ekonomi Islam, yaitu Islam memuat
ajaranajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik, karena kita sudah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah bersifat empirik saja, sedangkan agama memiliki nuansa spiritual yang sangat kuat. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik, adakah ekonomi Islam?
Pada tahuntahun 70an dan 80an, sejumlah ekonom mengajukan pendapat, bahwa sebuah ekonomi dapatlah dinamakan ekonomi Islam, kalau mengikuti ketentuanketentuan agama Islam mengenai riba, eksistensi bank dan penolakan terhadap asuransi. Menurut pendapat ini, sistem perbankan tidak diperkenankan menggunakan bunga bank (bank interest), sedangkan ketentuanketentuan yang lazim dalam asuransi sama saja dengan permainan judi, yang diharamkan oleh Islam. Dengan demikian, pemberian atau pengambilan bunga bank dan penerimaan asuransi berarti penyimpangan dari hukum Islam. Ekonomi yang menggunakan keduaduanya sama saja dengan ekonomi yang menolak ajaran Islam.
Dalam tahuntahun 70an, muncul juga pendapat orangorang seperti Prof. Dr. Mubyarto dari Universitas Gajah Mada (UGM), yang mengemukakan pendapat tentang Ekonomi Pancasila. Menurut pendapat beliau, Ekonomi Pancasila harus terkait langsung dengan ekonomi orang kecil, dan bertumpu pada moralitas. Pendapat ini identik dengan konsepsi dari ekonomi Islam,
Islam, moralitas dan Ekonomi
g 165 h
minus soal bunga bank dan asuransi. Karenanya, pembahasan tentang ekonomi Islam dengan segera lalu terhenti, karena orang lalu berdiskusi tentang Ekonomi Pancasila. Dalam pada itu, ekonomi yang empirik dan bebas nilai, seperti yang dibawakan kaum teknokrat, tetap dilaksanakan dan berkembang pesat.
Sekarang ini, terasa adanya keperluan untuk membahas ada tidaknya ekonomi Islam. Pertama, karena adanya sejumlah program yang menggunakan nama syari’ah, seperti bank syari’ah yang ada di lingkungan sebuah bank besar milik negara (BUMN). Begitu juga ada beberapa upaya percobaan untuk menerapkan asuransi menurut ajaran Islam –yang dikenal dengan nama takaful. Kedua, karena dalam waktu lima belas tahun terakhir, ekonomi kita benarbenar bersifat empirik dan tidak menggunakan acuan moral sama sekali. Ini berarti, telah terbangunnya ekonomi yang benarbenar kapitalistik dan berazas siapa yang kuat dan cerdik, dialah yang menguasai segalagalanya.
Bahkan, begitu kuatnya watak kapitalistik dalam ekonomi kita waktu itu, hingga seorang bankir dan pendiri jaringan sebuah bank raksasa di negeri ini, senantiasa mengucapkan “puji Tuhan” setiap kali akan atau usai menipu orang. Jadi agama diredusir hanya menjadi keimanan dan keyakinan belaka, sedangkan dimensi sosial dijauhkan dari agama dalam pengertian tersebut. Benarkah dengan sistem ekonomi harus membuang jauhjauh pertimbangan moral sama sekali? Di sisi lain, dapatkah sebuah sistem yang hanya bertumpu pada acuan moral saja, dinamai sebuah sistem ekonomi? Kalau jawabannya positif, berarti ekonomi Islam ada; dan kalau jawabannya negatif, berarti tidak ada ekonomi Islam. Justru dalam menentukan jawaban atas kedua pertanyaan di atas, terletak wujud atau tidak terwujudnya ekonomi Islam.
Yusuf Qardhawi1 mengemukakan, bahwa tidak dapat begitu saja bunga bank dianggap sebagai riba, tergantung pada besarkecil dan maksud pemungutan bunga bank tersebut. Menurut
1 Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Menamat-kan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, Qardhawi melanjutkan ke Universitas alAzhar, Fakultas Ushuluddin lulus tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian di sempurnakan menjadi Fiqh Zakat.
Islam, moRalItas dan EkonomI
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 166 h
pendapatnya, jika bunga bank dipungut dari upaya nonproduktif –katakanlah bersifat konsumtif belaka, maka ia dapat dikatakan riba. Kalau bunga bank itu merupakan bagian dari sebuah upaya produktif maka bunga bank yang digunakan atas transaksi itu bukanlah riba, melainkan bagian dari ongkos produksi saja.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa ada tiga hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan sama sekali. Pertama, orientasi ekonomi itu sendiri, yang harus memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kepentingan orang banyak. Ini sesuai dengan ketentuan agama Islam bahwa tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Istilah yang digunakan dalam bahasa Arab oleh fiqh adalah maslahah, diterjemahkan oleh penulis dengan istilah kesejahteraan. Dan, dalam bahasa Undangundang Dasar (UUD) 1945, masyarakat sejahtera dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur, hingga orientasi kepentingan dan kesejahteraan warga masyarakat itu, yang dikandung oleh Islam, sepenuhnya sesuai dengan UUD 1945.
Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan itu, tidak ditentukan format dan bentuknya. Dengan demikian, acuan persaingan-perdagangan bebas dan efisiensi yang dibawakan oleh kapitalisme, tidaklah bertentangan dengan pandangan ekonomi yang dibawakan Islam. Bahkan Islam menganjurkan adanya sikap fastabiqu al-khairat (berlomba dalam kebaikan), yang menjadi inti dalam praktek ekonomi yang sehat. Dengan persaingan dan perlombaan, akan terjadi efisiensi yang semakin meningkat. Namun, pemerintah sebagai penguasa harus memberikan perlindungan kepada yang lemah tanpa melakukan intervensi dalam perdagangan. Negaranegara yang berteknologi majupun melindungi para penganggur, sampai 3% dari jumlah keseluruhan kaum pekerja. Ini adalah prinsip yang harus dipegang teguh dalam menentukan kebijakan ekonomi.
Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan masalah bunga bank dan pelaksanaan asuransi sebagai unit parsial dalam kehidupan ekonomi, dapat saja dirumuskan yang benarbenar sesuai dengan ajaran Islam, dengan predikat bank Islam/bank syari’ah maupun takaful/asuransi Islam. Penyebutan ekonomi secara keseluruhan sebagai “ekonomi Islam” dapat saja dilakukan tanpa kehilangan Islamisitas kita sendiri.
g 167 h
What is a name? ungkap dramawan dunia William Shakespeare. Karenanya, dapat saja kita melihat pelaksanaan prinsipprinsip Islam, namun dalam orientasi dan mekanismenya adalah ekonomi kapitalistik. Padahal orientasi kapitalistik itu dapat dibedakan dari orientasi Islam. Dalam orientasi kapitalistik yang diutamakan adalah individu pengusaha besar dan pemilik modal. Dalam Islam, justru kepentingan rakyatkesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang menjadi ukuran. h
Islam, moRalItas dan EkonomI
g 168 h
Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam kehidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Is
lam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil (an ta’dilû)” maupun keharusan “menegakkan keadilan (kûnû qawwâmîna bi al-qisthi),” berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al-Qurân. Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristilahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan daripada prinsip kemerdekaan itu.
Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita sekarang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Seolaholah kita mengikuti prinsip kemakmuran dan kebebasan itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita. Sikap dengan mudah menentukan kenaikan harga BBM yang kemudian dicabut kembali, menunjukkan hal itu dengan jelas, kalau kita tidak berprinsip keadilan. Tentulah kenaikan harga itu harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya. Dengan demikian, bukankah telah terjadi pengambilalihan sebuah paham dari negeri lain ke negeri kita, yang memiliki prinsip sesuai dengan ketentuan UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang melindungi kaum lemah, padahal akibat paham itu mereka harus dihilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bangsa? Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita, adalah bentuk pemerintahan yang melindungi kaum lemah?
Jelaslah dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD
Islam dan keadilan sosial
g 169 h
45 dengan kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan perbedaan yang sangat menyolok. Dapat dikatakan, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi. Dengan demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan karena keserakahan beberapa orang saja yang menginginkan keuntungan maksimal bagi diri dan golongan mereka saja. Ini adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus dikoreksi oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melakukan koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap pemerintah yang lebih jauh lagi menyimpang dari ketentuan UUD 45.
Hendaknya pun pemerintah bersikap lapang dada dan menerima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45 yang harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kalau ingin menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka konstitusi harus dirubah melalui pemilu yang akan datang. Seperti halnya pengamatan Jenderal (Purn.) Try Soetrisno, bahwa rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang telah menjadikan sistem politik kita benarbenar liberal, yang berdasarkan suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi dengan amandemen UUD lagi, karena hak minoritas harus dilindungi.
eg
Dalam memahami perubahanperubahan sosial yang terjadi, kita juga harus melihat bagaimana sejarah Islam menerima hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan identifikasi atas ja-lannya proses tersebut. Dalam hal ini, penulis mengemukakan sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penafsiran kembali (reinterpretasi) atas ajaranajaran agama yang tadinya dianggap sebagai sebuah keadaan yang “normal”. Tanpa proses penafsiran ulang itu tentunya Islam akan sangat sempit memahami ayat-ayat al-Qurân. Seperti misalnya “Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian dan Kusempurnakan (pemberian) nikmatKu dan Kurelakan bagi kalian Islam sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmam-tu ‘alaikum ni’matî wa radhîtu lakum al-Islâma dînan)” (QS. alMaidah [5]:3). Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah telah menurunkan prinsipprinsip yang tetap (seperti daging bangkai
Islam dan kEadIlan sosIal
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 170 h
itu haram), sedangkan hukumhukum agama (fiqh/ canon laws) terusmenerus mengalami perubahan dalam perinciannya.
Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) mengenai Keluarga Berencana (KB), yang bersifat rincian dan mengalami perubahanperubahan. Dahulu, KB sama sekali ditolak, padahal waktu itu ia adalah satusatunya cara untuk membatasi peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah program ini sebagai campurtangan manusia dalam hak reproduksi manusia yang berada di tangan Tuhan sebagai sang pencipta. Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan kelahiran (tanzim an-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. Dengan demikian, dipakailah caracara, metode, alatalat dan obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kondom dan sebagainya. Penggunaan metode dan alatalat tersebut sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali ayat suci dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (fami-ly planning).
Contoh sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, dengan jelas, betapa pentingnya proses penafsiran ulang tersebut. Tanpa kehadirannya, Islam akan menjadi agama yang mengalami “kemacetan”. Hal itu menyalahi ketentuan agama itu sendiri yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tempat dan masa (al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin).” Dengan demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muhammad Saw itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna, karena hanya pada halhal prinsip saja Islam bersifat tetap, sedangkan dalam halhal rincian dapat dilakukan penafsiran ulang, kalau telah memenuhi persyaratanpersyaratan untuk itu.
eg
Dalam hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin/lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat pada ayat suci berikut; “Apa yang dilimpahkan (dalam bentuk pungutan
g 171 h
fai’) oleh Allah atas kaum (penduduk sekitar Madinah), maka harus digunakan bagi Allah, utusanNya, sanak keluarga terdekat, anakanak yatim, orangorang miskin, para pemintaminta/pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orangorang kaya saja di lingkungan kalian. (mâ afâ ‘a Allâhu ‘alâ rasû-lihi min ahl al-qurâ fa li-Allâhi wa li al-rasûl wa li dzî al-qurbâ wa al-yatâ mâ wa al-masâkîn wa ibn al-sabîl, kailâ yakûnâ dûlatan bain al-aghniyâ’a minkum)” (QS alHasyr [59]:7).
Haruslah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan Islam saat ini, bahwa apa yang dikemukakan oleh ayat suci di atas, menunjukkan dengan jelas watak keadilan struktural dari bangunan masyarakat, baik itu dicapai melalui perjuangan struktural (seperti dikehendaki Sosialisme dan Komunisme) maupun tidak. Jika hal ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Islam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaatkan manusia untuk kepentingan manusia lain (exploitation de l’home par l’home). Jelas, sikap itu berlawanan dengan keseluruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Karenanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan KKN dalam mengemban jabatan itu, mau tidak mau harus berhadapan dengan pengertian keadilan dalam Islam, baik bersifat struktural atau nonstruktural.
Jelaslah, bahwa telah terjadi pergeseran pemahaman dan pengertian dalam Islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri. Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh dari kata i’dilû’ atau ‘al-qisth’ itu sendiri, lalu ada sementara pe-mikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “keadilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin mengenai perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini menginginkan pendekatan struktural dalam memahami perubahan sosial. Namun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian besar adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyarakat. Tetapi, lambat-laun akan muncul para aktifis yang menggunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Implikasinya akan muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya yaitu “muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan perjuangan kaum muslimin itu, namun sulit memimpinnya, bukan? h
Islam dan kEadIlan sosIal
g 172 h
Kitab suci al-Qurân berkali-kali menandaskan, bahwa masalah kecukupan adalah masalah yang kerapkali mengganggu hidup manusia. Dikatakan; “Telah membuat ka
lian lalai, upaya memperbanyak harta, hingga kalian masuk liang kubur (Alhâkum al-takâtsur. Hattâ zurtum al-maqâbir)” (QS. atTakatsur [102]:12). Jelas dari ayat ini bahwa, upaya mengejar harta sebanyak mungkin dapat melupakan manusia dari Tuhan, apalagi bila mengakibatkan penderitaan sesama manusia. Dengan demikian, melalui ayat di atas, Islam jelas sekali menentukan bahwa manusia harus bersamasama dalam kehidupan, termasuk dalam mencari apa yang dinamakan “kecukupan”, baik yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat (af-fluent society).
Dengan demikian, nyata bagi kita, kecukupan itu dalam pemikiran Islam ada aturannya, yaitu mencapai tingkat perolehan yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal yang sama. Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam konsep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah mencapai hal yang maksimal, namun senantiasa manusia lain menjadi korban.
Dalam persaingan bebas itu, tidak lagi mempedulikan siapa korban, toh manusia memang tidak bernasib sama. Jadi, negara berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga negara yang "kalah" dalam bentuk kecukupan minimal. Contoh yang paling
Islam dan masalah kecukupan
g 173 h
umum adalah asuransi sosial, yang diberikan kepada orang yang menganggur. Sedang asuransi sosial bagi pensiunan, sebesar 80% pendapatan tertinggi semasa mereka masih bekerja. Asuransi sosial ini adalah jaminan sosial akan kebutuhan terendah seorang warga masyarakat, dan itulah yang menjadi tugas utama pemerintah, yakni penyediaan jaminan sosial yang mencukupi kebutuhan standard kehidupan. Untuk tujuan politik, pemerintah menyediakan berbagai pelatihan kerja, guna memungkinkan para penganggur itu memperoleh lapangan pekerjaan yang tadinya tidak dapat mereka masuki.
Diharapkan dengan pembayaran pajak yang besar dari persaingan bebas, maka pemerintah kapitalis akan mampu menanggulangi masalah pengangguran itu melalui penetapan dasar kecukupan minimal seorang warga negara. Kalau tercapai jumlah yang ditentukan itu, berarti pemerintah sudah melaksanakan tugas.
Jadi keseluruhan hidup manusia diukur dengan capaian minimal tersebut, dan selebihnya manusia dapat mengejar ketinggian maksimal dalam keenakan hidup secara material. Hal ini berarti, seluruh kehidupan diukur dengan ukuran capaian materialistik belaka. Maka, tidak mengherankan jika penerapan ukuranukuran pincang itu menghasilkan juga pola kehidupan yang pincang. Dalam institusi perkawinan pun terjadi perkembangan yang sedemikian rupa, seperti masyarakat gay, lesbi dan bahkan perkawinan sejenis. Di sini, ukuranukuran moral yang kita ikuti selama ini justru “mengganggu” lembagalembaga baru yang akan diwujudkan mereka.
Sudah tentu, pengembangan ukuran materialistik bagi warga negara harus diwujudkan guna mencapai masyarakat yang sejahtera. Tetapi, hal ini tanpa harus meninggalkan ukuranukuran moral yang konvensional dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab sosial para warga masyarakat tidak dapat digantikan negara demikian saja, seperti yang terjadi di Skandinavia1. Angka bunuh diri yang tinggi di dalamnya, menunjukkan besarnya rasa tidak puas atas tatanan struktural yang dikem
1 Suatu kawasan di Eropa Utara yang terkenal dengan tingkat kesejahteraan yang begitu tinggi para warganya. Negaranegara di kawasan ini; Norwegia, Swiss, dan Finlandia, memberikan jaminan kesejahteraan yang cukup tinggi juga bagi para warganya yang miskin tak bekerja dan para manula.
Islam dan masalaH kEcukuPan
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 174 h
bangkan. Sikap negara yang tidak memihak pada si lemah, membuat para warga negara gundah perasaannya. Di tengahtengah kemakmuran serba benda, dalam negara yang diperintah oleh kaum sosial demokrat itu, ternyata manusia tidak cukup dilayani dengan struktur materialistik belaka, melainkan juga membutuhkan institusiinstitusi lain yang lebih mengarah kepada halhal spiritual. Aspek spiritual ini menjadi menonjol, dan mengambil bentuk munculnya nasionalisme sempit atau radikalisme model baru seperti yang terjadi di Eropa Barat, yang sering menyebut diri mereka sebagai golongan konservatif.
eg
Kehidupan di bawah tingkat kecukupan itu tidak menjadi perhatian benar bagi pemerintah, paling jauh hanya ditangani aspek psikologis yang bersifat materialistik saja. Contohnya adalah manusia lanjut usia (manula) yang dalam masyarakat kita jumlahnya semakin lama semakin bertambah besar. Sebagai catatan di berbagai negara, dibangun sejumlah rumah panti jompo bagi para warga negara manula. Mereka berkumpul di rumahrumah jompo dan hidup bersama manulamanula lain. Negara tidak melihat hal yang aneh dalam keterpisahan (isolasi) antara sesama warga negara itu. Jadi, yang diperhatikan hanya sudut psikologis, tanpa meninjau terlalu jauh keterikatan manula dari keluarganya.
Tentu, apa yang diterangkaan di atas dapat diperdebatkan, seperti jawaban atas pertanyaan adakah pengaruh seorang manula atas cucunya; bersifat positif ataukah negatif? Jawabanjawaban atas pertanyaan seperti itu tentu saja menjadi penting untuk ditemukan rumusan-rumusannya yang definitif. Demikian pula, dapatkah jawabanjawaban seperti itu menjadi sama bagi setiap warga negara, ataukah hanya berkenaan dengan warga negara tertentu saja? Karena itu, diperlukan sejumlah lembaga yang dipimpin oleh para pakar dari berbagai bidang untuk memadu jawaban yang diperoleh, sehingga menjadi landasan bagi sejumlah kebijakan umum.
Dari halhal yang disebutkan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa wawasan agama harus dapat digabungkan dengan pertimbanganpertimbangan kepakaran yang lain. Karenanya, menjadi penting untuk memahami peranan agama dalam me
g 175 h
lihat masalah tidak hanya dari sudut agama belaka, melainkan secara menyeluruh dari berbagai bidang. Menjadi pertanyaan penting bagi kita, adakah Islam dapat menerima jawaban multifungsi dan multibidang seperti ini.
eg
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aplikasi atau penerapanpenerapan ajaran agama, termasuk agama Islam, memang bersifat sangat sulit dan sangat komplek dalam kehidupan nyata. Karenanya, kita harus bersikap hatihati dalam masalah ini. Kita tidak dapat berlepastangan dari aspek penyediaan jawaban dari sudut pandang agama atau justru hanya mengandalkan dari sudut pandang materialisme.
Guna memungkinkan jawabanjawaban dalam hal ini, penulis beranggapan faktor nilai (values) turut menentukan tindakantindakan manusia untuk memecahkan masalahmasalah yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini bersifat komprehensif, berlawanan dengan jawaban dari lembaga pemerintahan pada umumnya. Sungguh rumit bukan? h
Islam dan masalaH kEcukuPan
g 176 h
Dalam fiqh dikemukakan keharusan seorang pemimpin agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin, sebagai tugas yang harus dilaksanakan: “Kebijaksanaan
dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûtun bi al-maslahah)”. Sangat jelas tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang dirumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah). Prinsip kemaslahatan itu sendiri seringkali diterjemahkan dengan kata “kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen Harvard, yang juga mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk India, John Kenneth Galbraith, sebagai “The Affluent So-ciety”.1
Dalam bahasa pembukaan Undangundang Dasar (UUD) 1945, kata kesejahteraan tersebut dirumuskan dengan ungkapan lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah tujuan dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam siklus berikut: hak setiap bangsa untuk mem
1 Konsep ini mengacu pada takaran “kecukupan” secara ekonomi, baik yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat (affluent society). John Kenneth Galbraith (19082006), adalah seorang ahli ekonomi berkebangsaan Amerika abad ke20. sebagai penganut aliran Keynesian dan seorang institusionalis, Galbraith dikenal pula sebagai ahli politik liberalisme. Keahliannya inilah yang mengantarkan ia menjadi Duta Besar AS untuk India. Sebagai seorang akademisi, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif, baik berupa buku maupun artikelartikel. Tiga di antaranya merupakan buku yang paling terkenal dalam bidang ekonomi, yaitu; “American Capitalism (1952)”, “The Af-fluent Society (1958)”, dan The New Industrial State (1967)”.
Islam dan kesejahteraan Rakyat
g 177 h
peroleh kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggapnya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelasjelas menempatkan kesejahteraan/keadilankemakmuran sebagai sesuatu yang esensial bagi kehidupan kita.
Menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelenggarakan negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama nilainya dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan oleh fiqh tadi. Hal inilah yang harus dipikirkan secara mendalam oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap UUD 1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini, akan merusak rumusan tujuan bernegara tersebut?
eg
Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian menjadi sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan negaranegara Teluk lainnya telah mencapai taraf ini, walaupun masalah keadilan di negerinegeri tersebut masih belum terwujud seluruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada keadilan hukum belaka, namun keadilan politik2 dan budaya belum terwujud. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apakah negaranegara tersebut demokratis ataukah belum? Memang terasa, jawaban atas pertanyaan di atas bersifat sangat pelik, apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar: benarkah penerapan hak bersuara bagi tiap individu (one man one vote principle) telah mencerminkan demokrasi3
2 Keadilan sosial adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf terkagumkagum sejak Plato membantah filosof muda, Thrasymachus, karena ia menyatakan bahwa keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat. Dalam ‘Republik’, Plato beralasan bahwa sebuah negara ideal akan bersandar pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, pantangan (atau keprihatinan), dan keadilan. Penambahan kata sosial adalah untuk membedakan keadilan so-sial dengan konsep keadilan dalam hukum. Di Indonesia, keadilan sosial juga merupakan salah satu butir dalam Pancasila.
3 Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar,
Islam dan kEsEjaHtERaan Rakyat
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 178 h
yang sesungguhnya?Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar hal
itu dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum muslimin. Haruskah kita menerima pencapaian kesejahteraan dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai persyaratan demokrasi?.
Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sangat penting bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi kaum santri yang melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan seharihari. Pentingnya upaya tersebut dapat dilihat pada tidak tercapainya keadilan maupun kesejahteraan di negeri ini, walaupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh negaranegara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paruparu dunia, kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut yang kini banyak dicuri orang. Kegagalan mencapai kesejahteraan hidup bagi rakyat banyak itu, dapat dikembalikan sebabnya kepada kebijakan ekonomi dan peraturanperaturan semenjak kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepentingan orang kaya/ cabang atas dari masyarakat kita, bukan kepentingan rakyat banyak.
eg
Karena eratnya hubungan antara kebijakan/ tindakan pemerintah di bidang ekonomi dengan pencapaian kesejahteraan, jelas bagi kita nilainilai Islam memang belum dilaksanakan dengan tuntas oleh bangsa kita selama ini. Dikombinasikan dengan maraknya korupsi dan pungutanpungutan liar, maka secara keseluruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan asetaset kekayaan bangsa oleh segelintir orang. Dan dari penguasaan seperti itu dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan yang merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menun
sebab demokrasi saat ini disebutsebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokraasi menempati posisi vital dengan kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara, di mana kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus bertujuan untuk rakyat. Konsep ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika kekuasaan pemerintah yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringali menimbulkan pelanggaran terhadap hakhak asasi manusia.
g 179 h
jukkan keharusan bagi kita untuk berani banting setir/kemudi dalam upaya mencapainya. Kalau tidak, berarti kita rela membiarkan sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan atau tidak jauh dari garis tersebut. Inginkah kita hal itu akan terjadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?
Bukankah pembiaran kita atas rakyat kecil di pedesaan, yang menjual tanah dan asetaset lain untuk sekedar memperoleh makanan, merupakan kejahatan kita atas agama yang tidak dapat dimaafkan?Jelaslah bagi kita bahwa pencapaian kesejahteraan yang merata bagi seluruh bangsa, merupakan amanat agama juga. Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan dan kita tetap tidak melakukan perbaikan?
Jawaban atas rangkaian pertanyaan di atas yaitu, kita harus menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi. Caranya dengan mengembangkan ekonomi rakyat dalam bentuk memperluas dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Segenap sumbersumber daya kita harus diarahkan kepada upaya tersebut, yang berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Namun, ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, melainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa pertolongan pemerintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu, kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan per-modalan swasta dalam dan luar negeri.
Jelaslah dari uraian di atas, upaya menegakkan ekonomi rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajaran Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa orientasi itu, apapun yang kita lakukan akan bertentangan dengan keduaduanya. Untuk melakukan upaya banting setir/kemudi di bidang ekonomi, cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat sulit dalam pelaksanaan, bukan? h
Islam dan kEsEjaHtERaan Rakyat
g 180 h
Dalam menguraikan sejarah ekonomi bangsabangsa Timur Tengah, Charles Issawi1 menunjuk kepada Bangsa Mesir. Bangsa ini sulit melepaskan diri dari birokrasi pe
merintahan, karena tradisi sejarah itu yang menunjukkan kekuatan mereka semenjak ribuan tahun yang lalu. Di mulai dengan Fir’aun/Paraoh yang menjadi manifestasi kekuasaan Tuhan di muka bumi, melalui para sultan yang menjadi wakilnya. Dilanjutkan oleh kekuasaan kaum imperialis yang luar biasa, birokrasi pemerintah menjadi sesuatu yang kokoh dengan adanya Sosialisme Arab di bawah Gamal Abdel Naser.2 Birokrasi pemerintahan mengembangkan diri begitu rupa, hingga kepentingankepentingannya seringkali disamakan dengan kepentingan rakyat banyak, sebuah hal yang secara perlahanlahan tapi pasti sedang merasuki kehidupan kita sebagai bangsa.
Hal ini jarang dipikirkan orang, dan mau tak mau kita harus mengaitkannya dengan konsep negara Islam yang saat ini ditiuptiupkan oleh sementara orang. Karenanya, sebuah pertanyaan harus dijawab sebelum meneruskan pemikiran tentang konsep tersebut yaitu: di manakah letak birokrasi pemerintahan dalam sebuah konsep negara Islam? Ini diperlukan, untuk menghindarkan atau menghadirkan sebuah negara Islam, kalau konsep se
1 Prof. Charles Issawi (19162000), intelektual kelahiran Mesir yang banyak bergelut dalam isu ekonomi. Dialah perintis sejarah ekonomi Timur Tengah sebagai bidang kajian. Pernah menjadi Presiden the Middle East Studies Association MESA (1973) dan the Middle East Economic Association – MEES (197883).
2 Gamal Abdel Naser (1918 – 1970) adalah pemimpin besar Mesir. Mantan pemimpin AlIkhwan alMuslimun ini adalah penggagas Arab Bersatu atau PanArabisme untuk mempersatukan Arab menentang imperialisme.
Islam: antara Birokrasi dan Pasar Bebas
g 181 h
perti itu dapat dibuat dan kemudian dilaksanakan, karena hal itu akan menyangkut kepentingan kita bersama sebagai bangsa.
Dapat saja keinginan itu dianggap sebagai sesuatu yang mengadaada, tetapi ia harus dibicarakan di sini untuk memperoleh kejelasan tentang posisi Islam dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang bernegara dan bermasyarakat. Jika ini kita abaikan, janganjangan nantinya kita dihadapkan kepada semakin kuatnya birokrasi pemerintahan dalam kehidupan kita. Ini untuk menghindarkan kita dari penyesalan berkepanjangan, jika gagasan tentang konsep negara Islam dapat diwujudkan.
eg
Ketika penulis menanyakan kepada Datuk Seri Dr. Mahathir Muhamad,3 tentang keputusan Malaysia keluar dari kungkungan Dana Moneter Internasional (IMF), beliau menjawab bahwa guru besar Massachussets Institute of Technology (MIT), Paul Krugman4 yang menganjurkan hal itu. Ketika guru besar itu singgah di Jakarta, penulis bertanya kepadanya; apakah hal itu sebaiknya juga dilakukan oleh Indonesia? Beliau menyatakan, Malaysia dapat melakukannya karena memiliki birokrasi yang bersih dan ramping (clean and lean bureaucracy), dan Indonesia sebaiknya tidak melakukan hal itu, karena tidak memiliki birokrasi seperti yang disebutkan tadi. Penulis tidak menjawabnya, karena disadari kita memang memiliki birokrasi pemerintahan yang terlalu besar dan korup.
3 Seri Dr. Mahathir Muhamad (lahir pada 10 Juli 1925) adalah Perdana Mentri (PM) Malaysia yang keIV. Ia memerintah Malaysia sejak 16 Juli 1981 hingga 31 Oktober 2003 dan dianggap berhasil mensejahterakan Malaysia menjadi negara yang makmur, sejajar dengan negara lainnya. Sebagai seorang tokoh politik yang seringkali dianggap kontroversi, Mahathir selalu mengambil posisi oposan terhadap kebijakankebijakan AS. Ini dilakukan sebagai bentuk protes keras terhadap sistem kapitalisme AS dan perlunya internalisasi nilainilai Asia. Selepas dari jabatannya sebagai PM, nama Mahathir semakin harum dan dikenang. Ia adalah negarawan ulung yang telah menjadikan Malaysia sebagai negara modern. Keberhasilannya ini telah mengantarkan ia memperoleh gelar “Tun”, sebuah gelar kehormatan tertinggi di Malaysia.
4 Paul Robin Krugman (lahir 28 Februari 1953) adalah seorang ahli teori ekonomi yang telah menulis beberapa buku sejak tahun 2000 dan kolomnis pada The New York Times. Saat ini, Ia adalah seorang profesor ekonomi dan hubungan internasional pada Princeton University.
Islam: antaRa bIRokRasI dan PasaR bEbas
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 182 h
Untuk mencapai birokrasi yang ramping dan bersih, diutamakan beberapa hal, dimulai dari peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan warga TNI/POLRI. Persenjataan dan kesejahteraan mereka harus ditingkatkan secara drastis, kalau diinginkan mereka tidak terlibat tindakantindakan korup dan penyelundupan. Tanpa dilakukannya kedua hal itu, mustahil kita akan memiliki birokrasi yang jujur. Sementara itu, penyebaran tenaga-tenaga birokrasi harus efisien, agar tempat-tempat yang memerlukannya memperoleh tenaga birokrat yang cukup, dan tempattempat yang tidak begitu memerlukan terlalu banyak akan memperoleh birokrasi sejumlah yang diperlukan.
Demikian pula, status purnawirawan harus diterapkan pada waktunya agar tidak menghambat karier maupun kemungkinan promosi generasi muda. Jika hal ini dilaksanakan secara konsekuen, dalam waktu beberapa tahun saja akan tercapai keseimbangan antara kebutuhan birokrasi dan tersediannya tenaga untuk itu. Pada tahap itulah kita baru dapat melakukan konsolidasi kepegawaian –seperti yang ditentukan oleh undangundang. Memang berat tugas menciptakan birokrasi dalam jumlah dan tingkatan yang sesuai dengan kebutuhan, tapi memang masa depan bangsa ini tergantung sepenuhnya pada kemampuan kita untuk mewujudkan keseimbangan seperti itu.
eg
Keharusan menciptakan profesionalisme penuh bagi sistem kepegawaian kita, tertera dalam Kitab suci al-Qurân yang menyebut dengan istilah “Memenuhi janji mereka di kala mengucapkan sumpah prasetia kepada jabatan (Wal mûfûna bi ‘ahdi-him idzâ ‘âhadû)” (QS. alBaqarah [2]:177). Adakah sebuah janji yang lebih besar dari pada sesuatu yang diucapkan ketika menyatakan janji prasetia kepada jabatan? Karena itulah profesionalisme harus ditegakkan, guna memungkinkan kita menepati janji prasetia yang kita ucapkan ketika pertama kali menerima jabatan.
Birokrasi pemerintahan memang diperlukan oleh sebuah negara modern, namun birokrasi seperti itu haruslah benarbenar profesional, untuk membantu dalam pengambilan keputusan pemerintah serta mencari kebijakan yang diperlukan untuk menyejahterakan rakyat. Tetapi, birokrasi pemerintahan bukan
g 183 h
lah entitas independen, melainkan sebagai pihak yang selalu berpegang kepada kepentingan warga negara kebanyakan.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa Islam tidak memberikan kekuasaan mutlak kepada birokrasi pemerintahan untuk berbuat semau mereka. Tetapi, Islam juga memandang pentingnya arti birokrasi pemerintahan yang baik, karena segenap kebijakan pemimpin tidak dapat dipisahkan dari pelaksananya, yaitu birokrasi pemerintahan. Karenanya, birokrasi pemerintahan yang tidak terlalu besar dan tunduk sepenuhnya kepada para pemimpin politik sebagai pengambil keputusan terakhir, merupakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua non, mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihî fahua wâjibun). Tidakkah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan Islam, birokrasi pemerintahan seharusnya berukuran tidak terlalu besar dan memiliki wewenang serba terbatas. h
Islam: antaRa bIRokRasI dan PasaR bEbas
g 184 h
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Setiap kalian adalah penggembala, dan seorang penggembala akan ditanya tentang gembalaannya (kullukum râ’in wa kullu râ’in
mas’ûlun ‘an ra’îyyatihi).” Hal ini merupakan landasan moral bagi setiap warga negara untuk mempertanyakan orientasi dan teori pembangunan nasional yang dipakai di negaranya. Sejauh ini, yang diajukan selalu hanya orientasi pembangunan yang elitis dan teori pembangunan nasional yang sekuler. Sangat sedikit perhatian diberikan pada orientasi dan teori pembangunan nasional yang diambil dari ajaran agama. Padahal, banyak sekali aspekaspek spiritual yang dapat dijadikan landasan bagi teori pembangunan nasional yang lebih menyeluruh dan orientasi pembangunan yang memiliki sisi keagamaan sangat kuat.
Akibat yang sangat terasa bagi kita dewasa ini adalah, orientasi pembangunan kita yang serba elitis dan hanya mementingkan kaum kaya dan cabang atas dari masyarakat kita, sedangkan banyak sekali para orang kaya –yang di kemudian hari menjadi konglomerat hitam, membawa lari modal pinjaman mereka ke luar negeri. Ini adalah akibat langsung dari orientasi pembangunan yang serba elitis tadi, yang bertumpu pada ekspor produkproduk ke luar negeri, dan sama sekali tidak memberikan perhatian pada pembentukan modal secara besarbesaran kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM), minimal dengan pemberian kredit murah bagi mereka, serta pemberian kemudahankemudahan dan fasilitasfasilitas lain. Akibatnya, adalah krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan di negeri kita, hingga dewasa ini.
Islam dan teori Pembangunan nasional
g 185 h
Untuk meredam suara protes yang mencari sebabmusabab kedua krisis ini, dikemukakanlah acuanacuan seperti persaingan, perniagaan internasional yang bebas dan keharusan berefisiensi. Padahal ketiga patokan itu berarti persyaratan yang harus dipenuhi, jika diinginkan gerak perekonomian yang sehat bagi sebuah negara. Orientasi memajukan gerak ekonomi, baik yang bersifat elitis seperti memajukan konglomerasi, maupun yang profesional dengan bersandar pada pertumbuhan UKM yang kuat, mengharuskan adanya kompetisi yang ketat, penghormatan kepada tata niaga internasional dan kemampuan efisiensi yang tinggi.
eg
Ukuran teori pembangunan nasional yang sekuler yang digunakan dalam menilai majunya perekonomian, memang berbeda dari teori pembangunan nasional yang lebih lengkap (baik aspek spiritual keagamaan maupun aspekaspek lainnya). Teori pembangunan nasional yang sekuler selalu bermula dari tinggi rendahnya pendapatan nasional sebuah bangsa, dengan menggunakan berbagai pertimbangan kuantitatif. Sedangkan teori pembangunan nasional yang bersumber pada agama, senantiasa bermula dari tanggung jawab menciptakan masyarakat yang adil dan makmur (menurut bahasa UUD 1945), sedangkan menurut ajaran Islam dinamai kesejahteraan. Perbedaan titik tolak dalam memandang hasil pembangunan nasional ini, tidak dapat dihindarkan, karena memang cara melihat masalahnya pun berbeda. Dari sudut pandang spiritual keagamaan, yang dinilai adalah capaian individu warga masyarakat, sedangkan bagi teori pembangunan nasional yang sekuler, yang dipentingkan adalah capaian makro negara.
Dari perbedaan teori yang digunakan, yang akhirnya berbeda dalam cara memandang pembangunan nasional, jelas bahwa kita harus memilih antara teori pembangunan nasional yang sekuler atau teori pembangunan yang lebih menyeluruh. Tentu saja pilihan orang seperti penulis lalu jatuh pada teori pembangunan nasional yang lebih berorientasi spiritual/keagamaan. Karena, di samping ukuranukuran kuantitatif seperti penghasilan nasional, capaian umur ratarata warga negara –baik pria dan wanita serta pemilikan ratarata perorangan tiap penduduk
Islam dan tEoRI PEmbanGunan nasIonal
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 186 h
sebuah negara terhadap mobil, rumah, telepon dan sebagainya, juga digunakan ukuran nonmateriil –seperti keadilan, HAM, dan kemakmuran kolektif. Jadi, ukuran yang digunakan tidak hanya satu corak saja, tapi memiliki beragam ukuran dari satu ke lain bidang.
Ini menjadi sesuatu yang penting, karena dengan ukuranukuran kuantitatif akan tetap terdapat disparitas yang tinggi dalam kehidupan di berbagai sektor, seperti perniagaan, pertukangan dan sebagainya. Justru di negaranegara berkembang, disparitas itu terasa sangat tinggi. Sedangkan di negaranegara berteknologi maju hal itu kurang terasa. Kecenderungan masyarakat di Jepang, misalnya, yang membatasi perbedaan pendapatan tertinggi sekitar 20 kali lipat pendapatan terendah, membuat masyarakat tidak terlalu dilanda kecemburuan sosial yang besar. Dengan ungkapan lain, kapitalisme di negaranegara berteknologi maju telah membentuk susunan masyarakat yang lebih kecil kesenjangannya, sesuatu yang belum ada pengaturannya di negaranegara yang sedang berkembang.
eg
Dengan demikian, sloganmottosemboyan yang digunakan dalam pembangunan nasional pun juga berbeda. Nah, perbedaan ini harus dicari sumbersumbernya dalam teori pembangunan nasional yang digunakan. Inilah yang membuat penulis membedakan teori pembangunan nasional yang sekuler dengan teori yang juga memasukkan aspekaspek spiritualkeagamaan. Pencarian orientasi lebih lengkap ini dilakukan penulis, karena ia melihat ketimpanganketimpangan dalam orientasi pembangunan yang sedang berjalan, yang memanjakan golongan atas dan pengusaha kaya belaka.
Perhatian kurang sekali diberikan, kepada teori pembangunan nasional yang lebih lengkap, yang memunculkan orientasi kesejahteraan bersama seluruh warga negara, di samping ukuran kuantitatif yang lazim digunakan. Krisis ekonomi finan-sial yang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini, jelas diakibatkan oleh orientasi pembangunan nasional yang terlalu elitis, dan mengabaikan ukuranukuran seperti kesejahteraan bersama, keadilan sosial, penegakan hukum dan pelaksanaan hakhak asasi manusia.
g 187 h
Jelaslah dengan demikian, ukuran mikro dan makro yang benar harus samasama digunakan dalam mengukur capaian pembangunan nasional kita. Ini berarti harus ada perubahan besar dalam strategi pembangunan nasional yang digunakan. Di samping optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap tata niaga internasional dan penghargaaan rasional kepada efisiensi (yang lebih bersifat ukuranukuran mikro), digunakan juga orientasi yang benar akan keadilan sosial, kedaulatan hukum dan HAM. Dengan kata lain, di samping ukuranukuran kuantitatif yang bersifat mikro, digunakan juga ukuranukuran kualitatif dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan kepentingan rakyat banyak, sebagai halhal makro yang juga harus diperhatikan. h
Islam dan tEoRI PEmbanGunan nasIonal
g 188 h
Globalisasi ekonomi, saat ini sering diartikan sebagai persaingan terbuka, ketundukan mutlak pada kompetisi dan penerimaan total atas “kebenaran” tata niaga inter
nasional yang diwakili oleh World Trade Organisation (WTO)1. Benarkah dan cukupkah, hal ini menjadi perhatian kita melalui tulisan ini. Dalam uraian ini, akan tercapai kejelasan pandangan dan maksud tentang halhal tersebut.
Globalisasi ekonomi dimaksudkan untuk membenarkan dominasi perusahaanperusahaan besar atas perekonomian negaranegara berkembang, yang tentu saja akan sangat merugikan negaranegara tersebut. Karena itulah, tentangan atas WTO dan pengertian globalisasi seperti itu justru dilancarkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang berpangkalan di negaranegara berteknologi maju. Penentangan terbuka atas WTO oleh LSM internasional di Seatle2, mempenga
1World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia yang secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995, merupakan satusatunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi: 1. Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT) 2. Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS) 3. Kepemilikan intelektual (TradeRelated Aspects of Intellectual Properties/ TRIPs) 4. Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)
2Demonstran dari berbagai negara meluruk lokasi Konferensi Tingkat Menteri WTO yang berlangsung di Negeri Paman Sam pada November 1999 ini. Para demonstran menentang WTO dengan alasan globalisasi tidak demokratis, merusak lingkungan, mengurangi pekerjaan, menimbulkan pengangguran dan
Islam dan Globalisasi Ekonomi
g 189 h
ruhi sikap negaranegara berkembang, yang dimunculkan dalam konferensi WTO di Doha, Qatar tahun 2001.
Namun, tentangan terhadap gagasan globalisasi ekonomi itu tidak dilanjutkan dengan kampanye besarbesaran untuk menumbuhkan alternatif baru atas globalisasi itu. Dengan kegagalan menampilkan strategi positif itu tampak bahwa pengertian lama yang negatif tentang globalisasi tetap berlaku. Hal ini tentu berbeda, misalnya, dengan strategi Bung Karno untuk menyerang imperialisme dengan mengemukakan alternatifnya, yaitu negaranegara AsiaAfrika.
Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang sudah lazim, kita dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama tentang pembangunan nasional. Pandangan itu, berangkat dari apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi ekonomi dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor utama: arti barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagaimana masyarakat menggunakan barang dan jasa tersebut. Modal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang diperlukan untuk membuat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat. Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa keuntungan/profit merupakan hasil sekunder yang tidak hanya memperbaiki kehidupan pemilik modal, tapi juga ia tidak berakibat menyengsarakan pembeli/pengguna barang tersebut.
Maksudnya, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan pemilik modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Dengan kata lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif, berarti tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk memanipulasi pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperkenankan adanya pendekatan laisses faire (kebebasan penuh) yang menjadi ciri kapitalisme klasik. Dalam pandangan Islam, benda dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah pihak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi ekonomi. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh Islam bukanlah pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melainkan sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif.
menghambat kenaikan gaji. Perusahaan mulitnasional asing yang merupakan ujung tombak implementasi globalisasi mereka anggap perampok dan secara umum merusak ekonomi nasional.
Islam dan GlobalIsasI EkonomI
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 190 h
Dengan pendekatan noneksploitatif semacam itu, memang tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah terjadinya eksploitasi itu sendiri. Di sinilah peranan negara menjadi sangat penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara yang terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Manusia harus diutamakan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya. Jika prinsip noneksploitatif dalam sebuah transaksi ekonomi seperti digambarkan di atas terjadi, maka dengan sendirinya pengertian akan globalisasi juga harus dijauhkan dari dominasi sebuah negara/perusahaan atas negara/perusahaan lain. Karena itu, globalisasi dalam pengertian lama yang hanya mementingkan satu pihak saja haruslah dirubah dengan pengertian baru yang lebih menekankan keseimbangan antara pemakai/pengguna sebuah barang/jasa dan penghasil (produsennya).
Dengan demikian, pencarian untung/laba dalam globalisasi tidak harus diartikan sebagai kemerdekaan penuh penguasa modal untuk melikuidasi saingan mereka, melainkan justru diarahkan pada tercapainya keseimbangan antara kepentingan produsen dan konsumen. Penyesuaian antara kepentingan pihak konsumen dan produsen ini, tentulah menjadi titik penyesuaian antara kepentingan berbagai negara satu sama lain di bidang ekonomi dan perdagangan.
Di lihat dari sudut penafsiran seperti itu, dalam pandangan Islam diperlukan keseimbangan antara kepentingan negara produsen barang/jasa dan negara pengguna barang/jasa tersebut, sehingga tercapai keseimbangan atas kehidupan internasional di bidang ekonomi/finansial. Dengan kata lain, keadilan tidak memperkenankan kata globalisasi digunakan untuk menjarah kepentingan sesuatu bangsa atau negara, hingga kata itu sendiri berubah arti menjadi tercapainya keseimbangan antara kedua belah pihak. Singkatnya, WTO seharusnya berperan mendorong perkembangan ke arah itu, bukannya menjamin kebebasan berniaga secara penuh, dengan hasil terlemparnya bangsa atau perusahaan lain karenanya. Sederhana, bukan? h
g 191 h
Judul di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat proses “penyantrian”1 kaum muslimin di seluruh dunia Islam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan penga
matan sebelumnya, bahwa ratusan juta muslimin dapat dianggap sebagai orangorang “Islam statistik” belaka alias kaum muslimin yang tidak mau atau tidak dapat menjalankan ajaranajaran agama mereka. Orangorang seperti itu, dikalangan “kaum santri” di negeri kita, dikenal dengan nama “orangorang abangan” (nominal muslim) di Indonesia. Mereka berjumlah sangat besar, jauh lebih besar daripada kaum santri. Jika di masa lampau ada anggapan, bahwa kaum santri yang melaksanakan secara tuntas ajaranajaran agama mereka berjumlah sekitar 30 % dari penduduk Indonesia, maka selebihnya, mayoritas bangsa ini tidak melaksanakan “kewajibankewajiban” agama dengan tuntas.
Karena “menyadari” hal itu, dengan kata lain menganggap Islam baru tersebar dalam lingkup tauhid di negeri kita, maka para wakil berbagai organisasi Islam, menerima pencabutan
1 Istilah “penyantrian” berasal dari kata dasar “santri”. Sementara Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmuilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di Pulau Jawa.
syari’atisasi dan Bank syariah
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 192 h
Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosuyoso, Ahmad Subardjo, Agus Salim, dan A. Wahid Hasyim menerima pencabutan itu dengan mewakili organisasi masingmasing. Tentu mereka bersikap seperti itu, karena secara de facto telah berkonsultasi dengan kawankawan lain dari organisasi masingmasing, atau paling tidak mengetahui sikap itu diterima secara umum di kalangan gerakan Islam di Indonesia. Hanya dengan keyakinan seperti itulah, mereka akan mengambil sikap seperti di kemukakan di atas. Pengetahuan sejarah tersebut sangat diperlukan, untuk mengetahui jalan pikiran para wakil berbagai perkumpulan Islam itu, sebuah kenyataan sejarah yang penting untuk mengetahui motif dari keputusan yang diambil tersebut.
Pada saat ini, organisasiorganisasi Islam menguasai wacana politik dan budaya di negeri kita. Sebagaimana terlihat dalam demikian banyak para “santri” yang membeberkan pandangan dan pemikiran mengenai kedua bidang tersebut dalam media khalayak. Walaupun yang dibicarakan adalah topiktopik yang sangat beragam, yang hanya sebagian saja menyangkut aspekaspek agama Islam, namun hampir dua pertiga paparan pendapat dan pemikiran itu berasal dari “dunia santri”. Bahkan mereka yang tidak menjalankan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan seharihari telah turut bersamasama menyatakan pendapat dan pandangan kaum santri di media khalayak. Dari fakta ini, banyak pengamat asing tentang Indonesia, berpandangan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui pandangan kaum santri tentang berbagai hal yang menyangkut Indonesia.
eg
Salah satu perkembangan yang menarik untuk diamati adalah pelaksanaan syari’ah2 (jalan hidup kaum muslimin), umumnya terkodifikasikan dalam kehidupan masyarakat santri
2 Kata syari’ah biasanya merujuk kepada Syariat Islam, yang berarti berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi problem solving (penyelesaian masalah) seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan integral/menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
g 193 h
di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam dijalankan dengan tekun, paling tidak slogan “syari’atisasi” telah dilakukan oleh mereka yang “sadar” akan pentingnya Islam sebagai “pemberi warna” hidup bangsa kita. Bahkan, berbagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah membuat sesuatu yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk tidak mengaitkan negara kepada kehidupan beragama secara formal atau resmi. Karena itu, ketika penulis masih menjadi Presiden, telah mengusulkan agar tiap Peraturan Daerah yang isinya bertentangan dengan undangundang dasar dianggap batal.
Karena itulah, perkembangan upaya “syari’atisasi” harus dimonitor terus, semestinya perkembangan itu harus sejalan dengan keputusan sidang kabinet yang tertera di atas. Nah, mengapa sampai sekarang belum ada pelaksanaan syari’ah di beberapa daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawabnya, karena Mahkamah Agung yang seharusnya memberikan kata akhir bagi pembahasan halhal mendasar bagi kehidupan kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Sebuah Mahkamah Agung yang benarbenar menjalankan kewajiban, tentulah tidak takut kepada tekanan berbagai pihak, termasuk “kaum teroris”. Karena ketakutan itu, Mahkamah Agung kita akhirnya tidak memberikan kontribusi apaapa dalam memudahkan berbagai masalah sangat penting bagi negeri kita. Mahkamah Agung kita sekarang takut oleh tekanan dari pihak yang ingin memberlakukan syari’ah Islam, maka benarlah apa yang dikatakan Franklin D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun 1945, bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri (what we have to fear is fear itself).
Umpamanya, Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Sumatera Barat bahwa perempuan tidak boleh bekerja sendirian setelah jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang keluarga dekat, jelaslah sekali bertentangan dengan UUD 1945, yang menyamakan kedudukan, hakhak dan kewajibankewajiban warga negara lelaki dan perempuan. Syariatisasi macam inilah yang seharusnya dilihat bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak oleh MA yang penakut itu. Kalau ada upaya membuat syariatisasi yang sejalan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, persoalannya adalah penggunaan nama syari’ah itu sendiri. Tentu itu dilakukan de-ngan tujuan “mengIslamkan” perundangundangan di negeri ini, sesuatu yang sebenarnya berbau politik. Mantan Ketua Mah
SyAri’AtiSASi dAn BAnk SyAri’Ah
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 194 h
kamah Agung Mesir, AlAsmawi3 pernah mengemukakan dalam sebuah buku, bahwa tiap undangundang yang berisikan pencegahan dan hukuman (deterrence and punishment) pada hakikatnya dapat diperlakukan sebagai bagian dari hukum Islam?
Jelaslah dengan demikian, upaya melakukan syari’atisasi dengan menggunakan kerangka AlAsmawi itu, adalah apa yang oleh fiqh (hukum Islam) dan cabangcabangnya dinamai “melakukan hal yang tidak perlu, karena sudah dilakukan” (tah-sil al-hasil). Yang tercapai hanyalah penamaan saja, sedangkan substansi atau isinya tidak diperhatikan, sehingga dilakukan secara sembarangan saja. Sedangkan seharusnya, proses syari’ati-sasi lebih tepat dilakukan oleh masyarakat sendiri, tanpa penggunaan nama syari’ah. Hal tersebut dapat terjadi sebagai proses dalam hidup bernegara. Dengan demikian dapat disimpulkan, karena terbawa oleh kerancuan kerangka berpikir, penyebutan syari’ah dalam produk-produk DPRD propinsi, kabupaten dan kota hanya bersifat politis saja, sesuatu yang perlu disayangkan.
eg
Hal lain yang perlu kita sayangkan, bahwa beberapa bank pemerintah telah mendirikan bank syari’ah, sesuatu hal yang masih dapat diperdebatkan. Bukankah bank seperti itu menyatakan tidak memungut bunga bank (interest) tetapi menaikkan ongkosongkos (bank cost) di atas kebiasaan? Bukankah dengan demikian, terjadi pembengkakan ongkos yang tidak termonitor, sesuatu yang berlawanan dengan prinsipprinsip cara kerja sebuah dengan bank yang sehat. Lalu, bagaimanakah halnya dengan transparansi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank agar biaya usaha dapat ditekan serendah mungkin.
Karenanya, banyak bankbank swasta dengan para pemilik saham non-muslim, turut terkena “demam syari’atisasi” ter-sebut. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum Islam tersebut. Begitu juga, sangat kurang diketahui bahwa Islam dapat dilihat secara institusional/kelem
3 Muhammad Said AlAsymawi, selain pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung di Mesir, dia juga dikenal luas sebagai pakar agama dan intelektual humanis terkemuka penentang kecenderungan politik Islamis, khususnya di Mesir. Dia menulis buku al-Islam al-Siyasi (Islam Politik) yang banyak mendapat apresiasi dari banyak kalangan intelektual sekaligus hujatan dari kaum Islamis.
g 195 h
bagaan di satu pihak, dan sebagai kultur/budaya dipihak lain. Kalau kita mementingkan budaya/kultur, maka lembaga yang mewakili Islam tidak harus dipertahankan matimatian, seperti partai Islam, pesantren, dan tentu saja bank syari’ah. Selama budaya Islam masih hidup terus, selama itu pula benihbenih berlangsungnya cara hidup Islam tetap terjaga. Karena itu, kita tidak perlu berlomba-lomba mengadakan syari’atisasi, bahkan itu dilarang UUD 1945 jika dilakukan oleh pihak pemerintah dan lembagalembaga negara. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan? h
SyAri’AtiSASi dAn BAnk SyAri’Ah
g 196 h
Dalam tiga dasawarsa terakhir ini, beberapa pemikir mengemukakan apa yang mereka namakan sebagai teori ekonomi Islam. Semula, gagasan tersebut berangkat dari
ajaran formal Islam mengenai riba dan asuransi, yang berintikan penolakan terhadap bunga bank sebagai riba, dan praktek asuransi yang bersandar pada sifat “untunguntungan”. Ditambahkan dalam kedua hal itu, penolakan pada persaingan bebas (laisses faire) sebagai sistem ekonomi yang banyak digunakan. Intinya dalam hal ini adalah sikap melindungi yang lemah dan membatasi yang kuat seperti dalam pandangan Islam.
Dalam perkembangan berikutnya, pada dasawarsa 80an muncul sejumlah orang yang dianggap menjadi eksponen pandangan ekonomi Islam. Mereka banyak berasal dari lingkungan lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga tak heran jika mereka mengacu pada orientasi kepentingan rakyat kecil dan menolak peranan perusahaanperusahaan besar dalam tatanan ekonomi yang ada waktu itu. Namun, mereka gagal mengajukan sebuah teori yang bulat dan utuh yang dapat dianggap mewakili ekonomi Islam. Keberatan mereka terhadap praktekpraktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), monopoli dan dominasi (oleh kerjasama pengusaha dengan para pejabat pemerintahan), adalah keberatan yang tidak didukung oleh teori yang lengkap, dan dengan demikian hanya dianggap sebagai orientasi kelompok belaka.
Ekonomi Rakyat ataukah Ekonomi Islam?
g 197 h
Dengan perubahan kebijaksanaan di masa pemerintahan Presiden Soeharto, di ujung dasawarsa itu dan didukung pula oleh kemunculan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), kelompok tersebut lalu berubah pikiran dan ikut memperebutkan kekuasaan sebagai pejabat pemerintah. Dengan merebut institusiinstitusi pemerintahan, berarti mereka lebih mengutamakan pendekatan institusional dan cenderung meninggalkan perjuangan kultural. Namun, “kemenangan” institusional itu tidak membuat mereka semakin kuat, karena mereka tidak dapat menghambat korupsi, dan bahkan akhirnya justru mereka sendirilah yang melakukan korupsi. Akhirnya mereka menghamba pada kekuasaan. Justru organisasiorganisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang mempelopori perlawanan kultural itu, dengan tetap menolak untuk melegitimasi institusi pemerintahan.
eg
Dengan demikian, watak merakyat dari perjuangan di para cendikiawan itu berubah menjadi perjuangan politik. Karenanya, halhal ekonomi pun juga diukur dengan ukuranukuran politik. Nyata sekali dalam hal ini, contohnya yang terjadi dengan kredit usaha tani (KUT). KUT yang semula merupakan program ekonomi, dengan cepat berubah menjadi sebuah program politik. Yaitu mengusahakan sebuah program pendukung kekuasaan untuk menang dalam pertarungan politik melawan pihakpihak lain, tanpa memandang kecakapan ekonomis dan kemampuan finansial. Jadilah pelaku program itu seperti sekarang ini, yakni menjadi bulanbulanan pihak Pengadilan Negeri (PN) karena mereka dihadapkan pada pengadilan, termasuk di dalamnya para kyai. Ini semua, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, dan metamorfosa yang terjadi adalah bagian dari perjuangan politik, dan bukan bagian dari perjuangan ekonomi.
Dengan metamorfosa itu, otomatis upaya menolong rakyat kecil hanya menjadi sisasisa. Bahwa upaya politik mempertahankan institusi, baik itu institusi mikro seperti proyekproyek yang tergabung dalam KUT, maupun upaya makro untuk mempertahankan kekuasaan, jelas menggambarkan kenyataan menarik: kegagalan dalam mengembangkan apa yang dinama
EkonomI Rakyat ataukaH EkonomI Islam?
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 198 h
kan ekonomi Islam, baik dalam teori maupun praktek. Rentetan yang terjadi adalah, upaya pelestarian kekuasaan secara politis juga menghadapi kegagalan pula.
Turut hancur pula dalam proses ini, pengembangan teori ekonomi Islam, karena ia dikaitkaitkan dengan kekuasaan yang ada. Keadaan diperparah oleh kenyataan tidak adanya peninjauan ulang terhadap kebijakankebijakan ekonomi pemerintah di masa lampau. Ini berarti, gagasan tentang ekonomi Islam di negeri kita, tidak pernah didasarkan atas peninjauan mendalam dari kebijakan, langkahlangkah dan keputusankeputusan pemerintah di bidang tersebut. Bagaimana akan dibuat acuan mengenai sebuah sistem ekonomi Islam, kalau faktafakta ekonomi dan finansial semenjak kita merdeka tak pernah ditinjau ulang?
eg
Dari tinjauan ulang itu akan dapat diketahui, bahwa tatanan ekonomi dan finansial kita, didasarkan hampir seluruhnya atas kecenderungan menolong sektor yang kuat dan mengabaikan sektor yang dianggap sebagai ekonomi lemah. Ketimpangan ini dapat dilihat, umpamanya dalam hal pemberian fasilitas, kemudahan dan pertolongan bagi usaha kuat. Apalagi, setelah beberapa pengusaha keturunan Tionghoa, yang belakangan menjadi konglomerat, berhasil menguasai sektor tersebut. Ekonomi rakyat menjadi semakin tidak diperhatikan, dan ungkapanungkapan tentang ekonomi rakyat itu dalam kebijakan pemerintah hanyalah bersifat retorika belaka.
Alokasi dana untuk pengembangan ekonomi rakyat dalam RAPBN, umpamanya, menunjukkan betapa sedikitnya perhatian kepada sektor ini. Kebocoran RAPBN, yang dalam perkiraan Prof. Soemitro Djojohadikusumo telah mencapai 30% dari jumlah anggaran, menunjukkan sangat kecilnya perhatian pemerintah kepada sektor ini. Belum lagi matinya kreatifitas usaha kecil dan menengah (UKM) di hadapan birokrasi pemerintahan yang sangat kaku. Ketika para pemikir ekonomi Islam tidak mencari pemecahan bagi masalahmasalah yang dihadapi tadi, di sinilah tampak adanya kegagalan terhadap apa yang dinamakan ekonomi Islam. Itulah sebabnya, mengapa pemikiran mengenai ekonomi Islam sekarang menjadi sangat mandul.
Ketika Drs. Kwik Kian Gie mengemukakan keinginan agar
g 199 h
Indonesia keluar dari dana moneter internasional (IMF, Inter-national Monetary Fund), tak ada seorang pun dari para pemikir gagasan ekonomi Islam itu yang menyatakan suara menerima atau menolak pandangan tersebut. Ini tentu disebabkan oleh perubahan besar dari pemikir ekonomi itu yang tertuju pada upaya politik seperti digambarkan di atas.
Padahal, salah satu gagasan yang sering dilontarkan penulis secara lisan dalam rapatrapat umum di seluruh bagian negeri ini, jelas mengacu pada kebutuhan tersebut. Keharusan kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional dan efisiensi yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dari sebuah kebangkitan ekonomi. Namun, yang harus didorong sekuat tenaga, adalah ekonomi rakyat dalam bentuk kemudahankemudahan, fasilitasfasilitas dan sistem kredit sangat murah bagi perkembangan UKM dengan cepat. Dibarengi dengan peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan militer, yang harus dilakukan guna mendorong peningkatan kemampuan daya beli (purchasing power) mereka.
Perkembangan gagasan ekonomi Islam jelas menunjukkan kemandulan, karena lebih cenderung untuk mempermasalahkan aspekaspek normatif, seperti bunga bank dan asuransi. Artinya, pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi Islam itu lebih banyak menyangkut pencarian nilainilai daripada pencarian caracara/ aplikasi yang dilakukan oleh nilainilai tersebut. Jadi, masalahnya cukup sederhana bukan? h
EkonomI Rakyat ataukaH EkonomI Islam?
g 200 h
Sebagai penulis kata pengantar buku “Perekonomian In-donesia dari Bangkrut Menuju Makmur” ini (Teplok Press, Januari 2003), saya bukanlah seorang ahli ekono
mi. Karena tidak mengetahui lebih mendalam tentang ekonomi rakyat (people economics), dan tidak tahu halhal lain mengenai sebuah perekonomian, kecuali dua hal saja. Pertama, ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan manusia, dan ia memiliki mekanisme sendiri. Selebihnya, haruslah dirumuskan oleh para ahli ekonomi, dan mereka harus mempertimbangkan kaitan sebuah perekonomian dengan halhal lain dalam kehidupan seperti, politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lainlain. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi (economic policy) tidak pernah sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga harus selalu diingat keterkaitan ekonomi dengan halhal lain dalam kehidupan sebuah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah terlepas dari perdagangan atau transaksi, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, dengan demikian tidak pernah ada tempat untuk memisahkan perekonomian kita sendiri dari perekonomian global, yang membuat kita sengsara lebih dari perkiraan kita sendiri.
Hal ini dapat kita lihat pada perjalanan sejarah bangsabangsa di dunia ini, yang baru berjalan puluhan ribu tahun saja. Karenanya, sangatlah menarik untuk melihat bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil dalam sejarah sebuah bangsa. Sejarah memberikan pengaruh sangat besar kepada para pemimpin bangsa yang bersangkutan, dalam menentukan kebijakan demi
apakah itu Ekonomi Rakyat?
g 201 h
kebijakan selanjutnya. Ini adalah bidang tersendiri, yang sering dinamai sejarah perekonomian (economic history), yang merupakan disiplin ilmu, yang harus diketahui seorang penguasa pemerintahan. Namun wajar saja, jika seorang penguasa tidak mengetahui hal itu, mereka mengira apa yang mereka putuskan hanya bersifat teknis belaka, paling tinggi sebagai sebuah “keputusan politik”. Dengan demikian, mereka tidak menyadari keputusan mereka sebenarnya menyangkut bidang politik ekonomi. Tindakan penguasa itu bagaikan menganggap “susu kerbau sebagai susu sapi” hanya karena samasama putih warnanya.
Kerancuan mengira apa yang dibaca atau diamatinya dari sejarah sebuah bangsa, sebagai sebuah keputusan politik padahal itu adalah keputusan politik ekonomi, pernah juga dialami oleh penulis kata pengantar ini (selanjutnya disebut penulis). Pada waktu baru di terbitkan, penulis membaca karya Arthur M. Schlesinger Jr,1 penulis pidato masa mendiang Presiden Kennedy, yang berjudul “The Age of Jackson”.2 Sebagai dosen Universitas Harvard di bidang sejarah, ia menghasilkan apa yang oleh penulis dianggap sebagai buku sejarah. Baru belakangan disadari penulis, bahwa yang dilakukan Presiden Jackson itu adalah pengambilan keputusan politik ekonomi yang sangat mendasar. Jackson memutuskan untuk mengangkat Kepala Gubenur Bank Sentral Amerika dari seorang Jerman berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia memimpin sekian orang direktur dengan jabatan gubenur, dan bersama mereka mengemudikan bank sentral yang kemudian bernama Federal Reserve System.
eg
Keputusan Jackson membawa perubahan mendasar atas jalannya sistem ekonomi di negara tersebut. Karena ia menganggap pemimpin Bank Sentral di negerinya harus ditetapkan presiden dengan persetujuan kongres. Padahal teori kapitalisme
1 Arthur Meier Schlesinger, Jr. (Lahir di Colombus, Ohio 15 Oktober 1917) adalah seorang sejarawan Amerika dan kritikus sosial. Sebagai staf kepresidenan, dia memusatkan pekerjaannya pada upaya memberikan masukanmasukan filosofis atas kebijakan presidenpresiden AS, (Andrew Jackson, Franklin D. Roosevelt, John F. Kennedy, dan Richard Nixon).
2 Buku ini mendapat hadiah Pulitzer tahun 1946 untuk kategori penulisan sejarah.
aPakaH Itu EkonomI Rakyat?
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 202 h
klasik menyatakan pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan ekonomi nasional, dan pengangkatan pejabat ekonomi dan finansial sepenuhnya menjadi wewenang pihak swasta bukan pemerintah. Tetapi Jackson justru mengangkat para pejabat pemerintahan untuk mengelola bank sentral itu. Hal ini menunjukkan keyakinan Jackson, bahwa urusan bank sentral tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi saja, melainkan juga menyangkut pengelolaan uang pajak yang dibayarkan rakyat sebagai warga negara. Untuk melakukan pengelolaan itu dan seterusnya, juga menggunakannya untuk keperluan rakyat, harus dilakukan oleh “orangorang pemerintah”. Dengan demikian, Jackson berkeyakinan bank sentral bukanlah sematamata bertanggung jawab atas jalannya perekonomian nasional, melainkan juga bertanggung jawab atas tingkat kesejahteraan rakyat.
Apa yang dilakukan Presiden Jackson itu, melahirkan apa yang disebut sebagai “kapitalisme rakyat” (folks capitalism). Bahwa negara biangnya kapitalisme seperti Amerika Serikat, dapat mengembangkan paham kerakyatan seperti itu, adalah suatu hal yang sangat menarik. Ini menunjukkan kapitalisme bukan barang mati melainkan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan. Kebencian Bung Karno terhadap kapitalisme, sebenarnya adalah penolakan terhadap kapitalisme klasik itu, yang hanya dipergunakan untuk mencari keuntungan maksimal bagi para pemilik modal belaka. Jika kapitalisme dapat menerima modifikasi, dan dapat dipakai untuk tujuan memperbaiki tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat di sebuah negara, ia tidak patut lagi dibenci seperti itu. Karena itu, kebencian Bung Karno terhadap kapitalisme klasik, bukanlah sesuatu yang harus berlaku secara tetap atau permanen, melainkan juga harus diarahkan kepada modifikasi ideologi tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ada perbedaan besar antara berpikir ilmiah dan berpikir ideologis. Secara ilmiah pandangan apapun memiliki kemungkinan menerima modifikasi, yang terkadang merubah orientasi dan pandangan itu sendiri. Sedangkan pemikiran ideologis adalah sesuatu yang “jahat”. Karena itu, kita harus bedakan benar pemikiran ideologis dan pemikiran ilmiah. Sewaktu membuat pledoi (pembelaan) di muka pengadilan kolonial di tahun 1931, sikap Bung Karno memang benar, melawan kapitalisme klasik itu. Ini karena pandangan tersebut digunakan untuk menindas bangsa kita. Karena itulah, Bung Karno
g 203 h
menulis pledoinya tersebut, yang belakangan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul “Indonesia Menggugat”.
eg
Sebuah contoh lain dapat dikemukakan dalam hal ini yaitu kebijakan Dr. Hjalmar Schacht, Menteri Perekonomian Jerman tahun 30an, di bawah Kepala Pemerintahan Adolf Hitler. Ia memutuskan membangun jaringan jalan aspal yang halus (autobahnen) di seluruh negeri, sepanjang lebih dari 80.000 kilometer. Pembuatan jalan raya bagi kendaraan bermotor dengan menggunakan hotmix itu, dengan sendirinya menaikkan pendapatan bangsa tersebut, yang kemudian mendorong munculnya industri pembuatan barang (manufacturing industry) yang kuat. Kita ingat pabrik lokomotif Kruff dan mobil Volkswagen yang tangguh. Bahwa kemudian Hitler menempuh kebijakan lebensraum (ruang hidup) dengan menjarah negerinegeri lain, tidak merubah kenyataan bahwa pandangan Schacht itu merupakan sesuatu yang sangat diperlukan bangsa Jerman.
Kesalahan Hitler itu, yang berakibat pecah Perang Dunia II dengan korban 35 juta jiwa melayang, kemudian diganti oleh sebuah pandangan lain yang belakangan dikemukakan oleh Kanselir (Perdana Menteri) Jerman Barat Ludwig Erhard.3 Dengan pandangan yang terkenal “Sozialen Marktwirtschaft”, adalah sebuah upaya untuk meneruskan upaya Schacht itu. Dengan pandangannya itu, Erhard mementingkan fungsi sosial, peningkatan kesejahteraan dan perebutan pasar bagi industri Jerman di seantero dunia. Yang direbut bukanlah negara, melainkan pasar tanpa melalui peperangan dan melanggar perikemanusian. Jelas ini merupakan modifikasi atas kapitalisme klasik yang oleh Karl Marx dan Friederich Engels dianggap mengandung benihbenih “kontradiksi struktural” yang akan menimbulkan kekerasan. Kaum kapitalisme akan berhadapan dengan kaum proletar dalam sebuah kontradiksi maha dahsyat, yang akan meliputi seluruh dunia.
eg
3 Ludwig Erhard (1897 1977) adalah seorang politikus Jerman dari Partai Christian Democratic Union dan Kanselir Jerman (19631966).
aPakaH Itu EkonomI Rakyat?
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 204 h
Buku yang ada di tangan pembaca ini, yang ditulis oleh Hendi Kariawan memang tidak menyebutkan kontradiksi seperti itu, ataupun menggambarkan modifikasi atas kapitalisme klasik yang dilakukan oleh tokohtokoh seperti Andrew Jackson. Tetapi buku ini sendiri adalah cerminan dari sebuah pandangan, bahwa perekonomian nasional sebuah negeri memang harus mengabdi kepada kesejahteraan dan tingkat hidup tinggi (high living standard) suatu bangsa. Ini adalah juga pandangan dari kapitalisme klasik yang mengalami modifikasi. Bahwa hal itu kemudian dinamai pandangan ekonomi rakyat, tidak dapat menghilangkan kenyataan adanya modifikasi itu sendiri. Selama perekonomian nasional berdasarkan persaingan atau kompetisi terbuka, dan tetap dalam lingkup perdagangan internasional yang bebas dan menggunakan prinsip efisiensi rasional, selama itu pula ia tetap akan memelihara semangat kapitalisme, walaupun dengan nama lain.
Sumbangan pemikiran ekonomi dari buku ini, adalah sesuatu yang harus kita hargai. Dalam bahasa lain, buku ini menyajikan daya hidup (vitalitas) yang terkandung dalam paham kapitalisme, perlu dikaji secara ilmiah, bukan secara ideologis. Bahwa kemudian muncul sosialisme sebagai lawan kapitalisme tidak berarti “konfrontasi” itu bersifat tetap/permanen. Kalau meminjam filsafat Hegel tentang thesa melawan antithesa akan lahir sinthesa, maka dari kapitalisme klasik melawan sosialisme akan lahir pandangan ekonomi rakyat seperti yang digambarkan buku ini. h
g 205 h
Sejak kemerdekaan di tahun 1945, orientasi ekonomi kita banyak ditekankan pada kepentingan para pengusaha besar dan modern. Di tahun 1950an, dilakukan kebijakan
Benteng, dengan para pengusaha pribumi atau nasional memperoleh hampir seluruh lisensi, kredit dan pelayanan pemerintah untuk “mengangkat” mereka. Hasilnya adalah lahir perusahaan “Ali-Baba” , yaitu dengan mayoritas pemilikan ada di tangan para pengusaha pribumi (Ali) dan pelaksana perusahaan seperti itu dipimpin oleh keturunan Tionghoa (Baba). Ternyata, kebijakan itu gagal. ‘Si Baba’ atau pengusaha keturunan Tionghoa, karena ketekunan dan kesungguhannya mulai menguasai dunia usaha, baik yang bersifat peredaran/perdagangan barangbarang maupun pembuatan/produksinya, walau adanya pembatasan ruang gerak warga negara keturunan Tionghoa, untuk tidak aktif/memimpin di bidangbidang selain perdagangan.
Demikian pula dengan sistem quota dalam pendidikan, mau tidak mau mempengaruhi ruang gerak warga negara keturunan Tionghoa di bidang perdagangan saja. Mereka dengan segera memanfaatkan kelebihan uang mereka, untuk membiayai pendidikan anakanak mereka di luar negeri. Karena tidak terikat dengan sistem beasiswa yang disediakan pemerintah untuk berbagai bidang studi, mereka lalu memanfaatkan pendidikan luar negeri yang memberikan perhatian lebih besar kepada pendidikan berbagai bidang seperti, teknologi, produksi, kimia, komunikasi terapan, kemasan (package), pemasaran, penciptaan jaringan (networking) dan permodalan. Di tahuntahun terakhir ini, para pengusaha keturunan Tionghoa itu bahkan sudah men
Ekonomi ditata dari Orientasinya
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 206 h
capai tingkatan kesempurnaan (excellence) dalam bidangbidang tersebut, seperti terbukti dari hasilhasil yang dicapai anakanak mereka di luar negeri.
Karena itu tidaklah mengherankan, jika lalu dunia usaha (bisnis) mereka kuasai. Para manager/pimpinan usaha ada di tangan mereka, bahkan hal itu terasa pada tingkat usaha di bidang keuangan/finansial. Bahkan Bulog dan Dolog hampir seluruhnya berhutang uang pada mereka. Sehingga praktis merekalah yang menentukan jalannya kebijakan teknis, dalam halhal yang menyangkut sembilan macam kebutuhan pokok bangsa. Tidak mengherankan jika lalu ada pihak yang merasa, ekonomi negeri kita dikuasai oleh keturunan Tionghoa. Itu wajar saja. Bahkan lontaran emosional itu akan menjadi sangat berbahaya, jika ditutuptutupi oleh pemerintah dan media dalam negeri. Namun, harus segera ditemukan sebuah kerangka lain, untuk menghindarkan lontaranlontaran perasaan yang emosional seperti itu. Janganlah berbagai reaksi itu, lalu berkembang karena dipercaya oleh orang banyak.
Kesenjangan kayamiskin yang terus menjadi besar dalam kenyataan, maka diperlukan sebuah penataan ekonomi bangsa kita. Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa apaapa yang terbaik di negeri kita, dikuasai/dimiliki oleh mereka yang kaya, baik golongan pribumi maupun golongan keturunan Tionghoa. Namun untuk menyelamatkan diri dari kemarahan orang melarat, baik yang merasa miskin ataupun yang memang benarbenar tidak menguasai/memiliki apaapa, maka elite ekonomi/orang kaya kalangan pribumi selalu meniupniupkan bahwa perekonomian nasional kita dikuasai/dimiliki para pengusaha golongan keturunan Tionghoa. Karena memang selama ini media nasional dan kekuasaan politik selalu berada di tangan mereka, dengan mudah saja pendapat umum dibentuk dengan menganggap golongan keturunan Tionghoa, yang lazim disebut golongan nonpribumi, sebagai penguasa perekonomian bangsa kita.
Kesan salah itu dapat segera dibetulkan dengan sebuah koreksi total atas jalannya orientasi perekonomian kita sendiri. Koreksi total itu harus dilakukan. Orientasi yang lebih mementingkan pelayanan kepada pengusaha besar dan raksasa, apapun alasannya, termasuk klaim pertolongan kepada pengusaha nasional “pribumi”, haruslah disudahi. Sebenarnya yang harus ditolong adalah pengusaha kecil dan menengah, seperti yang
g 207 h
diinginkan oleh Undangundang Dasar kita, maupun berbagai peraturan yang lain. Dengan demikian tidaklah tepat mempersoalkan “pribumi” dan “nonpribumi”, karena persoalannya bukan terletak di situ, masalahnya adalah kesenjangan antara kaya dan miskin.
Jadi, yang harus dibenahi, adalah orientasi yang terlalu melayani kepentingan orangorang kaya, atas kerugian orang miskin. Kita harus jeli melihat masalah ini dengan kacamata yang jernih. Perubahan orientasi itu terletak pada dua bidang utama, yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah dan upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah itu harus disertai pengawasan yang ketat, disamping likuliku birokrasi, yang memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah kepada UKM. Padahal saat ini, apapun upaya yang dilakukan untuk menolong UKM, selalu menghadapi hambatan. Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini. Dan tentu saja, upaya mengatasi kemiskinan menghadapi begitu banyak rintangan dan hambatan, terutama dari lingkungan birokrasi sendiri.
eg
Padahal tujuan pemerintah dan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah maslahah al-‘âmmah, yang secara sederhana diterjemahkan dengan kata kesejahteraan. Kata kesejahteraan ini, dalam Undangundang Dasar kita, dinamakan keadilan dan kemakmuran. Sekaligus dalam pembukaan UUD 1945 diterangkan, bahwa tujuan bernegara bagi kita semua diibaratkan menegakkan masyarakat yang adil dan makmur. Ini juga menjadi sasaran dari ketentuan Islam itu, dengan pengungkapan “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpinnya, terkait langsung dengan kepentingan rakyat yang dipimpinnya (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun bi-al-mashlahah).“
Dalam bahasa sekarang, sikap agama seperti itu dirumuskan sebagai titik yang menentukan bagi orientasi kerakyataan. Itulah yang seharusnya menjadi arah kita dalam menyelenggarakan perekonomian nasional. Bukannya mempersoalkan asli dan tidak dengan latar belakang seorang pengusaha. Pandangan picik seperti itu, sudah seharusnya digantikan oleh orientasi per
EkonomI dItata daRI oRIEntasInya
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 208 h
ekonomian nasional kita yang lebih sesuai dengan kebutuhan mayoritas bangsa.
Masalahnya sekarang, perekonomian nasional kita terkait sepenuhnya dengan persaingan bebas, keikutsertaan dalam perdagangan internasional yang bebas dan mengutamakan efisiensi rasional. Karenanya orientasi ekonomi rakyat harus difokuskan kepada prinsip “menjaga dan mendorong” UKM. Namun sebelumnya dalam hal ini adalah, keharusan merubah orientasi perekonomian nasional itu sendiri. h
g 209 h
Pertanyaan di atas harus diajukan kepada pemerintahan sekarang ini, yang tampaknya tidak memiliki konsep apa pun dalam menangani krisis multidimensi yang meng
hinggapi bangsa kita. Sebab kenyataannya, pemerintah tidak memiliki keberanian untuk mengambil satu sikap saja dalam setiap persoalan. Karena konsistensi pandangan yang diambil tidak diperhatikan, maka orientasi permasalahan tidak pernah memiliki kejelasan. Bukti yang paling jelas adalah, inkonsistensi dalam orientasi ekonomi kita. Di satu pihak, kita merasakan adanya kecenderungan untuk membiarkan optimalisasi keuntungan, yaitu perusahaan mendiktekan “keharusankeharusan” yang kemudian diikuti pemerintah. Di antaranya adalah dihilangkannya bentukbentuk subsidi bagi kebutuhan masyarakat, untuk menghilangkan “kerugiankerugian” setiap usaha.
Contoh yang paling jelas dan aktual adalah berbagai kenaikan tarif dan harga penjualan BBM (Bahan Bakar Minyak). Jelas, hal itu disebabkan oleh desakan luar negeri, agar supaya segala macam subsidi dihilangkan. Hal itu diperlukan, guna menghindarkan “kerugian” pada berbagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Padahal subsidi bagi sejumlah hajat hidup orang banyak, adalah sebuah keharusan. Dan yang perlu diubah bukanlah keberadaan subsidi, melainkan terjadinya biaya tinggi ekonomi (high cost economy) akibat permainan birokrasi pemerintah. Untuk mengikis KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang tambah merajalela ini, diperlukan keberaniaan moral yang tinggi dan kemauan politik yang kuat. Bukan dengan mengurangi subsidi yang akan menyusahkan rakyat banyak saja.
Akibatnya sekarang, masyarakat ditimpa dua hal yang sebenarnya berbeda satu dengan yang lain. Pertama, rakyat menderita
Benarkah Harus ada konsepnya?
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 210 h
akibat dicabutnya subsidi dari berbagai barang yang menjadi kebutuhan pokok. Kedua, yang secara politis dianggap sebagai “kebutuhan pokok”, yaitu perdagangan dunia, rakyat juga “terkena imbasnya” akibat kemahiran birokrasi pemerintahan berKKN. Kedua hal inilah yang dikhawatirkan akan menciptakan situasi sangat negatif bagi perekonomian nasional kita, dan bahkan revolusi atau anarki sosial yang tidak terkendalikan lagi. Dalam ungkapan lain, bahaya akan terjadinya konflik horisontal haruslah benarbenar dirasakan pemerintah, justru agar supaya kita tidak terdesak oleh perkembangan keadaan yang sama sekali tidak terduga. Semua itu disebabkan langkanya konsep dalam menangani permasalahan krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini.
eg
Di ruang tunggu Bandara SoekarnoHatta, Cengkareng, menjelang keberangkatan ke Semarang, penulis mendengar dari tayangan televisi mengenai aktivitas sebuah LSM di Kabupaten Simalungun (Sumatera Utara), yang mengusahakan agar masyarakat merasakan perlunya kepemilikan hutan pohon meranti di sebuah suaka alam yang hanya seluas 200 Ha. Kepemilikan itu ternyata berdampak pada terlindung dan terjaganya hutan itu dari para perambah hutan, karena masyarakat merasa penting melestarikan hutan Meranti itu. Ini menunjukkan bahwa rasa turut memiliki oleh rakyat, sebagai sebuah faktor dalam perekonomian kita, memang sangat dibutuhkan. Jadi, penghapusan subsidi secara semenamena akan sangat mempengaruhi kemampuan kita untuk menyelesaikan krisis ekonomi, karena hilangnya faktor rakyat tadi.
Apa yang terjadi di Kecamatan Purba Tengah di kawasan Simalungun itu bersesuaian sepenuhnya dengan usul Erna Witoelar, semasa menjadi Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah, dengan gagasan agar masyarakat diberi kepemilikan sejumlah luas tertentu atas hutanhutan kita, agar mereka merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan. Usul itu diajukan untuk mencegah pembakaran hutan oleh orangorang yang membuat ladang.
Di sini jelas tidak ada perbedaan antara upaya mengatasi pembakaran hutan dengan upaya melestarikanya. Kedua kenyataan di atas membuktikan betapa pentingnya menciptakan rasa
g 211 h
memiliki hutanhutan kita oleh masyarakat luas. Ini dimungkinkan, jika pemerintah mengenal sangat dalam atas adanya rasa memiliki itu di kalangan masyarakat.
Jadi, faktor masyarakat menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi oleh siapa pun, terutama pemerintah. Tanpa adanya rasa memiliki seperti itu, siasialah kebijakan apa pun yang akan di ambil, walaupun para perumus kebijakan itu sendiri adalah tokohtokoh intelektual dengan berbagai gelar ilmu dari beberapa perguruan tinggi, yang memiliki reputasi ilmiah yang sangat baik. Jadi, benarlah kata sebaris sajak Arab: “Bukanlah pemuda kalau mengatakan itulah bapak kami (yang berbuat), melainkan seorang pemuda yang berani berkata inilah aku (laisa al-fatâ man yaqûlû kâna abî lâkin al-fatâ man yaqûlû hâ’anâ dza).”
eg
Sikap menghamba kepada ‘orang luar’ tanpa memikirkan kerugian orang banyak adalah sikap yang sangat sempit, yang didasarkan ketakutan pada pihak asing itu sendiri. Dalam ajaran Islam, kepentingan orang banyak itu dirumuskan sebagai kebutuhan umum (al-mashlahah al-‘âmmah) yang dalam bahasa kita digantikan oleh kata kesejahteraan. Dalam pembukaan Undangundang Dasar 1945, hal itu dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur. Kata adil (al-adlu) dan kemakmuran (ar-rafahiyah), menunjukkan orientasi mementingkan kebutuhan orang banyak dan kesejahteraan mereka (moril dan materiil). Jadi, orientasi kepentingan orang banyak menjadi ukuran penyelenggaraan pemerintahan dalam Islam. Menarik sekali, ungkapan fiqh “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas/bagi rakyat yang dipimpin, harus terkait langsung, dengan kesejahteraan mereka (tasharruf al-Imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manû-thun bi al-mashlahah). Karena itu, kepentingan rakyat adalah ukuran satusatunya dalam Islam bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Dalam dunia modern sekarang, kebijakan subsidi yang tidak begitu mempengaruhi perdagangan bebas selalu terjadi. Seperti di Amerika Serikat, dana milyaran dollar US untuk membeli dan menyimpan susu dan produk ikutannya (keju, mentega, dan sebagainya), dimasukkan dalam anggaran belanja negara
bEnaRkaH HaRus ada konsEPnya?
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 212 h
(federal budget) tiap tahunnya. Mengapa? Karena subsidi yang diberikan itu menyangkut persediaan dan permintaan (supply and demand). Mengapa kita tidak berani menetapkan ukuran sendiri mengenai harga minyak bumi dan barangbarang tambang lainnya? Bukankah mark-up dan pungutan–pungutan yang dibebankan kepada Pertamina, mengakibatkan mahalnya bahan bakar di negeri ini? Bukankah dalam hal ini diperlukan subsidi tertentu kepada minyak bumi kita? Subsidi untuk kendaraan maupun angkutan yang diperlukan rakyat kebanyakan? Jadi, penghapusan subsidi bahan bakar tanpa melihat keperluan rakyat, berarti kita menaikkan biaya hidup masyarakat kebanyakan, tanpa diimbangi oleh kenaikan pendapatan mereka.
Jadi, kebijakan mengurangi subsidi minyak atau menghilangkan subsidi bahan bakar minyak adalah sebuah tindakan kapitalistik, tanpa melihat pendapatan kebanyakan orang. Kalau pemerintah lalu menaikan harga BBM dan menaikkan tariftarif tertentu, ini jelas menunjukkan orientasi memaksimalkan keuntungan (profit maximalization) telah berhasil didesakkan oleh negaranegara kapitalis kepada pemerintah. Sikap ini jelas menunjukkan berhasilnya tekanantekanan beberapa negara kuat di Barat atas pemerintah kita, walaupun bertentangan dengan UUD 1945 yang berorientasi memenuhi kebutuhan orang banyak. Tugas kita adalah memberikan koreksi atas keputusan tersebut, karena sudah demikian jelas Islam berorientasi kepada kebutuhan orang banyak. h
g 213 h
Serombongan orang mendatangi kantor penulis pada suatu siang. Singkatan nama mereka adalah R, S, H dan F. R menjadi kontraktor dan supplier sebuah perusahaan nega
ra yang besar, si S semula bekerja di sebuah perusahaan swasta dan sekarang menjadi supplier bagi pemerintah daerah di sebuah propinsi. H dan F juga pengusaha yang aktif, tapi penulis tidak bertanya tentang jenis kegiatan mereka. Dua hal penting yang penulis lihat dalam kiprah mereka adalah: pimpinan daerah sebuah parpol, dan dengan demikian menjadi “anak buah” penulis; dan mereka mempunyai SPK (surat perintah kerja) pelaksana bisnis dari Pemerintah Daerah tempat mereka tinggal, untuk menjadi supplier agrobisnis bagi rakyat di tempat mereka tinggal.
Yang menarik perhatian penulis, adalah cara berpikir mereka. Di satu sisi, mereka tidak mengandalkan diri pada caracara politik lama seperti pembagian kaos oblong dan sejenisnya, dalam meraih perolehan suara melalui pemilu akan datang; dan di pihak lain, mereka langsung menghubungkan masalah politik dengan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, mereka melihat politik sebagai sebuah proses, dan tidak mendasarkan kegiatan politik atas caracara usang, melainkan dengan pendekatan menghilangkan kemiskinan. Dalam bahasa klise, yang mereka perbuat bukanlah memberikan ikan kepada rakyat, melainkan memberikan kail pada mereka untuk mencari ikan sendiri. Ini berarti, tingkat kesejahteraan rakyat, ditentukan oleh masyarakat sendiri, bukan orang lain. Pendekatan baru ini, katakanlah
kemiksinan, kaum muslimin, dan Partai Politik
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 214 h
sebuah pendekatan struktural dalam menangani masalah kemiskinan yang bersifat memberdayakan masyarakat, dan tidak bertumpu pada santunan kepada mereka. Pendekatan seperti inilah yang jarang terlihat dalam pendekatan partai politik pada masyarakat yang terbiasa dengan janji kosong untuk memberantas kemiskinan, dan hanya memberi santunan materi dan himbauan moral belaka dalam kampanye pemilihan umum.
eg
Sebuah tindakan merubah kehidupan masyarakat terjadi ketika rakyat Amerika Serikat memilih Presiden Andrew Jackson1 dalam Abad ke 19 Masehi. Mereka memilih pemimpin yang mengerti benar mana yang menjadi hak rakyat, dan mana yang menjadi hak perorangan para kapitalis/bankir/industrialis. Mereka, di mata Jackson adalah orangorang yang harus melakukan kegiatan ekonomi dalam arti membangun dan membesarkan perusahaan di berbagai bidang tetapi tingkat kesejahteraan rakyat, adalah tanggung jawab Presiden dan Kongres yang dipilih untuk periode tertentu oleh rakyat. Ini berarti, keduanya tidak boleh dicampur aduk dan pemisahan ini harus tercermin dalam kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan finansial/ keuangan. Ia melihat Bank Sentral Amerika Serikat di samping menjadi alat pemupukan modal negara, juga menyangkut pengelolaan uang pajak penduduk negeri; dan karena itu pengelolaannya ada pada mereka. Maka Bank Sentral negara tersebut, haruslah diisi dengan pimpinan yang ditunjuk rakyat melalui Presiden dan Kongres sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini adalah langkah pertama kearah Folks Kapitalism (kapitalisme rakyat), yang berbeda dari kapitalisme klasik dari John Stuart Mill.2 Akibat sikapnya ini, Jackson harus berhadapan dengan para kapitalis/ bankir/ industrialis yang beranggapan, pemerintah sama sekali tidak boleh campur tangan dalam Bank Sentral.
Pendapat Jackson itu sebenarnya adalah pendekatan struktural, artinya, hanya dengan perubahan struktur menuju pem
1 Pria kelahiran Waxhaw, South Carolina 15 Maret 1767 ini adalah Presiden AS ketujuh. Ia berkuasa dari 18291837.
2 John Stuart Mill (1806–1873). Mills terkenal dengan teori ekonomi kapitalisme klasiknya, sebagaimana tertuang dalam buku Principles of Political Economy yang diterbitkan tahun 1848.
g 215 h
berdayaan masyarakat yang dapat mengurus diri sendiri, barulah masyarakat itu akan terbebas dari kemiskinan. Jika hal ini yang ingin dicapai sebuah parpol melalui pemilu, maka perubahan itu seharusnya menuju pada hilangnya kemiskinan, karena terjadi perubahan struktur masyarakat. Kalau tadinya rakyat hanya menunggu santunan pemerintah atau pihakpihak tertentu saja, maka dengan cara pemberian kail ini masyarakat akan mampu memecahkan masalahmasalah ekonomi mereka sendiri. Di sinilah terletak hubungan antara sebuah sistem ekonomi ideal dengan sistem ekonomi yang ada.
Kemampuan rakyat mengubah nasib mereka sendiri dengan bantuan parpol dan sistem politik yang ada merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh pemilu yang demokratis dan melayani kepentingan rakyat. Dan yang dihasilkan adalah para anggota perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang benarbenar bertanggung jawab atas keselamatan negeri dalam arti yang luas, yang berfungsi baik, dengan wewenangwewenang yang jelas. Dengan cara itulah pembagian wewenang antara pihakpihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif terjaga dalam keseimbangan, karena semua berkewajiban melayani masyarakat dan tidak mementingkan pelayanan dari masyarakat kepada dirinya.
eg
Bagi kaum muslimin tujuan itu benarbenar merupakan kewajiban mutlak. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan; “Dibuatkan bagi kaum muslimim kehinaan dan kemiskinan (wa dhuribat a’laihim adz-dzillatu wa al-maskanah)” (QS. alBaqarah [2]: 61), berarti Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang langgeng dan tetap, Islam menganggap kedua hal berubahubah menurut struktur masyarakat. Dengan demikian, terserah kepada manusia jualah untuk menghapuskan atau melestarikan kemiskinan itu. Tuhan atau nasib tidak terkait dengan hal itu, sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Termasuk di dalamnya struktur masyarakat yang menghapuskan atau melestarikan kemiskinan itu sendiri. Walaupun banyak sekali pemahaman kaum muslimin yang menganggap masalah kemiskinan sebagai kepastian dari Allah, karena itu harus diganti dengan pemahaman lain dari pemahaman itu. Allah akan melestarikan kemiskinan
kEmIskInan, kaum muslImIn dan PaRPol
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 216 h
apabila manusia sebagai warga masyarakat tidak mengadakan perubahan melalui sistem politik yang dianutnya sendiri.
Jelaslah dengan demikian, manusia menentukan nasib mereka sendiri, dan jika tidak menjalankan perubahan itu mereka akan dipersalahkan Allah. Dalam hal ini kitab suci al-Qur’ân menyatakan, “Tidaklah kau lihat orang yang menipu agama? Yaitu mereka yang membiarkan anakanak yatim (terlantar) dan tidak perduli atas makanan orang miskin? (ara’aita al-ladzî yukadzdzibu bi al-dîn fadzâlikâ al-ladzî yadu’ulyatîm. Wa lâ yahudhdhu ‘alâ tha’âmi al-miskîn)” (QS. alMaun [107]:13) menunjukan dengan jelas kepada kita adanya orangorang yang justru memanipulasi kesengsaraan anak yatim dan hak orang miskin demi kepentingan mereka sendiri. Karena manipulasi seperti itu dianggap sebagai perbuatan menipu agama, dengan sendirinya perbaikan harus dilakukan oleh manusia yang sadar untuk sistem politik yang membela kepentingan rakyat. Kesimpulan seperti itulah yang dicapai oleh kelompok muda yang menjadi pimpinan sebuah partai politik di suatu daerah, dan inilah yang membahagiakan hati penulis. Perbuatan nyata yang harus menjadi dasar bagi perkembangan sebuah parpol, dan bukannya retorika belaka. h
g 217 h
Pada pertengahan Desember tahun 2002, penulis bertemu sutradara Garin Nugroho1 di Airport Adi Sucipto, Yogyakarta. Sambil menunggu pesawat terbang yang akan mem
bawa kami ke Jakarta, Garin Nugroho dan penulis terlibat dalam pembicaraan mengenai cara mengatasi krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini. Sebagai seorang yang melakukan referensi terus menerus atas kitab suci al-Qur’ân, penulis mengemukakan analogi dari para kyai. Mereka berpendapat krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini adalah seperti krisis Mesir di zaman Nabi Yusuf dahulu. Krisis itu memakan waktu tujuh tahun, menurut kitab suci tersebut. Kalau ini kita analogikan kepada keadaan sekarang, maka era tujuh tahun itu akan berakhir pada tahun 2003 (1997 hingga 2003). Memang, sekarang kalangan atas mulai dapat mengatasi krisis ekonomi, terbukti dari penuhnya jalan dengan kendaraan dan lapangan terbang, tetapi kalangan bawah masih saja mengeluh dan kesusahan karena memang mereka masih dilanda krisis.
Keluhan utama adalah menurunnya daya beli secara drastis, sedangkan hargaharga beberapa jenis barang kebutuhan seharihari justru melonjak. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan apakah dalam waktu cepat krisis multidimensi itu dapat dipecahkan, katakanlah pertengahan tahun 2003. Dalam hal ini, sangat menarik pembicaraan penulis dengan Kyai Nukman Thahir dari Ampel, Surabaya. Ia menyatakan, kalau kitab suci al-Qur’ân dibaca dengan mendalam, di sana disebutkan bahwa krisis Nabi Yusuf berlangsung tujuh tahun, namun untuk mengatasi krisis tersebut diperlukan juga waktu tujuh tahun
1 Garin Nugroho Riyanto (lahir di Yogyakarta pada 6 Juni 1961) adalah seorang sutradara kenamaan Indonesia. Karyanya sering mendapatkan penghargaan internasional.
menyelesaikan krisis mengubah keadaan
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 218 h
lamanya. Penulis menjawab apa yang ia terima dari para kyai adalah waktu berlangsungnya krisis itu tujuh tahun lamanya, tidak pernah mereka mengatakan diperlukan waktu tertentu untuk menyelesaikan krisis. Karenanya, penulis mengungkapkan bahwa penyelesaian krisis itu sendiri, terjadi secara formal dimulai dalam waktu bersamaan/simultan dengan berakhirnya krisis itu. Karenanya, penyelesaian krisis tidak merupakan entitas yang berdiri sendiri terlepas dari krisis yang dialami.
eg
Percakapan penulis dengan Garin Nugroho di bawah ini menjadi petunjuk kongkrit cara penyelesaian masalah secara simultan itu. Mulamula Garin Nugroho mengatakan dua hal sangat penting, satu pihak, ada perbedaan/ kesenjangan antara para teoritisi hukum dan pembuat undangundang (DPR dan MPR). Para ahli teori hukum itu mengemukakan hukumhukum baru dalam bentuk undangundang maupun lainnya dari berbagai sumber Eropa Continental yang kita kenal. Tetapi pelaksana berbagai macam peraturan itu, pada umumnya dididik di lingkungan hukum AngloSaxon yang berlaku di Amerika Serikat. Tidak usah heran, jika terjadi kesenjangan antara kedua sistem hukum AngloSaxon dan Eropa Continental itu. Adalah tugas kita, menurut Garin Nugroho, untuk “mendamaikan” antara keduanya, inilah yang harus diperbuat untuk menyelesaikan krisis.
Dalam percakapan itu, penulis mengemukakan bahwa secara kongkrit apa yang dinamai Garin Nugroho dengan “mendamaikan” itu, haruslah tercermin dalam empat buah sistem politik baru. Katakanlah konsepsi mengenai empat buah sistem baru yang diperlukan, untuk kongkritisasi gagasan “mendamaikan” dari Garin itu. Di sini, penulis akan mencoba mengemukakan beberapa konsep seperti di bawah ini.
Tentu saja, konsepsikonsepsi yang dikemukakan itu adalah bukan bentuk final dari apa yang penulis pikirkan, karena justru masih memerlukan perbaikanperbaikan serius, dan belum dapat digunakan sebagai konsepsi formal. Konsep empat sistem ini, masih harus diperjuangkan untuk masa kehidupan kita yang akan datang. Hanya dengan cara demikianlah, bangsa kita dapat mengatasi krisis multidimensional itu dengan cepat.
g 219 h
Empat sistem baru yang penulis kemukakan kepada Garin Nugroho; meliputi sistem politik (pemerintahan), perbaikan sistem ekonomi dengan mengemukakan sebuah orientasi baru, sistem pendidikan nasional dan sistem etika atau hukum, yang semuanya harus serba baru. Mengapa baru? Karena sistem lama tidak dapat dipakai lagi, tanpa akibatakibat serius bagi kita. Yang didahulukan adalah sistem politik (pemerintahan) yang baru. Kedua badan legislatif yang baru, DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) haruslah menjadi perwakilan bikameral. Mereka bertugas menetapkan undangundang serta menyetujui pengangkatan eksekutif dengan pemungutan suara. Sedangkan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dipilih langsung oleh rakyat, karena kalau diserahkan pada DPR dan DPRD saja hanya akan memperbesar korupsi saja.
Disamping itu juga dibentuk MPR, yang hanya bersidang enam bulan saja, dalam lima tahun. Mereka bertugas menyusun GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN), yang harus dilaksanakan seluruh komponen pemerintahan. Keanggotaanya, terdiri dari para anggota DPR, DPD dan dari golongan fungsional, guna menguntungkan kelompokkelompok minoritas ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, yang dicapai melalui prosedur musyawarah untuk mufakat, bukannya melalui pemungutan suara. Dengan demikian, kalangan minoritas turut serta memutuskan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini diperlukan, agar semua pihak merasa memiliki negara ini, dan dengan demikian menghindarkan separatisme yang mulai bermunculan di sanasini. Justru inilah yang merupakan tugas demokrasi, bukannya liberalisasi total.
eg
Orientasi baru dalam sistem perekonomian kita, dicapai dengan melakukan pilihan berat antara dua hal, yaitu moratorium (penundaan sementara) cicilan tanggungan luar negeri kita, dan pembebasan para konglomerat hitam yang nakal dari tuntutan perdata, jika membayar kembali 95% kredit yang dia terima dari bankbank pemerintah (tetapi tuntutan pidana tetap dilakukan oleh petugaspetugas hukum). Uang yang didapat dari kedua langkah ini, menurut perkiraan sekitar US$ 230 milyar, dan di
mEnyElEsaIkan kRIsIs mEnGubaH kEadaan
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 220 h
gunakan terutama untuk: Pertama, memberikan kredit ringan, kirakira 5% setahun, bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dengan pengawasan yang ketat. Kedua, peningkatan pendapatan PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan militer, kirakira sepuluh kali lipat dalam masa tiga tahun. Langkah ini guna mencegah KKN dan menegakkan kedaulatan hukum. Melalui cara ini pula, dapat memperbesar jumlah wajib pajak, menjadi 20 juta orang dalam lima tahun dan melipatgandakan kemampuan daya beli masyarakat.
Sudah tentu dikombinasikan dengan halhal, seperti perbaikan undangundang dan peraturanperaturan yang ada, serta penataan kembali BI (Bank Indonesia) dan MA (Mahkamah Agung). Melalui langkahlangkah ini, diharapkan dengan cepat sebuah pemerintahan yang baru akan segera mengatasi krisis multidimensional ini. Hal penting lainnya, kemampuan pemerintah dalam mengatasi krisis juga sangat bergantung pada kemampuan bekerja sama dengan negerinegeri lain. Sudah tentu, ini harus dibarengi oleh dua buah perbaikan sistematik lain. Perbaikan pertama, adalah pada perbaikan sistem pendidikan kita, yang hampir tidak memperhatikan penanaman nilai daripada hafalan. Karena tekanan yang sangat kecil kepada praktek kehidupan, dengan sendirinya hafalan mendapatkan perhatian yang luar biasa, dan pemahaman nilainilai menjadi terbengkalai. Keadaan ini mengharuskan dibuatnya sistem pendidikan baru yang lebih ditekankan kepada sistem nilai dan struktur masyarakat yang ada, sehingga pendidikan berdasarkan masyarakat (community-based education) dapat dilaksanakan.
Dikombinasikan dengan perbaikan sistematik pada kerangka etika/moralitas/akhlak yang telah ada dalam kehidupan bangsa, maka perbaikan sistem hukum, akan menjadi dasar bagi pengampunan umum/rekonsiliasi atas kesalahankesalahan masa lampau, kecuali mereka yang bersalah dan dapat dibuktikan secara hukum oleh kekuasaan kehakiman dengan sistem pengadilan kita. Tentu saja, ini juga meliputi mereka yang sekarang disebut sebagai kaum ekstremis/fundamentalis dalam gerakan Islam, selama kejahatan yang mereka perbuat tidak dapat dibuktikan secara hukum. Sudah tentu ini berlawanan dengan kehendak orang lain yang ingin menghukum segala macam “kesalahan.” Namun, kita harus bertindak secara hukum, bukan karena pertimbanganpertimbangan lain. h
BAB VISLAM PENDIDIKAN DAN
MASALAH SOSIAL BUDAYA
g 223 h
Pendidikan Islam Harus Beragam
Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, yang berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 1314 Desember 2002 dan diselenggarakan oleh KAF (Konrad Adenauer
Stiftung), ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama. Hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Ternyata ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap, pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan “formalisasi” Islam. Termasuk dalam barisan ini adalah dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari Universitas AlAzhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan “pendidikan Islam yang benar” memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta pun yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis sendiri membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan Islam.
Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” yang menggunakan simbolsimbol budaya Jawa; sebagai “agen pembaharuan” yang memperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh intelektual prolifik Imam Jalaluddin
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 224 h
Abdurrahman AlSuyuti1 lebih dari 500 tahun yang lalu, dalam Itmam al-Dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa Arab klasik hingga tafsir al-Qur’ân dan teks Hadits Nabi. Semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai keIslaman ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaranajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah “keharusan” yang diterima kaum muslimin di berbagai penjuru dunia. Tetapi, di sini juga terdapat “benihbenih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lainnya. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, penulis pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980an. Tentang perlu adanya “studi kawasan” tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negerinegeri Arab, budaya TurkiPersiaAfghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di kawasankawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area studi-es) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic studies).
eg
1 Nama lengkapnya adalah Abu alFadl Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad Jalaluddin asSuyuti. Ulama besar kelahiran Kairo, 1 Rajab 849/3 Oktober 1445 ini dikenal sebagai penulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu yang produktif. AsSuyuti yang hidup pada masa Dinasti Mamluk pada abad ke15, memulai aktivitas menulisnya sejak umur 17 tahun. Menurut catatan para sejarawan, AsSuyuti telah menulis 571 buah buku, baik berupa buku dengan jumlah halaman yang banyak, maupun bukubuku kecil dan karangankarangan singkat. Bukunya yang terkenal di kalangan pesantren dalam bidang kaidah fikih adalah al-Asbah wa an-Nazair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh asy-Syafi’i. Dalam kitab ini, asSuyuti menjelaskan secara gamblang dengan contoh-contoh penerapan dan kandungan al-Qawa’id al-Khamsah yang berlaku dalam Mazhab Syafi’i.
g 225 h
Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada dua hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah, pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam, dalam bahasa Arab: tajdid al-tarbiyah al-Islâ-miah dan al-hadâsah. Dalam liputan istilah pertama, tentu saja ajaranajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaranajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anakanak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaranajaran yang benar” tentang Islam. Contoh paling mudahnya adalah menggunakan tutup kepala di sekolah nonagama, yang di negeri ini dikenal dengan nama jilbab. KeIslaman lahiriyah seperti itu, juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ketahun yang melakukan ibadah umroh/ haji kecil.
Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaranajaran formal Islam di sekolahsekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolahsekolah nonagama yang berserakserak di seluruh penjuru dunia. Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di manamana, adalah respon umat Islam terhadap “tantangan modernisasi”. Tantangan seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di manamana. Hal inilah yang merisaukan hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian alamiah dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan mem
PEndIdIkan Islam HaRus bERaGam
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 226 h
buat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sen-diri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.
eg
Jelas dari uraian di atas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran, baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan nonformal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah2 di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi nonformal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi tugas berat para perencana pendidikan Islam. Kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.
Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan juga penjabaran tarekat dan gerakan shalawat Nabi, yang terjadi demikian cepat di manamana. Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti itu sebenarnya berbicara sangat nyaring, namun kita sendiri yang tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam yang memperoleh kedamaian dengan ritual memuja Nabi itu, dengan sendiri
2 Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat belajar (dari akar kata darasa= belajar). Istilah madrasah di tanah air seringkali digunakan untuk penyebutan sekolah agama Islam, tempat proses belajar mengajar ajaran Islam secara formal yang mempunyai kelas (dengan sarana antara lain; meja, bangku, dan papan tulis) dan kurikulum dalam bentuk klasikal. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kata madrasah secara teknis mempunyai arti atau konotasi tertentu, yaitu suatu gedung atau bangunan tertentu yang lengkap dengan segala sarana dan fasilitas yang menunjang proses belajar agama. Dalam pengertiannya yang lebih luas, istilah madrasah juga berarti aliran atau mazhab, yaitu sebuatan bagi sekelompok ahli yang mempunyai pandangan atau paham yang sama dalam ilmuilmu keislaman, seperti di bidang fikih (hukum Islam). Penulispenulis Barat menerjemahkannya menjadi school atau aliran, seperti Madrasah Maliki, Madrasah Syafi’I, Madrasah Hanafi dan Madrasah Hanbali yang sinonim dengan Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi, dan Mazhab Hanbali.
g 227 h
nya berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup Nabi yang diketahuinya, yaitu kepatuhan kepada ajaran Islam. Ritual itu, tentu saja akan menyadarkan kembali orang tersebut kepada kehidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (juz’i) belaka. Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan sosial” yang tidak dapat kita pungkiri dan abaikan.
Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada. Lagilagi kita berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukumhukumnya sendiri. Mengembangkan keadaan dengan tidak memperhitungkan hal ini, mungkin hanya bersifat meninabobokan kita belaka dari tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan pasir tanpa menyadari badannya masih tampak. Jika kita masih bersikap seperti itu, akan berakibat sangat besar bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan keanekaragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan perkembangan waktu dan tempat yang akan menentukan. h
PEndIdIkan Islam HaRus bERaGam
g 228 h
Dalam kitab suci al-Qur’ân dinyatakan: “Demi masa, manusia selalu merugi, kecuali mereka yang beriman, beramal shaleh, berpegang kepada kebenaran dan berpegang ke
pada kesabaran (Wa al-‘ashri inna al–insâna la fî khusrin illâ al-ladzîna ‘âmanû wa ‘amilu al-shâlihâti wa tawâshau bi al-haqqi wa tawâshau bi al-shabr)” QS al‘Ashr (103):13). Ayat tersebut mengharuskan kita senantiasa menyerukan kebenaran namun tanpa kehilangan kesabaran. Dengan kata lain, kebenaran barulah ada artinya, kalau kita juga memiliki kesabaran. Kadangkala kebenaran itu baru dapat ditegakkan secara bertahap, seperti halnya demokrasi. Di sinilah rasa pentingnya arti kesabaran.
Demikian pula sikap pemaaf juga disebutkan sebagai tanda kebaikan seorang muslim. Sebuah ayat menyatakan: “Apa yang mengenai diri kalian dari (sekian banyak) musibah yang menimpa, (tidak lain merupakan) halhal berupa buah tangan kalian sendiri. Dan (walaupun demikian) Allah memaafkan sebagian (besar) halhal itu (mâ ashâbakum min mushîbatin fa bimâ ka-sabat a’ydîkum wa ya’fû ‘an katsîrin)” (QS alSyura (42):30). Firman Allah ini mengharuskan kita juga mudah memberikan maaf kepada siapapun, sehingga sikap saling memaafkan adalah sesuatu yang secara inherent menjadi sifat seorang muslim. Inilah yang diambil mendiang Mahatma Gandhi sebagai muatan dalam sikap hidupnya yang menolak kekerasan (ahimsa), yang terkenal itu. Sikap inilah yang kemudian diambil oleh mendiang
Bersabar dan memberi maaf
g 229 h
Pendeta Marthin Luther King Junior1 di Amerika Serikat, dalam tahuntahun 60an, ketika ia memperjuangkan hakhak sipil (civil rights) di kawasan itu, yaitu agar warga kulit hitam berhak memilih dalam pemilu.
Hal ini membuktikan, kesabaran dalam membawakan kebenaran adalah sifat utama yang dipuji oleh sejarah. Sebagaimana dituturkan oleh kisah perwayangan, para ksatria Pandawa yang dengan sabar dibuang ke hutan untuk jangka waktu yang lama, juga merupakan contoh sebuah kesabaran. Jadi, kesadaran akan perlunya kesabaran itu, memang sudah sejak lama menjadi sifat manusia. Tanpa kesabaran, konflik yang terjadi akan dipenuhi oleh kekerasan. Sesuatu yang merugikan manusia sendiri. Kekerasan tidak akan dipakai, kecuali dalam keadaan tertentu. Hal ini memang sering dilanggar oleh kaum muslimin sendiri. Sudah waktunya kita kaum muslimin kembali kepada ayat di atas dan mengambil kesabaran serta kesediaan memberi maaf, atas segala kejadian yang menimpa diri kita sebagai hikmah.
eg
Hiruk pikuk kehidupan, selalu penuh dengan godaan kepada kita untuk tidak bersikap sabar dan mudah memberikan maaf. Dalam pandangan penulis, kedua hal tersebut seharusnya selalu digunakan oleh kaum muslimin. Tetapi harus kita akui dengan jujur, bahwa justru kesabaran itulah yang paling sulit ditegakkan dan kalau kita tidak dapat bersabar bagaimana kita akan memberi maaf atas kesalahan orang kepada kita? Jelas, bahwa antara keduanya terdapat hubungan timbal balik yang sangat mendalam, walaupun tidak dapat dikatakan terjadi hubungan kausalitas antara kesabaran dan kemampuan memaafkan kesalahan orang lain pada diri kita.
Kita sebagai seorang muslim, mau tidak mau harus menye
1 Dr. Marthin Luther King Jr. (19291968) adalah seorang pendeta di Amerika Serikat yang terkenal dengan komitmen dan perjuangannya terhadap persamaan antar ras dan perbedaan kulit, hitam dan putih, di negaranya. Ia berhasil memimpin pendobrakan segregasi antar ras dan perbedaan kulit di di pabrikpabrik serta di kendaraan dan tempattempat umum di AS yang memberikan inspirasi bagi persamaan umat manusia dan kebebasan sipil di seluruh dunia. Karena perjuangannya tersebut, ia mendapatkan Nobel Perdamaian tahun 1964.
bERsabaR dan mEmbERI maaF
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 230 h
diakan keduanya sebagai pegangan hidup baik secara kolektif maupun secara perorangan. Dari sinilah dapat dimengerti, mengapa hikmah 1 Muharam 1424 Hijriyah ini sebaiknya tetap ditekankan pada penciptaan kesabaran dan penumbuhan kemampuan untuk memberikan maaf kepada orang yang dalam pandangan kita, berbuat salah kepada diri kita. Bukankah kedua ayat kitab suci yang dikemukakan di atas, sudah cukup kuat dalam mendorong kita membuat kesabaran dan kemampuan memaafkan kesalahan orang kepada diri kita, sebagai hikmah yang kita petik di hari raya yang mulia tersebut. Kedengarannya prinsip yang sederhana, tetapi sulit dikembangkan dalam diri kita.
Namun, lain halnya dengan para politisi yang berinisiatif menyelenggarakan Sidang Istimewa yang terakhir, dengan dasar “kebenaran” hasil penafsiran politik masingmasing. Tindakan ini berarti melanggar Undangundang Dasar 1945, karena tidak memiliki landasan hukum. Dengan “nafsu” politiknya –yaitu Presiden harus lengser mereka pun meninggalkan jalan permusyawaratan. Padahal, semua persoalan yang melibatkan orang banyak harus dipecahkan dengan negosiasi, seperti firman Allah: “dan persoalan mereka harus lah di musyawarahkan oleh mereka sendiri (wa amruhum syûrâ bainahum)” (QS alSyura [42]:38). Terlihat selain melanggar konstitusi, dalam hal ini merekalah yang tidak dapat memaafkan. Sederhana saja, walaupun rumit dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa dan negara. h
g 231 h
Ketua Umum PIB Syahrir membuat tulisan menarik dalam sebuah media. Dalam kesimpulan penulis, dalam karyanya itu, Syahrir menyebutkan ada orang berkuasa tetapi
tidak memimpin. Dengan tepat, Syahrir menunjukkan pada kita sebagai bangsa yang sedang porakporanda, karena tidak adanya kepemimpinan. Buktinya, krisis multidimensi yang sedang kita hadapi dewasa ini, sama sekali tidak mendapatkan pemecahan –kalau tidak dikatakan justru diperparah oleh ulah para pemimpin kita sendiri—. Ada pejabat yang menganggap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia sebagai persoalan pemerintah daerah, padahal seluruh peraturan yang menyangkut diri mereka dibuat oleh pemerintah pusat. Demikian juga pejabat lain yang tidak mau meninggalkan jabatan, walaupun telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri di Jakarta sebagai pihak yang bersalah. Alasannya, karena menunggu putusan Pengadilan Tinggi. Bukankah ini berarti sebuah pengakuan, bahwa sistem pengadilan kita bekerja di bawah pengaruh mafia peradilan? Alangkah tragisnya keadaan kita saat ini?
Dengan tepat pula, Syahrir menunjuk kepada pemerintahan kita yang memiliki sejumlah orang berkuasa, namun tidak sanggup memimpin. Bahkan, aparat penegak hukum kita cenderung melanggar konstitusi. Pertanyaan Klinik Hukum Merdeka, adakah DPR/MPR kita dewasa ini legal atau tidak, mengingat baru 60% suara hasil pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999
Berkuasa dan Harus memimpin
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 232 h
yang lalu dihitung, namun pemerintah telah mengumumkan Surat Keputusan (SK) Presiden, mengenai komposisi DPR/MPR —tidak dijawab hingga saat ini oleh Mahkamah Agung (MA). Begitu juga, pertanyaan penulis kepada MA, apakah Maklumat Keadaan Bahaya yang dikeluarkan penulis sebagai Presiden tanggal 2123 Juli 2001 merupakan tindakan legal atau illegal berdasarkan konstitusi, juga tidak mendapatkan jawaban.
Ditambah lagi, bahwa showroom mobil termahal (mewah) di dunia saat ini berada di halaman gedung DPR, yang dipenuhi oleh mobil para anggotanya, bahkan tanpa mengindahkan batas besarnya kubik silinder (cc) yang dimiliki kendaraan tersebut. Keluhan birokrasi pemerintahan dan kejengkelan rakyat sama sekali tidak diperhatikan. DPR tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat, melainkan hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri tampak jelas di mata kita. Dengan kata lain, para anggota DPR/MPR kita tengah menikmati kekuasaan yang mereka peroleh tanpa memperhatikan sah atau tidaknya kekuasaan mereka itu. Dengan demikian, pengamatan Syahrir itu juga berlaku bagi para anggota DPR/MPR kita dewasa ini.
Masalahnya adalah persoalan klasik yang harus kita hadapi sekarang ini. Kepercayaaan (trust) masyarakat kepada sistem pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan. KKN, terutama dalam bentuk korupsi, kini tampak nyata sudah tak terkendali lagi. Benarlah kata alm. Mahbub Junaidi: bahwa nanti kita harus membayar pajak karena mengantuk, seolaholah sebuah kenyataan yang hidup. Runtuhnya kekuasaan Wangsa Syailendra (pembangun candi Borobudur) dan kerajaan Majapahit (untuk membiayai perang dan perluasan kawasan) —misalnya, akhirnya runtuh karena keduanya hanya sekadar berkuasa tetapi tidak memimpin. Kekuasaan wangsa Syailendra dianggap tidak ada oleh kaum HinduBudha yang membangun candi Prambanan yang di kemudian hari hijrah ke Kediri di bawah Darmawangsa dan mengingkari kekuasaan wangsa tersebut. Kekuasaan Majapahit, yang semula memeluk agama HinduBudha/Bhairawa, akhirnya juga hilang tanpa dapat ditolong lagi karena ketidakmampuan mempertahankan keadaan di hadapan tantangan kaum muslimin, terutama di bawah pimpinan Sayyid Jamaluddin Husaini dalam abad ke15 Masehi.
Dengan mengacu kepada ketidakmampuan pemerintah yang ada untuk memelihara kepercayaan (trust) rakyat tersebut,
g 233 h
jelas bagi kita adanya kewajiban besar untuk berpegang kepada amanat tersebut. Kepentingan rakyat, yang dirumuskan dengan sangat baik oleh para pendiri negeri ini, melalui pembukaan UUD 1945, yaitu dengan rumusan ”masyarakat adil dan makmur”, jelas menunjuk pada keharusan mencapai kesejahteraan bangsa. Pernah diperdebatkan, apakah peningkatan PNB (Produk National Bruto), dapat dinilai sebagai upaya mencapai keadaan tersebut? Sekarang jangankan berusaha ke arah itu, berdebat mengenai apa yang dimaksud dengan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran pun sudah tidak lagi kita lakukan.
Kehidupan kita yang keringkerontang ini sekarang hanya dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bukannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Kekuasaan disamakan dengan kepemimpinan, dan kekuasaan tidak lagi mengindahkan aspek moral/etikanya dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Pantaslah jika kita sekarang seolaholah tidak memiliki kepemimpinan, karena kita sudah kehilangan aspek moral dan etika tersebut. Kepemimpinan kita saat ini, sebagai bangsa, hanya dipenuhi oleh basabasi (etiket) yang tidak memberikan jaminan apaapa kepada kita sebagai bangsa.
Agama Islam, yang dipeluk oleh mayoritas bangsa kita, memiliki sebuah adagium yang sangat penting: ”Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (Tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûtun bi al-maslahah) jelas menunjuk kewajiban sang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya. Benarkah kita saat ini memperjuangkan kesejahteraan dengan sungguhsungguh, kalau dilihat kelalaian para penguasa kita dewasa ini? Tentu saja pertanyaan ini tidak akan ada yang menjawab sekarang, karena dalam kenyataan hal ini tidak dipikirkan secara sungguhsungguh oleh para penguasa kita. Tidak ada usaha untuk mengkaji kembali sistem pemerintahan kita, minimal mengenai orientasinya, hingga tidak heranlah jika langkah bangsa ini sedang terseokseok.
Umar bin Khattab pernah mengeluarkan sebuah statemen populer: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi tha’ah),” jelas sekali menunjuk pada pentingnya arti kepemimpinan dan sang pemimpin. Dengan demikian, kepe
bERkuasa dan HaRus mEmImPIn
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 234 h
mimpinan mempunyai arti yang sangat besar bagi sebuah bangsa. Ketika para pemimpin kita bertikai mengenai kapan waktu yang tepat bagi proklamasi kemerdekaan, ada yang merasakan sudah waktunya hal itu dilaksanakan, dan ada pula yang merasa belum waktunya, tetapi semuanya mengetahui bahwa proklamasi harus dilakukan, hanya soal waktu saja yang dipersengketakan. Ketika para pemuda menculik Soekarno ke Rengasdengklok, hal itu menunjukkan bahwa mereka memiliki jiwa kepemimpinan yang diperlukan, sedangkan Soekarno tidak mempersoalkan keharusan proklamasi itu sendiri. Ia hanya mempersoalkan bila proklamasi itu harus dilakukan. Dan akhirnya, semua sepakat, bahwa hal itu harus dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bahwa krisis multidimensi yang kita hadapi sekarang ini, memerlukan jawaban serbabagai dari para penguasa pemerintahan kita; dari menciptakan sistem politik baru yang mengacu kepada etika dan moral, melalui kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama bagi semua warga negara di depan undangundang, hingga pengembangan orientasi ekonomi yang tepat. Pengamatan Syahrir bahwa kita tidak memiliki pemimpin, melainkan hanya seorang penguasa belaka, tentu didasarkan pada sebuah kenyataan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki keberanian moral, kemauan politik (political will) dan kejujuran untuk mengutamakan kepentingan rakyat, bukannya kepentingan sendiri ataupun kelompok. Karena kepemimpinan formal yang seperti itu belum ada, pantaslah bila ada anggapan, kita tidak memiliki pimpinan saat ini, melainkan hanya penguasa saja. h
g 235 h
Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan sampai tahun 60-an, KH. M. Hasyim Asy’ari menuliskan
fatwa: bahwa kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum Islam. Dasar dari pendapatnya itu adalah kelangkaan hadits Nabi; biasanya disebut sebagai tidak adanya teks tertulis (dalil naqli) dalam hal ini.
Dalam penerbitan bulan berikutnya, pendapat tersebut disanggah oleh wakil beliau, Kyai Faqih dari Maskumambang, Gresik, yang menyatakan bahwa kentongan harus diperkenankan, karena bisa dianalogikan atau diqiyas-kan kepada beduk sebagai alat pemanggil shalat. Karena beduk diperkenankan, atas adanya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadits Nabi Muhammad SAW mengenai adanya atau dipergunakannya alat tersebut pada zaman Nabi, maka kentongan pun harus diperkenankan.
Segera setelah uraian Kyai Faqih Maskumambang itu muncul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama seJombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ia pun lalu memerintahkan kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di Mesjid Tebu Ireng, Jombang kentongan itu tidak digunakan selamalamanya. Pandangan
tata krama dan ‘ummatan Wâhidatan
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 236 h
beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendirian Kyai Faqih dari Maskumambang tersebut, dan bagaimana sikap itu didasarkan pada “kebenaran” yang beliau kenal.
Dalam bulan Maulid/Rabi’ul Awal berikutnya, KH. M. Hasyim Asy’ari diundang berceramah di Pesantren Maskumam-bang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumambang menemui para ketua/pemimpin ta’mir mesjid dan surau yang ada di kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau: selama KH. M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten tersebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari tempat bergantungnya alat itu. Sikap ini diambil beliau karena penghormatan beliau terhadap Kyai Hasyim Asy’ari, yang bagai-manapun adalah atasan beliau dalam berorganisasi. Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut.
Sikap saling menghargai satu sama lain, antara kedua tokoh tersebut yaitu antara Rois ‘Am dan Wakil Rois ‘Am PBNU waktu itu, menunjukkan tata krama yang sangat tinggi di antara dua orang ulama yang berbeda pendapat, tapi menghargai satu sama lain. Inilah yang justru tidak kita lihat saat ini, terlebihlebih di antara pemimpin gerakan Islam dewasa ini, yang tampak mencuat justru sikap saling menyalahkan, sehingga tidak terdapat kesatuan pendapat antar mereka. Yang menonjol adalah perbeda an pendapat, bukan persamaan antara mereka. Penulis tidak tahu, haruskah kenyataan itu disayangkan ataukah justru dibiarkan?
Mungkin ini adalah sisasisa dari sebuah nostalgia yang ada mengenai “keagungan” masa lampau belaka. Tapi bukankah seseorang berhak merasa seperti itu? Bukankah kitab suci alQur’ân menyatakan, “Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian (dalam bentuk) lelaki dan perempuan dan Kujadikan kalian berbangsabangsa dan bersukusuku bangsa agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa (innâ khalaqnâ kum min dza-karin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû innâ akramakum ‘inda Allâhi atqâkum)” (QS alHujurat [49]:13) Ayat ini jelas membenarkan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin.
Namun Allah juga berfirman dalam kitab suci-Nya itu:
g 237 h
“Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah (secara) keseluruhan dan janganlah berceraiberai/terpecah belah (wa’ tashimû bi ha-bli allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103). Ayat ini menunjukkan kepada kita, bahwa yang dilarang bukannya perbedaan pandangan melainkan bersikap terpecahbelah satu dari yang lain. Hal ini diperkuat oleh sebuah ayat lain: “Bekerjasamalah kalian dalam (bekerja untuk) kebaikan dan ketakwaan (ta’âwanû ‘alâ al-birri wa al-taqwâ)” (QS alMaidah [5]:2) yang jelasjelas mengharuskan kita melakukan koordinasi berbagai kegiatan. Tetapi, kerjasama seperti itu hanya dapat dilakukan oleh kepemimpinan tunggal dalam berbagai gerakan Islam.
Masalahnya sekarang adalah langkanya kepemimpinan seperti itu. Para pimpinan gerakan Islam saling bertengkar, minimal hanya bersatu dalam ucapan. Mengapakah demikian? Karena para pemimpin itu hanya mengejar ambisi pribadi belaka, dan jarang berpikir mengenai umat Islam secara keseluruhan. Seharusnya, mereka berpikir tentang bagaimana melestarikan agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan kepentingan seluruh bangsa. Ambisi politik masingmasing akan terwujud jika ada pengendalian diri, dan jika diletakkan dalam kerangka kepentingan seluruh bangsa.
Dalam ajaran Islam dikenal istilah “ikhlas”. Keikhlasan yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masingmasing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa. Di sinilah justru harus ada kesepakatan antara para pemimpin berbagai gerakan atau organisasi Islam yang ada, dan ketundukkan kepada keputusan sang pemimpin dirumuskan. Untuk melakukan perumusan seperti itu, diperlakukan dua persyaratan sekaligus, yaitu kejujuran sikap dan ucapan, yang disertai dengan sikap “mengalah” kepada kepentingan berbagai gerakan organisasi itu. Tanpa kedua hal itu, siasialah upaya “menyatukan” umat Islam dalam sebuah kerangka perjuangan yang diperlukan.
Dalam hal ini, penulis lagilagi teringat kepada sebuah adagium yang sering dinyatakan berbagai kalangan Islam: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi tha’ah). Adagiumnya memang benar, walaupun sekelompok kecil pernah mengajukan klaim kepemimpinan itu dan minta diterima sebagai pemimpin. Namun sikap mereka yang meman
tata kRama dan ‘ummatan WaHIdatan
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 238 h
dang rendah kelompok lain, justru menggagalkan niatan tersebut, sedangkan kelompokkelompok lain tidaklah memiliki kepemimpinan kohesif seperti itu. Herankah kita, jika wajah berbagai gerakan Islam di Tanah Air kita saat ini tampak tidak memiliki kepemimpinan yang jelas? Di sinilah kita perlu membangun kembali “kesatuan” umat (ummatan wahidatan). Mudah diucapkan, tapi sulit diwujudkan bukan? h
g 239 h
Pada suatu hari yang cerah, penulis memasuki ruang tunggu lapangan terbang Cengkareng, jam 05.30 WIB pagi. Sambil menunggu saat penerbangan pertama ke Yogyakarta,
penulis mendengarkan siaran TV di ruang tunggu itu. Seorang penceramah agama sedang menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan para pemirsa melalui telepon, ketika dihadapkan pada masalahmasalah hukum Islam (fiqh) tentang saat menjalankan ibadah haji. Salah seorang pemirsa menanyakan; apakah sebuah tindakan yang dilakukan jama’ah haji dapat dimasukkan dalam kategori perbuatan yang merusak ihram atau tidak.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, sang penceramah melakukan pembedaan, antara halhal yang merusak syaratsyarat ibadah haji, merusak kewajibankewajiban haji dan merusak ihram itu sendiri. Hal elementer seperti ini –dengan akibat hukumhukum agama (canon law) sendiri pula yang biasa dipelajari dari kitabkitab agama di pesantren, dijelaskan di layar televisi itu oleh sang penceramah. Ini tentu karena sang penanya diandaikan tidak tahu masalahnya, karena mereka hanya berkomunikasi melalui telepon. Sekaligus, pertanyaan itu menunjukkan perhatian sang pemirsa tersebut pada segisegi ibadah, ketika menunaikan perjalanan ibadah haji. Mungkin itu juga disertai oleh pandangan tertentu mengenai perjalanan haji: peribadatan yang menyenangkan, menjengkelkan atau yang tidak berguna sama sekali.
agama di televisi dan dalam kehidupan
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 240 h
Sudah tentu seorang jama’ah haji memiliki wewenang bertanya tentang sesuatu hal yang oleh jama’ah lain dianggap soal kecil. Bukankah ia telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk melakukan perjalanan tersebut, bahkan mungkin saja ia sampai menabung uang seumur hidup untuk itu. Karenanya, ia berhak bertanya apa saja, karena perjalanan tersebut merupakan sebuah obsesi dalam hidupnya. “Hak” ini adalah sesuatu yang sangat inherent dalam hidup sang penanya, dan sangat menyedihkan bahwa Departemen Agama Republik Indonesia (DepagRI) yang menjadi penyelenggara ibadah haji tersebut tidak pernah mengumpulkan dan menjawab pertanyaanpertanyaan seperti itu dalam sebuah buku yang dapat dijadikan pegangan bagi para calon jama’ah haji. Maka terpaksalah mereka bertanya melalui TV karena tidak ada saluran lain.
Ketika memasuki lapangan terbang itu, penulis juga berjumpa dengan Jajang C. Noer dan Debra Yatim, keduanya aktivis perempuan –yang juga samasama akan menuju Yogyakarta, untuk menayangkan film tentang perjuangan kaum perem-puan di negeri kita. Tentu saja pertunjukkan film tersebut akan disertai dialog antara para pemirsa dan kedua aktifis tersebut. Dan dapat diperkirakan, mereka akan berbeda mengenai tema makro yaitu tentang perjuangan menegakkan hakhak wanita di negeri kita. Ini adalah hal yang wajar, bahkan kalau itu tidak dibicarakan, justru kita bertanyatanya dalam hati, kedua orang aktifis itu untuk apa datang ke Yogyakarta? Kalau hanya untuk memutar film itu dapat dilakukan oleh para petugas setempat. Tentu saja merupakan hal yang wajar pula, jika orang lain menganggap pembicaraan mereka itu sesuatu yang bersifat setengah makro, karena membahas kepentingan kurang lebih separuh warga masyarakat, yaitu kaum perempuan. Pembahasan baru dianggap makro ketika menyangkut pembedaan masyarakat oleh negara, karena mereka berpendapat bahwa bahasan yang tidak menyangkut struktur masyarakat, belumlah dianggap sebagai pembahasan yang serius. Bahwa pembahasan mengenai nasib perempuan, termasuk apakah poligami (beristri banyak) selayaknya dilarang atau tidak, juga menyangkut posisi dan harkat tiga milyar jiwa lebih kaum perempuan di seluruh dunia saat ini, dalam pandangan ini tidak otomatis menjadikan masalah gender sebagai masalah makro. Memang ini adalah masalah yang sangat besar dan menyangkut jumlah manusia yang sangat besar pula.
g 241 h
Tapi, ia tidak terkait dengan masalah struktur masyarakat.Karena itu pula ia tetap diperlakukan sebagai masalah mik
ro. Ditambah dengan ketidakpedulian mayoritas jumlah lakilaki dan perempuan yang tidak memperhatikan masalah ini, dengan sendirinya masalah gender ini tidak berkembang menjadi masalah struktural. Memang para aktifis di berbagai bidang di lingkungan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari jenis hawa, selalu meneriakkan dengan lantang bahwa masalah perempuan/gender adalah masalah struktural, tetapi tetap saja masalah itu diperlakukan dalam dunia LSM internasional dan domestik sebagai masalah nonstruktural. Ini memang menyakitkan, tapi dalam kenyataan hal ini memang terjadi, dan kita tidak usah meratapinya. Perjuangan memang masih panjang, dan hal itu tidak perlu diperlakukan secara emosional.
Paham ketiga yaitu, tidak pernah mempersoalkan struktur masyarakat, dan menganggap semua struktur masyarakat yang ada dalam sejarah sebagai sesuatu yang benar. Masalah pokok yang dihadapi umat manusia, menurut pandangan ini, adalah bagaimana menegakkan keadilan dan kemakmuran yang dalam ajaran agama Islam disebut dengan istilah kesejahteraan. Jadi, menurut pandangan ini, masalah utamanya adalah penegakan hukum dan perumusan kebijakan serta pelaksanaan di bidang ekonomi, terlepas dari jenis dan watak struktur itu sendiri. Inilah pandangan yang sering disebut sebagai pandangan nonstruktural, juga dikenal dengan pandangan developmentalist.
Dalam pandangan ini, Islam atau agamaagama lain dapat berperan memerangi materialisme dan sebagainya, tanpa mempengaruhi struktur masyarakat. Masalah yang dihadapi terkait sepenuhnya dengan keahlian dan pengorganisasian sumber daya manusia yang dimiliki.
Pandangan nonstruktural ini, antara lain diikuti oleh para teknokrat kita, yang selama ini menentukan kebijakan pembangunan yang kita ikuti sebagai bangsa. Dan ternyata para teknokrat tersebut telah menemui kegagalan, karena keadilan dan kemakmuran ternyata tidak kunjung tercapai, yang menikmati hanyalah sejumlah konglomerat belaka. Karenanya, pembahasan mengenai hubungan antara agama dan ideologi negara, sebaiknya dibatasi pada pandanganpandangan agama yang ada mengenai struktur sosial yang adil bagi seluruh warga masyarakat, dan menuju pada kemakmuran bangsa. Pendekatan struktural
aGama dI tV dan dalam kEHIduPan
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 242 h
ini diperlukan, karena memang semua agama menghendaki masyarakat yang adil, menuju pencapaian kemakmuran. “Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafûr (QS Saba’ [34]:15) (negara yang baik dan Tuhan yang Maha Pengampun)” adalah semboyan upaya kaum muslimin dalam menciptakan masyarakat yang demikian itu, sesuai dengan ajaran Islam sendiri. Karenanya, mem
bahas hubungan antara Islam dengan negara, dengan membahas struktur masyarakat yang hendak didirikan, adalah sesuatu yang secara inherent menyangkut keadilan, dan dengan demikian merupakan struktur masyarakat yang benar. h
g 243 h
Beberapa tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan datang pada penulis di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Bhutto ma
sih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk membacakan surah AlFatihah bagi keselamatan Bangsa Pakistan. Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Bhutto yang berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda “celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan”? Penulis menjawab bahwa hadits tersebut disabdakan pada Abad VIII Masehi di Jazirah Arab. Ini berarti diperlukan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?
Pada tempat dan waktu Rasulullah masih hidup itu, konsep kepemimpinan bersifat perorangan di mana seorang kepala suku harus melakukan halhal berikut: memimpin peperangan melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam persoalan antar para keluarga yang berbedabeda kepentingan dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi membuat dan sekaligus melaksanakan hukum.
Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemimpin, baik ia presiden maupun perdana menteri sebuah negara, konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/diinstitusional
arabisasi, samakah dengan Islamisasi?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 244 h
isasikan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Bhutto tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan melalui sidang kabinet yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet juga tidak boleh menyimpang dari Undangundang (UU) yang dibuat oleh parlemen yang mayoritas beranggotakan lakilaki. Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang membentuk Mahkamah Agung (MA), yang anggotanya juga lakilaki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi menjadi masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah dilembagakan/ diinstitusionalisasikan. “Anda memang benar,” demikian kata orang alim Pakistan itu, “tetapi tolong tetap bacakan surah AlFatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan”.
eg
Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah berkembang menjadi Islamisasi dengan segala konsekuensinya. Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsabangsa muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi.1 Sebagai contoh, namanama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga diArabkan; kata syarî’ah untuk hukum Islam, adab untuk sastra Arab, ushûluddin untuk studi gerakangerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan fakultas keputrian dinamakan kulliyyat al-banât. Seolaholah tidak terasa keIslamannya kalau tidak menggunakan katakata
1 Dua istilah ini memiliki implikasi yang berbeda, meski bermula pada pemahaman teks-teks keislaman, al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian, ketika mendekati teksteks tersebut senantiasa meniscayakan adanya korelasi dan hubungan erat dengan kondisi historis dan sosial yang ada di sekitarnya. Dalam konteks ini pula lah, sebuah hadis harus dipahami secara cermat dalam kapasitas apakah Muhammad sebagai salah satu orang Arab dengan segala setting kulturalnya, atau apakah Muhammad sebagai Rasul yang membawa pesanpesan Ketuhanan. Pemetaan ini sangatlah penting, sehingga Imam Ghazali, seorang pengarang prolific, telah sejak dini melakukan pemisahan antara sabda Nabi yang bersifat budaya kultural dan pesan Nabi sebagai advise keagamaan yang harus diikuti dan bersifat mengikat. Ghazali adalah ulama yang pertama kali berani membuat garis demarkasi antara mana yang “Arabis” dan mana yang “Islamis”
g 245 h
bahasa Arab tersebut.Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Uni
versitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula namanama berbagai pondok pesantren.2 Kebiasaan masa lampau untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren (PP) Lirboyo di Kediri, Tebu Ireng di Jombang dan Krapyak di Yogyakarta, seolaholah kurang Islami, kalau tidak menggunakan namanama berbahasa Arab. Maka, dipakailah nama PP AlMunawwir di Yogya misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.
Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. Kalau dahulu orang awam menggunakan kata “Minggu” untuk hari ke tujuh dalam almanak, sekarang orang tidak puas kalau tidak menggunakan kata “Ahad”. Padahal kata Minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, “jour dominggo”, yang berarti hari Tuhan. Mengapa demikian? Karena pada hari itu orangorang Portugis —kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum muslimin menggunakan hari tutup kantor tersebut sebagai pusat kegiatan kolektif dalam berTuhan?
eg
Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai persangkaan bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam meng
2 Pondok pesantren disebut juga sebagai lembaga pendidikan tertua yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Kata pesantren atau santri berasal dari Bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shastri dari akar kata shastra yang berarti “bukubuku suci”, “bukubuku agama”, atau bukubuku tentang ilmpu pengetahuan”. Di luar Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatera Barat), dayah (Aceh), dan pondok (daerah lain). Kekhususan pesantren dibanding dengan lembagalembaga pendidikan lainnya adalah para santri atau murid tinggal bersama dengan Kyai atau guru mereka dalam suatu komplek tertentu yang mandiri.
aRabIsasI, samakaH dEnGan IslamI?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 246 h
hadapi “kemajuan Barat”. Seolaholah Islam akan kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan katakata berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali ke “akar” Islam, yaitu kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis agama Islam yang dikenal dengan sebutan dalil naqli, menjadi superficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari terorisme yang kita tolak yang menggunakan nama Islam?
Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Islam itu, juga mengakibatkan sikap sempit yang menolak segala macam penafsiran berdasarkan ilmuilmu agama (religious sub-ject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan dalam waktu yang sangat panjang. Para “Pemurni Islam” (Islamic puritan-ism) seperti itu, juga membuat tudingan salah alamat ke arah tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan selama berabadabad. Memang ada ekses buruk dari pengalaman perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya bukanlah berbentuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran membersihkan Islam dari eksesekses yang keliru tersebut.
Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, seperti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontrareformasi semenjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang kemudian berujung pada teologi pembebasan (liberation theo-logy),3 merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmat al-ummah).” Adagium tersebut bermula dari ketentuan kitab suci al-Qur’ân: “Ku-jadikan kalian
3 Sistem teologi semacam ini disebut juga dengan rumusan berteologi yang mempunyai visi sosial dan kemanusiaan. Adalah Farid Essack, seorang pemikir Islam berkebangsaan Afrika Selatan melalui karyanya, Qur’an, Libera-tion, and Pluralism (Oxford: Oneworld Oxford, 1997) ingin menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an adalah ajaran yang membebaskan.
g 247 h
berbangsabangsa dan bersukusuku bangsa agar kalian saling mengenal (Wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS alHujurat(49):13). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama Islam. h
aRabIsasI, samakaH dEnGan IslamI?
g 248 h
Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat menjelaskan dalam dialog dengan para mahasiswa di layar TVRI tanggal 26 Nopember 2002, tentang
penyebaran Islam di Nusantara. Ia mengemukakan bahwa Islam disebarkan sejak berabadabad yang lalu, di seluruh Nusantara dengan berbagai karya para ulama kita dalam pengajianpengajian. Di antara namanama yang disebutkan, terdapat nama Syekh Arsyad Banjari (17101812)1 dari Martapura, Kalimantan Selatan, ia dikirim oleh salah seorang sultan yang berkuasa di kawasan tersebut untuk belajar belasan tahun lamanya di Mekkah. Namun, ia kembali ke Tanah Air dalam abad ke18 M, dan dikuburkan di Kelampayan, Martapura. Walaupun TVRI hanya
1 Syekh Muhammad Arsyad alBanjari merupakan salah seorang ulama yang lahir di Lok Gabang, Martapura, 15 Safar 1122/ 19 Maret 1710 dan sangat berpengaruh serta memegang peranan penting dalam sejarah dan perkembangan Islam, khususnya di Kalimantan. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang gigih mempertahankan dan mengembangkan paham ahlusunnah waljama’ah dengan teologi ‘Asy’ariyah dan fikih Mazhab Syafi’i. Semasa hidupnya, beliau pernah menjabat sebagai mufti (penasehat di bidang agama) pada Kesultanan Banjar dan penulis kitabkitab agama yang cukup produktif. Karya Arsyad dalam bidang fiqih yang cukup terkenal adalah Sabîl al-Muhtadîn li Tafaqquh fî Amr al-Dîn yang merupakan syarah dari kitab karya Nûr al-Dîn al-Raniri (w. 1068 H/1658 M), berjudul Shirât al-Mustaqîm. Kitab fikih bermazhab Syafi’i dan yang ditulis berbahasa Melayu (Jawi) tulisan Arab tersebut dijadikan sebagai buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Penyesuaian ataukahPembaharuan terbatas
g 249 h
menampilkan gambar istana sultan di Martapura, namun sebenarnya saat ini ada pesantren di Kelampayan yang memiliki santri (pelajar) berjumlah belasan ribu orang.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutkan betapa besar jasa para ulama yang mengaji di Mekkah dan dan kembali ke tanah air, dalam dua hal: penyebaran agama Islam di kawasan masingmasing, dan penerapan ajaran agama Islam secara lebih murni. Pengawasan seorang pakar atas jalannya sejarah di bumi Nusantara ini haruslah dihargai, dan temuantemuannya itu haruslah diteruskan oleh para peneliti sejarah Nusantara. Hanya dengan demikian, kita akan dapat mencapai mutu kesejarahan yang tinggi, karena didasarkan pada hasilhasil kajian ilmiah yang benar. Tentu saja, hasilhasil kajian ini juga harus disiarkan melalui media khalayak kepada orang awam dengan bahasa yang mereka mengerti.
Apa yang dilakukan Prof. Dr. Azyumardi ini patut dihargai, karena dengan demikian ia telah menyajikan faktafakta sejarah kepada khalayak ramai. Ini bukanlah sesuatu yang kecil artinya, karena justru dengan cara demikianlah dapat dilakukan pendidikan masyarakat mengenai masa lampau negeri dan bangsa kita. Ini bahkan lebih besar jasanya daripada penyampaian halhal normatif yang sekarang mendominasi penyiaran kita. Karenanya, dibutuhkan lebih banyak orangorang seperti Prof. Dr. Azra ini, yang pandai menghubungkan dunia ilmiah dengan masyarakat awam kita. Katakanlah dalam bahasa kuis televisi: “seratus untuk Pak Azra.”
eg
Namun, tak ada gading yang tak retak, kalau meminjam ungkapan terkenal berikut: “manusia adalah tempat kesalahan dan kelalaian (al insân mahallu al khatha’ wa al-nisyân).” Ada sedikit kesalahan dalam penyampaian beliau akan sejarah masa lampau kita. Beliau menyatakan, bahwa banyak penyimpangan yang disebabkan oleh adat dan budaya kita dari masa sebelum itu, kemudian oleh ulama kita disesuaikan dengan hukumhukum agama (fiqh) yang formal. Disimpulkan dari situ, bahwa mereka para ulama melakukan pemurnian Islam. Dan pemurnian itu sebenarnya adalah upaya untuk memelihara keabsahan ajaranajaran agama Islam di negeri kita.
PEnyEsuaIan ataukaH PEmbaHaRuan tERbatas?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 250 h
Dalam hal ini, apa yang diuraikan secara umum oleh Prof. Dr. Azra itu, berlaku untuk para ulama umumnya di kawasan ini pada masa lampau. Juga dengan percontohan mereka, seperti terlihat dalam pelaksanaan akhlak dan penerapan ibadah, mereka para ulama itu telah merintis “ketaatan” agama yang luar biasa pada bangsa kita, yang masih terpelihara sampai hari ini di hadapan “pembaratan” (westernisasi) yang dianggap sebagai modernisasi. Proses seperti ini, yang berjalan sangat lambat selama berabadabad lamanya, sangat ditentukan oleh percontohan yang diberikan elite kepada masyarakat kita. Inilah sebenarnya yang harus kita ingat, karena kuatnya kecenderungan elite politik kita dewasa ini hanya untuk mengejar keuntungan pribadi/golongan, di atas kepentingan bangsa secara keseluruhan.
eg
Hal yang dilupakan Prof. Dr. Azra, adalah menyebutkan juga fungsi lain yang dilakukan oleh Syekh Arsyad alBanjari degan karyanya Sabîl al-Muhtadîn, yang sekarang ini juga menjadi nama Masjid Raya/Agung di Kota Banjarmasin. Apa yang dilupakan Dr. Azra, adalah bahwa dalam karya tersebut Syekh Arsyad juga melakukan sebuah pembaharuan terbatas atas hukumhukum agama (fiqh). Dalam karyanya itu, beliau menyampaikan hukum agama Perpantangan. Hukum agama ini jelas memperbaharui hukum agama pembagian waris (farâidh) secara umum. Kalau biasanya dalam hukum agama itu disebutkan, ahli waris lelaki menerima bagian dua kali lipat ahli waris perempuan. Beliau beranggapan lain halnya dengan adat Banjar yang berlaku di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan dewasa ini.
Dalam karyanya itu, beliau menganggap untuk masyarakat bersungai besar, seperti di Kalimantan Selatan, harus diingat adanya sebuah ketentuan lain. Yaitu, rejeki di kawasan itu adalah hasil kerjasama antara suami dan istri. Ketika sang suami masuk hutan mencari damar, rotan, kayu dan sebagainya, maka istri menjaga jangan sampai perahu yang ditumpangi itu tidak terbawa arus air, di samping kewajiban lain seperti menanak nasi dan sebagainya. Dengan demikian, hasilhasil hutan yang dibawa pulang adalah hasil karya dua orang, dan ini tercermin dalam pembagian harta waris. Menurut adat Perpantangan itu,
g 251 h
harta waris dibagi dahulu menjadi dua. Dengan paroh partama diserahkan kepada pasangan yang masih hidup, jika suami atau istri meninggal dunia dan hanya paroh kedua itu yang dibagikan secara hukum waris Islam.
Dengan demikian, Syekh Arsyad melestarikan hukum agama Islam (fiqh) dengan cara melakukan pembaharuan terbatas. Namun, pada saat yang bersamaan, beliau juga melakukan penyebaran agama Islam dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakatnya. Inilah jasa yang sangat besar yang kita kenang dari hidup beliau, sekembalinya ke tanah air di kawasan Nusantara ini. Hanya dengan inisiatif yang beliau ambil itu, dapat kita simpulkan dua hal yang sangat penting: pertama, kemampuan melakukan pembaharuan terbatas, kedua berjasa mendidik masyarakat dalam perjuangan hidup selama puluhan tahun lamanya. Jasa dalam dua bidang ini sudah pantas membuat beliau memperoleh gelar, sebagai penghargaan atas jasajasa beliau yang sangat besar bagi kehidupan kita sebagai bangsa, di masa kini maupun masa depan.
Jasa Syekh Arsyad di bidang pembaharuan terbatas ini, dapat disamakan dengan jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma2 dalam dinasti para penguasa Mataram. Dengan menetapkan bahwa tahun Saka, harus dimulai pada bulan Syura, dan bulannya berjumlah tigapuluh hari. Hal yang sama juga dilakukannya atas hukum perkawinanperceraianrujuk yang berlaku hingga
2 Sultan Agung adalah Raja ketiga Kerajaan Mataram yang memerintah tahun 16131645 dan berhasil membawa kerajaannya ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Pangeran Jatmiko dengan panggilan Raden Mas Rangsang. Pada tahun 1641, ia menerima pengakuan dari Mekah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Anyakrakusumo Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman (secara harfiah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, panglima perang dan pemangku amanah Tuhan Yang Maha Kasih). Peninggalan Sultan Agung yang paling legendaris adalah usaha pembaharuannya dalam kalender Jawa. Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang dikenal di pulau Jawa didasarkan pada sistem matahari yang lebih terkenal dengan kalender Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bulan (Qamariyah) yang juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta menjadikannya sebagai kalender resmi Mataram. Salah satu ciri kalender tersebut adalah penggunaan sistem bulan (hijriyah) dengan menggunakan tahun Saka, seperti Muharram menjadi Suro, Safar menjadi Sapar, Rajab menjadi Rejeb, dan seterusnya.
PEnyEsuaIan ataukaH PEmbaHaRuan tERbatas?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 252 h
saat ini, yang diambilnya dari hukum agama Islam formal (fiqh). Dengan demikian “pembaharuan terbatas” yang dilakukan kedua tokoh tersebut berjalan tanpa kekerasan, seperti yang diajarkan oleh agama Islam. Bukan dengan menggunakan kekerasan, apalagi terorisme seperti yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum muslimin yang tidak terdidik secara baik di negeri kita saat ini. h
g 253 h
Di akhir November tahun lalu, penulis diundang oleh sebuah lembaga yang dipimpin Dr. Chandra Muzaffar1 untuk turut dalam sebuah diskusi di Malaysia. Karena
tempat dan tanggal diskusi itu dirubah, penulis tidak dapat turut serta dalam pembahasanpembahasan yang dilakukan. Penulis hanya mengirimkan sebuah makalah tertulis kepada lembaga itu, untuk dibahas dalam kesempatan tersebut. Mudahmudahan dengan langkah itu penulis dapat turut serta dalam membahas masalah yang diperbincangkan, yaitu peranan agama dalam mencari pemahaman yang benar tentang globalisasi. Kalau hal itu tercapai, berarti penulis telah mengambil bagian dalam pembahasan mengenai satu sisi globalisasi.
Memang, pembahasan mengenai globalisasi selalu sangat menarik, bukankah hal itu menyangkut seluruh sisi kehidupan umat manusia? Sisi kolektif kehidupan manusia, seperti perdagangan dan sistem keuangan, maupun sisi individual (pribadi) seseorang seperti selera kita akan sesuatu, sangat ditentukan oleh pengertian kita akan globalisasi. Pengertian tertentu yang diambil itu, dengan sendirinya mengakibatkan sikap tertentu pula akan globalisasi. Pembahasan istilah tersebut akan sangat menarik, karena relevansinya dengan kehidupan umat manusia. Inilah yang mendorong penulis untuk mengirimkan ringkasan sumbangan pemikiran bagi jalannya pembahasan mengenai pe
1 Chandra Muzaffar adalah cendekiawan terkemuka Malaysia dan dikenal sebagai aktivis HAM. Pernah menjadi anggota eksekutif Asian Commission on Human Rights dan dinominasikan sebagai pengawas HAM (1988). Buku yang pernah ditulis antara lain Human Rights and the New World Order, (Penang: Just, 1993).
Pentingnya sebuah arti
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 254 h
ranan agama dan globalisasi yang berlangsung di Malaysia itu. Persoalannya terletak pada cara bagaimana kita memaha
mi arti kata globalisasi tersebut. Sebuah pemahaman yang salah akan mengakibatkan pandangan yang salah pula, dan ini berakibat pada pengambilan sikap yang tidak benar. Dengan demikian sikap kita, dan juga sikap agamaagama yang ada, harus diuji kebenarannya melalui pengertian yang benar pula, dan memiliki obyektifitas yang diperlukan. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengertian yang benar tentang kata tersebut sangat diperlukan, kalau kita ingin memperoleh kesimpulan yang jelas dan benar.
eg
Dalam pengertian yang umum dipakai, kata globalisasi sangat dipahami sebagai dominasi usahausaha besar dan raksasa atas tata niaga dan sistem keuangan internasional yang kita ikuti. Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. Deretan penjualan “makanan siaptelan” (fast food) menjadi saksi akan pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar, bukannya menentukan pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup untuk menjadi bukti akan kuatnya dominasi tersebut. Pengertian lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang seka-rang menentukan sekali tata hubungan antara negaranegara yang ada. Karenanya, pembahasan arti kata globalisasi itu menjadi sangat penting dan akan menentukan masa depan umat manusia. Karena itulah kita juga harus turut berbicara, kalau tidak ingin nantinya arti itu ditentukan oleh pihak lain yang disebutkan di atas.
Dalam hal ini, penulis menganggap arti kata globalisasi ini harus dipahami secara lebih serius, karena kalau kita lengah dan tidak memberikan perhatian, justru akan menjadi mangsa tata niaga internasional yang berlaku di seluruh dunia saat ini. Makanya, dari dulu penulis telah berkalikali menyampaikan hal ini kepada masyarakat melalui pidato, ceramah, prasaran maupun artikel seperti ini.
Sikap penulis ini hampirhampir tidak pernah mendapatkan responsiresponsi yang kreatif. Walaupun penulis juga mengetahui banyak artikel ditulis untuk jurnaljurnal ilmiah tentang
g 255 h
hal ini, namun hampir seluruh karyakarya itu tidak mencapai pembaca kebanyakan dan dengan demikian masyarakat tidak turut pula dalam pembahasan mengenai arti kata globalisasi itu. Dengan demikian, pemahaman sepihak yang bersifat materialistik atas kata itu tetap saja menjadi dominan. Penulis juga tahu bahwa dengan tulisan ini pun, masyarakat tetap saja banyak yang tidak mengetahui adanya bermacammacam pengertian dari kata tersebut, karena mungkin terlalu kecilnya upaya untuk mengajukan pengertian lain, dari apa yang dimengerti masyarakat pada waktu ini. Namun, tulisan seperti itu harus dikemukakan guna menunjang sebuah keputusan politik yang nanti akan diambil pada waktunya.
eg
Dengan kata lain penulis memiliki keyakinan, bahwa perubahan sebuah pengertian akan terjadi, jika ada pihak yang nantinya mengambil kebijakan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Ini akan terjadi jika ada pemerintahan yang benarbenar memikirkan kepentingan rakyat kebanyakan, dalam perimbangan kekuatan antara berbagai pemikiran di dunia ini. Jika nantinya ada pemerintahan yang benarbenar tidak rela akan adanya ketimpangan kekuatan luar biasa, antara negaranegara berteknologi maju dengan negaranegara yang sedang berkembang, tentu akan ada tindakantindakan untuk melakukan koreksi terhadap ketimpangan tersebut. Upaya korektif itulah yang akan menimbulkan pengertian yang benar atas kata globalisasi itu.
Islam mengajarkan perlunya dijaga keseimbangan antara halhal yang mengatur kehidupan manusia, mengapa? Karena hanya dengan keseimbangan itulah keadilan dapat dijaga dan akan berlangsung baik dalam kehidupan individual maupun kolektif kita. Sangat banyak kata “i’dilû” (berlakulah yang adil) dimuat dalam kitab suci al-Qur’ân, maka mau tidak mau pemikir-an tentang masyarakat harus bertumpu pada kebijakan tersebut. Kata “al-qisthu” (keadilan) juga demikian banyak terdapat dalam pemikiran Islam, seperti “Wahai orangorang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan kalian, walau akan merugikan (sebagian dari kalangan) kalian sendiri (yâ ayyuha al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisthi syuhadâ’a li al-lâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS alNisa [4]:135).
PEntInGnya sEbuaH aRtI
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 256 h
Jadi, jelaslah bahwa upaya menegakkan pengertian yang benar atas kata “globalisasi” sangat terkait dengan penegakan keseimbangan antara berbagai kekuatan di dunia ini, yang juga berkaitan dengan pemikiran akan keadilan dalam pandangan Islam. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan populer “Sebaikbaik perkara/persoalan, adalah yang (terletak) di tengahtengah” (khairu al ‘umur ausâthuhâ). Jelaslah dari hadits tadi, Islam sangat terkait dari sudut pemikiran keseimbangan antarnegara. Dengan kata lain, Islam sebenarnya tidak merelakan ketimpangan yang terjadi pada saat ini. h
g 257 h
Beberapa belas tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan penelitian tentang 14 sistem budaya daerah di negeri kita. Sistem budaya daerah Aceh
hingga Nusa Tenggata Timur (NTT) diteliti, termasuk sistem budaya Jawa I dan Jawa II. Yang dimaksudkan dengan sistem budaya Jawa I adalah sistem budaya Jawa yang ada di daerahdaerah pusat keraton, seperti Yogyakarta dan Solo. Sebaliknya, sistem budaya Jawa II adalah Jawa pinggiran, terutama di Jawa Timur. Budaya pesantren, dalam hal ini, termasuk sistem budaya Jawa II.
Hasil yang sangat menarik dari penelitian tersebut, yang dipimpin Dr. Mochtar Buchori, adalah pentingnya menerapkan sistemsistem tersebut di saat sistem modern belum dapat diterapkan. Sistem budaya Ngada di Flores Timur, umpamanya, adalah substitusi bagi sistem hukum nasional kita di daerah itu, ketika belum berdiri lembaga pengadilan di sana. Kode etik Siri dalam masyarakat Bugis, yang berintikan pembelaan terhadap kehormatan diri, tidaklah lekang pada masa ini. Beberapa kejadian penggunaan badik untuk mempertahankan diri, di berbagai daerah di kalangan orang Bugis, jelas menunjukkan adanya penerapan nilainilai yang berlaku dalam sistem budaya daerah Bugis itu.
Penelitian menunjukkan, terdapat kemampuan hidup sistem budaya daerah kita di tengahtengah arus modernisasi yang datang tanpa dapat dicegah. Karenanya, sikap yang tepat adalah
sistem Budaya daerah kita dan modernisasi
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 258 h
bagaimana memanfaatkan sistem budaya daerah di suatu tempat dalam satu periode, dengan dua tujuan: menunggu mapannya masyarakat dalam menghadapi modernisasi, dan mengelola arus perubahan untuk tidak datang secara tibatiba. Dengan cara demikian, kita dapat mengurangi akibatakibat modernisasi menjadi sekecil mungkin.
eg
Clifford Geertz1 dari Universitas Princeton, menganggap kyai/ulama’ pesantren sebagai “makelar budaya” (cultural bro-ker). Dia menyimpulkan demikian, karena melihat para kyai melakukan fungsi screening bagi budaya di luar masyarakatnya. Nilainilai baru yang dianggap merugikan, disaring oleh mereka agar tidak menanggalkan budaya lama —kyai bagaikan dam/waduk yang menyimpan air untuk menghidupi daerah sekitar. Namun pengaruh budaya luar yang datang ke suatu daerah, bagaikan permukaan air yang naik oleh adanya bendungan itu. Masyarakat dilindungi dari pengaruhpengaruh negatif, dan dibiarkan mengambil pengaruhpengaruh luar yang positif.
Hiroko Horikoshi dalam disertasinya2 berhasil membuktikan bahwa Kyai mengambil peranan sendiri untuk merumuskan gerak pembangunan di tempat mereka berada. Ini berarti, menurut Horikoshi reaksi pesantren terhadap modernisasi tidaklah sama dari satu ke lain tempat. Dengan demikian, tidak akan ada sebuah jawaban umum yang berlaku bagi semua pesantren terhadap tantangan proses modernisasi. Dengan kata lain, Horikoshi menolak pendapat Geertz di atas.
Menurut Horikoshi, masingmasing pesantren dan Kyai akan mencari jawabanjawaban sendiri —dan, dengan demikian tidak ada jawaban umum yang berlaku bagi semua dalam hal ini. Pendapat Geertz di atas, dengan sendirinya, terbantahkan
1 Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang sangat terkenal dalam studi keindonesiaan. Melalui penelitiannya di Mojokuto, yang kemudian terbit bukunya Religion of Java. Dia membagi stratifikasi sosialreligius masyarakat Jawa dalam tiga kelompok, yaitu priyayi, santri, dan abangan. Meski mendapat banyak kritik dan koreksi, namun hingga sekarang teori ini masih mewarnai studi sosialreligius di Indonesia.
2 Disertasi Hiroko Horikoshi berjudul Kiai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987).
g 259 h
oleh temuantemuan yang dilakukan Horikoshi terhadap reaksi Kyai Yusuf Thojiri dari Pesantren Cipari, Garut, atas tantangan modernisasi. Pesantren yang dipimpin oleh besan mendiang KH. Anwar Musaddad itu, tentu memberikan reaksi lain terhadap proses modernisasi. Pesantren yang sekarang dipimpin oleh Ustadzah Aminah Anwar Musaddad itu, sekarang justru tertarik pada upaya mendukung Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang bergerak di bidang garment dan pelestarian lingkungan alam melalui penghutanan kembali.
eg
Jelaslah dengan demikian, bahwa bermacam cara dapat digunakan untuk mengenal berbagai reaksi terhadap proses modernisasi. Ada reaksi yang menggunakan warisan sistem budaya daerah, tapi ada pula yang merumuskan reaksi mereka dalam bentuk tradisi yang tidak tersistemkan. Ada pula reaksi yang bersifat temporer, tapi ada pula yang bersifat permanen. Ada yang berpola umum, tapi ada pula yang menggunakan caracara khusus dalam memberikan reaksi.
Kesemuannya itu dapat disimpulkan, keengganan menerima bulatbulat apa yang dirumuskan “orang lain” untuk diri kita sendiri. Proses pribumisasi (nativisasi) berlangsung dalam bentuk bermacammacam, pada saat tingkat penalaran dan keterampilan berjalan, melalui berbagai sistem pendidikan. Dengan demikian, proses pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia berjalan dalam dua arah yang berbeda. Di satu pihak, kita menerima pengalihan teknologi dan keterampilan dari bangsabangsa lain, melalui sistem pendidikan formal —maka, lahirlah tenagatenaga profesional untuk mengelolanya. Di pihak lain, pendidikan informal kita justru menolak pendekatan menelan bulatbulat apa yang datang dari luar.
Dengan demikian, tidaklah heran jika ada dua macam jalur komunikasi dalam kehidupan bangsa kita. Di satu sisi, kita menggunakan jalur komunikasi modern, yang bersandar pada sistem pendapat formal dan media massa. Media massa pun, yang dahulu sangat takut pada kekuasaan pemerintah, kini justru tunduk terhadap kekuasaan uang; dengan kemampuan yang belum berkembang menjadi proses yang efektif. Di sisi lain, digunakan jalur lain, yaitu komunikasi langsung dengan massa
sIstEm budaya daERaH kIta dan modERnIsasI
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 260 h
kongregasi jama’ah masjid/surau, gereja, pengajian-pengajian khalayak/majelis ta’lim, kelenteng/vihara, merupakan saluran wahana langsung tersebut. Apalagi, jika seseorang atau kelompok mampu menggunakan kedua jalur komunikasi itu, tentu akan menjadikan sistem politik kita sekarang dan di masa depan menjadi sangat transparan, akan menjadi lahan menarik untuk dapat dipelajari dan diamati dengan seksama. h
g 261 h
Sebagaimana diketahui “Tombo Ati” adalah nama sebuah sajak berbahasa Arab ciptaan Sayyidina Ali, yang oleh KH. Bisri Mustofa dari Rembang (ayah KH. A. Mustofa Bisri)
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan judul tersebut. Dalam sajak itu, disebutkan 5 hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kelima hal itu dianggap sebagai obat (tombo) bagi seorang Muslim. Dengan melaksanakan secara teratur kelima hal yang disebutkan dalam sajak tersebut, dijanjikan orang itu akan menjadi Muslim “yang baik”. Dianggap demikian karena ia melaksanakan amalan agama secara tuntas. Sajak ini sangat populer di kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di lingkungan pesantren.
Karenanya sangatlah penting untuk mengamati, adakah sajak itu tetap digemari oleh kaum Muslimin Sunni tradisional? Kalau ia tetap dilestarikan, maka hal itu menunjukkan kemampuan Muslimin Sunni tradisional menjaga budaya kesantrian mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah kelompok melestarikan sebuah sajak bukanlah “peristiwa lumrah”. Peristiwa itu justru menyentuh sebuah pergulatan dahsyat yang menyangkut budaya kelompok Sunni tradisional melawan proses modernisasi, yang dalam hal ini berbentuk westernisasi (pembaratan). Bahwa sajak itu, dalam bentuk sangat tradisional dan memiliki isi kongkret lokal (Jawa), justru membuat pertarungan budaya itu lebih menarik untuk diamati.
Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali ti
“tombo ati” Berbentuk Jazz?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 262 h
dak terduga. Terlihat dalam sajak tersebut yang berisi “perintah agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan memahami isi kandungan kitab suci al-Qur’ân, bergaul erat dengan para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah halhal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola hidup ideal bagi seorang Muslim, yang menempa dirinya menjadi “orang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh kaum Muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum Muslimin akan memperoleh “kebaikan” tertentu dalam hidup mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang untuk menantangnya.
eg
Dalam sebuah perhelatan perkawinan di Kota Solo, penulis mengalami sendiri hal itu. Ketika sebuah kelompok band menampilkan permainan lagu Tombo Ati itu secara “modern”. Penulis sangat tercengang. Pertama, oleh kenyataan sebuah produk sastra yang sangat kuno (walaupun berupa terjemahan) dapat disajikan dalam irama yang tidak terduga sama sekali. Mungkin irama jazz itu bercampur dengan langgam Jawa, namun ia tetap saja sebuah iringan jazz. Mungkin tidak semodern permainan Sadao Watanabe1, namun bentuk jazz dari Tombo Ati itu tetap tampak dalam sajian sekitar 5 menit itu.
Di sini kita sampai kepada sebuah kenyataan, munculnya berbagai bentuk dan sajian tradisional dengan mempertahankan “hakikat keaslian” di hadapan tantangan modernitas. Tidak hanya penampilan alatalat musiknya saja, melainkan dalam perubahan fungsi dari sajak itu sendiri. Kalau semula sajak itu dimaksudkan sebagai pesan moral sangat ideal bagi kaum Muslimin, namun dalam pagelaran tersebut berubah peran menjadi sebuah hiburan.
Tentu saja kita tidak dapat menyamakan pagelaran musik yang menggemakan Tombo Ati dengan Debus dari Banten, yang memperagakan manusia tidak berdarah ketika ditusuk benda tajam. Kita tidak menyadari, sebenarnya untuk melakukan pertunjukan Debus itu, seseorang yang belasan tahun “tirakat” harus
1 Sadao Watanabe adalah legenda musik jazz dari Jepang. Ia mahir memainkan alto saxophone dan sopranino saxophone.
g 263 h
lah menahan diri dari kebiasaankebiasaan memakan sejumlah makanan dan membatasi kebiasaan yang dijalankan dalam kehidupan seharihari. Dengan demikian untuk menjalankan pertunjukan itu terdapat keyakinan agama dan latihanlatihan mereduksi kebiasaan seharihari.
Penampilan sajak Tombo Ati dalam sajian jazz adalah sesuatu yang sangat menarik untuk diamati. Jelas dari penampilan Tombo Ati itu terjadi sebuah proses yang oleh para pengamat perkembangan masyarakat disebut sebagai perjumpaan (en-counter) antara peradaban tradisional dengan peradaban modern. Dilanjutkan dengan “proses tawar menawar” (trade off) yang sering terasa aneh, karena menampilkan sesuatu yang tidak tradisional maupun modern. Kemampuan melakukan tawarmenawar seperti itulah, yang sekarang dihadapi kebudayaan kita. Ini adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi bukannya dihardik atau disesali (seperti terlihat dari sementara reaksi berlebihan atas pagelaran “ngebor” dari Inul).
eg
Perjumpaan antara yang tradisional dan yang modern itu dimungkinkan oleh kerangka komersial yang bernama pariwisata. Namun dalam tradisionalisme ada juga mengandung watakwatak yang tidak komersial, dan harus didorong untuk maju.
Perjumpaan juga terjadi antar agama. Contohnya, ketika agama Buddha dibawa oleh Dinasti Syailendra ke pulau Jawa dan bertemu dengan agama Hindu yang sudah terlebih dahulu datang, hasilnya adalah agama HinduBuddha (Bhai-rawa). Agama Islam yang masuk ke Indonesia juga mengalami hal yang sama. Perjumpaan antara ajaran formal Islam dengan budaya Aceh misalnya melahirkan “seni kaum Sufi” seperti tari Seudati, yang dengan indahnya digambarkan oleh James Siegel dalam Rope of God.2 Berbeda dari model Minangkabau yang mengalami perbenturan dahsyat bidang hukum agama, antara hukum formal Islam dan ketentuanketentuan adat. Hasilnya adalah ketidakpastian sikap yang ditutuptutupi oleh ungkapan
2 James Siegel adalah Professor of Anthropology dan Asian Studies, di Cornell University. Rope of God adalah buku yang diterbitkan Universitas Machigan tahun 2000 yang menceritakan tentang budaya masyarakat Aceh.
“tombo atI” bERbEntuk jazz
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 264 h
“Adat Basandi Sara’ dan Sara’ Basandi Kitabullah .”3 Di Gua (Sumatera Selatan) yang terjadi adalah lain lagi, yaitu ketentuan Islam jalan terus, sedangkan halhal tradisional praIslam juga dilakukan. Di pulau Jawa yang terjadi adalah hubungan yang dinamai oleh seorang akademisi sebagai “hubungan multikeratonik.” Dalam hubungan ini kaum santri mengembangkan pola kehidupan sendiri yang tidak dipengaruhi oleh “adat pra Islam” yang datang dari keraton.
Perkembangan keadaan seperti itu, mengharuskan kita menyadari bahwa setiap agama di samping ajaranajaran formal yang dimilikinya, juga mempunyai proses saling mengambil dengan aspekaspek lain dari kehidupan budaya. Dari situlah, kita harus menerima adanya perkembangan empirik yang sering dinamakan studi kawasan mengenai Islam. Penulis melihat perlunya studi kawasan itu untuk setidaktidaknya kawasankawasan Islam berikut: Islam dalam masyarakat AfrikaUtara dan negaranegara Arab, kawasan Islam di Afrika Hitam, Islam dalam masyarakat TurkiPersiaAfganistan, Islam di masyarakat Asia Selatan, Islam di masyarakat Asia Tenggara dan masyarakat minoritas Islam yang berindustri maju. Kedengarannya mudah membuat studi kawasan (area-studies) Islam, tapi hal itu sebenarnya sulit dilaksanakan. h
3 Konsepsi ini terlahir dari proses akomodasi Islam awal dalam tradisi lokal di Minangkabau yang menempatkan Tarekat di daerah ini sebagai faktor yang berpengaruh terhadap formasi sosial. Formasi sosial di daerah ini membuktikan adanya penerimaan lokal secara bertahap atas Islam—sebuah proses yang tak hanya secara geografis berlangsung dari rantau menuju darek, namun juga menjadikan pergumulan Islam lebih bermakna internal Minangkabau. Konsep tersebut muncul ketika Syekh Burhanuddin (pernah berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh) masih hidup dan merupakan hasil “Perjanjian Marapalam” tahun 1668. (lihat: Rusydi Ramli, Hikayat Fakih Saghir ‘Ulamiah Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo: Suatu Studi “Sejarah Pemikiran Islam” dari Teks Tokoh Gerakan Padri Awal Abad XX (Padang: IAIN Imam Bonjol, 1989).
g 265 h
Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala
yu’la alahi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradabanperadaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradabanperadaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.
Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satusatunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam.
Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bahwa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Selain alasan tersebut itu tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, mereka salah memahami Islam, ketika memaahami bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum
dicari: keunggulan Budaya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 266 h
lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca oleh RasulNya.
eg
Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak mengangap rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan untuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi bersabda “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmuilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan tersebut? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke manamana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapapun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat di manamana. Bahkan teknologi maju yang kita gunakan adalah hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa juga menghasilkan halhal yang berguna bagi kehidupan kita seharihari. Pengertian “longgar” seperi inilah yang dikehendaki kitab suci al-Qur’ân dan Hadits.
Lalu adakah “kelebihan teknis” orangorang lain atas kaum muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? Tidak, karena amal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang nonmuslim, tetapi di dalam kehidupan seharihari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.
Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kualitas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara
g 267 h
teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. PengIslaman perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis” semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.
eg
Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keunggulan budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, karena ada kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan mengembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak, kaum muslimin harus mengusahakan agar supaya Islam sebagai agama langit yang terakhir tidak tertinggal, minimal secara teoritik. Tetapi di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk melihat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya sendiri. Ini juga berarti Islam menolak tindak kekerasan untuk mengejar ketertinggalan “teknis” tadi. Walaupun kita menggunakan kekerasan berlipatlipat kalau memang secara budaya kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan politik”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kemajuan, teknologi dan ilmu pengetahuan.
Kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang lain, karena hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan budaya mereka mendorong munculnya halhal baru yang bersifat “teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civi-lizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus dihindari.
eg
dIcaRI: kEunGGulan budaya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 268 h
Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shim-bun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi dengan Profesor Huntington, bersamasama dengan Chan Heng Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian AsiaTenggara di Singapura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru bertentangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di negerinegeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari budaya Barat.1
Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka kembangkan dari negerinegeri Barat untuk kepentingan kemanusiaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap berorientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap melanjutkan misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang merupakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh dunia, termasuk di negerinegeri muslim. h
1 Teori “benturan peradaban” (clash of civilizations) Samuel P. Huntington terdapat dalam bukunya Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. Pada dasarnya Huntington membenarkan bahwa Islam adalah ancaman bagi dunia. Pemikiran Huntington ini seakan menjadi “wahyu” tentang terjadinya “perang suci” antara Islam dan Barat. Dalam melihat peradaban Islam, tentunya jangan dilihat perbedaan pohon yang warnawarni itu, coba lihat hutannya (dari atas), maka akan terlihat bahwa semua sama: hijau ”.
g 269 h
Minggu keempat bulan Desember 2002, penulis atas undangan Susuhunan Pakubuwono XII1 dari Solo, melancong ke Kuala Lumpur untuk dua malam. Penulis
memperoleh undangan itu, karena Sri Susuhunan juga diundang oleh sejumlah petinggi Malaysia guna merayakan ulang tahunnya yang ke80. Ini menunjukkan, bahwa pengaruh Keraton Solo Hadiningrat masih kuat hingga ke Negeri Jiran, seperti Malaysia. Sudah tentu pengaruh tersebut bersifat budaya/kultural saja, karena pengaruh politisnya sudah diambil alih pemerintah negeri kita. Inilah yang harus disadari, karena kalau yang diinginkan adalah pengaruh politik tentu akan kecewa.
Kunjungan tersebut penulis lakukan tanpa memberitahukan pihak Pemerintah Malaysia, terutama Kantor Perdana Menteri Mahathir Muhammad, karena protokoler kunjungan tersebut tentu akan diambil alih oleh pihak pemerintah federal, yang kalau di Malaysia disebut kerajaan. Pihak protokol akan membuat susah temanteman Malaysia yang ingin menjumpai penulis dan akan membuat penulis tidak merdeka. Tentu, ini juga merupakan pertanda bah wa kunjungan itu tidak mempunyai arti politis
1 Susuhunan Pakubuwono XII memiliki nama lengkap Raden Mas Suryo Guritno yang lahir pada 14 April 1925. Beliau dikukuhkan sebagai raja Jawa pada tanggal 12 Juli 1945. Di pundaknyalah tertumpu tugas kepemimpinan Jawa, yang terhimpit di antara dua zaman, yaitu pergeseran (transformasi) dari nilai tradisional ke alam modern dan perubahan dari iklim budaya feodal ke zaman budaya demokrasi.
keraton dan Perjalanan Budayanya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 270 h
apapun. Dengan demikian, penulis juga merasa tidak perlu memberitahukan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur atas kunjungan tersebut. Karena penulis tidak ingin diganggu siapapun dalam melakukan kunjungan tersebut.
Pada hari kedua, penulis melakukan perjalanan selama tujuh jam (pulangpergi) untuk melakukan ziarah ke makam Hang Tuah, di Tanjung Kling, negara bagian Malaka. Di tempat itu, kepada penulis dibacakan serangkaian tulisan yang menyertai beberapa buah gambaran/lukisan tentang beliau. Katakanlah semacam diorama tentang kehidupan Hang Tuah,2 yang sejak masih muda sudah mengabdi kepada Raja/Sultan Malaka. Bahkan, oleh intrik istana ia diharuskan membunuh saudara seperguruan dan senasib sepenanggungan yaitu, Hang Jebat.3 Harga inilah yang harus dibayar oleh Hang Tuah untuk pengabdiannya kepada Sultan. Ia adalah prototype “Korpri sempurna”, —seperti halnya Habib Abdurrahman alBasyaibani, yang dikuburkan di Segarapura, Kemantrenjero (sekarang terletak di Kecamatan Rejoso, Pasuruan). Ia adalah nenek moyang penulis yang menjadi abdi dalem Sultan Trenggono dari Demak.
eg
Penulis mengemukakan bahwa Susuhunan Pakubuwono XII masih memainkan peranan penting dalam rangkaian ikatan budaya/kultural yang merekatkan kedua bangsa serumpun, Indonesia dan Malaysia. Apapun perbedaan antara keduanya, namun persamaan yang ada haruslah dipupuk terus, agar menghasilkan ikatan yang semakin kuat di hadapan tantangan modernisasi kehidupan, yang sering berbentuk westernisasi (pembaratan). Di kala perkembangan politik justru mengarahkan Indonesia dan
2 Hang Tuah adalah pahlawan nasional Malaysia. Namanya muncul dalam karya sastra Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu yang disusun oleh Mansur Shah, salah seorang penguasa di Malaka. Tak bisa dipastikan, apakah Hang Tuah adalah tokoh mitos atau sejarah, meskipun dalam Sejarah Melayu disebutkan Hang Tuah mati di abad ke15.
3 Buku Hikayat Hang Tuah menyebut Hang Jebat sebagai salah seorang dari 4 sahabat karib Hang Tuah, yaitu Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Hang Jebat mengantikan jabatan Hang Tuah sebagai laksamana Kesultanan Malaka setelah Hang Tuah difitnah dan diasingkan. Namun Hang Jebat berkhianat kepada Sultan Mahmud Shah. Akhirnya Hang Tuah dipanggil kembali oleh Sultan Malaka untuk membunuh Hang Jebat.
g 271 h
Malaysia untuk saling bersaing, namun persaingan itu sendiri haruslah diimbangi oleh ikatanikatan budaya/kultural yang sangat kuat. Seperti halnya Kanada, yang secara politis lebih terikat kepada Kerajaan Inggris, yang terletak 9000 km di seberang lautan, walau secara kultural lebih dekat kepada Amerika Serikat yang secara geografis adalah negara jiran/tetangga.
Ikatan seperti ini, yaitu berdasarkan persamaan budaya antara dua negara, masih mempunyai kekuatan sendiri. Seperti negara jiran, Australia justru merasa lebih dekat kepada Kerajaan Inggris atau Amerika Serikat, yang memiliki ikatannya sendiri satu dengan yang lain dari sisi budaya. Inilah “kodrat alami” yang intensitasnya tidak dapat disangkal lagi oleh siapapun. Karena itu, kemauan pihak Keraton Solo4 sangatlah memiliki arti penting; ia menunjang kedekatan hubungan antara Indonesia dan Malaysia.
Karena itulah, penulis tidak mengerti mengapa ada pejabat Indonesia yang mengatakan bahwa Keraton Solo tidak penting artinya bila dibandingkan dengan keraton lainnya di Jawa. Ini adalah ucapan orang yang tidak mengerti peranan budaya sebuah keraton. Yang dimengerti orang itu hanyalah peranan politisnya belaka, yang belum tentu memiliki kelanggengan dalam hubungan antara kedua bangsa. Padahal setiap kali kita memperhatikan hubungan antara dua bangsa serumpun, seperti Indonesia dan Malaysia, tentulah menjadi sangat penting untuk mengetahui peranan politik atau peranan budayanyan. Kerancuan dalam melihat hal ini hanya akan membuat kita kepada keadaan tidak
4 Keraton Surakarta adalah sebuah warisan budaya Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi (1941), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun dalam Babad Giyanti (1916, I), kisah perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta berawal dari setibanya Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) kembali dari Ponorogo (1742), baginda menyaksikan kehancuran bangunan istana. Hampir seluruh bangunan rusak berat, bahkan banyak yang rata dengan tanah akibat ulah para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru, sebab istana Kartasura sudah tidak layak lagi sebagai tempat raja dan pusat kerajaan. Niat ini kemudian disampaikan kepada para punggawa kerajaan. Patih R. Ad. Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembug tentang rencana pembangunan istana baru tersebut. Raja berkehendak membangun istana baru di tempat yang baru. Raja menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjauhi pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di Kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran Istana Kartasura.
kERaton dan PERjalanan budayanya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 272 h
menguntungkan: ditertawakan orang baik di Indonesia maupun di Malaysia.
eg
Dalam jamuan makan malam untuk menghormati ulang tahun ke80 Susuhunan Pakubuwono XII di Kuala Lumpur itu, penulis juga mengemukakan peran lain selain peran budaya itu. Pada saat ini, Malaysia dan Thailand sedang mengutamakan pengembangan wilayah ke sebelah utara kawasan ASEAN –yaitu, Myanmar, Vietnam, Laos dan Kamboja. Secara politis, ini berarti Malaysia dan Thailand mengambil peranan politik lebih besar di wilayah utara kawasan ASEAN tersebut. Ini dapat dimengerti, karena dua negara di wilayah selatan dari perhimpunan ASEAN itu, yaitu Singapura dan Indonesia sedang dilanda krisis masingmasing. Dalam hal ini, Malaysia dan Thailand melakukan sebuah hal yang alami dan wajar, yaitu mengisi sebuah kekosongan politik.
Peran Malaysia di wilayah sebelah utara kawasan ASEAN itu berjalan sangat cepat, tidak seperti peran politik Indonesia di wilayah selatan kawasan tersebut, yang terasa tidak bertambah sama sekali. Ini karena ASEAN belum dapat menerima Papua Nugini, Timor Lorosae dan negeri-negeri pasifik sebelah barat (western pacific states). Maka dengan sendirinya, lebih sulit bagi Indonesia untuk mendukung mereka secara kongkrit di bidang politik, sedangkan hubungan budaya dengan wilayah tersebut masih belum berkembang secara pesat. Keeratan hubungan budaya antara Indonesia dengan wilayah pasifik barat tersebut, akan sangat ditentukan oleh kerjasama ekonomi dan komersial.
Peran budaya Indonesia dan peran budaya Malaysia di wilayah masingmasing itu, harus disambungkan secara baik. Dalam hal ini, keraton Surakarta Hadiningrat mempunyai peluang sangat besar mengembangkan peranan kedua bangsa serumpun itu. Inilah yang harus senantiasa menjadi pegangan dalam meninjau posisi keraton dalam hubungan itu. Dan ini adalah peran alami, yang bagaimanapun juga tidak akan dapat diimbangi oleh hubungan yang direkayasa. Dalam hal ini, kita tidak memerlukan intervensi khusus. h
g 273 h
Kata “Raja” di Maluku, terutama Ambon, berarti kepala kampung/desa. Ada yang perempuan, ada pula yang lakilaki; berfungsi sebagai pemimpin masyarakat dan sangat
berpengaruh secara adat di lingkungan masyarakat mereka. Pergaulan mereka dengan rakyat yang dipimpin sangatlah erat, dan boleh dikata merekalah yang menjadi penentu (decision maker). Kalau para Raja dan berbagai dusun/desa setuju tentang sesuatu, biasanya itulah yang menjadi konsensus bersama yang diikuti rakyat. Dengan konsep adat mengenai fungsi para pemuka adat tersebut, seperti Raja dan sebagainya itu, membuat pemerintah daerah/pusat terbantu dalam melaksanakan tugasnya. Seperti memutuskan cara penyelesaian bagi kasus konflik antar agama dan antar etnis pada saatsaat seperti sekarang ini dengan cara gerakan Baku Bae.1
Dengan fungsi dari konsep adat tadi, mengharuskan pemerintah daerah dan pusat untuk bersikap rendah hati dalam memberikan tempat bagi pelaksanaan peran mereka. Bahkan kalau perlu seolaholah hanya merekalah yang berperan, sedang pemerintah pusat dan daerah hanya bersifat membantu, terutama dalam konseptualisasi caracara yang diperlukan untuk mengatasi konflik yang terjadi. Dalam hal ini, peran para pemimpin agama dalam proses tersebut juga menjadi sangat penting. Baik
1 Harafiah Baku Bae adalah saling berbaikan. Dalam konflik Maluku pengertiannya diperluas menjadi penghentian kekerasan sehingga gerakan Baku Bae adalah gerakan masyarakat sipil untuk menghentikan kekerasan di Maluku.
akan Jadi apakah Para Raja?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 274 h
para pemuka agama maupun adat, merupakan pihakpihak yang dipercayai oleh warga masyarakat. Karenanya, kerjasama erat antara para pemimpin informal seperti mereka itu, dan para pemimpin formal (pejabat daerah dan pusat), sangat diperlukan dan merupakan sarat utama bagi penyelesaian konflik-konflik yang terjadi.
Apalagi, kalau dalam konflik-konflik tersebut terjadi peng-ambilan peran oleh sebagian sangat kecil orangorang yang mengaku menjadi pemimpin masyarakat, atas nama agama atau kelompok etnis yang ada. Inilah penyebab berlarutnya konflik, baik di Ambon maupun di Poso (Sulawesi Tengah) dan mungkin juga daerah-daerah lain. Melakukan identifikasi para pelaku perdamaian tidaklah mudah, dan karenanya sering diambil tindakan pintas dengan membuat persetujuan atas penyelesaian konflik, melalui perjanjianperjanjian seperti Malino, yang meliputi berbagai pihak resmi maupun tidak resmi di kalangan bangsa kita, dengan disaksikan oleh pihak negaranegara lain. Diharapkan, dengan penandatanganan Perjanjian Malino yang sudah berusia setahun itu, dapat dicapai sendisendi perdamaian antara berbagai pihak yang terlibat dalam konflik agama maupun etnis di berbagai kawasan Indonesia Timur itu.
eg
Ini adalah kesimpulan pertemuan penulis dengan Barroness Cox2 di Majelis Tinggi (House of Lords) London, Inggris, pertengahan November 2002. Pertemuan itu sendiri berjalan sangat sederhana di sebuah restoran dalam Gedung Parlemen Inggris, sambil santap malam. Namun, kesederhanaan itu tidak menutup kenyataan akan pentingnya pertemuan tersebut. Barroness Cox sedang mempersiapkan sebuah pertemuan antara para pemimpin agama bagi kedua daerah itu, sedangkan penulis dalam hal ini ditunjuk sebagai Presiden Kehormatan (Honorary President) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional3
2 Perempuan bangsawan Inggris ini bernama lengkap Baroness Caroline Cox of Queensbury. Dia adalah Presiden pada Christian Solidarity Worldwide.
3 Lembaga itu bernama International Islamic Christian Organization for Reconciliantion and Reconstruction (IICOR). IICOR diluncurkan Kamis 13 Februari 2003 di Jakarta. Baroness Cox sebagai ketua dewan eksekutif lembaga itu.
g 275 h
akan jadI aPakaH PaRa Raja?
yang didirikan oleh tokoh itu yang bekerja khusus untuk mencari penyelesaian bagi konflik berdasarkan agama maupun etnis di kawasan Indonesia. Dalam pemikiran penulis, bahwa bukan hanya para pemuka agama saja yang mempunyai peranan sangat menentukan dalam mencari penyelesaian bagi konflik-konflik tersebut, namun juga para pemuka adat, ternyata dapat diterima.
Dengan dasar yang disetujui itu, dalam waktu tidak terlalu lama lagi, pertemuan antar pemuka agama dan adat itu akan diselenggarakan, dan ini akan merupakan sumbangan besar bagi penyelesaian krisis yang terjadi di kedua kawasan tersebut. Tentu saja, dalam pertemuan tersebut para pejabat pemerintah pusat dan daerah yang bersangkutan dengan masalah itu akan diundang sebagai peserta atau pemberi makalah. Ini adalah hal yang normalnormal saja, karena kerja mencari penyelesaian bagi konflik berdasarkan agama dan etnisitas tersebut memang meru-pakan kerja kolektif yang harus diselesaikan dengan baik.
Karenanya, prinsip-prinsip penyelesaian berbagai konflik di kedua kawasan itu merupakan kerja awal yang harus ditangani dengan tuntas. Penulis sendiri meminta kepada Barroness Cox supaya penyelesaian masalah tersebut dapat dilakukan secara alami (natural).
Putri sulung penulis, Alissa Munawarah, yang tinggal di Yogyakarta terlibat sangat mendalam pada proses penciptaan gagasan Baku Bae itu. Beberapa orang pemimpin adat telah menemui penulis, dalam kedudukan sebagai presiden. Ternyata perkembangan keadaan selama lebih setahun ini sangat menggembirakan, walaupun di sanasini masih ada upaya berbagai kelompok sangat kecil yang berusaha “memanaskan” situasi dan mencegah terjadinya proses penyelesaian yang diharapkan tersebut.
eg
Dengan sendirinya, gagasan penulis tentang peranan para pemuka adat itu menimbulkan pertanyaanpertanyaan baru mengenai kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat Indonesia di masa depan. Karena agama Islam juga mengembangkan nilainilai (values) yang penting bagi pembangunan dan perubahan sosial, dengan sendirinya lalu timbul pertanyaan; nilai Islam apakah yang paling tepat dikembangkan dalam hal ini?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 276 h
Juga ada sebuah pertanyaan lain: dalam perkembangan sosial seperti itu, adakah tempat bagi pelaksanaan nilainilai Islam tersebut? Dari kedua pertanyaan pokok tersebut di atas, tentu juga muncul banyak pertanyaanpertanyaan lain yang tidak akan dijawab di sini. Panjangnya ruangan untuk tulisan ini membatasi hal tersebut.
Sebuah nilai Islam (Islamic value) tepat untuk dipakai bagi peranan para pemuka adat tersebut, yaitu; “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Ini berarti, pemuka adat dapat menjadi pemimpin, karena sebuah ungkapan lain juga mengatakan: “hukum adat dapat saja digunakan sebagai pedoman agama (al ‘âdatu muhakkamah),” yang menunjukkan pertalian antara hukum adat dan Islam, hingga benar adanya anggapan bahwa nilainilai Islam tidak bertentangan dengan adat.
Kedua ungkapan di atas, harus diletakkan dalam sebuah kerangka, yaitu harus memberikan prioritas kepada kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum itu adalah tindakantindakan yang dalam literatur agama Islam diberi nama maslahah ‘âmmah, yang harus tercermin dalam kebijakan yang diambil maupun tindakan yang dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat/orang banyak oleh para pemimpin.
Hal ini dengan jelas tergambar dalam adagium “kebijakan kebijakan/tindakantindakan seorang pemimpin harus terkait sepenuhnya dengan kepentingan masyarakat (tasharruf al-lmâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jadi jelas, prinsip kegunaan (asas manfaat) dan bukan sekedar berkuasa, menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin. Para pemuka agama dan para pemimpin adat di masa depan harus mengambil peran lebih banyak sebagai pemimpin masyarakat. Dalam arti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya kelangsungan lembagalembaga yang mereka pimpin. h
g 277 h
Penulis diundang oleh harian Memorandum untuk memberikan ceramah Maulid Nabi Muhammad Saw, beberapa waktu yang lalu yang dihadiri ribuan massa, diantaranya
para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur. Penulis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza1 dari Mesir, Maria Pakpahan dan dr. Sugiat dari DPW PKB Jakarta. Dalam acara itu H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin umum harian ini menyatakan, peredaran oplaag harian tersebut kini sudah mencapai 120 ribu exemplar per hari, yang menjadikannya koran besar dengan pembaca yang rata di Jawa Timur.
Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria Pakpahan tercapai yaitu melihat sesuatu yang belum pernah mereka saksikan. Hal itu adalah digelarnya pembacaan shalawat Nabi dari Habib AlHaddad dan sajak Burdah2 dari Imam AlBushairi.
1 Mona Abaza adalah associate professor bidang sosiologi di American University di Kairo, Mesir. Beberapa karyanya antara lain Islamic Education, Perceptions and Exchanges (Paris, Cahier d’Archipel, 1994), Debates on Islam and Knowledge in Malaysia and Egypt: Shifting Worlds (Taylor & Francis, 2002).
2 Dikisahkan, kasidah burdah diciptakan ketika Syekh alBusyiri terserang penyakit aneh. Sebagian tubuhnya lumpuh. Ia bermunajat pada Ilahi sambil mengucurkan air mata memohon kesembuhan. Tak lupa ia ciptakan sejumlah syair pujian untuk Rasulullah SAW, dengan maksud memohon syafaat. Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpi tersebut alBusyiri sempat berdialog dengan Nabi. Ia membacakan syairsyair pujiannya untuk Nabi, namun sampai pada bait ke 51: “famâ bala-
Islam dan marshall mcluhan di surabaya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 278 h
Ketika memberikan ceramah, penulis mempertanyakan adakah para peraga kedua jenis pagelaran agama itu berlatih atas kehendak sendiri sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai? Terdengar jawaban gemuruh; tidak! Ini artinya mereka tidak pernah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dengan pembiayaan acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif sendiri dan dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama.
Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh Marshall McLuhan, seorang pakar komunikasi,3 sebagai “happe-ning (kejadian)”. Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seperti yang terjadi di Masjid Raya Pasuruan, setiap tahun dua kali. Para pemain rebana datang dari seluruh penjuru Jawa Timur, setiap kelompok bermain sekitar 510 menit. Mereka datang sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tanda pengenal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mereka pakai, umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.
eg
Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu, juga terjadi pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan Bonang di Tuban. Acara itu tidak memerlukan undangan dari panitia, kecuali hanya berupa pemberitahuan yang sangat terba
ghul ilmi fîhi annahu basyarun...” ia tidak sanggup meneruskannya. Konon Rasul menyuruhnya meneruskan “wa annahu khayru khalqillahi kullihimi”. Kemudian Nabi memberikan jubah (burdah) kepada alBusyiri dan mengusap bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan. Ketika esok paginya orang tua ini terbangun, tibatiba ia bisa berjalan dan pulih seperti sedia kala. Dengan ceria ia berjalanjalan di pasar sambil membacakan syairsyair pujian untuk Rasul. Syairsyair inilah yang kemudian dikenal sebagai kasidah Burdah. Kasidah Burdah terdiri atas 162 sajak Dari 162 bait tersebut, 10 bait tentang cinta, 16 bait tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian terhadap Nabi, 19 tentang kelahiran Nabi, 10 tentang pujian terhadap al-Qur’an, 3 tentang Isra’ Mi’raj, 22 tentang jihad, 14 tentang istighfar, dan selebihnya (38 bait) tentang tawassul dan munajat. Puisi cinta untuk Rasul ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa (Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Indonesia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol dan Italia). Di beberapa pesantren salaf, kasidah ini masih senantiasa dibaca.
3 Herbert Marshall Mcluhan (19111980) adalah ahli filsafat dan profesor bahasa Inggris kelahiran Kanada. Mcluhan yang juga dikenal sebagai ahli teori komunikasi telah memberikan sumbangan konsep berupa “budaya populer/populer culture” dalam ranah ilmu antropologi.
g 279 h
Islam dan maRsHall mcluHan dI suRabaya
tas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang disediakan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu pengunjung lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas sebagai alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa mendapat undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh kondang alm. KH. Yasin Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara haul tersebut, tanpa mendapatkan undangan dari panitia. Yang penting, ia dan rakyat pengunjung tahu hari dan tanggal acara haul tersebut, dan mereka datang atas dasar kesadaran mereka sendiri.
Ternyata, dalam halhal yang terjadi tanpa disiapkan matangmatang terlebih dahulu, pengamatan Marshall McLuhan itu terjadi. Happening itu terdapat di seluruh dunia dalam bentuk dan ragam yang beraneka warna. Apakah implikasi dari hal tersebut? Mudah saja pertanyaan itu untuk dapat dijawab: selama halhal itu dianggap membawa berkah Tuhan dan terbuktikan, maka selama itu pula kesukarelaan akan menjadi pendorongnya. Ini terjadi, dalam banyak bidang kehidupan yang memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok, tanpa ada yang dapat melarangnya.
Dengan kata lain, kesukarelaan atas dasar keagamaan itu, adalah sesuatu yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang tidak diuraikan penulis dalam acara peringatan maulid Nabi Saw. itu, karena keterbatasan waktu, adalah keharusan bagi kita untuk menerapkan secara lebih luas prinsip kesukarelaan di atas. Terutama dalam kehidupan politik kita, perlu dipikirkan adanya sebuah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama tentang keikhlasan, kejujuran/ketulusan dan keterbukaan. Menjadi nyata bagi kita, bahwa pembentukan sebuah sistem politik yang memiliki kandungan sangat beragam, benarbenar diperlukan saat ini.
Jelaslah bahwa aspek kesukarelaan dan keterbukaan sistem politik itu sangat diperlukan dalam sikap dan landasan kehidupan kita sebagai bangsa. Sementara itu, happening sebagaimana yang diamati McLuhan itu ternyata memiliki arti yang mendalam bagi peneropongan akan fungsi ajaran agama tersebut. Hal ini berlaku pula dalam politik. Pengingkaran terhadap kesukarelaan di bidang politik, hanya akan menghasilkan sistem politik yang memungkinkan seseorang berbohong kepada rakyat. h
g 280 h
Pada minggu terakhir bulan September 2002, penulis diminta hadir pada sebuah pertemuan untuk membentuk sebuah Dewan Agama, yang akan menjadi organisasi pe
nasehat bagi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) di New York. Penulis yang seharusnya tidak berangkat, karena situasi di tanah air yang sangat sensitif, menganggap pertemuan tersebut sangat penting, hingga penulis datang ke New York untuk hadir, walaupun tidak untuk seluruh pertemuan tersebut. Dalam pertemuan itu, penulis mendapat peluang waktu untuk berbicara selama tujuh menit saja, di hadapan begitu banyak negarawan, orang pandai dan para pemimpin berbagai negara serta bermacammacam corak organisasi.
Waktu tujuh menit yang disediakan untuk penulis pun tidak seluruhnya dipakai, karena penulis hanya berbicara lima menit saja. Namun, pembicaraan selama lima menit itu ternyata mengubah jalannya pertemuan. Hampir seluruh peserta menjadikan pidato penulis sebagai rujukan dalam pembicaraan dua hari berikutnya. Sebenarnya yang dikemukakan penulis dalam pertemuan tersebut sangatlah sederhana saja, yakni: spiritualitas harus kembali berbicara dalam arena politik. Hal ini sebelumnya pernah dikemukakan penulis sewaktu menerima gelar Doctor Honoris Causa di bidang Humaniora dari Universitas Soka Gakkai di Tokyo, pada bulan April 2002.
diperlukan spiritualitas Baru
g 281 h
Apa yang penulis kemukakan baik di Tokyo maupun di New York, adalah sebuah kenyataan bahwa berbagai organisasi keagamaan yang besar di dunia ternyata menyokong partaipartai politik tertentu. Soka Gakkai selaku organisasi Buddha terbesar di dunia sejak tiga dasawarsa terakhir ini, mendukung Partai Komeito (partai bersih), yang sekarang menjadi mitra junior bagi Partai Demokratik Liberal yang memerintah Jepang saat ini. Di India, RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangha) sebuah organisasi keagamaan Hindu terbesar yang didirikan pada tahun 1925, mendukung Bharatya Janatha Party (BJP), di bawah pimpinan Atal Behari Vajpayee yang memerintah India sekarang ini, merupakan bukti tak terbantahkan tentang hal di atas. Demikian juga, Jam’iyyah al-Taqrib Baina al-Madzâhib, di bawah pimpinan orang-orang seperti Ayatullah Wa’iz Zadeh, mendukung Presi-den Iran Mohammad Khatami. Sedang organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia, mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
eg
Apakah artinya semua ini? Karena agama memiliki sudut pandang yang berdasarkan pada etika dan moralitas suatu bangsa, yang sudah hampir hilang dari kehidupan politik berbagai bangsa. Karena itu muncul reaksi dalam berbagai bentuk. Di kalangan gerakangerakan Kristiani, baik dari kaum Katolik maupun Protestan, timbul apa yang dinamakan sebagai “tandatanda zaman” ataupun pembebasan manusia dari keterkungkungan pandangan sekuler yang tidak mengacu pada etika dan moralitas. Maka, lahirlah sejumlah “alternatifalternatif”, seperti Teologi Pembebasan (liberation theology) yang dibawakan oleh Leonardo Boff1 dan kawankawan di Amerika Latin dalam paruh kedua abad lalu. Ini membawa gaungnya sendi ri yang dipenuhi dengan perdebatan sengit di hampir semua pemikir keagamaan dari berbagai keyakinan yang ada saat ini. Dari “alternatifalternatif” seperti inilah lahir kesadaran, bahwa harus dilakukan ber
1 Leonardo Boff dilahirkan pada 14 Desember 1938 di Concórdia, Estado de Santa Catarina, Brasil. Ia seorang teolog, filsuf dan penulis, yang terkenal karena ia aktif mendukung perjuangan hakhak kaum miskin dan mereka yang tersisihkan. Ia adalah salah satu pencetus Teologi Pembebasan, bersamasama dengan Gustavo Gutierrez.
dIPERlukan sPIRItualItas baRu
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 282 h
bagai tindakan untuk menghidupkan kembali berbagai peranan agama, pada bidangbidang yang strategis untuk kehidupan bersama seluruh umat manusia.
Namun, perkembangan spiritualitas yang demikian hirukpikuk, ternyata tidaklah bergema di bidang politik. Para politisi tetap saja sibuk dengan kepentingankepentingan mereka, dan hampirhampir tidak mau melihat etika, moral, dan kehidupan umat manusia, kecuali secara manipulatif. lnilah yang merupakan hidangan seharihari yang kita saksikan saat ini, mulai dari berbagai skandal seksual, finansial maupun kultural yang melibatkan para pemimpin dari berbagai negara. Kenyataan paling jelas dari hal ini dapat dilihat pada bagaimana usaha banyak politisi untuk kepentingan pribadi ataupun golongan.
eg
Dekadensi moral itu, dalam artiannya yang luas, dapat dilihat pada lembaga PBB saat ini. Bahwa ada Dewan Keamanan (DK) dengan wewenang lima buah negara anggota untuk menjatuhkan veto, menunjukkan dengan jelas bahwa wawasan moral dan etika telah hilang dari badan politik tertinggi dunia saat ini. Dan, jika diperlukan, maka sebuah negara adi kuasa yang juga menjadi anggota tetap DKPBB, yaitu Amerika Serikat (AS) dapat memaksakan kehendak untuk menyerbu Irak dan Afghanistan di luar kerangka PBB sendiri. Ketidakseimbangan ini jelas merupakan hal yang memerlukan koreksi, untuk menyehatkan proses di dalamnya. Diantaranya, melalui penyadaran semua pihak akan pentingnya arti spiritualitas yang baru dalam perpolitikan tingkat dunia.
Dalam hal ini, penulis menerima penuh ketentuan dari adagium geopolitik “tak ada hegemoni dalam hubungan internasional” seperti yang diajarkan oleh para pemimpin Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di bawah kekuasaan Mao Zedong atas Partai Komunis Tiongkok. Kebijakan tanpa hegemoni itu, menjadi ukuran penting yang harus diaplikasikan dalam hubungan internasiona oleh lembaga spiritualitas baru. Namun, pemikiran yang demikian menarik ini sering juga dilanggar oleh para penganutnya sendiri. Itu semua terjadi karena dia ditetapkan tanpa ada spiritualitas itu sendiri di dalamnya. Apabila geopolitik dilepaskan dari spiritualitas hubungan internasional, maka akan
g 283 h
dIPERlukan sPIRItualItas baRu
membuatnya menjadi alat belaka bagi sikap hidup materialistik yang dikembangkan di luar ketentuan etis dan moral.
Oleh karena itu, harus dilihat dan selalu dipertimbangkan sebuah tindakan yang akan diambil oleh sebuah negara, akankah memenuhi kriteria keadilan dan kemakmuran bersama? Memang, pertanyaan ini kedengarannya sangat naif, namun bukankah kita sekarang sudah melihat akibatakibat terjauh dari politik kepentingan (interest politics) dalam hubungan internasional? Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menyebarkan gagasan, agar ada transaksi barter (counter trade) dalam hubungan antar negaranegara berkembang, guna menghemat devisa antara mereka. Bukankah ini berarti sebagai sikap protes atas ketergantungan negaranegara berkembang kepada sebuah negara saja, yaitu AS, dalam masalah devisa? Bukankah ketergantungan ini sekarang juga terdapat dalam penggunaan mata uang Euro dan Yen? Belum lagi diingat kekuatan Renminbi dari RRC, yang diperkirakan akan turut menguasai pasaran uang dunia sepuluh tahun lagi? Bukankah dengan demikian menjadi nyata bagi kita, keperluan akan sebuah spiritualitas baru? h
g 284 h
Dalam budaya Jawa, dikenal tembang anakanak “Lirilir”.1 Demikian terkenalnya tembang anakanak itu, sehingga ia sering terdengar dibawakan bocah angon (anak gem
bala ternak) di atas punggung kerbau pada sebuah sawah yang sedang kering kerontang di musim kemarau. Apa yang istimewa dari tembang tersebut, hingga perlu diketengahkan melalui tulisan ini? Apakah penulis kehabisan bahan untuk dibahas, hingga ‘barang sekecil’ itu diketengahkan kembali dalam forum mulia ini? Bukankah itu sebuah tanda, bahwa penulis hanya mengadaada, dan membahas sesuatu yang tidak ada artinya?
Sebenarnya, tidak demikian halnya. Justru dengan mengungkapkan adanya hubungan antara aqidah Islam dan tembang anakanak di atas, penulis ingin mengemukakan sebuah pendekatan strategis yang ditempuh para pejuang muslim di kawasan budaya Nusantara di masa lampau. Penulis ingin mempertanyakan, pendekatan strategis mereka, benarkah memiliki efektifitas di masa lampau, waktu sekarang dan masa depan? Kalau penulis dapat mengajak para pembaca tulisan ini untuk turut memikirkannya, tercapailah sudah tujuan penulis membahas masalah ini. Sebuah kerja sederhana, yang menyangkut masa depan umat Islam di negeri ini. Adakah sesuatu yang lebih mulia dari maksud di atas?
1 Tembang Ilirilir yang ditulis Sunan Kalijaga sangat dikenal di kalangan orang Jawa. Syairnya sarat dengan nilai dakwah dan tasawuf yang tinggi. Sebagai seorang wali Allah yang sangat jenius dalam bersyair, beliau sangat efektif menggunakan budaya setempat sebagai sarana pendekatan dakwah. Syair selengkapnya adalah “ Lir-ilir, lir ilir..Tandure wis sumilir..Tak ijo royo royo..Tak sengguh penganten anyar…Cah angon-cah angon..Peneken blimb-ing kuwi..Lunyu lunyu ya peneken..Kanggo mbasuh dodotiro…Dodotiro..dototiro..Kumitir bedah ing pinggir.Dondomana jlumatono..Kanggo seba mengko sore…Mumpung jembar kalangane..Mumpung padang..rembulane..Yo surake..Surak hayo!”
doktrin dan tembang
g 285 h
Terus terang saja, artikel ini diilhami oleh beberapa tindak kekerasan atas nama Islam yang terjadi di berbagai kawasan negara kita dalam masa setahundua terakhir ini. Seolaholah strategi yang ditempuh melalui pendekatan sistematik itu, harus dilaksanakan dengan menggunakan kekerasan atau dengan berbagai macam sweeping dan sejenisnya. Mungkin, karena pemahaman bergaris keras dan bersifat militan mereka, dalam membela agama Islam di hadapan berbagai macam tantangan dewasa ini, yang mengakibatkan perlawanan disamakan dengan penggunaan kekerasan.
eg
Tembang anakanak berjudul “lir-ilir” di atas, sebenarnya sudah berusia ratusan tahun, ia menjadi bagian inheren dari sebuah pendekatan strategis yang dibawakan Sunan Ampel di akhir masa kejayaan Majapahit. Dalam tembang itu tergambar jelas pendekatan beliau dan rekanrekan terhadap kekuasaan, sebuah model perjuangan yang menurut penulis, baik untuk dijadikan kaca pembanding saat ini. Ketika itu, para Wali Sembilan (Wali Songo)2 di Pulau Jawa sedang mengembangkan dengan sangat baik sistem kekuasaan yang ada. Para perintis gerakan Islam waktu itu, dengan sengaja mengusahakan hak bagi para penganut agama Islam untuk bisa hidup di hadapan rajaraja yang sedang berkuasa di Pulau Jawa. Cara mengusahakan agar hak hidup itu diperoleh, adalah dengan mengajarkan bahwa kaum muslimin dapat saja mempunyai raja/penguasa nonmuslim. Seperti Sunan Ampel mengakui keabsahan Brawijaya yang beragama HinduBuddha (Bhairawa). Inilah yang akhirnya membuat Brawijaya V beragama Islam pada masa akhir hayatnya dengan gelar Sunan Lawu. Nah, strategi untuk memperkenalkan agama Islam kepada sistem kekuasaan yang ada, sangat jelas, yaitu menekankan
2 Wali Sembilan (Wali Songo) adalah sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang dakwah Islam di Pulau Jawa pada abad ke15 (masa Kesultanan Demak). Dalam penyiaran Islam di Jawa, Wali Songo dianggap sebagai kepala kelompok dari sejumlah besar muballigh Islam yang mengadakan dakwah di daerahdaerah yang belum memeluk agama Islam. Mereka adalah; (1) Sunan Gresik, (2) Sunan Ampel, (3) Sunan Bonang, (4) Sunan Giri, (5) Sunan Drajat, (6) Sunan Kalijaga, (7) Sunan Kudus, (8) Sunan Muria, dan (9) Sunan Gunung Jati.
doktRIn dan tEmbanG
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 286 h
pada pendekatan budaya daripada pendekatan ideologis yang sangat berbau politik. Dalam kerangka “membudayakan” sebuah doktrin kalangan ahlus sunnah tradisional itulah, sebuah doktrin sentral dikemukakan melalui sebuah tembang anakanak.
Doktrin yang dimaksud pandangan kaum Sunni tradisional itu ialah adanya kewajiban tunduk kepada pemerintah oleh semua kaum muslimin tanpa pandang bulu. Di kalangan mereka ada ungkapan “para penguasa lalim untuk masa 60 tahun, masih lebih baik dari pada anarki sesaat (imâmun fâjirun sittîna âmman khairun min faudhâ sâ ‘atin).” Ketundukan itu, sama sekali tidak memperhitungkan penggunaan kekuasaan secara salah. Ketundukan kepada penguasa ini sebenarnya adalah doktrin kaum Sunni tradisional, yang sudah tentu sangat berlawanan dengan berbagai ajaran dan orangorang seperti Imam Ayatullah Khomenei dan Ali Syariati.
eg
Doktrin di atas oleh Sunan Ampel dimasukkan dalam tembang “Lirilir”, dalam ungkapan yang sesuai dengan budaya penguasa Jawa di Majapahit. Makna tembang tersebut yaitu blim-bing untuk mencuci pakaian yang sobek pinggirnya, perlambang rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apapun. Baju sobek itu dipakai untuk menghadap raja (seba), karena lingkaran menghadap raja masih lebar, dan sinar rembulan menyinari lingkaran (pumpung jembar kalangane, pumpung padang rembulane). Tampak di situ bagaimana Sunan Ampel3 menggunakan simbolsimbol budaya Jawa dalam hubungan masyarakat dengan penguasa, yang sama sekali tidak ideologis.
Dalam kasus ini terlihat, pendekatan budaya dan ideologis saling bertentangan. Dalam pendekatan yang menggunakan strategi budaya tadi, kaum muslimin tidak diseyogyakan meng
3 Nama asli Sunan Ampel (Campa Aceh, 1401 Ampel Surabaya, 1481) yaitu Raden Rahmat. Ia adalah putra Maulana Malik Ibrahim dari istrinya yang bernama Dewi Candrawulan. Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa, tidak mendapat hambatan berarti, bahkan mendapat izin dari penguasa kerajaan.
g 287 h
doktRIn dan tEmbanG
gunakan ideologi untuk merubah kultur masyarakat atas nama agama. Biarlah struktur itu berubah dengan sendirinya melalui pranatapranata lain, sejarah jualah yang akan menunjukkan kepada kita perubahanperubahan yang akan terjadi. Karenanya, strategi semacam ini selalu berjangka sangat panjang, dan meliputi masa yang sangat panjang pula, yaitu berubah dari generasi ke generasi.
Berbeda dengan strategi budaya itu, strategi ideologis senantiasa menekankan diri pada pentingnya merubah struktur masyarakat, dan mengganti sistem kekuasaan yang ada, guna menjamin berlangsungnya perubahan politik dalam sistem kekuasaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, sering dilupakan pilihanpilihan rakyat akan sistem kekuasaan yang mereka inginkan. Yang penting, sang pemimpin dan temanteman seideologi nya memegang tampuk kepemimpinan dan merubah struktur masyarakat yang dimaksudkan. Di sini berlakulah seperti apa yang dikatakan Vladimir Illyich Lenin dalam pamfletnya “penyakit kiri kekanakkanakan kaum revolusioner (The In-fantile Disease of ‘Leftism’ in Communism),” yaitu perjuangan yang selalu menekankan keharusan sukses akan dicapai semasa sang aku masih hidup. Ini terjadi pada kaum komunis di bawah Lenin-Mao Zedong, di kalangan kaum nasionalis di bawah Soekarno, dan gerakan Islam di bawah pimpinan Imam Khamenei dan kawankawan yang sekarang menguasai Dewan Ulama (Khubrigan�), yang oleh pers Barat disebut sebagai ulama konservatif. Herankah kita jika orangorang seperti Presiden Iran, Mohammad Khatami, lalu berhadapan dengan mereka, karena strategi budaya yang dianutnya? h
4 Dewan Ulama atau Majlis e’ Khubrigan adalah lembaga yang beranggotakan sejumlah ulama pilihan rakyat. Dewan ini memiliki tugas untuk menunjuk serta mengawasi kinerja wali faqih atau rahbar atau pemimpin tertinggi revolusi Islam Iran.
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 288 h
BAB VIISLAM TENTANG KEKERASAN
DAN TERORISME
g 291 h
Tiga buah bom meledak dalam waktu yang hampir bersamaan di Denpasar, Bali pada 12 Oktober 2002. Lebih dari 180 orang menjadi korban, termasuk sangat banyak orang
yang mati seketika. Jelas ini adalah bagian mengerikan dari tindakan teror yang selama belasan bulan ini menggetarkan perasaan kita sebagai warga masyarakat. Penulis berkalikali meminta agar pihak keamanan mengambil langkahlangkah yang diperlukan guna menghindarkan terjadinya hal itu. Termasuk mengambil langkahlangkah preventif, antara lain menahan orangorang yang keluyuran di negeri kita membawa senjata tajam, membuat bombom rakitan, memproduksi senjatasenjata yang banyak ragamnya.
Namun pihak keamanan merasa tidak punya buktibukti legal yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap mereka. Mungkin di sinilah terletak pokok permasalahan yang kita hadapi. Kita masih menganut kebijakankebijakan punitif dan kurang memberikan perhatian pada tindakantindakan preventif, kalau belum ada bukti legal yang cukup tidak dilakukan penangkapan. Ini jelas kekeliruan yang menyebabkan hilangnya rasa hormat pada aparat negara. Hal lainnya adalah, dalam kehidupan seharihari begitu banyak pelanggaran hukum dilakukan oleh aparat keamanan, sehingga mereka pun tidak dapat melakukan tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang dilakukan orang. Itupun tidak bisa dibenahi oleh sistem politik kita yang sekarang, karena banyak sekali pelanggaran politik dilakukan oleh oknumoknum pemerintah.
terorisme Harus dilawan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 292 h
Sikap menutup mata oleh aparat keamanan kita terhadap halhal yang tidak benar, juga terjadi dalam praktek kehidupan seharihari di masyarakat. Apabila akan diambil tindakan hukum terhadap aparat, banyak pihak lalu melakukan sesuatu untuk “menetralisir” tindakan itu. Kasus bentroknya Batalyon Linud (Lintas Udara) Angkatan Darat dengan aparat kepolisian di Binjai, Sumatra Utara, dapat dijadikan contoh. Mereka melakukan tindakan “netralisasi” terhadap langkahlangkah hukum, karena para anggota batalyon itu menyaksikan sendiri bagaimana para perwira mereka, baik di Angkatan Darat dan Polri, yang mendukung (backing) kelompokkelompok pelaksana perjudian dan pengedar narkoba, tidak mendapat tindakan hukum apapun.
Masalah yang timbul kemudian adalah, bagaimana mereka dapat mencegah kelompokkelompok kriminal dalam mempersiapkan tindakan teror terhadap masyarakat, termasuk warga asing? Sikap tutup mata itu sudah menjadi demikian luas sehingga tidak ada pihak keamanan yang berani bertindak terhadap kelompokkelompok seperti itu. Kalaupun ada aparat keamanan yang bersih, dapat dimengerti keengganan mereka melakukan tindakan preventif, karena akan berarti kemungkinan berhadapan dengan atasan atau teman sejawatnya sendiri. Dalam hal ini berlakulah pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Inilah penyebab dari apa yang terjadi di pulau Bali itu, jadi tidak usah heran jika hal itu terjadi, bahkan yang harus diherankan, mengapakah hal ini baru terjadi sekarang.
Penyebab lain dari “paralyse” (kelumpuhan) tadi, adalah adanya hubungan sangat baik antara aparat keamanan dengan pihakpihak teroris dan preman sendiri. Seolaholah mereka mendapatkan kedudukan terhormat dalam masyarakat, karena kemanapun kepremanan mereka dapat ditutupi. Bahkan ada benggolan preman yang berpidato di depan agamawan, seolaholah dia lepas dari hukumhukum sebabakibat. Herankah kita jika orang tidak merasa ada gunanya melakukan tindakan preventif? Padahal hakikat tindakan itu adalah mencegah dilakukannya langkahlangkah melanggar hukum, dengan terciptanya rasa malu pada diri caloncalon pelanggar kedaulatan hukum.
Kalau orang merasa terjerumus menjadi preman atau teroris, herankah kita jika pihak keamanan yang justru takut dan bukannya menindak mereka? Apalagi kalau Wakil Presidennya menerima para teroris di kantor dan memperlakukan seolaholah
g 293 h
pahlawan? Bukankah ini berarti pelecehan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakat kita? Ditambah lagi kesalahan sikap ini ditutuptutupi pula oleh anggapan bahwa Amerika Serikatlah yang bersekongkol dengan TNI untuk menimbulkan halhal di atas guna melaksanakan “rencana jahat” dari CIA (Central Inteligence Agency)? Teori ini harus diselidiki secara mendalam, namun masingmasing pihak tidak perlu saling menunggu. Inilah prinsip yang harus dilakukan.
Memang setelah bertahuntahun, hal semacam ini baru dapat diketahui sebagai kebijakan baru di bidang keamanan, guna memungkinkan tercapainya ketenangan yang benarbenar tangguh. Sudah tentu, kebijakan itu harus benarbenar sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dalam hal ini keperluan akan tindakantindakan untuk mencegah terulangnya kejadian seperti di Bali itu. Karenanya tindakan preventif harus diutamakan. Kebutuhan itu mengharuskan kita segera mencapai kesepakatan, mengatasi kekosongan kekuasaan keamanan yang terlalu lama dapat berakibat semakin beraninya pihakpihak yang melakukan destabili-sasi di negeri kita.
Untuk itu diperlukan beberapa tindakan yang dilakukan secara simultan (bersamasama). Pertama, harus dilakukan upaya nyata menghentikan KKN oleh birokrasi negara. Dengan adanya KKN, birokrasi pemerintah tidak akan dapat menjalankan tugas secara adil, jujur dan sesuai dengan undangundang yang ada. Kedua, persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undangundang tidak akan dapat terlaksana jika KKN masih ada. Dengan demikian, menciptakan kebersihan di lingkungan sipil dan militer merupakan persyaratan utama bagi penegakan demokrasi di negeri kita.
Syarat ketiga yang tidak kalah penting adalah, kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan yang ada. Kita tidak dapat membuat istana di awangawang, melainkan atas kenyataan yang ada di bumi Indoesia. Karena itulah, dalam sebuah surat kepada mantan Presiden HM. Soeharto, penulis mengatakan bahwa kita harus siap untuk memaafkan dalam masalah perdata para konglomerat yang tidak mengembalikan pinjaman mereka pada bankbank pemerintah, asalkan uang hasil pinjaman itu dikonversikan menjadi kredit murah bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Soalsoal pidana menjadi tanggung jawab aparat hukum yang ada, dan tidak pantas dicampuri baik
tERoRIsmE HaRus dIlaWan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 294 h
oleh pihak eksekutif maupun legislatif. Resep ini memang terasa terlalu sumir dan elitis, tetapi memberikan harapan cukup untuk tetap menciptakan keamanan dan dalam menopang kebangkitan kembali ekonomi nasional kita. h
g 295 h
Terorisme memang merajalela di negeri kita. Dalam waktu setahun terakhir ini, seharusnya ada tindakan yang jelas dari pemerintah untuk memberantas dan mengikis habis
terorisme ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Para teroris semakin lama semakin merajalela, dan mendorong masyarakat untuk menganggapnya sebagai buatan luar negeri yang tidak dapat diatasi. Akhirnya, terorisme mengalami eskalasi luar biasa, dan terjadilah peledakan 3 buah bom berkekuatan sangat tinggi di Bali. Korban yang berjatuhan sangat besar, berjumlah di atas 200 jiwa, ini menurut laporan media massa sendiri.1
Pemerintah sendiri tidak siap menghadapinya, terbukti dari usulanusulan yang saling bertentangan antar pejabat pemerintahan di tingkat pusat. Ada usul agar supaya kegiatankegiatan intelejen dikoordinir oleh sebuah badan baru, sedangkan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono menganggap hal itu tidak perlu. Menhan Matori Abdul Djalil menganggap ada gerakan Islam internasional di belakang peristiwa pengeboman itu, sedangkan Kapolri sendiri menyatakan belum ada buktibukti hukum yang dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Kalau di lingkungan pemerintahan saja terjadi perbedaan pendapat
1 Seringnya terjadi peristiwa terorisme dan kekerasan lainnya tidak dipungkiri telah mengakibatkan banyak korban berjatuhan yang pada akhirnya telah menggiring kepada identifikasi minor bahwa potret Islam fundamentalis lebih menjadi objek kajian yang menarik—karena sebagai pihak tertuduh dalam beberapa kasus terorisme—ketimbang potret Islam substansialis di negeri kita ini.
terorisme di negeri kita
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 296 h
seperti itu, berarti itu menunjukkan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini, dan dapat diperkirakan betapa banyaknya pendapat saling bertentangan dalam masyarakat.
Secara internasional, ketidaksiapan pemerintah atas kejadian itu dilontarkan oleh berbagai pihak atau negara. Ini juga berakibat parah terhadap ekonomi kita yang sedang dilanda krisis. Bagaikan orang yang jatuh ditimpa tangga pula. Bukan hanya menurunnya jumlah wisatawan asing yang ke Bali melainkan juga jumlah ekspor kita ke negara lain terkena pukulan hebat. Demikian juga, usaha di bidang pariwisata kita mengalami pukulan berat. Jumlah penganggur semakin membengkak dan tak terbatas hanya pada daerah Bali saja. Gubernur Jawa Timur (Jatim) menyatakan kepada penulis, ekspor daerah itu melalui Bali yang telah lalu mencapai jumlah 1 milyar rupiah. Jelas Jatim mengalami pukulan hebat akibat peristiwa pemboman itu. Penulis menambahkan, para wisatawan asing itu banyak juga yang kemudian berselancar di selatan Banyuwangi dan menyaksikan matahari terbit di puncak Gunung Bromo. Kalau mereka tidak datang ke Bali, maka mereka tidak akan datang ke Jatim.
eg
Secara matematis pendapatan negeri kita mengalami pukulan hebat akibat peristiwa di Bali ini. Tapi hitungan matematis ini tidak berlaku bagi kehidupan perikemanusiaan, dengan hilangnya nyawa orang sedemikian banyak itu. Inilah yang harus diingat dalam memperhatikan akibatakibat dari peristiwa tersebut. Hilangnya kepercayaan negaranegara lain akan kemampuan kita sebagai bangsa untuk memelihara keamanan siapa pun, juga mengalami pukulan berat. Kita juga tidak tahu, harus bersedih hati kah? Atau justru menjadi marah oleh kejadian tersebut. Hanya pernyataan, bahwa apa yang telah terjadi itu adalah sebuah force majeur –hal yang tidak dapat kita tanggulangi secara tuntas, membuat kita sedikit tenang.
Yang tidak kita mengerti, mengapa pihak keamanan sama sekali tidak tanggap terhadap kekerasan, bersiap siaga terhadap kemungkinan yang ditimbulkannya. Kesimpulannya, pihak keamanan memang kekurangan tenaga, atau mereka cerminan dari sistem politik kita yang kacau balau. Itu semua terjadi karena adanya perintah tak tertulis “dari atas” yang saling bertentangan. Di
g 297 h
satu pihak, ada yang menyatakan bahwa kaum teroris merajalela di negeri kita, karena itu kita harus siaga sepenuhnya. Di pihak lain, ada “bisikan” agar kelompokkelompok teroris di negara kita jangan ditindak kalau belum terbukti melanggar hukum. Ini berarti, tidak ada tindakan antisipatif apapun terhadap kemungkinan tindakan yang ditimbulkan oleh para teroris. Makna dari hal ini adalah, pihak keamanan menerima perintah saling bertentangan, dan wajar saja kalau mereka lalu dibuat bingung oleh kebijakan itu, yang berakibat pada ketidakpastian dalam penyelenggaraan keamanan. Justru inilah kesempatan yang ditunggutunggu oleh para teroris, yang masih harus dibuktikan secara hukum melalui kerjasama dengan unsurunsur aparat keamanan luar negeri.
Tidak heranlah jika negaranegara lain lalu menganggap kita tidak memiliki kesanggupan menjaga keamanan dan meneliti pelanggaranpelanggaran atasnya. Tawaran yang oleh Kapolri dinyatakan datang dari berbagai negara, pada hakikatnya adalah kritikan terhadap kemampuan kita di bidang keamanan dalam negeri. Jadi tidak tepatlah kebanggaan sementara kalangan akan datangnya tawaran membantu itu. Ini adalah akibat belaka dari kelalaian kita di masamasa lampau, termasuk ketika penulis menjadi Kepala Pemerintahan.
Yang sebenarnya mengejutkan kita adalah sikap Wapres Hamzah Haz. Pertama, ia tidak pernah mengutuk tindakan teroris tersebut. Kedua, ia justru mengunjungi para tahanan seperti Ja’far Umar Thalib2, mengunjungi tempattempat yang selama ini diduga dipakai sebagai pangkalan teroris di negara kita. Paling tidak, Hamzah seharusnya menahan diri dan tidak melakukan kunjungan tersebut, sampai dibuktikan oleh pengadilan bahwa mereka tidak bersalah. Tundalah melakukan kunjungan demi
2 Kunjungan ke sel tahanan Mabes Polri dilakukan pada Selasa (7/5/ 2002). Ja’far ditahan atas tuduhan pidatonya mengakibatkan kerusuhan di Desa Soya, Ambon. Ja’far adalah komandan dan pendiri Laskar Jihad, sebuah kelompok gerakan Islam salafi yang dibentuk di Solo pada 14 Februari 1998. Di era penulis masih menjadi Kepala Pemerintahan, kelompok ini diupayakan untuk tidak memasuki wilayah konflik, seperti Ambon, Poso, dan lainnya, namun dalam kenyataannya sekitar tahun 2000 dan 2001, telah tercatat sekitar 2000 anggota Laskar Jihad di wilayah tersebut. Tiga hari setelah peristiwa bom Bali, 12 Oktober 2002, Ja’far membubarkan Laskar Jihad, sementara orga-nisasi induk Laskar Jihad, yaitu FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljama’ah), tetap dipertahankan eksistensinya.
tERoRIsmE dI nEGERI kIta
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 298 h
kunjungan itu sampai masalahnya menjadi terang. Kesimpulan kita, ia perlu mendekati kelompok garis keras gerakan Islam, untuk kepentingan politik, mencari dukungan bagi partainya dalam pemilu mendatang. Berarti ia melakukan kunjungan demi kunjungan itu untuk kepentingan politik pribadinya.
Ini dapat dimengerti sebagai kebutuhan politik yang wajar. Tapi tindakannya menerima orangorang yang diduga melanggar hukum atau undangundang di Istana (kantor) Wapres, adalah tindakan politik gegabah.3 Ia tidak bisa membedakan kedudukan sebagai ketua umum sebuah parpol dari jabatan Wapres. Hal ini langsung atau tidak langsung memberikan dorongan bagi kaum teroris untuk melakukan perbuatanperbuatan yang tidak berperikemanusiaan dan melanggar undangundang. Melihat langkahlangkah yang diambilnya, demikian jauh ia dari rakyat pada umumnya. Ini sebagai sesuatu yang mengherankan. Di sinilah ia akan dinilai, mampukah ia membebaskan diri dari kepentingankepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan umum.
Seorang pejabat negara tidak boleh mencampuradukkan kepentingan jabatan dengan kelompok yang dipimpinnya. Kalau ia ingin melaksanakan sebuah garis perjuangan partainya dalam jangka panjang, umpamanya saja dengan mendekati kelompokkelompok garis keras, untuk memperoleh suara mereka dalam pemilu yang akan datang, maka pertemuan itu harus dilakukan di tempat mereka atau di kalangan partai yang dipimpinnya. Tidaklah layak mengundang mereka yang dituduh sebagai teroris oleh banyak pihak untuk makan siang di Kantor Wakil Presiden. Perbedaan utama fungsi resmi jabatan atas pemerintahan dari fungsi politik kepartaian harus selalu diperhatikan, agar baik pemerintah maupun partai politiknya tidak saling mengalami kerugian. Karena itu, upaya memerangi terorisme memerlukan ketegasan sikap yang ditujukan untuk mereka, ini harus benarbenar diperhatikan. h
3 Wapres Hamzah Haz menerima komandan Laskar Jihad Ja’far Umar Thalib di Istana Wapres, Rabu (8/8/2001). Dalam kesempatan itu, Ja’far menyampaikan kepada Hamzah, dirinya menolak Presiden Megawati karena ia perempuan. Hamzah beralasan, naiknya Megawati itu karena hasil situasi darurat.
g 299 h
Pada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr. Yusril Ihza Mahendra.1 Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis karena
bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah kitab suci al-Qur’ân menyatakan salah satu tanda-tanda seorang muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (asyiddâ’u ‘alâ al-kuffâr ruhamâ baynahum)” (QS alFath [48]:29). Menanggapi hal itu, penulis menjawab, sebaiknya Bang Yusril mempelajari kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia tidak tahu, bahwa yang dimaksud al-Qur’ân dalam kata “kafir” atau “kuffar” adalah orangorang musyrik (polytheis) yang ada di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja Bang Yusril tidak tahu, bagaimana ia berani menjadi mubaligh?
Dengan masih adanya pendangkalan pemahaman seperti itu, penulis jadi tidak begitu heran kalau terjadi kekerasan di Maluku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom di Legian, Bali, karena itu berarti pembunuhan atas begitu banyak orang yang tidak bersalah. Walau mengutuk, tidak berarti
1Peristiwa ini terjadi pada acara Ta’aruf & Bedah Buku “Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur & Amien Rais” pada Minggu (1/12/1996) dan diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia. Bertindak sebagai pembicara selain Gus Dur dan Yusril adalah Amien Rais, Nurcholish Madjid, Mohammad Sobary, dengan moderator Emha Ainun Nadjib.
Bersumber dari Pendangkalan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 300 h
penulis heran atas terjadinya peledakan bom itu. Karena dalam pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya tidak mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan diskriminatif. Satusatunya pembenaran bagi tindakan kekerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin diusir dari rumahnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Karena itulah, ketika harus meninggalkan Istana Merdeka, penulis meminta Luhut Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah sekalipun. Sebabnya, karena ada perintah lain dalam Sunni tradisional yang diyakini penulis, untuk taat pada pemerintah. Berdasar ayat kitab suci alQuran, “Taatlah kalian pada Allah, pada utusanNya dan pada pemegang kekuasaan pemerintahan (athî‘u allâha wa’athî’u ar-rasûl wa ulî al-amri minkum)” (QS. AlNisa [4]:59). Pak Luhut Panjaitan2 mencarikan surat perintah itu dari seorang Lurah, dan penulis sebagai warga negara dan rakyat biasa –karena lengser dari jabatan kepresidenan mengikuti perintah tersebut.
Soal bersedianya penulis lengser dari jabatan kepresidenan, karena penulis menganggap tidak layak jabatan setinggi apapun di negeri ini, dipertahankan dengan pertumpahan darah. Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatangani 300.000 orang akan mendukung penulis mempertahankan jabatan kepresidenan, kalau perlu mengorbankan nyawa.
eg
Tindak kekerasan walaupun atas nama agama dinyatakan oleh siapapun dan dimanapun sebagai terorisme. Beberapa tahun sebelum menjabat sebagai presiden, penulis merencanakan berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberangkatan ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan bersama, yang disampaikan oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloron. Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penulis dan Rabi yang menyatakan “berdasarkan keyakinan agama Islam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat pada matinya orangorang yang tidak berdosa”. Pengurus Besar
2 Jendral (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, lahir di Tapanuli, Sumatra Utara, 28 September 1947 adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan ketika Gus Dur menjadi presiden.
g 301 h
Nahdlatul Ulama (NU) mengutus Wakil Rois ‘Am, KH. M.A. Sahal Mahfudz3 untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH. M.A. Sahal Mahfudz meminta katakata “tidak berdosa” diubah menjadi “tidak bersalah”.
Mengapa demikian? Karena, yang menentukan seseorang itu berdosa atau tidak adalah Allah Swt. Sedangkan salah atau tidaknya seseorang oleh hakim atau pengadilan, berarti oleh sesama manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan rancangan pernyataan tersebut, juga diterima oleh Rabi Eli Bakshiloron. Ketika tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli langsung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu, penulis dan Rabi Eli menandatangani pernyataan bersama itu di depan publik dan media massa. Ini menunjukkan bahwa, NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia —bahkan menurut statistik sebagai organisasi Islam terbesar di dunia— menolak terorisme dan penggunaan kekerasan atas nama agama sekalipun. Karena itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan menganggapnya sebagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum.
Keseluruhan penolakan penulis itu, bersumber pada pendapat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (al-kutub al-mu’tabarah), jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri. Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama hukum, karenanya setiap sengketa seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum. Dan karena hukum agama dirumuskan sesuai dengan tujuannya (al-umûru bi maqâshidiha), maka kita patut menyimak pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, Muhammad Sa’id al-Ashmawy.4 Menurutnya, “hukum Barat” dapat dijadikan
3 KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfudz lahir di Kajen, Pati, 17 Desember 1937. Beliau adalah pemimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati 1963sekarang. Di samping itu, beliau juga menjabat Rektor Institut Islam NU di Jepara 1989sekarang, Ketua Dewan Pengawas Syariah AJB Putra (2002sekarang), Rais ‘Am PBNU dua periode 19992004/20042009 dan Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia (MUI).
4 Muhammad Sa’id al-Ashmawy adalah mantan Ketua Pengadilan Tinggi Kairo. Seorang intelektual humanis yang banyak memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi di Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Karyanya al-Islam as-Siyasy, banyak mendapatkan apresiasi dari kalangan intelektual, sekaligus hujatan dari kalangan Islamis. Totalitas pemikirannya menawarkan arah baru interpretasi dan pembaruan Islam, dengan menyediakan satu metodologi baru untuk memahami sumbersumber suci alQur’an dan Sunnah. Seperti halnya ia menawarkan perbedaan esensial antara “Syari’ah” dan “Fiqih”.
bERsumbER daRI PEndanGkalan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 302 h
“hukum Islam”, jika memiliki tujuan yang sama. Hukum pidana Islam (jarimah), menurut Muhammad Sa’id al-Ashmawy, sama dengan hukum pidana Barat, karena sama berfungsi dan bertujuan mencegah (deterrence) dan menghukum (punishment).
egNamun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang
lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Kalau memang benar kaum muslimin melakukan tindakantindakan tersebut, jelas bahwa mereka telah melanggar ajaranajaran agama. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan sekian banyak jawaban, antara lain rendahnya mutu sumber daya manusia para pelaku tindak kekerasan dan terorisme itu sendiri. Mutu yang rendah di kalangan kaum muslimin, dapat dikembalikan kepada aktifitas imperalisme dan kolonialisme yang begitu lama mengua-sai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan, orientasi pemimpin kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional. Mereka selalu mementingkan kelompoknya sendiri dan membangun masyarakat Islam yang elitis.
Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Penyebab lain dijalankannya tindakantindakan yang telah dilarang Islam itu —sesuai dengan ajaran kitab suci al-Qur’ân dan ajaran Nabi Muhammad Saw— adalah proses pendangkalan agama Islam yang berlangsung sangat hebat.5 Walau kita lihat, adanya praktek imperialisme dan kolonialisme atau kapitalisme klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses sejarah itu memperkenankan kaum muslimin untuk bertindak kekerasan dan terorisme.
Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslimin tidak menggunakan kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanakah cara
5 Hal ini ditengarai sebagai akibat dari pemahaman keagamaan yang literalisskripturalistik yang sering terjebak dalam ruang ideologis yang bercirikan subyektif, normatif dan tertutup. Dalam wilayah sosial seringkali dicirikan dengan anggapan bahwa komunitasnya atau selain jama’ahnya adalah sesat dan munkar dan oleh karena itu harus didefinisikan sebagai musuh bagi komunitas atau jama’ahnya.
g 303 h
kaum muslimin mengkoreksi langkahlangkah yang salah, atau melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahankesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan”. Proses sejarah berkembangnya Islam di kawasan ini, adalah bukti nyata akan kedamaian itu, walaupun di kawasankawasan lain, masih juga terjadi tindak kekerasan atas nama Islam yang tidak diharapkan. h
bERsumbER daRI PEndanGkalan
g 304 h
Dalam sebuah konferensi internasional, penulis diminta memaparkan pandangannya mengenai terorisme yang tengah terjadi, seperti peledakan bom di Bali dan per
buatanperbuatan lain yang serupa. Penulis jadi teringat pada penggunaan nama Islam dalam kerusuhankerusuhan di Ambon dan Poso, serta peristiwa terbunuhnya para ulama dalam jumlah besar dalam kasus “santet di Banyuwangi”. Tentu saja penulis menjadi terperangah oleh banyaknya tindakantindakan yang dilakukan atas nama Islam di atas.
Tentu saja kita tidak dapat menerima hal itu, seperti halnya kita tolak tindak kekerasan di Irlandia Utara sebagai pertentangan agama Protestantisme melawan Katholikisme. Begitu juga perusakan Masjid Babri sebagai pertentangan orangorang beragama Hindu melawan kaum Muslimin di negeri India, walaupun yang bermusuhan memang jelas orangorang dari kedua agama itu. Pasalnya, karena mayoritas orangorang beragama Islam di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan tindakan kekerasan seperti di negerinegeri tersebut.
Dalam jenisjenis tindakan teroristik itu, para pemuda muslim jelasjelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan. Mereka mendapatkan bantuan keuangan dan latihanlatihan guna melakukan tindakantindakan tersebut. Belasan bulan persiapan teknis dan finansial dilakukan, sehingga tidak dapat ia disebut sebagai sesuatu yang bersifat spontanitas belaka. Jika tidak terjadi secara spontan, sudah pasti hal itu merupakan tindakan teror yang memerlukan waktu lama untuk direncanakan dan dilaksanakan. Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap diri mereka bertindak atas nama Islam. Dengan demikian, men
nu dan terorisme Berkedok Islam
g 305 h
jadi jelaslah arti hukum Islam bagi kehidupan mereka, yang terkadang hanya dianggap sebagai kegiatan ilmiah guna membahas kecilnya deskripsi yang dilakukan.
Suatu hal yang harus selalu diperhatikan, yaitu gerakan Islam apa pun dan di mana pun senantiasa terkait dengan pilihan berikut: gerakan mereka sebagai kultur atau sebagai lembaga/institusi. Yang mementingkan kultur, tidak begitu memperhatikan lembaga yang mereka dukung. Ambil contoh NU (Nahdlatul Ulama) dengan para anggota/ pengikutnya. Perhatikan dengan seksama “budaya NU” seperti tahlil, halal bi halal, dan mengikuti rukyah (melihat bulan) untuk menetapkan permulaan hari raya. Mereka tidak peduli dengan keadaan lembagaorganisasi yang mereka dukung, dipimpin oleh orang yang tepatkah atau tidak.
Karena itulah, ketika para aktivis muda Islam yang belakangan dikenal sebagai “muslim radikal”, dan kemudian lagi dikenal sebagai para teroris yang memulai konflik di Ambon dan Poso, dan sebagian lagi meledakkan bom di Bali, mereka pun menghadapi pilihan yang sama, mementingkan budaya atau lembaga (institusi). Sebagian dari mereka melupakan “warisan Islam” —berupa proses penafsiran kembali (reinterpretasi)— yang sudah dipakai kaum muslimin ratusan tahun lamanya, guna memasukkan perkembangan zaman ke dalam ajaran agama mereka. Sebagai akibat, mereka mengembangkan “cara hidup Islam” serba keras dan memusuhi caracara hidup lain, dan dengan demikian membuat Islam berbeda dari yang lain. Ini tampak ketika penulis suatu ketika memberikan ceramah kepada para calon dokter di sebuah fakultas kedokteran. Para calon dokter lelaki dipisah tempat duduk mereka dari para calon dokter perempuan, dan pemisahan mereka itu “dijaga” oleh seorang bertubuh kekar yang lalu lalang di tengahnya. Pertemuan NU pun tidak sampai sedemikian keadaannya, karena di tengahtengah tidak ada “penjaga” yang bertubuh kekar dan bersifat galak terhadap pelanggaran halangan yang mereka lakukan.
eg
Sikap mementingkan lembaga (institusi) inilah, —setidaktidaknya lebih mementingkan institusi dari kultur— seperti diperlihatkan contoh di atas, menurut pendapat penulis adalah
nu dan tERoRIsmE bERkEdok Islam
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 306 h
sumber dari terorisme yang berkedok Islam. Jika institusi atau lembaga keIslaman ditantang oleh sebuah cara hidup, seperti halnya sekarang cara hidup orang Islam ditantang oleh cara hidup “Barat”, maka mereka pun merasa terancam dan bersikap ketakutan. Perasaan dan sikap itu ditutupi oleh tindakan garang kepada “sang penantang”, dan menganggap “budaya sendiri” sebagai lebih dari segalagalanya dari “sang penantang”.
Karena tidak dapat membuktikannya secara pasti dan masuk akal, maka lalu diambil sikap keras, yang kemudian berujung pada terorisme, seperti meledakkan bom (di Bali) dan menculik para turis (seperti dilakukan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan). Mereka lalu menggunakan kekerasan, sesuatu yang tidak diminta atau diperintahkan oleh Islam. Agama mereka menentukan hanya kalau diusir dari rumahrumah mereka, baru diperkenankan melakukan tindak kekerasan untuk membela diri (idzâ ukhrijû min diyârihim).
Karena pendekatan institusional yang mereka pergunakan, maka mereka merasa “dikalahkan” oleh peradabanbudaya lain, yaitu “kebudayaan barat modern”. Dilupakan umpamanya saja, bagaimana Saladin sebagai Sultan Mamalik ‘mengalahkan’ Richard Berhati Singa (The Lion Heart) dengan mengirimkan dokter pribadinya untuk menyembuhkan anak raja Inggris itu dalam Perang Salib. Dokter tersebut disertai anak Saladin yang dapat saja dibunuh, kalau dokter pribadi itu tidak dapat menyembuhkan anak Richard. Raja Inggris tersebut dengan demikian mengetahui betapa luhur budi Saladin. Dari upaya itu akhirnya ia pulang ke negaranya dan menghentikan Perang Salib.
Demikian pula hubungan antara budaya Islam dan budayabudaya lain, harus dikembangkan dalam pola menghargai mereka, dengan demikian akan tampak keluhuran Islam yang dipeluk saat ini paling tidak oleh 1/6 jumlah umat manusia. Karena itu, sejak dahulu penulis menolak penggunaan terorisme untuk “mempertahankan Islam”. Tindakan seperti itu justru merendahkan Islam di mata budayabudaya lain, termasuk budaya modern di Barat yang telah membawakan keunggulan organisasi, pengetahuan, dan teknologi. Islam hanya dapat “mengejar ketertinggalan’ itu, jika ia menggunakan rasionalitas dan sikap ilmiah. Memang, rasionalitas Islam sangat jauh berbeda dari rasionalitas lain, karena kuatnya unsur identitas Islam itu. Rasionalitas Islam yang harus dibuktikan dalam kehidupan bersama tersebut,
g 307 h
berintikan penggunaan unsurunsur manusiawi, dengan segala pertimbangannya ditunjukkan kepada “sumbersumber tertulis” (adillah naqliyyah) dari Allah, seperti ungkapanungkapan resmi Tuhan dalam al-Qur’ân dan ucapan Nabi (al-Hadits). Karena itu, pengenalan tersebut tidak memerlukan tindak kekerasan apa pun, yang hanya akan membuktikan “kelemahan” Islam saja. Karena itulah, kita harus memiliki sikap jelas mengutuk terorisme, siapa pun yang melakukannya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh mereka yang tidak mengerti perkembangan Islam yang sebenarnya.
Padahal kaum muslimin sejak dahulu terbagi dua, yaitu yang menjadi warga berbagai gerakan Islam (al-munadzamah al-Islamiyyah) dan orangorang Islam kebanyakan (‘awâm atau laymen). Kalau mayoritas warga berbagai gerakan Islam saja tidak menyetujui penggunaan kekerasan (terorisme), apalagi kaum muslimin awam. Inilah yang sering dilupakan para teroris itu dan harus diingat oleh mereka yang ingin melakukan tindak kekerasan, apalagi terorisme, di kalangan para aktivis muslimin. Kalau hal ini tidak diingat, maka tentu saja mereka akan lambatlaun berhadapan dengan “kaum awam” tersebut. Para teroris peledak bom di Bali pada akhirnya berhadapan dengan Undangundang AntiTerorisme, yang merupakan produk mayoritas kaum muslimin awam di negeri ini. Dari semula, NU bersikap tidak menyetujui tindak terorisme.
eg
Dalam Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, ada pertanyaan dalam “baths al-masâ’il”; wajibkah kaum muslimin di kawasan Hindia Belanda mempertahankan kawasan itu, sedangkan mereka diperintah oleh kaum nonmuslimin (para kolonialis Belanda)? Jawab Muktamar; wajib, karena kawasan itu dahulunya memiliki kerajaankerajaan Islam, dan kini kaum muslimin dapat menerapkan ajaranajaran agama tersebut dengan bebas. Diktum pertama (mengenai kerajaankerajaan Islam di kawasan ini) diambilkan dari sebuah teks kuno, Bughyah al-Mustarsyi-dîn, sedangkan diktum kedua hasil pemikiran (reinterpretasi) para ulama Indonesia sendiri, tetapi sebenarnya pernah diungkapkan sarjana muslim kenamaan Ibn Taimiyyah, yang di negeri ini kemudian dikenal karena menjadi subjek disertasi doktor
nu dan tERoRIsmE bERkEdok Islam
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 308 h
Nurcholish Madjid.1
Keputusan Muktamar NU sepuluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan itu, meratakan jalan bagi pencabutan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 oleh para wakil organisasiorganisasi Islam di negeri kita, seperti Muhammadiyah dan NU. Kalau pemimpin dari gerakangerakan Islam tidak mewajibkan, berarti negara yang didirikan itu tidaklah harus menjadi negara Islam. Kalau demikian, Islam tidak didekati secara kelembagaan atau institusional, melainkan dari sudut budaya. Selama “budaya” Islam masih ada di negeri ini, maka Islam tidak mengalami kekalahan dan tidak harus “dipertahankan” dengan tindak kekerasan, seperti terorisme.
Islam memiliki cara hidupnya sendiri, yang tidak perlu dipertahankan dengan kekerasan, karena cukup dikembangkan dalam bentuk budaya. Dan inilah yang terjadi, seperti adanya MTQ, penerbitanpenerbitan Islam yang berjumlah sangat banyak, dan berbagai manifestasi keIslaman lain. Bahkan sekarang, wajah “kesenian Islam” sudah menonjol demikian rupa sehingga layar televisi pun menampung sekian banyak dari berbagai wajah seni Islam yang kita miliki. Karena itu, Islam tidak perlu dipertahankan dari ancaman siapa pun karena ia memiliki dinamika tersendiri. Sebagai responsi atas “tekanantekanan” modernisasi, terutama dari “proses pemBaratan” yang terjadi, kaum muslimin di negeri ini dapat mengambil atau menolak pilihanpilihan mereka sendiri dari proses tersebut, mana yang mereka anut dan mana yang mereka buang. Karena itu, hasilnya juga akan berbedabeda dari satu orang ke orang lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain. Penerimaan beragam atas proses itu akan membuat variasi sangat tinggi dari responsi tersebut, yang sesuai dengan firman Allah: “dan Ku-ja
1 Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid (populer dipanggil Cak Nur; 1939–2005) adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Pendiri dan Pemimpin Paramadina. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, Cak Nur menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (19611968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (19781984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit hati yang dideritanya. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.
g 309 h
dikan kalian berbangsabangsa dan bersukusuku bangsa untuk dapat saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS al Hujurât [49]:13). Ayat itu jelas memerintahkan adanya ke-bhinekaan dan melarang eksklusifisme dari kalangan kaum muslimin manapun.
Sebenarnya di antara “kalangan teroris” itu, terdapat juga mereka yang melakukan tindak kekerasan atas perintahpesanan dari mereka yang tadinya memegang kekuasaan. Karena mereka masih ingin berkuasa, mereka menggunakan orangorang itu atas nama Islam, untuk menghalangi prosesproses munculnya rakyat ke jenjang kekuasaan. Dengan demikian, kalangankalangan itu memiliki tujuan menghadang proses demokratisasi dan untuk itu sebuah kelompok kaum muslimin digunakan untuk membela kepentingan orangorang tersebut atas nama Islam. Sungguh sayang jika maksud itu berhasil dilakukan. Rasarasanya, NU berkewajiban menggagalkan rencana tersebut, dan karenanya bersikap konsisten untuk menolak tindak kekerasan dalam memperjuangkan “kepentingan Islam”.
Islam tidak perlu dibela sebagaimana juga halnya Allah. Keduaduanya dapat mempertahankan diri terhadap gangguan siapa pun. Inilah yang dimaksudkan firman Allah; “Hari ini Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Kusempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmatKu, dan Kurelakan bagi kalian Islam sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum nikmatî wa radlîtû lakum al-Islâma dînan)” (QS alMaidah [5]:3), menunjuk dengan tepat mengapa Islam tidak perlu dipertahankan dengan tindakan apa pun, kecuali dengan melaksanakan cara hidup Islam itu sendiri. Sangat indah untuk diucapkan, namun sulit dilaksanakan, bukan? h
nu dan tERoRIsmE bERkEdok Islam
g 310 h
Peledakan bom di Denpasar, semakin hari semakin banyak mendapat sorotan. Salah satu hal terpenting, adalah mengetahui siapa yang melakukan, dan mengapa mereka
melakukannya. Dikatakan “mereka”, karena jelas sekali peristiwa seperti itu tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang diri belaka, sehingga digunakan kata tersebut untuk menunjuk para pelakunya. Sayangnya, hingga hari ini belum dapat disebutkan siapasiapa pelaku sebenarnya. Janganjangan, hasil pemeriksaan tidak akan diumumkan secara jujur, karena menyangkut pejabat yang berada dalam sistem kekuasaan. Bukankah banyak hal di Indonesia selama ini tidak pernah dibongkar sampai tuntas, melainkan ditutuptutupi dari mata masyarakat?.
Banyak pihak ditunjuk oleh orang yang berbedabeda sebagai para pelaku kejadian itu, sesuai dengan kepentingan masingmasing. Juga karena adanya halhal yang dapat ditunjuk sebagai persambungan dari peristiwa pemboman yang pernah terjadi. Begitu juga, demikian banyak konspirasi/komplotan yang dapat ditunjuk sebagai biang keladi, sehingga hal yang sebenarnya terjadi menjadi tertutup olehnya. Penulis khawatir, janganjangan peristiwa yang sebenarnya, justru malah dikaburkan oleh sekian banyak gambaran adanya konspirasi/komplotan yang terjadi di Bali tersebut.
Bom di Bali dan Islam
g 311 h
Yang tampak jelas hanyalah beberapa hal saja. Pertama, peledakan bom itu terjadi di Pulau Dewata Bali. Kedua, bahwa korbannya adalah orangorang Australia, yang berjumlah sangat besar dan menerbitkan amarah dunia internasional. Masih menjadi pertanyaan lagi, mungkinkah pemerintah kita sendiri dapat dan bersedia melakukan pelacakan atas kejadian tersebut dengan tuntas? Mungkin pertanyaan ini terdengar agak sinis, ta pi bukankah demikian banyak peristiwa yang telah terjadi di negeri kita tanpa ada pemeriksaan sampai tuntas, hingga kita patut bertanyatanya, benarkah pemerintah kita nanti akan menangani segala sesuatunya secara serius? Buktinya, penulis telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri —sewaktu menjabat sebagai Presiden, untuk melakukan penangkapanpenangkapan. Namun, mereka tidak melaksanakan perintah tersebut, bahkan sampai hari inipun pihak Mahkamah Agung (MA) belum mau menjawab pertanyaan penulis, apakah terjadi tindakan insubordinatif oleh kedua pejabat tersebut, dengan menolak mengerjakannya? Kalau MA saja tidak memiliki keberanian untuk memberikan jawaban terhadap keadaan yang demikian jelas tadi, dan pihak ekskutifpemerintah dan legislatifjuga tidak mau mempertanyakan hal itu, bukankah hal sejelas itu menunjukkan adanya kebuntuan pemerintahan? Bukankah kebuntuan itu juga yang dapat menghentikan pemerintah untuk mencari tahu siapa saja yang menjadi para pelaku peledakan bom di Denpasar itu?
eg
Terjadilah simpangsiur pendapat karenanya. Ada yang mengatakan pelakunya adalah pihak luar negeri, dalam hal ini adalah orangorang Amerika Serikat (AS). Di pihak lain, ada yang beranggapan bahwa hanya pihak dalam negeri saja yang terlibat dalam kejadian ini. Ada yang berpendapat lagi, bahwa pihak luar negeri bekerjasama dengan unsurunsur yang ada di dalam negeri sendiri yang menjadi para pelaku. Demikian juga terjadi perbedaan yang cukup tajam antara mereka yang berpendapat adakah jaringan Islam ekstrim/garis keras terlibat dalam kejadian tersebut.
Jika jalan pikiran ini terus diikuti, tentu timbul pertanyaan siapa saja atau organisasi mana yang membiarkan diri terlibat dalam kejadian tersebut? Laskar Jihadkah, yang merupakan cabang dari organisasi dengan nama serupa di Saudi Arabia. Lalu,
bom dI balI dan Islam
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 312 h
mengapakah mereka “buruburu” membubarkan diri begitu terjadi peristiwa di Bali tersebut? Adakah hubungan antara kejadian tersebut di satu pihak, dengan masa depan organisasi itu? Bukankah bubarnya organisasi itu di Saudi Arabia dan Indonesia —pada waktu yang hampir bersamaan, justru menunjukkan adanya jaringan (networking) dalam tubuh sebagian gerakan Islam di dalam dan luar negeri? Bukankah ini menunjukkan adanya jaringan internasional di kalangan mereka, yang oleh pihak lain dianggap sebagai bukti hadirnya jaringan internasional untuk mempromosikan versi mereka tentang hubungan gerakan Islam dan nonIslam secara keseluruhan?
Demikian kacaunya perkembangan yang terjadi, hingga ada pihak yang menganggap Abu Bakar Ba’asyir —seorang Kyai pesantren dari Solo, sebagai salah seorang pelaku, sedangkan yang lain menganggap ia tidak terkait sama sekali dengan peristiwa itu. Lalu, mengapakah ia sampai pingsan di rumah sakit, begitu mengetahui dirinya akan diekstradisi ke AS? Ini lagilagi menunjukkan ketidakjelasan yang kita hadapi. Hanya penelitian yang mendalam dan kejujuranlah yang dapat mengungkapkan hal ini secara terbuka kepada masyarakat. Rasanya, kalau tidak ada tim khusus untuk melakukan hal itu, kita tetap tidak akan tahu mengenai latar belakang maupun halhal lain dalam peristiwa itu.
eg
Dapat digambarkan di sini, betapa marahnya pihakpihak internasional maupun domestik terhadap hal itu. Penulis yang menggunakan rasio dengan tenang, dalam hal ini tidak dapat mengemukakan secara menyeluruh dengan jujur apa yang ada dalam pikirannya tentang kemungkinan siapa yang memerintahkan para pelaku sebenarnya yang melaksanakan pemboman tersebut. Mengapa? Karena benak penulis penuh dengan nama orangorang yang mungkin melakukan hal itu, dan juga nama orangorang yang “patut diduga” (untuk meminjam istilah pelanggaran konstitusi yang dilakukan para pemimpin partai politik di DPR/MPR, dengan menggelar Sidang Istimewa beberapa waktu yang lalu) terlibat dalam kasus ini.
Sementara, hal yang paling memilukan hati adalah nama Islam dibawabawa dalam hal ini. Seolaholah kaum muslimin
g 313 h
seluruhnya turut serta melakukan hal tersebut, apalagi apa yang terjadi di Pulau Dewata itu mayoritas penduduknya nonmuslim. Demikian juga korban orang asing —yang keseluruhannya beragama nonmuslim. Padahal kita tahu kalaupun ada orang yang beragama Islam terlibat dalam kasus ini, motif mereka bukanlah faktor agama, melainkan uang, jabatan ataupun pengaruh. Kalau orang yang benarbenar cinta terhadap Islam, mereka akan tahu bahwa agama tersebut melarang tindak kekerasan, dan hanya mengijinkannya untuk mempertahankan diri jika mereka diusir dari rumah mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Kalaupun ada seorang muslim melakukan tindakan seperti itu guna membela Islam dari “ancaman pihak lain” itu berarti ada penafsiran salah yang dilakukan dalam memahami agama tersebut.
Demikianlah, Islam dan Indonesia menjadi korban dari perbuatan yang tidak bertujuan mulia, jika alasan pribadi seperti, perebutan kekuasaan satu sama lain dengan korban rakyat biasa dan para wisatawan mancanegara yang tak mengerti apaapa, dipakai dalam hal ini. Semua dugaan dan rekonstruksi bermacammacam di awal tulisan ini, akan menjadi terang jika pemerintah membentuk tim independen yang diisi oleh orangorang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Massa (Ormas). Tetapi, bukankah itu justru dianggap sebagai sikap tidak percaya terhadap pemerintah, walaupun sebenarnya kecurigaan seperti itu tidak pernah ada. Tragis, bukan? h
bom dI balI dan Islam
g 314 h
Beberapa waktu yang lalu, penulis diwawancarai oleh wartawan dari Televisi SBS (Special Broadcasting Sys-tem) dari Melbourne, Australia di lapangan terbang Ceng
kareng, sekitar jam 5.30 Wib. Ada tiga buah pertanyaan mendasar yang diajukan pada penulis. Pertanyaan pertama berkisar pada masalah mengapa penulis menganggap Abu Bakar Ba’asyir1 sebagai teroris? Penulis menjawab, bahwa laporan intelijen dari lima negara menyebutkan hal tersebut. Termasuk di dalamnya intelijen Malaysia dan Amerika Serikat, yang sejak dahulu tidak pernah ada kecocokan antara keduanya. Selain itu penulis mengacu Hadits Nabi Saw menyatakan: “Kalau suatu masalah tidak diserahkan pada ahlinya, tunggulah datangnya kiamat (idzâ wushida al ‘amru ilâ ghairi ahlihî fa intadziri al-sâ’ah).” Jadi, sikap penulis itu sudah benar menurut ketentuan agama, dan kalau terbukti ada masalah lain akan diperiksa di kemudian hari.
1 Abu Bakar Ba’asyir (atau Abubakar Bashir) alias Abdus Somad (lahir di Jombang pada 17 Agustus 1938) adalah seorang ustadz keturunan Arab asal Indonesia. Ia juga dituding sebagai kepala spiritual Jemaah Islamiyah (JI), sebuah grup separatis militan Islam. Berbagai badan intelijen menuduh Ba’asyir mempunyai hubungan dengan alQaeda. Ba’asyir membantah dia menjalin hubungan dengan JI atau terorisme. Hingga saat ini, ia merupakan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang bermarkas di Jogjakarta.
Benarkah mereka terlibat terorisme?
g 315 h
Beberapa hari sebelum itu, budayawan Emha Ainun Nadjib2 menyatakan dalam salah satu wawancara di Radio Ramako, bahwa keterangan mengenai keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir dalam terorisme, didasarkan pada pengakuan Umar Farouq3 pada pihak Amerika Serikat (AS). Menurut Emha, pengakuan Umar Farouq tidak dapat diterima kebenarannya, karena ia berasal dari Ambon. Umar Farouq, demikian Emha menyimpulkan, adalah lawan Abu Bakar Ba’asyir. Seolah-olah Emha mengikuti pendapat AlIsfarayini bahwa pendapat seseorang tentang musuh atau lawannya tidak dapat diterima (la yuqbalu qaulu mujta-hid ‘an-khashmihi). Benarkah pendapat Emha ini? Penulis mengusulkan dalam sebuah konperensi pers sehari setelah itu, agar dibuat komisi independen yang terdiri dari para ahli hukum dan wakilwakil masyarakat, untuk meneliti mana yang benar: pengakuan CIA (Central lntelligence Agency) ataukah Emha?
Sedangkan pendapat Wakil Presiden Hamzah Haz agar Umar Farouq dibawa ke negeri ini untuk ditanyai, tidak sesuai dengan kenyataan. CIA tidak akan mau mengirimkannya ke negeri ini, karena khawatir jika tidak dilakukan penyelidikan dengan benar. Sedangkan kalau dia diadili di sini (Indonesia), kemungkinan mafia peradilan akan membebaskannya dari tu-duhan tersebut. Bukankah segala hal dapat dibeli di negeri ini? Demikian burukkah citra kita di dunia internasional, hingga harapan seorang tokoh —seperti seorang Wakil Presiden Republik Indonesia (RI)— disepelekan oleh pihak luar negeri? Tentu saja kita tidak akan marah melihat kenyataan ini, karena hal itu adalah kesalahan kita sendiri sebagai bangsa, yakni dengan mem
2 Emha Ainun Nadjib (Jombang, 27 Mei 1953), adalah seorang tokoh intelektual Islam di Indonesia yang telah banyak menyusun buku esai dan puisinya. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Budayawan yang satu ini pernah lima tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogya antara 19701975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Dalam karir internasionalnya, ia pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985) serta moment internasional lainnya.
3 Umar Farouq adalah tokoh jaringan teroris internasional Al Qaeda untuk Asia Tenggara. Farouq ditangkap di Bogor 5 Juli 2002 dan ditahan di penjara Bagram Afghanistan. Namun sejak Juli 2005, ia berhasil kabur dari penjara super ketat milik Amerika Serikat itu.
bEnaRkaH mEREka tERlIbat tERoRIsmE?
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 316 h
biarkan semua hal itu tanpa koreksi.Lain halnya dengan Robert Gelbard, mantan Duta Besar
Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia. Ia menyatakan kepada pers Australia, bahwa ia kecewa karena telah memberitahukan kepada pemerintah RI, ada gerakangerakan yang mencurigakan di Indonesia. Tetapi tidak ada upaya sungguhsungguh yang memperhatikan hal ini, dan menangkal kemungkinan terjadinya terorisme di negeri ini. Penulis sendiri sebagai Presiden pada waktu itu, tidak pernah mendapat peringatan seperti itu secara langsung dari Gelbard. Ini berarti ada pihak pemerintahan yang menutupi keterangan itu dari pengetahuan penulis.
Hal ini tidak mengherankan dan penulis menyatakan pada TV SBS, pada waktu itu —baik Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Widodo AS maupun Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapoiri) Jenderal Polisi S. Bimantoro tidak mau melaksanakan perintah Presiden. Ketika lengser dari kursi kepresidenan, penulis menanyakan kepada Mahkamah Agung (MA), adakah tindakan kedua orang itu merupakan insubordi-nasi? Sampai hari inipun, MA tidak pernah menjawab pertanyaan penulis, yang berarti juga bahwa lembaga itu telah melanggar hukum dan undangundang dasar.
Keterangan Gelbard pada pers Australia tersebut, menunjukkan bahwa dalam tubuh TNI, Polri maupun aparat pemerintahan kita memang terdapat perbedaan pendapat yang tajam. Ada pihak yang mencoba menutupnutupi informasi hingga pemerintahan tidak berjalan secara obyektif. Herankah kita, jika akhirnya kebijakan pemerintah menjadi sulit dirumuskan? Apalagi kalau Presidennya tidak mau aktif menyusun kebijakannya sendiri, melainkan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada aparat di bawahnya. Ditambah Presiden berbeda paham dengan Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPRRI) dan sebagainya.
Juga, tidak ada kejelasan mengenai sikap yang diambil Megawati Soekarnoputri dalam pemerintahannya. Umpamanya, mengenai orientasi pejabat di bawahnya. Ia mengangkat Bambang Kesowo, seorang etatis (paham serba negara). Dan kombinasinya adalah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebelum bulan puasa telah memutuskan harus terkumpul uang sebanyak lima trilyun rupiah untuk menghadapi Pemilihan Umum 2004 mendatang.
g 317 h
Dari manakah akan diperoleh dana sejumlah itu? Apakah dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara)? Tetapi, Megawati juga mengangkat Dorodjatun Kuntjorojakti dan Budiono sebagai Menteri Koordinator (Menko) Ekuin dan Menteri Keuangan, —keduanya orang teknokrat yang percaya pada privatisasi/swastanisasi. Lalu, kemanakah orientasi ekonomi yang diikuti Megawati? Tidak pernah jelas sampai sekarang, karena ia berdiam diri saja tentang pilihan yang diambilnya. Ironis memang!
Penulis tertarik pada ucapan Habib Husein AlHabsyi4 dari Pasuruan, yang menyatakan peristiwa ledakan bom atas Candi Borobudur adalah rekayasa Ali Murtopo yang kemudian di dakwakan pada dia sebagai pelakunya. Ketika TV SBS menanyakan hal itu penulis langsung menjawab, Habib tersebut adalah pembohong. Mengapa? Karena ia sudah dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri, dan ia pun di penjara di Lowok Waru, Malang. Walaupun melalui seorang perwira tinggi TNI, penulis berhasil membebaskan dia dari penjara, tapi apa yang didapatkan penulis? Ternyata ia menyatakan di manamana bahwa penulis tersangkut dengan kasus Bruneigate dan Bulogate, di samping halhal lain. Itu semua adalah isapan jempol belaka, karena sampai hari ini baik melalui pembentukan Pansus DPR ataupun jalan lain, penulis tidak pernah terbukti melakukan halhal yang dituduhkan. Bukankah dengan demikian ia menjadi pembohong?
Kalau seseorang berbohong tentang sesuatu hal, dapatkah keterangannya bisa dipercaya? Karenanya, kita harus hatihati menerima keterangan orang tersebut, bahwa ada rekayasa Ali Murtopo yang membuat Habib tersebut mendapatkan hukuman seumur hidup. Ini tidak berarti, bahwa penulis pembela Ali Murtopo. Tetapi kita harus berhatihati dalam menerima keterangan orang tentang diri pejabat berbintang tiga (Letjen TNI) itu. Hanya dengan sikap obyektif seperti itulah kita dapat memperta
4 Pada tahun 2000an Habib Husein Al Habsy mengaku sebagai Presiden AlIkhwan AlMuslimun Indonesia. Habib yang berasal dari Malang, Jawa Timur, itu, dalam sebuah laporan media dicoret keanggotannya dari perkumpulan Habib Indonesia. Habib Husein, dinilai pengurus perkumpulan itu di Malang seringkali mencampurbaurkan persoalan agama dan politik. Pernyataan pencoretan keanggotaan itu diungkapkan tiga pengurus Habaib Indonesia, masingmasing Habib Umar, Habib Abdullah Abdurachman Malahesa dan Habib AlJufri di kantor Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Malang, Jumat.
bEnaRkaH mEREka tERlIbat tERoRIsmE?
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 318 h
hankan integritas pribadi di masamasa sulit ini. Sebab jika tidak kita akan kehilangan obyektifitas atau takut mengemukakannya dengan banyak orang tidak akan percaya lagi pada kita.
Itulah kirakira reaksi/jawaban penulis atas deretan pertanyaan yang dikemukakan oleh wartawan TV SBS. Mudahmudahan dengan demikian, publik internasional akan mengetahui keadaan sebenarnya di negeri kita, yang terkait dengan halhal yang ditanyakan kepada penulis di lapangan terbang Juanda, Surabaya ini dan jawabannya disiarkan malam harinya di Australia. Namun, tentu akan ada yang bertanya, bijaksanakah hal ini? Jawaban penulis terhadap pertanyaan tersebut adalah kejujuran merupakan kunci pemecahan masalah yang kita hadapi sebagai bangsa dewasa ini. Dengan kejujuran inilah kita akan mengatasi krisis multidimensional. Ukuran kejujuran inilah yang akan menentukan kualitas kita sebagai bangsa. Kedengarannya sederhana tapi sulit dilaksanakan, bukan? h
g 319 h
Laporan dari berbagai pihak, baik intelejen maupun bukan, menunjukkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir termasuk pimpin-an Jama’ah Islamiah (JI) di kawasan Asia Tenggara. De
wan Keamanan (DK) Perserikatan BangsaBangsa (PBB) telah memasukkan JI (Al-Jama’ah Al-Islamiyah)1 tersebut ke dalam daftar organisasi terorisme intemasional sebagai perkumpulan ke88. Tetapi kesimpulan tersebut disanggah oleh berbagai kalangan, termasuk para pengamat yang menulis sebuah analisis tentang keputusan DKPBB itu. Manakah yang benar antara kedua pandangan tersebut? Kita perlu berhatihati, walaupun pihak Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kepolisian Negara telah mencapai kesimpulan dan mendukung Resolusi DK PBB itu.
Sekali lagi, manakah yang benar antara kedua pandangan tersebut? Ketika dibacakan laporan dari berbagai pihak —diantaranya intelejen dari lima negara, yang menyebutkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir sebagai teroris, penulis dengan sederhana
1 Organisasi ini seringkali disandingkan dengan jaringan radikalisme internasional yang bernama Al-Qa’idah. Karena secara ideologis kedua organisasi ini merupakan “buah” dari “pohon rindang” pemahaman skripturalistik verbalis terhadap teksteks keagamaan yang dipaksakan untuk melegitimasi “violence action” dengan menyeru jihad menebar teror (syann al-gharah) atas nama “Tuhan” dan atas nama “Agenda Rasul”. Sebagai sebuah organisasi gerakan yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah negara, JI nampaknya sudah sangat siap dan rapi dengan sebuah pedoman bertitelkan PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyyah) yang memuat tujuan, target, dan strategi untuk proyek “Khilafah Establishing” (pembangunan kembali khilafah global) sebagai program besarnya.
Benarkah Ba’asyir teroris?
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 320 h
menerima laporan tersebut. Penulis pun menganggap Abu Bakar Ba’asyir dan kelompok Islam garis keras lainnya sebagai teroris, yang dalam sebuah konperensi pers pernah penulis sebut sebagai teroris domestik, karena kelakuan mereka yang membawa senjata tajam di tempat umum membuat orang lain ketakutan. Walaupun ada laporan banyak pihak bahwa Wakil Presiden Hamzah Haz mengundang makan siang Ja’far Umar Thalib2 dan kawankawan ke Istana Wapres, dan mereka mengaku bukan teroris. Dari jawaban mereka itu, Hamzah Haz menyatakan kepada dua orang Senator Amerika Serikat bahwa di Indonesia tidak ada ada teroris. Dan, sehari kemudian terjadilah ledakan bom di Bali itu.
Penulis menyebutkan dalam sebuah kolomnya, bahwa Hamzah Haz mencampuradukan antara Wakil Presiden Republik Indonesia, sebagai sebuah jabatan pemerintahan, dengan fungsinya sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Undangan makan siang kepada orangorang yang disangka sebagai teroris oleh masyarakat, ke Kantor Wakil Presiden RI, seharusnya dilakukannya di luar kantor pemerintahan dan dalam kedudukan sebagai Ketua Umum PPP. Karenanya, kita lalu jadi serba salah, mempercayai atau tidak keterangan Hamzah Haz itu. Keinginannya untuk memperoleh dukungan dari gerakangerakan Islam radikal dalam pemilu yang akan datang, tampak sekali dalam tindakan itu, yang jelas sangat kita sayangkan.
eg
Kembali kepada tuduhan Abu Bakar Ba’asyir adalah teroris, kita tetap tidak tahu. Dalam rapat para penanggungjawab keamanan di kota Solo hari Minggu malam (27 Oktober 2002), diambil keputusan membawa orang itu dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo, ke Jakarta. Tentu ini adalah untuk pemeriksaan/klarifikasi atas persangkaan bahwa ia adalah seorang
2 Ja’far Umar Thalib adalah seorang tokoh keturunan ArabMadura yang lahir di Malang pada tanggal 29 Desember 1961. Ia adalah pendiri Laskar Jihad. Banyak yang menganggap dia teroris tetapi banyak pula yang menganggapnya seorang pahlawan pembela kebenaran. Mantan wapres Hamzah Haz adalah salah seorang pengagum Ja’far Umar Thalib. Beliau pernah menjenguk Ja’far ketika mendekam di sel pada awal tahun 2002 dan mengunjungi pondok pesantren milik Ja’far pada masa kampanye Pilpres 2004.
g 321 h
teroris. Kita tidak tahu, apakah pendapat para dokter yang merawatnya di rumah sakit tersebut selama sembilan hari. Sedangkan para pendukungnya, baik dari Pondok Pesantren alMukmin, Ngruki di kawasan Solo dan lainlainnya, meminta agar ia diijinkan beristirahat di pondok pesantren tersebut untuk dua sampai tiga hari.
Warga masyarakat seperti kita, tidak mengetahui secara lebih mendalam halhal yang bersangkutan dengan tokoh tersebut. Sedangkan selama ini pihak keamanan seringkali menunjukkan sikap berat sebelah dan melanggar asas praduga tak bersalah (pressumption of innocent) dalam langkahlangkah mereka, karenanya kita juga tidak merasa pas betul untuk percaya begitu saja kepada keterangan pihak keamanan. Menurut hemat penulis, sebenarnya harus ada sebuah komisi independen dari masyarakat guna memastikan hal ini. Namun, apa boleh buat kita harus percaya kepada aparat keamanan dengan harapan semoga hal itu diberikan dengan jujur dan apa adanya.
Kita mengharapkan adanya kata pasti dalam kasus ini, yang hanya dapat diperoleh kalau ada kejujuran. Sementara itu, langkahlangkah memerangi terorisme domestik maupun internasional, harus tetap dilanjutkan. Dengan demikian, kredibilitas kita dapat segara dipulihkan walaupun kata “segera” bagi pihakpihak yang berbeda, memiliki arti yang berlainan. Keputusan kelompok yang dipimpin oleh Menko Kesra Jusuf Kalla yang telah menganggap ringan akibat pemboman di Bali atas arus datangnya para wisatawan ke pulau tersebut, tampak gegabah alias terlalu optimis. Sikap inilah yang penulis harapkan tidak dilakukan oleh pihak keamanan dalam memeriksa keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir dalam tindakan-tindakan terorisme.
eg
Alasan satusatunya bagi kaum muslimin untuk melakukan tindakan kekerasan adalah, “jika mereka di usir dari tempat tinggal mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim),” sehingga tidak ada alasan lain untuk melakukan tindak terorisme terhadap para turis asing, yang justru datang untuk membawakan usaha perdagangan bagi masyarakat yang didatangi. Kalaupun mereka melakukan pelanggaran atas ketentuanketentuan syariah Islamiyah, merekapun tidak terkena sanksi pidana Islam, karena
BenArkAh BA’ASyir terOriS?
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 322 h
mereka bukan orang yang terkena (mukallaf) hukum Islam. Ini adalah ketentuan Islam, dan berlaku hanya bagi kaum muslimin saja, dan tidak berlaku bagi orangorang beragama lain.
Karena itulah, penulis menjadi pengikut Mahatma Gandhi,3 walaupun penulis adalah seorang Muslim. Mengapa? Bukankah tidak layak bagi seorang Muslim untuk menjadi pengikut siapa pun selain Nabi Muhammad Saw? Jawabannya sederhana saja, yaitu untuk memudahkan penulis sendiri. Memang penolakan terhadap kekerasan, telah ada dalam ajaran Islam kalau kita sungguhsungguh menggalinya. Prinsip yang dikemukakan penulis di atas, jelas merupakan penolakan Islam terhadap tindak kekerasan. Tapi dengan melakukan identifikasi terhadap ajaran Gandhi, penulis langsung menjadi teman seiring pula bagi ratusan juta pengikut Gandhi, yang tersebar di seluruh dunia. Inilah maksud penulis dengan menjadi pengikut Gandhi, bukannya karena penulis menganggap ia memiliki ajaran lebih baik dari pada ajaran Islam, tapi penulis hanya ingin melakukan kerja sama dengan ratusan juta pengikutnya, sehingga penulis dalam memperjuangkan citacita Islam dibantu oleh orangorang lain.
Kuncinya, bagaimana memperjuangkan citacita Islam, dengan mencari persamaan dengan pahampaham lain di dunia tanpa menentang dan berbeda dari citacita Islam sendiri. Prinsip ini yang harus dipahami oleh para pejuang Islam, jika ingin beriringan dengan perjuanganperjuangan yang lain. Yang harus ditakuti adalah ketakutan itu sendiri, kata Franklin D. Roosevelt. Karena itu para pejuang Islam tidak boleh takut beriringan dan bergandengan tangan dengan pejuang lain. Sederhana saja, bukan? h
3 Nama lengkapnya adalah Mohandas Karamchand Gandhi (1869 1948) yang sering dikenal dengan Mahatma Gandhi (bahasa Sansekerta: “jiwa agung”) adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India. Gandhi adalah salah seorang yang paling penting yang terlibat dalam pergerakan untuk kemerdekaan India. Prinsip Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai “jalan yang benar” atau “jalan menuju kebenaran”, telah menginspirasi berbagai generasi aktivisaktivis demokrasi dan antirasisme seperti Martin Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi sering mengatakan kalau nilainilai ajarannya sangat sederhana, yang berdasarkan kepercayaan Hindu tradisional: kebenaran (satya), nonkekerasan (ahimsa) dan tidak tergantung pada siapa pun (swadesi).
g 323 h
Pada saat tulisan ini dibuat, terjadi perbedaan pendapat tajam mengenai pelaku kasus peledakan bom di Bali. Adakah itu ulah Abu Bakar Ba’asyir atau tidak. Yang ter
libat perbedaan ini adalah para pejabat pemerintah melawan “orang luar” seperti Emha Ainun Nadjib dan Dr. Adnan Buyung Nasution, SH.1 Pemerintah beralasan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir, adalah usaha mencari bukti hukum, adakah orang itu terlibat dengan peledakan bom tersebut atau tidak? Karena itulah, Abu Bakar Ba’asyir diambil dari Rumah Sakit PKU di Solo, dan dipindahkan ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. Diharapkan dengan demikian, penyelidikan dapat segera dimulai oleh aparat kepolisian, dengan harapan persoalannya akan segera diketahui dan orang itu akan dibawa ke pengadilan kalau ada bukti ia bersalah.
Di Australia, hari minggu 20 Oktober 2002 menjadi hari berduka. Gerejagereja dan tempattempat beribadah lainnya melakukan kebaktian duka bagi para korban peledakan bom di Bali itu. Semenjak Perang Dunia II lebih dari 50 tahun yang lalu, jumlah orang Australia yang meninggal dunia akibat tindak kekerasan belum pernah sebesar itu, karena itu dapat dimengerti kemarahan orangorang Australia yang menuntut segera dibuktikannya para pelaku peledakan bom di Bali tersebut. Dapat dimengerti, walaupun juga harus disesalkan tindakan
1 Adnan Buyung Nasution, lahir di Jakarta 20 Juli 1934 adalah mantan Jaksa yang menjadi advokat handal. Pernah menjadi anggota DPR/MPR tapi direcall. Ia membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi.
sikap yang Benar dalam kasus Bali
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 324 h
pengerusakan masjid oleh sementara orang yang marah di benua Kangguru itu. Juga dapat dimengerti pengiriman para penyelidik Australia dan Amerika Serikat untuk mengetahui para pelaku kasus itu, karena hilangnya kepercayaan, apakah benar pemerintah Indonesia akan menyelidiki secara tuntas kasus tersebut.
Kecenderungan menyalahkan Abu Bakar Ba’asyir dan ka-wankawannya dari “gerakan Islam garis keras”, dilawan oleh sementara kalangan dalam negeri sendiri. Emha Ainun Nadjib menyatakan di Radio Ramako, Jakarta, bahwa Abu Bakar Ba’asyir tidak akan melakukan hal itu. Walaupun ia menyesalkan sikap Abu Bakar Ba’asyir yang tidak kooperatif dengan siapapun dalam hal ini. Tetapi, Abu Bakar Ba’asyir telah siap menerima akibat sikap nonkooperatifnya. Menurut Emha Ainun Nadjib, Ba’asyir termasuk menjadi “martir-syahid” bagi agama Islam. Dr. Adnan Buyung Nasution SH menyatakan di media massa, adanya anggapan dari luar negeri, bahwa Abu Bakar Ba’asyir menjadi aktor intelektual kejadian pengeboman tersebut, karena itu ia bersedia menjadi pembela tokoh tersebut. Benarkah sikap itu? Tidak, kalau ia berpendapat Abu Bakar Ba’asyir tidak ber-salah. Proses pengadilanlah yang akan membuktikan hal itu benar atau tidaknya. Bukan karena tokoh seperti dirinya, dan juga bukan karena hakim yang kita belum tahu termasuk mafia peng-adilan atau tidak.
Karena kita mudah menjadi partisan, lalu dalam perbedaan pendapat yang terjadi kita jadi mudah memihak kepada pendirian yang kita anut. Juga dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir ini, yang jika disarikan berbunyi: “Benarkah ia terlibat dengan kejadian peledakan bom di Bali itu?” “Tidakkah ia menjadi korban baru konspirasi asing/komplotan untuk memburukkan nama Indonesia dan Islam?” Inilah yang harus diperiksa dengan teliti, dan sebuah jawaban yang salah akan berakibat buruk bagi Indonesia, maupun pihakpihak asing itu. Kejadian ini mengingatkan kita pada sikap Senator Robert A. Taft2 dari negeri bagian Ohio, Amerika Serikat. Ia dalam tahun 1948 mengajukan kritik atas pengadilan terhadap diri para pemimpin Nazi di Jerman, dan menghukum mati mereka di tiang gantungan. Menurut Taft, tindakan itu melanggar Undangundang Dasar Amerika Serikat.
2 Senator dari Partai Republik ini bernama lengkap Robert Alphonso Taft, anak dari Presiden AS ke27 William H. Taft.
g 325 h
Dan untuk sikapnya membela kebenaran itu, ia kehilangan pencalonan untuk menjadi Presiden Amerika Serikat.
Dalam kasus pengeboman di Bali itu, sikap Emha Ainun Nadjib dan Dr. Adnan Buyung Nasution SH itu jelas menimbulkan keberpihakan kepada Abu Bakar Ba’asyir. Dari situ muncul penilaian, sikap mereka itu memiliki landasan empirik dan semangat orang-orang asing yang menggangap Ba’asyir terlibat dalam kasus ini, tidak memiliki landasan empirik. Tentu saja kita tidak boleh gegabah menyimpulkan demikian, karena kita adalah negara besar dan memiliki UndangUndang Dasar (UUD), yang dalam pembukaan UUD disebutkan untuk mendirikan negara yang adil dan makmur. Kalau kita menyimpang dari hal itu, berarti kita tidak setia kepada UUD itu, yang kita buat sendiri dan seharusnya kita pertahankan habishabisan.
Tetapi, sikap sama tengah seperti ini, memang tidak populer. Lebih mudah untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat tersebut: “Abu Bakar Ba’asyir memang terlibat dengan kasus pengeboman di atas, atau sebaliknya, ia tidak bersalah sama sekali.” Sikap tidak populer ini jarang diambil orang, karena menampilkan pendapat pertama maupun pendapat kedua, tetapi harus kita ambil, kalau kita cinta kepada undangundang sendiri. Penilaian dini, baik yang pro dan kontra, mengenai keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus peledakan bom di Denpasar itu, sama artinya dengan mengkhianati UUD kita sendiri. Karenanya, mau tidak mau kita harus mengambil tindakan berdasarkan hukum yang tuntas tentang hal itu. Sikap lain kita tidak terima, karena kita sudah terlalu lama menderita akibat penyimpanganpenyimpangan serius atas UUD kita sendiri.
Emha Ainun Nadjib, dalam wawancara Radio Ramako, menyatakan bahwa Umar Farouq yang kini ditahan CIA di Amerika Serikat adalah pria kelahiran Ambon dan dengan demikian seorang warga negara asli Indonesia. Dengan demikian, pengakuan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah bagian dari jaringan internasio-nal AlQaeda, tidak dapat diterima. Ini tentu saja bertentangan dengan versi pihak Amerika Serikat yang menyatakan bahwa Umar Farouq adalah pria Kuwait yang beroperasi dan kawin lagi di Tanah Air kita. Salah seorang anak buahnya adalah Abu Bakar Ba’asyir. Manakah di antara dua versi itu yang dapat diterima? Tentu saja hanya kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu yang dapat dibenarkan. Berarti, harus ada orang dari pihak ke
sIkaP yanG bEnaR dalam kasus balI
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 326 h
tiga untuk memberikan kesaksian tentang mana yang benar dari kedua versi di atas.
Karena itu, penulis mengusulkan agar dibentuk sebuah komisi independen yang harus meneliti kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu. Orang Ambon, bagaimanapun juga tentu berbeda dari orang kelahiran Kuwait, sehingga dengan pertemuan langsung, antara satudua orang anggota komisi independen itu dengan Umar Farouq, akan memungkinkan mereka menetapkan adakah pria tersebut memang orang Ambon atau orang Kuwait. Kalau ia ternyata orang kelahiran Ambon berarti pengakuannya akan Abu Bakar Ba’asyir seorang teroris internasional otomatis gugur, dan ia haruslah dihukum karena menuduh dengan cara fitnah, seorang warga negara Indonesia bernama Abu Bakar Ba’asyir. Kalau yang terjadi justru sebaliknya, pengakuan Umar Farouq mempunyai nilai yang sangat tinggi, dan pemeriksaan lebih mendalam harus dilanjutkan, atau klaim bahwa Ba’asyir tidak berdosa harus diragukan.
Demikianlah, usul jalan tengah dari penulis melalui tulisan ini, yang sangat berbeda dari apa yang dikemukakan Emha Ainun Nadjib, Dr. Adnan Buyung Nasution dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Mereka melihat masalahnya dari sudut pro dan kontra sehingga mereka lupa akan perlunya verifikasi empirik, yaitu dengan membentuk sebuah komisi independen. Usul pembentukan komisi tersebut sematamata didasarkan pada obyektifitas sikap dan pandangan, sehingga memiliki kredibilitas yang cukup tinggi. Obyektifitas ini sangat diperlukan untuk menilai sikap dan pandangan kita dalam menentukan secara hukum formal, mana yang benar antara dua versi yang bertentangan mengenai sebuah kejadian. h
g 327 h
Pepatah di atas sudah sangat terkenal dalam bahasa kita, karena demikian banyak ia dilakukan dalam praktek kehidupan. Maksudnya adalah, kita samasama mempunyai
rambut, tetapi pemikiran tetap berbeda. Jadi dalam ajaran Islam, satu ke lain orangpun terdapat pluralitas/kemajemukan pendapat, ini diterima sebagai prinsip pengaturan hidup bermasyarakat: “Perbedaan para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a‘immah rahmat al-ummah).” Prinsip ini sangat dipegang teguh dalam kehidupan kaum muslimin, sehingga perbedaan pandangan dilihat sebagai sesuatu yang wajarwajar saja. Kaum muslimin hanya dapat dipersatukan dalam masalahmasalah dasar belaka, seperti keharusan adanya keadilan dan sebagainya.
Keluarga penulis sendiri merupakan contoh yang tepat akan pluralitas pandangan. Penulis sendiri menjadi Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, adik penulis menjadi ketua umum organisasi kaum ibu AlHidayah (yang oleh sementara orang dianggap mendukung Partai Golkar), dan adik penulis mengikuti sebuah partai politik sempalan (serta sekarang menjadi Wakil Ketua Tanfidziyah PBNU). Tiga orang yang lain tidak mau memasuki parpol ataupun organisasi nonprofesional. Ada semacam kesepakatan antara penulis dan adikadiknya, kami berenam tidak akan membicarakan aspirasi, partai politik atau organisasi apapun. Dengan demikian terhindarlah kami dari perdebatan pendapat, yang biasanya berjalan cukup tajam.
eg
kepala sama Berbulu, Pendapat Berlain-lain
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 328 h
Habib Rizieq, pendiri dan pemimpin Front Pembela Islam (FPI)1 ditangkap oleh Polda Metro Jaya. Dalam pandangannya, proses penangkapan itu tidak berjalan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh undangundang, karenanya menjadi cacat hukum dan ilegal. Ketika protesnya itu tidak didengarkan oleh aparat keamanan, ia pun meminta para pengacaranya untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan. Karena gugatannya itu, maka Polda Metro Jaya segera mengirimkan utusan untuk berunding. Hasil perundingan itu seperti tersirat dalam pemberitaan media massa, akhirnya membuahkan sebuah cara penyelesaian yang unik: Rizieq mencabut tuntutannya dari pengadilan, tetapi oleh pihak kepolisian ia diberi status yang lebih ringan yaitu dirubah dari tahanan Polda Metro Jaya menjadi tahanan rumah (house arrest).
Kejadian itu menunjukan sesuatu yang sangat menarik, yaitu bahwa Habib Rizieq masih menggangap kepolisian sebagai penyelenggara keamanan dan pemeriksa hukum dalam negeri yang memiliki wewenang memeriksa dirinya. Ini berarti, ia masih mengakui sistem hukum yang berlaku di negeri kita, dengan demikian ia mengakui wujud negara yang ada, yang oleh sementara kalangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, apapun yang ia lakukan, masih dalam kerangka yang ditetapkan oleh Undangundang Dasar 1945. Dengan demikian, ia tidak menyimpang dari pengakuan akan adanya negara Indonesia, juga kepada sistem hukumnya. Berarti, ia tetap berada dalam kerangka legal yang ada, dan dilindungi oleh kerangka tersebut.
Dengan demikian, Habib Rizieq melindungi dirinya secara legal, betapa jauhnya sekalipun pandangan yang dianutnya dari pandangan lembaga kenegaraan dan lembaga hukum yang ada. Dengan demikian, ia menjaga dirinya dari tindakan
1 FPI (Front Pembela Islam) berkembang subur sejak masa pemerintahan Presiden Habibie. Pada 6 November 2002, Habib Rizieq selaku pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan. Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk membantu Irak melawan agresornya. Hingga saat ini, organsiasi yang memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar Pembela Islam (LPI), masih sering melakukan aksi-aksinya dalam rangka ‘membela Islam’. Sejak tanggal 17 Agustus 1998, organisasi ini dipimpin oleh Habib Muhammad Rizieq Syihab.
g 329 h
apapun yang tidak sesuai dengan Undangundang Dasar 1945. Boleh jadi ia melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang melindunginya dari tindakan apapun oleh negara atas dirinya. Secara teoritis ia terlindung dari tindakan yang tidak berdasarkan hukum, siapapun yang melakukannya. Dengan kata lain, ia memiliki hak asasinya sebagai manusia, yang sekaligus diperolehnya dari kedudukan sebagai warga negara sebuah bangsa yang berdaulat.
Prinsip inilah yang paling penting untuk dipegang oleh seseorang dalam negara ini, yang katanya memiliki kedaulatan hukum. Pasalpasal dalam undangundang dasarlah yang memberikan perlindungan hukum tersebut, yang membedakannya dari subyek politik. Sebagai seorang penduduk biasa, Habib Rizieq memperoleh perlindungan politik dari tindakan apapun, walaupun secara politik pula ia sering menganggu hakhak warga negara yang lain, seperti ketika ia memerintahkan sweeping. Tindakan untuk mengatasi hal itu adalah tindakan hukum, yang dapat dikenakan atas dirinya. Namun, ia juga memperoleh perlindungan hukum, untuk tidak terkena tindakan hukum lebih jauh dari itu. Prinsip inilah yang melindungi sekaligus mengekang langkahlangkahnya, agar tidak melanggar hukum dan merugikan orang lain. Namun, perlindungan hukum itu juga mencegahnya dari tindakan politik yang tentu merugikan dirinya. Dengan kata lain ia harus bergerak dalam koridor hukum yang berlaku di negeri ini.
eg
Lain halnya dengan Abu Bakar Ba’asyir, yang sejauh ini me-nolak memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, terlepas dari kenyataan pihak kepolisian “mengambilnya” dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Solo dengan prosedur yang salah dan tidak memenuhi ketentuan hukum. Namun, pe nolakannya untuk memberikan keterangan hukum, menempatkan tokoh ini dalam kedudukan yang tidak sama dengan Habib Rizieq. Ini tentu akan membawakan konsekuensikonsekuensinya sendiri. Dengan demikian menjadi nyata, dua orang yang dalam status hukum berkedudukan sama, ternyata dapat mengalami perlakuan yang sangat berbeda satu dari yang lain. Benarlah kata pepatah di atas, “kepala orang samasama berbulu pendapat ber
kEPala sama bERbulu PEndaPat laIn-laIn
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 330 h
lain lain” artinya samasama memiliki rambut, tapi pemikiran dapat berbeda.
Dengan menolak memberikan keterangan hukum, untuk kepentingan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Abu Bakar Ba’asyir menempatkan diri di luar wewenang hukum. De-ngan demikian, ia menjadi orang yang tidak menganggap negara dan hukum memiliki wujud/eksistensi. Dan sudah tentu juga ia tidak dapat bersikap terus demikian, karena negara harus menghadirkan adanya dua buah eksistensi yang berlainan: wujud negara di satu sisi, dan keadilan atas tokoh tersebut di sisi lain. Negara memiliki hak hukum untuk menganggapnya sebagai pemberontak yang melanggar UndangUndang Dasar, dan dengan demikian dapat memilih salah satu dari dua alternatif berikut: mengusir atau menghukum mati tokoh tersebut. Ini adalah konsekuensi logis dan legal dari tindakan yang dilakukannya sendiri dan Islampun dapat membenarkan hal tersebut.
Ketegasan pihak pemerintah diperlukan, dalam hal ini untuk mencegah anarkhi hukum. Ini juga pernah terjadi di masa pemerintahan Bung Karno dan Panglima Besar Soedirman2 sebagai panglima angkatan perangnya, yang memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo3 untuk mendirikan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Dasar perintah itu adalah ketentuan Perjanjian Renville, bahwa TNI harus ditarik dari kawasan tersebut ke Jawa Tengah. Untuk menghindarkan vacu-um di kawasan itu, yang akan dimanfaatkan oleh pasukanpasukan Belanda, maka dibentuklah DI/TII, sudah tentu perintah itu diketahui oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara.
Namun, Sekarmadji Kartosuwiryo terus menggunakan DI/TII untuk membunuh rakyat, melakukan pembakaran dan merampok setelah kemerdekaan tercapai dan penyerahan kedaulatan berlangsung. Pemberontakan dan pemerintah menumpas pemberontakan itu berakhir tahun 1962. Di saat itu, Presiden Soekarno yang juga menjadi kepala pemerintahan, memerin
2 Jendral Soedirman (19161950) adalah seorang pahlawan Indonesia yang berjuang pada masa upaya kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta
3 Nama lengkapnya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Tokoh yang telah memaklumatkan berdirinya Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1949 dan membuat gerakan Darul Islam (DI) merupakan aktor yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa memanasnya Jawa Barat dari tahun 19481962.
g 331 h
tahkan Sekarmadji Kartosuwiryo diadili oleh Mahkamah Militer yang kemudian menjatuhkan hukuman mati, atas diri tokoh dan teman dekat Bung Karno itu. Bung Karno tidak memberikan grasi/pengampunan kepadanya, karena Kartosuwiryo telah memerintahkan pembunuhan rakyat dan perampokan. Bung Karno bahkan memerintahkan pelaksanaan hukum mati atas diri tokoh itu, dan menghilangkan jejak penguburannya di Kepulauan Seribu. Persoalannya tidak rumit kalau kita memiliki keberanian, bukan? h
kEPala sama bERbulu PEndaPat laIn-laIn
g 332 h
Dr. Djohan Effendi menulis dalam sebuah harian nasional, bahwa baik Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir dilaporkan sebagai pendiri gerakan Jama’ah Is-
lamiyah, baik di Malaysia maupun Singapura. Organisasi inilah yang oleh intelijen Amerika Serikat (AS) maupun Australia, dianggap sebagai gerakan teroris internasional. Bahkan, oleh pihak intelijen Malaysia dan Singapura, organisasi itu dilaporkan telah merencanakan tindak kekerasan di kedua negara tersebut. Pers internasional menyebutkan, baik Sungkar maupun Ba’asyir, seba-gai pemimpin spiritual organisasi tersebut. Benarkah organisasi itu merupakan persambungan gerakan teroris AlQaeda1 seperti yang disangkakan AS, yang berpangkalan di Afghanistan di masa prapemboman atas AS? Sejarahlah yang akan menjawab pertanyaan itu, setelah pemeriksaan teliti selama bertahuntahun.
Tulisan Dr. Djohan Effendi itu segera dijawab dalam harian yang sama, oleh Fauzan AlAnshori, Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MII), beberapa hari
1 AlQaeda adalah sebuah organisasi yang semakin dikenal pasca serangan 11 September 2001. CIA menuduh alQaeda sebagai otak dibalik serangan terhadap WTC dan Pentagon. AlQaeda sebenarnya adalah nama file untuk menunjukkan daftar anggotaanggota Mujahidin yang berjihad menentang penjajahan Rusia di Afghanistan, di dalamnya Osama bin Laden dikenal sebagai pimpinannya. Ia adalah anak didik CIA untuk proyek menentang Rusia di Afghanistan. Tetapi kini, senjata telah makan tuan, Osama bin Laden pula yang membenci Amerika Serikat. Ini terjadi, oleh karena alQaeda telah menyeret konflik “trading oil pipelines” ke wilayah paling suci yang bernama “Agama” dengan menegaskan fatwa “Killing Americans civilian and military any where and any time”, sebagai sebuah kewajiban setiap muslim dengan level “fardlu ain”.
tak Cukup dengan Penamaan
g 333 h
kemudian. Namun, jawaban itu tidak menyangkal keterangan Dr. Djohan Effendi akan kebenaran ungkapan, maupun penyebutan oleh pers internasional bahwa Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir sebagai pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah. Yang dilakukan Fauzan AlAnshori dalam jawaban tertulis itu, hanya ‘mengungkit’ penamaan Dr. Djohan Effendi selaku salah seorang yang disebutnya sebagai pemikir kaum Muslim neomodernis. Kelompok terakhir ini disebutsebut dalam disertasi Greg Barton2 dari Deakin University, Australia, sebagai pihak yang meneliti dan menggunakan warisan budaya Islam lama untuk menafsirkan secara kontemporer tempat Islam dalam kebudayaan modern.
Greg Barton menyebutkan, Dr. Djohan Effendi, Dr. Nurcholish Madjid, almarhum Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan diri penulis sendiri, sebagai pemuka pendekatan neomodernis itu. Orang boleh saja suka atau tidak suka terhadap kelompok pemikir tersebut, bahkan juga dapat menerima atau menolaknya sebagai cara berpikir yang absah dalam Islam. Tetapi faktanya, pemikiran dan kelompok pemikir seperti itu memang ada dalam dunia Islam, jadi tidak dapat ditolak secara empirik. Demikian pula, reaksi atasnya adalah sesuatu yang wajarwajar saja, seperti yang diperlihatkan oleh tokoh gerakan Majelis Mujahidin yang membuat jawaban tertulis atas pendapat Dr. Djohan Effendi itu.
eg
Lagilagi terbukti adanya pendapat yang berbeda dalam gerakan Islam mengenai sesuatu. Tidakkah ini menunjukkan perbedaan antara mereka di saatsaat yang sangat menentukan seperti di masa kini, sebagai sesuatu dianggap penting.? Jawabannya, persoalan itu tergantung dari sikap kaum muslimin sendiri. Sebagaimana kita ketahui, kaum muslimin dapat dibagi dua, dalam pendekatan mereka kepada perubahanperubahan sosial yang terjadi. Di satu pihak, ada kaum muslimin yang merasakan tidak ada keharusan bergabung dalam gerakangerakan Islam terse
2 Disertasi itu berjudul “The Emergence of Neo-Modernism; a Progres-sive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia: A Textual study Ex-amining the writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid 1968-1980”
tak cukuP dEnGan PEnamaan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 334 h
but. Di lain pihak, ada pengikut gerakangerakan Islam modernis dan tradisional, dan di samping mereka yang mengikuti strategi budaya atau strategi ideologis. Inilah yang senantiasa harus diingat, kalau kita berbicara tentang Islam Indonesia saat ini.
Seringkali, orang berbicara tentang Islam tanpa memperhatikan kenyataan tersebut, terjadilah klaim yang sangat berani, bahwa orang yang mengemukakan pendapat tersebut berbicara atas nama Islam secara keseluruhan. Padahal, ia sebenarnya hanya berbicara atas nama kelompok atau pemikirannya sendiri yang dalam bahasa teori hukum Islam (ushûl fiqh) disebutkan sebagai langkah menyebutkan halhal umum, dan dimaksudkan untuk halhal khusus (ithlâqu al-‘âm wa yurâdu bihi al-khâs). Di sini, terjadi perpindahan dari seorang pengamat yang seharusnya bersikap obyektif, menjadi seorang aktivis perjuangan yang sering bersikap subyektif.
Selama kaum muslimin belum dapat menghilangkan klaimklaim tersebut di atas, selalu akan terjadi kerancuan berpikir, apalagi kalau hal itu disampaikan melalui media massa. Pantaslah kalau kaum muslimin pada umumnya dibuat kebingungan, mungkin termasuk oleh penulis sendiri. Ini karena posisi penulis, yang sering dikacaukan (dan juga mengacaukan) antara peranan sebagai pengamat atau berperan sebagai aktivis perjuangan gerakan Islam. Lima belas tahun penulis menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), dan sekarang pun masih menjadi Mustasyar (penasehatnya). Warga Nahdlatul Ulama (NU) saja sering kebingungan akan hal itu, apalagi orang lain.
eg
Menggunakan pendekatan ilmiah atau tidak subyektif adalah persyaratan mutlak bagi sebuah pandangan/pendapat yang baik. Emosi tidak boleh digunakan, walaupun kita berada dalam keadaan sesulit apapun dan terjepit/tersudut. Argumentasi yang baik harus kering dari emosi untuk mencapai obyektivitas yang dimaksudkan. Kalau ini tidak diperhatikan, maka pendapat itu dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan tidak diterima sebagai sesuatu yang rasional oleh publik. Salahsalah, pandangan atau pendapat subyektif dan penuh emosi seperti itu akan ditertawakan oleh masyarakat, dianggap sebagai lelucon yang tidak lucu.
g 335 h
Demikian pula, sanggahan saudara Fauzan atas keterangan Dr. Djohan Effendi itu, yang hanya berisi “tudingan“ bahwa Dr. Djohan Effendi adalah anggota kelompok kaum neomodernis Islam di negeri kita. Kalau Dr. Djohan Effendi menggunakan rekaman atas keterangan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, mengenai peranan mereka dalam pembentukan Jamaah Islamiyah, sehingga berani mengambil kesimpulan yang dikemukakannya, sanggahan saudara Fauzan justru tidaklah demikian. Yang dilakukan, hanyalah ‘penamaan’ terhadap Dr. Djohan Effendi sebagai anggota kelompok neomodernis Islam di negeri kita. Tentu orang bertanya, manakah obyektivitas sanggahan tersebut? Ternyata, yang dilakukan hanyalah penamaan belaka, tanpa memberikan argumentasi apaapa. Tidakkah langkah ini justru akan ditertawakan? Tentu saja hal itu akan dilakukan penulis, jika tidak menyangkut sesuatu yang sangat penting bagi kita bangsa Indonesia, seperti tragedi terorisme.
Dari kritikan di atas, menjadi jelas bahwa sanggahan tersebut sangat memalukan, karena tidak disertai argumentasi apapun. Bahwa keterlibatan Dr. Djohan Effendi dalam kelompok neomodernis Islam di Tanah Air kita adalah informasi yang benar. Dr. Djohan Effendi, dan juga penulis, tidak perlu merasa malu dengan penamaan itu. Selama kita menghormati dan bersikap benar terhadap sebuah fakta, selama itu pula kita tidak perlu merasa malu atau takut kepada siapapun. Sedangkan sanggahan terhadap sikap itu, kalau hendak dibantah atau ditolak, hendaknya berdasarkan argumentasi yang kuat dan rasional. Bukannya dengan penamaan belaka bahwa si fulan anggota kelompok ini atau warga kalangan itu. h
tak cukuP dEnGan PEnamaan
g 336 h
Dalam keterangannya yang dimuat Far Eastern Economic Review (FEER) edisi 12 Desember 2002, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew, menyatakan dia bertanya ke
pada orangorang Muslim gerakan radikal dari Asia Tenggara. Pertanyaannya, apa sebab mereka mengubah citra moderat kaum Muslimin di Asia Tenggara menjadi radikalisme berlebihan? Bagi penulis, pendapat Lee Kuan Yew tidak dapat diperhitungkan dalam pandangannya mengenai Islam di Indonesia. Karena itu dia mengajukan pertanyaan yang salah, seperti yang diajukannya kepada gerakan Islam radikal: Mengapakah Anda membuat citra Islam di Asia Tenggara menjadi begitu buruk dengan meledakkan bom? Sedangkan tadinya citra agama Islam di kawasan ini begitu moderat? Mengapa penulis menganggap pertanyaan itu salah, dan karena itu menilainya naif? Bukankah ini sebuah “tuduhan berat” terhadap seorang pengamat sekaliber Lee yang kawakan menguasai dunia perpolitikan di Singapura?
Tentu saja penulis mempunyai dasar yang cukup bagi “tuduhannya” itu. Pertama, karena hal itu di kemukakan oleh tokoh tersebut, dengan sendirinya didengarkan oleh banyak pihak, terutama pengambil keputusan di Barat. Karena itu, kalau memang benar pernyataan Lee Kuan Yew itu salah atau naif, maka harus segera dikoreksi. Koreksi itu harus segera dilakukan sebelum pernyataan itu disimpulkan sebagai “kebenaran” oleh para pengambil keputusan di Barat. Demikian juga sebelum “kebenaran” tersebut dipakai sebagai landasan berpikir oleh para pengamat di seluruh dunia.
memandang masalah dengan Jernih(menilik Pernyataan lee kuan Yew)
g 337 h
Walhasil, pendapat dari seorang tokoh seperti pimpinan Singapura itu haruslah kita bedah dan koreksi bilamana perlu. Kegagalan melakukan hal ini amat sangat merugikan bagi perkembangan Islam di seluruh dunia. Karenanya tulisan ini dibuat sebagai referensi atas ucapannya tersebut.
Kedua, agama Islam selama ini telah menjadi korban dari sekian banyak anggapan. Karenanya diperlukan “keberanian moral” untuk memulai koreksi atas kesalahan demi kesalahan yang telah terjadi, guna menghindari terulangnya hal itu di masa depan. Bukankah tidak ada yang lebih baik untuk “memulai” deretan responsi, selain menerangkan masalah sebenarnya dari pernyataan Lee Kuan Yew itu? Melalui sebuah responsi yang sehat, yaitu dengan mempertanyakan dasardasar apa yang digunakan Lee Kuan Yew untuk menyusun pernyataannya itu. Begitu juga tinjauan “dari dalam” Islam sendiri, adalah sesuatu yang sangat penting guna “membaca” kebenaran sebuah pernyataan “orang luar.” Tulisan ini justru dikemukakan dengan tujuan memperoleh pandangan yang tepat tentang gerakan radikal Islam di negeri kita.
Dalam mengajukan pernyataan di atas, Lee Kuan Yew tampak mempersamakan kekuatan gerakan Islam radikal dengan gerakan Islam moderat di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah kesalahpandangan di kalangan “para pengamat.” Tetapi, bagaimanapun juga Lee Kuan Yew harus disanggah, jika ia tidak mengemukakan kebenaran. Kenyataannya, gerakan Islam radikal itu tidaklah besar, tetapi sanggup melakukan kekerasan. Hal itu terjadi karena “kesalahan” prinsipil yang dilakukan pemerintah/eksekutif di negeri kita. Hal ini juga terjadi karena kebanyakan pengamat menganggap berbagai gerakan Islam radikal sebagai sesuatu yang besar. Padahal sebenarnya, muslim yang “terlibat” gerakan radikal itu, tidaklah banyak. Katakanlah, mereka hanya berjumlah 50.000an orang, namun jumlah itu tidak ada artinya di hadapan 200 juta umat Muslim yang moderat. Hanya saja, “kelompok” moderat ini tidak mempunyai dukungan materiil yang kuat dan minimnya skill/kecakapan, lain halnya dengan gerakan Islam radikal. Selain itu, gerakan Islam moderat belum memiliki kohesi organisatoris, yang diperlukannya untuk maju ke depan.
Jika dibiarkan, ketakutan berlebihan peradaban “Islam” yang merasa dikalahkan oleh peradaban “Barat”, akan menjadi semakin besar. Padahal kalau dilihat secara budaya, persoalan
mEmandanG masalaH dEnGan jERnIH
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 338 h
nya akan jauh berlainan dari pandangan tersebut. Kalaupun “Islam” dikalahkan “Barat”, itu mungkin hanya mencakup teknologi, jaring an perdagangan dan komunikasi. Namun di bidangbidang peradaban kultural lainnya, secara relatif sangat kuat kedudukannya. Karenanya, kita tidak usah merasa “kalah” oleh keadaan itu. Kita tidak perlu “membuktikan” kehebatan kita melalui penggunaan kekerasan (termasuk terorisme), yang berakibat kematian orangorang yang tidak bersalah.
Salah satu tanda pendangkalan agama yang terjadi di kalangan gerakan radikal Islam adalah upaya memandang halhal yang berbau kelembagaan/institusional sebagai satusatunya ukuran “keberhasilan” kaum muslimin. Padahal kultur Islam lainnya, seperti, rebana, sufisme dan sebagainya, cukup menon-jol, bahkan dengan kultur itu kaum muslimin berhasil menolak pengaruh “Barat.”
Lihat saja siaran televisi, yang semakin lama, semakin menunjukkan warna Islam. Di sini kita melihat, tampak kebangkitan kultural Islam dalam perpaduan yang lama dan yang baru, seperti artis yang sudah tidak malu lagi mejeng membawakan acara keagamaan pada bulan Ramadhan. Jadi, kebesaran Islam tidak ditentukan oleh pakaian jubah yang dikenakan, atau jenggot, sorban dan cadar yang dikenakan, yang menutup seluruh badan dan wajah perempuan. Seorang perempuan yang menggunakan kerudung “biasa” sama Islamnya dengan yang menggunakan cadar. Karena itu, pandangan yang membedakan antara mereka, adalah pandangan yang tidak mengenal kaum muslimin dan hakikat Islam.
Dalam perdebatan dengan Samuel Huntington,1 tentang teori perbenturan budaya (clash of civilization), penulis menyatakan, bahwa dalam teori perbenturan budaya Islam dan Barat itu, Huntington hanya melihat pohon, tanpa mengenal hutannya. Memang ada pohon dalam jumlah kecil yang berbeda dari yang lainnya, tetapi keseluruhan hutannya justru memperlihatkan pohon yang sama dengan jumlahnya lebih besar.
1 Samuel Huntington adalah professor di Harvard University. Tahun 1993 dia menulis di sebuah Jurnal di AS, Foreign Affairs dengan judul ‘The Clash of Civilizations’, h. 22-50. Tulisan ini kemudian menjadi perdebatan ba-nyak kalangan tentang kemungkinan benturan antara Islam dan Barat. Setelah terjadi “tragedi 11 September” teori ‘benturan peradaban’ tersebut kembali diperbincangkan seolah menemukan titik pembenaran.
g 339 h
Maksudnya, puluhan ribu kaum Muslimin, tiap tahun belajar di Barat dalam berbagai bidang, tentu saja kalau ada yang radikal di antara mereka jumlahnya sangat kecil, dan tidak dapat dijadikan ukuran bahwa mereka mewakili Islam. Arus belajar “ke Barat” sangat besar, sehingga pertentangan Islam melawan Barat, tidak usah dikhawatirkan, apalagi dijadikan momok.
Karena itu, ungkapan Lee Kuan Yew yang memandang gerakan Islam radikal secara berlebihlebihan, sebagai representasi umat Islam tersebut, jelas tidak berada pada tempat sebenarnya. Inilah yang harus diubah, yaitu penggunaan kelompok Islam radikal sebagai ukuran bagi Islam dan kaum Muslimin yang mayoritas justru bersikap moderat dalam hampir semua hal. Untuk perubahan itu, kita harus bersabar sedikit, untuk menunggu hasil pemilihan umum yang akan datang, yang menurut penulis akan menunjukkan keunggulan yang sangat besar dari gerakan moderat dalam Islam. Penulis dapat mengatakan hal ini, karena dalam sehari dapat melakukan tiga sampai empat kali komunikasi langsung dengan rakyat di seluruh pelosok tanah air. Ini karena penulis dan partai politik yang dipimpinnya, tidak dapat bersandar pada media massa domestik yang masih “lintang pukang” keadaannya.
Juga harus ada faktor lain yang harus diperhitungkan, yaitu peranan pemerintah/eksekutif. Kalau pihak itu takut kepada gerakan Islam radikal, seperti yang terjadi dewasa ini di Indonesia, maka gerakan tersebut akan menjadi berani dan melanggar undangundang. Karena itu diperlukan keberanian bersikap tegas (kalau perlu bertindak keras), terhadap unsurunsur garis keras yang mengacaukan keamanan.
Penulis tidak setuju dengan RUU Antiterorisme, tetapi diperlukan juga keberanian secara fisik berhadapan dengan para pelaku kekerasan itu. Halhal inilah yang harus dimengerti oleh orangorang seperti Lee Kuan Yew. Sederhana dalam konsep, tapi sulit dilaksanakan bukan? h
mEmandanG masalaH dEnGan jERnIH
g 340 h
Pertemuan itu diadakan di sebuah kuil/gereja milik sebuah agama baru di Jepang, pecahan dari agama Buddha. Dari pihak penulis, hadir Konsul Jenderal Republik Indonesia
(Konjen Rl) untuk daerah Kansai, Hupudio Supaidi. Dari pihak Jepang datang berpuluhpuluh agamawan dari berbagai agama, termasuk tokohtokoh Kristen ProtestanKatolik serta seorang peserta wanita dari Partai Komunis Jepang. Ia juga termasuk seorang legislator lokal yang menjadi anggota dewan kota (town consellor) dari Sakai, yang berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa. Sakai adalah kota satelit di Osaka, Jepang, yang sekarang sedang berusaha menjadi sebuah provinsi/prefectures sendiri, lepas dari Osaka.
Dalam pertemuan itu, penulis juga ditemani oleh Mr. Hitoshi Kato, seorang politisi lokal yang mengundang penulis ke Sakai dan sang keponakan Hisanori Kato1, seorang ahli tentang negara kita dan dapat berbahasa Indonesia. Ia bekerja di Manila dan kembali ke Sakai hanya untuk menemani penulis. Hitoshi Kato datang ke Indonesia pada bulan Juli lalu, dan mencoba melakukan kerjasama dengan Universitas Indonesia (UI)
1 Hisanori adalah peraih PhD dari Universitas Sydney Australia. Banyak karyanya tentang Indonesia, salah satunya adalah sebuah buku berjudul: Agama Dan Peradaban: Islam Dan Terciptanya Masyarakat Demokratis Yang Beradab Di Indonesia (Dian Rakyat, 2002).
kekurangan Informasi
g 341 h
dan Universitas Nasional (Unas) di Jakarta dengan Universitas Hagoromo yang memiliki mahasiswa 2000 orang, padahal baru didirikan beberapa bulan yang lalu di Sakai. Akibat pemberitaan media massa di Jepang tentang peledakan bom di Bali, ia mempunyai persepsi yang ‘salah’ tentang Islam dan kaum Muslimin, sebagai kaum penjarah dan teroris. Padahal ia menyadari, ratusan ribu warga daerah Kansai, di mana Osaka dan Sakai terletak, memandang Bali sebagai tujuan pariwisata yang harus didatangi berkalikali.
Ternyata, kesan mereka itu salah sama sekali, begitu ia sampai di Jakarta, ia bertemu dengan orangorang yang ramah, dan banyak di antaranya dapat dijadikan kawan. Ia bertemu penulis, dan meminta keterangan tentang Islam dan kaum Muslimin. Tentu saja, penulis menyatakan tindakan para teroris itu —kalau benar dilakukan oleh gerakan Islam— adalah sebuah penyimpangan kecil dari mayoritas gerakan Islam, yang terutama banyak dikuasai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Jadi tidak benar, anggapan bahwa mayoritas kaum Muslimin di negeri ini menyetujui peledakan bom di Bali yang dilakukan oleh gerakan Islam. Karena tindakan itu akan dianggap diskriminatif oleh pemelukpemeluk agama Hindu, yang justru karena penduduk Bali mayoritas beragama Hindu. Jelas gerakan Islam tidak menyetujuinya, dan ini jelas bertentangan dengan agama Islam yang memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan terhadap kaum minoritas.
Pelurusan pandangan itu, membuat Hitoshi Kato menganggap perlu mengundang penulis ke Sakai. la ingin agar penulis menjelaskan sendiri kepada penduduk Jepang di Sakai, bahwa apa yang digambarkan tentang Islam oleh media massa Jepang selama ini adalah sesuatu yang salah, bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Tentu saja, penulis menyambut baik ajakan itu, dan menyediakan waktu untuk itu pada minggu pertama bulan November 2002. Berbagai acara digelar, termasuk kunjungan kepada Walikota Sakai dan pertemuan di Tokyo dengan Ambas-sador Noburo Matsunaga dan Pendeta Niwano, keduanya teman penulis yang akrab sejak beberapa tahun yang lalu. Sayang sekali, penulis tidak bertemu dengan Daisaku Ikeda, pendiri gerakan Buddhis Soka Gakkai, yang memiliki sebuah Universitas —tempat penulis menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang humaniora pada bulan April yang lalu.
kEkuRanGan InFoRmasI
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 342 h
Dalam rangkaian pertemuanpertemuan di Sakai itu yang, juga diliput oleh koran Mainichi Shimbun (yang memiliki edisi Jepang dan Inggris), penulis menjelaskan hakekat Islam sebagai agama perdamaian, yang disalahmengerti oleh sebagian kecil kaum Muslimin, dengan tindakantindakan penuh kekerasan yang mereka lakukan.
Menurut penulis, hal ini mereka lakukan karena dua hal. Di satu sisi, mereka hanya mementingkan institusi (kelembagaan) dalam Islam, yang sekarang tengah terancam di manamana, dalam masyarakat yang berteknologi maju. Mereka lupa, bahwa Islam juga membawakan kultur/budaya kesantrian, yang justru sekarang semakin berkembang sebagai pertahanan kaum Muslimin dalam menghadapi “serangan teknologi maju” itu. Di sisi kedua, mereka yang melakukan terorisme itu tidak pernah mendalami Islam sebagai bidang kajian, karena mereka tidak mengenal kultur/budaya santri itu. Sebagai akibatnya, lalu mereka langsung mengambil dari sumbersumber tertulis Islam (al-adillah al-naqliyyah), tanpa mengetahui deretan penafsiran yang sudah berjalan berabadabad untuk memahami kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Muhammad Saw melalui perubahan-perubahan penafsirannya. Inilah yang membuat mengapa Islam memahami toleransi dan menerima pluralitas, yang berujung pada penerimaan mayoritas Muslim di negeri ini akan Pancasila dan penolakan mereka atas negara Islam melalui penghapusan Piagam Jakarta dari UndangUndang Dasar (UUD) 1945.
Dalam keterangannya, penulis menyatakan bahwa di Indonesia masih terdapat kelompokkelompok kecil dalam gerakan Islam yang masih menginginkan adanya negara Islam. Namun, mereka selalu dikalahkan dalam setiap upaya formal dalam melakukan hal itu. Penulis tambahkan, ia memiliki keyakinan bahwa upayaupaya tersebut tidak akan pernah mencapai hasil karena tradisi kesantrian tersebut justru semakin berkembang, kini dan di masa depan, dalam bentuk kultural dan bukan dalam bentuk politik. Ini rupanya ditangkap oleh mereka yang bertemu dengan penulis dan, mudahmudahan, membuat mereka merasa aman dengan Islam.
eg
Sisi lain yang juga disinggung penulis, adalah kekhususan
g 343 h
Islam, khususnya di kawasan Asia Tenggara, yang mengembangkan pendidikan pesantren dengan nama bermacammacam, seperti pondok di MalaysiaThailandKamboja serta Madrasah di Philipina Selatan. Lembaga tersebut membuat prioritasnya sendiri, yang berbeda dari prioritas pendidikan yang di negara kita dikenal sebagai pendidikan umum. Pendidikan umum itu tidak memberikan tempat penting kepada etika/akhlak, dan sama sekali tidak menghiraukan pendidikan agama. Hal itu berakibat hilangnya pertimbangan moral dari pendidikan dan hanya mementingkan penguasaan ketrampilan dan pengetahuan belaka.
Sebenarnya, kalau ditinjau secara mendalam, sikap “garang” yang ditunjukkan berbagai gerakangerakan Islam yang kecil, dan sikap menggunakan kekerasan yang diperlihatkan berbagai elemen teroris di negara kita, bersumber pada kurangnya pengetahuan akan Islam itu sendiri. Dengan mencuatnya manifestasi lahiriyah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi “Barat”, mereka lalu menjadi ketakutan akan kekalahan Islam dari peradaban yang berteknologi maju. Ini tentu saja salah, karena peradaban adalah milik manusia secara keseluruhan. Akan terjadi proses perpindahan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu ke seluruh peradabanperadaban lain, termasuk peradaban Islam. Proses pergulatan antara kultur/budaya Islam dengan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu, tentu akan mengalami perubahan bentuk di lingkungan masyarakat Muslim. Inilah yang tidak pernah ditangkap mereka, hingga mereka melakukan perlawanan yang acapkali berbentuk kekerasan dan tindakan teror.
Ini semua, juga pernah dikemukakan penulis dalam ceramah Maulid Nabi Saw di halaman kantor harian umum Memo-randum di Surabaya, beberapa waktu yang lalu. Bahwa, perubahan sosial yang terjadi di Mesir, misalnya, dibawakan atau justru didorong oleh perubahan bahasa dan sastra Arab yang menjadi bahasa dan sastra nasional. Tanpa perubahan bahasa dan sastra Arab sebagai bahasa nasional, perubahan sosial di negeri itu tidak mungkin terjadi. Inilah jasa Dr. Thaha Husein (18891973)2
2 Sejak kecil Thaha Husein telah buta. Namun kondisi itu tidak menghalanginya untuk terus belajar. Setelah menyelesaikan studi di Universitas alAzhar dia menjadi pengajar di Universitas Mesir di Kairo. Tahun 1915 Husein pergi ke Perancis untuk studi selama 4 tahun. Di samping banyak menulis tentang sastra Arab, 1938 Thaha Husein menerbitkan buku berjudul Future of Culture in Egypt yang dinilai banyak orang sangat provokatif.
kEkuRanGan InFoRmasI
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 344 h
dan muridmuridnya. Sebaliknya, perubahan sosial juga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa dan sastra nasional, seperti dapat dilihat dalam perdebatan antara Sutan Takdir Alisyahbana dengan Sanusi Pane menjelang Perang Dunia II, walaupun tidak membawa perubahan apaapa pada bahasa dan sastra Arab di Indonesia. Ia tetap menjadi bahasa dan sastra tradisional yang dibawakan dalam tembang/sya’ir Arab yang demikian banyak ditampilkan di Indonesia kini, dengan iringan musik campuran antara yang lama dan yang baru. Ini terjadi, karena bahasa dan sastra Arab di negeri ini dianggap sebagai “bahasa dan sastra Islam”, karena memang tidak menjadi bahasa nasional. Sebab, bahasa dan sastra nasional kita berasal dari bahasa Melayu, seperti kita ketahui selama ini. Proses yang sangat menarik, bukan? h
g 345 h
Ulang tahun ke101 Mahatma Gandhi, bulan Oktober yang lalu dirayakan secara sederhana. Tokoh pejuang berkebangsaan India ini terkenal dengan ajaran yang me
nentang kekerasan (ahimsa) dan satyagraha, yang digunakannya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan secara damai bagi India dari tangan Inggris. Untuk itu, ia meninggalkan praktek hukum yang sangat menguntungkan di Afrika Selatan, dan kembali ke India untuk memimpin perjuangan kemerdekaan yang dilakukannya tanpa kekerasaan. Kita yang melakukan peperangan melawan Belanda dalam menuntut kemerdekaan, cenderung untuk meremehkan arti perjuangan damai yang me reka lakukan. Sikap inilah yang perlu kita ubah, agar tidak mewarnai hubungan kita dengan negerinegeri lain.
India, setelah perang kemerdekaan usai, ternyata menumbuhkan dua hal yang sangat penting, yaitu ketundukan kepada hukum dan berani mengembangkan identitas bangsa tersebut. Ketundukan kepada hukum itu tampak nyata dalam kehidupan seharihari, seperti ketika seorang tamtama polisi mencatat dalam buku catatannya halhal yang membuat ia menahan/menangkap seseorang. Setelah keterangan tertulis itu dibacakan kepada si tertangkap, maka ia diminta menandatangani “pra/berita acara polisi” itu, maka dokumen yang bertanda tangan warga itu, dijadikan pegangan untuk memeriksanya dengan teliti dan mengadilinya di pengadilan, kalau memang ia pantas dihukum.
Gandhi, Islam dan kekerasan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 346 h
Dengan kata lain, hanya orang yang memang ada indikasi kuat secara obyektiflah yang dapat ditahan, bukannya keterangan ok-num polisi tersebut. Karenanya warga negara India lebih banyak dilindungi oleh hukum, dibandingkan warga negara kita di negeri sendiri.
Namun, ini tidak berarti undangundang (law) di India sudah mencerminkan keadilan. Banyak undangundang yang dihasilkan Lok Sabha (Majelis Rendah Parlemen India), tidak menyelesaikan masalah hakhak anak dan perempuan, dan juga perlindungan kepada kerja paksa (bounded labour). Kedudukan pekerja paksa itu sangat rendah secara sosial, hal ini karena diperkuat oleh agama Hindu dengan sistem kastanya. Datanglah Gandhi dengan ajakan menciptakan masyarakat tanpa kasta, dan memandang mereka dari kasta terbawah (sudra) sebagai harijan (anak Tuhan). Ternyata, penolakannya atas kekerasan menumbuhkan rasa perikemanusiaan yang sangat dalam pada diri Gandhi. Dan ini pula, yang membuat orangorang Hindu fundamentalis/ekstrim membunuhnya pada tahun 1948.1
eg
Islam juga mengajarkan hidup tanpa kekerasan. Satusatunya alasan untuk menggunakan kekerasan, adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idzâ ukhirijû min diyârihim). Itupun masih diperdebatkan, bolehkah kaum Muslimin membunuh orang lain, jika jiwanya sendiri tidak terancam? Demikianlah Islam berjalan berabadabad lamanya tanpa kekerasan, termasuk penyebaran agama tersebut di negeri ini. Alangkah jauh bedanya dengan sikap sementara fundamentalis/teroris Muslim di manamana dewasa ini. Terjadi pergolakan berdarah di sementara daerah, seperti Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon, Maluku. Begitu juga, mereka yang berhaluan “garis keras” di kalangan berbagai gerakan Islam di sini, berlalulalang kiankemari membawa pedang, clurit, bom, granat serta senapan rakitan. Perbuatan itu jelas melanggar undangundang, tetapi tanpa
1Pada 30 Januari 1948, Gandhi dibunuh seorang lelaki Hindu bernama Nathuram Godse yang marah karena kepercayaan Gandhi yang menginginkan rakyat Hindu dan Muslim diberikan hak yang sama. Gandhi kemudian di kremasi di Taman Pahlawan Rajghat, Delhi.
g 347 h
ada tindakan apapun dari pemerintah. Bahkan beberapa dari mereka melakukan gerakan pember
sihan (sweeping) dan memberhentikan kendaraan untuk diperiksa sesuka hati. Pernah juga terjadi, dilakukan sweeping atas coffee house di Kemang, Jakarta, demi untuk menegakkan syari’ah Islamiyah di negeri ini. Anehnya, botolbotol sandy dipecahkan dibuang ke lantai, karena berharga murah, sebaliknya wishky dan vodka yang berharga mahal dibawa pulang dalam keadaan utuh, mungkin untuk dijual lagi. Sikap mendua yang materialistik ini memperkuat dugaan bahwa di antara para fundamentalis itu ada orangorang bayaran dari luar. Masalahnya, mengapakah para pemimpin berbagai gerakan tersebut tidak dapat mengendalikan anak buah mereka ?
Sikap menggunakan kekerasan itu, juga tidak sedikit didorong oleh berbagai produk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD I dan DPRD II) di berbagai kawasan, seperti di Sumatera Barat, Garut, Cianjur, Tasikmalaya dan Pemekasan yang berkecenderungan untuk memberlakukan syari’ah Islamiyah secara formal. Umpamanya saja dalam bentuk peraturan daerah, mereka ingin melambangkan kuatnya semangat untuk menolak tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syari’ah Islamiyah saat masa Orde Baru. Jadi, sebenarnya sikap itu tidak berbeda jauh dengan orangorang fundamentalis itu. Karenanya, sidang kabinet di waktu penulis masih menjadi Presiden memutuskan bahwa Peraturan Daerah (Perda) yang berlawanan dengan UndangUndang Dasar (UUD) dianggap tidak berlaku. Penulis beranggapan, keputusan para pendiri negara ini termasuk 7 (tujuh) orang pemimpin berbagai gerakan Islam, untuk memisahkan agama dan negara dengan menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, masih berlaku dan belum dicabut oleh siapapun.
eg
Lalu, mengapakah ada orangorang fundamentalis itu, yang umumnya terdiri dari orangorang muda yang terampil yang cakap secara teknis, namun tidak pernah jelas diri mereka secara psikologis? Jawabnya sebenarnya sederhana saja. Pertama karena orangorang itu melihat kaum Muslimin tertinggal jauh di belakang dari orangorang lain. Nah, “ketertinggalan” itu mereka kejar secara fisik, yaitu menggunakan kekerasan untuk mengha-
GandHI, Islam dan kEkERasan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 348 h
langi kemajuan materialistik dan duniawi itu. Mereka lebih mementingkan berbagai institusi kaum Muslimin, dan tidak percaya bahwa budaya kaum Muslimin dapat mendorong mereka untuk meninggalkan kelompokkelompok lain. Jika sudah mengutamakan budaya, maka nantinya “mengejar ketertinggalan” dengan cara penolakan atas “budaya Barat” akan dilupakan, karena kecakapan yang mereka miliki juga berasal dari “dunia Barat”.
Aspek kedua dari munculnya gerakangerakan fundamentalistik ini adalah proses pendangkalan agama yang menghinggapi kaum muda Muslimin sendiri. Mereka kebanyakan adalah ahli matematika dan ilmuilmu eksakta lainnya, para ahli ekonomi yang penuh dengan hitunganhitungan rasional dan para dokter yang selalu bekerja secara empirik. Maka dengan sendirinya tidak ada waktu bagi mereka untuk mempelajari agama Islam dengan mendalam. Karenanya, mereka mencari jalan pintas dengan kembali kepada sumbersumber teksual Islam seperti alQur’ân dan Hadits, tanpa mempelajari berbagai penafsiran dan pendapatpendapat hukum yang sudah berjalan berabadabad lamanya.
Karena itulah, mereka mencukupkan diri dengan sumbersumber tekstual yang ada. Karena mereka biasa menghafal vademecum berbagai nama obatobatan dan bendabenda lain, maka dengan mudah mereka menghafal ayatayat dan haditshadits dalam jumlah besar yang menimbulkan kekaguman orang. Karena sumbersumber tertulis itu diturunkan dalam abad ke7 sampai ke8 masehi di Jazirah Arab, tentu dibutuhkan penafsiran yang kontemporer dan bertanggung jawab untuk memahami kedua sumber tertulis di atas. Tetapi karena pengetahuan mereka yang sangat terbatas tentang Islam membuat mereka fundamentalis. Akibatnya bagi kaum Muslimin lainnya dan bagi seluruh dunia pula sangat drastis. Tindak kekerasan yang sudah biasa mewarnai langkahlangkah mereka, dianggap oleh masyarakat dunia sebagai ciri khas gerakan Islam. h
g 349 h
Dalam sebuah diskusi yang diselengarakan FES (Friedrich Ebert Stiftung) di Singapura barubaru ini, dalam sessi pertama para peserta membicarakan konsep Samuel
Huntington tentang perbenturan antar budaya (clash of civiliza-tions). Yang menggemparkan, beberapa peserta membicarakan konsep itu sebagai landasan pembenaran bagi pendapat adanya para teroris dari kelompok Islam, walaupun sebenarnya Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) menolak penggunaan kekerasan termasuk terorisme dalam menentang modernitas. Mengemukakan Islam sebagai jalan hidup adalah sesuatu yang wajar, karena perbedaan pandangan dalam cara hidup itu diperkenankan, yang tidak dapat diterima adalah perpecahan/pertentangan yang timbul karenanya. Dengan demikian penggunaan kekerasan (terorisme) harus ditolak.
Seorang peserta mengemukakan, bahwa di sini terjadi sebuah proses sangat menarik. Sebagai upaya pemberagaman, bukankah universalitas konsep Samuel Huntington justru harus ditolak? Bukankah yang kita inginkan, justru konsep Huntington itu hanya merupakan kekhususan? Dimanakah batasan antara yang umum dan yang khusus sehingga tidak ada keraguan lagi mengenai konsep Huntington itu? Penulis menanggapi pernyataan itu dengan mengemukakan, bahwa tidak ada pertentang
Berbeda tetapi tidak Bertentangan1
1 Dalam diskursus pesantren ditemukan adanya istilah Ikhtilaf at-Tanawwu’ (berbeda yang bersifat variatif) dan Ikhtilaf atTadlad (berbeda yang bersifat kontradiktif). Yang perlu dikedepankan adalah Ikhtilaf a-Tanawwu’ yang akan menghantarkan bagaimana bersikap dengan mengacu pada relativisme internal.
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 350 h
an antara yang khusus dan yang umum. Duaduanya berjalan seiring, tapi pemaksaan yang umum dengan menghilangkan yang khusus itulah yang justru harus ditolak. Dengan demikian kita menolak konsep Huntington itu dengan tidak mengingkari haknya untuk menyatakan konsepkonsep.
Di sinilah sebenarnya terletak kepemimpinan yang diharapkan, yaitu yang dapat menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa penolakan suatu konsep adalah hal umum, namun dapat menjadi pendapat dominan dalam sebuah masyarakat. Dengan demikian cara hidup kaum Muslimin dapat ditegakkan, dengan tidak usah melanggar hak siapapun. Jadi yang harus ditolak adalah pemaksaan itu sendiri, bukannya sikap ingin memberlakukan sebuah cara hidup. Inilah arti penolakan terhadap penetapan agama sebagai ideologi negara, dan arti ini sangat dalam bagi gagasan pemisahan agama dari negara.
eg
Sikap para peserta untuk menolak pemaksaan sesuatu konsep, benarbenar merupakan sebuah hal yang sangat menggembirakan. Dengan sikap para intelektual, politisi, dan jurnalis Timur dan Barat itu, menjadi jelas bahwa konsep Huntington itu diperiksa bersamasama secara teliti dan terbuka. Diakui bahwa Huntington menggunakan standar ganda dalam menyusun konsep itu. Tetapi ia juga mengingatkan kita kepada perbedaanperbedaan yang harus dihargai, antara berbagai sistem budaya. Ini justru menimbulkan harapan besar, akan masa depan umat manusia. Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengajukan konsep “Berakhirnya Sejarah” (The End of History), konsep ini membenarkan sikap pemerintah Amerika Serikat memiliki wewenang menjadi “polisi dunia” (policeman of the world). Juga berarti ia mempunyai hak untuk campur tangan dalam masalah dalam negeri orang lain.
Sikap yang membenarkan pelanggaran wewenang oleh Amerika Serikat atas negaranegara lain, sangat bertentangan dengan pendapat Republik Rakyat Tiongkok (RRT). RRT berpendapat pengeboman atas sebuah negara harus diputuskan secara multilateral oleh PBB, dan berdasarkan buktibukti yang kuat. Ini dapat diartikan negara itu menolak “hakhak” Amerika Serikat untuk melakukan pengeboman atas Afghanistan dan
g 351 h
Irak sebagai negeri yang berdaulat. Bahkan RRT berpendapat, tindakan Amerika Serikat itu hanya berdasarkan kepada pertimbanganpertimbangan geopolitis yang belum tentu benar.
Sudah tentu, kita sangat berkepentingan dengan konsep Huntington itu. Bukankah di negeri kita juga ada terorisme —untuk “melawan” kebudayaan Barat—, yang dituduh menjadi bagian dari terorisme internasional. Pembenaran anggapan bahwa budaya Islam ataupun budaya bangsabangsa berkembang bertentangan dengan “budaya Barat”, adalah pembenaran bagi teroris yang merasa budaya Islam harus lebih unggul dari pada budaya Barat. Mungkin saja pendapat ini di dasarkan pada hadits “Islam harus diunggulkan atas (caracara hidup) yang lain” (al-Islâm ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaih). Secara tersamar Huntington menyimpulkan ada keterpisahan antara budaya Islam –budaya non Barat— dengan budaya Barat. Justru itulah yang menjadi keberatan penulis dan temanteman karena menyiratkan adanya perbenturan.
eg
Asal pandangan yang menganggap Islam sebagai cara hidup memiliki keungulan atas caracara hidup lain, sebenarnya tidak salah. Setiap orang tentu menganggap sistemnya sendiri yang benar. Karena itu perbedaan cara hidup adalah sesuatu yang wajar. Ini termasuk dalam apa yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân : “Dan telah Ku buat kalian berbangsa-bangsa dan bersukusuku bangsa, agar kalian saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban waqabâila li ta’ârafû)” (QS alHujurat (49):13). Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita, sehingga tidak perlu ditakuti. Kenyataan inilah yang mengiringi adanya perbedaan kultural (dan juga politik) antara berbagai kelompok Muslimin yang ada kawasankawasan dunia.
Yang dilarang oleh agama Islam adalah perpecahan, bukannya perbedaan pendapat. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan ; “Berpeganglah kalian pada tali Allah, dan jangan terpecahpecah (wa’tashimû bi hablillâh jamîan wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Imran (3): 103). Dengan demikian, perbedaan diakui namun perpecahan/keterpecahbelahan ditolak oleh agama Islam. Padahal para teroris yang mengatasnamakan Islam, justru menolak per
bERbEda tEtaPI tIdak bERtEntanGan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 352 h
bedaan pandangan/pendapat itu. Jika pandangan ini diterima, maka artinya akan menjadi, agama Islam memerintahkan terorisme. Padahal agama tersebut memperkenankan pengunaan kekerasannya, hanya jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka, (idzâ ukhrijû min diyârihim). Jadi di sini ada pertentangan antara pendirian sebagian sangat kecil kaum Muslimin dengan ajaran agama mereka.
Ada sesuatu yang sangat menarik dalam membandingkan ajaran Islam dengan konsep perbenturan budaya dari Huntington itu. Penolakan atas konsep Huntington tersebut, berarti juga penolakan teoritis atas terorisme dan penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian sangat kecil kaum Muslimin. Menurut penulis, baik konsep ataupun pandangan tersebut berasal dari suatu hal yang sama: rasa rendah diri yang ditutupi dengan kecongkakan sikap. Konsep dan pandangan tersebut sangat mengganggu saling pengertian antara kekuatan jiwa dari budayabudaya yang saling berbeda dalam kehidupan umat manusia dewasa ini. h
g 353 h
BAB VIIISLAM PERDAMAIAN
DAN MASALAH INTERNASIONAL
g 355 h
Penulis diundang oleh UNESCO ke Paris, pada Mei 2003, untuk menyampaikan pidato pembukaan (keynote ad-dress) dalam sebuah konferensi mengenai pemerintahan
yang baik (good governance) dan etika dunia (global ethics), yang diadakan antara kaum Budhis dan Muslimin. Konferensi itu dimaksudkan untuk mencari jembatan antara agama Islam, yang mewakili agamaagama Ibrahim dan Budhisme yang mewakili agamaagama di luar tradisi Ibrahim.
Dalam kesempatan itu juga, penulis diminta berbicara mengenai asalusul (origins) terorisme bersenjata yang sedang melanda dunia saat ini. Diharapkan pidato pembukaan itu akan mewarnai dialog tersebut, yang juga dihadiri oleh delegasi dari Persekutuan GerejaGereja Eropa, wakil dari pimpinan agama Yahudi, Gereja Kristen Orthodox Syria, wakil agama Hindu dan sebagainya. Dari kalangan agama Budha sendiri, hadir Dharma Master HsinTao dari Taiwan dan Sulak Sivaraksa dari Thailand, di samping David Chappel dari University of California di Los Angeles.
Pertemuan tersebut adalah yang ketiga kalinya, antara sebagian kaum Budhis dan kaum Muslimin (termasuk dari Tunisia, Maroko, Saudi Arabia, Sudan, Tanzania dan sejumlah pemuka kaum Muslimin lainnya). Pertemuan pertama terjadi tahun lalu di sebuah Hotel di Jakarta, disusul pertemuan di New York dan disudahi dengan pertemuan di Kuala Lumpur (dengan Dr. Chandra Muzaffar sebagai tuan rumah). Dari pertemuanpertemuan tersebut, diharapkan kelanjutan hubungan antara kaum Muslimin dan Budhis, disamping juga akan dilaksanakannya se
kita dan Perdamaian
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 356 h
buah konferensi besar antar kepala negaranegara berkembang (developing countries) di Bandung, untuk merayakan 50 tahun konferensi AsiaAfrika pertama —Bandung I— pada tahun 2005 kelak. Agendaagenda Konferensi Bandung II harus ditetapkan tahun ini, untuk mempersiapkan peringatan itu sendiri di Jawa Barat pada waktunya nanti. Hal ini diperlukan, guna mencari alternatif bagi dominasi Amerika Serikat dan sekutusekutunya dalam dunia internasional (seperti terbukti dari seranganserangan atas Afghanistan dan Irak), tanpa harus berkonfrontasi dengan negara adi kuasa tersebut.
Timbulnya sikap menolak dengan cara konfrontatif itu, karena tidak dipikirkan dengan mendalam dan jika hanya dilakukan oleh sebuah negara saja. Terbukti dengan adanya rencana “politik luar negeri” Indonesia yang konyol –seperti keputusan untuk (pada akhir tahun 2003 ini) keluar dari keanggotaan Dana Moneter Internasional (International Monetary Funds). Pada saat menjadi Presiden, penulis bertanya pada seorang ekonom raksasa dari MIT (Massachusset Institute of Technology), Paul Krugman. Ia menjawab, sebaiknya Indonesia jangan keluar dari keanggotaan badan internasional tersebut. Paul Krugman yang juga pengkritik terbesar lembaga itu menyatakan pada penulis, hanya negara dengan birokrasi kecil dan bersih yang dapat keluar dari IMF secara baik, sedangkan birokrasi Indonesia sangatlah besar dan kotor.
eg
Dalam pidato pembukaan itu, penulis menyatakan bahwa etika global dan pemerintahan yang baik (good governance) hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional. Ini berarti, negara adikuasa manapun harus memperhatikan kedua prinsip ini. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu harus mendapat perhatian utama. Pidato pembukaan itu, mendapatkan jawaban dan tanggapan sangat positif dari berbagai pihak, termasuk Dharma Master HsinTao (Taiwan) yang mewakili para pengikut agama Budha. Tanggapan yang sama positifnya juga disampaikan oleh Wolfgang Smiths dari Persekutuan GerejaGereja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari Jerusalem.
g 357 h
Penulis menyatakan pentingnya arti kedaulatan hukum, karena di Indonesia dan umumnya negaranegara berkembang, hal ini masih sangat langka. Justru pada umumnya pemerintahan mereka bersifat korup, mudah sekali melakukan pelanggaran hukum dan di sini konstitusi hampirhampir diabaikan. Perintah kitab suci al-Qur’ân: “Wahai kaum Muslimin, tegakkanlah keadil-an dan jadilah saksi bagi Tuhan, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yâ ayyuha alladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisthi syuhadâ’a li allâhi walau ‘alâ anfusikum) (QS alNisa [4]:135), ternyata tidak dipatuhi oleh umat Islam sendiri. Yang lebih senang dengan capaian duniawi yang penuh ketidakadilan, dengan meninggalkan ketentuanketentuan yang dirumuskan oleh kitab suci agama mereka sendiri.
Dalam pidato pembukaan tersebut penulis menyatakan, agar keadilan menjadi sifat dari etika global dan pemerintahan yang baik (good governance). Itu didasarkan pada pengamatan bahwa sebuah negara adikuasa, seperti Amerika Serikat dapat saja melaksanakan dominasi yang hanya menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan kepentingan negaranegara lain. Ini terbukti dari serangannya atas Irak, yang terjadi dengan mengabaikan sikap Dewan Keamanan (DK) PBB.
Penulis berpendapat jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein tidak dapat ditangkap, maka tentu rakyat AS akan ribut minta tentara mereka ditarik dari Irak. Dan perdamaian di negeri Abu Nawas itu harus ditegakkan melalui perundingan damai. Dengan kata lain, perubahan berbagai sistem (termasuk sistem politik dan pemerintahan) di Irak harus dilakukan tanpa melalui paksaan. Kalau tidak, pemerintah apapun yang akan menggantikan Saddam Hussein akan dianggap sebagai pemerintahan boneka oleh rakyat Irak sendiri. Kenyataan inilah yang harus dipahami oleh semua pihak, termasuk AS. Dengan demikian, apa yang sejak berbulanbulan ini diusulkan penulis, yaitu perdamaian di Irak harus dikaitkan langsung dengan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel, semakin menjadi relevan.
eg
Sebagai bagian dari pembentukan etika global dan pemerintahan baik (good governance) itu, tentu diperlukan adanya kampanye besarbesaran untuk membentuk pengertian yang
kIta dan PERdamaIan
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 358 h
mendalam atas kedua hal tersebut. Di sinilah terletak peranan para agamawan dan moralis dunia, dengan didukung oleh lembagalembaga internasional seperti UNESCO. Karena itu tindakan sendirisendiri dalam pembentukan pendapat dunia, mengenai etika global dan pemerintahan baik itu, tidak dapat dibenarkan karena diragukan keberhasilannya. Harus ada dialog terusmenerus antara berbagai kalangan bangsa, terutama antara para teoritisi dan para penerap nilainilai di lapangan. Di sinilah terasa betapa pentingnya arti dialog seperti yang telah diselenggarakan oleh UNESCO di Paris itu. Minimal, bagi berbagai pihak di luar lingkup negara, dapat melakukan pembicaraan mengenai nilainilai global yang ingin kita tegakkan dalam pergaulan internasional. Dengan pertemuan antar berbagai agama tadi, masingmasing pihak akan saling belajar dan menimba sumbersumber spiritual, dalam membentuk pandangan hidup di masa depan.
Kesadaran seperti ini, mulai muncul akibat merajalelanya sinisme yang dibawa oleh “pertimbanganpertimbangan politik global” (global political considerations) dan akhirnya menjadi satusatunya alat pertimbangan. Pertimbangan itu —dalam kerangka kajian strategis disebut sebagai “geopolitical considera-tions”—, hanya melahirkan kepentingan antara negaranegara adikuasa (super-powers) saja, akibatnya tentu akan melumpuhkan negaranegara yang bukan adikuasa. Apalagi setelah UniSoviet berantakan, maka hanya tinggal sebuah negara adikuasa yang memaksakan kehendak dan menginjakinjak hukum internasional untuk kepentingannya sendiri. Contohnya adalah penyerbuan AS atas Irak, dengan mengesampingkan peranan PBB melalui Dewan Keamanan.
Di masa depan, tentu saja hal ini akan membawakan reaksi berupa sederet tuntutan dari negaranegara berkembang akan sebuah tatanan yang lebih berimbang secara internasional, antara negara industri maju (developed countries) dengan negara berkembang (developing countries). Dalam penyusunan tatanan baru seperti itu, tentu saja etika global dan pemerintahan yang baik harus memperoleh perhatian khusus, baik untuk acuan kerangka baru yang hendak didirikan maupun untuk mengendalikan perubahan perubahan yang bakal terjadi.
Karena itu dialog terusmenerus akan kedua hal itu harus dilakukan, termasuk pertukaran pikiran mengenai peranan spiritualitas manusia. Dialog antara para pemeluk berbagai agama,
g 359 h
seperti yang diselenggarakan di Paris tersebut, tentulah sangat menarik bagi kita. Pemaparan pengalaman pribadi dan pikiran dari para pemimpin agama, seperti Dharma Master Hsin Tao dari Taiwan, tentu saja harus menjadi bagian integral dari dialog semacam itu. h
kIta dan PERdamaIan
g 360 h
Pada akhir Februari hingga awal Maret 2003 ini, penulis berada di Washington DC, Amerika Serikat (AS), guna menghadiri sebuah konferensi perdamaian untuk kawasan
Timur Tengah. Undangan sebagai peserta konferensi, diberikan oleh IIFWP (Interreligious and International Federation for World Peace, Federasi Internasional Antar Agama untuk Perdamaian Dunia), yang berkedudukan di New York. Mengapakah penulis jauhjauh mengikuti konferensi tersebut, padahal hampir setiap hari demonstrasidemonstrasi di tanah air, menuntut turun/lengsernya pasangan MegawatiHamzah Haz? Penulis memutuskan pergi ke negara Paman Sam itu, karena dua alasan. Pertama, karena perkembangan dalam negeri baru mencapai titik kulminasi setelah minggu kedua bulan Maret 2003. Kedua, karena persiapanpersiapan perang yang dilakukan oleh AS dan Inggris sudah berjalan sangat jauh, saat tulisan ini dibuat pengiriman 198.000 pasukan AS dan 40.000 tentara Inggris ke kawasan tersebut, berarti pencegahan perang lebih terasa urgensinya di kawasan Timur Tengah saat ini.
Tentu ada orang yang berpendapat, sikap gila dalam pendirian penulis, karena menilai saat ini justru saat yang paling baik untuk memulai sebuah inisiatif baru guna mencari titik perdamaian abadi bagi kawasan Timur Tengah. Bukankah persiapan negara adi kuasa AS dan sekutunya Inggris Raya, merupakan petunjuk tak terbantahkan akan adanya perang yang
Perdamaian Belum terwujuddi timur tengah
g 361 h
sudah berjalan sangat jauh, hingga tidak dapat dihentikan? Bukankah pertimbanganpertimbangan geopolitik telah memaksa AS dan para sekutunya untuk menggunakan perang sebagai “alat pemaksa” atas Irak? Jawabannya, adalah bahwa dapat dibenarkan ucapan ahli strategi perang Jerman Von Clausewitz, bahwa “perang adalah kelanjutan dari diplomasi/perundingan yang gagal”. Dalam pandangan penulis, sikap negaranegara besar seperti Jerman, Perancis, Rusia dan Tiongkok menunjukan, bahwa upayaupaya diplomatik tetap memiliki relevansi yang besar, dalam mencari solusi damai atas masalah Timur Tengah. Karenanya, dari sekarang sampai dengan terjadinya secara aktual pemboman atas Irak, dapat dikatakan peluang bagi perdamaian di kawasan itu tetap terbuka.
Kitapun sudah terbiasa menghadapi kenyataan, bahwa penyelesaian sebuah konflik didapati hanya pada akhir sebuah proses yang panjang, dihadapan persiapanpersiapan “penuh kekerasan”, yang dalam bahasa asing disebut “merebut kemenangan dari gigitan musuh di saatsaat terakhir” (to grab peace from the jaw of war). Namun, hal itu tidak akan tercapai, apabila dua buah tindakan tidak diambil pada waktu yang bersamaan. Pertama, adanya sebuah forum yang untuk kesekalian kalinya membicarakan dan kemudian menetapkan upaya terakhir yang harus dijalankan untuk menyelesaikan konflik secara damai. Kedua, begitu keputusan diambil, harus segera ditunjuk orang yang melaksanakannya, dalam waktu yang begitu sempit.
Dengan dua persyaratan itulah, baru ada harganya untuk “menggunakan kesempatan dalam kesempitan”. Kesempatan menegakkan perdamaian abadi di kawasan tersebut, dan menggunakan kesempitan menghadapi kenyataan pahit di kawasan tersebut.
eg
Penulis mengajukan dalam pidato pembukaan di konferensi itu, bahwa perdamaian abadi di Timur Tengah hanya dapat dicapai, kalau penyelesaian damai atas konflik Israel-Palestina dikaitkan dengan perdamaian di Irak. Perdamaian antara Israel–Palestina dapat dicapai dengan dihentikannya persiapan–persiapan untuk melakukan pemboman dan pengiriman pasukanpasukan ke negara Abu Nawas itu. Dengan demikian, penyelesaian
PERdamIan bElum tERWujud dI tImuR tEnGaH
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 362 h
konflik Israel-Palestina akan membawa perdamaian di Timur Tengah secara keseluruhan. Demikian pula, upaya perdamaian dapat dilakukan dengan dihentikannya pemboman atas Irak.
Jika ternyata hal itu tidak membawa hasil, maka ucapan Von Clausewitz di atas harus diteruskan dengan ungkapan “perundingan/negosiasi adalah kelanjutan dari peperangan yang gagal”. “Kegagalan peperangan” atas Irak akan terjadi, jika Presiden AS, George Bush Jr. gagal menangkap Saddam dalam waktu yang cepat. Mengapa? Karena rakyat AS tidak akan bersedia membiayai peperangan untuk jangka waktu yang lama, walaupun negara tersebut telah mencapai kekayaan berlimpahlimpah dan memiliki persenjataan yang sangat canggih yang juga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk digunakan. Dikombinasikan dengan demonstrasi di manamana termasuk di AS dan Inggris, untuk tidak menyelesaikan konflik tersebut dengan kekerasan, maka dapatlah diperhitungkan peperangan akan terhenti dengan sendirinya.
Kalau Saddam Hussein tidak juga segera tertangkap oleh musuhmusuh politiknya, maka untuk menolong “muka” ASInggris dan Israel, —upaya ini dilakukan agar tidak membuat peperangan berjalan lama— diperlukan langkahlangkah untuk mencapai dua pemecahan (solusi). Caranya adalah dengan mencapai kesepakatan antara ke empat pihak (AS, Inggris, Israel dan Irak), yang berlanjut dengan penghentian tindaktindak militer di kawasan IsraelPalestina dan Irak. Digabungkan dengan melakukan halhal berikut. Pertama, dengan memperkuat negara Palestina merdeka, melalui pemberian bantuan keuangan berupa kredit murah berjangka panjang bagi negara itu, katakanlah sebesar 1 miliar dolar AS. Karena dengan bantuan seperti itu, kebangkitan industri dan perdagangan Palestina akan terjadi sangat cepat, apabila para pemimpin Palestina mampu menciptakan pemerintahan yang bersih di masa depan. Kedua, untuk menghindari perang, —ini paling pahit dan sulit dilaksanakan— mengusahakan agar Saddam Hussein lengser dari jabatan kepresidenan secara sukarela, untuk memungkinkan tercapainya negara Palestina yang kuat secara industrial/komersial dalam waktu cepat.
eg
g 363 h
Untuk memungkinkan tercapainya hal tersebut di atas, yaitu “menolong posisi” Israel dan Amerika SerikatInggris dalam percaturan politik internasional, maka diperlukan seorang penengah yang bersedia mondarmandir ke AS, Inggris, Israel, Palestina, Libya, Irak dan negaranegara lain di Timur Tengah. Dengan demikian, sikap untuk menentang atau mendukung posisi Israel dan Amerika SerikatInggris dalam kedua hal tersebut, harus dibaca sebagai sikap permulaan (initial attitudes), yang dapat saja berubah karena perkembangan keadaan. Sedangkan peranan “negotiator” (juru runding) itu, kalau tidak dilakukan oleh seseorang secara pribadi (seperti disebutkan di atas), dapat saja dilakukan oleh sekelompok orang (institusi/group). Hal itu telah dilakukan dalam kasus Aceh oleh Henry Dunant Center, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang berkedudukan di Geneva.
Agar tercapai perdamaian abadi di kawasan itu, kesungguhan sikap negaranegara yang terlibat, maupun kegigihan sang negosiator sangatlah diperlukan. Karenanya, negosiator tersebut haruslah memperoleh dukungan kuat dari siapapun, dalam bentuk bantuan logistik maupun kemudahankemudahan yang lain. Kalau tugas itu dibebankan pada seseorang, haruslah dipastikan orang tersebut memiliki stamina yang sangat prima, dibantu oleh dua orang asisten yang bekerja terusmenerus selama beberapa bulan. Tentu saja, peranan seperti itu akan sangat menarik hati siapapun, hingga banyak yang ingin melakukannya. Tetapi, tentu saja tidak setiap orang (termasuk para diplomat dan para negarawan) mampu untuk melaksanakannya. Ada sebuah persyaratan lain yang sangat penting dalam hal ini; negosiator itu haruslah dipercaya oleh semua pihak yang terlibat, yang juga membawa “kelayakan” bagi seorang muslim untuk tugas tersebut.
Itulah sebabnya, mengapa penulis bergairah untuk datang ke Washington DC. Pertama, untuk mengemukakan pendapatnya, bahwa sampai titik terakhir sekalipun, harus diupayakan penyelesaiaan damai (peaceful settlement) yang bersifat permanen untuk kawasan Timur Tengah. Kedua, untuk bertemu dan menyampaikan beberapa hasil pemikiran pada negosiator yang dipilih atau ditunjuk oleh konferensi di ibu kota negara tersebut. Konferensi yang diselenggarakan di sebuah hotel di Washington, yang dari dalam ruangannya masih dapat terlihat bekasbekas serangan ke gedung Pentagon pada tragedi 11 September 2001 itu,
PERdamIan bElum tERWujud dI tImuR tEnGaH
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 364 h
diharapkan menjadi forum dengan kewibawaan sangat tinggi (prestigious body) dalam lingkup politik dunia. Di samping itu, penulis juga dapat memenuhi undangan berceramah pada Universitas Michigan di Ann Arbor dan disamping check up medis di Boston General Hospital. Perjalanan menarik walaupun sangat melelahkan. h
g 365 h
Peperangan di Irak telah terjadi, dengan dilemparnya ratusan buah peluru kendali dari sejumlah alat perang Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Bagi sementara orang, perang
itu disebut sebagai penyerbuan (invasi), karena kekuatan militer yang sangat tidak berimbang antara kedua belah pihak. Pada waktu penulis berada di Ann Arbor, di kalangan kampus Universitas Michigan, seorang hadirin bertanya; —mengenai terjadinya penyerbuan AS ke Irak, namun seorang peserta lain segera melakukan koreksi; —bukan penyerbuan AS, melainkan penyerbuan George W. Bush Junior. Ini menunjukkan bahwa penentangan terhadap perang itu berjumlah sangat besar, termasuk oleh pemerintah kita. Bahkan tiga negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan BangsaBangsa (PBB) –yakni, Perancis, Rusia, dan RRT menentangnya. Artinya Bush melakukan penyerbuan dengan tidak ada izin dari DKPBB, yang membawa krisisnya sendiri —minimal krisis kredibilitas bagi PBB.
Bush selalu menyatakan keinginannya untuk menghilangkan “semangat kejahatan” (evil spirit), dengan jalan menurunkan Saddam Hussein dari kursi kepresidenan Irak. Dengan demikian, ia berusaha menegakkan pemerintahan demokratis yang kuat di Irak. Tetapi banyak orang meragukan niatan Bush itu, karena terlihat pertimbanganpertimbangan geopolitik juga ada dalam memutuskan penyerangan atas Irak itu. Karena tampaknya Saudi Arabia —yang merupakan penghasil minyak terbesar di dunia— dalam kasus IsraelPalestina, telah meninggalkan ke
dicari Perdamaian,Perang yang didapat
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 366 h
bijakan politik luar negeri AS. Dengan demikian, peranan negeri itu haruslah diimbangi dengan negeri penghasil minyak terbesar kedua di dunia, yaitu Irak. Karena Irak masih diperintah oleh Saddam Hussein, dengan sendirinya iapun harus diganti dengan orang lain, yang lebih “terbuka” bagi tekanantekanan politik luar negeri AS, berarti Irak harus diserang. Ada pula orang yang menganggap faktor psikologis tidak boleh dilupakan dalam hal ini, yaitu Presiden Bush muda (Junior) harus memenangkan perang terhadap Saddam Hussein, yang telah menggagalkan “kemenangan” Presiden Bush tua (Senior). Benartidaknya semua argumentasi tadi, cukup beralasan untuk diajukan dalam perdebatan pendapat tentang penyerbuan ke Irak itu. Kalau memang benar adanya, maka AS dan sekutunya harus mengakhiri perang.
Jelas, Irak harus menemukan jalannya sendiri kepada kemajuan dalam pembangunan ekonomi, maupun dalam menemukan identitas sendiri, seperti diharapkan oleh banyak kalangan. Sebagaimana halnya dengan Chun DooHwan1 di Korea Selatan, yang pada akhirnya menjadi biarawan Budha, dan dengan demikian tidak dituntut oleh pengadilan di sana, sebagai bagian penting dari rekonsiliasi nasional ala Korea, maka tentu Irak pun akan menemukan caranya sendiri akan rekonsiliasi nasional tanpa campur tangan AS.
eg
Gempuran militer atas Irak itu tentu saja menimbulkan reaksi keras cukup besar di seluruh dunia. Sebuah negara adikuasa telah memaksakan kehendak kepada dunia, melalui penafsirannya sendiri atas perkembangan yang terjadi di dunia ini, dengan alasanalasannya sendiri yang berbeda dari pendapat resmi DKPBB, jelas telah membuka lembaran buruk dalam tata hubungan internasional.
Banyak juga orang memuji keberanian “moral” Bush
1 Penguasa rezim militer Korea Selatan 19801988 ini divonis mati oleh pengadilan kriminal Korsel pada 26 Agustus 1996. Chun terbukti melakukan korupsi dan menerima suap ratusan juta dollar AS, menjadi dalang kudeta militer tahun 1979 dan tokoh utama dalam pembantaian para demonstran prodemokrasi di Kwangju bulan Mei 1980. Namun setelah dua tahun mendekam di penjara, presiden berkuasa Kim Young Sam (19931998) dan penggantinya Kim Dae Yung (19982003), memberikan amnesti kepadanya.
g 367 h
dalam hal ini. Tetapi, ada juga yang menyatakan, hancurnya kredibilitas PBB dan tata hukum internasional yang obyektif. Dampaknya, memungkinkan sebuah negara di Afrika untuk menyerbu tetangganya dengan alasan yang dicaricari. Jika ini yang terjadi, dapatkah AS mengerahkan kekuatan militer di seluruh dunia pada saat bersamaan? Inilah yang mengkhawatirkan para pengamat itu: hubungan internasional atas dasar penafsiran sepihak, tanpa ada pembenaran formal dari DKPBB, tidak dapat menjamin menetapnya perdamaian dan ketentraman dunia.
Di harihari pertama penyerangan atas Irak tersebut, tentu sajian televisi CNN selalu menggambarkan tentang keperkasaan AS.2 Setelah dua hari “membatasi diri” dalam penyerangan tersebut, di hari ketiga kekuatan militer AS yang demikian dahsyat digelar dengan kekuatan penuh. Sebagian Irak selatan telah “dibebaskan” dari Saddam Hussein. Pasukanpasukan kavaleri AS dari kawasan Kuwait menerobos dengan mudah wilayah Irak selatan, dan dalam hal ini kecepatan yang luar biasa dari pasukanpasukan kavaleri AS dan para marinir Inggris sangat mengagumkan. Dalam waktu sebentar saja, tanpa perlawanan berarti, pasukanpasukan Irak dengan mudah begitu saja menyerah tanpa syarat. Karena itulah, dapat saja segera diajukan klaim “kemenangan” AS dan sekutusekutunya ditambah dengan pasukanpasukan AS yang tergabung dalam bala tentara Kurdi di sebelah utara Irak, jelas bahwa Baghdad dijepit dari utara dan selatan. Dengan demikian, kejatuhan Baghdad tinggal menunggu waktu saja.
Benarkah sikap menganggap AS telah memenangkan pertempuranpertempuran tersebut? Penulis justru menganggapnya sebagai permulaaan dari sebuah proses yang sangat panjang, jika AS tidak dapat menangkap Saddam Hussein dalam waktu beberapa bulan yang akan datang ini, maka sikap rakyat Irak akan berubah dengan cepat. Sikap yang selama ini diperlihatkan, paling tidak akan berubah menjadi sikap menolak secara
2 Sebuah riset yang dilakukan selama tiga minggu antara bulan MeiJuni 2003 terhadap acara berita malam utama di enam stasiun televisi Amerika Serikat yaitu ABC, CBS, NBC, CNN, FOX, PBS menunjukkan: 64% waktu tayang tersebut menghadirkan narasumber dari kelompok pendukung perang. Hanya 10% bagi kelompok antiperang. Bahkan, khusus FOX News, 81% diberikan untuk narasumber pendukung perang (Lihat: Amy Goodman & David Goodman, Perang Demi Uang, 2004).
dIcaRI PERdamaIan PERanG yanG dIdaPat
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 368 h
psikologis serangan demi serangan AS itu. Sikap seperti ini, jelas didukung oleh mayoritas bangsabangsa dan negaranegara di dunia. Jelas yang harus diperbuat oleh Saddam Hussein adalah menghindari penangkapan atas dirinya. Selebihnya, akan “diselesaikan dengan cara damai dan dengan perundingan”. Jika Von Clausewitz menyatakan, perang adalah penerusan perundingan yang gagal, maka dapat kita katakan, perundingan damai adalah penerusan dari peperangan yang tidak mencapai maksudnya.
eg
Inilah kemungkinan buruk yang tidak diperhitungkan jauh sebelumnya oleh Bush, yang hanya mengandalkan kemarahan kepada Saddam Hussein saja. Sikap seperti ini memang dapat saja membawa hasil cepat yang menguntungkan, tetapi dapat juga berakibat sebaliknya. Penulis memandang rakyat AS tidak akan mau berperang lamalama melawan siapapun. Karenanya, sangat ris kan melakukan penyerbuan besarbesaran atas negeri lain dalam tatanan dunia sekarang ini. Di sinilah letak arti penting dari peranan sebuah lembaga internasional —seperti PBB—. Paling tidak, persetujuan PBB merupakan pembenaran formal atas apapun yang dilakukan oleh seluruh negara atas negara yang lain. Jika kenyataan ini diabaikan, tidaklah menjadi soal jika sukses yang diperoleh, tapi jika sebaliknya, akan runtuhlah kewibawaan AS di mata negaranegara lain yang kecil.
Jika AS gagal menangkap Saddam Hussein, dan terpaksa berperang untuk jangka panjang, maka segera tindakan itu harus dihentikan, karena tuntutan rakyat Amerika Serikat sendiri yang tidak mau berperang lamalama. Jika ini terjadi, maka mau tidak mau harus dicari formula persetujuan damai atas Irak. Banyak masalah terkait dengan hal itu, tetapi jelas perundingan merupakan penyelesaian terbaik. Dalam hal ini, penulis meminta agar supaya penyelesaian damai di Irak, dikaitkan langsung dengan upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Dengan demikian, baik Israel maupun seluruh bangsabangsa Arab akan berkepentingan untuk menjaga perdamaian tersebut. Ini adalah persyaratan sangat penting, karena hanya dengan cara demikianlah sebuah perdamaian abadi dapat ditegakkan di kawasan TimurTengah. Di sinilah terletak kaitan vital antara penyelesaian sengketa Irak di satu pihak dan sengketa IsraelPalestina di
g 369 h
pihak lain.Perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, hanya dapat
dicapai manakala negara Palestina diperkuat dengan mengembangkan industri dan perdagangannya. Hal itu hanya dapat dicapai jika ada bantuan ekonomi besarbesaran, dalam bentuk kredit murah bagi mereka. Katakanlah pinjaman lunak selama dua puluh tahun, sebesar satu milyar dollar AS. Sedangkan jika ASInggris tidak dapat menangkap Saddam Hussein, maka pendapat umum dalam negeri maupun internasional akan memaksa penarikan mundur pasukanpasukan mereka. Dalam hal ini, dapat diminta Saddam Hussein mengundurkan diri untuk kepentingan bangsa Arab secara keseluruhan, khususnya agar memungkinkan pemberian kredit lunak dalam jumlah demikian besar kepada negara Palestina. Ini karena keyakinan penulis, bahwa Saddam Hussein sangat menghormati sebuah negara Palestina yang merdeka, dan karena ia sendiri telah berhasil menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin Irak yang diserang sebuah negara adikuasa, seperti AS. h
dIcaRI PERdamaIan PERanG yanG dIdaPat
g 370 h
Pada umumnya, kita mengikuti salah satu dari dua pandangan berikut. Pendapat pertama adalah, kita memandang kemungkinan pemboman atas Irak oleh Amerika Serikat dan
sekutusekutunya sebagai sebuah bagian dari rencana jahat untuk menyerang Irak dan mengganti presidennya, Saddam Hussein. Dilanjutkan dengan pandangan bahwa rencana itu adalah bagian dari Konspirasi Zionisme yang dipelopori Israel. Kita boleh setuju atau tidak dengan pandangan ini, namun penulis menolak teori komplotan/konspirasi seperti itu. Tetapi bagaimana pun pendapat seperti itu ada dan diikuti banyak orang. Karenanya, pendapat seperti itu harus diakui keberadaannya dan untuk itulah diciptakan sebuah disiplin ilmiah yang bernama studi kawasan, yang berjalan seiring dengan teoriteori geopolitik dalam kajian internasional yang berkembang saat ini.
Sebaliknya, ada pihak lain yang memandang Irak di bawah pimpinan Presiden Sadam Hussein sebagai biang kerok tindakantindakan teror internasional, karena itu diperlukan pemboman ke Irak, untuk menggulingkan presiden tersebut dari jabatannya. Pemboman itu harus dilakukan secara masif, walaupun memakan korban sangat banyak dari penduduk Irak, belum lagi rusaknya kotakota besar di Irak sebagai akibatnya, yang kesemuanya tidak dapat dinilai kerugiannya. Tindakan itu, dalam pandangan Amerika Serikat dan sekutusekutunya haruslah dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan dunia dari terorisme. Kalau ini tidak dilakukan, terorisme internasional akan berlanjut, dan kehidupan di negaranegara tersebut akan sangat terganggu. Karenanya walaupun menimbulkan banyak korban, langkah itu harus tetap diambil untuk perdamaian dunia.
kita dan Pemboman atas Irak
g 371 h
Memang, kedua hal yang saling bertentangan itu terwujud dalam kenyataan, dan kita tidak dapat menutup mata akan keadaan ini. Berarti, kita harus mengambil sikap: membenarkan atau menolak tindakan pemboman atas Irak itu. Memang, ini pilihan yang sangat sulit, tetapi bagaimanapun juga pilihan harus dilakukan. Pandangan kita harus dirumuskan. Keengganan, ketakutan ataupun emosi kita hanya akan memperpanjang soal itu. Belum lagi akan munculnya sikap pihakpihak lain terhadap pendirian kita itu. Karenanya, sebaiknya kita bersikap yang jelas, masingmasing dengan akibatakibatnya sendiri.
eg
Sikap itu pun tidak seluruhnya dapat dikemukakan dengan lugas apa adanya. Karena salah satu persyaratan hubungan internasional adalah, kemampuan untuk menyampaikan ‘bahasa’ yang dapat mengaitkan kepentingan bangsa atau kelompok yang satu dengan yang lain. Kemampuan itu yang semakin canggih itu untuk menutupi ambisi pribadi atau golongan yang ada. Dan segala sesuatunya dirumuskan, supaya sesedikit mungkin membuat orang yang berpandangan lain dengan kita menjadi jengkel atau marah. Kita menyaksikan beberapa istilahistilah yang berubah arti atau bentuk. Ini adalah konsekuensi logis dari tatanan geopolitik yang ada. Penguasaan pendapat umum di sebuah negara, yang ditentukan oleh faktorfaktor yang serba geopolitis, akibatnya penggunaan istilah semakin menyimpang jauh dari apa yang dimaksudkan semula.
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah kata “globalisasi” (penduniaan). Dalam pengertian yang kita gunakan seharihari, yang dimaksud globalisasi adalah sikap memberikan arti terhadap dunia atau universal. Tetapi segera terjadi perubahan arti dari kata tersebut, yaitu terjadi pemaksaan kehendak atas pemahaman orang banyak, seperti dikehendaki oleh kelompokkelompok yang berjumlah kecil. Karenanya bagi perusahaanperusahaan raksasa, kata globalisasi tersebut lalu berubah makna menjadi dominasi.
Selain itu pengertian dan pemahaman kelompok yang lebih besar atas kata “perdagangan bebas” (free trade) yaitu kebebasan berdagang. Namun menurut pengertian pihak yang kecil, kata itu berarti sistem yang menguntungkan pihak yang mem
kIta dan PEmboman atas IRak
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 372 h
punyai modal besar. Kata “modern” berarti penggusuran halhal yang tradisional oleh yang baru, yang dianggap lebih menguntungkan. Dengan demikian, tersembunyilah arti lebih dalam dari tradisional, oleh bentukbentuk baru yang dianggap modern.
Kata “tempe” umpamanya, dipakaikan untuk menentukan kekurangan, kelemahan atau ketidakmampuan. Mengemukakan suatu istilah “bangsa tempe”, umpamanya, dianggap kalah arti dari bangsa yang kuat. Padahal kata tempe dalam pengunaan di sini, seharusnya sesuai dengan hakikatnya sebagai sesuatu yang memiliki gizi tinggi dan nilai berlebih. Jadi, penggunaan kata itu mencerminkan pandangan salah di masa lampau, bahwa hanya makanan yang menggunakan daging sajalah yang dianggap bergizi.
Demikian pula kata “perdamaian” dalam pergaulan antarbangsa. Sekarang kata itu berarti, tidak adanya peperangan atau penggunaan kekerasan oleh sesuatu pihak atas pihak yang lain, namun dengan persyaratan dan pengertian dari pihak yang menang. Kata “terorisme” dapat diartikan menurut kepentingan geopolitik negaranegara adi kuasa, sehingga yang menentang pengertian tersebut dianggap sebagai teroris. Berhasilkah upaya Presiden George W Bush Jr. mengembalikan arti kata teroris, pada pengertian semula, yaitu penggunaan kekerasan oleh pihakpihak yang tidak mau berunding? Kalau ini yang dimaksudkan oleh Presiden Amerika Serikat itu, lalu mengapakah harus jatuh korban puluhan ribu jiwa orangorang yang tidak bersalah, akibat pemboman itu sendiri? Di sini, kita lihat terjadi perubahan arti kata “perdamaian” dan “terorisme”.
eg
Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa tindakan pemboman secara masif atas Irak adalah sesuatu yang juga diperdebatkan secara bahasa/epistemologi, dan tidak hanya berdasarkan “rasa panggilan historis” seperti dirasakan pemerintahan Amerika Serikat saat ini. Inilah akibat kalau penafsiran diserahkan kepada sebuah negara adikuasa belaka. Lebih jauh lagi, sinisme kekuasaan yang didasari pertimbanganpertimbangan geopolitik, lalu membuat kita menghadapi jurang pertentangan dan peperangan dalam ukuran yang masif. Karenanya, marilah kita berupaya menggunakan ukuranukuran moral dan etis
g 373 h
dalam tata pergaulan internasional, walaupun banyak penguasa lain memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan. Dan ini yang sebenarnya menjadi esensi ajaran Mahatma Gandhi tentang ahimsa, dunia tanpa kekerasan. Islam juga menolak penggunaan kekerasan semaunya saja oleh siapapun, dan kekerasan hanya dapat dilakukan oleh kaum muslimin, jika mereka diusir dari rumahrumah kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim).
Di sinilah terletak signifikansi dari filsafat dan moralitas, perdamaian dunia tidak selayaknya hanya dibatasi pengertiannya secara geopolitik belaka melainkan harus memasukan moralitas ke dalam dirinya. Dalam hal ini, moralitas harus ditentukan oleh kerangka multilateral seperti PBB, bukan hanya oleh sebuah negara adi kuasa belaka. Mungkin ini terdengar seperti lamunan belaka, namun bukankah citacita besar sering berangkat dari lamunan? h
kIta dan PEmboman atas IRak
g 374 h
Dalam sebuah wawancara televisi, penulis mengemukakan bahwa banyak hal yang dilupakan Presiden Amerika Serikat, George W Bush Junior, mengenai Presiden Sad
dam Hussein dari Irak. Bush beberapa kali mengatakan, bahwa tujuan Amerika Serikat melakukan penyerangan berulang kali, untuk menangkap Saddam Hussein yang dianggapnya menjadi penyebab terorisme bersimaharajalela di dunia saat ini. Jadi, ia merasa berkewajiban menangkap Saddam Hussein untuk menegakkan pemerintahan yang kuat dan demokratis di Irak. Untuk tujuan itulah ia menyerang Irak secara besarbesaran. Bukan hanya sekadar bom yang dijatuhkan seperti hujan, melainkan juga dengan serangan seperempat juta orang bala tentara dari utara dan selatan, ditambah 40.000 orang prajurit Inggris. Ini berarti rangkaian serangan besar dalam ukuran perang sebenarnya.
Dilihat dari rencana semula, serangan itu seharusnya berakhir dengan kemenangan mutlak dalam waktu paling akhir 3 hari. Tetapi ternyata, setelah 13 hari serangan —ketika tulisan ini dibuat—, Saddam Hussein belum juga tertangkap. Sedang jumlah korban jiwa dan harta benda dalam satuansatuan tempur pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat maupun kerugian material lainnya telah menimpa Amerika Serikat dan sekutunya dalam jumlah sangat besar, termasuk di dalamnya tanktank dan senjata berat yang terkubur di gurun pasir.
saddam Hussein dan kita
g 375 h
Ini belum lagi termasuk sikap negaranegara Arab lainnya (di luar Kuwait), yang justru cenderung bersikap netral dalam sengketa tersebut. Di satu pihak, Bush Jr, tidak mengindahkan keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga serangan yang dilakukannya seperti tidak memiliki legitimasi internasional, sedang serangan atas Irak, merusak kehormatan nasional yang dimiliki negaranegara Arab lainnya.
Di samping halhal di atas, serangan Amerika Serikat dan sekutusekutunya itu juga dilihat sebagai serangan terhadap Islam. Umat Islam di seluruh dunia menyesalkan hal itu, apapun sebab, alasan dan argumentasi untuk mendukung sikap menolak serangan itu. Megawati Soekarnoputri yang tidak mau mengutuk serangan tersebut, dianggap oleh banyak kalangan gerakan Islam di negeri kita, sebagai tidak membela Islam dari serangan (invasi) atas sebuah bangsa muslim seperti Irak. Bahkan banyak demonstrasi yang menuntut agar hubungan diplomatik RIAS diputuskan saja, sedang produkproduk AS di boikot oleh kaum muslimin. Sebuah sikap konfrontatif yang sebenarnya jarang diperlihatkan oleh gerakangerakan Islam, di manapun ia berada.
Sebab utama dari reaksi seperti itu adalah inkonsistensi pernyataan Presiden AS George W Bush Jr, tentang hakikat serangan AS atas Irak. Awalnya ia mengemukakan serangan itu dilakukan guna mencegah malapetaka bagi dunia, karena Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal dalam jumlah besar yang ditemukan. Ternyata belakangan diketahui, senjatasenjata itu justru dahulu diberikan AS kepada Saddam Hussein untuk menyerang Iran. Ini berarti AS ikut membuat senjatasenjata tersebut di masa lampau, dan sekarang cuci tangan dari kesalahan tersebut.
Dalam kesempatan lain, Bush mengatakan bahwa Saddam adalah “tokoh jahat (evil figure)” yang harus dilenyapkan karena melanggar hakhak asasi manusia. Mengapa hanya Saddam Hussein? Bukankah ada sebuah negeri di Timur Tengah yang setiap tahun menembak mati para warga negaranya, hanya karena mereka dianggap menjadi oposan politik bagi para penguasa negeri? Kalau memang Bush benarbenar ingin membela demokrasi, tentunya ia harus mulai dengan Benua Amerika sendiri, masih ada negaranegara otokrasi di benua tersebut, seperti Guatemala. Bahwa ini tidak diperbuat Bush Jr, sangat mengurangi kredibilitas ungkapannya itu, hingga dapat dikatakan sebagai ar
saddam HussEIn dan kIta
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 376 h
gumentasi kosong. Pernyataan Bush Jr. tersebut tidak punya arti apaapa dan dengan demikian tidak meyakinkan siapapun.
Karena itulah terjadi demonstrasi besarbesaran di seluruh dunia, apalagi di kalangan bangsabangsa muslim. Walaupun penulis sendiri dianggap sebagai “moderat”, namun penulis tidak dapat menerima serbuan itu sebagai sebuah langkah yang tepat. Baik secara militer maupun menurut diplomasi, langkah itu adalah sebuah tindakan gegabah dari sebuah negara adi kuasa atas negara lain yang lemah.
Lebihlebih lagi, Bush Jr sama sekali “melalaikan” perhitungan tujuan perangnya, yaitu menangkap Presiden Irak, Saddam Hussein. Maka jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein tidak tertangkap, haruslah dilakukan penyelesaian damai. Sangat sulit untuk menangkap Saddam Hussein, karena hubungan yang sangat baik dengan sukusuku Arab yang berpindahpindah tempat (nomaden) di Irak, Jordania, dan Syria. Mungkin Saddam Hussein akan mengulangi tindakannya dalam pertengahan abad lampau, ketika ia melarikan diri karena diancam hukuman mati di Irak. Dengan hubungannya yang sangat baik itu, Saddam dilindungi oleh sukusuku (qabilah) dari berbagai negara, sehingga ia sanggup berjalan kaki dan naik unta sejauh lebih dari 2.000 km untuk mencapai Mesir di bawah pahlawan Gamal Abdul Nasser.
Karena itulah, penulis mengatakan dalam wawancara dengan TV7, bahwa janganjangan diktum Von Clausewitz1: “perang adalah penerusan perundingan damai yang gagal” harus dilaksanakan secara terbalik dalam kasus Irak. Yaitu, perundingan damai adalah kelanjutan dari perang yang tidak mencapai tujuannya. Ini akan terjadi kalau dalam tiga bulan pasukanpasukan ASInggris tidak berhasil menangkap Saddam Hussein. Karena rakyat AS tentu menuntut melalui demonstrasi besarbesaran agar pasukan AS ditarik dari Irak. Perundingan tersebut diperlukan untuk “menolong muka” AS. Hal ini juga penulis sampaikan kepada Duta Besar Australia di sebuah tempat lima hari setelah itu, di depan para stafnya.
Menjadi jelas dari uraian di atas, bahwa pengenalan mendalam atas sebuah kawasan sangat diperlukan jika ingin diam
1 Carl Von Clausewitz adalah salah seorang ahli strategi perang dari Prussia yang terkenal dan terkemuka di dunia.
g 377 h
bil tindakan militer atasnya. Dan pengenalan kawasan itu harus disertai pertimbangan objektif yang justru sangat diabaikan oleh Presiden Bush Jr. Arogansi yang timbul dari pengetahuannya, bahwa AS adalah satusatunya negara adi kuasa yang dapat “mengalahkan” negara manapun, menyingkap kenyataan serangan militer itu dilakukan karena pertimbanganpertimbangan geopolitis, bukan pertimbangan moral. Menurut perhitungan geopolitis Bush Jr, Irak sebagai penghasil minyak kedua terbesar di dunia, dengan 116 miliar barel atau sekitar separuh dari produksi Arab Saudi penghasil minyak terbesar di dunia, haruslah “dikembangkan” sebagai imbangan Arab Saudi, karena Arab Saudi dewasa ini menyimpang dari kebijaksanaan luar negeri AS. Ditambah lagi, karena Irak saat ini mulai menggunakan mata uang masyarakat Eropa, Euro dalam menyelesaikan transaksi minyaknya.
Keterusterangan pihak AS dalam menggunakan pertimbanganpertimbangan ekonomis ini, haruslah disampaikan oleh Bush Jr, setidaktidaknya melalui berbagai lembagalembaga nonpemerintahan di negeri Paman Sam itu. Tindakan menutupnutupi berbagai pertimbangan geopolitis dan finansial itu hanya akan mengurangi kredibilitas AS saja. Hilangnya kredibilitas itu akan memaksa negara tersebut, menggunakan kekuatan militer dalam hubungan dengan negerinegeri lain. Menjadi teladan bagi kita, bahwa mengendalikan sebuah negara adi kuasa tidaklah mudah, melainkan membutuhkan kemampuan bersabar dan sikap tidak memandang rendah orang lain. Apalagi hanya mendengarkan suara kelompokkelompok garis keras belaka. Tidak mudah menjadi pemimpin dunia, bukan? h
saddam HussEIn dan kIta
g 378 h
Amerika Serikat (AS) telah menyerbu Irak dengan sekutusekutunya, melalui peralatan militer yang sangat canggih dan personel tentara yang tangguh dibantu oleh sistem
komunikasi mutakhir. Dalam waktu tiga minggu, ibu kota Baghdad jatuh ke tangan pasukan AS, dan patung Saddam Hussein setinggi belasan meter itu dirobohkan. Anehnya, Saddam sendiri bersama keluarga dan menterimenterinya tidak juga tertangkap. Hal ini sangat mengherankan, dan menimbulkan tanda tanya besar, apakah gerangan yang terjadi. Kalau tadinya diproyeksikan Saddam akan tertangkap dan ia digantikan oleh seorang pemimpin lewat pemilu demokratis, maka sampai tulisan ini dibuat hal itu belum terjadi.
Karenannya kita perkirakan hanya satu dari kedua proyeksi di atas akan terwujud, yaitu mengganti pemerintahan Saddam dengan pemerintah yang baru, itu pun belum tentu dapat diterima rakyat Irak. Pemerintahan yang baru itu akan melaksanakan pemilu dalam waktu dekat, guna mendapat legitimasi bagi dirinya. Dan tanpa legitimasi itu, pemerintah yang didirikan, tidak akan menjadi pemerintahan yang kuat. Klaim Presiden Bush akan menjadi suatu yang kosong dan seluruh dunia akan bertanya mengapa Irak harus diserang? Jawabannya adalah, AS menyerbu Irak untuk kepentingan minyak bumi, alias hanya berdasarkan pertimbanganpertimbangan geopolitis: “Menciptakan imbangan bagi Saudi Arabia yang merupakan negara penghasil minyak
adakah Perdamaian di Irak?
g 379 h
bumi terbesar di dunia (dengan cadangan 260 milyar barel minyak mentah (crude oil), yang sekarang sudah mulai menyimpang dari kebijakan luar negeri AS dalam soal Israel.”
Dalam waktu sekitar tiga bulan atau 100 hari, jika AS tidak berhasil menangkap Saddam Hussein maka rakyat AS tentu akan menuntut pasukanpasukan mereka ditarik dari Irak. Jika ini terjadi, maka di samping adanya pemerintah yang lemah (dan belum tentu demokratis), maka mau tidak mau perdamaian di Irak menjadi opsi yang harus diperhitungkan? Di sinilah letak “kelalaian” dari serangan AS atas Irak itu. Sebuah serangan yang tidak memperhitungkan kemungkinan Saddam tidak tertangkap tentulah membawa resiko tersendiri, jalan selanjutnya melalui perdamaian untuk menyelesaikan konflik di Irak.
eg
Kemungkinan penyelesaian damai di Irak, apalagi kalau PBB diserahi tugas “mengamankan” negeri itu, haruslah memperhitungkan hal lain, yaitu perlunya menciptakan perdamaian abadi di kawasan Timur Tengah. Karena itulah, penulis mengusulkan perdamaian di Irak harus terkait langsung dengan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel. Dengan demikian, selanjutnya tidak ada “pengaruhpengaruh negatif” perkembangan konflik antara Israel dan Palestina dengan perkembangan di Irak. Kalau kita berpikir secara rasional dan obyektif, tentu akan sampai ke tingkat itu. Dalam hal ini, apa yang dilontarkan penulis itu bukanlah sesuatu yang utopis dan dalam anganangan saja.
Untuk mencapai perdamaian abadi antara Palestina dan Israel harus ada negara Palestina yang kuat, terutama industri dan perdagangannya. Hal itu hanya mungkin terjadi kalau ada pemerintahan yang kuat dan tangguh dalam negara Palestina (State of Palestine). Jika Israel memiliki industri dan perdagangan yang tangguh, itu tidak lain pada masa permulaanya negeri itu mengenal sistem Kibutz (koperasi pertanian) yang sangat tangguh. Sebagai tandingannya negara Palestina harus mengembangkan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang tangguh, guna melakukan pembangunan industri dan perdagangan yang tangguh pula. Untuk hal tersebut, disamping pemerintahan yang moderat dan kuat, juga diperlukan bantuan ekonomi secara besarbesaran dalam bentuk kredit murah bagi negeri Palestina.
adakaH PERdamaIan dI IRak?
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 380 h
Israel dan Palestina yang kuat, merupakan persyaratan utama bagi perdamaian dunia kawasan Timur Tengah, sedangkan perdamaian seperti itu sangat tergantung kepada kemampuan dunia untuk menciptakan perdamaian abadi di Irak. Inilah sebabnya mengapa penulis mengusulkan kaitan langsung antara perdamaian di Irak dengan antara IsraelPalestina. Sebagai orang luar yang memperhatikan perkembangan di kawasan Timur Tengah —karena merupakan bagian dari dunia Islam yang digelutinya—, maka usul itu tentunya memiliki unsur kemungkinan gagal yang cukup besar, tetapi ini tidak menghilangkan keharusan kita terus berupaya menciptakan perdamaian di manapun juga.
eg
Usul di atas penulis kemukakan dalam berbagai forum, antaranya pada ujung bulan Maret 2003, dalam sebuah konferensi penciptaan perdamaian di seluruh dunia di selenggarakan oleh IIFWP (Interreligius and International Federation for World Peace) di Washington DC. Begitu juga hal itu penulis kemukakan dalam rangkaian ceramah di Michigan University, Ann Arbor, pada akhir Maret 2003. Penulis lagilagi mengemukakan hal itu dalam seminar yang diselenggarakan Strategic Dialogue Centre Universitas Netanya, Israel di New York awal Februari 2003 lalu, berjudul “Mencari Kerangka Perdamaian di Timur Tengah”. Dalam seminar di New York itu, penulis juga mengemukakan pentingnya mengenal sebabsebab terorisme yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum muslimin, dengan atas nama agama mereka, seperti peledakan bom di Bali
Di antara sebabsebab yang dikemukakan penulis adalah kelalaian sebagian kecil kalangan pemuda muslimin untuk membedakan antara institusi (lembaga) dan budaya (kultur) Islam. Jika ada yang melupakan budaya (kultur) itu, tentu ada ketakutan bahwa institusi (kelembagaan) keIslaman sedang diancam oleh peradaban Barat dalam bentuk modernisasi. Dengan sendirinya, mereka merasa tantangan modernisasi dan ke baratbaratan sulit untuk dihadapi, maka mereka menggunakan segala macam cara (termasuk penggunaan kekerasan) dalam “mempertahankan” agama yang mereka cintai.
Dalam hal itu, mereka tidak memperhitungkan nyawa para korban yang berjatuhan, yang terpenting “rasa puas” karena telah
g 381 h
dapat “membela agama”. Sikap mental yang demikian ini tentu saja negatif dan perlu diganti dengan tindakan lain yang lebih positif. Hal itu akan terjadi jika pemikiran yang ada diarahkan kepada penciptaan kondisi damai di manapun kaum muslimin berada, termasuk di kawasan Timur Tengah.
Kalau kita palingkan perhatian dari kawasan tersebut, maka akan tampak betapa besar keragaman cara hidup di kalangan kaum muslimin yang berbeda etnis, bahasa, agama dan budaya yang mereka miliki. Kalau kita sadari hal ini dengan mendalam, maka tampak nyata bagi kita, bahwa ragam dan jenis kaum muslimin pun sangat banyak jumlahnya. Kewajiban kita untuk melestarikan hal itu. h
adakaH PERdamaIan dI IRak?
g 382 h
Judul dan sekaligus pertanyaan di atas, dapat dijawab dengan berbagai cara. Secara historis, perang dunia kedua berakhir dengan kalahnya Adolf Hitler1 dan Jenderal Tojo2
(Jepang) pada tahun 1945. Peperangan yang terjadi setelah itu secara umum dapat dianggap sebagai perang kemerdekaan, setidaktidaknya dari kaca mata negaranegara yang memerdekakan diri dari penjajahan. Namun anehnya, perang ArabIsrael dalam tahun 1948, hanya oleh orangorang Israel saja dianggap sebagai perang kemerdekaan. Karena orangorang Israel meli
1 Adolf Hitler (18891945) adalah Konselir Jerman dari 1933 sampai meninggalnya 1945 karena bunuh diri di bunkernya di Berlin. Ia juga pemimpin Partai Buruh Jerman Sosialis Nasional (Nationalsozialistiche Deutsche Arbeiter Partei—NSDAP) yang dikenal dengan Partai Nazi. Pada periode PD I hingga PD II, tentara Jerman di bawah komando Hitler menguasai Eropa. Kebijakan rasisnya telah membunuh sekitar 11 juta jiwa di Eropa, termasuk enam juta di antaranya kaum Yahudi, yang kemudian dikenal sejarah sebagai Holocaust.
2 Jenderal Hideki Tojo (1884 1948) adalah Perdana Menetri Jepang ke 40, 19411944. Sebelumnya ia menjadi tentara yang terlibat langsung pada PD I dan PD II. Selama PD II ia memimpin Jepang untuk terlibat dalam Perang Pasifik. Tetapi setelah serangkaian kekalahan tentara Jepang dalam perang tersebut, ia dipaksa mundur dan akhirnya menjauh dari pemerintahan.
dapatkah kita Hindarkan Perang dunia ke tiga?
g 383 h
hat gerakangerakan Hagana�, yang dipimpin Menachem Begin4 sebagai upaya mencapai kemerdekaan, sedangkan sejarah dunia tidak mau mencatatnya demikian.
Setelah terorisme berkembang, baik dalam bentuk “gerakan pembebasan” yang berdasarkan marxismeleninisme, seperti di Kuba dan beberapa negara Amerika Latin, maupun yang berdasarkan ideologi keagamaan tertentu, seperti PanIslamisme dari al-Afghani hingga Abu al-A’la al-Maududi5 di Pakistan, semuanya menunjuk kepada sebuah upaya bersenjata untuk merebut kekuasaan dan memaksakan visi masingmasing atas bangsa yang sebenarnya tidak mengikuti pikiran mereka.
Berbeda dari sejarah berbagai gerakan Islam berwajah ideologis, di Turki gerakan di bawah pimpinan Nejmetin Erbakan kemudian “terpaksa” mengadopsi pikiranpikiran sekuler dalam partai politiknya, Partai Keadilan dan Pembangunan, dan barubaru ini memenangkan 2/3 lebih kursi parlemen negeri itu. Dengan kata lain, ketidakpuasan bangsa Turki atas pendekatan politis antiagama dan pendekatan teknokratis dalam pembangunan
3 Hagana adalah cikal bakal organisasi tentara Israel. Didirikan tahun 1920 di daratan Palestina. Ditujukan sebagai gerakan bawah tanah kaum Yahudi untuk mempertahankan diri. Gerakan ini tersebar di berbagai kota dan kelompok di negara itu. Setelah didirikannya Negara Israel, gerakan Hagana menjelma menjadi pasukan pertahanan Negara Israel.
4 Menachem Wolfovitch Begin (1913 – 1992) adalah pemimpin Partai Likud dan bekas Perdana Menteri Israel 1977. Pria kelahiran Polandia ini adalah penandatangan perdamaian Israel dan Mesir yang menghebohkan yang kemudian berujung pada berdirinya negara Israel. Dan di lain pihak menyebabkan Presiden Anwar Sadat di tembak mati oleh mereka yang menentangnya. Berkat perjanjian perdamaian itu, Begin bersama Presiden Mesir Anwar Sadat memperoleh Hadian Nobel Perdamaian tahun 1978.
5 Abu al-A’la al-Maududi (1903- 1979) dikenal sebagai pendiri Jama’at-iIslami, sebuah organisasi Islam berpengaruh di Pakistan, pada tanggal 21 Agustus 1941 dan kemudian menjadi pemimpin spiritualnya. Pada tahun 1924, Maududi melibatkan diri dalam gerakan Khilafa—yang juga bercorak nasionalis—dan didukung baik oleh Muslim League maupun Partai Kongres. Pada tahun itu juga Maududi menerjemahkan sejumlah buku dari bahasa Inggris ke bahasa Urdu untuk menyokong gerakan nasionalisme India. Sampai pada tahun 1925an, Maududi pun menggunakan pakaian bergaya Barat. Namun perkembangan yang berbalik ke arah fundamentalisme bermula pada tahun 1927, ketika ia menerbitkan risalah kecil yang kemudian menjadi terkenal, berjudul al-Jihad fi al-Islam. Penulisan risalah ini dilatarbelakangi oleh kerusuhankerusan besar antara kaum Hindu dan Islam yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban.
daPatkaH kIta HIndaRkan PERanG dunIa kE tIGa?
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 384 h
oleh partai–partai politik yang berkuasa, akhirnya membawakan sesuatu yang baru: Islam membawa akhlak agama yang dirindukan, tetapi tidak menciptakan negaraagama yang penuh dengan segala macam keruwetan.
Seperti persoalan di Turki ini juga, yang melatarbelakangi tumbuhnya afilitas berbagai agama dunia kepada sejumlah partai politik tertentu. Soka Gakkai, sebagai organisasi Buddha terbesar di dunia, berada di belakang Partai Komeito, (partai bersih), yang sekarang menjadi partner junior dalam peme rintahan Jepang; begitu juga RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh), sebagai organisasi Hindu terbesar di India, berada di belakang BJP (Barathiya Janata Party) yang dipimpin Perdana Menteri Atal Behari Vajpayee. Sementara itu, di Iran, Jam’iya al-Taqrib bain al-Madzahib (asosiasi pendekatan antar madzhab) pimpinan Ayatullah Wa’iz Zadeh mendukung tokoh moderat Mohammad AlKhatami —yang kini menjadì Presiden Iran. Semuanya itu menunjukkan bangkitnya kembali paham keagamaan “nonlegalis dan nonideologis” di negaranegara itu.
Dari sudut sosiologis, munculnya elit baru yang sepenuhnya menggunakan acuanacuan Barat yang positivistik dan teknokratik, yang didahului oleh sejarah moral yang panjang dari “bangsabangsa Barat”, telah membawa keteganganketegangan baru dalam hubungan antar kelompok di negaranegara sedang berkembang. Baik di dalam negeri masingmasing, maupun di kalangan anakanak mereka yang belajar di “negerinegeri Barat”, segera muncul semacam kesadaran harus melakukan sesuatu untuk melaksanakan —dalam beberapa hal tertentu memaksakan— moralitas baru dalam kehidupan masyarakat yang mereka kenal. Kesadaran seperti itu, dikombinasikan dengan sedikitnya pengenalan mereka akan sejarah Islam yang panjang —yang senantiasa bersandar pada proses reinterpretasi ajaran agama—, akhirnya menumbuhkan “kebutuhan” akan tindak kekerasan, yang menjadi pangkal bagi munculnya terorisme dalam kalangan gerakangerakan Islam.
Dangkalnya pengetahuan agama para teroris itu, karena tidak mengenal proses penafsiran kembali ajaran Islam, juga diperparah dengan langkanya pengenalan akan kondisi berbagai masyarakat Muslim. Tradisi Asia Tenggara yang menganggap LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai partner pemerintah dalam pembangunan, jelas tidak terdapat di Timur Tengah,
g 385 h
di mana para rektor dan ketua gerakan palang merah, juga harus ditunjuk oleh Presiden, Raja atau Amir. Mereka yang tidak setuju dengan peranan pemerintah yang demikian besar, dengan sendirinya harus bergerak di bawah tanah untuk tidak melawan pemerintah. Karena itu pula mereka harus meniadakan perlawanan politis kepada pemerintah sendiri, namun melawan “materialisme Barat” dengan tindaktindak kekerasan. Barulah setelah mereka mencapai kecanggihan finansial dan militer ter-tentu, mereka lalu membantu “orangorang dangkal” di berbagai bilangan dunia, termasuk di negaranegara Asia Tenggara yang tadinya tidak mengenal terorisme terorganisir seperti itu. Yang dalam abadabad yang lalu, adalah gerakan spontan yang tidak berumur panjang dalam “pembelaan terhadap Islam”, yang bersifat mesianistik.
Hal yang bersifat antropologis yang menandai munculnya berbagai usaha teroris di kalangan kaum Muslimin, adalah hilangnya pembedaan antara institusi dan kultur. Gerakangerakan Islam tradisional tetap menekankan diri pada upayaupaya kultural, —seperti pendidikan agama, pengelolaan harta bendabenda kaum Muslimin (wakaf), pemunculan berbagai manifestasi kultural, seperti ziarah ke makammakam suci dan penggunaan simbolsimbol agama seperti shalawat dan kegiatan seremonial kaum sufi dan reformulasi peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat, dengan tidak memberikan tempat kepada upayaupaya institusionalisasi yang dibawakan oleh “kaum pembaharu” itu.
eg
Dilihat dari berbagainya sudut pandang Muslim Sunni tradisional dan manifestasi tindakan kaum Muslimin di seluruh dunia, jelas tidak dapat digunakan pendekatan “berlatar belakang terorisme” belaka. Ada berbagai reaksi antara bermacammacam masyarakat Islam, sehingga tidak dapat dicari pola umum tunggal dalam hal ini. Umpamanya saja, pandangan terhadap upaya demokratisasi dengan tumpuan pada kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undangundang, bagi beberapa kaum Muslimin Sunni tradisional tidak dianggap sebagai langkah menuju “pemBaratan”. Oleh karena itu, tidak setiap tindakan menyimpang dari demokrasi liberal
daPatkaH kIta HIndaRkan PERanG dunIa kE tIGa?
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 386 h
harus dianggap sebagai sikap antiBarat, melainkan pertanda sebuah pencarian antara sesama “gerakan Islam”. Jelas upaya mereka itu tidak menggunakan kekerasan seperti beberapa partaipartai Islam di Indonesia, PAS di semenanjung Malaysia dan berbagai wilayah kaum Muslimin yang lain. Karenanya, kita harus bersikap hatihati dalam hal ini, dan tidak menganggap setiap upaya nonliberal sebagai musuh dari lingkungan antidemokrasi.
Namun tidak semua keinginan berbagai gerakan Islam harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang khusus bagi masyarakat Islam saja. Contohnya, adalah penghormatan sangat tinggi kepada para ulama —dalam masyarakat Islam, mereka adalah penentu pendapat umum masyarakat. Selain itu perlu dicari formulasi peranan para birokrat dan pengusaha kaya dalam masyarakat Muslim yang semakin lama semakin canggih. Kegagalan menemukan rumusan yang baik dalam hal ini, akan membuat masyarakat Muslim di manamana menjadi korban kepentingan kelompok birokrat maupun pengusaha kaya yang ada, sementara kelompok muslim itu tidak mengenal warisan tradisi yang ada, dalam bentuk penafsiran kembali ajaranajaran Islam sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Dengan sendirinya penafsiran mereka hanya bertujuan mencapai kebutuhan jangka pendek mereka sendiri akan sangat dominan.
Apa yang diperbuat mantan Presiden Soeharto dari Indonesia antara akhir 1989 hingga pertengahan 1999, dapat digunakan sebagai contoh dalam hal ini. Soeharto, yang tidak memiliki pengetahuan mendalam akan sejarah Islam, menganggap penguatan institusional bagi kaum Muslimin di negaranya, sebagai cara terbaik untuk memperoleh dukungan masyarakat Muslimin di Indonesia bagi pemerintahannya, yang semula didukung oleh ABRI/birokrasi/Golongaan Karya sebagai “partai pemerintah”. Ia menambahkan unsur keempat untuk menopang pemerintahannya yang semakin melemah, dalam bentuk dukungan kongkrit kepada kaum Muslim modernis, khususnya kepada Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)6. Ia melupakan NU sebagai
6 Organisasi ini didirikan pada tanggal 7 Desember 1990, pada sebuah simposium yang menghimpun sekitar lima ratus cendekiawan muslim Indonesia bertema “Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI” di Malang Jawa Timur. Ketua Umum ICMI untuk pertama kalinya (19911995) adalah Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie.
g 387 h
kelompok Muslim Sunni tradisional yang sibuk dengan manifestasi kultural Islam, dan melupakan kebutuhan institusional golongan itu. Sebagai seorang Muslim dari lingkungan perwira yang dididik secara Barat, Soeharto mengabaikan aspekaspek kultural dan memusatkan diri pada penguatan institusional kaum Muslimin modernis itu. Sebagai akibat, ia terasing dari dua kelompok masyarakat luas yang sangat berpengaruh: kaum Muslim Sunni tradisional (yang diwakili NU) dan mereka yang terdidik oleh “sistem Barat” dan tidak mementingkan gerakangerakan Islam lagi, seperti kaum profesional, pengusaha, intelektual dan mahasiswa. Akibat lainnya, Soeharto tidak kuat menghadapai tekanan demokratisasi, apalagi ketika para politisi “mencuri” isu demokratisiasi dan reformasi di Indonesia, maka Soeharto tidak memiliki pilihan selain lengser. Ini menunjukkan, betapa salahnya menganggap Soeharto sebagai wakil golongan Islam. Dia hanyalah seorang pemimpin yang mencoba memanfaatkan sekian banyak institusi keagamaan bagi kepentingan memelihara kekuasaan, namun ia gagal dalam hal ini.
Demikianlah salah satu contoh dari “manipulasi” kekuatan gerakangerakan Islam. Setelah “manipulasi” itu tidak lagi dinilai sebagai satusatunya kebutuhan menjaga kepentingan bangsa —sebagaimana dirasakan para ulama di Indonesia—, maka upaya menegakkan demokrasi dan memperluas otonomi daerah di negeri itu, dianggap sebagai “memenuhi kebutuhan kaum Muslimin” di negeri itu. Inilah yang membuat mengapa PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) memiliki prospek sangat cerah sebagai pemenang mayoritas tunggal dalam pemilu Indonesia tahun depan. Ini tampak jelas bagi orang yang mengikuti dan mengamati komunikasi langsung antara PKB dan seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Kalangan Kristen, kelompokkelompok minoritas etnis (seperti kaum Tionghoa) yang mencapai 15% seluruh bangsa, kaum profesionalintelektualmahasiswa mendukung partai itu, karena melalui dukungan itu mereka mengharapkan bentukbentuk demokratisasi akan terwujud di negeri khatulistiwa ini. Dengan melakukan fungsionalisasi Islam, disamping mempelopori proses demokratisasi, PKB berhasil menetralisir dampakdampak negatif di dalam negeri dari terorisme kaum Muslimin radikal.
Hasil dari upaya ini tidak akan lama lagi, jika negeri ini menjalankan dua hal. Pertama, haruslah dikembangkan pendapat
daPatkaH kIta HIndaRkan PERanG dunIa kE tIGa?
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 388 h
yang mencoba melakukan identifikasi upaya-upaya redefinisi fungsifungsi Islam dalam kehidupan masyarakat, dengan berbagai tindakan demokratisasi. Dan kedua, adalah penegakkan demokrasi di negeri berpenduduk puluhan juta manusia yang menginginkan kehidupan demokratis bagi bangsa tersebut, yang berintikan penegakan kedaulatan hukum.
eg
Dari uraianuraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, untuk memerangi terorisme yang dilakukan oleh golongangolongan Muslimin radikal di Indonesia, dengan ujung peledakan bom di Bali, diperlukan langkahlangkah berikut.
Pertama, kemampuan membedakan secara tajam antara kelompok kultural dan kelompok institusional, di antara berbagai kelompok–kelompok kaum Muslimin di negeri itu. Kedua, dilakukan pengenalan mendalam dan penyebaran konsepkonsep memajukan warga masyarakat Muslim di negeri itu, dari kemiskinan yang masih melatarbelakangi prosentasi sangat besar dari penduduk secara keseluruhan. Ketiga, mengoptimalkan kembali kemampuan bangsa Indonesia menekan pertumbuhan penduduk, hingga pertengahan 1995 pertumbuhan penduduk hanya 1,6% tiap tahun, berarti penambahan penduduk sekitar 3,5 juta jiwa, tapi sejak beberapa tahun terakhir ini kembali menjadi 3,5%. Pemerintah yang sekarang ini berkuasa, tidak mampu menekan kenaikan absolut jumlah warga negara yang justru dirugikan oleh programprogram pembangunan yang tidak memiliki wawasan kependudukan. Keempat, sikap arogan mereka yang merasa “berjuang secara fisik untuk Islam”, harus-lah diatasi paling tidak oleh pemerintah. Tindakan menghukum mereka itu haruslah diusahakan, karena sebenarnya bertujuan menghilangkan sikap arogan yang selalu merasa benar dan menganggap pihakpihak lain salah. Karenannya tindakan kepala team Polri yang menangkap mereka yang disangka melakukan terorisme dengan meledakkan bom di Bali (Imam Samudra, Amrozy dan sejumlah temannya yang lain) dengan memasukkan I Made Pastika dan Edy Darnadi ke dalam team tersebut, jelas merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk memberlakukan keinginan menghukum itu.
Terserah kepada buktibukti legal yang diperoleh, memiliki
g 389 h
kekuatan untuk itu atau tidak, namun jelas itu merupakan langkah pertama untuk menindak terorisme yang berbaju agama. Di sini berlaku apa yang dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah Agung Mesir, AlAsymawi, bahwa selama tiap tindakan hukum di bidang pidana memiliki unsur hukuman dan cegahan (punish-ment and deterrence), selama itu pula ia dapat disamakan dengan hukum pidana kanonik yang terdapat dalam hukum Islam (fiqh). Dengan demikian, salah satu keberatan para teroris yang diadili itu, melalui para pengacara mereka, bahwa mereka tidak dapat dikenakan tindakan legal berdasarkan “Hukum Barat”, seperti hukum Pidana Indonesia saat ini yang dikodifikasikan dalam KUHAP (Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana), tertolak dengan sendirinya.
Di samping upaya hukum itu, diperlukan pengamatan ketat dari pihak intelijen, guna menangkal upayaupaya teroristik, sebelum hal itu terjadi. Ini sangat diperlukan karena letak geografis Indonesia yang sangat memudahkan langkah-langkah mempersiapkan terorisme internasional di dalam negeri, dengan bantuan keuangan dan latihanlatihan dari luar kawasan Asia Tenggara. Jumlah pulau Indonesia sebanyak 17.000 buah, dengan 4.000 buah diantaranya tanpa penghuni, adalah sesuatu yang sangat mudah bagi gerakangerakan teroris internasional untuk menciptakan kondisi matang bagi terorisme. Apa yang dilakukan gerakan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, merupakan bukti adanya watak internasionalistik dari tindakantindakan teror yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara. Jika gerakan tersebut punya kaitan dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front) atau MNLF (Moro National Liberation Front), jelas adanya watak internasional dari gerakan tersebut merujuk kepada penanganan lebih menyeluruh dari pihak internasional di bawah koordinasi Pemerintah Filipina.
Kegagalan menciptakan mekanisme yang diperlukan untuk menangani terorisme itu, akan membawa konsekuensikonsekuensinya sendiri, seperti perkembangan di Australia dan Jepang serta reaksireaksi balik dari “negerinegeri sosialistik” di kawasan pasifik selatan. Belum lagi kalau dilihat kemungkinan bersambungnya gerakan tersebut dengan terorisme “bertopeng” agama Islam yang berkembang secara domestik di Indonesia. Tindakantindakan hukumlah yang akan membuktikan, apakah yang terjadi di Indonesia juga merupakan sesuatu yang berwatak
daPatkaH kIta HIndaRkan PERanG dunIa kE tIGa?
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 390 h
internasional. Memang ada oknumoknum dari berbagai gerakan Islam di Indonesia yang tampak memiliki hubungan dengan MILF dan MNLF di Filipina Selatan, tetapi masih terlalu dini untuk melihatnya sebagai jaringan terorisme internasional.
eg
Hal kelima yang harus dilakukan, adalah memberikan informasi yang benar tentang jalannya sejarah Islam kepada generasi muda kaum Muslimin sendiri. Kepada mereka tidak jemujemunya harus diberikan keterangan, bahwa dalam perkembangannya, Islam mendasarkan diri kepada proses penafsiran kembali, dan tidak merujuk kepada perlawanan keras (apalagi fisik) kepa-da proses modernisasi. Sabda Nabi Muhammad Saw, umpamanya, “Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di muka umat-umat lain pada hari kiamat”, seharusnya maksud sabda itu bersifat kualitatif, bukannya kuantitatif seperti yang banyak diartikan oleh mayoritas kaum Muslimin sekarang. Karenanya tidak ada alasan untuk menolak gagasan keluarga berencana selama tidak menghilangkan wewenang reproduktif yang ada di tangan Tuhan atas umat manusia, dengan melaksanakan kontrasepsi yang tidak bertentangan dengan syari’ah.
Di samping itu diperlukan pula pengembangan pemikiran kaum muda bangsa ini, dengan memaparkan bahwa kawasan Timur Tengah tidak memiliki tradisi LSM yang kuat, sehingga kritikkritik terhadap pemerintahan mereka harus dilaksanakan di bawah tanah, maka kritikkritik terbuka itu diarahkan bukan kepada pemerintah sendiri, melainkan kepada “cara hidup Barat”. Inilah yang kemudian masuk ke dalam pola pemikiran Samuel Huntington dengan teori perbenturan budayanya (Clash of Civilization) yang terkenal itu. Huntington lupa bahwa tiap tahun, puluhan kalau tidak ratusan ribu pemuda Muslim belajar “teknologi Barat”, yang berarti juga terjadinya akomodasi budaya antara Islam dan Barat.
Proses saling belajar seperti itu, jika tidak dijelaskan dengan baik, justru akan membuat para pemuda Muslim cenderung menganggap Barat sebagai musuh, dan dengan demikian membuat mereka menggunakan kekerasan melawan apa yang mereka anggap sebagai “musuh” itu. Perbedaan persepsi dari proses besar itu, justru digunakan oleh tokohtokoh Islam yang
g 391 h
melihat “bahaya” dari perjumpaan akomodatif antara Islam dan Barat itu. Apalagi, jika di dunia Barat sendiri lahir kelompokkelompok yang “benci” kepada peradaban Barat itu sendiri, seperti Louis Farrakhan7 di Amerika Serikat.
Dalam hal ini, studi kawasan Islam (Islamic Area Studies) sangat diperlukan, karena dengan demikian akan nampak perbedaan cara hidup kaum Muslimin dari sebuah kawasan ke kawasan lain dengan jelas. Penulis pernah mengemukakan kepada Universitas PBB di Tokyo dalam tahuntahun 80an, dunia Islam sebaiknya dibagi menjadi enam buah studi kawasan: masyarakatmasyarakat Muslim di kawasan Afrika hitam, kawasan Afrika utara dan dunia Arab, kawasan budaya TurkiPersiaAfghan, kawasan Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India dan Srilangka), kawasan Asia Tenggara dan kawasan minoritas Muslim di negerinegeri berteknologi maju. Sekarang ini kita cenderung melakukan studi kawasan nasional, padahal yang diperlukan adalah studi kawasan regional. Ini saja sudah menunjukkan betapa jauhnya jarak antara kerja intelijen dengan kerja dunia akademik. Herankah kita jika lalu para politisi banyak melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan? Ini tentu berimbas pada sikap bersama kita terhadap tindakantindakan para teroris. h
7 Lahir dengan nama Louis Eugene Walcott pada 11 Mei 1933 di kawasan Bronx, New York. Louis menjadi pemimpin the Nation of Islam sebuah komunitas muslim terbesar di Amerika Serikat.
daPatkaH kIta HIndaRkan PERanG dunIa kE tIGa?
g 392 h
Sewaktu penulis berkunjung ke Boston, kota pelajar di Amerika Serikat (AS), bulan September 2002, penulis diminta memberikan ceramah bagi sejumlah mahasiswa asing di
Kennedy School of Government Universitas Harvard. Penulis diminta para mahasiswa tersebut melalui anak penulis Zannuba Arifah Chafsoh1 yang belajar di situ untuk program setahun lamanya. Saat itu minggu sore hari, penulis diminta berbicara mengenai situasi global saat ini, bagaimana responsi gerakangerakan dan negaranegara Muslim di dunia atas perkembangan tersebut, dan apa akibatnya bagi Indonesia.
Sungguh sebuah tema yang besar —yang tentunya tidak akan dapat dikemukakan hanya dalam waktu dua jam saja, dan itupun termasuk dengan tanya jawabnya sekalian. Demikian pula, melihat komposisi mahasiswanya yang datang dari berbagai negara, kiranya tidak memungkinkan untuk mengupas satupersatu tema di atas. Sebab, bagi mahasiswamahasiswa Amerika Latin —misalnya, tentu tidak tahu persoalan Asia Tenggara. Dan begitupun mahasiswa nonMuslim tentu juga tidak mengerti masalahmasalah yang dihadapi kaum Muslimin. Karena itu,
1 Putri kedua Abdurrahman Wahid yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 29 Oktober 1974 ini adalah Direktur Wahid Institute. Sebelum terjun di kancah politik, sarjana Desain dan Komunikasi Visual dari Universitas Trisakti dan Master dari Kennedy School of Government, Harvard University ini, pernah menjadi koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age antara tahun 1997 dan 1999. Peraih penghargaan Australia’s Premier Journalistic Award The Walkleys ini, sekarang dipercaya sebagai staf khusus kepresidenan, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dalam bidang komunikasi politik.
Haruskah ada kesepakatan?
g 393 h
penulis harus memilih masalah paling utama yang sedang aktual dibicarakan di manamana, yaitu rencana penyerangan dan pemboman AS atas Irak. Dari hal itulah baru dikemukakan halhal mendasar yang menyangkut ketiga tema di atas.
Penulis beranggapan, penyerangan dan pemboman AS atas Irak dapat dipastikan akan mencapai hasil yang diharapkan. Mungkin, mengenai masalah produksi dan penyediaan bahan bakar minyak bumi yang melimpahruah dapat diubah melalui penyerangan tersebut, atau Saddam Husein digulingkan dari pemerintahannya. Tetapi bahwa Irak akan menjadi negara penurut bagi AS, rasanya jauh dari kenyataan. Para pemimpin oposisi Irak yang menentang Saddam Husein dan barubaru ini berkumpul di Gedung Putih—setelah memegang tampuk pemerintahan dukungan AS, belum tentu nantinya akan mengikuti kehendak negara Paman Sam itu. Untuk dapat bertahan, mereka harus pandaipandai menampung perasaan rakyat Irak yang benci terhadap campur tangan asing, dalam hal ini adalah AS. Ini semua, merupakan sebuah aspek saja yang harus diperhitungkan dalam melihat permasalahan di atas.
eg
Sekali lagi, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kekuatan saja belum tentu dapat mengubah perasaan orang banyak. Ada residu perasaan tidak senang, apabila kekuatan dan kekuasaan digunakan secara berlebihan. Dalam jangka panjang, hanya kerugian bagi semua pihak saja yang terjadi akibat pertimbanganpertimbangan geopolitik yang digunakan AS saat ini. Karenanya, kita harus berhatihati dengan berbagai pertimbangan tersebut, apalagi kalau tindakan yang diambil sangat dipengaruhi oleh emosi para pengambil keputusan.
Tampaknya, Presiden AS George W. Bush Jr., merencanakan serangan dan pemboman atas Irak itu dengan pertimbangan mencari popularitas, karena ketidakmampuan memecahkan krisis ekonomi AS yang sedang terjadi. Tetapi bahayanya, kalau serangan dan pemboman besarbesaran itu tidak menghasilkan sikap Irak untuk mengikuti kehendak AS katakanlah di bidang minyak bumi, ditambah dengan jumlah besar penduduk sipil yang menjadi korban serta banyaknya serdadu AS yang gugur atau menderita lukaluka di kawasan tersebut, bisa jadi pendapat
HaRuskaH ada kEsEPakatan?
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 394 h
umum di AS dapat berbalik menyalahkan presiden tersebut. Dan kemungkinan untuk itu tampaknya cukup besar, karena Saddam Husein menarik pasukanpasukannya ke kawasan perkotaan, yang berati akan jatuh lebih banyak korban, apalagi kalau ia berhasil menggerakkan perlawanan gerilya kota terhadap serangan AS.
Serangan dan pemboman itu akan menimbulkan kemarahan luar biasa bagi kaum Muslimin di seluruh dunia terhadap Pemerintah AS sendiri. Karena ketidakberdayaan menghentikan serangan dan pemboman itu, dengan sendirinya peradaban yang melahirkannya yaitu peradaban Barat, ditolak sebagai mitra peradaban Islam ke arah kemajuan. Dengan demikian, kemelut psikologis yang menghinggapi diri kaum Muslimin di seluruh dunia, akan semakin menjadijadi, minimal bagi para warga gerakangerakan Islam. Sikap keras sebagian mereka, dengan sendirinya semakin sulit untuk dilerai, dan perlawanan gilagilaan seperti bom bunuh diri di IsraelPalestina akan semakin banyak. Kalaupun tidak bertambah jumlahnya, reaksi psikologis yang menghinggapi para warga gerakangerakan Islam itu akan menjadi keras dan bertambah kompleks. Apalagi ditambah dengan sikap Perdana Menteri Ariel Sharon2 dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel Jenderal Allon yang semakin keras terhadap kaum pejuang Palestina, maka rasa tidak berdaya itu akan berubah secara kualitatif dan kuantitatif menjadi kebencian semakin besar terhadap “peradaban Barat”.
eg
Bagi Indonesia, atau lebih tepatnya bagi gerakangerakan Islam moderat di negeri ini, tantangan yang dihadapi juga akan semakin besar. Di tengahtengah sikap moderat kebanyakan kaum Muslimin di negeri ini, terdapat kelompokkelompok “Muslim garis keras” yang tentu saja akan merasakan tekanantekanan psikologis yang dirasakan kaum Muslimin di seluruh dunia sebagai akibat dari serangan dan pemboman AS atas Irak itu. Rasa
2 Perdana Menteri Israel dari Partai Likud sejak 7 Maret 2001. Pada 21 November 2005, Sharon keluar dari Likud dan membentuk partai baru bernama Kadima. Namun karena stroke yang mengakibatkan pendaharan otak, Sharon harus digantikan wakil PM, Ehud Olmert pada 11 April 2006.
g 395 h
tidak berdaya itu tentu akan membawa akibatakibatnya sendiri yang serius bagi keadaan umat manusia dewasa ini, yaitu membuat lebih tipis keinginan mencari langkahlangkah akomodatif antara peradaban Islam dan peradabanperadaban lain.
Rasa tidak berdaya itu, tentu lebih terasa di kalangan kaum muda dan kaum miskin perkotaan (urban poor), suatu hal yang sama sekali tidak dilihat oleh Presiden George Bush Jr., yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya, dari kualitas pertimbanganpertimbangan geopolitis yang digunakan olehnya. Di sinilah sebenarnya terletak pangkal masalah yang dihadapi umat manusia dewasa ini.
Di satu pihak, negaranegara yang berindustri maju, sering disebut sebagai negaranegara makmur (affluent countries), tidak penah menyadari parahnya keadaan di negaranegara berkembang dan lebarnya kesenjangan antara kaum kaya dan miskin di kawasan tersebut. Memang, meski peperangan terhadap terorisme internasional dan penegakan demokrasi telah dilakukan, tetapi AS bukanlah contoh yang baik tentang bagaimana upaya menegakkan demokrasi dan menghilangkan kesenjangan kayamiskin serta pembelaan terhadap negaranegara berkembang yang lemah. Bahkan, AS sendiri lebih sering dianggap sebagai pendukung para penguasa lalim di seluruh dunia. Kalau demikian, berhakkah dia berbicara tentang moral dan etika? Padahal perjuangan melawan terorisme internasional dan domestik, haruslah didasarkan pada acuan moral dan etika. Karena, banyak yang mempertanyakan hak AS untuk memberantas terorisme internasional, yang membunuh sangat banyak penduduk sipil yang dibom dan diserang dengan sebuah keputusan yang bersifat unilateral.
Dengan dasar etis dan moral yang masih dipertanyakan, herankah kita jika banyak kaum muslimin lalu mempertanyakan sendisendi peradaban yang tidak seimbang antara yang terjadi dengan yang dibawakan AS sebagai negara adikuasa dan negaranegara berteknologi maju? Karena tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup, herankah jika mereka melihat sikap moderat mayoritas kaum muslimin, sebagai langkah menyerah bulat pada peradaban sekuler yang melahirkan arogansi sikap itu? Sikap Presiden Bush itu membebani kaum muslimin moderat dengan tugas yang tidak ringan, yaitu mengatasi sikap utopis di kalangan kaum “muslimin garis keras”. Adilkah yang demikian itu? h
HaRuskaH ada kEsEPakatan?
g 396 h
Ketika penulis memberikan ceramah di KSG (Kennedy School of Government) bagi sejumlah orang mahasiswa Universitas Harvard, akhir September 2002 ini, ada per
tanyaan dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Singapura: mengapakah penulis memusuhi Singapura? Penulis menjawab, bahwa ia memang menolak arogansi sementara para pemimpin Singapura, yang sok tahu tentang perkembangan Islam di Tanah Air kita. Bahkan dua orang pejabat tinggi Singapura menyatakan bahwa “Muslim garis keras” akan memerintah Indonesia dalam waktu 50 tahun lagi. Penulis menyatakan melalui jawaban tulisan —ia menjawab melalui beberapa buah media massa Indonesia yang masih mau memuat pernyataannya, bahwa kita tidak perlu mendengarkan pendapat kedua orang pemimpin Singapura tentang Islam di negeri ini, karena mereka tidak tahu apaapa tentang agama tersebut.
Jawaban penulis ini, menunjuk pada sebuah perkembangan penting di negeri kita. Karena sebelumnya, para pemimpin kita di masa lampau menerima suapan dari sejumlah tokoh Singapura, lalu mereka berada pada posisi bergantung pada ekonomi Singapura. Karena itu, timbulah arogansi di kalangan sementara tokoh negeri itu. Dari arogansi ini, lalu timbul sikap mementingkan pihak yang tidak penting, dan memberikan penilaian yang terlalu tinggi terhadap mereka. Termasuk dalam sikap ini, pandangan sangat merendahkan terhadap kaum Sunni tradisional seperti yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama. Selain itu, karena penulis tidak mau menggunakan kekerasan untuk memperta
Pertentangan Bukanlah Permusuhan
g 397 h
hankan jabatan negara, sebagai presiden yang berfungsi menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sikap itu dianggap mereka sebagai kelemahan. Mereka tidak percaya, bahwa demokrasi melalui pemilihan umum akan memberikan penilaiannya sendiri. Apalagi karena memang para tokoh Singapura itu tidak percaya pada demokrasi dan memperlakukannya secara manipulatif.
Begitulah pandangan seorang tokoh Singapura yang dianggap sudah mendunia, padahal postulatpostulat yang digunakannya hanya berasal dari kalangan elit belaka. Tokoh tersebut, tidak pernah menyadari bahwa dunia baru sedang menggeliat, bangun dari tidurnya selama berabadabad. Dunia baru itu mengembangkan postulatpostulat dan premispremisnya sendiri, yang harus ditangkap dengan jitu, agar tidak terjadi halhal yang merugikan semua pihak. Termasuk di dalamnya, kaum Muslimin moderat yang sanggup mempertahankan keyakinan agama mereka, sambil menyerap halhal baik dari kemajuan pengetahuan dan teknologi modern.
Jelaslah dari uraian di atas, penulis tetap menganggap penting kemajuan pengetahuan dan teknologi Singapura, namun penulis tetap beranggapan bahwa Singapura juga memiliki keterbatasannya sendiri. Ini berarti, sikap arogan dari sejumlah tokoh mereka terhadap Indonesia dan Islam harus dihilangkan, jika diinginkan tetap ada hubungan baik antara kedua negara. Penulis sendiri sangat menghargai kemampuan bangsa Singapura untuk maju dengan cepat, walaupun terkadang dicapai atas kerugian bangsabangsa lain di sekitarnya. Jadi harus dicari bagaimana mempertahankan kemajuan yang dicapai, sambil menghargai dengan sungguhsungguh upaya bangsabangsa sekitar untuk maju dengan cara mereka sendiri.
Sikap memandang rendah bangsa dan negara lain —betapa canggihnya sekalipun ia dibungkus—, tetap akan tampak dalam jangka panjang. Inilah yang membuat orangorang seperti penulis berbeda pandangan dari tokohtokoh arogan Singapura itu. Walaupun penulis berbeda pandangan dari tokohtokoh tersebut, namun ia tidak memusuhi bangsa Singapura. Sebagai penganut paham nonhegemonik hubungan internasional, penulis sangat menghargai bangsa Singapura. Tetapi ini tidak berarti penulis menganggap Singapura patut menjadi contoh bangsa dan negara kita. Tentu saja persoalanpersoalan yang dihadapi negarakota
PERtEntanGan bukanlaH PERmusuHan
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 398 h
(city state) —yang sangat kecil seperti Singapura—, tidak sama dengan masalahmasalah yang dihadapi negarabangsa (nation state) seperti Indonesia, yang memiliki lebih dari 200 juta penduduk dan memiliki wilayah ribuan kilometer.
Dengan sendirinya, para pemimpin negara kita harus memiliki wawasan dan kebijakan (policy) sendiri, yang akan melahirkan kebijaksanaan (wisdom) dalam menangani berbagai masalah dalam menghadapi bermacammacam sikap, termasuk arogansi tokohtokoh negara lain sekecil Singapura itu.
Penulis teringat ungkapan CEO (Chief Excutive Officer), pejabat ekskutif tertinggi General Motors, beberapa puluh tahun yang lalu, yaitu Charlie “Engine” Wilson, bahwa apa yang baik bagi perusahaan tersebut, juga baik bagi Amerika Serikat, tidak berlaku dalam hubungan internasional antara Indonesia dan Singapura. Jelaslah dengan demikian, apa yang baik bagi Singapura, belum tentu baik bagi Indonesia. Sekarang saja, ketika komplek serba ada seperti ITC di Mangga Dua sudah berfungsi, Singapura sudah kewalahan menarik para pembeli kita. Demikian juga, hotelhotel mereka yang dahulu memanfaatkan konsumen dari negara kita, sekarang juga dibuat pusing oleh sulitnya menarik para pembeli bangsa kita.
Bangsa Singapura harus menyadari, pola hubungan berketergantungan antara negara mereka dengan IndonesiaMalaysiaThailandBrunei Darussalam, adalah pola hubungan tidak normal, yang pada suatu ketika akan kontraproduktif dan merugikan Singapura sendiri. Ini berarti, sikap arogan terhadap bangsabangsa dan negaranegara sekitar, haruslah diakhiri. Hubungan baru harus segera dibuat atas dasar saling penghormatan dan kesadaran masa depan bersama yang akan penuh rintangan. Sekarang saja, tekanan kegiatan ekonomi ASEAN sudah berpindah dari kawasan selatan ke kawasan utara persekutuan tersebut. Proyek Delta Mekong yang melibatkan ThailandKambodiaVietnamLaos dan Myanmar merupakan titik baru ekonomi regional, walaupun proyek jalan raya, pelayaran maupun penerbangan BIMPEAGA1 (Filipina–Brunei–MalaysiaIndone
1 Brunei Darussalam Indonesia Malaysia the PhilippinesEast Asean Growth Area (BIMPEAGA) adalah kerjasama ekonomi untuk membangun kawasan Brunei Darussalam, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya (Indonesia), Sabah, Sarawak, Labuan (Malaysia), Mindanao dan Pahlawan, Filipina (Filipina).
g 399 h
sia dan kawasan pengembangan ASEAN Timur) masih tersendatsendat.
Kesadaran bersama ini mengambil bentuk bermacammacam. Indonesia, umpamanya, lebih mementingkan pelabuhan samudera. Sementara upaya mengatasi kebakaran hutan yang mengganggu negaranegara tetangga, adalah antara lain dengan mempertimbangkan usulan Ir. Erna Witoelar agar kelompokkelompok masyarakat memiliki dan mengelola daerahdaerah pinggiran hutan, agar mereka turut bertanggungjawab dalam memelihara kelebatan hutan, karena ditakutkan akan merembet ke kawasan yang mereka miliki. Juga, kelestarian sumbersumber alam, seperti batubara, minyak bumi, gas alam serta barang tambang lainnya, akan membawa perubahan besarbesaran dalam mengelola ekonomi di masa depan. Di sini yang dipentingkan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat kebanyakan, agar mereka turut bertangungjawab atas kelestarian sumbersumber alam tersebut.
Ini semua berarti, Indonesia akan membuka diri terhadap masuknya investasi asing. Kalau ini yang selalu diingat, hubungan Indonesia dengan negaranegara tetangganya, atas dasar prinsip saling menghormati, akan menjadi lancar dan mendorong stabilitas kawasan. Dan, hal itu berarti harus ada penyeimbangan kepentingan nasional masingmasing negara, di satu sisi dan kepentingan bersama bagi kawasan yang memiliki kolektifitasnya sendiri, di sisi lain. h
PERtEntanGan bukanlaH PERmusuHan
g 400 h
Seorang yang dekat dengan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra (dibaca, Cinawat) mengatakan pada penulis tentang ketidakmengertian orangorang Thai tentang tidak
terlaksananya dua buah masalah pokok yang telah disepakati antara Muangthai dan Indonesia. Yang pernah dicapai antara Perdana Menteri Thaksin dengan penulis, dalam kapasitas sebagai Presiden Republik Indonesia. Tanpa pelaksanaan kedua hal itu, yang terjadi adalah keraguan dari pihak Muangthai, benarkah orang Indonesia serius dalam melaksanakan halhal yang telah disepakati? Jika dapat berjalan dengan lancar, maka sekaligus akan merupakan terobosan.
Kedua hal itu adalah kesepakatan untuk memproses minyak mentah Indonesia di berbagai kilang minyak Muangthai, tujuannya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia kepada kilangkilang minyak Singapura. Tampaknya, para pejabat Pertamina tidak mau bersusah payah dalam hal ini, karena hanya bersedia bersandar pada keinginan pemerintah Singapura saja. Dalam pembicaraan itu penulis menyatakan bahwa mungkin pihak pemilik kilang di Singapura telah memberikan sesuatu sebagai sogokan kepada para pejabat Indonesia.
Hal kedua adalah menciptakan keseimbangan perdagangan (balance trade account) dalam perdagangan antara IndonesiaMuangthai. Dasar dari pemikiran itu, adalah apa yang dialami oleh negaranegara Eropa setelah Perang Dunia II. Waktu itu,
Indonesia-muangthai: sebuah kemungkinan memperluas kerjasama
g 401 h
negaranegara Eropa tidak memiliki jumlah uang yang besar, sehingga mereka tidak menggunakan uang sama sekali dalam perdagangan antar negara di Benua Eropa. Jika hampir tutup buku, mereka cukup membandingkan neraca pembayaran antara dua negara. Dari situ akan tampak, berapa tanggungan sebuah negara pada negara yang lain sebagai hasil penyeimbangan. Hanya jumlah berlebih itulah yang harus dibayar dalam valuta asing oleh sebuah negara dalam sistem penyeimbangan itu. Hal ini dilakukan, oleh negaranegara yang kekurangan valuta asing.
eg
Bagi negaranegara berkembang, yang selalu kekurangan devisa, sebaiknya menerapkan cara ini di antara mereka. Dengan demikian, keseimbangan neraca perdagangan dapat dipelihara, tanpa menghilangkan kewajiban menyelesaikan jumlahjumlah selisih antara mereka dalam neraca pembayaran. Hanya dengan cara inilah dapat dilakukan kerjasama untuk melawan kekuasaan negaranegara maju, seperti Amerika Serikat. Namun, keinginan mulia Muangthai justru tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia sekarang, yang sedang mengalami krisis multidimensional. Ini adalah hal yang sangat mengherankan Muangthai sendiri.
Penulis menyatakan, tidak usah heran dengan sikap tersebut. Karena Indonesia sangat tergantung kepada mitranya dari negaranegara berteknologi maju, dan kurang memperhatikan sesama negara melarat. Ini tentu disebabkan oleh kecenderungan para penguasa negara untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, baru setelah itu memikirkan kepentingan negara. Mentalitas inilah yang diketahui para pengusaha negaranegara berteknologi maju, hingga upeti tertentu dapat dibayarkan untuk kepentingan kalangan pejabat di negeri ini.
Keheranan temanteman di Muangthai itu segera terjawab karena sebabsebab tadi. Nyata benar, sikap para penyelenggara pemerintahan, dapat menimbulkan dampakdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Karenanya, patutlah pertimbangan Paul Krugman, seorang maha guru ekonomi dari MIT (Massachusset Institute of Technology) bahwa selama birokrasi pemerintah di Indonesia berjumlah terlalu besar dan belum bersih betul dari korupsi, selama itu pula jangan diharapkan untuk
IndonEsIa-muanGtHaI: sEbuaH kEmunGkInan
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 402 h
bisa sukses ketika keluar dari IMF (International Monetary Fund). Selama kebersihan birokrasi pemerintah tidak diperhatikan, maka jangan diharapkan akan tumbuh sikap yang memandang perlu memelihara kepentingan orang banyak.
eg
Jelas dari uraian di atas, hubungan sehat dalam perdagangan antar negara sangat tergantung pada kesehatan birokrasinya. Sikap inilah yang tidak pernah mendapatkan perhatian serius kita dalam peyelenggaraan kemitraan dengan sesama negara berkembang, baik dalam lingkungan ASEAN maupun di luarnya.
Karena itu, kita tidak perlu heran dengan pertanyaan orangorang Muangthai yang menanyakan keseriusan untuk bermitra antara sesama Negara ASEAN, maupun antara sesama negara berkembang. Dan jangan heran dengan keluhan para pengamat luar dan dalam negeri, karena sebenarnya kita juga tahu akibat yang ditimbulkan penyelenggara pemerintahan, bersumber dari pemahaman mereka atas situasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi masingmasing.
Dengan menelaah apa yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan tadi, tentu saja keinginan penulis untuk mewujudkan sebuah prinsip bekerjasama antara sesama negara berkembang seringkali diabaikan, seperti halnya bagaimana kita menyambut sebuah investasi yang akan menguntungkan daerah. Keinginan penulis untuk mewujudkan segala sesuatu yang produktif, antara para pejabat Muangthai dengan pejabat Indonesia ternyata masih harus ditunda lagi, hingga entah kapan terwujudnya. Jadi tidak heranlah jika kepentingan negaranegara berteknologi maju lebih diutamakan oleh para penyelenggara pemerintahan kita saat ini. h
g 403 h
Pada pertengahan Juni 2002, penulis pergi ke Bangkok, Thailand. Di kota tersebut, penulis menghadiri pembentukan sebuah lembaga pertimbangan bagi Perserikatan Bang
saBangsa (PBB), bernama World Council for Religious Leaders (Dewan Dunia Pemimpinpemimpin Agama). Dalam anggaran dasar lembaga pertimbangan itu, dikemukakan bahwa lembaga itu mengacu kepada perdamaian dunia tanpa kekerasan, dan harus berbicara mengenai caracara mencapai perjuangan perdamaian dunia sebagai kenyataan yang paling diperlukan di dunia ini. Lembaga ini adalah hasil dari Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian (World Conference on Religion and Peace-WCRP)1, yang dibuka oleh Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, Bill Clinton, tahun 2001. Penulis sendiri dan Presiden Khatami dari Iran, ketika itu, tidak dapat datang karena kesibukan masingmasing di dalam negeri. Namun, ia diwakili oleh Ayatullah Taskhiri dan Diwan al-Taqrib Baina al-Madzâhib (Dewan Pendekatan Antar Sekte). Dihadiri oleh para agamawan dari berbagai agama, pembentukan lembaga tersebut merupakan sebuah kejadian penting, karena para agamawan itu mewakili para agamawan sedunia untuk memberikan pertimbangan bagi Perserikatan BangsaBangsa (PBB).
Walaupun fungsi badan ini hanyalah memberikan pertimbangan belaka, yang dapat dipakai atau dibuang oleh organisasi tingkat dunia itu, namun pertimbangan yang diberikan memiliki bobot tersendiri. Karenanya, lembaga baru ini tidak dapat begitu
1 Lembaga yang beranggotakan tokohtokoh agama internasional ini bermarkas di New York, Amerika Serikat. Lembaga ini membangun dialog antar agama menuju perdamaian. Abdurrahman Wahid pernah terpilih sebagai Presiden WCRP tahun 19941998.
Pembentukan sebuah Forum di Bangkok
Islam, PERdamaIan dan masalaH IntERnasIonal
g 404 h
saja diabaikan, sebab ia merupakan langkah baru untuk memperkuat badan tingkat dunia seperti PBB.
eg
Dalam pidato pembukaan, penulis mengemukakan tiga hal yang harus menjadi kerangka lembaga baru tersebut. Pertama, harus disadari bahwa pertimbangan yang diberikan akan memiliki spiritualitasnya sendiri, di tengahtengah orientasi PBB sendiri yang bersandarkan filsafat materialisme dalam segenap teori pembangunan yang sekuler yang jauh dari ukuranukuran keagamaan. Kedua, pertimbangan yang diberikan memiliki latar belakang dinamika masingmasing agama yang penuh dengan perubahan, yang berarti ia adalah hasil dan sebuah proses yang belum selesai. Ketiga, proses yang menghasilkan pertimbanganpertimbangan itu harus dilihat dari sudut pandang dialog antar agama, bukannya konfrontasi antara agama dan materialisme.
Mengenai hal pertama, sudah jelas bahwa acuan materialistik sekarang merupakan bahan pertimbangan satusatunya bagi organisasi tingkat dunia tersebut. Dasardasar pertimbangan geopolitik yang benarbenar materialistik dalam orientasi, merupakan satusatunya nafas dalam mengambil keputusan. Ini tejadi, karena lembaga tertinggi dunia itu meneruskan proses pengambilan keputusankeputusan yang hampir seluruhnya didasarkan pada pemikiran materialistik masingmasing negara. Akibatnya, terjadilah perbenturan kepentingan, antara negaranegara besar yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.
Dalam lingkup pikiran materialistik yang dominan, pertimbanganpertimbangan spiritual yang dibawakan oleh berbagai agama tentu dirasa tidak diperlukan bagi PBB. Tetapi, kemacetankemacetan dalam pengambilan keputusan yang diakibatkan oleh sederetan pertentangan yang ada kini, membuat setiap pertimbangan keagamaan menjadi kebutuhan tersendiri yang dapat membawa pemecahan, melalui pendekatan spiritual yang holistik. Di sinilah nantinya akan terasa adanya keperluan membentuk dewan baru itu.
eg
Pertimbanganpertimbangan spiritual itu hanya pencermi
g 405 h
nan belaka dan dinamika yang terjadi di masingmasing agama. Aspekaspek tradisionalisme dan pembaharuan dalam masingmasing agama terjadi dalam skala yang sangat luas, dan merupakan proses yang memberikan bekas mendalam atas perilaku perorangan maupun kelompok dalam masingmasing agama. Ini berarti, lembaga baru itu harus memperhitungkan aspekaspek tradisional yang dipelihara dan langkahlangkah pembaharuan yang diambil oleh tiap agama. Dari pengalaman tersebut baru dapat diperoleh pertimbangan yang matang untuk dibawa kepada lembaga tertinggi dunia tersebut. Hanya dengan cara inilah, sebuah pertimbangan akan memiliki kematangan spiritual yang diperlukan, guna menghadapi dasardasar materialistik dari keputusan yang diambil oleh masingmasing negara.
Sedangkan aspek ketiga yang dikemukakan penulis, yaitu watak saling melengkapi dan tidak konfrontatif antara berbagai peradaban dunia, merupakan sebuah alasan yang diperlukan di masamasa yang akan datang. Hal itu telah melatarbelakangi keputusankeputusan bersama berbagai cabang dan anak cabang dari lembaga tertinggi dunia itu. Forum UNESCO, Komisariat Tinggi PBB untuk HAM, Konferensi Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro beberapa tahun lalu dan kegiatankegiatan sejenis, seluruh produkproduknya saling melengkapi dan bukannya menggunakan pendekatan persaingan antar berbagai peradaban. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa PBB memiliki dua jenis produk saat ini yang harus dipahami.
Kemacetan dalam pengambilan keputusan, baik kegagalan dalam memutuskan maupun kegagalan dalam melaksanakan keputusan, tampak jelas sekali akibat perbedaan kepentingan negaranegara besar. Karenanya, dibutuhkan pelestarian dunia dan isinya, berdasarkan pada sikap yang mengacu kepada kepentingan bersama semua negara di masa depan. Dari sinilah PBB dapat menyampaikan keputusankeputusan yang membuatnya menjadi badan tertinggi dunia yang diperlukan di masa depan, dan bukannya lembaga yang terpaku pada kemacetankemacetan di masa kini belaka. h
PEmbEntukan sEbuaH FoRum dI banGkok
LAMPIRAN
g 409 h
BAB I ISLAM DALAM DISKURSUS IDEOLOGI, KULTURAL DAN GERAKAN
Adakah Sistem Islami? Memorandum 22-Jul-2002Islam: Pengertian Sebuah Penafsiran Tidak Terlacak Islam: Pokok dan Rincian Kedaulatan Rakyat 14-Feb-2003Islam dan Deskripsinya Tidak Terlacak Islam dan Formalisme Ajarannya Duta Masyarakat 8-Jul-2002Islam: Pribadi dan Masyarakat Duta Masyarakat 14-Feb-2003Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan Duta Masyarakat 24-Mei-2002Islam: Agama Populer ataukah Elitis? Kompas 2-Jun-2002Islam: Apakah Bentuk Perlawanannya? Kompas 16-Mei-2002Islam: Ideologis ataukah Kultural? (1) Kedaulatan Rakyat 4-Mar-2002Islam: Ideologis ataukah Kultural? (2) Kedaulatan Rakyat 5-Apr-2002Islam: Ideologis ataukah Kultural? (3) Kedaulatan Rakyat 7-Apr-2002Islam: Ideologis ataukah Kultural? (4) Kompas 4-Apr-2002Islam: Ideologis ataukah kultural? (5) Suara Pembaruan Islam: Gerakan ataukah Kultur? Tidak Terlacak Islamku, Islam Anda, Islam Kita Kedaulatan Rakyat 29-Apr-2003Kaum Muslimin dan Cita-Cita Kedaulatan Rakyat 29-Apr-2003Islam dan Orientasi Bangsa Kedaulatan Rakyat 18-Ags-2002 BAB II ISLAM NEGARA DAN KEPEMIMPINAN UMAT Negara Islam, Adakah Konsepnya? Kompas 18-Apr-2002Islam dan Perjuangan Negara Islam Memorandum 22-Jun-2002Negara Berideologi Satu Bukan Dua Tidak Terlacak Islam, Negara dan Rasa Keadilan Duta Masyarakat 31-Jul-2002Negara dan Kepemimpinan Dalam Islam Kedaulatan Rakyat 21-Des-2002NU dan Negara Islam (1) Duta Masyarakat 1-Mar-2003NU dan Negara Islam (2) Duta Masyarakat 29-Mar-2003Islam: Perjuangan Etis Ataukah Ideologis? Kedaulatan Rakyat 30-Apr-2002Yang Terbaik Ada di Tengah Kedaulatan Rakyat 28-Feb-2002
BAB III ISLAM KEADILAN DAN HAK ASASI MANUSIAIslam dan Hak Asasi Manusia Duta Masyarakat 23-Mei-2002Penafsiran Kembali Kebenaran Relatif Kedaulatan Rakyat 7-Feb-2003Islam dan Kepemimpinan Wanita Suara Pembaruan 27-Mei-2002Islam dan Dialog Antar Agama Duta Masyarakat 26-Aug-2002Umat Buddha dan Kesadaran Berbangsa Pidato Hari Raya Nyepi 1-Mei-2003Islam dan Idiosinkrasi Penguasa Kedaulatan Rakyat 3-Mei-2002Ulil Dengan Liberalismenya Duta Masyarakat 28-Jan-2003Haruskah Inul Diberangus? Memorandum 10-Mei-2003Inul, Rhoma dan Saya Duta Masyarakat 15-Mei-2003Aceh, Kekerasan dan Rasa Kebangsaan Suara Pembaruan 13-Apr-2003Ras dan Diskriminasi Di Negara Ini Memorandum 15-Feb-2003Keadilan dan Rekonsiliasi Kompas
g 410 h
14-Feb-2004BAB IV ISLAM DAN EKONOMI KERAKYATANIslam dan Orientasi Ekonomi Sinar Harapan 21-Feb-2003Islam, Moralitas dan Ekonomi Tidak Terlacak Islam dan Keadilan Sosial Memorandum 20-Mei-2003Islam dan Masalah Kecukupan Duta Masyarakat 23-Ags-2003Islam dan Kesejahteraan Rakyat Duta Masyarakat 1-Jun-2002Islam: Antara Birokrasi dan Pasar Bebas Kedaulatan Rakyat 19-Mei-2002Islam dan Teori Pembangunan Nasional Memorandum 30-Jun-2003Islam dan Globalisasi Ekonomi Tidak Terlacak Syari’atisasi dan Bank Syari’ah Memorandum 28-Nov-2003Ekonomi Rakyat ataukah Ekonomi Islam? Kedaulatan Rakyat 6-Jul-2003Apakah Itu Ekonomi Rakyat? Kata Pengantar Buku Hendi KEkonomi Ditata aari Orientasinya Memorandum 3-Jan-2003Benarkah Harus Ada Konsepnya? Media Indonesia 5-Jan-2003Kemiskinan, Kaum Muslimin dan Parpol Media Indonesia 16-Jul-2002Menyelesaikan Krisis Mengubah Keadaan Kedaulatan Rakyat 20-Des-2002 BAB V ISLAM PENDIDIKAN DAN MASALAH SOSIAL BUDAYAPendidikan Islam Harus Beragam Kedaulatan Rakyat 21-Des-2002Bersabar dan Memberi Maaf Memorandum 20-Feb-2003Berkuasa dan Harus Memimpin Sinar Harapan 7-Nov-2002Tata Krama dan ‘Ummatan Wahidatan Majalah Tempo 5-Des-2002Agama Di TV dan Dalam Kehidupan Kedaulatan Rakyat 2-Apr-2002Arabisasi, Samakah dengan Islamisasi? Penyesuaian ataukah Pembaharuan Terbatas? Suara Pembaruan 16-Des-2002Pentingnya Sebuah Arti Memorandum 22-Feb-2002Sistem Budaya Daerah Kita dan Modernisasi Suara Pembaruan Tidak Terlacak“Tombo Ati” Berbentuk Jazz? Kedaulatan Rakyat 6-Jun-2003Dicari: Keunggulan Budaya Duta Masyarakat 5-Jul-2003Keraton dan Perjalanan Budayanya Kedaulatan Rakyat 1-Jan-2003Akan Jadi Apakah Para Raja? Suara Pembaruan Tidak TerlacakIslam dan Marshall McLuhan Di Surabaya Memorandum 13-Jun-2002Diperlukan Spiritualitas Baru Memorandum 4-Apr-2002Doktrin dan Tembang Sinar Harapan Tidak Terlacak
BAB VI ISLAM TENTANG KEKERASAN DAN TERORISMETerorisme Harus Dilawan Tidak TerlacakTerorisme di Negeri Kita Memorandum 12-Okt-2002Bersumber dari Pendangkalan Duta Masyarakat 8-Feb-2003NU dan Terorisme Berkedok Islam Duta Masyarakat 12-Apr-2003Bom Di Bali dan Islam Memorandum Tidak TerlacakBenarkah Mereka Terlibat Terorisme? Kedaulatan Rakyat 27-Okt-2002Benarkah Ba’asyir Teroris? Duta Masyarakat
Sikap Yang Benar Dalam Kasus Bali Duta Masyarakat Tidak TerlacakKepala Sama Berbulu, Pendapat Berlain-lain Duta Masyarakat 12-Nov-2002
Islam ku Islam anda Islam kIta
g 411 h
Tak Cukup Dengan Penamaan Tidak Terlacak Memandang Masalah Dengan Jernih Tidak TerlacakKekurangan Informasi Memorandum Tidak TerlacakGandhi, Islam dan Kekerasan Kedaulatan Rakyat 1-Nov-2002Berbeda Tetapi Tidak Bertentangan Tidak Terlacak 22-Nov-2002 BAB VII ISLAM PERDAMAIAN DAN MASALAH INTERNASIONALKita dan Perdamaian Kedaulatan Rakyat 23-Mei-2003Perdamaian Belum Terwujud di Timur Tengah Memorandum 8-Mar-2003Dicari Perdamaian Perang yang Didapat Suara Pembaruan Tidak TerlacakKita dan Pemboman atas Irak Memorandum 10-Nov-2002Saddam Hussein dan Kita Kedaulatan Rakyat 4-Apr-2003Adakah Perdamaian di Irak? Memorandum 20-Apr-2003Dapatkah Kita Hindarkan Perang Dunia Ke Tiga? The Jakarta Post 14-Apr-2003Haruskah ada Kesepakatan? Memorandum Tidak TerlacakPertentangan Bukanlah Permusuhan Tidak Terlacak Indonesia-Muangthai:Sebuah Kemungkinan Memperluas Kerjasama Sinar Harapan 17-Jun-2002Pembentukan Sebuah Forum di Bangkok Memorandum Tidak Terlacak
Lampiran
lamPIRan